edisi 1 november 2007

60
Departemen Komunikasi dan Informatika 1 Jurnal “Dialog” Kebijakan Publik Perilaku Berlalu Lintas Orang Jawa Perspektif Ekonomi Politik Dari Pembangunan Transportasi Indonesia Kebijakan Transportasi Untuk Semua Warga Transportasi dan Pembangunan: Perspektif Multi Dimensi Upaya Meningkatkan Keselamatan Perkeretaapian

Upload: cetagge-jreya

Post on 26-Jun-2015

299 views

Category:

Documents


9 download

TRANSCRIPT

Page 1: Edisi 1 November 2007

Departemen Komunikasi dan Informatika 1

Jurnal “Dialog” Kebijakan Publik

Perilaku Berlalu Lintas Orang Jawa

Perspektif Ekonomi Politik Dari Pembangunan Transportasi Indonesia

Kebijakan Transportasi Untuk Semua Warga

Transportasi dan Pembangunan: Perspektif Multi Dimensi

Upaya Meningkatkan Keselamatan Perkeretaapian

Page 2: Edisi 1 November 2007

2 Departemen Komunikasi dan Informatika

Jurnal “Dialog” Kebijakan Publik

Page 3: Edisi 1 November 2007

Departemen Komunikasi dan Informatika 3

Jurnal “Dialog” Kebijakan Publik

Tim RedaksiPenanggung Jawab : Kepala Badan Informasi PublikPemimpin Redaksi : Prof. Dr. Musa Asy’arieRedaktur Pelaksana : Drs. Bambang Wiswalujo, MPAAnggota Dewan Redaksi : 1. Drs. Supomo, MM 2. Drs. Ismail Cawidu, M.Si 3. H. Agussalim Husein, SE 4. Drs. Syofyan Tanjung, M.SiSekretaris Redaksi : Drs. M. Abduh SandiahTenaga Ahli : 1. Dr. Sugeng Bayu Wahyono 2. Lambang Trijono, MA 3. Hairus Salim, M. Hum 4. Dr. Bagus SantosoFotografer : Leo RampasDokumentasi : Maykada HarjonoDesain Grafis dan Layout : Farida Dewi Maharani, SE

Sekretariat : 1. Hafida Riana, SH. M. Si 2. Drs. Subiakto 3. Hasnelita 4. Sugiarto 5. Lucy Tri Amintasari 6. Dasimin

Menyoal Aspek Keselamatan Dalam Kebijakan Transportasi Nasional

Diterbitkan Oleh:Departeman Komunikasi dan Informatika

Page 4: Edisi 1 November 2007

4 Departemen Komunikasi dan Informatika

Jurnal “Dialog” Kebijakan Publik

aftar IsiDSalam Redaksi ................................................................................................................................... 5Daftar Isi ............................................................................................................................................ 4

Perspektif Ekonomi Politik dari Pembangunan Transportasi Indonesia ............................. 7a. Di bawah Langit Global .............................................................................................8b. Wajah Baru Transportasi ............................................................................................10c. Teknologi Transportasi ..............................................................................................11d. Transportasi Perkotaan ...............................................................................................12e. Transportasi Telekomunikasi Energi ..........................................................................14

Kebijakan Transportasi untuk Semua Warga ............................................................................ 15f. Globalisasi Automobilitas ..........................................................................................17g. Transportasi Perkotaan: Motorisasi vs Nonmotorize .................................................20h. Sistem BRT .................................................................................................................23i. Transportasi yang Berkelanjutan ................................................................................24j. Pendidikan dan Partisipasi Publik ..............................................................................25

Transportasi dan Pembangunan: Perspektif Multidimensi..................................................... 29k. Keterkaitan Transportasi dan Ekonomi ......................................................................30l. Keterkaitan Transportasi dan Penanggulangan Kemiskinan ......................................31m. Keterkaitan Transportasi dan Ketahanan Nasional .....................................................32n. Permasalahan Transportasi di Indonesia ....................................................................32o. Kebijakan Pembiayaan, Kerangka Peraturan dan Kelembagaan ...............................35

Upaya Meningkatkan Keselamatan Perkeretaapian .................................................................. 41p. KA Anjlok atau Terguling ...........................................................................................42q. Kecelakaan di Pintu Perlintasan .................................................................................45r. Pembinaan Pemerintah ...............................................................................................47s. Menggugah Kepedulian ..............................................................................................49

Perilaku Berlalu Lintas Orang Jawa ............................................................................................. 51t. Human Security Sebagai Basis Etis ............................................................................53u. Habitus Orang Jawa ....................................................................................................54v. Reproduksi Kejahatan ................................................................................................56

Page 5: Edisi 1 November 2007

Departemen Komunikasi dan Informatika 5

Jurnal “Dialog” Kebijakan Publik

Keselamatan Dalam Transportasi

S alam Redaksi

Semakin banyaknya kecelakaan di sektor transportasi akhir-akhir ini mendo-rong kita untuk menemukan apa yang menjadi penyebab utama terjadinya kece-lakaan ini dan bagaimana solusinya untuk mengatasi masalah ini, baik ditinjau dari aspek kebijakan maupun aspek kehidupan sosial, ekonomi, budaya masyarakat yang lebih luas. Keselamatan manusia merupakan segala-galanya, sebuah jaminan utama yang harus terpenuhi, dari kegiatan di sektor transportasi, selain pentingnya aspek lain seperti kemudahan mobilitas orang, kemerataan akses pengguna terha-dap sarana transportasi yang ada, kelancaran arus barang, perkembangan dunia usaha, dan pertumbuhan ekonomi.

Memang pembangunan sarana dan prasarana teknologi di sektor transportasi sangat menentukan bagi kemajuan sebuah kawasan, perkembangan dunia usaha dan pertumbuhan ekonomi, sebagaimana telah kita ketahui bersama merupakan rationale utama di balik upaya pengembangan sektor transportasi selama ini. Na-mun, kita juga harus menyadari pentingnya aspek keselamatan manusia ini, se-bagai dasar pertimbangan utama dari semua upaya itu, untuk memajukan sektor transportasi kita demi mencapai kesejahteraan hidup seluruh warga masyarakat.

Kemajuan sektor transportasi, dengan segala sarana dan prasarana teknologi pendukung yang ada, merupakan sarana sangat vital dalam kehidupan modern yang semakin mengglobal ini, untuk memudahkan kita akses ke berbagai sumber-daya yang ada. Namun, pilihan-pilihan atas moda transportasi ini haruslah mem-berikan jaminan bagi keselamatan hidup manusia, menempatkan keselamatan di atas segalanya. Pembangunan berdimensi manusia (human development), disertai dengan teknologi transportasi berwajah manusiawi, haruslah menjadi kepedulian kita bersama.

Permasalahan ini mendorong kita untuk mengangkat tema Keselamatan di Sektor Transportasi ini sebagai pokok bahasan utama dalam terbitan Jurnal Dialog Publik kita kali ini. Berbagai tema penting sehubungan dengan itu dibahas di sini, mulai dari arah kebijakan sektor transportasi yang ada selama ini, dimensi ekono-mi-politik di balik itu, dampak yang ditimbulkan terhadap dinamika kehidupan so-sial-ekonomi masyarakat dan respon warga masyarakat menyikapi perkembangan ini menuju pembangunan sektor transportasi yang lebih manusiawi.

Banyak faktor penyebab tingginya kecelakaan transportasi yang mengancam keselamatan hidup penduduk. Kebijakan nasional yang sepenuhnya belum terarah menuju pengembangan sektor transportasi publik (public transportations) sebagai pilihan utama, merupakan kelemahan pokok pembangunan sektor transportasi kita. Memang tidak mudah menetapkan pilihan moda transportasi tunggal untuk negeri kepulauan dengan kondisi lingkungan geografis dan tingkat aksesibilitas penduduk sangat beragam ini.

Seperti ditekankan di Jurnal ini, pengembangan transportasi publik bersifat multimoda, multipolar, sehingga memberi peluang aksesibilitas terbuka bagi may-oritas penduduk, merupakan pilihan strategis pengembangan transportasi negeri ini. Bentuknya bisa bermacam-macam, bisa lebih menekankan pada pengemba-

Page 6: Edisi 1 November 2007

6 Departemen Komunikasi dan Informatika

Jurnal “Dialog” Kebijakan Publik

ngan teknologi dan sarana transportasi publik darat untuk Jawa padat pen-duduk, atau transportasi publik laut, kapal laut, untuk Luar Jawa yang relatif tidak padat penduduknya. Selain itu, mengingat semakin pentingnya relasi antar penduduk berbasis teknologi informasi, dukungan sistem teknologi informasi memadai sangat diperlukan bagi pengembangan transportasi pub-lik ini.

Pengembangan strategi dan teknologi transportasi publik demikian membutuhkan dukungan kebijakan politik memadai. Tantangan utama justru terletak pada kebijakan ekonomi-politik kita. Seperti dikemukakan dalam Jurnal ini, perkembangan transportasi kita sejauh ini lebih banyak diarahkan oleh kepentingan swasta dalam perdagangan automobile berba-sis pasar konsumen individual. Demikian itu menjadikan jumlah kendaraan motor dan mobil pribadi semakin meningkat sampai pada tingkat sangat mengkhawatirkan bagi keselamatan penduduk. Faktor sosial-budaya, seperti kesukaan masyarakat kita mengejar prestise sosial dalam kepemilikan mo-tor dan mobil pribadi, daripada prinsip kegunaan, menjadikan kepentingan swasta dan pasar ini seakan mendapat dukungan jawaban dari konsumen pasar, sehingga perkembangan teknologi transportasi pribadi ini menjadi seakan tidak bisa direm perkembangannya.

Perkembangan ini selain menjadikan masyarakat kita, pengguna sarana transportasi publik, menjadi semakin terjebak dalam hidup mementingkan diri sendiri (self-centered lives) mengabaikan keselamatan orang lain dan kepentingan publik, juga mendorong terjadinya kesenjangan sosial dalam sektor transportasi. Seperti ditekankan dalam bahasan Jurnal ini, perkem-bangan moda transportasi yang lebih menekankan pada pemilikan ken-daraan pribadi, terutama motor dan mobil di negeri ini, disertai juga oleh pembangunan sarana dan prasarana jalan yang lebih dimaksudkan untuk memuluskan lakunya barang dan teknologi transportasi ini di pasar domes-tik.

Perkembangan sistem transportasi ini bukannya membuka akses ma-yoritas penduduk terhadap sumberdaya pembangunan yang ada, sebaliknya justru membatasi dan mengancam keberlangsungan hidup mereka karena tidak disertai oleh perkembangan sistem dan teknologi transportasi pub-lik yang memadai. Dengan kata lain, perkembangan sistem dan teknologi transportasi semata-mata mengandalkan ekonomi pasar itu kini berkembang sampai pada tingkat tidak rasional, baik ditinjau dari alasan ekonomi, so-sial, tata ruang maupun ekologis, sehingga bukan hanya membahayakan ke-hidupan pribadi warga masyarakat tetapi juga mengancam keberlangsungan mobilitas penduduk di negeri ini.

Perubahan kebijakan menuju pengembangan sektor transportasi berwa-jah lebih manusia sangat diperlukan untuk mencegah terjadinya degradasi kehidupan publik dalam sistem transportasi kita. Menipisnya dimensi pub-lik dalam sistem transportasi bukan hanya akan mendorong warga masya-rakat hanya memetingkan diri sendiri, mengabaikan kebutuhan dan hak-hak dasar dalam hidup penduduk lain untuk akses terhadap sarana transportasi publik yang ada, tetapi juga akan mendorong terjadinya kesenjangan sosial dan menipiskan kesadaran akan rasa memiliki dan bertanggung jawab atas sarana publik yang ada.

Menuju sistem transportasi berwajah manusiawi di negeri ini, pertama-tama konsepsi kita tentang transportasi harus kita ubah. Bukan lagi semata hanya persoalan meningkatkan pemilikan sarana transportasi, pemilikan kendaraan bermotor, mobil, membangun jalan, lapangan terbang, pelabu-han, dan sarana transportasi lain untuk mendukung itu semua. Tetapi, lebih merupakan penciptaan pola hidup dan bentuk kelembagaan ekonomi, so-

sial, budaya dan kehidupan masyarakat yang lebih luas. Transportasi adalah tentang manusia dan kehidupan publik dan segala karakteristiknya dalam ke-hidupan sehari-hari dalam interaksinya dengan manusia lain dan lingkungan hidup sekitar.

Konsepsi ini hendaknya menjadi dasar dalam pengembangan sistem transportasi kita, menjadi lebih ber-wajah manusiawi, menekankan pem-bangunan manusia, berdimensi publik, menumbuhkan rasa aman, nyaman, be-bas bergerak dan menjamin keselama-tan publik, sehingga mendorong poten-si dan kapasitas manusia berkembang secara optimal. Perkembangan potensi dan kapasitas penduduk demikian san-gat menjanjikan bukan hanya akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi dari bawah, membangkitkan potensi ekonomi di masyarakat, tetapi juga akan memberi peluang terbuka bagi mayoritas penduduk untuk akses terha-dap berbagai sumberdaya pembangu-nan untuk peningkatan kualitas hidup dan kesejahteraan mereka. Transpor-tasi pada esensinya adalah kehidupan publik, karena itu kebijakan yang ada juga harus berdimensi publik pula; dari publik dan untuk publik. Demikian itu membutuhkan tanggung jawab pub-lik bersama, (pemerintah, swasta dan warga masyarakat), sehingga sistem transportasi berdimensi publik, berwa-jah manusia, akan terwujud di negeri kita tercinta ini.

Redaksi

Page 7: Edisi 1 November 2007

Departemen Komunikasi dan Informatika 7

Jurnal “Dialog” Kebijakan Publik

Perspektif Ekonomi Politik dari Pembangunan Transportasi IndonesiaOleh: Suyono Dikun, PhD

Untuk melihat perspektif ekonomi politik dari pembangunan transportasi di Indonesia marilah kita merenung sejenak untuk melihat kenyataan so-sial politik yang seringkali tidak terli-hat secara kasat mata oleh kita namun esensinya sangat kuat untuk kita ya-kini bersama sebagai suatu pandangan ekonomi politik dari pembangunan transportasi di Indonesia. Itulah panda-ngan ekonomi politik yang mengatakan bahwa persatuan dan kesatuan ekonomi dan politik dari wilayah Negara Kesa-tuan Republik Indonesia ini hanya dapat dipertahankan oleh sistem transportasi multimoda terintegrasi (seamless trans-port system) yang efisien, handal, dan berkesinambungan dalam memikul be-ban perjalanan orang, barang, dan jasa ekonomi dari dan ke seluruh pelosok negeri. Kekuatan untuk mempersatu-kan dari integrasi jaringan transportasi di seluruh wilayah tanah air tersebut merupakan perekat dari Wawasan Nu-santara kita. Walaupun laut, selat, dan daratan masif secara fisik memisahkan kita, namun sistem transportasi yang handal mempersatukan kita, secara ekonomi, politik, budaya, dan falsafah hidup. Tanpa adanya kekuatan pemer-satu tersebut kita hanyalah kumpulan dari pulau-pulau yang terpisah satu sama lain oleh perbedaan pandangan politik, keberagaman budaya dan etnik, serta kesenjangan ekonomi, yang rawan terhadap disintegrasi bangsa dan per-tarungan etnik primordial. Inilah realita sebenarnya dari ekonomi politik trans-portasi di Indonesia, walaupun sering terabaikan oleh percaturan sosial politik dan ekonomi nasional dan tidak pernah berada di dalam kebijakan arus utama pembangunan.Ekonomi politik seperti

itu pun dikenali oleh peraturan perun-dang-undangan kita. Undang-undang Nomor 17 tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang 2005-2025 menggariskan delapan sasaran pokok sebagai ukuran tercapainya Indonesia yang maju, mandiri, dan adil. Salah satu sasaran pokok terse-but adalah terwujudnya Indonesia se-bagai negara kepulauan yang mandiri, maju, kuat, dan berbasiskan kepentin-gan nasional yang ditandai antara lain oleh terbangunnya jaringan sarana dan prasarana transportasi sebagai perekat semua pulau dan kepulauan Indonesia. Sementara itu salah satu dari delapan arah pembangunan jangka panjang tahun 2005-2025 adalah terwujudnya bangsa Indonesia yang berdaya saing tinggi yang antara lain hanya dapat direalisasikan melalui pembangunan transportasi yang mampu mendukung kegiatan ekonomi, sosial, budaya, dan lingkungan. Transportasi yang seper-ti itu hanya dapat diwujudkan mela-lui pembangunan jaringan infrastruktur dan pelayanan multimoda dan antar moda dengan pendekatan pengemba-ngan wilayah sehingga tercapai pe-merataan pembangunan antardaerah dan pertumbuhan ekonomi nasional.

Apa yang dapat kita visikan dari amanat undang-undang dan ekonomi politik pembangunan transportasi In-donesia untuk jangka waktu agak pan-jang kedepan? Pada tingkat nasional dan sebagai sistem makro yang mema-yungi sub-sistem di bawahnya kita su-dah menetapkan Sistem Transportasi Nasional (Sistranas) sebagai kerangka konseptual dan kebijakan nasional pengembangan transportasi. Sistranas membuat identifikasi lintas-lintas

Page 8: Edisi 1 November 2007

8 Departemen Komunikasi dan Informatika

Jurnal “Dialog” Kebijakan Publik

Di bawah Langit Global

Digital

Knowledge Based

Inovation

Disinter-mediation

Molucelar

Global

Virtual

ConvergingIndustry

Prosumption

Discordance

Immediacy

Networking

THE NEWECONOMY

Gambar 1

ekonomi strategis di pulau-pu-lau, baik jalan raya maupun kereta api, serta titik-titik strate-gis pelabuhan dan lapangan ter-bang di seantero negeri. Lintas-lintas dan kutub-kutub strategis ini dipergunakan oleh Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN) sebagai acuan dalam menetapkan wilayah-wilayah strategis nasional yang kemu-dian menjadi acuan bagi pem-bangunan ekonomi regional dan pengembangan wilayah. Pada tingkat wilayah kita sudah dan akan terus menetapkan Tatanan Transportasi Wilayah (Tatrawil) tingkat provinsi dan kabupaten yang serasi dengan tata ruang wilayah bersangkutan dan yang akan merupakan acuan bagi pembangunan ekonomi wilayah tersebut. Namun baik Sistranas maupun Tatrawil bukanlah se kedar lintas, kutub, atau jarin-gan fisik berupa jalan dan jarin-gan kereta api, pelabuhan, dan lapangan terbang semata. Sis-

tranas dan Tatrawil bukan hanya kon-sep transportasi, namun lebih penting dari itu, dia merupakan konsep sosial ekonomi sehingga pengembangan lebih lanjut dari sistem dan tatanan transpor-tasi tersebut masih harus terus dilaku-kan terutama yang terkait dengan aspek ekonomi, sosial, politik, budaya, dan pertahanan keamanan dari jaringan fisik tersebut. Lebih lanjut, kalau amanat UU dan ekonomi politik tersebut diatas akan diterapkan dalam kebijakan pem-bangunan transportasi, pertanyaan lan-jutannya adalah bagaimana perubahan peraturan perundangan, kelembagaan, dan pembiayaannya akan dilakukan sehingga dapat memikul beban amanat undang-undang dan konsep ekonomi politik tersebut? Saat ini transportasi Indonesia dibangun dengan mengacu kepada empat undang-undang sektoral, yakni UU 15 tahun 1992 tentang Pener-bangan, UU 14 tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, UU 13 ten-tang Perkeretapian yang sudah direvisi dengan UU 26 tahun 2007, serta UU 21 tahun 1992 tentang Pelayaran. Kecuali undang-undang perkeretaapian, semua

undang-undang tentang transportasi masih menggunakan konsep dasar ten-tang penguasaan oleh negara yang melahirkan monopoli oleh sektor pub-lik yang kemudian didelegasikan ke-pada BUMN terkait sebagai pemegang hak monopoli dan hak eksklusif penyelenggaraan pelayanan transpor-tasi. Kalau amanat undang-undang dan ekonomi politik tersebut diatas akan kita laksanakan, maka akan diperlukan investasi yang luar biasa mahal untuk membangun jaringan transportasi dis-eluruh tanah air, termasuk merehabili-tasi jaringan jalan nasional kita yang sekitar 60 persen dalam keadaan rusak. Padahal karena kemampuan pemerin-tah sangat terbatas, pemerintah tidak dapat membangun sendiri semua fasili-tas infrastruktur dan pelayanan trans-portasi di negara seluas Indonesia ini dan oleh karenanya pasti membutuhkan partisipasi sektor swasta. Sementara itu undang-undang transportasi yang lama dipastikan tidak akan dapat memikul beban pembangunan dari amanat ekonomi politik tersebut diatas.

Banyak dari kita barangkali tidak terlalu menghiraukan atau menyadari apa yang terjadi dengan perubahan ekonomi global yang secara perlahan namun pasti mengubah bentuknya dari sistem ekonomi dunia yang selama lebih dari satu abad ini bertumpu ke-pada industri manufaktur menuju ke sistem ekonomi baru yang bertumpu kepada teknologi informasi, telekomu-nikasi, dan komputer. Setelah revolusi industri yang berlangsung di awal abad ke-18, kini kita menyaksikan revolusi baru dalam telekomunikasi, informasi, dan transportasi yang akan membentuk landscape baru perekonomian dunia dan membawanya kedalam dunia tanpa batas-batas politik dan administrasi negara. Tapscot (1999) secara sangat lugas menjelaskan peralihan ekonomi global ini sebagai berikut.

“that our developed world is now transforming itself from an industrial economy based on steel, automobiles,

Page 9: Edisi 1 November 2007

Departemen Komunikasi dan Informatika 9

Jurnal “Dialog” Kebijakan Publik

aircrafts, and roads to a new economy built on information technology, super computer, and multi-media networked intelli-gence. In an economy based on bits immediacy becomes a key driver and variable in economic activity and business success. The new economy is a real time economy and the enterprise is a real time enterprise which is continuously and immediately adjusting to a changing business condition through information immediacy. The new economy is all about competing for the future, the capacity to create new products or services, and the ability to transform business into new entities that yesterday could not be imagined and that the day after tomorrow may be obsolete”.

Gambar 1 memperlihatkan secara skematis komponen atau karakteristik dari ekonomi baru tersebut. Tapscot lebih lanjut mendeskripsikan ekonomi baru tersebut sebagai ekonomi yang berbasiskan ilmu pengetahuan dan bersifat molecular, dimana konglomerasi ekonomi tidak lagi menjadi pemain yang uta-ma melainkan digantikan oleh ekonomi molekul yakni indi-vidu atau kelompok individu cerdas yang mendasarkan kegia-tan ekonominya kepada ilmu pe- ngetahuan. Kelembagaan ekonomi yang ada pun akan mengalami transformasi men-jadi clusters of individuals yang tidak lagi dibatasi oleh kekakuan organisasi dan institusi. Oleh karena ilmu pengetahuan tidak mengenal batas, pelaku ekonomi baru dapat beroperasi di mana saja pada tingkat lokal, nasional, regional, ataupun internasional. Dalam konteks ini ekonomi baru dapat mengurangi arti dan peran suatu negara bangsa (na-tion state) namun sebaliknya

dapat me-ningkatkan saling ketergan-tungan antar bangsa. Salah satu sifat dari ekonomi baru yang penting adalah munculnya konvergensi dari industri dan teknologi komputer, komunikasi, penerbitan,teknologi informasi, dan en-tertainment menjadi industri baru yang namanya Interactive Multimedia Indus-try.

Apa pengaruh ekonomi baru dan global ini terhadap perekonomian suatu negara seperti Indonesia termasuk infra-struktur dan sistem pelayanan transpor-tasinya? Masih harus dilihat perkem-bangannya lebih lanjut berapa sensitif dan fleksibelnya kerangka peraturan dan kelembagaan ekonomi Indonesia, termasuk birokrasinya, dalam melaku-kan adaptasi dan penyesuaian, namun yang pasti adalah bahwa ekonomi baru akan secara bertahap merubah metabo-lisme dari transformasi ekonomi suatu negara dan pada saatnya tentu juga akan merubah sistem pelayanan infrastruk-tur dan pelayanan transportasi. Salah satu implementasi yang sudah berjalan dan mempunyai prospek besar adalah The Intelligent Transport System (ITS) dimana peran teknologi informasi ber-basis satelit berbaur dengan teknologi transportasi berupa Vehicle Informa-tion and Communication System (VICS) yang mampu mengelola pergerakan kendaraan di jalan raya menjadi lebih efisien dan lebih hemat energi. Jepang, mis-alnya, sudah lebih maju dalam ITS dan memproyeksikan besaran bisnis 50 triliun Yen dalam waktu dua dekade kedepan. Dalam tahun 1995 bahkan Pemerintah Jepang telah menugaskan lima institusiya yakni Kementerian Konstruksi, Kepolisian, Kementerian Perda-gangan dan Industri, Kementerian Transportasi, dan Kementerian Pos dan Telekomunikasinya den-gan bekerjasama dengan industri dan akademi untuk membuat ce-tak biru dan Guidelines bagi ter-bentuknya Advanced Information and Telecommunication Society.

Dalam konteks birokrasi, misalnya, ekonomi nasional akan

membutuhkan infrastruktur informasi berupa national broadband super highway yang dapat mendukung mo-bilitas data dan informasi masif dalam pergerakan ekonomi kapasitas tinggi. Pemerintah ke depan harus menyiap-kan koridor informasi (information su-per highway) yang dapat diakses oleh publik sebagai bagian dari pelayanan publik yang efisien dan murah dan sekaligus menghilangkan proses rente ekonomi dari birokrasi yang selama ini menggurita dan menjadi beban masyar-akat. Pemerintah oleh karenanya harus mendukung daya kreasi dan inovasi masyarakat dan menghilangkan ham-batan birokrasi terhadap perubahan dan terobosan ekonomi. Negara tidak akan memiliki daya saing kalau kelembagaan ekonomi dan birokrasinya bertahan dengan sistem lama yang sekarang.

Negeri seperti Indonesia ini yang harus bertahan ditengah-tengah terpaan persaingan ketat ekonomi global harus melakukan redefinisi dan restrukturisa-si perekonomian nasionalnya sehingga dapat meningkatkan kompatibilitas-nya dengan perekonomian global yang baru. Jika kita gagal melakukan itu, maka kita akan kehilangan daya saing global kita dan kita hanya akan men-

Page 10: Edisi 1 November 2007

10 Departemen Komunikasi dan Informatika

Jurnal “Dialog” Kebijakan Publik

Wajah Baru Transportasi

Transportasi Humanis

jadi pasar bagi ekonomi global tersebut. Dalam skala dunia, kalau kita amati lebih jauh, peralihan dari ekonomi in-dustri kepada ekonomi baru nampak-nya berjalan secara mulus tanpa gon-cangan dan karakteristik ekonomi baru akan secara bertahap diterapkan dalam proses produksi dan industri manufak-tur sebagaimana juga oleh semua sektor ekonomi, termasuk industri infrastruk-tur dan birokrasi dengan e-government-nya. Transportasi, sebagaimana juga halnya dengan telekomunikasi akan memainkan peran penting dalam mem-fasilitasi pergerakan ekonomi global.

Proses tersebut diharapkan akan menu-ju kepada efisiensi total dari perekono-mian, bisnis, industri, dan administrasi publik dari suatu negara yang secara terstruktur menerapkan prinsip-prinsip ekonomi baru. Tidak ada satu kekua-tan apapun di dunia ini yang nampak-nya dapat menghentikan proses global tersebut. Kita dapat saja menafikan kekuatan perubahan yang dibawa oleh sistem global dari pergerakan informasi terhadap tatanan sosial ekonomi suatu negara. Akan tetapi fakta yang ada ber-bicara banyak tentang kehadirannya yang tidak dapat dihindari.

Transportasi saat ini sedang berubah wajah. Dia bukan lagi melulu tentang jalan, lapangan terbang, pelabuhan, pe-sawat, mobil, dan kereta api. Transpor-tasi adalah kegiatan ekonomi, sosial politik, dan budaya suatu masyarakat; transportasi adalah tentang manusia, karakeristiknya, dan tentang kebutu-han sehari-harinya, tentang hidupnya, tentang interaksinya dengan alam dan lingkungannya, serta keselamatan-nya. Para pe-rencana transportasi dan birokrasi yang mengurusi transportasi oleh karenanya harus mengerti bahwa perencanaan transportasi sekarang ha-rus didekati dari berbagai perspektif yang lebih komprehensif dibandingkan tugas-tugas perencanaan di masa lalu.

Kita harus mengerti fenomena interaksi yang kompleks dari kehidupan masya rakat, interaksi yang mewarnai kehidu-pannya, cara-cara mereka berkomuni-kasi, melakukan transaksi bisnis, berd-agang, dan melakukan perjalanan, dan mengerti dampak dari semua kegiatan tersebut terhadap pendapatannya, ke-selamatannya, kesehatannya, dan kese-jahteraannya. Kita juga harus mengerti bagaimana sistem transportasi saat ini memberi kontribusi kepada kerusakan lingkungan, polusi, kebisingan, serta degradasi energi dan sumber daya alam lainnya.

Peranan transportasi dalam perda-gangan internasional seringkali luput dari perhatian kita padahal sangat me-nentukan dalam daya saing global dan kinerja ekspor. Transportasi juga se-ringkali tidak berada didalam arus uta-ma kebijakan nasional dan didiskrimi-nasikan dari kebijakan makro ekonomi. Padahal transportasi mempunyai da-mpak langsung terhadap ekonomi. Con-tohnya, kenaikan biaya transportasi akibat kemacetan masif akses jalan raya ke pelabuhan serta pelayanan dan manajemen pelabuhan yang buruk akan menurunkan volume perdagangan dan daya saing ekspor. Biaya sistem dis-tribusi dan logistik untuk perdagangan internasional yang makin tinggi akibat kemacetan masif di sistem transportsi pendukungnya dapat menyebabkan

Page 11: Edisi 1 November 2007

Departemen Komunikasi dan Informatika 11

Jurnal “Dialog” Kebijakan Publik

tidak layaknya suatu kegiatan ekspor komoditi. Padahal Indo-nesia harus mampu meraih pe-luang besar akibat meningkatnya secara drastis volume perdagan-gan dan investasi global. Volume ekspor barang dan jasa global meningkat dari 14 persen di ta-hun 1970-an menjadi 23 persen di tahun 1990, sedangkan arus global foreign direct investment (FDI) menjadi lebih dari dua kali lipat dari gross domestic prod-uct (GDP) dari US$ 331 miliar di tahun 1995 menjadi US$ 1,3 trilyun di tahun 2000. Arus FDI ke negara-negara berkembang mencapai US$ 160 miliar per tahun . Lebih dari 90 persen dari perdagangan global ini meng-gunakan transportasi laut yang volumenya meningkat konsisten dari 20 triliun ton-miles di tahun 1994 menjadi sekitar 27,6 tril-iun ton-miles di tahun 2004 dan diperkirakan sudah mencapai 30 trilyun ton-miles di tahun 2006. Nilai dari perdagangan dunia yang menggunakan transportasi laut ini diperkirakan mencapai sekitar US$ 380 miliar .

Indonesia juga sangat ketinggalan dalam mengem-

bangkan sistem transportasi multi dan antar moda khususnya dalam angkutan barang. Saat ini sistem transportasi mul-timoda telah berhasil menurunkan biaya dan waktu pengiriman barang dan jasa dengan apa yang disebut sebagai door-to-door, just-in-time shipment of goods. Sebagai akibatnya transportasi sudah menjadi faktor utama dalam memperce-pat terjadinya globalisasi ekonomi yang mempengaruhi setiap aspek kehidupan ekonomi kita. Selama dua dekade be-lakangan ini, angkutan barang global dengan peti kemas menggunakan trans-portasi multimoda terus tumbuh, begitu pula angkutan barang dengan transpor-tasi udara, kereta api, dan truk peti ke-mas. Fenomena ini memberi indikasi bahwa transportasi harus dilihat sebagai sistem yang terintegrasi dan bukan se-bagai kumpulan beberapa moda yang bekerja sendiri-sendiri. Sistem trans-portasi multimoda dan antarmoda dapat meningkatkan kinerja distribusi dan logistik namun membutuhkan investasi yang sangat besar untuk membangun infrastruktur yang diperlukan untuk menghilangkan bottlenecks, menambah kapasitas jaringan, serta untuk mening-katkan efisiensi penanganan barang di pelabuhan untuk memastikan bahwa perpindahan barang dari satu moda ke moda lainnya berlangsung dengan lan-

car, efisien, dan aman. Untuk terciptan-ya infrastruktur yang sanggup memikul beban perdagangan dan investasi global antara Asean dengan Cina, India, dan Jepang saja diperkirakan akan diperlu-kan dana sebesar US$ 515 miliar seta-hun yang tersebar di beberapa negara tersebut.

Sementara itu di ASEAN saja vo-lume peti kemas telah mencapai 32,4 juta TEUs di tahun 2001 dan akan terus bertumbuh sejalan dengan tumbuhnya volume perdagangan di kawasan Asia. Di tahun 2002 volume perdagangan antara ASEAN dan Cina mencapai US$ 54,7 miliar dengan pasar sebesar 1,77 miliar penduduk. Dalam tahun yang sama, volume perdagangan antara ASEAN dan Jepang mencapai US$ 100 miliar dengan pasar sebesar 627 juta orang. Angka untuk volume perda-gangan ASEAN dengan India adalah US$ 10 miliar dengan pasar 1,5 miliar orang. Pada tahun 2010 diperkirakan kawasan Asia termasuk Cina, Jepang, dan India akan menjadi blok perdaga-ngan dunia yang terbesar dengan vo-lume perdagangan mencapai US$ 1,23 triliun dan PDB kawasan mencapai US$ 2,0 triliun.

Teknologi Transportasi

Kereta api, suatu moda transportasi yang di banyak negara mengalami ke-munduran, di Asia mulai menunjukkan tanda-tanda kebangkitannya kembali. Taiwan sudah membangun kereta api kecepatan tinggi yang menghubung-kan Taipei dan Kaohsiung dengan jarak sekitar 345 kilometer. Cina telah mengoperasikan kereta api super cepat dengan teknologi Maglev di Shanghai dalam rangkaian pembangunan jalur Shanghai-Beijing dan Beijing, Tianjin, dan Hangzhou. Malaysia, Thailand dan Philippines kembali membangun jarin-gan kereta apinya untuk menghubung-kan daerah-daerah pinggiran dengan pusat kota. Keadaan ini sungguh ber-tolak belakang dengan kondisi per-

keretapian di Indonesia yang menga-lami penurunan kinerja yang konsisten dari waktu ke waktu yang diperburuk dengan kecelakaan yang makin sering terjadi akibat degradasi infrastruktur, rolling stocks, manajemen, dan backlog maintenance.

Dalam konteks transportasi nam-pak bahwa kota-kota di Asia berbenah diri untuk sebanyak mungkin menarik FDI dan menumbuhkan perekonomian-nya dengan melakukan investasi besar-besaran dalam infrastruktur transportasi multimoda dan antar moda. Kemajuan yang sangat pesat dari teknologi infor-masi dan telekomunikasi (ICT), ber-samaan dengan peningkatan transaksi elektronik (e-commerce) menghadirkan

Page 12: Edisi 1 November 2007

12 Departemen Komunikasi dan Informatika

Jurnal “Dialog” Kebijakan Publik

Kereta api Maglev di Shanghai,China

era baru dalam sistem logistik dan supply-chain management. Transportasi selalu diaso-siasikan dengan proses pertum-

langan bisnis membuat reaksi terhadap perubahan dalam kualitas dan kuantitas transportasi masih belum sepenuhnya kita mengerti. Keputusan masyarakat

selalu bergerak dengan dinamika tinggi. Konsekuensi investasi dari kompatibili-tas ini luar biasa besar dan tidak mung-kin dipikul oleh pemerintah saja. Se-mentara itu sistem perekonomian dunia sampai dengan saat ini masih bersifat bipolar, dimana dunia barat yang supe-rior dalam perekonomian mendominasi perdagangan internasional dan keuan-gan sedangkan dunia ketiga dan negara-negara berkembang menjadi pasarnya atau menjadi sumber bahan mentahnya. Bipolar juga dalam arti bahwa negara-negara industri maju menganut faham pasar bebas dan neo-liberalisme semen-tara banyak negara-negara berkembang masih menganut sentralisasi kekuasaan dan pemerintahnya memonopoli sum-ber-sumber dan kegiatan perekonomian masyarakat. Namun kita juga sedang menyaksikan runtuhnya sistem bipolar dan akan digantikan oleh sistem multi-polar dimana pusat-pusat perdagangan dan keuangan dunia juga akan beralih ke timur, seperti Singapura, Hongkong, dan Korea. Kawasan Asia ini hanya mempunyai perekonomian sebesar 4 persen dari perekonomian dunia di ta-hun 1960. Saat ini, kawasan tersebut menyumbang 25 persen dari perekono-mian global dan akan terus bertumbuh dengan hadirnya Cina dan India sebagai superpower ekonomi dunia yang baru. Ditengah-tengah pesatnya pertumbu-han ekonomi Asia tersebut terletak peran transportasi regional yang besar dengan penguasaan maskapai-maska-pai pelayaran dan armada peti kemas generasi ketiga dan perusahaan pener-bangan yang terbaik di dunia.

buhan ekonomi, baik dalam skala nasional maupun lokal. Oleh karena itu kebijakan suatu negara tentang transportasinya selalu dikaitkan dengan tujuan pembangunan ekonominya. Se-bagaimana sering dilaporkan dalam beberapa studi terdahulu, tidak ada keraguan bahwa in-vestasi transportasi akan selalu membawa dampak positif bagi perekonomian, membuka ke-terisolasian wilayah, dan mem-beri akses kepada pasar dan pusat-pusat produksi. Namun demikian, hubungan antara in-frastruktur dan pelayanan trans-portasi dengan pembangunan ekonomi masih sebagian saja yang kita mengerti. Bagaimana masyarakat, industri, dan ka-

bisnis atau perusahaan untuk menetap-kan lokasi bisnisnya seringkali sangat kompleks dan menyangkut banyak per-timbangan yang sifatnya bukan trans-portasi.

Ketika kita belum sepenuhnya mengerti tentang hubungan timbal ba-lik antara transportasi dengan ekonomi makro, kita saat ini dihadapkan kepada pertanyaan dan tantangan baru, yakni bagaimana sistem transportasi akan ber-interaksi dengan ekonomi global yang baru. Satu hal yang pasti adalah bahwa karena ekonomi nasional merupakan bagian tidak terpisahkan dari ekonomi global, maka sistem transportasi nasio-nal harus dapat menjadi bagian integral dari sistem transportasi global; artinya harus ada kompatibiltas yang tinggi, ka-lau kita tidak ingin disisihkan dari arus perdagangan dan keuangan dunia yang

Transportasi Perkotaan

Kota-kota besar di Asia tidak hanya berkompetisi satu sama lain, namun juga berkompetisi dengan kota-kota dan wilayah dunia lain dalam menjadikan wilayahnya sebagai tujuan investasi dan transaksi ekonomi global. Akan tetapi kita saat ini menjadi saksi bagi penu-runan kualitas kehidupan di kota-kota besar di Indonesia baik dari sisi efisiensi pergerakan kota, lingkungan hidup, dan kehidupan sosial ekonomi kota. Trans-

portasi adalah salah satu faktor utama dari degradasi dan pelapukan kota tersebut. Dalam dua minggu pertama bulan November 2007 Jakarta bahkan mengalami kemacetan masif yang amat parah akibat pembangunan serentak beberapa koridor jalur khusus bus (bus-ways) yang mengundang banyak protes dari masyarakat dan bahkan menarik perhatian Presiden, yang kemudian me-merintahkan Gubernur DKI Jakarta un-

Page 13: Edisi 1 November 2007

Departemen Komunikasi dan Informatika 13

Jurnal “Dialog” Kebijakan Publik

tuk mengambil langkah-langkah cepat mengatasinya. Tetapi pen-duduk dan pembuat perjalanan di Jakarta sudah beberapa dekade ini menderita kemacetan parah yang nampaknya tidak berujung. Jabodetabek, menurut studi SI-TRAMP, menderita kerugian sekitar Rp. 10 trilyun. Setiap hari, lebih dari 1.300 orang mati akibat kecelakaan jalan raya di negara-negara berkembang. Pada tahun 2003 lebih dari 75.000 orang mati karena kecelakaan jalan raya di Asean. Ironisnya, korban pada umumnya adalah kaum miskin kota dan mereka yang dinamakan “the transpor-tation disadvantaged”. Mereka menghabiskan waktu berjam-jam dalam angkutan umum yang sangat buruk kualitas pelayan-annya dan mereka tidak mem-punyai alternatif lain. Untuk waktu yang sangat lama, peme-rintah tidak pernah memper-timbangkan untuk membangun sistem angkutan umum yang baik dan terjangkau bagi jutaan rakyat miskin kota dan secara keliru memandang bahwa ang-kutan umum adalah tugas sektor swasta, sementara terminal dan ijin trayek dijadikan alat peng-umpul pendapatan daerah dan bukan sebagai pelayanan pub-lik. Jelas ada yang sangat salah dalam perencanaan transportasi kota kita selama ini dan sedikit sekali langkah-langkah koreksi yang telah dilakukan. Pemeritah harus memiliki ekonomi politik yang jelas dan memihak perge-rakan orang daripada pergerakan kendaraan dan secara bertahap menghapuskan keadaan dimana orang-oang miskin kota secara terstruktur dinafikan terhadap sistem pelayanan angkutan umum yang memadai, murah, dan aman.

Salah satu karakteristik me-nonjol dari kota-kota di Indo-nesia saat ini adalah banyaknya

jumlah sepeda motor. Data Ditlantas Polri memperlihatkan ada lebih dari 42 juta sepeda motor di Indonesia pada Juni 2007, lebih dari 5,5 juta diantara-nya berada di DKI Jakarta dengan ting-kat pertumbuhan mencapai 19 persen dalam 5 tahun terakhir ini. Dari 4.395 jumlah kecelakaan lalu lintas tahun 2006 di DKI Jakarta, sebanyak 3.814 kecelakaan diantaranya melibatkan se-peda motor. Jumlah sepeda motor yang begitu besar merupakan resultante jalan keluar dari beberapa fenomena tekanan sosial ekonomi penduduk Jakarta yang tidak terlayani secara minimal oleh sis-tem angkutan umum yang ada, tidak memiliki akses terhadap mobil pribadi, tekanan ekonomi kota besar, dan mar-jinalisasi kehidupan pendatang kaum miskin kota. Kombinasi dari urbanisasi masif, kemiskinan kota, motorisasi yang meningkat tajam, dan ruang jalan yang sempit menghasilkan kemacetan masif. Jakarta, misalnya hanya menye-diakan 0,5 meter jalan per penduduk, jauh dibawah Kuala Lumpur (1,5) atau Bangkok (0,8), sangat jauh dari standar kota-kota di Eropa dan Amerika Seri-kat, yang rata-rata mempunyai sekitar 2,5 meter per penduduk. Rasio panjang jalan terhadap luas area di Jakarta juga sangat rendah, yakni sekitar 85 meter per hektar, sementara Bangkok memi-liki rasio 89,5 dan Manila 119.

Jakarta masih perlu memperluas jaringan jalannya, termasuk jalan tol kota, namun berapa banyak lagi jalan harus dibangun, ditengah-tengah masa-lah besar ketidakberdayaan kita dalam pembebasan lahan dan ketiadaan lahan untuk membangun? Bukankah 6 ruas jalan tol kota yang akan dibangun se-cara harfiah hanya akan memompa lalu lintas Bodetabek masuk ke sistem jalan tol kota yang bahkan saat ini pun sudah dalam keadaan macet berat? Pengala-man Jakarta menunjukkan bahwa ketika kota bertumbuh pesat dan perjalanan di kota meningkat tajam, pembangunan jalan baru bukan penyelesaian yang efektif baik dilihat dari aspek ekonomi maupun aspek kelestarian lingkungan. Mungkin ada baiknya kita belajar dari pengalaman kota-kota besar Amerika

di dekade 1960-an yang mengalami kemacetan parah. Owen (1960) sampai pada kesimpulan bahwa bukan jalan tol kota ataupun Mass Rapid Transit (MRT) atau sistem fisik lainnya yang dapat memecahkan kemacetan masif di kota-kota besar. Memperbesar sistem supply dengan antara lain membangun jalan baru tanpa mengelola permintaan (traffic demand) hanya akan memper-buruk kemacetan oleh karena kota adalah “waduk besar lalu lintas ken-daraan” (a big reservoir of traffic) yang mempunyai segenap potensi ekonomi untuk membangkitkan lalu lintas yang baru yang sebelumnya tidak ada dan yang akan segera mengisi kapasitas jalan yang baru sehingga juga men-jadi macet. Namun baik mobil pribadi maupun angkutan umum yang buruk keduanya secara sendiri-sendiri atau bersama-sama merupakan faktor utama dalam mempromosikan kemacetan. Namun kesalahan fundamental terletak pada upaya kita sendiri yang secara sangat sukses menyesakkan terlalu banyak orang, menimbun terlalu ban-yak kendaraan, dan melakukan terlalu banyak kegiatan ekonomi pada waktu yang hampir bersamaan disuatu ruang sempit yang namanya kota. Jadi jika kita tidak melakukan perubahan radikal secara mendasar untuk merevitalisasi dan merestrukturisasi kota itu sendiri, serta merehabilitasinya, maka kema-cetan massif kota tidak akan pernah dapat diselesaikan secara tuntas.

Sebagian pengguna jalan kota adalah kaum berada yang menggu-nakan kendaraan mewah namun mem-bayar terlalu sedikit atas biaya sosial kemacetan yang ikut ditimbulkannya. Di sisi lain jutaan kaum marjinal kota berdesak-desakan secara mengenaskan dalam bus-bus dan kereta api kota yang kondisinya sudah compang-camping, banyak kriminal, dan rawan kece-lakaan. Bukankah cukup berkeadilan apabila orang kaya kota ini membayar lebih melalui pajak progresif atau con-gestion costs fee sehingga pemerintah dapat menggunakannya untuk mem-bangun sistem angkutan umum yang lebih baik? Bukankah kita harus mem-

Page 14: Edisi 1 November 2007

14 Departemen Komunikasi dan Informatika

Jurnal “Dialog” Kebijakan Publik

Transportasi Telekomunikasi Energi

perbaiki sistem angkutan umum, khususnya untuk kaum miskin kota karena ada bahaya tersembunyi jika kita secara terus menerus mengabaikan kebu-tuhan mendasar kaum marjinal ini? Banyak bukti empiris yang memperi-hatkan jutaan orang miskin kota mempunyai potensi menyulut huru-hara so-sial yang disebabkan oleh pelayanan angkutan umum yang sangat buruk dan diskriminatif. Tidak ada hal yang baru dengan ekonomi politik transportasi kota ini. Itu hanya sekedar pendekatan dalam perencanaan transportasi kota dimana perjalanan orang, bukan perjalanan kendaraan, yang menjadi perha-

tian utama. Kita juga harus melakukan peralihan kebijakan dan paradigma dari pendekatan supply menjadi pendekatan demand management untuk mencapai sistem transportasi kota yang lebih ber-imbang.

Sangat disayangkan bahwa Indo-nesia tidak pernah secara sangat serius mengembangkan interaksi dan keter-paduan antar sektor dalam kebijakan pembangunan ekonominya. Sepanjang sejarah Indonesia modern, pembangu-nan ekonomi dilaksanakan secara san-gat sektoral; tiap sektor mempunyai kebijakannya masing-masing dan setiap sektor memiliki ego dan dinding ting-ginya masing-masing. Walaupun ada kementerian koordinator, tidak pernah ada koordinasi antar sektor yang sangat efektif untuk menyusun secara terinteg-rasi kebijakan dan program serta pem-biayaan sektor-sektor yang dapat meng-hasilkan efisiensi dan optimasi anggaran dan hasil-hasil pembangunan. Bahkan Bappenas dan Departemen Keuangan masih menyusun anggaran pembangu-nan berdasarkan program-program sek-toral yang tajam. Seandainya ada koor-dinasi yang intens, konsisten, dan efektif antara sektor-sektor pertanian, energi, dan pekerjaan umum, maka kita dapat secara kohesif mengoptimalkan jari-ngan jalan dan irigasi serta pembangkit listrik tenaga air untuk mendukung mo-bilitas ekonomi pertanian di perdesaan, membantu terwujudnya ketahanan pa-ngan, dan membantu mengatasi defisit listrik nasional. Seandainya ada koor-dinasi yang kohesif antara sektor-sek-tor perhubungan, perdagangan, dan in-dustri, maka kita dapat memaksimalkan peran pelabuhan, kereta api, dan bandar udara untuk secara efisien mendukung pergerakan perdagangan dan produk in-dustri serta ekspor-impor. Seandainya sektor telekomunikasi sudah berhasil menciptakan akses internet yang mu-rah, maka banyak pekerja white-col-lars yang tidak harus bepergian ke pusat kota ditengah-tengah kemacetan

karena dapat mengirim hasil pekerjaan-nya melalui internet ke kantor pusatnya (telecommuting). Ini akan secara cukup signifikan mengurangi keperluan untuk secara fisik melakukan perjalanan di kota dan dengan demikian juga meng-hemat penggunaan energi bahan bakar minyak yang makin mahal dan boros. Tata ruang sebagai acuan pembangunan yang sifatnya koordinatif juga sering-kali tidak berfungsi sebagai wadah in-tegrasi sektoral. Banyak pembangunan kota dan wilayah yang tidak mengacu kepada tata ruang oleh karena pemban-gunan tersebut lebih digerakkan oleh kepentingan ekonomi jangka pendek. Inilah kelemahan terbesar pembangu-nan ekonomi kita selama lebih dari em-pat dekade belakangan ini.

Membangun sistem transportasi nasional yang diinginkan oleh undang-undang dan keinginan politik persatuan dan kesatuan Nusantara adalah suatu komitmen jangka panjang yang mem-butuhkan agenda yang terstruktur, terencana, dan skema pembiayaan ter-integrasi antara sektor publik, sektor swasta, dan potensi pembiayaan dalam dan luar negeri. Agenda pembangunan transportasi ini hendaknya dijaga ke-sinambungannya melampaui agenda politik nasional terlepas dari siapa rezim kekuasaan yang memerintah. In-donesia sudah terlalu jauh ketinggalan dalam pembangunan infrastruktur dan dalam daya saing ekonomi baik secara regional Asia apalagi secara global. Su-dah saatnya pembangunan transportasi diletakkan dalam kebijakan arus utama pembangunan ekonomi nasional.

Page 15: Edisi 1 November 2007

Departemen Komunikasi dan Informatika 15

Jurnal “Dialog” Kebijakan Publik

Kebijakan Transportasi Untuk Semua WargaOleh : Darmaningtyas dan Siti Aminah

Secara generik, transportasi berarti pergerakan atau perpindahan orang/barang dari suatu tempat ke tempat lain. Proses perpindahan dari suatu tempat ke tempat lain itu tidak hanya dilakukan oleh manusia modern saja, tapi sejak masa sebelum mengenal kendaraan ber-motor perpindahan orang atau barang tersebut sudah terjadi. Jadi transportasi sudah dikenal oleh umat manusia se-jak awal pertumbuhan umat manusia. Hanya saja moda yang dipakai berbeda. Pada masa awal peradaban manusia, pergerakan atau perpindahan itu dilaku-kan dengan tenaga manusia dan hewan (unta, biri-biri, kuda, sapi). Dalam angkutan air masyarakat saat itu baru mengenal semacam gethek (terbuat dari bambu yang dijejerkan).

Revolusi dalam transportasi dimu-lai sejak digunakannya roda untuk transportasi pada kereta perang Meso-potamia, 3200 tahun sebelum masehi. Tapi selama puluhan abad roda hanya digunakan untuk kendaraan tradisional yang dipadukan tenaga hewan, seperti gerobak atau kereta dan sejenisnya. Pe-makaian roda untuk teknologi transpor-tasi yang lebih cepat ketika Baron Karl Drais von Sauerbronn (1817) menemu-kan teknologi sepeda pada tahun 1817, kemudian disusul dengan penemuan lokomotif penumpang pertama pada tahun 1829 oleh Peter Cooper (1791 – 1883). Penemuan Peter Cooper ini merupakan penyempurnaan dari pen-emuan Nicholas Cugnot (1725 -1804) berupa kendaraan bertenaga uap pada tahun 1769. Pada tahun 1771 Nicolas juga membuat sebuah kendaraan roda tiga, bertenaga uap yang bernama far-dier dan dipakai oleh Menteri Peperan-gan Perancis. Kelak fardier ini menjadi leluhur paling mula dari mobil modern,

meskipun titik titik tolak sejarah mobil dibuat di Jerman oleh Gottlieb Daimler (1834 – 1900) dan Wilhelm Maybach (1846 – 1929).

Revolusi angkutan laut dimulai tatkala pada tahun 1818, Kapten Moses Rogers dari Savannah, Georgia (AS) membuat kapal uang pertama yang melayari samudera. Pada tanggal 26 Mei 1819, Rogers berangkat ke Eropa dengan kapal uap Savannah, dan tiba di Liverpool, Inggris, 25 hari kemudian. Sebelumnya, pada tahun 1773, Marquis Claude de Jouffroy d’Abbans membuat sebuah kapal uap di Perancis dengan memanfaatkan mesin uap yang diim-por dari Inggris, karya James E. Watt (1736 – 1819). Meskipun rancangan-nya secara umum baik, namun mesin Watt terbukti terlalu berat untuk perahu itu, yang tenggelam tak lama setelah ia diluncurkan di sungai Seine di Paris.

Penemuan pesawat terbang pada tahun 1903 oleh Wilbur Wright (1867 – 1912) dan saudaranya Orville (1871 – 1948) mempercepat revolusi dalam bidang transportasi, karena sejak itu lengkap sudah moda transportasi yang dikembangkan oleh manusia di muka bumi ini. Semua lini (darat, laut, dan udara) sudah tersedia moda transportasi yang cepat dan beragam dengan meng-gunakan teknologi modern.

Perubahan moda transportasi yang dipakai oleh manusia itu membawa konsekuensi pada perubahan pola pergerakan orang dan barang. Bila semula bergerakan orang dan barang hanya terjadi pada beberapa mil atau kilometer saja, setelah adanya revolusi moda transportasi, pola pergerakannya menjadi lebih jauh dan luas. Bahkan sekarang telah melampaui batas-batas wilayah yang dahulu kala tidak terjang-

Page 16: Edisi 1 November 2007

16 Departemen Komunikasi dan Informatika

Jurnal “Dialog” Kebijakan Publik

kau oleh langkah kaki manusia. Perubahan moda dan pola

transportasi ini sekaligus di-ikuti pula oleh perubahan tata kelola. Transportasi yang sem-ula menjadi urusan perorangan, kemudian berkembang menjadi urusan komunitas, berkembang lagi menjadi urusan negara, dan sekarang telah berkem-bang menjadi urusan saudagar dan penguasa. Di sinilah titik awal transportasi menjadi ma-salah politik, bukan masalah teknis semata. Orang tidak bisa menentukan pilihannya secara otonom lagi mengenai moda transportasi yang akan dipakai, karena pilihan-pilihan itu belum tentu tersedia. Negara –yang direpresentasikan oleh peme-rintah—dan atau pengusaha (swasta) tidak menyediakan pi-lihan moda transportasi sesuai dengan kebutuhan masyarakat, melainkan sesuai dengan ke-inginan dan kepentingan mereka saja. Apa yang dibutuhkan oleh warga belum tentu menjadi ke-inginan dan kepentingan peme-rintah dan pengusaha, sehingga belum tentu disediakan. Seba-liknya, meskipun tidak diper-lukan oleh masyarakat, tapi mereka inginkan dan dipandang penting, maka moda tersebut disediakan oleh negara dan atau pengusaha.

Pertimbangan negara dan pengusaha menyediakan moda transportasi itu dasarnya bukan pada kebutuhan masyarakat lagi, tapi lebih pada untung rugi yang akan diperolehnya. Di sinilah sektor transportasi memasuki ranah baru, yaitu ranah ekonomi (politik). Transportasi bukan lagi semata sebagai sarana perpinda-han orang atau barang dari suatu tempat ke tempat lain, tapi juga menjadi aktivitas ekonomi yang menguntungkan. Pengusahaan moda transportasi bukan seke-dar untuk memenuhi kebutuhan

perpindahan orang dan atau barang dari suatu tempat ke tempat lain saja, tetapi juga (dan yang utama sekarang) untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya bagi pelaku transportasi.

Intervensi negara dan pengusaha (swasta) dalam penyediaan moda trans-portasi itu kemudian melahirkan relasi baru antara warga sebagai konsumen, pemerintah sebagai regulator, dan pen-gusaha sebagai operator. Namun sifat hubungannya tidak selalu simetris, ka-dang diametral karena masing-masing memiliki kepentingan yang berbeda. Warga selalu mengharapkan jenis moda transportasi yang acessible, aman, nya-man, dan terjangkau oleh kantong, tapi swasta cenderung memilih menyediakan moda transportasi yang menguntungkan usahanya. Sebuah pemaksaan kebutu-han dilakukan di sini oleh swasta. Peme-rintah yang seharusnya menjembatani kedua kepentingan tersebut, cenderung memihak kepada kepentingan swasta. Di sinilah tarik menarik kepentingan itu terjadi. Tapi sejarah kemudian mem-buktikan bahwa kepentingan swasta ternyata lebih dominan dalam seluruh kebijakan transportasi di dunia maupun di Indonesia pada khususnya.

Di Indonesia, dominasi swasta dalam penentuan kebijakan pola transportasi itu terlihat jelas melalui jenis-jenis moda transportasi yang dikembangkan, yang tidak sepenuhnya menjawab kebutu-han warga, sebaliknya justru cenderung memarginalisasikan masyarakat dari asesibilitas geografis. Marginalisasi itu terjadi karena moda transportasi yang dikembangkan oleh swasta –yang difa-silitas oleh negara—itu tidak sesuai den-gan kebutuhan masyarakat, melainkan sesuai dengan keinginan swasta saja. Kebutuhan masyarakat untuk melaku-kan mobilitas geografis dengan mem-pergunakan moda angkutan yang sesuai kondisi geografis mereka, justru tidak tersedia. Fenomena semacam itu tam-pak jelas pada masyarakat di luar Jawa yang wilayah mereka mayoritas perair-an, tapi infrastruktur yang disediakan atau dikembangkan oleh swasta dengan fasilitas dari negara justru untuk moda transportasi darat. Di Kalimantan ser-

ing terjadi kasus angkutan air (sungai) mereka lumpuh karena air terlalu dang-kal. Pendangkalan itu salah satunya terjadi karena pemerintah tidak pernah mengurus sungai, sebaliknya memilih mengalokasikan dananya untuk mem-bangun jembatan. Pilihan membangun jembatan karena di belakangnya ada in-dustri otomotif yang akan masuk.

Fenomena yang sama terjadi pada masyarakat di wilayah Indonesia bagian timur, seperti Maluku, Maluku Utara, Papua, dan NTT (Nusa Teng-gara Timur). Warga Indonesia bagian timur mengalami hambatan dalam hal asksesibilitas geografis disebabkan oleh ketidak-tersediaan moda transpor-tasi yang mereka butuhkan. Sering kali moda yang tersedia jauh lebih sedikit daripada yang mereka perlukan. Pilihan jenis moda pun terbatas, tidak seperti halnya yang terjadi di Jawa. Di Jawa, penundaan jadwal penerbangan sebuah maskapai bisa menjadi berita media massa. Tapi di wilayah-wilayah Indone-sia bagian timur, penundaan penerban-gan merupakan hal yang biasa saja dan tidak layak menjadi berita lagi. Ini me-nunjukkan betapa mereka selalu hidup dalam keterbatasan moda transportasi yang dapat mereka pilih. Keterbatasan itu baik secara kuantitatif maupun kuali-tatif. Dan keduanya dapat berimplikasi pada keselamatan mereka. Berbagai kasus tenggelamnya kapal di perairan sana, selain disebabkan oleh ganasnya ombak lautan, juga oleh kelebihan be-ban yang harus diangkut, seperti yang terjadi pada kasus tenggelamnya Kapal Motor Digoel (8/7 2005) di Laut Arafu-ra yang menewaskan korban jiwa lebih dari 170 penumpang. Hasil investigasi menunjukkan, kapal itu tenggelam karena kelebihan muatan. Kapal terse-but selain membawa penumpang yang jauh di atas kapasitas, juga bermuatan bolduzer, 600 zak semen, ribuan lembar seng, ribuan batang besi beton, ribuan kilogram paku, serta beras dan kebutu-han pokok lainnya.

Keterpaksaan yang terus menerus semacam itu bukan merupakan sebuah kecelakaan, melainkan akibat dari suatu produk kebijakan transportasi nasional

Page 17: Edisi 1 November 2007

Departemen Komunikasi dan Informatika 17

Jurnal “Dialog” Kebijakan Publik

Globalisasi Automobilitas

Industri Otomotif

yang tidak memihak pada kepentingan mereka. Kebijakan transportasi yang ada sangat bias Jawa, perkotaan, daratan, gender, dan motorisasi sehingga mengabaikan aspek-aspek pemerataan, keadilan, keterjangkauan, dan keber-lanjutan bagi kehidupan secara menyeluruh. Berbagai bias itu sendiri terjadi

akibat dari tekanan swasta, utamanya industri otomotif yang menyusup kedalam diri para penentu kebijakan, baik langsung maupun tidak langsung.

Secara historis sistem transportasi dirancang untuk kepentingan politik-ekonomi tertentu. Sistem transportasi berkembang pesat sepesat perkemban-gan modernisasi Barat. Terdapat beber-apa fakta yang menunjuk pada kuatnya pengaruh modernisasi pada pengem-bangan sistem transportasi yang dia-lirkan ke negara-negara Dunia Ketiga. Pengembangan transportasi sebagaima-na modernisasi dalam implementasinya menjadi sebuah ideologi. Transpor-tasi tak lain merupakan wujud lain dari ideologi kapitalisme yang dirancang untuk memberi kontribusi dalam proses akumulasi modal dan kekuasaan dalam masa seperti sekarang, globalisasi. Di dalam transportasi ada relasi kekuasaan yang rumit, melibatkan relasi antara the power elite/the rulling elite, massa, dan kapital atau market. Namun, tampak-nya penetrasi pasar jauh lebih dominan dibandingkan dengan peran negara atau masyarakat. Hal itu terlihat jelas melalui

produk-produk kebijakan yang mem-berikan keleluasan kepada industri oto-motif untuk memperluas jaringan pasar mereka, baik secara langsung maupun tidak langsung. Dukungan kebijakan secara langsung itu adalah dalam ben-tuk pembangunan infrastruktur jalan yang memudahkan masuknya produk-produk otomotif, sedangkan tidak langsung melalui bangunan pencitraan terhadap fungsi produk otomotif, baik mobil maupun motor.

Mobil dan motor sebagai metafor total bagi kehidupan masyarakat mo-dern, sehingga pemilihan moda angku-tan yang bersifat personal meligitimasi masyarakat antar gender, kelas, usia, dan sebagainya sebagai wacana utama yang dipertahankan untuk memban-gun citra kehidupan mapan dan yang dibenarkan dengan argumentasi untuk melancarkan mobilitas masyarakat. Konsep motorisasi mengacu pada in-tegrasi sosial pada kendaraan bermotor, yang meliputi mobil pribadi dan ken-daraan komersial. Mobil pribadi adalah simbol untuk kemajuan sosial dan telah menjadi ikon modernitas, serta kesuk-sesan individu dan masyarakat. Setelah kepemilikan rumah sebagai hal utama dalam konsumsi individu yang mem-berikan status bagi pemiliknya mela-lui nilai tanda yang berhubungan, kini terganti dengan kepemilikan mobil. Di sini mobil, yang oleh penciptanya di-maksudkan sebagai moda transportasi dengan kecepatan tertentu, mengalami perubahan fungsi, yaitu berubah men-jadi fungsi sosial. Pasar memahami perubahan fungsi tersebut sehingga se-lalu diciptakan momentum-momentum baru untuk mempertahankan maupun mengembangkan agar tetap mampu membentuk konstruksi sosial baru di masyarakat. Berbagai jenis mobil baru dengan segala asesorisnya dibuat, bu-kan semata-mata untuk memperlancar

Page 18: Edisi 1 November 2007

18 Departemen Komunikasi dan Informatika

Jurnal “Dialog” Kebijakan Publik

pergerakan orang atau barang dari suatu tempat ke tempat lain, tapi lebih dari itu adalah untuk memperlihatkan status ekonomi dan sosial dari pemiliknya. Se-hingga “kecepatan” bukan lagi merupakan salah satu param-eter untuk menentukan keputu-san membeli mobil atau tidak, melainkan prestise sosial yang akan diperoleh dengan mem-beli mobil tersebut itulah yang paling dominan mempengaruhi jalan pikiran seseorang.

Iklan tentang sebuah mobil yang melenggang di jalan tol yang lengang adalah sebuah konstruksi sosial baru yang in-gin didesakkan oleh pasar kepa-da pengambil kebijakan. Mela-lui iklan semacam itu, produsen mobil ingin menyampaikan bahwa mobil adalah simbol eks-klusivisme, terlebih bila melaju di jalang tol yang lengang. Oleh sebab itu milikilah eksklusivis-me kehidupan dengan membeli mobil tersebut. Di sisi lain iklan itu juga sebuah desakan halus agar pemerintah segera mem-perbanyak pembangunan jalan tol demi memberikan privilege (keistimewaan) atau mungkin lebih tepat kenikmatan kepada para pengendara mobil pribadi.

Ketergantungan orang pada kendaraan pribadi untuk men-gangkut penumpang dan barang itu menunjukkan adanya kema-juan automobilitas. Kendaraan umum dan mobil pribadi se-ring diproduksi oleh perusahaan yang sama, yang berarti bahwa kendaraan tersebut diproduksi oleh aktor ekonomi yang sama pula, namun dengan fungsi so-sial dan ekonomi yang berbeda. Setiap kendaraan memiliki fungsi yang berbeda berdasar-kan pola kegiatan mobilitas dan konsumsi ekonomi. Penyusunan kebijakan transporatasi yang bias ideologi Barat telah ber-implikasi pada produksi kebi-

jakan yang berorientasi modal/kapital/ teknologi. Badai modernisasi teknologi transportasi tak dapat dielakkan. Meta-fora berupa mesin telah digunakan un-tuk menjelaskan hasil yang diinginkan dan memastikan perubahan yang cepat. Kisah sukses mengenai automobilitas pada abad ke-20 merupakan hasil duku-ngan dari negara-negara Eropa. Auto-mobilitas dan paradigma teknoekonomi Fordist diterima dengan cepat dan dipi-lih oleh para pakar ekonomi dan teknik, serta diintegrasikan ke dalam proyek negara modern. Negara-negara maju telah meminjamkan bantuan struktural penting yang digunakan untuk pengena-lan dan perawatan industri mobil dan penggunaan mobil secara individual, contohnya kontribusi infrastruktur dan riset. Pembangunan jalan tol di Indo-nesia dalam tiga dekade terakhir (1980 – 2000-an) menjadi cukup menonjol bila dibandingkan dengan pembangu-nan jalan baru bagi masyarakat yang terisolir, atau pembangunan jaringan rel dan fasilitas pelayaran laut. Hal itu terjadi karena pembangunan jalan tol itu didukung oleh dana pinjaman dari luar negeri, yang nota bene berasal dari negara-negara produsen industri oto-mototif. Jadi ada agenda tersembunyi (hidden agenda) dari negara-negara maju tatkala meminjamkan dananya ke Indonesia, yaitu untuk perluasan pasar industri otomotif mereka.

Kecuali itu, dukungan dana tersebut juga untuk menyalurkan tenaga (ahli) mereka karena sejak dekade 1970-an, negara-negara maju itu tidak lagi melakukan pembangunan insfratruktur jalan, sehingga mengalami peningka-tan pengangguran. Pinjaman dengan mensyaratkan pemakaian tenaga (ahli) dari negara-negara donor itu memiliki kekuatan memaksa kepada kita untuk menggunakan tenaga (ahli) mereka. Akhirnya, dana pinjaman untuk pem-bangunan insfrastruktur jalan itu bukan untuk keuntungan Indonesia, melainkan untuk kepentingan negara-negara do-nor yang memiliki agenda tersembunyi melalui pinjaman dana. Hanya sebagian kecil masyarakat Indonesia yang turut menikmati keberadaan jalan-jalan tol

yang dibangun dengan jalan pinjaman, yaitu mereka yang mampu membeli mobil pribadi. Sedangkan masyarakat yang menjadi korban pembangunan, karena harus tersingkir dari tanah le-luhurnya akibat dipakai untuk pemban-gunan jalan tol, justru tidak dapat turut menikmati dana pinjaman tersebut. Inilah ironi dari modernitas yang dide-sakkan oleh industri otomotif di dunia.

Globalisasi automobilitas dengan menggunakan mobil atau motor adalah fakta yang tak bisa dibiarkan dari fenomena eksklusi warga masyarakat dalam mengatasi persoalan transpor-tasinya untuk melakukan mobilitas ge-ografis sehari-harinya. Perkembangan automobilitas yang pesat tak lepas dari desain pembangunan ekonomi dan so-sial, sehingga meningkatnya volume motorisasi adalah sebagai refleksi dari adopsi automobilitas yang merupakan bagian dari pola konsumsi dan gaya hidup yang dianggap modern.

Ekspansi mobilitas fisik terli-hat sebagai sebuah mega trend dan diperkirakan akan terus meningkat di banyak negara. Ini artinya ada pe-rubahan meta di dalam kehidupan masyarakat modern, dimana mobili-tas merupakan prinsip pokok ukuran kemajuan selain prinsip-prinsip yang lain seperti individualitas, rasionalitas, keadilan, dan globalitas. Globalisasi, internasionalisasi, dan rasionalisasi te-lah mempengaruhi masyarakat. Hal ini berdampak signifikan pada mobilitas yang akan terjadi, dan mobilitas akan terus berkembang. Mobil dan sistem otomobilitas merupakan ilustrasi ter-baik dari perkembangan globalisasi mobilitas.

Tapi globalisasi automobilisasi de-ngan menggunakan motorisasi ini juga menimbulkan kecemasan pada mas-yarakat modern, terutama menyangkut masalah dampak-dampak negatif yang ditimbulkannya, seperti pencemaran udara dan suara yang sangat tinggi, merebaknya penyakit ISPA (Inpeksi Saluran Pernafasan Akut), pemboro-san bahan bakar tidak terbarukan, serta tingginya angka kematian atau kecaca-tan akibat dari kecelakaan kendaraan

Page 19: Edisi 1 November 2007

Departemen Komunikasi dan Informatika 19

Jurnal “Dialog” Kebijakan Publik

bermotor.Pembangunan mainstream

juga telah menekankan kebu-tuhan untuk industrialisasi dan mengembangkan pasar dengan alat konsumen, terutama untuk pasar nasional dan pasar inter-nasional dengan mengorbankan kepentingan publik secara lebih luas. Wujud nyata dari dampak kebijakan transportasi berorien-tasi pada globalisasi automobili-tas dengan motorisasi itu tercer-min pada terhambatnya akses bagi masyarakat yang tinggal di daerah perairan untuk mem-peroleh layanan jasa transpor-tasi. Perhatian pemerintah untuk menyediakan infrastruktur jalan sungai atau laut terlalu minim karena secara ekonomis pem-bangunan dan pengembangan infrastruktur air tersebut tidak menguntungkan industri oto-motif, sehingga tidak menarik negara-negara maju untuk mem-berikan pinjamannya. Sebalik-nya, pembangunan jalan tol atau bandara akan selalu menarik dukungan investor karena kedu-anya itu memberikan iming-iming keuntungan yang cukup besar.

Akibat dari kebijakan trans-portasi yang terkonsentrasi pada pengembangan industri otomo-tif tersebut, masyarakat agraris mengalami disorientasi aksesi-bilitas dalam memilih moda ang-kutan karena moda-moda yang tumbuh dari kebutuhan mereka masa lalu telah dihancurkan oleh modernisme (baca motor-isasi), sementara moda yang tersedia tidak mampu menjawab kebutuhan mereka untuk men-gangkut produk-produk perta-nian, perkebunan, perikanan, atau peternakan. Bagi mereka, modernisasi yang ditandai de-ngan motorisasi itu tidak ber-arti secara otomatis membuka perluasan pasar dan peningka-tan produktivitas. Sebaliknya

justru membuat mereka tidak berdaya dengan makin mudahnya orang luar yang mempunyai akses pasar masuk ke desa-desa dan menentukan harga secara monopolitis terhadap produk-produk mereka. Warga desa itu bahkan menjual moda produksi utama mereka sebagai petani, yaitu tanah garapan dan ternak untuk ditukar dengan motor. Jalan-jalan halus yang dibangun melintasi desanya ternyata tidak untuk memperlancar dis-tribusi hasil-hasil tani, ternak, atau per-ikanan mereka, melainkan demi perlu-asan pasar industri otomotif itu sendiri. Keuntungan terbesar dari pembangunan jalan di desa itu dinikmati oleh industri otomotif, meskipun pengorbanan ter-banyak oleh petani.

Kasus yang aktual yang dapat di-jadikan contoh adalah pembangunan jalan lintas selatan yang menghubung-kan Banyuwangi (Jawa Timur) – Ujung Kulon (Banten) yang didanai oleh Bank Dunia dan ADB. Pada proses konstruk-sinya, pembangunan jalan tersebut minta pengorbanan masyarakat dalam bentuk pembebasan lahan. Dan tidak sedikit jalan baru yang dibangun itu menutup akses masyarakat terhadap sumber-sumber kehidupan, seperti yang terjadi di Kabupaten Gunungkidul, pembangunan jalan lintas selatan terse-but telah menutup akses masyarakat terhadap sumber air, karena jalan yang dibangun harus sesuai dengan spesifi-kasi yang ditetapkan dari atas dan tidak mengenal kompromi dengan kebutuhan masyarakat setempat.

Keterputusan akses terhadap sumber daya ekonomi itu juga sering dialami oleh mereka yang lahannya dijadikan jalan tol. Jalan tol yang membelah wilayah mereka menjadi dua bagian terpisah itu mengakibatkan keterputus-an akses mereka terhadap sumber daya ekonomi mereka, karena kebetulan sumber daya ekonomi mereka terletak di seberang jalan tol sementara pem-buat jalan tol tidak membuatkan akses khusus mereka. Maka sering terlihat ja-lan-jalan tol di Indonesia, termasuk tol Jagorawi dipakai untuk menyeberang jalan masyarakat yang membawa hasil tani atau rumput untuk ternak. Hal itu di

satu pihak sangat membahayakan bagi semua (penyeberang maupun penggu-na jalan tol), tapi di pihak lain memang tidak ada alternatif bagi masyarakat untuk mengakses sumber daya mereka. Kesemuanya itu membuktikan bahwa pembangunan jalan-jalan, termasuk jalan tol lebih diabdikan untuk kepen-tingan kapitalis, baik investor yang membangun jalan (tol), yang akan me-manfaatkan jalan tol untuk kelancaran distribusi barang mereka, maupun industri otomotif itu sendiri. Pengala-man di lapangan menunjukkan bahwa pembangunan jalan baru lintas selatan telah memicu pertumbuhan kepemi-likan kendaraan bermotor di wilayah tersebut, tapi pertumbuhan itu dicapai bukan melalui keuntungan yang mere-ka peroleh lewat usaha produktif mere-ka, melainkan dengan menjual moda produksi utama mereka sebagai petani, yaitu tanah, ternak, dan kayu jati.

Jadi disadari atau tidak, kebijakan transportasi yang bertumpu pada ken-daraan bermotor dan kemudian diikuti dengan pembangunan infrastruktur ja-lan raya dan jalan tol itu dapat menim-bulkan dampak buruk pada masyarakat dan bahkan dapat menimbulkan tragedi rakyat (the tragedies of commons) se-perti yang terjadi pada pembangunan bendungan di Thailand Utara yang dimulai tahun 1950an dengan dibiayai oleh Bank Dunia dan didukung oleh para insinyur. Pembangunan bendu-ngan raksasa itu menggantikan din-ding-dinding bambu model lama yang diusahakan oleh masyarakat sendiri. Tapi hasil akhir dari pembangunan bendungan itu justru memargina-lisasikan masyarakat sekitar, si pemilik sumber air itu sendiri setelah kendali penyaluran air berada pada para pejabat di Departemen Irigasi Kerajaan. Peme-rintah-pemerintah informal dari komu-nitas-komunitas sepanjang sepi sungai dan perangkat undang-undangnya yang komplek dengan demikian telah diper-lemah.

Realitas di lapangan juga menun-jukkan bahwa perjalanan dengan menggunakan moda transportasi tidak bermotor semakin tersisihkan dari real-

Page 20: Edisi 1 November 2007

20 Departemen Komunikasi dan Informatika

Jurnal “Dialog” Kebijakan Publik

itas kehidupan maupun kebijakan, sehingga tidak ada riset maupun tindakan untuk mengarah kepada fasilitasi kendaraan tidak bermotor. Berbeda mi-salnya dengan perjalanan dengan menggunakan moda bermotor yang selalu memperoleh perhatian besar, baik untuk riset maupun pengembangannya. Disparitas ini mencerminkan bias kultur dan riset yang mengkonseptua-lisasikan perjalanan sebagai fenomena ketergantungan pada kendaraan ber-motor. Banyak studi transportasi berfokus pada masalah pengurangan emisi dan kemacetan. Sehingga terlalu banyak data mengenai transportasi auto-mobil, tapi terlalu sedikit yang berbicara tentang perjalanan bukan motor.

Pengaruh iklim globalisasi dalam kebijakan transportasi ini telah me-nempatkan isu transportasi menjadi persoalan politik ekonomi, bukan se-bagai bentuk layanan publik semata. Kebijakan transportasi dibuat bukan semata-mata untuk melayani kepentingan publik agar dapat melakukan mo-bilitas geografis secara lancar, tapi juga melayani kepentingan kapital. Se-ringkali bahkan kepentingan kapital lebih dominan. Hal itu terlihat jelas dari perkembangan infrastruktur di masing-masing moda. Insfrastruktur kereta api yang mampu melayani jumlah penumpang maupun barang lebih banyak misalnya, justru semakin berkurang, sebaliknya perkembangan ruas jalan raya maupun jalan tol mengalami perkembangan yang cukup pesat, seperti yang dicatat oleh Djoko Setijowarno, bahwa akibat dari maraknya pemba-ngunan jalan raya, panjang jalan rel kereta api makin berkurang. Dalam kurun waktu 45 tahun, panjang rel kereta api mengalami penurunan 34%. Panjang jalan rel kereta api pada 1955 adalah 6.096 km, 45 tahun kemudian tinggal 4.030 km. Jumlah stasiun pada 1955 adalah 1.516 buah menjadi 571 buah pada tahun 2000 (turun 62%). Jumlah lokomotif pada 1939 sebanyak 1.314 unit, menjadi hanya 530 unit pada tahun 2000 (turun 60% dalam wak-tu 61 tahun). Jumlah penumpang pada 1955 sebanyak 146,9 juta jiwa, pada tahun 2000 terdapat 191,9 juta (ada kenaikan 30% dalam kurun waktu 45 tahun). Ini suatu bentuk penambahan yang sangat kecil bila dibandingkan dengan laju pertumbuhan penduduk yang dua kali lipat. Bandingkan dengan jumlah jalan nasional yang mencapai 9.279,68 km dan jumlah kendaraan bermotor yang sudah mencapai 42 juta unit.

Nasib yang buruk juga terjadi pada insfrastruktur untuk moda trans-portasi tidak bermotor yang makin menyusut karena banyak daerah yang dulu mempunyai jalur khusus untuk non motor, yang disebut sebagai jalur lambat, sekarang jalur-jalur itu dihapuskan dan didedikasikan untuk mem-fasilitasi pergerakan kendaraan bermotor. Perubahan fungsi jalur itu telah menjadikan masyarakat sebagai korban. Penghapusan jalur lambat jurusan Jogjakarta – Klaten tahun 2002 misalnya, berdampak pada meningkatnya jumlah korban kecelakaan lalu lintas menjadi dua kali lipat, karena lalu lintas di sana campur aduk (mix trafic) antara kendaraan-kendaraan besar dengan kecil dan antara kendaraan bermotor dengan tidak bermotor. Pejalan kaki dan penyeberang jalan pun makin tidak terlindungi sehingga mereka sering menjadi korban kecelakaan.

Sebagai bagian dari layanan yang harus disediakan oleh negara, aspek ak-sesibilitas bagi masyarakat dalam trans-portasi menjadi sangat penting seiring dengan meningkatnya peradaban umat manusia. Tapi justru aspek aksesibilitas ini yang sering terabaikan oleh kebija-kan tarsportasi nasional yang lebih sarat dengan kepentingan ekonomi politik tadi. Hambatan aksesibilitas sering di-alami oleh mereka yang tinggal di dae-rah pedalaman, di daerah perairan, tapi juga dialami oleh mereka yang secara fisik mengalami hambatan (difable), anak-anak, orang tua, dan ibu hamil. Baik angkutan darat, laut, maupun udara selalu didesain untuk kaum de-wasa dan yang secara fisik tidak me-ngalami hambatan.

Kebijakan infrastruktur yang me-nunjang kebijakan transportasi yang memihak kepada pengembangan indus-tri otomotif itu terlihat sekali, misalnya dalam pelaksanaan Insfrastruktur Sum-mit (2005) yang menyepakati rencana pembangunan infrastruktur fisik untuk menunjang perekonomian nasional. Ada banyak rencana pembangunan in-frastruktur yang ditawarkan dalam fo-rum tersebut, tapi paling banyak adalah pembangunan jalan tol. Ada 38 ruas ja-lan tol ditawarkan dalam proyek infras-truktur ini dengan total panjang ruas ja-lan mencapai 1.500 kilometer dan nilai keseluruhan proyeknya sekitar Rp 90 triliun. Ruas paling panjang terbentang antara Probolinggo dan Banyuwangi (Jawa Timur), sepanjang 156 kilom-eter. Di lain pihak terlalu minim in-vestor yang tertarik untuk membangun pelabuhan, jalan-jalan di pedesaan, atau insfrastruktur pertanian.

Transportasi Perkotaan : Motorisasi vs Nonmotorize

Transportasi di perkotaan merupakan salah satu isu perkotaan yang menonjol karena peranannya yang sangat sentral di dalam mendinamisir kehidupan kota itu sendiri maupun sebagai sarana mobilitas geografis bagi setiap warga. Di Inggris misalnya, transportasi sudah masuk ke isu hak asasi manusia (HAM), karena mereka meyakini bahwa transportasi itu sarana mutlak untuk dapat mengakses sumber daya ekonomi (bekerja) atau hak-hak ekonomi warga. Tapi justru di sinilah permasala-han yang dihadapi oleh kota-kota di Indonesia. Pemerintah pusat dan lokal diramal-

Page 21: Edisi 1 November 2007

Departemen Komunikasi dan Informatika 21

Jurnal “Dialog” Kebijakan Publik

kan menghadapi kesulitan untuk menjalankan dan mengelola sis-tem transportasi publik yang su-dah ada maupun untuk mengem-bangkannya. Dalam konteks itu, motorisasi pribadi tidak dapat dilihat sebagai pilihan alterna-tif untuk memecahkan persoal-an dalam sistem transportasi publik. Transportasi kota dan isu motorisasi atau automobile dependence (mobilitas yang tergantung pada kendaraan) te-lah menjadi faktor kritis dalam keberlanjutan dan kelayakan semua kota. Karena itu penting memahami dan mendefiniskan karakteristik utama transportasi kota di wilayah metropolitan seluruh dunia. Tujuannya adalah menyediakan perspektif pokok bagi pembuat kebijakan dan analis kebijakan dalam areanya dalam konteks global.

Pola-pola perjalanan masya-rakat di perkotaan dipengaruhi dan ditentukan oleh faktor so-sial, budaya, ruang, perilaku, dan lingkungan tempat tinggal. Tumbuhnya golongan orang kaya baru (OKB) di Jakarta atau kota-kota besar lainnya sebagai dampak dari Kebijakan Paket November (Pakto 1988) telah mendorong perubahan perilaku masyarakat, khususnya OKB dalam hal bertransportasi. Pola perjalanan yang semula di-lakukan dengan menggunakan transportasi publik untuk jarak jauh dan becak untuk jarak pendek, kemudian digantikan dengan penggunaan mobil-mo-bil pribadi, yang mampu men-jangkau perjalanan dari jarak pendek sampai jauh, sehingga bersamaan dengan itu peranan becak sebagai angkutan jarak pendek di Jakarta tidak ada lagi. Bila dicermati kurun waktunya, penghapusan becak dari Jakarta dijalankan secara serius pada ta-hun 1989 ketika Gubernur DKI Jakarta dijabat oleh Wiyogo Ad-

modarminto (1988 – 1992). Gagasan penghapusan becak sudah muncul sejak Ali Sadikin menjadi Gubernur DKI Ja-karta (1967 – 1977) dan kemudian di-angkat kembali oleh R. Soeprapto (1983 – 1988). Tapi baru pada tahun 1989 ga-gasan itu menjadi kebijakan yang dilak-sanakan di lapangan. Mengapa?

Paska Pakto 1988 dunia perbankan mulai menjamur, muncul orang-orang kaya baru, properti perkembang pesat dan diikuti dengan kepemilikan kend-araan pribadi yang makin dominan, se-hingga kemacetan jalan-jalan di Jakarta makin terasa. Keberadaan becak yang sering mangkir di gang-gang jalan, bahkan di depan Istana Negara dirasa-kan sangat mengganggu laju kendaraan pribadi. Pemda DKI Jakarta juga sudah mensahkan Perda No. 11 tahun 1988 tentang Ketertiban Umum yang dalam salah satu pasalnya melarang becak ber-operasi di Jakarta.

Bagaimana pemerintah merespon atau bertindak terhadap berbagai ma-salah yang muncul dalam keseharian ditentukan oleh sistem sosial, politik, hukum dan ekonomi. Contoh kong-kretnya adala penghapusan becak di Jakarta yang merupakan hasil akhir dari pertalian antara kepentingan ekonomi dan politik, yang kemudian dilegitimasi dengan peraturan daerah (Perda No. 11/1988).

Sejak dihapuskannya dari Jakarta, maka peranan becak sebagai moda transportasi jarak pendek kemudian digantikan oleh ojek sepeda motor dan mikrolet. Keduanya merupakan produk dari industri otomotif. Seperti ditulis oleh Yoshifumi Azuma, fakta-fakta menunjukkan bahwa jumlah mikrolet meningkat dari 8.751 unit pada tahun 1990 menjadi 10.498 unit dalam tahun 1996 (Kantor Statistik DKI Jakarta (1997:282). Walaupun statistik tidak memberikan angka pasti, jumlah ojek sepeda dan ojek sepeda motor mening-kat sekali di lorong-lorong belakang Jakarta (Bisnis Indonesia, 4/3 1998 dan Suara Karya, 18/2 1998). Perkemba-ngan angkutan kota biaya rendah men-dukung peminggiran becak lebih jauh. Hal ini dapat memicu konflik horisontal

antara pengemudi angkot dengan be-cak seperti yang terjadi pada serangan terhadap dua mikrolet di wilayah Tan-jung Priok. Para tukang becak mende-sak bahwa operasi mikrolet di Tanjung Priok harus dibatas sampai jam 18.00 agar berbagi penumpang malam hari (Kompas, 11/1 1999).

Jadi kebijakan transportasi di Ja-karta yang sangat bias ke kendaraan bermotor itu selain telah mengha-puskan peran kendaraan tidak bermotor –yang tidak memakai BBM dan tidak berpolusi udara maupun suara—juga telah menimbulkan konflik horisontal antar sesama pelaku transportasi: be-cak dengan pengemudi mikrolet. Di pihak lain, industri otomotif lah yang meneguk keuntungan besar dari kebija-kan yang bias motorize tersebut. Tabel 1 di bawah ini menunjukkan betapa besarnya jumlah kendaraan bermotor di wilayah Jabodetabek (Jakarta, Bo-gor, Depok, Tangerang, dan Bekasi), yang melampaui kapasitas jalan. Jum-lah yang besar itu tanpa memperoleh perimbangan dari moda angkutan tidak bermotor sama sekali. Bahkan terjadi ketimpangan antara pertumbuhan ken-daraan pribadi (penumpang) dengan kendaraan umum (bus). Ini memperli-hatkan bahwa kepemilikan kendaraan bermotor telah bergeser, bukan lagi sebagai moda transportasi belaka, tapi sebagai simbol prestise sosial dan ke-majuan ekonomi seseorang. Tapi di lain pihak menimbulkan persoalan akut di Jakarta dan kota-kota besar lainnya di Indonesia.

Dominasi kendaraan bermotor di perkotaan seperti Jakarta, Surabaya, Bandung, Medan, Makasar, dll. itu sekarang telah menimbulkan masalah baru yang sulit terurai, terutama men-yangkut dengan masalah tingginya po-lusi udara dan suara, kemacetan yang berdampak pada pemborosan energi, terbuangnya waktu produktif, hilang-nya kesempatan berusaha, mudah stress, dan ketergantungan pada peng-gunaan bahan bakar tidak terbarukan. Masalah yang terakhir ini berkembang menjadi isu keadilan tatkala harga min-yak dunia amat tinggi seperti sekarang

Page 22: Edisi 1 November 2007

22 Departemen Komunikasi dan Informatika

Jurnal “Dialog” Kebijakan Publik

(akhir 2007) dan memaksa pemerintah harus mengeluarkan subsidi BBM yang sangat tinggi, lebih dari Rp. 90 trilyun, padahal, yang menikmati sub-sidi itu adalah golongan kaya yang memiliki mobil pribadi lebih dari satu unit. Masyarakat lapisan bawah yang menggunakan angkutan umum justru tidak turut serta menikmati subsidi. Dominasi kendaraan pribadi ini juga telah mengabaikan keberadaan transportasi umum massal, seperti misalnya kereta api. Jaringan rel yang ada di Jakarta dan merupakan peninggalan penjajahan Belanda tidak dimanfaatkan secara optimal, bahkan malah diha-puskan dan digantikan dengan jalan raya yang bergantung pada kendaraan bermotor. Padahal, keberadaan angkutan umum massal (mass transit) selalu menjadi simbol peradaban suatu kota.

Kota-kota besar di Eropa selalu ditandai dengan bagus dan nyamannya angkutan umum massal, baik untuk memfasilitasi mobilitas warganya mau-pun untuk para turis asing. Mereka mempunyai paradigma bahwa pemban-gunan transportasi publik perkotaan merupakan suatu sistem transportasi yang humanis dan menjangkau kelompok masyarakat miskin dan berpeng-hasilan rendah sehingga mereka memperoleh kemanfaatan dari kebijakan transportasi. Ini memiliki implikasi politik yang menempatkan peranan ne-gara (pemerintah) untuk semakin memperkuat keinginan politisnya, kelem-bagaan dan ketepatan dalam mengambil keputusan yang mencakup unsur sosial, finansial, teknis, dan politis.

Kota-kota besar dengan arus urban-isasi yang tinggi membutuhkan pela-yanan mass transit yang baik, karena mass transit tidak hanya berfungsi se-bagai moda transportasi saja, tapi juga sebagai proses reproduksi sosial dan budaya masyarakat. Hanya di dalam mass transit mereka dapat melakukan interaksi secara relax karena setelah itu mereka akan tenggelam dalam kesibu-kan masing-masing di dalam ruangan kerja. Mass transit juga dapat menga-tasi kesenjangan sosial dan ekonomi se-hingga dapat meminimalisir terjadinya konflik sosial yang dipicu oleh adalah ketidak-adilan dalam bidang ekonomi. Juga dapat membantu mengurangi kemacetan jalan, polusi udara, serta konsumsi minyak dan energi.

No. Wil/Samsat

Jenis Kendaraan Bermotor JumlahPenumpang Beban Bus Spd Motor

1 Jakarta Selatan 551,487 112,964 99,452 804,368 1,568,271 2 Jakarta Timur 119,214 35,777 16,136 497,504 668,631 3 Jakarta Utara 108,577 36,158 15,167 395,322 555,224 4 Jakarta Barat 474,679 128,457 78,782 870,768 1,552,686 5 Jakarta Pusat 245,653 92,480 46,670 674,128 1,058,931 6 Depok 52,722 7,868 7,632 275,317 343,539 7 Kody. Tangerang 64,416 28,691 6,942 441,691 551,740 8 Kab. Tangerang 94,389 25,070 22,225 569,725 711,409 9 Kody. Bekasi 111,341 32,041 3,874 550,322 707,578 10 Kab. Bekasi 13,175 5,221 170 230,923 249,489 Jumlah 1,835,653 04,727 17,050 5,310,068 7,967,498

Sumber: Polda Metro Jaya, 7 November 2006

Tabel 1

Jumlah Kendaraan Bermotor yang Terdaftar di Wilayah Hukum Polda Metro Jaya

No Wil/Samsat Jenis Ranmor JumlahPenumpang Beban Bus Spd Motor

DKI Jakarta 1,499,610 405,836 256,207 3,242,090 5,403,743

Page 23: Edisi 1 November 2007

Departemen Komunikasi dan Informatika 23

Jurnal “Dialog” Kebijakan Publik

Sistem BRT Di banyak negara berkembang, bus merupakan model terbesar dari transpor-tasi urban, dan sering juga bus menjadi satu-satunya transportasi yang bisa di-akses oleh masyarakat miskin. Jasa bus terdiri atas berbagai macam tipe ken-daraan dan bisa bersifat efisien dalam mengangkut banyak orang dengan tingkat permintaan kualitas dan kuan-titas yang berbeda. Pengalaman menu-njukkan bahwa publik menyambut baik banyaknya pilihan transportasi, mem-buat pertukaran waktu dan ketidaknya-manan, serta biaya yang harus mereka bayar. Meskipun, telah jelas mengenai perlunya berbagai macam transportasi publik, masih terdapat tendensi untuk mengadakan transportasi publik yang berbiaya besar dengan tawaran pilihan yang sangat terbatas. Jasa-jasa tersebut biasanya tersubsidi dalam jumlah besar.

Tapi perkembangan selama satu dekade terakhir, banyak kota telah mengembangkan variasi tema tentang pelayanan bus yang lebih baik serta konsep tempat tinggal dalam kumpulan karya terbaik daripada sebuah definisi yang tegas. Bus Rapid Transit (BRT) adalah satu bentuk angkutan berorien-tasi pelanggan dan mengkombinasikan stasiun, kendaraan, perencanaan dan el-emen-elemen sistem transportasi pintar ke dalam sebuah sistem yang terpadu dan memiliki satu identitas unik. Ciri-ciri Bus Rapid Transit termasuk: Kori-dor busway pada jalur terpisah – sejajar atau dipisahkan secara bertingkat - dan teknologi bus yang dimodernisasi. Mes-kipun demikian, terlepas dari pemilahan busway, sistem BRT secara umum meli-puti: Menaikkan dan menurunkan pe-numpang dengan cepat, penarikan ong-kos yang efisien, halte dan stasiun yang nyaman, teknologi bus bersih, integrasi moda, identitas pemasaran modern, dan layanan pelanggan yang sangat baik. Bus Rapid Transit merupakan lebih dari sekadar operasional sederhana di atas jalur eksklusif bus atau busway. Menu-rut studi terkini tentang busway sejajar (Shen et. al., 1998), hanya setengah dari kota-kota yang memiliki busway te-lah mengembangkannya sebagai bagian dari paket tindakan sistematis dan kom-

prehensif dari jaringan angkutan mas-sal kota yang akan kami identifikasi sebagai sistem BRT. Sementara, sistem Bus Rapid Transit selalu mencakup be-berapa bentuk jalur khusus eksklusif untuk bus-bus.

Fenomena BRT ini berkembang di Amerika Latin, dimulai dari Curitiba (Brasil), kemudian diadopsi dengan mengalami penyempurnaan desain maupun managemen, seperti yang ter-jadi di Bogota, Ibu Kota Colombia. Pengalaman di Bogota itu kemudian ditiru oleh Pemda DKI Jakarta pada tahun 2003 (mulai dioperasikan tang-gal 15 Januari 2004). Dan keberhasilan Jakarta membangun busway itu telah mendorong beberapa kota lain di In-donesia, seperti Surabaya, Makasar, dan Batam untuk membangun sarana angkutan massal dengan sistem BRT. Ini merupakan suatu pilihan yang pal-ing realistis, bila dibandingkan dengan besaran biaya investasi yang paling kecil –dibandingkan dengan monorail dan subway—tapi kapasitas angkutnya bisa melebihi subway dan monorail. Di Bogota misalnya, busway mampu men-gangkut 1,6 juta penumpang per hari. Sedangkan subway di Jakarta yang se-dang akan dibangun itu diperkirakan hanya mampu mengangkut 400.000 penumpang per hari.

Keberhasilan Bogota membangun sistem BRT karena sistem itu diine-grasikan dengan pengembangan insfra-struktur non motor, khususnya sepeda. Jalur-jalur khusus sepeda dibangun di sepanjang jalan jaringan jalur busway, sehingga dapat mendorong warga untuk menggunakan sepeda sebagai angkutan pengumpan (feeder transport). Wa-likota Bogota, Enrique Penalosa –yang membangun busway di Bogota—juga membangun tempat parkir sepeda yang amat megang, sehingga memberikan kebanggaan bagi warga yang bersepe-da. Hal yang sama tidak dilakukan oleh Gubernur DKI Jakarta (1997 – 2007) Sutiyoso saat membangun busway di Jakarta, sehingga busway di Jakarta sebagai suatu sistem belum berjalan dengan baik.

Pentingnya Transportasi publik,

Page 24: Edisi 1 November 2007

24 Departemen Komunikasi dan Informatika

Jurnal “Dialog” Kebijakan Publik

Transportasi yang Berkelanjutan

karena: (1) Transportasi dapat membuat perubahan besar dalam mening-katkan produktivitas dan mempromosikan kesetaraan social (social equity), karena perempuan masih memiliki akses terbatas untuk transportasi publik dan kendaraan umum dibandingkan dengan pria. Di daerah perkotaan, tidak ada yang lebih menyenangkan kecuali rute jalan yang non-radial dan tidak sibuk (non-peak), dimana perempuan di sini lebih bergantung pada jalan seperti ini dari pada laki-laki. (2) untuk menjamin mobilitas berkelanjutan (sustainable mobility) yang menyatukan segala macam upaya untuk men-capai keseimbangan biaya dan manfaat positif dari perencanaan kebijakan sektor transportasi. Ini menandai adanya pergeseran dari pendekatan per-encanaan transportasi tradisional, yang mengkonseptualisasikan transport sebagai sebuah permintaan dan infrastruktur pendukung bagi pertumbuhan ekonomi, menuju pendekatan kebijakan melalui bukti dan perkiraan resiko, serta untuk mengetahui kemungkinan-kemungkinan dari pertumbuhan yang tidak terkendali.

. Meski pada awalnya inkluasi memiliki potensi positif untuk meme-cahkan persoalan transportasi, dalam perkembangannya, inklusi yang terjadi justru telah meningkatkan perkembangan penggunaan motor sebagai moda untuk mobilitas personal warga masyarakat. Lebih mudah untuk melaku-kan mobilitas jarak pendek dengan motor daripada moda transportasi publik seperti bus misalnya, selian itu adanya berbagai kemudahan untuk memiliki motor di saat ini. Saat ini kesenjangan yang bersifat vertikal semakin besar, dari moda transpor publik menjadi moda trasnpor yan bersifat inidividual. Masyarakat lebih memilih motor atau mobil untuk mobilitas geografisnya, artinya inklusi masih rendah.

Kegagalan pemerintah kota dalam penyediaan sistem transportasi publik dapat mengganggu perkembangan suatu wilayah/kota, mempengaruhi efisiensi ekonomi kota, bahkan menimbulkan kerugian lainnya. Isu-isu ketidaksepa-danan misalnya, dapat berakibat pada masalah sosial, kemiskinan (urban/ru-ral poverty), dan kecemburuan sosial.

Dampak dari kegagalan sistem transportasi antara lain pembangunan jalan yang menyingkirkan masyarakat akibat pembebasan lahan, perambahan ruang-ruang jalan oleh pedagang kaki lima, penggunaan ruang jalan untuk parkir secara ilegal, dan makin terp-inggirkannya angkutan-angkutan tradi-sional seperti becak dan semacamnya yang berpotensi menciptakan kemiski-nan kota. Kemiskinan akan menjerat kelompok masyarakat berpenghasilan rendah akibat dari sistem transportasi yang tidak mampu melindungi mereka.

Uraian di depan dapat memberikan gambaran kondisi transportasi nasional yang sangat bertumpu motorisasi seh-ingga menimbulkan berbagai dampak negatif baik terhadap lingkungan fisik, sosial, ekonomi, dan budaya. Kebijakan transportasi nasional yang bertumpu pada motorisasi membuat lingkungan fisik terdegradasi akibat pemborosan energi tak terbarukan dan polusi udara yang tinggi. Kebijakan tersebut juga sama sekali tidak mengarah kepada penciptaan sistem transportasi yang ber-kelanjutan. Padahal, prinsip transportasi yang berkelanjutan itu harus menjadi orientasi dari seluruh kebijakan trans-portasi nasional.

INFORTRANS (Indonesia NGOs Forum for Transportation) pada tahun 2000 merumuskan transportasi yang berkelanjutan (sustainable transportasi) itu adalah transportasi yang memenuhi rasa keadilan, kenyamanan, merata, par-tisipatif, ramah lingkungan dan efesien sumberdaya alam dan ruang, dikelola secara transparan, taat azas, terbuka, menyerap tenaga kerja dan menjamin

kesinambungan untuk generasi menda-tang.

Guna mencapai transportasi yang berkelanjutan itu perlu dilakukan berb-agai aksi, di antaranya:

Pertama, energy efficient trans-portartion modes yang mencakup: 1). Non-motorized, perlu membangun jalur khusus untuk kendaraan tidak bermotor, pengoperasian feeder untuk kawasan permukiman, dan perlunya pengakuan kendaraan tidak bermotor. 2). Fasilitas pejalan kaki dan penyan-dang cacat, perlu penyediaan trotoar yang besar, nyaman dan aman, fasili-tas penyeberangan yang strategis dan dekat halte, tangga tidak curam, aman; akomodatif dan memberikan akses yang mudah bagi penyandang cacat. 3). Potensi lokal, pengembangan trans-portasi menekankan pada potensi local dan kemandirian, pemberdayaan tenaga trampil guna pengelolaan transportasi, dan pengembangan sarana transportasi yang berorientasi pada potensi sum-berdaya alam dan teknologi lokal. 4. Public transportation dikembangkan

Page 25: Edisi 1 November 2007

Departemen Komunikasi dan Informatika 25

Jurnal “Dialog” Kebijakan Publik

berdasarkan syarat aman, nyaman, murah, massal, dan tepat waktu, dapat diandalkan, route jelas dan tidak tumpang tindih, halte, traffic informasi dan ada fasilitas transit bagi penumpang.

Kedua, Clean Fuel dan Clean Technology Vihicle. Pengembangannya menekankan pada: 1). Clean energy yang memiliki dampak polutan mini-mal, mengakomodasi kebijakan diversifikasi energi bersih (BBG, solar cell dan lain-lain), ditegakkan uji emisi, tersedianya infrastruktur distribusi dan pengisian energi, diterapkannya kebijakan bensi tanpa timbal (unleaded), kebijakan energi yang terjangkau. 2). Vehicle technology -motorized, tek-nologi yang dikembangkan harus mengacu pada penerapan catalytic con-verter, pembatasan umur kendaraan, upgrade teknologi kendaraan tidak bermotor dan dilakukannya konversi teknologi dua tak menjadi empat tak.

Ketiga, Clean Air Efforts dikembangkan dalam rangka peningkatan kualitas udara. Maka kebijakan transportasi harus mendasarkan pada prin-sip: 1). Ramah lingkungan, pengembangan infrastruktur transportasi harus memperhatikan upaya pemeliharaan ruang terbuka hijau (green belt), waha-na penyerapan emisi dan kebisingan, pengembangan buffer zone dan kebi-singan antar jalan atau jalan dengan permukiman penduduk. 2). Baku mutu udara, perlu ditetapkan standar secara obyektif dan di dalam implementasi mengacu pada independensi monitoring pencemaran, pelibatan masyarakat, indicator polusi secara alamiah, standar baku mutu secara partisipatif. 3). Aturan perundangan, dimana harus tersusun peraturan perundangan yang jelas dan dapat ditegakkan, ada ketentuan baku mutu emisi yang dibuat oleh masyarakat (lokal), ada kebebasan akses informasi terhadap baku mutu tingkat pencemaran. 4). Infrastruktur transportasi, dimana tercukupi fasilitas jalan dan terpadu dengan moda transportasi.

Keempat, Management Transportation. Didalamnya terdapat 1). penye-diaan pilihan fasilitas sarana transportasi darat dan air yang terjangkau den-gan memperhatikan jenis transportasi yang dibutuhkan berdasar jarak dan keperluan. 2). Perubahan peruntukkan tata ruang secara efektif dan partisipa-tif. 3). Penghindaran konflik kepentingan antar institusi/instansi yang terkait dengan transportasi. 4). Pengembangan teknologi transportasi yang ramah lingkungan dan dapat dengan mudah diakses oleh masyarakat. 5). Pengha-pusan segala bentuk pungutan yang tidak sesuai dengan prinsip pemerataan, keadilan dan efisiensi sistem. 6). Penghargaan terhadap penumpang secara lebih manusiawi. 7). Penyediaan ruang bagi pejalan kaki dan pe-nyandang cacat serta jalur sepeda terpisah dari pengguna jalan lainnya. 8). Penye-

lenggaraan good governance dengan mengembangkan peraturan perundang yang mengikat dan taat azas.

Jika perumusan kebijakan publik transportasi hanya berfokus pada te-knologi dan mengabaikan aspek sosial budaya dari transportasi ini mencer-minkan pendekatan yang sempit. Bukan hanya faktor teknologi yang turut mem-perkuat penciptaan polusi dan kema-cetan, tetapi faktor gaya hidup, budaya mobil dan faktor kultural lain bersama-sama dengan sistem lainnya menambah kerumitan permasalahan transportasi. Sistem transportasi mencerminkan “ke-hidupan” dari sebuah kota, yang menye-diakan mobilitas dan akses yang sangat penting untuk melaksanakan aktivitas. Namun banyak sistem transportasi di dunia yang kemudian mulai mengan-cam habitabilitas kota, sebagaimana jumlah perjalanan dan kendaraan mulai melampaui kemampuan sistem infras-truktur yang ada. Kemacetan lalu lintas yang timbul telah berdampak langsung pada pertumbuhan ekonomi, namun bukan pada keamanan, tetapi pada ke-bisingan, penggunaan bahan bakar, dan polusi udara. Masalah ini menjadi akut di kota-kota besar pada negara berkem-bang. Jumlah populasi yang mem-bengkak dan kepadatan berbagai jenis kendaraan yang tinggi menimbulkan rata-rata jumlah mortalitas dan morbid-itas yang tinggi, yang disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas.

Pendidikan dan Partisipasi Publik

Keperluan untuk memodifikasi ke-bijakan transportasi saat ini dirasakan sangat besar, baik di perkotaan maupun di pedesaan, baik untuk perjalanan pen-dek maupun jauh agar sistem transpor-tasi yang tersedia di masyarakat mampu melayani kepentingan semua pihak den-gan kondisi geografis, ekonomi, sosial, dan budaya yang beragam.

Di perkotaan, perubahan kebijakan itu terkait dengan peningkatan dramatis populasi urban kuat sehingga menuntut pemerintah kota maupun pusat untuk menyediakan moda transportasi yang

memadai dan accessible bagi semua warga kota. Tapi sekaligus mampu tu-rut mewujudkan kota yang layak huni (livable city). Prinsip-prinsip efisiensi, ramah lingkungan, dan sustainability merupakan prinsip yang tidak dapat di-tawar dalam hal pengembangan sistem angkutan perkotaan. Masyarakat yang berjalan, bersepeda, menggunakan angkutan, atau berkendara memerlu-kan lebih banyak pilihan untuk ber-pindah dari satu tempat ke tempat lain-nya. Bentuk pertumbuhan kota saat ini cenderung telah meningkatkan penggu-

Page 26: Edisi 1 November 2007

26 Departemen Komunikasi dan Informatika

Jurnal “Dialog” Kebijakan Publik

naan transportasi berbasis mo-tor dan meningkatkan dampak pada lingkungan. Pertumbuhan populasi kota yang diakibatkan oleh migrasi rural-urban yang berlangsung lebih cepat dari pada kemampuan pembangunan sarana dan prasarana juga perlu dipertimbangkan dalam pem-bangunan kesadaran masyarakat dalam bertransportasi.

Kebutuhan transportasi pe-numpang di kota-kota besar dan di pedesaan menunjukkan pe-satnya perkembangan sejumlah moda transportasi, namun masih ada sebagian besar masyarakat yang menggunakan transportasi kolektif, terutama bus. Dengan menurunnya performa dan re-

liabilitas bus umum bersamaan dengan terjadinya reformasi ekonomi berkontri-busi besar pada peningkatan substansial dalam penggunaan kendaraan pribadi (mobil/motor). Pilihan intervensi un-tuk mengatasi persoalan transportasi saat ini paling sangat bergantung pada perkembangan infrastruktur yang ada, pola pemukiman, aktivitas industri dan perdagangan, budaya, dan pada man-faat ekonomi dan sosial pada kawasan tersebut. Infrastruktur yang ada dapat mempengaruhi pilihan intervensi atau kebijakan transportasi yang diambil. Perkembangan jalan dan infrastruk-turnya merupakan kondisi mutlak un-tuk mendukung pertumbuhan ekonomi. Kepadatan jalan dan infrastruktur trans-portasi lain perlu diarahkan untuk men-dukung pertumbuhan yang diperlukan

dalam kegiatan ekonomi untuk men-jamin standar kehidupan penduduk. Pencegahan beralihnya penduduk ke transportasi pribadi seiring meningkat-nya pendapatan akan menjadi tantangan besar yang dihadapi oleh negara saat ini, terutama menghadapi globalisasi dan mekanisme pasar.

Pemerintah di tingkat lokal maupun nasional perlu merumuskan kebijakan transportasi dengan mempertimbang-kan bahwa kota dibangun dengan pen-dekatan jangka panjang. Oleh sebab itu setiap perencanaan yang dibuat harus merupakan perencanaan yang sistematik, komprehensif, dan disertai dengan visi jangka panjang kota, ter-masuk bagaimana sistem transportas-inya dikembangkan dan diubah sesuai dengan perkembangan. Masalah yang menyangkut pengaturan dan mana-jemen sistem transportasi (termasuk di sini adalah regulasi dan izin pelak-sanaan), merupakan hal-hal yang sama pentingnya dengan isu-isu teknis. Ber-bagai kebijakan yang mempengaruhi masalah transportasi harus diharmo-nisasikan, sehingga keduanya dapat berjalan seiring, misalnya, progran un-tuk mendorong penggunaan mass tran-sit di satu pihak dan mengurangi per-jalanan dengan mobil berpenumpang satu (single-occupant car travel) di pihak lain.

Hal penting lainnya untuk diper-hatikan adalah meningkatkan integrasi transportasi dan perencanaan tata guna lahan (land use planning). Keterpad-uan antara perencanaan transportasi dengan tata ruang itu sangat mutlak diperlukan mengingat pergerakan dalam transportasi tidak terpisahkan dari di mana orang itu tinggal. Ser-ingkali, tumbuhnya lokasi-lokasi baru untuk pemukiman maupun usaha tidak terintegrasi dengan perencanaan trans-portasi yang ada sehingga menim-bulkan kekacauan baru di perkotaan, khususnya dalam hal bertransportasi. Peningkatan dalam elemen tunggal dan terpisah dari sistem transit atau rencana transportasi jarang memiliki pengaruh yang kuat. Sedangkan pen-dekatan sistematis dapat memuncul-

Page 27: Edisi 1 November 2007

Departemen Komunikasi dan Informatika 27

Jurnal “Dialog” Kebijakan Publik

kan energi untuk memperkuat sistem transportasi, dan mem-perbaikinya.

Sedangkan perubahan ke-bijakan sistem transportasi di pedesaan amat diperlukan agar kebijakan transportasi mampu mendorong kemajuan desa mela-lui kelancaran distribusi produk-produk mereka sehingga cepat sampai pada konsumen. Dengan tersedianya angkutan pedesaan yang accessible dan sesuai den-gan kondisi lokalnya, diharap-kan hasil tangkapan nelayan di laut akan muda tersalurkan ke pasar sehingga tidak mengalami pembusukan yang pada akhirn-ya merugikan nelayan sendiri. Demikian produk-produk agro (pertanian, peternakan, peri-kanan, dan peternakan) akan ce-pat didistribusikan ke konsumen secara lebih cepat. Konsekuensi dari kebijakan ini adalah negara tidak hanya membangun jalan yang lebar saja, tapi juga me-lengkapinya dengan penyediaan sarana angkutan yang memadai dan dapat dikelola oleh komu-nitas desa guna menghindari terjadinya monopoli angkutan di pedesaan oleh elit desa. Tanpa adanya kebijakan yang integral ini maka pengembangan infra-struktur jalan di pedesaan yang bagus-bagus hanya akan mela-hirkan kesenjangan ekonomi pada masyarakat desa itu sendiri. Bahkan kelompok yang paling miskin pun tidak mampu men-gakses insfrastruktur tersebut karena tidak mampu membayar moda yang tersedia.

Dalam upaya mengubah kebijakan itu, maka lembaga-lembaga penelitian dan pengkaji kebijakan di tingkat lokal mau-pun nasional diperlukan peran-annya secara aktif untuk mem-bantu merumuskan kebijakan kebijakan berbasis tacit knowl-edge masyarakat sehingga ke-bijakan publik yang dihasilkan

tidak sekadar sebagai proses transmisi, adaptasi pengetahuan dan teknologi inovasi yang bersifat replikasi blueprint kebijakan dari luar, tapi hasil dari kecer-dasan lokal (local genius) kearifan lokal (local wisdom).

Peran lembaga-lembaga penelitian maupun lembaga swadaya masyarakat (LSM) bukan hanya didalam memban-tu merumuskan kebijakan yang tepat, tapi juga dalam melakukan pendidikan publik. Sejumlah aspek modernisasi telah menyebabkan konsekuensi-kon-sekuensi yang tidak tampak, misalnya rendahnya pengetahuan mengenai cara untuk mengurangi kebutuhan trans-portasi, juga bagaimana mengurangi perjalanan dengan mobil. Pendidikan publik bertujuan untuk memberikan pengertian kepada masyarakat men-genai cara-cara mengurangi kebutu-han perjalanan yang amat tergantung pada kendaraan pribadi, tapi sekaligus juga memperkuat basis pengetahuan masyarakat akan hak-hak mereka yang harus dipenuhi oleh negara dalam hal transportasi. Dengan demikian masyar-akat akan selalu bersikap kritis terhadap setiap kebijakan pembangunan infras-truktur jalan: apakah itu menjawab ke-butuhan masyarakat setempat atau kah hanya untuk memfasilitasi kepentingan kapital belaka?

Pendidikan publik itu diharapkan juga akan mendorong inklusi masyar-akat bergerak menuju ke penggunaan transportasi publik, sukur-sukur meru-bah moda angkutan dengan sepeda dan jalan kaki (cycling and walking). Ini adalah tacit knowledge yang perlu dipertimbangkan dalam menyusun ke-bijakan transportasi nasional, yaitu seg-men-segmen atau strata tertentu yang menggunakan bis atau mobil pribadi atau mengendari motor.

Sekarang saat yang tepat untuk mengintegrasikan efek samping dari modernitas terhadap transportasi dalam penelitian ilmu-ilmu sosial. Ini ber-implikasi pada pergeseran fokus dari aspek-aspek praktis pertumbuhan trans-portasi dan solusi teknis menjadi kebu-tuhan inheren manusia. Saatnya untuk mengadaptasi visi pembangunan atas

realitas. Riset mengenai pengaruh au-tomobilitas pada masyarakat sangatlah dibutuhkan guna mengembangkan visi yang memadai terkait dengan masyar-akat yang terus berkembang. Pembuat kebijakan publik seharusnya mempun-yai pengetahuan yang layak, memadai tentang kerugian dan manfaat pemban-gunan yang tengah berlangsung saat ini dengan meletakkan kepentingan publik untuk kembali ke transport publik yang telah mereka tinggalkan akibat burukn-ya kondisi transpor pubik sebelumnya.

Dalam hal kebijakan pengemban-gan sistem transportasi jarak jauh, ke-beragaman moda transportasi seperti yang berbasis pada jalan raya, jalan rel, laut, dan udara harus tetap dijaga ke-beradaan dan keseimbangannya agar di satu pihak memberikan aksesibilitas kepada semua warga dengan keraga-man geografis, ekonomi, sosial, dan bu-daya. Tapi di pihak lain agar tidak men-imbulkan ketergantungan baru dalam hal mobilitas jarak jauh. Memberikan perhatian pada jalan raya saja (mobil) dan transportasi udara –hanya karena bertarif murah dan cepat saja—sangat berbahaya bagi kepentingan berbang-sa. Sebab, bila terjadi monopoli dan penyelenggara angkutan menentukan tarif sesuai kehendak mereka, maka hak warga untuk memperoleh layanan transportasi tidak ada lagi. Kecuali itu, dengan karakter geografis Indonesia sebagai negara kepulauan, banyak dae-rah yang tidak akan dapat terjangkau oleh kendaraan bermotor, kereta api maupun pesawat, tapi hanya dapat di-jangkau dengan kapal-kapal kecil. Bila moda tersebut tidak tersedia, maka hak mereka untuk melakukan perjalanan akan musnah.

Kebijakan untuk mempertahankan keragaman moda itu menuntut adanya cost yang harus dibayar, karena tidak semua pengembangan moda transpor-tasi menguntungkan. Tapi justru di sinilah peran negara melalui kebija-kan subsidi. Transportasi di sini tidak semata-mata berfungsi untuk kepent-ingan ekonomis belaka, tapi juga pela-yanan kepada warga.

Page 28: Edisi 1 November 2007

28 Departemen Komunikasi dan Informatika

Jurnal “Dialog” Kebijakan Publik

Sebagai catatan akhir dari tulisan ini ingin penulis katakan bahwa kebijakan transportasi nasional yang ada selama ini mengalami bias motorisasi sebagai cer-min dari kuatnya lobi industri otomotif pada penentu kebijakan. Konsekuensi dari pilihan moda yang bias motorisasi tersebut, infrastruktur yang dibangun pun bias ke jalan raya. Padahal, wilayah RI tidak seluruhnya cocok dikembangkan jalan raya. Pembangunan infrastruktur jalan raya itu juga meminta pengorbanan moda ang-kutan tidak bermotor yang sangat diperlukan oleh masyarakat miskin, masyarakat desa, atau masyarakat kota sekarang untuk perjalanan jarak pendek. Konsekuensi yang lebih buruk dari kebijakan transportasi yang bias motorisasi adalah sistem transportasi yang ada sekarang tidak menjamin keberlanjutan kehidupan antar gen-erasi karena terlalu banyak mengkonsumsi bahan bakar yang tidak terbarukan.

Singkatnya, mengimplementasikan kebijakan untuk menyesuaikan agenda transportasi lingkungan harus dilihat sebagai bagian dari paket intervensi. Dalam mencapai hasil yang diinginkan memerlukan kombinasi antara opsi teknologi dan kebijakan yang meningkatkan performa sistem transportasi dengan dampak terhadap lingkungan yang rendah. Hambatan serius dalam mengimplementasikan kebijakan tersebut adalah keberhasilannya bergantung pada kemauan sejumlah stakeholder. Komitmen pemerintah dan sejumlah institusi sangat diperlukan, karena masalah lingkungan akan bersaing dengan beberapa kepentingan lainnya. Institusi yang mengurusi masalah transportasi di banyak negara berkembang perlu melakukan reformasi untuk menjawab tantangan ini. Mengimplementasikan intervensi yang berbeda menuntut komitmen, political will, dan dukungan publik. Dengan kebija-kan dan kemungkinan penerapan teknis yang beragam, dipadu dengan peningkatan serius konsumsi bahan bakar, serta dampak pada lingkungan dan kemacetan, tidak diragukan lagi bahwa tantangan ini akan dapat diatasi. Ini juga akan membutuhkan reformasi institusional dengan metode perencanaan yang terintegrasi dan imple-mentasi yang terkoordinasi, sumber daya dengan kemampuan tinggi, serta akses pada sumber keuangan yang substansial.

Untuk itulah saatnya kebijakan tersebut ditinjau kembali sebelum berlanjut agar tidak menimbulkan bencana yang lebih besar kepada masyarakat di masa men-datang. Upaya untuk meninjau kembali dan merumuskan kebijakan transportasi yang baru itu hanya mungkin dilakukan bila ada pendidikan dan partisipasi publik, sehingga publik menjadi cerdas dan mempunyai kapasitas untuk turut merumuskan kebijakan transportasi yang membumi. Sinergi antara masyarakat yang cerdas dan intelektual kampus yang mau membumi, pasti akan melahirkan perubahan yang lebih baik dan membumi pula. Selama ini kebijakan transportasi hanya ditentukan oleh Departemen/Dinas PU dan Departemen/Dinas Perhubungan dengan dukungan orang-orang kampus atau konsultan yang teks book thinking dan tidak membumi serta atas desakan kepentingan kapitalisme global (melalui negara-negara pemberi pinjaman). Penentu kebijakan transportasi yang sesungguhnya bukan Departem/Dinas teknis, tapi negara-negara pinjaman atau bahkan industri otomotif itu sendiri. Wajar bila kemudian kebijakan yang dihasilkannya sangat biar motorisasi dan tidak peka terhadap kondisi geografis di Indonesia yang amat beragam.

Page 29: Edisi 1 November 2007

Departemen Komunikasi dan Informatika 29

Jurnal “Dialog” Kebijakan Publik

Transportasi dan Pembangunan: Perspektif Multi DimensiOleh: Dr.Ir. Bambang Susantono, MCP, MSCEKetua Umum Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI)

Transportasi memainkan peran penting dalam kehidupan sosial ekono-mi suatu masyarakat. Integrasi dari ber-bagai level sistem transportasi, dimulai dari level kota, daerah dan nasional akan membentuk suatu jaringan pela-yanan transportasi yang lebih luas un-tuk menuju level yang lebih tinggi dan pada akhirnya menjadi tulang punggung pembangunan sosial ekonomi suatu bangsa. Pelayanan transportasi juga mampu untuk mempromosikan atau mengembangkan daerah-daerah yang terisolir dengan memberikan akses se-hingga akan membuka kesempatan - kesempatan kepada daerah tersebut. Dalam skala yang lebih besar, trans-portasi merupakan salah satu pilar dari sistem pertahanan dan keamanan suatu negara.

Sistem transportasi merupakan sub-sistem dari sistem kota maupun sistem regional. Oleh sebab itu, sistem trans-portasi dapat dikategorikan sebagai sebuah sistem yang rumit dan saling terkait dengan sistem lainnya. Kegaga-lan pada sebuah sub-sistem akan meng-ganggu atau memberikan dampak pada sub-sistem - sub-sistem yang lain. Se-bagai bagian dari sebuah sistem maka transportasi akan mampu berperan se-cara optimal apabila didukung oleh sub-sistem lain seperti tata guna lahan.

Transportasi berperan dalam me-menuhi kebutuhan dasar manusia. Berb-agai aktivitas terkait dengan pemenuhan kebutuhan dasar memerlukan ketersedi-aan akses dan mobilitas. Apabila tingkat

aksesibilitas terhadap lokasi kegiatan rendah maka masyarakat akan men-galami kesulitan dalam pemenuhan kebutuhan dasarnya. Sebagai akibatnya potensi ekonomi tidak dapat diman-faatkan secara maksimal. Transportasi juga berperan penting dalam menga-komodasi aktivitas sosial dan ekonomi masyarakat melalui fasilitasi proses produksi dan distribusi.

Ketersediaan transportasi tidak da-pat dipisahkan dari penciptaan iklim investasi yang kondusif dalam men-dorong pertumbuhan ekonomi. Iklim investasi yang kondusif akan dapat tercipta bilamana infrastruktur dan pelayanan transportasi dalam wilayah tersebut memungkinkan pergerakan arus penumpang dan barang berjalan lancar sehingga biaya investasi dapat diturunkan dan keuntungan dapat di tingkatkan. Sebaliknya, agar transpor-tasi mampu memainkan perannya se-cara optimal untuk mengikuti pertum-buhan permintaan, maka transportasi harus bisa menyediakan kapasitas yang cukup untuk melayani pertumbuhan tersebut. Penyediaan kapasitas pela-yanan transportasi hanya bisa dilaku-kan bila inovasi dan investasi di sek-tor tersebut berkelanjutan. Kondisi ini menuntut adanya iklim investasi yang kondusif.

Page 30: Edisi 1 November 2007

30 Departemen Komunikasi dan Informatika

Jurnal “Dialog” Kebijakan Publik

Keterkaitan Transportasi dan Ekonomi

Direct Investment

Investasi Proyek/Aktivitas

Indirect Invest-ment

Investasi oleh Supplier

Induced In-vestment

Belanja Masyarakat

Economic Simulation

Perluasan Bis-nis dan Menarik

Bisnis BaruGambar 1.

Sektor transportasi merupakan bagian penting dari ekonomi yang mempunyai pengaruh dalam pemban-gunan dan kesejahteraan masyarakat. Apabila sistem transportasi efisien, maka akan membuka peluang dan ke-untungan secara ekonomi dan sosial. Sebaliknya ketika sistem transportasi tidak efisien, maka bisa berakibat pada biaya ekonomi tinggi dan berkurangnya atau hilangnya peluang-peluang yang ada. Pada sisi lain, sektor transportasi juga mempunyai dampak sosial dan lingkungan yang tidak bisa dihindarkan. Secara umum, dampak ekonomi dari sektor transportasi dapat dikategori-kan kedalam direct impacts dan indi-rect impacts. Direct impacts berkaitan dengan perubahan aksesibilitas dimana transportasi memungkinkan terjadinya perkembangan pasar dan penghema-tan waktu dan biaya. Indirect impacts berkaitan dengan multiplier effect di-mana harga komoditas atau pelayanan turun dan/atau variasinya meningkat. Untuk melihat proses multiplier effect dari transportasi lihat Gambar 1.

Gambar 1 dapat dijelaskan sebagai berikut:• Direct investment akan membuka

lapangan kerja untuk mendukung proyek atau kegiatan yang direnca-nakan;

• Indirect investment, atau belanja yang dilakukan oleh suppliers penyedia barang dan jasa untuk proyek, juga menciptakan lapangan kerja;

• Direct dan indirect investment ber-dampak pada business revenue dan

personal income;• Income dibelanjakan oleh masya-

rakat (Induced investment) sehing-ga menghasilkan lapangan kerja;

• Akhirnya, direct, indirect, dan in-duced investment (multiplier effect) akan menstimulasi ekonomi yang mampu memperluas dunia usaha yang telah ada dan meningkatkan daya tarik untuk tumbuhnya dunia usaha yang baru.Mobilitas merupakan salah satu

bagian yang fundamental dan merupa-kan karakteristik utama aktifitas ekono-mi. Mobilitas menjamin terpenuhinya kebutuhan untuk bergerak dari satu tempat ke tempat lain, baik bagi pe-numpang, barang, maupun informasi. Daerah dengan tingkat mobilitas tinggi umumnya mempunyai banyak peluang untuk membangun dibandingkan de-ngan daerah yang mempunyai mobili-tas rendah. Sehingga mobilitas merupa-kan indikator pembangunan yang baik. Mengurangi mobilitas berarti menghambat pembangunan dan seba-liknya meningkatkan mobilitas akan mendukung pembangunan. Mobilitas manusia dan barang hanya bisa dicapai dengan sistim transportasi yang baik.

Mobilitas itu sendiri merupakan satu industri yang menawarkan pelayanan terhadap pelanggan, mempekerjakan orang dan membayar gaji, mengin-vestasikan modal, dan membangkitkan income. Oleh karena itu, manfaat trans-portasi dalam pembangunan ekonomi dapat dilihat dari perspektif makro-ekonomi dan mikroekonomi.:

Pada tataran makroekonomi (man-

Page 31: Edisi 1 November 2007

Departemen Komunikasi dan Informatika 31

Jurnal “Dialog” Kebijakan Publik

faat transportasi terhadap keseluruhan ekonomi), transportasi dan mobilitas yang dihasilkan umumnya dikaitkan dengan tingkat keluaran, lapangan ker-ja, dan pendapatan secara nasional. Di Indonesia, untuk tahun 2005, sektor transportasi menyumbang 3.8% terhadap GDP (BPS, 2006). Pada tataran mikroekonomi (manfaat transportasi terhadap bagian tertentu dari ekono-mi), transportasi dan mobilitas yang dihasilkan umumnya dikaitkan dengan produsen, konsumen, dan biaya produksi. Sehingga, manfaat aktifitas transportasi tertentu dan infrastruktur dapat ditentukan untuk tiap-tiap sektor ekonomi. Dari sebuah studi disimpulkan bahwa di Jakarta biaya transportasi perkotaan berkisar 30% dari pendapatan (Kompas, 2003).

Kebutuhan transportasi telah meningkat sangat signifkan dalam be-berapa dasawarsa terakhir. Berdasarkan sebuah model, diketahui bahwa pertumbuhan kebutuhan ini sangat dipengaruhi oleh pertumbuhan ekonomi nasional (PDB) (Tabel 1). Berdasarkan catatan 15 tahun terakhir, terdapat korelasi yang kuat antara pertumbuhan PDB dengan peningkatan kebutuhan transportasi. Dari setiap pertumbuhan 1% PDB akan menimbulkan pening-katan kebutuhan transportasi hingga sebesar 1.5% . Dan jika pertumbuhan

PDB tersebut meningkat hingga sebe-sar 5% maka peningkatan kebutuhan transportasi akan meningkat sebanyak 7.5%. Sementara itu dalam hubungan lain, diketahui juga bahwa pertum-buhan kebutuhan transportasi sangat terkait dengan berbagai elemen dari komponen pertumbuhan ekonomi. Se-bagai contoh, jika pertumbuhan sektor konstruksi mencapai sebesar 1%, maka hal tersebut akan meningkatkan kebu-tuhan transportasi hingga 0.5%. Hal ini menunjukkan begitu eratnya kaitan antara berbagai elemen ekonomi de-ngan transportasi.

No. Business Activities 2003 2004 2005* 2006**value percent value percent value percent value percent

1 Land Transport 25.771,5 1,6 27.056,6 1,6 28.388,8 1,6 29.824,3 1,62 Railway 608,9 0,0 603,3 0,0 585,3 0,0 620,3 0,03 Seatransport 7.857,6 0,5 7.857,6 0,5 8.855,8 0,5 9.497,2 0,54 Land & Waterways

transport2.165,0 0,1 2.254,0 0,1 2.350,8 0,1 2.444,3 0,1

5 Air transport 7.214,6 0,5 9.384,3 0,6 10.362,3 0,6 11.466,2 0,66 Supproting Service

Transport13.845,4 0,9 15.054,6 0,9 15.902,9 0,9 17.027,9 0,9

Tabel 1. Peranan Sektor Transportasi Atas Dasar Harga Konstan Tahun 2000 Terhadap PDB (dlm milyar rupiah)

Sumber: Pendapatan Nasional Indonesia 2006, BPS*) : Angka sementara**) : Angka sangat sementara

Keterkaitan Transportasi dan PenanggulanganKemiskinan

Kemiskinan merupakan masalah utama yang dihadapi negara-negara berkembang termasuk Indonesia. Pe-ngurangan kemiskinan tidak bisa terse-lesaikan dengan pembangunan yang bersifat sektoral, tetapi harus merupakan suatu kesatuan program dan tujuan dari berbagai sektor untuk bersama-sama menyelesaikan masalah kemiskinan.

Kemiskinan sering diakibatkan oleh kurangnya kesempatan untuk melaku-kan aktifitas sosial ekonomi dan kesem-patan untuk memperoleh pelayanan. Kesempatan melakukan aktifitas sosial ekonomi dan kesempatan untuk mem-

peroleh pelayanan dari suatu kawasan atau bahkan rumah tangga, bisa men-jadi indikator yang cukup kuat untuk menilai tingkat kemampuan sosial ekonomi kawasan atau rumah tangga tersebut.

Kesempatan melakukan aktifi-tas dan kesempatan untuk memperoleh pelayanan harus didukung oleh tersedi-anya sistem transportasi dan fasilitas-fasilitas lain (yang akan dipergunakan untuk aktifitas dan pelayanan masya-rakat). Secara umum sistem transpor-tasi mampu meningkatkan kesempatan masyarakat desa untuk memperoleh

Page 32: Edisi 1 November 2007

32 Departemen Komunikasi dan Informatika

Jurnal “Dialog” Kebijakan Publik

pendidikan, memperoleh pekerjaan, memasarkan hasil produksi, memper-oleh pelayanan kesehatan, dan lain-lain.

Hubungan positif antara pertumbuhan ekonomi dan pembangunan trans-portasi secara logis dapat dirasakan dan diterima. Beberapa studi menyim-pulkan bahwa pembangunan infrastruktur transportasi di negara berkembang mempunyai keterkaitan dengan pertumbuhan ekonomi. Oleh karena itu, pembangunan infrastruktur transportasi dan pengoperasian sistem transpor-tasi dapat dijadikan instrumen utama dalam program pengentasan kemiski-nan. Melalui pembangunan berbagai sarana dan prasarana transportasi akan tercipta kesempatan kerja yang merupakan bagian penting dari upaya pen-anggulangan kemiskinan. Di sisi lain, pembangunan sarana dan prasarana transportasi dapat membuka aksesibilitas sehingga meningkatkan produksi masyarakat yang berujung pada peningkatan daya beli masyarakat. Pem-benahan dan perbaikan pada sistem transportasi dan logistik guna mencapai efisiensi akan dapat mengurangi biaya ekonomi tinggi yang pada akhirnya meningkatkan daya saing penduduk dalam beraktivitas.

Penanggulangan kemiskinan mem-butuhkan pertumbuhan ekonomi yang cukup, dengan mengupayakan kombi-nasi yang optimum antara pertumbuhan ekonomi dengan upah minimum peker-ja. Penanggulangan kemiskinan me-merlukan perkuatan koordinasi dalam pelaksanaan program-programnya yang didesain melalui partisipasi aktif masyarakat serta pemberdayaan secara langsung. Dengan pembangunan trans-portasi berbasis masyarakat akan dapat dipercepat perwujudan pembangunan yang berkelanjutan dimana masyarakat berperan sebagai pelaku utama dalam proses perencanaan hingga operasi dan pemeliharaannya.

Transportasi juga harus didisain untuk menjadi bagian dari sistem per-tahanan dan keamanan negara. Secara langsung, sistem transportasi yang baik akan mampu dimanfaatkan untuk mendistribusikan kekuatan pertahanan dan keamanan negara secara cepat ke-daerah-daerah yang membutuhkan.

Secara tidak langsung, pertumbuhan dan pemerataan ekonomi yang didukung sistem transportasi yang baik akan men-ingkatkan kesejahteraan masyarakat dan pada akhirnya akan menciptakan masyarakat yang tangguh dan situasi keamanan yang kondusif. Secara sirku-lar, situasi keamanan yang kondusif merupakan syarat utama terciptanya in-vestasi dan pertumbuhan ekonomi.

Sistem transportasi juga merupakan perekat bangsa dan negara. Jaringan ja-lan dari Sabang sampai Merauke, dari Sangir Talaud hingga Kupang, merupa-kan perekat NKRI. Demikian juga jaringan angkutan laut dan udara kita merupakan jembatan nusantara. Dengan

Keterkaitan Transportasi dan Ketahanan Nasional

membuka daerah-daerah terisolir yang berada pada bagian terluar wilayah NKRI, maka rasa nasionalisme masyar-akat pada daerah-daerah tersebut akan tumbuh. Tumbuhnya nasionalisme akan memperkuat ketahanan nasional.

Karenanya pembenahan sektor transportasi harus dilakukan secara sis-tematis dengan tahapan-tahapan yang pasti, termasuk di dalamnya pember-dayaan angkutan dalam negeri baik di darat, laut dan udara. Karena sifatnya sebagai perekat nusantara maka ang-kutan laut dan udara keperintisan harus tetap dipertahankan. Angkutan laut ke pulau-pulau terpencil dan daerah-dae-rah yang terisolir akan merupakan la-yanan yang sangat esensial bagi daerah tersebut, khususnya dalam membuka akses dan mengembangkan ekonomi lokal. Pelayanan transportasi keperinti-san tersebut harus didukung kemam-puan SDM dan manajerial yang baik, sehingga menghasilkan apa yang telah direncanakan.

Kondisi transportasi di Indonesia secara umum belum mencapai apa yang telah menjadi tujuan Undang Undang di bidang transportasi maupun Sistranas. Indikasi bahwa terdapat masalah pada pelayanan sektor transportasi mudah un-

Permasalahan Transportasi di ndonesia

tuk dirasakan, seperti angka kecelakaan yang tinggi dan cenderung meningkat terutama pada transportasi jalan (kor-ban meninggal mencapai 30.000 per-tahun berdasarkan data Jasa Raharja), kemacetan baik pada jalan perkotaan

Page 33: Edisi 1 November 2007

Departemen Komunikasi dan Informatika 33

Jurnal “Dialog” Kebijakan Publik

dan antar kota, waktu tunggu lama (contoh pada penyeberan-gan merak), reliabilitas rendah (waktu keberangkatan dan keda-tangan yang tidak sesuai jadwal pada angkutan umum berjadwal seperti Kereta Api dan Angkutan Udara), dan dampak lingkungan tinggi (terutama polusi udara).

Pada transportasi jalan raya, selain permasalahan diatas, ter-dapat permasalahan yang cukup mendasar yaitu rendahnya kuali-tas SDM (terutama operator) dan pelanggaran peraturan. Pe-langgaran peraturan merupakan titik awal terjadinya permasala-han lain pada transportasi jalan raya. Pelanggaran peraturan yang mudah kita lihat adalah jumlah muatan yang melebihi kapasitas baik pada angkutan penumpang maupun barang. Pada transportasi Kereta Api, laut, dan udara, selain masalah keselamatan juga terdapat per-masalahan yang mendasar pada simpul-simpul transportasi sep-erti stasiun, pelabuhan laut, dan pelabuhan udara.

Masalah-masalah di stasiun KA, pelabuhan laut, dan pelabu-han udara tidak terlepas dari ma-salah manajemen dan kemam-puan kita untuk mengelolanya secara profesional. Simpul-sim-pul transportasi yang seharusnya daerah steril kita lihat justru ter-lalu banyak aktor yang berperan.

Untuk membuat pelabuhan laut dan udara yang dapat bersaing dengan Sin-gapura dan Malaysia maka harus diban-gun kemampuan SDM, teknologi, dan sistem yang handal untuk operasional dan manajemen pelabuhan. Simpul-simpul transportasi harus dikelola de-ngan piranti lunak (software), peralatan (hardware) dan kemampuan daya pikir (brainware) yang memiliki standar ke-las dunia (world class).

Terlepas dari permasalahan teknis, salah satu kunci utama dalam menga-tasi permasalahan transportasi adalah membuat peraturan yang jelas dan pen-egakan aturan (law enforcement) yang tegas, adil, dan transparan.

Permasalahan lain adalah persai-ngan antar-moda dan intra-moda yang kurang sehat. Pada akhir-akhir ini per-saingan antar-moda angkutan udara, darat, laut, dan kereta api pada beberapa rute menjadi isu yang menarik. Misal-nya pada rute Jakarta – Surabaya te-lah terjadi persaingan antara angkutan udara, angkutan jalan, dan angkutan KA.

Persaingan tersebut di atas memper-sulit posisi PT. KA untuk meningkatkan produktifitas angkutan KA pada beber-apa rute, misalnya pada rute Jakarta–Surabaya terjadi perebutan penumpang antara kereta api eksekutif dengan ang-kutan udara. Kalau persaingan antar-moda dan intra-moda ini berlangsung terus akan dapat mengakibatkan salah satu diantara moda tersebut menga-lami kerugian dalam jumlah yang sig-nifikan. Kerugian yang paling nyata

disini adalah dalam hal infrastruktur yang merupakan nilai investasi besar baik dalam pengadaan maupun pemeli-haraan (maintenence).

Persaingan antarmoda lain yang muncul adalah antara transportasi air/sungai dengan transportasi jalan, yang banyak terjadi di Kalimantan Barat dan Riau. Pada awalnya domi-nasi transportasi yang digunakan di kedua wilayah tersebut adalah trans-portasi sungai karena kondisi geografis yang lebih mendukung pengembangan transportasi air dibandingkan dengan transportasi jalan. Perkembangan tek-nologi dan kebutuhan masyarakat akan layanan yang sifatnya door to door sevices menyebabkan terjadi perpin-dahan dominasi penggunaan moda transportasi dari transportasi sungai ke transportasi jalan. Hal tersebut diduku-ng pula oleh program pengembangan infrastruktur transportasi yang saat ini lebih diarahkan pada pengemba-ngan infrastruktur jalan dibandingkan dengan pengembangan infrastruktur transportasi sungai seperti dermaga, alur pelayaran, fasilitas pe-rambu-an dan sebagainya. Hal ini menyebabkan tingkat kapasitas yang dapat didukung dermaga menurun, panjang pelayaran menjadi semakin berkurang karena efek pendangkalan (kurangnya perawa-tan alur pelayaran), tingkat keselamatan dan kenyamanan juga menurun karena banyak rambu yang tertutup semak dan enceng gondok.

Untuk menghindari persaingan antar-moda dan intra-moda maka perlu

Moda Tarif Waktu Frekuensi per hariPesawat Garuda Rp. 315.000,- 1 jam 5 menit 12 kaliPesawat Lion Air Rp. 200.000,- 1 jam 5 menit 11 kaliPesawat Garuda City Link Rp. 160.000,- 1 jam 5 menit 5 kaliKA Argo Bromo Rp. 190.000,- 12 jam 4 kaliKA Non Argo Rp. 170.000,- 12 jam 3 kaliBus Patas AC Rp. 150.000,- 15 jam > 50 kaliBus Non AC Rp. 70.000,- 16 jam > 50 kali

Tabel 2. Kompetisi Antar Moda Trayek Jurusan Jakarta-Surabaya

Sumber: www.kkppi.go.id, 2004

Page 34: Edisi 1 November 2007

34 Departemen Komunikasi dan Informatika

Jurnal “Dialog” Kebijakan Publik

disusun jaringan pelayanan transportasi yang mampu memaksimalkan infrstruktur yang ada dan keunggulan tiap moda transportasi. Hasil studi Balitbang Perhubungan Darat tahun 2003 menunjukkan bahwa masing-masing moda mem-punyai karakteristik, keunggulan dan kekurangan masing-masing. Secara teknis tidak ada satu moda yang unggul se-cara mutlak. Teknologi yang digunakan terkait erat dengan harga yang harus dibayarkan. Karakteristik masing-masing moda ditunjukkan dalam tabel berikut:

No Variabel Moda

Bus Kereta Api Kapal Pesawat Udara

1 Biaya operasi (Rp./seat-km)

33 118 294 365-399

2 Kapasitas angkut (pe-numpang)

22 400 100-150 120-160

3 Kecepatan rata-rata (km/jam)

60-70, tergantung kondisi lalin

70-80, tergantung ke-padatan lintas

35 (tergantung cuaca dan ukuran mesin ka-pal)

700 (B-737)

4 Kebutuhan prasarana/fasilitas untuk operasi sarana

Relatif tidak memerlu-kan prasarana khusus, kecuali jaringan jalan yang digunakan peng-guna lainnya

Memerlukan prasarana khusus (jalan rel) yang didukung persinyalan dan komunikasi

Memerlukan pras-arana khusus (pelabu-han) yang didukung fasilitas keselamatan pelayaran

Memerlukan prasarana khusus (bandara) yang didukung fasilitas ke-selamatan penerbangan

5 Sifat pelayanan Lokal, relatif door-to door services

Relatif lokal, point to point services (stasiun ke stasiun) memerlu-kan sarana pendukung untuk mencapai tujuan akhir perjalanan

Regional scale, point to point only (pelabu-han memerlukan sara-na pendukung untuk mencapai tujuan akhir perjalanan

Regional scale, point to point only (bandara ke bandara), memerlu-kan sarana pendukung untuk mencapai tujuan akhir

6 Polusi (udara) yang ditimbulkan

Tinggi, single engine per vehicle, sifat lokal, regional

Relatif rendah, single engine per rangkaian, sifat lokal, regional

Relatif rendah, single engine per vehicle tapi kapasitas angkut tinggi, sifat lokal, re-gional, nasional

Relatif tinggi, meskipun single engine per vehi-cle konsumsi BB tinggi, sifat lokal, regional, na-sional, global

7 Keselamatan(operasi)

Relatif rendah, san-gat tergantung pada kondisi lalin selama perjalanan dan peri-laku pengemudi

Relatif tinggi, karena mempunyai lintasan sendiri dan menerap-kan prosedur keselama-tan yang baku

Relatif tinggi, mener-apkan prosedur kes-elamatan yang baku

Tinggi, menerapkan prosedur keselamatan yang baku

8 Aksesibilitas ke pra-sarana/fasilitas

Angkutan pribadi, APU

Angkutan pribadi, APU

Angkutan pribadi, APU khusus (taksi/DAMRI)

Angkutan pribadi, APU khusus (taksi/DAMRI)

9 Kemudahan mendap-atkan seat

Tinggi, via agen bus atau langsung terminal

Tinggi, via agen atau langsung stasiun

Realtif tinggi, via agen perjalanan/ PELNI

Tinggi, via agen per-jalanan via telpon

10 Kenyamanan Sangat tinggi, barang bawaan relatif banyak

Tinggi, barang bawaan relatif banyak

Tinggi, barang ba-waan relatif banyak

Rata-rata, barang ba-waan (kabin) terbatas

11 Frekuensi pelayanan Harian (keberangkatan sore hari)

Harian (keberangkatan sore hari)

Mingguan Harian (keberangkatan relatif tiap jam)

12 Nilai waktu Cukup tinggi Cukup tinggi Rendah Tinggi

Catatan: pengamatan pada kondisi normal, moda bis, KA, kapal laut pada kelas eksekutif, pesawat udara pada kelas ekonomi, Sumber: Balitbang Perhubungan, 2003

Tabel 3. Karakteristik Moda Transportasi

Page 35: Edisi 1 November 2007

Departemen Komunikasi dan Informatika 35

Jurnal “Dialog” Kebijakan Publik

Untuk mengatasi persaingan yang ada maka perlu dilakukan integrasi antar-moda atau dikenal dengan multimoda transport. Integrasi merupakan kata kunci dimana semua jenis moda transportasi seharusnya saling ber-hubungan, menciptakan sistem jaringan transportasi yang efisien. Dalam hal logistik, berbagai layanan transportasi harus ditata sedemikian sehingga saling terintegrasi misalnya truk pengangkut kontainer, kereta api pengang-kut barang, pelabuhan peti kemas, dan angkutan laut peti kemas, semuanya harus terintegrasi dan memungkinkan sistem transfer yang menerus (seam-less). Kebutuhan angkutan bahan-bahan pokok dan komoditi harus dapat

dipenuhi oleh sistem jaringan jalan, KA, pelayanan pelabuhan dan bandara yang efisien. Angkutan udara, darat dan laut harus saling terintegrasi dalam satu sistem logistik dan manajemen yang mampu menunjang pembangunan na-sional.

Secara garis besar telah disebutkan diatas bahwa perlu disusun kebijakan yang memuat masalah pembangunan infrastruktur dan menetapkan peraturan perundangan. Perlu juga diperhatikan adalah mencari solusi masalah pem-biayaan pembangunan transportasi, terutama infrastruktur, yang umumnya sangat besar.

A. VI.1. Kebijakan Pembangunan Infras-truktur TransportasiArah kebijakan umum sektor trans-

portasi adalah untuk menuju pelayanan jasa transportasi yang efektif dan efis-ien pada suatu wilayah, dan mewujud-kan pelayanan secara intermoda. Upaya tersebut antara lain meliputi:1. Tersedianya pelayanan jasa trans-

portasi yang berkualitas2. Mendorong keikutsertaan investasi

swasta dan memperjelas hak dan kewajiban masing-masing pihak yang terkait.

3. Optimalisasi penggunaan dana pemerintah baik untuk operasional, pemeliharaan, rehabilitasi maupun investasi melalui penyusunan pri-oritas program yang diwujudkan dalam suatu kegiatan.

4. Melakukan restrukturisasi kelem-bagaan penyelenggaraan transpor-tasi di tingkat pusat dan daerah.

5. Meningkatkan keselamatan op-erasional baik sarana dan prasarana transportasi.

6. Meningkatnya aksesibilitas masyar-akat terhadap pelayanan jasa trans-portasi.Lebih lanjut arah kebijakan pemban-

gunan subsektor prasarana jalan, adalah (a) mempertahankan dan meningkatkan daya dukung, kapasitas, dan kualitas

Kebijakan, Pembiayaan, Kerangka Peraturan dan Kelembagaan

guna mendukung kelancaran distribusi barang dan jasa serta hasil produksi (b) mengembangkan jalan bebas ham-batan pada koridor-koridor jalan berke-padatan tinggi yang menghubungkan kota-kota dan/atau pusat-pusat kegia-tan (c) memprioritaskan penanga-nan sistem jaringan jalan yang masih belum terhubungkan dalam rangka membuka akses ke daerah terisolir dan belum berkembang, serta mendukung pengembangan wilayah dan kawasan tertinggal (d) melakukan koordinasi di antara pemerintah pusat dan pemerin-tah daerah untuk memperjelas hak dan kewajiban dalam penanganan prasara-na jalan serta mengharmonisasi keter-paduaan sistem jaringan jalan dengsn kebijakan tata ruang wilayah nasional yang merupakan acuan pengemban-gan wilayah dan meningkatkan keter-paduan dengan sistem jaringan dengan prasarana lainnya dalam konteks pelay-anan intermoda dan sistem transportasi nasional (sistranas).

Arah kebijakan pengembangan ang-kutan jalan dan kereta api, antara lain (a) pemulihan kondisi pelayanan ang-kuatan umum jalan raya (b) mengem-balikan tingkat pelayanan sarana dan prasarana kereta api pada kondisi nor-mal secara bertahap (c) melanjutkan kewajiban pemerintah dalam memberi-kan pelayanan angkutan perintis untuk wilayah terpencil. Sementara itu ke-bijakan pembangunan transportasi laut difokuskan untuk memperlancar kegia-tan bongkar muat dan menghilangkan ekonomi biaya tinggi di pelabuhan. Se-dangkan arah kebijakan pembangunan transportasi udara adalah memperketat pengecekan kelaikan mengudara, baik pesawat maupun peralatan navigasi,

Page 36: Edisi 1 November 2007

36 Departemen Komunikasi dan Informatika

Jurnal “Dialog” Kebijakan Publik

dan memperbaiki fasilitas keselamatan penerbangan serta optimalisasi pengelolaan bandara.

B. Karakteristik Pembiayaan Infrastruktur TransportasiPembiayaan proyek transportasi pada dasarnya mengandung sejumlah

resiko investasi. Hal ini dikarenakan karakterisitik proyek itu sendiri yang antara lain bersifat :1. Capital-intensive dengan jangka waktu pengembalian yang panjang

antara 10 hingga 30 tahun;2. Diperlukan investasi menerus pada aset tetap untuk menjaga kinerja

pelayanannya; 3. Proyek infrastruktur transportasi merupakan proyek yang sangat high

leverage di dalam intensitas permodalannya; 4. Pembangunan infrastruktur transportasi memerlukan investasi yang

teramat besar di awal investasi (high front-end capital outlays); dan5. Arus penerimaan dari pelayanan proyek transportasi pada umumnya

hanya dapat menyediakan modal awal bagi pengembangan saja. Berdasarkan karakteristik diatas, pada umumnya untuk pembiayaan

proyek infrastruktur transportasi akan melibatkan sejumlah besar porsi pinjaman untuk melengkapi ekuitas baik dari proyek sponsor maupun dari pihak ketiga. Sumber-sumber pinjaman tersebut dapat berasal dari berbagai sumber seperti pasar modal domestik maupun internasional, lembaga multi-lateral, dan pinjaman komersial.

Bagi Indonesia, pembiayaan proyek-proyek transportasi masih terbatas akan kurangnya pengalaman mendapatkan dukungan pendanaan dari pasar keuangan internasional. Sementara dari pasar keuangan domestik, proyek-

proyek tersebut masih dihadapkan kenyataan akan sulitnya mendapatkan dana modal sesuai dengan jangka wak-tu pengembalian serta masih minimnya pemahaman pelaku investasi domestik akan resiko investasi di bidang ini.

Pada dasarnya berbagai pola pem-biayaan dan penyediaan infrastruktur transportasi dapat dilakukan secara be-ragam. Pola penyediaan - pembiayaan ini dapat dikategorikan terhadap di-mensi pelaku, baik sebagai penyedia investasi (infrastructure financier) maupun sebagai penyedia infrastruktur (pelaku pembangunan). Dalam kedua dimensi tersebut berbagi pola pem-biayaan dapat dikembangkan tergantung dari setiap pelaku di kedua sisi dimensi tersebut, seperti project finance yang mungkin dilakukan pada proyek infra-struktur yang dibangun oleh swasta dan penyedia investasinya pun dilakukan oleh swasta. Bagi proyek infrastruktur yang didanai melalui angaran pemerin-tah namun dilakukan oleh swasta dapat dilakukan melalui manajemen kontrak, dsb. (Gambar 2)

• PenerbitanObligasiPemerintah/BUMN (ataupenyertaaanmodalumumdalam proyek)• PenyediaCredit enhancement• Sumberdana:Sebagianbesardomestik• BUMNdapatmencarimodaldansumber- sumberdariinternasional

• Budget resources (pajak,User charges, pinjamanbilateral/multilateral• Diselenggarakandalamanggaran DepartemenatauBUMN/BUMD• Sumberdana:domestikdaninternasional

• Corporate finance atauproject finance

• Dukunganatautanpadukungan pemerintah/credit enhancement

• Sumberdana:domestikdaninternasional

• Budgetary/resource

• Ketersediaanswastamelaluikontak manajemen

PUBLIK SWASTA

PUBLIK

SWASTA

PENYEDIA INFRASTRUKTUR

INST

RU

CTU

RE

FIN

AN

CIE

R

Gambar 2. Penyedia – Pembiaya Infrastruktur

Page 37: Edisi 1 November 2007

Departemen Komunikasi dan Informatika 37

Jurnal “Dialog” Kebijakan Publik

Selama lebih dari satu dekade permasalahan terbesar dalam pembiayaan pembangunan infrastruktur transportasi dari sum-ber keuangan luar negeri adalah terletak akan tingginya resiko nilai tukar mata uang. Pengalaman yang kurang baik dari kri-sis ekonomi tahun 90-an telah mendorong untuk menghindari penggunaan dana yang berasal dari pasar internasional. Melihat kenyataan seperti itu, sebagian besar negara kini lebih berkon-sentrasi untuk dapat mengutamakan investasi dengan sumber rmata uang lokal. Penggunaan sumber dana dengan mata uang lokal diharapkan akan dapat memberikan perlindungan dari ker-entanan pasar mata uang. Guna menggairahkan investasi dalam negeri dalam membiayai infrastruktur transportasi, sejumlah negara telah mengembangkan skema-skema pembiayaan yang tidak membebani anggaran pemerintah melalui pendekatan non-recourse financing. Beberapa skema pendanaan dengan pola efek beragun aset (asset back securities) ataupun jaminan terbatas dengan memakai fasilitas lembaga multilateral (partial risk guarantee) telah mereka diterapkan.

Investasi swasta dimungkinkan untuk memastikan terdapat efisiensi dalam penyediaan infrastruktur dan layanan trans-portasi darat. Namun konsep yang lebih penting adalah untuk memastikan bahwa pembiayaan publik diarahkan untuk me-menuhi kewajiban Negara dalam memenuhi aksesibilitas dasar masyarakat terlebih dahulu. Bentuk operasional yang dapat ditempuh dalam melibatkan swasta antara lain:i. Vertical unbundling asset infrastruktur dan layanan transpor-

tasi.ii. Geographical/Horizontal unbundling dari monopoli;iii. Kontrak /jual unbundling service.iv. Wara laba (franchising)v. Menghilangkan hambatan masuk (barriers to entry) pada

sebagian subsektor transportasi;vi. Membolehkan sindikasi antara swasta untuk menyelengga-

rakan pendanaan proyek infrastruktur dan layanan transpor-tasi darat.

vii. Land grant;viii.Privatisasi;ix. IPO (Initial Public Offering)

Dari pengalaman internasional tentang beberapa bentuk keterlibatan swasta yang telah dipraktekkan di beberapa negara, berikut ringkasan pengalaman internasional dalam praktek ben-tuk keterlibatan swasta:

Jenis Bandara Total

Udara Pelabuhan Kereta Api Jalan

Divestasi 20 18 10 18 66

Greenfield 31 107 19 175 332

P r o y e k O&M

14 23 7 12 56

Konsesi 53 151 62 271 537

Jumlah 118 299 98 476 991

Kotak.1. Lembaga Keuangan Infrastruktur

• Lembaga yang dapat mengungkit ketersedi-aan dana pemerintah dengan memobilisasi sumber dana jangka panjang dari sektor swasta yang dapat dimanfaatkan bagi pem-biayaan infrastruktur

• Menciptakan sumber dana pinjaman jangka panjang dengan mata uang rupiah kepada in-vestor lokal maupun asing untuk pembiayaan infrastruktur domestik, sehingga sesuai de-ngan arus penerimaan serta profil resiko dari proyek tersebut

• Menciptakan mekanisme penggalangan dana yang sesuai bagi pembiayaan proyek infra-struktur dengan apatite batasan portofolio aset yang dimiliki oleh lembaga keuangan (asuransi dan dana pensiun) melalui pener-bitan instrumen pembiayaan pinjaman jang-ka panjang bermata uang rupiah.;

• Menyediaakan alternatif investasi dengan pengembalian yang menarik bagi investasi lembaga keuangan;

• Membangun lembaga yang legitimate bagi pengelolaan dana pembiayaan infrastruktur dan sesuai dengan azas good governance, profesional, by professional, transparan, akuntabel dan memiliki kapasitas yang me-madai dalam investasi proyek-proyek infra-struktur.

Tabel 4. Tipe Keterlibatan Sektor Swasta Antar Negara Dalam Pembangunan dan Transisi Ekonomi (Jumlah Jenis Kontrak Proyek antara 1990 - 1997)

Sumber: World Bank PPI database.

Page 38: Edisi 1 November 2007

38 Departemen Komunikasi dan Informatika

Jurnal “Dialog” Kebijakan Publik

C. Reformasi Kerangka Peng-aturan dan KelembagaanUntuk mengantisipasi pe-

rubahan lingkungan ekster-nal terutama globalisasi dan perkembangan ilmu pengeta-huan dan teknologi, yang men-untut efisiensi, daya saing, dan standar pelayanan yang tinggi, maka perlu dilakukan langkah-langkah reformasi dalam penye-diaan jasa transportasi. refor-masi menyeluruh yang meliputi seluruh aspek penyelenggaraan, baik pada tatanan kebijakan dan regulasi, tatanan industri, maupun tatanan iklim berusa-ha. Reformasi didalam bidang transportasi akan meliputi be-rapa segi baik dari sisi kerangka pengaturan, kelembagaan, sum-ber daya manusia, teknologi, pendanaan investasi, serta pola operasi dan pemeliharaan.

Dalam segi regulasi, adanya pelaksanaan otonomi daerah (UU 32/2004 mengenai Pemer-intahan Daerah, serta Peratu-ran-Peraturan turunannya) telah memberikan dampak terhadap pola dan tatanan dari penyedi-aan infrastruktur transportasi. Imbas otonomi ini mendorong adanya revisi terhadap beberapa undang-undang di sektor trans-portasi yang meliputi perkere-taapiaan, angkutan jalan, pela-yaran dan penerbangan.

Dalam segi kelembagaan, masih banyak terjadi keti-dakefisienan pengelolaan dan pembinaan infrastruktur yang diakibatkan oleh kurang efektif-nya koordinasi dan pembagian peran dan fungsi antarlembaga, terutama dalam hal ketidakjela-san hubungan antara regulator, owner, dan operator. Reposisi peran pemerintah sebagai regu-lator sangat diperlukan. Semen-tara BUMN, BUMD, maupun swasta dapat menjadi operator yang akan mengutamakan efek-tivitas kelembagaan dan efisien-

si pelayanan. Pemerintah juga perlu menegaskan

kebijakan atas pola penyediaan infra-struktur transportasi. Dalam hal ini, peran Pemerintah perlu lebih jelas teru-tama dalam pembangunan infrastruk-tur dasar (basic infrastructure) yang menjadi kewajiban pemerintah untuk menyediakan, seperti pola pembangu-nan prasarana transportasi di pulau-pu-lau terpencil dan daerah-daerah terluar.

Pembangunan prasarana transpor-tasi di daerah-daerah ini perlu diubah pendekatannya, yang semula menjadi “daerah belakang” Indonesia, menjadi “daerah terdepan”. Karenanya sistem jaringan jalan nasional di pulau-pulau terpencil dan daerah-daerah terluar se-bagai bagian dari sistem jaringan jalan nasional. Kegiatan ini tidak akan mem-berikan dampak anggaran yang besar namun memiliki arti politis sangat kuat bagi kesatuan dan persatuan Indonesia.

Beberapa pulau terluar di NTT / Maluku Tenggara misalnya, akan sangat strategis bila dapat dicanangkan jarin-gan jalannya sebagai bagian dari jarin-gan jalan nasional. Hal ini akan dapat memberikan sentimen positif bagi rasa nasionalisme rakyat di daerah tersebut.

Bagi infrastruktur transportasi yang memiliki baik kelayakan ekonomi mau-pun kelayakan finansial yang tinggi, maka pola penyediaannya dapat dilaku-

kan melalui kerjasama dengan pihak swasta. Namun bila infrastruktur terse-but memiliki kelayakan ekonomi yang tinggi dan merupakan prioritas namun kelayakan finansialnya rendah, maka pemerintah perlu memberikan duku-ngan baik secara fiskal maupun non fiskal untuk mewujudkan infrastruktur tersebut, seperti kewajiban pelayanan umum (KPU) bagi pelayanan dasar KA ekonomi, angkutan laut perintis, angku-tan udara perintis bagi pulau-pulau dan daerah terpencil yang telah dijalankan. Namun demikian konsistensi dan trans-paransi dalam pelaksanaan dan pen-ganggarannya masih belum terlihat.

Sejalan dengan agenda pemerintah untuk melakukan reformasi kebijakan dan pengaturan dalam bidang infras-truktur, di dalam pelaksanaan Infra-structure Summit I – Tahun 2005 telah dicanangkan proses reformasi kerangka peraturan/perundangan sektor-sek-tor infrastruktur, termasuk transpor-tasi dan kerangka lintas sektor seperti : pengadaan lahan, kelembagaan, dan prosedur kerjasama antara Pemerintah dan Swasta. Khusus, untuk peraturan di sektor transportasi akan mencakup revisi pengaturan seperti : kewenangan, pemisahan fungsi operator – regulator, keikutsertaan badan usaha, penetapan tarif dan sebagainya. Hal ini dilakukan dengan melakukan revisi atas peraturan

High Economic Returns

Low Economic Returns

HighFinancial Returns

LowFinancial Returns

Daya tarik terbatas, namun sangat diperlukan. Perlu dukungan pemerintah.

Contoh: infrastruktur dasar (jalan desa), MRT, KA ekonomi, dsb,

Daya tarik tinggi. Pola penyediaan dapat di-lakukan melalui kerjasama dengan pihak swasta.

Contoh: jalan tol (dalam kota)

Daya taik rendah, dan bukan merupakan prioritas.

Non-Prioritas

Daya tarik tinggi, namun tidak menjadi prioritas pemerintah. Pola penyediaan dilakukan melalui kerjasama dengan pihak swasta.

Contoh: sarana & prasarana kawasan wisata

Gambar 3. Pola Penyediaan Infrastruktur

Page 39: Edisi 1 November 2007

Departemen Komunikasi dan Informatika 39

Jurnal “Dialog” Kebijakan Publik

perundang-undangan di sektor tersebut. Adapun Undang-Un-dang yang kini tengah direvisi meliputi :1. Penyempurnaan Undang-Undang No. 21 Tahun 1992 tentang

Pelayaran2. Penyempurnaan Undang-Undang No. 15 Tahun 1992 tentang

Penerbangan3. Penyempurnaan Undang-Undang No.14 Tahun 92 tentang

Lalu Lintas dan Angkutan JalanSedangkan Undang-Undang No. 13 Tahun 1980 tentang

Jalan telah disempurnakan menjadi UU No. 38 Tahun 2004 tentang Jalan, dan Undang-Undang No. 13 Tahun 1992 tentang Perkeretaapian telah menjadi Undang-Undang N0. 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian.

Reformasi pada segi kelembagaan mencakup redefinisi kelembagaan penyedia jasa dan perbaikan manajerial penyedia jasa sehingga dapat beroperasi secara profesional, efisien, dan bertanggunggugat (accountable). Dalam langkah ini penyedia jasa pelayanan infrastruktur berupa BUMN yang ada saat ini, perlu direposisi, direstrukturisasi ataupun di korporatisasi men-uju ke arah entitas yang dapat menjalankan visi dan misi yang dimiliki, serta mampu bersaing dalam era perdagangan global. Disamping itu, instansi pemerintah yang akan menjadi dapur pembuat kebijakan juga akan ditingkatkan profesionalismenya melalui serangkaian program peningkatan kapasitas (capacity building).

Proses reformasi kebijakan di bidang penyediaan infrastruk-tur masih berjalan dan banyak tantangan yang masih harus diha-dapi, termasuk menyelaraskan sektor publik dan swasta dalam setiap proses penyediaan infrastruktur sehingga dapat berkesin-ambungan dan saling mengisi. Disisi lain masih perlu penegasan kebijakan atas tarif, penyempurnaan proses implementasi dalam pembebasan lahan, penyusunan kerangka manajemen resiko, dan upaya-upaya memobilisasi dana-dana jangka panjang yang sesuai dengan karakteristik infrastruktur transportasi.

Kotak 2. Reformasi Kerangka Pengaturan Bidang Transportasi

Pokok-pokok reformasi kerangka pengaturan dalam bidang infrastruktur memuat penegasan atas pokok-pokok antara lain :1. Penegasan atas komitmen pemerintah untuk

melakukan penyediaan infrastruktur yang commercially viable melalui kerjasama de-ngan pihak swasta, sekaligus menegaskan komitmen pemerintah untuk lebih berkon-sentrasi pada penyediaan infrastruktur dasar serta infrastruktur yang non-commercially viable tetapi economically feasible.

2. Memberikan peran lebih besar kepada da-erah dalam hal penyediaan prasaran trans-portasi

3. Membuka pintu bagi semua pihak seperti : BUMN/BUMD, Badan Usaha Swasta, Masyarakat, Koperasi, dan lembaga ber-badan hukum untuk berperan serta dalam penyediaan infrastruktur

4. Melakukan pemisahan secara tegas atas fungsi operasi dan regulasi

5. Penetapan atas tarif pelayanan ditentukan berdasarkan azas pemulihan biaya, dimana kemudian komponen tarif tersebut ditetap-kan dalam kontrak guna memberi kepastian atas arus penerimaan dan mengurangi resiko atas proyek

6. Memperkenankan prinsip pemisahan pela-yanan (unbundling) dalam penyediaan in-frastruktur

Penyediaan transportasi yang handal serta berkelanjutan merupakan salah satu faktor penentu bagi kemajuan ekonomi dan sosial masyarakat suatu daerah. Oleh karenanya para pengam-bil keputusan yang memiliki orientasi tercapainya kemakmuran, pemerataan, serta kemajuan ekonomi, seyogyanya menjadikan pengembangan transportasi sebagai agenda utama dalam keputu-sannya.

Agenda pokok yang harus dilaku-kan adalah membenahi fondasi dari penyediaan maupun pengelolaan sarana dan prasarana transportasi sehingga se-luruh lapisan masyarakat dapat memi-liki akses terhadap sarana dan prasarana

Kesimpulan transportasi yang layak dan handal secara adil. Penetapan suatu rencana strategis yang efektif, efisien dan tepat sasaran hanya dapat dilakukan apabila kita mampu mengidentifikaskan secara akurat mengenai kondisi dan permasa-lahan transportasi saat ini dan di masa mendatang, serta solusi yang tepat mengingat kendala-kendala yang ada.

Kebutuhan akan sarana dan pras-arana transportasi merupakan kebutu-han turunan (derived demand) sebagai akibat dari aktivitas dalam kegiatan ekonomi, sosial, politik dan berbagai aspek kehidupan. Dengan kata lain, transportasi berperan sebagai tulang punggung perekonomian nasional, re-

Page 40: Edisi 1 November 2007

40 Departemen Komunikasi dan Informatika

Jurnal “Dialog” Kebijakan Publik

gional dan lokal, baik di perkotaan maupun di perdesaan. Di sisi lain trans-portasi juga berperan sebagai perekat kesatuan bagi bangsa dan Negara. Dengan demikian layanan transportasi harus ditata ulang sehingga saling terintegrasi dan pada akhirnya mendukung pengembangan ekonomi baik di tingkat lokal, regional, maupun nasional.

Keberhasilan pembangunan di suatu negara sangat dipengaruhi kondisi transportasi di negara tersebut. Transportasi yang maju akan memberikan efisiensi pembangunan dan efektifitas dalam meratakan hasil pembangu-nan. Transportasi merupakan sistem yang menerus dan tidak terbatasi oleh batasan administrasi. Sistem transportasi merupakan jaringan yang saling menghubungkan berbagai titik pertumbuhan ekonomi, dan oleh karenanya efisiensi dari sistem jaringan sangat menentukan pertumbuhan ekonomi wilayah tersebut. Guna mencapai efisiensi maka suatu sistem jaringan trans-portasi perlu mempertimbangkan aspek tata ruang dan skala maupun ling-kup ekonomi pelayanannya yang bersandarkan pada 4 (empat) pilar misi, yaitu:1. Menciptakan sistem pelayanan transportasi yang aman, selamat, dan

mampu menjangkau masyarakat dan wilayah Indonesia.2. Menciptakan dan mengorganisasi transportasi jalan, laut, udara, kereta

api, sungai, danau dan penyeberangan serta perkotaan yang berkualitas, berdaya saing dan berkelanjutan

3. Mendorong berkembangnya tata niaga dan industri transportasi yang transparan dan akuntabel.

4. Membangun prasarana dan sarana transportasi yang terintegrasi

Mengingat keterbataan kemampuan pendanaan bagi pengembangan sistem transportasi, maka perlu dilakukan upaya-upaya terobosan mencari alternatif sumber pendanaan bagi pembangunan infrastruktur transportasi. Berbagai ide dan inistiatif perlu digali untuk kemudian dikaji dan diadaptasi dengan iklim/lingkungan sekitar agar sesuai. Potensi pendanaan domestik perlu dimanfaatkan melalui berbagai ragam instrumen keuangan dan me-kanisme pembiayaan (termasuk pembentukkan lembaga keuangan infras-truktur) agar investor domestik tertarik membiayai pembangunan infras-truktur transportasi.

Untuk mencapai hal tersebut juga perlu dilakukan reformasi secara menyeluruh di berbagai tatanan, termasuk kerangka pengaturan, kelem-bagaan, kebijakan pola penyediaan, operasi dan pemeliharaannya. Dalam hal ini upaya pemerintah untuk melakukan reformasi dengan menyusun langkah-langkah yang strategis perlu didukung dalam merealisasikannya.

Page 41: Edisi 1 November 2007

Departemen Komunikasi dan Informatika 41

Jurnal “Dialog” Kebijakan Publik

Awal tahun 2007, moda kereta api tidak mau ketinggalan dengan moda lainnya yang turut mengalami kece-lakaan. Gerbong KA Bengawan yang jatuh di Kali Jager (lintas Purwokerto-Banyumas) hari Selasa (16 Januari 2007) pukul 00.06 mengingatkan kem-bali beberapa peristiwa kecelakaan KA yang sebelumnya juga memakan kor-ban jiwa manusia. Kemudian tanggal 24 Januari 2007 ada dua KA anjlok, yaitu empat gerbong KA Penataran anjlok saat melintas di emplasemen Stasiun Kesamben, Blitar dan KRD rute Stasiun Kota-Rangkasbitung anjlok di kilom-eter 10,8 Jalan Palmerah, Jakarta Pusat, tetapi tidak ada korban jiwa.

Pada prinsipnya jenis kecelakaan di perkeretapian terbagi atas lima kategori, yaitu tabrakan KA dengan KA, tabrakan KA dengan kendaraan di jalan raya, anjlok atau terguling, banjir atau long-

Upaya Meningkatkan Keselamatan PerkeretaapianOleh: Djoko Setijowarno

sor, dan kejadian lain peristiwa, seperti orang bunuh diri, menabrak hewan. Penyebab terjadinya kecelakaan KA itu, antara lain diakibatkan kelala-ian petugas penjaga pintu perlintasan, kehandalan prasarana dan sarana KA yang semakin menua, kekuranghatian penyeberang perlintasan KA.

Data menunjukkan, selama 10 ta-hun terakhir yang mendapat porsi ter-banyak adalah kategori tabrakan KA dengan kendaraan di jalan raya dan KA anjlok atau terguling. Secara total dalam 10 tahun terakhir, yang terba-nyak adalah KA anjlok atau terguling (lihat Tabel 1). Minimnya dana yang disediakan untuk memperbaiki sarana dan prasarana KA nampak dari sering-nya kecelakaan KA (penumpang mau-pun barang) anjlok setiap tahun. Secara keseluruhan, total kecelakaan yang ter-jadi cenderung menurun.

Jenis Kecelakaan 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006

Tabrakan KA den-gan KA

3 7 6 7 6 12 8 6 1 6 10 5

Tabrakan KA dengan kendaraan di jalan raya

115 88 74 33 53 26 26 55 57 28 15 22

Anjlok/Terguling 72 65 57 51 90 64 53 64 81 69 99 52Banjir/Longsor 17 15 11 11 9 9 6 10 10 4 7Lain-lain per-sitiwa

24 21 8 7 38 15 39 81 68 35

Total 231 196 156 109 196 126 132 216 217 142 166 117

Sumber: PT. Kereta Api dan Direktorat Jenderal Perkeretapian Departemen Perhubungan

Tabel 1. Data kecelakaan KA Peristiwa Luar biasa Hebat (PLH)

Page 42: Edisi 1 November 2007

42 Departemen Komunikasi dan Informatika

Jurnal “Dialog” Kebijakan Publik

Dominasi kejadian KA penumpang atau KA barang anjlok/ terguling men-dominasi setiap kecelakaan kereta api dalam 10 tahun terakhir. Kondisi pras-arana, sarana dan kehandalan masinis turut memperngaruhi terjadinya KA anjlok

Kualitas prasarana yang berupa ja-lan rel sangat memprihatinkan, hampir separuh rel sudah uzur, di atas 50 tahun. Sekitar 2.270 kilometer (49 persen)

KA Anjlok atau Terguling

perlu segera dilakukan perbaikan de-ngan kondisi sepanjang 791 kilometer masih dengan bantalan kayu. Bantalan kayu yang masih digunakan itu usianya sudah di atas 15 tahun. Kalau menggu-nakan kayu bangkirai, hanya memiliki umur ekonomis maksimum 8 tahun dan masih diijinkan toleransi 1-2 tahun. Setelah itu akan sangat mempengaruhi kecepatan perjalanaan KA.

Panjang rel operasi di Pulau Jawa 3.053,279 kilometer, masih ada rel tipe R.25 (berat 25 kilogram setiap me-ter) sepanjang 20,210 kilometer yang usianya 70-130 tahun (0,66 persen). Tipe R.33/34 sepanjang 445,006 kilom-eter yang usianya juga 70-130 tahun (14,57 persen). Tipe rel R. 41/42 sepan-jang 1.638,531 kilometer yang berumur 10-70 tahun (53,66 persen), kemudian R.50 sepanjang 204,803 kilometer yang usianya 5-10 tahun (6,70 persen) dan tipe R.54 sepanjang 744,729 kilom-eter yang usianya 5-10 tahun (24,39 persen).

Di Pulau Sumatera terdapat 1.284,420 kilometer operasi yang tersebar di Sumatera Utara, Sumatera Barat dan Sumatera Selatan, hampir sama juga kondisinya. Di Sumatera Utara, tipe R.25 sepanjang 166,105 kilometer yang berusia 70-130 tahun (36,09 persen). Tipe R.33/34 sepan-jang 125,563 kilometer yang usianya 70-130 tahun (27,28 persen). Dan tipe R.41/42 sepanjang168,516 kilometer berusia 10-70 tahun (36,62 persen). Di Sumatera Barat hanya ada tipe R.33/34 dan R.41/42. tipe R.33/34 sepanjang 134,248 kilometer yang usianya 70-130 tahun (79,79 persen) dan tipe R.41/42 sepanjang 33,995 kilometer yang beru-sia 10-70 tahun (20,20 persen). Sedang-kan di Sumatera Selatan yang andalan-nya angkutan batubara, masih memiliki type R. 25 sepanjang 70,682 kilomter yang berusia 70-130 tahun (10,77 persen). Type R.33/34 sepanjang 1,050 kilometer berusia sekitar 70-130 tahun. Kemudian tipe R.41 sepanjang 152,937 kilometer yang usianya 10-70 tahun (23,31 persen) dan tipe R.54 sepanjang 431,324 kilometer yang usianya 5-10 tahun (65,75 persen).

Kondisi bantalan kayu yang berasal dari jenis bangkirai di lintas Karangjati-Bojonegoro (bagian lintas utama KA Semarang-Surabaya)Sumber: Laboratorium Transportasi Unika Soegijapranata (2007)

Page 43: Edisi 1 November 2007

Departemen Komunikasi dan Informatika 43

Jurnal “Dialog” Kebijakan Publik

Secara keseluruhan (5824,699 kilometer), kondisi rel operasi untuk tipe R. 25 sepanjang 256,997 kilometer (5,92 persen), tipe R.33/34 sepanjang 705,867 kilometer (16,27 persen), type R.41/42 sepanjang 1.959,984 kilo-meter (45,19 persen), tipe R.50 sepanjang 204,803 kilometer (4,72 persen) dan tipe R.54 sepanjang 1.176,053 kilometer (27,11 persen).

Usia rel bisa mencapai usia 25 tahun pada lintas lurus dan lengkung dengan jari-jari 300 meter. Sedangkan pada lengkung dengan jari-jari kurang 300 meter, bisa kurang dari 8 tahun. Bahkan, di Sumatera Selatan (angkutan batubara) usia rel kurang dari lima tahun sudah dalam kondisi aus dan harus segera diganti, dikarenakan beban angkut yang dibawa cukup besar. Beberapa faktor yang mempengaruhi kondisi rel adalah frekuensi perjalanan, beban angkut, geometrik jalan rel, konstruksi (termasuk jenis,

penambat, bantalann dan balas). Tipe rel yang lebih tinggi yang tidak diser-tai dengan bantalan yang handal akan mempengaruhi keamanan dan kecepa-tan perjalanan. Beberapa lintas jalan rel masih menggunakan bantalan kayu, bahkan masih ada yang menggunakan bantalan baja peninggalan Pemerintah Hindia Belanda yang usianya lebih dari 100 tahun. Misalnya, di Sumatera utara terdapat

Di Wilayah Daerah Operasi 9

Tahun PSO IMO TAC Net = PSO+IMO-TAC

2000 Usulan 434.497 399.245 592.147 241.595

Penetapan 239.169 316.216 496.201 59.184

Perhitungan BPK (Audit) - - - 403.212

Kekurangan Pembiayaan - - - 344.028

2001 Usulan 342.281 489.137 684.369 147.049

Penetapan 256.711 410.878 607.588 60.000

Perhitungan BPK (Audit) - - - 343.509

Kekurangan Pembiayaan - - - 283.509

2002 Usulan 326.870 528.407 693.365 161.912

Penetapan 224.958 528.407 693.365 60.000

Perhitungan BPK (Audit) - - - 257.797

Kekurangan Pembiayaan - - - 197.797

2003 Usulan 217.307 590.729 558.677 250.194

Penetapan 148.203 566.683 608.686 106.200

Perhitungan BPK (Audit) - - - 354.595

Kekurangan Pembiayaan - - - 248.395

2004 Usulan 189.935 755.111 656.191 285.855

Penetapan 93.068 569.551 522.619 140.000

Perhitungan BPK (Audit) - - - 403.717

Kekurangan Pembiayaan - - - 263.717

2005 Usulan 294.889 807.299 568.625 533.564

Penetapan 200.000 624.091 624.091 270.000

Perhitungan BPK (Audit) - - - 0.000

Kekurangan Pembiayaan - - - 270.000

2006 Usulan 372.000

Penetapan 450.000

Perhitungan BPK (Audit) - - -

Kekurangan Pembiayaan - - -

Sumber: Badan Perencananaan Pembangunan Nasional (2006)

Tabel 2. Besaran usulan dan penetapan PSO, IMO dan TAC dari tahun 2000-2005

Page 44: Edisi 1 November 2007

44 Departemen Komunikasi dan Informatika

Jurnal “Dialog” Kebijakan Publik

Jember, terdapat bantalan kayu sepanjang 137,253 kilometer, lintas Leces-Rambipuji (yang disela-selanya disisipkan ban-talan beton), dan lintas Jember-Temuguruh. Di wilayah Daerah Operasi 4 Semarang masih ter-dapat bantalan kayu dan baja. Bantalan kayu berasal dari jenis bangkirai di lintas Karangjati-Bojonegoro (80,6 kilometer) yang usianya di atas 15 tahun. Juga ada di lintas Brumbung-Karangjati-Gundih selang- seling antara bantalan baja dan kayu sepanjang 67 kilometer. Di wilayah Daerah Operasi 8 Sura-baya, terdapat bantalan kayu di lintas Bojonegoro-Surabaya sepanjang 56,250 kilometer dan lintas Bangil-Blitar sepanjang 89,029 kilometer. Selanjutnya, bantalan kayu dengan penam-bat tirepon juga masih terdapat di Sumatera Utara pada lintas Medan-Belawan (21 kilometer) yang sudah diganti 10 kilometer dan tahun ini selesai seluruh-nya diganti. Bantalan kayu itu ada juga di lintas Tebingtinggi-Pematangsiantar (32,5 kilom-eter) dan lintas Kisaran-Tan-jungbalai (21,5 kilometer). Sedangkan di Daerah Operasi 2 Bandung, bantalan kayu masih terdapat di lintas Banjar-Kroya sepanjang 91 kilometer.

Kesalahan mendasar dalam pengelolaan perkeretapian di Indonesia adalah mekanisme Public Service Obligation (PSO), Infrastructure Mainte-nance Operation (IMO) dan Track Acces Charge (TAC). Selama ini mekanisme itu san-gat tidak menguntungkan bagi PT Kereta Api selaku opera-tor KA yang mendapat tugas mengangkut penumpang KA Ekonomi. Mekanisme itu mela-lui Surat Keputusan Bersama Menteri Perhubungan, Menteri Keuangan dan Menteri Negara Perencanaan Pembangunan

Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional No. KM. 19 tahun 1999, No. 83/KMK.03/1999 dan No. KEP.024/k/03/1999, tentang Pem-biayaan atas Pelayanan Umum Ang-kutan Kereta Api Penumpang Kelas Ekonomi, Pembiayaan atas Perawatan dan Pengoperasian Prasarana Kereta Api, serta Biaya atas Penggunaan Pras-arana Kereta Api. Dan kemudian ditin-daklanjuti dengan Surat Keputusan Ber-sama Direktur Jenderal Perhubungan Darat, Direktur Jenderal Anggaran dan Deputi Bappenas Bidang Prasarana No. SK.95/HK.101/DRJD/1999, No. KEP-37/A/1999, No. 3998/D.VI/06/1999, tentang Kriteria, Tolak Ukur, Prosedur dan Mekanisme Pembiayaan atas Pelay-anan Umum Kereta Api Kelas Ekono-mi, Biaya Perawatan dan Pengopera-

sian serta Biaya Penggunaan Prasarana Kereta Api.

Data Tabel 2 menunjukkan, ber-dasarkan hasil audit dari Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP) memperlihatkan pemerintah be-lum membayar sebanyak 1.607, 35 mil-iar kepada PT Kereta Api selama kurun waktu tahun 2000-2005. Di satu sisi PT Kereta Api sebagai BUMN dituntut laba, akan tetapi di sisi lain dibebankan untuk memberi subsidi kepada penumpang KA kelas ekonomi yang pembayaran-

nya tidak maksimum. Besaran dana yang diberikan jelas akan berpengaruh terhadap anggaran tahunan PT. Kereta Api, yakni untuk pemeliharaan sarana dan prasarana, sistem penggajian kar-yawan dan belanja rutin (belanja barang dan jasa). Artinya, keterbatasan angga-ran dapat mempengaruhi perawatan ru-tin sarana dan prasarana KA.

Mekanisme pembayaran PSO harus dilakukan di awal tahun anggaran dan tentunya sudah dapat diprediksi jumlah penumpang akan diangkut pada setiap lintas yang direncanakan mengangkut KA kelas ekonomi. Selain itu kondisi stasiun KA yang terbuka harus secara bertahap dilakukan dengan sistem ter-tutup, sehingga dapat mengetahui be-rapa jumlah penumpang secara pasti. Pelayanan terhadap KA kelas ekonomi

dapat dilihat pada Tabel 3 berikut.Moda KA di tahun 2006 mampu

mengangkut 154 juta penumpang, tetapi dana PSO dari pemerintah kepada PT. Kereta Api hanya Rp 2.600 per pe-numpang, PT Pelni mendapat dana PSO hingga Rp 400.000 per penumpang. Sedangkan PT Merpati Nusantara Air-line mendapatkan Rp 240.000 per pe-numpang.

No. Jenis KA 2000 2001 2002 2003 2004 20051. KA Ekonomi

Jarak Jauh26 28 23 11 11 11

2. KA Ekonomi Jarak Sedang

- - - 9 9 9

3. KA Ekonomi Lokal

19 18 20 22 22 19

4. KA Ekonomi KRL Jabota-bek

- 9 20 20 20 18

5. KA Ekonomi KRD

3 15 22 21 21 17

Jumlah 48 70 85 83 83 74Sumber: Direktorat Jenderal Perkeretaapian, Departemen Perhubungan, diolah kembali (2006)

Tabel 3. Jenis kereta api yang mendapat PSO

Page 45: Edisi 1 November 2007

Departemen Komunikasi dan Informatika 45

Jurnal “Dialog” Kebijakan Publik

Kecelakaan jalan raya di pintu perlintasan kereta api tergolong cukup tinggi. Perilaku masyarakat yang kurang disiplin kerap mengabaikan rambu atau marka menyebabkan ter-jadinya kecelakaan itu. Walaupun di pintu perlintasan itu sudah diberi pen-jaga, namun pelanggaran terhadap batas masih dilakukan juga. Bahkan, penjaga perlintasan KA yang tugasnya meng-amankan perjalanan kereta api, turut pula menyelamatkan pengguna jalan raya yang tidak sabar menunggu KA lewat agar tidak tertabrak.

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian menying-gung perihal perpotongan dan persing-gungan jalur kereta api dengan bangu-nan lain. Pasal 91 menyatakan, bahwa perpotongan antara jalur kereta api dan jalan dibuat tidak sebidang (ayat 1) dan pengecualian hanya dapat dilakukan dengan tetap menjamin keselamatan dan kelancaran perjalanan kereta api dan lalu lintas jalan (ayat 2). Selanjutnya untuk keselamatan perjalanan kereta api dan pemakai jalan, perlintasan sebidang yang tidak mempunyai izin harus ditu-tup (Pasal 94 ayat 1). Untuk penutupan perlintasan sebidang dilakukan oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah.

Menurut pasal 10 Peraturan Peme-rintah Nomor 69 Tahun 1998 tentang Prasarana dan Sarana Kereta Api, menyatakan perlintasan antara jalur kereta api dengan jalan dibuat dengan prinsip tidak sebidang. Pengecualian terhadap prinsip tidak sebidang apabila letak geografis tidak memungkinkan, tidak membahayakan, tidak membe-bani dan tidak mengganggu kelancaran operasi kereta api dan lalu lintas jalan, serta untuk jalur KA tunggal. Perlin-tasan sebidang diselenggarakan sesuai dengan ketentuan teknis dan tata cara berlalu lintas kereta api dan lalu lintas jalan. Persambungan, pemotongan atau pen-yinggungan dengan jalur kereta api dapat diberikan izin dengan memper-hatikan, rencana umum jaringan jalur kereta api, konstruksi jalan rel, kesela-matan dan kelancaran operasi kereta api, persyaratan teknis bangunan dan keselamatan serta keamanan di perlin-

Kecelakaan di Pintu Perlintasan

tasan.Hal yang sama juga ada pada Kepu-

tusan Menteri Perhubungan Nomor KM 53 Tahun 2000 tentang Perpoto-ngan dan/atau Persinggungan antara Jalur Kereta Api dengan Bangunan Lain, pasal 2 menyebutkan perpoto-ngan antara jalur kereta api dengan bangunan lain dapat berupa perpotongan sebi-dang atau tidak sebidang. Perpotongan sebidang keberadaannya dapat di atas maupun di bawah jalur KA. Sementara pada pasal 6, untuk melindungi ke-amanan dan kelancaran pengoperasian kereta api pada perlintasan sebidang, kereta api mendapat prioritas berlalu lintas. Untuk keamanan dan kelancara-an operasi kereta api perlintasan wajib dilengkapi rambu peringatan, rambu larangan, marka berupa pita peng-gaduh, pintu perlintasan,dan isyarat suara adanya kereta api melintas.

Menurut Pedoman Teknis Perlin-tasan antara Jalan dengan Jalur Kereta Api (2005), pengecualian terhadap per-lintasan tidak sebidang dapat dibuat pada lokasi dengan ketentuan :1) selang waktu antara kereta api

satu dengan kereta api berikutnya (Head way) yang melintas pada lokasi tersebut rata-rata sekurang-kurangnya 6 (enam) menit pada waktu sibuk (peak)

2) jarak perlintasan yang satu dengan yang lainnya pada satu jalur kereta api tidak kurang dari 800 meter;

3) tidak terletak pada lengkungan ja-lan kereta api atau tikungan jalan;

4) terdapat kondisi lingkungan yang memungkinkan pandangan bagi masinis kereta api dari as perlintas-an dan bagi pengemudi kendaraan bermotor;

5) jalan yang melintas adalah jalan kelas III.

Sementara untuk membangun per-lintasan sebidang harus memenuhi per-syaratan:1) permukaan jalan tidak boleh lebih

tinggi atau lebih rendah dengan kepala rel, dengan toleransi 0,5 cm;

2) terdapat permukaan datar sepan-

Page 46: Edisi 1 November 2007

46 Departemen Komunikasi dan Informatika

Jurnal “Dialog” Kebijakan Publik

jang 60 cm diukur dari sisi terluar jalan rel;

3) maksimum gradien untuk dilewati kendaraan dihitung dari titik ter-tinggi di kepala rel adalah:

a) 2% diukur dari sisi terluar permu-kaan datar sebagaimana dimaksud dalam butir untuk jarak 9,4 meter;

b) 10% untuk 10 meter berikutnya

dihitung dari titik terluar sebagai-mana dimaksud dalam butir 1), se-bagai gradien peralihan.

4) lebar perlintasan untuk satu jalur maksimum 7 meter;

5) sudut perpotongan antara jalan rel dengan jalan sekurang-kurangnya 90 derajat dan panjang jalan yang lurus minimal harus 150 meter dari as jalan rel;

6) harus dilengkapi dengan rel lawan (dwang rel) atau konstruksi lain untuk menjamin tetap adanya alur untuk flens roda;

Selain itu, menurut pasal 64 Per-aturan Pemerintah No. 43 Tahun 1993 tentang Prasarana dan Lalu Lintas Ja-lan, menyebutkan pada persilangan sebidang antara jalur kereta api dengan jalan, pengemudi harus mendahulukan kereta api dan memberikan hak utama kepada kendaraan yang lebih dahulu melintasi rel.

Mengenai kondisi perlintasan di Indonesia, Ramadhan (2006) menjabar-kan beberapa fakta yang menyangkut kejadian tabrakan KA dengan kend-araan di jalan raya. Fakta pertama me-nunjukkan tingkat kecelakaan di pintu perlintasan cukup tinggi. Rata-rata per tahun 40 kali kejadian dengan rincian 86 orang meninggal, 103 luka berat, dan 86 luka ringan. Fakta kedua, total jumlah perlintasan terdapat 8.585 unit (dijaga atau tidak dijaga, resmi mau-pun tidak) dan lebih dari 486 unit yang liar, setiap 430 meter terdapat 1 unit perlintasan (idealnya minimum setiap 800 meter), dijaga hanya 954 unit (12,6 persen) dan kalau dijaga semua, butuh tambahan personil 28.916 orang. Fakta ketiga, bahaya selalu mengintai yang ditandai dengan perilaku pengendara yang sering menyerobot dan disiplin masih rendah. Fakta keempat, banyak jalan setapak yang lambat laun berubah menjadi jalan besar. Fakta kelima, pan-dangan terhalang, karena pandangan bebas tidak memenuhi syarat baik dari arah KA maupun pengguna jalan raya. Fakta keenam, adanya fenomena ‘Pak Ogah’ yang kerap ditemui di wilayah Jakarta dan sekitarnya.

Underpass di Jl. Cempolorejo, Kelurahan Krobokan (Semarang di lintas Semarang-TegalSumber: Laboratorium Transportasi Unika Soegijapranata (2006)

Blockrail di perlintasan dekat Stasiun Brumbung (Kabupaten Demak)Sumber: Laboratorium Transportasi Unika Soegijapranata (2007)

Page 47: Edisi 1 November 2007

Departemen Komunikasi dan Informatika 47

Jurnal “Dialog” Kebijakan Publik

Sebagai pembanding, di India yang memiliki panjang jalan rel 62.495 kilometer terdapat perlintasan sebidang 40.445 unit. Dari sejumlah itu, res-mi dijaga 16.132 perlintasan sebidang dan resmi terbuka (tidak dijaga) adalah 20.528 perlintasan. Kemudian yang berbatasan dengan terusan atau kanal tanpa palang pintu sejumlah 948 perlintasan. Perlintasan terbuka de-ngan peringatan yang lain dan bukan rambu peringatan yang tetap sebanyak

2.837 perlintasan. Rata-rata ada satu perlintasan setiap 1,5 kilometer (United Nations, 2000). Selanjutnya untuk me-lihat hal yang sama di beberapa negara dapat dilhat tabel 4 berikut ini.

Panjang Rute/Tipe perlintasan Bangladesh Philippines ThailandRute kilometer 2.734 484 4.041Resmi dijaga 402 49 467Resmi tidak dijaga 926 161 1.145Liar 821 98 625Total 2.149 308 2.237Kepadatan perlintasan 0,79 0,64 0,55Jarak perlintasan, satu setiap km 1.3 1.6 1.8

Tabel 4. Kondisi perlintasan di beberapa Negara Asia

Sumber: United Nations (2000)

Seringkali masinis atau penjaga pintu perlintasan disalahkan, apabila ada kejadian kecelakaan jalan raya di perlintasan KA. Tetapi hal itu bukan kecelakaan KA, sehingga secara hukum yang menjadi tergugat adalah pe-ngendara, bukan pegawai kereta api. Karena penjaga pintu perlintasan KA bertugas menjaga agar perjalanan KA tidak mengalami gangguan. Bukan persoalan KA arogan, akan tetapi moda KA memiliki karakteristik yang ber-beda dengan moda transportasi lainnya. Moda KA tidak dapat dengan seke-tika dihentikan, perlu jarak tertentu untuk menghentikan kereta api (lihat Tabel 5)

K e c e p a t a n (km/jam)

Jarak berhenti setelah pengereman (meter)

45 13250 15755 19060 22170 33680 37990 480100 505110 750120 860

Tabel 5. Jarak pengereman moda

kereta api

Sumber: Peraturan Dinas No. 10 Perusahaan Ja-watan Kereta Api

Pada dasarnya peran pemerin-tah dalam pembinaan perkeretaapian adalah:a. regulator, yakni menetapkan Grafik

Perjalanan Kereta Api (GAPEKA) dan menetapkan tarif KA Kelas Ekonomi;

b. pemilik prasarana (rel, sinyal, tel-

Pembinaan Pemerintah

kom, pintu perlintasan, stasiun)c. mengoperasikan prasarana; dand. merawat prasarana

Sebagai salah pemilik prasarana, maka pemerintah perlu menerapkan program keselamatan di pintu perlin-tasan sebidang, meliputi penegakan

Page 48: Edisi 1 November 2007

48 Departemen Komunikasi dan Informatika

Jurnal “Dialog” Kebijakan Publik

hukum, penyidikan (Polisi dan PPNS), pemeriksaan teknis perlintasan sebidang, peningkatan perlintasan sebidang menjadi tidak sebidang, pem-bangunan/pengadaan pintu perlintasan, evaluasi perlintasan sebidang dan peningkatan SDM pada perlintasan sebidang.

Dalam perkeretaapian ada sistem yang tidak boleh diabaikan, yakni kelaikan lokomotif, gerbong dan kereta, serta sistem prasarana yang men-dukung beroperasinya kereta, seperti persinyalan, rel kereta, pendukung bantalan rel dan sumber daya manusia (Kompas, 2006). Masih kerap terjad-inya kecelakaan KA, kesemuanya itu bermuara pada ketidakcukupan dana

untuk menjalankan perkeretaapian se-cara normal. Di sisi lain, PT. Kereta Api juga mengalami persoalan internal se-perti halnya BUMN lainnya di Indone-sia, yakni masih adanya KKN dan ke-terbatasan sumber daya manusia yang handal juga menjadi kendala untuk memajukan perkeretapaian. Kemudian, di dalam struktur organisasi pemerintah dalam Departemen Perhubungan, sela-ma ini perkeretaapian hanya sebatas di-rektorat. Baru pada pertengahan tahun 2005 dipisah dari Direktorat Jenderal Perhubungan Darat menjadi Direktorat Jenderal Perkeretaapian. Melalui Ditjen Perkeretaapian, setidaknya pemerin-tah dapat melipatkgandakan anggaran untuk menyamai pembangunan perke-reretapian

Keterlibatan pemerintah daerah un-tuk menuntaskan persoalan kecelakaan jalan raya di pintu perlintasan sangat diperlukan. Oleh sebab itu muncul Su-rat Keputusan Bersama (SKB) antara Menteri Perhubungan dan Menteri Dalam Negeri No. KM 87 tahun 2004/No. 247 tahun 2004 tentang Perenca-naan, Pembangunan, Pengadaan, Pe-ngoperasian, Pemeliharaan dan Peng-hapusan Perlintasan Sebidang antara Jalur Kereta Api dengan Jalan. Tindak lanjut SKB itu berupa SE Mendagri No. 620/1561/III/Bangda tentang Petunjuk umum perencanaan, pembangunan, pengadaan, pengoperasian, pemeli-haraan dan penghapusan perlintasan sebidang antara jalur kereta api dengan jalan.

Di daerah, untuk menindaklanjuti SKB itu, sejak tahun 2005 Pemerintah Provinsi Jawa Tengah telah ikut serta dengan pengadaan warning system dan blockrail yang hasilnya dapat dilihat pada Tabel 6. Belum lagi beberapa ka-bupaten dan kota di Jawa Tengah juga telah melakukan upaya yang sama ter-hadap keberadaan pintu perlintasan di daerahnya. Sebelumnya di tahun 2003, Pemprov. Jawa Tengah juga turut serta memperbaiki prasarana KA lintas Am-barawa-Tuntang (6 kilometer) dengan dana Rp 600 juta. Dan tahun 2006 memperbaki Stasiun Tuntang dengan dana Rp 200 juta.

Tahun Blockrail (unit) Warning system (unit) Dana (Rp)2005 15 15 1,8 miliar2006 8 3 1,4 miliar2007 5 - 760 jutaTotal 28 18 3,96 miliar

Tabel 6. Alokasi dana untuk perkeretaapian di Jawa Tengah

Sumber: Dinas Perhubungan dan Telekomunikasi Provinsi Jawa Tengah

Lintas KA Ambarawa-Tuntang sebelum direnovasi. Sumber: Humas Daop 4 Semarang (2003)

Lintas KA Ambarawa-Tuntang setelah direnovasi. Sumber: Lab. Transportasi Unika Soegijapra-nata (2006)

Page 49: Edisi 1 November 2007

Departemen Komunikasi dan Informatika 49

Jurnal “Dialog” Kebijakan Publik

Mengggugah Kepedulian Keselamatan belum menjadi per-soalan serius bagi pemerintah dan masyarakat Indonesia. Dengan kerap-nya terjadi kecelakaan di sektor trans-portasi, semestinya perhatian pemerin-tah sebagai penyelenggara negara lebih serius lagi dan dapat berpikir cerdas dalam upaya menurunkan angka kece-lakaan transportasi. Kesadaran masya-rakat untuk tidak melakukan

Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) harus menjabar-kan dan menjelaskan pada publik setiap penyebab kecelakaan transportasi yang terjadi di negeri ini. Persoalan siapa yang bersalah adalah persoalan hukum yang wajib ditindaklanjuti setelah dike-tahui penyebabnya. Pemerintah wajib menindaklanjuti agar di masa menda-tang tidak terulang lagi hal yang sama. Selama ini, masyarakat tidak pernah tahu apa penyebab terjadi suatu kece-lakaan transportasi. Dapat diketahui, apabila KNKT diundang seminar dan baru diungkapkan beberapa penyebab kecelakaan transportasi. Sayangnya berita sudah berlalu, sehingga masyar-akat sudah enggan atau sudah sulit menindaklanjutinya. Ada kesan ditutupi oleh pemerintah. Oleh sebab itu perlu ada format ulang sistem pelaporan oleh KNKT pada publik, bila perlu dapat dibentuk KNKT berdiri sendiri sebagai institusi independen. Dapat langsung di bawah presiden, tetapi tidak di bawah Departemen Perhubungan seperti se-lama ini terjadi.

Pendidikan usia dini di sekolah un-tuk mempercepat mengenalkan trans-portasi atau berlalu lintas yang berkual-itas dapat diterapkan. Pembuatan taman lalu lintas yang dulu pernah ada di be-berapa kota dapat dihidupkan kembali. Kerja sama dengan pihak swasta dalam hal pengadaannya dapat dilakukan oleh pemerintah daerah masing-masing. Taman lalu lintas dapat pula memberi-kan pendapatan bagi daerah itu.

KA Matarmaja anjlok (November 2006) dekat Stasiun Padas (Kab. Grobogan) di lintas Sema-rang-Solo. Sumber: Humas Daop 4 Semarang PT. Kereta Api

KA Parahyangan anjlok (30 September 2006) dekat Stasiun Karawang (Kab. Karawang) di lintas Cikampek-Jakarta. Sumber: Lab. Transportasi Unika Soegijapranata

Kecelakaan tabrakan antar KA Jabotabek di Ja-karta tahun 2005Sumber: Divisi Jabotabek PT. Kereta Api

Page 50: Edisi 1 November 2007

50 Departemen Komunikasi dan Informatika

Jurnal “Dialog” Kebijakan Publik

Dari serangkaian tulisan di atas, maka bisa disimpulkan beberapa hal berikut ini.

a. Pemerintah melalui Direktorat Jenderal Perkeretapian (Departemen Perhubungan) tidak hanya mengejar pembangunan prasarana kereta api baik membangun rel ganda (double track) maupun menghidupkan lintas non op-erasional. Akan tetapi juga memikirkan untuk pengadaan sarana KA (lokomotif, kereta dan gerbong) yang usianya sudah

Penutup tua dalam rangka menmingkatkan kes-elamatan penumpang KA.

b. Mekanisme PSO, IMO dan TAC perlu dilakukan perubahan tran-saksi pembayaran yang selama ini diba-yarkan setelah operator mengangkut penumpang kelas ekonomi. Cara ini sangat mengganggu sistem keuangaan pihak operator KA dalam mengelola perusahaannya. Apalagi pihak PT. Kereta Api sebagai operator yang dibe-bani tugas oleh pemerintah mengangkut penumpang KA kelas Ekonomi tidak menerima dana sebesar yang telah dike-luarkannya. Pembayaran di awal tahun berjalan dan manajemen terpisah di PT. Kereta Api perlu dilakukan. Selain itu perlu dilakukan evaluasi yang teren-cana dan terjadwal. Pemerintah daerah (provinsi dan kabupaten/kota) dapat di-ikutsertakan untuk memberikan subsidi bagi penumpang KA Ekonomi untuk lintas-lintas KA regional maupun KA lokal. Sedangkan lintas KA Ekonomi antar provinsi masih menjadi tanggung-jawab pemerintah pusat.

c. Dana PSO yang belum diba-yarkan pemerintah kepada PT. Kereta Api dari tahun 2000 hingga 2005 sebe-sar Rp 1.607, 35 triliun, perlu dijadwal ulang dan dipikirkan dalam bentuk apa dana itu dapat dikembalikan. Misalnya, membelikan lokomotif, kereta dan ger-bong yang baru untuk menggantikan yang sudah tua dan tidak layak operasi lagi.

d. Secara intensif terus melaku-kan sosialisasi Surat Keputusan Bersa-ma (SKB) antara Menteri Perhubungan dan Menteri Dalam Negeri No. KM 87 tahun 2004/No. 247 tahun 2004 ten-tang Perencanaan, Pembangunan, Pen-gadaan, Pengoperasian, Pemeliharaan dan Penghapusan Perlintasan Sebidang antara Jalur Kereta Api dengan Jalan, terutama di kalangan anggota DPRD yang akan menyetujui anggaran di dae-rahnya.

e. Pendidikan usia dini terha-dap kesadaran berlalu lintas mulai di agar disiplin berlalu lintas dapat men-ingkat, sehingga kecelakaan lalu lintas di pintu perlintasan KA dapat semakin berkurang.

KA Semberani vs KA Kertajaya (15 April 2006) dekat Stasiun Gubuk (Kab. Grobogan) di lintas Semarang-SurabayaSumber: Lab. Transportasi Unika Soegijapranata

KA Bengawan jatuh ke Kali Pager (16 Januari 2007) dekat Stasiun Purwok-erto di lintas Purwokerto-BumiayuSumber: Kompas dan Koran Tempo

Page 51: Edisi 1 November 2007

Departemen Komunikasi dan Informatika 51

Jurnal “Dialog” Kebijakan Publik

Alon-alon asal kelakon, gremet-gremet anggere slamet (pelan-pelan asal sampai, merayap asalkan selamat. Inilah pepatah Jawa Kuno yang sering kita dengar tatkala sedang dalam per-jalanan apakah naik mobil pribadi atau-kah umum, bahkan naik sepeda motor sekalipun. Bahkan ada yang lebih da-syat lagi, pepatah yang menjadi bagian dari budaya popular yakni “savety dulu baru money”. Ini sering kita lihat di bis-bis antar kota antar provinsi.

Pertanyaannya, mengapa dalam realitas berlalu lintas (ambil contoh di Yogyakarta) sebagai representasi orang Jawa hal tersebut tidak “berbunyi” sama sekali, alias hanya kata-kata isapan jem-pol belaka, apa yang terjadi sesungguh-nya dengan orang Jawa dalam berlalu lintas? Inilah pertanyaan yang hemat saya harus dicarikan jawabannya, se-hingga kita secara cultural bisa men-emukan semacam filosofi Jawa dalam berlalu lintas dan prospek orang Jawa

Perilaku Berlalu Lintas Orang JawaOleh: Zuly Qodir

dalam berlalu lintas. Adakah hubungannya secara sosial

jika orang berlalu lintas dengan habitus orang Jawa di jalan raya ataukah lua-pan-luapan kemarahan orang Jawa de-ngan kondisi jalanan yang sekarang ini dihadapi bukan saja oleh para sopir bus antar kota, pengendara mobil pribadi, dan pengendara sepeda motor sampai dengan pejalan kaki yang sama-sama memiliki hak atas ruang publiknya di Jawa ini.

Bahkan pada sisi lain nanti kita bisa saksikan secara bersama-sama (dalam beberapa kisah yang akan saya tuliskan) di sini tentang orang berlalu lintas kaitannya dengan human secu-rity sebagai hal yang sangat prinsipil tetapi acapkali dilewatkan begitu saja, sehingga sangat sedikit orang yang per-hatian dengan dunia transportasi non pesawat atau kapal laut, seperti mobil dan kendaraan roda dua.

Kisah pertama

Saat itu saya Tanya kepada ma-hasiswa apa yang menyebabkan anda tampak tergesa-gesa dalam perjalanan, sehingga harus menyalip dari sisi kiri, nabrak lampu merah, bahkan berhenti sembarang saat dibelakang anda ada pengendara motor lainnya? Jawab ma-hasiswa, karena panas pak. Ada yang jawab, yang lain juga begitu pak. Ada lagi yang jawab emang gue pikiran!

Kisah saya lanjutkan. Saya katakan, apa anda tidak khawatir orang dibe-lakang anda nanti marah lalu memukul anda karena kaget dengan perilaku anda yang ngawur. Jawab mahasiswa, iya juga sih pak, tapi sebelum orang yang dibelakang kita marah dan memukul

Beberapa Kisah kita, kita kan bisa lari dengan motor kita lalu sembunyi sehingga tidak tahu lagi dimana kita pak. Pendek kata jan-gan kehilangan akal pak!

Baiklah. Sekarang jika anda me-langgar lampu merah saat sudah harus berhenti. Kenapa anda lalukan juga, tidak takut tertabrak dari arah yang lain yang sudah waktunya jalan dan nanti dikejar polisi karena anda melanggar? Jawab mahasiswa, kalau perempetan panjang dan luas tidak berani pak, tapi kalau tidak terlalu luas masih berani nerjang. Kalau soal polisi ngejar itu mah gampang, kasih Rp. 20.000 juga beres, apa susahnya kasih Rp. 20.000,- yang penting selamat pak.

Saya tanyakan kembali anda ser-ing melanggar lampu merah, jawabnya

Page 52: Edisi 1 November 2007

52 Departemen Komunikasi dan Informatika

Jurnal “Dialog” Kebijakan Publik

dengan enteng hampir setiap kali pak, apalagi kalau tidak ada polisi jaga. Ada juga paling polisi itu cari uang pak, tidak melanggar saja cari-cari kesala-han, mendingan sekalian aja melanggar bayar ya bayar tidak masalah, tahu sama tahu pak. Kita melanggar, polisi butuh uang, kasih saja kan beres.

Itu kisah yang saya dapat dari mahasiswa tatkala kuliah dan menanyakan bagaimana anda berperilaku di jalan raya dalam kesehariannya. Tentu saja di Jogjakarta bukan di tempat lain, sekalipun mereka ada yang berasal dari tempat luar Jogja. Mereka sudah terbiasa dengan melanggar aturan lalu lintas dan ringan saja melanggar.

Kisah kedua

Ini kisah tukang becak yang saya naiki menuju suatu tempat di Yogyakarta, sambil ngayuh becak karena jalan datar kita bercerita ngalor ngidul. Karena asyik bercerita tahu-tahu keba-blasan di tempat tujuan. Inilah kejadian-kejadian menarik itu.

Bercerita sambil naik becak memang enak dan tidak mung-kin dilakukan tatkala tukang becaknya tidak bersedia. Kita pun tahu bagaimana mengayuh becak sambil cerita tentu akan lain ceritanya, semakin ngos-ngosan saja. Tetapi karena kita sepakat bercerita ya kita nikmati perjalanan sambil bercerita.

Kejadian pertama adalah saat menyebrang tukang be-cak ini terlalu berani menurut saya, jalanan demikian ramai tetapi dengan mengangkat tan-gan tinggi-tinggi dia menye-brangkan becaknya kearah yang dituju, sehingga kendaraan di belakangnya membunyikan klakson keras-keras dan lama sekali sehingga saya kebisingan luar biasa. Tetapi tukang becak

tadi dengan santainya tetap menyebrang-kan becaknya menuju arah yang dituju tanpa bergeming sedikitpun. Piker saya wah ketabrak ini nanti jalannya ramai begini malah jalan trus. Sangat berba-haya Pak kata saya. Bapaknya ndak apa mas, biasa kula (dalam bahasa Jawa).

Kejadi keduanya, karena asik men-gobrol tadi, kebalasan kira-kira seratus meter dari tujuan yang harusnya berhen-ti. Saat aku kasih ongkos seperti yang disepakati di awal, abang becak bilang kurang mas, tambah mas, kan kelewat. Saya agak kaget dan jengkel juga sebe-narnya tapi apa boleh buat saya tambah dari kesepakatan semula. Tambahan itu masih dikatakan kurang, adohe koyo ngene (jauhnya gini kok hanya sekian) kurang to mas. Saya akhirnya tambahkan lagi biaya naik becak dari harga semula dan akhirnya abang becak menerima tetapi tetap ngomel-ngomel, ini dan itu pada saat mau meninggalkan saya.

Apa yang ingin saya katakana adalah apakah tabiat ini merupakan kebiasan (habitus) di Jawa (Jogja) khu-susnya antara tukang becak dengan konsumen sehingga konsumen selalu dirugikan dengan banyak hal, kesela-matan dan pengongkosan? Inilah yang perlu mendapatkan perhatian serius di kalangan pembuat kebijakan di wilayah Yogyakarta tentang tarif angkutan be-cak atau taxi sekalipun sebab seringkali taxi juga tidak lebih sopan dari tukang becak perilakunya.

Kisah ketiga

Saat itu saya naik bis kota menuju sebuah universitas di Yogyakarta. Kare-na mahasiswa masih menggunakan tarif mahasiswa waktu beda dengan umum. Mahasiswa Rp. 1000 dan umum Rp. 2000.

Ceritanya begini, saat saya mem-bayar Rp. 1000 kondektur tidak mau terima, saya harus bayar Rp. 2000, saya bilang saya ini mahasiswa, ini kartunya, malah kondektur bilang kartu maha-siswa kan bisa pinjam, mahasiswa kok sama dengan bapak-bapak, bayarnya sama dengan anak-anak SMP, memalu-

kan kata kondektur.Saya jengkel juga tapi saya tidak

mau bayar tambah, jika tidak mau ya sudah, saya tidak akan bayar. Kondek-tur bilang sama sopir, pir berhenti, mase tidak mau bayar agar turun saja. Sopir-nya tanya, kenapa, hanya bayar Rp. 1000. Mahasiswa mungkin, kata sopir, jawab kondektur iya, tapi sudah bapak-bapak kok mahasiswa. Pikir kondektur mahasiswa itu ya anak-anak SMA itu mungkin, padahal mahasiswa di Jog-jakarta banyak yang sudah berkeluarga dan beranak, jadi memag bapak-bapak, apakah salah menjadi mahasiswa ba-pak-bapak? Tidak bukan. Tetapi men-gapa pembayaran di bus dipersoalkan? Inilah yang perlu dipertimbangkan oleh pembuat kebijakan tariff ongkos naik bus kota. Dulu jauh dekat Rp. 1000, lalu Rp. 2000.

Dari kisah yang saya ceritakan yang ingin disampaikan adalah bahwa perilaku di jalanan itu memang penuh dengan persoalan serius tetapi dianggap ringan, remeh dan tidak bermuatan poli-tis, sekalipun sebenarnya penuh muatan politis dan perlawanan atas kebiasaan masyarakat. Ini yang mesti menjadi pertimbangan dan kajian berikutnya oleh para pengamat social dan peneliti problem berlalu lintas di Yogyakarta (Jawa) umumnya.

Page 53: Edisi 1 November 2007

Departemen Komunikasi dan Informatika 53

Jurnal “Dialog” Kebijakan Publik

Human security sesunggunhnya dapat dijadikan landasan etik tatkala orang berada di jalan raya, sebab hu-man security mengindikasikan adanya keamanan kemanusiaan (manusia) untuk semuanya bukan hanya dirinya sendiri. Beberapa hal terkait dengan hu-man security adalah, keamanan dalam ruang public seperti jalan raya, termi-nal, pasar, trotoar dan tempat-tempat umum lainnya dari gangguan tindakan kekerasan, kekecauan, dan terorisme yang datangnya bisa dengan tiba-tiba dan terencana.

Prinsip keamanan manusia di tem-pat-tempat umum sebenarnya meng-hendaki adanya perlindungan yang maksimal dari pihak Negara atas warga Negara yang telah membayar pajak ke-pada Negara, sehingga Negara berke-wajiban memberikan perlindungan dari pencopetan, pencurian, tabrak lari, pen-odongan dan perilaku sejenis. Negara tidak boleh tinggal diam atas perilaku-perilaku yang bisa merugikan masya-rakat padahal mereka telah membayar pajak pada Negara, sekalipun besarnya pajak kecil misalnya.

Tetapi, acapkali Negara agak abai atas perilaku-perilaku di tempat-tem-pat publik, sehingga pasar, bis kota, bis antar kota, terminal, dan trotoar bahkan menjadi lahan yang paling subur de-ngan tindakan kekerasan pada warga negara yang telah membayar pajak pada negara. Di sini dalam perspek-tif keamanan manusia bidang ruang publik aparat keamanan (polisi, satpol PP, bahkan pegawai pasar) seharusnya memberikan perlindungan dan penga-man ekstra keras dan hati-hati pada mereka yang berada di jalanan, pasar, terminal maupun trotoar.

Selain keamanan manusia di ruang publik, ada keamanan manusia yang terkait dengan soal kebudayaan atau lebih spesisfik lagi soal identitas ke-lompok yang harus menjadi perhatian semua orang anggota masyarakat. Iden-titas kelompok atau masyarakat ter-tentu dalam konteks keamanan manu-sia tidak boleh dihalang-halangi untuk diekspresikan, dan ditampilkan. Mela-wan ataupun melarang mereka untuk

mengekspresikan dan menampilkan identitasnya sebagai bagian dari peri-laku yang tidak humanis, bahkan me-langgar etika kemanusiaan universal.

Sebagai contoh tentang identitas kelompok misalnya orang Papua yang memakai koteka dipaksa harus me-makai celana kain model kita di Jawa ini, sebab dalam pandangan orang Jawa koteka merupakan cara berpaka-ian yang tidak beradab, tidak sopan dan tentu saja tidak modern. Oleh karena itu, semua orang Papua harus bercelana kain seperti kita orang Jawa, koteka pendek kata harus ditinggalkan jauh-jauh dan dilupakan, orang Papua men-jadi “manusia baru” yang bercelana kain seperti orang Jawa.

Tatkala orang Jawa (kekuasaan Jawa) memaksa orang Papu meng-ganti koteka dengan celana kain, se-sungguhnya telah terjadi perampasan hak mereka masyarakat Papua untuk mengekspresikan identitasnya sebagai orang Papua dengan tetap memakai ko-teka, tetapi kekuasaan Jawa mengang-gapnya tidak beradab. Hal yang terjadi dibelakangnya adalah perlawanan yang dilakukan orang Papua pada kekuasaan Jawa dalam bentuknya yang lain, mi-salnya Papua ingin merdeka dan trans-migran Jawa di Papua menjadi “bulan-bulanan” diejek dan diteror dengan senjata-senjata tombak serta senjata tajam lainnya.

Dari sana jelas sekali bahwa ke-amanan manusia dalam hal identitas juga tidak boleh dipandang sebagai masalah sepele. Masalah identitas ke-lompok bahkan sebenarnya bisa dipan-dang sebagai bagian dari falsafah hidup mereka sehingga masyarakat acapkali berani mati sekalipun demi memperta-hankan identitasnya. Contohnya adalah Carok di Madura, dalam perspek-tif mempertahankan identitas bukan dalam perspektif kekerasan komunal yang mengerikan seperti di Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah empat tahun yang lalu.

Dua hal terkait dengan keamanan manusia yang saya kemukakan diatas sebenarnya hanya sebagai pemantik untuk kita dapat lebih jauh melihat per-

Human Security Sebagai Basis Etis

Page 54: Edisi 1 November 2007

54 Departemen Komunikasi dan Informatika

Jurnal “Dialog” Kebijakan Publik

soalan-persoalan terkait dengan keamanan manusia dalam bidang yang lain, seperti keamanan lapangan pekerjaan, keamanan kesehatan (mengakses obat-obatan), keamanan ekonomi dan keamanan politik (bebas berkumpul, berpendapat dan berpartai).

Tatkala kita mampu dan bersedia memahami serta menghargai apa yang disebut dengan keamanan manusia, maka sudah seharusnya hal tersebut menjadi basis etik setiap kita hendak melakukan sesuatu, baik memikir-kan, merencanakan sekaligus mengerjakan apakah hal tersebut memenuhi kriteria atau sesuai dengan etika kemanusiaan ataukah bertentangan, sebab jika bertentangan tentu akan mengakibatkan masalah serius dibelakangnya, sedangkan kita seringkali menganggap masalah yang menimpa orang lain adalah bukan masalah serius. Sesuatu dianggap masalah serius tatkala menimpa diri kita, sanak saudara, atau keluarga kita.

Oleh sebab itu, dalam perspektif keamanan kemanusiaan seperti dising-gung di atas, kita sebagai orang Jawa khususnya dan Indonesia pada umum-nya, tentu harus memikirkan apa yang menjadi bagian dari kehidupan orang lain sehingga orang lain pun dapat turut menikmati hidup, sebab kita tidak

serta merta dan semenaOrang Jawa tentu saja akan berbeda

dengan orang Sumatera, Sulawesi, Papua dan Nusa Tenggara, tetapi soal keamanan manusia, tidak ada bedanya jika hal itu menjadi sumber etika ke-manusiaan. Pencurian, penodongan, pencopetan, perkosaan, pembalakan, penyerobotan dimana pun akan diang-gap tidak sehat dan bermartabat. De-ngan demikian ada etika universal yang bisa menjadi pengikat bersama seluruh masyarakat Indonesia yakni bagaimana menjadi keamanan kemanusiaan se-bagai basis etika dalam bertindak ter-masuk nanti dalam berlalu lintas.

Dalam banyak kisah, orang Jawa identik dengan orang yang andap asor, sebab andap asor itu tidak berarti ka-lah, hina dan terpinggir. Andap asor itu bahkan memiliki filosofi yang dahsyat sebab orang Jawa selalu menjunjung filosofi hidup lainnya yakni wani ngalah luhur wekasane, berani tetap lebih baik mengalah itu lebih mulia ketimbang kekerasan dilawan dengan kekerasan.

Mari kita perhatikan filosofi orang Jawa di atas di jalan Raya, apakah be-nar seperti itu? Jika tidak seperti itu, apa sebenarnya penyebabnya dan mengapa mereka melakukannya tanpa beban sedikit pun bahkan terkadang terkesan bangga dengan cara mengulanginya secara terus-menerus di kemudian hari. Inilah yang hemat saya perlu diperha-tikan oleh orang Jawa khususnya dan Jogja lebih khusus lagi, sebab Jogja-karta ini dianggap sebagai daerah yang berbudaya, memiliki tradisi luhur, budi pekerti yang adi luhung dan sejenisnya.

Sejak kecil dan sekarang dewasa, saya sudah melihat dan terus melihat hingga kini jika orang Jogja memakai blangkon itu dibelakang ada benjolan-nya. Ketika saya masih SD dikatakan bahwa itulah filsafat orang Jawa (Jogja) khususnya tidak suka pamer pada orang lain, tetapi dibelakangnya ngedumel, ngrundel alias tidak seperti yang di-tunjukkan tatkala dihadapan kita yang

Habitus Orang Jawa

ramah, sopan, bersahaja, itulah basa-basi orang Jogja!

Saya sendiri tidak demikian begitu saja percaya dengan penjelasan terse-but, sebab jika soal orang berbasa-basi, orang suka ngedumel, ngrundel, di belakang kita itu bukan hanya orang Jogja, dimana-mana juga ada, sampai di Aceh di Sumatera sana juga ada. Lalu apa relevansinya benjolan di blangkon dengan filosofi Jawa yang masih ban-yak misteri sampai sekarang? Inilah yang hemat saya perlu diperhatikan serius oleh peneliti-peneliti Jawa, khu-susnya perilaku simbolik orang Jawa (Jogja) dengan kesehariannya. Dengan memperhatikan perilaku simbolik yang ada pada orang Jawa dalam berpakaian, menyajikan makanan, minuman serta pembangunan dan asesori rumah akan bisa menjelaskan apa sesungguhnya yang menjadi filosofi sekaligus agenda orang Jawa.

Kita tahu dalam tradisi interaksi simbolik dikenal pemahaman secara terbalik dan bermakna sangat vari-atif (ganda) antara tanda dan tinanda. Orang memakai Blankon di belakang dengan benjolan secara simbolik akan bermakna sangat variatif tergantung darimana dan siapa yang melihatnya. Jika kita melihat dari makna tersem-bunyi bisa saja benjolan dibelakang adalah lambang menyembunyikan aib,

Page 55: Edisi 1 November 2007

Departemen Komunikasi dan Informatika 55

Jurnal “Dialog” Kebijakan Publik

rahasia orang lain dengan hati-hati. Tetapi bisa juga dimaknai bahwa benjolan Blangkon orang Jogja adalah bahwa orang Jawa memang suka bersuara jika dibelakang kita, bukan di depan. Tetapi ingat ini hanyalah pe-maknaan simbolik yang banyak tafsiran.

Soal gaya berpakaian (penampilan fisik) juga demi-kian akan banyak makna sim-bolik yang dikandung di sana. Akan sangat susah memberikan penjelasan secara detail men-gapa orang Jawa di Jogja khu-susnya jika mendatangi kema-tian itu sebagian besar berbaju hitam (gelap), tidak cerah putih misalnya. Ada yang menafsir-kan bahwa pakaian gelap atau hitam itu lambang kesedihan dan orang mati itu adalah orang yang sedih, terutama yang dit-inggal meninggal. Masuk akal juga penjelasan ini. Tetapi in-gat, apakah kita pernah bertanya pada pihak keluarga yang diting-gal meninggal bahwa mereka sedih, agak jarang dilakukan. Kita hanya memperkirakan dan menafsirkan bahwa keluarga yang ditinggal sedih karena ada suara tangis itu saja. Padahal bisa saja keluarganya senang alias merelakan sepenuhnya atas kematian yang diterima anggota keluarganya karena misalnya si mayat adalah orang yang dalam mata keluarga dianggap sebagai “beban” moralnya karena peri-lakunya dalam bermasyarakat atau karena derita yang dialamai dianggap sudah terlalu dalam se-hingga dengan kematian adalah lebih baik.

Tetapi itulah, soal symbol dalam berpakaian akan ban-yak makna bisa ditemukan se-bagai bagian dari filosfi orang Jawa khususnya. Hal serupa juga dalam berlalu lintas. Saya khawatir jangan-jangan dalam berlalu lintas pun orang Jawa

memakai simbol-simbol dan penuh pe-maknaan, sehingga tatkala ngebut, nyal-ip dari kiri sekalipun ada tanda larangan menyalip, berhenti mendadak di depan kendaraan lain setelah menyalip, men-erabas lampu lalu lintas sampai mem-bayar tilang “sogokan” harus dimaknai dalam kaca mata ienteraksi simbolik.

Jika hal itu benar, pertanyaan saya apakah setiap perilaku orang Jawa me-mang penuh dengan makna simbolik, ataukah hanya bualan isapan jempol belaka untuk menutup-nutupi habi-tus Orang Jawa yang tidak disukai dan tidak mengenakan orang lain? Misalnya alon-alon waton kelakon dan grement-gremet asal selamet seperti diawal tu-lisan ini. Jika perilakunya dibungkus dengan simbol untuk menyelamatkan dirinya , sesungguhnya itulah watak asli orang Jawa yang tidak bersedia meneri-ma keragaman budaya yang ada di tan-ah air, bahkan ada perasaan chauvisime sehingga budaya Jawa selalu dianggap unggul dari buadaya orang non Jawa.

Sangat disayangkan jika budaya Jawa kemudian terbungkus dalam ha-bitus yang vulgar, penuh dengan kecu-lasan, tipu muslihat dan akal-akalan. Sebab habitus itu senantiasa terulang kapan dan dimana saja. Habitus itu akan menyebabkan pelakunya merasa nyaman saja dengan apa yang dilakukan sekalipun orang lain tidak nyaman sama sekali alias terganggu. Tetapi karena dibungkus dengan simbol-simbol yang dimanipulasi seakan-akan menjadi bu-daya yang luhur, budaya yang harus dipertahankan dan dihormati oleh orang lain sekalipun dia menyenangi.

Itulah sebenarnya problem tatkala keburukan seperti suka melanggar lalu lintas, menerjang lampu merah, membunyikan klakson keras-keras dan berulang-ulang padahal sudah mafhum jika jalanan memang macet, dan rusak, menyuap pak polisi tatkala kena tilang sudah menjadi habitus maka dunia ini menjadi dunia yang tanpa etika, tanpa hukum dan tanpa kejelasan panduan moralitas.

Dengan demikian, untuk menen-tang habitus buruk masyarakat Jawa yang sering dibungkus dalam simbol-

simbol kebudayaan Jawa yang say-angnya sudah banyak dimanipulasi tidak ada metode lain yang hemat saya efektif yakni dengan cara penegakan hokum yang benar-benar, law enforce-ment harus benar-benar ditegakkan. Hakim tidak boleh bersikap bisa dibeli dengan uang. Polisi tidak boleh dan mau menerima suap dari para pelang-gar lalu lintas. Peraturan di jalan raya ditegakkan benr-benar, siapa saja yang membunyikan klakson keras-keras dan berulang-ulang dihentikan dan ditahan, demikian seterusnya.

Tetapi jika hokum tidak ditegakkan dengan sungguh-sungguh, polisi masih “rajin memungut” uang recehan di jalan raya, hakim dan penegak ho-kum bisa dibeli dengan uang recehan dan dollar Amerika oleh para pelang-gar hokum maka habitus orang Jawa yang terlalu mistik, sophisticated dan kadang irrasional akan terus menjadi bagian dari cara mereka berlalu lintas. Habitus jelek akan menjadi bagian dari keseharian orang Jawa yang secara sa-dar sebenarnya sedang memanipulasi symbol-simbol budaya yang selama ini dipandang sebagai filosofi hidup orang Jawa.

Page 56: Edisi 1 November 2007

56 Departemen Komunikasi dan Informatika

Jurnal “Dialog” Kebijakan Publik

Reproduksi jelas menunjuk pada adanya pengulangan dan peniruan yang terjadi secara sistematis terus-menerus atas apa yang telah berlangsung di masyarakat. Oleh sebab itu, reproduksi kejahatan sebenarnya merupakan pen-gulangan-pengulangan kejahatan yang telah terjadi semenjak ratusan bahkan ribuan tahun sebelumnya. Hanya saja, dalam reproduksi terjadi sedikit modi-fikasi-modifikasi sebagai proses dari adaptasi dan kontestasi sekaligus atas sebuah tradisi (kebudayaan) yang te-lah berurat berakar dalam masyarakat Jawa.

Disitulah soal reproduksi kekerasan dan kejahatan di jalan raya menjadi menarik untuk dikemukakan dalam tu-lisan ini, mengingat perilaku kejahatan dijalan raya sebenarnya bukan perilaku bulan-bulan ini saja, tetapi sebuah peri-laku kejahatan yang sudah menahun ali-as sama tuanya dengan umur manusia. Pertanyaannya, mengapa terus terjadi reproduksi kejahatan di jalan raya pada-hal korban akibat kejahatan di jalan raya telah demikian banyak?

Perilaku kejahatan di jalan raya (berlalu lintas) orang Jawa dari waktu ke waktu tentu saja mengalami pelbagai macam perubahan. Perubahan tersebut merupakan sesuatu yang wajar saja, sebab konteks structural dan bahkan kulural mengalami perubahan yang me-maksa orang Jawa berubah dari kultur lama menuju kultur baru. Pergeseran konteks struktural sejalan dengan glo-balisasi yang menerjang dengan maha dahsyat ke seluruh ruang kehidupan warga Negara termasuk orang Jawa. Kebudayaan kemudian menjadi komod-iti pasar dan kapitalisme industrial yang untuk sebagian orang diterima menjadi “berkah” tetapi untuk sebagian orang lainnya menjadi “la’nat” dan bencana sebab komodifikasi dan komoditi kebu-dayaan berakibat pada adanya masifi-kasi dan vulgarisasi sikap dan tindakan hidup warga Negara menjadi semakin mekanik, terukur, dan instrumentalis bukan lagi substansialis dan penuh den-gan nilai etika.

Pada masa 1950-an dan 1960-an, orang Jawa di Jogja sangat menik-

Reproduksi Kejahatan

mati berjalan-jalan dengan bersepeda onthel (sepeda onta) yang sekarang sudah menjadi barang antik, sehingga agak jarang orang memiliki dan me-makainya. Orang saat sekarang bahkan disarankan kembali agar bersepeda sekalipun hanya satu haru, terutama pada saat hari lingkungan hidup, agar mengurangi asap di Yogyakarta. Ta-hun-tahun 1950-an dan 1960-an orang bersepeda saya pikir tidak ada pikiran dan perspektif bahwa itu ada kaitannya dengan hari lingkungan hidup yang ber-tujuan mengurangi asap yang demikian hebat di Jogjakarta. Orang bersepeda tatkala itu karena kendaraan yang ban-yak dan dimiliki adalah sepeda!

Orang bersepeda pun dapat kita saksikan betapa mereka secara beru-rutan tidak ada yang mengatur dan menjadi pimpinan, tetapi berjalan ter-atur, berjajar dilajur kiri, tidak saling menyalip padahal sama-sama ingin sampai di tujuan (tempat bekerja, se-kolah, atau sawah) sekalipun. Mereka bersepeda secara rapih dan teratur tidak saling mendahului dan meremehkan pengendara sepeda lainnya yang lebih tua misalnya.

Tetapi ini bersepeda di Jogjakarta tempoe doloe, lain dengan bersepeda tempo sekarang. Bersepeda hanyalah pada saat moment-moment tertentu misalnya sepeda santai dalam kaitan-nya dengan lomba sebuah partai politik, lomba sepeda menjelang pemilihan ke-pada daerah (bupati atau walikota) dan seterusnya. Pendek kata, sekarang ber-sepeda tidak terkait dengan soal zaman yang memang musimnya demikian. Bersepeda hanyalah trend sementara saja, bukan bagian dari cara hidup se-hat yang dianjurkan oleh para pengiat lingkungan hidup dengan mengurangi polusi asap.

Reproduksi kejahatan di jalan den-gan memakai perspektif antropologi social sebenarnya bisa dilihat dalam bagian dari budaya popular yang be-lakangan marak ditengah masyarakat yang terkena gelombang dahsyat glo-balisasi. Globalisasi dengan dalilnya yang hendak memberikan kesejahter-aan pada semua lapisan masyarakat,

Page 57: Edisi 1 November 2007

Departemen Komunikasi dan Informatika 57

Jurnal “Dialog” Kebijakan Publik

menjadikan warga negara semakin demokratis, terbuka dan memudahkan informasi ternyata agak kurang dilihat sisi negatifnya, bahwa globalisasi sebenarnya memberikan dampak instrumentalisasi nilai-nilai lama yang hendak dipertahankan. Dengan demikian, nilai-nilai lama yang menjadi pijakan dalam bermasyarakat acapkali bertabrakan dengan kehendak pasar yang didiktekan pada publik sekalipun secara paksa dan tidak sadar.

Jika kita memperhatikan kejahatan-kejahatan yang terjadi di jalan raya yang dilakukan orang Jawa sebenarnya hal itu tidaklah baru sama sekali, alias reproduksi dari kejahatan-kejahatan yang sudah berlangsung ratusan bahkan ribuan tahun di Jawa ini. Sopir yang suka ngebut, tidak mentaati lampu merah, membunyikan klakson keras-keras dan terus-menerus saat ja-lan, dan menyogok polisi tatkala melanggar adalah reproduksi atas perilaku kriminal dan kejahatan para pejabat publik kita yang memberikan contoh seperti itu.

Bagaimana para pejabat publik suka datang terlambat, mengerjakan sesuatu dengan lambat dan tidak teratur, memungut uang ini itu pada saat warga negara mengurus surat-surat penting, menyuap tatkala harus menjadi pegawai, kolusi tatkala harus menerima tender dan seterusnya tidak bisa dilakukan oleh para sopir bis, sopir angkot, tukang becak, yang direproduksi oleh mereka adalah meniru kejahatan dalam bentuk lain yakni tidak taat lalu lintas dan mengganggu orang lain sehingga orang lain tidak nyaman tetapi dirinya merasa puas. Inilah reproduksi kekerasan yang terjadi di jalan raya oleh masyarakat biasa karena mencontoh pejabat atau orang yang selama ini memiliki kekuasaan.

Tentu saja tidak bisa dibenarkan perilaku kejahatan oleh sopir bis, ang-kot, pengendara motor, tukang becak tetapi juga tidak bisa membenarkan perilaku kejahatan yang dilakukan oleh pejabat publik, penguasa dan siapa pun orang yang menjadi pimpinan atau atasan. Kejahatan adalah kejahatan yang tidak benar dilakukan oleh siapa saja. Orang Jawa pun tidak bisa lepas dari kejahatan yang reproduktif dan dilakukan secara kolektif. Orang jawa bahwa seperti saya kemukakan di atas dengan bungkus filosofis falsafah hidup bisa bertindak semena-mena untuk melawan hukum yang berlaku.

Dengan perspektif popular culture maka ke depan kajian-kajian so-sial humaniora sudah seharusnya disusun secara sistematis dan sungguh-sungguh bagaimana melihat perubahan pola pikiran, tindakan dan perilaku masyarakat Jawa dalam menghadapi perubahan struktur sekaligus kultur yang demikian dasyat. Jika ilmu-ilmu sosial humaniora gagal merumuskan wilayah diskusi-kajian yang memadai terkait dengan pola perilaku, pikiran dan tindakan manusia Jawa kontemporer saya pikiran masyarakat kita se-makin terbebani dengan sejarah zaman yang terus berubah, sementara glo-balisasi terus mengendus.

Page 58: Edisi 1 November 2007

58 Departemen Komunikasi dan Informatika

Jurnal “Dialog” Kebijakan Publik

Page 59: Edisi 1 November 2007

Departemen Komunikasi dan Informatika 59

Jurnal “Dialog” Kebijakan Publik

Page 60: Edisi 1 November 2007

60 Departemen Komunikasi dan Informatika

Jurnal “Dialog” Kebijakan Publik

1. Dr. Ir. Bambang Susantono, MPC, MSCELulusan tahun 1978 dari Teknik Sipil ITB dan mendapatkan gelar Master of Science in Civil Engineering (MSCE)

di bidang Transportasi dan Master of City and Regional Planning (MCP) untuk Perencanaan Kota dan Wilayah dari the University of California at Berkeley. Yang bersangkutan juga meraih gelar Doctor of Philosophy (Ph.D.) di universitas yang sama di bidang Infrastructure Planning.

Kiprahnya dalam pengembangan profesi terlihat dari keaktifannya pada organisasi profesi internasional dan nasion-al. Dr. Susantono adalah Vice President dari the East Asia Society of Transportation Studies (EASTS) yang berpusat di Tokyo yang juga anggota Board of Trustee dari the Southsouth North Foundation di Johanesburg. Yang bersangkutan juga memimpin organisasi profesi Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) sebagai Ketua Umum sejak tahun 2004. Dr. Susantono juga menjabat sebagai Deputi Menko Perekonomian Bidang Infrastruktur dan Pengembangan Wilayah.

Biodata Penulis:

Lulus tahun 2006, doktor Sosiologi, UGM. Tahun 2004 hingga sekarang bekerja sebagai peneliti di Pusat Studi Keamanan dan Perdamanian UGM dan peneliti di Lembaga Studi Islam dan Politik Yogyakarta.

Pengabdiannya tidak hanya sebagai peneliti juga sebagai pengajar di beberapa universitas, antaralain Univ Atma Jaya Yogyakartam Univ Muhammadiyah Yogyakarta, dan Univ Islam Negeri Sunan Kalijaga.

2. Zuly Qodir

Menyelesaikan Sarjana di Jurusan Pendidikan Fisika IKIP Semarang tahun 1987 dan Jurusan Teknik Sipil Uni-versitas Diponegoro tahun 1991. Tahun 1998 menyelesaikan Magister Teknik Program Rekayasa Transportasi Jurusan Teknik Sipil Pascasarjana Institut Teknologi Bandung (ITB).

Sejak tahun 1992 aktif mengajar di Jurusan Teknik Sipil Unika Soegijapranata. Beberapa buku yang sudah diter-bitkan, antara lain:Sistem Transportasi, Dinamika Transportasi, Fakta Kondiisi Angkutan Umum di Indonesia, Kebija-kan Transportasi: Kenyataan dan Harapan.

Tahun 2005 mengikuti studi Civil Society and Public Awarness in Combating Corruption in Indonesia,Institute of Social Studies (ISS) di Den Haag (Netherland). Tahun 2003-2007 menjabat sebagai Kepala Lembaga Penelitian Unika Soegijapranata. Sekarang sebagai Kepala Laboratorium Transportrasi Unika Soegijapranata. Selain itu aktif di Masyarakat Transportasi Indonesia sebagai Ketua Forum Perkeretaapian.

3. Djoko Setijowarno

Pendidikan terakhir PhD in Transport System Planning, University of Wisconsin, Madison, USA tahun 1988. Dr. Suyono Dikun telah memiliki pengalaman 30 tahun dalam berbagai jabatan pendidikan dan pemerintahan. Sejak tahun 1977 mulai mengajar di Fakultas Teknik UI, Universitas Tarumanegara, dan Universitas Pancasila dalam berbagai mata ajaran antara lain Konstruksi, Perkerasan Jalan, Teknik Transportasi, Statistika, dan Perencanan dan Kebijakan Transportasi.

Selama 5 tahun terakhir ini, Dr. Suyono Dikun aktif bertugas sebagai Sekretaris Komite Percepatan Pembangunan Infrastruktur (KKPPI) yang bekerja untuk mempercepat pembangunan infrastruktur Indonesia, menghasilkan Paket Kebijakan Infrastruktur dan menyelenggarakan The Infrastructure Summit 2005 dan Indonesia Infrastructure Confer-ence and Exhibition (IICE) 2006.

4. Ir. Suyono Dikun, MSc, PhD, IPM

DARMANINGTYAS, sejak mahasiswa aktif di LSM dan setelah lulus S1 banyak melakukan penelitian mengenai isu-isu perkotaan. Sejak tahun 2001 mendirikan LSM transportasi yang bernama INSTRAN (Intitut Studi Transpor-tasi). Di Yogyakarta, bersama dengan Pustral UGM dan ITDP lembaga ini mengembangkan model becak desain baru yang lebih ringan dan nyaman. Sejak tahun 2005 menjadi pengurus MTI (Masyarakat Transportasi Indonesia) untuk bidang advokasi sampai dengan 2010.

SITI AMINAH, adalah staf pengajar pada Jurusan Ilmu Politik, FISIP Univ. Airlangga, Surabaya. S1 Ilmu Politik diperoleh dari Universitas Airlangga, dan S2 Ilmu Politik dari Universitas Indonesia.

5. Darmanungtyas dan Siti Amninah