e05map.pdf

Upload: awe-aisyah-wardani

Post on 04-Nov-2015

36 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • EVALUASI KUALITAS AIR SUNGAI WAY SULAN KECIL KABUPATEN LAMPUNG SELATAN

    MIRNA AULIA PRIBADI E34101041

    DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA

    FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

    BOGOR 2005

  • EVALUASI KUALITAS AIR SUNGAI WAY SULAN KECIL KABUPATEN LAMPUNG SELATAN

    MIRNA AULIA PRIBADI E34101041

    Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

    Sarjana Kehutanan pada Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata

    DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA

    FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

    BOGOR 2005

  • LEMBAR PENGESAHAN

    Judul Skripsi : Evaluasi Kualitas Air Sungai Way Sulan Kecil

    Kabupaten Lampung Selatan. Nama : Mirna Aulia Pribadi NRP : E34101041 Departemen : Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata

    Fakultas : Kehutanan

    Menyetujui Komisi Pembimbing

    Ketua Anggota

    Ir. Siti Badriyah Rushayati, M.Si. Ir. Agus Priyono, MS. 132 257 887 131 578 800

    Mengetahui

    Dekan Fakultas Kehutanan

    Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS 131 430 799

    Tanggal Lulus :

  • Mirna Aulia Pribadi. E34101041. Evaluasi Kualitas Air Sungai Way Sulan Kecil Kabupaten Lampung Selatan. Dibimbing oleh Ir. Siti Badriyah Rushayati, M.Si dan Ir. Agus Priyono, M.S.

    RINGKASAN

    Industri berskala besar di Lampung didominasi oleh industri tapioka. Industri tapioka sendiri merupakan agro based industry yang berpotensi paling besar dalam mencemari sungai di Lampung, salah satunya adalah Sungai Way Sekampung, DAS Way Sekampung. Sungai Way Sekampung mendapat masukan

    dari salah satu percabangannya yaitu Sungai Way Sulan Kecil yang banyak menerima limbah kegiatan agro based industry. Tujuan dari penelitian ini adalah menentukan status kualitas Sungai Way Sulan Kecil dari faktor fisika-kima perairan, mengkaji tingkat keanekaragaman jenis biota perairan yang merupakan bioindikator kualitas perairan, serta menghitung besarnya beban pencemaran pabrik tapioka PT. Florindo Makmur ke Sungai Way Sulan Kecil.

    Penelitian dilakukan pada aliran Sungai Way Sulan Kecil di sekitar outlet limbah PT. Florindo Makmur pada bulan Juni Juli 2005. Data primer meliputi sifat fisika-kimia perairan dan limbah cair tapioka meliputi warna dan suhu air, kekeruhan, TDS, TSS, pH, DO, COD, BOD, nitrat, fosfat dan sianida, serta struktur komunitas makrozoobenthos. Data sekunder meliputi peta penggunaan lahan Sub DAS Way Sulan (DAS Way Sekampung), data kualitas DAS Way Sekampung pada musim kemarau tahun 2005, data curah hujan rata-rata sepuluh tahun terakhir dan data kapasitas produksi serta volume limbah yang

    dihasilkan PT. Florindo Makmur. Analisis data dilakukan dengan cara membandingkan data sifat fisika-kimia perairan dan limbah cair tapioka dengan SK Gubernur Propinsi Lampung No. G/625/B.VII/HK/1995 serta Kepmen Kependudukan dan Lingkungan Hidup tahun 1991, menghitung kepadatan makrozoobenthos, indeks keanekaragaman (H), keseragaman (E) dan dominansi (D), serta menentukan beban pencemaran industri tapioka PT. Florindo ke Sungai Way Sulan Kecil.

  • Hasil penelitian menunjukkan bahwa kualitas Sungai Way Sulan Kecil dari hulu ke hilir telah tercemar. Pencemaran diduga disebabkan limbah dari

    industri di sepanjang aliran sungai. Limbah cair industri tapioka sendiri turut menimbulkan dampak pada sifat fisika-kimia perairan berupa peningkatan nilai

    warna, suhu, kekeruhan, TDS, pH, nitrat, fosfat dan sianida, serta penurunan TSS, DO, BOD dan COD. Kepadatan makrozoobenthos berkisar 39-66 ind/m2, H berkisar 1,58-2,25, E berkisar 0,81-0,88 dan D berkisar 0,27-0,34. Beban pencemaran pabrik tapioka PT. Florindo Makmur ke Sungai Way Sulan yaitu

    BOD sebesar 281400 kg/th atau 8923,1 mg/dt, COD sebesar 458430 ton/th atau 14536,7 mg/dt, TSS sebesar 203700 kg/dt atau 6459 mg/dt dan TDS sebesar 888300 kg/dt atau 28167,8 mg/dt.

    Kesimpulan yang dapat ditarik adalah bahwa kualitas fisika-kimia perairan Sungai Way Sulan Kecil tidak memenuhi persyaratan baku mutu kualitas air golongan B pada SK Gubernur Propinsi Lampung No. G/625/B.VII/HK/1995 dikarenakan DO yang berada di bawah baku mutu minimum dan BOD dan sianida yang telah melampaui baku mutu maksimum. Kepadatan makrozoobenthos

    termasuk rendah, dengan keseragaman jenis tinggi dan tidak terjadi dominansi oleh satu atau sekelompok jenis makrozoobenthos. Sedangkan status kualitas air Sungai Way Sulan Kecil adalah tercemar sedang.

  • KATA PENGANTAR

    Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Evaluasi Kualitas Air Sungai Way Sulan Kecil. Skripsi ini sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Kehutanan pada Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.

    Industri merupakan salah satu sektor yang memegang peranan penting sebagai penggerak perekonomian Indonesia. Namun dalam penyelenggaraannya,

    industri selalu bersinggungan dengan lingkungan hidup atas dampak yang ditimbulkannya, sehingga perlu dilakukan evaluasi terhadap kualitas lingkungan akibat kegiatan industri. Pada skripsi ini, penulis menyajikan hasil penelitian mengenai kualitas air Sungai Way Sulan Kecil, terutama disebabkan adanya

    masukan berupa limbah cair dari kegiatan Agro based industry khususnya industri tapioka. Hasil dari evaluasi ini diharapkan dapat dijadikan pertimbangan dalam pengelolaan lingkungan, terutama Sub DAS Way Sulan, DAS Way Sekampung secara holistik, interdisipliner dan terpadu.

    Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini. Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna sehingga kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penulis harapkan demi penyempurnaan selanjutnya. Diharapkan hasil penelitian ini dapat bermanfaat dan memberikan kontribusi bagi pengelolaan lingkungan, khususnya sumberdaya air yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan.

    Bogor, Desember 2005

    Penulis

  • UCAPAN TERIMA KASIH

    Pada kesempatan ini, penulis menghaturkan rasa terima kasih yang tulus

    kepada : 1. Ibu Ir. Siti Badriyah Rushayati, M.Si dan Bapak Ir. Agus Priyono, MS atas

    bimbingan, bantuan dan perhatian yang diberikan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

    2. Bapak Dr. Ir. Herry Purnomo, M.Comp dan Bapak Effendi Tri Bachtiar, S.Hut selaku dosen penguji, atas bantuan dan kesediaannya dalam meluangkan waktu.

    3. Papa dan Mama tersayang. Terima kasih atas curahan kasih sayang, pengorbanan, doa dan nasehat untuk penulis. Semoga Allah SWT senantiasa memberi limpahan rahmat dan karunia-Nya untuk Papa dan Mama. Amin.

    4. Rozi Fahlepi untuk perhatian, dukungan, dan kesetiaan yang diberikan kepada penulis. Serta untuk Tri Rahayuningsih atas persahabatan yang tidak ternilai.

    5. Pihak PT. Florindo Makmur yang berkenan memberi izin kepada penulis untuk melakukan penelitian mengenai kualitas limbah cair yang dihasilkan

    dan dampaknya terhadap Sungai Way Sulan Kecil. 6. Seluruh staf Laboratorium Analisis Kimia dan Zoologi Fakultas Matematika

    dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Lampung yang telah membantu dalam kelengkapan data-data yang dibutuhkan dalam penelitian.

    7. Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Way Seputih Sekampung yang telah memberi bantuan dalam kelengkapan data-data.

    8. Seluruh staf Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata yang telah memberikan bantuan dan kemudahan dalam penyelesaian pendidikan.

    9. Teman-teman seperjuangan di Laboratorium Analisis Lingkungan dan Pemodelan Spasial DKSH serta seluruh teman-teman KSH ceria 38 yang

    telah membuat hari-hari penulis lebih berwarna.

    Bogor, Desember 2005 Penulis

  • RIWAYAT HIDUP

    Penulis dilahirkan di Banyuwangi pada tanggal 13 Juni 1983 dari ayah Drs. Rukis Pribadi, MES dan ibu Dra. Siti Cholidah. Penulis merupakan anak pertama dari 2 (dua) bersaudara. Awal pendidikan formal penulis dimulai pada tahun 1988 di TK. Pertiwi Dharma Wanita Propinsi Lampung dan lulus pada tahun 1989. Kemudian penulis menempuh pendidikan dasar di Sekolah Dasar Negeri 1 Rogojampi-Banyuwangi dan lulus pada tahun 1995. Selanjutnya penulis meneruskan pendidikan menengah pertama di SMP Negeri 1 Malang, lulus pada

    tahun 1998. Penulis melanjutkan pendidikan menengah umum di SMU Negeri 2 Bandar Lampung dan lulus pada tahun 2001. Pada tahun yang sama penulis terdaftar sebagai Mahasiswa program Sarjana pada Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan, Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor, melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI).

    Pada tahun 2004 penulis melaksanakan Praktek Pengenalan dan

    Pengelolaan Hutan (P3H) di Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Banyumas Timur dan Banyumas Barat (Resort Pemangkuan Hutan Baturraden dan Cilacap) Jawa Tengah serta di Getas, Ngawi, Jawa Timur selama + 2 bulan. Penulis juga telah melaksanakan Praktek Kerja Lapang Profesi (PKLP) di Taman Nasional Way Kambas (TNWK) Propinsi Lampung pada bulan Februari April 2005.

    Selama menempuh pendidikan di Fakultas Kehutanan IPB, penulis aktif

    di beberapa organisasi kampus, antara lain: International Forestry Student Association (IFSA) Local Committee IPB dan Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan (HIMAKOVA-KSH IPB). Penulis juga pernah menjadi asisten praktikum untuk mata kuliah Ilmu Ukur Tanah dan Pemetaan Wilayah pada tahun 2003 2004.

    Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Fakultas Kehutanan IPB, penulis melakukan penelitian berjudul Evaluasi Kualitas Air Sungai Way Sulan Kecil Kabupaten Lampung Selatan dibawah bimbingan Ir. Siti Badriyah Rushayati, M.Si dan Ir. Agus Priyono, MS.

  • DAFTAR ISI

    Halaman

    DAFTAR ISI ............................................................................................... i DAFTAR TABEL ....................................................................................... iv DAFTAR GAMBAR ................................................................................... v DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................... vi I. PENDAHULUAN .............................................................................. 1

    1.1. Latar Belakang ............................................................................ 1

    1.2. Tujuan ......................................................................................... 3 1.3. Manfaat ...................................................................................... 3

    II. TINJAUAN PUSTAKA ..................................................................... 4 2.1. Sungai ......................................................................................... 4

    2.2. Kualitas Perairan ......................................................................... 5 2.3. Pencemaran Perairan ................................................................... 6 2.4. Sifat Fisika Perairan..................................................................... 8

    2.4.1. Warna ................................................................................ 8

    2.4.2. Suhu................................................................................... 8 2.4.3. Kekeruhan.......................................................................... 9 2.4.4. Padatan Total ..................................................................... 9 2.4.5. Debit .................................................................................. 10

    2.5. Sifat Kimia Perairan .................................................................... 11 2.5.1. pH...................................................................................... 11 2.5.2. DO (Dissolved Oxygen) ..................................................... 12 2.5.3. COD (Chemical Oxygen Demand) ..................................... 13 2.5.4. BOD (Biochemical Oxygen Demand) ................................ 13 2.5.5. Nitrat ................................................................................. 14 2.5.6. Fosfat................................................................................. 15 2.5.7. Sianida............................................................................... 15

    2.6. Faktor Biologi Perairan................................................................ 16 2.6.1. Makrozoobenthos............................................................... 16

  • 2.7. Kualitas Air, Baku Mutu Air dan Baku Mutu Limbah Cair .......... 18 III METODE PENELITIAN .................................................................. 20

    3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ......................................................... 20 3.2. Bahan dan Alat .............................................................................. 20

    3.3. Metode Pengambilan Data ............................................................. 20 3.3.1. Data Primer.......................................................................... 20 3.3.2. Data Sekunder...................................................................... 23

    3.4. Analisis Data ................................................................................. 23

    3.4.1. Analisis Kualitas Fisik dan Kimia Perairan .......................... 23 3.4.2. Analisis Komunitas Makrozoobentos ................................... 23

    3.4.3. Perhitungan Beban Pencemaran ........................................... 27 IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN ..................................... 28 4.1. Letak ............................................................................................. 28 4.2. Iklim.............................................................................................. 28

    4.3. Tanah dan Topografi...................................................................... 28 4.4. Flora dan Fauna ............................................................................. 29 4.5. Penggunaan Lahan......................................................................... 30 V. HASIL DAN PEMBAHASAN ........................................................... 33

    5.1. Sifat Fisika Kimia Perairan ............................................................ 33 5.1.1. Warna ................................................................................... 33 5.1.2. Suhu ..................................................................................... 35 5.1.3. Kekeruhan ............................................................................ 37 5.1.4. Padatan Terlarut Total (TDS) ................................................ 39 5.1.5. Padatan Tersuspensi Total (TSS)........................................... 41 5.1.6. pH......................................................................................... 43 5.1.7. DO (Dissolved Oxygen) ........................................................ 45 5.1.8. COD (Chemical Oxygen Demand) ........................................ 48 5.1.9. BOD (Biochemical Oxygen Demand).................................... 50 5.1.10.Nitrat ................................................................................... 52 5.1.11.Fosfat................................................................................... 54 5.1.12.Sianida................................................................................. 56

  • 5.2. Struktur Komunitas Makrozoobenthos........................................... 57 5.2.1. Kepadatan .......................................................................... 58 5.2.2. Keseragaman, Dominansi, Keanekaragaman ...................... 59 5.3. Beban Pencemaran Industri Tapioka PT. Florindo Makmur Terhadap Sungai Way Sulan Kecil................................................. 61 VI. KESIMPULAN DAN SARAN........................................................... 65 DAFTAR PUSTAKA ......................................................................... 67

  • DAFTAR TABEL

    No. Teks Halaman 1. Kualitas air dan klasifikasi derajat pencemaran menurut kriteria DO ............................................................................. 13 2. Klasifikasi derajat pencemaran menurut kriteria BOD .......................... 14 3. Klasifikasi makrozoobenthos berdasarkan ketahanannya

    terhadap bahan pencemar ..................................................................... 17 4. Parameter, alat dan metode analisis fisika-kimia yang digunakan ........ 21

    5. Klasifikasi nilai indeks keanekaragaman Shannon-Wiener ................... 24 6. Klasifikasi hubungan indeks keanekaragaman Shannon-Wiener dan tingkat pencemaran perairan .......................................................... 25 7. Kriteria indeks keseragaman................................................................. 25 8. Kriteria indeks dominansi..................................................................... 26 9. Faktor konversi beban limbah industri tepung....................................... 27 10. Jenis-jenis flora yang ada di sekitar lokasi penelitian ............................ 29 11. Jenis-jenis fauna yang ada di sekitar lokasi penelitian........................... 30 12. Jenis-jenis industri yang terdapat di sepanjang aliran Sungai Way Sulan Kecil....................................................................... 31 13. Nilai rata-rata indeks keseragaman, dominansi dan keanekaragaman Shannon-Wiener pada setian stasiun pengamatan ................................. 59 14. Beban pencemaran industri tapioka PT. Florindo Makmur.................... 61 15. Perhitungan beban pencemaran industri tapioka PT. Florindo Makmur ke Sungai Way Sulan Kecil ............................... 62 16. Konsentrasi beban limbah pada zona percampuran (mixing zone) ......... 63

  • DAFTAR GAMBAR

    No. Teks Halaman 1. Peta lokasi pengambilan contoh air dan spesimen makrozoobentos di Sungai Way Sulan.................................................. 22 2. Letak industri-industri di sepanjang aliran Sungai Way Sulan............... 32 3. Hasil pengukuran warna pada Sungai Way Sulan

    di sekitar outlet limbah PT. Florindo Makmur ...................................... 33 4. Hasil pengukuran suhu pada Sungai Way Sulan

    di sekitar outlet limbah PT. Florindo makmur....................................... 35 5. Hasil pengukuran kekeruhan pada Sungai Way Sulan di sekitar outlet limbah PT. Florindo Makmur ...................................... 38 6. Hasil pengukuran TDS pada Sungai Way Sulan di sekitar outlet limbah PT. Florindo Makmur ...................................... 39 7. Hasil pengukuran TSS pada Sungai Way Sulan

    di sekitar outlet limbah PT. Florindo Makmur ...................................... 42 8. Hasil pengukuran pH pada Sungai Way Sulan

    di sekitar outlet limbah PT. Florindo Makmur ...................................... 43 9. Hasil pengukuran DO pada Sungai Way Sulan di sekitar outlet limbah PT. Florindo Makmur ...................................... 45 10. Hasil pengukuran COD pada Sungai Way Sulan

    di sekitar outlet limbah PT. Florindo Makmur ...................................... 49 11. Hasil pengukuran BOD pada Sungai Way Sulan

    di sekitar outlet limbah PT. Florindo Makmur ...................................... 50 12. Hasil pengukuran nitrat pada Sungai Way Sulan di sekitar outlet limbah PT. Florindo Makmur ...................................... 53 13. Hasil pengukuran fosfat pada Sungai Way Sulan

    di sekitar outlet limbah PT. Florindo Makmur ...................................... 55 14. Hasil pengukuran sianida pada Sungai Way Sulan di sekitar outlet limbah PT. Florindo Makmur ...................................... 56 15. Kepadatan makrozoobentos pada setiap stasiun pengamatan................. 58

  • DAFTAR LAMPIRAN

    No. Teks Halaman 1. Hasil pengukuran sifat fisik kimia air Sungai Way Sulan di sekitar

    dan di outlet limbah PT. Florindo Makmur ........................................ 70 2. Jenis dan jumlah makrozoobentos stasiun 1 ....................................... 71 3. Jenis dan jumlah makrozoobentos stasiun 2 ...................................... 72 4. Jenis dan jumlah makrozoobentos stasiun 3 ...................................... 73 5. Jenis dan jumlah makrozoobentos stasiun 4 ....................................... 74 6. Analisis Kepadatan, Keanekaragaman, Keseragaman dan Dominansi stasiun 1 ........................................................................................... 75 7. Analisis Kepadatan, Keanekaragaman, Keseragaman dan Dominansi

    stasiun 2 ........................................................................................... 76 8. Analisis Kepadatan, Keanekaragaman, Keseragaman dan Dominansi

    stasiun 3 ........................................................................................... 77 9. Analisis Kepadatan, Keanekaragaman, Keseragaman dan Dominansi stasiun 4 ........................................................................................... 78 10. Jumlah dan jenis rata-rata makrozoobentos pada setiap stasiun ......... 79 11. Peruntukan air sungai di wilayah Propinsi Lampung

    menurut Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Lampung

    No. G/625/B.VII/HK/1995 ................................................................ 80 12.

    Baku mutu kualitas air golongan B menurut Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Lampung No.G/625/B.VII/HK/1995........... 81

    13. Baku mutu limbah cair untuk industri tapioka

    menurut Keputusan Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup tahun 1991 .................................................... 81 14. Kurva tipe perubahan kualitas air menurut Hynes (1960)..................... 82 15. Contoh gambar makrozoobenthos yang ditemukan di stasiun pengamatan............................................................................ 83

    16. Stasiun-stasiun pengamatan................................................................... 84

  • 17. Peta penutupan lahan DAS Way Sekampung (Sub DAS Way Sulan)........................................................................... 85 18. Data curah hujan Kecamatan Ketibung tahun 1994 2005................... 86 18. Hasil pengukuran sifat fisika-kimia perairan Sungai Way Sulan Kecil 87

    19. Hasil identifikasi makrozoobenthos di seluruh stasiun pengamatan..... 90

  • I. PENDAHULUAN

    1.1. Latar Belakang Industri merupakan salah satu sektor yang memberi kontribusi sangat

    besar dalam peningkatan perekonomian nasional. Propinsi Lampung sebagai propinsi yang terletak di bagian selatan Pulau Sumatera dan paling dekat dengan

    kota metropolitan DKI Jakarta, terus dipacu pertumbuhan industrinya sejak Pembangunan Jangka Panjang Tahap Pertama (PJPT I). Menurut data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) tahun 1997, di Propinsi Lampung terdapat 160 unit industri berstatus PMDN (Penanaman Modal Dalam Negeri) dan 33 unit industri PMA (Penanaman Modal Asing) yang semuanya dikategorikan dalam kelompok industri menengah dan besar (Wiryawan et al., 1999). Berdasarkan jenisnya, sebagian besar unit industri tersebut merupakan industri pengolah hasil pertanian (agro based industry). Industri berskala besar didominasi oleh industri tapioka disusul dengan pengolahan karet dan pabrik gula. Dominasi industri tapioka dipengaruhi oleh ketersediaan bahan baku berupa ubi kayu, dimana Lampung merupakan salah satu propinsi sentra penghasil ubi kayu di Indonesia.

    Industri pengolah hasil pertanian sendiri merupakan jenis industri yang sangat berpotensi mencemari lingkungan jika limbahnya tidak mendapat perlakuan sebagaimana mestinya, mengingat kandungan bahan organik yang ada

    pada buangan industri yang bersangkutan. Berdasarkan catatan Biro Lingkungan Hidup Pemda Lampung, limbah industri yang berpotensi mencemari sungai 85 persennya berasal dari industri pengolah hasil pertanian (agro based industry). Dari seluruh agro based industry yang beroperasi di Propinsi Lampung, industri tapioka berpotensi paling besar dalam mencemari sungai, yaitu sebesar 56 persen.

    Mengutip dari Kompas tanggal 21 Februari 2002, bahwa hampir seluruh

    pabrik atau industri di Lampung merusak lingkungan hidup atau alam sekitarnya. Hal tersebut dikarenakan pelanggaran terhadap persyaratan yang ditetapkan pemerintah dalam konteks pelestarian lingkungan. Setiap tahun pencemaran terjadi pada tiga daerah aliran sungai (DAS) utama Way Seputih, Way Tulang Bawang dan Way Sekampung. Beberapa sungai di Lampung yang diduga

  • tercemar, antara lain Way Tulang Bawang, Way Terusan, Way Pangubuhan, Way Seputih dan Way Sekampung.

    Pencemaran Sungai Way Sekampung disebabkan oleh beban limbah yang langsung dibuang ke perairan Way Sekampung maupun berasal dari aliran

    percabangan sungai yang telah tercemar limbah. Pencemaran mengakibatkan dampak negatif berupa terganggunya ekosistem sungai serta kerusakan lingkungan sekitarnya, terutama di bagian hilir Sungai Way Sekampung yang merupakan daerah sebaran mangrove pada pesisir timur Lampung.

    Hamparan mangrove di pesisir timur Lampung membujur dari daerah Way Sekampung bagian selatan hingga ke utara daerah Way Penet (perbatasan kawasan Taman nasional Way Kambas). Pada ekosistem ini terdapat beberapa jenis burung air seperti Pecuk Ular (Anhinga melanogaster), Bangau Tongtong (Leptotilus javanicus), Milky Stork (Mycterea cinerea), Storms Stork (Ciconia stormi), Pasific Reef Egret atau Kuntul (Egretta sacra) dan Itik (Anas gibberifrons atau Anas quequedula) yang memanfaatkan mangrove di sepanjang pantai timur sebagai tempat mencari makan dan bersarang.

    Aksornkoae (1993) dalam Kusmana et al. (2003) menggambarkan bahwa polutan yang berasal dari pemukiman dan industri dapat menyebabkan

    penurunan kualitas air sehingga menimbulkan tekanan dan gangguan terhadap ekosistem mangrove. Gangguan tersebut berupa peningkatan suhu air, pencemaran oksigen, nutrien, keseimbangan salinitas, hidrologi, sedimentasi, turbiditas, bahan-bahan toksik dan erosi tanah, sehingga mengakibatkan

    terganggunya keseimbangan rantai makanan dan proses alami seperti regenerasi dan pertumbuhan pada ekosistem mangrove itu sendiri maupun pada ekosistem

    sekitar pantai. Gangguan pada ekosistem mangrove juga dapat berdampak pada penurunan fungsinya sebagai habitat satwa, sumber plasma nutfah, penghasil kayu, serta fungsi lainnya.

    Sebagai upaya mencegah serta mengurangi pencemaran lingkungan

    perairan yang telah terjadi di Sungai Way Sekampung dan berbagai dampak negatif yang ditimbulkan, maka perlu dilakukan evaluasi terhadap kualitas air Sungai Way Sekampung maupun percabangannya. Salah satu percabangan

    tersebut adalah Sungai Way Sulan Kecil yang termasuk Sub DAS Way Sulan,

  • DAS Way Sekampung. Di wilayah Sub DAS Way Sulan sendiri terdapat banyak industri yang sebagian besar adalah industri pengolah hasil pertanian, termasuk

    industri tapioka. Berdasarkan hal-hal tersebut, Sungai Way Sulan Kecil diduga memberi kontribusi terhadap pencemaran air pada Sungai Way Sekampung.

    Evaluasi kualitas air Sungai Way Sulan Kecil dilakukan dengan cara membandingkan hasil pengujian yang diperoleh selama penelitian dengan Surat Keputusan Gubernur Lampung No. G/625/B.7/HK/1995 tentang Kualitas Air Badan Penerima dan Keputusan Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan

    Hidup Tahun 1991 tentang Baku Mutu Limbah Cair Industri Tapioka. Dengan demikian akan dapat diketahui kualitas air Sungai Way Sulan Kecil pada saat

    dilakukannya penelitian. Untuk menyajikan hasil penelitian dalam bentuk informasi kualitas perairan juga akan digunakan pendekatan biologis.

    1.2. Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk:

    1. Menentukan status kualitas badan penerima dari faktor fisik-kimia perairan di

    Sungai Way Sulan Kecil. 2. Mengkaji tingkat keanekaragaman jenis biota perairan yang merupakan

    bioindikator kualitas lingkungan perairan. 3. Menghitung besarnya beban pencemaran pabrik tapioka PT. Florindo Makmur

    ke Sungai Way Sulan Kecil.

    1.3. Manfaat Hasil penelitian ini diharapkan dapat:

    1. Memberi gambaran kondisi kualitas fisik-kimia dan biologi perairan di Sub DAS Way Sulan yang mendapat pengaruh limbah industri tapioka.

    2. Sebagai dasar dalam penetapan status kualitas Sungai Way Sulan Kecil. 3. Memberi masukan bagi pemerintah daerah selaku pengambil kebijakan dalam

    pengelolaan lingkungan tentang kondisi air Sungai Way Sulan. Kecil

  • II. TINJAUAN PUSTAKA

    2.1. Sungai Perairan dibagi dalam tiga kategori utama, yaitu tawar, estuaria dan

    kelautan. Habitat air tawar menempati daerah yang relatif kecil pada permukaan bumi bila dibandingkan dengan habitat lainnya, namun peranannya sangat penting bagi manusia yaitu sebagai sistem pembuangan serta digunakan untuk keperluan

    sehari-hari seperti mandi, cuci dan kakus (Michael, 1994 dalam Maranti, 2005). Habitat air tawar merupakan sumber air yang paling praktis dan murah untuk

    kepentingan domestik maupun industri. Habitat ini dibagi menjadi dua kategori yaitu habitat air tergenang atau habitat lentik seperti danau, kolam, rawa atau pasir terapung, serta habitat air mengalir atau habitat lotik seperti mata air, aliran air (brook-creek) atau sungai (Odum, 1993).

    Sungai adalah tempat bermuaranya air dari sumber mata air (hulu) menuju suatu tempat dengan tingkat geografis yang lebih rendah setara dengan ketinggian permukaan laut (hilir). Besar kecilnya sungai sangat tergantung pada aspek daya dukung sekitarnya seperti debit air dari mata air, bentuk geografis

    tanah pendukungnya, struktur geologis, sebaran flora dan fauna yang tumbuh di sekitarnya dan bentang alam secara keseluruhan (Bapedalda Propinsi Lampung, 2004).

    Daerah Aliran Sungai atau DAS diartikan sebagai suatu kawasan yang

    mengalirkan air ke satu sungai utama. DAS adalah suatu wilayah penerima air hujan yang dibatasi oleh punggung bukit atau gunung, dimana semua curah hujan yang jatuh di atasnya akan mengalir di sungai utama dan akhirnya bermuara ke laut, sehingga kualitas air sungai utama akan dipengaruhi oleh masukan-masukan dari anak sungai (Bapedalda Propinsi Lampung, 2003).

    Wilayah Propinsi Lampung dialiri lima sungai besar dan sekitar 25 sungai kecil yang membentuk lima Daerah Aliran Sungai (DAS) utama, yaitu DAS Way Sekampung, DAS Mesuji, DAS Semangka, DAS Seputih dan DAS Tulang Bawang. DAS Sekampung dibagi lagi menjadi 15 Sub DAS, yaitu Sub DAS Sekampung-Batu Tegi, Sub DAS Merabung-Lahan Sukoharjo, Sub DAS

  • Way Tebu, Sub DAS Way Bulok, Sub DAS Way Sekampung Anak, Sub DAS Way Seman, Sub DAS Sekampung Agroguruh, Sub DAS Way Kandis, Sub DAS

    Way Galih, Sub DAS Way Bekarang, Sub DAS Way Sulan, Sub DAS Ketibung, Sub DAS Way Jabung, Sub DAS Way Sragi dan Sub DAS Way Pisang. Way

    Sekampung merupakan salah satu sungai besar di Propinsi Lampung yang termasuk DAS Way Sekampung. Bagian hulu sungai Way Sekampung terletak di daerah pegunungan dan perbukitan di sebelah utara Kecamatan Kota Agung, Lampung Selatan dan bermuara di Laut Jawa.

    2.2. Kualitas Perairan Pengertian kualitas lingkungan (perairan) adalah sebagai faktor biofisika

    kimia yang mempengaruhi kehidupan organisme perairan dalam ekosistemnya. Menurut Wardoyo (1981) dalam Bapedalda (2003), perairan yang ideal adalah perairan yang dapat mendukung organisme dalam menyelesaikan daur hidupnya.

    Sedangkan menurut Boyd (1982) dalam Bapedalda (2003), kualitas lingkungan perairan adalah suatu kelayakan lingkungan perairan untuk menunjang kehidupan dan pertumbuhan organisme air yang nilainya dinyatakan dalam suatu kisaran tertentu.

    Masuknya bahan pencemar dalam perairan dapat mempengaruhi kualitas air dan terkait dengan kapasitas asimilasinya. Apabila kapasitas asimilasi terlampaui, selanjutnya akan menurunkan daya dukung, nilai guna dan fungsi perairan bagi peruntukan lainnya. Kualitas perairan ditentukan oleh nilai kisaran

    parameter yang terukur di lingkungan perairan. Nilai kisaran parameter tersebut secara langsung atau tidak langsung ditentukan oleh proses hidrodinamika suatu

    perairan. Selain itu juga tergantung beberapa faktor seperti intensitas bahan pencemar, iklim, kedalaman arus, topografi dan geografi, sehingga terjadi proses perubahan sifat fisik, kimia dan biologis yang saling berinteraksi. Apabila salah satu faktor terganggu atau mengalami perubahan akan berdampak pada sistem

    ekologi (Bapedalda 2003).

  • Terkait dengan kualitas lingkungan perairan, hasil penelitian yang dilakukan oleh Maranti (2005) menyimpulkan bahwa Sungai Way Sekampung memiliki kualitas dengan status tercemar sedang dengan indeks keanekaragaman Shannon Wiener (H) berkisar 1,02 1,32 dan indeks kemelimpahan antara 15 963 ind/m2. Penelitian dilakukan pada lima stasiun pengamatan yang ditentukan berdasarkan pertimbangan terwakilinya gambaran keadaan perairan sungai Way Sekampung pada beberapa titik pengamatan. Stasiun pengamatan tersebut meliputi daerah sungai yang melalui kawasan perkebunan, persawahan, daerah

    pemukiman penduduk serta kawasan industri. Stasiun pengamatan pertama berada di Desa Sukoharjo I Kecamatan Sukoharjo yang termasuk Sub DAS Sekampung Batu Tegi, dan stasiun terakhir berada di Dusun Sungging Sari Desa Peniangan Kecamatan Jabung yang termasuk Sub DAS Way Jabung. Stasiun terakhir terletak tepat setelah Sungai Way Sekampung mendapat masukan dari aliran Sungai Way Sulan.

    Berdasarkan penelitian tersebut juga dapat diketahui kualitas air Sungai Way Sekampung menurut beberapa parameter fisik dan kimia, antara lain : suhu

    air dari seluruh stasiun pengamatan berkisar antara 28,7C 31,53C, kecerahan

    berkisar 0,1 0,63 m, kecepatan arus 1,26 3,53 m/dt, pH berkisar 6,32 6,63, DO berkisar 3,27 4,27 mg/l, BOD berkisar 5,67 35,67 mg/l, COD berkisar 13,33 72 mg/l, nitrit berkisar 0,04 0,43 mg/l, nitrat berkisar 1,38 6,86 mg/l dan ammonia berkisar 0,21 0,44 mg/l.

    2.3. Pencemaran Perairan Menurut Keputusan Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan

    Hidup No. 02/MENKLH/I/1988 yang dimaksud dengan pencemaran air adalah masuknya atau dimasukkannya zat, makhluk hidup (mikroorganisme patogen), energi (air panas, air dingin dan lain-lain), atau komponen lain (zat radioaktif) ke dalam air dan berubahnya tatanan air oleh kegiatan manusia atau proses alami, sehingga kualitas air turun sampai ke tingkat tertentu, yang menyebabkan air kurang berfungsi sesuai dengan peruntukannya.

  • Definisi pencemaran air menurut Sutamihardja dan Husin (1983) adalah penurunan kualitas air yang disebabkan oleh aktivitas manusia dan

    mengakibatkan bahaya aktual terhadap kesehatan masyarakat atau penurunan manfaat penggunaan air. Sedangkan menurut Fardiaz (1995), polusi air atau pencemaran air adalah penyimpangan sifat-sifat air dari keadaan normal, bukan dari kemurniannya.

    Air yang tersebar di alam tidak pernah terdapat dalam bentuk air murni, tetapi bukan berarti semua air sudah terpolusi. Sebagai contoh, meskipun di

    daerah pegunungan atau hutan yang terpencil dengan udara bersih dan bebas dari polusi, air hujan selalu mengandung bahan-bahan terlarut seperti CO2, O2 dan N2, serta bahan-bahan tersuspensi seperti debu dan partikel-partikel lainnya yang terbawa dari atmosfer. Air permukaan dan air sumur biasanya mengandung bahan-bahan metal terlarut seperti Na, Mg, Ca dan Fe. Air yang mengandung komponen-komponen tersebut dalam jumlah tinggi disebut air sadah. Adanya benda-benda asing yang mengakibatkan air tidak dapat digunakan secara normal disebut polusi. Ciri-ciri air yang mengalami pencemaran sangat bervariasi

    tergantung dari jenis air dan penyebab pencemaran atau komponen yang mengakibatkan sumber pencemaran.

    Husin dan Eman (1991) mengemukakan bahwa terdapat dua jenis sumber pencemaran perairan, yaitu pencemaran yang dapat diketahui secara pasti sumbernya (point sources), misalnya limbah industri dan pencemar yang tidak diketahui secara pasti sumbernya (non point sources) yaitu pencemar yang masuk ke perairan bersama air hujan dan limpasan permukaan. Dilihat dari segi terjadinya pencemaran, maka sumber pencemar perairan dapat berasal secara alami, yaitu disebabkan bencana alam maupun berasal dari aktivitas manusia (anthropogenic), yaitu dari berbagai aktivitas manusia yang menghasilkan limbah

    Untuk mengetahui apakah suatu perairan tercemar atau tidak, dilakukan pengujian penentuan sifat-sifat air agar dapat diketahui apakah terjadi penyimpangan dari batasan-batasan pencemaran air. Sifat-sifat air yang umum diuji dan dapat digunakan untuk menentukan tingkat pencemaran air misalnya: (1) nilai pH, keasaman dan alkalinitas, (2) suhu, (3) warna, bau dan rasa, (4) jumlah

  • padatan, (5) nilai BOD/COD, (6) pencemaran mikroorganisme patogen, (7) kandungan minyak, (8) kandungan logam berat, (9) kandungan bahan radioaktif.

    2.4. Sifat Fisika Perairan

    2.4.1. Warna Warna air yang terdapat di alam sangat bervariasi, misalnya kuning,

    coklat atau kehijauan. Air sungai biasanya berwarna kuning kecoklatan karena mengandung lumpur. Warna air yang tidak normal biasanya menunjukkan adanya polusi. Warna air dapat dibedakan atas dua macam yaitu warna sejati (true color) yang disebabkan oleh bahan-bahan terlarut, dan warna semu (apparent color) yang disebabkan oleh adanya bahan-bahan terlarut dan bahan-bahan tersuspensi,

    termasuk diantaranya yang bersifat koloid (Fardiaz, 1995).

    2.4.2. Suhu Pada lingkungan perairan, suhu merupakan faktor pembatas utama

    karena organisme akuatik sering memiliki toleransi yang sempit terhadap variasi suhu (Odum, 1993). Suhu air sangat penting untuk diketahui secara akurat karena berkaitan dengan kelarutan garam-garam, gas-gas, dan derajat penguraian (disosiasi) garam-garam terlarut demikian pula derajat konduktivitas dan dalam menentukan pH (Sutamihardja dan Husin, 1983). Terhadap organisme perairan, suhu dapat mempengaruhi proses metabolisme dan fisiologis secara luas. Selain

    metabolisme, suhu juga berpengaruh terhadap proses respirasi, tingkah laku, penyebaran, kecepatan makan, pertumbuhan dan reproduksi organisme perairan (Train, 1974 dalam Sutomo, 1999).

    Fardiaz (1995) menyatakan bahwa kenaikan suhu akan mengakibatkan penurunan jumlah oksigen terlarut di dalam air, peningkatan kecepatan reaksi kimia, terganggunya kehidupan ikan dan hewan air lainnya bahkan kematian ikan

    dan hewan air lainnya tersebut jika batas suhu yang mematikan terlampaui. Menurut Welch (1980) dalam Widiastuty (2001), suhu air dengan kisaran 35 - 40C merupakan lethal temperature bagi makrozoobenthos artinya pada suhu

    tersebut organisme bentik telah mencapai titik kritis dan dapat menyebabkan

    kematian.

  • 2.4.3. Kekeruhan Kekeruhan adalah sebuah ukuran dari partikel-pertikel tersuspensi

    seperti lumpur, lempung, bahan organik, plankton dan organisme mikroskopik di dalam air yang biasanya terdapat pada suspensi oleh aliran turbulen dan gerak

    brown. Jumlah material padat pada suspensi di dalam air dapat merupakan hasil dari erosi secara alami, run-off dan blooming algae, maupun disebabkan oleh penambahan material tersebut oleh manusia. Kekeruhan yang tinggi akan mengurangi fotosintesis tumbuhan yang hidup di bawah permukaan air, perakaran

    vegetasi perairan dan ganggang, dimana penurunan pertumbuhan ini pada gilirannya akan menekan produktivitas ikan (Sutamihardja dan Husin, 1983).

    Kekeruhan dan kecerahan merupakan parameter penting dalam menentukan produktivitas suatu perairan. Tingkat kekeruhan suatu perairan berbanding terbalik dengan tingkat kecerahannya atau meningkatnya kekeruhan akan menurunkan kecerahan perairan. Koesoebiono (1979) dalam Suriani (2000) menyatakan bahwa pengaruh utama dari kekeruhan adalah penurunan penetrasi cahaya secara mencolok sehingga menyebabkan penurunan aktivitas fotosintesis

    algae dan fitoplankton. Menurunnya aktivitas fotosintesis ini berakibat pada penurunan produktivitas perairan.

    Biasanya kondisi air yang keruh kurang disukai oleh bentos. Pengendapan partikel tanah yang berlebihan menyebabkan penurunan hewan bentos. Beberapa peneliti menyebutkan bahwa pengendapan partikel tanah yang berlebihan dapat menyebabkan penurunan kelimpahan makrozoobentos di sungai

    sebesar 25% - 50%.

    2.4.4. Padatan Total Padatan total terdiri dari padatan terlarut (Total Dissolved Solid) dan

    padatan tersuspensi (Total Suspended Solid) yang dapat bersifat organis dan inorganis. Selanjutnya padatan tersuspensi sendiri dapat diklasifikasikan lagi menjadi zat padat terapung yang selalu bersifat organis dan zat padat terendap yang dapat bersifat organis dan inorganis (Alaerts dan Santika, 1984). Kehadiran padatan total pada suatu perairan mengindikasikan jumlah bahan organik dan

  • mineral yang bersifat non-volatil (tidak menguap) pada suhu tertentu (Klein, 1971). a. Padatan Tersuspensi

    Padatan tersuspensi adalah padatan yang menyebabkan kekeruhan air,

    tidak terlarut dan tidak dapat mengendap langsung. Padatan tersuspensi terdiri dari partikel-partikel yang ukuran maupun beratnya lebih kecil daripada sedimen, misalnya tanah liat, bahan-bahan organik tertentu, sel-sel mikroorganisme, dan sebagainya. Air buangan industri mengandung jumlah padatan tersuspensi dalam jumlah yang sangat bervariasi tergantung dari jenis industrinya. Air buangan industri-industri makanan, terutama industri fermentasi dan industri tekstil sering

    mengandung padatan tersuspensi dalam jumlah relatif tinggi (Fardiaz, 1995). Jika pada padatan tersuspensi berupa bahan organik dengan kadar yang

    tinggi, proses pembusukan sangat mungkin terjadi sehingga akan menurunkan/menghabiskan oksigen terlarut dalam perairan. Bahan mineral dan

    organik tersuspensi dapat menjadi endapan yang menutupi dasar aliran sehingga menyebabkan kematian pada tumbuhan dan hewan perairan (Klein, 1971). b. Padatan Terlarut

    Padatan terlarut adalah padatan-padatan yang mempunyai ukuran lebih

    kecil daripada padatan tersuspensi. Padatan ini terdiri dari senyawa-senyawa anorganik dan organik yang larut air, mineral dan garam-garamnya (Fardiaz, 1995). Agregat TDS dapat berupa substansi-substansi karbonat, bikarbonat, klorida, sulfat, phospat, nitrat, serta garam-garam kalsium, magnesium, sodium

    potasium dan lain-lain (Sutamihardja, 1983).

    2.4.5. Debit Debit air adalah volume air yang mengalir pada suatu penampang

    melintang sungai per satuan waktu. Data debit air sungai memberikan informasi mengenai jumlah air yang mengalir pada waktu tertentu. Oleh karena itu, data debit air berguna untuk mengetahui cukup tidaknya penyediaan air untuk berbagai keperluan (domestik, irigasi, pelayaran, tenaga listrik dan industri), pengelolaan DAS, pengendalian sedimen, prediksi kekeringan dan penilaian beban pencenaran

    air (Puslitbang Pengairan, 1989 dalam Perdani, 2001).

  • Mason (1981) menyebutkan bahwa debit air merupakan fungsi dari kecepatan arus rata-rata dengan luas potongan melintang sungai. Kecepatan arus yang

    berkaitan dengan debit air ditentukan oleh keterjalan permukaan, tingkat tingkat kekasaran, kedalaman dan lebar sungai. Klasifikasikan sungai berdasarkan

    arusnya, yaitu : berarus sangat cepat (>100 cm/dt), berarus cepat (50 100 cm/dt), berarus sedang (25 50 cm/dt), berarus lambat (10 25 cm/dt) dan berarus sangat lambat (

  • 2.5.2. DO (Dissolved Oxygen) Pada perairan umum, konsentrasi oksigen sangat penting selain bagi

    kelangsungan hidup biota di dalamnya tetapi juga menentukan kemampuan air untuk membersihkan diri secara alamiah dari bahan pencemar. Oksigen pada

    ekosistem perairan terutama dihasilkan dari aktivitas fotosintesis. Selain itu juga diperoleh melalui difusi langsung dari udara (Odum, 1993).

    Menurut Goldman dan Horne (1983), faktor lingkungan yang paling penting dalam mengatur konsentrasi oksigen dan karbondioksida adalah

    temperatur. Selain temperatur, juga tergantung dari (1) fotosintesis tanaman, (2) respirasi seluruh organisme , (3) aerasi air, (4) kehadiran gas-gas lain, dan (5) reaksi kimia yang mungkin terjadi. Angin memainkan peranan yang sangat penting dalam kelarutan dan distribusi oksigen di dalam air karena memberi energi yang memungkinkan gas oksigen untuk berpindah antar kolom air. Sedangkan menurut Fardiaz (1995), bervariasinya konsentrasi oksigen terlarut dalam keadaan jenuh tergantung dari suhu dan tekanan atmosfer. Semakin tinggi suhu air, semakin rendah tingkat kejenuhan. Konsentrasi oksigen terlarut yang terlalu rendah akan mengakibatkan ikan-ikan dan binatang air lainnya yang membutuhkan oksigen akan mati. Sebaliknya, konsentrasi oksigen yang terlalu

    tinggi juga mengakibatkan proses pengkaratan semakin cepat karena akan mengikat hidrogen yang melapisi permukaan logam.

    Kandungan oksigen di perairan dapat dijadikan petunjuk tentang adanya bahan organik. Limbah organik yang masuk ke dalam perairan akan mengalami

    dekomposisi. Proses ini merupakan aktivitas bakteri yang memerlukan oksigen terlarut dalam perairan. Oleh karena itu, pesatnya aktivitas bakteri dalam

    menguraikan bahan organik di perairan akan menurunkan oksigen terlarut. Kandungan oksigen terlarut akan semakin rendah jika masukan limbah ke perairan semakin besar. Hal ini berhubungan dengan semakin bertambahnya aktivitas dekomposisi dalam menguraikan limbah yang masuk (Abel, 1989 dalam Bapedalda Propinsi Lampung, 2003).

  • Menurut Nemerow (1991), nilai DO merupakan unsur pokok yang paling sering digunakan untuk mengamati pengaruh polusi organik pada suatu

    perairan. Parameter ini sendiri terkadang memberikan hasil pemeriksaan yang cukup mewakili kondisi aktual. Lee et al. (1978) dalam Bapedalda Propinsi Lampung (2003), membedakan kualitas air berdasarkan kandungan oksigen yang terlarut dalam air seperti terlihat pada Tabel 1. Tabel 1. Kualitas air dan klasifikasi derajat pencemaran menurut kriteria DO (Lee et al., 1978 dalam Bapedalda Propinsi Lampung, 2003)

    No. Golongan Kandungan DO (mg/l) Kualitas Air 1. 2. 3. 4.

    I II III IV

    >6,0 4,5 6,0 2,0 4,5

  • Nilai BOD tidak menunjukkan jumlah bahan organik yang sebenarnya, tetapi hanya mengukur secara tidak langsung jumlah oksigen yang dibutuhkan untuk mengoksidasi bahan organik. Jika konsumsi oksigen tinggi yang ditunjukkan oleh semakin kecilnya sisa oksigen terlarut, berarti terdapat kandungan bahan organik yang membutuhkan banyak oksigen.

    Menurunnya oksigen terlarut dalam air dapat menyebabkan terganggunya proses metabolisme suatu biota perairan. Jika konsentrasi oksigen yang terlarut terlalu rendah. Mikroorganisme aerobik tidak dapat hidup dan

    berkembangbiak. Namun sebaliknya, mikroorganisme yang bersifat anaerob akan menjadi aktif (Bapedalda Propinsi Lampung, 2003).

    Seperti halnya pada klasifikasi derajat pencemaran menurut kandungan DO, kualitas air juga dapat digolongkan berdasarkan kriteria BOD suatu perairan. Klasifikasi derajat pencemaran berdasarkan BOD dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Klasifikasi derajat pencemaran menurut kriteria BOD (Lee et al., 1978

    dalam Bapedalda Propinsi Lampung,2003) No. Kandungan BOD (mg/l) Kualitas Air 1. 2. 3. 4.

  • sumber-sumber nitrogen dalam air meliputi hancuran bahan organik, buangan domestik, limbah industri, limbah peternakan, dan pupuk.

    2.5.6. Fosfat Fosfat merupakan senyawa yang mengandung ion unsur fosfor. Fosfor

    dalam air terjadi baik sebagai bahan padat maupun bentuk terlarut. Fosfor padat dapat terjadi sebagai suspensi garam-garam yang tidak larut, dalam bahan biologik, atau teradsorpsi dalam bahan padat. Fraksi yang paling baik dari

    senyawa fosfat yang terlarut paling mungkin terdapat dalam bentuk senyawa organik yang terlarut. Fosfor anorganik yang terlarut terjadi terutama sebagai bentuk ion ortofosfat. Kenaikan konsentrasi fosfat menyatakan adanya zat pencemar.

    Menurut Mahida (1984), fosfor adalah komponen yang sangat penting dalam permasalahan air dan merupakan salah satu dari beberapa unsur kunci yang

    esensial untuk pertumbuhan ganggang dalam air. Sumber-sumber fosfor adalah pencemaran industri, hanyutan dari pupuk, limbah domestik, hancuran bahan

    organik, dan mineral-mineral fosfat. Fosfat dari deterjen dalam limbah domestik dan industri merupakan sumber yang paling memegang peranan penting dalam

    kelebihan hara fosfor dalam air.

    2.5.7. Sianida

    Keberadaan sianida merupakan sifat khas penting yang yang membedakan sampah industri dari limbah domestik normal (Mahida, 1984). Industri tapioka berpotensi besar dalam menghasilkan limbah dengan kandungan sianida sangat tinggi. Hal ini disebabkan umbi singkong (ubi kayu) sebagai bahan baku industri tapioka mengandung asam sianida dengan konsentrasi besar.

    Sumber cemaran sianida pada industri tapioka terutama pada limbah

    cairnya. Limbah cair industri tapioka berupa sisa air buangan dari proses pencucian dan penyaringan, banyak mengandung karbohidrat berupa pati serta

    cemaran lain yang terlarut. Salah satu cemaran yang ikut terlarut dalam air buangan adalah asam sianida dengan kadar 80% sampai 90% (Sukamto, 1998).

  • Asam sianida merupakan senyawa racun yang cukup mematikan. Keracunan sianida dapat menimbulkan kerusakan hati, kepala pusing, muntah-

    muntah, mata berkunang-kunang, gangguan sistem pernapasan dan pada konsumsi dengan dosis 0,5 3,5 mgHCN/kg berat badan dapat menyebabkan kematian.

    2.6. Faktor Biologi Perairan

    2.6.1. Makrozoobenthos

    Gangguan lingkungan seperti terjadinya pencemaran dapat menyebabkan terjadinya perubahan pada struktur dan fungsi sistem biologi. Fenomena tersebut menjadi dasar percobaan untuk mengukur tingkat dan beratnya pencemaran dengan cara menganalisis perubahan pada sistem biologi.

    Bentos merupakan organisme yang melekat atau beristirahat pada dasar atau hidup di dasar endapan (Odum, 1993). Sedangkan zoobenthos merupakan hewan yang menghabiskan seluruh atau sebagian besar waktu hidupnya pada atau di dekat sedimen. Biasanya zoobenthos tersebar dalam grup hewan-hewan kecil

    yang terdiri dari larva serangga, crustacea dan molusca. Golongan utama yang biasanya dianggap sebagai makrozoobenthos adalah insekta, mollusca, Oligochaeta, Hirudinea, Gastropoda, Pelecypoda, Crustacea, Plecoptera, Odonata, Ephemaraptera, Hemiptera, Megaloptera, Trichoptera, Coleoptera, dan Diptera.

    Dibandingkan dengan organisme lainnya, makrozoobenthos lebih efektif dalam penentuan kualitas air. hal ini disebabkan oleh beberapa alasan antara lain

    (Widiastuty, 2001) : 1. Mempunyai sifat hidup yang relatif menetap meskipun kualitas air tidak

    mengalami perubahan. 2. Termasuk sebagai hewan yang menghuni habitat aquatik dalam spektrum luas

    dengan berbagai kualitas air. 3. Mempunyai masa hidup relatif lama (beberapa bulan hingga dua tahun)

    sehingga keberadaannya memungkinkan untuk merekam kualitas lingkungan di sekitarnya.

    4. Mempunyai beberapa jenis yang memberikan respon berbeda terhadap kualitas air.

  • 5. Rata-rata lebih mudah untuk diidentifikasi dibandingkan dengan jenis bioindikator lainnya.

    6. Mudah dalam pengumpulannya. Patrick (1950) dalam Nemerow (1991) mengelompokkan organisme

    yang dapat digunakan sebagai indikator biologi kondisi sungai dalam tujuh kelompok taksonomi, yaitu:

    1. Ganggang biru-hijau (blue-green algae), beberapa ganggang hijau dan rotifera.

    2. Oligochaeta, lintah (leeches), siput (snails). 3. Protozoa

    4. Diatoms, ganggang merah (red algae), dan sebagian besar ganggang hijau. 5. Semua rotifera (kecuali pada poin pertama) ditambah remis besar atau

    semacam kijing (clams), cacing, dan beberapa siput. 6. Semua insecta dan crustacea. 7. Semua ikan.

    Wilhm (1975) mengklasifikasikan makrozoobenthos menjadi tiga kelompok berdasarkan tingkat ketahanannya terhadap bahan pencemar seperti pada Tabel 3.

    Tabel 3. Klasifikasi makrozoobenthos berdasarkan ketahanannya terhadap bahan pencemar

    No. Kelompok Jenis Makrozoobenthos 1.

    2.

    3.

    Sangat tahan terhadap bahan pencemar (toleran)

    Ketahanan sedang, lebih menyukai air jernih (fakultatif)

    Tidak tahan terhadap pencemar dan hanya menyukai air bersih (intoleran)

    Cacing tubifisida, lintah, larva, siput toleran khususnya Musculium dan Pisidium

    Jenis-jenis siput yang menyukai perairan berarus, Insecta, Crustacea

    Siput dari famili Viviparidae, Amnicolidae, Insecta atau larva insecta atau nimfa ordo Ephemeridae, Odonata, Neuroptera, Hemiptera, dan Coleoptera.

    Sumber : Wilhm (1975)

  • 2.7. Kualitas Air, Baku mutu Air dan Baku Mutu Limbah Cair Kualitas air adalah karakter (sifat) air yang digambarkan oleh nilai-nilai

    dari berbagai macam faktor atau karakteristik atau komponen kualitas air (yang sering disebut sebagai parameter kualitas air). Karakteristik-karakteristik tersebut menggambarkan kondisi fisik-kimia dan mikrobiologi dari air. Kualitas air yang diinginkan dinyatakan dalam nilai (beberapa diantaranya bisa disebut sebagai kadar atau konsentrasi) tertentu. Tidak semua nilai yang rendah selalu berarti baik, sebab komponen yang berfungsi sebagai nutrien biasanya diperlukan dalam

    jumlah tertentu. Bila jumlah nutrien terlalu rendah dapat menyebabkan defisiensi, tetapi bila terlalu tinggi menyebabkan keracunan. Maka dapat dikatakan bahwa

    kualitas air ditentukan oleh konsentrasi bahan pencemar di dalam air. Agar tidak terjadi penurunan kualitas air, maka muatan yang dibuang ke perairan harus dibawah atau sama dengan daya tampung beban pencemaran.

    Peraturan Pemerintah No. 20 tahun 1990 mendefinisikan daya tampung beban pencemaran sebagai kemampuan air pada sumber air menerima beban pencemaran limbah tanpa mengakibatkan turunnya kualitas air sehingga melewati

    baku mutu air yang ditetapkan sesuai dengan peruntukannya. Pada pasal 7 Peraturan Pemerintah No. 20 tahun 1990 ditetapkan penggolongan air menurut peruntukannya sebagai berikut: Golongan A : Air yang dapat digunakan sebagai air minum secara langsung

    tanpa pengolahan terlebih dahulu; Golongan B : Air yang dapat digunakan sebagai air baku air minum;

    Golongan C : Air yang dapat digunakan untuk keperluan perikanan dan peternakan;

    Golongan D : Air yang dapat digunakan untuk keperluan pertanian, dan dapat dimanfaatkan untuk usaha perkotaan, industri, pembangkit listrik tenaga air.

    Peruntukan air sesuai dengan penggolongannya sebagaimana yang dimaksudkan

    pada pasal 7, dapat ditetapkan oleh Gubernur Kepala Daerah Tingkat I dengan ketentuan persyaratan yang ditetapkan sebagai dasar penggolongan sama dengan atau lebih ketat daripada peraturan pemerintah tersebut.

  • Baku mutu air adalah batas atau kadar makhluk hidup, zat, energi, atau komponen lain yang ada atau harus ada dan atau unsur pencemaran yang

    ditenggang adanya dalam air pada sumber air tertentu sesuai dengan peruntukannya. Sedangkan baku mutu limbah cair adalah batas kadar dan jumlah unsur pencemaran yang ditenggang adanya dalam limbah cair untuk dibuang dari satu jenis kegiatan tertentu. Untuk dapat digunakan sebagai acuan dalam memantau kualitas air, baku mutu air, daya tampung limbah dan baku mutu limbah cair ini ditinjau secara berkala sekurang-kurangnya sekali dalam lima tahun.

  • III. METODE PENELITIAN

    3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Pengambilan data kualitas air Sungai Way Sulan Kecil dilaksanakan pada

    aliran Sungai Way Sulan Kecil di sekitar outlet limbah industri tapioka PT. Florindo Makmur, Kabupaten Lampung Selatan, Propinsi Lampung. Pengambilan contoh air dilakukan pada lima lokasi, sedangkan pengambilan spesimen

    makrozoobenthos dilakukan pada empat lokasi. Kedua jenis pengambilan contoh tersebut masing-masing dilakukan sebanyak tiga ulangan. Waktu penelitian baik

    penelitian di lapangan, analisis laboratorium, maupun pengambilan data sekunder dilaksanakan selama dua bulan yaitu pada bulan Juni sampai Juli 2005.

    3.2. Bahan dan Alat Bahan yang dipergunakan untuk penelitian adalah zat kimia terdiri dari

    H2SO4 0,1 N untuk mengawetkan sampel air dan larutan formalin 3% dalam air

    untuk mengawetkan spesimen benthos. Sedangkan alat-alat yang digunakan meliputi pH meter, termometer Hg, water sampler, jerigen 1 liter, botol plastik, tempat plastik, plastik hitam, pipet, Ekman grab, dan saringan. Peralatan lain disesuaikan dengan parameter fisika-kimia dan biologi perairan yang diukur dan metode analisisnya.

    3.3. Metode Pengambilan Data 3.3.1. Data Primer a. Parameter Fisika dan Kimia Perairan

    Data parameter fisika dan kimia diperoleh dari pengambilan contoh air Sungai Way Sulan Kecil pada lima stasiun (lokasi). Stasiun I berada pada aliran sungai setelah menerima limbah dari industri-industri di Kawasan Industri

    Lampung (PT.KAIL), industri pakan ternak, pengalengan rajungan dan pengalengan minuman. Stasiun 1 berjarak 200 m sebelum melewati bagian perairan yang menerima limbah industri tapioka. Stasiun II berada pada aliran

    sungai pada saat menerima air buangan (limbah) industri tapioka, stasiun III

  • berada pada aliran sungai yang berjarak 200 m setelah stasiun II dan stasiun IV merupakan aliran sungai dimana pengaruh limbah industri diperkirakan telah

    berkurang. Stasiun IV terletak sebelum percabangan dengan sungai lain. Lokasi stasiun pengambilan contoh air dan spesimen makrozoobentos dapat dilihat pada

    Gambar 1. Dilakukan pula pengambilan contoh limbah cair pada outlet IPAL pabrik tapioka yang mengalirkan ke Sungai Way Sulan Kecil.

    Pengambilan contoh air yang dianalisis dilakukan sesuai dengan titik-titik sampling yang telah ditetapkan dari badan sungai dan dilakukan secara

    komposit sebanyak tiga ulangan dengan interval waktu satu minggu sekali. Pada analisis fisika dan kimia air Sungai Way Sulan Kecil, parameter fisika dan kimia

    yang diukur dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Parameter, alat dan metode analisis fisika-kimia yang digunakan

    No. Parameter Satuan

    Alat/Metode Analisis

    Keterangan

    1. 2. 3. 4. 5.

    1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.

    Fisika Warna Suhu TDS TSS Kekeruhan

    Kimia pH DO COD BOD Nitrat (NO3) Fosfat (PO4) Sianida (CN-)

    PtCo C

    mg/l mg/l NTU

    Unit mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l

    Spektrofotometrik Termometer Gravimetrik Gravimetrik Turbidity meter

    pH meter Titrimetrik Titrimetrik Titrimetrik Spektrofotometrik Spektrofotometrik Titrimetrik

    Laboratorium In situ Laboratorium Laboratorium Laboratorium

    In situ Laboratorium Laboratorium Laboratorium Laboratorium Laboratorium Laboratorium

    b. Parameter Biologi Contoh benthos diambil pada daerah (lokasi) yang sama dengan stasiun

    pengambilan contoh air (parameter fisika-kimia). Pengambilan dilakukan dengan Surber Net. Kemudian spesimen benthos yang terambil dipisahkan dari lumpur dan benda lain dengan saringan. Spesimen bentos dimasukkan ke dalam tempat plastik lalu diberi larutan kimia pengawet (formalin 3%). Identifikasi dilakukan di Laboratorium Zoologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Lampung.

  • Gambar 1. Peta lokasi pengambilan contoh air dan spesimen makrozoobentos di Sungai Way Sulan Kecil.

  • 3.3.2. Data Sekunder Data sekunder yang dikumpulkan meliputi:

    1. Peta penggunaan lahan DAS Sekampung (Sub DAS Way Sulan). 2. Data kualitas DAS Way Sekampung pada musim kemarau tahun 2005. 3. Data curah hujan rata-rata bulanan selama sepuluh tahun terakhir. 4. Data kapasitas produksi dan volume limbah PT. Florindo Makmur.

    3.4. Analisis Data 3.4.1. Analisis Kualitas Fisika dan Kimia Perairan

    Analisis data untuk parameter fisika dan kimia air Sungai Way Sulan

    Kecil yaitu dengan membandingkan hasil pengukuran dengan SK Gubernur Lampung No. G/625/B.7/HK/1995 tentang Kualitas Air Badan Penerima. Untuk hasil pengukuran pada outlet limbah tapioka dibandingkan dengan Keputusan Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup tahun 1991 tentang Baku Mutu Limbah Cair Industri Tapioka.

    3.4.2. Analisis Komunitas Makrozoobenthos Analisis makrozoobenthos dilakukan untuk mengetahui pengaruh

    perubahan kualitas fisika dan kimia perairan terhadap komunitas makrozoobenthos sebagai indikator biologis pada perairan yang dinamis (mengalir). Dengan mengetahui struktur komunitas makrozoobenthos juga dapat diketahui kondisi dan tingkat kualitas suatu perairan. Analisis komunitas

    makrozoobenthos meliputi perhitungan kepadatan, indeks keanekaragaman, keseragaman dan dominansi.

  • a. Kepadatan Odum (1993) mendefinisikan kepadatan sebagai jumlah individu suatu

    jenis per stasiun (ind/m2). Kepadatan dihitung dengan rumus :

    K = b

    a.1000

    dimana: K = Kepadatan makrozoobenthos (ind/m2) a = Jumlah makrozoobenthos yang dihitung (individu) b = Luas bukaan transek surber atau Ekmen Grab

    (20 x 20 cm2) dengan nilai 1000 merupakan konversi dari cm2 ke m2

    b. Indeks Keanekaragaman Salah satu cara terbaik untuk mengetahui dan menilai tingkat

    pencemaran pada suatu perairan adalah dengan menghitung indeks keanekaragaman jenis makrozoobenthosnya. Indeks keanekaragaman yang digunakan adalah indeks diversitas Shannon-Wiener. Indeks tersebut tidak

    tergantung pada besarnya contoh, yang berarti bahwa dengan contoh yang sedikit dapat diperoleh indeks yang dapat dipercaya untuk keperluan pembandingan

    sehingga cocok untuk pengukuran keanekaragaman makrozoobenthos pada perairan dengan jumlah spesies sedikit. Untuk keperluan ini hanya diperlukan kemampuan membedakan jenis tanpa harus mengidentifikasinya (Odum, 1993). Indeks keanekaragaman Shannon-Wiener (H) dihitung dengan rumus :

    H = -=

    S

    Ipipi

    1ln

    dimana: H = indeks keanekaragaman

    pi = Nni

    N = jumlah total individu ni = jumlah individu jenis ke-i

    s = jumlah jenis Nilai H dari hasil perhitungan dengan rumus di atas mencerminkan tingkat keanekaragaman, penyebaran dan stabilitas komunitas yang klasifikasinya dapat dilihat pada Tabel 5.

  • Tabel 5. Klasifikasi nilai indeks keanekaragaman Shannon-Wiener (H)

    Nilai Indeks Shannon Kategori

    >3

    1 3

    3 1 3 < 1

    Air bersih Tercemar sedang Tercemar berat

    Sumber : Wilhm dan Doris (1968) dalam Wilhm (1975)

    c. Indeks Keseragaman Keseragaman (equitibilitas) merupakan salah satu komponen utama

    keanekaragaman yang menyatakan pembagian individu yang merata di antara

    jenis. Indeks keseragaman dihitung untuk mengetahui pola dominansi suatu jenis atau beberapa kelompok jenis dalam suatu komunitas organisme.

    E = maksHH'

    '

    dimana: E = indeks keseragaman (skala 0 1) H = indeks keanekaragaman Shannon-Wiener Hmaks = indeks keanekaragaman maksimum

    = ln S (dimana S adalah jumlah jenis dalam komunitas)

  • Indeks keseragaman (E) menggambarkan tingkat keseragaman jenis. Kriteria indeks keseragaman dapat dilihat pada Tabel 7.

    Tabel 7. Kriteria indeks keseragaman

    Indeks Keseragaman (E) Tingkat Keseragaman Jenis < 0,4

    0,4 0,6 > 0,6

    Keseragaman jenis rendah Keseragaman jenis sedang Keseragaman jenis tinggi

    Sumber : Fitriyana (2004) Semakin kecil nilai E, maka semakin kecil pula keseragaman

    populasinya. Hal tersebut menggambarkan penyebaran jumlah individu tiap jenis tidak sama atau ada kecenderungan dominasi dari satu spesies. Untuk nilai E yang

    mendekati 1 berarti sebaran individu-individu antar jenis relatif merata. Tetapi untuk nilai E mendekati 0 menggambarkan sebaran individu yang tidak merata

    atau terdapat sekelompok jenis tertentu yang kelimpahannya relatif lebih besar daripada jenis lainnya (dominan). Dalam memperkirakan terjadinya pencemaran di lingkungan perairan, perhitungan nilai E menggambarkan kemampuan sekelompok jenis tertentu yang telah mampu beradaptasi dengan kondisi tingkat pencemaran tertentu.

    d. Indeks Dominansi Untuk mengetahui adanya dominansi satu jenis atau beberapa kelompok

    jenis dalam suatu komunitas, selain menggunakan indeks keseragaman juga dilakukan dengan perhitungan indeks dominansi. Indeks dominansi menyatakan derajat dimana dominansi dipusatkan dalam satu, beberapa, atau banyak jenis. Dengan arti lain, indeks dominansi dihitung untuk menentukan spesies tertentu

    yang mendominasi suatu komunitas (Odum, 1993).

    D = 2

    1

    =

    ni N

    ni

    dimana: D = indeks dominansi ni = jumlah individu jenis ke-I N = jumlah seluruh individu

  • Kriteria indeks dominansi seperti pada Tabel 18 berikut. Tabel 8. Kriteria indeks dominansi

    Indeks Dominansi (D) Kategori Dominansi Jenis < 0,4

    0,4 0,6 >0,6

    Dominansi rendah Dominansi sedang Dominansi tinggi

    Sumber : Udayana (1997)

    3.4.3. Perhitungan Beban Pencemaran Atas dasar jenis sumber pencemar yang diketahui, maka beban

    pencemaran dapat diketahui pula, yaitu dengan menggunakan faktor konversi.

    Beban pencemaran pada limbah cair industri tapioka PT. Florindo Makmur ke Sungai Way Sulan Kecil, sesuai besarnya kapasitas produksi. Pada setiap ton

    produk berupa tepung tapioka akan dihasilkan satuan volume limbah yang mengandung beban pencemaran dengan nilai tertentu (faktor konversi beban limbah). Sehingga besarnya beban limbah/beban pencemaran pada suatu proses produksi adalah hasil kali antara besarnya kapasitas produksi dengan faktor

    konversi beban limbah. Faktor konversi beban limbah untuk indutri tepung dapat dilihat pada Tabel 19. Tabel 9. Faktor konversi beban limbah industri tepung

    Beban Limbah Satuan BOD COD SS TDS

    kg/ton 13,4 21,83 9,7 42,3 Sunber : Djajadiningrat dan Amir (1989) Keterangan : BOD (Biochemical Oxygen Demand), COD (Chemical Oxygen Demand), SS (Suspended Solid), TDS (Total Suspended Solid).

  • Konsentrasi beban limbah di zona percampuran (mixing zone) dapat diketahui dengan cara :

    a. Pengukuran langsung

    b. Model Pengenceran Sungai (Mixing zone)

    QwQuCwxQwCuxQuCd

    +

    +=

    Dimana : Cd = Kadar air di hilur

    Cw = Kadar air dalam limbah Cu = Kadar air di hulu

    Qw = Debit limbah Qu = Debit sungai di hulu

    c. Perhitungan konsentrasi menggunakan hasil faktor konversi

    QBLC =

    Dimana : C = Konsentrasi limbah (mg/l) BL = Beban pencemaran (mg/dt) Q = Debit air (l/dt)

  • IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

    4.1. Letak Penelitian ini dilakukan di aliran Sungai Way Sulan Kecil. Secara

    administrasi, lokasi penelitian merupakan wilayah Desa Neglasari, Kecamatan Katibung, Kabupaten Lampung Selatan, Propinsi Lampung. Sedangkan Sungai Way Sulan Kecil termasuk dalam Sub DAS Way Sulan yang merupakan bagian

    DAS Way Sekampung.

    4.2. Iklim Berdasarkan data curah hujan dan hari hujan bulanan, tipe iklim yang ada di

    wilayah studi berdasarkan klasifikasi iklim Scmidth & Ferguson (1951) adalah tipe iklim B dengan curah hujan berkisar antara 2000 3000 mm/th. Suhu rata-rata udara berkisar antara 28 - 30C, dengan kelembaban relatif antara 5062%.

    Sedangkan berdasarkan klasifikasi iklim menurut Oldeman (1978), daerah setempat termasuk dalam zone agroklimat C3, karena mempunyai bulan basah dengan curah hujan >200 mm selama 4 sampai 5 bulan berturut-turut dan bulan kering (curah hujan

  • 4.4. Flora dan Fauna Jenis-jenis tanaman yang terdapat di sekitar lokasi penelitian pada umumnya

    merupakan tanaman budidaya dan sebagian kecil merupakan semak belukar. Sedangkan jenis fauna yang terdapat di sekitar lokasi penelitian sebagian besar merupakan hewan peliharaan. Jenis-jenis flora yang ada di sekitar lokasi penelitian disajikan pada Tabel 10 dan jenis-jenis fauna disajikan pada Tabel 11. Tabel 10. Jenis-Jenis flora yang ada di sekitar lokasi penelitian

    No. Nama Daerah Nama Ilmiah 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.

    10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25.

    Bambu Cente Manis Senggani Babadotan Rumput teki Putri malu Ilalang Waru Ceplukan blungsum Rumput mendongan Sikejut Pisang Mangga Ubi kayu Rambutan Pepaya Kelapa Jagung Sengon Nangka Durian Rambutan Melinjo Jengkol Jati

    Bambusa sp. Lantana camara

    Melastoma polyantum Ageratum conyzoides Cyperus rotundus Mimosa pudica Imperata cylindrica Hibiscus tiliaceus Passiflora foetida Fimbristilis ferruginea Mimosa sp. Musa paradisiaca Mangifera indica Manihot utilisima Nephelium lappaceum Carica papaya Cocos nucifera Zea mays

    Paraserianthes falcataria Arthocarpus integra Durio zibethinus Nephelium sp. Gnetum gnemon Pithecellobium lobatum Tectona grandis

  • 26. 27. 28

    Kelapa sawit Kopi Kemiri

    Elaeis quinensis Coffea robusta Aleurites moluccana

    Tabel 11. Jenis-jenis fauna yang ada di sekitar lokasi penelitian

    No. Nama Daerah Nama Latin 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.

    10. 11. 12.

    Sapi Kerbau Kambing Kadal Cecak Burung gereja Ayam Belalang daun Jangkrik Kupu-kupu Capung Kodok

    Bos indicus Bos bubalus Capra spec Mabuya multifasciata Calotes jubatus Passer montanus

    Gallus sp. Tettigonia sp. Grillus bimaculatus Papilio polyxenue Pantala flavescana Bufo biforcatus

    4.5. Penggunaan Lahan Penggunaan lahan di lokasi penelitian dan sekitarnya adalah sawah,

    pekarangan, permukiman pedesaan, pabrik/industri, kebun campuran, dan tegalan.

    Pada lokasi penelitian, penutupan kanopi relatif rapat. Jenis-jenis penggunaan lahan di Sub DAS Way Sulan terdiri dari pertanian lahan kering, pertanian lahan kering bercampur semak dan tanah industri. Badan Koordinasi Survey dan Pemetaan Nasional (Bakosurtanal) mendefinisikan pertanian lahan kering sebagai areal pertanian yang tidak dialiri air. Sedangkan tanah industri adalah areal tanah yang digunakan untuk kegiatan ekonomi berupa proses pengolahan bahan-bahan

    baku untuk menjadi barang jadi/setengah jadi menjadi barang jadi.

  • Menurut pengamatan di lapangan, Sub DAS Way Sulan khususnya di sekitar Sungai Way Sulan Kecil dari hulu sampai hilir, terdapat berbagai industri

    yang sebagian besar merupakan jenis industri pengolah hasil pertanian dan membuang limbahnya pada aliran Sungai Way Sulan Kecil. Industri-industri

    tersebut didominasi oleh industri pakan ternak dan pakan udang skala besar. Jenis-jenis industri yang membuang limbahnya pada aliran Sungai Way Sulan Kecil disajikan pada Tabel 12, sedangkan letaknya terhadap Sungai Way Sulan Kecil dan lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 2.

    Tabel 12. Jenis-jenis industri yang terdapat di sepanjang aliran Sungai Way Sulan Kecil

    No. Nama perusahaan Jenis industri 1. 2.

    3. 4. 5. 6. 7.

    PT. Coca Cola Company PT. Kawasan Industri Lampung (PT. KAIL), terdiri dari : a. Balai percobaan LIPPI

    b. PT. Indofood Sukses Makmur Tbk. c. PT. Indocom

    d. PT. Bratasena Citra Darmaja e. PT. Charoen Pokphand Indonesia Tbk. f. PT. Phillip Morris PT. Toyota Bio PT. Japfa Comfeed Tbk. PT. Sierrad Green Tbk. PT. Panji Saburai Putera PT. Florindo Makmur (divisi tapioka)

    Pengalengan minuman

    Percobaan pembuatan pakan ternak Industri makanan Pembekuan udang (cold storage) Industri pakan udang Industri pakan ternak Pengalengan rajungan Industri pakan ternak Industri pakan ternak Industri pakan ternak Pengalengan rajungan Industri tapioka

  • Gambar 2. Letak industri-industri di sepanjang aliran Sungai Way Sulan Kecil.

  • V. HASIL DAN PEMBAHASAN

    5.1. Sifat Fisika Kimia Perairan 5.1.1. Warna

    Warna air dapat dijadikan sebagai salah satu indikator terjadinya pencemaran lingkungan perairan. Walaupun dalam kondisi tidak terpolusi warna air tidak selalu jernih, namun biasanya air yang terpolusi memiliki warna tidak normal yang disebabkan oleh adanya bahan-bahan terlarut dan bahan-bahan tersuspensi, termasuk yang bersifat koloid (Fardiaz, 1995). Fluktuasi hasil pengukuran warna air Sungai Way Sulan Kecil selama penelitian disajikan pada Gambar 3.

    10

    3028

    25

    3

    8 75

    1.5

    5.2

    2.3 1.7

    4.8

    14.4

    11.710.6

    0

    5

    10

    15

    20

    25

    30

    35

    1 2 3 4Stasiun pengukuran

    Wa

    rna

    (PtC

    o)

    Hasil pengukuran I

    Hasil pengukuran II

    Hasil pengukuran III

    Nilai rata-rata

    Gambar 3. Hasil pengukuran warna air Sungai Way Sulan Kecil di sekitar outlet limbah PT. Florindo Makmur.

    Hasil analisis nilai rata-rata satuan warna pada keempat stasiun berkisar

    4,8 14,4 PtCo. Nilai rata-rata terendah terdapat pada stasiun 1 dan tertinggi pada stasiun 2. Rendahnya nilai warna pada stasiun 1 diperkirakan karena masukan dari hulu sungai (sebelum stasiun 1), termasuk limbah industri, tidak bersifat menambah ataupun mengubah warna air sungai sehingga relatif tidak

    menyebabkan penyimpangan warna air sungai dari kondisi normalnya. Hal ini dimungkinkan karena air limbah industri memiliki warna hampir menyerupai

  • warna air Sungai Way Sulan Kecil dalam kondisi normal, sehingga nilai satuan warna air tidak mengalami peningkatan yang cukup besar.

    Nilai rataan warna tertinggi pada stasiun 2 diperkirakan merupakan pengaruh limbah cair industri tapioka. Bahan-bahan terlarut maupun tersuspensi

    dalam limbah cair industri tapioka yang masuk ke perairan Way Sulan Kecil diduga berperan dalam meningkatkan nilai satuan warna. Menurut pengamatan di lapangan, sifat limbah cair tapioka sebelum mengalami pengolahan adalah berwarna keputihan yang berasal dari proses pengendapan ubi kayu yang telah

    diparut. Namun setelah mengalami proses pengolahan, warna limbah cair tapioka berubah menjadi hijau (kehijauan). Masukan limbah cair tapioka pada Sungai Way Sulan Kecil menyebabkan warna air sungai turut berubah menjadi kehijauan. Perubahan warna air sungai ini yang menyebabkan nilai satuan warna pada stasiun 2 meningkat. Peningkatan nilai satuan warna mengindikasikan adanya tambahan zat warna pada perairan sehingga memperbesar penyimpangan atau

    menyebabkan perubahan warna air sungai dari warna aslinya. Pada stasiun 3 dan 4 terjadi penurunan nilai satuan warna secara

    bertahap seiring adanya proses pengendapan serta penguraian partikel-partikel padatan yang mempengaruhi perubahan warna air. Dengan adanya pengendapan

    dan penguraian tersebut, partikel-partikel padatan yang menyebabkan perubahan warna air semakin berkurang sehingga warna air mendekati sifat normalnya.

    SK Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Lampung No. G/625/B.VII/HK/1995 tentang baku mutu kualitas air golongan B, maupun Kepmen Kependudukan dan Lingkungan Hidup tentang baku mutu limbah cair tapioka, tidak menetapkan baku mutu nilai warna.

  • 5.1.2. Suhu Suhu air merupakan faktor pembatas utama dalam lingkungan perairan

    karena berpengaruh dalam menentukan atau mengendalikan kehidupan organisme perairan sesuai dengan daya adaptasinya terhadap suhu air yang telah mencapai

    atau melampaui toleransi organime perairan (lethal temperature). Menurut Ardi (2002) dalam Maranti (2005), suhu air merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi aktivitas serta memacu atau menghambat perkembangbiakan organisme perairan.

    Suhu air juga berperan penting dalam menentukan kecepatan reaksi penguraian bahan organik maupun anorganik yang terlarut, mempengaruhi tingkat

    kelarutan garam-garam dan gas-gas dalam air terutama O2 yang berperan dalam proses metabolisme mikro maupun makroorganisme, serta gas CO2 sebagai salah satu komponen penting dalam proses fotosintesis yang menetukan produktivitas lingkungan perairan dan suplai oksigen terlarut.

    Hasil pengukuran menunjukkan bahwa suhu air rata-rata pada keempat stasiun berkisar antara 29,2 - 31,8C. Kisaran suhu tersebut masih tergolong

    normal dalam badan air dan tidak membahayakan kehidupan biota akuatik karena masih di bawah lethal temperature bagi organisme benthic dengan kisaran 35

    40C (Welch, 1980 dalam Widiastuty, 2001). Gambar 4 memperlihatkan fluktuasi suhu air pada stasiun-stasiun pengukuran. Suhu air rata-rata tertinggi terdapat pada stasiun 2 sedangkan terendah pada stasiun 4.

    27.2 28.2 27 26.629.5

    35.4 35.4

    31.233.5

    31.9 31.329.730.1

    31.229.2

    31.8

    0

    5

    10

    15

    20

    25

    30

    35

    40

    1 2 3 4

    Stasiun pengukuran

    Suhu

    (C)

    Hasil pengukuran IHasil pengukuran IIHasil pengukuran IIINilai rata-rata

    Gambar 4. Hasil pengukuran suhu air Sungai Way Sulan Kecil di sekitar outlet limbah PT. Florindo Makmur.

  • Suhu air rata-rata tertinggi pada stasiun 2 diduga sebagai pengaruh dari masukan limbah cair tapioka. Menurut Suprawihadi (2001), selain bahan organik limbah cair industri tapioka juga mengandung panas (kalor). Limbah cair tapioka sebelum dibuang ke aliran Sungai Way Sulan Kecil telah mengalami proses

    pengolahan berupa reaksi pemecahan (dissosiasi) atau dekomposisi bahan organik oleh bakteri anaerob dan aerob di dalam Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL). Proses pengolahan limbah melepas energi panas berupa kalor sehingga air limbah memiliki suhu relatif tinggi, dan apabila limbah bercampur dengan air sungai

    maka akan meningkatkan suhu air sungai.

    Peningkatan suhu air Sungai Way Sulan Kecil akibat aktivitas bakteri

    pengurai pada IPAL ditunjukkan oleh suhu air limbah yang relatif tinggi yaitu 32,3C (hasil pengukuran pada outlet IPAL PT. Florindo Makkmur). Namun demikian, suhu limbah pada outlet termasuk dalam kisaran suhu yang optimum

    untuk pertumbuhan bakteri yaitu 25C - 40C (Suprawihadi, 2001). Dengan pertumbuhan bakteri yang baik pada suhu optimum tersebut, maka proses

    penguraian bahan organik limbah cair tapioka oleh bakteri dapat berjalan, sehingga diperoleh hasil penurunan konsentrasi BOD, COD, TSS, NH3, H2S dan

    Sianida. Suhu air sungai yang cukup tinggi juga terdapat pada stasiun 1 yaitu

    30,1C. Hal ini diduga disebabkan banyaknya bahan-bahan organik yang

    mengalami reaksi penguraian sehingga dihasilkan kalor yang cukup tinggi.

    Bahan-bahan organik terutama berasal dari limbah industri, terutama industri pakan ternak dan pakan udang yang terdapat di daerah hulu dan sepanjang aliran Sungai Way Sulan Kecil sebelum stasiun 1. Berdasarkan sifatnya, limbah industri pakan ternak dan pakan udang memiliki BOD, COD serta konsentrasi padatan

    tersuspensi total berupa bahan organik yang tinggi, sehingga aktivitas mikroorganisme pengurai dan energi panas yang dihasilkan semakin besar.

    Dugaan tersebut ditunjukkan pula oleh nilai BOD, COD dan padatan total tersuspensi yang relatif tinggi pada stasiun 1.

  • Nilai rata-rata suhu air pada stasiun 3 dan 4 kembali mengalami penurunan karena pengaruh dari masukan limbah relatif berkurang, serta adanya

    daya pemulihan aliran sungai secara alami (self purification). Menurut hasil pengukuran pada seluruh stasiun dapat dilihat adanya pengaruh yang sangat besar

    dari aktivitas industri terhadap peningkatan suhu air Sungai Way Sulan Kecil. Pada Bapedalda Propinsi Lampung (2004) disebutkan bahwa perubahan suhu air sungai, khususnya di atas suhu normal (>35C) dapat disebabkan oleh tingginya suhu air limbah suatu industri yang masuk ke badan sungai. Dampak primer kenaikan suhu air sungai akan menyebabkan kematian biota air, sedangkan

    dampak sekunder akan berpengaruh terhadap kehidupan flora dan fauna air dan darat yang hidup di sekitarnya. Sedangkan Fardiaz (1995) menyatakan bahwa kenaikan suhu air dapat menyebabkan penurunan oksigen terlarut dalam air.

    Suhu air rata-rata pada semua stasiun masih termasuk dalam kisaran normal bila dibandingkan dengan lethal temperature organisme benthic dan masih memenuhi baku mutu yang ditetapkan pada SK Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Lampung No. G/625/B.VII/HK/1995 untuk kualitas air golongan B (layak diperuntukkan sebagai air minum). Sedangkan pada Kepmen Kependudukan dan Lingkungan Hidup, tidak ditetapkan baku mutu suhu limbah cair tapioka.

    5.1.3. Kekeruhan Kekeruhan merupakan gambaran sifat optik air suatu perairan yang

    ditentukan berdasarkan banyaknya sinar (cahaya) yang dipancarkan dan diserap oleh partikel-partikel yang ada dalam air tersebut (Alaerts dan Santika, 1987). Pengukuran kekeruhan pada empat stasiun selama penelitian menghasilkan nilai rata-rata berkisar 13,79 - 17,47 NTU.

    Hasil pengukuran menunjukkan nilai rata-rata kekeruhan tertinggi terdapat pada stasiun 2 sedangkan nilai terendah pada stasiun 4. Gambar 5 memperlihatkan peningkatan kekeruhan pada stasiun 2 yang diduga merupakan

    pengaruh dari pembuangan limbah cair industri tapioka ke Sungai Way Sulan Kecil. Peningkatan kekeruhan ini disebabkan adanya masukan padatan total berupa bahan organik maupun partikel tanah yang tidak segera mengendap, yang berasal dari proses penyaringan dan pencucian ubi kayu. Hasil pengukuran pada

  • outlet IPAL pabrik tapioka selama penelitian menunjukkan nilai kekeruhan limbah yang lebih tinggi dari kekeruhan perairan (stasiun 1) yaitu 18,30 mg/l. Dibandingkan dengan stasiun 3 dan 4, stasiun 1 juga memiliki kekeruhan relatif tinggi. Kekeruhan pada stasiun 1 disebabkan adanya partikel padatan, terutama

    padatan total tersuspensi yang terkandung pada limbah dari industri pakan ternak dan pakan udang yang berada di daerah hulu dan sepanjang aliran Sungai Way Sulan Kecil sebelum stasiun 1. Kekeruhan juga dapat disebabkan oleh partikel tanah dari sisi sungai sebelum stasiun 1 yang tererosi, terkait dengan penggunaan

    lahan di Sub DAS Way Sulan yang didominasi pertanian lahan kering dan sebagian bercampur semak.

    4648

    3937

    0.3 0.82 0.78 1.080.13.6 3.85 3.3

    15.4717.47

    14.54 13.79

    0

    10

    20

    30

    40

    50

    60

    1 2 3 4

    Stasiun pengukuran

    Kek

    eru

    han

    (NTU

    )

    Hasil pengukuran I

    Hasil pengukuran II

    Hasil pengukuran III

    Nilai rata-rata

    Gambar 5. Hasil pengukuran kekeruhan pada Sungai Way Sulan Kecil di sekitar outlet limbah PT. Florindo Makmur.

    Pada stasiun 3 dan 4 nilai kekeruhan kembali berangsur mengalami penurunan. Hal ini disebabkan pengendapan partikel padatan maupun penguraian partikel padatan yang berupa bahan organik oleh mikroorganisme. Pada dasarnya kekeruhan disebabkan oleh adanya zat-zat koloid yaitu zat yang terapung serta

    terurai secara halus sekali. Kekeruhan juga disebabkan oleh kehadiran zat organik yang terurai secara halus, jasad-jasad renik, lumpur, tanah liat dan zat koloid serupa atau benda terapung yang tidak mengendap dengan segera (Mahida, 1984).

    Menurut SK Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Lampung No. G/625/B.VII/HK/1995 tentang baku mutu kualitas air golongan B, nilai baku mutu kekeruhan tidak ditentukan. Demikian pula untuk kualitas limbah cair

  • tapioka, pada Kepmen Kependudukan dan Lingkungan Hidup tahun 1991 tentang Baku Mutu Limbah Cair Untuk Industri Tapioka tidak ditetapkan baku mutu nilai

    kekeruhan limbah. Namun menurut NTAC (1968) dalam Purwani (2001) kisaran nilai kekeruhan pada Sungai Way Sulan Kecil masih tergolong normal karena

    tingkat kekeruhan air yang disarankan adalah tidak melebihi 100 NTU untuk air mengalir.

    5.1.4. Padatan Terlarut Total (TDS) Hasil pengukuran menunjukkan konsentrasi rata-rata padatan terlarut

    total pada seluruh stasiun berkisar 120,67 - 643,33 mg/l. Gambar 6 menunjukkan bahwa konsentrasi rata-rata TDS tertinggi terdapat pada stasiun 2 sedangkan TDS pada stasiun 1 merupakan yang terendah.

    86

    303

    162 158

    702 699

    526

    854

    745

    643.33571.67

    476.33

    148128

    925

    120.67

    1000 1000 1000 1000

    0

    200

    400

    600

    800

    1000

    1200

    1 2 3 4

    Stasiun pengukuran

    TDS

    (mg/

    l)

    Hasil pengukuran I

    Hasil pengukuran II

    Hasil pengukuran III

    Nilai rata-rata

    Gambar 6. Hasil pengukuran TDS pada Sungai Way Sulan Kecil di sekitar outlet limbah PT. Florindo Makmur.

    Tingginya konsentrasi TDS di stasiun 2 diduga disebabkan oleh masukan limbah cair tapioka yang mengandung padatan terlarut dengan konsentrasi cukup tinggi, sehingga meningkatkan konsentrasi TDS di perairan Way Sulan Kecil. Dugaan tersebut diperkuat oleh hasil pengukuran pada outlet

    IPAL pabrik tapioka yang menunjukkan bahwa limbah cair tapioka memiliki konsentrasi TDS relatif tinggi yaitu 679,67 mg/l. Menurut Soeriaadmadja (1984) dalam Sukamto (1998), industri tapioka pada dasarnya mengakibatkan

  • peningkatan zat padat dalam air baik secara terlarut, tersuspensi maupun secara total.

    Padatan terlarut pada limbah cair tapioka berasal dari proses pencucian ubi kayu dan penyaringan. Pada proses-proses tersebut dihasilkan sisa air buangan

    yang banyak mengandung karbohidrat berupa pati yang terlarut dan kotoran lainnya, termasuk partikel tanah dalam ukuran koloid sehingga tidak segera mengendap. Kenaikan TDS juga dapat disebabkan oleh kandungan nitrat dan phospat yang terkandung pada limbah organik (Sutamihardja, 1983).

    Rendahnya konsentrasi TDS di stasiun 1 diduga karena masukan berupa padatan total didominasi oleh padatan tersuspensi. Penggunaan lahan dari hulu

    dan sepanjang aliran Sungai Way Sulan Kecil sampai stasiun 1 sebagian besar merupakan pertanian lahan kering dan semak belukar, sehingga dimungkinkan terjadinya erosi partikel tanah berukuran suspensi yang kemudian masuk ke sungai. Demikian juga jika dilihat dari jenis industri sebelum stasiun 1 yang didominasi oleh industri pakan ternak dan pakan udang. Limbah industri pakan tersebut mengandung padatan total yang cenderung didominasi oleh padatan

    tersuspensi (TSS). Penurunan konsentrasi TDS pada stasiun 3 dan 4 mengindikasikan adanya pengendapan partikelpartikel koloid secara berangsur

    maupun penguraian partikel organik terlarut oleh mikroorganisme.

    Besarnya TDS dalam suatu perairan memiliki korelasi positif dengan kekeruhannya. Pola perubahan TDS secara spasial menyerupai pola perubahan nilai kekeruhan yang menunjukkan adanya hubungan antara TDS dengan kekeruhan. Korelasi ini sesuai dengan yang dikemukakan Efendi (2000) dalam Fitriyana (2004) bahwa TDS merupakan gambaran seberapa besar (mg/l) jumlah bahan-bahan yang menyebabkan kekeruhan perairan, namum demikian nilai TDS yang tinggi tidak selalu diikuti tingginya nilai kekeruhan seperti halnya yang terja