e-newsletter yapthiamhien (edisi 02 | tahun i | 2013)

12
Tanggal 8 September 2013 menjadi tanggal penng dimana berbagai lembaga berkumpul bersama-sama di Gelora Bung Karno (GBK), Sektor 8 (Pintu Biru) untuk melakukan kampanye publik bersama yang isunya dikemas dalam satu isu besar, yaitu HARAPAN UNTUK KEMANUSIAAN. Kegiatan yang bernama “Mimbar 1000 Harapan” (MSH) telah dimulai sejak 6 ta- hun yang lalu, yaitu pada tahun 2008 untuk merespon keprihanan atas kasus pem- bunuhan akvis HAM (Munir) dan kasus pembunuhan di Palesna. Dua kasus yang berbeda ruang dan waktu namun disatukan oleh satu isu, yaitu KEMANUSIAAN. Kegia- tan MSH ini sempat vakum di tahun 2011 dan 2012. Kegiatan MSH 2013 ini menjadi MSH ke-4 yang diadakan untuk merespon hara- pan besar di tahun 2013 sebagai tahun poli- k, dimana para elit polik bersiap mengh- adapi Pemilu 2014. MSH 2013 mengusung tema “Indonesia Rumah Kita, 2014? Wak- tunya Berperan!”, yang berupaya mengajak masyarakat untuk menyampaikan harapan- nya bagi Indonesia menuju Pemilu 2014. Kegiatan MSH 2013 bertujuan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat men- genai permasalahan korupsi polik men- jelang Pemilu 2014 dan sekaligus mengajak masyarakat untuk menyampaikan harapan- nya kepada pemerintah. Selain itu MSH 2013 juga bertujuan mendesak pemerintah dan DPR atas tanggung jawab yang harus mereka kerjakan untuk membebaskan In- donesia dari segala kondisi yang mempri- hankan.Dalam kegiatan ini, berbagai lem- baga yang terlibat membentuk 5 kelompok cluster, yaitu Hukum & HAM, Demokra- si-Pemilu, Lingkungan & SDA, Pluralisme & Gender, An Korupsi serta kelompok cluster Media-Komunitas Urban dan Buruh. Yayasan Yap Thiam Hien yang tergabung dalam kelompok cluster Hukum & HAM, mendedikasikan E-Newsleer edisi ke-2 ini bagi kegiatan MSH 2013. Dengan menyuara- kan “Rakyat Berhak Tahu”, anggota kelom- pok cluster Hukum & HAM bersama-sama menyuarakan isu tersebut dalam berbagai tulisan. E-Newsleer memuat arkel utama terkait kegiatan MSH 2013 dan berbagai ar- kel pendukung yang merupakan kontribu- si dari anggota kelompok cluster Hukum & HAM. Dimulai dengan arkel “Kenali DPR” sebagai salah satu kunci cara meraih sukses dalam penyelenggaraan negara adalah cer- mat dengan pemilihan anggota DPR, kemu- dian bergulir pada kasus-kasus pelanggaran HAM yang terjadi di Indonesia. Di samping itu, Yayasan juga mengang- kat sosok Peraih Yap Thiam Hien Award yang menjadi bagian dari gerakan “Rakyat Berhak Tahu”, yaitu Profesor Soetandyo Wignjosoebroto (yang baru saja mening- galkan kita semua pada 2 September 2013) dan Majalah TEMPO. Selamat menikma. Semmoga infor- masi yang kami berikan dapat bermanfaat guna menggapai HARAPAN INDONESIA BARU di tahun 2014. Tim Penulis E-Newsleer Editorial Daſtar Isi Editorial .......................................................1 Mimbar Seribu Harapan : Pluralisme dan Demokras .....................................................2 Kenali DPR ........................................................... 3 Gambaran kasus penghilangan paksa di indonesia ....................................................6 Kondisi Buruh Perempuan Di Indonesia ........8 RAKYAT BERHAK TAHU : MENYIMAK PENYAMPAI-PENYAMPAI KEBENARAN ..10 Serba-Serbi Yayasan Yap Thiam Hien ..........12 Yayasan Yap Thiam Hien d/a Kantor Notaris Niniek Rusnawa SH, MKN Komplek Mitra Matraman Blok A-2 no. 17, lantai 3 Jakarta Timur c/p: Yulia Siswaningsih Telp. 021-750-2401, 021-8591-8070, Mobile. 0815-1322-0269 (Yulia) Email: [email protected], [email protected] Website: www.yapthiamhien.org : @yapthiamhien : Yap Thiam Hien Yayasan Yap Thiam Hien Dewan Penasehat: Prof. Dr. Saparinah Sadli (Ketua) Dr. Makarim Wibisono Dewan Pengawas: Prof. Dr. H. M. Laica Marzuki (Ketua) Dra Maria Hartiningsih Dewan Pengurus: Dr. Todung Mulya Lubis (Ketua) Clara Joewono, MA Prof. Dr. Siti Musdah Mulia, MA, APU Asep Rahmat Fajar , MA Yulia Siswaningsih, S.Sos (Sekretaris) Edisi 02 | Tahun I | 2013

Upload: yayasan-yap-thiam-hien

Post on 06-Apr-2016

222 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

E-Newsletter YapThiamHien diterbitkan oleh @yapthiamhien_in sebagai alat kami menceritakan tentang apa saja yang kami lakukan untuk memperkuat upaya-upaya perjuangan keadilan di bidang penegakan Hak Asasi Manusia (HAM) melalui partisipasi masyarakat luas.

TRANSCRIPT

Tanggal 8 September 2013 menjadi tanggal penting dimana berbagai lembaga berkumpul bersama-sama di Gelora Bung Karno (GBK), Sektor 8 (Pintu Biru) untuk melakukan kampanye publik bersama yang isunya dikemas dalam satu isu besar, yaitu HARAPAN UNTUK KEMANUSIAAN.

Kegiatan yang bernama “Mimbar 1000 Harapan” (MSH) telah dimulai sejak 6 ta-hun yang lalu, yaitu pada tahun 2008 untuk merespon keprihatinan atas kasus pem-bunuhan aktivis HAM (Munir) dan kasus pembunuhan di Palestina. Dua kasus yang berbeda ruang dan waktu namun disatukan oleh satu isu, yaitu KEMANUSIAAN. Kegia-tan MSH ini sempat vakum di tahun 2011 dan 2012.

Kegiatan MSH 2013 ini menjadi MSH ke-4 yang diadakan untuk merespon hara-pan besar di tahun 2013 sebagai tahun poli-tik, dimana para elit politik bersiap mengh-adapi Pemilu 2014. MSH 2013 mengusung tema “Indonesia Rumah Kita, 2014? Wak-tunya Berperan!”, yang berupaya mengajak masyarakat untuk menyampaikan harapan-nya bagi Indonesia menuju Pemilu 2014.

Kegiatan MSH 2013 bertujuan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat men-genai permasalahan korupsi politik men-jelang Pemilu 2014 dan sekaligus mengajak masyarakat untuk menyampaikan harapan-nya kepada pemerintah. Selain itu MSH 2013 juga bertujuan mendesak pemerintah dan DPR atas tanggung jawab yang harus mereka kerjakan untuk membebaskan In-donesia dari segala kondisi yang mempri-

hatinkan.Dalam kegiatan ini, berbagai lem-baga yang terlibat membentuk 5 kelompok cluster, yaitu Hukum & HAM, Demokra-si-Pemilu, Lingkungan & SDA, Pluralisme & Gender, Anti Korupsi serta kelompok cluster Media-Komunitas Urban dan Buruh.

Yayasan Yap Thiam Hien yang tergabung dalam kelompok cluster Hukum & HAM, mendedikasikan E-Newsletter edisi ke-2 ini bagi kegiatan MSH 2013. Dengan menyuara-kan “Rakyat Berhak Tahu”, anggota kelom-pok cluster Hukum & HAM bersama-sama menyuarakan isu tersebut dalam berbagai tulisan. E-Newsletter memuat artikel utama terkait kegiatan MSH 2013 dan berbagai ar-tikel pendukung yang merupakan kontribu-si dari anggota kelompok cluster Hukum & HAM. Dimulai dengan artikel “Kenali DPR” sebagai salah satu kunci cara meraih sukses dalam penyelenggaraan negara adalah cer-mat dengan pemilihan anggota DPR, kemu-dian bergulir pada kasus-kasus pelanggaran HAM yang terjadi di Indonesia.

Di samping itu, Yayasan juga mengang-kat sosok Peraih Yap Thiam Hien Award yang menjadi bagian dari gerakan “Rakyat Berhak Tahu”, yaitu Profesor Soetandyo Wignjosoebroto (yang baru saja mening-galkan kita semua pada 2 September 2013) dan Majalah TEMPO.

Selamat menikmati. Semmoga infor-masi yang kami berikan dapat bermanfaat guna menggapai HARAPAN INDONESIA BARU di tahun 2014.

Tim Penulis E-Newsletter

EditorialDaftar IsiEditorial .......................................................1Mimbar Seribu Harapan : Pluralisme dan Demokras .....................................................2Kenali DPR ...........................................................3

Gambaran kasus penghilangan paksa di indonesia ....................................................6Kondisi Buruh Perempuan Di Indonesia ........8

RAKYAT BERHAK TAHU : MENYIMAK PENYAMPAI-PENYAMPAI KEBENARAN ..10Serba-Serbi Yayasan Yap Thiam Hien ..........12

Yayasan Yap Thiam Hiend/a Kantor Notaris Niniek Rustinawati SH, MKNKomplek Mitra MatramanBlok A-2 no. 17, lantai 3Jakarta Timurc/p: Yulia SiswaningsihTelp. 021-750-2401, 021-8591-8070, Mobile. 0815-1322-0269 (Yulia)Email: [email protected], [email protected]: www.yapthiamhien.org : @yapthiamhien : Yap Thiam Hien

Yayasan Yap Thiam Hien Dewan Penasehat:

Prof. Dr. Saparinah Sadli (Ketua) Dr. Makarim Wibisono

Dewan Pengawas:Prof. Dr. H. M. Laica Marzuki (Ketua)

Dra Maria HartiningsihDewan Pengurus:

Dr. Todung Mulya Lubis (Ketua) Clara Joewono, MA

Prof. Dr. Siti Musdah Mulia, MA, APU Asep Rahmat Fajar , MA

Yulia Siswaningsih, S.Sos (Sekretaris)

E d i s i 0 2 | Ta h u n I | 2 0 1 3

E d i s i 0 2 | Ta h u n I | 2 0 1 3

“Mimbar 1000 Harapan” (MSH) telah dimulai sejak 6 tahun yang lalu, yaitu pada tahun 2008 untuk merespon keprihatinan atas kasus pembunuhan aktivis HAM (Munir) dan kasus pembunuhan di Palesti-na. Dua kasus yang berbeda ruang dan waktu namun disatukan oleh satu isu, yaitu KEMANUSIAAN. Kegiatan MSH ini sempat vakum di tahun 2011 dan 2012.

Tahun 2008, sejumlah tokoh LSM, jurna-lis, agamawan, budayawan, seniman, akademisi, dan tokoh masyarakat ber-

himpun dan berdiskusi untuk merespon isu besar yang terjadi saat itu. Pertama Kasus Pembunuhan Munir yang tak kunjung selesai, dan kedua tragedi kemanusiaan yang terjadi di Palestina, yang kemudian dipadukan dalam satu isu yaitu KEMANUSIAAN. Dari hasil per-temuan ini keluarlah gagasan untuk melaku-kan kampanye publik bersama yang diberi nama Mimbar 1000 Harapan.

Kemudian tahun 2009, Mimbar 1000 Harapan di selenggarakan dengan mengusung tema yang berbeda, yaitu MOMENTUM PER-INGATAN KEMERDEKAAN INDONESIA men-

jadi tema besarnya. Isu yang diangkat terkait refleksi 64 tahun merdeka, antara lain realitas kehidupan masyarakat masih jauh dengan harapan ideal sebuah bangsa yang maju. Prak-tek kekerasan dan penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM tak kunjung selesai.

Tahun 2010, Mimbar 1000 Harapan men-gusung tema INDONESIA BEBAS DARI KO-RUPSI, KERUSAKAN LINGKUNGAN, DAN KE-KERASAN.

Persoalan besar terjadi atas maraknya praktek korupsi, dari tingkat pusat sampai pelosok daerah bahkan ke desa-desa. Pen-egakan hukum dalam penuntasan kasus-kasus korupsi seringkali berhenti ditengah jalan dan terhalang oleh kuatnya pengaruh kekuasaan, seakan hukum itu diskriminatif, dan para pen-egak hukum hanya menjadi budak penguasa. Harapan besar yang disandarkan kepada KPK justru mendapat serangan balik atau dikenal dengan corruptor fight back, nampak jelas upaya rekayasa pelemahan KPK, rekaman An-ggodo cs yang diperdengarkan di Mahkamah Konstitusi membuktikan bahwa genderang perang koruptor telah ditabuh untuk membu-mi hanguskan KPK, yang dinilai sebagai anak haram reformasi. Untuk mewujudkan Indone-sia yang bebas dari korupsi kembali menemui jalan buntu.

Karena sesuatu dan lain hal, tahun 2011 dan 2012 Mimbar 1000 Harapan sempat va-kum. Lalu harapan besar kemudian muncul di tahun 2013, mengingat tahun ini sebagai tahun politik, dimana para elit politik bersiap

untuk menghadapi Pemilu 2014. Salah satu fenomena dapat dilihat ketika

pemilu sering dimanfaatkan oleh para elit un-tuk melakukan politik saling sandera. Artinya politisi menyandera anggaran negara untuk kepentingan logistik kontestasi. Kasus korupsi dengan modus yang terjadi menjelang pemi-lu adalah penyanderaan anggaran negara melalui hibah/bansos untuk “memelihara” kelompok konstituen yang loyal, guna memu-luskan pemenangan ajang kontestasi terse-but. Contoh lain adalah korupsi di lingkungan hidup, dimana kejahatan korupsi pada sektor ini menyebabkan kerusakan lingkungan dan bencana ekologis.

Dalam beberapa kasus, anggota-anggo-ta dewan dan kepala daerah pilihan rakyat ini seperti berpesta-pora mengorupsi uang rakyat. Sungguh pemandangan yang sangat menyedihkan. Sepertinya tidak ada satu pun sosok yang berani dan tegas sekaligus sang-gup menginspirasi banyak orang baik dan ber-integritas lainnya untuk bersama-sama mela-wan korupsi.

Secara spesifik, kegiatan MSH 2013 ber-tujuan untuk meningkatkan kesadaran mas-yarakat mengenai permasalahan korupsi politik menjelang Pemilu 2014 dan sekaligus menga-jak masyarakat untuk menyampaikan harapan-nya kepada pemerintah. Selain itu MSH 2013 juga bertujuan mendesak pemerintah dan DPR atas tanggung jawab yang harus mereka kerja-kan untuk membebaskan Indonesia dari segala kondisi yang memprihatinkan. n

Oleh : Jekson Simanjuntak

Mimbar Seribu Harapan : Pluralisme dan Demokrasi

2

E d i s i 0 2 | Ta h u n I | 2 0 1 3

Apakah DPR?Bersama presiden, DPR memegang

kekuasaan legislative untuk membentuk un-dang-undang. Fungsi lain yang melekat pada DPR adalah melakukan pengawasan kepada pemerintah dan menyusun anggaran.

Apa yang diawasi DPR dalam menjalankan fungsinya?

DPR melakukan fungsi pengawasan atas kerja pemerintah dalam pelaksaan un-dang-undang, keuangan negara, dan kebija-kan pemerintah.

Anggota DPR terdiri dari 560 orang. Bagaimanakah pembagian kerja setiap anggota itu?

Kerja Anggota DPR dibagi dalam berbagai alat kelengkapan. Penentuan posisi seseorang diserahkan kepada mekanisme fraksi mas-ing-masing. Keanggotaan dalam alat kelengka-pan DPR harus memenuhi unsur keterwakilan fraksi. Artinya, fraksi yang memiliki keunggu-lan dalam jumlah anggota dengan sendirinya akan mempunyai wakil yang lebih banyak di setiap alat kelengkapan.

Apa yang dimaksud dengan alat kelengkapan?

Alat kelengkapan DPR merupakan unsur atau unit dalam struktur DPR yang mempu-nyai tugas dan fungi tertentu. Setiap anggo-ta DPR menempati posisi tertentu dalm alat kelengkapan yang ada. Apabila dibandingkan dengan fraksi, alat kelengkapan itu merupa-kan wadah berhimpunnya anggota DPR yang bersifat lintas fraksi.

Apa saja alat kelengkapan DPR tersebut?Alat kelengkapan tetap terdiri dari:

1. Pimpinan DPR2. Badan Musyawarah (Bamus)3. Komisi4. Badan Legislasi (Baleg)5. Badan Anggaran (Banggar)6. Badan Akuntabiltas Keuangan Negara7. Badan Urusan Rumah Tangga (BURT)8. Badan Kerja Sama Antar-Parlemen (BK-

SAP)9. Badan Kehormatan10. Panitia Khusus11. Alat kelengkapan lain yang diperlukan

dam dibentuk oleh Rapat Paripurna

Bagaimanakah memilih pimpinan dari setiap alat kelengkapan tersebut?

Pimpinan dari setiap alat kelengkapan DPR dipilih berdasarkan keterwakilan dan per-imbangan fraksi-fraksi di DPR. Artinya, fraksi yang memiliki lebih banyak anggota akan leb-ih banyak terwakili di alat kelengkapan DPR.

Apakah anggota dan Pimpinan DPR kebal hukum?

Tentu saja tidak. Mereka mempunyai hak dan kewajiban yang sama dengan warga nega-ra lain di hadapan hukum. Karena itu, ada me-kanisme yang memungkinkan adanya peng-gantian antarwaktu, dengan alasan antara lain mereka melanggar hukum (misalnya melaku-kan korupsi) atau tidak melaksanakan kewa-jibannya sebagai wakil rakyat. DPR memiliki organ yang disebut Badan Kehormatan yang akan memproses pelanggaran itu secara ter-buka. Namun perlu dicatat sehubungan den-gan kedudukannya sebagai pejabat negara. Maka itu, jika anggota DPR diduga melakukan tindak pidana, persetujuaan tertulis dari pres-iden diperlukan untuk proses pemanggilan, permintaan keterangan, dan penyidikannnya (Pasal 220 ayat (1) UU MD3).

Namun, ketentuan tersebut menjadi tidak berlaku apabila anggota DPR yang bersangku-tan : 1. Tertangkap tangan melakukan tindak pi-

dana2. Disangka melakukan tindak pidana keja-

hatan yang diancam dengan pidana mati atau pidana seumur hidup atau tindak pidana kejahatan terhadap kemanusiaan dan keamanan negara berdasarkan bukti permulaan yang cukup; atau

3. Disangka melakukan tindak pidana khu-sus

Ketentuan tersebut diatur dalam Pasal 220 ayat (3) UU MD3.

Apa saja alasan seseorang diberhentikan menjadi Anggota DPR?

Pemberhentian Anggota DPR di tengah masa jabatan bisa dilakukan karena penggan-tian antarwaktu atau pemberhentian semen-tara. Dalam UU MD3, ketentuan itu diatur dalam Bab tentang DPR bagian kelima belas, yaitu Pasal 213-219.

Adapun, alasan seorang Anggota DPR bisa dikenai ketentuan pemberhentian antarwak-tu, yaitu:1. Meninggal dunia2. Mengundurkan diri, atau

3. Diberhentikan.Sementara itu, seorang Anggota DPR dike-

nai ketentuan pemberhentian sementara den-gan alasan:• Menjadi terdakwa dalam perkara tindak

pidana umum yang diancam dengan pi-dana penjara 5 (lima) tahun atau lebih; atau

• Menjadi terdakwa dalam perkara tindak pidana khusus.

Apa yang dimaksud dengan masa sidang? Selain masa sidang, adakah pembagian waktu lain dalam pelaksanaan tugas DPR?

Masa sidang adalah rentang waktu bagi DPR untuk melakukan kegiatan, terutama di dalam gedung DPR. Pembagian waktu lain dalam masa sidang DPR disebut dengan masa reses, yaitu rentang waktu DPR melakukan kegiatan di luar masa sidang, terutama di luar gedung DPR untuk melaksanakan kunjungan kerja.

Bagaimana perencanaan legislasi dilakukan?

Perencanaan legislasi dilakukan melalui Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Pe-merintah dan DPR melakukan perencanaan-nya sendiri kemudian dikoordinasikan dalam forum yang berada dalam lingkup Badan Legislasi (Baleg). Program legislasi dibagi dua bagian, yaitu Prolegnas lima tahunan; Pro-legnas yang berlaku selama periode jabatan DPR. Bentuk kedua adalah prioritas tahunan yang merupakan program legislasi yang akan dijalankan oleh DPR setiap tahun. Prolegnas lima tahunan dipecah menjadi prioritas tahu-nan.

Siapa yang menyusun perencanaan legislasi tersebut?

Penyusunan perencanaan legislasi di lingkungan DPR dikoordinasikan oleh Badan Legislasi, sementara koordinasi penyusunan di pemerintah dilakukan oleh Kementerian Hukum dan HAM. n

Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indo-nesia (PSHK)

www.pshk.or.idwww.parlemen.net@pantauDPR @JurnalJentera @LAW_

motion @Danlevlibrary

KENALI DPRKENALI DPRPusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK)

3

E d i s i 0 2 | Ta h u n I | 2 0 1 3

Tak bisa dipungkiri, pemuda adalah aset bangsa yang sangat berharga. Masa de-pan negeri ini bertumpu pada kualitas

mereka. Namun ironisnya, beberapa tahun terkahir tak sedikit kaum muda yang justru menjadi pelaku terorisme. Serangkaian aksi terorisme mulai dari Bom Bali-1, Bom Gere-ja Kepunton, bom di JW Marriot dan Hotel Ritz-Carlton, hingga aksi penembakan Pos Polisi Singosaren di Solo dan Bom di Beji dan Tambora, melibatkan anak muda. Bahkan fak-ta menunjukkan 11 orang pelaku bom bunuh diri adalah anak muda berusia belasan hingga dua puluhan tahun.

Sejatinya, anak muda yang menjadi pelaku atau terlibat terorisme juga merupa-kan korban. Mereka melakukan tindakan ter-orisme karena pengaruh dari orang dewasa yang menanamkan paham radikal. Kondisi kejiwaan mereka yang masih labil diman-faatkan betul oleh kelompok teroris untuk menginfilrasi paham kekerasan. Berdasarkan survei nasional yang dilakukan Lazuardi Birru dan LSI pada tahun 2010 dan 2011 diketahui bahwa anak muda merupakan pihak yang pal-ing rentan terhadap radikalisme sosial keag-amaan. Karena itu, anak muda menjadi target utama propaganda radikalisme, ekstrimisme dan terorisme.

Hasil Penelitian Indeks Kerentanan Radikalisme Sosial Keagamaan

LB-LSI tahun 2011

Rentannya pemuda terhadap pengaruh propaganda radikalisme dan terorisme pa-tut menjadi keprihatinan kita bersama. Jika diperhatikan, banyak faktor yang menyebab-kan para pemuda terseret ke dalam tindakan terorisme, mulai dari kemiskinan, kurangnya pendidikan agama yang damai, gencarnya infiltrasi kelompok radikal, lemahnya seman-gat kebangsaan, kurangnya pendidikan ke-warganegaraan, kurangnya keteladanan, dan tergerusnya nilai kearifan lokal oleh arus mo-dernitas negatif. Apapun faktor yang melatari, adalah tugas kita bersama untuk membenten-gi mereka dari radikalisme dan terorisme.

Bagaimanapun masa depan bangsa ini berada di tangan anak muda. Tak dapat di-bayangkan betapa suram masa depan negeri ini jika kelak yang menjadi pemimpin negeri ini adalah anak-anak muda yang memiliki pan-dangan ekstrem dan radikal. Kebhinnekaan bangsa Indonesia yang merupakan fitrah dan sunatullah dapat terancam. Jika hal ini tak segera dibendung, bukan tidak mungkin ke depan hak-hak kaum minoritas dan kelompok yang berbeda, akan diberangus.

Padahal Indonesia adalah rumah bersa-ma bagi berbagai suku, etnis, budaya, aliran, dan agama. Jauh sebelum nama Indonesia ditemukan, kebhinekaan telah eksis di willayah Nusantara. Kemerdekaan negeri ini pun diper-juangkan oleh para pejuang dari berbagai latar belakang etnis, aliran, dan agama yang ber-beda. Maka, sungguh aneh dan buta sejarah, ketika sebagian kelompok kini memaksakan ke-hendaknya untuk mengubah regulasi dan dasar negara berdasarkan agama tertentu dengan cara-cara kekerasan dan terorisme.

Demi masa depan bangsa Indonesia ke de-pan yang toleran dan melindungi kebhinnekaan, adalah tugas kita bersama untuk menyelemat-kan generasi muda dari pengaruh radikalisme dan terorisme. Untuk membentengi anak muda radikalisme dan terorisme, ada beberapa hal yang patut dikedepankan. Pertama, mem-perkuat pendidikan kewarganegaraan (civic edu-cation)dan wawasan kebangsaan dengan mena-namkan pemahaman yang mendalam terhadap empat pilar kebangsaan, yaitu Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika.

Melalui pendidikan kewarganegaraan dan wawasan kebangsaan, para pemuda didorong untuk menjunjung tinggi dan menginternal-isasikan nilai-nilai luhur yang sejalan dengan kearifan lokal seperti toleransi antar-umat be-ragama, kebebasan yang bertanggungjawab, gotong royong, kejujuran, dan cinta tanah air serta kepedulian antar-warga masyarakat.

Kedua, mengarahkan para pemuda pada beragam aktivitas yang berkualitasbaik di bidang akademis, sosial,keagamaan, seni, bud-aya, maupun olahraga. Interaksi mereka dalam kegiatan-kegiatan positif tersebut akan me-macu mereka menjadi pemuda yang memiliki pikiran terbuka dan menerima perbedaan.

Ketiga, memberikan pemahaman agama yang damai dan toleran, sehingga pemuda tidak mudah terjebak pada arus ajaran radikalisme. Dalam hal ini, peran guru agama di lingkungan sekolah dan para pemuka agama di masyarakat sangat penting. Pesan-pesan damai dari aja-ranagama perlu dikedepankan dalam pelajaran maupun ceramah-ceramah keagamaan.

Keempat, memberikan keteladanan kepa-da pemuda. Sebab, tanpa adanya keteladanan dari kita semua, baik sebagai masyarakat yang dewasa maupun terkait peran sosial kemas-yarakatan kita, maka upaya yang dilakukan akan sia-sia. Para tokoh masyarakat harus dapat menjadi role model yang bisa diikuti dan diteladani oleh para pemuda. Terakhir, peran orang tua dalam membimbing dan menga-wasi putra-putrinya juga sangat penting untuk mencegah mereka dari pengaruh terorisme. Pola asuh yang sehat, perhatian, dan keterbu-kaan dalam keluarga akan mempersempit cel-ah infiltrasi terorisme kepada anak-anak kita.

Di luar upaya-upaya itu, generasi muda secara mandiri harus mampu membentengi diri dari pengaruh radikalisme dan terorisme. Setidaknya dengan tetap setiap pada nilai-nilai luhur yang terkandung dalam empat pilar ke-bangsaan, belajar agama tidak hanya dari satu guru, dan bermain internet secara sehat dapat menghindarkan anak muda dari pengaruh terorisme. Untuk menambah wawasan, dua website berikut patut untuk selalu dikunjungi, www.lazuardibirru.org dan www.inspiringfor-peace.org. Mari selamatkan generasi muda dari terorisme. n

Selamatkan Generasi

Muda dari Terorisme

Selamatkan Generasi

Muda dari Terorisme

Foto : Kompas.com

Oleh : Lazuardi Birru

4

E d i s i 0 2 | Ta h u n I | 2 0 1 3

Munir Said Thalib adalah aktivis Hak Asasi Manusia yang dibunuh di atas pesawat Garuda dengan nomor GA-974 ketika sedang menuju Amsterdam untuk melanjutkan

kuliah pasca-sarjana.Pada 07 September 2013, genap 9 (sembilan) tahun meninggalnyaMunir. Upaya penuntasan kasusnya berband-ing terbalik dengan ucapan yang disampaikan oleh Presiden SBY pada 9 tahun silam bahwa penuntasan kasus munir adalah test of our history.

Secara hukum, beberapa pelaku lapangan memang telah berhasil dijatuhi hukuman, bahkan beberapa diantaranya telah menyelesaikan masa hukumannya, seperti Rohainil Aini dan Indra Setiawan. Namun prospek pengungkapan kasus Munir semakin temaram seiring dengan belum adanya kejelasan dari Kejaksaan Agung untuk mengajukan Peninjauan Kembali. Proses ini menjadi sangat vital bagi kelanjutan pengungkapan kasus Munir karena jika Muchdi PR tetap divonis bebas, akan menghambat pengemban-gan kasus ini. Sebenarnya, kasus Muchdi memiliki beberapa”n-ovum” (bukti baru) yang dapat digunakan, seperti rekaman suara Muchdi dan Polycarpus serta putusan kasus Polycar-pus yang menyatakan bahwa keduanya memiliki profesi yang sama, yakni sebagai anggota Badan Intelijen Negara [BIN].Tantangan lainnya adalah dengan diajukan Penin-jauan Kembali atas Peninjauan Kembali oleh Pollycarpus, yang tidak sesuai dengan aturan perundang – undangan.

Tidak hanya itu, kasus Munir juga menjadi pemberitaan hangat di dunia internasional serta mendapat sorotan ta-jam. Mandeknya kasus pembunuhan Munir mendapat per-hatian serius dari KOMITE HAM PBB yang mengeluarkan re-komendasi pada 26 juli kemarin. Keseriusan perhatian komite ini dapat dilihat dari permintaan komite untuk melaporkan perkembangan kasus munir dalam waktu satu tahun kedepan , dalam mekanisme follow up khusus. Hal ini dilatarbelakan-gi pengakuan komite terhadap kredibilatas MUNIR , sebagai of prominent human rights defender.

Point 8 “…Furthermore, the State party should effective-ly prosecute cases involving past human rights violations such as the murder of prominent human rights defender Munir Said Thalib on 7 September 2004, and provide adequate redress to victims or members of their families.

Point 32. In accordance with rule 71, paragraph 5, of the Committee’s rules of procedure, the State party should provide, within one year, relevant information on its implementation of the Committee’s recommendations made in paragraphs 8, 10, 12 and 25 above.

Presiden SBY sebagai kepala Negara dan kepala pemerin-tahan memilki kewenangan eksekutive order, harus segera merespon permintaan komite untuk menindaklanjuti kasus Munir. Langkah Presiden ini harus memiliki skema waktu selama setahunoleh karenanya langkah – langkah yang diambil oleh Presiden harus jelas dan konkret. Konkret dalam tindakan dan pentahapan sampai pada proses pengadilan. Karena tahun ini menjadi tahun terakhir bagi Presiden SBY untuk melunasi janjinya menun-taskan kasus ini.

Jangan dulu mengharapkan pemenuhan hak asasi dari Negara, hari ini. Alih – alih menjamin setiap hak warga negaranya, Negara hari ini

adalah sebuah struktur wagu yang minim respon terhadap aksi – aksi kekerasan, bahkan (masih) menjadi pelaku utama baik se-cara langsung maupun dalam melakukan pembiaran.Penuntasan kasus munir bisa menjadi preseden penting dalam perlindungan terhadap pembela HAM agar tidak terulang lagi peristiwa yang sama di masa mendatang. Jika kasus munir gagal, maka praktis ti-dak ada harapan untuk penyelesaian beragam kasus pelanggaran HAM di Indonesia. Kenapa ? Karena “Keadilan untuk Munir, adalah Keadilan untuk Semua!

Keadilan Untuk Munir Keadilan Untuk Semua!!!

Oleh : Kasum

5

E d i s i 0 2 | Ta h u n I | 2 0 1 3

Di Indonesia, praktik penghilangan paksa secara sistematik telah dimulai sejak ta-hun 1965. Jumlah itu meningkat dalam

konflik-konflik agraria seiring dengan upaya reformasi agraria pada 1983-1984, kasus Tan-jung Priok Jakarta, kasus Talangsari Lampung pada 1989. Pada 1996 terjadi penghilangan paksa dalam kasus penyerangan kantor DPP PDI. Selama 1997-1998 perlawanan rakyat terhadap Negara yang otoriter semakin mun-cul ke permukaan., dan kasus penculikan pak-sa terhadap para aktivis pro-demokrasi mulai terkuak serta mendapat perhatian publik (KontraS, tanpa tahun).

Kasus Penghilangan Paksa di Aceh just-ru semakin meningkat sejak pemberlakuan Daerah Operasi Miiter (DOM) di wilayah ini sejak tahun 1989 hingga pencabutan DOM pada tahun 1998. Berdasarkan pendataan Mei 1999-Januari 2000 jumlah orang hilang tercatat 392 orang. Di Papua sejak tahun 1971 hingga tahun 2001, 23 orang dihilangkan se-cara paksa oleh militer karena diduga terlibat dalam Organisasi Papua Merdeka (OPM). Pada awal 2001, di Maluku terjadi penghilangan paksa terhadap dua orang anggota Bantuan Komunikasi Swadaya pada saat aksi sweeping yang dilakukan oleh Yon Gab (KontraS, tanpa tahun).

Dengan demikian hingga tahun 2001, jumlah orang hilang secara keseluruhan yang tercatat 1.039 orang. Jumlah itu bertambah hingga 1.167 orang pada awal 2002. Jumlah itu belum termasuk beberapa laporan yang belum diverifikasi ulang dan diinvestigasi

(KontraS, tanpa tahun).Penghilangan Paksa 1965-1966

Peristiwa kekerasan massal yang terjadi tahun 196-1966 disamping mengakibatkan korban meninggal jutaan orang, juga menga-kibatkan adanya korban penghilangan paksa. Korban yang pada umumnya dianggap sebagai kader, anggota dan simpatisan PKI diambil oleh aparat TNI lewat berbagai operasi di berbagai tempat, dan setelah peristiwa pengambilan itu tidak diketahui lagi keberadaan mereka. Penghilangan paksa pada tahun-tahun itu juga dilakukan oleh kelompok-kelompok sipil yang didukung aparat Negara. Penghilangan paksa pada tahun –tahun ini terjadi dalam konteks peralihan kekuasaan rezim pra-Orde Baru ke kekuasaan rezim Orde Baru dengan motif menghancurkan PKI sampai ke akar-akarnya, atau dengan kata lain motif ideology politik anto komunisme dijadikan landasan bagi tin-dak penghilangan paksa (Komnas HAM, 2004).

Kasus PetrusPada tahun 1983-1984 terjadi peristiwa

‘pembunuhan pelaku tindak kriminal’ yang kemudian dikenal dengan istilah ‘petrus’ (penembakan misterius) yang memakan kor-ban (pada umumnya dituduh sebagai bandit atau ‘gali’) lebih dari 300 orang. Selain itu ter-dapat korban yang hilang, atau tidak diketahui identitasnya. Korban diduga ditangkap oleh aparat TNI/POLRI yang berpakaian sipil. Tanpa surat perintah penangkapan mereka kemu-din dibawa ke kantor Kodim, dan selanjutnya tidak lagi diketahui lagi keberadaanya. Pada

tahun-tahun ini pemerintah sedang menerap-kan ideology pembangunanisme (antara lain diwujudkan dengan slogan ‘Trilogi Pemban-gunan’, yakni stabilitas keamanan, pemban-gunan ekonomi, dan pemerataan), dengan anggapan bahwa pembangunan yang memer-lukan investasi asing memerlukan stabilitas keamanan. Oleh karena itu, diperlukan pem-berantasan kaum kriminal, antara lain dengan membunuh dn menghilangkan pelaku tindak kriminal sebagai ‘shock therapy’. Jadi motif ideology pembangunanisme (dalam hal ini di-wujudkan sebagai stabilitas keamanan) diton-jolkan sebagai alat pengabsahan (legitimasi) pembunuhan melawan hukum dan penghil-angan paksa (Komnas HAM, 2004).

Kasus Tanjung Priok dan TalangsariPada tahun 1984 terjadi peristiwa penem-

bakan masyarakat sipil di Tanjung Priok (Ja-karta), yang mengakibatkan sejumlah orang meninggal luka-luka dan sekitar 10 orang din-yatakan hilang. Sedangkan pada tahun 1989, penembakan masyarakat sipil terjadi di Ta-langsari (Lampung) dan 218 orang dinyatakan hilang. Dalam kedua peristiwa tersebut yang terlibat dalam penembakan dan penghilan-gan paksa adalah aparat TNI. Konteks politik di tahun-tahun ini adalah pemantapan dan penerapan ideology pembangunanisme (sta-bilitas keamanan dan politik, pembangunan ekonomi) yang terwujud dalam ideologisasi ‘asas tunggal Pancasila’ untuk menjamin sta-bilitas politik. Korban dalam kedua peristiwa itu adalah kelompok Muslim yang dituduh

Oleh : IKOHI

6

E d i s i 0 2 | Ta h u n I | 2 0 1 3

sebagai kelompok ‘ekstrim kanan’ yang an-ti-Pancasila’. Motif di balik pembunuhan dan penghilangan paksa dalam kedua peristiwa itu dengan demikian adalah ideology ‘anti ek-strim kanan’ atau ideology ‘anti Islam kanan’ (Komnas HAM, 2004).

Kasus DOMSelama diterapkannya ‘masa DOM’ (Daer-

ah Operasi Militer) di Aceh tercatat 874 kasus penghilangan paksa. Sedangkan di Papua sejak tahun 1971 sampai dengan 2001 tercatat 23 orang yang hilang secara paksa. Para korban di-duga diambil aparat TNI/POLRI di rumah mereka atau di tempat lain, dan setelah itu tidak diketa-hui keberadaannya. Para korban umumnya di-tuduh sebagai anggota gerakan separatis oleh TNI. Dengan demikian di balik pembunuhan dan penghilangan paksa di kedua ‘Daerah Operasi Militer’ (di Aceh dan Papua) ideology NKRI (Neg-ara Kesatuan Republik Indonesia) yang dijadikan alat pengabsahan ,elawan ‘segala bentuk sepa-ratisme’ (Komnas HAM, 2004).

Kasus 27 Juli 1996Peristiwa penyerangan kantor DPP PDI

di jalan Diponegoro, Jakarta pada tanggal 27 Juli 1996 juga mengakibatkan lima orang korban meninggal, 149 luka-luka, dan korban hilang sebanyak 23 orang yang sampai seka-rang tidak diketahui keberadaannya. Peristiwa penyerangan itu terjadi dalam konteks pener-apan strategi korparatisme oleh Negara untuk mengontrol, mendominasi dan menghegemo-ni semua anasir politik dan unsur masyarakat sipil di bawah slogan ‘persatuan dan kesatuan nasional’. Pendek kata motif ‘ideologi persatu-an dan kesatuan nasional’ dijadikan landasan pengabsahan tindakan penyerangan kantor PDI (Komnas HAM, 2004).

Kasus Kerusuhan Mei 1998Pada tanggal 13-15 Mei 1998, terjadi ker-

usuhan yang melanda beberapa kota di Indo-nesia. Kerusuhan Mei tersebut mengakibatkan korban meninggal 1.190 orang akibat terbakar, 27 orang meninggal akibat senjata dan lain-nya, dan 91 orang luka-luka1. Data korban ini didapat dari Tim Relawan Kemanusiaan. Se-dangkan dari beberapa instansi pemerintah juga mengeluarkan data korban yang berbe-da-beda2. Pada saat kerusuhan tersebut, YL-BHI/KontraS menerima laporan ada 4 orang yang hilang. Peristiwa kerusuhan tersebut terjadi ketika suasana politik di Indonesia se-dang memanas, karena besarnya tuntutan dari rakyat khususnya mahasiswa yang mengingink-an Soeharto mengundurkan diri dari Presiden RI. Pola kerusuhan yang terjadi di beberapa daerah ditemukan bahwa kerusuhan tersebut terencana dan terorganisir3. Kerusuhan Mei 1998 dijadikan sebagai alat pengalihan isu yang berkembang di masyarakat, karena pada saat itu tuntutan pengunduran Soeharto sedang memanas. Kerusuhan Mei 1998 digunakan untuk menjamin ‘stabilitas kepemimpinan na-1 Laporan Akhir Tim Gabungan Pencari Fakta Peristiwa tanggal

13 -15 Mei 19982 Data Polda 451 orang meninggal, korban luka-luka tidak tercatat;

data Kodam 463 orang meninggal termasuk aparat keamanan, 69 orang luka-luka; data Pemda DKI 288 meninggal, dan luka-luka 101.

3 Laporan Akhir Tim Gabungan Pencari Fakta Peristiwa tanggal 13-15 Mei 1998

sional’ dan ‘pembangunan yang berkelanjutan’. Dengan demikian motif dasar dari peristiwa ini adalah ‘ideologi pembangunanisme’ yang di-wujudkan di dalam dimensi ‘stabilitas dan kes-inambungan kepemimpinan nasional’.

Kasus Penculikan Aktivis 1997/1998

Penghilangan paksa para aktivis PRD (Par-tai Rakyat Demokratik) terjadi tahun 1998. jumlah korban penghilangan paksa ini 14 orang. Sebagian mereka telah dilepaskan se-dangkan yang lainnya tetap hilang. Pelaku penghilangan paksa ini adalah Kopassus (dike-nal dengan sebutan ‘Tim Mawar’). Konteks politik ‘peristiwa penculikan aktivis’ ini adalah ‘stabilitas kepemimpinan nasional’ di bawah Soeharto yang dipaksakan lewat Sidang Umum MPR, untuk menjamin ‘pembangunan yang berkelanjutan’. Dengan demikian motif dasar dari peristiwa ini adalah ‘ideologi pem-bangunanisme’ yang diwujudkan di dalam di-mensi ‘stabilitas dan kesinambungan kepemi-mpinan nasional’ (Komnas HAM, 2004).

Dari hasil temuan di berbagai sumber yang membahas tentang kasus penghilangan orang secara paksa tahun 1997/1998, maka didapatkan ada tiga waktu penangkapan yang dilakukan pada waktu itu. Kontras (Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Ke-kerasan) membuat catatan pengelompokan atas mereka yang diculik. Mereka membagin-ya ke dalam tiga waktu penangkapan (Sinan-sari Ecip, 1999:63), yaitu:1. Penculikan yang berlangsung sepanjang

pengamanan Pemilu 1997. Korban-kor-bannya ialah Deddy Hamdun, Noval Alk-atiri, Ismail dan M Yusuf. Mereka dianggap sebagai para pendukung Partai Persatuan Pembangunan, yang pada waktu kampa-nye tampil luar biasa di Jakarta. Selain dari aktivis PPP, dari kubu PDI tercatat yang di-culik ialah Yani Afri dan Sonny.

2. Penculikan yang terjadi sepanjang penag-amanan Sidang Umum MPR 1998. Kor-ban-korbannya adalah Pius Lustrilanang, Desmond Junaedi Mahesa, Ptrus Bimo Anugerah, Suyat, Rahardjo Waluyo Jati, Faisol Reza, Andi Arief, Herman Hendrawan,

Nezar Patria, Aan Rusdianto, dan Mugiyan-to. Dalm periode ii juga dilakukan penang-kapan terhadap 128 anggota PDI-Megawa-ti Soekarnoputri (selain Haryanto Taslam) yang menamakan diri Barisan Merah Putih, satu aktivis SBSI, beberapa aktivis LSM, ma-hasiswa, dan seniman. Mereka diamankan di Polda Metro Jaya sampai Sidang Umum MPR 1998 selesai dan terpilihnya lagi Soe-harto sebagai Presiden.

3. Penculikan yang terjadi menjelang tum-bangnya rezim Soeharto, sekitar Mei 1998. Korban-korbannya adalah yadin Muhidin, Hendra Hambali, dan bebera-pa nama lain dari kalangan mahasiswa, pekerja, maupun masyarakat umum.

Dari ketiga momen dan latar belakang mereka yang menjadi korban penculikan dapat ditarik kesimpulan, para pelaku pencu-likan merupakan sebuah kekuatan terkendali, dan punya kemauan politik cukup kuat untuk mempertahankan kekuasaan dengan me-makai cara-cara kekerasan.

Setelah diperjuangkan oleh keluarga kor-ban serta segenap aktivis hak asasi manusia di seluruh Indonesia selama 14 tahun, baru pada tanggal 28 September 2009, kasus ini mendapatkan momentum penyelesaiannya. Pada hari itu, Rapar Paripurna DPR RI yang membahas kerja Pansus Penghilangan Paksa 1997-1998 di DPR mengeluarkan rekomendasi kepada Presiden RI yang berisi sebagai berikut:

Pertama, merekomendasikan kepada presiden untuk membentuk pengadilan HAM ad hoc;

Kedua, merekomendasikan kepada presi-den serta segenap institusi pemerintah serta pihak-pihak yang terkait untuk segera melaku-kan pencarian terhadap 13 orang aktivis yang dinyatakan hilang;

Ketiga, merekomendasikan kepada pe-merintah untuk merehabilitasi dan member-ikan kompensasi terhadap keluarga korban yang hilang;

Keempat, merekomendasikan kepada pe-merintah agar segera meratifikasi konvensi anti penghilangan paksa sebagai bentuk komitmen dan dukungan untuk menghentikan praktik penghilangan paksa di Indonesia. n

7

E d i s i 0 2 | Ta h u n I | 2 0 1 3

Kondisi Buruh Perempuan Di Indonesia

Hak Sosial-Ekonomi Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia

hak memiliki Pengertian tentang sesuatu hal yang benar, milik, kepunyaan, kewenangan, kekuasaan untuk berbuat sesuatu (karena telah ditentukan oleh undang-undang, aturan, dsb), kekuasaan yang benar atas sesuatu atau untuk menuntut sesuatu, derajat atau martabat.

Dalam sejarah peradaban Barat, ada be-berapa konsep besar mengenai hak yang pada perkembangan selanjutnya dirujuk oleh sistem besar ekonomi dunia.

Abdul Jalil 2008 dalam bukunya yang berjudul Teologi Buruh menjelaskan secara umum, sejarah mengenai hak sebenarnya dapat diklasifikasikan menjadi tiga fase:• Pertama, fase dimana hak dirumuskan

berdasarkan prinsip kebebasan dan ditu-jukan pada eksistensi pribadi dan kemu-gkinan perkembangannya.

• Gagasan tentang hak yang dirumuskan pada fase ini sering disebut sebagai “hak bebas dari”. Hak ini mencakup hak hidup, kebebasan dan keamanan pribadi, hilan-gnya perbudakan dan penganiayaan, hak atas peradilan yang jujur, kebebasan ber-fikir, dan hak beragam.

• Kedua, fase perumusan hak ekonomi, so-sial, dan budaya yang dilakukan setelah melihat bahwa perumusan konsepsi hak pada fase pertama yang lebih bernuan-sa hukum dan politik pada kenyataannya telah menjadi alat legitimasi status quo.

Fase ini lebih merupakan ‘hak atas’. Hak ini dilahirkan agar setiap orang terjamin taraf hidup minimalnya sehingga mampu menikmati lingkungan sosial dan budayan-ya. Hak ini berkisar pada hak mendapatkan makanan, pekerjaan, pelayanan kesehatan, pendidikan dan pengembangan pribadinya.

Ketiga, fase (yang terus berkembang hingga kini) yang merumuskan hak tidak

sekedar diperuntukkan bagi manusia, tetapi juga bagi entitas yang lain, seperti bangsa sebagai sebuah institusi, dan lingkungan ser-ta makhluk hidup yang lain.

Potret Buruh Perempuan dalam Sejarah Industrial di Indonesia

Pada era reformasi, pertumbuhan serikat buruh semakin meningkat. Menurut UU No. 21 Tahun 2000, dalam satu perusahaan boleh ber-diri lebih dari satu serikat pekerja/serikat buruh. Dalam UU tersebut, arah perkembangan serikat buruh menjadi bersifat basis industri (industrial base).

Di era 1980-an, di mana globalisasi men-erjang di seluruh negara di dunia, intensitas dan cakupannya menyentuh hampir seluruh sendi kehidupan. Dengan agenda globalisa-si ekonomi, tata dunia baru akan bertumpu pada kekusaan modal dan pemilik modal. Abdul Jalil 2008 dalam bukunya yang berjud-ul Teologi Buruh menjelaskan bahwa agenda globalisasi ekonomi tersebut adalah:• Pertama, pada tataran tindakan, tata

kekuasaan global bertumpu pada praktik bisnis raksasa lintas negara.

• Kedua, pelaku utamanya adalah perusa-haan-perusahaan transnasional (Multi-national Corporation, MNCs)

• Ketiga, proses kultural ideologis yang dibawanya adalah konsumerisme.

Untuk melihat masalah perburuhan di nega-ra kapitalis secara lebih detil, gambaran Gramsci tentang sistem negara kapitalis bisa dijadikan acuan. Menurut Gramsci, dalam negara kapital-is ada beberapa lapisan. Lapisan yang tertinggi adalah negara/pemerintah dan aparat-aparatn-ya, di bawahnya ada kaum kapitalis, di bawahn-ya kaum buruh, dan paling bawah adalah petani.

Kaum kapitalis cenderung mengeksploitasi buruh sebagai alat untuk mencari keuntungan ekonomi dalam dunia usaha dan industri. Fak-tor yang paling mempengaruhi pasar tenaga

kerja adalah upah. Tenaga kerja adalah sum-ber daya yang khusus. Ia tidak sama dengan modal dan tanah yang dapat ditawarkan dengan seenaknya tanpa melihat lokasi dan pemiliknya. Karena kerja mensyaratkan ket-erlibatan person secara langsung sehingga faktor nonkeuangan, semisal tingkat kesuli-tan pekerjaan, lokasi, dan kualitas lingkungan pekerjaan akan memainkan peranan penting dalam penawaran tenaga kerja.

Perusahaan padat karya banyak yang memilih untuk mempekerjakan buruh perem-puan. Perusahaan garmen dan sepatu mer-upakan contoh perusahaan padat karya yang sebagian besar buruhnya adalah perempuan. Perempuan dianggap penurut dan tidak berani melawan kepada kebijakan yang diambil oleh perusahaan. Buruh perempuan juga dianggap lebih teliti dan berhati-hati dalam bekerja.

Banyak hak buruh perempuan yang masih dilanggar oleh perusahaan. Di dalam UU No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan telah mengatur tentang hak-hak buruh perempuan, tetapi pelanggaran hak tersebut masih terus saja terjadi. Karena tidak adanya sanksi yang tegas dari pemerintah yang membuat perusa-haan berani melakukan pelanggaran hak terha-dap buruh perempuan. Contoh hak-hak buruh perempuan yang dilanggar antara lain adalah hak cuti melahirkan dan keguguran, hak cuti haid, dan hak untuk mendapatkan upah layak.

Banyaknya serikat pekerja/buruh yang lebih fokus dalam memperjuangkan hak-hak normatif (seperti upah) membuat isu hak-hak buruh perempuan kurang atau bahkan lupa untuk diperjuangkan. Isu buruh perempuan dianggap sebagai isu yang tidak populer un-tuk perjuangan buruh. Isu buruh perempuan hanya dianggap sebagai isu kebutuhan per-empuan saja dan bukan menjadi isu hak-hak buruh secara keseluruhan.

Kurangnya perjuangan hak-hak buruh per-empuan juga disebabkan karena kepengurusan dalam serikat pekerja/buruh didominasi oleh laki-laki. Walaupun ada pengurus perempuan dalam serikat pekerja/buruh selalu diposisikan dalam jabatan yang tidak strategis dalam kegia-tan program kerja dan pengambilan keputusan. Tekanan dan intimidasi bagi perempuan sebagai pengurus serikat pekerja/buruh lebih banyak di-alami dan dirasakan dari pada laki-laki.

Pelanggaran-pelanggaran yang sering diterima oleh buruh perempuan antara lain:1. Cuti haid tidak diberikan dengan berbagai

alasan yang mempersulit pekerja perem-puan untuk mendapat cuti haid.

2. Penggantian hak cuti haid dengan uang atau pembalut.

3. Fasilitas toilet dicampur dengan laki-laki.4. Pekerja perempuan sering mendapat

tekanan dari atasan/pimpinan bila tidak mau kerja lembur.

5. Mayoritas penangguhan upah diterima oleh buruh perempuan. Perusahaan padat karya yang mayoritas buruhnya perem-puan telah melakukan penangguhan upah.

6. Perlakuan pelecehan seksual oleh atasan atau pekerja laki-laki.

7. Perlakuan kekerasan verbal yang sering dikukan oleh atasan/pimpinan.

8. Tekanan dan intimidasi dari atasan/pimpinan bagi pengurus serikat pekerja/

Oleh : Tiasri Wiandani – Kaukus Pemimpin Buruh Perempuan

8

E d i s i 0 2 | Ta h u n I | 2 0 1 3

buruh perempuan.9. Tidak diberikannya waktu dan fasilitas

untuk menyusui atau memompa air susu bagi buruh prempuan yang menyusui.

Pelanggaran-pelanggaran tersebut ser-ing tidak terpublikasi dan kurang mendapat pembelaan yang serius. Kasus-kasus tersebut sering dianggap sebagai masalah perempuan, bukan dianggap sebagi masalah perburuhan. Padahal kalau kita kaji, masalah-masalah tersebut dapat menimbulakn dampak ketida-knyamanan bagi buruh perempuan.

Perjalanan gerakan perjuangan buruh san-

gat panjang. Ulah pengusaha nakal semakin mempersulit kondisi buruh. Disaat banyak tun-tutan hak buruh untuk dipenuhi, maka banyak perusahaan yang mengancam buruhnya untuk relokasi. Tindakan diskriminatif bagi pengurus serikat pekerja perempuan yang aktif sering terjadi. Banyak pekerja perempuan yang diper-lakukan tidak adil, dibuat tidak nyaman bekerja dengan dicari-cari kesalahan dan sering dipin-dah-pindahkan. Pekerja perempuan yang aktif di serikat lebih banyak mendapatkan tekanan dari atasan. Dengan alasan demi kelancaran produktivitas, banyak pengurus perempuan

dipindahkan dari pekerjaanya. Peraturan dan hukum perburuhan tidak

membuat perusahaan takut melakukan pe-langgaran-pealanggaran. Lemahnya dinas pen-gawasan tenaga kerja dan pemerintah menam-bah deretan panjang derita buruh dan masalah perburuhan. Buruh dianggap terlalu banyak menuntut, padahal yang buruh tuntut adalah hak dasar yang telah diatur dalam peraturan dan perundang-undangan.

Jangan Rampas Hak Kami ! Kami Buruh Perempuan Akan Tetap

Melawan dan Berjuang !

Sistem pers Indonesia mengalami peru-bahan yang cepat setelah era Orde Baru runtuh pada 1998. Sensor pemerintah,

Surat Izin Usaha Penerbitan Pers, dan pen-gawasan ketat terhadap pers oleh aparatur negara dihapus setelah disahkan Undang-Un-dang Pers tahun 1999. Undang-undang baru ini memberi angin segar kebebasan pers dan demokratisasi pers.

Perusahaan pers tumbuh bak tumbuhnya jamur di musim hujan. Dalam perkembangan-nya, pers yang mampu bertahan dalam gelom-bang kebebasan pers adalah perusahaan pers yang sudah tumbuh sejak era Orde Baru dan memiliki modal kuat serta secara bisnis sehat.

Tapi kebebasan pers itu ternyata tidak se-lalu menjamin jurnalis dan newsroom bekerja secara independen. Kebebasan pers merujuk pada dua dua hal sekaligus: kebebasan pers sebagai bagian dari hak asasi manusia dan ke-bebasan pers itu diwujudkan oleh perusahaan media, yang mayoritas dimiliki swasta. Kebe-basan pers menyebarkan informasi berbaren-gan dengan kebebasan menyebarkan iklan yang dibayar oleh perusahaan pemilik produk. Bahkan pendapatan dari iklan adalah jantung yang menghidupkan perusahaan pers.

Dalam bisnis yang unik ini redaksi me-dia massa dikepung oleh berbagai kepent-ingan baik oleh kepentingan bisnis maupun kepentingan politik. Dari segi kepentingan politik, misalnya, pemilik media yang kini juga menjadi petinggi partai politik, menjad-ikan medianya sebagai alat untuk menunjang kepentingan politiknya. Apalagi menjelang pemilihan umum 2014, politikus yang memi-liki media memanfaatkan betul medianya un-tuk meningkatkan keterpilihan partainya dan terus menerus mensosialisasikan diri.

Diakui ataupun tidak, kepemilikan me-dia–terutama media televisi– di tangan segelintir pengusaha yang sekaligus politikus, telah menjadikan televisi dan media lainnya sebagai alat pemoles citra atau menghantam lawan-lawan politiknya. Dalam kasus televisi, frekuensi milik publik disalahgunakan untuk kepentingan politiknya.

Dari sinilah tampak bahwa tantangan in-dependensi jurnalis dan newsroom kini tidak lagi dari luar seperti era Orde Baru, tapi justru dalam: pemilik media sendiri. Pemilik media atau pemegang saham yang juga politikus me-

minta newsroom untuk membuat berita yang mereka inginkan. Independensi dan kredi-bilitas media kemudian diragukan. Padahal, satu-satunya aset media adalah kredibelitas.

Meski kini media siber yang berbasis In-ternet dan teknologi informasi pendukung in-dustri media berkembang pesat, kredibelitas tetap menjadi jantung untuk merawat keper-cayaan publik terhadap informasi yang dipro-

duksi oleh media. Di tengah Internet yang efektif untuk menyebarkan news ke seluruh ujung dunia, justru dibutuhkan news yang akurat. Sebab, begitu sebuah news tidak aku-rat, susah dihapus dari Internet. Akurasi news menghasilkan kredibelitas.

Salah jawaban untuk membangun dan memperkuat kredeblitas adalah memperkuat independen newsroom dengan cara mendirikan serikat pekerja di media tersebut. Serikat pekerja bisa didayagunakan sebagai alat untuk menjaga independensi jurnalis dan newsroom dari inter-vensi pemilik. Serikat pekerja yang benar-benar memperjuangkan independensi newsroom ti-dak hanya baik untuk menjaga kredibelitas me-dia tapi juga baik bagi reputasi pemilik media. Media akan menyajikan informasi yang kredibel, sedangkan pemilik media akan dikenal sebagai pengusaha yang tidak menyalahgunakan medi-anya untuk kepentingan dia sendiri.

Sementara itu, sejak Januari hingga Mei 2013 ini, telah terjadi sedikitnya 25 kasus ke-kerasan terhadap jurnalis. Kekerasan terhadap jurnalis berulang karena negara terus melaku-kan praktik impunitas terhadap para pelakunya.

Praktik impunitas terhadap para pelaku kekerasan terhadap jurnalis yang kini terjadi merupakan kelanjutan praktik impunitas da-lam delapan kasus pembunuhan jurnalis yang terjadi sejak 1996.

Sedangkan delapan kasus pembunuhan jurnalis itu yang kasusnya tak terselesaikan adalah kasus pembunuhan Fuad Muhammad Syarifuddin alias Udin (jurnalis Harian Bernas di Yogyakarta, 16 Agustus 1996), Naimullah (jurnalis Harian Sinar Pagi di Kalimantan Barat, ditemukan tewas pada 25 Juli 1997) dan Agus Mulyawan (jurnalis Asia Press di Timor Timur, 25 September 1999).

Juga ada Muhammad Jamaluddin (jur-nalis kamera TVRI di Aceh, ditemukan tewas pada 17 Juni 2003), Ersa Siregar, jurnalis RCTI di Nangroe Aceh Darussalam, 29 Desember 2003) dan Herliyanto (jurnalis lepas tabloid Delta Pos Sidoarjo di Jawa Timur, ditemukan tewas pada 29 April 2006).

Sementara Adriansyah Matrais Wibisono (jurnalis TV lokal di Merauke, Papua, ditemu-kan pada 29 Juli 2010) dan Alfred Mirulewan (jurnalis tabloid Pelangi, Maluku, ditemukan tewas pada 18 Desember 2010).

Karena itu AJI menuntut aparat kepolisian dan pengunjuk rasa untuk menghormati jur-nalis yang bertugas di lapangan. Jurnalis ada-lah profesi yang secara konstitusi dilindungi hukum, yakni UU Nomor 40 tahun 1999 ten-tang Pers, sekaligus menjadi pelapor publik yang profesional dan independen.

Dan, dari semua pelanggaran itu, Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI) akhirnya menobat-kan Tentara Nasional Indonesia (TNI) sebagai musuh kebebasan pers 2013. Predikat ini di-umumkan dalam acara HUT ke-19 AJI yang digelar di Gedung Pusat Perfilman H Usmar Ismail, beberapa waktu lalu.

AJI banyak mensinyalir intimidasi yang dilakukan TNI kepada wartawan, termasuk intimidasi kepada wartawan peliput sidang kasus Cebongan. Hal itu terjadi ketika pelipu-tan Lapas di Cebongan. Ketika itu orang yang meliput mendapatkan teror berupa SMS sam-pai pemanggilan wartawan pemantau sidang terjadi pada saat itu. Terornya sistematis dan terkoneksi.

Oleh karena itu, AJI mendesak agar TNI bisa koreksi diri. Termasuk ikut serta dalam mengu-sut siapa oknum yang melakukan intimidasi. n

AJI: Ruang Redaksi Harus IndependenOleh :Jekson Simanjuntak – AJI Jakarta

9

E d i s i 0 2 | Ta h u n I | 2 0 1 3

wanan tukang becak dan miskin kota melalui jalur hukum. Beliau adalah orang yang sela-lu mengingatkan betapa hukum seharusnya untuk keadilan, dan tidak boleh kita terjebak pada bunyi undang-undang,” ungkap Roichatul Aswidah, mantan anggota Komnas HAM, yang mengenal Prof Soetandyo sejak tahun 1995. “Habitat saya memang di bidang pendidikan dan penyuluhan. Perubahan-perubahan tak-kan berhasil jika kita tak merubah cara berpikir. Perjuangan saya berada`di tataran pola pikir (mind). Saya tak pernah menolak jika diminta memberikan training,” jelas Prof. Soetandyo.

Pak Tandyo pernah memberikan “kuliah umum” bagi korban lumpur Lapindo di tem-pat pengungsian di Pasar Baru Porong, Sidoar-jo. Dalam kuliah yang digelar Fakultas Hukum Unair itu, Prof. Soetandyo menyoroti perjanji-an jual-beli yang tercantum dalam Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2007 yang dinilai melanggar hukum karena memaksakan ke-

Acara Mimbar 1000 Harapan yang digelar pada 8 September 2013 di GBK, Sen-ayan, merupakan acara kolaborasi se-

jumlah pihak antara lain individu aktivis sosial, organisasi non pemerintah, akademisi, tokoh agama, tokoh masyarakat, entertainer, komu-nitas kreatif dan jurnalis, yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat menge-nai permasalahan korupsi politik jelang Pemilu 2014 sekaligus mengajak seluruh masyarakat untuk menyampaikan harapannya kepada pe-merintah. Seluruh peserta yang terlibat diba-gi dalam beberapa cluster; yaitu Hukum dan HAM, Demokrasi – Pemilu, Lingkungan dan SDA, Pluralisme dan Gender, Antikorupsi, Me-dia – Komunitas Urban, dan Buruh.

Yayasan Yap Thiam Hien sebagai lem-baga non pemerintah yang mengusung isu hak-hak asasi manusia dalam acara Mimbar 1000 Harapan 2013 menampilkan dua sosok peraih anugerah Yap Thiam Hien Award, yakni Prof. Soetandyo Wignyosoebroto (Yap Thiam Hien Award 2011) dan Majalah TEMPO (Yap Thiam Hien Award 2012). Keduanya dianggap sejalan dengan tema yang diusung cluster Hu-kum & HAM, yaitu Rakyat Berhak Tahu. Prof. Soetandyo dan Majalah TEMPO adalah pen-yampai-penyampai kebenaran kepada publik melalui bidang mereka masing-masing. Ten-tang apa dan bagaimana kiprah keduanya, silahkan menyimak pada uraian di bawah ini.

Prof. Soetandyo Wignyosoebroto: Kesetiaan Dedikasi Sang Cendikiawan

Prof. Soetandyo Wignyosoebroto ada-lah pakar sosiologi hukum dan merupakan pelopor aliran antipositivime dalam hukum. Ia dikenal sebagai ilmuwan yang kritis dan kon-sisten. Menurut Guru Besar Emeritus Univer-sitas Airlangga, Surabaya ini, hukum tidaklah sama dengan keadilan. Hukum hanya menert-ibkan. Tertib hukum bukan keadilan. “Jangan mengandalkan keadilan hanya dari hukum positif,” ujarnya. Ada legal justice, tapi ada le-gal justice yang lain lagi, yakni social justice. Ia berpendapat hendaknya pemikiran-pemikiran masa kini jangan hanya tertuju pada hukum (undang-undang) yang berlaku untuk seluruh tatanan nasional dari Sabang sampai Mer-auke, sebab hukum dibuat oleh lembaga-lem-baga di mana orang desa tak ikut bicara, dan buruh tak ikut terlibat ketika hukum perburu-han dibuat. Keadilan seharusnya bertumpu pada hati nurani, bukan pada undang-undang.

“Pak Tandyo yang saya kenal tak pernah kehilangan perspektif, tak pernah goyah pendi-riannya untuk membela yang lemah. Beliau memakai ilmunya untuk membela mereka yang tak pernah dibela. Beliau beberapa kali menjadi saksi ahli untuk kasus-kasus perla-

hendak kepada warga untuk menjual hak milik mereka kepada Lapindo Brantas Inc. Kuliah itu bertujuan untuk menyadarkan para pengung-si akan hak-hak mereka dan cara memper-juangkannya.

Prof. Soetandyo terkenal akan kebersaha-jaan hidupnya. Tak memiliki rumah pribadi, ia tinggal di rumah dinas Universitas Airlang-ga yang telah didiaminya sejak tahun 1958. Ia biasa naik sepeda jika hendak mengajar.Hari-hari Pak Tandyo dipenuhi berbagai ke-giatan mulai dari menulis artikel, memberikan konsultasi pada mahasiswa -termasuk men-guji mahasiswa di Malaysia, berceramah di berbagai tempat dan kota, berdiskusi dengan banyak kalangan, dan lain sebagainya. Sebagai guru besar emeritus, dirinya juga masih aktif mengajar di sejumlah universitas. Seakan ma-sih kurang, Pak Tandyo juga aktif terlibat di HUMA, sebuah lembaga nonpemerintah yang bergerak di bidang hukum berbasis ekologi.

RAKYAT BERHAK TAHU :

MENYIMAK PENYAMPAI-PENYAMPAI KEBENARANOleh : Dina Octaviana Pattiwaellapia

10

E d i s i 0 2 | Ta h u n I | 2 0 1 3

Majalah TEMPO, 42 Tahun Integritas

Tak bisa dipungkiri, Majalah TEMPO ada-lah fenomena tersendiri di Indonesia. Bukan saja fenomenal dalam soal pemberitaan-pem-beritaannya –dan juga sampul depannya- yang tak terbilang memicu kontroversi baik di kalangan penguasa maupun masyarakat biasa, prestasi yang diraihnya di kancah in-dustri media cetak pun tak kalah mencorong. Majalah TEMPO telah membuktikan bahwa ia telah melampaui batas eksistensi sebuah ma-jalah berita mingguan. Jalan terjal yang dilalui Majalah TEMPO selama 42 tahun lebih dari cukup untuk mengukuhkan bahwa TEMPO lebih dari sekedar majalah biasa.

Saat ini Majalah TEMPO menguasai 68% pasar majalah berita mingguan di Indone-sia dengan oplah mencapai sekitar 180.000 eksemplar. Dari total 620.000 pembacanya, mayoritasnya (65%) adalah kalangan yang ma-pan secara finansial dan merupakan para pro-fesional yang menempati posisi sebagai ekse-kutif muda, pemilik perusahaan, CEO, dan Top Management.

Jalan yang ditempuh Majalah TEMPO dari awal hingga kini memang berliku dan tak mudah dilalui. Dua tahun setelah penerbitan perdana, Majalah TEMPO harus menghadapi gugatan majalah berita mingguan in-ternasional termashyur, TIME, terkait kemiripan desain kaver. Kemudian TEMPO diguncang perseteruan dua pimpinannya, Gunawan Mohammad (Ketua Dewan Redaksi) dan Bur Ra-suanto (Wakil Ketua) yang berakhir dengan mundurnya Bur Rasuanto. Tahun 1982, TEMPO diberangus ijin terbitnya selama beberapa bulan oleh pemerintah akibat pemberitaan soal kampanye GOLKAR di Lapangan Banteng yang ricuh. Tahun 1987, se-banyak 31 wartawan hengkang dari TEMPO terkait masalah renumerasi. Tiga tahun kemudian, lagi-lagi ma-salah serupa melanda TEMPO. Tak kurang 20 wartawan memilih ek-sodus akibat isu Kristenisasi dalam tubuh TEMPO. Dan puncaknya adalah tahun 1994 di mana TEMPO kembali dibredel pen-guasa terkait pemberitaan soal pembelian kapal perang eks Jerman oleh BJ Habibie yang kala itu menjabat Menristek. Agar tetap eksis, TEMPO bersalin rupa menjadi majalah digital pada tahun 1996. Meski begitu, sejumlah war-tawannya memutuskan meninggalkan TEMPO akibat ketidakjelasan penghasilan. Setelah rezim Orde Baru ambruk pada tahun 1998, TEMPO pun bangkit dari kematian pada 6 Ok-tober 1998 dengan menurunkan pemberitaan soal pemerkosaan para perempuan Tionghoa dalam Tragedi Mei 1998.

Hingga kini Majalah TEMPO tetap kon-sisten menurunkan laporan-laporan ‘panas’ yang intinya membukakan mata khalayak luas akan borok-borok pejabat, institusi pemerin-tah ataupun kelompok yang diyakini terkait dengan pihak penguasa. Konsistensi itu tak jarang memicu persengketaan antara TEMPO dan pihak-pihak yang merasa tertohok atau dihakimi oleh pemberitaan TEMPO tersebut. Berhubung era telah berganti ke era Refor-

masi, maka kini yang diterima TEMPO se-bagai konsekuensi pemberitaan-pemberitaan ‘panas’nya bukan lagi pembredelan, melaink-an gugatan hukum, baik pidana maupu perda-ta (plus kecaman, ancaman, bahkan intimidasi dari mereka yang meradang tersebut).

Terkait dengan pemberitaan-pemberitaan TEMPO yang konsisten menyajikan isu-isu sen-sitif yang amat sering memicu kontroversi dan menjadikannya kontroversial, Wahyu Muryadi selaku Pemimpin Redaksi Majalah TEMPO menegaskan bahwa tujuan TEMPO hanyalah mengemban misi sebagai jurnalis yang wajib meenyampaikan kebenaran dan informasi yang semata-mata ditujukan bagi kepentingan publik. Kebenaran dalam berjurnalistik harus dilakukan secara berproses terus-menerus melalui verifikasi tiada henti. “Pada akhirnya kami harus menyampaikan kebenaran itu se-cara obyektif, jujur, dan apa adanya meskipun konsekuensinya ternyata menyakitkan, terma-suk bagi kami sendiri,” ujarnya.

TEMPO dan Isu HAMSaat melaporkan soal peristiwa bunuh diri

seorang remaja putri di Langsa, Aceh (edisi Senin, 17 September 2012) akibat ditangkap polisi syariat karena gadis itu disangka pelacur yang tengah menjajakan diri, Majalah TEM-

PO dikecam keras sejumlah pihak yang men-dukung hukum qanun (syariat Islam). Majalah TEMPO bahkan dituduh anti Islam. Begitu juga ketika TEMPO menerbitan edisi khusus pada 1 Oktober 2012 tentang pengakuan para al-gojo pembantai orang-orang yang dituduh PKI (1965), tak urung pihak Nahdlatul Ulama (NU) Jawa Timur dibuat gerah karena merasa didiskeditkan pemberitaan dalam edisi yang laris manis di pasaran tersebut. Kabarnya pi-hak NU Jatim telah melayangkan gugatan ter-hadap TEMPO.

Wahyu Muryadi, Pemred Majalah TEM-PO, mengakui pihaknya dicaci-maki kelom-pok-kelompok tertentu yang merasa dirugikan pemberitaan itu. “Apa boleh buat, bagi kami itulah unconvenient truth, kebenaran yang tak membuat nyaman pihak-pihak tertentu yang disorot dalam pemberitaan tersebut. Kami tak memiliki misi atau agenda apapun selain men-gungkapkan bahwa apa yang terjadi waktu itu masih menjadi misteri hingga kini, masih di-tutup-tutupi oleh suatu konspirasi besar yang kita tak tahu yang mengambil keuntungan dari

peristwa itu,” paparnya.Sementara itu, Irfan Abubakar, MA, Di-

rektur Center of Study for Religion & Culture (CSRC) UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, ber-pendapat bahwa Majalah TEMPO adalah me-dia pejuang HAM. Menurut Irfan Abubakar, integrasi sosial adalah keadaan di mana setiap individu atau kelompok minoritas memiliki kebebasan mengekspresikan dirinya, yang dibarengi kemampuan kelompok mayoritas menerima kaum minoritas dalam partisipasi publik tanpa menekan dan melanggar hak-hak kelompok minoritas.

Pendapatnya tersebut didasari hasil kajian yang dilakukannya tentang peranan media massa dalam integrasi sosial di Indonesia (li-hat “Media Framing dan Jurnalisme Damai : Menakar Peran Media dalam Integrasi Sosial di Indonesia” dalam buku Media dan Integra-si Sosial, UIN Syarif Hidayatullah, 2011) yang mengamati bagaimana pemberitaan media menyikapi konflik-konflik HAM termasuk konflik bernuansa keagamaan seperti kasus penyerangan terhadap kaum Ahmadiyah di Cikeusik dan terhadap jemaat HKBP di Ciket-ing. “Majalah TEMPO sangat jelas menun-jukkan sikapnya yang membela HAM dengan menggunakan framing yang pro pada nilai-nilai HAM, dan tegas-tegas menyatakan bah-

wa pelanggaran HAM harus ditindak,” ungkap pria yang juga berstatus dosen pada UIN Syarif Hidayatullah.

Bagi Majalah TEMPO penghargaan Yap Thiam Hien 2012 tersebut merupa-kan wujud kepercayaan publik, khusus-nya Yayasan Yap Thiam Hien, terhadap pihaknya dalam melakukan kerja jurnal-istik yang juga sangat peduli pada isu-isu HAM. “Puji syukur ke hadirat Tuhan YME. Penghargaan ini melecut kami untuk bekerja lebih baik, lebih keras lagi, bah-wa memang isu-isu HAM merupakan pe- er kita yang menumpuk sampai kapan pun,” ujar Wahyu Muryadi. Menurutnya, Majalah TEMPO sangat concern -dalam liputan redaksionalnya- untuk dengan konsisten meliput, membuka, mem-bongkar dan menayangkan hal-hal yang

berkaitan dengan pelanggaran HAM : apakah itu HAM yang menyangkut hak hidup seseo-rang ataukah hak untuk beragama dan ber-keyakinan, mengingat banyak kaum minoritas yang masih tertindas. “Itulah yang kami pertah-ankan hingga sekarang,” tandasnya.n

OBITUARISelasa pagi, 2 September 2013, kabar duka

menyeruak. Pak Tandyo –demikian panggilan akrab Prof. Soetandyo Wignyosoebroto, tel-ah berpulang ke haribaan Sang Khalik setelah sempat dirawat selama beberapa hari di RS Elizabeth, Semarang akibat sakit yang diderit-anya. Indonesia kembali kehilangan salah satu putera terbaiknya, sosok mumpuni namun bersahaja yang tanpa kenal lelah serta den-gan setia mendedikasikan ilmu pengetahuan dan pengalamannya bagi kepentingan orang banyak. Selamat jalan, Prof. Beristirahatlah dalam damai. Terimakasih banyak atas segala sumbangsih yang telah diberikan. Kami akan selalu mengenangmu…

11

E d i s i 0 2 | Ta h u n I | 2 0 1 3

Masih dalam rangka memperingati 100 Tahun Yap thiam Hien, di tahun 2013 ini Yayasan masih melanjutkan upaya untuk terus meningkatkan kiprahnya untuk menggugah partisipasi masyarakat luas untuk memberikan dukung-

an, pemberdayaan dan perlindungan bagi mereka yang berjuang mel-awan ketidakadilan dan pelanggaran HAM.

Di tahun 2013 ini hingga September 2013, Yayasan telah melaku-kan beberapa kegiatannya, yaitu pengembangan media sosial Yayasan dimana jumlah pertemanan telah hampir mencapai angka 1000 den-gan komunikasi yang cukup intensif. Artinya dalam kurun waktu 6 bulan, Yayasan cukup berhasil membangun komunikasi dengan mas-yarakat lebih luas terkait dengan sosialisasi sosok Yap Thiam Hien dan Peraih Yap Thiam Hien Award.

Kegiatan Yayasan terkait dengan peringatan 100 Tahun Yap Thiam Hien adalah dimulai sejak 23 Mei 2013 dimana bersama-sama beber-apa YLBHI, INFID, CDC. Ukrida, BPK Penabur, Oikoumene dan BPK Pen-abur melaksanakan Peringatan 100 Tahun Yap Thiam Hien. Kegiatan ini sekaligus meluncurkan Buku mengenai Yap Thiam Hien.

Museum HAM Aceh bekerjasama dengan Badan Eksekutif Maha-siswa Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala dan Pusat StudiHukum & HAM (PUSHAM) Unsyiah melaksanakan rangkaian kegiatan per-ingatan 100 Tahun Yap Thiam Hien pada 23-24 Mei 2013. Kegiatan

yang dilakukan berupa pameran Museum HAM Aceh goes to cam-pus, pemutaran film biografi, peluncuran buku Profil Penerima yap Thiam Hien Award, ceramah dan diskusi. Diskusi yang dilaksanakan tanggal 24 Mei 2013 bertemakan “Gagasan dan Kerja Yap Thiam Hien dalam bidang Hukum dan HAM, Konteks Aceh: Masa Lalu, Hari Ini dan Prospek Masa depan.” Diskusi ini menghadirkan dua perempuan Aceh yang meraih penghargaan Yap Thiam Hien Award (YTHA), yaitu Ir. Fari-da haryani (YTHA 1998) dan Suraiya Kamaruzzaman (YTHA 2001). Se-lain itu juga menghadirkan perwakilan dari organisasi perkumpulan masyarakat keturunan Tionghoa di Aceh, yaitu Kho Khie Siong (Per-

kumpulan HAKKA Aceh). Bertepatan dengan momentum peringatan hari lahirnya Pancasila,

Gereja Kristen Indonesia (GKI) Samanhudi menyelenggarakan seminar yang bertujuan merevitalisasi ingatan kita pada nilai-nilai Pancasila. Selain itu juga sekaligus mengingatkan betapa seorang Yap Thiam Hien ternyata merefleksikan nilai-nilai Pancasila dalam sikap hidup dan pe-mikirannya. Seminar ini menghadirkan Dr. Todung Mulya Lubis, Prof. Dr. Hj. Siti Musdah Mulia, MA, APU, Pdt. Ferdy Suleeman, Th.M (pen-deta jemaat GKI Bekasi Timur) dan Pdt. Yongky Karmar, Ph.D (dosen STT Jakarta).

Pada edisi khusus Majalah TEMPO tanggal 3-8 Juni 2013 menge-luarkan laporan khusus tentang 100 Tahun Sang Pendekar Keadilan, Bercermin pada Yap Thiam Hien. Tulisan yang mencoba mengangkat hidup Yap Thiam Hiem bagai pelakon kisah Alegori Gua, karya Plato 25 abad silam. Sang protagonis yang berhasil melepaskan diri dari ikatan yang membelenggu di dalam gua sejak lahir. Lalu ia pergi keluar, ter-pesona melihat kenyataan alam bebas dan merasakan arti sebenarnya sebagai manusia merdeka, untuk pertama kalinya. Kisah hidup Yap Thiam Hien sampai sekarang pun terlihat amat heroik. Padahal sema-sa hidupnya, mayoritas kenalannya menganggap Yap aneh, menjengkelkan bahkan membahayakan. Di mata penguasa, pem-bela kaum tertindas dan minoritas ini dikategorikan sebagai pembangkang yang merepotkan. Itu lantaran ia berani berjuang mem-bela hak-hak mereka yang dianggap musuh negara, termasuk kalangan yang secara politik bersebrangan dengannya.

Tahun 2013 ini Yayasan akan kembali menye-lenggarakan Yap Thiam Hien Award di mana riset pencarian kandidat akan segera dilaksanakan pada bulan September ini.

Ke depan, Yayasan Yap Thiam Hien berencana bekerjasama den-gan akademisi melakukan bedah buku terkait dengan Yap Thiam Hien. Selain itu juga berupaya mengangkat sosok dan perjuangan beliau ke layar lebar. Yayasan juga tengah menggodok rencana pembuatan filem dokumenter Yap Thiam Hien dengan sejumlah pihak, termasuk rencana mengadakan kompetisi filem pendek untuk kalangan maha-siswa.n

SERBA-SERBI YAYASAN YAP THIAM HIENOleh : Yulia Siswaningsih

12