newsletter edisi 6, agustus 2014

32
THE EQUA- TOR Edisi 6, Agustus 2014 Terbitan triwulan | GRATIS NEWSLETTER YAYASAN BIENNALE YOGYAKARTA Terbit sejak Juni 2013 MELAWAN ARUS MELAWAN ARUS

Upload: biennale-jogja

Post on 02-Apr-2016

229 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

MELAWAN ARUS

TRANSCRIPT

Page 1: Newsletter Edisi 6, Agustus 2014

THEEQUA-TOREdisi 6, Agustus 2014Terbitan triwulan | GRATIS

NEWSLETTERYAYASAN BIENNALE YOGYAKARTA

Terbit sejak Juni 2013

MELAWAN ARUSMELAWAN ARUS

Page 2: Newsletter Edisi 6, Agustus 2014

PENGANTAR REDAKSI

The Equator merupakan newsletter berkala setiap tiga bulan diterbitkan Yayasan Biennale Yogyakarta. Newsletter ini dapat diakses secara online pada situs:www.biennalejogja.org.

Redaksi The Equator menerima kontribusi tulisan dari segala pihak sepanjang 800 - 1000 kata dengan tema terkait isu Nusantara Khatulistiwa.Tulisan dapat dikirim via e-mail ke:[email protected] kompensasi untuk tulisan yang diterbitkan.

Tentang Yayasan Biennale YogyakartaMisi Yayasan Biennale Yogyakarta (YBY)adalah:Menginisiasi dan memfasilitasi berbagai upaya mendapatkan konsep strategis perencanaan kota yang berbasis seni-budaya, penyempurnaan blue print kultural kota masa depan sebagai ruang hidup bersama yang adil dan demokratis. Berdiri pada 23 Agustus 2010.

Alamat: Taman Budaya YogyakartaJl. Sri Wedani No.1 Yogyakarta

Telp: +62 274 587712E-mail: [email protected].

Agustus 2014, 1000 exp

Penanggung jawab: Yustina YeniRedaktur Pelaksana: Arham RahmanKontributor: Citra Aryandari, Umar Muda, Umi Lestari, Wahmuji, Rain Rosidi, Fuji Riang Prastowo.Fotografi: Yustina Neni, Fuji Riang PrastowoDesainer: Yohana T.

Outlet PenyebaranJakarta: Ruangrupa, IFI Jakarta, Komunitas Salihara, Dewan Kesenian Jakarta, dia.lo.gue, Kedai TjikiniBandung: Selasar Sunaryo Art Space, Common Room, IFI Bandung, Galeri Soemardja, TobucilYogyakarta: IVAA, Kedai Kebun, IFI Jogjakarta, Cemeti Art House, Via Via Cafe, LKiS, Sangkring Art Space, Ark Gallerie, Ruang Kelas SD, Warung Lidah IbuSemarang: Kolektif HysteriaSurabaya: C2ODenpasar: Kopi KulturMakasar: Rumata Artspace

Dukungan untuk Yayasan Biennale Yogyakarta dikirim ke:

Yayasan Biennale Yogyakarta BNI 46 YogyakartaNo.rek: 224 031 615

Yayasan Biennale Yogyakarta BCA YogyakartaNo.rek: 0373 0307 72

NPWP: 03.041.255.5-541.000

2 3

Pembaca yang budiman,

Di edisi sebelumnya kita telah memantik pembicaraan tentang Afrika dalam konteks geo-politik dan geo-ekonomi. Pada edisi ini, kita akan mengulik soal seni dan politik di Afrika dalam konteks kajian pascakolonial, khususnya wilayah Nigeria.

Kolonialisme Eropa telah memoles wajah Afrika, memberi pengaruh pada kehidupan masyarakat termasuk praktik seninya. Situasi yang sama juga terjadi di negara-negara pascakolonial lain seperti Indonesia. Kolonialisme bukan hanya dilakukan secara fisik, tetapi juga secara psikis melalui proses hegemoni. Mereka mengintegrasikan suatu cara berpikir agar kawula terjajah memandang diri lebih rendah dibanding bangsa penjajah, Barat.

Selepas proses dekolonialisasi, cara pandang itu tetap ada; minder pada bangsa sendiri dan memandang Barat dengan semua tetek bengek kebudayaannya sebagai yang paling unggul meski membencinya. Benci tapi rindu, begitu kira-kira. Situasi inilah yang disoroti dalam pascakolonialisme. Sebagai wacana, pascakolonialisme tidak bermaksud untuk mencari otentitas atau “diri yang hilang” sebelum Eropa datang, tapi merefleksikan ulang semua situasi yang pernah dialami–termasuk penderitaan di masa penjajahan–untuk membentuk kebudayaan atau identitas baru secara kreatif.

Pada titik ini kesenian di kawasan pascakolonial hadir secara mengejutkan. Ia hadir sebagai cara bagi masyarakat pascakolonial membicarakan dirinya, traumanya, hingga perlawanannya atas pesona “kemajuan” Barat. Afrika adalah ladang subur bagi seni dan pemikiran pascakolonial. Edisi ini akan melihat fenomena itu, khususnya dalam praktik seni kontemporer di kawasan Afrika. Untuk itu, kami mengundang enam orang penulis untuk mengulik wacana ini dengan berbagai tema khas kajian pascakolonial.

Tulisan pertama berbicara tentang carnavele; masalah kemunculannya di Indonesia yang tanpa basis sejarah hingga hibriditas dalam carnavele di Karibia. Pertanyaan-pertanyaan mendasar soal masalah ini akan dijawab secara lugas oleh Citra Aryandari. Tulisan kedua berbicara tentang seni kaum imigran Afrika di Eropa. Lewat tulisannya, Umar menunjukkan bagaimana kaum imigran Afrika di Eropa memperjuangkan hak-haknya melalui karya seni, khususnya sastra.

Tulisan ketiga dan keempat masuk dalam semesta pembicaraan yang lebih spesifik, yakni sastra dan industri perfilman di Nigeria. Umi Lestari akan berbicara tentang Nollywood, sedang Wahmuji akan membicarakan pemikiran Chinua Achebe, sastrawan besar Nigeria. Kedua tulisan ini akan memberi terang gagasan bagi kita tentang sastra dan film di Nigeria. Adapun tulisan kelima akan menyuguhkan gagasan Direktur Artistik Biennale Jogja, Rain Rosidi, tentang isu yang akan diangkat dalam penyelenggaraan Biennale tahun 2015. Tulisan terakhir berupa laporan perjalanan singkat tim YBY di Bangalore, India dan salah satu negara Afrika, yakniMadagaskar.

Paparan para penulis di edisi ini tentu menarik untuk menjadi bahan baku awal dalam memahami wacana seni dan politik Afrika. Harapannya, paparan tersebut dapat kita kembangkan lebih lanjut dan memunculkan perdebatan kritis. Semoga bermanfaat!

Salam Hangat,Tim Redaksi

Potret salah satu warung makan

di Madagaskar

Atas:Rumah di salah satu daerah di

Antananarivo, Madagaskar

Tengah:Tim YBY dan Taman Budaya Yogyakarta, bertemu kepala

jurusan animasi dan visual effect, Srishti School of Art, Design &

Technology, Bangalore

Bawah:Lapak sayur di pinggiran kota

Antananarivo, Madagaskar

Page 3: Newsletter Edisi 6, Agustus 2014

PENGANTAR REDAKSI

The Equator merupakan newsletter berkala setiap tiga bulan diterbitkan Yayasan Biennale Yogyakarta. Newsletter ini dapat diakses secara online pada situs:www.biennalejogja.org.

Redaksi The Equator menerima kontribusi tulisan dari segala pihak sepanjang 800 - 1000 kata dengan tema terkait isu Nusantara Khatulistiwa.Tulisan dapat dikirim via e-mail ke:[email protected] kompensasi untuk tulisan yang diterbitkan.

Tentang Yayasan Biennale YogyakartaMisi Yayasan Biennale Yogyakarta (YBY)adalah:Menginisiasi dan memfasilitasi berbagai upaya mendapatkan konsep strategis perencanaan kota yang berbasis seni-budaya, penyempurnaan blue print kultural kota masa depan sebagai ruang hidup bersama yang adil dan demokratis. Berdiri pada 23 Agustus 2010.

Alamat: Taman Budaya YogyakartaJl. Sri Wedani No.1 Yogyakarta

Telp: +62 274 587712E-mail: [email protected].

Agustus 2014, 1000 exp

Penanggung jawab: Yustina YeniRedaktur Pelaksana: Arham RahmanKontributor: Citra Aryandari, Umar Muda, Umi Lestari, Wahmuji, Rain Rosidi, Fuji Riang Prastowo.Fotografi: Yustina Neni, Fuji Riang PrastowoDesainer: Yohana T.

Outlet PenyebaranJakarta: Ruangrupa, IFI Jakarta, Komunitas Salihara, Dewan Kesenian Jakarta, dia.lo.gue, Kedai TjikiniBandung: Selasar Sunaryo Art Space, Common Room, IFI Bandung, Galeri Soemardja, TobucilYogyakarta: IVAA, Kedai Kebun, IFI Jogjakarta, Cemeti Art House, Via Via Cafe, LKiS, Sangkring Art Space, Ark Gallerie, Ruang Kelas SD, Warung Lidah IbuSemarang: Kolektif HysteriaSurabaya: C2ODenpasar: Kopi KulturMakasar: Rumata Artspace

Dukungan untuk Yayasan Biennale Yogyakarta dikirim ke:

Yayasan Biennale Yogyakarta BNI 46 YogyakartaNo.rek: 224 031 615

Yayasan Biennale Yogyakarta BCA YogyakartaNo.rek: 0373 0307 72

NPWP: 03.041.255.5-541.000

2 3

Pembaca yang budiman,

Di edisi sebelumnya kita telah memantik pembicaraan tentang Afrika dalam konteks geo-politik dan geo-ekonomi. Pada edisi ini, kita akan mengulik soal seni dan politik di Afrika dalam konteks kajian pascakolonial, khususnya wilayah Nigeria.

Kolonialisme Eropa telah memoles wajah Afrika, memberi pengaruh pada kehidupan masyarakat termasuk praktik seninya. Situasi yang sama juga terjadi di negara-negara pascakolonial lain seperti Indonesia. Kolonialisme bukan hanya dilakukan secara fisik, tetapi juga secara psikis melalui proses hegemoni. Mereka mengintegrasikan suatu cara berpikir agar kawula terjajah memandang diri lebih rendah dibanding bangsa penjajah, Barat.

Selepas proses dekolonialisasi, cara pandang itu tetap ada; minder pada bangsa sendiri dan memandang Barat dengan semua tetek bengek kebudayaannya sebagai yang paling unggul meski membencinya. Benci tapi rindu, begitu kira-kira. Situasi inilah yang disoroti dalam pascakolonialisme. Sebagai wacana, pascakolonialisme tidak bermaksud untuk mencari otentitas atau “diri yang hilang” sebelum Eropa datang, tapi merefleksikan ulang semua situasi yang pernah dialami–termasuk penderitaan di masa penjajahan–untuk membentuk kebudayaan atau identitas baru secara kreatif.

Pada titik ini kesenian di kawasan pascakolonial hadir secara mengejutkan. Ia hadir sebagai cara bagi masyarakat pascakolonial membicarakan dirinya, traumanya, hingga perlawanannya atas pesona “kemajuan” Barat. Afrika adalah ladang subur bagi seni dan pemikiran pascakolonial. Edisi ini akan melihat fenomena itu, khususnya dalam praktik seni kontemporer di kawasan Afrika. Untuk itu, kami mengundang enam orang penulis untuk mengulik wacana ini dengan berbagai tema khas kajian pascakolonial.

Tulisan pertama berbicara tentang carnavele; masalah kemunculannya di Indonesia yang tanpa basis sejarah hingga hibriditas dalam carnavele di Karibia. Pertanyaan-pertanyaan mendasar soal masalah ini akan dijawab secara lugas oleh Citra Aryandari. Tulisan kedua berbicara tentang seni kaum imigran Afrika di Eropa. Lewat tulisannya, Umar menunjukkan bagaimana kaum imigran Afrika di Eropa memperjuangkan hak-haknya melalui karya seni, khususnya sastra.

Tulisan ketiga dan keempat masuk dalam semesta pembicaraan yang lebih spesifik, yakni sastra dan industri perfilman di Nigeria. Umi Lestari akan berbicara tentang Nollywood, sedang Wahmuji akan membicarakan pemikiran Chinua Achebe, sastrawan besar Nigeria. Kedua tulisan ini akan memberi terang gagasan bagi kita tentang sastra dan film di Nigeria. Adapun tulisan kelima akan menyuguhkan gagasan Direktur Artistik Biennale Jogja, Rain Rosidi, tentang isu yang akan diangkat dalam penyelenggaraan Biennale tahun 2015. Tulisan terakhir berupa laporan perjalanan singkat tim YBY di Bangalore, India dan salah satu negara Afrika, yakniMadagaskar.

Paparan para penulis di edisi ini tentu menarik untuk menjadi bahan baku awal dalam memahami wacana seni dan politik Afrika. Harapannya, paparan tersebut dapat kita kembangkan lebih lanjut dan memunculkan perdebatan kritis. Semoga bermanfaat!

Salam Hangat,Tim Redaksi

Potret salah satu warung makan

di Madagaskar

Atas:Rumah di salah satu daerah di

Antananarivo, Madagaskar

Tengah:Tim YBY dan Taman Budaya Yogyakarta, bertemu kepala

jurusan animasi dan visual effect, Srishti School of Art, Design &

Technology, Bangalore

Bawah:Lapak sayur di pinggiran kota

Antananarivo, Madagaskar

Page 4: Newsletter Edisi 6, Agustus 2014

4 5

Hadirnya karnaval busana di Indonesia merupakan fenomena baru dalam dekade akhir ini. Karnaval busana awalnya hadir di kota Jember. Jember Fashion Carnival (JFC) menjadi fenomena yang mengejutkan karena sebuah karnaval mode semacam itu bisa hadir di Indonesia, apalagi di sebuah kota yang jauh dari Jakarta atau pusat-pusat mode di Indonesia. JFC mengilhami enam provinsi untuk menggelar kegiatan serupa. Bahkan, agar terjadi standardisasi karnaval, baik secara nasional maupun internasional, dibentuk Asosiasi Karnaval Indonesia (Akari).

Pada awalnya masyarakat Jember yang jauh dari pusat kota provinsi, memandang bahwa apa yang dilakukan oleh sekelompok orang yang diprakarsai putra daerah Dynan Fariz dengan pakaian aneh itu merupakan perbuatan kontroversial dan main-main. Pakaian yang mereka kenakan tidak seperti layaknya pakaian keseharian, akan tetapi didesain “nyleneh” seakan tidak jelas dari mana rujukan dan asalnya. Mereka hanya melihat ada kain batik, tali, akar, topeng, dan lain

KARNAVAL:PERAYAAN SEJARAH &TANPA SEJARAHCitra Aryandari (Dosen Etnomusikologi ISI Yogyakarta)

sebagainya yang disusun sedemikian rupa mayoritas masyarakatnya beragama Katolik di menutupi tubuh, bahkan wajah. Eropa. Kolonialisme Eropa memungkinkan

penyebaran carnevale di berbagai belahan Jember dikenal sebagai daerah pendalungan, dunia, termasuk Karibia.artinya hampir semua tradisi atau budaya yang ada dipunyai juga oleh daerah lain. Asal-usul Pada awal abad ke-17, Karibia menjadi medan warga Jember sebagian besar dari migrasi tempur berbagai bangsa yang mencari daerah tapal kuda (daerah yang memiliki kejayaan. Spanyol, Perancis, Inggris, dan tradisi dan budaya Madura) dan Mataraman Belanda berperang memperebutkan (daerah yang memiliki kultur Jawa). kepulauan yang mereka sebut sebagai Hindia Pendalungan adalah gambaran wilayah yang Barat. Kesuburan wilayah Karibia merupakan menampung beragam kelompok etnik dengan alasan utama hadirnya koloni, tetapi minimnya latar belakang budaya berbeda, yang tenaga kerja yang dapat menggarap lahan kemudian melahirkan kebudayaan hibrid. menjadi alasan utama terjadinya perbudakan Jember Fashion Carnaval (JFC) lahir dari hasil di wilayah itu. Impor pekerja budak dari Afrika hibridisasi budaya yang sangat kreatif. Barat menjadi jalan keluar untuk mengatasi

terbatasnya tenaga kerja.Dalam tataran internasional JFC bukanlah hal baru. Hal ini bisa dilihat dari keberadaan Rio Kehadiran budak Afrika di Karibia tentunya de Jeneiro Carnival, Nottinghill Carnival, Mardi menimbulkan persinggungan budaya yang Gras Carnival, dll sebagai interteks dari Jember menarik. Tradisi carnevale yang dibawa oleh Fashion Carnival. Karnaval-karnaval tersebut Bangsa Eropa bercampur dengan bermacam bisa dikatakan sebagai “referenceserta teks lain yang ada di Karibia. Percampuran hypogram” dari JFC. Meskipun demikian, tetap budaya yang terjadi pada wilayah koloni saja JFC telah melakukan dekonstruksi karnaval membawa ketegangan antara penjajah dan di Indonesia. JFC juga telah membuat Jember terjajah yang disebut hibriditas (Babha, 2004). sebagai pusat perhelatan mode dunia tanpa Hibrid secara teknis dipahami sebagai kesejarahan sebelumnya. Ini menjadi menarik persilangan antara dua “spesies” yang berbeda untuk diperbincangkan kemudian yakni, –silang budaya. Hibriditas mengacu pada bagaimana sebuah karnaval “mode” bisa interaksi antara bentuk-bentuk budaya muncul di Jember dan kemudian diikuti oleh berbeda, yang suatu saat akan menghasilkan beberapa kota di Indonesia tanpa sejarah yang budaya dan identitas baru dengan sejarah dan mendahuluinya? Apakah ini penanda dari perwujudan tekstualnya sendiri.salah satu gejala postmoderisme dalam

Teks budaya Afrika secara perlahan turut kehidupan budaya Indonesia?menjadi bagian dari perayaan carnevale.

Hibriditas dalam Alunan Samba Dalam praktik budaya masyarakat Afrika, aneka kostum dan topeng menempati posisi

Istilah karnaval berasal dari carnevale –yang yang istimewa. Penggunaan kostum dan berarti untuk menyingkirkan daging. Carnevale topeng (yang dibuat dengan mengambil bahan merupakan kegiatan yang dilakukan oleh para dari alam) dalam upacara tertentu diyakini pengikut agama Katolik di Italia. Mereka dapat membawa keberuntungan, mengatasi memiliki tradisi penyelenggaraan festival masalah, hingga mengantar arwah orang kostum liar tepat sebelum hari pertama puasa meninggal ke dunia berikutnya. Carnevale (menyingkirkan daging). Agama Katolik akhirnya meminjam tradisi Afrika dengan menganjurkan untuk tidak makan daging menyusun benda-benda alam (tulang, rumput, selama Prapaskah. Seiring waktu, praktek manik-manik, kerang, kain, bulu). Bulu-bulu tersebut menyebar ke seluruh negara yang yang sering digunakan oleh orang Afrika pada

Cosmo Girl, Jember Fashion

Carnival XIII

sumber:

http://www.cosmogirl.co.id/galler

y/teaser/5efda882893df6637174b

167f78194ac.jpg)

Page 5: Newsletter Edisi 6, Agustus 2014

4 5

Hadirnya karnaval busana di Indonesia merupakan fenomena baru dalam dekade akhir ini. Karnaval busana awalnya hadir di kota Jember. Jember Fashion Carnival (JFC) menjadi fenomena yang mengejutkan karena sebuah karnaval mode semacam itu bisa hadir di Indonesia, apalagi di sebuah kota yang jauh dari Jakarta atau pusat-pusat mode di Indonesia. JFC mengilhami enam provinsi untuk menggelar kegiatan serupa. Bahkan, agar terjadi standardisasi karnaval, baik secara nasional maupun internasional, dibentuk Asosiasi Karnaval Indonesia (Akari).

Pada awalnya masyarakat Jember yang jauh dari pusat kota provinsi, memandang bahwa apa yang dilakukan oleh sekelompok orang yang diprakarsai putra daerah Dynan Fariz dengan pakaian aneh itu merupakan perbuatan kontroversial dan main-main. Pakaian yang mereka kenakan tidak seperti layaknya pakaian keseharian, akan tetapi didesain “nyleneh” seakan tidak jelas dari mana rujukan dan asalnya. Mereka hanya melihat ada kain batik, tali, akar, topeng, dan lain

KARNAVAL:PERAYAAN SEJARAH &TANPA SEJARAHCitra Aryandari (Dosen Etnomusikologi ISI Yogyakarta)

sebagainya yang disusun sedemikian rupa mayoritas masyarakatnya beragama Katolik di menutupi tubuh, bahkan wajah. Eropa. Kolonialisme Eropa memungkinkan

penyebaran carnevale di berbagai belahan Jember dikenal sebagai daerah pendalungan, dunia, termasuk Karibia.artinya hampir semua tradisi atau budaya yang ada dipunyai juga oleh daerah lain. Asal-usul Pada awal abad ke-17, Karibia menjadi medan warga Jember sebagian besar dari migrasi tempur berbagai bangsa yang mencari daerah tapal kuda (daerah yang memiliki kejayaan. Spanyol, Perancis, Inggris, dan tradisi dan budaya Madura) dan Mataraman Belanda berperang memperebutkan (daerah yang memiliki kultur Jawa). kepulauan yang mereka sebut sebagai Hindia Pendalungan adalah gambaran wilayah yang Barat. Kesuburan wilayah Karibia merupakan menampung beragam kelompok etnik dengan alasan utama hadirnya koloni, tetapi minimnya latar belakang budaya berbeda, yang tenaga kerja yang dapat menggarap lahan kemudian melahirkan kebudayaan hibrid. menjadi alasan utama terjadinya perbudakan Jember Fashion Carnaval (JFC) lahir dari hasil di wilayah itu. Impor pekerja budak dari Afrika hibridisasi budaya yang sangat kreatif. Barat menjadi jalan keluar untuk mengatasi

terbatasnya tenaga kerja.Dalam tataran internasional JFC bukanlah hal baru. Hal ini bisa dilihat dari keberadaan Rio Kehadiran budak Afrika di Karibia tentunya de Jeneiro Carnival, Nottinghill Carnival, Mardi menimbulkan persinggungan budaya yang Gras Carnival, dll sebagai interteks dari Jember menarik. Tradisi carnevale yang dibawa oleh Fashion Carnival. Karnaval-karnaval tersebut Bangsa Eropa bercampur dengan bermacam bisa dikatakan sebagai “referenceserta teks lain yang ada di Karibia. Percampuran hypogram” dari JFC. Meskipun demikian, tetap budaya yang terjadi pada wilayah koloni saja JFC telah melakukan dekonstruksi karnaval membawa ketegangan antara penjajah dan di Indonesia. JFC juga telah membuat Jember terjajah yang disebut hibriditas (Babha, 2004). sebagai pusat perhelatan mode dunia tanpa Hibrid secara teknis dipahami sebagai kesejarahan sebelumnya. Ini menjadi menarik persilangan antara dua “spesies” yang berbeda untuk diperbincangkan kemudian yakni, –silang budaya. Hibriditas mengacu pada bagaimana sebuah karnaval “mode” bisa interaksi antara bentuk-bentuk budaya muncul di Jember dan kemudian diikuti oleh berbeda, yang suatu saat akan menghasilkan beberapa kota di Indonesia tanpa sejarah yang budaya dan identitas baru dengan sejarah dan mendahuluinya? Apakah ini penanda dari perwujudan tekstualnya sendiri.salah satu gejala postmoderisme dalam

Teks budaya Afrika secara perlahan turut kehidupan budaya Indonesia?menjadi bagian dari perayaan carnevale.

Hibriditas dalam Alunan Samba Dalam praktik budaya masyarakat Afrika, aneka kostum dan topeng menempati posisi

Istilah karnaval berasal dari carnevale –yang yang istimewa. Penggunaan kostum dan berarti untuk menyingkirkan daging. Carnevale topeng (yang dibuat dengan mengambil bahan merupakan kegiatan yang dilakukan oleh para dari alam) dalam upacara tertentu diyakini pengikut agama Katolik di Italia. Mereka dapat membawa keberuntungan, mengatasi memiliki tradisi penyelenggaraan festival masalah, hingga mengantar arwah orang kostum liar tepat sebelum hari pertama puasa meninggal ke dunia berikutnya. Carnevale (menyingkirkan daging). Agama Katolik akhirnya meminjam tradisi Afrika dengan menganjurkan untuk tidak makan daging menyusun benda-benda alam (tulang, rumput, selama Prapaskah. Seiring waktu, praktek manik-manik, kerang, kain, bulu). Bulu-bulu tersebut menyebar ke seluruh negara yang yang sering digunakan oleh orang Afrika pada

Cosmo Girl, Jember Fashion

Carnival XIII

sumber:

http://www.cosmogirl.co.id/galler

y/teaser/5efda882893df6637174b

167f78194ac.jpg)

Page 6: Newsletter Edisi 6, Agustus 2014

hiasan kepala, dipercaya sebagai simbol dari para penari perempuan yang menampilkan kemampuan manusia untuk bangkit dari kostum minim, unik, namun penuh warna-berbagai permasalahan seperti perbudakan. warni dan aksesoris mewah nan glamour. Dan akhirnya, bulu-bulu banyak digunakan Mereka berlenggak-lenggok eksotis mengikuti dalam menciptakan kostum karnaval. Tarian iringan samba.dan musik tradisi Afrika pun menjadi bentuk

Karnaval di Mardi Gras di New Orleans sudah baru dalam perayaan karnaval.ada sejak tahun 1730, tapi dalam bentuk pesta

Hibriditas tidak hanya mengarahkan perhatian dansa. Kemudian pada tahun 1830 karnaval pada produk-produk perpaduan budaya itu mulai berubah menjadi bentuk arak-arakan sendiri, tetapi lebih pada cara bagaimana berkostum warna emas, ungu, dan hijau. Pada produk-produk budaya ini ditempatkan dalam tahun 1872, karnaval ini ditambah dengan ruang sosial dan historis di bawah kolonialisme kehadiran seorang raja karnaval yang menjadi bagian dari pemaksaan penolakan dimitoskan bernama Rex. Dalam karnaval ini, hubungan kekuasaan kolonial (Moore-Gilbert, banyak manik-manik berwarna-warni dan koin 2000). Karnaval yang hadir di Karibia bergambar wajah Rex yang dilemparkan ke merupakan ruang liminal persinggungan sekeliling kota oleh peserta karnaval. budaya yang terjadi antara penjajah dan Masyarakat percaya, koin tersebut membawa terjajah. Tradisi prapaskah yang dibawa bangsa keberuntungan jika berhasil mendapatkannya.Eropa berpadu dengan ritus pembebasan

Selain manik-manik dan koin, Mardi Gras juga masalah yang dilakukan budak Afrika dengan memiliki tradisi lain yaitu king cake atau kue berarak memainkan musik dan tari berhiaskan raja. Kue ini terbuat dari roti donat besar yang bulu-bulu menjadi identitas baru samba sederhana bertabur gula berwarna khas Mardi dalam karnaval.Gras yakni, hijau, emas, ungu dan berisi

Karibia sebagai segitiga perdagangan antara sebuah boneka bayi kecil. Keberuntungan akan Afrika-Karibia-Eropa, membuat karnaval diperoleh apabila berhasil mendapatkan sebagai produk budaya hibrid tak berhenti di potongan kue berisi bayi. Tak hanya itu wilayah ini saja. Kondisi perdagangan yang karnaval Mardi Gras banyak menggunakan dinamis membuat karnaval ikut menyebar ke topeng dalam paradenya. Hal ini berawal dari berbagai wilayah sekitar Karibia seperti dilarangnya masyarakat budak (kulit hitam) Trinidad, Brazil, Venezuella, hingga New mengikuti pesta, dan kemudian mereka Orleans Amerika. Tak hanya itu, migrasi para (budak) mengikuti karnaval dengan budak ke Eropa membuat karnaval hadir di menggunakan topeng sehingga tak tampak Nottinghill Inggris, dan tentu saja dalam sajian warna kulitnya. Sampai kini topeng menjadi yang berbeda. identitas karnaval Mardi Gras.

Sebagai budaya hibrid karnaval mengalami Notting Hill sebuah wilayah di sudut Barat adaptasi di setiap ruang. Brazil misalnya, London, memiliki sejarah kelam dengan karnaval Rio de Janeiro merupakan karnaval munculnya kerusuhan rasial pertama di Inggris terbesar di dunia, karena mampu tahun 1950-an. Kehadiran bangsa kulit hitam menghadirkan dua juta orang perhari selama di wilayah ini tidak terlepas dari sejarah seminggu. Dalam karnaval ini pengunjung bisa kolonial Inggris di Karibia. Sekitar 30 tahun lalu menyaksikan aneka atraksi sirkus, pawai warga Karibia di Inggris merayakan kostum, dan aksi menawan tari Samba yang kebebasannya dengan berkanaval hingga saat diperagakan perempuan-perempuan Brasil ini. Lebih dari 12.000 polisi berjaga saat yang cantik dan seksi. Yang paling menjadi kegiatan ini berlangsung. Karnaval Notting Hill sorotan dalam karnaval ini tentu adalah aksi yang kini termasuk karnaval terbesar di Eropa

menghadirkan parade jalanan musik dan tarian, penjualan makanan dan street trading lainnya. Setiap orang dapat berpartisipasi dalam acara ini dengan turut menjual kerajinan tangan, home made cookies, parade kostum ataupun street band. The Notting Hill Carnival membuka pintu bagi semua pengunjung termasuk turis, seperti mottonya yaitu: “Every Spectator is A Participant – Carnival is for all who dare to participate”

Kritikus sastra Rusia Mikhail Bakhtin menelurkan satu konsep penting mengenai karnaval, yang belakangan banyak dipakai untuk memahami budaya tanding dan infra-politics. Apa yang terjadi di Notting Hill dapat menjelaskan budaya tanding yang terjadi. Represi terhadap minoritas warga Karibia di London membuat karnaval hadir sebagai alat perlawanan. Konsep karnaval bergerak pada tataran simbolik sehingga tidak berkaitan langsung dengan politik formal. Di masyarakat Eropa abad pertengahan, sebenarnya ada sebuah acara rutin dimana seluruh relasi kuasa yang normal dibalik begitu saja melalui pesta rakyat, parade, sirkus, dan lain sebagainya. Dalam kesempatan itu, mereka dibiarkan mengejek raja dan pemuka gereja, memparodikan ritual-ritual misa dan istana, dan sebagainya.

Meski demikian, ada beberapa hal yang patut dicermati lebih lanjut menyangkut penarikan konsep karnaval ke dalam kajian budaya tanding yang mengasumsikan bahwa karnaval memiliki potensi subversif membalik relasi kuasa. Tidak boleh dilupakan jika karnaval merupakan suatu ruang dan momentum yang memberi bentuk pada aksi simbolik dan bukan isi dari aksi itu sendiri. Artinya, jika merujuk pada penjelasan Bakhtin tentang budaya tanding yang sudah ada sebelum dan terepresi oleh budaya resmi, karnaval sekadar memberikan kesempatan

Jember Fashion Carnival 2011

sumber:

https://c1.staticflickr.com/7/6030/

5983978948_ded390262d_z.jpg)

6 7

Page 7: Newsletter Edisi 6, Agustus 2014

hiasan kepala, dipercaya sebagai simbol dari para penari perempuan yang menampilkan kemampuan manusia untuk bangkit dari kostum minim, unik, namun penuh warna-berbagai permasalahan seperti perbudakan. warni dan aksesoris mewah nan glamour. Dan akhirnya, bulu-bulu banyak digunakan Mereka berlenggak-lenggok eksotis mengikuti dalam menciptakan kostum karnaval. Tarian iringan samba.dan musik tradisi Afrika pun menjadi bentuk

Karnaval di Mardi Gras di New Orleans sudah baru dalam perayaan karnaval.ada sejak tahun 1730, tapi dalam bentuk pesta

Hibriditas tidak hanya mengarahkan perhatian dansa. Kemudian pada tahun 1830 karnaval pada produk-produk perpaduan budaya itu mulai berubah menjadi bentuk arak-arakan sendiri, tetapi lebih pada cara bagaimana berkostum warna emas, ungu, dan hijau. Pada produk-produk budaya ini ditempatkan dalam tahun 1872, karnaval ini ditambah dengan ruang sosial dan historis di bawah kolonialisme kehadiran seorang raja karnaval yang menjadi bagian dari pemaksaan penolakan dimitoskan bernama Rex. Dalam karnaval ini, hubungan kekuasaan kolonial (Moore-Gilbert, banyak manik-manik berwarna-warni dan koin 2000). Karnaval yang hadir di Karibia bergambar wajah Rex yang dilemparkan ke merupakan ruang liminal persinggungan sekeliling kota oleh peserta karnaval. budaya yang terjadi antara penjajah dan Masyarakat percaya, koin tersebut membawa terjajah. Tradisi prapaskah yang dibawa bangsa keberuntungan jika berhasil mendapatkannya.Eropa berpadu dengan ritus pembebasan

Selain manik-manik dan koin, Mardi Gras juga masalah yang dilakukan budak Afrika dengan memiliki tradisi lain yaitu king cake atau kue berarak memainkan musik dan tari berhiaskan raja. Kue ini terbuat dari roti donat besar yang bulu-bulu menjadi identitas baru samba sederhana bertabur gula berwarna khas Mardi dalam karnaval.Gras yakni, hijau, emas, ungu dan berisi

Karibia sebagai segitiga perdagangan antara sebuah boneka bayi kecil. Keberuntungan akan Afrika-Karibia-Eropa, membuat karnaval diperoleh apabila berhasil mendapatkan sebagai produk budaya hibrid tak berhenti di potongan kue berisi bayi. Tak hanya itu wilayah ini saja. Kondisi perdagangan yang karnaval Mardi Gras banyak menggunakan dinamis membuat karnaval ikut menyebar ke topeng dalam paradenya. Hal ini berawal dari berbagai wilayah sekitar Karibia seperti dilarangnya masyarakat budak (kulit hitam) Trinidad, Brazil, Venezuella, hingga New mengikuti pesta, dan kemudian mereka Orleans Amerika. Tak hanya itu, migrasi para (budak) mengikuti karnaval dengan budak ke Eropa membuat karnaval hadir di menggunakan topeng sehingga tak tampak Nottinghill Inggris, dan tentu saja dalam sajian warna kulitnya. Sampai kini topeng menjadi yang berbeda. identitas karnaval Mardi Gras.

Sebagai budaya hibrid karnaval mengalami Notting Hill sebuah wilayah di sudut Barat adaptasi di setiap ruang. Brazil misalnya, London, memiliki sejarah kelam dengan karnaval Rio de Janeiro merupakan karnaval munculnya kerusuhan rasial pertama di Inggris terbesar di dunia, karena mampu tahun 1950-an. Kehadiran bangsa kulit hitam menghadirkan dua juta orang perhari selama di wilayah ini tidak terlepas dari sejarah seminggu. Dalam karnaval ini pengunjung bisa kolonial Inggris di Karibia. Sekitar 30 tahun lalu menyaksikan aneka atraksi sirkus, pawai warga Karibia di Inggris merayakan kostum, dan aksi menawan tari Samba yang kebebasannya dengan berkanaval hingga saat diperagakan perempuan-perempuan Brasil ini. Lebih dari 12.000 polisi berjaga saat yang cantik dan seksi. Yang paling menjadi kegiatan ini berlangsung. Karnaval Notting Hill sorotan dalam karnaval ini tentu adalah aksi yang kini termasuk karnaval terbesar di Eropa

menghadirkan parade jalanan musik dan tarian, penjualan makanan dan street trading lainnya. Setiap orang dapat berpartisipasi dalam acara ini dengan turut menjual kerajinan tangan, home made cookies, parade kostum ataupun street band. The Notting Hill Carnival membuka pintu bagi semua pengunjung termasuk turis, seperti mottonya yaitu: “Every Spectator is A Participant – Carnival is for all who dare to participate”

Kritikus sastra Rusia Mikhail Bakhtin menelurkan satu konsep penting mengenai karnaval, yang belakangan banyak dipakai untuk memahami budaya tanding dan infra-politics. Apa yang terjadi di Notting Hill dapat menjelaskan budaya tanding yang terjadi. Represi terhadap minoritas warga Karibia di London membuat karnaval hadir sebagai alat perlawanan. Konsep karnaval bergerak pada tataran simbolik sehingga tidak berkaitan langsung dengan politik formal. Di masyarakat Eropa abad pertengahan, sebenarnya ada sebuah acara rutin dimana seluruh relasi kuasa yang normal dibalik begitu saja melalui pesta rakyat, parade, sirkus, dan lain sebagainya. Dalam kesempatan itu, mereka dibiarkan mengejek raja dan pemuka gereja, memparodikan ritual-ritual misa dan istana, dan sebagainya.

Meski demikian, ada beberapa hal yang patut dicermati lebih lanjut menyangkut penarikan konsep karnaval ke dalam kajian budaya tanding yang mengasumsikan bahwa karnaval memiliki potensi subversif membalik relasi kuasa. Tidak boleh dilupakan jika karnaval merupakan suatu ruang dan momentum yang memberi bentuk pada aksi simbolik dan bukan isi dari aksi itu sendiri. Artinya, jika merujuk pada penjelasan Bakhtin tentang budaya tanding yang sudah ada sebelum dan terepresi oleh budaya resmi, karnaval sekadar memberikan kesempatan

Jember Fashion Carnival 2011

sumber:

https://c1.staticflickr.com/7/6030/

5983978948_ded390262d_z.jpg)

6 7

Page 8: Newsletter Edisi 6, Agustus 2014

penyaluran represi secara kolektif dimana mendekonstruksi Jakarta sebagai wilayah tidak ada perbedaan antara aktor dan pusat mode dan pusat perhelatan dalam skala penonton (semuanya merupakan subjek yang nasional. Sampai saat ini karnaval budaya dan terlibat aktif dalam ritual). Inilah yang karnaval memperingati hari kemerdekaan membedakan karnaval dengan aksi individual selalu diselenggarakan di Jakarta. Demikian biasa, atau bahkan satir yang berlangsung juga dengan pertunjukan-pertunjukan musik searah dan dalam ruang privat maupun fashion yang menghadirkan “bintang-(Hirschkop,1989). Karnaval akhirnya bersifat bintang” dari penjuru dunia. Masyarakat di kosmopolitan di setiap ruang yang luar Jakarta hanya bisa menyaksikan menaunginya. Penyesuaian dengan budaya pertunjukan itu melalui layar televisi yang lokal membuat karnaval hadir dalam identitas disiarkan secara nasional. Dikotomi sentral-yang berbeda. Persinggungan budaya periferal menjadi keabsahan untuk menjadikan merupakan reaksi wajar dari dinamisasi masa. yang periferal hanyalah penonton pasif,

terbelakang, temaram, dan lain sebagainya. Mentahbiskan Berbagai Batas Pusat cahaya selalu ada di “pusat”.

Sejarah perjalanan karnaval memperlihatkan Hal ini nampaknya telah digugurkan oleh pertautan dengan dimensi ruang yang Dinand Fariz dengan JFC. Jember secara tiba-melingkupinya. Indonesia sebagai sebuah tiba memancing perhatian khalayak nasional negara multietnis juga memiliki sejarah bahkan internasional. Satu hal lagi, para karnaval dalam bentuk berbeda. Dalam acara peserta fashion dalam JFC bukanlah para kenegaraan, seperti perayaan hari bintang dalam dunianya. Mereka orang kemerdekaan 17 Agustus, Jakarta selalu kebanyakan yang tidak dibebani persyaratan-menyelenggarakan gelar budaya Nusantara persyaratan cantik, putih, semampai, demikian (karnaval). Kegiatan ini selalu menampilkan pula tidak harus ganteng dan macho untuk bentuk-bentuk kesenian dan budaya dari yang lelaki. Siapapun bisa menjadi peragawati setiap provinsi di Indonesia. Karnaval Agustus- atau peragawan dan bebas berekspresi. JFC an di Jakarta dan mungkin di beberapa wilayah juga memberikan makna yang berbeda dalam Indonesia memberikan suatu penanda sebuah tradisi karnaval di Indonesia. JFC tidak kebebasan negeri atas represi lampau yang berkeinginan untuk menghadirkan kemegahan berbentuk imperialisme. Sebelum tahun 90-an sebuah karnaval kebangsaan, atau juga bukan masih banyak terlihat drama-drama yang menjadikan karnaval sebagai bagian dari memperlihatkan bambu runcing, tentara prosesi sakral keagamaan, akan tetapi lebih Belanda, dan pekik “merdeka”. Akan tetapi pada kemeriahan hiburan. pada masa ini hal-hal semacam itu tidak lagi menjadi ikon dalam karnaval 17-an Agustus. Gagasan Dynand Fariz menjadikan jalan raya Para peserta lebih banyak menyajikan bentuk- sebagai catwalk adalah perlawanan atas bentuk kesenian yang berupaya semakin kelaziman dalam fashion show. Dalam rentang memperlihatkan jati diri wilayah. Ada suatu 3,5 kilometer peserta JFC berjalan dengan orientasi yang lebih menjurus pada orientasi pakaian yang “ditawarkannya”. Mereka ke-lokal-an atau mungkin juga “indigenisasi” layaknya peragawati/peragawan yang berjalan (pembumian; meminjam istilah Geertz, 1999; di depan para penonton dari segala lapisan. 86). Tidak ada batas umur maupun batasan sosial.

Peristiwa fashion show menjadi milik Namun apa yang digagas oleh Dynand Fariz masyarakat. Sebuah terobosan yang sangat nampaknya lebih dari sekedar meneruskan dekonstruktif mengingat kebiasan peragaan sebuah karnaval yang telah berevolusi menjadi busana biasanya menjadi milik kalangan tontonan di bulan Agustus. Ia telah tertentu. JFC dalam hal ini menjadi kabur

batasannya apakah merupakan bagian dari karnaval ataupun sebuah peragaan busana.

Kehadiran JFC yang muncul tanpa narasi kesejarahan ditengarai sebagai gejala postmodernisme. Beberapa masalah pokok yang dikaitkan dengan postmodernisme dalam bidang seni antara lain hilangnya batas-batas sekaligus hierarki antara budaya elite dan budaya populer, budaya tinggi dengan budaya massa (Kutha Ratna, 2007; 91). JFC sebagai produk budaya tanpa sejarah mengisyaratkan pembacaan teks yang dekonstruktif.

Tubuh dan Ruang dalam Persilangan Sejarah

Dalam presentasi JFC, Dynand Fariz sebagai tubuh menggoreskan sejarahnya sendiri. Ini dapat dilihat dari usahanya melakukan pembacaan ulang atas tradisi karnaval di Indonesia dengan sebuah upaya dekonstruksi. Kemudian dalam pencarian bentuk presentasi, intertekstualitas dijadikan sebagai dasar pijakan. Jika melihat fenomena tiadaannya batas segmentasi ataupun stratafikasi seni, maka fenomena JFC berelasi sepenuhnya dengan wacana postmodernisme.

Karnaval hadir dalam bentuk yang berbeda di setiap ruang. Narasi sejarah tubuh dan ruang menjadi determinan penting dalam membentuk identitas karnaval. Brazil merayakan kebebasan tubuh dalam berekspresi, Mardi Gras menghadirkan demisfikasi raja Rex, Notting Hill membalik relasi kuasa, dan Jember membaca ulang teks-teks yang ada. Semua untuk karnaval yang meriah dan megah.

Rujukan:

Homi K. Babha. The Location of Culture. New York: Routledge, 2004.Cliford Geertz. After the Fact Dua Negeri Empat Dasa Warsa Satu Antropolog. Yogyakarta: LKiS, 1999.Bart Moore-Gilbert. Postcolonial Theory: Contexs, Practices, Politics. London: Verso, 2000.Ken Hirschkop. Bakhtin and Cultural Theory. Manchester: Manchester University Press, 1989.Nyoman Kutha Ratna. Estetika Sastra dan Budaya.Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007.

8 9

Page 9: Newsletter Edisi 6, Agustus 2014

penyaluran represi secara kolektif dimana mendekonstruksi Jakarta sebagai wilayah tidak ada perbedaan antara aktor dan pusat mode dan pusat perhelatan dalam skala penonton (semuanya merupakan subjek yang nasional. Sampai saat ini karnaval budaya dan terlibat aktif dalam ritual). Inilah yang karnaval memperingati hari kemerdekaan membedakan karnaval dengan aksi individual selalu diselenggarakan di Jakarta. Demikian biasa, atau bahkan satir yang berlangsung juga dengan pertunjukan-pertunjukan musik searah dan dalam ruang privat maupun fashion yang menghadirkan “bintang-(Hirschkop,1989). Karnaval akhirnya bersifat bintang” dari penjuru dunia. Masyarakat di kosmopolitan di setiap ruang yang luar Jakarta hanya bisa menyaksikan menaunginya. Penyesuaian dengan budaya pertunjukan itu melalui layar televisi yang lokal membuat karnaval hadir dalam identitas disiarkan secara nasional. Dikotomi sentral-yang berbeda. Persinggungan budaya periferal menjadi keabsahan untuk menjadikan merupakan reaksi wajar dari dinamisasi masa. yang periferal hanyalah penonton pasif,

terbelakang, temaram, dan lain sebagainya. Mentahbiskan Berbagai Batas Pusat cahaya selalu ada di “pusat”.

Sejarah perjalanan karnaval memperlihatkan Hal ini nampaknya telah digugurkan oleh pertautan dengan dimensi ruang yang Dinand Fariz dengan JFC. Jember secara tiba-melingkupinya. Indonesia sebagai sebuah tiba memancing perhatian khalayak nasional negara multietnis juga memiliki sejarah bahkan internasional. Satu hal lagi, para karnaval dalam bentuk berbeda. Dalam acara peserta fashion dalam JFC bukanlah para kenegaraan, seperti perayaan hari bintang dalam dunianya. Mereka orang kemerdekaan 17 Agustus, Jakarta selalu kebanyakan yang tidak dibebani persyaratan-menyelenggarakan gelar budaya Nusantara persyaratan cantik, putih, semampai, demikian (karnaval). Kegiatan ini selalu menampilkan pula tidak harus ganteng dan macho untuk bentuk-bentuk kesenian dan budaya dari yang lelaki. Siapapun bisa menjadi peragawati setiap provinsi di Indonesia. Karnaval Agustus- atau peragawan dan bebas berekspresi. JFC an di Jakarta dan mungkin di beberapa wilayah juga memberikan makna yang berbeda dalam Indonesia memberikan suatu penanda sebuah tradisi karnaval di Indonesia. JFC tidak kebebasan negeri atas represi lampau yang berkeinginan untuk menghadirkan kemegahan berbentuk imperialisme. Sebelum tahun 90-an sebuah karnaval kebangsaan, atau juga bukan masih banyak terlihat drama-drama yang menjadikan karnaval sebagai bagian dari memperlihatkan bambu runcing, tentara prosesi sakral keagamaan, akan tetapi lebih Belanda, dan pekik “merdeka”. Akan tetapi pada kemeriahan hiburan. pada masa ini hal-hal semacam itu tidak lagi menjadi ikon dalam karnaval 17-an Agustus. Gagasan Dynand Fariz menjadikan jalan raya Para peserta lebih banyak menyajikan bentuk- sebagai catwalk adalah perlawanan atas bentuk kesenian yang berupaya semakin kelaziman dalam fashion show. Dalam rentang memperlihatkan jati diri wilayah. Ada suatu 3,5 kilometer peserta JFC berjalan dengan orientasi yang lebih menjurus pada orientasi pakaian yang “ditawarkannya”. Mereka ke-lokal-an atau mungkin juga “indigenisasi” layaknya peragawati/peragawan yang berjalan (pembumian; meminjam istilah Geertz, 1999; di depan para penonton dari segala lapisan. 86). Tidak ada batas umur maupun batasan sosial.

Peristiwa fashion show menjadi milik Namun apa yang digagas oleh Dynand Fariz masyarakat. Sebuah terobosan yang sangat nampaknya lebih dari sekedar meneruskan dekonstruktif mengingat kebiasan peragaan sebuah karnaval yang telah berevolusi menjadi busana biasanya menjadi milik kalangan tontonan di bulan Agustus. Ia telah tertentu. JFC dalam hal ini menjadi kabur

batasannya apakah merupakan bagian dari karnaval ataupun sebuah peragaan busana.

Kehadiran JFC yang muncul tanpa narasi kesejarahan ditengarai sebagai gejala postmodernisme. Beberapa masalah pokok yang dikaitkan dengan postmodernisme dalam bidang seni antara lain hilangnya batas-batas sekaligus hierarki antara budaya elite dan budaya populer, budaya tinggi dengan budaya massa (Kutha Ratna, 2007; 91). JFC sebagai produk budaya tanpa sejarah mengisyaratkan pembacaan teks yang dekonstruktif.

Tubuh dan Ruang dalam Persilangan Sejarah

Dalam presentasi JFC, Dynand Fariz sebagai tubuh menggoreskan sejarahnya sendiri. Ini dapat dilihat dari usahanya melakukan pembacaan ulang atas tradisi karnaval di Indonesia dengan sebuah upaya dekonstruksi. Kemudian dalam pencarian bentuk presentasi, intertekstualitas dijadikan sebagai dasar pijakan. Jika melihat fenomena tiadaannya batas segmentasi ataupun stratafikasi seni, maka fenomena JFC berelasi sepenuhnya dengan wacana postmodernisme.

Karnaval hadir dalam bentuk yang berbeda di setiap ruang. Narasi sejarah tubuh dan ruang menjadi determinan penting dalam membentuk identitas karnaval. Brazil merayakan kebebasan tubuh dalam berekspresi, Mardi Gras menghadirkan demisfikasi raja Rex, Notting Hill membalik relasi kuasa, dan Jember membaca ulang teks-teks yang ada. Semua untuk karnaval yang meriah dan megah.

Rujukan:

Homi K. Babha. The Location of Culture. New York: Routledge, 2004.Cliford Geertz. After the Fact Dua Negeri Empat Dasa Warsa Satu Antropolog. Yogyakarta: LKiS, 1999.Bart Moore-Gilbert. Postcolonial Theory: Contexs, Practices, Politics. London: Verso, 2000.Ken Hirschkop. Bakhtin and Cultural Theory. Manchester: Manchester University Press, 1989.Nyoman Kutha Ratna. Estetika Sastra dan Budaya.Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007.

8 9

Page 10: Newsletter Edisi 6, Agustus 2014

Hubungan Eropa dengan negara-negara dunia ketiga memang selalu menarik untuk dilihat, salah satunya adalah hubungan Eropa dengan negara-negara di Afrika. Hubungan kedua wilayah ini tidak hanya soal oposisi antara negara maju dan berkembang, melainkan juga problem rasial yang sampai hari ini belum bisa diselesaikan. Ketegangan terus berlanjut sampai pada ranah kesenian. Tulisan ini akan mencermati bagaimana negara-negara Afrika melakukan kontak dengan Eropa melalui kaum imigran.

Penting untuk melihat bagaimana pengetahuan yang terbangun ketika orang-orang Eropa datang ke Afrika. Orang-orang Eropa selalu melihat Afrika sebagai sesuatu yang eksotis, mistis dan tidak beradab. Eropa menganggap dirinya lebih beradab sehingga orang-orang Afrika harus di peradabkan. Orang Eropa kemudian mewujudkannya dengan jalan kolonialisme. Hal semacam inilah yang diproduksi menjadi pengetahuan tekstual dan di kemudian hari setelah kolonialisme berakhir menjadi konsumsi negara-negara Afrika. Lebih parahnya, kadang orang-orang Afrika menganggap apa yang datang dari Eropa selalu baik. Bangsa Eropa yang pernah menjajah Afrika didaku dan dirindukan, terutama oleh mereka yang berimigrasi ke Eropa untuk “menjadi Eropa” atau karena dorongan tertentu. Apakah kaum imigran Afrika di Eropa sepenuhnya “menjadi Eropa” hanya karena secara demografis mendiami salah satu negara Eropa? Apakah sepenuhnya takluk? Tentu hal ini masih butuh dicermati lebih lanjut.

Kaum imigran mencari ruang

Perang dunia ke II secara drastis telah mengubah konstelasi politik dunia dan turut menjadi salah satu penyebab proses migrasi orang-orang Afrika ke Eropa. Masrshall Plan di Eropa yang mendapat dukungan keuangan dari Amerika membuat ekonomi Eropa bangkit lebih cepat dan industri-industri yang hancur karena perang kembali beroperasi. Kebutuhan tenaga kerja di Eropa lantas mendorong kedatangan orang-orang Afrika yang hendak mencari peruntungan. Ini bukan hal baru,

KAUMIMIGRANAFRIKA

DI EROPAUmar Muda (Peneliti Sulawesi Intitute, Jakarta)

sebab jauh sebelumnya–terutama di masa awal sebelum melakukan penyeberangan kolonial–telah banyak orang Afrika yang hijrah melalui laut untuk mencapai kawasan Eropa. ke Eropa untuk “bekerja,” diperbudak. Ini bisa dilihat sebagai taktik, sebab bila Hubungan kolonial memudahkan akses tertangkap di negara yang dituju, aturan mereka untuk masuk dan bekerja di deportasi tidak akan berlaku lantaran mereka perusahaan-perusahaan Eropa.

tidak memiliki kelengkapan dokumen.

Imigran gelombang pertama yang datang ke Pada periode awal pasca-perang, imigran

Eropa sekitar tahun 1950-an merupakan para Afrika sangat dibutuhkan untuk melakukan

pekerja di perusahaan. Kehadiran imigran pekerjaan-pekerjaan kasar yang enggan Afrika secara fisik dalam kehidupan orang-dikerjakan orang Eropa. Meski dibutuhkan, orang Eropa membuat definisi ulang mereka tidak sepenuhnya diterima. Mereka bagaimana Eropa melihat orang-orang Afrika, diperlakukan secara berbeda sekaligus begitupun sebaliknya. Meski ruang negosiasi membedakan dirinya dengan orang-orang baru muncul dengan kehadiran imigran Afrika

di Eropa, oposisi-hierarkis antara Eropa-Afrika Eropa, tinggal berkelompok berdasarkan asal-tetap ada. Imigran Afrika tetap dianggap usul dan membentuk pemukiman sendiri. Area sebagai ras yang lebih rendah, terlebih pemukiman menjadi ruang interaksi dan perannya dalam perusahaan yang sebatas ekspresi seni yang sangat menunjang pekerja kasar. Walaupun demikian, bagi eksistensi imigran Afrika di tengah “pribumi” imigran Afrika, kehadirannya di Eropa bukan Eropa yang lebih makmur.sebatas kehadiran secara fisik, bermotif ekonomi maupun perpindahan secara Meski menampilkan kesenian yang dibawa demografis. Lebih dari itu, mereka turut dari daerah asalnya di Afrika, apa yang menghadirkan budaya dan keseniannya dalam diekspresikan oleh kaum imigran di lingkungan Eropa meski itu dilakukan secara pemukimannya menunjukkan sesuatu yang tidak sadar. berbeda dan juga dipandang secara berbeda.

Meski jenis kesenian yang disuguhkan sama, Gelombang kedua datang di sekitar tahun perbedaan lingkungan dan tekanan sosial 1970-an ketika Eropa mengalami resesi membuat bentuk kesenian yang dihasilkan di ekonomi. Resesi yang membuat perekonomian Eropa berbeda ketika itu disajikan di daerah Eropa jatuh tidak mendorong para pendatang asalnya. Saat mereka di Afrika, kesenian meninggalkan Eropa. Para imigran yang merupakan bentuk komunikasi dengan alam. mayoritas laki-laki turut mengundang sanak

keluarganya tinggal di Eropa. Periode ini sering Alam menjadi titik tolak dalam berkesenian. Namun, ketika berada di Eropa, kesenian disebut “reunifikasi keluarga” (Amin

Mudzakkir, 2009). Sedang gelombang ketiga, menjadi penegasan identitas Afrika di tengah datang setelah tahun 1980 dan berlangsung masyarakat Eropa. Begitu juga saat kesenian hingga sekarang. Mereka adalah para pencari itu ditonton oleh penonton Eropa. Kesan saat suaka dan pengungsi yang negara asalnya kesenian itu dipentaskan di Afrika dengan saat dikacaukan perang. Namun, lantaran aturan dipentaskan oleh kaum imigran di Eropa keimigrasian semakin ketat di negara-negara berbeda. Dengan kata lain, makna kesenian itu Eropa, para imigran menempuh berbagai cara mengalami apropriasi saat dipentaskan oleh untuk dapat memasuki Eropa. Salah satu cara kaum imigran. Ia adalah kesenian kaum yang cukup unik adalah dengan membakar imigran yang kerap dipandang sebelah mata.semua dokumen atau penghancuran identitas

10 11

Page 11: Newsletter Edisi 6, Agustus 2014

Hubungan Eropa dengan negara-negara dunia ketiga memang selalu menarik untuk dilihat, salah satunya adalah hubungan Eropa dengan negara-negara di Afrika. Hubungan kedua wilayah ini tidak hanya soal oposisi antara negara maju dan berkembang, melainkan juga problem rasial yang sampai hari ini belum bisa diselesaikan. Ketegangan terus berlanjut sampai pada ranah kesenian. Tulisan ini akan mencermati bagaimana negara-negara Afrika melakukan kontak dengan Eropa melalui kaum imigran.

Penting untuk melihat bagaimana pengetahuan yang terbangun ketika orang-orang Eropa datang ke Afrika. Orang-orang Eropa selalu melihat Afrika sebagai sesuatu yang eksotis, mistis dan tidak beradab. Eropa menganggap dirinya lebih beradab sehingga orang-orang Afrika harus di peradabkan. Orang Eropa kemudian mewujudkannya dengan jalan kolonialisme. Hal semacam inilah yang diproduksi menjadi pengetahuan tekstual dan di kemudian hari setelah kolonialisme berakhir menjadi konsumsi negara-negara Afrika. Lebih parahnya, kadang orang-orang Afrika menganggap apa yang datang dari Eropa selalu baik. Bangsa Eropa yang pernah menjajah Afrika didaku dan dirindukan, terutama oleh mereka yang berimigrasi ke Eropa untuk “menjadi Eropa” atau karena dorongan tertentu. Apakah kaum imigran Afrika di Eropa sepenuhnya “menjadi Eropa” hanya karena secara demografis mendiami salah satu negara Eropa? Apakah sepenuhnya takluk? Tentu hal ini masih butuh dicermati lebih lanjut.

Kaum imigran mencari ruang

Perang dunia ke II secara drastis telah mengubah konstelasi politik dunia dan turut menjadi salah satu penyebab proses migrasi orang-orang Afrika ke Eropa. Masrshall Plan di Eropa yang mendapat dukungan keuangan dari Amerika membuat ekonomi Eropa bangkit lebih cepat dan industri-industri yang hancur karena perang kembali beroperasi. Kebutuhan tenaga kerja di Eropa lantas mendorong kedatangan orang-orang Afrika yang hendak mencari peruntungan. Ini bukan hal baru,

KAUMIMIGRANAFRIKA

DI EROPAUmar Muda (Peneliti Sulawesi Intitute, Jakarta)

sebab jauh sebelumnya–terutama di masa awal sebelum melakukan penyeberangan kolonial–telah banyak orang Afrika yang hijrah melalui laut untuk mencapai kawasan Eropa. ke Eropa untuk “bekerja,” diperbudak. Ini bisa dilihat sebagai taktik, sebab bila Hubungan kolonial memudahkan akses tertangkap di negara yang dituju, aturan mereka untuk masuk dan bekerja di deportasi tidak akan berlaku lantaran mereka perusahaan-perusahaan Eropa.

tidak memiliki kelengkapan dokumen.

Imigran gelombang pertama yang datang ke Pada periode awal pasca-perang, imigran

Eropa sekitar tahun 1950-an merupakan para Afrika sangat dibutuhkan untuk melakukan

pekerja di perusahaan. Kehadiran imigran pekerjaan-pekerjaan kasar yang enggan Afrika secara fisik dalam kehidupan orang-dikerjakan orang Eropa. Meski dibutuhkan, orang Eropa membuat definisi ulang mereka tidak sepenuhnya diterima. Mereka bagaimana Eropa melihat orang-orang Afrika, diperlakukan secara berbeda sekaligus begitupun sebaliknya. Meski ruang negosiasi membedakan dirinya dengan orang-orang baru muncul dengan kehadiran imigran Afrika

di Eropa, oposisi-hierarkis antara Eropa-Afrika Eropa, tinggal berkelompok berdasarkan asal-tetap ada. Imigran Afrika tetap dianggap usul dan membentuk pemukiman sendiri. Area sebagai ras yang lebih rendah, terlebih pemukiman menjadi ruang interaksi dan perannya dalam perusahaan yang sebatas ekspresi seni yang sangat menunjang pekerja kasar. Walaupun demikian, bagi eksistensi imigran Afrika di tengah “pribumi” imigran Afrika, kehadirannya di Eropa bukan Eropa yang lebih makmur.sebatas kehadiran secara fisik, bermotif ekonomi maupun perpindahan secara Meski menampilkan kesenian yang dibawa demografis. Lebih dari itu, mereka turut dari daerah asalnya di Afrika, apa yang menghadirkan budaya dan keseniannya dalam diekspresikan oleh kaum imigran di lingkungan Eropa meski itu dilakukan secara pemukimannya menunjukkan sesuatu yang tidak sadar. berbeda dan juga dipandang secara berbeda.

Meski jenis kesenian yang disuguhkan sama, Gelombang kedua datang di sekitar tahun perbedaan lingkungan dan tekanan sosial 1970-an ketika Eropa mengalami resesi membuat bentuk kesenian yang dihasilkan di ekonomi. Resesi yang membuat perekonomian Eropa berbeda ketika itu disajikan di daerah Eropa jatuh tidak mendorong para pendatang asalnya. Saat mereka di Afrika, kesenian meninggalkan Eropa. Para imigran yang merupakan bentuk komunikasi dengan alam. mayoritas laki-laki turut mengundang sanak

keluarganya tinggal di Eropa. Periode ini sering Alam menjadi titik tolak dalam berkesenian. Namun, ketika berada di Eropa, kesenian disebut “reunifikasi keluarga” (Amin

Mudzakkir, 2009). Sedang gelombang ketiga, menjadi penegasan identitas Afrika di tengah datang setelah tahun 1980 dan berlangsung masyarakat Eropa. Begitu juga saat kesenian hingga sekarang. Mereka adalah para pencari itu ditonton oleh penonton Eropa. Kesan saat suaka dan pengungsi yang negara asalnya kesenian itu dipentaskan di Afrika dengan saat dikacaukan perang. Namun, lantaran aturan dipentaskan oleh kaum imigran di Eropa keimigrasian semakin ketat di negara-negara berbeda. Dengan kata lain, makna kesenian itu Eropa, para imigran menempuh berbagai cara mengalami apropriasi saat dipentaskan oleh untuk dapat memasuki Eropa. Salah satu cara kaum imigran. Ia adalah kesenian kaum yang cukup unik adalah dengan membakar imigran yang kerap dipandang sebelah mata.semua dokumen atau penghancuran identitas

10 11

Page 12: Newsletter Edisi 6, Agustus 2014

Potret karya imigran Afrika

Para imigran yang datang pada periode ketiga, terutama mereka yang “menerobos” atau melalui jalur illegal, selalu berjuang untuk mendapat pengakuan secara hukum baik di Eropa maupun di negara asalnya. Meski pengakuan secara hukum itu tidak pernah mereka dapatkan, yang justru menarik untuk dicermati adalah bentuk perjuangannya melalui seni pertunjukan maupun karya sastra.

Mungkin kita bisa melihat bentuk perjuangan itu melalui tulisan Hakim Abderrezak yang menganalisa karya sastra tiga penulis Maroko; Tahar Ben Jelloun, Youssouf Amine Elalamy, dan Mahi Binebine. Hakim menunjukkan bahwa sastra yang dihasilkan termasuk dalam sub-genre sastra imigran. Karya-karya sastra itu menjadi “alat politik” untuk mencela Maroko dan menunjukkan adanya penindasan wacana oleh media resmi di Eropa. Proses imigrasi yang melalui selat Gibraltar sarat dengan kriminalitas. Wacana seperti itu yang coba mereka lawan. Salah satu kasus yang barangkali bisa ditilik adalah cerita tentang imigran Maroko yang datang ke Eropa dengan menyeberangi selat Gibraltar.

Kisah-kisah imigran gelap yang tidak berdokumen diceritakan dalam bentuk kilas balik saat mereka sembunyi pada malam hari di pantai menunggu perahu nelayan yang kecil untuk berangkat ke Spanyol. Cerita-cerita seperti ini diangkat dalam karya sastra. Karya itu digunakan sebagai alat perlawanan terhadap pemberitaan media yang selalu menyudutkan kelompok imigran dan bahkan menutupi adanya proses penyeberangan bawah tanah. Melalui karya sastra, para imigran gelap ini dihadirkan atau menghadirkan diri mereka dalam narasi Eropa maupun dalam narasi negara asal mereka. Para imigran gelap menganggap Media tidak mungkin mengangkat kisah perjalanan mereka ke Eropa.

Adanya karya sastra bertemakan perjalanan imigrasi orang-orang Maroko yang sarat bahaya mendapat respon positif dari masyarakat Eropa. Mereka kemudian mengutuk kelompok yang mendapat keuntungan dari proses imigrasi bawah tanah tersebut. Efeknya, pemerintah di negara-negara Eropa akhirnya berbenah, memperketat pengawasan pada tempat-tempat penyeberangan para imigran tersebut. Sastra kemudian menjadi ruang negosiasi antara para imigran dengan pemerintah negara-negara Eropa.

Respon positif yang diberikan oleh masyarakat Eropa terhadap cerita tentang imigrasi gelap ini kelihatannya bersifat mendua. Di satu sisi berhasil menekan pemerintah, tetapi di sisi lain karya sastra atau kesenian lain yang dihasilkan oleh imigran Afrika dijadikan komoditas. Selain kesenian, tema kehidupan mereka juga sangat rawan dieksploitasi untuk keuntungan pihak tertentu. Pada titik ini, dirasa perlu untuk melihat semesta ekonomi-politik yang bekerja terhadap regulasi kesenian imigran di Eropa. Ke arah mana modal terakumulasi, apakah keuntungan mengalir ke kelompok imigran Afrika atau hanya dinikmati segelintir orang Eropa. Sejauh apapun seorang imigran menghasilkan keuntungan, pengakuan sebagai bagian dari Eropa tidak sepenuhnya bisa didapatkan.

Rujukan:

Amin Mudzakkir, "Antara Iman dan Kewarganegaraan: PergulatanMuslim Eropa," 2009, Jurnal Kajian Wilayah Eropa Vol. V No. 1.Hakim Abderrezak, "Burning The Sea: Clandestine Migration Across TheStrait of Gibraltar in Francophone Moroccan 'Illiterature',”September2009, Contemporary French and Francophone Studies Vol. 1No. 14

Kapal imigran gelap asal Libya

yang berlayar dari Tunisia menuju

Lampedusa, Italia.

(http://www.tempo.co/read/news

/2014/04/12/119570142/400-

Imigran-Afrika-Ditangkap-di-Libya) Imigran Gelap Maroko yang ingin

masuk wilayah Spanyol

Sumber:

http://www.tempo.co/read/berita

foto/16368/Imigran-Gelap-

Beramai-ramai-Lompati-Pagar-

untuk-ke-Spanyol

12 13

Page 13: Newsletter Edisi 6, Agustus 2014

Potret karya imigran Afrika

Para imigran yang datang pada periode ketiga, terutama mereka yang “menerobos” atau melalui jalur illegal, selalu berjuang untuk mendapat pengakuan secara hukum baik di Eropa maupun di negara asalnya. Meski pengakuan secara hukum itu tidak pernah mereka dapatkan, yang justru menarik untuk dicermati adalah bentuk perjuangannya melalui seni pertunjukan maupun karya sastra.

Mungkin kita bisa melihat bentuk perjuangan itu melalui tulisan Hakim Abderrezak yang menganalisa karya sastra tiga penulis Maroko; Tahar Ben Jelloun, Youssouf Amine Elalamy, dan Mahi Binebine. Hakim menunjukkan bahwa sastra yang dihasilkan termasuk dalam sub-genre sastra imigran. Karya-karya sastra itu menjadi “alat politik” untuk mencela Maroko dan menunjukkan adanya penindasan wacana oleh media resmi di Eropa. Proses imigrasi yang melalui selat Gibraltar sarat dengan kriminalitas. Wacana seperti itu yang coba mereka lawan. Salah satu kasus yang barangkali bisa ditilik adalah cerita tentang imigran Maroko yang datang ke Eropa dengan menyeberangi selat Gibraltar.

Kisah-kisah imigran gelap yang tidak berdokumen diceritakan dalam bentuk kilas balik saat mereka sembunyi pada malam hari di pantai menunggu perahu nelayan yang kecil untuk berangkat ke Spanyol. Cerita-cerita seperti ini diangkat dalam karya sastra. Karya itu digunakan sebagai alat perlawanan terhadap pemberitaan media yang selalu menyudutkan kelompok imigran dan bahkan menutupi adanya proses penyeberangan bawah tanah. Melalui karya sastra, para imigran gelap ini dihadirkan atau menghadirkan diri mereka dalam narasi Eropa maupun dalam narasi negara asal mereka. Para imigran gelap menganggap Media tidak mungkin mengangkat kisah perjalanan mereka ke Eropa.

Adanya karya sastra bertemakan perjalanan imigrasi orang-orang Maroko yang sarat bahaya mendapat respon positif dari masyarakat Eropa. Mereka kemudian mengutuk kelompok yang mendapat keuntungan dari proses imigrasi bawah tanah tersebut. Efeknya, pemerintah di negara-negara Eropa akhirnya berbenah, memperketat pengawasan pada tempat-tempat penyeberangan para imigran tersebut. Sastra kemudian menjadi ruang negosiasi antara para imigran dengan pemerintah negara-negara Eropa.

Respon positif yang diberikan oleh masyarakat Eropa terhadap cerita tentang imigrasi gelap ini kelihatannya bersifat mendua. Di satu sisi berhasil menekan pemerintah, tetapi di sisi lain karya sastra atau kesenian lain yang dihasilkan oleh imigran Afrika dijadikan komoditas. Selain kesenian, tema kehidupan mereka juga sangat rawan dieksploitasi untuk keuntungan pihak tertentu. Pada titik ini, dirasa perlu untuk melihat semesta ekonomi-politik yang bekerja terhadap regulasi kesenian imigran di Eropa. Ke arah mana modal terakumulasi, apakah keuntungan mengalir ke kelompok imigran Afrika atau hanya dinikmati segelintir orang Eropa. Sejauh apapun seorang imigran menghasilkan keuntungan, pengakuan sebagai bagian dari Eropa tidak sepenuhnya bisa didapatkan.

Rujukan:

Amin Mudzakkir, "Antara Iman dan Kewarganegaraan: PergulatanMuslim Eropa," 2009, Jurnal Kajian Wilayah Eropa Vol. V No. 1.Hakim Abderrezak, "Burning The Sea: Clandestine Migration Across TheStrait of Gibraltar in Francophone Moroccan 'Illiterature',”September2009, Contemporary French and Francophone Studies Vol. 1No. 14

Kapal imigran gelap asal Libya

yang berlayar dari Tunisia menuju

Lampedusa, Italia.

(http://www.tempo.co/read/news

/2014/04/12/119570142/400-

Imigran-Afrika-Ditangkap-di-Libya) Imigran Gelap Maroko yang ingin

masuk wilayah Spanyol

Sumber:

http://www.tempo.co/read/berita

foto/16368/Imigran-Gelap-

Beramai-ramai-Lompati-Pagar-

untuk-ke-Spanyol

12 13

Page 14: Newsletter Edisi 6, Agustus 2014

Lagos yang riuh. Lagos yang tumbuh layaknya “So its basically Africans telling Africans kebun tanpa tukang kebun. Gedung-gedung stories” bertingkat, gedung-gedung terabaikan,

Doa-doa untuk memuja yang kristus terlantun berpadu dengan pemukiman yang beratap di awal film. Kamera bergerak perlahan seng. Pasarnya ramai. Jalanannya padat. mengambil satu per satu wajah kru film yang Kendaraan-kendaraan berlomba untuk sedang berdoa, kamera VHS, dan sosok mendapatkan tempat. Penjaja VCD berlarian Lancelot Imanuen yang memimpin acara. mengejar mobil atau angkutan, menawarkan Lancelot merupakan salah satu sutradara dagangan mereka. Poster film menempel di Nollywood yang menjadi favorit orang Nigeria. tembok-tembok dan bergelayut di jalanan. Di Sepak terjang Lancelot saat membuat filmnya satu sisi, orang-orang berkumpul di kios-kios yang ke-157 terabadikan dalam Nollywood penjual kepingan film untuk melihat apa yang Babylon (2008), dokumenter karya Ben ditawarkan lewat layar. Di sisi lain, televisi Addelman dan Samir Mallal. Film yang bekas dan baru diangkut, dikumpulkan, diproduksi oleh National Film Board of Canada diperjual-belikan kembali, masuk ke rumah-dan menjadi nominasi di ajang Sundance Film rumah –kemudian orang-orangnya menonton Festival 2008 ini mengangkat fenomena dengan khidmad. Lagos, kota yang Nollywood. Selain mencari lebih jauh menjanjikan madu dan susu. Dari kota inilah mengenai proses produksi Nollywood lewat beragam etnis di Nigeria berjumpa. Dan dari kacamata Lancelot sebagai subjeknya, kota inilah industri film Nigeria yang terkenal dokumenter ini juga menunjukkan sekilas dengan julukan Nollywood berkembang sejarah film di Nigeria dan imbas kekacauan menjadi yang ketiga dalam hal jumlah produksi politik yang memberikan pengaruh besar pada film setelah India dengan Bollywood dan budaya menonton dan budaya mengopi-Amerika Serikat dengan Hollywood. menjual film-film Nollywood.

POP POPPOP STYLE

ala NOLLYWOODUmi Lestari

Mahasiswa Program Magister Ilmu Religi dan BudayaUniversitas Sanata Dharma Yogyakarta

Sekilas Sejarah Sinema di Nigeria

Sebagai bekas jajahan Eropa, kisah kehadiran sinema di Nigeria tak jauh berbeda dari negara-negara pascakolonial lain di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia. Sinema sendiri lahir saat Lumiere Bersaudara memutar film-filmnya pada pulik di Grand Cafe, Prancis, pada 28 Desember 1895. Sedangkan di Nusantara, melalui fotografer Prancis, L. Talbot, pita seluloid telah diputar di Batavia (Jakarta) pada Oktober 1896 dan Surabaya pada April 1897.¹ Kehadiran sinema di Nigeria sendiri ternyata hanya berjarak tujuh tahun dengan kehadiran sinema di Nusantara. Merujuk sejarah, budaya menonton bermula saat masa kolonial ketika pada Agustus 1903, masyarakat Nigeria bisa menyaksikan film pertama kali di Glover Memorial Hall, Lagos. Alasan pemerintah kolonial membawa film ke Nigeria pada dasarnya untuk mendistribusikan propaganda politik kolonial. Konten dari film-film yang dibawa ke Nigeria pada masa kolonial meliputi isu seputar kesehatan, pendidikan, agrikultur, dan industri.²

Penghadiran sejarah sinema Nigeria dalam Nollywood Babylon ditunjukkan melalui footage film Palaver (Geoffrey Barkas,1928) dan Sanders of the River (Zelton Kroda, 1935). Selain membawa teknologi sinema, pemerintahan kolonial Inggris juga membangun kebudayaan

14 15

Gambar dari potongan Film “Nollywood Babylon”

Page 15: Newsletter Edisi 6, Agustus 2014

Lagos yang riuh. Lagos yang tumbuh layaknya “So its basically Africans telling Africans kebun tanpa tukang kebun. Gedung-gedung stories” bertingkat, gedung-gedung terabaikan,

Doa-doa untuk memuja yang kristus terlantun berpadu dengan pemukiman yang beratap di awal film. Kamera bergerak perlahan seng. Pasarnya ramai. Jalanannya padat. mengambil satu per satu wajah kru film yang Kendaraan-kendaraan berlomba untuk sedang berdoa, kamera VHS, dan sosok mendapatkan tempat. Penjaja VCD berlarian Lancelot Imanuen yang memimpin acara. mengejar mobil atau angkutan, menawarkan Lancelot merupakan salah satu sutradara dagangan mereka. Poster film menempel di Nollywood yang menjadi favorit orang Nigeria. tembok-tembok dan bergelayut di jalanan. Di Sepak terjang Lancelot saat membuat filmnya satu sisi, orang-orang berkumpul di kios-kios yang ke-157 terabadikan dalam Nollywood penjual kepingan film untuk melihat apa yang Babylon (2008), dokumenter karya Ben ditawarkan lewat layar. Di sisi lain, televisi Addelman dan Samir Mallal. Film yang bekas dan baru diangkut, dikumpulkan, diproduksi oleh National Film Board of Canada diperjual-belikan kembali, masuk ke rumah-dan menjadi nominasi di ajang Sundance Film rumah –kemudian orang-orangnya menonton Festival 2008 ini mengangkat fenomena dengan khidmad. Lagos, kota yang Nollywood. Selain mencari lebih jauh menjanjikan madu dan susu. Dari kota inilah mengenai proses produksi Nollywood lewat beragam etnis di Nigeria berjumpa. Dan dari kacamata Lancelot sebagai subjeknya, kota inilah industri film Nigeria yang terkenal dokumenter ini juga menunjukkan sekilas dengan julukan Nollywood berkembang sejarah film di Nigeria dan imbas kekacauan menjadi yang ketiga dalam hal jumlah produksi politik yang memberikan pengaruh besar pada film setelah India dengan Bollywood dan budaya menonton dan budaya mengopi-Amerika Serikat dengan Hollywood. menjual film-film Nollywood.

POP POPPOP STYLE

ala NOLLYWOODUmi Lestari

Mahasiswa Program Magister Ilmu Religi dan BudayaUniversitas Sanata Dharma Yogyakarta

Sekilas Sejarah Sinema di Nigeria

Sebagai bekas jajahan Eropa, kisah kehadiran sinema di Nigeria tak jauh berbeda dari negara-negara pascakolonial lain di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia. Sinema sendiri lahir saat Lumiere Bersaudara memutar film-filmnya pada pulik di Grand Cafe, Prancis, pada 28 Desember 1895. Sedangkan di Nusantara, melalui fotografer Prancis, L. Talbot, pita seluloid telah diputar di Batavia (Jakarta) pada Oktober 1896 dan Surabaya pada April 1897.¹ Kehadiran sinema di Nigeria sendiri ternyata hanya berjarak tujuh tahun dengan kehadiran sinema di Nusantara. Merujuk sejarah, budaya menonton bermula saat masa kolonial ketika pada Agustus 1903, masyarakat Nigeria bisa menyaksikan film pertama kali di Glover Memorial Hall, Lagos. Alasan pemerintah kolonial membawa film ke Nigeria pada dasarnya untuk mendistribusikan propaganda politik kolonial. Konten dari film-film yang dibawa ke Nigeria pada masa kolonial meliputi isu seputar kesehatan, pendidikan, agrikultur, dan industri.²

Penghadiran sejarah sinema Nigeria dalam Nollywood Babylon ditunjukkan melalui footage film Palaver (Geoffrey Barkas,1928) dan Sanders of the River (Zelton Kroda, 1935). Selain membawa teknologi sinema, pemerintahan kolonial Inggris juga membangun kebudayaan

14 15

Gambar dari potongan Film “Nollywood Babylon”

Page 16: Newsletter Edisi 6, Agustus 2014

menonton melalui bioskop-bioskop yang tiba dikagetkan oleh banyaknya kudeta. Pada didirikan di Lagos. Palaver dan Sanders of the tahun 1967 – 1970, kudeta militer berkali-kali River merupakan dua film produksi Inggris terjadi dan menimbulkan perang sipil. yang dibuat di Nigeria dan menggunakan Kerusuhan terjadi dimana-mana. Bioskop pun orang-orang Nigeria sebagai pemeran bangkrut. Keamanan yang tidak menentu pembantu. Dari footage dua film tersebut membuat orang-orang memilih untuk tinggal tampak sudut pandang orang koloni dalam di rumah masing-masing. Pada tahun 1970, melihat orang-orang Afrika yang dianggap Junta Militer mengambil alih kekuasaan. pribumi, belum dewasa, dan brutal. Ironis. Keadaan tak kunjung membaik, penjarahan Walaupun sudut pandang kolonial yang dimana-mana. Kondisi ekonomi menurun merendahkan orang-orang Afrika kental sehingga pada tahun 1980 pemerintah Nigeria terlihat dalam film, ternyata Sanders of the menyetujui bantuan dana dari International River digemari oleh orang Nigeria yang kala itu Monetary Fund (IMF). Mata uang Nigeria, bisa menonton. neira, mengalami devaluasi dan hal ini

berimbas pada pembuat film Nigeria yang Salah seorang yang terpikat dengah hadirnya harus membayar sangat mahal untuk gambar bergerak di Nigeria adalah Eddie mengimpor rol film. Ketika budaya sinema Ugbomah, sutradara veteran Nigeria. Pada mati, televisi berkembang. Pembuat film pada tahun 1959, ia mengintip dari dinding bioskop era seluloid beralih menjadi produser film untuk melihat film yang diputar. Ia terpesona. pada tahun 1980an, termasuk Eddie Tapi di sisi lain ia marah saat melihat Ugbomah. bagaimana orang Afrika direndahkan dalam film. Penggambaran orang Afrika dari sudut Akal-akalan pun dimulai oleh sekelompok anak pandang kolonialis inilah yang membuat Eddie muda yang mengimpor kaset-kaset kosong. memutuskan untuk menjadi sutradara. Sama Pertama-tama mereka hanya mengopi halnya dengan sejarah film Indonesia yang tayangan TV yang bagus lalu dijual di pinggir memiliki kedekatan dengan teater, peran jalan. Kemudian hal ini berlanjut dengan kelompok teater tak lepas dari sejarah sinema kehadiran Living in Bondage (1992), film Nigeria. Setelah Nigeria mendapatkan tentang penyihir dan bagaimana menjadi kemerdekaan pada 1 Oktober 1960, industri social climber, yang diproduksi dengan kamera film Nigeria lahir. Kelahiran ini tak lepas dari VHS meledak di pasaran. Inilah era revolusi nama “The Yoruba Travelling Theatre Group” digital di Nigeria. Hadirnya Living in Bondage yang pada era 1960an dan 1970an menjadi penanda perubahan budaya menunjukkan kepiawaian teaterikal mereka ke menonton TV ke budaya akal-akalan (mengopi-dalam film dengan format seluloid. menyebarluaskan film). Hadirnya revolusi Pemanfaatan teknologi sinema untuk digital di Nigeria membuat pembuat filmnya membuat film dengan bahasa Nigeria ini cukup menekan tombol ON/OFF, dan jadilah menciptakan era Celluloid Boom pada tahun film. Penggiat Nollywood pun bukanlah 1970an. Eddie Ugbomah sendiri termasuk mereka yang belajar seni membuat film di sutradara era seluloid bersama dengan kampus-kampus seni. Mereka mulanya sutradara veteran lainnya seperti Ola Balogun, pegawai TV yang belajar membuat film dari Herbert Ogunde, Adeyemi Afolayan, Ladi jalanan (mengutip Lancelot) dan menjual Ladebo, Moses Adejumo, Adebayo Salami and filmnya di jalanan. Afolabi Adesanya.³

Dalam dokumenter ini, film-film Nollywood Kekacauan Politik, Budaya TV, dan Nollywood ditunjukkan memiliki ciri khas berawal dari

kesengasaraan, diakhiri dengan kebahagian Pemerintahan yang baru seumur jagung tiba- dan fantasi untuk terus bertahan hidup.

Pembuat filmnya berusaha menampilkan kerasnya kehidupan di Nigeria tapi di akhir cerita akan memberikan janji –sebuah harapan untuk menjadi kaya layaknya orang-orang yang hidup di kota besar. Bila sutradara lama menganggap Nollywood sampah, maka generasi Nollywood menampik hal itu dengan mengatakan bahwa inilah cara mereka berkomunikasi dengan orang-orang. Walaupun dalam film mereka selalu ada hal-hal yang tak masuk akal macam voodo, juju, atau ritual menjadi kaya (cukup familiar di Indonesia) –namun inilah realita masyarakat Afrika. Efek kekuatan lain di luar kemampuan manusia, asap yang keluar dari tubuh, roh jahat, selalu menjadi langganan dalam film-film Nollywood. Bentrokan antara yang tradisional dan modern selalu ada dalam film dan inilah yang diyakini oleh Lancelot sebagai identitas orang-orang Nigeria itu sendiri.

“Nollywood style is the pop pop pop style. It is the sharp sharp let's go let's go style”

Perputaran pasar yang sangat cepat membuat proses kerja sutradara Nollywood juga harus hap hap hap –serba sigap. Lancelot di sepanjang film menunjukkan proses kerjanya sebagai sutradara Nollywood. Hanya dalam jangka waktu dua minggu ia menyelesaikan proses syuting “Bent Arrows”. Budget yang digunakan untuk membuat film pun cukup rendah. Film-film Noollywood memiliki budget produksi di bawah 15.000 USD. Tak heran bila dalam film dokumenter ini, kita akan melihat seringnya Lancelot uring-uringan entah karena untuk menghemat pengeluaran atau karena kru yang bekerja tidak efisien. Begitu Lancelot selesai memproduksi film, ia akan memberikannya ke bagian editing kemudian akan memulai untuk membuat film lagi. Lancelot

16 17

Gambar dari potongan Film “Nollywood Babylon”

Page 17: Newsletter Edisi 6, Agustus 2014

menonton melalui bioskop-bioskop yang tiba dikagetkan oleh banyaknya kudeta. Pada didirikan di Lagos. Palaver dan Sanders of the tahun 1967 – 1970, kudeta militer berkali-kali River merupakan dua film produksi Inggris terjadi dan menimbulkan perang sipil. yang dibuat di Nigeria dan menggunakan Kerusuhan terjadi dimana-mana. Bioskop pun orang-orang Nigeria sebagai pemeran bangkrut. Keamanan yang tidak menentu pembantu. Dari footage dua film tersebut membuat orang-orang memilih untuk tinggal tampak sudut pandang orang koloni dalam di rumah masing-masing. Pada tahun 1970, melihat orang-orang Afrika yang dianggap Junta Militer mengambil alih kekuasaan. pribumi, belum dewasa, dan brutal. Ironis. Keadaan tak kunjung membaik, penjarahan Walaupun sudut pandang kolonial yang dimana-mana. Kondisi ekonomi menurun merendahkan orang-orang Afrika kental sehingga pada tahun 1980 pemerintah Nigeria terlihat dalam film, ternyata Sanders of the menyetujui bantuan dana dari International River digemari oleh orang Nigeria yang kala itu Monetary Fund (IMF). Mata uang Nigeria, bisa menonton. neira, mengalami devaluasi dan hal ini

berimbas pada pembuat film Nigeria yang Salah seorang yang terpikat dengah hadirnya harus membayar sangat mahal untuk gambar bergerak di Nigeria adalah Eddie mengimpor rol film. Ketika budaya sinema Ugbomah, sutradara veteran Nigeria. Pada mati, televisi berkembang. Pembuat film pada tahun 1959, ia mengintip dari dinding bioskop era seluloid beralih menjadi produser film untuk melihat film yang diputar. Ia terpesona. pada tahun 1980an, termasuk Eddie Tapi di sisi lain ia marah saat melihat Ugbomah. bagaimana orang Afrika direndahkan dalam film. Penggambaran orang Afrika dari sudut Akal-akalan pun dimulai oleh sekelompok anak pandang kolonialis inilah yang membuat Eddie muda yang mengimpor kaset-kaset kosong. memutuskan untuk menjadi sutradara. Sama Pertama-tama mereka hanya mengopi halnya dengan sejarah film Indonesia yang tayangan TV yang bagus lalu dijual di pinggir memiliki kedekatan dengan teater, peran jalan. Kemudian hal ini berlanjut dengan kelompok teater tak lepas dari sejarah sinema kehadiran Living in Bondage (1992), film Nigeria. Setelah Nigeria mendapatkan tentang penyihir dan bagaimana menjadi kemerdekaan pada 1 Oktober 1960, industri social climber, yang diproduksi dengan kamera film Nigeria lahir. Kelahiran ini tak lepas dari VHS meledak di pasaran. Inilah era revolusi nama “The Yoruba Travelling Theatre Group” digital di Nigeria. Hadirnya Living in Bondage yang pada era 1960an dan 1970an menjadi penanda perubahan budaya menunjukkan kepiawaian teaterikal mereka ke menonton TV ke budaya akal-akalan (mengopi-dalam film dengan format seluloid. menyebarluaskan film). Hadirnya revolusi Pemanfaatan teknologi sinema untuk digital di Nigeria membuat pembuat filmnya membuat film dengan bahasa Nigeria ini cukup menekan tombol ON/OFF, dan jadilah menciptakan era Celluloid Boom pada tahun film. Penggiat Nollywood pun bukanlah 1970an. Eddie Ugbomah sendiri termasuk mereka yang belajar seni membuat film di sutradara era seluloid bersama dengan kampus-kampus seni. Mereka mulanya sutradara veteran lainnya seperti Ola Balogun, pegawai TV yang belajar membuat film dari Herbert Ogunde, Adeyemi Afolayan, Ladi jalanan (mengutip Lancelot) dan menjual Ladebo, Moses Adejumo, Adebayo Salami and filmnya di jalanan. Afolabi Adesanya.³

Dalam dokumenter ini, film-film Nollywood Kekacauan Politik, Budaya TV, dan Nollywood ditunjukkan memiliki ciri khas berawal dari

kesengasaraan, diakhiri dengan kebahagian Pemerintahan yang baru seumur jagung tiba- dan fantasi untuk terus bertahan hidup.

Pembuat filmnya berusaha menampilkan kerasnya kehidupan di Nigeria tapi di akhir cerita akan memberikan janji –sebuah harapan untuk menjadi kaya layaknya orang-orang yang hidup di kota besar. Bila sutradara lama menganggap Nollywood sampah, maka generasi Nollywood menampik hal itu dengan mengatakan bahwa inilah cara mereka berkomunikasi dengan orang-orang. Walaupun dalam film mereka selalu ada hal-hal yang tak masuk akal macam voodo, juju, atau ritual menjadi kaya (cukup familiar di Indonesia) –namun inilah realita masyarakat Afrika. Efek kekuatan lain di luar kemampuan manusia, asap yang keluar dari tubuh, roh jahat, selalu menjadi langganan dalam film-film Nollywood. Bentrokan antara yang tradisional dan modern selalu ada dalam film dan inilah yang diyakini oleh Lancelot sebagai identitas orang-orang Nigeria itu sendiri.

“Nollywood style is the pop pop pop style. It is the sharp sharp let's go let's go style”

Perputaran pasar yang sangat cepat membuat proses kerja sutradara Nollywood juga harus hap hap hap –serba sigap. Lancelot di sepanjang film menunjukkan proses kerjanya sebagai sutradara Nollywood. Hanya dalam jangka waktu dua minggu ia menyelesaikan proses syuting “Bent Arrows”. Budget yang digunakan untuk membuat film pun cukup rendah. Film-film Noollywood memiliki budget produksi di bawah 15.000 USD. Tak heran bila dalam film dokumenter ini, kita akan melihat seringnya Lancelot uring-uringan entah karena untuk menghemat pengeluaran atau karena kru yang bekerja tidak efisien. Begitu Lancelot selesai memproduksi film, ia akan memberikannya ke bagian editing kemudian akan memulai untuk membuat film lagi. Lancelot

16 17

Gambar dari potongan Film “Nollywood Babylon”

Page 18: Newsletter Edisi 6, Agustus 2014

menambahkan beginilah cara sutradara Nollywood bekerja. Biaya produksi film dihasilkan dari penjualan kepingan VCD di pasar, dan begitu mendapatkan untung mereka akan memproduksi film mereka selanjutnya.

Tumbuh-kembangnya industri film di Nigeria yang pesat dengan 200 judul film setiap bulannya cukup mencengangkan. Anak-anak dan orang dewasa yang ditanyai dalam Nollywood Babylon mengungkapkan bahwa mereka terbiasa menonton tiga sampai lima film sehari. Nollywood telah menjadi arus utama dari sinema populer di Afrika. Saking besarnya industri ini, ia mampu memikat pembuat film dari Kenya maupun Ghana untuk belajar film sekaligus bergabung dengan distributor Nollywood. Kebesaran Nollywood ini mampu menghipnotis orang-orang di Nigeria untuk ikut bermain film. Lebih ekstrimnya, Nollywood mampu mengubah pemikiran orang-orang Nigeria untuk tidak berkiblat lagi ke Hollywood.

Penutup

Dokumenter yang cukup padat ini kadang bisa membuat penonton (yang belum tahu apa itu Nollywood) tersenyum dengan penghadiran footage film-film Nollywood yang bisa dibilang “norak” tapi nyata, apalagi bagi penonton Indonesia yang dulu tumbuh bersama Mak Lampir dan Suzanna dengan efek magic dan misteri kegelapan ritual dalam film. Ia juga bisa membuat penonton tertegun dengan hadirnya footage kerusuhan dan juga gambar adegan saat gereja mencoba menjadi ahli terapi bagi masyarakat Nigeria yang sudah lelah karena Negara tidak bisa memberikan jaminan pada mereka. Jauh tapi mirip dengan di Indonesia dengan adanya motivator-motivator di TV. Maka, ada baiknya setelah menonton Nollywood Babylon, siap-siaplah untuk mengunduh film-film Nollywood di jagad maya. Karena film ini utamanya hanya menjadi pager ayu atau pager bagus yang mempersilahkan penonton untuk memahami bagaimana cara orang Afrika bercerita tentang cerita Afrika.

Catatan Akhir:

¹Hafiz. 2013. “Arkipel dan Kehadiran Pertama”. Katalog Arkipel. Jakarta: forum lenteng. Dalam artikel ini, Hafiz merujuk pada makalaj dana Ruppin “The Arrival of Moving Pictures to Indonesia”. Ruppin menjilis bahwa rekaman film berupa situasi jalanan di Jakarta yang diproses oleh Talbot sendiri.

²Uchenna, Onuzulike. 2009. “Nollywood: Nigerian Videofilms as a Cultural and Technological Hybridity”. Intercultural Communication Studies XVIII: 1 2009. http://www.uri.edu/iaics/content/2009v18n1/12%20uchenna%20Onuzulike.pdf (diakses pada 10 Juli 2014)

³Nigeria Movie Network. 2014. “The History of NOLLYWOOD: Nigeria's Movie Industry”. http://www.nigeriamovienetwork.com/pages/History-of-Nollywood.html (diakses pada 8 Juli 2014)

Di antara sekian banyak sastrawan ternama Nigeria, Wole Soyinka dan Chinua Achebe bisa dianggap sebagai yang paling terkenal dan berpengaruh, baik di dalam negeri maupun internasional. Di Indonesia, posisi mereka bisa kita sejajarkan dengan WS Rendra dan Pramoedya Ananta Toer. Keempat sastrawan tersebut, dengan caranya masing-masing, banyak mengeksplorasi kondisi keterjajahan negerinya dan memberi pengaruh pada cara pandang terhadap identitas masyarakatnya. Eksplorasi seperti yang mereka lakukan itulah yang kemudian melahirkan sebuah disiplin akademis bernama Kajian Pascakolonial pada awal dasawarsa 1990an. Tepatnya, eksplorasi macam apa yang dilakukan oleh mereka dan banyak sastrawan, seniman, dan intelektual lain sehingga bisa melahirkan satu disiplin akademis tersendiri? Tanpa mengesampingkan peran yang lain, pertanyaan itu akan coba saya jawab dengan mendekati tulisan-tulisan Chinua Achebe dan memfokuskannya di bidang sastra—awalnya, isu-isu dalam kajian ini memang muncul dari sastra.

Biasanya, kritikus sastra pascakolonial akan mendekati beberapa isu pokok. Pertama, menolak klaim universalisme dari sastra kanon Barat dan berusaha menunjukkan batas-batas pandangannya, terutama ketidakmampuannya dalam memahami secara empatik budaya yang berbeda dengan Barat. Kedua, terkait dengan tujuan itu, memeriksa representasi budaya liyan dalam sastra. Ketiga,

CHINUA ACHEBEDAN KAJIANPASCAKOLONIALWahmuji (Koordinator Umum mediasatra.com)

Chinua Achebe

Sumber foto:

http://www.brainpickings.org/ind

ex.php/2014/07/11/chinua-

achebe-meaning-of-life/

18 19

Page 19: Newsletter Edisi 6, Agustus 2014

menambahkan beginilah cara sutradara Nollywood bekerja. Biaya produksi film dihasilkan dari penjualan kepingan VCD di pasar, dan begitu mendapatkan untung mereka akan memproduksi film mereka selanjutnya.

Tumbuh-kembangnya industri film di Nigeria yang pesat dengan 200 judul film setiap bulannya cukup mencengangkan. Anak-anak dan orang dewasa yang ditanyai dalam Nollywood Babylon mengungkapkan bahwa mereka terbiasa menonton tiga sampai lima film sehari. Nollywood telah menjadi arus utama dari sinema populer di Afrika. Saking besarnya industri ini, ia mampu memikat pembuat film dari Kenya maupun Ghana untuk belajar film sekaligus bergabung dengan distributor Nollywood. Kebesaran Nollywood ini mampu menghipnotis orang-orang di Nigeria untuk ikut bermain film. Lebih ekstrimnya, Nollywood mampu mengubah pemikiran orang-orang Nigeria untuk tidak berkiblat lagi ke Hollywood.

Penutup

Dokumenter yang cukup padat ini kadang bisa membuat penonton (yang belum tahu apa itu Nollywood) tersenyum dengan penghadiran footage film-film Nollywood yang bisa dibilang “norak” tapi nyata, apalagi bagi penonton Indonesia yang dulu tumbuh bersama Mak Lampir dan Suzanna dengan efek magic dan misteri kegelapan ritual dalam film. Ia juga bisa membuat penonton tertegun dengan hadirnya footage kerusuhan dan juga gambar adegan saat gereja mencoba menjadi ahli terapi bagi masyarakat Nigeria yang sudah lelah karena Negara tidak bisa memberikan jaminan pada mereka. Jauh tapi mirip dengan di Indonesia dengan adanya motivator-motivator di TV. Maka, ada baiknya setelah menonton Nollywood Babylon, siap-siaplah untuk mengunduh film-film Nollywood di jagad maya. Karena film ini utamanya hanya menjadi pager ayu atau pager bagus yang mempersilahkan penonton untuk memahami bagaimana cara orang Afrika bercerita tentang cerita Afrika.

Catatan Akhir:

¹Hafiz. 2013. “Arkipel dan Kehadiran Pertama”. Katalog Arkipel. Jakarta: forum lenteng. Dalam artikel ini, Hafiz merujuk pada makalaj dana Ruppin “The Arrival of Moving Pictures to Indonesia”. Ruppin menjilis bahwa rekaman film berupa situasi jalanan di Jakarta yang diproses oleh Talbot sendiri.

²Uchenna, Onuzulike. 2009. “Nollywood: Nigerian Videofilms as a Cultural and Technological Hybridity”. Intercultural Communication Studies XVIII: 1 2009. http://www.uri.edu/iaics/content/2009v18n1/12%20uchenna%20Onuzulike.pdf (diakses pada 10 Juli 2014)

³Nigeria Movie Network. 2014. “The History of NOLLYWOOD: Nigeria's Movie Industry”. http://www.nigeriamovienetwork.com/pages/History-of-Nollywood.html (diakses pada 8 Juli 2014)

Di antara sekian banyak sastrawan ternama Nigeria, Wole Soyinka dan Chinua Achebe bisa dianggap sebagai yang paling terkenal dan berpengaruh, baik di dalam negeri maupun internasional. Di Indonesia, posisi mereka bisa kita sejajarkan dengan WS Rendra dan Pramoedya Ananta Toer. Keempat sastrawan tersebut, dengan caranya masing-masing, banyak mengeksplorasi kondisi keterjajahan negerinya dan memberi pengaruh pada cara pandang terhadap identitas masyarakatnya. Eksplorasi seperti yang mereka lakukan itulah yang kemudian melahirkan sebuah disiplin akademis bernama Kajian Pascakolonial pada awal dasawarsa 1990an. Tepatnya, eksplorasi macam apa yang dilakukan oleh mereka dan banyak sastrawan, seniman, dan intelektual lain sehingga bisa melahirkan satu disiplin akademis tersendiri? Tanpa mengesampingkan peran yang lain, pertanyaan itu akan coba saya jawab dengan mendekati tulisan-tulisan Chinua Achebe dan memfokuskannya di bidang sastra—awalnya, isu-isu dalam kajian ini memang muncul dari sastra.

Biasanya, kritikus sastra pascakolonial akan mendekati beberapa isu pokok. Pertama, menolak klaim universalisme dari sastra kanon Barat dan berusaha menunjukkan batas-batas pandangannya, terutama ketidakmampuannya dalam memahami secara empatik budaya yang berbeda dengan Barat. Kedua, terkait dengan tujuan itu, memeriksa representasi budaya liyan dalam sastra. Ketiga,

CHINUA ACHEBEDAN KAJIANPASCAKOLONIALWahmuji (Koordinator Umum mediasatra.com)

Chinua Achebe

Sumber foto:

http://www.brainpickings.org/ind

ex.php/2014/07/11/chinua-

achebe-meaning-of-life/

18 19

Page 20: Newsletter Edisi 6, Agustus 2014

menunjukkan betapa seringnya sastra diam dan merasa bahwa “kisah yang harus kita dan mengelak untuk membicarakan persoalan- ceritakan tidak bisa diceritakan pada kita oleh persoalan terkait penjajahan dan orang lain tak peduli betapa berbakatnya ia imperialisme. Keempat, mengedepankan atau betapa baik niatnya.” Hasrat sebagai pertanyaan-pertanyaan terkait perbedaan dan insider researcher atau insider story-teller, keragaman budaya dan memeriksanya dalam hasrat untuk merepresentasikan diri-sendiri, karya-karya sastra tertentu yang relevan. memang sedang naik daun pasca-Perang Selanjutnya, merayakan hibriditas, yakni Dunia II, saat negara-negara terjajah berjuang situasi dimana individu atau kelompok secara untuk, dan akhirnya berhasil, meraih bersamaan berada dalam dua budaya kemerdekaan. Namun, kemerdekaan politik berbeda—penjajah dan lokal. Terakhir, dan saja dirasa tidak cukup—apalagi ternyata yang dapat diterapkan di luar sastra, penjajahan politik tidak lantas musnah; mengembangkan sebuah perspektif yang penjajahan lebih halus, yakni neokolonialisme, mengangkat pluralitas dan Keliyanan penjajahan ekonomi dan politik tanpa (Otherness) sebagai sumber energi dan pendudukan langsung dan dilaksanakan potensi perubahan. Beragam isu yang melalui tekanan negara Barat, lembaga-diperiksa oleh kritikus pascakolonial itu secara lembaga keuangan internasional, termasuk sederhana bisa dibagi menjadi dua kategori berbagai funding tertentu, dan korporasi besar, yakni representasi (bagaimana Timur transnasional, lambat laun menggantikan atau kawasan spesifik atau masyarakat kolonialisme “klasik.” Yang lebih mendalam, tertentu direpresentasikan oleh Barat) dan lebih susah dicapai dan butuh waktu lebih eksplorasi-diri (mengangkat kondisi dan subjek lama, adalah kemerdekaan budaya. Dengan pascakolonial). kata lain, terciptanya budaya baru dan

manusia-manusia baru. Negara baru yang lahir Hampir semua isu yang diselidiki oleh kritikus ternyata dikelola dengan mesin birokrasi pascakolonial di atas dibicarakan oleh Chinua kolonialis, bahkan kadang orang lokal lebih Achebe baik melalui novel maupun esai- kejam perilakunya dari orang kulit putih yang esainya. Achebe berbicara soal representasi dulu menjajah.Afrika dalam karya sastra dan mengangkat kebudayaan suku Igbo, salah satu suku terbesar Di kalangan seniman dan intelektual Afrika, di Nigeria, sebelum penjajah datang. Ia awalnya dan terutama jajahan Perancis, berbicara soal universalisme dalam sastra, pernah muncul gerakan negritude, sebuah penggunaan bahasa dalam karya sastra Afrika, upaya untuk melawan dominasi budaya Eropa dan peran penulis di negara pascakolonial. Ia dengan menggali keluhuran dan kekhasan mengetengahkan posisi subjek di negara bekas orang kulit hitam, sekaligus mengangkat terjajah dan merayakan hibriditasnya. blackness atau nigger sebagai sebuah kata

yang tidak lagi bernada menghina. Namun, Tahun 1975 Achebe memberi kuliah di gelombang gerakan yang bersifat romantis itu University of Massachusetts Amherst, Amerika kemudian dipertanyakan. Persoalannya, ketika Serikat, dengan makalah berjudul “An Image of orang mencari kebudayaan asli Afrika, Asia, Africa: Racism in Conrad's Heart of Darkness.” atau Jawa, misalnya, ia hanya menemukan Materi kuliah itu, seperti tertera jelas dalam jejak-jejak kabur, ditumpangi representasi judulnya, memeriksa rasisme yang ada di novel kolonialis dan rasis dari penelitian-penelitian terkenal Conrad dimaksud, dan menyimpulkan Barat, dan keadaan aktual masyarakat yang bahwa “Conrad melihat dan mengutuk tidak lagi seperti dulu sebelum penjajah kejahatan eksploitasi imperial tapi anehnya tak datang. Penjajahan berlangsung lama dan menyadari rasisme yang justru menajamkan berhasil mengubah kebudayaan bangsa gigi imperialisme itu.” Representasi Afrika di terjajah. Kebudayaan bangsa terjajah telah karya sastra, seperti yang dikritiknya itu, bercampur dengan kebudayaan penjajahnya. sebenarnya juga merupakan faktor yang Istilah terkenalnya hibriditas. Atau dalam kata-mendorongnya untuk menulis novel. Saat kata Achebe, “[k]ita hidup di persimpangan belajar di Universitas, Achebe membaca berbagai kebudayaan.” Dulu dan kini. Hidup di berbagai novel yang berbicara tentang Afrika, persimpangan seperti itu punya potensi

bahaya, tapi sekaligus potensi pencerahan. terjajah itulah yang, salah satunya, membuat Bahaya “karena orang mungkin akan hilang- nama Chinua Achebe bersinar, menjadi lenyap di sana bertarung dengan beragam rujukan wajib bagi orang yang memelajari semangat-mental yang berbeda,” tapi mungkin Kajian Pascakolonial. Dalam konteks Indonesia, juga “ia beruntung dan kembali ke terutama saat datangnya gelombang otonomi masyarakatnya dengan anugerah berupa visi daerah, bangkitnya wacana 'kearifan lokal', yang profetik.” dan turisme yang mengumbar eksotisme,

pemikiran-pemikirannya mengenai sastra dan Hibriditas dan potensi pencerahan itulah yang budaya bisa kita jadikan pengingat akan relasi dirangkul dan digenggam Achebe. Ia mengkritik kekuasaan yang sedang berlangsung. universalisme Barat, terutama dalam sastra, Membuat kita lebih peka pada representasi, dengan menegaskan bahwa ia “ingin kata identitas, dan fungsi seniman/intelektual bagi 'universal' dilarang dipakai dalam diskusi masyarakat kita sendiri.mengenai sastra Afrika sampai tiba waktunya orang berhenti menggunakannya sebagai sinonim dari pandangan-picik Eropa yang

Catatan Akhir:sempit dan menguntungkan-diri-mereka-sendiri, sampai horizon mereka meluas dan mencakup seluruh dunia.” Akan tetapi, ia juga tidak menganjurkan pandangan-picik baru, chauvinisme baru. Ia paham dengan kondisi percampuran-budaya masyarakat Afrika, mengakui terciptanya negara-negara Afrika sebagai efek penjajahan, dan memilih untuk bersikap realistis, bahkan kadang-kadang praktis.

Dalam menulis novel, misalnya, ia memilih menggunakan bahasa Inggris alih-alih bahasa Igbo, Bahasa Ibunya, bahasa yang diakuinya lebih banyak dipakainya saat percakapan. Pilihan itu tampak praktis karena alasannya adalah potensi pembaca yang lebih luas, tetapi juga historis karena memandang persatuan Nigeria salah satunya dibentuk oleh bahasa Inggris. Bagaimanapun, bahasa Inggris yang dipakai dan diekspresikannya adalah bahasa Inggris kreol, bahasa Inggris campuran, atau, mengutip Aschroft, dkk., more english than English. Penulis Afrika, menurut Achebe, musti menggunakan bahasa Inggris untuk mengungkapkan pesannya dengan baik tanpa kehilangan fungsinya sebagai bahasa komunikasi internasional—maksudnya mungkin tidak terlalu banyak mengubah tata bahasa, ejaan, dll—tetapi juga tidak kehilangan karakter dari pengalaman khusus yang mau diungkapkan. Artinya, kalau bahasa Inggris itu 'universal' atau global sifatnya, maka ia harus juga mampu atau dimampukan untuk memikul beban pengalaman lokal penggunanya. Beragam pemikiran dalam berbagai isu penting masyarakat (bekas)

Disarikan dari Beginning Theory: An Introduction to Literaryand Cultural Theory karya Peter Barry.Terkait novelnya Things Fall Apart, Achebe bilang "[i] would bequite satisfied if my novels (especially the ones I set in the past)did no more than teach my readers that their past – with all its imperfections – was not one long night of savagery fromwhich the first Europeans acting on God's behalf deliveredthem" (dari Morning Yet on Creation Day, 1975)Makalah ini kemudian muncul di kumpulan esainya Hopesand Impediments yang terbit tahun 1988.Lih. esai Chinua Achebe “Named for Victoria, Queen ofEngland.http://en.wikipedia.org/wiki/N%C3%A9gritude, saya pikircukup baik sebagai pengantar untuk melihat lebih jauh gerakan ini.Lih. esai Chinua Achebe “Named for Victoria, Queen ofEngland”Lih. esai Chinua Achebe “The African Writer and the EnglishLanguage”Lih. Bill Ashcroft, Gareth Griffiths and Helen Tiffin TheEmpire Writes Back: Theory and Practice in Post-ColonialLiteraturePemilihan bahasa Inggris sebagai medium penulisan karyaini bertentangan dengan pendapat Ngugi Wa Thiong'o,seorang penulis Kenya, yang menganjurkan, danmelaksanakan, penggunaan bahasa lokal dalam menuliskarya sastra. Kedua pilihan yang bertentangan itu, saya rasa,adalah persoalan cara saja. Dua-duanya mengklaimmenggunakan cara terbaik untuk menyapa, sekaligusmendidik, masyarakatnya. Chinua Achebe, dalam esainyayang lain, “Novelist as Teacher,” memang mengeksplorasifungsi pendidik dari sastrawan/seniman.

20 21

Page 21: Newsletter Edisi 6, Agustus 2014

menunjukkan betapa seringnya sastra diam dan merasa bahwa “kisah yang harus kita dan mengelak untuk membicarakan persoalan- ceritakan tidak bisa diceritakan pada kita oleh persoalan terkait penjajahan dan orang lain tak peduli betapa berbakatnya ia imperialisme. Keempat, mengedepankan atau betapa baik niatnya.” Hasrat sebagai pertanyaan-pertanyaan terkait perbedaan dan insider researcher atau insider story-teller, keragaman budaya dan memeriksanya dalam hasrat untuk merepresentasikan diri-sendiri, karya-karya sastra tertentu yang relevan. memang sedang naik daun pasca-Perang Selanjutnya, merayakan hibriditas, yakni Dunia II, saat negara-negara terjajah berjuang situasi dimana individu atau kelompok secara untuk, dan akhirnya berhasil, meraih bersamaan berada dalam dua budaya kemerdekaan. Namun, kemerdekaan politik berbeda—penjajah dan lokal. Terakhir, dan saja dirasa tidak cukup—apalagi ternyata yang dapat diterapkan di luar sastra, penjajahan politik tidak lantas musnah; mengembangkan sebuah perspektif yang penjajahan lebih halus, yakni neokolonialisme, mengangkat pluralitas dan Keliyanan penjajahan ekonomi dan politik tanpa (Otherness) sebagai sumber energi dan pendudukan langsung dan dilaksanakan potensi perubahan. Beragam isu yang melalui tekanan negara Barat, lembaga-diperiksa oleh kritikus pascakolonial itu secara lembaga keuangan internasional, termasuk sederhana bisa dibagi menjadi dua kategori berbagai funding tertentu, dan korporasi besar, yakni representasi (bagaimana Timur transnasional, lambat laun menggantikan atau kawasan spesifik atau masyarakat kolonialisme “klasik.” Yang lebih mendalam, tertentu direpresentasikan oleh Barat) dan lebih susah dicapai dan butuh waktu lebih eksplorasi-diri (mengangkat kondisi dan subjek lama, adalah kemerdekaan budaya. Dengan pascakolonial). kata lain, terciptanya budaya baru dan

manusia-manusia baru. Negara baru yang lahir Hampir semua isu yang diselidiki oleh kritikus ternyata dikelola dengan mesin birokrasi pascakolonial di atas dibicarakan oleh Chinua kolonialis, bahkan kadang orang lokal lebih Achebe baik melalui novel maupun esai- kejam perilakunya dari orang kulit putih yang esainya. Achebe berbicara soal representasi dulu menjajah.Afrika dalam karya sastra dan mengangkat kebudayaan suku Igbo, salah satu suku terbesar Di kalangan seniman dan intelektual Afrika, di Nigeria, sebelum penjajah datang. Ia awalnya dan terutama jajahan Perancis, berbicara soal universalisme dalam sastra, pernah muncul gerakan negritude, sebuah penggunaan bahasa dalam karya sastra Afrika, upaya untuk melawan dominasi budaya Eropa dan peran penulis di negara pascakolonial. Ia dengan menggali keluhuran dan kekhasan mengetengahkan posisi subjek di negara bekas orang kulit hitam, sekaligus mengangkat terjajah dan merayakan hibriditasnya. blackness atau nigger sebagai sebuah kata

yang tidak lagi bernada menghina. Namun, Tahun 1975 Achebe memberi kuliah di gelombang gerakan yang bersifat romantis itu University of Massachusetts Amherst, Amerika kemudian dipertanyakan. Persoalannya, ketika Serikat, dengan makalah berjudul “An Image of orang mencari kebudayaan asli Afrika, Asia, Africa: Racism in Conrad's Heart of Darkness.” atau Jawa, misalnya, ia hanya menemukan Materi kuliah itu, seperti tertera jelas dalam jejak-jejak kabur, ditumpangi representasi judulnya, memeriksa rasisme yang ada di novel kolonialis dan rasis dari penelitian-penelitian terkenal Conrad dimaksud, dan menyimpulkan Barat, dan keadaan aktual masyarakat yang bahwa “Conrad melihat dan mengutuk tidak lagi seperti dulu sebelum penjajah kejahatan eksploitasi imperial tapi anehnya tak datang. Penjajahan berlangsung lama dan menyadari rasisme yang justru menajamkan berhasil mengubah kebudayaan bangsa gigi imperialisme itu.” Representasi Afrika di terjajah. Kebudayaan bangsa terjajah telah karya sastra, seperti yang dikritiknya itu, bercampur dengan kebudayaan penjajahnya. sebenarnya juga merupakan faktor yang Istilah terkenalnya hibriditas. Atau dalam kata-mendorongnya untuk menulis novel. Saat kata Achebe, “[k]ita hidup di persimpangan belajar di Universitas, Achebe membaca berbagai kebudayaan.” Dulu dan kini. Hidup di berbagai novel yang berbicara tentang Afrika, persimpangan seperti itu punya potensi

bahaya, tapi sekaligus potensi pencerahan. terjajah itulah yang, salah satunya, membuat Bahaya “karena orang mungkin akan hilang- nama Chinua Achebe bersinar, menjadi lenyap di sana bertarung dengan beragam rujukan wajib bagi orang yang memelajari semangat-mental yang berbeda,” tapi mungkin Kajian Pascakolonial. Dalam konteks Indonesia, juga “ia beruntung dan kembali ke terutama saat datangnya gelombang otonomi masyarakatnya dengan anugerah berupa visi daerah, bangkitnya wacana 'kearifan lokal', yang profetik.” dan turisme yang mengumbar eksotisme,

pemikiran-pemikirannya mengenai sastra dan Hibriditas dan potensi pencerahan itulah yang budaya bisa kita jadikan pengingat akan relasi dirangkul dan digenggam Achebe. Ia mengkritik kekuasaan yang sedang berlangsung. universalisme Barat, terutama dalam sastra, Membuat kita lebih peka pada representasi, dengan menegaskan bahwa ia “ingin kata identitas, dan fungsi seniman/intelektual bagi 'universal' dilarang dipakai dalam diskusi masyarakat kita sendiri.mengenai sastra Afrika sampai tiba waktunya orang berhenti menggunakannya sebagai sinonim dari pandangan-picik Eropa yang

Catatan Akhir:sempit dan menguntungkan-diri-mereka-sendiri, sampai horizon mereka meluas dan mencakup seluruh dunia.” Akan tetapi, ia juga tidak menganjurkan pandangan-picik baru, chauvinisme baru. Ia paham dengan kondisi percampuran-budaya masyarakat Afrika, mengakui terciptanya negara-negara Afrika sebagai efek penjajahan, dan memilih untuk bersikap realistis, bahkan kadang-kadang praktis.

Dalam menulis novel, misalnya, ia memilih menggunakan bahasa Inggris alih-alih bahasa Igbo, Bahasa Ibunya, bahasa yang diakuinya lebih banyak dipakainya saat percakapan. Pilihan itu tampak praktis karena alasannya adalah potensi pembaca yang lebih luas, tetapi juga historis karena memandang persatuan Nigeria salah satunya dibentuk oleh bahasa Inggris. Bagaimanapun, bahasa Inggris yang dipakai dan diekspresikannya adalah bahasa Inggris kreol, bahasa Inggris campuran, atau, mengutip Aschroft, dkk., more english than English. Penulis Afrika, menurut Achebe, musti menggunakan bahasa Inggris untuk mengungkapkan pesannya dengan baik tanpa kehilangan fungsinya sebagai bahasa komunikasi internasional—maksudnya mungkin tidak terlalu banyak mengubah tata bahasa, ejaan, dll—tetapi juga tidak kehilangan karakter dari pengalaman khusus yang mau diungkapkan. Artinya, kalau bahasa Inggris itu 'universal' atau global sifatnya, maka ia harus juga mampu atau dimampukan untuk memikul beban pengalaman lokal penggunanya. Beragam pemikiran dalam berbagai isu penting masyarakat (bekas)

Disarikan dari Beginning Theory: An Introduction to Literaryand Cultural Theory karya Peter Barry.Terkait novelnya Things Fall Apart, Achebe bilang "[i] would bequite satisfied if my novels (especially the ones I set in the past)did no more than teach my readers that their past – with all its imperfections – was not one long night of savagery fromwhich the first Europeans acting on God's behalf deliveredthem" (dari Morning Yet on Creation Day, 1975)Makalah ini kemudian muncul di kumpulan esainya Hopesand Impediments yang terbit tahun 1988.Lih. esai Chinua Achebe “Named for Victoria, Queen ofEngland.http://en.wikipedia.org/wiki/N%C3%A9gritude, saya pikircukup baik sebagai pengantar untuk melihat lebih jauh gerakan ini.Lih. esai Chinua Achebe “Named for Victoria, Queen ofEngland”Lih. esai Chinua Achebe “The African Writer and the EnglishLanguage”Lih. Bill Ashcroft, Gareth Griffiths and Helen Tiffin TheEmpire Writes Back: Theory and Practice in Post-ColonialLiteraturePemilihan bahasa Inggris sebagai medium penulisan karyaini bertentangan dengan pendapat Ngugi Wa Thiong'o,seorang penulis Kenya, yang menganjurkan, danmelaksanakan, penggunaan bahasa lokal dalam menuliskarya sastra. Kedua pilihan yang bertentangan itu, saya rasa,adalah persoalan cara saja. Dua-duanya mengklaimmenggunakan cara terbaik untuk menyapa, sekaligusmendidik, masyarakatnya. Chinua Achebe, dalam esainyayang lain, “Novelist as Teacher,” memang mengeksplorasifungsi pendidik dari sastrawan/seniman.

20 21

Page 22: Newsletter Edisi 6, Agustus 2014

22 23

Biennale Jogja (BJ) yang ketigabelas ini sekaligus merupakan BJ seri Equator yang ketiga. Meneruskan strategi dua BJ sebelumnya, BJ XIII menggunakan garis equator sebagai sarana bersama untuk 'membaca kembali dunia'. Setelah India, dan kawasan Arab sebagai negara-negara partner, BJ kali ini bertemu dengan kawasan Afrika. Afrika adalah kawasan yang luas sebagai sebuah benua dengan bermacam ras, suku, budaya, dan kebangsaan. Nigeria akhirnya dipilih sebagai pintu masuk kawasan itu dengan pertimbangan hubungan kedua negara yang sudah terjalin baik dan posisi negara tersebut yang menjadi kunci dalam perkembangan kebudayaan di kawasan Afrika, terutama bagian barat.

Gagasan artistik BJ kali ini berangkat dari strategi yang ditempuh oleh Bennale Jogja (BJ) seri Equator dalam menggali potensi kebudayaan pada kawasan yang terentang antara 23.27 LU dan 23.37 LS. Dengan menempuh perjalanan ke barat, BJ bertema Equator yang ketiga akhirnya bertemu dengan kawasan Afrika dan secara khusus menjadikan Nigeria sebagai negara partner.

Strategi ini mengandung resiko bahwa negara rekanan BJ belum tentu sebuah negara yang dikenal akrab secara budaya dan kesenian oleh masyarakat seni Indonesia, termasuk Nigeria. Negara rekanan juga bukan negara yang dianggap dapat menjadi jembatan para perupa kita menuju pentas internasional, seperti negara-negara yang dianggap pusat kesenian maupun pusat pasar seni. Secara umum, Nigeria adalah negara yang asing bagi masyarakat Indonesia, terutama pelaku seni rupa. Kita mengenal Nigeria hanya pada hal-hal umum yang mempopulerkan negara ini di dunia internasional, seperti sepakbola dan perdagangan narkoba. Dalam kancah seni rupa, Nigeria hanyalah sebuah negara lain yang asing dan tidak atau belum memiliki keterikatan dengan perkembangan yang terjadi di tanah air.

BIENNALE JOGJA XIIIEQUATOR #3 2015BERSAMA NIGERIAMENAFSIRPERSOALAN TANAHRain RosidiDirektur Artistik Biennale Jogja XIII

Justru itulah tantangan dan potensi yang sejak perusahaan-perusahaan besar dunia. Baik awal dicanangkan oleh BJ seri Equator ini. Indonesia maupun Nigeria sama-sama Secara politis, BJ Equator mengambil memiliki masalah dengan kemiskinan, Konferensi Asia Afrika sebagai pijakan awal, pendidikan, dan kesehatan. Kualitas hidup yang bertujuan melakukan intervensi terhadap yang masih harus ditingkatkan dan masih tidak konstelasi seni rupa dewasa ini. Dengan sesuai dengan potensi kekayaan alam yang menyisir kawasan-kawasan yang sebelumnya dimiliki keduanya.tidak dikenal akrab oleh masyarakat kita, BJ

Hubungan kedua kawasan ini dikembangkan ingin membangun jejaring baru yang melalui beberapa proses. Beberapa proses berkelanjutan melalui dialog, kerjasama, dan yang diharapkan muncul yaitu, dua kawasan kemitraan di antara para pelaku di kawasan mengatasi persoalan yang sama, wacana tersebut.pluralisme: mengenal sang liyan, dan

TITIK BERANGKAT PERTEMUAN menemukan diri melalui orang lain. Pertemuan kedua kawasan digunakan untuk

BJ tidak saja menggali kesamaan, tetapi juga mendukung situasi yang baik dalam kerja-kerja menjadi titik berangkat untuk mewadahi seni yang terjadi untuk membuka berbagai keragaman budaya masyarakat global kemungkinan estetik baru. Gagasan konsep dewasa ini. Untuk itu dalam artistik ditempatkan dalam proses penciptaan. mengejawantahkan hubungan antara dua Bagian proses kreatif perlu dimunculkan untuk kawasan (Indonesia dan Nigeria/Afrika) dapat menemukan identitas. Persitiwa seni ini dilihat beberapa titik persamaan kedua dikelola untuk dapat mengabsorsi kawasan. Secara umum pengetahuan kita pengalaman untuk menemukan residu, mengenai Nigeria dapat dilihat dari beberapa mengakumulasi energi kreatif para seniman. hal berikut ini. Pertama adalah nostalgia sejarah yang juga sudah dikemukakan Meninjau Nigeria dan kawasan Afrika yang Newsletter Biennale Jogja, The Equator, asing dapat dimulai dari pengalaman dan sebagai alasan mengapa Nigeria dipilih sebagai imajinasi kita terhadap kawasan itu. Misalnya negara rekanan berikutnya. KAA di Bandung tentang warga kulit hitam, betulkah kita menjadi penanda hubungan sejarah yang mengakui orang Nigeria sebagai manusia? romantis itu, sebagai sesama kawasan yang Dalam merumuskan rasa dan pikiran kita membebaskan diri dari kolonialisme Eropa. tentang Nigeria, kita perlu mengambil sikap

disposisi. Pada langkah selanjutnya kita juga Kesamaan lain dengan Indonesia adalah kedua perlu meneliti persoalan-persoalan yang ada di negara sama-sama mempunyai kekayaan etnis sana untuk memperoleh gambaran cukup dan bahasa yang bermacam-macam. Untuk akurat. Dalam proses ini bayangan kita tentang kasus Nigeria, keragaman itu juga membuat Nigeria bisa berubah.negara ini acapkali berada dalam konflik. Jumlah kelompok etnis di Nigeria disebutkan Sebenarnya dalam bidang kebudayaan, kita sebanyak 250, termasuk etnis Igbo, Yoruba, tidak buta sama sekali mengenai Nigeria. Di dan Hausa yang terbesar. Secara politis tahun 1986 Penerbit Pustaka Sinar Harapan Nigeria dibagi menjadi 37 negara bagian. menerbitkan versi bahasa Indonesia novel Sumber daya alam kedua kawasan juga sangat karya Chinua Achebe, yang berjudul “All Things melimpah, termasuk energi dan mineral, serta Apart” (dalam bahasa Indonesia menjadi hutan dan perkebunan. Kedua negara sama- “Segalanya Berantakan”. Chinua Achebe sama mempunyai persoalan pengelolaan merupakan novelis Nigeria kenamaan, selain sumber daya alam, terkait dengan bentuk- Soyinka yang mendapat hadiah Nobel). bentuk eksplorasi alam yang dikelola oleh Penerbitan novel ini walaupun mungkin

Page 23: Newsletter Edisi 6, Agustus 2014

22 23

Biennale Jogja (BJ) yang ketigabelas ini sekaligus merupakan BJ seri Equator yang ketiga. Meneruskan strategi dua BJ sebelumnya, BJ XIII menggunakan garis equator sebagai sarana bersama untuk 'membaca kembali dunia'. Setelah India, dan kawasan Arab sebagai negara-negara partner, BJ kali ini bertemu dengan kawasan Afrika. Afrika adalah kawasan yang luas sebagai sebuah benua dengan bermacam ras, suku, budaya, dan kebangsaan. Nigeria akhirnya dipilih sebagai pintu masuk kawasan itu dengan pertimbangan hubungan kedua negara yang sudah terjalin baik dan posisi negara tersebut yang menjadi kunci dalam perkembangan kebudayaan di kawasan Afrika, terutama bagian barat.

Gagasan artistik BJ kali ini berangkat dari strategi yang ditempuh oleh Bennale Jogja (BJ) seri Equator dalam menggali potensi kebudayaan pada kawasan yang terentang antara 23.27 LU dan 23.37 LS. Dengan menempuh perjalanan ke barat, BJ bertema Equator yang ketiga akhirnya bertemu dengan kawasan Afrika dan secara khusus menjadikan Nigeria sebagai negara partner.

Strategi ini mengandung resiko bahwa negara rekanan BJ belum tentu sebuah negara yang dikenal akrab secara budaya dan kesenian oleh masyarakat seni Indonesia, termasuk Nigeria. Negara rekanan juga bukan negara yang dianggap dapat menjadi jembatan para perupa kita menuju pentas internasional, seperti negara-negara yang dianggap pusat kesenian maupun pusat pasar seni. Secara umum, Nigeria adalah negara yang asing bagi masyarakat Indonesia, terutama pelaku seni rupa. Kita mengenal Nigeria hanya pada hal-hal umum yang mempopulerkan negara ini di dunia internasional, seperti sepakbola dan perdagangan narkoba. Dalam kancah seni rupa, Nigeria hanyalah sebuah negara lain yang asing dan tidak atau belum memiliki keterikatan dengan perkembangan yang terjadi di tanah air.

BIENNALE JOGJA XIIIEQUATOR #3 2015BERSAMA NIGERIAMENAFSIRPERSOALAN TANAHRain RosidiDirektur Artistik Biennale Jogja XIII

Justru itulah tantangan dan potensi yang sejak perusahaan-perusahaan besar dunia. Baik awal dicanangkan oleh BJ seri Equator ini. Indonesia maupun Nigeria sama-sama Secara politis, BJ Equator mengambil memiliki masalah dengan kemiskinan, Konferensi Asia Afrika sebagai pijakan awal, pendidikan, dan kesehatan. Kualitas hidup yang bertujuan melakukan intervensi terhadap yang masih harus ditingkatkan dan masih tidak konstelasi seni rupa dewasa ini. Dengan sesuai dengan potensi kekayaan alam yang menyisir kawasan-kawasan yang sebelumnya dimiliki keduanya.tidak dikenal akrab oleh masyarakat kita, BJ

Hubungan kedua kawasan ini dikembangkan ingin membangun jejaring baru yang melalui beberapa proses. Beberapa proses berkelanjutan melalui dialog, kerjasama, dan yang diharapkan muncul yaitu, dua kawasan kemitraan di antara para pelaku di kawasan mengatasi persoalan yang sama, wacana tersebut.pluralisme: mengenal sang liyan, dan

TITIK BERANGKAT PERTEMUAN menemukan diri melalui orang lain. Pertemuan kedua kawasan digunakan untuk

BJ tidak saja menggali kesamaan, tetapi juga mendukung situasi yang baik dalam kerja-kerja menjadi titik berangkat untuk mewadahi seni yang terjadi untuk membuka berbagai keragaman budaya masyarakat global kemungkinan estetik baru. Gagasan konsep dewasa ini. Untuk itu dalam artistik ditempatkan dalam proses penciptaan. mengejawantahkan hubungan antara dua Bagian proses kreatif perlu dimunculkan untuk kawasan (Indonesia dan Nigeria/Afrika) dapat menemukan identitas. Persitiwa seni ini dilihat beberapa titik persamaan kedua dikelola untuk dapat mengabsorsi kawasan. Secara umum pengetahuan kita pengalaman untuk menemukan residu, mengenai Nigeria dapat dilihat dari beberapa mengakumulasi energi kreatif para seniman. hal berikut ini. Pertama adalah nostalgia sejarah yang juga sudah dikemukakan Meninjau Nigeria dan kawasan Afrika yang Newsletter Biennale Jogja, The Equator, asing dapat dimulai dari pengalaman dan sebagai alasan mengapa Nigeria dipilih sebagai imajinasi kita terhadap kawasan itu. Misalnya negara rekanan berikutnya. KAA di Bandung tentang warga kulit hitam, betulkah kita menjadi penanda hubungan sejarah yang mengakui orang Nigeria sebagai manusia? romantis itu, sebagai sesama kawasan yang Dalam merumuskan rasa dan pikiran kita membebaskan diri dari kolonialisme Eropa. tentang Nigeria, kita perlu mengambil sikap

disposisi. Pada langkah selanjutnya kita juga Kesamaan lain dengan Indonesia adalah kedua perlu meneliti persoalan-persoalan yang ada di negara sama-sama mempunyai kekayaan etnis sana untuk memperoleh gambaran cukup dan bahasa yang bermacam-macam. Untuk akurat. Dalam proses ini bayangan kita tentang kasus Nigeria, keragaman itu juga membuat Nigeria bisa berubah.negara ini acapkali berada dalam konflik. Jumlah kelompok etnis di Nigeria disebutkan Sebenarnya dalam bidang kebudayaan, kita sebanyak 250, termasuk etnis Igbo, Yoruba, tidak buta sama sekali mengenai Nigeria. Di dan Hausa yang terbesar. Secara politis tahun 1986 Penerbit Pustaka Sinar Harapan Nigeria dibagi menjadi 37 negara bagian. menerbitkan versi bahasa Indonesia novel Sumber daya alam kedua kawasan juga sangat karya Chinua Achebe, yang berjudul “All Things melimpah, termasuk energi dan mineral, serta Apart” (dalam bahasa Indonesia menjadi hutan dan perkebunan. Kedua negara sama- “Segalanya Berantakan”. Chinua Achebe sama mempunyai persoalan pengelolaan merupakan novelis Nigeria kenamaan, selain sumber daya alam, terkait dengan bentuk- Soyinka yang mendapat hadiah Nobel). bentuk eksplorasi alam yang dikelola oleh Penerbitan novel ini walaupun mungkin

Page 24: Newsletter Edisi 6, Agustus 2014

24 25

didasari karena mendapat penghargaan Man yang berbeda itu sebagai 'yang lain', sebagai Booker Prize dan karena sudah diterjemahkan upaya untuk saling mengenal. Langkah ketiga dalam 50 bahasa, tapi setidaknya membuka adalah melihat identitas diri sendiri melalui mata pembaca Indonesia mengenai 'yang lain'. Pada BJ XIII kali ini titik tekan bagaimana Nigeria dilihat oleh seorang tokoh hubungan antar-kawasan adalah sastranya. Chinua Achebe dikenal dengan menempatkan Nigeria dan kawasan Afrika pemikiran kritisnya melihat kondisi masyarakat sebagai kawan untuk menafsir persoalan-Nigeria berhadapan dengan kolonialisme persoalan yang dialami kedua kawasan.Eropa. Novel “Segalanya Berantakan”

Pertanyaan utama yang hendak diajukan menggambarkan kebingungan sebuah suku dalam perhelatan ini adalah: “bagaimana dalam menghadapi datangnya invasi respon visual/spasial dari seniman/komunitas masyarakat kolonial. Struktur masyarakat yang seni terhadap persoalan tanah sebagai bagian selama ini mereka percayai tergoyahkan oleh dari masyarakat yang mengalami persoalan kooptasi kepercayaan yang baru dikenalnya, psikologis dari bangsa bekas negara jajahan? dan sistem masyarakat Eropa yang menyertai Dan “bagaimana seniman merespon kolonialisme. Di luar bahwa novel ini kemampuan masyarakat beradaptasi pada mendapat penghargaan internasional, persoalan tanah?”hubungan novel ini dengan masyarakat Persoalan tanah dan hubungannya dengan

pembaca kita adalah kesamaan sejarah dalam pascakolonialisme dilihat dalam perspektif mengalami kolonialisme dan menjalani kajian budaya. Pascakolonial dilihat sebagai pembentukan identitas masyarakat kasus psikoanalisis, yaitu terapi membebaskan sesudahnya. Dari titik sentral ini, kita bisa dari pengalaman traumatik. Dalam hubungan mengambil satu kata kunci bersama antara antara kedua negara ini, terma pascakolonial Nigeria dan Indonesia, yaitu pembentukan digunakan untuk memobilisasi sentimen identitas masyarakat pascakolonial. kolonial. Persoalan tanah di kedua kawasan

bisa terjadi pada bentuk-bentuk yang mirip Tema yang juga sentral dalam karya itu adalah secara esensial, sedang bedanya adalah pada mengenai hubungan manusia dengan respon dan strategi penyelesaiannya. tanahnya. Tanah bagi suku-suku di daratan Termasuk juga faktor-faktor historis yang Afrika adalah sentral dalam perihal mereka spesifik dalam persoalan itu (historisitas dan melihat realitasnya. Tanah adalah segalanya. konteksnya). Fokus yang perlu: bagaimana dua Novel tersebut pada dasarnya negara ini merespon persoalan tanah, seperti menggambarkan bagaimana sang tokoh dalam konteks globalisasi, involusi pertanian, protagonis yang juga seorang pemuka suku, dan sebagainya. Dilihat pula bentuk-bentuk mengalami konflik yang sangat kuat karena strategi dalam masyarakat sebagai local terusir dari tanahnya.knowledge, melalui apa yang hidup sehari-hari

MENAFSIR TANAH dalam perubahan masyarakat. Respon itu bisa berbentuk respon struktural dan kultural.Tema utama yang diambil dalam BJ kali ini

adalah mengenai 'tanah'. Pertimbangan tema ini digagas melalui cara pandang dua kawasan sebagai kawasan rekanan untuk merespon persoalan yang sama. Langkah pertama adalah melihat Indonesia dan Nigeria sebagai dua kawasan terpisah yang mengadakan kerja sama untuk menafsir pesoalan yang sama. Langkah kedua adalah memposisikan kawasan

Pada Mei 2014, kami kembali mengitari garis khatulistiwa, terus melangkah menuju ke barat, meloncat dari benua Asia ke benua Afrika, ialah menyambangi dua negara yakni India dan Madagaskar dalam rentang waktu yang singkat. Lantas, perjalanan tersebut kami namakan sebagai perjalanan riset Yayasan Biennale Yogyakarta (YBY) guna persiapan Equator Symposium atau Simposium Khatulistiwa.

Simposium Khatulistiwa dicetuskan YBY sebagai wadah dialog orang-orang kreatif (tidak hanya seniman) yang negaranya berada dalam wilayah kerja Biennale Jogja, yakni di seputar khatulistiwa. Kegiatan yang akan dilaksanakan pada November 2014 ini diharapkan mampu menjadi media pertukaran pengetahuan, serta diseminasi isu antara negara-negara yang seringkali tidak menempatkan sektor kebudayaan sebagai kebijakan strategis. Menarik melihat bagaimana orang-orang kreatif ini mampu menemukan 'cara alternatif menjalani hidup' dalam menghadapi masa depan dunia.Simposium Khatulistiwa yang diselenggarakan di sela-sela perhelatan Biennale Jogja ini adalah 'cara' Yayasan Biennale Yogyakarta untuk

MENYAPA (BALIK) INDIA,MENENGOK

(WAJAH INDONESIA) MADAGASKAR

Catatan Perjalanan Riset Simposium KhatulistiwaFuji Riang Prastowo (Peneliti Yayasan Biennale Yogyakarta)

Suasana pasar di pinggiran Kota Antananarivo, Madagaskar

Page 25: Newsletter Edisi 6, Agustus 2014

24 25

didasari karena mendapat penghargaan Man yang berbeda itu sebagai 'yang lain', sebagai Booker Prize dan karena sudah diterjemahkan upaya untuk saling mengenal. Langkah ketiga dalam 50 bahasa, tapi setidaknya membuka adalah melihat identitas diri sendiri melalui mata pembaca Indonesia mengenai 'yang lain'. Pada BJ XIII kali ini titik tekan bagaimana Nigeria dilihat oleh seorang tokoh hubungan antar-kawasan adalah sastranya. Chinua Achebe dikenal dengan menempatkan Nigeria dan kawasan Afrika pemikiran kritisnya melihat kondisi masyarakat sebagai kawan untuk menafsir persoalan-Nigeria berhadapan dengan kolonialisme persoalan yang dialami kedua kawasan.Eropa. Novel “Segalanya Berantakan”

Pertanyaan utama yang hendak diajukan menggambarkan kebingungan sebuah suku dalam perhelatan ini adalah: “bagaimana dalam menghadapi datangnya invasi respon visual/spasial dari seniman/komunitas masyarakat kolonial. Struktur masyarakat yang seni terhadap persoalan tanah sebagai bagian selama ini mereka percayai tergoyahkan oleh dari masyarakat yang mengalami persoalan kooptasi kepercayaan yang baru dikenalnya, psikologis dari bangsa bekas negara jajahan? dan sistem masyarakat Eropa yang menyertai Dan “bagaimana seniman merespon kolonialisme. Di luar bahwa novel ini kemampuan masyarakat beradaptasi pada mendapat penghargaan internasional, persoalan tanah?”hubungan novel ini dengan masyarakat Persoalan tanah dan hubungannya dengan

pembaca kita adalah kesamaan sejarah dalam pascakolonialisme dilihat dalam perspektif mengalami kolonialisme dan menjalani kajian budaya. Pascakolonial dilihat sebagai pembentukan identitas masyarakat kasus psikoanalisis, yaitu terapi membebaskan sesudahnya. Dari titik sentral ini, kita bisa dari pengalaman traumatik. Dalam hubungan mengambil satu kata kunci bersama antara antara kedua negara ini, terma pascakolonial Nigeria dan Indonesia, yaitu pembentukan digunakan untuk memobilisasi sentimen identitas masyarakat pascakolonial. kolonial. Persoalan tanah di kedua kawasan

bisa terjadi pada bentuk-bentuk yang mirip Tema yang juga sentral dalam karya itu adalah secara esensial, sedang bedanya adalah pada mengenai hubungan manusia dengan respon dan strategi penyelesaiannya. tanahnya. Tanah bagi suku-suku di daratan Termasuk juga faktor-faktor historis yang Afrika adalah sentral dalam perihal mereka spesifik dalam persoalan itu (historisitas dan melihat realitasnya. Tanah adalah segalanya. konteksnya). Fokus yang perlu: bagaimana dua Novel tersebut pada dasarnya negara ini merespon persoalan tanah, seperti menggambarkan bagaimana sang tokoh dalam konteks globalisasi, involusi pertanian, protagonis yang juga seorang pemuka suku, dan sebagainya. Dilihat pula bentuk-bentuk mengalami konflik yang sangat kuat karena strategi dalam masyarakat sebagai local terusir dari tanahnya.knowledge, melalui apa yang hidup sehari-hari

MENAFSIR TANAH dalam perubahan masyarakat. Respon itu bisa berbentuk respon struktural dan kultural.Tema utama yang diambil dalam BJ kali ini

adalah mengenai 'tanah'. Pertimbangan tema ini digagas melalui cara pandang dua kawasan sebagai kawasan rekanan untuk merespon persoalan yang sama. Langkah pertama adalah melihat Indonesia dan Nigeria sebagai dua kawasan terpisah yang mengadakan kerja sama untuk menafsir pesoalan yang sama. Langkah kedua adalah memposisikan kawasan

Pada Mei 2014, kami kembali mengitari garis khatulistiwa, terus melangkah menuju ke barat, meloncat dari benua Asia ke benua Afrika, ialah menyambangi dua negara yakni India dan Madagaskar dalam rentang waktu yang singkat. Lantas, perjalanan tersebut kami namakan sebagai perjalanan riset Yayasan Biennale Yogyakarta (YBY) guna persiapan Equator Symposium atau Simposium Khatulistiwa.

Simposium Khatulistiwa dicetuskan YBY sebagai wadah dialog orang-orang kreatif (tidak hanya seniman) yang negaranya berada dalam wilayah kerja Biennale Jogja, yakni di seputar khatulistiwa. Kegiatan yang akan dilaksanakan pada November 2014 ini diharapkan mampu menjadi media pertukaran pengetahuan, serta diseminasi isu antara negara-negara yang seringkali tidak menempatkan sektor kebudayaan sebagai kebijakan strategis. Menarik melihat bagaimana orang-orang kreatif ini mampu menemukan 'cara alternatif menjalani hidup' dalam menghadapi masa depan dunia.Simposium Khatulistiwa yang diselenggarakan di sela-sela perhelatan Biennale Jogja ini adalah 'cara' Yayasan Biennale Yogyakarta untuk

MENYAPA (BALIK) INDIA,MENENGOK

(WAJAH INDONESIA) MADAGASKAR

Catatan Perjalanan Riset Simposium KhatulistiwaFuji Riang Prastowo (Peneliti Yayasan Biennale Yogyakarta)

Suasana pasar di pinggiran Kota Antananarivo, Madagaskar

Page 26: Newsletter Edisi 6, Agustus 2014

26 27

memberikan ruang yang lebih besar dan cair –dengan mengundang lebih banyak orang, di tengah eksposisi Biennale Jogja yang terbatas. Nah, melalui simposium ini, hubungan dengan negara mitra pada Biennale Jogja sebelumnya, seperti India dan kawasan Arab dapat terus dijaga keberlanjutannya.

Kunjungan 'berlabel' perjalanan riset ini diikuti oleh Yustina Neni (Ketua Yayasan Biennale Yogyakarta), Grace Samboh (Manajer Program Simposium Khatulistiwa), dan Fuji Riang Prastowo (Kepala Divisi Riset Yayasan Biennale Yogyakarta). Perjalanan ini turut didampingi pihak pemerintah, yakni Diah Tutuko Suryandaru (Kepala Taman Budaya Yogyakarta) dan Suharyanto (Kepala Seksi Seni Rupa Taman Budaya Yogyakarta). Proses penelitian di India memakan waktu yang lebih panjang, dari 18 hingga 29 Mei 2014, sedangkan Madagaskar pada 22-29 Mei 2014.

Kunjungan lapangan adalah wujud keyakinan kami bahwa mempelajari suatu peradaban serta permasalahan bangsa lain tak cukup hanya dengan membacanya lewat buku atau internet. Tapi dengan model 'konvensional' seperti mengoptimalkan panca indera dan besentuhan langsung dengan masyarakat adalah cara paling efektif untuk membangun hubungan dialogis yang lebih intim. Singkat kata, apa yang

kami paparkan dalam tulisan ini adalah memiliki insting yang tajam, menggantikan sekilas dari perjalanan riset yang kami fungsi telepon genggam yang mati suri akibat lakukan. Hanyalah sebuah reportase panca 'blunder'-nya kebijakan ketat India kepada orang indera, bukan laporan penelitian. Presentasi asing untuk mendapatkan registrasi nomor lokal. hasil riset ini sendiri telah dilakukan pada 2 Tentunya ini menyebabkan koordinasi menjadi Juli 2014 di Indonesian Visual Art Archive tersendat, diperparah pula dengan kebiasaan (IVAA). Sedangkan dokumen laporan riset seniman Bangalore yang tidak menjawab surel fenomenologis yang komprehensif dengan cepat. Selama proses riset, tim periset tersimpan di kantor YBY. (khususnya Grace Samboh) berhasil menemui

banyak orang dari beragam kalangan seperti Kenapa harus kembali mendatangi India? Suresh Kumar, Yashas Shetty, Jasmeen Patheja, Tentunya apa yang kami lakukan ini akan Ravindranath Gutta, Shuresh Jayaram, Christoph menimbulkan pertanyaan, karena YBY Bertrans, Maureen Gonsalves, Lawrence Liang, pernah menggandengnya pada Biennale Namita Malhota, Archana Prasad, Jacob Cherian, Jogja Seri Equator #1 tahun 2011 silam. Kanal Kar, Ayisha Abraham, Naveen Mahantesh, Selain alasan menjaga keberlanjutan, dan Anjana Kothamachu. Serta menemui kunjungan YBY ke India, dalam hal ini komunitas atau institusi seperti 1 Shanti Road spesifik ke Bangalore, dimaksudkan untuk Gallery and Residencies, Srishti School of Art mengundangnya pada simposium Design and Technology, Goethe Institute, Gallery khatulistiwa dan rencana program residensi SKE, Taj Residency, Alternative Lawyer Forum, seniman Yogyakarta di Bangalore. Peaking Duck, BAR 1, Jaaga, Artscience BLR,

Chitrakala Parishtah Art School, dan sebagainya.Riset yang dilakukan di Bangalore lebih bersifat 'listing' dengan pendekatan Kemudian, kami melanjutkan perjalanan ke snowball, dimana hasil riset bukanlah data- Madagaskar. Hal pertama yang terlintas dalam data akademis, melainkan riset dalam pikiran semua orang ketika mendengar kata definisi lain, yakni meneliti (mencari) orang- Madagaskar adalah “kartun”!, lengkap dengan orang kreatif Bangalore yang akan diundang imajinasi visual si Alex Singa dan kawanannya ke Simposium serta listing tempat guna yang berusaha kabur dari Central Park Zoo New residensi seniman Yogyakarta ke Bangalore. York untuk kembali pulang ke 'surga impian' Namun, YBY sudah berkomitmen sejak awal mereka yaitu tanah Afrika. untuk tidak menemui 'jaringan lama' –kolega pada Biennale Jogja Seri Equator #1, dari Setelah dua kali Biennale Jogja seri equator kawan lama diharapkan dapat memunculkan memilih negara yang cenderung berada di utara nama-nama baru untuk ditemui, sehingga garis khatulistiwa maka Madagaskar dipilih dan jaringannya lebih berkembang. Grace diundang sebagai peserta residensi dan Samboh yang tinggal lebih lama di simposium. Kunjungan ke Madagaskar dilakukan Bangalore, menjadi peneliti tunggal dengan oleh Yustina Neni dan Fuji Riang Prastowo pada tugas yang lebih spesifik untuk bertemu 23-29 Mei 2014. Selama proses riset, tim berada lebih banyak komunitas, lebih banyak dalam lingkaran koordinasi KBRI Antananarivo seniman, dan lebih banyak pelaku kreatif sehingga situasinya lebih formal. seantero Bangalore. Penelitian di Madagaskar dilakukan dalam jangka

waktu yang singkat. Jadwal kami terhitung Rupanya, periset YBY di Bangalore dituntut sangat padat dengan bertemu informan yang

Kiri atasGaleri Ske, Bangalore, India

Tengah Atas:Grace Samboh di studio las,

Srishti, Bangalore

Kanan atas:Pemandangan kota Bangalore,

India

Kiri bawah:Lapak handphone di pinggiran

Kota Antananarivo, Madagaskar

Tengah bawah:Pemandangan Kota Antananarivo,

Madagaskar

Kanan bawah:Tarian Selamat Datang,

Madagaskar

Page 27: Newsletter Edisi 6, Agustus 2014

26 27

memberikan ruang yang lebih besar dan cair –dengan mengundang lebih banyak orang, di tengah eksposisi Biennale Jogja yang terbatas. Nah, melalui simposium ini, hubungan dengan negara mitra pada Biennale Jogja sebelumnya, seperti India dan kawasan Arab dapat terus dijaga keberlanjutannya.

Kunjungan 'berlabel' perjalanan riset ini diikuti oleh Yustina Neni (Ketua Yayasan Biennale Yogyakarta), Grace Samboh (Manajer Program Simposium Khatulistiwa), dan Fuji Riang Prastowo (Kepala Divisi Riset Yayasan Biennale Yogyakarta). Perjalanan ini turut didampingi pihak pemerintah, yakni Diah Tutuko Suryandaru (Kepala Taman Budaya Yogyakarta) dan Suharyanto (Kepala Seksi Seni Rupa Taman Budaya Yogyakarta). Proses penelitian di India memakan waktu yang lebih panjang, dari 18 hingga 29 Mei 2014, sedangkan Madagaskar pada 22-29 Mei 2014.

Kunjungan lapangan adalah wujud keyakinan kami bahwa mempelajari suatu peradaban serta permasalahan bangsa lain tak cukup hanya dengan membacanya lewat buku atau internet. Tapi dengan model 'konvensional' seperti mengoptimalkan panca indera dan besentuhan langsung dengan masyarakat adalah cara paling efektif untuk membangun hubungan dialogis yang lebih intim. Singkat kata, apa yang

kami paparkan dalam tulisan ini adalah memiliki insting yang tajam, menggantikan sekilas dari perjalanan riset yang kami fungsi telepon genggam yang mati suri akibat lakukan. Hanyalah sebuah reportase panca 'blunder'-nya kebijakan ketat India kepada orang indera, bukan laporan penelitian. Presentasi asing untuk mendapatkan registrasi nomor lokal. hasil riset ini sendiri telah dilakukan pada 2 Tentunya ini menyebabkan koordinasi menjadi Juli 2014 di Indonesian Visual Art Archive tersendat, diperparah pula dengan kebiasaan (IVAA). Sedangkan dokumen laporan riset seniman Bangalore yang tidak menjawab surel fenomenologis yang komprehensif dengan cepat. Selama proses riset, tim periset tersimpan di kantor YBY. (khususnya Grace Samboh) berhasil menemui

banyak orang dari beragam kalangan seperti Kenapa harus kembali mendatangi India? Suresh Kumar, Yashas Shetty, Jasmeen Patheja, Tentunya apa yang kami lakukan ini akan Ravindranath Gutta, Shuresh Jayaram, Christoph menimbulkan pertanyaan, karena YBY Bertrans, Maureen Gonsalves, Lawrence Liang, pernah menggandengnya pada Biennale Namita Malhota, Archana Prasad, Jacob Cherian, Jogja Seri Equator #1 tahun 2011 silam. Kanal Kar, Ayisha Abraham, Naveen Mahantesh, Selain alasan menjaga keberlanjutan, dan Anjana Kothamachu. Serta menemui kunjungan YBY ke India, dalam hal ini komunitas atau institusi seperti 1 Shanti Road spesifik ke Bangalore, dimaksudkan untuk Gallery and Residencies, Srishti School of Art mengundangnya pada simposium Design and Technology, Goethe Institute, Gallery khatulistiwa dan rencana program residensi SKE, Taj Residency, Alternative Lawyer Forum, seniman Yogyakarta di Bangalore. Peaking Duck, BAR 1, Jaaga, Artscience BLR,

Chitrakala Parishtah Art School, dan sebagainya.Riset yang dilakukan di Bangalore lebih bersifat 'listing' dengan pendekatan Kemudian, kami melanjutkan perjalanan ke snowball, dimana hasil riset bukanlah data- Madagaskar. Hal pertama yang terlintas dalam data akademis, melainkan riset dalam pikiran semua orang ketika mendengar kata definisi lain, yakni meneliti (mencari) orang- Madagaskar adalah “kartun”!, lengkap dengan orang kreatif Bangalore yang akan diundang imajinasi visual si Alex Singa dan kawanannya ke Simposium serta listing tempat guna yang berusaha kabur dari Central Park Zoo New residensi seniman Yogyakarta ke Bangalore. York untuk kembali pulang ke 'surga impian' Namun, YBY sudah berkomitmen sejak awal mereka yaitu tanah Afrika. untuk tidak menemui 'jaringan lama' –kolega pada Biennale Jogja Seri Equator #1, dari Setelah dua kali Biennale Jogja seri equator kawan lama diharapkan dapat memunculkan memilih negara yang cenderung berada di utara nama-nama baru untuk ditemui, sehingga garis khatulistiwa maka Madagaskar dipilih dan jaringannya lebih berkembang. Grace diundang sebagai peserta residensi dan Samboh yang tinggal lebih lama di simposium. Kunjungan ke Madagaskar dilakukan Bangalore, menjadi peneliti tunggal dengan oleh Yustina Neni dan Fuji Riang Prastowo pada tugas yang lebih spesifik untuk bertemu 23-29 Mei 2014. Selama proses riset, tim berada lebih banyak komunitas, lebih banyak dalam lingkaran koordinasi KBRI Antananarivo seniman, dan lebih banyak pelaku kreatif sehingga situasinya lebih formal. seantero Bangalore. Penelitian di Madagaskar dilakukan dalam jangka

waktu yang singkat. Jadwal kami terhitung Rupanya, periset YBY di Bangalore dituntut sangat padat dengan bertemu informan yang

Kiri atasGaleri Ske, Bangalore, India

Tengah Atas:Grace Samboh di studio las,

Srishti, Bangalore

Kanan atas:Pemandangan kota Bangalore,

India

Kiri bawah:Lapak handphone di pinggiran

Kota Antananarivo, Madagaskar

Tengah bawah:Pemandangan Kota Antananarivo,

Madagaskar

Kanan bawah:Tarian Selamat Datang,

Madagaskar

Page 28: Newsletter Edisi 6, Agustus 2014

28 29

variatif dari kalangan anak muda hingga menteri kebudayaan. Beberapa orang atau kelompok yang berhasil kami temui selama di Madagaskar adalah I'sart Contemporary Art Antananarivo, Artist Residency Ambohimangakely, Romo Anton di Dodorosy, Mireille Mialy Rakotomalala (ex-Minister of Culture and Heritage, sekarang Presidente Comite National du Patrimoine), Vaoloanary (Minister of Culture and Heritage), Michel Rabariharivelo (Presiden Koalisi Arsitek di Madagaskar), serta menghadiri penandatanganan MoU antara Universitas Antananarivo dan Universitas Trisakti lengkap dengan jamuan makan malam resmi di Wisma KBRI bersama Prof. Emil Salim.

Afrika dalam bayangan populer kami adalah benua yang panas dan penuh hewan-hewan liar. Namun, setibanya di bandara Jomo Kenyatta di Nairobi menuju Madagaskar, sungguh di luar dugaan kami. Udara di Afrika dingin, kami salah kostum! Tidak sampai di situ, kami merasa tidak sedang di Afrika ketika melihat Madagaskar untuk pertama kalinya. Orang Malagasy begitu mirip dengan perawakan Indonesia, terlebih alam Madagaskar yang juga tidak jauh berbeda dengan Nusantara. Sudah banyak penelitian yang menyimpulkan bahwa leluhur orang Malagasy adalah penjelajah dari Nusantara sejak abad ke 7 M-13 M. Lebih lanjutnya, cerita tersebut terangkum dalam laporan riset kami. Memang, sudah menjadi pengetahuan umum orang Malagasy bahwa 'kita' adalah nenek moyang mereka.

Pada akhirnya, dengan terus menjaga dialog dengan negara mitra seperti India, serta mengembangkan dialog dengan rekanan baru tidak hanya akan berdampak positif bagi Yayasan Biennale Yogyakarta, tetapi juga pemerintah Yogyakarta dan komunitas pemuda kreatif di Yogyakarta. Uniknya, justru ide yang terbangun tidak diinisiasi oleh Nation to Nation (NtN), melainkan lebih spesifik lagi yakni City to City (CtC). Isunya tidak lagi hanya dalam tataran menyelenggarakan sebuah kegiatan bersama dengan klaim internasional, melainkan terus menjaga keberlanjutan hubungan dua negara yang dialogis dan intens.

Wok The Rock (Lahir di Madiun, 1975). Lulus dari Program Studi Disain Komunikasi Visual, Institut Seni Indonesia, Yogyakarta. Wok The Rock adalah seniman lintas disiplin yang menghasilkan karya seni berbasis kolaborasi yang melihat gabungan penciptaan ruang, penyelidikan spekulatif dan eksperimentasi medium sebagai praktik artistiknya. Penciptaan ruang dan platform kerja juga berlanjut pada aktivitasnya di berbagai komunitas seni dan budaya. Saat ini ia menjabat sebagai direktur Ruang MES 56, sebuah artist-run-space fotografi kontemporer. Ia tinggal dan bekerja di Yogyakarta

Wok The RockKurator asal Madiun

Rain RosidiDirektur Artistik asal Muntilan

Kiri atas:Stencil art (detil) karya Tahina Rakoto Arivony, seniman Madagaskar

Kanan atas:Studio pribadi Tahina Rakoto Arivony

Kanan dan kiri bawah:Calon studio Is’art Galeri, Antananarivo, Madagaskar

ProfilDirektur ArtistikDan KuratorBiennale JogjaXIII 2015

Rain Rosidi, (Lahir di Magelang, 1975) adalah kurator seni rupa

dan dosen di Fakultas Seni Rupa Institut Seni Indonesia. Bekerja

sebagai pengelola dan kurator di ruang alternatif Gelaran

Budaya (2000). Tahun 2003 mengikuti program residensi

Manajemen Seni di Queensland Art Gallery, Brisbane, dan di

Asian Australian Art Centre, Sydney. Kerja kuratorial antara lain:

Neo Iconoclasts, Magelang (2014), Future of Us, Yogyakarta

(2012), Jogja Agro Pop, Yogyakarta (2011), Indonesian

Disjunction, Bali (2009), Utopia Negativa, Magelang (2008),

Jawa Baru, Jakarta (2008).

Page 29: Newsletter Edisi 6, Agustus 2014

28 29

variatif dari kalangan anak muda hingga menteri kebudayaan. Beberapa orang atau kelompok yang berhasil kami temui selama di Madagaskar adalah I'sart Contemporary Art Antananarivo, Artist Residency Ambohimangakely, Romo Anton di Dodorosy, Mireille Mialy Rakotomalala (ex-Minister of Culture and Heritage, sekarang Presidente Comite National du Patrimoine), Vaoloanary (Minister of Culture and Heritage), Michel Rabariharivelo (Presiden Koalisi Arsitek di Madagaskar), serta menghadiri penandatanganan MoU antara Universitas Antananarivo dan Universitas Trisakti lengkap dengan jamuan makan malam resmi di Wisma KBRI bersama Prof. Emil Salim.

Afrika dalam bayangan populer kami adalah benua yang panas dan penuh hewan-hewan liar. Namun, setibanya di bandara Jomo Kenyatta di Nairobi menuju Madagaskar, sungguh di luar dugaan kami. Udara di Afrika dingin, kami salah kostum! Tidak sampai di situ, kami merasa tidak sedang di Afrika ketika melihat Madagaskar untuk pertama kalinya. Orang Malagasy begitu mirip dengan perawakan Indonesia, terlebih alam Madagaskar yang juga tidak jauh berbeda dengan Nusantara. Sudah banyak penelitian yang menyimpulkan bahwa leluhur orang Malagasy adalah penjelajah dari Nusantara sejak abad ke 7 M-13 M. Lebih lanjutnya, cerita tersebut terangkum dalam laporan riset kami. Memang, sudah menjadi pengetahuan umum orang Malagasy bahwa 'kita' adalah nenek moyang mereka.

Pada akhirnya, dengan terus menjaga dialog dengan negara mitra seperti India, serta mengembangkan dialog dengan rekanan baru tidak hanya akan berdampak positif bagi Yayasan Biennale Yogyakarta, tetapi juga pemerintah Yogyakarta dan komunitas pemuda kreatif di Yogyakarta. Uniknya, justru ide yang terbangun tidak diinisiasi oleh Nation to Nation (NtN), melainkan lebih spesifik lagi yakni City to City (CtC). Isunya tidak lagi hanya dalam tataran menyelenggarakan sebuah kegiatan bersama dengan klaim internasional, melainkan terus menjaga keberlanjutan hubungan dua negara yang dialogis dan intens.

Wok The Rock (Lahir di Madiun, 1975). Lulus dari Program Studi Disain Komunikasi Visual, Institut Seni Indonesia, Yogyakarta. Wok The Rock adalah seniman lintas disiplin yang menghasilkan karya seni berbasis kolaborasi yang melihat gabungan penciptaan ruang, penyelidikan spekulatif dan eksperimentasi medium sebagai praktik artistiknya. Penciptaan ruang dan platform kerja juga berlanjut pada aktivitasnya di berbagai komunitas seni dan budaya. Saat ini ia menjabat sebagai direktur Ruang MES 56, sebuah artist-run-space fotografi kontemporer. Ia tinggal dan bekerja di Yogyakarta

Wok The RockKurator asal Madiun

Rain RosidiDirektur Artistik asal Muntilan

Kiri atas:Stencil art (detil) karya Tahina Rakoto Arivony, seniman Madagaskar

Kanan atas:Studio pribadi Tahina Rakoto Arivony

Kanan dan kiri bawah:Calon studio Is’art Galeri, Antananarivo, Madagaskar

ProfilDirektur ArtistikDan KuratorBiennale JogjaXIII 2015

Rain Rosidi, (Lahir di Magelang, 1975) adalah kurator seni rupa

dan dosen di Fakultas Seni Rupa Institut Seni Indonesia. Bekerja

sebagai pengelola dan kurator di ruang alternatif Gelaran

Budaya (2000). Tahun 2003 mengikuti program residensi

Manajemen Seni di Queensland Art Gallery, Brisbane, dan di

Asian Australian Art Centre, Sydney. Kerja kuratorial antara lain:

Neo Iconoclasts, Magelang (2014), Future of Us, Yogyakarta

(2012), Jogja Agro Pop, Yogyakarta (2011), Indonesian

Disjunction, Bali (2009), Utopia Negativa, Magelang (2008),

Jawa Baru, Jakarta (2008).

Page 30: Newsletter Edisi 6, Agustus 2014

berangkat untuk mengejawantahkan berbagai keragaman budaya masyarakat global dewasa ini. 'Khatulistiwa' adalah sarana bersama untuk 'membaca kembali' dunia.

Perjumpaan melalui kegiatan seni rupa dalam BJ Khatulistiwa akan diselenggarakan dengan semangat membangun jejaring yang berkelanjutan, sehingga dialog, kerjasama, dan kemitraan dapat melahirkan kerjasama-kerjasama baru yang lebih luas dan kontinyu, di antara para praktisi di kawasan Khatulistiwa. Dengan demikian BJ dapat memberikan kontribusi pada terbentuknya topografi medan seni rupa global yang dirumuskan secara baru.

BIENNALE JOGJASelama 22 tahun, terhitung sejak 1988-2010, bekerja dengan satu, atau lebih, negara, atau Biennale Jogja (BJ) telah menempati posisi kawasan, sebagai 'rekanan', dengan sangat penting untuk mengukur kemajuan seni mengundang seniman-seniman dari negara-rupa Indonesia. Maka kini sudah tiba saatnya negara yang berada di wilayah ini untuk untuk menjadikan BJ sebagai rangkuman dari bekerja sama, berkarya, berpameran, bertemu, seluruh potensi kreativitas budaya dalam dan berdialog dengan seniman-seniman, bidang seni rupa Indonesia, Asia maupun kelompok-kelompok, organisasi-organisasi seni dunia. dan budaya Indonesia di Yogyakarta.

Biennale Jogja seri Equator : 2011 – 2021 Perjalanan mengelilingi planet Bumi di sekitar Khatulistiwa ini dimulai dengan berjalan ke

Pada 2010 Yayasan Biennale Yogyakarta (YBY) arah Barat. Biennale Jogja tidak mengawali merancang dan meluncurkan proyek BJ perjalanan ini ke arah Timur karena menyadari sebagai rangkaian pameran dengan agenda keterbatasan pengetahuan tentang Pasifik dan jangka panjang yang akan berlangsung sampai bahkan Nusantara itu sendiri. Selain itu dengan tahun 2022 mendatang. YBY bertekad Yayasan Biennale Yogyakarta yang baru berdiri menjadikan Yogyakarta dan Indonesia secara pada Agustus 2010 memiliki tenggat waktu lebih luas sebagai lokasi yang harus untuk melaksanakan Biennale Jogja XI pada diperhitungkan dalam konstelasi seni rupa tahun 2011. internasional. Di tengah dinamika medan seni rupa global yang sangat dinamis — seolah-olah Wilayah-wilayah atau negara-negara di sekitar inklusif dan egaliter — hirarki antara pusat dan Khatulistiwa yang direncanakan akan bekerja pinggiran sebetulnya masih sangat nyata. Oleh sama dengan BJ sampai dengan tahun 2021 karena itu pula, kebutuhan-kebutuhan untuk adalah: India (Biennale Jogja XI 2011), Negara-melakukan intervensi menjadi sangat negara Arab (Biennale Jogja XII 2013), Negara-mendesak. negara di benua Afrika (Biennale Jogja XIII

2015), Negara-negara di Amerika Latin YBY mengangankan suatu sarana (platform) (Biennale Jogja XIV 2017), Negara-negara di bersama yang mampu menyanggah, menyela Kepulauan Pasifik dan Australia, termasuk atau sekurang-kurangnya memprovokasi Indonesia sebagai Nusantara (Biennale Jogja dominasi sang pusat, dan memunculkan XV 2019) – karena kekhasan cakupan wilayah alternatif melalui keragaman praktik seni rupa ini, BJ XV dapat disebut sebagai 'Biennale Laut' kontemporer dari perspektif Indonesia. (Ocean Biennale)–, Negara-negara di Asia Dalam waktu 10 tahun ke depan, yang dimulai

Tenggara (Biennale Jogja XVI 2021), dan pada tahun 2011, YBY akan menyelenggarakan

ditutup dengan KONFERENSI KHATULISTIWA BJ sebagai rangkaian pameran yang berangkat

pada tahun 2022.dari satu tema besar, yaitu EQUATOR (KHATULISTIWA). Rangkaian biennale ini akan Mengapa 'Khatulistiwa'? mematok batasan geografis tertentu di planet

Konsep 'Khatulistiwa' tidak saja diangankan bumi sebagai wilayah kerjanya, yakni kawasan untuk menjadi semacam bingkai yang yang terentang di antara 23.27 LU dan 23.27 mewadahi kesamaan, tapi juga sebagai titik LS. Dalam setiap penyelenggaraannya BJ akan

30 31

Page 31: Newsletter Edisi 6, Agustus 2014

berangkat untuk mengejawantahkan berbagai keragaman budaya masyarakat global dewasa ini. 'Khatulistiwa' adalah sarana bersama untuk 'membaca kembali' dunia.

Perjumpaan melalui kegiatan seni rupa dalam BJ Khatulistiwa akan diselenggarakan dengan semangat membangun jejaring yang berkelanjutan, sehingga dialog, kerjasama, dan kemitraan dapat melahirkan kerjasama-kerjasama baru yang lebih luas dan kontinyu, di antara para praktisi di kawasan Khatulistiwa. Dengan demikian BJ dapat memberikan kontribusi pada terbentuknya topografi medan seni rupa global yang dirumuskan secara baru.

BIENNALE JOGJASelama 22 tahun, terhitung sejak 1988-2010, bekerja dengan satu, atau lebih, negara, atau Biennale Jogja (BJ) telah menempati posisi kawasan, sebagai 'rekanan', dengan sangat penting untuk mengukur kemajuan seni mengundang seniman-seniman dari negara-rupa Indonesia. Maka kini sudah tiba saatnya negara yang berada di wilayah ini untuk untuk menjadikan BJ sebagai rangkuman dari bekerja sama, berkarya, berpameran, bertemu, seluruh potensi kreativitas budaya dalam dan berdialog dengan seniman-seniman, bidang seni rupa Indonesia, Asia maupun kelompok-kelompok, organisasi-organisasi seni dunia. dan budaya Indonesia di Yogyakarta.

Biennale Jogja seri Equator : 2011 – 2021 Perjalanan mengelilingi planet Bumi di sekitar Khatulistiwa ini dimulai dengan berjalan ke

Pada 2010 Yayasan Biennale Yogyakarta (YBY) arah Barat. Biennale Jogja tidak mengawali merancang dan meluncurkan proyek BJ perjalanan ini ke arah Timur karena menyadari sebagai rangkaian pameran dengan agenda keterbatasan pengetahuan tentang Pasifik dan jangka panjang yang akan berlangsung sampai bahkan Nusantara itu sendiri. Selain itu dengan tahun 2022 mendatang. YBY bertekad Yayasan Biennale Yogyakarta yang baru berdiri menjadikan Yogyakarta dan Indonesia secara pada Agustus 2010 memiliki tenggat waktu lebih luas sebagai lokasi yang harus untuk melaksanakan Biennale Jogja XI pada diperhitungkan dalam konstelasi seni rupa tahun 2011. internasional. Di tengah dinamika medan seni rupa global yang sangat dinamis — seolah-olah Wilayah-wilayah atau negara-negara di sekitar inklusif dan egaliter — hirarki antara pusat dan Khatulistiwa yang direncanakan akan bekerja pinggiran sebetulnya masih sangat nyata. Oleh sama dengan BJ sampai dengan tahun 2021 karena itu pula, kebutuhan-kebutuhan untuk adalah: India (Biennale Jogja XI 2011), Negara-melakukan intervensi menjadi sangat negara Arab (Biennale Jogja XII 2013), Negara-mendesak. negara di benua Afrika (Biennale Jogja XIII

2015), Negara-negara di Amerika Latin YBY mengangankan suatu sarana (platform) (Biennale Jogja XIV 2017), Negara-negara di bersama yang mampu menyanggah, menyela Kepulauan Pasifik dan Australia, termasuk atau sekurang-kurangnya memprovokasi Indonesia sebagai Nusantara (Biennale Jogja dominasi sang pusat, dan memunculkan XV 2019) – karena kekhasan cakupan wilayah alternatif melalui keragaman praktik seni rupa ini, BJ XV dapat disebut sebagai 'Biennale Laut' kontemporer dari perspektif Indonesia. (Ocean Biennale)–, Negara-negara di Asia Dalam waktu 10 tahun ke depan, yang dimulai

Tenggara (Biennale Jogja XVI 2021), dan pada tahun 2011, YBY akan menyelenggarakan

ditutup dengan KONFERENSI KHATULISTIWA BJ sebagai rangkaian pameran yang berangkat

pada tahun 2022.dari satu tema besar, yaitu EQUATOR (KHATULISTIWA). Rangkaian biennale ini akan Mengapa 'Khatulistiwa'? mematok batasan geografis tertentu di planet

Konsep 'Khatulistiwa' tidak saja diangankan bumi sebagai wilayah kerjanya, yakni kawasan untuk menjadi semacam bingkai yang yang terentang di antara 23.27 LU dan 23.27 mewadahi kesamaan, tapi juga sebagai titik LS. Dalam setiap penyelenggaraannya BJ akan

30 31

Page 32: Newsletter Edisi 6, Agustus 2014

YOGYAKARTA

YAYASAN

PemerintahDaerah Istimewa Yogyakarta

Dinas Kebudayaan