dramakala 4

10
drama kala media komunikasi dan informasi teater SESUDAH PERTUNJUKAN Cermin yang Retak Masyarakat Kaum Perkotaan KHASANAH Sejumlah Festival WACANA Festival Teater MATAKALA Festival : Seperistiwa Pengala- man Estetik 2 4 5 8 FestivaL “Kualitas dan segala permasalahannya”

Upload: lspr-jakarta

Post on 26-Mar-2016

267 views

Category:

Documents


20 download

DESCRIPTION

Dramakala 4

TRANSCRIPT

Page 1: Dramakala 4

drama kalamedia komunikasi dan informasi teater

SeSudah PertunjukanCermin yang retak Masyarakat kaum Perkotaan

khaSanah

Sejumlah Festival

WaCana

Festival teater

MatakalaFestival : Seperistiwa Pengala-man estetik

2458

FestivaL“Kualitas dan segala permasalahannya”

Page 2: Dramakala 4

2 edisi IV/agustus 2011 kala MeMBaCa dramakala

drama kalamedia komunikasi dan informasi teater

Sebuah festival, sejatinya menampakan suasana gembira, ramai dan penuh kejutan kreatif. Sebuah festival kerap dinantikan oleh para masyarakatnya, entah itu penikmatnya, peserta lakunya, pengamat serta para pendukung lainnya. Sebagai sebuah ruang bertemu, berdiskusi dan unjuk kemampuan, festival adalah sebuah wadah yang tepat dan (mestinya) menyenangkan. Festival di banyak negara telah menjadi agenda rutin bagi pertemuan lintas bangsa, suku, budaya dan agama. Bagi negara-negara yang memahami betul arti penting budaya bagi kehidupan, telah lama menjadikan festival sebagai agenda pariwisata bahkan politik. Pemahaman mereka akan arti penting budaya tersebut dibuktikan dengan memberikan kontribusi dalam hal fasilitas, dana, perizinan dan lain sebagainya yang mana memang merupakan bagian dari kebijakan dan tanggung jawab pemerintah. KitatahusebuahpenghargaanbagiinsanperfilmanHollywoodyangbernamapialaOscar,sematabukanlah urusan artistik dan estetik saja, tetapi juga merupakan sarana dan media “politik” kebudayaan bagi Amerika.Semangatyanglebihkurangsamabisakitacermatidalamfestivallainsejenisnya,ataujugafestivallain tak sejenis, semisal festival bunga di Pasadena, festival bir di Berlin, festival layang-layang antar negara, dan “Internasional Poetry Festival” (penyelenggaraannya bergantian antar negara, pada tahun 2006 diada-kan di Indonesia, tepatnya Palembang) dlsb. Di Indonesia kita juga punya banyak agenda festival. “Festival Kesenian Jogjakarta”, “Festival Kesenian Bali”, “Festival Gamelan”, “Festival Film Indonesia”, dan “Festival TeaterJakarta”(FTJ)untukmenyebutbeberapaeventfestivalyangcukupbergengsidanutamanyatetaprutin diberlangsungkan sesampai kini. SepanjangJuli,diJakartaadabanyakeventfestival teaterdiselenggarakan, tercatatada“Festi-val Monolog di Ruang Publik” yang diadakan oleh Federasi Teater Indonesia, “Festival Teater SLTA” yang penyelenggaraannyadilakukansecarabergantianantarsekolah,TheatreFestivalLSPR(LondonSchoolofPublicRelations)sertaFTJtingkatwilayahyangdiadakansecarasimultanolehmasing-masingikatanteateryangadadilimawilayahDKIJakarta,untukkelakbertemudalambabakfinaltingkatprovinsi.FTJinitercatatsebagai sebuah festival teater terlama di Indonesia (boleh jadi juga di dunia) yang terus diadakan setiap ta-hun,sejaktahun1973hinggakini.dramakalamerasabulanJulimenjadisemacambulanfestivalteater,ber-sebab itu, liputan berita utama edisi keempat ini menurunkan tema “Festival Teater, Kualitas dan Permasala-hannya”.SelainitukamijugamenurunkantulisanHalimHDuntukrubrikKhasanahdanuntukWacanakaliiniditulisolehPutuWijaya,salahseorangtokohteaterIndonesiayangmasihadadantetapmenghadirdengankarya-karya panggungnya yang meneror itu. Semogaapayangkamipersembahkaninibisaturutmeramaikanduniateateryangkitacintaiini. Redaksi.

WACANA dramakala

Dewan Eksekutif IDEAL

Pembina : Prita Kemal Gani, MBA, MCIPR, APRPenasihat : Arswendo AtmowilotoDirektur Internal : Chrisdina WempiDirektur Eksternal : Rafael JolongbayanGeneral Manager : Renata Tirta KurniawanKoordinator :MauliaRoriRarasati

Dewan Redaksi

Pimpinan Redaksi : Harris Priadie BahWakil Pimpinan Redaksi : Ahmad Olie SopanReporter : Dediesputra Siregar Dendi Madiya Irwan Senjaya EviAgustianEditor: : Malhamang ZamzamLayout : Tim dramakala

Alamat redaksi:STIKOMTheLondonSchoolofPublicRelations-Jakarta,KomplekPerkantoranSudirman Park, Jl. K.H. Mas Mansyur Kav.35, Jakarta Pusat 10220.

Sampul Depan : “War Brides” & “Ghost”Grup :PesertaLSPRTheaterFestival2011Fotografer :LSPRFotografi

Festival TeaterKegiatanfestivalmemangharustetapadasebagaipuncakdarikegiatantahunan.Diamenjadiupacarabersamasemuagrupdalammenyemarakkankotaatauwilayahden-gan teater. Tetapi kehidupan yang sebenarnya, yang nyata adalah produksi-produksi

rutin, ketika teater berjuang untuk tetap hidup segar sebagai komunitas serta memi-liki penonton. Inilah bagian yang masih sangat sulit dalam perkembangan kelompok

teater di Indonesia.

Sebuah festival menjadi menarik, karena di situ ada kompetisi yang kemudian melahirkan pemenang. Dari keme-nangan didapatkan hadiah, nama serta jalan menuju ke sasa-ran lanjut. Dalam lakon wayang, hikayat atau cerita-ceritarakyat, sayembara sudah lama dikenal sebagai daya tarik un-tukmengumpulkanperhatian.Orangpenasaran ingin tahusiapa nanti keluar sebagai jagonya? Dalam kehidupan teater di Indonesia, festival ada-lah semacam alasan pembenaran kehadiran teater. Teateryangsemuladianggapsebagaihanya terkaitdenganupac-ara, pada beberapa tradisi, atau hanya hiburan tok, pada sat-uan masyarakat lain, menjadi penting karena adanya aroma kompetisi yang terkait dengan gengsi. Ini sebuah strategi yang pintar untuk menghidupkan teater. Bahwa pertarungan itu kemudian berkiblat ke Ja-karta, itu mesti diterima sebagai sebuah kenyataan. Jakarta-lah saat ini kota yang paling terkemuka, paling terbangun, meskipun juga boleh juga dikutuk yang termasuk paling sem-rawut dan paling kisruh. Dengan menumpuknya segala yang terbaikdipusatrepublikini,Jakartamenjadigudang.Wajarkalau untuk sementara menjadi tujuan. Para budayawan, seniman, teaterawan terkemuka, berkumpul di Jakarta. AlmarhumWS Rendra yang semulabertahan di Yogya dengan citra daerah dan alamnya, ke-mudian membawa Bengkel Teaternya ke Jakarta. Gedung pertunjukan, fasilitas terbaik untuk teater (meskipun belum sempurna baik) ada di Jakarta. Dengan kemenangan di da-lam festival jalan ke Jakarta seakan lebih mudah. Meski pun pikiran seperti itu tidak betul. Yang menarik di dalam setiap festival adalah adan-ya pengumpulan tenaga yang lebih intensif, lebih total dari prosesproduksi rutinyangnon festival.Bagus saja takcu-kup.Orangbersainguntukmenang.Berbagaisiasatditem-puh.Adausahauntukpencariandanpenggaliankreativitas.Takjarangmunculhal-halbarudidalamfestival,karenaener-ji yang mendorong festival memang seperti berlipatganda. Tetapi di samping keuntungannya, festival-festival juga membawa kerugian. Kadang kemenangan menjadi tu-

juan utama. Mental pendukung teater bisa berubah. Bukan teater yang dihidupkan tapi dirinya. Asal bisa menang, tak peduli bagus. Semangat berlipatganda karena mau menang, belumtentubisamunculbilaadaproduksirutin.Kehidupankelompokbisacacat.Teater-teateryanghanyahidupwaktufestival, tidak akan mampu hidup tanpa ada kompetisi. Ka-lau pun ada kompetisi, tapi kalau dia hanya kalah melulu, dia akan segera membubarkan diri dan membentuk sesuatu yang baru. Kegiatan festival memang harus tetap ada sebagai puncakdarikegiatantahunan.Diamenjadiupacarabersamasemua grup dalam menyemarakkan kota atau wilayah den-gan teater. Tetapi kehidupan yang sebenarnya, yang nyata adalah produksi-produksi rutin, ketika teater berjuang untuk tetap hidup segar sebagai komunitas serta memiliki penon-ton. Inilah bagian yang masih sangat sulit dalam perkemban-gan kelompok teater di Indonesia. Sebab hampir di semua kelompok, anggotanya hanya mau main. Jarang ada yang masuk kelompok teater untuk menjadi khusus awak pentas atau menata menejemen. Kosongnya penulisan kritik teater, menyebabkan kehidupan teater di Indonesia agak sulit. Beberapa resensi yang ditulis di koran dan majalah tak menunjukkan benar-be-naradapengamatanyangcermatdariseorangkritikusyangmemahami teater. Kritik tidak saja memberikan informasi, apresiasi, perenungan, analisa serta penilain pada pemen-tasan juga menggambarkan peta teater yang sedang bergu-lir. Tanpa kritik orang teater tak akan punya sparring partner dalam berhadapan dengan masyarakat penonton. Sebagai akibatnya, orang teater sering terpaksa menulis tentang dirinya sendiri. Menulis untuk teman-te-mannya. Yang kemudian terjadi adalah saling puji-memuji ataucela-mencela.Tulisanteateryangadadimediamassasekarang, tak selamanyabisadipercaya sebagai gambaranapa sebenarnya yang sedang berlangsung. Kegiatan teater yang didukung media, akan lantang suaranya, dikenal luas, kendati sebenarnya tak terlalu penting. Sebaliknya yang tak punya media, apalagi dimusuhi oleh yang punya media, akan

dikubur hidup-hidup, apa pun yang dilakukannya akan dipan-dang dengan mata tertutup. Belakangan ini seni pertunjukan mulai dibanjiri oleh pertunjukan multi media dengan biaya yang tinggi. Yang mencuat adalah teknologi, kemewahan yang membuatpenonton tercengang dan kepincut. Esensi teater sebagaisebuah peristiwa spiritual yang memperkaya batin penon-ton, untuk sementara bergulir menjadi hiburan teknologi. Ini hal yang wajar, karena teknologi bukanlah musuh. Namun teknologi toh pada saatnya akan membawa kebosanan. Teater bukan hanya hiburan mata, tetapi juga tontonan mak-na yang membawa penonton pada pengembaraan jiwa yang membebaskannya dari pandangan-pandangan lama yang su-dah kedaluwarsa, sesat. Pada waktunya seni akting, teater bertutur, realisme, akankembalidicaridi sampingeksperi-mentasi, langkah-langkah besar dan eksplorasi teknologi. Masuknya teater ke dalam kurikulum sekolah ada-lah sebuah tindakan yang penting. Tetapi membawa kon-sekuensi berat. Teater tidak bisa lagi dibelajarkan dengan carayanglama,sehinggatujuannyahanyasebagaiseniper-tunjukan yang menjadikan seseorang seniman panggung. Teater adalah sebuah laboratorium yang mengajak manusia menemukan dirinya, menegaskan karakternya serta mem-belajarkannya hidup di tengah masyarakat. Teater berguna buat setiap orang, apa pun profesinya. Pemimpin, dokter, guru, politikus, salesman, anggota masyarakat biasa, dlsb, memerlukan ketrampilan berhadapan dengan manusia lain di dalam masyarakat. Mereka dapat mempelajarinya dari teater. Teater membelajarkan bagaimana : menghormati, mendengar, menyimak orang lain di samping menahan emo-si, mengekspresikan sesuatu dengan terkendali, sadar pada momentum dan tempo. Teater membebaskan manusia dari demam panggung dan beberapa tekanan jiwa, sehingga ser-ing dipakai sebagai therapy bagi yang mentalnya tergang-gu.. Membuat festival teater, sebenarnya mem-buat sebuah upacara pembelajaran keseimbangan emosimasyarakat.***

Oleh :

Putu Wijaya

Page 3: Dramakala 4

edisi IV/agustus 2011 BerIta utaMa dramakala 3

Bulan festival

Bulan Juli merupakan bulan yang ditunggu-tunggu oleh para pekerja seni - teater khususnya - bersebab pada bulan inilah ada banyak festival teater diberlang-sungkanbaikdalamformatacaramaupunpada penamaan tajuknya. Dalam wawan-caradengandramakala,JoseRizalManua,anggota komite teater Dewan Kesenian Ja-karta (DKJ) menerangkan bahwa pemilihan bulan Juli sebagai waktu penyelenggaraan festival bukanlah suatu yang kebetulan tetapi sengaja dipilih bersebab bulan Juli itu adalah waktu liburan sekolah, menurutnya hal ini penting untuk mengisi hari libur mer-eka dengan kegiatan positif, teater adalah salah satunya. Dia juga menjelaskan bahwa penyelenggaraan festival di bulan Juli bu-kan hanya dilakukan di Indonesia saja tapi juga di seluruh dunia. Tercatat oleh dramakala dalambulan Juli ini ada beberapa peristiwa teater yang berlangsungkan dengan tajuk “Fes-

tival” diantaranya ada “Festival Mono-log di Ruang Publik (ke 4)” yang diada-kan oleh Federasi Teater Indonesia, “Festival Teater SLTA (ke 21)”, “The-atre Festival LSPR” (London School ofPublic Relations),dan “Festival Teater Jakarta (FTJ) Ting-kat wilayah yang dis-

elenggarakan oleh masing-masing ikatan teater yang ada di 5 wilayah DKI Jakarta, antara lain Asosiasi Teater Jakarta Pusat (Atap ) untuk FTJ tingkat wilayah kota ad-ministrasi Jakarta Pusat, Ikatan Teater Ja-karta Timur (Ikatamur) untuk FTJ tingkat wilayah kota administrasi Jakarta Timur, Ikatan Drama Jakarta Barat (Indraja) untuk FTJ tingkat wilayah kota administrasi Jakar-ta Barat, Ikatan Teater Jakarta Utara (Itera) untuk FTJ tingkat wilayah kota administrasi Jakarta Utara. Berbeda dengan 4 wilayah lainnya, untuk penyelenggaraan FTJ ting-kat wilayah kota administrasi JakartaSela-tan dilakukan melalui mekanisme tender, namun pada pelaksanaannya tetap beker-jasamadenganKomunitasTeaterWilayahJakarta Selatan.

Kualitas Festival dari tahun ke tahun Pada awalnya festival dibuat lebih hanya sebagai sebuah pesta kegembiraan bersama, tanpa semangat kompetisi, antar sesama peserta yang tampil dan publik penikmatnya, walaupun tentu saja semua peserta tetap berupaya tampil maksimal.Namun pada p e r k e m -bangannya k e m u d i a n b e r u b a h menjadi ber-sifat kom-petitif. Pe-serta yang tampil mulai dinilai kuali-tas penampi-lannya oleh

para juri yang dipilih oleh panitia untuk ke-mudian dinobatkan sebagai peserta terbaik yang berhak mendapatkan hadiah tertentu. Dari sudut pandang penyelenggaraannya, tahun ini para penyelenggara Festival Teat-er Jakarta tingkat wilayah, Festival Teater SLTA dan Festival Monolog di Ruang Pub-lik menunjukan naik turunnya kualitas baik secarapenyelenggaraanmaupunkuantitas

dan kualitas dari peserta. Jose Rizal Manua dalam pandangannya sebagai anggota DKJ melihat kualitas peserta menurun disebab-kan banyak peserta yang tidak melakukan apresiasi untuk meningkatkan kualitas pertunjukannya, memelajari hal-hal yang berkaitan dengan segala kualitas festival. Lebih lanjut Jose Rizal juga mengatakan “grup-grup sekarang tidak mengapresiasi grup-grup senior yang sudah ada. Kegigi-han dan semangat belajar grup-grup teater dahulu sangat tinggi, sekarang rendah. Ada pergeseran zaman, fastfood, dan kes-eniaannya pun fastfood, instan, ingincepatpen-tas, ingin cepatbisa” katanya dengan nada se-rius. Secarakualitas dalam p e n y e l e n g g a -raan FTJ tingkat wilayah Jakarta pusat, R. Mono Wangsa (ketuaAtap) memaparkan “Kalau misalkan, ada satu ruang di mana para pekerja itu bisa mengasahkemampuannya,sayapikirfluk-tuaktifnya kualitas ini bisa berubah men-jadi skala kemajuan yang pesat. Karena hampir di setiap tahun, ada saja satu-dua grup yang menunjukkan kemajuan yang luar biasa. Pencapaian-pencapaian artistikyang luar biasa walaupun persoalan-perso-alan elementer klasik yang lain masih juga membayangi.Kalauinidicermatidanditin-daklanjuti pekerja teater itu, aku pikir ke-hidupan teater di Jakarta akan luar biasa”. Pada kesempatan lain ketika diwawan-cari oleh dramakala, perwakilan Ikatamur(Adhi, Choki dan Zubier) mengungkapkan bahwa fakta yang terjadi pada perkem-bangan Festival Teater Jakarta di Jakarta Timur adalah kecenderungan bertambah-nya peserta pada tiap tahunnya, walaupun perkembangan secara kuantitas ini tidakselalu dibarengi oleh penambahan kualitas para peserta festival.

Bagaimana dengan kualitas peserta Festi-valTeaterSLTA?ManahanHutaurukselakusteering commite mengatakan“Capaiankualitas pertunjukan teater pada Festi-val Teater SLTA dapat dilihat dari kebera-nian mereka untuk ikut juga dalam FTJ. Bukti capaian itu adapadagrup FTJ yangberasal dari Festival Teater SLTA, seperti Studi Teater 24 (Eks Teater SLTA), Teater

Rajut dari Jakarta Utara, Teater Enhakamdlsb. Jadi dapat disimpulkan : dimulai dari teater SLTA, lalu mereka merubah pola di-siplin berteater seperti teater umum, maka merekabisabicarabanyaksecarakualitatifdalam khasanah pertunjukan teater di Ja-karta. Melihat dari sudut pandang itu Bambang Prihadi (Direktur Ekskutif Fed-erasi Teater Indonesia) memaparkan da-lambincangsingkatnyadengandramakalabahwa sebagai sebuah forum untuk meng-

gairahkan semangat berteater, format pembinaan seperti kompetisi itu sah-sah saja namun untuk kekayaan khasanah perteat-eran perlu dibuat-nya forum-forum dengan formula dan format yang berbeda, seperti yang dilakukan oleh Federasi Teat-

er Indonesia dalam program Festival Monolog di Ruang Pub-

lik dan Invitasi Teater (2009). P a d a Festival Mono-log di Ruang Publik format-nya berbeda di mana dit-e r a p k a n n y a d e m o k r a s i pembacaan ,di mana para peserta pada akhir penye-l a n g g a r a a n setiap harinya melakukan evaluasi atau pembacaankonseppenampilhariituyangdifasilitasi oleh juri, kemudian pada akhir penyelenggaraan para peserta memberi-kan nominasi nama kepada para juri un-tuk memilih pemenangnya, walau pada pelaksanaannya peserta belum siap untuk melakukan penilaian itu. “idealnya penila-ian festival monolog ruang publik dengan terealisasinya demokrasi pembacaan itu,walau dalam penyelenggaraannya belum terlaksana” papar Bambang Prihadi.

Kendala dan permasalahan teater kita

Dalam setiap penyelenggaraan sebuahacaramemangtidakbisadipungkiripasti saja ada kendala dan masalah yang membuat pasang surutnya kualitas mau-pun kuantitas peserta dalam pelaksanaan acara tersebut.Dalamwawancarasingkatdengan dramakala, Madin Tyasawan, ang-gota komite teater DKJ mengatakan “Ken-dala yang dihadapi adalah kendala klasik, soal finansial, keuangan, soal dana yangmenjadi kendala utama. Kita butuh dana yang cukup besar untuk menyelenggara-kan sebuah festival teater setingkat FTJ”. HalyangsamadiungkapkanjugaolehRizalNasti selaku ketua Indraja “Yang menjadi kendala setiap tahunnya adalah masalah pendanaan, uang”. Tidak jauh berbeda kendala utama dalam penyelengaraan FTJ wilayah Jakarta Timur dan Jakarta Utara adalah masalah pendanaan. Menurut Choki, yang menjadi ketua pelaksana FTJ tingkat wilayah Jakarta Timur kendalanya seputar urusan birokrasi. “Komunitas belum sanggup membuat festival secara mandiri karena terbenturmasalah dana. Kita harus mengikuti sistem

Festival Teater “Kualitas dan permasalahannya”

Bambang Prihadi

adhi kurniawan

Zubier

Madin tyasawan

Foto : teater anam (Ftju)

Choki

Page 4: Dramakala 4

Dalam rentang waktu setahun tera-khir ini, orang teater mungkin boleh ber-bangga dengan berbagai acara teater yang ter/di-selenggarakan untuk meneguhkandirinya di dalam kehidupan kesenian. Dan sebagianorangmungkinakangeleng-gelengkepala, bagaimana suatu jenis kesenian (baca: teater) yang boleh dikatakan tak per-nah bisa memenuhi – dari segi manajerial – pengembalian biaya produksi namun tetap selalumunculditengah-tengahmasyarakat.Mungkin teater, bagi sementara orang di-anggap sejenis ‘kegilaan’ tersendiri : suatu kerja yang tanpa memperhitungkan sejauh manakah dampak kepada lingkungan, dan takjarangsepertimenepukanginditengahbadai kehidupan kebudayaan yang serba kon-sumtif. Dan orang-orang teater terus men-canangkan apa yang ada di dalam pikirannya : kerja, kerja, dan berkarya.

Dalam konteks berkarya dan kerja teater itulah kita menemukan enerji yang meluap yang tak pernah putus sepanjang tahun. Di Makassar dengan lomba monolog yang dalam setahun terakhir ini dua kali dis-elenggarakan.DiDenpasar,dua-tigakaliper-istiwayangsamadigelar,dansementaraitudi Semarang dan Yogyakarta mengiringinya, dan masih ditambah oleh forum teater. Se-mentara di Solo acara teater terus berlang-sung setiapbulan,dengandua-tigakali pe-mentasan, dan masih ditambah oleh Parade

4 edisi IV/agustus 2011 BerIta utaMa dramakala

KHASANAH dramakala

Sejumlah Festival, Lomba, Parade dan sejumlah beban untuk masa

depan

TeaterKampusKesenian.Kota-kotalainsep-ertiMojokerto, Jombang, Tasikmalaya. Dandari seberang pulau seperti Mataram-NTB,Padang Panjang. Sayup-sayup kita dengarjuga dari Palu, Kendari,Mandar-Sulbar, Sa-marinda, Tenggarong. Dan tentu saja Band-ung dan Lampung terus mengobarkan api kehidupan teater melalui pencarian pengu-capan dan pencarian tehnik, sebagai upaya untuk merentang sejarah teater dari dan dengan kapasitas yang dimilikinya : teater tak cukup hanya dengan sejumlah angka produksi yang akan masuk ke dalam deret hi-tungbiodatadalamsebuahfile.Dibalikitu,ada proses panjang yang memeras keringat dan enerji, yang tak jarang membuat sebuah grup bubar jalan.

Dengan kata lain, apa yang ingin saya tegaskan di sini, begitu banyak grup teater khususnya di lingkungan kampus dan bahkan di luar kampus sekalipun yang hanya memajang angka produksi, dan tanpa mem-berikan sejenis penemuan tehnik atau ga-gasan panggung yang menggoda dan meng-getarkan sanubari. Dalam konteks itulah berbagai acara teater yang saya sebutkan di atas, tanpa berpretensi saya menyaksikan se-muanya, dan dengan berusaha untuk mem-pertimbangkan diskusi dan informasi dariberbagai kalangan yang secara intensif ikut menyaksikannya, ada benang merah yang mencemaskan di dalam begitu banyaknya

acara yang diselenggarakan : teater menjadi sejenis untuk menyatakan diri tanpa mema-hami ‘siapakah diri’ itu, dan bagaimana diri menjadi diri di dalam panggung. Maka tak jarang kita saksikan sebuah monolog be-gitu encer, enteng dan bahkan banal. Pada sisi lainnya, teater nampaknya hanya di-pahami hanya dengan sekedar ‘hafal teks’ dari sebuah lakon. Tak ada pencarian ruang kehadiranmelaluitimkerjapanggung yangmelacak, adakah suatu teks yang diciptakan pada seabad yang lampau memiliki konteks, dan bagaimana konteks diciptakan bukan hanya oleh isu dan masalah tapi juga ruang peristiwa.Maka,misalnyauntukmengambilcontoh, ‘Pesta Pencuri’ karya Jean Anoulih saduran Rahman Sabur yang digarap ma-hasiswa InstitutKesenian Jakarta (IKJ)padaParade Teater Mahasiswa Kampus Seni, 6 Juli 2001 di kampus Institut Seni Indonesia(ISI Surakarta), menjadi begitu ironis dan tragis. Pementasan ini sungguh kocar kacir, dan cenderung ingin menjadi badut, yang nampaknyamerekadapatkandarirekan-re-kan sesama mahasiswa yang mungkin butuh hiburandanngakaktanpamembayartiket!

Adakah cuma dan hanya itu? Tak juga. Sebagian besar dari pementasan Pa-rade Teater yang menabalkan kampus seni itu menjadi ajang kangen-kangenan. Well, mungkin kita perlu membuka ruang dada dan pikiran kita, dan memberikan permaklu-

man. Tapi, jenis permakluman apakah yang mestikitasediakan,jikakitamencintaiteaterdan kampus seni ingin disebut sebagai induk dari tetasan kaum pekerja seni dan pen-ciptaperistiwadi ataspanggung?Ataukitamengikisnya demi kriteria agar ada sesuatu yang bisa kita pegang sebagai penggaris un-tuk menentukan bahwa sesuatu memang bermakna, dan lainnya memiliki makna na-mun masih membutuhkan jenis kerja lain. Untuk itu, saya kira, jika saja kaum pekerja dan pencinta teater mau belajar dari sejarah dan biografi – dan juga dokumentasi yangbegitu banyak – yang sesungguhnya, ras-anya kini masih bisa kita kenal dan kita lacak, sangat mungkin jalannya roda kehidupan teater akan bisa berubah dan perubahannya ke arah yang menggembirakan.

Dan kegembiraan itu, bukan lan-taran begitu banyak pementasan dan acara yang sering dengan semangat menggebu-gebu di antara keluh kesah kekurangan ini dan itu. Tapi juga dibarengi oleh disiplin kerja melalui disiplin berpikir dan komitmen yang mendorong terciptanya etos kerja berke-sinambungan. Sebab, panggung yang kini terserak di mana-mana membutuhkan be-nar isi yang bermutu, agar ada rasa hormat dari publik pembayar pajak. ***

Oleh :

Halim HD.NetworkerKebudayaan

Mungkin teater, bagi sementara orang dianggap sejenis ‘kegilaan’ tersendiri : suatu kerja yang tanpa memperhitungkan sejauh manakah dampak kepada ling-kungan,dantakjarangsepertimenepukanginditengahbadaikehidupankebudayaanyangserbakonsumtif.Danorang-orangteaterterusmencanangkanapa

yang ada di dalam pikirannya : kerja, kerja, dan berkarya.

yang ada di birokrasi pemerintah”. Sedang menurut M. Yusro “penyelenggara FTJ wilayah seperti sudin kebudayaan jakarta utara bertindak semaunya, karena tidak ada pedoman yangmenjadi acuan. Sudintidak tahu menahu tentang Pedoman baru FTJ. Pedoman itu berisi komunitas teater wilayah adalah pelaksana kegiatan dalam standar kompetensi”. Demikian Yusro menjelaskan kegalauannya. Sedangkan menurut R. Mono Wangsa permasalahanyang dihadapi salah satunya adalah seman-gat teman-teman yang turun ketika pro-gramDKJ‘MembacaAku,MembacaLaku’dengan tematiknya ‘Merebut Kembali Apa yangKita Punya’ itu tidak terealisasikan”.Satupendapatyangharus lebihdicermatibarangkali bersebab alasan yang unik dan tidak membiasa : satu masalah terjadi kar-ena ada masalah lain yang menyebabkan-nyasecarataklangsung. Berbeda dengan wilayah-wilayah lainnya, dengan sistem tender masalah pendanaan sudah tidak menjadi persoalan di FTJ Jakarta selatan, na-mun menurut Manahan Hutauruk proses meka-nisme tender lebih kom-pleks, yaitu menyiapkan proposal pengajuan, presentasi, sampai men-cari kompetitor, karenakeabsahan sistem ten-

der harus diikuti lebih dari satu pe-rusahaan. Mana-han juga menga-takan bahwa hal p e n g a n g g a r a n dari pemda selain sistem tender adalah swakelo-la. Anggarannya lebih kecil, tapipenanganannya lebih mudah. Tidak sekompleks

sistem tender. Penganggaran swakelola tidak memungkinkan bisa menanggulangi keadaan kalau gedung memiliki lampu dan sound system yang minimal. Melihat kendala dan segala per-masalahannya, pelaku teater yang mera-sakan dianak-tirikan, seperti menaruh hara-

pan yang besar pada pemerintah walaupun pada dasarnya segala elemen, baik seniman, pemerin-tah, masyarakat penonton mau-pun stakeholder lainnya harusnya melihat ini sebagai permasalahan bersama agar bisamencari jalankeluarnya. Pemerintah DKI Ja-karta dalam hal ini memang telah ikut membantu pendanaan di se-mua festival yang disebutkan di atas, walau dengan jumlah yang terbatas. Sedangkan posisi pe-nonton lebih merdeka dan tentu

saja tidak dapat juga kita salahkan bila masih melihat dan menilainya dengan pan-dangan yang kurang apresiatif, mungkin para seniman memang harus memulai den-gantidakberlakusecaraekslusif,danmulaimencobamenghampiripenontonnyalebihdekat seperti pada penyelenggaraan Festi-val Monolog di Ruang Publik, atau menurut Madin Tyasawan di jaman yang serba bisnis ini “Seharusnya orang-orang teater dapat bekerjasama dengan orang-orang market-ingatausejenisEventOrganizeryangdapatmembantu mempromosikan pertunjukkan-nya, dan yang tidak kalah penting adalah packaging sebuah pertunjukkan”. Kede-pan, semoga kita dapat menemui ruang

silahturahmi teater, apapun itu namanya baik festival, parade, forum, panggung, temu atau lomba, yang menyediakan ke-hangatan, kegembiraan dan juga kuali-tas penampi-lan yang woke banget, ini hara-pan, bukan mus-tahil bukan ? (AOS/DED/DEN/IS)***

M. Yusro

r. Mono Wangsa

Manahan hutahuruk

Page 5: Dramakala 4

Ada sususan pecahan cermin berbentukkubuspersegipanjangsetinggitubuhorangdewasa,adapecahancermin-cermin berbentuk empat tubuh orang tak berkaki saling membelakangi, bagai diwajib-

kanbercermin.BegitukesanpertamaketikapenontonhendakmemasukiaulaIAINSyekhNurjatiCirebontempatberlangsung-nya pertunjukan Lab Teater Ciputat (Syahid) dengan lakon “Cermin Bercermin”. Ide karya Abdulah Wong & Bambang Prihadi. Sutra-dara Bambang Prihadi. Di atas panggung tampak dipenuhi dengan susunan potongan cermin yang membentukpartisi-partisi,tepatdiujungbelakang tengah panggung ada poton-gan cermin yang berbentuk tubuh orang, imajinasipenontondigiringolehtataartistikyang dibuat oleh Riky ‘oet’Rahman. Kita sepertimemasukirumahkaca. Pilihan panggung prosenium pada pertunjukan Lab Teater Ciputat kali ini terasa cukup berjarak dengan penon-ton, dibandingkan dengan pertunjukan lab teater ciptutat sebelumnya dengan lakon

4 edisi IV/agustus 2011 BerIta utaMa dramakala edisi IV/agustus 2011 SeSudah Pertunjukan dramakala 5

“Cermin BerCermin” LaB TeaTer CiPuTaTCermin yang retak masyarakat kaum perkotaan

“Kubangan” yang mengusung panggung berbentuk catwalk. Menurut sang sutra-dara idealnya pertunjukan ini mengguna-kan konsep arena di mana penonton dan pemaindikurungolehpartisi-partisicermin

itu, namun karena besarnya ruang dan kurangnya prop-ertIcermin,tataartistikmelakukanpenawaran-penawaran bentuk. “Pertunjukan selanjutnya di Bentara Budaya Jakarta oktober mendatang, akan kitabuattataartistikseideal mungkin”. Tutur Bambang Prihadi. Pertunjukan dihantar dengan lantunan musik tarling (musik khas pesisir pantura),adaorang-orangmasuk panggung dengan membawabarang-barangbaru lalu dibuang ke

tengah panggung, lalu keluar mengambil lagi barang lain, lalu dibuang kembali ke tengah pangung, begitu terus menerus hinggamembentukbukit,sepertitidakmauketinggalandenganzamannya.Lalusemuaorangsibukdenganrutinitasnyasehari-haridengan bekerja, clubbing, berpesta. Disela-selakesibukanituparapemain masuk keruang penonton, mereka berinteraksi dengan penonton dengan sok akrab, “siapa yang dapat arisannya, min-ggu depan ngumpulnya di rumah eke ye, nantiekemasaknasilengkongdeh”.Ketikakembali ke panggung para pemain dikejut-kandengantempatrutinitasmerekayangpunah,merekaberteriaktidakrela,merekamerasa kehilanggan, mereka kalah, namun merekatidakmaumengakuinya,merekamenutup-nutupikekalahanitudengancaraapa pun.

Inilahrefleksimasyarakaturbankita, sebagaimana tema yang diusung Lab TeaterCiputatsebelumnya.Sepertinyadalamsetiapkaryamerekamencobaterusmenggali kedalaman tradisinya yang urban di mana Lab Teater Ciputat tumbuh sebagai sebuah komunitas yang lahir dalam wilayah yang sangat urban. “Kolaborasi antar tradisi masing-masingkreatormerupakantan-tanganyangtidakdapatdipungkiri”,tuturBambang Prihadi. Ada orang yang sibuk bersepeda, senamkebugaran.ZulfiRamdanidalamsuatu adegan dengan kostum yang cukup seksi & stylis mencoba berinteraksi dengan gayanya yang sok British,mengaku-akudi-rinyamiripJustinBiebersambilmenunjuk-nunjuk kearah para penonton berkata “Hai, loe, elo,loe n loe yang di sana…jangan lupa yehfollowmytwiter”.Aksiakrobatikyangditutup dengan adegan keputusan memun-culkanteks-teksdariparaaktor(Zulfi,Olivedan Washadi), dengan dialog “Diam tapi bergerak, bergerak tetapi diam”, memberi kesan spiritual yang cukup dalam bagi pe-nonton. Di akhir pertunjukan kembali terli-hatbentukrutinitasorangurbanyangsamadengan adegan awal. Suasana yang diban-gunolehpencahayaanyangberkedap-ke-dip,bunyi-bunyianyangramai(digarapolehSadewo), namun diimbangi dengan gerakan aktoryangmelambatdanekspresi-ekspresiyang lebih ceria, memberikan suasana kedamaian di antara kebisingan kehidupan masyarakat urban di perkotaan. Lab Teater Ciputat cukup berha-sil menggambarkan keadaan masyarakat kita sekarang yang menjalani hidup yang tak hidup, hidup yang artificial. Kemajuan teknologi membuat masyarakat kita terje-bakdalamhidupdenganrutinitas,bekerjauntuk hidupnya sendiri, merasa tetap harus

eksismelaluijejaringsosialsepertiface-bookdantwiter,mengikutitrendzamannyadenganhadirdalamkomunitas-komunitas,membuat arisan, komunitas sepeda, ber-pesta.Melihatikehidupanberbangsadanbernegara, pertunjukan” Cermin Bercermin” cukup menjadi cermin bagaimana kotornya situasipolitikkita,tercorengnyakehidupanberagama, dan betapa susahnya menjadi subyek. Kurang lebih 6 tahun pendirian-nya Lab Teater Ciputat yang dimotori oleh Bambang Prihadi selaku direktur serta sutradara,dalamhalcapaianartistiknyamemang menghasilkan hasil yang signifi-kan. “Pasangsurutnyapemain,timartistikdantimmenejemanadalahtantanganbagiLab Teater Ciputat” tutur Bambang Prihadi. Namunpilihanbentuklaboratoriumdalamproses ekperimentasi yang panjang melalui diskusi, program parade monolog para ak-tor yang mereka buat dan kesiapan dalam penciptaan sebuah karya bisa menjadi barometer bagi khasanah peteateran di Ja-karta, maupun di indonesia pada umumnya. *** (AOS)

DI LUAR PANGGUNG dramakala

“Membicarakan teks naskah teater

Berkas-berkas Ingatan dan Tubuh-tubuh yang

Menafsirkan-Gegerungan Gegirangan karya

Harris Priadie Bah yang diterbitkan Komodo

Books, 2011, tak bisa dilepaskan dengan latar

belakang penulisnya sebagai sutradara sekaligus

aktor teaternya, yaitu Kelompok Teater Kami,

teater yang bersandar pada konsep dan wa-

cana”, ujar Sihar Ramses Simatupang, penyair,

wartawan sekaligus pengamat teater selaku

pembahas dalam acara Diskusi Buku Naskah

Drama(teksdramatik,istilahsangpenulis,HP-

Bah) tersebut di Pusat Dokumentasi Sastra HB

Jassin-Taman Ismail Marzuki Jakarta pada 15

Juli 2011, yang dihadiri oleh pekerja seni dalam

berbagai disiplin seni. Acara ini merupakan ker-

jasama dengan kelompok diskusi budaya dan

seni, Meja Budaya. Dalam kerangka teater mod-

ern, sebuah teks di atas kertas atau pun dalam

pemanggungan, berliput semangat eksplorasi

teknismaupun tematis. Seperti semangat re-

alisme di Rusia atau kebangkitan teater buruh

di Amerika adalah siasat eksplorasi tema yang

merupakan representasi dari ledakan komunal

dan sosial dari peradaban dan habitatnya mas-

ing-masing.

Teks Dramatik Gegerungan-Gegirangan Menambah Perbendaharaan Artefak Teater

“Harris Priadie Bah dan Kelompok

TeaterKamimembuattesis-antitesis,lalumem-

buat sintesa atas jelajah teks panggung teater-

nya.Setidaknya,merekamencobamendobrak

tatanan atas teks penokohan sekaligus per-

watakan yang mapan. Tokoh tak lagi berfokus

pada karakter individual yang wajib diselami

sebagaimana teks sastra atau pun teks naskah

drama. Tokoh menjadi “Ungkapan Bersama”

terhadapsebuahkondisiyangsama-samadira-

sakanparaaktornya.Tokohyangtaksetiapada

narasi dan bangunan tokoh yang utuh. Yang

lebih penting adalah persoalan kemanusiaan

dalamdiriaktornya.Setingwaktutidakdihad-

irkan dalam bentuk siang atau malam begitu

saja, dalam bentuk jam atau lonceng weker

saja. Melainkan dibiarkan melompat kesana-

kemari. Memancing pembacanya untuk mera-

jut,menyulamdanmengira-ngirabagianmana

awalan, akhiran, mana yang starting dan mana

yang ending”. Demikian ujar Sihar menandas-

kan pengamatannya.

Diyanto,salahsatudewanjuriFestival

Teater Jakarta Pusat 2011 yang berangkat dari

disiplin akademis ilmu seni rupa, pada agenda

diskusi buku ini, yang diselenggarakan Asosiasi

Teater Jakarta Pusat di Gedung Kesenian Miss

Tjitjih pada 23 Juli 2011 mengatakan, bahwa,

melaluibukuteksdramatikGegerungan-Gegi-

rangan, Harris Priadie Bah berhasil menegaskan

pengertian tentang artefak. Kalau modelnya

adalah perasaan, maka, buku ini menawarkan

gagasan tentang perasaan itu sendiri. Diyanto

berbicara pada kesempatan itu dalam kapa-

sitasnya sebagai pembahas dari buku naskah

drama HPBah tersebut. Dan N. Riantiarno

menuliskan dalam tanggapannya, yang ditera-

kan pada sampul penutup buku, bahwa : “ ...

Diperlukan kerja extra keras agar yang personal

itu menjadi milik orang lain pula. ... Teater baru

terasakehadirannya,ketikaadaoranglainyang

kemudian merasa, bahwa permasalahan yang

diungkap di pentas bukan permasalahan yang

asing, melainkan milik mereka juga ... “.

Bagi Laksmi Notokusumo - penari,

penulisdansutradarateater-yanghadirpada

acara diskusi buku di gedung Miss Tjitjih terse-

but, mengatakan bahwa buku naskah drama

Harris ini dirasakannya memberikan dorongan

dan inspirasi untuk juga mulai memikirkan

penerbitandarinaskah-naskahdramanyayang

cukup banyak, pun seandainya dalam bentuk

stensilansajamisalnyakalautidakadapener-

bit yang mau. Sementara bagi R.Mono Wang-

sa, penghadir lain pada kesempatan itu juga

mengatakan bahwa buku Harris ini merupakan

amal yang berguna bagi publik teater dan dia

berharap ada naskah drama kelanjutannya

yang dapat lebih membuka “rahasia” dari dua

naskah drama yang sedang didiskusikan terse-

but.

Perlu diketahui acara Diskusi Buku

ini adalah merupakan agenda road show sang

penulis kebeberapa tempat, sebelumnya tang-

gal 23 Juni di Bulungan dengan pembahas Andi

Bersama, seorang aktor yang juga penulis, dan

28 Juni di Gelanggang Remaja Jakarta Barat

yang menghadirkan Pedje, seorang pemba-

has lulusan Fakultas Sastra UI yang juga mulai

merambah kerja penyutradaraan dengan kel-

ompok teaternya yang bernama Teater Pohon.

Selain bahasan buku, acara diskusi buku ini juga

diperlengkapi dengan pembacaan dramatik

dari salah satu adegan yang ada dalam naskah

drama tersebut, juga pelantunan nyanyian pe-

manggungannya serta penayangan fragmentasi

adegan pemanggungan. (Ded)***

Fotografer : aditya ranggga/ade Bajul

Fotografer : aditya ranggga/ade Bajul

Page 6: Dramakala 4

6 edisi IV/agustus 2011 PuStaka dramakala edisi IV/agustus 2011 Sejarah dramakala 7

KABAR dramakala

Panji Sepuh (Tari)1. Sutradara : Yudi Ahmad Tajudin

Komposer : Tony Prabowo

Naskah : Goenawan Mohammad

Penari : Aloysia Neneng Yunianti, Dorotha Quin Suharti, Ina Vivanaputri,

Ningtyas Pujikurniastanti, Retno Sulistyorini, Rury Avianti, Sri Lestari

Jumat-Sabtu, 12-13 Agustus 2011

Pukul:20.00WIB

Teater Salihara

HTMRp100.000

Mahasiswa/Pelajar

Rp50.000(tempa

tterbatas)

Mastodon dan Burung Kondor

2. KenZura

idaProject

Sutradara : Ken Zuraida

Naskah:WS.Ren

dra

Sabtu-Minggu, 11-15 Agustus 2011

Pukul:20.00WIB

Graha Bhakti Budaya TIM

Bunga di Comberan

3. Teater Sakata

Sutradara : Tya Setiawati

Naskah:EdiSuisn

o

Pemain:RibkaM

aulinaSalibia,Me

ikeVierna,LisaSe

tiani,HeriNugroh

o,

Ira dan sejumlah pemain lain.

Kamis-Jumat,6-7

Oktober2011

Pukul:20.00WIB

TeaterKecilTIM

CerminBercermin

4. Lab Teater Ciputat

Sutradara : Bambang Prihadi

Idenaskah:Abdu

lahWongdanBam

bangPrihadi

Rabu-Kamis,28-2

9Oktober2011

Pukul:20.00WIB

Bentara Budaya Jakarta

Antigoneo5. Teater Koma

Sutradara : Rangga Riantiarno (Saduran & Penyutradaraan Perdana)

Naskah:EvaldFli

sar

Jumat-Minggu,7-

16Oktober2011

Pukul:20.00WIB

Gedung Kesenian Jakarta

Penerbit Studiklub Teater Bandung bekerjasamadengan Taman Budaya Jawa Barat,

& PT Rekamedia MultiprakarsaOktober 1998, 255hlm

Zaman berubah dan perubahannya itu sekaligus membawa kebaikan dan keburukan. Kebaikan sebagai isi kemajuan harus dilestarikan dan dijadikan modaluntukperkembanganselanjutnya,sementarakeburukanperludiwaspadaidandihindarkan,ucapSainiK.M.padapembukaanbukuMenjadiAk-tor ini. Fenomena “instant generation” – meminjam istilah Saini, memang sudah ada sejak tahun 90-an, di mana piring yang terbuat dari styro-foam, atau plastik isi ballpen dibuat sekali pakai. Berbagai keperluan dapat dengan sangat mudah terpenuhi, dahulu orang harus menulis surat untuk berhubungan dengan kawan atau saudara yang berada di luar negeri, sekarang hanya tinggal mengangkat telepon dan kita dapat berkomunikasi langsung bahkan bertatapmuka.Sepertididukungolehmediapandang-dengar,mereka jugamembuatsemacamwadahyangbersimbiosismutualism. Para pembuat programajangpencarianbakattelevisiberlombamenampilkanorang-orangyangingin“tenar”cepatdenganbakatyangmerekamiliki,yangkemudiandiramumenjadisebuahtontonanyangmenarikdanmenghasilkanratingtvyangbersaing.Orang-orangyangingin“tenar”cepatterkadanglupabahwamereka adalah seorang performer, yang bisa saja menjadi aktor apabila memahami proses. SuyatnaAnirunmengantarkanpemahamandantahapan-tahapankepadaseniperan.Dalambukunyaiajugatidakhanyaberbicaraseputarkeaktoran,tapi sesekali menyentuh ruang artistik dan wilayah penyutradaraan yang juga terkoneksi pada seni peran. Konsep, latihan, pengertian-pengertian, ben-tuk, tahapan-tahapan,simulasinaskah,berkaitandenganpersiapandirikitasebagaiaktordalamseniperan.Semuanyamenghadapkancalonaktorkepada kesabaran menikmati perjalanan proses. Penting dimiliki bagi yang baru mengenal teater.(IS)

Penerbit : Arti kerjasama dengan MSPI

November 2002, 191 hal

Konsep, metode, sejarah, perjalanan tokoh teater, perkembangan zaman yang memengaruhi lingkungannya, adalah penggambaran isi dari buku sistem pelatihan lakon milik Mitter. Konsep-konsep dan metode pelatihan lakon dari tokoh teater yang dirangkum oleh orang kedua ini sekaligus membuat kita sebagaipembacadapatmelihatperbedaansertakarakteryangditerapkanolehStanislavsky,Brecht,GrotowskidanBrook.Melaluisejarahnyajugada-pat diketahui bahwa Stanislavsky menitik-beratkan pada masalah tubuh dan pikiran aktor, body and mind, untuk mewadahi psikologis aktor dan karater naskah.LaluBertoltBrechtdenganteknikalienasinya,yangmenekankanpadakondisijarakpenontondanpanggung.JerzyGrotowskiyangmenyebutsistem pelatihan lakonnya dengan sistem via negativadimanamenurutnyamampumemerkayatransformasifisikdanbatinaktor.DanPeterBrookyangmembagi perkembangan dunia teater menjadi 4 janis, yaitu: The Deadly Theatre (Teater Mati), The Holy Theatre (Teater Keramat), The Rough Theatre (TeaterWadag),danThe Immediate Theatre (Teater Terlibat).

SemacamfragmenitudapatdiulaslebihlengkappadabukukaryaMitteriniyangdihasilkandaririsetnyadiCambridge University dan workshop dengan PeterBrook,RichardSchecner,dansukuDhurvadiIndiaTengah.IajugamengajardramaselamasetahundiUniversity of Nottingham dan saat ini bekerja sebagai penulis lepas di London. (IS)

STaniSLaVSKY, BreCHT, GrOTOWSKi, BrOOK Sistem Pelatihan LakonOleh : Shomit mitter

menJaDi aKTOrPengantar Kepada Seni Peran untuk Pentas & Sinema Oleh : Suyatna anirun

KAMUS dramakala Seseorangyangmemilikicarapernafasanyangburuk,takmungkindapatbersu-

ara dengan baik, tetapi seseorang yang dapat mengatur dan menguasai pernafasannya,

akan sanggup pula mengatur gerak dan menguasai suaranya. Adapun sirkulasi perna-

fasanuntukberbicaraadalah:Tariknafas–langsungberbicara–istirahat–tariknafas–berbicara–istirahat,danset-

erusnya.

Ada3macampernafasan,yaitu:Pernafasan dada

1.

Ciri-cirinya adalah, rongga dada berkembang (membusung) padawaktu kita

menarik nafas. Perhatikan dengan seksama di depan cermin! Akan nampak

dengan jelas bahwa rongga dada, bahu dan tenggorokan dalam keadaaan me-

negang,danalatsuarayangterletakdalamtenggorokandanalatpengucapan

yang lain pun menjadi kaku pula. Karena ketegangan tadi, maka suara yang kita

lontarkan akan terdengar tegang dan kaku pula (tak dapat nyaring).Pernafasan perut

2.

Cirinya perut yang berkembang pada waktu kita menghirup nafas. Cara ini tak

akan menimbulkan kekakuan di sekitar tenggorokan dan bahu.Pernafasan diaphragma3.

Pernafasaniniadalahcarapalingefektifdibandingkanpernafasandadadanpe-

rut.Terletakdiantararonggadadadanronggaperut.Untukmudahnya,cobalah

letakkan kedua tangan pada ujung kanan dan kiri rusuk. Bagian inilah yang akan

terasa berkembang apabila kita menarik nafas. Cara kerjanya sebagai berikut:Pada waktu menghirup nafas, pusat diaphragma akan bergerak ke arah depan

dan ke bawah. Gerakan tersebut akan mengakibatkan bagian bawah dari tulang

rusuk berkembang dan mendorong rusuk bagian atas ke arah depan. Dengan

carainironggaparu-paruakanpenuhterisiudara.Padawaktumenghembus-

kan nafas, pusat diaphragma akan kembali pada posisi semula dan memberikan

tambahan kekuatan dalam mengeluarkan atau menghembuskan nafas. Resonansi adalah ikut bergetarnya udara dalam suatu rongga. Rongga yang dapat meng-

hasilkan resonansi disebut resonator. Karena resonator itulah maka suara kita dapat di-

lontarkan dengan nyaring. Mutu dan warna suara ditentukan oleh materi suara dan ben-

tuk rongga resonator. Manusia mempunyai rongga resonator yaitu: 1. Rongga Mulut, 2.

Rongga hidung termasuk rongga kepala, dan 3. Ronggga dada.1

1 Suyatna Anirun, 1998, Menjadi Aktor. Pengantar Kepada Seni Peran Untuk Pentas dan Sinema.

Studiklub Teater Bandung bekerjasama dengan Taman Budaya Jawa Barat, dan PT. Rekamedia Multipra-

karsa

Page 7: Dramakala 4

edisi IV/agustus 2011 Sejarah dramakala 7

KAMUS dramakala

SEBERKAS PENDAPAT dramakala

FTJ Dulu dan SekarangZaenal Abidin Domba, aktor Teater Sae (grup peserta FTJ yang telah “senior”) FTJ dibenahi lagi… Sistem pembinaannya lebih diperjelas lagi. Sekarang sudah tidak ada pembinaan lagi. Juri harusnyabertanggung jawab juga terhadapgrup yangdipilih.Har-usnyajurimaujugauntukdatangkedapurlatihanmereka.Harusnyabertanggungjawabjuga terhadapkendala-kendala yang terdapatdidalamgrup tersebut.Harusnyamerekadatang langsung, bukan hanya datang kalau diundang. Perlu ada pembinaan kepada grup pemenang agar pertunjukkan yang ditampilkan (di TIM) bisa tetap baik dan tidak tiba-tiba berubahorangnya.Bukanhanyaterhadapgrup/orangnyayangdipilih,tetapijugasebagaisutradara & anggota.Perbandingan FTJ dulu & sekarang: kalau sekarang justru seperti tidak mau berbagi den-ganyangmuda.Orang-orangyangterlibatdalamFTJdahululebihperhatiandibandinga-kan dengan yang sekarang. Dewan Kesenian Jakarta juga yang dulu lebih perhatian. Seka-rangkurangmemberiperhatiankepadayangmuda.UntukfantasiOKtetapipengetahuankurang.

Zak Sorga, sutradara Teater Kanvas (grup peserta FTJ yang telah “senior”)Puncakdarisemuapendidikanadalahpembentukankaraktermanusia,dankegiatanteatertermasuk FTJ adalah sarana yang sangat bagus untuk itu. Tapi sayang jarang yang menya-darinya termasuk peserta dan penyelenggaranya, sehingga FTJ hanya jadi rutinitas tahu-nan.

Sutarno SK, sutradara Teater Kali (grup peserta FTJ yang telah “senior”)Menurut saya FTJ mempunyai dampak positif guna membina generasi muda pada umum-nya. Untuk pengembangan grup teater sendiri bermanfaat sebagai ruang belajar yang san-gat dibutuhkan oleh kota sebesar DKI. Kalau harus memperbandingkan FTJ dulu dengan sekarang bisa panjang, supaya tidak salah. Ada beberapa aspek yang sangat penting untuk diperhatikan, dan harus serius menghadapinya sebab ini sudah masalah psikologi sosial dan dari FTJ pula kita bersama Jakarta memiliki grup teater yang handal dengan seniman-nya yangbisabicaradimancaNegaradengankeseniannya. FTJ jugabisa kitaharapkanuntukpembinaanremajamengarahberpikirpositif,kreatif,inovatif,danproduktifsecaraprofesional dan tanggung jawab yang profesional terhadap apa saja yang dikerjakannya. Meskipun kelak mereka memilih profesi lain (tidak menjadi seniman).

Edian Munaedi, sutradara Teater Stasiun (grup peserta FTJ yang telah “senior”)Perbedaannya hanya pada pihak penyelenggara, dari pihak TIM, Gelanggang, lalu kemba-li ke TIM. Belum ada perbedaanya, yang berbeda hanya besaran anggaran (hadiah) saja yang naik. Tapi pembinaan kepada grup yang menjadi pemenang (senior) seperti tidak ada pemantauan lebih lanjut, misalnya kepada grup yang menjadi pemenang tahun lalu pada tahun berikutnya mereka tetap keok untuk urusan pendanaan produksi, lalu misalnya De-wanKesenianJakartamemberikansemacamworkshopkepadagruppemenangdiJakartauntukmengetahuibagaimanacaranyamengadakanpetunjukandanbekerjasamadenganpenyandangdanaataukantong-kantongbudaya.Pernahdiusulkanhalsemacam ini tapibelumadaperkembanganyangsignifikan.Padaakhirnyabeberapagrupteaterseniorsep-erti hilang dan terlupakan begitu saja.

Dindon WS, sutradara Teater Kubur (grup peserta FTJ yang telah “senior”)Festivalteaterduluterasalebihsacral,sepertitakbiran.Kerjasamanya juga lebih terasa. Kemudian banyak juga menggunakan naskah-naskah be-sar. Dulu kalau tiga kali menang maka akan menjadi senior, ini yang kurang bagus.Sedangkan sekarang totalitasnya, spiritnya beda. Sekarang hanya untuk pentas saja. Kar-ena memang zamannya juga yang beda. Tetapi sekarang siapa saja bisa ikut festival. Dan tidak identik bahwa yang menang akan menjadi pakar. Karena festival adalah proses, bu-kan tujuan akhir. Bebaskan saja, jangan membunuih karya. Festival adalah tempat untuk berkarya/berkreasi.FTJharustetapadadantidakbolehberhenti!

Diding Boneng, sutradara Teater Popcorn (grup peserta FTJ yang masih “berlaga”) Persoalan-persoalan elementer masih ditunjukkan oleh para peserta. Begitu pula pandan-gan juri di Jakarta Timur tahun ini. Sampai kapan persoalan elementer ini akan terus terjadi? Dulu,pesertayangkalahdiFTJ,baikdibabakpenyisihanmaupuntingkatfinal,dibuatkansebuah workshop teater untuk mereka. Jadi mereka bisa bersiap-siap untuk tahun depan. Sekarang, workshop dilakukan menjelang festival, sehingga peserta tidak punya cukupwaktu untuk mempersiapkan diri.

Festival Teater Jakarta Festival Teater Jakarta (FTJ) dapat dikategorikan sebagai festival teater tertua di dunia, karena telah berlangsung selama 39 tahun mulai dari tahun 1973 dan masih bertahan sam-paihariini.Diawalperjalanannya,ratusangrupikutberlomba.FTJsebelumnyabernamaFestivalTeaterRemaja,diprakarsaiolehWahyuSihombing,didukungolehDewanKesenianJakartadanGuberfnurJakartasaatitu,AliSadikin.FestivalTeaterJakartadimaksudkansebagaipencariankelompok-kelompokteateryangdianggaplayakmengisiacarakeseniandiTaman Ismail Marzuki. Khususnya pada kelompok yang memengakan tiga kali berturut-turut dalam tiga tahun penyelengaraan Festival Teater Jakarta yang kemudian dinobatkan se-bagaikelompoksenior.kelompokseniorinilahyangmendapatkanrekomendasidanbantuandanaproduksidariDewanKesenianJakartauntukmengisiacaratahunandiTamanIsmailMarzuki, disamping harapan besarnya kelompok senior ini kelak menjadi kelompok profesional yang solid.

PadaperjalanannyaFestivalTeaterJakartamengalamipasang-surut,baiksecarakuantitasmaupunkualitas,untukmelanjutkancita-citabesarFestivalteaterjakarta,perrubahanaturanmain atau pedoman selalu dilakukan mengikuti perkembangan zaman. pada 2006, Pedoman festival teater jakarta dituliskan kembali dan dibenahi visi dan misinya. pada saat itu juga penyelenggaran festival teater jakarta di kembalikan ke Taman Ismail Marzuki setelah beberpa tahun dilakukan di gelanggang remaja wilayah, dikarenakan renovasi gedung-gedung pertunjukan di Taman ismail marzuki.

Peserta FTJ adalah kelompok-kelompok teater dari 5 wilayah kota Provinsi DKI Jakarta. Ajang kompetisi para teaterawan Jakarta ini, sejak berdirinya hingga kini telah melahirkan 23 kelompok teater senior, yaitu (berdasarkan urutan abjad):

Art Study Club1.

Bandar Teater Jakarta2.

Road Teater3.

Teater Aquilla4.

Teater Aristokrat5.

Teater Bersama6.

Teater Gelanggang Remaja Jakarta Timur7.

Teater Gelut8.

Teater Getapri9.

Teater Kail10.

Teater Kanvas11.

Teater Kubur12.

Teater Luka13.

Teater Remaja Jakarta14.

TeaterSAE15.

Teater Sendiri 16.

Teater Siluet17.

Teater SIM 18.

Teater Stasiun19.

Teater Syahid20.

Teater Teladan 21.

Pertunjukan : Bandar teater jakarta

Pertunjukan : teater kailPertunjukan : teater kubur

Pertunjukan : teater Sae

Page 8: Dramakala 4

8 edisi IV/agustus 2011 Mata kala dramakala

Siang hari, pada sebuah kota yang namanyataktercatatdalampeta,diselengg-arakan sebuah perlombaan lintas bidang seni yang diadakan oleh sebuah lembaga kebu-dayaan yang memang (mestinya) mengurusi persoalan-persoalankesenian secarakhususdankebudayaansecaraluas(bukannyajustrulepas tangan dan tidak peduli dengan masalah yang sering dihadapi seniman dan seniwat-inya), ini sesuai dengan namanya : Lembaga Kebudayaan. Nama acara perlombaan yangdigagas guna merangsang munculnya po-tensi-potensi baru dalam bidang seni terse-but adalah “Festival Adu Bakat”. Festival ini diikuti oleh sejumlah bakater-bakater poten-sial dari seluruh pelosok kota. Festival ini me-narik minat banyak orang bukan saja karena ajangnya yang prestisius, tetapi juga karena festival ini dirasakan penting sebagai sebuah ruang silahturahmi antar sesama masyarakat, sedangkan hadiahnya sendiri memang san-gatlahkecil,bahkandisebandingkandenganlombamemancingsekalipun. Ada pun festival itu sendiri baru per-tamakali diberlangsungkan dan sepertinya memang tidak akan pernah diberlangsung-kan lagi, setidaknya hingga saat ini belum terdengar lagi kiprahnya. Ini terjadi entah karena dananya yang tidak ada, atau karena festivalkeseniansemacaminimemangdiang-gap kurang menguntungkan disebandingkan misalnya dengan mengirim duta-duta kese-nian keluar negeri yang mana memungkinkan bagi para panitia untuk ikut serta ke luar neg-eri dan seniman yang dikirim pun bisa dipilih dari kerabat dekatnya saja, entahlah. Atau barangkali karena panitia menganut paham : sekali berarti sudah itu mati, seperti yang dikatakan oleh sang penyair binatang jalang itu. Sejumlah kebermungkinan bisa terjadi, yang pasti memang hingga kini belum lagi ada kabar yang mengabarkan itu, baik kabar di telinga atau pun koran koran ibukota. PaRodi, adalah salah seorang peser-ta yang ikut ambil bagian dalam festival terse-but. Namanya memang Rodi, tetapi karena wajahnya menampak lebih tua dari usianya maka orang-orang memanggilnya pak, PaR-odi, padahal usianya belum lagi empat puluh, mungkin baru tigapuluh sembilan tahun. Se-jak jauh-jauh hari dia sudah memersiapkan dirinya agar kelak bisa tampil maksimal dalam festival yang prestisius itu. PaRodi adalah tipe orangyangsangatseriusdanrasapercayadi-rinya juga sangat besar, bahkan cenderungover convident, sehingga terkadang jaditerkesan anti kritik. Bayangkan, sebagai per-sona, PaRodi memang tidak memiliki bakat apa-apa, tetapi karena dia tergolong orang yang serius maka dia pun melatih dirinya dengan keras. Bangun pagi latihan, siang hari latihan, malam hari sebelum tidur latihan, pendek kata tiada hari tanpa latihan. Sebet-ulnya ada juga beberapa kawannya yang menasehati untuk tidak usah ikut-ikutan fes-tival, hanya buang-buang waktu dan tenaga kata mereka, bersebab mereka memang tahu siapa diri PaRodi, selain karena tidak memiliki bakat dan kemampuan yang baik, PaRodi juga mengalami kelemahan tubuh sejak bayi, yakni buta. Tapi ya itulah bersebab terlalu percayadiridiapuntetapikutkemedanlaga,adu bakat. Singkat cerita, tibalah hari yang di-nanti-nantikan oleh seluruh peserta lomba, tidak terkecuali PaRodi, tentu saja. Semuatampak gembira walau pun wajah mereka kelihatan tegang juga. Satu persatu peserta dipanggil panitia untuk tampil di panggung.

Waktuyangdiberikanolehpanitiahanyalima-belas menit untuk masing-masing peserta me-nampilkan kemampuannya, memertontonkan bakatnya. Ajaibnya, mereka, para peserta itu benar-benar tampil dengan durasi limabelas menit seperti yang disediakan panitia, tidak kurang tidak lebih, pas, edan, ternyata mer-eka memiliki tingkat kedisiplinan yang men-gagumkan. Sampailah kemudian giliran nama PaRodi yang dipanggil. Dengan langkah pasti, PaRodi naik kepanggung dibantu oleh panitia. Tanpa basa basi sepatah kata pun, tidak sep-erti para peserta lain yang lebih banyak kata pengantarnya daripada aksinya yang sedikit kurang, PaRodi langsung unjuk kebakatan-nya. Dia bernyanyi dengan suara keras sam-bil memetik gitar akustik yang dipinjamnya dari teman. Semua penghadir, baik peserta mau pun bukan peserta terkesima dibuatnya, tidakpercayadenganapayangdidengardandilihatnya dari penampilan PaRodi. Semua beradadalamkecamukpikirandanperasaan-nya sendiri-sendiri. Limabelas menit pas ber-

samaan dengan bel tanda waktu bagi peserta berbunyi, PaRodi mengakhiri penampilannya dengan tersenyum dan penuh percaya diri.Dia yakin, terlalu hakulyakin kalau dialah yang akan keluar sebagai pemenangnya. Sungguh sebuah keyakinan diri yang luar biasa, yang bahkan orang normal pun tidak memilikinya. Setelah seluruh peserta sudah tampil semua, para juri kemudian berembuk. Tidak memakan waktu lama, selayaknya rap-at para juri dalam ajang festival-festival seka-liber “Theatre Festival LSPR”, atau “Festival Teater Jakarta”, atau juga “Festival Monolog Ruang Publik”, bahkan mungkin “Festival Teater SLTA”, yang bisa memakan waktu ber-jam-jam dan tidak jarang bahkan menimbul-kan kebersitegangan antar satu juri dengan juri lainnya bersebab tak sama penilaiannya, rapat juri “Festival Adu Bakat” ini ternyata cukuphanyaberlangsungsepuluhmenitsaja,hasilnyapunsudahdidapat.Hebatbetul!Inibarangkali patut pula dicontoh oleh setiaporang yang didapuk sebagai juri oleh para panitia penyelenggara acara. Rupa-rupanyapara juri tersebut memang telah bersepakat bulat memutuskan siapa pemenangnya. Beberapa detik kemudian, pani-tia memersilahkan semua penghadir duduk kembali dan memohon kepada mereka untuk tenang. Ketegangan, sebagaimana biasanya ketika tiba acara pengumuman tak bisa dis-

embunyikan dari wajah-wajah peserta, hanya PaRodi yang tampak tenang dengan seny-umnya yang khas : hidung kembang kempis dan bibir kiri agak dinaikan sedikit. Lalu ketua panitia pun naik kepanggung. Setelah sedikit petatah petitih, ketua panitia yang potongan-nya lebih mirip politisi itu, mengumumkan siapa pemenangnya. Dengan diiringi sorakan protes dan ketidak puasan dari peserta, nama PaRodimunculsebagaipemenangnya.Sung-guhsebuahkeputusanyangmencengangkan.Mungkinkarenadiilhamidarikecenderunganunjuk rasa selama ini yang selalu berteriak-teriak dan rusuh itu, bahkan untuk sebuah un-juk rasa yang mengatas namakan agama itu, para peserta pun terus meneriakan protes dan hujatan. Namun dengan ketenangan yang demikian tenang, ketua panitia yang lebih mirip politisi itu, memanggil ketua de-wan juri (sssttt…yang ini lebih mirip peda-gang sapi) naik ke panggung dan memersi-lahkannya untuk memberikan argumentasi atau alasannya : kenapa PaRodi - yang semua

orang tadi sudah melihat aksi penampilannya dan mendengar suaranya yang sungguh tidak lebih bagus dari lenguh kerbau serta petikan gitarnya yang lebih mirip suara sound system rusak itu - kok bisa-bisanya keluar sebagai pe-menang. Ketidak puasan tergambar di wajah segenap peserta. Ternyata menurut para juri, PaRodi berhasil menampilkan sesuatu yang unik dan orisinil, sementara peserta lain san-gatstereotype,artifisialdancanggung.Parajurijugamemberikancatatantambahanyangtidak kalah pentingnya bahwa PaRodi tampil denganbegituseriusdanpercayadiri.Itulahsebabnya PaRodi telah tidak terbantahkan lagi keluar sebagai pemenang dan berhak mendapatkan award “Amazing Talent” kar-ena bakatnya yang sungguh luar biasa men-gagumkanitu,sebagai:PELAWAK. Mendengar penjelasan dan argu-mentasi ketua dewan juri yang begitu meya-kinkan tersebut, yang reputasinya sebagai juri memang dikenal berkelas Internasional, dan juga diketahui memiliki insting serta in-dera ke enam itu, semua peserta pun pada akhirnya memahami keputusan juri. Namun tidak demikian dengan PaRodi, dia justru merasa bingung dan seratus prosen tak mengerti, bukan dengan keputusan juri yang memenangkannya sebagai juara, tetapi lebih karena alasan dan predikat kemenangannya itulah yang dia tidak mengerti dan bingung.

PaRodi, tidak tahu apakah dia harus gembira dengan keputusan juri yang mulia itu, atau justru harus bersedih. Dalam hati PaRodi, dia merasa dilecehkan, latihan menyanyi yangdilakukannya dengan sungguh-sungguh pagi siang dan malam itu seperti dirasakannnya tidak berarti. Bagaimana mungkin, dia bisa menerima penghargaan dari sesuatu yang tidak sesuai dengan bakat, minat, keinginan dan cita citanya sebagai penyanyi. Peng-hargaan ini dirasakan PaRodi justru sebagai pelecehanatasbakat,keseriusan,komitmen,intensitasdankecintaannyapadaduniatariksuara tersebut. Setelah berpikir sejenak, PaR-odi pun menyampai pada satu keputusan : menyerahkan kembali award “Amazing Tal-ent” yang didapatnya itu, kepada panitia. Setelah menyerahkan award itu kembali kepada panitia, dengan langkah ten-ang di tengah-tengah peserta yang saling ber-sitatap dan ketidak mengertian semua orang yang ada di situ, dengan senyum khasnya : hidung kembang kempis dan bibir kiri agak dinaikan sedikit, PaRodi pulang ke rumahnya. Dalamhatinya telahmunculkesadaranbaruyang sangat berharga, yang barangkali tidak pernah hadir dalam dirinya selama ini, yakni satu kesadaran : betapa pentingnya untuk selalu memeriksa diri sendiri, mengenali apa yang ada dalam diri, membiasakan diri untuk terus bertanya akan banyak hal (bukan hanya menjawab, seperti yang selalu diajarkan para orang tua) apa-apa yang telah, sedang, dan akan dilakukan untuk kebaikan diri sendiri, diri orang lain dan lebih besar lagi bangsa dan Tuhan. Barangkali ini merupakan hadiah terbesar yang sesungguhnya bagi PaRodi yang selama ini terlalu berkelebihan memer-cayaikemampuannyatanpangehdenganke-nyataan dirinya. Ya, kita memang terlalu kerap me-lupa dan tidak jarang merasa bahwa diri kita selalu lebih baik dari pada orang lain yang kita nilai tidak lebih baik dari kita. Kita juga sering khilaf dalam banyak hal, sehingga boleh jadi terkadang orang yang ikhlas menghargai diri kita, bisa ditafsirkan melecehkan, atausebaliknya orang yang memasang jerat bagi keberjatuhan kita, justru kita anggap memu-liakan kita. Lewat “Festival Adu Bakat” terse-but, kini timbul cita-cita baru, harapan barudalam diri PaRodi untuk mulai menjajagi bakatnya yang tersembunyi itu yang memang sungguh tak diketahuinya selama ini, yakni melatih bakatnya yang Amazing, sebagai : PELAWAK.

(Dinarasikan pertama kali untuk para peserta Festival Teater Jakarta tingkat wilayah Jakarta Pusat, pada evaluasi juri tanggal 23 Juli 2011).

FeSTiVaL : Seperistiwa Pengalaman estetik.

Oleh :

Harris Priadie Bah

Page 9: Dramakala 4

Festival Teater SLTA (FTS) XXI Sejabodetabek – 2011 berlangsung selama sebelas hari ( 17-27 Juji 2011) di GRJS Bulungan, Jakarta Selatan. Setiap hari pementasan dua grup. Gairah peserta selalu meny-ertai pesta teater yang bersifat lomba ini. Ini ditunjukkan pada semua pementasan mereka. Semua pementasan berusaha menampilkan hasil maksimalnya masing-mas-ing. Terdapat sejumlah grup yang usahanya itu menghasil-kan sebagaimana yang mereka harapkan. Tetapi di antara sisanya terdapat yang belum maksimal. Pada grup yang

tampil sebagaimana mereka harapkan, ditandai oleh ke-sungguhan. Pesta tahun ini ditandai pula oleh bertaburan pemain laki-laki dan wanita dengan potensi bakat yang baik. Lebih dari separuh jumlah grup peserta memiliki ini. Namun penyutradaraan kurang menggembirakan. Grup yang telah mempunyai aktor-aktris, harus bermain tidak maksimal karena tidak tertunjang penyutradaraan yang aduhai. Pada Teater Detik dari SMA 86 Bintaro, misal-nya. Pemain-pemainnya yang potensial, memerankan tokoh-tokoh yang relatif tidak enteng. Pencapaiannya?Cukup berhasil. Tapi secara keseluruhan, pementasantertatih-tatih. Karena tidak tertunjang pencapaian pe-nyutradaraan. Editing yang lemah, menciptakan iramadan transisi yang belum terampil adalah di antaranya. Termasuk dalam deretan ini adalah grup Tabir 46, Teater Rajut,TeaterEnhakam,TeaterSBB,TeaterSrtsOneInArt,Teater SSD 78, Teater Topeng, TeaterHangtuah, TeaterNadi, Teater 35 dan Teater Sembilu. Potensi pemain yang bertabur pada grup itu, tertunjang oleh masing-masing bakat yang mereka mi-liki. Rata-rata mereka tampil bermain rileks. Vokal, gestur tampak jadi satu kesatuan. Mereka juga rata-rata memi-liki tingkat pemahaman yang baik. Memang bahkan tanpa disutradarai pun, naluri bermain mereka sudah berjalan dengan sendirinya. Tetapi penyutradaraan tetap penting hadir di situ. Pentingnya adalah karena potensi-potensi itu bahanbakuyangbagusuntuksecarabersama-samaden-ganunsur-unsurdramatiklainnyamenciptakansuatuor-ganisasibermainyangsanggupmenggelindingkanceritadengantemadanpesanyangdapatsampaisecarasuges-tif kepada penontonnya masing-masing. Maka oleh masih lemahnya penyutradaraan, potensi-potensi itu tidak tam-paksecaramaksimal.Inilahgrup-grupdilapisdua. Beruntung grup-grup di lapis satu, yang tahun inimunculantara lainTeaterBiasSMKBudiAsih,TeaterPatlapiti SMA 48, Teater Atela SMA 3, Teater Teto SMAK IPEKATomang.Merekaadalahgrupyangtelahmemilikisutradara yang trampil menyutradarai. Tertunjang pula oleh potensi pemain yang rata-rata baik, manajerial yang baik, pada gilirannya pementasan mereka tidak tertatih-tatih. Kuat struktur dramatiknya, organisasi bermain yang kompak, dan tunjang menunjang unsur-unsur dramatik padagilirannyamenghasilkanbangunansituasiyangcu-

a edisi IV/agustus 2011 leMBar taMBahan dramakala

Oleh :

Andi Bersama (Juri)

kup tertata. Rapi menjaganya. Kesungguhan yang kuat. Grup-grup di luar semua itu, yaitu Teater 26, Teat-erCitra47,TeaterKencana,TeaterTerasOnTime,TeaterTeman, perlu lebih bekerja keras. Karena selain masih lemah di sejumlah lini dramatik, tampak pula hasil kerja grup belum menjangkau kesungguhan dan habis-habisan. Hasilkerjatahunini,menempatkangrupiniberadadila-pis 3. Penyutradaraan pada grup Teater 26 yang mementaskan naskah karya sendiri, tema yang dipilih perihal eksistensi diri, yaitu kegelisahan diri sehubungan nama diri yang menjadikan diri adalah suatu identitas, mengapa harus orang lain dan bukan diri kita sendiri. Elemen dramatik yang dipilih sutradara, takkurang menarik. Di tengah panggung diletakkan sebuah jam dinding yang besar. Jarum jam tidak bergerak maju, tapi malah mundur. Jam dinding itu diletakkan melekat pada suatu steger besi warna oranye, sangat menyita per-hatian penonton. Vertikal, menjulang nun ke atas. Tokoh-

tokoh yang ada di dalamnya adalah tokoh-tokoh yang dapat dikenali. Mereka anak, orang tua, serta sejumlah sosok yang disebut dalam katalog sebagai bayang-bayang. Luar biasa menjanjikan pementasan ini. Tapi hal itu tidak berlangsung karena penyutra-daraan tidak berbekal peralatan yang baik. Teater Citra 47 termasuk yang ada dalam hal ini: Penyutradaraan belum memiliki bekal yang sungguh-sungguh siap. Situasi sosial kini, dan dampak psikhisnya pada individu-individu yang terimbas situasi itu dari naskah yang dibikinnya sendiri, tidak tertata secarabagus. Tampil menyertai gup ini adalah siswi-siswiyangcukupmenguasaidance. Tetapi sebagai suatu bahan dramatik, potensi ini belum tertangani penyutra-

daraan. Hal demikian juga terjadi pada Teat-er Kencana,memilih naskah berjudul Demit.Teater Teman jatuh pilihan pada cerita filmberjudul “Petualangan Sherina” yang bebera-pa bagiannya disesuaikan dan dengan ini judul-nya menjadi “Petualangan Shakila”. Banyak adegan dari naskah ini, belum tertangani den-gan baik. Padahal tahun lalu grup ini sanggup menghibur penonton oleh kerja maksimalnya. TeaterTerasOnTimenaskahsendiriberjudul“Hantu”, merupakan potongan-potonganperistiwa sosial. Tetapi transisi dan jahitan dari antarpotongan itu, belumdikerjakan secaramaksimal. Sutradara grup perlu betul-betul berbenah. Hasil kerja tahun ini yang masihjauh dari harapan, dikhawatirkan akan makin melemahkan wibawa keberadaan grup di tengah-tengah ekskul lain di masing-masing sekolahnya. Workshop penyutradaraan agaknyaperlu segera dikedepankan. Ia menjadi pent-ing karena keputusan seluruh elemen drama-tik berada di tan-gan sutradara. Silih ber-ganti grup pe-menang kerap terjadi. Begitulah antara lain dinami-ka wadah kreativi-tas pekerja teater SLTA yang digagas oleh R.Tono, Sony Mawardi, Ronny, Tebe, R.Mono Wangsa,KinHen-dri, CC Febriyono, dan Zak Sorga ini. Selain sekolah masing-masing, Gelanggang Rem-aja Jakarta Sela-tan (Bulungan) ikut menyertai perjalanan FTS.

Hampir sebagian besar penyelenggaraan FTS digelar ditempat ini. Gairah berlomba di kalangan peserta, termasuk unsuryangsignifikanmenggelembungkansuasanasukacitapesta teater ini.Belakanganmunculmelibatkandirilembaga Pemprov dan swasta menyokong pendanaan dan publikasi, murni dengan maksud membantu. Sebel-umnya, FTS sepenuhnya didanai sendiri oleh peserta. Panitia penyelenggara tahun ini adalah Teater SaphireSMKHutamaBekasi.Sebelumberlagsungfinal,di-dahului pentas kurasi yang dilangsungkan di Balai Latihan Kesenian (BLK) Jakarta Selatan di jalan Asem Baris, Tebet. Bertindak sebagai juri Jose Rizal Manua, Andi Bersama dan Malhamang Zamzam dengan seorang pengamat MeritHindra. Seperti juga tahun sebelumnya, peserta yang te-lah terdaftar lebih dulu harus lolos di babak kurasi untuk dapattampildifinal.Yangdikurasipadababakiniantaralaingagasan,performance,kesiapanuntukmemproduksipementasan yang berlangsung maksimum dua jam. Se-mentara pada babak kurasi, setiap peserta disediakan waktu oleh panitia paling panjang 20 menit. Kurasi dilaku-kan selain pula untuk mengurangi jumlah peserta dari 30 grup menjadi hanya 22 grup.***

FTS XXi SeJaBODeTaBeKBertabur pemain laki-laki dan wanita yang menjanjikan

Festival Teater SLTA ini diyakini adalah festival teater slta terlama di Indonesia. Dengan keunikan penyelenggaraan yang dilakukan bergiliran setiap tahunnya dari SMA ke SMA yang lain, sudah ber-langsung untuk yang ke 21 selama kurang lebih 21 tahun. Adapun kaliinipesertayangmasukgrandfinalsebanyak22peserta/seko-lah/teater.Setelahsebelumnyapadabulanmei2011diadakanbabakseleksi/kurasiuntukmemilih22pesertayanglayakmasukkegrandfinal.Festivaliniberlangsungsejaktahun1989sebagaisikapatas ketidakpedulian instansi pendidikan dan kebudayaan terhadap perkembangan teater slta dijabodetabek pada tahun 1989 itu.

Jebolan-jebolan festival teater slta ini yang diantaranya sekarang iniberkiprahdibidangentertaintdiantaranyaadalahSofiaLatjuba,Novia Kolopaking, Krisdayanti, Peggy Melati Sukma, Sandy Tumi-wa,TeukuWisnu,TaniaPutri(SMAN3Jakarta),TitiKamal(SMAN48 Jakarta), Ratu Tria (SMAN 35 Jakarta), Bunga Citra Lestari (SMAN 70 Jakarta), dan banyak lagi.

Dengan memakai format Malam Anugerah Pemenang seperti pada AcademyAward,Festivaliniakanmemilihkreator-kreatorseniteater terbaik dibidangnya. Dari aktor terbaik, aktris terbaik, aktor pembantu terbaik, aktris pembantu terbaik, sutradara terbaik, artistik terbaik, penata musik terbaik, penata busana, penata rias, poster dan maket set terbaik yang kesemuanya akan dipilih dewan juri.

PanitiakaliiniadalahTeaterSaphireSMKHutamaBekasi.Didu-kung oleh Dinas Pariwisata Dan Kebudayaan PemProv DKI Jakarta, IDEAL,LondonSchoolofPublicRelations,RuangRupa.

ManahanHutauruk.

Sejarah Festival Teater - SLTA

Fotografer : Panitia Ft-Slta

Fotografer : Panitia Ft-Slta

Page 10: Dramakala 4

b edisi IV/agustus 2011 leMBar taMBahan dramakala

Oleh:EviAgustian

Berbeda dengan pagelaran festi-val pada umumnya, peserta LSPR (London School of Public Relations) Theatre Festivaladalah mahasiswa LSPR tahun pertama yang

wajib mengikuti fes-tival teater tersebut sebagai Final Examination padamatakuliahIntroductiontoperformingartcommunication.

Ajang festival teater merupakan hal yang biasa ditunggu kalangan pekerja seni. Pasalnya dalam ajang inilah, kemam-puan sebuah kelompok dapat dilihat dan diperhitungkan. Demikian halnya pada pe-

nyelenggaraan Theatre Festival LSPR, meski memiliki dasar penyelenggaraan festival yang sama, namun memiliki berbagai perbedaan .

Dalam LSPR Theatre Festival, laiknya sebuah sekolah seni semacam IKJ(InstitutKesenian Jakarta), merupakan salah satu ben-tuk pengujian (katakanlah ujian akhir semes-ter)matakuliahIntroductiontoPerformingArtsCommunicationyangdiperuntukanma-hasiswa LSPR di tahun pertama kuliah. De-mikiandikatakanDosen introductiontoPer-forming Arts Communication (IPAC) LSPR,

Rafael M. JolongBayan. Sementara itu, da-

lam festival pada umumnya, seperti Festival Teater SLTA atau Festival Teater Jakarta yang merupakan kelompok dan komunitas teater di SMA atau di Jakarta sema-ta-mata untuk memberikan apresiasi dan ajang mem-pertunjukkan kepiawaian dalam berteater, apakah itu pemeranan, penataan musik ataupun artistiknya, bebas dan tidak memiliki keterikatan. Namun dalam LSPR Theatre Festival, pe-serta sudah ditentukan dan

memiliki keterikatan atau merupakan kewa-jiban peserta, dengan kata lain mau tidak mau peserta harus mengikuti festival.

Unik memang, di Indonesia, selain universitas kesenian yang memiliki jurusan ilmu teater, baru LSPR lah yang melakukan ujian pertunjukkan drama dalam salah satu ujian matakuliahnya. Menurut Renata Tirta Kurniawan dibentuknya matakuliah IPAC merupakan salah satu hal penting di mana

drama merupakan salah satu bentuk komu-nikasi massa. Karena itulah mahasiswa LSPR, yang memang memiliki dasar keilmuan ko-munikasi mesti mengenal ilmu teater. Meng-ingat pentingnya drama sebagai salah satu bentuk komunikasi massa, maka dibesutlah LSPR Theatre Festival.

Dalam Festival yang ke 7 kali ini, digelar pada 20-27 juli 2011, bertempat di Prof. DjajusmanAuditoriumandPerformanceHallSTIKOM LSPR-Jakarta, LSPR menggelar 14pertunjukkan. “Pertunjukkan kali ini akan dilakukan oleh mahasiswa semester 2 yang terdiri dari 14 kelas,sedangkan pada febuari kemarin telah tampil 13 pertunjukan oleh mahasiswa semester 1.”, ujar Renata kepada dramakala. Dalam Festival kali ini digelar 14 pertunjukkan dari 14 kelas, yakni “Devil in A God’sHouse(14-23A)”,“CastSpell(14-12A)”,“Better Stories (14-22A)”, “Ebony Scrooge(14-8A)”, “TheUglyChick (14-24A)”, “Ghost(14-11A)”, “Cinderella theMusical (14-20A)”,“Glee:JourneytoSectional(14-7A)”,“FacingDeath (14-10A)”, “Nothing (14-27A)”, “The Negress (La Negra) (14-26A)”, “War Brides(14-9A)”, “Abortion (14-21A)”, “Home (14-19A)”

Keunikkan lainnya dalam LSPR The-atre Festival ini, adalah pemilihan naskah yang lebih mengikuti zaman (nge-pop,red) se-hingga animo ma-hasiswa maupun publik sangat besar. “Itu dapat dilihat dari penjualan tiket-nya, sold out, itu pun kalau itu bisa

LSPr Theatre Festival ke 7@14thMagnificent

dikatakan sebagai animo publik pada festival ini”. Tambah Renata.

Pada setiap pertunjukkan, ungkap Rafael “It Should be in English.”Jadi, janganharap penonton akan melihat pertunjukkan dalam bahasa Indo-nesia. Dosen mataku-liah IPAC asal Filipina ini menambahkan, penggunaan bahasa Ing-gris dalam pertunjukkan teater dimaksudkan untuk melatih mahasiswa berbicara dalambahasa inggris. Sedangkan pemilihan naskah, semuanya diserahkan kepada kelas masing-masing. “Adakalanya juga mereka membuat naskahsendiri,adajugayangmencaridiinter-net”,ucapRafael.

Rafael menambahkan, lantaran waktunya yang kurang, sebab rata-rata per-siapan pertunjukkan hanya berkisar dalam kurun waktu 3-4 bulan, ia tidak mengharus-kan mahasiswa membuat naskah sendiri. Se-bab untuk membuat naskah yang sempurna membutuhkan waktu yang relatif lama. Ke-banyakan dari mereka mengadopsi naskah atau cerita dari internet. Meski begitu, adajuga yang membuat naskahnya sendiri.

Dalam setiap penyelenggaraan LSPR Theatre Festival, kendala yang paling sulit adalah ketersediaan waktu mahasiswa. Lan-taran masuk dalam mata kuliah yang hanya memiliki 3 SKS, maka waktu yang dimiliki ma-hasiswa untuk persiapan pertunjukkan pun terbatas. Terlebih lagi mahasiswa juga mesti mempersiapkan ujian untuk matakuliah lain-nya. ***

peristiwa di atas adalah penampilan pem-buka dalam perhelatan Festival Monolog di Ruang Publik (FMRP) yang diseleng-garakan oleh Federasi Teater Indonesia. Sebanyak 16 peserta mengikuti ajang ini yang berlangsung selama 7 hari. Peserta tidak hanya dari Jakarta tetapi juga dari Bandung dan Surabaya. Dalam penjurian, penyelenggara mendatangkan pengamat

teater Afrizal Malna (Yogyakarta), aktor se-nior Budi Ros (Teater Koma) dan Yusef Muldi-yana (Bandung) Pada perhelatan yang sudah ke em-pat kalinya FMRP terus melakukan pergu-liranwacana.Dalampengantarnyadidiskusipembukaan FMRP dengan tema “aktor dan ruang publik”, Afrizal Malna mengemukanan bahwa ruang publik yang harusnya terus ter-libat dalam proses kualitatif kehidupan pub-lik, namun pada kenyataanya kini ruang pub-lik sepenuhnya sudah terambil sebagai ruang transaksi dan transpotasi (komersialisasi dan kapitalisasi ruang), ada politik identitas di da-lam ruang publik itu. Untuk itulah monolog ini dianggap sebagai media yang memungkinkan terjadinya momen di ruang publik.

Di ruang publik yang tidak hanya memiliki satu titik fokusmenuntutkecerdasansang aktor dalam merespon ruang, benda serta khalayak yang ada, teks-teks organik (istilah Afrizal) yang ada di ruang publik harusnya dapat diambil dan dirangkai men-jadi sebuah peristiwa estetik oleh sang monologer. Dalampentasnyadikalicili-wungkecerdasantubuhAn-wari dalam mengolah teks, ruang dan benda di ruang publik, seperti memainkan bangku plastik menjadi sep-erti penjara,mencari orang

tuanyahinggakepuncaktianglistrik,hinggamenceburkandirikekaliciliwungmerupakanbentuk-bentuk agresi yang memiliki nilai este-tik.Anwarimemilihciliwungsebagaitempatpentasnya dengan referensi peristiwa pem-buangan bayi , penemuan mayat yang sering terjadi di kali ciliwung, bagi anwari seoranganak sejak lahir sudah memiliki hak sebagai manusia. Mela-lui gagasan itu ia ber-cerita ten-tang hidup-nya yang kelam,yang lahir di ban-taran kali ciliwung, dit-inggal orang t u a n y a , disiksa sejak kecil. walauteks yang d i h a d i r k a n oleh Anwari masih diba-wa dari luar ruang publik yang dipilihnya, namun mampu merespon benda-benda dan ruang publik. Sebagian besar publik masih melihat aksi-aksi yang dilakukan monologer seperti orang gila atau stress, publik ada yang mera-sa terganggu ada juga yang ingin mengetahui apa yang terjadi, bentuk-bentuk yang men-jadikanpenontonmasihdibilangcukupmen-jadi pilihan favorit para monologer, walau adabeberapaaktoryangcobamasukdenganwajar namun besarnya fokus di ruang publik menenggelamkan sang aktor ketika teks yang dibawakan hanya sekedar klise tanpa adanya riset terlebih dahulu. Sebagai sebuah tontonan Dedi-esputra Siregar yang beraksi di lampu merah

Festival monolog di ruang Publik iV, Federasi Teater indonesiaProses mengenali dan mengintimi ruang publik sebagai ruang pertemuan bersama

Orang-orang berkerumun antrimenunggu bis, ada orang bermain layangan, ada pedagang asongan menjajakan jualan da-lamterikmatahariyangpasticukupmembuatnaik darah orang. Ada seorang pria berpaka-ian ihram berkepala botak, mengaku “aktor gagal” dia bercerita kepada khalayak kisah-kisah drama (tidak lengkap)karya pengarang besar. Kejadian ini terjadi di kawasan Mon-umen Nasional (Monas), Jakarta. Aktor itu diperankan juga oleh seorang aktor Galuh Tu-lus Utama dari Surabaya, dengan kostum itu galuhcukupmenarikperhatianorangnamunsimpati lebih yang diharapkan oleh “sang ak-tor gagal”, kurang menjadi respon khalayak yang sedang dibakar matahari itu. Sang aktor bertanya, meminta belas kasihan, satu dua orang ada yang mulai prihatin dengan memberi uang kepada sang aktor ketika berkisah, “saya ini aktor yang su-dah tidak laku, saya jauh dari Surabaya datang kesini”. Si ak-tor ikut ke bis ketika ada seorang laki-laki yang menaruh perhatian mengajaknya ikut namun diminta turun oleh petugas berpakaian batik. Ibu tua penjajah asongan menaruh simpati dengan kisah sang aktor, disisihkannya keun-tungan untuk sang aktor, si ibu tersentuh, sang aktor terharu. Festival Monolog di Ru-ang Publik kembali digelar, dan

Oleh:AhmadOlieSopan

Senen, Jakarta Pusat, terhitung cukup ber-hasil. Dengan kain putih yang diikatkan di pinggangnya ia memulai pertunjukan den-gan mengitari tiang penyanggga flyover dan memainkan gitar dengan sarung tangan dan bernyanyi lagu Indonesia Raya. Kemudian seperti terkukungnya negeri ini, dengan kaus merah dan kain putihnya yang membentuk bendera negara kita dililit oleh Dedies dengan

tali tambang. Den-gan keadaan tu-buh yang terikat Dedies memun-gut bantal bola dengan mulutnya, kemudian dengan langkah yang sulit itu Dedies menye-brangi jalan raya yang penuh den-gan lalu lalang kendaraan. Dedi-es berhasil men-curi perhatianpublik di kawasan itu, walau pada

nampaknya monolog yang dilakukan oleh Dediestidakjauhberbedadengansemacamseni performing art. Untuk itu Monolog hadir sebagai salah satu kesenian yang masih sangat me-mungkinkan menemukan terobosan- terobo-san baru dengan bertindak sebagai sebuah alat ekspresi dari lingkungan itu yang kemudi-an disampaikan oleh sang monologer dengan nilai-nilai estetik. Mengutip kalimat Afrizal “Seni di ruang publik lebih untuk menggoda berbagai proses transaksi sosial-ekonomi di sana. Seni dihadirkan untuk mendistraksi prosesinikearahmunculnyakepedulian,per-temuan sesama manusia. Semua yang terkait dengan terjadinya proses kualitatif kehidu-pan publik itu sendiri”(baca : tubuh ketigadari agresi ruang publik).***

Fotografer : aditya ranggga/ade Bajul

Fotografer : aditya ranggga/ade Bajul

Fotografer : LSPR Fhotografi

renata tirta

rafael M. jolongbayan