dramakala 10

8
drama kala media komunikasi dan informasi teater E d i s i A G U S T U S - S E P T E M B E R 2 0 1 2 10 2 4 3 8 WACANA BERITA UTAMA KHASANAH MATA KALA Patriotisme dalam Panggung Teater Indonesia Teater Indonesia Kini: Teater Hampa di Padang Gurun (Bagian 2) Patriotisme dalam Panggung Indonesia Ekspresi Patriotik dalam Masyarakat Patriotisme dan Panggung Teater

Upload: lspr-jakarta

Post on 22-Mar-2016

252 views

Category:

Documents


11 download

DESCRIPTION

dramakala 10

TRANSCRIPT

Page 1: Dramakala 10

dramakalamedia komunikasi dan informasi teater

Edisi AGUSTUS - SEPTEMBER 201210

2

43

8

WACANA

BERITA UTAMA

KHASANAH

MATA KALA

Patriotisme dalam Panggung Teater Indonesia

Teater Indonesia Kini: Teater Hampa di Padang Gurun (Bagian 2)

Patriotisme dalam Panggung Indonesia

Ekspresi Patriotik dalam Masyarakat

Patriotisme dan Panggung Teater

Page 2: Dramakala 10

2 Edisi 10 - Agustus - September 2012 KALA MEMBACA

Pembaca dramakala yang mulia, bukan semata untuk merayakan hari kemerdekaan bangsa kita, maka edisi kali ini menyoal tema “Patriotisme dalam Panggung Teater Indonesia”, tetapi juga bersebab didasari oleh kenyataan minimnya tema-tema teks dramatik atau pemanggungan yang menguarkan semangat termaksud itu, padahal bukankah teater sesungguhnya berhadapan muka pula dengan persoalan-persoalan aktual bangsa dan negara ?

dramakalais yang terkasih (izinkan kami menggunakan istilah ini untuk menyebut anda semua sebagai bentuk penghargaan kami atas kesetiaan anda membaca koran dramakala ini) bila kita berjalan keliling pelosok-pelosok daerah dan kampung pada bulan Agustus ini, maka ada banyak kita jumpai panggung-panggung didirikan untuk menjadi media penyampai ekspresi seni budaya dan apresiasi terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara, khususnya dalam konteks merayakan hari kemerdekaan RI. Menjadi menarik ketika kemudian kita mengetahui bahwa ternyata ada banyak kelompok teater dan persona aktor yang kita kenal sekarang ini mengawali perjalanan teaternya dari panggung-panggung teater tujuh belasan ini, paling tidak mereka memang pernah bersentuhan daripadanya.

Lewat beberapa nara sumber yang kami wawancarai baik melalui telepon atau langsung bersitatap muka, kami coba mendiskusikan tema ini. Ada banyak hal menarik yang terbicarakan, dan harapannya tentu saja melalui topik bahasan kali ini akan dapat merangsang para pewujud teks dramatik atau pewujud pemanggungan bisa mendekati tema-tema yang lebih dekat dengan kehidupan lingkungan dan masyarakatnya, tidak melulu persoalan “dewa-dewa” atau persoalan-persoalan yang “absurd’ yang justru menjauhkan teater dari publiknya.

Redaksi

dramakalaDewan Eksekutif IDEAL

Pembina : Prita Kemal Gani, MBA, MCIPR, APRPenasihat : Arswendo AtmowilotoDirektur Internal : Chrisdina WempiDirektur Eksternal : Rafael JolongbayanGeneral Manager : Renata Tirta KurniawanKoordinator : Maulia Rori Rarasati

Dewan Redaksi

Pimpinan Redaksi : Harris Priadie BahWakil Pimpinan Redaksi : Andi BersamaStaf Redaksi : Dediesputra Siregar Dendi Madiya Hery SaragihEditor : Malhamang ZamzamLayout : Aditya Nugroho Pratomo

Alamat RedaksiSTIKOM The London School of Public Relations - JakartaKomplek Perkantoran Sudirman ParkJl. K.H. Mas Mansyur Kav. 35Jakarta Pusat 10220

WACANA

dramakalaDewan Eksekutif IDEAL

Pembina : Prita Kemal Gani, MBA, MCIPR, APRPenasihat : Arswendo AtmowilotoDirektur : Chrisdina WempiGeneral Manager : Renata Tirta KurniawanKoordinator : Maulia Rori Rarasati

Dewan Redaksi

Pimpinan Redaksi : Harris Priadie BahWakil Pimpinan Redaksi : Andi BersamaStaf Redaksi : Dediesputra Siregar Dendi Madiya Hery SaragihLayout : Aditya Nugroho Pratomo

Alamat RedaksiSTIKOM The London School of Public Relations - JakartaKomplek Perkantoran Sudirman ParkJl. K.H. Mas Mansyur Kav. 35Jakarta Pusat 10220

CoverTeater Biru 42 “BLONG”

Oleh :Fathul A. Husein

TEATER INDONESIA KINI: TERIAKAN HAMPA DI PADANG GURUN

(Bagian 2) Sutradara NEO Theatre. Dosen Jurusan Teater STSI Bandung,

Fakultas Filsafat dan Pusat Kajian Humaniora Universitas Katolik Parahyangan.

Ketiadaan model kritisisme baru, berikut sang kritikusnya, telah

menyebabkan diskoneksi yang parah dan menjatuhkan fenomena beragam peristiwa teater ke dalam kubangan. Tidak ada hal yang gayung bersambut antara pencapaian estetika dan para-digma teater masa kini, pada satu sisi, dengan perspektif kritis yang mem-perdebatkannya, pada sisi yang lain. Yang satu masa kini, yang satu jadul. Kondisi ini makin merana dengan ab-sennya itikad-itikad kajian dan pene-litian seni yang berbobot dan cerdas, khususnya teater, yang makin jauh panggang dari api. Ironis sungguh, pada saat dunia (seni) teater kita se-makin banyak melahirkan sarjana-sar-jana seni, bahkan doktor-doktor teater mulai berbaris, namun kenyataannya peristiwa-peristiwa teater yang bah-kan amat signifikan pencapaian este-tiknya luput pula dari terjangan pena dan alam pikir ’kaum intelektual’ itu. Fenomena teater kita yang kaya nyaris berjalan sendiri tanpa dukungan wa-cana-wacana yang mumpuni. Yang ke-banyakan ada cuma kajian-kajian atau riset-riset yang melulu bersifat ’ngela-ba’, bukan sungguh-sungguh memper-taruhkan kualitas kepakaran. Lalu apa saja yang mereka kerjakan dengan kedoktorannya? Semata-mata menja-dikannya sebagai alat untuk memetik jabatan dan kedudukan formal aka-demik? Entahlah.Tapi kalau itu benar, matilah kebudayaan teater kita, seperti tercermin dalam kematian forum-forum diskusi atau seminar teater, yang me-mang semakin langka, yang hampir selalu dihuni oleh pengamat-pengamat

dan seniman-seniman masa lalu yang sudah ahistoris dan lelah.

Hal lain yang membuat pilu teater kita tentu saja kemiskinan. Kemiski-nan yang sistematik dan terstruktur. Muncul dari kemiskinan infra-struktur dan supra-struktur. Inilah wajah teater compang-camping yang tampil tanpa sarana-prasarana, tanpa dana, tanpa pembelaan dan dukungan kebijakan pemerintah sebagai ’orang tua’ kebu-dayaan, tanpa kualitas festival-festival bergengsi dan berjenjang dari akar rum-put hingga menuju ke keindonesiaan, tanpa art space yang memadai, tanpa dukungan politik media, tanpa penghar-

gaan-penghargaan atas kreativitas dan kesetiaan, tanpa proyek-proyek pelati-han dan workshop-workshop yang rinci dan efektif, yang ada malah matinya kri-tik dan pupusnya praktik-praktik pewa-canaan yang menganga lebar. Teater Indonesia adalah bola liar dalam ranah tak bertuan. Yang ada hanyalah kebe-basan tanpa ukuran, tanpa parameter, tanpa standar-standar kualitas obyektif yang telah semestinya dijaga oleh ke-luhuran dan kearifan institusi-institusi teater yang disepakati bersama. Alha-sil, orang boleh semau-maunya meng-klaim diri sebagai kelompok teater terbaik, kelompok teater paling kon-temporer, aktor paling keren, sutrada-ra paling produktif, dan lain-lain. Bagi mereka yang gemar melakukan ’politik

teater’ (harap dibedakan dari teater politik), kongkalikong dengan kepentin-gan basis-basis kekuatan tertentu (so-sial, politik, media, dll), lumrahnya akan gampang mendapat dukungan kokoh untuk mengumumkan klaim-klaim ser-ba ’terbaik’ tersebut. Bagi mereka yang tidak demikian, dan tetap lebih memilih menjaga spirit ’kemurnian’ teater, tentu harus legowo untuk tidak mendapat pengakuan apa pun. Bahkan tanpa re-jeki dan hanya bisa gigit jari.

Kemiskinan teater juga berarti tiadanya pemangku-pemangku ke-pentingan (stake holder) yang bisa turut merawat dan menumbuhkan.

Dunia teater kita hanya didiami oleh orang-orang teater itu sendiri, ditonton hanya oleh orang-orang teater sendiri (pengecualian hanya untuk segelintir-dua gelintir kelompok), justru pada saat kita amat membutuhkan manajer-manajer handal, kurator dan kritikus keren, peneliti dan pengkaji yang jeli, ahli-ahli ilmu, ahli-ahli filsafat, ahli-ahli komunikasi, bahkan ’politisi’ seni, se-lain keterlibatan empatik dari lapis-lapis struktur sosial yang lebih luas. Teater kita haya dihuni oleh seniman-seniman teater itu sendiri; sutradara, aktor, dan para desainer pentas, yang seluruh en-erginya telah habis ditumpahkan untuk penciptaan estetika dan tidak pernah mengerti bagaimana cara bergaul un-tuk menciptakan jejaring dan sokon-

gan finansial. Energi kreatif yang papa, terus terkuras, dan tak tergantikan oleh sekedar dukungan vitamin dan seong-gok nasi bungkus. Kemiskinan macam itu pula yang menyebabkan media merasa tidak berkepentingan untuk menjalankan politik pemberitaan den-gan apik dan bernas. Karena tidak ada pesona ’kemewahan’, kesegaran yang wangi, nilai-jual, kecuali kepercayaan diri dan kesetiaan penggemarnya yang tidak banyak, yang bisa ditawarkan se-hingga orang bisa merasa terpikat dan berkepentingan dengan teater, justru setelah teater gigih menggali realitas-realitas pelik yang tersembunyi dalam kehidupan dan memunculkannya ke permukaan untuk menonjok kesadaran manusia yang kerap beku, baik indivi-du maupun sosial.

Kini tinggal tentukan sendiri; me-milih tetap mengimani teater sebagai kekuatan spiritual yang asketis namun sanggup menggempur kesadaran dan mata batin manusia, atau sebaliknya berkelojotan dalam kubangan pragma-tis untuk menggondol popularitas dan setumpuk rejeki. Orang teater bebas memilih, namun eksistensi dan mak-na kesejatian hanyalah jalan setapak yang hanya bisa dilalui seorang diri, dalam diam yang bergemuruh, dalam hasrat-hasrat yang telanjang dan papa. Teater Indonesia tidak pernah mati dalam kondisi terburuk sekalipun, karena manusia-manusia yang berada di dalamnya mengerti keniscayaan dari ’jalan setapak itu’. Moga!***

Setelah berakhirnya era dominasi para pelopor dan soko guru (seperti Suyatna Anirun, Teguh Karya, Wahyu Sihombing, WS. Rendra, Arifin C. Noer, Putu Wijaya, dll), Teater Indonesia

masa kini tak ubahnya padang pasir yang tak bertuan.

Page 3: Dramakala 10

terhadap rakyat yang dijarah nasib dan hak asasinya oleh penjajah dulu. Tema-tema dari naskah-naskah “patriotisme” dan “nasionalisme”, ini sungguh-sung-guh menarik bila dijadikan bahan untuk explorasi/penggalian bagi karya kreatif teater. Ia terjadi di kedalaman bumi negeri sendiri dan teramat dekat dalam keseharian. Masih faktual antara tema dengan situasi kekiniannya. Tema bo-lehlah “baheula” tapi idiom penguca-

pan dan ketang-kasan dramatik connect dengan situasi kekinian. Tema yang be-rangkat dari ling-kungan paling

dekat, membuka ruang untuk ket-erlibatan emosi penonton.

A g a k n y a itu yang mem-buat Helvy salut pada Iman Soleh dari Celah Celah Langit (CCL) Bandung, sebuah komunitas kes-enian yang san-

gat aktif memberdayakan masyarakat sekitarnya lewat jalan kesenian. Se-bab kalau bikin pertunjukan, Pak RT ikut main, tukang cendol main, orang

terminal dekat rumahnya bisa main, bisa diajak untuk pertunjukan, bah-kan itu bisa dibawa ke luar negeri, yang main ya orang-orang kampung di sekitar komunitas itu. Baik sekali bagaimana dia dan teaternya mem-berdayakan masyarakatnya. Pada akhirnya orang-orang kampung di lingkaran CCL itu benar-benar men-jadi komunitas yang solid dalam bermasyarakat dan berkesenian.

Saya kira itu contoh yang bagus. Jadi bagaimana teater adalah masyara-kat, dan masyarakat adalah teater itu sendiri. Mungkin dalam momen ke-merdekaan ini, kita bisa jadikan kes-empatan tersebut untuk merayakan arti kemerdekaan dengan semangat ber-kreatifitas tanpa lelah dalam menggali kembali kekuatan dan sumber yang begitu kaya dari bumi tercinta Indone-sia.*** (ab, her, den, hpb)

Dan di setiap acara 17 Agus-tusan di kampung-kampung dan pelosok, drama berte-

makan perjuangan selalu yang paling ditunggu-tunggu seluruh penonton. Panggung teater Indonesia telah di-ramaikan oleh patriotisme dan peng-galangan nasionalisme demi meleng-kapkan arti dan makna kemerdekaan di jiwa rakyat Indonesia. Selalu saja penjajah sebagai pihak antagonis ha-rus terkalahkan oleh pejuang-pejuang republiken sebagai protagonis. Konflik pada tengah pertunjukan sering pula digunakan dalam teks dramatik, tentu bertujuan untuk lebih melibatkan emosi penonton dan menguatkan struktur. Ruang-ruang itu kemudian diisi dengan pertarungan protagonis dan antagonis. Dengan demikian tentara-tentara pen-jajah harus kalah. Pejuang-pejuang ke-merdekaan dan rakyat harus menang. Happy ending. Modus seperti ini ham-pir semuanya terjadi pada naskah-naskah drama perjuangan tempo itu. Misalnya “Fajar Sadiq” (karya Emill Sanossa), atau “Bebasari” (Roestam Effendi), juga “Domba-domba Revolu-si” (B. Soelarto). Di era pembangunan, patrio-tisme “bergeser”, mewujudkan ben-tuknya tidak lagi sebagai penjajah dari negeri sono. Tetapi justru muncul dalam rupa-rupa bentuk dari perut ne-gerinya sendiri. Maka tema-tema pen-indasan hak asasi oleh penguasa ter-hadap rakyat kebanyakan, perlawanan rakyat terhadap kesewenang-wenan-gan, menciutnya jiwa nasionalisme, menjadi pilihan tema pada sejumlah penulis naskah teater. Misalnya, untuk menyatakan kemuakannya pada situa-si absolut kekuasaan orde baru, Putu Wijaya menulis naskah berjudul “Bom”, sementara dengan makin menghilan-gnya jiwa nasionalisme, pengarang yang sangat produktif ini pun menu-liskan naskah berjudul “Blong”. Se-dangkan penulis sekaligus sutradara, Ratna Sarumpaet, tampil dengan gu-gatan-gugatan sosialnya, di antaranya “Marsinah Menggugat”, “Alia, Luka Serambi Mekah” atau yang paling mu-takhir “Jamila dan Sang Presiden”. Tampak di tangan kedua penulis yang sekaligus sutradara panggung dan film ini, tema yang dekat keseharian menjadi makanan yang menyehatkan untuk keduanya menuliskan dan me-manggungkan “patriotisme” “nasional-isme” dalam tafsirnya yang kekinian. Rupanya kreatifitas dituntut betul untuk “mengkinikan” tema lama patriotisme. Tantangan Kreatif Tetapi mengapa tema-tema dalam teks dramatik itu kini nyaris tak disentuh oleh grup teater sekarang?

Dianggap kurang berbobotkah tema itu dimunculkan dalam situasi kekinian? Dan bagaimana pula caranya agar konteks kekinian terasa kuat dari tema (lama) yang dianggap kurang berbobot itu?

Grup teater sekarang cend-erung menjauh dari tema patriotisme, kata Wawan Sofwan, aktor dan juga sutradara Main Teater Bandung, itu lebih pada sisi kontektualisasi atau adaptasi terhadap tema. “Jadi memang perlu peninjauan lagi naskah perjuan-gan itu” usul aktor yang pernah memon-ologkan sosok Bung Karno. Wawan mengatakan, kalau penulis dulu menu-liskan naskah dalam bentuk penjajah-an kolonial Belanda dan imperialisme,

sekarang penjajahannya adalah liberalisme dari sisi ekonomi. Lawan kita sekarang secara fisikal dari dalam negeri send-iri berupa korupsi. Nah, bagaimana rasa patriot kita melawan korupsi, ini dapat dipentaskan.

Atau soal kelangkaan kedelai seperti yang tengah terjadi saat ini, dari sisi perjuangan perajin dan pertanian yang bahan bakunya malah impor dari Amerika, padahal kita bisa swasembada. Ini menarik bila dibang-kitkan, dan bentuknya dapat dengan pendeka-tan seperti naskah-nas-kah perjuangan juga. Naskah-naskah

lama, menurut Agus Noor, penu-lis naskah untuk Teater Gandrik-Yogyakarta, di-tulis tidak seka-dar penegakkan k e m e r d e k a a n pada masa lalu, tapi dari masa itu ada relevansinya

pada hari ini. “Seperti naskah Domba-Domba Revolusi, dicari sekarang apa yang menjadi kontek hari ini. Bagi saya adalah sisi ketidakjujuran. Ini bisa diak-tualisasi pada hari ini. Atau soal rele-vansi, soal tidak punya kepemimpinan hari ini dibanding pada masa naskah itu ditulis” ujarnya kepada dramakala, melalui ponsel. Pentas naskah per-juangan bukan soal cerita naskahnya, lanjut dia, asal mampu menemukan ru-musan pada naskah itu sendiri. ”Saya akan pentaskan naskah Amuk, misal-nya, ini naskah karya kontemporer, tapi bisa dipentaskan juga di panggung 17-an. Panggung adalah peristiwa sosial interaksi yang membentuk relasi ruang

komunikasi tersendiri,” pungkasnya. Bagi Wawan, naskah-naskah

lama, masih menarik diproduksi den-gan konteksnya pada situasi sekarang. Ia mengingatkan, naskah-naskah lama semacam “Bebasari”, tidak boleh kita lupakan. Biar bagaimana pun mereka punya sejarah dalam konstalasi Indo-nesia. Agus Nuramal atau lebih dikenal dengan sebutan Agus PM Toh, aktor yang banyak melakukan aksinya lewat penceritaannya yang imajinatif den-gan memakai alat-alat apa saja yang ada itu, menambahkan bahwa sejarah dan patriotik tetap penting untuk situasi kekinian. Pada momen-momen sep-erti 17 Agustus atau 10 November, itu adalah momen-momen yang mendi-dik masyarakat tentang sejarah. Pent-ingnya di situ, bagaimana masyarakat mengetahui tentang sejarah. Proklam-asi, misalnya, bukan hanya persoalan angkat senjata. Tapi dapat pula ditafsir-kan dalam konteks kekinian di mana di dalamnya terdapat perjuangan-per-juangan diplomatis. Dengan bahasa lain, dapat dikatakan dibutuhkan pen-getahuan dan idiom-idiom baru untuk menafsirkan atau melakukan adaptasi. Helvy Tiana Rossa, seorang penulis yang cukup produktif dan ketua dari Forum Lingkar Pena, menyayang-kan generasi teater sekarang cend-erung menjauhi tema tersebut. Jika dianggap “baheula” ia mengatakan justru di situlah tantangan kreatif perlu di kedepankan. Tantangan bagi para seniman, juga tantangan bagi para pendidik, yaitu bagaimana caranya kita mengemas pertunjukan yang bisa fun buat mereka tapi juga “dalam” maknan-ya. “Saya kira ini tantangan juga buat sanggar-sanggar supaya bisa lebih dekat dengan masyarakat, dengan anak-anak muda sekitar. Kalau dulu, waktu saya kecil sering ada sang-gar-sanggar, semacam karang taruna yang juga banyak anak-anak teater yang gabung di situ. Jadi tidak cuma dengan kelom-pok teaternya saja tapi ikut urun rembug juga ketika ada 17-an di masyarakat” ujar Helvy.

MelibatkanSementara itu, naskah-naskah

drama yang lahir dari penulis seperti Ratna Sarumpaet, Putu Wijaya mis-alnya, tampak kentara gegap gem-pita nasionalisme dan patriotik dalam situasi jamannya. Membela hak kaum papa yang tertindas oleh keseraka-han kekuasaan, perjuangan keadilan, perang melawan penindasan dan ke-angkuhan suatu rejim, persis semodel dengan pembelaan para republiken

3BERITA UTAMA

Patriotisme dalam PanggungSeiring kiprah kemerdekaan, teater Indonesia telah menebarkan patriotisme dan

perlawanan terhadap penjajahan dengan caranya sendiri. Itu ditunjukkan dengan bermunculannya naskah-naskah drama perjuangan. Teks-teks dramatik itu sekaligus

menghadirkan struktur dan konsep pemanggungannya.

Teater Indonesia

Agus Nuramal

Helvy Tiana Rossa

Ratna Sarumpaet

Putu Wijaya

Iman Soleh

Agus Noor

Wawan Sofyan

Edisi 10 - Agustus - September 2012

Page 4: Dramakala 10

4 KHASANAH

SEBELUM PERTUNJUKAN

Dalam rangka memeringati hari la-hirnya yang telah memasuki usia

seperempat abad, Teater Syahid UIN Jakarta akan memersembahkan se-buah pementasan dengan judul ”Jales-veva Jayamahe”. Ini merupakan nas-kah karya Eddie Klenk Pablo (alm), salah seorang anggota Teater Syahid yang sangat produktif dan konsisten berkarya. Pementasan disutradarai oleh Aries Budiono, dengan pimpinan produksi Sir Ilham Jambak. Pemen-tasan akan dilaksanakan di Gedung Kesenian Jakarta (GKJ), tanggal 11-12 Oktober 2012.

Naskah ”Jalesveva Jayamahe” tiga tahun lalu pernah dipentaskan di ruang terbuka (teater halaman) UIN Jakarta dua malam. Bertindak seb-agai sutradara sang penulis naskah sendiri yang telah wafat dua tahun lalu karena serangan penyakit. Pentas kali itu menarik, ditunjukan dengan jumlah penonton yang cukup banyak. Tapi sekarang dipentaskan kembali den-gan konsep yang berbeda serta ket-erlibatan pemain yang berbeda pula. Pementasan kembali dalam rangka seperempat abad Teater Syahid ini,

sekaligus sebagai salah satu bentuk apresiasi keluarga besar Teater Syahid terhadap almarhum Eddie Klenk Pablo atas dedikasi dan karya-karyanya se-lama hidup bersama Teater Syahid.

Pemilihan terhadap tim artistik dan tim produksi diputuskan melalui diskusi bersama dengan memertim-bangkan kompe-tensi, pengem-bangan anggota atau kaderisasi, dan konteks ke-pentingan proyek saat garapan b e r l a n g s u n g . Pentas ini diper-siapkan selama 3 bulan (efektif),

di mana satu bulannya berlangsung di saat puasa ramadan. Hingga saat ini, menjelang libur lebaran, tahapan lati-han sudah memasuki blocking kasar dan pemantapan pemeranan. Seluruh pemain dan pendukung yang terlibat dalam pementasan ini adalah keluarga besar Teater Syahid, baik anggota aktif

maupun alumni. Karena itu dapat dikatakan bahwa pementasan kali ini adalah 100 persen Teater Syahid, karena tidak melibatkan atau berkolab-orasi dengan pi-hak lain.

Pentas Seperempat Abad Teater Syahid

Latihan Teater Syahid

Isu NelayanDibanding dengan pementasan

pertama 3 tahun lalu, penggarapan ”Jalesveva Jayamahe” kali ini sudah dilakukan adaptasi dan pengemban-gan cerita yang disesuaikan dengan kebutuhan pentas dan situasi kekinian. Misalnya akan ada penambahan tokoh dan penajaman konflik. Konsep pertun-jukannya akan realis, dengan penataan panggung yang simbolik-imajiner.

”Jalesveva Jayamahe” hemat kami, sangat menarik. Mengangkat tema tentang pergulatan rakyat kecil yang terpinggirkan dan tak berdaya. Berkisah tentang sekelompok ma-syarakat kampung nelayan, yang kam-pungnya akan tergusur kepentingan industri pariwisata. Sementara mereka sebagai nelayan tak lagi mampu mem-beli bensin untuk melaut, hutang yang makin menumpuk, tangkapan ikan minim karena bersaing dengan kapal-kapal penangkap ikan canggih berben-dera asing. Cerita dikemas dengan isu-isu aktual.*** (ab)

Baru beberapa bulan lalu menggelar pentas Sjech Siti Jenar karya Saini KM di Teater Kecil TIM, sutradara Arie F. Batubara, Teater Syahid kembali manggung. Kali ini mengangkat naskah karya ”orang dalam”, sutradara pun demikian, pemain,

kru artistik, dan musik pun idemdito. Tidak seorang pun melibatkan orang luar. 100 persen Teater Syahid sehubungan merayakan

seperempat abad usia.

PengantarSecara sederhana patriotisme

adalah cinta tanah air atau cinta bang-sa dan negara dengan kerelaan meny-isihkan kepentingan diri sendiri. Sep-erti halnya cinta dalam bidang apa pun adalah berupa perbuatan, bukan han-ya realitas pikiran dan hasrat. Justru kadang tindakan patriotis melampaui pikiran atau akal sehat, yang berarti patriotism lebih berpangkal pada has-rat membela tanah air yang sudah ter-tanam dalam bawah sadar seseorang.

Itulah sebabnya patriotism sering dihubungkan dengan nilai keberani-an. Keberanian tidak dapat dipelajari dari buku-buku, atau keberanian tidak dapat dibentuk dengan pengetahuan yang bersifat pikiran. Anda boleh mem-baca tentang arti keberanian atau cinta tanah air dari sekian banyak buku, na-mun kecil kemungknan Anda akan be-rani berbuat patriotik.

Patriotisme berhubungan den-gan naluri dan rasa yang langsung diwujudkan dalam perbuatan nyata. Patriotism tidak dipelajari tetapi bias ditularkan melalui getar perasaan. Dan perasaan muncul dari bawah sadar akibat mengalami suatu kenyataan. Interaksi pengalaman yang membuat suatu tindakan petriotik dapat tertanam pada sanubari seseorang.

Dalam hal ini kejadian artifisial teater yang menyuguhkan kegiatan pa-

triotik dapat saja menularkan naluri ke-beranian berkorban demi negara dan bangsa, seperti halnya menonton film patriotik atau membaca novel patriotik. Teater adalah tontonan yang harus di-alami bersama sehingga terjadi interak-si perasaan dan naluri antara kejadian di panggung dengan penontonnya, di samping adanya interaksi verbal beru-pa kata-kata atau buah piiran. Teater pada prinsipnya adalah komunikasi perasaan dan naluri yang diwujudkan dalam kejadian yang dapat dialami pe-nontonnya. Komunikasi pikiran bukan merupakan bagian utamanya, tetapi hanya melengkapi pengalaman rasa di panggung. Kalau teater adalah ko-munikasi pikiran, apa bedanya dengan membaca telaah patriotism dalam bu-ku-buku ilmiah?

Dengan demikian mengamati ni-lai patriotisme dalam panggung teater Indonesia berarti mengamati nilai-nilai kejadian di panggung teater yang dapat membangkitkan naluri patriotisme bagi penontonnya. Tetapi teater adalah pen-galaman seni yang bersifat sesaat aki-bat adanya komunikasi rasa dan naluri antar kejadian panggung dengan pe-nontonnya yang hadir pada saat itu.

Apa yang tersisa dalam penga-matan ini adalah hanya naskah-nas-kah tertulis, yang berarti pikiran, yang masih harus diterjemahkan dalam peristiwa pengalaman panggung. Dan

dokumentasi pengalaman itu tidak per-nah ada. Dengan demikian tulisan ini hanya mampu melacak “bahan men-tah” teater yang mempermasalahkan kecintaan tanah air, Negara dan bang-sa, dengan mengabaikan kepentingan dirinya sendiri.

Naskah teater hanya kemung-kinan potensi yang dapat diwujudkan dalam peristiwa panggung. Bahkan tanpa naskah pun sebuah panggung dapat membangkitkan naluri patrio-tisme dalam pertunjukan teater. Teater rakyat Indonesia yang hidup dalam bu-daya lisan mampu membangkitkan ber-bagai pengalaman rasa, entah horror, romantisme, patriotisme, kepada para penontonnya. Sebalilknyasebuah nas-kah yang penuh pemikiran patriotisme kadang justru tak membangkitkan rasa patriotik karena absennya kejadian pa-triotik di panggung.

Patriotisme Dalam Teater IndonesiaKalau disimak sejarah munculnya

seni teater modern dalam masayarakat Indonesia, justru digerakkan oleh se-mangat patrotisme para pelaku teater. Apa yang saya maksud dengan “mod-ern” di sini menghindari dekat filosofis yang akhir-akhir ini ramai diperbincang-kan dalam wacana modern-post mod-ern. Modern di sini saya pertentangkan dengan teater yang tumbuh sejak lama di Indonesia, yang berkembang dalam

budaya lisan, campuran lakon, musik, tari, dan sastra (bahkan juga bau ke-menyan) dengan teater baru yang kita jiplak dari tradisi Eropa yang berdasar-kan naskah tertulis yang berisi lakon dan kemudian diterjemahkan dalam peristiwa di panggung.

Para penulis naskah teater In-donesia pada mulanya adalah kaum terpelajaryang aktif bergerak dalam pergerakan nasional. Penulis awalnya adalah Rustam Effendi yang pada tahun 1926 menulils dan mementaskan nas-kah Bebasari. Penulis ini adalah guru yang kemudian aktif dalam pergerakan nasional menentang kolonial. Naskah ini dipentaskan pertama kali di sebuah sekolah di Sumatra Barat oleh Rustam Effendi dan murid-murid serta rekan-rekan guru , namun kemudian dilarang oleh kepala sekolahnya yang Belanda.

Kepala sekolah Belanda ini tidak buta teater akibat sistem pendidikan Belanda di negaranya, dan mengetahui makna di balik naskah Rustam Effendi yang alegoris ini. Bebasari adalah pu-tri jelita symbol pertiwi Indonesia yang ditawan oleh Rawana symbol Belanda. Puteri ini merindukan pemuda tampan Bujangga untuk membebaskannya dari cengkeraman si angkara murka. Setelah berbagai konflik batin antar ke-pentingan diri dan kepentingan umum, maka Bujangga dapat membebaskan putrid dari Rawana... (bersambung)

PATRIOTISME DAN PANGGUNG TEATER Oleh :Jakob Soemardjo

Edisi 10 - Agustus - September 2012

Page 5: Dramakala 10

Saat gong tiga kali berbunyi, per-tunjukan dimulai dengan tidak memati-kan lampu auditorium terlebih dahulu, seperti umumnya pergelaran teater. Hal itu terjadi di Graha Bhakti Budaya Taman Ismail Marzuki Jakarta pada 3 Agustus 2012 jam 19.50 WIB. A Musi-cal Drama Inspired by True Events yang berjudul “Menjemput Impian, an epic journey” yang dipersembahkan oleh True Spirit Performing Arts, sebuah lembaga yang bergerak di bidang seni tari tradisional Tiongkok, Indonesia, Asia. Lembaga ini bertujuan mengem-bangkan kreatifitas anak muda melalui kegiatan yang positif dan memerkenal-kan budaya tradisional sebagai akar

dan identitas bangsa. Produksi ini di-organized by Langgeng Pariwara Inter-national.

Kisah dalam pertunjukan terin-spirasi dari peristiwa nyata di tahun 1900-an, saat negara China mengha-dapi banyak masalah akibat lemahnya pemerintahan, masuknya kekuasaan Eropa dan Jepang, serta timbulnya perang saudara. Rakyat China san-gat menderita dan memutuskan untuk merantau ke berbagai negara untuk mewujudkan impian mereka. Hal itu ter-tulis dalam buku acara yang dibagikan kepada seluruh pengunjung pertun-jukan. Kisah yang ingin disampaikan seorang kakek yang muncul memulai pertunjukan, dengan terlebih dahulu menyampaikan pesan yang diambilnya dari gedung teater seperti;...memati-kan alat komunikasi dan seterusnya. Kakek itu menempati posisinya di de-pan speaker out, bagian kanan depan di luar panggung, saat layar masih tut-up. Kemudian kakek itu memanggil cu-cunya, yang sibuk keasyikan bermain gadget. Cucu itu datang dari barisan kursi penonton, menghampiri sang ka-kek. Kakek pun menceritakan tentang perjuangan hidup bersama saudara

dan keluarganya saat tinggal di sebuah desa di China.

Lampu auditorium fade out ber-sama layar panggung dibuka, memulai semacam flash-back. Menampakkan pemandangan alam pegunungan on the screen, melatar-belakangi sebuah rumah panggung yang kecil, di be-lakang aktifitas memasak seorang ibu dengan menggunakan tehnik pembe-saran suara on sound-system pada irama penggorengan. Di kiri tengah panggung ada meja besar dikelilingi kursi-kursi. Satu persatu keluar dari dalam rumah panggung kecil itu. Jum-lahnya cukup memberikan gambaran, bahwa mereka berdesakan berada di dalam rumah seperti itu.

Pada sebuah suasana pagi hari, saat bangun, mandi dan melaksanakan aktifitas biasa, seperti perempuan me-nyapu halaman, memersiapkan dan mengatur makanan, para lelaki harus menunggu saat tiba pada waktunya. Mereka pun makan bersama. Dan, selalu ada dalam setiap keluarga, seorang anak berbeda dengan lain-nya, yaitu ada yang masih tidur. Hal itu seperti bermanfaat bagi kondisi mer-eka yang selalu kekurangan makanan.

Namun, saat anak itu bangun dan tidak mendapat bagian makanan, ia masuk kembali ke dalam rumah. Ternyata anak itu punya simpanan makanan. Semua kecele, bukan kekurangan, tapi bikin cemburu yang lainnya. Anak itu pun dikejar-kejar. Datanglah seorang Da Ge (kakak tertua) yang sangat di-hormati oleh anggota keluarga yang lain. Dia yang mengatur dan menjamin semua kehidupan adik-adiknya.

Selanjutnya adegan tarian pup-pet, simbol kesumpekan dan kenyata-an yang terkekang seperti boneka. Pertunjukan diganjal stop-motion ani-mation, yang menggambarkan dunia impian dan harapan. Menurut cerita kakek, untuk menggapai masa depan yang lebih baik, mereka memberani-kan diri pergi berlayar dengan menant-ang angin, ombak, bahkan badai. Hing-ga ada tawaran kerja ke Indonesia, akhirnya mereka tiba di negara tujuan itu.*** (ded)

5SETELAH PERTUNJUKKAN

“Menjemput Impian, An Epic Journey”SETELAH PERTUNJUKKAN

Sebuah drama musikal yang mencoba merajut impian anak muda keturunan Tioghoa ..

Dialog Play-back, Tari, Nyanyi dan Multimedia Animasi Merepresentasikan Kegembiraan Anak-anak

“Ini sebuah gagasan acara untuk meny-elamatkan program memeriahkan Hari Anak Nasional 2012 di Taman Ismail Marzuki (TIM), karena sekian organizer yang berkeberatan pada penyelengga-raan di bulan Ramadhan ini. Produk-si ini disiapkan dalam waktu kurang lebih selama dua sampai tiga bulan” Demikian pengakuan Anto Suhartono sebagai sutradara dari Senyum Manis Production seusai kegiatan yang dige-lar pada 20 - 22 Juli 2012 di Teater Ke-cil TIM - Jakarta. “Saya yang merajut rangkaian karya tari dan nyanyi yang diciptakan Sally Chacken M dan Tanty Saragih” Anto menambahkan. Selain pertunjukan teater, acara lain yang ikut memberi kemeriahan dalam program tersebut di antaranya adalah; marawis, mendongeng, fashion show ibu dan anak, melukis dan mewarnai di Lobi Gedung Teater Kecil. Hal itu yang dit-erakan pada kalender acara TIM untuk bulan Juli 2012. Manajemen Produksi

dipimpin oleh Dra. Siane M. Tandusan.Dongeng 1001 Malam adalah kisah Aladin dan Lampu Wasiatnya, yang dalam formulasi gagasan kreatif kali ini mencipta beberapa koreografi, nyany-ian dan multimedia animasi. Pada pertunjukannya, anak-anak menam-pakkan laku yang kurang tertib, tapi penuh kesan tanpa beban dan penuh kegembiraan. Saat dialog disampai-kan dalam bentuk play-back dengan karakter vokal stereo dan karikatural, menghasilkan tingkah laku yang ber-jarak dan tidak berkesesuaian. Tidak jarang kata-kata dari dialog itu kehilan-gan tokoh yang menyampaikannya. Pertunjukan selama kurang lebih dua jam itu, berlangsung dengan seman-gat riang gembira pelaku pertunjukan dan penontonnya. Drama yang nyaris tanpa kesedihan sama sekali, atau hanya pura-pura, menjadi sebuah pes-ta anak-anak yang saling menghibur di antara mereka. Dan tentu saja dalam

kesibukan antusiasme orang tua yang mendampinginya. “Dari sekelompok anak yang kurang mampu, dibantu sekelompok anak lainnya yang cukup mampu untuk pembiayaan proses kreatif dan mana-jemen masyarakatnya, kami melaku-kan semacam subsidi silang” Anto menyampaikan salah satu metode manajemennya. Pertunjukan ini meli-batkan ratusan pemain anak-anak yang terbagi dalam beberapa grade penge-lompokan usia dan kemampuan untuk 3 hari pertunjukan. “Konsep manaje-men pendidikan kesenian dalam ke-lompok kami ini merupakan penerapan teori-teori dari Prancis” menurut Anto Suhartono menegaskan. Raden Saleh adalah profil yang dik-etengahkan Anto Suhartono sebagai figur untuk dunia anak-anak di Indone-sia. Hal tersebut diyakini berdasarkan penelitian terhadap sejarah pelukis besar itu, yang mewakafkan tanahnya

Edisi 10 - Agustus - September 2012

DONGENG 1001 MALAM`HARI ANAK NASIONAL 2012

yang kelak menjadi Taman Ismail Mar-zuki. “Doa selalu kami kirimkan buat Bapak Raden Saleh, sejalan dengan setiap karya seni yang kami hasilkan. Kami bersyukur, dalam persiapan yang ringkas dalam produksi kali ini, kami dibantu oleh beberapa kolega dan re-lasi yang mampu mendapatkan spon-sor yang bisa mencukupi kebutuhan produksi” kata Anto.Anto Suhartono juga menawarkan kerjasama kepada dramakala un-tuk bersama menciptakan gagasan-gagasan program kerja di masa yang akan datang. Hal itu disampaikannya dengan kesadaran bahwa dibutuh-kan kolaborasi penuh kerjasama antar produk-produk kesenian seperti teater anak ini dengan media massa secara lebih jauh dan mendalam. Semoga mendapat dukungan dan dapat segera terwujud. Amin.*** (Ded)

Page 6: Dramakala 10

Pelakonan HidupTeaterawan

6 PUSTAKA

PANGGUNG LUAR JAKARTA

Workshop Artistik Bambu

Penulis Harris Priadie BahPenerbit Bianglala

Itulah sepenggal dialog dari teks dramatik (naskah drama) yang berjudul ‘gegerungan’ karya Harris Priadie Bah. Bersama dua lakon lain ‘gegirangan’ dan ‘gegeroan’, maka terwujudlah satu buah buku yang diberi tajuk Bah Trilogi, Pergaulan dalam Tiga Pemeristiwaan Teater. Barangkali tidak banyak naskah teater dari penulis-penulis dalam neg-eri yang mengetengahkan kehidupan keseharian teaterawan. ‘gegerungan’ mencoba mengisi kekosongan itu. Ide-alisme teaterawan dengan persoalan tanggung jawab terhadap keluarga atau penghidupan secara ekonomis, ternyata masih menjadi dua kutub yang bersitegang, tarik-menarik yang men-gisi dinamika nafas kehidupan orang-orang teater. “Bisa-bisanya Kamu me-

mertentangkan kesenianku dengan perut,” ucap karakter Harris, seorang sutradara teater ketika karakter Ribka, sang isteri, menggugat keasyikannya menulis naskah sementara masalah perut tidak bisa tertangani oleh kes-enian. Begitulah, persoalan-persoalan proses berteater (idealisme) masih ha-rus berhadapan dengan masalah prag-matis seperti uang kontrakan rumah yang tidak kunjung dapat dilunasi. Meskipun problema tersebut masih di-coba untuk diselesaikan secara spiri-tual, semisal pada bagian penghujung lakon ‘gegerungan’: Lampu temaram menggambarkan sosok Harris yang berdiri di sudut kanan panggung mem-belakangi penonton. Kedua tangannya terangkat seperti dalam posisi ber-doa. Lamat-lamat terdengar nyanyian yang menghantarkan kekudusan pada malam. Dari arah kiri masuk Ribka melintasi panggung dengan arah di-agonal menuju Harris lalu berdiri di samping Harris dan memegang lembut tangan Harris. Perlahan-lahan, dengan sangat perlahan-lahan lampu fade out. Dalam kegelapan, cahaya menemukan terangnya.

Sedangkan ‘gegirangan’ lahir ke-tika kehidupan nyata Harris mengalami semacam pencerahan, baik dari segi ekonomi, dinamika keluarga, maupun keimanan keTuhanan. Hal ini diakui oleh Harris sendiri dalam semacam kata pengantar dalam buku ini: ‘Jadi sangat bisa dipastikan teks dramatik ‘gegirangan’ ini tidak akan pernah ada bila kehidupan nyata kami kemudian tidak mengalami kondisi kegirangan tersebut, jangan-jangan justru ‘geger-ungan’ serial kedua yang akan tertu-liskan bila kondisi dan kehidupan kami menetap tak berubah seperti sebelum-sebelumnya.’ ‘gegirangan’ di sini tidak hanya me-lulu diisi dengan canda tawa ‘keluarga’ Kelompok Teater Kami, di mana Harris menjalankan proses kreatifnya, tetapi juga dibaca sebagai perjumpaan ma-nusia dengan Tuhan secara lebih intim, sebagaimana teradegankan menjelang akhir lakon: Roy berdiri menggigil di ujung sajadah memandangi cermin yang telah retak itu, tampak dirinya yang setengah telanjang di dalam cer-min. Dengan lirih, dia menyanyikan se-buah madah suci yang purba, sebuah upaya penyerahan diri yang ikhlas dan

hening. Inilah aku Tuhan/Jamahlah aku Tuhan/Selidiki hatiku dan jiwaku/Mataku tertuju padamu.

Seperti yang diuraikan dalam Manifesto Kami, Kelompok Teater Kami memang cenderung membong-kar teks-teks agar dapat membangun kenyataan terkini dari teks-teks terse-but. “Kami tidak mencari tokoh. Kami adalah tokoh itu sendiri. Kami tidak berpura-pura masuk ke dalam karak-ter peran. Peran itu adalah kami. Kami yang menafsirkan teks-teks itu, maka kamilah itu. Sang penafsir. Bukan pe-main. Kami tak memainkan peran apa pun.” Apa yang dituliskan Harris dalam lakon-lakonnya ini merupakan usaha pembacaan Harris terhadap nasib ak-tor-aktor Kelompok Teater Kami, sep-erti Ribka Maulina, Roy Hakim, Piala Lolita, dan Jean Marais, serta diri Har-ris sendiri tentunya. Kemudian juga meluas menjadi perhatian Harris ke seputar lingkungan pergaulannya di mana banyak rekan-rekan teaternya yang mengalami keretakan keluarga atau perceraian suami-isteri seperti ter-lakonkan dalam ‘gegeroan’.**(dm)

Piala: Kamu yang sakit (sambil memukul Yanto dengan kain cuciannya lalu pergi ke ember cuciannya). Istri tangannya sampe bersepir nyuci baju orang. Kamu malah asyik-asyik ngapalin naskah. Pros-es, proses, proses apaan, bu Aji tuh minta uang kontrakannya, udah lewat seminggu, tujuh hari dia bolak-balik ke sini, kalo ng-gak kita disuruh ke luar.

Federasi Teater Indonesia (FTI) bekerja sama dengan Federasi

Teater Indonesia Korda Banten dan Teater Studio Indonesia menyeleng-garakan kegiatan yang bertajuk “Beng-kel FTI”. Menghadirkan pemateri Herry Dim (penata artistik teater) dan Abah Djatnika (master bambu) untuk mem-berikan workshop ‘artistik teater yang ekologis dan organik’ selama dua hari tanggal 23-24 Juni di Ruang Ajar Da-lung Nursery (Laboratory Teater Studio Indonesia) Serang Banten. Kegiatan workshop tersebut melibatkan berb-agai komunitas teater di Banten.

Pada workshop bambu, Abah Djatnika menuturkan tradisi dan buda-ya bambu merupakan warisan paling tua yang sudah berlangsung sejak ja-man megalitikum. Abah lebih menggali spirit dan esensi tentang bambu, spirit yang bisa digunakan dalam teater.

Menelusuri kebudayaan peman-faatan bambu yang cukup panjang bagi kehidupan masyarakat Nusantara, khususnya Sunda, terutama dalam ar-sitektur atau pembuatan rumah dapat diidentifikasi melalui istilah-istilah dalam bahasa Sunda yang berkem-

bang seperti berbagai nama kon-struksi seperti tagog anjing, balandon-gan, saeran gunting, sontog sapotong, ranggon, panglong, leuit, tajug, buaya mangap, badak heuay, sirit teuweul.

Beberapa strategi pemanfaatan bambu menurut tuturan Abah Jatnika adalah berikut ini:• Bambu yang digu-

nakan dipilih dari jenis bambu yang berusia tua, sebe-lum dipakai diawet-kan terlebih dahulu agar tahan lama.

• Para ahli bambu tradisional sangat mempercayai bah-wa bambu jangan ditebang pada hari Selasa dan waktu tebangnya di atas jam 12.00 sampai menjelang senja karena diyakini tak akan terserang bubuk. Pada hari tersebut bambu kembali muda, demikian siklusnya.

• Penebangan tidak diambil dari

rumpun yang sedang mengeluar-kan banyak tunas.

• Tidak ditebang di musim hujan dan saat bulan purnama untuk meng-

hindari kadar air yang tinggi dan kadar gula yang menarik hama.• Untuk melestari-kan kualitas tanaman bambu, biasanya dalam satu rumpun diambil 3-5 batang per-tahun.• Kekuatan bam-bu sangat tergantung pada jenis bambu dan memerhatikan sistem konstruksi penyambun-gan yang benar.• Tiga jenis bambu yang direkomendasikan yang memiliki kekuatan adalah bambu betung,

bambu gombong dan bambu tali. Jenis bambu yang lainnya adalah bambu hitam, bambu trutul, dan bambu kuning.

• Untuk ikatan konstruksi bambu satu dengan bambu lainnya dilakukan dengan memertimbangkan karak-

ter dan dua sifat bambu yakni liat/ulet tidak seperti kayu.

• Bambu juga dapat diliubangi sepa-ruh (dolos), atau sampai tembus (purus), kemudian diperkuat bisa dengan paku, pasak, baji, ancuh, simeut meuting, ampil dan solo-bong. Selain dengan cara seperti itu bisa juga diperkuat dengan tali berbahan ijuk.

• Bambu sebagai material organik yang banyak digunakan untuk ma-terial arsitektur, banyak pula dijadi-kan alat-alat musik atau kesenian, seperti angklung, suling, toleot, kar-inding, celempung, calung, dogdog lojor, calung renteng, saluang, sa-sando dan sebagainya.

Bagi Teater Studio Indonesia, kali ini pemanfaatan bambu bukan hanya sebatas organik material stage, me-lainkan sebagai narasi metafora dan struktur dramaturgi dalam mengkon-struksi teks pertunjukan “Bionarasi Tu-buh Terbelah [emergency]” yang akan ditampilkan dalam event internasional pada Festival Tokyo Emerging Arists Program tanggal 9-11 Nopember 2012 di Ikebukure Tokyo.

Oleh :Nandang Aradea

Edisi 10 - Agustus - September 2012

Page 7: Dramakala 10

7FTJ WILAYAH

DI LUAR PANGGUNG

FTJ (Festival Teater Jakarta) 2012 tingkat final direncanakan bakal digelar November-Desember 2012. Tahun ini mengusung tema Membaca Aku, Membaca Laku, sub tema Membaca Tradisi. Sejumlah calon juri sudah dipersiapkan. Tentu bakal seru. Sebab grup peserta adalah para juara di wilayah. Siapa pemenangnya berhak menyandang gelar “juara sejati”. Tapi di masing-masing wilayah, penyelenggaraan FTJ tidak serentak. Jakarta Selatan adalah yang lebih dulu menggelar. Berlangsung pada 11-18 Juni 2012 di Auditorium GRJS. Juri FTJ Selatan adalah Andi Bersama, Ohan Adiputra dan Rik A Sakri, ber-hasil menetapkan tiga grup juara yang berhak unjuk berkreatifitas di final. Yai-tu pemenang pertama, Teater Ghanta, kedua Teater El Nama dan ketiga Teat-er Pandu. Teater Ghanta terpilih juara satu wilayah karena mengantongi tropi terbanyak. Meliputi grup terbaik perta-ma, penyutradaraan, musik, pemeran pendukung wanita dan artistik. Grup ini disutradarai Yustiansyah mementas-kan naskah karya sendiri, Jakarta Kari-katur. Teater El Nama dengan sutrada-ra Echo Chotib, naskah Perjalanan Hang Juro. Teater Pandu disutradarai oleh Gultom Tewe sekaligus bertindak penulis naskah Rumah Bengkok. FT Jakarta Pusat berlangsung

1-5 Juli 2012. Pemenang per-tama, Kantong Teater, mementaskan Parlemen WC, karya Ribut Achmandi, sutradara Maulana Firdaus. Pemenang kedua Teater UI, mementaskan Bung Besar karya Misbach Yusa Biran, sutradara Alfian Siagian. Pemenang ketiga Teater Indonesia, naskah Ukoro, karya/sutradara Budi Kecil. Para juri adalah Aldisar Syafar (Jakarta), Iswadi Pratama (Lampung) dan Koes Yuliadi (Yogyakarta).

Iedul Fitri FT Jakarta Barat termasuk juga yang sudah menggelar pesta teater yang rutin digelar setiap tahun. Pemenang pertama FT Jakarta Barat, Study Teater 24, mementaskan naskah Tamu Istimewa, sutradara Rizal Nas-ty. Pemenang kedua, Teater Cermin, mementaskan naskah Antorium karya Ayak MH, sutradara Anto Ristargi. Pemenang ketiga Teater Satu. Bertin-dak sebagai juri Malhamang Zamzam, Amien Kamil, keduanya asal Jakarta, dan Semmy Ikra Anggara (Bandung).

Sementara itu, FT Jakarta Timur dan Utara bakal digelar usai Iedul Fitri. Peserta grup di Jakarta Timur adalah Kalamtara, Komunitas 7, Komunitas Ranggon Sastra, Komunitas Teater Gunung, Sandiwara Pisau Dapur, Sanggar Teater Jerit, Teater Alkautsar, Teater Camuss, Teater Castramardika, Teater Cinta Lakon, Teater Lawang Temu, Teater Nurika, Teater Omponk, Teater Sajadah, Teater Pangkeng, Teater Piranti, Teater Trompah, Teater Tukang, Teater Tutur, dan Topeng Are-na. FT Jakarta Timur akan digelar pada tanggal 3-14 Oktober 2012 di Balai Latihan Kesenian (BLK) Jakarta Timur, Jl. H. Naman 17 Pondok Kelapa. De-wan juri, Autar Abdillah (Dosen Sendra-tasik Unesa Surabaya), Diding B. Zeta (Sutradara dan Penulis Naskah Teater Popcorn, Jakarta), dan Yusef Muldi-yana (Sutradara dan Penulis Naskah

Laskar Panggung Bandung). Festival Teater Jakarta Utara (FTJU) 2012 direncanakan dapat men-jadi tonggak kebangkitan berteater di Jakarta Utara. Sampai tulisan ini ditu-runkan, sudah 15 grup teater memberi konfirmasi keikutsertaannya dalam FTJU 2012, yang akan terselenggara pada September-Oktober 2012. Be-danya penyelenggaraan FTJ di Jakarta Utara dengan wilayah yang lain adalah tidak adanya anggaran tahunan dari suku dinas kebudayaan Jakarta utara. Maka, kebijakan yang diambil adalah pengajuan permohonan anggarannya pada ABT (anggaran belanja tambah-an), hingga waktu pelaksanaannya pun dimundurkan. Hal tersebut menyang-kut kebijakan pemerintah daerah yang bekerjasama dengan Ikatan Teater Ja-karta Utara (Itera), dibantu Dewan Ke-senian Jakarta.***

FTJ 2012MencariJuara Sejati

FT J di Jakarta Barat sempat diwarnai ketidakpuasan atas hasil dewan juri. Hal ini dipicu oleh keputusan juri yang menggunakan model undian untuk memutuskan juara ketiga, yaitu grup Teater Satu STT PLN. Model ini dipilih karena ketiga juri terbentur ketidaksepakatan atas tiga grup yang merupakan nomine juara ketiga. Ketiga nomine itu, Teater Kolom (Rumah yang Dikubur-kan karya Sam Sheppard terjemahan Afrizal Malna, sutradara Hery Saragih SE), Biru 42 (Blong karya Putu Wijaya, sutradara Noer Ibu) dan Teater Satu STT PLN (Front karya Putu Wijaja, sutradara Adi Santoso). Nama grup yang keluar dari hasil pengocokan mirip arisan ini adalah Teater Satu STT PLN. Tapi hasil ini memicu keberatan semua peserta. Pada Minggu 29 Juli 2012 Indraja sebagai panitia penyelenggara yang menindaklanjuti keberatan semua peserta festival atas model undian, meng-gelar dialog juri dengan peserta. Namun demikian setelah melalui dialog yang panjang, keputusan juara ketiga, tidak berubah, yaitu Teater Satu STT PLN pemenangnya. Madin selaku pembina Indraja dan bertindak sebagai moderator dialog, men-gatakan, di final yang diselenggarakan DKJ pun tidak jarang terjadi voting. Jadi bukan juri seenaknya. ”Saya tidak membenarkan sistem undian ini. Wa-lau sebenarnya sama saja dengan sistem voting. Cuma beda mekanismenya saja. Mekanisme apa pun kita percaya saja. Saya sesalkan kebocorannya (model undian juri kepada peserta, red). Apalagi forum ini sebelumnya per-caya sama juri,” bela Madin.

Model Undian Mewarnai Ketidakpuasan

Pentas Teater Tamu Istimewa dan Parlemen WC

Workshop Stage Management Yayasan KelolaSebanyak 40 orang hasil seleksi dari

90 peserta dari seluruh Indonesia mengikuti Lokakarya Stage Manage-ment 2012 di Aula Pusat Kebudayaan Jepang, Jalan Jenderal Soedirman, Jakarta, pada Kamis (2/8) lalu. Loka-karya setengah hari diselenggarakan Yayasan Kelola bekerjasama dengan Pusat Kebudayaan Jepang menampil-kan pembicara para praktisi profes-sional, yaitu Toto Arto dan Inet Leime-na. Stage management bukan hanya berlaku untuk kalangan seniman, ter-utama teater, tapi banyak digunakan pada berbagai produk jasa event orga-nizer (EO), pentas atau konser musik, berbagai jenis festival, komposer, de-sainer/koreagrafer dalam fashion dan pentas tari, serta banyak lagi jenisnya. Stage manajer, orang yang menjadi pemimpin dalam sebuah organisasi stage management, posisinya cukup strategis dan vital, tapi kalau di dalam pertunjukkan teater nyaris tak terden-gar namanya, atau kurang dianggap penting bagi pemain dan penonton,

kecuali bagi sutradara, produser atau seluruh kru sebuah pemen-tasan. Menurut Toto, stage manajer adalah orang yang menjalank-an karya orang. Kalau stage manager tidak baik atau benar men-jalankan, maka kasihan nama-nama besar sutradara, komposer, dan de-sainer atau koreografer, dan lainnya. Kemudian Toto mengambil contoh yang paling familiar adalah soal cue (baca kiu, red) pemain masuk arena permainan. Kalau salah dalam menyu-sun dalam “form cue sheet”, maka bisa berantakan untuk selanjutnya. Maka, kalau “form cue sheet” dan komuni-kasi lancar, dipastikan jalannya per-tunjukkan akan benar. “Memang stage manager tidak punya hak artistik dan penyutradaraan, maka stage manage-ment bertanggungjawab dan bertugas atas pertunjukkan dari awal sampai

akhir. Otaknya harus pintar, cekatan, punya daya hapal tinggi, dan memiliki daya sabar yang tinggi juga” im-buh Toto yang banyak melintang dan terakhir di Salihara dengan produksi “Opera Tan

Malaka”

Dibohongi Dengan kesadaran dan memo-sisikan diri sebagai koordinator, lanjut dia, maka bukan berarti bekerja secara “one man show”. “Jangan salah, bagi saya one man show untuk tahap awal malah bagus. Yang sederhana, ketika kita jadi naik menjadi stage manage-ment yang benar, maka kita tidak bisa dibohongi karyawan atau bawahan kita. Misalnya, harga nasi kotak, kita bisa tahu ancar-ancar-nya bera-pa? One man show itu pembelajaran. Positifnya tidak ada yang bisa ngibulan

sepanjang kita tahu semua apa yang dikerjakan. Jadi tidak menimbulkan miss communication atau pandangan negatif” pungkasnya. Untuk dapat menularkan ilmu atau materi stage managemet kepada semua orang yang dinilai bisa menjadi lahan profesi tersendiri, Yayasan Kelola pun berteka melanjutkan program se-jenis secara berkelanjutan. Ini terbukti dari kuisioner yang dibagi, antara lain berbunyi meminta rekomendasi tiga orang untuk dimasukkan pada pogram selanjutnya. Bahkan Inet mengaku siap diminta jadi mentor bagi stage man-ager yang membutuhkan dirinya untuk bisa ikut menjelaskan pada karyawan si stage manager bersangkutan. ”Seti-daknya saya ingin semua orang bisa membaca semua form yang berlaku pada stage management. Sehingga nanti bisa connect satu dengan orang lain di mana pun. Karena nanti seorang stage manager akan bisa bekerja di mana saja sebagai sebuah profesi” demikian Inet menjelaskan.*** (her)

suasana workshop stage management

Edisi 10 - Agustus - September 2012

Pentas Teater Ganta “Jakarta Karikatur”

Page 8: Dramakala 10

8 MATA KALA

Dalam sebuah kerja pemanggungan, kita memahami ada banyak

elemen pendukung yang dibutuhkan untuk Seorang kawan baik, AB, pernah bercerita suatu hari tentang kebermulaannya bersentuhan dengan panggung teater yakni ketika dia main di panggung tujuh belasan, sebuah istilah yang merujuk pada kegiatan ekspresi bersama rakyat yang kerap diadakan setiap bulan Agustus sebagai moment perayaan hari Kemerdekaan RI. Dia berkisah bahwa waktu itu dia memerankan salah satu sosok kompeni (yang jahat, tentu saja). Apa lacur yang terjadi kemudian ? selepas drama yang bertema tentang perjuangan dari para pejuang kemerdekaan melawan penjajah kemerdekaan itu (sebagaimana memang telah membiasanya tema tema drama tujuh belasan tersebut) selesai dipanggungkan, dia mengalami satu hal yang mengejutkan yang tidak pernah terpikirkan olehnya di mana dia sempat diejek dan dimaki-maki oleh ibu-ibu yang menonton pemanggungan itu dengan mengatakan kalau gara-gara dirinyalah rakyat Indonesia menderita dan sengsara. Dan dengan keeleganan layaknya seorang aktor besar, kawan saya itu pun ngeloyor cepat-cepat pergi. Dalam hatinya dia merasa telah berhasil dengan sukses memerankan peran jahatnya itu. Itulah barangkali yang menyebabkan kawan saya itu masih terus berteater sesampai kini.

Bulan Agustus dan drama bertema perjuangan atau patriotisme

adalah memang merupakan dua hal yang saling berkehubungan satu sama lain. Lewat moment kemerdekaan tersebutlah tema patrioitsme menemukan kesejatiannya. Di pelosok-pelosok kampung yang ada baik di kota sampai ke desa-desa, ada banyak panggung didirikan untuk menjadi sarana penyampaian semangat cinta bangsa dan negara bagi pemuda-pemudi dan sekaligus menjadi semacam medan kreatifitas dalam bidang kesenian, khususnya teater, teater yang bertema kepahlawanan. Tidak jarang dalam beberapa kesempatan, para ibu dan juga bapak-bapak mendukung pemanggungan termaksud dengan memberikan peralatan rumah tangganya untuk properti atau handprop.

P a d a masanya teater Indonesia sendiri memang pernah diramaikan oleh kehadiran karya-karya dari penulis dalam negeri yang bertema tentang patriotisme, baik itu dalam wujud pengadeganannya ataupun dalam bentuk yang l e b i h filosofis. K a t a

patriotisme tentu saja bisa ditafsir secara bebas, tidak mesti identik dengan senjata atau peperangan. Kata patriotisme bisa ditafsirkan juga sebagai gerakan anti penindasan, perjuangan kesetaraan hak azazi manusia, pencarian panjang jati diri manusia yang hakiki, kecintaan terhadap bangsa dan negara, ataupun bentuk nasionalisme dan lain sebagainya. Namun begitu ada beberapa naskah lakon (istilah ini saya rasa lebih pas dibandingkan dengan istilah teks dramatik yang biasa saya gunakan, mengingat dalam konteks ini istilah naskah lakon berkesan lebih

memerankan/melakonkan) yang mengandung

u n s u r p a t r i o t i s m e secara tegas dan verbal yakni unsur cinta terhadap negara, bela negara, atau katakanlah n a s i o n a l i s m e , seperti misalnya pada naskah lakon Bebasari (Roestam Effendi), Blong (Putu Wijaya), Domba-

Domba Revolusi (B. Soelarto)

atau Fajar S a d i q

(Emi l l

Oleh :Harris Priadie Bah

Sanossa). Naskah-naskah lakon dari Ratna Sarumpaet pun sesungguhnya adalah naskah lakon yang bertema tentang patriotisme, bersebab isi dari karya-karyanya kerap menggugat ketidakadilan yang terjadi di bumi pertiwi, perjuangan perempuan membela haknya, sebutlah misalnya “Marsinah Menggugat”, “Alia, Luka Serambi Mekah” atau yang paling mutakhir “Jamila dan Sang Presiden”.

Pertanyaannya adalah, seberapa pentingnyakah tema-tema semacam itu diwujud-tuliskan ? Bagaimana dengan seniman-seniman teater yang lebih muda sekarang ini, masih menarikkah tema-tema seperti ini bagi kerja kreatifitas mereka ? Sampai sejauh manakah karya pemanggungan teater hari ini mampu mewujud-tampakan kegelisahan seniman teater yang lebih muda dalam melihat problematika kehidupan sosial, budaya, hukum dan politik yang telah menjauh dari semangat patriotisme/nasionalisme tersebut ?

Untuk konteks sekarang ini, boleh jadi jarangnya tema-tema patriotisme - dengan tafsir yang luas - menyebabkan teater berjarak dengan penonton dan lingkungannya, benarkah ? Kalau mencermati kisah AB, kawan baik saya itu, maka boleh jadi penonton memang dengan mudah bisa memberikan simpati, empati dan “kebenciaannya” bahkan, sepanjang tema yang didramakan memanglah intim atau tak hendak “absurd” setidaknya.***

EKSPRESI PATRIOTIK MASYARAKAT

dramakala mengundang Anda untuk mengirimkan kabar/berita yang berisi peristiwa pemanggungan atau di luar panggung (workshop, diskusi, seminar teater) untuk rubrik “Panggung Luar Jakarta” dan juga tulisan tentang per-nyataan artistik, serta sikap estetik dari kelompok teater untuk rubruik Manifesto (nir-honor). Tulisan dikirimkan ke [email protected].

dramakala dapat diperoleh di Asosiasi Perteateran Wilayah di lima wilayah

DKI Jakarta, Galeri Buku Bengkel Deklamasi Taman Ismail Marzuki, Pusat

Dokumentasi Sastra HB. Jassin dan kantong-kantong kebudayaan. Bagi pembaca luar Jakarta, dapat meng-

hubungi 0815 1021 1119.

INFO dramakala

Edisi 10 - Agustus - September 2012