diskusikisi-kisiskpdarisenior

19
Diskusi Kisi-Kisi Seminar Keuangan Publik 1. Kebijakan kenaikan BI Rate sebesar 25 basis poin menjadi 7,75% sebagai respon kenaikan harga BBM Untuk menekan inflasi terkait dampak kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi, Bank Indonesia (BI) menaikkan suku bunga acuan atau BI Rate sebesar 25 basis poin menjadi 7,75 persen dari sebelumnya 7,5 persen. Kenaikan BI Rate ditempuh untuk menjangkar ekspektasi inflasi dan memastikan bahwa tekanan inflasi pasca kenaikan harga BBM bersubsidi tetap terkendali, temporer, dan dapat segera kembali pada lintasan sasaran yaitu 4±1 persen pada tahun 2015. Kebijakan tersebut juga konsisten dengan kemajuan dalam mengelola defisit transaksi berjalan ke arah yang lebih sehat. Pelebaran koridor suku bunga operasi moneter dimaksudkan untuk menjaga kecukupan likuiditas dan mendorong pendalaman pasar keuangan. Agus Martowardojo, Gubernur BI, mengatakan pihaknya terus mengamati perkembangan ekonomi nasional. Pasca kenaikan harga BBM, BI melihat ada potensi peningkatan inflasi. Menurut Agus Marto, dalam 1-2 bulan terakhir ada ekspektasi inflasi yang meningkat. Saat BBM dinaikkan, pihak BI juga memperhatikan bahwa target inflasi 2014 itu 5,3% dan 2015 itu di 4,4% dan bisa terdesak oleh ekspektasi inflasi. Bila dibiarkan, lanjut Agus, inflasi akan bergerak 'liar' tak terkendali. Oleh karena itu, ekspektasi inflasi harus diredam. BI melihat faktor ekspektasi inflasi ini harus dipatahkan. Kalau sudah dipatahkan, perlu tindak lanjut pengendalian inflasi oleh pemerintah pusat dan daerah terkait dengan biaya transportasi sampai pengendalian harga pangan. Atas dasar ini, BI Rate kemudian dinaikkan. Ini untuk menjaga inflasi agar tidak melenceng dari target yang telah ditetapkan. BI tidak ingin ekspektasi inflasi jadi tekanan yang mengganggu ekonomi. Menurut Agus Marto, kebijakan tersebut terpaksa dilakukan untuk merespon ekspektasi inflasi, menjaga kondisi defisit neraca berjalan (hubungan kenaikan BI Rate dengan defisit neraca berjalan : Kenaikan BI Rate dinilai Menteri Keuangan sebagai langkah antisipatif Bank Indonesia dalam menghadapi kondisi perekonomian pada tahun depan. Tujuannya agar defisit transaksi berjalan bisa digiring di bawah 3% terhadap PDB dan untuk membuat dana asing tetap bertahan di Indonesia. Oleh karena itu, dalam rangka menghadapi diberlakukannya tapering off (pengurangan) stimulus moneter Federal Reserve, BI harus membuat jarak keduanya relatif dekat untuk menahan keluarnya arus modal asing. Dengan naiknya BI Rate kali ini, harapannya BI dapat menghimpun kembali uang yang sudah terlalu banyak beredar di masyarakat untuk membantu mengurangi defisit tersebut dan laju inflasi pun dapat

Upload: fadel-khalif-muhammad

Post on 14-Nov-2015

218 views

Category:

Documents


5 download

DESCRIPTION

Kisi Kisi SKP, Kalo berkenan jangan diejek yak. dapet dr senior juga

TRANSCRIPT

Diskusi kisi-kisi SKP dari senior.docx

Diskusi Kisi-Kisi Seminar Keuangan Publik 1. Kebijakan kenaikan BI Rate sebesar 25 basis poin menjadi 7,75% sebagai respon kenaikan harga BBMUntuk menekan inflasi terkait dampak kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi,Bank Indonesia (BI) menaikkan suku bunga acuan atau BI Rate sebesar 25 basis poin menjadi 7,75 persen dari sebelumnya 7,5 persen. Kenaikan BI Rate ditempuh untuk menjangkar ekspektasi inflasi dan memastikan bahwa tekanan inflasi pasca kenaikan harga BBM bersubsidi tetap terkendali, temporer, dan dapat segera kembali pada lintasan sasaran yaitu 41 persen pada tahun 2015. Kebijakan tersebut juga konsisten dengan kemajuan dalam mengelola defisit transaksi berjalan ke arah yang lebih sehat. Pelebaran koridor suku bunga operasi moneter dimaksudkan untuk menjaga kecukupan likuiditas dan mendorong pendalaman pasar keuangan.Agus Martowardojo, Gubernur BI, mengatakan pihaknya terus mengamati perkembangan ekonomi nasional. Pasca kenaikan harga BBM, BI melihat ada potensi peningkatan inflasi. Menurut Agus Marto, dalam 1-2 bulan terakhir ada ekspektasi inflasi yang meningkat. Saat BBM dinaikkan, pihak BI juga memperhatikan bahwa target inflasi 2014 itu 5,3% dan 2015 itu di 4,4% dan bisa terdesak oleh ekspektasi inflasi. Bila dibiarkan, lanjut Agus, inflasi akan bergerak 'liar' tak terkendali. Oleh karena itu, ekspektasi inflasi harus diredam. BI melihat faktor ekspektasi inflasi ini harus dipatahkan. Kalau sudah dipatahkan, perlu tindak lanjut pengendalian inflasi oleh pemerintah pusat dan daerah terkait dengan biaya transportasi sampai pengendalian harga pangan. Atas dasar ini, BI Rate kemudian dinaikkan. Ini untuk menjaga inflasi agar tidak melenceng dari target yang telah ditetapkan. BI tidak ingin ekspektasi inflasi jadi tekanan yang mengganggu ekonomi.Menurut Agus Marto, kebijakan tersebut terpaksa dilakukan untuk merespon ekspektasi inflasi, menjaga kondisi defisit neraca berjalan (hubungan kenaikan BI Rate dengan defisit neraca berjalan : Kenaikan BI Rate dinilai Menteri Keuangan sebagai langkah antisipatif Bank Indonesia dalam menghadapi kondisi perekonomian pada tahun depan. Tujuannya agar defisit transaksi berjalan bisa digiring di bawah 3% terhadap PDB dan untuk membuat dana asing tetap bertahan di Indonesia. Oleh karena itu, dalam rangka menghadapi diberlakukannya tapering off (pengurangan) stimulus moneter Federal Reserve, BI harus membuat jarak keduanya relatif dekat untuk menahan keluarnya arus modal asing. Dengan naiknya BI Rate kali ini, harapannya BI dapat menghimpun kembali uang yang sudah terlalu banyak beredar di masyarakat untuk membantu mengurangi defisit tersebut dan laju inflasi pun dapat kembali ditekan), menjaga likuiditas perbankan, dan meningkatkan pertumbuhan kredit.Tingkat inflasi Desember 2014 : 8,36 %, pada November 2014 6,23 % (sumber : website BI). Aviliani berpendapat bahwa kenaikan BI rate ini sebenarnya belum diperlukan karena BI Rate pada November 2014 masih berada di kisaran 6 s.d. 7 %, kenaikan BI Rate 25 poin dikhawatirkan justru akan meningkatkan inflasi dan menambah imbas kenaikan BBM terhadap inflasi.Efek negatif kenaikan BI rate : kredit macet meningkat, suku bunga KPR meningkat (kenaikan suku bunga kredit perbankan), dapat meningkatkan inflasi, perlambatan economic growth.Kenaikan BI Rate akan membantu mengurangi defisit transaksi berjalan dan laju inflasi pun dapat kembali ditekan. Kenaikan BI Rate ini juga dilakukan untuk membuat dana asing tetap bertahan di Indonesia. Investor akan tertarik untuk menaruh modalnya ke Indonesia sehingga dalam menguatkan nilai Rupiah. Namun, dalam jangka pendek, naiknya BI Rate berpotensi melemahkan IHSG karena dengan naiknya BI Rate, maka suku bunga di deposito dan sukuk akan cenderung naik. (sumber : gugling, mohon dikoreksi yaa)

Kalo mau dikaitin sama kurva2, bisa pake kurva yg di chapter 9 mankiw, stabilizing output with monetary policy (case kenaikan harga minyak)-nambahin aja-sekalian digambarin kurvanya dunk hehe

kurva mankiw: stabilizing output with monetary policy

2. Transmisi kebijakan moneter, melalui jalur apa saja? referensi bi.go.idMekanisme bekerjanya perubahan BI Rate sampai mempengaruhi inflasi tersebut sering disebut sebagai mekanisme transmisi kebijakan moneter. Mekanisme ini menggambarkan tindakan Bank Indonesia melalui perubahan-perubahan instrumen moneter dan target operasionalnya mempengaruhi berbagai variable ekonomi dan keuangan sebelum akhirnya berpengaruh ke tujuan akhir inflasi. Mekanisme tersebut terjadi melalui interaksi antara Bank Sentral, perbankan dan sektor keuangan, serta sektor riil. Perubahan BI Rate mempengaruhi inflasi melalui berbagai jalur, diantaranya jalur suku bunga, jalur kredit, jalur nilai tukar, jalur harga aset, dan jalur ekspektasi.Pada jalur suku bunga, perubahan BI Rate mempengaruhi suku bunga deposito dan suku bunga kredit perbankan.Apabila perekonomian sedang mengalami kelesuan, Bank Indonesia dapat menggunakan kebijakan moneter yang ekspansif melalui penurunan suku bunga untuk mendorong aktifitas ekonomi. Penurunan suku bunga BI Rate menurunkan suku bunga kredit sehingga permintaan akan kredit dari perusahaan dan rumah tangga akan meningkat. Penurunan suku bunga kredit juga akan menurunkan biaya modal perusahaan untuk melakukan investasi. Ini semua akan meningkatkan aktifitas konsumsi dan investasi sehingga aktifitas perekonomian semakin bergairahSkemanya:Perekonomian Lesu -> Kebijakan moneter ekspansif (penurunan suku bunga)r turun -> I naik -> C naik -> Y naik (berkaitan dengan Y = C + I + G + (X-M))

(jadi jalur suku bunga dan jalur kredit ini satu langkah aja ya? suku bunga turun, permintaan kredit naik. begitukah?)

-/-coba nambahin dikit dgn kurva IS LM

kalo r turun, asumsi BI bakal menambah uang beredar agar kurva LM dapat bergeser ke kanan sehingga perekonomian dapat terus tumbuh. uang beredar di masyarakat pun semakin banyak (bisa jadi karena kredit murah, jadinya banyak yg ambil kredit> uang dipegang masyarakat banyak) sehingga MPC masyarakat meningkat (C naik) sehingga perekonomian (Y) bergeser ke kanan.asumsi penambahan uang beredar diatas harus berbanding lurus dengan pertumbuhan ekonomi agar ga terjadi hiperinflasi karena apabila jumlah uang beredar meningkat, tetapi pertumbuhan ekonomi stagnan, maka yang ada hanya meningkatan P sehingga nilai uang semakin turun dengan tidak dibarengi pendapatan yang meningkat > harga barang naik. (mohon dikoreksi)-/-

Sebaliknya, apabila tekanan inflasi mengalami kenaikan, Bank Indonesia merespon dengan menaikkan suku bunga BI Rate untuk mengerem aktifitas perekonomian yang terlalu cepat sehingga mengurangi tekanan inflasi.Perubahan suku bunga BI Rate juga dapat mempengaruhi nilai tukar. Mekanisme ini sering disebut jalur nilai tukar. Kenaikan BI Rate, sebagai contoh, akan mendorong kenaikan selisih antara suku bunga di Indonesia dengan suku bunga luar negeri. Dengan melebarnya selisih suku bunga tersebut mendorong investor asing untuk menanamkan modal ke dalam instrument-instrumen keuangan di Indonesia seperti SBI karena mereka akan mendapatkan tingkat pengembalian yang lebih tinggi. Aliran modal masuk asing ini pada gilirannya akan mendorong apresiasi nilai tukar Rupiah. Apresiasi Rupiah mengakibatkan harga barang impor lebih murah dan barang ekspor kita di luar negeri menjadi lebih mahal atau kurang kompetitif sehingga akan mendorong impor dan mengurangi ekspor. Turunnya net ekspor ini akan berdampak pada menurunnya pertumbuhan ekonomi dan kegiatan perekonomian.Skemanya:r naik -> M(impor) naik -> Y turundari r ke M(impor) (mendorong kenaikan selisih r Indonesia dengan r Luar Negeri -> apresiasi nilai tukar -> X turun M naik)

Perubahan suku bunga BI Rate mempengaruhi perekonomian makro melalui perubahan harga aset. Kenaikan suku bunga akan menurunkan harga aset seperti saham dan obligasi sehingga mengurangi kekayaan individu dan perusahaan yang pada gilirannya mengurangi kemampuan mereka untuk melakukan kegiatan ekonomi seperti konsumsi dan investasi.Dampak perubahan suku bunga kepada kegiatan ekonomi juga mempengaruhi ekspektasi publik akan inflasi (jalur ekspektasi). Penurunan suku bunga yang diperkirakan akan mendorong aktifitas ekonomi dan pada akhirnya inflasi mendorong pekerja untuk mengantisipasi kenaikan inflasi dengan meminta upah yang lebih tinggi. Upah ini pada akhirnya akan dibebankan oleh produsen kepada konsumen melalui kenaikan harga.Mekanisme transmisi kebijakan moneter ini bekerja memerlukan waktu (time lag). Time lag masing-masing jalur bisa berbeda dengan yang lain. Jalur nilai tukar biasanya bekerja lebih cepat karena dampak perubahan suku bunga kepada nilai tukar bekerja sangat cepat. Kondisi sektor keuangan dan perbankan juga sangat berpengaruh pada kecepatan tarnsmisi kebijakan moneter. Apabila perbankan melihat risiko perekonomian cukup tinggi, respon perbankan terhadap penurunan suku bunga BI rate biasanya sangat lambat. Juga, apabila perbankan sedang melakukan konsolidasi untuk memperbaiki permodalan, penurunan suku bunga kredit dan meningkatnya permintaan kredit belum tentu direspon dengan menaikkan penyaluran kredit. Di sisi permintaan, penurunan suku bunga kredit perbankan juga belum tentu direspon oleh meningkatnya permintaan kredit dari masyarakat apabila prospek perekonomian sedang lesu. Kesimpulannya, kondisi sektor keuangan, perbankan, dan kondisi sektor riil sangat berperan dalam menentukan efektif atau tidaknya proses transmisi kebijakan moneter.-/-Kebijakan moneter dapat dilakukan dengan menjalankan instrumen kebijakan moneter, yaitu antara lain : Operasi Pasar Terbuka (Open Market Operation). Operasi pasar terbuka merupakan salah satu cara mengendalikan uang yang beredar dengan menjual ataupun membeli kembali surat berharga yang diterbitkan oleh Pemerintah. Pemerintah akan membeli surat berharga pemerintah apabila ingin menambah jumlah uang yang beredar. Dan sebaliknya jika pemerintah meninginkan jumlah uang yang beredar berkurang, maka pemerintah akan menjual surat berharga pemerintah kepada masyarakat. Fasilitas Diskonto (Discount Rate). Fasilitas diskonto adalah pengaturan jumlah uang yang beredar dengan cara merubah tingkat bunga bank sentral pada bank umum. Bank umum terkadang mengalami kekurangan uang sehingga harus meminjam ke bank sentral. Bila pemerintah akan meningkatkan jumlah uang yang beredar, pemerintah akan menurunkan tingkat bunga bank sentral. Dan sebaliknya menaikkan tingkat bunga untuk mengurangi jumlah uang yang beredar. Rasio Cadangan Wajib (Reserve Requirement Ratio). Rasio cadangan wajib adalah mengatur jumlah uang yang beredar dengan memainkan jumlah dana cadangan perbankan yang harus disimpan pada pemerintah. Pemerintah akan menurunkan rasio cadangan wajib apabila menginginkan jumlah uang yang beredar meningkat. Sedangkan untuk menurunkan jumlah uang beredar, pemerintah menaikkan rasio cadangan wajib. Himbauan Moral (Moral Persuasion).Himbauan moral adalah kebijakan moneter untuk mengatur jumlah uang beredar dengan jalan memberi himbauan kepada pelaku ekonomi. Contohnya seperti menghimbau perbankan pemberi kredit untuk berhati-hati dalam mengeluarkan kredit untuk mengurangi jumlah uang beredar dan menghimbau agar bank meminjam uang lebih ke bank sentral untuk memperbanyak jumlah uang beredar pada perekonomian.(kompilasi materi SKP dari senior)

3. Tentang kebijakan LTV Ratio BI dalam rangka mencegah bubble ekonomiThe loan-to-value (LTV) ratio is a financial term used by lenders to express the ratio of a loan to the value of an asset purchased.(http://en.wikipedia.org/wiki/Loan-to-value_ratio)Bank Indonesia dalam rangka mewaspadai perkembangan risiko peningkatan harga properti di Indonesia dilakukan pemantauan terhadap beberapa indikator. Hal ini untuk mengindikasikan terjadinya price bubble/ bubble economy.Definisi dari gelembung ekonomi ( bubble economy), gelembung spekulatif,atau gelembung keuangan adalah perdagangan dalam volume besar dengan harga yang sangatberbeda dengan nilai intrinsiknya. Dengan kata lain, memperdagangkan produk atau aset dengan harga yang lebih tinggi daripada nilai fundamentalnya (id.wikipedia.org, 2011).Adapun tiga tahap tersebut memantau harga properti residensial, daya beli papan, dan price to rent ratio. Dari asesmen tiga indikator peningkatan harga properti, menunjukkan adanya potensi risiko peningkatan harga properti yang berlebihan yang mengarah pada peningkatan harga (price bubble). Peningkatan ketiga indikator tersebut mengindikasikan pergeseran motif kepemilikan properti kepada tujuan spekulasi. Pengelolaan dan mitigasi risiko yang telah dilakukan melalui kebijakan regulasi makro prudential seperti kebijakan loan to value ratio ditengarai mampu menurunkan risiko pertumbuhan harga aset yang berlebihan akibat motif spekulasi.Contohnya, dalam rangka mencegah bubble, kebijakan LTV untuk rumah kedua, ketiga dst sebenarnya akan lebih efektif dibandingkan kebijakan LTV untuk rumah pertama. First time buyer secara psikologis akan sekuat tenaga untuk tidak mengemplang kredit, karena rumah itu adalah satu-satunya rumah tinggal yang dimilikinya. Berbeda dengan pembelian rumah kedua, ketiga dst-nya yang lebih menjadikan rumah sebagai instrumen investasi atau spekulasi yang ujung-ujungnya dapat mendorong terjadinya bubble.Bank Indonesia menyatakan kebijakan LTV atau pembatasan pembayaran uang muka sebelumnya dari 20 persen menjadi 30 persen mampu menekan potensi "bubble" properti atau peningkatan harga secara tiba-tiba karena permintaan properti dari spekulan berkurang.(sumber: http://economy.okezone.com/read/2014/12/14/470/1078989/bi-waspadai-potensi-risiko-gelembung-harga-properti dan beberapa sumber)

Loan To Value Ratio (LTV) untuk KPR dan Down Payment (DP) KKB.a. SE BI No. 14/10/DPNP tanggal 15 Maret 2012 untuk Bank Umum konvensional dan SE No. 14/33/DPbS tanggal 27 November 2012 untuk bank umum syariah. Kalibrasi ulang dengan SE BI No. 15/40/DKMP tanggal 24 September 2013.b. Tujuan: meredam resiko sistemik yang mungkin timbul akibat pertumbuhan KPR yang pada saat itu mencapi lebih dari 40%, serta tingkat kegagalan nasabah KKB untuk memenuhi kewajiban yang pada saat itu mencapai hamper 10%.c. Pertumbuhan KPR yang terlalu tinggi dapat mendorong peningkatan harga asset property yang tidak mencerminkan harga sebenarnya (bubble), sehingga dapat meningkatkan risiko kredit bagi bank-bank dengan eksposur kredit properti yang benar.d. Pokok ketentuan: LTV progresif untuk KPR dan 20%-30% untuk KKB.

4. Lebih efektif mana kebijakan fiskal vs kebijakan moneter? Teori tentang efektivitas kebijakan fiskal dan moneter diprakarsai oleh teori klasik dan teori Keynes. Kedua teori ini memiliki pandangan berbeda tentang efektivitas kebijakan-kebijakan tersebut didalam perekonomian. Teori klasik yang dikemudian hari dikembangkan oleh kaum monetarist (Neo-klasik) lebih menekankan pada penggunaan kebijakan moneter dalam mengatasi permasalahan perekonomian. Pendapat ini berdasarkan pada pemikiran bahwa efek kebijakan moneter terhadap permintaan agregat bersifat langsung (Nopirin, 2000). Tambahan uang kas tidak serta-merta akan dibelikan pada surat berharga, tetapi langsung dibelanjakan dalam bentuk barang. Kebijakan fiskal dalam hal ini dinilai kurang efektif dalam mempengaruhi perekonomian mengingat adanya efek crowding out dalam kebijakan tersebut.Teori Keynes memiliki pendapat yang berbeda dengan teori klasik. Teori yang kemudian dikembangkan oleh aliran Keynesian modern ini menekankan pada beberapa jalur (mekanisme transmisi) dalam kebijakan moneter. Jalur-jalur tersebut cenderung menyebabkan efek dari kebijakan moneter menjadi tidak pasti. Keynes lebih menekankan pada penggunaan kebijakan fiskal dalam perekonomian. Menurut Keynes, dengan cara pembiayaan apapun, efek dari kebijakan fiskal ekspansif tetap akan positif. Dalam perkembangannya, teori klasik dan teori Keynes kemudian digabungkan dalam teori baru yang disebut teori sintesis klasik-Keynesian yang tercermin dalam model IS-LM. Teori ini merupakan perwujudan dari konsep bauran kebijakan (policy mix) yang biasa dipakai dalam perekonomian suatu negara.Namun demikian, efektivitas kebijakan fiskal dan moneter di suatu negara ditentukan oleh sistem nilai tukar negaranya serta sistem aliran devisa luar negeri.Pada suatu negara yang menganut model small open economy dan sistem fixed exchange rate dan sistem aliran devisa terkendali, kebijakan fiskal efektif meningkatkan pendapatan nasional dibandingkan kebijakan moneter.Sementara di negara lain yang menganut model small open economy sistem nilai tukar yang flexibel (floated exchenge rate) serta aliran valuta asing yang bebas, kebijakan moneter akan lebih efektif mengendalikan perekonomian dibandingkan kebijakan fiskal.(sumber: http://www.fiskal.depkeu.go.id/webbkf/kajian%5CDefisit%20APBN.pdf)

5. Kebijakan BI untuk targeted inflationsumber: bi.go.idTarget atau sasaran inflasi merupakan tingkat inflasi yang harus dicapai oleh Bank Indonesia, berkoordinasi dengan Pemerintah. Penetapan sasaran inflasi berdasarkan UU mengenai Bank Indonesia dilakukan oleh Pemerintah. Dalam Nota Kesepahaman antara Pemerintah dan Bank Indonesia, sasaran inflasi ditetapkan untuk tiga tahun ke depan melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK). Berdasarkan PMK No.66/PMK.011/2012 tentang Sasaran Inflasi tahun 2013, 2014, dan 2015 tanggal 30 April 2012 sasaran inflasi yang ditetapkan oleh Pemerintah untuk periode 2013 2015, masing-masing sebesar 4,5%, 4,5%, dan 4% masing-masing dengan deviasi 1%.Sasaran inflasi tersebut diharapkan dapat menjadi acuan bagi pelaku usaha dan masyarakat dalam melakukan kegiatan ekonominya ke depan sehingga tingkat inflasi dapat diturunkan pada tingkat yang rendah dan stabil. Pemerintah dan Bank Indonesia akan senantiasa berkomitmen untuk mencapai sasaran inflasi yang ditetapkan tersebut melalui koordinasi kebijakan yang konsisten dengan sasaran inflasi tersebut. Salah satu upaya pengendalian inflasi menuju inflasi yang rendah dan stabil adalah dengan membentuk dan mengarahkan ekspektasi inflasi masyarakat agar mengacu (anchor) pada sasaran inflasi yang telah ditetapkan (Lihat Peraturan Menteri Keuangan tentang sasaran inflasi 2013, 2014, dan 2015) Angka target atau sasaran inflasi dapat dilihat pada web site Bank Indonesia atau web site instansi Pemerintah lainnya seperti Departemen Keuangan, Kantor Menko Perekonomian, atau Bappenas. Sebelum UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, sasaran inflasi ditetapkan oleh Bank Indonesia. Sementara setelah UU tersebut, dalam rangka meningkatkan kredibilitas Bank Indonesia maka sasaran inflasi ditetapkan oleh Pemerintah.Dalam melaksanakan kebijakan moneter, Bank Indonesia menganut sebuah kerangka kerja yang dinamakan Inflation Targeting Framework (ITF). Kerangka kerja ini diterapkan secara formal sejak Juli 2005, setelah sebelumnya menggunakan kebijakan moneter yang menerapkan uang primer (base money) sebagai sasaran kebijakan moneter.Bank Indonesia secara eksplisit mengumumkan sasaran inflasi kepada publik dan kebijakan moneter diarahkan untuk mencapai sasaran inflasi yang ditetapkan oleh Pemerintah tersebut. Untuk mencapai sasaran inflasi, kebijakan moneter dilakukan secara forward looking, artinya perubahan stance kebijakan moneter dilakukan melaui evaluasi apakah perkembangan inflasi ke depan masih sesuai dengan sasaran inflasi yang telah dicanangkan. Dalam kerangka kerja ini, kebijakan moneter juga ditandai oleh transparansi dan akuntabilitas kebijakan kepada publik. Secara operasional, stance kebijakan moneter dicerminkan oleh penetapan suku bunga kebijakan (BI Rate) yang diharapkan akan memengaruhi suku bunga pasar uang dan suku bunga deposito dan suku bunga kredit perbankan. Perubahan suku bunga ini pada akhirnya akan memengaruhi output dan inflasi.Dengan telah dilepaskannya sistem nilai tukar dengan band intervensi nilai tukar (crawling band) di tahun 1997, Bank Indonesia memerlukan jangkar nominal (nominal anchor) baru dalam rangka menjalankan kebijakan moneter. Jangkar nominal adalah variabel nominal (seperti indeks harga, nilai tukar, atau uang beredar) yang ditargetkan secara eksplisit oleh bank sentral sebagai dasar/patokan bagi pembentukan harga lainnya. Misalnya kalau nilai tukar dijadikan target, maka inflasi luar negeri akan menjadi inflasi domestik. Mengapa kebijakan moneter memerlukan jangkar nominal? Karena tanpa adanya jangkar nominal, tidak ada kejelasan kemana kebijakan moneter akan diarahkan sehingga masyarakat tidak memiliki pedoman dalam membuat ekspektasi inflasi.Ada sejumlah alasan mengapa menggunakan jangkar nominal dengan ITF:1. ITF lebih mudah dipahami oleh masyarakat. Dengan sasaran inflasi secara eksplisit masyarakat akan memahami arah inflasi. Sebaliknya dengan sasaran base money, apalagi jika hubungannya dengan inflasi tidak jelas, masyarakat lebih sulit mengetahui arah inflasi kedepan.2. ITF yang memfokuskan pada inflasi sebagai prioritas kebijakan moneter sesuai dengan mandat yang diberikan kepada Bank Indonesia.3. ITF bersifat forward looking sesuai dengan dampak kebijakan pada inflasi yang memerlukan time lag.4. ITF meningkatkan trasparansi dan akuntabilitas kebijakan moneter mendorong kredibilitas kebijakan moneter. Aspek transparansi dan akuntabilitas serta kejelasan akan tujuan ini merupakan aspek-aspek good governance dari sebuah bank yang telah diberikan independensi.5. ITF tidak memerlukan asumsi kestabilan hubungan antara uang beredar, output dan inflasi. Sebaliknya, ITF merupakan pendekatan yang lebih komprehensif dengan mempertimbangkan sejumlah variabel informasi tentang kondisi perekonomian.Dalam kerangka ITF, Bank Indonesia mengumumkan sasaran inflasi ke depan pada periode tertentu. Setiap periode Bank Indonesia mengevaluasi apakah proyeksi inflasi ke depan masih sesuai dengan sasaran yang ditetapkan. Proyeksi ini dilakukan dengan sejumlah model dan sejumlah informasi yang dapat menggambarkan kondisi inflasi ke depan. Jika proyeksi inflasi sudah tidak kompatibel dengan sasaran, Bank Indonesia melakukan respon dengan menggunakan instrumen yang dimiliki. Misalnya jika proyeksi inflasi telah melampaui sasaran, maka Bank Indonesia akan cenderung melakukan pengetatan moneter. Secara reguler, Bank Indonesia menjelaskan kepada publik mengenai asesmen terhadap kondisi inflasi dan outlook ke depan serta keputusan yang diambil. Jika sasaran inflasi tidak tercapai maka diperlukan penjelasan kepada publik dan langkah-langkah yang akan diambil untuk mengembalikan inflasi sesuai dengan sasarannya. Apabila sasaran tidak tercapai, hal itu bukan sepenuhnya menjadi kesalahan BI selaku Bank Sentral karena tidak semua inflasi merupakan core inflation.

6. Alternatif penyediaan barang publikBeberapa alternatif penyediaan barang publik antara lain : Penyediaan secara sukarela dan Pembauran barang publik, seiring waktu, terjadi pergeseran peruntukan barang publik karena proses privatisasi oleh sebagian penggunanya. Mengenakan biaya bagi pengguna barang publik merupakan salah satu cara transparan dalam penyediaan barang publik. Semakin besar potensi pembayaran jika dibandingkan dengan biaya transaksinya akan semakin memberi alasan untuk menjadikan komoditi tersebut bersifat eksklusif. Penyediaan barang publik melalui penerimaan pajak dianggap lebih berhasil daripada mekanisme pasar. Mekanisme pasar tidak mampu untuk menunjukkan bagaimana preferensi masing-masing individu terhadap barang publik karena terdapat kecenderungan untuk bergantung kepada orang lain dalam penyediaannya. Hal ini menyebabkan pasar gagal untuk menyediakan barang publik yang memenuhi standar setiap individu yang mengharapkan untuk memaksimalkan kekayaan mereka. Hal semacam ini dapat diatasi dengan proses politik untuk menggantikan mekanisme pasar, karena proses pemilihan perwakilan masyarakat dapat menahan kecenderungan menyembunyikan preferensi karena kesadaran akan hasil pemilihan yang bersifat mengikat bagi seluruh individu. Penggunaan model median voter merupakan pendekatan yang paling mendekati kondisi Pareto-efficient mengenai alokasi penyediaan barang publik. Penyediaan barang publik melalui penerimaan pajak dipandang lebih efisien karena tercipta keadaan dimana biaya marjinal sama dengan penerimaan marjinal. Sehingga biaya tetap barang publik yang besar dapat dibagi ke lebih banyak orang dan menjadikan biaya per unit menjadi semakin kecil Public-Private Partnership -> Private Financing Initiative, diterapkan di Inggris, paper Michael Spackman Memberi toleransi terhadap kekurangtersediaan barang publik. Toleransi ini lebih mudah diberikan terhadap komoditi-komoditi publik yang kurang esensial, dan lebih mudah mengumpulkan donasi untuk memperoleh barang publik tidak murni dibandingkan barang publik murni.

7. Kewenangan OJK dalam makroekonomiOJK=sektor keuangan +pengawasan

Pengawasan terhadap Bank dan Lembaga keuangan dilakukan agar mereka dapat menjalankan bisnis secara sehat dan dalam koridor yang ditentukan oleh aturan baik BI dan OJK. Kalau Bank dan LK tidak diawasi kegiatannya maka akan terjadi hal hal di luar kontrol yg dapat menyebabkan kekacauan di dunia perbankan atau perekonomian, misal : bank menjadi tdk sehat >> krisis >> collapse >> masyarakat panik >> masyarakat menarik uang >> kekacauan perbankan >> krisis moneter.atau terjadi penipuan oleh lembaga asuransi/investasi >> masyarakat kecewa >> tdk percaya lagi dg asuransi atau bank >> saving/investment menurun >> pengaruh ke ekonomi nasional.

logikanya hubungan peran OJK dg makroekonomi kira2 begitu.. hehe.. silakan di explore ya, kl perlu pakai peraturan.

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menjalankan tugas pokok dan fungsi guna menjamin Stabilitas Sistem Keuangan (SSK) agar tetap dapat terjaga guna mencapai tujuan mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara sehat, sustainable, dan stabil.Sesuai amanat Undang-undang (UU) No. 21 tahun 2011 tentang OJK, terhitung sejak 31 Desember 2013, fungsi pengaturan dan pengawasan perbankan yang selama ini dilakukan oleh Bank Indonesia, telah dialihkan kepada OJK (Gatti, 2014). Dengan demikian, tugas pengawasan perbankan berpindah dari Bank Indonesia ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK) per 31 Desember 2013 yang mencakup: 1) mengatur dan mengawasi sektor pasar modal; 2) mengatur dan mengawasi sektor industri keuangan; dan 3) mengatur dan mengawasi sektor perbankan (Jogo Hera, 2014). Sedangkan, sepuluh (10) sasaran strategis OJK meliputi: 1) terwujudnya Sektor Jasa Keuangan (SJK) yang tangguh, kontributif, dan inklusif; menjaga sistem keuangan yang stabil dan berkelanjutan, dan melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat; 2) meningkatkan pengaturan SJK yang selaras dan terintegrasi; 3) mengembangkan SJK yang stabil dan berkelanjutan; 4) mengoptimalkan pengawasan SJK yang terintegrasi dan terkoordinasi secara efektif; 5) mengoptimalkan edukasi dan perlindungan konsumen; 6) meningkatkan surveillancesistem keuangan dan koordinasi secara efektif; 7) meningkatkan tata kelola yang efektif; 8) mengoptimalkan pengelolaan keuangan yang akuntabel; 9) meningkatkan organisasi yang efisien dan efektif didukung SDM yang professional; dan 10) mengembangkan sistem informasi dan sarana prasarana yang memadai (Wartawan3, 2014).Peran strategis Otoritas Jasa Keuangan diatur dalam Pasal 34 UU No. 3/2004. Dikatakan dalam ayat (1) bahwa Tugas mengawasi Bank akan dilakukan oleh oleh lembaga pengawas sektor jasa keuangan yang independen, dan dibentuk dengan undang-undang. Dalam penjelasan pasal tersebut disebutkan bahwa lembaga pengawasan jasa keuangan yang akan dibentuk melakukan pengawasan terhadap Bank dan perusahaan-perusahaan sektor jasa keuangan lainnya yang meliputi asuransi, dana pensiun, sekuritas, modal ventura, dan perusahaan pembiayaan, serta badan-badan lain yang menyelenggarakan pengelolaan dana masyarakat.Lembaga ini bersifat independen dalam menjalankan tugsnya dan kedudukannya berada di luar Pemerintah dan berkewajiban menyampaikan laporan kepada Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Dewan Perwakilan Rakya (DPR). Dalam melakukan tugasnya lembaga ini (supervisory board) melakukan koordinasi dan kerjasma dengan Bank Indonesia sebagai bank sentral yang akan diatur dalam Undang-undang pembentukan lembaga pengawasan yang dimaksud.Lembaga pengawasan ini dapat mengeluarkan ketentuan yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas pengawasan Bank dengan berkoordinasi dengan Bank Indonesia dan meminta penjelasan dari Bank Indonesia keterangan dan data makro yang diperlukan.Berdasarkan Pasal 39 UU OJK terkait koordinasi dan kerjasama dalam menjalankan tugasnya, OJK berkoordinasi dengan Bank Indonesia dalam membuat peraturan pengawasan di bidang perbankan meliputi: kewajiban pemenuhan modal minimum bank, sistem informasi perbankan yang terpadu, kebijakan penerimaan dana dari luar negeri, penerimaan dana valuta asing dan pinjaman komersial luar negeri, produk perbankan, transaksi derivatif, kegiatan usaha bank lainnya dan penentuan institusi bank yang masuk kategori systemically important bank serta data lain yang dikecualikan dari ketentuan kerahasiaan informasi. Dalam pasal 40 dan 41 disebutkan bahwa BI dapat melakukan pemeriksaan langsung terhadap bank dengan menyampaikan pemberitahuan secara tertulis terlebih dahulu kepada OJK, tetapi dalam pemeriksaan tersebut BI tidak dapat memberikan penilaian terhadap tingkat kesehatan bank. Laporan hasil pemeriksaan bank yang dilakukan oleh BI tersebut disampaikan kepada OJK, kemudian OJK menginformasikan kepada Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) mengenai bank bermasalah yang sedang dalam upaya penyehatan oleh OJK. Apabila bank tersebut mengalami kesulitan likuiditas dan/atau kondisi kesehatannya semakin memburuk, OJK segera menginformasikan ke BI untuk melakukan langkah-langkah sesuai dengan kewenangan Bank.1. Implikasi dari pergeseran Otoritas Jasa Keuangan dari Bank Indonesia ke OJKPergeseran wewenang terhadap Jasa Keuangan yang semula berada di Bank Indonesia menjadi tugas baru dari lembaga OJK pada dasarnya akan semakin mempercepat mobilitas ekonomi yang akan terjadi di negeri ini dengan catatan terjadi sinkronisasi yang baik antara lembaga OJK dengan Bank Indonesia, seperti halnya yang terjadi di Inggris antara FSA (financial Service Authority) yang menggantikan fungsi dari badan investasi dan surat berharga. Namun, ketika sinkronisasi ini tidak berjalan bahkan menjadi celah masuknya oknum yang membawa kepentingan, maka akan sangat mungkin akan terjadi hal yang sebaliknya.BI=moneter -regulator

8. Instrumen kebijakan fiskal apa saja dan tentang politik anggaran (defisit budget/kebijakan fiskal ekspansif, surplus budget/kebijakan kontraktif, balanced budget/anggaran berimbang)keyness=>pemerintah butuh campur tangan untuk mengatasi masalah ekonomifiskal ekspansif digunakan saat resesi

Kebijakan fiskal merujuk pada kebijakan yang dibuat pemerintah untuk mengarahkan ekonomi suatu negara melalui pengeluaran dan pendapatan (berupa pajak) pemerintah. Instrumen utama kebijakan fiskal adalah pengeluaran dan pajak. Perubahan tingkat dan komposisi pajak dan pengeluaran pemerintah dapat berikut: Permintaan Agregat dan tingkat aktivitas ekonomi Pola persebaran sumber daya Distribusi pendapatanContoh kebijakan fiskal yang dikeluarkan oleh pemerintah: Kebijakan tentang penghasilan tidak kena pajak yang dinaikan 10% pada awal Januari yang tertuang dalam PP/UU APBN 2006 (Pajak ditanggung pemerintah). Subsidi BBM dan listrik Apabila perekonomian nasional mengalami inflasi,pemerintah dapat mengurangi kelebihan permintaan masyarakat dengan cara memperkecil pembelanjaan dan atau menaikkan pajak agar tercipta kestabilan lagi. Cara demikian disebut dengan pengelolaan anggaran

Instrumen kebijakan fiskal adalah penerimaan dan pengeluaran pemerintah yang berhubungan erat dengan pajak. Dari sisi pajak jelas jika mengubah tarif pajak yang berlaku akan berpengaruh pada ekonomi. Jika pajak diturunkan maka kemampuan daya beli masyarakat akan meningkat dan industri akan dapat meningkatkan jumlah output. Dan sebaliknya kenaikan pajak akan menurunkan daya beli masyarakat serta menurunkan output industri secara umum.Untuk mencapai tujuan kebijakan makro secara optimal, biasanya diterapkan policy mix atau bauran kebijakan yang terkoordinasi antara satu kebijakan dengan kebijakan lainnya (Warjiyo dan Solikin 2003). Pengertian optimal di sini adalah pencapaian tujuan antar kebijakan dapat terkoordinasi sehingga tidak menimbulkan dampak yang kurang menguntungkan bagi pencapaian tujuan kebijakan ekonomi makro secara keseluruhan. Salah satu contoh penerapan bauran kebijakan yang banyak dikenal adalah bauran kebijakan fiskal-Moneter (monetary fiscal policy mix). Secara konseptual, koordinasi bauran kebijakan fiskal-moneter dapat dilakukan melalui beberapa scenario, yaitu:

Sebagai contoh, apabila bauran kebijakan fiskal-moneter dapat dilakukan secara terkoordinasi, maka scenario kebijakan 1 dan 4 merupakan scenario kebijakan yang paling efektif diterapkan untuk mengatasi fluktuasi ekonomi yang berlebihan.

Kebijakan Anggaran / Politik Anggaran :1. Anggaran Defisit (Defisit Budget) / Kebijakan Fiskal EkspansifAnggaran defisit adalah kebijakan pemerintah untuk membuat pengeluaran lebih besar dari pemasukan negara guna memberi stimulus pada perekonomian. Umumnya sangat baik digunakan jika keaadaan ekonomi sedang resesif.2. Anggaran Surplus (Surplus Budget) / Kebijakan Fiskal KontraktifAnggaran surplus adalah kebijakan pemerintah untuk membuat pemasukannya lebih besar daripada pengeluarannya. Baiknya politik anggaran surplus dilaksanakan ketika perekonomian pada kondisi yang ekspansi yang mulai memanas (overheating) untuk menurunkan tekanan permintaan.3. Anggaran Berimbang (Balanced Budget)Anggaran berimbang terjadi ketika pemerintah menetapkan pengeluaran sama besar dengan pemasukan. Tujuan politik anggaran berimbang yakni terjadinya kepastian anggaran serta meningkatkan disiplin.

9. Tentang social securityMetode: Fully funded >> dibayar atas iuran kita sendiri Pay as you go (PAYGO) >> dibayar oleh iuran orang yg masih aktif bekerja Modified PAYGO >> sebagian iuran sendiri , sebagian dibayar oleh yg masih aktif bekerjapensiun

myopicPandangan jangka pendek yang bias terhadap masa depan. Maksudnya, dalam menentukan kebutuhan dasar yang harus tercover dalam social security biasanya manusia hanya berpandangan masa kini/jangka pendek. kebutuhan di masa denpan yang bersifat normatif dan investasi sosial sering kali terabaikan. misalnya kebutuhan taman kota, air bersih, udara sehat,pendidikan

BPJSga semua orang ke cover sama program pensiun

Transformasi Social Security di IndonesiaPerintah transformasi kelembagaan badan penyelenggara jaminan sosial diatur dalam UU No. 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (UU SJSN). Selanjutnya, pembentukan BPJS dan transformasi badan penyelenggara diatur rinci dalam UU No. 24 tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (UU BPJS).Kedua pasal ini (Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 52 UU SJSN) mengamanatkan pembentukan BPJS dan transformasi kelembagaan PT Askes (Persero), PT ASABRI (Persero), PT Jamsostek (Persero) dan PT TASPEN (Persero) menjadi BPJS untuk mempercepat terselenggaranya SJSN bagi seluruh rakyat. Transformasi kelembagaan keempat Persero tersebut diikuti adanya pengalihan peserta, program, aset dan liabilitas, serta hak, kewajiban, dan pegawai. Dengan UU BPJS dibentuk dua BPJS, yaitu BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan. BPJS Kesehatan menyelenggarakan program jaminan kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan menyelenggarakan program jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua, jaminan pensiun, dan jaminan kematian. Dengan terbentuknya kedua BPJS tersebut jangkauan kepesertaan program jaminan sosial akan diperluas secara bertahap.Perubahan Tata KelolaPerubahan tata kelola mencakup 4 (empat) hal utama, yaitu prinsip pengelolaan, pemisahan program jaminan sosial, pemisahan aset jaminan sosial, serta penyertaan dana pemerintah dan perlindungan kesehatan keuangan oleh Negara. Prinsip persero digantikan oleh prinsip pengelolaan BPJS yang dilaksanakan berdasarkan 9 (sembilan) prinsip penyelenggaraan asuransi sosial yang ditetapkan dalam UU SJSN. Kesembilan prinsip SJSN, yaitu kegotongroyongan, nirlaba, keterbukaan, kehati-hatian, akuntabilitas, portabilitas, kepesertaan bersifat wajib, dana amanat dan hasil pengelolaan Dana Jaminan Sosial dipergunakan seluruhnya untuk pengembanganprogram dan untuk sebesar-besar kepentingan peserta.Pemisahan ProgramUU SJSN dan UU BPJS merestrukturisasi penyelenggaraan program jaminan sosial dan mengelompokkannya menjadi dua kelompok program, yaitu program jaminan kesehatan dan program jaminan bukan kesehatan. Program jaminan kesehatan diselenggarakan oleh BPJS Kesehatan bagi seluruh penduduk Indonesia termasuk pekerja asing yang bekerja sekurangkurangnya 6 (enam) bulan di Indonesia. Penerima manfaat program jaminan kesehatan mencakup pula anggota keluarganya. Program jaminan bukan kesehatan mencakup program jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua, jaminan pensiun dan jaminan kematian. Keempat program ini diselenggarakan oleh BPJS Ketenagakerjaan bagi seluruh tenaga kerja, termasuk pekerja asing yang bekerja sekurang-kurangnya 6 (enam) bulan di Indonesia. Subsidi silang antarprogram dengan membayarkan manfaat suatu program dari dana program lain tidak diperkenankan.Di era Pra SJSN, penyelenggaraan program jaminan sosial dikelompokkan berdasarkan golongan pekerjaan, yaitu pekerja swasta dan pekerja pemerintah. Program jaminan sosial bagi pekerja swasta diselenggarakan oleh PT Jamsostek. Program Jamsostek mencakup program jaminan kesehatan, jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua, dan jaminan kematian. Program jaminan sosial bagi pekerja pemerintah diselenggarakan oleh PT Askes, PT Asabri, PT Taspen, dan Kementerian Pertahanan beserta Mabes POLRI. PT Askes menyelenggarakan program jaminan kesehatan bagi pegawai negeri sipil dan pensiunan pegawai negeri sipil, pensiun TNI dan pensiun POLRI. PT Asabri menyelenggarakan program jaminan pensiun dan program jaminan hari tua bagi prajurit TNI dan anggota POLRI. PT Taspen menyelenggarakan program jaminan pensiun dan program jaminan hari tua bagi pegawai negeri sipil. Kementerian Pertahanan dan Mabes Kepolisian RI menyelenggarakan pelayanan kesehatan bagi prajurit TNI dan anggota POLRI beserta keluarganya.Pemisahan Aset Jaminan SosialUU SJSN dan UU BPJS merestrukturisasi pengelolaan dana jaminan sosial. BPJS mengelola aset BPJS dan aset Dana Jaminan Sosial. BPJS wajib memisahkan aset BPJS dan aset Dana Jaminan Sosial.30 Aset Dana Jaminan Sosial bukan merupakan aset BPJS.31 BPJS wajib menyimpan dan mengadministrasikan dana jaminan sosial pada bank kustodian yang merupakan badan usaha milik negara. Di era pra SJSN, pengelolaan dana jaminan sosial oleh keempat BUMN, yaitu PT Askes, PT Asabri, PT Jamsostek, dan PT Taspen, mengikuti standar pengelolaan dana perseroan. Persero tidak memisahkan pengelolaan aset badan dari aset peserta.Penyertaan Dana PemerintahPenyertaan dana pemerintah di BPJS dilakukan dalam tiga mekanisme.Pertama, Pemerintah menempatkan dana bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara di BPJS. UU BPJS menetapkan modal awal BPJS disediakan oleh Pemerintah paling banyak sebesar dua triliun rupiah untuk masing-masing BPJS.33 Modal awal dari pemerintah merupakan kekayaan Negara yang tidak terbagi atas saham. Modal awal adalah aset BPJS dan sepenuhnya digunakan untuk membiayai operasional penyelenggaraan jaminan sosial dan pengadaan sarana dan jasa pendukung untuk operasional penyelenggaraan jaminan sosial.Kedua, Pemerintah menyubsidi iuran bagi orang miskin dan tidak mampu, yang dinamakan Penerima Bantuan Iuran (PBI). Subsidi diberikan secara bertahap sesuai kemampuan keuangan pemerintah, dimulai dari subsidi iuran program jaminan kesehatan.Ketiga, Pemerintah dapat melakukan intervensi melalui kebijakan khusus untuk menjamin kelangsungan program jaminan sosial bagi seluruh peserta. Selanjutnya, bila terjadi krisis keuangan dan kondisi tertentu yang memberatkan perekonomian, Pemerintah dapat melakukan tindakan khusus untuk menjaga kesehatan keuangan dan kesinambungan penyelenggaraan program jaminan sosial.Sebaliknya di era pra SJSN, penyertaan modal pemerintah adalah berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan dan terbagi atas saham yang seluruh atau paling sedikit 51% dimiliki oleh Negara.36 Jaminan Negara atas kesehatan keuangan badan penyelenggara jaminan sosial hanya disediakan untuk badan penyelenggara program jaminan sosial pegawai negeri sipil dan pensiunannya (PT Askes dan PT Taspen) serta badan penyelenggara jaminan sosial pegawai negeri non sipil - Prajurit TNI dan Anggota POLRI (PT Asabri). PT Jamsostek tidak mendapatkan fasilitas perlindungan finansial dari Negara. Hal ini mengantarkan ketiadaan jaminan perlindungan Negara kepada peserta Jamsostek, yaitu para pekerja bukan pegawai negeri.(sumber: Seri Buku Saku 3: Paham Transformasi Jaminan Sosial Indonesia)