dinasti abbasiyah
DESCRIPTION
dinastiTRANSCRIPT
A. Sejarah Berdirinya Dinasti Abbasiyah
Abbasiyah, nama dinasti kekhalifahan yang berkuasa mulai 749 hingga 1258 (132 H-656
H) ini diambil dari nenek moyangnya al-Abbas bin ‘Abdul Mutalib bin Hasyim, paman
Rasulullah.1[3] Dinasti Abbasiyah didirikan oleh Abu al-‘Abbas al-Saffah dan sekaligus sebagai
khalifah pertama. Al-Saffah artinya sang penumpah darah. Menurut Prof. Dr. Hamka, Abu al-
Abbas al-Saffah dikenal sebagi orang yang masyhur karena kedermawanannya, kuat ingatannya,
keras hati, tapi sangat besar dendamnya kepada Bani Umayyah. Sehingga dengan tidak mengenal
belas kasihan dibunuhnya keturunan-keturunan Bani Umayyah itu.2[4]
Munculnya Dinasti Abbasiyah sering dihubungkan dengan kejatuhan Dinasti Umayyah.3
[5] Dalam satu hal terdapat perbedaan yang sangat mendasar: Dinasti Umayyah terdiri atas orang
Arab, sementara Dinasti Abbasiyah lebih bersifat internasional. Dinasti Abbasiyah merupakan
kerajaan orang Islam baru, tempat orang Arab hanya menjadi salah satu unsur dari berbagai
bangsa yang membentuk kerajaan itu.4[6]
Oleh karena itu, penggantian Umayyah oleh Abbasiyah ini lebih dari sekedar penggantian
dinasti, ia merupakan revolusi dalam sejarah Islam, suatu titik balik yang sama pentingnya
dengan revolusi Prancis dan revolusi Rusia di dalam sejarah Barat.5[7]
Ketika berhasil merebut kekuasaan, orang Abbasiyah mengklaim dirinya sebagai
pengusung konsep sejati kekhalifahan, yaitu gagasan negara teokrasi, yang menggantikan
pemerintahan sekuler (mulk) Dinasti Umayyah.6[8]
Kekuasaan dinasti Abbasiyah berlangsung dalam rentang waktu yang panjang, yaitu
selama lima abad. Selama dinasti ini berkuasa pola pemerintahan yang diterapkan berbeda-beda
sesuai dengan perubahan politik, sosial dan budaya. Berdasarkan perubahan pola pemerintahan
dan politik itu, para sejarawan biasanya membagi masa pemerintahan Bani Abbasiyah menjadi
lima periode:
1
2
3
4
5
6
1. Periode pertama (132 H/750 M – 232 H/847 M), disebut periode pengaruh Persia pertama.
2. Periode kedua (232 H/847 M - 334 H/945 M), disebut masa pengaruh Turki pertama.
3. Periode ketiga (334 H/945 M – 447 H/1055 M), masa kekuasaan dinasti Buwaih dalam
pemerintahan khalifah Abbasiyah. Periode ini disebut juga masa pengaruh Persia kedua.
4. Periode keempat (447 H/1055 M – 590 H/1194 M), masa kekuasaan dinasti Bani Seljuk dalam
pemerintahan khalifah Abbasiyah, biasanya disebut juga dengan masa pengaruh Turki kedua.
5. Periode kelima (590 H/1194 M – 656 H/1258 M), masa khalifah bebas dari pengaruh dinasti
lain, tetapi kekuasaannya hanya efektif disekitar kota Bagdad.7[9]
Pada mulanya Ibu kota negara adalah Al-Hasyimiyah, dekat Kufah. Namun untuk lebih
memantapkan dan menjaga stabilitas negara yang baru berdiri itu, al-Manshur memindahkan ibu
kota negara ke kota yang baru dibangunnya, Bagdad, dekat bekas ibu kota Persia, Ctesipon,
tahun 762 M. Dengan demikian pusat pemerintahan Dinasti Abbasiyah berada ditengah-tengah
bangsa Persia.8[10]
Dinasti Abbasiyah, seperti halnya dinasti lain dalam sejarah Islam, mencapai masa
kejayaan politik dan intelektual mereka segera setelah didirikan. Kekhalifahan Bagdad yang
didirikan oleh Al-Saffah dan al-Manshur mencapai masa keemasannya antara masa khalifah
ketiga, al-Mahdi, dan khalifah kesembilan, al-Watsiq dan lebih khusus pada masa khalifah Harun
al-Rasyid dan anaknya, al-Ma’mun.
B. Pemerintahan Dinasti Abbasiyah
Dalam pemerintahan Dinasti Abbasiyah kepala negara adalah khalifah, yang setidaknya
dalam teori memegang semua kekuasaan. Ia dapat melimpahkan otoritas sipilnya kepada seorang
wazir, otoritas pengadilan kepada seorang hakim (qadhi), dan otoritas militer kepada seorang
jenderal (amir), namun khalifah tetap menjadi pengambil keputusan akhir dalam semua urusan
pemerintahan pemerintahan. Dalam melaksanakan fungsi dan tugas pemerintahannya khalifah
Bagdad mengikuti pola administrasi Persia. Penolakan masyarakat terhadap pemerintahan
sekuler Umayyah dimanfaatkan Abbasiyah dengan menampilkan diri sebagai pemerintahan
imamah, yang menekankan karakteristik dan kewibawaan religius.9[11]
7
8
9
Pergantian kepemimpinan secara turun-temurun seperti yang dilakukan pada masa
Umayyah juga diikuti oleh Dinasti Abbasiyah, beserta dampak buruknya. Khalifah yang sedang
berkuasa akan menunjuk penggantinya seorang anak, atau saudaranya yang ia pandang cakap
atau menurutnya paling tepat. Khalifah dibantu oleh pejabat rumah tangga istana (hajib) yang
bertugas memperkenalkan utusan dan pejabat yang akan mengunjungi khalifah. Ada juga
seorang eksekutor yang menjadi tokoh penting istana yang bertugas di bawah tanah istana, yakni
tempat penyiksaan.10[12]
Pendapatan negara pada masa Dinasti Abbasiyah bersumber dari pajak sebagai sumber
utama, kemudian zakat yang dibebankan atas tanah produktif, hewan ternak, emas dan perak,
barang dagangan, dan harta milik lainnya yang mampu berkembang baik secara alami maupun
setelah diusahakan.11[13]
Ada beberapa biro dalam pemerintahan Abbasiyah; biro pajak, biro pengawas, dewan
korespondensi atau biro arsip yang menangani semua surat-surat resmi, dokumen politik serta
instruksi dan ketetapan khalifah, dewan penyelidik keluhan atau semacam pengadilan tingkat
banding/pengadilan tinggi, departemen kepolisian dan pos.12[14]
Kekuatan militer Dinasti Abbasiyah terdiri atas pasukan infanteri (harbiyah) yang
bersenjatakan tombak, pedang dan perisai, pasukan panah (ramiyah) dan pasukan kavaleri
(fursan) yang mengenakan pelindung kepala dan dada serta bersenjatakan tombak panjang dan
kapak.
C. Masa Kejayaan Peradaban Dinasti Abbasiyah
Peradaban dan kebudayaan Islam tumbuh dan berkembang bahkan mencapai kejayaannya
pada masa Abbasiyah. Hal tersebut dikarenakan Dinasti Abbasiyah lebih menekankan
pembinaan peradaban dan kebudayaan Islam daripada perluasan wilayah.13[15]
Abad X Masehi disebut abad pembangunan daulah islamiyah di mana Dunia Islam, mulai
Cordova di Spanyol sampai ke Multan di Pakistan mengalami pembangunan di segala bidang,
terutama di bidang ilmu pengetahuan, teknologi dan seni.
10
11
12
13
Dunia Islam pada waktu itu dalam keadaan maju, jaya, makmur; sebaliknya dunia Barat
masih dalam keadaan gelap gulita, bodoh dan primitif. Dunia Islam telah sibuk mengadakan
penyelidikan di laboratorium dan observatorium; dunia barat masih asyik dengan jampi-jampi
dan dewa-dewa. Hal ini disebabkan agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad telah
menimbulkan dorongan untuk menumbuhkan suatu kebudayaan baru yaitu kebudayaan Islam.14
[16]
1. Kehidupan Masyarakat Pada Masa Dinasti Abbasiyah
Sistem kesukuan primitif yang menjadi pola organisasi sosial Arab paling mendasar runtuh
pada masa Dinasti Abbasiyah, yang didirikan dari berbagai unsur asing. Bahkan dalam persoalan
memilih istri dan ibu untuk anak-anak mereka, para khalifah tidak menjadikan darah keturunan
Arab sebagai patokan.15[17]
Pada masa awal Dinasti Abbasiyah, kaum wanita cenderung menikmati tingkat kebebasan
yang sama dengan kaum wanita pada masa Dinasti Umayyah. Pada masa itu banyak perempuan
yang berhasil mengukir prestasi dan berpengaruh di pemerintahan.16[18]
Pada masa ini, busana laki-laki memiliki corak yang beragam dengan model terbatas.
Penutup kepala yang biasa dipakai adalah qalansuwah17[19], celana panjang yang lebar (sarawil)
dari Persia, kemeja, rompi dan jaket (qufthan), dengan jubah luar (‘aba’ atau jubbah),
melengkapi lemari pakian laki-laki.18[20]
Perabotan rumah yang paling umum adalah diwan19[21]. Karpet buatan tangan dipakai
untuk menutupi lantai. Makanan disajikan pada nampan lebar dari perunggu. Dirumah-rumah
orang berada nampan-nampan itu terbuat dari perak. Nasi mereka anggap sebagai makan beracun
dan menggantinya dengan menu-menu dari negeri berperadaban tinggi seperti daging rebus
beraroma dan manisan. Mereka menggunakan roti tipis sebagai alat tulis. Ayam peliharaan
14
15
16
17
18
19
mereka diberi makan berupa kenari, kacang almond dan susu. Pada musim panas rumah-rumah
mereka didinginkan dengan es.20[22]
Masyarakat kelas atas yang berada dibawah kelas aristokrat terdiri atas penulis sastra,
orang terpelajar, seniman, pengusaha, pengrajin, dan pekerja profesional. Sementara masyarakat
kelas bawah membentuk mayoritas penduduk negara yang terdiri atas petani, pengembala, dan
penduduk sipil yang berstatus sebagai dzimmi.
Kekuasaan kerajaan yang luas dan tingkat peradaban yang tinggi dicapai dengan
melibatkan jaringan perdagangan internasional yang luas. Para pedagang yang awalnya orang
Kristen, Yahudi dan pengikut Zoroaster kemudian digantikan oleh orang-orang Arab Islam,
sehingga pelabuhan-pelabuhan seperti Baghdad, Bashrah, Siraf, dan Iskandariyah segera
berkembang menjadi pusat perdagangan laut dan darat yang aktif. Tingkat perdagangan seperti
itu dicapai dengan dukungan pengembangan industri rumah tangga dan pertanian yang maju.
Industri kerajinan tangan menjamur di berbagai pelosok kerajaan, seperti industri karpet, sutera,
kapas, kain wol, satin dan brokat, sofa, serta perlengkapan dapur dan rumah tangga lainnya.
Industri penting yang perlu dicatat adalah pembuatan kertas tulis, yang diperkenalkan pada
pertengahan abad ke-8 dari Cina ke Samarkand. Seni mengolah perhiasan juga mengalami
kejayaannya; mutiara, safir, rubi, emerald, permata, zamrud, dan onyx (semacam batu akik).
Perhiasan itu banyak digunakan untuk aksesoris penghias kepala, sepatu dan lain-lain.21[23]
2. Kebangkitan Intelektual
Gerakan membangun ilmu secara besar-besaran dirintis oleh khalifah Ja’far al-Manshur,
setelah ia mendirikan kota Bagdad (144 H/762 M) dan menjadikannya sebagai ibukota negara.22
[24] Ia menarik banyak ulama dan para ahli dari berbagai daerah untuk datang dan tinggal di
Bagdad. Ia merangsang usaha pembukuan ilmu agama, seperti fiqih, tafsir, tauhid, hadits, atau
ilmu lain seperti bahasa dan ilmu sejarah. Akan tetapi yang lebih mendapat perhatian adalah
penerjemahan buku ilmu yang dari luar.
Pada masa itu hidup para filsuf, pujangga, ahli baca al-Qur’an, dan para ulama di bidang
agama. Didirikan perpustakaan yang diberi nama Baitul Hikmah, didalamnya orang dapat
20
21
22
membaca, menulis, dan berdiskusi.23[25] Berkembanglah ilmu pengetahuan agama seperti ilmu
al-Qur’an, qira’at, hadits, fiqih, ilmu kalam, bahasa dan sastra. Empat madzhab fiqih tumbuh dan
berkembang pada masa Dinasti Abbasiyah. Imam Abu Hanifah (meninggal di Bagdad tahun 150
H/667 M) adalah pendiri Madzhab Hanafi. Imam Malik bin Anas banyak menulis hadits dan
pendiri madzhab Maliki (wafat di Madinah tahun 179 H/795 M). Muhammad bin Idris Asy-
Syafi’i (wafat di Mesir tahun 204 H/819 M) adalah pendiri Madzhab Syafi’i. Ahmad bin Hanbal
pendiri madzhab Hanbali (wafat tahun 241 H/855 M). Di samping itu berkembang pula ilmu
filsafat, logika, metafisika, matematika, ilmu alam, geografi, aljabar, aritmatika, astronomi,
musik, kedokteran, dan kimia.24[26]
Dinasti Abbasiyah dengan pusatnya di Bagdad sangat maju sebagai pusat kota peradaban
dan pusat ilmu pengetahuan. Beberapa kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan dapat
disebutkan sebagai berikut:
a. Perkembangan Bidang Ilmu Naqli
Ilmu naqli adalah ilmu yang bersumber dari naqli (al-Qur’an dan Hadits), yaitu ilmu yang
berhubungan dengan agama Islam. Ilmu ini mulai disusun perumusannya pada sekitar 200 tahun
setelah hijrah Nabi sehingga menjadi ilmu yang kita kenal sekarang,25[27] antara lain ulumul
qur’an, ilmu tafsir, hadis, ilmu kalam, bahasa, dan fiqih.26[28]
1) Ilmu Fiqh:
Pada masa Abbasiyah lahir para tokoh Fuqoha (ahli Fiqih) pendiri madzhab, antara lain:
a) Imam Abu Hanifah (700-767 M)
b) Imam Malik (713-795 M)
c) Imam Syafi’i (767-820 M)
d) Imam Ahmad bin Hanbal (780-855 M)
2) Ilmu Tafsir. Dari tafsir yang ada cera penafsirannya ada dua macam:
Tafsir bi al-ma’tsur, yaitu menafsirkan al-Qur’an dengan hadits Nabi. Mufassir masyhur golongan
ini pada masa Abbasiyah antara lain
23
24
25
26
1) Ibn Jarir at-Thabary dengan tafsirnya sebanyak 30 juz
2) Ibn Athiyah al-Andalusy (Abu Muhammad bin Athiyah)
3) al-Suda yang mendasarkan penafsirannya pada Ibn Abbas, Ibn Mas’ud, dan para sahabat
lainnya.
tafsir bi al-ra’yi, yaitu menafsirkan al-Qur’an dengan menggunakan akal dengan memperluas
pemahaman yang terkandung didalamnya. Mufassir masyhur golongan ini pada masa Abbasiyah
antara lain:
a) Abu Bakar Asma (mu’tazilah),
b) Abu Muslim Muhammad bin Nashr al-Isfahany (mu’tazilah) dengan kitab tafsirnya 14 jilid.
3) Ilmu Hadits.
Hadits adalah sumber hukum Islam yang kedua setelah al-Qur’an. Diantara para ahli hadits pada
masa dinasti Abbasiyah adalah
a) Imam Bukhari (194-256 H), karyanya Shahih al-Bukhari
b) Imam Muslim (w. 261 H), karyanya Shahih Muslim
c) Ibnu Majah, Karyanya Sunan Ibnu Majah
d) Abu Dawud, Karyanya Sunan Abu Dawud
e) Imam an-Nasa’i, Karyanya Sunan An-Nasa’i
f) Imam Baihaqi
4) Ilmu Kalam
Kajian para ahli ilmu kalam (teologi) adalah mengenai dosa, pahala, surga neraka, serta
perdebatan mengenai ketuhanan atau tauhid, menghasilkan suatu ilmu yaitu ilmu kalam atau
teologi. Diantara tokoh ilmu kalam adalah
a) Imam Abu Hasan al-Asy’ari dan Imam Abu Manshur al-Maturidi, tokoh Asy’ariyah.
b) Washil bin Atha, Abu Huzail al-allaf, tokoh Mu’tazilah.
c) Al-Juba’i
5) Ilmu Bahasa
Ilmu-ilmu bahasa yang berkembang pada masa Dinasti Abbasiyah adalah ilmu nahwu, ilmu
sharaf, ilmu bayan, ilmu badi’, dan arudl. Bahasa Arab dijadikan sebagai bahasa ilmu
pengetahuan, disamping sebagai alat komunikasi antar bangsa.
Diantara para ahli ilmu bahasa adalah:
a) Imam Sibawaih (w. 183 H), karyanya terdiri dari 2 jilid setebal 1.000 halaman.
b) Al-Kisa’i
c) Abu Zakaria Al-Farra (w. 208 H). Kitab Nahwunya terdiri dari 6.000 halaman lebih.
b. Perkembangan Bidang Ilmu Aqli
Ilmu-ilmu umum masuk ke dalam Islam melalui terjemahan dari bahasa Yunani dan Persia
ke dalam bahasa Arab, di samping bahasa India.27[29] Pada tahun 856 M khalifah al-Mutawakkil
mendirikan Sekolah Tinggi Terjemah di Bagdad yang dilengkapi dengan museum buku-buku.28
[30]
Gerakan penerjemahan berlangsung dalam tiga fase.
1. Fase pertama pada masa khalifah al-Manshur hingga Harun al-Rasyid, pada fase ini banyak
diterjemahkan karya-karya dalam bidang astronomi dan mantiq.
2. Fase kedua berlangsung mulai masa khalifah al-Ma’mun hingga tahun 300 H, buku-buku yang
banyak diterjemahkan adalah dalam bidang filsafat dan kedokteran.
3. Fase ketiga berlangsung setelah tahun 300 H, terutama setelah adanya pembuatan kertas.
Selanjutnya bidang ilmu yang diterjemahkan semakin meluas.29[31]
Dengan kegiatan penerjemahan itu, sebagian karangan Aristoteles, Plato, Galen, serta
karangan dalam ilmu kedokteran lainnya dan juga karangan mengenai ilmu pengetahuan Yunani
lainnya dapat dibaca oleh alim ulama Islam.
Bertolak dari buku yang diterjemahkan itu para ahli dikalangan kaum muslimin
mengembangkan penelitian dan pemikiran mereka, menguasai semua ilmu dan pemikiran filsafat
yang pernah berkembang masa itu serta malakukan penelitian secara empiris dengan
mengadakan eksperimen serta mengembangkan pemikiran spekulatif dalam batas-batas yang
tidak bertentangan dengan kebenaran wahyu. Semenjak itu dimulailah pembentukan ilmu-ilmu
Islam di bidang aqli, yang sering disebut Abad Keemasan yang berlangsung antara 900-1100
Masehi.30[32]
27
28
29
30
Dalam bidang ilmu aqli antara lain berkembang berbagai kajian dalam bidang filsafat,
logika, metafisika, ilmu alam, geometri, aljabar, aritmatika, astronomi, musik, kedokteran, kimia,
sejarah dan sastra.
1) Filsafat
Kajian filsafat di kalangan umat Islam mencapai puncaknya pada masa Dinasti Abbasiyah, di
antaranya dengan penerjemahan filsafat Yunani ke dalam bahasa Arab. Para Filsuf Islam antara
lain:
a) Abu Ishaq Al-Kindi (809-873 M). Karyanya lebih dari 231 judul.
b) Abu Nashr Al-Farabi (961 M). Karyanya lebih dari 12 buah buku. Ia memperoleh gelar al-
Mu’allimuts Tsani (the second teacher), yaitu guru kedua, sedang guru pertama dalam bidang
filsafat adalah Aristoteles.
c) Ibnu Sina, terkenal dengan Avicenna (980-1037 M). Ia seorang filsuf yang menghidupkan
kembali filsafat Yunani aliran Aristoteles dan Plato. Selain filsuf Avicenna juga seorang dokter
istana kenamaan. Diantara bukunya yang terkenal adalah Asy-Syifa, dan Al-Qanun fi Ath-Thib
(Canon of Medicine).
d) Al-Ghazali (1058-1111 M). Al-Ghazali mendapat julukan Al-Hujjatul Islam, karyanya antara
lain: Maqasid al-Falasifah, Al-Munkid Minadh Dhalal, Tahafut Al- Falasifah, dan Ihya
Ulumuddin.
e) Ibnu Rusyd di Barat terkenal denga Averros (1126-1198 M). Ia seorang filsuf, dokter dan ulama.
Karyanya antara lain: Mabadi al-Falasifah, Al-Kuliah fi Ath-Thib, dan Bidayah al-Mujtahid.
2) Ilmu Kedokteran
Pada Masa Abbasiyah Ilmu kedokteran berkembang pesat, rumah sakit dan sekolah kedokteran
banyak didirikan. Diantara ahli kedokteran ternama adalah
a) Abu Zakariya Yahya bin Mesuwaih (w. 242 H), seorang ahli farmasi di rumah sakit Jundishapur
Iran.
b) Abu Bakar Ar-Razi (Rhazez) (864-932 M) dikenal sebagai “Ghalien Arab”.
c) Ibnu Sina (Avicenna), karyanya yang terkenal adalah Al-Qanun fi Ath-Thib tentang teori dan
praktik ilmu kedokteran serta membahas pengaruh obat-obatan, yang diterjemahkan ke dalam
bahasa Eropa, Canon of Medicine.
d) Ar-Razi, adalah tokok pertama yang membedakan antara penyakit cacar dengan measles, Ar-
Razi adalah penulis buku tentang kedokteran anak.
3) Matematika
Terjemahan dari buku-buku asing ke dalam bahasa Arab, menghasilkan karya dalam bidang
matematika. Di antara ahli matematika Islam yang terkenal adalah Al-Khawarizmi, ia adalah
pengarang kitab Al-Jabar wal Muqabalah (ilmu hitung), dan penemu angka nol.
Sedangkan angka latin: 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 0 disebut angka Arab karena diambil dari Arab.
Sebelumnya dikenal angka Romawi I, II, II, IV, V dan seterusnya.
Tokoh lain adalah Abu Al-Wafa Muhammad bin Muhammad bin Ismail bin Al-Abbas (940-998)
terkenal sebagai ahli ilmu matematika.
4) Farmasi
Diantara ahli farmasi pada masa dinasti Abbasiyah adalah Ibnu Baithar, karyanya yang terkenal
adalah Al-Mughni (berisi tentang obat-obatan), Jami Al-Mufradat Al-Adawiyah (berisi tentang
obat-obatan dan makanan bergizi).
5) Ilmu Astronomi
Kaum muslimin mengkaji dan menganalisis berbagai aliran ilmu astronomi dari berbagai bangsa
seperti Yunani, India, Persia, Kaldan, dan ilmu Falak Jahiliyah. Diantara ahli astronomi Islam
adalah:
a) Abu Manshur Al-Falaki (w. 272 H). Karyanya yang terkenal adalah Isbat Al-Ulum dan Hayat
Al-Falak.
b) Jabir Al-Batani (w. 319 H). Ia adalah pencipta teropong bintang pertama. Karyanya yang
terkenal adalah kitab Ma’rifat Mathiil Buruj Baina Arbai Al-Falak.
c) Raihan Al-Bairuni (w. 440 H). Karyanya adalah At-Tafhim li Awal As-Sina At-Tanjim.
6) Geografi
Dalam bidang geografi umat Islam sangat maju, karena sejak semula bangsa Arab merupakan
bangsa pedagang yang biasa menempuh jarak jauh untuk berniaga. Di antara wilayah
pengembaraan umat adalah umat Islam mengembara ke Cina dan Indonesia pada masa-masa
awal kemunculan Islam. Di antara tokoh ahli geografi yang terkenal adalah
a) Abul Hasan Al-Mas’udi (w. 345 H/956 M), seorang penjelajah yang mengadakan perjalanan
sampai Persia, India, Srilanka, Cina, dan penulis buku Muruj Az-Zahab wa Ma’adin Al-Jawahir.
b) Ibnu Khurdazabah (820-913 M) berasal dari Persia yang dianggap sebagai ahli geografi Islam
tertua.di antara karyanya adalah Masalik wa Al-Mamalik, tentang data-data penting mengenai
sistem pemerintahan dan peraturan keuangan.
c) Ahmad El-Ya’kubi, penjelajah yang pernah mengadakan perjalanan sampai ke Armenia, Iran,
India, Mesir, Maghribi, dan menulis buku Al-Buldan.
d) Abu Muhammad Al-Hasan Al-Hamdani (w. 334 H/946 M), karyanya berjudul Sifatu Jazirah Al-
Arab.
7) Sejarah
Masa dinasti Abbasiyah banyak muncul tokoh-tokoh sejarah, beberapa tokoh sejarah antara lain:
Ahmad bin Ya’kubi (w. 895 M) karyanya adalah Al-Buldan (negeri-negeri) dan At-Tarikh
(sejarah).
8) Sastra
Dalam bidang sastra, Bagdad merupakan kota pusat seniman dan sastrawan. Para tokoh sastra
antara lain:
a) Abu Nuwas, salah seorang penyair terkenal dengan karya cerita humornya.
b) An-Nasyasi, penulis buku Alfu Lailah wa Lailah (the Arabian Night), adalah buku cerita Seribu
Satu Malam yang sangat terkenal dan diterjemahkan ke dalam hampir seluruh bahasa dunia.
D. Sebab-Sebab Kemunduran Dinasti Abbasiyah
Sebagaimana terlihat dalam periodeisasi khilafah Abbasiyah, masa kemunduran dimulai
sejak periode kedua. Namun demikian, faktor-faktor penyebab kemunduran itu tidak datang
secara tiba-tiba. Benih-benihnya sudah terlihat pada periode pertama, hanya karena khilafah pada
periode ini sangat kuat, benih-benih itu tidak sempat berkembang. Dalam sejarah kekuasaan Bani
Abbas terlihat bahwa para khilafah kuat, para menteri cenderung berperan sebagai kepala
pegawai sipil, tetapi jika khilafah lemah, mereka akan berkuasa mengatur roda pemerintahan.
Menurut W. Montgomery Watt, bahwa beberapa faktor yang menyebabkan kemunduran
pada masa daulah Abbasiyah adalah sebagai berikut:
1. Luasnya wilayah kekuasaan daulah Abbasiyah, sementara komunikasi pusat dengan daerah sulit
dilakukan. Bersamaan dengan itu, tingkat saling percaya di kalangan para penguasa dan
pelaksana pemerintah sangat rendah.
2. Dengan profesionalisasi angkatan bersenjata, ketergantungan khalifah kepada mereka sangat
tinggi.
3. Keuangan negara sangat sulit karena biaya yang dikeluarkan untuk tentara bayaran sangat besar.
Pada saat kekuatan militer menurun, khalifah tidak sanggup memaksa pengiriman pajak ke
Bagdad.31[33]
Sedangkan menurut Dr. Badri Yatim, M.A., di antara hal yang menyebabkan kemunduran
daulah Bani Abbasiyah adalah sebagai berikut:
1. Persaingan Antar Bangsa
Khilafah Abbasiyah yang didirikan Bani Abbas bersekutu dengan orang-orang Persia.
Persekutuan dilatarbelakangi persamaan nasib semasa kekuasaan Bani Umayyah. Keduanya
sama-sama tertindas. Setelah abbasiyah berdiri, persekutuan tetap dipertahankan. Pada masa ini
persaingan antar bangsa memicu untuk saling berkuasa. Kecenderungan masing-masing bangsa
untuk mendominasi kekuasaan sudah dirasakan sejak awal khalifah Abbasiyah berdiri.
2. Kemerosotan Ekonomi
Khilafah Abbasiyah mengalami kemunduran ekonomi bersamaan dengan kemunduran di bidang
politik. Pada periode pertama, pemerintahan Abbasiyah merupakan pemerintahan yang kaya.
Dan yang masuk lebih besar daripada pengeluaran, sehingga baitul mal penuh dengan harta.
Setelah khilafah mengalami periode kemunduran, negara mengalami defisit anggaran, dengan
demikian terjadi kemerosotan ekonomi.
3. Konflik Keagamaan
Konflik keagamaan yang muncul menjadi isu sentra pada masa khilafah Abbasiyah, sehingga
mangakibatkan perpecahan. Berbagai aliran keagamaan seperti Mu’tazilah, Syi’ah, Ahlussunnah,
dan kelompok-kelompok lainnya menjadikan pemerintahan Abbasiyah mengalami kesulitan
untuk mempersatukan berbagai faham keagamaan yang ada.
4. Ancaman dari luar
Selain yang disebutkan daiatas, ada pula faktor-faktor eksternal yang menyebabkan kemunduran
dinasti Abasiyah lemah dan hancur.
Pertama, Perang Salib yang berlangsung beberapa gelombang menelan banyak korban.
Konsentrasi dan perhatian pemerintah Abbasiyah terpecah belah untuk menghadapi tentara
salibsehingga memunculkan kelemahan-kelemahan.
Kedua, serangan tentara Mongol ke wilayah kekuasaan Islam menyebabkan kekuatan Islam
menjadi lemah, apalagi serangan Hulagu Khan dengan pasukan Mongol yang biadab
31
menyebabkan kekuatan Abbasiyah menjadi lemah dan akhirnya menyerah kepada kekuatan
Mongol.32[34]
Dinasti abbasiyah
FAKTOR – FAKTOR MUNCULNYA DINASTI ABBASIYAH
Dinasti Abbasiyah yang berkuasa selama lebih kurang enam abad ( 132 – 656 H/ 750-1258 M ), didirikan oleh Abul Abbas al- Saffah dibantu oleh Abu Muslim al-Khurasani, seorang jendral muslim yang berasal dari Khurasan, Presia. Gerakan-gerakan perlawanan untuk melawan kekuasaan dinasti Bani Umayyah sebenarnya sudah dilakukan sejak masa-masa awal pemerintahan dinasti Bani Umayyah, hanya saja gerakan tersebut selalu digagalkan oleh kekuatan militer Bani Umayyah, sehingga gerakan-garakan kelompok penentang tidak dapat melancarkan serangannya secara kuat. Tapi dimasa-masa akhir pemerintahan dinasti Bani Umayyah gerakan tersebut semakin menguat seiring banyaknya protes dari masyarakat yang merasa tidak puas atas kinerja dan berbagai kebijakan pemerinatah dinasti Bani Umayyah. Gerakan ini menemukan momentumnya ketika para tokoh dai Bani Hasyim melancarkan serangannya.Para tokoh tersebut antara lain Muhammad bin Ali, salah seorang keluarga Abbas yang menjadikan kota Khufa sebagai pusat kegiatan perlawanana. Gerakan Muhammad bin Ali mendapat dukungan dari kelompok Mawali yang selalu ditempatkan sebagai masyarakat kelas dua. Selain itu, juga dukungan kuat dari kelompok Syi’ah yang menuntut hak mereka atas kekuasaan yang pernah dirampas oleh dinasti Banui Umayyah. Akhirnya pada tahun 132 M H/ 750 M, Marwan bin Muhammad dapat dikalahkan dan akhrinya tewas mengenasakan di Fustat, Mesir pada 132 H / 705 M. Sejak itu, secara resmi Dinasti Abbasiyah mulai berdiri.
KEMAJUAN DINASTI ABBASIYAH DALAM BIDANG SOSIAL BUDAYASebagai sebuah dinasti, kekhalifahan Bani Abbasiyah yang berkuasa lebih dari lima abad, telah banyak memberikan sumbangan positif bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan peradaban Islam. Dari sekitar 37 orang khalifah yang pernah berkuasa, terdapat beberapa orang khalifah yang benar-benar memliki kepedulian untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan peradaban Islam, serta berbagai bidang lainnya, seperti bidang-bidang sosial dan budaya.Diantara kemjuan dalam bidang sosila budaya adalah terjadinya proses akulturasi dan asimilasi masyarakat. Keadaan sosial masyarakat yang majemuk itu membawa dampak positif dalam perkembangan dan kemajuan peradaban Islam pada masa ini. Karna dengan ilmu pengetahuan dan keterampilan yang mereka miliki, dapat dipergunakan untuk memajukan bidang-bidang sosial budaya lainnya yang kemudian menjadi lambang bagi kemajuan bidang sosial budaya dan ilmu pengetahuan lainnya. Diantara kemajuan ilmu pengetahuan sosial budaya yang ada pada masa Khalifah Dinasi Abbasiyah adalah seni bangunan dan arsitektur, baik untuk bangunan istana, masjid, bangunan kota dan lain sebagainya. Seni asitektur yang dipakai dalam pembanguanan istana dan kota-kota, seperti pada istana Qashrul dzahabi, dan Qashrul Khuldi, sementara banguan kota seperti pembangunan kota Baghdad, Samarra dan lain-lainnya.Kemajuan juga terjadi pada bidang sastra bahasa dan seni musik. Pada mas inilah lahir seorang
32
sastrawan dan budayawan terkenal, seperti Abu Nawas, Abu Athahiyah, Al Mutanabby, Abdullah bin Muqaffa dan lain-lainnya. Karya buah pikiran mereka masih dapat dibaca hingga kini, seperti kitab Kalilah wa Dimna. Sementara tokoh terkenan dalam bidang musik yang kini karyanya juga masih dipakai adalah Yunus bin Sulaiman, Khalil bin Ahmad, pencipta teori musik Islam, Al farabi dan lain-lainnya. Selain bidang –bidang tersebut diatas, terjadi juga kemajuan dalam bidang pendidikan. Pada masa-maa awal pemerinath Dinasti Abbasiyah, telah banyak diushakan oleh para khalifah untuk mengembangakan dan memajukan pendidikan. Karna itu mereka kemudian mendirikan lembaga-lembaga pendidikan, mulai dari tingkat dasar hingga tingakat tinggi.
KEMAJUAN DALAM BIDANG POLITIK DAN MILITERDi antara perbedaan karakteristik yang sangat mancolok anatara pemerinatah Dinasti Bani Umayyah dengan Dinasti Bani Abbasiyah, terletak pada orientasi kebijakan yang dikeluarkannya. Pemerinath Dinasti Bani Umayyah orientasi kebijakan yang dikeluarkannya selalu pada upaya perluasan wilayah kekuasaanya. Sementara pemerinath Dinasti Bani Abbasiyah, lebih menfokuskan diri pada upaya pengembangan ilmu pengetahuan dan peradaban Islam, sehingga masa pemerintahan ini dikenal sebagai masa keemasan peradaban Islam. Meskipun begitu, usaha untuk mempertahankan wilayah kekuasaan tetap merupakan hal penting yang harus dilakukan. Untuk itu, pemerintahan Dinasti Bani Abbasiyah memperbaharui sistem politik pemerintahan dan tatanan kemiliteran.Agar semua kebijakan militer terkoordinasi dan berjalan dengan baik, maka pemerintah Dinasti Abbasiyah membentuk departemen pertahanan dan keamanan, yang disebut diwanul jundi. Departemen inilah yamg mengatur semua yang berkaiatan dengan kemiliteran dan pertahanan keamanan.Pembentuka lembaga ini didasari atas kenyataan polotik militer bahwa pada masa pemertintahan Dinasti Abbasiyah, banayak terjadi pemebrontakan dan bahkan beberapa wilayah berusaha memisahkan diri dari pemerintahan Dinasyi Abbasiyah
KEMAJUAN DALAM BIDANG ILMU PENGETAHUANKeberahasilan umat Islam pada masa pemerintahan Dinasti Abbasiyah dalam pengembangan ilmu pengetahuan sains dan peradaban Islam secara menyeluruh, tidak terlepas dari berbagai faktor yang mendukung. Di anataranya adalah kebijakan politik pemerintah Bani Abbasiyah terhadap masyarakat non Arab ( Mawali ), yang memiliki tradisi intelektual dan budaya riset yang sudah lama melingkupi kehidupan mereka. Meraka diberikan fasilitas berupa materi atau finansial dan tempat untuk terus melakukan berbagai kajian ilmu pengetahuan malalui bahan-bahan rujukan yang pernah ditulis atau dikaji oleh masyarakat sebelumnya. Kebijakan tersebut ternyata membawa dampak yang sangat positif bagi perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan dan sains yang membawa harum dinasyi ini.Dengan demikian, banyak bermunculan banyak ahli dalam bidang ilmu pengetahaun, seperti Filsafat, filosuf yang terkenal saat itu antara lain adalah Al Kindi ( 185-260 H/ 801-873 M ). Abu Nasr al-faraby, ( 258-339 H / 870-950 M ) dan lain-lain.Kemajuan ilmu pengetahuan dan peradaban islam juga terjadi pada bidang ilmu sejarah, ilmu bumi, astronomi dan sebagainya. Dianatar sejarawan muslim yang pertama yang terkenal yang hidup pada masa ini adalah Muhammad bin Ishaq ( w. 152 H / 768 M ).KEMAJUAN DALAM ILMU AGAMA ISLAMMasa pemerintahan Dinasti Abbasiyah yang berlangsung lebih kurang lima abad ( 750-1258 M ), dicatat sebagai masa-masa kejayaan ilmu pengetahuan dan peradaban Islam. Kemajuan ilmu
pengetahuan dan peradaban Islam ini, khususnya kemajuan dalam bidang ilmu agama, tidak lepas dariperan serta para ulama dan pemerintah yang memberi dukungan kuat, baik dukungan moral, material dan finansia, kepada para ulama. Perhatian yang serius dari pemeruntah ini membuat para ulama yang ingin mengembangkan ilmu ini mendapat motivasi yang kuat, sehingga mereka berusaha keras untuk mengembangkan dan memajukan ilmu pengetahuan dan perdaban Islam. Dianata ilmu pengetahuan agama Islam yang berkembang dan maju adalah ilmu hadist, ilmu tafsir, ilmu fiqih dan tasawuf
KEHANCURAN DINASTI ABBASIYAHSetelah berkuasa lebih kurang lima abad ( 750-1258 M ), akhirnya Dinasti Abbasiyah mengalami masa-masa suram. Masa suram ini terjadi ketika para pengusaha setelah Al-Makmun, Al- Mu’tashim dan Al-Mutawakkil, tidak lagi memiliki kekuatan yang besar, sebab para khalifah sesudahnya lebih merupakan boneka para amir dan para wajir dinasti Buwaihiyah dan Salajikah. Para khalifah Abbasiyah pada periode terakhir lebih mementingkan kepentingan peribadi, ketimbang kepentingan masyarakat umum. Mereka saling melalaikan tugas-tugas sebagai pemimpin dan kepala negara, bahkan banyak di antara mereka yang lebih memilih hidup bermewah-mewahan. Pada akhirnya mereka kehilangan semangat juan untuk menegakan kekuasaan.Kenyataan ini dipengaruhui denga situasi politik umat Islam ketika itu. Konflik antra etnis dan suku bangsa sering terjadi, terutama perseteruan antara bangsa Arab dan bangsa Persia dengan bangsa Turki. Perseteruan ini terjadi ketika bangsa Turki semakin memiliki posisi strategis dipemerintahan dan menggeser posisi bangsa Arab dan Persia, yang merupakan dua suku bangsa yang memiliki peran penting didalam proses berdirinya pemerintahan Dinasti Abbasiyah. Pada masa pemerintahan khalifah al- Mutawakkil, pengaruh bangsa Turki semakin kuat, sehingga bangsa Arab dan Persia merasa cemburu. Sikap anti Turki ini pada akhirnya menimbulkan gerakan pemberontakan di setiap daerah, yang kemudian masing-masing mendirikan kekuasaan-kekuasaan lokal.Dianatara kekuatan lokal yang sangat berpengaruh dalam proses melemahnay kekuasaan Dinasti Abbasiyah adalah dikarenakan luasnya wilayah kekuasaan sehingga tidak dapat melakukan kontrol pemerintah denga baik ke seluruh wilayahnya, sehingga peluang ini dimanfaatkan oleh penguasa daerah yang jauh dari pemerintah pusat untuk melepaskan diri menjadi kerajaan-kerajaan kecil. Dianatar kerajaan-kerajaan kecil yang dapat melepaskan diri adalah Dinasti Buwaihiyah ( 945-1055 M ), Dinasti Salajiqah ( 1037-1157 M ). Dinasyi Bani Fathimiyah yang didirikan di Tunisia pada tahun 297-323 H / 909-934 M oleh Al Mahdi. Dinasti ini berkuasa cukup lama, hingga akhirnya dihancurkan oleh Salahuddin al- Ayyubi. Dinasti Idrisiyah yang didirikan oleh Idris bin Abdullah ( 172-311 H/ 788-932 M ), Dinasti Aghlabiyah didirikan oleh Ibrahim bin Aghlab ( 184-296 H/ 800-909 M ), Dinasti Thuluniyah, didirikan oleh Ahmad bin Thulun ( 254-292 H/868-905 M ). Dinasti Ikhsyidiyah, didirikan oleh Muhammad bin Tughj ( 323-358 H/ 935-969 M ), Dinasti Hamdaniyah, didirikan oleh Hamdan bin Hamdan ( 293-394 H/ 905-1004 M ), Dinasti Thahriyah, didirikan oleh Thahir bin Husein ( 205-259 H/ 821-873 M ), Dinasti Samaniyah, didirikan oleh Saman Khuda ( 261-9-389 H/ 874-999 M ).Kemunculan kerajaan-kerajaan ini, sedikit banyak memperlemah kekuasaan dan wibawa kerajaan Bani Abbas. Sebab paling tidak pemasukan dan pengaruh para khalifah Bani Abbas berkurang. Lama kelamaan, akan membawa kelemahan, kemunduran dan kemudian kehancuran Dinasti Bani Abbasiyah.
Persoalan lain yang juga memperlemah kekuasaan Bani Abbasiyah adalh konflik internal dikalangan Bani Abbas. Konflik ini dimanfaatkan oleh para pendatang baru, seperti bangsa Turki yang kemudian menguasai sistem pemerintahan Dinastu Abbasiyah. Bahkan bangsa Turki mendirikan mendirikan kekuasaan di wilayah pemerintahan Bani Abbasiyah dan menguasi Baghdad. Ketika para kalifah semakin lemah, baik secara militer atau ekonomi, para tentara bayaran mendominasi kekuatan, sehingga mereka menciptakan ketergantunan khalifah kepada tentara bayaran. Ketergantungan ini merupakan salah satu faktor penyebab melemahnya kekuasaan Dinasti Abbasiyah.Pada saat semua mengalami kelemahan, kekuatan baru datang dan berusaha menghancurkan Dinasti Abbasiyah, yaitu kekuatan bangsa Mongol. Dibawah pimpinan hulaghu Khan, kota Baghdad sebagai pusat pemerintahan Dinasti Abbasiyah diluluh lantakan pada tahun 1258 m. Serangan bangsa Mongol ini manandai akhir dari masa kekuasaan dinasti Abbasiyah.