diktat ulumul hadis

55
BAB I PERIWAYATAN HADIS A. PENGERTIAN DAN SEJARAH Hadis Nabi yang terhimpun dalam kitab-kitab hadis, terlebih dahulu melalui proses kegiatan yang dinamai dengan riwayah al-hadis atau ar-riwayah. Ar-riwayah adalah bentuk masdar dari kata rawa yang berarti penukilan, penyebutan, pemintalan dan pemberian minum sampai puas. Sedangkan dalam bahasa Indonesia berarti cerita, kisah dan berita. Jika dihubungkan dengan hadis, berarti berita atau kabar yang umum, yang dimaksudkan untuk menerangkan hukum syara'. Dalam bahasa Arab biasa diistilahkan dengan : Sedangkan menurut istilah ilmu hadis berarti memindahkan hadis dan menyandarkan kepada seseorang dengan metode tertentu. Atau kegiatan penerimaan dan penyampaian hadis serta penyandarannya kepada rangkaian para periwayat dengan bentuk-bentuk tertentu. Dari pengertian ini dapat dijelaskan bahwa dalam periwayatan hadis harus memenuhi tiga unsur, yaitu: 1) kegiatan menerima hadis dari periwayat hadis (at-tahammul); 2) 1

Upload: dadan-ym

Post on 18-Jun-2015

1.669 views

Category:

Documents


12 download

DESCRIPTION

ditulis Salamah Noorhidayati, S.Ag

TRANSCRIPT

Page 1: Diktat Ulumul Hadis

BAB I

PERIWAYATAN HADIS

A. PENGERTIAN DAN SEJARAH

Hadis Nabi yang terhimpun dalam kitab-kitab hadis, terlebih dahulu

melalui proses kegiatan yang dinamai dengan riwayah al-hadis atau ar-riwayah.

Ar-riwayah adalah bentuk masdar dari kata rawa yang berarti penukilan,

penyebutan, pemintalan dan pemberian minum sampai puas. Sedangkan dalam

bahasa Indonesia berarti cerita, kisah dan berita. Jika dihubungkan dengan hadis,

berarti berita atau kabar yang umum, yang dimaksudkan untuk menerangkan

hukum syara'. Dalam bahasa Arab biasa diistilahkan dengan :

Sedangkan menurut istilah ilmu hadis berarti memindahkan hadis dan

menyandarkan kepada seseorang dengan metode tertentu. Atau kegiatan

penerimaan dan penyampaian hadis serta penyandarannya kepada rangkaian para

periwayat dengan bentuk-bentuk tertentu. Dari pengertian ini dapat dijelaskan

bahwa dalam periwayatan hadis harus memenuhi tiga unsur, yaitu: 1) kegiatan

menerima hadis dari periwayat hadis (at-tahammul); 2) kegiatan menyampaikan

hadis itu kepada orang lain (al-ada'); 3) penyebutan susunan rangkaian

periwayatannya ketika menyampaikan hadis (al-isnad).

Mengingat makna periwayatan seperti yang diterangkan diatas, yaitu

memindahkan apa yang didengar, yang mencakup penerimaan dan penyampaian

berita, maka kegiatan ini sudah ada bersamaan dengan munculnya manusia di

bumi, dan tidak hanya terjadi pada suatu umat atau suatu generasi. Karena

memang kegiatan ini merupakan tabiat manusia di dalam proses saling menerima

dan menyampaikan suatu kabar berita.

Sejarah telah mencatat bahwa tradisi periwayatan telah ada dan

menyebar di berbagai bangsa. Bangsa Romawi sangat memperhatikan sejarah

1

Page 2: Diktat Ulumul Hadis

Tuhan-tuhan mereka. Demikian juga bangsa Yunani dan Arab Jahiliyah. Mereka

tidak mengetahui sejarah kecuali melalui penuturan secara turun-temurun

(periwayatan) diantara mereka. Dengan cara ini mereka tidak perlu menelusuri

catatan-catatan atau dokumen-dokumen yang tersimpan dalam suatu lembaga

tertentu, karena memang tradis menulis menulis belum membudaya di kalangan

mereka.

Ketika Islam datang, tradis periwayatan ini terus berjalan dan semakin

mendapat perhatian khusus dari umat Islam. Mereka mendasarkannya pada

perintah Nabi saw:

"Sampaikanlah (berita) dariku dan tidak ada dosa. Barang siapa

melakukan kebohongan dengan mengatasnamakanku—Hammam

berkata, 'Aku mengira Nabi bersabda,' dengan sengaja, maka hendaklah

ia menyiapkan tempatnya di neraka."

B. FAEDAH DAN KEISTIMEWAAN PERIWAYATAN

Periwayatan (ar-riwayah) adalah salah satu jalan menuju kabar, berita.

Dan setiap kabar berfungsi untuk memberitakan. Maka dalam hal ini, ar-riwayah,

di samping akal dan pancaindera yang sempurna, bisa juga berfungsi untuk

memberitahukan. Tiga hal inilah yang dapat menyampaikan pengetahuan kepada

seseorang.(at-Taziy,tt.30)

Tetapi periwayatan dalam Islam atau periwayatan hadis mempunyai

keistimewaan dan ciri-ciri khusus yang akan membedakannya dari periwayatan-

periwayatan yang ada sebelumnya. Keistimewaan ini dilihat dari dua hal, yaitu:

(1) perhatian umat Islam terhadap aspek periwayatan; (2) adanya unsur

persambungan sanad sampai kepada Nabi Saw.

2

Page 3: Diktat Ulumul Hadis

1. Perhatian umat Islam terhadap aspek periwayatan

Periwayatan sebelum Islam di kalangan orang Arab dan lainnya sebatas

pada penyampaian kabar atau berita tanpa memperhatikan orang yang

menyampaikan dan kebenaran berita itu. Namun ketika Islam datang dengan

diutusnya Nabi Muhammad Saw, yang membawa ajaran yang benar, sangat

menekankan pentingnya penelitian berita yang diterima. Hal ini sesuai

dengan perintah Allah dalam surat al-Hujurat (49) ayat 6 yang berbunyi:

"Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik

membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak

menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui

keadaan yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatan itu."

Mengingat bahwa ajaran Nabi yang terangkum dalam sunah (hadis)-nya

merupakan salah satu sumber hukum Islam, maka sangat wajar jika umat

Islam sangat besar perhatiannya terhadap periwayatan ini. Mereka berusaha

menelusuri orang-orang yang menyampaikan atau meriwayatkan kabar yang

konon dari Nabi, serta membahas kebenaran kabar itu. Untuk itu, mereka

membuat kaidah khusus yang mengatur secara cermat dan teliti terhadap

periwayatan dan segala aspeknya yang belum pernah ada kaidah serupa

sebelumnya, baik di kalangan orang Arab maupun umat-umat seluruh dunia.

Kaidah itu yang oleh para ulama berikutnya, disebut dengan ilmu mustalah

al-hadis dan Tarikh rijal al-hadis atau biasa disebut dengan ilmu al-hadis

dirayah. Dengan ilmu tersebut umat Islam akan dapat mengetahui keadaan

para periwayat dan sekaligus periwayatannya serta mampu membedakan

hadis yang benar dan salah.

2. Aspek persambungan sanad hadis

3

Page 4: Diktat Ulumul Hadis

Salah satu keistimewaan periwayatan dalam Islam adalah adanya

keharusan persambungan dalam sanadnya, mulai dari dari periwayat tingkat

yang disandari oleh mukharrij sampai kepada periwayat tingkat sahabat

yang menerima hadis yang bersangkutan dari Nabi Saw, yang semuanya itu

harus diterima dari periwayat yang adil dan dabit. Sedangkan sebagaimana

telah disebut di atas, bahwa periwayatan yang ada pada umat lainnya adalah

sebatas pada periwayatan an sich, yaitu menerima dan menyampaikan berita

tanpa ada persyaratan-persyaratan yang mengikat.

Hal ini ditemukan, misalnya, pada periwayatan yang ada pada umat

Yahudi. Sanad yang menghubungkan kepada Nabi Musa as. Terdapat

keterputusan baik di awal, tengan maupun akhir periwayat. Bahkan

keterputusan itu ada pada sekitar tiga puluh orang (masa atau tabaqat), atau

bersambung hanya sampai pada Syam'un atau yang semasanya. Demikian

juga yang ada pada umat Nasrani. Di sana tidak ditemukan adanya sanad

yang menghubungkannya sampai kepada Nabi Isa as. Periwayatannya

banyak mengalami keterputusan, dan yang dimungkinkan bersambung

hanya sanad pada periwayatan tentang haramnya talak. Itu pun masih belum

disepakati. Demikian juga pada Injil yang diduga telah mengandung

keraguan yang besar.

Menyoroti tentang isnad ini, al-Qadli 'Iyad menyatakan bahwa isnad

adalah poros (madar) hadis, yang dengannya akan diketahui kebenaran

hadis itu. Abdullah bin al-Mubarak juga menyatakan bahwa isnad

merupakan bagian dari agama, jika tanpa isnad, mereka akan berkata sesuka

hatinya. Maka, dalam literatur hadis dinyatakan oleh ulama bahwa isnad

merupakan bagian dari agama. Karenanya, penelitian terhadap sumber berita

mutlak diperlukan. (al-Yahsubiy,1970:194)

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa keistimewaan umat Islam

dari umat lainnya dapat dilihat dari aspek persambungan sanad dan

pemindahannya dari periayat yang bersifat adil dan dhabit serta kejelian

(kehati-hatiannya) dalam menerima dan menyampaikan hadis (berita).

Dengan ciri-ciri semacam itulah periwayatan dalam Islam mampu membuka

4

Page 5: Diktat Ulumul Hadis

jalan untuk mengetahui periwayat yang benar-benar siqat dan menemukan

hadis yang orisinil dari Nabi Muhammad saw.

C.SYARAT-SYARAT PERAWI ( )

Yang dimaksud dengan ahliyah adalah sudah mempunyai

kepantasan atau kecakapan menerima hadis serta kelayakan meriwayatkannya.

Seseorang memiliki ahliyah (sebagai perawi) harus terlebih dahulu memenuhi

beberapa persyaratan. Sedangkan syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh

seorang perawi mencakup dua hal :

1. Syarat- syarat ketika mendengar dan menerima hadis ( )

2. syarat-syarat ketika meriwayatkan atau menyampaikan hadis (

1. At-tahammul

At-tahammul adalah (cara) seseorang mendapatkan atau menerima

hadis dari seorang guru dengan cara atau metode-metode tertentu. Dalam

hal ini ulama berbeda pendapat tentang boleh tidaknya anak kecil (yang

belum baligh) menerima atau mnedengar hadis. Menurut pendapat jumhur

ahli hadis mereka membolehkan seseorang menerima hadis sewaktu masih

belum baligh atau masih dalam keadaan kafir dan fasik asal hadis yang

diterimanya itu disampaikan setelah masing-masing dewasa, memeluk Islam

dan bertaubat.

Adapun alasan jumhur dalam hal ini adalah telah diketahui secara ijma

bahwa para sahabat dan tabiin banyak yang menerima hadis sewaktu masih

kanak-kanak, seperti : Hasan, Husain, Abdullah bin Zubair, Anas bin Malik,

Abdullah bin Abbas, Abu Sa'id al-Khudriy dan Mahmud bin Rabi'.

Hanya saja mereka memperselisihkan tentang batas-batas minimal

umur anak yang belum dewasa, yang dapat diterima riwayatnya. Dalam h al

ini ada tiga macam pendapat, yaitu:

a. Batas minimalnya ialah umur lima tahun

5

Page 6: Diktat Ulumul Hadis

Pendapat ini berdasarkan hadis Imam Bukhariy tentang sahabat Mahmud

bin Rabi':

"Mahmud bin Rabi' berkata, 'Saya ingat Nabi meludahkan sekali ludah

dimukaku dari air yang diambil dari timba, sedangkan aku pada masa itu

baru berumur lima tahun."

b. Pendapat al-hafidz Musa bin Harun, menurutnya pendengaran anak

dianggap sah bila sudah bisa membedakan antara sapi dan keledai.

(maksudnya adalah tamyiz).

c. Pendapat yang ketiga adalah ukuran tamyiz, yaitu juka si anak itu sudah

bisa memahami suatu pembicaraan, maka dia disebut mumayyiz dan sah

pendengarannya (walaupun usianya mungkin dibawah lima tahun).

Namun jika ia belum bisa memahami suatu pembicaraan, maka tidak sah

pendapat mayoritas ulama.

Adapun dalil yang dikemukakan oleh jumhur dalam menerima

periwayatan orang yang masih dalam keadaan kafir adalah hadis Jubair

bin Muth'im, yaitu:

"Bahwa ia mendengar Nabi Muhammad membaca surat at-Thur pada

sembahyang Maghrib."

Jubair mendengar sabda Rasulullah tersebut ketika ia tiba di

Madinah untuk penyelesaian urusan tawanan perang Badar, dalam

keadaan masih kafir, yang akhirnya ia memeluk agama Islam.

Imam ibnu Hajar menerima riwayat orang fasik dengan dalil qiyas

"babul aula" artinya, kalau riwayat orang kafir yang kemudian

6

Page 7: Diktat Ulumul Hadis

disampaikan setelah masuk Islam saja dapat diterima apalagi

pendengaran orang fasik yang disampaikan setelah taubat dan diakui

sebagai orang yang adil, tentu lebih dapat diterima. Sedangkan

pendengaran dan penerimaan riwayat orang gila yang diriwayatkan

setelah sehat, tetap tidak dapat diterima lantaran diwaktu gila keadaannya

sedang hilang ingatan, sehinggga tidak bisa lagi dikatakan sebagai orang

yang dabit.

2. Al-Ada'

Al-ada' adalah (cara) seseorang menyampaikan atau meriwayatkan

hadis kepada orang atau periwayat lain dengan menggunakan sighat-sighat

tertentu. Dalam hai ini ulama ahli hadis, ushul maupun fikih sepakat bahwa

riwayatnya orang laki-laki maupun perempuan dapat dijadikan hujjah

dengan beberapa syarat:

a. Beragama Islam

Riwayatnya orang kafir maupun fasiq tidak dapat diterima. Karena

orang Islam dalam menerima hadis Nabi adalah dalam rangka

menjalankan ajaran agamanya yang benar. Lalu bagaimana kalau kabar

(riwayat) itu datang dari orang kafir maupun fasiq? (lihat QS. Al-

hujurat:6)

b. Baligh

Riwayatnya anak-anak yang belum dewasa (baligh) tidak bisa

diterima dengan alasan hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Abu

daud dan Hakim dari Umar dan Ali, yaitu:

"Pena diangkat dari tiga orang; dari orang gila sehingga sembuh (sadar),

dari orang tidur hingga bangun dan dari anak kecil sehingga dewasa."

7

Page 8: Diktat Ulumul Hadis

Yang dimaksud baligh di sini menurut Mutaakhkhirin adalah baligh

dan berakal dan menurut Mutaqaddimin cukup berakal.

Sedangkan alasan para ulama tidak menerima riwayat anak adalah

untuk menghindari terjadinya kebohongan (dusta) karena terkadang anak-

anak itu berbohong lantaran dia belum menyadari akibat dan pengaruh

dari perbuatan tersebut. Diperkuat oleh syara' yang tidak membenarkan

anak kecil menjadi wali terhadap dirinya sendiri dalam urusan duniawi.

Maka apalagi dalam urusan agama?

c.Adil (al-'adalah)

Yaitu sifat yang terhunjam pada diri seseorang yang mendorong

untuk selalu bertaqwa dan menjaga muru'ah dirinya yang bisa

menimbulkan suatu kepercayaan (siqat). Atau dengan kata lain al-'adalah

( ) adalah suatu sikap yang harus dimiliki oleh perawi dari segi

kepribadiannya (kualitas pribadi periwayat), yang mencakup aspek agama

Islam, mukallaf, melaksanakan ketentuan agama, dan memelihara

muru'ah.

Dengan sifat tersebut maka seseorang itu akan menjauhi perbuatan

dosa besar dan sebagian dosa kecil, seperti mencuri sesuap makanan serta

menjauhi perbuatan yang mubah yang dapat merusak muru'ahnya, seperti

makan sambil berjalan, buang air kecil di jalan besar, bergaul dengan

orang-orang yang rendah budi pekertinya dan terlalu sering bergurau.

Disebutkannya syarat ini disamping dua syarat sebelumnya adalah

untuk penekanan semata, bahwa orang Islam dan baligh belum tentu

memiliki sifat al-adalah ini; atau seorang baru dikatakan bersifat adil,

dalam istilah ilmu hadis apabila orang itu telah memenuhi beberapa syarat

diantaranya beragama islam dan mukallaf.

Ibnu Hajar al-Asqalaniy menyebutkan ada beberapa perilaku atau

keadaan yang dapat merusak sifat adil seseorang yaitu: (1) suka berdusta;

(2) tertuduh telah berdusta; (3) berbuat atau berkata fasik tetapi belum

sampai menjadikannya kafir; (4) tidak dikenal jelas pribadi dan keadaan

8

Page 9: Diktat Ulumul Hadis

diri orang itu sebagai perawi hadis; (5) berbuat bid'ah yang mengarah

kepada fasik, tetapi belum menjadikannya kafir. (Syuhudi ismail,1992:69)

Sedangkan cara untuk mengetahui keadilan perawi adalah

berdasarkan :

1). Popularitas keutamaan perawi di kalangan ulama hadis. Peraewi yang

terkenal keutamaan pribadinya, misalnya: Malik bin Anas, Sufyan

as-Sauriy.

2). Penilaian dari para kritikus perawi hadis. Penilaian ini berisi

pengungkapan kelebihan dan kekurangan yang ada pada diri perawi

hadis.

3). Penerapan kaedah al-jarh wa at-ta'dil. Cara ini ditempuh bila para

kritikus perawi hadis tidak sepakat tentang kualitas pribadi perawi

hadis. (Syuhudi Ismail, 1988,119).

d. Dhabit (adh-dhabt)

Dabit yaitu bahwa perawi itu sadar benar apa yang diterimanya,

memahaminya dan menjaganya sejak menerima sampai menyampaikan

berita itu kepada orang lain. Arti harfiah dabit ada beberapa macam,

yakni yang kokoh, yang kuat, yang tepat dan yang hafal dengan

sempurna. Pengertian harfiah tersebut jika diserap ke dalam pengertian

istilah hadis dihubungkan dengan kapasitas intelektual seorang perawi.

Dhabt tersebut mencakup dua hal, yaitu dhabt shadr dan dhabit

kitab. Maksudnya adalah si perawi itu hafal ketika menyampaikan hadis

berdasar hafalannya disamping juga hafal atas tulisannya di kitab,

sehingga ketika dia menyampaikan hadis berdasarkan kitabnya dia juga

akan mudah mendeteksi jika ada perubahan, pergantian maupun

kekurangan. (al-Khatib:1989:232)

Kalau pada sifat adil ada perilaku yang bisa merusak berat, maka

pada sifat dabit ada juga perilaku atau keadaan yang dapat merusak berat

sifat tersebut. Menurut al-Asqalaniy, ada lima perilaku atau keadaan yang

dapat merusak sifat dabit, yaitu: (1) dalam meriwayatkan hadis, lebih

9

Page 10: Diktat Ulumul Hadis

banyak salahnya daripada benarnya; (2) lebih menonjol sifat lupanya

daripada hafalnya; (3) riwayat yang disampaikan diduga keras

mengandung kekeliruan; (4) riwayatnya bertentangan dengan riwayat

yang disampaikan oleh orang-orang yang siqat; dan (5) jelek hafalannya,

walaupun ada juga sebagian riwayatnya itu benar. (Syuhudi

Ismail,1992:71)

Adapun untuk mengetahui ke-dhabt-an seorang perawi, menurut

berbagai pendapat ulama diketahui dengan cara sebagai berikut:

1). Berdasarkan kesaksian ulama.

2). Berdasarkan kesesuaian riwayatnya dengan riwayat yang disampaikan

oleh perawi lain yang telah dikenal ke-dhabt-annya. Tingkat

kesesuaiannya itu mungkin hanya sampai pada tingkat makna atau

mungkin pada tingkat harfiahnya.

3). Apabila seorang perawi itu sesekali mengalami kekeliruan, maka ia

masih dapat dinyatakan sebagai perawi yang dhabit. Tetapi apabila

kesalahan itu sering terjadi, maka perawi yang bersangkutan tidak lagi

disebut sebagai perawi yang dhabit. (Syuhudi Ismail,1988:121)

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa riwayat seorang perawi

dapat diterima jika memenuhi syarat :

a. Ketika menyampaikan hadis (ada' al-hadis) yaitu harus Islam,

mukallaf (akil dan baligh), Adil dan Dhabit.

b. Ketika menerima hadis (tahammul al-hadis) cukup dengan tamyiz

(mumayyiz). (Al-Khatib,1989:232)

D. PERSAMAAN DAN PERBEDAAN RIWAYAT DENGAN SYAHADAH

(PERSAKSIAN)

Di kalangan ulama ada yang menghubungkan dan membandingkan

periwayatan hadis dengan kesaksian (asy-syahadah) suatu perkara. Hal ini dapat

dimengerti karena periwayatan memiliki beberapa kesamaan dengan kesaksian,

disamping juga memiliki perbedaan.

10

Page 11: Diktat Ulumul Hadis

Sebelum membicarakan persamaan maupun perbedaan antara riwayat

dengan syahadah, terlebih dahulu kita lihat pengertian syahadah. Syahadah

menurut bahasa mempunyai tiga arti :

Pertama, menghadiri atau mendapat. Misalnya dikatakan :

-syahida badran ( -----------------) artinya dia menghadiri peperangan

Badar

-syahida shalatal 'iedi ( ) artinya kami menghadiri

Sholat 'Ied.

Kedua, mengkhabarkan. Misalnya syahida bi kadza 'indal hakim, artinya

dikabarkan atau diterangkan begini di muka hakim. Ketika mengartikan

dengan makna ini, kita ta'diyahkan dengan huruf ba'.

Ketiga, mengetahui. Seperti firman Allah SWT :

"Dan Allah mengetahui atas segala sesuatu"

Sedangkan menurut istilah, syahadah ialah :

"Suatu khabar yang khusus yang dimaksudkan untuk menjadi dasar

putusan hakim."

Atau " " mengkhabarkan apa yang disaksikan.

Sedangkan arti riwayah telah dijelaskan pada permulaan bab ini.

Dengan memperhatikan arti kedua kata di atas, maka ulama pada

umumnya berpendapat bahwa persamaan periwayatan dan kesaksian terletak

pada empat hal, dimana pelakunya harus:

1. Beragama

2. berstatus mukallaf (baligh dan berakal)

3. bersifat adil

4. bersifat dhabit.

11

Page 12: Diktat Ulumul Hadis

Keempat hal tersebut berkaitan langsung dengan syarat syahnya pribadi

periwayatan dan persaksian.

Adapun perbedaan antara periwayatan dan kesaksian jumlahnya cukup

banyak. Diantara ulama ada yang menyebutnya dua puluh satu macam, seperti

yang dikutip oleh as-Suyutiy dalam kitab Tadrib ar-Rawiy. Namun kebanyakan

ulama hanya menerangkan sebagian saja dari perbedaan ini. Diantara

perbedaan periwayatan dan kesaksian yang umumnya dikemukakan oleh ulama

ialah :

1. Periwayat boleh berstatus merdeka atau hamba sahaya, sedangkan saksi

harus berstatus merdeka.

2. Periwayat untuk berbagai macam peristiwa yang diriwayatkan dapat

berjenis laki-laki maupun perempuan, sedangkan saksi untuk peristiwa-

peristiwa tertentu harus laki-laki.

3. Periwayat boleh orang yang buta matanya asalkan pendengarannya baik,

sedangkan saksi tidak diperkenankan bermata buta.

4. Periwayat boleh memiliki hubungan kekerabatan dengan orang yang

dijelaskan dalam riwayat yang dikemukakannya, sedangkan saksi tidaklah

sahbila memiliki hubungan kekerabatan dengan orang yang diberikan

kesaksian perkaranya.

5. Bilangan periwayat tidak menjadi persyaratan sahnya periwayatan, sedang

saksi untuk peristiwa-peristiwa tertentu haruslah lebih dari satu.

6. Periwayat dapat saja mempunyai hubungan permusuhan dengan orang yang

disinggung dalam berita yang yang diriwayatkan, sedangkan saksi dengan

orang yang disebutkan dalam peristiwa yang disaksikannya tidak boleh

terdapat permusuhan.

Karena antara periwayatan dan kesaksian terdapat persamaan dan juga

perbedaan, maka dapat saja istilah periwayat disebut sebagai saksi, yakni saksi

atas berita yang diriwayatkannya, sepanjang pengertiannya tidak disamakan

persisi dengan istilah untuk kesaksian perkara.

Dalam hal ini kita akan menemukan kesesuaian antara ilmu hadis

dengan ilmu sejarah, karena keduanya menggunakan istilah saksi primer dan

12

Page 13: Diktat Ulumul Hadis

saksi sekunder. Saksi (sumber) primer merupakan kesaksian dengan mata

kepala sendiri atau indera lainnya, atau alat mekanis. Dengan demikian saksi

primer merupakan sumber yang memberikan data langsung dari tangan

pertmama. Karenanya, sumber primer bisa disebut juga dengan istilah saksi

pandangan mata. Sedang yang dimaksud dengan saksi (sumber) sekunder

adalah kesaksian dan siapapun yang bukan saksi pandangan mata. Jadi sumber

sekunder merupakan kesaksian dari orang yang tidak hadir langsung pada

peristiwa yang dikisahkannya. (Syuhudi Ismail,1988:14)

Dalam rangkaian sanad hadis, sumber primer atau saksi mata adalah

periwayat pertama atau disebut juga sebagai sanad terakhir. Periwayat tersebut

mesti dari kalangan sahabat Nabi, sebab hanya sahabat Nabi saja yang

memungkinkan langsung dapat menyaksikan sabda, perbuatan, hal-ihwal dan

taqrir Nabi SAW. Dalam hubungan ini, sumber sekunder adalah periwayat

kedua (yakni bisa saja dari kalangan sahabat Nabi ataupun tabi'in, yaitu

generasi umat Islam sesudah sahabat Nabi), ataupun periwayat ketiga dan

seterusnya sampai kepada periwayat terakhir, yang biasa disebut juga dengan

istilah mukharrij.

Kesesuaian lainnya terbukti juga misalnya, dalam ilmu hadis, yang

mana periwayat (saksi) dapat diterima periwayatannya, jika ditemukan pada

dirinya kriteria adil dan dabit serta ada syahid dan mutabi' sebagai penguat.

Demikian juga dalam ilmu sejarah. Suatu fakta dapat diterima jika ada

corroboration (dukungan) berupa dua orang ataui lebih yang memenuhi

syarat. Selain itu kesesuaian antara keduanya ditemukan pula pada segi tujuan

penelitian sumber. Keduanya mempunyai tujuan untuk memperoleh berita

atau fakta yang sahih. Dalam ilmu sejarah, ada metode penelitian sumber yang

dikenal dengan istilah kritik ekstern dan kritik intern. Tujuan kritik ekstern

adalah mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan misalnya; apakah

dokumen itu otentik atau palsu, siapa pembuatnya, apa atau siapa yang

menjadi sumber iitu. Untuk kritik intern, tujuan adalah mencari jawaban atas

pertanyaan-pertanyaan misalnya, apakah isi sumber itu dapat dipercaya,

apakah kandungannya dapat diterima sebagai sesuatu yang historis benar atau

13

Page 14: Diktat Ulumul Hadis

tidak, dan lain-lain. Jika diparalelkan dengan penelitian hadis, kritik ekstern

adalah kritik yang ditujukan kepada sanad atau biasa disebut dengan istilah

an-naqd al-kharijiy atau an-naqd adz-dzahiriy. Sedangkan kritik intern adalah

istilah yang ditujukan kepada matan atau biasa disebut dengan istilah an-naqd

ad-dakhiliy atau an-naqd al-batiniy. Semuanya ini adalah bertujuan untuk

memperoleh berita atau fakta yang sahih. (Syhudi Ismail,1988:14)

Namun demikian, pada kaedah kesahihan sanad hadis dan kaedah kritik

ekstern pada ilmu sejarah, ada bagian-bagian penting yang menjadi titik

konsentrasi ketentuan untuk mencapai tujuan tersebut. Ilmu hadis

mengkonsentrasikan ketentuan itu pada kualitas periwayat dan hubungan

periwayatan antara masing-masing periwayat dengan periwayat terdekat

sebelumnya. Ilmu sejarah tampaknya hanya mengkonsentrasikan ketentuan

pada kualitas saksi mata, hubungan antara saksi (perawi) tidak dibahasnya

secara rinci. Selain itu, dalam hal penentuan kualitas periwayat atau saksi,

antara ilmu hadis dan ilmu sejarah memiliki persamaan disamping juga

perbedaan. Persamaannya, kedua ilmu itu sama-sama ketat dalam menentukan

kriteria bagi periwayat atau saksi yang dapat dipercaya. Perbedaan yang

menonjol terlihat bahwa dalam ilmu hadis menggunakan argumen agama

(Islam) sebagai salah satu dasar penetapan kualitas pribadi periwayat yang

dapat dipercaya, sedangkan ilmu sejarah tidak menggunakan argumen

tersebut. Walaupun demikian, tampaknya ilmu sejarah tidak menolak "sikap"

ilmu hadis tersebut. Karena prinsip penggunaan argumen agama ini tidak

terlepas dari tujuan penelitian berita atau fakta; dan berita atau fakta yang

menjadi tujuan penelitian sanad adalah salah satu sumber ajaran agama Islam,

yakni hadis.(Syuhudi Ismail,1988:203)

E. TATA CARA PERIWAYATAN DAN LAMBANG-LAMBANG YANG

DIGUNAKAN

Pada umumnya ulama membagi tata cara penerimaan riwayat hadis

kepada delapan macam : (1) as-sama' min lafdz as-syaikh; (2) al-qira'ah 'ala asy-

14

Page 15: Diktat Ulumul Hadis

syaikh; (3) al-ijazah; (4) al-munawalah; (5) al-mukatabah (6) al-I'lam; (7) al-

washiyah; (8) al-wijadah.(Ibn as-Shalah,1988:157). Masing-masing cara ini

memiliki pengertian dan istilah-istilah atau kata-kata tertentu dalam sanad.

Ulama hadis menetapkan berbagai istilah atau kata-kata atau huruf

tertentu untuk menghubungkan periwayat dengan periwayat lain yang terdekat

dengan sanad itu. Istilah atau kata atau huruf itu menggambarkan cara yang telah

ditempuh oleh periwayat hadis yang bersangkutan tatkala menerima hadis. Istilah

tersebut biasa disebut dengan " " yakni lambang-lambang

penyampaian hadis.

Selanjutnya akan dijelaskan masing-masing cara tersebut.

1. As-sama' min lafadz asy-syaikh

Untuk selanjutnya biasa disebut dengan as-sama' saja. Maksudnya

ialah penerimaan hadis dengan cara mendengar secara langsung lafal hadis

dari guru hadis (syaikh). Hadis ini didiktekan atau disampaikan dalam

pengajian oleh guru hadis berdasarkan hafalannya atau catatannya. Cara

periwayatan bentuk ini oleh mayoritas ulama hadis dinilai sebagai cara

yang tinggi kualitasnya. (as-Shalah:1988:118)

Pengakuan ulama yang menempatkan cara as-sama sebagai cara yang

paliong dapar dipercaya masih perlu dipersoalkan. Karena, hasil

pendengaran seseorang untk dapat dipercaya ditentukan oleh beberapa

faktor, misalnya kepekaan alat pendengaran, kejelasan suara yang didengar,

kemampuan intelektual pendengar dalam memahami apa yang didengarnya,

dan yang lain. Oleh karena itu, untuk menetapkan kualitas riwayat

seseorang, diperlukan penelitian yang mendalam tentang kualitas pribadi

dan kemampuan intelektual yang bersangkutan.

Namun demikian, mayoritas ulama hadis memberikan status tertinggi

cara as-sama' ini dalam periwayatan, dengan mengajukan dua alasan

pokok, yaitu:

a. Masyarakat waktu itu masih menempatkan cara hafalan sebagai cara yang

terbaik dalam menerima ilmu dari pada melalui catatan. Oleh karenanya,

15

Page 16: Diktat Ulumul Hadis

kemampuan seseorang dalam bidang menghafal akan menjadikannya

memiliki kedudukan yang tertinggi. Sehingga metode verbal sama juga

dihargai lebih tinggi daripada metode nalar.

b. Ada hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Ibnu Abbas

menyatakan :

"Kalian mendengar (hadis dari saya) kemudian dari kalian hadis itu

didengar oleh orang lain, dari orang lain tersebut hadis yang berasal dari

kalian itu didengar oleh orang lain lagi."

Hadis tersebut memberikan isyarat bahwa periwayatan hadis yang secara

tegas diakui keabsahannya oleh Nabi adalah dengan cara as-sama'. Sabda Nabi

tersebut memang relevan dengan kondisi umat Islam pada zaaman itu, yakni u

mat yang mengandalkan hafalan dalam menuntut ilmu penegetahuan.

Permasalahan yang muncul adalah, apakah cara as-sama' memang merupakan

cara yang paling akurat dalam penerimaan riwayat hadis dibandingkan dengan

cara-cara lain yang telah ditempuh oleh para periwayat hadis? Untuk menjawab

pertanyaan itu, pada pembahasan cara al-qira'ah, cara as-sama akan

diperbandingkan dengan cara al-qira'ah.

Istilah atau kata yang dipakai untuk cara as-sama' diantaranya ialah;

sami'tu, sami'na, haddatsana, haddatsani, akhbarana, qala lana, dzakara lana.

Bobot kualitas penggunaan kata-kata ini tidak disepakati ulama. Misalnya saja

menurut al-Khatib al-Baghdadiy (w.463 H=1072 M), kata yang tertinggi

adalah sami'tu kemudian haddatsana dan haddatsani. Alasannya adalah , kata

sami'tu menunjukkan kepastian periawayat mendengar langsung hadis yang

diriwayatkannya. Sedang dua macam kata terakhir masih bersifat umum; ada

kemungkinan periawayat yang bersangkutan tidak mendengar langsung. (al-

Baghdadiy,1972:412-413). Sedang menurut Ibn As-Shalah (w.643 H=1245 M),

kata haddatsana dan akhbarana di satu segi dapat saja lebih tinggi kualitasnya

daripada sami'tu. Karena kata sami'tu dapat berarti guru hadis (syaikh) tidak

16

Page 17: Diktat Ulumul Hadis

khusus menghadapkan riwayatnya kepada penerima riwayat yang menyatakan

sami'tu tadi; atau guru hadis itu tidak melihat langsung penerima riwayat yang

menyatakan kata sami'tu tersebut. Sedang kata-kata haddatsana dan akhbarana

memberi petunjuk bahwa guru hadis menyampaikan dan menghadapkan

riwayatnya kepada periwayat yang menyatakan kata haddatsana dan

akhbarana tersebut. (Ibn as-shalah, 1972:120)

Sedangkan kata-kata qala lana dan dzakara lana atau serupa, masih

diperselisihkan penggunaannya oleh ulama. Sebagian ulama berpendapat, kata-

kata itu menunjukkan periwayat dengan cara as-sama, sebagian lainnya men

syaratkannya dengan tidak adanya penyembunyian cacat (tadlis) oleh

periwayat yang bersangkutan, dan ada yang mengatakan kata-kata tersebut

untuk peiwayatan dengan cara al-qira'ah atau al-munawalah. (Syuhudi

Ismail,1988:54)

2. Al-qira'ah 'ala asy-syaikh atau al-qira'ah saja atau disebut juga al-'aradl,

Yaitu periwayat menghadapkan riwayat hadis kepada guru hadis

dengan cara periwayat itu sendiri membacanya atau orang lain yang

membacakannya dan dia mendengarkan. Riwayat hadis yang dibacakan itu

bisa saja berasal dari catatannya atau bisa juga dari hafalannya. Sedangkan

guru (syaikh) hadis yang disodori bacaan tadi aktif menyimaknyamelalui

hafalnnya sendiri atau melalui catatan yang ada padanya. Cara ini hampir

mirip dengan pemeriksaan hafalan dalam menghafal al-Qur'an.

Mengenai kedudukan penerimaan hadis dengan cara al-qira'ah ini,

ulama berbeda pendapat. Menurut az-Zuhriy dan al-Bukhariy, cara al-

qira'ah sama kedudukannya dengan cara as-sama'. As-Suyutiy, Ahmad bin

Hambal dan Ibn as-Salah menilai kedudukan as-sama' lebih tinggi daripada

al-qira'ah. Sedang Abu Hanifah menilai al-qira'ah lebih tinggi daripada as-

sama'. (al-Hakim an-Naisaburiy, t.th:257)

Apabila dilihat dari proses pemeriksaan terhadap riwayat hadis, maka

cara al-qira'ah lebih berpeluang dapat terhindar dari kesalahan atau lebih

korektif dibandingkan dengan cara as-sama'. Karena dalam cara al-qira'ah,

17

Page 18: Diktat Ulumul Hadis

pemeriksaan riwayat hadis dilakukan oleh guru hadis selaku penyampai

riwayat dan murid selaku penerima riwayat. Guru hadis menyimak hadis

yang dibacakan muridnya. Jadi dalam hal ini guru berfungsi sebagai penguat

dan pemeriksa terakhir terhadap hadis yang yang telah diperiksa oleh murid.

Sedangkan dalam periwayatan hadis dengan cara as-sama', guru hadis

menyampaikan riwayat hadis , sedang murid (penerima riwayat)

mendengarkannya. Guru hadis tidak memeriksa lebih lanjut hasil

"tangkapan" pendengaran murid terhadap hadis yang telah disampaikan oleh

guru tersebut. Jadi, tidak ada pemeriksaan terakhir dari guru terhadap

hafalan atau catatan murid. (Syuhudi Ismail,1988:55)

Kata-kata atau istilah yang dipakai untuk periwayatan cara al-qira'ah

ada yang disepakati oleh ulama, antara lain adalah :

a. " " , kata-kata ini dipakai bila periwayat membaca

sendiri di hadapan guru hadis yang menyimaknya.

b. " ", kata-kata ini dipakai

bila periwayat tidak membaca sendiri, melainkan dia mendengarkan

bacaan orang lain, sedang guru hadis menyimaknya. (Ibn as-

shalah,1972:123)

Adapun kata-kata yang tidak disepakati pemakaiannya oleh ulama antara

lain adalah kata haddatsana dan akhbarana yang tanpa diikuti kata-kata

lain.

3. Al-Ijazah

Yaitu guru hadis memberikan ijin kepada seseorang baik secara lisan

maupun tulisan untuk meriwayatkan hadis yang ada padanya.

Dalam hal ini ulama hadis ada yang tidak membolehkan periwayatan

dengan cara ijazah karena periwayat hadis dalam kasus ini tidak perlu

melakukan perlawatan untuk mencari hadis. Sementara dalam masa awal

Islam tindakan semacam ini dapat menyebabkan hilangnya hazanah ilmu

pengetahuan hadis. Diantara yang mengemukakan ini adalah Syu'bah bin al-

Hajjaj dan Abu Zurah al-Raziy. Namun mayoritas ulama membolehkan

18

Page 19: Diktat Ulumul Hadis

ijazah ini sebagai salah satu model periwayatan dan menilai bahwa jenis

ijazah tertentu cukup terpercaya untuk meriwayatkan hadis

Jenis ijazah ini ada dua macam:

a) al-ijazah disertai al-munawalah, yang mempunyai dua bentuk:

1) seorang guru hadis menyodorkan kepada murid hadis yang ada padanya

lalu guru tadi berkata, "Anda saya beri ijazah untuk meriwayatkan hadis

yang saya peroleh ini."

2) seorang murid menyodorkan hadis kepada guru, lalu guru

memeriksanya, selanjutnya ia mengatakan:" Hadis ini saya terima dari

guru saya dan anda saya beri ijazah untuk meriwayatkan hadis ini dari

saya."

b) al-ijazah al-mujarradah (ijazah murni)

Diantaranya ialah ijazah diberikan kepada guru hadis kepada :

1) orang tertentu untuk hadis tertentu, misalnya untuk hadis yang termuat

dalam kitab Shahih al-Bukhariy.

2) orang tertentu untuk semua hadis yang telah didengarnya

(diriwayatkannya), atau

3) orang yang tidak tertentu, misalnya umat Islam, untuk hadis tertentu atau

hadis tidak tertentu.

Ijazah murni yang disebutkan pertama oleh mayoritas ulama hadis dan

fiqih disepakati kebolehannya, sedang ijazah murni lainnya masih

diperselisihkan.

Hadis yang disampaikan oleh guru hadis dengan cara ijazah tersebut

adalah hadis-hadis yang terhimpun dalam kitab-kitab hadis. Karenanya,

pengijazahan itu tampaknya hanya sebagai "tali pengikat" antara guru

dengan murid semata. Adapun kualitas hadisnya terpulang kepada

periwayatan antara guru dengan para periwayat sebelumnya, atau naskah

yang diijazahkan.

19

Page 20: Diktat Ulumul Hadis

Adapun kata-kata yang biasa dipakai oleh mayoritas ulama diantaranya

ialah haddatsana ijazatan, haddatsana idznan, ajaza lii, anba'ani ijazatan,

dan lain-lain

4) Al-Munawalah

Al-Munawalah mempunyai dua bentuk :

a) al-Munawalah yang disertai ijazah, sebagaimana telah dikemukakan

di atas

b) al-Munawalah yang tidak disertai dengan ijazah, yaitu pemberian

kitab oleh guru hadis kepad amuridnya sambil berkata :"Hadza min

haditsi", artinya ini hadis yang telah saya riwayatkan, atau "Hadza

min Sima'ati", artinya ini hadis yang telah saya dengar; dan guru tadi

mengatakan "Irwihi 'Anni" yakni riwayatkanlah hadis ini dariku.

Sebagian ulama ada yang tidak membolehkan cara al-munawalah

bentuk kedua, karena mereka berpegang pada pendirian bahwa hak

periwayatan hadis harus jelas dinyatakan oleh guru kepada murid. Sebagian

lain membolehkannya. (Al-Khatib,1989:239)

Adapun kata-kata yang biasa dipakai untuk cara al-munawalah tanpa

ijazah ialah nawalana atau nawalani.

5) Al- Mukatabah

Yaitu seorang guru menuliskan hadis yang diriwayatkannya atau orang

lain atas permintaannya untuk diberikan kepada orang tertentu, baik itu

berada dihadapannya atau di tempat lain.

Cara al- Mukatabah ada dua macam :

a) Al-Mukatabah yang disertai dengan ijazah

b) Al-Mukatabah yang tidak disertai dengan ijazah

Pada umumnya, ulama membolehkan kedua macam al-mukatabah

tersebut. Ibn as-Shalah menganggap al-mukatabah yang disertai ijazah

kekuatannya sama dengan al-munawalah yang disertai ijazah. Perbedaan

antara keduanya ialah bahwa al-munawalah hadis-hadisnya tidak mesti

20

Page 21: Diktat Ulumul Hadis

dalam bentuk tulisan, sedangkan al-mukatabah hadis-hadisnya mesti tertulis.

Perbedaan lain adalah bahwa dalam al-mukatabah, ketika hadis dicatat telah

ada maksud untuk diberikannya kepada periwayat tertentu. Sedang dalam

al-munawalah, dalam hal ini yang berbentuk tulisan, maksud penyerahan

guru tampaknya baru muncul setelah hadis yang bersangkutan selesai

ditulis. Kata-kata yang dipakai untuk periwayatann cara al-mukatabah

cukup banyak. Misalnya Kataba ilayya fulan, Akhbarani bihi Mukatabatan,

dan Akhbarani bihi Kitabatan.

6) Al-I'lam

Yaitu guru hadis memberitahukan kepada muridnya, hadis atau kitab

hadis yang telah diterimanya dari periwayatnya, misalnya melalui as-sama',

tanpa diikuti pernyataan agar muridnya tadi meriwayatkannya lebih lanjut.

Ibn as-Shalah tidak mengaggap sah periwayatan dengan cara al-I'lam ini

dengan alasan :

a) hadis yang diberitahukan itu ada cacatnya, karenanya guru tersebut tidak

menyuruh muridnya untuk meriwayatkannya.

b) periwayatan cara al-I'lam ini memiliki kesamaan dengan pemberitahuan

seseorang saksi kepada orang lain atas suatu , kemudian orang lain itu

memberikan kesaksian tanpa izin dari saksi yang sesungguhnya.

Namun kebanyakan ulama membolehkan al-I'lam dengan alasan :

a) guru hadis tidak menyatakan agar muridnya meriwayatkan hadis nya,

tidak mesti ada cacat dalam hadis tersebut

b) penganalogian al-I'lam dengan kesaksian suatu perkara tidaklah tepat,

karen akesaksian memang memerlukan izin, sedang periwayatan tidak

selalu perlu ada izin.

c) bila periwayatan dengan cara as-sama dan al-qira'ah dinyatakan sah

walaupun tanpa diikuti adanya izin dari guru, maka al-I'lam harus

diakui juga keabsahannya.

21

Page 22: Diktat Ulumul Hadis

Pendapat mayoritas ulama diatas lebih kuat. Sebab untuk apa seorang

guru menyampaikan riwayat hadisnya, bila hadis tersebut dilarang untuk

diriwayatkannya lebih lanjut. Adapun kata-kata yang lazim dipakai untuk cara

al-I'lam ialah Akhbarana I'laman atau kata-kata lain yang semakna. (Syuhudi

Ismail,1988:59)

7. Al- Washiyyah

Yakni seorang periwayat hadis mewasiatkan kitab hadis yang

diriwayatkannya kepada orang lain sebelum pemberi wasiat tersebut

melakukan perjalanan atau meninggal dunia.

Ulama berbeda pendapat tentang cara ini. Pangkal perbedaannya hampir

sama dengan periwayatan cara al-I'lam, yakni sama-sama tidak diikuti

pernyataan agar hadis itu diriwayatkan lebih lanjut. Bagi yang membolehkan,

mereka beralasan bahwa memberikan (mewasiatkan) kitab kepada seseorang

termasuk salah satu bentuk izin, sebagaimana cara al-I'lam.

Kata-kata yang biasa dipakai periwayatan cara wasiat ini adalah Ausha

ilaiyya, atau kata-kata yang semakna, dan tidak boleh menggunakan kata-kata

haddatsani Fulan bi kadza. Karena seorang guru tidak pernah menyampaikan

hadis dengan muhadasah. (Al-Khatib,1989:243)

8. Al-Wijadah

Yaitu seseorang, dengan tidak melalui cara as-sama' atau ijazah maupun

munawalah, mendapatkan hadis yang ditulis oleh periwayatnya. Orang yang

mendapat tulisan tersebut bisa saja semasa atau tidak semasa dengan si penulis

hadis, pernah atau tidak pernah bertemu, pernah atau tidak pernah

meriwayatkan hadis dari penulis yang dimaksud.

Menurut Ahmad Muhammad Syakir, periwayatan dengan cara wijadah

ini tidak boleh. Alasannya, banyak orang dewasa ini memperoleh informasi

dari berbagai kitab atau majalah, kemudian orang tadi berkata, misalnya

Haddatsana Ibn Khaldun, Haddatsana Ibn Qutaibah, dan lainnya. Hal ini

merupakan perbuatan tidak terpuji, sebab telah merubah pengertian yang tidak

22

Page 23: Diktat Ulumul Hadis

benar dan akhirnya merusak peristilahan ilmu hadis. Dikhawatirkan, bila cara

ini dibiarkan terus , maka akan terjadi pemindahan riwayat secara dusta.

(Syuhudi Ismail,1988:60)

Namun demikian ada ulama yang membolehkan periwayatan cara ini,

dengan menekankan syarat-syarat tertentu. Syarat-syarat itu ialah :

a). tulisan hadis yang didapati haruslah telah diketahui secara pasti siapa

periwayat yang sesungguhnya

b) kata-kata yang dipakai untuk periwayatan lebih lanjut haruslah kata-

kata yang menunjukkan bahwa asal hadis itu diperolehnya secara al-

wijadah.

Adapun kata-kata atau pernyataan yang dipakai untuk periwayatan

dengan cara al-wijadah ini, diantaranya ialah :

a)

b)

c)

d)

e)

Dua pernyataan disebutkan pertama (butir a dan b) dipakai apabila : (1)

penerima riwayat tidak pernah menerima riwayat hadis dari penulis hadis

yang bersangkutan; (2) tulisan yang dinukil telah jelas orisinalitas; dan (3)

sanad hadisnya dapat saja putus (munqati') atau bersambung (muttasil).

Apabila orisinalitas tulisan belum diketahui dn sanadnya telah jelas terputus,

maka pernyataan yang dipakai adalah salah satu dari ketiga pernyataan yang

disebutkan terakhir di atas. (Ibn As-Shalah,1979:159)

Dari pembahasan cara-cara penerimaan riwayat hadis di atas dapatlah

dinyatakan bahwa :

1. Periwayat hadis ketika menyampaikan suatu hadis harus mengemukakan

sedikitnya dua hal : a) cara penerimaan hadis yang telah ditempuhnya;

dan b) nama-nama periwayat hadis yang menyampaikan hadis itu

23

Page 24: Diktat Ulumul Hadis

kepadanya. Fungsi terpenting dari kedua hal ini adalah sebagai

pertanggung-jawaban sumber yang telah dipakainya.

2. Tidak seluruh penerimaan riwayat hadis dinilai memiliki kualitas yang

tinggi. As-sama, al-qira'ah, al-ijazah al-maqrunah bi al-munawalah

(al-munawalah al-maqrunah bi al-ijazah) dan al-mukatabah, oleh

mayoritas ulama dinilai lebih tinggi kualitasnya daripada cara-cara yang

selainnya.

3. Kata-kata pernyataan yang diapakai sebagi penghubung antara periwayat

dengan periwayat yang terdekat sebelumnya, menggambarkan cara-cara

penerimaan riwayat hadis yang telah dipakai oleh periwayat yang

bersangkutan, walaupun kata-kata itu ada yang disepakati dan ada yang

tidak disepakati oleh ulama. Selanjutnya, kata-kata tersebut ada yang

ditulis lengkap dan ada yang ditulis dalam bentuk singkatan. Misalnya

kata " " ditulis " " atau " "; kata " "

ditulis " "; kata " " ditulis " " atau " ". dan

sebagainya. (Syuhudi Ismail,1988:62)

Dalam sanad hadis, sering pula dijumpai huruf " " atau " ",

yang merupakan singkatan dari pernyataan " "

(perpindahan dari sanad yang satu ke sanad yang lain). Singkatan ini tidak

dimaksudkan untuk menerangkan cara periwayatan, melainkan untuk

menunjukkan perpindahan sanad. Menurut an-Nawawiy, bila hadis memiliki

dua sanad atau lebih, maka ketika dikemukakan perpindahan sanad dari

yang satu kepada sanad yang lainnya, biasanya diberi tanda huruf tersebut.

(An-Nawawiy, t.th:24).

F. PERIWAYATAN HADIS SECARA LAFAL DAN MAKNA

Pada zaman Nabi Muhammad saw, periwayatan hadis banyak

berlangsung secara oral (lisan= ) berdasarkan hafalan masing-masing

sahabat. Mengingat intelektualitas mereka dalam menerima dan menyampaikan

suatu hadis berbeda-beda, maka muncullah dua bentuk periwayatan hadis, yaitu

24

Page 25: Diktat Ulumul Hadis

periwayatan secara lafal ( ar-riwayah bi al-lafdz) dan periwayatan secara

makna (ar-riwayah bi al-ma'na) (Ad-Daminiy,1984:19)

Periwayatan hadis secara lafal (ar-riwayah bi al-lafz ) ialah :

"Seorang perawi menyampaikan hadis secara letetrleijk yaitu dengan

lafal yang diterimanya, tanpa ada perubahan , penggantian, penambahan

maupun pengurangan sedikitpun."

Sedangkan periwayatan hadis secara makna (ar-riwayah bi al-ma'na)

ialah :

"Seorang perawi menyampaikan hadis yang diterimanya dengan

menggunakan lafal dari dirinya sendiri, baik keseluruhan maupun

sebagian saja, dengan tetap menjaga artinya tanpa menghilangkan

apapun apabila dibandingkan dengan hadis yang diriwayatkan secara

lafal atau sesuai dengan teks aslinya. (At-Taziy,t.th:19)

Konsep ar-riwayah bi al-ma'na ini, di kalangan umat Islam masih sering

dipahami secara salah. Sebagian mereka ada yang memahami bahwa setiap

perbedaan redaksi pada hadis disebabkab oleh ar-riwayat bi al-ma'na.

Sehingga menurut mereka, ar-riwayah bi al-ma'na itu mencakup semua hadis

yang membahas tema yang samadengan menggunakan redaksi yang berbeda.

Maka, bila menemukan suatu hadis dengan redaksi yang berbeda untuk satu

tema, akan langsung dikatakan bahwa hadis tersebut telah diriwayatkan secara

makna.

25

Page 26: Diktat Ulumul Hadis

Memang, adanya perbedaan redaksi pada hadis bukan hanya disebabkan

oleh adanya ar-riwayah bi al-ma'na, tetapi perbedaan itu disebabkan oleh

beberpa faktor, misalnya seringnya Nabi menyelenggarakan majlis ta'lim dan

variasi jawaban Nabi atas pertanyaan sahabat karena menimbang kemampuan

dan kondisi penanya. Namun jelas, bahwa ar-riwayah bi al-ma'na secara

otomatis akan menimbulkan perbedaan redaksi. Namun mengklaim bahwa

setiap perbedaan redaksi dikarenakan oleh ar-riwayah bi al-ma'na adalah

tindakan yang tergesa-tergesa.

Dari uraian di atas, maka perlu ditegaskan bahwa pada hakekatnya ar-

riwayah bi al-ma'na terjadi untuk satu satu hadis dalam satu peristiwa yang

diungkapkan oleh periwayat dengan redaksi yang berbeda-beda dan bukan

pada perbedaan redaksi yang ada pada banyak hadis karena memang berbeda

peristiwa. Maka untuk mengetahui bahwa suatu hadis itu telah diriwayatkan

secara makna harus meneliti dan memperhatikan asbab wurudnya dan kapan

hadis itu muncul. (at-Taziy,t.th:19)

Hadis Nabi yang dimungkinkan diriwayatkan secara lafal (ar-riwayah bi

al-lafz) oleh sahabat Nabi sebagai saksi pertama, hanyalah hadis yang dalam

bentuk sabda (hadis qauliyyah), dan inipun sangat sulit dilakukan kecuali untuk

sabda-sabda tertentu. Sedangkan hadis-hadis dalam bentuk lain yang berupa

perbuatan (hadis fi'liyyah), taqrir Nabi dan hal ihwal (ahwal Nabi) hanya

mampu diriwayatkan oleh sahabta secara makna dengan menggunakan

ungkapan dari masing-masing sahabat berdasarkan kesaksian masing-masing.

Padahal jelas kemampuan sahabat dalam menangkap,mengungkap dan

menerjemahkan isyarat-isyarat dan dan perilaku Nabi tidak mungkin sama.

Untuk itu sangat membuka peluang terjadinya periwayatan secara makna.

Ada beberapa faktor dan sebab pendukung terjadinya periwayatan secara

makna, diantaranya ialah :

1. Tidak seluruh hadis Nabi diriwayatkan secara mutawatir lafdziy, berbeda

dengan periwayatan al-Qur'an.

2. Pada masa Nabi sampai masa sahabat, hadis Nabi belum dibukukan (tadwin)

bahkan pada awalnya para sahabat tidak menulis hadis Nabi, kecuali untuk

26

Page 27: Diktat Ulumul Hadis

sahabat-sahabat tertentu. Sedangkan periwayatan hadis banyak berlangsung

secara lisan.

3. Perbedaan kemampuan periwayat dalam menghafal dan meriwayatkan hadis

Nabi.

4. Hanya hadis yang berbentuk sabda (hadis qauliyyah) saja yang mungkin

diriwayatkan secara tekstual. Padahal hadis Nabi itu bisa berupa sabda,

perbuatan, taqrir dan hal ihwal Nabi.(Noorhidayati,1998:54)

Selanjutnya ulama ahli hadis sepakat akan keharusan periwayatan hadis

secara lafal untuk hadis-hadis berikut ini :

1. Hadis-hadis yang berkaitan dengan penyebutan-penyebutan nama-nama

Allah dan sifat-sifatNya. Mereka memandangnya sebagi suatu hal yang

tauqifiy dan tidak boleh diganti dengan kalimat atau kata lain walaupun

sepadan.

2. Hadis-hadis yang mengandung lafal-lafal yang dianggap ibadah (ta'abbudiy)

misalnya hadis-hadis do'a.

3. Hadis-hadis tentang jawami' al-kalim ( ), yakni ungkapan

pendek sarat makna yang mengandung nilai balaghah yang tinggi dan

periwayatannya secara makna tidak mungkin bisa mewakili seluruh

kandungan makna hadis yang dimaksud.

4. Hadis–hadis yang berkaitan dengan lafal-lafal ibadah, misalnya hadis

tentang azan, iqamat, takbir, salat, sighat syahadat, dan sighat akad.(at-

Taziy,t.th:19-20)

Perlu ditegaskan pula, ulama ahli hadis sepakat bahwa menjaga lafal

hadis, menyampaikannya sesuai dengan lafal yang diiterima dan didengarnya,

tanpa merubah, mengganti huruf atau hata, adalah lebih utama daripada

periwayatannya secara makna. Hal ini karena kalam Nabi adalah perkataan

yang mengandung fasahah dan balaghah yang tidak ada bandingannya. Dan

periwayatan secara makna otomatis akan menimbulkan perbedaan redaksi (dari

redaksi semula dan antara periwayat yang berbeda). Bahkan redaksi hadis ini

ada yang menyebabkan perbedaan makna atau maksud hadis.

27

Page 28: Diktat Ulumul Hadis

Oleh karena itu ulama berbeda pendapat dalam hal hukum kebolehan

periwayatan hadis secara makna bagi orang cukup mampu menjaga lafal hadis.

Dalam hal ini pembahasan berkisar pada dua hal, yakni hukum ar-riwayah bi

al-ma'na sebelum tadwin dan sesudah tadwin

1. Ar-riwayah bi al-ma'na sebelum tadwin

Tentang hukum ar-riwayah bi al-ma'na pada masa sebelum

dibukukannya (tadwin) hadis secara resmi, ulama berbeda pendapat.

Mayoritas ulama membolehkan periwayatan secara makna bagi orang yang

telah memenuhi syarat, diantaranya harus mempunyai kemampuan bahasa

yang mendalam, sedangkan bagi periwayat yang tidak memenuhi syarat yang

ditentukan, mereka sepakat akan keharusannya untuk meriwayatkan hadis

sesuai dengan lafal yang diterima.

Penganut madzhab ini bermaksud untuk meringankan beban dan

kesulitan para periwayat dalam meriwayatkan hadis. Jika periwayat dituntut

untuk meriwayatkan hadis sesuai dengan lafal asli seperti ketika hadis itu

diterima, sedangkan catatan hadis tidak ada pada mereka, maka demikian itu

akan mempersulit mereka. Alasan lain, secar ijma, ulama membolehkan

penerjemahan hadis dari bahasa Arab ke bahasa asing (al-lughah al-

a'jamiyyah) bagi orang yang m,engetahui bahasa tersebut. Logikanya, jika

penerjemahan ke dalam bahasa asing saja diperbolehkan, maka penerjemahan

(perubahan) ke dalam bahasa Arab sendiri dengan lafal yang semakna berarti

lebih baik. (at-Taziy,t.th:23)

Pendapat ini diikuti oleh golongan sahabat dan tabiin diantaranya Ali bin

Abi Talib, Abu Hurairah, Hasan al-Bashriy, Ibn Syiohab az-Zuhriy dan lain-

lain.

Namun demikian, ada pula sekelompok ahli hadis, fiqih dan usul yang

memandang tidak bolehnya periwayatan hadis secara makna, walaupun untuk

periwayat yang telah memenuhi persyaratan . Mereka yang melarang

periwayatan secara makna ini bermaksud untuk mengatakan bahwa ar-

28

Page 29: Diktat Ulumul Hadis

riwayah bi al-ma'na itu mengundang munculnya at-tahrif dan at-tabdil yang

menyebabkan munculnya at-taghyir (perubahan) sebagian maknanya.

Diantara ulama penganut madzhab ini adalah al-Qasim, Muhammad bin

Sirin, al-Qadi 'Iyadl , malik bin Anas, dan lainnya.

Untuk menjembatani perbedaan diatas, maka pendapat yang lebih

rasional adalah membolehkan ar-riwayah bi al-ma'na bagi orang yang

menghafal dan menjaga hadis dengan beberapa syarat, bai periwayat itu dari

kalangan sahabat maupun lainnya, dengan maksud untuk mempermudah dan

meringankan umat Islam dalam menyampaikan hadis, disamping juga untuk

menghindarkan dosa dari karena menyembunyikan ilmu. (at-Taziy,t.th:28)

2. Ar-riwayah bi al-ma'na sesudah tadwin

Para ulama sepakat bahwa periwayatan hadis secara makna tidak

diperbolehkan sesudah hadis itu tertulis dalam kitab-kitab hadis. Ketika

hadis-hadis itu telah tertulis dalam kitab-kitab, maka lafal dan hurufnya telah

jelas. Oleh karenanya, periwayatan secara tidak diperbolehkan, mengingat

makna asal ar-riwayah (periwayatan) adalah memindahkan hadis sesuai

dengan lafal yang diterima dan didengar dari Nabi. Sedangkan ar-riwayah bi

al-ma'na menyimpang dari makna asal ini.

Sementara alasan diperbolehkannya ar-riwayah bi al-ma'na adalah

karena adanya darurat dalm pelaksanaannya dan kondisi khusus misalkan

lupa lafalnya. Namun setelah dibukukannya hadis Nabi dalam kitab-kitab,

'illah (alasan) yang menyebabkan adanya rukhsah telah hilang, sehingga tetap

wajib untuk meriwayatkan hadis secara lafal. (Abu Zahw,t.th:202)

Menyoroti pandangan ulama tentang ar-riwayah bi al-ma'na, secara

garis besar dapat dikategorikan pada tiga macam, yaitu tidak boleh secara

mutlak, boleh secara mutlak dan boleh dengan syarat. (al-Jawabiy,t.th:207)

a. Tidak membolehkan secara mutlak

Pendapat ini berpegang ketat pada keharusan periwayatan hadis secara

lafal, dan melarang sama sekali periwayatan secara makna. Mereka ini

29

Page 30: Diktat Ulumul Hadis

termasuk golongan mutasyaddid dalam periwayatan. Ulama yang melarang

keras periwayatan hadis secara makna ini berargumentasi bahwa :

1) Perkataan Nabi mengandung fasahah dan balaghah yang tingggi dan

hadis-hadisnya merupakan agama yang bersumber dari wahyu Allah.

2) Nabi pernah mengkritik sahabat yang mengganti lafal hadis "nabiyyika"

dengan lafal lain "rasulika", yaitu hadis dari al-Barra' bin 'Azib. (al-

Bukhariy,I:67)

Selain itu mereka mendasarkan pendapatnya kepada dalil naqli dan

logika, diantara dalil naqli adalah hadis Nabi yang berbunyi :

"Allah akan mengelokkan rupa seseorang yang mendengarkan

perkataan dariku dan menjaganya, kemudian ia menyampaikan

sebagaimana ia mendengarnya sendiri."

Alasan yang berdasarkan logika (aqli) yaitu, jika periwayat

diperbolehkan mengganti lafal Nabi dengan lafal dari dirinya sendiri, maka

periwayat pada tabaqat kedua juga akan mengganti lafal yang didengar dari

gurunya denga lafal nya sendiri. Jika penggantian ini terjadi pada tiap-tiap

tabaqat, maka sangat mungkin lafal yang pertama akan hilang. Karena ,

walaupun manusia berusaha menyesuaikan setepat mungkin terjemahan

dengan aslinya, tidak mungkin dia akan terlepas dari perbedaan. Perbedaan

inilah yang dikhawatirkan akan menyimpang jauh dari makna atau lafal

aslinya. (Abu Rayyah,t.th:78-79)

Ulama yang termasuk golongan ini adalah Umar bin Khattab, Abdullah

bin Umar, al-Qasim, Muhammad bin Sirin, Imam Malik bin Anas, Ahmad

bin Hambal, dan lainnya.

2) Membolehkan secara mutlak

30

Page 31: Diktat Ulumul Hadis

Pendapat yang kedau ini termasuk gollongan mutasahil dalam

periwayatan. Pendapat ini merupakan bentuk yang terlarang, karena dengan

kesembronoan dan ketidakhati-hatian dalam periwayatan akan menimbulkan

perubahan-perubahan lafal yang menyebabkan perubahan makna. Namun

demikian, praktik seperti ini telah ada dan berkembang. (al-

Jawabiy,t.th:207)

Periwayat yang termasuk dalam kelompok ini adalah hasan al-Basriy,

as-Sya'biy dan Ibrahim an-Nakha'iy. Dalam suatu riwayat dijelaskan bahwa

Hasan al-Basriy tidak memperdulikan perbedaan-perbedaan lafal hadis yang

diucapkan pada hari ini dan hari esok. Dia juga tidak mempedulikan taqdim,

ta'khir dan ziyadah maupun nuqsan, asal maknanya masih sama. Selain itu,

ia beralasan bahwa yang termasuk dusta kepada Nabi adalah bagi orang

yang menyengaja (berbuat salah dan melakukan perubahan).

Ungkapan-ungkapan diatas, menurut Tahir al-Jawabiy menunjukkan

ketasahulannya dalam meriwayatkan hadis. Padahal hadis Nabi itu menuntut

penukilannya dengan penuh kehati-hatian. Jika terjadi kesalahan yang

diakibatkan oleh kesembronoan dan kelalaiannya, maka berarti periwayat

tersebut telah menyandarkan lafal hadis kepada Nabi yang tidak pernah

beliau katakan. Dalam hal ini, kesalahan seperti itu mempunyai nilai sama

dengan kebohongan atau dusta, walaupun maksudnya berbeda. (Al-

Jawabiy,t.th:218)

3) Membolehkan dengan syarat

Bentuk yang ketiga ini lebih bersifat sebagai penengah (mutawasit)

antara bentuk mutasyaddid dan mutasahil. Dengan menentukan persyaratan-

persyaratan, mereka menghendaki supaya periwayat tidak terlalu sembrono

dan lengah yang disebabkan oleh longgarnya ketentuan yang ada.

Selanjutnya mereka menganggap, bahwa ar-riwayah bi al-ma'na ini

merupakan rukhsah bagi periwayat dalam keadaan darurat, misalnya lupa

lafal aslinya.

31

Page 32: Diktat Ulumul Hadis

Pendapat yang ketiga ini banyak dianut oleh sahabat dan tabiin,

diantaranya Aisyah ra, Abu Sa'id al-Khudriy, Amr bin Dinar, Amr bin

Murrah, Sufyan as-Sauriy, Sufyan bin 'Uyainah dan lain-lain.

Mereka yang menganut bentuk yang ketiga ini mengajukan argumentasi:

1) perbedaan lafal hadis asal tidak merubah arti diperbolehkan; yang tidak

diperbolehkan adlah menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang

halal.

2) mengganti lafal hadis Nabi dengan bahasa lain selain bahasa Arab saja

diperbolehkan, maka mengganti lafal hadis dengan bahasa Arab yang

muradis tentunya lebih baik.

3) yang dilarang oleh agama adalah dusta kepada Nabi dan merubah hadis-

hadisnya. Sedangkan meriwayatkan secara makna dengan tetap menjaga

maksud hadis berarti boleh.(al-Khatib,1963:133-134)

Adapun syarat-syarat yang diajukan oleh ulama penganut madzhab ini

sangat beragam, baik itu berkaitan periwayat (sanad) maupun matan.

Misalnya Tahir al-Jawabiy dalm kitabnya Juhud al-Muhadditsin fi Naqd

Matan al-Hadis an-Nabawiy, menyebutkan syarat yang harus dimiliki oleh

periwayat yang meriwayatkan secara makna, diantaranya adalah :

a) Periwayat harus menguasai bahasa Arab secara mendalam dan yakin

akan maksud lafal, sasaran atau obyek pembicara serta perbedaan

penggunan lafal dalam bahasa Arab.

b) Mengetahui tema hadis dan maksud (ucapan) hadis Nabi.

c) Hendaknya periwayat mendalami ilmu syari'ah, fiqih dan usulnya,

supaya mampu memahami hadis-hadis yang mengandung persoalan-

persoalan syar'iy.

Sedangkan syarat-syarat yang berkaitan dnegan matan adalah :

a) Hadis yang diriwayatkan secara makna harus sama dengan aslinya dari

sisi maknanya. Sedangkan perbedaan dari segi susunan lafal merupakan

suatu kewajaran sebagai konsekwensi adanya pengantian lafal.

32

Page 33: Diktat Ulumul Hadis

b) Antara hadis yang diriwaayatkan secara makna dengan lafal hadis aslinya

harus sama dalam hal jala' (arti jelasnya) dan khafa' (arti tersembunyi).

(al-Jawabiy,t.th:225-231)

Walaupun beragam syarat dan ketentuan yang membolehkan

periwayatan hadis secara makna, namun ada beberapa syarat yang disepakati

oleh jumhur ulama, yaitu :

a) Periwayat harus memiliki pengetahuan bahasa Arab yang mendalam.

b) Periwayat secara makna dilakukan karena sangat terpaksa.

c) Yang diriwayatkan secara makna bukan sabda yang bersifat ta'abbudiy,

seperti zikir, do'a, azan, dan hadis jawami' al-kalim.

d) periwayat yang meriwayatkan hadis secara makna atau yang ragu akan

susunan matan hadis yang diriwayatkan, agar menambah lafal "Au Kama

Qala" atau yang semakna dengannya, setelah mengatakan matan hadis

yang bersangkutan

e) kebolehan periwayatan hadis secara makna terbatas pada masa sebelum

kodifikasi (tadwin) hadis Nabi secara resmi. Sesudah masa tadwin hadis,

periwayatan hadis harus secara lafal.

Walaupun ar-riwayah bi al-ma'na diperbolehkan, namun sebagian

ulama tetap memandang bahwa dalam ar-riwayah bi al-ma'na mengandung

bahaya dan implikasi yang cukup signifikan bagi kualitas hadis..

Abu Rayyah dengan mengutip pendapat al-Jazairiy mengatakan bahwa

ar-riwayah bi al-ma'na mengandung bahaya yang besar dan bahkan dianggap

sebagai salah satu penyebab perbedaan umat. Ada beberapa alasan yang

dikemukakannya, diantaranya adalah:

1. Ar-riwayah bi al-ma'na yang menyebabkan perbedaan redaksi akan

menimbulkan kesalahan arti atau maksud hadis. Bahkan menyebabkan

kedustaan—walaupun tanpa sengaja—dengan menyandarkan perkataan

kepada Nabi, yang sebenarnya Nabi tidak mengatakan.

33

Page 34: Diktat Ulumul Hadis

2. Ar-riwayah bi al-ma'na bisa merusak kesempurnaan makana hadis. Dengan

menghilangkan salah satu lafal hadis, khususnya yang mengandung

istisna'-- maka suatu hadis menjadi tidak sempurna maknanya bahkan

berubah atau rusak.

Selanjutnya, meruju kepada definisi ar-riwayah bi al-ma'na di atas, ada

beberpa hal yang menjadi implikasi dari adanya bentuk periwayatan tersebut,

diantaranya:

1. adanya bentuk periwayatan hadis dengan cara al-ikhtisar (meringkas) dan

at-taqti' (memenggal). Maksudnya, meriwayatkan sebagian hadis dan

meninggalkan sebagian lainnya. Periwayatan hadis dengan cara ini

memberi praduga adanya pengurangan pada salah satu riwayatnya, baik itu

disengaja atau karena lupa.

2. adanya at-taqdim (mendahulukan lafal yang tidak semestinya didahulukan )

dan at-ta'khir (mengakhirkan lafal yang mestinya didahulukan). Adanya

at-taqdim dan at-ta'khir, jika sampai merubah dilalah, tidak

diperbolehkan, karena akan menyebabkan hadis yang bersangkutan

menjadi dhaif dan masuk pada kategori hadis maqlub

3. adanya az-ziyadah dan an-nuqsan. Maksudnya adalah menambah atau

mengurangi lafal (matan) hadis yang sebenarnya. Penambahan atau

pengurangan lafal hadis yang dilakukan oleh perawi karena

meriwayatkannya secara makna adalh suatu hal yang tidak bisa dihindari.

Kalau lafal tambahan dari masing-masing perawi itu saling menjelaskan

atau melengkapi, tidak menimbulkan masalah. Namun jika lafal tambahan

itu menjadikannya saling bertentangan, ini akan membahayakan. Karena

akan menyebabkan hadis yang bersangkutan menjadi dhaif dan masuk

pada kategori hadis mudraj atau hadis mudhtharib.

4. adanya al-ibdal, yaitu mengganti huruf, kata, atau kalimat. Bentuk ini

hampir bisa dipastikan ditemukan dalam hadis-hadis yang diriwayatkan

secara makna. Penggantian tersebut ada yang merusak makna dan ada

yang tidak.

34