makalah ulumul qur'an ii

22
MAKALAH ULUMUL QUR’AN II Tentang METODE TAFSIR MUQARAN Dipresentasikan Pada Mata Kuliah Ulumul Al-Qur'an II Disusun Oleh : DESTIWARNI Nim. 1072371 MAS’ADI Nim. 1071297 DOSEN PEMBIMBING : Prof. DR. Rusydi AM, Lc, MA

Upload: weny-seflia-roza

Post on 11-Aug-2015

100 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

Page 1: Makalah Ulumul Qur'an II

MAKALAH

ULUMUL QUR’AN II

Tentang

METODE TAFSIR MUQARAN

Dipresentasikan Pada Mata Kuliah Ulumul Al-Qur'an II

Disusun Oleh :

DESTIWARNI Nim. 1072371

MAS’ADI Nim. 1071297

DOSEN PEMBIMBING :

Prof. DR. Rusydi AM, Lc, MA

PASCA SARJANA UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SUMATERA BARAT

1432/2011

Page 2: Makalah Ulumul Qur'an II

METODE TAFSIR MUQARRAN

A. Pendahuluan

Al-Quran merupakan wahyu ilahi yang diturunkan dengan penuh

kemukjizatan. Ayat-ayatnya memiliki kelebihan masing-masing. Tak satupun

yang bisa disia-siakan hanya karena alasan sudah ada penggantinya dari ayat

yang lain. Besar kemungkinan bahwa kemampuan manusia tidak bisa

menyingkap ibrah yang tersimpan di dalamnya sehingga dengan mudah

menganggap beberapa ayat cenderung membosankan karena memiliki redaksi

yang tidak jauh berbeda.

Tanpa perhatian yang intensif, tidak menutup kemungkinan seseorang

akan berasumsi bahwa banyaknya kemiripan dan kesamaan dalam beberapa

ayat al-Quran hanyalah merupakan sebuah tikrar ( pengulangan redaksi ).

Padahal, tidak jarang terdapat hikmah dalam kemiripan tersebut, bahkan hal

itu akan mengantarkan orang yang tekun dalam menganalisisnya pada sebuah

formulasi pemahaman dinamis. Oleh karena itu, perlu adanya upaya

penafsiran dengan metode yang bisa mengidentifikasi serta mengakomodasi

ayat-ayat yang dipandang mirip untuk kemudian dianalisis dan ditemukan

hikmahnya. Selain itu, pengungkapan makna di dalamnya juga akan mewarnai

dinamisasi kandungan al-Quran sehingga bisa dipahami bahwa setiap ayat

memiliki kelebihannya masing-masing.

Pada kesempatan kali ini pemakalah akan membahas tafsir muqaran.

Untuk itu diharapkan kepada Bapak-bapak dan Ibu-ibu untuk dapat

memberikan masukan demi kesempurnaan makalah kami ini.

B. Pengerian Tafsir Muqaran

Istilah tafsir muqaran merupakan kata majemuk yang terdiri dari dua

kata yaitu: tafsir dan muqaran. Tafsir secara etimologi adalah mashdar dari

kata  ر- تفسيرا ر- يفس membukakan (اإلبانة) yang berarti menjelaskan  فس

dan mengungkapkan makna atau maksud (اإلبانة وكشف المعطى) (al-

1

Page 3: Makalah Ulumul Qur'an II

Qaththan, 1973: 323). Ada juga yang berpendapat bahwa tafsir secara

etimologi adalah menerangkan dan menjelaskan (Al-Dzahabi, 1976: I, 13).1

Menurut Dr. Abdul Hay Al Farmawi dalam kitabnya Al Bidayah Fi

Al-Tafsir Al-Maudhu’i memberikan penjelasan tentang al-muqaran sebagai

penjelasan ayat-ayat alquran yang telah ditulis oleh sekelompok mufassirin.

Dalam persoalan ini mufassir melakukan pembahasan dengan cara

menyelidiki, meneliti kitab-kitab tafsir yang berhubungan dengan ayat-ayat

tersebut. Tafsir itu baik terkait dengan tafsir salaf maupun khalaf, naqli

maupun aqli. Kemudian diadakan perbandingan diantara bermacam-macam

aliran tafsir yang telah ada tersebut. Oleh karena itu obyek pokok pembahasan

tafsir al-muqaran ini sangat luas sekali, tidak hanya sekedar membandingkan

ayat dengan ayat ataupun ayat dengan hadist.2

Sedangkan Nasiruddin Baidan dalam bukunya metode penafsiran

alquran mengatakan bahwa ruang lingkup metode muqaran (komparatif)

memang amat luas, yakni meliputi perbandingan berbagai pendapat para

mufassir, aliran-aliran dan kecenderungan-kecenderungan mereka,

perbandingan ayat alquran dengan hadist nabi, dan perbandingan diantara

berbagai ayat yang mempunyai persamaan redaksi dalam satu kasus yang

sama ataupun berbeda.3

Para ahli tidak berbeda pendapat mengenai defenisi metode tafsir

muqarran ini sebagaimana yang dijelaskan oleh Nasruddin Baidan. Dari

berbagai literature yang ada, dapat dirangkum bahwa yang dimaksud dengan

metode tafsir muqaran adalah :4

a. Membandingkan teks (nash) ayat-ayat Al-Qur'an yang memiliki

persamaan atau kemiripan redaksi dalam dua kasus atau lebih dan

memiliki redaksi yang berbeda bagi suatu kasus yang sama.

1 Rusydi AM, Metode Tafsir Muqarran (Komperatif) dan Aplikasinya, Jurnal Ilmu Al-Qur’an dan Hadits ( http://tafsirhadisiainib.wordpress.com/) diakses tanggal 18-05-2011

2 Rachmat Syafe’i, Pengantar Ilmu Tafsir (Bandung: Pustaka Setia, 2006), cet. 1, h. 2793 Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Quran, (Jakarta : Pustaka Pelajar,

2005),h. 234 Ibid, h. 65

2

Page 4: Makalah Ulumul Qur'an II

b. Membandingkan ayat Al-Qur'an dengan hadits yang pada lahirnya terlihat

bertentangan.

c. Membandingkan berbagai pendapat ulama tafsir dalam menafsirkan Al-

Qur'an.

Menurut Muhammad Quraish Shihab tafsir muqaran adalah:

Membandingkan ayat-ayat al-Qur’an satu dengan yang lainnya, yaitu ayat-ayat yang memiliki persamaan atau kemiripan redaksi dalam dua masalah atau kasus yang berbeda atau lebih. Dan atau membandingkan ayat-ayat al-Qur’an dengan hadis nabi Muhammad SAW yang nampak bertentangan serta membandingkan pendapat-pendapat ulama tafsir menyangkut penafsiran al-Qur’an (Quraish Shihab, 1995: 118).

Dari defenisi itu terlihat jelas bahwa tafsir Al-Qur'an dengan

menggunakan metode ini mempunyai cakupan yang teramat luas, tidak hanya

membandingkan ayat dengan ayat melainkan juga memperbandingkan ayat

dengan hadits serta membandingkan pendapat para mufassir dalam

menafsirkan suatu ayat.

Yang menjadi objek pembahasan pada aspek ketiga ini adalah berbagai

pendapat yang dikemukakan sejumlah mufassir dalam suatu ayat, kemudian

melakukan penafsiran. Sedangkan yang dianalisis atau dikaji di dalam dua

aspek sebelumnya adalah perbandingan berbagai redaksi yang bermiripan dari

ayat-ayat Al-Qur'an atau antara ayat dengan hadits yang kelihatannya secara

lahiriah kontradiktif.

Hal itu disebabkan karena yang dijadikan bahan dalam

memperbandingkan ayat dengan ayat, atau dengan hadits adalah pendapat para

ulama tersebut, bahkan pada aspek yang ketiga, sebagaimana telah disebutkan

di atas, pendapat para ulama itulah yang menjadi sasaran perbandingan. Oleh

karena itu, jika suatu penafsiran dilakukan tanpa memperbandingkan berbagai

pendapat yang dikemukakan oleh para ahli tafsir, maka pola semacam itu tak

dapat disebut “ metode komparatif “.

Dari uraian yang dikemukakan itu diperoleh gambaran bahwa dari segi

sasaran (objek) bahasan ada tiga aspek yang dikaji di dalam tafsir

3

Page 5: Makalah Ulumul Qur'an II

perbandingan yaitu perbandingan ayat dengan ayat, ayat dengan hadits dan

pendapat para ulama tafsir dalam menafsirkan Al-Qur'an.

C. Langkah-langkah Metode Tafsir Muqaran

Adapun langkah-langkah dalam metode tafsir muqaran ini adalah

sebagai berikut :

a. Mengumpulkan sejumlah ayat Al-Qur'an

b. Mengemukakan penjelasan para mufassir, baik kalanagan salaf atau

kalangan khalaf, baik tafsirnya bercorak bi al-mat'sur atau bi ar-ra'yi

c. Membandingkan kecenderungan tafsir mereka masing-masing

d. Menjelaskan siapa diantara mereka yang menafsirkannya dipengaruhi

(secara subjektif) oleh mazhab tertentu, siapa penafsirannya ditujukan

untuk melegetimasi golongan atau mazhab tertentu, siapa yang mewarnai

latar belakang disiplin ilmu yang dimilikinya, seperti bahasa, fikih, atau

yang lainnya, siapa yang penafsirannya didominasi uraian-uraian yang

sebenarnya tidak perlu, seperti kisah-kisah yang tidak rasional dan tidak

didukung oleh argumentasi naqliyah, siapa yang penafsirannya

dipengaruhi oleh paham-paham Asy'ariyah, atau Mu'tazilah, atau paham-

paham tasawuf, atau teori-teori ilmiah.5

D. Ruang Lingkup Metode Tafsir Muqaran

1. Perbandingan Ayat dengan Ayat.

Perbandingan dalam aspek ini dapat dilakukan pada semua ayat,

baik pemakaian mufradat, uraian kata, maupun kemiripan redaksi semua

itu dapat dibandingkan. Juka yang akan dibandingkan itu kemiripan

redaksi, misalnya maka langkah-langkah sebagai berikut :6

a. Mengidentifikasi dan menghimpun ayat-ayat Al-Qur'an yang

redaksinya bermiripan sehingga diketahui mana yang mirip dan mana

yang tidak.

5 http://ashrilfathoni.Wordpress.com/2001/01/21perkembangan tafsir alquran/ diakses 18 Mai 2011

6 Nashruddin Baidan, Op. Cit, h. 69

4

Page 6: Makalah Ulumul Qur'an II

b. Memperbandingkan antara ayat-ayat yang redaksinya bermiripan itu,

yang membicarakan satu kasus yang sama, atau kasus yang berbeda

dalam satu redaksi yang sama.

c. Menganalisis perbedaan yang terkandung di dalam berbagai redaksi

yang mirip, baik perbedaan tersebut mengenai konotasi ayat, maupun

redaksinya seperti berbeda dalam menggunakan kata dan susunannya

dalam ayat.

d. Memperbandingkan antara berbagai pendapat para mufassir tentang

ayat yang dijadikan objek bahasan.

Sebagai contoh pada surat Ali-Imran ayat 26 dengan surat Al-

Anfal ayat 10 :

Q.S. Ali-Imran ayat 126 :

Artinya : Dan Allah tidak menjadikan pemberian bala bantuan itu melainkan sebagai khabar gembira bagi (kemenangan)mu, dan agar tenteram hatimu karenanya. dan kemenanganmu itu hanyalah dari Allah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.

QS. Al-Anfal ayat 10 :

Artinya : Dan Allah tidak menjadikannya (mengirim bala bantuan itu), melainkan sebagai kabar gembira dan agar hatimu menjadi tenteram karenanya. dan kemenangan itu hanyalah dari sisi Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.

Yang menjadi permasalan dalam ayat ini adalah mengapa

perbedaan yang disebutkan itu timbul? Apakah sekedar seni berbahasa,

atau dibalik perbedaan itu ada pesan khusus yang dikandungnya.

Jika dilihat dari asbabun nuzul turun ayat, terdapat ayat pertama

(Ali-Imran 126) diturunkan berkenaan dengan Perang Uhud. Sedangkan

5

Page 7: Makalah Ulumul Qur'an II

ayat kedua (Al-Anfal : 10) mengenai Perang Badar. Itu berarti masing-

masing redaksi menpunyai kasus yang berbeda, sebab situasi dan kondisi

yang dihadapi umat Islam dalam kedua peperangan itu tidak sama. Ketika

Perang Badar misalnya kaum muslimin belum sekuat ketika Perang Uhud

terjadi karena jumlah personil mereka amat kecil (sekitar 300 orang),

sebaliknya kekuatan personil musuh tiga kali lipat (sekitar 1000 orang). Di

samping kondisi yang demikian, Perang Badar ini tercatat sebagai perang

yang besar, sebelumnya umat Islam belum punya pengalaman dalam

pertempuran serupa itu. Jadi secara lahiriah umat Islam berada dalam

kondisi yang labil jika dibandingkan dengan kondisi mereka pada waktu

perang Uhud. Mengingat kondisi yang demikian, maka pada penutupan

ayat 10 surat Al-Anfal Allah memakai huruf ta'kid (Inna) untuk

memperkuat keyakinan umat Islam bahwa Allah Yang Maha Esa Perkasa

bersama mereka. Jadi tak perlu gentar menghadapi musuh yang jumlahnya

jauh lebih besar dari personil umat Islam. Sementara di dalam ayat 126

surat Ali-Imran tidak diperlukan huruf ta'kid karena kondisi mereka telah

makin baik dan kuat. Lagi pula mereka telah punya penggalaman

menghadapi orang-orang kafir ketika terjadi perang Badar, yang meskipun

jumlah mereka sangat kecil, mereka memenangkan perang.7

Sedangkan menurut Quraish Shihab perbedaan redaksi

didahulukan kata bihi atas qulubukum dalam surat Al-Anfal, “agar hatimu

karena berita turunya malaikat menjadi tentram”, adalah dalam konteks

mendahulukan berita yang menggembirakan, karena mendahulukannya

lebih utama dari pada menunda-nundanya, sekaligus untuk menunjukkan

perhatian yang besar yang tercurah terhadap berita dan janji itu. Ini

beebeda dengan surat Ali-Imran 126, dimana berita itu disebut kemudian,

“agar hati kamu menjadi tentram karenanya”, sebab di sini tidak lagi

diperlukan penekanannya. Bukankah sebelum peristiwa Uhud, mereka

telah mengalami turunya malaikat? Itu pula sebabnya sehingga dalam surat

Ali-Imran, janji Allah tidak lagi diisertai dengan kata “sesungguhnya”

7 Ibid, h. 71

6

Page 8: Makalah Ulumul Qur'an II

yang digunakan sebagai penguat berita, karena penguatan berita tidak

diperlukan disini. Berbeda dengan redaksi dalam surat Al-Anfal ayat 10

yang menggunakan kata “sesungguhnya” karena ketika itu belum ada

pengalaman tentang turunya malaikat, belum juga tampak sebelum itu

keperkasaan Allah keperpihakan-Nya dalam peperangan kepada kaum

Muslim. Ini dapat menimbulkan keraguan tentang kebenaran atau makna

janji itu, maka untuk menghilangkan keraguan itu diperlukan kata penguat,

dalam hal ini adalah “sesungguhnya”.

2. Perbandingan Ayat dengan Hadits

Perbandingan penafsiran dalam aspek ini terutama dilakukan

terhadap ayat-ayat Al-Qur'an yang tampak pada lahirnya bertentangan

dengan hadits-hadits Nabi yang diyakini shahih. Itu berarti hadits-hadits

yang sudah dinyatakan dha'if tidak perlu dibandingkan dengan Al-Qur'an

karena level dan kondisi keduanya tidak seimbang. Jadi hanya hadits

shahih saja yang akan dikaji di dalam aspek ini dan diperbandingkan

dengan ayat-ayat Al-Qur'an. Dalam hal ini dapat ditempuh langkah-

langkah sebagai berikut :

1. Menghimpun ayat-ayat pada lahirnya tampak bertentangan dengan

hadits-hadits Nabi SAW, baik ayat-ayat tersebut menpunyai kemiripan

redaksi dengan ayat-ayat lain atau tidak.

2. Membandingkan dan menganalisis pertentang yang dijumpai di dalam

kedua teks ayat dan hadits

3. Memperbandingan antara berbagai pendapat para ulama tafsir dalam

menafsirkan ayat dan hadits tersebut.8

Contoh dalam Al-Qur'an Surat An-Naml ayat 23 :

Artinya : Sesungguhnya aku menjumpai seorang wanita yang memerintah mereka, dan Dia dianugerahi

8 Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Vol 2, (Jakarta : Lentera Hati, 2002), h. 196

7

Page 9: Makalah Ulumul Qur'an II

segala sesuatu serta mempunyai singgasana yang besar.

Hadits Rasulullah SAW :

#َح# َم#ا #َم'ر# ًم+ َق#ْو' أف'َل -ْو'اا # َم0ر# ا هم و#ل ( رى البخا )رواه َة# أ

Artinya : Tidak pernah sukses (beruntung) suatu bangsa yang menyerahkan semua mereka kepada wanita (HR. Bukhari).

Sepintas lalu, kedua teks itu tampak kontradiktif, karena Al-Qur'an

menginformasikan tentang keberhasilan seorang wanita yakni Ratu Bilqis

dalam memimpin negerinya, sehingga negerinya menjadi aman dan

makmur serta seluruh tunduk dan patuh dibawah pemerintahannya.

Sebaliknya di dalam hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari itu

dinyatakan, bahwa tidak akan sukses suatu bangsa jika yang memimpin

mereka seorang wanita.

Hadits yang dijadikan contoh diatas, menurut Musthafa Al-Siba'i

diucapkan Nabi ketika beliau mendapat informasi bahwa putri Raja Persia

telah dinobatkan menjadi ratu untuk menggantikan ayahnya yang telah

diangkat. Menurut Cahdidjah Nasution seperti yang dikutip Nashruddin

Baidan menerjemahkan hadits itu sebagai berikut “ Tidak akan beruntung

suatu bangsa yang yang menyerahkan pimpinan negaranya kepada seorang

wanita”.9

Terjemahan itu jelas tidak sejalan dengan semangat ayat-ayat Al-

Qur'an yang menggambarkan kemampuan wqanita dalam memimpin

Negara seperti Ratu Bilqis yang dikutip diatas. Disamping itu kalau

dihubungkan dengan sejarah dunia dan sejarah Islam yang sukses dalam

memimpin suatu bangsa seperti kepemimpinan Syajaruh Al-Durr pendiri

kerajaan Mamalik di Mesir.10

Pemahaman semacam itu tak akan terjadi jika dalam memahami

teks hadis itu kondisi yang hidup di tengah masyarakat senantiasa

dijadikan salah satu pertimbangan. Oleh karena itu kita tidak perlu terlalu

9 Nashruddin Baidan, Op. Cit, h. 9310 Ibid, h. 97

8

Page 10: Makalah Ulumul Qur'an II

terpengaruh oleh asbab al-wurud hadits tersebut karena yang dijadikan

tolak ukur dalam mengambil keputusan (istinbath al-hukm) menurut

mayoritas ulama adalah umum lafal, bukan khusus sebab (al-'ibrat

bi'umum al-lafazh la bi khusus al-sabab).11

Berangkat dari kaidah itu, meskipun latar belakang hadits itu

muncul dari kasus naiknya wanita jadi kepala Negara di Persia, lafal yang

dipakainya umum, tidak membicarakan secara khusus tentang kepala

Negara.

Setelah memperhatikan kaidah itu dan kemudian diterapkan pada

hadits Nabi tadi, maka Nasruddin Baidan menyimpulkan bahwa yang

dimaksud dengan hadits Nabi adalah : “ suatu bangsa tidak pernah

memperoleh sukses jika semua urusan bangsa itu diserahkan (sepenuhnya

kepada kebijakan) wanita sendiri (tanpa melibatkan pria).12 Jadi bisa

dipahami bahwa maksud penerapannya adalah jika semua urusan

pemerintahan itu ditangani oleh wanita sendiri, tanpa melibatkan pria.

Semua urusan mulai dari yang terendah sampai yang tertinggi ditangani

waita sendiri. Jadi masuk akal mereka tidak akan beruntung karena mereka

menpunyai keterbatasan fisik maupun psikis.

Dari kasus diatas dapat dipahami bahwa pada hakikatnya yang

bertentangan adalah interpretasi atau pemahaman ulama terhadap kedua

teks tersebut bukan pertentangan antara teks.

3. Perbandingan Pendapat Mufassir

Apabila yang dijadikan sasaran pembahaan perbandingan adalah

pendapat para ulama tafsir dalam menafsirkan suatu ayat, maka metodenya

adalah :

1. Menghimpun sejumlah ayat yang dijadikan objek studi tanpa menoleh

terhadap redaksinya menpunyai kemiripan atau tidak

2. Melacak berbagai pendapat ulama tafsir dalam menafsirkan ayat-ayat

tersebut11 Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2007),h. 9812 Nashruddin Baidan, Op. Cit, h. 98

9

Page 11: Makalah Ulumul Qur'an II

3. Membandingkan pendapat-pendapat mereka untuk mendapatkan

informasi berkenaan dengan identitas dan pola berfikir dari masing-

masing mufassir, serta kecenderungan-kecenderungan dan aliran-aliran

yang mereka anut.13

Dengan menerapkan metode perbandingan seperti ini, maka dapat

diketahui kecenderungan dari pada mufassir. Penafsiran para mufassir akan

dipengaruhi oleh aliran maupun keahlian dan latar belakang para mufassir.

Kaum Mutakallimin cenderung menafsirkan Al-Qur'an sesuai konsep ilmu

kalam, kaum Fuqaha cenderung menafsirkan sesuai konsep-konsep hokum-

hukum fiqh, kaum sufi menurut tasawuf dan termasuk juga penafsiran itu

dipengaruhi situasi dan kondisis yang dihadapi para mufassir.

Sebagai contoh firman Allah dalam Al-qur'an Surat Al-An'am ayat :

103 :

Artinya : Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala yang kelihatan; dan Dialah yang Maha Halus lagi Maha mengetahui.

Pandangan mata yang lemah peralatannya ini tidaklah dapat

mencapai untuk melihat Allah. Sebab itu janganlah pula kamu bodoh,

sehingga kamu tidak percaya akan adanya Allah lantaran matamu tidak

dapat melihat dia. Yang dapat dicapai oleh penglihatan mata hanyalah

sedikit sekali dari ala mini. Beribu-ribu kali penglihatan mata terkecoh oleh

yang dilihat. Walaupun yang dilihat itu barang nyata. Berapa banyaknya

benda yang dari jauh kelihatan indah seumpama puncak gunung, tetapi

setelah kita lihat sampai kepuncaknya ternyata yang indah itu tidak ada.

Demikianlah kalau kita bicarakan dari hal nyata, tetapi tidak dapat

dicapai oleh penglihatan mata, apa lagi Allah. Oleh sebab itulah maka Allah

selalu dalam Al-Qur'an menyuruh kita agar mempergunakan akal, pikiran,

13 Ibid, h. 99

10

Page 12: Makalah Ulumul Qur'an II

faham dan fiqh. Karena dengan itulah baru kita akan dapat mencapai

keyakinan adanya Allah. “Tetapi dia mencapai pemandangan-pemandangan

itu “ artinya, bahwa pandangan mata kita yang lemah ini tidaklah dapat

mencapai melihat Allah, tetapi Allah sendiri tetap mencapai dan melihat

penglihatan mata kita.14 Sedangkan Quraish Shihab menjelaskan bahwa

pada hakikat-nya yang melihat bukannya bola mata, tetapi sesuatu yang

terdapat dibola mata itu. Ayat-ayat ini menjelaskan bahwa Allah tidak dapat

dijangkau oleh potensi penglihatan makhluk, sedangkan dia dapat

menjangkau yakni melihat dan menguasai segala sesuatu apa yang dapat

dilihat. Jika demikian ketidakmampuan makhluk melihat Allah dengan mata

kepala disebabkan kelemahan potensi kemampuan makhluk sendiri.

Kelelawar yang potensi matanya lebih lemah dari manusia tidak dapat

melihat di siang hari. Sebaliknya ada binatang seperti burung Rajawali yang

potensi matanya lebih terang dari manusia yang dapat melihat dari jarak

jauh dimana potensi manusia tidak dapat menjangkaunya. Disini lain perlu

diingat bahwa sesuatu yang tidak dapat dilihat bukan karena dia tidak ada,

tetapi boleh jadi karena dia terlalu kecil dan halus sehingga tersembunyi,

atau karena dia terlalu besar, terang dan jelas.15

Selanjutnya bagaimana makhluk dapat melihat Tuhan, padahal

makhluk adalah wujud yang fana bagi terbatas. Bagaimana mungkin sesuatu

yang fana lagi terbatas dapat menjangkau yang kekal lagi tidak terbatas. Jika

ia menjangkau-Nya, maka yang tidak terbatas beralih menjadi terbatas dan

itu adalah sesuatu yang mustahil.16

Dari kedua penafsiran diatas dapat dilihat kecenderungan dari kedua

tafsir diatas yang melihat adanya persamaan tentang adanya keterbatasan

kemampuan manusia untuk dapat memahami hakikat Tuhan. Namun kalau

kita lihat Hamka, beliau menafsirkannya sesuai dengan berlatar belakang

beliau sebagai seorang sastrawan dan tasawuf sedangkan Quraish Shihab

14 Ibid, h. 10015 Hamka, Tafsir Al-Azhar Juz VII, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1984), h. 40016 Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Vol 3, (Jakarta : Lentera Hati, 2002), h. 219

11

Page 13: Makalah Ulumul Qur'an II

sebagai seorang yang hidup dalam lingkungan akademis maka corak

penafsirannya mengajak kita untuk berfikir secara akademis pula.

Dari kenyataan itu dapat disimpulkan bahwa tafsir Al-Qur'an

senantiasa dinamis dan sejalan dengan perkembangan zaman. Berkaitan

dengan itu pula dapat dipahami bahwa ayat-ayat Al-Qur'an sangat dinamis

dan fleksibel sehingga dapat dipahami dari berbagai sudut sebagaiman yang

tergambar dalam penafsiran diatas.

E. Kelebihan dan Kekurangan Metode Tafsir Muqaran (Komparatif)

1. Kelebihan

a. Memberikan wawasan penafsiran yang relative lebih luas kepada para

pembaca bila dibandingkan dengan metode-metode lain sebagaimana

terlihat di dalam contoh-contoh yang telah dikemukakan diatas.

Didalam penafsiran itu terlihat bahwa satu ayat Al-Qur'an dapat ditinjau

dari berbagai disiplin ilmu pengetahuan sesuai dengan keahlian

mufassirnya. Dengan demikian terasa bahwa Al-qur'an itu tidak sempit,

melainkan amat luas dan dapat atau penafsiran yang diberikan itu dapat

diterima selama proses penafsirannya melalui metode dan kaidah yang

benar sebagaimana dicontohkan diatas.

b. Mebuka pintu untuk selalu bersikap toleran terhadap pendapat orang

lain yang kadang-kadang jauh berbeda dari pendapat kita dan tak

mustahil ada yang kontradiktif.

c. Tafsir dengan metode komparatif ini amat berguna bagi mereka yang

ingin mengetahui berbagai pendapat tentang suatu ayat. Oleh karena itu

penafsiran semacam cocok untuk mereka yang ingin memperluas dan

mendalami penafsiran Al-Qur'an bukan bagi para pemula.17

2. Kelemahan

17 Nashruddin Baidan, Op. Cit, h. 142

12

Page 14: Makalah Ulumul Qur'an II

a. Penafsiran yang memakai metode komparatif tidak dapat diberikan

kepada para pemula, seperti mereka yang sedang belajar pada tingkat

sekolah menengah ke bawah.

b. Metode komparatif kurang dapat diandalkan untuk menjawab

permasalahan sosial yang tumbuh di tengah masyarakat. Hal itu

disebabkan metode ini lebih mengutamakan perbandingan dari pada

pemecahan masalah.

c. Metode komparatif terkesan lebih banyak menelusuri penafsiran-

penafsiran yang pernah diberikan oleh ulama dari pada mengemukakan

penafsiran-penafsiran baru. 18

DAFTAR KEPUSTAKAAN

Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2007

Hamka, Tafsir Al-Azhar Juz VII, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1984

18 Ibid, h. 43

13

Page 15: Makalah Ulumul Qur'an II

http://ashrilfathoni.Wordpress.com/2001/01/21perkembangan tafsir alquran/ diakses 21 Maret 2011

Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Quran, (Jakarta : Pustaka Pelajar, 2005)

Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, (Jakarta : Lentera Hati, 2002)

Rachmat Syafe’i, Pengantar Ilmu Tafsir Bandung: Pustaka Setia, 2006, cet. 1

Rusydi AM, Metode Tafsir Muqarran (Komperatif) dan Aplikasinya, Jurnal Ilmu Al-Qur’an dan Hadits ( http://tafsirhadisiainib.wordpress.com/

14