· pdf fileperpustakaan.uns.ac.id disusun untuk memenuhi tugas akhir sebagai s program...
TRANSCRIPT
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
1
Komunikasi dan Konflik Sosial: Studi Tentang Komunikasi dalam
Konflik dan Upaya Resolusi Konflik yang Terjadi Antara Warga
Bantaran, di Wilayah Semanggi dengan Pemerintah Kota Surakarta
Berkenaan dengan Dana Banjir
TESIS
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Akhir Sebagai Syarat Mencapai
Gelar Magister Program Ilmu Komunikasi
Disusun oleh :
DEWANTO PUTRA FAJAR
NIM: S220908005
PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2010
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
2
Komunikasi dan Konflik Sosial: Studi Tentang Komunikasi dalam
Konflik dan Upaya Resolusi Konflik yang Terjadi Antara Warga
Bantaran, di Wilayah Semanggi dengan Pemerintah Kota Surakarta
Tentang Dana Banjir
TESIS
oleh:
DEWANTO PUTRA FAJAR
NIM S220908005
Telah disetujui oleh Tim Pembimbing
Dewan Pembimbing
Jabatan Nama Tanda Tangan Tanggal
Pembimbing I Prof. Pawito, Ph.D ...................... ...........
NIP. 195408051985031002
Pembimbing II Drs. Mursito BM, SU ........................ ...........
NIP. 195307271980031001
Mengetahui
Ketua Program Ilmu Komunikasi
Dr. Widodo Muktiyo, SE, M.Com
NIP. 196402271988031002
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
3
Komunikasi dan Konflik Sosial: Studi Tentang Komunikasi dalam
Konflik dan Upaya Resolusi Konflik yang Terjadi Antara Warga
Bantaran, di Wilayah Semanggi dengan Pemerintah Kota Surakarta
Berkenaan dengan Dana Banjir
TESIS
oleh:
DEWANTO PUTRA FAJAR
NIM S220908005
Telah disetujui dan disahkan oleh Tim Penguji
Jabatan Nama Tanda Tangan Tanggal
Ketua : Dr. Widodo Muktiyo, SE, M.Com
NIP. 196402271988031002
Sekretaris : Sri Hastjarjo, S. Sos, Ph. D .
NIP. 197102171998021001
Anggota : 1. Prof. Pawito, Ph.D
NIP. 195408051985031002
: 2. Drs. Mursito BM, SU
NIP. 195307271980031001
Mengetahui
Ketua Program Studi : Dr. Widodo Muktiyo, SE, M.Com
Ilmu Komunikasi NIP. 196402271988031002
Direktur Program : Prof. Drs. Suranto Tjiptowibisono, MSc. Ph.D
Pascasarjana NIP. 195708210985031004
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
4
PERNYATAAN
Yang bertanda tangan dibawah ini saya:
Nama : Dewanto Putra Fajar
NIM : S220908005
Program Studi : Ilmu Komunikasi
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa tesis yang berjudul ―Komunikasi dan
Konflik Sosial: Studi Tentang Komunikasi dalam Konflik dan Upaya Resolusi
Konflik yang Terjadi Antara Warga Bantaran, di Wilayah Semanggi, dengan
Pemerintah Kota Surakarta Tentang Dana Banjir‖ adalah betul-betul karya saya
sendiri dan belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu
perguruan tinggi. Sepanjang pengetahuan saya, dalam tesis ini tidak terdapat karya
atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang
secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka. Apabila
di kemudian hari ditemukan bahwa peryataan saya tidak benar, saya bersedia
menerima sanksi akademik yang berlaku.
Surakarta, Juli 2010
yang membuat pernyataan
Dewanto Putra Fajar
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
5
KATA MUTIARA
Berusahalah untuk apa yang kau inginkan dan berdoalah untuk apa yang kau
harapakan
(Dewanto Putra Fajar)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
6
PERSEMBAHAN
Tesis ini saya persembahkan untuk:
Kedua orang tuaku
Adik-adikku.
Kekasihku: Anggita Permana Putri
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
7
KATA PENGANTAR
Pada dasarnya konflik merupakan salah satu bentuk komunikasi dan
interaksi sosial yang dimulai dari perbedaan kepentingan, tujuan, atau juga kesalahan
persepsi, dan kegagalan komunikasi yang terjadi antaran dua pihak yang berbeda.
Kasus perselisihan yang terjadi antara pemerintah kota dengan warga bantaran
tentang dana bantuan banjir salah satunya disebabkan oleh kegagalan komunikasi
dan kesalahan persepsi, meskipun hal itu bukan satu-satunya penyebab konfik yang
utama. Secara umum, konflik yang melanda pemerintah kota dan warga bantaran
dapat dikategorikan sebagai konflik berbasis ekonomi, yang secara sederhana
menuntut penyelesaian secara ekonomi pula. Akan tetapi penyelesaian secara
ekonomi menjadi kurang bermanfaat apabila ada satu pihak yang menunda-nunda
pembayaran dana bantuan banjir tersebut, sementara pihak yang lain terus menuntut.
Karena itu komunikasi untuk mencari jalan tengah yang terbaik bagi dua pihak yang
berseteru tampaknya memberikan potensi positif untuk menuju resolusi konflik yang
menguntungkan semua pihak.
Penelitian ini berusaha menggambarkan komunikasi yang digunakan
dalam konflik dan upaya komunikasi menuju resolusi konflik. Komunikasi dalam
konflik sejatinya menjadi satu hal yang penting, karena komunikasi menjadi
semacam alat untuk menghubungkan dua pihak yang saling bertikai. Sementara itu,
komunikasi untuk mencari jalan tengah rupanya juga perlu dilakukan karena
pemerintah kota belum berniat menyelesaikan permasalahan tersebut melalui ranah
ekonomi, sementara warga bantaran terus menuntut hak mereka.
Atas selesainya karya tesis ini, penulis sampaikan banyak terima kasih
kepada Prof. Pawito, Ph.D dan Drs. Mursito BM, SU, sebagai pembimbing yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
8
telah banyak memberikan masukan sumbangan wawasan yang berharga bagi
peneliti. Selain itu peneliti juga tidak lupa menyampaikan terima kasih pada semua
karyawan di program studi komunikasi yang telah banyak memberikan bantuan.
Banyak pihak yang telah memberikan bantuan terhadap selesainya
penelitian ini, yang tidak bisa disebutkan satu per satu. Namun demikian, peneliti
secara pribadi mengucapkan terima kasih kepada kedua orang tua yang telah
mendoakan semua anak-anaknya agar mencapai keberhasilan, teman-teman senasib-
sepenanggungan di Pascasarjana Komunikasi angkatan 2008, terutama Mas Irul,
Lita, dan Eka, yang telah menjadi teman seperjuangan dan banyak memberikan
bantuan kepada peneliti dalam menyelesaikan tesis. Anggita Permana Putri, sebagai
seorang kekasih, yang telah banyak memberikan dukungan moral secara pribadi
dengan ucapan ―Mas Dewan ayo selesaikan tesisnya dulu.‖ atau ―Mas Dewan, adek
yakin Mas Dewan pasti bisa lebih baik dari sekarang.‖. Kepada semua pihak yang
telah banyak membantu penyelesaian tesis ini, peneliti mengucapkan banyak terima
kasih.
Akhirnya, hanya atas kehendak Allah SWT. segala usaha dan daya
penulis dalam penyelesaian penelitian tesis ini bisa terwujud. Sebagai pribadi yang
masih banyak kekurangan dan pengalaman dalam bidang penelitian, penulis terbuka
atas segala kritik dan saran pada karya ini. Semoga karya sederhana ini bisa
bermanfaat bagi diri pribadi penulis dan siapapun yang membaca karya ini.
Surakarta, Agustus 2010
Peneliti
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
9
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ............................................................................................ i
HALAMAN PERSETUJUAN ............................................................................ ii
HALAMAN PENGESAHAN ............................................................................ iii
HALAMAN PERNYATAAN ........................................................................... iv
KATA MUTIARA .............................................................................................. v
PERSEMBAHAN .............................................................................................. vi
KATA PENGANTAR ...................................................................................... vii
DAFTAR ISI ...................................................................................................... ix
DAFTAR BAGAN .......................................................................................... xii
ABSTRAK ...................................................................................................... xiii
ABSTRACT ..................................................................................................... xiv
BAB 1. PENDAHULUAN ................................................................................ 1
A. Latar belakang Masalah .......................................................................... 1
B. Perumusan Masalah ................................................................................ 6
C. Tujuan Penelitian .................................................................................... 7
D. Manfaat Penelitian .................................................................................. 8
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR ...................... 10
A. Tinjauan Pustaka .................................................................................. 10
1. Kajian Tentang Konflik Sosial ...................................................... 10
a. Penyebab Konflik dalam Perspektif Komunikasi .................... 17
b. Tipe dan Sifat Konflik dalam Ilmu Komunikasi ....................... 23
c. Teori-teori yang Digunakan ...................................................... 28
2. Komunikasi, Konflik, dan Kelompok Masyarakat........................ 33
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
10
a. Komunikasi dan Konflik Antarkelompok ................................. 38
b. Komunikasi dalam Beragam Upaya Penghentian Konflik. ..... 46
B. Kerangka Pemikiran ............................................................................. 58
C. Penjelasan Kerangka Pemikiran .......................................................... 59
BAB 3. METODOLOGI PENELITIAN ....................................................... 61
A. Lokasi Penelitian dan Sasaran Penelitian ............................................. 61
B. Bentuk dan Jenis Penelitian .................................................................. 62
C. Jenis dan Sumber Data ......................................................................... 63
D. Teknik Pengumpulan Data ................................................................... 65
E. Teknik Cuplikan (Sampling) ................................................................ 66
F. Pengembangan Validitas ...................................................................... 67
G. Teknik Analisis ..................................................................................... 68
H. Prosedur Kegiatan ............................................................................... 71
BAB 4. TEMUAN DAN ANALISIS DATA ................................................. 73
A. Sekilas Kehidupan Warga Bantaran (Profil Wilayah Penelitian) ......... 73
B. Penyebab Terjadinya Konflik ............................................................... 80
1. Pernyataan-Pernyataan dalam Penyebab Konflik .......................... 80
2. Pola dan Proses Komunikasi dalam Konflik .................................. 94
3. Analisis dalam Penyebab Konflik ................................................ 100
C. Perkembangan dan Eskalasi Konflik ................................................. 107
1. Pernyataan-Pernyataan Awal dalam Eskalasi Konflik ................. 107
2. Pola dan Proses Komunikasi dalam Eskalasi Konflik ................. 120
3. Analisis Tentang Eskalasi Konflik ............................................... 122
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
11
D. Upaya Menuju Resolusi Konflik ...................................................... .132
1. Pernyataan-Pernyataan dalam Upaya Resolusi ............................ 132
2. Analisis Tentang Upaya Resolusi Konflik ................................... 148
E. Aspek Komunikasi pada Konflik dan Resolusi Konflik ................... 161
1. Aspek Komunikasi Penyebab dan Eskalasi Konflik .................... 161
a. Petunjuk Komunikasi pada Penyebab Konflik ...................... 161
b. Aspek Komunikasi pada Penyebab Konflik .......................... 169
c. Petunjuk Tentang Komunikasi pada Eskalasi Konflik ........... 171
d. Aspek Komunikasi pada Eskalasi Konflik ............................. 180
e. Analisis Tentang Aspek Komunikasi
dalam Penyebab dan Eskalasi ................................................ 182
2. Aspek Komunikasi pada Upaya Menuju Resolusi Konflik ........ .189
a. Petunjuk Komunikasi pada Upaya Resolusi Konflik ............. 195
b. Aspek dan Pola Komunikasi pada Upaya Resolusi Konflik .. 199
c. Analisis Tentang Aspek Komunikasi
pada Upaya Resolusi Konflik ................................................ 202
BAB 5. KESIMPULAN ................................................................................ 207
A. Kesimpulan ......................................................................................... 207
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 206
LAMPIRAN
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
12
DAFTAR BAGAN
Bagan 1 : Kerangka Pemikiran ....................................................................... 50
Bagan 2 : Teknik Analisis Data ...................................................................... 62
Bagan 3 : Komponen-komponen Analisis Data .............................................. 69
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
13
ABSTRAK
DEWANTO PUTRA FAJAR, S220908005, KOMUNIKASI DAN KONFLIK
SOSIAL: STUDI TENTANG KOMUNIKASI DALAM KONFLIK DAN UPAYA
RESOLUSI KONFLIK YANG TERJADI ANTARA WARGA BANTARAN, DI
WILAYAH SEMANGGI, DENGAN PEMERINTAH KOTA SURAKARTA
BERKENAAN DENGAN DANA BANJIR, Tesis, Program Studi Ilmu Komunikasi,
Program Pasca Sarjana, Universitas Sebelas Maret, Surakarta, 2010.
Konflik yang terjadi antara warga bantaran dengan pemerintah kota
Surakarta secara sederhana dimulai ketika pemerintah kota menunda pembayaraan
dana bantuan banjir bagi warga bantaran serta menggulirkan program relokasi, untuk
menyikapi banjir yang terjadi di akhir tahun 2007. Proses sosialisasi yang dilakukan
pemerintah kota sebagai satu pengantar menuju program relokasi rupanya membuat
sebagian warga yang tinggal bantaran, terutama yang tinggal di tanah hak milik
(TMH) merasa resah. Proses sosialisasi yang dilakukan pemerintah kota rupanya
memberikan pemahaman ganda, sehingga warga bantaran salah mempersepsikan
pesan yang diterima. Hal itu membuat warga bantaran, yang tinggal di tanah hak
milik (THM), menggulirkan konflik terhadap pemerintah kota.
Pembahasan konflik dalam penelitian ini lebih banyak difokuskan pada
kajikan komunikasi. Namun demikian ilmu sosial lain, seperti sosiologi dan
psikologi digunakan untuk membantu ilmu komunikasi memahami konflik dan
implikasinya. Selain itu tinjauan pustaka dalam penelitian ini berusaha mengamati
konflik melalui aspek penyebab konflik dari perspektif komunikasi, tipe dan sifatnya,
serta beberapa teori komunikasi yang berkaitan dengan konflik dan perselisihan.
Selain itu beberapa implikasi konflik terhadap masyarakat dan kelompok, juga
dibahas dalam tunjauan pustaka.
Penelitian ini pada dasarnya menggunakan metodologi kualitatif dengan
pendekatan studi kasus, karena berusaha menggambarkan dan memahami suatu
kasus tertentu dalam masyarakat. Pendekatan studi kasus memungkinkan penelitian
ini menggambarkan dan menjelaskan kasus tertentu secara lebih baik berdasarkan
struktur yang membentuk suatu fenomena–dalam kasus ini, konflik yang terjadi
antara warga bantaran dan pemerintah kota.
Penelitian ini berusaha menggambarkan proses komunikasi yang terjadi
pada setiap tahapan perselisihan yang ada, pada penyebab konflik, eskalasi konflik,
dan upaya menuju resolusi konflik. Di samping itu, penelitian ini mengurai penyebab
konflik dan aspek komunikasi yang terlibat. Hal yang sama juga dilakukan untuk
memahami proses eskalasi konflik, struktur, dan aspek komunikasi di dalamya.
Bagian paling penting dalam penelitian ini terletak pada penjelasan tentang upaya
menuju resolusi konflik yang dilakukan oleh dua pihak yang saling berseteru, serta
aspek komunikasi yang terjadi pada upaya resolusi konflik, meskipun belum ada
suatu resolusi konflik yang tepat dalam kasus ini.
Jika komunikasi dalam konflik menjadi satu kunci dalam semua proses
interaksi sosial, maka konflik pasti menggunakan proses komunikasi dalam semua
aspeknya. Hal itu membuat komunikasi menjadi satu bagian penting dalam semua
konflik termasuk pada konflik yang terjadi antara pemerintah kota dengan warga
bantaran tersebut.
(Kata Kunci: Konflik Sosial, Komunikasi, Resolusi Konflik, Relokasi dan Bantuan
Banjir).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
14
ABSTRACT
DEWANTO PUTRA FAJAR, S220908005, COMMUNICATION AND SOCIAL
CONFLICT: STUDY ABOUT COMMUNICATION ON CONFLICT AND WAY
TO CONFLICT RESOLUTION WHICH HAPPEN BETWEEN RIVER BANK
SOCEITY, IN SEMANGGI, AGAINST SURAKARTAN CITY GOVERMENT
RELATED WITH FLOOD VICTIMS SUPPORT FUND, Thesis, Communication
Departement, Postgraduate, Sebelas Maret University, 2010.
The conflict which happen between river bank soceity agains Surakartan
city goverment is simplically started when the city goverment delayed the flood
victims support fund for river bank soceity and started the relocation program, to
postured flood which came in end of 2007. The socialisation procces held by the city
goverment as a foreword to relocation program has been make a one part of river
bank resident, especially who live in private property ground (PPG), restless. The
socialisation procces did by the city goverment has give ambiguous understanding,
so the river bank soceity have misperception about that. That situation has been make
the river bank soceity, which live in private property ground (PPG), do conflict
against city goverment.
The Expalanation of conflict in this research more focused in
communication paradigm. Even though, another social sciences, like sociology and
psychology has used to help communication to understanding conflict and all
implications. Beside that, the refernce in this research tries to observe confict from
commnucation conflict source aspect, types and natures, and some communication
theories which related conflict and all aspects. Conflict implications to society and
groups are described in this reference either.
This research basically used qualitative method with case study approach,
due to describe and understand some case in specific soceity. The case study
approach allowed this research explained and described some case better based
structure which build the social phenomena–in this case, conflict which happent
between river bank soceity against city goverment.
This research trying to describe communcation process which happen on
all stages of conflict, such as, source of conflict, conflict escalation, and way to
conflict resolution. Beside that, this research analized conflict structure and
communication aspect which involve. The same method are used to understand
conflict escalation process, structure, and all communiction aspects. The most
important section in this research has located in the expalanation of struggle to
conflict resolution which did by two confrontation parties, and communication aspect
in the struggle to conflict resolution, although not right conflict resolution yet.
When communication on conflict become the key in all procceses of
social interaction, then conflict is certain using the communication procces in all
aspects. That is makes communication became one important process in all conflicts
situation, include the conflict between river bank soceity agains city goverment.
(Keywords: Social Conflict, Communication, Conflict Resolution, Relocation and
Flood Victim Support Fund)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
15
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latarbelakang Masalah
Pada akhir bulan Desember 2007 wilayah eks-karesidenan Surakarta
dilanda hujan deras selama sehari penuh. Hujan deras tersebut rupanya membawa
akibat langsung berupa banjir yang melanda sebagian besar wilayah Surakarta, juga
beberapa bagian di sudut kota Solo, termasuk wilayah Gandekan, Sangkrah, Pasar
Kliwon, dan Semanggi. Pada akhirnya, banjir tersebut membuat wilayah bantaran
Sungai Bengawan Solo tergenang air hingga beberapa meter. Setidaknya sekitar
1.650 rumah di kawasan bantaran Sungai Bengawan Solo terendam dan sekitar 8 ribu
jiwa diungsikan (Radar Solo, 27 Desember 2007: 1). Kejadian tersebut juga terjadi di
kawasan RW 8 Semanggi yang letaknya berdampingan dengan RW 10 dan 11
Joyosuran.
Banjir tersebut rupanya membuat pemerintah pusat dan daerah melakukan
koordinasi serius untuk mengatasi kondisi pascabanjir sekaligus menyalurkan
bantuan bagi para korban. Beberapa hari setelah banjir, Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono mengunjungi Surakarta untuk melihat keadaan korban sekaligus
memberikan bantuan. Kedatangan presiden jelas memberikan harapan bagi para
korban untuk mendapatkan bantuan pascabanjir dari pemerintah pusat, yang biasanya
berupa ganti rugi dan bantuan lainnya. Sementara pemerintah kota Solo menyikapi
bencana banjir tersebut dengan bencana tersebut dengan menganggarkan bantuan
sebanyak 1 miliar yang berasal dari dana tak terduga APBD 2007 (Radar Solo, 28
Desember 2007: 4). Dana tersebut pada awalnya khusus dialokasikan untuk
memperbaiki rumah korban banjir, sebab pascabanjir pasti banyak hunian yang rusak
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
16
(Radar Solo, 28 Desember 2007: 4). Dari sini mulai nampak bahwa sebenarnya
konflik yang terjadi antara masyarakat Semanggi dengan pemerintah kota Surakarta
tidak terjadi begitu saja, tetapi ada beberapa tahapan yang mengawali konflik
tersebut.
Berdasarkan kenyataan tersebut, dapat dikatakan bahwa konflik tersebut
sebenarnya dimulai ketika pemerintah kota menangguhkan pembayaran uang
bantuan banjir yang diberikan oleh pemerintah pusat untuk membatu pembangunan
dan ganti rugi akibat banjir yang melanda Surakarta pada tahun 2007. Penangguhan
pembayaran yang dilakukan pemerintah kota rupanya tetap berlangsung hingga awal
tahun 2009. Keterlambatan pembayaran ganti rugi tersebut membuat masyarakat,
yang tinggal di wilayah bantaran Sungai Bengawan Solo, merasakan ada indikasi
bahwa pemerintah kota merasa kurang serius membayarkan ganti rugi yang
seharusnya menjadi hak masyarakat. Di lain pihak, ada sinyalemen bahwa
pemerintah kota sebenarnya berniat penuh membayarkan uang bantuan banjir
tersebut, namun, karena ada beberapa syarat administratif yang harus dipenuhi oleh
masyarakat, maka pemerintah kota merasa perlu menangguhkan pembayaran uang
tersebut.
Data-data awal penelitian, yang berhasil dikumpulkan, menunjukkan
bahwa perselisihan tersebut tampaknya dipengaruhi oleh perbedaan bentuk-bentuk
penyelesaian ganti rugi berdasarkan status kepemilikan tanah yang dilakukan
pemerintah kota kepada masyarakat. Secara sederhana ada dua tipe kepemilikan
tanah di wilayah Semanggi, yaitu tanah negara (TN) dan tanah hak milik (THM).
Perbedaan bentuk-bentuk status tersebut membuat pemerintah kota membedakan
juga bentuk penyelesaian pemberian bantuan bagi korban banjir, baik itu dalam
bentuk uang, renovasi, atau relokasi. Perbedaan penyelesaian urusan ganti rugi, serta
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
17
tertundanya mekanisme pemberian bantuan bagi masyarakat terutama yang tinggal di
tanah hak milik, memicu terjadinya ketegangan antara warga yang tinggal di
bantaran Sungai Bengawan Solo, khususnya wilayah Semanggi, dengan pemerintah
kota Surakarta.
Di samping itu, kesalahpahaman tersebut tampaknya juga disebabkan
oleh proses komunikasi dan sosialisasi yang kurang menjangkau sasaran atau tidak
sesuai dengan target, sehingga menimbulkan banyak asumsi negatif di masyarakat,
yang tinggal di bantaran Sungai Bengawan Solo, terhadap pemerintah kota
Surakarta. Di samping itu, munculnya jeda waktu sekitar dua tahun, sejak terjadinya
banjir hingga terjadinya permasalahan tersebut, membuat masyarakat yang tinggal di
bantaran sungai merasa bahwa pemerintah kota surakarta tidak begitu serius
melakukan pembayaran uang ganti rugi akibat banjir yang seharusnya menjadi hak
mereka. Di samping itu rupanya pemerintah kota juga mengaitkan program dana
banjir tersebut dengan program relokasi wilayah bantaran Sungai Bengawan Solo,
yang dinilai warga sebagai program yang bertentangan program dana banjir.
Kesalahpahaman tersebut didukung dengan sosialisasi yang kurang tepat dari
pemerintah kota terkait dengan program dana banjir dan relokasi warga bantaran
Sungai Bengawan Solo.
Di lain pihak, kondisi dan aktivitas komunikasi masyarakat yang tinggal
di bantaran Sungai Bengawan Solo, tidak begitu buruk, dalam artian mereka
memiliki suatu forum yang pada dasarnya dikembangkan sebagai upaya untuk
menyelesaikan dan menuntaskan masalah dana banjir tersebut. Forum yang dibentuk
pada akhir tahun 2007, bernama Solidaritas Korban Banjir Bantaran (SKoBB),
berfungsi wadah warga yang tinggal di bantaran Sungai Bengawan Solo untuk
melakukan komunikasi, bertukar pikiran, berembuk, juga melakukan aksi bersama.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
18
Kegiatan komunikasi dalam forum tersebut mulai diwujudkan dalam bentuk tindakan
nyata dan dalam bentuk komunikasi yang lebih luas, yaitu berupa demonstrasi untuk
menuntut pembayaran ganti rugi agar segera dikucurkan. Forum tersebut mengayomi
sekitar 800 orang yang berada di tujuh RT, yang berada di wilayah bataran. Pada
setiap sesinya, pertemuan dalam forum membahas semua permasalahan yang terkait
dengan permasalahan yang ada dalam masyarakat, terutama yang berhubungan
dengan dana bantuan banjir.
Keberadaan forum tersebut dalam masyarakat rupanya memberikan suatu
bentuk kekuatan bagi warga untuk memberikan pesan-pesan ke pemerintah kota
tentang permasalahan dana banjir. Namun demikian bentuk-bentuk komunikasi yang
dilakukan masyarakat dengan cara demonstrasi serta menyampaikan pendapat di
hadapan forum sosialisasi belum membuahkan hasil nyata. Pemerintah kota sendiri
juga belum begitu memberikan perhatian terhadap keberadaan forum masyarakat
tersebut, terutama untuk menyampaikan pesan-pesan tentang bagaimana
permasalahan dana banjir tersebut sebaiknya diselesaikan. Data-data awal
menunjukkan bahwa tindakan komunikasi yang dilakukan pemerintah kota, yang
dianggap kurang tanggap terhadap permasalahan dana banjir, membuat masyarakat
yang tinggal di bantaran Sungai Bengawan Solo membawa permasalahan tersebut ke
pengadilan negeri Surakarta, pada 1 April 2009 (Solo Pos, 2 April 2009: I).
Tentang bentuk komunikasi yang digunakan masyarakat yang tinggal di
bantaran Sungai Bengawan Solo, rupanya lebih banyak terfokus pada upaya
komunikasi kelompok yang ditandai dengan munculnya keputusan bersama untuk
melakukan aktivitas tekanan kepada pemerintah kota terkait bantuan banjir. Bentuk
komunikasi kelompok yang dilakukan oleh warga diwujudkan dalam wujud
demonstrasi untuk menekan pemerintah kota. Hal itu menujukkan bahwa forum
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
19
masyarakat berperan besar dalam proses komunikasi yang dilakukan warga.
Seandainya pemerintah kota lebih banyak menggunakan forum tersebut secara
maksimal untuk sosialisasi dan komunikasi, maka dampak permasalahan dana banjir
tersebut dapat ditekan dan diminimalisasi.
Selain itu, secara sederhana, masyarakat bantaran Sungai Bengawan Solo,
terutama wilayah Semanggi, mungkin menggerakkan konflik melawan pemerintah
kota Surakarta ketika mereka mulai merasakan adanya kebutuhan hidup yang
semakin mendesak. Keadaan tersebut membuat masyarakat yang tinggal di sana
merasa perlu dan berhak untuk mendapatkan bantuan dana banjir tersebut
secepatnya. Dengan tujuan tersebut, masyarakat yang tinggal di bantaran Sungai
Bengawan Solo membentuk perwakilan yang secara umum bertugas untuk membawa
masalah tersebut ke jalur hukum. Tindakan membawa permasalahan tersebut ke jalur
hukum mungkin dirasakan perlu, karena tindakan dan aksi protes biasa mungkin
belum membawa hasil yang pasti. Larry A. Samovar menjelaskan bahwa konflik
sebenarnya bisa disebabkan karena hilangnya kesempatan untuk mendapatkan
keuntungan (Samovar, 2007: 251). Situasi seperti itu menyebabkan terjadinya
ketegangan antara masyarakat yang tinggal di bantaran Sungai Bengawan Solo,
dengan pemerintah kota Surakarta, tampaknya mirip seperti yang dijelaskan oleh
Samovar, karena konflik tersebut sedikit banyak diakibatkan oleh tertundanya
kesempatan warga untuk mendapatkan dana bantuan banjir dari pemerintah.
Penelitian ini sebenarnya berkepentingan untuk mengamati konflik yang
terjadi dan menggambarkan bentuk komunikasi yang terkait dengan konflik tersebut,
termasuk pada penyelesaian konflik atau resolusi konflik, serta implikasinya. Dengan
demikian, penelitian sebenarnya dapat digunakan sebagai referensi untuk mengamati
bagaimana proses komunikasi yang terjadi dalam konflik tersebut pada suatu
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
20
masyarakat tertentu. Dari situ, penelitian ini pada dasarnya juga berusaha melihat
konflik dan keunikan komunikasi yang berhubungan dengan konflik tersebut atau
setidaknya yang digunakan dalam upaya menuju resolusi konflik, secara lebih
mendalam.
Masyarakat yang tinggal di kawasan lain mungkin juga pernah melakukan
dan menggulirkan pertentangan dengan pemerintah kota, terkait permasalahan
bantuan materi, tetapi tidak semua bentuk komunikasi yang menjadi latarbelakang
konflik dengan pemerintah kota, terkait dana bantuan banjir, dapat disamakan
dengan komunikasi konflik di masyarakat lain. Sederhananya, selalu ada keunikan
tersendiri yang terdapat dalam komunikasi yang dilakukan suatu kelompok
masyarakat yang sebenarnya tidak dapat disamaratakan dengan kelompok-kelompok
yang ada di masyarakat lain. Perbedaan dan keunikan komunikasi di suatu kelompok
masyarakat kemungkinan besar membawa pengaruh luas bagi perbedaan-perbedaan
bentuk perselisihan atau konflik serta resolusi konflik. Keunikan-keunikan dalam
kelompok tersebut mungkin sedikit banyak dipengaruhi oleh faktor-faktor
demografis dan kondisi sosial masyarakat yang berbeda-beda antara satu daerah
dengan yang lain
B. Rumusan Masalah
Dari uraian yang dikemukakan dalam latarbelakang masalah, dirumuskan
beberapa masalah yang ingin dicari jawabannya melalui penelitian.
1. Bagaimana sebenarnya gambaran penyebab konflik, serta pola komunikasi dalam
penyebab konflik secara umum, antara warga masyarakat yang tinggal di
bantaran Sungai Bengawan Solo, Surakarta, dengan pemerintah kota?
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
21
2. Bagaimana bentuk eskalasi konflik dan pola komunikasi dalam eskalasi konflik
antara warga bantaran Sungai Bengawan Solo, Surakarta, khususnya yang tinggal
di wilayah Semanggi, dengan pemerintah kota?
3. Bagaimana upaya resolusi konflik yang digunakan oleh warga bantaran Sungai
Bengawan Solo, Surakarta, khususnya yang tinggal di wilayah Semanggi, dengan
pemerintah kota untuk menyelesaikan permasalahan tersebut?
4. Bagaimana sebenarnya komunikasi terlibat pada penyebab dan eskalasi konflik
tentang dana banjir tersebut pada warga Semanggi dan pemerintah kota?
5. Bagaimana upaya komunikasi yang dilakukan masyarakat Semanggi dan
pemerintah kota, terkait untuk mengakhiri konflik tentang dana banjir tersebut?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini secara umum memiliki tujuan untuk mengambarkan dan
menjelaskan konflik yang terjadi antara warga bantaran Sungai Bengawan Solo
dengan pemerintah kota Surakarta, yang dibagi menjadi beberapa rincian, yaitu:
1. Mendapatkan deskripsi detail tentang penyebab konflik serta aspek
komunikasinya yang terjadi antara warga bantaran di Sungai Bengawan Solo,
khusunya di wilayah Semanggi, dengan pemerintah kota.
2. Memperoleh penjelasan yang komprehensif tentang eskalasi konflik dan
komunikasi dalam eskalasi konflik yang terjadi antara warga bantaran Sungai
Bengawan Solo, terutama di wilayah Semanggi, dengan pemerintah kota.
3. Mendapatkan gambaran dan penjelasan secara menyeluruh tentang upaya menuju
resolusi konflik yang dilakukan oleh warga bantaran Sungai Bengawan Solo,
terutama di wilayah Semanggi dengan pemerintah kota, terkait konflik yang
sedang terjadi.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
22
4. Menjelaskan dan menggambarkan aspek komunikasi dalam penyebab konflik
dan eskalasi konflik yang dilakukan warga bantaran Sungai Bengawan Solo,
terutama di wilayah Semanggi, dengan pemerintah kota.
5. Mendapatkan penjelasan yang menyeluruh tentang upaya komunikasi yang
dilakukan masyarakat bantaran Sungai Bengawan Solo, terutama yang tinggal di
wilayah Semanggi, dengan pemerintah kota demi menuju resolusi konflik.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan akan memberikan beberapa manfaat, sesuai
dengan masalah-masalah dan harapan-harapan yang tertuang dalam tujuan penelitian.
Berdasarkan hal itu, maka penelitian ini akan memberikan manfaat dalam beberapa
aspek penting.
1. Berupaya memberikan sumbangan teoritis dalam pengembangan ilmu
komunikasi yang berkaitan dengan konflik dan mungkin juga dalam proses
resolusi konflik.
2. Memberikan landasan serta bantuan teoritis bagi penelitian-penelitian yang
sejenis yang secara umum berguna untuk mengembangkan ilmu-ilmu sosial yang
terkait, khususnya ilmu komunikasi.
3. Penelitian berusaha menjelaskan penyebab terjadinya konflik yang ada di
masyarakat, serta hubungannya dengan aspek komunikasi.
4. Penelitian ini secara umum juga berusaha memberikan pemahaman tentang
semua proses komunikasi yang terjadi dalam konflik dan proses resolusi konflik
tersebut.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
23
5. Sejatinya, penelitian ini diharapkan dapat memberikan penjelasan lebih dalam
tentang konflik dan aspek komunikasi yang melingkupinya, sebagai sebuah
upaya mendapatkan bentuk resolusi konflik yang tepat.
6. Menjadi salah satu bahan acuan untuk penelitian lain, terutama yang berusaha
menyoroti tentang proses komunikasi yang terjadi dalam konflik di masyarakat
secara umum.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
24
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR
A. Tinjauan Pustaka
1. Kajian Tentang Konflik Sosial
Secara garis besar dapat dikatakan bahwa ilmu komunikasi bukanlah
disiplin ilmu yang berdiri sendiri dan bisa dilepaskan disiplin ilmu yang lain seperti
yang terjadi pada ilmu-ilmu eksak. Ilmu komunikasi merupakan ilmu yang berada di
percabangan ilmu-ilmu sosial lain. Stephen W. Littlejohn, mengutip pendapat
Thomas Steller dan David Sholle, menyatakan bahwa komunikasi merupakan cabang
ilmu yang multidispliner (dalam Littlejohn dan Foss, 2005: 3). Karena itu
komunikasi membutuhkan bantuan dari beragam ilmu lain, seperti sosiologi dan
psikologi untuk dapat berkembang lebih jauh. Aspek multidisiplin ilmu komunikasi
terlihat ketika membahas konflik sosial. Karena konflik merupakan bentuk interaksi
sosial yang melibatkan aspek sosiolgis, psikologis dan komunikasi, maka tampaknya
sudah menjadi keharusan jika pembahasan tentang konflik harus dikaji melalui
paradigma ketiga ilmu tersebut. Namun demikian, penelitian ini lebih memfokuskan
kajian komunikasi yang terjadi pada konflik, meskipun masih ada beberapa kajian
dari ilmu sosiologi dan psikologi.
Secara umum konflik merupakan suatu interkasi sosial yang tampaknya
tidak dapat dipisahkan dari kehidupan sosial manusia, sebagaimana fakta bahwa
komunikasi tidak dapat dipisahkan dari konflik dan interaksi sosial manusia. Lee
Raffel, seorang pakar dalam bidang konflik dari Amerika Serikat, rupanya berhasil
menemukan beberapa aspek penting yang sekiranya melatarbelakangi penyebab
konflik secara umum dari aspek mikro, individu. Secara umum Raffel, yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
25
memandang konflik dari kajian ilmu komunikasi, menemukan bahwa latarbelakang
penyebab konflik sebenarnya berasal bentuk-bentuk kegagalan berkomunikasi yang
dapat menyebabkan satu pihak merasa terintimidasi, tertekan, terancam, atau
terpaksa (Raffel, 2008: 37). Sederhananya, Raffel hanya menjelaskan bahwa
komunikasi yang salah dan bentuk-bentuk kegagalan komunikasi menjadi jiwa dari
semua penyebab konflik dalam berbagai tingkatan. Dengan begitu, kita dapat
memahami semua latarbelakang penyebab konflik.
Bentuk dan prinsip kegagalan komunikasi, yang dijelaskan Raffel dan
pada umumnya berperan besar sebagai penyebab konflik, tampaknya masih berkitan
dengan bentuk dan konsep komunikasi secara umum yang melibatkan bentuk-bentuk
pertukaran pesan dari komunikator ke kemunikan. Proses pertukaran pesan tersebut
pada prinsipnya merupakan proses sederhana ketika semua unsur penyusun
komunikasinya tersedia, namun hal itu bisa menjadi proses rumit tatkala unsur
penyusun komunikasi gagal menyampaikan pesan dan meneruskan pesan dengan
baik. Sehingga apabila proses komunikasi tidak dapat berlangsung dengan baik,
maka hal itu dapat dipandang sebagai salah satu bentuk kegagalan komunikasi.
Kajian lebih dalam tentang kegagalan komunikasi diberikan oleh Brian H.
Spitzberg dan William R. Cupach. Kedua pakar komunikasi tersebut menjelaskan
bahwa kegagalan komunikasi tampaknya bisa berasal dari dalam diri individu–
sebagai komunikator atau komunikan–yang disebabkan oleh bentuk-bentuk
komunikasi yang agresif dan komunikasi yang tidak diinginkan sebagai hasil dari
kekacauan kepribadian seseorang yang akan mempengaruhi perkembangan persepsi
seseorang (Spitzberg dan Cupach, 2009: 457). Bagi Spitzberg dan Cupach, peranan
aspek psikologis rupanya bertanggungjawab besar bagi proses kelancaran dan
perkembangan proses komunikasi. Sama seperti yang diajukan oleh Robert A. Baron
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
26
dan Donn Byrne bahwa kondisi psikologis tertentu dapat membuat individu
berkomunikasi dengan orang lain dengan cara yang salah sehingga menyebabkan
orang lain marah (Baron dan Byrne, 2005: 194). Kenyataan tersebut menjelaskan
bagaimana keadaan psikologis mempengaruhi keberhasilan atau kegagalan proses
komunikasi.
Kondisi yang psikologis yang dijelaskan oleh Spitzberg-Cupach dan
Baron-Byrne pada akhirnya berujung pada kenyataan bahwa semua kondisi
psikologis tersebut akan menghasilkan bentuk tindakan fisik dalam bentuk konflik.
Jika kondisi psikologis telah bergerak menjadi bentuk konflik, maka aksi tersebut
tentu akan bertalian dengan bentuk interaksi sosial yang lebih luas. Secara sederhana,
kondisi psikologis tertentu menghasilkan bentuk-bentuk kegagalan komunikasi yang
pada akhirnya dapat memunculkan konflik sosial dalam masyarakat. Dari sini
tampak hubungan yang relatif erat antara kegagalan komunikasi dengan konflik
sosial.
Hubungan tentang komunikasi dengan bentuk interaksi sosial dalam
konflik, secara sederhana diajukan oleh Charles S. Berger. Secara umum ia
menyatakan bahwa sebenarnya komunikasi dan beragam tujuannya berada dalam
wilayah interaksi sosial yang terbentang dalam rutinitas yang unik, yang semakin
besar sepanjang waktu. Sebagai bentuk interaksi sosial maka semua pihak yang
terlibat di dalamnya dapat merasakan hubungan serta pengalaman yang positif dan
negatif (Berger, 2003: 257). Paparan yang diberikan oleh Berger pada dasarnya tidak
lagi membahas tentang peranan sisi psikologis, namun lebih banyak memahami
bagaimana komunikasi berperan dalam interaksi sosial. Karena itu bentuk
pengalaman positif dan negatif yang dijelaskan Berger tampaknya dapat
dihubungkan dengan penyebab konflik.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
27
Bagi Berger (2003), komunikasi tampaknya memainkan peranan penting
bagi semua aspek interaksi sosial, sehingga memunculkan suatu kenyataan bahwa
komunikasi bisa menciptakan bentuk-bentuk pengalaman positif dan negatif. Hal itu
secara tidak langsung menghasilkan perbedaan persepsi tentang masalah tertentu.
Dengan demikian, tampak sebuah hubungan langsung antara komunikasi, konflik,
dan interaksi sosial yang ada di dalamnya.
Bentuk interaksi antarkelompok dari pandangan psikologi sosial diberikan
oleh Nick Hopkins dan Vared Kahani-Hopkins. Keduanya berpendapat bahwa
konsep yang diberikan oleh psikologi sosial menitikberatkan pada bagaimana
hubungan (contact) bisa mengembangkan bentuk-bentuk relasi antarkelompok
(Hopkins dan Kahani-Hopkins, 2006: 245) Lebih detailnya, psikologi sosial juga
mendukung semua bentuk perubahan yang mendorong semua bentuk kondisi untuk
mencapai kesuksesan (Hopkins dan Kahani-Hopkins, 2006: 245). Kondisi yang
dijelaskan oleh Hopkins dan Kahani-Hopkins, serta beberapa pakar lain, sejatinya
menujukkan bahwa aspek psikologi sosial mendukung semua bentuk interaksi yang
bertujuan mengembangkan semua bentuk hubungan dan relasional antarkelompok.
Selain itu, kondisi tersebut menunjukkan bahwa komunikasi, sebagai sarana interaksi
sosial, bisa digunakan sebagai cara untuk mendukung dan mengembangkan interaksi
antarkelompok termasuk dalam konflik.
Pandangan yang diberikan Hopkins dan Kahani-Hopkins (2006) tentang
hubungan antara psikologi sosial dengan interaksi sosial dikuatkan oleh kajian dari
Francisco Gomes de Matos, tentang bahasa serta implikasi yang dihasilkan oleh
penggunaan bahasa dalam interaksi sosial. De Matos menjabarkan bentuk-bentuk
bahasa yang berhubungan dengan konflik yang pada hakekatnya menuju satu bentuk
pemahaman tentang tindakan dalam konflik tersebut. De Matos berhasil menemukan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
28
sekitar tiga belas kata kerja dalam bahasa Inggris yang behubungan dengan konflik,
seperti: abuse (kekerasan), antagonize (perlawanan), attack (serangan), belittle
(kebencian), blow off stream (menghancurkan), hingga stigmatize (melukai), dan
vilify (menundukkan) (De Matos, 2006: 160-161). Semua kata kerja tersebut secara
garis besar menunjukkan konsep-konsep umum tentang perilaku yang biasanya
dilakukan dalam konflik secara umum. Hal itu tampaknya menghubungkan antara
komunikasi dan aktivitas dalam konflik sosial. Penjelasan De Matos (2006) rupanya
dapat menjelaskan bagaimana bentuk aktivitas umum yang biasanya terjadi dalam
konflik sekaligus memberikan pemahaman erat tentang hubungan komunikasi
dengan konflik.
Pendapat dan penjelasan De Matos (2006) tentang bahasa dalam konflik
menujukkan bahwa bentuk aktivitas sosial yang disertai penggunaan kata-kata
tersebut atau tindakan-tindakan sosial yang dijelaskan dapat dijelaskan oleh kata-kata
tersebut, dapat dimasukkan sebagai salah satu indikasi terjadinya konflik. Kenyataan
seperti itu tampaknya menjadi semacam konsensus di masyarakat bahwa konflik,
pertikaian, konfrontasi, dan perselisihan selalu melibatkan bentuk-bentuk kekerasan
atau setidaknya semua bentuk perilaku yang mendukung hal itu. Selain itu, paparan
pakar bahasa di atas tentang bahasa dan konsep bahasa mungkin dapat digunakan
sebagai penjelasan tentang sesuatu yang terjadi di dalam konflik.
Sementara itu, penjelasan tentang konflik secara sosiologi makro
diberikan oleh Susanne Buckley-Ziestel, dari Universitas Berlin. Dalam karyanya,
Buckley-Ziestel lebih banyak menjelaskan bahwa ada kemungkinan konflik sosial
mampu menghancurkan bentuk dan sendi-sendi sosial yang terlah terbentuk. Di
samping itu, hampir semua konfik–termasuk konflik mikro dan makro–biasanya
disebabkan oleh perbedaan dan perselisihan atau bentuk-bentuk ketakutan pribadi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
29
terhadap sesuatu yang menguasai, atau mungkin juga disebabkan oleh bentuk
perselisihan skala besar antara penguasa dan yang dikuasai. Kenyataan itu membuat
penyebab konflik biasanya bersifat multifaset (Buckley-Ziestel, 2008: 13). Di sisi
lain, Buckley-Ziestel sendiri tidak menampik kemungkinan bahwa semua konflik
yang menjadi fokus perhatiannya juga disebabkan oleh bentuk-bentuk perselisihan,
pertentangan yang mungkin dilatarbelakangi oleh sesuatu yang lain. Dalam bukunya
yang berjudul ―Conflict Transformation and The Social Change in Uganda‖,
Buckley-Ziestel tampaknya lebih banyak menjelaskan semua aspek konflik yang
terjadi di Afrika melalui pendekatan politik. Secara sederhana, penjelasan Buckley-
Ziestel mengindikasikan bahwa konflik merupakan salah satu bentuk interkasi sosial
yang melibatkan berbagai macam kajian ilmu sosial, seperti komunikasi dan
sosiologi.
Paparan lebih jauh tentang tindakan dalam konflik secara umum rupanya
diberikan oleh Randall Collins, dari Universitas Pennsylvania, dalam sebuah jurnal
ilmiah. Ia menuliskan dalam salah satu karyanya bahwa bentuk-bentuk penyerangan
merupakan bentuk paling umum yang terjadi dalam konflik terbuka. Banyak bukti-
bukti dan fakta di lapangan yang menujukkan bahwa beberapa kelompok terpecah
dalam beberapa bagian kecil untuk melakukan penyerangan terhadap individu-
individu yang terisolasi. Hal itu membuat bentuk-bentuk kekerasan dalam konflik
ditujukan bagi pihak-pihak yang lemah dan tertekan (Collins, 2009: 11). Dari sini
muncul indikasi yang relatif erat bahwa, bagi sebagian pihak, salah satu cara
menghilangkan penghalang–dalam konflik–hanya dapat dilakukan dengan kekerasan
dan tindakan fisik dari pihak yang kuat menuju pihak yang lemah.
Namun demikian, ada beberapa konflik yang tidak selalu berlangsung
dengan cara kekerasan dan penggunaan kekuatan fisik dan verbal. Jika kita
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
30
perhatikan fakta bahwa salah satu penyebab konflik ialah perbedaan kepentingan dan
kegagalan komunikasi, maka bentuk-bentuk konflik yang terjadi tidak harus selalu
menggunakan tindakan fisik. Dengan begitu, bentuk-bentuk interaksi menggunakan
aspek komunikasi secara keras dengan tekanan psikologis yang tinggi, dan
digunakan dengan cara emosional, juga menjadi indikasi bahwa konflik sedang
berlangsung. Manuel Eisner percaya bahwa konflik berkaitan bentuk-bentuk
kesinambungan pada ranah biologi, psikologi, dan sosial yang kenyataannya bisa
menjadi indikasi terjadinya konflik itu sendiri (Eisner, 2009: 44). Penjabaran yang
diberikan Eisner sebenarnya lebih banyak menyimpulkan bahwa konflik tidak dapat
dilihat dari satu sisi saja, namun harus dilihat dari kerangka holistik atau lebih luas
dan mendalam. Dengan demikian, konflik tidak hanya dapat menggunakan kekerasan
fisik atau verbal, tapi jauh lebih luas dari itu.
Jika kita memasukkan pendapat Eisner untuk memahami konflik, maka
semua bentuk pertentangan dalam jalur apapun dengan beragam tekanan–entah itu
menggunakan kekerasan fisik atau psikologis–dapat dikategorikan sebagai konflik.
Sebetulnya, penjelasan dan kepercayaan Eisner terhadap pengaruh dan kaitan konflik
dengan ranah-ranah tertentu lebih banyak difokuskan untuk memahami penyebab
penggunaan kekerasan terhadap individu lain dalam suatu konflik. Walaupun
demikian, Eisner sendiri tidak menjelaskan bahwa konflik juga dapat terjadi tanpa
kekerasan dan penggunaan kekuatan fisik.
Penjelasan yang diberikan oleh banyak pakar dalam berbagai bidang
yang mendukung kajian komunikasi dalam konflik, tampaknya membawa pada
sebuah muara besar pemahaman bahwa konflik yang terjadi pada kelompok sosial
merupakan bentuk pertentangan yang salah satunya diakibatkan bentuk kegagalan
komunikasi. Hal itu menimbulkan sebuah bentuk pertentangan dan pertikaian yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
31
berhubungan mempengaruhi kondisi biologis, psikologi, dan keadaan sosial manusia.
Karena itu, konflik mampu membawa perubahan besar dalam bidang-bidang tertentu,
terutama dalam bidang sosial. Kebanyakan konflik bisa berlangsung menggunakan
kekerasan fisik dan agresi pihak yang kuat terhadap pihak yang lemah, namun pada
beberapa kasus, konflik juga dapat terjadi tanpa kekerasan.
Penjelasan umum tentang konflik yang diberikan oleh para pakar
komunikasi dan sosiologi di atas membawa pada satu pemahaman yang menjelaskan
konflik sebagai suatu aktivitas sosial yang tidak dapat lepas dari peranan dan
pengaruh komunikasi. Hal itu juga menujukkan bahwa komunikasi menjadi suatu
syarat mutlak bagi konflik untuk menujukkan eksitensinya dalam kehidupan dan
semua bentuk aktivitas sosial. Selain itu, penjelasan dan tinjauan ilmu komunikasi
tentang konflik memberikan suatu sudut pandang baru bahwa sebagai ilmu sosial,
komunikasi turut menjelaskan konflik sebagai suatu interaksi sosial, sama seperti
yang diberikan oleh disiplin ilmu yang lain. Di samping itu, proses komunikasi
rupanya tidak dapat dipisahkan dari semua bentuk aktivitas sosial, termasuk dalam
konflik.
a. Penyebab Konflik dalam Perspektif Komunikasi
Paparan umum tentang konflik di atas membawa pada suatu pemahaman
bahwa konflik merupakan bentuk interaksi sosial yang memiliki penyebab dan
implikasi. Seperti kebanyakan fenomena sosial, konflik juga memiliki tahapan kritis
yang menjadi penyebab sekaligus mengawali kejadian selanjutnya. Seperti
kabanyakan ilmu sosial yang lain, ilmu komunikasi juga memberikan perhatian
tersendiri terhadap permulaan dan terjadinya konflik. Kenyataan tersebut membuat
proses terjadinya konflik dapat dipelajari dengan baik berdasarkan penyebabnya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
32
Berdasarkan hal itu, bagian ini akan lebih difokuskan untuk menjelaskan bagian awal
dari konflik dan menilik penyebab konflik melalui sudut pandang ilmu komunikasi.
Dari sudut pandang komunikasi, konflik merupakan hasil dari
ketimpangan dan gangguan penyampaian proses komunikasi dari sumber pesan
menuju penerima pesan. Linda L. Putnam, dari Universitas California di Santa
Barbara, menyatakan bahwa konflik dapat muncul karena adanya kesalahpahaman,
perbedaan cara dalam menanggapi suatu urusan, hingga bentuk-bentuk perbedaan
tujuan yang hendak dicapai (Putnam, 2009: 211). Lebih lanjut, Putnam juga
menjelaskan bahwa komunikasi membangun konflik melalui cara dan pola interaksi
yang dikembangkan oleh pihak-pihak yang terlibat. Keberadaan pola interaksi
tersebut sebenarnya berkaitan dengan bentuk-bentuk pesan yang disampaikan oleh
satu pihak untuk ditanggapi oleh pihak yang lain (Putnam, 2009: 212). Penjelasan
Putnam memberikan titik terang bahwa konflik sejatinya dapat berhubungan dengan
komunikasi. Perhatikan, peryataan yang menunjukkan bahwa pola interaksi dalam
konflik masih berhubungan dengan bentuk-bentuk penyampaian pesan dari satu
pihak ke pihak yang lain. Dengan begitu, kesalahpahaman dalam menanggapi dan
menafsirkan pesan dapat memunculkan konflik antara pihak-pihak yang terlibat.
Paparan Putnam tentang konflik dapat dianalogikan dengan komunikasi
yang dilakukan oleh dua orang atau sekelompok orang yang saling memberikan
pesan dalam bentuk-bentuk tertentu, namun penerima pesan salah menafsirkan pesan
yang telah diterima. Keadaan tersebut tidak menjadi masalah serius ketika
komunikasi dan kesalahan penafsiran pesan segera diperbaiki, tetapi keadaan
tersebut berpotensi menjadi konflik apabila kesalahan penafsiran pesan terus
berlanjut dan terakumulasi semakin besar. Pada situasi seperti itu, gangguan
komunikasi tampaknya menjadi masalah serius dalam menajamkan dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
33
memperparah konflik akibat kesalahpahaman dalam menerima pesan. Hal itu
menujukkan bahwa konflik dan gangguan komunikasi–dalam bentuk kesalahan
penafsiran pesan–tampaknya memiliki hubungan yang relatif dekat.
Dalam ilmu komunikasi, kesalahan penafsiran dan penerimaan pesan
dapat dikategorikan dalam bentuk-bentuk gangguan proses komunikasi, yang
menghubungkan sumber pesan ke penerima pesan. Karena, gangguan komunikasi
tampaknya memiliki peranan yang relatif besar dalam memunculkan konflik, maka
secara sederhana konflik dalam sudut pandang komunikasi akan lebih banyak
berhubungan dengan gangguan-gangguan seperti itu. Pandangan tentang gangguan
komunikasi diberikan oleh Jurgen Ruesch (1972), Watzlawick, Beavin, dan Jackson
(1967), sebagai para pakar psikologi klinis, memandang gangguan dalam komunikasi
karena munculnya kesalahan dan gangguan mental (dalam Spitzberg dan Cupach,
2009: 455). Pendapat yang diajukan Ruesch memberikan pengertian bahwa
gangguan psikologis berat akan menghalangi proses komunikasi yang terjadi
antarindividu yang pada akhirnya akan menghasilkan kegagalan komunikasi pada
tingkat lanjut. Meskipun situasi yang diberikan Ruesch lebih banyak terfokus pada
gangguan komunikasi karena gangguan mental, namun penjelasan Ruesch (1972)
dan koleganya membuka gambaran besar bahwa gangguan komunikasi–dalam situasi
normal–juga berkaitan dengan gangguan penyampaian pesan dan semacamnya.
Bentuk-bentuk kesalahan dalam penafsiran pesan dan gangguan
komunikasi lain sebenarnya mengacu pada konsep serupa yang dikenal sebagai
kesalahapahaman dan kegagalan komunikasi. Senada dengan Ruesch, Paul R.
Kimmel memandang gangguan komunikasi sebagai bentuk kegagalan komunikasi
atau mungkin kesalahan komunikasi (miscommunication). Bagi Kimmel, kegagalan
komunikasi sebenarnya terletak pada masalah tentang bagaimana menyamakan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
34
persepsi dan pemikiran (mindset) pihak lain dengan pemikiran kita, sehingga kelak
muncul kesulitan untuk menyamakan persepsi (Kimmel, 2006: 629). Kimmel
rupanya memfokuskan pandangan tentang kegagalan dan kesalahan komunikasi
karena perbedaan pemahaman dan pengertian yang ada dalam pikiran satu pihak
dalam proses komunikasi.
Pendapat yang diberikan oleh Kimmel memang lebih berhubungan
dengan situasi sosial budaya, namun sejatinya tidak ada perbedaan serius yang
membedakan komunikasi sosial budaya dengan komunikasi secara umum, selain
perbedaan sifat dan tingkatannya saja. Karena itu pendapat Kimmel tampaknya
masih relevan untuk menjelaskan konflik dalam ranah apapun. Di pihak lain Lee
Raffel juga mengajukan pendapat yang berbeda makna dan konteks dengan yang
diajukan oleh Kimmel (2006). Raffel lebih cenderung mengatakan bahwa konflik
sebenarnya dicetuskan oleh bentuk-bentuk kegagalan komunikasi untuk
menyampaikan pesan tertentu sehingga membuat orang lain terancam, takut, atau
terintimidasi (Raffel, 2008: 37).
Secara sederhana, pandangan Kimmel (2006) dan Raffel (2008) menuju
pada pemahaman bahwa proses penyampaian pesan dalam komunikasi memang
harus dilakukan dengan cara baik sehingga mampu menghindari bentuk-bentuk
kegagalan dan kesalahan komunikasi yang dapat menghasilkan konflik. Pada situasi
ini, ada bagian mendasar yang membedakan pendapat tentang kesalahan komunikasi
sebagai pencetus konflik, yang diberikan oleh para pakar konflik di atas. Ruesch
lebih banyak memandang kegagalan komunikasi sebagai hasil dari gangguan
psikologis manusia, Kimmel (2006) memandang kegagalan komunikasi sebagai
kesalahan persepsi dalam menanggapi pesan, sedangkan Raffel (2008) memandang
kegagalan komunikasi karena isi dan maksud pesan yang memang bersifat negatif.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
35
Meskipun pendapat tiga pakar itu memiliki perbedaan yang sangat fundamental,
namun semua pakar tersebut tampaknya sependapat bahwa kenyataan tentang
kegagalan komunikasi bisa dihasilkan akibat munculnya gangguan dalam proses
komunikasi antarmanusia.
Dari sudut pandang komunikasi, konflik secara definitif tidak banyak
berbeda dengan penjelasan yang diberikan oleh disiplin ilmu sosiologi, yaitu proses
interaksi antarmanusia yang melibatkan pertentangan karena adanya
kesalahpahaman, perbedaan cara dalam menanggapi suatu urusan, hingga bentuk-
bentuk perbedaan tujuan (Putnam, 2009: 211). Penjelasan yang diberikan Putnam
tersebut pada dasarnya menjelaskan bahwa ilmu komunikasi–secara garis besar–
hanya memberikan satu penyebab konflik yaitu kegagalan komunikasi dalam
interaksi antarmanusia. Penelitian dan penjelasan yang diberikan Kimmel (2006) dan
Raffel (2008) tampaknya menguatkan gagasan kegagalan komunikasi sebagai
penyebab konflik.
Namun demikian, ilmu komunikasi tampaknya tidak dapat melepaskan
diri dari pengaruh ilmu sosial yang lain dalam aspek penjelasan tentang konflik dan
penyebab konflik. Pakar konflik di Eurasia, Diarmait Mac Giolla Chríost,
menjelaskan bahwa sederhananya konflik mungkin disebabkan adanya perbedaan
politik yang terjadi pada beberapa kelompok, termasuk perbedaan identitas, ideologi,
hingga persaingan terhadap sumberdaya, sering menjadi penyebab konflik yang
rumit (Chríost, 2003: 152). Bagi Chríost dan mungkin sederet pakar yang lain
menyatakan bahwa perbedaan pandangan politik hingga persaingan terhadap suatu
sumberdaya tampaknya bisa menjadi penyebab konflik yang potensial dalam
kebanyakan masyarakat. Dengan begitu, secara sederhana, kebanyakan konflik besar
bisa disebabkan adanya perbedaan kepentingan serta persaingan terhadap sesuatu.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
36
Beberapa pakar ilmu sosial yang lain sebenarnya memberikan pendapat
yang tidak jauh berbeda dengan yang diberikan Chríost (2003), atau setidaknya
mendukung pernyataan kebanyakan ahli sosiologi tentang konflik. Larry A.
Samovar, meskipun tidak secara langsung menjelaskan apa penyebab dari konflik
antarbudaya, menjelaskan dalam bukunya bahwa dalam kebanyakan kebudayaan
masyarakat dunia mulai dari masyarakat Timur Tengah, Japang, Latin–mengacu
pada masyarakat Amerika Selatan, dan Eropa menganggap bahwa konflik antar
budaya dipicu oleh penerimaan yang berbeda tentang suatu budaya yang ada di
dalam masyarakat tersebut (Samovar, 2007: 349-350).
Penjelasan Samovar menujukkan bahwa adanya penerimaan dan persepsi
yang berbeda tentang suatu budaya menjadi sebuah penyebab konflik yang relatif
potensial. Peryataan Samovar (2007) secara langsung mendukung penjelasan
Clifford Geertz, seorang ahli budaya terkemuka, yang menyatakan bahwa interperasi
budaya terbagi menjadi dua macam bentuk besar, yaitu deskripsi tebal yang
mendeskripsikan praktek budaya dari sudut pandang pelaku budaya sendiri.
Sedangkan deskripsi tipis merupakan bentuk deskripsi yang hanya mendeskripsikan
sedikit sifat dari pelaku budaya tersebut (Geertz dalam Littlejohn, 2005: 310).
Sederhananya, Geertz berusaha menjelasakan bahwa perbedaan persepsi dan
kesalahan penempatan sudut pandang suatu budaya terhadap budaya lain akan
beresiko menimbulkan bentuk-bentuk konflik antarbudaya.
Apabila semua penyebab konflik yang telah dijelaskan pada beberapa
paragraf di atas, disatukan menjadi satu penjelasan besar, maka secara garis besar
ada beberapa penyebab konflik yang dijelaskan oleh disiplin ilmu sosial. Disiplin
ilmu komunikasi tampaknya juga membeberkan penyebab konflik namun tidak
sekomprehensif ranah sosiologi. Ilmu komunikasi pada dasarnya menjelaskkan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
37
bahwa konflik biasanya disebabkan oleh bentuk-bentuk kegagalan komunikasi,
bentuk-bentuk salah pengertian, dan kekeliruan pemahaman. Sementara itu disiplin
ilmu sosologi secara sederhana membagi penyebab konflik menjadi empat bagian
besar. Soerjono Soekanto (2002: 99) rupanya menjelaskan empat penyebab konflik
secara sosiologis dari yang paling sederhana hingga yang paling rumit, yaitu:
Perbedaan antarindividu, Perbedaan kebudayaan, Perbedaan kepentingan, Perubahan
sosial. Pemahaman tentang awal mula dan penyebab konflik menjadi sebuah titik
tolak untuk memahami konflik secara lebih dalam.
b. Tipe dan Sifat Konflik dalam Ilmu Komunikasi
Apabila membicarakan konflik dengan segala implikasinya, maka tipe-
tipe konflik atau jenis-jenis konflik juga harus dikaji sebagai bekal untuk mendalami
dan memahami konflik secara menyeluruh. Disiplin ilmu komunikasi, sebagai bagian
dari ilmu sosial, rupanya juga memberikan kajian khusus tentang bentuk-bentuk
konflik dan sifat-sifat konflik yang biasanya melingkupi interaksi sosial tersebut.
Banyak ahli komunikasi yang membeberkan tentang masalah tipe dan sifat konflik.
Pemahaman yang baik tentang tipe dan sifat konflik menjadi suatu bagian yang tidak
dapat dilepaskan ketika harus mengkaji konflik secara lebih dalam.
Secara khusus ilmu komunikasi juga mengklasifikasikan konflik dalam
beberapa bentuk tertentu, walaupun sebenarnya klasifikasi yang digunakan dalam
ilmu komunikasi tidak sedetail klasifikasi yang diberikan disiplin ilmu yang lain.
Pembagian konflik paling sederhana diberikan oleh dua orang pakar komunikasi dari
Amerika Serikat, Steven A. Beebe dan Susan J. Beebe (2001: 221-222) membagi
konflik menjadi dua kategori besar yaitu, konflik konstruktif dan konflik destruktif.
Konflik konstruktif merupakan bentuk konflik yang memiliki sifat saling kerjasama
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
38
dalam membangun dan mengatasi perbedaan yang ada. Di lain pihak, konflik
destruktif merupakan bentuk konflik yang memiliki sifat merusak dan memperbesar
perbedaan yang ada, sehingga pada akhirnya cenderung tidak bisa diperbaiki.
Klasifikasi konflik yang diberikan Beebe dan Beebe tampaknya lebih cenderung
menggambarkan konflik dari pengaruhnya mengatasi perbedaan dan sifat yang
melekat pada perselisihan tersebut. Hal itu tampaknya membuat penjelasan Beebe
dan Beebe tampaknya sudah cukup mewakili pembagian konflik oleh ilmu
komunikasi secara umum.
Selain itu, Judith N. Martin dan Thomas K. Nakayama, dua orang pakar
komunikasi dari Universitas Arizona, ikut serta mengklasifikasikan konflik
berdasarkan ilmu komunikasi. Meskipun secara umum klasifikasi dari Martin dan
Nakayama berbeda dengan klasifikasi yang diberikan Beebe dan Beebe, namun pada
hakekatnya tetap tidak memiliki perbedaan yang berarti. Martin dan Nakayama
(2003: 381-382) membagi konflik menjadi lima kategori besar. Pertama, konflik
afektif merupakan konflik yang terjadi tatkala individu menyadari bahwa emosi dan
perasaannya menjadi tidak sesuai dengan milik orang lain. Kedua, konflik
kepentingan merupakan bentuk konflik yang menggambarkan situasi orang yang
sedang mengejar tujuan-tujuan yang sama dengan cara-cara yang sangat
bertentangan, sehingga memunculkan ketegangan.
Ketiga, konflik nilai merupakan tipe konflik yang relatif serius karena
melibatkan orang-orang yang berbeda secara ideologis terhadap isu-isu tertentu.
Keempat, konflik kognitif menggambarkan situasi yang melibatkan dua orang yang
memiliki persepsi dan proses yang tidak sebangun. Kelima, konflik tujuan
merupakan konflik yang terjadi karena ketidaksetujuan terhadap tujuan dan hasil
akhir. Martin dan Nakayama (2003) pada dasarnya memberikan pandangan yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
39
relatif luas tentang bagaimana ilmu komunikasi membagi konflik dalam beberapa
bagian tertentu berdasarkan tujuan dan kepentingan pihak-pihak yang terlibat dalam
konflik. Hal itu membuat ilmu komunikasi tampaknya setara dengan ilmu sosial
yang lain dalam menjelaskan klasifikasi konflik.
Paparan lebih lanjut tentang tipe-tipe konflik muncul dari pendapat
Steven A. Beebe dan John T. Masterson. Penjelasan Beebe dan Masterson rupanya
didasarkan pada keterangan yang diberikan ilmuwan komunikasi lain, bernama
Gerald Miller dan Mark Steinberg. Miller dan Steinberg membagi konflik menjadi
tiga tipe utama, yaitu: konflik semu (pseudo-conflict), konflik sederhana (simple
conflict), dan konflik ego (ego conflict). Ketiga konflik tersebut rupanya
diidentifikasi pada bentuk-bentuk kelompok kecil (dalam Beebe dan Masterson,
2003: 260-264).
Lebih lanjut, Miller dan Steiberg (dalam Beebe dan Masterson, 2003:
260-264) mulai menjelaskan tiga tipe konflik tersebut secara lebih dalam. Konflik
semu (pseudo-conflict) merupakan bentuk konflik yang terjadi karena seseorang
pengaruh kesalahpahaman kepada orang lain. Konflik semu (pseudo-conflict)
sebenarnya terjadi antara individu yang pada awalnya setuju, namun, karena
munculnya bentuk-bentuk kesalahan komunikasi, kedua individu tersebut segera
menyatakan tidak setuju. Sementara itu ‗konflik sederhana‘ (simple conflict) pada
dasarnya merupakan bentuk konflik yang terjadi apabila individu atau seseorang
tidak setuju pada isu tertentu. Sederhananya, ‗konflik sederhana‘ terjadi apabila dua
individu tahu apa yang diinginkan orang lain, tapi sayangnya tujuan tersebut tidak
dapat tercapai tanpa menghalangi orang lain mencapai tujuannya. Selanjutnya,
konflik ego (ego conflict) sebenarnya terjadi apabila individu menjadi sangat defensif
karena mereka beranggapan bahwa ada seseorang yang menyerang secara pribadi.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
40
Keadaan seperti ini berkaitan langsung dengan emosi dan rasa pertahanan dalam diri
individu karena bentuk pertahanan orang lain.
Pendapat yang dikutip oleh Beebe dan Masterson (2003) tentang
pembagian konflik merupakan bentuk klasifikasi yang secara garis besar bertumpu
pada komunikasi yang melingkupi konflik tersebut. Perhatikan paparan Beebe dan
Masterson tentang konflik semu, yang lebih banyak mengacu pada aspek komunikasi
yang melingkupi konflik tersebut. Dengan demikian, Beebe dan Masterson (2003)
lebih banyak melihat konflik melalui aspek komunikasi.
Penjelasan tentang klasifikasi jenis konflik atau pembagian konflik
membawa sebuah implikasi tentang pokok kajian baru tentang sifat-sifat konflik
yang masih berkaitan dengan pembagian jenis konflik. Ronald B. Adler dan George
Rodman memberikan pandangan mereka tentang sifat-sifat konflik secara umum.
Penjelasan dua pakar komunikasi tersebut rasanya cukup mewakili pandangan ilmu
komunikasi dalam membahas sifat-sifat konflik. Adler dan Rodman (2006: 236-237)
membagi sifat konflik menjadi empat sifat umum. Pertama, ekspresi perjuangan
merupakan bentuk ekspresi kebencian yang diberikan oleh seseorang karena orang
lain melakukan sesuatu yang tidak sepantasnya. Kedua, merasakan ketidakcocokan
tujuan merupakan sifat konflik yang muncul karena ada pihak-pihak tertentu yang
merasakan munculnya ketidaksesuaian tujuan dengan bentuk tujuan pihak lain,
sehingga pada beberapa kasus tidak ada bentuk penyelesaian yang tersedia. Ketiga,
merasakan hadiah yang sangat langka merupakan bentuk sifat konflik yang
membuat pihak-pihak yang terlibat merasakan adanya hadiah yang akan mereka
dapatkan jika memenangkan konflik tersebut. Keempat, saling ketergantungan
menjadi sifat konflik yang membuat pihak-pihak yang bertikai merasakan adanya
perasaan saling tergantung dan saling membutuhkan. Keempat sifat konflik yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
41
dijelaskan Adler dan Rodman (2006) sebenarnya merupakan sifat umum yang
biasanya ditemukan dalam hampir semua konflik di semua ranah sosial.
Perhatian tentang sifat dan karakteristik konflik juga diberikan oleh Miall.
Karakteristik konflik yang diajukan oleh Miall digunakan oleh Celina Del Felice,
dari Universitas Radboud, untuk mengamati dan menerangkan konflik yang terjadi di
Argentina. Secara umum Miall (2004) membagi karaketeristik konflik menjadi tiga
sifat yang spesifik (dalam Del Felice 2008: 76). Pertama, konflik biasanya bersifat
asimetris terutama yang berhubungan dengan kekuatan dan status. Kedua, bentuk-
bentuk konflik yang ada biasanya diperpanjang, sehingga digambarkan dalam bentuk
siklus atau lonceng. Ketiga, bentuk-bentuk konflik yang diperpanjang biasanya
mengganggu sisi kemasyarakatan secara lokal dan global. Tiga karakteristik konflik
yang dikembangkan oleh Miall dan dijabarkan oleh Del Felice (2008) seakan
membuka kenyataan bahwa memang pada pada beberapa kasus ada pihak-pihak
tertentu yang sengaja mengulur-ulur waktu penyelesaian konflik dengan kepentingan
tertentu. Selain itu, Miall rupanya juga mengajukan pendapat tentang karakteristik
konflik yang agak serupa dengan pendapat Adler dan Rodman bahwa konflik
memiliki sifat dasar yang berhubungan dengan ‗ketidaksesuaian‘.
Tipe-tipe konflik dan sifat-sifat konflik yang telah dijelaskan di atas pada
dasarnya menunjukkan bahwa ilmu-ilmu sosial, seperti komunikasi, menaruh
perhatian yang sama terhadap konflik. Keduanya sedikit-banyak menjelaskan bahwa
konflik merupakan bentuk interaksi sosial yang berkaitan dengan aspek sosial
individu dan komunikasi. Karena itu, aspek komunikasi dalam konflik menjadi
perhatian dalam ilmu komunikasi. Meskipun terkadang tidak ada batasan yang jelas
di dalam ilmu-ilmu sosial, seperti ilmu komunikasi, dalam memandang konflik.
Keadaan seperti ini menunjukkan bahwa komunikasi berusaha keras memberikan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
42
pandangan tentang konflik sebagai bentuk interaksi sosial dan komunikasi yang
terjadi dalam masyarakat.
c. Teori-teori yang Digunakan
Pembahasan tentang teori-teori konflik tampaknya tidak dapat dipisahkan
dari semua kajian tentang konflik. Keberadaan teori-teori konflik pada bagian ini
sebenarnya hanya digunakan layaknya sekop untuk menggali pemahaman dan alat
untuk menganalisis fenomena tertentu, termasuk konflik. Karena itu, bagian
pembahasan tentang teori konflik merupakan bagian yang relatif penting untuk
memberikan gambaran, pandangan, dan analisis terhadap semua peritiwa yang ada.
Karena itu pandangan tentang konflik kelompok atau konflik antarkelompok
setidaknya harus dibahas melalui teori dari berbagai perspektif ilmu, seperti
psikologi, komunikasi, dan mungkin juga sosiologi, agar mendapatkan pandangan
yang lebih dalam dan komprehensif.
Teori Pelanggaran Harapan (Expectancy Violation Theory), yang
dikembangkan oleh Burgoon (1978), tampaknya dapat digunakan untuk memahami
konflik yang sedang terjadi antara warga bantaran dengan pemerintah kota. Teori
Pelanggaran Harapan pada dasarnya memberikan pemahaman tentang munculnya
jarak atau kerenggangan hubungan (spatial) jika dalam hubungan tersebut ada suatu
harapan yang dilanggar oleh pihak tertentu (dalam Anderson, 2009: 41). Pemahaman
yang dibawa oleh teori tersebut memberikan penjelasan bahwa konflik sebenarnya
dapat muncul dari adanya kerenggangan hubungan atau munculnya jarak tertentu
(spatial), karena ada suatu harapan yang dilanggar. Secara sederhana, teori tersebut
menjelaskan bahwa kekecewaan pihak pertama terjadi jika ada pihak kedua atau
pihak lain yang mengingkari janjinya serta melanggar haparan yang telah dibangun
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
43
pihak pertama. Kondisi tersebut dapat menjadi salah satu faktor yang mendorong
terjadinya konflik.
Teori lain yang mungkin dapat digunakan untuk menjelaskan konflik
yang terjadi antara warga bantaran dan pemerintah kota ialah Teori Ketergantungan
(Interdependence Theory) yang dikembangkan oleh Thibaut dan Kelley (1959).
Teori tersebut tampaknya bisa digunakan untuk menganalisis situasi eskalasi konflik
tersebut. Secara umum Teori Ketergantungan menjelaskan bahwa individu bisa
membuat penilaian terhadap suatu hubungan dengan individu lain berdasarkan dua
kondisi tertentu. Pertama, ada derajat kepercayaan terentu yang seharusnya diberikan
kepada yang berhak, dari seorang teman atau mitra dekatnya. Kedua, derajat
kepercayaan yang diberikan oleh teman atau mitra dekat harus menghasilkan sesuatu
yang melampaui semua hal yang dapat diberikan orang lain (Simpson, Fletcher, dan
Campbell, 2003: 87). Jika kita masukkan semua fakta tentang konflik dan
eskalasinya ke dalam Teori Ketergantungan maka akan dihasilkan suatu bentuk
keterikatan antara semua fakta atau konstruk yang ada.
Teori Ketergantungan rupanya berkaitan dengan bagaimana suatu pihak
saling membutuhkan pihak lain untuk melaksanakan kepentingan mereka masing-
masing. Hal itu terlihat dari asumsi dasar yang dibawa oleh tersebut bahwa ada
derajat kepercayaan yang diberikan oleh pihak lain yang biasanya saling membangun
kepercayaan. Hal itu sebenarnya bisa terjadi juga dalam konflik dan semua hubungan
yang berada dalam ranah interpersonal. Caryl E. Rusbult, Ximena B. Arriaga, dan
Christopher R. Agnew menjelaskan bahwa ketergantungan rupanya membentuk
sutau hubungan interpersonal sekaligus perlengkapan yang menggambarkan pilihan
dan keterbatasan suatu hubungan, menjelaskan tentang kemungkinan, komitmen,
kepercayaan, kekuatan, dan konflik (Rusbult, et al, 2001: 359). Keterangan Rusbult
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
44
dan kawan-kawan (2001) tersebut menunjukkan bahwa ketergantungan yang
dijelaskan dalam teori ketergantungan pada dasarnya memiliki kemampuan untuk
terlibat dalam semua aspek interpersonal termasuk dalam konflik. Dengan demikian,
penjelasan Rusbult dan koleganya (2001) tampaknya membenarkan semua asumsi
dasar yang menyusun Teori Ketergantungan.
Selain Teori Ketergantungan yang dijelaskan di atas, Teori Hubungan
Dialektik (Dialectics Theory of Relationship) mungkin dapat menjadi batu pijakan
selanjutnya untuk membahas permasalahan tentang konflik kelompok dan konflik
antarkelompok. Teori Hubungan Dialektik dikembangkan oleh tiga serangkai Leslie
Baxter, Barbara Montgomery, dan Dawn Braithwaite. Secara umum teori teori ini
terfokus pada bentuk-bentuk manajemen kerenggangan yang biasanya muncul pada
hubungan antarmanusia sehari-hari. Dengan demikian teori ini berasumsi bahwa
hubungan sebenarnya tidak bergerak dalam garis lurus semata namun bergerak
berubah-ubah sesuai dengan kondisi yang ada, sehingga membuat munculnya
bentuk-bentuk kontradiksi yang mendasar pada bentuk hubungan tertentu,
komunikasi berusaha mengurangi bentuk kontradiksi tersebut (Norwood dan Duck,
2009: 318; Littlejohn dan Foss, 2005).
Jika Teori Hubungan Dialektis dilihat melalui pandangan awam, maka
teori tersebut tampak sederhana. Teori Hubungan Dialektis sebenarnya berusaha
memanfaatkan semaksimal mungkin peranan komunikasi dalam hubungan
antarmanusia untuk mengurangi kerenggangan dan ketengan yang muncul karena
perbedaan tujuan dan pandangan, seperti yang telah dipaparkan Baxter dan
Montgomery (1996). Dari sini tampak bahwa teori yang dikembangkan Baxter dan
koleganya tersebut berusaha mencegah konflik berkembang lebih luas dengan
menggunakan komunikasi yang baik. Meskipun dalam teorinya Baxter tidak
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
45
menyebutkan konflik, namun ia sendiri tidak memungkiri bahwa setiap hubungan
antarmanusia yang bersifat dinamis berkembang selalu diiringi dengan bentuk-
bentuk ketegangan. Sedangkan ketegangan dalam hubungan antarmanusia biasanya
menjadi salah satu faktor pencetus konflik yang paling umum. Dengan demikian,
Teori Hubungan Dialektik dapat diklasifikasikan sebagai teori yang, secara tidak
langsung, membahas konflik dan penyelesaian konflik antarmanusia.
Ada suatu teori yang menjelaskan hubungan dan perilaku suatu kelompok
yang setidaknya bisa digunakan untuk memehami karakteristik kelompok dalam
suatu konflik, dikenal dengan nama Teori Identitas Sosial (Social Identity Theory—
SIT). SIT pertama kali dikembangkan oleh H. Tjafel dan J.C. Turner. Secara umum
SIT berasumsi bahwa proses ketegoriasasi tidak bisa diambil alih secara semena-
mena, tapi harus digunakan sebagai referensi diri, meningkatan persamaan dengan
semua anggota kelompok serta menguatkan perbedaan antara diri sendiri dengan
semua anggota di luar kelompok demi meningkatkan perberdaan (Gallois, et al.
2005: 233). Secara mudah SIT sebenarnya merupakan teori organisasional, dari
disiplin ilmu psikologi sosial, yang membahas dan menjelaskan bahwa semua
anggota dalam suatu organisasi selalu mencari persamaan diri sedangkan mereka
selalu mencari perbedaan dengan anggota di luar kelompok mereka.
Pada dasarnya, asusmsi yang dikembangkan oleh SIT menujukkan bahwa
ketika terjadi bentuk-bentuk konflik antarkelompok, kebanyakan anggota suatu
kelompok terikat oleh rasa solidaritas untuk maju dan melawan kelompok lain yang
dianggap berbeda dan berseberangan dengan tujuan kelompok mereka. Selain itu SIT
memberikan penguatan pada pandangan tentang persamaan identitas diri semua
anggota dalam suatu kelompok sosial, namun membedakan secara jelas dengan
identitas diri yang berada dalam kelompok lain. Dengan demikian SIT tampaknya
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
46
menguatkan perbedaan yang biasanya menjadi penyebab utama konflik
antarkelompok.
Selain semua teori di atas, ada teori yang dapat digunakan untuk
membahas konflik, yang disumbangkan oleh disiplin ilmu sosiologi, yaitu Teori
Ketegangan (Strain Theory). Teori Ketegangan, sebenarnya merupakan salah satu
bentuk teori struktural yang disusun dari beberapa teori khusus namun bergerak
secara sinergis. Teori tersebut tersusun oleh Teori Anomi (Anomie Theory) yang
dikembangkan Robert K. Merton; Teori Subkultur Penyimpangan (Subculture
Delinquent Theory) dari Albert K. Cohen; dan Teori Kesempatan (Opportunity
Theory) yang diajukan oleh Richard A. Cloward dan Lloyd E. Ohlin (dalam
Bartollas, 2007: 429). Meskipun tersusun dari tiga teori besar, Teori Ketegangan
pada dasarnya tidak berbeda dengan teori-teori yang lain. Teori Ketegangan (Strain
Theory) berasumsi bahwa ketegangan sosial muncul karena desakan dan tekanan
lingkungan sekitar terhadap diri pihak tertentu sehingga memunculkan beragam
bentuk penyimpangan demi mendapatkan tujuan tertentu atau sesuatu yang dianggap
lebih baik. Merton (1957), Cohen (1955), Cloward dan Ohlin (1960), secara terpisah
menemukan beragam bentuk tekanan pada satu kelas sosial yang dengan penyebab
yang berbeda-beda namun dengan hasil akhir yang sama, yaitu ketegangan sosial
yang dapat menyebabkan konflik dan penyimpangan perilaku individu (dalam
Bartollas, 2007: 429).
Teori Ketegangan pada awalnya dikembangkan untuk memahami bentuk-
bentuk perilaku menyimpang dalam masyarakat akibat bentuk-bentuk tekanan
lingkungan. Namun demikian, teori ini memiliki lingkup yang relatif luas, karena
ketegangan yang menjadi premis dasar dalam teori tersebut tampaknya berkaitan
dengan faktor-faktor perilaku menyimpang. Hal itu membuat teori tersebut
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
47
tampaknya masih relevan untuk menjelaskan dan memberikan pemahaman tentang
konflik secara struktural. Dengan demikian, Teori Ketegangan dapat bergerak secara
sinergis dengan teori-teori lain atau setidaknya saling mendukung.
Pada akhirnya semua penjelasan dalam tinjauan pustaka ini memberikan
suatu pemahaman bahwa konflik hanyalah suatu proses sosial yang membawa
individu atau masyarakat menuju bentuk-bentuk perubahan dan transformasi.
Konflik bukanlah sesuatu yang berlangsung selamanya tanpa penyelesaian, namun
merupakan sebuah proses yang bisa diselesaikan, meskipun pada hakekatnya konflik
selalu melekat dalam diri individu atau masyarakat. Komunikasi tampaknya menjadi
bagian yang menghubungkan pihak-pihak tertentu dalam konflik sekaligus
memungkinkan semua pihak dapat saling memahami, bertukar pikiran, dan saling
memberikan pandangan masing-masing demi mencapai kesepakatan dan pemahaman
bersama. Sederhananya, konflik tidak dapat dipisahkan dari komunikasi, karena
konflik merupakan bentuk interaksi sosial yang menuntut adanya penyampaian ide,
gagasan, dan pandangan semua pihak yang terlibat. Sehingga konflik dan
penyelesaiannya tidak bisa dipisahkan dari peranan komunikasi.
2. Kelompok Masyarakat, Komunikasi, dan Konflik
Konsep tentang forum secara sederhana mungkin masih berhubungan
dengan konsep tentang kelompok sosial dalam masyarakat. Keduanya memiliki
persamaan dan bentuk aktivitas yang hampir sama. Forum dan kelompok sosial
dibentuk oleh warga dan sekelompok masyarakat yang terikat oleh aspek komunikasi
yang dekat dan rapat. Hal itu membuat forum dan kelompok sosial memiliki bentuk
komunikasi yang hampir mirip atau mungkin sama. Karena itu fokus tentang forum
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
48
komunikasi dalam masyarakat tampaknya harus melibatkan kajian tentang kelompok
sosial dan aspek komunikasi kelompok yang ada di dalamnya.
Penjelasan paling awal tentang konsep kelompok sosial diberikan oleh J.
Kevin Barge. Ia menjelaskan bahwa kelompok sosial diikat oleh aspek komunikasi
antar anggota untuk menopang efektivitas hubungan dan kolaborasi antara anggota
(Barge, 2009: 340). Paparan tersebut menujukkan bahwa komunikasi dalam
kelompok dan forum menjadi bagian paling penting untuk menjaga keterikatan
antaranggota. Dengan begitu, komunikasi yang baik antara anggota kelompok sosial
bisa membuat kelompok sosial atau forum komunikasi menjadi semakin baik dan
solid. Lebih lanjut Barge menjelaskan kelompok seharusnya bisa menciptakan
pemahaman bersama dan persetujuan tentang tujuan kelompok dan semua hal yang
akan dilakukan (Barge, 2009: 342). Bagi Barge, penciptaan keputusan bersama
hanya bisa terjadi dan dilakukan apabila ada komunikasi yang baik dan hubungan
yang baik antar anggota kelompok tersebut.
Komunikasi antara anggota dalam kelompok dan forum masyarakat
rupanya tidak hanya berfungsi sebagai sarana pengikat sekaligus pembuatan
keputusan bersama, tapi juga menujukkan tingkat kemajuan dan soliditas kelompok
masyarakat tersebut. Kenyaataan tersebut didukung oleh pernyataan Joann Keyton
dan Virgina Stallworth bahwa membuat komunikasi yang efektif di antara semua
anggota kelompok dapat menghasilkan suatu kesuksesan semua komponen
kelompok tersebut (Keyton dan Stallworth, 2003: 240). Bagi Keyton dan Stallwoth
komunikasi antara anggota kelompok merupakan syarat bagi suatu kelompok untuk
mencapai kesusksesan. Hal itu menunjukkan bahwa komunikasi dalam kelompok
menjadi sesuatu yang penting untuk mencapai tujuan kelompok tersebut.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
49
Sementara itu pandangan tentang komunikasi kelompok dalam suatu
forum sosial diberikan oleh M. Afzalur Rahim. Rahim menjelaskan bahwa
komunikasi dalam kelompok, atau tepatnya komunikasi antarkelompok, biasanya
dihambat oleh prosedur dan aturan yang berlaku (Rahim, 2001: 166). Pernyataan
Rahim menunjukkan bahwa komunikasi antarkelompok sebenarnya memegang
peranan penting bagi kelompok tersebut untuk mencapai tujuannya, namun
keberadaan aturan dan prosedur di luar kelompok tersebut biasanya menghambat
proses komunikasi antarkelompok tersebut. Dengan begitu, kemungkinan besar,
konflik antarkelompok disebabkan oleh terhambatnya proses komunikasi
antarkelompok tersebut.
Di sisi lain, Buzzanell dan Dohrman mengatakan komunikasi pada
dasarnya bisa menguatkan hubungan sekaligus membangun hubungan dan masa
depan organisasi, serta mengembangkan jaringan dan wilayah kerja (Buzzanell dan
Dohrman, 2009: 338). Perhatikan penjelasan dua pakar tersebut yang mengatakan
komunikasi bisa menguatkan hubungan dan masa depan organisasi. Hal itu
menujukkan bahwa komunikasi memegang peranan besar bagi semua bentuk
hubungan dalam organisasi atau kelompok masyarakat, atau mungkin juga forum
masyarakat serta menjalin hubungan di luar organisasi.
Pandangan yang diberikan Buzzanell dan Dohrman (2009) pada dasarnya
mendukung penjelasan tentang latarbelakang kelompok sosial dan komunikasi yang
ada di dalamnya. Rahim, sebagai pakar komunikasi organisasi, menjelaskan bahwa
semua bentuk kelompok sosial, organisasi, atau bahkan forum masyarakat memiliki
kriteria yang biasanya berhubungan dengan tujuan, interaksi, dan ketergantungan
(Rahim, 2001: 143). Bentuk-bentuk interaksi dan ketergantungan dalam suatu
kelompok sosial hanya bisa diberikan dan dihasilkan oleh keberadaan aspek
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
50
komunikasi di dalamnya. Buzzanell dan Dorhman (2009) pada dasarnya hanya
menjelaskan sesuatu yang berkaitan dengan bentuk ketergantungan dan interaksi
dalam organisasi seperti yang telah dijelaskan Rahim.
Hal itu membuat keberadaaan forum atau kelompok masyarakat secara
langsung berhubungan dengan bentuk komunikasi yang berada di dalam kelompok
tersebut hingga komunikasi ke luar kelompok tersebut. Ikatan komunikasi tersebut
secara langsung mungkin bisa mengikat semua anggota kelompok atau forum
tersebut untuk bersama-sama bergerak dan mewujudkan tujuan mereka. Dengan
demikian, hambatan terhadap proses komunikasi intrakelompok dan proses
komunikasi antarkelompok bisa menghasilkan bentuk-bentuk tekanan dan gesekan
hingga mungkin menghasilkan bentuk-bentuk perselisihan tertentu. Gesekan dan
tekanan dan beragam bentuk perselisihan antarkelompok pada dasarnya masih
berkaitan dengan komunikasi kelompok tersebut dengan kelompok yang lain secara
interpersonal.
Karena komunikasi kelompok masih berhubungan erat dengan
komunikasi interpersonal, maka komunikasi kelompok dalam konflik antarkelompok
juga berhubungan dengan konflik dan komunikasi interpersonal. Hal itu membuat
analisis dan kajian komunikasi interpersonal menjadi penting dalam pembahasan
tentang konflik. Helen Jessup dan Steve Rogerson berpendapat bahwa komunikasi
interpersonal merupakan media primer dalam hubungan hampir semua aktivitas
sosial, karena itu komunikasi interpersonal memberikan dorongan kepada semua
akstivitas sosial tersebut menuju sesuatu yang lebih penting, yaitu menghubungkan
personal dengan lingkungan sosialnya (Jessup dan Rogerson, 2004: 74). Paparan
tersebut menggambarkan betapa pentingnya aspek komunikasi interpersonal sebagai
bentuk komunikasi primer yang dapat membuat individu berinteraksi dengan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
51
lingkungan sosialnya secara langsung. Keterangan Jessup dan Rogerson (2004)
tersebut pada dasarnya mendukung penjelasan yang diberikan oleh Adler dan
Rodman (2006).
Secara garis besar, Adler dan Rodman berpandangan bahwa komunikasi
interpersonal bisa melibatkan banyak nilai-nilai sosial yang berhubungan dengan
kualitas komunikasi interpersonal tersebut, atau lebih dikenal dengan komunikasi
interpersonal kualitatif (Adler dan Rodman, 2006: 189). Lebih lanjut kedua ilmuwan
tersebut menyatakan bahwa komunikasi interpersonal kualitatif bersifat labil karena
perubahan bentuk dan hubungan sosial yang terjadi secara konstan (Adler dan
Rodman, 2006: 197). Keterangan tersebut pada dasarnya merupakan penegasan
bahwa komunikasi interpersonal memang menghubungkan individu dengan
lingkungan sosial yang dinamis, hingga mampu memberikan pengaruh terhadap
bentuk dan kualitas komunikasi dan hubungan interpersonal pihak-pihak tertentu.
Dengan demikian, dapat dijelaskan bahwa konflik, dan mungkin juga konflik antar
kelompok, masih berhubungan dengan bentuk-bentuk dinamika hubungan antara
pihak-pihak tertentu.
Kondisi tersebut jelas menunjukkan pembenaran terhadap Teori
Hubungan Dialektik (Dialectics Theory of Relationship) yang dikembangkan oleh
Baxter dan koleganya yang menerangkan bahwa hubungan antara pihak-pihak
tertentu tidak selamanya berjalan lurus, tapi melewati beragam dinamika dan pasang
surut (Norwood dan Duck, 2009; Littlejohn dan Foss, 2007). Pasang surut dan
dinamika tersebut dapat diartikan sebagai konflik yang melanda suatu hubungan
sosial. Dengan begitu, konflik tersebut menjadi suatu perwujudan dari dinamika
sosial yang melingkupi suatu hubungan antarkelompok sosial. Selain itu kondisi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
52
tersebut menjadi suatu bukti jelas bahwa komunikasi interpersonal menjadi dasar
semua bentuk hubungan konflik yang dikenal secara umum.
Dengan demikian, secara umum suatu kelompok sosial atau forum
masyarakat mengusung fungsi-fungsi tertentu, yaitu fungsi untuk memberikan
kekuatan, penyelesaian masalah, dan fungsi memberikan kenyamanan. Fungsi-fungsi
tersebut memang sebenarnya tidak terjadi begitu saja dan muncul secara tiba-tiba,
namun ada semacam sesuatu yang berperan melahirkannya. Beberapa pakar, seperti
Barge (2009), Keyton dan Stallworth (2003), secara tidak langsung menjelaskan
bahwa komunikasi berada di belakang semua bentuk kelompok sosial, dan forum
masyarakat. Hal itu juga membuktikan bahwa komunikasi berperan penting menjaga
dan merawat semua bentuk keterikatan yang ada di semua kelompok sosial atau
forum masyarakat. Fungsi-fungsi pada kelompok sosial atau forum masyarakat pada
akhirnya memberikan petunjuk awal tentang komunikasi kelompok dan penyelesaian
konflik.
a. Komunikasi dan Konflik Antarkelompok
Kebanyakan ilmuwan komunikasi atau setidaknya para sarjana yang
pernah mempelajari ilmu komunikasi pasti sependapat bahwa proses penyampaian
pesan dari komunikator ke komunikan merupakan inti dari proses komunikasi.
Proses semacam itu, berlaku pada semua ranah komunikasi mulai dari komunikasi
interpersonal, komunikasi kelompok, hingga komunikasi massa. Namun demikian,
ada perbedaan mendasar tentang tujuan dan sifat komunikasi di tiap ranah tersebut.
sebagai contoh, komunikasi kelompok merupakan komunikasi yang melibatkan
bentuk-bentuk pengambilan keputusan dan semua bentuk musyawarah. Selain itu
beberapa bagian dari komunikasi kelompok masih melibatkan bentuk-bentuk
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
53
komunikasi interpersonal (Littlejohn dan Foss, 2005: 11). Karena itu konsep
komunikasi kelompok rupanya berimplikasi terhadap ketergantungan antarindividu
yang menyusun kelompok tersebut.
Seperti yang dijelaskan oleh Keyton dan Stallworth (2003) bahwa
komunikasi menjadi faktor pengikat paling penting dalam suatu kelompok. Hal itu
menunjukkan bahwa komunikasi tidak hanya bertugas sebagai faktor pengikat
semata, tapi juga berperan penting dalam interaksi sosial dalam konflik
antarkelompok. Kenyataan tersebut didukung pandangan Ronald J. Fisher. Ia
berpandangan bahwa konflik yang terjadi pada suatu kelompok tertentu tidak hanya
bisa disebabkan oleh komunikasi dan interaksi yang terkait dengan hubungan
antarkelompok, tapi juga berdasarkan perbedaan yang terjadi dalam hubungannya
dengan kelompok lain, terutama berhubungan dengan kekuatan sosial hingga bentuk-
bentuk ketidakcocokan (Fisher, 2006: 177). Secara sederhana, meskipun Fisher tidak
menyebutkan bahwa komunikasi menjadi faktor utama penyebab ketegangan antar
kelompok, namun ia sendiri tidak menampik bahwa komunikasi tetap memegang
peranan dalam konflik kelompok.
Karena komunikasi kelompok yang secara umum berkaitan dengan
pembuatan keputusan bersama, maka ada satu sisi dari komunikasi kelompok yang
berhubungan dengan interaksi dengan kelompok lain, seperti yang dijelaskan oleh
Fisher tentang komunikasi kelompok dalam konflik. Pada saat itu, komunikasi
kelompok berperan mengubah dan menggerakkan kelompok layaknya satu individu,
karena komunikasi kelompok berhubungan dengan bentuk-bentuk pengambilan
keputusan yang menjadi tujuan utama kelompok tersebut. Kenyataan tersebut seakan
menggambarkan bahwa komunikasi kelompok dalam kaitannya sebagai interaksi
antarkelompok, bisa mengubah perilaku dan sifat-sifat suatu kelompok masyarakat
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
54
menjadi sifat-sifat bagaikan satu individu tunggal. Charles S. Berger menyatakan
bahwa sebenarnya komunikasi dan beragam tujuannya berada dalam wilayah
interaksi sosial yang terbentang dalam rutinitas yang unik, yang semakin besar
sepanjang waktu. Sebagai bentuk interaksi sosial maka semua pihak yang terlibat di
dalamnya dapat merasakan hubungan serta pengalaman yang positif dan negatif
(Berger, 2003: 257).
Bentuk interaksi sosial yang dijelaskan Berger pada dasarnya dapat
digunakan untuk menjelaskan bentuk komunikasi antarkelompok termasuk bentuk
interaksi sosial yang terjadi di dalamnya. Karena Berger memfokuskan pokok
bahasannya pada sisi interaksi sosial, maka komunikasi yang menjadi perhatian
Berger tentu terpusat pada aspek ‗bagaimana komunikasi berguna sebagai media
interaksi sosial‘. hal itu juga membawa implikasi bahwa komunikasi dalam bentuk
komunikasi kelompok dalam proses antarkelompok berfungsi juga sebagai sarana
interaksi sosial seperti yang dijelaskan Berger. Perhatikan keterangan Berger bahwa
komunikasi dalam interaksi sosial berfungsi membentuk pengalaman positif dan
negatif. Secara sederhana paparan tentang pengalaman positif dan negatif, yang
diberikan Berger, sedikit banyak pasti berkaitan dengan aspek konflik yang terjadi
dalam hubungan antarkelompok.
Sementara itu pandangan tentang komunikasi kelompok dengan interaksi
sosial dan komunikasi antarkelompok diberikan oleh Cindy Gallois, Susan McKay,
dan Jeffery Pittam. Ketiga ilmuwan tersebut memaparkan bahwa komunikasi
menjadi pusat pemaknaan dalam suatu organisasi yang dapat membuat semua
anggota suatu organisasi diatur dan diarahkan. Karena itu komunikasi menjadi salah
satu aspek penting dalam organisasi (Gallois et al, 2005: 240). Pernyataan yang
diberikan Gallois dan koleganya menunjukkan bahwa komunikasi dalam suatu
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
55
kelompok dan hubungannya dengan kelompok yang lain merupakan suatu bentuk
interaksi sosial yang penting bagi semua anggota yang tergabung dalam kelompok
tersebut. Lebih lanjut Gallois menjelaskan bahwa komunikasi antarkelompok
kemungkinan besar pasti berkaitan dengan bentuk komunikasi antarbudaya, karena
tiap kelompok memiliki bentuk budaya yang berbeda (Gallois et al, 2005: 239-240).
Dengan demikian, pendapat yang diberikan Gallois dan koleganya lebih banyak
memandang bahwa bentuk komunikasi kelompok, terutama dalam aspek komunikasi
antarkelompok, lebih banyak berhubungan dengan interaksi antarbudaya.
Beragam pandangan yang diberikan oleh para ilmuwan komunikasi
memberikan suatu indikasi bahwa komunikasi memegang peran penting dalam
menghubungkan dan menjadi sarana utama dalam proses interaksi sosial. Selain itu
pengaruh komunikasi yang demikian kuat dalam semua aspek interaksi sosial
membuat hubungan antarkelompok tidak hanya sebatas interaksi sederhana, tapi juga
menjadi bentuk interaksi antarbudaya yang berbeda. Kenyataan seperti itu
menujukkan bahwa komunikasi tampaknya menjadi jiwa dalam semua bentuk
interaksi sosial yang dilakukan suatu kelompok tertentu dengan kelompok lain.
Konsep dan implikasi yang berada di belakang komunikasi tampaknya
sedikit menjelaskan bagaimana peranan komunikasi kelompok dalam suatu
kelompok tertentu. Peranan komunikasi kelompok dalam suatu kelompok sosial atau
mungkin juga forum masyarakat mungkin masih banyak berkaitan dengan
pandangan yang diberikan Littlejohn dan Foss (2005, 11), bahwa komunikasi
kelompok berkaitan dengan pengambilan keputusan. Dengan demikian, komunikasi
yang berlaku pada suatu kelompok tertentu pasti lebih banyak berhubungan dengan
bagaimana keputusan dibuat dan ditentukan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
56
Pembuatan keputusan sebenarnya merupakan istilah yang lebih banyak
menguatkan proses kesimpulan dari semua pilihan yang ada. Hal itu membuat
pembuatan keputusan menjadi salah satu bagian dari proses diskusi dan musyawarah
(Klumpp, 2009: 202). Pendapat yang diberikan Klumpp menujukkan bahwa
pembuatan keputusan berhubungan dengan kelompok dan proses komunikasi yang
terfokus pada satu tujuan tertentu. Karena itu pandangan yang diberikan Klumpp
tentang pembuatan keputusan tampaknya menguatkan paparan dari Hardin (1995:
34-35) tentang komunikasi kelompok untuk menyelesaikan permasalahan yang
menghalangi pencapaian tujuan.
Karena proses pembuatan keputusan berada dalam lingkup
intrakelompok, maka pembuatan keputusan tampaknya masih dipengaruhi peranan
dan aktivitas anggota kelompot tersebut. Hal itu menujukkan ada beberapa hal yang
mempengaruhi proses pembuatan keputusan dalam suatu kelompok. Scott R.Tindale,
Helen M. Meisenhelder, Amanda A. Dykema-Engblade, dan Michael A. Hogg,
menjelaskan peranan dan pendapat pribadi masing-masing anggota pada dasarnya
mempengaruhi pembuatan keputusan secara langsung hingga bentuk-bentuk yang
terjadi setelah keputusan tersebut diambil (Tindale et al, 2001: 6). Bagi Tindale dan
koleganya, pembuatan keputusan yang terjadi di dalam suatu kelompok rupanya
dipengaruhi oleh tindakan dan pendapat yang diberikan oleh semua individu di
dalam kelompok tersebut. Hal itu secara tidak langsung menuntun pada sisi
psikologis individu.
Kondisi psikologis yang sama rupanya juga mempengaruhi bagaimana
semua anggota dalam kelompok berkomunikasi untuk membuat suatu keputusan
bersama. Hal itu secara langsung berhubungan dengan kenyataan bahwa sisi
psikologis mempengaruhi bentuk-bentuk komunikasi yang dilakukan individu,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
57
termasuk komunikasi kelompok untuk pembuatan keputusan. John O. Greene dan
Melanie Morgan menjelaskan bahwa komunikasi melibatkan bentuk-bentuk kognisi
yang pada dasarnya menjadi landasan utama dari proses komunikasi tersebut. Karena
itu kognisi dan pengolahan informasi dalam proses komunikasi berfungsi layaknya
payung yang menunjukkan bahwa indivdu berada dalam keadaan sadar atau tidak
sadar (Greene dan Morgan, 2009: 110).
Berdasarkan penjelasan Greene dan Morgan (2009) dapat dipahami
bahwa pembuatan keputusan dipengaruhi oleh beragam pendapat semua individu
yang ada dalam kelompok tersebut. Sedangkan semua bentuk komunikasi yang
dilakukan individu dalam suatu kelompok tergantung pada sisi psikologis dan
kognitif individu. Hal itu secara tidak langsung menujukkan bahwa sisi psikologis
individu berperan terhadap pembuatan keputusan bersama pada suatu kelompok.
Dengan demikian dapat diketahui pembuatan keputusan yang baik lebih sering
dihasilkan oleh suatu kelompok yang baik pula, begitu juga sebaliknya. Paparan
tersebut menujukkan bahwa pembuatan keputusan dalam suatu kelompok setidaknya
dipengaruhi oleh dua hal penting, yaitu pendapat masing-masing individu sebagai
anggota kelompok dan sisi psikologis tiap-tiap individu tersebut.
Faktor psikologis yang mempengaruhi setiap kelompok dalam aspek
komunikasi kelompok juga memberikan dorongan besar pada bentuk konflik
antarkelompok yang terjadi. Secara sederhana, komunikasi kelompok bisa memicu
benturan-benturan antarkelompok apabila keputusan yang dihasilkan mendorong
bentuk-bentuk tekanan terhadap kelompok lain. Penjelasan tentang hubungan sisi
psikologis dengan bentuk-bentuk komunikasi antarkelompok terhadap konflik
diberikan oleh Penelope Oakes. Ia menjelaskan konflik antarkelompok biasanya
melibatkan latarbelakang pandangan dan dasar psikologi sosial tentang kekerasan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
58
sosial yang biasanya memisahkan konflik sosial manusia dari rasionalitas manusia.
(Oakes, 2001: 16). Keterangan Oakes menunjukkan bahwa secara mendasar konflik
antarkelompok bisa dijelaskan melalui pandangan psikologi sosial tentang bentuk
kekerasan sosial. Hal itu mendukung keterangan Greene dan Morgan (2009) tentang
aspek kognitif dibelakang semua proses komunikasi.
Secara sederhana Oakes berusaha menjelasakan bahwa tujuan yang
dihasilkan dari komunikasi kelompok bisa menghasilkan konflik apabila ada aspek
kognitif dan psikologis yang mendukung kekerasan sosial, yang dilakukan oleh satu
kelompok terhadap kelompok lain. Dengan demikian muncul suatu hubungan yang
jelas antara aspek psikologis dan kognitif dengan komunikasi kelompok dan konflik
antarkelompok. Selain itu paparan yang diberikan Oakes tampaknya menujukkan
peranan komunikasi dalam konflik. Di lain pihak penjelasan tentang peranan
komunikasi dalam suatu konflik ditunjukkan beberapa pakar komunikasi yang
menaruh perhatian besar pada komunikasi, interaksi sosial dan konflik. Sebagai
pakar komunikasi, Dennis S. Gouran berpandangan bahwa komunikasi dan
kemampuan berkomunikasi menjadi bagian yang paling penting. Karena itu
Hollomon dan Hendrick (1972) mengatakan bahwa keputusan yang baik dihasilkan
oleh musyawarah yang baik pula (dalam Gouran, 2003: 836).
Kenyataan seperti itu membuat bentuk konflik antarkelompok secara
tidak langsung mengacu pada upaya dan bentuk perspektif dialogis yang
dikembangkan oleh Robert M. Krauss dan Ezequel Morsella. Krauss dan Morsella
menjelaskan komunikasi sebagai bentuk pencapaian partisipan, yang berarti
komunikasi tergantung pada situasi yang melingkupinya (Krauss dan Morsella, 2009:
153). Jika pernyataan Krauss dan Morsella dihubungkan dengan peranan komunikasi
kelompok dalam konflik seperti yang dijelaskan Gouran (2003), maka dapat
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
59
diketahui bahwa konflik antarkelompok berkaitan dengan komunikasi interpersonal
yang tampaknya berkaitan dengan semua keputusan yang diambil. Dengan begitu
konflik antarkelompok secara sederhana juga menunjukkan sifat-sifat komunikasi
interpersonal hingga membentuk perspektif dialogis antara dua pihak yang bertikai.
Karena komunikasi interpersonal memiliki hubungan yang dekat dengan
bentuk konflik, termasuk konflik antarkelompok, yang notabene berkaitan dengan
aspek komunikasi kelompok, maka komunikasi interpersonal dapat digunakan untuk
menyelesaikan konflik antarkelompok. Ronald J. Fisher tampaknya menjadi salah
satu pakar konflik yang menyadari hal itu. Ia berpandangan bahwa resolusi konflik
dalam konflik antarkelompok melibatkan transformasi dari semua hubungan dan
permasalahan yang dikembangkan oleh pihak-pihak yang akan mengoreksinya dalam
waktu lama. Hal itu membutuhkan derajat rekonsiliasi yang kelak akan mendukung
perdamaian di masa datang (Fisher, 2006: 189). Pandangan Fisher rupanya lebih
banyak menujukkan bahwa penyelesaian konflik antarkelompok seharusnya
dilakukan secara sadar oleh masing-masing kelompok yang bertikai demi menjaga
perdamaian di masa depan. Tanpa keinginan baik untuk menyelesaikan konflik dan
memulai rekonsiliasi maka tidak akan dicapai bentuk penyelesaian yang memadai.
Lebih lanjut Fisher menjelaskan proses rekonsiliasi dan penyelesaian
konflik antarkelompok membutuhkan fasilitator yang memahami bentuk hubungan
yang bisa dibangun di antara semua kelompok yang saling berseteru (Fisher, 2006:
193). Dengan demikian Fisher seakan menjelaskan konflik antar kelompok dapat
diselesaikan melalui bentuk-bentuk mediasi yang mampu menghubungan dan
meminimalisasi perbedaan yang terjadi di antara dua kelompok yang berbeda
tersebut. Penjelasan Fisher tersebut secara sederhana menujukkan bahwa ia tidak
menampik bahwa komunikasi interpersonal dibutuhkan dalam semua aspek konflik,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
60
termasuk dalam penyelesaiannya. Karena itu ia menyatakan bahwa seharusnya ada
fasilitator yang memahami permasalahan yang menjadi sumber konflik secara
interpersonal agar dapat diterapkan dengan pasti dalam penyelesaian konflik.
Hal itu membuat pandangan Fisher (2006) dikuatkan oleh Harold
Abramson dalam sebuah jurnal berjudul ―Selecting Mediators and Representing
Clients in Cross-Cultural Dispute‖. Ia menjelaskan bahwa mediasi bisa membuat
semua pihak yang terkait membentuk suatu forum yang menghalangi semua pihak
untuk tidak mencampuri semua urusan suatu pihak yang telah diupayakan
sebelumnya (Abramson, 2006: 254). Sederhananya, Abramson hendak menjelaskan
bahwa proses mediasi membuat semua pihak, yang terkait dalan suatu konflik, lebih
bersifat solid untuk mengupayakan penyelesaian, sehingga bisa membendung semua
aspek negatif yang berupaya mencampuri proses mediasi tersebut. Di samping itu,
secara tidak langsung Fisher (2006) dan Abramson (2006) berpendapat bahwa
komunikasi interpersonal memegang peranan penting dalam semua bentuk proses
mediasi dan penyelesaian konflik, termasuk konflik antarkelompok. Sejauh ini
setidaknya ada sekitar tujuh bentuk penyelesaian konflik dan resolusi konflik yang
bisa digunakan untuk menyelesaikan konflik di semua ranah sosial.
b. Komunikasi dalam Beragam Upaya Penghentian Konflik
Susane Buckley-Ziestel tampaknya menjadi salah satu sarjana yang
mengategorikan dan membedakan konsep penyelesaian konflik (conflict settlement)
dengan resolusi konflik (conflict resolution), ketika ia mempelajari dan mengamati
konflik-konflik yang terjadi di Afrika. Buckley-Ziestel (2008: 15-17) menjelaskan
‗penyelesaian konflik‘ sebagai bentuk pengakhiran konflik yang mengacu pada
pembuatan situasi yang saling menguntungkan (win-win situation). Sedangkan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
61
‗resolusi konflik‘ lebih bertumpu pada orientasi proses yang yang berada di bawah
penyebab konflik tersebut. Bertumpu pada penjelasan Buckley-Ziestel, dapat
diketahui bahwa pada dasarnya ‗penyelesaian konflik‘ hanya berupaya mencapai
jalan keluar yang saling menguntungkan pihak-pihak yang berseteru. Sementara itu,
‗resolusi konflik‘ merupakan upaya mencari jalan keluar berdasarkan pemahaman
terhadap sumber masalah yang menjadi penyebab konflik. Perbedaan konseptual itu
membawa bentuk dan implikasi berbeda dalam aplikasinya.
Konsep tentang ‗penyelesaian konflik‘ dan ‗resolusi konflik‘ ujung-
ujungnya memberikan beragam tipe penyelesaian dan mekanisme untuk mengakhiri
konflik. Meskipun ‗penyelesaian konflik‘ dan ‗resolusi konflik‘ memiliki perbedaan
secara konseptual, namun upaya dalam mengakhiri konflik tidak banyak memiliki
perbedaan. Kenyataan yang ada menunjukkan bahwa perbedaan paling besar antara
‗penyelesaian konflik‘ dan ‗resolusi konflik‘ hanyalah kedalaman dan pemahaman
terhadap cara mengakhiri konflik yang sedang terjadi. Karena itu, pada beberapa
kasus konsep penyelesaian dan resolusi bisa digunakan secara bersamaan. Keadaan
tersebut membuat tipe atau jenis mekanisme penyelesaian yang ada, tidak banyak
memiliki perbedaan. Bagian ini berusaha menjelaskan beberapa tipe untuk
mengakhiri konflik berdasarkan kategorisasi yang dibuat oleh ilmu-ilmu sosial,
seperti sosiologi dan komunikasi.
Ilmu-ilmu sosial sepertinya sepakat dalam membahas cara dan metode
dalam menghentikan konflik. Ilmu sosiologi dan komunikasi rupanya
mengembangkan beragam tipe cara unutuk mengakhiri konflik. Karena, pada
dasarnya konflik merupakan suatu proses sosial yang tidak bisa lepas dari
komunikasi, maka semua upaya untuk mengakihiri konflik juga memerlukan
komunikasi. Sejauh ini setidaknya ada tujuh bentuk penghentian konflik yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
62
disepakati oleh ilmu-ilmu sosial. Karena itu, subbab ini akan lebih difokuskan pada
pembahasan tujuh konsep penghentian konflik yang telah dikenal termasuk peranan
komunikasi di dalamnya.
Bentuk dan jenis penghapusan konflik yang paling sederhana dikenal
sebagai penghindaran (avoidance). Bentuk penghindaran biasanya terjadi apabila
muncul dua pihak yang memiliki kemampuan untuk memulai konflik, bahkan
bersiap melakukan konflik, karena munculnya perbedaan pemahaman dan
persetujuan. Namun tiba-tiba pihak-pihak tersebut menghindari konflik dan
menempatkan diri pada posisi kompromi untuk menekan semua konflik yang akan
terjadi (Johnson, et al, 2006: 74). Karena itu, penghindaran biasanya dilakukan
dengan cara membatasi interaksi dengan pihak-pihak yang biasanya terlibat dalam
perdebatan (Fry, 2000: 335). Secara sederhana bentuk pengindaran seperti itu terjadi
karena pihak-pihak yang akan bertikai dan memulai konflik secara sadar
menghentikan tindakan mereka dan membatasi semua interaksi yang terjadi agar
konflik-konflik yang merugikan dapat dibatalkan. Selain itu kesadaran dalam diri
masing-masing pihak untuk menekan konflik membuat penghindaran menjadi cara
penghapusan konflik yang relatif sederhana.
Sebagai satu cara penghapusan konflik yang paling sederhana,
penghindaran tidak dapat lepas dari proses komunikasi yang telibat di dalamnya.
Karena penghindaran lebih banyak bertumpu pada usaha untuk membatalkan dan
menghindari konflik, maka dapat dipastikan proses komunikasi yang ada difokuskan
untuk melenyapkan konflik sebelum terjadi. Loretta L. Pecchioni, Kevin B. Wright,
dan Jon F. Nussbaum memaparkan bahwa bentuk ‗penghindaran‘ biasanya
diasosiasikan dengan pencabutan emosional atau bertindak diam (Pecchioni, et al,
2008:143). Penjelasan tersebut setidaknya memberikan gambaran besar bahwa
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
63
pihak-pihak yang akan terlibat konflik rupanya dengan sangaja saling memberikan
pesan-pesan kepada pihak lain untuk menghindari dan menghentikan konflik
sebelum terjadi. Dengan begitu proses komunikasi yang terlibat dalam penghindaran
terfokus pada tujuan utama yaitu membatalkan semua bentuk konflik yang akan
terjadi. Karena penghindaran biasanya hanya menghasilkan situasi tenang pada
pihak-pihak yang akan telibat konflik tanpa menghiraukan masalah yang bisa
menyebabkan konflik, maka penghindaran dapat dimasukkan dalam konsep
‗penyelesaian konflik‘ yang paling sederhana.
Jenis penghapusan konflik yang memiliki tingkatan lebih tinggi dari
‗penghindaran‘ biasanya disebut sebagai koersi (coercion). Douglas P. Fry
menyamakan koersi dengan ‗menolong diri sendiri‘. Lebih lanjut, Fry menjelaskan
koersi sebagai bentuk aksi unilateral yang berfungsi untuk menangani semua keluhan
yang biasanya berkaitan dengan kejahatan dan penderitaan (Fry, 2000: 335).
Pendapat yang diberikan Fry rupanya lebih banyak mengacu pada bentuk koersi
secara umum yang biasanya berhubungan dengan bentuk perbudakan atau
penguasaan satu pihak oleh pihak lain. Namun demikian, dalam perkembangannya,
bentuk koersi dapat juga digunakan sebagai sebuah cara mengakhiri konflik, yaitu
dengan cara memaksa pihak-pihak yang berseteru untuk mau menerima perdamaian
dan penghapusan konflik seperti yang diinginkan oleh pihak ketiga. Soerjono
Soekanto menjelaskan koersi mampu menghentikan konflik dengan menggunakan
paksaan dari pihak ketiga kepada semua pihak yang sedang berseteru (Soekanto,
2002: 76). Keadaan seperti itu menujukkan bahwa konsep tentang koersi yang keras
dan kaku rupanya bisa digunakan untuk mencapai cara yang lebih positif dalam
rangka mengakhiri konflik.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
64
Konsep koersi sebagai cara mengakhiri konflik tidak dapat dilepaskan
dari bentuk dan peranan proses komunikasi. Proses komunikasi yang ada dalam
koersi tampaknya lebih banyak terkonsentrasi pada upaya memaksi pihak-pihak yang
berseteru agar mau menuruti keinginan pihak ketiga. Pada kondisi seperti itu pihak
ketiga pasti memberikan beragam pesan yang memiliki makna dan mampu memaksa
semua pihak untuk tunduk demi mengakhiri konflik yang terjadi. Hal itu dikuatkan
dengan kenyataan bahwa koersi melibatkan bentuk-bentuk komunikasi yang bernada
ancaman dengan bentuk hukuman yang akan dilakukan kepada perilaku pihak-pihak
yang terlibat (Spitzberg dan Cupach, 2009: 460). Sederhananya pihak ketiga yang
melakukan koersi menjadi komunikator yang memberikan beragam pesan yang pada
hakekatnya mengancam semua pihak–komunikan–yang terlibat konflik untuk mau
mengakhiri konflik yang sedang terjadi. Selain itu, peranan orang ketiga yang
dominan membuat koersi lebih kuat untuk mengakhiri konflik dibandingkan dengan
‗penghindaran‘. Bentuk penghapusan konflik melalui koersi sebenarnya dapat
diklasifikasikan dalam konsep ‗penyelesaian konfik‘, karena sama sekali tidak
memperhatikan sumber masalah dalam konflik sebagai dasar mencari jalan keluar.
Peranan orang ketiga dalam upaya menghentikan konflik kembali terjadi
pada arbitrasi (arbitration). Berbeda dengan koersi, arbitrasi memerlukan campur-
tangan orang ketiga yang lebih egaliter dan lunak untuk menghetikan konflik.
Morton Deutsch menjelaskan bahwa arbitasi biasanya digunakan sebagai jalan
terakhir apabila pihak-pihak yang berseteru tidak dapat mencari jalan keluarnya
sendiri. Lebih lanjut, Deustch menjelaskan bahwa semua pihak yang terlibat konflik
harus dengan sadar mau terikat dengan arbitrator sekaligus memberitahukan semua
masalah kepada arbitrator agar dapat mencapai kesepakatan bersama (Deutsch, 2006:
56). Secara sederhana pihak ketiga dalam arbitrasi bertugas menyelesaikan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
65
permasalahan tersebut, karena pada dasarnya kedudukan pihak ketiga lebih tinggi
dibandingkan pihak yang berselisih, dengan begitu semua pihak yang berselisih agar
mau mencapai kesepakatan dan mengakhiri konflik. Keadaan tersebut menujukkan
bahwa pihak ketiga memiliki peranan besar sebagai bagian yang bertugas
mendamaikan dan menghentikan konflik. Hal itu menujukkan peranan pihak ketiga
sebagai arbitrator dalam proses mengakhiri konflik hanya sebatas sebagai fasilitator
yang bertugas memberikan solusi kepada semua pihak yang telibat perseteruan
(Coleman, 2006: 556).
Seperti kebanyakan upaya penyelesaian konflik, arbitrasi juga tidak dapat
sepenuhnya melepaskan diri dari peranan komunikasi untuk mengakhiri konflik.
Sederhananya komunikasi memainkan peranan besar dalam semua upaya mengakhiri
dan menghakhiri konflik. Komunikasi yang terjadi dalam arbitrasi rupanya lebih
banyak didukung oleh pihak ketiga. Apabila pihak ketiga dalam koersi hanya
memberikan pesan-pesan yang bersifat menekan dan memaksa pihak yang berseteru
untuk berdamai, maka dalam arbitrasi pihak ketiga memberikan beragam pesan yang
lebih banyak bersifat lunak, dan egaliter, agar semua pihak yang bertikai bisa
berdamai dengan fasilitator pihak ketiga. Sederhananya, proses komunikasi dalam
arbitrasi pada awalnya didominasi oleh peranan arbitrator demi menyediakan dan
menjembatani proses komunikasi pihak yang berseteru demi mencapai perdamaian.
Situasi tersebut membuat arbitrator harus memahami akar permasalahan dan
penyebab konflik yang terjadi sebelum membantu medapatkan jalan keluar yang baik
bagi semua pihak. Kurangnya pemahaman arbitrator terhadap masalah penyebab
konflik bisa membuat arbitrasi menjadi gagal. Dengan demikian arbitrasi dapat
diklasifikasikan sebagai bentuk ‗resolusi konflik‘.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
66
Mediasi (mediation) pada dasarnya merupakan bentuk perluasan konsep
arbitrasi. Persamaan arbitrasi dan mediasi yang begitu besar rupanya membuat
banyak pakar ilmu sosial selalu mengidentikan kedua ‗resolusi konflik‘ tersebut. Hal
itu dikuatkan oleh kenyataan bahwa mediasi juga membutuhkan campur tangan
pihak ketiga sebagai fasilitator, seperti pada arbitrasi. Pada dasarnya mediasi lebih
banyak berkaitan dengan bentuk pencarian jalan keluar yang lebih berbasis pada sisi
kerjasama, ketimbang situasi menang-kalah, sehingga semua pihak yang telibat
dalam mediasi bersikap aktif dalam mencari jalan keluar yang baik (Kressel, 2006:
727). Hal itu dikuatkan oleh Fox yang menjelaskan bahwa mediasi menjadi inti dari
semua proses yang terjadi dalam resolusi yang terjadi di Amerika selama sekitar tiga
puluh tahun (Fox, 2006: 237). Berdasarkan paparan dari Kressel dan Fox dapat
diketahui bahwa campur tangan pihak ketiga dalam mediasi hanya sebatas
memberikan dorongan, nasehat, serta dukungan, agar semua pihak yang terlibat
dalam konflik bisa aktif mencari jalan keluar. Karena itu, mediasi menjadi bentuk
resolusi konflik yang paling populer dalam upaya menghentikan beragam konflik.
Penjelasan Kressel dan Fox tentang konsep mediasi tampaknya membuat
aspek komunikasi dalam mediasi menjadi cukup rumit. Komunikasi dalam mediasi
rupanya tidak hanya didominasi oleh pihak ketiga, seperti bentuk penghentian
konflik yang lain, tapi semua pihak yang terlibat juga aktif mencari solusi dan jalan
keluar dari konflik tersebut. Mediator dalam proses mediasi biasanya memberikan
beragam pesan kepada semua pihak yang berseteru berupa pemberian pertanyaan,
mengatur interaksi, membuat kesimpulan, hingga memberikan dukungan emosional
bagi pihak-pihak yang terlibat pertikaian (Putnam, 2009: 214). Sementara itu pihak
yang bertikai biasanya saling memberikan pesan yang biasanya bersifat
keingintahuan terhadap penyelesaian masalah yang paling baik. Pada dasarnya
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
67
komunikasi dalam mediasi agak mirip dengan proses komunikasi yang terjadi pada
arbitrasi, namun mediasi lebih banyak membutuhkan peranan dan aktivitas
komunikasi dari semua pihak yang terlibat, untuk menyelesaikan konflik dengan
tepat dan cermat. Kondisi demikian membuat mediasi dapat dikelompokkan sebagai
‗resolusi konflik‘.
Bentuk resolusi konflik tampaknya tidak hanya berhenti pada perananan
pihak ketiga semata, tapi juga bisa merambah masuk ke jalur hukum. Resolusi
konflik yang berhubungan dengan jalur hukum biasa dikenal sebagai adjudikasi
(adjudication) sebagian pakar mengenalnya sebagai ligitasi (ligitation). Namun
demikian, konsep adjudikasi dan ligitasi memiliki banyak persamaan. Sederhananya
adjudikasi terjadi apabila muncul suatu bentuk konflik yang sulit diselesaikan
melalui cara-cara biasa, sehingga membutuhkan hakim untuk memutuskan
permasalahan tersebut, biasanya terjadi dalam konflik menyangkut budaya, hak
asasi, hak anak-anak, dan beragam masalah lain (Lakhani, 2006: 186). Sederhananya
Lakhani berusaha menjelaskan bahwa apabila bentuk penghapusan konflik
konvensional telah menemui kegagalan, maka adjudikasi dapat mengambil alih
upaya penghentian konflik tersebut. Hal itu membuat penggunaan jalur hukum untuk
mengatasi konflik bisa digunakan untuk mengatasi masalah apapun, sehingga dapat
berfungsi luas. Dalam adjudikasi peranan pihak ketiga diambil alih sepenuhnya oleh
pengadilan melalui hakim dan para petugas hukum yang ada di dalamnya.
Proses komunikasi dalam adjudikasi tampaknya tidak semudah proses
komunikasi yang terjadi dalam upaya penghentian konflik yang lain, karena
memerlukan pertimbangan dan pemutusan perkara melalui pengadilan. Kondisi
seperti itu membuat hakim, jaksa, saksi, pengacara, dan semua komponen hukum
mengambil peranan masing-masing untuk memutuskan suatu konflik. Jaksa biasanya
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
68
memberikan pertanyaan, pesan-pesan, serta tuntutan tertentu kepada saksi atau
terdakwa. Sedangkan pengacara umumnya memberikan bentuk pembelaan, beragam
pesan yang bersifat membela, mengajukan pertanyaan, serta melakukan analisis
terhadap masalah tertentu. Sementara itu saksi bertugas memberikan pesan-pesan
yang bertujuan mengatakan sesuatu yang diketahuinya tentang suatu masalah.
Sedangkan hakim memberikan pesan-pesan khusus yang kelak bertujuan
memutuskan keadilan dalam suatu masalah tertentu. Aktivitas komunikasi yang
terjadi antara jaksa, hakim, saksi, pengacara, dan semua komponen hukum dalam
pengadilan membuat pengadilan dapat menyelesaikan semua bentuk konflik rumit
yang tidak dapat diselesaikan dengan cara-cara umum. Hal itu menjadikan bentuk
adjudikasi bagian dari ‗resolusi konflik‘.
Di antara sekian banyak bentuk resolusi konflik, negosiasi (negotiation)
tampaknya merupakan upaya penghentian konflik yang biasanya hanya melibatkan
dua pihak yang pada dasarnya terlibat dalam perselisihan. Sehingga upaya
penghentian dan penghapusan perselisihan hanya diselesaikan oleh dua pihak
semaksimal mungkin tanpa campur tangan pihak ketiga. Karena itu konsep negosiasi
membutuhkan peranan komunikasi secara penuh dari semua pihak demi mencapai
kesepakatan bersama. Jacqueline Nolan-Haley menjelaskan bahwa negosiasi
biasanya mengekspresikan bentuk-bentuk pengungkapan diri yang terjadi di antara
semua pihak yang terlibat di dalamnya (Nolan-Haley, 2006: 283). Negosiasi
tampaknya juga mampu mengungkapkan identitas pihak tertentu yang
mempengaruhi penempatan diri terhadap pihak lain, baik itu dalam sisi nyata atau
imajinasi (Robb, 2004: 126). Paparan-paparan tersebut yang dijelaskan oleh Nolan-
Haley dan Robb tampaknya membuktikan bahwa komunikasi memegang peran
relatif besar, dalam suatu proses negosiasi.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
69
Linda L. Putnam memaparkan bahwa komunkasi dalam proses negosiasi
komunikasi memainkan peran penting dalam mendefinisikan hubungan yang muncul
dalam proses tersebut. lebih lanjut Putnam menjelaskan bahwa semua pihak dalam
proses negosiasi harus rela saling bertukar informasi, khususnya tentang masalah
yang dibahas dalam proses negosiasi tersebut, sehingga muncul bentuk interaksi
yang menyebar (Putnam, 2009: 214). Pada umumnya pesan-pesan dalam negosiasi
ditujuakn kepada semua pihak yang terlibat dalam aktivitas tersebut, isu-isu yang
berkembang di antara mereka, serta munculnya ketergantungan antara semua pihak
yang ada. Dengan begitu, hasil negosiasi tergantung aksi dan komunikasi antara
semua pihak yang terlibat (Ladgerwood, et al, 2006: 457). Hal itu menujukkan
bahwa komunikasi antara pihak-pihak yang terlibat dalam negosiasi menjadi syarat
mutlak keberhasilan proses negosiasi tersebut. Selain itu keberhasilan proses
negosiasi juga terletak pada jalinan interaksi yang muncul antara pihak-pihak yang
terlibat.
Bentuk resolusi konflik yang hampir dapat disamakan dengan negosiasi
ialah dialog (dialogue). Pada dasarnya dialog merupakan bentuk resolusi konflik
yang dijiwai oleh peran komunikasi yang relatif besar. Karena itu konsep dialog
sebagai bagian dari ‗resolusi konflik‘ tampaknya lebih banyak berhubungan dengan
bidang ilmu komunikasi ketimbang sosiologi. Peranan komunikasi dalam dialog
ditujukkan dengan kenyataan bahwa dialog dan debat antara pihak tertentu pada
dasarnya mampu menekankan perubahan komunikasi tentang gagasan dan
rasionalitas menjadi lebih intersubjektif (Cuff, et al, 2005: 323). Dengan demikian
komunikasi dalam dialog mampu mengubah semua gagasan yang bersifat subjektif
agar lebih dapat diterima oleh semua pihak yang terlibat. Sederhananya, dialog
berusaha menyamakan semua persepsi semua pihak yang terlibat konflik yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
70
subjektif, yang biasanya saling bertentangan, agar berubah menjadi persepsi yang
lebih bersifat intersubjektif. Karena itu, dalam konflik, dialog lebih difokuskan agar
semua pihak yang terlibat mau mendengarkan pihak lain agar saling memahami,
demi mencapai hasil yang dikehendaki (Putnam, 2009: 216).
Peran vital komunikasi dalam dialog rupanya terjadi dalam proses yang
terjadi antara pihak-pihak yang berseteru. Karena dialog memininalkan penggunaan
orang ketiga sebagai fasilitator, maka dialog lebih banyak mengandalkan proses
komunikasi yang terjadi antara pihak-pihak yang berseteru agar dapat mencapai jalan
keluar. Hal itu membuat proses komunikasi yang terjadi dalam dialog berfungsi
secara sederhana. Satu pihak memberikan pesan-pesan ke pihak lain berkaitan
dengan upaya menghentikan konflik. Sementara pihak lain memberikan tanggapan
dengan tujuan serupa. Beberapa fasilitator yang mengkin terlibat dalam proses dialog
biasanya memberikan beragam dukungan dan pertanyaan kepada semua pihak yang
telibat perseteruan agar mau menerima pendapat sekaligus menghormati pihak lain
(Putnam, 2009: 217). Keadaan tersebut setidaknya menujukkan bahwa dialog,
sebagai upaya pengentian konflik, harus dimulai dengan kemauan semua pihak yang
terlibat konflik untuk mengakhiri konflik dan mencari jalan keluar.
Paparan panjang-lebar tentang peran komunikasi dalam semua upaya
penghentian konflik membawa suatu pemahaman besar bahwa proses komunikasi
hapir selalu berperan penting dalam upaya penghapusan konflik. Tujuh bentuk
penghentian konflik yang dapat diklasifikasikan dalam ‗penyelesaian konflik‘ dan
‗resolusi konflik‘ pada intinya tidak dapat melepaskan diri dari pengaruh dan peran
komunikasi yang ada di dalamnya. Sebagai suatu proses sosial upaya penghapusan
konflik memerlukan proses komunikasi sebagai sarana penunjang interaksi sosial
yang ada di dalamnya. Kenyataan tersebut membuat tujuh upaya penghapusan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
71
konflik yang telah dijelaskan di atas tidak dapat melepaskan diri dari komunikasi,
karena pada dasarnya ‗penyelesaian konflik‘ dan ‗resolusi konflik‘ juga merupakan
bentuk interaksi sosial.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
72
B. Kerangka Pemikiran
1. Diagram Kerangka Pemikiran
Penelitian ini pada intinya berusaha memahami proses komunikasi yang
terjadi dalam konflik dalam suatu masyarakat. Karena itu berdasarkan latarbelakang
masalah dan kondisi sementara di lapangan dapat dirumuskan bentuk kerangka
pemikiran sebagai berikut:
Permasalahan dana bantuan banjir
dan permasalahan relokasi warga
bantaran
Konflik tentang dana
bantuan banjir dan
relokasi warga bantaran
Pemerintah Kota
Warga Bantaran
(terutama yang tinggal
di THM)
Upaya Resolusi Konflik
Mediasi/Adjudikasi/Ne
gosiasi yang pernah
dilakukan warga
bantaran dengan
pemerintah kota
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
73
2. Penjelasan Kerangka Pemikiran
Konflik yang terjadi antara warga bantaran dengan pemerntah kota
dimulai dengan munculnya isu atau kabar tentang program relokasi yang diberikan
oleh pemerintah kota menyikapi kasus bencana banjir yang terjadi pada akhir tahun
2007. Dalam diagram program relokasi dan penundaan dana banjir tersebut
dihambarkan memberikan garis panah putus-putus menuju konflik tentang dana
bantuan banjir dan relokasi warga bantaran. Garis putus-putus tersebut menujukkan
bahwa program yang dijalankan oleh pemerintah kota tersebut memberikan pengaruh
positif dalam tercetusnya konflik yang terjadi tersebut.
Sementara itu pemerintah kota melakukan semua aspek komunikasi
kepada warga bantaran yang secara langung menjadi penyebab utama dimulainya
konflik tersebut. Proses sosialisasi yang kurang menjangkau sasaran dan munculnya
kesalahan pemahaman terhadap program pemerintah kota pada warga bantaran
menjadi satu faktor penyebab dimulainya konflik tersebut. Dalam diagram, proses
komunikasi yang dilakukan pemerintah kota kepada warga bantaran dalam penyebab
konflik tersebut ditunjukkan dengan garis panah tipis dari kiri ke kanan hingga pada
akhirnya mencapai warga bantaran, terutama yang tinggal di tanah hak milik (THM).
Sedangkan warga bantaran, terutama yang tinggal di tanah hak milik
(THM) menaggapi konflik tersebut dengan meningkatkan eskalasi konflik serta
bentuk tuntutan dan perlawanan terhadap pemerintah kota. Hal itu ditunjukkan
dengan komunikasi yang terjadi pada warga bantaran menuju pemerintah kota.
Dalam diagram, proses komunikasi yang dilakukan warga bantaran dalam eskalasi
konfik ditunjukkan dengan garis panah tebal yang dari kanan ke kiri hingga pada
akhirnya menuju pemerintah kota.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
74
Pada akhirnya, pemerintah kota dan warga bantaran, terutama yang
tinggal di tanah hak milik (THM) berupaya menyelesaikan konflik dengan
melakukan proses komunikasi melalui beragam cara, termasuk menggunakan ranah
hukum, demi mencapai resolusi konflik yang tepat. Namun demikian, hingga saat ini
belum ada resolusi konflik yang tepat yang berhasil menyelesaikan konflik tersebut.
Dalam diagram, kondisi tersebut ditunjukkan dengan garis panah bolak-balik, tebal,
dan putus-putus menuju ke upaya resolusi konflik dan sebaliknya. Garis panah
bolak-balik, tebal, dan putus-putus, menunjukkan bahwa telah terjalin proses
komunikasi dan perspektif dialogis antara pemerintah kota dengan warga bantaran
terkait upaya resolusi konflik, namun belum tercapai suatu kesepakatan dan resolusi
konflik yang tepat.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
75
BAB 3
METODOLOGI PENELITIAN
Bagian metodologi penelitian dimaksudkan untuk memberikan penjelasan
bagaimana proses penelitian dilaksanakan. Dengan tujuan mendapatkan hasil akhir
yang dikehendaki.
A. Lokasi dan Sasaran Penelitian
Secara umum penelitian ini mengambil lokasi di wilayah Semanggi,
Surakarta, khususnya penduduk yang berada di bantaran sungai Bengawan Solo.
Secara administratif wilayah Semanggi, Surakarta berada di bawah pemerintah kota
Surakarta, melalui kecamatan Pasar Kliwon. Daerah Semanggi sebenarnya memiliki
luas wilayah sekitar 10 kilometer persegi dengan spesifikasi lokasi yang berbeda-
beda. Penelitian ini difokuskan pada penduduk Semanggi yang tinggal di wilayah
bantaran Sungai Bengawan Solo, karena penduduk wilayah bantaran sungai tersebut,
terutama yang tinggal di tanah hak milik (THM)–selanjutnya disebut sebagai warga
bantaran–setidaknya terlibat secara aktif dalam konflik dengan pemerintah kota.
Observasi sekilas menunjukkan bahwa warga bantaran, khususnya wilayah semanggi
menggunakan bentuk-bentuk komunikasi dalam konflik dan upaya mencapai resolusi
konflik dengan pemerintah kota Surakarta.
Secara garis besar penelitian ini memiliki sasaran untuk melihat
bagaimana proses konflik terjadi dalam masyarakat, termasuk semua aspek yang
melingkupi konflik yang terjadi pada warga bantaran Sungai Bengawan Solo,
terutama di wilayah Semanggi, dengan pemerintah kota Surakarta. Dengan demikian,
penelitian ini memfokuskan diri untuk melihat lebih dalam proses-proses konflik dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
76
komunikasi yang terjadi di dalam konflik antara warga bantaran Sungai Bengawan
Solo, terutama di wilayah Semanggi, dengan pemerintah kota Surakarta, sekaligus
melihat bagaimana konflik tersebut berlangsung dan sebaiknya diselesaikan.
B. Bentuk dan Jenis Penelitian
Penelitian ini mengambil bentuk kualitatif. Penelitian kualitatif
merupakan penelitian yang bertujuan menggambarkan dan menjelaskan secara rinci
semua aspek yang berhubungan dengan sasaran penelitian (Sutopo, 2006: 179).
Secara umum penelitilian ini merupakan penelitian dasar, atau sebuah penelitian
yang berusaha mengungkap, menggambarkan dan menjelaskan sebuah fenomena
tertentu tanpa berusaha memberikan saran dan evalusi terhadap fenomena tersebut.
Hal itu membuat penelitian ini lebih mengarah pada peneltitian yang menggunakan
studi kasus. Di samping itu, Studi kasus sendiri dijelaskan sebagai studi intensif
tentang suatu kasus tunggal yang bertujuan untuk menyoroti bagian dan kelas yang
lebih besar atau populasi (Gerring, 2007: 20).
Sementara itu, penelitian ini hanya membatasi permasalahannya pada
pengamatan proses konflik dan aspek komunikasinya, terutama yang terjadi pada
warga bantaran Sungai Bengawan Solo, khususnya yang berada di wilayah
Semanggi. Penelitian ini juga berusaha mengamati aspek komunikasi yang terjadi
pada konflik dan upaya menuju resolusi konflik. Karena penelitian ini hanya
menjelaskan, mengamati dan menggambarkan proses konflik, komunikasi dan
penyelesaian konflik yang terjadi pada suatu masyarakat, maka penelitian ini
merupakan penelitian studi kasus tunggal. Pembatasan masalah penelitian yang
hanya akan mengungkapkan proses terjadinya konflik, komunikasi, hingga
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
77
penyelesaian konflik yang sama membuat penelitian ini menjadi sebuah penelitian
yang terpancang pada satu kasus tertentu.
C. Jenis dan Sumber Data
Penelitian ini setidaknya menggunakan data primer, yaitu jenis data yang
dikumpulkan oleh peneliti, yang berasal dari tangan pertama. Penggunaan jenis data
tersebut akan memberikan sumbangan besar bagi penelitian ini, karena jenis data
primer merupakan jenis data yang mencerminkan kondisi asli dari objek penelitian.
Jenis data primer juga akan memberikan jiwa bagi penelitian kualitatif, terutama
yang berkaitan dengan penelitian studi kasus.
Penelitian kualitatif ini berusaha menyoroti konflik yang terjadi dalam
masyarakat pinggiran kota. Objek penelitian tersebut memiliki sifat insidental
sehingga akan menyulitkan peneliti dalam mencari dan mengamati proses terjadinya
konflik dalam masyarakat desa tersebut. Namun demikian ada beberapa sumber data
yang dapat digunakan untuk penelitian ini, walaupun sumber data yang paling
penting dalam penelitian ini tetaplah manusia. Sumber data yang dapat digunakan
dalam penelitian ini, yaitu:
1. Sumber atau informan. Sumber atau informan manjadi sumber data paling
penting dan utama dalam penelitian ini, karena objek penelitian yang berupa
konflik benar-benar objek penelitian yang bersifat insidental. Sumber data
menjadi penting apabila sumber data lain berupa foto atau dokumen tidak bisa
ditemukan.
Penelitian ini akan berusaha mewawancarai beberapa orang yang terkait
dengan konflik yang menjadi objek penelitian ini, Penelitian ini mewawancarai
sebanyak mungkin informan dari berbagai kalangan, mulai dari warga bantaran
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
78
yang terlibat konflik, wartawan, tokoh penting di belakang relokasi, ketua
DPRD, jajaran pemerintah kota yang bertanggungjawab dalam kasus ini,
praktisi hukum professional, warga yang mendukung relokasi, hingga warga
kawasan Semanggi secara umum, yang kurang-lebih berjumlah sebelas orang.
Namun jumlah sumber yang akan diwawancarai tidak dapat ditentukan. Peneliti
akan membatasi jumlah sumber ketika peneliti merasa data yang diperoleh
telah cukup.
2. Peristiwa yang terjadi. Bentuk sumber data berupa peristiwa merupakan
sumber data yang dapat digunakan untuk memperkuat pernyataan masyarakat
yang berupa hasil wawancara. Namun demikian, dalam penelitian ini
peristiwa–konflik dan komunikasi interpersonal untuk menyelesaikannya–atau
sejenisnya tidak akan banyak membantu, karena sumber data berupa peristiwa
penelitian ini merupakan sesuatu yang sangat insidental. Ada kemungkinan
bahwa peristiwa yang menjadi objek penelitian ini telah terjadi atau belum
terjadi. Untuk mengatasi memahami masalah konflik dan komunikasi yang
berlaku, maka informan menjadi sumber data yang sangat penting untuk
mendapatkan gambaran tentang konflik dan komunikasi yang terlibat.
3. Dokumen. Sebagaimana peristiwa, dokumen juga merupakan sumber data
pendukung yang dapat digunakan untuk memperkuat sumber data lainnya.
Akan tetapi, hanya dapat menjadi sumber data apabila yang menjadi objek
penelitian benar-benar terdokumentasi. Apabila objek penelitian tersebut telah
terdokumentasi maka sumber data berupa dokumen akan dapat digunakan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
79
D. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dalam penelitian kualitatif setidaknya terbagi
menjadi beberapa jenis. Teknik pengumpulan data yang paling sering digunakan
dalam penelitian kualitatif, yaitu:
1. Wawancara mendalam (indepth interview). Teknik wawancara mendalam
merupakan sebuah teknik wawancara yang bersifat terbuka dan santai. Sifat
wawancara ini yang lentur dan terbuka memungkinkan untuk menggali data
yang semakin dalam dengan suasana yang santai, sehingga sumber merasa
nyaman dan tidak tegang sehingga, meskipun sumber sendiri tahu bahwa ia
sedang diwawancarai (Irianto dan Bungin, 2001: 108). Ada prosedur tertentu
yang harus dilakukan ketika hendak memulai wawancara mendalam, yaitu:
penentuan tokoh kunci dan situasi yang melingkupnya; penggunaan pedoman
wawancara atau protokol wawancara; peneliti harus mempertimbangkan situasi
dan perilaku pada saat wawancara; peneliti harus mengembangkan makna dari
hasil wawancara; peneliti harus mematuhi semua aturan resmi pada semua
penelitian yang melibatkan manusia (Hancock dan Algozzine, 2006: 39-40).
2. Observasi menjadi sebuah teknik kedua yang paling penting dalam penelitian
kualitatif. Observasi digunakan untuk melengkapi data yang tidak dapat
diambil dari teknik wawancara, sehingga membuat data yang diperoleh dalam
sebuah penelitian akan semakin mantap. Namun demikian, teknik observasi
yang digunakan dalam penelitian ini tidak sepenuhnya dapat diandalkan untuk
mengumpulkan data pendukung, karena objek penelitian yang menjadi fokus
dalam penelitian ini terjadi secara insidental, yang tidak dapat diramalkan
ataupun diperkirakan kejadiannya. Karena itu, penelitian ini menggunakan jenis
observasi non partisipan berperan pasif, yang memungkinkan peneliti
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
80
mengamati suatu peristiwa tertentu tanpa harus terlibat dalam peristiwa
tersebut. Seperti wawancara mendalam, observasi dalam studi kasus juga harus
melalui prosedur tertentu, yaitu: penentuan tentang apa yang harus diobservasi;
penetuan panduan observasi; akses terhadap situasi lingkungan yang harus
diobservasi; peneliti harus mengenali semua peran pribadi yang berakibat bias;
peneliti harus mengikuti semua aturan legal dan resmi (Hancock dan
Algozzine, 2006: 46-47).
3. Analisis dokumen merupakan sebuah teknik pengumpulan data yang terfokus
pada analisis dokumen-dokumen yang terkait dengan objek penelitian. Teknik
tersebut juga menjadi sebuah metode pengumpulan data yang dapat digunakan
dalam penelitian kualitatif. Penelitian ini berusaha melakukan analisis dokumen
berupa informasi dan berita dari beberapa surat kabar lokal yang mengangkat
kasus yang sama dengan subjek penelitian ini. Beberapa informasi dan
dokumen tersebut diperoleh dari beberapa harian lokal seperti, Joglosemar,
Solopos, dan Radar Solo.
E. Teknik Cuplikan (Sampling)
Teknik cuplikan yang digunakan dalam penelitian ini ialah purposive
sampling, hal itu digunakan untuk membantu peneliti yang menggunakan metode
studi kasus untuk menangkap realitas ganda yang tidak dapat ditangkap metode lain,
sekaligus sekaligus menggunakan pendekatan holistik pada lingkungan alami dari
topik penelitian tersebut (Hancock dan Algozzine, 2006: 72). Kondisi tersebut
membuat teknik purposive sampling membantu penelitian studi kasus menangkap
realitas pada kondisi aslinya. Selain itu, teknik purposive sampling menekankan pada
kepemilikan informasi dari sumber tentang suatu topik tertentu yang menjadi fokus
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
81
penelitian ini. Teknik purposive juga digunakan sebagai prosedur untuk menentukan
informan yang hendak memberikan informasinya (Gerring, 2007: 88).
Di antara sekian banyak teknik cuplikan yang termasuk dalam purposive
sampling, penelitian ini setidaknya menggunakan teknik cuplikan snow ball
sampling. Snow ball sampling merupakan teknik cuplikan yang mengalir bagaikan
bola salju yang semakin besar. Teknik ini mengharuskan peneliti menemukan
seorang informan kunci yang dapat menunjukkan informan-informan lain yang lebih
memahami tentang peristiwa yang menjadi objek penelitian (Pawito, 2007: 92).
Namun demikian peneliti akan menutupi kekurangan pada teknik snow ball dengan
observasi untuk menangkap semua fakta dan peristiwa yang terjadi secara insidental.
F. Pengembangan Validitas
Untuk pengembangan validitas penelitian, maka diperlukan sebuah teknik
yang mampu mengkur derajat reliabilitas dari data yang diperoleh dari lapangan.
Trianggulasi merupakan sebuah metode yang tepat untuk mengukur derajat
reliabilitas dari sumber data yang sakan diperoleh. Ada empat macam jenis
trianggulasi yang bisa digunakan dalam sebuah penelitian kualitatif. Pertama,
trianggulasi sumber, digunakan untuk menggali data yang sama melalui sumber-
sumber yang berbeda. Kedua, trianggulasi metode, yaitu suatu metode menggali data
yang sama dengan menggunakan metode pengumpulan data yang berbeda. Ketiga,
trianggulasi peneliti, yaitu jenis reliabilitas yang mengacu pada data yang didapat
dari peneliti yang lain yang telah diuji validitasnya. Keempat, trianggulasi teori,
yaitu cara mencapai reliabilitas dengan cara membandingkan perspektif teori yang
berbeda untuk menjelaskan data-data yang berbeda (Sutopo, 2006: 93-98).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
82
Penelitian ini menggunakan bentuk trianggulasi sumber, yaitu menggali
data yang sama melalui sumber-sumber yang berbeda. Karena sifat dari objek
penelitian ini yang bersifat insidental maka trianggulasi sumber menjadi syarat
mutlak untuk menggali data. Trianggulasi sumber yang akan diterapkan dalam
penelitian ini dilakukan dengan cara menanyakan pertanyaan tentang suatu peristiwa
yang telah terjadi kepada seorang informan, lalu mengulangi pertanyaan yang sama
kepada informan yang berbeda. Dengan demikian maka penelitian ini akan mencapai
tingkat intersubjektivitas yang lebih baik
.
G. Teknik Analisis
Penelitian ini menggunakan teknik analisis Bagan Konteks. Bagan
Konteks merupakan teknik analisis yang berusaha menggambarkan perilaku dan
tindakan masing-masing individu dengan konteks sosialnya dengan cara
memfokuskan pada pernyataan yang diberikan semua narasumber–baik berupa kata-
kata atau perilaku–dengan konteks yang melingkupinya (Miles dan Huberman, 1992:
157). Bagan Konteks berusaha memetakan peranan dan kelompok yang membentuk
perilaku individu (Miles dan Huberman, 1992: 157). Dalam kasus ini, Bagan
Konteks berusaha menggambarkan kasus dan perilaku semua sumber yang terkait
dengan perselisihan tentang dana bantuan banjir, serta melihat bagaimana tanggapan
masing-masing individu yang terlibat dalam perselisihan tersebut, mendukung,
menentang, mendua, atau netral.
Teknik analisis Bagan Konteks dalam penelitian ini dilakukan dengan
cara menganalisis pernyataan yang diberikan oleh sumber untuk melihat perilaku dan
kaitannya dengan konteks dan situasi sosial yang melingkupi individu, khususnya
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
83
dalam konteks perselisihan dana bantuan banjir. Penggambaran kontekstual dalam
kasus tersebut akan digambarkan dalam diagram.
Teknik analisis yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan pola
pikir bersifat induktif yang berarti mengumpulkan hal-hal yang bersifat khusus untuk
menyimpulkan kepada hal-hal yang bersifat umum. Hal ini berbeda dengan
penelitian kuantitatif yang bersifat deduktif yang berarti mengumpulkan hal-hal
untuk menuju kepada hal-hal bersifat khusus. Sehingga pola pikir induktif tidak
Pemerintah Kota secara umum
yang menunda pembayaran, pelaksana relokasi (+)
(+)
Sukasno SH
Ketua DPRD Surakarta (+)
)
Widdi Srihanto
Ketua Bapermas
(+)
Suparno HS
Ketua Pokja Masyarakat
Semanggi (+)
Saryono
Masyarakat yang telah
direlokasi (+)
Penundaan pembayaran
dana bantuan banjir,
pelaksanaan relokasi
Warga Bantaran yang
menentang relokasi namun
mendukung dana banjir (-)
Agus Sumaryawan Koordinator (SKoBB),
warga terlibat konflik (-)
Maryono Warga bantaran yang
terlibat konflik (-)
Nunuk Ismiyati Warga bantaran yang
terlibat konflik (-)
Titin Widyastuti
Pengacara Profesional (0) Heri Hendro Harjuno
Pengacara Warga bantaran
(-) (+/-)
(-)
(0)
(-) (-) (-)
(-)
(+) (+) (+)
(+)
Bagan Konteks untuk perselisihan antara warga
bantaran dengan pemerintah kota tentang dana bantuan
banjir
Kunci:
(+) : Mendukung
(-) : Menentang
(+/-) : Mendua
(0) : Netral
(---): Hubungan
tidak langsung
Abdul Alim
Wartawan Profesional (0)
(0)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
84
berusaha menggeneralisasi layaknya pola pikir deduktif, pola pikir induktif hanya
berusaha menjelaskan dan menggambarkan sebuah fenomena tertentu.
Dalam penelitian kualitatif teknik analisis yang biasa digunakan bersifat
interaktif. Penggunaan sifat interaktif dalam penelitian kualitatif mengharuskan
pengumpulan data dilakukan bersamaan dengan analisis dan refleksi terhadap data-
data penelitian yang berhasil dikumpulkan. Sifat interaktif dalam penelitian kualitatif
memungkinkan adanya semacam interaksi yaitu berusaha dibandingkan dan
diinteraksikan dengan unit-unit dan data-data lainnya demi tercapainya beragam
tujuan yang hendak dicapai dalam sebuah penelitian (Sutopo, 2006: 107). Teknik
tersebut akan menghasilkan sebuah kemantapan dalam penyusunan sebuah simpulan
akhir dalam penelitian.
Penelitian kualitatif juga memiliki sifat siklus atau berputar. Sifat siklus
memberikan sebuah keleluasaan untuk selalu memverifikasi data, menganalisis
hingga penyusunan simpulan. Dalam proses siklus peneliti diberikan kebebasan
untuk kembali mengumpulkan data ketika dirasakan data yang diperoleh belum
memadai. Hal itu berkaitan dengan sifat penelitian kualitatif yang lentur dan terbuka.
Hal tersebut dilakukan agar sebuah penelitian mendapatkan sebuah hasil yang
kematapannya dapat dipertanggungjawabkan sebelum penulisan laporan yang
lengkap. Kemudian, semua data yang berhasil dikumpulkan dari lapangan segera
dianalisis, diinteraksikan juga dilakukan refleksi untuk menjelaskan keterkaitan
antardata, demi mendapatkan sebuah hasil yang mantap dan dapat
dipertanggungjawabkan. Semua data yang telah diinteraksikan dengan baik pada
analisis setiap unit kasusnya, maupun pada analisis antar kasus, demi memahami
kesamaan dan juga perbedaannya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
85
Penyajian Data
Reduksi Data Penarikan Kesimpulan
Model Analisis Interaktif Milles dan Huberman
(Milles dan Huberman, 1992: 20)
Pengumpulan Data
Untuk lebih jelasnya proses analisis interaktif dijelaskan oleh Miles dan
Huberman dalam skema sebagai berikut.
H. Prosedur Kegiatan
Penelitian ini memiliki beberapa prosedur kegiatan demi tercapainya
sebuah hasil penelitian yang baik.
1. Tahap persiapan penelitian meliputi: proses penulisan proposal, proses
perijinan, penentuan lokasi penelitian, persiapan dana dan penyusunan protokol
penelitian termasuk penyusunan pedoman penelitian, pengumpulan daftar
pertanyaan hingga penyusunan petunjuk observasi.
2. Tahap pengumpulan data meliputi: proses pengumpulan data di lapangan
dengan melakukan wawancara dan mungkin juga melakukan observasi,
penentuan strategi penelitian, proses pemfokusan, pendalaman data penelitian,
pemantapan data hingga mengatur semua data yang diperoleh untuk dilakukan
ketegorisasi.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
86
3. Tahap analisis data meliputi beberapa proses yang terdiri dari: reduksi data,
penyajian data penelitian, penarikan simpulan hingga proses verifikasi data
untuk memantapkan perolehan data dari lapangan.
4. Tahap penulisan laporan penelitian yang mencakup beberapa bagian yaitu:
penulisan laporan awal penelitian, review penelitian dan perbaikan laporan
penelitian atau dikenal dengan revisi.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
87
BAB 4
TEMUAN DAN ANALISIS DATA
A. Sekilas Kehidupan Warga Bantaran
Deskripsi tentang warga bantaran dan semua aktivitas hidupnya sebagian
besar diperoleh melalui observasi yang dicatat dalam catatan lapangan.
Berdasarkan data dari catatan lapangan hal itu dapat diketahui bahwa wilayah
Semanggi sebenarnya merupakan bagian dari Kotamadya Solo atau Surakarta yang
berada di bagian tenggara dari pusat pemerintah kota Surakarta. Wilayah tersebut
sebenarnya berbatasan dengan beberapa bagian dan wilayah lain seperti Baluwarti di
sebelah barat dan Gading di bagian selatan; Sungai Bengawan Solo pada bagian
timur; pada bagian utara berbatasan dengan wilayah Sangkrah. Cakupan dan
lingkupan sebagian wilayah Semanggi yang berbatasan dengan Sungai Bangawan
Solo membuat sebagian warga daerah tersebut tinggal di bantaran sungai atau
setidaknya berada di sekitar tanggul pembatas antara sungai dan wilayah di bantaran.
Pengamatan dan observasi dalam penelitian ini dilakukan di kawasan bantaran dan
tanggul pembatas Sungai Bengawan Solo, yang masih berada dalam wilayah
Semanggi, Surakarta.
Data observasi dalam awal penelitian ini menunjukkan adanya perbedaan
kondisi lingkungan fisik dan tempat tinggal serta menujukkan perbedaan bentuk
lingkungan sosial dan kehidupan masyarakat yang tinggal di dalamnya. Pada warga
yang tinggal di sekitar bantaran biasanya tinggal di wilayah kumuh dengan kondisi
lingkungan yang kurang begitu sehat, selain itu mereka juga berada dalam ancaman
banjir setiap musim hujan. Di lain pihak, warga yang tinggal di luar wilayah bantaran
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
88
cenderung memiliki lingkungan yang relatif sehat, bersih dan cenderung aman dari
ancaman banjir.
Pengamatan dan pencatatan dalam catatan lapangan yang telah dilakukan
peneliti menjukkan bahwa lingkungan fisik, kondisi bangunan dan situasi masyarakat
yang berkembang di wilayah bantaran juga kurang begitu baik, karena warga yang
tinggal di kawasan tersebut mungkin kurang mampu menjaga lingkungan fisik
mereka. Berdasarkan catatan lapangan yang berhasil dikumpulkan menunjukkan
bahwa situasi di wilayah bantaran Sungai Bengawan Solo tampak sangat tidak
terawat dan terkesan kumuh. Ada beberapa kepala keluarga yang tinggal di wilayah
bantaran hidup di dalam rumah-rumah semi permanen yang terbuat dari kayu
ataupun bambu.
Selain itu, hasil observasi menunjukkan bahwa keadaan di sekitar
tanggul–termasuk wilayah bantaran–Sungai Bengawan Solo tampak mengenaskan.
Tanah di sekitar tanggul terlihat tidak terawat dengan beberapa bangunan yang
terbuat dari bambu atau kayu. Selain itu terdapat puing-puing bekas bangunan rumah
yang terbuat dari tembok. Keadaan seperti itu nyaris hampir dapat dilihat di
lingkungan sepanjang tanggul. Di samping itu, kebanyakan warga yang tinggal di
sana menggunakan puncak tanggul sebagai jalan umum. Kondisi jalan di atas tanggul
juga tampak mengenaskan dan terlihat ada beberapa bagian jalan tersebut yang retak.
Landasan beton yang digunakan untuk mengeraskan bagian atas tanggul juga terlihat
retak dan tidak terawat. Situasi tidak menguntungkan seperti itu selalu menyelimuti
warga yang tinggal di bantaran Sungai Bengawan Solo.
Namun demikian, observasi peneliti di luar bantaran diperoleh bahwa
kondisi fisik lingkungan yang melingkupi warga yang tinggal di luar wilayah
bantaran tampak lebih baik dibandingkan dengan kondisi fisik lingkungan warga di
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
89
kawasan bantaran. Bangunan fisik warga di luar bantaran didominasi oleh bangunan
tembok yang lebih baik, meskipun secara kasar tidak terlalu besar. Kebanyakan
bangunan rumah yang ada di kawasan Semanggi, di luar bantaran, tampak
berhimpitan dan sempit hingga tidak banyak warga yang memiliki halaman rumah
atau bahkan batas antara wilayah pribadi dengan jalan umum. Meskipun begitu,
kondisi lingkungan fisik warga yang tinggal di luar bantaran relatif bersih dan
terawat, sehingga tidak menimbulkan kesan kumuh dan kotor.
Hasil observasi yang ada menunjukkan kesan dan situasi serupa. Suasana
di kampung, terutama di wilayah Losari, Semanggi, tampak sepi dan jauh dari kesan
penuh kebisingan. Pada siang hari, kampung tersebut bagaikan tidak berpenghuni
serta minim aktivitas warga. Sebagian besar rumah yang tampak biasanya bertipe
sederhana dan sangat sederhana yang berdinding bambu atau tembok batu bata
dengan pagar kayu, besi atau beton. Namun demikian, ada beberapa bagian kampung
di Losari, Semanggi, yang penuh dengan aktivitas warga yang saling berinteraksi dan
bercengkrama satu dengan lainnya. Meskipun secara umum sebagian besar kondisi
fisik warga semanggi, terutama yang tinggal di kawasan Losari, berada dalam situasi
yang tidak terlalu menguntungkan, karena bangunan yang saling berhimpitan dan
sempit ditambah dengan kepadataan penduduk yang lumayan tinggi. Namun hal itu
kondisi tersebut tampak lebih baik dan bersih dibandingkan dengan kondisi fisik di
wilayah bantaran yang cenderung kotor dan kumuh.
Observasi yang dilakukan di wilayah bantaran sebelum relokasi
tampaknya menunjukkan situasi lingkungan fisik yang buruk dan jauh dari kesan
sehat, sehingga tampak mengenaskan, bahkan dapat dikatakan benar-benar kumuh.
Suasana dan kondisi lingkungan yang berada di kawasan tanggul tersebut tampak
tidak terawat, terlebih lagi ada beberapa bagian tanah yang dipenuhi sampah dengan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
90
bau busuk yang menyengat hidung. Keadaan jalan dan rumah juga tampak buruk,
karena tidak adanya pengeras jalan atau beton pelindung dan kondisi rumah yang
terbuat dari kayu atau tembok semi permanen yang sudah mulai lapuk. Seperti
kebanyakan warga yang tinggal di wilayah bantaran atau sekitar tanggul, kehidupan
warga sebelum direlokasi tampak bagai hidup segan matipun tak mau. Kebanyakan
warga tinggal di gubuk reyot atau rumah yang bertembokkan kardus atau kayu
seadanya. Namun demikian, warga bantaran tetap menjalani hidup mereka seperti
biasa, meskipun mungkin ada perasaan was-was bahwa rumah mereka akan tersapu
banjir.
Catatan lapangan yang berhasil diperoleh menunjukkan bahwa keadaan
fisik dan sosial warga yang direlokasi berubah menjadi lebih baik sejak program
tersebut mulai diberlakukan. Warga yang hidup dengan kondisi buruk mulai
menapak hidup mereka yang mungkin lebih baik. Kondisi lingkungan fisik di
wilayah relokasi tampaknya lebih baik ketimbang kondisi lingkungan fisik di sekitar
bantaran dan tanggul Sungai Bengawan Solo. Pengamatan di lapangan selama proses
observasi menemukan adanya perubahan lingkungan fisik yang relatif lebih baik.
Keadaan kawasan relokasi di wilayah Mojolaban, Sukoharjo, kelihatan lebih baik
dibandingan dengan kawasan yang belum di relokasi. Kondisi lingkungan fisik
daerah relokasi relatif lebih bersih dengan kondisi rumah yang lebih kokoh, karena
sebagian besar rumah telah terbuat dari tembok bata. Kondisi jalan akses masuk
menuju wilayah relokasi juga dikuatkan dengan paving serta saluran air pembuangan
yang juga tampak baik dan lancar. Meskipun kondisi rumah warga relokasi kurang
begitu bagus, namun kondisi lingkungan fisik dan perumahan yang terawat
menunjukkan adanya perubahan positif bagi warga yang ikut serta dalam program
relokasi. Perubahan kondisi lingkungan fisik menjadi lebih baik tampaknya bisa
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
91
menjadi indikasi bahwa program relokasi tampaknya sedikit mengubah kondisi dan
kehidupan masyarakat bantaran Sungai Bengawan Solo menjadi sedikit lebih baik.
Berdasarkan pengamatan yang dilakukan peneliti pada awal penelitian
diperoleh bahwa fakta bahwa ada beberapa warga bantaran Sungai Bengawan Solo
yang merasa enggan ikut serta dalam program relokasi, karena beberapa alasan
tertentu. Lingkungan fisik warga yang enggan direlokasi tidak sepenuhnya dapat
disebut sebagai lingkungan yang layak huni, karena ada beberapa lahan yang ada
hampir tidak terawat dan tampak kotor, sementara sebagian yang lain tampak lebih
baik. Kebanyakan dari mereka juga tinggal di rumah-rumah sederhana yang beberapa
di antaranya hampir roboh, atau terbuat dari kayu dan bambu yang sudah usang.
Namun demikian, ada sebagian warga yang tinggal dalam rumah permanen yang
layak huni dengan lapisan lantai keramik dan tembok yang lumayan kokoh.
Kenyataan seperti itu menggambarkan bahwa tidak semua lahan di wilayah bantaran
dapat disebut sebagai lahan yang tidak layak huni atau sebaliknya. Sebab ada
beberapa bagian dari bantaran memiliki kesan lebih baik, sehingga membuat
kebanyakan warga yang tinggal di sana memilih enggan ikut dalam program
relokasi.
Observasi yang dilakukan peneliti juga menunjukkan bahwa kondisi
masyarakat Semanggi secara umum menujukkan bentuk solidaritas mekanis
meskipun pada beberapa daerah ada indikasi munculnya bentuk-bentuk solidaritas
organis. Pada kawasan Losari atau daerah yang bedekatan dengan tanggul dan
wilayah bantaran, yang menjadi daerah awal meletusnya konflik antara warga
dengan pemerintah kota, soldaritas mekanis masih terasa begitu kuatnya, sama
kuatnya dengan yang terjadi pada masyarakat desa secara umum. Kuatnya bentuk
solidaritas mekanis di antara warga membuat seorang warga dengan tepat
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
92
mengetahui apa yang sedang terjadi dengan tetangga mereka, bahkan ketika seoarang
tetangga meninggal dunia, warga yang tinggal di kawasan tersebut dengan cepat
membicarakan kondisi dan keadaan tetangga mereka yang meninggal.
Fakta dari pengamatan peneliti menunjukkan bahwa bentuk solidaritas
mekanis dan kondisi sosial yang dekat antara satu individu dan individu yang lain
membuat warga di kawasan Losari benar-benar mengatahui dan memahami situasi
dan kondisi yang menjadi awal meletusnya konflik. Keadaan seperti itu membuat
warga mampu menujukkan dengan tepat siapa yang bertanggung jawab terhadap
bentuk dan konflik tersebut. Ketika ditannya tentang siapa yang bertanggung jawab
tentang aksi konflik tersebut mereka dengan tepat menujukkan pada seseoarang
bernama Agus Sumaryawan atau biasa dikenal dengan nama ―Pak Wawan‖. Pada
observasi awal, ketika seorang warga ditanya tentang program relokasi. Ia dengan
lantang menjawab ―Ya biasalah mas, kalau ada relokasi mesti ada yang bandel,
kebanyakan warga di sini sebenranya mau-mau saja direlokasi, tapi warga yang
rumahnya sudah bagus-bagus itu agak bandel.‖.
Berdasarkan observasi yang dilakukan peneliti dapat dikatakan bahwa
keterikatan sosial yang terjadi di masyarakat Semanggi terutama yang berada di
sekitar daerah konflik memiliki kondisi sosial yang terikat lebih erat ketimbang
masyarakat Semanggi yang tinggal di luar wilayah konflik. Beberapa warga Losari
yang ditanya soal permasalahan konflik tentang dana banjir pasti menyebutkan nama
―Wawan‖. Ketika ditanya tentang masalah demonstrasi banjir–konflik tentang dana
banjir–, warga langsung menunjuk nama ―Wawan‖ yang tinggal di kawasan bantaran
Sungai Bengawan Solo. Selain itu tampaknya ada beberapa warga Losari terkesan
tidak terlalu ambil pusing dengan permasalahan demonstrasi dan dana banjir
tersebut. Pemahaman dan pengetahuan warga serta sikap warga yang merasa acuh
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
93
terhadap konflik tersebut sedikit banyak menunjukkan adanya bentuk dan keterikatan
sosial antarwarga yang relatif tinggi.
Aktivitas keseharian warga Losari dan warga yang tinggal di wilayah
bantaran Sungai Bengawan Solo, pada dasarnya tidak berbeda dengan aktivitas
kebanyakan warga yang tinggal di wilayah pedesaan. Meskipun secara administratif
warga Losari dapat dikategorikan sebagai masyarakat kota, namun kegiatan dan
aktivitas sosial mereka lebih mirip dengan aktivitas penduduk desa. Setiap hari,
warga Losari dan warga yang tinggal di bantaran lebih sering menghabiskan waktu
di rumah dan beraktivitas di sekitar lingkungan mereka, walapun ada beberapa warga
yang memiliki pekerjaan di kota–wilayah kota Solo. Observasi yang dilakukan pada
awal penelitian ini menujukkan bahwa warga yang tinggal di kawasan Losari
melakukan aktivitas harian mereka dengan kondisi yang sangat sederhana, beberapa
warga membuka usaha warung dan toko kelontong sebagai usaha mereka
mendapatkan uang. Beberapa warga yang lain juga bekerja di rumah atau membuka
usaha kerajinan dan usaha lain yang banyak melibatkan aktivitas dan peranan warga
sekitar.
Meskipun demikian, ada beberapa warga Losari yang tampak
menganggur dan hanya menghabiskan waktu untuk bersantai dan bercengkrama
dengan warga lain di perempatan atau di tempat-tempat strategis atau yang dekat
dengan pusat keramaian warga. Dinamika yang tercermin dalam aktivitas harian
mereka menujukkan baihwa masyarakat yang tinggal di kawasan Losari lebih mirip
dengan tipikal masyarakat desa dan rural pada umunmya. Berdasarkan hal itu dan
ditambah dengan kondisi lingkungan fisik yang tampak menempatkan warga Losari
dan warga Semanggi pada umumnya berada pada status sosial menengah ke bawah
atau tingkat dan status sosial yang setara dengan hal itu.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
94
B. Penyebab Awal Terjadinya Konflik
1. Pernyataan-Pernyataan dalam Penyebab Konflik
Secara struktural, konflik tentang dana bantuan banjir yang terjadi antara
warga bantaran dan pemerintah kota, terjadi jauh sebelum banjir tahun 2007 terjadi.
Penguasaan tanah bantaran oleh pemerintah dan badan pertanahan yang seharusnya
menjadi tugas penting, tampaknya tidak dilakukan dengan baik. Kelemahan tersebut
memungkinkan penguasaan tanah oleh individu. Selain itu aktivitas pemerintah kota
yang kurang tanggap terhadap penghuni bantaran Sungai Bengawan Solo membuat
warga merasakan adanya legalitas dan pengakuan pemerintah terhadap lokasi hunian
di bantaran sungai yang seharusnya dilarang. Permasalahan pertanahan dan
penguasaan tanah pada akhirnya bertalian dengan permasalahan dana bantuan banjir
tahun 2007. Situasi seperti itu itu membuat ada dua status tanah di kawasan bantaran,
yaitu: tanah hak milik (THM) dan tanah negara (TN).
Berdasarkan penjelasan di atas, struktur konflik yang terjadi antara warga
bantaran Sungai Bengawan Solo dengan pemerintah kota Surakarta sudah terbentuk
jauh sebelum bencana banjir terjadi di akhir tahun 2007. Bagaikan bom waktu yang
siap meletus, potensi konflik yang sudah berkembang sejak dekade 1970-an tersebut
pada akhirnya meletus menjadi pertentangan antara warga bantaran dengan
pemerintah kota karena dipicu oleh banjir pada sebagian besar wilayah Surakarta
pada akhir 2007. Wartawan harian umum Joglosemar, Abdul Alim mengatakan
Menurut saya konflik tersebut merupakan konflik kepentingan yang
terjadi antara warga bantaran dengan pemerintah kota yang dimulai dari
kerancuan proses pendataan lahan pada tahun 1970-an, karena saat itu
belum ada proses pembebasan tanah oleh balai besar [pen: Bapeda dan
Badan Pertanahan] sehingga diperjualbelikan kepada masyarakat,
sehingga masyarakat sendiri belum tahu bahwa wilayah tersebut [pen:
bantaran Sungai Bengawan Solo] merupakan daerah yang tidak boleh
dihuni sekaligus daerah yang rawan banjir. Karena itu pada tahun 1970-an
banyak warga masyarakat yang membeli wilayah tersebut, dengan
sertifikat yang ‗katanya‘ ada [pen: ada beberapa warga bantaran yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
95
mengaku memiliki sertifikat tanah]. Pada tahun 1980-an balai besar [pen:
Bapeda dan Badan Pertanahan] menyatakan bahwa daerah bantaran
merupakan milik pemerintah, selain itu pada tahun-tahun tersebut belum
ada bencana seperti tahun 2007. (Wawancara pada 21 Maret 2010)
Selain itu, pada saat diwawancarai terkait dengan konflik yang terjadi antara
pemerintah kota dan warga bantaran, Alim lebih banyak menyampaikan pendapatnya
terhadap konflik tersebut melalui sudut pandang seorang jurnalis. Hal itu membuat ia
lebih banyak bercerita tentang penyebab paling mendasar dari konflik tersebut, yang
ternyata berkaitan dengan masalah pertanahan yang terjadi sejak tahun 1970-an.
Lebih lanjut Alim menjelaskan bahwa selama dekade 1970-an hingga
sekarang wilayah bantaran rupanya lebih banyak dihuni oleh warga yang tinggal
secara liar atau warga yang tinggal dengan cara menyerobot tanah milik pemerintah
atau semacamnya. Ia menjelaskan hal itu dengan gaya yang santai namun tetap
serius.
Sepanjang perjalanan waktu dari tahun 80-an hingga tahun 2000-an
banyak tanah yang ditempati oleh warga yang sebenarnya tidak membeli
tanah tapi hanya menyerobot atau tinggal di sana secara liar. Karena itu
ada dua kelompok warga yang tinggal di daerah bantaran, yaitu kelompok
yang membeli tanah, dan kelompok yang hanya mendirikan bangunan
[pen: mendirikan bangunan secara liar]. (Wawancara pada 21 Maret
2010)
Dengan demikian kita dapat mengetahui bahwa tidak semua warga, yang tinggal di
wilayah bantaran Sungai Bengawan Solo, tinggal secara resmi dan memiliki bukti
otentik tentang kepemilikan tanah di wilayah bantaran. Hal itu menghasilkan dua
kategori warga yang tinggal di bantaran, yaitu warga yang tinggal secara resmi
karena memiliki sertifikat dan warga yang tinggal secara liar.
Fakta itu dikuatkan oleh pernyataan Sukasno SH, sebagai ketua DPRD
Surakarta. Ia pada dasarnya menjelaskan tentang kondisi struktural yang sebenarnya
dapat tumbuh menjadi potensi konflik di kemudian hari. Karena kesalahan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
96
pemerintah di waktu lampau–pemerintah Orde Baru, karena tidak konsisten
menjalankan aturan. Secara lebih jelas, Sukasno menerangkan
Kalau saya boleh mengatakan, kesalahan ada pada pemangku kepentingan
atau pemerintah kota saat itu [pen: pemerintah kota pada 40 tahun silam].
Sekitar zaman Orde Baru. Sehingga ini sebagai sebuah pembelajaran
bahwa semua dinas yang terkait dengan itu tetap harus menjalankan
semua aturan yang sedang berlaku. Kalau dirunut siapa yang
mengeluarkan sertifikat seperti itu, tentu Badan Pertanahan, kok bisa bisa
begitu? Lha iya kok bisa?... Jadi pemerintah saat itu [pen: pemerintah
Orde Baru], pada dasarnya tidak konsisten menjalankan aturan. Hal yang
sama juga terjadi di Bengawan Solo, pada saat ini. (Wawancara pada 11
Mei 2010)
Fakta bahwa peralihan dan perubahan status tanah bantaran yang sebenarnya tidak
boleh di huni berubah menjadi pemukiman jelas merupakan janin konflik yang kelak
akan berkembang di kemudian hari. Sukasno SH sendiri tidak dapat menjelaskan
bagaimana perubahan status itu bisa terjadi selain hanya mengisayaratkan bahwa
semua yang dinas yang ada saat itu ikut bertanggungjawab atas semua kesahalan
tersebut.
Sebagai ketua DPRD, Sukasno SH, sudah menjabat selama dua periode,
karena kemampuannya dan mungkin juga kecakapannya dalam menjalankan tugas.
Di samping itu, Sukasno SH dikenal sebagai pribadi yang ramah dan murah senyum,
kepada semua orang termasuk kepada peneliti. Sejujurnya, sempat muncul
banyangan di benak peneliti, bahwa Sukasno SH, merupakan pribadi yang sulit
ditemui, sombong, dan super sibuk, mengingat jabatannya sebagai ketua DPRD.
Akan tetapi, semua pandangan dan gambaran tersebut sirna ketika bertemu langsung
dengan ketua DPRD tersebut. Menariknya lagi, Sukasno SH juga relatif kooperatif
dan memberikan begitu banyak informasi tentang permasalahan dana banjir yang
mencetuskan konflik.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
97
Fakta bahwa ada perubahan status tanah terlarang menjadi tanah hak
miliki yang sah, seperti yang terjadi di tanah bantaran Sungai Bengawan Solo, yang
sekarang menjadi konflik, sebenarnya sudah lebih dari cukup untuk menghasilkan
konflik yang relatif besar di kemudian hari. Sebab, bagaimanapun juga kenyataan
seperti itu akan menimbulkan kerancuan hukum dan inkonsisitensi terhadap
penerapan aturan di kemudian hari. Secara struktural, kesalahan dalam penerapan
aturan akan menghasilkan kesalahan fatal di kemudian hari. Struktur konflik yang
terjadi di bantaran Sungai Bengawan Solo tentang dana bantuan banjir, tampaknya
disebabkan oleh hal semacam itu.
Penyebab struktural konflik yang terjadi lebih dari tiga puluh tahun lalu
serta terjadinya bencana banjir, tahun 2007, akhirnya memicu pertentangan antara
warga dengan pemerintah kota. Dengan demikian, aktivitas pemerintah kota yang
mulai melakukan pendataan korban banjir, yang terjadi pada tahun 2007, di wilayah
bantaran rupanya menjadi titik kritis dimulainya konflik antara warga bantaran
dengan pemerintah kota. Seorang warga bantaran bernama Maryono mengungkapkan
Pada akhir tahun 2007, semua daerah yang terkena banjir diminta untuk
mengirimkan data [pen: dalam hal ini data tentang perkiraan jumlah
kerugian sementara], isi data itu saya nggak ngerti, tapi data itu mungkin
digunakan untuk mendaftar atau data tentang siapa saja yang menjadi
korban banjir. Data tersebut dikirimkan ke balaikota sebagai awal untuk
meminta bantuan dari pusat [pen: pemerintah pusat di Jakarta]. Setelah
ada informasi bahwa dana tersebut sudah dikucurkan dari pusat, tiba-tiba
pemerintah kota bikin program yang bernama relokasi, karena pengertian
bantuan banjir tidak sampai pada pengalokasian dalam bentuk lain. Jadi
yang namanya bantuan banjir yang seharusnya tetap dalam bentuk
bantuan, bukan dalam bentuk yang lain, sehingga bantuan tersebut juga
harus dalam bentuk bantuan bukan diembel-embeli dengan tujuan dan
program yang lain. (Wawancara pada 12 Februari 2010)
Peryataan Maryono memberikan gambaran besar bahwa proses pendataan yang
dilakukan pemerintah kota untuk semua korban banjir rupanya tidak hanya
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
98
dimaksudkan untuk memberikan bantuan materi semata namun juga meluncurkan
program relokasi, yang kelak ditentang oleh sebagian warga bantaran.
Pernyataan tersebut dikuatkan oleh warga bantaran yang lain bernama
Nunuk Ismiyati. Ia secara pribadi mengungkapkan bahwa pendataan yang dilakukan
oleh pemerintah kota sebenarnya penuh dengan tipu daya atau mungkin juga
kesalahan.
Setelah itu sekitar bulan Maret atau April, kami diberi blangko sebagai
cara pendataan semua rumah yang terkena banjir di seluruh wilayah
sungai Bengawan Solo. Lalu setelah itu, saya, sebagai sekretaris RT, dan
ketua RT [pen: Agus Sumaryawan], mulai mendata siapa saja yang
terkena banjir, di blangko tersebut ada formulir yang bertujuan mendata
siapa saja yang tinggal di rumah tersebut dan nama KK yang terkait,
untuk pada akhirnya dikirim ke kelurahan lalu ke Bapeda. Beberapa bulan
kemudian semua pengurus RT diundang ke Bapeda untuk rapat dalam
rangka membahas semua data yang telah dikirim sebelumnya, untuk
diajukan ke menkokesra demi rehabilitasi rumah yang rusak karena
banjir. ... namun mak bedunduk [pen: sekonyong-konyong] ada woro-
woro wacana tentang program relokasi yang pada dasarnya ―mau yo
monggo‖ yang juga sempat disampaikan pak walikota ―mau yo monggo-
yen ora yo ora opo-opo, neng yen ono inspeksi soko Jakarta ojo salahne
aku‖ [pen: mau ya silahkan tidak mau ya tidak apa-apa, tapi kalau ada
pemeriksaan dari Jakarta jangan salahkan saya]. Dari sini-kan ada maksud
bahwa relokasi itu sukarela, tetapi dia, pak walikota, tanpa sepengetahuan
RT ada woro-woro akan diberikan bantuan sekitar 22,5 juta rupiah
sebagai ganti rumah dan fasilitas umum yang rusak khusus bagi penghuni
yang tinggal di tanah negara (TN). Jika dihitung-hitung jika tanah negara
(TN) sudah mendapatkan bantuan, maka sisanya-kan ada hak bantuan
bagi tanah hak milik (THM), tetapi mengapa sampai sekarang belum
dibayarkan. Itulah yang jadi masalah sampai sekarang. ... (Wawancara
pada 17 Februari 2010)
Peryataan yang dikatakan oleh Nunuk Ismiyati tersebut menujukkan bahwa
pemerintah kota sebenarnya menggulirkan program relokasi dengan cama
membonceng program dana banjir. Pendataan yang dilakukan pemerintah kota pada
tahun 2008 tampaknya lebih banyak ditujukan untuk menggulirkan program relokasi
tesrebut.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
99
Penjelasan yang disampaikan Nunuk Ismiyati menujukkan bahwa
program relokasi yang dilakukan pemerintah terkesan tiba-tiba dan tanpa
pemberitahuan serta sosialisasi yang memadai atau setidaknya sosialisasi yang
diberikan pemerintah kota untuk warga bantaran kurang menjangkau sasaran. Hal itu
membuat munculnya beragam asumsi di antara warga bantaran atau setidaknya para
anggota SKoBB.
Sementara itu, koordinator dan ketua aksi sekaligus ketua SKoBB, Agus
Sumaryawan memberikan pernyataan bahwa konflik dan pertentangan ini dimulai
ketika pemerintah kota melakukan proses pendataan yang kelak digunakan sebagai
data relokasi. Padahal menurut pandangan Agus Sumaryawan, data tersebut hanya
digunakan sebagai data pemberian bantuan bagi korban banjir dan tidak ada
hubungan sama sekali dengan relokasi. Secara tegas ia menyatakan
Setelah banjir, pihak kelurahan mulai mendata semua warga yang tinggal
di bantaran untuk dimintakan bantuan. Setelah itu semua ketua RT yang
tinggal di bantaran disuruh ke pemerintah kota untuk mendapatkan
pengarahan seperti ini ―semua warga yang tinggal di bantaran pemberian
bantuan diberikan pada semua pemilik tanah, pemilik rumah, dan semua
warga baik yang tanah negara (TN) dan tanah hak milik (THM)‖. Tidak
ada sedikitpun muncul kata ―relokasi‖. Dengan demikian semua warga
yang tinggal menjadi korban banjir istilahnya hanya menunggu bantuan
dari pusat [pen: bantuan dari pusat yang diberikan melalui pemerintah
kota] yang akan segera cair dan tidak berbentuk material, kalau tidak
berbentuk materi pasti berbentuk uang. (Wawancara pada 23 Januari
2010)
Peryataan yang diberikan Agus Sumaryawan tampak berkesesuaian dengan
pernyataan yang diberikan Maryono dan Nunuk Ismiyati. Kenyataan itu menujukkan
bahwa konflik dan pertentangan tentang dana banjir antara warga bantaran dan
pemerintah kota dimulai oleh adanya pendataan korban banjir yang kelak digunakan
sebagai program relokasi. Berdasarkan peryataan tersebut muncul indikasi bahwa
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
100
pemerintah kota menggulirkan program relokasi secara tiba-tiba yang secara umum
jauh dari rencana awal yang hanya berupa pemberian bantuan banjir.
Kenyataan seperti itu rupanya dikuatkan oleh peryataan Agus
Sumaryawan yang secara umum menyatakan bahwa program relokasi tersebut baru
muncul pada pertengahan tahun 2008 hingga akhir tahun 2008. Dengan demikian
dapat diketahui bahwa program relokasi muncul belakangan setelah program bantuan
dana banjir disosialisasikan. Pada saat diwawancarai, ia menyatakan bahwa
Namun di akhir tahun 2008, mulai beredar kencang isu tentang relokasi,
sehingga warga yang tinggal di daerah ini mulai menentang secara keras,
bahkan di sini di pasang spanduk besar bertuliskan ―Tolak Relokasi
Sampai Titik Darah Penghabisan‖. Penolakan tersebut tampaknya
membuat pemerintah kota merapkan tak-tik belanda ―devide et
impera‖[pen: adu domba]. Di sini ada dua status tanah, tanah negara (TN)
dan tanah hak milik (THM), karena dipecah maka warga yang tinggal di
tanah negara menjadi takut terhadap pemerintah. Beberapa waktu setelah
itu ada sosialisasi yang diberikan oleh pemerintah kota berkaitan dengan
masalah relokasi tersebut yang intinya bermaksud mengatakan ―warga
yang mau relokasi silahkan, yang tidak mau silahkan, namun jika terjadi
sesuatu dari pemerintah pusat, pemerintah kota tidak ikut campur‖. Tetapi
proses sosialisasi tersebut seakan menekan warga yang tinggal di wilayah
bantaran untuk mau direlokasi. (Wawancara pada 23 Januari 2010)
Keberadaan program relokasi yang bagi warga dianggap sebagai program yang
berjalan sepihak membuat warga yang tinggal di bantaran Sungai Bengawan Solo
menolak dengan tegas program relokasi. Dengan demikian, warga hanya mau
menerima uang bantuan banjir namun menolak relokasi yang diberlakukan oleh
pemerintah kota.
Perhatikan lebih jauh peryataan yang diberikan oleh Agus Sumaryawan
tersebut. Secara langsung, ia menyatakan bahwa pemerintah tampaknya
mendiskriminasi warga-warga yang enggan direlokasi. Ia juga menjelaskan adanya
semacam bentuk tekanan sosial, mulai dari diskriminasi pembuatan KK (Kartu
Keluarga) hingga pengurusan sertifikat tanah, yang dilakukan pemerintah kota
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
101
terhadap warga yang enggan ikut serta dalam program relokasi. Kenyataan seperti itu
rupanya menjadi salah satu alasan warga yang tinggal di wilayah bantaran Sungai
Bengawan Solo untuk menggulirkan pertentangan kepada pemerintah kota terkait
dengan tuntutannya terhadap dana bantuan banjir dan penolakan terhadap program
relokasi.
Sosok Agus Sumaryawan dikenal sebagai seoarang yang dengan gigih
menentang program relokasi tapi mendukung program pencairan dana bantuan banjir
yang hingga saat ini belum dapat diselesaikan. Perwajahan Agus Sumaryawan
tampaknya dapat disamakan dengan Jaya Suprana, pemilik Museum Rekor
Indonesia. Selain itu, gaya bicaranya yang berapi-api dan ngotot dan berani
berpendapat membuat Agus Sumaryawan menjadi penentang program relokasi yang
digulirkan pemerintah kota. Pengaruhnya yang kuat di masyarakat bantaran
membuatnya berhasil menggerakkan masyarakat untuk mau berjuang bersama-sama
untuk melakukan beragam aksi yang terkait dengan penolakan program relokasi.
Tentang proses pendataan yang dipermasalahkan itu, Suparno HS,
seorang tokoh masyarakat, yang berperan besar terhadap program relokasi dan
beberapa program pemerintah yang lain, sebenarnya menjelaskan bahwa proses
pendataan tersebut sebenarnya digunakan sebagai data awal untuk mengetahui
seberapa parah kondisi korban banjir untuk pada akhirnya dimintakan bantuan dari
pemerintah pusat berupa uang untuk biaya perbaikan properti, relokasi sekaligus
membeli tanah warga yang berada di tanah hak milik serta yang berada di tanah
negara. Ia menjelaskan
Ya mungkin dari pemerintah kota, melalui lurah itu mulai mendata semua
korban banjir tahun 2007 untuk diajukan ke pemerintah pusat, ke Jakarta,
jadi datanya di taruh di sana [pen: pemerintah pusat]. Kemudian setelah
itu, data yang dikirim ke sana [pen: ke pemerintah pusat], dan ke
kelurahan, jadi kalau mau data lengkap semuanya ada di kelurahan. Terus
setelah semua korban di data, oleh walikota semua korban yang telah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
102
didata tadi, dicatat dalam ‗buku putih‘ [pen: buku catatan tentang semua
korban banjir yang akan diberikan bantuan dan akan direlokasi], juga
yang ditepi bantaran itu juga ada ‗buku putih‘, semua itu bagi warga yang
menempati tanah negara. Setelah itu semua warga yang berada di tanah
negara, yang masuk dalam ‗buku putih‘ tadi semuanya kita data untuk
diajukan relokasi, sekaligus mendata semua warga yang bersedia relokasi,
sehingga tidak ada paksaan. (Wawancara pada 14 April 2010)
Suparno HS sendiri tidak menampik kenyataan bahwa proses pendataan tersebut
sebenarnya bertujuan untuk mendata semua korban banjir untuk pada saatnya
diberikan dana bantuan banjir sebagai ganti kerugian. Namun demikian, data tersebut
juga berfungsi sebagai data awal bagi upaya relokasi warga yang berada di sekitar
bantaran, terutama yang tinggal di tanah negara (TN).
Penjelasan yang diberikan oleh Suparno HS juga menekankan bahwa
proses relokasi itu bukanlah sebuah paksaan yang harus diikuti, namun sebuah
bentuk program pemerintah dengan sifat sukarela. Jadi warga sendiri yang berhak
memutuskan untuk ikut serta dalam relokasi atau tetap tinggal di wilayah bantaran
dengan segala resikonya. Apabila warga bersedia ikut serta dalam program relokasi,
maka warga tersebut harus menyerahkan beberapa syarat administratif sebagai
bentuk pengurusan administrasi oleh pemerintah kota. Kenyataan bahwa program
relokasi bersifat sukerela inilah yang belum banyak diketahui secara jelas oleh semua
warga bantaran Sungai Bengawan Solo, baik yang tinggal di tanah negara maupun
yang tinggal di tanah hak milik.
Ketika diwawancarai, Suparno HS juga menegaskan secara kuat bahwa
sebenarnya program relokasi tersebut bukanlah sebuah keharusan, sama seperti yang
pernah dikatakan oleh Agus Sumaryawan. Ketua Pokja tersebut menyatakan bahwa
―Setelah itu semua warga yang berada di tanah negara, yang masuk dalam ‗buku
putih‘ tadi semuanya kita data untuk diajukan relokasi, sekaligus mendata semua
warga yang bersedia relokasi, sehingga tidak ada paksaan.‖ (Wawancara pada 14
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
103
April 2010). Tidak adanya paksaan dalam relokasi sebenarnya sangat ditekankan
oleh Suparno HS dalam setiap pernyataan yang diberikan. Hanya saja Ia dan
pemerintah kota hanya menekankan bahwa wilayah bantaran Sungai Bengawan Solo
merupakan larangan untuk hunian warga
Pemerintah kota tidak pernah memaksa untuk relokasi, tetapi itu-kan
tempat larangan, bukan tempat pemukiman. Lalu saya dari pokja bilang
begini ―mbok ya sudah program pemerintah diikuti saja, wong banjir itu
merepotkan orang banyak, selain hanya merepotkan sendiri‖.
(Wawancara pada 14 April 2010)
Pernyataan serupa juga dilakukan oleh Suparno HS pada saat sosialisasi sebelum
program relokasi digulirkan.
Ya diberi pemahaman seperti ini, ―Anda itu menempati tanah negara‖
atau dibalik seperti ini ‖Anda itu setiap tahun kebanjiran, kalau begitu
Anda merepotkan diri sendiri dan orang banyak, maka dari itu pemerintah
memberlakukan relokasi dengan pemberian uang sekian.‖ (Wawancara
pada 14 April 2010)
Paparan yang diberikan oleh Suparno HS sebenarnya menujukkan itikad baik
pemerintah untuk menertibkan penghuni wilayah bantaran yang kebanyakan tinggal
secara liar di tanah negara, sekaligus mensahkan mereka untuk dapat tinggal secara
resmi, melalui program relokasi.
Warga bantaran yang menerima relokasi kebanyakan berasal dari tanah
negara (TN). Keberadaan warga di tanah negara dianggap sebagai penghuni liar.
Karena itu ketika pemerintah kota menggulirkan program relokasi, sekaligus
mensahkan posisi hukum dan status tanah yang mereka miliki, warga bantaran yang
tinggal di tanah negara langsung setuju. Saryono, sebagai warga bantaran yang
mendukung relokasi menyatakan bahwa
Sebetulnya tanah itu [pen: tanah bantaran] tidak boleh ditempati,
berhubung orang kepepet, ya mau nggak mau, orang ya saya kerjanya di
situ, jadi ya tinggal di situ juga [pen: kawasan bantaran]. Terus dari
pemerintah, karena selalu setiap hujan banjir, setiap hujan banjir, dari
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
104
pemerintah mengadakan rapat yang dibantaran tanggul itu mau direlokasi.
Itu juga ada yang menolak, juga ada yang menerima, tapi Alhamdulillah
banyak yang menerima begitu. (Wawancara pada 20 April 2010)
Penjelasan Saryono memberikan pemahaman bahwa warga bantaran yang menerima
program relokasi kebanyakan berada di kawasan tanah negara yang sepenuhnya
belum memiliki sertifikat tanah dan bukti pengesahan lainnya. Selain itu bujukan
pemerintah terhadap mereka mungkin dapat dikatakan berhasil. Akan tetapi bujukan
pemerintah kepada warga yang tinggal di tanah hak milik (THM) sepertinya kurang
membuahkan hasil nyata.
Namun demikian, tidak semua warga bantaran tinggal secara liar, ada
beberapa warga yang tinggal di wilayah bantaran secara resmi karena memiliki
sertifikat tanah, seperti yang terjadi pada Agus Sumaryawan dan kawan-kawan.
Mereka mulai menggulirkan konflik dan pertentangan kepada pihak pemerintah kota
dengan mengedepankan isu relokasi terhadap semua warga yang tinggal di tanah
negara maupun yang tinggal di tanah hak milik. Kenyataan seperti itu membuat
sebagian warga yang tinggal di tanah hak milik mulai resah dan menganggap
pemerintah kota berupaya keras menyingkirkan mereka dari wilayah bantaran
sekaligus menahan dan menunda uang pembayaran bantuan banjir yang seharusnya
menjadi hak mereka. Selain itu kepemilikan sah terhadap tanah di wilayah bantaran
juga berhasil membuat pemerintah kota cukup kerepotan, pasalnya ada bukti sah
yang menguatkan warga yang tinggal di tanah hak milik. Kebanyakan warga yang
tinggal di tanah hak milik hanya mau pindah dengan imbalan yang pantas atau
setidaknya membeli tanah mereka dengan harga yang pantas.
Kesimpang-siuran dan pemahaman yang kurang terhadap program
pemerintah tentang relokasi dan dana bantuan banjir menimbulkan beragam asumsi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
105
negatif dan persepsi keliru di antara warga. Ketika Suparno HS ditanya tentang awal
pertentangan warga dengan pemerintah kota tersebut, ia menjawab
Itu, kemungkinan, menurut analisa saya karena salah persepsi, dan
mungkin juga ada beberapa orang yang memiliki sisi fungsionaris atau
mungkin juga kepentingan tertentu, yang membuat masalahnya menjadi
tidak jelas. Padahal dulu waktu saya lihat, sebenarnya semuanya sudah
jelas pemahaman waktu sosialisasi dengan pak wali tentang relokasi.
(Wawancara pada 14 April 2010)
Pernyataan yang diberikan Suparno HS sebenarnya menujukkan bahwa warga hanya
salah menanggapi program relokasi warga yang tinggal di wilayah bantaran. Padahal
pada kenyataannya pemerintah telah melakukan sosialisasi kepada warga untuk
memberikan pemahaman tentang program bantuan banjir dan relokasi yang hendak
dilakukan oleh pemerintah kota. Akan tetapi, sosialisasi tersebut kurang menjangkau
sasaran, sehingga menimbulkan munculnya beragam persepsi keliru.
Hal itu membuat pemerintah kota banting setir untuk berusaha keras
menyelesaikan permasalahan ini tanpa harus merugikan warga yang tinggal di
bantaran, terutama warga yang tinggal di tanah hak milik, meskipun hasilnya belum
memuaskan. Karena itu pemerintah kota menunda pembayaran uang bantuan banjir,
sebesar 8,5 juta yang menjadi hak mereka, sambil mengupayakan pembelian tanah
warga bantaran, yang tinggal di tanah hak milik, yang bersedia direlokasi. Suparno
HS juga menyatakan bahwa
Ya, kan mulai tahun 2009 dulu sudah dimulai. Termasuk pemberian uang
dari walikota sebesar 12 juta dengan 8,5 juta untuk banjir. Bagi warga
yang rumah rusak berat ya silahkan diperbaiki, kalau rumahnya berada di
bantaran ya direlokasi. Nantinya yang tinggal di tanah hak milik itu juga
dapat 8,5 juta [pen: perselesihan ini dimotori oleh warga yang tinggal di
tanah hak milik]. Yang jadi keinginan mereka kan uangnya mau diminta
sekarang, itu saja kan. Jadi yang jelas relokasi tetap jalan, kami juga tidak
mau mengurangi hak mereka. (Wawancara pada 14 April 2010)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
106
Pernyataan yang diberikannya juga mengisayaratkan bahwa pemerintah kota tidak
berniat menunda atau menghambat proses pembayaran dana bantuan banjir, sebesar
8,5 juta, kepada warga bantaran. Pemerintah kota hanya harus menyelesaikan semua
permasalahan relokasi yang masih menyisakan beberapa warga, sebelum akhirnya
melakukan sosialisasi untuk menyelesaikan permasalahan yang melingkupi warga
yang tinggal di bantaran Sungai Bengawan Solo, yang enggan direlokasi–warga yang
tinggal di tanah hak milik.
Penjelasan yang senada diberikan oleh wakil pemerintah kota yang lain,
Widdi Srihanto. Sebagai ketua dari Bapermas, Widdi Srihanto merupakan salah satu
orang yang berada dalam program pemerintah tentang relokasi dan dana bantuan
banjir yang tertunda tersebut. Ia menjelaskan bahwa
Ya, kalau uang laksanakan dan akan kami beri bantuan, tapi kalau mereka
tidak terdata dan mereka tinggal di wilayah bantaran maka jangan
salahkan saya. Setalah saya verifikasi semua surat tanahnya ternyata di
sana ada nama gubernur akte tanah mereka, konsep rumah tersebut
sebenarnya bukan rumah standar, konsep rumah tersebut ialah konsep
rumah yang berdiri di daerah pemukiman, bukan di daerah bantaran.
(Wawancara pada 25 Mei 2010)
Penjelasan dari Widdi Srihanto pada dasarnya menujukkan bahwa pemerintah kota
tidak berniat menunda dana bantuan banjir yang akan diberikan kepada warga
bantaran yang tinggal di tanah hak milik (THM), yang menggulirkan perselisihan ini.
Penundaan tersebut hanya berhubungan dengan pencarian konsep yang tepat untuk
menyelesaikan permasalahan warga bantaran, terutama yang tinggal di tanah hak
milik. Selain itu ia juga menjelaskan bahwa
Kami tidak merelokasi tanah hak milik, hak milik nanti akan kami kasih
ganti rugi, karena hak milik sudah memiliki legitimasi oleh negara, jadi
jelas perlakukannya berbeda. Tapi untuk tanah negara mereka tidak diakui
oleh pemerintah, jadi ada hubungannya dengan aspek hukum pertanahan.
(Wawancara pada 25 Mei 2010)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
107
Keterangan tersebut menguatkan pendapat yang diberikan Suparno HS bahwa
pemerintah kota memang tidak berniat menunda dana bantuan banjir yang menjadi
hak warga bantaran, termasuk warga yang enggan direlokasi karena tinggal di tanah
hak milik (THM).
Pernyataan lain tentang relokasi diberikan oleh Sukasno SH, sebagai
ketua DPRD Surakarta. Secara umum ia memandang program relokasi sebagai
program yang benar, karena ia sendiri menganggap bahwa tanah bantaran itu
bukanlah tempat hunian. Karena itu, Sukasno SH lebih banyak menujukkan
dukungannya terhadap program yang digulirkan oleh pemerintah kota
Pemerintah kota berencana untuk merelokasi warga bantaran, dan hal itu
nyambung dengan program pemerintah pusat bahwa pemerintah pusat
tentang pengelolaan Sungai Bengawan Solo, yang salah satu proyeknya
merupakan peninggian tanggul-tanggul di Bengawan Solo, dan Solo
merupakan satu kota yang mendapatkan proyek tersebut. (Wawancara
pada 11 Mei 2010)
Lebih lanjut Sukasno SH memberikan pernyataan bahwa program relokasi tersebut
memang harus diberlakukan oleh pemerintah kota, karena tanah bantaran memang
bukan berfungsi sebagai tanah hunian
Sehingga, kalau masyarakat yang menghuni bantaran itu hunian liar, ya
harus memahami, bahwa ada undang-undang dan perda, bantaran itu
harus bebas dari hunian dan sebagainya, sehingga ya seharusnya mereka
tidak disitu. ... Jadi kalau mereka nekat bertahan sampai titik darah
penghabisan, menurut saya ya tidak pas juga, karena mereka disitu
menghuni tanah bantaran. ... Persoalannya, saya juga heran, kok dulu ya
bisa kalau bantaran bisa jadi hunian, soalnya ada kan di undang-undang
itu jelas, tanah bantaran itu seperti apa.
Meskipun secara tidak langsung Sukasno SH tidak menyebutkan dukunganya
terhadap program relokasi, tetapi pernyataan yang diberikan dalam proses
wawancara menujukkan bahwa ia dengan aktif mendukung program relokasi.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
108
Walaupun sebenarnya Sukasno SH sendiri sadar bahwa program relokasi tersebut
menuai beragam kontroversi di kalangan warga bantaran.
Kembali ke permasalahan tentang dana bantuan banjir, sebenarnya
permasalahan dan pertentangan ini dapat dicegah apabila pemerintah kota dan warga
yang menggulirkan konflik mau berpikir jernih untuk tidak saling memaksakan
kehendak masing-masing, terutama yang berkaitan dengan pembayaran dana bantuan
banjir yang seharusnya menjadi hak warga. Maryono, salah satu aktivis SKoBB
mengatakan
Sebenarnya saya yakin apabila dulu pemerintah tidak terlambat
menurunkan bantuan, maka hasilnya tidak akan seperti ini. Kalau dulu
pemerintah menurunkan bantuan sekitar 2,5 juta dulu, tetapi berhubung
pemerintah sudah terlanjur salah, serta dana yang dikeluarkan sudah
banyak, maka kawan-kawan yang dulu menderita banjir paling besar
mungkin juga merasa tidak mau bantuannya disamakan dengan kawan-
kawan yang henya kebanjiran selutut atau yang tidak kena banjir.
(Wawancara pada 12 Februari 2010)
Permasalahan berbasis ekonomi ini sebenarnya tidak perlu terjadi dan tidak
seharusnya terjadi apabila ada upaya untuk bersabar terhadap bantuan yang akan
diterima. Di samping itu apabila pemerintah kota tidak menunda pembayaran
bantuan banjir ini maka pertikaian antara warga bantaran dan pemerintah kota tidak
akan jadi serumit ini.
2. Pola dan Proses Komunikasi pada Penyebab Konflik
Pada dasarnya konflik yang terjadi antara warga bantaran dan pemerintah
kota melibatkan persoalan komunikasi dan semua unsur yang terkait di dalamnya.
Hal itu membuat semua unsur komunikasi sebenarnya mengambil peran penting
yang mempengaruhi kegagalan komunikasi yang menjadi penyebab konflik tersebut.
Pemerintah kota sebenarnya sudah melakukan proses komunikasi melalui sosialisasi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
109
kepada semua warga bantaran secara umum. Namun demikian kegagalan komunikasi
tidak dapat dielakkan karena munculnya faktor tertentu yang membuat pemerintah
kota kurang memahami bagaimana kondisi bantaran secara umum.
Sosialisasi yang dilakukan pemerintah kota kepada warga bantaran
tentang relokasi hanya ditujukan kepada warga yang tinggal di tanah negara (TN).
Padahal ada warga bantaran yang tinggal di tanah hak milik (THM). Kondisi tersebut
kontan membuat warga yang tinggal di tanah hak milik (THM) tidak memiliki
informasi yang tepat tentang bagaimana faktor relokasi tersebut diberlakukan dan
dijalankan oleh pemerintah kota. Selain itu pemerintah kota sudah terlanjur
menjanjikan bantuan uang kepada semua warga bantaran baik yang tinggal di tanah
negara (TN) dan yang tinggal di tanah hak milik (THM). Selain itu, kurangnya
informasi yang diperlukan oleh warga bantaran di tanah hak milik (THM) untuk
membuat suatu keputusan yang tepat, meneyababkan munculnya konflik kepentingan
tersebut. Hal itu menjadi faktor umum yang mendorong terjadinya konflik. Di lain
pihak, pemerintah kota juga tidak kunjung mengadakan sosialisasi yang tepat dan
ditujukan bagai warga bantaran yang tinggal di tanah hak milik (THM), sehingga
mendorong percepatan konflik tersebut.
Di samping itu, penundaan pembayaran uang dilakukan pemerintah kota
memunculkan kesalahan persepsi dan miscommunication di kalangan warga
bantaran, bahwa pemerintah kota sengaja menunda pembayaran dana bantuan banjir
sebesar 8,5 juta dengan syarat harus relokasi. Padahal berdasarkan penjelasan
Suparno HS, pemerintah hanya akan merelokasi warga yang bersedia ikut relokasi
saja. Sedangkan yang bagi warga yang tinggal di tanah hak milik, yang bersedia
direlokasi, pemerintah akan membeli tanah warga dengan harga yang pantas. Namun
demikian, sejauh ini pemerintah belum melaksanakan sosialisasi untuk warga yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
110
tinggal di tanah hak milik, sehingga proses relokasi yang berjalan bagi warga
bantaran yang tinggal di tanah hak milik masih terhambat. Selain itu pemerintah kota
harus menuntaskan semua permasalahan tersebut pada tahun 2010 ini, dan
membayarkan semua uang yang menjadi hak warga bantaran.
Dari semua penjelasan para tokoh masyarakat yang berkompeten dan
berperan langsung menunjukkan bahwa pertikaian dan pertentangan yang terjadi
antara warga bantaran dengan pemerintah kota terjadi karena kesalahan persepsi dan
komunikasi di antara kedua belah pihak. Setidaknya ada dua indikasi yang
menunjukkan bahwa konflik tersebut dimulai dengan kesalahan persepsi dan
komunikasi. Indikasi pertama datang dari pernyataan masyarakat dan
pemahamannya terhadap program pemerintah, seperti yang ditunjukkan oleh
pernyataan Maryono bahwa
data itu mungkin digunakan untuk mendaftar atau data tentang siapa saja
yang menjadi korban banjir. Data tersebut dikirimkan ke balaikota
sebagai awal untuk meminta bantuan dari pusat [pen: pemerintah pusat di
Jakarta]. Setelah ada informasi bahwa dana tersebut sudah dikucurkan
dari pusat, tiba-tiba pemerintah kota bikin program yang bernama
relokasi, karena pengertian bantuan banjir tidak sampai pada
pengalokasian dalam bentuk lain. (Wawancara pada 12 Februari 2010)
Pernyataan yang serupa juga diberikan oleh Agus Sumaryawan. Ia menjelaskan
... Tidak ada sedikitpun muncul kata ―relokasi‖. Dengan demikian semua
warga yang tinggal menjadi korban banjir istilahnya hanya menunggu
bantuan dari pusat [pen: bantuan dari pusat yang diberikan melalui
pemerintah kota] yang akan segera cair dan tidak berbentuk material,
kalau tidak berbentuk materi pasti berbentuk uang. (Wawancara pada 23
Januari 2010)
... Namun di akhir tahun 2008, mulai beredar kencang isu tentang
relokasi, sehingga warga yang tinggal di daerah ini mulai menentang
secara keras, bahkan di sini di pasang spanduk besar bertuliskan ―Tolak
Relokasi Sampai Titik Darah Penghabisan.‖. ... Beberapa waktu setelah
itu ada sosialisasi yang diberikan oleh pemerintah kota berkaitan dengan
masalah relokasi tersebut yang intinya bermaksud mengatakan ―warga
yang mau relokasi silahkan, yang tidak mau silahkan, namun jika terjadi
sesuatu dari pemerintah pusat, pemerintah kota tidak ikut campur‖. Tetapi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
111
proses sosialisasi tersebut seakan menekan warga yang tinggal di wilayah
bantaran untuk mau direlokasi. (Wawancara pada 23 Januari 2010)
Pernyataan kedua orang tokoh tersebut menunjukkan pemahaman bahwa ada
kesenjangan dan salah pengertian terhadap semua informasi yang telah diterima,
terutama bagi warga bantaran yang tinggal di tanah hak milik (THM). Hal itu
mungkin disebabkan adanya keterbatasan informasi yang diterima atau pemahaman
terhadap informasi yang kurang baik.
Sementara itu, tokoh penting di belakang relokasi, Suparno HS,
memberikan pernyataan yang berhubungan dengan alasan pemerintah kota
memberlakukan relokasi bagi masyarakat bantaran di wilayah Semanggi. Suparno
HS menyatakan
Terus setelah semua korban di data, oleh walikota semua korban yang
telah didata tadi, dicatat dalam ‗buku putih‘ [pen: buku catatan tentang
semua korban banjir yang akan diberikan bantuan dan akan direlokasi],
juga yang di tepi bantaran itu juga ada ‗buku putih‘, semua itu bagi warga
yang menempati tanah negara. Setelah itu semua warga yang berada di
tanah negara, yang masuk dalam ‗buku putih‘ tadi semuanya kita data
untuk diajukan relokasi, sekaligus mendata semua warga yang bersedia
relokasi, sehingga tidak ada paksaan. (Wawancara pada 14 April 2010)
Ia juga menyatakan bahwa relokasi terhadap warga bantaran itu bukanlah sebuah
paksaan meskipun sebenarnya wilayah bantaran memang pada hakekatnya bukan
tempat hunian yang baik. Seperti yang dijelaskan dalam pernyataan berikut
Pemerintah kota tidak pernah memaksa untuk relokasi, tetapi itu-kan
tempat larangan, bukan tempat pemukiman. Lalu saya dari pokja bilang
begini ―mbok ya sudah program pemerintah diikuti saja, wong banjir itu
merepotkan orang banyak, selain hanya merepotkan sendiri‖.
... Nantinya yang tinggal di tanah hak milik itu juga dapat 8,5 juta [pen:
perselesihan ini dimotori oleh warga yang tinggal di tanah hak milik].
Yang jadi keinginan mereka kan uangnya mau diminta sekarang, itu saja
kan. Jadi yang jelas relokasi tetap jalan, kami juga tidak mau mengurangi
hak mereka.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
112
Selain itu, Suparno HS menegaskan bahwa nanti pemerintah kota pasti akan
membayarkan semua uang bantuan banjir yang seharusnya menjadi hak warga
sebesar 8,5 juta pada tahun 2010 ini. Sehingga ada upaya dari pemerintah kota untuk
tidak merugikan rakyat.
Di samping itu perselisihan ini rupanya juga dimulai oleh persepsi
masyarakat bantaran bahwa mereka akan mereka akan mendapatkan bantuan jika
mereka direlokasi terlebih dahulu, terutama warga yang tinggal di tanah hak milik
(THM). Ketakutan mereka tidak akan mendapat bantuan uang banjir sebesar 8,5 juta
rupian membuat mereka bertindak dan menggulirkan konflik menentang program
pemerintah. Padahal pemerintah kota hanya menunda pembayaran uang ganti rugi
mereka karena harus mengurusi permasalahan relokasi. Kesalahan persepsi yang
diterima warga bantaran, rupanya juga dikuatkan karena tidak adanya kejelasan
kapan pembayaran uang dana bantuan banjir tersebut akan dibayarkan, sehingga
membuat masyarakat mulai menggulirkan konflik.
Kedua, salah pengertian tersebut muncul karena pemerintah kurang
memberikan sosialisasi yang memadai terhadap semua warga bantaran khususnya
yang tinggal di tanah hak milik (THM), dan warga Semanggi umumnya, tentang
kapan dana bantuan banjir tersebut dibayarkan. Di samping itu, sosialisasi yang
pernah dilakukan pemerintah kota pada awalnya hanya terbatas pada warga yang
tinggal di tanah negara (TN), padahal kenyataannya ada warga yang tinggal di tanah
hak milik (THM). Jika pemerintah kota berniat merelokasi warga bantaran yang
tinggal di tanah hak milik, maka perlu ada sosialisasi lanjutan yang bertujuan
menjelaskan semua maksud dan tindakan pemerintah yang akan dilakukan. Selain
itu, karena program ini bersifat sukarela, tanpa paksaan, pemerintah kota harus
membayarkan semua uang dana bantuan yang menjadi hak warga yang enggan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
113
direlokasi, tanpa syarat apapun. Tidak adanya proses sosialisasi lanjutan membuat
munculnya salah pengertian dan kegagalan komunikasi yang mencetuskan konflik
dan pertentangan antara warga bantaran dan pemerintah kota.
Semua pernyataan yang diberikan oleh para tokoh yang berada di
belakang pemerintah kota serta para tokoh dari warga bantaran pada dasarnya
membentuk suatu pola komunikasi yang dapat dilihat berdasarkan unsur komunikasi
dan interaksi antara unsur-unsur tersebut. Interaksi antarkomponen penyusun proses
komunikasi yang terjadi pada penyebab konflik pada dasarnya menghubungkan dan
membuat penyebab konflik menjadi suatu persoalan yang membutuhkan proses
komunikasi tertentu. Dalam kasus awal perselisihan ini pemerintah kota bertindak
sebagai komunikator yang memberikan sejumlah pesan tertentu melalui sebuah
aktivitas yang dikenal sebagi sosialisasi. Pesan tersebut sebagian besar berkaitan
dengan program relokasi warga bantaran dengan menggunakan dana bantuan banjir
yang dulu sempat dijanjikan oleh pemerintah kota. Di samping itu pesan dari
pemerintah kota tersebut berisikan penundaan pembayaran dana bantuan banjir bagi
warga bantaran yang tinggal di tanah hak milik (THM), termasuk yang memulai
perselisihan, karena ada masalah administrastif yang harus diselesaikan serta ada
upaya untuk mencari proses penyelesaian yang tepat untuk relokasi warga bantaran
yang tinggal di tanah hak milik.
Sementara itu warga bantaran sebagai komunikan mengganggap bahwa
program relokasi merupakan suatu paksaan dan bentuk tekanan pemerintah kepada
warga bantaran agar mau dipindahkan dari wilayah mereka di bantaran. Padahal
pemerintah kota pada dasarnya hanya menunda pembayaran dana bantuan banjir
tersebut, sambil mencari konsep penyelesaian yang tepat bagi warga yang tinggal di
tanah hak milik. Perbedaan persepsi antara pemerintah kota dengan yang telah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
114
diterima oleh warga bantaran. Bentuk miscommunication antara pemerintah kota
dengan warga bantaran menjadi awal perselisiahan yang ketat antara dua pihak
tersebut. Perselisihan tersebut menempatkan pemerintah kota dan warga bantaran
menjadi dua pihak yang berseteru pada konflik tentang dana banjir dan program
relokasi tersebut. Tanggapan atau feedback yang dihasilkan oleh warga bantaran
terkait dengan semua permasalahan tersebut ialah bentuk konflik dan eskalasi konflik
yang secara umum semakin meningkat.
3. Analisis Terhadap Penyebab Konflik
Penyebab konflik, karena bentuk-bentuk salah pengertian dan kesalahan
pemahaman terhadap suatu informasi setidaknya menunjukkan adanya kesalahan dan
kegagalan proses komunikasi dan arus informasi dari satu pihak ke pihak yang lain.
Hal itu, akan menghasilkan arus penyampaian infromasi yang kurang sempurna atau
mungkin sukar dipahami oleh pihak yang lain. Perhatikan kenyataan bahwa kedua
pihak yang bersitegang–warga bantaran dengan pemerintah kota–saling
menyampaikan informasi yang pada dasarnya seragam dan mirip satu dengan yang
lain, yaitu berkisar antara, pendataan korban banjir, sosialisasi, bantuan banjir, dan
program relokasi. Meskipun semua pihak berujar dengan beragam ungkapan yang
berbeda, namun inti mereka tetap pada seputar informasi tersebut. Hal ini,
sebenarnya memberikan indikasi bahwa kemungkinan besar, ada salah satu pihak
yang salah memberikan penilaian dalam menanggapi suatu informasi yang diberikan.
Kondisi tersebut, rupanya semakin diperparah dengan munculnya
beragam asumsi negatif, dengan dasar informasi yang kurang lengkap, sehingga
mengisyaratkan adanya saling ketidakpercayaan di antara kedua pihak yang
berseteru. Hampir semua pendapat yang diajukan oleh informan memberikan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
115
indikasi bahwa pihak lain yang salah, sementara pihak kami yang benar. Hal itu jelas
menambah kesenjangan dan jurang komunikasi yang kian lebar di antara pihak-pihak
yang terlibat dalam konflik.
Selain kedua penyebab umum tersebut, faktor kegagalan komunikasi dan
kesalahan persepsi terhadap suatu informasi, rupanya semakin memperkeruh suasana
konflik yang terjadi antara pemerintah kota dengan warga bantaran. Hal ini jelas
berkesesuaian dengan penjelasan yang diberikan oleh Paul R. Kimmel. Kimmel
menjelaskan bahwa kebanyakan kesalahan komunikasi (miscommunication) terjadi
karena beragam kesulitan untuk menyamakan persepsi, atau pola pikir (mindset)
antara pihak yang terlibat (Kimmel, 2009: 629). Berdiri di pijakan syang sama
dengan Kimmel, Carsten K.W. De Dreu menyoroti penyebab konflik melalui sudut
pandang berbeda namun dengan hasil dan implikasi yang sama. Secara terpisah De
Dreu menjelaskan bahwa konflik dapat terjadi karena munculnya motivasi-motivasi
egois yang berhubungan dengan pembentukan beragam tujuan kompetitif dan
kepentingan individualistis semata, terlebih lagi ada faktor kesalahan kognitif dalam
menanggapi satu pesan (De Dreu, 2004: 116).
Keterangan dan paparan yang serupa namun tak sama tentang penyebab
konflik diberikan oleh beberapa ilmuwan komunikasi. Anne Hill dan koleganya
menyatakan bahwa perbedaan identitas kelompok serta beragam anggapan yang
salah serta munculnya praduga yang berbeda bukan satu-satunya sumber konflik,
bahkan Baron dan koleganya (2006) mengidentifikasi ada beragam sumber konflik
yang dapat ditemukan (dalam Hill, et al, 2007: 93). Senada dengan Hill dan kawan-
kawan (2007), Peter Hartley juga mengidentifikasi penyebab konflik yang sama.
Hartley menjelaskan bahwa munculnya perbedaan kelompok serta pemahaman dan
komunikasi yang salah terhadap suatu pesan dapat menjadi penyebab konflik
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
116
(Hartley, 1999:118). Keterangan para ilmuwan komunikasi itu alih-alih menentang
pendapat yang diberikan Kimmel (2009) dan De Dreu (2004), pendapat mereka
justru menunjukkan dukungan bahwa kesalahan interpretasi dan komunikasi menjadi
penyebab utama konflik, termasuk dalam kasus perselisihan antara warga bantaran
dan pemerintah kota.
Pendapat yang diberikan oleh para pakar komunikasi dan konflik di atas,
tampaknya sesuai dengan kenyataan dan penyebab konflik antara warga bantaran
Sungai Bengawan Solo dan pemerintah kota. Perhatikan fakta bahwa kesalahan
persepsi terjadi di antara kedua pihak yang telibat perselisihan. Pemerintah kota
menganggap warga yang tinggal di bantaran–terutama yang tinggal di tanah hak
milik–tidak mau direlokasi, apapun yang terjadi. Sementara itu, warga bantaran
menganggap pemerintah kota tidak mau membayarkan uang bantuan banjir mereka,
tanpa relokasi lebih dahulu. Kenyataan tersebut, membuat munculnya beragam
persepsi keliru yang pada akhirnya mendorong menuju perselisihan. Selain itu,
perhatikan bahwa kepentingan masing-masing pihak yang terlibat dalam perselisihan
tersebut menunjukkan bahwa semua pihak merasakan bahwa kepentingan merekalah
yang paling benar. Dengan demikian, penjelasan De Dreu (2004) tentang peranan sisi
egoistik sebagai penyebab konflik, agaknya menemui pembenarannya.
Kembali ke pembahasan tentang penyebab konflik yang terjadi antara
warga bantaran dengan pemerintah kota. Fakta yang tersirat jelas di lapangan
menunjukkan bahwa bentuk kesalahpahaman, kegagalan komunikasi dan egoisme
masing-masing pihak dapat menghasilkan suatu konflik dengan eskalasi luas apabila
tidak diselesaikan dan segera dicari jalan keluar serta pemecahannya. Selain itu,
kenyataan bahwa masyarakat bantaran Sungai Bengawan Solo, dan sebagian
masyarakat Semanggi, merupakan warga yang berada di kelas sosial menengah ke
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
117
bawah hingga miskin, membuat penyebab pertentangan bermotif ekonomi tersebut
menjadi semakin rumit.
Dengan dasar ekonomi, Larry A. Samovar menjelaskan bahwa suatu
konflik pada dasarnya bisa disebabkan kehilangan kesempatan untuk mendapatkan
keuntungan (Samovar, 2007: 251). Penjelasan Samovar jelas berhubungan erat
dengan kenyataaan tentang kepentingan tertentu yang membuat warga bantaran
menginginkan agar dana bantuan banjir yang menjadi hak mereka segera dibayarkan.
Sedangkan pemerintah kota memilih menunda pembayaran hingga urusan relokasi
selesai sepenuhnya. Motivasi untuk mencari suatu keuntungan tertentu jelas akan
menghasilkan suatu bentuk dan benturan antarkepentingan–dalam kasus ini benturan
antara kepentingan pemerintah kota dengan kepentingan warga.
Kepentingan yang saling berbenturan tersebut menghasilkan suatu
konsekuensi penting untuk saling menjatuhkan dan menyalahkan pihak lain dengan
segala macam upaya. Signe Preuschoft dan Carel P. van Schaik, yang mendasarkan
pada pendapat Hand (1986), menunjukkan bahwa konflik kepentingan yang muncul
di suatu individu–mahkluk hidup–rupanya terjadi karena adanya bentuk
ketidakcocokan tujuan, atau mungkin juga disebabkan karena ada dua individu–
pihak-pihak tertentu–yang saling menekan dan menghalangi demi tujuan yang
berbeda, atau bisa juga karena terjadinya perebutan terhadap sesuatu yang hanya bisa
dimiliki oleh satu individu (dalam Preuschoft dan van Schaik, 2000: 77). Penjelasan
Preuschoft dan van Schaik menujukkan bahwa konflik kepentingan yang terjadi
antara warga bantaran dan pemerintah kota dapat disebabkan oleh beragam aspek
kepentingan dan ketidaksesuaian tujuan yang terjadi di antara dua pihak yang
terlibat.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
118
Teori Pelanggaran Harapan (Expectancy Violation Theory), yang
dikembangkan oleh Burgoon (1978), mungkin dapat digunakan untuk menjelaskan
fenomena dan situasi konflik yang terjadi antara warga bantaran dan pemerintah
kota. Sederhananya, Teori Pelanggaran Harapan sebenarnya menawarkan penjelasan
untuk memahami sesuatu yang terjadi pada suatu hubungan apabila muncul jarak
yang berasal dari aspek pelanggaran terhadap suatu harapan yang terjadi secara
interpersonal (Anderson, 2009: 41). Penjelasan sederhana dari asumsi dan penjelasan
teori tersebut terfokus pada bagaimana suatu hubungan interpersonal dapat
mengalami perubahan karena munculnya bentuk kekecewaan dan pelanggaran
terhadap suatu harapan yang telah dibangun sebelumnya. Kemunculan kerenggangan
yang terjadi pada satu pihak pada akibat munculnya kekecewaan terhadap suatu
harapan tertentu dapat diartikan sebagai konflik.
Dengan begitu, apabila semua fakta dan konstruk yang terdapat dalam
konflik antara warga bantaran dan pemerintah kota dianalisis dengan teori tersebut,
maka akan menghasilkan sesuatu yang relatif menarik. Perhatikan semua pernyataan
yang diberikan oleh banyak tokoh penting dalam perselisihan tersebut. Kebanyakan
pernyataan diberikan, dalam hubungannya dengan penyebab konflik, saling
menyalahkan pihak lain yang terlibat. Meskipun semua informan memberikan
pernyataan yang hampir sama, namun selalu ada bentuk tekanan kepada pihak lain
yang secara tidak langsung terdapat dalam pernyataan tersebut. Hal itu jelas
menunjukkan kemiripan dengan penjelasan yang diberikan oleh Teori Pelanggaran
Harapan yang juga menjelaskan kemunculan jarak interpersonal karena munculnya
bentuk-bentuk kekerasan dalam hubungan tersebut. Dengan demikian, kemunculnya
bentuk-bentuk kekerasan dalam pernyataan yang diberikan, jelas akan menimbulkan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
119
kerenggangan dalam hubungan interpersonal antara warga bantaran dengan
pemerintah kota.
Sementara itu jika konflik dan penyebabnya dilihat berdasarkan sifat-
sifatnya, maka akan tampak kondisi dan sifat konflik seperti yang dijelaskan oleh
Adler dan Rodman. Adler dan Rodman menyebutkan dalam karyanya, bahwa konflik
memiliki empat sifat khusus yang menunjukkan bahwa konflik sedang terjadi,
keempat sifat tersebut dibagi menjadi, ekspresi perjuangan, merasakan
ketidakcocokan tujuan, merasakan hadiah yang sangat langka, dan saling
ketergantungan (Adler dan Rodman 2006: 236-237). Sekarang perhatikan kenyataan
yang ada, konflik yang terjadi antara warga bantaran dan pemerintah kota juga
menujukkan sifat-sifat serupa dengan yang dikatakan Adler dan Rodman. Hal itu
menujukkan bahwa hampir semua konflik memiliki sifat-sifat tertentu yang pada
dasarnya mirip dengan yang telah dijelaskan oleh dua orang ilmuwan tersebut.
Upaya tidak kenal lelah dari warga bantaran dalam menempuh dan
menuntut dana bantuan banjir yang menjadi hak mereka tampaknya sangat cocok
dengan bentuk ekspresi perjuangan yang dijelaskan Adler dan Rodman (2006).
Bentuk ketidakcocokan tujuan rupanya tercermin dari semua aktivitas warga
bantaran dan pemerintah kota yang saling berargumentasi dan saling menunjuk
kesalahan masing-masing pihak yang terlibat. Sementara itu, semua pihak yang
terlibat rupanya merasakan adanya hadiah tertentu yang akan mereka dapatkan
apabila memenangkan konflik tersebut, warga bantaran akan mendapatkan dana
bantuan banjir, sedangkan pemerintah kota mendapatkan keinginan mereka untuk
dapat merelokasi warga bantaran sepenuhnya.
Pandangan tentang sifat-sifat konflik yang dijelaskan oleh Miall dalam
Del Felice tampaknya juga tercermin dalam konflik yang terjadi di wilayah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
120
Semanggi tersebut, meskipun tidak semua penjelasan Del Felice dapat digunakan
untuk menganalisis sifat konflik tersebut. Del Felice, yang mengutip pendapat Miall
(2004), bahwa konflik biasanya bersifat asimetris terutama yang berhubungan
dengan kekuatan dan status. Selain itu konflik juga dapat memiliki sifat yang
biasanya diperpanjang, sehingga menolak bentuk siklus atau lonceng. Sedangkan
yang terakhir, bentuk-bentuk konflik yang diperpanjang biasanya mengganggu sisi
kemasyarakatan secara lokal dan global (dalam Del Felice 2008: 76). Walaupun
pandangan Del Felice dan Miall tidak sepenuhnya dapat diterapkan untuk memaknai
konflik yang terjadi antara warga bantaran dan pemerintah kota, tetapi pandangan
mereka bahwa konflik biasanya berhubungan dengan kekuatan dan status,
tampaknya masih berkaitan dengan kasus ini secara tidak langsung.
Fakta dan data yang diperoleh dari lapangan pada dasarnya menjelaskan
bahwa konflik yang terjadi antara pemerintah kota dengan warga bantaran dimulai
karena munculnya kesalahan persepsi di dalam warga bantaran ketika menanggapi
program relokasi dan penundaan pembayaran dana bantuan banjir yang dilakukan
oleh pemerintah kota. Namun demikian, kesalahpahaman tersebut sebenarnya
tersebar secara merata pada semua unsur komunikasi yang terlibat dalam penyebab
konflik, mulai dari komunikator, pesan, media yang digunakan, komunikan, serta
tanggapan yang dihasilkan. Sosialisasi yang digunakan pemerintah kota untuk
menjelaskan program penerintah tersebut belum efektif untuk menjelaskan masalah
program pemerintah tersebut, karena belum bisa menghasilkan suatu kesepahaman di
antara warga bantaran.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
121
C. Perkembangan dan Eskalasi Konflik
1. Pernyataan-Pernyataan dalam Eskalasi Konflik
Penyebab konflik yang berkisar dari kesalahan persepsi dan kegagalan
komunikasi, selanjutnya membawa perselisihan menuju tingkat terbuka, dengan
beragam aksi komunikasi yang memiliki implikasi besar dan luas. Setelah mencoba
menggunakan berbagai macam cara untuk membujuk pemerintah kota agar mau
mencairkan dana bantuan banjir tersebut, warga bantaran kini menggulirkan konflik
menuju eskalasi yang lebih luas dan berdampak besar. Begitu luasnya eskalasi
perselisihan yang terjadi antara masyarakat bantaran dan pemerintah kota, beberapa
surat kabar lokal sempat memasukkan permasalahan tersebut menjadi berita utama.
Situasi tersebut jelas menunjukkan bahwa warga bantaran dan pemerintah kota sama-
sama memegang teguh kehendak dan keyakinan mereka.
Fakta tentang perluasan eskalasi konflik yang terjadi antara warga
bantaran dengan pemerintah kota dimuat dalam surat kabar lokal, Joglosemar, edisi
14 Maret 2010. Begitu kuatnya eskalasi konflik tersebut, sampai-sampai warga
bantaran mengajukan gugatan terhadap pemerintah kota di pengadilan negeri,
Surakarta. Joglosemar menuliskan
Ratusan warga penghuni area bantaran di Semanggi hingga kini nekat
bertahan dan menolak tawaran relokasi Pemerintah kota Solo. Karena
kenekatannya itu, mereka hingga kini tidak mendapatkan dana hibah
banjir yang dijanjikan pemerintah. Namun mereka tidak menyerah, meski
kalah dalam gugatan hukum di pengadilan Negeri Surakarta yang mereka
ajukan sendiri. Bahkan mereka menduga ada dugaan korupsi dalam
penyaluran hibah banjir itu (Joglosemar, 14 Maret 2010: 13).
Laporan yang dituliskan oleh harian umum Joglosemar tersebut menujukkan betapa
kuatnya perjuangan dari warga bantaran dalam menuntut hak mereka berkaitan
dengan dana bantuan banjir. Hal itu menimbulkan eskalasi yang luas, hingga
melibatkan peranan pengadilan dan lembaga hukum terkait dalam kasus tersebut.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
122
Situasi dan kondisi seperti itu membuktikan bahwa eskalasi perselisihan
yang terjadi antara warga bantaran dan pemerintah telah berkembang jauh sejak
konflik tersebut digulirkan. Sebab, sudah menjadi rahasia umum bahwa apabila suatu
perselisihan tersebut sudah memasuki ranah pengadilan dan melibatkan institusi
hukum sebagai media perselisihan tersebut, maka dapat dipastikan bahwa
perselisihan tersebut mencapai klimaks dan menjadi fakta tak terbantahkan bahwa
perselisihan telah bergerak dan memiliki implikasi yang lebih luas.
Lebih lanjut, Joglosemar, di edisi yang sama, menjelaskan bahwa
pengadilan tampaknya menjadi ranah baru dan medan perselisihan baru bagi warga
bantaran dan pemerintah kota, terkait dengan kasus bantuan banjir ini. Harian
Joglosemar menuliskan
Setelah melalui proses yang berbelit-belit, pada 17 Februari lalu pihak
Pengadilan Negeri justru memberikan keputusan yang mengecewakan
dengan menolak seluruh materi gugatan ‖Alasannya gugatan kami
melanggar Perda yang menyebutkan wilayah bantaran tidak boleh
dihuni,‖ tambahnya (Joglosemar, 14 Maret 2010: 13).
Penjelasan yang tertulis di harian umum Joglosemar tersebut semakin menguatkan
fakta bahwa pengadilan negeri, Surakarta, menjadi ranah perselisihan baru antara
warga bantaran dan pemerintah kota. Selain itu, pernyataan tersebut menunjukkan
keputusan pengadilan negeri justru menguatkan bahwa semua tuntutan warga
akhirnya dipatahkan di pengadilan negeri tersebut.
Selain beberapa pernyataan di atas, harian Joglosemar, pada edisi 18
Februari 2010, juga memberitakan, pengadilan negeri rupanya menolak semua
gugatan warga bantaran terhadap pemerintah kota terkalit permasalahan relokasi dan
bantuan banjir. Secara lebih jelas harian tersebut menulis dalam lead
Majelis hakim yang menyidangkan gugatan class action warga Bantaran
Bengawan Solo, ditolak. Penolakan tersebut dibacakan majelis hakim saat
membacakan putusan di Pengadilan Negeri (PN) Surakarta, Rabu (17/2).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
123
Majelis menilai gugatan yang diajukan penggugat kabur (Joglosemar, 18
Februari 2010: 9).
Penolakan tersebut pada hakekatnya hanya terfokus pada proses hukum yang
berlaku, sehingga tidak menghasilkan efek apapun terhadap institusi pengadilan
tersebut. Namun demikian, penolakan gugatan tersebut berimbas besar terhadap
warga bantaran yang menggulirkan perselisihan tersebut.
Karena itu, keputusan pengadian negeri tampaknya semakin
meruncingkan permasalahan dan perselisihan antara warga bantaran dan pemerintah
kota sekaligus meluaskan eskalasi konflik tersebut. Surat kabar yang lain rupanya
menjelaskan situasi serupa. Solopos, misalnya, pada edisi 18 Februari 2010
memberitakan
Hakim Ketua Yuhanis SH yang membacakan putusan itu menyatakan
menolak seluruh gugatan warga yang diwakili 13 orang yang tergabung
dalam Solodaritas Korban Banjir Bantaran (SKoBB). ... ‖Menolak
seluruh gugatan yang diajukan oleh penggugat dan membebankan biaya
perkara pada penggugat,‖ ungkap Yuhanis di depan persidangan
(Solopos, 18 Februari 2010: I).
Kontan saja, penolakan pengadilan negeri terhadap semua materi gugatan–dalam
perselisihan tersebut–membuat warga bantaran menggulirkan reaksi keras dengan
cara mengajukan banding. Pada edisi yang sama pula, Solopos menuliskan
Warga yang diwakili oleh kuasa hukumnya Heri Hendro Harjuno SH
langsung banding atas putusan itu. Ratusan warga bantaran yang meng-
geruduk Pengadilan Negeri (PN) Solo langsung meluapkan kekecewaan
mereka. Bahkan, mereka juga mencaci majelis hakim (Solopos, 18
Februari 2008: I).
Tulisan berita dalam harian Solopos tersebut secara tidak langung mengungkapkan
bahwa warga bantaran siap untuk meningkatkan eskalasi konflik tersesbut hingga ke
pengadilan tinggi di tingkat propinsi. Fakta tersebut merupakan bukti kuat bahwa
perselisihan antara warga dengan pemerintah kota tampak semakin pelik.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
124
Keinginan warga bantaran untuk mengajukan banding terhadap putusan
pengadilan merupakan salah satu bukti bahwa perselisihan yang melibatkan suatu
kelompok masyarakat rupanya berpotensi memunculkan eskalasi konflik yang
semakin luas, karena melibatkan banyak institusi tertentu. Selain itu, penyataan
warga untuk meningkatkan pembahasan permasalahan ini hingga ke tingkat propinsi
rupanya menjadi fakta penting yang menujukkan penolakan yang kuat terhadap
suatu kebijakan pemerintah. Di lain pihak, partisipasi aktif media massa lokal yang
memuat perselisihan ini menjadi topik penting dalam berita harian, menujukkan
bahwa konflik tersebut tidak hanya menjadi suatu isu yang terlokalisasi dalam satu
wilayah semata–dalam hal ini kawasan Semanggi–tapi juga menjadi isu lokal yang
dibahas secara luas di seluruh eks-karesidenan Surakarta. Semua hal itu menjadi
sebuah indikasi jelas tentang perkembangan eskalasi konflik.
Pada dasarnya keputusan untuk pengajuan banding tidak serta-merta
muncul ketika proses pengadilan tersebut berakhir dengan penolakan putusan
penggugat, tetapi muncul dari pemikiran sebagian tokoh SKoBB, jauh-jauh hari
sebelum proses pengadilan tersebut di mulai. Sehingga, pada hakekatnya eskalasi
konflik ini sebenarnya sudah direncanakan terlebih dahulu, meskipun tidak secara
langsung. Agus Sumaryawan, ketua dan koordinator SKoBB sebenarnya sudah
menyiapkan langkah-langkah yang hendak ditempuh, apabila mereka menemui
kegagalan di proses pengadilan. Ketika diwawancarai pada proses pengumpulan
data, ia menyatakan
... besok tanggal 17 Februari 2010, ialah pembacaan putusan kami
menang atau kalah di Pengadilan Negeri Surakarta. Saat itu semua warga
yang tergabung dalam SKoBB akan kami kerahkan sebanyak 500 orang
untuk mendukung kami di sana. Jika kami kalah maka akan kami ajukan
banding, lalu segera laporkan ke KPK, karena ada indikasi korupsi.
(Wawancara pada 23 Januari 2010)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
125
Penjelasan tersebut rupanya merupakan pernyataan yang menunjukkan bahwa warga
bantaran rupanya siap melanjutkan perselisihan ini hingga mencapai kemenangan
atau hingga dana banjir tersebut turun. Pernyataan Agus Sumaryawan rupanya
terbukti setelah adanya putusan penolakan yang dibacakan oleh majelis hakim di
pengadilan negeri saat itu.
Situasi di ruang sidang pengadilan negeri rupanya mendukung fakta
bahwa eskalasi perselisihan ini telah meluas. aktivitas observasi yang dilakukan
selama pengumpulan data menunjukkan bahwa setidaknya ada lebih dari 500 orang
warga, persis seperti yang dikatakan oleh Agus Sumaryawan, bantaran yang
memadati ruang sidang dan halaman pengadilan negeri. Kebanyakan dari mereka
yang datang ke sidang tersebut terdiri dari orang-orang paruh baya dan banyak anak
muda yang ikut serta mendukung tuntutan terhadap pemerintah kota terkait dana
banjir. Sementara itu, ruang sidang pengadilan negeri tersebut terasa penuh sesak
dijejali banyak warga bantaran yang berharap-harap cemas menanti putusan majelis
hakim. Sedangkan sebagian warga yang berada di luar ruang sidang membentangkan
poster-poster berisi tuntutan kepada pemerintah kota tentang dana banjir tersebut.
Selain itu ada beberapa media massa lokal dan masional yang meliput persidangan
tentang dana banjir tersebut.
Meskipun pada akhirnya, majelis hakim menolak semua tuntutan warga
yang melakukan tuntutan. Warga bantaran, beserta semua pihak yang berada di
belakang warga, rupanya telah bersiap melakukan semua upaya untuk menuntut hak
mereka tentang dana bantuan tersebut, bahkan warga siap melakukan apapun untuk
menuntut sesuatu yang telah menjadi hak mereka. Pengacara dari pihak warga
bantaran, Heri Hendro Hajuno, sempat mengatakan
Karena ini sudah hak, ini bukan sesuatu yang diminta, tapi sesuatu yang
istilah Jawa-nya ‗dono‘ atau hadiah, karena kebaikan hati pemerintah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
126
terhadap kemanusiaan, maka saya bantu. Bukan! Tapi sudah diamanatkan
undang-undang kebencanaan [pen: undang-undang tentang bencana alam
dan sebagainya], jadi ini tidak bisa tidak, jadi mereka [pen: warga
bantaran] akan keukeuh [pen: berjuang], sampai kapanpun. (Wawancara
pada 15 Maret 2010)
Pernyataan tersebut mengandung suatu indikasi bahwa pada dasarnya warga akan
menempuh segala macam cara untuk menuntut agar dana bantuan banjir segera
dicairkan. Heri Hendro Harjuno juga sempat menyatakan bahwa ia sudah
mengajukan gugatan banding terhadap semua masalah tersebut, ‖Yang jelas, kita
akan naik banding, tanggal 24 Maret ini kita sudah mengajukan memo banding.
Pernyataan bandingnya sendiri sudah saya nyatakan tanggal 2 Maret‖. (Wawancara
pada 15 Maret 2010).
Pernyataan sikap dan penjelasan yang diberikan Heri Hendro Harjuno
pada dasarnya persis seperti yang pernah dinyatakan oleh media massa, tentang
bagaimana sikap yang akan ditempuh apabila hasil putusan pengadilan tersebut
ternyata memenangkan pemerintah kota dan menekuk warga bantaran. Keadaan
tersebut jelas memberikan setidaknya dua kemungkinan besar. Pertama,
permasalahan ini akan berlarut-larut sampai pemerintah kota membayarkan semua
uang yang menjadi hak warga. Kedua, perselisihan tersebut akan terus bergulir
menuju tingkat eskalasi yang lebih tinggi, hingga pada akhirnya lebih banyak
melibatkan beragam kepentingan lain. Kondisi kedua tampaknya akan terus bergerak
menuju ke satu titik yang menyatakan bahwa warga bantaran benar-benar akan
mempertahankan wilayah tersebut hingga batas kemampuan terakhir.
Harian Joglosemar pada edisi 14 Maret 2010 rupanya sempat menuliskan
berita yang pada intinya menyatakan bahwa warga bantaran akan bersikap tegas
terhadap semua upaya yang berusaha menggusur mereka dari tanah tempat tinggal
mereka. Secara umum Joglosemar menuliskan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
127
Namun tidak bagi warga bantaran yang tetap nekat bertahan. Bagi warga
bantaran, tidak pernah mengenal wacana relokasi, karena sejak awal
hanya dijanjikan bantuan untuk rekonstruksi bangunan rumah yang rusak
(Joglosemar, 14 Maret 2010: 13).
Selanjutnya, harian tersebut menuliskan bahwa
Dua sikap yang berbeda ini dipertaruhkan di meja hijau. Sayang, warga
harus menerima kenyataan pahit. Dalam 21 kali persidangan di
Pengadilan Negeri Surakarta, kekalahan diterima warga pada vonis 17
Februari lalu (Joglosemar, 14 Maret 2010: 13).
Pernyataan yang dituliskan oleh harian Joglosemar tersebut setidaknya mengandung
pengertian bahwa warga akan tetap melakukan beragam upaya yang bisa dilakukan
untuk tetap bertahan di bantaran, bahkan jika mereka kalah di semua persidangan
yang telah dilakukan. Hal itu menujukkan bahwa eskalasi perselisihan tersebut pada
dasarnya akan terus meningkat, selama pemerintah kota belum mencairkan bantuan
banjir atau membatalkan rencana relokasi warga bantaran.
Kutipan berita dari harian Joglosemar tersebut pada dasarnya
membenarkan pernyataan dan penjelasan yang diberikan oleh Heri Hendro Harjuno
yang menyatakan bahwa warga bantaran akan terus mempertahankan hak mereka
apapun yang terjadi. Semua fakta yang berada di lapangan tampaknya membuktikan
bahwa eskalasi perselisihan ini sebenarnya berpotensi untuk menjadi semakin luas.
Hal itu beresiko membuat konflik yang terjadi memiliki eskalasi yang semakin
meningkat.
Warga bantaran yang lain juga menyatakan kemungkinan mereka akan
melakukan semua tindakan yang dianggap perlu untuk menuntut dan meminta hak
yang seharusnya mereka terima sekitar tiga tahun silam. Hal itu pada hakekatnya
menjadi salah satu faktor pendorong perluasan eskalasi konflik yang sedang terjadi.
Warga bantaran bernama Maryono menyatakan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
128
Saya yakin apabila pihak pemerintah kota kalah, pasti akan mengajukan
banding, kami juga akan mengajukan banding apabila kami kalah. Pihak,
warga bantaran sendiri kalau kalah juga akan mengajukan banding,
bahkan sampai ketingkat internasional [pen: kemungkinan besar
maksudanya ialah tingkat nasional]. Sebab bagi warga, soal bantuan itu
sudah tidak akan main-main lagi. (Wawancara pada 12 Februari 2010)
Selain itu, ia juga menambahkan
Tetapi kenyataanya belum ada penyelesaian, intinya masing-masing
berusaha mempertahankan apa yang sudah mereka miliki. Karena warga
merasa tidak ada penyelesaian secara baik-baik untuk menangani masalah
ini, maka kami mengajukan masalah ini ke pengadilan. (Wawancara pada
12 Februari 2010)
Secara sederhana pernyataan Maryono menunjukkan bahwa warga siap melakukan
apapun juga demi mendapatkan bantuan banjir tersebut, bahkan jika perlu melakukan
beragam cara, termasuk meningkatkan eskalasi konflik melalui pengadilan dengan
cara melakukan penuntutan.
Garis besarnya, warga bantaran melakukan beragam tindakan yang secara
konseptual merupakan tindakan yang meningkatkan perluasan konflik tersebut
apabila belum mendapatkan hasil positif dan tanggapan dari pemerintah. Dengan
begitu perluasan konflik tersebut kemungkinan besar bisa melakukan beragam cara
dengan harapan mendapatkan perhatian dari pemerintah kota, termasuk membawa
permasalahan ini ke tingkat nasional. Berita yang diangkat oleh beberapa harian
lokal tersebut rupanya menujukkan semacam penegasan dari pernyataan warga
sendiri. Hal ini jelas akan memberikan dampak tertentu bagi warga dan pemerintah
kota apabila tidak segera diselesaikan. Namun demikian, tanggapan para tokoh yang
terlibat tidak selalu demikian. Bagi para tokoh yang berada di luar bantaran–bukan
warga bantaran–dan tokoh yang berada di belakang relokasi justru memberikan
pernyataan sebaliknya, bahwa aksi yang dilakukan warga bantaran tidak lebih dari
aksi biasa.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
129
Wartawan harian Joglosemar, Abdul Alim, menganggap eskalasi
perselisihan tersebut kemungkinan besar tidak akan berdampak banyak bagi
pemerintah kota. Bagi Alim, perselisihan tersebut justru akan berdampak pada warga
bantaran sendiri. Wartawan harian Joglosemar itu menyatakan
Lagi pula semakin lama mereka [pen: warga bantaran anggota SKoBB]
bertindak pasti akan semakin capek, sekarang pergerakan SKoBB tidak
seperti pada awal masa terbentuknya dulu. Sekarang aktivitas yang
mereka lakukan cenderung minim. (Wawancara pada 21 Maret 2010)
Indikasi yang tersirat dari jawaban yang diberikan Alim seakan menegaskan bahwa
upaya yang dilakukan masyarakat bantaran untuk meningkatkan eskalasi konflik,
dengan cara menutut pemerintah kota, justru merugikan masyarakat sendiri, karena
masyarakat jelas membuang lebih banyak biaya ketimbang yang akan didapatkan. Ia
juga menyatakan
Sepertinya pemerintah kota menganggap bahwa semua permasalahan
tersebut hanyalah sebagian kecil dari hambatan dari semua program
relokasi yang sudah berhasil. Sebab semua program pasti ada
hambatannya, sehingga, mungkin, bagi pemerintah kota semua
permasalahan ini hanya hambatan kecil setelah semua program relokasi
berhasil. (Wawancara pada 21 Maret 2010)
Hal itu jelas bertentangan dengan anggapan warga bantaran bahwa perluasan dan
semua aktivitas untuk menggulirkan dan meningkatkan eskalasi perselisihan itu bisa
mewujudkan harapan mereka untuk mendapatkan hasil positif .
Namun demikian pemerintah kota pada dasarnya memberikan perhatian
kepada semua aksi yang dilakukan oleh pihak-pihak yang menggulirkan perselisihan
tersebut, walaupun perhatian tersebut tidak sebesar perhatian mereka terhadap warga
yang telah direlokasi. Hal itu, tampaknya menjadi peredam eskalasi perselisihan
tersebut, meskipun tidak menghentikannya. Suparno HS, sebagai wakil dari
pemerintah kota, menyatakan ‖Ya tidak masalah, wong itu semua hak mereka, ya
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
130
namanya alam demokrasi, ya pasti ada yang setuju, ada pula yang menentang. Yang
penting nanti tahun 2010 akan selesai, kan begitu toh.‖ (Wawancara pada 14 April
2010). Pernyataan yang diberikan Suparno HS menunjukkan bahwa pemerintah kota
memberikan kebebasan bagi warga bantaran yang ingin melakukan kontra terhadap
kebijakan pemerintah tentang relokasi dan penundaan dana banjir. Selain itu, paparan
itu menunjukkan bahwa pemerintah kota juga memberikan perhatian yang minim
terhadap munculnya perselisihan tersebut, sama seperti yang dikatakan oleh Alim.
Lebih lanjut, Suparno HS berusaha menyampaikan perhatian pemerintah
kota terhadap warga bantaran yang melakukan perselisihan tersebut, meskipun hal itu
tidak secara langsung tersirat dalam pernyataannya. Ketua Pokja tersebut
menyampaikan
Apa memang ganti rugi toh... yang 8,5 juta itu kan uang banjir. Bagi
warga yang tinggal di luar bantaran uang 8,5 juta itu buatlah untuk
membeli memperbaiki rumah, kalau yang berada di bantaran gunakan
untuk beli tanah, lalu gunakan juga untuk buatlah rumah. Untuk warga
yang tinggal di tanah hak milik nanti akan dipertimbangkan berapa harga
tanah per meternya. Saya yakin semua hal itu tidak akan merugikan
warga. Kalau mereka melawan dengan keras, kita harus lunak, semua itu
harus pakai strategi, ya kan. (Wawancara pada 14 April 2010)
Dengan demikian, pemerintah kota pada dasarnya tetap menjalankan program
relokasi warga, sekaligus berusaha mencari jalan keluar yang baik untuk
menghambat eskalasi konflik tersebut. Jadi sebenarnya pemerintah kota
memperhatikan keinginan masyarakat bantaran yang enggan direlokasi, meskipun
seakan-akan enggan memperhatikan. Dari sini sebenarnya tampak bahwa pemerintah
kota sebenarnya berniat baik terhadap warga bantaran.
Sementara itu, tokoh penting di DRPD Surakarta, Sukasno SH,
memberikan penjelasan bahwa pemerintah kota memberikan perhatian yang relatif
lebih sedikit terhadap warga yang menolak relokasi, karena menganggap bahwa
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
131
pemerintah kota sudah melakukan hal yang dianggap perlu untuk meredam eskalasi
perselisihan tersebut. Meskipun hal itu tidak mengurangi niat baik pemerintah kota
untuk menyelesikan konfik tersebut. Secara pribadi, Sukasno SH mengatakan
Pemerintah kota bersikap pasif, artinya yang lalu biarlah berlalu, sebab
pemerintah kota sudah mengambil semua langkah yang diperlukan,
memberikan pemahaman ya sudah, memberikan sosialisasi, tapi pada
akhirnya dikembalikan ke warga. Lalu jika mereka menggugat
pemerintah kota ya silahkan saja. (Wawancara pada 11 Mei 2010)
Pernyataan yang diberikan Sukasno SH menampakkan fakta dan bukti baru bahwa
pemerintah kota lebih banyak memberikan kebebasan kepada warga bantaran untuk
melakukan aksi protes dan menggulirkan perselisihan secara bebas. Meskipun begitu,
pemerintah kota juga telah melakukan tindakan-tindakan baik, karena telah
memberikan pemahaman dan sosialisasi. Meskipun ada beberapa pihak yang menilai
sosialisasi tesrebut belum menjangkau sasaran.
Sebagai wakil dari pemerintah kota, Widdi Srihanto juga memberikan
pernyataan yang mirip dengan yang diberikan oleh Sukasno SH. Widdi Srihanto
secara umum menyatakan bahwa pemerintah kota secara sederhana bersikap pasif
ketika menghadapi tekanan warga bantaran yang melakukan aksi. Ia menjelaskan
bahwa
Kalau menghadapi mereka semua ya tinggal terserah mereka saja, wong
kita sudah transparan mengurus mereka semua itu. Selama masih ada
komunikasi maka semua masalah seperti itu pasti dapat diselesaikan.
Kami juga harus mencari konsep yang tepat untuk mengatasi warga yang
tinggal di tanah hak milik. (Wawancara pada 25 Mei 2010)
Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa pemerintah kota lebih banyak bersikap
pasif ketika menghadapi eskalasi konflik yang sejatinya menekan pemerintah kota.
Karena pemerintah kota beranggapan telah memberikan semua hal yang dirasa
perlu untuk tindakan sosialisasi tentang relokasi.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
132
Semua pendapat dan pernyataan yang diberikan oleh semua tokoh terkait
dan laporan yang ditulis oleh media massa menjelaskan semua hal yang berkaitan
dengan perkembangan dan eskalasi konflik yang terjadi antara warga bantaran dan
pemerintah kota yang secara sederhana rupanya dipengaruhi oleh beberapa hal.
Permasalahan tentang dana bantuan banjir yang tidak kunjung selesai atau
sederhananya tidak kunjung dibayarkan oleh pemerintah kota membuat masyarakat
mulai mendesak semua pihak terkait untuk segera mencairkan dana yang menjadi
hak mereka. Akan tetapi, hampir semua pihak yang secara teknis bertanggungjawab
terhadap dana bentuan banjir tersebut seakan acuh-tak-acuh terhadap tuntutan
tersebut. Ketika warga bantaran merasa semua upaya legal yang telah diupayakan
menemui jalan buntu, warga bantaran mulai menggalang kekuatan untuk memulai
melakukan aksi-aksi penuntutan terhadap pemerintah kota melalui beragam cara,
termasuk melalui aksi demonstrasi dan tuntutan perdata di pengadilan negeri.
Tuntutan perdata dan aksi protes terhadap pemerintah kota menimbulkan
efek serius terhadap permasalahan ini. Persoalan yang pada mulanya hanya menjadi
isu lokal–hanya terkait dengan warga bantaran semata–kini menjadi isu di sekitar
Karesidenan Surakarta. Inilah fakta yang menunjukkan bahwa persoalan dana banjir
telah meluas menjadi permasalahan yang dibahas di pengadilan yang mungkin akan
berlanjut ke tingkat nasional. Hal itu jelas menjadi indikator paling jelas untuk
menujukkan bahwa eskalasi perselisihan tersebut telah meluas dengan implikasi yang
cukup besar, meskipun tidak terlalu signifikan. Liputan-liputan yang dilakukan oleh
beberapa media massa lokal tentang permasalahan tersebut semakin menguatkan dan
menujukkan betapa luasnya pengaruh eskalasi pertentangan tersebut. Konflik
berlatarbelakang ekonomi ini rupanya tidak hanya mencakup ranah ekonomi semata,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
133
tapi juga mulai merambah ke ranah hukum, yang dibuktikan melalui lebih dari dua
puluh satu kali persidangan.
Persoalan ini rupanya tidak hanya berhenti di ranah hukum semata, tapi
juga makin merembet ke ranah politik kota. Perhatikan kutipan ulang dari harian
Radar Solo, yang menunjukkan betapa permasalahan ini sudah memiliki eskalasi
yang semakin luas. Harian Radar Solo menuliskan
... pasangan Jokowi-Rudy secara tak terduga terjungkal di satu tempat.
Pasangan Jodi kalah telak di TPS 21, Kelurahan Sangkrah, kecamatan
Pasar Kliwon. Kekalahan itu diduga kuat lantaran persoalan bantuan
banjir yang tak kunjung kelar di lokasi tersebut (Radar Solo, 27 April
2010).
Berita tersebut tidak hanya menujukkan bahwa permasalahan tersebut telah sampai
ke ranah politik, tapi juga mempengaruhi perolehan suara dalam pemilihan kepada
daerah. Karena persoalan ini secara tidak langsung melibatkan walikota dan wakil
walikota Solo, maka perolehan suaran pasangan walikota-wakil walikota di TPS 21,
yang notabene berada di wilayah bantaran sangat terpengaruh, bahkan jauh dibawah
target. Hal itu, menurut harian Radar Solo, masih berhubungan dengan permasalahan
tentang dana banjir yang tak kunjung dibayarkan.
Fakta dan kenyataan bahwa adanya perkembangan luas dan pengaruh
perselisihan dana banjir dari tingkat awal yang hanya berkembang di sekitar bantaran
lalu berkembang hingga ke tingkat hukum dan politik tampaknya menjadi bukti
bahwa perselisihan tersebut memiliki eskalasi yang semakin luas. Hal itu menjadikan
permasalahan dana banjir yang menjadi inti permasalahan ini tidak hanya menjadi
persoalan dan isu warga bantaran semata, tapi juga telah menjadi isu warga di
seluruh eks-karesidenan Surakarta.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
134
2. Pola dan Proses Komunikasi dalam Eskalasi Konflik
Komunikasi menjadi sesuatu yang dapat dipastikan berpengaruh terhadap
semua aspek dalam eskalasi konflik antara pemerintah kota dengan warga bantaran.
Komunikasi dalam esklasi konflik rupanya membawa pesan penting bahwa warga
bantaran yang memulai konflik terus mengupayakan perjuangan tentang dana
bantuan banjir yang dijanjikan pemerintah. Hal itu membuat komunikasi yang
berlaku pada eskalasi konflik tampaknya agak berbeda dengan yang terjadi pada
faktor penyebab konflik. Hal itu membuat pola komunikasi yang terjadi pada
eskalasi konflik mendudukkan warga bantaran sebagai komunikator sedangkan
pemerintah kota sebagai komunikan.
Proses komunikasi dalam eskalasi konflik, yang terjadi antara pemerintah
kota dengan warga bantaran, menunjukkan situasi yang bertolak belakang dengan
proses komunikasi yang terjadi pada penyebab konflik. Dengan demikian ada
perubahan mendasar pada komunikator, pesan, komunikan, dan tanggapan. Pada
eskalasi konflik, terkait dana bantuan banjir, warga bantaran bertindak sebagai
komunikator. Sebagai komunikator, warga bantaran menyandikan sejumlah pesan
tertentu yang dialamatkan kepada pemerintah kota. Pesan tersebut berfungsi
menekan pemerintah kota untuk segera mencairkan dana bantuan banjir tersebut.
Dengan demikian, aksi demonstrasi dan gugatan di pengadilan kepada pemerintah
kota, DPRD, dan semua pihak yang berada di belakang dana bantuan banjir tersebut
bisa dikategorikan sebagai suatu pesan tertentu yang disandikan oleh warga bantaran.
Dalam situasi tersebut, tuntutan warga bantaran melalui media berupa jalur hukum
dan demonstrasi, tampaknya juga dapat dipahami sebagai suatu pesan dengan tensi
keras yang diberikan kepada pemerintah kota, dengan harapan agar pemerintah kota
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
135
segera menurunkan dana bantuan banjir dan membatalkan relokasi bagi warga
bantaran.
Di samping itu, forum masyarakat bantaran bernama SKoBB tampaknya
lebih berfungsi sebagai suatu kelompok yang mendorong dan menguatkan pesan
yang diberikan oleh warga bantaran kepada pemerintah kota. Hal itu menujukkan
bahwa aspek komunikasi dan keputusan yang diambil suatu kelompok dengan tujuan
menekan kelompok lain mungkin tidak dapat diabaikan begitu saja. Penguatan yang
dilakukan oleh SKoBB dapat meningkatkan eskalasi konflik dan mungkin juga
ketegangan pada pihak tertentu yang pada akhirnya merenggangkan hubungan di
antara semua pihak yang terlibat, dalam kasus ini ialah warga bantaran dan
pemerintah kota.
Dalam situasi eskalasi konflik, pemerintah kota rupanya menjadi
komunikan yang menguraikan sejumlah pesan yang diberikan oleh warga bantaran
terkait dengan dana bantuan banjir dan relokasi. Semua pesan yang disampaikan oleh
warga bantaran kepada pemerintah kota sebenarnya dapat dipahami sebagai tekanan
keras yang sebenranya dapat membuat pemerintah kota mengambil tindakan tertentu
untuk menanggapi semua pesan tersebut. Namun demikian, tanggapan atau
feedback yang diberikan oleh pemerintah kota ialah sikap tenang dengan cara
memberikan tanggapan yang minim, atau setidaknya pemerintah kota berusaha
menyelesaikan permasalahan ini secara diam-diam dan berada di belakang layar,
sehingga warga bantaran tidak mengetahui bahwa pemerintah kota sebenarnya
berusaha menemukan solusi dari masalah tersebut. Komunikator, pesan, komunikan,
dan tanggapan sebenarnya telah menujukkan bahwa proses komunikasi memang
benar-benar terjadi dalam proses perselisihan antara pemerintah kota dan warga
bantaran terkait dana bantuan banjir tersebut.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
136
Pola komunikasi tersebut membuat proses komunikasi yang terjadi antara
warga bantaran dengan pemerintah kota, menjadi suatu proses yang menujukkan
bahwa konflik yang terjadi di antara dua pihak tersebut berada dalam titik puncak.
Peranan pengadilan sebagai lembaga hukum yang digunakan oleh warga bantaran
untuk meningkatkan eskalasi konflik, mendorong penguatan eskalasi konflik yang
sedang terjadi. Dengan demikian, proses komunikasi yang terjadi antara dua pihak
yang saling berseteru pada dasarnya memiliki tingkat kekerasan yang relatif tinggi.
3. Analisis Tentang Eskalasi Konflik
Eskalasi perselisihan tersebut tampaknya masih berhubungan dengan
permasalahan dan faktor pencetus perselisihan tersebut. Dengan demikian, maka
eskalasi suatu konflik berkaitan erat dengan sifat-sifat konflik dan mungkin juga tipe
dari konflik tersebut. Pada subbab sebelumnya telah dijelaskan sebagian dari tipe
konflik yang terjadi serta sifat-sifat konflik tersebut, namun tidak begitu lengkap.
Karena faktor eskalasi konflik masih berhubungan dengan sifat-sifat konflik dan tipe
konflik, maka dalam subbab ini sifat dan tipe konflik akan digunakan untuk
menjelaskan eskalasi konflik tersebut beserta semua implikasi yang terkait di
dalamnya.
Paparan tentang sifat konflik paling sederhana diberikan oleh pakar
komunikasi bernama Ronald B. Adler dan George Rodman (2006). Penjelasan Adler
dan koleganya, Rodman, secara sederhana menunjukkan bahwa setiap perselisihan
memiliki sebuah sifat-sifat khusus yang mewarnai, menandai dan menjadi suatu
motivasi bagi semua pihak yang terlibat dalam perselisihan tersebut. Bagi dua orang
ilmuwan tersebut, konflik dianggap seperti sebuah materi yang memiliki sifat dan
perlaku tertentu dalam proses interaksinya. Hal itu membuat keduanya merumuskan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
137
bahwa sifat konflik terdiri dari ekspresi perjuangan, merasakan ketidakcocokan
tujuan, merasakan hadiah yang sangat langka, dan saling ketergantungan (Adler
dan Rodman 2006: 236-237). Keempat sifat tersebut kemungkinan besar
berhubungan erat dengan bentuk eskalasi konflik yang terjadi di semua ranah dan
semua bidang, dalam kasus ini perselisihan antara warga bantaran dengan pemerintah
kota.
Apabila kita masukkan semua fakta yang berhubungan dengan eskalasi
konflik yang telah dijelaskan pada subbab ini, maka kita akan menemukan
kecocokan dengan sifat-sifat yang telah dijelaskan oleh Adler dan Rodman (2006).
Sifat paling awal dari konflik dikenal sebagai ekspresi perjuangan. Perhatikan semua
fakta yang terkait dengan hal itu. Pernyataan Agus Sumaryawan, sebagai warga
bantaran, yang mengatakan bahwa warga bantaran akan berjuang melalui pengadilan
serta mengajukan banding apabila kalah di ranah pengadilan negeri, menunjukkan
bahwa warga bantaran mengerahkan semua upaya serius demi mendapatkan hak
mereka. Kenyataan tersebut menjadi fakta penting tentang perjuangan yang
dilakukan oleh bantaran. Hal itu dikuatkan oleh penjelasan Heri Hendro Harjuno
yang mengatakan bahwa warga bantaran akan terus teguh berjuang demi
mendapatkan hak mereka. Perjuangan yang dilakukan oleh warga bantaran seperti
Agus Sumaryawan jelas menjadi indikasi bahwa eskalasi perselisihan tersebut telah
meluas.
Ekspresi perjuangan seperti itu mendapatkan perhatian khusus dari pakar
konflik dan hukum dalam sebuah jurnal ilmiah. Mark S. Simms, mengutip pendapat
dari Silver dan Baker (1998), sempat menulis dalam jurnal ilmiahnya bahwa
perjuangan hukum yang dilakukan suatu kelompok masyarakat dapat membentuk
suatu aksi massa sehingga membutuhkan suatu bentuk gugatan yang berasal dari
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
138
kelompok tersebut (Simms, 2009: 265). Penjelasan yang hampir mirip diutarakan
oleh William H. Baker. Ia menyatakan bahwa aksi kelas atau aksi massa biasanya
menyediakan pembuktian hak asasi dalam suatu situasi yang terlalu kecil untuk
membawa kepentingan ekonomi masing-masing pihak yang membutuhkan
pernyataan berdasarkan individu (Baker, 2009: 336). Pendapat yang diajukan oleh
para pakar konflik di atas setidaknya menjelaskan bahwa aksi perjuangan yang
dilakukan warga bantaran yang mulai merambah ke jalur hukum membutuhkan
bentuk gugatan penuh di pengadilan demi tujuan utama yaitu hak individu mereka
untuk mendapatkan keuntungan.
Secara sederhana warga bantaran melakukan aksi perjuangan dan
meluaskan eskalasi perselisihan tersebut demi satu tujuan yang secara umum
merupakan hak mendapatkan keuntungan. Seperti yang dijelaskan oleh Simms
(2009) dan Baker (2009), warga bantaran melakukan semua tuntutan di jalur hukum
sebenarnya juga untuk membuktikan bahwa mereka memiliki hak penuh terhadap
sesuatu yang sudah dijanjikan. Dengan begitu semua aksi tersebut jelas menjadi
penegasan paling tepat terhadap sifat konflik, yaitu ekspresi perjuangan.
Sifat konflik kedua yang dapat dilihat dalam semua fakta dan kenyataan
yang terjadi dalam eskalasi konflik antara warga bantaran dan pemerintah kota ialah
merasakan ketidakcocokan tujuan. Kenyataan yang ditunjukkan oleh semua pihak
dalam perselisihan antara warga bantaran dan pemerintah kota menujukkan adanya
pertentangan dan tujuan yang bertentangan. Semua fakta yang ada tampaknya
menunjukkan hal itu. Warga bantaran, yang diwakili oleh beberapa orang termasuk
Agus Sumaryawan, yang meluaskan eskalasi konflik dengan satu tujuan yaitu
mendapatkan perhatian pemerintah kota dalam bentuk uang bantuan banjir sebesar
8,5 juta. Tujuan yang digulirkan warga jelas bertentangan dengan maksud
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
139
pemerintah kota yang menginginkan agar warga bantaran segera direlokasi. Di
samping itu pemerintah kota rupanya menunda pembayaran uang bantuan banjir
tersebut karena harus menyelesaikan beberapa perubahan dan relokasi warga
bantaran yang tinggal di tanah negara sebelum mengurus warga yang tinggal di tanah
hak milik.
Perbedaan kepentingan dan tujuan antara warga bantaran dan pemerintah
kota rupanya diwujudkan dalam bentuk tuntutan secara terbuka melalui jalur hukum.
Tindakan tersebut menunjukkan bahwa pada hakekatnya warga bantaran mengubah
eskalasi perselisihan mereka dari aksi fisik, demonstrasi dan protes, menuju jalur
hukum. Douglas Yarn menjelaskan bahwa hukum pada dasarnya tidak langsung
mengacu pada konflik kepentingan, melainkan hanya menekankan pada satu pihak
untuk tetap berpegang pada norma agar tidak bertindak saling menentang secara
berlebihan (Yarn, 2000: 72). Pandangan Yarn pada dasarnya tidak langsung
menjelaskan tentang fakta bahwa warga bantaran dan pemerintah kota saling
bertentangan dalam tujuannya, tapi menjelaskan bahwa upaya warga bantaran
menggunakan jalur hukum pada dasarnya mampu mencegah aksi warga bantaran
yang jauh lebih buruk atau lebih anarkis.
Pandangan yang berbeda diberikan Marina Cords dan Filipo Aureli. Bagi
Cords dan Aureli, ketidakcocokan tujuan tersebut tergantung bagaimana pihak-pihak
yang terlibat menyikapinya, beberapa tujuan yang tidak cocok bagi satu pihak justru
berarti cocok bagi pihak yang lain (Cords dan Aureli, 2000: 182). Apabila kita
hubungkan pendapat Yarn (2000) serta pandangan Cords dan Aureli (2000) dengan
semua fakta tentang eskalasi konflik yang berhubungan dengan ketidakcocokan
tujuan, maka dapat dikatakan bahwa eskalasi perselisihan yang ditingkatkan oleh
warga bantaran melalui jalur hukum berfungsi untuk menghindari perselisihan yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
140
lebih keras, karena pada hakekatnya pemerintah kota hanya memiliki ketidakcocokan
tujuan dengan warga bantaran yang menentang relokasi, dan hanya mau menerima
bantuan banjir saja.
Semua fakta dalam eskalasi konflik antara warga bantaran dengan
pemerintah kota yang digulirkan di pengadilan serta keinginan warga untuk
menempuh jalur hukum pada dasarnya mendukung pendapat yang diberikan oleh
Douglas Yarn (2000). Hal itu jelas menjadi semacam bukti otentik bahwa warga
memang memilih jalur hukum karena menilai jalur tersebut lebih baik ketimbang
jalur fisik dan demonstrasi yang kebanyakan tidak menghasilkan apa-apa. Sedangkan
aksi pemerintah kota yang tetap memilih merelokasi warga atau setidaknya berusaha
meredam eskalasi konflik tersebut agaknya dapat dijelaskan oleh pandangan Cords
dan Aureli (2000) yang mengatakan bahwa ketidakcocokan itu tergantung bagaimana
pihak tersebut menilai hubungannya. Sehingga semua fakta dan data yang ada di
lapangan menjelaskan sifat konflik, dalam eskalasi konflik antara warga bantaran dan
pemerintah kota, yang diterangkan oleh Adler dan Rodman (2006), yaitu merasakan
ketidakcocokan tujuan.
Bagian selanjutnya dari sifat konflik yang dapat ditemukan dalam eskalasi
konflik antara warga bantaran dan pemerintah kota dikenal sebagai mendapatkan
hadiah yang langka. Adler dan Rodman (2006) menjelaskan hal itu sebagai bentuk
ketiga dari sifat-sifat konflik. Semua hal yang diberikan dari lapangan tentang
eskalasi perselisihan antara warga bantaran dan pemerintah kota secara implicit
menujukkan bahwa semua pihak yang terlibat pasti mendapatkan sesuatu ‗hadiah‘–
entah dalam bentuk materi atau pengakuan serta legitimasi–apabila mereka
memenangkan perselisihan tersebut. Heri Hendro Harjuno, sebagai pengacara yang
mewakili warga bantaran, mengatakan bahwa warga bantaran akan tetap teguh
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
141
berjuang hingga hak tersebut didapatkan. Hal itu menunjukkan dua hal. Pertama
eskalasi konflik yang ada menjadi semakin rumit. Kedua, pernyataan tersebut
mengindikasikan bahwa warga akan mendapatkan ‗hadiah‘ mereka, yaitu pencairan
dana bantuan banjir, apabila memenangkan perselisihan tersebut.
Semua keterangan tersebut pada dasarnya mengacu pada sesuatu aspek
yang berkaitan sifat konflik yang dijelaskan Adler dan Rodman (2006) tentang
‗hadiah‘ yang akan didapatkan salah satu pihak dalam suatu perselisihan. Dengan
demikian, hal itu mendukung keterangan yang diberikan oleh Marilynn B. Brewer. Ia
menjelaskan bahwa pada hakekatnya konflik kepentingan yang terjadi
antarkelompok berkaitan erat dengan suatu kompetisi untuk memperebutkan materi
tersebut. Sehingga, apabila ada suatu sumberdaya atau materi yang sedang
diperebutkan, maka dapat dipastikan kedua pihak tersebut akan berada dalam
ketergantungan negatif atau dikenal sebagai konflik (Brewer, 2001: 28). Pengakuan
ilmiah tersebut secara sederhana menegaskan semua aktivitas dan perilaku semua
pihak yang terlibat dana konflik tersebut. Sikap antara dua pihak yang bersengketa,
warga bantaran dan pemerintah kota, yang saling masih berhubungan dengan
‗hadiah‘ berupa pengakuan atau legitimasi, jelas dapat memasukkan kedua pihak
tersebut ke dalam perselisihan kepentingan.
Jika perselisihan yang terjadi antara pemerintah kota dengan warga
bentaran dianalisis menggunakan sifat konflik yang dijelaskan Adler dan Rodman
(2006), dan keterangan dari Brewer (2001), maka akan dihasilkan suatu pandangan
baru terhadap eskalasi perselisihan tersebut. Eskalasi perselisihan yang terjadi antara
warga bantaran dan pemerintah kota pada dasarnya terjadi karena masing-masing
pihak berusaha mendapatkan ‗hadiah‘, yang bagi Brewer (2001) ‗hadiah‘ semacam
itu bisa berupa materi atau sumberdaya tertentu. Dalam kasus perselisihan itu, materi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
142
atau sumber daya tersebut diwujudkan dalam bentuk uang, pengakuan dan legitimasi,
atau kepatuhan warga bantaran untuk direlokasi. Hal itu menguatkan pernyataan
bahwa konflik biasanya memperebutkan hadiah yang langka.
Sifat konflik berupa saling ketergantungan dituntukkan oleh pihak-pihak
yang saling berselisih secara tidak langsung. Warga bantaran dan pemerintah kota
rupanya menunjukkan sikap tersebut. Teori Ketergantungan (Interdependence
Theory) yang dikembangkan oleh Thibaut dan Kelley (1959) tampaknya bisa
digunakan untuk menganalisis situasi eskalasi konflik tersebut. Secara umum Teori
Ketergantungan menjelaskan bahwa individu bisa membuat penilaian terhadap suatu
hubungan dengan individu lain berdasarkan dua kondisi tertentu. Pertama, ada
derajat kepercayaan terentu yang seharusnya diberikan kepada yang berhak, dari
seorang teman atau mitra dekatnya. Kedua, derajat kepercayaan yang diberikan oleh
teman atau mitra dekat harus menghasilkan sesuatu yang melampaui semua hal yang
dapat diberikan orang lain (Simpson, Fletcher, dan Campbell, 2003: 87). Jika kita
masukkan semua fakta tentang konflik dan eskalasinya ke dalam Teori
Ketergantungan maka akan dihasilkan suatu bentuk keterikatan antara semua fakta
atau konstruk yang ada.
Secara gampang, perselisihan tersebut dimulai ketika pemerintah kota
memutuskan untuk menunda membayarkan uang dana bantuan banjir yang menjadi
hak warga bantaran. Sementara itu, warga bantaran mulai menuntut agar uang
tersebut secapat mungkin segera dicairkan. Perhatikan fakta bahwa warga bantaran
pada dasarnya memberikan kepercayaan kepada pemerintah kota untuk
membayarkan semua uang bantuan banjir yang menjadi hak mereka. Hal itu tidak
menunjukkan adanya bentuk kondisi pertama. Padahal warga bantaran berharap
pemerintah kota bisa mencairkan uang tersebut agar muncul kepercayaan kepada
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
143
pemerintah kota. Karena kondisi pertama yang dijelaskan oleh Teori Ketergantungan
tidak dapat dipenuhi oleh pemerintah kota dan warga bantaran, maka muncul
ketegangan dan perselisihan kelompok dengan sifat-sifat interpersonal yang terjadi
antara warga bantaran dan pemerintah kota. Dengan demikian, meskipun Teori
Ketergantungan bukan termasuk teori konflik, namun teori tersebut setidaknya
mampu menjelaskan bentuk-bentuk hubungan semua pihak dalam eskalasi konflik.
Selain itu, eskalasi konflik ini tidak hanya dapat dinilai berdasarkan
sifatnya semata, tapi juga dapat dilihat dan diklasifikasikan berdasarkan tipe
konfliknya. Semua fakta dan data tentang konflik yang terjadi di kawasan semanggi
rupanya dapat dikategorikan ke dalam konflik kepentingan, seperti yang dijelaskan
oleh Martin dan Nakayama. Ia menjelaskan bahwa konflik kepentingan merupakan
bentuk konflik yang menggambarkan situasi orang yang sedang mengejar tujuan-
tujuan yang sama dengan cara-cara yang sangat bertentangan, sehingga
memunculkan ketegangan (Martin dan Nakayama, 2003 :381). Konflik seperti itu
rupanya menujukkan bahwa semua pihak yang terlibat di dalamnya memiliki
kepentingan berbeda yang hendak diselesaikan, namun pihak lain berusaha
menghalangi kepentingan tersebut dengan cara menggulirkan kepentingan mereka
sendiri. Situasi dan kondisi tersebut membuat pemerintah kota dan warga bantaran
merasa diri merekalah yang paling benar di antara semua pihak yang terlibat.
Selain itu, konflik tersebut juga dapat dimasukkan ke kategori konflik
ego. Konflik ego atau ego conflict sebenarnya terjadi apabila individu menjadi sangat
defensif karena mereka beranggapan bahwa ada seseorang yang menyerang secara
pribadi. Keadaan seperti ini berkaitan langsung dengan emosi dan rasa pertahanan
dalam diri individu karena bentuk pertahanan orang lain (Beebe dan Masterson,
2003: 260-264). Perhatikan lebih dalam penjelasan yang diberikan Martin dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
144
Nakayama (2003) serta Beebe dan Masterson (2003). Paparan para pakar itu
menunjukkan bahwa kepentingan yang menjadi dasar konflik tentang dana bantuan
banjir tersebut masih berhubungan dengan ego masing-masing kelompok. Kedua
pihak yang saling terlibat dalam pertentangan tersebut secara tidak langsung
menyatakan bahwa kepentingan kelompok mereka-lah yang paling benar. Kondisi
dan situasi semacam itu hanya dapat terjadi apabila ada faktor ego yang mulai saling
bertarung dan saling beradu kepentingan. Fakta dan pernyataan para tokoh yang
telibat dalam perselisihan tersebut, secara tidak langsung, melibatkan ego masing-
masing. Tipe konflik ego semacam ini rupanya menegaskan pernyataan para ahli
komunikasi bahwa konflik dapat terjadi karena munculnya perasaan egois dan
mementingkan diri sendiri.
Implikasi dari perselisihan yang terjadi antara warga bantaran dan
pemerintah kota terkait dana bantuan banjir ini sebenarnya telah terlihat pada
pernyataan beberapa informan dalam penelitian ini, juga dari tulisan dan berita yang
disajikan di media massa. Perhatikan semua pernyataan warga bantaran yang secara
tegas menggulirkan perselisihan ini. Kebanyakan warga menyatakan bahwa akan
terus berjuang dan menggulirkan perselisihan ini sampai ke tingkat nasional demi
mendapatkan hak mereka tentang dana bantuan banjir tersebut. Selain itu pernytaan
pengacara yang berada di pihak warga bantaran, Heri Hendro Harjuno, yang
menyatakan telah mengajukan banding terhadap permasalahan ini. Kondisi demikian
jelas merupakan suatu implikasi tegas yang menunjukkan bahwa permasalahan ini
memberikan pengaruh sosial pada warga bantaran.
Pengaruh eskalasi perselisihan ini rupanya tidak hanya berhenti pada
aspek hukum semata, namun juga pada aspek sosial dan politik. Dalam eskalasi dan
pernyataan yang diberikan oleh media massa, dan semua informan dalam
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
145
perselisihan ini menujukkan bahwa pemerintah kota tampaknya berusaha sekuat
tenaga untuk memberishkan wilayah bantaran dari pemukiman penduduk. Hal
tersebut terlihat dari pernyataan warga bantaran, yang menjelaskan bahwa
pemerintah kota aga mendiskiminasi warga bantaran dari aspek sosial. Implikasi
tersebut jelas merupakan aspek dan pengaruh langsung dari perselisihan yang telah
bergulir.
Di segi politik, konflik ini memberikan pengaruh yang relatif
mencengangkan pada pemilihan kepala daerah tersebut. Keterangan yang diberikan
harian Radar Solo, edisi 27 April 2010, menunjukkan bawa warga bantaran mampu
memberikan tekanan dan pengaruh terhadap jumlah suara yang diperoleh oleh calon
walikota-wakil walikota, meskipun hal itu tidak banyak berpengaruh terhadap jumlah
total perolehan suara. Namun demikian, kedua bukti dan fakta tersebut jelas
menunjukkan bahwa ada pengaruh langsung antara eskalasi konflik terhadap bidang
sosial dan politik.
Eskalasi yang terjadi pada perselisihan antara warga bantaran dan
pemerintah kota secara langsung menunjukkan sifat-sifat konflik seperti yang
dijelaskan oleh para ilmuwan komunikasi. Hal itu memberikan sinyalemen bahwa
eskalasi konflik yang terjadi didorong oleh motivasi tertentu seperti yang dijelaskan
oleh dalam sifat-sifat konflik tersebut. Perhatikan semua pernyataan dan keterangan
yang diberikan oleh para tokoh yang terlibat dalam perselisihan tersebut, hampir
semua tokoh memberikan suatu keterangan terntentu yang memiliki tujuan dan
maksud untuk melebarkan konflik tersebut. Selain itu media massa yang meliput
semua aspek dalam perselisihan itu juga menampakkan suatu indikasi bahwa konflik
yang terjadi sebenarnya memiliki eskalasi yang luas dan memberikan pengaruh pada
beberapa aspek sosial dan politik. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa eskalasi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
146
perselisihan antara warga bantaran dan pemerintah kota bermula dari sesuatu yang
kecil lalu secara perlahan-lahan berubah menjadi semakin luas, tatkala warga
bantaran mulai menempuh jalur hukum untuk menyelesaikan masalah tersebut.
D. Upaya Menuju Resolusi Konflik
1. Pernyataan-Pernyataan dalam Upaya Resolusi
Resolusi konflik pada dasarnya merupakan bagian paling penting dari
suatu proses konflik yang mengarah pada perbaikan hubungan dan titik akhir dari
suatu konflik. Karena itu, resolusi konflik biasanya selalu menuju pada pemberian
jalan keluar untuk menyelesaikan permasalahan atau perselisihan yang terjadi dalam
suatu konflik. Selain itu, resolusi konflik rupanya merujuk pada suatu aksioma yang
menyatakan bahwa ―setiap masalah pasti memiliki jalan keluar‖. Kenyataan dan
upaya mengakhiri konflik semacam itu yang menjadi tujuan utama dari suatu proses
resolusi konflik. Ketika resolusi konflik belum bisa menyelesaikan perselisihan,
bukan resolusi tersebut yang salah, tapi perselisihan itu belum menemukan resolusi
yang tepat.
Perlu dipahami bahwa konflik yang terjadi antara pemerintah kota dengan
warga bantaran memang bukanlah konflik sosial secara murni, namun konflik sosial
berbasis ekonomi, sehingga sebagian besar penyelesaian mungkin bertalian dengan
aspek ekonomi pula. Namun demikian komunikasi menjadi sesuatu yang penting
dalam upaya mencapai resolusi konflik untuk mencari jalan tengah yang
menguntungkan semua pihak yang berselisih. Dengan demikian dapat dipahami
bahwa komunikasi tetap menjadi sesuatu yang penting dalam konflik berbasis
ekonomi dan upaya resolusinya, meskipun hal itu bukan yang utama.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
147
Dalam kasus konflik tentang dana bantuan banjir antara warga bantaran
dan pemerintah kota, resolusi konflik untuk masalah tersebut memang belum tersedia
dengan tepat, namun upaya penyelesaian konflik dan perjalanan menuju resolusi
konflik telah dimulai, bahkan sejak konflik tersebut mulai terjadi. Hal ini menarik
perhatian, karena pada dasarnya pihak warga bantaran–yang menggulirkan konflik–
telah berupaya serius untuk melakukan penyelesaian konflik dan resolusi konflik
dengan beragam cara, walaupun semua cara tersebut belum sesuai dengan harapan.
Sementara pemerintah kota juga telah berusaha untuk menghindari terjadinya
konflik, namun usaha tersebut juga belum maksimal. Pada resolusi konflik,
komunikasi memegang fungsi penting untuk memberikan dorongan dan usaha
mengakhiri konflik secara lebih positif.
Warga bantaran sebenarnya sudah menyadari tentang pentingnya resolusi
konflik dan pencegahan perselisihan sebelum mereka memutuskan untuk
menggulirkan masalah ini. Hal itu membuat warga bantaran lebih mendahulukan
komunikasi dan cara yang lebih baik untuk menyelesaikan masalah dana bantuan
banjir. Namun mereka juga sadar, jika perselisihan telah digulirkan, maka mereka
juga sebenarnya telah berupaya untuk mengakhiri permasalahan ini secepatnya.
Maryono, sebagai warga bantaran, menjelaskan bahwa
Sebenarnya banyak, kami sudah berupaya ke sana-sini [pen: proses
komunikasi ke berbagai instansi terkait] dengan harapan ada suatu titik
temu, tetapi kenyataannya memang susah. Mungkin juga hal ini berkaitan
dengan nominal, atau anggaran, yang pada intinya pemerintah itu belum
siap menurunkan anggaran untuk masalah ini. (Wawancara pada 12
Februari 2010)
Di samping pernyataan tersebut, Maryono juga menyatakan
Sebenarnya sudah banyak upaya yang dilakukan warga, sudah banyak
pendekatan yang dilakukan warga kepada komisi-komisi yang terkait
dengan hal ini, termasuk pada wakil walikota dan walikota. Tetapi
kenyataanya belum ada penyelesaian, intinya masing-masing berusaha
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
148
mempertahankan apa yang sudah mereka miliki. Karena warga merasa
tidak ada penyelesaian secara baik-baik untuk menangani masalah ini,
maka kami mengajukan masalah ini ke pengadilan. (Wawancara pada 12
Februari 2010)
Kedua pernyataan tersebut menujukkan bahwa warga bantaran, yang menggerakkan
konflik, telah berupaya maksimal untuk dapat menghindari konflik dan
menyelesaikan konflik sebelum konflik tersebut dimulai. Hal ini memang jelas
menunjukkan bahwa warga bantaran sebenarnya tidak menginginkan perselisihan,
namun lebih mengandalkan aspek penghindaran dan penyelesaian secara baik-baik.
Pernyataan serupa juga dilontarkan oleh warga bantaran yang lain,
sekaligus aktivis di SKoBB, Nunuk Ismiyati. Secara tegas ia memberikan keterangan
Sebelum demonstrasi warga sebenarnya sudah melakukan beragam
pendekatan pada pihak-pihak yang terkait, tetapi kami merasa di ping-
pong [pen: diulur-ulur dan dipersulit]. Pertama, yang mengupayakan
bantuan tersebut hanya tujuh orang, tetapi tidak membuahkan hasil.
(Wawancara pada 17 Februari 2010)
Selain pernyataan tersebut, ia juga menyatakan bahwa setelah semua upaya untuk
meminta bantuan secara legal telah menamui jalan buntu, warga sepakat untuk
melakukan aksi terbuka, sebagai tindak lanjut dari aksi pendekatan pertama
Pada awalnya kami sempat demonstrasi ke balaikota, namun pada saat itu
kami tidak ditemui oleh walikota, padahal sudah masyarakat tahu bahwa
walikota ada di kantor. Tetapi kami justru ditemui oleh sekretarisnya.
Lalu kami lanjutkan demonstrasi ke dewan, tetapi dewan baru tahu bahwa
ada kesepakatan tentang dana bantuan. Padahal seharusnya dewan-kan
juga bertugas untuk controlling, jadi seharusnya dewan tahu ada
kesepakatan itu.
Situasi yang dijelaskan dalam pernyataan tersebut menujukkan bahwa warga secara
sistematis telah berupaya menyelesaikan masalah ini sebelum memutuskan untuk
menggerakkan konflik. Perhatikan fakta yang ada, pada mulanya warga telah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
149
menempun cara kekeluargaan dengan cara menemui pihak-pihak dan dinas terkait,
sebelum akhirnya menggunakan cara demonstrasi untuk menekan pihak lain.
Kondisi tersebut menjadi sinyalemen bahwa jika warga tidak
mendapatkan hasil positif dari upaya pertama yaitu mengkomunikasikan secara
kekeluargaan ke lembaga tertentu, tentang masalah dana banjir ini, maka dapat
dipastikan aksi selanjutnya akan bersifat lebih keras dengan harapan dapat menekan
pemerintah secara langsung. Karena itu aksi demonstrasi dan konflik yang digulirkan
oleh warga bantaran tidak serta-merta berlangsung tanpa pendahuluan, namun aksi
tersebut telah diawali dengan upaya komunikasi dan aksi untuk menghindari konflik.
Semua aksi komunikasi yang dilakukan warga, di luar aksi demonstrasi, tampaknya
bisa menjadi cikal-bakal resolusi konflik yang akan terjadi.
Keterangan yang menyatakan bahwa warga telah melakukan semua cara
positif dan beradab, sebelum memutuskan untuk memulai konflik dengan pemerintah
kota, diberikan oleh Heri Hendro Harjuno, sebagai pengacara di pihak warga
bantaran. Ia menerangkan bahwa
Sebenarnya langkah-langkah yang ditempuh masyarakat sudah cukup
maksimal dan tidak anarkis, sehingga sudah pantas diacungi jempol.
Pernah mereka menuntut ke DPRD untuk mengatasi masalah ini, lalu
sudah mencoba audiensi di Lodji Gandrung [pen: rumah dinas walikota
Surakarta] juga pernah. Lalu akhirnya mencapai proses hukum. Ini
sebenarnya contoh teladan yang diberikan masyarakat bantaran, mereka
tidak melakukan pembakaran dan sebagainya, apalagi adanya
kekhawatiran akan munculnya chaos [pen: demonstrasi anarkis yang
menimbulkan kekacauan]. (Wawancara pada 15 Maret 2010)
Pernyataan praktisi hukum, seperti Heri Hendro Harjuno, menunjukkan adanya
indikasi bahwa ketika semua upaya kekeluargaan untuk menyelesaikan masalah atau
upaya penghindaran konflik telah gagal, maka seuatu kewajaran bila warga
melanjutkan dengan aksi demonstrasi. Menariknya, Heri Hendro Harjuno
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
150
menyatakan bangga pada warga bantaran, karena melakukan demonstrasi tanpa
menggunakan aksi kekerasan dan aksi anarkime.
Sebagai pengamat netral dan seorang jurnalis, Abdul Alim secara tidak
langsung membenarkan keterangan Heri Hendro Harjuno bahwa setelah warga
menemui jalan buntu untuk menyelesaikan masalah, maka jalan selanjutnya ialah
menggulirkan konflik dan menggunakan jalan hukum sebagai upaya penekanan dan
penyelesaian. Alim menyatakan bahwa
Sebenarnya warga bantaran sudah lama tahu tentang program bantuan
tersebut, selain itu masyarakat juga sudah lama bertemu dengan walikota
untuk menyampaikan keluhan mereka. Namun selama ini belum ada titik
temu yang pas untuk menyelesaikan permasalahan mereka. (Wawancara
pada 21 Maret 2010)
Lebih lanjut ia menyatakan
Sebab warga bantaran sudah menempuh jalur musyawarah berulang kali;
sudah menggandeng LSM; mereka juga sudah melakukan dan datang ke
balaikota; selain itu mereka juga sudah melakukan demonstrasi berulang
kali, namun belum ada hasil. Jadi jalan apalagi yang sebaiknya ditempuh
jika bukan jalur hukum. (Wawancara pada 21 Maret 2010)
Sebagai seorang pengamat netral dan seorang jurnalis, Alim memberikan suatu
pernyataan yang secara garis besar mirip dengan pernyataan seorang praktisi hukum.
Hal itu memberikan petunjuk bahwa biasanya ranah hukum memberikan suatu
bentuk nyata yang dapat digunakan sebagai mediator dan ranah untuk menyelesaikan
konflik. Dengan begitu proses resolusi konflik sebenarnya dapat berjalan.
Pernyataan Heri Hendro Harjuno dan Abdul Alim tentang penggunaan
ranah hukum dalam perselisihan tentang dana banjir tersebut mengandung
pemahaman ganda. Pertama, ranah hukum yang ditempuh warga pada dasarnya
hanya melanjutkan proses terjadinya konflik dengan peningkatan eskalasi konflik,
karena ranah hukum rupanya mendukung eskalasi konflik tersebut. Bentuk-bentuk
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
151
penyanggahan putusan pengadilan seperti ‗banding‘ dan ‗kasasi‘ di tingkat yang
lebih tinggi tampaknya mendukung peningkatan eskalasi konflik. Kedua, ranah
hukum bisa menjadi mediator atau adjudikator yang tepat apabila dua pihak yang
berseteru saling menerima pendapat dan mendengarkan semua masukan dan nasehat
atau menerima semua keputusan yang diberikan oleh pengadilan.
Sejauh ini, Heri Hendro Harjuno sendiri mengakui bahwa sebelum
pengadilan memutuskan untuk menyidangkan permasalahan tentang dana banjir ini
yang terjadi antara warga bantaran dan pemerintah kota, pengadilan telah melakukan
upaya mediasi namun belum berhasil mencari jalan keluar yang tepat. Heri Hendro
Harjuno mengatakan
Memang arahnya demikian, dan hal itu sudah pernah kita coba waktu
tingkat pengadilan paling bawah, yaitu PN [pengadilan negeri], tapi
mentok. Upaya damai juga sudah kita ajak, tapi gugatan kami bersifat
materiil dan non-meteriil, tapi okelah ganti rugi yang diberikan
pemerintah kota hanya bersifat meteriil saja bukan imateriil. Jadi untuk
mediator yang bisa menjembatani tampaknya saya agak skeptis ada yang
bisa.
Keterangan Heri Hendro Harjuno di atas sebenarnya menguatkan indikasi bahwa ada
dualitas fungsi dari pengadilan, yaitu sebagai pendamai antara dua pihak yang
berseteru atau sebagai ranah perseteruan yang baru. Hal itu juga menjadi fakta bahwa
pengadilan telah mengutamakan pengambilan jalur pendamaian sebelum
memutuskan untuk mulai memperkarakan tuntutan warga.
Meskipun pengadilan belum bisa mengusahakan jalan perdamaian bagi
dua pihak yang saling berseteru, seperti yang dikatakan Heri Hendro Harjuno, namun
hal itu sudah menjadi langkah positif bagi warga bantaran dan pemerintah kota
bahwa upaya menuju resolusi konflik masih terbuka. Selain itu, kanyataan tersebut
menjadi bukti kuat bahwa warga bantaran dan pemerintah kota sebenarnya masih
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
152
menginginkan jalan damai dan lebih mengutamakan proses resolusi ketimbang harus
menggulirkan konflik secara berkepanjangan.
Apabila praktisi hukum yang berada di belakang warga bantaran telah
menjelaskan bahwa warga telah berupaya melakukan mediasi melalui lembaga
pengadilan, namun mengalami kegagalan. Pemerintah kota sebenarnya juga
berupaya serius untuk mengusahakan pertemuan dan pembicaraan jalan keluar
dengan cara damai, walaupun hal itu masih menemui jalan buntu. Ketua DPRD,
Sukasno SH, sebagai salah satu tokoh penting dalam perselisihan ini, mengatakan
bahwa
Kalau yang selama ini ada yang sudah mau [pen: direlokasi] itu harus
diselesaikan dulu, sebab masalah ini kan tidak satu tahun harus selesai.
Jadi ini semua tidak semudah membalik telapak tangan, jadi meskipun
mereka tinggal di hunian liar sekalipun, mereka juga tetap masyarakat
kita [pen: warga Surakarta], jadi mereka tidak mau, lalu digusur, kan
tidak seperti itu, ada tindakan-tindakan persuasif. Jadi sampai sekarang,
masih dalam tahapan seperti itu. (Wawancara pada 11 Mei 2010)
Berdasarkan pendapat yang diberikan ketua DPRD Surakarta tersebut sebenarnya
menjelaskan bahwa pemerintah kota sudah melakukan, atau setidaknya, masih
melakukan upaya serius untuk menyelesaikan persoalan tersebut dengan cara yang
damai dan persuasif. Sukasno SH juga menjelaskan
Kalau menurut saya, tetap harus ada komunikasi dengan kelompok yang
‗pokoknya tidak mau ini tadi‘, kalau ada komunikasi pada akhirnya
komunikasi akan menjadi intens, pertama kita mungkin hanya bertegur
sapa saja, tapi lama-kelamaan kita pasti akan sampai pada cerita,
wedangan bagaimana, kondisi keluarga bagaimana, dan itu harus terjalin
terus jangan sampai pisah. Sehingga dengan komunikasi yang lancar itu,
maka seperti peribahasa ‗sekeras apapun batu, kalau terkena tetesan air,
lama kelamaan pasti akan berlubang juga‘, dengan komunikasi yang baik,
lalu terus-menerus pasti akan tercapai kesepakatan meskipun lama,
kecuali kalau kita bertindak represif, tapi karena kita bertindak persuasif
ya pasti akan lama. (Wawancara pada 11 Mei 2010)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
153
Pendapat yang diberikan oleh Sukasno SH, menampakkan bahwa pemerintah kota
sebaiknya tetap pada jalur yang sama dengan sekarang, yaitu jalur persuasif namun
berkelanjutan. Dengan demikian, ada kemungkinan pemerintah kota bisa meluluhkan
hati warga bantaran yang keras.
Penjelasan tentang upaya resolusi konflik untuk menyelesaikan
perselisihan antara warga bantaran dengan pemerintah kota memang baru sebatas
wacana yang melibatkan semua pihak yang punya kepentingan masing-masing.
Semua pihak yang terlibat dalam perselisihan tersebut dapat dipastikan
menginginkan suatu jalan keluar yang baik sekaligus memenangkan semua pihak.
Pemerintah kota memiliki kepentingan yang besar untuk membebaskan wilayah
bantaran dari pemukiman. Sementara warga bantaran justru sebaliknya, namun
warga sendiri hanya mau menerima jatah bantuan mereka tanpa mau pindah. Jika
kembali pada pendapat yang diberikan Sukasno SH, maka pemerintah kota dan
warga bantaran harus mau berkomunikasi secara layak dan intensif hingga
tercapainya kesepakatan, tentang pembayaran dana banjir sekaligus kesadaran untuk
relokasi.
Proses resolusi bukanlah proses yang mudah namun juga bukan proses
yang sulit, yang diperlukan untuk resolusi hanyalah kesadaran semua pihak yang
berseteru untuk mau memikirkan jalan keluar secara bersama-sama. Perubahan ranah
konflik menuju jalur hukum sebenarnya cukup berpotensi memberikan resolusi
konflik yang dapat diterima semua pihak, akan tetapi penggunaan jalur hukum juga
bisa semakin mengingkatkan eskalasi konflik. Meskipun proses mediasi yang
dilakukan pengadilan sempat gagal, namun hal itu tidak seharusnya menghentikan
upaya menuju resolusi konflik.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
154
Lembaga pengadilan, seperti yang telah dikatakan oleh Heri Hendro
Harjuno, sebenarnya lembaga yang bisa berperan sebagai mediator atau adjudikator
dalam permasalahan tentang dana bantuan banjir tersebut. Perhatikan pernyataan
yang diberikan oleh pengacara warga bantaran tersebut
Ya karena, syarat mediator, atau konsiliator harus dapat diterima oleh
kedua belah pihak, kami sampai sejauh ini di pihak SKoBB belum
melihat adanya kemungkinan munculnya mediator yang bisa diterima
oleh semua pihak.Artinya, SKoBB masih membuka jalan untuk mediasi
tentang dana bantuan banjir, tetapi untuk relokasi, kami sudah harga mati.
(Wawancara pada 15 Maret 2010)
Hal itu sebenarnya menunjukkan bahwa warga bantaran sebenarnya masih membuka
peluang untuk proses penyelesaian dan mediasi demi mencapai resolusi konflik.
Namun di pernyataan yang lain, Heri Hendro Harjuno tampaknya skeptis dan
pesismis dengan munculnya mediator. Ia menyatakan
Memang arahnya demikian, dan hal itu sudah pernah kita coba waktu
tingkat pengadilan paling bawah, yaitu PN [Pengadilan Negeri], tapi
mentok. ... Jadi untuk mediator yang bisa menjembatani tampaknya saya
agak skeptis ada yang bisa. (Wawancara pada 15 Maret 2010)
Meskipun Heri Hendro Harjuno merasa skeptis terhadap mediasi yang diberikan
pengadilan, akan tetapi pernyataan yang diberikan sebenarnya menunjukkan bahwa
ada potensi besar bahwa pengadilan bisa memberikan jalan keluar. Walaupun potensi
itu belum tergali untuk bisa menjadi fasilitator jalan damai.
Di lain pihak, sebenarnya pemerintah kota sendiri juga bisa menjadi
mediator dan arbitrator yang baik untuk mendukung proses resolusi konflik ini, dan
memberikan jalan keluar yang saling menguntungkan (win-win solution) bagi warga
bantaran dan pemerintah kota. Untuk itu, Sukasno SH menyatakan bahwa
Kalau menurut saya, tetap harus ada komunikasi dengan kelompok yang
‗pokoknya tidak mau ini tadi‘, kalau ada komunikasi pada kahirnya
komunikasi akan menjadi intens, pertama kita mungkin hanya bertegur
sapa saja, tapi lama-kelamaan kita pasti akan sampai pada cerita,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
155
wedangan bagaimana, kondisi keluarga bagaimana, dan itu harus terjalin
terus jangan sampai pisah. ...
Pandangan ketua DPRD Surakarta sebenarnya menjelaskan bahwa apabila
pemerintah ingin menyelesaikan kasus ini, maka proses komunikasi yang baik dan
tepat menjadi syarat utama. Hal itu juga penting untuk mencapai adanya mediasi dan
resolusi konflik yang tepat. Lebih lanjut ia menjelaskan
Saya kira masih ada upaya, seperti itu, misalnya baik kepada siapa. Pada
akhirnya komunikasi seperti itu akan terjalin tidak pada ketua komunitas.
Sebab mungkin saja ketua komunitas itu terlalu mendominasi, sehingga
mungkin semua anggotanya terkadang tidak nyambung [pen: tidak dapat
mengikuti keinginan ketua kelompok]. ... Sebenarnya, mungkin ada
keinginan untuk lepas dari kelompok tersebut, tetapi karena ada rasa
sungkan, malu, takut. Jadi bisa saja pemerintah kota berkomunikasi
melalui mereka-mereka yang seperti ini [pen: warga yang jenuh dan ingin
lepas dari kelompok]. Yang namanya paguyuban, saya yakin, satu
ikatannya mungkin semu. ... Jadi saya yakin kepentingan antara ketua
paguyuban dan semua anggotanya mungkin berbeda. Sehingga
komunikasi menjadi hal yang penting. (Wawancara pada 11 Mei 2010)
Keterangan yang diberikan oleh Sukasno SH di atas, tampaknya cukup menarik.
Sebab secara tidak langsung pernyataan yang diberikan Sukasno SH memberikan
isyarat bahwa komunikasi interpersonal antara warga bantaran dan pemerintah kota,
yang terjadi secara informal, bisa berpotensi membuahkan resolusi konflik, dan
menjadikan pemerintah kota sebagai mediator atau mungkin juga negosiator.
Secara sederhana, Sukasno SH hendak menjelaskan apabila proses
komunikasi interpersonal yang menghubungkan pemerintah kota dengan kelompok
masyarakat belum membuahkan hasil nyata, maka perlu ada perubahan jalur
komunikasi menjadi interpersonal yang terjadi antara individu dari pemerintah kota,
dan warga bantaran yang terjadi secara informal. Hal itu kemungkinan bisa
menghasilkan kesepakatan antara warga dan pemerintah kota, karena ada proses
negosiasi yang bersifat pribadi, tanpa bantuan pihak ketiga. Di samping itu,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
156
komunikasi informal antarpribadi tersebut juga bisa digunakan untuk mencari
mediator yang tepat untuk mencarikan jalan keluar yang tepat.
Pernyataan dari ketua DPRD Surakarta, Sukasno SH, pada dasarnya mirip
dengan yang diberikan oleh koordinator aksi masyarakat dalam dana bantuan banjir
tersebut, Agus Sumaryawan. Ia sebenarnya mensahkan apa yang telah dikatakan oleh
Sukasno SH, tentang pentingnya komunikasi dalam penyelesaian konflik tersebut.
Agus Sumaryawan memberikan keterangan
Seharusnya pemerintah kota mengadakan koordinasi untuk melakukan
tatap muka bersama masyarakat, ibaratnya dalam bahasa jawa ―ayo podho
dirembug‖. Hal itu harus dilakukan berdasarkan prinsip demokrasi yang
mendahulukan musyawarah lalu melakukan mufakat. Selama ini yang
dilakukan pemerintah belum ada musyarwarah tapi sudah dimufakati
bersama-sama, sehingga itu jelas salah besar. Karena selama ini
pemerintah selalu merealisasikan semua kebijakan yang belum pernah
dimusyawarahkan. ... [ilustrasi oleh sumber]. (Wawancara pada 23
Januari 2010)
Berdasarkan keterangan yang diberikan oleh Agus Sumaryawan, dapat diketahui
bahwa warga bantaran sendiri sebenarnya menginginkan adanya komunikasi dengan
pemerintah kota terkait penyelesaian masalah bantuan banjir tersebut. Hal itu
sebenarnya menunjukkan adanya keinginan positif warga untuk mendiskusikan dan
menyelesaikan masalah ini dengan proses mediasi atau negosiasi yang baik, melalui
proses komunikasi yang baik pula.
Jika memang ada niat baik dari warga bantaran untuk berbicara dengan
baik dan menyelesaikan permasalahan ini melalui musyawarah, seperti yang juga
diinginkan oleh pemerintah kota, seperti yang telah diungkapkan oleh ketua DPRD
Surakarta. Lalu mengapa, sampai sekarang belum tercapai kesepakatan yang sama
antara pemerintah kota dengan masyarakat bantaran, yang nota bene memulai konflik
ini. Kenyataan seperti ini menuntut upaya lebih serius untuk mendalami dan
mengkaji permasalahan tersebut secara lebih dalam.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
157
Dalam upaya mediasi atau setidaknya arbitrasi, atau mungkin juga
negosiasi, SKoBB, sebagai representasi warga bantaran yang menggulirkan konflik
sebenarnya juga dapat menjadi kelompok yang mendukung mediasi dengan
pemerintah kota demi mencapai resolusi konflik. Sebagai forum atau kelompok
masyarakat SKoBB menjadi suatu lambang dari perlawanan warga bantaran yang
memulai konflik dengan pemerintah kota. Potensi dukungan SKoBB terhadap
pencarian resolusi konflik sebenarnya dinyatakan oleh warga bantaran sekaligus
aktivis di SKoBB, Maryono. Ia menyatakan bahwa
Sebenarnya ada upaya SKoBB untuk menyelesaikan permasalahan ini
namun ada perasaan gengsi dari tiap-tiap pihak, baik itu dari warga
bantaran maupun pemerintah kota sendiri untuk mau mengawali proses
negosiasi tersebut, entah karena permasalahan apa saya sendiri tidak
ngerti. Tetapi sepanjang pengamatan saya ada beberapa teman-teman di
SKoBB yang sebenarnya juga ingin melakukan negosiasi, begitu juga
dengan pemerintah kota. Masalahnya sekarang siapa yang ingin memulai
lebih dulu. ... (Wawancara pada 12 Februari 2010)
Perhatikan pernyataan yang diberikan oleh Maryono di atas. Keterangan dan
pernyataan tersebut sebenarnya menunjukkan bahwa warga bantaran melalui SKoBB
juga menginginkan jalan damai dan proses mediasi untuk mencapai resolusi konflik
yang disepakati semua pihak. Namun demikian, dia sendiri tidak menampik fakta
bahwa banyak pihak yang merasa egois sehingga enggan merintis jalan damai yang
penting untuk melahirkan resolusi konflik yang menguntungkan semua pihak.
Keterangan tersebut sebenarnya tidak bertentangan dengan pernyataan
Agus Sumaryawan, warga bantaran yang juga menjabat sebagai ketua SKoBB
sekaligus koordinator aksi protes, yang pada dasarnya juga menyatakan bahwa dia
sendiri dan kemungkinan semua warga bantaran–yang termasuk juga dalam SKoBB–
menginginkan proses menyawarah demi mencapai kesepakatan bersama dalam
permasalahan ini. Namun demikian, semua niatan baik tersebut tetap harus didukung
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
158
dengan aksi yang baik dan juga dengan pemikiran yang baik pula. Tanpa semua itu
mustahil proses musyawarah yang baik dapat dilaksanakan dan diterima oleh semua
pihak. Demi tujuan tersebut, warga bantaran–juga yang tergabung dalam SKoBB–
dan pemerintah kota harus mendukung secara aktif semua proses menuju mediasi
dan resolusi konflik tersebut, dengan cara menghilangkan sisi egoisme diri dan
kepentingan sepihak.
Meskipun upaya menuju resolusi konflik dalam perselisihan antara warga
bantaran dan pemerintah kota rupanya banyak menemui hambatan, namun upaya
tersebut tetap berjalan dan berlangsung. Apabila SKoBB merupakan perwakilan dari
warga bantaran dapat digunakan sebagai forum atau setidaknya kelompok
masyarakat yang bisa mendukung mediasi, maka pemerintah kota, yang jauh lebih
solid setidaknya juga bisa melakukan hal itu. Sukasno SH mengatakan bahwa
Ya, kalau untuk masalah di kelompok ini [pen: warga bantaran yang
menolak relokasi termasuk SKoBB] ya harus ada komunikasi terus, yang
dilakukan untuk membujuk, ya nanti pasti akan gempil [pen: terkikis].
Kalau itu seprti suatu benda maka pasti akan gempil secara sedikit-sedikit
pasti akan gempil, asalkan itu ada komunikasi. (Wawancara pada 11 Mei
2010)
Lebih lanjut ia menyatakan bahwa
Menurut saya pemerintah kota tidak perlu mediator, karena pada dasarnya
ini-kan warganya. Kalau mereka tidak melakukan ancaman berupa aksi
dan ancaman fisik, saya kira tidak perlu seperti itu. Semua dinas yang
terkait juga pasti akan melakukan komunikasi seperti itu. (Wawancara
pada 11 Mei 2010)
Pemerintah kota sebenarnya juga bisa menjadi lembaga yang pada dasarnya
mendukung mediasi, namun hal itu belum maksimal jika tidak ada dukungan dari
pihak lain. Di samping itu, upaya untuk mencari jalan keluar dan resolusi konflik
macam itu jelas mendudukkan pemerintah kota sebagai lembaga yang bisa menjadi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
159
negosiator kepada warga bantaran, karena itu Sukasno SH menyatakan bahwa
pemerintah kota tidak membutuhkan mediator.
Apapun namanya, mediasi, arbitrasi, adjudikasi, atau negosiasi, pada
dasarnya dibentuk dengan tujuan yang sama, yaitu menemukan jalan keluar dari
konflik yang sedang berkembang. Keempat bentuk tindakan tersebut sebenarnya
berperan pada tingkatan yang sama walaupun metode yang digunakan agak berbeda.
Namun demikian, semua bentuk tindakan menuju resolusi konflik tersebut harus
dijiwai dengan niatan baik dan dengan tindakan yang baik pula, tanpa hal itu, jalan
keluar mustahil ditemukan.
Semua uraian dari semua pihak dan tokoh-tokoh yang terkait dengan
perselisihan tentang dana banjir ini membawa pada satu muara besar, tentang
bagaimana sebaiknya permasalahan ini diselesaikan, sehingga hal ini tidak terbatas
hanya pada pembayaran uang dana banjir seperti yang diinginkan oleh warga, atau
agar masyarakat bantaran mau direlokasi ke tempat baru, seperti keinginan
pemerintah kota. Kemungkinan besar ada jalan keluar lain yang dapat ditempuh oleh
semua pihak yang berseteru tanpa harus merugikan pihak manapun. Kesepakatan
semua pihak menjadi inti dari resolusi konflik.
Secara garis besar semua tokoh dari warga bantaran, yang terlibat dalam
perselisihan tentang dana banjir tersebut, memberikan gambaran besar bahwa selain
keinginan kuat untuk menyelesaikan konflik dan menghasilkan resolusi konflik yang
tepat, kebanyakan tokoh juga memandang bahwa komunikasi yang baik juga harus
terjalin di antara pihak-pihak yang bersitegang. Perhatikan pernyataan Agus
Sumaryawan, yang mewakili warga bantaran, yang menjelaskan bahwa
Seharusnya pemerintah kota mengadakan koordinasi untuk melakukan
tatap muka bersama masyarakat, ibaratnya dalam bahasa jawa ―ayo podho
dirembug‖. Hal itu harus dilakukan berdasarkan prinsip demokrasi yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
160
mendahulukan musyawarah lalu melakukan mufakat. (Wawancara pada
23 Januari 2010)
Secara sederhana Agus Sumaryawan menginginkan adanya komunikasi antara warga
dan pemerintah kota begitu pula pernyataan yang diberikan Maryono. Ia mengatakan
bahwa
Sebenarnya ada upaya SKoBB untuk menyelesaikan permasalahan ini
namun ada perasaan gengsi dari tiap-tiap pihak, baik itu dari warga
bantaran maupun pemerintah kota sendiri untuk mau mengawali proses
negosiasi tersebut, entah karena permasalahan apa saya sendiri tidak
ngerti. (Wawancara pada 12 Februari 2010)
Kedua keterangan di atas sebenarnya menunjukkan bahwa warga bantaran pada
dasarnya menginginkan adanya komunikasi yang dilakukan secara khusus untuk
menyelesaikan permasalahan tentang dana bantuan banjir tersebut.
Di pihak lain, pemerintah kota juga menginginkan hal yang sama.
Pemerintah kota juga mengharapkan adanya komunikasi yang baik di antara warga
bantaran dengan pemerintah kota, demi menghasilkan resolusi yang baik. Sukasno
SH menyatakan
Saya kira masih ada upaya, seperti itu, misalnya baik kepada siapa. Pada
akhirnya komunikasi seperti itu akan terjalin tidak pada ketua komunitas.
Sebab mungkin saja ketua komunitas itu terlalu mendominasi, sehingga
mungkin semua anggotanya terkadang tidak nyambung [pen: tidak dapat
mengikuti keinginan ketua kelompok]. ... Sebenarnya, mungkin ada
keinginan untuk lepas dari kelompok tersebut, tetapi karena ada rasa
sungkan, malu, takut. Jadi bisa saja pemerintah kota berkomunikasi
melalui mereka-mereka yang seperti ini [pen: warga yang jenuh dan ingin
lepas dari kelompok]. (Wawancara pada 11 Mei 2010)
Pandangan yang diberikan Sukasno SH, sebagai ketua DPRD Surakarta, pada
dasarnya tidak bertentangan dengan pendapat yang diberikan oleh Agus Sumaryawan
dan Maryono, karena sama-sama mengutamakan jalan komunikasi dan musyawarah.
Namun demikian, Sukasno SH lebih banyak memandang bahwa proses komunikasi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
161
lebih banyak ditujukan bagi warga bantaran secara informal melalui komunikasi
interpersonal. Hal itu setidaknya menunjukkan bahwa pemerintah kota tetap
berupaya mencari jalan keluar dari kasus ini.
Pendapat tentang jalan keluar dan resolusi yang sebaiknya dilakukan
untuk mencapai kesepakatan antara pihak-pihak yang berseteru disampaikan oleh
praktisi hukum bernama Titin Widyastuti. Pandangan yang diberikan oleh praktisi
hukum dan para profesional dari pihak netral lebih banyak dimaksudkan untuk
menghindari dukungan terhadap pihak tertentu. Dengan demikian, semua pendapat
yang diberikan akan bersifat netral dan tidak memihak. Titin Widyastuti menyatakan
bahwa
Menurut saya, mediasi rupanya tepat digunakan. Karena mediasi lebih
banyak mengutamakan musyawarah, kalau menggugat sana-sini jadi
nggak selesai-selesai. Jadi semua itu perlu jalan tengah-kan, sehingga
yang paling enak itu kan musyawarah untuk mufakat. Jadi semuanya
sama-sama enak lah. ... Jadi memang yang paling enak itu musyawarah,
bahkan sebelum maju ke pengadilan itu-kan juga ada mediasi. Sehingga,
sebelum melangkah ke jalur hukum, kan lebih baik mediasi. Jadi memang
yang paling baik itu-kan musyawarah untuk mencapai mufakat biar
semua sama-sama untung. (Wawancara pada 25 Mei 2010)
Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa, apabila jalan mediasi dan musyawaraha memang
menemui jalan buntu, jalur hukum memang berguna sebagai jalan keluar terakhir.
Namun selama jalan musyawarah bisa dijalankan, jalur hukum tidak seharusnya
digunakan
Memang, apabila sudah dirasakan semua jalan sudah tertutup, maka
langkah hukum bisa digunakan. Karena hukum akan menghasilkan
pemaksaan terhadap pihak tertentu. Saya rasa jalan terakhirnya memang
langkah hukum. Jadi mau-tidak-mau kalau mereka [pen: semua pihak
yang terlibat, terutama warga bantaran] sudah melanggar aturan, silahkan
pergi, kalau mereka sudah tidak menginginkan pendekatan juga tidak
mau, apa-apa [pen: menolak semua langkan damai] juga tidak mau. Jadi
kalau sudah begitu, langkah hukum saya rasa sudah tepat, karena
menghasilkan suatu ketetapan hukum. Tapi yang lebih baik ya
musyawarah dulu, tapi tergantung semua individu masing-masing.
(Wawancara pada 25 Mei 2010)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
162
Pernyataan yang diberikan praktisi hukum tersebut menunjukkan bahwa upaya
resolusi konflik yang terjadi antara warga bantaran dan pemerintah kota tetap harus
dilaksanakan dengan keinginan dan niat baik. Dengan demikian, jalan musyawarah
akan memberikan hasil positif, begitu pula jalur hukum yang ditempuh.
2. Analisis Tentang Upaya Resolusi Konflik
Memang benar, apabila muncul anggapan bahwa permasalahan berbasis
ekonomi seperti yang menjadi faktor utama konflik antara warga bantaran dan
pemerintah kota, bisa diselesaikan dengan sisi ekonomi pula. Dengan kata lain, jika
pemerintah membayarkan semua tuntutan warga, maka selesai sudah permasalahan
ini. Namun demikian komunikasi menjadi faktor penting untuk menjembatani
perbedaan pendapat antara warga bantaran dan pemerintah kota. Akan lebih baik lagi
jika komunikasi tersebut bisa menghasilkan proses negosiasi antara warga bantaran
dan pemerintah kota bisa menghasilkan kesepakatan yang memenangkan semua
pihak (win-win solution), sehingga pemerintah tidak harus membayarkan semua
tuntutan warga, sementara warga tidak harus pindah dari bantaran. Hal itu menjadi
tujuan penting dari komunikasi dalam proses negosiasi dan mediasi.
Usaha serius dari masing-masing pihak untuk mencari jalan keluar yang
baik bagi semua pihak yang berselisih setidaknya memberikan dua indikasi penting
yang berhubungan dengan semua upaya menuju resolusi konflik tersebut. Pertama,
upaya mencapai resolusi konflik harus menggunakan proses komunikasi yang baik
dengan keinginan baik pula. Mediasi, arbitrasi, adjudikasi, dan negosiasi pada
dasarnya merupakan bentuk resolusi konflik yang menggunakan komunikasi sebagai
syarat mutlak tercapainya kesepakatan. Hilangnya proses komunikasi dalam semua
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
163
proses resolusi konflik tersebut membuat proses tersebut menjadi pincang atau
mungkin gagal sama sekali. Dengan begitu, komunikasi menjadi syarat mutlak bagi
keberhasilan resolusi konflik.
Kedua, proses resolusi konflik harus didorong oleh niat baik dari semua
pihak untuk menyelesaikan perselisihan tersebut. Proses resolusi konflik seperti
mediasi, arbitrasi, adjudikasi, dan negosiasi merupakan bentuk resolusi konflik
dimotori oleh niatan baik semua pihak untuk mengakhiri konflik, bukan karena
paksaan pihak ketiga atau pihak yang lebih kuat. Niat baik dan keinginan
menyelesaikan konflik menjadi alasan yang paling kuat untuk menghapuskan konflik
dalam ranah apapun dan oleh penyebab apapun. Tanpa niat baik untuk
menyelesaikan konflik mustahil semua cara tersebut dapat digunakan untuk
menghentikan perselisihan.
Pandangan tentang resolusi konflik sebenarnya telah menjadi suatu pokok
kajian serius di hampir semua ranah ilmu sosial, termasuk dalam komunikasi,
psikologi dan sosiologi. Meskipun semua cabang ilmu tersebut memberikan
perhatian khusus terhadap resolusi konflik, setiap cabang ilmu tersebut
memfokuskan pada sudut pandang yang saling berbeda. Pembahasan dan analisis
ilmiah tentang resolusi konflik yang terjadi dalam kasus perselisihan antaran warga
bantaran dan pemerintah kota akan lebih banyak terfokus pada bidang ilmu
komunikasi dan psikologi.
Pandangan tentang resolusi konflik diberikan oleh ilmuwan sosial
bernama Susanne Buckley-Ziestel yang membagi dua macam upaya untuk
mengakhiri konflik yang dikenal sebagai penyelesaian konflik (conflict settlement)
dan resolusi konflik (conflict resolution). Ia menjelasakan bahwa (Buckley-Ziestel
2008: 15-17) ‗penyelesaian konflik‘ sebagai bentuk pengakhiran konflik yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
164
mengacu pada pembuatan situasi yang saling menguntungkan (win-win situation).
Sedangkan ‗resolusi konflik‘ lebih bertumpu pada orientasi proses yang yang berada
di bawah penyebab konflik tersebut (Buckley-Ziestel 2008: 15-17). Penjelasan dari
ilmuwan kawakan tersebut sebenarnya memberikan implikasi kepada kasus tersebut,
karena pada dasarnya bentuk paling baik untuk mengakhiri konflik tersebut ialah
menerapkan resolusi konflik. sehingga penyelesaian permasalahan tersebut lebih
banyak bertumpu pada resolusi konflik (conflict resolution) ketimbang penyelesaian
konflik (conflict settlement).
Pernyataan yang diberikan oleh tokoh-tokoh yang berada di belakang
warga bantaran yang menggunakan ranah hukum sebagai upaya untuk mengakhiri
konflik sebenarnya menjadi indikasi paling awal bahwa proses resolusi konflik
sebenarnya mulai berjalan, sekaligus menunjukkan bahwa ada upaya serius dari
warga bantaran untuk menggunakan resolusi konflik. Hal itu ditegaskan oleh
kenyataan bahwa adjudikasi terjadi apabila muncul suatu bentuk konflik yang sulit
diselesaikan melalui cara-cara biasa, sehingga membutuhkan hakim untuk
memutuskan permasalahan tersebut (Lakhani, 2006: 186). Pendapat Lakhani (2006)
tersebut sebenarnya menjelaskan bahwa tindakan warga bantaran yang mulai
menempuh jalur hukum sebagai upaya menyelesaikan konflik tersebut lebih banyak
mengacu pada bentuk adjudikasi sebagai salah satu bentuk resolusi konflik.
Penjelasan Lakhani (2006) rupanya mendapatkan dukungan serius dari
rekan sejawatnya. Secara terpisah, F. Paul Bland Jr dan Claire Prestel menjelaskan
bahwa litigasi atau dikenal juga sebagai adjudikasi bisa digunakan untuk
melancarkan tuntutan kepada pihak lain asalkan dilakukan dengan cara yang baik
dalam suatu aksi kelas (class action) (Bland Jr dan Prestel, 2009: 376-377). Pada
dasarnya Bland Jr dan Prestel (2009) menunjukkan dukungan terhadap pernyataan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
165
yang diberikan oleh Lakhani (2006) sekaligus menguatkan bahwa dalam upaya
adjudikasi atau litigasi peranan komunikasi menjadi hal yang penting. Perhatikan
bahwa Bland Jr dan Prestel (2009) menyatakan bahwa proses litigasi hanya bisa
terjadi dalam kondisi oleh komunikasi yang baik dalam melakukan tuntutan,
meskipun dua pakar tersebut tidak secara langsung mengatakannya.
Pernyataan dari beberapa pakar konflik di atas sebenarnya hendak
mengatakan bahwa proses resolusi konflik hanya bisa dilakukan dengan dasar
komunikasi yang baik di antara semua pihak yang berseteru, bahkan jika itu
dilakukan dengan cara demonstrasi atau unjuk rasa. Sehingga upaya pencarian jalan
damai dapat dilakukan dengan cara-cara yang baik dan beradab. Namun demikian
proses resolusi konflik jelas tidak akan berfungsi dengan baik apabila tidak ada
proses komunikasi yang baik di antara pihak yang berseteru.
Fakta yang ada dilapangan dan kenyataan bahwa warga bantaran
melakukan tuntutan melalui jalur hukum dan melakukan aksi demonstrasi untuk
menuntut uang dana bantuan banjir sebenarnya berhubungan erat dengan yang
dikatakan oleh Lakhani (2006) serta Bland Jr dan Prestel (2009), bahwa litigasi atau
adjudikasi dianggap bisa menyelesaikan masalah yang tergolong rumit karena ada
semacam bentuk pemaksaan kepada pihak yang berseteru oleh lembaga yang lebih
tinggi, namun adjudikasi bersifat kaku karena ada kecenderungan untuk tidak
melakukan kompromi sebanyak mediasi (Kressel, 2006: 729). Karena itu, sebelum
proses adjudikasi dilakukan, pengadilan menjadi mediator dalam proses mediasi
yang digunakan untuk mencari jalan tengah dari semua perselisihan yang terjadi. Hal
itu membuat mediasi merupakan salah satu proses resolusi konflik yang penting.
Secara umum mediasi merupakan proses resolusi konflik yang membutuhkan rasa
sukarela untuk menyelesaikan persoalan tersebut. Selain itu pihak ketiga dalam
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
166
mediasi biasanya memiliki kendali keputusan yang rendah namun memiliki kendali
proses yang tinggi (Conlon dan Meyer, 2004: 260)
Kurangnya proses kompromi dan musyawarah dalam adjudikasi atau
litigasi seperti yang dijelaskan Kressel (2006) menjadikan proses mediasi lebih
berkesan positif karena mengutamakan tindakan musyawarah dan komunikasi serta
bantuan pihak ketiga yang berperan sebagai penengah atau mediator. Kenyataan
bahwa mediasi yang pernah dilakukan oleh pengadilan untuk mendamaikan warga
bantaran dan pemerintah kota mengalami kegagalan, tidak langsung menyatakan
bahwa proses mediasi telah gagal, namun ada kecenderungan bahwa mediasi belum
dapat menyelesaikan masalah. Karena pada dasarnya mediasi lebih banyak berkaitan
dengan bentuk pencarian jalan keluar yang lebih berbasis pada kerjasama, ketimbang
situasi menang-kalah, maka pihak-pihak yang telibat dalam mediasi bersikap aktif
dalam mencari jalan keluar yang baik (Kressel, 2006: 727).
Proses mediasi dalam penyelesaian konflik antara warga bantaran
sebenarnya juga harus dilakukan dengan proses komunikasi yang baik di antara
semua pihak yang berselisih. Pernyataan keinginan untuk berkomunikasi secara lebih
baik sebenarnya sudah diungkapkan oleh semua tokoh penting di antara warga
bantaran dan pemerintah kota, seperti yang dikatakan oleh Agus Sumaryawan dan
Sukasno SH, sebenarnya bisa menjadi kekuatan untuk menjalin komunikasi dalam
suatu mediasi. Perhatikan pernyataan dari Michal Alberstein, yang mengutip
pendapat dari Fisher dan Ury (1983), menjelaskan bahwa mediasi merupakan proses
pemecahan masalah yang kolaboratif berdasarkan bentuk depersonalisasi–lebih
banyak bersifat kerjasama–yang digunakan untuk mencari solusi yang saling
menguntungkan (dalam Alberstein, 2009: 5). Keterangan Alberstein rupanya
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
167
mendukung fakta bahwa komunikasi dalam mediasi merupakan salah satu bagian
penting untuk mencapai kesepakatan bersama.
Meskipun secara umum mediasi bisa memberikan jalan keluar dari suatu
konflik, kemungkinan besar juga dalam kasus antara warga bantaran dan pemerintah
kota. Namun hal itu tidak menutupi kenyataan bahwa mediasi bisa menemui
kegagalan. Ada beberapa kondisi tertentu yang dapat mengagalkan proses
kesepakatan dalam mediasi. Kressel (2006: 730-732) menyatakan bahwa ada enam
faktor yang mengurangi efektivitas mediasi untuk menyelesaikan perselisihan.
Pertama, tingginya tingkat pertentangan dalam suatu konflik menyebabkan adanya
korelasi secara negatif dengan bentuk penyelesaian masalah. Sehingga semakin
tinggi tingkat konflik, maka semakin sulit untuk diselesaikan. Kedua, rendahnya
motivasi menuju kesepakatan menyebabkan munculnya bentuk kecenderungan untuk
menggagalkan pencapaian kesepakatan. Ketiga, rendahnya komitmen terhadap
mediasi biasanya menurunkan efektivitas munculnya kesepakatan karena mediator
dan pihak yang terlibat tidak merasa tertarik dengan mediasi. Keempat, rendahnya
jumlah sumberdaya menyebabkan semua pihak yang terlibat mulai kehilangan
motivasi untuk melakukan mediasi. Kelima, keterlibatan keyakinan tertentu biasanya
semakin menyulitkan pembuatan dan penentuan kesepakatan hasil mediasi. Keenam,
perbedaan kekuatan di antara semua pihak yang terkait biasanya menyebabkan
mediasi terlalu sulit untuk dilaksanakan.
Pandangan yang berbeda namun serupa, dengan keterangan Kressel,
diberikan oleh Jacob Bercovitch dalam suatu jurnal ilmiah tentang resolusi konflik.
Bercovitch (2006: 299-300) menjelaskan empat faktor yang mempengaruhi mediasi.
Pertama, faktor personal memberikan pengaruh positif karena pada dasarnya
mengacu pada mediator yang berperan. Kedua, faktor situasional secara umum lebih
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
168
banyak mengacu pada faktor fisik, sosial, reputasi, dan kekuatan relasi hubungan
antara semua pihak yang terlibat. Ketiga, faktor interaksional merupakan faktor
yang paling menentukan apakah mediasi tersebut berhasil atau gagal, sekaligus
menentukan hasil akhir mediasi tersebut. Keempat, faktor motivasional merupakan
satu faktor yang turut menentukan keberhasilan mediasi karena melibatkan tujuan
mediasi dan komitmen semua pihak terhadap mediasi tersebut. Pandangan
Bercovitch sebenarnya mendukung paparan Kressel tentang semua faktor yang
menentukan keberhasilan atau kegagalan mediasi, meskipun Bercovitch lebih banyak
memfokuskan pada faktor yang mendukung keberhasilan mediasi.
Fakta yang ditemukan di lapangan bahwa proses mediasi yang dilakukan
oleh lembaga pengadilan, sebelum gugatan warga mulai disidangkan, yang
mengalami kegagalan mungkin disebabkan oleh munculnya faktor-faktor tertentu
yang menghambat dan menurunkan efektivitas mediasi seperti yang diterangkan oleh
Kressel (2006) dan mungkin juga oleh Bercovitch (2006). Akan tetapi kegagalan
mediasi yang pernah dilakukan sebenarnya tidak mengurangi kekuatan mediasi untuk
menyelesaikan suatu perselisihan. Dengan demikian, ada potensi bahwa mediasi
masih dapat digunakan untuk menyelesaikan permasalahan antara warga bantaran
dan pemerintah kota, meskipun relatif sulit.
Bagaimanapun juga efektivitas mediasi rupanya tetap ditentukan oleh
proses interaksi dan komunikasi yang ada di dalamnya. Karena itu Kressel (2006)
dan Bercovitch (2006) memasukkan bahasan tentang tingkatan komitmen semua
pihak terhadap mediasi dan faktor interaksional, yang secara umum membutuhkan
aspek komunikasi. Hal itu rupanya mirip pandangan bahwa mediator dalam proses
mediasi biasanya memberikan beragam pesan kepada semua pihak yang berseteru
berupa pemberian pertanyaan, mengatur interaksi, membuat kesimpulan, hingga
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
169
memberikan dukungan emosional bagi pihak-pihak yang terlibat pertikaian (Putnam,
2009: 214). Penjelasan Putnam tersebut secara langsung menujukkan bahwa
komunikasi rupanya menjadi satu bagian penting dalam mediasi, sekaligus
mendukung kajian tentang interaksional dan komitmen dalam mediasi.
Selain adjudikasi dan mediasi, ada satu proses resolusi konflik lain yang
bisa digunakan untuk menyelesaikan perselisihan antara warga bantaran dan
pemerintah kota. Fakta bahwa pemerintah kota dan warga bantaran sebenarnya masih
membuka kesempatan untuk berkomunikasi, walaupun belum terlaksana secara
maksimal, menjadi satu titik tolak yang baik untuk memulai upaya resolusi konflik.
Jika adjudikasi dan mediasi belum bisa menyelesaikan permasalahan, maka
pemerintah kota dan warga bantaran bisa menggunakan proses negosiasi untuk
mencari jalan tengah dari permasalahan tersebut.
Negosiasi sebenarnya merupakan salah satu upaya menuju resolusi
konflik yang lebih mengutamakan interaksi antara pihak-pihak yang berselisih tanpa
campur tangan pihak ketiga. Max H. Bazerman, Jared R. Cuhen, dan Don A. Moore
berpandangan bahwa negosiasi yang dilakukan secara rutin dengan bentuk tatap
muka bisa membuka rahasia tentang semua informasi yang berkualitas tinggi
sehingga dapat menghasilkan suatu kesepakatan di antara semua pihak yang terkait
(Bazerman, et al, 2001: 203). Pandangan yang diberikan pakar konflik di atas
sebenarnya membuka sebuah fakta bahwa komunikasi menjadi suatu bagian penting
dalam proses negosiasi dan pembuatan keputusan dan kesepakan bagi semua pihak
yang terlibat. Dengan demikian, komunikasi memberikan kontribusi yang besar
dalam negosiasi sebagai salah satu proses resolusi konflik.
Keterangan Bazerman dan koleganya (2001) pada dasarnya di atas tidak
bertentangan dengan pendapat yang diberikan Sukasno SH, sebagai ketua DPRD
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
170
sekaligus salah satu tokoh penting dalam perselisihan tersebut, yang menjelaskan
bahwa apabila pemerintah kota melakukan komunikasi yang intensif terhadap warga
bantaran, maka secara perlahan-lahan akan tercapai kesepakatan dan pemahaman di
antara semua pihak yang terlibat. Meskipun Sukasno SH tidak menyebutkan proses
komunikasi tersebut sebagai suatu bentuk negosiasi, namun hal itu menunjukkan
bahwa pemerintah kota harus melakukan negosiasi dengan warga bantaran terkait
dengan penyelesaian kasus perselisihan tentang dana banjir tersebut.
Pendapat Bazerman dan kawan-kawan (2001) sebenarnya mendapatkan
dukungan kuat dari sesama ilmuwan dan pakar konflik bernama, Roderick M.
Kramer dan Peter J. Carnevale. Ia menjelaskan bahwa negosiasi pada dasarnya
menawarkan suatu bentuk pengungkapan informasi yang terkait dengan masing-
masing pihak, keinginan, dan fokus perhatian masing-masing pihak. Namun semua
hasil dalam negosiasi tergantung pada semua pihak yang terlibat di dalamnya
(Kramer dan Carnevale, 2001: 434). Dengan demikian, proses negosiasi sebagai
salah satu upaya menuju resolusi konflik harus dijalankan secara seksama dengan
niat yang baik dan komunikasi yang berkelanjutan dari semua pihak untuk mencapai
kesepakatan bersama.
Tokoh-tokoh di belakang konflik antara warga bantaran dan pemerintah
kota sebenarnya menginginkan adanya komunikasi yang baik terjalin di semua pihak,
sehingga memungkinkan dicapainya perdamaian dan kesepakatan bersama. Akan
tetapi perasaan egoisme di masing-masing pihak yang berseteru membuat proses
resolusi konflik belum berjalan maksimal. Padahal komunikasi dan keinginan kuat
untuk menjalin perdamaian menjadi kunci penting dalam resolusi konflik. Walter
Mischel, dan para koleganya menjelaskan bahwa secara mendasar bentuk
penyelesaian konflik tergantung bagaimana semua pihak yang terlibat mengatur
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
171
dirinya pada tingkatan kognitif dan emosional agar tercipta kondisi efektif yang
melibatkan pemahaman terhadap situasi, harapan akan tercapainya tujuan, perasaan
emosi, serta tujuan yang hendak dicapai (Mischel, et al, 2006: 297).
Sederhananya Mischel dan koleganya hendak mengatakan bahwa faktor
keinginan dari dalam individu untuk menyelesaikan suatu konflik menjadi salah satu
bagian paling penting dalam proses resolusi konflik, selain komunikasi. Hal itu jelas
menjadi penegasan ilmiah bahwa keinginan dan niatan baik dari semua pihak untuk
mengakhiri konflik menjadi kunci paling penting dalam proses resolusi konflik.
Selain itu faktor interaksional dan komunikasi antara warga bantaran dan pemerintah
kota tetap harus dilandasi dengan niat baik tanpa upaya untuk saling menjatuhkan
dan mengalahkan pihak lain. Dengan demikian akan tercapai suatu kesepakatan
bersama yang saling menguntungkan bagi semua pihak.
Menariknya, jika diperhatikan lebih dalam, pemerintah kota sebenarnya
menginginkan komunikasi yang lebih baik namun kurang disertai dengan niatan baik
untuk menyelesaikan permasalahan tersebut. Hal itu rupanya dijelaskan oleh Miall
(2004), seperti dikutip oleh Del Felice bahwa bentuk-bentuk konflik yang
diperpanjang biasanya mengganggu sisi kemasyarakatan secara lokal dan global
(dalam Del Felice 2008: 76). Salah satu sifat konflik yang dijabarkan oleh Del Felice
(2008) tersebut seakan membuka kenyataan bahwa memang pada pada beberapa
kasus ada pihak tertentu yang sengaja mengulur-ulur waktu penyelesaian konflik
dengan kepentingan tertentu.
Kenyataan tersebut tergambar jelas di perselisihan yang terjadi antaran
warga bantaran dengan pemerintah kota, karena meskipun ada upaya untuk menuju
proses resolusi konflik terhadap dua pihak tersebut, namun kurangnya keinginan dan
niat baik di antaran semua pihak membuat resolusi konflik belum kunjung tercapai.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
172
Penjelasan Miall (2004) yang dikutip Del Felice (2008) pada dasarnya menujukkan
bahwa proses konflik, terutama dalam upaya mencapai resolusi konflik tampaknya
akan berlangsung cukup lama hingga secara umum memperpanjang proses konflik
tersebut. Kondisi seperti itu sebenarnya justru merugikan semua pihak yang terlibat
dalam perselisihan tersebut.
Meskipun ada indikasi bahwa konflik yang terjadi antara warga bantaran
dengan pemerintah kota relatif diselesaikan, Gary T. Furlong (2005), sebagai pakar
konflik, memberikan suatu terobosan besar tentang suatu pemetaan konflik dan
langkah-langkah yang sebaiknya ditempuh untuk mengakhiri konflik. Gary T.
Furlong, mengutip penelitian Elizabeth Kubler-Ross (1969), menjelaskan tentang
Model Konflik Gerakan Lebih Jauh (Moving Beyond Conflict Model) yang secara
umum berarti model konflik yang lebih banyak terfokus berhubungan pada sisi
psikologis serta sifat dasar manusia yang selalu menyalahkan pihak lain serta
menunjukkan niat buruk pada pihak lain dengan alasan ―kesalahan ada di pihak
mereka‖, sehingga menghasilkan penghalang besar bagi tercapainya resolusi (dalam
Furlong, 2005: 217). Keadaan tersebut rupanya mirip dengan konflik yang terjadi
antara warga bantaran dan pemerintah kota. Egoisme masing-masing pihak yang
terlibat konflik tersebut menunjukkan adanya tekanan ke pihak lain seperti yang
dijelaskan dalam asumsi dasar dari Model Konflik Gerakan Lebih Jauh.
Lebih lanjut Furlong memaparkan bahwa model tersebut dapat digunakan
untuk menghilangkan beban berat yang menghalangi tercapainya resolusi yang
dibawa masing-masing pihak, karena itu ada lima bagian yang dijelaskan oleh
Kubler-Ross dalam model tersebut, yaitu Penolakan, Marah, Tawar-menawar,
Depresi, dan Penerimaan (dalam Furlong, 2005: 218). Secara sederhana model
konflik tersebut menggambarkan plot yang terjadi selama konflik tersebut
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
173
berlangung. Setiap tahapan dalam model tersebut pada dasarnya dilalui oleh semua
konflik yang termasuk bisa dijelaskan dengan model tersebut, termasuk konflik
antara pemerintah kota dengan warga bantaran.
Meskipun konflik yang terjadi antara warga bantaran dan pemerintah kota
tampaknya relatif sulit diselesaikan karena ada rasa egoisme masing-masing pihak,
namun bukan berarti konflik tersebut tidak dapat diselesaikan. Model Konflik
Gerakan Lebih Jauh menawarkan suatu upaya menuju resolusi konflik yang bisa
digunakan untuk menyelesaikan kasus tersebut. Furlong (2005: 229-230)
menjelaskan ada dua strategi yang bisa digunakan semua pihak untuk penyelesaikan
konflik. Pertama, semua pihak yang terlibat harus memahami situasi dan harus
bergerak melalui semua proses yang dijelaskan oleh model tersebut, penolakan
menuju ke kemarahan, dan kemarahan menuju ke penerimaan. Upaya untuk
menghidari semua tahapan justru membuat semua pihak terjebak dalam tahapan
tersebut. Kedua, semua tahapan dalam model tersebut, penolakan, kemarahan, dan
penerimaan, membutuhkan kemampuan tertentu untuk melewatinya. Kemampuan
tersebut secara umum terdiri dari beberapa kemampuan, yang secara melibatkan
aspek komunikasi.
Dengan demikian, semua fakta, data, dan analisis di atas sebenarnya dapat
digunakan untuk menjawab pertanyaan tentang bagaimana upaya resolusi konflik
yang telah dilakukan warga. Pada dasarnya warga bantaran, yang menentang relokasi
dengan cara memberntuk forum bernama SKoBB, tidak menolak jalan damai dan
mediasi yang dilakukan, selama mediasi itu dijalankan dengan komunikasi yang
baik. Dengan kata lain, warga bantaran menginginkan adanya musyawarah untuk
mencari jalan keluar terbaik dari masalah ini. Sementara itu, di sisi lain pemerintah
kota juga menginginkan hal serupa, yaitu komunikasi yang baik, serta mediasi yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
174
tepat. Akan tetapi, egoisme masing-masing pihak menghalangi proses komunikasi
dan mediasi yang akan tercipta. Namun demikian, keinginan warga bantaran dan
pemerintah kota, sebenarnya menjadi suatu kekuatan besar untuk melakukan proses
komunikasi dan mediasi ulang demi mencapai resolusi konflik.
Setidaknya ada tiga cara dan bentuk resolusi konflik yang bisa digunakan
sebagai sarana menyelesaikan konflik tersebut, yaitu, mediasi, adjudikasi, dan
negosiasi. Mediasi merupakan bentuk resolusi konflik yang menggunakan peranan
orang ketiga, yang diterima oleh semua pihak tanpa keterpaksaan, sebagai mediator.
Adjudikasi pada dasarnya merupakan bentuk resolusi konflik yang menggunakan
lembaga pengadilan untuk menyelesaikan masalah. Semantara itu, negosiasi
merupakan bentuk resolusi konflik yang hanya melibatkan dua pihak yang berseteru
untuk menyelesaikan permasalahan mereka secara bersama-sama.
Pada dasarnya warga bantaran dan pemerintah kota pernah melakukan
dua bentuk resolusi konflik tersebut, namun hasilnya kurang maksimal, karena belum
ada niat baik dari pemerintah kota untuk menyelesaikan perselisihan tersebut. Namun
demikian bukan berarti konflik antara warga bantaran dengan pemerintah kota tidak
bisa diselesaikan. Model Konflik Gerakan Lebih Jauh (Moving Beyond Conflict
Model) yang dikembangkan oleh Elizabeth Kubler-Ross (1969) dan dijelaskan oleh
Furlong (2005) kemungkinan besar bisa digunakan untuk membantu mencari resolusi
konflik yang tepat.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
175
E. Komunikasi pada Konflik dan Resolusi Konflik
1. Aspek Komunikasi pada Penyebab Konflik dan Eskalasi Konflik
a. Petunjuk Komunikasi dalam Penyebab Konflik
Komunikasi sebenarnya merupakan suatu proses yang memungkinkan
satu pihak untuk saling memberikan pesan ke pihak lain dalam bentuk suatu interaksi
sosial. Dalam konflik tentang dana bantuan banjir yang terjadi antara masyarakat
kota dengan warga bantaran sebenarnya juga merupakan bentuk komunikasi yang
melibatkan pengiriman, pengkodean, penerimaan, dan penafsiran, terhadap sejumlah
pesan tertentu yang diberikan komunikator, serta tanggapan yang diberikan oleh
komunikan terhadap pesan tertentu. Dalam kasus perselisihan yang terjadi antara
pemerintah kota dan warga bantaran, semua pihak yang terlibat dalam perselishan
tersebut bisa menjadi komunikator dan komunikan sekaligus, sehingga mereka bisa
mengirimkan sejumlah pesan sekaligus menerima sejumlah pesan tertentu, terutama
yang berhubungan dengan konflik tersebut.
Dalam konflik tentang dana banjir yang melibatkan pemerintah kota dan
warga bantaran dapat pasti dimulai oleh pesan yang dikirimkan oleh salah satu pihak
namun salah dipahami oleh pihak lain. Hal itu memunculkan bibit-bibit ketergangan
di dua belah pihak, karena munculnya perbedaan tujuan dan kepentingan di antara
pemerintah kota dan warga bantaran. Fakta ini sebenarnya dimulai dari aspek
komunikasi yang mungkin kurang tepat, kurang menjangkau sasaran, dan mungkin
juga kurang memadai untuk dapat dipahami dan diinterpretasikan oleh semua pihak
yang terlibat.
Secara sederhana, permulaan perselisihan tersebut dimulai ketika
pemerintah kota memutuskan untuk menunda pembayaran dana bantuan banjir serta
mulai menggulirkan program relokasi. Penundaan dana bantuan banjir tersebut
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
176
khusunya diperuntukkan bagi warga bantaran yang menolak relokasi, karena tinggal
di tanah hak milik (THM). Pemerintah kota, dalam hal ini, mengkomunikasikan hal
itu dalam suatu pesan tertentu seperti yang dikatakan oleh Suparno HS. Ia
mengatakan bahwa
Ada proses sosialisasi sebelumnya, jadi sebelumnya dilakukan sosialisasi
dulu, yang dilakukan bulan November atau bulan apa saya lupa.
Pemerintah kota tidak pernah memaksa untuk relokasi, tetapi itu-kan
tempat larangan, bukan tempat pemukiman. Lalu saya dari pokja bilang
begini ―mbok ya sudah program pemerintah diikuti saja, wong banjir itu
merepotkan orang banyak, selain hanya merepotkan sendiri‖.
(Wawancara pada 14 April 2010)
Lebih lanjut Suparno HS menyatakan bahwa program relokasi tersebut bukanlah
paksaan bagi warga bantaran. Ia menyatakan bahwa
Pemerintah kota tidak pernah memaksa untuk relokasi, tetapi itu-kan
tempat larangan, bukan tempat pemukiman. Lalu saya dari pokja bilang
begini ―mbok ya sudah program pemerintah diikuti saja, wong banjir itu
merepotkan orang banyak, selain hanya merepotkan sendiri‖.
(Wawancara pada 14 April 2010)
Keterangan yang diberikan Suparno HS tersebut pada dasarnya menujukkan
keinginan pemerintah kota untuk merelokasi semua warga bantaran yang tinggal di
tanah negara (TN), namun demikian hal itu juga berdampak pada warga bantaran
yang tinggal di tanah hak milik (THM) karena kebanyakan dari mereka juga tinggal
di bantaran.
Fakta dan keterangan tersebut menujukkan bahwa pemerintah kota secara
sederhana memberikan pesan tegas namun tidak memaksa, bahwa semua warga yang
tinggal di bantaran harus segera di relokasi demi keamanan mereka sendiri. Hal itu
didasarkan oleh kenyataan bahwa tanah bantaran bukan wilayah yang diperuntukkan
sebagai tempat tinggal. Pesan seperti itu jelas meresahkan banyak warga yang tinggal
di bantaran, terutama yang tinggal di tanah hak milik.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
177
Ketua DPRD Surakarta, Sukasno SH, menguatkan keterangan yang
diberikan oleh Suparno HS, bahwa pemerintah kota pada dasarnya telah melakukan
komunikasi dengan memberikan pesan-pesan tentang program relokasi terhadap
semua warga yang tinggal di bantaran. Meskipun Sukasno SH tidak memiliki
hubungan langsung terhadap proses dan program relokasi, namun ia memahami
posisi pemerintah kota dan kenyataan tentang program tersebut, serta alasan
mengapa pemerintah kota menunda pembayaran dana bantuan banjir tersebut. Ia
menjelaskan bahwa
Ya, kalau, jadi itu semua dimulai pada saat banjir, tahun 2006 atau tahun
2007, saya agak lupa [pen: sebenarnya banjir tersbut terjadi tahun 2007],
memakan begitu banyak korban, dan sebagian besar korban tersebut
tinggal di wilayah bantaran. Pemerintah kota berencana untuk merelokasi
warga bantaran, dan hal itu nyambung dengan program pemerintah pusat
bahwa pemerintah pusat tentang pengelolaan Sungai Bengawan Solo,
yang salah satu proyeknya merupakan peninggian tanggul-tanggul di
Bengawan Solo, dan Solo merupakan satu kota yang mendapatkan proyek
tersebut. Karena kita [pen: warga Solo] juga sekitar 10-15 km berada di
sekitar Bengawan Solo. Dari situ, ada uang untuk bantuan banjir, juga
dari APBD mendampingi, dari situ kita bisa membatu warga, dari situ
harapannya bantuan banjir tersebut tidak dibantukan dalam bentuk uang,
karena ada kriteria tertentu dalam SK walikota dan juga walikota dengan
kementerian pusat. ... Kamu [pen warga bantaran] akan terbebas dari
banjir plus bantuan uang maka akan dapat sekitar 25 juta, belikan tanah,
dan masyarakat diharuskan membuat pokja sendiri-sendiri bukan
pemerintah kota, dan pokja akan menentukan di mana masyarakat harus
membeli tanah, sehingga tidak harus di kota Solo. (Wawancara pada 11
Mei 2010)
Penjelasan dari Sukasno SH, sebagai ketua DPRD sebenarnya menunjukkan
dukungan kepada penjelasan Suparno HS bahwa pemerintah sebenarnya telah
berkomunikasi kepada warga bantaran dengan pesan tentang program relokasi dan
dana bantuan banjir tersebut.
Selanjutnya, Sukasno SH secara umum juga mengatakan bahwa tanah
bantaran bukanlah tanah hunian, tepat seperti yang dikatakan pemerintah kota
melalui ketua Pokja, Suparno HS. Ketua DPRD tersebut menyatakan bahwa
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
178
Sehingga, kalau masyarakat yang menghuni bantaran itu hunian liar, ya
harus memahami, bahwa ada undang-undang dan perda, bantaran itu
harus bebas dari hunian dan sebagainya, sehingga ya seharusnya mereka
tidak disitu. ... Jadi kalau mereka nekat bertahan sampai titik darah
penghabisan, menurut saya ya tidak pas juga, karena mereka disitu
menghuni tanah bantaran. ... Persoalannya, saya juga heran, kok dulu ya
bisa kalau bantaran bisa jadi hunian, soalnya ada kan di undang-undang
itu jelas, tanah bantaran itu seperti apa. (Wawancara pada 11 Mei 2010)
Keterangan tersebut sebenarnya menjadi alasan jelas bagi pemerintah kota untuk
memberlakukan program relokasi bagi warga bantaran, terutama bagi warga yang
tinggal di tanah negara (TN). Sedangkan warga yang tinggal di tanah hak milik
(THM) akan direlokasi sesuai dengan kesepakatan yang akan disusun kemudian–
diatur melalui konsep sosialisasi lanjutan yang sekarang masih dalam proses.
Sementara itu pemerintah kota sebenarnya memiliki alasan kuat untuk
melakukan penundaan pembayaran dana bantuan banjir yang diinginkan oleh warga
bantaran. Hal itu sebenarnya masih berkaitan dengan program relokasi dan proses
administrasi yang berada di belakang semua itu. Kebanyakan tokoh elit yang berada
di belakang permasalahan tersebut menjelaskan bahwa masih ada beberapa
permasalahan administrasi dan relokasi bagi warga yang tinggal di tanah negara
(TN), sebelum menyelesaikan permasalahan bagi warga bantaran yang tinggal di
tanah hak milik (THM).
Pernyataan tentang alasan penundaan pembayaran dana bantuan banjir
kepada warga bantaran yang menolak relokasi diberikan oleh Suparno HS, sebagai
wakil paling depan dari pemerintah kota. Ketika diwawancarai ia menjelaskan bahwa
Saya rasa pada tahun 2010 ini sudah selesai semua, sebab banyak juga
warga yang tinggal di tanah hak milik yang sudah mau didata dan banyak
juga warga yang daftar, selama ini sudah ada sekitar 55 warga yang
daftar, yang dengan harga tanah sekitar 30.000 atau mereka nanti
mintanya berapa, pasti nanti akan diberikan gantinya oleh pak walikota,
toh pak walikota orangnya itu bagus, pak wali tidak akan sewenang-
wenang kok, begitu. (Wawancara pada 14 April 2010)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
179
Singkat kata, penundaan pembayaran uang banjir tersebut disebabkan adanya urusan
administrastif yang harus diselesaikan oleh pemerintah kota, termasuk bagaimana
upaya pembayaran dana banjir serta konsep relokasi yang pas bagi warga bantaran di
tanah hak milik (THM). Ia juga menjelaskan bahwa ada rasa ketergesaan di warga
bantaran di tanah hak milik, yang pada akhirnya mencetuskan perselisihan tersebut
Nantinya yang tinggal di tanah hak milik itu juga dapat 8,5 juta [pen:
perselesihan ini dimotori oleh warga yang tinggal di tanah hak milik].
Yang jadi keinginan mereka kan uangnya mau diminta sekarang, itu saja
kan. Jadi yang jelas relokasi tetap jalan, kami juga tidak mau mengurangi
hak mereka.
Pernyataan dari Suparno HS tersebut sebenranya menguatkan fakta bahwa
pemerintah kota telah mengadakan upaya pemahaman dan penyampaian pesan
kepada masyarakat bantaran, terutama yang menolak relokasi, tentang bagaimana
status tanah bantaran. Pemerintah kota juga menjelaskan mengapa ada penundaan
pembayaran dana bantuan banjir tersebut.
Widdi Srihanto juga memberikan pernyataan yang senada dengan
Suparno HS, bahwa ada permasalahan administrasi yang harus diselesikan
pemerintah kota terlebih dahulu, selain mencari jalan keluar yang tepat untuk dapat
merelokasi warga bantaran yang tinggal di tanah hak milik (THM).
Selama masih ada komunikasi maka semua masalah seperti itu pasti dapat
diselesaikan. Kami juga harus mencari konsep yang tepat untuk
mengatasi warga yang tinggal di tanah hak milik. Sebab kami tidak bisa
merelokasi warga yang tinggal di tanah hak milik. (Wawancara pada 25
Mei 2010)
Keterangan dari Widdi Srihanto menujukkan bahwa pemerintah kota pada dasarnya
tidak ingin menunda pembayaran dana bantuan banjir yang menjadi salah satu
penyebab perselisihan tersebut, pemerintah kota hanya mencari konsep yang tepat
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
180
untuk mencari jalan keluar bagi warga bantaran yang tinggal di tanah hak milik
(THM), yang notabene memulai konflik ini.
Secara sederhana semua penjelasan dari jajaran tokoh penting di belakang
dana bantuan banjir dan relokasi tersebut dapat diketahui bahwa pemerintah kota
sebenarnya telah berusaha semaksimal mungkin menjelaskan kepada warga bantaran
secara umum, bahwa tanah bantaran bukanlah tanah yang tepat sebagai wilayah
hunian, sehingga menuntut adanya program relokasi. Pemerintah kota juga
menjelaskan bahwa penundaan pembayaran dana bantuan banjir pada hakekatanya
disebabkan oleh adanya permasalahan administratif serta penyusunan konsep yang
tepat bagi proses relokasi bagi warga yang tinggal di tanah hak milik. Proses
komunikasi tersebut pada dasarnya tidak terlalu berhasil karena memunculkan
adanya perbedaan persepsi bagi warga bantaran yang tinggal di tanah hak milik. Hal
itu menjadi awal dari pertentangan tentang dana bantuan banjir tersebut.
Agus Sumaryawan, sebagai warga bantaran dan koordinator aksi,
memberikan pernyataan bahwa dana bantuan banjir tersebut pada dasarnya memang
sengaja tidak dibayarkan. Selain itu pemerintah kota juga menjadikan program
relokasi sebagai program dadakan
Setelah banjir, pihak kelurahan mulai mendata semua warga yang tinggal
di bantaran untuk dimintakan bantuan. Setelah itu semua ketua RT yang
tinggal di bantaran disuruh ke pemerintah kota untuk mendapatkan
pengarahan seperti ini ―semua warga yang tinggal di bantaran pemberian
bantuan diberikan pada semua pemilik tanah, pemilik rumah, dan semua
warga baik yang tanah negara (TN) dan tanah hak milik (THM)‖. Tidak
ada sedikitpun muncul kata ―relokasi‖. Dengan demikian semua warga
yang tinggal menjadi korban banjir istilahnya hanya menunggu bantuan
dari pusat [pen: bantuan dari pusat yang diberikan melalui pemerintah
kota] yang akan segera cair dan tidak berbentuk material, kalau tidak
berbentuk materi pasti berbentuk uang. (Wawancara pada 23 Januari
2010)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
181
Lebih lanjut, ia juga menyatakan bahwa
Namun di akhir tahun 2008, mulai beredar kencang isu tentang relokasi,
sehingga warga yang tinggal di daerah ini mulai menentang secara keras,
bahkan di sini di pasang spanduk besar bertuliskan ―Tolak Relokasi
Sampai Titik Darah Penghabisan‖. Penolakan tersebut tampaknya
membuat pemerintah kota merapkan tak-tik belanda ―devide et
impera‖[pen: adu domba]. Di sini ada dua status tanah, tanah negara (TN)
dan tanah hak milik (THM), karena dipecah maka warga yang tinggal di
tanah negara menjadi takut terhadap pemerintah. Beberapa waktu setelah
itu ada sosialisasi yang diberikan oleh pemerintah kota berkaitan dengan
masalah relokasi tersebut yang intinya bermaksud mengatakan ―warga
yang mau relokasi silahkan, yang tidak mau silahkan, namun jika terjadi
sesuatu dari pemerintah pusat, pemerintah kota tidak ikut campur‖. Tetapi
proses sosialisasi tersebut seakan menekan warga yang tinggal di wilayah
bantaran untuk mau direlokasi. (Wawancara pada 23 Januari 2010)
Paparan Agus Sumaryawan tersebut menujukkan bahwa penjelasan dan pesan dari
pemerintah kota, tentang dana banjir dan program relokasi belum bisa dipahami
secara maksimal sehingga kemungkinan besar proses komunikasi yang dilakukan
pemerintah kota belum menjangkau sasaran yang tepat.
Pernyataan yang serupa diberikan oleh warga bantaran yang lain. Nunuk
Ismiyati menyatakan bahwa program relokasi dan penundaan pembayaran dana
bantuan banjir dikaitkan dengan program relokasi. Hal tersebut, bagi Nunuk Ismiyati,
menunjukkan bahwa pemerintah kota tidak berniat membayarkan bantuan banjir. Ia
menjelaskan
Beberapa bulan kemudian semua pengurus RT diundang ke Bapeda untuk
rapat dalam rangka membahas semua data yang telah dikirim
sebelumnya, untuk diajukan ke menkokesra demi rehabilitasi rumah yang
rusak karena banjir. ... namun mak bedunduk [pen: sekonyong-konyong]
ada woro-woro wacana tentang program relokasi yang pada dasarnya
―mau yo monggo‖ yang juga sempat disampaikan pak walikota ―mau yo
monggo-yen ora yo ora opo-opo, neng yen ono inspeksi soko Jakarta ojo
salahne aku‖ [pen: mau ya silahkan tidak mau ya tidak apa-apa, tapi kalau
ada pemeriksaan dari Jakarta jangan salahkan saya]. Dari sini-kan ada
maksud bahwa relokasi itu sukarela, tetapi dia, pak walikota, tanpa
sepengetahuan RT ada woro-woro akan diberikan bantuan sekitar 22,5
juta rupiah sebagai ganti rumah dan fasilitas umum yang rusak khusus
bagi penghuni yang tinggal di tanah negara (TN). Jika dihitung-hitung
jika tanah negara (TN) sudah mendapatkan bantuan, maka sisanya-kan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
182
ada hak bantuan bagi tanah hak milik (THM), tetapi mengapa sampai
sekarang belum dibayarkan. Itulah yang jadi masalah sampai sekarang. ...
(Wawancara pada 17 Februari 2010)
Pernyataan yang diberikan Nunuk Ismiyati tersebut menunjukkan adanya
pertentangan dengan pernyataan yang diberikan para tokoh dari pemerintah kota
yang berada di belakang relokasi dan dana bantuan banjir. Bagi Nunuk Ismiyati
program relokasi tidak lebih dari upaya pemerintah kota untuk mengusir warga
bantaran, padahal pernyataan yang diberikan tokoh dari pemerintah kota tampaknya
tidak bermaksud mengusir warga bantaran, hanya menertibkan warga dan menunda
pembayaran dana banjir karena adanya proses penyelesaian administratif.
Warga bantaran yang lain juga mengungkapkan persepsi yang sama
dengan yang diberikan oleh Agus Sumaryawan dan Nunuk Ismiyati tentang program
relokasi dan penundaan dana bantuan banjir tersebut. Maryono mengungkapkan
bahwa.
Data tersebut dikirimkan ke balaikota sebagai awal untuk meminta
bantuan dari pusat [pen: pemerintah pusat di Jakarta]. Setelah ada
informasi bahwa dana tersebut sudah dikucurkan dari pusat, tiba-tiba
pemerintah kota bikin program yang bernama relokasi, karena pengertian
bantuan banjir tidak sampai pada pengalokasian dalam bentuk lain. Jadi
yang namanya bantuan banjir yang seharusnya tetap dalam bentuk
bantuan, bukan dalam bentuk yang lain, sehingga bantuan tersebut juga
harus dalam bentuk bantuan bukan diembel-embeli dengan tujuan dan
program yang lain. (Wawancara pada 12 Februari 2010)
Keterangan tersebut menunjukkan bahwa pemahaman dan persepsi Maryono tentang
dana bantuan banjir dan relokasi tampaknya seragam dengan yang dimiliki oleh
Agus Sumaryawan dan Nunuk Ismiyati. Hal itu menunjukkan bahwa warga bantaran
yang enggan direlokasi rupanya sama-sama memandang bahwa program relokasi
tersebut merupakan program yang bersifat sepihak dan menekan warga bantaran.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
183
Namun demikian, pernyataan yang diberikan Maryono tampaknya tidak sekeras yang
diberikan oleh Agus Sumaryawan dan Nunuk Ismiyati.
b. Aspek Komunikasi pada Penyebab Konflik
Pernyataan yang diberikan oleh para tokoh dari pemerintah kota dan para
tokoh dari warga bantaran yang menolak program relokasi menunjukkan adanya
kesalahpahaman dalam menanggapi semua informasi dan pesan yang diberikan oleh
pemerintah kota. Hal itu secara tegas dapat memunculkan benih-benih perselisihan di
antara semua pihak yang terlibat. Perhatikan indikasi bahwa ada semacam kesalahan
persepsi antara pemahaman yang diberikan oleh pemerintah kota dengan bentuk
pemahaman yang diterima oleh masyarakat. Fakta dan kesalahan persepsi antara
pemerintah kota dengan warga bantaran merupakan kondisi yang potensial untuk
mencetuskan konflik dan pertentangan.
Jika dijelaskan secara sederhana, kesalahan persepsi tersebut dapat
dilacak dari pola komunikasi yang terjadi pada saat pemerintah kota mulai
mensosialisasikan program relokasi dan penundaan dana banjir tersebut. Sebagai
komunikator, pemerintah kota rupanya memiliki kepentingan tertentu terhadap
wilayah bantaran yang sebenarnya merupakan daerah terlarang sebagai tempat
hunian. Kepentingan tersebut mungkin bukan menjadi pokok bahasan dalam tesis ini.
Namun demikian kepentingan yang berada di belakang pemerintah kota mendorong
permerintah kota menghasilkan suatu keutusan yang kuarang tepat berkaitan dengan
pensan yang dihasilkan. Selain itu pemahaman pemerintah kota yang kuarang
terhadap situasi yang berkembang di bantaran membuat pesan yang dihasilkan
memicu muculnya kesalahpahaman.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
184
Dari segi pesan, pemerintah kota pada dasarnya membangun pesan yang
menghasilkan munculnya ambiguitas pemahaman bagi masyarakat bantaran, selain
itu faktor psikologis dan kepentingan pemerintah kota membuat pesan yang kurang
tepat bagi warga bantaran. Pesan tentang relokasi bagi warga bantaran di tanah
negara (TN) kontan membuat warga bantaran di tanah hak milik (THM) menjadi
cemas, dan berpikir bahwa relokasi juga akan diberlakukan kepada mereka. Padahal
sebelumnya pemerintah kota sudah menjanjikan tentang dana bantuan banjir,
sebelum relokasi tersebut dilaksanakan.
Media yang digunakan pemerintah kota untuk menjelaskan tujuan dan
pesan yang telah dikodekan sebelumnya memang tidak sepenuhnya efektif.
Sosialisasi yang dilakukan oleh pemerintah kota pada dasanya hanya menjangkau
dan ditujukan kepada warga bantaran yang tinggal di tanah negara (TN), sedangkan
warga yang tinggal di tanah hak milik (THM) belum mendapatkan sosialisasi yang
memadai tentang program pemerintah yang akan dilaksanakan. Hal itu menimbulkan
kecemasan dan kesalahan penafsiran pada warga bantaran di tanah hak milik (THM)
yang mendorong terjadinya konfik.
Situasi tersebut membuat warga bantaran sebagai komunikan mulai
terjebak dalam kesalahan persepsi yang dicetuskan oleh faktor pesan dan media yang
kurang tepat. Hal itu membuat warga bantaran mulai membuat beragam asumsi
keliru tentang apa yang terjadi dan apa yang seharunya dilakukan terhadap
pemerintah kota. Situasi tersebut membuat warga bantaran mulai melakukan
tanggapan atau feedback berupa konflik yang menentang pemerintah kota.
Perhatian terhadap interaksi semua unsur komunikasi tersebut
menunjukkan secara lebih detail tentang bagaimana proses komunikasi dan
perbedaan pemahaman tersebut terjadi. Secara lebih detail ada dua macam sebab
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
185
yang menjadi dasar perbedaan persepsi tersebut. Pertama, perselisihan tersebut
diawali oleh perbedaan persepsi antara pemerintah kota dengan warga bantaran
dalam suatu proses komunikasi yang melibatkan isu tentang dana bantuan banjir dan
program relokasi. Kedua, secara umum perselisihan tersebut diawali dengan kurang
memadainya proses sosialisasi yang menjelaskan tentang dana bantuan banjir dan
program relokasi, karena program tersebut belum berhasil menyamakan persepsi
antaran pemerintah kota dengan warga bantaran. Kedua hal tersebut serta proses
komunikasi antara pemerintah kota dengan warga bantaran yang kurang tepat turut
andil mencetuskan konflik dan perselisihan tersebut.
c. Petunjuk Tentang Komunikasi dalam Eskalasi Konflik
Penyebab perselisihan antara pemerintah kota dan warga bantaran
tersebut membawa pada suatu babak baru yang menujukkan betapa kuatnya warga
bantaran memperjuangkan hak mereka. Hal itu meningkatkan proses eskalasi konflik
antara pemerintah kota dengan warga bantaran. Ada banyak pihak yang memberikan
sorotan dan pendapat mereka tentang proses komunikasi dalam eskalasi konflik
tersebut. Namun demikian proses komunikasi dalam eskalasi konflik ini
menunjukkan bahwa warga bantaran menjadi komunikator paling dominan
dibandingkan pada proses komunikasi dalam penyebab konflik. Selain itu dalam
eskalasi konflik lembaga pengadilan tampaknya menjadi salah satu media bagi warga
bantaran untuk menyampaikan pesan-pesan mereka kepada pemerintah kota.
Tanda paling awal tentang proses komunikasi dalam eskalasi perselisihan
yang dilakukan oleh warga bantaran dinyatakan oleh Agus Sumaryawan, sebagai
koordinator aksi sekaligus warga bantaran. Dalam suatu wawancara ia mengatakan
Karena tidak ada kejelasan tentang bantuan banjir yang 8,5 juta itu,
akhirnya saya mengadakan aksi di balaikota tanggal 23 Desember 2008.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
186
Tetapi waktu kami demo di balaikota pada minggu kedua, tidak ada yang
menemui kami untuk membicarakan hal ini. Kami hanya ditemui oleh
Pak Supradi, yang hari saat itu hanya bilang ―nanti akan saya sampikan
pada pimpinan saya‖. Karena kami tidak mendapatkan hasil saat demo di
balaikota, maka kami langsung berjalan ke dewan untuk demo di sana.
(Wawancara pada 23 Januari 2010)
Pernyataan yang diberikan oleh Agus Sumaryawan dalam aksi demonstrasi di
balaikota dan DPRD Surakarta tersebut menujukkan bahwa eskalasi perselisihan
tersebut mulai berkembang dengan warga bantaran sebagai komunikator. Aksi
tersebut sebenarnya bertujuan membawa pesan agar pemerintah kota segera
mencairkan dana bantuan banjir yang menjadi hak warga bantaran.
Keterangan yang diberikan oleh Agus Sumaryawan dikuatkan oleh warga
bantaran yang lain. Hal itu menujukkan bahwa demonstrasi dan aksi yang digulirkan
warga menjadi indikasi bahwa perselisihan tersebut sedang meluas. Nunuk Ismiyati
menyatakan
Pada awalnya kami sempat demonstrasi ke balaikota, namun pada saat itu
kami tidak ditemui oleh walikota, padahal sudah masyarakat tahu bahwa
walikota ada di kantor. Tetapi kami justru ditemui oleh sekretarisnya.
Lalu kami lanjutkan demonstrasi ke dewan, tetapi dewan baru tahu bahwa
ada kesepakatan tentang dana bantuan. Padahal seharusnya dewan-kan
juga bertugas untuk controlling, jadi seharusnya dewan tahu ada
kesepakatan itu. (Wawancara pada 17 Februari 2010)
Bentuk demonstrasi sebenarnya dapat menjadi suatu bentuk komunikasi yang
dilakukan masyarakat bantaran untuk menuntut hak tentang dana bantuan banjir.
Akan tetapi karena pemerintah tidak kunjung mencairkan dana bantuan tersebut,
maka demonstrasi menjadi bukti penting tentang komunikasi dalam eskalasi konflik
yang sedang menuju perkembangan serius.
Warga bantaran meningkatkan eskalasi perselisihan tentang dana bantuan
banjir tersebut dengan melakukan komunikasi ke lembaga pengadilan, dengan tujuan
dan pesan yang sama dengan yang dibawa pada saat demonstrasi, yaitu percepatan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
187
pencairan dana bantuan banjir. Komunikasi yang dilakukan warga bantaran melalui
pengadilan sebenarnya memiliki potensi besar untuk dapat mengakiri konflik secepat
mungkin, namun juga bisa meningkatkan eskalasi konflik. Pada kenyataannya
pengadilan justru menjadi salah satu pendorong peningkatan eskalasi konflik yang
digulirkan oleh warga bantaran.
Heri Hendro Harjuno menjelaskan bahwa upaya memasukkan
permasalahan ke pengadilan masih behubungan dengan permintaan mereka dalam
aksi demonstrasi yang belum dapat dipenuhi. Dengan kata lain, komunikasi yang
dilakukan melalui lembaga peradilan dirasakan lebih efektif dibandingkan melalui
demonstrasi. Selain itu komunikasi yang melalui lembaga pengadilan berpotensi
besar meningkatkan eskalasi perselisihan yang telah terjadi. Heri Hendro Harjuno
menyatakan
Sebenarnya sudah banyak upaya yang dilakukan warga, sudah banyak
pendekatan yang dilakukan warga kepada komisi-komisi yang terkait
dengan hal ini, termasuk pada wakil walikota dan walikota. Tetapi
kenyataanya belum ada penyelesaian, intinya masing-masing berusaha
mempertahankan apa yang sudah mereka miliki. Karena warga merasa
tidak ada penyelesaian secara baik-baik untuk menangani masalah ini,
maka kami mengajukan masalah ini ke pengadilan. (Wawancara pada 15
Maret 2010)
Secara sederhana pernyataan yang diberikan pengacara untuk warga bantaran
tersebut menujukkan bahwa setelah tidak adanya titik temu dalam upaya
demonstrasi, maka warga bantaran mulai meningkatkan eskalasi perselisihan ini,
dengan tujuan yang sama, menuju lembaga pengadilan. Dengan demikian maka
pengadilan diharapkan bisa memberikan tekanan yang besar kepada pemerintah kota
untuk segera menyelesaikan kasus tersebut.
Di samping itu, forum atau kelompok masyarakat bernama SKoBB yang
sebagian besar disusun oleh warga bantaran sendiri juga memberikan penguatan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
188
dalam upaya masyarakat bantaran dalam menuntut hak warga bantaran sendiri.
Forum masyarakat tersebut rupanya juga dibentuk untuk menguatkan perlawanan
masyarakat bantaran dalam menghadapi perselisihan tersebut. Beberapa keterangan
warga bantaran sekaligus anggota SKoBB menunjukkan bahwa forum atau
kelompok masyarakat tersebut turut andil mendukung warga bantaran dalam
perselisihan tersebut.
Agus Sumaryawan, dalam kapasitasnya sebagai koordinator aksi dan
ketua SKoBB, mengatakan bahwa
Dengan forum SKoBB, kami membentuk koordinator lapangan pada tiap
RT, sehingga memudahkan komunikasi untuk mau bertemu dan
memberdayakan tiap warga. Di samping itu, kami melakukan komunikasi
pada tiap RT tentang sosialisasi kebijakan yang dilakukan oleh SKoBB.
Dengan demikian warga dapat diberi pemahaman untuk melawan semua
kebijakan pemerintah yang tidak pro-rakyat atau kebijakan yang
menindas. Sebab tanpa adanya perlawanan maka dapat dipastikan rakyat
akan tertindas selama-lamanya. (Wawancara pada 23 Januari 2010)
Dalam suatu wawancara Agus Sumaryawan juga menjelaskan bahwa forum
masyarakat tersebut juga mendukung semua upaya yang dilakukan oleh warga
bantaran dalam aksi mereka menuntut dana bantuan banjir tersebut. Ia menjelaskan
Pada awalnya, kami sudah mengkomunikasikan pada semua instansi yang
terkait dengan permasalahan ini. Tetapi karena semua instansi yang
terkait itu selalu menuruti perintah atasannya walaupun atasannya itu
salah, maka tidak ada perhatian yang baik terhadap semua tuntutan kami.
Selain itu kami juga mengkomunikasikan masalah ini ke dewan, tetapi
hasilnya buntu. Sebab selama ini yang saya tahu lembaga legislatif dan
eksekutif sudah pacaran atau rangkul-rangkulan. Karena semua upaya
komunikasi yang kami lakukan sudah tidak berhasil maka kami
melakukan gugatan. Di samping itu kami berusaha menendang jauh-jauh
mitos yang mengatakan bahwa pemerintah selalu benar. Karena
bagaimanapun mereka juga manusia yang punya salah dan dosa.
(Wawancara pada 23 Januari 2010)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
189
Keterangan tersebut menujukkan bahwa forum SKoBB memberikan dukungan besar
terhadap permasalahan tersebut, karena forum itu dibentuk oleh warga bantaran yang
menentang program relokasi namun mendukung pembayaran dana bantuan banjir.
Keberadaan dan tindakan forum SKoBB dalam aksi demonstrasi dan
semua usaha serius menuntut dana bantuan banjir pada secara umum membuat
eskalasi dan permasalahan yang terjadi semakin rumit. Dukungan SKoBB terhadap
semua warga bantaran yang menolak relokasi namun mendukung dana bantuan
banjir menjadikan kekuatan warga bantaran semakin solid dan mungkin akan
semakin kukuh menuntut hak mereka.
Pengacara untuk warga bantaran, Heri Hendro Harjuno rupanya
menjelaskan bahwa forum SKoBB membuat warga bantaran semakin solid dan
semakin teguh menuntut hak mereka ke pemerintah kota, sehigga membuat
perselisihan dana bantuan banjir semakin rumit. Heri Hendro Harjuno mengatakan
Saya tidak mendudukkan SKoBB sebagai suatu lembaga penyelesaian,
tetapi suatu yang luar biasa untuk ukuran masyarakat yang bergerak
merevitalisasi diri, mengorganisasikan diri, melalui cara sedemikian rupa
yang solid dan menghadapi kendala-kendala. Bagi saya ini suatu
pembelajaran diri yang murni muncul dari bawah. (Wawancara pada 15
Maret 2010)
Paparan di atas menujukkan bahwa SKoBB rupanya menjadi forum yang
menguatkan masyarakat bantaran dalam menghadapi perselisihan tersebut. Selain itu
penjelaskan tersebut mendukung pernyataan Agus Sumaryawan bahwa forum
tersebut berusaha melawan semua kebijakan pemerintah yang tidak sesuai dengan
keinginan rakyat. Hal itu jelas membuat perselisihan ini memiliki eskalasi yang
semakin luas.
Maryono, dalam kapasitasnya sebagai warga bantaran dan anggota
SKoBB, menyatakan bahwa SKoBB sudah melakukan banyak hal untuk menuntut
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
190
dan mendesak pemerintah agar segera menurunkan dana bantuan banjir tersebut,
namun hal itu belum memberikan hasil nyata. Ia memberikan keterangan
Sebenarnya banyak, kami sudah berupaya ke sana-sini [pen: proses
komunikasi ke berbagai instansi terkait] dengan harapan ada suatu titik
temu, tetapi kenyataannya memang susah. Mungkin juga hal ini berkaitan
dengan nominal, atau anggaran, yang pada intinya pemerintah itu belum
siap menutunkan anggaran untuk masalah ini. (Wawancara pada 12
Februari 2010)
Secara sederhana, Maryono berusaha menjelaskan bahwa setelah semua usaha untuk
menekan pemerintah secara terbuka melalui semua aksi demonstrasi belum
memberikan hasil nyata, maka jalan yang terbaik ialah menempuh jalur hukum,
meskipun ia sendiri tidak menyatakan secara langsung.
Dengan demikian, semua pernyataan yang diberikan oleh warga bantaran
di atas membentuk suatu pemahaman besar bahwa eskalasi ini tidak terbentuk hanya
begitu saja, namun ada beberapa faktor yang mendorong warga bantaran
meningkatkan eskalasi perselisihan tersebut. Forum masyarakat bernama SKoBB
rupanyan juga menjadi salah satu faktor pendorong bagi warga masyarakat untuk
memulai meningkatkan eskalasi perselisihan tersebut. Namun demikian dukungan
SKoBB rupanya belum berhasil membuat pemerintah menurunkan dan menyetujui
pencairan dana bantuan banjir tersebut. Di samping itu, keberadaan forum SKoBB
rupanya menjadi indikasi bahwa ada aspek komunikasi kelompok berperan dalam
perselisihan tentang dana bantuan banjir tersebut.
Keterangan yang diberikan oleh para tokoh dari warga bantaran di atas
sebenarnya menjukkan bahwa sebenarnya ada proses komunikasi yang terjadi dalam
upaya untuk meningkatkan eskalasi konflik tersebut. Upaya demonstrasi dan upaya
menggulirkan permasalahan tersebut melalui jalur hukum menegaskan bahwa warga
bantaran berusaha menyampaikan suatu pesan agar pemerintah segera mencairkan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
191
dana bantuan banjir yang menjadi hak mereka. Pesan tersebut secara umum
menghasilkan efek ganda. Pertama, apabila pemerintah segera menuruti keinginan
warga bantaran, maka semua permasalahan akan segera selesai. Kedua, jika
pemerintah masih menunda pembayaran dana bantuan bagi warga, dan masih
berencana melakukan relokasi terhadap semua warga bantaran, maka eskalasi
perselisihan tersebut segera meningkat menuju tingkat yang lebih tinggi.
Selain itu, penggunaan lembaga pengadilan dalam permasalahan ini
menjadi satu bukti bahwa konflik yang sedang terjadi mengalami peningkatan
menuju lebih keras. Komunikasi dalam eskalasi perselisihan tersebut selanjutnya
menjadi suatu isu penting bagi seluruh kawasan eks-karesidenan Surakarta karena
peranan media massa lokal. Ada beberapa media massa lokal yang sempat
menjadikan permasalahan tersebut sebagai isu penting.
Upaya warga bantaran untuk menyampikan pesan ke pemerintah kota
melalui jalur hukum rupanya menemui kegagalan, sehingga secara otomatis
perselisihan yang terjadi di antara warga bantaran dan pemerintah kota sedang berada
dalam esklasi yang semakin luas. Harian Joglosemar menuliskan bahwa
Setelah melalui proses yang berbelit-belit, pada 17 Februari lalu pihak
Pengadilan Negeri justru memberikan keputusan yang mengecewakan
dengan menolak seluruh materi gugatan ‖Alasannya gugatan kami
melanggar Perda yang menyebutkan wilayah bantaran tidak boleh
dihuni,‖ tambahnya (Joglosemar, 14 Maret 2010: 13).
Pernyataan dari harian Joglosemar tersebut menujukkan bahwa pemerintah kota
masih berencana menunda pembayaran dana bantuan banjir bagi warga bantaran
selama masih belum ada upaya penyelesaian yang tepat. Hal itu jelas menjadikan
semua usaha komunikasi dan penyampaian pesan melalui pengadilan dinyatakan
gagal, sehingga proses eskalasi perselisihan tersebut menjadi semakin luas.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
192
Perluasan konflik tersebut ditunjukkan oleh pernyataan yang dilontarkan
oleh Heri Hendro Harjuno dalam harian Joglosemar. Harian tersebut menuliskan
bahwa
Warga yang diwakili oleh kuasa hukumnya Heri Hendro Harjuno SH
langsung banding atas putusan itu. Ratusan warga bantaran yang meng-
geruduk Pengadilan Negeri (PN) Solo langsung meluapkan kekecewaan
mereka. Bahkan, mereka juga mencaci majelis hakim (Solopos, 18
Februari 2008: I).
Pengajuan banding atas keputusan pengadilan tersebut menjadi indikasi kuat bahwa
eskalasi perselisihan yang terjadi menjadi semakin tinggi. Pengambilan keputusan
banding tersebut sebenarnya juga menjadi pesan bagi pemerintah kota bahwa warga
bantaran benar-benar serius dan teguh menuntut hak mereka tentang dana bantuan
banjir dan menolak relokasi.
Sementara warga masyarakat bantaran berusaha sekuat tenaga untuk
mengkomunikasikan semua keinginan mereka kepada pemerintah kota melalui
beragam aksi, termasuk melalui jalur hukum. Pemerintah kota tampaknya lebih
banyak bersikap pasif dalam menanggapi semua tekanan dan pesan dari warga
tersebut secara minim tanpa banyak memberikan tindakan secara langsung. Situasi
tersebut membuat warga bantaran semakin berang dan mungkin juga semakin
kelelahan menghadapi pemerintah kota yang tampaknya kurang memperhatikan
semua aksi yang dilakukan warga bantaran. Namun demikian, pada dasarnya
pemerintah kota tetap berusaha menemukan solusi agar permasalahan tersebut tidak
meluas.
Indikasi pertama tentang tanggapan pasif yang diberikan pemerintah kota
dalam menaggapi kasus dana bantuan banjir tersebut diberikan oleh Suparno HS,
sebagai ketua Pokja sekaligus tokoh penting di balik relokasi. Suparno HS
mengatakan ―Ya tidak masalah, wong itu semua hak mereka, ya namanya alam
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
193
demokrasi, ya pasti ada yang setuju, ada pula yang menentang. Yang penting nanti
tahun 2010 akan selesai, kan begitu toh.‖ (Wawancara pada 14 April 2010). Sebagai
wakil dari pemerintah kota yang berada di garis depan, Suparno HS memberikan
pernyataan yang menujukkan sikap pasif dari pemerintah kota dalam menanggapi
semua pesan dalam eskalasi perselisihan tersebut. Pernyataan Suparno HS juga
menujukkan bahwa pemerintah kota tetap menggulirkan program relokasi bagi
semua warga yang bersedia di relokasi saja, sementara pemerintah bersikap tenang
dalam menanggapi semua tuntutan warga yang menentang relokasi.
Kecenderungan sikap pasif dan tenang yang ditunjukkan oleh pemerintah
kota rupanya semakin dikuatkan oleh Sukasno SH, sebagai ketua DPRD Surakarta.
Walaupun Sukasno tidak memiliki hubungan langsung dengan pemerintah kota
tentang kasus tersebut, namun dia memiliki pengetahuan dan informasi yang
memadai terntang perselisihan yang terjadi antara pemerintah kota dengan warga
bantaran. Dalam wawancara ia memberikan pernyataan bahwa
Pemerintah kota bersikap pasif, artinya yang lalu biarlah berlalu, sebab
pemerintah kota sudah mengambil semua langkah yang diperlukan,
memberikan pemahaman ya sudah, memberikan sosialisasi, tapi pada
akhirnya dikembalikan ke warga. Lalu jika mereka menggugat
pemerintah kota ya silahkan saja. (Wawancara pada 11 Mei 2010)
Keterangan yang diberikan Sukasno SH rupanya menguatkan pernyataan yang
diberikan Suparno HS. Pernyataan di atas juga menunjukkan bahwa pemerintah kota
bersikap pasif karena telah melakukan semua hal yang dianggap perlu untuk
menekan dan mengurangi eskalasi konflik dengan warga bantaran. Tindakan pasif
dari pemerintah kota dalam menangani aksi tekanan yang diberikan warga bantaran
kemungkinan besar bisa meredam peningkatan eskalasi perselisihan tersebut.
Walalpun demikian, sikap pasif tersebut tidak mengurangi itikad baik pemerintah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
194
kota untuk menyelsaikan permasalahan dengan warga bantaran sambil terus
melaksanakan program relokasi.
d. Aspek Komunikasi dalam Eskalasi Konflik
Dalam eskalasi konflik yang terjadi antara pemerintah kota dengan warga
bantaran, aspek komunikasi menjadi satu aspek penting yang kemungkinan besar
membawa kedua pihak yang berseteru pada tingkat eskalasi yang lebih tinggi.
Kenyataan tersebut ditunjukkan oleh proses komunikasi yang dilakukan oleh warga
bantaran dengan cara keras dan menekan pemerintah kota melalui pengadilan dan
demonstrasi. Dengan begitu, aspek komunikasi yang dilakukan oleh warga bantaran
cenderung menekan pemerintah kota, melalui semua aspek, seperti demonstrasi dan
pengadilan. Dalam proses tersebut, semua unsur komunikasi ikut serta meningkatkan
eskalasi konflik tersebut.
Bagian paling awal dari proses komunikasi dikenal sebagai
komunikator. Komunikator dalam kasus eskalasi konflik tersebut dipegang
sepenuhnya oleh warga bantaran. Kondisi serta situasi yang terjadi membuat situasi
yang melingkupi membuat warga bantaran mulai menyusun kekutan untuk
meningkatkan eskalasi konflik. Peryataan yang diberikan oleh Abdul Alim, sebagai
wartawan profesional, bahwa setelah semua cara yang ditempuh warga bantaran
gagal, maka satu-satunya jalan yang masih terbuka ialah jalur hukum. Heri Hendro
Harjuno, sebagai pengacara bagi warga bantaran, juga menyatakan bahwa ranah
hukum menjadi suatu jalan yang ditempuh setelah semua upaya kekeluargaan yang
telah dilakukan menemui jalan buntu. Situasi tersebut membuat warga bantaran
menjadi komunikator yang mulai bergerak dengan cara menyandikan pesan yang
mampu meningkatkan eskalasi konflik.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
195
Sementara itu, pesan yang disampaikan warga bantaran rupanya memiliki
kekuatan dan tujuan yang menekan pemerintah kota melalui demonstrasi dan jalur
hukum. Pesan yang disandikan oleh warga bantaran pada dasarnya sama dengan
pesan dalam proses komunikasi secara umum, yaitu pesan yang menujukkan
keinginan pihak pertama–dalam hal ini warga bantaran–ke pihak lain agar segera
diberikan tanggapan yang sesuai dengan keinginan pihak pertama. Namun demikian,
pesan yang disandikan oleh warga bantaran pada dasarnya memiliki kekuatan untuk
menekan dan meningkatkan eskalasi konflik karena digunakan dengan cara yang
keras dan kemungkinan besar besifat memaksa. Tipe pesan seperti itu membuat
perselisihan yang terjadi bergerak menuju eskalasi yang semakin meningkat.
Selain pesan yang besifat menekan dan memaksa, media yang digunakan
warga bantaran juga berifat menekan dan memaksa pihak lain, karena digunakan
secara frontal dan terbuka dengan melalui jalur-jalur komunikasi yang biasa
digunakan untuk melakukan konflik. Perhatikan fakta bahwa warga bantaran
menggunakan jalur demonstrasi seperti yang dikatakan oleh Nunuk Ismiyati, atau
menggunakan jalur hukum seperti yang dikatakan oleh Heri Hendro Harjuno. Semua
jalur tersebut merupakan jalur yang pada dasarnya menjadi media penting untuk
meningkatkan eskalasi konflik serta menekan pihak lain dalam suatu konflik tertentu.
Sedangkan sebagai komunikan, pemerintah kota menjadi objek yang
menjadi tujuan disampaikannya pesan dalam proses komunikasi, bahkan pada
komunikasi dalam konflik. Di samping itu sisi psikologis dan lingkungan di belakang
pemerintah kota kemungkinan besar mempengaruhi keputusan dan tanggapan yang
dilakukan. Dengan demikian, fakta bahwa tanggapan yang diberikan pemerintah
kota relatif minim terhadap tuntutan warga bantaran kemungkinan besar tidak hanya
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
196
dipengaruhi oleh proses komunikasi yang telah dilakukan, tapi juga dipengaruhi oleh
kondisi lingkungan dan faktor psikologis yang berada di belakang komunikan.
Aspek komunikasi dan unsur-unsur dalam proses komunikasi pada
eskalasi konflik berusaha memberikan pemahaman pada pemetaan tentang proses
komunikasi dan interaksi yang terjalin dari semua unsure komunikasi yang terlibat.
Hal itu membuat pemahaman tentang eskalasi konflik tidak hanya terbatas pada
penyebab eskalasi konflik, tapi juga pada struktur komunikasi yang menyusun dan
terjadi pada eskalasi konflik. Dengan demikian, proses komunikasi dalam eskalasi
konflik, serta latar belakang eskalasi konflik yang terjadi, dapat dipahami dengan
mudah.
e. Analisis Tentang Aspek Komunikasi pada Penyebab dan Eskalasi
Fakta dan data yang berasal dari lapangan menunjukkan bahwa konflik
antara pemerintah kota dan warga bantaran rupanya dimulai dari kesalahan persepsi
terhadap suatu pesan yang diberikan oleh kelompok tertentu, dalam hal ini
pemerintah kota. Kemungkinan besar kesalahan persepsi tersebut terjadi karena
pemerintah kota memberikan bentuk komunikasi yang kurang efektif atau kesalahan
penyandian pesan, yang akan diberikan kepada warga bantaran. Jika kesalahan
persepsi tersebut ditinjau dari disiplin ilmu komunikasi, maka pokok analisis akan
terfokus pada proses komunikasi yang ada serta semua implikasi yang
melingkupinya.
Kesalahan persepsi yang menjadi penyebab awal dari suatu konflik pada
dasarnya sesuai dengan pandangan yang diberikan oleh Robert A. Baron dan Donn
Byrne yang menjelaskan kesalahan semantik sebagai sebuah akibat dari komukasi
yang buruk dan menyatakan bahwa terkadang individu berkomunikasi dengan orang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
197
lain dengan cara yang salah sehingga menyebabkan orang lain marah (Baron dan
Byrne, 2005: 194). Hal itu membuat analisis tentang komunikasi pada penyebab
konflik tampaknya harus memandang secara menyeluruh pada semua aspek
komunikasi yang terkait, mulai dari komunikator, pesan dan media, komunikan, serta
tanggapan.
Kesalahan komunikasi dan kegahalan menyampaikan informasi hingga
menjadi awal dari konflik pada dasarnya tidak hanya dapat dari satu unsur
komunikasi saja, tapi juga harus dilihat secara holistik pada semua unsur komunikasi
yang ada. Dalam kasus perselisihan antara warga bantaran dan pemerintah kota,
komunikator–pemerintah kota–memegang peranan penting pada penyampaian pesan
yang menjadi awal dari kesalahan penafiran pesan tersebut. Sedangkan dalam
eskalasi konflik, warga bantaran menjadi komunikator paling penting dalam
perselisihan Beragam faktor yang berada dibelakang komunikator turut andil
mempengaruhi komunikator dalam menyampaikan pesan. Benjamin R. Karney,
James K. McNulty, dan Thomas N. Bradbury menjelaskan bahwa komunikator yang
efektif dipengaruhi oleh aspek kognitif yang pada akhirnya mempengaruhi perilaku
(Karney, et al, 2001: 43). Keterangan Karney dan kawan-kawan di atas sebenarnya
menujukkan bahwa kondisi pemikiran di belakang komunikator sedikit banyak
mempengaruhi pesan-pesan yang telah dibuat dan kemungkinan besar berpengaruh
pada kesalahan pembuatan pesan yang akan disampaikan.
Pandangan Karney dan koleganya (2001) pada dasarnya didukung oleh
paparan Spitzberg dan Cupach yang mengatakan bahwa kegagalan komunikasi
tampaknya bisa berasal dari dalam komunikator atau komunikan–yang disebabkan
oleh bentuk-bentuk komunikasi yang agresif dan komunikasi yang tidak diinginkan
sebagai hasil dari kekacauan kognisi yang akan mempengaruhi perkembangan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
198
persepsi (Spitzberg dan Cupach, 2009: 457). Keterangan ilmiah Karney dan
koleganya (2001) serta Spitzberg dan Cupach (2009) menunjukkan bahwa
komunikator tidak dapat melepaskan diri dari pemikiran dan penyandian pesan yang
akan disampaikan, karena itu komunikator bertanggungjawab pada kesalahan
pembuatan pesan, yang menjadi penyebab konflik.
Jalaluddin Rahkmat menyampaikan bahwa persepsi suatu pihak
menghasilkan suatu kredibilitas yang berada di belakang komunikator, namun
demikian hal itu tergantung pada situasi dan permasalahan yang sedang dibahas
(Rahkmat, 2003: 257). Kondisi yang dijelaskan Rakhmat jelasn mengandung indikasi
bahwa komunikator memiliki kredibilitas jika ada pihak lain yang mengakui
kredibiltas tersebut serta ada legitimasi yang jelas terhadap suatu permasalahan. Hal
itu membuat kesalahan penyadian pesan yang akan disampaikan bisa menghilangkan
kredibiltas yang berada di belakang komunikator hingga menghasilkan konflik.
Perhatikan lebih dekat perselisihan yang terjadi antara pemerintah kota
dan warga bantaran yang terjadi. Komunikator pada penyebab konflik–pemerintah
kota–rupanya kemungkinan besar menyandikan pesan yang mungkin menghasilkan
kecaman dan tekanan keras bagi pihak lain, dalam hal ini warga bantaran. Faktor
situasional dan faktor pemikiran yang berada di belakang komunikator kemungkinan
besar juga berpengaruh pada aspek penyandian pesan yang diberikan oleh
pemerintah kota kepada warga bantaran. Kondisi situasional yang kurang tepat
kemungkinan besar mempengaruhi pesan yang dibuat dan disampaikan oleh
pemerintah kota. Jika memang pemerintah kota berniat melakukan relokasi pada
semua warga bantaran, maka pemerintah kota tidak seharusnya menyampikan dana
bantuan banjir kepada warga bantaran.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
199
Fakta yang diberikan di lapangan tampaknya tidak bertentangan dengan
pemikiran pakar psikologi dan konflik seperti Karney dan koleganya (2001),
Spitzberg dan Cupach (2009), serta Jalaluddin Rahkmat (2003). Kenyataan yang ada
menujukkan bahwa penyadian pesan yang dilakukan pemerintah kota pada dasarnya
telah dimulai dengan serangkaian kesalahan, yaitu kurangnya perhatian pemerintah
kota kondisi situasional yang menyelimuti warga bantaran, yang pada hakekatnya
membutuhkan bantuan fisik, tidak termasuk relokasi; pemerintah kota juga
menyandikan pesan yang kurang tepat, bahwa relokasi ini bersifat tidak memaksa,
padahal pada penerapannya tidak selalu demikian; faktor pemikiran dan pemahaman
yang kurang terhadap kondisi warga bantaran yang seberanya mendorong pemerintah
kota menyadikan pesan yang salah.
Di pihak lain, dalam eskalasi konflik, warga bantaran yang menolak
relokasi memegang peran sebagai komunikator. Sebagai komunikator warga
bantaran juga menyandikan beberapan pesan yang kurang tepat hingga menghasilkan
perluasan konflik yang semakin tinggi. Perhatikan pernyataan Lorreta L. Peccioni
dan koleganya yang menyatakan bahwa komunikator yang kompeten harus bisa
menyesuaikan kemampuannya dengan semua perubahan interaksi yang menyertainya
(Peccioni, et al. 2008: 252). Apabila pernyataan Pecchioni dan koleganya
dihubungkan dengan warga bantaran sebagai komunikator dalam eskalasi konflik,
maka akan diperoleh suatu fakta penting. Apabila warga bantaran bisa bertindak
tenang serta dapat menyelesuaikan diri dengan situasi yang sedang memanas, maka
dapat dipastikan warga bantaran bisa menjadi komunikator yang efektif untuk
menyampaikan pesan tertentu ke pemerintah kota.
Kenyataan dan data yang ada di lapangan tampaknya menujukkan hal
sebaliknya. Warga bantaran rupanya menjadi komunikator yang cenderung kurang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
200
cermat menghadapi perselisihan tersebut sehingga meningkatkan kondisi dan
eskalasi konflik yang sedang terjadi. Peranan kognisi dan pemikiran yang
berkambang di warga bantaran membuat perselisihan tersebut menjadi semakin luas.
Bagian kedua yang harus diamati pada proses komunikasi dalam
perselisihan antara warga bantaran dengan pemerintah kota ialah pesan dan media
yang digunakan. Pesan secara sederhana diartikan sebagai bentuk kata-kata yang
direncanakan atau tidak oleh komunikator serta bentuk perilaku non verbal (Adler
dan Rodman, 2009: 506). Dalam kaitannya dengan konflik antara pemerintah kota
dengan warga bantaran, pesan yang disampaikan pemerintah kota, yang
menyebabkan konflik, ialah pernyataan dan rencana relokasi dan penundaan dana
bantuan banjir bagi warga bantaran. Pesan tersebut sebenarnya efektif jika digunakan
dan disalurkan secara baik dan benar sesuai dengan situasi yang melingkupi warga
bantaran dan pemerintah kota secara umum. Akan tetapi penyampaian pesan
tersebut melalui media sosialisasi yang kurang menjangkau sasaran membuat pesan
menjadi ambigu dan menimbulkan salah persepsi.
Perhatikan pernyataan yang diberikan oleh Michael E. Roloff dan
Courtney M. Wright. Kedua pakar komunikasi itu menjelaskan bahwa pihak yang
menyusun pesan seharusnya memperhitungkan semua rekasi, tujuan, dan kebutuhan
yang diberikan oleh pihak lain (Roloff dan Wright, 2009: 103). Penjelasan dua orang
pakar komunikasi tersebut seharusnya menjadi fokus perhatian dari semua pihak
untuk menyusun pesan, agar tidak terjadi konflik. Kenyataan yang ada sepertinya
menujukkan bahwa kedua pihak yang terlibat konflik belum bisa menyusun pesan
yang tepat, sehingga bisa menghindari terjadinya konflik.
Jika pemerintah kota berperan besar pada pembuatan pesan yang
menyebabkan konflik, maka warga bantaran juga bertanggungjawab dalam semua
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
201
bentuk pembuatan pesan yang mendorong peningkatan eskalasi konflik. Fakta yang
didapatkan dari lapangan menujukkan bahwa warga bantaran sebenarnya juga belum
memahami bagaimana pesan tersebut dibuat dan disalurkan. Pesan yang diberikan
oleh warga bantaran berupa penolakan relokasi namun mendukung pembayaran dana
tampaknya menekan pemerintah kota untuk segera menurunkan dana bantuan banjir.
Penggunaan demonstrasi dan jalur hukum sebagai media penyaluran pesan pada
dasarnya juga beresiko meningkatkan dan memperparah perelisihan yang ada. Hal itu
jelas menjadi bukti yang mendukung penjelasan Roloff dan Wright (2009).
Bagian selanjutnya dari proses komunikasi yang perlu mendapat
perhatian lebih dalam untuk memahami perselisihan yang terjadi antara pemerintah
kota dan warga bantaran ialah komunikan. Dalam penyebab konflik, warga bantaran
mengambil peranan sebagai komunikan yang menerima pesan dari pemerintah kota.
Sedangkan dalam eskalasi konflik pemerintah kota justru menjadi komunikan karena
menerima pesan dari warga bantaran. Sebagai komunikan, keduanya rupanya salah
memberikan penafsiran terhadap pesan yang diterima. Situasi tersebut rupanya sesuai
dengan penjelasan Ellen Berscheid dan Hilary Ammazzalorso bahwa penafsiran
pesan melibatkan kondisi kognitif dan psikologi pihak tertentu melibatkan
interperstasi kognitif terhadap lingkungan sekitar, sehingga dapat menimbulkan
bentuk-bentuk emosional (Berscheid dan Ammazzalorso, 2001: 311).
Unsur komunikasi paling akhir yang patut diperhatikan pada kasus
perselisihan antara pemerintah kota dan warga bantaran adalah tanggapan atau
feedback. Tanggapan atau feedback pada dasarnya merupakan bentuk reaksi yang
diberikan oleh komunikan terhadap pesan yang diberikan oleh komunikator. Dalam
kasus ini, tanggapan paling awal diberikan oleh warga bantaran terkait dengan pesan
yang diberikan oleh pemerintah kota. Tanggapan yang diberikan warga bantaran
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
202
berupa reaksi keras untuk menentang relokasi namun mendukung pencairan dana
bantuan banjir. Sedangkan, pada eskalasi konflik, pemerintah kota justru
memberikan tanggapan pasif terhadap semua pesan yang diberikan oleh warga
bantaran. Reaksi pasif dari pemerintah kota secara sederhana sedikit meredam aksi
warga bantaran, namun secara tidak langsung membuat warga bantaran semakin
meningkatkan tekanan dengan cara menggunakan jalur hukum. Tanggapan dan
reaksi dari pihak tertentu dapat menjadi pesan bagi pihak yang lain, kondisi tersebut
membuat komunikator menjadi komunikan dan sebaliknya.
Berdasarkan semua unsur komunikasi, yang telah dibahas di atas, dapat
diperoleh gambaran besar tentang komunikasi dalam konflik yang terjadi antara
pemerintah kota dengan warga bantaran terkait dengan dana bantuan banjir tersebut.
Komunikasi dalam konflik tersebut dimulai dengan seruan pemerintah kota, sebagai
komunikator, untuk merelokasi semua warga yang tinggal di bantaran. Kondisi
serta semua kepentingan yang ada membuat pemerintah kota kurang memahami
kondisi dan situasi warga bantaran yang sebenarnya. Keadaan itu membuat
pemerintah kota menyadikan pesan tentang relokasi dan dana bantuan banjr secara
gegabah. Hal itu menjadi titik awal tersebarnya bibit konflik tersebut. Keadaan
komunikator yang kurang pas menghasilkan pesan yang kurang efektif, karena
menimbulkan ambiguitas penafsiran bagi warga bantaran. Kesalahan penafsiran
pesan tersebut membuat warga bantaran tidak memahami permasalahan yang
sebenarnya. Media sosialisasi yang kurang efektif, karena semakin membuat warga
bantaran tertekan, sebenarnya juga semakin meningkatkan potensi konflik terjadi.
Sementara itu, warga bantaran sebagai komunikan tidak sepenuhnya
benar, karena kondisi dan situasi di belakang warga, termasuk pemikiran dan kondisi
kognitif, membuat warga salah menafsirkan pesan yang diterima. Keadaan tersebut
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
203
membuat warga melakukan tindakan perlawanan terhadap semua pesan yang
diterima. Dengan begitu, tanggapan dan feedback yang dihasilkan warga membuat
suatu pertentangan serius yang secara sederhana memulai konflik dan perselisihan
antara pemerintah kota dengan warga bantaran.
Dalam eskalasi konflik, warga bantaran, sebagai komunikator, rupanya
membuat pesan-pesan keras terhadap pemerintah kota. Keadaan tersebut didukung
oleh kondisi kognitif yang berada di belakang komunikator. Keadaan kognisi dan
pemikiran warga bantaran yang tertekan oleh pesan pemerintah kota, membuat warga
bantaran mulai melakukan perlawanan. Kondisi kognitif tersebut membuat warga
bantaran menghasilkan beragam pesan bersifat keras dan menentang pemerintah
kota. Hal itu jelas menimbulkan perselisihan dan eskalasi konflik yang semakin
tinggi. Penggunaan media demonstrasi dan penggunaan jalur hukum rupanya juga
semakin menguatkan perselisihan dan konflik yang terjadi.
Di lain pihak, dalam eskalasi konflik, pemerintah kota bertindak sebagai
komunikan yang menerima semua pesan dari warga bantaran tersebut. Pemerintah
kota secara sederhana menanggapi semua pesan dengan tanggapan yang pasif.
Keadaan seperti itu membuat warga bantaran semakin kesal, sehingga berusaha
sekuat tenaga untuk meningkatkan eskalasi perselisihan tersebut. Namun demikian,
sikap pasif dari pemerintah kota tampaknya diperlukan untuk meredam perselisihan
yang sedang memanas tersbut.
Jika menilik semua fakta dan data dari lapangan, maka kondisi tersebut
tampaknya sesuai dengan Teori Hubungan Dialektik (Dialectics Theory of
Relationship). Secara sederhana teori tersebut menjelaskan bahwa ada bentuk-bentuk
kerenggangan yang biasanya muncul pada hubungan antarmanusia sehari-hari.
Dengan demikian teori ini berasumsi bahwa hubungan sebenarnya tidak bergerak
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
204
dalam garis lurus semata namun bergerak berubah-ubah sesuai dengan kondisi yang
ada, sehingga membuat munculnya bentuk-bentuk kontradiksi yang mendasar pada
bentuk hubungan tertentu, komunikasi berusaha mengurangi bentuk kontradiksi
tersebut (Norwood dan Duck, 2009: 318; Littlejohn dan Foss, 2005).
Apabila semua fakta dan data dari lapangan dimasukkan dalam Teori
Hubungan Dialektik, maka diperoleh suatu hubungan antarkonstruk yang ada.
Pertama, hubungan komunikasi antara pemerintah kota dengan warga bantaran pada
dasarnya menemui titik kritis, karena munculnya kesalahan penafsiran pesan dan
lemahnya pemahaman teradap suatu pesan. Kerenggangan hubungan antara warga
bantaran dengan pemerintah kota berpotensi besar untuk menimbulkan dan
memunculkan konflik. Kedua, kurangnya proses sosialisasi yang diberikan oleh
pemerintah kota membuat semakin renggangnya komunikasi dan hubungan
komunikasi antara pemerintah kota dengan warga bantaran. Dengan demikian, Teori
Hubungan Dialektik tampaknya masih bisa digunakan untuk menganalisis semua
situasi yang melingkupi permasalahan hubungan komunikasi antara pemerintah kota
dengan warga bantaran.
Perselisihan yang terjadi antaran pemerintah kota dengan warga bantaran
rupanya tidak hanya memunculkan ketegangan di dua belah pihak, tapi juga
membuat warga bantaran menyusun kekuatan baru dalam bentuk forum bernama
SKoBB. Secara sederhana SKoBB merupakan forum masyarakat yang mewadahi
warga bantaran, terutama warga bantaran yang menolak relokasi. Namun demikian,
perselisihan ini lebih bersifat lebih luas, karena pada dasarnya melibatkan warga
bantaran yang tidak tergabung dalam forum tersebut. Dengan begitu, SKoBB hanya
menjadi bagian kecil dari konflik yang luas tersebut.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
205
Karena SKoBB pada dasarnya memberikan dorongan dalam eskalasi
konflik, maka kajian tentang kelompok masyarakat dan komunikasi kelompok untuk
membahas forum masyarakat tersebut tampaknya juga perlu diperhatikan. Peranan
SKoBB dalam eskalasi konflik ditunjukkan oleh pernyataan Agus Sumaryawan yang
secara sederhana menyatakan bahwa SKoBB digunakan untuk memberikan
pemahaman kepada masyarakat untuk melawan semua kebijakan pemerintah yang
tidak pro-rakyat. Pernyataan tersebut memberikan pemahaman bahwa forum tersebut
mendukung secara penuh perlawanan warga bantaran secara umum terhadap dana
bantuan banjir tersebut. Keadaan itu pada dasarnya merupakan bentuk dukungan
pada bentuk-bentuk eskalasi konflik yang sedang terjadi.
Pandangan tentang komunikasi kelompok diberikan oleh Keyton dan
Stallworth yang menjelaskan bahwa komunikasi yang efektif di antara semua
anggota kelompok dapat menghasilkan suatu kesuksesan semua komponen
kelompok tersebut (Keyton dan Stallworth, 2003: 240). Dalam kasus tersebut
kesuksesan dalam semua komponen pada dasarnya dapat diwujudkan dalam bentuk
dukungan pada eskalasi konflik tersebut. Hal itu jelas menghasilkan suatu efek
peningkatan eskalasi konflik. Keyton dan Stallworth (2003) pada dasarnya
menyampaikan suatu pendapat yang mendasari paparan dari Barge. Barge. Ia
menjelaskan bahwa kelompok sosial diikat oleh aspek komunikasi antar anggota
untuk menopang efektivitas hubungan dan kolaborasi antara anggota (Barge, 2009:
340).
Jika pendapat yang diberikan oleh Keyton dan Stallworth (2003) dan
Barge (2009) dihubungkan dengan keadaan dan dukungan SKoBB dalam eskalasi
konflik tersebut, maka dukungan forum tersebut pada eskalasi konflik dapat
dipahami sebagai upaya membentuk komunikasi yang efektif dalam konflik,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
206
sehingga diaharapkan tujuan warga bantaran dalam konflik tersebut bisa tercapai.
Fakta tentang komunikasi efektif dalam mengambil keputusan dikuatkan oleh
pendapat Klumpp. Ia menjelaskan bahwa pembuatan keputusan sebenarnya
merupakan istilah yang lebih banyak menguatkan proses kesimpulan dari semua
pilihan yang ada. Hal itu membuat pembuatan keputusan menjadi salah satu bagian
dari proses diskusi dan musyawarah (Klumpp, 2009: 202). Dengan demikian
kebanyakan kasus menujukkan bahwa suatu keputusan dalam suatu kelompok
dipengaruhi oleh musyawarah atau komunikasi yang ada di dalamnya. Asumsi
tersebut rupanya secara tidak langsung didukung oleh Heri Hendro Harjuno yang
menyatakan bahwa SKoBB menjadi suatu organisasi yang lebih mengutamakan
kepentingan warga bantaran, sehingga semua orang yang berada di belakang forum
tersebut sudah bertekad untuk menuntut dana banjir sekuat tenaga serta menghalangi
relokasi.
Kenyataan tersebut pada dasarnya menjadi bukti nyata dari keterangan
yang menjelaskan bahwa suatu kelompok akan selalu mencari perbedaan dengan
kelompok lain. Karena itu, Teori Identitas Sosial (Social Identity Theory—SIT)
tampaknya bisa digunakan untuk memahami mengapa SKoBB selalu berupaya
menentang semua kebijakan pemerintah. Meskipun teori tersebut bukan teori
komunikasi, namun aspek komunikasi antarkelompok, dalam kaitannya dengan
SKoBB, yang bertujuan menentang kelompok lain mungkin masih dapat dijelaskan
oleh teori tersebut. SIT pertama kali dikembangkan oleh H. Tjafel dan J.C. Turner.
Secara umum SIT berasumsi bahwa proses ketegoriasasi tidak bisa diambil alih
secara semena-mena, tapi harus digunakan sebagai referensi diri, meningkatan
persamaan dengan semua anggota kelompok serta menguatkan perbedaan antara diri
sendiri dengan semua anggota di luar kelompok demi meningkatkan perberdaan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
207
(Gallois, et al, 2005: 233). Secara mudah SIT sebenarnya merupakan teori
organisasional, dari disiplin ilmu psikologi sosial, yang membahas dan menjelaskan
bahwa semua anggota dalam suatu organisasi selalu mencari persamaan diri
sedangkan mereka selalu mencari perbedaan dengan anggota di luar kelompok
mereka.
Pada dasarnya, asusmsi yang dikembangkan oleh SIT menujukkan bahwa
ketika terjadi bentuk-bentuk konflik antarkelompok, kebanyakan anggota suatu
kelompok terikat oleh rasa solidaritas untuk maju dan melawan kelompok lain yang
dianggap berbeda dan berseberangan dengan tujuan kelompok mereka. Selain itu SIT
memberikan penguatan pada pandangan tentang persamaan identitas diri semua
anggota dalam suatu kelompok sosial, namun membedakan secara jelas dengan
identitas diri yang berada dalam kelompok lain. Dengan demikian SIT tampaknya
menguatkan perbedaan yang biasanya menjadi penyebab utama konflik antara
pemerintah kota dengan warga bantaran.
Apabila semua konstruk ada di lapangan, yang berhubungan dengan
forum SKoBB, dimasukkan dalam asumsi SIT, maka akan dihasilkan suatu
pemahaman besar tentang latarbelakang forum tersebut mendukung pertentangan
dengan pemerintah kota. SKoBB sebenarnya merupakan forum masyarakat yang
menghimpun warga bantaran yang secara prinsip menentang rekolasi namun
mendukung pencairan dana bantuan banjir. Perhimpunan tersebut kemudian
membentuk kelompok yang pada dasarnya menyusun kekuatan untuk menekan
pemerintah kota, seperti yang dikatakan Agus Sumaryawan. Tindakan seperti itu
membuat warga bantaran selalu mencari perbedaan dengan pemerintah kota. Hal itu
membuat warga bantaran sulit menerima pendapat dan semua upaya perdamaian,
sehingga membuat perselisihan tersebut samkin berkepanjangan. Hal itu jelas
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
208
menjadi indikasi umum bahwa SIT dapat digunakan untuk melakukan analisis
terhadap perselisihan tersebut.
Semua analisis terhadap fakta dan data yang ada di lapangan dapat
digunakan untuk menjawab pertanyaan penting tentang komunikasi yang dilakukan
warga bantaran dengan pemerintah kota terkait dengan dana bantuan banjir tersebut.
Secara sederhana proses komunikasi tersebut dimulai ketika pemerintah kota sebagai
komunikator menyandikan pesan melalui media sosialisasi tentang relokasi dan
penundaan dana bantuan banjir kepada warga bantaran. Akan tetapi faktor
latarbelakang dan kognisi yang berada di belakang pemerintah kota membuat
penyandian pesan menjadi kurang tepat, begitu pula tentang efektivitas sosialisasi
yang digunakan, sehingga kurang menjangkau sasaran. Hal itu membuat warga
bantaran, terutama yang tinggal di tanah hak milik (THM), salah menfsirkan pesan,
sehingga menghasilkan tanggapan berupa reaksi keras terhadap program relokasi
pemerintah kota.
Dalam eskalasi konflik, aspek komunikasi yang terlibat pada dasarnya
menunjukkan adanya tekanan dan penggunaan pesan dengan penekanan yang kuat
kepada pihak lain serta bersifat memaksa. Hal itu juga ditunjukkan dengan
penggunaan media demonstrasi dan penggunaan ranah pengadilan yang secara umum
mampu meningkatkan eskalasi konflik. Aspek kognitif yang ada rupanya membuat
warga bantaran membuat suatu pesan yang bersifat keras dan menekan. Pesan
tersebut rupanya disampaikan melalui media yang bersifat menekan, namun kurang
efektif, pemerintah kota, yaitu demonstrasi dan penggunaan jalur hukum. Sebagai
komunikan, pemerintah kota menanggapi pesan warga bantaran tersebut secara pasif
dan lebih banyak bersikap tenang, dengan cara tetap melakukan penundaan pencairan
dana bantuan banjir serta tetap memberlakukan relokasi. Hal itu mungkin sedikit
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
209
meredam eskalasi perselisihan tersebut, namun membuat warga bantaran semakin
kuat menekan pemerintah kota.
2. Aspek Komunikasi pada Upaya Menuju Resolusi Konflik
a. Petunjuk Komunikasi pada Upaya Resolusi Konflik
Proses komunikasi dalam upaya resolusi konflik yang terjadi antara
pemerintah kota dan warga bantaran mungkin menjadi bagian penting dalam usaha
mengakhiri konflik sekaligus mencari jalan keluar yang tepat. Pada bagian ini
pemerintah kota dan warga bantaran pada hakekatnya berusaha mencari jalan keluar
yang tepat untuk dapat mengakhiri perselisihan yang sedang terjadi. Meskipun belum
ada resolusi konflik yang tepat untuk menyelesaiakan perselisihan antara pemerintah
kota dengan warga bantaran, terutama yang berada di tanah hak milik (THM), namun
selalu ada upaya komunikasi menuju resolusi konflik yang dilakukan kedua pihak
yang berseteru.
Komunikasi pada upaya menuju resolusi konflik pada awalnya dimulai
dari usaha mengkomunikasikan tujuan sekaligus penyelesaian oleh warga bantaran
ke semua pihak yang terkait dengan permasalahan relokasi dan dana bantuan banjir
tersebut. Pernyataan paling awal dari upaya komunikasi dalam resolusi konflik
diberikan oleh Agus Sumaryawan
Beberapa saat setelah itu datang banjir lagi, kemudian pak walikota
datang ke tempat saya untuk bilang mau memberikan bantuan. Dia bilang,
―Pak Agus mau bantuan berapa‖, saya menjawab ―Terserah bapak mau
beri bantuan berapa‖. Kemudian ia kembali berkata ―ajudan, agendakan
makan-makan di Lodji Gandrung, sama Pak Agus.‖ Tapi setelah makan
malam di sana tidak ada solusi yang bisa dilakukan, dan tidak ada titik
temu dalam permasalahan tersebut. (Wawancara pada 23 Januari 2010)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
210
Keterangan yang diberikan Agus Sumaryawan sebenarnya menjadi bukti bahwa ada
proses komunikasi antara warga bantaran dengan pemerintah kota meskipun belum
membuahkan hasil positif. Lebih lanjut Agus Sumaryawan menjelaskan
Seharusnya pemerintah kota mengadakan koordinasi untuk melakukan
tatap muka bersama masyarakat, ibaratnya dalam bahasa jawa ―ayo podho
dirembug‖. Hal itu harus dilakukan berdasarkan prinsip demokrasi yang
mendahulukan musyawarah lalu melakukan mufakat. (Wawancara pada
23 Januari 2010)
Kedua penjelasan yang diberikan Agus Sumaryawan, sebagai warga bantaran
sebenarnya mengindikasikan adanya proses komunikasi yang terjadi antaran warga
dengan pemerintah kota. Proses komunikasi tersebut memang kurang efektif dalam
menyelesaikan masalah, namun demikian, proses tersebut menjadi suatu langkah
positif menuju resolusi konflik.
Proses komunikasi dalam upaya mengakhiri konflik tersebut memang
belum menghasilkan sustu kesepakatan untuk menyelesaikan persoalan yang rumit
tersebut, bahkan Maryono menjelaskan bahwa
Sebenarnya banyak, kami sudah berupaya ke sana-sini [pen: proses
komunikasi ke berbagai instansi terkait] dengan harapan ada suatu titik
temu, tetapi kenyataannya memang susah. Mungkin juga hal ini berkaitan
dengan nominal, atau anggaran, yang pada intinya pemerintah itu belum
siap menurunkan anggaran untuk masalah ini. (Wawancara pada 12
Februari 2010)
Keterangan Maryono pada dasarnya mendukung penjelasan Agus Sumaryawan
bahwa warga bantaran memang berniat baik untuk mencari solusi dalam masalah ini
namun semua hasil yang diperoleh dalam proses komunikasi tersebut kurang
maksimal. Lebih lanjut Maryono menjelaskan
Sebenarnya sudah banyak upaya yang dilakukan warga, sudah banyak
pendekatan yang dilakukan warga kepada komisi-komisi yang terkait
dengan hal ini, termasuk pada wakil walikota dan walikota. Tetapi
kenyataanya belum ada penyelesaian, intinya masing-masing berusaha
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
211
mempertahankan apa yang sudah mereka miliki. (Wawancara pada 12
Februari 2010)
Penjelasan Maryono memberikan indikasi bahwa kegagalan komunikasi dalam
upaya mencari resolusi, pada dasarnya disebabkan oleh kekerasan dan kurangnya
keterbukaan pada masing-masing pihak.
Kenyataan bahwa semua pihak yang bertikai saling mempertahankan
pendapat masing-masing membuat proses komunikasi dalam upaya menuju resolusi
secara langsung tergabung dalam komunikasi yang terjadi pada eskalasi konflik,
seperti yang terjadi pada saat demonstrasi. Fakta tersebut sebenarnya juga menjadi
petunjuk bahwa semua pihak rupanya saling memperjuangkan kepentingan masing-
masing ketimbang melakukan komunikasi yang baik. Tentang demonstrasi tersebut
Nunuk Ismiyati mengatakan
Pada awalnya kami sempat demonstrasi ke balaikota, namun pada saat itu
kami tidak ditemui oleh walikota, padahal sudah masyarakat tahu bahwa
walikota ada di kantor. Tetapi kami justru ditemui oleh sekretarisnya.
Lalu kami lanjutkan demonstrasi ke dewan, tetapi dewan baru tahu bahwa
ada kesepakatan tentang dana bantuan. Padahal seharusnya dewan-kan
juga bertugas untuk controlling, jadi seharusnya dewan tahu ada
kesepakatan itu. (Wawancara pada 17 Februari 2010)
Penjelasan yang diberikan Nunuk Ismiyati sebenarnya membuktikan bahwa proses
komunikasi yang dilakukan oleh warga bantaran untuk mencari jalan keluar dari
konflik mengalami hambatan dari pemerintah kota. Selain itu, komunikasi untuk
mencari jalan keluar dari konflik justru tersebut tergabung dalam proses eskalasi
konflik, sehingga menghasilkan komunikasi yang kurang efektif untuk
menyelesaikan masalah.
Meskipun komunikasi yang dilakukan warga bantaran kurang efektif
untuk mencari jalan keluar dan resolusi, karena tergabung dalam proses yang sama
dengan eskalasi konflik, namun hal itu menjadi suatu langkah postif dari warga
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
212
bantaran untuk menyelesaikan permasalahan dana bantuan banjir tersebut. Tindakan
warga bantaran dalam mengupayakan komunikasi untuk menyelesaikan konflik
tersebut membuat warga bantaran telah melakukan interaksi sosial yang positif.
Di lain pihak pemerintah kota secara umum melakukan proses
komunikasi yang kurang menekan dan cenderung lebih pasif ketimbang komunikasi
yang dilakukan oleh warga bantaran. Namun demikian pemerintah kota tetap
melakukan proses komunikasi dengan warga bantaran, dalam upaya menuju resolusi
konflik, meskipun tidak terlalu efektif. Hal itu dinyatakan oleh Sukasno SH, sebagai
ketua DPRD Surakarta,
Saya kira masih ada upaya, seperti itu, misalnya baik kepada siapa. Pada
akhirnya komunikasi seperti itu akan terjalin tidak pada ketua komunitas.
Sebab mungkin saja ketua komunitas itu terlalu mendominasi, sehingga
mungkin semua anggotanya terkadang tidak nyambung [pen: tidak dapat
mengikuti keinginan ketua kelompok]. (Wawancara pada 11 Mei 2010)
Lebih lanjut Sukasno SH menjelaskan bahwa
Pemerintah kota bersikap pasif, artinya yang lalu biarlah berlalu, sebab
pemerintah kota sudah mengambil semua langkah yang diperlukan,
memberikan pemahaman ya sudah, memberikan sosialisasi, tapi pada
akhirnya dikembalikan ke warga. Lalu jika mereka menggugat
pemerintah kota ya silahkan saja. (Wawancara pada 11 Mei 2010)
Keterangan Sukasno SH, sebagai seorang tokoh yang paham seluk-beluk
permasalahan tersebut, sebenarnya menjadi petunjuk bahwa memang pemerintah
kota melakukan komunikasi kepada warga bantaran secara interpersonal atau
kelompok dalam rangka mencari jalan keluar dari konflik tersebut, namun hasilnya
kurang efektif. Selain itu keterangan tersebut menjadi indikasi penting bahwa
pemerintah kota memang memberikan tanggapan yang relatif kurang dalam
komunikasi menuju resolusi konflik.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
213
Pernyataan yang senada juga diberikan oleh Suparno HS, sebagai salah
seoarang tokoh penting di belakang relokasi dana dana bantuan banjir. Ia
menyatakan bahwa pemerintah kota sebenarnya melakukan komunikasi secara pasif
namun tetap berusaha menyelesaikan kasus perselisihan tersebut. Secara lebih detail
ia menyatakan.
Ya tidak masalah, wong itu semua hak mereka, ya namanya alam
demokrasi, ya pasti ada yang setuju, ada pula yang menentang. Yang
penting nanti tahun 2010 akan selesai, kan begitu toh. ... Saya yakin
semua hal itu tidak akan merugikan warga. Kalau mereka melawan
dengan keras, kita harus lunak, semua itu harus pakai strategi, ya kan.
(Wawancara pada 14 April 2010)
Ketarangan tersebut menunjukkan bahwa pemerintah kota cenderung beriskap pasif
untuk memberikan tanggapan langsung terhadap komunikasi yang dilakukan warga
bantaran terkait dengan semua perselisihan tersebut.
Akan tetapi, di belakang semua kecenderungan sikap pasifnya,
pemerintah kota sebenranya tetap berupaya untuk menyelesaikan permasalahan
tersebut malalui proses komunikasi yang tidak begitu kentara. Suparno HS
menyatakan ―Nanti tahun 2010 ini kan semua selesai, jadi mereka nanti pasti akan
diajak berembuk, untuk menyelesaikan masalah tersebut. Jadi rembugkan itu
merupakan program dari pusat untuk menyelesaikan masalah ini.‖. Keterangan
tersebut menjadi indikasi penting bahwa tetap ada upaya komunikasi dari pemerintah
kota untuk mengakhiri kasus tersebut.
b. Aspek dan Pola Komunikasi pada Upaya Menuju Resolusi Konflik
Keterangan yang diberikan semua tokoh di belakang pemerintah kota dan
warga bantaran memberikan petunjuk penting tentang proses komunikasi yang
terjadi dalam upaya menemukan resolusi konflik yang tepat. Perhatikan lebih dalam
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
214
bahwa warga bantaran dan pemerintah kota bisasaling memberikan pesan dalam
usaha penyelesaian tersebut. Komunikator paling awal dalam upaya mencari
penyelesaian konflik justru datang dari warga bantaran. Hal itu didukung oleh
pernyataan yang menjelaskan bahwa warga bantaran telah melakukan komunikasi
dan pendekatan ke semua pihak yang berhubungan dengan permasalahan tersebut.
Sebagai komunikator, peranan aspek kognitif dan kepentingan di belakang warga
bantaran turut mempengarui pembuatan pesan yang disampaikan ke pihak lain.
Keterangan yang diberikan warga bantaran, seperti Agus Sumaryawan
dan Maryono, menujukkan bahwa pesan tersebut rupanya berisi tuntutan warga
bantaran untuk segera mencairkan dana bantuan banjir kepada warga bantaran.
Sedangkan media demonstrasi dipilih oleh warga bantaran sebagai media untuk
menyampaikan pesan ke pihak lain. Menariknya, media demonstrasi yang digunakan
oleh warga bantaran membuat komunikasi dalam usaha menuju resolusi konflik
secara tidak langsung tergabung pada komunikasi dalam eskalasi konflik, karena
tuntutan warga dalam demonstrasi tersebut ialah untuk segera menurunkan dan
bantuan banjir serta untuk membahas ulang tentang relokasi warga bantaran,
terutama yang tinggal di tanah hak milik (THM). Selain itu, ada upaya komunikasi
interpersonal yang digunakan warga bantaran, kepada semua pihak yang terkait,
sebelum mereka memutuskan untuk menggunakan demonstrasi.
Sementara itu, sebagai komunikan, pemerintah kota sebenarnya belum
terlalu menanggapi semua upaya tuntutan damai warga bantaran, karena semua pihak
yang terkait dalam pemerintah kota cenderung bersikap pasif dalam menyelesaikan
permasalahan tersebut. Perhatikan pernyataan Sukasno SH yang menyatakan bahwa
pemerintah kota bersikap pasif dan tenang terhadap semua tuntutan warga bantaran
tersebut. Namun demikian, pemerintah kota tetap mengusahakan komunikasi yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
215
baik terhadap warga bantaran demi penyelesaian kasus tersebut. Maskipun begitu
belum ada hasil postif yang bisa dicapai.
Jika semua unsur komunikasi, yang berhasil disarikan dari fakta-fakta dan
data di lapangan, disatukan menjadi satu bagian maka akan tampak proses
komunikasi yang jelas antara warga bantaran dengan pemerintah kota, begitu pula
sebaliknya, dalam upaya menuju resolusi konflik. Di sisi lain, belum adanya
kesepakatan tentang resolusi konflik kemungkinan besar disebabkan oleh kekakuan
dua pihak yang berseteru, sehingga kedua pihak saling mempertahankan keyakinan
masing-masing. Pernyataan yang diberikan warga bantaran, Maryono, dan beberapa
tokoh lain seperti Heri Hendro Harjuno yang mengisyaratkan bahwa kekerasan
pemikiran dan egosentrisme masing-masing pihak bisa mengurangi potensi
terjadinya kesepakatan damai di antara dua pihak.
Semua unsur komunikasi yang terlibat dalam proses komunikasi menuju
resolusi konflik pada dasarnya membentuk semacam jalinan interaksi yang saling
mempengaruhi. Jalinan interaksi semua unsur komunikasi yang terlibat dalam proses
tersebut membentuk suatu perspektif dialogis seperti yang dikembangkan Krauss dan
Morsella (2006). Persepektif dialogis tersebut memungkinkan terjadinya interaksi
antara komunikator dan komunikan secara simultan dan bergantian, baik seketeika
atau melalui jeda tertentu. Hal itu membuat komunikator bisa menjadi komunikan
pada waktu yang berbeda namun tetap dalam konteks yang sama. Dalam kasus ini,
komunikator dipegang oleh pemerintah kota dan warga bantaran karena keduanya
saling membuat pesan tentang permasalahan tersebut, dengan tujuan dan maksud
yang berbeda. Pemerintah kota membuat pesan dengan maksud menunda
pembayaran dana bantuan banjir, dan menggulirkan relokasi. Sedangkan, warga
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
216
bantaran menyandikan pesan yang berupa penolakan relokasi dan dukungan terhadap
dana bantuan banjir.
Sementara itu, pesan yang disampaikan pemerintah kota kepada warga
bantaran pada dasarnya berupa bentuk persuasi yang pada dasarnya meminta warga
bantaran untuk menyetujui program relokasi. Sedangkan, warga bantaran
menyampaikan pesan dengan maksud dan tujuan yang bertolak belakang dengan
pesan pemerintah kota. Media yang digunakan oleh kedua pihak untuk menjalin
komunikasi demi mencapai resolusi konflik pada dasarnya memiliki persamaan yang
mendasar, dan hanya berbeda pada ranah dan tingkatan komunikasinya. Dalam kasus
tersebut, komunikan pada dasarnya dipegang oleh dua pihak yang berbeda, yaitu
warga bantaran dan pemerintah kota, karena keduanya menerima pesan yang berbeda
dari komunikator tentang permasalahan tersebut, namun tetap dalam konteks yang
sama.
c. Analisis Tentang Aspek Komunikasi pada Upaya Resolusi Konflik
Komunikasi dalam upaya menuju resolusi konflik yang terjadi pada kasus
perselisihan antara warga bantaran dan pemerintah kota, secara umum dapat
dijelaskan dengan perspektif dialogis yang dikembangkan oleh Krauss dan Morsella
(2009). Krauss dan Morsella menjelaskan persepektif dialogis sebagai suatu bentuk
sudut pandang yang mengutamakan pada akstivitas komunikasi di dalamnya,
sehingga perspesktif dialogis lebih menguatamakan aspek komunikasi yang
dialkukan oleh dua pihak untuk mencapai tujuan tertentu (Krauss dan Moreslla,
2009: 153). Perhatikan fakta dan data yang ada, upaya komunikasi yang dilakukan
oleh warga bantaran kepada pemerintah kota dengan tujuan tertentu, jelas merupakan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
217
bentuk positif dari perspektif dialogis yang dijelaskan oleh Krauss dan Morsella
(2009).
Dengan demikian, perspekstif dialogis pada dasarnya memandang bahwa
dalam konflik dan usaha mencapai resolusi konflik melibatkan bentuk dan aspek
dialogis yang terjadi di antara dua pihak. Pihak pertama memberikan suatu pesan
tertentu, sementara pihak kedua menanggapi pesan tersebut. Hal itu secara umum
mendukung penjelasan dari Cuff (2005). Perspektif dialogis kemungkinan besar pasti
melibatkan komunikasi dalam dialog yang ditujukkan dengan kenyataan bahwa
dialog dan debat antara pihak tertentu pada dasarnya mampu menekankan perubahan
komunikasi tentang gagasan dan rasionalitas menjadi lebih intersubjektif (Cuff, et al,
2005: 323). Pandangan yang diberikan Cuff secara umum menjelaskan fakta yang
ada bahwa komunikasi yang terjadi antara dua pihak bisa menghasilkan interaksi
yang bersifat lebih baik sekaligus bersifat intersubjektif.
Sebelum melakukan analisis terhadap semua fakta dan data yang ada,
perhatikan pandangan yang diberikan oleh Kenneth Cloke. Ia menyatakan bahwa
secara komunikasi yang tidak efektif dalam penyelesaian konflik justru membuat
upaya penyelesaian konflik menjadi lebih jauh (Cloke, 2001: 6). Secara sederhana
Cloke hendak mengatakan bahwa komunikasi dalam konflik dan upaya
penyelesesain konflik sebaiknya dilakukan dengan tepat dan dengan niatan yang baik
tanpa semua itu, semua upaya komunikasi yang dilakukan justru makin menjauhkan
resolusi konflik yang menjadi tujuan bersama.
Namun demikian kedudukan komunikasi dalam konflik tetap menjadi
suatu hal yang penting dalam upaya menuju resolusi konflik. Furlong, yang mengutip
pendapat dari Kubler-Ross (1969), menjelaskan bahwa Model Konflik Gerakan
Lebih Jauh (Moving Beyond Conflict Model), seperti yang terjadi dalam konflik
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
218
antara pemerintah kota dan warga bantaran, memiliki tahapan penerimaan
(acceptance) yang membutuhkan negosiasi dan mungkin juga komunikasi sebagai
langkah awal menyelesaikan konflik ketimbang mengalahkan pihak lain (dalam
Furlong, 2005: 223). Pemetaan dan model konflik tersebut menjadi suatu terobosan
besar bagi upaya menuju resolusi konflik, karena memberikan pemahaman dan
tahapan langkah yang harus ditempuh untuk mencapai resolusi konflik. Namun
demikian, Furlong memberikan peringatan, jika proses negosiasi tersebut gagal,
maka kemungkinan besar konflik akan kembali menuju bentuk perselisihan dan
penolakan yang akan memperparah konflik (Furlong, 2005: 223). Hal itu
membuktikan bahwa komunikasi efektif menjadi syarat mutlak untuk mengakhiri
konflik. Sayangnya semua proses komunikasi yang dilakukan oleh warga bantaran
dan pemerintah kota, dalam upaya mencapai resolusi konflik belum mencapai
keefektifan yang memadai. Hal itu berseiko memperpanjang kondisi konflik yang
sedang terjadi.
Namun demikian, Furlong (2005: 229-230) menjelaskan bahwa Model
Konflik Gerakan Lebih Jauh menawarkan dua strategi menuju resolusi konflik yang
bisa digunakan untuk menyelesaikan kasus tersebut. Pertama, semua pihak yang
terlibat harus memahami situasi dan harus bergerak melalui semua proses yang
dijelaskan oleh model tersebut, penolakan menuju ke kemarahan, dan kemarahan
menuju ke penerimaan. Upaya untuk menghidari semua tahapan justru membuat
semua pihak terjebak dalam tahapan tersebut. Kedua, semua tahapan dalam model
tersebut, penolakan, kemarahan, dan penerimaan, membutuhkan kemampuan tertentu
untuk melewatinya.
Penjelasan dari Model Konflik Gerakan Lebih Jauh secara umum
menjelaskan bahwa semua bentuk resolusi konflik, seperti mediasi, arbutrasi,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
219
adjudikasi, dan mungkin juga negosiasi berada pada bagian yang sama yaitu
penerimaan (acceptance). Karena itu semua bentuk proses resolusi konflik
membutuhkan komunikasi yang efektif di antara semua pihak yang berseteru.
Kondisi itu sebenarnya secara tidak langung telah dijelaskan oleh Furlong (2005)
tentang bagian penerimaan (acceptance).
Kenyataan yang menujukkan bahwa ada upaya warga bantaran dan
pemerintah kota untuk saling berkomunikasi, meskipun belum efektif, tampaknya
menjadi suatu awalan yang baik untuk mencapai resolusi konflik. Furlong (2005),
secara tidak langsung menjelsakan bahwa komunikasi, atau setidaknya upaya
komunikasi, memang menjadi suatu bekal penting untuk memulai upaya menuju
resolusi konflik.
Berdasarkan semua fakta, data, dan analisis terhadap komunikasi yang
dilakukan warga bantaran dapat diketahui bahwa warga bantaran dan pemerintah
kota telah mengupayakan komunikasi, meskipun hasilnya belum maksimal. Upaya
komunikasi yang dilakukan warga bantaran, sebagai komunikator, dimulai dengan
pembuatan pesan tentang tuntutan dana banjir yang dilakukan melalui dua media
atau metode penting, yaitu upaya demonstrasi dan jalur hukum. Upaya persuasi
dilakukan warga bantaran dengan cara menemui semua pihak, yang terkait dengan
permasalahan dana bantuan banjir, dengan tujuan agar dana bantuan banjir dapat
segera dicairkan serta menolak proses relokasi. Sedangkan upaya demonstrasi
dilakukan dengan cara menggulirkan aksi turun ke jalan dan aksi protes yang
disampaikan secara langsung kepada pemerintah kota. Di sisi lain, upaya hukum
yang dilakukan warga bantaran sebenarnya hanya digunakan oleh warga bantaran
untuk menekan pemerintah kota secara lebih keras.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
220
Di lain pihak, pemerintah kota sebagai komunikan rupanya memberikan
tanggapan yang relatif kurang. Namun demikian pemerintah kota sebenarnya juga
tetap mengupayakan komunikasi yang layak kepada semua warga bantaran yang
menentang relokasi namun mendukung pencairan dana bantuan banjir. Sayangnya,
upaya komunikasi yang dilakukan oleh warga bantaran dan pemerintah kota dalam
upaya menuju resolusi konflik terhambat secara keras oleh kepentingan serta
egoisme masing-masing pihak. Hal itu membuat komunikasi yang dilakukan menjadi
kurang efektif.
Akan tetapi, meskipun konflik tersebut mungkin sulit diselesaikan, Model
Konflik Gerakan Lebih Jauh tampaknya dapat digunakan oleh semua pihak untuk
menemukan dan mencari jalan keuar yang tepat. Hal itu kemungkinan besar bisa
meningkatkan efektivitas komunikasi yang dilakukan warga bantaran dan pemerintah
kota untuk mencapai resolusi konflik yang tepat.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
221
BAB 5
KESIMPULAN
A. Kesimpulan
Ada beberapa hal yang dapat ditemukan dari semua temuan data dan fakta
dalam penelitian ini. Pokok-pokok temua tersebut memberikan suatu pemahaman
bahwa konflik yang terjadi antara warga bantaran dengan pemerintah kota
merupakan konflik sosial yang melibatkan aspek komunikasi dan aspek psikologis.
Konflik yang terjadi antara warga bantaran dengan pemerintah kota
secara sederhana disebabkan oleh kesalahan persepsi dan kegagalan komunikasi pada
program penundaan dana bantuan banjir dan relokasi yang dilakukan pemerintah
kota. Fakta tersebut dikuatkan oleh dua indikasi penting yang menyebabkan
terjadinya kesalahan persepsi tersebut. Pertama, pemerintah kota menyampaikan
pesan tentang penundaan relokasi dan penundaan dana bantuan banjir memalui cara
uang ambigu sehingga menimbulkan persepsi ganda pada masyarakat bantaran,
terutama yang tinggal di hak milik. Kedua, warga bantaran salam menafsirkan pesan
yang disampikan pemerintah kota, sehingga menimbulkan konflik kepentingan. Pola
komunikasi yang terkait dengan penyebab konflik, lebih banyak berjalan dari
pemerintah kota menuju warga bantaran.
Konflik yang terjadi antara warga bantaran dengan pemerintah kota
menuju peningkatan eskalasi konflik yang relatif tinggi, karena melibatkan aksi
demonstrasi dan penggunaan ranah pengadilan dalam menanggapi permsalahan
tersebut, serta liputan beberapa media massa lokal yang mendukung peningkatan
esklasi konflik tersebut. Dengan demikian, komunikasi yang terlibat dalam proses
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
222
eskalasi lebih banyak dimotori oleh warga bantaran, karena warga bantaran berperan
sebagai komunikator, sedangkan pemerintah kota berperan sebagai komunikan.
Sedangkan pada upaya resolusi konflik, pemerintah kota dan warga
bantaran dan pemerintah kota sama-sama bertindak dan mengupayakan komunikasi
demi mencapai kesepakatan bersama dan resolusi konflik yang tepat. Hal itu
membuat ada perspektif dialogis di antara dua pihak yang berseteru. Namun
demikian, egoisme masing-masing pihak tampaknya menghalabi pencapaian resolusi
konflik yang tepat. Dengan demikian, sudah ada upaya komunikasi yang dilakukan
oleh pemerintah kota dan warga bantaran untuk menyelesaikan konflik tersebut,
walaupun belum efektif.
Kajian tentang proses komunikasi dalam penyebab konflik dan eskalasi
konflik mambawa pada suatu diskripsi tentang arus dan pola komunikasi yang terjadi
antara warga bantaran dengan pemerintah kota. Pada penyebab konflik, pemerintah
kota berperan sebagai komunikator yang menyampaikan sejumlah pesan tentang
program relokasi dan penundaan dana bantuan banjir. Sementara itu warga bantaran
menjadi komunikan yang memberikan sejumlah tanggapan negatif terhadap pesan
yang disampaikan oleh pemerintah kota. Ambiguitas pesan, dan rendahnya
efektivitas pesan membuat tanggapan yang diberikan oleh warga bantaran bersifat
negatif sekaligus menjadi awal dimulainya konflik. Pada eskalasi konflik, proses
komunikasi yang terjadi antara warga bantaran dengan pemerintah kota
bertolakbelakang dengan proses yang terjadi pada penyebab konflik. Dalam eskalasi
konflik, warga bantaran menjadi komunikator yang menyampaikan sejumlah pesan
kepada pemerintah kota tentang penolakan relokasi serta tuntutan pencairan dana
banjir. Sedangkan pemerintah kota menjadi komunikan yang memberikan sejumlah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
223
tanggapan berupa sikap pasif namun terus berusaha mencarikan jalan keluar yang
baik dari persoalan tersebut.
Sedangkan pada upaya resolusi konflik warga bantaran dan pemerintah
kota sebenarnya dapat menjadi komunikator yang efektif dalam menyampaikan
suatu pesan tertentu kepada pihak-pihak yang menjadi komunikan. Namun
demikian belum ada tanggapan positif dari semua pihak yang berselisih untuk
menyusun resolusi konflik, meskipun sudah ada indikasi ke arah resolusi konflik.
Proses komunikasi dalam upaya menuju resolusi konflik membentuk suatu perspektif
dialogis yang biasanya terjadi dalam konflik seperti yang dijelaskan oleh Krauss dan
Morsella (2009). Hal itu menjadi bukti yang mengutkan pendapat bahwa komunikasi
menjadi sutu bagian penting yang tidak terpisahkan dalam suatu konflik sosial,
bahkan jika konflik tersebut termasuk konflik berbasis ekonomi.
Berdasarkan paparan semua fakta dan data yang diperoleh sepanjang
penelitian ini dapat disimpulkan bahwa egoisme dan kekakuan komunikator dalam
proses komunikasi, serta penyampaikan besrifat keras dan menekan, pada konflik
yang terjadi antara warga bantaran dengan pemerintah kota, memiliki kekuatan untuk
memulai konflik. Sisi egoisme dan kekakuan semua pihak yang terlibat dalam
konflik itu tampaknya menjelaskan bahwa meskipun sudah ada upaya komunikasi
untuk mencari resolusi konflik yang tepat, belum ada datu pun resolusi konflik yang
bisa dicapai.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
224
DAFTAR PUSTAKA
Adler, R, B, Rodman, G. (2006). Understanding Human Communication (ninth
edition) New York: Oxford University Press.
Anderson, J, A. (2009). Philosophical Approaches to Communication. dalam
William F. Eadie (Eds) 21st Century Communication, Reference Handbook:
41-48. Thousand Oak: Sage Publication.
Barge, J, K. (2009). Social Group, Workgroups, and Team. dalam William F. Eadie
(Eds) 21st Century Communication, Reference Handbook: 340-348. Thousand
Oak: Sage Publication.
Baron, R, A, Byrne, D. (2005). Psikologi Sosial (edisi kesepuluh). Ratna Djuwita
(penerjemah). Jakarta: Erlangga.
Bartollas, C. (2007). Juvenille Deliquency. dalam Clifton D. Bryan dan Dennis L.
Peck (Eds) 21st Century Sociology (vol 1): 425433. Thousand Oak: Sage
Publication.
Bazerman, M, H, et al. (2001). The Death and Rebirth of The Social Psychology of
Negotiation. dalam Garth J. O. Fletcher dan Margaret S. Clark (Eds)
Blackwell Handbook of Social Psychology: Interpersonal Processes: 196-
228. Malden: Blackwell Publisher Ltd.
Beebe, S. J, et al. (2001). Communication, Principles for A Lifetime. Neddham
Heights: Allyn and Bacon.
Beebe, S, A, Masterson, J, T. (2003). Communicating in Small Groups (seventh
edition). Pearson Education: Boston.
Berger, C, R. (2003). Message Production Skill in Social Interaction. dalam John O.
Greene dan Brant R. Burleson (Eds) Handbook of Communication and Social
Interaction Skill: 257-289. New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates.
Berscheid, E, Ammazzalorso, H. (2001). Emotional Experiences in Close
Relationship. dalam Garth J. O. Fletcher dan Margaret S. Clark (Eds)
Blackwell Handbook of Social Psychology: Interpersonal Processes: 308-
330. Malden: Blackwell Publisher Ltd.
Brewer, M, B. (2001). Intergroup Identification and Intergroup Conflict, When Does
Ingroup Love Become Outgroup Hate?. dalam Richard D. Ashmore, Lee
Jussim, dan David Wilder (Eds) Social Identity, Intergroup Conflict, and
Conflict Reduction: 17-41. New York: Oxford University Press.
Buckley-Ziestel, S. (2008). Conflict Transformation and Social Change in Uganda,
Remembering After Violence. Hampshire: Palgrave Macmillan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
225
Buzzanell, P, M, Dohrman, R, L. (2009). Supervisor, Subordinates, and Coworkers.
dalam William F. Eadie (Eds) 21st Century Communication, Reference
Handbook: 331-339. Thousand Oak: Sage Publication.
Chríost, D, M, G. (2003). Language, Identity and Conflict: A comparative study of
language in ethnic conflict in Europe and Eurasia. London: Routledge.
Cloke, K. (2001). Mediating Dangerously, The Frontiers of Conflict Resolution. San
Francisco: Jossey-Bass.
Coleman, P, T. (2006). Interactable Conflict, dalam Morton Deutsch, Peter T.
Coleman, dan Eric C. Marcus (Eds) Handbook of Conflict Resolution, Theory
and Practice (second edition): 533-559. San Francisco: Jossey-Bass.
Conlon, D, E, Meyer, C, J. (2004). Contractual and Emergent of Third-Party
Intervention. dalam Michele J. Gelfand dan Jeanne M. Brett (Eds) Handbook
of Negotiation and Culture: 258-279. Stanford: Stanford University Press.
Cords, M, Aureli, F, (2000). Reconciliation and Relationship Qualities. dalam Fillipo
Aureli dan Frans B. M. De Waal (Eds). Natural Conflict Resolution: 177-198.
Berkeley: University of California Press.
Cuff, E, C, et al. (2005). Perspective in Sociology (fourth edition). London:
Routledge.
De Dreu, C, K, W. (2004). Motivation and Negotiation: A Social Psychological
Analysis. dalam Michele J. Gelfand dan Jeanne M. Brett (Eds) Handbook of
Negotiation and Culture: 114-138. Stanford: Stanford University Press.
De Matos, F, G. (2006). Language, Peace, and Conflict Resolution. dalam Morton
Deutsch, Peter T. Coleman, dan Eric C. Marcus (Eds) Handbook of Conflict
Resolution, Theory and Practice (second edition): 158-175. San Francisco:
Jossey-Bass.
Deutsch, M. (2006). Justice and Conflict. dalam Morton Deutsch, Peter T. Coleman,
dan Eric C. Marcus (Eds) Handbook of Conflict Resolution, Theory and
Practice (second edition): 43-68. San Francisco: Jossey-Bass.
Fisher, R, J. (2006). Intergroup Conflict. dalam Morton Deutsch, Peter T. Coleman,
dan Eric C. Marcus (Eds) Handbook of Conflict Resolution, Theory and
Practice (second edition): 176-198. San Francisco: Jossey-Bass.
Fry, D, P. (2000). Conflict Management in Cross Cultural Perspective. dalam Fillipo
Aureli dan Frans B. M. De Waal (Eds). Natural Conflict Resolution: 334-351.
Berkeley: University of California Press.
Furlong, G, T. (2005). The Conflict Resolution Toolbox, Model and Maps for
Analyzing, Diagnosing and Resolving Conflict. Ontario: John Willey and
Sons.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
226
Gallois, C, et al. (2005). Intergroup Communication and Identity: Intercultural,
Organizational, and Health Communication. dalam Kristin L. Fitch dan
Robert E. Sanders (Eds). Handbook of Languages and Social Interaction:
231-252. Mahwah: Lawrence Erlbaum Associated.
Gerring, J. (2007). Case Study Research, Principles and Practices. Cambridge:
Cambrige University Press.
Gouran, D, S. (2003). Communication Skills for Group Decision Making. John O.
Greene dan Brant R. Burelson (Eds) Handbook of Communication and Social
Interaction Skill. 835-870. New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates.
Greene, J, O, Morgan, M. (2009). Cognition and Information Processing. dalam
William F. Eadie (Eds) 21st Century Communication, Reference Handbook:
110-118. Thousand Oak: Sage Publication.
Hardin, R. (1995). The Logic of Group Conflict. Princeton: Princeton University
Press.
Hartley, P. (1999). Interpersonal Communication (second edition). London:
Routledge.
Hancock, D, R, Algozzine, B. (2006). Doing Case Study Research, A Practical
Guide for Beginning Researcher. New York: Teacher College Press.
Hill, A, et al. (2007). Key Themes in Interpersonal Communication: Culture,
Identities, and Performance. Meidenhead: McGraw Hill.
Irianto, H, Bungin, B. (2001). Pokok-Pokok Penting Tentang Wawancara. dalam
Metodologi Penelitian Kualitatif, Burhan Bungin (Eds). Jakarta: Raja
Grafindo Persada.
Jessup, H, Rogerson, S. (2004). Postmodernism and the Teaching and Practice of
Interpersonal Skill. dalam Martin Robb, Sheila Barret, Carol Komaromy, dan
Anita Roger (Eds) Communication Relationship and Care: 74-83. London:
Routledge.
Johnson, D. W, et al. (2006). Constructive Controversy The Value of Intelectual
Opposition. dalam Morton Deutsch, Peter T. Coleman, dan Eric C. Marcus
(Eds) Handbook of Conflict Resolution, Theory and Practice (second
edition): 69-91. San Francisco: Jossey-Bass.
Karney, B, R, et al. (2001). Cognition and the Development of Close Relationship.
dalam Garth J. O. Fletcher dan Margaret S. Clark (Eds) Blackwell Handbook
of Social Psychology: Interpersonal Processes: 32-59. Malden: Blackwell
Publisher Ltd.
Keyton, J, Stallworth, V. (2003). On the Verge of Collaboration: Interaction Process
Versus Group Outcomes. dalam Lawrence R. Frey (Eds). Group
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
227
Communications in Context, Studies of Bona Fide Group (second edition):
235-262. Mahwah: Lawrence Erlbaum Associated.
Klumpp, J, F. (2009). Deliberation, Debate, and Decision Making. dalam William F.
Eadie (Eds) 21st Century Communication, Reference Handbook: 201-210.
Thousand Oak: Sage Publication.
Kimmel, P, R. (2006). Culture and Conflict. dalam Morton Deutsch, Peter T.
Coleman, dan Eric C. Marcus (Eds) Handbook of Conflict Resolution, Theory
and Practice (second edition): 625-648. San Francisco: Jossey-Bass.
Krauss, R, M, Morsella, E. (2006). Communication and Conflict. dalam Morton
Deutsch, Peter T. Coleman, dan Eric C. Marcus (Eds) Handbook of Conflict
Resolution, Theory and Practice (second edition): 144-157. San Francisco:
Jossey-Bass.
Kramer, R, M, Carnevale, P, J. (2001). Trust and Intergroup Negotiation. dalam
Rupert Brown dan Samuel L. Gaertner (Eds). Blackwell Handbook of Social
Psychology: Intergroup Process: 431-450. Malden: Blackwell Publisher Ltd.
Kressel, K. (2006). Mediation Revisited. dalam Morton Deutsch, Peter T. Coleman,
dan Eric C. Marcus (Eds) Handbook of Conflict Resolution, Theory and
Practice (second edition): 726-756. San Francisco: Jossey-Bass.
Ladgerwood, A, et al. (2006). Changing Mind: Persuation in Negotiation and
Conflict Resolution. dalam Morton Deutsch, Peter T. Coleman, dan Eric C.
Marcus (Eds) Handbook of Conflict Resolution, Theory and Practice (second
edition): 455-485. San Francisco: Jossey-Bass.
Littlejohn, S, W, Foss, K, A. (2005). Theories of Human Communication (eight
edition). Belmont: Wadsworth.
Martin, J, N, Nakayama, T, K. (2003). Intercultural Communication in Contex (third
edition). Boston: McGraw Hill.
Milles, M, B, Huberman, A. M. (1992). Analisis Data Kualitatif. Tjetjep Rohendi
Rohidi (penerjemah). Jakarta: UI Press.
Mischel, W, et al. (2006). Self-regulation in the Service of Conflict Resolution.
dalam Morton Deutsch, Peter T. Coleman, dan Eric C. Marcus (Eds)
Handbook of Conflict Resolution, Theory and Practice (second edition): 294-
314. San Francisco: Jossey-Bass.
Norwood, K, Duck, S. (2009). Friend. dalam William F. Eadie (Eds) 21st Century
Communication, Reference Handbook: 313-221. Thousand Oak: Sage
Publication.
Oakes, P. (2001). The Root of Evil in Intergroup Relation? Unearthing
Categorization Process. dalam Rupert Brown dan Samuel L. Gaertner (Eds).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
228
Blackwell Handbook of Social Psychology: Intergroup Process 3-21. Malden:
Blackwell Publisher Ltd.
Pawito. (2007). Penelitian Komunikasi Kualitatif. Yogyakarta: LKiS.
Pecchioni, L, et al. (2008). Life-Span Communication. New Jersey: Lawrence
Erlbaum Associates.
Preuschoft, S, van Schaik, C, P. (2000). Dominance and Communication: Conflict
Management in Various Social Setting. dalam Fillipo Aureli dan Frans B. M.
De Waal (Eds). Natural Conflict Resolution: 77-105. Berkeley: University of
California Press.
Putnam, L, L. (2009). Conflict Management and Mediation. dalam William F. Eadie
(Eds) 21st Century Communication, Reference Handbook: 211-219. Thousand
Oak: Sage Publication.
Raffel, L. (2008). I Hate Conflict, Seven Step to Resolving Difference With Anyone in
Your Life. New York: McGraw Hill.
Rahim, M, A. (2001). Managing Conflict in Organization (third edition).
Connecticut: Quorum Books.
Robb, M. (2004). Men Talking About Fatherhood. dalam Martin Robb, Sheila
Barret, Carol Komaromy, dan Anita Roger (Eds) Communication
Relationship and Care: 121-130. London: Routledge.
Roloff, M, Wright, C, M. (2009). Message Construction and Editing. dalam William
F. Eadie (Eds) 21st Century Communication, Reference Handbook: 101-109.
Thousand Oak: Sage Publication.
Rusbult, C, E, et al. (2001). Interdependence in Close Relationship. dalam Garth J.
O. Fletcher dan Margaret S. Clark (Eds) Blackwell Handbook of Social
Psychology: Interpersonal Processes: 359-387. Malden: Blackwell Publisher
Ltd.
Samovar, L, A. et al. (2007). Communication Between Cultures. Belmont:
Wadsworth.
Simpson, J, A, et al. (2003). The Struktur and Function in Standards in Close
Relationship. dalam Garth J. O. Flecther dan Margaret S. Clark (Eds)
Blackwell Handbook of Social Psychology: Interpersonal Processes: 86-106.
Malden: Blackwell Publisher Ltd.
Soekanto, S. (2002). Pengantar Sosiologi (cetakan ketigapuluh empat). Jakarta:
Rajawali Press.
Spitzberg, B, H, Cupach, W, R. (2009). Unwanted Communication, Aggresion, and
Abuse. dalam William F. Eadie (Eds) 21st Century Communication,
Reference Handbook: 454-462. Thousand Oak: Sage Publication.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
229
Sutopo, H, B. (2006). Metodologi Penelitian Kualitatif (edisi kedua). Surakarta:
Universitas Sebelas Maret.
Tindale, R, S, et al. (2001). Shared Cognition in Small Group. dalam Michael A
Hogg dan R. Scott Tindale (Eds). Blackwell Handbook of Social Psychology:
Group Process: 1-30. Malden: Blackwell Publisher Ltd.
Yarn, D, H. (2000). Law, Love, and Reconciliation: Searching for Natural Conflict
Resolution in Homo sapiens. dalam Fillipo Aureli dan Frans B. M. De Waal
(Eds). Natural Conflict Resolution: 54-72. Berkeley: University of California
Press.
Jurnal Ilmiah Internasional
Abramson, H. (2006). Selecting Mediators and Representing Clients in Cross-
Cultural Disputes. Cardozo Journal of Conflict Resolution, vol 7: 253-275.
Alberstein, M. (2009). The Jurisprudence of Mediation: Between Formalism,
Feminism and Identity Conversations. Cardozo Journal of Conflict
Resolution, vol 10: 1-28.
Baker, W, H. (2009). Class Action Arbitration. Cardozo Journal of Conflict
Resolution, vol 10: 335-367.
Becovitch, J. (2006). Mediation Success or Failure: A Search for Elusive Criteria.
Cardozo Journal of Conflict Resolution, vol 7: 289-302.
Bland Jr, F, P, Prestel, C. (2009). Challenging Class Action Bans in Mandatory
Arbitration Clause. Cardozo Journal of Conflict Resolution, vol 10: 369-393.
Collins, R. (2009). Micro and Macro Cause of Violence. International Journal of
Conflict and Violence, vol 3 (1): 9-22.
Del Felice, C. (2008). Youth Criminality and Urban Social Conflict in the City of
Rosario, Argentina: Analysis and Proposals for Conflict Transformation.
International Journal of Conflict and Violence, vol 2 (1): 72-97.
Eisner, M. (2009). The Uses of Violence: An Examination of Some Cross-Cutting
Issues. International Journal of Conflict and Violence, vol 3 (1): 40-59.
Fox, K. (2006). What Private Mediator Can Learn. Cardozo Journal of Conflict
Resolution, vol 7: 237-252.
Hopkins, N, Kahani-Hopkins, V. (2006). Minority Group Member‘ Theories of
Intergroup Contact: A Case Study of British Muslim‘ Conceptualization of
‗Islamophobia‘ and Social Change. British Journal of Social Psychology, 45:
245-264.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
230
Lakhani, A. (2006). The Role of Citizen and The Future of International Law: A
Paradigm A Changing World. Cardozo Journal of Conflict Resolution, vol 8:
159-208.
Nolan-Haley, J. (2006). Self Determinataion in International Mediation: Some
Preeliminary Perception. Cardozo Journal of Conflict Resolution, vol 7: 276-
288.
Simms, M, S. (2009). Alternative Dispute Resolution in Small Consensual
Ligitation: Too Much of A Good Thing?. Cardozo Journal of Conflict
Resolution, vol 11: 263-288.
Surat Kabar
―1.650 Rumah Terendam‖. Radar Solo, 27 Desember 2007, hal 1
―Pemkot Siapkan Rp 1 Miliar‖. Radar Solo, 28 Desember 2007, hal 4
―Warga Bantaran Gugat Pemerintah‖. Solo Pos, 2 April 2009, hal I
―Hakim Tolak Gugatan Warga‖. Solo Pos, 18 Februari 2010, hal I.
―Semanggi Menagih Janji‖. Joglosemar, 14 Maret 2010, hal 13.
―Gugatan Warga Bantaran Ditolak‖. Joglosemar, 18 Februari 2010, hal 9.
―Relokasi Warga Bantaran Tekuk Incumbent‖. Radar Solo, 27 April 2010, hal 1.