· pdf fileperpustakaan.uns.ac.id disusun untuk memenuhi tugas akhir sebagai s program...

230
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user 1 Komunikasi dan Konflik Sosial: Studi Tentang Komunikasi dalam Konflik dan Upaya Resolusi Konflik yang Terjadi Antara Warga Bantaran, di Wilayah Semanggi dengan Pemerintah Kota Surakarta Berkenaan dengan Dana Banjir TESIS Disusun Untuk Memenuhi Tugas Akhir Sebagai Syarat Mencapai Gelar Magister Program Ilmu Komunikasi Disusun oleh : DEWANTO PUTRA FAJAR NIM: S220908005 PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2010

Upload: lyduong

Post on 01-Feb-2018

223 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

Page 1: · PDF fileperpustakaan.uns.ac.id   Disusun Untuk Memenuhi Tugas Akhir Sebagai S PROGRAM commit to user 1 Komunikasi dan Konflik Sosial

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

1

Komunikasi dan Konflik Sosial: Studi Tentang Komunikasi dalam

Konflik dan Upaya Resolusi Konflik yang Terjadi Antara Warga

Bantaran, di Wilayah Semanggi dengan Pemerintah Kota Surakarta

Berkenaan dengan Dana Banjir

TESIS

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Akhir Sebagai Syarat Mencapai

Gelar Magister Program Ilmu Komunikasi

Disusun oleh :

DEWANTO PUTRA FAJAR

NIM: S220908005

PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

2010

Page 2: · PDF fileperpustakaan.uns.ac.id   Disusun Untuk Memenuhi Tugas Akhir Sebagai S PROGRAM commit to user 1 Komunikasi dan Konflik Sosial

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

2

Komunikasi dan Konflik Sosial: Studi Tentang Komunikasi dalam

Konflik dan Upaya Resolusi Konflik yang Terjadi Antara Warga

Bantaran, di Wilayah Semanggi dengan Pemerintah Kota Surakarta

Tentang Dana Banjir

TESIS

oleh:

DEWANTO PUTRA FAJAR

NIM S220908005

Telah disetujui oleh Tim Pembimbing

Dewan Pembimbing

Jabatan Nama Tanda Tangan Tanggal

Pembimbing I Prof. Pawito, Ph.D ...................... ...........

NIP. 195408051985031002

Pembimbing II Drs. Mursito BM, SU ........................ ...........

NIP. 195307271980031001

Mengetahui

Ketua Program Ilmu Komunikasi

Dr. Widodo Muktiyo, SE, M.Com

NIP. 196402271988031002

Page 3: · PDF fileperpustakaan.uns.ac.id   Disusun Untuk Memenuhi Tugas Akhir Sebagai S PROGRAM commit to user 1 Komunikasi dan Konflik Sosial

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

3

Komunikasi dan Konflik Sosial: Studi Tentang Komunikasi dalam

Konflik dan Upaya Resolusi Konflik yang Terjadi Antara Warga

Bantaran, di Wilayah Semanggi dengan Pemerintah Kota Surakarta

Berkenaan dengan Dana Banjir

TESIS

oleh:

DEWANTO PUTRA FAJAR

NIM S220908005

Telah disetujui dan disahkan oleh Tim Penguji

Jabatan Nama Tanda Tangan Tanggal

Ketua : Dr. Widodo Muktiyo, SE, M.Com

NIP. 196402271988031002

Sekretaris : Sri Hastjarjo, S. Sos, Ph. D .

NIP. 197102171998021001

Anggota : 1. Prof. Pawito, Ph.D

NIP. 195408051985031002

: 2. Drs. Mursito BM, SU

NIP. 195307271980031001

Mengetahui

Ketua Program Studi : Dr. Widodo Muktiyo, SE, M.Com

Ilmu Komunikasi NIP. 196402271988031002

Direktur Program : Prof. Drs. Suranto Tjiptowibisono, MSc. Ph.D

Pascasarjana NIP. 195708210985031004

Page 4: · PDF fileperpustakaan.uns.ac.id   Disusun Untuk Memenuhi Tugas Akhir Sebagai S PROGRAM commit to user 1 Komunikasi dan Konflik Sosial

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

4

PERNYATAAN

Yang bertanda tangan dibawah ini saya:

Nama : Dewanto Putra Fajar

NIM : S220908005

Program Studi : Ilmu Komunikasi

Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa tesis yang berjudul ―Komunikasi dan

Konflik Sosial: Studi Tentang Komunikasi dalam Konflik dan Upaya Resolusi

Konflik yang Terjadi Antara Warga Bantaran, di Wilayah Semanggi, dengan

Pemerintah Kota Surakarta Tentang Dana Banjir‖ adalah betul-betul karya saya

sendiri dan belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu

perguruan tinggi. Sepanjang pengetahuan saya, dalam tesis ini tidak terdapat karya

atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang

secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka. Apabila

di kemudian hari ditemukan bahwa peryataan saya tidak benar, saya bersedia

menerima sanksi akademik yang berlaku.

Surakarta, Juli 2010

yang membuat pernyataan

Dewanto Putra Fajar

Page 5: · PDF fileperpustakaan.uns.ac.id   Disusun Untuk Memenuhi Tugas Akhir Sebagai S PROGRAM commit to user 1 Komunikasi dan Konflik Sosial

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

5

KATA MUTIARA

Berusahalah untuk apa yang kau inginkan dan berdoalah untuk apa yang kau

harapakan

(Dewanto Putra Fajar)

Page 6: · PDF fileperpustakaan.uns.ac.id   Disusun Untuk Memenuhi Tugas Akhir Sebagai S PROGRAM commit to user 1 Komunikasi dan Konflik Sosial

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

6

PERSEMBAHAN

Tesis ini saya persembahkan untuk:

Kedua orang tuaku

Adik-adikku.

Kekasihku: Anggita Permana Putri

Page 7: · PDF fileperpustakaan.uns.ac.id   Disusun Untuk Memenuhi Tugas Akhir Sebagai S PROGRAM commit to user 1 Komunikasi dan Konflik Sosial

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

7

KATA PENGANTAR

Pada dasarnya konflik merupakan salah satu bentuk komunikasi dan

interaksi sosial yang dimulai dari perbedaan kepentingan, tujuan, atau juga kesalahan

persepsi, dan kegagalan komunikasi yang terjadi antaran dua pihak yang berbeda.

Kasus perselisihan yang terjadi antara pemerintah kota dengan warga bantaran

tentang dana bantuan banjir salah satunya disebabkan oleh kegagalan komunikasi

dan kesalahan persepsi, meskipun hal itu bukan satu-satunya penyebab konfik yang

utama. Secara umum, konflik yang melanda pemerintah kota dan warga bantaran

dapat dikategorikan sebagai konflik berbasis ekonomi, yang secara sederhana

menuntut penyelesaian secara ekonomi pula. Akan tetapi penyelesaian secara

ekonomi menjadi kurang bermanfaat apabila ada satu pihak yang menunda-nunda

pembayaran dana bantuan banjir tersebut, sementara pihak yang lain terus menuntut.

Karena itu komunikasi untuk mencari jalan tengah yang terbaik bagi dua pihak yang

berseteru tampaknya memberikan potensi positif untuk menuju resolusi konflik yang

menguntungkan semua pihak.

Penelitian ini berusaha menggambarkan komunikasi yang digunakan

dalam konflik dan upaya komunikasi menuju resolusi konflik. Komunikasi dalam

konflik sejatinya menjadi satu hal yang penting, karena komunikasi menjadi

semacam alat untuk menghubungkan dua pihak yang saling bertikai. Sementara itu,

komunikasi untuk mencari jalan tengah rupanya juga perlu dilakukan karena

pemerintah kota belum berniat menyelesaikan permasalahan tersebut melalui ranah

ekonomi, sementara warga bantaran terus menuntut hak mereka.

Atas selesainya karya tesis ini, penulis sampaikan banyak terima kasih

kepada Prof. Pawito, Ph.D dan Drs. Mursito BM, SU, sebagai pembimbing yang

Page 8: · PDF fileperpustakaan.uns.ac.id   Disusun Untuk Memenuhi Tugas Akhir Sebagai S PROGRAM commit to user 1 Komunikasi dan Konflik Sosial

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

8

telah banyak memberikan masukan sumbangan wawasan yang berharga bagi

peneliti. Selain itu peneliti juga tidak lupa menyampaikan terima kasih pada semua

karyawan di program studi komunikasi yang telah banyak memberikan bantuan.

Banyak pihak yang telah memberikan bantuan terhadap selesainya

penelitian ini, yang tidak bisa disebutkan satu per satu. Namun demikian, peneliti

secara pribadi mengucapkan terima kasih kepada kedua orang tua yang telah

mendoakan semua anak-anaknya agar mencapai keberhasilan, teman-teman senasib-

sepenanggungan di Pascasarjana Komunikasi angkatan 2008, terutama Mas Irul,

Lita, dan Eka, yang telah menjadi teman seperjuangan dan banyak memberikan

bantuan kepada peneliti dalam menyelesaikan tesis. Anggita Permana Putri, sebagai

seorang kekasih, yang telah banyak memberikan dukungan moral secara pribadi

dengan ucapan ―Mas Dewan ayo selesaikan tesisnya dulu.‖ atau ―Mas Dewan, adek

yakin Mas Dewan pasti bisa lebih baik dari sekarang.‖. Kepada semua pihak yang

telah banyak membantu penyelesaian tesis ini, peneliti mengucapkan banyak terima

kasih.

Akhirnya, hanya atas kehendak Allah SWT. segala usaha dan daya

penulis dalam penyelesaian penelitian tesis ini bisa terwujud. Sebagai pribadi yang

masih banyak kekurangan dan pengalaman dalam bidang penelitian, penulis terbuka

atas segala kritik dan saran pada karya ini. Semoga karya sederhana ini bisa

bermanfaat bagi diri pribadi penulis dan siapapun yang membaca karya ini.

Surakarta, Agustus 2010

Peneliti

Page 9: · PDF fileperpustakaan.uns.ac.id   Disusun Untuk Memenuhi Tugas Akhir Sebagai S PROGRAM commit to user 1 Komunikasi dan Konflik Sosial

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

9

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ............................................................................................ i

HALAMAN PERSETUJUAN ............................................................................ ii

HALAMAN PENGESAHAN ............................................................................ iii

HALAMAN PERNYATAAN ........................................................................... iv

KATA MUTIARA .............................................................................................. v

PERSEMBAHAN .............................................................................................. vi

KATA PENGANTAR ...................................................................................... vii

DAFTAR ISI ...................................................................................................... ix

DAFTAR BAGAN .......................................................................................... xii

ABSTRAK ...................................................................................................... xiii

ABSTRACT ..................................................................................................... xiv

BAB 1. PENDAHULUAN ................................................................................ 1

A. Latar belakang Masalah .......................................................................... 1

B. Perumusan Masalah ................................................................................ 6

C. Tujuan Penelitian .................................................................................... 7

D. Manfaat Penelitian .................................................................................. 8

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR ...................... 10

A. Tinjauan Pustaka .................................................................................. 10

1. Kajian Tentang Konflik Sosial ...................................................... 10

a. Penyebab Konflik dalam Perspektif Komunikasi .................... 17

b. Tipe dan Sifat Konflik dalam Ilmu Komunikasi ....................... 23

c. Teori-teori yang Digunakan ...................................................... 28

2. Komunikasi, Konflik, dan Kelompok Masyarakat........................ 33

Page 10: · PDF fileperpustakaan.uns.ac.id   Disusun Untuk Memenuhi Tugas Akhir Sebagai S PROGRAM commit to user 1 Komunikasi dan Konflik Sosial

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

10

a. Komunikasi dan Konflik Antarkelompok ................................. 38

b. Komunikasi dalam Beragam Upaya Penghentian Konflik. ..... 46

B. Kerangka Pemikiran ............................................................................. 58

C. Penjelasan Kerangka Pemikiran .......................................................... 59

BAB 3. METODOLOGI PENELITIAN ....................................................... 61

A. Lokasi Penelitian dan Sasaran Penelitian ............................................. 61

B. Bentuk dan Jenis Penelitian .................................................................. 62

C. Jenis dan Sumber Data ......................................................................... 63

D. Teknik Pengumpulan Data ................................................................... 65

E. Teknik Cuplikan (Sampling) ................................................................ 66

F. Pengembangan Validitas ...................................................................... 67

G. Teknik Analisis ..................................................................................... 68

H. Prosedur Kegiatan ............................................................................... 71

BAB 4. TEMUAN DAN ANALISIS DATA ................................................. 73

A. Sekilas Kehidupan Warga Bantaran (Profil Wilayah Penelitian) ......... 73

B. Penyebab Terjadinya Konflik ............................................................... 80

1. Pernyataan-Pernyataan dalam Penyebab Konflik .......................... 80

2. Pola dan Proses Komunikasi dalam Konflik .................................. 94

3. Analisis dalam Penyebab Konflik ................................................ 100

C. Perkembangan dan Eskalasi Konflik ................................................. 107

1. Pernyataan-Pernyataan Awal dalam Eskalasi Konflik ................. 107

2. Pola dan Proses Komunikasi dalam Eskalasi Konflik ................. 120

3. Analisis Tentang Eskalasi Konflik ............................................... 122

Page 11: · PDF fileperpustakaan.uns.ac.id   Disusun Untuk Memenuhi Tugas Akhir Sebagai S PROGRAM commit to user 1 Komunikasi dan Konflik Sosial

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

11

D. Upaya Menuju Resolusi Konflik ...................................................... .132

1. Pernyataan-Pernyataan dalam Upaya Resolusi ............................ 132

2. Analisis Tentang Upaya Resolusi Konflik ................................... 148

E. Aspek Komunikasi pada Konflik dan Resolusi Konflik ................... 161

1. Aspek Komunikasi Penyebab dan Eskalasi Konflik .................... 161

a. Petunjuk Komunikasi pada Penyebab Konflik ...................... 161

b. Aspek Komunikasi pada Penyebab Konflik .......................... 169

c. Petunjuk Tentang Komunikasi pada Eskalasi Konflik ........... 171

d. Aspek Komunikasi pada Eskalasi Konflik ............................. 180

e. Analisis Tentang Aspek Komunikasi

dalam Penyebab dan Eskalasi ................................................ 182

2. Aspek Komunikasi pada Upaya Menuju Resolusi Konflik ........ .189

a. Petunjuk Komunikasi pada Upaya Resolusi Konflik ............. 195

b. Aspek dan Pola Komunikasi pada Upaya Resolusi Konflik .. 199

c. Analisis Tentang Aspek Komunikasi

pada Upaya Resolusi Konflik ................................................ 202

BAB 5. KESIMPULAN ................................................................................ 207

A. Kesimpulan ......................................................................................... 207

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 206

LAMPIRAN

Page 12: · PDF fileperpustakaan.uns.ac.id   Disusun Untuk Memenuhi Tugas Akhir Sebagai S PROGRAM commit to user 1 Komunikasi dan Konflik Sosial

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

12

DAFTAR BAGAN

Bagan 1 : Kerangka Pemikiran ....................................................................... 50

Bagan 2 : Teknik Analisis Data ...................................................................... 62

Bagan 3 : Komponen-komponen Analisis Data .............................................. 69

Page 13: · PDF fileperpustakaan.uns.ac.id   Disusun Untuk Memenuhi Tugas Akhir Sebagai S PROGRAM commit to user 1 Komunikasi dan Konflik Sosial

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

13

ABSTRAK

DEWANTO PUTRA FAJAR, S220908005, KOMUNIKASI DAN KONFLIK

SOSIAL: STUDI TENTANG KOMUNIKASI DALAM KONFLIK DAN UPAYA

RESOLUSI KONFLIK YANG TERJADI ANTARA WARGA BANTARAN, DI

WILAYAH SEMANGGI, DENGAN PEMERINTAH KOTA SURAKARTA

BERKENAAN DENGAN DANA BANJIR, Tesis, Program Studi Ilmu Komunikasi,

Program Pasca Sarjana, Universitas Sebelas Maret, Surakarta, 2010.

Konflik yang terjadi antara warga bantaran dengan pemerintah kota

Surakarta secara sederhana dimulai ketika pemerintah kota menunda pembayaraan

dana bantuan banjir bagi warga bantaran serta menggulirkan program relokasi, untuk

menyikapi banjir yang terjadi di akhir tahun 2007. Proses sosialisasi yang dilakukan

pemerintah kota sebagai satu pengantar menuju program relokasi rupanya membuat

sebagian warga yang tinggal bantaran, terutama yang tinggal di tanah hak milik

(TMH) merasa resah. Proses sosialisasi yang dilakukan pemerintah kota rupanya

memberikan pemahaman ganda, sehingga warga bantaran salah mempersepsikan

pesan yang diterima. Hal itu membuat warga bantaran, yang tinggal di tanah hak

milik (THM), menggulirkan konflik terhadap pemerintah kota.

Pembahasan konflik dalam penelitian ini lebih banyak difokuskan pada

kajikan komunikasi. Namun demikian ilmu sosial lain, seperti sosiologi dan

psikologi digunakan untuk membantu ilmu komunikasi memahami konflik dan

implikasinya. Selain itu tinjauan pustaka dalam penelitian ini berusaha mengamati

konflik melalui aspek penyebab konflik dari perspektif komunikasi, tipe dan sifatnya,

serta beberapa teori komunikasi yang berkaitan dengan konflik dan perselisihan.

Selain itu beberapa implikasi konflik terhadap masyarakat dan kelompok, juga

dibahas dalam tunjauan pustaka.

Penelitian ini pada dasarnya menggunakan metodologi kualitatif dengan

pendekatan studi kasus, karena berusaha menggambarkan dan memahami suatu

kasus tertentu dalam masyarakat. Pendekatan studi kasus memungkinkan penelitian

ini menggambarkan dan menjelaskan kasus tertentu secara lebih baik berdasarkan

struktur yang membentuk suatu fenomena–dalam kasus ini, konflik yang terjadi

antara warga bantaran dan pemerintah kota.

Penelitian ini berusaha menggambarkan proses komunikasi yang terjadi

pada setiap tahapan perselisihan yang ada, pada penyebab konflik, eskalasi konflik,

dan upaya menuju resolusi konflik. Di samping itu, penelitian ini mengurai penyebab

konflik dan aspek komunikasi yang terlibat. Hal yang sama juga dilakukan untuk

memahami proses eskalasi konflik, struktur, dan aspek komunikasi di dalamya.

Bagian paling penting dalam penelitian ini terletak pada penjelasan tentang upaya

menuju resolusi konflik yang dilakukan oleh dua pihak yang saling berseteru, serta

aspek komunikasi yang terjadi pada upaya resolusi konflik, meskipun belum ada

suatu resolusi konflik yang tepat dalam kasus ini.

Jika komunikasi dalam konflik menjadi satu kunci dalam semua proses

interaksi sosial, maka konflik pasti menggunakan proses komunikasi dalam semua

aspeknya. Hal itu membuat komunikasi menjadi satu bagian penting dalam semua

konflik termasuk pada konflik yang terjadi antara pemerintah kota dengan warga

bantaran tersebut.

(Kata Kunci: Konflik Sosial, Komunikasi, Resolusi Konflik, Relokasi dan Bantuan

Banjir).

Page 14: · PDF fileperpustakaan.uns.ac.id   Disusun Untuk Memenuhi Tugas Akhir Sebagai S PROGRAM commit to user 1 Komunikasi dan Konflik Sosial

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

14

ABSTRACT

DEWANTO PUTRA FAJAR, S220908005, COMMUNICATION AND SOCIAL

CONFLICT: STUDY ABOUT COMMUNICATION ON CONFLICT AND WAY

TO CONFLICT RESOLUTION WHICH HAPPEN BETWEEN RIVER BANK

SOCEITY, IN SEMANGGI, AGAINST SURAKARTAN CITY GOVERMENT

RELATED WITH FLOOD VICTIMS SUPPORT FUND, Thesis, Communication

Departement, Postgraduate, Sebelas Maret University, 2010.

The conflict which happen between river bank soceity agains Surakartan

city goverment is simplically started when the city goverment delayed the flood

victims support fund for river bank soceity and started the relocation program, to

postured flood which came in end of 2007. The socialisation procces held by the city

goverment as a foreword to relocation program has been make a one part of river

bank resident, especially who live in private property ground (PPG), restless. The

socialisation procces did by the city goverment has give ambiguous understanding,

so the river bank soceity have misperception about that. That situation has been make

the river bank soceity, which live in private property ground (PPG), do conflict

against city goverment.

The Expalanation of conflict in this research more focused in

communication paradigm. Even though, another social sciences, like sociology and

psychology has used to help communication to understanding conflict and all

implications. Beside that, the refernce in this research tries to observe confict from

commnucation conflict source aspect, types and natures, and some communication

theories which related conflict and all aspects. Conflict implications to society and

groups are described in this reference either.

This research basically used qualitative method with case study approach,

due to describe and understand some case in specific soceity. The case study

approach allowed this research explained and described some case better based

structure which build the social phenomena–in this case, conflict which happent

between river bank soceity against city goverment.

This research trying to describe communcation process which happen on

all stages of conflict, such as, source of conflict, conflict escalation, and way to

conflict resolution. Beside that, this research analized conflict structure and

communication aspect which involve. The same method are used to understand

conflict escalation process, structure, and all communiction aspects. The most

important section in this research has located in the expalanation of struggle to

conflict resolution which did by two confrontation parties, and communication aspect

in the struggle to conflict resolution, although not right conflict resolution yet.

When communication on conflict become the key in all procceses of

social interaction, then conflict is certain using the communication procces in all

aspects. That is makes communication became one important process in all conflicts

situation, include the conflict between river bank soceity agains city goverment.

(Keywords: Social Conflict, Communication, Conflict Resolution, Relocation and

Flood Victim Support Fund)

Page 15: · PDF fileperpustakaan.uns.ac.id   Disusun Untuk Memenuhi Tugas Akhir Sebagai S PROGRAM commit to user 1 Komunikasi dan Konflik Sosial

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

15

BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latarbelakang Masalah

Pada akhir bulan Desember 2007 wilayah eks-karesidenan Surakarta

dilanda hujan deras selama sehari penuh. Hujan deras tersebut rupanya membawa

akibat langsung berupa banjir yang melanda sebagian besar wilayah Surakarta, juga

beberapa bagian di sudut kota Solo, termasuk wilayah Gandekan, Sangkrah, Pasar

Kliwon, dan Semanggi. Pada akhirnya, banjir tersebut membuat wilayah bantaran

Sungai Bengawan Solo tergenang air hingga beberapa meter. Setidaknya sekitar

1.650 rumah di kawasan bantaran Sungai Bengawan Solo terendam dan sekitar 8 ribu

jiwa diungsikan (Radar Solo, 27 Desember 2007: 1). Kejadian tersebut juga terjadi di

kawasan RW 8 Semanggi yang letaknya berdampingan dengan RW 10 dan 11

Joyosuran.

Banjir tersebut rupanya membuat pemerintah pusat dan daerah melakukan

koordinasi serius untuk mengatasi kondisi pascabanjir sekaligus menyalurkan

bantuan bagi para korban. Beberapa hari setelah banjir, Presiden Susilo Bambang

Yudhoyono mengunjungi Surakarta untuk melihat keadaan korban sekaligus

memberikan bantuan. Kedatangan presiden jelas memberikan harapan bagi para

korban untuk mendapatkan bantuan pascabanjir dari pemerintah pusat, yang biasanya

berupa ganti rugi dan bantuan lainnya. Sementara pemerintah kota Solo menyikapi

bencana banjir tersebut dengan bencana tersebut dengan menganggarkan bantuan

sebanyak 1 miliar yang berasal dari dana tak terduga APBD 2007 (Radar Solo, 28

Desember 2007: 4). Dana tersebut pada awalnya khusus dialokasikan untuk

memperbaiki rumah korban banjir, sebab pascabanjir pasti banyak hunian yang rusak

Page 16: · PDF fileperpustakaan.uns.ac.id   Disusun Untuk Memenuhi Tugas Akhir Sebagai S PROGRAM commit to user 1 Komunikasi dan Konflik Sosial

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

16

(Radar Solo, 28 Desember 2007: 4). Dari sini mulai nampak bahwa sebenarnya

konflik yang terjadi antara masyarakat Semanggi dengan pemerintah kota Surakarta

tidak terjadi begitu saja, tetapi ada beberapa tahapan yang mengawali konflik

tersebut.

Berdasarkan kenyataan tersebut, dapat dikatakan bahwa konflik tersebut

sebenarnya dimulai ketika pemerintah kota menangguhkan pembayaran uang

bantuan banjir yang diberikan oleh pemerintah pusat untuk membatu pembangunan

dan ganti rugi akibat banjir yang melanda Surakarta pada tahun 2007. Penangguhan

pembayaran yang dilakukan pemerintah kota rupanya tetap berlangsung hingga awal

tahun 2009. Keterlambatan pembayaran ganti rugi tersebut membuat masyarakat,

yang tinggal di wilayah bantaran Sungai Bengawan Solo, merasakan ada indikasi

bahwa pemerintah kota merasa kurang serius membayarkan ganti rugi yang

seharusnya menjadi hak masyarakat. Di lain pihak, ada sinyalemen bahwa

pemerintah kota sebenarnya berniat penuh membayarkan uang bantuan banjir

tersebut, namun, karena ada beberapa syarat administratif yang harus dipenuhi oleh

masyarakat, maka pemerintah kota merasa perlu menangguhkan pembayaran uang

tersebut.

Data-data awal penelitian, yang berhasil dikumpulkan, menunjukkan

bahwa perselisihan tersebut tampaknya dipengaruhi oleh perbedaan bentuk-bentuk

penyelesaian ganti rugi berdasarkan status kepemilikan tanah yang dilakukan

pemerintah kota kepada masyarakat. Secara sederhana ada dua tipe kepemilikan

tanah di wilayah Semanggi, yaitu tanah negara (TN) dan tanah hak milik (THM).

Perbedaan bentuk-bentuk status tersebut membuat pemerintah kota membedakan

juga bentuk penyelesaian pemberian bantuan bagi korban banjir, baik itu dalam

bentuk uang, renovasi, atau relokasi. Perbedaan penyelesaian urusan ganti rugi, serta

Page 17: · PDF fileperpustakaan.uns.ac.id   Disusun Untuk Memenuhi Tugas Akhir Sebagai S PROGRAM commit to user 1 Komunikasi dan Konflik Sosial

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

17

tertundanya mekanisme pemberian bantuan bagi masyarakat terutama yang tinggal di

tanah hak milik, memicu terjadinya ketegangan antara warga yang tinggal di

bantaran Sungai Bengawan Solo, khususnya wilayah Semanggi, dengan pemerintah

kota Surakarta.

Di samping itu, kesalahpahaman tersebut tampaknya juga disebabkan

oleh proses komunikasi dan sosialisasi yang kurang menjangkau sasaran atau tidak

sesuai dengan target, sehingga menimbulkan banyak asumsi negatif di masyarakat,

yang tinggal di bantaran Sungai Bengawan Solo, terhadap pemerintah kota

Surakarta. Di samping itu, munculnya jeda waktu sekitar dua tahun, sejak terjadinya

banjir hingga terjadinya permasalahan tersebut, membuat masyarakat yang tinggal di

bantaran sungai merasa bahwa pemerintah kota surakarta tidak begitu serius

melakukan pembayaran uang ganti rugi akibat banjir yang seharusnya menjadi hak

mereka. Di samping itu rupanya pemerintah kota juga mengaitkan program dana

banjir tersebut dengan program relokasi wilayah bantaran Sungai Bengawan Solo,

yang dinilai warga sebagai program yang bertentangan program dana banjir.

Kesalahpahaman tersebut didukung dengan sosialisasi yang kurang tepat dari

pemerintah kota terkait dengan program dana banjir dan relokasi warga bantaran

Sungai Bengawan Solo.

Di lain pihak, kondisi dan aktivitas komunikasi masyarakat yang tinggal

di bantaran Sungai Bengawan Solo, tidak begitu buruk, dalam artian mereka

memiliki suatu forum yang pada dasarnya dikembangkan sebagai upaya untuk

menyelesaikan dan menuntaskan masalah dana banjir tersebut. Forum yang dibentuk

pada akhir tahun 2007, bernama Solidaritas Korban Banjir Bantaran (SKoBB),

berfungsi wadah warga yang tinggal di bantaran Sungai Bengawan Solo untuk

melakukan komunikasi, bertukar pikiran, berembuk, juga melakukan aksi bersama.

Page 18: · PDF fileperpustakaan.uns.ac.id   Disusun Untuk Memenuhi Tugas Akhir Sebagai S PROGRAM commit to user 1 Komunikasi dan Konflik Sosial

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

18

Kegiatan komunikasi dalam forum tersebut mulai diwujudkan dalam bentuk tindakan

nyata dan dalam bentuk komunikasi yang lebih luas, yaitu berupa demonstrasi untuk

menuntut pembayaran ganti rugi agar segera dikucurkan. Forum tersebut mengayomi

sekitar 800 orang yang berada di tujuh RT, yang berada di wilayah bataran. Pada

setiap sesinya, pertemuan dalam forum membahas semua permasalahan yang terkait

dengan permasalahan yang ada dalam masyarakat, terutama yang berhubungan

dengan dana bantuan banjir.

Keberadaan forum tersebut dalam masyarakat rupanya memberikan suatu

bentuk kekuatan bagi warga untuk memberikan pesan-pesan ke pemerintah kota

tentang permasalahan dana banjir. Namun demikian bentuk-bentuk komunikasi yang

dilakukan masyarakat dengan cara demonstrasi serta menyampaikan pendapat di

hadapan forum sosialisasi belum membuahkan hasil nyata. Pemerintah kota sendiri

juga belum begitu memberikan perhatian terhadap keberadaan forum masyarakat

tersebut, terutama untuk menyampaikan pesan-pesan tentang bagaimana

permasalahan dana banjir tersebut sebaiknya diselesaikan. Data-data awal

menunjukkan bahwa tindakan komunikasi yang dilakukan pemerintah kota, yang

dianggap kurang tanggap terhadap permasalahan dana banjir, membuat masyarakat

yang tinggal di bantaran Sungai Bengawan Solo membawa permasalahan tersebut ke

pengadilan negeri Surakarta, pada 1 April 2009 (Solo Pos, 2 April 2009: I).

Tentang bentuk komunikasi yang digunakan masyarakat yang tinggal di

bantaran Sungai Bengawan Solo, rupanya lebih banyak terfokus pada upaya

komunikasi kelompok yang ditandai dengan munculnya keputusan bersama untuk

melakukan aktivitas tekanan kepada pemerintah kota terkait bantuan banjir. Bentuk

komunikasi kelompok yang dilakukan oleh warga diwujudkan dalam wujud

demonstrasi untuk menekan pemerintah kota. Hal itu menujukkan bahwa forum

Page 19: · PDF fileperpustakaan.uns.ac.id   Disusun Untuk Memenuhi Tugas Akhir Sebagai S PROGRAM commit to user 1 Komunikasi dan Konflik Sosial

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

19

masyarakat berperan besar dalam proses komunikasi yang dilakukan warga.

Seandainya pemerintah kota lebih banyak menggunakan forum tersebut secara

maksimal untuk sosialisasi dan komunikasi, maka dampak permasalahan dana banjir

tersebut dapat ditekan dan diminimalisasi.

Selain itu, secara sederhana, masyarakat bantaran Sungai Bengawan Solo,

terutama wilayah Semanggi, mungkin menggerakkan konflik melawan pemerintah

kota Surakarta ketika mereka mulai merasakan adanya kebutuhan hidup yang

semakin mendesak. Keadaan tersebut membuat masyarakat yang tinggal di sana

merasa perlu dan berhak untuk mendapatkan bantuan dana banjir tersebut

secepatnya. Dengan tujuan tersebut, masyarakat yang tinggal di bantaran Sungai

Bengawan Solo membentuk perwakilan yang secara umum bertugas untuk membawa

masalah tersebut ke jalur hukum. Tindakan membawa permasalahan tersebut ke jalur

hukum mungkin dirasakan perlu, karena tindakan dan aksi protes biasa mungkin

belum membawa hasil yang pasti. Larry A. Samovar menjelaskan bahwa konflik

sebenarnya bisa disebabkan karena hilangnya kesempatan untuk mendapatkan

keuntungan (Samovar, 2007: 251). Situasi seperti itu menyebabkan terjadinya

ketegangan antara masyarakat yang tinggal di bantaran Sungai Bengawan Solo,

dengan pemerintah kota Surakarta, tampaknya mirip seperti yang dijelaskan oleh

Samovar, karena konflik tersebut sedikit banyak diakibatkan oleh tertundanya

kesempatan warga untuk mendapatkan dana bantuan banjir dari pemerintah.

Penelitian ini sebenarnya berkepentingan untuk mengamati konflik yang

terjadi dan menggambarkan bentuk komunikasi yang terkait dengan konflik tersebut,

termasuk pada penyelesaian konflik atau resolusi konflik, serta implikasinya. Dengan

demikian, penelitian sebenarnya dapat digunakan sebagai referensi untuk mengamati

bagaimana proses komunikasi yang terjadi dalam konflik tersebut pada suatu

Page 20: · PDF fileperpustakaan.uns.ac.id   Disusun Untuk Memenuhi Tugas Akhir Sebagai S PROGRAM commit to user 1 Komunikasi dan Konflik Sosial

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

20

masyarakat tertentu. Dari situ, penelitian ini pada dasarnya juga berusaha melihat

konflik dan keunikan komunikasi yang berhubungan dengan konflik tersebut atau

setidaknya yang digunakan dalam upaya menuju resolusi konflik, secara lebih

mendalam.

Masyarakat yang tinggal di kawasan lain mungkin juga pernah melakukan

dan menggulirkan pertentangan dengan pemerintah kota, terkait permasalahan

bantuan materi, tetapi tidak semua bentuk komunikasi yang menjadi latarbelakang

konflik dengan pemerintah kota, terkait dana bantuan banjir, dapat disamakan

dengan komunikasi konflik di masyarakat lain. Sederhananya, selalu ada keunikan

tersendiri yang terdapat dalam komunikasi yang dilakukan suatu kelompok

masyarakat yang sebenarnya tidak dapat disamaratakan dengan kelompok-kelompok

yang ada di masyarakat lain. Perbedaan dan keunikan komunikasi di suatu kelompok

masyarakat kemungkinan besar membawa pengaruh luas bagi perbedaan-perbedaan

bentuk perselisihan atau konflik serta resolusi konflik. Keunikan-keunikan dalam

kelompok tersebut mungkin sedikit banyak dipengaruhi oleh faktor-faktor

demografis dan kondisi sosial masyarakat yang berbeda-beda antara satu daerah

dengan yang lain

B. Rumusan Masalah

Dari uraian yang dikemukakan dalam latarbelakang masalah, dirumuskan

beberapa masalah yang ingin dicari jawabannya melalui penelitian.

1. Bagaimana sebenarnya gambaran penyebab konflik, serta pola komunikasi dalam

penyebab konflik secara umum, antara warga masyarakat yang tinggal di

bantaran Sungai Bengawan Solo, Surakarta, dengan pemerintah kota?

Page 21: · PDF fileperpustakaan.uns.ac.id   Disusun Untuk Memenuhi Tugas Akhir Sebagai S PROGRAM commit to user 1 Komunikasi dan Konflik Sosial

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

21

2. Bagaimana bentuk eskalasi konflik dan pola komunikasi dalam eskalasi konflik

antara warga bantaran Sungai Bengawan Solo, Surakarta, khususnya yang tinggal

di wilayah Semanggi, dengan pemerintah kota?

3. Bagaimana upaya resolusi konflik yang digunakan oleh warga bantaran Sungai

Bengawan Solo, Surakarta, khususnya yang tinggal di wilayah Semanggi, dengan

pemerintah kota untuk menyelesaikan permasalahan tersebut?

4. Bagaimana sebenarnya komunikasi terlibat pada penyebab dan eskalasi konflik

tentang dana banjir tersebut pada warga Semanggi dan pemerintah kota?

5. Bagaimana upaya komunikasi yang dilakukan masyarakat Semanggi dan

pemerintah kota, terkait untuk mengakhiri konflik tentang dana banjir tersebut?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini secara umum memiliki tujuan untuk mengambarkan dan

menjelaskan konflik yang terjadi antara warga bantaran Sungai Bengawan Solo

dengan pemerintah kota Surakarta, yang dibagi menjadi beberapa rincian, yaitu:

1. Mendapatkan deskripsi detail tentang penyebab konflik serta aspek

komunikasinya yang terjadi antara warga bantaran di Sungai Bengawan Solo,

khusunya di wilayah Semanggi, dengan pemerintah kota.

2. Memperoleh penjelasan yang komprehensif tentang eskalasi konflik dan

komunikasi dalam eskalasi konflik yang terjadi antara warga bantaran Sungai

Bengawan Solo, terutama di wilayah Semanggi, dengan pemerintah kota.

3. Mendapatkan gambaran dan penjelasan secara menyeluruh tentang upaya menuju

resolusi konflik yang dilakukan oleh warga bantaran Sungai Bengawan Solo,

terutama di wilayah Semanggi dengan pemerintah kota, terkait konflik yang

sedang terjadi.

Page 22: · PDF fileperpustakaan.uns.ac.id   Disusun Untuk Memenuhi Tugas Akhir Sebagai S PROGRAM commit to user 1 Komunikasi dan Konflik Sosial

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

22

4. Menjelaskan dan menggambarkan aspek komunikasi dalam penyebab konflik

dan eskalasi konflik yang dilakukan warga bantaran Sungai Bengawan Solo,

terutama di wilayah Semanggi, dengan pemerintah kota.

5. Mendapatkan penjelasan yang menyeluruh tentang upaya komunikasi yang

dilakukan masyarakat bantaran Sungai Bengawan Solo, terutama yang tinggal di

wilayah Semanggi, dengan pemerintah kota demi menuju resolusi konflik.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan akan memberikan beberapa manfaat, sesuai

dengan masalah-masalah dan harapan-harapan yang tertuang dalam tujuan penelitian.

Berdasarkan hal itu, maka penelitian ini akan memberikan manfaat dalam beberapa

aspek penting.

1. Berupaya memberikan sumbangan teoritis dalam pengembangan ilmu

komunikasi yang berkaitan dengan konflik dan mungkin juga dalam proses

resolusi konflik.

2. Memberikan landasan serta bantuan teoritis bagi penelitian-penelitian yang

sejenis yang secara umum berguna untuk mengembangkan ilmu-ilmu sosial yang

terkait, khususnya ilmu komunikasi.

3. Penelitian berusaha menjelaskan penyebab terjadinya konflik yang ada di

masyarakat, serta hubungannya dengan aspek komunikasi.

4. Penelitian ini secara umum juga berusaha memberikan pemahaman tentang

semua proses komunikasi yang terjadi dalam konflik dan proses resolusi konflik

tersebut.

Page 23: · PDF fileperpustakaan.uns.ac.id   Disusun Untuk Memenuhi Tugas Akhir Sebagai S PROGRAM commit to user 1 Komunikasi dan Konflik Sosial

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

23

5. Sejatinya, penelitian ini diharapkan dapat memberikan penjelasan lebih dalam

tentang konflik dan aspek komunikasi yang melingkupinya, sebagai sebuah

upaya mendapatkan bentuk resolusi konflik yang tepat.

6. Menjadi salah satu bahan acuan untuk penelitian lain, terutama yang berusaha

menyoroti tentang proses komunikasi yang terjadi dalam konflik di masyarakat

secara umum.

Page 24: · PDF fileperpustakaan.uns.ac.id   Disusun Untuk Memenuhi Tugas Akhir Sebagai S PROGRAM commit to user 1 Komunikasi dan Konflik Sosial

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

24

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR

A. Tinjauan Pustaka

1. Kajian Tentang Konflik Sosial

Secara garis besar dapat dikatakan bahwa ilmu komunikasi bukanlah

disiplin ilmu yang berdiri sendiri dan bisa dilepaskan disiplin ilmu yang lain seperti

yang terjadi pada ilmu-ilmu eksak. Ilmu komunikasi merupakan ilmu yang berada di

percabangan ilmu-ilmu sosial lain. Stephen W. Littlejohn, mengutip pendapat

Thomas Steller dan David Sholle, menyatakan bahwa komunikasi merupakan cabang

ilmu yang multidispliner (dalam Littlejohn dan Foss, 2005: 3). Karena itu

komunikasi membutuhkan bantuan dari beragam ilmu lain, seperti sosiologi dan

psikologi untuk dapat berkembang lebih jauh. Aspek multidisiplin ilmu komunikasi

terlihat ketika membahas konflik sosial. Karena konflik merupakan bentuk interaksi

sosial yang melibatkan aspek sosiolgis, psikologis dan komunikasi, maka tampaknya

sudah menjadi keharusan jika pembahasan tentang konflik harus dikaji melalui

paradigma ketiga ilmu tersebut. Namun demikian, penelitian ini lebih memfokuskan

kajian komunikasi yang terjadi pada konflik, meskipun masih ada beberapa kajian

dari ilmu sosiologi dan psikologi.

Secara umum konflik merupakan suatu interkasi sosial yang tampaknya

tidak dapat dipisahkan dari kehidupan sosial manusia, sebagaimana fakta bahwa

komunikasi tidak dapat dipisahkan dari konflik dan interaksi sosial manusia. Lee

Raffel, seorang pakar dalam bidang konflik dari Amerika Serikat, rupanya berhasil

menemukan beberapa aspek penting yang sekiranya melatarbelakangi penyebab

konflik secara umum dari aspek mikro, individu. Secara umum Raffel, yang

Page 25: · PDF fileperpustakaan.uns.ac.id   Disusun Untuk Memenuhi Tugas Akhir Sebagai S PROGRAM commit to user 1 Komunikasi dan Konflik Sosial

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

25

memandang konflik dari kajian ilmu komunikasi, menemukan bahwa latarbelakang

penyebab konflik sebenarnya berasal bentuk-bentuk kegagalan berkomunikasi yang

dapat menyebabkan satu pihak merasa terintimidasi, tertekan, terancam, atau

terpaksa (Raffel, 2008: 37). Sederhananya, Raffel hanya menjelaskan bahwa

komunikasi yang salah dan bentuk-bentuk kegagalan komunikasi menjadi jiwa dari

semua penyebab konflik dalam berbagai tingkatan. Dengan begitu, kita dapat

memahami semua latarbelakang penyebab konflik.

Bentuk dan prinsip kegagalan komunikasi, yang dijelaskan Raffel dan

pada umumnya berperan besar sebagai penyebab konflik, tampaknya masih berkitan

dengan bentuk dan konsep komunikasi secara umum yang melibatkan bentuk-bentuk

pertukaran pesan dari komunikator ke kemunikan. Proses pertukaran pesan tersebut

pada prinsipnya merupakan proses sederhana ketika semua unsur penyusun

komunikasinya tersedia, namun hal itu bisa menjadi proses rumit tatkala unsur

penyusun komunikasi gagal menyampaikan pesan dan meneruskan pesan dengan

baik. Sehingga apabila proses komunikasi tidak dapat berlangsung dengan baik,

maka hal itu dapat dipandang sebagai salah satu bentuk kegagalan komunikasi.

Kajian lebih dalam tentang kegagalan komunikasi diberikan oleh Brian H.

Spitzberg dan William R. Cupach. Kedua pakar komunikasi tersebut menjelaskan

bahwa kegagalan komunikasi tampaknya bisa berasal dari dalam diri individu–

sebagai komunikator atau komunikan–yang disebabkan oleh bentuk-bentuk

komunikasi yang agresif dan komunikasi yang tidak diinginkan sebagai hasil dari

kekacauan kepribadian seseorang yang akan mempengaruhi perkembangan persepsi

seseorang (Spitzberg dan Cupach, 2009: 457). Bagi Spitzberg dan Cupach, peranan

aspek psikologis rupanya bertanggungjawab besar bagi proses kelancaran dan

perkembangan proses komunikasi. Sama seperti yang diajukan oleh Robert A. Baron

Page 26: · PDF fileperpustakaan.uns.ac.id   Disusun Untuk Memenuhi Tugas Akhir Sebagai S PROGRAM commit to user 1 Komunikasi dan Konflik Sosial

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

26

dan Donn Byrne bahwa kondisi psikologis tertentu dapat membuat individu

berkomunikasi dengan orang lain dengan cara yang salah sehingga menyebabkan

orang lain marah (Baron dan Byrne, 2005: 194). Kenyataan tersebut menjelaskan

bagaimana keadaan psikologis mempengaruhi keberhasilan atau kegagalan proses

komunikasi.

Kondisi yang psikologis yang dijelaskan oleh Spitzberg-Cupach dan

Baron-Byrne pada akhirnya berujung pada kenyataan bahwa semua kondisi

psikologis tersebut akan menghasilkan bentuk tindakan fisik dalam bentuk konflik.

Jika kondisi psikologis telah bergerak menjadi bentuk konflik, maka aksi tersebut

tentu akan bertalian dengan bentuk interaksi sosial yang lebih luas. Secara sederhana,

kondisi psikologis tertentu menghasilkan bentuk-bentuk kegagalan komunikasi yang

pada akhirnya dapat memunculkan konflik sosial dalam masyarakat. Dari sini

tampak hubungan yang relatif erat antara kegagalan komunikasi dengan konflik

sosial.

Hubungan tentang komunikasi dengan bentuk interaksi sosial dalam

konflik, secara sederhana diajukan oleh Charles S. Berger. Secara umum ia

menyatakan bahwa sebenarnya komunikasi dan beragam tujuannya berada dalam

wilayah interaksi sosial yang terbentang dalam rutinitas yang unik, yang semakin

besar sepanjang waktu. Sebagai bentuk interaksi sosial maka semua pihak yang

terlibat di dalamnya dapat merasakan hubungan serta pengalaman yang positif dan

negatif (Berger, 2003: 257). Paparan yang diberikan oleh Berger pada dasarnya tidak

lagi membahas tentang peranan sisi psikologis, namun lebih banyak memahami

bagaimana komunikasi berperan dalam interaksi sosial. Karena itu bentuk

pengalaman positif dan negatif yang dijelaskan Berger tampaknya dapat

dihubungkan dengan penyebab konflik.

Page 27: · PDF fileperpustakaan.uns.ac.id   Disusun Untuk Memenuhi Tugas Akhir Sebagai S PROGRAM commit to user 1 Komunikasi dan Konflik Sosial

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

27

Bagi Berger (2003), komunikasi tampaknya memainkan peranan penting

bagi semua aspek interaksi sosial, sehingga memunculkan suatu kenyataan bahwa

komunikasi bisa menciptakan bentuk-bentuk pengalaman positif dan negatif. Hal itu

secara tidak langsung menghasilkan perbedaan persepsi tentang masalah tertentu.

Dengan demikian, tampak sebuah hubungan langsung antara komunikasi, konflik,

dan interaksi sosial yang ada di dalamnya.

Bentuk interaksi antarkelompok dari pandangan psikologi sosial diberikan

oleh Nick Hopkins dan Vared Kahani-Hopkins. Keduanya berpendapat bahwa

konsep yang diberikan oleh psikologi sosial menitikberatkan pada bagaimana

hubungan (contact) bisa mengembangkan bentuk-bentuk relasi antarkelompok

(Hopkins dan Kahani-Hopkins, 2006: 245) Lebih detailnya, psikologi sosial juga

mendukung semua bentuk perubahan yang mendorong semua bentuk kondisi untuk

mencapai kesuksesan (Hopkins dan Kahani-Hopkins, 2006: 245). Kondisi yang

dijelaskan oleh Hopkins dan Kahani-Hopkins, serta beberapa pakar lain, sejatinya

menujukkan bahwa aspek psikologi sosial mendukung semua bentuk interaksi yang

bertujuan mengembangkan semua bentuk hubungan dan relasional antarkelompok.

Selain itu, kondisi tersebut menunjukkan bahwa komunikasi, sebagai sarana interaksi

sosial, bisa digunakan sebagai cara untuk mendukung dan mengembangkan interaksi

antarkelompok termasuk dalam konflik.

Pandangan yang diberikan Hopkins dan Kahani-Hopkins (2006) tentang

hubungan antara psikologi sosial dengan interaksi sosial dikuatkan oleh kajian dari

Francisco Gomes de Matos, tentang bahasa serta implikasi yang dihasilkan oleh

penggunaan bahasa dalam interaksi sosial. De Matos menjabarkan bentuk-bentuk

bahasa yang berhubungan dengan konflik yang pada hakekatnya menuju satu bentuk

pemahaman tentang tindakan dalam konflik tersebut. De Matos berhasil menemukan

Page 28: · PDF fileperpustakaan.uns.ac.id   Disusun Untuk Memenuhi Tugas Akhir Sebagai S PROGRAM commit to user 1 Komunikasi dan Konflik Sosial

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

28

sekitar tiga belas kata kerja dalam bahasa Inggris yang behubungan dengan konflik,

seperti: abuse (kekerasan), antagonize (perlawanan), attack (serangan), belittle

(kebencian), blow off stream (menghancurkan), hingga stigmatize (melukai), dan

vilify (menundukkan) (De Matos, 2006: 160-161). Semua kata kerja tersebut secara

garis besar menunjukkan konsep-konsep umum tentang perilaku yang biasanya

dilakukan dalam konflik secara umum. Hal itu tampaknya menghubungkan antara

komunikasi dan aktivitas dalam konflik sosial. Penjelasan De Matos (2006) rupanya

dapat menjelaskan bagaimana bentuk aktivitas umum yang biasanya terjadi dalam

konflik sekaligus memberikan pemahaman erat tentang hubungan komunikasi

dengan konflik.

Pendapat dan penjelasan De Matos (2006) tentang bahasa dalam konflik

menujukkan bahwa bentuk aktivitas sosial yang disertai penggunaan kata-kata

tersebut atau tindakan-tindakan sosial yang dijelaskan dapat dijelaskan oleh kata-kata

tersebut, dapat dimasukkan sebagai salah satu indikasi terjadinya konflik. Kenyataan

seperti itu tampaknya menjadi semacam konsensus di masyarakat bahwa konflik,

pertikaian, konfrontasi, dan perselisihan selalu melibatkan bentuk-bentuk kekerasan

atau setidaknya semua bentuk perilaku yang mendukung hal itu. Selain itu, paparan

pakar bahasa di atas tentang bahasa dan konsep bahasa mungkin dapat digunakan

sebagai penjelasan tentang sesuatu yang terjadi di dalam konflik.

Sementara itu, penjelasan tentang konflik secara sosiologi makro

diberikan oleh Susanne Buckley-Ziestel, dari Universitas Berlin. Dalam karyanya,

Buckley-Ziestel lebih banyak menjelaskan bahwa ada kemungkinan konflik sosial

mampu menghancurkan bentuk dan sendi-sendi sosial yang terlah terbentuk. Di

samping itu, hampir semua konfik–termasuk konflik mikro dan makro–biasanya

disebabkan oleh perbedaan dan perselisihan atau bentuk-bentuk ketakutan pribadi

Page 29: · PDF fileperpustakaan.uns.ac.id   Disusun Untuk Memenuhi Tugas Akhir Sebagai S PROGRAM commit to user 1 Komunikasi dan Konflik Sosial

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

29

terhadap sesuatu yang menguasai, atau mungkin juga disebabkan oleh bentuk

perselisihan skala besar antara penguasa dan yang dikuasai. Kenyataan itu membuat

penyebab konflik biasanya bersifat multifaset (Buckley-Ziestel, 2008: 13). Di sisi

lain, Buckley-Ziestel sendiri tidak menampik kemungkinan bahwa semua konflik

yang menjadi fokus perhatiannya juga disebabkan oleh bentuk-bentuk perselisihan,

pertentangan yang mungkin dilatarbelakangi oleh sesuatu yang lain. Dalam bukunya

yang berjudul ―Conflict Transformation and The Social Change in Uganda‖,

Buckley-Ziestel tampaknya lebih banyak menjelaskan semua aspek konflik yang

terjadi di Afrika melalui pendekatan politik. Secara sederhana, penjelasan Buckley-

Ziestel mengindikasikan bahwa konflik merupakan salah satu bentuk interkasi sosial

yang melibatkan berbagai macam kajian ilmu sosial, seperti komunikasi dan

sosiologi.

Paparan lebih jauh tentang tindakan dalam konflik secara umum rupanya

diberikan oleh Randall Collins, dari Universitas Pennsylvania, dalam sebuah jurnal

ilmiah. Ia menuliskan dalam salah satu karyanya bahwa bentuk-bentuk penyerangan

merupakan bentuk paling umum yang terjadi dalam konflik terbuka. Banyak bukti-

bukti dan fakta di lapangan yang menujukkan bahwa beberapa kelompok terpecah

dalam beberapa bagian kecil untuk melakukan penyerangan terhadap individu-

individu yang terisolasi. Hal itu membuat bentuk-bentuk kekerasan dalam konflik

ditujukan bagi pihak-pihak yang lemah dan tertekan (Collins, 2009: 11). Dari sini

muncul indikasi yang relatif erat bahwa, bagi sebagian pihak, salah satu cara

menghilangkan penghalang–dalam konflik–hanya dapat dilakukan dengan kekerasan

dan tindakan fisik dari pihak yang kuat menuju pihak yang lemah.

Namun demikian, ada beberapa konflik yang tidak selalu berlangsung

dengan cara kekerasan dan penggunaan kekuatan fisik dan verbal. Jika kita

Page 30: · PDF fileperpustakaan.uns.ac.id   Disusun Untuk Memenuhi Tugas Akhir Sebagai S PROGRAM commit to user 1 Komunikasi dan Konflik Sosial

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

30

perhatikan fakta bahwa salah satu penyebab konflik ialah perbedaan kepentingan dan

kegagalan komunikasi, maka bentuk-bentuk konflik yang terjadi tidak harus selalu

menggunakan tindakan fisik. Dengan begitu, bentuk-bentuk interaksi menggunakan

aspek komunikasi secara keras dengan tekanan psikologis yang tinggi, dan

digunakan dengan cara emosional, juga menjadi indikasi bahwa konflik sedang

berlangsung. Manuel Eisner percaya bahwa konflik berkaitan bentuk-bentuk

kesinambungan pada ranah biologi, psikologi, dan sosial yang kenyataannya bisa

menjadi indikasi terjadinya konflik itu sendiri (Eisner, 2009: 44). Penjabaran yang

diberikan Eisner sebenarnya lebih banyak menyimpulkan bahwa konflik tidak dapat

dilihat dari satu sisi saja, namun harus dilihat dari kerangka holistik atau lebih luas

dan mendalam. Dengan demikian, konflik tidak hanya dapat menggunakan kekerasan

fisik atau verbal, tapi jauh lebih luas dari itu.

Jika kita memasukkan pendapat Eisner untuk memahami konflik, maka

semua bentuk pertentangan dalam jalur apapun dengan beragam tekanan–entah itu

menggunakan kekerasan fisik atau psikologis–dapat dikategorikan sebagai konflik.

Sebetulnya, penjelasan dan kepercayaan Eisner terhadap pengaruh dan kaitan konflik

dengan ranah-ranah tertentu lebih banyak difokuskan untuk memahami penyebab

penggunaan kekerasan terhadap individu lain dalam suatu konflik. Walaupun

demikian, Eisner sendiri tidak menjelaskan bahwa konflik juga dapat terjadi tanpa

kekerasan dan penggunaan kekuatan fisik.

Penjelasan yang diberikan oleh banyak pakar dalam berbagai bidang

yang mendukung kajian komunikasi dalam konflik, tampaknya membawa pada

sebuah muara besar pemahaman bahwa konflik yang terjadi pada kelompok sosial

merupakan bentuk pertentangan yang salah satunya diakibatkan bentuk kegagalan

komunikasi. Hal itu menimbulkan sebuah bentuk pertentangan dan pertikaian yang

Page 31: · PDF fileperpustakaan.uns.ac.id   Disusun Untuk Memenuhi Tugas Akhir Sebagai S PROGRAM commit to user 1 Komunikasi dan Konflik Sosial

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

31

berhubungan mempengaruhi kondisi biologis, psikologi, dan keadaan sosial manusia.

Karena itu, konflik mampu membawa perubahan besar dalam bidang-bidang tertentu,

terutama dalam bidang sosial. Kebanyakan konflik bisa berlangsung menggunakan

kekerasan fisik dan agresi pihak yang kuat terhadap pihak yang lemah, namun pada

beberapa kasus, konflik juga dapat terjadi tanpa kekerasan.

Penjelasan umum tentang konflik yang diberikan oleh para pakar

komunikasi dan sosiologi di atas membawa pada satu pemahaman yang menjelaskan

konflik sebagai suatu aktivitas sosial yang tidak dapat lepas dari peranan dan

pengaruh komunikasi. Hal itu juga menujukkan bahwa komunikasi menjadi suatu

syarat mutlak bagi konflik untuk menujukkan eksitensinya dalam kehidupan dan

semua bentuk aktivitas sosial. Selain itu, penjelasan dan tinjauan ilmu komunikasi

tentang konflik memberikan suatu sudut pandang baru bahwa sebagai ilmu sosial,

komunikasi turut menjelaskan konflik sebagai suatu interaksi sosial, sama seperti

yang diberikan oleh disiplin ilmu yang lain. Di samping itu, proses komunikasi

rupanya tidak dapat dipisahkan dari semua bentuk aktivitas sosial, termasuk dalam

konflik.

a. Penyebab Konflik dalam Perspektif Komunikasi

Paparan umum tentang konflik di atas membawa pada suatu pemahaman

bahwa konflik merupakan bentuk interaksi sosial yang memiliki penyebab dan

implikasi. Seperti kebanyakan fenomena sosial, konflik juga memiliki tahapan kritis

yang menjadi penyebab sekaligus mengawali kejadian selanjutnya. Seperti

kabanyakan ilmu sosial yang lain, ilmu komunikasi juga memberikan perhatian

tersendiri terhadap permulaan dan terjadinya konflik. Kenyataan tersebut membuat

proses terjadinya konflik dapat dipelajari dengan baik berdasarkan penyebabnya.

Page 32: · PDF fileperpustakaan.uns.ac.id   Disusun Untuk Memenuhi Tugas Akhir Sebagai S PROGRAM commit to user 1 Komunikasi dan Konflik Sosial

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

32

Berdasarkan hal itu, bagian ini akan lebih difokuskan untuk menjelaskan bagian awal

dari konflik dan menilik penyebab konflik melalui sudut pandang ilmu komunikasi.

Dari sudut pandang komunikasi, konflik merupakan hasil dari

ketimpangan dan gangguan penyampaian proses komunikasi dari sumber pesan

menuju penerima pesan. Linda L. Putnam, dari Universitas California di Santa

Barbara, menyatakan bahwa konflik dapat muncul karena adanya kesalahpahaman,

perbedaan cara dalam menanggapi suatu urusan, hingga bentuk-bentuk perbedaan

tujuan yang hendak dicapai (Putnam, 2009: 211). Lebih lanjut, Putnam juga

menjelaskan bahwa komunikasi membangun konflik melalui cara dan pola interaksi

yang dikembangkan oleh pihak-pihak yang terlibat. Keberadaan pola interaksi

tersebut sebenarnya berkaitan dengan bentuk-bentuk pesan yang disampaikan oleh

satu pihak untuk ditanggapi oleh pihak yang lain (Putnam, 2009: 212). Penjelasan

Putnam memberikan titik terang bahwa konflik sejatinya dapat berhubungan dengan

komunikasi. Perhatikan, peryataan yang menunjukkan bahwa pola interaksi dalam

konflik masih berhubungan dengan bentuk-bentuk penyampaian pesan dari satu

pihak ke pihak yang lain. Dengan begitu, kesalahpahaman dalam menanggapi dan

menafsirkan pesan dapat memunculkan konflik antara pihak-pihak yang terlibat.

Paparan Putnam tentang konflik dapat dianalogikan dengan komunikasi

yang dilakukan oleh dua orang atau sekelompok orang yang saling memberikan

pesan dalam bentuk-bentuk tertentu, namun penerima pesan salah menafsirkan pesan

yang telah diterima. Keadaan tersebut tidak menjadi masalah serius ketika

komunikasi dan kesalahan penafsiran pesan segera diperbaiki, tetapi keadaan

tersebut berpotensi menjadi konflik apabila kesalahan penafsiran pesan terus

berlanjut dan terakumulasi semakin besar. Pada situasi seperti itu, gangguan

komunikasi tampaknya menjadi masalah serius dalam menajamkan dan

Page 33: · PDF fileperpustakaan.uns.ac.id   Disusun Untuk Memenuhi Tugas Akhir Sebagai S PROGRAM commit to user 1 Komunikasi dan Konflik Sosial

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

33

memperparah konflik akibat kesalahpahaman dalam menerima pesan. Hal itu

menujukkan bahwa konflik dan gangguan komunikasi–dalam bentuk kesalahan

penafsiran pesan–tampaknya memiliki hubungan yang relatif dekat.

Dalam ilmu komunikasi, kesalahan penafsiran dan penerimaan pesan

dapat dikategorikan dalam bentuk-bentuk gangguan proses komunikasi, yang

menghubungkan sumber pesan ke penerima pesan. Karena, gangguan komunikasi

tampaknya memiliki peranan yang relatif besar dalam memunculkan konflik, maka

secara sederhana konflik dalam sudut pandang komunikasi akan lebih banyak

berhubungan dengan gangguan-gangguan seperti itu. Pandangan tentang gangguan

komunikasi diberikan oleh Jurgen Ruesch (1972), Watzlawick, Beavin, dan Jackson

(1967), sebagai para pakar psikologi klinis, memandang gangguan dalam komunikasi

karena munculnya kesalahan dan gangguan mental (dalam Spitzberg dan Cupach,

2009: 455). Pendapat yang diajukan Ruesch memberikan pengertian bahwa

gangguan psikologis berat akan menghalangi proses komunikasi yang terjadi

antarindividu yang pada akhirnya akan menghasilkan kegagalan komunikasi pada

tingkat lanjut. Meskipun situasi yang diberikan Ruesch lebih banyak terfokus pada

gangguan komunikasi karena gangguan mental, namun penjelasan Ruesch (1972)

dan koleganya membuka gambaran besar bahwa gangguan komunikasi–dalam situasi

normal–juga berkaitan dengan gangguan penyampaian pesan dan semacamnya.

Bentuk-bentuk kesalahan dalam penafsiran pesan dan gangguan

komunikasi lain sebenarnya mengacu pada konsep serupa yang dikenal sebagai

kesalahapahaman dan kegagalan komunikasi. Senada dengan Ruesch, Paul R.

Kimmel memandang gangguan komunikasi sebagai bentuk kegagalan komunikasi

atau mungkin kesalahan komunikasi (miscommunication). Bagi Kimmel, kegagalan

komunikasi sebenarnya terletak pada masalah tentang bagaimana menyamakan

Page 34: · PDF fileperpustakaan.uns.ac.id   Disusun Untuk Memenuhi Tugas Akhir Sebagai S PROGRAM commit to user 1 Komunikasi dan Konflik Sosial

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

34

persepsi dan pemikiran (mindset) pihak lain dengan pemikiran kita, sehingga kelak

muncul kesulitan untuk menyamakan persepsi (Kimmel, 2006: 629). Kimmel

rupanya memfokuskan pandangan tentang kegagalan dan kesalahan komunikasi

karena perbedaan pemahaman dan pengertian yang ada dalam pikiran satu pihak

dalam proses komunikasi.

Pendapat yang diberikan oleh Kimmel memang lebih berhubungan

dengan situasi sosial budaya, namun sejatinya tidak ada perbedaan serius yang

membedakan komunikasi sosial budaya dengan komunikasi secara umum, selain

perbedaan sifat dan tingkatannya saja. Karena itu pendapat Kimmel tampaknya

masih relevan untuk menjelaskan konflik dalam ranah apapun. Di pihak lain Lee

Raffel juga mengajukan pendapat yang berbeda makna dan konteks dengan yang

diajukan oleh Kimmel (2006). Raffel lebih cenderung mengatakan bahwa konflik

sebenarnya dicetuskan oleh bentuk-bentuk kegagalan komunikasi untuk

menyampaikan pesan tertentu sehingga membuat orang lain terancam, takut, atau

terintimidasi (Raffel, 2008: 37).

Secara sederhana, pandangan Kimmel (2006) dan Raffel (2008) menuju

pada pemahaman bahwa proses penyampaian pesan dalam komunikasi memang

harus dilakukan dengan cara baik sehingga mampu menghindari bentuk-bentuk

kegagalan dan kesalahan komunikasi yang dapat menghasilkan konflik. Pada situasi

ini, ada bagian mendasar yang membedakan pendapat tentang kesalahan komunikasi

sebagai pencetus konflik, yang diberikan oleh para pakar konflik di atas. Ruesch

lebih banyak memandang kegagalan komunikasi sebagai hasil dari gangguan

psikologis manusia, Kimmel (2006) memandang kegagalan komunikasi sebagai

kesalahan persepsi dalam menanggapi pesan, sedangkan Raffel (2008) memandang

kegagalan komunikasi karena isi dan maksud pesan yang memang bersifat negatif.

Page 35: · PDF fileperpustakaan.uns.ac.id   Disusun Untuk Memenuhi Tugas Akhir Sebagai S PROGRAM commit to user 1 Komunikasi dan Konflik Sosial

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

35

Meskipun pendapat tiga pakar itu memiliki perbedaan yang sangat fundamental,

namun semua pakar tersebut tampaknya sependapat bahwa kenyataan tentang

kegagalan komunikasi bisa dihasilkan akibat munculnya gangguan dalam proses

komunikasi antarmanusia.

Dari sudut pandang komunikasi, konflik secara definitif tidak banyak

berbeda dengan penjelasan yang diberikan oleh disiplin ilmu sosiologi, yaitu proses

interaksi antarmanusia yang melibatkan pertentangan karena adanya

kesalahpahaman, perbedaan cara dalam menanggapi suatu urusan, hingga bentuk-

bentuk perbedaan tujuan (Putnam, 2009: 211). Penjelasan yang diberikan Putnam

tersebut pada dasarnya menjelaskan bahwa ilmu komunikasi–secara garis besar–

hanya memberikan satu penyebab konflik yaitu kegagalan komunikasi dalam

interaksi antarmanusia. Penelitian dan penjelasan yang diberikan Kimmel (2006) dan

Raffel (2008) tampaknya menguatkan gagasan kegagalan komunikasi sebagai

penyebab konflik.

Namun demikian, ilmu komunikasi tampaknya tidak dapat melepaskan

diri dari pengaruh ilmu sosial yang lain dalam aspek penjelasan tentang konflik dan

penyebab konflik. Pakar konflik di Eurasia, Diarmait Mac Giolla Chríost,

menjelaskan bahwa sederhananya konflik mungkin disebabkan adanya perbedaan

politik yang terjadi pada beberapa kelompok, termasuk perbedaan identitas, ideologi,

hingga persaingan terhadap sumberdaya, sering menjadi penyebab konflik yang

rumit (Chríost, 2003: 152). Bagi Chríost dan mungkin sederet pakar yang lain

menyatakan bahwa perbedaan pandangan politik hingga persaingan terhadap suatu

sumberdaya tampaknya bisa menjadi penyebab konflik yang potensial dalam

kebanyakan masyarakat. Dengan begitu, secara sederhana, kebanyakan konflik besar

bisa disebabkan adanya perbedaan kepentingan serta persaingan terhadap sesuatu.

Page 36: · PDF fileperpustakaan.uns.ac.id   Disusun Untuk Memenuhi Tugas Akhir Sebagai S PROGRAM commit to user 1 Komunikasi dan Konflik Sosial

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

36

Beberapa pakar ilmu sosial yang lain sebenarnya memberikan pendapat

yang tidak jauh berbeda dengan yang diberikan Chríost (2003), atau setidaknya

mendukung pernyataan kebanyakan ahli sosiologi tentang konflik. Larry A.

Samovar, meskipun tidak secara langsung menjelaskan apa penyebab dari konflik

antarbudaya, menjelaskan dalam bukunya bahwa dalam kebanyakan kebudayaan

masyarakat dunia mulai dari masyarakat Timur Tengah, Japang, Latin–mengacu

pada masyarakat Amerika Selatan, dan Eropa menganggap bahwa konflik antar

budaya dipicu oleh penerimaan yang berbeda tentang suatu budaya yang ada di

dalam masyarakat tersebut (Samovar, 2007: 349-350).

Penjelasan Samovar menujukkan bahwa adanya penerimaan dan persepsi

yang berbeda tentang suatu budaya menjadi sebuah penyebab konflik yang relatif

potensial. Peryataan Samovar (2007) secara langsung mendukung penjelasan

Clifford Geertz, seorang ahli budaya terkemuka, yang menyatakan bahwa interperasi

budaya terbagi menjadi dua macam bentuk besar, yaitu deskripsi tebal yang

mendeskripsikan praktek budaya dari sudut pandang pelaku budaya sendiri.

Sedangkan deskripsi tipis merupakan bentuk deskripsi yang hanya mendeskripsikan

sedikit sifat dari pelaku budaya tersebut (Geertz dalam Littlejohn, 2005: 310).

Sederhananya, Geertz berusaha menjelasakan bahwa perbedaan persepsi dan

kesalahan penempatan sudut pandang suatu budaya terhadap budaya lain akan

beresiko menimbulkan bentuk-bentuk konflik antarbudaya.

Apabila semua penyebab konflik yang telah dijelaskan pada beberapa

paragraf di atas, disatukan menjadi satu penjelasan besar, maka secara garis besar

ada beberapa penyebab konflik yang dijelaskan oleh disiplin ilmu sosial. Disiplin

ilmu komunikasi tampaknya juga membeberkan penyebab konflik namun tidak

sekomprehensif ranah sosiologi. Ilmu komunikasi pada dasarnya menjelaskkan

Page 37: · PDF fileperpustakaan.uns.ac.id   Disusun Untuk Memenuhi Tugas Akhir Sebagai S PROGRAM commit to user 1 Komunikasi dan Konflik Sosial

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

37

bahwa konflik biasanya disebabkan oleh bentuk-bentuk kegagalan komunikasi,

bentuk-bentuk salah pengertian, dan kekeliruan pemahaman. Sementara itu disiplin

ilmu sosologi secara sederhana membagi penyebab konflik menjadi empat bagian

besar. Soerjono Soekanto (2002: 99) rupanya menjelaskan empat penyebab konflik

secara sosiologis dari yang paling sederhana hingga yang paling rumit, yaitu:

Perbedaan antarindividu, Perbedaan kebudayaan, Perbedaan kepentingan, Perubahan

sosial. Pemahaman tentang awal mula dan penyebab konflik menjadi sebuah titik

tolak untuk memahami konflik secara lebih dalam.

b. Tipe dan Sifat Konflik dalam Ilmu Komunikasi

Apabila membicarakan konflik dengan segala implikasinya, maka tipe-

tipe konflik atau jenis-jenis konflik juga harus dikaji sebagai bekal untuk mendalami

dan memahami konflik secara menyeluruh. Disiplin ilmu komunikasi, sebagai bagian

dari ilmu sosial, rupanya juga memberikan kajian khusus tentang bentuk-bentuk

konflik dan sifat-sifat konflik yang biasanya melingkupi interaksi sosial tersebut.

Banyak ahli komunikasi yang membeberkan tentang masalah tipe dan sifat konflik.

Pemahaman yang baik tentang tipe dan sifat konflik menjadi suatu bagian yang tidak

dapat dilepaskan ketika harus mengkaji konflik secara lebih dalam.

Secara khusus ilmu komunikasi juga mengklasifikasikan konflik dalam

beberapa bentuk tertentu, walaupun sebenarnya klasifikasi yang digunakan dalam

ilmu komunikasi tidak sedetail klasifikasi yang diberikan disiplin ilmu yang lain.

Pembagian konflik paling sederhana diberikan oleh dua orang pakar komunikasi dari

Amerika Serikat, Steven A. Beebe dan Susan J. Beebe (2001: 221-222) membagi

konflik menjadi dua kategori besar yaitu, konflik konstruktif dan konflik destruktif.

Konflik konstruktif merupakan bentuk konflik yang memiliki sifat saling kerjasama

Page 38: · PDF fileperpustakaan.uns.ac.id   Disusun Untuk Memenuhi Tugas Akhir Sebagai S PROGRAM commit to user 1 Komunikasi dan Konflik Sosial

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

38

dalam membangun dan mengatasi perbedaan yang ada. Di lain pihak, konflik

destruktif merupakan bentuk konflik yang memiliki sifat merusak dan memperbesar

perbedaan yang ada, sehingga pada akhirnya cenderung tidak bisa diperbaiki.

Klasifikasi konflik yang diberikan Beebe dan Beebe tampaknya lebih cenderung

menggambarkan konflik dari pengaruhnya mengatasi perbedaan dan sifat yang

melekat pada perselisihan tersebut. Hal itu tampaknya membuat penjelasan Beebe

dan Beebe tampaknya sudah cukup mewakili pembagian konflik oleh ilmu

komunikasi secara umum.

Selain itu, Judith N. Martin dan Thomas K. Nakayama, dua orang pakar

komunikasi dari Universitas Arizona, ikut serta mengklasifikasikan konflik

berdasarkan ilmu komunikasi. Meskipun secara umum klasifikasi dari Martin dan

Nakayama berbeda dengan klasifikasi yang diberikan Beebe dan Beebe, namun pada

hakekatnya tetap tidak memiliki perbedaan yang berarti. Martin dan Nakayama

(2003: 381-382) membagi konflik menjadi lima kategori besar. Pertama, konflik

afektif merupakan konflik yang terjadi tatkala individu menyadari bahwa emosi dan

perasaannya menjadi tidak sesuai dengan milik orang lain. Kedua, konflik

kepentingan merupakan bentuk konflik yang menggambarkan situasi orang yang

sedang mengejar tujuan-tujuan yang sama dengan cara-cara yang sangat

bertentangan, sehingga memunculkan ketegangan.

Ketiga, konflik nilai merupakan tipe konflik yang relatif serius karena

melibatkan orang-orang yang berbeda secara ideologis terhadap isu-isu tertentu.

Keempat, konflik kognitif menggambarkan situasi yang melibatkan dua orang yang

memiliki persepsi dan proses yang tidak sebangun. Kelima, konflik tujuan

merupakan konflik yang terjadi karena ketidaksetujuan terhadap tujuan dan hasil

akhir. Martin dan Nakayama (2003) pada dasarnya memberikan pandangan yang

Page 39: · PDF fileperpustakaan.uns.ac.id   Disusun Untuk Memenuhi Tugas Akhir Sebagai S PROGRAM commit to user 1 Komunikasi dan Konflik Sosial

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

39

relatif luas tentang bagaimana ilmu komunikasi membagi konflik dalam beberapa

bagian tertentu berdasarkan tujuan dan kepentingan pihak-pihak yang terlibat dalam

konflik. Hal itu membuat ilmu komunikasi tampaknya setara dengan ilmu sosial

yang lain dalam menjelaskan klasifikasi konflik.

Paparan lebih lanjut tentang tipe-tipe konflik muncul dari pendapat

Steven A. Beebe dan John T. Masterson. Penjelasan Beebe dan Masterson rupanya

didasarkan pada keterangan yang diberikan ilmuwan komunikasi lain, bernama

Gerald Miller dan Mark Steinberg. Miller dan Steinberg membagi konflik menjadi

tiga tipe utama, yaitu: konflik semu (pseudo-conflict), konflik sederhana (simple

conflict), dan konflik ego (ego conflict). Ketiga konflik tersebut rupanya

diidentifikasi pada bentuk-bentuk kelompok kecil (dalam Beebe dan Masterson,

2003: 260-264).

Lebih lanjut, Miller dan Steiberg (dalam Beebe dan Masterson, 2003:

260-264) mulai menjelaskan tiga tipe konflik tersebut secara lebih dalam. Konflik

semu (pseudo-conflict) merupakan bentuk konflik yang terjadi karena seseorang

pengaruh kesalahpahaman kepada orang lain. Konflik semu (pseudo-conflict)

sebenarnya terjadi antara individu yang pada awalnya setuju, namun, karena

munculnya bentuk-bentuk kesalahan komunikasi, kedua individu tersebut segera

menyatakan tidak setuju. Sementara itu ‗konflik sederhana‘ (simple conflict) pada

dasarnya merupakan bentuk konflik yang terjadi apabila individu atau seseorang

tidak setuju pada isu tertentu. Sederhananya, ‗konflik sederhana‘ terjadi apabila dua

individu tahu apa yang diinginkan orang lain, tapi sayangnya tujuan tersebut tidak

dapat tercapai tanpa menghalangi orang lain mencapai tujuannya. Selanjutnya,

konflik ego (ego conflict) sebenarnya terjadi apabila individu menjadi sangat defensif

karena mereka beranggapan bahwa ada seseorang yang menyerang secara pribadi.

Page 40: · PDF fileperpustakaan.uns.ac.id   Disusun Untuk Memenuhi Tugas Akhir Sebagai S PROGRAM commit to user 1 Komunikasi dan Konflik Sosial

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

40

Keadaan seperti ini berkaitan langsung dengan emosi dan rasa pertahanan dalam diri

individu karena bentuk pertahanan orang lain.

Pendapat yang dikutip oleh Beebe dan Masterson (2003) tentang

pembagian konflik merupakan bentuk klasifikasi yang secara garis besar bertumpu

pada komunikasi yang melingkupi konflik tersebut. Perhatikan paparan Beebe dan

Masterson tentang konflik semu, yang lebih banyak mengacu pada aspek komunikasi

yang melingkupi konflik tersebut. Dengan demikian, Beebe dan Masterson (2003)

lebih banyak melihat konflik melalui aspek komunikasi.

Penjelasan tentang klasifikasi jenis konflik atau pembagian konflik

membawa sebuah implikasi tentang pokok kajian baru tentang sifat-sifat konflik

yang masih berkaitan dengan pembagian jenis konflik. Ronald B. Adler dan George

Rodman memberikan pandangan mereka tentang sifat-sifat konflik secara umum.

Penjelasan dua pakar komunikasi tersebut rasanya cukup mewakili pandangan ilmu

komunikasi dalam membahas sifat-sifat konflik. Adler dan Rodman (2006: 236-237)

membagi sifat konflik menjadi empat sifat umum. Pertama, ekspresi perjuangan

merupakan bentuk ekspresi kebencian yang diberikan oleh seseorang karena orang

lain melakukan sesuatu yang tidak sepantasnya. Kedua, merasakan ketidakcocokan

tujuan merupakan sifat konflik yang muncul karena ada pihak-pihak tertentu yang

merasakan munculnya ketidaksesuaian tujuan dengan bentuk tujuan pihak lain,

sehingga pada beberapa kasus tidak ada bentuk penyelesaian yang tersedia. Ketiga,

merasakan hadiah yang sangat langka merupakan bentuk sifat konflik yang

membuat pihak-pihak yang terlibat merasakan adanya hadiah yang akan mereka

dapatkan jika memenangkan konflik tersebut. Keempat, saling ketergantungan

menjadi sifat konflik yang membuat pihak-pihak yang bertikai merasakan adanya

perasaan saling tergantung dan saling membutuhkan. Keempat sifat konflik yang

Page 41: · PDF fileperpustakaan.uns.ac.id   Disusun Untuk Memenuhi Tugas Akhir Sebagai S PROGRAM commit to user 1 Komunikasi dan Konflik Sosial

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

41

dijelaskan Adler dan Rodman (2006) sebenarnya merupakan sifat umum yang

biasanya ditemukan dalam hampir semua konflik di semua ranah sosial.

Perhatian tentang sifat dan karakteristik konflik juga diberikan oleh Miall.

Karakteristik konflik yang diajukan oleh Miall digunakan oleh Celina Del Felice,

dari Universitas Radboud, untuk mengamati dan menerangkan konflik yang terjadi di

Argentina. Secara umum Miall (2004) membagi karaketeristik konflik menjadi tiga

sifat yang spesifik (dalam Del Felice 2008: 76). Pertama, konflik biasanya bersifat

asimetris terutama yang berhubungan dengan kekuatan dan status. Kedua, bentuk-

bentuk konflik yang ada biasanya diperpanjang, sehingga digambarkan dalam bentuk

siklus atau lonceng. Ketiga, bentuk-bentuk konflik yang diperpanjang biasanya

mengganggu sisi kemasyarakatan secara lokal dan global. Tiga karakteristik konflik

yang dikembangkan oleh Miall dan dijabarkan oleh Del Felice (2008) seakan

membuka kenyataan bahwa memang pada pada beberapa kasus ada pihak-pihak

tertentu yang sengaja mengulur-ulur waktu penyelesaian konflik dengan kepentingan

tertentu. Selain itu, Miall rupanya juga mengajukan pendapat tentang karakteristik

konflik yang agak serupa dengan pendapat Adler dan Rodman bahwa konflik

memiliki sifat dasar yang berhubungan dengan ‗ketidaksesuaian‘.

Tipe-tipe konflik dan sifat-sifat konflik yang telah dijelaskan di atas pada

dasarnya menunjukkan bahwa ilmu-ilmu sosial, seperti komunikasi, menaruh

perhatian yang sama terhadap konflik. Keduanya sedikit-banyak menjelaskan bahwa

konflik merupakan bentuk interaksi sosial yang berkaitan dengan aspek sosial

individu dan komunikasi. Karena itu, aspek komunikasi dalam konflik menjadi

perhatian dalam ilmu komunikasi. Meskipun terkadang tidak ada batasan yang jelas

di dalam ilmu-ilmu sosial, seperti ilmu komunikasi, dalam memandang konflik.

Keadaan seperti ini menunjukkan bahwa komunikasi berusaha keras memberikan

Page 42: · PDF fileperpustakaan.uns.ac.id   Disusun Untuk Memenuhi Tugas Akhir Sebagai S PROGRAM commit to user 1 Komunikasi dan Konflik Sosial

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

42

pandangan tentang konflik sebagai bentuk interaksi sosial dan komunikasi yang

terjadi dalam masyarakat.

c. Teori-teori yang Digunakan

Pembahasan tentang teori-teori konflik tampaknya tidak dapat dipisahkan

dari semua kajian tentang konflik. Keberadaan teori-teori konflik pada bagian ini

sebenarnya hanya digunakan layaknya sekop untuk menggali pemahaman dan alat

untuk menganalisis fenomena tertentu, termasuk konflik. Karena itu, bagian

pembahasan tentang teori konflik merupakan bagian yang relatif penting untuk

memberikan gambaran, pandangan, dan analisis terhadap semua peritiwa yang ada.

Karena itu pandangan tentang konflik kelompok atau konflik antarkelompok

setidaknya harus dibahas melalui teori dari berbagai perspektif ilmu, seperti

psikologi, komunikasi, dan mungkin juga sosiologi, agar mendapatkan pandangan

yang lebih dalam dan komprehensif.

Teori Pelanggaran Harapan (Expectancy Violation Theory), yang

dikembangkan oleh Burgoon (1978), tampaknya dapat digunakan untuk memahami

konflik yang sedang terjadi antara warga bantaran dengan pemerintah kota. Teori

Pelanggaran Harapan pada dasarnya memberikan pemahaman tentang munculnya

jarak atau kerenggangan hubungan (spatial) jika dalam hubungan tersebut ada suatu

harapan yang dilanggar oleh pihak tertentu (dalam Anderson, 2009: 41). Pemahaman

yang dibawa oleh teori tersebut memberikan penjelasan bahwa konflik sebenarnya

dapat muncul dari adanya kerenggangan hubungan atau munculnya jarak tertentu

(spatial), karena ada suatu harapan yang dilanggar. Secara sederhana, teori tersebut

menjelaskan bahwa kekecewaan pihak pertama terjadi jika ada pihak kedua atau

pihak lain yang mengingkari janjinya serta melanggar haparan yang telah dibangun

Page 43: · PDF fileperpustakaan.uns.ac.id   Disusun Untuk Memenuhi Tugas Akhir Sebagai S PROGRAM commit to user 1 Komunikasi dan Konflik Sosial

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

43

pihak pertama. Kondisi tersebut dapat menjadi salah satu faktor yang mendorong

terjadinya konflik.

Teori lain yang mungkin dapat digunakan untuk menjelaskan konflik

yang terjadi antara warga bantaran dan pemerintah kota ialah Teori Ketergantungan

(Interdependence Theory) yang dikembangkan oleh Thibaut dan Kelley (1959).

Teori tersebut tampaknya bisa digunakan untuk menganalisis situasi eskalasi konflik

tersebut. Secara umum Teori Ketergantungan menjelaskan bahwa individu bisa

membuat penilaian terhadap suatu hubungan dengan individu lain berdasarkan dua

kondisi tertentu. Pertama, ada derajat kepercayaan terentu yang seharusnya diberikan

kepada yang berhak, dari seorang teman atau mitra dekatnya. Kedua, derajat

kepercayaan yang diberikan oleh teman atau mitra dekat harus menghasilkan sesuatu

yang melampaui semua hal yang dapat diberikan orang lain (Simpson, Fletcher, dan

Campbell, 2003: 87). Jika kita masukkan semua fakta tentang konflik dan

eskalasinya ke dalam Teori Ketergantungan maka akan dihasilkan suatu bentuk

keterikatan antara semua fakta atau konstruk yang ada.

Teori Ketergantungan rupanya berkaitan dengan bagaimana suatu pihak

saling membutuhkan pihak lain untuk melaksanakan kepentingan mereka masing-

masing. Hal itu terlihat dari asumsi dasar yang dibawa oleh tersebut bahwa ada

derajat kepercayaan yang diberikan oleh pihak lain yang biasanya saling membangun

kepercayaan. Hal itu sebenarnya bisa terjadi juga dalam konflik dan semua hubungan

yang berada dalam ranah interpersonal. Caryl E. Rusbult, Ximena B. Arriaga, dan

Christopher R. Agnew menjelaskan bahwa ketergantungan rupanya membentuk

sutau hubungan interpersonal sekaligus perlengkapan yang menggambarkan pilihan

dan keterbatasan suatu hubungan, menjelaskan tentang kemungkinan, komitmen,

kepercayaan, kekuatan, dan konflik (Rusbult, et al, 2001: 359). Keterangan Rusbult

Page 44: · PDF fileperpustakaan.uns.ac.id   Disusun Untuk Memenuhi Tugas Akhir Sebagai S PROGRAM commit to user 1 Komunikasi dan Konflik Sosial

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

44

dan kawan-kawan (2001) tersebut menunjukkan bahwa ketergantungan yang

dijelaskan dalam teori ketergantungan pada dasarnya memiliki kemampuan untuk

terlibat dalam semua aspek interpersonal termasuk dalam konflik. Dengan demikian,

penjelasan Rusbult dan koleganya (2001) tampaknya membenarkan semua asumsi

dasar yang menyusun Teori Ketergantungan.

Selain Teori Ketergantungan yang dijelaskan di atas, Teori Hubungan

Dialektik (Dialectics Theory of Relationship) mungkin dapat menjadi batu pijakan

selanjutnya untuk membahas permasalahan tentang konflik kelompok dan konflik

antarkelompok. Teori Hubungan Dialektik dikembangkan oleh tiga serangkai Leslie

Baxter, Barbara Montgomery, dan Dawn Braithwaite. Secara umum teori teori ini

terfokus pada bentuk-bentuk manajemen kerenggangan yang biasanya muncul pada

hubungan antarmanusia sehari-hari. Dengan demikian teori ini berasumsi bahwa

hubungan sebenarnya tidak bergerak dalam garis lurus semata namun bergerak

berubah-ubah sesuai dengan kondisi yang ada, sehingga membuat munculnya

bentuk-bentuk kontradiksi yang mendasar pada bentuk hubungan tertentu,

komunikasi berusaha mengurangi bentuk kontradiksi tersebut (Norwood dan Duck,

2009: 318; Littlejohn dan Foss, 2005).

Jika Teori Hubungan Dialektis dilihat melalui pandangan awam, maka

teori tersebut tampak sederhana. Teori Hubungan Dialektis sebenarnya berusaha

memanfaatkan semaksimal mungkin peranan komunikasi dalam hubungan

antarmanusia untuk mengurangi kerenggangan dan ketengan yang muncul karena

perbedaan tujuan dan pandangan, seperti yang telah dipaparkan Baxter dan

Montgomery (1996). Dari sini tampak bahwa teori yang dikembangkan Baxter dan

koleganya tersebut berusaha mencegah konflik berkembang lebih luas dengan

menggunakan komunikasi yang baik. Meskipun dalam teorinya Baxter tidak

Page 45: · PDF fileperpustakaan.uns.ac.id   Disusun Untuk Memenuhi Tugas Akhir Sebagai S PROGRAM commit to user 1 Komunikasi dan Konflik Sosial

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

45

menyebutkan konflik, namun ia sendiri tidak memungkiri bahwa setiap hubungan

antarmanusia yang bersifat dinamis berkembang selalu diiringi dengan bentuk-

bentuk ketegangan. Sedangkan ketegangan dalam hubungan antarmanusia biasanya

menjadi salah satu faktor pencetus konflik yang paling umum. Dengan demikian,

Teori Hubungan Dialektik dapat diklasifikasikan sebagai teori yang, secara tidak

langsung, membahas konflik dan penyelesaian konflik antarmanusia.

Ada suatu teori yang menjelaskan hubungan dan perilaku suatu kelompok

yang setidaknya bisa digunakan untuk memehami karakteristik kelompok dalam

suatu konflik, dikenal dengan nama Teori Identitas Sosial (Social Identity Theory—

SIT). SIT pertama kali dikembangkan oleh H. Tjafel dan J.C. Turner. Secara umum

SIT berasumsi bahwa proses ketegoriasasi tidak bisa diambil alih secara semena-

mena, tapi harus digunakan sebagai referensi diri, meningkatan persamaan dengan

semua anggota kelompok serta menguatkan perbedaan antara diri sendiri dengan

semua anggota di luar kelompok demi meningkatkan perberdaan (Gallois, et al.

2005: 233). Secara mudah SIT sebenarnya merupakan teori organisasional, dari

disiplin ilmu psikologi sosial, yang membahas dan menjelaskan bahwa semua

anggota dalam suatu organisasi selalu mencari persamaan diri sedangkan mereka

selalu mencari perbedaan dengan anggota di luar kelompok mereka.

Pada dasarnya, asusmsi yang dikembangkan oleh SIT menujukkan bahwa

ketika terjadi bentuk-bentuk konflik antarkelompok, kebanyakan anggota suatu

kelompok terikat oleh rasa solidaritas untuk maju dan melawan kelompok lain yang

dianggap berbeda dan berseberangan dengan tujuan kelompok mereka. Selain itu SIT

memberikan penguatan pada pandangan tentang persamaan identitas diri semua

anggota dalam suatu kelompok sosial, namun membedakan secara jelas dengan

identitas diri yang berada dalam kelompok lain. Dengan demikian SIT tampaknya

Page 46: · PDF fileperpustakaan.uns.ac.id   Disusun Untuk Memenuhi Tugas Akhir Sebagai S PROGRAM commit to user 1 Komunikasi dan Konflik Sosial

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

46

menguatkan perbedaan yang biasanya menjadi penyebab utama konflik

antarkelompok.

Selain semua teori di atas, ada teori yang dapat digunakan untuk

membahas konflik, yang disumbangkan oleh disiplin ilmu sosiologi, yaitu Teori

Ketegangan (Strain Theory). Teori Ketegangan, sebenarnya merupakan salah satu

bentuk teori struktural yang disusun dari beberapa teori khusus namun bergerak

secara sinergis. Teori tersebut tersusun oleh Teori Anomi (Anomie Theory) yang

dikembangkan Robert K. Merton; Teori Subkultur Penyimpangan (Subculture

Delinquent Theory) dari Albert K. Cohen; dan Teori Kesempatan (Opportunity

Theory) yang diajukan oleh Richard A. Cloward dan Lloyd E. Ohlin (dalam

Bartollas, 2007: 429). Meskipun tersusun dari tiga teori besar, Teori Ketegangan

pada dasarnya tidak berbeda dengan teori-teori yang lain. Teori Ketegangan (Strain

Theory) berasumsi bahwa ketegangan sosial muncul karena desakan dan tekanan

lingkungan sekitar terhadap diri pihak tertentu sehingga memunculkan beragam

bentuk penyimpangan demi mendapatkan tujuan tertentu atau sesuatu yang dianggap

lebih baik. Merton (1957), Cohen (1955), Cloward dan Ohlin (1960), secara terpisah

menemukan beragam bentuk tekanan pada satu kelas sosial yang dengan penyebab

yang berbeda-beda namun dengan hasil akhir yang sama, yaitu ketegangan sosial

yang dapat menyebabkan konflik dan penyimpangan perilaku individu (dalam

Bartollas, 2007: 429).

Teori Ketegangan pada awalnya dikembangkan untuk memahami bentuk-

bentuk perilaku menyimpang dalam masyarakat akibat bentuk-bentuk tekanan

lingkungan. Namun demikian, teori ini memiliki lingkup yang relatif luas, karena

ketegangan yang menjadi premis dasar dalam teori tersebut tampaknya berkaitan

dengan faktor-faktor perilaku menyimpang. Hal itu membuat teori tersebut

Page 47: · PDF fileperpustakaan.uns.ac.id   Disusun Untuk Memenuhi Tugas Akhir Sebagai S PROGRAM commit to user 1 Komunikasi dan Konflik Sosial

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

47

tampaknya masih relevan untuk menjelaskan dan memberikan pemahaman tentang

konflik secara struktural. Dengan demikian, Teori Ketegangan dapat bergerak secara

sinergis dengan teori-teori lain atau setidaknya saling mendukung.

Pada akhirnya semua penjelasan dalam tinjauan pustaka ini memberikan

suatu pemahaman bahwa konflik hanyalah suatu proses sosial yang membawa

individu atau masyarakat menuju bentuk-bentuk perubahan dan transformasi.

Konflik bukanlah sesuatu yang berlangsung selamanya tanpa penyelesaian, namun

merupakan sebuah proses yang bisa diselesaikan, meskipun pada hakekatnya konflik

selalu melekat dalam diri individu atau masyarakat. Komunikasi tampaknya menjadi

bagian yang menghubungkan pihak-pihak tertentu dalam konflik sekaligus

memungkinkan semua pihak dapat saling memahami, bertukar pikiran, dan saling

memberikan pandangan masing-masing demi mencapai kesepakatan dan pemahaman

bersama. Sederhananya, konflik tidak dapat dipisahkan dari komunikasi, karena

konflik merupakan bentuk interaksi sosial yang menuntut adanya penyampaian ide,

gagasan, dan pandangan semua pihak yang terlibat. Sehingga konflik dan

penyelesaiannya tidak bisa dipisahkan dari peranan komunikasi.

2. Kelompok Masyarakat, Komunikasi, dan Konflik

Konsep tentang forum secara sederhana mungkin masih berhubungan

dengan konsep tentang kelompok sosial dalam masyarakat. Keduanya memiliki

persamaan dan bentuk aktivitas yang hampir sama. Forum dan kelompok sosial

dibentuk oleh warga dan sekelompok masyarakat yang terikat oleh aspek komunikasi

yang dekat dan rapat. Hal itu membuat forum dan kelompok sosial memiliki bentuk

komunikasi yang hampir mirip atau mungkin sama. Karena itu fokus tentang forum

Page 48: · PDF fileperpustakaan.uns.ac.id   Disusun Untuk Memenuhi Tugas Akhir Sebagai S PROGRAM commit to user 1 Komunikasi dan Konflik Sosial

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

48

komunikasi dalam masyarakat tampaknya harus melibatkan kajian tentang kelompok

sosial dan aspek komunikasi kelompok yang ada di dalamnya.

Penjelasan paling awal tentang konsep kelompok sosial diberikan oleh J.

Kevin Barge. Ia menjelaskan bahwa kelompok sosial diikat oleh aspek komunikasi

antar anggota untuk menopang efektivitas hubungan dan kolaborasi antara anggota

(Barge, 2009: 340). Paparan tersebut menujukkan bahwa komunikasi dalam

kelompok dan forum menjadi bagian paling penting untuk menjaga keterikatan

antaranggota. Dengan begitu, komunikasi yang baik antara anggota kelompok sosial

bisa membuat kelompok sosial atau forum komunikasi menjadi semakin baik dan

solid. Lebih lanjut Barge menjelaskan kelompok seharusnya bisa menciptakan

pemahaman bersama dan persetujuan tentang tujuan kelompok dan semua hal yang

akan dilakukan (Barge, 2009: 342). Bagi Barge, penciptaan keputusan bersama

hanya bisa terjadi dan dilakukan apabila ada komunikasi yang baik dan hubungan

yang baik antar anggota kelompok tersebut.

Komunikasi antara anggota dalam kelompok dan forum masyarakat

rupanya tidak hanya berfungsi sebagai sarana pengikat sekaligus pembuatan

keputusan bersama, tapi juga menujukkan tingkat kemajuan dan soliditas kelompok

masyarakat tersebut. Kenyaataan tersebut didukung oleh pernyataan Joann Keyton

dan Virgina Stallworth bahwa membuat komunikasi yang efektif di antara semua

anggota kelompok dapat menghasilkan suatu kesuksesan semua komponen

kelompok tersebut (Keyton dan Stallworth, 2003: 240). Bagi Keyton dan Stallwoth

komunikasi antara anggota kelompok merupakan syarat bagi suatu kelompok untuk

mencapai kesusksesan. Hal itu menunjukkan bahwa komunikasi dalam kelompok

menjadi sesuatu yang penting untuk mencapai tujuan kelompok tersebut.

Page 49: · PDF fileperpustakaan.uns.ac.id   Disusun Untuk Memenuhi Tugas Akhir Sebagai S PROGRAM commit to user 1 Komunikasi dan Konflik Sosial

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

49

Sementara itu pandangan tentang komunikasi kelompok dalam suatu

forum sosial diberikan oleh M. Afzalur Rahim. Rahim menjelaskan bahwa

komunikasi dalam kelompok, atau tepatnya komunikasi antarkelompok, biasanya

dihambat oleh prosedur dan aturan yang berlaku (Rahim, 2001: 166). Pernyataan

Rahim menunjukkan bahwa komunikasi antarkelompok sebenarnya memegang

peranan penting bagi kelompok tersebut untuk mencapai tujuannya, namun

keberadaan aturan dan prosedur di luar kelompok tersebut biasanya menghambat

proses komunikasi antarkelompok tersebut. Dengan begitu, kemungkinan besar,

konflik antarkelompok disebabkan oleh terhambatnya proses komunikasi

antarkelompok tersebut.

Di sisi lain, Buzzanell dan Dohrman mengatakan komunikasi pada

dasarnya bisa menguatkan hubungan sekaligus membangun hubungan dan masa

depan organisasi, serta mengembangkan jaringan dan wilayah kerja (Buzzanell dan

Dohrman, 2009: 338). Perhatikan penjelasan dua pakar tersebut yang mengatakan

komunikasi bisa menguatkan hubungan dan masa depan organisasi. Hal itu

menujukkan bahwa komunikasi memegang peranan besar bagi semua bentuk

hubungan dalam organisasi atau kelompok masyarakat, atau mungkin juga forum

masyarakat serta menjalin hubungan di luar organisasi.

Pandangan yang diberikan Buzzanell dan Dohrman (2009) pada dasarnya

mendukung penjelasan tentang latarbelakang kelompok sosial dan komunikasi yang

ada di dalamnya. Rahim, sebagai pakar komunikasi organisasi, menjelaskan bahwa

semua bentuk kelompok sosial, organisasi, atau bahkan forum masyarakat memiliki

kriteria yang biasanya berhubungan dengan tujuan, interaksi, dan ketergantungan

(Rahim, 2001: 143). Bentuk-bentuk interaksi dan ketergantungan dalam suatu

kelompok sosial hanya bisa diberikan dan dihasilkan oleh keberadaan aspek

Page 50: · PDF fileperpustakaan.uns.ac.id   Disusun Untuk Memenuhi Tugas Akhir Sebagai S PROGRAM commit to user 1 Komunikasi dan Konflik Sosial

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

50

komunikasi di dalamnya. Buzzanell dan Dorhman (2009) pada dasarnya hanya

menjelaskan sesuatu yang berkaitan dengan bentuk ketergantungan dan interaksi

dalam organisasi seperti yang telah dijelaskan Rahim.

Hal itu membuat keberadaaan forum atau kelompok masyarakat secara

langsung berhubungan dengan bentuk komunikasi yang berada di dalam kelompok

tersebut hingga komunikasi ke luar kelompok tersebut. Ikatan komunikasi tersebut

secara langsung mungkin bisa mengikat semua anggota kelompok atau forum

tersebut untuk bersama-sama bergerak dan mewujudkan tujuan mereka. Dengan

demikian, hambatan terhadap proses komunikasi intrakelompok dan proses

komunikasi antarkelompok bisa menghasilkan bentuk-bentuk tekanan dan gesekan

hingga mungkin menghasilkan bentuk-bentuk perselisihan tertentu. Gesekan dan

tekanan dan beragam bentuk perselisihan antarkelompok pada dasarnya masih

berkaitan dengan komunikasi kelompok tersebut dengan kelompok yang lain secara

interpersonal.

Karena komunikasi kelompok masih berhubungan erat dengan

komunikasi interpersonal, maka komunikasi kelompok dalam konflik antarkelompok

juga berhubungan dengan konflik dan komunikasi interpersonal. Hal itu membuat

analisis dan kajian komunikasi interpersonal menjadi penting dalam pembahasan

tentang konflik. Helen Jessup dan Steve Rogerson berpendapat bahwa komunikasi

interpersonal merupakan media primer dalam hubungan hampir semua aktivitas

sosial, karena itu komunikasi interpersonal memberikan dorongan kepada semua

akstivitas sosial tersebut menuju sesuatu yang lebih penting, yaitu menghubungkan

personal dengan lingkungan sosialnya (Jessup dan Rogerson, 2004: 74). Paparan

tersebut menggambarkan betapa pentingnya aspek komunikasi interpersonal sebagai

bentuk komunikasi primer yang dapat membuat individu berinteraksi dengan

Page 51: · PDF fileperpustakaan.uns.ac.id   Disusun Untuk Memenuhi Tugas Akhir Sebagai S PROGRAM commit to user 1 Komunikasi dan Konflik Sosial

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

51

lingkungan sosialnya secara langsung. Keterangan Jessup dan Rogerson (2004)

tersebut pada dasarnya mendukung penjelasan yang diberikan oleh Adler dan

Rodman (2006).

Secara garis besar, Adler dan Rodman berpandangan bahwa komunikasi

interpersonal bisa melibatkan banyak nilai-nilai sosial yang berhubungan dengan

kualitas komunikasi interpersonal tersebut, atau lebih dikenal dengan komunikasi

interpersonal kualitatif (Adler dan Rodman, 2006: 189). Lebih lanjut kedua ilmuwan

tersebut menyatakan bahwa komunikasi interpersonal kualitatif bersifat labil karena

perubahan bentuk dan hubungan sosial yang terjadi secara konstan (Adler dan

Rodman, 2006: 197). Keterangan tersebut pada dasarnya merupakan penegasan

bahwa komunikasi interpersonal memang menghubungkan individu dengan

lingkungan sosial yang dinamis, hingga mampu memberikan pengaruh terhadap

bentuk dan kualitas komunikasi dan hubungan interpersonal pihak-pihak tertentu.

Dengan demikian, dapat dijelaskan bahwa konflik, dan mungkin juga konflik antar

kelompok, masih berhubungan dengan bentuk-bentuk dinamika hubungan antara

pihak-pihak tertentu.

Kondisi tersebut jelas menunjukkan pembenaran terhadap Teori

Hubungan Dialektik (Dialectics Theory of Relationship) yang dikembangkan oleh

Baxter dan koleganya yang menerangkan bahwa hubungan antara pihak-pihak

tertentu tidak selamanya berjalan lurus, tapi melewati beragam dinamika dan pasang

surut (Norwood dan Duck, 2009; Littlejohn dan Foss, 2007). Pasang surut dan

dinamika tersebut dapat diartikan sebagai konflik yang melanda suatu hubungan

sosial. Dengan begitu, konflik tersebut menjadi suatu perwujudan dari dinamika

sosial yang melingkupi suatu hubungan antarkelompok sosial. Selain itu kondisi

Page 52: · PDF fileperpustakaan.uns.ac.id   Disusun Untuk Memenuhi Tugas Akhir Sebagai S PROGRAM commit to user 1 Komunikasi dan Konflik Sosial

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

52

tersebut menjadi suatu bukti jelas bahwa komunikasi interpersonal menjadi dasar

semua bentuk hubungan konflik yang dikenal secara umum.

Dengan demikian, secara umum suatu kelompok sosial atau forum

masyarakat mengusung fungsi-fungsi tertentu, yaitu fungsi untuk memberikan

kekuatan, penyelesaian masalah, dan fungsi memberikan kenyamanan. Fungsi-fungsi

tersebut memang sebenarnya tidak terjadi begitu saja dan muncul secara tiba-tiba,

namun ada semacam sesuatu yang berperan melahirkannya. Beberapa pakar, seperti

Barge (2009), Keyton dan Stallworth (2003), secara tidak langsung menjelaskan

bahwa komunikasi berada di belakang semua bentuk kelompok sosial, dan forum

masyarakat. Hal itu juga membuktikan bahwa komunikasi berperan penting menjaga

dan merawat semua bentuk keterikatan yang ada di semua kelompok sosial atau

forum masyarakat. Fungsi-fungsi pada kelompok sosial atau forum masyarakat pada

akhirnya memberikan petunjuk awal tentang komunikasi kelompok dan penyelesaian

konflik.

a. Komunikasi dan Konflik Antarkelompok

Kebanyakan ilmuwan komunikasi atau setidaknya para sarjana yang

pernah mempelajari ilmu komunikasi pasti sependapat bahwa proses penyampaian

pesan dari komunikator ke komunikan merupakan inti dari proses komunikasi.

Proses semacam itu, berlaku pada semua ranah komunikasi mulai dari komunikasi

interpersonal, komunikasi kelompok, hingga komunikasi massa. Namun demikian,

ada perbedaan mendasar tentang tujuan dan sifat komunikasi di tiap ranah tersebut.

sebagai contoh, komunikasi kelompok merupakan komunikasi yang melibatkan

bentuk-bentuk pengambilan keputusan dan semua bentuk musyawarah. Selain itu

beberapa bagian dari komunikasi kelompok masih melibatkan bentuk-bentuk

Page 53: · PDF fileperpustakaan.uns.ac.id   Disusun Untuk Memenuhi Tugas Akhir Sebagai S PROGRAM commit to user 1 Komunikasi dan Konflik Sosial

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

53

komunikasi interpersonal (Littlejohn dan Foss, 2005: 11). Karena itu konsep

komunikasi kelompok rupanya berimplikasi terhadap ketergantungan antarindividu

yang menyusun kelompok tersebut.

Seperti yang dijelaskan oleh Keyton dan Stallworth (2003) bahwa

komunikasi menjadi faktor pengikat paling penting dalam suatu kelompok. Hal itu

menunjukkan bahwa komunikasi tidak hanya bertugas sebagai faktor pengikat

semata, tapi juga berperan penting dalam interaksi sosial dalam konflik

antarkelompok. Kenyataan tersebut didukung pandangan Ronald J. Fisher. Ia

berpandangan bahwa konflik yang terjadi pada suatu kelompok tertentu tidak hanya

bisa disebabkan oleh komunikasi dan interaksi yang terkait dengan hubungan

antarkelompok, tapi juga berdasarkan perbedaan yang terjadi dalam hubungannya

dengan kelompok lain, terutama berhubungan dengan kekuatan sosial hingga bentuk-

bentuk ketidakcocokan (Fisher, 2006: 177). Secara sederhana, meskipun Fisher tidak

menyebutkan bahwa komunikasi menjadi faktor utama penyebab ketegangan antar

kelompok, namun ia sendiri tidak menampik bahwa komunikasi tetap memegang

peranan dalam konflik kelompok.

Karena komunikasi kelompok yang secara umum berkaitan dengan

pembuatan keputusan bersama, maka ada satu sisi dari komunikasi kelompok yang

berhubungan dengan interaksi dengan kelompok lain, seperti yang dijelaskan oleh

Fisher tentang komunikasi kelompok dalam konflik. Pada saat itu, komunikasi

kelompok berperan mengubah dan menggerakkan kelompok layaknya satu individu,

karena komunikasi kelompok berhubungan dengan bentuk-bentuk pengambilan

keputusan yang menjadi tujuan utama kelompok tersebut. Kenyataan tersebut seakan

menggambarkan bahwa komunikasi kelompok dalam kaitannya sebagai interaksi

antarkelompok, bisa mengubah perilaku dan sifat-sifat suatu kelompok masyarakat

Page 54: · PDF fileperpustakaan.uns.ac.id   Disusun Untuk Memenuhi Tugas Akhir Sebagai S PROGRAM commit to user 1 Komunikasi dan Konflik Sosial

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

54

menjadi sifat-sifat bagaikan satu individu tunggal. Charles S. Berger menyatakan

bahwa sebenarnya komunikasi dan beragam tujuannya berada dalam wilayah

interaksi sosial yang terbentang dalam rutinitas yang unik, yang semakin besar

sepanjang waktu. Sebagai bentuk interaksi sosial maka semua pihak yang terlibat di

dalamnya dapat merasakan hubungan serta pengalaman yang positif dan negatif

(Berger, 2003: 257).

Bentuk interaksi sosial yang dijelaskan Berger pada dasarnya dapat

digunakan untuk menjelaskan bentuk komunikasi antarkelompok termasuk bentuk

interaksi sosial yang terjadi di dalamnya. Karena Berger memfokuskan pokok

bahasannya pada sisi interaksi sosial, maka komunikasi yang menjadi perhatian

Berger tentu terpusat pada aspek ‗bagaimana komunikasi berguna sebagai media

interaksi sosial‘. hal itu juga membawa implikasi bahwa komunikasi dalam bentuk

komunikasi kelompok dalam proses antarkelompok berfungsi juga sebagai sarana

interaksi sosial seperti yang dijelaskan Berger. Perhatikan keterangan Berger bahwa

komunikasi dalam interaksi sosial berfungsi membentuk pengalaman positif dan

negatif. Secara sederhana paparan tentang pengalaman positif dan negatif, yang

diberikan Berger, sedikit banyak pasti berkaitan dengan aspek konflik yang terjadi

dalam hubungan antarkelompok.

Sementara itu pandangan tentang komunikasi kelompok dengan interaksi

sosial dan komunikasi antarkelompok diberikan oleh Cindy Gallois, Susan McKay,

dan Jeffery Pittam. Ketiga ilmuwan tersebut memaparkan bahwa komunikasi

menjadi pusat pemaknaan dalam suatu organisasi yang dapat membuat semua

anggota suatu organisasi diatur dan diarahkan. Karena itu komunikasi menjadi salah

satu aspek penting dalam organisasi (Gallois et al, 2005: 240). Pernyataan yang

diberikan Gallois dan koleganya menunjukkan bahwa komunikasi dalam suatu

Page 55: · PDF fileperpustakaan.uns.ac.id   Disusun Untuk Memenuhi Tugas Akhir Sebagai S PROGRAM commit to user 1 Komunikasi dan Konflik Sosial

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

55

kelompok dan hubungannya dengan kelompok yang lain merupakan suatu bentuk

interaksi sosial yang penting bagi semua anggota yang tergabung dalam kelompok

tersebut. Lebih lanjut Gallois menjelaskan bahwa komunikasi antarkelompok

kemungkinan besar pasti berkaitan dengan bentuk komunikasi antarbudaya, karena

tiap kelompok memiliki bentuk budaya yang berbeda (Gallois et al, 2005: 239-240).

Dengan demikian, pendapat yang diberikan Gallois dan koleganya lebih banyak

memandang bahwa bentuk komunikasi kelompok, terutama dalam aspek komunikasi

antarkelompok, lebih banyak berhubungan dengan interaksi antarbudaya.

Beragam pandangan yang diberikan oleh para ilmuwan komunikasi

memberikan suatu indikasi bahwa komunikasi memegang peran penting dalam

menghubungkan dan menjadi sarana utama dalam proses interaksi sosial. Selain itu

pengaruh komunikasi yang demikian kuat dalam semua aspek interaksi sosial

membuat hubungan antarkelompok tidak hanya sebatas interaksi sederhana, tapi juga

menjadi bentuk interaksi antarbudaya yang berbeda. Kenyataan seperti itu

menujukkan bahwa komunikasi tampaknya menjadi jiwa dalam semua bentuk

interaksi sosial yang dilakukan suatu kelompok tertentu dengan kelompok lain.

Konsep dan implikasi yang berada di belakang komunikasi tampaknya

sedikit menjelaskan bagaimana peranan komunikasi kelompok dalam suatu

kelompok tertentu. Peranan komunikasi kelompok dalam suatu kelompok sosial atau

mungkin juga forum masyarakat mungkin masih banyak berkaitan dengan

pandangan yang diberikan Littlejohn dan Foss (2005, 11), bahwa komunikasi

kelompok berkaitan dengan pengambilan keputusan. Dengan demikian, komunikasi

yang berlaku pada suatu kelompok tertentu pasti lebih banyak berhubungan dengan

bagaimana keputusan dibuat dan ditentukan.

Page 56: · PDF fileperpustakaan.uns.ac.id   Disusun Untuk Memenuhi Tugas Akhir Sebagai S PROGRAM commit to user 1 Komunikasi dan Konflik Sosial

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

56

Pembuatan keputusan sebenarnya merupakan istilah yang lebih banyak

menguatkan proses kesimpulan dari semua pilihan yang ada. Hal itu membuat

pembuatan keputusan menjadi salah satu bagian dari proses diskusi dan musyawarah

(Klumpp, 2009: 202). Pendapat yang diberikan Klumpp menujukkan bahwa

pembuatan keputusan berhubungan dengan kelompok dan proses komunikasi yang

terfokus pada satu tujuan tertentu. Karena itu pandangan yang diberikan Klumpp

tentang pembuatan keputusan tampaknya menguatkan paparan dari Hardin (1995:

34-35) tentang komunikasi kelompok untuk menyelesaikan permasalahan yang

menghalangi pencapaian tujuan.

Karena proses pembuatan keputusan berada dalam lingkup

intrakelompok, maka pembuatan keputusan tampaknya masih dipengaruhi peranan

dan aktivitas anggota kelompot tersebut. Hal itu menujukkan ada beberapa hal yang

mempengaruhi proses pembuatan keputusan dalam suatu kelompok. Scott R.Tindale,

Helen M. Meisenhelder, Amanda A. Dykema-Engblade, dan Michael A. Hogg,

menjelaskan peranan dan pendapat pribadi masing-masing anggota pada dasarnya

mempengaruhi pembuatan keputusan secara langsung hingga bentuk-bentuk yang

terjadi setelah keputusan tersebut diambil (Tindale et al, 2001: 6). Bagi Tindale dan

koleganya, pembuatan keputusan yang terjadi di dalam suatu kelompok rupanya

dipengaruhi oleh tindakan dan pendapat yang diberikan oleh semua individu di

dalam kelompok tersebut. Hal itu secara tidak langsung menuntun pada sisi

psikologis individu.

Kondisi psikologis yang sama rupanya juga mempengaruhi bagaimana

semua anggota dalam kelompok berkomunikasi untuk membuat suatu keputusan

bersama. Hal itu secara langsung berhubungan dengan kenyataan bahwa sisi

psikologis mempengaruhi bentuk-bentuk komunikasi yang dilakukan individu,

Page 57: · PDF fileperpustakaan.uns.ac.id   Disusun Untuk Memenuhi Tugas Akhir Sebagai S PROGRAM commit to user 1 Komunikasi dan Konflik Sosial

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

57

termasuk komunikasi kelompok untuk pembuatan keputusan. John O. Greene dan

Melanie Morgan menjelaskan bahwa komunikasi melibatkan bentuk-bentuk kognisi

yang pada dasarnya menjadi landasan utama dari proses komunikasi tersebut. Karena

itu kognisi dan pengolahan informasi dalam proses komunikasi berfungsi layaknya

payung yang menunjukkan bahwa indivdu berada dalam keadaan sadar atau tidak

sadar (Greene dan Morgan, 2009: 110).

Berdasarkan penjelasan Greene dan Morgan (2009) dapat dipahami

bahwa pembuatan keputusan dipengaruhi oleh beragam pendapat semua individu

yang ada dalam kelompok tersebut. Sedangkan semua bentuk komunikasi yang

dilakukan individu dalam suatu kelompok tergantung pada sisi psikologis dan

kognitif individu. Hal itu secara tidak langsung menujukkan bahwa sisi psikologis

individu berperan terhadap pembuatan keputusan bersama pada suatu kelompok.

Dengan demikian dapat diketahui pembuatan keputusan yang baik lebih sering

dihasilkan oleh suatu kelompok yang baik pula, begitu juga sebaliknya. Paparan

tersebut menujukkan bahwa pembuatan keputusan dalam suatu kelompok setidaknya

dipengaruhi oleh dua hal penting, yaitu pendapat masing-masing individu sebagai

anggota kelompok dan sisi psikologis tiap-tiap individu tersebut.

Faktor psikologis yang mempengaruhi setiap kelompok dalam aspek

komunikasi kelompok juga memberikan dorongan besar pada bentuk konflik

antarkelompok yang terjadi. Secara sederhana, komunikasi kelompok bisa memicu

benturan-benturan antarkelompok apabila keputusan yang dihasilkan mendorong

bentuk-bentuk tekanan terhadap kelompok lain. Penjelasan tentang hubungan sisi

psikologis dengan bentuk-bentuk komunikasi antarkelompok terhadap konflik

diberikan oleh Penelope Oakes. Ia menjelaskan konflik antarkelompok biasanya

melibatkan latarbelakang pandangan dan dasar psikologi sosial tentang kekerasan

Page 58: · PDF fileperpustakaan.uns.ac.id   Disusun Untuk Memenuhi Tugas Akhir Sebagai S PROGRAM commit to user 1 Komunikasi dan Konflik Sosial

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

58

sosial yang biasanya memisahkan konflik sosial manusia dari rasionalitas manusia.

(Oakes, 2001: 16). Keterangan Oakes menunjukkan bahwa secara mendasar konflik

antarkelompok bisa dijelaskan melalui pandangan psikologi sosial tentang bentuk

kekerasan sosial. Hal itu mendukung keterangan Greene dan Morgan (2009) tentang

aspek kognitif dibelakang semua proses komunikasi.

Secara sederhana Oakes berusaha menjelasakan bahwa tujuan yang

dihasilkan dari komunikasi kelompok bisa menghasilkan konflik apabila ada aspek

kognitif dan psikologis yang mendukung kekerasan sosial, yang dilakukan oleh satu

kelompok terhadap kelompok lain. Dengan demikian muncul suatu hubungan yang

jelas antara aspek psikologis dan kognitif dengan komunikasi kelompok dan konflik

antarkelompok. Selain itu paparan yang diberikan Oakes tampaknya menujukkan

peranan komunikasi dalam konflik. Di lain pihak penjelasan tentang peranan

komunikasi dalam suatu konflik ditunjukkan beberapa pakar komunikasi yang

menaruh perhatian besar pada komunikasi, interaksi sosial dan konflik. Sebagai

pakar komunikasi, Dennis S. Gouran berpandangan bahwa komunikasi dan

kemampuan berkomunikasi menjadi bagian yang paling penting. Karena itu

Hollomon dan Hendrick (1972) mengatakan bahwa keputusan yang baik dihasilkan

oleh musyawarah yang baik pula (dalam Gouran, 2003: 836).

Kenyataan seperti itu membuat bentuk konflik antarkelompok secara

tidak langsung mengacu pada upaya dan bentuk perspektif dialogis yang

dikembangkan oleh Robert M. Krauss dan Ezequel Morsella. Krauss dan Morsella

menjelaskan komunikasi sebagai bentuk pencapaian partisipan, yang berarti

komunikasi tergantung pada situasi yang melingkupinya (Krauss dan Morsella, 2009:

153). Jika pernyataan Krauss dan Morsella dihubungkan dengan peranan komunikasi

kelompok dalam konflik seperti yang dijelaskan Gouran (2003), maka dapat

Page 59: · PDF fileperpustakaan.uns.ac.id   Disusun Untuk Memenuhi Tugas Akhir Sebagai S PROGRAM commit to user 1 Komunikasi dan Konflik Sosial

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

59

diketahui bahwa konflik antarkelompok berkaitan dengan komunikasi interpersonal

yang tampaknya berkaitan dengan semua keputusan yang diambil. Dengan begitu

konflik antarkelompok secara sederhana juga menunjukkan sifat-sifat komunikasi

interpersonal hingga membentuk perspektif dialogis antara dua pihak yang bertikai.

Karena komunikasi interpersonal memiliki hubungan yang dekat dengan

bentuk konflik, termasuk konflik antarkelompok, yang notabene berkaitan dengan

aspek komunikasi kelompok, maka komunikasi interpersonal dapat digunakan untuk

menyelesaikan konflik antarkelompok. Ronald J. Fisher tampaknya menjadi salah

satu pakar konflik yang menyadari hal itu. Ia berpandangan bahwa resolusi konflik

dalam konflik antarkelompok melibatkan transformasi dari semua hubungan dan

permasalahan yang dikembangkan oleh pihak-pihak yang akan mengoreksinya dalam

waktu lama. Hal itu membutuhkan derajat rekonsiliasi yang kelak akan mendukung

perdamaian di masa datang (Fisher, 2006: 189). Pandangan Fisher rupanya lebih

banyak menujukkan bahwa penyelesaian konflik antarkelompok seharusnya

dilakukan secara sadar oleh masing-masing kelompok yang bertikai demi menjaga

perdamaian di masa depan. Tanpa keinginan baik untuk menyelesaikan konflik dan

memulai rekonsiliasi maka tidak akan dicapai bentuk penyelesaian yang memadai.

Lebih lanjut Fisher menjelaskan proses rekonsiliasi dan penyelesaian

konflik antarkelompok membutuhkan fasilitator yang memahami bentuk hubungan

yang bisa dibangun di antara semua kelompok yang saling berseteru (Fisher, 2006:

193). Dengan demikian Fisher seakan menjelaskan konflik antar kelompok dapat

diselesaikan melalui bentuk-bentuk mediasi yang mampu menghubungan dan

meminimalisasi perbedaan yang terjadi di antara dua kelompok yang berbeda

tersebut. Penjelasan Fisher tersebut secara sederhana menujukkan bahwa ia tidak

menampik bahwa komunikasi interpersonal dibutuhkan dalam semua aspek konflik,

Page 60: · PDF fileperpustakaan.uns.ac.id   Disusun Untuk Memenuhi Tugas Akhir Sebagai S PROGRAM commit to user 1 Komunikasi dan Konflik Sosial

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

60

termasuk dalam penyelesaiannya. Karena itu ia menyatakan bahwa seharusnya ada

fasilitator yang memahami permasalahan yang menjadi sumber konflik secara

interpersonal agar dapat diterapkan dengan pasti dalam penyelesaian konflik.

Hal itu membuat pandangan Fisher (2006) dikuatkan oleh Harold

Abramson dalam sebuah jurnal berjudul ―Selecting Mediators and Representing

Clients in Cross-Cultural Dispute‖. Ia menjelaskan bahwa mediasi bisa membuat

semua pihak yang terkait membentuk suatu forum yang menghalangi semua pihak

untuk tidak mencampuri semua urusan suatu pihak yang telah diupayakan

sebelumnya (Abramson, 2006: 254). Sederhananya, Abramson hendak menjelaskan

bahwa proses mediasi membuat semua pihak, yang terkait dalan suatu konflik, lebih

bersifat solid untuk mengupayakan penyelesaian, sehingga bisa membendung semua

aspek negatif yang berupaya mencampuri proses mediasi tersebut. Di samping itu,

secara tidak langsung Fisher (2006) dan Abramson (2006) berpendapat bahwa

komunikasi interpersonal memegang peranan penting dalam semua bentuk proses

mediasi dan penyelesaian konflik, termasuk konflik antarkelompok. Sejauh ini

setidaknya ada sekitar tujuh bentuk penyelesaian konflik dan resolusi konflik yang

bisa digunakan untuk menyelesaikan konflik di semua ranah sosial.

b. Komunikasi dalam Beragam Upaya Penghentian Konflik

Susane Buckley-Ziestel tampaknya menjadi salah satu sarjana yang

mengategorikan dan membedakan konsep penyelesaian konflik (conflict settlement)

dengan resolusi konflik (conflict resolution), ketika ia mempelajari dan mengamati

konflik-konflik yang terjadi di Afrika. Buckley-Ziestel (2008: 15-17) menjelaskan

‗penyelesaian konflik‘ sebagai bentuk pengakhiran konflik yang mengacu pada

pembuatan situasi yang saling menguntungkan (win-win situation). Sedangkan

Page 61: · PDF fileperpustakaan.uns.ac.id   Disusun Untuk Memenuhi Tugas Akhir Sebagai S PROGRAM commit to user 1 Komunikasi dan Konflik Sosial

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

61

‗resolusi konflik‘ lebih bertumpu pada orientasi proses yang yang berada di bawah

penyebab konflik tersebut. Bertumpu pada penjelasan Buckley-Ziestel, dapat

diketahui bahwa pada dasarnya ‗penyelesaian konflik‘ hanya berupaya mencapai

jalan keluar yang saling menguntungkan pihak-pihak yang berseteru. Sementara itu,

‗resolusi konflik‘ merupakan upaya mencari jalan keluar berdasarkan pemahaman

terhadap sumber masalah yang menjadi penyebab konflik. Perbedaan konseptual itu

membawa bentuk dan implikasi berbeda dalam aplikasinya.

Konsep tentang ‗penyelesaian konflik‘ dan ‗resolusi konflik‘ ujung-

ujungnya memberikan beragam tipe penyelesaian dan mekanisme untuk mengakhiri

konflik. Meskipun ‗penyelesaian konflik‘ dan ‗resolusi konflik‘ memiliki perbedaan

secara konseptual, namun upaya dalam mengakhiri konflik tidak banyak memiliki

perbedaan. Kenyataan yang ada menunjukkan bahwa perbedaan paling besar antara

‗penyelesaian konflik‘ dan ‗resolusi konflik‘ hanyalah kedalaman dan pemahaman

terhadap cara mengakhiri konflik yang sedang terjadi. Karena itu, pada beberapa

kasus konsep penyelesaian dan resolusi bisa digunakan secara bersamaan. Keadaan

tersebut membuat tipe atau jenis mekanisme penyelesaian yang ada, tidak banyak

memiliki perbedaan. Bagian ini berusaha menjelaskan beberapa tipe untuk

mengakhiri konflik berdasarkan kategorisasi yang dibuat oleh ilmu-ilmu sosial,

seperti sosiologi dan komunikasi.

Ilmu-ilmu sosial sepertinya sepakat dalam membahas cara dan metode

dalam menghentikan konflik. Ilmu sosiologi dan komunikasi rupanya

mengembangkan beragam tipe cara unutuk mengakhiri konflik. Karena, pada

dasarnya konflik merupakan suatu proses sosial yang tidak bisa lepas dari

komunikasi, maka semua upaya untuk mengakihiri konflik juga memerlukan

komunikasi. Sejauh ini setidaknya ada tujuh bentuk penghentian konflik yang

Page 62: · PDF fileperpustakaan.uns.ac.id   Disusun Untuk Memenuhi Tugas Akhir Sebagai S PROGRAM commit to user 1 Komunikasi dan Konflik Sosial

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

62

disepakati oleh ilmu-ilmu sosial. Karena itu, subbab ini akan lebih difokuskan pada

pembahasan tujuh konsep penghentian konflik yang telah dikenal termasuk peranan

komunikasi di dalamnya.

Bentuk dan jenis penghapusan konflik yang paling sederhana dikenal

sebagai penghindaran (avoidance). Bentuk penghindaran biasanya terjadi apabila

muncul dua pihak yang memiliki kemampuan untuk memulai konflik, bahkan

bersiap melakukan konflik, karena munculnya perbedaan pemahaman dan

persetujuan. Namun tiba-tiba pihak-pihak tersebut menghindari konflik dan

menempatkan diri pada posisi kompromi untuk menekan semua konflik yang akan

terjadi (Johnson, et al, 2006: 74). Karena itu, penghindaran biasanya dilakukan

dengan cara membatasi interaksi dengan pihak-pihak yang biasanya terlibat dalam

perdebatan (Fry, 2000: 335). Secara sederhana bentuk pengindaran seperti itu terjadi

karena pihak-pihak yang akan bertikai dan memulai konflik secara sadar

menghentikan tindakan mereka dan membatasi semua interaksi yang terjadi agar

konflik-konflik yang merugikan dapat dibatalkan. Selain itu kesadaran dalam diri

masing-masing pihak untuk menekan konflik membuat penghindaran menjadi cara

penghapusan konflik yang relatif sederhana.

Sebagai satu cara penghapusan konflik yang paling sederhana,

penghindaran tidak dapat lepas dari proses komunikasi yang telibat di dalamnya.

Karena penghindaran lebih banyak bertumpu pada usaha untuk membatalkan dan

menghindari konflik, maka dapat dipastikan proses komunikasi yang ada difokuskan

untuk melenyapkan konflik sebelum terjadi. Loretta L. Pecchioni, Kevin B. Wright,

dan Jon F. Nussbaum memaparkan bahwa bentuk ‗penghindaran‘ biasanya

diasosiasikan dengan pencabutan emosional atau bertindak diam (Pecchioni, et al,

2008:143). Penjelasan tersebut setidaknya memberikan gambaran besar bahwa

Page 63: · PDF fileperpustakaan.uns.ac.id   Disusun Untuk Memenuhi Tugas Akhir Sebagai S PROGRAM commit to user 1 Komunikasi dan Konflik Sosial

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

63

pihak-pihak yang akan terlibat konflik rupanya dengan sangaja saling memberikan

pesan-pesan kepada pihak lain untuk menghindari dan menghentikan konflik

sebelum terjadi. Dengan begitu proses komunikasi yang terlibat dalam penghindaran

terfokus pada tujuan utama yaitu membatalkan semua bentuk konflik yang akan

terjadi. Karena penghindaran biasanya hanya menghasilkan situasi tenang pada

pihak-pihak yang akan telibat konflik tanpa menghiraukan masalah yang bisa

menyebabkan konflik, maka penghindaran dapat dimasukkan dalam konsep

‗penyelesaian konflik‘ yang paling sederhana.

Jenis penghapusan konflik yang memiliki tingkatan lebih tinggi dari

‗penghindaran‘ biasanya disebut sebagai koersi (coercion). Douglas P. Fry

menyamakan koersi dengan ‗menolong diri sendiri‘. Lebih lanjut, Fry menjelaskan

koersi sebagai bentuk aksi unilateral yang berfungsi untuk menangani semua keluhan

yang biasanya berkaitan dengan kejahatan dan penderitaan (Fry, 2000: 335).

Pendapat yang diberikan Fry rupanya lebih banyak mengacu pada bentuk koersi

secara umum yang biasanya berhubungan dengan bentuk perbudakan atau

penguasaan satu pihak oleh pihak lain. Namun demikian, dalam perkembangannya,

bentuk koersi dapat juga digunakan sebagai sebuah cara mengakhiri konflik, yaitu

dengan cara memaksa pihak-pihak yang berseteru untuk mau menerima perdamaian

dan penghapusan konflik seperti yang diinginkan oleh pihak ketiga. Soerjono

Soekanto menjelaskan koersi mampu menghentikan konflik dengan menggunakan

paksaan dari pihak ketiga kepada semua pihak yang sedang berseteru (Soekanto,

2002: 76). Keadaan seperti itu menujukkan bahwa konsep tentang koersi yang keras

dan kaku rupanya bisa digunakan untuk mencapai cara yang lebih positif dalam

rangka mengakhiri konflik.

Page 64: · PDF fileperpustakaan.uns.ac.id   Disusun Untuk Memenuhi Tugas Akhir Sebagai S PROGRAM commit to user 1 Komunikasi dan Konflik Sosial

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

64

Konsep koersi sebagai cara mengakhiri konflik tidak dapat dilepaskan

dari bentuk dan peranan proses komunikasi. Proses komunikasi yang ada dalam

koersi tampaknya lebih banyak terkonsentrasi pada upaya memaksi pihak-pihak yang

berseteru agar mau menuruti keinginan pihak ketiga. Pada kondisi seperti itu pihak

ketiga pasti memberikan beragam pesan yang memiliki makna dan mampu memaksa

semua pihak untuk tunduk demi mengakhiri konflik yang terjadi. Hal itu dikuatkan

dengan kenyataan bahwa koersi melibatkan bentuk-bentuk komunikasi yang bernada

ancaman dengan bentuk hukuman yang akan dilakukan kepada perilaku pihak-pihak

yang terlibat (Spitzberg dan Cupach, 2009: 460). Sederhananya pihak ketiga yang

melakukan koersi menjadi komunikator yang memberikan beragam pesan yang pada

hakekatnya mengancam semua pihak–komunikan–yang terlibat konflik untuk mau

mengakhiri konflik yang sedang terjadi. Selain itu, peranan orang ketiga yang

dominan membuat koersi lebih kuat untuk mengakhiri konflik dibandingkan dengan

‗penghindaran‘. Bentuk penghapusan konflik melalui koersi sebenarnya dapat

diklasifikasikan dalam konsep ‗penyelesaian konfik‘, karena sama sekali tidak

memperhatikan sumber masalah dalam konflik sebagai dasar mencari jalan keluar.

Peranan orang ketiga dalam upaya menghentikan konflik kembali terjadi

pada arbitrasi (arbitration). Berbeda dengan koersi, arbitrasi memerlukan campur-

tangan orang ketiga yang lebih egaliter dan lunak untuk menghetikan konflik.

Morton Deutsch menjelaskan bahwa arbitasi biasanya digunakan sebagai jalan

terakhir apabila pihak-pihak yang berseteru tidak dapat mencari jalan keluarnya

sendiri. Lebih lanjut, Deustch menjelaskan bahwa semua pihak yang terlibat konflik

harus dengan sadar mau terikat dengan arbitrator sekaligus memberitahukan semua

masalah kepada arbitrator agar dapat mencapai kesepakatan bersama (Deutsch, 2006:

56). Secara sederhana pihak ketiga dalam arbitrasi bertugas menyelesaikan

Page 65: · PDF fileperpustakaan.uns.ac.id   Disusun Untuk Memenuhi Tugas Akhir Sebagai S PROGRAM commit to user 1 Komunikasi dan Konflik Sosial

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

65

permasalahan tersebut, karena pada dasarnya kedudukan pihak ketiga lebih tinggi

dibandingkan pihak yang berselisih, dengan begitu semua pihak yang berselisih agar

mau mencapai kesepakatan dan mengakhiri konflik. Keadaan tersebut menujukkan

bahwa pihak ketiga memiliki peranan besar sebagai bagian yang bertugas

mendamaikan dan menghentikan konflik. Hal itu menujukkan peranan pihak ketiga

sebagai arbitrator dalam proses mengakhiri konflik hanya sebatas sebagai fasilitator

yang bertugas memberikan solusi kepada semua pihak yang telibat perseteruan

(Coleman, 2006: 556).

Seperti kebanyakan upaya penyelesaian konflik, arbitrasi juga tidak dapat

sepenuhnya melepaskan diri dari peranan komunikasi untuk mengakhiri konflik.

Sederhananya komunikasi memainkan peranan besar dalam semua upaya mengakhiri

dan menghakhiri konflik. Komunikasi yang terjadi dalam arbitrasi rupanya lebih

banyak didukung oleh pihak ketiga. Apabila pihak ketiga dalam koersi hanya

memberikan pesan-pesan yang bersifat menekan dan memaksa pihak yang berseteru

untuk berdamai, maka dalam arbitrasi pihak ketiga memberikan beragam pesan yang

lebih banyak bersifat lunak, dan egaliter, agar semua pihak yang bertikai bisa

berdamai dengan fasilitator pihak ketiga. Sederhananya, proses komunikasi dalam

arbitrasi pada awalnya didominasi oleh peranan arbitrator demi menyediakan dan

menjembatani proses komunikasi pihak yang berseteru demi mencapai perdamaian.

Situasi tersebut membuat arbitrator harus memahami akar permasalahan dan

penyebab konflik yang terjadi sebelum membantu medapatkan jalan keluar yang baik

bagi semua pihak. Kurangnya pemahaman arbitrator terhadap masalah penyebab

konflik bisa membuat arbitrasi menjadi gagal. Dengan demikian arbitrasi dapat

diklasifikasikan sebagai bentuk ‗resolusi konflik‘.

Page 66: · PDF fileperpustakaan.uns.ac.id   Disusun Untuk Memenuhi Tugas Akhir Sebagai S PROGRAM commit to user 1 Komunikasi dan Konflik Sosial

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

66

Mediasi (mediation) pada dasarnya merupakan bentuk perluasan konsep

arbitrasi. Persamaan arbitrasi dan mediasi yang begitu besar rupanya membuat

banyak pakar ilmu sosial selalu mengidentikan kedua ‗resolusi konflik‘ tersebut. Hal

itu dikuatkan oleh kenyataan bahwa mediasi juga membutuhkan campur tangan

pihak ketiga sebagai fasilitator, seperti pada arbitrasi. Pada dasarnya mediasi lebih

banyak berkaitan dengan bentuk pencarian jalan keluar yang lebih berbasis pada sisi

kerjasama, ketimbang situasi menang-kalah, sehingga semua pihak yang telibat

dalam mediasi bersikap aktif dalam mencari jalan keluar yang baik (Kressel, 2006:

727). Hal itu dikuatkan oleh Fox yang menjelaskan bahwa mediasi menjadi inti dari

semua proses yang terjadi dalam resolusi yang terjadi di Amerika selama sekitar tiga

puluh tahun (Fox, 2006: 237). Berdasarkan paparan dari Kressel dan Fox dapat

diketahui bahwa campur tangan pihak ketiga dalam mediasi hanya sebatas

memberikan dorongan, nasehat, serta dukungan, agar semua pihak yang terlibat

dalam konflik bisa aktif mencari jalan keluar. Karena itu, mediasi menjadi bentuk

resolusi konflik yang paling populer dalam upaya menghentikan beragam konflik.

Penjelasan Kressel dan Fox tentang konsep mediasi tampaknya membuat

aspek komunikasi dalam mediasi menjadi cukup rumit. Komunikasi dalam mediasi

rupanya tidak hanya didominasi oleh pihak ketiga, seperti bentuk penghentian

konflik yang lain, tapi semua pihak yang terlibat juga aktif mencari solusi dan jalan

keluar dari konflik tersebut. Mediator dalam proses mediasi biasanya memberikan

beragam pesan kepada semua pihak yang berseteru berupa pemberian pertanyaan,

mengatur interaksi, membuat kesimpulan, hingga memberikan dukungan emosional

bagi pihak-pihak yang terlibat pertikaian (Putnam, 2009: 214). Sementara itu pihak

yang bertikai biasanya saling memberikan pesan yang biasanya bersifat

keingintahuan terhadap penyelesaian masalah yang paling baik. Pada dasarnya

Page 67: · PDF fileperpustakaan.uns.ac.id   Disusun Untuk Memenuhi Tugas Akhir Sebagai S PROGRAM commit to user 1 Komunikasi dan Konflik Sosial

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

67

komunikasi dalam mediasi agak mirip dengan proses komunikasi yang terjadi pada

arbitrasi, namun mediasi lebih banyak membutuhkan peranan dan aktivitas

komunikasi dari semua pihak yang terlibat, untuk menyelesaikan konflik dengan

tepat dan cermat. Kondisi demikian membuat mediasi dapat dikelompokkan sebagai

‗resolusi konflik‘.

Bentuk resolusi konflik tampaknya tidak hanya berhenti pada perananan

pihak ketiga semata, tapi juga bisa merambah masuk ke jalur hukum. Resolusi

konflik yang berhubungan dengan jalur hukum biasa dikenal sebagai adjudikasi

(adjudication) sebagian pakar mengenalnya sebagai ligitasi (ligitation). Namun

demikian, konsep adjudikasi dan ligitasi memiliki banyak persamaan. Sederhananya

adjudikasi terjadi apabila muncul suatu bentuk konflik yang sulit diselesaikan

melalui cara-cara biasa, sehingga membutuhkan hakim untuk memutuskan

permasalahan tersebut, biasanya terjadi dalam konflik menyangkut budaya, hak

asasi, hak anak-anak, dan beragam masalah lain (Lakhani, 2006: 186). Sederhananya

Lakhani berusaha menjelaskan bahwa apabila bentuk penghapusan konflik

konvensional telah menemui kegagalan, maka adjudikasi dapat mengambil alih

upaya penghentian konflik tersebut. Hal itu membuat penggunaan jalur hukum untuk

mengatasi konflik bisa digunakan untuk mengatasi masalah apapun, sehingga dapat

berfungsi luas. Dalam adjudikasi peranan pihak ketiga diambil alih sepenuhnya oleh

pengadilan melalui hakim dan para petugas hukum yang ada di dalamnya.

Proses komunikasi dalam adjudikasi tampaknya tidak semudah proses

komunikasi yang terjadi dalam upaya penghentian konflik yang lain, karena

memerlukan pertimbangan dan pemutusan perkara melalui pengadilan. Kondisi

seperti itu membuat hakim, jaksa, saksi, pengacara, dan semua komponen hukum

mengambil peranan masing-masing untuk memutuskan suatu konflik. Jaksa biasanya

Page 68: · PDF fileperpustakaan.uns.ac.id   Disusun Untuk Memenuhi Tugas Akhir Sebagai S PROGRAM commit to user 1 Komunikasi dan Konflik Sosial

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

68

memberikan pertanyaan, pesan-pesan, serta tuntutan tertentu kepada saksi atau

terdakwa. Sedangkan pengacara umumnya memberikan bentuk pembelaan, beragam

pesan yang bersifat membela, mengajukan pertanyaan, serta melakukan analisis

terhadap masalah tertentu. Sementara itu saksi bertugas memberikan pesan-pesan

yang bertujuan mengatakan sesuatu yang diketahuinya tentang suatu masalah.

Sedangkan hakim memberikan pesan-pesan khusus yang kelak bertujuan

memutuskan keadilan dalam suatu masalah tertentu. Aktivitas komunikasi yang

terjadi antara jaksa, hakim, saksi, pengacara, dan semua komponen hukum dalam

pengadilan membuat pengadilan dapat menyelesaikan semua bentuk konflik rumit

yang tidak dapat diselesaikan dengan cara-cara umum. Hal itu menjadikan bentuk

adjudikasi bagian dari ‗resolusi konflik‘.

Di antara sekian banyak bentuk resolusi konflik, negosiasi (negotiation)

tampaknya merupakan upaya penghentian konflik yang biasanya hanya melibatkan

dua pihak yang pada dasarnya terlibat dalam perselisihan. Sehingga upaya

penghentian dan penghapusan perselisihan hanya diselesaikan oleh dua pihak

semaksimal mungkin tanpa campur tangan pihak ketiga. Karena itu konsep negosiasi

membutuhkan peranan komunikasi secara penuh dari semua pihak demi mencapai

kesepakatan bersama. Jacqueline Nolan-Haley menjelaskan bahwa negosiasi

biasanya mengekspresikan bentuk-bentuk pengungkapan diri yang terjadi di antara

semua pihak yang terlibat di dalamnya (Nolan-Haley, 2006: 283). Negosiasi

tampaknya juga mampu mengungkapkan identitas pihak tertentu yang

mempengaruhi penempatan diri terhadap pihak lain, baik itu dalam sisi nyata atau

imajinasi (Robb, 2004: 126). Paparan-paparan tersebut yang dijelaskan oleh Nolan-

Haley dan Robb tampaknya membuktikan bahwa komunikasi memegang peran

relatif besar, dalam suatu proses negosiasi.

Page 69: · PDF fileperpustakaan.uns.ac.id   Disusun Untuk Memenuhi Tugas Akhir Sebagai S PROGRAM commit to user 1 Komunikasi dan Konflik Sosial

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

69

Linda L. Putnam memaparkan bahwa komunkasi dalam proses negosiasi

komunikasi memainkan peran penting dalam mendefinisikan hubungan yang muncul

dalam proses tersebut. lebih lanjut Putnam menjelaskan bahwa semua pihak dalam

proses negosiasi harus rela saling bertukar informasi, khususnya tentang masalah

yang dibahas dalam proses negosiasi tersebut, sehingga muncul bentuk interaksi

yang menyebar (Putnam, 2009: 214). Pada umumnya pesan-pesan dalam negosiasi

ditujuakn kepada semua pihak yang terlibat dalam aktivitas tersebut, isu-isu yang

berkembang di antara mereka, serta munculnya ketergantungan antara semua pihak

yang ada. Dengan begitu, hasil negosiasi tergantung aksi dan komunikasi antara

semua pihak yang terlibat (Ladgerwood, et al, 2006: 457). Hal itu menujukkan

bahwa komunikasi antara pihak-pihak yang terlibat dalam negosiasi menjadi syarat

mutlak keberhasilan proses negosiasi tersebut. Selain itu keberhasilan proses

negosiasi juga terletak pada jalinan interaksi yang muncul antara pihak-pihak yang

terlibat.

Bentuk resolusi konflik yang hampir dapat disamakan dengan negosiasi

ialah dialog (dialogue). Pada dasarnya dialog merupakan bentuk resolusi konflik

yang dijiwai oleh peran komunikasi yang relatif besar. Karena itu konsep dialog

sebagai bagian dari ‗resolusi konflik‘ tampaknya lebih banyak berhubungan dengan

bidang ilmu komunikasi ketimbang sosiologi. Peranan komunikasi dalam dialog

ditujukkan dengan kenyataan bahwa dialog dan debat antara pihak tertentu pada

dasarnya mampu menekankan perubahan komunikasi tentang gagasan dan

rasionalitas menjadi lebih intersubjektif (Cuff, et al, 2005: 323). Dengan demikian

komunikasi dalam dialog mampu mengubah semua gagasan yang bersifat subjektif

agar lebih dapat diterima oleh semua pihak yang terlibat. Sederhananya, dialog

berusaha menyamakan semua persepsi semua pihak yang terlibat konflik yang

Page 70: · PDF fileperpustakaan.uns.ac.id   Disusun Untuk Memenuhi Tugas Akhir Sebagai S PROGRAM commit to user 1 Komunikasi dan Konflik Sosial

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

70

subjektif, yang biasanya saling bertentangan, agar berubah menjadi persepsi yang

lebih bersifat intersubjektif. Karena itu, dalam konflik, dialog lebih difokuskan agar

semua pihak yang terlibat mau mendengarkan pihak lain agar saling memahami,

demi mencapai hasil yang dikehendaki (Putnam, 2009: 216).

Peran vital komunikasi dalam dialog rupanya terjadi dalam proses yang

terjadi antara pihak-pihak yang berseteru. Karena dialog memininalkan penggunaan

orang ketiga sebagai fasilitator, maka dialog lebih banyak mengandalkan proses

komunikasi yang terjadi antara pihak-pihak yang berseteru agar dapat mencapai jalan

keluar. Hal itu membuat proses komunikasi yang terjadi dalam dialog berfungsi

secara sederhana. Satu pihak memberikan pesan-pesan ke pihak lain berkaitan

dengan upaya menghentikan konflik. Sementara pihak lain memberikan tanggapan

dengan tujuan serupa. Beberapa fasilitator yang mengkin terlibat dalam proses dialog

biasanya memberikan beragam dukungan dan pertanyaan kepada semua pihak yang

telibat perseteruan agar mau menerima pendapat sekaligus menghormati pihak lain

(Putnam, 2009: 217). Keadaan tersebut setidaknya menujukkan bahwa dialog,

sebagai upaya pengentian konflik, harus dimulai dengan kemauan semua pihak yang

terlibat konflik untuk mengakhiri konflik dan mencari jalan keluar.

Paparan panjang-lebar tentang peran komunikasi dalam semua upaya

penghentian konflik membawa suatu pemahaman besar bahwa proses komunikasi

hapir selalu berperan penting dalam upaya penghapusan konflik. Tujuh bentuk

penghentian konflik yang dapat diklasifikasikan dalam ‗penyelesaian konflik‘ dan

‗resolusi konflik‘ pada intinya tidak dapat melepaskan diri dari pengaruh dan peran

komunikasi yang ada di dalamnya. Sebagai suatu proses sosial upaya penghapusan

konflik memerlukan proses komunikasi sebagai sarana penunjang interaksi sosial

yang ada di dalamnya. Kenyataan tersebut membuat tujuh upaya penghapusan

Page 71: · PDF fileperpustakaan.uns.ac.id   Disusun Untuk Memenuhi Tugas Akhir Sebagai S PROGRAM commit to user 1 Komunikasi dan Konflik Sosial

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

71

konflik yang telah dijelaskan di atas tidak dapat melepaskan diri dari komunikasi,

karena pada dasarnya ‗penyelesaian konflik‘ dan ‗resolusi konflik‘ juga merupakan

bentuk interaksi sosial.

Page 72: · PDF fileperpustakaan.uns.ac.id   Disusun Untuk Memenuhi Tugas Akhir Sebagai S PROGRAM commit to user 1 Komunikasi dan Konflik Sosial

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

72

B. Kerangka Pemikiran

1. Diagram Kerangka Pemikiran

Penelitian ini pada intinya berusaha memahami proses komunikasi yang

terjadi dalam konflik dalam suatu masyarakat. Karena itu berdasarkan latarbelakang

masalah dan kondisi sementara di lapangan dapat dirumuskan bentuk kerangka

pemikiran sebagai berikut:

Permasalahan dana bantuan banjir

dan permasalahan relokasi warga

bantaran

Konflik tentang dana

bantuan banjir dan

relokasi warga bantaran

Pemerintah Kota

Warga Bantaran

(terutama yang tinggal

di THM)

Upaya Resolusi Konflik

Mediasi/Adjudikasi/Ne

gosiasi yang pernah

dilakukan warga

bantaran dengan

pemerintah kota

Page 73: · PDF fileperpustakaan.uns.ac.id   Disusun Untuk Memenuhi Tugas Akhir Sebagai S PROGRAM commit to user 1 Komunikasi dan Konflik Sosial

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

73

2. Penjelasan Kerangka Pemikiran

Konflik yang terjadi antara warga bantaran dengan pemerntah kota

dimulai dengan munculnya isu atau kabar tentang program relokasi yang diberikan

oleh pemerintah kota menyikapi kasus bencana banjir yang terjadi pada akhir tahun

2007. Dalam diagram program relokasi dan penundaan dana banjir tersebut

dihambarkan memberikan garis panah putus-putus menuju konflik tentang dana

bantuan banjir dan relokasi warga bantaran. Garis putus-putus tersebut menujukkan

bahwa program yang dijalankan oleh pemerintah kota tersebut memberikan pengaruh

positif dalam tercetusnya konflik yang terjadi tersebut.

Sementara itu pemerintah kota melakukan semua aspek komunikasi

kepada warga bantaran yang secara langung menjadi penyebab utama dimulainya

konflik tersebut. Proses sosialisasi yang kurang menjangkau sasaran dan munculnya

kesalahan pemahaman terhadap program pemerintah kota pada warga bantaran

menjadi satu faktor penyebab dimulainya konflik tersebut. Dalam diagram, proses

komunikasi yang dilakukan pemerintah kota kepada warga bantaran dalam penyebab

konflik tersebut ditunjukkan dengan garis panah tipis dari kiri ke kanan hingga pada

akhirnya mencapai warga bantaran, terutama yang tinggal di tanah hak milik (THM).

Sedangkan warga bantaran, terutama yang tinggal di tanah hak milik

(THM) menaggapi konflik tersebut dengan meningkatkan eskalasi konflik serta

bentuk tuntutan dan perlawanan terhadap pemerintah kota. Hal itu ditunjukkan

dengan komunikasi yang terjadi pada warga bantaran menuju pemerintah kota.

Dalam diagram, proses komunikasi yang dilakukan warga bantaran dalam eskalasi

konfik ditunjukkan dengan garis panah tebal yang dari kanan ke kiri hingga pada

akhirnya menuju pemerintah kota.

Page 74: · PDF fileperpustakaan.uns.ac.id   Disusun Untuk Memenuhi Tugas Akhir Sebagai S PROGRAM commit to user 1 Komunikasi dan Konflik Sosial

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

74

Pada akhirnya, pemerintah kota dan warga bantaran, terutama yang

tinggal di tanah hak milik (THM) berupaya menyelesaikan konflik dengan

melakukan proses komunikasi melalui beragam cara, termasuk menggunakan ranah

hukum, demi mencapai resolusi konflik yang tepat. Namun demikian, hingga saat ini

belum ada resolusi konflik yang tepat yang berhasil menyelesaikan konflik tersebut.

Dalam diagram, kondisi tersebut ditunjukkan dengan garis panah bolak-balik, tebal,

dan putus-putus menuju ke upaya resolusi konflik dan sebaliknya. Garis panah

bolak-balik, tebal, dan putus-putus, menunjukkan bahwa telah terjalin proses

komunikasi dan perspektif dialogis antara pemerintah kota dengan warga bantaran

terkait upaya resolusi konflik, namun belum tercapai suatu kesepakatan dan resolusi

konflik yang tepat.

Page 75: · PDF fileperpustakaan.uns.ac.id   Disusun Untuk Memenuhi Tugas Akhir Sebagai S PROGRAM commit to user 1 Komunikasi dan Konflik Sosial

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

75

BAB 3

METODOLOGI PENELITIAN

Bagian metodologi penelitian dimaksudkan untuk memberikan penjelasan

bagaimana proses penelitian dilaksanakan. Dengan tujuan mendapatkan hasil akhir

yang dikehendaki.

A. Lokasi dan Sasaran Penelitian

Secara umum penelitian ini mengambil lokasi di wilayah Semanggi,

Surakarta, khususnya penduduk yang berada di bantaran sungai Bengawan Solo.

Secara administratif wilayah Semanggi, Surakarta berada di bawah pemerintah kota

Surakarta, melalui kecamatan Pasar Kliwon. Daerah Semanggi sebenarnya memiliki

luas wilayah sekitar 10 kilometer persegi dengan spesifikasi lokasi yang berbeda-

beda. Penelitian ini difokuskan pada penduduk Semanggi yang tinggal di wilayah

bantaran Sungai Bengawan Solo, karena penduduk wilayah bantaran sungai tersebut,

terutama yang tinggal di tanah hak milik (THM)–selanjutnya disebut sebagai warga

bantaran–setidaknya terlibat secara aktif dalam konflik dengan pemerintah kota.

Observasi sekilas menunjukkan bahwa warga bantaran, khususnya wilayah semanggi

menggunakan bentuk-bentuk komunikasi dalam konflik dan upaya mencapai resolusi

konflik dengan pemerintah kota Surakarta.

Secara garis besar penelitian ini memiliki sasaran untuk melihat

bagaimana proses konflik terjadi dalam masyarakat, termasuk semua aspek yang

melingkupi konflik yang terjadi pada warga bantaran Sungai Bengawan Solo,

terutama di wilayah Semanggi, dengan pemerintah kota Surakarta. Dengan demikian,

penelitian ini memfokuskan diri untuk melihat lebih dalam proses-proses konflik dan

Page 76: · PDF fileperpustakaan.uns.ac.id   Disusun Untuk Memenuhi Tugas Akhir Sebagai S PROGRAM commit to user 1 Komunikasi dan Konflik Sosial

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

76

komunikasi yang terjadi di dalam konflik antara warga bantaran Sungai Bengawan

Solo, terutama di wilayah Semanggi, dengan pemerintah kota Surakarta, sekaligus

melihat bagaimana konflik tersebut berlangsung dan sebaiknya diselesaikan.

B. Bentuk dan Jenis Penelitian

Penelitian ini mengambil bentuk kualitatif. Penelitian kualitatif

merupakan penelitian yang bertujuan menggambarkan dan menjelaskan secara rinci

semua aspek yang berhubungan dengan sasaran penelitian (Sutopo, 2006: 179).

Secara umum penelitilian ini merupakan penelitian dasar, atau sebuah penelitian

yang berusaha mengungkap, menggambarkan dan menjelaskan sebuah fenomena

tertentu tanpa berusaha memberikan saran dan evalusi terhadap fenomena tersebut.

Hal itu membuat penelitian ini lebih mengarah pada peneltitian yang menggunakan

studi kasus. Di samping itu, Studi kasus sendiri dijelaskan sebagai studi intensif

tentang suatu kasus tunggal yang bertujuan untuk menyoroti bagian dan kelas yang

lebih besar atau populasi (Gerring, 2007: 20).

Sementara itu, penelitian ini hanya membatasi permasalahannya pada

pengamatan proses konflik dan aspek komunikasinya, terutama yang terjadi pada

warga bantaran Sungai Bengawan Solo, khususnya yang berada di wilayah

Semanggi. Penelitian ini juga berusaha mengamati aspek komunikasi yang terjadi

pada konflik dan upaya menuju resolusi konflik. Karena penelitian ini hanya

menjelaskan, mengamati dan menggambarkan proses konflik, komunikasi dan

penyelesaian konflik yang terjadi pada suatu masyarakat, maka penelitian ini

merupakan penelitian studi kasus tunggal. Pembatasan masalah penelitian yang

hanya akan mengungkapkan proses terjadinya konflik, komunikasi, hingga

Page 77: · PDF fileperpustakaan.uns.ac.id   Disusun Untuk Memenuhi Tugas Akhir Sebagai S PROGRAM commit to user 1 Komunikasi dan Konflik Sosial

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

77

penyelesaian konflik yang sama membuat penelitian ini menjadi sebuah penelitian

yang terpancang pada satu kasus tertentu.

C. Jenis dan Sumber Data

Penelitian ini setidaknya menggunakan data primer, yaitu jenis data yang

dikumpulkan oleh peneliti, yang berasal dari tangan pertama. Penggunaan jenis data

tersebut akan memberikan sumbangan besar bagi penelitian ini, karena jenis data

primer merupakan jenis data yang mencerminkan kondisi asli dari objek penelitian.

Jenis data primer juga akan memberikan jiwa bagi penelitian kualitatif, terutama

yang berkaitan dengan penelitian studi kasus.

Penelitian kualitatif ini berusaha menyoroti konflik yang terjadi dalam

masyarakat pinggiran kota. Objek penelitian tersebut memiliki sifat insidental

sehingga akan menyulitkan peneliti dalam mencari dan mengamati proses terjadinya

konflik dalam masyarakat desa tersebut. Namun demikian ada beberapa sumber data

yang dapat digunakan untuk penelitian ini, walaupun sumber data yang paling

penting dalam penelitian ini tetaplah manusia. Sumber data yang dapat digunakan

dalam penelitian ini, yaitu:

1. Sumber atau informan. Sumber atau informan manjadi sumber data paling

penting dan utama dalam penelitian ini, karena objek penelitian yang berupa

konflik benar-benar objek penelitian yang bersifat insidental. Sumber data

menjadi penting apabila sumber data lain berupa foto atau dokumen tidak bisa

ditemukan.

Penelitian ini akan berusaha mewawancarai beberapa orang yang terkait

dengan konflik yang menjadi objek penelitian ini, Penelitian ini mewawancarai

sebanyak mungkin informan dari berbagai kalangan, mulai dari warga bantaran

Page 78: · PDF fileperpustakaan.uns.ac.id   Disusun Untuk Memenuhi Tugas Akhir Sebagai S PROGRAM commit to user 1 Komunikasi dan Konflik Sosial

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

78

yang terlibat konflik, wartawan, tokoh penting di belakang relokasi, ketua

DPRD, jajaran pemerintah kota yang bertanggungjawab dalam kasus ini,

praktisi hukum professional, warga yang mendukung relokasi, hingga warga

kawasan Semanggi secara umum, yang kurang-lebih berjumlah sebelas orang.

Namun jumlah sumber yang akan diwawancarai tidak dapat ditentukan. Peneliti

akan membatasi jumlah sumber ketika peneliti merasa data yang diperoleh

telah cukup.

2. Peristiwa yang terjadi. Bentuk sumber data berupa peristiwa merupakan

sumber data yang dapat digunakan untuk memperkuat pernyataan masyarakat

yang berupa hasil wawancara. Namun demikian, dalam penelitian ini

peristiwa–konflik dan komunikasi interpersonal untuk menyelesaikannya–atau

sejenisnya tidak akan banyak membantu, karena sumber data berupa peristiwa

penelitian ini merupakan sesuatu yang sangat insidental. Ada kemungkinan

bahwa peristiwa yang menjadi objek penelitian ini telah terjadi atau belum

terjadi. Untuk mengatasi memahami masalah konflik dan komunikasi yang

berlaku, maka informan menjadi sumber data yang sangat penting untuk

mendapatkan gambaran tentang konflik dan komunikasi yang terlibat.

3. Dokumen. Sebagaimana peristiwa, dokumen juga merupakan sumber data

pendukung yang dapat digunakan untuk memperkuat sumber data lainnya.

Akan tetapi, hanya dapat menjadi sumber data apabila yang menjadi objek

penelitian benar-benar terdokumentasi. Apabila objek penelitian tersebut telah

terdokumentasi maka sumber data berupa dokumen akan dapat digunakan.

Page 79: · PDF fileperpustakaan.uns.ac.id   Disusun Untuk Memenuhi Tugas Akhir Sebagai S PROGRAM commit to user 1 Komunikasi dan Konflik Sosial

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

79

D. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dalam penelitian kualitatif setidaknya terbagi

menjadi beberapa jenis. Teknik pengumpulan data yang paling sering digunakan

dalam penelitian kualitatif, yaitu:

1. Wawancara mendalam (indepth interview). Teknik wawancara mendalam

merupakan sebuah teknik wawancara yang bersifat terbuka dan santai. Sifat

wawancara ini yang lentur dan terbuka memungkinkan untuk menggali data

yang semakin dalam dengan suasana yang santai, sehingga sumber merasa

nyaman dan tidak tegang sehingga, meskipun sumber sendiri tahu bahwa ia

sedang diwawancarai (Irianto dan Bungin, 2001: 108). Ada prosedur tertentu

yang harus dilakukan ketika hendak memulai wawancara mendalam, yaitu:

penentuan tokoh kunci dan situasi yang melingkupnya; penggunaan pedoman

wawancara atau protokol wawancara; peneliti harus mempertimbangkan situasi

dan perilaku pada saat wawancara; peneliti harus mengembangkan makna dari

hasil wawancara; peneliti harus mematuhi semua aturan resmi pada semua

penelitian yang melibatkan manusia (Hancock dan Algozzine, 2006: 39-40).

2. Observasi menjadi sebuah teknik kedua yang paling penting dalam penelitian

kualitatif. Observasi digunakan untuk melengkapi data yang tidak dapat

diambil dari teknik wawancara, sehingga membuat data yang diperoleh dalam

sebuah penelitian akan semakin mantap. Namun demikian, teknik observasi

yang digunakan dalam penelitian ini tidak sepenuhnya dapat diandalkan untuk

mengumpulkan data pendukung, karena objek penelitian yang menjadi fokus

dalam penelitian ini terjadi secara insidental, yang tidak dapat diramalkan

ataupun diperkirakan kejadiannya. Karena itu, penelitian ini menggunakan jenis

observasi non partisipan berperan pasif, yang memungkinkan peneliti

Page 80: · PDF fileperpustakaan.uns.ac.id   Disusun Untuk Memenuhi Tugas Akhir Sebagai S PROGRAM commit to user 1 Komunikasi dan Konflik Sosial

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

80

mengamati suatu peristiwa tertentu tanpa harus terlibat dalam peristiwa

tersebut. Seperti wawancara mendalam, observasi dalam studi kasus juga harus

melalui prosedur tertentu, yaitu: penentuan tentang apa yang harus diobservasi;

penetuan panduan observasi; akses terhadap situasi lingkungan yang harus

diobservasi; peneliti harus mengenali semua peran pribadi yang berakibat bias;

peneliti harus mengikuti semua aturan legal dan resmi (Hancock dan

Algozzine, 2006: 46-47).

3. Analisis dokumen merupakan sebuah teknik pengumpulan data yang terfokus

pada analisis dokumen-dokumen yang terkait dengan objek penelitian. Teknik

tersebut juga menjadi sebuah metode pengumpulan data yang dapat digunakan

dalam penelitian kualitatif. Penelitian ini berusaha melakukan analisis dokumen

berupa informasi dan berita dari beberapa surat kabar lokal yang mengangkat

kasus yang sama dengan subjek penelitian ini. Beberapa informasi dan

dokumen tersebut diperoleh dari beberapa harian lokal seperti, Joglosemar,

Solopos, dan Radar Solo.

E. Teknik Cuplikan (Sampling)

Teknik cuplikan yang digunakan dalam penelitian ini ialah purposive

sampling, hal itu digunakan untuk membantu peneliti yang menggunakan metode

studi kasus untuk menangkap realitas ganda yang tidak dapat ditangkap metode lain,

sekaligus sekaligus menggunakan pendekatan holistik pada lingkungan alami dari

topik penelitian tersebut (Hancock dan Algozzine, 2006: 72). Kondisi tersebut

membuat teknik purposive sampling membantu penelitian studi kasus menangkap

realitas pada kondisi aslinya. Selain itu, teknik purposive sampling menekankan pada

kepemilikan informasi dari sumber tentang suatu topik tertentu yang menjadi fokus

Page 81: · PDF fileperpustakaan.uns.ac.id   Disusun Untuk Memenuhi Tugas Akhir Sebagai S PROGRAM commit to user 1 Komunikasi dan Konflik Sosial

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

81

penelitian ini. Teknik purposive juga digunakan sebagai prosedur untuk menentukan

informan yang hendak memberikan informasinya (Gerring, 2007: 88).

Di antara sekian banyak teknik cuplikan yang termasuk dalam purposive

sampling, penelitian ini setidaknya menggunakan teknik cuplikan snow ball

sampling. Snow ball sampling merupakan teknik cuplikan yang mengalir bagaikan

bola salju yang semakin besar. Teknik ini mengharuskan peneliti menemukan

seorang informan kunci yang dapat menunjukkan informan-informan lain yang lebih

memahami tentang peristiwa yang menjadi objek penelitian (Pawito, 2007: 92).

Namun demikian peneliti akan menutupi kekurangan pada teknik snow ball dengan

observasi untuk menangkap semua fakta dan peristiwa yang terjadi secara insidental.

F. Pengembangan Validitas

Untuk pengembangan validitas penelitian, maka diperlukan sebuah teknik

yang mampu mengkur derajat reliabilitas dari data yang diperoleh dari lapangan.

Trianggulasi merupakan sebuah metode yang tepat untuk mengukur derajat

reliabilitas dari sumber data yang sakan diperoleh. Ada empat macam jenis

trianggulasi yang bisa digunakan dalam sebuah penelitian kualitatif. Pertama,

trianggulasi sumber, digunakan untuk menggali data yang sama melalui sumber-

sumber yang berbeda. Kedua, trianggulasi metode, yaitu suatu metode menggali data

yang sama dengan menggunakan metode pengumpulan data yang berbeda. Ketiga,

trianggulasi peneliti, yaitu jenis reliabilitas yang mengacu pada data yang didapat

dari peneliti yang lain yang telah diuji validitasnya. Keempat, trianggulasi teori,

yaitu cara mencapai reliabilitas dengan cara membandingkan perspektif teori yang

berbeda untuk menjelaskan data-data yang berbeda (Sutopo, 2006: 93-98).

Page 82: · PDF fileperpustakaan.uns.ac.id   Disusun Untuk Memenuhi Tugas Akhir Sebagai S PROGRAM commit to user 1 Komunikasi dan Konflik Sosial

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

82

Penelitian ini menggunakan bentuk trianggulasi sumber, yaitu menggali

data yang sama melalui sumber-sumber yang berbeda. Karena sifat dari objek

penelitian ini yang bersifat insidental maka trianggulasi sumber menjadi syarat

mutlak untuk menggali data. Trianggulasi sumber yang akan diterapkan dalam

penelitian ini dilakukan dengan cara menanyakan pertanyaan tentang suatu peristiwa

yang telah terjadi kepada seorang informan, lalu mengulangi pertanyaan yang sama

kepada informan yang berbeda. Dengan demikian maka penelitian ini akan mencapai

tingkat intersubjektivitas yang lebih baik

.

G. Teknik Analisis

Penelitian ini menggunakan teknik analisis Bagan Konteks. Bagan

Konteks merupakan teknik analisis yang berusaha menggambarkan perilaku dan

tindakan masing-masing individu dengan konteks sosialnya dengan cara

memfokuskan pada pernyataan yang diberikan semua narasumber–baik berupa kata-

kata atau perilaku–dengan konteks yang melingkupinya (Miles dan Huberman, 1992:

157). Bagan Konteks berusaha memetakan peranan dan kelompok yang membentuk

perilaku individu (Miles dan Huberman, 1992: 157). Dalam kasus ini, Bagan

Konteks berusaha menggambarkan kasus dan perilaku semua sumber yang terkait

dengan perselisihan tentang dana bantuan banjir, serta melihat bagaimana tanggapan

masing-masing individu yang terlibat dalam perselisihan tersebut, mendukung,

menentang, mendua, atau netral.

Teknik analisis Bagan Konteks dalam penelitian ini dilakukan dengan

cara menganalisis pernyataan yang diberikan oleh sumber untuk melihat perilaku dan

kaitannya dengan konteks dan situasi sosial yang melingkupi individu, khususnya

Page 83: · PDF fileperpustakaan.uns.ac.id   Disusun Untuk Memenuhi Tugas Akhir Sebagai S PROGRAM commit to user 1 Komunikasi dan Konflik Sosial

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

83

dalam konteks perselisihan dana bantuan banjir. Penggambaran kontekstual dalam

kasus tersebut akan digambarkan dalam diagram.

Teknik analisis yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan pola

pikir bersifat induktif yang berarti mengumpulkan hal-hal yang bersifat khusus untuk

menyimpulkan kepada hal-hal yang bersifat umum. Hal ini berbeda dengan

penelitian kuantitatif yang bersifat deduktif yang berarti mengumpulkan hal-hal

untuk menuju kepada hal-hal bersifat khusus. Sehingga pola pikir induktif tidak

Pemerintah Kota secara umum

yang menunda pembayaran, pelaksana relokasi (+)

(+)

Sukasno SH

Ketua DPRD Surakarta (+)

)

Widdi Srihanto

Ketua Bapermas

(+)

Suparno HS

Ketua Pokja Masyarakat

Semanggi (+)

Saryono

Masyarakat yang telah

direlokasi (+)

Penundaan pembayaran

dana bantuan banjir,

pelaksanaan relokasi

Warga Bantaran yang

menentang relokasi namun

mendukung dana banjir (-)

Agus Sumaryawan Koordinator (SKoBB),

warga terlibat konflik (-)

Maryono Warga bantaran yang

terlibat konflik (-)

Nunuk Ismiyati Warga bantaran yang

terlibat konflik (-)

Titin Widyastuti

Pengacara Profesional (0) Heri Hendro Harjuno

Pengacara Warga bantaran

(-) (+/-)

(-)

(0)

(-) (-) (-)

(-)

(+) (+) (+)

(+)

Bagan Konteks untuk perselisihan antara warga

bantaran dengan pemerintah kota tentang dana bantuan

banjir

Kunci:

(+) : Mendukung

(-) : Menentang

(+/-) : Mendua

(0) : Netral

(---): Hubungan

tidak langsung

Abdul Alim

Wartawan Profesional (0)

(0)

Page 84: · PDF fileperpustakaan.uns.ac.id   Disusun Untuk Memenuhi Tugas Akhir Sebagai S PROGRAM commit to user 1 Komunikasi dan Konflik Sosial

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

84

berusaha menggeneralisasi layaknya pola pikir deduktif, pola pikir induktif hanya

berusaha menjelaskan dan menggambarkan sebuah fenomena tertentu.

Dalam penelitian kualitatif teknik analisis yang biasa digunakan bersifat

interaktif. Penggunaan sifat interaktif dalam penelitian kualitatif mengharuskan

pengumpulan data dilakukan bersamaan dengan analisis dan refleksi terhadap data-

data penelitian yang berhasil dikumpulkan. Sifat interaktif dalam penelitian kualitatif

memungkinkan adanya semacam interaksi yaitu berusaha dibandingkan dan

diinteraksikan dengan unit-unit dan data-data lainnya demi tercapainya beragam

tujuan yang hendak dicapai dalam sebuah penelitian (Sutopo, 2006: 107). Teknik

tersebut akan menghasilkan sebuah kemantapan dalam penyusunan sebuah simpulan

akhir dalam penelitian.

Penelitian kualitatif juga memiliki sifat siklus atau berputar. Sifat siklus

memberikan sebuah keleluasaan untuk selalu memverifikasi data, menganalisis

hingga penyusunan simpulan. Dalam proses siklus peneliti diberikan kebebasan

untuk kembali mengumpulkan data ketika dirasakan data yang diperoleh belum

memadai. Hal itu berkaitan dengan sifat penelitian kualitatif yang lentur dan terbuka.

Hal tersebut dilakukan agar sebuah penelitian mendapatkan sebuah hasil yang

kematapannya dapat dipertanggungjawabkan sebelum penulisan laporan yang

lengkap. Kemudian, semua data yang berhasil dikumpulkan dari lapangan segera

dianalisis, diinteraksikan juga dilakukan refleksi untuk menjelaskan keterkaitan

antardata, demi mendapatkan sebuah hasil yang mantap dan dapat

dipertanggungjawabkan. Semua data yang telah diinteraksikan dengan baik pada

analisis setiap unit kasusnya, maupun pada analisis antar kasus, demi memahami

kesamaan dan juga perbedaannya.

Page 85: · PDF fileperpustakaan.uns.ac.id   Disusun Untuk Memenuhi Tugas Akhir Sebagai S PROGRAM commit to user 1 Komunikasi dan Konflik Sosial

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

85

Penyajian Data

Reduksi Data Penarikan Kesimpulan

Model Analisis Interaktif Milles dan Huberman

(Milles dan Huberman, 1992: 20)

Pengumpulan Data

Untuk lebih jelasnya proses analisis interaktif dijelaskan oleh Miles dan

Huberman dalam skema sebagai berikut.

H. Prosedur Kegiatan

Penelitian ini memiliki beberapa prosedur kegiatan demi tercapainya

sebuah hasil penelitian yang baik.

1. Tahap persiapan penelitian meliputi: proses penulisan proposal, proses

perijinan, penentuan lokasi penelitian, persiapan dana dan penyusunan protokol

penelitian termasuk penyusunan pedoman penelitian, pengumpulan daftar

pertanyaan hingga penyusunan petunjuk observasi.

2. Tahap pengumpulan data meliputi: proses pengumpulan data di lapangan

dengan melakukan wawancara dan mungkin juga melakukan observasi,

penentuan strategi penelitian, proses pemfokusan, pendalaman data penelitian,

pemantapan data hingga mengatur semua data yang diperoleh untuk dilakukan

ketegorisasi.

Page 86: · PDF fileperpustakaan.uns.ac.id   Disusun Untuk Memenuhi Tugas Akhir Sebagai S PROGRAM commit to user 1 Komunikasi dan Konflik Sosial

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

86

3. Tahap analisis data meliputi beberapa proses yang terdiri dari: reduksi data,

penyajian data penelitian, penarikan simpulan hingga proses verifikasi data

untuk memantapkan perolehan data dari lapangan.

4. Tahap penulisan laporan penelitian yang mencakup beberapa bagian yaitu:

penulisan laporan awal penelitian, review penelitian dan perbaikan laporan

penelitian atau dikenal dengan revisi.

Page 87: · PDF fileperpustakaan.uns.ac.id   Disusun Untuk Memenuhi Tugas Akhir Sebagai S PROGRAM commit to user 1 Komunikasi dan Konflik Sosial

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

87

BAB 4

TEMUAN DAN ANALISIS DATA

A. Sekilas Kehidupan Warga Bantaran

Deskripsi tentang warga bantaran dan semua aktivitas hidupnya sebagian

besar diperoleh melalui observasi yang dicatat dalam catatan lapangan.

Berdasarkan data dari catatan lapangan hal itu dapat diketahui bahwa wilayah

Semanggi sebenarnya merupakan bagian dari Kotamadya Solo atau Surakarta yang

berada di bagian tenggara dari pusat pemerintah kota Surakarta. Wilayah tersebut

sebenarnya berbatasan dengan beberapa bagian dan wilayah lain seperti Baluwarti di

sebelah barat dan Gading di bagian selatan; Sungai Bengawan Solo pada bagian

timur; pada bagian utara berbatasan dengan wilayah Sangkrah. Cakupan dan

lingkupan sebagian wilayah Semanggi yang berbatasan dengan Sungai Bangawan

Solo membuat sebagian warga daerah tersebut tinggal di bantaran sungai atau

setidaknya berada di sekitar tanggul pembatas antara sungai dan wilayah di bantaran.

Pengamatan dan observasi dalam penelitian ini dilakukan di kawasan bantaran dan

tanggul pembatas Sungai Bengawan Solo, yang masih berada dalam wilayah

Semanggi, Surakarta.

Data observasi dalam awal penelitian ini menunjukkan adanya perbedaan

kondisi lingkungan fisik dan tempat tinggal serta menujukkan perbedaan bentuk

lingkungan sosial dan kehidupan masyarakat yang tinggal di dalamnya. Pada warga

yang tinggal di sekitar bantaran biasanya tinggal di wilayah kumuh dengan kondisi

lingkungan yang kurang begitu sehat, selain itu mereka juga berada dalam ancaman

banjir setiap musim hujan. Di lain pihak, warga yang tinggal di luar wilayah bantaran

Page 88: · PDF fileperpustakaan.uns.ac.id   Disusun Untuk Memenuhi Tugas Akhir Sebagai S PROGRAM commit to user 1 Komunikasi dan Konflik Sosial

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

88

cenderung memiliki lingkungan yang relatif sehat, bersih dan cenderung aman dari

ancaman banjir.

Pengamatan dan pencatatan dalam catatan lapangan yang telah dilakukan

peneliti menjukkan bahwa lingkungan fisik, kondisi bangunan dan situasi masyarakat

yang berkembang di wilayah bantaran juga kurang begitu baik, karena warga yang

tinggal di kawasan tersebut mungkin kurang mampu menjaga lingkungan fisik

mereka. Berdasarkan catatan lapangan yang berhasil dikumpulkan menunjukkan

bahwa situasi di wilayah bantaran Sungai Bengawan Solo tampak sangat tidak

terawat dan terkesan kumuh. Ada beberapa kepala keluarga yang tinggal di wilayah

bantaran hidup di dalam rumah-rumah semi permanen yang terbuat dari kayu

ataupun bambu.

Selain itu, hasil observasi menunjukkan bahwa keadaan di sekitar

tanggul–termasuk wilayah bantaran–Sungai Bengawan Solo tampak mengenaskan.

Tanah di sekitar tanggul terlihat tidak terawat dengan beberapa bangunan yang

terbuat dari bambu atau kayu. Selain itu terdapat puing-puing bekas bangunan rumah

yang terbuat dari tembok. Keadaan seperti itu nyaris hampir dapat dilihat di

lingkungan sepanjang tanggul. Di samping itu, kebanyakan warga yang tinggal di

sana menggunakan puncak tanggul sebagai jalan umum. Kondisi jalan di atas tanggul

juga tampak mengenaskan dan terlihat ada beberapa bagian jalan tersebut yang retak.

Landasan beton yang digunakan untuk mengeraskan bagian atas tanggul juga terlihat

retak dan tidak terawat. Situasi tidak menguntungkan seperti itu selalu menyelimuti

warga yang tinggal di bantaran Sungai Bengawan Solo.

Namun demikian, observasi peneliti di luar bantaran diperoleh bahwa

kondisi fisik lingkungan yang melingkupi warga yang tinggal di luar wilayah

bantaran tampak lebih baik dibandingkan dengan kondisi fisik lingkungan warga di

Page 89: · PDF fileperpustakaan.uns.ac.id   Disusun Untuk Memenuhi Tugas Akhir Sebagai S PROGRAM commit to user 1 Komunikasi dan Konflik Sosial

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

89

kawasan bantaran. Bangunan fisik warga di luar bantaran didominasi oleh bangunan

tembok yang lebih baik, meskipun secara kasar tidak terlalu besar. Kebanyakan

bangunan rumah yang ada di kawasan Semanggi, di luar bantaran, tampak

berhimpitan dan sempit hingga tidak banyak warga yang memiliki halaman rumah

atau bahkan batas antara wilayah pribadi dengan jalan umum. Meskipun begitu,

kondisi lingkungan fisik warga yang tinggal di luar bantaran relatif bersih dan

terawat, sehingga tidak menimbulkan kesan kumuh dan kotor.

Hasil observasi yang ada menunjukkan kesan dan situasi serupa. Suasana

di kampung, terutama di wilayah Losari, Semanggi, tampak sepi dan jauh dari kesan

penuh kebisingan. Pada siang hari, kampung tersebut bagaikan tidak berpenghuni

serta minim aktivitas warga. Sebagian besar rumah yang tampak biasanya bertipe

sederhana dan sangat sederhana yang berdinding bambu atau tembok batu bata

dengan pagar kayu, besi atau beton. Namun demikian, ada beberapa bagian kampung

di Losari, Semanggi, yang penuh dengan aktivitas warga yang saling berinteraksi dan

bercengkrama satu dengan lainnya. Meskipun secara umum sebagian besar kondisi

fisik warga semanggi, terutama yang tinggal di kawasan Losari, berada dalam situasi

yang tidak terlalu menguntungkan, karena bangunan yang saling berhimpitan dan

sempit ditambah dengan kepadataan penduduk yang lumayan tinggi. Namun hal itu

kondisi tersebut tampak lebih baik dan bersih dibandingkan dengan kondisi fisik di

wilayah bantaran yang cenderung kotor dan kumuh.

Observasi yang dilakukan di wilayah bantaran sebelum relokasi

tampaknya menunjukkan situasi lingkungan fisik yang buruk dan jauh dari kesan

sehat, sehingga tampak mengenaskan, bahkan dapat dikatakan benar-benar kumuh.

Suasana dan kondisi lingkungan yang berada di kawasan tanggul tersebut tampak

tidak terawat, terlebih lagi ada beberapa bagian tanah yang dipenuhi sampah dengan

Page 90: · PDF fileperpustakaan.uns.ac.id   Disusun Untuk Memenuhi Tugas Akhir Sebagai S PROGRAM commit to user 1 Komunikasi dan Konflik Sosial

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

90

bau busuk yang menyengat hidung. Keadaan jalan dan rumah juga tampak buruk,

karena tidak adanya pengeras jalan atau beton pelindung dan kondisi rumah yang

terbuat dari kayu atau tembok semi permanen yang sudah mulai lapuk. Seperti

kebanyakan warga yang tinggal di wilayah bantaran atau sekitar tanggul, kehidupan

warga sebelum direlokasi tampak bagai hidup segan matipun tak mau. Kebanyakan

warga tinggal di gubuk reyot atau rumah yang bertembokkan kardus atau kayu

seadanya. Namun demikian, warga bantaran tetap menjalani hidup mereka seperti

biasa, meskipun mungkin ada perasaan was-was bahwa rumah mereka akan tersapu

banjir.

Catatan lapangan yang berhasil diperoleh menunjukkan bahwa keadaan

fisik dan sosial warga yang direlokasi berubah menjadi lebih baik sejak program

tersebut mulai diberlakukan. Warga yang hidup dengan kondisi buruk mulai

menapak hidup mereka yang mungkin lebih baik. Kondisi lingkungan fisik di

wilayah relokasi tampaknya lebih baik ketimbang kondisi lingkungan fisik di sekitar

bantaran dan tanggul Sungai Bengawan Solo. Pengamatan di lapangan selama proses

observasi menemukan adanya perubahan lingkungan fisik yang relatif lebih baik.

Keadaan kawasan relokasi di wilayah Mojolaban, Sukoharjo, kelihatan lebih baik

dibandingan dengan kawasan yang belum di relokasi. Kondisi lingkungan fisik

daerah relokasi relatif lebih bersih dengan kondisi rumah yang lebih kokoh, karena

sebagian besar rumah telah terbuat dari tembok bata. Kondisi jalan akses masuk

menuju wilayah relokasi juga dikuatkan dengan paving serta saluran air pembuangan

yang juga tampak baik dan lancar. Meskipun kondisi rumah warga relokasi kurang

begitu bagus, namun kondisi lingkungan fisik dan perumahan yang terawat

menunjukkan adanya perubahan positif bagi warga yang ikut serta dalam program

relokasi. Perubahan kondisi lingkungan fisik menjadi lebih baik tampaknya bisa

Page 91: · PDF fileperpustakaan.uns.ac.id   Disusun Untuk Memenuhi Tugas Akhir Sebagai S PROGRAM commit to user 1 Komunikasi dan Konflik Sosial

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

91

menjadi indikasi bahwa program relokasi tampaknya sedikit mengubah kondisi dan

kehidupan masyarakat bantaran Sungai Bengawan Solo menjadi sedikit lebih baik.

Berdasarkan pengamatan yang dilakukan peneliti pada awal penelitian

diperoleh bahwa fakta bahwa ada beberapa warga bantaran Sungai Bengawan Solo

yang merasa enggan ikut serta dalam program relokasi, karena beberapa alasan

tertentu. Lingkungan fisik warga yang enggan direlokasi tidak sepenuhnya dapat

disebut sebagai lingkungan yang layak huni, karena ada beberapa lahan yang ada

hampir tidak terawat dan tampak kotor, sementara sebagian yang lain tampak lebih

baik. Kebanyakan dari mereka juga tinggal di rumah-rumah sederhana yang beberapa

di antaranya hampir roboh, atau terbuat dari kayu dan bambu yang sudah usang.

Namun demikian, ada sebagian warga yang tinggal dalam rumah permanen yang

layak huni dengan lapisan lantai keramik dan tembok yang lumayan kokoh.

Kenyataan seperti itu menggambarkan bahwa tidak semua lahan di wilayah bantaran

dapat disebut sebagai lahan yang tidak layak huni atau sebaliknya. Sebab ada

beberapa bagian dari bantaran memiliki kesan lebih baik, sehingga membuat

kebanyakan warga yang tinggal di sana memilih enggan ikut dalam program

relokasi.

Observasi yang dilakukan peneliti juga menunjukkan bahwa kondisi

masyarakat Semanggi secara umum menujukkan bentuk solidaritas mekanis

meskipun pada beberapa daerah ada indikasi munculnya bentuk-bentuk solidaritas

organis. Pada kawasan Losari atau daerah yang bedekatan dengan tanggul dan

wilayah bantaran, yang menjadi daerah awal meletusnya konflik antara warga

dengan pemerintah kota, soldaritas mekanis masih terasa begitu kuatnya, sama

kuatnya dengan yang terjadi pada masyarakat desa secara umum. Kuatnya bentuk

solidaritas mekanis di antara warga membuat seorang warga dengan tepat

Page 92: · PDF fileperpustakaan.uns.ac.id   Disusun Untuk Memenuhi Tugas Akhir Sebagai S PROGRAM commit to user 1 Komunikasi dan Konflik Sosial

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

92

mengetahui apa yang sedang terjadi dengan tetangga mereka, bahkan ketika seoarang

tetangga meninggal dunia, warga yang tinggal di kawasan tersebut dengan cepat

membicarakan kondisi dan keadaan tetangga mereka yang meninggal.

Fakta dari pengamatan peneliti menunjukkan bahwa bentuk solidaritas

mekanis dan kondisi sosial yang dekat antara satu individu dan individu yang lain

membuat warga di kawasan Losari benar-benar mengatahui dan memahami situasi

dan kondisi yang menjadi awal meletusnya konflik. Keadaan seperti itu membuat

warga mampu menujukkan dengan tepat siapa yang bertanggung jawab terhadap

bentuk dan konflik tersebut. Ketika ditannya tentang siapa yang bertanggung jawab

tentang aksi konflik tersebut mereka dengan tepat menujukkan pada seseoarang

bernama Agus Sumaryawan atau biasa dikenal dengan nama ―Pak Wawan‖. Pada

observasi awal, ketika seorang warga ditanya tentang program relokasi. Ia dengan

lantang menjawab ―Ya biasalah mas, kalau ada relokasi mesti ada yang bandel,

kebanyakan warga di sini sebenranya mau-mau saja direlokasi, tapi warga yang

rumahnya sudah bagus-bagus itu agak bandel.‖.

Berdasarkan observasi yang dilakukan peneliti dapat dikatakan bahwa

keterikatan sosial yang terjadi di masyarakat Semanggi terutama yang berada di

sekitar daerah konflik memiliki kondisi sosial yang terikat lebih erat ketimbang

masyarakat Semanggi yang tinggal di luar wilayah konflik. Beberapa warga Losari

yang ditanya soal permasalahan konflik tentang dana banjir pasti menyebutkan nama

―Wawan‖. Ketika ditanya tentang masalah demonstrasi banjir–konflik tentang dana

banjir–, warga langsung menunjuk nama ―Wawan‖ yang tinggal di kawasan bantaran

Sungai Bengawan Solo. Selain itu tampaknya ada beberapa warga Losari terkesan

tidak terlalu ambil pusing dengan permasalahan demonstrasi dan dana banjir

tersebut. Pemahaman dan pengetahuan warga serta sikap warga yang merasa acuh

Page 93: · PDF fileperpustakaan.uns.ac.id   Disusun Untuk Memenuhi Tugas Akhir Sebagai S PROGRAM commit to user 1 Komunikasi dan Konflik Sosial

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

93

terhadap konflik tersebut sedikit banyak menunjukkan adanya bentuk dan keterikatan

sosial antarwarga yang relatif tinggi.

Aktivitas keseharian warga Losari dan warga yang tinggal di wilayah

bantaran Sungai Bengawan Solo, pada dasarnya tidak berbeda dengan aktivitas

kebanyakan warga yang tinggal di wilayah pedesaan. Meskipun secara administratif

warga Losari dapat dikategorikan sebagai masyarakat kota, namun kegiatan dan

aktivitas sosial mereka lebih mirip dengan aktivitas penduduk desa. Setiap hari,

warga Losari dan warga yang tinggal di bantaran lebih sering menghabiskan waktu

di rumah dan beraktivitas di sekitar lingkungan mereka, walapun ada beberapa warga

yang memiliki pekerjaan di kota–wilayah kota Solo. Observasi yang dilakukan pada

awal penelitian ini menujukkan bahwa warga yang tinggal di kawasan Losari

melakukan aktivitas harian mereka dengan kondisi yang sangat sederhana, beberapa

warga membuka usaha warung dan toko kelontong sebagai usaha mereka

mendapatkan uang. Beberapa warga yang lain juga bekerja di rumah atau membuka

usaha kerajinan dan usaha lain yang banyak melibatkan aktivitas dan peranan warga

sekitar.

Meskipun demikian, ada beberapa warga Losari yang tampak

menganggur dan hanya menghabiskan waktu untuk bersantai dan bercengkrama

dengan warga lain di perempatan atau di tempat-tempat strategis atau yang dekat

dengan pusat keramaian warga. Dinamika yang tercermin dalam aktivitas harian

mereka menujukkan baihwa masyarakat yang tinggal di kawasan Losari lebih mirip

dengan tipikal masyarakat desa dan rural pada umunmya. Berdasarkan hal itu dan

ditambah dengan kondisi lingkungan fisik yang tampak menempatkan warga Losari

dan warga Semanggi pada umumnya berada pada status sosial menengah ke bawah

atau tingkat dan status sosial yang setara dengan hal itu.

Page 94: · PDF fileperpustakaan.uns.ac.id   Disusun Untuk Memenuhi Tugas Akhir Sebagai S PROGRAM commit to user 1 Komunikasi dan Konflik Sosial

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

94

B. Penyebab Awal Terjadinya Konflik

1. Pernyataan-Pernyataan dalam Penyebab Konflik

Secara struktural, konflik tentang dana bantuan banjir yang terjadi antara

warga bantaran dan pemerintah kota, terjadi jauh sebelum banjir tahun 2007 terjadi.

Penguasaan tanah bantaran oleh pemerintah dan badan pertanahan yang seharusnya

menjadi tugas penting, tampaknya tidak dilakukan dengan baik. Kelemahan tersebut

memungkinkan penguasaan tanah oleh individu. Selain itu aktivitas pemerintah kota

yang kurang tanggap terhadap penghuni bantaran Sungai Bengawan Solo membuat

warga merasakan adanya legalitas dan pengakuan pemerintah terhadap lokasi hunian

di bantaran sungai yang seharusnya dilarang. Permasalahan pertanahan dan

penguasaan tanah pada akhirnya bertalian dengan permasalahan dana bantuan banjir

tahun 2007. Situasi seperti itu itu membuat ada dua status tanah di kawasan bantaran,

yaitu: tanah hak milik (THM) dan tanah negara (TN).

Berdasarkan penjelasan di atas, struktur konflik yang terjadi antara warga

bantaran Sungai Bengawan Solo dengan pemerintah kota Surakarta sudah terbentuk

jauh sebelum bencana banjir terjadi di akhir tahun 2007. Bagaikan bom waktu yang

siap meletus, potensi konflik yang sudah berkembang sejak dekade 1970-an tersebut

pada akhirnya meletus menjadi pertentangan antara warga bantaran dengan

pemerintah kota karena dipicu oleh banjir pada sebagian besar wilayah Surakarta

pada akhir 2007. Wartawan harian umum Joglosemar, Abdul Alim mengatakan

Menurut saya konflik tersebut merupakan konflik kepentingan yang

terjadi antara warga bantaran dengan pemerintah kota yang dimulai dari

kerancuan proses pendataan lahan pada tahun 1970-an, karena saat itu

belum ada proses pembebasan tanah oleh balai besar [pen: Bapeda dan

Badan Pertanahan] sehingga diperjualbelikan kepada masyarakat,

sehingga masyarakat sendiri belum tahu bahwa wilayah tersebut [pen:

bantaran Sungai Bengawan Solo] merupakan daerah yang tidak boleh

dihuni sekaligus daerah yang rawan banjir. Karena itu pada tahun 1970-an

banyak warga masyarakat yang membeli wilayah tersebut, dengan

sertifikat yang ‗katanya‘ ada [pen: ada beberapa warga bantaran yang

Page 95: · PDF fileperpustakaan.uns.ac.id   Disusun Untuk Memenuhi Tugas Akhir Sebagai S PROGRAM commit to user 1 Komunikasi dan Konflik Sosial

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

95

mengaku memiliki sertifikat tanah]. Pada tahun 1980-an balai besar [pen:

Bapeda dan Badan Pertanahan] menyatakan bahwa daerah bantaran

merupakan milik pemerintah, selain itu pada tahun-tahun tersebut belum

ada bencana seperti tahun 2007. (Wawancara pada 21 Maret 2010)

Selain itu, pada saat diwawancarai terkait dengan konflik yang terjadi antara

pemerintah kota dan warga bantaran, Alim lebih banyak menyampaikan pendapatnya

terhadap konflik tersebut melalui sudut pandang seorang jurnalis. Hal itu membuat ia

lebih banyak bercerita tentang penyebab paling mendasar dari konflik tersebut, yang

ternyata berkaitan dengan masalah pertanahan yang terjadi sejak tahun 1970-an.

Lebih lanjut Alim menjelaskan bahwa selama dekade 1970-an hingga

sekarang wilayah bantaran rupanya lebih banyak dihuni oleh warga yang tinggal

secara liar atau warga yang tinggal dengan cara menyerobot tanah milik pemerintah

atau semacamnya. Ia menjelaskan hal itu dengan gaya yang santai namun tetap

serius.

Sepanjang perjalanan waktu dari tahun 80-an hingga tahun 2000-an

banyak tanah yang ditempati oleh warga yang sebenarnya tidak membeli

tanah tapi hanya menyerobot atau tinggal di sana secara liar. Karena itu

ada dua kelompok warga yang tinggal di daerah bantaran, yaitu kelompok

yang membeli tanah, dan kelompok yang hanya mendirikan bangunan

[pen: mendirikan bangunan secara liar]. (Wawancara pada 21 Maret

2010)

Dengan demikian kita dapat mengetahui bahwa tidak semua warga, yang tinggal di

wilayah bantaran Sungai Bengawan Solo, tinggal secara resmi dan memiliki bukti

otentik tentang kepemilikan tanah di wilayah bantaran. Hal itu menghasilkan dua

kategori warga yang tinggal di bantaran, yaitu warga yang tinggal secara resmi

karena memiliki sertifikat dan warga yang tinggal secara liar.

Fakta itu dikuatkan oleh pernyataan Sukasno SH, sebagai ketua DPRD

Surakarta. Ia pada dasarnya menjelaskan tentang kondisi struktural yang sebenarnya

dapat tumbuh menjadi potensi konflik di kemudian hari. Karena kesalahan

Page 96: · PDF fileperpustakaan.uns.ac.id   Disusun Untuk Memenuhi Tugas Akhir Sebagai S PROGRAM commit to user 1 Komunikasi dan Konflik Sosial

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

96

pemerintah di waktu lampau–pemerintah Orde Baru, karena tidak konsisten

menjalankan aturan. Secara lebih jelas, Sukasno menerangkan

Kalau saya boleh mengatakan, kesalahan ada pada pemangku kepentingan

atau pemerintah kota saat itu [pen: pemerintah kota pada 40 tahun silam].

Sekitar zaman Orde Baru. Sehingga ini sebagai sebuah pembelajaran

bahwa semua dinas yang terkait dengan itu tetap harus menjalankan

semua aturan yang sedang berlaku. Kalau dirunut siapa yang

mengeluarkan sertifikat seperti itu, tentu Badan Pertanahan, kok bisa bisa

begitu? Lha iya kok bisa?... Jadi pemerintah saat itu [pen: pemerintah

Orde Baru], pada dasarnya tidak konsisten menjalankan aturan. Hal yang

sama juga terjadi di Bengawan Solo, pada saat ini. (Wawancara pada 11

Mei 2010)

Fakta bahwa peralihan dan perubahan status tanah bantaran yang sebenarnya tidak

boleh di huni berubah menjadi pemukiman jelas merupakan janin konflik yang kelak

akan berkembang di kemudian hari. Sukasno SH sendiri tidak dapat menjelaskan

bagaimana perubahan status itu bisa terjadi selain hanya mengisayaratkan bahwa

semua yang dinas yang ada saat itu ikut bertanggungjawab atas semua kesahalan

tersebut.

Sebagai ketua DPRD, Sukasno SH, sudah menjabat selama dua periode,

karena kemampuannya dan mungkin juga kecakapannya dalam menjalankan tugas.

Di samping itu, Sukasno SH dikenal sebagai pribadi yang ramah dan murah senyum,

kepada semua orang termasuk kepada peneliti. Sejujurnya, sempat muncul

banyangan di benak peneliti, bahwa Sukasno SH, merupakan pribadi yang sulit

ditemui, sombong, dan super sibuk, mengingat jabatannya sebagai ketua DPRD.

Akan tetapi, semua pandangan dan gambaran tersebut sirna ketika bertemu langsung

dengan ketua DPRD tersebut. Menariknya lagi, Sukasno SH juga relatif kooperatif

dan memberikan begitu banyak informasi tentang permasalahan dana banjir yang

mencetuskan konflik.

Page 97: · PDF fileperpustakaan.uns.ac.id   Disusun Untuk Memenuhi Tugas Akhir Sebagai S PROGRAM commit to user 1 Komunikasi dan Konflik Sosial

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

97

Fakta bahwa ada perubahan status tanah terlarang menjadi tanah hak

miliki yang sah, seperti yang terjadi di tanah bantaran Sungai Bengawan Solo, yang

sekarang menjadi konflik, sebenarnya sudah lebih dari cukup untuk menghasilkan

konflik yang relatif besar di kemudian hari. Sebab, bagaimanapun juga kenyataan

seperti itu akan menimbulkan kerancuan hukum dan inkonsisitensi terhadap

penerapan aturan di kemudian hari. Secara struktural, kesalahan dalam penerapan

aturan akan menghasilkan kesalahan fatal di kemudian hari. Struktur konflik yang

terjadi di bantaran Sungai Bengawan Solo tentang dana bantuan banjir, tampaknya

disebabkan oleh hal semacam itu.

Penyebab struktural konflik yang terjadi lebih dari tiga puluh tahun lalu

serta terjadinya bencana banjir, tahun 2007, akhirnya memicu pertentangan antara

warga dengan pemerintah kota. Dengan demikian, aktivitas pemerintah kota yang

mulai melakukan pendataan korban banjir, yang terjadi pada tahun 2007, di wilayah

bantaran rupanya menjadi titik kritis dimulainya konflik antara warga bantaran

dengan pemerintah kota. Seorang warga bantaran bernama Maryono mengungkapkan

Pada akhir tahun 2007, semua daerah yang terkena banjir diminta untuk

mengirimkan data [pen: dalam hal ini data tentang perkiraan jumlah

kerugian sementara], isi data itu saya nggak ngerti, tapi data itu mungkin

digunakan untuk mendaftar atau data tentang siapa saja yang menjadi

korban banjir. Data tersebut dikirimkan ke balaikota sebagai awal untuk

meminta bantuan dari pusat [pen: pemerintah pusat di Jakarta]. Setelah

ada informasi bahwa dana tersebut sudah dikucurkan dari pusat, tiba-tiba

pemerintah kota bikin program yang bernama relokasi, karena pengertian

bantuan banjir tidak sampai pada pengalokasian dalam bentuk lain. Jadi

yang namanya bantuan banjir yang seharusnya tetap dalam bentuk

bantuan, bukan dalam bentuk yang lain, sehingga bantuan tersebut juga

harus dalam bentuk bantuan bukan diembel-embeli dengan tujuan dan

program yang lain. (Wawancara pada 12 Februari 2010)

Peryataan Maryono memberikan gambaran besar bahwa proses pendataan yang

dilakukan pemerintah kota untuk semua korban banjir rupanya tidak hanya

Page 98: · PDF fileperpustakaan.uns.ac.id   Disusun Untuk Memenuhi Tugas Akhir Sebagai S PROGRAM commit to user 1 Komunikasi dan Konflik Sosial

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

98

dimaksudkan untuk memberikan bantuan materi semata namun juga meluncurkan

program relokasi, yang kelak ditentang oleh sebagian warga bantaran.

Pernyataan tersebut dikuatkan oleh warga bantaran yang lain bernama

Nunuk Ismiyati. Ia secara pribadi mengungkapkan bahwa pendataan yang dilakukan

oleh pemerintah kota sebenarnya penuh dengan tipu daya atau mungkin juga

kesalahan.

Setelah itu sekitar bulan Maret atau April, kami diberi blangko sebagai

cara pendataan semua rumah yang terkena banjir di seluruh wilayah

sungai Bengawan Solo. Lalu setelah itu, saya, sebagai sekretaris RT, dan

ketua RT [pen: Agus Sumaryawan], mulai mendata siapa saja yang

terkena banjir, di blangko tersebut ada formulir yang bertujuan mendata

siapa saja yang tinggal di rumah tersebut dan nama KK yang terkait,

untuk pada akhirnya dikirim ke kelurahan lalu ke Bapeda. Beberapa bulan

kemudian semua pengurus RT diundang ke Bapeda untuk rapat dalam

rangka membahas semua data yang telah dikirim sebelumnya, untuk

diajukan ke menkokesra demi rehabilitasi rumah yang rusak karena

banjir. ... namun mak bedunduk [pen: sekonyong-konyong] ada woro-

woro wacana tentang program relokasi yang pada dasarnya ―mau yo

monggo‖ yang juga sempat disampaikan pak walikota ―mau yo monggo-

yen ora yo ora opo-opo, neng yen ono inspeksi soko Jakarta ojo salahne

aku‖ [pen: mau ya silahkan tidak mau ya tidak apa-apa, tapi kalau ada

pemeriksaan dari Jakarta jangan salahkan saya]. Dari sini-kan ada maksud

bahwa relokasi itu sukarela, tetapi dia, pak walikota, tanpa sepengetahuan

RT ada woro-woro akan diberikan bantuan sekitar 22,5 juta rupiah

sebagai ganti rumah dan fasilitas umum yang rusak khusus bagi penghuni

yang tinggal di tanah negara (TN). Jika dihitung-hitung jika tanah negara

(TN) sudah mendapatkan bantuan, maka sisanya-kan ada hak bantuan

bagi tanah hak milik (THM), tetapi mengapa sampai sekarang belum

dibayarkan. Itulah yang jadi masalah sampai sekarang. ... (Wawancara

pada 17 Februari 2010)

Peryataan yang dikatakan oleh Nunuk Ismiyati tersebut menujukkan bahwa

pemerintah kota sebenarnya menggulirkan program relokasi dengan cama

membonceng program dana banjir. Pendataan yang dilakukan pemerintah kota pada

tahun 2008 tampaknya lebih banyak ditujukan untuk menggulirkan program relokasi

tesrebut.

Page 99: · PDF fileperpustakaan.uns.ac.id   Disusun Untuk Memenuhi Tugas Akhir Sebagai S PROGRAM commit to user 1 Komunikasi dan Konflik Sosial

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

99

Penjelasan yang disampaikan Nunuk Ismiyati menujukkan bahwa

program relokasi yang dilakukan pemerintah terkesan tiba-tiba dan tanpa

pemberitahuan serta sosialisasi yang memadai atau setidaknya sosialisasi yang

diberikan pemerintah kota untuk warga bantaran kurang menjangkau sasaran. Hal itu

membuat munculnya beragam asumsi di antara warga bantaran atau setidaknya para

anggota SKoBB.

Sementara itu, koordinator dan ketua aksi sekaligus ketua SKoBB, Agus

Sumaryawan memberikan pernyataan bahwa konflik dan pertentangan ini dimulai

ketika pemerintah kota melakukan proses pendataan yang kelak digunakan sebagai

data relokasi. Padahal menurut pandangan Agus Sumaryawan, data tersebut hanya

digunakan sebagai data pemberian bantuan bagi korban banjir dan tidak ada

hubungan sama sekali dengan relokasi. Secara tegas ia menyatakan

Setelah banjir, pihak kelurahan mulai mendata semua warga yang tinggal

di bantaran untuk dimintakan bantuan. Setelah itu semua ketua RT yang

tinggal di bantaran disuruh ke pemerintah kota untuk mendapatkan

pengarahan seperti ini ―semua warga yang tinggal di bantaran pemberian

bantuan diberikan pada semua pemilik tanah, pemilik rumah, dan semua

warga baik yang tanah negara (TN) dan tanah hak milik (THM)‖. Tidak

ada sedikitpun muncul kata ―relokasi‖. Dengan demikian semua warga

yang tinggal menjadi korban banjir istilahnya hanya menunggu bantuan

dari pusat [pen: bantuan dari pusat yang diberikan melalui pemerintah

kota] yang akan segera cair dan tidak berbentuk material, kalau tidak

berbentuk materi pasti berbentuk uang. (Wawancara pada 23 Januari

2010)

Peryataan yang diberikan Agus Sumaryawan tampak berkesesuaian dengan

pernyataan yang diberikan Maryono dan Nunuk Ismiyati. Kenyataan itu menujukkan

bahwa konflik dan pertentangan tentang dana banjir antara warga bantaran dan

pemerintah kota dimulai oleh adanya pendataan korban banjir yang kelak digunakan

sebagai program relokasi. Berdasarkan peryataan tersebut muncul indikasi bahwa

Page 100: · PDF fileperpustakaan.uns.ac.id   Disusun Untuk Memenuhi Tugas Akhir Sebagai S PROGRAM commit to user 1 Komunikasi dan Konflik Sosial

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

100

pemerintah kota menggulirkan program relokasi secara tiba-tiba yang secara umum

jauh dari rencana awal yang hanya berupa pemberian bantuan banjir.

Kenyataan seperti itu rupanya dikuatkan oleh peryataan Agus

Sumaryawan yang secara umum menyatakan bahwa program relokasi tersebut baru

muncul pada pertengahan tahun 2008 hingga akhir tahun 2008. Dengan demikian

dapat diketahui bahwa program relokasi muncul belakangan setelah program bantuan

dana banjir disosialisasikan. Pada saat diwawancarai, ia menyatakan bahwa

Namun di akhir tahun 2008, mulai beredar kencang isu tentang relokasi,

sehingga warga yang tinggal di daerah ini mulai menentang secara keras,

bahkan di sini di pasang spanduk besar bertuliskan ―Tolak Relokasi

Sampai Titik Darah Penghabisan‖. Penolakan tersebut tampaknya

membuat pemerintah kota merapkan tak-tik belanda ―devide et

impera‖[pen: adu domba]. Di sini ada dua status tanah, tanah negara (TN)

dan tanah hak milik (THM), karena dipecah maka warga yang tinggal di

tanah negara menjadi takut terhadap pemerintah. Beberapa waktu setelah

itu ada sosialisasi yang diberikan oleh pemerintah kota berkaitan dengan

masalah relokasi tersebut yang intinya bermaksud mengatakan ―warga

yang mau relokasi silahkan, yang tidak mau silahkan, namun jika terjadi

sesuatu dari pemerintah pusat, pemerintah kota tidak ikut campur‖. Tetapi

proses sosialisasi tersebut seakan menekan warga yang tinggal di wilayah

bantaran untuk mau direlokasi. (Wawancara pada 23 Januari 2010)

Keberadaan program relokasi yang bagi warga dianggap sebagai program yang

berjalan sepihak membuat warga yang tinggal di bantaran Sungai Bengawan Solo

menolak dengan tegas program relokasi. Dengan demikian, warga hanya mau

menerima uang bantuan banjir namun menolak relokasi yang diberlakukan oleh

pemerintah kota.

Perhatikan lebih jauh peryataan yang diberikan oleh Agus Sumaryawan

tersebut. Secara langsung, ia menyatakan bahwa pemerintah tampaknya

mendiskriminasi warga-warga yang enggan direlokasi. Ia juga menjelaskan adanya

semacam bentuk tekanan sosial, mulai dari diskriminasi pembuatan KK (Kartu

Keluarga) hingga pengurusan sertifikat tanah, yang dilakukan pemerintah kota

Page 101: · PDF fileperpustakaan.uns.ac.id   Disusun Untuk Memenuhi Tugas Akhir Sebagai S PROGRAM commit to user 1 Komunikasi dan Konflik Sosial

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

101

terhadap warga yang enggan ikut serta dalam program relokasi. Kenyataan seperti itu

rupanya menjadi salah satu alasan warga yang tinggal di wilayah bantaran Sungai

Bengawan Solo untuk menggulirkan pertentangan kepada pemerintah kota terkait

dengan tuntutannya terhadap dana bantuan banjir dan penolakan terhadap program

relokasi.

Sosok Agus Sumaryawan dikenal sebagai seoarang yang dengan gigih

menentang program relokasi tapi mendukung program pencairan dana bantuan banjir

yang hingga saat ini belum dapat diselesaikan. Perwajahan Agus Sumaryawan

tampaknya dapat disamakan dengan Jaya Suprana, pemilik Museum Rekor

Indonesia. Selain itu, gaya bicaranya yang berapi-api dan ngotot dan berani

berpendapat membuat Agus Sumaryawan menjadi penentang program relokasi yang

digulirkan pemerintah kota. Pengaruhnya yang kuat di masyarakat bantaran

membuatnya berhasil menggerakkan masyarakat untuk mau berjuang bersama-sama

untuk melakukan beragam aksi yang terkait dengan penolakan program relokasi.

Tentang proses pendataan yang dipermasalahkan itu, Suparno HS,

seorang tokoh masyarakat, yang berperan besar terhadap program relokasi dan

beberapa program pemerintah yang lain, sebenarnya menjelaskan bahwa proses

pendataan tersebut sebenarnya digunakan sebagai data awal untuk mengetahui

seberapa parah kondisi korban banjir untuk pada akhirnya dimintakan bantuan dari

pemerintah pusat berupa uang untuk biaya perbaikan properti, relokasi sekaligus

membeli tanah warga yang berada di tanah hak milik serta yang berada di tanah

negara. Ia menjelaskan

Ya mungkin dari pemerintah kota, melalui lurah itu mulai mendata semua

korban banjir tahun 2007 untuk diajukan ke pemerintah pusat, ke Jakarta,

jadi datanya di taruh di sana [pen: pemerintah pusat]. Kemudian setelah

itu, data yang dikirim ke sana [pen: ke pemerintah pusat], dan ke

kelurahan, jadi kalau mau data lengkap semuanya ada di kelurahan. Terus

setelah semua korban di data, oleh walikota semua korban yang telah

Page 102: · PDF fileperpustakaan.uns.ac.id   Disusun Untuk Memenuhi Tugas Akhir Sebagai S PROGRAM commit to user 1 Komunikasi dan Konflik Sosial

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

102

didata tadi, dicatat dalam ‗buku putih‘ [pen: buku catatan tentang semua

korban banjir yang akan diberikan bantuan dan akan direlokasi], juga

yang ditepi bantaran itu juga ada ‗buku putih‘, semua itu bagi warga yang

menempati tanah negara. Setelah itu semua warga yang berada di tanah

negara, yang masuk dalam ‗buku putih‘ tadi semuanya kita data untuk

diajukan relokasi, sekaligus mendata semua warga yang bersedia relokasi,

sehingga tidak ada paksaan. (Wawancara pada 14 April 2010)

Suparno HS sendiri tidak menampik kenyataan bahwa proses pendataan tersebut

sebenarnya bertujuan untuk mendata semua korban banjir untuk pada saatnya

diberikan dana bantuan banjir sebagai ganti kerugian. Namun demikian, data tersebut

juga berfungsi sebagai data awal bagi upaya relokasi warga yang berada di sekitar

bantaran, terutama yang tinggal di tanah negara (TN).

Penjelasan yang diberikan oleh Suparno HS juga menekankan bahwa

proses relokasi itu bukanlah sebuah paksaan yang harus diikuti, namun sebuah

bentuk program pemerintah dengan sifat sukarela. Jadi warga sendiri yang berhak

memutuskan untuk ikut serta dalam relokasi atau tetap tinggal di wilayah bantaran

dengan segala resikonya. Apabila warga bersedia ikut serta dalam program relokasi,

maka warga tersebut harus menyerahkan beberapa syarat administratif sebagai

bentuk pengurusan administrasi oleh pemerintah kota. Kenyataan bahwa program

relokasi bersifat sukerela inilah yang belum banyak diketahui secara jelas oleh semua

warga bantaran Sungai Bengawan Solo, baik yang tinggal di tanah negara maupun

yang tinggal di tanah hak milik.

Ketika diwawancarai, Suparno HS juga menegaskan secara kuat bahwa

sebenarnya program relokasi tersebut bukanlah sebuah keharusan, sama seperti yang

pernah dikatakan oleh Agus Sumaryawan. Ketua Pokja tersebut menyatakan bahwa

―Setelah itu semua warga yang berada di tanah negara, yang masuk dalam ‗buku

putih‘ tadi semuanya kita data untuk diajukan relokasi, sekaligus mendata semua

warga yang bersedia relokasi, sehingga tidak ada paksaan.‖ (Wawancara pada 14

Page 103: · PDF fileperpustakaan.uns.ac.id   Disusun Untuk Memenuhi Tugas Akhir Sebagai S PROGRAM commit to user 1 Komunikasi dan Konflik Sosial

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

103

April 2010). Tidak adanya paksaan dalam relokasi sebenarnya sangat ditekankan

oleh Suparno HS dalam setiap pernyataan yang diberikan. Hanya saja Ia dan

pemerintah kota hanya menekankan bahwa wilayah bantaran Sungai Bengawan Solo

merupakan larangan untuk hunian warga

Pemerintah kota tidak pernah memaksa untuk relokasi, tetapi itu-kan

tempat larangan, bukan tempat pemukiman. Lalu saya dari pokja bilang

begini ―mbok ya sudah program pemerintah diikuti saja, wong banjir itu

merepotkan orang banyak, selain hanya merepotkan sendiri‖.

(Wawancara pada 14 April 2010)

Pernyataan serupa juga dilakukan oleh Suparno HS pada saat sosialisasi sebelum

program relokasi digulirkan.

Ya diberi pemahaman seperti ini, ―Anda itu menempati tanah negara‖

atau dibalik seperti ini ‖Anda itu setiap tahun kebanjiran, kalau begitu

Anda merepotkan diri sendiri dan orang banyak, maka dari itu pemerintah

memberlakukan relokasi dengan pemberian uang sekian.‖ (Wawancara

pada 14 April 2010)

Paparan yang diberikan oleh Suparno HS sebenarnya menujukkan itikad baik

pemerintah untuk menertibkan penghuni wilayah bantaran yang kebanyakan tinggal

secara liar di tanah negara, sekaligus mensahkan mereka untuk dapat tinggal secara

resmi, melalui program relokasi.

Warga bantaran yang menerima relokasi kebanyakan berasal dari tanah

negara (TN). Keberadaan warga di tanah negara dianggap sebagai penghuni liar.

Karena itu ketika pemerintah kota menggulirkan program relokasi, sekaligus

mensahkan posisi hukum dan status tanah yang mereka miliki, warga bantaran yang

tinggal di tanah negara langsung setuju. Saryono, sebagai warga bantaran yang

mendukung relokasi menyatakan bahwa

Sebetulnya tanah itu [pen: tanah bantaran] tidak boleh ditempati,

berhubung orang kepepet, ya mau nggak mau, orang ya saya kerjanya di

situ, jadi ya tinggal di situ juga [pen: kawasan bantaran]. Terus dari

pemerintah, karena selalu setiap hujan banjir, setiap hujan banjir, dari

Page 104: · PDF fileperpustakaan.uns.ac.id   Disusun Untuk Memenuhi Tugas Akhir Sebagai S PROGRAM commit to user 1 Komunikasi dan Konflik Sosial

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

104

pemerintah mengadakan rapat yang dibantaran tanggul itu mau direlokasi.

Itu juga ada yang menolak, juga ada yang menerima, tapi Alhamdulillah

banyak yang menerima begitu. (Wawancara pada 20 April 2010)

Penjelasan Saryono memberikan pemahaman bahwa warga bantaran yang menerima

program relokasi kebanyakan berada di kawasan tanah negara yang sepenuhnya

belum memiliki sertifikat tanah dan bukti pengesahan lainnya. Selain itu bujukan

pemerintah terhadap mereka mungkin dapat dikatakan berhasil. Akan tetapi bujukan

pemerintah kepada warga yang tinggal di tanah hak milik (THM) sepertinya kurang

membuahkan hasil nyata.

Namun demikian, tidak semua warga bantaran tinggal secara liar, ada

beberapa warga yang tinggal di wilayah bantaran secara resmi karena memiliki

sertifikat tanah, seperti yang terjadi pada Agus Sumaryawan dan kawan-kawan.

Mereka mulai menggulirkan konflik dan pertentangan kepada pihak pemerintah kota

dengan mengedepankan isu relokasi terhadap semua warga yang tinggal di tanah

negara maupun yang tinggal di tanah hak milik. Kenyataan seperti itu membuat

sebagian warga yang tinggal di tanah hak milik mulai resah dan menganggap

pemerintah kota berupaya keras menyingkirkan mereka dari wilayah bantaran

sekaligus menahan dan menunda uang pembayaran bantuan banjir yang seharusnya

menjadi hak mereka. Selain itu kepemilikan sah terhadap tanah di wilayah bantaran

juga berhasil membuat pemerintah kota cukup kerepotan, pasalnya ada bukti sah

yang menguatkan warga yang tinggal di tanah hak milik. Kebanyakan warga yang

tinggal di tanah hak milik hanya mau pindah dengan imbalan yang pantas atau

setidaknya membeli tanah mereka dengan harga yang pantas.

Kesimpang-siuran dan pemahaman yang kurang terhadap program

pemerintah tentang relokasi dan dana bantuan banjir menimbulkan beragam asumsi

Page 105: · PDF fileperpustakaan.uns.ac.id   Disusun Untuk Memenuhi Tugas Akhir Sebagai S PROGRAM commit to user 1 Komunikasi dan Konflik Sosial

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

105

negatif dan persepsi keliru di antara warga. Ketika Suparno HS ditanya tentang awal

pertentangan warga dengan pemerintah kota tersebut, ia menjawab

Itu, kemungkinan, menurut analisa saya karena salah persepsi, dan

mungkin juga ada beberapa orang yang memiliki sisi fungsionaris atau

mungkin juga kepentingan tertentu, yang membuat masalahnya menjadi

tidak jelas. Padahal dulu waktu saya lihat, sebenarnya semuanya sudah

jelas pemahaman waktu sosialisasi dengan pak wali tentang relokasi.

(Wawancara pada 14 April 2010)

Pernyataan yang diberikan Suparno HS sebenarnya menujukkan bahwa warga hanya

salah menanggapi program relokasi warga yang tinggal di wilayah bantaran. Padahal

pada kenyataannya pemerintah telah melakukan sosialisasi kepada warga untuk

memberikan pemahaman tentang program bantuan banjir dan relokasi yang hendak

dilakukan oleh pemerintah kota. Akan tetapi, sosialisasi tersebut kurang menjangkau

sasaran, sehingga menimbulkan munculnya beragam persepsi keliru.

Hal itu membuat pemerintah kota banting setir untuk berusaha keras

menyelesaikan permasalahan ini tanpa harus merugikan warga yang tinggal di

bantaran, terutama warga yang tinggal di tanah hak milik, meskipun hasilnya belum

memuaskan. Karena itu pemerintah kota menunda pembayaran uang bantuan banjir,

sebesar 8,5 juta yang menjadi hak mereka, sambil mengupayakan pembelian tanah

warga bantaran, yang tinggal di tanah hak milik, yang bersedia direlokasi. Suparno

HS juga menyatakan bahwa

Ya, kan mulai tahun 2009 dulu sudah dimulai. Termasuk pemberian uang

dari walikota sebesar 12 juta dengan 8,5 juta untuk banjir. Bagi warga

yang rumah rusak berat ya silahkan diperbaiki, kalau rumahnya berada di

bantaran ya direlokasi. Nantinya yang tinggal di tanah hak milik itu juga

dapat 8,5 juta [pen: perselesihan ini dimotori oleh warga yang tinggal di

tanah hak milik]. Yang jadi keinginan mereka kan uangnya mau diminta

sekarang, itu saja kan. Jadi yang jelas relokasi tetap jalan, kami juga tidak

mau mengurangi hak mereka. (Wawancara pada 14 April 2010)

Page 106: · PDF fileperpustakaan.uns.ac.id   Disusun Untuk Memenuhi Tugas Akhir Sebagai S PROGRAM commit to user 1 Komunikasi dan Konflik Sosial

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

106

Pernyataan yang diberikannya juga mengisayaratkan bahwa pemerintah kota tidak

berniat menunda atau menghambat proses pembayaran dana bantuan banjir, sebesar

8,5 juta, kepada warga bantaran. Pemerintah kota hanya harus menyelesaikan semua

permasalahan relokasi yang masih menyisakan beberapa warga, sebelum akhirnya

melakukan sosialisasi untuk menyelesaikan permasalahan yang melingkupi warga

yang tinggal di bantaran Sungai Bengawan Solo, yang enggan direlokasi–warga yang

tinggal di tanah hak milik.

Penjelasan yang senada diberikan oleh wakil pemerintah kota yang lain,

Widdi Srihanto. Sebagai ketua dari Bapermas, Widdi Srihanto merupakan salah satu

orang yang berada dalam program pemerintah tentang relokasi dan dana bantuan

banjir yang tertunda tersebut. Ia menjelaskan bahwa

Ya, kalau uang laksanakan dan akan kami beri bantuan, tapi kalau mereka

tidak terdata dan mereka tinggal di wilayah bantaran maka jangan

salahkan saya. Setalah saya verifikasi semua surat tanahnya ternyata di

sana ada nama gubernur akte tanah mereka, konsep rumah tersebut

sebenarnya bukan rumah standar, konsep rumah tersebut ialah konsep

rumah yang berdiri di daerah pemukiman, bukan di daerah bantaran.

(Wawancara pada 25 Mei 2010)

Penjelasan dari Widdi Srihanto pada dasarnya menujukkan bahwa pemerintah kota

tidak berniat menunda dana bantuan banjir yang akan diberikan kepada warga

bantaran yang tinggal di tanah hak milik (THM), yang menggulirkan perselisihan ini.

Penundaan tersebut hanya berhubungan dengan pencarian konsep yang tepat untuk

menyelesaikan permasalahan warga bantaran, terutama yang tinggal di tanah hak

milik. Selain itu ia juga menjelaskan bahwa

Kami tidak merelokasi tanah hak milik, hak milik nanti akan kami kasih

ganti rugi, karena hak milik sudah memiliki legitimasi oleh negara, jadi

jelas perlakukannya berbeda. Tapi untuk tanah negara mereka tidak diakui

oleh pemerintah, jadi ada hubungannya dengan aspek hukum pertanahan.

(Wawancara pada 25 Mei 2010)

Page 107: · PDF fileperpustakaan.uns.ac.id   Disusun Untuk Memenuhi Tugas Akhir Sebagai S PROGRAM commit to user 1 Komunikasi dan Konflik Sosial

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

107

Keterangan tersebut menguatkan pendapat yang diberikan Suparno HS bahwa

pemerintah kota memang tidak berniat menunda dana bantuan banjir yang menjadi

hak warga bantaran, termasuk warga yang enggan direlokasi karena tinggal di tanah

hak milik (THM).

Pernyataan lain tentang relokasi diberikan oleh Sukasno SH, sebagai

ketua DPRD Surakarta. Secara umum ia memandang program relokasi sebagai

program yang benar, karena ia sendiri menganggap bahwa tanah bantaran itu

bukanlah tempat hunian. Karena itu, Sukasno SH lebih banyak menujukkan

dukungannya terhadap program yang digulirkan oleh pemerintah kota

Pemerintah kota berencana untuk merelokasi warga bantaran, dan hal itu

nyambung dengan program pemerintah pusat bahwa pemerintah pusat

tentang pengelolaan Sungai Bengawan Solo, yang salah satu proyeknya

merupakan peninggian tanggul-tanggul di Bengawan Solo, dan Solo

merupakan satu kota yang mendapatkan proyek tersebut. (Wawancara

pada 11 Mei 2010)

Lebih lanjut Sukasno SH memberikan pernyataan bahwa program relokasi tersebut

memang harus diberlakukan oleh pemerintah kota, karena tanah bantaran memang

bukan berfungsi sebagai tanah hunian

Sehingga, kalau masyarakat yang menghuni bantaran itu hunian liar, ya

harus memahami, bahwa ada undang-undang dan perda, bantaran itu

harus bebas dari hunian dan sebagainya, sehingga ya seharusnya mereka

tidak disitu. ... Jadi kalau mereka nekat bertahan sampai titik darah

penghabisan, menurut saya ya tidak pas juga, karena mereka disitu

menghuni tanah bantaran. ... Persoalannya, saya juga heran, kok dulu ya

bisa kalau bantaran bisa jadi hunian, soalnya ada kan di undang-undang

itu jelas, tanah bantaran itu seperti apa.

Meskipun secara tidak langsung Sukasno SH tidak menyebutkan dukunganya

terhadap program relokasi, tetapi pernyataan yang diberikan dalam proses

wawancara menujukkan bahwa ia dengan aktif mendukung program relokasi.

Page 108: · PDF fileperpustakaan.uns.ac.id   Disusun Untuk Memenuhi Tugas Akhir Sebagai S PROGRAM commit to user 1 Komunikasi dan Konflik Sosial

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

108

Walaupun sebenarnya Sukasno SH sendiri sadar bahwa program relokasi tersebut

menuai beragam kontroversi di kalangan warga bantaran.

Kembali ke permasalahan tentang dana bantuan banjir, sebenarnya

permasalahan dan pertentangan ini dapat dicegah apabila pemerintah kota dan warga

yang menggulirkan konflik mau berpikir jernih untuk tidak saling memaksakan

kehendak masing-masing, terutama yang berkaitan dengan pembayaran dana bantuan

banjir yang seharusnya menjadi hak warga. Maryono, salah satu aktivis SKoBB

mengatakan

Sebenarnya saya yakin apabila dulu pemerintah tidak terlambat

menurunkan bantuan, maka hasilnya tidak akan seperti ini. Kalau dulu

pemerintah menurunkan bantuan sekitar 2,5 juta dulu, tetapi berhubung

pemerintah sudah terlanjur salah, serta dana yang dikeluarkan sudah

banyak, maka kawan-kawan yang dulu menderita banjir paling besar

mungkin juga merasa tidak mau bantuannya disamakan dengan kawan-

kawan yang henya kebanjiran selutut atau yang tidak kena banjir.

(Wawancara pada 12 Februari 2010)

Permasalahan berbasis ekonomi ini sebenarnya tidak perlu terjadi dan tidak

seharusnya terjadi apabila ada upaya untuk bersabar terhadap bantuan yang akan

diterima. Di samping itu apabila pemerintah kota tidak menunda pembayaran

bantuan banjir ini maka pertikaian antara warga bantaran dan pemerintah kota tidak

akan jadi serumit ini.

2. Pola dan Proses Komunikasi pada Penyebab Konflik

Pada dasarnya konflik yang terjadi antara warga bantaran dan pemerintah

kota melibatkan persoalan komunikasi dan semua unsur yang terkait di dalamnya.

Hal itu membuat semua unsur komunikasi sebenarnya mengambil peran penting

yang mempengaruhi kegagalan komunikasi yang menjadi penyebab konflik tersebut.

Pemerintah kota sebenarnya sudah melakukan proses komunikasi melalui sosialisasi

Page 109: · PDF fileperpustakaan.uns.ac.id   Disusun Untuk Memenuhi Tugas Akhir Sebagai S PROGRAM commit to user 1 Komunikasi dan Konflik Sosial

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

109

kepada semua warga bantaran secara umum. Namun demikian kegagalan komunikasi

tidak dapat dielakkan karena munculnya faktor tertentu yang membuat pemerintah

kota kurang memahami bagaimana kondisi bantaran secara umum.

Sosialisasi yang dilakukan pemerintah kota kepada warga bantaran

tentang relokasi hanya ditujukan kepada warga yang tinggal di tanah negara (TN).

Padahal ada warga bantaran yang tinggal di tanah hak milik (THM). Kondisi tersebut

kontan membuat warga yang tinggal di tanah hak milik (THM) tidak memiliki

informasi yang tepat tentang bagaimana faktor relokasi tersebut diberlakukan dan

dijalankan oleh pemerintah kota. Selain itu pemerintah kota sudah terlanjur

menjanjikan bantuan uang kepada semua warga bantaran baik yang tinggal di tanah

negara (TN) dan yang tinggal di tanah hak milik (THM). Selain itu, kurangnya

informasi yang diperlukan oleh warga bantaran di tanah hak milik (THM) untuk

membuat suatu keputusan yang tepat, meneyababkan munculnya konflik kepentingan

tersebut. Hal itu menjadi faktor umum yang mendorong terjadinya konflik. Di lain

pihak, pemerintah kota juga tidak kunjung mengadakan sosialisasi yang tepat dan

ditujukan bagai warga bantaran yang tinggal di tanah hak milik (THM), sehingga

mendorong percepatan konflik tersebut.

Di samping itu, penundaan pembayaran uang dilakukan pemerintah kota

memunculkan kesalahan persepsi dan miscommunication di kalangan warga

bantaran, bahwa pemerintah kota sengaja menunda pembayaran dana bantuan banjir

sebesar 8,5 juta dengan syarat harus relokasi. Padahal berdasarkan penjelasan

Suparno HS, pemerintah hanya akan merelokasi warga yang bersedia ikut relokasi

saja. Sedangkan yang bagi warga yang tinggal di tanah hak milik, yang bersedia

direlokasi, pemerintah akan membeli tanah warga dengan harga yang pantas. Namun

demikian, sejauh ini pemerintah belum melaksanakan sosialisasi untuk warga yang

Page 110: · PDF fileperpustakaan.uns.ac.id   Disusun Untuk Memenuhi Tugas Akhir Sebagai S PROGRAM commit to user 1 Komunikasi dan Konflik Sosial

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

110

tinggal di tanah hak milik, sehingga proses relokasi yang berjalan bagi warga

bantaran yang tinggal di tanah hak milik masih terhambat. Selain itu pemerintah kota

harus menuntaskan semua permasalahan tersebut pada tahun 2010 ini, dan

membayarkan semua uang yang menjadi hak warga bantaran.

Dari semua penjelasan para tokoh masyarakat yang berkompeten dan

berperan langsung menunjukkan bahwa pertikaian dan pertentangan yang terjadi

antara warga bantaran dengan pemerintah kota terjadi karena kesalahan persepsi dan

komunikasi di antara kedua belah pihak. Setidaknya ada dua indikasi yang

menunjukkan bahwa konflik tersebut dimulai dengan kesalahan persepsi dan

komunikasi. Indikasi pertama datang dari pernyataan masyarakat dan

pemahamannya terhadap program pemerintah, seperti yang ditunjukkan oleh

pernyataan Maryono bahwa

data itu mungkin digunakan untuk mendaftar atau data tentang siapa saja

yang menjadi korban banjir. Data tersebut dikirimkan ke balaikota

sebagai awal untuk meminta bantuan dari pusat [pen: pemerintah pusat di

Jakarta]. Setelah ada informasi bahwa dana tersebut sudah dikucurkan

dari pusat, tiba-tiba pemerintah kota bikin program yang bernama

relokasi, karena pengertian bantuan banjir tidak sampai pada

pengalokasian dalam bentuk lain. (Wawancara pada 12 Februari 2010)

Pernyataan yang serupa juga diberikan oleh Agus Sumaryawan. Ia menjelaskan

... Tidak ada sedikitpun muncul kata ―relokasi‖. Dengan demikian semua

warga yang tinggal menjadi korban banjir istilahnya hanya menunggu

bantuan dari pusat [pen: bantuan dari pusat yang diberikan melalui

pemerintah kota] yang akan segera cair dan tidak berbentuk material,

kalau tidak berbentuk materi pasti berbentuk uang. (Wawancara pada 23

Januari 2010)

... Namun di akhir tahun 2008, mulai beredar kencang isu tentang

relokasi, sehingga warga yang tinggal di daerah ini mulai menentang

secara keras, bahkan di sini di pasang spanduk besar bertuliskan ―Tolak

Relokasi Sampai Titik Darah Penghabisan.‖. ... Beberapa waktu setelah

itu ada sosialisasi yang diberikan oleh pemerintah kota berkaitan dengan

masalah relokasi tersebut yang intinya bermaksud mengatakan ―warga

yang mau relokasi silahkan, yang tidak mau silahkan, namun jika terjadi

sesuatu dari pemerintah pusat, pemerintah kota tidak ikut campur‖. Tetapi

Page 111: · PDF fileperpustakaan.uns.ac.id   Disusun Untuk Memenuhi Tugas Akhir Sebagai S PROGRAM commit to user 1 Komunikasi dan Konflik Sosial

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

111

proses sosialisasi tersebut seakan menekan warga yang tinggal di wilayah

bantaran untuk mau direlokasi. (Wawancara pada 23 Januari 2010)

Pernyataan kedua orang tokoh tersebut menunjukkan pemahaman bahwa ada

kesenjangan dan salah pengertian terhadap semua informasi yang telah diterima,

terutama bagi warga bantaran yang tinggal di tanah hak milik (THM). Hal itu

mungkin disebabkan adanya keterbatasan informasi yang diterima atau pemahaman

terhadap informasi yang kurang baik.

Sementara itu, tokoh penting di belakang relokasi, Suparno HS,

memberikan pernyataan yang berhubungan dengan alasan pemerintah kota

memberlakukan relokasi bagi masyarakat bantaran di wilayah Semanggi. Suparno

HS menyatakan

Terus setelah semua korban di data, oleh walikota semua korban yang

telah didata tadi, dicatat dalam ‗buku putih‘ [pen: buku catatan tentang

semua korban banjir yang akan diberikan bantuan dan akan direlokasi],

juga yang di tepi bantaran itu juga ada ‗buku putih‘, semua itu bagi warga

yang menempati tanah negara. Setelah itu semua warga yang berada di

tanah negara, yang masuk dalam ‗buku putih‘ tadi semuanya kita data

untuk diajukan relokasi, sekaligus mendata semua warga yang bersedia

relokasi, sehingga tidak ada paksaan. (Wawancara pada 14 April 2010)

Ia juga menyatakan bahwa relokasi terhadap warga bantaran itu bukanlah sebuah

paksaan meskipun sebenarnya wilayah bantaran memang pada hakekatnya bukan

tempat hunian yang baik. Seperti yang dijelaskan dalam pernyataan berikut

Pemerintah kota tidak pernah memaksa untuk relokasi, tetapi itu-kan

tempat larangan, bukan tempat pemukiman. Lalu saya dari pokja bilang

begini ―mbok ya sudah program pemerintah diikuti saja, wong banjir itu

merepotkan orang banyak, selain hanya merepotkan sendiri‖.

... Nantinya yang tinggal di tanah hak milik itu juga dapat 8,5 juta [pen:

perselesihan ini dimotori oleh warga yang tinggal di tanah hak milik].

Yang jadi keinginan mereka kan uangnya mau diminta sekarang, itu saja

kan. Jadi yang jelas relokasi tetap jalan, kami juga tidak mau mengurangi

hak mereka.

Page 112: · PDF fileperpustakaan.uns.ac.id   Disusun Untuk Memenuhi Tugas Akhir Sebagai S PROGRAM commit to user 1 Komunikasi dan Konflik Sosial

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

112

Selain itu, Suparno HS menegaskan bahwa nanti pemerintah kota pasti akan

membayarkan semua uang bantuan banjir yang seharusnya menjadi hak warga

sebesar 8,5 juta pada tahun 2010 ini. Sehingga ada upaya dari pemerintah kota untuk

tidak merugikan rakyat.

Di samping itu perselisihan ini rupanya juga dimulai oleh persepsi

masyarakat bantaran bahwa mereka akan mereka akan mendapatkan bantuan jika

mereka direlokasi terlebih dahulu, terutama warga yang tinggal di tanah hak milik

(THM). Ketakutan mereka tidak akan mendapat bantuan uang banjir sebesar 8,5 juta

rupian membuat mereka bertindak dan menggulirkan konflik menentang program

pemerintah. Padahal pemerintah kota hanya menunda pembayaran uang ganti rugi

mereka karena harus mengurusi permasalahan relokasi. Kesalahan persepsi yang

diterima warga bantaran, rupanya juga dikuatkan karena tidak adanya kejelasan

kapan pembayaran uang dana bantuan banjir tersebut akan dibayarkan, sehingga

membuat masyarakat mulai menggulirkan konflik.

Kedua, salah pengertian tersebut muncul karena pemerintah kurang

memberikan sosialisasi yang memadai terhadap semua warga bantaran khususnya

yang tinggal di tanah hak milik (THM), dan warga Semanggi umumnya, tentang

kapan dana bantuan banjir tersebut dibayarkan. Di samping itu, sosialisasi yang

pernah dilakukan pemerintah kota pada awalnya hanya terbatas pada warga yang

tinggal di tanah negara (TN), padahal kenyataannya ada warga yang tinggal di tanah

hak milik (THM). Jika pemerintah kota berniat merelokasi warga bantaran yang

tinggal di tanah hak milik, maka perlu ada sosialisasi lanjutan yang bertujuan

menjelaskan semua maksud dan tindakan pemerintah yang akan dilakukan. Selain

itu, karena program ini bersifat sukarela, tanpa paksaan, pemerintah kota harus

membayarkan semua uang dana bantuan yang menjadi hak warga yang enggan

Page 113: · PDF fileperpustakaan.uns.ac.id   Disusun Untuk Memenuhi Tugas Akhir Sebagai S PROGRAM commit to user 1 Komunikasi dan Konflik Sosial

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

113

direlokasi, tanpa syarat apapun. Tidak adanya proses sosialisasi lanjutan membuat

munculnya salah pengertian dan kegagalan komunikasi yang mencetuskan konflik

dan pertentangan antara warga bantaran dan pemerintah kota.

Semua pernyataan yang diberikan oleh para tokoh yang berada di

belakang pemerintah kota serta para tokoh dari warga bantaran pada dasarnya

membentuk suatu pola komunikasi yang dapat dilihat berdasarkan unsur komunikasi

dan interaksi antara unsur-unsur tersebut. Interaksi antarkomponen penyusun proses

komunikasi yang terjadi pada penyebab konflik pada dasarnya menghubungkan dan

membuat penyebab konflik menjadi suatu persoalan yang membutuhkan proses

komunikasi tertentu. Dalam kasus awal perselisihan ini pemerintah kota bertindak

sebagai komunikator yang memberikan sejumlah pesan tertentu melalui sebuah

aktivitas yang dikenal sebagi sosialisasi. Pesan tersebut sebagian besar berkaitan

dengan program relokasi warga bantaran dengan menggunakan dana bantuan banjir

yang dulu sempat dijanjikan oleh pemerintah kota. Di samping itu pesan dari

pemerintah kota tersebut berisikan penundaan pembayaran dana bantuan banjir bagi

warga bantaran yang tinggal di tanah hak milik (THM), termasuk yang memulai

perselisihan, karena ada masalah administrastif yang harus diselesaikan serta ada

upaya untuk mencari proses penyelesaian yang tepat untuk relokasi warga bantaran

yang tinggal di tanah hak milik.

Sementara itu warga bantaran sebagai komunikan mengganggap bahwa

program relokasi merupakan suatu paksaan dan bentuk tekanan pemerintah kepada

warga bantaran agar mau dipindahkan dari wilayah mereka di bantaran. Padahal

pemerintah kota pada dasarnya hanya menunda pembayaran dana bantuan banjir

tersebut, sambil mencari konsep penyelesaian yang tepat bagi warga yang tinggal di

tanah hak milik. Perbedaan persepsi antara pemerintah kota dengan yang telah

Page 114: · PDF fileperpustakaan.uns.ac.id   Disusun Untuk Memenuhi Tugas Akhir Sebagai S PROGRAM commit to user 1 Komunikasi dan Konflik Sosial

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

114

diterima oleh warga bantaran. Bentuk miscommunication antara pemerintah kota

dengan warga bantaran menjadi awal perselisiahan yang ketat antara dua pihak

tersebut. Perselisihan tersebut menempatkan pemerintah kota dan warga bantaran

menjadi dua pihak yang berseteru pada konflik tentang dana banjir dan program

relokasi tersebut. Tanggapan atau feedback yang dihasilkan oleh warga bantaran

terkait dengan semua permasalahan tersebut ialah bentuk konflik dan eskalasi konflik

yang secara umum semakin meningkat.

3. Analisis Terhadap Penyebab Konflik

Penyebab konflik, karena bentuk-bentuk salah pengertian dan kesalahan

pemahaman terhadap suatu informasi setidaknya menunjukkan adanya kesalahan dan

kegagalan proses komunikasi dan arus informasi dari satu pihak ke pihak yang lain.

Hal itu, akan menghasilkan arus penyampaian infromasi yang kurang sempurna atau

mungkin sukar dipahami oleh pihak yang lain. Perhatikan kenyataan bahwa kedua

pihak yang bersitegang–warga bantaran dengan pemerintah kota–saling

menyampaikan informasi yang pada dasarnya seragam dan mirip satu dengan yang

lain, yaitu berkisar antara, pendataan korban banjir, sosialisasi, bantuan banjir, dan

program relokasi. Meskipun semua pihak berujar dengan beragam ungkapan yang

berbeda, namun inti mereka tetap pada seputar informasi tersebut. Hal ini,

sebenarnya memberikan indikasi bahwa kemungkinan besar, ada salah satu pihak

yang salah memberikan penilaian dalam menanggapi suatu informasi yang diberikan.

Kondisi tersebut, rupanya semakin diperparah dengan munculnya

beragam asumsi negatif, dengan dasar informasi yang kurang lengkap, sehingga

mengisyaratkan adanya saling ketidakpercayaan di antara kedua pihak yang

berseteru. Hampir semua pendapat yang diajukan oleh informan memberikan

Page 115: · PDF fileperpustakaan.uns.ac.id   Disusun Untuk Memenuhi Tugas Akhir Sebagai S PROGRAM commit to user 1 Komunikasi dan Konflik Sosial

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

115

indikasi bahwa pihak lain yang salah, sementara pihak kami yang benar. Hal itu jelas

menambah kesenjangan dan jurang komunikasi yang kian lebar di antara pihak-pihak

yang terlibat dalam konflik.

Selain kedua penyebab umum tersebut, faktor kegagalan komunikasi dan

kesalahan persepsi terhadap suatu informasi, rupanya semakin memperkeruh suasana

konflik yang terjadi antara pemerintah kota dengan warga bantaran. Hal ini jelas

berkesesuaian dengan penjelasan yang diberikan oleh Paul R. Kimmel. Kimmel

menjelaskan bahwa kebanyakan kesalahan komunikasi (miscommunication) terjadi

karena beragam kesulitan untuk menyamakan persepsi, atau pola pikir (mindset)

antara pihak yang terlibat (Kimmel, 2009: 629). Berdiri di pijakan syang sama

dengan Kimmel, Carsten K.W. De Dreu menyoroti penyebab konflik melalui sudut

pandang berbeda namun dengan hasil dan implikasi yang sama. Secara terpisah De

Dreu menjelaskan bahwa konflik dapat terjadi karena munculnya motivasi-motivasi

egois yang berhubungan dengan pembentukan beragam tujuan kompetitif dan

kepentingan individualistis semata, terlebih lagi ada faktor kesalahan kognitif dalam

menanggapi satu pesan (De Dreu, 2004: 116).

Keterangan dan paparan yang serupa namun tak sama tentang penyebab

konflik diberikan oleh beberapa ilmuwan komunikasi. Anne Hill dan koleganya

menyatakan bahwa perbedaan identitas kelompok serta beragam anggapan yang

salah serta munculnya praduga yang berbeda bukan satu-satunya sumber konflik,

bahkan Baron dan koleganya (2006) mengidentifikasi ada beragam sumber konflik

yang dapat ditemukan (dalam Hill, et al, 2007: 93). Senada dengan Hill dan kawan-

kawan (2007), Peter Hartley juga mengidentifikasi penyebab konflik yang sama.

Hartley menjelaskan bahwa munculnya perbedaan kelompok serta pemahaman dan

komunikasi yang salah terhadap suatu pesan dapat menjadi penyebab konflik

Page 116: · PDF fileperpustakaan.uns.ac.id   Disusun Untuk Memenuhi Tugas Akhir Sebagai S PROGRAM commit to user 1 Komunikasi dan Konflik Sosial

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

116

(Hartley, 1999:118). Keterangan para ilmuwan komunikasi itu alih-alih menentang

pendapat yang diberikan Kimmel (2009) dan De Dreu (2004), pendapat mereka

justru menunjukkan dukungan bahwa kesalahan interpretasi dan komunikasi menjadi

penyebab utama konflik, termasuk dalam kasus perselisihan antara warga bantaran

dan pemerintah kota.

Pendapat yang diberikan oleh para pakar komunikasi dan konflik di atas,

tampaknya sesuai dengan kenyataan dan penyebab konflik antara warga bantaran

Sungai Bengawan Solo dan pemerintah kota. Perhatikan fakta bahwa kesalahan

persepsi terjadi di antara kedua pihak yang telibat perselisihan. Pemerintah kota

menganggap warga yang tinggal di bantaran–terutama yang tinggal di tanah hak

milik–tidak mau direlokasi, apapun yang terjadi. Sementara itu, warga bantaran

menganggap pemerintah kota tidak mau membayarkan uang bantuan banjir mereka,

tanpa relokasi lebih dahulu. Kenyataan tersebut, membuat munculnya beragam

persepsi keliru yang pada akhirnya mendorong menuju perselisihan. Selain itu,

perhatikan bahwa kepentingan masing-masing pihak yang terlibat dalam perselisihan

tersebut menunjukkan bahwa semua pihak merasakan bahwa kepentingan merekalah

yang paling benar. Dengan demikian, penjelasan De Dreu (2004) tentang peranan sisi

egoistik sebagai penyebab konflik, agaknya menemui pembenarannya.

Kembali ke pembahasan tentang penyebab konflik yang terjadi antara

warga bantaran dengan pemerintah kota. Fakta yang tersirat jelas di lapangan

menunjukkan bahwa bentuk kesalahpahaman, kegagalan komunikasi dan egoisme

masing-masing pihak dapat menghasilkan suatu konflik dengan eskalasi luas apabila

tidak diselesaikan dan segera dicari jalan keluar serta pemecahannya. Selain itu,

kenyataan bahwa masyarakat bantaran Sungai Bengawan Solo, dan sebagian

masyarakat Semanggi, merupakan warga yang berada di kelas sosial menengah ke

Page 117: · PDF fileperpustakaan.uns.ac.id   Disusun Untuk Memenuhi Tugas Akhir Sebagai S PROGRAM commit to user 1 Komunikasi dan Konflik Sosial

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

117

bawah hingga miskin, membuat penyebab pertentangan bermotif ekonomi tersebut

menjadi semakin rumit.

Dengan dasar ekonomi, Larry A. Samovar menjelaskan bahwa suatu

konflik pada dasarnya bisa disebabkan kehilangan kesempatan untuk mendapatkan

keuntungan (Samovar, 2007: 251). Penjelasan Samovar jelas berhubungan erat

dengan kenyataaan tentang kepentingan tertentu yang membuat warga bantaran

menginginkan agar dana bantuan banjir yang menjadi hak mereka segera dibayarkan.

Sedangkan pemerintah kota memilih menunda pembayaran hingga urusan relokasi

selesai sepenuhnya. Motivasi untuk mencari suatu keuntungan tertentu jelas akan

menghasilkan suatu bentuk dan benturan antarkepentingan–dalam kasus ini benturan

antara kepentingan pemerintah kota dengan kepentingan warga.

Kepentingan yang saling berbenturan tersebut menghasilkan suatu

konsekuensi penting untuk saling menjatuhkan dan menyalahkan pihak lain dengan

segala macam upaya. Signe Preuschoft dan Carel P. van Schaik, yang mendasarkan

pada pendapat Hand (1986), menunjukkan bahwa konflik kepentingan yang muncul

di suatu individu–mahkluk hidup–rupanya terjadi karena adanya bentuk

ketidakcocokan tujuan, atau mungkin juga disebabkan karena ada dua individu–

pihak-pihak tertentu–yang saling menekan dan menghalangi demi tujuan yang

berbeda, atau bisa juga karena terjadinya perebutan terhadap sesuatu yang hanya bisa

dimiliki oleh satu individu (dalam Preuschoft dan van Schaik, 2000: 77). Penjelasan

Preuschoft dan van Schaik menujukkan bahwa konflik kepentingan yang terjadi

antara warga bantaran dan pemerintah kota dapat disebabkan oleh beragam aspek

kepentingan dan ketidaksesuaian tujuan yang terjadi di antara dua pihak yang

terlibat.

Page 118: · PDF fileperpustakaan.uns.ac.id   Disusun Untuk Memenuhi Tugas Akhir Sebagai S PROGRAM commit to user 1 Komunikasi dan Konflik Sosial

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

118

Teori Pelanggaran Harapan (Expectancy Violation Theory), yang

dikembangkan oleh Burgoon (1978), mungkin dapat digunakan untuk menjelaskan

fenomena dan situasi konflik yang terjadi antara warga bantaran dan pemerintah

kota. Sederhananya, Teori Pelanggaran Harapan sebenarnya menawarkan penjelasan

untuk memahami sesuatu yang terjadi pada suatu hubungan apabila muncul jarak

yang berasal dari aspek pelanggaran terhadap suatu harapan yang terjadi secara

interpersonal (Anderson, 2009: 41). Penjelasan sederhana dari asumsi dan penjelasan

teori tersebut terfokus pada bagaimana suatu hubungan interpersonal dapat

mengalami perubahan karena munculnya bentuk kekecewaan dan pelanggaran

terhadap suatu harapan yang telah dibangun sebelumnya. Kemunculan kerenggangan

yang terjadi pada satu pihak pada akibat munculnya kekecewaan terhadap suatu

harapan tertentu dapat diartikan sebagai konflik.

Dengan begitu, apabila semua fakta dan konstruk yang terdapat dalam

konflik antara warga bantaran dan pemerintah kota dianalisis dengan teori tersebut,

maka akan menghasilkan sesuatu yang relatif menarik. Perhatikan semua pernyataan

yang diberikan oleh banyak tokoh penting dalam perselisihan tersebut. Kebanyakan

pernyataan diberikan, dalam hubungannya dengan penyebab konflik, saling

menyalahkan pihak lain yang terlibat. Meskipun semua informan memberikan

pernyataan yang hampir sama, namun selalu ada bentuk tekanan kepada pihak lain

yang secara tidak langsung terdapat dalam pernyataan tersebut. Hal itu jelas

menunjukkan kemiripan dengan penjelasan yang diberikan oleh Teori Pelanggaran

Harapan yang juga menjelaskan kemunculan jarak interpersonal karena munculnya

bentuk-bentuk kekerasan dalam hubungan tersebut. Dengan demikian, kemunculnya

bentuk-bentuk kekerasan dalam pernyataan yang diberikan, jelas akan menimbulkan

Page 119: · PDF fileperpustakaan.uns.ac.id   Disusun Untuk Memenuhi Tugas Akhir Sebagai S PROGRAM commit to user 1 Komunikasi dan Konflik Sosial

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

119

kerenggangan dalam hubungan interpersonal antara warga bantaran dengan

pemerintah kota.

Sementara itu jika konflik dan penyebabnya dilihat berdasarkan sifat-

sifatnya, maka akan tampak kondisi dan sifat konflik seperti yang dijelaskan oleh

Adler dan Rodman. Adler dan Rodman menyebutkan dalam karyanya, bahwa konflik

memiliki empat sifat khusus yang menunjukkan bahwa konflik sedang terjadi,

keempat sifat tersebut dibagi menjadi, ekspresi perjuangan, merasakan

ketidakcocokan tujuan, merasakan hadiah yang sangat langka, dan saling

ketergantungan (Adler dan Rodman 2006: 236-237). Sekarang perhatikan kenyataan

yang ada, konflik yang terjadi antara warga bantaran dan pemerintah kota juga

menujukkan sifat-sifat serupa dengan yang dikatakan Adler dan Rodman. Hal itu

menujukkan bahwa hampir semua konflik memiliki sifat-sifat tertentu yang pada

dasarnya mirip dengan yang telah dijelaskan oleh dua orang ilmuwan tersebut.

Upaya tidak kenal lelah dari warga bantaran dalam menempuh dan

menuntut dana bantuan banjir yang menjadi hak mereka tampaknya sangat cocok

dengan bentuk ekspresi perjuangan yang dijelaskan Adler dan Rodman (2006).

Bentuk ketidakcocokan tujuan rupanya tercermin dari semua aktivitas warga

bantaran dan pemerintah kota yang saling berargumentasi dan saling menunjuk

kesalahan masing-masing pihak yang terlibat. Sementara itu, semua pihak yang

terlibat rupanya merasakan adanya hadiah tertentu yang akan mereka dapatkan

apabila memenangkan konflik tersebut, warga bantaran akan mendapatkan dana

bantuan banjir, sedangkan pemerintah kota mendapatkan keinginan mereka untuk

dapat merelokasi warga bantaran sepenuhnya.

Pandangan tentang sifat-sifat konflik yang dijelaskan oleh Miall dalam

Del Felice tampaknya juga tercermin dalam konflik yang terjadi di wilayah

Page 120: · PDF fileperpustakaan.uns.ac.id   Disusun Untuk Memenuhi Tugas Akhir Sebagai S PROGRAM commit to user 1 Komunikasi dan Konflik Sosial

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

120

Semanggi tersebut, meskipun tidak semua penjelasan Del Felice dapat digunakan

untuk menganalisis sifat konflik tersebut. Del Felice, yang mengutip pendapat Miall

(2004), bahwa konflik biasanya bersifat asimetris terutama yang berhubungan

dengan kekuatan dan status. Selain itu konflik juga dapat memiliki sifat yang

biasanya diperpanjang, sehingga menolak bentuk siklus atau lonceng. Sedangkan

yang terakhir, bentuk-bentuk konflik yang diperpanjang biasanya mengganggu sisi

kemasyarakatan secara lokal dan global (dalam Del Felice 2008: 76). Walaupun

pandangan Del Felice dan Miall tidak sepenuhnya dapat diterapkan untuk memaknai

konflik yang terjadi antara warga bantaran dan pemerintah kota, tetapi pandangan

mereka bahwa konflik biasanya berhubungan dengan kekuatan dan status,

tampaknya masih berkaitan dengan kasus ini secara tidak langsung.

Fakta dan data yang diperoleh dari lapangan pada dasarnya menjelaskan

bahwa konflik yang terjadi antara pemerintah kota dengan warga bantaran dimulai

karena munculnya kesalahan persepsi di dalam warga bantaran ketika menanggapi

program relokasi dan penundaan pembayaran dana bantuan banjir yang dilakukan

oleh pemerintah kota. Namun demikian, kesalahpahaman tersebut sebenarnya

tersebar secara merata pada semua unsur komunikasi yang terlibat dalam penyebab

konflik, mulai dari komunikator, pesan, media yang digunakan, komunikan, serta

tanggapan yang dihasilkan. Sosialisasi yang digunakan pemerintah kota untuk

menjelaskan program penerintah tersebut belum efektif untuk menjelaskan masalah

program pemerintah tersebut, karena belum bisa menghasilkan suatu kesepahaman di

antara warga bantaran.

Page 121: · PDF fileperpustakaan.uns.ac.id   Disusun Untuk Memenuhi Tugas Akhir Sebagai S PROGRAM commit to user 1 Komunikasi dan Konflik Sosial

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

121

C. Perkembangan dan Eskalasi Konflik

1. Pernyataan-Pernyataan dalam Eskalasi Konflik

Penyebab konflik yang berkisar dari kesalahan persepsi dan kegagalan

komunikasi, selanjutnya membawa perselisihan menuju tingkat terbuka, dengan

beragam aksi komunikasi yang memiliki implikasi besar dan luas. Setelah mencoba

menggunakan berbagai macam cara untuk membujuk pemerintah kota agar mau

mencairkan dana bantuan banjir tersebut, warga bantaran kini menggulirkan konflik

menuju eskalasi yang lebih luas dan berdampak besar. Begitu luasnya eskalasi

perselisihan yang terjadi antara masyarakat bantaran dan pemerintah kota, beberapa

surat kabar lokal sempat memasukkan permasalahan tersebut menjadi berita utama.

Situasi tersebut jelas menunjukkan bahwa warga bantaran dan pemerintah kota sama-

sama memegang teguh kehendak dan keyakinan mereka.

Fakta tentang perluasan eskalasi konflik yang terjadi antara warga

bantaran dengan pemerintah kota dimuat dalam surat kabar lokal, Joglosemar, edisi

14 Maret 2010. Begitu kuatnya eskalasi konflik tersebut, sampai-sampai warga

bantaran mengajukan gugatan terhadap pemerintah kota di pengadilan negeri,

Surakarta. Joglosemar menuliskan

Ratusan warga penghuni area bantaran di Semanggi hingga kini nekat

bertahan dan menolak tawaran relokasi Pemerintah kota Solo. Karena

kenekatannya itu, mereka hingga kini tidak mendapatkan dana hibah

banjir yang dijanjikan pemerintah. Namun mereka tidak menyerah, meski

kalah dalam gugatan hukum di pengadilan Negeri Surakarta yang mereka

ajukan sendiri. Bahkan mereka menduga ada dugaan korupsi dalam

penyaluran hibah banjir itu (Joglosemar, 14 Maret 2010: 13).

Laporan yang dituliskan oleh harian umum Joglosemar tersebut menujukkan betapa

kuatnya perjuangan dari warga bantaran dalam menuntut hak mereka berkaitan

dengan dana bantuan banjir. Hal itu menimbulkan eskalasi yang luas, hingga

melibatkan peranan pengadilan dan lembaga hukum terkait dalam kasus tersebut.

Page 122: · PDF fileperpustakaan.uns.ac.id   Disusun Untuk Memenuhi Tugas Akhir Sebagai S PROGRAM commit to user 1 Komunikasi dan Konflik Sosial

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

122

Situasi dan kondisi seperti itu membuktikan bahwa eskalasi perselisihan

yang terjadi antara warga bantaran dan pemerintah telah berkembang jauh sejak

konflik tersebut digulirkan. Sebab, sudah menjadi rahasia umum bahwa apabila suatu

perselisihan tersebut sudah memasuki ranah pengadilan dan melibatkan institusi

hukum sebagai media perselisihan tersebut, maka dapat dipastikan bahwa

perselisihan tersebut mencapai klimaks dan menjadi fakta tak terbantahkan bahwa

perselisihan telah bergerak dan memiliki implikasi yang lebih luas.

Lebih lanjut, Joglosemar, di edisi yang sama, menjelaskan bahwa

pengadilan tampaknya menjadi ranah baru dan medan perselisihan baru bagi warga

bantaran dan pemerintah kota, terkait dengan kasus bantuan banjir ini. Harian

Joglosemar menuliskan

Setelah melalui proses yang berbelit-belit, pada 17 Februari lalu pihak

Pengadilan Negeri justru memberikan keputusan yang mengecewakan

dengan menolak seluruh materi gugatan ‖Alasannya gugatan kami

melanggar Perda yang menyebutkan wilayah bantaran tidak boleh

dihuni,‖ tambahnya (Joglosemar, 14 Maret 2010: 13).

Penjelasan yang tertulis di harian umum Joglosemar tersebut semakin menguatkan

fakta bahwa pengadilan negeri, Surakarta, menjadi ranah perselisihan baru antara

warga bantaran dan pemerintah kota. Selain itu, pernyataan tersebut menunjukkan

keputusan pengadilan negeri justru menguatkan bahwa semua tuntutan warga

akhirnya dipatahkan di pengadilan negeri tersebut.

Selain beberapa pernyataan di atas, harian Joglosemar, pada edisi 18

Februari 2010, juga memberitakan, pengadilan negeri rupanya menolak semua

gugatan warga bantaran terhadap pemerintah kota terkalit permasalahan relokasi dan

bantuan banjir. Secara lebih jelas harian tersebut menulis dalam lead

Majelis hakim yang menyidangkan gugatan class action warga Bantaran

Bengawan Solo, ditolak. Penolakan tersebut dibacakan majelis hakim saat

membacakan putusan di Pengadilan Negeri (PN) Surakarta, Rabu (17/2).

Page 123: · PDF fileperpustakaan.uns.ac.id   Disusun Untuk Memenuhi Tugas Akhir Sebagai S PROGRAM commit to user 1 Komunikasi dan Konflik Sosial

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

123

Majelis menilai gugatan yang diajukan penggugat kabur (Joglosemar, 18

Februari 2010: 9).

Penolakan tersebut pada hakekatnya hanya terfokus pada proses hukum yang

berlaku, sehingga tidak menghasilkan efek apapun terhadap institusi pengadilan

tersebut. Namun demikian, penolakan gugatan tersebut berimbas besar terhadap

warga bantaran yang menggulirkan perselisihan tersebut.

Karena itu, keputusan pengadian negeri tampaknya semakin

meruncingkan permasalahan dan perselisihan antara warga bantaran dan pemerintah

kota sekaligus meluaskan eskalasi konflik tersebut. Surat kabar yang lain rupanya

menjelaskan situasi serupa. Solopos, misalnya, pada edisi 18 Februari 2010

memberitakan

Hakim Ketua Yuhanis SH yang membacakan putusan itu menyatakan

menolak seluruh gugatan warga yang diwakili 13 orang yang tergabung

dalam Solodaritas Korban Banjir Bantaran (SKoBB). ... ‖Menolak

seluruh gugatan yang diajukan oleh penggugat dan membebankan biaya

perkara pada penggugat,‖ ungkap Yuhanis di depan persidangan

(Solopos, 18 Februari 2010: I).

Kontan saja, penolakan pengadilan negeri terhadap semua materi gugatan–dalam

perselisihan tersebut–membuat warga bantaran menggulirkan reaksi keras dengan

cara mengajukan banding. Pada edisi yang sama pula, Solopos menuliskan

Warga yang diwakili oleh kuasa hukumnya Heri Hendro Harjuno SH

langsung banding atas putusan itu. Ratusan warga bantaran yang meng-

geruduk Pengadilan Negeri (PN) Solo langsung meluapkan kekecewaan

mereka. Bahkan, mereka juga mencaci majelis hakim (Solopos, 18

Februari 2008: I).

Tulisan berita dalam harian Solopos tersebut secara tidak langung mengungkapkan

bahwa warga bantaran siap untuk meningkatkan eskalasi konflik tersesbut hingga ke

pengadilan tinggi di tingkat propinsi. Fakta tersebut merupakan bukti kuat bahwa

perselisihan antara warga dengan pemerintah kota tampak semakin pelik.

Page 124: · PDF fileperpustakaan.uns.ac.id   Disusun Untuk Memenuhi Tugas Akhir Sebagai S PROGRAM commit to user 1 Komunikasi dan Konflik Sosial

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

124

Keinginan warga bantaran untuk mengajukan banding terhadap putusan

pengadilan merupakan salah satu bukti bahwa perselisihan yang melibatkan suatu

kelompok masyarakat rupanya berpotensi memunculkan eskalasi konflik yang

semakin luas, karena melibatkan banyak institusi tertentu. Selain itu, penyataan

warga untuk meningkatkan pembahasan permasalahan ini hingga ke tingkat propinsi

rupanya menjadi fakta penting yang menujukkan penolakan yang kuat terhadap

suatu kebijakan pemerintah. Di lain pihak, partisipasi aktif media massa lokal yang

memuat perselisihan ini menjadi topik penting dalam berita harian, menujukkan

bahwa konflik tersebut tidak hanya menjadi suatu isu yang terlokalisasi dalam satu

wilayah semata–dalam hal ini kawasan Semanggi–tapi juga menjadi isu lokal yang

dibahas secara luas di seluruh eks-karesidenan Surakarta. Semua hal itu menjadi

sebuah indikasi jelas tentang perkembangan eskalasi konflik.

Pada dasarnya keputusan untuk pengajuan banding tidak serta-merta

muncul ketika proses pengadilan tersebut berakhir dengan penolakan putusan

penggugat, tetapi muncul dari pemikiran sebagian tokoh SKoBB, jauh-jauh hari

sebelum proses pengadilan tersebut di mulai. Sehingga, pada hakekatnya eskalasi

konflik ini sebenarnya sudah direncanakan terlebih dahulu, meskipun tidak secara

langsung. Agus Sumaryawan, ketua dan koordinator SKoBB sebenarnya sudah

menyiapkan langkah-langkah yang hendak ditempuh, apabila mereka menemui

kegagalan di proses pengadilan. Ketika diwawancarai pada proses pengumpulan

data, ia menyatakan

... besok tanggal 17 Februari 2010, ialah pembacaan putusan kami

menang atau kalah di Pengadilan Negeri Surakarta. Saat itu semua warga

yang tergabung dalam SKoBB akan kami kerahkan sebanyak 500 orang

untuk mendukung kami di sana. Jika kami kalah maka akan kami ajukan

banding, lalu segera laporkan ke KPK, karena ada indikasi korupsi.

(Wawancara pada 23 Januari 2010)

Page 125: · PDF fileperpustakaan.uns.ac.id   Disusun Untuk Memenuhi Tugas Akhir Sebagai S PROGRAM commit to user 1 Komunikasi dan Konflik Sosial

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

125

Penjelasan tersebut rupanya merupakan pernyataan yang menunjukkan bahwa warga

bantaran rupanya siap melanjutkan perselisihan ini hingga mencapai kemenangan

atau hingga dana banjir tersebut turun. Pernyataan Agus Sumaryawan rupanya

terbukti setelah adanya putusan penolakan yang dibacakan oleh majelis hakim di

pengadilan negeri saat itu.

Situasi di ruang sidang pengadilan negeri rupanya mendukung fakta

bahwa eskalasi perselisihan ini telah meluas. aktivitas observasi yang dilakukan

selama pengumpulan data menunjukkan bahwa setidaknya ada lebih dari 500 orang

warga, persis seperti yang dikatakan oleh Agus Sumaryawan, bantaran yang

memadati ruang sidang dan halaman pengadilan negeri. Kebanyakan dari mereka

yang datang ke sidang tersebut terdiri dari orang-orang paruh baya dan banyak anak

muda yang ikut serta mendukung tuntutan terhadap pemerintah kota terkait dana

banjir. Sementara itu, ruang sidang pengadilan negeri tersebut terasa penuh sesak

dijejali banyak warga bantaran yang berharap-harap cemas menanti putusan majelis

hakim. Sedangkan sebagian warga yang berada di luar ruang sidang membentangkan

poster-poster berisi tuntutan kepada pemerintah kota tentang dana banjir tersebut.

Selain itu ada beberapa media massa lokal dan masional yang meliput persidangan

tentang dana banjir tersebut.

Meskipun pada akhirnya, majelis hakim menolak semua tuntutan warga

yang melakukan tuntutan. Warga bantaran, beserta semua pihak yang berada di

belakang warga, rupanya telah bersiap melakukan semua upaya untuk menuntut hak

mereka tentang dana bantuan tersebut, bahkan warga siap melakukan apapun untuk

menuntut sesuatu yang telah menjadi hak mereka. Pengacara dari pihak warga

bantaran, Heri Hendro Hajuno, sempat mengatakan

Karena ini sudah hak, ini bukan sesuatu yang diminta, tapi sesuatu yang

istilah Jawa-nya ‗dono‘ atau hadiah, karena kebaikan hati pemerintah

Page 126: · PDF fileperpustakaan.uns.ac.id   Disusun Untuk Memenuhi Tugas Akhir Sebagai S PROGRAM commit to user 1 Komunikasi dan Konflik Sosial

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

126

terhadap kemanusiaan, maka saya bantu. Bukan! Tapi sudah diamanatkan

undang-undang kebencanaan [pen: undang-undang tentang bencana alam

dan sebagainya], jadi ini tidak bisa tidak, jadi mereka [pen: warga

bantaran] akan keukeuh [pen: berjuang], sampai kapanpun. (Wawancara

pada 15 Maret 2010)

Pernyataan tersebut mengandung suatu indikasi bahwa pada dasarnya warga akan

menempuh segala macam cara untuk menuntut agar dana bantuan banjir segera

dicairkan. Heri Hendro Harjuno juga sempat menyatakan bahwa ia sudah

mengajukan gugatan banding terhadap semua masalah tersebut, ‖Yang jelas, kita

akan naik banding, tanggal 24 Maret ini kita sudah mengajukan memo banding.

Pernyataan bandingnya sendiri sudah saya nyatakan tanggal 2 Maret‖. (Wawancara

pada 15 Maret 2010).

Pernyataan sikap dan penjelasan yang diberikan Heri Hendro Harjuno

pada dasarnya persis seperti yang pernah dinyatakan oleh media massa, tentang

bagaimana sikap yang akan ditempuh apabila hasil putusan pengadilan tersebut

ternyata memenangkan pemerintah kota dan menekuk warga bantaran. Keadaan

tersebut jelas memberikan setidaknya dua kemungkinan besar. Pertama,

permasalahan ini akan berlarut-larut sampai pemerintah kota membayarkan semua

uang yang menjadi hak warga. Kedua, perselisihan tersebut akan terus bergulir

menuju tingkat eskalasi yang lebih tinggi, hingga pada akhirnya lebih banyak

melibatkan beragam kepentingan lain. Kondisi kedua tampaknya akan terus bergerak

menuju ke satu titik yang menyatakan bahwa warga bantaran benar-benar akan

mempertahankan wilayah tersebut hingga batas kemampuan terakhir.

Harian Joglosemar pada edisi 14 Maret 2010 rupanya sempat menuliskan

berita yang pada intinya menyatakan bahwa warga bantaran akan bersikap tegas

terhadap semua upaya yang berusaha menggusur mereka dari tanah tempat tinggal

mereka. Secara umum Joglosemar menuliskan

Page 127: · PDF fileperpustakaan.uns.ac.id   Disusun Untuk Memenuhi Tugas Akhir Sebagai S PROGRAM commit to user 1 Komunikasi dan Konflik Sosial

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

127

Namun tidak bagi warga bantaran yang tetap nekat bertahan. Bagi warga

bantaran, tidak pernah mengenal wacana relokasi, karena sejak awal

hanya dijanjikan bantuan untuk rekonstruksi bangunan rumah yang rusak

(Joglosemar, 14 Maret 2010: 13).

Selanjutnya, harian tersebut menuliskan bahwa

Dua sikap yang berbeda ini dipertaruhkan di meja hijau. Sayang, warga

harus menerima kenyataan pahit. Dalam 21 kali persidangan di

Pengadilan Negeri Surakarta, kekalahan diterima warga pada vonis 17

Februari lalu (Joglosemar, 14 Maret 2010: 13).

Pernyataan yang dituliskan oleh harian Joglosemar tersebut setidaknya mengandung

pengertian bahwa warga akan tetap melakukan beragam upaya yang bisa dilakukan

untuk tetap bertahan di bantaran, bahkan jika mereka kalah di semua persidangan

yang telah dilakukan. Hal itu menujukkan bahwa eskalasi perselisihan tersebut pada

dasarnya akan terus meningkat, selama pemerintah kota belum mencairkan bantuan

banjir atau membatalkan rencana relokasi warga bantaran.

Kutipan berita dari harian Joglosemar tersebut pada dasarnya

membenarkan pernyataan dan penjelasan yang diberikan oleh Heri Hendro Harjuno

yang menyatakan bahwa warga bantaran akan terus mempertahankan hak mereka

apapun yang terjadi. Semua fakta yang berada di lapangan tampaknya membuktikan

bahwa eskalasi perselisihan ini sebenarnya berpotensi untuk menjadi semakin luas.

Hal itu beresiko membuat konflik yang terjadi memiliki eskalasi yang semakin

meningkat.

Warga bantaran yang lain juga menyatakan kemungkinan mereka akan

melakukan semua tindakan yang dianggap perlu untuk menuntut dan meminta hak

yang seharusnya mereka terima sekitar tiga tahun silam. Hal itu pada hakekatnya

menjadi salah satu faktor pendorong perluasan eskalasi konflik yang sedang terjadi.

Warga bantaran bernama Maryono menyatakan

Page 128: · PDF fileperpustakaan.uns.ac.id   Disusun Untuk Memenuhi Tugas Akhir Sebagai S PROGRAM commit to user 1 Komunikasi dan Konflik Sosial

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

128

Saya yakin apabila pihak pemerintah kota kalah, pasti akan mengajukan

banding, kami juga akan mengajukan banding apabila kami kalah. Pihak,

warga bantaran sendiri kalau kalah juga akan mengajukan banding,

bahkan sampai ketingkat internasional [pen: kemungkinan besar

maksudanya ialah tingkat nasional]. Sebab bagi warga, soal bantuan itu

sudah tidak akan main-main lagi. (Wawancara pada 12 Februari 2010)

Selain itu, ia juga menambahkan

Tetapi kenyataanya belum ada penyelesaian, intinya masing-masing

berusaha mempertahankan apa yang sudah mereka miliki. Karena warga

merasa tidak ada penyelesaian secara baik-baik untuk menangani masalah

ini, maka kami mengajukan masalah ini ke pengadilan. (Wawancara pada

12 Februari 2010)

Secara sederhana pernyataan Maryono menunjukkan bahwa warga siap melakukan

apapun juga demi mendapatkan bantuan banjir tersebut, bahkan jika perlu melakukan

beragam cara, termasuk meningkatkan eskalasi konflik melalui pengadilan dengan

cara melakukan penuntutan.

Garis besarnya, warga bantaran melakukan beragam tindakan yang secara

konseptual merupakan tindakan yang meningkatkan perluasan konflik tersebut

apabila belum mendapatkan hasil positif dan tanggapan dari pemerintah. Dengan

begitu perluasan konflik tersebut kemungkinan besar bisa melakukan beragam cara

dengan harapan mendapatkan perhatian dari pemerintah kota, termasuk membawa

permasalahan ini ke tingkat nasional. Berita yang diangkat oleh beberapa harian

lokal tersebut rupanya menujukkan semacam penegasan dari pernyataan warga

sendiri. Hal ini jelas akan memberikan dampak tertentu bagi warga dan pemerintah

kota apabila tidak segera diselesaikan. Namun demikian, tanggapan para tokoh yang

terlibat tidak selalu demikian. Bagi para tokoh yang berada di luar bantaran–bukan

warga bantaran–dan tokoh yang berada di belakang relokasi justru memberikan

pernyataan sebaliknya, bahwa aksi yang dilakukan warga bantaran tidak lebih dari

aksi biasa.

Page 129: · PDF fileperpustakaan.uns.ac.id   Disusun Untuk Memenuhi Tugas Akhir Sebagai S PROGRAM commit to user 1 Komunikasi dan Konflik Sosial

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

129

Wartawan harian Joglosemar, Abdul Alim, menganggap eskalasi

perselisihan tersebut kemungkinan besar tidak akan berdampak banyak bagi

pemerintah kota. Bagi Alim, perselisihan tersebut justru akan berdampak pada warga

bantaran sendiri. Wartawan harian Joglosemar itu menyatakan

Lagi pula semakin lama mereka [pen: warga bantaran anggota SKoBB]

bertindak pasti akan semakin capek, sekarang pergerakan SKoBB tidak

seperti pada awal masa terbentuknya dulu. Sekarang aktivitas yang

mereka lakukan cenderung minim. (Wawancara pada 21 Maret 2010)

Indikasi yang tersirat dari jawaban yang diberikan Alim seakan menegaskan bahwa

upaya yang dilakukan masyarakat bantaran untuk meningkatkan eskalasi konflik,

dengan cara menutut pemerintah kota, justru merugikan masyarakat sendiri, karena

masyarakat jelas membuang lebih banyak biaya ketimbang yang akan didapatkan. Ia

juga menyatakan

Sepertinya pemerintah kota menganggap bahwa semua permasalahan

tersebut hanyalah sebagian kecil dari hambatan dari semua program

relokasi yang sudah berhasil. Sebab semua program pasti ada

hambatannya, sehingga, mungkin, bagi pemerintah kota semua

permasalahan ini hanya hambatan kecil setelah semua program relokasi

berhasil. (Wawancara pada 21 Maret 2010)

Hal itu jelas bertentangan dengan anggapan warga bantaran bahwa perluasan dan

semua aktivitas untuk menggulirkan dan meningkatkan eskalasi perselisihan itu bisa

mewujudkan harapan mereka untuk mendapatkan hasil positif .

Namun demikian pemerintah kota pada dasarnya memberikan perhatian

kepada semua aksi yang dilakukan oleh pihak-pihak yang menggulirkan perselisihan

tersebut, walaupun perhatian tersebut tidak sebesar perhatian mereka terhadap warga

yang telah direlokasi. Hal itu, tampaknya menjadi peredam eskalasi perselisihan

tersebut, meskipun tidak menghentikannya. Suparno HS, sebagai wakil dari

pemerintah kota, menyatakan ‖Ya tidak masalah, wong itu semua hak mereka, ya

Page 130: · PDF fileperpustakaan.uns.ac.id   Disusun Untuk Memenuhi Tugas Akhir Sebagai S PROGRAM commit to user 1 Komunikasi dan Konflik Sosial

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

130

namanya alam demokrasi, ya pasti ada yang setuju, ada pula yang menentang. Yang

penting nanti tahun 2010 akan selesai, kan begitu toh.‖ (Wawancara pada 14 April

2010). Pernyataan yang diberikan Suparno HS menunjukkan bahwa pemerintah kota

memberikan kebebasan bagi warga bantaran yang ingin melakukan kontra terhadap

kebijakan pemerintah tentang relokasi dan penundaan dana banjir. Selain itu, paparan

itu menunjukkan bahwa pemerintah kota juga memberikan perhatian yang minim

terhadap munculnya perselisihan tersebut, sama seperti yang dikatakan oleh Alim.

Lebih lanjut, Suparno HS berusaha menyampaikan perhatian pemerintah

kota terhadap warga bantaran yang melakukan perselisihan tersebut, meskipun hal itu

tidak secara langsung tersirat dalam pernyataannya. Ketua Pokja tersebut

menyampaikan

Apa memang ganti rugi toh... yang 8,5 juta itu kan uang banjir. Bagi

warga yang tinggal di luar bantaran uang 8,5 juta itu buatlah untuk

membeli memperbaiki rumah, kalau yang berada di bantaran gunakan

untuk beli tanah, lalu gunakan juga untuk buatlah rumah. Untuk warga

yang tinggal di tanah hak milik nanti akan dipertimbangkan berapa harga

tanah per meternya. Saya yakin semua hal itu tidak akan merugikan

warga. Kalau mereka melawan dengan keras, kita harus lunak, semua itu

harus pakai strategi, ya kan. (Wawancara pada 14 April 2010)

Dengan demikian, pemerintah kota pada dasarnya tetap menjalankan program

relokasi warga, sekaligus berusaha mencari jalan keluar yang baik untuk

menghambat eskalasi konflik tersebut. Jadi sebenarnya pemerintah kota

memperhatikan keinginan masyarakat bantaran yang enggan direlokasi, meskipun

seakan-akan enggan memperhatikan. Dari sini sebenarnya tampak bahwa pemerintah

kota sebenarnya berniat baik terhadap warga bantaran.

Sementara itu, tokoh penting di DRPD Surakarta, Sukasno SH,

memberikan penjelasan bahwa pemerintah kota memberikan perhatian yang relatif

lebih sedikit terhadap warga yang menolak relokasi, karena menganggap bahwa

Page 131: · PDF fileperpustakaan.uns.ac.id   Disusun Untuk Memenuhi Tugas Akhir Sebagai S PROGRAM commit to user 1 Komunikasi dan Konflik Sosial

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

131

pemerintah kota sudah melakukan hal yang dianggap perlu untuk meredam eskalasi

perselisihan tersebut. Meskipun hal itu tidak mengurangi niat baik pemerintah kota

untuk menyelesikan konfik tersebut. Secara pribadi, Sukasno SH mengatakan

Pemerintah kota bersikap pasif, artinya yang lalu biarlah berlalu, sebab

pemerintah kota sudah mengambil semua langkah yang diperlukan,

memberikan pemahaman ya sudah, memberikan sosialisasi, tapi pada

akhirnya dikembalikan ke warga. Lalu jika mereka menggugat

pemerintah kota ya silahkan saja. (Wawancara pada 11 Mei 2010)

Pernyataan yang diberikan Sukasno SH menampakkan fakta dan bukti baru bahwa

pemerintah kota lebih banyak memberikan kebebasan kepada warga bantaran untuk

melakukan aksi protes dan menggulirkan perselisihan secara bebas. Meskipun begitu,

pemerintah kota juga telah melakukan tindakan-tindakan baik, karena telah

memberikan pemahaman dan sosialisasi. Meskipun ada beberapa pihak yang menilai

sosialisasi tesrebut belum menjangkau sasaran.

Sebagai wakil dari pemerintah kota, Widdi Srihanto juga memberikan

pernyataan yang mirip dengan yang diberikan oleh Sukasno SH. Widdi Srihanto

secara umum menyatakan bahwa pemerintah kota secara sederhana bersikap pasif

ketika menghadapi tekanan warga bantaran yang melakukan aksi. Ia menjelaskan

bahwa

Kalau menghadapi mereka semua ya tinggal terserah mereka saja, wong

kita sudah transparan mengurus mereka semua itu. Selama masih ada

komunikasi maka semua masalah seperti itu pasti dapat diselesaikan.

Kami juga harus mencari konsep yang tepat untuk mengatasi warga yang

tinggal di tanah hak milik. (Wawancara pada 25 Mei 2010)

Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa pemerintah kota lebih banyak bersikap

pasif ketika menghadapi eskalasi konflik yang sejatinya menekan pemerintah kota.

Karena pemerintah kota beranggapan telah memberikan semua hal yang dirasa

perlu untuk tindakan sosialisasi tentang relokasi.

Page 132: · PDF fileperpustakaan.uns.ac.id   Disusun Untuk Memenuhi Tugas Akhir Sebagai S PROGRAM commit to user 1 Komunikasi dan Konflik Sosial

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

132

Semua pendapat dan pernyataan yang diberikan oleh semua tokoh terkait

dan laporan yang ditulis oleh media massa menjelaskan semua hal yang berkaitan

dengan perkembangan dan eskalasi konflik yang terjadi antara warga bantaran dan

pemerintah kota yang secara sederhana rupanya dipengaruhi oleh beberapa hal.

Permasalahan tentang dana bantuan banjir yang tidak kunjung selesai atau

sederhananya tidak kunjung dibayarkan oleh pemerintah kota membuat masyarakat

mulai mendesak semua pihak terkait untuk segera mencairkan dana yang menjadi

hak mereka. Akan tetapi, hampir semua pihak yang secara teknis bertanggungjawab

terhadap dana bentuan banjir tersebut seakan acuh-tak-acuh terhadap tuntutan

tersebut. Ketika warga bantaran merasa semua upaya legal yang telah diupayakan

menemui jalan buntu, warga bantaran mulai menggalang kekuatan untuk memulai

melakukan aksi-aksi penuntutan terhadap pemerintah kota melalui beragam cara,

termasuk melalui aksi demonstrasi dan tuntutan perdata di pengadilan negeri.

Tuntutan perdata dan aksi protes terhadap pemerintah kota menimbulkan

efek serius terhadap permasalahan ini. Persoalan yang pada mulanya hanya menjadi

isu lokal–hanya terkait dengan warga bantaran semata–kini menjadi isu di sekitar

Karesidenan Surakarta. Inilah fakta yang menunjukkan bahwa persoalan dana banjir

telah meluas menjadi permasalahan yang dibahas di pengadilan yang mungkin akan

berlanjut ke tingkat nasional. Hal itu jelas menjadi indikator paling jelas untuk

menujukkan bahwa eskalasi perselisihan tersebut telah meluas dengan implikasi yang

cukup besar, meskipun tidak terlalu signifikan. Liputan-liputan yang dilakukan oleh

beberapa media massa lokal tentang permasalahan tersebut semakin menguatkan dan

menujukkan betapa luasnya pengaruh eskalasi pertentangan tersebut. Konflik

berlatarbelakang ekonomi ini rupanya tidak hanya mencakup ranah ekonomi semata,

Page 133: · PDF fileperpustakaan.uns.ac.id   Disusun Untuk Memenuhi Tugas Akhir Sebagai S PROGRAM commit to user 1 Komunikasi dan Konflik Sosial

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

133

tapi juga mulai merambah ke ranah hukum, yang dibuktikan melalui lebih dari dua

puluh satu kali persidangan.

Persoalan ini rupanya tidak hanya berhenti di ranah hukum semata, tapi

juga makin merembet ke ranah politik kota. Perhatikan kutipan ulang dari harian

Radar Solo, yang menunjukkan betapa permasalahan ini sudah memiliki eskalasi

yang semakin luas. Harian Radar Solo menuliskan

... pasangan Jokowi-Rudy secara tak terduga terjungkal di satu tempat.

Pasangan Jodi kalah telak di TPS 21, Kelurahan Sangkrah, kecamatan

Pasar Kliwon. Kekalahan itu diduga kuat lantaran persoalan bantuan

banjir yang tak kunjung kelar di lokasi tersebut (Radar Solo, 27 April

2010).

Berita tersebut tidak hanya menujukkan bahwa permasalahan tersebut telah sampai

ke ranah politik, tapi juga mempengaruhi perolehan suara dalam pemilihan kepada

daerah. Karena persoalan ini secara tidak langsung melibatkan walikota dan wakil

walikota Solo, maka perolehan suaran pasangan walikota-wakil walikota di TPS 21,

yang notabene berada di wilayah bantaran sangat terpengaruh, bahkan jauh dibawah

target. Hal itu, menurut harian Radar Solo, masih berhubungan dengan permasalahan

tentang dana banjir yang tak kunjung dibayarkan.

Fakta dan kenyataan bahwa adanya perkembangan luas dan pengaruh

perselisihan dana banjir dari tingkat awal yang hanya berkembang di sekitar bantaran

lalu berkembang hingga ke tingkat hukum dan politik tampaknya menjadi bukti

bahwa perselisihan tersebut memiliki eskalasi yang semakin luas. Hal itu menjadikan

permasalahan dana banjir yang menjadi inti permasalahan ini tidak hanya menjadi

persoalan dan isu warga bantaran semata, tapi juga telah menjadi isu warga di

seluruh eks-karesidenan Surakarta.

Page 134: · PDF fileperpustakaan.uns.ac.id   Disusun Untuk Memenuhi Tugas Akhir Sebagai S PROGRAM commit to user 1 Komunikasi dan Konflik Sosial

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

134

2. Pola dan Proses Komunikasi dalam Eskalasi Konflik

Komunikasi menjadi sesuatu yang dapat dipastikan berpengaruh terhadap

semua aspek dalam eskalasi konflik antara pemerintah kota dengan warga bantaran.

Komunikasi dalam esklasi konflik rupanya membawa pesan penting bahwa warga

bantaran yang memulai konflik terus mengupayakan perjuangan tentang dana

bantuan banjir yang dijanjikan pemerintah. Hal itu membuat komunikasi yang

berlaku pada eskalasi konflik tampaknya agak berbeda dengan yang terjadi pada

faktor penyebab konflik. Hal itu membuat pola komunikasi yang terjadi pada

eskalasi konflik mendudukkan warga bantaran sebagai komunikator sedangkan

pemerintah kota sebagai komunikan.

Proses komunikasi dalam eskalasi konflik, yang terjadi antara pemerintah

kota dengan warga bantaran, menunjukkan situasi yang bertolak belakang dengan

proses komunikasi yang terjadi pada penyebab konflik. Dengan demikian ada

perubahan mendasar pada komunikator, pesan, komunikan, dan tanggapan. Pada

eskalasi konflik, terkait dana bantuan banjir, warga bantaran bertindak sebagai

komunikator. Sebagai komunikator, warga bantaran menyandikan sejumlah pesan

tertentu yang dialamatkan kepada pemerintah kota. Pesan tersebut berfungsi

menekan pemerintah kota untuk segera mencairkan dana bantuan banjir tersebut.

Dengan demikian, aksi demonstrasi dan gugatan di pengadilan kepada pemerintah

kota, DPRD, dan semua pihak yang berada di belakang dana bantuan banjir tersebut

bisa dikategorikan sebagai suatu pesan tertentu yang disandikan oleh warga bantaran.

Dalam situasi tersebut, tuntutan warga bantaran melalui media berupa jalur hukum

dan demonstrasi, tampaknya juga dapat dipahami sebagai suatu pesan dengan tensi

keras yang diberikan kepada pemerintah kota, dengan harapan agar pemerintah kota

Page 135: · PDF fileperpustakaan.uns.ac.id   Disusun Untuk Memenuhi Tugas Akhir Sebagai S PROGRAM commit to user 1 Komunikasi dan Konflik Sosial

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

135

segera menurunkan dana bantuan banjir dan membatalkan relokasi bagi warga

bantaran.

Di samping itu, forum masyarakat bantaran bernama SKoBB tampaknya

lebih berfungsi sebagai suatu kelompok yang mendorong dan menguatkan pesan

yang diberikan oleh warga bantaran kepada pemerintah kota. Hal itu menujukkan

bahwa aspek komunikasi dan keputusan yang diambil suatu kelompok dengan tujuan

menekan kelompok lain mungkin tidak dapat diabaikan begitu saja. Penguatan yang

dilakukan oleh SKoBB dapat meningkatkan eskalasi konflik dan mungkin juga

ketegangan pada pihak tertentu yang pada akhirnya merenggangkan hubungan di

antara semua pihak yang terlibat, dalam kasus ini ialah warga bantaran dan

pemerintah kota.

Dalam situasi eskalasi konflik, pemerintah kota rupanya menjadi

komunikan yang menguraikan sejumlah pesan yang diberikan oleh warga bantaran

terkait dengan dana bantuan banjir dan relokasi. Semua pesan yang disampaikan oleh

warga bantaran kepada pemerintah kota sebenarnya dapat dipahami sebagai tekanan

keras yang sebenranya dapat membuat pemerintah kota mengambil tindakan tertentu

untuk menanggapi semua pesan tersebut. Namun demikian, tanggapan atau

feedback yang diberikan oleh pemerintah kota ialah sikap tenang dengan cara

memberikan tanggapan yang minim, atau setidaknya pemerintah kota berusaha

menyelesaikan permasalahan ini secara diam-diam dan berada di belakang layar,

sehingga warga bantaran tidak mengetahui bahwa pemerintah kota sebenarnya

berusaha menemukan solusi dari masalah tersebut. Komunikator, pesan, komunikan,

dan tanggapan sebenarnya telah menujukkan bahwa proses komunikasi memang

benar-benar terjadi dalam proses perselisihan antara pemerintah kota dan warga

bantaran terkait dana bantuan banjir tersebut.

Page 136: · PDF fileperpustakaan.uns.ac.id   Disusun Untuk Memenuhi Tugas Akhir Sebagai S PROGRAM commit to user 1 Komunikasi dan Konflik Sosial

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

136

Pola komunikasi tersebut membuat proses komunikasi yang terjadi antara

warga bantaran dengan pemerintah kota, menjadi suatu proses yang menujukkan

bahwa konflik yang terjadi di antara dua pihak tersebut berada dalam titik puncak.

Peranan pengadilan sebagai lembaga hukum yang digunakan oleh warga bantaran

untuk meningkatkan eskalasi konflik, mendorong penguatan eskalasi konflik yang

sedang terjadi. Dengan demikian, proses komunikasi yang terjadi antara dua pihak

yang saling berseteru pada dasarnya memiliki tingkat kekerasan yang relatif tinggi.

3. Analisis Tentang Eskalasi Konflik

Eskalasi perselisihan tersebut tampaknya masih berhubungan dengan

permasalahan dan faktor pencetus perselisihan tersebut. Dengan demikian, maka

eskalasi suatu konflik berkaitan erat dengan sifat-sifat konflik dan mungkin juga tipe

dari konflik tersebut. Pada subbab sebelumnya telah dijelaskan sebagian dari tipe

konflik yang terjadi serta sifat-sifat konflik tersebut, namun tidak begitu lengkap.

Karena faktor eskalasi konflik masih berhubungan dengan sifat-sifat konflik dan tipe

konflik, maka dalam subbab ini sifat dan tipe konflik akan digunakan untuk

menjelaskan eskalasi konflik tersebut beserta semua implikasi yang terkait di

dalamnya.

Paparan tentang sifat konflik paling sederhana diberikan oleh pakar

komunikasi bernama Ronald B. Adler dan George Rodman (2006). Penjelasan Adler

dan koleganya, Rodman, secara sederhana menunjukkan bahwa setiap perselisihan

memiliki sebuah sifat-sifat khusus yang mewarnai, menandai dan menjadi suatu

motivasi bagi semua pihak yang terlibat dalam perselisihan tersebut. Bagi dua orang

ilmuwan tersebut, konflik dianggap seperti sebuah materi yang memiliki sifat dan

perlaku tertentu dalam proses interaksinya. Hal itu membuat keduanya merumuskan

Page 137: · PDF fileperpustakaan.uns.ac.id   Disusun Untuk Memenuhi Tugas Akhir Sebagai S PROGRAM commit to user 1 Komunikasi dan Konflik Sosial

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

137

bahwa sifat konflik terdiri dari ekspresi perjuangan, merasakan ketidakcocokan

tujuan, merasakan hadiah yang sangat langka, dan saling ketergantungan (Adler

dan Rodman 2006: 236-237). Keempat sifat tersebut kemungkinan besar

berhubungan erat dengan bentuk eskalasi konflik yang terjadi di semua ranah dan

semua bidang, dalam kasus ini perselisihan antara warga bantaran dengan pemerintah

kota.

Apabila kita masukkan semua fakta yang berhubungan dengan eskalasi

konflik yang telah dijelaskan pada subbab ini, maka kita akan menemukan

kecocokan dengan sifat-sifat yang telah dijelaskan oleh Adler dan Rodman (2006).

Sifat paling awal dari konflik dikenal sebagai ekspresi perjuangan. Perhatikan semua

fakta yang terkait dengan hal itu. Pernyataan Agus Sumaryawan, sebagai warga

bantaran, yang mengatakan bahwa warga bantaran akan berjuang melalui pengadilan

serta mengajukan banding apabila kalah di ranah pengadilan negeri, menunjukkan

bahwa warga bantaran mengerahkan semua upaya serius demi mendapatkan hak

mereka. Kenyataan tersebut menjadi fakta penting tentang perjuangan yang

dilakukan oleh bantaran. Hal itu dikuatkan oleh penjelasan Heri Hendro Harjuno

yang mengatakan bahwa warga bantaran akan terus teguh berjuang demi

mendapatkan hak mereka. Perjuangan yang dilakukan oleh warga bantaran seperti

Agus Sumaryawan jelas menjadi indikasi bahwa eskalasi perselisihan tersebut telah

meluas.

Ekspresi perjuangan seperti itu mendapatkan perhatian khusus dari pakar

konflik dan hukum dalam sebuah jurnal ilmiah. Mark S. Simms, mengutip pendapat

dari Silver dan Baker (1998), sempat menulis dalam jurnal ilmiahnya bahwa

perjuangan hukum yang dilakukan suatu kelompok masyarakat dapat membentuk

suatu aksi massa sehingga membutuhkan suatu bentuk gugatan yang berasal dari

Page 138: · PDF fileperpustakaan.uns.ac.id   Disusun Untuk Memenuhi Tugas Akhir Sebagai S PROGRAM commit to user 1 Komunikasi dan Konflik Sosial

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

138

kelompok tersebut (Simms, 2009: 265). Penjelasan yang hampir mirip diutarakan

oleh William H. Baker. Ia menyatakan bahwa aksi kelas atau aksi massa biasanya

menyediakan pembuktian hak asasi dalam suatu situasi yang terlalu kecil untuk

membawa kepentingan ekonomi masing-masing pihak yang membutuhkan

pernyataan berdasarkan individu (Baker, 2009: 336). Pendapat yang diajukan oleh

para pakar konflik di atas setidaknya menjelaskan bahwa aksi perjuangan yang

dilakukan warga bantaran yang mulai merambah ke jalur hukum membutuhkan

bentuk gugatan penuh di pengadilan demi tujuan utama yaitu hak individu mereka

untuk mendapatkan keuntungan.

Secara sederhana warga bantaran melakukan aksi perjuangan dan

meluaskan eskalasi perselisihan tersebut demi satu tujuan yang secara umum

merupakan hak mendapatkan keuntungan. Seperti yang dijelaskan oleh Simms

(2009) dan Baker (2009), warga bantaran melakukan semua tuntutan di jalur hukum

sebenarnya juga untuk membuktikan bahwa mereka memiliki hak penuh terhadap

sesuatu yang sudah dijanjikan. Dengan begitu semua aksi tersebut jelas menjadi

penegasan paling tepat terhadap sifat konflik, yaitu ekspresi perjuangan.

Sifat konflik kedua yang dapat dilihat dalam semua fakta dan kenyataan

yang terjadi dalam eskalasi konflik antara warga bantaran dan pemerintah kota ialah

merasakan ketidakcocokan tujuan. Kenyataan yang ditunjukkan oleh semua pihak

dalam perselisihan antara warga bantaran dan pemerintah kota menujukkan adanya

pertentangan dan tujuan yang bertentangan. Semua fakta yang ada tampaknya

menunjukkan hal itu. Warga bantaran, yang diwakili oleh beberapa orang termasuk

Agus Sumaryawan, yang meluaskan eskalasi konflik dengan satu tujuan yaitu

mendapatkan perhatian pemerintah kota dalam bentuk uang bantuan banjir sebesar

8,5 juta. Tujuan yang digulirkan warga jelas bertentangan dengan maksud

Page 139: · PDF fileperpustakaan.uns.ac.id   Disusun Untuk Memenuhi Tugas Akhir Sebagai S PROGRAM commit to user 1 Komunikasi dan Konflik Sosial

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

139

pemerintah kota yang menginginkan agar warga bantaran segera direlokasi. Di

samping itu pemerintah kota rupanya menunda pembayaran uang bantuan banjir

tersebut karena harus menyelesaikan beberapa perubahan dan relokasi warga

bantaran yang tinggal di tanah negara sebelum mengurus warga yang tinggal di tanah

hak milik.

Perbedaan kepentingan dan tujuan antara warga bantaran dan pemerintah

kota rupanya diwujudkan dalam bentuk tuntutan secara terbuka melalui jalur hukum.

Tindakan tersebut menunjukkan bahwa pada hakekatnya warga bantaran mengubah

eskalasi perselisihan mereka dari aksi fisik, demonstrasi dan protes, menuju jalur

hukum. Douglas Yarn menjelaskan bahwa hukum pada dasarnya tidak langsung

mengacu pada konflik kepentingan, melainkan hanya menekankan pada satu pihak

untuk tetap berpegang pada norma agar tidak bertindak saling menentang secara

berlebihan (Yarn, 2000: 72). Pandangan Yarn pada dasarnya tidak langsung

menjelaskan tentang fakta bahwa warga bantaran dan pemerintah kota saling

bertentangan dalam tujuannya, tapi menjelaskan bahwa upaya warga bantaran

menggunakan jalur hukum pada dasarnya mampu mencegah aksi warga bantaran

yang jauh lebih buruk atau lebih anarkis.

Pandangan yang berbeda diberikan Marina Cords dan Filipo Aureli. Bagi

Cords dan Aureli, ketidakcocokan tujuan tersebut tergantung bagaimana pihak-pihak

yang terlibat menyikapinya, beberapa tujuan yang tidak cocok bagi satu pihak justru

berarti cocok bagi pihak yang lain (Cords dan Aureli, 2000: 182). Apabila kita

hubungkan pendapat Yarn (2000) serta pandangan Cords dan Aureli (2000) dengan

semua fakta tentang eskalasi konflik yang berhubungan dengan ketidakcocokan

tujuan, maka dapat dikatakan bahwa eskalasi perselisihan yang ditingkatkan oleh

warga bantaran melalui jalur hukum berfungsi untuk menghindari perselisihan yang

Page 140: · PDF fileperpustakaan.uns.ac.id   Disusun Untuk Memenuhi Tugas Akhir Sebagai S PROGRAM commit to user 1 Komunikasi dan Konflik Sosial

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

140

lebih keras, karena pada hakekatnya pemerintah kota hanya memiliki ketidakcocokan

tujuan dengan warga bantaran yang menentang relokasi, dan hanya mau menerima

bantuan banjir saja.

Semua fakta dalam eskalasi konflik antara warga bantaran dengan

pemerintah kota yang digulirkan di pengadilan serta keinginan warga untuk

menempuh jalur hukum pada dasarnya mendukung pendapat yang diberikan oleh

Douglas Yarn (2000). Hal itu jelas menjadi semacam bukti otentik bahwa warga

memang memilih jalur hukum karena menilai jalur tersebut lebih baik ketimbang

jalur fisik dan demonstrasi yang kebanyakan tidak menghasilkan apa-apa. Sedangkan

aksi pemerintah kota yang tetap memilih merelokasi warga atau setidaknya berusaha

meredam eskalasi konflik tersebut agaknya dapat dijelaskan oleh pandangan Cords

dan Aureli (2000) yang mengatakan bahwa ketidakcocokan itu tergantung bagaimana

pihak tersebut menilai hubungannya. Sehingga semua fakta dan data yang ada di

lapangan menjelaskan sifat konflik, dalam eskalasi konflik antara warga bantaran dan

pemerintah kota, yang diterangkan oleh Adler dan Rodman (2006), yaitu merasakan

ketidakcocokan tujuan.

Bagian selanjutnya dari sifat konflik yang dapat ditemukan dalam eskalasi

konflik antara warga bantaran dan pemerintah kota dikenal sebagai mendapatkan

hadiah yang langka. Adler dan Rodman (2006) menjelaskan hal itu sebagai bentuk

ketiga dari sifat-sifat konflik. Semua hal yang diberikan dari lapangan tentang

eskalasi perselisihan antara warga bantaran dan pemerintah kota secara implicit

menujukkan bahwa semua pihak yang terlibat pasti mendapatkan sesuatu ‗hadiah‘–

entah dalam bentuk materi atau pengakuan serta legitimasi–apabila mereka

memenangkan perselisihan tersebut. Heri Hendro Harjuno, sebagai pengacara yang

mewakili warga bantaran, mengatakan bahwa warga bantaran akan tetap teguh

Page 141: · PDF fileperpustakaan.uns.ac.id   Disusun Untuk Memenuhi Tugas Akhir Sebagai S PROGRAM commit to user 1 Komunikasi dan Konflik Sosial

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

141

berjuang hingga hak tersebut didapatkan. Hal itu menunjukkan dua hal. Pertama

eskalasi konflik yang ada menjadi semakin rumit. Kedua, pernyataan tersebut

mengindikasikan bahwa warga akan mendapatkan ‗hadiah‘ mereka, yaitu pencairan

dana bantuan banjir, apabila memenangkan perselisihan tersebut.

Semua keterangan tersebut pada dasarnya mengacu pada sesuatu aspek

yang berkaitan sifat konflik yang dijelaskan Adler dan Rodman (2006) tentang

‗hadiah‘ yang akan didapatkan salah satu pihak dalam suatu perselisihan. Dengan

demikian, hal itu mendukung keterangan yang diberikan oleh Marilynn B. Brewer. Ia

menjelaskan bahwa pada hakekatnya konflik kepentingan yang terjadi

antarkelompok berkaitan erat dengan suatu kompetisi untuk memperebutkan materi

tersebut. Sehingga, apabila ada suatu sumberdaya atau materi yang sedang

diperebutkan, maka dapat dipastikan kedua pihak tersebut akan berada dalam

ketergantungan negatif atau dikenal sebagai konflik (Brewer, 2001: 28). Pengakuan

ilmiah tersebut secara sederhana menegaskan semua aktivitas dan perilaku semua

pihak yang terlibat dana konflik tersebut. Sikap antara dua pihak yang bersengketa,

warga bantaran dan pemerintah kota, yang saling masih berhubungan dengan

‗hadiah‘ berupa pengakuan atau legitimasi, jelas dapat memasukkan kedua pihak

tersebut ke dalam perselisihan kepentingan.

Jika perselisihan yang terjadi antara pemerintah kota dengan warga

bentaran dianalisis menggunakan sifat konflik yang dijelaskan Adler dan Rodman

(2006), dan keterangan dari Brewer (2001), maka akan dihasilkan suatu pandangan

baru terhadap eskalasi perselisihan tersebut. Eskalasi perselisihan yang terjadi antara

warga bantaran dan pemerintah kota pada dasarnya terjadi karena masing-masing

pihak berusaha mendapatkan ‗hadiah‘, yang bagi Brewer (2001) ‗hadiah‘ semacam

itu bisa berupa materi atau sumberdaya tertentu. Dalam kasus perselisihan itu, materi

Page 142: · PDF fileperpustakaan.uns.ac.id   Disusun Untuk Memenuhi Tugas Akhir Sebagai S PROGRAM commit to user 1 Komunikasi dan Konflik Sosial

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

142

atau sumber daya tersebut diwujudkan dalam bentuk uang, pengakuan dan legitimasi,

atau kepatuhan warga bantaran untuk direlokasi. Hal itu menguatkan pernyataan

bahwa konflik biasanya memperebutkan hadiah yang langka.

Sifat konflik berupa saling ketergantungan dituntukkan oleh pihak-pihak

yang saling berselisih secara tidak langsung. Warga bantaran dan pemerintah kota

rupanya menunjukkan sikap tersebut. Teori Ketergantungan (Interdependence

Theory) yang dikembangkan oleh Thibaut dan Kelley (1959) tampaknya bisa

digunakan untuk menganalisis situasi eskalasi konflik tersebut. Secara umum Teori

Ketergantungan menjelaskan bahwa individu bisa membuat penilaian terhadap suatu

hubungan dengan individu lain berdasarkan dua kondisi tertentu. Pertama, ada

derajat kepercayaan terentu yang seharusnya diberikan kepada yang berhak, dari

seorang teman atau mitra dekatnya. Kedua, derajat kepercayaan yang diberikan oleh

teman atau mitra dekat harus menghasilkan sesuatu yang melampaui semua hal yang

dapat diberikan orang lain (Simpson, Fletcher, dan Campbell, 2003: 87). Jika kita

masukkan semua fakta tentang konflik dan eskalasinya ke dalam Teori

Ketergantungan maka akan dihasilkan suatu bentuk keterikatan antara semua fakta

atau konstruk yang ada.

Secara gampang, perselisihan tersebut dimulai ketika pemerintah kota

memutuskan untuk menunda membayarkan uang dana bantuan banjir yang menjadi

hak warga bantaran. Sementara itu, warga bantaran mulai menuntut agar uang

tersebut secapat mungkin segera dicairkan. Perhatikan fakta bahwa warga bantaran

pada dasarnya memberikan kepercayaan kepada pemerintah kota untuk

membayarkan semua uang bantuan banjir yang menjadi hak mereka. Hal itu tidak

menunjukkan adanya bentuk kondisi pertama. Padahal warga bantaran berharap

pemerintah kota bisa mencairkan uang tersebut agar muncul kepercayaan kepada

Page 143: · PDF fileperpustakaan.uns.ac.id   Disusun Untuk Memenuhi Tugas Akhir Sebagai S PROGRAM commit to user 1 Komunikasi dan Konflik Sosial

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

143

pemerintah kota. Karena kondisi pertama yang dijelaskan oleh Teori Ketergantungan

tidak dapat dipenuhi oleh pemerintah kota dan warga bantaran, maka muncul

ketegangan dan perselisihan kelompok dengan sifat-sifat interpersonal yang terjadi

antara warga bantaran dan pemerintah kota. Dengan demikian, meskipun Teori

Ketergantungan bukan termasuk teori konflik, namun teori tersebut setidaknya

mampu menjelaskan bentuk-bentuk hubungan semua pihak dalam eskalasi konflik.

Selain itu, eskalasi konflik ini tidak hanya dapat dinilai berdasarkan

sifatnya semata, tapi juga dapat dilihat dan diklasifikasikan berdasarkan tipe

konfliknya. Semua fakta dan data tentang konflik yang terjadi di kawasan semanggi

rupanya dapat dikategorikan ke dalam konflik kepentingan, seperti yang dijelaskan

oleh Martin dan Nakayama. Ia menjelaskan bahwa konflik kepentingan merupakan

bentuk konflik yang menggambarkan situasi orang yang sedang mengejar tujuan-

tujuan yang sama dengan cara-cara yang sangat bertentangan, sehingga

memunculkan ketegangan (Martin dan Nakayama, 2003 :381). Konflik seperti itu

rupanya menujukkan bahwa semua pihak yang terlibat di dalamnya memiliki

kepentingan berbeda yang hendak diselesaikan, namun pihak lain berusaha

menghalangi kepentingan tersebut dengan cara menggulirkan kepentingan mereka

sendiri. Situasi dan kondisi tersebut membuat pemerintah kota dan warga bantaran

merasa diri merekalah yang paling benar di antara semua pihak yang terlibat.

Selain itu, konflik tersebut juga dapat dimasukkan ke kategori konflik

ego. Konflik ego atau ego conflict sebenarnya terjadi apabila individu menjadi sangat

defensif karena mereka beranggapan bahwa ada seseorang yang menyerang secara

pribadi. Keadaan seperti ini berkaitan langsung dengan emosi dan rasa pertahanan

dalam diri individu karena bentuk pertahanan orang lain (Beebe dan Masterson,

2003: 260-264). Perhatikan lebih dalam penjelasan yang diberikan Martin dan

Page 144: · PDF fileperpustakaan.uns.ac.id   Disusun Untuk Memenuhi Tugas Akhir Sebagai S PROGRAM commit to user 1 Komunikasi dan Konflik Sosial

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

144

Nakayama (2003) serta Beebe dan Masterson (2003). Paparan para pakar itu

menunjukkan bahwa kepentingan yang menjadi dasar konflik tentang dana bantuan

banjir tersebut masih berhubungan dengan ego masing-masing kelompok. Kedua

pihak yang saling terlibat dalam pertentangan tersebut secara tidak langsung

menyatakan bahwa kepentingan kelompok mereka-lah yang paling benar. Kondisi

dan situasi semacam itu hanya dapat terjadi apabila ada faktor ego yang mulai saling

bertarung dan saling beradu kepentingan. Fakta dan pernyataan para tokoh yang

telibat dalam perselisihan tersebut, secara tidak langsung, melibatkan ego masing-

masing. Tipe konflik ego semacam ini rupanya menegaskan pernyataan para ahli

komunikasi bahwa konflik dapat terjadi karena munculnya perasaan egois dan

mementingkan diri sendiri.

Implikasi dari perselisihan yang terjadi antara warga bantaran dan

pemerintah kota terkait dana bantuan banjir ini sebenarnya telah terlihat pada

pernyataan beberapa informan dalam penelitian ini, juga dari tulisan dan berita yang

disajikan di media massa. Perhatikan semua pernyataan warga bantaran yang secara

tegas menggulirkan perselisihan ini. Kebanyakan warga menyatakan bahwa akan

terus berjuang dan menggulirkan perselisihan ini sampai ke tingkat nasional demi

mendapatkan hak mereka tentang dana bantuan banjir tersebut. Selain itu pernytaan

pengacara yang berada di pihak warga bantaran, Heri Hendro Harjuno, yang

menyatakan telah mengajukan banding terhadap permasalahan ini. Kondisi demikian

jelas merupakan suatu implikasi tegas yang menunjukkan bahwa permasalahan ini

memberikan pengaruh sosial pada warga bantaran.

Pengaruh eskalasi perselisihan ini rupanya tidak hanya berhenti pada

aspek hukum semata, namun juga pada aspek sosial dan politik. Dalam eskalasi dan

pernyataan yang diberikan oleh media massa, dan semua informan dalam

Page 145: · PDF fileperpustakaan.uns.ac.id   Disusun Untuk Memenuhi Tugas Akhir Sebagai S PROGRAM commit to user 1 Komunikasi dan Konflik Sosial

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

145

perselisihan ini menujukkan bahwa pemerintah kota tampaknya berusaha sekuat

tenaga untuk memberishkan wilayah bantaran dari pemukiman penduduk. Hal

tersebut terlihat dari pernyataan warga bantaran, yang menjelaskan bahwa

pemerintah kota aga mendiskiminasi warga bantaran dari aspek sosial. Implikasi

tersebut jelas merupakan aspek dan pengaruh langsung dari perselisihan yang telah

bergulir.

Di segi politik, konflik ini memberikan pengaruh yang relatif

mencengangkan pada pemilihan kepala daerah tersebut. Keterangan yang diberikan

harian Radar Solo, edisi 27 April 2010, menunjukkan bawa warga bantaran mampu

memberikan tekanan dan pengaruh terhadap jumlah suara yang diperoleh oleh calon

walikota-wakil walikota, meskipun hal itu tidak banyak berpengaruh terhadap jumlah

total perolehan suara. Namun demikian, kedua bukti dan fakta tersebut jelas

menunjukkan bahwa ada pengaruh langsung antara eskalasi konflik terhadap bidang

sosial dan politik.

Eskalasi yang terjadi pada perselisihan antara warga bantaran dan

pemerintah kota secara langsung menunjukkan sifat-sifat konflik seperti yang

dijelaskan oleh para ilmuwan komunikasi. Hal itu memberikan sinyalemen bahwa

eskalasi konflik yang terjadi didorong oleh motivasi tertentu seperti yang dijelaskan

oleh dalam sifat-sifat konflik tersebut. Perhatikan semua pernyataan dan keterangan

yang diberikan oleh para tokoh yang terlibat dalam perselisihan tersebut, hampir

semua tokoh memberikan suatu keterangan terntentu yang memiliki tujuan dan

maksud untuk melebarkan konflik tersebut. Selain itu media massa yang meliput

semua aspek dalam perselisihan itu juga menampakkan suatu indikasi bahwa konflik

yang terjadi sebenarnya memiliki eskalasi yang luas dan memberikan pengaruh pada

beberapa aspek sosial dan politik. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa eskalasi

Page 146: · PDF fileperpustakaan.uns.ac.id   Disusun Untuk Memenuhi Tugas Akhir Sebagai S PROGRAM commit to user 1 Komunikasi dan Konflik Sosial

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

146

perselisihan antara warga bantaran dan pemerintah kota bermula dari sesuatu yang

kecil lalu secara perlahan-lahan berubah menjadi semakin luas, tatkala warga

bantaran mulai menempuh jalur hukum untuk menyelesaikan masalah tersebut.

D. Upaya Menuju Resolusi Konflik

1. Pernyataan-Pernyataan dalam Upaya Resolusi

Resolusi konflik pada dasarnya merupakan bagian paling penting dari

suatu proses konflik yang mengarah pada perbaikan hubungan dan titik akhir dari

suatu konflik. Karena itu, resolusi konflik biasanya selalu menuju pada pemberian

jalan keluar untuk menyelesaikan permasalahan atau perselisihan yang terjadi dalam

suatu konflik. Selain itu, resolusi konflik rupanya merujuk pada suatu aksioma yang

menyatakan bahwa ―setiap masalah pasti memiliki jalan keluar‖. Kenyataan dan

upaya mengakhiri konflik semacam itu yang menjadi tujuan utama dari suatu proses

resolusi konflik. Ketika resolusi konflik belum bisa menyelesaikan perselisihan,

bukan resolusi tersebut yang salah, tapi perselisihan itu belum menemukan resolusi

yang tepat.

Perlu dipahami bahwa konflik yang terjadi antara pemerintah kota dengan

warga bantaran memang bukanlah konflik sosial secara murni, namun konflik sosial

berbasis ekonomi, sehingga sebagian besar penyelesaian mungkin bertalian dengan

aspek ekonomi pula. Namun demikian komunikasi menjadi sesuatu yang penting

dalam upaya mencapai resolusi konflik untuk mencari jalan tengah yang

menguntungkan semua pihak yang berselisih. Dengan demikian dapat dipahami

bahwa komunikasi tetap menjadi sesuatu yang penting dalam konflik berbasis

ekonomi dan upaya resolusinya, meskipun hal itu bukan yang utama.

Page 147: · PDF fileperpustakaan.uns.ac.id   Disusun Untuk Memenuhi Tugas Akhir Sebagai S PROGRAM commit to user 1 Komunikasi dan Konflik Sosial

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

147

Dalam kasus konflik tentang dana bantuan banjir antara warga bantaran

dan pemerintah kota, resolusi konflik untuk masalah tersebut memang belum tersedia

dengan tepat, namun upaya penyelesaian konflik dan perjalanan menuju resolusi

konflik telah dimulai, bahkan sejak konflik tersebut mulai terjadi. Hal ini menarik

perhatian, karena pada dasarnya pihak warga bantaran–yang menggulirkan konflik–

telah berupaya serius untuk melakukan penyelesaian konflik dan resolusi konflik

dengan beragam cara, walaupun semua cara tersebut belum sesuai dengan harapan.

Sementara pemerintah kota juga telah berusaha untuk menghindari terjadinya

konflik, namun usaha tersebut juga belum maksimal. Pada resolusi konflik,

komunikasi memegang fungsi penting untuk memberikan dorongan dan usaha

mengakhiri konflik secara lebih positif.

Warga bantaran sebenarnya sudah menyadari tentang pentingnya resolusi

konflik dan pencegahan perselisihan sebelum mereka memutuskan untuk

menggulirkan masalah ini. Hal itu membuat warga bantaran lebih mendahulukan

komunikasi dan cara yang lebih baik untuk menyelesaikan masalah dana bantuan

banjir. Namun mereka juga sadar, jika perselisihan telah digulirkan, maka mereka

juga sebenarnya telah berupaya untuk mengakhiri permasalahan ini secepatnya.

Maryono, sebagai warga bantaran, menjelaskan bahwa

Sebenarnya banyak, kami sudah berupaya ke sana-sini [pen: proses

komunikasi ke berbagai instansi terkait] dengan harapan ada suatu titik

temu, tetapi kenyataannya memang susah. Mungkin juga hal ini berkaitan

dengan nominal, atau anggaran, yang pada intinya pemerintah itu belum

siap menurunkan anggaran untuk masalah ini. (Wawancara pada 12

Februari 2010)

Di samping pernyataan tersebut, Maryono juga menyatakan

Sebenarnya sudah banyak upaya yang dilakukan warga, sudah banyak

pendekatan yang dilakukan warga kepada komisi-komisi yang terkait

dengan hal ini, termasuk pada wakil walikota dan walikota. Tetapi

kenyataanya belum ada penyelesaian, intinya masing-masing berusaha

Page 148: · PDF fileperpustakaan.uns.ac.id   Disusun Untuk Memenuhi Tugas Akhir Sebagai S PROGRAM commit to user 1 Komunikasi dan Konflik Sosial

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

148

mempertahankan apa yang sudah mereka miliki. Karena warga merasa

tidak ada penyelesaian secara baik-baik untuk menangani masalah ini,

maka kami mengajukan masalah ini ke pengadilan. (Wawancara pada 12

Februari 2010)

Kedua pernyataan tersebut menujukkan bahwa warga bantaran, yang menggerakkan

konflik, telah berupaya maksimal untuk dapat menghindari konflik dan

menyelesaikan konflik sebelum konflik tersebut dimulai. Hal ini memang jelas

menunjukkan bahwa warga bantaran sebenarnya tidak menginginkan perselisihan,

namun lebih mengandalkan aspek penghindaran dan penyelesaian secara baik-baik.

Pernyataan serupa juga dilontarkan oleh warga bantaran yang lain,

sekaligus aktivis di SKoBB, Nunuk Ismiyati. Secara tegas ia memberikan keterangan

Sebelum demonstrasi warga sebenarnya sudah melakukan beragam

pendekatan pada pihak-pihak yang terkait, tetapi kami merasa di ping-

pong [pen: diulur-ulur dan dipersulit]. Pertama, yang mengupayakan

bantuan tersebut hanya tujuh orang, tetapi tidak membuahkan hasil.

(Wawancara pada 17 Februari 2010)

Selain pernyataan tersebut, ia juga menyatakan bahwa setelah semua upaya untuk

meminta bantuan secara legal telah menamui jalan buntu, warga sepakat untuk

melakukan aksi terbuka, sebagai tindak lanjut dari aksi pendekatan pertama

Pada awalnya kami sempat demonstrasi ke balaikota, namun pada saat itu

kami tidak ditemui oleh walikota, padahal sudah masyarakat tahu bahwa

walikota ada di kantor. Tetapi kami justru ditemui oleh sekretarisnya.

Lalu kami lanjutkan demonstrasi ke dewan, tetapi dewan baru tahu bahwa

ada kesepakatan tentang dana bantuan. Padahal seharusnya dewan-kan

juga bertugas untuk controlling, jadi seharusnya dewan tahu ada

kesepakatan itu.

Situasi yang dijelaskan dalam pernyataan tersebut menujukkan bahwa warga secara

sistematis telah berupaya menyelesaikan masalah ini sebelum memutuskan untuk

menggerakkan konflik. Perhatikan fakta yang ada, pada mulanya warga telah

Page 149: · PDF fileperpustakaan.uns.ac.id   Disusun Untuk Memenuhi Tugas Akhir Sebagai S PROGRAM commit to user 1 Komunikasi dan Konflik Sosial

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

149

menempun cara kekeluargaan dengan cara menemui pihak-pihak dan dinas terkait,

sebelum akhirnya menggunakan cara demonstrasi untuk menekan pihak lain.

Kondisi tersebut menjadi sinyalemen bahwa jika warga tidak

mendapatkan hasil positif dari upaya pertama yaitu mengkomunikasikan secara

kekeluargaan ke lembaga tertentu, tentang masalah dana banjir ini, maka dapat

dipastikan aksi selanjutnya akan bersifat lebih keras dengan harapan dapat menekan

pemerintah secara langsung. Karena itu aksi demonstrasi dan konflik yang digulirkan

oleh warga bantaran tidak serta-merta berlangsung tanpa pendahuluan, namun aksi

tersebut telah diawali dengan upaya komunikasi dan aksi untuk menghindari konflik.

Semua aksi komunikasi yang dilakukan warga, di luar aksi demonstrasi, tampaknya

bisa menjadi cikal-bakal resolusi konflik yang akan terjadi.

Keterangan yang menyatakan bahwa warga telah melakukan semua cara

positif dan beradab, sebelum memutuskan untuk memulai konflik dengan pemerintah

kota, diberikan oleh Heri Hendro Harjuno, sebagai pengacara di pihak warga

bantaran. Ia menerangkan bahwa

Sebenarnya langkah-langkah yang ditempuh masyarakat sudah cukup

maksimal dan tidak anarkis, sehingga sudah pantas diacungi jempol.

Pernah mereka menuntut ke DPRD untuk mengatasi masalah ini, lalu

sudah mencoba audiensi di Lodji Gandrung [pen: rumah dinas walikota

Surakarta] juga pernah. Lalu akhirnya mencapai proses hukum. Ini

sebenarnya contoh teladan yang diberikan masyarakat bantaran, mereka

tidak melakukan pembakaran dan sebagainya, apalagi adanya

kekhawatiran akan munculnya chaos [pen: demonstrasi anarkis yang

menimbulkan kekacauan]. (Wawancara pada 15 Maret 2010)

Pernyataan praktisi hukum, seperti Heri Hendro Harjuno, menunjukkan adanya

indikasi bahwa ketika semua upaya kekeluargaan untuk menyelesaikan masalah atau

upaya penghindaran konflik telah gagal, maka seuatu kewajaran bila warga

melanjutkan dengan aksi demonstrasi. Menariknya, Heri Hendro Harjuno

Page 150: · PDF fileperpustakaan.uns.ac.id   Disusun Untuk Memenuhi Tugas Akhir Sebagai S PROGRAM commit to user 1 Komunikasi dan Konflik Sosial

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

150

menyatakan bangga pada warga bantaran, karena melakukan demonstrasi tanpa

menggunakan aksi kekerasan dan aksi anarkime.

Sebagai pengamat netral dan seorang jurnalis, Abdul Alim secara tidak

langsung membenarkan keterangan Heri Hendro Harjuno bahwa setelah warga

menemui jalan buntu untuk menyelesaikan masalah, maka jalan selanjutnya ialah

menggulirkan konflik dan menggunakan jalan hukum sebagai upaya penekanan dan

penyelesaian. Alim menyatakan bahwa

Sebenarnya warga bantaran sudah lama tahu tentang program bantuan

tersebut, selain itu masyarakat juga sudah lama bertemu dengan walikota

untuk menyampaikan keluhan mereka. Namun selama ini belum ada titik

temu yang pas untuk menyelesaikan permasalahan mereka. (Wawancara

pada 21 Maret 2010)

Lebih lanjut ia menyatakan

Sebab warga bantaran sudah menempuh jalur musyawarah berulang kali;

sudah menggandeng LSM; mereka juga sudah melakukan dan datang ke

balaikota; selain itu mereka juga sudah melakukan demonstrasi berulang

kali, namun belum ada hasil. Jadi jalan apalagi yang sebaiknya ditempuh

jika bukan jalur hukum. (Wawancara pada 21 Maret 2010)

Sebagai seorang pengamat netral dan seorang jurnalis, Alim memberikan suatu

pernyataan yang secara garis besar mirip dengan pernyataan seorang praktisi hukum.

Hal itu memberikan petunjuk bahwa biasanya ranah hukum memberikan suatu

bentuk nyata yang dapat digunakan sebagai mediator dan ranah untuk menyelesaikan

konflik. Dengan begitu proses resolusi konflik sebenarnya dapat berjalan.

Pernyataan Heri Hendro Harjuno dan Abdul Alim tentang penggunaan

ranah hukum dalam perselisihan tentang dana banjir tersebut mengandung

pemahaman ganda. Pertama, ranah hukum yang ditempuh warga pada dasarnya

hanya melanjutkan proses terjadinya konflik dengan peningkatan eskalasi konflik,

karena ranah hukum rupanya mendukung eskalasi konflik tersebut. Bentuk-bentuk

Page 151: · PDF fileperpustakaan.uns.ac.id   Disusun Untuk Memenuhi Tugas Akhir Sebagai S PROGRAM commit to user 1 Komunikasi dan Konflik Sosial

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

151

penyanggahan putusan pengadilan seperti ‗banding‘ dan ‗kasasi‘ di tingkat yang

lebih tinggi tampaknya mendukung peningkatan eskalasi konflik. Kedua, ranah

hukum bisa menjadi mediator atau adjudikator yang tepat apabila dua pihak yang

berseteru saling menerima pendapat dan mendengarkan semua masukan dan nasehat

atau menerima semua keputusan yang diberikan oleh pengadilan.

Sejauh ini, Heri Hendro Harjuno sendiri mengakui bahwa sebelum

pengadilan memutuskan untuk menyidangkan permasalahan tentang dana banjir ini

yang terjadi antara warga bantaran dan pemerintah kota, pengadilan telah melakukan

upaya mediasi namun belum berhasil mencari jalan keluar yang tepat. Heri Hendro

Harjuno mengatakan

Memang arahnya demikian, dan hal itu sudah pernah kita coba waktu

tingkat pengadilan paling bawah, yaitu PN [pengadilan negeri], tapi

mentok. Upaya damai juga sudah kita ajak, tapi gugatan kami bersifat

materiil dan non-meteriil, tapi okelah ganti rugi yang diberikan

pemerintah kota hanya bersifat meteriil saja bukan imateriil. Jadi untuk

mediator yang bisa menjembatani tampaknya saya agak skeptis ada yang

bisa.

Keterangan Heri Hendro Harjuno di atas sebenarnya menguatkan indikasi bahwa ada

dualitas fungsi dari pengadilan, yaitu sebagai pendamai antara dua pihak yang

berseteru atau sebagai ranah perseteruan yang baru. Hal itu juga menjadi fakta bahwa

pengadilan telah mengutamakan pengambilan jalur pendamaian sebelum

memutuskan untuk mulai memperkarakan tuntutan warga.

Meskipun pengadilan belum bisa mengusahakan jalan perdamaian bagi

dua pihak yang saling berseteru, seperti yang dikatakan Heri Hendro Harjuno, namun

hal itu sudah menjadi langkah positif bagi warga bantaran dan pemerintah kota

bahwa upaya menuju resolusi konflik masih terbuka. Selain itu, kanyataan tersebut

menjadi bukti kuat bahwa warga bantaran dan pemerintah kota sebenarnya masih

Page 152: · PDF fileperpustakaan.uns.ac.id   Disusun Untuk Memenuhi Tugas Akhir Sebagai S PROGRAM commit to user 1 Komunikasi dan Konflik Sosial

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

152

menginginkan jalan damai dan lebih mengutamakan proses resolusi ketimbang harus

menggulirkan konflik secara berkepanjangan.

Apabila praktisi hukum yang berada di belakang warga bantaran telah

menjelaskan bahwa warga telah berupaya melakukan mediasi melalui lembaga

pengadilan, namun mengalami kegagalan. Pemerintah kota sebenarnya juga

berupaya serius untuk mengusahakan pertemuan dan pembicaraan jalan keluar

dengan cara damai, walaupun hal itu masih menemui jalan buntu. Ketua DPRD,

Sukasno SH, sebagai salah satu tokoh penting dalam perselisihan ini, mengatakan

bahwa

Kalau yang selama ini ada yang sudah mau [pen: direlokasi] itu harus

diselesaikan dulu, sebab masalah ini kan tidak satu tahun harus selesai.

Jadi ini semua tidak semudah membalik telapak tangan, jadi meskipun

mereka tinggal di hunian liar sekalipun, mereka juga tetap masyarakat

kita [pen: warga Surakarta], jadi mereka tidak mau, lalu digusur, kan

tidak seperti itu, ada tindakan-tindakan persuasif. Jadi sampai sekarang,

masih dalam tahapan seperti itu. (Wawancara pada 11 Mei 2010)

Berdasarkan pendapat yang diberikan ketua DPRD Surakarta tersebut sebenarnya

menjelaskan bahwa pemerintah kota sudah melakukan, atau setidaknya, masih

melakukan upaya serius untuk menyelesaikan persoalan tersebut dengan cara yang

damai dan persuasif. Sukasno SH juga menjelaskan

Kalau menurut saya, tetap harus ada komunikasi dengan kelompok yang

‗pokoknya tidak mau ini tadi‘, kalau ada komunikasi pada akhirnya

komunikasi akan menjadi intens, pertama kita mungkin hanya bertegur

sapa saja, tapi lama-kelamaan kita pasti akan sampai pada cerita,

wedangan bagaimana, kondisi keluarga bagaimana, dan itu harus terjalin

terus jangan sampai pisah. Sehingga dengan komunikasi yang lancar itu,

maka seperti peribahasa ‗sekeras apapun batu, kalau terkena tetesan air,

lama kelamaan pasti akan berlubang juga‘, dengan komunikasi yang baik,

lalu terus-menerus pasti akan tercapai kesepakatan meskipun lama,

kecuali kalau kita bertindak represif, tapi karena kita bertindak persuasif

ya pasti akan lama. (Wawancara pada 11 Mei 2010)

Page 153: · PDF fileperpustakaan.uns.ac.id   Disusun Untuk Memenuhi Tugas Akhir Sebagai S PROGRAM commit to user 1 Komunikasi dan Konflik Sosial

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

153

Pendapat yang diberikan oleh Sukasno SH, menampakkan bahwa pemerintah kota

sebaiknya tetap pada jalur yang sama dengan sekarang, yaitu jalur persuasif namun

berkelanjutan. Dengan demikian, ada kemungkinan pemerintah kota bisa meluluhkan

hati warga bantaran yang keras.

Penjelasan tentang upaya resolusi konflik untuk menyelesaikan

perselisihan antara warga bantaran dengan pemerintah kota memang baru sebatas

wacana yang melibatkan semua pihak yang punya kepentingan masing-masing.

Semua pihak yang terlibat dalam perselisihan tersebut dapat dipastikan

menginginkan suatu jalan keluar yang baik sekaligus memenangkan semua pihak.

Pemerintah kota memiliki kepentingan yang besar untuk membebaskan wilayah

bantaran dari pemukiman. Sementara warga bantaran justru sebaliknya, namun

warga sendiri hanya mau menerima jatah bantuan mereka tanpa mau pindah. Jika

kembali pada pendapat yang diberikan Sukasno SH, maka pemerintah kota dan

warga bantaran harus mau berkomunikasi secara layak dan intensif hingga

tercapainya kesepakatan, tentang pembayaran dana banjir sekaligus kesadaran untuk

relokasi.

Proses resolusi bukanlah proses yang mudah namun juga bukan proses

yang sulit, yang diperlukan untuk resolusi hanyalah kesadaran semua pihak yang

berseteru untuk mau memikirkan jalan keluar secara bersama-sama. Perubahan ranah

konflik menuju jalur hukum sebenarnya cukup berpotensi memberikan resolusi

konflik yang dapat diterima semua pihak, akan tetapi penggunaan jalur hukum juga

bisa semakin mengingkatkan eskalasi konflik. Meskipun proses mediasi yang

dilakukan pengadilan sempat gagal, namun hal itu tidak seharusnya menghentikan

upaya menuju resolusi konflik.

Page 154: · PDF fileperpustakaan.uns.ac.id   Disusun Untuk Memenuhi Tugas Akhir Sebagai S PROGRAM commit to user 1 Komunikasi dan Konflik Sosial

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

154

Lembaga pengadilan, seperti yang telah dikatakan oleh Heri Hendro

Harjuno, sebenarnya lembaga yang bisa berperan sebagai mediator atau adjudikator

dalam permasalahan tentang dana bantuan banjir tersebut. Perhatikan pernyataan

yang diberikan oleh pengacara warga bantaran tersebut

Ya karena, syarat mediator, atau konsiliator harus dapat diterima oleh

kedua belah pihak, kami sampai sejauh ini di pihak SKoBB belum

melihat adanya kemungkinan munculnya mediator yang bisa diterima

oleh semua pihak.Artinya, SKoBB masih membuka jalan untuk mediasi

tentang dana bantuan banjir, tetapi untuk relokasi, kami sudah harga mati.

(Wawancara pada 15 Maret 2010)

Hal itu sebenarnya menunjukkan bahwa warga bantaran sebenarnya masih membuka

peluang untuk proses penyelesaian dan mediasi demi mencapai resolusi konflik.

Namun di pernyataan yang lain, Heri Hendro Harjuno tampaknya skeptis dan

pesismis dengan munculnya mediator. Ia menyatakan

Memang arahnya demikian, dan hal itu sudah pernah kita coba waktu

tingkat pengadilan paling bawah, yaitu PN [Pengadilan Negeri], tapi

mentok. ... Jadi untuk mediator yang bisa menjembatani tampaknya saya

agak skeptis ada yang bisa. (Wawancara pada 15 Maret 2010)

Meskipun Heri Hendro Harjuno merasa skeptis terhadap mediasi yang diberikan

pengadilan, akan tetapi pernyataan yang diberikan sebenarnya menunjukkan bahwa

ada potensi besar bahwa pengadilan bisa memberikan jalan keluar. Walaupun potensi

itu belum tergali untuk bisa menjadi fasilitator jalan damai.

Di lain pihak, sebenarnya pemerintah kota sendiri juga bisa menjadi

mediator dan arbitrator yang baik untuk mendukung proses resolusi konflik ini, dan

memberikan jalan keluar yang saling menguntungkan (win-win solution) bagi warga

bantaran dan pemerintah kota. Untuk itu, Sukasno SH menyatakan bahwa

Kalau menurut saya, tetap harus ada komunikasi dengan kelompok yang

‗pokoknya tidak mau ini tadi‘, kalau ada komunikasi pada kahirnya

komunikasi akan menjadi intens, pertama kita mungkin hanya bertegur

sapa saja, tapi lama-kelamaan kita pasti akan sampai pada cerita,

Page 155: · PDF fileperpustakaan.uns.ac.id   Disusun Untuk Memenuhi Tugas Akhir Sebagai S PROGRAM commit to user 1 Komunikasi dan Konflik Sosial

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

155

wedangan bagaimana, kondisi keluarga bagaimana, dan itu harus terjalin

terus jangan sampai pisah. ...

Pandangan ketua DPRD Surakarta sebenarnya menjelaskan bahwa apabila

pemerintah ingin menyelesaikan kasus ini, maka proses komunikasi yang baik dan

tepat menjadi syarat utama. Hal itu juga penting untuk mencapai adanya mediasi dan

resolusi konflik yang tepat. Lebih lanjut ia menjelaskan

Saya kira masih ada upaya, seperti itu, misalnya baik kepada siapa. Pada

akhirnya komunikasi seperti itu akan terjalin tidak pada ketua komunitas.

Sebab mungkin saja ketua komunitas itu terlalu mendominasi, sehingga

mungkin semua anggotanya terkadang tidak nyambung [pen: tidak dapat

mengikuti keinginan ketua kelompok]. ... Sebenarnya, mungkin ada

keinginan untuk lepas dari kelompok tersebut, tetapi karena ada rasa

sungkan, malu, takut. Jadi bisa saja pemerintah kota berkomunikasi

melalui mereka-mereka yang seperti ini [pen: warga yang jenuh dan ingin

lepas dari kelompok]. Yang namanya paguyuban, saya yakin, satu

ikatannya mungkin semu. ... Jadi saya yakin kepentingan antara ketua

paguyuban dan semua anggotanya mungkin berbeda. Sehingga

komunikasi menjadi hal yang penting. (Wawancara pada 11 Mei 2010)

Keterangan yang diberikan oleh Sukasno SH di atas, tampaknya cukup menarik.

Sebab secara tidak langsung pernyataan yang diberikan Sukasno SH memberikan

isyarat bahwa komunikasi interpersonal antara warga bantaran dan pemerintah kota,

yang terjadi secara informal, bisa berpotensi membuahkan resolusi konflik, dan

menjadikan pemerintah kota sebagai mediator atau mungkin juga negosiator.

Secara sederhana, Sukasno SH hendak menjelaskan apabila proses

komunikasi interpersonal yang menghubungkan pemerintah kota dengan kelompok

masyarakat belum membuahkan hasil nyata, maka perlu ada perubahan jalur

komunikasi menjadi interpersonal yang terjadi antara individu dari pemerintah kota,

dan warga bantaran yang terjadi secara informal. Hal itu kemungkinan bisa

menghasilkan kesepakatan antara warga dan pemerintah kota, karena ada proses

negosiasi yang bersifat pribadi, tanpa bantuan pihak ketiga. Di samping itu,

Page 156: · PDF fileperpustakaan.uns.ac.id   Disusun Untuk Memenuhi Tugas Akhir Sebagai S PROGRAM commit to user 1 Komunikasi dan Konflik Sosial

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

156

komunikasi informal antarpribadi tersebut juga bisa digunakan untuk mencari

mediator yang tepat untuk mencarikan jalan keluar yang tepat.

Pernyataan dari ketua DPRD Surakarta, Sukasno SH, pada dasarnya mirip

dengan yang diberikan oleh koordinator aksi masyarakat dalam dana bantuan banjir

tersebut, Agus Sumaryawan. Ia sebenarnya mensahkan apa yang telah dikatakan oleh

Sukasno SH, tentang pentingnya komunikasi dalam penyelesaian konflik tersebut.

Agus Sumaryawan memberikan keterangan

Seharusnya pemerintah kota mengadakan koordinasi untuk melakukan

tatap muka bersama masyarakat, ibaratnya dalam bahasa jawa ―ayo podho

dirembug‖. Hal itu harus dilakukan berdasarkan prinsip demokrasi yang

mendahulukan musyawarah lalu melakukan mufakat. Selama ini yang

dilakukan pemerintah belum ada musyarwarah tapi sudah dimufakati

bersama-sama, sehingga itu jelas salah besar. Karena selama ini

pemerintah selalu merealisasikan semua kebijakan yang belum pernah

dimusyawarahkan. ... [ilustrasi oleh sumber]. (Wawancara pada 23

Januari 2010)

Berdasarkan keterangan yang diberikan oleh Agus Sumaryawan, dapat diketahui

bahwa warga bantaran sendiri sebenarnya menginginkan adanya komunikasi dengan

pemerintah kota terkait penyelesaian masalah bantuan banjir tersebut. Hal itu

sebenarnya menunjukkan adanya keinginan positif warga untuk mendiskusikan dan

menyelesaikan masalah ini dengan proses mediasi atau negosiasi yang baik, melalui

proses komunikasi yang baik pula.

Jika memang ada niat baik dari warga bantaran untuk berbicara dengan

baik dan menyelesaikan permasalahan ini melalui musyawarah, seperti yang juga

diinginkan oleh pemerintah kota, seperti yang telah diungkapkan oleh ketua DPRD

Surakarta. Lalu mengapa, sampai sekarang belum tercapai kesepakatan yang sama

antara pemerintah kota dengan masyarakat bantaran, yang nota bene memulai konflik

ini. Kenyataan seperti ini menuntut upaya lebih serius untuk mendalami dan

mengkaji permasalahan tersebut secara lebih dalam.

Page 157: · PDF fileperpustakaan.uns.ac.id   Disusun Untuk Memenuhi Tugas Akhir Sebagai S PROGRAM commit to user 1 Komunikasi dan Konflik Sosial

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

157

Dalam upaya mediasi atau setidaknya arbitrasi, atau mungkin juga

negosiasi, SKoBB, sebagai representasi warga bantaran yang menggulirkan konflik

sebenarnya juga dapat menjadi kelompok yang mendukung mediasi dengan

pemerintah kota demi mencapai resolusi konflik. Sebagai forum atau kelompok

masyarakat SKoBB menjadi suatu lambang dari perlawanan warga bantaran yang

memulai konflik dengan pemerintah kota. Potensi dukungan SKoBB terhadap

pencarian resolusi konflik sebenarnya dinyatakan oleh warga bantaran sekaligus

aktivis di SKoBB, Maryono. Ia menyatakan bahwa

Sebenarnya ada upaya SKoBB untuk menyelesaikan permasalahan ini

namun ada perasaan gengsi dari tiap-tiap pihak, baik itu dari warga

bantaran maupun pemerintah kota sendiri untuk mau mengawali proses

negosiasi tersebut, entah karena permasalahan apa saya sendiri tidak

ngerti. Tetapi sepanjang pengamatan saya ada beberapa teman-teman di

SKoBB yang sebenarnya juga ingin melakukan negosiasi, begitu juga

dengan pemerintah kota. Masalahnya sekarang siapa yang ingin memulai

lebih dulu. ... (Wawancara pada 12 Februari 2010)

Perhatikan pernyataan yang diberikan oleh Maryono di atas. Keterangan dan

pernyataan tersebut sebenarnya menunjukkan bahwa warga bantaran melalui SKoBB

juga menginginkan jalan damai dan proses mediasi untuk mencapai resolusi konflik

yang disepakati semua pihak. Namun demikian, dia sendiri tidak menampik fakta

bahwa banyak pihak yang merasa egois sehingga enggan merintis jalan damai yang

penting untuk melahirkan resolusi konflik yang menguntungkan semua pihak.

Keterangan tersebut sebenarnya tidak bertentangan dengan pernyataan

Agus Sumaryawan, warga bantaran yang juga menjabat sebagai ketua SKoBB

sekaligus koordinator aksi protes, yang pada dasarnya juga menyatakan bahwa dia

sendiri dan kemungkinan semua warga bantaran–yang termasuk juga dalam SKoBB–

menginginkan proses menyawarah demi mencapai kesepakatan bersama dalam

permasalahan ini. Namun demikian, semua niatan baik tersebut tetap harus didukung

Page 158: · PDF fileperpustakaan.uns.ac.id   Disusun Untuk Memenuhi Tugas Akhir Sebagai S PROGRAM commit to user 1 Komunikasi dan Konflik Sosial

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

158

dengan aksi yang baik dan juga dengan pemikiran yang baik pula. Tanpa semua itu

mustahil proses musyawarah yang baik dapat dilaksanakan dan diterima oleh semua

pihak. Demi tujuan tersebut, warga bantaran–juga yang tergabung dalam SKoBB–

dan pemerintah kota harus mendukung secara aktif semua proses menuju mediasi

dan resolusi konflik tersebut, dengan cara menghilangkan sisi egoisme diri dan

kepentingan sepihak.

Meskipun upaya menuju resolusi konflik dalam perselisihan antara warga

bantaran dan pemerintah kota rupanya banyak menemui hambatan, namun upaya

tersebut tetap berjalan dan berlangsung. Apabila SKoBB merupakan perwakilan dari

warga bantaran dapat digunakan sebagai forum atau setidaknya kelompok

masyarakat yang bisa mendukung mediasi, maka pemerintah kota, yang jauh lebih

solid setidaknya juga bisa melakukan hal itu. Sukasno SH mengatakan bahwa

Ya, kalau untuk masalah di kelompok ini [pen: warga bantaran yang

menolak relokasi termasuk SKoBB] ya harus ada komunikasi terus, yang

dilakukan untuk membujuk, ya nanti pasti akan gempil [pen: terkikis].

Kalau itu seprti suatu benda maka pasti akan gempil secara sedikit-sedikit

pasti akan gempil, asalkan itu ada komunikasi. (Wawancara pada 11 Mei

2010)

Lebih lanjut ia menyatakan bahwa

Menurut saya pemerintah kota tidak perlu mediator, karena pada dasarnya

ini-kan warganya. Kalau mereka tidak melakukan ancaman berupa aksi

dan ancaman fisik, saya kira tidak perlu seperti itu. Semua dinas yang

terkait juga pasti akan melakukan komunikasi seperti itu. (Wawancara

pada 11 Mei 2010)

Pemerintah kota sebenarnya juga bisa menjadi lembaga yang pada dasarnya

mendukung mediasi, namun hal itu belum maksimal jika tidak ada dukungan dari

pihak lain. Di samping itu, upaya untuk mencari jalan keluar dan resolusi konflik

macam itu jelas mendudukkan pemerintah kota sebagai lembaga yang bisa menjadi

Page 159: · PDF fileperpustakaan.uns.ac.id   Disusun Untuk Memenuhi Tugas Akhir Sebagai S PROGRAM commit to user 1 Komunikasi dan Konflik Sosial

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

159

negosiator kepada warga bantaran, karena itu Sukasno SH menyatakan bahwa

pemerintah kota tidak membutuhkan mediator.

Apapun namanya, mediasi, arbitrasi, adjudikasi, atau negosiasi, pada

dasarnya dibentuk dengan tujuan yang sama, yaitu menemukan jalan keluar dari

konflik yang sedang berkembang. Keempat bentuk tindakan tersebut sebenarnya

berperan pada tingkatan yang sama walaupun metode yang digunakan agak berbeda.

Namun demikian, semua bentuk tindakan menuju resolusi konflik tersebut harus

dijiwai dengan niatan baik dan dengan tindakan yang baik pula, tanpa hal itu, jalan

keluar mustahil ditemukan.

Semua uraian dari semua pihak dan tokoh-tokoh yang terkait dengan

perselisihan tentang dana banjir ini membawa pada satu muara besar, tentang

bagaimana sebaiknya permasalahan ini diselesaikan, sehingga hal ini tidak terbatas

hanya pada pembayaran uang dana banjir seperti yang diinginkan oleh warga, atau

agar masyarakat bantaran mau direlokasi ke tempat baru, seperti keinginan

pemerintah kota. Kemungkinan besar ada jalan keluar lain yang dapat ditempuh oleh

semua pihak yang berseteru tanpa harus merugikan pihak manapun. Kesepakatan

semua pihak menjadi inti dari resolusi konflik.

Secara garis besar semua tokoh dari warga bantaran, yang terlibat dalam

perselisihan tentang dana banjir tersebut, memberikan gambaran besar bahwa selain

keinginan kuat untuk menyelesaikan konflik dan menghasilkan resolusi konflik yang

tepat, kebanyakan tokoh juga memandang bahwa komunikasi yang baik juga harus

terjalin di antara pihak-pihak yang bersitegang. Perhatikan pernyataan Agus

Sumaryawan, yang mewakili warga bantaran, yang menjelaskan bahwa

Seharusnya pemerintah kota mengadakan koordinasi untuk melakukan

tatap muka bersama masyarakat, ibaratnya dalam bahasa jawa ―ayo podho

dirembug‖. Hal itu harus dilakukan berdasarkan prinsip demokrasi yang

Page 160: · PDF fileperpustakaan.uns.ac.id   Disusun Untuk Memenuhi Tugas Akhir Sebagai S PROGRAM commit to user 1 Komunikasi dan Konflik Sosial

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

160

mendahulukan musyawarah lalu melakukan mufakat. (Wawancara pada

23 Januari 2010)

Secara sederhana Agus Sumaryawan menginginkan adanya komunikasi antara warga

dan pemerintah kota begitu pula pernyataan yang diberikan Maryono. Ia mengatakan

bahwa

Sebenarnya ada upaya SKoBB untuk menyelesaikan permasalahan ini

namun ada perasaan gengsi dari tiap-tiap pihak, baik itu dari warga

bantaran maupun pemerintah kota sendiri untuk mau mengawali proses

negosiasi tersebut, entah karena permasalahan apa saya sendiri tidak

ngerti. (Wawancara pada 12 Februari 2010)

Kedua keterangan di atas sebenarnya menunjukkan bahwa warga bantaran pada

dasarnya menginginkan adanya komunikasi yang dilakukan secara khusus untuk

menyelesaikan permasalahan tentang dana bantuan banjir tersebut.

Di pihak lain, pemerintah kota juga menginginkan hal yang sama.

Pemerintah kota juga mengharapkan adanya komunikasi yang baik di antara warga

bantaran dengan pemerintah kota, demi menghasilkan resolusi yang baik. Sukasno

SH menyatakan

Saya kira masih ada upaya, seperti itu, misalnya baik kepada siapa. Pada

akhirnya komunikasi seperti itu akan terjalin tidak pada ketua komunitas.

Sebab mungkin saja ketua komunitas itu terlalu mendominasi, sehingga

mungkin semua anggotanya terkadang tidak nyambung [pen: tidak dapat

mengikuti keinginan ketua kelompok]. ... Sebenarnya, mungkin ada

keinginan untuk lepas dari kelompok tersebut, tetapi karena ada rasa

sungkan, malu, takut. Jadi bisa saja pemerintah kota berkomunikasi

melalui mereka-mereka yang seperti ini [pen: warga yang jenuh dan ingin

lepas dari kelompok]. (Wawancara pada 11 Mei 2010)

Pandangan yang diberikan Sukasno SH, sebagai ketua DPRD Surakarta, pada

dasarnya tidak bertentangan dengan pendapat yang diberikan oleh Agus Sumaryawan

dan Maryono, karena sama-sama mengutamakan jalan komunikasi dan musyawarah.

Namun demikian, Sukasno SH lebih banyak memandang bahwa proses komunikasi

Page 161: · PDF fileperpustakaan.uns.ac.id   Disusun Untuk Memenuhi Tugas Akhir Sebagai S PROGRAM commit to user 1 Komunikasi dan Konflik Sosial

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

161

lebih banyak ditujukan bagi warga bantaran secara informal melalui komunikasi

interpersonal. Hal itu setidaknya menunjukkan bahwa pemerintah kota tetap

berupaya mencari jalan keluar dari kasus ini.

Pendapat tentang jalan keluar dan resolusi yang sebaiknya dilakukan

untuk mencapai kesepakatan antara pihak-pihak yang berseteru disampaikan oleh

praktisi hukum bernama Titin Widyastuti. Pandangan yang diberikan oleh praktisi

hukum dan para profesional dari pihak netral lebih banyak dimaksudkan untuk

menghindari dukungan terhadap pihak tertentu. Dengan demikian, semua pendapat

yang diberikan akan bersifat netral dan tidak memihak. Titin Widyastuti menyatakan

bahwa

Menurut saya, mediasi rupanya tepat digunakan. Karena mediasi lebih

banyak mengutamakan musyawarah, kalau menggugat sana-sini jadi

nggak selesai-selesai. Jadi semua itu perlu jalan tengah-kan, sehingga

yang paling enak itu kan musyawarah untuk mufakat. Jadi semuanya

sama-sama enak lah. ... Jadi memang yang paling enak itu musyawarah,

bahkan sebelum maju ke pengadilan itu-kan juga ada mediasi. Sehingga,

sebelum melangkah ke jalur hukum, kan lebih baik mediasi. Jadi memang

yang paling baik itu-kan musyawarah untuk mencapai mufakat biar

semua sama-sama untung. (Wawancara pada 25 Mei 2010)

Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa, apabila jalan mediasi dan musyawaraha memang

menemui jalan buntu, jalur hukum memang berguna sebagai jalan keluar terakhir.

Namun selama jalan musyawarah bisa dijalankan, jalur hukum tidak seharusnya

digunakan

Memang, apabila sudah dirasakan semua jalan sudah tertutup, maka

langkah hukum bisa digunakan. Karena hukum akan menghasilkan

pemaksaan terhadap pihak tertentu. Saya rasa jalan terakhirnya memang

langkah hukum. Jadi mau-tidak-mau kalau mereka [pen: semua pihak

yang terlibat, terutama warga bantaran] sudah melanggar aturan, silahkan

pergi, kalau mereka sudah tidak menginginkan pendekatan juga tidak

mau, apa-apa [pen: menolak semua langkan damai] juga tidak mau. Jadi

kalau sudah begitu, langkah hukum saya rasa sudah tepat, karena

menghasilkan suatu ketetapan hukum. Tapi yang lebih baik ya

musyawarah dulu, tapi tergantung semua individu masing-masing.

(Wawancara pada 25 Mei 2010)

Page 162: · PDF fileperpustakaan.uns.ac.id   Disusun Untuk Memenuhi Tugas Akhir Sebagai S PROGRAM commit to user 1 Komunikasi dan Konflik Sosial

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

162

Pernyataan yang diberikan praktisi hukum tersebut menunjukkan bahwa upaya

resolusi konflik yang terjadi antara warga bantaran dan pemerintah kota tetap harus

dilaksanakan dengan keinginan dan niat baik. Dengan demikian, jalan musyawarah

akan memberikan hasil positif, begitu pula jalur hukum yang ditempuh.

2. Analisis Tentang Upaya Resolusi Konflik

Memang benar, apabila muncul anggapan bahwa permasalahan berbasis

ekonomi seperti yang menjadi faktor utama konflik antara warga bantaran dan

pemerintah kota, bisa diselesaikan dengan sisi ekonomi pula. Dengan kata lain, jika

pemerintah membayarkan semua tuntutan warga, maka selesai sudah permasalahan

ini. Namun demikian komunikasi menjadi faktor penting untuk menjembatani

perbedaan pendapat antara warga bantaran dan pemerintah kota. Akan lebih baik lagi

jika komunikasi tersebut bisa menghasilkan proses negosiasi antara warga bantaran

dan pemerintah kota bisa menghasilkan kesepakatan yang memenangkan semua

pihak (win-win solution), sehingga pemerintah tidak harus membayarkan semua

tuntutan warga, sementara warga tidak harus pindah dari bantaran. Hal itu menjadi

tujuan penting dari komunikasi dalam proses negosiasi dan mediasi.

Usaha serius dari masing-masing pihak untuk mencari jalan keluar yang

baik bagi semua pihak yang berselisih setidaknya memberikan dua indikasi penting

yang berhubungan dengan semua upaya menuju resolusi konflik tersebut. Pertama,

upaya mencapai resolusi konflik harus menggunakan proses komunikasi yang baik

dengan keinginan baik pula. Mediasi, arbitrasi, adjudikasi, dan negosiasi pada

dasarnya merupakan bentuk resolusi konflik yang menggunakan komunikasi sebagai

syarat mutlak tercapainya kesepakatan. Hilangnya proses komunikasi dalam semua

Page 163: · PDF fileperpustakaan.uns.ac.id   Disusun Untuk Memenuhi Tugas Akhir Sebagai S PROGRAM commit to user 1 Komunikasi dan Konflik Sosial

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

163

proses resolusi konflik tersebut membuat proses tersebut menjadi pincang atau

mungkin gagal sama sekali. Dengan begitu, komunikasi menjadi syarat mutlak bagi

keberhasilan resolusi konflik.

Kedua, proses resolusi konflik harus didorong oleh niat baik dari semua

pihak untuk menyelesaikan perselisihan tersebut. Proses resolusi konflik seperti

mediasi, arbitrasi, adjudikasi, dan negosiasi merupakan bentuk resolusi konflik

dimotori oleh niatan baik semua pihak untuk mengakhiri konflik, bukan karena

paksaan pihak ketiga atau pihak yang lebih kuat. Niat baik dan keinginan

menyelesaikan konflik menjadi alasan yang paling kuat untuk menghapuskan konflik

dalam ranah apapun dan oleh penyebab apapun. Tanpa niat baik untuk

menyelesaikan konflik mustahil semua cara tersebut dapat digunakan untuk

menghentikan perselisihan.

Pandangan tentang resolusi konflik sebenarnya telah menjadi suatu pokok

kajian serius di hampir semua ranah ilmu sosial, termasuk dalam komunikasi,

psikologi dan sosiologi. Meskipun semua cabang ilmu tersebut memberikan

perhatian khusus terhadap resolusi konflik, setiap cabang ilmu tersebut

memfokuskan pada sudut pandang yang saling berbeda. Pembahasan dan analisis

ilmiah tentang resolusi konflik yang terjadi dalam kasus perselisihan antaran warga

bantaran dan pemerintah kota akan lebih banyak terfokus pada bidang ilmu

komunikasi dan psikologi.

Pandangan tentang resolusi konflik diberikan oleh ilmuwan sosial

bernama Susanne Buckley-Ziestel yang membagi dua macam upaya untuk

mengakhiri konflik yang dikenal sebagai penyelesaian konflik (conflict settlement)

dan resolusi konflik (conflict resolution). Ia menjelasakan bahwa (Buckley-Ziestel

2008: 15-17) ‗penyelesaian konflik‘ sebagai bentuk pengakhiran konflik yang

Page 164: · PDF fileperpustakaan.uns.ac.id   Disusun Untuk Memenuhi Tugas Akhir Sebagai S PROGRAM commit to user 1 Komunikasi dan Konflik Sosial

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

164

mengacu pada pembuatan situasi yang saling menguntungkan (win-win situation).

Sedangkan ‗resolusi konflik‘ lebih bertumpu pada orientasi proses yang yang berada

di bawah penyebab konflik tersebut (Buckley-Ziestel 2008: 15-17). Penjelasan dari

ilmuwan kawakan tersebut sebenarnya memberikan implikasi kepada kasus tersebut,

karena pada dasarnya bentuk paling baik untuk mengakhiri konflik tersebut ialah

menerapkan resolusi konflik. sehingga penyelesaian permasalahan tersebut lebih

banyak bertumpu pada resolusi konflik (conflict resolution) ketimbang penyelesaian

konflik (conflict settlement).

Pernyataan yang diberikan oleh tokoh-tokoh yang berada di belakang

warga bantaran yang menggunakan ranah hukum sebagai upaya untuk mengakhiri

konflik sebenarnya menjadi indikasi paling awal bahwa proses resolusi konflik

sebenarnya mulai berjalan, sekaligus menunjukkan bahwa ada upaya serius dari

warga bantaran untuk menggunakan resolusi konflik. Hal itu ditegaskan oleh

kenyataan bahwa adjudikasi terjadi apabila muncul suatu bentuk konflik yang sulit

diselesaikan melalui cara-cara biasa, sehingga membutuhkan hakim untuk

memutuskan permasalahan tersebut (Lakhani, 2006: 186). Pendapat Lakhani (2006)

tersebut sebenarnya menjelaskan bahwa tindakan warga bantaran yang mulai

menempuh jalur hukum sebagai upaya menyelesaikan konflik tersebut lebih banyak

mengacu pada bentuk adjudikasi sebagai salah satu bentuk resolusi konflik.

Penjelasan Lakhani (2006) rupanya mendapatkan dukungan serius dari

rekan sejawatnya. Secara terpisah, F. Paul Bland Jr dan Claire Prestel menjelaskan

bahwa litigasi atau dikenal juga sebagai adjudikasi bisa digunakan untuk

melancarkan tuntutan kepada pihak lain asalkan dilakukan dengan cara yang baik

dalam suatu aksi kelas (class action) (Bland Jr dan Prestel, 2009: 376-377). Pada

dasarnya Bland Jr dan Prestel (2009) menunjukkan dukungan terhadap pernyataan

Page 165: · PDF fileperpustakaan.uns.ac.id   Disusun Untuk Memenuhi Tugas Akhir Sebagai S PROGRAM commit to user 1 Komunikasi dan Konflik Sosial

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

165

yang diberikan oleh Lakhani (2006) sekaligus menguatkan bahwa dalam upaya

adjudikasi atau litigasi peranan komunikasi menjadi hal yang penting. Perhatikan

bahwa Bland Jr dan Prestel (2009) menyatakan bahwa proses litigasi hanya bisa

terjadi dalam kondisi oleh komunikasi yang baik dalam melakukan tuntutan,

meskipun dua pakar tersebut tidak secara langsung mengatakannya.

Pernyataan dari beberapa pakar konflik di atas sebenarnya hendak

mengatakan bahwa proses resolusi konflik hanya bisa dilakukan dengan dasar

komunikasi yang baik di antara semua pihak yang berseteru, bahkan jika itu

dilakukan dengan cara demonstrasi atau unjuk rasa. Sehingga upaya pencarian jalan

damai dapat dilakukan dengan cara-cara yang baik dan beradab. Namun demikian

proses resolusi konflik jelas tidak akan berfungsi dengan baik apabila tidak ada

proses komunikasi yang baik di antara pihak yang berseteru.

Fakta yang ada dilapangan dan kenyataan bahwa warga bantaran

melakukan tuntutan melalui jalur hukum dan melakukan aksi demonstrasi untuk

menuntut uang dana bantuan banjir sebenarnya berhubungan erat dengan yang

dikatakan oleh Lakhani (2006) serta Bland Jr dan Prestel (2009), bahwa litigasi atau

adjudikasi dianggap bisa menyelesaikan masalah yang tergolong rumit karena ada

semacam bentuk pemaksaan kepada pihak yang berseteru oleh lembaga yang lebih

tinggi, namun adjudikasi bersifat kaku karena ada kecenderungan untuk tidak

melakukan kompromi sebanyak mediasi (Kressel, 2006: 729). Karena itu, sebelum

proses adjudikasi dilakukan, pengadilan menjadi mediator dalam proses mediasi

yang digunakan untuk mencari jalan tengah dari semua perselisihan yang terjadi. Hal

itu membuat mediasi merupakan salah satu proses resolusi konflik yang penting.

Secara umum mediasi merupakan proses resolusi konflik yang membutuhkan rasa

sukarela untuk menyelesaikan persoalan tersebut. Selain itu pihak ketiga dalam

Page 166: · PDF fileperpustakaan.uns.ac.id   Disusun Untuk Memenuhi Tugas Akhir Sebagai S PROGRAM commit to user 1 Komunikasi dan Konflik Sosial

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

166

mediasi biasanya memiliki kendali keputusan yang rendah namun memiliki kendali

proses yang tinggi (Conlon dan Meyer, 2004: 260)

Kurangnya proses kompromi dan musyawarah dalam adjudikasi atau

litigasi seperti yang dijelaskan Kressel (2006) menjadikan proses mediasi lebih

berkesan positif karena mengutamakan tindakan musyawarah dan komunikasi serta

bantuan pihak ketiga yang berperan sebagai penengah atau mediator. Kenyataan

bahwa mediasi yang pernah dilakukan oleh pengadilan untuk mendamaikan warga

bantaran dan pemerintah kota mengalami kegagalan, tidak langsung menyatakan

bahwa proses mediasi telah gagal, namun ada kecenderungan bahwa mediasi belum

dapat menyelesaikan masalah. Karena pada dasarnya mediasi lebih banyak berkaitan

dengan bentuk pencarian jalan keluar yang lebih berbasis pada kerjasama, ketimbang

situasi menang-kalah, maka pihak-pihak yang telibat dalam mediasi bersikap aktif

dalam mencari jalan keluar yang baik (Kressel, 2006: 727).

Proses mediasi dalam penyelesaian konflik antara warga bantaran

sebenarnya juga harus dilakukan dengan proses komunikasi yang baik di antara

semua pihak yang berselisih. Pernyataan keinginan untuk berkomunikasi secara lebih

baik sebenarnya sudah diungkapkan oleh semua tokoh penting di antara warga

bantaran dan pemerintah kota, seperti yang dikatakan oleh Agus Sumaryawan dan

Sukasno SH, sebenarnya bisa menjadi kekuatan untuk menjalin komunikasi dalam

suatu mediasi. Perhatikan pernyataan dari Michal Alberstein, yang mengutip

pendapat dari Fisher dan Ury (1983), menjelaskan bahwa mediasi merupakan proses

pemecahan masalah yang kolaboratif berdasarkan bentuk depersonalisasi–lebih

banyak bersifat kerjasama–yang digunakan untuk mencari solusi yang saling

menguntungkan (dalam Alberstein, 2009: 5). Keterangan Alberstein rupanya

Page 167: · PDF fileperpustakaan.uns.ac.id   Disusun Untuk Memenuhi Tugas Akhir Sebagai S PROGRAM commit to user 1 Komunikasi dan Konflik Sosial

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

167

mendukung fakta bahwa komunikasi dalam mediasi merupakan salah satu bagian

penting untuk mencapai kesepakatan bersama.

Meskipun secara umum mediasi bisa memberikan jalan keluar dari suatu

konflik, kemungkinan besar juga dalam kasus antara warga bantaran dan pemerintah

kota. Namun hal itu tidak menutupi kenyataan bahwa mediasi bisa menemui

kegagalan. Ada beberapa kondisi tertentu yang dapat mengagalkan proses

kesepakatan dalam mediasi. Kressel (2006: 730-732) menyatakan bahwa ada enam

faktor yang mengurangi efektivitas mediasi untuk menyelesaikan perselisihan.

Pertama, tingginya tingkat pertentangan dalam suatu konflik menyebabkan adanya

korelasi secara negatif dengan bentuk penyelesaian masalah. Sehingga semakin

tinggi tingkat konflik, maka semakin sulit untuk diselesaikan. Kedua, rendahnya

motivasi menuju kesepakatan menyebabkan munculnya bentuk kecenderungan untuk

menggagalkan pencapaian kesepakatan. Ketiga, rendahnya komitmen terhadap

mediasi biasanya menurunkan efektivitas munculnya kesepakatan karena mediator

dan pihak yang terlibat tidak merasa tertarik dengan mediasi. Keempat, rendahnya

jumlah sumberdaya menyebabkan semua pihak yang terlibat mulai kehilangan

motivasi untuk melakukan mediasi. Kelima, keterlibatan keyakinan tertentu biasanya

semakin menyulitkan pembuatan dan penentuan kesepakatan hasil mediasi. Keenam,

perbedaan kekuatan di antara semua pihak yang terkait biasanya menyebabkan

mediasi terlalu sulit untuk dilaksanakan.

Pandangan yang berbeda namun serupa, dengan keterangan Kressel,

diberikan oleh Jacob Bercovitch dalam suatu jurnal ilmiah tentang resolusi konflik.

Bercovitch (2006: 299-300) menjelaskan empat faktor yang mempengaruhi mediasi.

Pertama, faktor personal memberikan pengaruh positif karena pada dasarnya

mengacu pada mediator yang berperan. Kedua, faktor situasional secara umum lebih

Page 168: · PDF fileperpustakaan.uns.ac.id   Disusun Untuk Memenuhi Tugas Akhir Sebagai S PROGRAM commit to user 1 Komunikasi dan Konflik Sosial

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

168

banyak mengacu pada faktor fisik, sosial, reputasi, dan kekuatan relasi hubungan

antara semua pihak yang terlibat. Ketiga, faktor interaksional merupakan faktor

yang paling menentukan apakah mediasi tersebut berhasil atau gagal, sekaligus

menentukan hasil akhir mediasi tersebut. Keempat, faktor motivasional merupakan

satu faktor yang turut menentukan keberhasilan mediasi karena melibatkan tujuan

mediasi dan komitmen semua pihak terhadap mediasi tersebut. Pandangan

Bercovitch sebenarnya mendukung paparan Kressel tentang semua faktor yang

menentukan keberhasilan atau kegagalan mediasi, meskipun Bercovitch lebih banyak

memfokuskan pada faktor yang mendukung keberhasilan mediasi.

Fakta yang ditemukan di lapangan bahwa proses mediasi yang dilakukan

oleh lembaga pengadilan, sebelum gugatan warga mulai disidangkan, yang

mengalami kegagalan mungkin disebabkan oleh munculnya faktor-faktor tertentu

yang menghambat dan menurunkan efektivitas mediasi seperti yang diterangkan oleh

Kressel (2006) dan mungkin juga oleh Bercovitch (2006). Akan tetapi kegagalan

mediasi yang pernah dilakukan sebenarnya tidak mengurangi kekuatan mediasi untuk

menyelesaikan suatu perselisihan. Dengan demikian, ada potensi bahwa mediasi

masih dapat digunakan untuk menyelesaikan permasalahan antara warga bantaran

dan pemerintah kota, meskipun relatif sulit.

Bagaimanapun juga efektivitas mediasi rupanya tetap ditentukan oleh

proses interaksi dan komunikasi yang ada di dalamnya. Karena itu Kressel (2006)

dan Bercovitch (2006) memasukkan bahasan tentang tingkatan komitmen semua

pihak terhadap mediasi dan faktor interaksional, yang secara umum membutuhkan

aspek komunikasi. Hal itu rupanya mirip pandangan bahwa mediator dalam proses

mediasi biasanya memberikan beragam pesan kepada semua pihak yang berseteru

berupa pemberian pertanyaan, mengatur interaksi, membuat kesimpulan, hingga

Page 169: · PDF fileperpustakaan.uns.ac.id   Disusun Untuk Memenuhi Tugas Akhir Sebagai S PROGRAM commit to user 1 Komunikasi dan Konflik Sosial

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

169

memberikan dukungan emosional bagi pihak-pihak yang terlibat pertikaian (Putnam,

2009: 214). Penjelasan Putnam tersebut secara langsung menujukkan bahwa

komunikasi rupanya menjadi satu bagian penting dalam mediasi, sekaligus

mendukung kajian tentang interaksional dan komitmen dalam mediasi.

Selain adjudikasi dan mediasi, ada satu proses resolusi konflik lain yang

bisa digunakan untuk menyelesaikan perselisihan antara warga bantaran dan

pemerintah kota. Fakta bahwa pemerintah kota dan warga bantaran sebenarnya masih

membuka kesempatan untuk berkomunikasi, walaupun belum terlaksana secara

maksimal, menjadi satu titik tolak yang baik untuk memulai upaya resolusi konflik.

Jika adjudikasi dan mediasi belum bisa menyelesaikan permasalahan, maka

pemerintah kota dan warga bantaran bisa menggunakan proses negosiasi untuk

mencari jalan tengah dari permasalahan tersebut.

Negosiasi sebenarnya merupakan salah satu upaya menuju resolusi

konflik yang lebih mengutamakan interaksi antara pihak-pihak yang berselisih tanpa

campur tangan pihak ketiga. Max H. Bazerman, Jared R. Cuhen, dan Don A. Moore

berpandangan bahwa negosiasi yang dilakukan secara rutin dengan bentuk tatap

muka bisa membuka rahasia tentang semua informasi yang berkualitas tinggi

sehingga dapat menghasilkan suatu kesepakatan di antara semua pihak yang terkait

(Bazerman, et al, 2001: 203). Pandangan yang diberikan pakar konflik di atas

sebenarnya membuka sebuah fakta bahwa komunikasi menjadi suatu bagian penting

dalam proses negosiasi dan pembuatan keputusan dan kesepakan bagi semua pihak

yang terlibat. Dengan demikian, komunikasi memberikan kontribusi yang besar

dalam negosiasi sebagai salah satu proses resolusi konflik.

Keterangan Bazerman dan koleganya (2001) pada dasarnya di atas tidak

bertentangan dengan pendapat yang diberikan Sukasno SH, sebagai ketua DPRD

Page 170: · PDF fileperpustakaan.uns.ac.id   Disusun Untuk Memenuhi Tugas Akhir Sebagai S PROGRAM commit to user 1 Komunikasi dan Konflik Sosial

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

170

sekaligus salah satu tokoh penting dalam perselisihan tersebut, yang menjelaskan

bahwa apabila pemerintah kota melakukan komunikasi yang intensif terhadap warga

bantaran, maka secara perlahan-lahan akan tercapai kesepakatan dan pemahaman di

antara semua pihak yang terlibat. Meskipun Sukasno SH tidak menyebutkan proses

komunikasi tersebut sebagai suatu bentuk negosiasi, namun hal itu menunjukkan

bahwa pemerintah kota harus melakukan negosiasi dengan warga bantaran terkait

dengan penyelesaian kasus perselisihan tentang dana banjir tersebut.

Pendapat Bazerman dan kawan-kawan (2001) sebenarnya mendapatkan

dukungan kuat dari sesama ilmuwan dan pakar konflik bernama, Roderick M.

Kramer dan Peter J. Carnevale. Ia menjelaskan bahwa negosiasi pada dasarnya

menawarkan suatu bentuk pengungkapan informasi yang terkait dengan masing-

masing pihak, keinginan, dan fokus perhatian masing-masing pihak. Namun semua

hasil dalam negosiasi tergantung pada semua pihak yang terlibat di dalamnya

(Kramer dan Carnevale, 2001: 434). Dengan demikian, proses negosiasi sebagai

salah satu upaya menuju resolusi konflik harus dijalankan secara seksama dengan

niat yang baik dan komunikasi yang berkelanjutan dari semua pihak untuk mencapai

kesepakatan bersama.

Tokoh-tokoh di belakang konflik antara warga bantaran dan pemerintah

kota sebenarnya menginginkan adanya komunikasi yang baik terjalin di semua pihak,

sehingga memungkinkan dicapainya perdamaian dan kesepakatan bersama. Akan

tetapi perasaan egoisme di masing-masing pihak yang berseteru membuat proses

resolusi konflik belum berjalan maksimal. Padahal komunikasi dan keinginan kuat

untuk menjalin perdamaian menjadi kunci penting dalam resolusi konflik. Walter

Mischel, dan para koleganya menjelaskan bahwa secara mendasar bentuk

penyelesaian konflik tergantung bagaimana semua pihak yang terlibat mengatur

Page 171: · PDF fileperpustakaan.uns.ac.id   Disusun Untuk Memenuhi Tugas Akhir Sebagai S PROGRAM commit to user 1 Komunikasi dan Konflik Sosial

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

171

dirinya pada tingkatan kognitif dan emosional agar tercipta kondisi efektif yang

melibatkan pemahaman terhadap situasi, harapan akan tercapainya tujuan, perasaan

emosi, serta tujuan yang hendak dicapai (Mischel, et al, 2006: 297).

Sederhananya Mischel dan koleganya hendak mengatakan bahwa faktor

keinginan dari dalam individu untuk menyelesaikan suatu konflik menjadi salah satu

bagian paling penting dalam proses resolusi konflik, selain komunikasi. Hal itu jelas

menjadi penegasan ilmiah bahwa keinginan dan niatan baik dari semua pihak untuk

mengakhiri konflik menjadi kunci paling penting dalam proses resolusi konflik.

Selain itu faktor interaksional dan komunikasi antara warga bantaran dan pemerintah

kota tetap harus dilandasi dengan niat baik tanpa upaya untuk saling menjatuhkan

dan mengalahkan pihak lain. Dengan demikian akan tercapai suatu kesepakatan

bersama yang saling menguntungkan bagi semua pihak.

Menariknya, jika diperhatikan lebih dalam, pemerintah kota sebenarnya

menginginkan komunikasi yang lebih baik namun kurang disertai dengan niatan baik

untuk menyelesaikan permasalahan tersebut. Hal itu rupanya dijelaskan oleh Miall

(2004), seperti dikutip oleh Del Felice bahwa bentuk-bentuk konflik yang

diperpanjang biasanya mengganggu sisi kemasyarakatan secara lokal dan global

(dalam Del Felice 2008: 76). Salah satu sifat konflik yang dijabarkan oleh Del Felice

(2008) tersebut seakan membuka kenyataan bahwa memang pada pada beberapa

kasus ada pihak tertentu yang sengaja mengulur-ulur waktu penyelesaian konflik

dengan kepentingan tertentu.

Kenyataan tersebut tergambar jelas di perselisihan yang terjadi antaran

warga bantaran dengan pemerintah kota, karena meskipun ada upaya untuk menuju

proses resolusi konflik terhadap dua pihak tersebut, namun kurangnya keinginan dan

niat baik di antaran semua pihak membuat resolusi konflik belum kunjung tercapai.

Page 172: · PDF fileperpustakaan.uns.ac.id   Disusun Untuk Memenuhi Tugas Akhir Sebagai S PROGRAM commit to user 1 Komunikasi dan Konflik Sosial

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

172

Penjelasan Miall (2004) yang dikutip Del Felice (2008) pada dasarnya menujukkan

bahwa proses konflik, terutama dalam upaya mencapai resolusi konflik tampaknya

akan berlangsung cukup lama hingga secara umum memperpanjang proses konflik

tersebut. Kondisi seperti itu sebenarnya justru merugikan semua pihak yang terlibat

dalam perselisihan tersebut.

Meskipun ada indikasi bahwa konflik yang terjadi antara warga bantaran

dengan pemerintah kota relatif diselesaikan, Gary T. Furlong (2005), sebagai pakar

konflik, memberikan suatu terobosan besar tentang suatu pemetaan konflik dan

langkah-langkah yang sebaiknya ditempuh untuk mengakhiri konflik. Gary T.

Furlong, mengutip penelitian Elizabeth Kubler-Ross (1969), menjelaskan tentang

Model Konflik Gerakan Lebih Jauh (Moving Beyond Conflict Model) yang secara

umum berarti model konflik yang lebih banyak terfokus berhubungan pada sisi

psikologis serta sifat dasar manusia yang selalu menyalahkan pihak lain serta

menunjukkan niat buruk pada pihak lain dengan alasan ―kesalahan ada di pihak

mereka‖, sehingga menghasilkan penghalang besar bagi tercapainya resolusi (dalam

Furlong, 2005: 217). Keadaan tersebut rupanya mirip dengan konflik yang terjadi

antara warga bantaran dan pemerintah kota. Egoisme masing-masing pihak yang

terlibat konflik tersebut menunjukkan adanya tekanan ke pihak lain seperti yang

dijelaskan dalam asumsi dasar dari Model Konflik Gerakan Lebih Jauh.

Lebih lanjut Furlong memaparkan bahwa model tersebut dapat digunakan

untuk menghilangkan beban berat yang menghalangi tercapainya resolusi yang

dibawa masing-masing pihak, karena itu ada lima bagian yang dijelaskan oleh

Kubler-Ross dalam model tersebut, yaitu Penolakan, Marah, Tawar-menawar,

Depresi, dan Penerimaan (dalam Furlong, 2005: 218). Secara sederhana model

konflik tersebut menggambarkan plot yang terjadi selama konflik tersebut

Page 173: · PDF fileperpustakaan.uns.ac.id   Disusun Untuk Memenuhi Tugas Akhir Sebagai S PROGRAM commit to user 1 Komunikasi dan Konflik Sosial

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

173

berlangung. Setiap tahapan dalam model tersebut pada dasarnya dilalui oleh semua

konflik yang termasuk bisa dijelaskan dengan model tersebut, termasuk konflik

antara pemerintah kota dengan warga bantaran.

Meskipun konflik yang terjadi antara warga bantaran dan pemerintah kota

tampaknya relatif sulit diselesaikan karena ada rasa egoisme masing-masing pihak,

namun bukan berarti konflik tersebut tidak dapat diselesaikan. Model Konflik

Gerakan Lebih Jauh menawarkan suatu upaya menuju resolusi konflik yang bisa

digunakan untuk menyelesaikan kasus tersebut. Furlong (2005: 229-230)

menjelaskan ada dua strategi yang bisa digunakan semua pihak untuk penyelesaikan

konflik. Pertama, semua pihak yang terlibat harus memahami situasi dan harus

bergerak melalui semua proses yang dijelaskan oleh model tersebut, penolakan

menuju ke kemarahan, dan kemarahan menuju ke penerimaan. Upaya untuk

menghidari semua tahapan justru membuat semua pihak terjebak dalam tahapan

tersebut. Kedua, semua tahapan dalam model tersebut, penolakan, kemarahan, dan

penerimaan, membutuhkan kemampuan tertentu untuk melewatinya. Kemampuan

tersebut secara umum terdiri dari beberapa kemampuan, yang secara melibatkan

aspek komunikasi.

Dengan demikian, semua fakta, data, dan analisis di atas sebenarnya dapat

digunakan untuk menjawab pertanyaan tentang bagaimana upaya resolusi konflik

yang telah dilakukan warga. Pada dasarnya warga bantaran, yang menentang relokasi

dengan cara memberntuk forum bernama SKoBB, tidak menolak jalan damai dan

mediasi yang dilakukan, selama mediasi itu dijalankan dengan komunikasi yang

baik. Dengan kata lain, warga bantaran menginginkan adanya musyawarah untuk

mencari jalan keluar terbaik dari masalah ini. Sementara itu, di sisi lain pemerintah

kota juga menginginkan hal serupa, yaitu komunikasi yang baik, serta mediasi yang

Page 174: · PDF fileperpustakaan.uns.ac.id   Disusun Untuk Memenuhi Tugas Akhir Sebagai S PROGRAM commit to user 1 Komunikasi dan Konflik Sosial

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

174

tepat. Akan tetapi, egoisme masing-masing pihak menghalangi proses komunikasi

dan mediasi yang akan tercipta. Namun demikian, keinginan warga bantaran dan

pemerintah kota, sebenarnya menjadi suatu kekuatan besar untuk melakukan proses

komunikasi dan mediasi ulang demi mencapai resolusi konflik.

Setidaknya ada tiga cara dan bentuk resolusi konflik yang bisa digunakan

sebagai sarana menyelesaikan konflik tersebut, yaitu, mediasi, adjudikasi, dan

negosiasi. Mediasi merupakan bentuk resolusi konflik yang menggunakan peranan

orang ketiga, yang diterima oleh semua pihak tanpa keterpaksaan, sebagai mediator.

Adjudikasi pada dasarnya merupakan bentuk resolusi konflik yang menggunakan

lembaga pengadilan untuk menyelesaikan masalah. Semantara itu, negosiasi

merupakan bentuk resolusi konflik yang hanya melibatkan dua pihak yang berseteru

untuk menyelesaikan permasalahan mereka secara bersama-sama.

Pada dasarnya warga bantaran dan pemerintah kota pernah melakukan

dua bentuk resolusi konflik tersebut, namun hasilnya kurang maksimal, karena belum

ada niat baik dari pemerintah kota untuk menyelesaikan perselisihan tersebut. Namun

demikian bukan berarti konflik antara warga bantaran dengan pemerintah kota tidak

bisa diselesaikan. Model Konflik Gerakan Lebih Jauh (Moving Beyond Conflict

Model) yang dikembangkan oleh Elizabeth Kubler-Ross (1969) dan dijelaskan oleh

Furlong (2005) kemungkinan besar bisa digunakan untuk membantu mencari resolusi

konflik yang tepat.

Page 175: · PDF fileperpustakaan.uns.ac.id   Disusun Untuk Memenuhi Tugas Akhir Sebagai S PROGRAM commit to user 1 Komunikasi dan Konflik Sosial

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

175

E. Komunikasi pada Konflik dan Resolusi Konflik

1. Aspek Komunikasi pada Penyebab Konflik dan Eskalasi Konflik

a. Petunjuk Komunikasi dalam Penyebab Konflik

Komunikasi sebenarnya merupakan suatu proses yang memungkinkan

satu pihak untuk saling memberikan pesan ke pihak lain dalam bentuk suatu interaksi

sosial. Dalam konflik tentang dana bantuan banjir yang terjadi antara masyarakat

kota dengan warga bantaran sebenarnya juga merupakan bentuk komunikasi yang

melibatkan pengiriman, pengkodean, penerimaan, dan penafsiran, terhadap sejumlah

pesan tertentu yang diberikan komunikator, serta tanggapan yang diberikan oleh

komunikan terhadap pesan tertentu. Dalam kasus perselisihan yang terjadi antara

pemerintah kota dan warga bantaran, semua pihak yang terlibat dalam perselishan

tersebut bisa menjadi komunikator dan komunikan sekaligus, sehingga mereka bisa

mengirimkan sejumlah pesan sekaligus menerima sejumlah pesan tertentu, terutama

yang berhubungan dengan konflik tersebut.

Dalam konflik tentang dana banjir yang melibatkan pemerintah kota dan

warga bantaran dapat pasti dimulai oleh pesan yang dikirimkan oleh salah satu pihak

namun salah dipahami oleh pihak lain. Hal itu memunculkan bibit-bibit ketergangan

di dua belah pihak, karena munculnya perbedaan tujuan dan kepentingan di antara

pemerintah kota dan warga bantaran. Fakta ini sebenarnya dimulai dari aspek

komunikasi yang mungkin kurang tepat, kurang menjangkau sasaran, dan mungkin

juga kurang memadai untuk dapat dipahami dan diinterpretasikan oleh semua pihak

yang terlibat.

Secara sederhana, permulaan perselisihan tersebut dimulai ketika

pemerintah kota memutuskan untuk menunda pembayaran dana bantuan banjir serta

mulai menggulirkan program relokasi. Penundaan dana bantuan banjir tersebut

Page 176: · PDF fileperpustakaan.uns.ac.id   Disusun Untuk Memenuhi Tugas Akhir Sebagai S PROGRAM commit to user 1 Komunikasi dan Konflik Sosial

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

176

khusunya diperuntukkan bagi warga bantaran yang menolak relokasi, karena tinggal

di tanah hak milik (THM). Pemerintah kota, dalam hal ini, mengkomunikasikan hal

itu dalam suatu pesan tertentu seperti yang dikatakan oleh Suparno HS. Ia

mengatakan bahwa

Ada proses sosialisasi sebelumnya, jadi sebelumnya dilakukan sosialisasi

dulu, yang dilakukan bulan November atau bulan apa saya lupa.

Pemerintah kota tidak pernah memaksa untuk relokasi, tetapi itu-kan

tempat larangan, bukan tempat pemukiman. Lalu saya dari pokja bilang

begini ―mbok ya sudah program pemerintah diikuti saja, wong banjir itu

merepotkan orang banyak, selain hanya merepotkan sendiri‖.

(Wawancara pada 14 April 2010)

Lebih lanjut Suparno HS menyatakan bahwa program relokasi tersebut bukanlah

paksaan bagi warga bantaran. Ia menyatakan bahwa

Pemerintah kota tidak pernah memaksa untuk relokasi, tetapi itu-kan

tempat larangan, bukan tempat pemukiman. Lalu saya dari pokja bilang

begini ―mbok ya sudah program pemerintah diikuti saja, wong banjir itu

merepotkan orang banyak, selain hanya merepotkan sendiri‖.

(Wawancara pada 14 April 2010)

Keterangan yang diberikan Suparno HS tersebut pada dasarnya menujukkan

keinginan pemerintah kota untuk merelokasi semua warga bantaran yang tinggal di

tanah negara (TN), namun demikian hal itu juga berdampak pada warga bantaran

yang tinggal di tanah hak milik (THM) karena kebanyakan dari mereka juga tinggal

di bantaran.

Fakta dan keterangan tersebut menujukkan bahwa pemerintah kota secara

sederhana memberikan pesan tegas namun tidak memaksa, bahwa semua warga yang

tinggal di bantaran harus segera di relokasi demi keamanan mereka sendiri. Hal itu

didasarkan oleh kenyataan bahwa tanah bantaran bukan wilayah yang diperuntukkan

sebagai tempat tinggal. Pesan seperti itu jelas meresahkan banyak warga yang tinggal

di bantaran, terutama yang tinggal di tanah hak milik.

Page 177: · PDF fileperpustakaan.uns.ac.id   Disusun Untuk Memenuhi Tugas Akhir Sebagai S PROGRAM commit to user 1 Komunikasi dan Konflik Sosial

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

177

Ketua DPRD Surakarta, Sukasno SH, menguatkan keterangan yang

diberikan oleh Suparno HS, bahwa pemerintah kota pada dasarnya telah melakukan

komunikasi dengan memberikan pesan-pesan tentang program relokasi terhadap

semua warga yang tinggal di bantaran. Meskipun Sukasno SH tidak memiliki

hubungan langsung terhadap proses dan program relokasi, namun ia memahami

posisi pemerintah kota dan kenyataan tentang program tersebut, serta alasan

mengapa pemerintah kota menunda pembayaran dana bantuan banjir tersebut. Ia

menjelaskan bahwa

Ya, kalau, jadi itu semua dimulai pada saat banjir, tahun 2006 atau tahun

2007, saya agak lupa [pen: sebenarnya banjir tersbut terjadi tahun 2007],

memakan begitu banyak korban, dan sebagian besar korban tersebut

tinggal di wilayah bantaran. Pemerintah kota berencana untuk merelokasi

warga bantaran, dan hal itu nyambung dengan program pemerintah pusat

bahwa pemerintah pusat tentang pengelolaan Sungai Bengawan Solo,

yang salah satu proyeknya merupakan peninggian tanggul-tanggul di

Bengawan Solo, dan Solo merupakan satu kota yang mendapatkan proyek

tersebut. Karena kita [pen: warga Solo] juga sekitar 10-15 km berada di

sekitar Bengawan Solo. Dari situ, ada uang untuk bantuan banjir, juga

dari APBD mendampingi, dari situ kita bisa membatu warga, dari situ

harapannya bantuan banjir tersebut tidak dibantukan dalam bentuk uang,

karena ada kriteria tertentu dalam SK walikota dan juga walikota dengan

kementerian pusat. ... Kamu [pen warga bantaran] akan terbebas dari

banjir plus bantuan uang maka akan dapat sekitar 25 juta, belikan tanah,

dan masyarakat diharuskan membuat pokja sendiri-sendiri bukan

pemerintah kota, dan pokja akan menentukan di mana masyarakat harus

membeli tanah, sehingga tidak harus di kota Solo. (Wawancara pada 11

Mei 2010)

Penjelasan dari Sukasno SH, sebagai ketua DPRD sebenarnya menunjukkan

dukungan kepada penjelasan Suparno HS bahwa pemerintah sebenarnya telah

berkomunikasi kepada warga bantaran dengan pesan tentang program relokasi dan

dana bantuan banjir tersebut.

Selanjutnya, Sukasno SH secara umum juga mengatakan bahwa tanah

bantaran bukanlah tanah hunian, tepat seperti yang dikatakan pemerintah kota

melalui ketua Pokja, Suparno HS. Ketua DPRD tersebut menyatakan bahwa

Page 178: · PDF fileperpustakaan.uns.ac.id   Disusun Untuk Memenuhi Tugas Akhir Sebagai S PROGRAM commit to user 1 Komunikasi dan Konflik Sosial

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

178

Sehingga, kalau masyarakat yang menghuni bantaran itu hunian liar, ya

harus memahami, bahwa ada undang-undang dan perda, bantaran itu

harus bebas dari hunian dan sebagainya, sehingga ya seharusnya mereka

tidak disitu. ... Jadi kalau mereka nekat bertahan sampai titik darah

penghabisan, menurut saya ya tidak pas juga, karena mereka disitu

menghuni tanah bantaran. ... Persoalannya, saya juga heran, kok dulu ya

bisa kalau bantaran bisa jadi hunian, soalnya ada kan di undang-undang

itu jelas, tanah bantaran itu seperti apa. (Wawancara pada 11 Mei 2010)

Keterangan tersebut sebenarnya menjadi alasan jelas bagi pemerintah kota untuk

memberlakukan program relokasi bagi warga bantaran, terutama bagi warga yang

tinggal di tanah negara (TN). Sedangkan warga yang tinggal di tanah hak milik

(THM) akan direlokasi sesuai dengan kesepakatan yang akan disusun kemudian–

diatur melalui konsep sosialisasi lanjutan yang sekarang masih dalam proses.

Sementara itu pemerintah kota sebenarnya memiliki alasan kuat untuk

melakukan penundaan pembayaran dana bantuan banjir yang diinginkan oleh warga

bantaran. Hal itu sebenarnya masih berkaitan dengan program relokasi dan proses

administrasi yang berada di belakang semua itu. Kebanyakan tokoh elit yang berada

di belakang permasalahan tersebut menjelaskan bahwa masih ada beberapa

permasalahan administrasi dan relokasi bagi warga yang tinggal di tanah negara

(TN), sebelum menyelesaikan permasalahan bagi warga bantaran yang tinggal di

tanah hak milik (THM).

Pernyataan tentang alasan penundaan pembayaran dana bantuan banjir

kepada warga bantaran yang menolak relokasi diberikan oleh Suparno HS, sebagai

wakil paling depan dari pemerintah kota. Ketika diwawancarai ia menjelaskan bahwa

Saya rasa pada tahun 2010 ini sudah selesai semua, sebab banyak juga

warga yang tinggal di tanah hak milik yang sudah mau didata dan banyak

juga warga yang daftar, selama ini sudah ada sekitar 55 warga yang

daftar, yang dengan harga tanah sekitar 30.000 atau mereka nanti

mintanya berapa, pasti nanti akan diberikan gantinya oleh pak walikota,

toh pak walikota orangnya itu bagus, pak wali tidak akan sewenang-

wenang kok, begitu. (Wawancara pada 14 April 2010)

Page 179: · PDF fileperpustakaan.uns.ac.id   Disusun Untuk Memenuhi Tugas Akhir Sebagai S PROGRAM commit to user 1 Komunikasi dan Konflik Sosial

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

179

Singkat kata, penundaan pembayaran uang banjir tersebut disebabkan adanya urusan

administrastif yang harus diselesaikan oleh pemerintah kota, termasuk bagaimana

upaya pembayaran dana banjir serta konsep relokasi yang pas bagi warga bantaran di

tanah hak milik (THM). Ia juga menjelaskan bahwa ada rasa ketergesaan di warga

bantaran di tanah hak milik, yang pada akhirnya mencetuskan perselisihan tersebut

Nantinya yang tinggal di tanah hak milik itu juga dapat 8,5 juta [pen:

perselesihan ini dimotori oleh warga yang tinggal di tanah hak milik].

Yang jadi keinginan mereka kan uangnya mau diminta sekarang, itu saja

kan. Jadi yang jelas relokasi tetap jalan, kami juga tidak mau mengurangi

hak mereka.

Pernyataan dari Suparno HS tersebut sebenranya menguatkan fakta bahwa

pemerintah kota telah mengadakan upaya pemahaman dan penyampaian pesan

kepada masyarakat bantaran, terutama yang menolak relokasi, tentang bagaimana

status tanah bantaran. Pemerintah kota juga menjelaskan mengapa ada penundaan

pembayaran dana bantuan banjir tersebut.

Widdi Srihanto juga memberikan pernyataan yang senada dengan

Suparno HS, bahwa ada permasalahan administrasi yang harus diselesikan

pemerintah kota terlebih dahulu, selain mencari jalan keluar yang tepat untuk dapat

merelokasi warga bantaran yang tinggal di tanah hak milik (THM).

Selama masih ada komunikasi maka semua masalah seperti itu pasti dapat

diselesaikan. Kami juga harus mencari konsep yang tepat untuk

mengatasi warga yang tinggal di tanah hak milik. Sebab kami tidak bisa

merelokasi warga yang tinggal di tanah hak milik. (Wawancara pada 25

Mei 2010)

Keterangan dari Widdi Srihanto menujukkan bahwa pemerintah kota pada dasarnya

tidak ingin menunda pembayaran dana bantuan banjir yang menjadi salah satu

penyebab perselisihan tersebut, pemerintah kota hanya mencari konsep yang tepat

Page 180: · PDF fileperpustakaan.uns.ac.id   Disusun Untuk Memenuhi Tugas Akhir Sebagai S PROGRAM commit to user 1 Komunikasi dan Konflik Sosial

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

180

untuk mencari jalan keluar bagi warga bantaran yang tinggal di tanah hak milik

(THM), yang notabene memulai konflik ini.

Secara sederhana semua penjelasan dari jajaran tokoh penting di belakang

dana bantuan banjir dan relokasi tersebut dapat diketahui bahwa pemerintah kota

sebenarnya telah berusaha semaksimal mungkin menjelaskan kepada warga bantaran

secara umum, bahwa tanah bantaran bukanlah tanah yang tepat sebagai wilayah

hunian, sehingga menuntut adanya program relokasi. Pemerintah kota juga

menjelaskan bahwa penundaan pembayaran dana bantuan banjir pada hakekatanya

disebabkan oleh adanya permasalahan administratif serta penyusunan konsep yang

tepat bagi proses relokasi bagi warga yang tinggal di tanah hak milik. Proses

komunikasi tersebut pada dasarnya tidak terlalu berhasil karena memunculkan

adanya perbedaan persepsi bagi warga bantaran yang tinggal di tanah hak milik. Hal

itu menjadi awal dari pertentangan tentang dana bantuan banjir tersebut.

Agus Sumaryawan, sebagai warga bantaran dan koordinator aksi,

memberikan pernyataan bahwa dana bantuan banjir tersebut pada dasarnya memang

sengaja tidak dibayarkan. Selain itu pemerintah kota juga menjadikan program

relokasi sebagai program dadakan

Setelah banjir, pihak kelurahan mulai mendata semua warga yang tinggal

di bantaran untuk dimintakan bantuan. Setelah itu semua ketua RT yang

tinggal di bantaran disuruh ke pemerintah kota untuk mendapatkan

pengarahan seperti ini ―semua warga yang tinggal di bantaran pemberian

bantuan diberikan pada semua pemilik tanah, pemilik rumah, dan semua

warga baik yang tanah negara (TN) dan tanah hak milik (THM)‖. Tidak

ada sedikitpun muncul kata ―relokasi‖. Dengan demikian semua warga

yang tinggal menjadi korban banjir istilahnya hanya menunggu bantuan

dari pusat [pen: bantuan dari pusat yang diberikan melalui pemerintah

kota] yang akan segera cair dan tidak berbentuk material, kalau tidak

berbentuk materi pasti berbentuk uang. (Wawancara pada 23 Januari

2010)

Page 181: · PDF fileperpustakaan.uns.ac.id   Disusun Untuk Memenuhi Tugas Akhir Sebagai S PROGRAM commit to user 1 Komunikasi dan Konflik Sosial

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

181

Lebih lanjut, ia juga menyatakan bahwa

Namun di akhir tahun 2008, mulai beredar kencang isu tentang relokasi,

sehingga warga yang tinggal di daerah ini mulai menentang secara keras,

bahkan di sini di pasang spanduk besar bertuliskan ―Tolak Relokasi

Sampai Titik Darah Penghabisan‖. Penolakan tersebut tampaknya

membuat pemerintah kota merapkan tak-tik belanda ―devide et

impera‖[pen: adu domba]. Di sini ada dua status tanah, tanah negara (TN)

dan tanah hak milik (THM), karena dipecah maka warga yang tinggal di

tanah negara menjadi takut terhadap pemerintah. Beberapa waktu setelah

itu ada sosialisasi yang diberikan oleh pemerintah kota berkaitan dengan

masalah relokasi tersebut yang intinya bermaksud mengatakan ―warga

yang mau relokasi silahkan, yang tidak mau silahkan, namun jika terjadi

sesuatu dari pemerintah pusat, pemerintah kota tidak ikut campur‖. Tetapi

proses sosialisasi tersebut seakan menekan warga yang tinggal di wilayah

bantaran untuk mau direlokasi. (Wawancara pada 23 Januari 2010)

Paparan Agus Sumaryawan tersebut menujukkan bahwa penjelasan dan pesan dari

pemerintah kota, tentang dana banjir dan program relokasi belum bisa dipahami

secara maksimal sehingga kemungkinan besar proses komunikasi yang dilakukan

pemerintah kota belum menjangkau sasaran yang tepat.

Pernyataan yang serupa diberikan oleh warga bantaran yang lain. Nunuk

Ismiyati menyatakan bahwa program relokasi dan penundaan pembayaran dana

bantuan banjir dikaitkan dengan program relokasi. Hal tersebut, bagi Nunuk Ismiyati,

menunjukkan bahwa pemerintah kota tidak berniat membayarkan bantuan banjir. Ia

menjelaskan

Beberapa bulan kemudian semua pengurus RT diundang ke Bapeda untuk

rapat dalam rangka membahas semua data yang telah dikirim

sebelumnya, untuk diajukan ke menkokesra demi rehabilitasi rumah yang

rusak karena banjir. ... namun mak bedunduk [pen: sekonyong-konyong]

ada woro-woro wacana tentang program relokasi yang pada dasarnya

―mau yo monggo‖ yang juga sempat disampaikan pak walikota ―mau yo

monggo-yen ora yo ora opo-opo, neng yen ono inspeksi soko Jakarta ojo

salahne aku‖ [pen: mau ya silahkan tidak mau ya tidak apa-apa, tapi kalau

ada pemeriksaan dari Jakarta jangan salahkan saya]. Dari sini-kan ada

maksud bahwa relokasi itu sukarela, tetapi dia, pak walikota, tanpa

sepengetahuan RT ada woro-woro akan diberikan bantuan sekitar 22,5

juta rupiah sebagai ganti rumah dan fasilitas umum yang rusak khusus

bagi penghuni yang tinggal di tanah negara (TN). Jika dihitung-hitung

jika tanah negara (TN) sudah mendapatkan bantuan, maka sisanya-kan

Page 182: · PDF fileperpustakaan.uns.ac.id   Disusun Untuk Memenuhi Tugas Akhir Sebagai S PROGRAM commit to user 1 Komunikasi dan Konflik Sosial

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

182

ada hak bantuan bagi tanah hak milik (THM), tetapi mengapa sampai

sekarang belum dibayarkan. Itulah yang jadi masalah sampai sekarang. ...

(Wawancara pada 17 Februari 2010)

Pernyataan yang diberikan Nunuk Ismiyati tersebut menunjukkan adanya

pertentangan dengan pernyataan yang diberikan para tokoh dari pemerintah kota

yang berada di belakang relokasi dan dana bantuan banjir. Bagi Nunuk Ismiyati

program relokasi tidak lebih dari upaya pemerintah kota untuk mengusir warga

bantaran, padahal pernyataan yang diberikan tokoh dari pemerintah kota tampaknya

tidak bermaksud mengusir warga bantaran, hanya menertibkan warga dan menunda

pembayaran dana banjir karena adanya proses penyelesaian administratif.

Warga bantaran yang lain juga mengungkapkan persepsi yang sama

dengan yang diberikan oleh Agus Sumaryawan dan Nunuk Ismiyati tentang program

relokasi dan penundaan dana bantuan banjir tersebut. Maryono mengungkapkan

bahwa.

Data tersebut dikirimkan ke balaikota sebagai awal untuk meminta

bantuan dari pusat [pen: pemerintah pusat di Jakarta]. Setelah ada

informasi bahwa dana tersebut sudah dikucurkan dari pusat, tiba-tiba

pemerintah kota bikin program yang bernama relokasi, karena pengertian

bantuan banjir tidak sampai pada pengalokasian dalam bentuk lain. Jadi

yang namanya bantuan banjir yang seharusnya tetap dalam bentuk

bantuan, bukan dalam bentuk yang lain, sehingga bantuan tersebut juga

harus dalam bentuk bantuan bukan diembel-embeli dengan tujuan dan

program yang lain. (Wawancara pada 12 Februari 2010)

Keterangan tersebut menunjukkan bahwa pemahaman dan persepsi Maryono tentang

dana bantuan banjir dan relokasi tampaknya seragam dengan yang dimiliki oleh

Agus Sumaryawan dan Nunuk Ismiyati. Hal itu menunjukkan bahwa warga bantaran

yang enggan direlokasi rupanya sama-sama memandang bahwa program relokasi

tersebut merupakan program yang bersifat sepihak dan menekan warga bantaran.

Page 183: · PDF fileperpustakaan.uns.ac.id   Disusun Untuk Memenuhi Tugas Akhir Sebagai S PROGRAM commit to user 1 Komunikasi dan Konflik Sosial

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

183

Namun demikian, pernyataan yang diberikan Maryono tampaknya tidak sekeras yang

diberikan oleh Agus Sumaryawan dan Nunuk Ismiyati.

b. Aspek Komunikasi pada Penyebab Konflik

Pernyataan yang diberikan oleh para tokoh dari pemerintah kota dan para

tokoh dari warga bantaran yang menolak program relokasi menunjukkan adanya

kesalahpahaman dalam menanggapi semua informasi dan pesan yang diberikan oleh

pemerintah kota. Hal itu secara tegas dapat memunculkan benih-benih perselisihan di

antara semua pihak yang terlibat. Perhatikan indikasi bahwa ada semacam kesalahan

persepsi antara pemahaman yang diberikan oleh pemerintah kota dengan bentuk

pemahaman yang diterima oleh masyarakat. Fakta dan kesalahan persepsi antara

pemerintah kota dengan warga bantaran merupakan kondisi yang potensial untuk

mencetuskan konflik dan pertentangan.

Jika dijelaskan secara sederhana, kesalahan persepsi tersebut dapat

dilacak dari pola komunikasi yang terjadi pada saat pemerintah kota mulai

mensosialisasikan program relokasi dan penundaan dana banjir tersebut. Sebagai

komunikator, pemerintah kota rupanya memiliki kepentingan tertentu terhadap

wilayah bantaran yang sebenarnya merupakan daerah terlarang sebagai tempat

hunian. Kepentingan tersebut mungkin bukan menjadi pokok bahasan dalam tesis ini.

Namun demikian kepentingan yang berada di belakang pemerintah kota mendorong

permerintah kota menghasilkan suatu keutusan yang kuarang tepat berkaitan dengan

pensan yang dihasilkan. Selain itu pemahaman pemerintah kota yang kuarang

terhadap situasi yang berkembang di bantaran membuat pesan yang dihasilkan

memicu muculnya kesalahpahaman.

Page 184: · PDF fileperpustakaan.uns.ac.id   Disusun Untuk Memenuhi Tugas Akhir Sebagai S PROGRAM commit to user 1 Komunikasi dan Konflik Sosial

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

184

Dari segi pesan, pemerintah kota pada dasarnya membangun pesan yang

menghasilkan munculnya ambiguitas pemahaman bagi masyarakat bantaran, selain

itu faktor psikologis dan kepentingan pemerintah kota membuat pesan yang kurang

tepat bagi warga bantaran. Pesan tentang relokasi bagi warga bantaran di tanah

negara (TN) kontan membuat warga bantaran di tanah hak milik (THM) menjadi

cemas, dan berpikir bahwa relokasi juga akan diberlakukan kepada mereka. Padahal

sebelumnya pemerintah kota sudah menjanjikan tentang dana bantuan banjir,

sebelum relokasi tersebut dilaksanakan.

Media yang digunakan pemerintah kota untuk menjelaskan tujuan dan

pesan yang telah dikodekan sebelumnya memang tidak sepenuhnya efektif.

Sosialisasi yang dilakukan oleh pemerintah kota pada dasanya hanya menjangkau

dan ditujukan kepada warga bantaran yang tinggal di tanah negara (TN), sedangkan

warga yang tinggal di tanah hak milik (THM) belum mendapatkan sosialisasi yang

memadai tentang program pemerintah yang akan dilaksanakan. Hal itu menimbulkan

kecemasan dan kesalahan penafsiran pada warga bantaran di tanah hak milik (THM)

yang mendorong terjadinya konfik.

Situasi tersebut membuat warga bantaran sebagai komunikan mulai

terjebak dalam kesalahan persepsi yang dicetuskan oleh faktor pesan dan media yang

kurang tepat. Hal itu membuat warga bantaran mulai membuat beragam asumsi

keliru tentang apa yang terjadi dan apa yang seharunya dilakukan terhadap

pemerintah kota. Situasi tersebut membuat warga bantaran mulai melakukan

tanggapan atau feedback berupa konflik yang menentang pemerintah kota.

Perhatian terhadap interaksi semua unsur komunikasi tersebut

menunjukkan secara lebih detail tentang bagaimana proses komunikasi dan

perbedaan pemahaman tersebut terjadi. Secara lebih detail ada dua macam sebab

Page 185: · PDF fileperpustakaan.uns.ac.id   Disusun Untuk Memenuhi Tugas Akhir Sebagai S PROGRAM commit to user 1 Komunikasi dan Konflik Sosial

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

185

yang menjadi dasar perbedaan persepsi tersebut. Pertama, perselisihan tersebut

diawali oleh perbedaan persepsi antara pemerintah kota dengan warga bantaran

dalam suatu proses komunikasi yang melibatkan isu tentang dana bantuan banjir dan

program relokasi. Kedua, secara umum perselisihan tersebut diawali dengan kurang

memadainya proses sosialisasi yang menjelaskan tentang dana bantuan banjir dan

program relokasi, karena program tersebut belum berhasil menyamakan persepsi

antaran pemerintah kota dengan warga bantaran. Kedua hal tersebut serta proses

komunikasi antara pemerintah kota dengan warga bantaran yang kurang tepat turut

andil mencetuskan konflik dan perselisihan tersebut.

c. Petunjuk Tentang Komunikasi dalam Eskalasi Konflik

Penyebab perselisihan antara pemerintah kota dan warga bantaran

tersebut membawa pada suatu babak baru yang menujukkan betapa kuatnya warga

bantaran memperjuangkan hak mereka. Hal itu meningkatkan proses eskalasi konflik

antara pemerintah kota dengan warga bantaran. Ada banyak pihak yang memberikan

sorotan dan pendapat mereka tentang proses komunikasi dalam eskalasi konflik

tersebut. Namun demikian proses komunikasi dalam eskalasi konflik ini

menunjukkan bahwa warga bantaran menjadi komunikator paling dominan

dibandingkan pada proses komunikasi dalam penyebab konflik. Selain itu dalam

eskalasi konflik lembaga pengadilan tampaknya menjadi salah satu media bagi warga

bantaran untuk menyampaikan pesan-pesan mereka kepada pemerintah kota.

Tanda paling awal tentang proses komunikasi dalam eskalasi perselisihan

yang dilakukan oleh warga bantaran dinyatakan oleh Agus Sumaryawan, sebagai

koordinator aksi sekaligus warga bantaran. Dalam suatu wawancara ia mengatakan

Karena tidak ada kejelasan tentang bantuan banjir yang 8,5 juta itu,

akhirnya saya mengadakan aksi di balaikota tanggal 23 Desember 2008.

Page 186: · PDF fileperpustakaan.uns.ac.id   Disusun Untuk Memenuhi Tugas Akhir Sebagai S PROGRAM commit to user 1 Komunikasi dan Konflik Sosial

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

186

Tetapi waktu kami demo di balaikota pada minggu kedua, tidak ada yang

menemui kami untuk membicarakan hal ini. Kami hanya ditemui oleh

Pak Supradi, yang hari saat itu hanya bilang ―nanti akan saya sampikan

pada pimpinan saya‖. Karena kami tidak mendapatkan hasil saat demo di

balaikota, maka kami langsung berjalan ke dewan untuk demo di sana.

(Wawancara pada 23 Januari 2010)

Pernyataan yang diberikan oleh Agus Sumaryawan dalam aksi demonstrasi di

balaikota dan DPRD Surakarta tersebut menujukkan bahwa eskalasi perselisihan

tersebut mulai berkembang dengan warga bantaran sebagai komunikator. Aksi

tersebut sebenarnya bertujuan membawa pesan agar pemerintah kota segera

mencairkan dana bantuan banjir yang menjadi hak warga bantaran.

Keterangan yang diberikan oleh Agus Sumaryawan dikuatkan oleh warga

bantaran yang lain. Hal itu menujukkan bahwa demonstrasi dan aksi yang digulirkan

warga menjadi indikasi bahwa perselisihan tersebut sedang meluas. Nunuk Ismiyati

menyatakan

Pada awalnya kami sempat demonstrasi ke balaikota, namun pada saat itu

kami tidak ditemui oleh walikota, padahal sudah masyarakat tahu bahwa

walikota ada di kantor. Tetapi kami justru ditemui oleh sekretarisnya.

Lalu kami lanjutkan demonstrasi ke dewan, tetapi dewan baru tahu bahwa

ada kesepakatan tentang dana bantuan. Padahal seharusnya dewan-kan

juga bertugas untuk controlling, jadi seharusnya dewan tahu ada

kesepakatan itu. (Wawancara pada 17 Februari 2010)

Bentuk demonstrasi sebenarnya dapat menjadi suatu bentuk komunikasi yang

dilakukan masyarakat bantaran untuk menuntut hak tentang dana bantuan banjir.

Akan tetapi karena pemerintah tidak kunjung mencairkan dana bantuan tersebut,

maka demonstrasi menjadi bukti penting tentang komunikasi dalam eskalasi konflik

yang sedang menuju perkembangan serius.

Warga bantaran meningkatkan eskalasi perselisihan tentang dana bantuan

banjir tersebut dengan melakukan komunikasi ke lembaga pengadilan, dengan tujuan

dan pesan yang sama dengan yang dibawa pada saat demonstrasi, yaitu percepatan

Page 187: · PDF fileperpustakaan.uns.ac.id   Disusun Untuk Memenuhi Tugas Akhir Sebagai S PROGRAM commit to user 1 Komunikasi dan Konflik Sosial

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

187

pencairan dana bantuan banjir. Komunikasi yang dilakukan warga bantaran melalui

pengadilan sebenarnya memiliki potensi besar untuk dapat mengakiri konflik secepat

mungkin, namun juga bisa meningkatkan eskalasi konflik. Pada kenyataannya

pengadilan justru menjadi salah satu pendorong peningkatan eskalasi konflik yang

digulirkan oleh warga bantaran.

Heri Hendro Harjuno menjelaskan bahwa upaya memasukkan

permasalahan ke pengadilan masih behubungan dengan permintaan mereka dalam

aksi demonstrasi yang belum dapat dipenuhi. Dengan kata lain, komunikasi yang

dilakukan melalui lembaga peradilan dirasakan lebih efektif dibandingkan melalui

demonstrasi. Selain itu komunikasi yang melalui lembaga pengadilan berpotensi

besar meningkatkan eskalasi perselisihan yang telah terjadi. Heri Hendro Harjuno

menyatakan

Sebenarnya sudah banyak upaya yang dilakukan warga, sudah banyak

pendekatan yang dilakukan warga kepada komisi-komisi yang terkait

dengan hal ini, termasuk pada wakil walikota dan walikota. Tetapi

kenyataanya belum ada penyelesaian, intinya masing-masing berusaha

mempertahankan apa yang sudah mereka miliki. Karena warga merasa

tidak ada penyelesaian secara baik-baik untuk menangani masalah ini,

maka kami mengajukan masalah ini ke pengadilan. (Wawancara pada 15

Maret 2010)

Secara sederhana pernyataan yang diberikan pengacara untuk warga bantaran

tersebut menujukkan bahwa setelah tidak adanya titik temu dalam upaya

demonstrasi, maka warga bantaran mulai meningkatkan eskalasi perselisihan ini,

dengan tujuan yang sama, menuju lembaga pengadilan. Dengan demikian maka

pengadilan diharapkan bisa memberikan tekanan yang besar kepada pemerintah kota

untuk segera menyelesaikan kasus tersebut.

Di samping itu, forum atau kelompok masyarakat bernama SKoBB yang

sebagian besar disusun oleh warga bantaran sendiri juga memberikan penguatan

Page 188: · PDF fileperpustakaan.uns.ac.id   Disusun Untuk Memenuhi Tugas Akhir Sebagai S PROGRAM commit to user 1 Komunikasi dan Konflik Sosial

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

188

dalam upaya masyarakat bantaran dalam menuntut hak warga bantaran sendiri.

Forum masyarakat tersebut rupanya juga dibentuk untuk menguatkan perlawanan

masyarakat bantaran dalam menghadapi perselisihan tersebut. Beberapa keterangan

warga bantaran sekaligus anggota SKoBB menunjukkan bahwa forum atau

kelompok masyarakat tersebut turut andil mendukung warga bantaran dalam

perselisihan tersebut.

Agus Sumaryawan, dalam kapasitasnya sebagai koordinator aksi dan

ketua SKoBB, mengatakan bahwa

Dengan forum SKoBB, kami membentuk koordinator lapangan pada tiap

RT, sehingga memudahkan komunikasi untuk mau bertemu dan

memberdayakan tiap warga. Di samping itu, kami melakukan komunikasi

pada tiap RT tentang sosialisasi kebijakan yang dilakukan oleh SKoBB.

Dengan demikian warga dapat diberi pemahaman untuk melawan semua

kebijakan pemerintah yang tidak pro-rakyat atau kebijakan yang

menindas. Sebab tanpa adanya perlawanan maka dapat dipastikan rakyat

akan tertindas selama-lamanya. (Wawancara pada 23 Januari 2010)

Dalam suatu wawancara Agus Sumaryawan juga menjelaskan bahwa forum

masyarakat tersebut juga mendukung semua upaya yang dilakukan oleh warga

bantaran dalam aksi mereka menuntut dana bantuan banjir tersebut. Ia menjelaskan

Pada awalnya, kami sudah mengkomunikasikan pada semua instansi yang

terkait dengan permasalahan ini. Tetapi karena semua instansi yang

terkait itu selalu menuruti perintah atasannya walaupun atasannya itu

salah, maka tidak ada perhatian yang baik terhadap semua tuntutan kami.

Selain itu kami juga mengkomunikasikan masalah ini ke dewan, tetapi

hasilnya buntu. Sebab selama ini yang saya tahu lembaga legislatif dan

eksekutif sudah pacaran atau rangkul-rangkulan. Karena semua upaya

komunikasi yang kami lakukan sudah tidak berhasil maka kami

melakukan gugatan. Di samping itu kami berusaha menendang jauh-jauh

mitos yang mengatakan bahwa pemerintah selalu benar. Karena

bagaimanapun mereka juga manusia yang punya salah dan dosa.

(Wawancara pada 23 Januari 2010)

Page 189: · PDF fileperpustakaan.uns.ac.id   Disusun Untuk Memenuhi Tugas Akhir Sebagai S PROGRAM commit to user 1 Komunikasi dan Konflik Sosial

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

189

Keterangan tersebut menujukkan bahwa forum SKoBB memberikan dukungan besar

terhadap permasalahan tersebut, karena forum itu dibentuk oleh warga bantaran yang

menentang program relokasi namun mendukung pembayaran dana bantuan banjir.

Keberadaan dan tindakan forum SKoBB dalam aksi demonstrasi dan

semua usaha serius menuntut dana bantuan banjir pada secara umum membuat

eskalasi dan permasalahan yang terjadi semakin rumit. Dukungan SKoBB terhadap

semua warga bantaran yang menolak relokasi namun mendukung dana bantuan

banjir menjadikan kekuatan warga bantaran semakin solid dan mungkin akan

semakin kukuh menuntut hak mereka.

Pengacara untuk warga bantaran, Heri Hendro Harjuno rupanya

menjelaskan bahwa forum SKoBB membuat warga bantaran semakin solid dan

semakin teguh menuntut hak mereka ke pemerintah kota, sehigga membuat

perselisihan dana bantuan banjir semakin rumit. Heri Hendro Harjuno mengatakan

Saya tidak mendudukkan SKoBB sebagai suatu lembaga penyelesaian,

tetapi suatu yang luar biasa untuk ukuran masyarakat yang bergerak

merevitalisasi diri, mengorganisasikan diri, melalui cara sedemikian rupa

yang solid dan menghadapi kendala-kendala. Bagi saya ini suatu

pembelajaran diri yang murni muncul dari bawah. (Wawancara pada 15

Maret 2010)

Paparan di atas menujukkan bahwa SKoBB rupanya menjadi forum yang

menguatkan masyarakat bantaran dalam menghadapi perselisihan tersebut. Selain itu

penjelaskan tersebut mendukung pernyataan Agus Sumaryawan bahwa forum

tersebut berusaha melawan semua kebijakan pemerintah yang tidak sesuai dengan

keinginan rakyat. Hal itu jelas membuat perselisihan ini memiliki eskalasi yang

semakin luas.

Maryono, dalam kapasitasnya sebagai warga bantaran dan anggota

SKoBB, menyatakan bahwa SKoBB sudah melakukan banyak hal untuk menuntut

Page 190: · PDF fileperpustakaan.uns.ac.id   Disusun Untuk Memenuhi Tugas Akhir Sebagai S PROGRAM commit to user 1 Komunikasi dan Konflik Sosial

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

190

dan mendesak pemerintah agar segera menurunkan dana bantuan banjir tersebut,

namun hal itu belum memberikan hasil nyata. Ia memberikan keterangan

Sebenarnya banyak, kami sudah berupaya ke sana-sini [pen: proses

komunikasi ke berbagai instansi terkait] dengan harapan ada suatu titik

temu, tetapi kenyataannya memang susah. Mungkin juga hal ini berkaitan

dengan nominal, atau anggaran, yang pada intinya pemerintah itu belum

siap menutunkan anggaran untuk masalah ini. (Wawancara pada 12

Februari 2010)

Secara sederhana, Maryono berusaha menjelaskan bahwa setelah semua usaha untuk

menekan pemerintah secara terbuka melalui semua aksi demonstrasi belum

memberikan hasil nyata, maka jalan yang terbaik ialah menempuh jalur hukum,

meskipun ia sendiri tidak menyatakan secara langsung.

Dengan demikian, semua pernyataan yang diberikan oleh warga bantaran

di atas membentuk suatu pemahaman besar bahwa eskalasi ini tidak terbentuk hanya

begitu saja, namun ada beberapa faktor yang mendorong warga bantaran

meningkatkan eskalasi perselisihan tersebut. Forum masyarakat bernama SKoBB

rupanyan juga menjadi salah satu faktor pendorong bagi warga masyarakat untuk

memulai meningkatkan eskalasi perselisihan tersebut. Namun demikian dukungan

SKoBB rupanya belum berhasil membuat pemerintah menurunkan dan menyetujui

pencairan dana bantuan banjir tersebut. Di samping itu, keberadaan forum SKoBB

rupanya menjadi indikasi bahwa ada aspek komunikasi kelompok berperan dalam

perselisihan tentang dana bantuan banjir tersebut.

Keterangan yang diberikan oleh para tokoh dari warga bantaran di atas

sebenarnya menjukkan bahwa sebenarnya ada proses komunikasi yang terjadi dalam

upaya untuk meningkatkan eskalasi konflik tersebut. Upaya demonstrasi dan upaya

menggulirkan permasalahan tersebut melalui jalur hukum menegaskan bahwa warga

bantaran berusaha menyampaikan suatu pesan agar pemerintah segera mencairkan

Page 191: · PDF fileperpustakaan.uns.ac.id   Disusun Untuk Memenuhi Tugas Akhir Sebagai S PROGRAM commit to user 1 Komunikasi dan Konflik Sosial

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

191

dana bantuan banjir yang menjadi hak mereka. Pesan tersebut secara umum

menghasilkan efek ganda. Pertama, apabila pemerintah segera menuruti keinginan

warga bantaran, maka semua permasalahan akan segera selesai. Kedua, jika

pemerintah masih menunda pembayaran dana bantuan bagi warga, dan masih

berencana melakukan relokasi terhadap semua warga bantaran, maka eskalasi

perselisihan tersebut segera meningkat menuju tingkat yang lebih tinggi.

Selain itu, penggunaan lembaga pengadilan dalam permasalahan ini

menjadi satu bukti bahwa konflik yang sedang terjadi mengalami peningkatan

menuju lebih keras. Komunikasi dalam eskalasi perselisihan tersebut selanjutnya

menjadi suatu isu penting bagi seluruh kawasan eks-karesidenan Surakarta karena

peranan media massa lokal. Ada beberapa media massa lokal yang sempat

menjadikan permasalahan tersebut sebagai isu penting.

Upaya warga bantaran untuk menyampikan pesan ke pemerintah kota

melalui jalur hukum rupanya menemui kegagalan, sehingga secara otomatis

perselisihan yang terjadi di antara warga bantaran dan pemerintah kota sedang berada

dalam esklasi yang semakin luas. Harian Joglosemar menuliskan bahwa

Setelah melalui proses yang berbelit-belit, pada 17 Februari lalu pihak

Pengadilan Negeri justru memberikan keputusan yang mengecewakan

dengan menolak seluruh materi gugatan ‖Alasannya gugatan kami

melanggar Perda yang menyebutkan wilayah bantaran tidak boleh

dihuni,‖ tambahnya (Joglosemar, 14 Maret 2010: 13).

Pernyataan dari harian Joglosemar tersebut menujukkan bahwa pemerintah kota

masih berencana menunda pembayaran dana bantuan banjir bagi warga bantaran

selama masih belum ada upaya penyelesaian yang tepat. Hal itu jelas menjadikan

semua usaha komunikasi dan penyampaian pesan melalui pengadilan dinyatakan

gagal, sehingga proses eskalasi perselisihan tersebut menjadi semakin luas.

Page 192: · PDF fileperpustakaan.uns.ac.id   Disusun Untuk Memenuhi Tugas Akhir Sebagai S PROGRAM commit to user 1 Komunikasi dan Konflik Sosial

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

192

Perluasan konflik tersebut ditunjukkan oleh pernyataan yang dilontarkan

oleh Heri Hendro Harjuno dalam harian Joglosemar. Harian tersebut menuliskan

bahwa

Warga yang diwakili oleh kuasa hukumnya Heri Hendro Harjuno SH

langsung banding atas putusan itu. Ratusan warga bantaran yang meng-

geruduk Pengadilan Negeri (PN) Solo langsung meluapkan kekecewaan

mereka. Bahkan, mereka juga mencaci majelis hakim (Solopos, 18

Februari 2008: I).

Pengajuan banding atas keputusan pengadilan tersebut menjadi indikasi kuat bahwa

eskalasi perselisihan yang terjadi menjadi semakin tinggi. Pengambilan keputusan

banding tersebut sebenarnya juga menjadi pesan bagi pemerintah kota bahwa warga

bantaran benar-benar serius dan teguh menuntut hak mereka tentang dana bantuan

banjir dan menolak relokasi.

Sementara warga masyarakat bantaran berusaha sekuat tenaga untuk

mengkomunikasikan semua keinginan mereka kepada pemerintah kota melalui

beragam aksi, termasuk melalui jalur hukum. Pemerintah kota tampaknya lebih

banyak bersikap pasif dalam menanggapi semua tekanan dan pesan dari warga

tersebut secara minim tanpa banyak memberikan tindakan secara langsung. Situasi

tersebut membuat warga bantaran semakin berang dan mungkin juga semakin

kelelahan menghadapi pemerintah kota yang tampaknya kurang memperhatikan

semua aksi yang dilakukan warga bantaran. Namun demikian, pada dasarnya

pemerintah kota tetap berusaha menemukan solusi agar permasalahan tersebut tidak

meluas.

Indikasi pertama tentang tanggapan pasif yang diberikan pemerintah kota

dalam menaggapi kasus dana bantuan banjir tersebut diberikan oleh Suparno HS,

sebagai ketua Pokja sekaligus tokoh penting di balik relokasi. Suparno HS

mengatakan ―Ya tidak masalah, wong itu semua hak mereka, ya namanya alam

Page 193: · PDF fileperpustakaan.uns.ac.id   Disusun Untuk Memenuhi Tugas Akhir Sebagai S PROGRAM commit to user 1 Komunikasi dan Konflik Sosial

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

193

demokrasi, ya pasti ada yang setuju, ada pula yang menentang. Yang penting nanti

tahun 2010 akan selesai, kan begitu toh.‖ (Wawancara pada 14 April 2010). Sebagai

wakil dari pemerintah kota yang berada di garis depan, Suparno HS memberikan

pernyataan yang menujukkan sikap pasif dari pemerintah kota dalam menanggapi

semua pesan dalam eskalasi perselisihan tersebut. Pernyataan Suparno HS juga

menujukkan bahwa pemerintah kota tetap menggulirkan program relokasi bagi

semua warga yang bersedia di relokasi saja, sementara pemerintah bersikap tenang

dalam menanggapi semua tuntutan warga yang menentang relokasi.

Kecenderungan sikap pasif dan tenang yang ditunjukkan oleh pemerintah

kota rupanya semakin dikuatkan oleh Sukasno SH, sebagai ketua DPRD Surakarta.

Walaupun Sukasno tidak memiliki hubungan langsung dengan pemerintah kota

tentang kasus tersebut, namun dia memiliki pengetahuan dan informasi yang

memadai terntang perselisihan yang terjadi antara pemerintah kota dengan warga

bantaran. Dalam wawancara ia memberikan pernyataan bahwa

Pemerintah kota bersikap pasif, artinya yang lalu biarlah berlalu, sebab

pemerintah kota sudah mengambil semua langkah yang diperlukan,

memberikan pemahaman ya sudah, memberikan sosialisasi, tapi pada

akhirnya dikembalikan ke warga. Lalu jika mereka menggugat

pemerintah kota ya silahkan saja. (Wawancara pada 11 Mei 2010)

Keterangan yang diberikan Sukasno SH rupanya menguatkan pernyataan yang

diberikan Suparno HS. Pernyataan di atas juga menunjukkan bahwa pemerintah kota

bersikap pasif karena telah melakukan semua hal yang dianggap perlu untuk

menekan dan mengurangi eskalasi konflik dengan warga bantaran. Tindakan pasif

dari pemerintah kota dalam menangani aksi tekanan yang diberikan warga bantaran

kemungkinan besar bisa meredam peningkatan eskalasi perselisihan tersebut.

Walalpun demikian, sikap pasif tersebut tidak mengurangi itikad baik pemerintah

Page 194: · PDF fileperpustakaan.uns.ac.id   Disusun Untuk Memenuhi Tugas Akhir Sebagai S PROGRAM commit to user 1 Komunikasi dan Konflik Sosial

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

194

kota untuk menyelsaikan permasalahan dengan warga bantaran sambil terus

melaksanakan program relokasi.

d. Aspek Komunikasi dalam Eskalasi Konflik

Dalam eskalasi konflik yang terjadi antara pemerintah kota dengan warga

bantaran, aspek komunikasi menjadi satu aspek penting yang kemungkinan besar

membawa kedua pihak yang berseteru pada tingkat eskalasi yang lebih tinggi.

Kenyataan tersebut ditunjukkan oleh proses komunikasi yang dilakukan oleh warga

bantaran dengan cara keras dan menekan pemerintah kota melalui pengadilan dan

demonstrasi. Dengan begitu, aspek komunikasi yang dilakukan oleh warga bantaran

cenderung menekan pemerintah kota, melalui semua aspek, seperti demonstrasi dan

pengadilan. Dalam proses tersebut, semua unsur komunikasi ikut serta meningkatkan

eskalasi konflik tersebut.

Bagian paling awal dari proses komunikasi dikenal sebagai

komunikator. Komunikator dalam kasus eskalasi konflik tersebut dipegang

sepenuhnya oleh warga bantaran. Kondisi serta situasi yang terjadi membuat situasi

yang melingkupi membuat warga bantaran mulai menyusun kekutan untuk

meningkatkan eskalasi konflik. Peryataan yang diberikan oleh Abdul Alim, sebagai

wartawan profesional, bahwa setelah semua cara yang ditempuh warga bantaran

gagal, maka satu-satunya jalan yang masih terbuka ialah jalur hukum. Heri Hendro

Harjuno, sebagai pengacara bagi warga bantaran, juga menyatakan bahwa ranah

hukum menjadi suatu jalan yang ditempuh setelah semua upaya kekeluargaan yang

telah dilakukan menemui jalan buntu. Situasi tersebut membuat warga bantaran

menjadi komunikator yang mulai bergerak dengan cara menyandikan pesan yang

mampu meningkatkan eskalasi konflik.

Page 195: · PDF fileperpustakaan.uns.ac.id   Disusun Untuk Memenuhi Tugas Akhir Sebagai S PROGRAM commit to user 1 Komunikasi dan Konflik Sosial

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

195

Sementara itu, pesan yang disampaikan warga bantaran rupanya memiliki

kekuatan dan tujuan yang menekan pemerintah kota melalui demonstrasi dan jalur

hukum. Pesan yang disandikan oleh warga bantaran pada dasarnya sama dengan

pesan dalam proses komunikasi secara umum, yaitu pesan yang menujukkan

keinginan pihak pertama–dalam hal ini warga bantaran–ke pihak lain agar segera

diberikan tanggapan yang sesuai dengan keinginan pihak pertama. Namun demikian,

pesan yang disandikan oleh warga bantaran pada dasarnya memiliki kekuatan untuk

menekan dan meningkatkan eskalasi konflik karena digunakan dengan cara yang

keras dan kemungkinan besar besifat memaksa. Tipe pesan seperti itu membuat

perselisihan yang terjadi bergerak menuju eskalasi yang semakin meningkat.

Selain pesan yang besifat menekan dan memaksa, media yang digunakan

warga bantaran juga berifat menekan dan memaksa pihak lain, karena digunakan

secara frontal dan terbuka dengan melalui jalur-jalur komunikasi yang biasa

digunakan untuk melakukan konflik. Perhatikan fakta bahwa warga bantaran

menggunakan jalur demonstrasi seperti yang dikatakan oleh Nunuk Ismiyati, atau

menggunakan jalur hukum seperti yang dikatakan oleh Heri Hendro Harjuno. Semua

jalur tersebut merupakan jalur yang pada dasarnya menjadi media penting untuk

meningkatkan eskalasi konflik serta menekan pihak lain dalam suatu konflik tertentu.

Sedangkan sebagai komunikan, pemerintah kota menjadi objek yang

menjadi tujuan disampaikannya pesan dalam proses komunikasi, bahkan pada

komunikasi dalam konflik. Di samping itu sisi psikologis dan lingkungan di belakang

pemerintah kota kemungkinan besar mempengaruhi keputusan dan tanggapan yang

dilakukan. Dengan demikian, fakta bahwa tanggapan yang diberikan pemerintah

kota relatif minim terhadap tuntutan warga bantaran kemungkinan besar tidak hanya

Page 196: · PDF fileperpustakaan.uns.ac.id   Disusun Untuk Memenuhi Tugas Akhir Sebagai S PROGRAM commit to user 1 Komunikasi dan Konflik Sosial

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

196

dipengaruhi oleh proses komunikasi yang telah dilakukan, tapi juga dipengaruhi oleh

kondisi lingkungan dan faktor psikologis yang berada di belakang komunikan.

Aspek komunikasi dan unsur-unsur dalam proses komunikasi pada

eskalasi konflik berusaha memberikan pemahaman pada pemetaan tentang proses

komunikasi dan interaksi yang terjalin dari semua unsure komunikasi yang terlibat.

Hal itu membuat pemahaman tentang eskalasi konflik tidak hanya terbatas pada

penyebab eskalasi konflik, tapi juga pada struktur komunikasi yang menyusun dan

terjadi pada eskalasi konflik. Dengan demikian, proses komunikasi dalam eskalasi

konflik, serta latar belakang eskalasi konflik yang terjadi, dapat dipahami dengan

mudah.

e. Analisis Tentang Aspek Komunikasi pada Penyebab dan Eskalasi

Fakta dan data yang berasal dari lapangan menunjukkan bahwa konflik

antara pemerintah kota dan warga bantaran rupanya dimulai dari kesalahan persepsi

terhadap suatu pesan yang diberikan oleh kelompok tertentu, dalam hal ini

pemerintah kota. Kemungkinan besar kesalahan persepsi tersebut terjadi karena

pemerintah kota memberikan bentuk komunikasi yang kurang efektif atau kesalahan

penyandian pesan, yang akan diberikan kepada warga bantaran. Jika kesalahan

persepsi tersebut ditinjau dari disiplin ilmu komunikasi, maka pokok analisis akan

terfokus pada proses komunikasi yang ada serta semua implikasi yang

melingkupinya.

Kesalahan persepsi yang menjadi penyebab awal dari suatu konflik pada

dasarnya sesuai dengan pandangan yang diberikan oleh Robert A. Baron dan Donn

Byrne yang menjelaskan kesalahan semantik sebagai sebuah akibat dari komukasi

yang buruk dan menyatakan bahwa terkadang individu berkomunikasi dengan orang

Page 197: · PDF fileperpustakaan.uns.ac.id   Disusun Untuk Memenuhi Tugas Akhir Sebagai S PROGRAM commit to user 1 Komunikasi dan Konflik Sosial

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

197

lain dengan cara yang salah sehingga menyebabkan orang lain marah (Baron dan

Byrne, 2005: 194). Hal itu membuat analisis tentang komunikasi pada penyebab

konflik tampaknya harus memandang secara menyeluruh pada semua aspek

komunikasi yang terkait, mulai dari komunikator, pesan dan media, komunikan, serta

tanggapan.

Kesalahan komunikasi dan kegahalan menyampaikan informasi hingga

menjadi awal dari konflik pada dasarnya tidak hanya dapat dari satu unsur

komunikasi saja, tapi juga harus dilihat secara holistik pada semua unsur komunikasi

yang ada. Dalam kasus perselisihan antara warga bantaran dan pemerintah kota,

komunikator–pemerintah kota–memegang peranan penting pada penyampaian pesan

yang menjadi awal dari kesalahan penafiran pesan tersebut. Sedangkan dalam

eskalasi konflik, warga bantaran menjadi komunikator paling penting dalam

perselisihan Beragam faktor yang berada dibelakang komunikator turut andil

mempengaruhi komunikator dalam menyampaikan pesan. Benjamin R. Karney,

James K. McNulty, dan Thomas N. Bradbury menjelaskan bahwa komunikator yang

efektif dipengaruhi oleh aspek kognitif yang pada akhirnya mempengaruhi perilaku

(Karney, et al, 2001: 43). Keterangan Karney dan kawan-kawan di atas sebenarnya

menujukkan bahwa kondisi pemikiran di belakang komunikator sedikit banyak

mempengaruhi pesan-pesan yang telah dibuat dan kemungkinan besar berpengaruh

pada kesalahan pembuatan pesan yang akan disampaikan.

Pandangan Karney dan koleganya (2001) pada dasarnya didukung oleh

paparan Spitzberg dan Cupach yang mengatakan bahwa kegagalan komunikasi

tampaknya bisa berasal dari dalam komunikator atau komunikan–yang disebabkan

oleh bentuk-bentuk komunikasi yang agresif dan komunikasi yang tidak diinginkan

sebagai hasil dari kekacauan kognisi yang akan mempengaruhi perkembangan

Page 198: · PDF fileperpustakaan.uns.ac.id   Disusun Untuk Memenuhi Tugas Akhir Sebagai S PROGRAM commit to user 1 Komunikasi dan Konflik Sosial

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

198

persepsi (Spitzberg dan Cupach, 2009: 457). Keterangan ilmiah Karney dan

koleganya (2001) serta Spitzberg dan Cupach (2009) menunjukkan bahwa

komunikator tidak dapat melepaskan diri dari pemikiran dan penyandian pesan yang

akan disampaikan, karena itu komunikator bertanggungjawab pada kesalahan

pembuatan pesan, yang menjadi penyebab konflik.

Jalaluddin Rahkmat menyampaikan bahwa persepsi suatu pihak

menghasilkan suatu kredibilitas yang berada di belakang komunikator, namun

demikian hal itu tergantung pada situasi dan permasalahan yang sedang dibahas

(Rahkmat, 2003: 257). Kondisi yang dijelaskan Rakhmat jelasn mengandung indikasi

bahwa komunikator memiliki kredibilitas jika ada pihak lain yang mengakui

kredibiltas tersebut serta ada legitimasi yang jelas terhadap suatu permasalahan. Hal

itu membuat kesalahan penyadian pesan yang akan disampaikan bisa menghilangkan

kredibiltas yang berada di belakang komunikator hingga menghasilkan konflik.

Perhatikan lebih dekat perselisihan yang terjadi antara pemerintah kota

dan warga bantaran yang terjadi. Komunikator pada penyebab konflik–pemerintah

kota–rupanya kemungkinan besar menyandikan pesan yang mungkin menghasilkan

kecaman dan tekanan keras bagi pihak lain, dalam hal ini warga bantaran. Faktor

situasional dan faktor pemikiran yang berada di belakang komunikator kemungkinan

besar juga berpengaruh pada aspek penyandian pesan yang diberikan oleh

pemerintah kota kepada warga bantaran. Kondisi situasional yang kurang tepat

kemungkinan besar mempengaruhi pesan yang dibuat dan disampaikan oleh

pemerintah kota. Jika memang pemerintah kota berniat melakukan relokasi pada

semua warga bantaran, maka pemerintah kota tidak seharusnya menyampikan dana

bantuan banjir kepada warga bantaran.

Page 199: · PDF fileperpustakaan.uns.ac.id   Disusun Untuk Memenuhi Tugas Akhir Sebagai S PROGRAM commit to user 1 Komunikasi dan Konflik Sosial

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

199

Fakta yang diberikan di lapangan tampaknya tidak bertentangan dengan

pemikiran pakar psikologi dan konflik seperti Karney dan koleganya (2001),

Spitzberg dan Cupach (2009), serta Jalaluddin Rahkmat (2003). Kenyataan yang ada

menujukkan bahwa penyadian pesan yang dilakukan pemerintah kota pada dasarnya

telah dimulai dengan serangkaian kesalahan, yaitu kurangnya perhatian pemerintah

kota kondisi situasional yang menyelimuti warga bantaran, yang pada hakekatnya

membutuhkan bantuan fisik, tidak termasuk relokasi; pemerintah kota juga

menyandikan pesan yang kurang tepat, bahwa relokasi ini bersifat tidak memaksa,

padahal pada penerapannya tidak selalu demikian; faktor pemikiran dan pemahaman

yang kurang terhadap kondisi warga bantaran yang seberanya mendorong pemerintah

kota menyadikan pesan yang salah.

Di pihak lain, dalam eskalasi konflik, warga bantaran yang menolak

relokasi memegang peran sebagai komunikator. Sebagai komunikator warga

bantaran juga menyandikan beberapan pesan yang kurang tepat hingga menghasilkan

perluasan konflik yang semakin tinggi. Perhatikan pernyataan Lorreta L. Peccioni

dan koleganya yang menyatakan bahwa komunikator yang kompeten harus bisa

menyesuaikan kemampuannya dengan semua perubahan interaksi yang menyertainya

(Peccioni, et al. 2008: 252). Apabila pernyataan Pecchioni dan koleganya

dihubungkan dengan warga bantaran sebagai komunikator dalam eskalasi konflik,

maka akan diperoleh suatu fakta penting. Apabila warga bantaran bisa bertindak

tenang serta dapat menyelesuaikan diri dengan situasi yang sedang memanas, maka

dapat dipastikan warga bantaran bisa menjadi komunikator yang efektif untuk

menyampaikan pesan tertentu ke pemerintah kota.

Kenyataan dan data yang ada di lapangan tampaknya menujukkan hal

sebaliknya. Warga bantaran rupanya menjadi komunikator yang cenderung kurang

Page 200: · PDF fileperpustakaan.uns.ac.id   Disusun Untuk Memenuhi Tugas Akhir Sebagai S PROGRAM commit to user 1 Komunikasi dan Konflik Sosial

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

200

cermat menghadapi perselisihan tersebut sehingga meningkatkan kondisi dan

eskalasi konflik yang sedang terjadi. Peranan kognisi dan pemikiran yang

berkambang di warga bantaran membuat perselisihan tersebut menjadi semakin luas.

Bagian kedua yang harus diamati pada proses komunikasi dalam

perselisihan antara warga bantaran dengan pemerintah kota ialah pesan dan media

yang digunakan. Pesan secara sederhana diartikan sebagai bentuk kata-kata yang

direncanakan atau tidak oleh komunikator serta bentuk perilaku non verbal (Adler

dan Rodman, 2009: 506). Dalam kaitannya dengan konflik antara pemerintah kota

dengan warga bantaran, pesan yang disampaikan pemerintah kota, yang

menyebabkan konflik, ialah pernyataan dan rencana relokasi dan penundaan dana

bantuan banjir bagi warga bantaran. Pesan tersebut sebenarnya efektif jika digunakan

dan disalurkan secara baik dan benar sesuai dengan situasi yang melingkupi warga

bantaran dan pemerintah kota secara umum. Akan tetapi penyampaian pesan

tersebut melalui media sosialisasi yang kurang menjangkau sasaran membuat pesan

menjadi ambigu dan menimbulkan salah persepsi.

Perhatikan pernyataan yang diberikan oleh Michael E. Roloff dan

Courtney M. Wright. Kedua pakar komunikasi itu menjelaskan bahwa pihak yang

menyusun pesan seharusnya memperhitungkan semua rekasi, tujuan, dan kebutuhan

yang diberikan oleh pihak lain (Roloff dan Wright, 2009: 103). Penjelasan dua orang

pakar komunikasi tersebut seharusnya menjadi fokus perhatian dari semua pihak

untuk menyusun pesan, agar tidak terjadi konflik. Kenyataan yang ada sepertinya

menujukkan bahwa kedua pihak yang terlibat konflik belum bisa menyusun pesan

yang tepat, sehingga bisa menghindari terjadinya konflik.

Jika pemerintah kota berperan besar pada pembuatan pesan yang

menyebabkan konflik, maka warga bantaran juga bertanggungjawab dalam semua

Page 201: · PDF fileperpustakaan.uns.ac.id   Disusun Untuk Memenuhi Tugas Akhir Sebagai S PROGRAM commit to user 1 Komunikasi dan Konflik Sosial

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

201

bentuk pembuatan pesan yang mendorong peningkatan eskalasi konflik. Fakta yang

didapatkan dari lapangan menujukkan bahwa warga bantaran sebenarnya juga belum

memahami bagaimana pesan tersebut dibuat dan disalurkan. Pesan yang diberikan

oleh warga bantaran berupa penolakan relokasi namun mendukung pembayaran dana

tampaknya menekan pemerintah kota untuk segera menurunkan dana bantuan banjir.

Penggunaan demonstrasi dan jalur hukum sebagai media penyaluran pesan pada

dasarnya juga beresiko meningkatkan dan memperparah perelisihan yang ada. Hal itu

jelas menjadi bukti yang mendukung penjelasan Roloff dan Wright (2009).

Bagian selanjutnya dari proses komunikasi yang perlu mendapat

perhatian lebih dalam untuk memahami perselisihan yang terjadi antara pemerintah

kota dan warga bantaran ialah komunikan. Dalam penyebab konflik, warga bantaran

mengambil peranan sebagai komunikan yang menerima pesan dari pemerintah kota.

Sedangkan dalam eskalasi konflik pemerintah kota justru menjadi komunikan karena

menerima pesan dari warga bantaran. Sebagai komunikan, keduanya rupanya salah

memberikan penafsiran terhadap pesan yang diterima. Situasi tersebut rupanya sesuai

dengan penjelasan Ellen Berscheid dan Hilary Ammazzalorso bahwa penafsiran

pesan melibatkan kondisi kognitif dan psikologi pihak tertentu melibatkan

interperstasi kognitif terhadap lingkungan sekitar, sehingga dapat menimbulkan

bentuk-bentuk emosional (Berscheid dan Ammazzalorso, 2001: 311).

Unsur komunikasi paling akhir yang patut diperhatikan pada kasus

perselisihan antara pemerintah kota dan warga bantaran adalah tanggapan atau

feedback. Tanggapan atau feedback pada dasarnya merupakan bentuk reaksi yang

diberikan oleh komunikan terhadap pesan yang diberikan oleh komunikator. Dalam

kasus ini, tanggapan paling awal diberikan oleh warga bantaran terkait dengan pesan

yang diberikan oleh pemerintah kota. Tanggapan yang diberikan warga bantaran

Page 202: · PDF fileperpustakaan.uns.ac.id   Disusun Untuk Memenuhi Tugas Akhir Sebagai S PROGRAM commit to user 1 Komunikasi dan Konflik Sosial

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

202

berupa reaksi keras untuk menentang relokasi namun mendukung pencairan dana

bantuan banjir. Sedangkan, pada eskalasi konflik, pemerintah kota justru

memberikan tanggapan pasif terhadap semua pesan yang diberikan oleh warga

bantaran. Reaksi pasif dari pemerintah kota secara sederhana sedikit meredam aksi

warga bantaran, namun secara tidak langsung membuat warga bantaran semakin

meningkatkan tekanan dengan cara menggunakan jalur hukum. Tanggapan dan

reaksi dari pihak tertentu dapat menjadi pesan bagi pihak yang lain, kondisi tersebut

membuat komunikator menjadi komunikan dan sebaliknya.

Berdasarkan semua unsur komunikasi, yang telah dibahas di atas, dapat

diperoleh gambaran besar tentang komunikasi dalam konflik yang terjadi antara

pemerintah kota dengan warga bantaran terkait dengan dana bantuan banjir tersebut.

Komunikasi dalam konflik tersebut dimulai dengan seruan pemerintah kota, sebagai

komunikator, untuk merelokasi semua warga yang tinggal di bantaran. Kondisi

serta semua kepentingan yang ada membuat pemerintah kota kurang memahami

kondisi dan situasi warga bantaran yang sebenarnya. Keadaan itu membuat

pemerintah kota menyadikan pesan tentang relokasi dan dana bantuan banjr secara

gegabah. Hal itu menjadi titik awal tersebarnya bibit konflik tersebut. Keadaan

komunikator yang kurang pas menghasilkan pesan yang kurang efektif, karena

menimbulkan ambiguitas penafsiran bagi warga bantaran. Kesalahan penafsiran

pesan tersebut membuat warga bantaran tidak memahami permasalahan yang

sebenarnya. Media sosialisasi yang kurang efektif, karena semakin membuat warga

bantaran tertekan, sebenarnya juga semakin meningkatkan potensi konflik terjadi.

Sementara itu, warga bantaran sebagai komunikan tidak sepenuhnya

benar, karena kondisi dan situasi di belakang warga, termasuk pemikiran dan kondisi

kognitif, membuat warga salah menafsirkan pesan yang diterima. Keadaan tersebut

Page 203: · PDF fileperpustakaan.uns.ac.id   Disusun Untuk Memenuhi Tugas Akhir Sebagai S PROGRAM commit to user 1 Komunikasi dan Konflik Sosial

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

203

membuat warga melakukan tindakan perlawanan terhadap semua pesan yang

diterima. Dengan begitu, tanggapan dan feedback yang dihasilkan warga membuat

suatu pertentangan serius yang secara sederhana memulai konflik dan perselisihan

antara pemerintah kota dengan warga bantaran.

Dalam eskalasi konflik, warga bantaran, sebagai komunikator, rupanya

membuat pesan-pesan keras terhadap pemerintah kota. Keadaan tersebut didukung

oleh kondisi kognitif yang berada di belakang komunikator. Keadaan kognisi dan

pemikiran warga bantaran yang tertekan oleh pesan pemerintah kota, membuat warga

bantaran mulai melakukan perlawanan. Kondisi kognitif tersebut membuat warga

bantaran menghasilkan beragam pesan bersifat keras dan menentang pemerintah

kota. Hal itu jelas menimbulkan perselisihan dan eskalasi konflik yang semakin

tinggi. Penggunaan media demonstrasi dan penggunaan jalur hukum rupanya juga

semakin menguatkan perselisihan dan konflik yang terjadi.

Di lain pihak, dalam eskalasi konflik, pemerintah kota bertindak sebagai

komunikan yang menerima semua pesan dari warga bantaran tersebut. Pemerintah

kota secara sederhana menanggapi semua pesan dengan tanggapan yang pasif.

Keadaan seperti itu membuat warga bantaran semakin kesal, sehingga berusaha

sekuat tenaga untuk meningkatkan eskalasi perselisihan tersebut. Namun demikian,

sikap pasif dari pemerintah kota tampaknya diperlukan untuk meredam perselisihan

yang sedang memanas tersbut.

Jika menilik semua fakta dan data dari lapangan, maka kondisi tersebut

tampaknya sesuai dengan Teori Hubungan Dialektik (Dialectics Theory of

Relationship). Secara sederhana teori tersebut menjelaskan bahwa ada bentuk-bentuk

kerenggangan yang biasanya muncul pada hubungan antarmanusia sehari-hari.

Dengan demikian teori ini berasumsi bahwa hubungan sebenarnya tidak bergerak

Page 204: · PDF fileperpustakaan.uns.ac.id   Disusun Untuk Memenuhi Tugas Akhir Sebagai S PROGRAM commit to user 1 Komunikasi dan Konflik Sosial

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

204

dalam garis lurus semata namun bergerak berubah-ubah sesuai dengan kondisi yang

ada, sehingga membuat munculnya bentuk-bentuk kontradiksi yang mendasar pada

bentuk hubungan tertentu, komunikasi berusaha mengurangi bentuk kontradiksi

tersebut (Norwood dan Duck, 2009: 318; Littlejohn dan Foss, 2005).

Apabila semua fakta dan data dari lapangan dimasukkan dalam Teori

Hubungan Dialektik, maka diperoleh suatu hubungan antarkonstruk yang ada.

Pertama, hubungan komunikasi antara pemerintah kota dengan warga bantaran pada

dasarnya menemui titik kritis, karena munculnya kesalahan penafsiran pesan dan

lemahnya pemahaman teradap suatu pesan. Kerenggangan hubungan antara warga

bantaran dengan pemerintah kota berpotensi besar untuk menimbulkan dan

memunculkan konflik. Kedua, kurangnya proses sosialisasi yang diberikan oleh

pemerintah kota membuat semakin renggangnya komunikasi dan hubungan

komunikasi antara pemerintah kota dengan warga bantaran. Dengan demikian, Teori

Hubungan Dialektik tampaknya masih bisa digunakan untuk menganalisis semua

situasi yang melingkupi permasalahan hubungan komunikasi antara pemerintah kota

dengan warga bantaran.

Perselisihan yang terjadi antaran pemerintah kota dengan warga bantaran

rupanya tidak hanya memunculkan ketegangan di dua belah pihak, tapi juga

membuat warga bantaran menyusun kekuatan baru dalam bentuk forum bernama

SKoBB. Secara sederhana SKoBB merupakan forum masyarakat yang mewadahi

warga bantaran, terutama warga bantaran yang menolak relokasi. Namun demikian,

perselisihan ini lebih bersifat lebih luas, karena pada dasarnya melibatkan warga

bantaran yang tidak tergabung dalam forum tersebut. Dengan begitu, SKoBB hanya

menjadi bagian kecil dari konflik yang luas tersebut.

Page 205: · PDF fileperpustakaan.uns.ac.id   Disusun Untuk Memenuhi Tugas Akhir Sebagai S PROGRAM commit to user 1 Komunikasi dan Konflik Sosial

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

205

Karena SKoBB pada dasarnya memberikan dorongan dalam eskalasi

konflik, maka kajian tentang kelompok masyarakat dan komunikasi kelompok untuk

membahas forum masyarakat tersebut tampaknya juga perlu diperhatikan. Peranan

SKoBB dalam eskalasi konflik ditunjukkan oleh pernyataan Agus Sumaryawan yang

secara sederhana menyatakan bahwa SKoBB digunakan untuk memberikan

pemahaman kepada masyarakat untuk melawan semua kebijakan pemerintah yang

tidak pro-rakyat. Pernyataan tersebut memberikan pemahaman bahwa forum tersebut

mendukung secara penuh perlawanan warga bantaran secara umum terhadap dana

bantuan banjir tersebut. Keadaan itu pada dasarnya merupakan bentuk dukungan

pada bentuk-bentuk eskalasi konflik yang sedang terjadi.

Pandangan tentang komunikasi kelompok diberikan oleh Keyton dan

Stallworth yang menjelaskan bahwa komunikasi yang efektif di antara semua

anggota kelompok dapat menghasilkan suatu kesuksesan semua komponen

kelompok tersebut (Keyton dan Stallworth, 2003: 240). Dalam kasus tersebut

kesuksesan dalam semua komponen pada dasarnya dapat diwujudkan dalam bentuk

dukungan pada eskalasi konflik tersebut. Hal itu jelas menghasilkan suatu efek

peningkatan eskalasi konflik. Keyton dan Stallworth (2003) pada dasarnya

menyampaikan suatu pendapat yang mendasari paparan dari Barge. Barge. Ia

menjelaskan bahwa kelompok sosial diikat oleh aspek komunikasi antar anggota

untuk menopang efektivitas hubungan dan kolaborasi antara anggota (Barge, 2009:

340).

Jika pendapat yang diberikan oleh Keyton dan Stallworth (2003) dan

Barge (2009) dihubungkan dengan keadaan dan dukungan SKoBB dalam eskalasi

konflik tersebut, maka dukungan forum tersebut pada eskalasi konflik dapat

dipahami sebagai upaya membentuk komunikasi yang efektif dalam konflik,

Page 206: · PDF fileperpustakaan.uns.ac.id   Disusun Untuk Memenuhi Tugas Akhir Sebagai S PROGRAM commit to user 1 Komunikasi dan Konflik Sosial

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

206

sehingga diaharapkan tujuan warga bantaran dalam konflik tersebut bisa tercapai.

Fakta tentang komunikasi efektif dalam mengambil keputusan dikuatkan oleh

pendapat Klumpp. Ia menjelaskan bahwa pembuatan keputusan sebenarnya

merupakan istilah yang lebih banyak menguatkan proses kesimpulan dari semua

pilihan yang ada. Hal itu membuat pembuatan keputusan menjadi salah satu bagian

dari proses diskusi dan musyawarah (Klumpp, 2009: 202). Dengan demikian

kebanyakan kasus menujukkan bahwa suatu keputusan dalam suatu kelompok

dipengaruhi oleh musyawarah atau komunikasi yang ada di dalamnya. Asumsi

tersebut rupanya secara tidak langsung didukung oleh Heri Hendro Harjuno yang

menyatakan bahwa SKoBB menjadi suatu organisasi yang lebih mengutamakan

kepentingan warga bantaran, sehingga semua orang yang berada di belakang forum

tersebut sudah bertekad untuk menuntut dana banjir sekuat tenaga serta menghalangi

relokasi.

Kenyataan tersebut pada dasarnya menjadi bukti nyata dari keterangan

yang menjelaskan bahwa suatu kelompok akan selalu mencari perbedaan dengan

kelompok lain. Karena itu, Teori Identitas Sosial (Social Identity Theory—SIT)

tampaknya bisa digunakan untuk memahami mengapa SKoBB selalu berupaya

menentang semua kebijakan pemerintah. Meskipun teori tersebut bukan teori

komunikasi, namun aspek komunikasi antarkelompok, dalam kaitannya dengan

SKoBB, yang bertujuan menentang kelompok lain mungkin masih dapat dijelaskan

oleh teori tersebut. SIT pertama kali dikembangkan oleh H. Tjafel dan J.C. Turner.

Secara umum SIT berasumsi bahwa proses ketegoriasasi tidak bisa diambil alih

secara semena-mena, tapi harus digunakan sebagai referensi diri, meningkatan

persamaan dengan semua anggota kelompok serta menguatkan perbedaan antara diri

sendiri dengan semua anggota di luar kelompok demi meningkatkan perberdaan

Page 207: · PDF fileperpustakaan.uns.ac.id   Disusun Untuk Memenuhi Tugas Akhir Sebagai S PROGRAM commit to user 1 Komunikasi dan Konflik Sosial

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

207

(Gallois, et al, 2005: 233). Secara mudah SIT sebenarnya merupakan teori

organisasional, dari disiplin ilmu psikologi sosial, yang membahas dan menjelaskan

bahwa semua anggota dalam suatu organisasi selalu mencari persamaan diri

sedangkan mereka selalu mencari perbedaan dengan anggota di luar kelompok

mereka.

Pada dasarnya, asusmsi yang dikembangkan oleh SIT menujukkan bahwa

ketika terjadi bentuk-bentuk konflik antarkelompok, kebanyakan anggota suatu

kelompok terikat oleh rasa solidaritas untuk maju dan melawan kelompok lain yang

dianggap berbeda dan berseberangan dengan tujuan kelompok mereka. Selain itu SIT

memberikan penguatan pada pandangan tentang persamaan identitas diri semua

anggota dalam suatu kelompok sosial, namun membedakan secara jelas dengan

identitas diri yang berada dalam kelompok lain. Dengan demikian SIT tampaknya

menguatkan perbedaan yang biasanya menjadi penyebab utama konflik antara

pemerintah kota dengan warga bantaran.

Apabila semua konstruk ada di lapangan, yang berhubungan dengan

forum SKoBB, dimasukkan dalam asumsi SIT, maka akan dihasilkan suatu

pemahaman besar tentang latarbelakang forum tersebut mendukung pertentangan

dengan pemerintah kota. SKoBB sebenarnya merupakan forum masyarakat yang

menghimpun warga bantaran yang secara prinsip menentang rekolasi namun

mendukung pencairan dana bantuan banjir. Perhimpunan tersebut kemudian

membentuk kelompok yang pada dasarnya menyusun kekuatan untuk menekan

pemerintah kota, seperti yang dikatakan Agus Sumaryawan. Tindakan seperti itu

membuat warga bantaran selalu mencari perbedaan dengan pemerintah kota. Hal itu

membuat warga bantaran sulit menerima pendapat dan semua upaya perdamaian,

sehingga membuat perselisihan tersebut samkin berkepanjangan. Hal itu jelas

Page 208: · PDF fileperpustakaan.uns.ac.id   Disusun Untuk Memenuhi Tugas Akhir Sebagai S PROGRAM commit to user 1 Komunikasi dan Konflik Sosial

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

208

menjadi indikasi umum bahwa SIT dapat digunakan untuk melakukan analisis

terhadap perselisihan tersebut.

Semua analisis terhadap fakta dan data yang ada di lapangan dapat

digunakan untuk menjawab pertanyaan penting tentang komunikasi yang dilakukan

warga bantaran dengan pemerintah kota terkait dengan dana bantuan banjir tersebut.

Secara sederhana proses komunikasi tersebut dimulai ketika pemerintah kota sebagai

komunikator menyandikan pesan melalui media sosialisasi tentang relokasi dan

penundaan dana bantuan banjir kepada warga bantaran. Akan tetapi faktor

latarbelakang dan kognisi yang berada di belakang pemerintah kota membuat

penyandian pesan menjadi kurang tepat, begitu pula tentang efektivitas sosialisasi

yang digunakan, sehingga kurang menjangkau sasaran. Hal itu membuat warga

bantaran, terutama yang tinggal di tanah hak milik (THM), salah menfsirkan pesan,

sehingga menghasilkan tanggapan berupa reaksi keras terhadap program relokasi

pemerintah kota.

Dalam eskalasi konflik, aspek komunikasi yang terlibat pada dasarnya

menunjukkan adanya tekanan dan penggunaan pesan dengan penekanan yang kuat

kepada pihak lain serta bersifat memaksa. Hal itu juga ditunjukkan dengan

penggunaan media demonstrasi dan penggunaan ranah pengadilan yang secara umum

mampu meningkatkan eskalasi konflik. Aspek kognitif yang ada rupanya membuat

warga bantaran membuat suatu pesan yang bersifat keras dan menekan. Pesan

tersebut rupanya disampaikan melalui media yang bersifat menekan, namun kurang

efektif, pemerintah kota, yaitu demonstrasi dan penggunaan jalur hukum. Sebagai

komunikan, pemerintah kota menanggapi pesan warga bantaran tersebut secara pasif

dan lebih banyak bersikap tenang, dengan cara tetap melakukan penundaan pencairan

dana bantuan banjir serta tetap memberlakukan relokasi. Hal itu mungkin sedikit

Page 209: · PDF fileperpustakaan.uns.ac.id   Disusun Untuk Memenuhi Tugas Akhir Sebagai S PROGRAM commit to user 1 Komunikasi dan Konflik Sosial

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

209

meredam eskalasi perselisihan tersebut, namun membuat warga bantaran semakin

kuat menekan pemerintah kota.

2. Aspek Komunikasi pada Upaya Menuju Resolusi Konflik

a. Petunjuk Komunikasi pada Upaya Resolusi Konflik

Proses komunikasi dalam upaya resolusi konflik yang terjadi antara

pemerintah kota dan warga bantaran mungkin menjadi bagian penting dalam usaha

mengakhiri konflik sekaligus mencari jalan keluar yang tepat. Pada bagian ini

pemerintah kota dan warga bantaran pada hakekatnya berusaha mencari jalan keluar

yang tepat untuk dapat mengakhiri perselisihan yang sedang terjadi. Meskipun belum

ada resolusi konflik yang tepat untuk menyelesaiakan perselisihan antara pemerintah

kota dengan warga bantaran, terutama yang berada di tanah hak milik (THM), namun

selalu ada upaya komunikasi menuju resolusi konflik yang dilakukan kedua pihak

yang berseteru.

Komunikasi pada upaya menuju resolusi konflik pada awalnya dimulai

dari usaha mengkomunikasikan tujuan sekaligus penyelesaian oleh warga bantaran

ke semua pihak yang terkait dengan permasalahan relokasi dan dana bantuan banjir

tersebut. Pernyataan paling awal dari upaya komunikasi dalam resolusi konflik

diberikan oleh Agus Sumaryawan

Beberapa saat setelah itu datang banjir lagi, kemudian pak walikota

datang ke tempat saya untuk bilang mau memberikan bantuan. Dia bilang,

―Pak Agus mau bantuan berapa‖, saya menjawab ―Terserah bapak mau

beri bantuan berapa‖. Kemudian ia kembali berkata ―ajudan, agendakan

makan-makan di Lodji Gandrung, sama Pak Agus.‖ Tapi setelah makan

malam di sana tidak ada solusi yang bisa dilakukan, dan tidak ada titik

temu dalam permasalahan tersebut. (Wawancara pada 23 Januari 2010)

Page 210: · PDF fileperpustakaan.uns.ac.id   Disusun Untuk Memenuhi Tugas Akhir Sebagai S PROGRAM commit to user 1 Komunikasi dan Konflik Sosial

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

210

Keterangan yang diberikan Agus Sumaryawan sebenarnya menjadi bukti bahwa ada

proses komunikasi antara warga bantaran dengan pemerintah kota meskipun belum

membuahkan hasil positif. Lebih lanjut Agus Sumaryawan menjelaskan

Seharusnya pemerintah kota mengadakan koordinasi untuk melakukan

tatap muka bersama masyarakat, ibaratnya dalam bahasa jawa ―ayo podho

dirembug‖. Hal itu harus dilakukan berdasarkan prinsip demokrasi yang

mendahulukan musyawarah lalu melakukan mufakat. (Wawancara pada

23 Januari 2010)

Kedua penjelasan yang diberikan Agus Sumaryawan, sebagai warga bantaran

sebenarnya mengindikasikan adanya proses komunikasi yang terjadi antaran warga

dengan pemerintah kota. Proses komunikasi tersebut memang kurang efektif dalam

menyelesaikan masalah, namun demikian, proses tersebut menjadi suatu langkah

positif menuju resolusi konflik.

Proses komunikasi dalam upaya mengakhiri konflik tersebut memang

belum menghasilkan sustu kesepakatan untuk menyelesaikan persoalan yang rumit

tersebut, bahkan Maryono menjelaskan bahwa

Sebenarnya banyak, kami sudah berupaya ke sana-sini [pen: proses

komunikasi ke berbagai instansi terkait] dengan harapan ada suatu titik

temu, tetapi kenyataannya memang susah. Mungkin juga hal ini berkaitan

dengan nominal, atau anggaran, yang pada intinya pemerintah itu belum

siap menurunkan anggaran untuk masalah ini. (Wawancara pada 12

Februari 2010)

Keterangan Maryono pada dasarnya mendukung penjelasan Agus Sumaryawan

bahwa warga bantaran memang berniat baik untuk mencari solusi dalam masalah ini

namun semua hasil yang diperoleh dalam proses komunikasi tersebut kurang

maksimal. Lebih lanjut Maryono menjelaskan

Sebenarnya sudah banyak upaya yang dilakukan warga, sudah banyak

pendekatan yang dilakukan warga kepada komisi-komisi yang terkait

dengan hal ini, termasuk pada wakil walikota dan walikota. Tetapi

kenyataanya belum ada penyelesaian, intinya masing-masing berusaha

Page 211: · PDF fileperpustakaan.uns.ac.id   Disusun Untuk Memenuhi Tugas Akhir Sebagai S PROGRAM commit to user 1 Komunikasi dan Konflik Sosial

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

211

mempertahankan apa yang sudah mereka miliki. (Wawancara pada 12

Februari 2010)

Penjelasan Maryono memberikan indikasi bahwa kegagalan komunikasi dalam

upaya mencari resolusi, pada dasarnya disebabkan oleh kekerasan dan kurangnya

keterbukaan pada masing-masing pihak.

Kenyataan bahwa semua pihak yang bertikai saling mempertahankan

pendapat masing-masing membuat proses komunikasi dalam upaya menuju resolusi

secara langsung tergabung dalam komunikasi yang terjadi pada eskalasi konflik,

seperti yang terjadi pada saat demonstrasi. Fakta tersebut sebenarnya juga menjadi

petunjuk bahwa semua pihak rupanya saling memperjuangkan kepentingan masing-

masing ketimbang melakukan komunikasi yang baik. Tentang demonstrasi tersebut

Nunuk Ismiyati mengatakan

Pada awalnya kami sempat demonstrasi ke balaikota, namun pada saat itu

kami tidak ditemui oleh walikota, padahal sudah masyarakat tahu bahwa

walikota ada di kantor. Tetapi kami justru ditemui oleh sekretarisnya.

Lalu kami lanjutkan demonstrasi ke dewan, tetapi dewan baru tahu bahwa

ada kesepakatan tentang dana bantuan. Padahal seharusnya dewan-kan

juga bertugas untuk controlling, jadi seharusnya dewan tahu ada

kesepakatan itu. (Wawancara pada 17 Februari 2010)

Penjelasan yang diberikan Nunuk Ismiyati sebenarnya membuktikan bahwa proses

komunikasi yang dilakukan oleh warga bantaran untuk mencari jalan keluar dari

konflik mengalami hambatan dari pemerintah kota. Selain itu, komunikasi untuk

mencari jalan keluar dari konflik justru tersebut tergabung dalam proses eskalasi

konflik, sehingga menghasilkan komunikasi yang kurang efektif untuk

menyelesaikan masalah.

Meskipun komunikasi yang dilakukan warga bantaran kurang efektif

untuk mencari jalan keluar dan resolusi, karena tergabung dalam proses yang sama

dengan eskalasi konflik, namun hal itu menjadi suatu langkah postif dari warga

Page 212: · PDF fileperpustakaan.uns.ac.id   Disusun Untuk Memenuhi Tugas Akhir Sebagai S PROGRAM commit to user 1 Komunikasi dan Konflik Sosial

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

212

bantaran untuk menyelesaikan permasalahan dana bantuan banjir tersebut. Tindakan

warga bantaran dalam mengupayakan komunikasi untuk menyelesaikan konflik

tersebut membuat warga bantaran telah melakukan interaksi sosial yang positif.

Di lain pihak pemerintah kota secara umum melakukan proses

komunikasi yang kurang menekan dan cenderung lebih pasif ketimbang komunikasi

yang dilakukan oleh warga bantaran. Namun demikian pemerintah kota tetap

melakukan proses komunikasi dengan warga bantaran, dalam upaya menuju resolusi

konflik, meskipun tidak terlalu efektif. Hal itu dinyatakan oleh Sukasno SH, sebagai

ketua DPRD Surakarta,

Saya kira masih ada upaya, seperti itu, misalnya baik kepada siapa. Pada

akhirnya komunikasi seperti itu akan terjalin tidak pada ketua komunitas.

Sebab mungkin saja ketua komunitas itu terlalu mendominasi, sehingga

mungkin semua anggotanya terkadang tidak nyambung [pen: tidak dapat

mengikuti keinginan ketua kelompok]. (Wawancara pada 11 Mei 2010)

Lebih lanjut Sukasno SH menjelaskan bahwa

Pemerintah kota bersikap pasif, artinya yang lalu biarlah berlalu, sebab

pemerintah kota sudah mengambil semua langkah yang diperlukan,

memberikan pemahaman ya sudah, memberikan sosialisasi, tapi pada

akhirnya dikembalikan ke warga. Lalu jika mereka menggugat

pemerintah kota ya silahkan saja. (Wawancara pada 11 Mei 2010)

Keterangan Sukasno SH, sebagai seorang tokoh yang paham seluk-beluk

permasalahan tersebut, sebenarnya menjadi petunjuk bahwa memang pemerintah

kota melakukan komunikasi kepada warga bantaran secara interpersonal atau

kelompok dalam rangka mencari jalan keluar dari konflik tersebut, namun hasilnya

kurang efektif. Selain itu keterangan tersebut menjadi indikasi penting bahwa

pemerintah kota memang memberikan tanggapan yang relatif kurang dalam

komunikasi menuju resolusi konflik.

Page 213: · PDF fileperpustakaan.uns.ac.id   Disusun Untuk Memenuhi Tugas Akhir Sebagai S PROGRAM commit to user 1 Komunikasi dan Konflik Sosial

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

213

Pernyataan yang senada juga diberikan oleh Suparno HS, sebagai salah

seoarang tokoh penting di belakang relokasi dana dana bantuan banjir. Ia

menyatakan bahwa pemerintah kota sebenarnya melakukan komunikasi secara pasif

namun tetap berusaha menyelesaikan kasus perselisihan tersebut. Secara lebih detail

ia menyatakan.

Ya tidak masalah, wong itu semua hak mereka, ya namanya alam

demokrasi, ya pasti ada yang setuju, ada pula yang menentang. Yang

penting nanti tahun 2010 akan selesai, kan begitu toh. ... Saya yakin

semua hal itu tidak akan merugikan warga. Kalau mereka melawan

dengan keras, kita harus lunak, semua itu harus pakai strategi, ya kan.

(Wawancara pada 14 April 2010)

Ketarangan tersebut menunjukkan bahwa pemerintah kota cenderung beriskap pasif

untuk memberikan tanggapan langsung terhadap komunikasi yang dilakukan warga

bantaran terkait dengan semua perselisihan tersebut.

Akan tetapi, di belakang semua kecenderungan sikap pasifnya,

pemerintah kota sebenranya tetap berupaya untuk menyelesaikan permasalahan

tersebut malalui proses komunikasi yang tidak begitu kentara. Suparno HS

menyatakan ―Nanti tahun 2010 ini kan semua selesai, jadi mereka nanti pasti akan

diajak berembuk, untuk menyelesaikan masalah tersebut. Jadi rembugkan itu

merupakan program dari pusat untuk menyelesaikan masalah ini.‖. Keterangan

tersebut menjadi indikasi penting bahwa tetap ada upaya komunikasi dari pemerintah

kota untuk mengakhiri kasus tersebut.

b. Aspek dan Pola Komunikasi pada Upaya Menuju Resolusi Konflik

Keterangan yang diberikan semua tokoh di belakang pemerintah kota dan

warga bantaran memberikan petunjuk penting tentang proses komunikasi yang

terjadi dalam upaya menemukan resolusi konflik yang tepat. Perhatikan lebih dalam

Page 214: · PDF fileperpustakaan.uns.ac.id   Disusun Untuk Memenuhi Tugas Akhir Sebagai S PROGRAM commit to user 1 Komunikasi dan Konflik Sosial

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

214

bahwa warga bantaran dan pemerintah kota bisasaling memberikan pesan dalam

usaha penyelesaian tersebut. Komunikator paling awal dalam upaya mencari

penyelesaian konflik justru datang dari warga bantaran. Hal itu didukung oleh

pernyataan yang menjelaskan bahwa warga bantaran telah melakukan komunikasi

dan pendekatan ke semua pihak yang berhubungan dengan permasalahan tersebut.

Sebagai komunikator, peranan aspek kognitif dan kepentingan di belakang warga

bantaran turut mempengarui pembuatan pesan yang disampaikan ke pihak lain.

Keterangan yang diberikan warga bantaran, seperti Agus Sumaryawan

dan Maryono, menujukkan bahwa pesan tersebut rupanya berisi tuntutan warga

bantaran untuk segera mencairkan dana bantuan banjir kepada warga bantaran.

Sedangkan media demonstrasi dipilih oleh warga bantaran sebagai media untuk

menyampaikan pesan ke pihak lain. Menariknya, media demonstrasi yang digunakan

oleh warga bantaran membuat komunikasi dalam usaha menuju resolusi konflik

secara tidak langsung tergabung pada komunikasi dalam eskalasi konflik, karena

tuntutan warga dalam demonstrasi tersebut ialah untuk segera menurunkan dan

bantuan banjir serta untuk membahas ulang tentang relokasi warga bantaran,

terutama yang tinggal di tanah hak milik (THM). Selain itu, ada upaya komunikasi

interpersonal yang digunakan warga bantaran, kepada semua pihak yang terkait,

sebelum mereka memutuskan untuk menggunakan demonstrasi.

Sementara itu, sebagai komunikan, pemerintah kota sebenarnya belum

terlalu menanggapi semua upaya tuntutan damai warga bantaran, karena semua pihak

yang terkait dalam pemerintah kota cenderung bersikap pasif dalam menyelesaikan

permasalahan tersebut. Perhatikan pernyataan Sukasno SH yang menyatakan bahwa

pemerintah kota bersikap pasif dan tenang terhadap semua tuntutan warga bantaran

tersebut. Namun demikian, pemerintah kota tetap mengusahakan komunikasi yang

Page 215: · PDF fileperpustakaan.uns.ac.id   Disusun Untuk Memenuhi Tugas Akhir Sebagai S PROGRAM commit to user 1 Komunikasi dan Konflik Sosial

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

215

baik terhadap warga bantaran demi penyelesaian kasus tersebut. Maskipun begitu

belum ada hasil postif yang bisa dicapai.

Jika semua unsur komunikasi, yang berhasil disarikan dari fakta-fakta dan

data di lapangan, disatukan menjadi satu bagian maka akan tampak proses

komunikasi yang jelas antara warga bantaran dengan pemerintah kota, begitu pula

sebaliknya, dalam upaya menuju resolusi konflik. Di sisi lain, belum adanya

kesepakatan tentang resolusi konflik kemungkinan besar disebabkan oleh kekakuan

dua pihak yang berseteru, sehingga kedua pihak saling mempertahankan keyakinan

masing-masing. Pernyataan yang diberikan warga bantaran, Maryono, dan beberapa

tokoh lain seperti Heri Hendro Harjuno yang mengisyaratkan bahwa kekerasan

pemikiran dan egosentrisme masing-masing pihak bisa mengurangi potensi

terjadinya kesepakatan damai di antara dua pihak.

Semua unsur komunikasi yang terlibat dalam proses komunikasi menuju

resolusi konflik pada dasarnya membentuk semacam jalinan interaksi yang saling

mempengaruhi. Jalinan interaksi semua unsur komunikasi yang terlibat dalam proses

tersebut membentuk suatu perspektif dialogis seperti yang dikembangkan Krauss dan

Morsella (2006). Persepektif dialogis tersebut memungkinkan terjadinya interaksi

antara komunikator dan komunikan secara simultan dan bergantian, baik seketeika

atau melalui jeda tertentu. Hal itu membuat komunikator bisa menjadi komunikan

pada waktu yang berbeda namun tetap dalam konteks yang sama. Dalam kasus ini,

komunikator dipegang oleh pemerintah kota dan warga bantaran karena keduanya

saling membuat pesan tentang permasalahan tersebut, dengan tujuan dan maksud

yang berbeda. Pemerintah kota membuat pesan dengan maksud menunda

pembayaran dana bantuan banjir, dan menggulirkan relokasi. Sedangkan, warga

Page 216: · PDF fileperpustakaan.uns.ac.id   Disusun Untuk Memenuhi Tugas Akhir Sebagai S PROGRAM commit to user 1 Komunikasi dan Konflik Sosial

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

216

bantaran menyandikan pesan yang berupa penolakan relokasi dan dukungan terhadap

dana bantuan banjir.

Sementara itu, pesan yang disampaikan pemerintah kota kepada warga

bantaran pada dasarnya berupa bentuk persuasi yang pada dasarnya meminta warga

bantaran untuk menyetujui program relokasi. Sedangkan, warga bantaran

menyampaikan pesan dengan maksud dan tujuan yang bertolak belakang dengan

pesan pemerintah kota. Media yang digunakan oleh kedua pihak untuk menjalin

komunikasi demi mencapai resolusi konflik pada dasarnya memiliki persamaan yang

mendasar, dan hanya berbeda pada ranah dan tingkatan komunikasinya. Dalam kasus

tersebut, komunikan pada dasarnya dipegang oleh dua pihak yang berbeda, yaitu

warga bantaran dan pemerintah kota, karena keduanya menerima pesan yang berbeda

dari komunikator tentang permasalahan tersebut, namun tetap dalam konteks yang

sama.

c. Analisis Tentang Aspek Komunikasi pada Upaya Resolusi Konflik

Komunikasi dalam upaya menuju resolusi konflik yang terjadi pada kasus

perselisihan antara warga bantaran dan pemerintah kota, secara umum dapat

dijelaskan dengan perspektif dialogis yang dikembangkan oleh Krauss dan Morsella

(2009). Krauss dan Morsella menjelaskan persepektif dialogis sebagai suatu bentuk

sudut pandang yang mengutamakan pada akstivitas komunikasi di dalamnya,

sehingga perspesktif dialogis lebih menguatamakan aspek komunikasi yang

dialkukan oleh dua pihak untuk mencapai tujuan tertentu (Krauss dan Moreslla,

2009: 153). Perhatikan fakta dan data yang ada, upaya komunikasi yang dilakukan

oleh warga bantaran kepada pemerintah kota dengan tujuan tertentu, jelas merupakan

Page 217: · PDF fileperpustakaan.uns.ac.id   Disusun Untuk Memenuhi Tugas Akhir Sebagai S PROGRAM commit to user 1 Komunikasi dan Konflik Sosial

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

217

bentuk positif dari perspektif dialogis yang dijelaskan oleh Krauss dan Morsella

(2009).

Dengan demikian, perspekstif dialogis pada dasarnya memandang bahwa

dalam konflik dan usaha mencapai resolusi konflik melibatkan bentuk dan aspek

dialogis yang terjadi di antara dua pihak. Pihak pertama memberikan suatu pesan

tertentu, sementara pihak kedua menanggapi pesan tersebut. Hal itu secara umum

mendukung penjelasan dari Cuff (2005). Perspektif dialogis kemungkinan besar pasti

melibatkan komunikasi dalam dialog yang ditujukkan dengan kenyataan bahwa

dialog dan debat antara pihak tertentu pada dasarnya mampu menekankan perubahan

komunikasi tentang gagasan dan rasionalitas menjadi lebih intersubjektif (Cuff, et al,

2005: 323). Pandangan yang diberikan Cuff secara umum menjelaskan fakta yang

ada bahwa komunikasi yang terjadi antara dua pihak bisa menghasilkan interaksi

yang bersifat lebih baik sekaligus bersifat intersubjektif.

Sebelum melakukan analisis terhadap semua fakta dan data yang ada,

perhatikan pandangan yang diberikan oleh Kenneth Cloke. Ia menyatakan bahwa

secara komunikasi yang tidak efektif dalam penyelesaian konflik justru membuat

upaya penyelesaian konflik menjadi lebih jauh (Cloke, 2001: 6). Secara sederhana

Cloke hendak mengatakan bahwa komunikasi dalam konflik dan upaya

penyelesesain konflik sebaiknya dilakukan dengan tepat dan dengan niatan yang baik

tanpa semua itu, semua upaya komunikasi yang dilakukan justru makin menjauhkan

resolusi konflik yang menjadi tujuan bersama.

Namun demikian kedudukan komunikasi dalam konflik tetap menjadi

suatu hal yang penting dalam upaya menuju resolusi konflik. Furlong, yang mengutip

pendapat dari Kubler-Ross (1969), menjelaskan bahwa Model Konflik Gerakan

Lebih Jauh (Moving Beyond Conflict Model), seperti yang terjadi dalam konflik

Page 218: · PDF fileperpustakaan.uns.ac.id   Disusun Untuk Memenuhi Tugas Akhir Sebagai S PROGRAM commit to user 1 Komunikasi dan Konflik Sosial

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

218

antara pemerintah kota dan warga bantaran, memiliki tahapan penerimaan

(acceptance) yang membutuhkan negosiasi dan mungkin juga komunikasi sebagai

langkah awal menyelesaikan konflik ketimbang mengalahkan pihak lain (dalam

Furlong, 2005: 223). Pemetaan dan model konflik tersebut menjadi suatu terobosan

besar bagi upaya menuju resolusi konflik, karena memberikan pemahaman dan

tahapan langkah yang harus ditempuh untuk mencapai resolusi konflik. Namun

demikian, Furlong memberikan peringatan, jika proses negosiasi tersebut gagal,

maka kemungkinan besar konflik akan kembali menuju bentuk perselisihan dan

penolakan yang akan memperparah konflik (Furlong, 2005: 223). Hal itu

membuktikan bahwa komunikasi efektif menjadi syarat mutlak untuk mengakhiri

konflik. Sayangnya semua proses komunikasi yang dilakukan oleh warga bantaran

dan pemerintah kota, dalam upaya mencapai resolusi konflik belum mencapai

keefektifan yang memadai. Hal itu berseiko memperpanjang kondisi konflik yang

sedang terjadi.

Namun demikian, Furlong (2005: 229-230) menjelaskan bahwa Model

Konflik Gerakan Lebih Jauh menawarkan dua strategi menuju resolusi konflik yang

bisa digunakan untuk menyelesaikan kasus tersebut. Pertama, semua pihak yang

terlibat harus memahami situasi dan harus bergerak melalui semua proses yang

dijelaskan oleh model tersebut, penolakan menuju ke kemarahan, dan kemarahan

menuju ke penerimaan. Upaya untuk menghidari semua tahapan justru membuat

semua pihak terjebak dalam tahapan tersebut. Kedua, semua tahapan dalam model

tersebut, penolakan, kemarahan, dan penerimaan, membutuhkan kemampuan tertentu

untuk melewatinya.

Penjelasan dari Model Konflik Gerakan Lebih Jauh secara umum

menjelaskan bahwa semua bentuk resolusi konflik, seperti mediasi, arbutrasi,

Page 219: · PDF fileperpustakaan.uns.ac.id   Disusun Untuk Memenuhi Tugas Akhir Sebagai S PROGRAM commit to user 1 Komunikasi dan Konflik Sosial

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

219

adjudikasi, dan mungkin juga negosiasi berada pada bagian yang sama yaitu

penerimaan (acceptance). Karena itu semua bentuk proses resolusi konflik

membutuhkan komunikasi yang efektif di antara semua pihak yang berseteru.

Kondisi itu sebenarnya secara tidak langung telah dijelaskan oleh Furlong (2005)

tentang bagian penerimaan (acceptance).

Kenyataan yang menujukkan bahwa ada upaya warga bantaran dan

pemerintah kota untuk saling berkomunikasi, meskipun belum efektif, tampaknya

menjadi suatu awalan yang baik untuk mencapai resolusi konflik. Furlong (2005),

secara tidak langsung menjelsakan bahwa komunikasi, atau setidaknya upaya

komunikasi, memang menjadi suatu bekal penting untuk memulai upaya menuju

resolusi konflik.

Berdasarkan semua fakta, data, dan analisis terhadap komunikasi yang

dilakukan warga bantaran dapat diketahui bahwa warga bantaran dan pemerintah

kota telah mengupayakan komunikasi, meskipun hasilnya belum maksimal. Upaya

komunikasi yang dilakukan warga bantaran, sebagai komunikator, dimulai dengan

pembuatan pesan tentang tuntutan dana banjir yang dilakukan melalui dua media

atau metode penting, yaitu upaya demonstrasi dan jalur hukum. Upaya persuasi

dilakukan warga bantaran dengan cara menemui semua pihak, yang terkait dengan

permasalahan dana bantuan banjir, dengan tujuan agar dana bantuan banjir dapat

segera dicairkan serta menolak proses relokasi. Sedangkan upaya demonstrasi

dilakukan dengan cara menggulirkan aksi turun ke jalan dan aksi protes yang

disampaikan secara langsung kepada pemerintah kota. Di sisi lain, upaya hukum

yang dilakukan warga bantaran sebenarnya hanya digunakan oleh warga bantaran

untuk menekan pemerintah kota secara lebih keras.

Page 220: · PDF fileperpustakaan.uns.ac.id   Disusun Untuk Memenuhi Tugas Akhir Sebagai S PROGRAM commit to user 1 Komunikasi dan Konflik Sosial

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

220

Di lain pihak, pemerintah kota sebagai komunikan rupanya memberikan

tanggapan yang relatif kurang. Namun demikian pemerintah kota sebenarnya juga

tetap mengupayakan komunikasi yang layak kepada semua warga bantaran yang

menentang relokasi namun mendukung pencairan dana bantuan banjir. Sayangnya,

upaya komunikasi yang dilakukan oleh warga bantaran dan pemerintah kota dalam

upaya menuju resolusi konflik terhambat secara keras oleh kepentingan serta

egoisme masing-masing pihak. Hal itu membuat komunikasi yang dilakukan menjadi

kurang efektif.

Akan tetapi, meskipun konflik tersebut mungkin sulit diselesaikan, Model

Konflik Gerakan Lebih Jauh tampaknya dapat digunakan oleh semua pihak untuk

menemukan dan mencari jalan keuar yang tepat. Hal itu kemungkinan besar bisa

meningkatkan efektivitas komunikasi yang dilakukan warga bantaran dan pemerintah

kota untuk mencapai resolusi konflik yang tepat.

Page 221: · PDF fileperpustakaan.uns.ac.id   Disusun Untuk Memenuhi Tugas Akhir Sebagai S PROGRAM commit to user 1 Komunikasi dan Konflik Sosial

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

221

BAB 5

KESIMPULAN

A. Kesimpulan

Ada beberapa hal yang dapat ditemukan dari semua temuan data dan fakta

dalam penelitian ini. Pokok-pokok temua tersebut memberikan suatu pemahaman

bahwa konflik yang terjadi antara warga bantaran dengan pemerintah kota

merupakan konflik sosial yang melibatkan aspek komunikasi dan aspek psikologis.

Konflik yang terjadi antara warga bantaran dengan pemerintah kota

secara sederhana disebabkan oleh kesalahan persepsi dan kegagalan komunikasi pada

program penundaan dana bantuan banjir dan relokasi yang dilakukan pemerintah

kota. Fakta tersebut dikuatkan oleh dua indikasi penting yang menyebabkan

terjadinya kesalahan persepsi tersebut. Pertama, pemerintah kota menyampaikan

pesan tentang penundaan relokasi dan penundaan dana bantuan banjir memalui cara

uang ambigu sehingga menimbulkan persepsi ganda pada masyarakat bantaran,

terutama yang tinggal di hak milik. Kedua, warga bantaran salam menafsirkan pesan

yang disampikan pemerintah kota, sehingga menimbulkan konflik kepentingan. Pola

komunikasi yang terkait dengan penyebab konflik, lebih banyak berjalan dari

pemerintah kota menuju warga bantaran.

Konflik yang terjadi antara warga bantaran dengan pemerintah kota

menuju peningkatan eskalasi konflik yang relatif tinggi, karena melibatkan aksi

demonstrasi dan penggunaan ranah pengadilan dalam menanggapi permsalahan

tersebut, serta liputan beberapa media massa lokal yang mendukung peningkatan

esklasi konflik tersebut. Dengan demikian, komunikasi yang terlibat dalam proses

Page 222: · PDF fileperpustakaan.uns.ac.id   Disusun Untuk Memenuhi Tugas Akhir Sebagai S PROGRAM commit to user 1 Komunikasi dan Konflik Sosial

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

222

eskalasi lebih banyak dimotori oleh warga bantaran, karena warga bantaran berperan

sebagai komunikator, sedangkan pemerintah kota berperan sebagai komunikan.

Sedangkan pada upaya resolusi konflik, pemerintah kota dan warga

bantaran dan pemerintah kota sama-sama bertindak dan mengupayakan komunikasi

demi mencapai kesepakatan bersama dan resolusi konflik yang tepat. Hal itu

membuat ada perspektif dialogis di antara dua pihak yang berseteru. Namun

demikian, egoisme masing-masing pihak tampaknya menghalabi pencapaian resolusi

konflik yang tepat. Dengan demikian, sudah ada upaya komunikasi yang dilakukan

oleh pemerintah kota dan warga bantaran untuk menyelesaikan konflik tersebut,

walaupun belum efektif.

Kajian tentang proses komunikasi dalam penyebab konflik dan eskalasi

konflik mambawa pada suatu diskripsi tentang arus dan pola komunikasi yang terjadi

antara warga bantaran dengan pemerintah kota. Pada penyebab konflik, pemerintah

kota berperan sebagai komunikator yang menyampaikan sejumlah pesan tentang

program relokasi dan penundaan dana bantuan banjir. Sementara itu warga bantaran

menjadi komunikan yang memberikan sejumlah tanggapan negatif terhadap pesan

yang disampaikan oleh pemerintah kota. Ambiguitas pesan, dan rendahnya

efektivitas pesan membuat tanggapan yang diberikan oleh warga bantaran bersifat

negatif sekaligus menjadi awal dimulainya konflik. Pada eskalasi konflik, proses

komunikasi yang terjadi antara warga bantaran dengan pemerintah kota

bertolakbelakang dengan proses yang terjadi pada penyebab konflik. Dalam eskalasi

konflik, warga bantaran menjadi komunikator yang menyampaikan sejumlah pesan

kepada pemerintah kota tentang penolakan relokasi serta tuntutan pencairan dana

banjir. Sedangkan pemerintah kota menjadi komunikan yang memberikan sejumlah

Page 223: · PDF fileperpustakaan.uns.ac.id   Disusun Untuk Memenuhi Tugas Akhir Sebagai S PROGRAM commit to user 1 Komunikasi dan Konflik Sosial

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

223

tanggapan berupa sikap pasif namun terus berusaha mencarikan jalan keluar yang

baik dari persoalan tersebut.

Sedangkan pada upaya resolusi konflik warga bantaran dan pemerintah

kota sebenarnya dapat menjadi komunikator yang efektif dalam menyampaikan

suatu pesan tertentu kepada pihak-pihak yang menjadi komunikan. Namun

demikian belum ada tanggapan positif dari semua pihak yang berselisih untuk

menyusun resolusi konflik, meskipun sudah ada indikasi ke arah resolusi konflik.

Proses komunikasi dalam upaya menuju resolusi konflik membentuk suatu perspektif

dialogis yang biasanya terjadi dalam konflik seperti yang dijelaskan oleh Krauss dan

Morsella (2009). Hal itu menjadi bukti yang mengutkan pendapat bahwa komunikasi

menjadi sutu bagian penting yang tidak terpisahkan dalam suatu konflik sosial,

bahkan jika konflik tersebut termasuk konflik berbasis ekonomi.

Berdasarkan paparan semua fakta dan data yang diperoleh sepanjang

penelitian ini dapat disimpulkan bahwa egoisme dan kekakuan komunikator dalam

proses komunikasi, serta penyampaikan besrifat keras dan menekan, pada konflik

yang terjadi antara warga bantaran dengan pemerintah kota, memiliki kekuatan untuk

memulai konflik. Sisi egoisme dan kekakuan semua pihak yang terlibat dalam

konflik itu tampaknya menjelaskan bahwa meskipun sudah ada upaya komunikasi

untuk mencari resolusi konflik yang tepat, belum ada datu pun resolusi konflik yang

bisa dicapai.

Page 224: · PDF fileperpustakaan.uns.ac.id   Disusun Untuk Memenuhi Tugas Akhir Sebagai S PROGRAM commit to user 1 Komunikasi dan Konflik Sosial

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

224

DAFTAR PUSTAKA

Adler, R, B, Rodman, G. (2006). Understanding Human Communication (ninth

edition) New York: Oxford University Press.

Anderson, J, A. (2009). Philosophical Approaches to Communication. dalam

William F. Eadie (Eds) 21st Century Communication, Reference Handbook:

41-48. Thousand Oak: Sage Publication.

Barge, J, K. (2009). Social Group, Workgroups, and Team. dalam William F. Eadie

(Eds) 21st Century Communication, Reference Handbook: 340-348. Thousand

Oak: Sage Publication.

Baron, R, A, Byrne, D. (2005). Psikologi Sosial (edisi kesepuluh). Ratna Djuwita

(penerjemah). Jakarta: Erlangga.

Bartollas, C. (2007). Juvenille Deliquency. dalam Clifton D. Bryan dan Dennis L.

Peck (Eds) 21st Century Sociology (vol 1): 425433. Thousand Oak: Sage

Publication.

Bazerman, M, H, et al. (2001). The Death and Rebirth of The Social Psychology of

Negotiation. dalam Garth J. O. Fletcher dan Margaret S. Clark (Eds)

Blackwell Handbook of Social Psychology: Interpersonal Processes: 196-

228. Malden: Blackwell Publisher Ltd.

Beebe, S. J, et al. (2001). Communication, Principles for A Lifetime. Neddham

Heights: Allyn and Bacon.

Beebe, S, A, Masterson, J, T. (2003). Communicating in Small Groups (seventh

edition). Pearson Education: Boston.

Berger, C, R. (2003). Message Production Skill in Social Interaction. dalam John O.

Greene dan Brant R. Burleson (Eds) Handbook of Communication and Social

Interaction Skill: 257-289. New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates.

Berscheid, E, Ammazzalorso, H. (2001). Emotional Experiences in Close

Relationship. dalam Garth J. O. Fletcher dan Margaret S. Clark (Eds)

Blackwell Handbook of Social Psychology: Interpersonal Processes: 308-

330. Malden: Blackwell Publisher Ltd.

Brewer, M, B. (2001). Intergroup Identification and Intergroup Conflict, When Does

Ingroup Love Become Outgroup Hate?. dalam Richard D. Ashmore, Lee

Jussim, dan David Wilder (Eds) Social Identity, Intergroup Conflict, and

Conflict Reduction: 17-41. New York: Oxford University Press.

Buckley-Ziestel, S. (2008). Conflict Transformation and Social Change in Uganda,

Remembering After Violence. Hampshire: Palgrave Macmillan.

Page 225: · PDF fileperpustakaan.uns.ac.id   Disusun Untuk Memenuhi Tugas Akhir Sebagai S PROGRAM commit to user 1 Komunikasi dan Konflik Sosial

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

225

Buzzanell, P, M, Dohrman, R, L. (2009). Supervisor, Subordinates, and Coworkers.

dalam William F. Eadie (Eds) 21st Century Communication, Reference

Handbook: 331-339. Thousand Oak: Sage Publication.

Chríost, D, M, G. (2003). Language, Identity and Conflict: A comparative study of

language in ethnic conflict in Europe and Eurasia. London: Routledge.

Cloke, K. (2001). Mediating Dangerously, The Frontiers of Conflict Resolution. San

Francisco: Jossey-Bass.

Coleman, P, T. (2006). Interactable Conflict, dalam Morton Deutsch, Peter T.

Coleman, dan Eric C. Marcus (Eds) Handbook of Conflict Resolution, Theory

and Practice (second edition): 533-559. San Francisco: Jossey-Bass.

Conlon, D, E, Meyer, C, J. (2004). Contractual and Emergent of Third-Party

Intervention. dalam Michele J. Gelfand dan Jeanne M. Brett (Eds) Handbook

of Negotiation and Culture: 258-279. Stanford: Stanford University Press.

Cords, M, Aureli, F, (2000). Reconciliation and Relationship Qualities. dalam Fillipo

Aureli dan Frans B. M. De Waal (Eds). Natural Conflict Resolution: 177-198.

Berkeley: University of California Press.

Cuff, E, C, et al. (2005). Perspective in Sociology (fourth edition). London:

Routledge.

De Dreu, C, K, W. (2004). Motivation and Negotiation: A Social Psychological

Analysis. dalam Michele J. Gelfand dan Jeanne M. Brett (Eds) Handbook of

Negotiation and Culture: 114-138. Stanford: Stanford University Press.

De Matos, F, G. (2006). Language, Peace, and Conflict Resolution. dalam Morton

Deutsch, Peter T. Coleman, dan Eric C. Marcus (Eds) Handbook of Conflict

Resolution, Theory and Practice (second edition): 158-175. San Francisco:

Jossey-Bass.

Deutsch, M. (2006). Justice and Conflict. dalam Morton Deutsch, Peter T. Coleman,

dan Eric C. Marcus (Eds) Handbook of Conflict Resolution, Theory and

Practice (second edition): 43-68. San Francisco: Jossey-Bass.

Fisher, R, J. (2006). Intergroup Conflict. dalam Morton Deutsch, Peter T. Coleman,

dan Eric C. Marcus (Eds) Handbook of Conflict Resolution, Theory and

Practice (second edition): 176-198. San Francisco: Jossey-Bass.

Fry, D, P. (2000). Conflict Management in Cross Cultural Perspective. dalam Fillipo

Aureli dan Frans B. M. De Waal (Eds). Natural Conflict Resolution: 334-351.

Berkeley: University of California Press.

Furlong, G, T. (2005). The Conflict Resolution Toolbox, Model and Maps for

Analyzing, Diagnosing and Resolving Conflict. Ontario: John Willey and

Sons.

Page 226: · PDF fileperpustakaan.uns.ac.id   Disusun Untuk Memenuhi Tugas Akhir Sebagai S PROGRAM commit to user 1 Komunikasi dan Konflik Sosial

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

226

Gallois, C, et al. (2005). Intergroup Communication and Identity: Intercultural,

Organizational, and Health Communication. dalam Kristin L. Fitch dan

Robert E. Sanders (Eds). Handbook of Languages and Social Interaction:

231-252. Mahwah: Lawrence Erlbaum Associated.

Gerring, J. (2007). Case Study Research, Principles and Practices. Cambridge:

Cambrige University Press.

Gouran, D, S. (2003). Communication Skills for Group Decision Making. John O.

Greene dan Brant R. Burelson (Eds) Handbook of Communication and Social

Interaction Skill. 835-870. New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates.

Greene, J, O, Morgan, M. (2009). Cognition and Information Processing. dalam

William F. Eadie (Eds) 21st Century Communication, Reference Handbook:

110-118. Thousand Oak: Sage Publication.

Hardin, R. (1995). The Logic of Group Conflict. Princeton: Princeton University

Press.

Hartley, P. (1999). Interpersonal Communication (second edition). London:

Routledge.

Hancock, D, R, Algozzine, B. (2006). Doing Case Study Research, A Practical

Guide for Beginning Researcher. New York: Teacher College Press.

Hill, A, et al. (2007). Key Themes in Interpersonal Communication: Culture,

Identities, and Performance. Meidenhead: McGraw Hill.

Irianto, H, Bungin, B. (2001). Pokok-Pokok Penting Tentang Wawancara. dalam

Metodologi Penelitian Kualitatif, Burhan Bungin (Eds). Jakarta: Raja

Grafindo Persada.

Jessup, H, Rogerson, S. (2004). Postmodernism and the Teaching and Practice of

Interpersonal Skill. dalam Martin Robb, Sheila Barret, Carol Komaromy, dan

Anita Roger (Eds) Communication Relationship and Care: 74-83. London:

Routledge.

Johnson, D. W, et al. (2006). Constructive Controversy The Value of Intelectual

Opposition. dalam Morton Deutsch, Peter T. Coleman, dan Eric C. Marcus

(Eds) Handbook of Conflict Resolution, Theory and Practice (second

edition): 69-91. San Francisco: Jossey-Bass.

Karney, B, R, et al. (2001). Cognition and the Development of Close Relationship.

dalam Garth J. O. Fletcher dan Margaret S. Clark (Eds) Blackwell Handbook

of Social Psychology: Interpersonal Processes: 32-59. Malden: Blackwell

Publisher Ltd.

Keyton, J, Stallworth, V. (2003). On the Verge of Collaboration: Interaction Process

Versus Group Outcomes. dalam Lawrence R. Frey (Eds). Group

Page 227: · PDF fileperpustakaan.uns.ac.id   Disusun Untuk Memenuhi Tugas Akhir Sebagai S PROGRAM commit to user 1 Komunikasi dan Konflik Sosial

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

227

Communications in Context, Studies of Bona Fide Group (second edition):

235-262. Mahwah: Lawrence Erlbaum Associated.

Klumpp, J, F. (2009). Deliberation, Debate, and Decision Making. dalam William F.

Eadie (Eds) 21st Century Communication, Reference Handbook: 201-210.

Thousand Oak: Sage Publication.

Kimmel, P, R. (2006). Culture and Conflict. dalam Morton Deutsch, Peter T.

Coleman, dan Eric C. Marcus (Eds) Handbook of Conflict Resolution, Theory

and Practice (second edition): 625-648. San Francisco: Jossey-Bass.

Krauss, R, M, Morsella, E. (2006). Communication and Conflict. dalam Morton

Deutsch, Peter T. Coleman, dan Eric C. Marcus (Eds) Handbook of Conflict

Resolution, Theory and Practice (second edition): 144-157. San Francisco:

Jossey-Bass.

Kramer, R, M, Carnevale, P, J. (2001). Trust and Intergroup Negotiation. dalam

Rupert Brown dan Samuel L. Gaertner (Eds). Blackwell Handbook of Social

Psychology: Intergroup Process: 431-450. Malden: Blackwell Publisher Ltd.

Kressel, K. (2006). Mediation Revisited. dalam Morton Deutsch, Peter T. Coleman,

dan Eric C. Marcus (Eds) Handbook of Conflict Resolution, Theory and

Practice (second edition): 726-756. San Francisco: Jossey-Bass.

Ladgerwood, A, et al. (2006). Changing Mind: Persuation in Negotiation and

Conflict Resolution. dalam Morton Deutsch, Peter T. Coleman, dan Eric C.

Marcus (Eds) Handbook of Conflict Resolution, Theory and Practice (second

edition): 455-485. San Francisco: Jossey-Bass.

Littlejohn, S, W, Foss, K, A. (2005). Theories of Human Communication (eight

edition). Belmont: Wadsworth.

Martin, J, N, Nakayama, T, K. (2003). Intercultural Communication in Contex (third

edition). Boston: McGraw Hill.

Milles, M, B, Huberman, A. M. (1992). Analisis Data Kualitatif. Tjetjep Rohendi

Rohidi (penerjemah). Jakarta: UI Press.

Mischel, W, et al. (2006). Self-regulation in the Service of Conflict Resolution.

dalam Morton Deutsch, Peter T. Coleman, dan Eric C. Marcus (Eds)

Handbook of Conflict Resolution, Theory and Practice (second edition): 294-

314. San Francisco: Jossey-Bass.

Norwood, K, Duck, S. (2009). Friend. dalam William F. Eadie (Eds) 21st Century

Communication, Reference Handbook: 313-221. Thousand Oak: Sage

Publication.

Oakes, P. (2001). The Root of Evil in Intergroup Relation? Unearthing

Categorization Process. dalam Rupert Brown dan Samuel L. Gaertner (Eds).

Page 228: · PDF fileperpustakaan.uns.ac.id   Disusun Untuk Memenuhi Tugas Akhir Sebagai S PROGRAM commit to user 1 Komunikasi dan Konflik Sosial

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

228

Blackwell Handbook of Social Psychology: Intergroup Process 3-21. Malden:

Blackwell Publisher Ltd.

Pawito. (2007). Penelitian Komunikasi Kualitatif. Yogyakarta: LKiS.

Pecchioni, L, et al. (2008). Life-Span Communication. New Jersey: Lawrence

Erlbaum Associates.

Preuschoft, S, van Schaik, C, P. (2000). Dominance and Communication: Conflict

Management in Various Social Setting. dalam Fillipo Aureli dan Frans B. M.

De Waal (Eds). Natural Conflict Resolution: 77-105. Berkeley: University of

California Press.

Putnam, L, L. (2009). Conflict Management and Mediation. dalam William F. Eadie

(Eds) 21st Century Communication, Reference Handbook: 211-219. Thousand

Oak: Sage Publication.

Raffel, L. (2008). I Hate Conflict, Seven Step to Resolving Difference With Anyone in

Your Life. New York: McGraw Hill.

Rahim, M, A. (2001). Managing Conflict in Organization (third edition).

Connecticut: Quorum Books.

Robb, M. (2004). Men Talking About Fatherhood. dalam Martin Robb, Sheila

Barret, Carol Komaromy, dan Anita Roger (Eds) Communication

Relationship and Care: 121-130. London: Routledge.

Roloff, M, Wright, C, M. (2009). Message Construction and Editing. dalam William

F. Eadie (Eds) 21st Century Communication, Reference Handbook: 101-109.

Thousand Oak: Sage Publication.

Rusbult, C, E, et al. (2001). Interdependence in Close Relationship. dalam Garth J.

O. Fletcher dan Margaret S. Clark (Eds) Blackwell Handbook of Social

Psychology: Interpersonal Processes: 359-387. Malden: Blackwell Publisher

Ltd.

Samovar, L, A. et al. (2007). Communication Between Cultures. Belmont:

Wadsworth.

Simpson, J, A, et al. (2003). The Struktur and Function in Standards in Close

Relationship. dalam Garth J. O. Flecther dan Margaret S. Clark (Eds)

Blackwell Handbook of Social Psychology: Interpersonal Processes: 86-106.

Malden: Blackwell Publisher Ltd.

Soekanto, S. (2002). Pengantar Sosiologi (cetakan ketigapuluh empat). Jakarta:

Rajawali Press.

Spitzberg, B, H, Cupach, W, R. (2009). Unwanted Communication, Aggresion, and

Abuse. dalam William F. Eadie (Eds) 21st Century Communication,

Reference Handbook: 454-462. Thousand Oak: Sage Publication.

Page 229: · PDF fileperpustakaan.uns.ac.id   Disusun Untuk Memenuhi Tugas Akhir Sebagai S PROGRAM commit to user 1 Komunikasi dan Konflik Sosial

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

229

Sutopo, H, B. (2006). Metodologi Penelitian Kualitatif (edisi kedua). Surakarta:

Universitas Sebelas Maret.

Tindale, R, S, et al. (2001). Shared Cognition in Small Group. dalam Michael A

Hogg dan R. Scott Tindale (Eds). Blackwell Handbook of Social Psychology:

Group Process: 1-30. Malden: Blackwell Publisher Ltd.

Yarn, D, H. (2000). Law, Love, and Reconciliation: Searching for Natural Conflict

Resolution in Homo sapiens. dalam Fillipo Aureli dan Frans B. M. De Waal

(Eds). Natural Conflict Resolution: 54-72. Berkeley: University of California

Press.

Jurnal Ilmiah Internasional

Abramson, H. (2006). Selecting Mediators and Representing Clients in Cross-

Cultural Disputes. Cardozo Journal of Conflict Resolution, vol 7: 253-275.

Alberstein, M. (2009). The Jurisprudence of Mediation: Between Formalism,

Feminism and Identity Conversations. Cardozo Journal of Conflict

Resolution, vol 10: 1-28.

Baker, W, H. (2009). Class Action Arbitration. Cardozo Journal of Conflict

Resolution, vol 10: 335-367.

Becovitch, J. (2006). Mediation Success or Failure: A Search for Elusive Criteria.

Cardozo Journal of Conflict Resolution, vol 7: 289-302.

Bland Jr, F, P, Prestel, C. (2009). Challenging Class Action Bans in Mandatory

Arbitration Clause. Cardozo Journal of Conflict Resolution, vol 10: 369-393.

Collins, R. (2009). Micro and Macro Cause of Violence. International Journal of

Conflict and Violence, vol 3 (1): 9-22.

Del Felice, C. (2008). Youth Criminality and Urban Social Conflict in the City of

Rosario, Argentina: Analysis and Proposals for Conflict Transformation.

International Journal of Conflict and Violence, vol 2 (1): 72-97.

Eisner, M. (2009). The Uses of Violence: An Examination of Some Cross-Cutting

Issues. International Journal of Conflict and Violence, vol 3 (1): 40-59.

Fox, K. (2006). What Private Mediator Can Learn. Cardozo Journal of Conflict

Resolution, vol 7: 237-252.

Hopkins, N, Kahani-Hopkins, V. (2006). Minority Group Member‘ Theories of

Intergroup Contact: A Case Study of British Muslim‘ Conceptualization of

‗Islamophobia‘ and Social Change. British Journal of Social Psychology, 45:

245-264.

Page 230: · PDF fileperpustakaan.uns.ac.id   Disusun Untuk Memenuhi Tugas Akhir Sebagai S PROGRAM commit to user 1 Komunikasi dan Konflik Sosial

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

230

Lakhani, A. (2006). The Role of Citizen and The Future of International Law: A

Paradigm A Changing World. Cardozo Journal of Conflict Resolution, vol 8:

159-208.

Nolan-Haley, J. (2006). Self Determinataion in International Mediation: Some

Preeliminary Perception. Cardozo Journal of Conflict Resolution, vol 7: 276-

288.

Simms, M, S. (2009). Alternative Dispute Resolution in Small Consensual

Ligitation: Too Much of A Good Thing?. Cardozo Journal of Conflict

Resolution, vol 11: 263-288.

Surat Kabar

―1.650 Rumah Terendam‖. Radar Solo, 27 Desember 2007, hal 1

―Pemkot Siapkan Rp 1 Miliar‖. Radar Solo, 28 Desember 2007, hal 4

―Warga Bantaran Gugat Pemerintah‖. Solo Pos, 2 April 2009, hal I

―Hakim Tolak Gugatan Warga‖. Solo Pos, 18 Februari 2010, hal I.

―Semanggi Menagih Janji‖. Joglosemar, 14 Maret 2010, hal 13.

―Gugatan Warga Bantaran Ditolak‖. Joglosemar, 18 Februari 2010, hal 9.

―Relokasi Warga Bantaran Tekuk Incumbent‖. Radar Solo, 27 April 2010, hal 1.