perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id outcome kebijakan ... fileperpustakaan.uns.ac.id...
TRANSCRIPT
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Outcome Kebijakan Pasca Relokasi PKL
Banjarasari ke Notoharjo Kota Surakarta
SKRIPSI
Diajukan untuk melengkapi tugas-tugas dan memenuhi
syarat-syarat Guna meraih Gelar Sarjana Sosial
Universitas Sebelas Maret
Surakarta
Disusun oleh :
ASRI ANGGITA WIJAYANTI
NIM. D 0105005
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Sebelas Maret
Surakarta
2009
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
1
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pembangunan di Indonesia memiliki tujuan untuk membangun
manusia Indonesia seutuhnya dan membangun masyarakat Indonesia
seluruhnya. Pembangunan tersebut merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari kegiatan suatu Negara dalam proses perubahan menuju
arah yang lebih baik. Usaha dalam rangka perubahan ini dimaksudkan
untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat. Pada dasarnya pembangunan
direncanakan agar suatu Negara dan masyarakatnya menjadi lebih maju.
Proses Pembangunan secara singkat tidak hanya mencakup satu
aspek kehidupan saja, akan tetapi meliputi berbagai aspek kehidupan yang
saling berkaitan. Maka diperlukan adanya pertumbuhan ekonomi yang
tinggi, pemerataan hasil-hasil pembangunan secara adil dan merata serta
kesempatan masyarakat untuk berkembang. Mengingat, bahwa
pembangunan itu sendiri menyangkut masalah yang kompleks dan kadang
sulit untuk dipecahkan, tidak jarang pembangunan justru menimbulkan
efek yang tidak diharapkan.
Pembangunan yang tidak seimbang antara kota dan desa yang
terdapat di Indonesia, seperti negara-negara berkembang lainnya telah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
2
mengakibatkan munculnya sektor formal dan sektor informal dalam
kegiatan perekonomian. Sempitnya lapangan kerja di bidang formal
membuat masyarakat perlu kreatif dalam mendapatkan penghidupan.
Apalagi lembaga pendidikan masih terus menghasilkan output yang cukup
besar. Semua bersaing dalam mencari pekerjaan. Sejalan dengan
meningkatnya migrasi desa-kota, jumlah orang yang mencari pekerjaan di
sektor industri meningkat sedangkan jumlah pekerja yang dibutuhkan
semakin sedikit, sementara kualitas sumber daya manusia yang rendah
menyebabkan para migran tersebut lebih banyak terserap di sektor
informal.
Perkembangan sektor informal yang cukup pesat ini disebabkan
antara lain kegiatan usaha sektor informal lebih sederhana bila
dibandingkan dengan sektor formal dan sangat beraneka ragam usaha di
sektor ini. Dari salah satu contoh sektor informal yang mampu menyerap
banyak tenaga kerja dan akhir-akhir ini banyak bermunculan di Surakarta
adalah pedagang kaki lima (PKL). Banyak masyarakat memilih menekuni
profesi ini karena pekerjaan ini tidak memerlukan ketrampilan khusus dan
dengan pendidikan yang rendah bisa memperoleh penghasilan.
Sektor informal meskipun menjadi bagian dari pendukung
perekonomian, namun keberadaan mereka di sisi lain berdampak negatif.
Dampak negatif ketika keberadaan PKL mulai mengganggu ketertiban,
keindahan, dan kenyamanan kota. Para pedagang kaki lima banyak yang
berjualan di pinggir jalan, trotoar, taman-taman kota, alun-alun dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
3
berbagai tempat umum yang seharusnya tidak diperuntukkan bagi
pedagang kaki lima. Meningkatnya jumlah pedagang kaki lima di berbagai
tempat menambah permasalahan baru, keberadaan mereka menjadikan
penyebab kekumuhan kota.
Di sisi lain kehadiran PKL tetap diperlukan oleh masyarakat luas.
Jenis barang yang dijajakan (makanan, pakaian, kelontong dan
sebagainya) senantiasa dicari oleh pembeli. Harganya yang relatif lebih
murah dibanding di pertokoan formal, menjadikan PKL sebagai tempat
berbelanja alternatif. Selain itu berbelanja di area PKL juga merupakan
aktifitas rekreasi yang cukup digemari oleh sebagaian masyarakat kota.
Masalah pedagang kaki lima di Surakarta bukan masalah baru,
berbagai upaya telah dilakukan Pemkot untuk menangani masalah PKL
ini. Keberadaan PKL biasanya tersebar dan memusat pada daerah-daerah
tertentu yang biasanya ramai dikunjungi pembeli. Salah satunya adalah
PKL di Banjarsari yang menggelar dagangannya di sekitar monumen 45.
Kawasan ini dipenuhi pedagang kaki lima yang menjual beraneka jenis
barang dagangan elektronik, pertukangan, sparepart kendaraan, dan
olahraga. Yang dulunya kawasan Banjarsari tersebut merupakan wilayah
bersejarah dengan sebuah taman tempat berdirinya Monumen Juang 45.
Taman itu dikelilingi oleh perumahan elit, tetapi beberapa tahun setelah
krisis ekonomi dipenuhi dengan pedagang kaki lima yang menjual barang-
barang bekas (klithikan).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
4
Kota Surakarta memberi perhatian yang serius terhadap keberadaan
PKL ini. Meskipun menghadapi berbagai kendala, upaya penataan dan
pembinaan PKL terus dilakukan. Perhatian Pemkot terhadap PKL ini
semakin meningkat dalam era kepemimpinan Jokowi (Joko Widodo,
Walikota Surakarta). Dimulai dengan sosialisasi di tahun 2005 yang
dilanjutkan dengan realisasi penataan PKL pada tahun 2006, membuktikan
kerja keras semua pihak. Relokasi PKL ”Klitikan” dari Lapangan
Banjarsari ke bangunan Pasar Klithikan Notoharjo yang megah dan
permanen dilengkapi upacara ”boyongan” dengan prosesi kirab budaya,
menunjukkan pendekatan yang humanis dalam penataan PKL.
Pembangunan shelter-shelter permanen di Kompleks Gelora Manahan dan
Kleco, tendanisasi dan grobagisasi PKL di Jl. Slamet Riyadi serta berbagai
program lainnya melengkapi upaya penataan PKL dengan pendekatan
pemberdayaan melalui fasilitasi bangunan atau tempat berdagang.
Rencana penataan PKL Monumen 45 Banjarsari ini merupakan
tindak penataan ulang tata ruang dan perwajahan Kota Surakarta menuju
kawasan berseri, harmonisasi ruang dan kepastian usaha PKL.
Pemindahan para PKL Banjarsari ke Notoharjo sudah jauh hari dipikirkan
oleh Pemerintah Kota sebagai jaminannya, pihak Pemkot sudah
mempertimbangkan berbagai keuntungan pasca pemindahan, antara lain :
jaminan kepastian usaha, tersedianya fasilitas usaha yang sangat layak,
peningkatan status usaha, perijinan resmi diberikan gratis oleh Pemkot
berupa SIUP, TDP, SHP dan KTPP, selain itu Pemkot juga melakukan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
5
pembinaan pedagang pasca relokasi seperti pelatihan manajemen,
dukungan promosi dengan penyebaran informasi lokasi dan produk pada
konsumen, batuan modal usaha dan penjaminan pinjaman perbankan dari
Pemkot dan menguatkan kesohoran (brand image) usaha.
Pelaksanaan Kebijakan Penataan dan Pembinaan PKL di wilayah
Banjarsari ini kemudian direalisasikan pada tanggal 3 Juli 2006. Pemkot
Surakarta telah berhasil merelokasi 989 PKL dari kawasan Monumen 45
Banjarsari ke Pasar Klithikan Semanggi dengan aman dan tertib tanpa aksi
anarkhis dari para PKL. Seluruh PKL setuju direlokasi ke tempat baru
secara sukarela, bahkan pemindahan ditandai dengan acara kirab budaya
yang melibatkan seluruh stakeholders kota dan PKL. Keberadaan Pasar
Klithikan Notoharjo membuat daerah Semanggi, yang sebelumnya
tergolong kumuh telah berubah menjadi salah satu pusat aktivitas usaha
mikro di daerah ini.
Pasar Klithikan Notoharjo kemudian menjadi percontohan pola
penataan dan relokasi Pedagang Kaki Lima (PKL) yang tergolong sukses.
Keberhasilan tersebut menggugah perhatian Museum Rekor Indonesia
(MURI) dengan memberikan penghargaan dengan kategori ”Perpindahan
Komunitas PKL Terbanyak Tanpa Menimbulkan Konflik”
Kawasan Pasar Klithikan Notoharjo merupakan lahan yang
memiliki luas 17.276 M2 atau kurang lebih 1,8 hektar yang kemudian
dibangun dengan berbagai blok-blok kios dengan ukuran 2x3 M atau sama
dengan 1.018 unit, mushola, lavatori (kamar mandi&toilet umum), gedung
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
6
Kantor Pengelolaan, koridor: 3M, jalur hijau, Area parkir, area bongkar
muat, jalan lingkar dalam pasar, pintu utama dan pintu samping pasar.
Yang kemudian secara teratur PKL ditempatkan pada blok-blok sesuai
jenis dagangan mereka. Dengan jumlah pedagang 989 pedagang. Blok
pertama 396 kios, blok kedua 272 kios, blok ketiga 344 kios.
Dibawah ini disajikan tabel 1.1 tentang jumlah pedagang kaki lima
di Pasar Klithikan Notoharjo menurut jenis dagangan tahun 2008
TABEL 1.1
Jenis Dagangan Jumlah PKL
Alat Mobil 100 pedagang
Alat motor 222 pedagang
Accu 9 pedagang
Ban 20 pedagang
Sepatu & sandal 78 pedagang
Helm 25 pedagang
Pakaian 64 pedagang
Elektronik 148 pedagang
Makanan & minuman 66 pedagang
Handphone 20 pedagang
Alat bangunan 35 pedagang
Barang antik 19 pedagang
Cassete/cd 64 pedagang
Lain-lain 72 pedagang
TOTAL 989 pedagang
Sumber : Kantor Lurah Pasar Klithikan Notoharjo
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
7
Kerja keras tersebut telah membawa Kota Surakarta menjadi
tempat belajar (studi banding) Pemkab dan Pemkot berbagai wilayah di
Indonesia dalam hal penataan PKL. Bahkan dalam peringatan Hari
Kesetiakawanan Sosial secara Nasional 20 Desember 2006 yang
dipusatkan di Lapangan Manahan, secara khusus Presiden RI juga
memberikan apresiasi yang memuaskan bagi Pemkot Surakarta dalam hal
penataan PKL.
Upaya yang dilakukan Pemkot dalam penanganan pedagang kaki
lima diantaranya dengan mengeluarkan Perda No. 8 tahun 1995 yang
berisi tentang kebijakan Penataan dan Pembinaan pedagang kaki lima di
wilayah Kota Surakarta. Untuk merealisasikan Kebijakan Penataan dan
Pembinaan PKL di Kota Surakarta tersebut, Pemkot Surakarta kemudian
menjabarkan kebijakan tersebut dalam bentuk program pembinaan,
penataan, dan penertiban pedagang kaki lima. Program tersebut kemudian
juga dijabarkan lagi dalam bentuk kegiatan, beberapa tahap kegiatan
meliputi sosialisasi kebijakan, tahap penertiban, tahap penataan, dan tahap
pembinaan. Tujuan dari kebijakan Relokasi PKL tersebut adalah untuk
terwujudnya Kota Solo sebagai Kota Budaya yang bertumpu pada sektor
perdagangan, jasa, pendidikan, pariwisata, dan olahraga.
Disamping itu tekad Pemkot dalam menata dan membina PKL
semakin menguat dengan disahkannya Perda no 6 Tahun 2003 tentang
Pola Dasar Pembangunan Daerah (POLDAS) Kota Surakarta tahun 2003-
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
8
2008. Apalagi, tahun 2008 Pemerintah Kota Surakarta membuat Peraturan
Daerah no. 3 tahun 2008 tentang pengelolaan pedagang kaki lima.
Bersama dengan Kantor Pengelolaan Pedagang Kaki Lima
Surakarta yang mempunyai kewenangan untuk memberdayakan pedagang
kaki lima dengan menempatkan para PKL pada lokasi-lokasi tertentu yang
sudah ditetapkan akhirnya dengan persyaratan yang telah ditetapkan
Walikota Surakarta upaya untuk melakukan penempatan, penataan, dan
penertiban pedagang kaki lima diimplementasikan secara nyata. Dan
hasilnya memuaskan, sebagai contoh keberhasilan relokasi PKL di
Banjarsari ke pasar Notoharjo.
Namun, meski sudah terbentuk Kantor Pengelolaan PKL dan
dikeluarkannya produk hukumnya, ternyata permasalah PKL belum
sepenuhnya berhasil ditangani. Meski sudah ada keberhasilan dalam
pemindahan ke lokasi baru, tetapi pendapatan para pedagang yang sudah
memilki pelanggan tetap dari lokasi lama sekarang malah menurun,
sehingga mempengaruhi pendapatan mereka. Dan bahkan, tidak jarang
dari pedagang tersebut akhirnya menutup kios mereka dan beralih profesi
menjadi pedagang keliling. Oleh karena itu, kondisi yang demikian ini
mendorong perlu adanya pemahaman tentang outcome dari kebijakan
tersebut dan mengkaji kembali sejauh mana Kebijakan relokasi PKL ini
telah mencapai tujuan yang diharapkan dengan diukur dari keberhasilan
kebijakan relokasi tersebut.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
9
Mengingat begitu kompleksnya permasalahan PKL, penelitian ini
mengarah pada analisis outcome kebijakan relokasi PKl. Dimana sebagai
bahan percontohan adalah keberhasilan pelaksanaan penataan dan
pembinaan pedagang kaki lima di wilayah Kecamatan Banjarsari pada
PKL monumen 45.
B. Perumusan Masalah
Dari uraian latar belakang masalah diatas, yang menjadi rumusan
masalah dalam penelitian ini adalah Bagaimana Outcome Kebijakan Pasca
Relokasi PKL di Banjarsari ke Notoharjo Kota Surakarta?
C. Tujuan Penelitian
Dari uraian latar belakang di atas secara umum yang menjadi
tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui Outcome Kebijakan
Pasca Relokasi PKL di Banjarsari ke Notoharjo Kota Surakarta.
D. Manfaat Penelitian
Manfaat yang dapat diambil dari penelitian ini adalah :
1. Sebagai bahan referensi dan masukan bagi Pemkot Surakarta dan
pihak-pihak yang terkait dengan masalah pedagang kaki lima,
diantaranya Dinas Pengelolaan Pasar (DPP) Kota Surakarta, Satuan
Polisi Pamong Praja, Dinas Tata Kota dan instansi lain yang terlibat
dalam penanganan PKL.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
10
2. Sebagai masukan dalam penerapan teori Administrasi Negara
terhadap masalah publik terutama yang berkaitan dengan masalah
pedagang kaki lima sehingga dapat melengkapi dan memperbaiki
penelitian yang sudah ada sebelumnya.
3. Sebagai syarat untuk mencapai gelar S1 pada Jurusan Ilmu
Administrasi, Program studi Administrasi Negara, Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik Sebelas Maret.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
11
E. Tinjauan Pustaka
1. Formulasi Kebijakan Negara
Konsep pembuatan kebijakan seringkali disamakan dengan konsep
pembuatan keputusan. Namun, keduanya menurut beberapa ahli politik
memiliki perbedaan terutama terkait dengan tahap-tahap dalam proses
keduanya meskipun keduanya saling bersinggungan erat. Dengan
mengikuti pendapat Anderson, Tjokroamidjojo dalam Islamy (2004 : 24)
membedakan pengertian pembuatan keputusan dan pembuat kebijakan
dengan menyatakan sebagai berikut :
“Pembentukan Kebijaksanaan atau policy formulation sering juga disebut policy making, dan ini berbeda dengan pengambilan keputusan adalah pengambilan pilihan sesuatu alternatif dari berbagai alternatif yang bersaing mengenai sesuatu hal dan selesai. Sedangkan policy making meliputi banyak pengambilan keputusan.”
Menurut pendapat tersebut maka Tjokroamidjojo menyimpulkan
bahwa apabila pemilihan alternatif itu sekali dilakukan dan selesai, maka
kegiatan tersebut dinamakan pembuatan keputusan, sebaliknya bila
pemilihan alternatif itu terus menerus dilakukan dan tidak pernah selesai,
maka kegiatan tersebut dinamakan perumusan kebijakan.
Charles Lindblom (1968) dalam Wahab ( 2005 : 16) menuturkan
bahwa pembuatan kebijaksanaan Negara (public policy making) itu pada
hakikatnya merupakan :
“an extremely complex, analytical and political process to which there is no beginning or end, and the boundaries of which are most
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
12
uncertain. Somehow a…complex set of forces that we call policy-making all taken together, produces effects called policies” (merupakan proses politik yang amat kompleks dan analitis di mana tidak mengenal saat dimulai dan diakhirinya, dan batas-batas dari proses itu sesungguhnya yang paling tidak pasti. Serangkaian kekuatan-kekuatan yang agak kompleks yang kita sebut sebagai pembuatan kebijaksaaan negara itulah yang kemudian membuahkan hasil yang disebut kebijaksanaan).
Don K. Price, menyebutkan bahwa proses pembuatan
kebijaksanaan yang bertanggung jawab ialah proses yang melibatkan
interaksi antara kelompok-kelompok ilmuwan, pemimpin-pemimpin
organisasi professional, para administrator, masyarakat (stakeholhers) dan
para politisi.
Adapun Peran Stakeholder dalam proses pembuatan kebijakan,
adalah :
Dalam lembaga-lembaga publik secara luas menggunakan istilah
stakeholder dalam proses-proses pengambilan dan implementasi
keputusan. Secara sederhana, stakeholder sering dinyatakan sebagai para
pihak, lintas pelaku, atau pihak-pihak yang terkait dengan suatu isu atau
suatu rencana.
Dalam buku Cultivating Peace, Ramizes mengidentifikasi berbagai
pendapat mengenai stakekholder ini. Beberapa defenisi yang penting
dikemukakan seperti Freeman (1984) yang mendefenisikan stakeholder
sebagai kelompok atau individu yang dapat mempengaruhi dan atau
dipengaruhi oleh suatu pencapaian tujuan tertentu. Sedangkan Biset (1998)
secara singkat mendefenisikan stekeholder merupakan orang dengan suatu
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
13
kepentingan atau perhatian pada permasalahan. Stakeholder ini sering
diidentifikasi dengan suatu dasar tertentu sebagaimana dikemukakan
Freeman (1984), yaitu dari segi kekuatan dan kepentingan relatif
stakeholder terhadap isu, Grimble and Wellard (1996), dari segi posisi
penting dan pengaruh yang dimiliki mereka.
Pandangan-pandangan di atas menunjukkan bahwa pengenalan
stakeholder tidak sekedar menjawab pertanyaan siapa stekholder suatu issu
tapi juga sifat hubungan stakeholder dengan issu, sikap, pandangan, dan
pengaruh stakeholder itu. Aspek-aspek ini sangat penting dianalisis untuk
mengenal stakeholder.
Berdasarkan kekuatan, posisi penting, dan pengaruh stakeholder
terhadap suatu issu stakeholder dapat diketegorikan kedalam beberapa
kelompok ODA (1995) mengelompkkan stakeholder kedalam yaitu
stakeholder primer, sekunder dan stakeholder kunci . Sebagai gambaran
pengelompokan tersebut pada berbagai kebijakan, program, dan proyek
pemerintah (publik) dapat kemukakan kelompok stakeholder seperti
berikut :
1. Stakeholeder Utama (primer)
Stakeholder utama merupakan stakeholder yang memiliki kaitan
kepentingan secara langsung dengan suatu kebijakan, program, dan
proyek. Mereka harus ditempatkan sebagai penentu utama dalam
proses pengambilan keputusan seperti masyarakat dan tokoh
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
14
masyarakat serta pihak manajer publik. Masyarakat yang terkait
dengan proyek, yakni masyarakat yang di identifkasi akan memperoleh
manfaat dan yang akan terkena dampak (kehilangan tanah dan
kemungkinan kehilangan mata pencaharian) dari proyek ini. Tokoh
masyarakat : Anggota masyarakat yang oleh masyarakat ditokohkan di
wilayah itu sekaligus dianggap dapat mewakili aspirasi masyarakat.
Sedangkan pihak manajer publik yaitu lembaga/badan publik yang
bertanggung jawab dalam pengambilan dan implementasi suatu
keputusan.
2. Stakeholder Pendukung (sekunder)
Stakeholder pendukung (sekunder) adalah stakeholder yang tidak
memiliki kaitan kepentingan secara langsung terhadap suatu kebijakan,
program, dan proyek, tetapi memiliki kepedulian (consern) dan
keprihatinan sehingga mereka turut bersuara dan berpengaruh terhadap
sikap masyarakat dan keputusan legal pemerintah. Adapun aktor yang
terlibat adalah :
a. lembaga(Aparat) pemerintah dalam suatu wilayah tetapi tidak
memiliki tanggung jawab langsung
b. lembaga pemerintah yang terkait dengan issu tetapi tidak
memiliki kewenangan secara langsung dalam pengambilan
keputusan.
c. Lembaga swadaya Masyarakat (LSM) setempat : LSM yang
bergerak di bidang yang bersesuai dengan rencana, manfaat,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
15
dampak yang muncul yang memiliki “concern” (termasuk
organisasi massa yang terkait).
d. Perguruan Tinggi: Kelompok akademisi ini memiliki pengaruh
penting dalam pengambilan keputusan pemerintah.
e. Pengusaha(Badan usaha) yang terkait.
3. Stakeholder Kunci
Stakeholder kunci merupakan stakeholder yang memiliki
kewenangan secara legal dalam hal pengambilan keputusan.
Stakeholder kunci yang dimaksud adalah unsur eksekutif sesuai
levelnya, legisltif, dan instansi. Misalnya, stekholder kunci untuk suatu
keputusan untuk suatu proyek level daerah kabupaten, seperti :
1.Pemerintah Kabupaten
2.DPR Kabupaten
3.Dinas yang membawahi langsung proyek yang bersangkutan
(www.scribd.com)
Dalam proses formulasi, stakeholder memiliki peran yang penting, Cletus
Kennedy Bertin dalam Jurnalnya yang berjudul The Critical Role of Evidence-
Based policy and Parctice, mengatakan bahwa :
“Based policy formulation to stimulates further uptake of online services and delivers benefit to all stakeholders.”
Dimana dasar formulasi kebijakan untuk merangsang lebih lanjut secara
cepat dalam pelayanan langsung dan menyampaikan keuntungan untuk semua
stakeholder-stakeholder.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
16
Sedangkan menurut Etzioni (1981) yang dikutip dari Wahab (2005 : 16),
menjelaskan bahwa :
“Melalui proses pembuatan keputusanlah komitmen-komitmen masyarakat yang acap kali masih kabur dan abstrak, sebagaimana nampak dalam nilai-nilai dan tujuan-tujuan masyarakat, diterjemahkan oleh pakar aktor (politik) ke dalam komitmen-komitmen yang lebih spesifik --- menjadi tindakan-tindakan dan tujuan-tujuan yang konkrit”
Menurut Udoji (1981) dalam Wahab (2005 : 17) merumuskan terperinci
pembuatan kebijaksanaan negara sebagai berikut :
“the whole process of articulating and defining problems, formulating possible solutions into political demands, channeling those demands into the political system, seeking sanctions or legitimation of the preferred course of action, legitimation and implementation, monitoring and review (feedback).”(Keseluruhan proses yang menyangkut pengartikulasian dan pendefinisian masalah, perumusan kemungkinan-kemungkinan pemecahan masalah dalam bentuk tuntutan-tuntutan politik, penyaluran tuntutan-tuntutan tersebut ke dalamsistem politik, pengupayaan pemberian sanksi-sanksi atau legitimasi dari arah tindakan yang dipilih, pengesahan dan pelaksanaan/implementasi, monitoring dan peninjauan kembali (umban balik).
Faktor-faktor yang mempengaruhi pembuatan kebijakan menurut Nigro
dan Nigro dalam Islamy (2004 : 25) adalah sebagai berikut :
a. Adanya pengaruh tekanan dari luar
Yang berarti Administrator sebagai pembuat keputusan harus
mempertimbangkan alternatif-alternatif yang akan dipilih berdasarkan
penilaian rasional semata, tetapi proses dan prosedur pembuatan keputusan
itu tidak dapat dipisahkan dari dunia nyata. Sehingga adanya tekanan-
tekanan dari luar itu ikut berpengaruh terhadap proses pembuatan
keputusannya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
17
b. Adanya pengaruh kebiasaan lama (konservatisme)
Kebiasaan lama organisasi (Nigro menyebutnya dengan istilah “suck
costs”) seperti kebiasaan investasi modal, sumber-sumber dan waktu sekali
dipergunakan untuk membiayai program-program tertentu, cenderung
akan selalu diikuti kebiasaan itu oleh para administrator.
c. Adanya pengaruh sifat-sifat pribadi
Berbagai macam keputusan yang dibuat oleh pembuat keputusan banyak
dipengaruhi oleh sifat-sifat pribadinya. Seperti misalnya dalam proses
penerimaan atau pengangkatan pegawai baru, seringkali faktor sifat-sifat
pribadi pembuat keputusan berperan besar.
d. Adanya pengaruh dari kelompok luar
Lingkungan sosial dan para pembuat keputusan juga berpengaruh terhadap
pembuatan kebijaksanaan. Seringkali pembuat keputusan dilakukan
dengan mempertimbangkan pengalaman-pengalaman dari orang lain yang
sebelumnya berada di luar dianggap dapat memuaskan karena lebih tepat.
e. Adanya pengaruh keadaan masa lalu
Pengalaman latihan dan pengalaman (sejarah) pekerjaan yang terdahulu
berpengaruh pada pembuatan keputusan. Seperti misalnya oranf sering
membuat keputusan untuk tidak melimpahkan sebagian wewenang dan
tanggungjawab kepada orang lain karena khawatir kalau wewenang dan
tanggung jawab yang dilimpahkan itu disalahgunakan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
18
Disamping adanya faktor-faktor tersebut diatas, Gerald E. Caiden
dalam Islamy (2004 : 27) menyebutkan beberapa faktor yang menyebabkan
sulitnya membuat kebijakan, yaitu : sulitnya memperoleh informasi yang
cukup bukti-bukti sulit disimpulkan ; adanya berbagai macam kepentingan
yang berbeda mempengaruhi pilihan tindakan yang berbeda-beda pula ;
dampak kebijakan sulit dikenali ; umpan balik keputusan bersifat sporadis ;
proses perumusan kebijakan tidak dimengerti dengan benar dan sebagainya.
2. Proses Perumusan Kebijakan (policy formulation)
Merumuskan atau membuat suatu kebijakan apalagi kebijakan
Negara, bukanlah suatu proses yang sederhana dan mudah. Hal ini
disebabkan karena terdapat banyak faktor atau kekuatan-kekuatan yang
berpengaruh terhadap proses pembuatan kebijakan Negara tersebut. Proses
perumusan kebijakan Negara yang begitu sulit dan rumit dilakukan masih
dihadang lagi dengan permasalahan : apakah kebijakan Negara itu sudah
diantisipasikan akan mudah atau lancar diimplementasikan.
Lindlom menyampaikan bahwa didalam memahami proses
perumusan kebijakan kita perlu memahami aktor-aktor yang terlibat atau
pemeran serta dalam proses pembuatan kebijakan tersebut, baik aktor-aktor
yang resmi maupun aktor-aktor yang tidak resmi. Suatu metode yang
popular membagi perumusan kebijakan ke dalam tahap-tahap dan kemudian
menganalisa masing-masing tahap tersebut. (Winarno, 2002:67)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
19
Dari pernyataan tersebut, yang dimaksud dengan tahap-tahap
adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana masalah-masalah timbul dan masuk ke dalam agenda
pemerintah
2. Bagaimana masyarakat merumuskan masalah-masalah tersebut untuk
mengambil tindakan
3. Sikap apa yang diambil oleh badan legislatif atau lembaga lainnya
4. Bagaimana para pemimpin menerapkan kebijakan itu
5. Bagaimana kebijakan tersebut dievaluasi.
Menurut Winarno (2002 : 82-84), proses perumusan kebijakan
Negara meliputi tahap perumusan masalah (defining problem), tahap agenda
kebijakan, tahap pemilihan alternatif kebijakan untuk memecahkan masalah,
dan tahap penetapan kebijakan.
2. a. Perumusan Masalah
Untuk dapat merumuskan kebijakan dengan baik, maka masalah-
masalah public harus dikenali dan didefinisikan dengan baik pula.
Pemecahan masalah apakah memuaskan atau tidak bergantung pada
ketetapan masalah-masalah public tersebut dirumuskan. Anderson dengan
mengutip pendapat Smith dalam Islamy (2004 : 79) mengemukakan
bahwa “ untuk kepentingan kebijaksanaan, suatu masalah dapat diartikan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
20
secara formal sebagai kondisi atau situasi yang menghasilkan kebutuhan-
kebutuhan atau ketidakpuasan-ketidakpuasan pada rakyat untuk mana
perlu dicari cara-cara penanggulangannya. “
Kebutuhan-kebutuhan atau ketidakpuasan yang ada dalam
masyarakat sangatlah beragam, akan tetapi tidak kesemuanya langsung
dapat dijadikan problema umum atau masalah publik. Islamy menerangkan
bahwa yang disebut dengan problema umum (public problem) adalah
masalah-masalah yang mempunyai akibat luas termasuk akibat-akibat
yang mengenai orang yang secara tidak langsung terlibat.
Anderson dalam Islamy (2004 : 80) memberikan gambaran bahwa
suatu problema baru akan menjadi problema-problema kebijaksanaan, bila
problema-problema itu dapat membangkitkan orang banyak untuk
melakukan tindakan terhadap problema-problema itu.
Akan tetapi apabila dicermati realitas di masyarakat, dengan
berbagai masalah yang dihadapi para pembuat kebijakan harus mampu
mengidentifikasikan dan merumuskan permasalahan atau mendefinisikan
masalah. Sebab, keberhasilan atau kegagalan dalam melaksanakannya
akan berpengaruh pada proses pembuatan kebijakan seterusnya.
2.b. Penyusunan Agenda Kebijakan
Pilihan dan perhatian yang lebih dari para pembuat kebijakan akan
sejumlah kecil problema-problema umum menyebabkan timbulnya agenda
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
21
kebijakan. Suatu agenda pemerintah tidak seharusnya dipandang sebagai
suatu daftar formal dari berbagai masalah-masalah yang harus
diperbincangkan oleh pembuat keputusan, tetapi hanya menggambarkan
problema-problema atau isu-isu dimana pembuat keputusan merasa harus
memberikan perhatian yang aktif dan serius.
Adapun beberapa kriteria dari agenda setting adalah :
1. Private Problem
Adalah masalah-masalah yang mempunyai akibat yang terbatas
atau hanya menyangkut pada satu atau sejumlah kecil orang
yang terlibat secara langsung.
2. Public Problems
Adalah masalah-masalah yang mempunyai akibat lebih luas
termasuk akibat-akibat yang mengenai orang yang secara tidak
langsung terlibat.
3. Political Issues
Adalah perbedaan pendapat masyarakat tentang solusi dalam
menangani masalah (policy action)
4. Sistematic Agenda
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
22
Adalah isu yang dirasakan oleh semua warga masyarakat
politik yang patut mendapat perhatian publik dan isu tersebut
berada dalam yuridiksi kewenangan pemerintah.
5. Institutional Agenda
Serangkaian isu yang secara tegas membutuhkan
pertimbangan-pertimbangan yang aktif dan serius dari pembuat
keputusan yang syah atau ototatif.
(www.scribd.com)
Namun pada akhirnya, tidak semua masalah atau problema publik
akan masuk kedalam agenda kebijakan. Hanya masalah-masalah tertentu
yang akan masuk ke dalam agenda kebijakan.
Cobb dan Elder dalam Islamy (2004 : 84) menerangkan syarat-
syarat agar isu kebijakan dapat masuk ke dalam agenda kebijakan, yaitu :
1. Isu itu memperoleh perhatian yang luas atau setidak-tidaknya dapat
menimbulkan kesadaran masyarakat.
2. Adanya persepsi dan pandangan atau pendapat publik yang luas bahwa
beberapa tindakan perlu dilakukan untuk memecahkan masalah
tersebut.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
23
3. Adanya persepsi yang sama dari masyarakat bahwa masalah itu adalah
merupakan suatu kewajiban dan tanggung jawab yang sah dari beberapa
unit pemerintah untuk memecahkannya.
Sedangkan Anderson dalam Islamy (2004 : 86) menyebutkan
faktor-faktor yang menyebabkan problema umum masuk dalam agenda
kebijakan, adalah :
1. Kepemimpinan politik dapat pula menjadi suatu faktor yang penting
dalam penyusunan agenda setting.
2. Timbulnya krisis atau peristiwa yang luar biasa dapat pula
menyebabkan masalah tersebut masuk dalam agenda setting.
3. Adanya gerakan-gerakan protes termasuk tindakan kekerasaan adalah
juga salah satu penyebab yang menarik perhatian para pembuat
kebijakan dan menaruhnya ke dalam agenda kebijakan.
4. Masalah-masalah khusus atau isu-isu politis yang timbul di masyarakat
yang menarik perhatian media komunikasi dan melalui reportasenya
telah menyebabkan masalah-masalah atau isu-isu tersebut semakin
menonjol.
Agenda kebijakan Negara dapat berisi hal-hal baru atau lama. Hal-
hal lama (old items) yaitu hal-hal lama yang selalu muncul secara regular
pada agenda pemerintah. Sedangkan hal-hal baru (new items) adalah hal-
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
24
hal yang belum didefinisikan sebagai akibat munculnya situasi atau
peristiwa-peristiwa yang khusus dan baru. (Islamy, 2004:85)
Masalah publik dapat masuk ke dalam agenda pemerintah kalau
para pembuat kebijakan menaruh atau memberikan perhatian yang serius
dan aktif terhadap masalah publik tersebut. Oleh karena begitu banyaknya
masalah publik, maka para pembuat keputusan akan memilih dan
menentukan masalah publik mana yang menurut mereka perlu atau
seharusnya memperoleh prioritas utama untuk diperhatikan secara serius
dan aktif.
2.c. Pemilihan Alternatif Kebijakan untuk Memecahkan Masalah
Setelah beberapa problema umum dapat dimasukkan pada agenda
kebijakan, langkah selanjutnya adalah membuat pemecahan masalah.
Disini para pembuat kebijakan akan mendapat usulan-usulan mengenai
alternatif-alternatif kebijakan.
Islamy mengatakan bahwa yang dimaksud dengan perumusan
usulan kebijakan adalah kegiatan menyusun dan mengembangkan
serangkaian tindakan yang perlu untuk memecahkan masalah. Yang
termasuk dalam kegiatan ini adalah : mengidentifikasikan alternatif ;
mendefinisikan dan merumuskan alternatif ; menilai masing-masing
alternatif yang tersedia ; dan memilih alternatif yang ‘memuaskan’ atau
‘paling memungkinkan untuk dilaksanakan’.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
25
Pada tahap ini para perumus kebijakan akan berhadapan dengan
berbagai kepentingan dari para aktor yang terlibat dalam perumusan
kebijakan. Dalam kondisi ini, pilihan-pilihan kebijakan akan didasarkan
pada kompromi dan negosiasi yang terjadi antar aktor yang
berkepentingan dalam pembuatan kebijakan tersebut. Altenatif-alternatif
kebijakan tersebut hasilnya harus benar-benar mencerminkan aspirasi
masyarakat dan dapat dilaksanakan dengan efektif.
2.d. Pengesahan Kebijakan
Dalam pembuatan kebijakan, proses pengesahan kebijakan
merupakan hal yang penting. Keduanya mempunyai hubungan yang sangat
erat sekali, sehingga tidak mungkin dipisahkan. Sebagai proses kolektif,
pembuat keputusan atau kebijakan akan berusaha sekuat tenaga untuk
memenangkan mayoritas dalam forum pengesahan usulan kebijakan.
Alternatif kebijakan yang diambil pada dasarnya merupakan kompromi
dari berbagai kelompok kepentingan yang terlibat dalam pembuatan
kebijakan tersebut. Proses pengesahan (legitimasi) lancar atau tidakny
sangat ditentukan oleh proses-proses kebijakan sebelumnya dan sekaligus
tergantung pada kualitas pihak-pihak yang terlibat didalamnya.
Islamy (2004 : 100) mengatakan, proses pengesahan kebijakan itu
adalah proses penyesuaian dan penerimaan secara bersama terhadap
prinsip-prinsip yang diakui dan ukuran-ukuran yang diterima. Lebih lanjut
dijelaskan sengai berikut :
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
26
“landasan utama untuk melakukan pengesahan itu adalah variabel-variabel sosial seperti sistem nilai masyarakat, ideologi Negara, sistem politik dan sebagainya. Di negara-negara yang menganut paham demokrasi prinsip dasar dalam melaksanakan pengesahan adalah yang dikenal dengan sebutan ‘majority coalition building’ atau ‘majority vote’ artinya, apabila mayoritas pihak-pihak terlibat dalam proses pengesahan itu setuju, maka pengesahan dapat diberikan.”
Proses pengesahan kebijakan diawali dengan kegiatan “persuasion”
dan “bargaining”. Persuasion diartikan oleh Anderson dalam Islamy (2004
: 100) sebagai usaha-usaha untuk meyakinkan orang lain tentang sesuatu
kebenaran atau nilai kedudukan seseorang sehingga mereka mau
menerimanya sebagai miliknya sendiri. Sedangkan kegiatan bargaining
diartikan sebagai suatu proses dimana dua orang atau lebih yang
mempunyai kekuasaan atau otoritas mengatur/menyesuaikan setidak-
tidaknya sebagian tujuan-tujuan yang tidak mereka sepakati agar dapat
merumuskan serangkaian tindakan yang dapat diterima bersama tetapi
tidak perlu terlalu ideal bagi mereka.
Memperhatikan begitu kompleksnya proses perumusan kebijakan,
secara metodologis, Parsons (dalam Putra, 2003:50) melakukan klasifikasi
pendekatan kebijakan publik pada lima pendekatan yaitu :
“power approaches to policy making, rationality and policy making, public choice approach, cognition and processing in policy making (pendekatan kekuasaan dalam pembuatan kebijakan publik, rasionalitas dan pembuatan kebijakan publik, pendekatan pilihan publik dalam pembuatan kebijakan publik, pemprosesan personalitas, kognisi dan informasi dalam formulasi kebijakan publik.”
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
27
Pendekatan kekuasaan dalam pembuatan kebijakan publik. Dalam
pendekatan ini dipahami sebagai sebuah pengambilan keputusan, yaitu
sebuah proses yang sangat ditentukan oleh faktor kekuasaan. Sumber-
sumber kekuasaan ada di berbagai macam, seperti kelas sosial, birokrasi,
pendidikan, profesionalisme, dan kekuatan modal. Formulasi kebijakan
publik merupakan proses tawar menawar politik dari mereka yang mampu
mengakses proses pembuatan kebijakan publik itu. Selain ity, dalam
proses formulasi kebijakan publik juga harus dilihat aspek manajemennya,
yakni sejauhmana perhitungan atas kelayakan ekonomis, sosial, dan
birokratis itu dilakukan dengan cermat ketika hendak membuat kebijakan
publik.
Pendekatan rasionalitas dan pembuatan kebijakan publik, dalam
proses pembuatan kebijakan publik pada dasarnya bertumpu pada dua hal,
yaitu rasionalitas ekonomis dan rasionalitas birokratis. Rasionalitas
ekonomis berpijak pada pandangan bahwa pada dasarnya manusia itu
adalah makhluk ekonomi, oleh karena itu kebijakan publik sebagai
instrument Negara yang akan hidup dilapangan dalam pembuatannya
harus memiliki dasar yang kuat atas rasionalitas ekonomis tersebut.
Artinya, pembuatan kebijakan publik harus didahului oleh pertimbangan
yang mendalam atas perhitungan-perhitungan dampak ekonomis bila
kebijakan publik diterapkan. Rasionalitas birokratis adalah bertumpu pada
efisiensi dan efektivitas kinerja birokrasi seperti yang sering diungkapkan
oleh Weber. Oleh karena itu, proses kebijakan pembuatan kebijakan publik
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
28
harus mengacu pada pertimbangan rasionalitas birokratis. Artinya, proses
pembuatan kebijakan public harus mengacu pada pertimbangan
rasionalitas birokratis. Artinya, proses pembuatan kebijakan publik harus
mengacu pada kaidah-kaidah tipe ideal birokrasi seperti spesialisasi,
hierarki, impersonal dan sebagainya.
Pendekatan pilihan publik adalah sebuah pendekatan yang
berangkat dari pandangan kekuasaan dalam birokrasi. Pendekatan
kekuasaan dalam birokrasi tersebut menemukan adanya sebuah kenyataan
yang kurang mengenakan, adanya kecenderungan birokrasi menjadi
pelayan bagi dirinya sendiri, dan bukannya pelayan bagi masyarakat.
Tullock, Downs dan Niskanen memandang perlu adanya sebuah perangkat
sistematik yang mampu mengeliminir kecenderungan tersebut. Perangkat
tersebut adalah pendekatan public choice (Putra, 2003:61). Yang pada
intinya pendekatan tersebut menempatkan lembaga birokrasi itu di tengah-
tengah pertarungan hebat yang ada di pasar (market). Pasar akan memiliki
kemampuan untuk menentukan apakah sebuah institusi (birokrasi) dalam
masyarakat itu memuaskan publiknya atau tidak, dan pasar dapat
mengahakimi institusi yang tidak memuaskan publiknya itu secara
langsung.
Pendekatan pemrosesan personalitas, kognisi dan informasi dalam
formulasi kebijakan publik lebih banyak memandang pembuatan kebijakan
publik dari sudut pandang psikologis dan ilmu informasi. Pendekatan ini
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
29
memandang formulasi kebijakan publik adalah sebuah kajian yang
terfokus pasa ‘sesuatu’ yang ada pada benak individu atau kelompok orang
pembuat kebijakan publik itu. Kajian pendekatan ini dibagi menjadi dua,
pertama; adalah pendekatan yang memandang bahwa proses pembuatan
kebijakan publik adalah sebuah proses yang terfokus pada aspek emosi
manusia, personalitas, motivasi, perilaku kelompok dan hubungan
impersonal. Kedua; pendekatan yang menganalisis proses pembuatan
kebijakan publik dari sudut pandang bagaimana pembuat kebijakan
sebagai personal yang merespon stimulasi dalam lingkungannya. Artinya,
akan banyak dilihat tentang bagaimana seorang pembuat kebijakan
mengenali masalah, menggunakan informasi yang dimiliki, menentukan
pilihan dari berbagai alternative, mempersepsi realitas yang ditemui, dan
bagaimana informasi dikomunikasikan dalam organisasi.
Dye dalam Nugroho (2004:108) merumuskan model-model
formulasi kebijakan, yaitu:
1. Model Kelembagaan (Institusional)
2. Model Proses (Process)
3. Model Kelompok (Group)
4. Model Elit (Elite)
5. Model Rasional (Rational)
6. Model Inkremental (Incremental)
7. Model Teori Permainan (Game Theory)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
30
8. Model Pilihan Publik (Public Choice)
9. Model Sistem (System)
Menurut Wibawa, yang dikutip Nugroho, 2006 : 75 Model
kelembagaan berpendapat bahwa tugas pembuat kebijakan publik adalah
tugas pemerintah. Model ini mendasarkan pada fungsi-fungsi kelembagaan
dari pemerintah, di setiap sektor dan tingkat dalam formulasi kebijakan.
Model kelembagaan ini merupakan derivasi dari ilmu politik tradisional
yang menekankan pada struktur dari proses atau perilaku politik. Jadi,
apapun yang dibuat pemerintah dengan cara apapun adalah kebijakan
publik.
Model proses berasumsi bahwa politik merupakan sebuah aktivitas
sehingga mempunyai proses. Kebijakan publik merupakan proses politik
yang menyertakan rangkaian kegiatan identifikasi permasalahan, menata
agenda formulasi kebijakan, perumusan proposal kebijakan, legitimasi
kebijakan, implementasi kebijakan dan evaluasi kebijakan. Model ini
memberitahukan kepada kita bagaiman kebijakan dibuat atau seharusnya
dibuat.
Model teori kelompok mengandaikan kebijakan sebagai titik
keseimbangan (equilibrium). Yang bermakna bahwa interaksi di dalam
kelompok akan menghasilkan keseimbangan, dan keseimbangan adalah
yang terbaik. Disini individu dalam kelompok-kelompok kepentingan
berinteraksi secara formal dan informal dan secara langsung atau melalui
media massa menyampaikan tuntutannya kepada pemerintah untuk
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
31
mengeluarkan kebijakan publik yang diperlukan. Di dalam teori kelompok
ini peran sistem politik adalah untuk memanajemeni konflik yang muncul
dari adanya perbedaab tuntutan.
Model teori elit melandaskan diri pada asumsi bahwa dalam setiap
masyarakat pasti terdapat dua kelompok, yaitu pemegang kekuasaan atau
elit dan yang tidak memiliki kekuasaan atau massa. dalam teori ini
kebijakan-kebijakan yang dilahirkan merupakan preferensi politik dari elit
tidak lebih. Ada dua penilaian dalam pendekatan ini, negatif dan positif .
Pada pandangan negatif dikemukakan bahwa pada akhirnya, di dalam
sistem politik pemegang politiklah yang akan menyelenggarakan
kekuasaan sesuai dengan selera dan keinginannya. Disini rakyat hanya
dianggap sebagai kelompok yang sengaja dimanipulasi yang arahnya
bukan partisipasi melainkan mobilisasi. Seperti pada konsep personal rule
yang dijelaskan Acemoglu, kekuasaan seolah-olah hanya merupakan
”kekayaan pribadi” tidak terjamah dan terikat oleh hukum, dimana kantor
dan otoritas publik digunakan untuk melayani kepentingan penguasa dan
dijalankan lebih pada kepentingan personal. Sikap para rulers yang
cenderung mementingkan ”kepentingan pribadi” daripada kepentingan
publik ini membuat jaringan dan institusi formal dimanfaatkan untuk
melindungi kepentingan mereka dari serangan kaum reformis, cara ini
biasanya merajuk pada strategi devide and rule, dimana ketika state
menghendaki dukungan society secara luas untuk mencapai keinginannya
tidak jarang pendekatan ini digunakan untuk memaximumkan tujuan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
32
mereka, lebih untuk melindungi kepentingan mereka. Seperti halnya para
penguasa Belanda dan Jepang pada era penjajahan yang mengkooptasi
sejumlah pemimpin rasionalis pro-kemerdekaan untuk kepentingan
propaganda mereka. Kooptasi sendiri merupakan upaya seseorang untuk
membuat orang lain seperti keinginannya. Mengupayakan kelompok lain
untuk mendukung kelompok mereka. Sedangkan pandangan positif pada
model elit ini melihat bahwa seorang elit menduduki puncak kekuasaan
karena berhasil memenangkan gagasan membawa negara-bangsa ke
kondisi yang lebih baik dibandingkan dengan saingannya. Pada model ini
para elit secara top down membuat kebijakan publik untuk
diimplementasikan oleh administrator publik kepada rakyat banyak atau
massa.
Model teori rasionalisme mengedepankan gagasan bahwa kebijakan
publik sebagai maxium social gain berarti pemerintah sebagai pembuat
kebijakan harus memilih kebijakan yang memberikan manfaat optimum
bagi masayarakat. Model ini merupakan model yang ideal dalam formulasi
kebijakan, sebab model ini didasarkan pada keputusan yang
diperhitungkan dari rasionalitasnya yang menekankan pada aspek efesiensi
atau aspek ekonomis dalam kebijakan. Cara-cara kebijakan disusun dalam
urutan berikut :
1. mengetahui preferensi publik dan kecenderungannya
2. menemukan pilihan-pilihan
3. menilai konsekuensi masing-masing pilihan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
33
4. menilai rasio nilai sosial yang dikorbankan
5. memilih alternatif kebijakan yang paling dalam
Model inkrementalis melihat bahwa kebijakan publik merupakan
variasi ataupun kelanjutan dari kebijakan masa lalu. Pendekatan ini
diambil ketika pengambil kebijakan berhadapan dengan keterbatasan
waktu, ketersediaan informasi, dan kecukupan dana untuk melakukan
evaluasi kebijakan secara komprehensif. Sementara itu, pengambilan
kebijakan dihadapkan pada ketidakpastian yang muncul di sekelilingnya.
Pilihannya adalah melanjutkan kebijakan dimasa lalu dengan beberapa
modifikasi seperlunya.
Model teori permainan memiliki gagasan pokok pertama, formulasi
kebijakn berada dalam situsai kompetisi yang intensif, dan kedua, para
aktor berada dalam situasi pilihan yang tidak independen ke dependen
melainkan situasi pilihan yang sama-sama bebas atau independen. Model
teori permainan ini sebenarnya mendasarkan pada formulasi kebijakan
rasional namun dalam kondisi kompetisi tingkat keberhasilan kebijakan
tidak hanya ditentukan oleh aktor pembuat kebijakn melainkan ator-aktor
lain. Konsep kunci dari model teori permainan ini adalah strategi. Inti dari
teori permainan yang terpenting adalah bahwa teori ini
mengakomodasikan kenyataan paling riil, bahwa setiap negara, setiap
pemerintah, setiap masyarakat tidak hidup dalam vakum. Ketika
mengambil keputusan, lingkungan tidak pasif, melainkan membuat
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
34
keputusan yang bisa menurunkan keefektifan keputusan kita. Di sini teori
permainan memberikan kontribusi yang paling optimal.
Model pilihan publik melihat kebijakn sebagai sebuah proses
formulasi keputusan kolektif dari individu-individu yang berkepentingan
atas keputusan. Model ini membantu untuk menjelaskan kepada kita
kenapa kebijakan-kebijakan publik selalu berada ditengah-tengah dari
kebijakan yang liberal dan yang konservatif. Model ini secara umum
adalah konsep formulasi kebijakan publik yang paling demokratis karena
memberi ruang yang luas kepada publik untuk mengkontribusikan pilihan-
pilihannya kepada pemerintah sebelum mengambil keputusan.
Model sistemdikenal tiga komponen, yaitu input, proses dan
output. Sehingga, formulasi kebijakan dengan model sistem ini
mengandaikan bahwa kebijakan merupakan hasil atau output dari sistem
(politik). Dimana sistem plitik itu terdiri dari input, throughput, dan
output. Proses kebijakn publik beada dalam sistem politik dengan
mengandalkan pada masukan (input) yang terdiri dari dua hal yaitu
tuntutan dan dukungan.
2.e. Pelaksanaan Kebijakan Negara
Dalam pelaksanaan kebijaksanaan ini sekali usulan kebijakan yang
telah diterima dan disahkan oleh pihak yang berwenang, maka keputusan
kebijaksanaan itu telah siap untuk diimplementasikan. Islamy mengatakan
ada dua sifat dominan dari kebijaksanaan, pertama kebijaksanaan itu
bersifat ”self-executing” artinya dengan dirumuskannya kebijaksanaan itu
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
35
sekaligus (dengan sendirinya) kebijakan itu terimplementasikan, seperti
pergantian lambang negara, lagu negara, bendera negara dan sebagainya.
Kedua kebijaksanaan bersifat non-self executing, artinya kebijakan negara
perlu diwujudkan dan dilaksanakan oleh berbagai pihak sehingga nampak
efeknya. Pihak-pihak yang mempunyai kewajiban melaksanakan kebijakan
negara itu banyak ragamnya. Terutama peranan eksekutif, birokrat dan
badan-badan pemerintah besar sekali dalam mengimplementasikan
kebijakan negara tersebut. Namun dalam kenyataannya, banyak para
pejabat dan badan-badan pemerintah yang lebih dominan dalam
perumusan kebijaksanaan negara dan kurang dalam implementasi
kebijaksanaan tersebut. (Islamy, 2004 : 105-107)
Implementasi kebijakan sesungguhnya bukan hanya sekedar
bersangkut paut dengan mekanisme penjabaran keputusan-keputusan
politik kedalam prosedur-prosedur rutin lewat saluran-saluran birokrasi.
Udoji dalam Wahab ( 2005 : 59 ) mengatakan dengan tegas bahwa ”the
executing of policies is ans important if not more important than policy-
making. Policies will remain dreams or blu prints file jackets unless they
are implemented” (pelaksanaan kebijaksanaan adalah sesuatu yang
penting, bahkan jauh lebih penting daripada pembuatan kebijaksanaan.
Kebijaksanaan-kebijaksanaan akan sekedar berupa impian atau rencana
bagus yang tersimpan rapi dalam arsip kalau tidak diimplementasikan).
Kamus Webster, merumuskan secara pendek bahwa to implement
(Mengimplementasikan) berarti to provide the means for carrying out;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
36
(menyediakan sarana untuk melaksanakan sesuatu); to give practical effect
to (menimbulkan dampak/akibat terhadap sesuatu. (Wahab, 2005 : 64)
Seperti yang dijelaskan pada jurnal internasional yang ditulis Simeon
Maile, yaitu :
”The formulation process greatly influences the outcome to be expected. Hence policy formulation should incorporate appropriate implementation mechanisms and tools to achieve expected outcomes” Bahwa proses formulasi berdampak besar pada outcome yang
diharapkan. Maka, formulasi kebijakan sebaiknya bekerjasama mengacu
mekanisme implementasi dan cara-cara untuk mencapai outcome yang
diharapkan.
Dengan demikian, jelas bahwa masalah implementasi kebijakan itu
tidak hanya terbatas pada perwujudan secara riil kebijaksanaan tersebut
tetapi juga mempunyai kaitan dengan konsekuensi atau dampak yang akan
nampak pada pelaksanaan kebijaksanaan tersebut. Dan mengetahui
seberapa jauh kebijaksanaan tersebut telah memberikan konsekuensi
positif dan negatif bagi masyarakat.
2.f. Penilaian Kebijakan Negara
Penilaian kebijakan adalah merupakan langkah terakhir dari suatu
proses kebijakan. Sebagai salah satu aktivitas fungsional, penilaian
kebijakan tidak hanya dilakukan dengan mengikuti aktivitas-aktivitas
sebelumnya yaitu pengesahan dan pelaksanaan kebijakan, tetapi dapat
terjadi pada seluruh aktivitas-aktivitas fungsional yang lain dalam proses
kebijakan. Isi dari penilaian tersebut mencakup isi kebijakan, pelaksanaan
kebijakan dan dampak kebijakan. Sehingga dapat dilakukan pada fase
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
37
perumusan masalah, formulasi usulan kebijakan, implementasi, legitimasi
kebijakan dan sebagainya.
Penilaian kebijakan ini dapat dilihat dari berbagai sudut pandang
yang beragam, salah satunya dari sudut metode analisanya yang akan
menunjukkan hasil akhir (kesimpulan) dari kegiatan menilai program-
program pemerintah apakah efektif atau tidak, mempunyai dampak positif
yang lebih besar dari dampak negatifnya atau tidak atau sebaliknya.
Dimana seluruh penilaian didasarkan atas penglihatan terhadap
pelaksanaan nyata dan atau konsekuensi-konsekuensi yang mengiringi
implementasi kebijakan tersebut. (Islamy, 2004 : 112-114)
Kebijakan-kebijakan tersebut akan menimbulkan dampak-dampak
kebijakan (policy outcomes). Adapun menurut Anderson yang dikutip
Islamy ( 2004 : 115), dimensi dampak kebijakan itu adalah sebagai
berikut:
1. Intended Comsequences dan Unintended Consequences
Yaitu dampak kebijakan yang diharapkan dan yang tidak diharapkan.
Sasaran kebijakan itu harus jelas untuk siapa.
2. Limbah kebijakan terhadap situsai atau orang-orang (kelompok) yang
bukan menjadi sasaran atau tujuan utama dari kebijakan tersebut.
3. Dampak kebijakan dapat terjadi atau berpengaruh pada kondisi
sekarang atau kondisi yang akan datang. Seperti relokasi PKL di
Klitikan, apakah dimaksudkan untuk mengatasi masalah kesemrawutan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
38
kota ataukah untuk mempengaruhi atau mengubah pola-pola ekonomis
masyarakat di masa akan datang?
4. Dampak kebijakan terhadap ”biaya” langsung atau direct costs.
Menghitung “biaya” setiap rupiah dari setiap program kebijakan
pemerintah (economic costs) relatif mudah daripada menghitung biaya-
biaya lain yang bersifat kualitatif (social costs). Menghitung biaya
pembangunan tempat pembangunan pasar PKL tersebut jauh lebih
mudah daripada menghitung dampak-dampak sosial terhadap adanya
Penempatan di tempat yang baru tersebut.
5. Dampak kebijakan terhadap “biaya” tidak langsung (indirect costs)
sebagaimana dialami oleh anggota-anggota masyarakat. Seringkali
biaya seperti ini jarang dinilai, hal ini disebabkan karena sulitnya
mengukur ketidakenakan; keresahan sosial dan sebagainya akibat
adanya kebijakan tersebut.
Menjadikan dampak kebijakan sebagai masukan dalam proses
perumusan kebijakan akan dapat meningkatkan mutu atau kualitas
kebijakan.
3. Peranan dari Aktor atau Pemeran Serta (participants)
Menurut Lindblom (1986 : 3), untuk memahami siapa sebenarnya
yang merumuskan kebijakan harus dipahami sifat-sifat semua pemeran
serta (participant), bagaimana atau peran apa yang mereka mainkan,
wewenang atau bentuk kekuasaan apa yang mereka miliki, dan bagaimana
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
39
mereka saling berhubungan dan mengawasi. Dari berbagai jenis pemeran
serta, masing-masing memerankan peran khusus.
Peranan seorang atau kelompok aktor sangat ditentukan oleh
kedudukan atau wewenang yang dimiliki. Misalnya warga masyarakat atau
kelompok kepentingan berhak mengusulkan suatu kebijakan kepada
pemerintah berkaitan dengan problema kemasyarakatan yang dihadapi.
Apabila aturannya memungkinkan, mereka juga dilibatkan dalam proses
perumusan atau penyusunan kebijakn tersebut. Demikian pula aktor yang
lain seperti tokoh agama, partai politik ataupun media massa.
Sedangkan menurut Islamy (2004 :95-96) menuliskan bentuk dan
jenis kebijakan negara banyak pula dipengaruhi oleh pihak dalam (inside
participants) dan pihak luar (outside partisipants). Pihak-pihak yang
terlibat dalam proses perumusan kebijakan negara itu sangat tergantung
dari sistem politik (political system) negara yang bersangkutan, sehingga
dalam hal ini sulit ditemukan generalisasinya.
Jones, sebagaimana yang dikutip oleh Wahab (1991:39),
menyatakan sebagai berikut :
”Di dalam proses kebijakan, sedikitnya terdapat empat golongan atau tipe aktor (pelaku) yang terlibat, yaitu golongan rasionalis, teknisi, inkremental, dan golongan reformis. Dari keempat aktor tersebut, peran yang dimainkan dalam proses kebijaksanaan, nilai-nilai, dan tujua yang mereka kejar serta gaya kerja mereka berbeda satu sama lain. ”
Golongan rasionalis didalam melakukan pilihan alternatif
kebijakan, mereka selalu menempuh metode dan langkah-langkah sebagai
berikut :
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
40
1). Mengidentifikasi masalah
2). Merumuskan tujuan dan menyusunnya dalam jenjang tertentu
3). Mengidentifikasi semua alternatif kebijaksanaan
4). Meramalkan atau memprediksi akibat-akibat dari tiap alternatif
5). Membandingkan akibat-akibat tersebut dengan selalu mengacu
pada tujuan
6). Dan memilih alternatif terbaik
Secara keseluruhan, yang dimainkan pada golongan aktor
rasionalis identik dengan yang dimainkan oleh para perencana dan analis
kebijakan yang profesional yang amat terlatih dalam menggunakan
metode-metode rasional dalam menghadapi masalah-masalah politik yang
dihadapi.
Wahab (2005 : 30) mengatakan bahwa pada golongan teknisi ialah
seseorang yang karena bidang keahlian atau specialisnya dilibatkan dalam
beberapa tahapan proses kebijakan. Golongan ini pada umumnya
menunjukkan rasa antusiasme dan rasa percaya diri yang tinggi apabila
mereka diminta untuk bekerja dalam batas-batas pendidikan dan
keahliannya. Mereka cenderung melakukan pertimbangan-pertimbangan
yang luas melampaui batas-batas keahliannya tersebut.
Golongan inkrementalis sering diidentikkan dengan para politisi
(wahab, 2005 : 29), mereka cenderung memiliki sikap kritis namun
seringkali tidak sabar dengan gaya kerja para perencana dan teknisi,
walaupun mereka sebenarnya amat tergantung pada apa yang dikerjakan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
41
oleh para perencana dan teknisi. Golongan aktor beranggapan bahwa
kebijakan apapun akan cenderung dilihat sebagai suatu perubahan yang
terjadi secara gradual changes. Gaya kerja golongan ini dikategorikan
sebagai seseorang yang mampu melakukan tawar menawar atau
bargaining yakni dengan secara teratur mendengarkan tuntutan, menguji
seberapa jauh intensitas tuntutan dan menawarkan kompromi.
Sedangkan golongan reformis (pembaharu) beranggapan bahwa
dengan adanya keterbatasan informasi dan pengetahuan mereka akan
mengarahkan dalam proses pembuatan kebijakan (Wahab, 2005 : 31).
Golongan ini mempunyai titik tekan pada tindakan saat ini, karena urgensi
dari persoalan yang dihadapi. Pendekatan semacam ini biasanya digunakan
oleh para lobyst (orang-orang yang berperan selaku juru kasak-kusuk atau
perunding di parlemen). Nilai-nilai yang mereka junjung tinggi ialah yang
berkaitan dengan upaya untuk melakukan perubahan sosial itu sendiri.
Namun, seringkali berhubungan dengan kepentingan kelompok-kelompok
tertentu. Gaya kerja golongan aktor ini umumnya sangat radikal, kerapkali
disertai dengan tindakan-tindakan demontrasi dan konfrontasi dengan
pihak pemerintah. (Wahab, 2005 : 32)
Untuk melakukan pemahaman tentang aktor-aktor tersebut, dapat
dijelaskan melalui berikut ini :
Tabel 1.2
Aktor-aktor yang terlibat
Dalam Proses Kebijaksanaan dan Perilakunya
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
42
Peran Nilai-nilai Tujuan Gaya Kerja Kritik
Rasionalis Analisis kebijaksanaan/ perencana
Metode Dapat ditetapkan
sebelumnya
Komprehensif Tidak memahami
keterbatasan manusia
Teknisi Ahli/spesialis Pendidikan / keahlian
Ditetapkan pihak lain
Eksplisit Terlampau picik
Inkrementalis Politisi Status quo Karena tuntutan
baru
Juru tawar Konservatif
Reformis Pelobi Perubahan sosial
Karena Masalah
mendesak
Aktivis Tidak realis/tidak
kenal kompromi
Sumber Charles O. Jones, dalam wahab, 2005 : 33
Sedangkan menurut Anderson, Lindblom dan Stewart dalam
Winarno (2002 : 84), mengatakan :
”aktor-aktor atau pemeran serta dalam proses pembuatan kebijakan dapat dibagi ke dalam dua kelompok, yakni para pemeran serta resmi dan para pemeran serta tidak resmi. Yang termasuk pemeran serta resmi adalah agen-agen pemerintah (birokrasi), presiden (eksekutif), legislatif, dan yudikatif. Sedangkan pemeran tidak resmi meliputi kelompok-kelompok kepentingan, partai politik dan warga negara individu.”
Dalam penelitian ini, aktor-aktor yang terlibat dalam proses
relokasi PKL Banjarsari ke Notoharjo Surakarta, antara lain sebagai
berikut :
1. Walikota Surakarta
2. Pemerintah Kota Surakarta (Pemkot)
3. Dinas Pasar Surakarta
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
43
4. Dinas Pengelolaan PKL Surakarta
5. Paguyuban PKL Surakarta]
6. Tokoh masyarakat, melalui muskotbang daerah
7. Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), sebagai contoh YAPI,
SOMPIS, KOMPIP sebagai fasilitator
4. Pedagang Kaki Lima
Menurut arti harafiahnya pedagang kaki lima adalah perusahaan
kecil mandiri namun terikat dengan jaringan sosial ekonomi yang amat
ruwet, berhubungan tidak hanya dengan penyalur, saingan dan
langganannya, tetapi juga dengan pemberian pinjaman, pemberi
perlengkapan, petugas pemerintah dan beranekaragam pranata resmi
maupun privat. (Manning dan Efeendi, 1983 : 250).
Laporan Akhir Survei dan Pemetaan PKL di Kota Surakarta oleh
Kantor Pengelolaan PKL Kota Surakarta, secara umum dapat didefinisikan
bahwa Pedagang Kaki Lima (PKL) adalah pedagang informal yang
menempati kaki lima (trotoar – pedestrian) yang keberadaannya tidak
boleh mengganggu fungsi publik, baik ditinjau dari aspek ekonomi, sosial,
fisik visual, lingkungan dan pariwisata. (Sidharta, 2000)
Sebagai representasi dari sektor informal, pedagang kaki lima
memilki peranan cukup besar dan menjangkau berbagai kepentingan
masyarakat. Menurut Peraturan Daerah Kota Surakarta no.3 tahun 2008,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
44
pedagang kaki lima (PKL) adalah usaha perdagangan sektor informal yang
merupakan perwujudan hak masyarakat dalam berusaha dan perlu diberi
kesempatan untuk berusaha guna memenuhi kebutuhan hidupnya.
Agus Joko Pitoyo, (1999 : 76) menyatakan bahwa pedagang kaki
lima adalah mereka yang berstatus sebagai pemilik usaha dan bukan hanya
pekerja (buruh), bekerja pada sektor perdagangan pada bangunan usaha
yang tidak permanen.
Dalam Direktori PKL Kota Surakarta definisi pedagang kaki lima
adalah suatu kegiatan ekonomi yang dilakukan pada suatu tempat umum
yang sebenarnya dimaksudkan bukan untuk kegiatan usaha, misalnya: di
trotoar jalan, di taman kota dan sebagainya.
Berdasarkan definisi-definisi diatas, pedagang kaki lima adalah
pedagang yang independen yang berdagang ditempat-tempat umum namun
kegiatan usahanya terikat dengan jaringan sosial ekonomi yang
melingkupinya.
Adapun jenis tempat yang digunakan sebagai usaha dapat
dibedakan menjadi empat jenis :
a. Tetap/kios permanen yaitu tempat usaha PKL yang bersifat tetap
atau peruntukannya dalam jangka waktu relative lama. Umumnya
ditandai adanya atap dan penyangga yang permanen, di beberapa
usaha juga dibangun dinding baik dari tembok atau kayu/bambu.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
45
b. Tenda yaitu tempat usaha PKL dengan memakai atap tenda atau
bahan lain yang mudah digulung setelah selesai usaha. Beberapa
usaha PKL tidak menggulung tenda setelah selesai usha, dalam hal
ini tetap dikategorikan berjenis yang sama.
c. Gerobag Dorong adalah jenis usaha PKL dengan memakai tempat
usaha yang beroda yang memudahkan untuk dipindah. Termasuk
disini adalah usaha PKL dengan memakai mobil bak terbuka.
d. Oprokan adalah jenis tempat usaha PKL yang hanya
memanfaatkan jalan atau tanah dengan diberi sedikit alas untuk
menggelar barang dagangan.
Klasifikasi PKL
Menurut Malik (2006), Indrawati et.al. (2004), Palupi dan Raharjo
(2004), Indrawati (2005), et.al. (2007), PKL diklasifikasikan menjadi :
a). Berdasarkan latar belakang ekonominya. Kalsifikasi pertama
adalah PKL yang benar-benar terpaksa menjadi PKL karena
kesulitan hidup. Mereka berdagang dengan warung beroda
(dorongan) ataupun bangunan semi permanen di trotoar. Sembari
berdagang mereka juga bertempat tinggal disitu, karena tidak ada
tempat lain lagi untuk dijadikan temapat tinggal. Kedua, PKL
yang berdagang karena masalah ekonomi juga namun mereka
telah memiliki tempat tinggal dan symbol hidup modern seperti
TV misalnya, ketiga, PKL yang berdagang karena melihat potensi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
46
keuntungan jauh lebih besar dari pada membuka toko atau warung
disbanding jika harus menyewanya.
b). Berdasarkan jenis dagangan yang dijual, terdiri dari PKL penjual
(a). makanan, (b). pakaian, (c). Kelontong, (d). peralatan bekas
(Klithikan) dan sebagainya.
c). Berdasarkan waktu berdagang, terdiri dari PKL yang berdagang
pada pagi hingga siang hari, pagi hinnga sore hari, sore hingga
malam hari, malam hingga pagi hari, pagi hingga malam hari dan
sepanjang hari.
d). Berdasarkan bangunan tempat berdagang, dapat diklasifikasikan
menjadi (a). PKL tanpa bangunan, seperti PKL oprokan/ dasaran/
gelaran, (b). PKL bergerak /moveble/ dorongan, (c). PKL dengan
bangunan permanen (selalu ada setiap saat, baik bentuknya masih
tetap maupun udah berubah) dan (d). PKL dengan bangunan non
permanen (bongkar pasang).
e). Berdasarkan luasan bangunan atau temapat berdagang (space use),
terdiri dari 7 kelompok yaitu PKL dengan luasan 1-3 m2, 4-6 m2, 7-
9m2, 10-12 m2, 13-15 m2, 16-17 m2, dan seterusnya. (Dalam buku
laporan akhir oleh Kantor Pengelolaan PKL Kota Surakarta)
Keberadaan PKL di Kota Surakarta bukanlah fenomena baru.
Pedagang Kaki Lima ini sudah sangat identik dengan kehidupan Kota
Bengawan. Hampir disepanjang jalan dan tempat-tempat umum yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
47
mudah terjangkau oleh masyarakat menjadi pusat keramaian pedagang
kaki lima. Dari kondisi tersebut ada dua hal penting bahwa keberadaan
PKL bagi Pemerintah Kota Surakarta secara garis besar memilki dua
potensi :
a. Potensi Positif :
PKL sebagai sektor usaha informal merupakan usaha kerakyatan yang
terbukti mampu bertahan terhadap krisis ekonomi yang berimbas pada
krisis multidimensi dan berfungsi sebagai katup-katup pengamanan
ekonomi.
b. Potensi Negatif :
Keberadaan PKL melanggar hukum dan seringkali melanggar
kepentingan orang lain/umum sehingga berpotensi menimbulkan
konflik. (Kantor Pengelolaan PKL dalam Strategi Program Pembinaan,
Penataan dan Penertiban Pedagang Kaki Lima Kota Surakarta).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
48
F. KERANGKA BERFIKIR
Kebijakan Pemerintah Kota Surakarta dalam menertibkan pedagang kaki
lima, merupakan perwujudan dari tujuan Pemkot Surakarta dalam rangka penataan
ruang dan perwajahan kota Surakarta menuju kawasan berseri, harmonisasi ruang
dan kepastian usaha. Dalam prosesnya, Pemerintah Kota Surakarta seringkali
dihadapkan pada dilemma dalam penyelesaiannya. Disatu sisi keberadaan PKL
berdampak positif sebagai katup penyelamat terhadap terbukanya lapangan kerja
dan di sisi lain adanya PKL juga berdampak negatif karena menimbulkan
kesemrawutan kota dan mengganggu ketertiban kota. Maka dalam proses
perumusan kebijakan dan pelaksanaannya diperlukan adanya hubungan timbal balik
antara unsur-unsur, aktor/pelaku kebijakan, stakeholder, kelompok sasaran,
kebijakan publik yang isinya terkait hubungan antara keputusan-keputusan dengan
tindakan yang dilakukan dalam hal ini adalah dari perumusan kebijakan ke
pelaksanaan kebijakan relokasi pedagang kaki lima di Banjarsari ke Notoharjo
Surakarta.
Sebagai salah satu kebijakan yang dibuat untuk mengatasi masalah publik,
tentu saja kebijakan relokasi pedagang kaki lima juga memiliki tujuan tertentu. Dalam
keberhasilan prosesnya tersebut dapat diukur dari hasil kebijakan yang terlihat, yaitu
mengetahui sejauh mana kebijakan relokasi tersebut telah memberikan konsekuensi
positif dan negatif dalam mencapai tujuan yang diharapkan. Sehingga akan nampak
pelaksanaan kebijakan itu berjalan dengan baik ketika proses relokasi tersebut
diterima oleh pedagang kaki lima sebagai target dan sasarannya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
49
Kesediaan PKL dalam berpartisipasi untuk mewujudkan tujuan Pemkot
Surakarta merupakan outcome dari kebijakan tersebut. Outcome merupakan suatu
indikator yang menggambarkan hasil dari suatu kegiatan yang telah berjalan. Suatu
program tidak dapat terpisahkan pada indicator input, proses dan outcome yang
dihasilkan. Sebab, ketiganya dapat dijadikan ukuran-ukuran dalam menghasilkan
kebijakan yang diharapkan maupun yang tidak diharapkan oleh masyarakat.
Berikut ini gambaran kerangka dasar pemikiran tentang Outcome Kebijakan
Relokasi Pedagang Kaki Lima.
Gambar 1.1
Bagan Kerangka Berfikir
Kebijakan Relokasi PKL
Mekanisme/ tahapan-tahapan dalam kebijakan relokasi PKL Banjarsari Ke Notoharjo
Konflik, Hambatan dan Kendala dalam Proses Kebijakan Relokasi PKL Banjarsari ke Notoharjo
Peranan dari aktor atau pemeran serta (participants)
Formulasi Kebijakan Relokasi PKL Banjarsari ke Notoharjo
Outcome Kebijakan
terdiri dari :
1. Intended Consequences dan Unintended Consequences
2. Limbah
Kebijakan
3. Outcomes pada kondisi sekarang dan akan datang
4. Outcomes pada
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
50
G. METODE PENELITIAN
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan bentuk deskriptif kualitatif yang memaparkan,
menafsirkan, dan menganalisis data yang ada. Penelitian deskriptif menurut Sutopo
(2006 : 139) yakni studi kasus yang mengarah pada pendeskripsian secara rinci,
lengkap dan mendalam mengenai proses mengapa dan bagaimana tentang sesuatu
yang terjadi. Disamping itu, penelitian ini juga ditunjang dengan studi kepustakaan
untuk mengetahui relevansi pengetahuan yang ditemukan di lapangan dengan
pendekatan teori yang ada.
2. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Kota Surakarta, khususnya di lokasi yang ditempati
PKL yaitu di Klithikan Notoharjo. Pemilihan lokasi tersebut dengan pertimbangan
sebagai berikut :
a. Klithikan Notoharjo merupakan salah satu contoh proyek penataan PKL di Kota
Surakarta.
b. Kawasan Klithikan Notoharjo merupakan salah satu lokasi yang menjadi sasaran
Kebijakan Relokasi dalam Penataan PKL di Kota Surakarta.
c. Memungkinkan peneliti memperoleh data-data yang diperlukan dalam
penelitian ini karena banyaknya kajian yang meneliti tentang PKL, khususnya di
Pasar Klithikan Notoharjo Surakarta.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
51
3. Sumber Data
Penelitian ini arahnya lebih bersifat selektif, dimana informan yang dipilih ialah
seseorang yang memiliki pengetahuan, mendalami situasi dan yang lebih mengetahui
informasi yang diperlukan agar dapat menentukan ketepatan dan kekayaan data atau
kedalaman informasi yang diperoleh. Sutopo (2006 : 56)
Adapun informan yang dipilih dan diwawancarai antara lain :
1. Aparat Kantor Pengelolaan Pedagang Kaki Lima (PKL), yaitu Kepala Dinas serta
beberapa Kasie pada Kantor Pengelolaan Pedagang Kaki Lima Kota Surakarta.
2. Lurah Pasar Klithikan Notoharjo Surakarta.
3. Pedagang Kaki Lima di Pasar Klithikan Notoharjo
4. Warga Masyarakat sekitar kawasan Klithikan Notoharjo.
Jika peneliti memerlukan informasi dari informan lain, itu akan berkembang di
lapangan sesuai dengan kebutuhan dan relevansinya dengan penelitian.
Dalam penelitian ini, sumber data yang diperlukan antara lain sebagi berikut :
1. Arsip dan dokumen resmi yang berkaitan dengan pelaksanaan Kebijakan
Relokasi PKL di Klithikan Notoharjo.
2. Undang-undang No. 3 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Pedagang Kaki Lima.
3. Undang-undang No.8 tahun 1995 tentang Penataan dan Pembinaan Pedagang
Kaki Lima
4. Data dan dokumen dari Kantor Pengelolaan Pedagang Kaki Lima Kota Surakarta.
5. Data dan dokumen dari Kantor Lurah Pasar Klithikan Notoharjo Kota Surakarta.
6. Buku-buku yang berhubungan dengan masalah penelitian.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
52
4. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah :
a. Wawancara
Wawancara dalam penelitian ini dilakukan dengan cara wawancara mendalam
(in-depth interviewing), yaitu mendapat informasi dengan bertanya langsung
kepada informan dengan pertanyaan yang bersifat open-ended dan mengarah
pada kedalaman informasi serta dilakukan dengan cara yang tidak secara formal
terstruktur guna mengggali pandangan subjek yang diteliti tentang banyak hal
yang sangat bermanfaat untuk menjadi dasar bagi penggalian informasinya
secara lebih jauh, lengkap dan mendalam. (Sutopo, 2006 : 69)
b. Observasi
Teknik observasi digunkan untuk menggali dari sumber data yang berupa
peristiwa, aktivitas, perilaku, tempat atau lokasi dan benda serta rekaman
gambar.
c. Dokumentasi
Yaitu teknik pengumpulan data dengan cara melihat dan mencatat data yang
ada di lapangan maupun yang tersimpan di kantor berupa catatan, literatur,
arsip, laporan-laporan yang berhubungan dengan masalah penelitian.
5. Metode Penarikan Sampel
a. Populasi
Populasi adalah keseluruhan subjek penelitian. Populasi dalam penelitian ini
adalah seluruh pedagang kaki lima di kawasan Klithikan Notoharjo.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
53
b. Satuan Kajian (Unit of Analyasis)
Yang dimaksud dengan unit analisis dalam penelitian adalah satuan tertentu
yang diperhitungkan sebagai subyek penelitian (Arikunto, 2002 : 121). Satuan
kajian dalam penelitian ini adalah beberapa pedagang kaki lima yang terkena
Kebijakan Relokasi PKL.
c. Sampel
Sampel adalah bagian atau wakil populasi yang diteliti (Arikunto, 2002 : 121).
Dengan sampel ini hasil penelitian yang diperoleh akan memberikan gambaran
yang sesuai dengan sifat populasi yang bersangkutan. Sehingga dengan
penelitian sampel ini dapat digeneralisasikan dengan mengangkat kesimpulan
penelitian sebagai suatu yang berlaku bagi populasi. Sampel sebagai informan
dalam penelitian ini dibedakan menjadi tiga, yaitu : pertama, aparat pelaksana
yang menjadi perencana atas terealisasinya kebijakan relokasi tersebut dalam
hal ini adalah Kantor Pengelolan PKL. Kedua, kelompok sasaran kebijakan, yaitu
individu atau kelompok yang terkena kebijakan, yaitu pedagang kaki lima Pasar
Klithikan Notoharjo. Ketiga, pihak yang terkait dengan kebijakan di luar aparat
pelaksana dan kelompok sasaran, yaitu masayarakat sekitar Pasar Klithikan
Notoharjo.
d. Teknik Penarikan Sampel
Teknik penarikan sampel untuk memperoleh data dalam penelitian ini adalah
menggunakan cara non random sampling dengan jenis purpossive sampling.
Artinya, peneliti memilih informan yang dapat dipercaya untuk menjadi sumber
informasi dan diharapkan mengetahui permasalahan secara mendetail.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
54
6. Validitas Data
Agar menjamin validitas data yang baik maka upaya peningkatan validitas data
akan dilakukan dengan cara yang disebut trianggulasi data, yakni teknik
pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data itu
untuk keperluan pengecekan atau berbagai pembanding data itu. (Moleong, 2002 :
178). Menurut Patton dalam Sutopo (2006 : 92) trianggulasi dibagi menjadi empat,
yakni :
1. Trianggulasi Sumber, yakni mengarah pada memanfaatkan jenis sumber data
yang berbeda-beda untuk menggali data yang sejenis sebagai pembanding agar
dapat teruji kemantapan dan kebenarannya.
2. Trianggulasi Metode, yakni dengan cara mengumpulkan data sejenis tetapi
dengan menggunakan teknik atau metode pengumpulan data yang berbeda dan
kemudian hasilnya dibandingkan dan dapat ditarik simpulan data yang lenih luat
validitasnya.
3. Trianggulasi Peneliti, adalah hasil penelitian baik data ataupun simpulan
mengenai bagian tertentu atau keseluruhannya bisa diuji validitasnya dari
beberapa peneliti yang lain.
4. Trianggulasi Teori
Yaitu melakukan penelitian dengan menggunakan perspektif lebih dari satu teori
yang lain, misalnya teori budaya, politik atau ekonomi.
Penelitian ini untuk menguji validitas data akan digunakan teknik trianggulasi
sumber, yang memanfaatkan jenis sumber yang berbeda-beda untuk menggali
data yang sejenis. Disini tekanannya pada perbedaan sumber data, yang bukan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
55
teknik pengumpulan data atau yang lain. Peneliti bisa memperoleh nara sumber
yang berbeda-beda posisinya dengan teknik wawancara mendalam, sehingga
informasi dari narasumber yang satu bisa dibandingkan dengan informasi dari
narasumber lainnya. (Sutopo, 2006 : 93)
7. Teknik Analisis Data
Analisis data adalah proses penyederhanaan ke dalam bentuk yang lebih mudah
dibaca dan diinterpretasikan. Penelitian ini menggunakan teknik analisis data
dengan model analisis interaktif yang terdiri dari tiga komponen, berupa reduksi
data, sajian data, dan penarikan kesimpulan. Ketiga komponen tersebut dapat
dijelaskan sebagai berikut :
a. Reduksi Data
Reduksi data merupkana proses seleksi, pemfokusan, penyederhanaan, dan
abstraksi dari semua jenis informasi yang tertulis lengkap dalam catatan
lapangan (fieldnote).
b. Sajian Data
Adalah rangkaian informasi, deskripsi dalam bentuk narasi lengkap untuk
selanjutnya dilakukan simpulan dengan melihat penyajian data tentang apa yang
terjadi secara rinci dan mendalam.
c. Penarikan Simpulan dan Verifikasi
Setelah pengempulan data berakhir, peneliti melai melakukan simpulan dari
verifikasi agar lebih mantap dan benar-benar dipertanggungjawabkan. (Sutopo,
2006 : 116)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
56
Ketiga komponen analisis tersebut aktivitasnya dapat dilakukan dengan cara
interaksi. Analisis interaktif membandingkan antara sumber informasi satu dengan
sumber informasi lainnya. Secara sederhana, model analisis interaktif dapat
digambarkan sebagai berikut :
Gambar 1.2
Model Analisis Interaktif
Sumber : Sutopo, 2006 :120
Pengumpulan data
Reduksi data
Sajian data
Penarikan simpulan/verifikasi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
58
BAB II
DESKRIPSI LOKASI
A. Profil Umum Kota Surakarta
1. Kondisi Geografis
Kota Surakarta merupakan dataran rendah dengan ketinggian
kurang lebih 92 m di atas permukaan laut, yang beriklim tropis dengan
suhu maksimum 32,5 ˚C dan minimum 21,9 ˚C. Kota Surakarta terletak
antara 110 ˚C. 45’. 15”- 110 ˚C. 45’. 35” Bujur Timur dan 7 ˚C. 36’. 00”-
7 ˚C. 56’. 00” Lintang Selatan.
Adapun batas-batas wilayah Kota Surakarta adalah :
Di sebelah utara :Kabupaten Karanganyar dan Kabupaten
Boyolali.
Di sebelah timur :Kabupaten Sukoharjo dan Kabupaten
Karanganyar.
Di sebelah selatan :Kabupaten Sukoharjo
Di sebelah barat :Kabupaten Sukoharjo dan Kabupaten
Karanganyar.
Luas wilayah Kota Surakarta adalah 44,04 Km2 yang terbagi ke
dalam 5 kecamatan, yaitu Kecamatan Laweyan, Kecamatan Banjarsari,
Kecamatan Jebres, Kecamatan Pasar Kliwon, dan Kecamatan Serengan.
Dari 5 kecamatan tersebut terdiri dari 51 kelurahan, 592 RW dan 2.645
RT.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
59
2. Kondisi Demografis
Dalam suatu negara petumbuhan penduduk dipengaruhi oleh
jumlah kelahiran, kematian, dan migrasi. Pertumbuhan penduduk bagi
suatu negara bisa jadi membawa dampak yang positif. Dengan
bertambahnya jumlah penduduk dapat menjadi modal pembangunan, yaitu
tersedianya tenaga kerja dalam jumlah yang besar. Namun hal ini dapat
terwujud jika penduduk dibina dan dikerahkan sebagai tenaga kerja yang
efektif. Di sisi lain jumlah penduduk yang besar dapat menimbulkan
permasalahan-permasalahan di bidang sosial, ekonomi, pendidikan,
kesehatan lingkungan, dan masyarakat.
Sampai dengan tahun 2007 jumlah penduduk Kota Surakarta
mencapai 515.372 jiwa, dimana jumlah tersebut akan terus mengalami
peningkatan. Mengenai jumlah penduduk yang tersebar di 5 kecamatan
berdasarkan jenis kelamin dan tingkat kepadatan dapat dilihat dalam tabel
berikut :
Tabel 2.1
Penduduk Surakarta tiap Wilayah Kecamatan
Berdasar Jenis Kelamin
Tahun 2007
No Wilayah
Kecamatan
Luas
Wilayah
(km2)
Jumlah Penduduk Tingkat
Kepadatan
/km2
Laki-laki Perempuan Jumlah
1 Laweyan 8,64 53.902 55.545 109.447 12.667
2 Serengan 3,19 31.169 32.260 63.429 19.884
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
60
3 Ps. Kliwon 4,82 42.896 44.612 87.508 18.115
4 Jebres 12,58 70.659 72.630 143.289 11.390
5 Banjarsari 14,81 79.809 81.438 161.247 10.888
JUMLAH 44,04 278.435 286.485 564.920
Sumber : Surakarta Dalam Angka 2007
Dalam data statistik tahun 2007 jumlah angkatan kerja mencapai
515.372 jiwa, atau 49,16 % dari jumlah penduduk. Jumlah penduduk yang
bekerja berjumlah 233.892 jiwa, dan penduduk yang mencari pekerjaan
berjumlah 19.491 jiwa. Jenis mata pencaharian penduduk Kota Surakarta
dapat dilihat pada tabel berikut :
Tabel 2.2
Banyak Penduduk Berdasarkan Mata Pencaharian
Di Kota Surakarta
Tahun 2007
No Mata Pencaharian Jumlah Penduduk
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Petani sendiri
Buruh tani
Pengusaha
Buruh industri
Buruh bangunan
Pedagang
Angkutan
PNS/TNI/POLRI
Pensiunan
Lain-lain
450
438
8.752
74.655
63.114
32.710
15.437
26.445
16.974
162.526
Sumber : Surakarta Dalam Angka 2007
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
61
B. Dinas Pengelolaan Pasar Kota Surakarta
Dinas Pengelolaan Pasar merupakan salah satu unsur pelaksana
Pemerintah Daerah Kota Surakarta di bidang pengelolaan pasar. Berdasarkan
Peraturan Walikota Surakarta Nomor 22 tahun 2008 tentang penjabaran tugas
pokok, fungsi dan tata kerja Dinas Pengelolaan Pasar Kota Surakarta memiliki
tugas menyelenggaraan pemerintah dalam bidang pengelolaan pasar.
Dalam menyelenggarakan tugas, Dinas Pengelolaan Pasar mempunyai
beberapa fungsi yaitu :
a. Penyelenggaraan Kesekretariatan dinas
b. Penyusunan rencana program, pengendalian, evaluasi dan pelaporan
c. Pengelolaan pendapat pasar
d. Pengelolaan kebersihan dan pemeliharaan pasar
e. Pengawasan dan pembinaan pedagang pasar dan pedagang kaki lima
f. Pengaturan los dan kios pasar
g. Penyelenggaraan keamanan dan ketertiban pasar dan pedagang kaki lima
h. Penyelenggaraan sosialisasi
i. Pembinaan jabatan fungsional
Selain itu sebagai pelaksana di bidang pengelolaan pasar, Dinas
Pengelolaan Pasar juga memiliki visi dan misi, yaitu :
Visi :
” Terwujudnya citra pasar yang bersih, tertib, dan aman bertumpu pada
perekonomian Kota ”
Misi :
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
62
a. Meningkatkan kesempatan bekerja dan berusaha
b. Meningkatkan ketertiban dan keamanan pasar
c. Meningkatkan pelayanan kepada pedagang
d. Meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia
Untuk mewujudkan visi, misi serta tujuan dan sasaran tersebut, Dinas
Pengelolaan Pasar menetapkan kebijakan dan strategi.
Kebijakan :
“Menumbuh kembangkan dan memberdayakan perekonomian masyarakat
melalui peningkatan pelayanan, sarana prasarana dan fasilitas pasar yang
cukup memadai guna menciptakan kondisi pasar yang bersih, tertib, aman
dan nyaman serta mengoptimalkan kontribusi pasar guna mendukung
kelancaran pembangunan Pemerintah Daerah”.
Strategi :
a. Meningkatkan pemeliharaan bangunan gedung seluruh pasar.
b. Meningkatkan kualitas dan kuantitas, sarana dan prasarana kebersihan
pasar.
c. Meningkatkan fasilitas pasar termasuk pemeliharaan jaringan, elektrikal
dan mekanikal pasar.
d. Meningkatkan keamanan dan ketertiban pasar.
e. Meningkatkan pengetahuan dan keterampilan Sumber Daya Manusia
(SDM) dengan penyelenggaraan bimbingan teknis dan pelatihan-pelatihan.
f. Meningkatkan kualitas pelayanan kepada pedagang dan masyarakat.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
63
C. Tugas Pokok dan Struktur Organisasi Dinas Pengelolaan Pasar Kota
Surakarta
Sesuai dengan Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 2008 tentang
Susunan Organisasi dan Tata Kerja Perangkat Daerah Kota Surakarta, Dinas
Pengelolaan Pasar Kota Surakarta sebagai unit kerja di lingkungan Pemerintah
Kota Surakarta dalam penanganan masalah Pedagang Kaki Lima memiliki
Tugas dan Fungsi pokok yang diatur dalam Surat Keputusan Walikota
Surakarta Nomor 22 Tahun 2008 tentang Penjabaran Tugas Pokok, Fungsi dan
Tata Kerja Dinas Pengelolaan Pasar Kota Surakarta sebagai berikut :
1). Kepala Dinas, membawahkan :
a. Sekretariat
b. Bidang Pendapatan Pasar
c. Bidang Kebersihan dan Pemeliharaan Pasar
d. Bidang Pengawasan dan Pembinaan
e. Bidang Pengelolaan Pedagang Kaki Lima
f. Kelompok Jabatan Fungsional
2). Sekretariat
Sekretariat dipimpin oleh seorang sekretaris yang berada di bawah
dan bertanggung jawab kepada kepala Dinas. Sekretariat mempunyai tugas
melaksanakan penyiapan perumusan kebijakan teknis, pembinaan,
pengkoordinasian penyelenggaraan tugas secara terpadu, pelayanan
administrasi, dan pelaksanaan di bidang perencanaan, evaluasi dan
pelaporan keuangan, umum dan kepegawaian.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
64
Dalam melaksanakan tugasnya, sekretariat mempunyai fungsi :
· Penyiapan bahan perumusan kebijakan teknis, pembinaan,
pengkoordinasian penyelenggaraan tugas secara terpadu, pelayanan
administrasi, dan pelaksanaan di bidang perencanaan, evaluasi dan
pelaporan.
· Penyiapan bahan perumusan kebijakan teknis, pembinaan,
pengkoordinasian penyelenggaraan tugas secara terpadu, pelayanan
administrasi, dan pelaksanaan di bidang keuangan.
· Penyiapan bahan perumusan kebijakan teknis, pembinaan,
pengkoordinasian penyelenggaraan tugas terpadu, pelayanan
administrasi, dan pelaksanaan di bidang umum dan kepegawaian.
· Pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh Kepala Dinas sesuai
dengan tugas dan funginya.
Sekretariat, membawahi :
a) Subbagian Perencanaan, Evaluasi dan Pelaporan
Subbagian Perencanaan, Evaluasi dan Pelaporan mempunyai tugas
melakukan penyiapan bahan perumusan kebijakan teknis, pembinaan,
pengkoordinasian penyelenggaraan tugas secara terpadu di bidang
perencanaan, evaluasi dan pelaporan.
b). Subbagian Keuangan
Subbagian keuangan mempunyai tugas melakukan penyiapan
bahan perumusan kebijakan teknis, pembinaan, pengkoordinasian
penyelenggaraan tugas secara terpadu, pelayanan administrasi, dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
65
pelaksanaan di bidang keuangan, meliputi : pengelolaan keuangan,
verifikasi, pembukuan dan akuntansi di lingkungan Dinas.
c). Subbagian Umum dan Kepegawaian
Subbagian Umum dan Kepegawaian mempunyai tugas melakukan
penyiapan bahan perumusan kebijakan teknis, pembinaan,
pengkoordinasian penyelenggaraan tugas secara terpadu, pelayanan
administrasi, dan pelaksanaan di bidang umum dan kepegawaian,
meliputi : pengelolaan administrasi kepegawaian, hukum, humas,
organisasi dan tatalaksana, ketatausahaan, rumah tangga dan
perlengkapan di lingkungan Dinas.
3). Bidang Pendapatan Pasar
Bidang Pendapatan Pasar mempunyai tugas melakukan penyiapan
perumusan kebijakan teknis di bidang pendataan dan penetapan, penagihan
dan penerimaan serta pembukuan.
Dalam melaksanakan tugasnya, Bidang Pendapatan Pasar
memounyai fungsi :
· Melakukan penyiapan bahan perumusan kebijakan teknis, pembinaan
dan pelaksanaan di bidang pendataan dan penetapan
· Melakukan penyiapan bahan perumusan kebijakan teknis, pembinaan
dan pelaksanaan di bidang penagihan dan penerimaan
· Melakukan penyiapan bahan perumusan kebijakan teknis, pembinaan
dan pelaksanaan di bidang pembukuan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
66
· Pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh Kepala Dinas sesuai
dengan tugas dan fungsinya
Bidang Pendapatan Pasar, membahawi :
a). Seksi Pendataan dan Penetapan
Seksi Pendataan dan Penetapan mempunyai tugas melakukan
penyiapan bahan perumusan kebijakan teknis di bidang pendataan dan
penetapan, meliputi : pendataan dan penetapan retribusi pasar dan
PKL, pengaturan dan pembagian kios, los, perijinan dan hak
penempatan pedagang.
b). Seksi Penagihan dan Penerimaan
Seksi Penagihan dan Penerimaan mempunyai tugas melakukan
penyiapan bahan perumusan kebijakan teknis di bidang penagihan dan
penerimaan, meliputi : penagihan dan penerimaan retribusi pasar dan
PKL serta penyusunan laporan perhitungan pendapatan pasar dan PKL.
c). Seksi Pembukuan
Seksi Pembukuan mempunyai tugas melakukan penyiapan bahan
perumusan kebijakan teknis di bidang pembukuan, meliputi : melakukan
pembukuan semua hasil penagihan dan penerimaan dan tunggakan
retribusi pasar dan PKL.
4). Bidang Kebersihan dan Pemeliharaan Pasar
Bidang Kebersihan dan Pemeliharaan Pasar mempunyai tugas
melakukan penyiapan perumusan kebijakan teknis di bidang peralatan dan
kebersihan, pemeliharaan fasilitas pasar dan pemeliharaan bangunan pasar.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
67
Untuk melaksanakan tugasnya Bidang Kebersihan dan Pemeliharaan Pasar
mempunyai fungsi :
· Melakukan penyiapan bahan perumusan kebijakan teknis,
pembinaan dan pelaksanaan di bidang peralatan dan kebersihan.
· Melakukan penyiapan bahan perumusan kebijakan teknis,
pembinaan dan pelaksanaan di bidang pemeliharaan fasilitas pasar.
· Melakukan penyiapan bahan perumusan kebijakan teknis,
pembinaan dan pelaksanaan di bidang pemeliharaan bangunan
pasar.
· Melakukan pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh Kepala
Dinas sesuai dengan tugas dan fungsinya.
Bidang Kebersihan dan Pemeliharaan Pasar, membawahi :
a). Seksi Peralatan dan Kebersihan
Seksi Peralatan dan Kebersihan mempunyai tugas melakukan
penyiapan bahan perumusan kebijakan teknis, pembinaan dan
pelaksanaan di bidang peralatan dan kebersihan, meliputi : penyediaan
peralatan, pengaturan penggunaannya dan menyusun jadwal
pelaksanaan, pengawasan serta perbaiakan sarana prasarana pasar.
b). Seksi Pemeliharaan Fasilitas Pasar
Seksi Pemeliharaan Fasilitas Pasar mempunyai tugas melakukan
penyiapan bahan perumusan kebijakan teknis, pembinaan dan
pelaksanaan di bidang pemeliharaan fasilitas pasar, meliputi :
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
68
pengelolaan fasilitas, menyusun jadwal pengawasan dan perbaiakn
serta pemeliharaan pasar.
c). Seksi Pemeliharaan Bangunan Pasar
Mempunyai tugas melakukan penyiapan bahan perumusan
kebijakan teknis, pembinaan dan pelaksanaan di bidang pemeliharaan
bangunan pasar, meliputi : pengelolaan bangunan, menyusun jadwal
pengawasan dan pengelolaan bangunan serta perbaikan dan
pemeliharaan bangunan pasar.
5). Bidang Pengawasan dan Pembinaan
Bidang Pengawasan dan Pembinaan mempunyai tugas melakukan
penyiapan perumusan kebijakan teknis di bidang pemberdayaan dan
pembinaan pedagang, keamanan dan ketertiban serta pengawasan
pedagang. Untuk melaksanakan tugasnya, Bidang ini mempunyai fungsi :
· Melakukan penyiapan bahan perumusan kebijakan teknis,
pembinaan dan pelaksanaan di bidang pemberdayaan dan
pembinaan pedagang.
· Melakukan penyiapan bahan perumusan kebijakan teknis,
pembinaan dan pelaksanaan di bidang keamanan dan ketertiban.
· Melakukan penyiapan bahan perumusan kebijakn teknis,
pembinaan dan pelaksanaan di bidang pengawasan pedagang.
· Melakukan pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh Kepala
Dinas sesuai dengan tugas dan fungsinya
Bidang Pengawasan dan Pembinaan Pedagang, membawahi :
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
69
a). Seksi Pemberdayaan dan Pembinaan Pedagang
Seksi Pemberdayaan dan Pembinaan Pedagang ini mempunyai
tugas melakukan penyiapan bahan perumusan kebijakan teknis,
pembinaan dan pelaksanaan di bidang pemberdayaan dan pembinaan
pedagang, meliputi : perencanaan dan pelaksanaan pemberdayaan dan
pembinaan pedagang pasar.
b). Seksi Keamanan dan Ketertiban
Seksi Keamanan dan Ketertiban mempunyai tugas melakukan
penyiapan bahan perumusan kebijakan teknis, pembinaan dan
pelaksanaan di bidang keamanan dan ketertiban, meliputi : kegiatan
keamanan, ketertiban, menyusun jadwal dan membentuk satuan
penertiban serta patroli pasar.
c). Seksi Pengawasan Pedagang
Mempunyai tugas melakukan penyiapan bahan perumusan
kebijakan teknis, pembinaan dan pelaksanaan di bidang pengawasan
pedagang, meliputi : perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi kegiatan
pengawasan pedagang pasar.
6). Bidang Pengelolaan Pedagang Kaki Lima
Bidang Pengelolaan Pedagang Kaki Lima mempunyai tugas
melakukan penyiapan perumusan kebijakan teknis di bidang penataan dan
pembinaan pedagang kaki lima. Untuk melaksanakan tugasnya, bidang
Pengelolaan Pedagang Kaki Lima mempunyai fungsi :
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
70
· Melakukan penyiapan bahan perumusan kebijakan teknis,
pembinaan dan pelaksanaan di bidang penataan dan pembinaan
pedagang kaki lima.
· Melakukan penyiapan bahan perumusan kebijakan teknis,
pembinaan dan pelaksanaan di bidang pengendalian pedagang kaki
lima.
· Melakukan pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh Kepala
Dinas sesuai dengan tugas dan fungsinya.
Bidang Pengelolaan Pedagang Kaki Lima, membawahi :
a). Seksi Penataan dan Pembinaan Pedagang Kaki Lima
Seksi Penataan dan Pembinaan Pedagang Kaki Lima mempunyai
tugas melakukan penyiapan bahan perumusan kebijakn teknis,
pembinaan dan pelaksanaan di bidang penataan dan pembinaan
pedagang kaki lima, meliputi : penyipan bahan petunjuk teknis
penempatan, rekomendasi penempatan, dan penyuluhan kepada
pedagang kaki lima.
b). Seksi Pengendalian Pedagang Kaki Lima
Seksi Pengendalian Pedagang Kaki Liam mempunyai tugas
melakukan penyiapam bahan perumusan kebijakn teknis, pembinaan
dan pelaksanaan di bidang pengendalian pedagang kaki lima, meliputi
: penyiapan bahan petunjuk tknis pengendalian mengenai kualitas dan
kuantitas pedagang kaki lima.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
71
Sebelum menjadi satu dengan Dinas Pengelolaan Pasar, Bidang
Pengelolaan Pedagang Kaki Lima ini merupakan sebuah instansi
pemerintah yang berdiri sendiri dengan Kantornya berada di kawasan
Kepatihan. Namun setelah adanya SOTK baru yang jatuh pada bulan
Januari 2009, Kantor Pengelolaan Pedagang Kaki Lima akhirnya ikut
bergabung dengan struktur organisasi yang sama dengan Dinas
Pengelolaan Pasar menjadi Bidang Pengelolaan Pedagang Kaki Lima
yang dipimpin oleh Kabid M.Zainuddin, S.H dengan jumlah pegawai
tetap delapan orang. Kantor Pengelolaan Pedagang Kaki Lima,
dahulunya juga merupakan kepanjangan tangan dari Dinas Pasar yang
bergerak dalam menangani pengelolaan PKL di Surakarta.
Dalam melaksanakan tugasnya, Kantor Pengelolaan Pedagang
Kaki Lima, mempunyai langkah-langkah berupa tujuan program dan
tahapan tahapan dalam pembinaan, penataan dan pengendalian PKL,
adapun langkah-langkahnya sebagai berikut :
Tujuan Program Pembinaan, Penataan dan Penertiban PKL :
1. Terwujudnya Konsep PKL sesuai dengan Peraturan Daerah
2. Meminimalisasi konflik antara PKL dengan Masyarakat
3. Terwujudnya PKL yang sadar hukum dan berwawasan
lingkungan
4. Tercapainya Visi dan Misi Kantor Pengelolaan PKL sehingga
mampu mendukung tercapainya Visi dan Misi Kota Surakarta.
§ Individu door to door
§ Paguyuban Kelompok melalui arisan, penyuluhan, dll.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
72
Tahapan-tahapan Pembinaan, Penataan dan Pengendalian PKL :
1. Memberikan sosialisasi kepada masyarakat atau pelaku bisnis
informal atau PKL.
2. Peringatan atau teguran (lisan dan tertulis)
3. Pengendalian secara komprehensip
4. Tindakan penegakan Perda
Berdasarkan hasil Muskotbang (Musyawarah Kota Membangun)
yang tertuang dalam Peraturan Daerah Nomor 16 tahun 2003 memberikan
arah untuk merumuskan visi dan misi Kantor Pengelolaan Pedagang Kaki
Lima.
Visi :
” Terciptanya kemitraan Pedagang Kaki Lima dengan Pemkot
Surakarta dalam pembangunan Kota Surakarta.”
Misi :
1. Mewujudkan Pedagang Kaki Lima yang mandiri, memiliki
daya tarik, berdaya saing usaha, bersih, tertib hukum serta
mampu berinteraksi sosial dengan masyarakat.
2. Mewujudkan Pedagang Kaki Lima yang tertata sesuai dengan
jenis dagangan dan infrastuktur pendukungnya sebagai salah
satu daya tarik wisata.
3. Mewujudkan kawasan dan lokasi Pedagang Kaki Lima yang
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Adapun dasar berdirinya Kantor Pengelolaan Pedagang Kaki Lima
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
73
a). Perda Nomor 6 Tahun 2001 Tentang Susunan Organisasi
dan Tata Kerja Perangkat Daerah Kota Surakarta
b). Keputusan Walikota Surakarta Nomor 41 tahun 2001
tentang pedoman uraian tugas kantor pengelolaan Pedagang
Kaki Lima Kota Surakarta.
Dalam menangani masalah PKL di Surakarta Kantor Pengelolaan
Pedagang Kaki Lima Kota Surakarta melaksanakan fungsinya dengan
dasar hukum :
1. Perda Kotamadya Dati II Surakarta No.8 yahun 1995 tentang Penataan
dan Pembinaan Pedagang Kaki Lima Kota Surakarta, yang berisi :
Bahwa PKL sebagai bagian dari sektor kegiatan ekonomi yang
mampu berperan menyerap tenaga kerja dan meningkatkan pendapatan
masyarakat perlu dilindungi, dibina dan dikembangkan lebih efisien
agar kehidupan para PKL semakin sejahtera dan secara optimal dapat
memberikan hasil guna dan daya guna bagi perwujudan tujuan
pembangunan daerah Kota Surakarta sebagai bagian dari tujuan
Pembangunan Nasional.
Perlindungan, pembinaan dan pengembangan lebih efisien terhadap
PKL agar semakin sejahtera dan adanya perlindungan dan kepastian
hukum perlu dilakukan dalam kerangka perwujudan asas kekeluargaan
dalam kehidupan perekonomian negara sebagaimana dimaksud pada
pasal 33 UUD’45 dan Pola Dasar Pembangunan Daerah Kota
Surakarta
Pengaturan yang bersifat penataan meliputi perlindungan,
pembinaan dan pengembangan ini diharapkan dapat meningkatkan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
74
kesejahteraan PKL sehingga memiliki kemampuan untuk
meningkatkan usaha dengan menggunakan tempat usaha yang lebih
baik dan tidak menjadi salah satu sumber timbulnya permasalahan
sosial termasuk ketertiban masyarakat.
1. Definisi PKL menurut Perda No. 8 Tahun 1995 Pasal 1 ayat ( 1 )
PKL adalah orang yang melakukan usaha dagang dan atau jasa di
tempat umum baik menggunakan atau tidak menggunakan sesuatu
dalam melakukan kegiatan usaha dagang.
2. Tempat usaha PKL adalah tempat Umum yaitu tepi – tepi jalan
umum, trotoar dan lapangan serta tempat lain di atas tanah negara
yang ditetapkan oleh Walikotamadya Kepala Daerah.
3. PKL berhak untuk mendapatkan pembinaan berupa bimbingan
dan penyuluhan guna pengembangan usaha dan peningkatan
kesejahteraan.
4. Selain diberikannya toleransi dan kelonggaran untuk
memanfaatkan lokasi seperti tersebut di atas, para PKL diberikan
kewajiban a.l. :
a. Setiap PKL harus bertanggungjawab terhadap ketertiban,
kerapian, kebersihan, keindahan, kesehatan lingkungan dan
keamanan di sekitar tempat usaha ( Pasal 3 )
b. Setiap PKL dikenakan pembayaran retribusi ( pasal 8 )
5. Sanksi atas pelanggaran Perda :
a. Pemberian Peringatan ( Pasal 6 ) :
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
75
§ Terhadap bentuk pelanggar yang telah diatur akan diberikan
peringatan, apabila PKL yang bersangkutan tetap
membandel maka Walikotamadya Kepala Daerah berhak
melakukan penyitaan,
§ Terhadap barang yang sifatnya cepat berubah, rusak, busuk
dan atau mengganggu lingkungan dan atau kesehatan,
Walikotamadya Kepala Daerah dapat menghancurkan atau
meusnahkan ( ayat 5 )
b. Sanksi Pidana ( Pasal 10 ) :
Pelanggaran terhadap ketentuan pasal 4 Perda ini diancam
dengan pidana kurungan selama – lamanya 3 ( tiga ) bulan
atau denda setinggi – tingginya Rp. 50.000,00.
2. Surat Keputusan Walikota Surakarta No.2 tahun 2001 Tentang
Pedoman Pelaksanaan Perda No.8 tahun 1995, yang berisi :
Surat Keputusan Walikota Surakarta No. 2 Tahun 2001 terbit
sebagai Pedoman Pelaksanaan Peraturan Daerah Kotamadya Daerah
Tingkat II Surakarta No. 8 Tahun 1995 Tentang Penataan dan
Pembinaan Pedagang kaki Lima sebagai langkah Pemerintah Kota
Surakarta mengatasi belum dapat dilaksanakannya SK Walikotamadya
Dati II Surakarta No. 001 Tahun 1997 disebabkan adanya krisis
ekonomi. Kebijakan ini diambil untuk memberikan toleransi kepada
PKL dalam mejalankan usahanya. Dengan ditetapkannya SK Walikota
Surakarta No. 2 Tahun 2001 ini diharapkan Perda Kodya Dati II
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
76
Surakarta No. 8 Tahun 1995 dapat dilaksanakan dengan tidak
mematikan usaha PKL dan dapat terjaganya Kebersihan dan
Keindahan Kota. Dalam SK ini disebutkan tempat / lokasi yang
menjadi larangan untuk berdagang, ketentuan mengenai bentuk
dasaran, serta hak dan kewajiban PKL yang lain.
3. Perda Kota Surakarta No.3 Tahun 2008 tentang Penataan PKL Kota
Surakarta
4. Perda Kota Surakarta No.8 Tahun 2008 Tentang SOTK Kota Surakarta
5. Peraturan Walikota Surakarta No.22 tahun 2008 tentang penjabaran
TUPOKSI dan tata kerja Dinas Pengelolaan Pasar Kota Surakarta.
7). Kelompok Jabatan fungsional
Kelompok Jabatan fungsional ini mempunyai tugas sesuai dengan
jabatan fungsional masing-masing berdasarkan peraturan perundang-
undangan yang berlaku. Kelompok Jabatan Fungsional yang terdiri dari
sejumlah tenaga fungsional yang terbagi dalam berbagai kelompok sesuai
dengan bidang keahliannya mempunyai tugas sesuai dengan jabatan
fungsional masing-masing berdasarkan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
D. Profil Pegawai Dinas Pengelolaan Pasar Kota Surakarta
Dinas Pengelolaan Pasar Kota Surakarta memiliki 317 pegawai yang
terdiri dari; 1 orang Kepala Dinas, 1 orang Sekretaris, 4 orang Kepala Sub
Dinas, 11 orang Kepala Seksi, 3 orang Kepala Sub Bagian, dan beberapa staf
lainnya yang berjumlah 297 orang.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
77
Adapun komposisi Pegawai Dinas Pengelolaan Pasar Kota Surakarta,
sebagai berikut :
Tabel 2.3 Komposisi Pegawai berdasarkan Tingkat Pendidikan
Golongan / Ruang Jumlah Persentase (%)
SD 59 18,61 SLTP 57 17,98 SLTA 158 49,84 D3 7 2,21 S1 27 8,52 S2 9 2,84
Jumlah 317 100
Sumber : Dinas Pengelolaan Pasar
Berdasarkan tabel 2.1 pegawai Dinas Pengelolaan Pasar yang
berpendidikan tingkat SLTA mempunyai jumlah terbanyak yaitu 158 orang
atau 49,84 % dari seluruh jumlah pegawai. Sedangkan pegawai dengan jumlah
tingkat pendidikan paling sedikit adalah lulusan D3 sebanyak 7 orang atau
2,21 %.
Tabel 2.4 Komposisi Pegawai berdasarkan Pangkat atau Golongan
Pangkat / Golongan Jumlah Persentase (%)
I/a 48 15,14 I/c 50 15,77 II/a 127 40,06 II/b 4 1,26 II/c 8 2,52 II/d 6 1,90 III/a 17 5,36 III/b 28 8,83 III/c 5 1,58 III/d 16 5,05 IV/a 7 2,21
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
78
IV/b 1 0,32 Jumlah 317 100
Sumber : Dinas Pengelolaan Pasar
Berdasarkan tabel 2.2 komposisi pegawai berdasar pangkat atau
golongan yang paling banyak adalah golongan II/a sebanyak 127 orang atau
dengan persentase sebanyak 40,06 % kemudian untuk urutan selanjutnya
adalah golongan I/c dengan jumlah 50 orang atau 15,77 %. Sedangkan untuk
jumlah pegawai yang paling sedikit adalah golongan IV/b sebanyak 1 orang
atau 0,32 %.
F. Pasar Klithikan Notoharjo
Pasar Klithikan Notoharjo merupakan salah satu pasar yang dikelola di
bawah Dinas Pengelolaan Pasar Surakarta. Pasar Klithikan Notoharjo
Surakarta terletak di bagian timur selatan Kota Surakarta, tepatnya di daerah
Semanggi Pasar Kliwon Surakarta. Pasar yang dibangun berlantai dua serta
dipetak-petak menjadi kios ini, sebelumnya merupakan PKL yang berjualan di
Monumen 45 Banjarsari hingga menggeser fungsi dari monumen tersebut.
Keberadaan Pasar Klithikan Notoharjo membuat daerah Semanggi, yang
sebelumnya tergolong kumuh, telah berubah menjadi salah satu pusat aktivitas
usaha mikro di daerah tersebut.
Pasar Klithikan Notoharjo memilki kantor sendiri yang dipimpin oleh
seorang Kepala atau Lurah Pasar, dimana kantor tersebut bukanlah merupakan
badan struktural, tetapi hanya kepanjangan tangan dari Dinas Pengelolaan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
79
Pasar untuk menangani masalah-masalah yang terjadi di Pasar Klithikan
Notoharjo tersebut. Adapun struktur Organisasinya adalah sebagai berikut :
Jumlah pegawai yang terdapat di Kantor Lurah Pasar Klithikan Notoharjo
tersebut terdiri 30 pegawai tetap, masing-masing dibagi pada tiap bagian tertentu.
Untuk staf keamanan terdiri dari delapan orang yang bertugas sebagai penjaga
keamanan disekitar pasar, staf kebersihan terdiri lima orang yang bertugas
menjaga dan memperingatkan para pedagang untuk selalu menjaga kebersihan
pasar, staf administrasi terdiri empat orang yang tugasnya lebih bersifat
administratif dan lebih ada dalam kantor, dan sepuluh orang lainnya adalah
pegawai pemungut retribusi dari tiap-tiap blok yang ada di Pasar Klithikan
Notoharjo tersebut dan sisanya merupakan petugas setor ke Balaikota. Dari
seluruh pegawai yang ada, tidak semua sudah menjadi pegawai negeri sipil ada
juga yang masih honorer dan tidak sedikit pula dari mereka yang bisa ditunjuk
langsung untuk bekerja disana tanpa mengikuti test CPNS terlebih dahulu.
Kepala Pasar
Staf Keamanan
Staf Penarik Retribusi
Staf Administrasi
Staf kebersihan
Anggota Keamanan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
80
BAB III
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Kebijakan Relokasi Pedagang Kaki Lima Banjarsari
Keberadaan Pedagang Kaki Lima (PKL) di Surakarta merupakan
fenomena sosial yang sudah lama diusahakan oleh Pemerintah Kota untuk
ditangani. Hal ini sesuai dengan Program Kerja pemerintahan pasangan
walikota dan wakil walikota Jokowi – Rudy, yaitu : (1) Bidang
Pendidikan, (2) Bidang Ekonomi, (3) Bidang kesehatan, (4) Defisit
Anggaran, (5) Penataan PKL, (6) Penertipan Hunian Liar. Berkembangnya
Pedagang Kaki Lima yang begitu pesat diawali dengan adanya krisis
ekonomi yang berkepanjangan pada tahun 1998, dimana dampaknya
adalah tidak terserapnya angkatan kerja baru serta banyaknya korban PHK
dari sektor usaha formal yang telah menyebabkan jumlah pengangguran
menjadi bertambah banyak, sedangkan tuntutan akan kebutuhan hidup
baik pribadi maupun keluarga harus terus dipenuhi. Kondisi ini
mendorong orang untuk berpikir kreatif dalam mencari alternatif
penghasilan. Dengan modal hasil pesangon maupun modal lain maka
usaha sektor informal dalam hal ini Pedagang Kaki Lima menjadi
alternatif yang dipilih. Sebagaimana diungkapkan oleh Kepala Bidang
PKL DPP, M. Zainuddin, SH :
”PKL itu tumbuhnya mulai tahun 1998 sejak reformasi, yang waktu itu reformasinya total. PKL berkembang dari tahun ke tahun
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
81
sampai pada waktu itu mencapai sekitar 1000”. (Wawancara 1 Juni 2009)
Meningkatnya jumlah pengangguran menyebabkan banyak yang
beralih profesi menjadi Pedagang Kaki Lima karena dianggap mudah,
tidak harus memiliki ketrampilan khusus dan dapat memperoleh
pengahasilan. Kondisi ini membuat para PKL akhirnya menggelar
dagangan di tempat-tempat yang strategis seperti, trotoar, jalur lambat dan
jalur hijau. Semakin lama, jumlah PKL semakin banyak sehingga terjadi
ketidakseimbangan lingkungan menjadi kumuh dan tidak tertib serta
mengganggu kenyamanan lingkungan. Seperti yang ada pada bangunan
monumen 45 di Banjarsari yang dipenuhi oleh pedagang yang menjual
barang-barang bekas atau klithikan.
Banjarsari adalah sebuah wilayah bersejarah dengan sebuah taman
tempat berdirinya Monumen Juang 45. Taman itu dikelilingi oleh
perumahan elit. Pasar klithikan Banjarsari mulai muncul sekitar tahun
1997 dan pada tahun 2001, ada hampir 1000 PKL yang beroperasi di
sekitar wilayah ini. Namun, keberadaan mereka telah menimbulkan
banyak pertentangan salah satunya oleh penduduk setempat maupun
organisasi-organisasi lain, seperti perkumpulan veteran yang aktif
menekan pemerintah daerah untuk menerapkan kontrol yang lebih tegas
terhadap keberadaan PKL di Monumen Banjarsari. Para PKL Banjarsari
juga dituduh telah menciptakan masalah prostitusi, pemabukan, dan
kriminalitas. Keberadaan mereka juga dianggap sebagai penyebab
menurunkan komunikasi sosial di antara penduduk setempat, dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
82
menghilangkan ruang terbuka hijau bagi masyarakat Kota Solo. Atas
desakan itu, Pemerintah Kota bertekad memindahkan PKL dari Banjarsari
dan merelokasinya ke daerah Semanggi.
Pemerintah Kota yang dipimpin oleh Walikota Joko Widodo
merespon adanya keresahan masyarakat Banjarsari terhadap para PKL
yang berada pada kawasan tersebut, yang langsung segera ditindaklanjuti
dengan melaksanakan kebijakan penataan dan pembinaan pedagang kaki
lima disusul dengan adanya relokasi pada tempat yang baru melalui
pendekatan-pendekatan yang dilakukan langsung baik oleh Walikota
sendiri Joko Widodo maupun Wakil Walikota FX Hadi Rudyatmo. Hal ini
seperti yang diungkapkan oleh Kepala Bidang PKL DPP, M. Zainuddin,
SH :
”.......dari Pemerintah sebelumnya kan gagal, baru setelah Pak Jokowi dan Pak Rudi jadi, mulailah dilakukan pendekatan-pendekatan. Itu pendekatannya dengan berbagai cara termasuk wakil Walikota sendiri turun ke lapangan menemui para pedagang beberapa kali sampai 54 kali dalam kurun waktu enam bulan”. (Wawancara 1 Juni 2009)
Awalnya rencana kebijakan relokasi ini mendapat penolakan keras
dari para PKL, namun kedua pemimpin Kota Surakarta ini tidak mundur.
Selama enam bulan Jokowi dan FX Hadi Rudyatmo mengajak pedagang
berdialog. Dengan berbagai pertemuan seperti makan siang dan makan
bersama mulai dari waning kecil (wedangan), pinggir jalan, lokasi PKL
Banjarsari, hingga di Loji Gandrung (rumah dinas wali kota). Pemerintah
Kotapun berkerja sama dengan perangkat daerah setempat seperti Camat
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
83
yang turun langsung untuk memberikan pengertian tentang kebijakan
penataan melalui relokasi tersebut. Sebagaimana diungkapkan oleh Kepala
Bidang PKL DPP, M. Zainuddin, SH :
”Beliau datang ke lokasi dan juga mengundang ke rumah dinas baik itu breakfast, lunch maupun dinner, makan bersama atau sekedar coffee break”. (Wawancara 1 Juni 2009)
Hal senada juga diungkapkan oleh seorang Pedagang alat-alat
sepeda motor, Bapak Rudi seperti berikut :
“Waktu itu ada duabelas paguyuban yang diundang makan, tahap berikutnya seluruh pedagang diberi kesempatan untuk makan disana waktu itu makan malam di Balaikota. Pendekatan beliau itu modelnya kumbokarnan, istilah wong jowo dikasih makan dulu baru nyambut gawe, dikasih makan dulu gen seneng-seneng baru dipindahkan”. (Wawancara 5 Juni 2009)
Hal senada juga seperti yang diungkapkan oleh seorang Pedagang
di kios sepatu, Bapak Shesa seperti berikut :
“Dulu itu Pak Rudi turun. Selaku wakil walikota dia turun mbak sebelum tim dari PKL masuk. Ya dolan disana, ibarate kita itu pake pekewuh, legowo wae. Dipangku mati, sing pejabate wae gelem turun apalagi kita. Camatnya Banjarsari wae nganti nginep-nginep mbak, sampai pagi memberi penjelasan sama kita kenapa kamu dipindahkan, kenapa kamu direlokasi, kita dienakkan, hidup lebih dijamin, tempatnya lebih layak”. (Wawancara 6 Juni 2009)
Dari wawancara diatas dapat dikatakan Pemerintah Kota
memberikan perhatian khusus terhadap para PKL, pegadang kaki lima
tidak dijadikan sebuah momok yang perlu dilakukan penggusuran,
melainkan harus memberikan pedagang kecil ruang untuk maju. Kebijakan
Penataan Pedagang Kaki Lima ini merupakan tujuan dari Pemerintah Kota
untuk mengembalikan kondisi kota yang berseri dan mewujudkan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
84
penataan kota sesuai dengan peruntukannya seperti taman, jalan, trotoar
dan fasilitas umum yang selama ini disalah gunakan oleh masyarakat.
I. Tahapan-tahapan dalam Proses Relokasi
1. Sosialisasi
a. Pendekatan-pendekatan
Pelaksanaan kebijakan penataan pedagang kaki lima
Banjarsari melalui relokasi ini dilakukan dengan 3
pendekatan, yaitu pendekatan budaya, pendekatan ekonomi
dan pendekatan yuridis atau normatif.
(1). Pendekatan Budaya
Pendekatan budaya ini lebih menitik beratkan pada
perilaku pedagang. Dimana pedagang adalah orang
yang bergerak di sektor informal yang selalu mencari
peluang untuk meningkatkan usaha. Adanya tuntutan
kebutuhan untuk tetap mendapatkan pengahasilan
membuat pemerintah kota melakukan pendekatan
budaya untuk merelokasi. Tujuannya adalah agar para
pedagang kaki lima bisa dipindahkan pada tempat yang
lebih layak dan tidak lagi menggangu kenyamanan
umum dimana para PKL juga akan tetap mendapatkan
penghasilan dengan tempat usaha yang tetap dan lebih
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
85
aman karena memiliki ijin resmi dari pemerintah.
Pemindahan para pedagang kaki lima Banjarsari inipun
melalui kirap budaya yang diikuti oleh seluruh
pedagang monjari beserta SKPD daerah serta di arak
menuju tempat yang baru dengan membawa kurang
lebih 1000 tumpeng untuk mengirigi pemindahan
tersebut.
(b). Pendekatan Ekonomi
Permasalahan untuk memenuhi kebutuhan hidup juga
merupakan pertimbangan yang dipakai oleh Pemerintah
Kota dalam kebijakan relokasi PKL ini. Para pedagang
akan berusaha terus untuk dapat menghidupi keluarga
mereka. Ada dua sisi dalam pendekatan ini :
- Dari sisi pedagang, yang merupakan alasan mereka
bergadang untuk menafkahi anak cucu mereka
agar tetap bisa hidup walaupun krisis ekonomi
pada saat itu sedang melanda.
- Dari sisi Pemerintah
Keberadaan PKL sejauh ini memang berpengaruh
besar terhahap peningkatan PAD (Pendapatan Asli
Daerah), dimana di saat unit-unit usaha lainnya
tersingkir akibat badai krisis ekonomi, justru sektor
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
86
ini tumbuh dan berkembang hampir di setiap kota
besar termasuk Surakarta. Hasil dari retribusi PKL
ini memberikan kontribusi terhadap pemasukan
PAD sebagai modal pembangunan daerah. Tentu
saja hal ini menguntungkan bagi pemerintah selain
PAD meningkat, keberadaan PKL ini juga dapat
membantu mengatasi pengangguran dan masyarakat
yang masih tergolong miskin.
(c). Pendekatan Yuridis atau Normatif
Pendekatan ini dilakukan dengan menggunakan
Perda sebagai sanksi kepada para pedagang kaki lima
yang tidak mau ikut aturan yang ada. Sanksi atas
pelanggaran Perda :
a. Pemberian Peringatan ( Pasal 6 ) :
- Terhadap bentuk pelanggar yang telah diatur
akan diberikan peringatan, apabila PKL yang
bersangkutan tetap membandel maka
Walikotamadya Kepala Daerah berhak
melakukan penyitaan,
- Terhadap barang yang sifatnya cepat berubah,
rusak, busuk dan atau mengganggu lingkungan
dan atau kesehatan, Walikotamadya Kepala
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
87
Daerah dapat menghancurkan atau meusnahkan (
ayat 5 )
b. Sanksi Pidana ( Pasal 10 ) :
Pelanggaran terhadap ketentuan pasal 4 Perda ini
diancam dengan pidana kurungan selama – lamanya
3 ( tiga ) bulan atau denda setinggi – tingginya Rp.
50.000,00. Hal ini tercantum dalam perda no.8
tahun 1995.
Pendekatan yang dilakukan Pemkot ini sesuai dengan uraian dari
Kepala Bidang PKL DPP, M. Zainuddin, SH :
”Penataan PKL di Surakarta ini sama sekali tidak ada benturan, hal ini karena kita melakukan pendekatan. Yang pertama pendekatan budaya. Pendekatan budaya ini kaitannya dengan perilaku pedagang. Pedagang ini kan inginnya berusaha mendapat peluang karena adanya tuntutan kehidupan ekonomi, banyak pengangguran salah satunya disektor informal. Kita mengkaji mengenai perilaku pedagang baik PKL maupun yang ada di pasar. Dimana pedagang itu akan terus berusaha untuk memenuhi kebutuhan anak cucu mereka. Pendekatan yang kedua adalah pendekatan ekonomi. Pendekatan ini ada dua sisi, yang pertama dari sisi kepentingan mereka, karena mereka butuh hidup. Sudut pandang yang kedua dari kami ada PADnya yang masuk ke Pemkot. Yang terakhir barulah pendekatan yuridis atau normatif. Kalo mereka ngeyel bandel barulah kita pendekatan perda. Tapi hampir-hampir jarang terjadi di Surakarta seperti itu. Kalopun pendekatan perda kita giring mereka kearah pengadilan. Jadi, tidak terjadi benturan fisik. Karena kebijakan ini kan untuk membangun kota. Padahal ada PKL yang ada di sana, nah bagaimana kita bisa mengawinkan ini. Disisi lain mewujudkan tata ruang kota yang bagus dan disisi lain kita memberikan ruang gerak bagi mereka untuk berusaha”. (Wawancara 1 Juni 2009)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
88
Selain dari tiga pendekatan tersebut, proses sosialisasi
rencana pemindahan PKL dilakukan secara formal dan informal
melalui tiga periode waktu dalam proses sosialisasi yang dilakukan
pemerintah kota Surakarta kepada para pedagang PKL Monjari
sebelum direlokasi ke Pasar Klithikan Notoharjo Semanggi.
Pada Oktober 2005, Ir. Jokowi mengadakan acara ramah
tamah. Acara tersebut di Loji Gandrung rumah dinas Walikota
Surakarta dengan mengundang para ketua dan perwakilan
paguyuban-paguyuban PKL Monjari. Dalam kesempatan ramah
tamah tersebut rencana relokasi PKL Monjari ke kawasan
Notoharjo ini belum disinggung sedikitpun. Pemkot hanya
menjabarkan tentang program kerja Walikota dan Wakil Walikota
yang salah satunya adalah dalam bidang penataan pedagang kaki
lima.
Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan Bapak Rudi salah
seorang pedagang pada kios sepeda motor, seperti berikut :
”Waktu itu diadakan acara ramah tamah, mengundang seluruh pengurus waktu itu kalo tidak salah ada 12 paguyuban dan seluruh pedagang. Tapi kita udah tahu niatnya pemerintah waktu itu mau merelokasi itu sebenarnya kami sudah tahu. Dari slentingan-slentingan kami sudah tahu.” (Wawancara 5 Juni 2009)
Konsep rencana pemindahan PKL Monjari ke kawasan
Notoharjo yang dilakukan pemerintah ini adalah untuk menata dan
menertibkan PKL Monjari bukan melakukan penggusuran. Hal ini
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
89
merupakan sikap dan kesadaran dari Pemerintah Kota bahwa
keberadaan PKL adalah potensi ekonomi yang mampu menyerap
tenaga kerja dan meningkatkan pendapatan masyarakat. Maka
kebijakan relokasi PKL ke sebuah kawasan pasar di Semanggi ini
menjadi sebuah solusi kebijakan yang dianggap tepat.
Sosialisasi secara intensif dan pendekatan-pendekatan terus
menerus ini dilakukan sampai akhir Desember 2005 dan berjalan
hingga Juli 2006 menjelang proses relokasi. Selain itu melalui
Kantor Pengelolaan PKL Surakarta juga melakukan pendataan
untuk menyiapkan kios pasar di kawasan baru yang akan diberikan
kepada para pedagang. Pendataan ini dilakukan untuk semua kios
dan semua pedagang terkecuali PKL yang hanya lewat tanpa
menetap. Langkah ini untuk memastikan tidak ada alasan PKL
yang tidak terdaftar. Dari hasil pendataan itu terkumpul data 989
PKL yang masuk.
Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan Bapak Shesa,
pedagang di kios sepatu, sebagai berikut :
”Dulu itu kami di data dulu mbak, dari pemerintah sendiri masuk lalu kami didata, seluruh pedagang semuanya di data dan ada sekitar 989 PKL pada waktu itu.” (Wawancara 6 Juni 2009)
Periode waktu yang ketiga pertemuan digelar di Pendhapi
Gedhe Balaikota Surakarta, sebanyak 989 PKL Monjari diundang
kembali untuk mendengar sosialisasi rencana relokasi PKL
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
90
Monjari ke Pasar Notoharjo oleh Pemkot secara resmi. Acara
sosialisasi ini disertai dengan makan malam dan hiburan yang
mempertemukan Pemkot sebagai pengambil dan pelaksana
kebijakan dengan semua pedagang sebagai pihak yang menerima
dampak dari sebuah kebijakan. Acara tersebut berlangsung dengan
nuansa kekeluargaan dan kental dari sisi cultural, hal ini juga
dimanfaatkan pemerintah untuk menggali lebih dalam aspirasi
yang berkembang di kalangan para pedagang.
Dalam sosialisasi ini materi yang disajikan adalah rencana
relokasi PKL Monjari ke sebuah pasar Notoharjo di kawasan
Semanggi. Pemkot telah membuat pasar yang telah didesain secara
khusus untuk perdagangan barang bekas atau klithikan di kawasan
Semanggi. Menjadikan pasar tidak semata-mata untuk mendirikan
kios-kios saja, tetapi sebuah pasar beserta fasilitas usaha yang
layak dan memadai, pasar yang aman dan nyaman, adanya
kemudahan akses jalan menuju ke kawasan tersebut sehingga dapat
memudahkan konsumen untuk menuju ke pasar tersebut dan juga
ada promosi baik guna menarik dan mendatangkan konsumen.
Pemerintah mnemilih kawasan Semanggi untuk dijadikan
tempat baru bagi PKL Monjari dalam usaha perdagangan mereka
yang baru tentunya memiliki alasan. Kawasan Semanggi
merupakan kawasan perbatasan dimana akan jarang orang untuk
berpergian ke arah tersebut. Maka dari itu pemerintah mencoba
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
91
memberi ruang hidup pada daerah tersebut supaya masyarakat bisa
memilki tujuan ke kawasan itu. Akses jalan dibuat dengan jalur
transportasi menuju arah Semanggi. Hal ini bisa dilihat dari adanya
pembangunan sub terminal di depannya dan adanya pengaturan
trayek baru yang melewati kawasan tersebut dan juga pemberian
petunjuk arah pada setiap jalan menuju ke kawasan Semanggi.
Untuk akses melewati Pasar Notoharjo ini ada beberapa
alternatif yaitu angkuta jalur 04 dari Wonorejo-Kadipiro-Silir PP,
jumlah armada sebanyak 30 kendaraan yang rata-rata lewat 8 kali
sehari, kemudian jalur 09 dari Jati Teken-Mojo-Ngipang PP jumlah
armada 37 kendaraan yang rata-rata lewat 6 kali sehari dan Bus
kota trayek Bekonang-Kartasura jumlah armada 16 Bus.
Selain itu juga diberikan rambu petunjuk jalan sebanyak 12
rambu yang ditempatkan di perempatan jalan-jalan strategis yang
tersebar di Kota Solo dan ditambah lagi 7 buah yang beberapa
diantaranya ukurannya lebih besar yang difungsikan untuk
mempermudah akses masyarakat yang menuju ke Pasar Notoharjo
agar tidak kebingungan.
Hal ini sesuai yang diungkapkan Kepala Bidang PKL DPP,
M. Zainuddin, SH :
”Semanggi adalah kawasan timur selatan kota yang akses kredibilitasnya kesana itu kan enggak begitu rame, gak ada lagi yang dituju kan, gak ada orang yang punya
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
92
kepentingan kearah sana. Itu kita buka. Supaya akses kesana itu bisa rame. Kita juga melakukan kegiatan supaya pasar itu tetap rame dikunjungi, karena kawasan itu kan baru ya..untuk pembeli dan pengunjung yang lain biar tahu kalo mereka sudah dipindahkan kesana. Sampai di setiap muara kota kita berikan petunjuk jalan dan transportasi kita arahkan kesana. Supaya mereka tahu pasar Notoharjo ada disana”. (Wawancara 1 Juni 2009)
b. Keterlibatan Aktor-aktor atau Pemeran Serta
(Participants) dalam Proses Relokasi
Sesuai dengan Keputusan Walikota Surakarta No.
511.3.05/57/1/2006 tentang Tim Penataan dan Penertiban PKL
bahwa dalam proses relokasi ini melibatkan semua potensi
yang ada di Pemkot maupun diluar itu dengan memberdayakan
LSM seperti SOMPIS (Solidaritas Masyarakat Pinggiran Solo),
KOMPIP, golongan akademis maupun dari tokoh masyarakat,
dimana semuanya mempunyai peranan dan tugas masing-
masing.
Dalam proses penyusunan kebijakan ini Pemerintah
memang mengajak seluruh komponen yang ada untuk diajak
berdialog atau sharing guna mendapatkan solusi terbaik dalam
menangani pedagang kaki lima di Surakarta. Tidak terkecuali
badan-badan independent seperti SOMPIS dan KOMPIP diikut
sertakan untuk memberikan aspirasi atau pendapat mereka
tentang rencana pemerintah melakukan relokasi PKL Monjari.
SOMPIS dan KOMPIP merupakan LSM (Lembaga Swadaya
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
93
Masyarakat) yang pada waktu itu bergerak mendampingi para
pedagang kaki lima Monjari. Mereka merupakan lembaga yang
bisa dikatakan penyambung lidah dari keinginan PKL sendiri.
Dalam proses dialog, kedua badan idependent ini selalu hadir
dan memberikan suara mereka untuk kebijakan pemerintah
dalam menangani PKL ini. Mereka juga melakukan strategi-
strategi dan mengeluarkan beberapa tuntutan pada pemerintah
kota agar kebijakan ini tetap memihak dan betul-betul
dilaksanakan sesuai kepentingan para PKL Monjari bukan
untuk kepentingan yang lain.
Selain badan-badan independent Pemkot juga mengundang
para akademisi seperti golongan akademis dari UNS
(Universitas Sebelas Maret) dan melakukan dialog, seminar-
seminar untuk membahas penanganan yang tepat dalam
mengatasi masalah pedagang kaki lima yang sudah kian
menjamur. Hal ini dilakukan agar langkah yang akan ditempuh
oleh Pemerintah ini dapat sesuai dan mampu meminimalisir
adanya pengambilan keputusan yang salah. Karena masalah
pedagang kaki lima ini merupakan fenomena sosial yang harus
segera diatasi, namun tidak menimbulkan konflik atau masalah-
masalah baru dimasa yang akan datang.
Dalam rencana relokasi PKL di Surakarta ini Pemkot juga
melibatkan tokoh masyarakat pada daerah setempat, seperti
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
94
petinggi atau pejabat daerah dari RT, RW, Lurah dan bahkan
Camat daerah setempat bekerjasama untuk memberikan
pengertian dan pemahaman secara mendalam mengenai
kebijakan yang akan digulirkan tersebut. Sehingga, nantinya
dapat diperoleh kesepakatan yang baik antara pembuat dan
pelaksana kebijakan dengan kelompok sasaran dimana
kesepakatan itu muncul karena mereka sudah mengerti dan
paham betul atas kebijakan dari pemerintah dalam hal ini
adalah tentang penataan PKL di Surakarta.
Hal ini sesuai dengan penjelasan Kepala Bidang PKL DPP,
M. Zainuddin, SH :
”Kita sendiri itu mengkaji tentang PKL ini, bahkan dari UNS dari segi akademisi untuk berdialog, bahkan tidak saja golongan akademisi saja LSM, tokoh masyarakat setempat sampai media massa kita libatkan. Kenapa sih..kita ingin mendapat masukan. Bagaimana sih kota ini dibangun tanpa harus menyingkirkan mereka. Ada lagi dari kewilayahan RT, RW saya hubungi untuk memperingati kalo ada pedagang lagi. Selain itu tokoh masyarakat, karena kan tempat-tempat seperti itu kan ada premannya ya, tidak bisa dipungkiri itu pasti ya..saya deketi saya mintai tolong untuk memberikan dialog bahkan saya mintai tolong untuk keamanan. Dari itu kita baru memunculkan program”. (Wawancara 1 Juni 2009)
c. Konflik, Hambatan dan Kendala dalam Proses Relokasi
Rencana yang dilakukan oleh Pemerintah Kota kaitannya
dengan relokasi tersebut memang tidak menimbulkan konflik
yang selama ini ditakutkan, karena sejak jauh hari pemerintah
menyadari PKL telah memberikan kontribusi langsung kepada
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
95
Pendapatan Asli daerah juga sebagai katup pengaman untuk
sebagian besar masyarakat dalam alternatif mencari pekerjaan.
Namun, tentu saja dalam proses penyusunan kebijakan ini
timbul pertentangan-pertentangan di dalam proses dialog dan
seringkali memunculkan permasalahan yang kompleks. Baik
dari kelompok luar, tekanan-tekanan dari luar atau bahkan dari
para kelompok sasaran yang dalam hal ini adalah para PKL
Monjari yang sempat menolak adanya relokasi.
Hal ini seperti yang diungkapkan Kepala Bidang PKL DPP,
M. Zainuddin, SH :
”Pertentangan atau friksi itu pasti ada. Protes, unjuk rasa, complain itu muncul pasti. Tapi kita itu ada pendekatan manusiawi, istilah orang jawa itu nguwongke uwong”. (Wawancara 1 Juni 2009)
Hal ini juga diamini oleh salah satu pedagang kios sepatu
Bapak Shesa, seperti berikut :
”Ya ada pertentangan, dulu kan ada sembilan paguyuban yang ada diBanjarsari, lha ada dua paguyuban yang menolak. Tapi bukan komunitas mereka, tapi selaku ketua saja. Tapi komunitas pedagang pada saat itu 99 % setuju, mereka antusias sekali, ikut arak-arakan semua”. (Wawancara 6 Juni 2009)
Adanya pengaruh dari kelompok luar memang kerap
muncul dalam proses dialog rencana kebijakan relokasi PKL
monjari ini. Intervensi datang seiring dengan penyambutan
otonomi dan perayaan tentang partisipasi. Intervensi dari luar
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
96
mulai memberikan penguatan terhadap dinamika lokal yang
terjadi. Seperti pada dua badan independent yaitu KOMPIP
(Konsorsium Monitoring dan Pemberdayaan Institusi Publik)
dan SOMPIS. Konsorsium ini memfokuskan diri pada
pengorganisasian kelompok sektoral, pendekatan yang
dikembangkan adalah keterlibatan forum multistskeholder
yang terorganisir sebagai representasi masyarakat sipil untuk
turut melibatkan diri dalam penyelenggaraan tata
kepemerintahan daerah sesuai mandate UU No 22 tahun 1999.
Pada proses rencana kebijakan relokasi PKL Monjari,
mereka berusaha menjadi fasilisator untuk para PKL guna
mendapatkan kelayakan sesuai kebutuhan mereka atas
kebijakan rencana tersebut. Semula mereka menolak adanya
relokasi, dan mengajukan beberapa tuntutan kepada
pemerintahan.
Sesuai yang diungkapkan Direktur KOMPIP, Bapak Akbar
sebagai berikut :
“Pada waktu itu PKL Banjarsari bergainingnya lebih kuat untuk tidak pindah. Kita memilih tinggal dan berjuang sampai mati”. (Wawancara 11 Juni 2009)
Beberapa ketidaksetujuan ini ditengarai karena design dari
rencana relokasi ini belum sesuai. Pemerintah Kota awalnya
memakai design yang technokratis lebih bersifat teknis-teknis
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
97
dan tidak melibatkan para PKL dalam menentukan design
pasar. Kewenangan dalam hal ini hanya sampai pada
Pemeritah Kota saja. Dari KOMPIP maupun SOMPIS yang
pada waktu itu merupakan badan independent yang ikut serta
dalam proses dialog menginginkan pemerintah lebih
menggunakan design yang sosiokratis. Dari dialog tersebut
kemudian pemerintah kota melakukan evaluasi menyeluruh
dan melakukan dialog pada seluruh PKL Monjari.
Keikutsertaan media juga berpengaruh terhadap perubahan
yang terjadi. Hal ini bisa dilihat dari perubahan sikap
pemerintah kota untuk mengubah design yang ada berdasarkan
aspirasi dan pendapat dari berbagai pihak tersebut.
Selain konflik diatas juga terdapat hambatan dan kendala
dalam proses relokasi PKL Banjarsari, sebagai berikut :
Pertama, masalah teknis, kawasan Pasar Klithikan
Notoharjo yang dijadikan tempat relokasi PKL merupakan
kawasan baru yang terletak pada kawasan perbatasan, sehingga
persoalan Traffic Management muncul. Untuk mengatasinya
Pemkot melakukan Reseting Traffic Management dengan
berbagai cara diantaranya yaitu Optimalisasi sarana dan
prasarana lalu lintas, Optimalisasi sub terminal, Optimalisasi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
98
angkuta kota dan bus. Adapun solusi atau pemecahan masalah
Traffic dan Transport Management sebagai berikut :
- Optimalisasi sarana dan prasarana lalu lintas
- Optimalisasi Sub terminal
- Pemasangan RPPJ; Marka jalan; Lampu flashing
- Peningkatan dan pelebaran jalan
- Peningkatan angkuta umum dengan pengembangan trayek
- Penyediaan lapangan parkir di dalam pasar
- Menyediakan tempat bongkar muat barang pada lokasi
yang representatif
- Pengaturan sirkulasi lalu lintas keluar-masuk pasar
- Penindakan tegas atas aktivitas PKL di luar pasar (di jalan)
- Optimalisasi kinerja angkuta jalur 04
- Pengembangan trayek angkuta 09 dan bus jalur U
- Penggunaan metode time table (turun naik penumpang)
Kedua, masalah non teknis, yaitu penolakan sebagian
pedagang untuk direlokasi yang meragukan langkah Pemkot
dalam kebijakan relokasi tersebut. Pada dasarnya melalui
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
99
sosialisasi dan pendekatan secara cultural pada pedagang
paham bahwa Pemkot mencarikan solusi dalam menyelesaikan
masalah PKL Monjari. Namun, keraguan akan tetap pada
kepentingan semula muncul. Hal ini dikarenakan perbedaan
latar belakang dari para PKL baik dari segi pendidikan,
lingkungan maupun psikologis yang mempengaruhi sikap dan
cara pandang PKL terhadap penerimaan kebijakan pemerintah.
Inti penolakan sebagian pedagang untuk direlokasi tersebut
adalah kekhawatiran akn nasib mereka pasca relokasi ke tempat
yang baru. Namun tentunya dalam merelokasi PKL Pemkot
tidak asal menggusurnya akan tetapi memindahkan PKL ke
sebuah kawasan yang di desain sebagai kawasan perdagangan
yang lebih memberikan kepastian usaha bagi para pedagang,
peningkatan status usaha, perijinan resmi yang diberikan gratis
oleh Pemkot seperti SHP (Surat Hak Pemilikan) untuk kios
yang mereka tempati, bantuan modal untuk tiap PKL sebesar 5
juta dari Koperasi Monjari untuk peningkatan usaha para
pedagang pasca relokasi.
Hal ini sesuai dengan penjelasan Kepala Bidang PKL DPP,
M. Zainuddin, SH :
”Pedagang pindah kesana itu kan gratis. Pada awalnya kan mereka ilegal, lalu kita legalkan dengan memberikan tempat yang lebih layak dan baik. Diberikan kios gratis selama 6 bulan. Untuk pengendalian dan pengawasan kami
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
100
berikan SHP agar tidak dijual dan itu diregistrasi setahun sekali kalo tidak diurus kita cabut kembali”. (Wawancara 1 Juni 2009)
Hal senada juga diungkapkan oleh salah satu staf kantor
Lurah klithikan Bapak Salamun terhadap jaminan yang
diberikan Pemkot kepada pedagang ini, sebagai berikut :
”Jaminannya itu ada listrik mbak, bantuan modal sampai lima juta dari koperasi Monjari biar mereka itu bisa tetap jualan, ada juga SHP surat hak penempatan, bahkan pedagang yang dishelter itu juga dapat..”. (Wawancara 1 Juni 2009)
Selain penolakan sebagian PKL untuk direlokasi hambatan
yang muncul yaitu penolakan warga sekitar karena
menganggap bahwa PKL Banjarsari itu bukan merupakan warga
asli Kota Solo melainkan para pendatang. Hal ini memunculkan
pemikiran bahwa Pemkot tidak adil tentang kebijakan relokasi
para PKL Monjari yang dipindahkan dan disenang-senangkan
pada tempat baru yang bagus dan layak serta diangkat status
mereka menjadi legal, padahal mereka bukan warga Solo asli.
Namun tentu saja, cara pandang dari sebuah kebijakan tidak
hanya dilihat dari segi itu saja. Seperti pernyataan dari Bapak
Akbar Direktur Kompip dalam menanggapi respon terhadap
pendapat tersebut.
”Memangnya pendapatan itu hanya dari warga Solo. Solo itu kecil. Bayangkan kalo ga ada orang yang transit di terminal, hanya orang solo saja yang pergi ke toko-toko sini apa bisa pendapatan dari situ. Jadi spirit membantu penduduk itu tidak tepat. Semisal, kamu sekolah di luar
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
101
kota lalu pemerintah sana hanya memperhatikan orang yang memilki KTP daerah tersebut kan susah. Civil right itu melindungi warga bukan penduduk saja”. (Wawancara 11 Juni 2009)
2. Penyiapan Tempat Relokasi
Dalam proses sosialisasi yang sedang berlangsung,
Pemerintah Kota juga melakukan penyiapan pembangunan Pasar
Notoharjo. Pembangunan ini seiring sejalan dengan proses
sosialisasi rencana relokasi. Hal pertama yang dipersiapakan untuk
pembangunan Pasar Notoharjo adalah membangun kios yang
sesuai dengan jumlah pedagang serta fasilitas pendukung lainnya,
seperti kantor pengelola yang dipimpin oleh seorang Lurah Pasar
untuk mengawasi Pasar secara keseluruhan, mushola, kamar mandi
dan toilet umum, jalur hijau, jalan lingkar dalam pasar, pintu utama
dan pintu samping pasar untuk jalan keluar masuk, area parkir serta
area bongkar pasang.
Pasar Klithikan Notoharjo menempati lahan bekas
Rehabilitasi Sosial Silir di Semanggi yang dulunya merupakan
lahan yang digunakan oleh para PSK. Namun, sejak tanggal 27
Agustus 1998 dilakukan penutupan Resos Silir sebagai salah satu
lanjutan dari grand design penataan Semanggi. Dan juga dalam
rangka mendukung keberadaan Pasar Notoharjo pada tahun 2003
keberadaan sub terminal Semanggi yang selesai dan diresmikan
pada tahun 2004.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
102
Proses pembangunan ini diawali dengan persiapan, design
teknis dan rancangan zoning kios. Setelah pembangunan kios-kios
selesai, dilakukan rapat koordinasi kepada instansi terkait salah
satunya adalah dari Bapeda untuk membuat konsep penataan blok.
Juga dilakukan sosialisasi kepada paguyuban PKL Monjari serta
beberapa LSM yang turut mendampingi untuk mendapatkan
masukan mengenai penetapan blok. Selanjutnya adalah dilakukan
pengundian untuk mendapatkan jatah kios di Pasar Klithikan
Notoharjo Semanggi. Pengundian ini berdasarkan pengelompokan
jenis dagangan yang dihadiri oleh seluruh PKL Monjari.
Sebelumnya mereka diminta menunjukkan surat undangan dan
KTP. Itu dilakukan untuk menghindari pengambilan nomor urut
oleh orang yang tidak berhak. Pelaksanaan pengundian dilakukan
oleh setiap paguyuban dengan pengarahan dan pengawasan dari
Pemkot Surakarta. Berdasarkan hasil pengundian tempat dasaran
pada tanggal 13 Juli 2006 di Pendhapi Gede sebanyak 989
pedagang terbagi atas tiga blok (Blok I, Blok II, dan Blok III)
Hal ini sesuai yang diungkapkan salah seorang staf di
Kantor Lurah Klithikan Bapak Salamun sebagai berikut :
”Dulu sebelumnya ada pembagian kios, pembagiannya dikocok, didata dulu, dibagi pada tiap-tiap blok sesuai dengan barang dagangannya”. (Wawancara 1 Juni 2009)
Setelah itu dilakukan setting atau zoning kios Pasar
Klithikan Notoharjo dibagi beberapa blok, dan pada tiap blok
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
103
disesuaikan dengan satu jenis dagangan yang sama. Setelah tahap
pelaksanaan undian, pedagang harus mematuhi perjanjian untuk
tidak melakukan penjualan kios. Salah satu hal untuk pengawasan
dalam hal ini adalah dengan diberikannya SHP. Sistem pemberian
hak pemakaian tempat ini dalam pasar di Kota Surakarta diatur
dalam Perda Nomor 5 Tahun 1983 dan Perda Nomor 3 Tahun 1993
tentang pasar. Pedagang kios dan plataran pasar Klithikan
menempati tempat dasarannya berdasarkan SHP pedagang yang
dikeluarkan oleh Dinas Pengelolaan Pasar Kota Surakarta yang
mana pada setiap 3 tahun sekali pedagang harus melakukan her-
registrasi.
3. Tahap Relokasi
Setelah tahap pembangunan kios dan kelengkapan fasilitas
Pasar Klithikan Notoharjo selesai dilakukan, kemudian dilakukan
relokasi. Pada tanggal 23 Juli 2006 Prosesi Kirab Budaya
dilakukan dengan meriah menandai proses boyongan resmi para
PKL dari kawasan Monumen Juang 45 Banjarsari menuju lokasi
yang baru di Pasar Semanggi yang diberi nama pasar klithikan
Notoharjo. Upacara yang kental nuansa Jawanya ini diikuti oleh
seluruh PKL Banjarsari, Walikota, Wakil Walikota, rombongan
pejabat di lingkungan Pemerintah Kota, para anggota DPRD,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
104
pasukan pengibar bendera pusaka, berbagai elemen masyarakat,
serta disaksikan ribuan warga kota di jalan-jalan yang dilalui kirab.
Dalam tahap relokasi ini ada beberapa tahap kegiatan
pendahuluan untuk dilaksanakan demi kelancaran acara pada hari
yang telah ditentukan. Pertama, sosialisasi persiapan dan
musyawarah-musyawarah untuk mempersiapkan kegiatan-kegiatan
terkait dengan prosesi kirab boyongan PKL nantinya. Sosialisasi
dilakukan dari Kantor Pengelolaan PKLkepada Walikota dengan
dihadiri instansi terkait untuk mendapatkan persetujuan atas
penyempurnaan kesiapan pemindahan PKL Monjari ke Pasar
Klithikan Notoharjo Semanggi bersama pula budayawan, LSM dan
paguyuban-paguyuban PKL Monjari guna menjelaskan prosesi
kirab demi mensukseskan acara.
Kedua, pedagang memindahkan sejumlah barang
dagangannya ke tempat baru. Hal ini dilakukan agar memudahkan
pedagang sendiri sebelum prosesi kirab boyongan PKL
berlangsung nantinya. Para pedagang juga harus melakukan
pengawasan sendiri saat pengangkutan, mengikuti perjalanan dan
menerima serta menata kembali barang dagangannya di kios
masing-masing. Dengan cara tersebut proses boyongan diharapkan
dapat berjalan lancar. Untuk alat pengangkutnya disedikan oleh
Pemkot sendiri sebanyak 40 armada truk dan tenaga angkut yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
105
disesuaikan dengan kebutuhan. Hal ini adalah bukti Pemkot untuk
membantu para PKL.
Ketiga, sebelum acara boyongan dilakukan terlebih dahulu
gladi bersih prosesi boyongan dengan tema bedhol desa tersebut.
Pemasangan Tarub, umbul-umbul, spanduk, dan persiapan
kelengkapan prosesi boyongan dan pengecekan akhir kelengkapan
dan kesiapan prosesi kirab boyongan. Kirab boyongan sekaligus
peresmian Pasar Klithikan Notoharjo digelar pada tanggal 23 Juli
2006 dan dilanjutkan dengan peresmian dan penandatanganan
prasasti Pasar Klithikan Notoharjo Semanggi. Kirab Boyongan
tersebut mengambil rute dari kawasan Monjari, warung Pelem, Jl.
Oerip Sumoharjo, Jl. Jendral Sudirman, perempatan Gladak,
Perempatan Baturono, JL. Kyai Mojo, Jl. Serang kemudian tiba di
Pasar Klithikan Notoharjo Semanggi. Pengambilan rute ini
sekaligus untuk memberikan syiar kepada masyarakat bahwa
proses relokasi yang selama ini dikhawatirkan akan menimbulkan
konflik tidak terjadi.
Akhirnya relokasi PKL Monjari berjalan dengan baik dan
lancar. Pada dasarnya tujuan dari diadakannya relokasi ini adalah
untuk mengembalikan fungsi lahan semula monumen 45 yang akan
dikembalikan kembali untuk Area Public masyarakat Solo dan
sebagai bangunan bersejarah oleh kaum pejuang yang tidak
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
106
mungkin terpisahkan dari Kota Surakarta. Adapun dasar hukum
yang digunakan dalam penataan PKL ini adalah :
1. Perda Kotamadya Dati II Surakarta No.8 Tahun 1995 Tentang
Penataan dan Pembinaan Pedagang Kaki Lima Kota Surakarta.
2. SK Walikota Surakarta No.2 Tahun 2001 Tentang Pedoman
Pelaksanaan Perda No.8 Tahun 1995.
3. Perda Kota Surakarta No.3 Tahun 2008 Tentang Penataan PKL
Kota Surakarta.
4. Perda Kota Surakarta No.6 tahun 2008 Tentang SOTK Kota
Surakarta.
5. Peraturan Walikota Surakarta No.22 Tahun 2008 tentang
Penjabaran TUPOKSI dan tata kerja Dinas Pengelolaan Pasar
Kota Surakarta.
Seperti yang diungkapkan oleh Kepala Bidang PKL DPP,
M. Zainuddin, SH :
”Dalam penataan PKL ini kita punya Perda. Ada 3 Perda dan 2 surat keputusan. Dari Dinas Tata Kotapun itu merupakan kawasan yang tidak boleh ditempati”. (Wawancara 1 Juni 2009)
Pasca Relokasi PKL Monjari ke Pasar Klithikan Notoharjo,
Pemerintah Kota terus melakukan usaha untuk memperkenalkan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
107
Pasar notoharjo kepada masyarakat umum. Adapun usaha-usaha
yang ditempuh adalah sebagai berikut :
a. Dukungan Promosi
Dalam publikasinya Pemkot melakukan media promosi
melalui Televisi Lokal yang ada di Surakarta, media cetak,
radio dan menyelenggarakan event-event khusus di Pasar
Klithikan. Hal ini dipertegas dari pengakuan salah satu
pedagang di kios sepatu Bapak Shesa, sebagai berikut :
”Dulu setelah pindah ada panggung dangdut disini malemnya. Kalo tidak salah selama satu minggu mbak, untuk sekalian promosi juga”. (Wawancara 6 Juni 2009)
b. Dengan Pemberian informasi petunjuk jalan yang mengarah ke
Pasar Notoharjo yang bisa di lihat di beberapa ruas jalan di
tempat-tempat strategis.
c. Bantuan Penyediaan dana pinjaman
Pengembangan usaha dari bantuan modal ini diberikan
melalui Koperasi Pedagang Pasar Klithikan Notoharjo yang
merupakan kelanjutan dari Koperasi yang telah ada yaitu
koperasi Monjari. Masing-masing sebesar Rp. 5.000.000,-
dengan total bantuan Rp. 5.090.000.000,-
d. Pelatihan Manajemen bagi Pedagang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
108
Pelatihan ditujukan untuk peningkatan kemampuan PKL di
bidang Manajemen Keuangan, usaha maupun kesehatan.
Kegiatan ini bekerjasama dengan berbagai pihak yang terkait,
mis :
Ø Dinas Koperasi dan UKM
Ø Dinas Kesehatan Kota
Ø Kantor Satpol PP
Ø DTK
Ø Universitas Sebelas Maret
Adapun inti dari adanya relokasi PKL ini untuk menjamin
kepastian usaha dan kepastian tempat usaha. Yang dimaksud
dengan kepastian usaha adalah dengan adanya relokasi merubah
status mereka dari pedagang ilegal menjadi pedagang yang resmi
yang layak karena memilki aspek perizinan, surat hak penempatan,
surat izin usaha perdagangan. Sedangkan kepastian tempat usaha
adalah dengan relokasi di tempat baru yaitu Pasar Notoharjo tidak
akan mungkin lagi mendapat gusuran sehingga menimbulkan rasa
aman untuk bekerja.
Hal ini sesuai dengan pengakuan salah satu pedagang di
kios sepatu Bapak Shesa, sebagai berikut :
”Jadi kita tu lebih aman ga digusur lagi ga kena tangkap. Pelanggan sekarang sudah dari semua kalangan. Yang dulu perempuan itu ga mau masuk ke pasar sekarang sudah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
109
berani karena rasa aman. Tempat berjualan kami juga bagus dan layak. Dulunya kami itu PKL yang liar sekarang sudah jadi pedagang yang resmi”. (Wawancara 6 Juni 2009)
Namun hal yang penting dalam kebijakan ini adalah adanya
partisipasi yang baik tidak hanya partisipasi dari Pemkot saja
melainkan dari masyarakat, LSM, golongan-golongan akademisi,
instansi terkait dan tentunya PKl itu sendiri, Relokasi ini tidak
mungkin dapat dilakukan dengan lancar dan tertib.
II. Dampak Kebijakan atau Policy Outcomes dari Relokasi PKL
Banjarsari
Dampak dari Relokasi ini cukup luas, mulai dari Pemkot,
PKL itu sendiri, masyarakat umum khususnya di kawasan Semanggi.
Tetapi satu yang paling menonjol adalah dengan program kebijakan
relokasi yang dicanangkan oleh Pemerintah Kota ini merupakan
keberhasilan tersendiri bagi Pemkot khususnya dalam penataan Kota
Surakarta untuk mewujudkan harmonisasi ruang dan mengembalikan
citra kota ”Solo Berseri” yang selama ini disalahgunakan oleh
masyarakat dan juga keberhasilan pada revitalisasi lahan di kawasan
Monumen’ 45.
Untuk Pemkot ada beberapa dampak yang dapat dirasakan
dengan keberhasilan dari Relokasi ini, yaitu :
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
110
1. Adanya kebanggaan yang dimaksud adalah dengan
keberhasilan kebijakan relokasi ini Kota Surakarta menjadi
percontohan untuk kota-kota lain dalam masalah penataan PKL
tanpa menimbulkan konflik.
2. Adanya kunjungan atau studi banding dari daerah-daerah lain.
Dimana mereka belajar kenapa dan strategi apa yang digunakan
Pemerintah Kota Surakarta sampai penataan PKL ini tidak
menimbulkan kekisruhan.
3. Mendapatkan penghargaan dari MURI (Museum Rekor
Indonesia) dengan kategori ”Perpindahan Komunitas PKL
Terbanyak Tanpa Menimbulkan Konflik” tentu saja ini
merupakan prestasi yang patut membanggakan bagi Pemkot
atas keberhasilan kebijakan relokasi tersebut.
4. Peningkatan PAD (Pendapatan Asli Daerah)
Tercatat PAD Kota Surakarta pada tahun 2001 (Rp. 35,6
M);2002 ( Rp. 44,9 M); 2003 (Rp. 54,8 M); 2004 (Rp. 53,5 M);
2005 (Rp. 62,6 M); 2006 (Rp. 74, 9 M); dan 2007 (Rp. 86,3
M). Sedangkan pada tahun 2008, PAD Kota Surakarta
mencapai Rp. 95.038.677.100. Dari tahun ke tahun APBD Kota
Surakarta mengalami peningkatan; 2001 (Rp. 206,3M); 2002
(Rp. 206,7 M); 2003 (Rp. 347,5 M); 2004 (Rp. 358.2 M); 2005
(366.0 M); 2006 (Rp. 496.1M); 2007 (Rp.590.1 M). Sedangkan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
111
data terakhir tahun 2008 tercatat APBD Kota Surakarta sebesar
Rp. 686. 9 Milliar.
5. Dan yang terakhir merupakan PR (Pekerjaan Rumah) untuk
Pemkot sendiri agar mampu mempertahakan prestasi ini.
Dimana jalan-jalan protokol itu secara sporatif PKL masih ada
dan masih banyak. Tentu saja mereka masih harus berusaha
lagi untuk dapat mengambil tindakan yang baik dan tepat,
seperti pada amanah Walikota sendiri supaya pertumbuhan
PKL di Solo ini nantinya bisa ”Zero Growth” atau
pertumbuhannya nol.
Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan oleh Kepala
Bidang PKL DPP, M. Zainuddin, SH :
”Tentu saja itu merupakan prestasi. Pada tahun 2008 kemarin baik Walikota maupun Wakil Walikota mendapatkan penghargaan dengan predikat Kepala Daerah Tingkat II Terbaik sepuluh besar tingkat Nasional, karena penataan PKL dan pembangunan pasar. Dari itu juga kita sering dapat kunjungan, sampai 57 kunjungan dari luar kota. Mereka kesini ingin belajar kenapa sih penataan PKL di Surakarta tidak kisruh. Kemudian juga peningkatan PAD ada yang masuk. Tapi tentu saja ini juga sekaligus PR bagi kami untuk bisa mempertahankan prestasi ini”. (Wawancara 1 Juni 2009)
Kemudian untuk PKL sendiri pastinya juga mempunyai
beberapa dampak yang sangat dirasakan, yaitu :
1. Adanya Kepastian Usaha
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
112
Yang dimaksud adalah dengan berubahnya status yang
dulunya PKL (Pedagang tidak resmi) menjadi pedagang yang
resmi memberikan kepastian dan kenyamanan dalam berusaha,
diantaranya dengan diperolehnya SHP (Surat Hak Penempatan)
kios, SIUP (Surat Izin Usaha Perdagangan), KTTP (Kartu Tanda
Pengenal Pedagang), TDP (Tanda Daftar Perusahaan) dan bisa
mengajukan bantuan modal karena sudah menjadi pedagang resmi
sehingga dijamin kepastian usahanya oleh Pemerintah melalui
Koperasi.
Seperti yang di ungkapkan Bapak Feri, selaku ketua
Paguyuban di kios sepeda motor, sebagai berikut :
”Ya dulu itu kan kami bisa dikatakan ilegal ya, pedagang liar ga ada aturan sama sekali, sekarang kami sudah resmi sudah punya SHP, SIUP,TDP. Trus ucuran dana dari Menteri Koperasi, perkios 5 juta yang diangsur tiap bulan 270rb selama dua tahun”. (Wawancara 1 Juni 2009)
2. Adanya Kepastian Tempat Usaha
Yang dimaksud adalah dengan direlokasinya para PKL
Banjarsari ke Pasar Notoharjo dengan status mereka yang sudah
resmi menjadi pedagang tidak mungkin mereka akan digusur lagi,
sehingga kesan nyaman dan aman dalam berusaha ada.
Kesejahteraan lebih terjamin dan ketenangan berjualanpun lebih
banyak. Seperti yang diungkapkan Bapak Shesa, salah satu
pedagang di kios sepatu senagai berikut :
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
113
”Setelah disini ya kesejahteraan untuk keluarga lebih terjamin, trus ketenangan juga dalam berjualan. Kalo dulu kan kita ada di tamn kota ya jadi was-was untuk digusur”. (Wawancara 6 Juni 2009)
Namun dari dampak yang positif bagi pedagang Notoharjo, juga
terdapat beberapa dampak yang dirasakan kurang
1. Pelanggan Berkurang
Hal ini dirasakan betul oleh para pedagang Pasar Notoharjo
pada tahun-tahun pertama mereka dipindahkan di kawasan
Semanggi tersebut. Meskipun dari Pemerintah sudah
melakukan promosi untuk mendukung kesohoran (brand
image) pasar tersebut, tetapi ternyata omset yang mereka
dapatkan masih sangat berkurang dibandingkan pada saat
mereka di Banjarsari. Sehingga menyebabkan mereka pada
akhirnya kembali berdagang di luar Pasar dan ada pula yang
menjualkan kiosnya karena sepi pengunjung. Tetapi hal ini
tidak dilakukan oleh semua pedagang, hanya beberapa
pedagang saja yang tidak bertahan. Namun, para pedagang
memilki penguat diri untuk bertahan di Pasar tersebut. Bahkan
masing-masing pedagang bekerja sama untuk saling
meningkatkan usaha mereka.
Hal ini seperti yang diungkapkan salah satu pedagang di
Kios sepatu, Bapak Shesa, sebagai berikut :
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
114
”Tahun-tahun pertama memang iya, tapi tahun-tahun kedua ra enek sing ngeluh (tidak ada yang mengeluh). Harga kios disini juga semakin bertambah. Dari sini menunjukkan adanya peningkatan. Kalo disini mati, ga mungkin tho harga kiosnya tinggi. Nah, pada kondisi pedagang yang kurang, kita tukar-tukar tempat biar bisa bertahan usahanya. Misalnya dia dapat kios di belakang trus tukar tempat yang agak depan dengan meminjam modal dulu”. (Wawancara 6 Juni 2009)
Kemudian Ia melanjutkan :
”Tapi mbak dimanapun itu yang namanya pasar itu pasti ada yang mati, satu dua tiga pasti ada bagaimana kita aja bisa menanganinya.” (Wawancara 6 Juni 2009)
Begitu pula yang diungkapkan oleh Bapak Rudy, salah
seorang pedagang sepeda motor, sebagai berikut :
”Ya kami tu bisa tetap untuk bertahan ini karena kami punya kenyakinan bahwa besok itu tahun-tahun kedepan pasar ini akan lebih rame. Sing penting awak dewe gelem usaha (yang penting kita mau berusaha)”. (Wawancara 5 Juni 2009)
2. Interaksi Antar Pedagang Berkurang
Irinya Hal ini dikarenakan adanya pedagang yang
diacak atau diundi, yang menyebabkan interaksi mereka
berkurang. Kalo dulunya mereka dibagi pada tiap jalan
sekarang harus di blok-blok. Tetapi dengan mempertahankan
paguyuban di masing-masing blok itu mereka dapat
berkomunikasi melalui pertemuan yang digelar dalam satu
bulan sekali itu untuk berdiskusi dan sekaligus mengenal
pedagang lain dalam satu blok.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
115
Sedangkan untuk masyarakat sekitar Semanggi dengan berdirinya
Pasar Noto harjo di sekitar mereka memberikan andil besar dalam :
· Penyerapan tenaga kerja, dimana Pengelolaan Pasar pihak
pengelola melibatkan peran masyarakat sekitar dengan
menjadikan warga sekitar untuk mengelola keamanan,
MCK, Kebersihan, perparkiran.
· Sebagai pemicu pertumbuhan kawasan perdagangan di
Kawasan Perbatasan yang dulunya hanya identik dengan
Pasar ayam untuk sekarang masyarakat umum tambah
mengenalnya dengan adanya Pasar Klithikan yang bernama
Pasar Notoharjo.
Menurut Anderson dalam Islamy, dampak kebijakan (policy
outcomes) memiliki beberapa dimensi dampak, yaitu :
1. Dampak Kebijakan Yang Diharapkan (Intended Consequences)
Dengan adanya kebijakan relokasi tersebut diharapkan agar
pedagang kaki lima khususnya para PKL Monjari dapat
dipindahkan pada kawasan baru yang lebih layak dan dapat
mendapat kepastian usaha dan kepastian tempat berdagang
guna mewujudkan tata ruang kota yang harmoni, memberikan
public space bagi masyarakat umum, membersihkan ruang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
116
publik yang sudah disalah gunakan hingga terjadi kesan kumuh
dan terjadi ketidakseimbangan lingkungan.
2. Dampak Kebijakan Yang Tidak Diharapakan (Unintended
Consequences). Dengan adanya relokasi tersebut timbul
dampak-dampak yang tidak diharapkan seperti ada beberapa
pedagang yang tidak mampu bertahan ditempat yang baru
karena merasa pelanggannya banyak berkurang dari tempat
yang dulu sehingga membuat mereka akhirnya menutup kios
mereka dan beralih menjadi pedagang keliling lagi.
3. Limbah Kebijakan, secara garis besar limbah kebijakan dari
kebijakan relokasi PKL Banjarsari ke Notoharjo adalah positif.
PKL sendiri diuntungkan karena status mereka berubah
menjadi resmi dan legal. Dari Pemerintah selaku pembuat dan
pelaksana kebijakan hal ini merupakan prestasi besar karena
kebijakan ini berjalan dengan baik dan lancar tanpa
menimbulkan konflik yang berarti. Sedangkan dari masyarakat
umum, menjadi lebih tenang dan aman melakukan transaksi
jual beli ke Pasar Klithikan yang dulu notabenenya identik
dengan kesan seram dan kesan kumuh namun sekarang lebih
bagus, bersih dan nyaman untuk dikunjungi. Sedangkan untuk
kawasan Semanggi sendiri, dapat membuka akses perdagangan
yang lebih luas lagi.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
117
4. Dampak Kebijakan Yang Berpengaruh Pada Kondisi Sekarang
dan Kondisi Yang Akan Datang. Bahwa dengan adanya
kebijakan relokasi PKL Monjari ke tempat baru di kawasan
Semanggi dampak yang akan datang adalah tertatanya PKL
atau pedagang liar di jalan-jalan serta dapat mengubah pola-
pola ekonomis masyarakat di masa akan datang. Dengan
adanya PKL yang terfokuskan dan tertata dalam satu tempat
membuat masyarakat lebih baik pola-pola ekonomisnya
menjadi tertata pula.
5. Dampak Kebijakan “biaya” Langsung (Direct Cocts) dengan
Social Costs. Dengan adanya Relokasi PKL dari Banjarsari ke
Notoharjo biaya yang dikeluarkan Pemerintah tentulah tidak
sedikit. Ada sekitar 9 Millyar sendiri untuk proses
pembangunan Pasar Notoharjo sendiri. Namun biaya yang
tinggi ini tidak ada artinya kalau Pasar Notoharjo dapat
berkembang baik dan meningkatkan tiap tahunnya, sehingga
PAD (Pendapatan Asli Daerah) Kota Surakarta sendiri dapat
meningkat.
6. Dampak Kebijakan Terhadap “biaya” Tidak Langsung
(Inderect Costs), seperti ketidakenakan dan keresahan sosial.
Dalam hal relokasi ini dampak yang tidak dapat diukur ini tentu
saja ada. Ketidakenakan dan keresahan para pedagang tentang
nasib usaha mereka karena tempat yang baru, namun dengan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
118
keyakinan tempat tersebut akan ramai pada tahun-tahun
kedepan membuat mereka tetap berusaha dan bertahan.
Dari apa yang diuraikan diatas bahwa keberhasilan kebijakan ini
memang tampak hasilnya secara nyata yang bisa dirasakan oleh semua
komponen yang terlibat dan juga yang terkait. Dampaknya begitu luas,
bahkan dari pedagangnya sendiri meskipun awalnya mengalami kesusahan
dalam berdagangnya karena adaptasi dengan tempat baru, namun sekarang
ini secara makro usaha perdagangan di Pasar Klithikan Notoharjo telah
meningkat.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
119
BAB IV
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Kota Surakarta sebagai Hintherland antara kota – kota eks
Karesidenan Surakarta dengan luas + 4.404,0593 Ha dengan batas – batas
administrative : sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Karanganyar
dan Boyolali, sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Sukoharjo dan
Karanganyar, sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Sukoharjo,
dan di sebelah barat berbatasan dengan kabupaten Sukoharjo dan
Karanganyar. Posisi daerah Surakarta berada pada jalur strategis yaitu
berada di antara Yogyakarta dan Semarang ( Joglo Semar ). Keadaan
tersebut diatas telah menarik warga masyarakat di sekitarnya untuk datang
dan mengadu nasib di Kota Surakarta, urbanisasi, migrasi dan struktur
pekerjaan menjadi masalah utama kota Surakarta seiring dengan
meningkatnya jumlah tenaga kerja. Ditunjang pula dengan adanya krisis
ekonomi di Indonesia yang berkepanjangan menyebabkan terjadinya krisis
Multidimensional. Banyak Perusahaan Bangkrut sehingga Terjadinya
PHK massal. Dampak dari krisis ekonomi adalah tidak terserapnya
angkatan kerja baru serta banyaknya Korban PHK dari sektor usaha formal
telah menyebabkan jumlah pengangguran menjadi bertambah banyak,
sedangkan tuntutan akan kebutuhan hidup baik pribadi maupun keluarga
harus terus dipenuhi. Kondisi ini mendorong orang untuk berpikir kreatif
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
120
dalam mencari alternatif penghasilan. Dengan modal hasil pesangon
maupun modal lain maka usaha sektor informal dalam hal ini Pedagang
Kaki Lima menjadi alternatif yang dipilih. Meskipun sektor usaha ini
terbukti mampu menjadi katub pengaman ekonomi yang tidak mengenal
krisis dan mampu menggerakkan roda perekonomian nasional yang
sedang lesu. Namun, keberadaan mereka cukup meresahkan, karena
tempat-tempat yang mereka tempati menjadi terkesan kumuh, belum lagi
jika mereka menempati lokasi dimana terdapat bangunan sejarah atau
ruang public space tentu saja akan menimbulkan gangguan sosial pada
kawasan tersebut.
PKL sejauh ini masih menjadi satu komunitas yang belum
diuntungkan dan terpinggirkan di dalam proses pembangunan di Indonesia
karena selalu dipandang sebelah mata oleh Pemerintah utamanya sebagai
penentu kebijakan. Dan salah satu solusi yang digunakan dalam hal ini
Pemerintah Kota Surakarta adalah dengan merelokasi mereka. Relokasi
barang kali merupakan hal yang paling sulit dari keseluruhan karena
menyangkut membangun kembali kondisi kehidupan. Berdasarkan pada
skala kebutuhan relokasi, perlu mempertimbangkan berbagai alternative
pilihan relokasi yang tepat dan melibatkan semua pihak yang terkait serta
dukungan partisipasi dari berbagai komponen dalam menentukan pilihan
relokasi yang terbaik.
Dari penelitian yang telah dilakukan maka diperoleh data hasil
penelitian sebagai berikut :
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
121
1). Bahwa dari penelitian yang dilakukan Peneliti didapati untuk proses
relokasi terdiri dari tiga tahap yaitu :
1. Sosialisasi
Dimulai dengan pendekatan-pendekatan yang dilakukan
pemerintah dengan melihat dari berbagai sudut pandang
pendekatan yang berbeda-beda, seperti pendekatan budaya
dengan melihat dari perilaku pedagangnya sendiri, pendekatan
ekonomi dengan melihat dari dua sisi yaitu dari sisi pedagang
alasan berdagang adalah untu mencukupi kebuthan hidup
keluarga dan dari sisi pemerintah yaitu keberadaan PKL yang
menguntungkan terhadap peningkatan PAD Kota Surakarta dan
pendekatan yuridis atau normative dengan memberikan sanksi
perda bagi pedagang yang tidak ikut aturan.
Sosialisasi ini juga mengedepankan semangat
Nguwongke wong serta motto Manggon nganggo waton ojo
waton manggon membuat penataan PKL di Kota Surakarta
menjadi terkendali. Pemerintah sendiripun juga melakukan
ramah tamah dengan pedagangnya sendiri selaku kelompok
sasaran dari kebijakan relokasi tersebut, sehingga program kerja
dari Walikota Surakarta tentang penataan PKL dapat terwujud
dengan baik. Selain itu Pemkot juga melakukan kerjasama
dengan instansi terkait, LSM, golongan akademisi untuk diajak
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
122
dialog agar proses pengambilan keputusan tidak salah dan agar
konflik, hambatan serta kendala yang akan muncul dapat
ditangani dengan baik.
2. Penyiapan Tempat Relokasi
Pemerintah Kota menempatkan PKL yang direlokasi pada
tempat yang diperkirakan dengan matang. Sebuah kawasan
perbatasan yang tidak ramai dibuat ramai dengan berdirinya
Pasar Klithikan Notoharjo disana. Orang yang mencari barang
bekas akhirnya memiliki tujuan untuk pergi ke kawasan tersebut
sehingga dapat membuka akses berdagang lebih luas lagi
3. Relokasi
Proses relokasi PKL Monjari ke Notoharjo ditandai
dengan prosesi kirab budaya yang bernuansa Jawa khas
Surakarta, hal ini menunjukkan tekad Pemerintah Kota untuk
memberikan ruang gerak bagi pedagang kaki lima bukan
menggusur mereka.
Pada intinya dari hasil penelitian yang dilakukan dapat
dilihat bahwa Program Relokasi PKL Monjari Ke Pasar
Notoharjo Semanggi dapat dikatakan cukup berhasil. Sehingga
dampak yang dihasilkannya pun cukup baik. Dampak yang
ditimbulkan dari relokasi PKL Monjari ke Pasar Notoharjo ini
antara lain :
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
123
1. Dari segi PKL yang direlokasi sendiri, mereka dapat
kepastian usaha yaitu dengan berubahnya status mereka
menjadi pedagang resmi membuat usaha perdagangan
mereka menjadi lebih pasti. Dan lagi adanya kepastian
tempat usaha, pedagang dari Monjari tersebut sudah dapat
merasa aman dan nyaman dalam berusaha tidak perlu
khawatir akan tindakan penggusuran dari Satpol PP.
2. Dari segi Pemerintah, adanya keberhasilan pada relokasi
PKL banjarsari ke Pasar Notoharjo merupakan Prestasi dan
sekaligus PR (Pekerjaan Rumah) untuk dapat
mempertahankan kondisi ini pada jangka panjang
kedepannya.
3. Dan bagi masyarakat, pembangunan Pasar Notoharjo ini
dapat menyerap tenaga kerja baru dan juga untuk kawasan
Semanggi sendiri dapat menjadi peluang usaha yang lebih
baik.
B. SARAN
1. Dalam masalah penataan PKL ternyata dengan mengedepankan hati
nurani dan solusi yang jelas para PKL mau untuk ikut berpartisipasi
dalam melaksanakan Program Kebijakan Pemerintah. Tentunya untuk
Pemerintah Kota Surakarta diharapkan terus menggunakan hati nurani-
nya dalam penerapan semua kebijakan yang diambil agar supaya
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
124
konflik serta kendala yang dihadapi dapat ditangani dengan lebih baik
lagi.
2. Perlu adanya sosialisasi dan koordinasi yang berkelanjutan serta
penegakan hukum yang tegas agar tidak muncul PKL-PKL yang baru.
3. Untuk instansi yang terkait dalam masalah PKL ini diharapkan untuk
tidak berhenti begitu saja dalam hal pembinaan dan pengurusan setelah
status para PKL ini berubah menjadi pedagang resmi, sehingga masalh
tentang PKL dapat dituntaskan.
4. Untuk para PKL agar disadari dan memperhatikan aturan dan norma
yang berlaku. Jangan sampai pekerjaan berdagang untuk memenuhi
kebutuhan keluarga menjadi pekerjaan yang dapat mengganggu
masyarakat dan lingkungan sekitar.