pengaruh stigma pada outcome (pengalaman, …
TRANSCRIPT
1
PENELITIAN KUALITATIF DIVISI ADIKSI
PENGARUH STIGMA PADA OUTCOME
(PENGALAMAN, MOTIVASI DAN HAMBATAN)
KLIEN DI PTRM SANDAT RSUP SANGLAH
Penulis:
dr. I Putu Diatmika
dr. Luh Nyoman Alit Aryani, SpKJ (K)
PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS - 1
BAGIAN/ SMF ILMU KEDOKTERAN JIWA
FK UNUD/RSUP SANGLAH DENPASAR
2016
2
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena atas karunia-Nya
maka monograf Pengaruh Stigma pada outcome klien di PTRM Sandat RSUP
Sanglah, dalam rangkaian tugas PPDS-1 Ilmu Kedokteran Jiwa stase divisi adiksi
dapat diselesaikan.
Dalam penyusunan monograf ini, penulis banyak memperoleh bimbingan,
bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Melalui kesempatan ini penulis
mengucapkan terima kasih kepada:
1. dr. A.A Sri Wahyuni, SpKJ, selaku Kepala Bagian/ SMF Ilmu Kedokteran
Jiwa FK UNUD/ RSUP Sanglah Denpasar.
2. dr. L. N Alit Aryani, SpKJ (K), selaku Ketua Program Studi Ilmu Kedokteran
Jiwa FK UNUD sekaligus dosen pembimbing yang telah membimbing dan
mendorong saya untuk menyelesaikan tugas ini.
3. dr. Nyoman Hanati, SpKJ (K), selaku dosen pembimbing yang telah
memberikan masukan-masukan demi kemajuan dan penyelesaian tugas ini.
4. Seluruh dosen Program Studi Ilmu Kedokteran Jiwa FK UNUD yang telah
membimbing dan memberi masukan dalam penyelesaian tugas adiksi.
5. Seluruh pihak yang bertugas di Klinik PTRM Sandat RSUP Sanglah
Denpasar dan klien-klien metadon, atas bantuannya selama saya
menyelesaikan stase divisi adiksi.
6. Seluruh rekan residen yang tidak sempat saya sebutkan satu-persatu atas
bantuan dan dukungannya secara moral maupun material.
3
Akhir kata penulis menyadari bahwa penulisan monograf ini masih jauh dari
sempurna sehingga memerlukan bimbingan, kritik dan saran, dan atas
perhatiannya penulis mengucapkan terima kasih.
Denpasar, Januari 2016
I Putu Diatmika
4
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
……………………………………………….
1
BAB II STIGMA PADA PENGGUNA NAPZA
……………………….. 5
2.1 Definisi Stigma
……………………………………………… 5
2.2 Persepsi Masyarakat Tentang Stigma
………………………. 7
BAB III OUTCOME (PENGALAMAN, MOTIVASI DAN
HAMBATAN) KLIEN PTRM 12
3.1 Program Terapi Rumatan Metadon
(PTRM)………………... 12
3.2 Pengalaman Klien
…………………………………………... 13
3.3 Motivasi Klien
………………………………………………. 15
3.4 Hambatan Klien
…………………………………………….. 17
BAB IV ILUSTRASI KASUS
……………………………………………
19
4.1 Pengalaman Klien PTRM
……………………………………
19
4.2 Motivasi Klien PTRM
…………………………………........
22
4.3 Hambatan Klien PTRM
……………………………………...
25
4.4 Gambaran Stigma Internalisasi Klien PTRM Sandat RSUP
Sanglah
…………………………………………………………..
28
5
BAB V PEMBAHASAN
………………………………………………...
31
BAB VI SIMPULAN DAN SARAN
……………………………………..
36
DAFTAR PUSTAKA
…………………………………………...
39
6
BAB I
PENDAHULUAN
Penyalahgunaan NAPZA merupakan suatu pola penggunaan yang bersifat
patologik, berlangsung dalam jangka waktu tertentu dan menimbulkan gangguan
fungsi sosial dan okupasional. Istilah NAPZA (Narkotika, psikotropika, dan Zat
Adiktif lainnya) lebih tepat dibandingkan dengan istilah Narkoba karena di dalarn
singkatan tersebut tercantum juga psikotropika, yaitu obat yang biasanya
digunakan untuk gangguan kesehatan jiwa namun termasuk yang sering
disalahgunakan dan dapat menimbulkan adiksi. NAPZA pada awalnya adalah
sejenis obat-obatan tertentu yang digunakan oleh kalangan kedokteran untuk
terapi misalnya untuk menghilangkan rasa nyeri. Namun pada perkembangannya
obat-obatan itu disalahgunakan (abuse) sehingga menimbulkan ketergantungan
(adiksi). Penyalahgunaan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif (NAPZA) sudah
menjadi masalah di tingkat nasional, regional maupun global, yang menimbulkan
dampak buruk bagi fisik, mental, emosional serta sosial bagi penggunanya.
Dampak buruk yang lebih luas, penyalahgunaan zat ini dapat merusak masa depan
sebuah bangsa (Damayanti, 2015; Pratiwi, et al., 2014).
Sejak dilaporkan pertama kali pada tahun 1981 di Amerika Serikat,
penyebaran HIV-AIDS di seluruh dunia termasuk Indonesia berkembang cukup
pesat. Prevalensi HIV di Indonesia sebesar 0,16% dari populasi penduduk dengan
tingkat epidemi terkonsentrasi (concentrated epidemic) pada kelompok populasi
berisiko tinggi seperti LSL, pekerja seks, waria dan penasun. Laporan
menunjukkan sebagian besar yang terinfeksi HIV adalah kelompok masyarakat
7
usia produktif (Ditjen PP & PL kemenkes RI 2012). Persentase kumulatif HIV
paling banyak ditemukan kasus pada kelompok umur 20 – 49 tahun (87,4%) dan
pada kasus AIDS paling banyak terdeteksi pada kelompok umur 20 – 29 tahun
(39,9%).Sementara itu, penularan HIVtertinggi terjadi melalui hubungan seksual
dengan penderita HIV-AIDS serta kebiasaan berbagi jarum suntik sesama
pengguna narkoba. Hal ini sesuai dengan data yang dilaporkan oleh ditjen P2PL
tahun 2014 menyatakan bahwa pengguna NAPZA suntik menduduki posisi kedua
setelah heteroseksual yaitu sebanyak 8.482 kasus, jumlah ini mengalami
peningkatan dibandingkan jumlah penasun tahun 2013 yaitu 7.962 kasus(Ditjen
PP & PL Kemenkes RI, 2014).
Narkoba dengan cara suntik yang dipakai bersama yaitu heroin, menjadi isu
penting saat ini, karena menjadi jalur pintu masuk penularan berbagai penyakit
menular seperti hepatitis dan HIV/AIDS. Berdasarkan laporan perkembangan
situasi masalah HIV-AIDS Nasional oleh Kemenkes RI sampai dengan September
2014, jumlah kumulatif kasus AIDS menurut faktor resiko kelompok pengguna
narkoba suntik (penasun) pada tahun 2013 menempati urutan kedua yaitu
sebanyak 8.462 kasus (Kemenkes RI, 2013; Damayanti, 2015; Pratiwi, et al.,
2014).
Provinsi Bali sebagai pulau wisata merupakan salah satu provinsi yang
rentan terhadap penyalahgunaan narkoba jenis heroin dan penyebaran HIV/AIDS.
Berdasarkan data dari Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Provinsi Bali tahun
2009, estimasi jumlah penasun di Provinsi Bali pada tahun 2010 adalah 700 – 800
orang dan pada tahun 2012 adalah 1.959 penasun. Jumlah kumulatif kejadian
8
HIV/AIDS dari tahun 1987 sampai dengan Desember 2014 yang disebabkan
faktor resiko kelompok penasun berdasarkan data dari KPA Provinsi Bali adalah
819 kasus. Faktor risiko penularan HIV/AIDS melalui penasun di provinsi Bali
menempati urutan kedua setelah penularan melalui heteroseksual yaitu sebesar
15,2% (Kemenkes RI, 2013).
Besarnya dampak buruk akibat penggunaan narkoba suntik membuat
pemerintah segera mengambil langkah untuk melakukan intervensi, diantaranya
melalui Program Terapi Rumatan Metadon (PTRM). PTRM merupakan terapi
substitusi menggunakan metadon, diperlukan sebagai pendekatan harm reduction
atau pengurangan dampak buruk penularan hepatitis dan HIV/AIDS melalui
narkotik suntik. (RI, 2013).
Di provinsi Bali terdapat PTRM Sandat, yang berada di Rumah Sakit
Umum Pendidikan (RSUP) Sanglah Denpasar, berdiri sejak tahun 2003. Data lima
tahun terakhir menunjukkan penurunan jumlah klien metadon aktif, dimana pada
awal berdiri tahun 2003 berjumlah kurang lebih 80-an orang, tahun 2004 sampai
2005 naik menjadi kurang lebih 100-an orang, namun data terakhir tahun 2015
dengan jumlah sekitar 50 orang, menunjukkan adanya penurunan. Terapi rumatan
metadon suatu terapi jangka panjang sehingga perlu pengawasan ketat dari
petugas kesehatan, karena resiko untuk putus terapi atau drop out cukup tinggi.
Kepatuhan klien sangat diperlukan dalam terapi rumatan metadon, agar retensi
atau bertahannya dalam proses terapi cukup tinggi. Secara umum ketidakpatuhan
dapat meningkatkan resiko memperburuk atau memperpanjang sakit yang diderita
(Pratiwi, et al., 2014; Data Tahunan PTRM Sandat RSUP Sanglah).
9
Persepsi dan sikap pada masyarakat dan pemberi pelayanan kesehatan
terhadap pengguna NAPZA juga sering menimbulkan stigma terhadap masalah
kesehatan jiwa. Hal ini disebabkan kurangnya pengetahuan dan pemahaman
tenaga kesehatan terhadap gangguan jiwa dan NAPZA itu sendiri. Banyak tenaga
kesehatan yang masih menganggap bahwa masalah kesehatan jiwa dan NAPZA
identik dengan gangguan jiwa berat atau skizofrenia yang dikenal dengan “orang
gila” hanya bisa ditangani oleh psikiater di RS Jiwa. (Directorate of Mental
Health Care, 2006)
Penderita gangguan jiwa dan pengguna NAPZA sering mendapatkan
stigma dan diskriminasi yang lebih besar dari masyarakat disekitarnya
dibandingkan individu yang menderita penyakit medis lainnya. Perlakuan ini
disebabkan karena ketidaktahuan serta pengertian yang salah dari keluarga atau
anggota masyarakat mengenai gangguan jiwa dan NAPZA itu sendiri.
(Sulistyorini 2013).
Tujuan penulisan monograf ini untuk mengetahui pengaruh stigma yang
dialami oleh klien selama mendapatkan pelayanan yang dirasa cukup berpengaruh
terhadap outcome klien. Secara luas, sebagai sumber informasi bagi praktisi
kesehatan di PTRM Sandat RSUP Sanglah, yang dapat digunakan sebagai dasar
dalam memberikan pendekatan atau penanganan yang lebih optimal dan efektif,
bagi klien metadon di PTRM Sandat RSUP Sanglah.
10
BAB II
STIGMA PADA PENGGUNA NAPZA
2.1 Definisi Stigma
Stigma didefinisikan sebagai memisahkan individu dari satu sama lain
berdasarkan penilaian sosial yang diberikan pada beberapa orang atau kelompok
yang tercemar atau ”lebih rendah”. (Pescosolido, Martin, Lang, dan Olafsdottir ,
2008 )
Stigma juga dipikir seperti atribut stereotip yang tidak menguntungkan dan
akhirnya diskriminasi. (Jones et al.,1984) Stigma sebagai kombinasi dari label,
stereotip, pemisahan, penurunan status, dan diskriminasi (Link & Phelan, 2001)
Definisi yang mungkin paling menggambarkan secara keseluruhan stigma sebagai
hal meresap dan global “devaluasi dari karakteristik dasar yang dimiliki
seseorang, terkait untuk keanggotaan dalam sebuah kelompok yang tanpa belas
kasihan, merendahkan, atau dihina oleh masyarakat umum“ (Hinshaw,
2007,p.23). Diterapkan khusus pada penyakit mental. Stigma mengacu pada
penilaian sosial, degradasi, atau devaluasi dari individu karena mereka memiliki
gejala penyakit mental atau telah berlabel memiliki penyakit mental (Abdullah &
Brown,2011)
Stigma adalah istilah lain untuk prasangka atau stereotif negatif.
Terkadang, pengidap penyakit mental diberi stigma. Masyarakat umum kerap kali
tidak tahu tentang penyakit mental karena kurang informasi atau salah informasi.
Ketidaktahuan menimbulkan ketakutan dan stigma. (Temes,R.2011)
11
Stigma adalah stempel negatif terhadap sekelompok orang karena adanya
kondisi khas pada kelompok tersebut, yang menyebabkan mereka dianggap
berbeda dan terpisah dari kelompok masyarakat lainnya. Stigma, atribut buruk
yang dilekatkan pada suatu individu atau sekelompok orang, sehingga individu
atau kelompok tersebut tidak lagi dikenali sebagai individu atau kelompok yang
utuh dengan berbagai sifat yang dimiliki, melainkan hanya berdasarkan sifat atau
atribut buruknya saja. (Hidayati,2015)
Stigma dan diskriminasi yang ditujukan kepada penderita HIV-AIDS dan
pengguna NAPZA suntik membuat mereka tidak mau melakukan pemeriksaan
VCT ataupun rehabilitasi. Sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Meiberg
dkk (2008) di Afrika Selatan menunjukkan bahwa ketakutan para pengguna
NAPZA suntik untuk menerima stigma dan ketakutan untuk mengetahui status
HIV positif merupakan penghambat utama seseorang melakukan tes HIV dan
rehabilitasi. Kondisi seperti ini membawa konsekuensi negatif terhadap tindakan
pencegahan dan pengobatan HIV-AIDS. Akibatnya sebagian masyarakat terutama
mereka yang pernah melakukan perilaku berisiko tinggi tertular HIV-AIDS masih
enggan untuk memeriksakan dirinya ke klinik VCT karena merasa takut
mendapatkan hasil yang positif (Meiberg dkk, 2008).
Saat ini kepustakaan mengenai masalah stigma pada penyakit mental di
Amerika Serikat harus diperluas untuk lebih menjelaskan peran budaya. Artikel
ini meneliti hubungan antara stigma penyakit mental dan kebudayaan Indian
Amerika bagi Amerika Serikat dari, Asia, Afrika, Latino, Timur Tengah, dan
keturunan Eropa. Dalam tinjauan ini, budaya mengacu pada keyakinan, nilai-nilai,
12
dan norma dari ras atau etnis. Kepustakaan yang ditinjau ulang menunjukkan
bahwa masih ada perbedaan stigma di antara berbagai kelompok budaya; namun,
penjelasan mengapa ada perbedaan tersebut sedikit. Studi menunjukkan bahwa
kualitatif dan kuantitatif nilai budaya itu penting berkenaan dengan stigma,
terutama bagi Asia Amerika dan Afrika Amerika. Kurang diketahui mengenai
interaksi antara nilai budaya dan stigma penyakit mental untuk kelompok
kebudayaan lain. (Elsevier,2011)
Dibandingkan dengan masyarakat Amerika, sikap pakar kesehatan mental
jauh lebih positif terhadap orang dengan masalah kesehatan mental. Usia muda,
kulit putih, perempuan, berada pada tingkat empat universitas, yang akrab dengan
penyakit mental, beberapa pekerjaan dan lebih pengalaman di bidang kesehatan
mental mempunyai konsep yang lebih positif. (Stubert, et all.,2014)
2.2 Persepsi Masyarakat Tentang Stigma
Stigma terhadap pengguna NAPZA akan semakin kompleks apabila
penanganannya tidak berlanjutan. Stigma pada penderita menyangkut pengabaian,
prasangka dan diskriminasi. Pengabaian merupakan masalah pengetahuan dari
masyarakat terkait gangguan jiwa dan pengguna NAPZA itu sendiri. Prasangka
merupakan masalah dari sikap, baik itu dari penderita yang mengarah pada stigma
diri maupun dari masyarakat yang menimbulkan stigma terhadap penderita.
Sedangkan diskriminasi merupakan masalah dari perilaku, baik itu dari penyedia
layanan penanganan kesehatan jiwa maupun dari masyarakat terhadap penderita
(Thornicroft, et al, 2008).
13
Selama ini banyak mitos yang mempengaruhi masyarakat dengan stigma –
stigma negatif tentang penderita gangguan jiwa akibat NAPZA atau pengguna
NAPZA. Pengguna NAPZA yang lebih memiliki kemungkinan untuk dikenai
stigma adalah pengguna NAPZA yang disertai dengan gangguan jiwa yang
menunjukkan gangguan atau penyimpangan pada pola perilakunya. Stigma yang
lebih memberatkan adalah gangguan jiwa yang mempengaruhi penampilan
(performance) fisik seseorang daripada gangguan jiwa yang tidak berpengaruh
pada penampilan fisik seseorang (Syaharia, 2008).
Stigma karena menderita gangguan jiwa pada pengguna NAPZA melekat
pada penderita sendiri maupun keluarganya. Stigma menimbulkan konsekuensi
kesehatan dan sosial-budaya pada penderita, seperti penanganan yang tidak
maksimal, drop out dari pengobatan, pemasungan dan pemahaman yang berbeda
terkait penderita gangguan jiwa. (Sirait,2006)
Tiga kesalahpahaman yang paling umum mengenai pengguna NAPZA yang
disertai dengan gangguan mental adalah:
1. Mereka adalah orang gila, pembunuh yang harus ditakuti, dapat
mempengaruhi orang sekitar.
2. Mereka tidak bertanggung jawab, melakukan tindakan kriminal dan tidak
berguna.
3. Mereka atau keluarga mereka telah melakukan sesuatu yang menyebabkan
penggunaan NAPZA. (Temes,R. 2011) .
14
Dikenal istilah stigma eksternal atau disebut juga stigma sosial, yaitu
seseorang atau kelompok termasuk keluarga sendiri yang memberikan
penilaian atau sikap negatif .
Stigma eksternal ini mempunyai unsur, sebagai berikut:
a. Menghindar (Avoidance), dihindari karena kondisinya oleh lingkungan.
b. Penolakan (rejection), dalam hubungan interaksi sosial tertentu,
kecenderungan pengguna NAPZA tidak akan diterima termasuk mencari
pekerjaan.
c. Penghakiman moral (moral judgement), mereka dianggap sebagai
kutukan, oleh karena kesalahan mereka sendiri.
d. Berhubungan dengan label (stigma of association), pemberian tanda atau
label yag diberikan oleh individu atau kelompok lain yang berhubungan
dengan kondisi yang pernah dialaminya.
e. Keengganan atau ketidaksediaan (unwillingless), kesenjangan dalam
berinteraksi akan diberikan oleh orang lain atau social distance.
f. Pembedaan (discrime), akan dibedakan dalam kesempatan bekerja atau
berinteraksi di lingkungannya.
g. Penganiayaan (abuse), situasi yang cukup ektrem akan dialami seperti
tindakan penganiayaan baik verbal maupun fisik oleh komunitas yang
tidak mengetahuinya (Mann, 2004 dalam Sudiyanto,2009).
15
Sedangkan stigma internal adalah penilaian atau sikap terhadap dirinya sendiri
berhubungan dengan keadaannya yang disebut juga dengan self stigma, yang
meliputi aspek-aspek sebagai berikut:
a. Persepsi diri (perception of self), persepsi diri mulai muncul bersamaan
dengan tilikan dan kognitif yang mulai membaik, yang cenderung low self
esteem karena menyadari kondisinya.
b. Self –exclution / menarik diri dari upaya perawatan.
c. Penarikan sosial (social withdrawal), karena keadaannya mengurangi
aktivitas dengan lingkungan sosialnya.
d. Kompensasi berlebihan (over compensation ).
e. Takut diketahui (Fear of disclosure), karena keadaannya takut diketahui
komunitas sosialnya untuk menghindari penolakan karena mengetahui
keadaan dirinya (Watson, 2003 dalam Sudiyanto,2009).
Stigmatisasi merupakan interaksi lingkungan yang kronik dan negatif dengan
sebagian besar orang pengguna NAPZA yang melakukann rehabilitasi. Stigma
ada berbagai jenis : public stigma, self-stigma, dan label avoidance, yang masing-
masing memiliki efek kurang baik. Stigmatisasi merupakan faktor risiko
lingkungan yang mempengaruhi di berbagai jalur yang berbeda, tidak hanya
setelah penyakit didiagnosis tapi juga sebelum itu, tetapi juga sejak ekspresi
perilaku yang menyiratkan pengguna NAPZA mengalami gangguan jiwa.
Penatalaksanaan dengan mengintegrasikan strategi koping stigma merupakan cara
yang cost effective dalam mengurangi resiko kekambuhan dan outcome yang
buruk yang dipapar secara rutin oleh stigma. Di samping itu, akan memberikan
16
keuntungan untuk meningkatkan kualitas hidup, Jika secara rutin menerima
informasi seputar stigma, dan juga bila diajarkan menggunakan strategi sederhana
untuk meningkatkan ketahanan terhadap stigma lingkungan. (Zelst,2009)
17
BAB III
OUTCOME ( PENGALAMAN, MOTIVASI DAN HAMBATAN)
KLIEN PTRM SANDAT RSUP SANGLAH
3.1 Program Terapi Rumatan Metadon (PTRM)
Program Terapi Rumatan Metadon atau disingkat PTRM adalah rangkaian
kegiatan terapi yang menggunakan metadona (sebagai obat legal), yang
dikonsumsi dengan diminum sebagai pengganti NAPZA yang dikonsumsi dengan
cara suntik, disertai dengan intervensi psikososial bagi pasien ketergantungan
opioid sesuai kriteria diagnostik Pedoman Penggolongan dan Diagnostik
Gangguan Jiwa ke-III (PPDGJ-III) (Kemenkes RI, 2013).
Indonesia melakukan suatu intervensi dalam mencegah penularan dan
penanggulangan HIV/AIDS pada kelompok pengguna narkotika suntik (penasun).
Usaha tersebut perlu pengembangan dan perpaduan beberapa pendekatan, yaitu
pengurangan pemasokan (supply reduction), pengurangan permintaan (demand
reduction), dan pengurangan dampak buruk (harm reduction). Salah satu kegiatan
pendekatan harm reduction adalah terapi substitusi dengan metadon dalam
sediaan cair, dengan cara diminum. Pendekatan ini dikenal sebagai Program
Terapi Rumatan Metadon (PTRM) yang dulunya dikenal dengan Program
Rumatan Metadon (PRM). PRM merupakan salah satu terapi pengganti opiat
(Opiate Replacement Therapy) yang diperlukan bagi pecandu opiat untuk
mengendalikan perilaku ketergantungannya dan juga sebagai salah satu upaya
pengurangan dampak buruk penularan HIV/AIDS (Kemenkes RI, 2013; UNODC,
2015).
18
Tujuan akhir secara umum yang diharapkan dari PTRM adalah:
1) Mengurangi penggunaan/ketergantungan zat; 2) Mengurangi aktivitas kriminal;
3) Mengurangi mortalitas; 4) Memperbaiki kesehatan fisik dan mental; 5)
Mengurangi perilaku beresiko terhadap dan menularkan HIV, hepatitis; 6)
Memperbaiki fungsi sosial dan kualitas hidup; 7) Menjaga kehamilan dan proses
melahirkan; 8) Retensi terapi (Jamieson, et al., 2002).
3.2 Pengalaman klien
Pengalaman diartikan sebagai sesuatu yang pernah dialami (dijalani,
dirasai, ditanggung).Pengalaman dapat diartikan juga sebagai memori episodic
yaitu memori yang menerima dan menyimpan peristiwa yang terjadi atau dialami
individu pada waktu dan tempat tertentu, yang berfungsi sebagai referensi
otobiografi (Daehler & Bukatko, 1985 dalam Syah, 2003).
Pengalaman klien atau pasien bisa menjadi cara yang efektif bagi sarana
pelayanan kesehatan dalam mendapatkan masukan untuk perbaikan mutu
pelayanannya. Pengalaman dalam mengakses layanan oleh klien atau pasien bisa
menjadi informasi penting karena hal tersebut terjadi saat pasien mendapatkan
layanan tertentu di fasilitas layanan kesehatan. (Utarini, 2013)
Adapun hasil – hasil penelitian yang mendukung teori yang akan
digunakan, diantaranya penelitian di San Francisco tahun 2010 menyatakan
bahwa penelitian ini memahami kompleksitas tentang motivasi dan pengalaman
pengguna NAPZA suntik untuk memutuskan tes HIV. Dengan populasi target ini
19
dapat diidentifikasi berbagai isu yang terlibat sehingga lebih memahami motivasi
IDU untuk tes HIV dan rehabilitasi (Downing et al, 2010).
Beberapa penelitian yang pernah dilakukan terkait dengan pemanfaatan
layanan oleh penasun diantaranya yaitu penelitian yang dilakukan di Rhode Island
terhadap penasun perempuan. Tujuan penelitian tersebut untuk mengetahui sikap
terhadap tes HIV, pengobatan serta vaksinasi hepatitis dan HIV. Penelitian
kualitatif dipilih karena memungkinkan eksplorasi mendalam dan penjelasan
terhadap isu yang unik serta sikap mereka terhadap pengobatan untuk hepatitis
dan HIV (A. Michelle, 2012).
Penelitianlain di Indonesia yang dilakukan oleh Ayu Wulan Sari (2014)
menyatakan hal yang diperlukan untuk mendukung seseorang memanfaatkan
layanan kesehatan terutama terkait informasi mengenai keberadaan layanan. Oleh
karena itu, hasil penelitian ini menekankan pentingnya kerjasama antara rumah
sakit, lembaga swadaya masyarakat serta masyarakat perkotaan dan pedesaan
dalam menyebarluaskan informasi terkait layanan (Sari, 2014).
Penelitian lain di Pontianak menyatakan bahwa stigma (prasangka buruk)
terhadap orang dengan HIV/-AIDS dan pengguna NAPZA di KotaPontianak
masih seringkali terjadi, intensitas stigma yang dialami di Kota Pontianak
berbeda-beda. Stigma yang dialami Odha dari kalanganpengguna NAPZA suntik
cenderunglebih besar dibandingkan stigma terhadap Odha dari kalangan Gay,
Waria dan LSL yang dapat menghambat akses ke layanan VCT(Pisani E, et al.,
2014).
20
3.3 Motivasi klien
Secara etimologis, motif atau dalam bahasa inggrisnya motive berasal dari
motivation, yang berarti gerakan atau sesuatu yang bergerak. Jadi istilah motif
erat kaitannya dengan gerak, yakni gerakan yang dilakukan oleh manusia atau
disebut juga dengan perbuatan atau tingkah laku.Motif dalam psikologi berarti
rangsangan, dorongan atau pembangkit tenaga bagi terjadinya suatu tingkah laku.
Motivasi merupakan istilah yang lebih umum yang menunjuk pada seluruh proses
gerakan, termasuk situasi yang mendorong, dorongan yang timbul dalam diri
individu, tingkah laku yang ditimbulkannya dan tujuan atau akhir dari gerakan
atau perbuatan (Sobur, 2011).
Sobur (2011) juga mengatakan bahwa motivasi itu berarti membangkitkan
motif, membangkitkan daya gerak atau menggerakkan seseorang atau diri sendiri
untuk berbuat sesuatu dalam rangka mencapai suatu kepuasan atau tujuan.
Motivasi adalah proses yang memberi semangat, arah dan kegigihan perilaku
artinya perilaku yang termotivasi adalah perilaku yang penuh energi, terarah dan
bertahan lama. Motivasi dibagi menjadi dua yaitu :
1. Motivasi Ekstrinsik
Motivasi ekstrinsik adalah melakukan sesuatu untuk mendapatkan sesuatu yang
lain (cara untuk mencapai tujuan). Motivasi ekstrinsik ini sering dipengaruhi oleh
intensif eksternal seperti imbalan atau hukuman.
2. Motivasi Intrinsik
Motivasi intrinsik adalah motivasi internal untuk melakukan sesuatu demi sesuatu
itu sendiri (tujuan itu sendiri).
21
Untuk dapat memotivasi pengguna NAPZA suntik agar mau memanfaatkan
layanan PTRM Sandat, diperlukan adanya dukungan dari semua pihak baik itu
pemerintah, keluarga, lembaga swadaya masyarakat maupun dukungan sebaya
sehingga para penasun termotivasi untuk memanfaatkan layanan tersebut (Sobur,
2011).
Penelitian di Mexico menyatakan bahwa diantara kelompok perilaku
berisiko, jumlah pengguna NAPZA suntik dalam memanfaatkan layanan
Voluntary Counseling and Testing (VCT) masih rendah. Temuan tersebut
menggarisbawahi perlu adanya integrasi layanan karena pengguna NAPZA suntik
banyak ditemukan di perbatasan Mexico – US(Moyer LB et al, 2008).
Penelitian di Long Island New York tahun 2013 yang bertujuan untuk
menggambarkan pemanfaatan layanan dan perilaku berisiko pengguna jarum
suntik di pinggiran kota menunjukkan bahwa pengguna NAPZA suntik bukan
merupakan kelompok yang homogen dan dengan pemanfaatan layanan yang
masih rendah baik dari layanan pencegahan HIV maupun pengobatan(Watson,
2013).
Penelitian Husnul (2015) menyatakan bahwa sebagian besar partisipan
(penasun) mempunyai motivasi rendah sebanyak 50 orang (59,5%) terhadap
program pelayanan. Hal ini dikarenakan ada rasa takut dan cemas jika mereka
mengetahui status kesehatannya (Husnul, 2015).
Adapun penelitian Sitepu (2012) menjelaskan bahwa terdapat pengaruh
antara motivasi dengan pemanfaatan layanan kesehatan. Motivasi merupakan
faktor yang paling dominan mempengaruhi pemanfaatan layanan dikarenakan
22
motivasi seringkali diikuti dengan tindakan. Ketika motivasi seseorang rendah
maka seseorang tersebut akan lebih diam dan ketika motivasi seseorang tinggi
maka seseorang itu akan lebih bertindak (Sitepu, 2012).
3.4 Hambatan klien
Hambatan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2002:385) yaitu
halangan atau rintangan.Hambatan memiliki arti yang sangat penting dalam setiap
melaksanakan suatu tugas atau pekerjaan. Suatu tugas atau pekerjaan tidak akan
terlaksana apabila ada suatu hambatan yang mengganggu pekerjaan tersebut.
Hambatan merupakan keadaan yang dapat menyebabkan pelaksanaan terganggu
dan tidak terlaksana dengan baik.Setiap manusia selalu mempunyai hambatan
dalam kehidupan sehari-hari, baik dari diri manusia itu sendiri ataupun dari luar
manusia.Hambatan cenderung bersifat negatif, yaitu memperlambat laju suatu hal
yang dikerjakan oleh seseorang. Dalam melakukan kegiatan seringkali ada
beberapa hal yang menjadi penghambat tercapainya tujuan, baik itu hambatan
dalam pelaksanaan program maupun dalam hal pengembangannya.
Penelitian lain yaitu Sunardi (2012) menyatakan bahwa hambatan penasun
atau pengguna NAPZA berkunjung ke pelayanan kesehatan terkait NAPZA
digolongkan rendah. Pengalaman mereka dalam mengetahui layanan kesehatan
yang masih rendah menjadi faktor utama serta terdapat kecemasan dan rasa takut
dengan stigma dan diskriminasi (Sunardi, 2012).
Terdapat beberapa hambatan yang didapatkan oleh para penasun baik yang
Odha maupun yang HIV negatif selama memanfaatkan layanan VCT dan CST
23
serat rehabilitasi yaitu masih tingginya stigma dan diskriminasi dari petugas di
luar layanan yang menyebabkan keengganan partisipandalam mengakses layanan
secara langsung serta waktu dilakukannya pelayanan yang tidak sesuai dengan
waktu luang mereka untuk melakukan kunjungan langsung ke layanan, hal inilah
yang menjadi hambatan dalam memanfaatkan layanan. (Karmila,2016)
24
BAB IV
ILUSTRASI KASUS
Untuk mendapatkan informasi mengenai outcome dari layanan PTRM yang
dilaksananakan oleh RSUP Sanglah, kami melakukan wawancara terstuktur pada
klien yang melakukan terapi rumatan metadon, pada LSM yang melakukan
pendampingan pada klien PTRM selama melakukan terapi metadon, dan
wawancara juga dilakukan pada petugas konselor yang bertugas membantu klien
dalam terapi di PTRM. Untuk melihat stigma yang dirasakan oleh klien kami juga
menyebarkan kuesioner terkait Stigma interinsik yang dialami oleh klien.
Kuesioner yang kami gunakan berupa Skala Stigma Internalisasi Burger untuk
mengetahui stigma internalisasi yang terdiri dari 22 pertanyaan. Hasil wawancara
terstruktur yang kami dapatkan terkait outcome ( pengalaman, motivasi dan
hambatan) sebagai berikut :
4.1 Pengalaman Klien PTRM
Dari wawancara didapatkan bahwa salah satu klien memanfaatkan layanan
PTRM setelah tertangkap dalam kasus NAPZA dan memulai rehabilitasi pada
PTRM di kota asal klien, kemudian menggunakan bantuan LSM pendampingan
untuk dapat mengetahui layanan PTRM. Berikut kutipannya :
“Pas keluar dari situ diajaklah oleh kalima, kalima itu yayasan juga kaya
yakeba. Diajak oleh dia bayar 20 juta supaya bisa rawat jalan, karena
sebelumnya aku disuruh milih mau rehab di Bogor bayar 2 juta sampai 3
juta selama 2-3 bulan karena oleh polisinya ga dikasi kalau ga bayar,
awalnya emang ga pengen rehab. Setelah itu ikut metadon karena di
Jakarta sebelum ke Bali. ”.
(Klien PTRM 27 th)
25
Hal tersebut sejalan dengan hasil wawancara pada Konselor PTRM yang
menyatakan bahwa sebagian klien PTRM melanjutkan terapi di PTRM Sandat,
berikut kutipannya :
“Klien di PTRM beberapa melanjutkan terapi metadon nya bisa itu dari
kota lain atau dari luar seperti Australia”.
(Konselor PTRM 47 th)
Klien dalam memanfaatkan layanan PTRM Sandat sering tidak nyaman
karena harus antri, terkadang kalau mau mendapatkan resep obat harus lama
menunggu dokter yang bertugas melaporkan ke dokter spesialis penanggung
jawab, berikut hasil wawancaranya :
“Ribetnya tu di PTRM kalau pas mau buru buru, antriannya panjang
sekitar 4 orang atau 5 orang apalagi kalau mau minta resep bisa lama
kalau pas antiannya panjang”.
(Klien PTRM 27 th)
Dari hasil wawancara dengan klien tersebut, hal ini sejalan dengan
wawancara kepada LSM yang mengatakan bahwa beberapa kejadian yang sering
dikeluhkan oleh klien adalah bila harus menunggu konsultasi dokter residen
dengan dokter spesialis penanggung jawab pasien, berikut kutipan hasil
wawancaranya :
26
“Kemarin sempat ada masalah ketika temen-temen ga faham kalau dokter
harus konsultasi dengan dokter yang lebih senior, nah hal menunggu
resep itu yang kadang-kadang ndak sabaran, ngamuk di depan sampai
berenti minum metadon”.
(LSM 38 th)
Dari kutipan hasil wawancara dengan klien PTRM, dapat dilihat bahwa
sikap pasif klien terhadap layanan dikarenakan pengalaman yang pernah dirasakan
sebelumnya karena adanya stigma yang dapat dilihat dari ketidakmauan
memanfaatkan layanan PTRM secara mandiri sehingga dibantu oleh
pendampingan, sehingga secara tidak langsung mempengaruhi sikap dan perilaku
untuk tidak mengakses layanan secara langsung.(Pusponegoro, 2013).
Klien memiliki sikap tidak sabaran dan emosional saat akses langsung ke
layanan. Dalam teori Notoatmodjo (2010) yang menggambarkan tentang sikap
merupakan reaksi tertutup, bukan merupakan reaksi terbuka atau tingkah laku
terbuka. Sikap merupakan kesiapan untuk bereaksi terhadap objek di lingkungan
tertentu sebagai suatu penghayatan terhadap objek. Sikap dapat menggambarkan
suka atau tidak suka seseorang terhadap objek. Biasanya sikap diperoleh dari
pengalaman sendiri atau orang lain yang paling dekat.
Jika dilihat dari theory of planned behavior, pengalaman merupakan salah
satu faktor yang mempengaruhi terbentuknya sikap. Menurut Sarwono (2012),
sikap dapat terbentuk atau berubah melalui empat cara : adopsi yaitu melalui
budaya yang berkembang dilingkungannya, diferensiasi yaitu pengalaman
individu yang dialaminya didukung dengan bertambahnya usia, integrasi yaitu
melalui pengalaman yang didukung dengan pengetahuan yang berhubungan
27
dengan suatu objek, trauma yaitu pengalaman yang meninggalkan kesan
mendalam pada jiwa orang yang bersangkutan. Sehingga untuk melakukan
perubahan terhadap sikap seseorang bisa didukung dengan motivasi.
Dari hasil wawancara ini dapat disimpulkan sikap klien terhadap layanan
secara tidak langsung dipengaruhi oleh pengalaman yang dirasakan selama
memanfaatkan layanan PTRM. Adanya pengalaman tentang stigma negatif dari
petugas kesehatan di luar layanan, masyarakat maupun teman kerja merupakan
penyebab enggan mengakses layanan PTRM secara mandiri. Menurut (Daehler &
Bukatko, 1985 dalam Syah, 2003), pengalaman dapat diartikan sebagai memori
episodic yaitu memori yang menerima dan menyimpan peristiwa yang terjadi atau
dialami individu pada waktu dan tempat tertentu, yang berfungsi sebagai referensi
otobiografi.
4.2 Motivasi Klien PTRM
Hasil wawancara dengan klien dalam memanfaatkan layanan PTRM, klien
menjelaskan kalau motivasinya bersumber dari dukungan LSM yang selalu
mendampingi dan membandingkan sendiri klien yang rajin minum metadon
dengan yang tidak minum metadon ternyata menurut partisipan yang minum
metadon rutin lebih sehat, selain itu dukungan keluarga dan berpikir tentang anak
cukup membantu. LSM pendampingan sebaya menceritakan motivasi klien
muncul untuk memanfaatkan layanan karena pendampingan rutin oleh LSM dan
ada tempat untuk menyampaikan masalah yang klien alami. Berikut kutipannya :
28
“Kan saya punya anak, umurnya 8 bulan saya mau berenti make dan
semoga 2018 sudah bisa ga minum metadon lagi. Jadi pas itu saya udah
klin semua obat-obatan boty juga. Saya mau lulus kuliah dan kerja
besarin anak. Motivasi lain karena dibantu temen LSM untuk berenti”.
(Klien PTRM 27 th)
Hasil wawancara dengan petugas LSM menceritakan kalau motivasi klien
muncul karena pernah memiliki pengalaman menggunakan NAPZA suntik
sebelumnya sehingga mudah untuk memberikan arahan memanfaatkan layanan,
berikut kutipannya :
“Lebih enak ngobrolnya karena saya juga dulu basicnya seorang
pengguna begitu jadi saya pahamlah bagaimana karakter mereka cara
deketin mereka jadi nurut – nurut aja mereka (tertawa)“.
(LSM, 38 th)
Motivasi pada klien untuk menggunakan layanan PTRM di rumah sakit
dapat dipengaruhi oleh sistem kesehatan yang berlaku, seperti sistem rujukan dan
mekanisme alur pelayanan terutama di rumah sakit ketika mengakses layanan.
Hasil wawancara mendalam dengan LSM mengatakan sebelum datang ke rumah
sakit awal mengakses layanan biasanya dibantu oleh pendampingan, Berikut
kutipan wawancaranya :
“Langsung kesini biasanya temen-temen yang rutin terapi metadon, sudah
mandiri, mereka kan ga perlu ambil surat rujukan sendiri di puskesmas
sebelum datang ke rumah sakit awalnya saja kita damping, karena simpel
jadi ya senang mereka”.
(LSM, 38 th)
29
Sedangkan wawancara mendalam dengan Konselor PTRM menjelaskan bahwa
biasanya memberikan penjelasan secara mendalam tujuan dan manfaat
pengobatan dengan jadwal yang terstruktur dapat memotivasi partisipan
memanfaatkan layanan. Berikut kutipannya :
“kita selama konseling juga menjelaskan efek samping dan manfaatnya
untuk terus rutin terapi metadon, mereka kalau ga lagi buru-buru senang
konseling”.
(Konselor PTRM 47 th)
Sobur (2011) mengatakan bahwa motivasi itu berarti membangkitkan motif,
membangkitkan daya gerak atau menggerakkan seseorang atau diri sendiri untuk
berbuat sesuatu dalam rangka mencapai suatu kepuasan atau tujuan. Motivasi
adalah proses yang memberi semangat, arah dan kegigihan perilaku artinya
perilaku yang termotivasi adalah perilaku yang penuh energi, terarah dan bertahan
lama.
Dalam wawancara mendalam yang dilakukan didapatkan bahwa sumber
motivasi klien ada dari luar diri (motivasi ekstrinsik) berupa dukungan LSM
pendamping yang selalu mendampingi dan memberikan motivasi untuk selalu
memanfaatkan layanan, PTRM yang memberikan bantuan dalam mengurus
administrasi dan mendampingi selama memanfaatkan layanan. Tugas dari
konselor yaitu memberikan konseling mulai dari awal terapi dan evaluasi berkala,
konselor bertugas untuk membantu klien untuk memanfaatkan layanan PTRM
bekerja sama dengan pendampingan sebaya untuk memberikan support kepada
klien. Menurut Ajzen (2005), secara umum semakin seseorang mempersepsikan
30
bahwa rujukan sosial merekomendasikan untuk melakukan suatu perilaku maka
orang tersebut akan cenderung merasakan tekanan sosial untuk berniat melakukan
perilaku tersebut dan sebaliknya. Hal ini sejalan dengan penelitian Saptari (2013)
yang menyatakan bahwa kontrol diri seseorang dikategorikan menjadi kontrol diri
lemah dan kuat. Hasil dari penelitian yang dilakukan menunjukkan seseorang
yang memiliki kontrol diri yang kuat akan lebih bersikap positif sehingga ada
keinginan untuk bertindak.
Selain motivasi ekstrinsik diatas didapatkan juga motivasi dari dalam diri
partisipan (motivasi intrinsik) dengan inisiatif sendiri membandingkan klien yang
rutin minum metadon ternyata hidupnya lebih sehat dibandingkan yang tidak
minum metadon. Hal ini sejalan dengan penelitian Saptari (2013) yang
menyatakan bahwa seseorang dengan persepsi kontrol diri yang kuat akan
bersikap positif sehingga menimbulkan perubahan perilaku yang positif untuk
memanfaatkan layanan kesehatan yang dianggap seseorang penting maka ia akan
berpersepsi sesuai dengan kemampuannya untuk mengontrol diri.
4.3 Hambatan Klien PTRM
Wawancara mendalam dengan klien PTRM menyatakan ketidaknyamanan
karena masih adanya pembatasan waktu layanan PTRM, hal ini menjadikan
ketidaknyaman dalam mengakses layanan sehingga sering terburu-buru dalam
akses layanan, selain itu terkait masalah dosis bawa pulang merupakan hal yang
31
sering menjadi hambatan dalam kenyamanan akses layanan, berikut petikan
pernyataan partisipan :
“Dulu waktu di Jakarta metadon buka dari jam 9 sampe jam 1 kalo disini
bukanya lebih bagus dari jam 8 sampe jam 3 jadi ya masih lebih enak di
Bali, tapi yang bikin agak gak nyaman kalo sabtu ma minggu bukanya
sampe jam 12, ya kalau bisa disamain aja sampe jam 3”.
(Klien PTRM 27 th)
“Trus kalau dosis bawa pulang sering susah dok, karena harus make surat
padahal itu saya karena sabtu dan minggu ga bsia datang pas bukanya
metadon, atau pas lagi saya keluar kota”
(Klien PTRM 27 th)
“Terkait metadon bawa pulang, sering menjadi masalah walaupun ga
dibicarakan secara terus terang ke petugas, tapi temen-temen sering iri
bila ada yang di izinkan ga datang tapi diambilin sama istri atau
keluarganya, abis tu banyak yang lapor kok dia bisa kenapa saya ga
boleh”
(LSM 28 th)
Terdapat pandangan yang sering menimbulkan rasa tidak nyaman bagi klien
mengenai statusnya, terdapat stigma dan ketakutan yang berat dalam diri
partisipan mengenai statusnya sebagai pemakai, ketakutan yang sering muncul
terkait hukum dikatakan juga menghambat partisipan untuk memanfaatkan
layanan PTRM, hal ini tercantum dalam kutipan wawancara berikut :
“Kalo sekarang sih udah nyaman ga ada yang ngeliatin kalau ke
metadon, wah kalau dulu sih ya adalah.”.
(Klien PTRM 27 th)
“Temen-temen sering takut awalnya untuk ke metadon, biasanya takut
kalo ada polisi he (tertawa), tapi setelah lama berobat mereka da
khawatir lagi karena petugas disini sangat membantu mereka”
(LSM, 38 th)
32
Klien menyatakan bahwa hambatan yang selama ini dirasakan berasal dari waktu
layanan, berikut kutipan wawancaranya:
“Kalau saya sih hambatannya mungkin waktu buka metadon, ya 24 jam
mah bagus jadi kita yang kerja atau kuliah ga buru-buru dan ga bentrok
juga ma jadwal kuliah buat ambil metadonnya”.
(Klien PTRM 27 th)
Hasil wawancara dengan klien sejalan dengan wawancara mendalam kepada
konselor PTRM yang mengatakan bahwa hambatan yang selama ini dirasakan
oleh klien yaitu waktu mereka yang sangat sedikit dalam mengakses layanan, dan
terkesan buru-buru, berikut kutipannya :
“Ya sering masalah kalau mereka buru-buru, padahal sudah masuk
kriteria untuk di konseling tapi mereka ga bisa karena harus kerja atau
kuliah”.
(Konselor 48 th)
Dari hasil wawancara dengan klien didapatkan informasi bahwa dokter lama
dalam konsultasi menimbulkan hambatan dalam akses layanan PTRM, waktu
layanan yang diatur oleh rumah sakit sering menimbulkan kendala karena
sebagaian partisipan berkerja pada pagi hingga siang hari dimana layanan
dilaksanakan, tidak sesuainya jadwal ini sering menimbulkan kesulitan dalam
akses layanan, berikut hasil wawancaranya :
“Nah kalau saya sih sering kelamaan nunggu resep”.
(Klien PTRM 27 th)
33
“Kadang temen-temen ga sabar kalau harus menunggu konsultasi dokter
residen ke spesialinya dok, ya mungkin temen-temen lagi pengen segera
balik kerja kan jam buka metadon biasanya bentrok sama kerja mereka”
(LSM, 38 th)
Berdasarkan hasil wawancara mendalam dengan klien didapatkan bahwa
masih ada stigma menjadi salah satu penyebab kesulitan klien dalam
memanfaatkan layanan. Hal ini sejalan dengan penelitian di Pontianak
menyatakan bahwa stigma (prasangka buruk) terhadap orang dengan HIV-AIDS
di Kota Pontianak masih seringkali terjadi, intensitas stigma yang dialami
Odha di Kota Pontianak berbeda-beda. Stigma yang dialami Odha dari kalangan
pengguna NAPZA suntik cenderung lebih besar dibandingkan stigma terhadap
Odha dari kalangan Gay, Waria dan LSL yang dapat menghambat akses ke
layanan VCT (Pisani E, et al., 2014).
4.4 Gambaran Stigma Internalisasi Klien PTRM Sandat RSUP Sanglah
Stigma Internalisasi merupakan stigma yang dirasakan oleh klien selama
melakukan terapi di PTRM, stigma ini tidak di tampakkan namun lebih cenderung
dirasakan sehingga dengan mengatahui apa saja yang dirasakan oleh klien selama
memanfaatkan layanan petugas dapat meningkatkan kualitas layanan dan dapat
berempati dengan apa yang dirasakan.
Stigma internalisasi kami ukur dengan menggunakan skala internalisasi
burger yang berisi 22 pertanyaan untuk mengetahui 5 besar stigma internalisasi
yang sering dirasakan dan dipikirkan oleh klien PTRM. Penyebaran kuesioner
34
kami lakukan secara random dengan mengambil 11 orang klien untuk mengisi
kuesioner dan didapatkan hasil sebagai berikut.
35
Stigma internalisasi yang kami dapat dalam kuesioner 5 tertinggi yaitu :
P9 : Klien merasa perlu berhati-hati bila bercerita mengenai dirinya sebagai
pengguna NAPZA.
P1 : Klien merasa beberapa orang yang mengetahui ia menggunakan NAPZA
menjauh.
P7 : Klien merasa orang orang menganggap mereka sakit karena kesahan
sendiri.
P10 : Klien merasa perlu menyembunyikan statusnya sebagai klien PTRM
P11 : Klien menceritakan statusnya sebagai klien PTRM.
Dengan melihat hasil evaluasi kuesioner yang kami lakukan stigma
internalisasi masih dirasakan oleh klien sehingga perlu di berikan solusi-solusi
untuk mengatasi stigma yang muncul.
36
BAB V
PEMBAHASAN
Pengalaman yang dirasakan oleh klien terkait selama menggunakan
NAPZA dan mengakses layanan banyak dipengaruhi oleh stigma baik yang
bersifat eksternalisasi maupun internalisasi, dalam wawancara yang dilakukan
kepada klien terdapat stigma ekternalisasi berupa Avoidence atau pengindaran
lingkungan karena kondisi mereka sebagai pengguna NAPZA hal ini di perkuat
dengan stigma Internalisasi yang mereka rasakan bahwa orang – orang yang
berada di sekitar mereka menjadi menjauh. Hal ini cukup berpengaruh dalam
meningkatkan motivasi dan keinginan klien untuk tetap menggunakan metadon.
BNN pusat dan propinsi Bali menggalakan kegiatan pencegahan dan
hukuman bagi pengedar dan pengguna NAPZA dengan melibatkan pemuka adat
dan membuat melakukan kerjasama dengan desa untuk melakukan pembinaan,
awig awig desa yang di buat untuk melaksanakan kerja sama ini akan memberikan
hukuman kepada pengguna berupa meminta maaf kepada desa dan denda beras,
hal ini ditekankan untuk tidak ada sangsi kesepakang (dikucilkan). Bentuk sangsi
dan informasi yang cukup luas banyak menimbulkan stigma eksternalisasi berupa
Rejaction kepada pengguna NAPZA sehingga akan lebih memunculkan stigma
internalisasi. Stigma internalisasi akan menekan motivasi yang telah dibina oleh
klien hal ini muncul dalam stigma internalisasi yang dominan dirasakan oleh klien
yaitu akan sangat berhati-hati menceritakan bahwa dirinya adalah pengguna
NAPZA walaupun sudah mendapatkan pengobatan di PTRM, mengapa hal ini
37
muncul dikarenakan rasa khawatir karena stigma ekternalisasi yang dibentuk oleh
aparat, dan saat ini oleh desa. Hal ini juga diperkuat dengan hasil wawancara klien
mengatakan harus membayar dana yang cukup besar kepada aparat untuk
mendapatkan izin rehabilitasi.
Para klien merasakan stigma yang mereka rasakan sangat terbantu dengan
adanya dukungan dari keluarga dan orang sekitar termasuk petugas yang
membantu dalam rehabilitasi NAPZA yang mereka lakukan, namun tidak jarang
perasaan atau stigma internalisasi seperti merasa bahwa mereka sakit saat ini
karena kesalahan sendiri sering menjadi hambatan dalam pengobatan yang mereka
jalani, perasaan stigma internalisasi berupa hal tersebut tertuang dalam hasil
evaluasi kami pada klien, dalam wawancara klien didapatkan bahwa outcome ini
juga terpengaruh oleh stigma eksternalisasi berupa labelisasi yang dilakukan oelh
media massa dan lingkungan kerja dengan mengatakan bahwa pecandu atau
pengguna NAPZA merupakan peresah masyarakat.
Pada tahun 1996, the World Psychiatric Association (WPA) memulai
program di seluruh dunia untuk memerangi stigma dan diskriminasi disebut
“Open the Doors”. Tujuannya adalah untuk:
a. Meningkatkan kesadaran dan pengetahuan dan pilihan pengobatan.
b. Meningkatkan sikap publik pada pengguna NAPZA, penderita gangguan
jiwa dan keluarga mereka, dan
c. Melanjutkan aksi untuk mencegah atau menghilangkan stigma dan
diskriminasi.
38
Klien dan anggota keluarga merupakan aspek penting dalam kegiatan
antistigma. Melibatkan klien dan anggota keluarganya sangat penting untuk
keberhasilan sebuah program anti-stigma. Karena mereka dapat menjelaskan
pengalaman sendiri tentang stigma dan diskriminasi. Mereka menambahkan
sebuah sudut pandang yang sangat penting untuk semua diskusi. Pengalaman
mereka sebagai klien NAPZA dapat membuat para ahli dalam mengidentifikasi
masalah yang paling mendesak. Oleh karena itu, cara pandang mereka sangat
penting dalam memutuskan intervensi pada jenis anti-stigma. Oleh karena itu
juga, setiap program harus memiliki sebuah mekanisme yang dibangun pada klien
dan untuk berkonsultasi dengan anggota keluarganya yang berhubungan dengan
kegiatan program dan sasaran. Penderita dan anggota keluarga juga harus bersedia
untuk berbicara secara terbuka tentang pengalaman dan keahliannya.
(Stuart,2009)
Mengapa program anti Stigma penting. Inti stigma adalah sikap negatif dan
merugikan terhadap seseorang dengan gangguan jiwa. Diskriminasi terjadi ketika
orang-orang dengan gangguan jiwa diperlakukan tidak adil, atau ditolak hak-hak
mereka karena gangguan jiwa mereka. Di zaman Yunani, stigma adalah tindakan
seseorang untuk menggambarkan undesirability sosial dan mempermalukan
mereka. Orang-orang dengan gangguan jiwa yang dipandang memiliki nilai sosial
kurang. Sikap berlanjut sampai saat ini dan dinyatakan dalam cara yang berbeda
dalam budaya yang berbeda.
Mereka membuat lingkaran setan keterasingan dan diskriminasi dan dapat
menjadi halangan utama untuk pemulihan, menyebabkan isolasi sosial,
39
pengangguran, tunawisma dan pelembagaan. Stigma dan diskriminasi memiliki
sejarah panjang dan tidak mudah diselesaikan. Oleh karena itu, melakukan
program anti stigma adalah komitmen besar, jangka panjang.
Klien yang sedang menjalani terapi jangka panjang metadon membutuhkan
dukungan sosial. Hubungan antara dukungan sosial dengan kepatuhan telah
dipelajari secara luas, beberapa penelitian telah dilakukan mengenai hubungan ini,
merupakan salah satu prediktor kuat dari kepatuhan. Dukungan sosial adalah
suatu informasi dari orang lain bahwa dia dicintai dan diperhatikan, memiliki
harga diri dan dihargai, serta merupakan bagian dari jaringan komunikasi dan
kewajiban bersama. Sumber dukungan sosial selain keluarga adalah teman dekat
atau akrab dengan individu-individu yang dekat, yang biasanya membentuk
kelompok. Anggota kelompok akan berinteraksi keterdekatan fisik, memecahkan
konflik dan memudahkan koordinasi. Komponen dukungan sosial dari teman
antara lain bimbingan (nasihat), keterikatan, penghargaan atau pengakuan,
integrasi sosial (minat dan pemikiran yang sama). Sangat efektif karena
hambatan-hambatan komunikasi yang terjadi lebih kecil dibandingkan dari bukan
teman sesama. Dukungan teman sesama efektif dalam mendukung perubahan
sikap kearah yang lebih positif (Kelly, et al., 2010).
Salah satu metode paling efektif dalam mendukung klien menjalani
pengobatan adalah melalui orang yang berarti bagi klien, seperti suami atau istri,
orang tua, saudara kandung, dan anak. Keluarga dapat menjadi kunci untuk
memaksa klien berhenti menyangkal dan menghindar, serta mulai serius
menangani masalah ketergantungannya (Kelly, et al., 2010). Klien mengatakan
40
dalam wawancaranya bahwa dukungan keluarga sangat penting, mereka
mengetahui beberapa teman sesama klien metadon tidak seberuntung mereka,
tidak ada dukungan keluarga yang cukup, sehingga tidak heran ada yang tidak
pernah kembali untuk terapi atau kembali menggunakan zat. Pengetahuan
keluarga juga penting dalam mendukung keberhasilan terapi metadon dan
signifikan mempengaruhi perubahan perilaku ksesehatan. (Andita, 2012).
41
BAB VI
SIMPULAN DAN SARAN
6.1 Simpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan diatas maka dapat ditarik simpulan
sebagai berikut :
1. Pengalaman yang dirasakan oleh klien terkait selama menggunakan NAPZA
dan mengakses layanan banyak dipengaruhi oleh stigma baik yang bersifat
eksternalisasi maupun internalisasi, stigma ekternalisasi berupa Avoidence
atau pengindaran lingkungan karena kondisi mereka sebagai pengguna
NAPZA, stigma Internalisasi yang mereka rasakan bahwa orang – orang yang
berada di sekitar mereka menjadi menjauh. Hal ini cukup berpengaruh dalam
meningkatkan motivasi dan keinginan klien untuk tetap menggunakan
metadon.
2. Bentuk sangsi dan informasi yang cukup luas oleh pemerintah dan Desa adat
di Bali banyak menimbulkan stigma eksternalisasi berupa Rejaction kepada
pengguna NAPZA sehingga akan lebih memunculkan stigma internalisasi.
Ketakutan klien dalam memulai pengobatan di PTRM terkait stigma
eksternalisasi ini mempengaruhi motivasi klien dalam akses layanan
sekaligus menjadi penghambat.
3. Stigma internalisasi seperti merasa bahwa mereka sakit saat ini karena
kesalahan sendiri sering menjadi hambatan dalam pengobatan yang mereka
jalani, ini juga terpengaruh oleh stigma eksternalisasi berupa labelisasi yang
42
dilakukan oelh media massa dan lingkungan kerja dengan mengatakan bahwa
pecandu atau pengguna NAPZA merupakan peresah masyarakat.
4. Klien dan anggota keluarga merupakan aspek penting dalam kegiatan
antistigma. Melibatkan klien dan anggota keluarganya sangat penting untuk
keberhasilan sebuah program anti-stigma. Karena mereka dapat menjelaskan
pengalaman sendiri tentang stigma dan diskriminasi.
5. Klien yang sedang menjalani terapi jangka panjang metadon membutuhkan
dukungan sosial. Hubungan antara dukungan sosial dengan kepatuhan telah
dipelajari secara luas, beberapa penelitian telah dilakukan mengenai
hubungan ini, merupakan salah satu prediktor kuat dari kepatuhan. Dukungan
sosial adalah suatu informasi dari orang lain bahwa dia dicintai dan
diperhatikan, memiliki harga diri dan dihargai, serta merupakan bagian dari
jaringan komunikasi dan kewajiban bersama.
6.2 Saran
Untuk mengatasi stigma internalisasi dan eksternalisasi yang dialami oleh klien
PTRM terdapat tiga strategi yang dapat digunakan yaitu:
1. Kontak, anggota masyarakat umum rutin berinteraksi dengan orang yang
berjuang dengan penyakit mental termasuk pengguna NAPZA yang sedang
menjalani rehabilitasi. Ini memperkecil kemungkinan untuk terkena stigma.
2. Pendidikan, anggota masyarakat yang mengetahui lebih banyak tentang
penyakit mental termasuk rehabilitasi NAPZA memiliki kemungkinan lebih
kecil untuk mendukung mitos memalukan di sekitarnya.
43
3. Protes, Perilaku diskriminatif bisa berkurang ketika segmen-segmen penting
pernyataan masyarakat secara jelas tidak berkenan atas tindakan-tindakan
ini. Hal ini bisa disampaikan melalui media social ataupun dalam bentuk
statement dalam menanggapi isu NAPZA sehingga tidak melakukan
penggiringan opini kearah stigma.
44
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, T., & Brown,T. L. 2011. Mental Ilness Stigma and Ethnocultural
Beliefs, value, and norms: An integrative review. Department of Psychology,
University of Kentucky, United State
Andita, L. 2012. Dukungan Sosial terhadap Pasien Program Terapi Rumatan
Metadon (PTRM) (Studi Kasus pada Tiga Orang Pasien PTRM di Rumah
Sakit Ketergantungan Obat (RSKO) Cibubur). Tesis.Universitas Indonesia.
Anggreni, D. 2015. Dampak bagi Pengguna Narkotika, Psikotropika dan Zat
Adiktif (NAPZA) di Kelurahan Gunung Kelua Samarinda Ulu. eJournal
Sosiatri-Sosiologi, 3(3):37-51.
Baxter, J. 2014. Changing the Market Culture for Methamphetamines Models of
Demand Reduction – An Australian Perspective.Drug Free Australia, pg.1-
8.
Budiyani, P. I. R., Mahkota, R. 2013. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan
Ketidakpatuhan pada Pengguna NAPZA Suntik yang Mengikuti Program
Terapi Rumatan Metadon di Rumah Sakit Ketergantungan Obat di Cibubur
Jakarta Timur Tahun 2013.FKM UI, pg 1-20.
Corker,E. Hamilton,S. Henderson,C. Weeks,C. Pinfold,V. Rose,D. Williams,P.
Flach,C. Gill,C. Lewis-Holmes,E. and Thornicroft,G. 2013. Experience of
discrimination among people using mental health services in England 2008-
2011. The British Journal of Psychiatry 202, 558-563. Doi:
10.1192/bjp.bp.112.112912
Damayanti, R. 2015. Laporan Akhir Survey Nasional Perkembangan
Penyalahguna Narkoba Tahun Anggaran 2014, hal. 1-63. Jakarta: BNN RI.
Directorat of Mental Health Care Ministry of Helath. Indonesia Desember 2006
Final Report Development of National Policy and Strategy for Mental
Hospital
Ditjen PP & PL kemenkes RI, 2012.United Nations Programme on HIV and
AIDS. 1–10
Ditjen PP & PL Kemenkes RI. 2014. Statistik Kasus HIV/AIDS di Indonesia
Dilapor s/d September 2014 Cases of HIV/AIDS in Indonesia Reported thru’
September 2014
Downing, M., Knight, K., Reiss, T. H., Vernon, K., Mulia, N., Ferreboeuf, M.,
Vu, C. 2010 Drug Users Talk About HIV Testing: Motivating and Deterring
Factors. AIDS Care.
45
Duffy L. Suffering, Shame, and Silence 2005 The Stigma of HIV-AIDS. Journal of
The Association of Nurses in AIDS Care.
Hermanus, A., Zeth, M., Penyakit, R., Asdie, A. H., Mukti, A. G., Mansoden,
J.,K., 2010. Perilaku dan Risiko Penyakit HIV-AIDS di Masyarakat Papua
Studi Pengembangan Model Lokal Kebijakan HIV-AIDS The Development
Study of Local Wisdom HIV-AIDS ( vaginal , anal , ataupun oral ), transfusi
darah , jarum AIDS berasal dari Afrika Sub-Sahara
Hidayati,A.N. 2015. Lebih Dekat Dengan Skizofrenia:Menuju Era Skizofrenia
tanpa Stigma. Biro Koordinasi Kedokteran Masyarakat (BKKM) Fakultas
Kedokteran, Universitas Airlangga.
Holzemer WL, Uys LR. Managing AIDS Stigma. Journal 2004
Husnul, 2015 Jurnal Identifikasi Karakteristik Orang Risiko Tinggi HIV dan
AIDS tentang Program Pelayanan VCT.Artikel Penelitian
Huxley,J. 2011. Challenging the Stigma of Mental Illness: Lesson for Therapists
and Advocates. John Wiley & Sons, Ltd
Idaiani,S. Yunita,I. Prihatini, S. & Indrawati,L. 2013 . Riset Kesehatan Dasar:
Kesehatan Jiwa. Badan penelitian dan Pengembangan Kesehatan
Kementerian Kesehatan RI tahun.
Jamieson., Beals., Lalonde. 2002. Factors that Influence the Effectiveness of MMT
Literature Review Methadone Maintenance Treatment, pg. 15-18, Ontario:
Health Canada.
Karmila 2016 Pengalaman, motivasi dan hambatan pengguna NAPZA suntik
dalam pemanfaatan layanan VCT dan atau CST oleh pengguna NAPZA
suntik di Kabupaten Lombok Timur – NTB, Pascasarjana Universitas
Udayana.
Michelle A. Lally, M.D., M.Sc., Sydney A. Monstream-Quas, M.P.H.,
Saratanaka, B.A., Sara K. Tedenchi, B.A., and Kathelen M. Morrow, Ph.D.
2012. A Qualitative Study Among Injection Drug Using Women in Rhode
Island: Attitudes Toward Testing, Treatment, and Vaccination for Hepatitis
and HIV. NIH Public Access
Papish,A. Kassam,A. Modgill,Geeta. Vaz, G. Zanussi,L. Patten,S 2013. Reducing
the stigma of mental illness in undergraduate medical education: a
randomized contolled trial. Papish et al. BMC Medical Education.
Pescosolido, Martin, Lang, dan Olafsdottir 2008 Stigma, prejudice, discrimination
and health, social science and medicine
46
Pratiwi, I., Arsyad, D. S., Ansar, J. 2014. Faktor yang Berhubungan dengan
Kepatuhan Berobat Terapi Rumatan Metadon di Puskesmas Kassi Kassi
Kota Makasar.Hal.1-10.
RI, K. K. 2013 Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 57
Tahun 2013 Tentang Pedoman Penyelenggaraan Program Terapi Rumatan
Metadon. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.
Sirait, A. 2006. Pengaruh Koping Keluarga terhadap Kejadian Relaps pada
Skizofrenia Remisi Sempurna di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi
Sumatera Utara Tahun 2006
Stuart,H. 2009. Selection of Anti-stigma Programs in Opening Mind: An initiative
of the Mental Health Commission of Canada. Queen’s University,
Department of Community Health & Epidemiolagy
Stubert, J. Rocha,A. Christian,A. Link,B.G. 2014. Conceptions of Mental Illness:
Attitudes of Mental Health Professionals and the General Public
(PSYCHIATRIC SERVICES ' ps.psychiatryonline.org ' April 2014 Vol. 65
No. 4)
Sulistyorini, N. 2013. “ Hubungan Pengetahuan tentang Gangguan Jiwa di
wilayah Kerja Puskesmas Colomadu I (skripsi ) Surakarta: Universitas
Muhammadiyah
Sun, H-M., Li, X-Y., Chow, E. P. F., Li, T., Xian, Y., Lu, Y-H., Tian, T., Zhuang,
X., Zhang, L 2015. Methadone Maintenance Treatment Programme Reduce
Criminal Activity and Improves Social Well-being of Drug Users in China: a
Systematic Review and Meta-analysis. BMJ Open, pg. 1-12.
Temes,R 2011. Hidup Optimal dengan Skizofrenia. Penerbit PT Bhuana Ilmu
Populer.
Thornicroft,G. Brohan, E. Kassam,A. and Lewis-Holmes, E 2008. Reducing
stigma and discrimination: Canditate interventions. International Journal of
Mental Health System . BioMed Central.
UNODC. 2015. World Drug Report 2015, pg. 1-75. New York: United Nations
publication.
47
STUDI KUALITATIF PEMANFAATAN LAYANAN PTRM SANDAT DI
RSUP SANGLAH
PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS 1 KEDOKTERAN JIWA
UNIVERSITAS
UDAYANA
Apabila anda bersedia untuk berpartisipasi dalam penelitian ini, mohon
supaya Anda menyatakan bahwa Anda telah memahami informasi ini dan
menandatangani pernyataan kesediaan berikut ini.
PERNYATAAN SUBYEK
Saya menyatakan telah memahami penjelasan tujuan wawancara ini dan bersedia
memberikan informasi yang saya ketahui dengan sejujurnya.
Nama Terang : Tanggal :
Tanda Tangan :
PERNYATAAN PENELITI
Saya menyatakan telah memberikan penjelasan tujuan wawancara ini dengan
sejelas – jelasnya dan telah mendapatkan persetujuan dari partisipan.
Nama Terang : Tanggal :
Tanda Tangan :
IDENTITAS & SITUASI WAWANCARA:
Tanggal :
Nama : __________________________
Waktu : ____________s/d____________
Tempat : __________________________
Catatan : __________________________
PEDOMAN WAWANCARA MENDALAM KEPADA PENGGUNA NAPZA
SUNTIK (PENASUN) OPIOID DENGAN TERAPI METADON
A. KARAKTERISTIK PARTISIPAN
1. Jenis kelamin?
2. Bulan dan tahun berapa Anda lahir? Bulan___________Tahun _______
3. Apakah tingkat pendidikan terakhir yang anda selesaikan?
B. PERTANYAAN PENELITIAN
1. Sudah berapa lama menggunakan narkotika?
2. Bagaimana awalnya Anda menggunakan narkotika?
3. Narkotika jenis apa saja yang pernah anda gunakan?
4. Bagaimana cara Anda memakai narkotika?
- Oral/diminum
- Disuntik, akses jarum suntik dimana?
5. Apakah Anda mempunyai keinginan berhenti menggunakan narkotika?
6. Apakah bisa diceritakan seberapa kuat keinginan anda berhenti?
7. Apa saja yang sudah pernah dilakukan untuk berhenti?
8. Apakah Anda tahu tentang risiko yang mungkin timbul akibat
menggunakan narkotika?
9. Menurut anda apa saja risiko yang mungkin timbul?
10. Apa saja yang sudah Anda lakukan untuk mencegah risiko tersebut?
11. Darimana Anda tahu layanan PTRM?
12. Sudah berapa kali anda tes HIV?
Probing :
49
- Dimana
- Atas inisiatif/anjuran siapa
13. Siapa yang biasanya mengantar Anda ke layanan PTRM?
- Datang sendiri
- Diantar LSM
- Dijangkau
14. Apa yang menyebabkan Anda untuk melakukan terapi metadon?
15. Bagaimana pendapat anda tentang layanan tersebut?
16. Hal – hal apa yang memudahkan dalam mengakses layanan metadon?
Probing :
- Jarak dan lokasi tes
- Petugas
- Keamanan/jaminan kerahasiaan
- Kenyamanan
- Pelayanan
- Stigma & diskriminasi
- Informasi yang diberikan
Tolong ceritakan pengalaman yang dialami!
17. Adakah kesulitan yang ditemui dalam mengakses layanan metadon?
18. Bila ada, dari segi apa?
Probing :
- Jarak dan lokasi tes
- Petugas
50
- Keamanan /jaminan kerahasiaan
- Kenyamanan
- Pelayanan
- Stigma & diskriminasi
Tolong diceritakan pengalaman yang Anda alami atau pengalaman teman
anda!
19. Adakah hal yang ingin diperbaikidari layanan metadon yang telah ada?
20. Jika ada, apa yang ingin diperbaiki?
Probing :
- Petugas
- Lokasi tes
- Keamanan / jaminan kerahasiaan
- Kenyamanan
- Pelayanan
- Stigma dan diskriminasi
21. Apakah menurut anda layanan ini dapat membantu mendapatkan informasi
yang dibutuhkan?
51
PEDOMAN WAWANCARA MENDALAM KEPADA LEMBAGA SWADAYA
MASYARAKAT (LSM) /DUKUNGAN SEBAYA YANG MENAUNGI
KHUSUS PENASUN
A. KARAKTERISTIK PARTISIPAN
1. Jenis kelamin ?
2. Bulan dan tahun berapa Anda lahir? Bulan___________Tahun _______
3. Apakah tingkat pendidikan terakhir yang anda selesaikan?
B. PERTANYAAN PENELITIAN
1. Sudah berapa lama Anda mendampingi penasun?
2. Apa saja bentuk dukungan dan pendampingan yang Anda berikan?
Probing :
- Kegiatan
- Waktu
- Tenaga
- Biaya
3. Adakah kegiatanAnda dalam stigma, diskriminasi dan dukungan sebaya?
Probing :
- Contoh - contoh kegiatan
- Pengalaman yang dilakukan
- Motivasi yang diberikan
- Hambatan yang didapatkan
52
4. Bagaimana proses pendampingan pada partisipan yang dijangkau oleh LSM?
Probing :
- Kesulitan/hambatan
- Sarana dan prasarana yang tersedia
- Pemeriksaan terkait dengan CST
5. Apa yang dilakukan oleh LSM dan respon yang dilakukan untuk mengatasi
stigma dan diskriminasi?
Probing :
- Contoh - contoh kegiatan
- Pengalaman yang dilakukan
- Motivasi yang diberikan
- Hambatan yang didapatkan
53
PEDOMAN WAWANCARA MENDALAM KEPADA PETUGAS MEDIS
LAYANAN PTRM SANDAT RSUP SANGLAH
A. KARAKTERISTIK PARTISIPAN
1. Jenis kelamin ?
2. Bulan dan tahun berapa Anda lahir? Bulan___________Tahun _______
3. Apakah tingkat pendidikan terakhir yang anda selesaikan?
B. PERTANYAAN PENELITIAN
1. Berapa lama Anda menjadi petugas PTRM?
2. Kelompok apa saja yang sudah diberikan konseling NAPZA?
Probing :
- Berapa banyak yang datang dengan sendirinya?
- Diantar LSM/Kelompok sebaya
- Dijangkau ke lapangan
3. Bisa ceritakan pengalaman Anda selama memberikan konseling kepada
penasun?
Probing :
- Kegiatan
- Waktu
- Tenaga
- Biaya
4. Menurut Anda apa saja hambatan yang didapatkan selama melakukan
konseling kepada kelompok penasun?
Probing :
54
- Waktu
- Tenaga
- Biaya
- Stigma dan diskriminasi
5. Siapa yang memotivasi penasun untuk ikut PTRM?
Probing :
- Atas kemauan sendiri
- Dianjurkan orang lain
6. Menurut Anda apa alasan penasun untuk menolak terapi metadon?
Probing :
- Stigma dan diskriminasi
- Kesiapan
- Merasa tidak berisiko
- Ketidaktahuan/ kurangnya informasi yang diterima
55
IDENTITAS & SITUASI WAWANCARA:
Tanggal :
Nama : __________________________
Waktu : ____________s/d____________
Tempat : __________________________
Catatan : __________________________
STIGMA INTERNALISASI BURGER
N0 PERTANYAAN YA
(1)
TIDAK
(2)
1 Apakah beberapa orang yang tahu anda
pengguna NAPZA makin manjauhi
anda?
2 Apakah anda menyesal telah bercerita
kepada beberapa orang bahwa anda
pengguna NAPZA?
3 Apakah orang yang anda sayangi
berhenti menghubungi setelah
mengetahui anda pengguna NAPZA?
4 Apakah anda kehilangan teman setelah
menyampaikan kepada mereka bahwa
anda pengguna NAPZA?
5 Apakah beberapa orang menghindari
menyentuh anda ketika tahu anda
tertular hiv aids?
6 Apakah orang secara fisik menjauhi
anda ketika tahu anda mengalami hiv
aids?
7 Apakah orang bertindak seakan-akan
anda mengalami hiv aids karena
kesalahan anda?
8 Apakah orang sepertinya takut kepada
anda saat mereka tahu anda pengguna
NAPZA?
9 Apakah anda berhati-hati kepada siapa
anda bercerita bahwa anda pengguna
NAPZA?
10 Apakah anda merasa perlu
menyembunyikan pengguna NAPZA ?
11 Apakah bercerita kepada sesorang
bahwa anda mengalami hiv aids
berisiko?
56
12 Apakah anda khawatir orang akan
menilai anda tidak baik ketika mereka
mendengar anda terapi metadon?
13 Apakah anda merasa bersalah karena
anda mengalami hiv aids?
14 Apakah anda merasa tidak sebaik orang
lain karena anda mengalami hiv aids?
15 Apakah anda merasa malu karena anda
pengguna terapi metadon?
16 Apakah saat mengalami hiv aids
membuat anda merasa tidak bersih?
17 Apakah sejak mengetahui anda
pengguna NAPZA, anda merasa
dipisahkan dan diasingkan dari
masyarakat?
18 Apakah disaat anda mengalami hiv
aids membuat anda merasa menjadi
orang yang tidak baik?
19 Apakah orang yang terkena hiv aids
dan pengguna NAPZA kehilangan
pekerjaannya ketika majikannya tahu?
20 Apakah orang yang pengguna NAPZA
diperlakukan seperti seorang
penggangu masyarakat?
21 Apakah kebanyakan orang berpendapat
bahwa seseorang yang terkena penyakit
hiv aids menjijikan?
22 Apakah kebanyakan orang merasa tidak
nyaman berada di sekitar orang yang
terkena hiv aids dan pengguna
NAPZA?