pengaruh stigma pada outcome (pengalaman, …

58
1 PENELITIAN KUALITATIF DIVISI ADIKSI PENGARUH STIGMA PADA OUTCOME (PENGALAMAN, MOTIVASI DAN HAMBATAN) KLIEN DI PTRM SANDAT RSUP SANGLAH Penulis: dr. I Putu Diatmika dr. Luh Nyoman Alit Aryani, SpKJ (K) PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS - 1 BAGIAN/ SMF ILMU KEDOKTERAN JIWA FK UNUD/RSUP SANGLAH DENPASAR 2016

Upload: others

Post on 23-Nov-2021

2 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

PENELITIAN KUALITATIF DIVISI ADIKSI

PENGARUH STIGMA PADA OUTCOME

(PENGALAMAN, MOTIVASI DAN HAMBATAN)

KLIEN DI PTRM SANDAT RSUP SANGLAH

Penulis:

dr. I Putu Diatmika

dr. Luh Nyoman Alit Aryani, SpKJ (K)

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS - 1

BAGIAN/ SMF ILMU KEDOKTERAN JIWA

FK UNUD/RSUP SANGLAH DENPASAR

2016

2

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena atas karunia-Nya

maka monograf Pengaruh Stigma pada outcome klien di PTRM Sandat RSUP

Sanglah, dalam rangkaian tugas PPDS-1 Ilmu Kedokteran Jiwa stase divisi adiksi

dapat diselesaikan.

Dalam penyusunan monograf ini, penulis banyak memperoleh bimbingan,

bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Melalui kesempatan ini penulis

mengucapkan terima kasih kepada:

1. dr. A.A Sri Wahyuni, SpKJ, selaku Kepala Bagian/ SMF Ilmu Kedokteran

Jiwa FK UNUD/ RSUP Sanglah Denpasar.

2. dr. L. N Alit Aryani, SpKJ (K), selaku Ketua Program Studi Ilmu Kedokteran

Jiwa FK UNUD sekaligus dosen pembimbing yang telah membimbing dan

mendorong saya untuk menyelesaikan tugas ini.

3. dr. Nyoman Hanati, SpKJ (K), selaku dosen pembimbing yang telah

memberikan masukan-masukan demi kemajuan dan penyelesaian tugas ini.

4. Seluruh dosen Program Studi Ilmu Kedokteran Jiwa FK UNUD yang telah

membimbing dan memberi masukan dalam penyelesaian tugas adiksi.

5. Seluruh pihak yang bertugas di Klinik PTRM Sandat RSUP Sanglah

Denpasar dan klien-klien metadon, atas bantuannya selama saya

menyelesaikan stase divisi adiksi.

6. Seluruh rekan residen yang tidak sempat saya sebutkan satu-persatu atas

bantuan dan dukungannya secara moral maupun material.

3

Akhir kata penulis menyadari bahwa penulisan monograf ini masih jauh dari

sempurna sehingga memerlukan bimbingan, kritik dan saran, dan atas

perhatiannya penulis mengucapkan terima kasih.

Denpasar, Januari 2016

I Putu Diatmika

4

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN

……………………………………………….

1

BAB II STIGMA PADA PENGGUNA NAPZA

……………………….. 5

2.1 Definisi Stigma

……………………………………………… 5

2.2 Persepsi Masyarakat Tentang Stigma

………………………. 7

BAB III OUTCOME (PENGALAMAN, MOTIVASI DAN

HAMBATAN) KLIEN PTRM 12

3.1 Program Terapi Rumatan Metadon

(PTRM)………………... 12

3.2 Pengalaman Klien

…………………………………………... 13

3.3 Motivasi Klien

………………………………………………. 15

3.4 Hambatan Klien

…………………………………………….. 17

BAB IV ILUSTRASI KASUS

……………………………………………

19

4.1 Pengalaman Klien PTRM

……………………………………

19

4.2 Motivasi Klien PTRM

…………………………………........

22

4.3 Hambatan Klien PTRM

……………………………………...

25

4.4 Gambaran Stigma Internalisasi Klien PTRM Sandat RSUP

Sanglah

…………………………………………………………..

28

5

BAB V PEMBAHASAN

………………………………………………...

31

BAB VI SIMPULAN DAN SARAN

……………………………………..

36

DAFTAR PUSTAKA

…………………………………………...

39

6

BAB I

PENDAHULUAN

Penyalahgunaan NAPZA merupakan suatu pola penggunaan yang bersifat

patologik, berlangsung dalam jangka waktu tertentu dan menimbulkan gangguan

fungsi sosial dan okupasional. Istilah NAPZA (Narkotika, psikotropika, dan Zat

Adiktif lainnya) lebih tepat dibandingkan dengan istilah Narkoba karena di dalarn

singkatan tersebut tercantum juga psikotropika, yaitu obat yang biasanya

digunakan untuk gangguan kesehatan jiwa namun termasuk yang sering

disalahgunakan dan dapat menimbulkan adiksi. NAPZA pada awalnya adalah

sejenis obat-obatan tertentu yang digunakan oleh kalangan kedokteran untuk

terapi misalnya untuk menghilangkan rasa nyeri. Namun pada perkembangannya

obat-obatan itu disalahgunakan (abuse) sehingga menimbulkan ketergantungan

(adiksi). Penyalahgunaan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif (NAPZA) sudah

menjadi masalah di tingkat nasional, regional maupun global, yang menimbulkan

dampak buruk bagi fisik, mental, emosional serta sosial bagi penggunanya.

Dampak buruk yang lebih luas, penyalahgunaan zat ini dapat merusak masa depan

sebuah bangsa (Damayanti, 2015; Pratiwi, et al., 2014).

Sejak dilaporkan pertama kali pada tahun 1981 di Amerika Serikat,

penyebaran HIV-AIDS di seluruh dunia termasuk Indonesia berkembang cukup

pesat. Prevalensi HIV di Indonesia sebesar 0,16% dari populasi penduduk dengan

tingkat epidemi terkonsentrasi (concentrated epidemic) pada kelompok populasi

berisiko tinggi seperti LSL, pekerja seks, waria dan penasun. Laporan

menunjukkan sebagian besar yang terinfeksi HIV adalah kelompok masyarakat

7

usia produktif (Ditjen PP & PL kemenkes RI 2012). Persentase kumulatif HIV

paling banyak ditemukan kasus pada kelompok umur 20 – 49 tahun (87,4%) dan

pada kasus AIDS paling banyak terdeteksi pada kelompok umur 20 – 29 tahun

(39,9%).Sementara itu, penularan HIVtertinggi terjadi melalui hubungan seksual

dengan penderita HIV-AIDS serta kebiasaan berbagi jarum suntik sesama

pengguna narkoba. Hal ini sesuai dengan data yang dilaporkan oleh ditjen P2PL

tahun 2014 menyatakan bahwa pengguna NAPZA suntik menduduki posisi kedua

setelah heteroseksual yaitu sebanyak 8.482 kasus, jumlah ini mengalami

peningkatan dibandingkan jumlah penasun tahun 2013 yaitu 7.962 kasus(Ditjen

PP & PL Kemenkes RI, 2014).

Narkoba dengan cara suntik yang dipakai bersama yaitu heroin, menjadi isu

penting saat ini, karena menjadi jalur pintu masuk penularan berbagai penyakit

menular seperti hepatitis dan HIV/AIDS. Berdasarkan laporan perkembangan

situasi masalah HIV-AIDS Nasional oleh Kemenkes RI sampai dengan September

2014, jumlah kumulatif kasus AIDS menurut faktor resiko kelompok pengguna

narkoba suntik (penasun) pada tahun 2013 menempati urutan kedua yaitu

sebanyak 8.462 kasus (Kemenkes RI, 2013; Damayanti, 2015; Pratiwi, et al.,

2014).

Provinsi Bali sebagai pulau wisata merupakan salah satu provinsi yang

rentan terhadap penyalahgunaan narkoba jenis heroin dan penyebaran HIV/AIDS.

Berdasarkan data dari Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Provinsi Bali tahun

2009, estimasi jumlah penasun di Provinsi Bali pada tahun 2010 adalah 700 – 800

orang dan pada tahun 2012 adalah 1.959 penasun. Jumlah kumulatif kejadian

8

HIV/AIDS dari tahun 1987 sampai dengan Desember 2014 yang disebabkan

faktor resiko kelompok penasun berdasarkan data dari KPA Provinsi Bali adalah

819 kasus. Faktor risiko penularan HIV/AIDS melalui penasun di provinsi Bali

menempati urutan kedua setelah penularan melalui heteroseksual yaitu sebesar

15,2% (Kemenkes RI, 2013).

Besarnya dampak buruk akibat penggunaan narkoba suntik membuat

pemerintah segera mengambil langkah untuk melakukan intervensi, diantaranya

melalui Program Terapi Rumatan Metadon (PTRM). PTRM merupakan terapi

substitusi menggunakan metadon, diperlukan sebagai pendekatan harm reduction

atau pengurangan dampak buruk penularan hepatitis dan HIV/AIDS melalui

narkotik suntik. (RI, 2013).

Di provinsi Bali terdapat PTRM Sandat, yang berada di Rumah Sakit

Umum Pendidikan (RSUP) Sanglah Denpasar, berdiri sejak tahun 2003. Data lima

tahun terakhir menunjukkan penurunan jumlah klien metadon aktif, dimana pada

awal berdiri tahun 2003 berjumlah kurang lebih 80-an orang, tahun 2004 sampai

2005 naik menjadi kurang lebih 100-an orang, namun data terakhir tahun 2015

dengan jumlah sekitar 50 orang, menunjukkan adanya penurunan. Terapi rumatan

metadon suatu terapi jangka panjang sehingga perlu pengawasan ketat dari

petugas kesehatan, karena resiko untuk putus terapi atau drop out cukup tinggi.

Kepatuhan klien sangat diperlukan dalam terapi rumatan metadon, agar retensi

atau bertahannya dalam proses terapi cukup tinggi. Secara umum ketidakpatuhan

dapat meningkatkan resiko memperburuk atau memperpanjang sakit yang diderita

(Pratiwi, et al., 2014; Data Tahunan PTRM Sandat RSUP Sanglah).

9

Persepsi dan sikap pada masyarakat dan pemberi pelayanan kesehatan

terhadap pengguna NAPZA juga sering menimbulkan stigma terhadap masalah

kesehatan jiwa. Hal ini disebabkan kurangnya pengetahuan dan pemahaman

tenaga kesehatan terhadap gangguan jiwa dan NAPZA itu sendiri. Banyak tenaga

kesehatan yang masih menganggap bahwa masalah kesehatan jiwa dan NAPZA

identik dengan gangguan jiwa berat atau skizofrenia yang dikenal dengan “orang

gila” hanya bisa ditangani oleh psikiater di RS Jiwa. (Directorate of Mental

Health Care, 2006)

Penderita gangguan jiwa dan pengguna NAPZA sering mendapatkan

stigma dan diskriminasi yang lebih besar dari masyarakat disekitarnya

dibandingkan individu yang menderita penyakit medis lainnya. Perlakuan ini

disebabkan karena ketidaktahuan serta pengertian yang salah dari keluarga atau

anggota masyarakat mengenai gangguan jiwa dan NAPZA itu sendiri.

(Sulistyorini 2013).

Tujuan penulisan monograf ini untuk mengetahui pengaruh stigma yang

dialami oleh klien selama mendapatkan pelayanan yang dirasa cukup berpengaruh

terhadap outcome klien. Secara luas, sebagai sumber informasi bagi praktisi

kesehatan di PTRM Sandat RSUP Sanglah, yang dapat digunakan sebagai dasar

dalam memberikan pendekatan atau penanganan yang lebih optimal dan efektif,

bagi klien metadon di PTRM Sandat RSUP Sanglah.

10

BAB II

STIGMA PADA PENGGUNA NAPZA

2.1 Definisi Stigma

Stigma didefinisikan sebagai memisahkan individu dari satu sama lain

berdasarkan penilaian sosial yang diberikan pada beberapa orang atau kelompok

yang tercemar atau ”lebih rendah”. (Pescosolido, Martin, Lang, dan Olafsdottir ,

2008 )

Stigma juga dipikir seperti atribut stereotip yang tidak menguntungkan dan

akhirnya diskriminasi. (Jones et al.,1984) Stigma sebagai kombinasi dari label,

stereotip, pemisahan, penurunan status, dan diskriminasi (Link & Phelan, 2001)

Definisi yang mungkin paling menggambarkan secara keseluruhan stigma sebagai

hal meresap dan global “devaluasi dari karakteristik dasar yang dimiliki

seseorang, terkait untuk keanggotaan dalam sebuah kelompok yang tanpa belas

kasihan, merendahkan, atau dihina oleh masyarakat umum“ (Hinshaw,

2007,p.23). Diterapkan khusus pada penyakit mental. Stigma mengacu pada

penilaian sosial, degradasi, atau devaluasi dari individu karena mereka memiliki

gejala penyakit mental atau telah berlabel memiliki penyakit mental (Abdullah &

Brown,2011)

Stigma adalah istilah lain untuk prasangka atau stereotif negatif.

Terkadang, pengidap penyakit mental diberi stigma. Masyarakat umum kerap kali

tidak tahu tentang penyakit mental karena kurang informasi atau salah informasi.

Ketidaktahuan menimbulkan ketakutan dan stigma. (Temes,R.2011)

11

Stigma adalah stempel negatif terhadap sekelompok orang karena adanya

kondisi khas pada kelompok tersebut, yang menyebabkan mereka dianggap

berbeda dan terpisah dari kelompok masyarakat lainnya. Stigma, atribut buruk

yang dilekatkan pada suatu individu atau sekelompok orang, sehingga individu

atau kelompok tersebut tidak lagi dikenali sebagai individu atau kelompok yang

utuh dengan berbagai sifat yang dimiliki, melainkan hanya berdasarkan sifat atau

atribut buruknya saja. (Hidayati,2015)

Stigma dan diskriminasi yang ditujukan kepada penderita HIV-AIDS dan

pengguna NAPZA suntik membuat mereka tidak mau melakukan pemeriksaan

VCT ataupun rehabilitasi. Sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Meiberg

dkk (2008) di Afrika Selatan menunjukkan bahwa ketakutan para pengguna

NAPZA suntik untuk menerima stigma dan ketakutan untuk mengetahui status

HIV positif merupakan penghambat utama seseorang melakukan tes HIV dan

rehabilitasi. Kondisi seperti ini membawa konsekuensi negatif terhadap tindakan

pencegahan dan pengobatan HIV-AIDS. Akibatnya sebagian masyarakat terutama

mereka yang pernah melakukan perilaku berisiko tinggi tertular HIV-AIDS masih

enggan untuk memeriksakan dirinya ke klinik VCT karena merasa takut

mendapatkan hasil yang positif (Meiberg dkk, 2008).

Saat ini kepustakaan mengenai masalah stigma pada penyakit mental di

Amerika Serikat harus diperluas untuk lebih menjelaskan peran budaya. Artikel

ini meneliti hubungan antara stigma penyakit mental dan kebudayaan Indian

Amerika bagi Amerika Serikat dari, Asia, Afrika, Latino, Timur Tengah, dan

keturunan Eropa. Dalam tinjauan ini, budaya mengacu pada keyakinan, nilai-nilai,

12

dan norma dari ras atau etnis. Kepustakaan yang ditinjau ulang menunjukkan

bahwa masih ada perbedaan stigma di antara berbagai kelompok budaya; namun,

penjelasan mengapa ada perbedaan tersebut sedikit. Studi menunjukkan bahwa

kualitatif dan kuantitatif nilai budaya itu penting berkenaan dengan stigma,

terutama bagi Asia Amerika dan Afrika Amerika. Kurang diketahui mengenai

interaksi antara nilai budaya dan stigma penyakit mental untuk kelompok

kebudayaan lain. (Elsevier,2011)

Dibandingkan dengan masyarakat Amerika, sikap pakar kesehatan mental

jauh lebih positif terhadap orang dengan masalah kesehatan mental. Usia muda,

kulit putih, perempuan, berada pada tingkat empat universitas, yang akrab dengan

penyakit mental, beberapa pekerjaan dan lebih pengalaman di bidang kesehatan

mental mempunyai konsep yang lebih positif. (Stubert, et all.,2014)

2.2 Persepsi Masyarakat Tentang Stigma

Stigma terhadap pengguna NAPZA akan semakin kompleks apabila

penanganannya tidak berlanjutan. Stigma pada penderita menyangkut pengabaian,

prasangka dan diskriminasi. Pengabaian merupakan masalah pengetahuan dari

masyarakat terkait gangguan jiwa dan pengguna NAPZA itu sendiri. Prasangka

merupakan masalah dari sikap, baik itu dari penderita yang mengarah pada stigma

diri maupun dari masyarakat yang menimbulkan stigma terhadap penderita.

Sedangkan diskriminasi merupakan masalah dari perilaku, baik itu dari penyedia

layanan penanganan kesehatan jiwa maupun dari masyarakat terhadap penderita

(Thornicroft, et al, 2008).

13

Selama ini banyak mitos yang mempengaruhi masyarakat dengan stigma –

stigma negatif tentang penderita gangguan jiwa akibat NAPZA atau pengguna

NAPZA. Pengguna NAPZA yang lebih memiliki kemungkinan untuk dikenai

stigma adalah pengguna NAPZA yang disertai dengan gangguan jiwa yang

menunjukkan gangguan atau penyimpangan pada pola perilakunya. Stigma yang

lebih memberatkan adalah gangguan jiwa yang mempengaruhi penampilan

(performance) fisik seseorang daripada gangguan jiwa yang tidak berpengaruh

pada penampilan fisik seseorang (Syaharia, 2008).

Stigma karena menderita gangguan jiwa pada pengguna NAPZA melekat

pada penderita sendiri maupun keluarganya. Stigma menimbulkan konsekuensi

kesehatan dan sosial-budaya pada penderita, seperti penanganan yang tidak

maksimal, drop out dari pengobatan, pemasungan dan pemahaman yang berbeda

terkait penderita gangguan jiwa. (Sirait,2006)

Tiga kesalahpahaman yang paling umum mengenai pengguna NAPZA yang

disertai dengan gangguan mental adalah:

1. Mereka adalah orang gila, pembunuh yang harus ditakuti, dapat

mempengaruhi orang sekitar.

2. Mereka tidak bertanggung jawab, melakukan tindakan kriminal dan tidak

berguna.

3. Mereka atau keluarga mereka telah melakukan sesuatu yang menyebabkan

penggunaan NAPZA. (Temes,R. 2011) .

14

Dikenal istilah stigma eksternal atau disebut juga stigma sosial, yaitu

seseorang atau kelompok termasuk keluarga sendiri yang memberikan

penilaian atau sikap negatif .

Stigma eksternal ini mempunyai unsur, sebagai berikut:

a. Menghindar (Avoidance), dihindari karena kondisinya oleh lingkungan.

b. Penolakan (rejection), dalam hubungan interaksi sosial tertentu,

kecenderungan pengguna NAPZA tidak akan diterima termasuk mencari

pekerjaan.

c. Penghakiman moral (moral judgement), mereka dianggap sebagai

kutukan, oleh karena kesalahan mereka sendiri.

d. Berhubungan dengan label (stigma of association), pemberian tanda atau

label yag diberikan oleh individu atau kelompok lain yang berhubungan

dengan kondisi yang pernah dialaminya.

e. Keengganan atau ketidaksediaan (unwillingless), kesenjangan dalam

berinteraksi akan diberikan oleh orang lain atau social distance.

f. Pembedaan (discrime), akan dibedakan dalam kesempatan bekerja atau

berinteraksi di lingkungannya.

g. Penganiayaan (abuse), situasi yang cukup ektrem akan dialami seperti

tindakan penganiayaan baik verbal maupun fisik oleh komunitas yang

tidak mengetahuinya (Mann, 2004 dalam Sudiyanto,2009).

15

Sedangkan stigma internal adalah penilaian atau sikap terhadap dirinya sendiri

berhubungan dengan keadaannya yang disebut juga dengan self stigma, yang

meliputi aspek-aspek sebagai berikut:

a. Persepsi diri (perception of self), persepsi diri mulai muncul bersamaan

dengan tilikan dan kognitif yang mulai membaik, yang cenderung low self

esteem karena menyadari kondisinya.

b. Self –exclution / menarik diri dari upaya perawatan.

c. Penarikan sosial (social withdrawal), karena keadaannya mengurangi

aktivitas dengan lingkungan sosialnya.

d. Kompensasi berlebihan (over compensation ).

e. Takut diketahui (Fear of disclosure), karena keadaannya takut diketahui

komunitas sosialnya untuk menghindari penolakan karena mengetahui

keadaan dirinya (Watson, 2003 dalam Sudiyanto,2009).

Stigmatisasi merupakan interaksi lingkungan yang kronik dan negatif dengan

sebagian besar orang pengguna NAPZA yang melakukann rehabilitasi. Stigma

ada berbagai jenis : public stigma, self-stigma, dan label avoidance, yang masing-

masing memiliki efek kurang baik. Stigmatisasi merupakan faktor risiko

lingkungan yang mempengaruhi di berbagai jalur yang berbeda, tidak hanya

setelah penyakit didiagnosis tapi juga sebelum itu, tetapi juga sejak ekspresi

perilaku yang menyiratkan pengguna NAPZA mengalami gangguan jiwa.

Penatalaksanaan dengan mengintegrasikan strategi koping stigma merupakan cara

yang cost effective dalam mengurangi resiko kekambuhan dan outcome yang

buruk yang dipapar secara rutin oleh stigma. Di samping itu, akan memberikan

16

keuntungan untuk meningkatkan kualitas hidup, Jika secara rutin menerima

informasi seputar stigma, dan juga bila diajarkan menggunakan strategi sederhana

untuk meningkatkan ketahanan terhadap stigma lingkungan. (Zelst,2009)

17

BAB III

OUTCOME ( PENGALAMAN, MOTIVASI DAN HAMBATAN)

KLIEN PTRM SANDAT RSUP SANGLAH

3.1 Program Terapi Rumatan Metadon (PTRM)

Program Terapi Rumatan Metadon atau disingkat PTRM adalah rangkaian

kegiatan terapi yang menggunakan metadona (sebagai obat legal), yang

dikonsumsi dengan diminum sebagai pengganti NAPZA yang dikonsumsi dengan

cara suntik, disertai dengan intervensi psikososial bagi pasien ketergantungan

opioid sesuai kriteria diagnostik Pedoman Penggolongan dan Diagnostik

Gangguan Jiwa ke-III (PPDGJ-III) (Kemenkes RI, 2013).

Indonesia melakukan suatu intervensi dalam mencegah penularan dan

penanggulangan HIV/AIDS pada kelompok pengguna narkotika suntik (penasun).

Usaha tersebut perlu pengembangan dan perpaduan beberapa pendekatan, yaitu

pengurangan pemasokan (supply reduction), pengurangan permintaan (demand

reduction), dan pengurangan dampak buruk (harm reduction). Salah satu kegiatan

pendekatan harm reduction adalah terapi substitusi dengan metadon dalam

sediaan cair, dengan cara diminum. Pendekatan ini dikenal sebagai Program

Terapi Rumatan Metadon (PTRM) yang dulunya dikenal dengan Program

Rumatan Metadon (PRM). PRM merupakan salah satu terapi pengganti opiat

(Opiate Replacement Therapy) yang diperlukan bagi pecandu opiat untuk

mengendalikan perilaku ketergantungannya dan juga sebagai salah satu upaya

pengurangan dampak buruk penularan HIV/AIDS (Kemenkes RI, 2013; UNODC,

2015).

18

Tujuan akhir secara umum yang diharapkan dari PTRM adalah:

1) Mengurangi penggunaan/ketergantungan zat; 2) Mengurangi aktivitas kriminal;

3) Mengurangi mortalitas; 4) Memperbaiki kesehatan fisik dan mental; 5)

Mengurangi perilaku beresiko terhadap dan menularkan HIV, hepatitis; 6)

Memperbaiki fungsi sosial dan kualitas hidup; 7) Menjaga kehamilan dan proses

melahirkan; 8) Retensi terapi (Jamieson, et al., 2002).

3.2 Pengalaman klien

Pengalaman diartikan sebagai sesuatu yang pernah dialami (dijalani,

dirasai, ditanggung).Pengalaman dapat diartikan juga sebagai memori episodic

yaitu memori yang menerima dan menyimpan peristiwa yang terjadi atau dialami

individu pada waktu dan tempat tertentu, yang berfungsi sebagai referensi

otobiografi (Daehler & Bukatko, 1985 dalam Syah, 2003).

Pengalaman klien atau pasien bisa menjadi cara yang efektif bagi sarana

pelayanan kesehatan dalam mendapatkan masukan untuk perbaikan mutu

pelayanannya. Pengalaman dalam mengakses layanan oleh klien atau pasien bisa

menjadi informasi penting karena hal tersebut terjadi saat pasien mendapatkan

layanan tertentu di fasilitas layanan kesehatan. (Utarini, 2013)

Adapun hasil – hasil penelitian yang mendukung teori yang akan

digunakan, diantaranya penelitian di San Francisco tahun 2010 menyatakan

bahwa penelitian ini memahami kompleksitas tentang motivasi dan pengalaman

pengguna NAPZA suntik untuk memutuskan tes HIV. Dengan populasi target ini

19

dapat diidentifikasi berbagai isu yang terlibat sehingga lebih memahami motivasi

IDU untuk tes HIV dan rehabilitasi (Downing et al, 2010).

Beberapa penelitian yang pernah dilakukan terkait dengan pemanfaatan

layanan oleh penasun diantaranya yaitu penelitian yang dilakukan di Rhode Island

terhadap penasun perempuan. Tujuan penelitian tersebut untuk mengetahui sikap

terhadap tes HIV, pengobatan serta vaksinasi hepatitis dan HIV. Penelitian

kualitatif dipilih karena memungkinkan eksplorasi mendalam dan penjelasan

terhadap isu yang unik serta sikap mereka terhadap pengobatan untuk hepatitis

dan HIV (A. Michelle, 2012).

Penelitianlain di Indonesia yang dilakukan oleh Ayu Wulan Sari (2014)

menyatakan hal yang diperlukan untuk mendukung seseorang memanfaatkan

layanan kesehatan terutama terkait informasi mengenai keberadaan layanan. Oleh

karena itu, hasil penelitian ini menekankan pentingnya kerjasama antara rumah

sakit, lembaga swadaya masyarakat serta masyarakat perkotaan dan pedesaan

dalam menyebarluaskan informasi terkait layanan (Sari, 2014).

Penelitian lain di Pontianak menyatakan bahwa stigma (prasangka buruk)

terhadap orang dengan HIV/-AIDS dan pengguna NAPZA di KotaPontianak

masih seringkali terjadi, intensitas stigma yang dialami di Kota Pontianak

berbeda-beda. Stigma yang dialami Odha dari kalanganpengguna NAPZA suntik

cenderunglebih besar dibandingkan stigma terhadap Odha dari kalangan Gay,

Waria dan LSL yang dapat menghambat akses ke layanan VCT(Pisani E, et al.,

2014).

20

3.3 Motivasi klien

Secara etimologis, motif atau dalam bahasa inggrisnya motive berasal dari

motivation, yang berarti gerakan atau sesuatu yang bergerak. Jadi istilah motif

erat kaitannya dengan gerak, yakni gerakan yang dilakukan oleh manusia atau

disebut juga dengan perbuatan atau tingkah laku.Motif dalam psikologi berarti

rangsangan, dorongan atau pembangkit tenaga bagi terjadinya suatu tingkah laku.

Motivasi merupakan istilah yang lebih umum yang menunjuk pada seluruh proses

gerakan, termasuk situasi yang mendorong, dorongan yang timbul dalam diri

individu, tingkah laku yang ditimbulkannya dan tujuan atau akhir dari gerakan

atau perbuatan (Sobur, 2011).

Sobur (2011) juga mengatakan bahwa motivasi itu berarti membangkitkan

motif, membangkitkan daya gerak atau menggerakkan seseorang atau diri sendiri

untuk berbuat sesuatu dalam rangka mencapai suatu kepuasan atau tujuan.

Motivasi adalah proses yang memberi semangat, arah dan kegigihan perilaku

artinya perilaku yang termotivasi adalah perilaku yang penuh energi, terarah dan

bertahan lama. Motivasi dibagi menjadi dua yaitu :

1. Motivasi Ekstrinsik

Motivasi ekstrinsik adalah melakukan sesuatu untuk mendapatkan sesuatu yang

lain (cara untuk mencapai tujuan). Motivasi ekstrinsik ini sering dipengaruhi oleh

intensif eksternal seperti imbalan atau hukuman.

2. Motivasi Intrinsik

Motivasi intrinsik adalah motivasi internal untuk melakukan sesuatu demi sesuatu

itu sendiri (tujuan itu sendiri).

21

Untuk dapat memotivasi pengguna NAPZA suntik agar mau memanfaatkan

layanan PTRM Sandat, diperlukan adanya dukungan dari semua pihak baik itu

pemerintah, keluarga, lembaga swadaya masyarakat maupun dukungan sebaya

sehingga para penasun termotivasi untuk memanfaatkan layanan tersebut (Sobur,

2011).

Penelitian di Mexico menyatakan bahwa diantara kelompok perilaku

berisiko, jumlah pengguna NAPZA suntik dalam memanfaatkan layanan

Voluntary Counseling and Testing (VCT) masih rendah. Temuan tersebut

menggarisbawahi perlu adanya integrasi layanan karena pengguna NAPZA suntik

banyak ditemukan di perbatasan Mexico – US(Moyer LB et al, 2008).

Penelitian di Long Island New York tahun 2013 yang bertujuan untuk

menggambarkan pemanfaatan layanan dan perilaku berisiko pengguna jarum

suntik di pinggiran kota menunjukkan bahwa pengguna NAPZA suntik bukan

merupakan kelompok yang homogen dan dengan pemanfaatan layanan yang

masih rendah baik dari layanan pencegahan HIV maupun pengobatan(Watson,

2013).

Penelitian Husnul (2015) menyatakan bahwa sebagian besar partisipan

(penasun) mempunyai motivasi rendah sebanyak 50 orang (59,5%) terhadap

program pelayanan. Hal ini dikarenakan ada rasa takut dan cemas jika mereka

mengetahui status kesehatannya (Husnul, 2015).

Adapun penelitian Sitepu (2012) menjelaskan bahwa terdapat pengaruh

antara motivasi dengan pemanfaatan layanan kesehatan. Motivasi merupakan

faktor yang paling dominan mempengaruhi pemanfaatan layanan dikarenakan

22

motivasi seringkali diikuti dengan tindakan. Ketika motivasi seseorang rendah

maka seseorang tersebut akan lebih diam dan ketika motivasi seseorang tinggi

maka seseorang itu akan lebih bertindak (Sitepu, 2012).

3.4 Hambatan klien

Hambatan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2002:385) yaitu

halangan atau rintangan.Hambatan memiliki arti yang sangat penting dalam setiap

melaksanakan suatu tugas atau pekerjaan. Suatu tugas atau pekerjaan tidak akan

terlaksana apabila ada suatu hambatan yang mengganggu pekerjaan tersebut.

Hambatan merupakan keadaan yang dapat menyebabkan pelaksanaan terganggu

dan tidak terlaksana dengan baik.Setiap manusia selalu mempunyai hambatan

dalam kehidupan sehari-hari, baik dari diri manusia itu sendiri ataupun dari luar

manusia.Hambatan cenderung bersifat negatif, yaitu memperlambat laju suatu hal

yang dikerjakan oleh seseorang. Dalam melakukan kegiatan seringkali ada

beberapa hal yang menjadi penghambat tercapainya tujuan, baik itu hambatan

dalam pelaksanaan program maupun dalam hal pengembangannya.

Penelitian lain yaitu Sunardi (2012) menyatakan bahwa hambatan penasun

atau pengguna NAPZA berkunjung ke pelayanan kesehatan terkait NAPZA

digolongkan rendah. Pengalaman mereka dalam mengetahui layanan kesehatan

yang masih rendah menjadi faktor utama serta terdapat kecemasan dan rasa takut

dengan stigma dan diskriminasi (Sunardi, 2012).

Terdapat beberapa hambatan yang didapatkan oleh para penasun baik yang

Odha maupun yang HIV negatif selama memanfaatkan layanan VCT dan CST

23

serat rehabilitasi yaitu masih tingginya stigma dan diskriminasi dari petugas di

luar layanan yang menyebabkan keengganan partisipandalam mengakses layanan

secara langsung serta waktu dilakukannya pelayanan yang tidak sesuai dengan

waktu luang mereka untuk melakukan kunjungan langsung ke layanan, hal inilah

yang menjadi hambatan dalam memanfaatkan layanan. (Karmila,2016)

24

BAB IV

ILUSTRASI KASUS

Untuk mendapatkan informasi mengenai outcome dari layanan PTRM yang

dilaksananakan oleh RSUP Sanglah, kami melakukan wawancara terstuktur pada

klien yang melakukan terapi rumatan metadon, pada LSM yang melakukan

pendampingan pada klien PTRM selama melakukan terapi metadon, dan

wawancara juga dilakukan pada petugas konselor yang bertugas membantu klien

dalam terapi di PTRM. Untuk melihat stigma yang dirasakan oleh klien kami juga

menyebarkan kuesioner terkait Stigma interinsik yang dialami oleh klien.

Kuesioner yang kami gunakan berupa Skala Stigma Internalisasi Burger untuk

mengetahui stigma internalisasi yang terdiri dari 22 pertanyaan. Hasil wawancara

terstruktur yang kami dapatkan terkait outcome ( pengalaman, motivasi dan

hambatan) sebagai berikut :

4.1 Pengalaman Klien PTRM

Dari wawancara didapatkan bahwa salah satu klien memanfaatkan layanan

PTRM setelah tertangkap dalam kasus NAPZA dan memulai rehabilitasi pada

PTRM di kota asal klien, kemudian menggunakan bantuan LSM pendampingan

untuk dapat mengetahui layanan PTRM. Berikut kutipannya :

“Pas keluar dari situ diajaklah oleh kalima, kalima itu yayasan juga kaya

yakeba. Diajak oleh dia bayar 20 juta supaya bisa rawat jalan, karena

sebelumnya aku disuruh milih mau rehab di Bogor bayar 2 juta sampai 3

juta selama 2-3 bulan karena oleh polisinya ga dikasi kalau ga bayar,

awalnya emang ga pengen rehab. Setelah itu ikut metadon karena di

Jakarta sebelum ke Bali. ”.

(Klien PTRM 27 th)

25

Hal tersebut sejalan dengan hasil wawancara pada Konselor PTRM yang

menyatakan bahwa sebagian klien PTRM melanjutkan terapi di PTRM Sandat,

berikut kutipannya :

“Klien di PTRM beberapa melanjutkan terapi metadon nya bisa itu dari

kota lain atau dari luar seperti Australia”.

(Konselor PTRM 47 th)

Klien dalam memanfaatkan layanan PTRM Sandat sering tidak nyaman

karena harus antri, terkadang kalau mau mendapatkan resep obat harus lama

menunggu dokter yang bertugas melaporkan ke dokter spesialis penanggung

jawab, berikut hasil wawancaranya :

“Ribetnya tu di PTRM kalau pas mau buru buru, antriannya panjang

sekitar 4 orang atau 5 orang apalagi kalau mau minta resep bisa lama

kalau pas antiannya panjang”.

(Klien PTRM 27 th)

Dari hasil wawancara dengan klien tersebut, hal ini sejalan dengan

wawancara kepada LSM yang mengatakan bahwa beberapa kejadian yang sering

dikeluhkan oleh klien adalah bila harus menunggu konsultasi dokter residen

dengan dokter spesialis penanggung jawab pasien, berikut kutipan hasil

wawancaranya :

26

“Kemarin sempat ada masalah ketika temen-temen ga faham kalau dokter

harus konsultasi dengan dokter yang lebih senior, nah hal menunggu

resep itu yang kadang-kadang ndak sabaran, ngamuk di depan sampai

berenti minum metadon”.

(LSM 38 th)

Dari kutipan hasil wawancara dengan klien PTRM, dapat dilihat bahwa

sikap pasif klien terhadap layanan dikarenakan pengalaman yang pernah dirasakan

sebelumnya karena adanya stigma yang dapat dilihat dari ketidakmauan

memanfaatkan layanan PTRM secara mandiri sehingga dibantu oleh

pendampingan, sehingga secara tidak langsung mempengaruhi sikap dan perilaku

untuk tidak mengakses layanan secara langsung.(Pusponegoro, 2013).

Klien memiliki sikap tidak sabaran dan emosional saat akses langsung ke

layanan. Dalam teori Notoatmodjo (2010) yang menggambarkan tentang sikap

merupakan reaksi tertutup, bukan merupakan reaksi terbuka atau tingkah laku

terbuka. Sikap merupakan kesiapan untuk bereaksi terhadap objek di lingkungan

tertentu sebagai suatu penghayatan terhadap objek. Sikap dapat menggambarkan

suka atau tidak suka seseorang terhadap objek. Biasanya sikap diperoleh dari

pengalaman sendiri atau orang lain yang paling dekat.

Jika dilihat dari theory of planned behavior, pengalaman merupakan salah

satu faktor yang mempengaruhi terbentuknya sikap. Menurut Sarwono (2012),

sikap dapat terbentuk atau berubah melalui empat cara : adopsi yaitu melalui

budaya yang berkembang dilingkungannya, diferensiasi yaitu pengalaman

individu yang dialaminya didukung dengan bertambahnya usia, integrasi yaitu

melalui pengalaman yang didukung dengan pengetahuan yang berhubungan

27

dengan suatu objek, trauma yaitu pengalaman yang meninggalkan kesan

mendalam pada jiwa orang yang bersangkutan. Sehingga untuk melakukan

perubahan terhadap sikap seseorang bisa didukung dengan motivasi.

Dari hasil wawancara ini dapat disimpulkan sikap klien terhadap layanan

secara tidak langsung dipengaruhi oleh pengalaman yang dirasakan selama

memanfaatkan layanan PTRM. Adanya pengalaman tentang stigma negatif dari

petugas kesehatan di luar layanan, masyarakat maupun teman kerja merupakan

penyebab enggan mengakses layanan PTRM secara mandiri. Menurut (Daehler &

Bukatko, 1985 dalam Syah, 2003), pengalaman dapat diartikan sebagai memori

episodic yaitu memori yang menerima dan menyimpan peristiwa yang terjadi atau

dialami individu pada waktu dan tempat tertentu, yang berfungsi sebagai referensi

otobiografi.

4.2 Motivasi Klien PTRM

Hasil wawancara dengan klien dalam memanfaatkan layanan PTRM, klien

menjelaskan kalau motivasinya bersumber dari dukungan LSM yang selalu

mendampingi dan membandingkan sendiri klien yang rajin minum metadon

dengan yang tidak minum metadon ternyata menurut partisipan yang minum

metadon rutin lebih sehat, selain itu dukungan keluarga dan berpikir tentang anak

cukup membantu. LSM pendampingan sebaya menceritakan motivasi klien

muncul untuk memanfaatkan layanan karena pendampingan rutin oleh LSM dan

ada tempat untuk menyampaikan masalah yang klien alami. Berikut kutipannya :

28

“Kan saya punya anak, umurnya 8 bulan saya mau berenti make dan

semoga 2018 sudah bisa ga minum metadon lagi. Jadi pas itu saya udah

klin semua obat-obatan boty juga. Saya mau lulus kuliah dan kerja

besarin anak. Motivasi lain karena dibantu temen LSM untuk berenti”.

(Klien PTRM 27 th)

Hasil wawancara dengan petugas LSM menceritakan kalau motivasi klien

muncul karena pernah memiliki pengalaman menggunakan NAPZA suntik

sebelumnya sehingga mudah untuk memberikan arahan memanfaatkan layanan,

berikut kutipannya :

“Lebih enak ngobrolnya karena saya juga dulu basicnya seorang

pengguna begitu jadi saya pahamlah bagaimana karakter mereka cara

deketin mereka jadi nurut – nurut aja mereka (tertawa)“.

(LSM, 38 th)

Motivasi pada klien untuk menggunakan layanan PTRM di rumah sakit

dapat dipengaruhi oleh sistem kesehatan yang berlaku, seperti sistem rujukan dan

mekanisme alur pelayanan terutama di rumah sakit ketika mengakses layanan.

Hasil wawancara mendalam dengan LSM mengatakan sebelum datang ke rumah

sakit awal mengakses layanan biasanya dibantu oleh pendampingan, Berikut

kutipan wawancaranya :

“Langsung kesini biasanya temen-temen yang rutin terapi metadon, sudah

mandiri, mereka kan ga perlu ambil surat rujukan sendiri di puskesmas

sebelum datang ke rumah sakit awalnya saja kita damping, karena simpel

jadi ya senang mereka”.

(LSM, 38 th)

29

Sedangkan wawancara mendalam dengan Konselor PTRM menjelaskan bahwa

biasanya memberikan penjelasan secara mendalam tujuan dan manfaat

pengobatan dengan jadwal yang terstruktur dapat memotivasi partisipan

memanfaatkan layanan. Berikut kutipannya :

“kita selama konseling juga menjelaskan efek samping dan manfaatnya

untuk terus rutin terapi metadon, mereka kalau ga lagi buru-buru senang

konseling”.

(Konselor PTRM 47 th)

Sobur (2011) mengatakan bahwa motivasi itu berarti membangkitkan motif,

membangkitkan daya gerak atau menggerakkan seseorang atau diri sendiri untuk

berbuat sesuatu dalam rangka mencapai suatu kepuasan atau tujuan. Motivasi

adalah proses yang memberi semangat, arah dan kegigihan perilaku artinya

perilaku yang termotivasi adalah perilaku yang penuh energi, terarah dan bertahan

lama.

Dalam wawancara mendalam yang dilakukan didapatkan bahwa sumber

motivasi klien ada dari luar diri (motivasi ekstrinsik) berupa dukungan LSM

pendamping yang selalu mendampingi dan memberikan motivasi untuk selalu

memanfaatkan layanan, PTRM yang memberikan bantuan dalam mengurus

administrasi dan mendampingi selama memanfaatkan layanan. Tugas dari

konselor yaitu memberikan konseling mulai dari awal terapi dan evaluasi berkala,

konselor bertugas untuk membantu klien untuk memanfaatkan layanan PTRM

bekerja sama dengan pendampingan sebaya untuk memberikan support kepada

klien. Menurut Ajzen (2005), secara umum semakin seseorang mempersepsikan

30

bahwa rujukan sosial merekomendasikan untuk melakukan suatu perilaku maka

orang tersebut akan cenderung merasakan tekanan sosial untuk berniat melakukan

perilaku tersebut dan sebaliknya. Hal ini sejalan dengan penelitian Saptari (2013)

yang menyatakan bahwa kontrol diri seseorang dikategorikan menjadi kontrol diri

lemah dan kuat. Hasil dari penelitian yang dilakukan menunjukkan seseorang

yang memiliki kontrol diri yang kuat akan lebih bersikap positif sehingga ada

keinginan untuk bertindak.

Selain motivasi ekstrinsik diatas didapatkan juga motivasi dari dalam diri

partisipan (motivasi intrinsik) dengan inisiatif sendiri membandingkan klien yang

rutin minum metadon ternyata hidupnya lebih sehat dibandingkan yang tidak

minum metadon. Hal ini sejalan dengan penelitian Saptari (2013) yang

menyatakan bahwa seseorang dengan persepsi kontrol diri yang kuat akan

bersikap positif sehingga menimbulkan perubahan perilaku yang positif untuk

memanfaatkan layanan kesehatan yang dianggap seseorang penting maka ia akan

berpersepsi sesuai dengan kemampuannya untuk mengontrol diri.

4.3 Hambatan Klien PTRM

Wawancara mendalam dengan klien PTRM menyatakan ketidaknyamanan

karena masih adanya pembatasan waktu layanan PTRM, hal ini menjadikan

ketidaknyaman dalam mengakses layanan sehingga sering terburu-buru dalam

akses layanan, selain itu terkait masalah dosis bawa pulang merupakan hal yang

31

sering menjadi hambatan dalam kenyamanan akses layanan, berikut petikan

pernyataan partisipan :

“Dulu waktu di Jakarta metadon buka dari jam 9 sampe jam 1 kalo disini

bukanya lebih bagus dari jam 8 sampe jam 3 jadi ya masih lebih enak di

Bali, tapi yang bikin agak gak nyaman kalo sabtu ma minggu bukanya

sampe jam 12, ya kalau bisa disamain aja sampe jam 3”.

(Klien PTRM 27 th)

“Trus kalau dosis bawa pulang sering susah dok, karena harus make surat

padahal itu saya karena sabtu dan minggu ga bsia datang pas bukanya

metadon, atau pas lagi saya keluar kota”

(Klien PTRM 27 th)

“Terkait metadon bawa pulang, sering menjadi masalah walaupun ga

dibicarakan secara terus terang ke petugas, tapi temen-temen sering iri

bila ada yang di izinkan ga datang tapi diambilin sama istri atau

keluarganya, abis tu banyak yang lapor kok dia bisa kenapa saya ga

boleh”

(LSM 28 th)

Terdapat pandangan yang sering menimbulkan rasa tidak nyaman bagi klien

mengenai statusnya, terdapat stigma dan ketakutan yang berat dalam diri

partisipan mengenai statusnya sebagai pemakai, ketakutan yang sering muncul

terkait hukum dikatakan juga menghambat partisipan untuk memanfaatkan

layanan PTRM, hal ini tercantum dalam kutipan wawancara berikut :

“Kalo sekarang sih udah nyaman ga ada yang ngeliatin kalau ke

metadon, wah kalau dulu sih ya adalah.”.

(Klien PTRM 27 th)

“Temen-temen sering takut awalnya untuk ke metadon, biasanya takut

kalo ada polisi he (tertawa), tapi setelah lama berobat mereka da

khawatir lagi karena petugas disini sangat membantu mereka”

(LSM, 38 th)

32

Klien menyatakan bahwa hambatan yang selama ini dirasakan berasal dari waktu

layanan, berikut kutipan wawancaranya:

“Kalau saya sih hambatannya mungkin waktu buka metadon, ya 24 jam

mah bagus jadi kita yang kerja atau kuliah ga buru-buru dan ga bentrok

juga ma jadwal kuliah buat ambil metadonnya”.

(Klien PTRM 27 th)

Hasil wawancara dengan klien sejalan dengan wawancara mendalam kepada

konselor PTRM yang mengatakan bahwa hambatan yang selama ini dirasakan

oleh klien yaitu waktu mereka yang sangat sedikit dalam mengakses layanan, dan

terkesan buru-buru, berikut kutipannya :

“Ya sering masalah kalau mereka buru-buru, padahal sudah masuk

kriteria untuk di konseling tapi mereka ga bisa karena harus kerja atau

kuliah”.

(Konselor 48 th)

Dari hasil wawancara dengan klien didapatkan informasi bahwa dokter lama

dalam konsultasi menimbulkan hambatan dalam akses layanan PTRM, waktu

layanan yang diatur oleh rumah sakit sering menimbulkan kendala karena

sebagaian partisipan berkerja pada pagi hingga siang hari dimana layanan

dilaksanakan, tidak sesuainya jadwal ini sering menimbulkan kesulitan dalam

akses layanan, berikut hasil wawancaranya :

“Nah kalau saya sih sering kelamaan nunggu resep”.

(Klien PTRM 27 th)

33

“Kadang temen-temen ga sabar kalau harus menunggu konsultasi dokter

residen ke spesialinya dok, ya mungkin temen-temen lagi pengen segera

balik kerja kan jam buka metadon biasanya bentrok sama kerja mereka”

(LSM, 38 th)

Berdasarkan hasil wawancara mendalam dengan klien didapatkan bahwa

masih ada stigma menjadi salah satu penyebab kesulitan klien dalam

memanfaatkan layanan. Hal ini sejalan dengan penelitian di Pontianak

menyatakan bahwa stigma (prasangka buruk) terhadap orang dengan HIV-AIDS

di Kota Pontianak masih seringkali terjadi, intensitas stigma yang dialami

Odha di Kota Pontianak berbeda-beda. Stigma yang dialami Odha dari kalangan

pengguna NAPZA suntik cenderung lebih besar dibandingkan stigma terhadap

Odha dari kalangan Gay, Waria dan LSL yang dapat menghambat akses ke

layanan VCT (Pisani E, et al., 2014).

4.4 Gambaran Stigma Internalisasi Klien PTRM Sandat RSUP Sanglah

Stigma Internalisasi merupakan stigma yang dirasakan oleh klien selama

melakukan terapi di PTRM, stigma ini tidak di tampakkan namun lebih cenderung

dirasakan sehingga dengan mengatahui apa saja yang dirasakan oleh klien selama

memanfaatkan layanan petugas dapat meningkatkan kualitas layanan dan dapat

berempati dengan apa yang dirasakan.

Stigma internalisasi kami ukur dengan menggunakan skala internalisasi

burger yang berisi 22 pertanyaan untuk mengetahui 5 besar stigma internalisasi

yang sering dirasakan dan dipikirkan oleh klien PTRM. Penyebaran kuesioner

34

kami lakukan secara random dengan mengambil 11 orang klien untuk mengisi

kuesioner dan didapatkan hasil sebagai berikut.

35

Stigma internalisasi yang kami dapat dalam kuesioner 5 tertinggi yaitu :

P9 : Klien merasa perlu berhati-hati bila bercerita mengenai dirinya sebagai

pengguna NAPZA.

P1 : Klien merasa beberapa orang yang mengetahui ia menggunakan NAPZA

menjauh.

P7 : Klien merasa orang orang menganggap mereka sakit karena kesahan

sendiri.

P10 : Klien merasa perlu menyembunyikan statusnya sebagai klien PTRM

P11 : Klien menceritakan statusnya sebagai klien PTRM.

Dengan melihat hasil evaluasi kuesioner yang kami lakukan stigma

internalisasi masih dirasakan oleh klien sehingga perlu di berikan solusi-solusi

untuk mengatasi stigma yang muncul.

36

BAB V

PEMBAHASAN

Pengalaman yang dirasakan oleh klien terkait selama menggunakan

NAPZA dan mengakses layanan banyak dipengaruhi oleh stigma baik yang

bersifat eksternalisasi maupun internalisasi, dalam wawancara yang dilakukan

kepada klien terdapat stigma ekternalisasi berupa Avoidence atau pengindaran

lingkungan karena kondisi mereka sebagai pengguna NAPZA hal ini di perkuat

dengan stigma Internalisasi yang mereka rasakan bahwa orang – orang yang

berada di sekitar mereka menjadi menjauh. Hal ini cukup berpengaruh dalam

meningkatkan motivasi dan keinginan klien untuk tetap menggunakan metadon.

BNN pusat dan propinsi Bali menggalakan kegiatan pencegahan dan

hukuman bagi pengedar dan pengguna NAPZA dengan melibatkan pemuka adat

dan membuat melakukan kerjasama dengan desa untuk melakukan pembinaan,

awig awig desa yang di buat untuk melaksanakan kerja sama ini akan memberikan

hukuman kepada pengguna berupa meminta maaf kepada desa dan denda beras,

hal ini ditekankan untuk tidak ada sangsi kesepakang (dikucilkan). Bentuk sangsi

dan informasi yang cukup luas banyak menimbulkan stigma eksternalisasi berupa

Rejaction kepada pengguna NAPZA sehingga akan lebih memunculkan stigma

internalisasi. Stigma internalisasi akan menekan motivasi yang telah dibina oleh

klien hal ini muncul dalam stigma internalisasi yang dominan dirasakan oleh klien

yaitu akan sangat berhati-hati menceritakan bahwa dirinya adalah pengguna

NAPZA walaupun sudah mendapatkan pengobatan di PTRM, mengapa hal ini

37

muncul dikarenakan rasa khawatir karena stigma ekternalisasi yang dibentuk oleh

aparat, dan saat ini oleh desa. Hal ini juga diperkuat dengan hasil wawancara klien

mengatakan harus membayar dana yang cukup besar kepada aparat untuk

mendapatkan izin rehabilitasi.

Para klien merasakan stigma yang mereka rasakan sangat terbantu dengan

adanya dukungan dari keluarga dan orang sekitar termasuk petugas yang

membantu dalam rehabilitasi NAPZA yang mereka lakukan, namun tidak jarang

perasaan atau stigma internalisasi seperti merasa bahwa mereka sakit saat ini

karena kesalahan sendiri sering menjadi hambatan dalam pengobatan yang mereka

jalani, perasaan stigma internalisasi berupa hal tersebut tertuang dalam hasil

evaluasi kami pada klien, dalam wawancara klien didapatkan bahwa outcome ini

juga terpengaruh oleh stigma eksternalisasi berupa labelisasi yang dilakukan oelh

media massa dan lingkungan kerja dengan mengatakan bahwa pecandu atau

pengguna NAPZA merupakan peresah masyarakat.

Pada tahun 1996, the World Psychiatric Association (WPA) memulai

program di seluruh dunia untuk memerangi stigma dan diskriminasi disebut

“Open the Doors”. Tujuannya adalah untuk:

a. Meningkatkan kesadaran dan pengetahuan dan pilihan pengobatan.

b. Meningkatkan sikap publik pada pengguna NAPZA, penderita gangguan

jiwa dan keluarga mereka, dan

c. Melanjutkan aksi untuk mencegah atau menghilangkan stigma dan

diskriminasi.

38

Klien dan anggota keluarga merupakan aspek penting dalam kegiatan

antistigma. Melibatkan klien dan anggota keluarganya sangat penting untuk

keberhasilan sebuah program anti-stigma. Karena mereka dapat menjelaskan

pengalaman sendiri tentang stigma dan diskriminasi. Mereka menambahkan

sebuah sudut pandang yang sangat penting untuk semua diskusi. Pengalaman

mereka sebagai klien NAPZA dapat membuat para ahli dalam mengidentifikasi

masalah yang paling mendesak. Oleh karena itu, cara pandang mereka sangat

penting dalam memutuskan intervensi pada jenis anti-stigma. Oleh karena itu

juga, setiap program harus memiliki sebuah mekanisme yang dibangun pada klien

dan untuk berkonsultasi dengan anggota keluarganya yang berhubungan dengan

kegiatan program dan sasaran. Penderita dan anggota keluarga juga harus bersedia

untuk berbicara secara terbuka tentang pengalaman dan keahliannya.

(Stuart,2009)

Mengapa program anti Stigma penting. Inti stigma adalah sikap negatif dan

merugikan terhadap seseorang dengan gangguan jiwa. Diskriminasi terjadi ketika

orang-orang dengan gangguan jiwa diperlakukan tidak adil, atau ditolak hak-hak

mereka karena gangguan jiwa mereka. Di zaman Yunani, stigma adalah tindakan

seseorang untuk menggambarkan undesirability sosial dan mempermalukan

mereka. Orang-orang dengan gangguan jiwa yang dipandang memiliki nilai sosial

kurang. Sikap berlanjut sampai saat ini dan dinyatakan dalam cara yang berbeda

dalam budaya yang berbeda.

Mereka membuat lingkaran setan keterasingan dan diskriminasi dan dapat

menjadi halangan utama untuk pemulihan, menyebabkan isolasi sosial,

39

pengangguran, tunawisma dan pelembagaan. Stigma dan diskriminasi memiliki

sejarah panjang dan tidak mudah diselesaikan. Oleh karena itu, melakukan

program anti stigma adalah komitmen besar, jangka panjang.

Klien yang sedang menjalani terapi jangka panjang metadon membutuhkan

dukungan sosial. Hubungan antara dukungan sosial dengan kepatuhan telah

dipelajari secara luas, beberapa penelitian telah dilakukan mengenai hubungan ini,

merupakan salah satu prediktor kuat dari kepatuhan. Dukungan sosial adalah

suatu informasi dari orang lain bahwa dia dicintai dan diperhatikan, memiliki

harga diri dan dihargai, serta merupakan bagian dari jaringan komunikasi dan

kewajiban bersama. Sumber dukungan sosial selain keluarga adalah teman dekat

atau akrab dengan individu-individu yang dekat, yang biasanya membentuk

kelompok. Anggota kelompok akan berinteraksi keterdekatan fisik, memecahkan

konflik dan memudahkan koordinasi. Komponen dukungan sosial dari teman

antara lain bimbingan (nasihat), keterikatan, penghargaan atau pengakuan,

integrasi sosial (minat dan pemikiran yang sama). Sangat efektif karena

hambatan-hambatan komunikasi yang terjadi lebih kecil dibandingkan dari bukan

teman sesama. Dukungan teman sesama efektif dalam mendukung perubahan

sikap kearah yang lebih positif (Kelly, et al., 2010).

Salah satu metode paling efektif dalam mendukung klien menjalani

pengobatan adalah melalui orang yang berarti bagi klien, seperti suami atau istri,

orang tua, saudara kandung, dan anak. Keluarga dapat menjadi kunci untuk

memaksa klien berhenti menyangkal dan menghindar, serta mulai serius

menangani masalah ketergantungannya (Kelly, et al., 2010). Klien mengatakan

40

dalam wawancaranya bahwa dukungan keluarga sangat penting, mereka

mengetahui beberapa teman sesama klien metadon tidak seberuntung mereka,

tidak ada dukungan keluarga yang cukup, sehingga tidak heran ada yang tidak

pernah kembali untuk terapi atau kembali menggunakan zat. Pengetahuan

keluarga juga penting dalam mendukung keberhasilan terapi metadon dan

signifikan mempengaruhi perubahan perilaku ksesehatan. (Andita, 2012).

41

BAB VI

SIMPULAN DAN SARAN

6.1 Simpulan

Berdasarkan hasil dan pembahasan diatas maka dapat ditarik simpulan

sebagai berikut :

1. Pengalaman yang dirasakan oleh klien terkait selama menggunakan NAPZA

dan mengakses layanan banyak dipengaruhi oleh stigma baik yang bersifat

eksternalisasi maupun internalisasi, stigma ekternalisasi berupa Avoidence

atau pengindaran lingkungan karena kondisi mereka sebagai pengguna

NAPZA, stigma Internalisasi yang mereka rasakan bahwa orang – orang yang

berada di sekitar mereka menjadi menjauh. Hal ini cukup berpengaruh dalam

meningkatkan motivasi dan keinginan klien untuk tetap menggunakan

metadon.

2. Bentuk sangsi dan informasi yang cukup luas oleh pemerintah dan Desa adat

di Bali banyak menimbulkan stigma eksternalisasi berupa Rejaction kepada

pengguna NAPZA sehingga akan lebih memunculkan stigma internalisasi.

Ketakutan klien dalam memulai pengobatan di PTRM terkait stigma

eksternalisasi ini mempengaruhi motivasi klien dalam akses layanan

sekaligus menjadi penghambat.

3. Stigma internalisasi seperti merasa bahwa mereka sakit saat ini karena

kesalahan sendiri sering menjadi hambatan dalam pengobatan yang mereka

jalani, ini juga terpengaruh oleh stigma eksternalisasi berupa labelisasi yang

42

dilakukan oelh media massa dan lingkungan kerja dengan mengatakan bahwa

pecandu atau pengguna NAPZA merupakan peresah masyarakat.

4. Klien dan anggota keluarga merupakan aspek penting dalam kegiatan

antistigma. Melibatkan klien dan anggota keluarganya sangat penting untuk

keberhasilan sebuah program anti-stigma. Karena mereka dapat menjelaskan

pengalaman sendiri tentang stigma dan diskriminasi.

5. Klien yang sedang menjalani terapi jangka panjang metadon membutuhkan

dukungan sosial. Hubungan antara dukungan sosial dengan kepatuhan telah

dipelajari secara luas, beberapa penelitian telah dilakukan mengenai

hubungan ini, merupakan salah satu prediktor kuat dari kepatuhan. Dukungan

sosial adalah suatu informasi dari orang lain bahwa dia dicintai dan

diperhatikan, memiliki harga diri dan dihargai, serta merupakan bagian dari

jaringan komunikasi dan kewajiban bersama.

6.2 Saran

Untuk mengatasi stigma internalisasi dan eksternalisasi yang dialami oleh klien

PTRM terdapat tiga strategi yang dapat digunakan yaitu:

1. Kontak, anggota masyarakat umum rutin berinteraksi dengan orang yang

berjuang dengan penyakit mental termasuk pengguna NAPZA yang sedang

menjalani rehabilitasi. Ini memperkecil kemungkinan untuk terkena stigma.

2. Pendidikan, anggota masyarakat yang mengetahui lebih banyak tentang

penyakit mental termasuk rehabilitasi NAPZA memiliki kemungkinan lebih

kecil untuk mendukung mitos memalukan di sekitarnya.

43

3. Protes, Perilaku diskriminatif bisa berkurang ketika segmen-segmen penting

pernyataan masyarakat secara jelas tidak berkenan atas tindakan-tindakan

ini. Hal ini bisa disampaikan melalui media social ataupun dalam bentuk

statement dalam menanggapi isu NAPZA sehingga tidak melakukan

penggiringan opini kearah stigma.

44

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, T., & Brown,T. L. 2011. Mental Ilness Stigma and Ethnocultural

Beliefs, value, and norms: An integrative review. Department of Psychology,

University of Kentucky, United State

Andita, L. 2012. Dukungan Sosial terhadap Pasien Program Terapi Rumatan

Metadon (PTRM) (Studi Kasus pada Tiga Orang Pasien PTRM di Rumah

Sakit Ketergantungan Obat (RSKO) Cibubur). Tesis.Universitas Indonesia.

Anggreni, D. 2015. Dampak bagi Pengguna Narkotika, Psikotropika dan Zat

Adiktif (NAPZA) di Kelurahan Gunung Kelua Samarinda Ulu. eJournal

Sosiatri-Sosiologi, 3(3):37-51.

Baxter, J. 2014. Changing the Market Culture for Methamphetamines Models of

Demand Reduction – An Australian Perspective.Drug Free Australia, pg.1-

8.

Budiyani, P. I. R., Mahkota, R. 2013. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan

Ketidakpatuhan pada Pengguna NAPZA Suntik yang Mengikuti Program

Terapi Rumatan Metadon di Rumah Sakit Ketergantungan Obat di Cibubur

Jakarta Timur Tahun 2013.FKM UI, pg 1-20.

Corker,E. Hamilton,S. Henderson,C. Weeks,C. Pinfold,V. Rose,D. Williams,P.

Flach,C. Gill,C. Lewis-Holmes,E. and Thornicroft,G. 2013. Experience of

discrimination among people using mental health services in England 2008-

2011. The British Journal of Psychiatry 202, 558-563. Doi:

10.1192/bjp.bp.112.112912

Damayanti, R. 2015. Laporan Akhir Survey Nasional Perkembangan

Penyalahguna Narkoba Tahun Anggaran 2014, hal. 1-63. Jakarta: BNN RI.

Directorat of Mental Health Care Ministry of Helath. Indonesia Desember 2006

Final Report Development of National Policy and Strategy for Mental

Hospital

Ditjen PP & PL kemenkes RI, 2012.United Nations Programme on HIV and

AIDS. 1–10

Ditjen PP & PL Kemenkes RI. 2014. Statistik Kasus HIV/AIDS di Indonesia

Dilapor s/d September 2014 Cases of HIV/AIDS in Indonesia Reported thru’

September 2014

Downing, M., Knight, K., Reiss, T. H., Vernon, K., Mulia, N., Ferreboeuf, M.,

Vu, C. 2010 Drug Users Talk About HIV Testing: Motivating and Deterring

Factors. AIDS Care.

45

Duffy L. Suffering, Shame, and Silence 2005 The Stigma of HIV-AIDS. Journal of

The Association of Nurses in AIDS Care.

Hermanus, A., Zeth, M., Penyakit, R., Asdie, A. H., Mukti, A. G., Mansoden,

J.,K., 2010. Perilaku dan Risiko Penyakit HIV-AIDS di Masyarakat Papua

Studi Pengembangan Model Lokal Kebijakan HIV-AIDS The Development

Study of Local Wisdom HIV-AIDS ( vaginal , anal , ataupun oral ), transfusi

darah , jarum AIDS berasal dari Afrika Sub-Sahara

Hidayati,A.N. 2015. Lebih Dekat Dengan Skizofrenia:Menuju Era Skizofrenia

tanpa Stigma. Biro Koordinasi Kedokteran Masyarakat (BKKM) Fakultas

Kedokteran, Universitas Airlangga.

Holzemer WL, Uys LR. Managing AIDS Stigma. Journal 2004

Husnul, 2015 Jurnal Identifikasi Karakteristik Orang Risiko Tinggi HIV dan

AIDS tentang Program Pelayanan VCT.Artikel Penelitian

Huxley,J. 2011. Challenging the Stigma of Mental Illness: Lesson for Therapists

and Advocates. John Wiley & Sons, Ltd

Idaiani,S. Yunita,I. Prihatini, S. & Indrawati,L. 2013 . Riset Kesehatan Dasar:

Kesehatan Jiwa. Badan penelitian dan Pengembangan Kesehatan

Kementerian Kesehatan RI tahun.

Jamieson., Beals., Lalonde. 2002. Factors that Influence the Effectiveness of MMT

Literature Review Methadone Maintenance Treatment, pg. 15-18, Ontario:

Health Canada.

Karmila 2016 Pengalaman, motivasi dan hambatan pengguna NAPZA suntik

dalam pemanfaatan layanan VCT dan atau CST oleh pengguna NAPZA

suntik di Kabupaten Lombok Timur – NTB, Pascasarjana Universitas

Udayana.

Michelle A. Lally, M.D., M.Sc., Sydney A. Monstream-Quas, M.P.H.,

Saratanaka, B.A., Sara K. Tedenchi, B.A., and Kathelen M. Morrow, Ph.D.

2012. A Qualitative Study Among Injection Drug Using Women in Rhode

Island: Attitudes Toward Testing, Treatment, and Vaccination for Hepatitis

and HIV. NIH Public Access

Papish,A. Kassam,A. Modgill,Geeta. Vaz, G. Zanussi,L. Patten,S 2013. Reducing

the stigma of mental illness in undergraduate medical education: a

randomized contolled trial. Papish et al. BMC Medical Education.

Pescosolido, Martin, Lang, dan Olafsdottir 2008 Stigma, prejudice, discrimination

and health, social science and medicine

46

Pratiwi, I., Arsyad, D. S., Ansar, J. 2014. Faktor yang Berhubungan dengan

Kepatuhan Berobat Terapi Rumatan Metadon di Puskesmas Kassi Kassi

Kota Makasar.Hal.1-10.

RI, K. K. 2013 Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 57

Tahun 2013 Tentang Pedoman Penyelenggaraan Program Terapi Rumatan

Metadon. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.

Sirait, A. 2006. Pengaruh Koping Keluarga terhadap Kejadian Relaps pada

Skizofrenia Remisi Sempurna di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi

Sumatera Utara Tahun 2006

Stuart,H. 2009. Selection of Anti-stigma Programs in Opening Mind: An initiative

of the Mental Health Commission of Canada. Queen’s University,

Department of Community Health & Epidemiolagy

Stubert, J. Rocha,A. Christian,A. Link,B.G. 2014. Conceptions of Mental Illness:

Attitudes of Mental Health Professionals and the General Public

(PSYCHIATRIC SERVICES ' ps.psychiatryonline.org ' April 2014 Vol. 65

No. 4)

Sulistyorini, N. 2013. “ Hubungan Pengetahuan tentang Gangguan Jiwa di

wilayah Kerja Puskesmas Colomadu I (skripsi ) Surakarta: Universitas

Muhammadiyah

Sun, H-M., Li, X-Y., Chow, E. P. F., Li, T., Xian, Y., Lu, Y-H., Tian, T., Zhuang,

X., Zhang, L 2015. Methadone Maintenance Treatment Programme Reduce

Criminal Activity and Improves Social Well-being of Drug Users in China: a

Systematic Review and Meta-analysis. BMJ Open, pg. 1-12.

Temes,R 2011. Hidup Optimal dengan Skizofrenia. Penerbit PT Bhuana Ilmu

Populer.

Thornicroft,G. Brohan, E. Kassam,A. and Lewis-Holmes, E 2008. Reducing

stigma and discrimination: Canditate interventions. International Journal of

Mental Health System . BioMed Central.

UNODC. 2015. World Drug Report 2015, pg. 1-75. New York: United Nations

publication.

47

STUDI KUALITATIF PEMANFAATAN LAYANAN PTRM SANDAT DI

RSUP SANGLAH

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS 1 KEDOKTERAN JIWA

UNIVERSITAS

UDAYANA

Apabila anda bersedia untuk berpartisipasi dalam penelitian ini, mohon

supaya Anda menyatakan bahwa Anda telah memahami informasi ini dan

menandatangani pernyataan kesediaan berikut ini.

PERNYATAAN SUBYEK

Saya menyatakan telah memahami penjelasan tujuan wawancara ini dan bersedia

memberikan informasi yang saya ketahui dengan sejujurnya.

Nama Terang : Tanggal :

Tanda Tangan :

PERNYATAAN PENELITI

Saya menyatakan telah memberikan penjelasan tujuan wawancara ini dengan

sejelas – jelasnya dan telah mendapatkan persetujuan dari partisipan.

Nama Terang : Tanggal :

Tanda Tangan :

IDENTITAS & SITUASI WAWANCARA:

Tanggal :

Nama : __________________________

Waktu : ____________s/d____________

Tempat : __________________________

Catatan : __________________________

PEDOMAN WAWANCARA MENDALAM KEPADA PENGGUNA NAPZA

SUNTIK (PENASUN) OPIOID DENGAN TERAPI METADON

A. KARAKTERISTIK PARTISIPAN

1. Jenis kelamin?

2. Bulan dan tahun berapa Anda lahir? Bulan___________Tahun _______

3. Apakah tingkat pendidikan terakhir yang anda selesaikan?

B. PERTANYAAN PENELITIAN

1. Sudah berapa lama menggunakan narkotika?

2. Bagaimana awalnya Anda menggunakan narkotika?

3. Narkotika jenis apa saja yang pernah anda gunakan?

4. Bagaimana cara Anda memakai narkotika?

- Oral/diminum

- Disuntik, akses jarum suntik dimana?

5. Apakah Anda mempunyai keinginan berhenti menggunakan narkotika?

6. Apakah bisa diceritakan seberapa kuat keinginan anda berhenti?

7. Apa saja yang sudah pernah dilakukan untuk berhenti?

8. Apakah Anda tahu tentang risiko yang mungkin timbul akibat

menggunakan narkotika?

9. Menurut anda apa saja risiko yang mungkin timbul?

10. Apa saja yang sudah Anda lakukan untuk mencegah risiko tersebut?

11. Darimana Anda tahu layanan PTRM?

12. Sudah berapa kali anda tes HIV?

Probing :

49

- Dimana

- Atas inisiatif/anjuran siapa

13. Siapa yang biasanya mengantar Anda ke layanan PTRM?

- Datang sendiri

- Diantar LSM

- Dijangkau

14. Apa yang menyebabkan Anda untuk melakukan terapi metadon?

15. Bagaimana pendapat anda tentang layanan tersebut?

16. Hal – hal apa yang memudahkan dalam mengakses layanan metadon?

Probing :

- Jarak dan lokasi tes

- Petugas

- Keamanan/jaminan kerahasiaan

- Kenyamanan

- Pelayanan

- Stigma & diskriminasi

- Informasi yang diberikan

Tolong ceritakan pengalaman yang dialami!

17. Adakah kesulitan yang ditemui dalam mengakses layanan metadon?

18. Bila ada, dari segi apa?

Probing :

- Jarak dan lokasi tes

- Petugas

50

- Keamanan /jaminan kerahasiaan

- Kenyamanan

- Pelayanan

- Stigma & diskriminasi

Tolong diceritakan pengalaman yang Anda alami atau pengalaman teman

anda!

19. Adakah hal yang ingin diperbaikidari layanan metadon yang telah ada?

20. Jika ada, apa yang ingin diperbaiki?

Probing :

- Petugas

- Lokasi tes

- Keamanan / jaminan kerahasiaan

- Kenyamanan

- Pelayanan

- Stigma dan diskriminasi

21. Apakah menurut anda layanan ini dapat membantu mendapatkan informasi

yang dibutuhkan?

51

PEDOMAN WAWANCARA MENDALAM KEPADA LEMBAGA SWADAYA

MASYARAKAT (LSM) /DUKUNGAN SEBAYA YANG MENAUNGI

KHUSUS PENASUN

A. KARAKTERISTIK PARTISIPAN

1. Jenis kelamin ?

2. Bulan dan tahun berapa Anda lahir? Bulan___________Tahun _______

3. Apakah tingkat pendidikan terakhir yang anda selesaikan?

B. PERTANYAAN PENELITIAN

1. Sudah berapa lama Anda mendampingi penasun?

2. Apa saja bentuk dukungan dan pendampingan yang Anda berikan?

Probing :

- Kegiatan

- Waktu

- Tenaga

- Biaya

3. Adakah kegiatanAnda dalam stigma, diskriminasi dan dukungan sebaya?

Probing :

- Contoh - contoh kegiatan

- Pengalaman yang dilakukan

- Motivasi yang diberikan

- Hambatan yang didapatkan

52

4. Bagaimana proses pendampingan pada partisipan yang dijangkau oleh LSM?

Probing :

- Kesulitan/hambatan

- Sarana dan prasarana yang tersedia

- Pemeriksaan terkait dengan CST

5. Apa yang dilakukan oleh LSM dan respon yang dilakukan untuk mengatasi

stigma dan diskriminasi?

Probing :

- Contoh - contoh kegiatan

- Pengalaman yang dilakukan

- Motivasi yang diberikan

- Hambatan yang didapatkan

53

PEDOMAN WAWANCARA MENDALAM KEPADA PETUGAS MEDIS

LAYANAN PTRM SANDAT RSUP SANGLAH

A. KARAKTERISTIK PARTISIPAN

1. Jenis kelamin ?

2. Bulan dan tahun berapa Anda lahir? Bulan___________Tahun _______

3. Apakah tingkat pendidikan terakhir yang anda selesaikan?

B. PERTANYAAN PENELITIAN

1. Berapa lama Anda menjadi petugas PTRM?

2. Kelompok apa saja yang sudah diberikan konseling NAPZA?

Probing :

- Berapa banyak yang datang dengan sendirinya?

- Diantar LSM/Kelompok sebaya

- Dijangkau ke lapangan

3. Bisa ceritakan pengalaman Anda selama memberikan konseling kepada

penasun?

Probing :

- Kegiatan

- Waktu

- Tenaga

- Biaya

4. Menurut Anda apa saja hambatan yang didapatkan selama melakukan

konseling kepada kelompok penasun?

Probing :

54

- Waktu

- Tenaga

- Biaya

- Stigma dan diskriminasi

5. Siapa yang memotivasi penasun untuk ikut PTRM?

Probing :

- Atas kemauan sendiri

- Dianjurkan orang lain

6. Menurut Anda apa alasan penasun untuk menolak terapi metadon?

Probing :

- Stigma dan diskriminasi

- Kesiapan

- Merasa tidak berisiko

- Ketidaktahuan/ kurangnya informasi yang diterima

55

IDENTITAS & SITUASI WAWANCARA:

Tanggal :

Nama : __________________________

Waktu : ____________s/d____________

Tempat : __________________________

Catatan : __________________________

STIGMA INTERNALISASI BURGER

N0 PERTANYAAN YA

(1)

TIDAK

(2)

1 Apakah beberapa orang yang tahu anda

pengguna NAPZA makin manjauhi

anda?

2 Apakah anda menyesal telah bercerita

kepada beberapa orang bahwa anda

pengguna NAPZA?

3 Apakah orang yang anda sayangi

berhenti menghubungi setelah

mengetahui anda pengguna NAPZA?

4 Apakah anda kehilangan teman setelah

menyampaikan kepada mereka bahwa

anda pengguna NAPZA?

5 Apakah beberapa orang menghindari

menyentuh anda ketika tahu anda

tertular hiv aids?

6 Apakah orang secara fisik menjauhi

anda ketika tahu anda mengalami hiv

aids?

7 Apakah orang bertindak seakan-akan

anda mengalami hiv aids karena

kesalahan anda?

8 Apakah orang sepertinya takut kepada

anda saat mereka tahu anda pengguna

NAPZA?

9 Apakah anda berhati-hati kepada siapa

anda bercerita bahwa anda pengguna

NAPZA?

10 Apakah anda merasa perlu

menyembunyikan pengguna NAPZA ?

11 Apakah bercerita kepada sesorang

bahwa anda mengalami hiv aids

berisiko?

56

12 Apakah anda khawatir orang akan

menilai anda tidak baik ketika mereka

mendengar anda terapi metadon?

13 Apakah anda merasa bersalah karena

anda mengalami hiv aids?

14 Apakah anda merasa tidak sebaik orang

lain karena anda mengalami hiv aids?

15 Apakah anda merasa malu karena anda

pengguna terapi metadon?

16 Apakah saat mengalami hiv aids

membuat anda merasa tidak bersih?

17 Apakah sejak mengetahui anda

pengguna NAPZA, anda merasa

dipisahkan dan diasingkan dari

masyarakat?

18 Apakah disaat anda mengalami hiv

aids membuat anda merasa menjadi

orang yang tidak baik?

19 Apakah orang yang terkena hiv aids

dan pengguna NAPZA kehilangan

pekerjaannya ketika majikannya tahu?

20 Apakah orang yang pengguna NAPZA

diperlakukan seperti seorang

penggangu masyarakat?

21 Apakah kebanyakan orang berpendapat

bahwa seseorang yang terkena penyakit

hiv aids menjijikan?

22 Apakah kebanyakan orang merasa tidak

nyaman berada di sekitar orang yang

terkena hiv aids dan pengguna

NAPZA?

57

58