stigma bab 1

35
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kesehatan adalah sesuatu yang berharga bagi seluruh makhluk hidup di dunia karena tanpa kesehatan, manusia tidak akan dapat menjalani kegiatan hidupnya dengan optimal. Selain itu kesehatan merupakan keadaan sejahtera dari badan, jiwa dan sosial yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomis. Pada dasarnya, setiap manusia menghendaki hidup dan kehidupan yang tenang, tentram dan bahagia, meskipun tidak selamanya kemauan dan keinginan tersebut tercapai. Kesehatan jiwa merupakan salah satu indikator untuk mengukur derajat kesehatan masyarakat. Indikator kesehatan jiwa dimasa yang akan datang bukan lagi masalah klinis seperti prevalensi gangguan jiwa, melainkan berorientasi pada konteks kehidupan social. Oleh karena itu upaya menjamin kesehatan jiwa merupakan tanggung jawab pemerintah, masyarakat, dan melibatkan berbagai profesi termasuk keperawatan. Menurut UU RI No. 18 tahun 2014, kesehatan jiwa adalah kondisi dimana seorang individu dapat berkembang secara fisik, mental, spiritual, dan sosial sehingga individu tersebut menyadari kemampuan sendiri, dapat mengatasi tekanan, dapat bekerja secara produktif, dan mampu memberikan kontribusi untuk komunitasnya. Sementara Orang Dengan Gangguan Jiwa yang disingkat ODGJ adalah orang yang 1

Upload: giovanni-moningka-ii

Post on 10-Feb-2016

252 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

mental health for you

TRANSCRIPT

Page 1: stigma bab 1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kesehatan adalah sesuatu yang berharga bagi seluruh makhluk hidup di dunia karena

tanpa kesehatan, manusia tidak akan dapat menjalani kegiatan hidupnya dengan optimal.

Selain itu kesehatan merupakan keadaan sejahtera dari badan, jiwa dan sosial yang

memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomis. Pada dasarnya,

setiap manusia menghendaki hidup dan kehidupan yang tenang, tentram dan bahagia,

meskipun tidak selamanya kemauan dan keinginan tersebut tercapai.

Kesehatan jiwa merupakan salah satu indikator untuk mengukur derajat kesehatan

masyarakat. Indikator kesehatan jiwa dimasa yang akan datang bukan lagi masalah klinis

seperti prevalensi gangguan jiwa, melainkan berorientasi pada konteks kehidupan social.

Oleh karena itu upaya menjamin kesehatan jiwa merupakan tanggung jawab pemerintah,

masyarakat, dan melibatkan berbagai profesi termasuk keperawatan.

Menurut UU RI No. 18 tahun 2014, kesehatan jiwa adalah kondisi dimana seorang

individu dapat berkembang secara fisik, mental, spiritual, dan sosial sehingga individu

tersebut menyadari kemampuan sendiri, dapat mengatasi tekanan, dapat bekerja secara

produktif, dan mampu memberikan kontribusi untuk komunitasnya. Sementara Orang

Dengan Gangguan Jiwa yang disingkat ODGJ adalah orang yang mengalami gangguan

dalam pikiran, perilaku, dan perasaan yang termanifestasi dalam bentuk sekumpulan

gejala dan/atau perubahan perilaku yang bermakna, serta dapat menimbulkan penderitaan

dan hambatan dalam menjalankan fungsi orang sebagai manusia.

Laporan organisasi kesehatan dunia (World Health Organization/WHO) pada 2010

tentang Global Burden Disease menyebut, kini telah terjadi perubahan jenis penyakit

yang menimbulkan beban bagi negara secara global. Sebelumnya, WHO menyebut kasus

kematian ibu dan anak paling besar membebani negara, tapi kini bergeser ke penyakit

kronis, termasuk penyakit jiwa berat, misalnya Skizofrenia.

Di Indonesia informasi tentang kesehatan jiwa lambat berkembang karena kentalnya

stigma ditengah masyarakat tentang anggapan gila. Kebanyakan orang Indonesia

cenderung menyederhanakan pengertian ODGJ dengan menyebut ‘gila’, karena adanya

dampak penderita yang kerap berubah temperamen dalam waktu singkat dan berbeda dari

orang normal.

1

Page 2: stigma bab 1

Adanya stigma ini juga berkaitan dengan factor tradisi atau kebudayaan dalam

masyarakat yang masih percaya takhayul dan tindakan-tindakan irasional warisan nenek

moyang. Perlakuan diskriminatif terhadap ODGJ masih cukup tinggi, mereka sering

mendapatkan perlakuan yang tidak manusiawi, misalnya kekerasan, diasingkan, diisolasi

atau dipasung. Perlakuan ini disebabkan karena stigma yang salah dari keluarga atau

anggota masyarakat mengenai gangguan jiwa. Hal itu menyebabkan ODGJ yang sudah

sehat memiliki kecenderungan untuk mengalami kekambuhan lagi sehingga

membutuhkan penanganan medis dan perlunya perawatan di RS Jiwa lagi. Ditambah lagi

akses ODGJ ke fasilitas pelayanan kesehatan masih perlu ditingkatkan.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas maka dapat disusun rumusan masalah sebagaai berikut:

1. Apakah teori para ahli mengenai Orang Dengan Gangguan Jiwa?

2. Apakah stigma yang muncul dalam masyarakat terhadap Orang Dengan

Gangguan Jiwa?

3. Apakah dampak yang dapat muncul akibat stigma masyarakat terhadap Orang

Dengan Gangguan Jiwa?

4. Bagaimana rekomendasi dan rencana tindak lanjut tentang masalah stigma

masyarakat terhadap Orang Dengan Gangguan Jiwa yang muncul?

5. Apakah masalah bagi mahasiswa keperawatan dalam menghadapi ODGJ.

6. Bagaimana karakter perawat yang dibutuhkan.

C. Tujuan

1. Tujuan Umum

Mengetahui stigma/ persepsi masyarakat terhadap penderita gangguan jiwa.

2. Tujuan Khusus

- Mengetahui mengenai ODGJ.

- Mengetahui stigma yang muncul dalam masyarakat terhadap ODGJ.

- Mengetahui dampak akibat dari stigma masyarakat terhadap ODGJ.

- Mengetahui rencana tindak lanjut terhadap masalah stigma masyarakat

terhadap ODGJ.

- Mengetahui masalah mahasiswa keperawatan menghadapi ODGJ.

- Mengetahui karakter mahasiswa keperawatan.

2

Page 3: stigma bab 1

D. Manfaat Pembuatan Makalah

1. Secara Praktik

Makalah ini dapat dijadikan referensi bagi perawat/mahasiswa keperawatan dalam

menjalankan praktik keperawatan terutama pada saat melakukan asuhan

keperawatan terhadap klien dengan gangguan jiwa.

2. Secara Teoritis

Makalah ini dapat dijadikan bahan masukan/referensi bagi perawat/mahasiswa

keperawatan dalam proses pembelajaran terutama mata kuliah keperawatan jiwa

yang kaitannya dengan aspek budaya.

3

Page 4: stigma bab 1

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Kesehatan Jiwa

1. Pengertian Kesehatan Jiwa

Menurut WHO definisi sehat adalah suatu keadaan sejahtera yang meliputi fisik,

mental, dan social yang tidak hanya bebas dari penyakit atau kecacatan. Maka secara

analogi kesehatan jiwa pun bukan hanya sekedar bebas dari gangguan tetapi lebih

kepada perasaan sehat, sejahtera dan bahagia, ada keserasian antara pikiran, perasaan,

perilaku, dapat merasakan kebahagiaan dalam sebagian besar kehidupannya serta

mampu mengatasi tantangan hidup sehari-hari.

Menurut UU Kesehatan Jiwa No. 18 tahun 2014 Kesehatan jiwa adalah kondisi

dimana seorang individu dapat berkembang secara fisik, mental, spiritual, dan social

sehingga individu tersebut menyadari kemampuan sendiri, dapat mengatasi tekanan,

dapat bekerja secara produktif, dan mampu memberikan kontribusi untuk

komunitasnya.

Menurut Y. Iyus, 2009 (Yahoda) indikator sehat jiwa meliputi sikap yang positif

terhadap diri sendiri, tumbuh berkembang dan memiliki aktualisasi diri, keutuhan,

kebebasan diri, memiliki persepsi sesuai kenyataan dan kecakapan dalam beradaptasi

dengan lingkungan.

2. Teori Tentang Kesehatan Jiwa/mental

- Teori Psikoanalisis Menurut Sigmund Freud (1856-1939)

Psikoanalisis merupakan satu sistem dinamis dari psikologi, yang mencari

akar-akar tingkah laku manusia didalam motivasi dan konflik yang tidak disadari.

Freud mengumpamakan pikiran manusia sebagai fenomena gunung es. Bagian

kecil yang nampak diatas permukaan air menggambarkan pengalaman sadar,

bagian yang jauh lebih besar dibawah permukaan air yang menggambarkan

ketidaksadaran seperti impuls, ingatan, nafsu dan hal lain yang mempengaruhi

pikiran dan perilaku.

- Teori Behaviorisme Menurut Jhon B. Watson (1878-1958)

Merupakan aliran psikologi terbesar kedua yang pertama kali diperkenalkan

oleh Jhon B. Watson. Teori ini kurang memiliki perhatian terhadap struktur

4

Page 5: stigma bab 1

kepribadian internal (id, ego, superego), akan tetapi mementingkan pada tingkah

laku yang teramati. Teori ini adalah proses belajar serta peranan lingkungan yang

merupakan kondisi lingkungan belajar dalam menjelaskan perilaku. Semua

tingkah laku manusia adalah hasil belajar yang bersifat mekanistik lewat peoses

penguatan.

Terapi behaviorisme menekankan pada mengatasi perilaku yang nampak

dimana dihasilkan oleh lingkungan luar dari dirinya. Individu adalah produksi dan

yang diproduksi oleh lingkungan. Modifikasi perilaku bertujuan meningkatkan

keterampilan individu sehingga mereka lebih banyak mempunyai pilihan dalam

memilih suatu perilaku yang diinginkan. Manusia buanlah hasil dorongan tak

sadar melainkan dorongan hasil belajar.

- Teori Humanistik Menurut Abraham Maslow (1908-1970)

Teori humanistic dipandang sebagai “third force” atau kekuatan ketiga dalam

psikologi. Humanistic dapat diartikan sebagai orientasi teoritis yang menekankan

kualitas manusia yang unik, khususnya terkait dengan “free will” atau kemauan

bebas dan potensi untuk mengembangkan dirinya.

Pada teori ini memfokuskan perhatian pada potensi individu untuk secara katif

memilih dan membuat keputusan tentang hal-hal yang berkaitan tentang dirinya

sendiri dan lingkungannya. Teori ini berpandangan bahwa manusia fitrahnya

adalah baik, karakteristik manusia positif, ingin berkembang kearah yang lebih

baik, realistic, dan bergerak kearah aktualisasi diri.

B. Gangguan Jiwa

Menurut Stuart dan Sunden (1998), gangguan jiwa adalah gangguan otak yang

ditandai oleh terganggunya emosi, proses berpikir, perilaku, dan persepsi (penangkapan

panca indera). Gangguan jiwa ini menimbulkan stress dan penderitaan bagi penderita dan

keluarganya. Dan menurut UU Kesehatan Jiwa No. 18 tahun 2014, Orang Dengan

Gangguan Jiwa yang disingkat ODGJ adalah orang yang mengalami gangguan dalam

pikiran, perilaku, dan perasaan yang termanifestasi dalam bentuk sekumpulan gejala

dan/atau perubahan perilaku yang bermakna, serta dapat menimbulkan penderitaan dan

hambatan dalam menjalankan fungsi orang sebagai manusia.

5

Page 6: stigma bab 1

Gangguan jiwa dapat mengenai setiap orang, tanpa mengenal umur, ras, agama,

maupun status sosial-ekonomi. Gangguan jiwa bukan disebabkan oleh kelemahan pribadi.

Di masyarakat banyak beredar kepercayaan atau mitos yang salah mengenai gangguan

jiwa, ada yang percaya bahwa gangguan jiwa disebabkan oleh gangguan roh jahat, ada

yang menuduh bahwa itu akibat guna-guna, karena kutukan atau hukuman atas dosanya.

Kepercayaan yang salah ini hanya akan merugikan penderita dan keluarganya karena

pengidap gangguan jiwa tidak mendapat pengobatan secara cepat dan tepat.

(Notosoedirjo, 2005)

Factor yang menyebabkan gangguan jiwa juga dapat dipandang dalam tiga kategori.

Factor individual meliputi struktur biologis, ansietas, kekhawaitran dan ketakutan,

ketidakharmonisan dalam hidup, dan kehilangan arti hidup. Factor interpersonal meliputi

komunikasi yang tidak efektif, ketergantungan yang berlebihan atau menarik diri dari

hubungan, dan kehilangan kotrol emosional. Factor budaya dan social meliputi tidak ada

penghasilan, kekerasan, tidak memiliki tempat tinggal, kemiskinan, dan diskriminasi

seerti pembedahan ras, golongan, usia, dan jenis kelamin.

Dari hasil penelitian mengatakan bahwa penderita gangguan jiwa sering mendapatkan

stigma dan diskriminasi yang lebih besar dari masyarakat disekitarnya. Mereka sering

mendapatkan perlakuan yang tidak manusiawi, misalnya kekerasan, diasingkan, diisolasi

atau dipasung.

6

Page 7: stigma bab 1

BAB III

PEMBAHASAN

A. Stigma Masyarakat Terhadap Orang Dengan Gangguan Jiwa

Ketika kita bicara tentang gangguan jiwa, maka yang tergambar dalam pikiran kita

adalah sosok menakutkan berkelakuan aneh dan bicara sendiri.  Tidak jarang bayangan

itu menciptakan kata-kata seperti “gila, miring atau sarap” yang pada akhirnya

melahirkan stigma dikhalayak umum (Smith & Casswell, 2010). 

Pada zaman dahulu, ada suatu keyakinan bahwa setiap penyakit menunjukan

ketidaksenangan dewa dan merupakan hukuman atas dosa dan perbuatan yang salah.

Gangguan jiwa dipandang sebagai kerasukan setan, hukuman karena pelanggaran sosial

atau agama, kurang minat atau semangat, dan pelanggaran norma social. Pendertia

gangguan jiwa dianiaya, dihukum, dijauhi, diejek, dan dikucilkan dari masyarakat

normal. Sampai abad ke 19, penderita gangguan jiwa dinyatakan tidak dapat

disembuhkan dan dibelenggu dalam penjara tanpa diberi makanan, tempat berteduh, atau

pakaian yang cukup.

Setelah memasuki abad ke 21 gangguan jiwa diidentifikasi dan ditangani sebagai

masalah medis. Dimana menurut laporan organisasi kesehatan dunia (World Health

Organization/WHO) pada 2010 tentang Global Burden Disease menyebut, kini telah

terjadi perubahan jenis penyakit yang menimbulkan beban bagi negara secara global.

Sebelumnya, WHO menyebut kasus kematian ibu dan anak paling besar membebani

negara, tapi kini bergeser ke penyakit kronis, termasuk penyakit jiwa berat, misalnya

Skizofrenia. Bahkan di Indonesia ada UU yang mengatur mengenai kesehatan jiwa yaitu

menurut UU No. 18 tahun 2014 dimana dalam UU tersebut ada upaya-upaya dalam

menangani masalah kesehatan jiwa.

Menurut Badan Kesehatan Dunia (WHO), jumlah penderita gangguan jiwa di dunia

pada 2001 adalah 450 juta jiwa. Dengan mengacu data tersebut, kini jumlah itu

diperkirakan sudah meningkat. Diperkirakan dari sekitar 220 juta penduduk Indonesia,

ada sekitar 50 juta atau 22 persennya, mengidap gangguan kejiwaan (Notosodirjo, 2005).

Pasien yang dirawat di rumah sakit jiwa di Indonesia mempunyai rata-rata lama hari

rawat yang tinggi yaitu 54 hari, dan yang paling lama dirawat adalah pasien dengan

diagnosa skizofrenia.

7

Page 8: stigma bab 1

Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2013 Prevalensi gangguan

jiwa berat pada penduduk Indonesia 1,7 permil atau 1-2 orang dari 1000 warga di

Indonesia yang mengalamai gangguan jiwa berat. Gangguan jiwa berat terbanyak di DI

Yogyakarta, Aceh, Sulawesi Selatan, Bali, dan Jawa Tengah. Prevalensi gangguan mental

emosional pada penduduk Indonesia 6,0 persen. Provinsi dengan prevalensi ganguan

mental emosional tertinggi adalah Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Jawa Barat, DI

Yogyakarta, dan Nusa Tenggara Timur. Melihat prevalensi Orang Dengan Gangguan

Jiwa yang terus meningkat ada fakta yang terjadi dalam kehidupan bermasyarakat antara

lain:

- ODGJ lebih suka tinggal di RSJ karena merasa tidak diterima dimasyarakat.

- Banyak yang mengalami kekambuhan karena masyarakat dan keluarga tidak

siap akan kehadiran mereka setelah dipulangkan dari RSJ.

Inilah yang kita disebut stigma. Kondisi ini rasanya bisa dikatakan kondisi masyarakat

yang sedang tidak sehat atau kurangnya pengetahuan masyarakat mengenai gangguan

jiwa. Masyarakat cenderung menganggap ODGJ sebagai sampah sosial. Pola pikir

demikian harus didekonstruksi. Salah kaprah pengertian dan pemahaman penyakit jiwa

ini mungkin karena ketidaktahuan masyarakat pada masalah-masalah kejiwaan.

Ketidaktahuan ini mengakibatkan persepsi yang keliru, bahwa penyakit mental/gangguan

jiwa merupakan aib bagi si penderita maupun bagi keluarganya. Sehingga si penderita

harus disembunyikan atau dikucilkan, bahkan lebih parah lagi ditelantarkan oleh

keluarganya.

Pada kasus-kasus gangguan jiwa, tindakan ini pada akhirnya membangun prejudice

tanpa dasar yang mengarah pada usaha-usaha mendiskriminasikan penderita gangguan

jiwa dalam banyak hal, seperti tindakan kekerasan, diskriminasi ditempat kerja dan

sekolah (Buckles dkk, 2008).  Hal ini tentu saja menimbulkan kerumitan karena para

penderita gangguan jiwa semakin menarik diri, tidak mau terbuka karena takut dihakimi

dan dihinakan.  Yang lebih menyakitkan bagi kondisi kejiwaan mereka adalah ketika

bayangan ketakutan akan dihakimi dan ditertawakan menyebabkan penderita tidak mau

mencari pertolongan ketika gejala-gejala gangguan jiwa mulai dirasakan. Sehingga

kebanyakan penderita berusaha membohongi diri sendiri dan menganggap gejala psikotik

adalah hal yang biasa saja disaat penderita juga merasa ada yang salah dalam dirinya.

8

Page 9: stigma bab 1

Selain itu ada anggapan keliru di masyarakat bahwa penderita gangguan jiwa hanya

mereka yang menghuni rumah sakit jiwa atau orang sakit jiwa yang berkeliaran di

jalanan. Padahal gangguan jiwa bisa dialami oleh siapa saja, disadari atau tidak. Orang

yang tampaknya sehat secara fisik, bukan tidak mungkin sebenarnya menderita gangguan

jiwa, dalam kadar yang paling ringan seperti depresi misalnya. Stigma masyarakat yang

muncul terhadap ODGJ antara lain:

1. Gangguan jiwa disebabkan oleh roh jahat. Di masyarakat banyak beredar kepercayaan

atau mitos yang salah mengenai penyakit mental, ada yang percaya bahwa penyakit

mental disebabkan oleh gangguan roh jahat, ada yang menuduh bahwa itu akibat

guna-guna, karena kutukan atau hukuman atas dosanya. Kepercayaan yang salah ini

hanya akan merugikan penderita dan keluarganya karena si sakit tidak mendapat

pengobatan secara cepat dan tepat.

2. Penderita gangguan jiwa itu memalukan. Adanya persepsi masyarakat bahwa orang

gila ataupun keluarganya akan menerima aib. Orang gila dan keluarganya sering

dicemooh bahkan dikucilkan oleh masyarakat. Adanya persepsi bahwa kegilaan

adalah aib menyebabkan orang gila yang dianggap sembuh oleh dokter di rumah sakit

jiwa tetap tidak dapat dipulangkan karena keluarga dan masyarakat tidak

menginginkannya kembali.

3. Penderita gangguan jiwa adalah sampah masyarakat yang mengganggu keindahan dan

kenyamanan kota. Perlakuan-perlakuan masyarakat terhadap orang gila yaitu dengan

memasung, memperlakukan dengan kasar, perlakuan kasar seringkali dilakukan oleh

anak-anak dengan melempari batu dan mengejek, membuang orang gila tersebut ke

daerah lainnya karena orang gila tersebut adalah sampah masyarakat, dan masyarakat

menghardik orang gila tersebut dan pemerintah menyingkirkannya secara tidak

manusiawi, hal ini karena dianggap sudah tidak dapat disembuhkan lagi dan

dikwatirkan dapat menular.

Selama bertahun-tahun, banyak bentuk diskriminasi secara bertahap turun temurun

dalam masyarakat kita. Penyakit mental masih menghasilkan kesalahpahaman, prasangka,

kebingungan, dan ketakutan. Keadaan di Indonesia masih banyak ditemukan orang yang

mengalami gangguan jiwa diperlakukan secara tidak pantas. Kurangnya pengetahuan

akan kesehatan jiwa dikalangan umum memang tidak dipungkiri sebagai sebab utama

terhadap perlakuan tidak adil yang diterima para penderita gangguan jiwa.

9

Page 10: stigma bab 1

B. Stigma Petugas Kesehatan Terhadap Orang Dengan Gangguan Jiwa

Stigma terhadap ODGJ bukan hanya datang dari masyarakat awam melainkan juga

datang dari petugas kesehatan. Kalau kita melihat dari pelayanan kesehatan kita, bahwa

bangsal-bangsal yang ada di rumah sakit umum, banyak yang belum ada bangsal jiwa.

Hal ini menunjukkan bahwa tidak hanya masyarakat awam saja yang melakukan

stigmanisasi terhadap penderita gangguan jiwa, tetapi para profesional kesehatan pun

secara tidak sadar melakukan stigmatisasi terhadap penderita gangguan jiwa.

Adanya Iatrogenic Stigma diyakini memperkuat stigma dikalangan masyarakat awam

terhadap para penderita gangguan jiwa (Sartorius, 2002).  Iatrogenic stigma adalah suatu

kecendrungan prilaku stigmanisasi kalangan professional khususnya para psikiater terkait

kecerobohan dalam penggunaan label diagnosis penyakit jiwa.  Hal ini terutama tampak

pada pelabelan penyakit-penyakit jiwa yang oleh masyarakat umum diartikan berbeda. 

Tindakan dan perlakukan seperti memberi julukan atau berupa singkatan-singkatan

penyakit jiwa terhadap para penderita, diterima masyarakat sebagai satu hal yang sangat

wajar.  Pada akhirnya, masyarakat menjadikan hal tersebut sebagai acuan bahwa penyakit

jiwa memang sangat mengerikan. 

Ditambahkan lagi oleh riset yang menunjukkan bahwa banyak penderita gangguan

jiwa merasa tidak nyaman dengan perawatnya, psikiaternya atau psikolognya dikarenakan

para profesional tersebut memperlakukan penderita sama seperti perlakuan yang diterima

dari masyarakat. Tanggapan professional jiwa terhadap cerita para klien akan gejala

kejiwaan yang diidap sering menimbulkan ketidaknyamanan.  Tanpa sadar perilaku-

perilaku seperti mengernyitkan dahi, menggelengkan kepala terhadap keluhan halusinasi

atau menyunggingkan senyuman terhadap ide bunuh diri klien sangat lah fatal, jika tidak

mendasarkan diri pada kemampuan empati kuat, yang seharusnya dipunyai setiap

kalangan profesional jiwa (Harrison & Gill, 2010). 

Kemampuan untuk berempati pada orang lain bukanlah satu kemampuan alamiah tapi

sesuatu yang bisa dikembangkan lewat pemberian pengetahuan serta mengaplikasikannya

pada diri sendiri. Riset juga membuktikan bahwa penerimaan tanpa syarat baik itu dari

kalangan profesional jiwa maupun dari khalayak ramai adalah hal yang sangat diharapkan

oleh para penderita gangguan jiwa dan bisa meningkatkan kwalitas hidup penderita dan

tentu saja hal ini berpotensi mendongkrak proses penyembuhan atas penyakit jiwa yang

mereka idap.

10

Page 11: stigma bab 1

C. Dampak Dari Stigma yang Muncul

Stigma yang diciptakan masyarakat terhadap ODGJ dapat memberikan dampak yang

merugikan bagi ODGJ, keluarga, dan masyarakat. Stigmatisasi pada orang yang

mengalami gangguan jiwa dapat berdampak pada penanganan gangguan jiwa yang

kurang tepat. Akibat pandangan yang salah mengenai penderita gangguan jiwa maka

masyarakat atau keluarga tidak segera membawa orang yang mengalami gangguan jiwa

tersebut ke profesional tetapi cenderung menyembunyikan atau merahasiakan keadaan

tersebut dari orang lain ataupun masyarakat. Hal ini berdampak pada pengobatan yang

terlambat dapat memperparah keadaan gangguan jiwanya.

Orang-orang yang mengalami gangguan jiwa dengan adanya stigma di masyarakat,

mereka lebih memilih tidak memberitahukan kepada masyarakat, sehingga mereka

cenderung menarik diri dan ini akan memperparah keadaannya. Disamping itu terjadi

pengucilan yang dilakukan oleh masyarakat terhadap pasien gangguan jiwa baik yang

baru ataupun yang sudah sembuh dari gangguan. Hal ini dapat berakibat pada gangguan

yang lebih parah yang dapat berdampak pada kekambuhan yang lebih cepat.

Dari stigmanisasi yang diciptakan dimasyarakat berdampak pula bagi keluarga ODGJ

karena keluarga akan merasa malu dengan adanya anggota keluarga yang menderiata

gangguan jiwa, bahkan adanya tekanan batin dalam keluarga. Stigmatisasi gangguan jiwa

yang terjadi sebenarnya merugikan masyarakat sendiri, karena mereka menjadi cenderung

menghindar dari segala sesuatu yang berurusan dengan gangguan jiwa. Seakan-akan

mereka yang terganggu jiwanya tergolong kelompok manusia lain yang lebih rendah

martabatnya, yang dapat dijadikan bahan olok-olokan. Hal tersebut akan menghambat

seseorang untuk mau menerima atau mengakui bahwa dirinya mengalami gangguan

mental. Akibatnya pertolongan atau terapi yang mungkin dapat dilakukan secara dini

menjadi terlambat. Kita lupa atau tidak ingin menerima kenyataan sebenarnya bahwa

semua orang dapat mengalami gangguan jiwa dalam berbagai taraf, misal keadaan depresi

akibat stres berkepanjangan sampai pada kekacauan pikiran.

Stigmatisasi yang diciptakan oleh masyarakat terhadap penderita gangguan jiwa

secara tidak langsung menyebabkan keluarga atau masyarakat disekitar penderita

gangguan jiwa enggan untuk memberikan penanganan yang tepat terhadap keluarga atau

tetangga mereka yang mengalami gangguan jiwa. Sehingga tidak jarang mengakibatkan

penderita gangguan jiwa yang tidak tertangani ini melakukan perilaku kekerasan atau

tindakan tidak terkontrol yang meresahkan keluarga, masyarakat serta lingkungan.

11

Page 12: stigma bab 1

D. Tindak Lanjut Terhadap Penderita Gangguan Jiwa dan Stigma yang Muncul

Salah satu upaya anti stigma yang cukup besar pada saat ini adalah kampanye global

yang dirintis oleh World Psychiatric Association pada tahun 1996 yang bernama Open

The Door (Baumann & Gaebel 2008 cit Szeto & Dobson 2011). Kampanye ini

memfokuskan pada memerangi stigma dan diskriminasi pada skizofrenia dan sudah

dimulai di 20 negara dengan tujuan khusus:

- meningkatkan pengetahuan dan kewaspadaan pada skizofrenia dan

penanganannya,

- mengembangkan kemampuan penderita skizofrenia dan keluarga mereka yang

mengalami skizofrenia, dan

- memulai aksi untuk menghilangkan penghakiman dan diskriminasi.

Di Indonesia mantan menteri kesehatan dr. Nafsiah Mboi, Sp.A., MPH. Mengajak

seluruh jajaran kesehatan untuk dapat melaksanakan Empat Seruan Nasional Stop Stigma

dan Diskriminasi terhadap ODGJ, yaitu:

1. Tidak melakukan stigmanisasi dan diskriminasi kepada siappun juga dalam

pelayanan kesehatan.

2. Tidak melakukan penolakan atau menunjukkan keengganan untuk memberikan

pelayanan kesehatan kepada ODGJ.

3. Senantiasa memberikan akses masyarakat pada pelayanan kesehatan, baik akses

pemeriksaan, pengobatan, rehabilitasi maupun reintegrasi ke masyarakat pasca

perawatan di rumah sakit jiwa atau di panti sosial.

4. Melakukan berbagai upaya promotif dan preventif untuk mencegah terjadinya

masalah kejiwaan, mencegah timbulnya dan/atau kambuhnya gangguan jiwa,

meminimalisasi faktor resiko masalah kesehatan jiwa, serta mencegah timbulnya

dampak psikososial.

Selain itu dalam UU RI No. 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa ada upaya-upaya

kesehatan jiwa antara lain upaya promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif yang

dilaksanakan oleh pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat.

1. Upaya Promotif

Upaya promotif dilaksanakan dilingkungan keluarga, lembaga pendidikan, tempat

kerja, masyarakat, fasilitas peayanan kesehatan, media masa, lembaga keagamaan dan

tempat ibadah, dan lembaga pemasyarakatan dan rumha tahanan.

12

Page 13: stigma bab 1

- Upaya promotif dilingkungan keluarga dilaksanakan dalam bentuk pola asuh dan

pola komunikasi dalam keluarga yan mendukung pertumbuhan dan perkembangan

jiwa yang sehat.

- Upaya promotif dilingkunan lembaga pendidikan dalakanakan dalam bentuk

menciptakan suasana belajar mengajar yang kondusif bagi pertumbuhan dan

perkembanan jiwa. Serta keterampilan hidup terkait kehetan jiwa bagi peserta

didik sesuai dengan tahap perkembangannya.

- Upaya promotif dilingkungan tempat kerja dilaksanakan dalam bentuk

komunikasi, informasi, dan edukasi mengenai kesehatan jiwa, serta menciptakan

tempat kerja yang kondusif untuk perkembangan jiwa yang sehat agar tercapai

kinerja yang optimal.

- Upaya promotif dilingkungan masyarakat dilaksanakan dalam bentuk komunikasi,

informasi, dan edukasi mengenai kesehatan jiwa, serta menciptakan lingkungan

masyarakat yang kondusif untuk pertumbuhan dan perkembangan jiwa yang sehat.

- Upaya promotif dilingkungan fasilitas pelayanan kesehatan dilaksanakan dalam

bentuk komunikasi, informasim dan edukasi mengenai kesehatan jiwa dengan

sasaran kelompok pasien, kelompok keluarga, atau masyarakat disekitar fasilitas

pelayanan kesehatan.

- Upaya promotif dimedia masa dilaksanakan dalam bentuk:

a. Penyebarluasan informasi bagi masyarakat mengenai kesehatan jiwa,

pencegahan, dan penanganan gangguan jiwa dimasyarakat dan fasilitas

pelayanan dibidang kesehatan jiwa.

b. Pemahaman yang positif mengenai gangguan jiwa dan ODGJ dengan tidak

membuat program pemberitaan, penyiaran, artikel, dan materi yang mengarah

pada stimatisasi dan diskriminasi terhada ODGJ.

c. Pemberitaan, penyiaran, program, artikel dan materi yang kondusif bagi

pertumbuhan dan perkembangan kesehatan jiwa.

- Upaya promotif dilingkungan lembaga keagamaan dan tempat ibadah

dilaksanakan dalam bentuk komunikasi, informasi, dan edukasi mengenai

kesehatan jiwa yang diintegrasikan dalam kegiatan keagamaan.

- Upaya promotif dilingkungan lembaga pemasyarakatan dan rumah tahanan

dilaksanakan dalam bentuk:

a. Peningkatan pengetahuan dan pemahaman warga binaan pemasyarakatan

tentang kesehatan jiwa.

13

Page 14: stigma bab 1

b. Pelatihan kemampuan adapatasi dalam masyarakat.

c. Menciptakan suasana kehidupan yagn kondusif untuk kesehatan jiwa warga

binaan pemasyarakatan.

2. Upaya Preventif

Upaya preventif kesehatan jiwa dilaksanakan dilingkungan keluarga, lembaga, dan

masyarakat.

- Upaya preventif dilingkungan keluarga dilaksanakan dalam bentuk:

a. Pengembangan pola asuh yang mendukung pertumbuhan dan perkembangan

jiwa.

b. Komunikasi, informasi, dan edukasi dalam keluarga.

c. Keiatan lain sesuai dengan perkembangan masyarakat.

- Upaya preventif dilingkungan lembaga dilaksanakan dalam bentuk:

a. Menciptakan lingkungan lembaga yang kondusif bagi perkembangan

kesehatan jiwa.

b. Memberikan komunikasi, informasi, dan edukasi mengenai pencegahan

gangguan jiwa.

c. Menyediakan dukungan psikososial dan kesehatna jiwa dilingkungan lembaga.

- Upaya preventif dilingkungan masyarakat dilaksanakan dalam bentuk:

a. Menciptakan lingkungan masyarakat yang kodusif.

b. Memberikan komunikasi, informasi, dan edukasi mengenai pencegahan

gangguan jiwa.

c. Menyedikan konseling bagi masyarakat yang membutuhkan.

3. Upaya Kuratif

Upaya kuratif merupakan kegiatan pemberian pelayanan kesehatan terhadap ODGJ

yang mencakup proses diagnosis dan penatalaksanaan yang tepat sehingga ODGJ

dapat berfungsi kembali secara wajar dilingkungan keluarga, lembaga dan

masyarakat.

4. Upaya Rehabilitatif

Upaya rehabilitatif kesehatan jiwa merupakan kegiatan dan/atatu serangkaian kegiatan

pelayanan kesehatan jiwa yang ditujukan untuk:

- Mencegah atau mengendalikan disabilitas.

14

Page 15: stigma bab 1

- Memulihkan fungsi otak.

- Memulihkan fungsi okupasional.

- Mempersiapkan dan memberi kemampuan ODGJ agar mandiri di masyarkat.

Upaya rehabilitatif ODGJ meliputi:

- Rehabilitasi psikiater dan/atau psikososial.

Rehabilitasi psikiater dan/atau psikososial dilaksanakan sejak dimulainya

pemberian pelaanan kesehatan jiwa terhdap ODGJ.

- Rehabilitasi sosial.

Rehabilitasi sosial diberikan dalam bentuk:

a. Motivasi dan diagnosis psikososial.

b. Perawatan dan pengasuhan.

c. Pelatihan vokasional dan pembinaan kewirausahaan.

d. Bimbingan mental spiritual.

e. Bimbingan fisik,

f. Bimbingan sosial dan konseling psikososial.

g. Pelayanan aksebilitas.

h. Bantuan sosial dan asistensi sosial.

i. Bimbingan resosialisasi.

j. Bimbingan lanjut dan rujukan.

Peningkatan kemandirian dan produktifitas pasien diharapkan dapat berpengaruh

terhadap stigma terhadap pasien gangguan jiwa yang selama ini ada pada masyarakat.

Masyarakat di sekitar pasien diharapkan dapat berubah persepsi dan perilakunya setelah

mengetahui perkembangan kemandirian pasien. Kader kesehatan merupakan salah satu

unsur yang terdapat pada masyarakat yang dianggap paling mengetahui tentang masalah

kesehatan. Pemberdayaan pasien gangguan jiwa dengan pendampingan kader kesehatan

diharapkan akan mampu mengurangi stigma masyarakat terhadap gangguan jiwa. Namun

disamping itu, menghilangkan stigma gangguan jiwa di masyarakat memang tidak

mudah. Namun kita perlu untuk berusaha menurunkan stigma tersebut dengan harapan di

masa yang akan datang akan hilang dengan sendirinya. Penanganan stigma tersebut

memerlukan pendidikan dan kemauan yang keras dari individu-individu dimasyarakat

dan memerlukan keberanian yang besar untuk ikut serta dalam penanganan tersebut.

15

Page 16: stigma bab 1

Beberapa kegiatan atau program yang dapat dilakukan untuk mengurangi stigma

gangguan jiwa antara lain:

- Masyarakat ikut berperan aktif dalam kampanye tentang kesehatan jiwa.

Kampanye tersebut dapat dimasukkan dalam kegiatan masyarakat melalui

program desa siaga, FKD (Forum Kesehatan Desa)  pertemuan ditingkat RT

maupun RW, perlu keaktifan masyarakat untuk mendapatkan akses/kesempatan

seluas-luasnya secara akurat dan terbaru tentang kesehatan jiwa.

- Perlunya adanya pengetahuan tentang kesehatan jiwa sejak dini melalui sekolah-

sekolah. Pendidikan tersebut dapat dilakukan atau dimasukkan dalam kurikulum

di sekolah-sekolah atau melalui kegiatan kurikuler.

- Keluarga ataupun masyarakat ikut terlibat dalam pelaksanaan tindakan terhadap

pasien gangguan jiwa sehingga kesadaran keluarga dan masyarakat tentang cara

pandang pada pasien gangguan jiwa dapat berubah dan dapat membantu

menanganinya.

- Kepada individu tenaga kesehatan harus menunjukkan atau memberi contoh

kepada masyarakat bahwa kita tidak melakukan stigma tersebut, harus menentang

kesalahpahaman tentang gangguan jiwa dan menunjukkan fakta-fakta bahwa

penyakit mental sangatlah umum dan dapat disembuhkan dengan management

tindakan yang tepat.

- Pemerintah ataupun lembaga swasta perlu memberikan kesempatan pekerjaan

yang layak dan sesuai dengan kemampuannya kepada orang-orang yang

mengalami gangguan jiwa ataupun orang-orang yang telah sembuh dari gangguan

jiwa.

E. Masalah Mahasiswa Keperawatan Menghadapi ODGJ

Menurut V. Sheila, 2001 mahasiswa perawat yang memulai pengalaman klinis

mereka pada keperawatan kesehatan jiwa sering kali memiliki berbagai kekhawatiran.

Mereka melihat keperawatan jiwa sangat berbeda, tidak seperti pengalaman yang mereka

jalani sebelummnya. Rasa khawatir ini normal dan biasanya hilang saat mahasiswa mulai

kontak dengan klien.

Beberapa masalah umum dan petunjuk yang bermanfaat untuk mahasiswa pemula

adalah sebagai berikut:

16

Page 17: stigma bab 1

1. Bagaimana jika saya mengatakan sesuatu yang salah?

Tidak satu pun kata-kata magis yang dapat menyelesaikan masalah klien, begitu juga,

tidak ada satu pun perkataan mahasiswa yang dapat membuat masalah klien semakin

buruk. Hal yang paling penting adalah sikap mendengarkan klien dengan penuh

perhatian, menunjukkan perhatian yang tulus, dan peduli terhadap klien.

2. Apa yang akan saya lakukan?

Dalam lingkungan kesehatan jiwa, banyak tugas dan tanggung jawab yang telah

dikenal, sedikit dilakukan. Tidak ada balutan yang perlu diganti atau luka yang perlu

dikaji, dan prosedur serta pemeriksaan diagnostic yang dilakukan lebih sedikit

dibandingkan dilikngkungan medical-bedah yang sibuk. Ide “hanya berbincang

dengan orang lain” dapt membuat mahasiswa merasa seolah-olah ia tidak benar-benar

melakukan sesuatu.

3. Bagaimana bila tidak ada yang mau berbincang dengan saya?

Mahasiswa kadang kala merasa takut bahwa klien akan menolak mereka atau tidak

mau berhubungan dengan mereka. Beberapa klien mungkin tidak ingin berbicara atau

menyendiri, tetapi mereka mungkin menunjukkan perilaku yang sama kepada staf

berpengalaman, hal itu tidak perlu dipandang sebagai hinaan pribadi atau kegagalan

dipihak mahasiswa. Sikap bersedia dan mau mendengarkan sering kali diperlukan

untuk memulai interaksi dengan orang lain.

4. Bagaimana saya akan menangani perilaku yang aneh atau tidak sesuai?

Perilaku dan pernyataan beberapa klien dapat menyebabkan mahasiswa merasa syok

atau distres. Penting untuk memantau ekspresi wajah dan respon emosional sehingga

klien tidak merasa ditolak atau diejek. Pembimbing dan staf keperawatan selalu siap

untuk membantu mahasiswa, untuk itu mahasiswa tidak perlu merassa mereka harus

menagani situasi sendirian.

5. Apakah keamanan fisik saya dalam bahaya?

Pemberitaan media tentang penderita gangguan jiwa yang melukakan tindak criminal

tersebar luas. Hal ini menimbulkan kesan bahwa kebanyakan klien gangguan jiwa

melakukan tindak kekerasan. sebenarnya klien yang berpotensi melakukan tindak

kekerasan biasanya dipantau oleh staf keperawtan sebagai antisipasi terhadap perilaku

kekerasan klien yang akan dating. Ketika berbicaara atau mendekati klien yang

berpotensi melakukan tindakan agresif, mahasiswa sebaiknya duduk diarea yang

terbuka bukan diruangan tertutup, memberikan jarak yang cukup untuk klien atau

meminta pembimbing atau staf menemani.

17

Page 18: stigma bab 1

6. Bagaimana jika saya bertemu seseorang yang saya kenal sedang menjalani

pengobatan di unit tersebut?

Disetiap lingkungan klinis, mahasiswa perawat mungkin bertemu seseorang yang

dikenalnya atau mitra kerjanya. Merahasiakan identitas dan terapi klien sangat

penting dalam kesehatan jiwa. Apabila mahasiswa mengenali seseorang, mahasiswa

tersebut harus memberi tahu pembimbing, yang dapt menentukan cara menangani

situasi tersebut. Tindakan biasanya yang paling baik adalah mahasiswa berbicara

dengan klien dan meyakinkannya bahwa rahasianya terjaga.

Solusi dari semua pertanyaan-pertanyaan diatas adalah kesadaran diri. Kesadaran diri

merupakan proses yang digunakan perawat untuk mengenali perasaan, keyakinan, dan

sikapnya sendiri. Dalam keperawatan, menyadari perasaan, pikiran, dan nilai yang

diyakini oleh diri merupakan focus utama. Kesadaran diri sangat penting dalam

keperawatan jiwa. setiap individu baik perawat maupun mahasiswa perawat memiliki

nilai, ide, dan keyakinan yang merupakan bagian unik mereka dan berbeda dari orang

lain. Kadang kala, nilai dan keyakinan klien berbeda dengan nilai dan keyakinan perawat

atau mahasiswa perawat. Untuk itu mahasiswa perawat harus belajar menerima perbedaan

diantara individu dan memandang klien sebagai individu yang berguna terlepas dari opini

dan gaya hidupnya. Mahasiswa tidak perlu menyetujui cara pandang atau perilaku klien,

mahasiswa hanya perlu menerima hal itu sebagai sesuatu yang berbeda dari pendapat kita.

Kesadaran diri dapat dicapai melalui refleksi, meluangkan waktu secara sadar dengan

berfokus pada perasaan dan nilai atau keyakinan diri. Perawat perlu mengetahui dirinya

sendiri dan keyakinannya sebelum mecoba membantu orang lain yang memiliki cara

pandang yang berbeda.

F. Karakter Mahasiswa Keperawatan

Perawat merupakan unsur penting guna mewujudkan masyarakat sehat, baik sehat

fisik maupun psikis. Tugas utama perawat adalah melakkan perawatan terhdap orang

yang membutuhkan sehingga orang tersebut dapat memperoleh derajat kesehatan yang

optimal. Perawat harus mampu menyesuaikan denagn kebutuhan dan tuntunan

masyarakat. Untuk mewujudkan hal tersebut, perlu perawat-perawat professional. Untuk

membentuk perawat professional perlu proses atau tahapan dan kerja sama semua pihak

atatu komponen yang terlibat, salh satunya adalah kualitas SDM calon perawat.

18

Page 19: stigma bab 1

Hasil penelitian dari mahasiswa fakultas psikologi UIN SUSKA Riau menunjukan

ada beberapa alasan mahasiswa keperawatan untuk menjadi sorang perawat:

1. Menjadi orang yang bermanfaat bagi masyarakat dan ingin mengenal ilmu

kesehatan dengan baik.

2. Masa depan yang baik,

3. Membahagiakan orang tua dan menciptakan generasi yang sehat.

Hasil penelitian ini masih bersifat normative artinya alasan subjek masih bersifat umum.

“menjadi bermanfaat bagi masyarakat” tampaknya salah satu aspek dominan yang

mendorong subek menjadi perawat. Karakteristik perawat ideal menurut subjek terdiri

dari empat komponen, yaitu:

1. Kognitif

Perawat ideal harus memiliki pengetahuan luas terutama yang berkaitan dengn bidang

kesehatan dan praktek keperawatan. Perawat ideal (profesional) harus berlandaskan

ilmu pengetahuan dan kebutuhan masyarakat. Artinya seseotang perawat dikatakan

ideal apabila dia mampu melakukan perkerjaannya secara baik dan benar sesuai

dengan ilmu pengetahuan tentang praktek keperawatan. Oleh karena itu, pengetahuan

merupakan kompetensi utama dalam membentuk perawat professional.

2. Emosi (Psikologis)

Ada begitu banyak aspek emosi dalam menggambarkan karakteristik perawat ideal,

namun pada umumnya hanya focus pada lima sifat yang paling utama. Pertama,

ramah yaitu suatu kondisi psikologis yang positif dengan ditujukan dengan perilaku

dan ekspresi muka yang selalu murah senyum, perhatian, dan suka menyapa. Perawat

yang ramah tentunya akan disukai pasien. Kedua, sabar. Sabar berarti menahan dan

menerima segala kondisi dengan iklas. Profesi perawat rentan dengan stress yang

diakibatkan beban kerja atatu perilaku dari pasien dan keluarga pasien. Oleh karena

itu, sifat sabar membantu perawaat dalam mengatasi beban psiklogis dalam bekerja.

Ketiga, baik merupakan salah satu sifat positif yang ditandai denangan perilaku yang

bermanfaat bagi orang lain, seperti senagn membantu, perhatian, dan berkata baik.

Intinya perawat harus mampu menjalin hubungan baik dengan pasien dan keluatga

pasien. Keempat, disiplin merupakan salah satu karateristik perawat ideal yang sangat

berguna dalam pelayanan keperawatan. Seorang perawat dituntut untuk disiplin dalam

menjalankan tugasnya. Dengan disiplin pelayanan akan maksimal dan target pekrjaan

akan tercapai. Dan kelima, rendah hati. Dalam menjalankan tugas, perawat harus

19

Page 20: stigma bab 1

mempunyai sifat rendah hati. Perawat harus dapat menerima masukan atau saran dari

lingkungan kerja, sehingga kinerja aselalu dapt ditingkatkan.

3. Psikomotor (Skill)

Psikomotor (skill) merupakan suatu hal yang mutlak diperlukan dalam pelayanan

keperawatan. Skill tidak hanya dengan standar kompetensi perawat (hard skill) tetapi

juga kemampuan dalam memahai kondisi psikologis perawat (soft skill). Etika

memiliki peran penting dalam praktek keperawatan. Perawat yang memiliki etika

bagus, memiliki sopan santun dalam melakukan praktek keperawatan, tentunya akan

mendaatkan respek dari klien.

4. Fisik

Sorang perawat harus memiliki kebersihan dan kerapihan dalam berpakaian. Hal ini

penting karena perawat berkaitan dengan pelayanan terhadap klien. Kalaau perawat

berpenampilan berpenampilan tidak menarik, atau kotor dan kurang rapi tentunya

akan menimbulkan ketidakpercayaan terhadap perawat. Hal tersebut berdampak pada

kualitas pelayanan khususnya kenyamanan klien. Bahkan bias jadi klien tidak ingin

dilayani perawat yang tidak memperhatikan penampilan fisiknya.

5. Spiritualitas

Spiritualitas adalah segala bentuk perilaku dan tuntunan yang mengarahkan manusia

untuk selalu dengan Tuha. Salah satu sumber spiritual adalah agama. Agama

mengajarkan bagaiman manusia berinteraksi dengna Tuhan, manusia, dan lingkungan

sekitar. Dalam pelayanan kesehatan perawat harus memiliki pemahaman agama yang

memeadai guna membantu dalam pelaksanaan tugas keperawatan. Sering kali

nasehat-nasehat agama membantu klien menghadapi penyakitnya.

20

Page 21: stigma bab 1

BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

Jadi, dapat disimpulkan bahwa:

1. Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ)

ODGJ adalah orang yang mengalami gangguan dalam pikiran, perilaku, dan perasaan

yang termanifestasi dalam bentuk sekumpulan gejala dan/atau perubahan perilaku

yang bermakna, serta dapat menimbulkan penderitaan dan hambatan dalam

menjalankan fungsi orang sebagai manusia.

2. Stigma terhadap ODGJ

Dimana dalam kehdupan bermasyarakat teah muncul stigma atau persepsi masyarakat

terhadap penderita gangguan jiwa adalah individu atau kelompok tidak waras yang

harus dihindari sehingga menimbulkan diskriminasi seperti memasung,

memperlakukan dengan kasar, dan lain sebagainya. Dan stigma yang mucul pun

dating juga dari kalanagan petugas kesehatan.

3. Dampak

Dampak yang terjadi akibat stigmatisasi ini dapat membuat mereka para penderita

gangguan jiwa menjadi terisolasi dan lebih memilih tidak memberitahukan kepada

masyarakat mengenai keluhan atau keadaan mereka, sehingga mereka cenderung

menarik diri dan ini akan memperparah keadaannya.

4. Solusi

Ada solusi dari dampak stigma diatas yakni dalam UU No. 18 Tahun 2014 telah ada

upaya-upaya kesehatan jiwa antara lain upaya promotif, preventif, kuratif, dan

rehabilitative.

B. Saran

1. Untuk Keluarga yang Memiliki ODGJ

Saran untuk keluarga yang memiliki ODGJ adalah jangan mengucilkan penderita

gangguan jiwa melainkan keluarga harus menjadi tempat pertama bagi si penderita

untuk berlindung. Keluarga harus berperan penting dalam proses penyembuhan serta

terus mendukung dan memotivasi si penderita gangguan jiwa.

21

Page 22: stigma bab 1

2. Untuk Perawat dan Petugas Kesehatan

Petugas Kesehatan khususnya bagi perawat jiwa diharapkan terus melakukan

pendekatan personal kepada keluarga yang memiliki anggota penderita gangguan jiwa

sehingga dapat terus membantu dalam perawatan dan memberikan pandangan-

pandangan yang positif terhadap keluarga dan memberikan dukungan kepada

keluarga. Selain itu diharapkan perawat jiwa dapat memberikan penyuluhan kesehatan

secara terus menerus agar pengetahuan keluarga dan masyarakat sekitar tentang

gangguan jiwa semakin meningkat.

3. Untuk Masyarakat Umum

Saran untuk masyarakat umum adalah jangan menganggap bahwa penderita gangguan

jiwa itu berbahaya dan harus dijauhi atau bahkan dikucilkan, tetapi justru mereka

(penderita gangguan jiwa) sangat membutuhkan kepedulian dan dukungan lingkungan

sekitarnya.

22

Page 23: stigma bab 1

DAFTAR PUSTAKA

Gail Wiscart Stuart & Sandra J. Sunden. (1998). Keperawatan Jiwa edisi 3. alih bahasa

Achir Yani S. Hamid. Jakarta: EGC.

Iyus Yosep, S. M. (2009). Keperawatan Jiwa. Bandung: Refika Aditama.

Nindy Amelia, S. (2013). Prinsip Etika Keperawatan. Jogjakarta: D-Medika.

Notosodirjo. (2005). Kesehatan Mental. Malang.

Videbeck, S. L. (2008). Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta: EGC.

UU Kesehatan Jiwa No. 18 Tahun 2014

23