bab ii tinjauan pustaka a. stigma 1. - sinta.unud.ac.id ii.pdf · prophecy (jussim dkk., dalam...

24
16 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Stigma 1. Definisi Stigma adalah atribut yang sangat luas yang dapat membuat individu kehilangan kepercayaan dan dapat menjadi suatu hal yang menakutkan (Goffman dalam Major & O’Brien, 2005). Menurut Kamus Psikologi stigma adalah satu tanda atau ciri pada tubuh (Chaplin, 2009). Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia, stigma didefinisikan sebagai ciri negatif yang menempel pada pribadi seseorang karena pengaruh lingkungannya. Stigma dapat juga didefinisikan sebagai suatu fenomena yang dapat memengaruhi diri individu secara keseluruhan (Crocker dkk., Jones dkk., Link & Phelan dalam Major & O’Brien, 2005). Menurut Goffman (dalam Scheid & Brown, 2010) menyatakan bahwa “stigma concept identifies an attribute or a mark residing in the person as something the person possesses” artinya bahwa konsep stigma mengidentifikasi atribut atau tanda yang berada pada seseorang sebagai sesuatu yang dimiliki. Stigma juga berarti sebuah fenomena yang terjadi ketika seseorang diberikan labeling, stereotip, separation, dan mengalami diskriminasi (Link Phelan dalam Scheid & Brown, 2010). Menurut Surgeon General Satcher’s (dalam Teresa, 2010) menyatakan stigma adalah kejadian atau fenomena yang menghalangi seseorang untuk mendapatkan perhatian, mengurangi seseorang untuk memperoleh peluang dan interaksi sosial. Link dan Phelan (dalam Teresa, 2010) juga menjelaskan bahwa stigma adalah pikiran dan kepercayaan yang salah. Dari beberapa definisi dari stigma tersebut, maka peneliti menyimpulkan definisi stigma adalah pikiran dan kepercayaan yang salah serta fenomena yang terjadi

Upload: lyhanh

Post on 07-Apr-2019

217 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

16

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Stigma

1. Definisi

Stigma adalah atribut yang sangat luas yang dapat membuat individu kehilangan

kepercayaan dan dapat menjadi suatu hal yang menakutkan (Goffman dalam Major &

O’Brien, 2005). Menurut Kamus Psikologi stigma adalah satu tanda atau ciri pada

tubuh (Chaplin, 2009). Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia, stigma

didefinisikan sebagai ciri negatif yang menempel pada pribadi seseorang karena

pengaruh lingkungannya. Stigma dapat juga didefinisikan sebagai suatu fenomena

yang dapat memengaruhi diri individu secara keseluruhan (Crocker dkk., Jones dkk.,

Link & Phelan dalam Major & O’Brien, 2005). Menurut Goffman (dalam Scheid &

Brown, 2010) menyatakan bahwa “stigma concept identifies an attribute or a mark

residing in the person as something the person possesses” artinya bahwa konsep

stigma mengidentifikasi atribut atau tanda yang berada pada seseorang sebagai sesuatu

yang dimiliki. Stigma juga berarti sebuah fenomena yang terjadi ketika seseorang

diberikan labeling, stereotip, separation, dan mengalami diskriminasi (Link Phelan

dalam Scheid & Brown, 2010). Menurut Surgeon General Satcher’s (dalam Teresa,

2010) menyatakan stigma adalah kejadian atau fenomena yang menghalangi seseorang

untuk mendapatkan perhatian, mengurangi seseorang untuk memperoleh peluang dan

interaksi sosial. Link dan Phelan (dalam Teresa, 2010) juga menjelaskan bahwa stigma

adalah pikiran dan kepercayaan yang salah.

Dari beberapa definisi dari stigma tersebut, maka peneliti menyimpulkan

definisi stigma adalah pikiran dan kepercayaan yang salah serta fenomena yang terjadi

17

ketika individu memperoleh labeling, stereotip, separation dan mengalami

diskriminasi sehingga memengaruhi diri individu secara keseluruhan.

2. Mekanisme Stigma

Mekanisme stigma terbagi menjadi empat menurut Major & O’Brien (2005), yaitu :

a. Adanya perlakukan negatif dan diskriminasi secara langsung

Mekanisme stigma yang pertama yaitu adanya perlakukan negatif dan

diskriminasi secara langsung yang artinya terdapat pembatasan pada akses

kehidupan dan diskriminasi secara langsung sehingga berdampak pada status

sosial, psychological well-being dan kesehatan fisik. Stigma dapat terjadi

dibeberapa tempat seperti di sebuah toko, tempat kerja, setting pendidikan,

pelayanan kesehatan dan sistem peradilan pidana (Eshieman, dalam Major &

O’Brien, 2005).

b. Proses konfirmasi terhadap harapan atau self fullfilling prophecy

Stigma menjadi sebuah proses melalui konfirmasi harapan atau self fullfilling

prophecy (Jussim dkk., dalam Major & O’Brien, 2005). Persepsi negatif, stereotipe

dan harapan bisa mengarahkan individu untuk berperilaku sesuai dengan stigma

yang diberikan sehingga berpengaruh pada pikiran, perasaan dan perilaku individu

tersebut.

c. Munculnya stereotip secara otomatis

Stigma dapat menjadi sebuah proses melalui aktivasi stereotip otomatis secara

negatif pada suatu kelompok.

d. Terjadinya proses ancaman terhadap identitas dari individu

18

3. Tipe Stigma

Menurut Goffman (dalam Scheid & Brown, 2010) mendefinisikan 3 tipe stigma

sebagai berikut :

a. Stigma yang berhubungan dengan cacat tubuh yang dimiliki oleh seseorang

b. Stigma yang berhubungan dengan karakter individu yang umum diketahui seperti

bekas narapidana, pasien rumah sakit jiwa dan lain sebagainya

c. Stigma yang berhubungan dengan ras, bangsa dan agama. Stigma semacam ini

ditransmisikan dari generasi ke generasi melalui keluarga.

4. Dimensi Stigma

Menurut Link dan Phelan (dalam Scheid & Brown, 2010) stigma mengacu pada

pemikiran Goffman (1961), komponen-komponen dari stigma sebagai berikut :

a. Labeling

Labeling adalah pembedaan dan memberikan label atau penamaan

berdasarkan perbedaan-perbedaan yang dimiliki anggota masyarkat tersebut (Link

& Phelan dalam Scheid & Brown, 2010). Sebagian besar perbedaan individu tidak

dianggap relevan secara sosial, namun beberapa perbedaan yang diberikan dapat

menonjol secara sosial. Pemilihan karakteristik yang menonjol dan penciptaan

label bagi individu atau kelompok merupakan sebuah prestasi sosial yang perlu

dipahami sebagai komponen penting dari stigma.

Berdasarkan pemaparan di atas, labeling adalah penamaan berdasarkan

perbedaan yang dimiliki kelompok tertentu.

b. Stereotip

Stereotip adalah kerangka berpikir atau aspek kognitif yang terdiri dari

pengetahuan dan keyakinan tentang kelompok sosial tertentu dan traits tertentu

19

(Judd, Ryan & Parke dalam Baron & Byrne, 2003). Menurut Rahman (2013)

stereotip merupakan keyakinan mengenai karakteristik tertentu dari anggota

kelompok tertentu. Stereotip adalah komponen kognitif yang merupakan

keyakinan tentang atribut personal yang dimiliki oleh orang-orang dalam suatu

kelompok tertentu atau kategori sosial tertentu (Taylor, Peplau, & Sears, 2009).

Berdasarkan pemaparan diatas dapat disimpulkan, stereotip adalah

komponen kognitif dari individu yang merupakan keyakinan tentang atribut

personal atau karakteristik yang dimiliki oleh individu dalam suatu kelompok

tertentu atau kategori sosial tertentu.

c. Separation

Separation adalah pemisahan “kita” (sebagai pihak yang tidak memiliki

stigma atau pemberi stigma) dengan “mereka” (kelompok yang mendapatkan

stigma). Hubungan label dengan atribut negatif akan menjadi suatu pembenaran

ketika individu yang dilabel percaya bahwa dirinya memang berbeda sehingga hal

tersebut dapat dikatakan bahwa proses pemberian stereotip berhasil (Link & Phelan

dalam Scheid & Brown, 2010).

Berdasarkan pemaparan di atas, separation artinya pemisahan yang dilakukan

antara kelompok yang mendapatkan stigma dengan kelompok yang tidak

mendapatkan stigma.

d. Diskriminasi

Diskriminasi adalah perilaku yang merendahkan orang lain karena

keanggotaannya dalam suatu kelompok (Rahman, 2013). Menurut Taylor, Peplau,

dan Sears (2009) diskriminasi adalah komponen behavioral yang merupakan

perilaku negatif terhadap individu karena individu tersebut adalah anggota dari

kelompok tertentu.

20

Berdasarkan pemaparan tersebut, diskriminasi adalah komponen behavioral

yang merendahkan individu karena individu tersebut adalah anggota kelompok

tertentu.

Menurut Jones (dalam Link, Yang, Phelan & Collins, 2001) mengidentifikasi dimensi

dari stigma yang tediri dari enam dimensi, yaitu :

a. Concealability, menunjukkan atau melakukan deteksi tentang karakteristik dari

individu lain. Concealability bervariasi tergantung pada sifat stigma tersebut.

Individu yang mampu menyembunyikan kondisinya, biasanya sering melakukan

stigma tersebut.

b. Course, menunjukkan kondisi stigma reversibel atau ireversibel. Individu yang

mengalami kondisi ireversibel maka cenderung untuk memperoleh sikap yang

lebih negatif dari orang lain.

c. Disruptiveness, menunjukkan tanda-tanda yang diberikan oleh orang lain kepada

individu yang mengakibatkan ketegangan atau menghalangi interaksi

interpersonal.

d. Aesthetic, mencerminkan persepsi seseorang terkait dengan hal yang menarik atau

menyenangkan.

e. Origin, merujuk kepada bagaimana munculnya kondisi yang menyebabkan

stigma.

f. Peril, merujuk pada perasaan bahaya atau ancaman yang dialami orang lain.

Ancaman dalam pengertian ini dapat mengacu pada bahaya fisik atau perasaan

yang tidak nyaman.

Berdasarakan pemaparan sebelumnya, dimensi yang digunakan dalam penelitian ini

mengacu pada teori Link dan Phelan (dalam Scheid & Brown, 2010) yang juga

21

berpedoman pada pemikiran Goffman (1961) yaitu Labeling, Stereotip, Separation dan

Diskriminasi.

5. Proses Stigma

Menurut Crocker, dkk. (dalam Major & O’Brien, 2005) stigma terjadi karena

individu memiliki beberapa atribut dan karakter dari identitas sosialnya namun

akhirnya terjadi devaluasi pada konteks tertentu. Menurut Link dan Phelan (dalam

Scheid & Brown, 2010) stigma terjadi ketika muncul beberapa komponen yang saling

berkaitan. Adapun komponen-komponen tersebut, yaitu :

a. Komponen pertama adalah individu membedakan dan memberikan label atas

perbedaan yang dimiliki oleh individu tersebut

b. Komponen kedua adalah munculnya keyakinan dari budaya yang dimiliki

individu terhadap karakteristik individu atau kelompok lain dan menimbulkan

stereotip.

c. Komponen ketiga adalah menempatkan individu atau kelompok yang telah

diberikan label pada individu atau kelompok dalam kategori yang berbeda

sehingga terjadi separation.

d. Komponen keempat adalah individu yang telah diberikan label mengalami

diskriminasi.

Jadi, dapat disimpulkan bahwa stigma terjadi dalam jangka waktu tertentu yang

merupakan suatu proses yang terdiri dari empat dimensi yaitu terjadinya labeling

dilanjutkan dengan munculnya stereotip, separation dan diskriminasi.

22

B. Self Esteem

1. Definisi

Menurut Santrock (2007) self esteem adalah persepsi dan penilaian yang

menyeluruh terhadap diri. Self esteem juga sering disebut self worth atau self image.

Coopersmith (1967) dalam karya klasiknya The Antecendent of Self-Esteem,

mendefinisikan self esteem, sebagai berikut :

“Self esteem refer to the evaluation that individual makes and customarily

maintains with regard to himsef : it express an attitude of aproval or

disapproval and indicates the extent to which the individual believe himself to be

capable, significant, successful, and worthy”.

Dalam hal ini berarti self esteem mengacu pada evaluasi yang dibuat oleh

individu dan upaya untuk menjaga sesuatu yang ada pada dirinya artinya self esteem

adalah sikap setuju atau tidak setuju dan menunjukkan kemampuan individu untuk

percaya bahwa dirinya mampu, penting, berhasil, dan layak.

Self esteem merupakan evaluasi tentang diri sendiri yang artinya individu tidak

hanya menilai seperti apa dirinya tetapi juga menilai kualitas-kualitas dirinya (Taylor,

Peplau & Seers, 2009). Self esteem adalah sikap tentang diri dan berhubungan dengan

keyakinan pribadi tentang keterampilan, kemampuan, hubungan sosial, dan masa

depan. Self esteem adalah respon emosional yang dialami ketika individu

merenungkan dan mengevaluasi hal-hal yang berbeda tentang diri mereka sendiri.

(Heatherton & Wyland, 2003).

Menurut Santrock (2007), individu yang memiliki self esteem positif akan

menerima dan menghargai dirinya sendiri sebagaimana adanya serta tidak cepat-cepat

menyalahkan dirinya atas kekurangan atau ketidaksempurnaan dirinya. Individu yang

memiliki self esteem yang positif selalu merasa puas dan bangga dengan hasil

karyanya sendiri dan selalu percaya diri dalam menghadapi berbagai tantangan.

Sebaliknya, individu yang memiliki self esteem negatif akan merasa dirinya tidak

23

berguna, tidak berharga dan selalu menyalahkan dirinya atas ketidaksempurnaan

dirinya. Individu yang memiliki self esteem negatif cenderung tidak percaya diri dalam

melakukan setiap tugas dan tidak yakin dengan ide-ide yang dimilikinya.

Jadi, dapat disimpulkan self esteem merupakan evaluasi atau penilaian yang

dilakukan oleh individu terhadap dirinya baik secara positif maupun negatif tentang

keterampilan, kemampuan, hubungan sosial, dan masa depan sehingga apabila

individu memiliki self esteem yang tinggi maka individu akan merasa puas, bangga

dengan hasil karya dan selalu percaya diri dalam menghadapi tantangan sedangkan

individu yang memiliki self esteem rendah maka individu cenderung tidak percaya diri

dalam melakukan tugas dan tidak memiliki keyakinan terhadap ide-ide yang

dimilikinya.

2. Tipe Self Esteem

Self esteem terbagi menjadi empat tipe pengertian (Wells dan Marwell dalam

Rahman, 2013), yaitu:

1. Self esteem dipandang sebagai sikap

Self esteem menunjuk pada suatu objek tertentu yang melibatkan reaksi kognitif,

emosi dan perilaku, baik secara positif maupun negatif.

2. Self esteem dipandang sebagai perbandingan antara ideal self dan real self

Individu akan memiliki self esteem yang tinggi, jika real self mendekati ideal

self dan begitu sebaliknya bahwa individu akan memiliki self esteem yang

rendah, jika real self jauh dari ideal self.

3. Self esteem dianggap sebagai respon psikologis seseorang terhadap dirinya

sendiri, lebih dari sekedar sikap.

24

4. Self esteem dipahami sebagai komponen dari kepribadian atau self system

seseorang.

3. Dimensi Self Esteem

Self esteem terbagi menjadi tiga dimensi utama (Heatherton & Wyland, 2003), yaitu:

a. Performance self esteem

Performance self esteem mengacu pada perasaan individu terhadap

kemampuan diri secara umum dan termasuk juga kemampuan intelektual,

performa di sekolah, kapasitas regulasi diri, kepercayaan diri, keyakinan, dan

agency (perantara). Individu yang memiliki performance self esteem yang tinggi

percaya bahwa dirinya pintar dan kompeten.

b. Social self esteem

Social self esteem mengacu pada bagaimana seseorang meyakini dirinya

diterima oleh orang lain. Hal ini merupakan persepsi dari kenyataan yang

sesungguhnya. Seseorang yang percaya bahwa orang lain, terutama significant

others, menganggap dirinya bernilai dan menghormatinya, maka individu tersebut

akan memiliki self esteem yang tinggi. Hal ini dapat tetap berlangsung bahkan

ketika orang lain sesungguhnya sedang merendahkannya. Individu yang memiliki

self esteem yang rendah akan sering mengalami kecemasan sosial ketika berada di

area publik. Individu yang memiliki self esteem yang rendah akan sangat

memerhatikan penampilan dan sangat mencemaskan bagaimana pandangan orang

lain terhadap dirinya.

25

c. Physical self esteem

Physical self esteem mengacu pada bagaimana individu melihat keadaan

fisiknya, termasuk kemampuan fisik, seberapa menarik dirinya, body image,

gambaran fisik dan perasaan terhadap ras dan etnisnya.

Felker (dalam Retno, 2006) mengutarakan tentang beberapa aspek dari self esteem,

yaitu:

a. Perasaan diterima (Felling of Belonging) artinya perasaan individu bahwa

dirinya merupakan bagian dari suatu kelompok dan dirinya diterima seperti

dihargai oleh anggota kelompoknya. Kelompok ini dapat berupa kelompok

teman sebaya atau kelompok lainnya. Individu akan memiliki penilain yang

positif tentang dirinya apabila individu tersebut diterima dan menjadi bagian dari

kelompok tersebut. Namun individu akan memiliki penilaian yang negatif

terhadap dirinya apabila individu tersebut tidak diterima dalam kelompoknya.

b. Perasan mampu (Felling of Competence) artinya perasaan dan keyakinan

individu akan kemampuan yang ada pada dirinya sendiri dalam mencapai suatu

hasil yang diharapkan.

c. Perasaan berharga (Felling of Worth) yaitu perasaan dimana individu merasa

dirinya berharga atau tidak. Perasaan yang dimiliki individu yang seringkali

ditampilkna berasal dari pernyataan-pernyataan tentang dirinya seperti baik,

pintar, bodoh dan lain sebagainya.

Aspek self esteem yang digunakan dalam penelitian ini adalah aspek yang

diungkapkan oleh Heatherton (2003), yaitu : a) Performance self esteem, b) Social self

esteem, c) Physical self esteem.

26

4. Faktor-faktor yang Memengaruhi Self Esteem

Menurut Coopersmith (1967), terdapat beberapa faktor utama yang

memengaruhi self esteem pada masing-masing individu, yaitu:

a. Banyaknya jumlah penghargaan, penerimaan, dan perhatian yang diterima

seseorang dari significant others dalam kehidupannya.

b. Pengalaman kesuksesan dan status atau posisi yang memberi arti bagi seseorang.

Kesuksesan yang diperoleh umumnya dapat membawa individu mengenali

status di lingkungannya. Ukuran pengalaman kesuksesan memiliki makna yang

berbeda bagi setiap individu.

c. Nilai dan aspirasi

Individu mempertimbangkan pengalaman kesuksesan dan kegagalan

berdasarkan nilai yang disertakan. Individu yang mengalami kegagalan dalam

bidang yang dianggap tidak terlalu penting bagi dirinya, maka kegagalan

tersebut tidak terlalu berpengaruh terhadap self esteem individu, sebaliknya jika

individu mendapatkan kesuksesan dalam bidang yang dianggapnya penting

maka individu, akan menganggap kesuksesan dalam bidang lainnya tidak

terlalu penting.

Penilaian ini didasarkan pada kemampuan individu dalam bidang

tersebut atau adanya kepentingan pribadi. Penilaian diri mengandung

perbandingan antara penampilan nyata dan kapasitas dengan standar dan

aspirasi diri. Apabila standar telah dicapai, khususnya pada bidang yang

dianggap penting maka individu akan membuat kesimpulan bahwa dirinya

berharga. Sebaliknya, apabila yang diperoleh berada di bawah standar maka

individu akan merasa kecewa.

27

d. Kemampuan bertahan

Bertahan merupakan kemampuan individu untuk menghadapi kegagalan

dan ketidakpastian yang dialaminya. Cara ini dilakukan untuk tujuan

mengurangi kecemasan, yang menyebabkan munculnya perasaan tidak

berdaya, tidak mampu melakukan sesuatu, dan kurang mampu menerima

kenyataan.

Terdapat faktor lain yang mepengaruhi self esteem yaitu menurut penelitian yang

dilakukan Gufron & Risnawita (2010), faktor-faktor yang memengaruhi self esteem

dapat dibedakan menjadi dua yaitu internal dan eksternal. Faktor internal yang

memengaruhi antara lain jenis kelamin, intelegensi, kondisi fisik sedangkan faktor

eksternal antara lain lingkungan keluarga, sosial dan sekolah. Adapun penjelasan dari

masing-masing faktor, sebagai berikut :

a. Faktor Jenis Kelamin

Berdasarkan faktor jenis kelamin, disebutkan bahwa wanita selalu merasa self

esteemnya lebih rendah daripada pria seperti perasaan kurang mampu,

kepercayaan diri yang kurang. Hal ini mengkin terjadi karena peran orang tua

dan harapan-harapan masyarakat yang berbeda pada pria dan wanita.

b. Faktor Intelegensi

Individu dengan self esteem yang tinggi akan mencapai prestasi akademik yang

tinggi daripada individu dengan self esteem yang rendah. Individu self esteem

tinggi memiliki skor intelegensi yang lebih baik, taraf aspirasi yang lebih baik

dan selalu berusaha keras.

c. Faktor Kondisi Fisik

Individu dengan kondisi fisik yang menarik cenderung memiliki self esteem

yang lebih baik dibandingkan dengan kondisi fisik yang kurang menarik.

28

d. Faktor Lingkungan Keluarga

Peran keluarga juga sangat menentukan perkembangan self esteem anak.

Keluarga harus menemukan kondisi untuk mencapai perkembangan self esteem

yang baik. Perlakukan yang adil, pemberian kesempatan untuk aktif, mendidik

secara demokratis akan membuat anak memiliki self esteem yang tinggi.

Orangtua yang sering memberi hukuman dan larangan tanpa alasan

menyebabkan anak merasa tidak berharga.

e. Faktor Lingkungan Sosial

Self esteem merupakan hasil dari proses lingkungan, penghargaan, penerimaan

dan perlakukan orang lain kepadanya. Perubahan self esteem dapat dijelaskan

melalui konsep-konsep kesuksesan, nilai, aspirasi dan mekanisme pertahanan

diri. Kesuksesan tersebut dapat timbul melalui pengalaman dalam lingkungan

atau bidang tertentu, kompetisi dan nilai kebaikan.

5. Klasifikiasi Self Esteem

Menurut Murk (dalam Rahman, 2013) terdapat tiga klasifikasi dari self esteem, yaitu :

a. Self esteem dipandang sebagai suatu kompetensi (self esteem as competence)

Dalam hal ini, self esteem dihubungkan dengan kesuksesan, kemampuan dan

kompetensi. Self esteem akan sangat ditentukan oleh kemampuan dan kesuksesan

objektif yang dimiliki individu.

b. Self esteem dipandang sebagai perasaan berharga (self esteem as worthiniss)

c. Self esteem dipandang sebagai suatu kompetensi dan perasaan berharga

29

6. Karakteristik Individu Berdasarkan Tingkatan Self Esteem

Coopersmith (dalam Henggaryadi & Fakhrurrozi, 2008) membagi tingkatan self

esteem menjadi tiga, yaitu self esteem tinggi, menengah dan rendah. Adapun

karakteristik individu berdasarkan tingkatan self esteem tersebut yaitu :

a. Self Esteem Tinggi

Seseorang dengan self esteem tinggi akan memiliki ciri-ciri penuh percaya diri,

mandiri, aktif dalam kegiatan fisik dan sosial, ambisius tetapi realistis terhadap

kemampuannya, ekspresif, kreatif dan memilii skor tinggi dalam intelegensi.

b. Self Esteem Menengah atau Sedang

Seseorang dengan self esteem menengah menilai lebih baik dari seseorang

dengan self esteem rendah namun kurang baik dibandingkan seseorang dengan

self esteem tinggi. Pada dasarnya penilaian mereka cenderung seperti kelompok

dengan taraf self esteem tinggi yaitu memiliki rasa percaya diri, mandiri dan

aktif. Seseorang dengan self esteem sedang, tingkat kepercayaan diri,

kemandirian dan keaktifan lebih rendah dibandingkan self esteem tinggi dan

lebih tinggi dibandingkan dengan self esteem rendah.

c. Sef Esteem Rendah

Individu dengan self esteem rendah, memiliki ciri-ciri tidak percaya diri, tidak

menghargai diri sendiri, gampang putus asa, kurang berusaha dan adanya

kecenderungan berorientasi pada kegagalan.

30

C. Remaja Perempuan yang Mengikuti Ekstrakurikuler Tari Bali

1. Definisi

a. Remaja

Masa remaja merupakan periode transisi perkembangan yang terjadi antara

masa kanak-kanak dan masa dewasa, yang melibatkan perubahan-perubahan baik

secara biologis, kognitif dan sosioemosional (Santrock, 2007).

Banyak para ahli memiliki rentang usia yang berbeda mengenai remaja.

Papalia, Olds dan Feldman (2009) menyebutkan remaja berada antara usia 10 atau

11 tahun sampai awal usia 20 tahun, Santrock (2007) menyatakan remaja berada

antara usia 10-12 tahun dan 18-22 tahun sedangkan Hall (dalam Santock, 2007)

menyatakan remaja berada pada rentang usia 12-23 tahun. Berbeda halnya dengan

Menurut WHO (dalam Sarwono, 2013) membedakan masa remaja antara remaja

wanita dan pria. Remaja wanita didasarkan pada usia kesuburan (fertilisasi)

sedangkan batasan untuk remaja pria dibagi menjadi 2 bagian yaitu remaja awal

yang berusia 10-14 tahun dan remaja akhir yang berusia 15-20 tahun (Sarwono,

2013). Di Indonesia, remaja sering disebut sebagai pemuda yang memiliki usia

15-21 tahun (Sarwono, 2013).

Berdasarkan pemaparan di atas, peneliti menyimpulkan definisi remaja

adalah periode transisi perkembangan yang terjadi antara masa kanak-kanak dan

masa dewasa, yang melibatkan perubahan-perubahan baik secara biologis,

kognitif dan sosioemosional yang berada pada rentang usia 10 - 23 tahun.

b. Ekstakurikuler

Ektrakurikuler adalah kegiatan pendidikan di luar mata pelajaran dan

pelayanan konseling untuk membantu pengembangan peserta didik sesuai dengan

kebutuhan, potensi, bakat dan minat melalui kegiatan yang secara khusus

31

diselenggarakan oleh pendidik dan atau tenaga pendidik yang memiliki

kemampuan dan wewenang di sekolah (Prihatin, 2011). Ekstrakurikuler

dimaksudkan untuk mengembangkan salah satu bidang pelajaran yang diminati

oleh sekelompk siswa yang diselenggarakan di sekolah di luar pelajaran biasa

(Suryosubroto, 2009). Menurut Suharsimi (dalam Suryobroto, 2009)

ektrakurikuler adalah kegiatan tambahan, di luar struktur program yang pada

umumnya merupakan kegiatan pilihan. Menurut Direktorat Pendidikan Menengah

Kejuruan (dalam Suryobroto, 2009) ektrakurikuler adalah kegiatan yang

dilakukan di luar jam pelajaran tatap muka, dilaksanakan di sekolah atau di luar

sekolah agar lebih memperkaya dan memperluas wawasan pengetahuan dan

kemampuan yang telah dipelajari dari berbagai mata pelajaran dalam kurikulum.

Berdasarkan pemaparan beberapa ahli sehingga peneliti menyimpukan

ektrakurikuler adalah kegiatan pendidikan di luar mata pelajaran atau kegiatan

tambahan yang dilaksanakan di sekolah atau di luar sekolah untuk membantu

pengembangan peserta didik sesuai dengan kebutuhan, potensi, bakat dan minat

melalui kegiatan yang secara khusus diselenggarakan oleh pendidik dan atau

tenaga kependidikan yang berkemampuan dan berkewenangan di sekolah.

c. Tari Bali

Tari adalah gerakan-gerakan luar yang ritmik dan lama kelamaan mengarah

kepada bentuk tertentu (Chattopadhyaya dalam Rusliana, 1986). Menurut

Soedarsono (dalam Rusliana, 1986) tari juga dapat didefinisikan sebagai ekspresi

jiwa manusia melalui gerak-gerak ritmis yang indah.

Jadi, dapat disimpulkan bahwa tari Bali adalah ekspresi jiwa manusia

melalui gerak ritmis dan mengarah pada bentuk tertentu yang berasal dari Bali.

32

c. Remaja perempuan yang mengikuti ektrakulikuler tari Bali

Remaja adalah periode transisi perkembangan yang terjadi antara masa

kanak-kanak dan masa dewasa, yang melibatkan perubahan-perubahan baik

secara biologis, kognitif dan sosioemosional yang berada pada rentang usia 10 -

22 tahun. Ektrakurikuler tari Bali adalah kegiatan pendidikan di luar mata

pelajaran atau kegiatan tambahan yang dilaksanakan di sekolah atau di luar

sekolah untuk membantu pengembangan peserta didik sesuai dengan kebutuhan,

potensi, bakat dan minat melalui kegiatan yang secara khusus diselenggarakan

oleh pendidik dan atau tenaga kependidikan yang berkemampuan dan

berkewenangan di sekolah.

Berdasarkan pemaparan di atas, maka dapat disimpulkan remaja perempuan

yang mengikuti ektrakurikuler tari Bali adalah individu yang berjenis kelamin

perempuan dengan periode transisi perkembangan yang terjadi antara masa

kanak-kanak dan masa dewasa, yang melibatkan perubahan-perubahan baik

secara biologis, kognitif dan sosioemosional yang berada pada rentang usia 10 -

22 tahun yang mengikuti kegiatan dengan menunjukkan ekspresi jiwa manusia

melalui gerak ritmis dan mengarah pada bentuk tertentu yang berasal dari Bali

yang dilaksanakan di sekolah atau di luar sekolah untuk membantu

pengembangan peserta didik sesuai dengan kebutuhan, potensi, bakat dan minat

melalui kegiatan yang secara khusus diselenggarakan oleh pendidik dan atau

tenaga pendidik yang memiliki kemampuan dan wewenang di sekolah.

D. Perkembangan Pemahaman Diri dan Self Esteem pada Remaja

Remaja memiliki penghayatan mengenai siapakah mereka dan apa yang

membedakan dirinya dari orang lain. Dimasa remaja seorang individu menjadi lebih

33

introspektif dan pemahaman dirinya tidak sepenuhnya bersifat internal namun

merupakan sebuah konstruksi sosial kognitif (Santrock, 2007).

Pada masa remaja, individu membentuk pemahaman diri dan self esteem.

Pemahaman diri adalah representatif kognitif remaja mengenai diri, substansi dan isi

dari konsep diri remaja. Pemahaman diri seorang remaja didasarkan pada berbagai

peran dan jenis keanggotaan yang mereka ikuti, sehingga inilah yang berperan dalam

mendefinisikan dirinya (Harter dalam Santrock, 2007).

Self esteem mencerminkan persepsi yang tidak selalu sesuai dengan realitas

(Baumster dalam Santrock, 2007). Self esteem seringkali mengalami transisi dari

sekolah dasar menuju sekolah menengah (Hawkons & Berndt dalam Santrock, 2007).

Self esteem cenderung menurun dimasa remaja, meningkat diusia 20-an, mendatar

diusia 30-an dan meningkat di usia 50-an dan 60-an, kemudian menurun di usia 70-an

dan 80-an. Sebagian besar usia, umumnya laki-laki memperlihatkan harga diri yang

lebih tinggi dibandingkan perempuan (Santrock, 2007). Menurunya self esteem

perempuan di masa remaja awal adalah karena memiliki citra tubuh yang lebih negatif

selama mengalami masa pubertas, dibandingkan dengan laki-laki (Harter dalam

Santrock, 2007). Selain itu menurunnya self esteem juga disebabkan oleh kegagalan

masyarakat untuk menghargai minat remaja dalam relasi sosial (Santrock, 2007).

Remaja perempuan memiliki self esteem yang lebih rendah dibandingkan laki-

laki. Sebuah studi berskala besar meminta lebih dari 300.000 individu untuk menilai

sejauh mana tingkat self esteem mereka dalam skala 5. Dalam studi tersebut angka 5

berarti “Sangat sesuai” dan 1 berarti “Tidak sesuai”. Hasil studi tersebut menunjuukan

bahwa self esteem cenderung menurun dimasa remaja dan masa dewasa. Apabila

dibedakan berdasarkan gender, self esteem perempuan lebih rendah dibandingkan self

esteem laki-laki dihampir sepanjang masa hidup (Santrock, 2007).

34

Self esteem laki-laki berhubungan dengan usaha untuk meraih pencapaian

individual sedangkan self esteem perempuan lebih bergantung pada hubungan dengan

orang lain (Thorne & Michaeliu, dalam Papalia, Olds & Feldman, 2009). Analisis

terhadap ratusan penelitian yang melibatkan hampir 150.000 responden

menyimpulkan bahwa walaupun anak laki-laki memiiki self esteem yang lebih tinggi

dibandingkan perempuan, terutama akhir masa remaja namun perbedaannya kecil.

Kebalikan dari penelusuran terdahulu baik laki-laki dan perempuan mencapai self

esteem yang lebih baik seiring bertambahnya usia. (Kling, Hyde, Showers dan Buswell

dalam Papalia, Olds & Feldman, 2009).

E. Hubungan Antar Variabel

Stigma adalah suatu fenomena atau kejadian yang dapat memengaruhi diri individu

secara keseluruhan. Link dan Phelan (dalam Teresa, 2010) menjelaskan bahwa stigma

adalah pikiran dan kepercayaan yang salah. Menurut Crocker, dkk. (dalam Major &

O’Brien, 2005) stigma terjadi karena individu memiliki beberapa atribut dan karakter dari

identitas sosialnya. Stigma terjadi sebagai suatu proses yang berkelanjutan yaitu individu

diberikan label (labeling) atas perbedaan yang dimiliki dengan individu lain oleh

masyarakat. Labeling adalah pembedaan dan penamaan berdasarkan perbedaan-perbedaan

yang dimiliki individu atau kelompok tertentu dalam masyarakat (Link & Phelan dalam

Scheid & Brown, 2010). Pada saat labeling dilakukan maka akan muncul keyakinan dari

budaya yang dimiliki individu terhadap karakteristik individu atau kelomopok lain

sehingga menimbulkan stereotip. Stereotip adalah komponen kognitif dari individu yang

merupakan keyakinan tentang atribut personal atau karakteristik yang dimiliki oleh

individu dalam suatu kelompok tertentu atau kategori sosial tertentu. Individu yang telah

diberikan label ditempatkan pada kategori yang berbeda sehingga terjadi separation

35

(pemisahan) antara yang memberikan label dengan individu yang diberikan label.

Separation adalah pemisahan antara pihak yang tidak memiliki stigma atau dalam hal ini

pihak yang memberikan stigma dengan kelompok atau pihak yang mendapatkan stigma

(Link & Phelan dalam Scheid & Brown, 2010). Akhirnya individu yang telah diberikan

label mengalami diskriminasi. Diskriminasi adalah komponen behavioral yang

merendahkan individu karena individu tersebut adalah anggota kelompok tertentu.

Stigma terdiri dari empat komponen, jika seluruh komponen stigma ditujukan

kepada individu atau kelompok maka individu atau kelompok tersebut akan merasa tidak

nyaman dengan proses interaksi sosial yang dilakukan sehingga hal tersebut berdampak

membatasi jaringan sosial individu dengan orang lain, menyebabkan simptom depresi,

pengangguran, berkurangnya pendapatan dan juga membuat rendahnya self esteem (Link

& Phelan dalam Scheid & Brown, 2010).

Self esteem merupakan evaluasi atau penilaian yang dilakukan oleh individu

terhadap dirinya yang berkisar dari rendah, sedang dan tinggi tentang keterampilan,

kemampuan, hubungan sosial dan masa depan sehingga apabila individu memiliki self

esteem yang tinggi maka individu akan merasa puas, bangga dengan hasil karya dan selalu

percaya diri dalam menghadapi tantangan sedangkan individu yang memiliki self esteem

rendah maka individu cenderung tidak percaya diri dalam melakukan tugas dan tidak

memiliki keyakinan terhadap ide-ide yang dimilikinya.

Self esteem terbagi menjadi tiga dimensi yaitu performance self esteem, social self

esteem dan phisical self esteem (Heatherton & Wyland, 2003) Performance self esteem

adalah perasaan individu terhadap kemampuan dirinya secara umum dan termasuk juga

kemampuan intelektual, performa di sekolah, kapasitas regulasi diri, kepercayaan diri,

keyakinan dan agency (perantara). Social self esteem mengacu pada bagaimana seseorang

meyakini dirinya diterima oleh orang lain. Physical self esteem mengacu pada bagaimana

36

individu melihat keadaan fisiknya termasuk kemampuan fisik, seberapa menarik dirinya,

body image, gambaran fisik dan perasaan terhadap ras dan etnisnya.

Secara psikososial, menurut Erikson (dalam Papalia, Olds & Feldman, 2009)

remaja menghadapi krisis dari identitas (identity) versus kekacauan identitas (identity

confusion) sehingga remaja harus mengembangkan self esteem yang merupakan kebutuhan

psikologis yang memiliki peran penting bagi kehidupannya.

Self esteem sangat dibutuhkan oleh remaja karena self esteem memainkan peran

penting dalam memprediksi penyesuaian terhadap masa depan sehingga disaat individu

mengalami hal-hal baik dalam hidupnya, maka dapat dikatakan bahwa self esteemnya

tinggi. Individu yang memiliki self esteem tinggi cenderung memiliki pencapaian

akademik yang tinggi artinya bahwa individu yang telah memiliki pencapaian akademik

yang tinggi pasti memiliki self esteem yang tinggi (Liu, Kaplan & Risser dalam Rice &

Dolgin, 2002).

Self esteem dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu banyaknya jumlah penghargaan,

penerimaan, dan perhatian yang diterima seseorang, pengalaman kesuksesan dan status

atau posisi yang memberi arti bagi seseorang, nilai dan aspirasi serta kemampuan individu

untuk menghadapi kegagalan dan ketidakpastian yang dialaminya. Hal tersebut didukung

dengan penelitian yang dilakukan oleh Corringan & Watson (dalam Major & O'Brien,

2005) yang menyatakan bahwa individu yang mendapatkan stigma akan waspada terhadap

lingkungan sekitar sehingga dampaknya adalah respon yang diberikan lingkungan menjadi

terinternalisasi dan menyebabkan individu memiliki self esteem yang rendah. Remaja yang

menerima stigma, akan mengalami pengurangan jumlah penghargaan, penerimaan dan

perhatian serta akan mengalami kehilangan status atau posisi dan mengalami

ketidakpastian sehingga dampaknya pada self esteem individu tersebut.

37

Lingkungan sekitar remaja memiliki peranan yang penting dalam pembentukan self

esteem pada remaja. Stigma yang didapatkan dari lingkungan sekitar dapat menurunkan

self esteem. Stigma terjadi karena masyarakat gagal untuk menghargai minat remaja.

Menurut Santrock (2007) menurunnya self esteem juga disebabkan oleh kegagalan

masyarakat untuk menghargai minat remaja dalam relasi sosial.

Berdasarkan pemaparan sebelumnya, maka peneliti menyatakan ada pengaruh

stigma terhadap self esteem pada remaja perempuan yang mengikuti ekstrakurikuler Tari

Bali.

38

Gambar 1. Pengaruh Stigma terhadap Self Esteem

Keterangan:

: garis pengaruh yang diteliti

: faktor yang memengaruhi

: komponen dari variabel bebas (stigma)

: dimensi dari variabel tergantung (self esteem)

: kategori tingkatan variabel tergantung (self esteem)

: variabel yang diteliti

: variabel yang tidak diteliti

Self Esteem Stigma

Tingkatan Self

Esteem :

Tinggi

Sedang

Rendah

Bentuk Stigma:

Labeling

Stereotip

Separation

Diskriminasi

Jumlah penghargaan, penerimaan dan perhatian

Pengalaman kesuksesan dan status

Nilai dan aspirasi

Kemampuan individu menghadapi kegagalan ketidakpastian

Social Self

Esteem

Performance Self

Esteem

Physical Self

Esteem

39

F. Hipotesis Penelitian

Adapun hipotesis dari penelitian ini adalah:

1. Hipotesis alternatif (Ha) :

Ada pengaruh antara stigma dengan self esteem pada remaja yang mengikuti

ekstrakurikuler Tari Bali di SMA Negeri 2 Denpasar.

2. Hipotesis Minor

a. Ada pengaruh antara stigma positif dengan self esteem pada remaja yang

mengikuti ekstrakurikuler Tari Bali di SMA Negeri 2 Denpasar.

b. Ada pengaruh antara stigma negatif dengan self esteem pada remaja yang

mengikuti ekstrakurikuler Tari Bali di SMA Negeri 2 Denpasar.

3. Hipotesis nol (Ho) :

Tidak ada pengaruh antara stigma dengan self esteem pada remaja yang mengikuti

ekstrakurikuler Tari Bali di SMA Negeri 2 Denpasar.