bab ii tinjauan pustaka a. stigma 1. - sinta.unud.ac.id ii.pdf · prophecy (jussim dkk., dalam...
TRANSCRIPT
16
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Stigma
1. Definisi
Stigma adalah atribut yang sangat luas yang dapat membuat individu kehilangan
kepercayaan dan dapat menjadi suatu hal yang menakutkan (Goffman dalam Major &
O’Brien, 2005). Menurut Kamus Psikologi stigma adalah satu tanda atau ciri pada
tubuh (Chaplin, 2009). Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia, stigma
didefinisikan sebagai ciri negatif yang menempel pada pribadi seseorang karena
pengaruh lingkungannya. Stigma dapat juga didefinisikan sebagai suatu fenomena
yang dapat memengaruhi diri individu secara keseluruhan (Crocker dkk., Jones dkk.,
Link & Phelan dalam Major & O’Brien, 2005). Menurut Goffman (dalam Scheid &
Brown, 2010) menyatakan bahwa “stigma concept identifies an attribute or a mark
residing in the person as something the person possesses” artinya bahwa konsep
stigma mengidentifikasi atribut atau tanda yang berada pada seseorang sebagai sesuatu
yang dimiliki. Stigma juga berarti sebuah fenomena yang terjadi ketika seseorang
diberikan labeling, stereotip, separation, dan mengalami diskriminasi (Link Phelan
dalam Scheid & Brown, 2010). Menurut Surgeon General Satcher’s (dalam Teresa,
2010) menyatakan stigma adalah kejadian atau fenomena yang menghalangi seseorang
untuk mendapatkan perhatian, mengurangi seseorang untuk memperoleh peluang dan
interaksi sosial. Link dan Phelan (dalam Teresa, 2010) juga menjelaskan bahwa stigma
adalah pikiran dan kepercayaan yang salah.
Dari beberapa definisi dari stigma tersebut, maka peneliti menyimpulkan
definisi stigma adalah pikiran dan kepercayaan yang salah serta fenomena yang terjadi
17
ketika individu memperoleh labeling, stereotip, separation dan mengalami
diskriminasi sehingga memengaruhi diri individu secara keseluruhan.
2. Mekanisme Stigma
Mekanisme stigma terbagi menjadi empat menurut Major & O’Brien (2005), yaitu :
a. Adanya perlakukan negatif dan diskriminasi secara langsung
Mekanisme stigma yang pertama yaitu adanya perlakukan negatif dan
diskriminasi secara langsung yang artinya terdapat pembatasan pada akses
kehidupan dan diskriminasi secara langsung sehingga berdampak pada status
sosial, psychological well-being dan kesehatan fisik. Stigma dapat terjadi
dibeberapa tempat seperti di sebuah toko, tempat kerja, setting pendidikan,
pelayanan kesehatan dan sistem peradilan pidana (Eshieman, dalam Major &
O’Brien, 2005).
b. Proses konfirmasi terhadap harapan atau self fullfilling prophecy
Stigma menjadi sebuah proses melalui konfirmasi harapan atau self fullfilling
prophecy (Jussim dkk., dalam Major & O’Brien, 2005). Persepsi negatif, stereotipe
dan harapan bisa mengarahkan individu untuk berperilaku sesuai dengan stigma
yang diberikan sehingga berpengaruh pada pikiran, perasaan dan perilaku individu
tersebut.
c. Munculnya stereotip secara otomatis
Stigma dapat menjadi sebuah proses melalui aktivasi stereotip otomatis secara
negatif pada suatu kelompok.
d. Terjadinya proses ancaman terhadap identitas dari individu
18
3. Tipe Stigma
Menurut Goffman (dalam Scheid & Brown, 2010) mendefinisikan 3 tipe stigma
sebagai berikut :
a. Stigma yang berhubungan dengan cacat tubuh yang dimiliki oleh seseorang
b. Stigma yang berhubungan dengan karakter individu yang umum diketahui seperti
bekas narapidana, pasien rumah sakit jiwa dan lain sebagainya
c. Stigma yang berhubungan dengan ras, bangsa dan agama. Stigma semacam ini
ditransmisikan dari generasi ke generasi melalui keluarga.
4. Dimensi Stigma
Menurut Link dan Phelan (dalam Scheid & Brown, 2010) stigma mengacu pada
pemikiran Goffman (1961), komponen-komponen dari stigma sebagai berikut :
a. Labeling
Labeling adalah pembedaan dan memberikan label atau penamaan
berdasarkan perbedaan-perbedaan yang dimiliki anggota masyarkat tersebut (Link
& Phelan dalam Scheid & Brown, 2010). Sebagian besar perbedaan individu tidak
dianggap relevan secara sosial, namun beberapa perbedaan yang diberikan dapat
menonjol secara sosial. Pemilihan karakteristik yang menonjol dan penciptaan
label bagi individu atau kelompok merupakan sebuah prestasi sosial yang perlu
dipahami sebagai komponen penting dari stigma.
Berdasarkan pemaparan di atas, labeling adalah penamaan berdasarkan
perbedaan yang dimiliki kelompok tertentu.
b. Stereotip
Stereotip adalah kerangka berpikir atau aspek kognitif yang terdiri dari
pengetahuan dan keyakinan tentang kelompok sosial tertentu dan traits tertentu
19
(Judd, Ryan & Parke dalam Baron & Byrne, 2003). Menurut Rahman (2013)
stereotip merupakan keyakinan mengenai karakteristik tertentu dari anggota
kelompok tertentu. Stereotip adalah komponen kognitif yang merupakan
keyakinan tentang atribut personal yang dimiliki oleh orang-orang dalam suatu
kelompok tertentu atau kategori sosial tertentu (Taylor, Peplau, & Sears, 2009).
Berdasarkan pemaparan diatas dapat disimpulkan, stereotip adalah
komponen kognitif dari individu yang merupakan keyakinan tentang atribut
personal atau karakteristik yang dimiliki oleh individu dalam suatu kelompok
tertentu atau kategori sosial tertentu.
c. Separation
Separation adalah pemisahan “kita” (sebagai pihak yang tidak memiliki
stigma atau pemberi stigma) dengan “mereka” (kelompok yang mendapatkan
stigma). Hubungan label dengan atribut negatif akan menjadi suatu pembenaran
ketika individu yang dilabel percaya bahwa dirinya memang berbeda sehingga hal
tersebut dapat dikatakan bahwa proses pemberian stereotip berhasil (Link & Phelan
dalam Scheid & Brown, 2010).
Berdasarkan pemaparan di atas, separation artinya pemisahan yang dilakukan
antara kelompok yang mendapatkan stigma dengan kelompok yang tidak
mendapatkan stigma.
d. Diskriminasi
Diskriminasi adalah perilaku yang merendahkan orang lain karena
keanggotaannya dalam suatu kelompok (Rahman, 2013). Menurut Taylor, Peplau,
dan Sears (2009) diskriminasi adalah komponen behavioral yang merupakan
perilaku negatif terhadap individu karena individu tersebut adalah anggota dari
kelompok tertentu.
20
Berdasarkan pemaparan tersebut, diskriminasi adalah komponen behavioral
yang merendahkan individu karena individu tersebut adalah anggota kelompok
tertentu.
Menurut Jones (dalam Link, Yang, Phelan & Collins, 2001) mengidentifikasi dimensi
dari stigma yang tediri dari enam dimensi, yaitu :
a. Concealability, menunjukkan atau melakukan deteksi tentang karakteristik dari
individu lain. Concealability bervariasi tergantung pada sifat stigma tersebut.
Individu yang mampu menyembunyikan kondisinya, biasanya sering melakukan
stigma tersebut.
b. Course, menunjukkan kondisi stigma reversibel atau ireversibel. Individu yang
mengalami kondisi ireversibel maka cenderung untuk memperoleh sikap yang
lebih negatif dari orang lain.
c. Disruptiveness, menunjukkan tanda-tanda yang diberikan oleh orang lain kepada
individu yang mengakibatkan ketegangan atau menghalangi interaksi
interpersonal.
d. Aesthetic, mencerminkan persepsi seseorang terkait dengan hal yang menarik atau
menyenangkan.
e. Origin, merujuk kepada bagaimana munculnya kondisi yang menyebabkan
stigma.
f. Peril, merujuk pada perasaan bahaya atau ancaman yang dialami orang lain.
Ancaman dalam pengertian ini dapat mengacu pada bahaya fisik atau perasaan
yang tidak nyaman.
Berdasarakan pemaparan sebelumnya, dimensi yang digunakan dalam penelitian ini
mengacu pada teori Link dan Phelan (dalam Scheid & Brown, 2010) yang juga
21
berpedoman pada pemikiran Goffman (1961) yaitu Labeling, Stereotip, Separation dan
Diskriminasi.
5. Proses Stigma
Menurut Crocker, dkk. (dalam Major & O’Brien, 2005) stigma terjadi karena
individu memiliki beberapa atribut dan karakter dari identitas sosialnya namun
akhirnya terjadi devaluasi pada konteks tertentu. Menurut Link dan Phelan (dalam
Scheid & Brown, 2010) stigma terjadi ketika muncul beberapa komponen yang saling
berkaitan. Adapun komponen-komponen tersebut, yaitu :
a. Komponen pertama adalah individu membedakan dan memberikan label atas
perbedaan yang dimiliki oleh individu tersebut
b. Komponen kedua adalah munculnya keyakinan dari budaya yang dimiliki
individu terhadap karakteristik individu atau kelompok lain dan menimbulkan
stereotip.
c. Komponen ketiga adalah menempatkan individu atau kelompok yang telah
diberikan label pada individu atau kelompok dalam kategori yang berbeda
sehingga terjadi separation.
d. Komponen keempat adalah individu yang telah diberikan label mengalami
diskriminasi.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa stigma terjadi dalam jangka waktu tertentu yang
merupakan suatu proses yang terdiri dari empat dimensi yaitu terjadinya labeling
dilanjutkan dengan munculnya stereotip, separation dan diskriminasi.
22
B. Self Esteem
1. Definisi
Menurut Santrock (2007) self esteem adalah persepsi dan penilaian yang
menyeluruh terhadap diri. Self esteem juga sering disebut self worth atau self image.
Coopersmith (1967) dalam karya klasiknya The Antecendent of Self-Esteem,
mendefinisikan self esteem, sebagai berikut :
“Self esteem refer to the evaluation that individual makes and customarily
maintains with regard to himsef : it express an attitude of aproval or
disapproval and indicates the extent to which the individual believe himself to be
capable, significant, successful, and worthy”.
Dalam hal ini berarti self esteem mengacu pada evaluasi yang dibuat oleh
individu dan upaya untuk menjaga sesuatu yang ada pada dirinya artinya self esteem
adalah sikap setuju atau tidak setuju dan menunjukkan kemampuan individu untuk
percaya bahwa dirinya mampu, penting, berhasil, dan layak.
Self esteem merupakan evaluasi tentang diri sendiri yang artinya individu tidak
hanya menilai seperti apa dirinya tetapi juga menilai kualitas-kualitas dirinya (Taylor,
Peplau & Seers, 2009). Self esteem adalah sikap tentang diri dan berhubungan dengan
keyakinan pribadi tentang keterampilan, kemampuan, hubungan sosial, dan masa
depan. Self esteem adalah respon emosional yang dialami ketika individu
merenungkan dan mengevaluasi hal-hal yang berbeda tentang diri mereka sendiri.
(Heatherton & Wyland, 2003).
Menurut Santrock (2007), individu yang memiliki self esteem positif akan
menerima dan menghargai dirinya sendiri sebagaimana adanya serta tidak cepat-cepat
menyalahkan dirinya atas kekurangan atau ketidaksempurnaan dirinya. Individu yang
memiliki self esteem yang positif selalu merasa puas dan bangga dengan hasil
karyanya sendiri dan selalu percaya diri dalam menghadapi berbagai tantangan.
Sebaliknya, individu yang memiliki self esteem negatif akan merasa dirinya tidak
23
berguna, tidak berharga dan selalu menyalahkan dirinya atas ketidaksempurnaan
dirinya. Individu yang memiliki self esteem negatif cenderung tidak percaya diri dalam
melakukan setiap tugas dan tidak yakin dengan ide-ide yang dimilikinya.
Jadi, dapat disimpulkan self esteem merupakan evaluasi atau penilaian yang
dilakukan oleh individu terhadap dirinya baik secara positif maupun negatif tentang
keterampilan, kemampuan, hubungan sosial, dan masa depan sehingga apabila
individu memiliki self esteem yang tinggi maka individu akan merasa puas, bangga
dengan hasil karya dan selalu percaya diri dalam menghadapi tantangan sedangkan
individu yang memiliki self esteem rendah maka individu cenderung tidak percaya diri
dalam melakukan tugas dan tidak memiliki keyakinan terhadap ide-ide yang
dimilikinya.
2. Tipe Self Esteem
Self esteem terbagi menjadi empat tipe pengertian (Wells dan Marwell dalam
Rahman, 2013), yaitu:
1. Self esteem dipandang sebagai sikap
Self esteem menunjuk pada suatu objek tertentu yang melibatkan reaksi kognitif,
emosi dan perilaku, baik secara positif maupun negatif.
2. Self esteem dipandang sebagai perbandingan antara ideal self dan real self
Individu akan memiliki self esteem yang tinggi, jika real self mendekati ideal
self dan begitu sebaliknya bahwa individu akan memiliki self esteem yang
rendah, jika real self jauh dari ideal self.
3. Self esteem dianggap sebagai respon psikologis seseorang terhadap dirinya
sendiri, lebih dari sekedar sikap.
24
4. Self esteem dipahami sebagai komponen dari kepribadian atau self system
seseorang.
3. Dimensi Self Esteem
Self esteem terbagi menjadi tiga dimensi utama (Heatherton & Wyland, 2003), yaitu:
a. Performance self esteem
Performance self esteem mengacu pada perasaan individu terhadap
kemampuan diri secara umum dan termasuk juga kemampuan intelektual,
performa di sekolah, kapasitas regulasi diri, kepercayaan diri, keyakinan, dan
agency (perantara). Individu yang memiliki performance self esteem yang tinggi
percaya bahwa dirinya pintar dan kompeten.
b. Social self esteem
Social self esteem mengacu pada bagaimana seseorang meyakini dirinya
diterima oleh orang lain. Hal ini merupakan persepsi dari kenyataan yang
sesungguhnya. Seseorang yang percaya bahwa orang lain, terutama significant
others, menganggap dirinya bernilai dan menghormatinya, maka individu tersebut
akan memiliki self esteem yang tinggi. Hal ini dapat tetap berlangsung bahkan
ketika orang lain sesungguhnya sedang merendahkannya. Individu yang memiliki
self esteem yang rendah akan sering mengalami kecemasan sosial ketika berada di
area publik. Individu yang memiliki self esteem yang rendah akan sangat
memerhatikan penampilan dan sangat mencemaskan bagaimana pandangan orang
lain terhadap dirinya.
25
c. Physical self esteem
Physical self esteem mengacu pada bagaimana individu melihat keadaan
fisiknya, termasuk kemampuan fisik, seberapa menarik dirinya, body image,
gambaran fisik dan perasaan terhadap ras dan etnisnya.
Felker (dalam Retno, 2006) mengutarakan tentang beberapa aspek dari self esteem,
yaitu:
a. Perasaan diterima (Felling of Belonging) artinya perasaan individu bahwa
dirinya merupakan bagian dari suatu kelompok dan dirinya diterima seperti
dihargai oleh anggota kelompoknya. Kelompok ini dapat berupa kelompok
teman sebaya atau kelompok lainnya. Individu akan memiliki penilain yang
positif tentang dirinya apabila individu tersebut diterima dan menjadi bagian dari
kelompok tersebut. Namun individu akan memiliki penilaian yang negatif
terhadap dirinya apabila individu tersebut tidak diterima dalam kelompoknya.
b. Perasan mampu (Felling of Competence) artinya perasaan dan keyakinan
individu akan kemampuan yang ada pada dirinya sendiri dalam mencapai suatu
hasil yang diharapkan.
c. Perasaan berharga (Felling of Worth) yaitu perasaan dimana individu merasa
dirinya berharga atau tidak. Perasaan yang dimiliki individu yang seringkali
ditampilkna berasal dari pernyataan-pernyataan tentang dirinya seperti baik,
pintar, bodoh dan lain sebagainya.
Aspek self esteem yang digunakan dalam penelitian ini adalah aspek yang
diungkapkan oleh Heatherton (2003), yaitu : a) Performance self esteem, b) Social self
esteem, c) Physical self esteem.
26
4. Faktor-faktor yang Memengaruhi Self Esteem
Menurut Coopersmith (1967), terdapat beberapa faktor utama yang
memengaruhi self esteem pada masing-masing individu, yaitu:
a. Banyaknya jumlah penghargaan, penerimaan, dan perhatian yang diterima
seseorang dari significant others dalam kehidupannya.
b. Pengalaman kesuksesan dan status atau posisi yang memberi arti bagi seseorang.
Kesuksesan yang diperoleh umumnya dapat membawa individu mengenali
status di lingkungannya. Ukuran pengalaman kesuksesan memiliki makna yang
berbeda bagi setiap individu.
c. Nilai dan aspirasi
Individu mempertimbangkan pengalaman kesuksesan dan kegagalan
berdasarkan nilai yang disertakan. Individu yang mengalami kegagalan dalam
bidang yang dianggap tidak terlalu penting bagi dirinya, maka kegagalan
tersebut tidak terlalu berpengaruh terhadap self esteem individu, sebaliknya jika
individu mendapatkan kesuksesan dalam bidang yang dianggapnya penting
maka individu, akan menganggap kesuksesan dalam bidang lainnya tidak
terlalu penting.
Penilaian ini didasarkan pada kemampuan individu dalam bidang
tersebut atau adanya kepentingan pribadi. Penilaian diri mengandung
perbandingan antara penampilan nyata dan kapasitas dengan standar dan
aspirasi diri. Apabila standar telah dicapai, khususnya pada bidang yang
dianggap penting maka individu akan membuat kesimpulan bahwa dirinya
berharga. Sebaliknya, apabila yang diperoleh berada di bawah standar maka
individu akan merasa kecewa.
27
d. Kemampuan bertahan
Bertahan merupakan kemampuan individu untuk menghadapi kegagalan
dan ketidakpastian yang dialaminya. Cara ini dilakukan untuk tujuan
mengurangi kecemasan, yang menyebabkan munculnya perasaan tidak
berdaya, tidak mampu melakukan sesuatu, dan kurang mampu menerima
kenyataan.
Terdapat faktor lain yang mepengaruhi self esteem yaitu menurut penelitian yang
dilakukan Gufron & Risnawita (2010), faktor-faktor yang memengaruhi self esteem
dapat dibedakan menjadi dua yaitu internal dan eksternal. Faktor internal yang
memengaruhi antara lain jenis kelamin, intelegensi, kondisi fisik sedangkan faktor
eksternal antara lain lingkungan keluarga, sosial dan sekolah. Adapun penjelasan dari
masing-masing faktor, sebagai berikut :
a. Faktor Jenis Kelamin
Berdasarkan faktor jenis kelamin, disebutkan bahwa wanita selalu merasa self
esteemnya lebih rendah daripada pria seperti perasaan kurang mampu,
kepercayaan diri yang kurang. Hal ini mengkin terjadi karena peran orang tua
dan harapan-harapan masyarakat yang berbeda pada pria dan wanita.
b. Faktor Intelegensi
Individu dengan self esteem yang tinggi akan mencapai prestasi akademik yang
tinggi daripada individu dengan self esteem yang rendah. Individu self esteem
tinggi memiliki skor intelegensi yang lebih baik, taraf aspirasi yang lebih baik
dan selalu berusaha keras.
c. Faktor Kondisi Fisik
Individu dengan kondisi fisik yang menarik cenderung memiliki self esteem
yang lebih baik dibandingkan dengan kondisi fisik yang kurang menarik.
28
d. Faktor Lingkungan Keluarga
Peran keluarga juga sangat menentukan perkembangan self esteem anak.
Keluarga harus menemukan kondisi untuk mencapai perkembangan self esteem
yang baik. Perlakukan yang adil, pemberian kesempatan untuk aktif, mendidik
secara demokratis akan membuat anak memiliki self esteem yang tinggi.
Orangtua yang sering memberi hukuman dan larangan tanpa alasan
menyebabkan anak merasa tidak berharga.
e. Faktor Lingkungan Sosial
Self esteem merupakan hasil dari proses lingkungan, penghargaan, penerimaan
dan perlakukan orang lain kepadanya. Perubahan self esteem dapat dijelaskan
melalui konsep-konsep kesuksesan, nilai, aspirasi dan mekanisme pertahanan
diri. Kesuksesan tersebut dapat timbul melalui pengalaman dalam lingkungan
atau bidang tertentu, kompetisi dan nilai kebaikan.
5. Klasifikiasi Self Esteem
Menurut Murk (dalam Rahman, 2013) terdapat tiga klasifikasi dari self esteem, yaitu :
a. Self esteem dipandang sebagai suatu kompetensi (self esteem as competence)
Dalam hal ini, self esteem dihubungkan dengan kesuksesan, kemampuan dan
kompetensi. Self esteem akan sangat ditentukan oleh kemampuan dan kesuksesan
objektif yang dimiliki individu.
b. Self esteem dipandang sebagai perasaan berharga (self esteem as worthiniss)
c. Self esteem dipandang sebagai suatu kompetensi dan perasaan berharga
29
6. Karakteristik Individu Berdasarkan Tingkatan Self Esteem
Coopersmith (dalam Henggaryadi & Fakhrurrozi, 2008) membagi tingkatan self
esteem menjadi tiga, yaitu self esteem tinggi, menengah dan rendah. Adapun
karakteristik individu berdasarkan tingkatan self esteem tersebut yaitu :
a. Self Esteem Tinggi
Seseorang dengan self esteem tinggi akan memiliki ciri-ciri penuh percaya diri,
mandiri, aktif dalam kegiatan fisik dan sosial, ambisius tetapi realistis terhadap
kemampuannya, ekspresif, kreatif dan memilii skor tinggi dalam intelegensi.
b. Self Esteem Menengah atau Sedang
Seseorang dengan self esteem menengah menilai lebih baik dari seseorang
dengan self esteem rendah namun kurang baik dibandingkan seseorang dengan
self esteem tinggi. Pada dasarnya penilaian mereka cenderung seperti kelompok
dengan taraf self esteem tinggi yaitu memiliki rasa percaya diri, mandiri dan
aktif. Seseorang dengan self esteem sedang, tingkat kepercayaan diri,
kemandirian dan keaktifan lebih rendah dibandingkan self esteem tinggi dan
lebih tinggi dibandingkan dengan self esteem rendah.
c. Sef Esteem Rendah
Individu dengan self esteem rendah, memiliki ciri-ciri tidak percaya diri, tidak
menghargai diri sendiri, gampang putus asa, kurang berusaha dan adanya
kecenderungan berorientasi pada kegagalan.
30
C. Remaja Perempuan yang Mengikuti Ekstrakurikuler Tari Bali
1. Definisi
a. Remaja
Masa remaja merupakan periode transisi perkembangan yang terjadi antara
masa kanak-kanak dan masa dewasa, yang melibatkan perubahan-perubahan baik
secara biologis, kognitif dan sosioemosional (Santrock, 2007).
Banyak para ahli memiliki rentang usia yang berbeda mengenai remaja.
Papalia, Olds dan Feldman (2009) menyebutkan remaja berada antara usia 10 atau
11 tahun sampai awal usia 20 tahun, Santrock (2007) menyatakan remaja berada
antara usia 10-12 tahun dan 18-22 tahun sedangkan Hall (dalam Santock, 2007)
menyatakan remaja berada pada rentang usia 12-23 tahun. Berbeda halnya dengan
Menurut WHO (dalam Sarwono, 2013) membedakan masa remaja antara remaja
wanita dan pria. Remaja wanita didasarkan pada usia kesuburan (fertilisasi)
sedangkan batasan untuk remaja pria dibagi menjadi 2 bagian yaitu remaja awal
yang berusia 10-14 tahun dan remaja akhir yang berusia 15-20 tahun (Sarwono,
2013). Di Indonesia, remaja sering disebut sebagai pemuda yang memiliki usia
15-21 tahun (Sarwono, 2013).
Berdasarkan pemaparan di atas, peneliti menyimpulkan definisi remaja
adalah periode transisi perkembangan yang terjadi antara masa kanak-kanak dan
masa dewasa, yang melibatkan perubahan-perubahan baik secara biologis,
kognitif dan sosioemosional yang berada pada rentang usia 10 - 23 tahun.
b. Ekstakurikuler
Ektrakurikuler adalah kegiatan pendidikan di luar mata pelajaran dan
pelayanan konseling untuk membantu pengembangan peserta didik sesuai dengan
kebutuhan, potensi, bakat dan minat melalui kegiatan yang secara khusus
31
diselenggarakan oleh pendidik dan atau tenaga pendidik yang memiliki
kemampuan dan wewenang di sekolah (Prihatin, 2011). Ekstrakurikuler
dimaksudkan untuk mengembangkan salah satu bidang pelajaran yang diminati
oleh sekelompk siswa yang diselenggarakan di sekolah di luar pelajaran biasa
(Suryosubroto, 2009). Menurut Suharsimi (dalam Suryobroto, 2009)
ektrakurikuler adalah kegiatan tambahan, di luar struktur program yang pada
umumnya merupakan kegiatan pilihan. Menurut Direktorat Pendidikan Menengah
Kejuruan (dalam Suryobroto, 2009) ektrakurikuler adalah kegiatan yang
dilakukan di luar jam pelajaran tatap muka, dilaksanakan di sekolah atau di luar
sekolah agar lebih memperkaya dan memperluas wawasan pengetahuan dan
kemampuan yang telah dipelajari dari berbagai mata pelajaran dalam kurikulum.
Berdasarkan pemaparan beberapa ahli sehingga peneliti menyimpukan
ektrakurikuler adalah kegiatan pendidikan di luar mata pelajaran atau kegiatan
tambahan yang dilaksanakan di sekolah atau di luar sekolah untuk membantu
pengembangan peserta didik sesuai dengan kebutuhan, potensi, bakat dan minat
melalui kegiatan yang secara khusus diselenggarakan oleh pendidik dan atau
tenaga kependidikan yang berkemampuan dan berkewenangan di sekolah.
c. Tari Bali
Tari adalah gerakan-gerakan luar yang ritmik dan lama kelamaan mengarah
kepada bentuk tertentu (Chattopadhyaya dalam Rusliana, 1986). Menurut
Soedarsono (dalam Rusliana, 1986) tari juga dapat didefinisikan sebagai ekspresi
jiwa manusia melalui gerak-gerak ritmis yang indah.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa tari Bali adalah ekspresi jiwa manusia
melalui gerak ritmis dan mengarah pada bentuk tertentu yang berasal dari Bali.
32
c. Remaja perempuan yang mengikuti ektrakulikuler tari Bali
Remaja adalah periode transisi perkembangan yang terjadi antara masa
kanak-kanak dan masa dewasa, yang melibatkan perubahan-perubahan baik
secara biologis, kognitif dan sosioemosional yang berada pada rentang usia 10 -
22 tahun. Ektrakurikuler tari Bali adalah kegiatan pendidikan di luar mata
pelajaran atau kegiatan tambahan yang dilaksanakan di sekolah atau di luar
sekolah untuk membantu pengembangan peserta didik sesuai dengan kebutuhan,
potensi, bakat dan minat melalui kegiatan yang secara khusus diselenggarakan
oleh pendidik dan atau tenaga kependidikan yang berkemampuan dan
berkewenangan di sekolah.
Berdasarkan pemaparan di atas, maka dapat disimpulkan remaja perempuan
yang mengikuti ektrakurikuler tari Bali adalah individu yang berjenis kelamin
perempuan dengan periode transisi perkembangan yang terjadi antara masa
kanak-kanak dan masa dewasa, yang melibatkan perubahan-perubahan baik
secara biologis, kognitif dan sosioemosional yang berada pada rentang usia 10 -
22 tahun yang mengikuti kegiatan dengan menunjukkan ekspresi jiwa manusia
melalui gerak ritmis dan mengarah pada bentuk tertentu yang berasal dari Bali
yang dilaksanakan di sekolah atau di luar sekolah untuk membantu
pengembangan peserta didik sesuai dengan kebutuhan, potensi, bakat dan minat
melalui kegiatan yang secara khusus diselenggarakan oleh pendidik dan atau
tenaga pendidik yang memiliki kemampuan dan wewenang di sekolah.
D. Perkembangan Pemahaman Diri dan Self Esteem pada Remaja
Remaja memiliki penghayatan mengenai siapakah mereka dan apa yang
membedakan dirinya dari orang lain. Dimasa remaja seorang individu menjadi lebih
33
introspektif dan pemahaman dirinya tidak sepenuhnya bersifat internal namun
merupakan sebuah konstruksi sosial kognitif (Santrock, 2007).
Pada masa remaja, individu membentuk pemahaman diri dan self esteem.
Pemahaman diri adalah representatif kognitif remaja mengenai diri, substansi dan isi
dari konsep diri remaja. Pemahaman diri seorang remaja didasarkan pada berbagai
peran dan jenis keanggotaan yang mereka ikuti, sehingga inilah yang berperan dalam
mendefinisikan dirinya (Harter dalam Santrock, 2007).
Self esteem mencerminkan persepsi yang tidak selalu sesuai dengan realitas
(Baumster dalam Santrock, 2007). Self esteem seringkali mengalami transisi dari
sekolah dasar menuju sekolah menengah (Hawkons & Berndt dalam Santrock, 2007).
Self esteem cenderung menurun dimasa remaja, meningkat diusia 20-an, mendatar
diusia 30-an dan meningkat di usia 50-an dan 60-an, kemudian menurun di usia 70-an
dan 80-an. Sebagian besar usia, umumnya laki-laki memperlihatkan harga diri yang
lebih tinggi dibandingkan perempuan (Santrock, 2007). Menurunya self esteem
perempuan di masa remaja awal adalah karena memiliki citra tubuh yang lebih negatif
selama mengalami masa pubertas, dibandingkan dengan laki-laki (Harter dalam
Santrock, 2007). Selain itu menurunnya self esteem juga disebabkan oleh kegagalan
masyarakat untuk menghargai minat remaja dalam relasi sosial (Santrock, 2007).
Remaja perempuan memiliki self esteem yang lebih rendah dibandingkan laki-
laki. Sebuah studi berskala besar meminta lebih dari 300.000 individu untuk menilai
sejauh mana tingkat self esteem mereka dalam skala 5. Dalam studi tersebut angka 5
berarti “Sangat sesuai” dan 1 berarti “Tidak sesuai”. Hasil studi tersebut menunjuukan
bahwa self esteem cenderung menurun dimasa remaja dan masa dewasa. Apabila
dibedakan berdasarkan gender, self esteem perempuan lebih rendah dibandingkan self
esteem laki-laki dihampir sepanjang masa hidup (Santrock, 2007).
34
Self esteem laki-laki berhubungan dengan usaha untuk meraih pencapaian
individual sedangkan self esteem perempuan lebih bergantung pada hubungan dengan
orang lain (Thorne & Michaeliu, dalam Papalia, Olds & Feldman, 2009). Analisis
terhadap ratusan penelitian yang melibatkan hampir 150.000 responden
menyimpulkan bahwa walaupun anak laki-laki memiiki self esteem yang lebih tinggi
dibandingkan perempuan, terutama akhir masa remaja namun perbedaannya kecil.
Kebalikan dari penelusuran terdahulu baik laki-laki dan perempuan mencapai self
esteem yang lebih baik seiring bertambahnya usia. (Kling, Hyde, Showers dan Buswell
dalam Papalia, Olds & Feldman, 2009).
E. Hubungan Antar Variabel
Stigma adalah suatu fenomena atau kejadian yang dapat memengaruhi diri individu
secara keseluruhan. Link dan Phelan (dalam Teresa, 2010) menjelaskan bahwa stigma
adalah pikiran dan kepercayaan yang salah. Menurut Crocker, dkk. (dalam Major &
O’Brien, 2005) stigma terjadi karena individu memiliki beberapa atribut dan karakter dari
identitas sosialnya. Stigma terjadi sebagai suatu proses yang berkelanjutan yaitu individu
diberikan label (labeling) atas perbedaan yang dimiliki dengan individu lain oleh
masyarakat. Labeling adalah pembedaan dan penamaan berdasarkan perbedaan-perbedaan
yang dimiliki individu atau kelompok tertentu dalam masyarakat (Link & Phelan dalam
Scheid & Brown, 2010). Pada saat labeling dilakukan maka akan muncul keyakinan dari
budaya yang dimiliki individu terhadap karakteristik individu atau kelomopok lain
sehingga menimbulkan stereotip. Stereotip adalah komponen kognitif dari individu yang
merupakan keyakinan tentang atribut personal atau karakteristik yang dimiliki oleh
individu dalam suatu kelompok tertentu atau kategori sosial tertentu. Individu yang telah
diberikan label ditempatkan pada kategori yang berbeda sehingga terjadi separation
35
(pemisahan) antara yang memberikan label dengan individu yang diberikan label.
Separation adalah pemisahan antara pihak yang tidak memiliki stigma atau dalam hal ini
pihak yang memberikan stigma dengan kelompok atau pihak yang mendapatkan stigma
(Link & Phelan dalam Scheid & Brown, 2010). Akhirnya individu yang telah diberikan
label mengalami diskriminasi. Diskriminasi adalah komponen behavioral yang
merendahkan individu karena individu tersebut adalah anggota kelompok tertentu.
Stigma terdiri dari empat komponen, jika seluruh komponen stigma ditujukan
kepada individu atau kelompok maka individu atau kelompok tersebut akan merasa tidak
nyaman dengan proses interaksi sosial yang dilakukan sehingga hal tersebut berdampak
membatasi jaringan sosial individu dengan orang lain, menyebabkan simptom depresi,
pengangguran, berkurangnya pendapatan dan juga membuat rendahnya self esteem (Link
& Phelan dalam Scheid & Brown, 2010).
Self esteem merupakan evaluasi atau penilaian yang dilakukan oleh individu
terhadap dirinya yang berkisar dari rendah, sedang dan tinggi tentang keterampilan,
kemampuan, hubungan sosial dan masa depan sehingga apabila individu memiliki self
esteem yang tinggi maka individu akan merasa puas, bangga dengan hasil karya dan selalu
percaya diri dalam menghadapi tantangan sedangkan individu yang memiliki self esteem
rendah maka individu cenderung tidak percaya diri dalam melakukan tugas dan tidak
memiliki keyakinan terhadap ide-ide yang dimilikinya.
Self esteem terbagi menjadi tiga dimensi yaitu performance self esteem, social self
esteem dan phisical self esteem (Heatherton & Wyland, 2003) Performance self esteem
adalah perasaan individu terhadap kemampuan dirinya secara umum dan termasuk juga
kemampuan intelektual, performa di sekolah, kapasitas regulasi diri, kepercayaan diri,
keyakinan dan agency (perantara). Social self esteem mengacu pada bagaimana seseorang
meyakini dirinya diterima oleh orang lain. Physical self esteem mengacu pada bagaimana
36
individu melihat keadaan fisiknya termasuk kemampuan fisik, seberapa menarik dirinya,
body image, gambaran fisik dan perasaan terhadap ras dan etnisnya.
Secara psikososial, menurut Erikson (dalam Papalia, Olds & Feldman, 2009)
remaja menghadapi krisis dari identitas (identity) versus kekacauan identitas (identity
confusion) sehingga remaja harus mengembangkan self esteem yang merupakan kebutuhan
psikologis yang memiliki peran penting bagi kehidupannya.
Self esteem sangat dibutuhkan oleh remaja karena self esteem memainkan peran
penting dalam memprediksi penyesuaian terhadap masa depan sehingga disaat individu
mengalami hal-hal baik dalam hidupnya, maka dapat dikatakan bahwa self esteemnya
tinggi. Individu yang memiliki self esteem tinggi cenderung memiliki pencapaian
akademik yang tinggi artinya bahwa individu yang telah memiliki pencapaian akademik
yang tinggi pasti memiliki self esteem yang tinggi (Liu, Kaplan & Risser dalam Rice &
Dolgin, 2002).
Self esteem dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu banyaknya jumlah penghargaan,
penerimaan, dan perhatian yang diterima seseorang, pengalaman kesuksesan dan status
atau posisi yang memberi arti bagi seseorang, nilai dan aspirasi serta kemampuan individu
untuk menghadapi kegagalan dan ketidakpastian yang dialaminya. Hal tersebut didukung
dengan penelitian yang dilakukan oleh Corringan & Watson (dalam Major & O'Brien,
2005) yang menyatakan bahwa individu yang mendapatkan stigma akan waspada terhadap
lingkungan sekitar sehingga dampaknya adalah respon yang diberikan lingkungan menjadi
terinternalisasi dan menyebabkan individu memiliki self esteem yang rendah. Remaja yang
menerima stigma, akan mengalami pengurangan jumlah penghargaan, penerimaan dan
perhatian serta akan mengalami kehilangan status atau posisi dan mengalami
ketidakpastian sehingga dampaknya pada self esteem individu tersebut.
37
Lingkungan sekitar remaja memiliki peranan yang penting dalam pembentukan self
esteem pada remaja. Stigma yang didapatkan dari lingkungan sekitar dapat menurunkan
self esteem. Stigma terjadi karena masyarakat gagal untuk menghargai minat remaja.
Menurut Santrock (2007) menurunnya self esteem juga disebabkan oleh kegagalan
masyarakat untuk menghargai minat remaja dalam relasi sosial.
Berdasarkan pemaparan sebelumnya, maka peneliti menyatakan ada pengaruh
stigma terhadap self esteem pada remaja perempuan yang mengikuti ekstrakurikuler Tari
Bali.
38
Gambar 1. Pengaruh Stigma terhadap Self Esteem
Keterangan:
: garis pengaruh yang diteliti
: faktor yang memengaruhi
: komponen dari variabel bebas (stigma)
: dimensi dari variabel tergantung (self esteem)
: kategori tingkatan variabel tergantung (self esteem)
: variabel yang diteliti
: variabel yang tidak diteliti
Self Esteem Stigma
Tingkatan Self
Esteem :
Tinggi
Sedang
Rendah
Bentuk Stigma:
Labeling
Stereotip
Separation
Diskriminasi
Jumlah penghargaan, penerimaan dan perhatian
Pengalaman kesuksesan dan status
Nilai dan aspirasi
Kemampuan individu menghadapi kegagalan ketidakpastian
Social Self
Esteem
Performance Self
Esteem
Physical Self
Esteem
39
F. Hipotesis Penelitian
Adapun hipotesis dari penelitian ini adalah:
1. Hipotesis alternatif (Ha) :
Ada pengaruh antara stigma dengan self esteem pada remaja yang mengikuti
ekstrakurikuler Tari Bali di SMA Negeri 2 Denpasar.
2. Hipotesis Minor
a. Ada pengaruh antara stigma positif dengan self esteem pada remaja yang
mengikuti ekstrakurikuler Tari Bali di SMA Negeri 2 Denpasar.
b. Ada pengaruh antara stigma negatif dengan self esteem pada remaja yang
mengikuti ekstrakurikuler Tari Bali di SMA Negeri 2 Denpasar.
3. Hipotesis nol (Ho) :
Tidak ada pengaruh antara stigma dengan self esteem pada remaja yang mengikuti
ekstrakurikuler Tari Bali di SMA Negeri 2 Denpasar.