seminar dm stigma

22
SEMINAR DOKTER MUDA STIGMA Oleh: Samiyah 010810495 Erich Ferdiansyah L. 010810496 Alfin Firasy M. 010810497 Felicitas Farica S. 010810498 Fahmy Indra 010710273 Adhyanti 010810042 Pembimbing: Azimatul Karimah, dr., SpKJ 1

Upload: danar-pembayun

Post on 23-Jun-2015

25 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

d

TRANSCRIPT

Page 1: Seminar DM Stigma

SEMINAR DOKTER MUDA

STIGMA

Oleh:

Samiyah 010810495

Erich Ferdiansyah L. 010810496

Alfin Firasy M. 010810497

Felicitas Farica S. 010810498

Fahmy Indra 010710273

Adhyanti 010810042

Pembimbing:

Azimatul Karimah, dr., SpKJ

DEPARTEMEN ILMU KEDOKTERAN JIWA

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ARILANGGA

RUMAH SAKIT UMUM Dr. SOETOMO

SURABAYA

2013

1

Page 2: Seminar DM Stigma

DAFTAR ISI

JUDUL…………………………………………………………………….. 1

DAFTAR ISI………………………………………………………………. 2

BAB 1 PENDAHULUAN………………………………………………… 3

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA…………………………………………… 5

2.1 Definisi ………………………………………………………….. 5

2.2 Sejarah…………………………………………………………… 6

2.3 Proses Stigmatisasi………………………………………………. 7

2.4 Akibat Stigma…………………………………………………… 9

2.5 Penanggulangan Stigma…………………………………………. 10

BAB 3 KESIMPULAN……………………………………………………. 12

DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………… 15

2

Page 3: Seminar DM Stigma

BAB 1

PENDAHULUAN

Stigma merupakan penghalang utama untuk mencegah orang dalam

mencari bantuan. Banyak orang yang hidup dengan gangguan jiwa mengatakan

stigma yang mereka hadapi seringkali lebih buruk daripada gangguan jiwa yang

diamalmi itu sendiri. Panyakit gangguan jiwa sangat mempengaruhi presepsi

orang-orang dari segala usia dan dari semua lapisan masyarakat. Hal ini dapat

terjadi dalam berbagai bentuk gangguan jiwa termasuk depresi, kecemasan, dan

schizophrenia.

Kata stigma awalnya merupakan sebutan untuk budak-budak Yunani, yang

jelas membedakan mereka dengan majikannya. Meskipun tanda salib yang ada

pada tangan dan kaki orang suci Kristen disebut stigmata, umumnya kata tersebut

mengindikasikan aib atau kecacatan.

Meskipun terdapat kesepakatan mengenai apa itu ‘stigma’ (cap tentang aib

atau cela yang membedakan satu orang dengan orang lain), definisi berbeda dalam

luasnya dari pengalaman yang mereka jelaskan. Stigmatisasi adalah proses

dimana satu kondisi atau aspek dari seseorang dihubungkan secara luas dengan

indentitas orang tersebut (Mansoury & Dowell, 1989). Stigma adalah negatif efek

dari label (Hayward & Bright, 1997), atau proses dari pembentukan pribadi

menyimpang (Schlosberg 1993). Bagi Corrigan & Penn (1999), stigma adalah

istilah lain untuk prasangka yang berdasarkan stereotipe negatif. Kesimpulan yang

jelas adalah aspek ‘negatif’ mencerminkan tidak hanya stereotipe yang tidak

menguntungkan tapi juga sikap negatif dan perilaku buruk dari pemberi stigma.

Laporan pengalaman dari pasien dan keluarga dengan gangguan jiwa

terhadap stigma dan diskriminasi sangat banyak. Mood Disorders Society of

Canada’s (MDSC) Oktober 2006 mengadakan workshop riset tentang stigma yang

didukung oleh Institute of Neurosciences, Mental Health and Addiction

(INMHA), Badan Kesehatan Masyarakat Kanada )fokus pada mengidentifikasi

prioritas penelitian atas stigma. Hampir 100 peserta yang mewakili konsumen,

pasien, keluarga, pengasuh, peneliti, profesional dan pembuat kebijakan,

diidentifikasi stigma dan diskriminasi seperti yang diungkapkan oleh kesehatan

3

Page 4: Seminar DM Stigma

dan kesehatan mental profesional sebagai prioritas nomor satu mereka. Apabila

keadaan tersebut tidak tertangani dengan baik maka akan menjadi masalah -

masalah yang tidak diinginkan. Oleh karena itu, kita harus dapat menangani dan

menyelesaikan masalah ini. Maka kami di dalam makalah ini akan membahas

tentang Stigma.

4

Page 5: Seminar DM Stigma

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Kata stigma awalnya merupakan sebutan untuk budak-budak Yunani, yang

jelas membedakan mereka dengan majikannya. Meskipun tanda salib yang ada

pada tangan dan kaki orang suci Kristen disebut stigmata, umumnya kata tersebut

mengindikasikan aib atau kecacatan.

Meskipun terdapat kesepakatan mengenai apa itu ‘stigma’ (cap tentang aib

atau cela yang membedakan satu orang dengan orang lain), definisi berbeda dalam

luasnya dari pengalaman yang mereka jelaskan. Stigmatisasi adalah proses

dimana satu kondisi atau aspek dari seseorang dihubungkan secara luas dengan

indentitas orang tersebut (Mansoury & Dowell, 1989). Stigma adalah negatif efek

dari label (Hayward & Bright, 1997), atau proses dari pembentukan pribadi

menyimpang (Schlosberg 1993). Bagi Corrigan & Penn (1999), stigma adalah

istilah lain untuk prasangka yang berdasarkan stereotipe negatif. Kesimpulan yang

jelas adalah aspek ‘negatif’ mencerminkan tidak hanya stereotipe yang tidak

menguntungkan tapi juga sikap negatif dan perilaku buruk dari pemberi stigma.

Pada bukunya yang terbit tahun 1963, Goffman mendefinisikan stigma

sebagai ‘Sifat yang sangat meragukan’. Menurutnya, stigmatisasi adalah proses

interaktif sosial, namun beberapa orang yang menginterpretasi karyanya

mengindikasikan bahwa kesalahan teeletak pada orang yang menjadi sasaran

stigma. Beberapa penulis baru menggunakan istilah stigma dalam pengertian yang

lebih luas, contohnya, untuk mengacu pada reaksi dari orang lain, atau untuk

mengikut sertakan sikap dan kelakuan dari korban dan pelaku.

Demi komunikasi yang tepat sangatlah penting bagi para peneliti untuk

mendefinisikan mana konsep stigma yang mereka gunakan. Berdasarkan

Scrambler, dikembangkan dalam karya tentang epilepsy – adalah felt stigma dan

enacted stigma. Felt stigma (stigma internal atau stigmatisasi diri) merujuk pada

perasaan malu dan ekspektsi dari diskriminasi yang mencegah untuk

membicarakan pengalaman mereka dan menghentikan mereka dari mencari

5

Page 6: Seminar DM Stigma

pertolongan. Enacted stigma (stigma eksternal, diskriminasi) merujuk pada

pengalaman terhadap perlakuan yang tidak adil dari orang lain. Felt stigma dapat

sama merusak dengan enacted stigma karena sama-sama mengarah pada

penarikan diri dan restriksi dari dukungan sosial.

2.2 Sejarah

Kata pertama dan terakhir tentang stigma dimiliki oleh orang dengan

gangguan jiwa. Shaw (1998) mengutip tentang reaksi bukunya yang bercerita

tentang deperesi post-natalnya: “Bagaimana kita bisa mempercayai kredibilitas

orang ini ketika ia sendiri menyatakan bahwa dirinya menderita dari depresi berat

pada saat itu”. Untungnya, hanya sebagian kecil dari para psikiater yang

mengabaikan narasi tersebut. Karya Goffman (1963) menceritakan tentang

pengalaman orang-orang yang dicap dengan berbagai stigmata. Proyek Barham &

Hayward (1995) menceritakan tentang penderita skizofrenia yang tinggal di

komunitas, yang mengingatkan tentang karya Goffman dengan peghuni rumah

sakit jiwa. Read & Reynold (1996) serta Sayce (2000) memberi informasi lebih

banyak mengenai apa arti menjadi seseorang yang menderita gangguan jiwa.

Realitas mengenai karir psikiater US memainkan peranan besar dalam karya Fink

& tasma (1992) dan Wahl (1999). Tema utama dari keenam buku tersebut adalah

eksklusi sosial, kesulitan finansial, dan diskriminasi. Laporan terbaru, berdasarkan

respon dari 556 pengguna di UK menunjukkan bahwa 70% pernah mengalami

diskriminasi dalam berbagai bentuk: 47% di tempat kerja, 44% dari dokter umum,

dan 32% dari tenaga kesehatan lainnya (Mental Health Foundation, 2000).

Dalam hal sudut pandang sejarah, buku yang paling sering dibaca adalah

Porter (1991). Buku tersebut merupakan rekaman berharga tentang sikap dan

pengobatan pada masa itu. Penuh dengan pengalaman personal yang menarik,

yang dimulai degan kutipan terkenal dari Nathaniel Lee: “Mereka menyebutku

gila, dan aku menyebut mereka gila, dan terkutuklah mereka, mereka lebih banyak

dari pada aku”. Stigma dari masa ke masa dan dalam berbagai kebudayaan juga di

deskripsikan dalam bab 2 dari buku Fink & Tasman (1992). Karya yang paling

komprehensif dan terstruktur dalam area ini adalah dari Fabrega (1990, 1991),

artikel tersebut, yang secara ekstensif direferensikan, memberikan wawasan

6

Page 7: Seminar DM Stigma

berharga mengenai berbagai pengaruh budaya, agama, etnik, dan sejarah pada

stigmatisasi. Masyarakat barat selalu mensosiasikan moralitas dan kebajikan

dengan kesehatan dan nalar/logika, dan masyarakat Kristen awal selalu

menghubungkan ‘gila’ dengan gambaran iblis, kejahatan, pengacau, dan pendosa

(Schlosberg, 1993). Pengetahuan mengenai asosiasi tersebut adalah hal yang

penting untuk mengerti tentang asal dari stigma psikiatrik.

Sudut pandang sejarah adalah hal yang penting, namun akanlah sangat

konyol apabila menganggap stigma hanya sebagai masalah historical, atau

menganggap stigma, seperti kemiskinan, selalu dekat dengan kita.

Kendati pendekatan ilmiah dan peningkatan dari model kesehatan, stigma belum

dapat disingkirkan (Read & Law 1999). Angermerver (1987) membandingkan

persepsi tentang stigma pada pasien rawat inap dalam rumah sakit yang terisolasi

dan pasien rawat inap di rumah sakit universitas besar, dimana mereka sering

bertemu orang-orang dengan berbagai kondisi kesehatan. Berlawanan dengan

prediksi dari para staf dan peneliti, grup yang berada di rumah sakit universitas

yang besar memilki stigma yang lebih besar, mereka lebih memilik untuk menjadi

pasien rumah sakit yang rahasia dan terisolasi.

2.3 Proses Stigmatisasi

Beberapa komentator mengadopsi posisi ekstrim dimana tidak ada stigma

yang melekat sama sekali pada penderita gangguan jiwa. Penggagas pandangan

ini mengatakan bahwa rasa diskriminasi terhadap mantan penderita adalah tidak

nyata dan merupakan tanda dari kesalahan interpretasi akibat dari psikopatologi

yang berlangsung. Scheff, penulis pada akhir 1960, mengenalkan tentang teori

labeling. Scheff menulis bahwa label ‘skizofrenia’ mengaktifkan stereotipe dari

gangguan jiwa yang telah dipelajari sejak kecil (dari teman, keluargam dan media)

dan kita merespon dengan sesuai baik sebagai pasien, anggota keluarga, maupun

professional. Label tersebut mempengaruhi bagaimana kita merespon dan

memperlakukan pasien serta bagaimana pasien tersebut merasa dan bersikap.

7

Page 8: Seminar DM Stigma

Terdapat beberapa bukti bahwa label diagnostik dapat mempengaruhi

sikap orang, siswa menunjukan sikap yang sama kecuali kepada orang yang

dideskripsikan sebagai penderita kanker atau skizofrenia. Orang dengan

skizofrenia di gambarkan sebagai orang yang tidak diinginkan menjadi teman dan

tidak bisa berfungsi dalam masyarakat. Mengubah label dapay mengubah persepsi

ekspekatsi terhadap sesuatu.

Orang sering berfikir: ‘Label itu jelek, tidak ada label yang baik’, jadi

singkirkan label dan tidak akan adla lagi stiga dan diskriminasi. Hal ini sangat

sederhana, kita tidak bisa menyingkirkan semua label dan terminology psikiatrik.

Sebuah kata dibutuhkan untuk komunikasi klinis dan perbandingan hasil

penelitian. Tentu saja kita memilki ekspetasi negatif yang kuat terhadap kondisi

seperti skizofrenia, namun labeling bukan merupakan segalanya. Menilik reaksi

masyarakat terhadap seseorang yang berjalan dengan stereotip ‘pasien psikiatri

kronis’, meskipun masyarakat tidak tahu mengenai label spesifik orang tersebut,

orang tersebut akan di jauhi dan ditolak secara sosial. Tidak semua dari kita

memilki stereotipe sama tentang gangguan jiwa, dan tidak semua memilki

pandangan negatif. Maka dari itu, kita harus mempertimbangkan apa arti dari

setiap label pada setiap orang.

Sudut pandang lain akan berargumen bahwa label adalah irelevan;

penolakan masyarakat pada orang dengan diagnosa gangguan jiwa adalah murni

berdasarkan dari kelakukan mereka. Mereka dengan gangguan jiwa kronik

mungkin memiliki tanda fisik dari penyakit mereka, seperti kebersihan diri yang

jelek, penampilan yang berantakan, dan pergerakan wajah yang abnormal, yang

akan mengurangi penerimaan sosial mereka. Namun, bahkan dengan tidak adanya

kelakuan abnormal, persepsi seseorang dapat berubah saat mereka percaya bahwa

seseorang menderita gangguan jiwa. Hal ini berefek pada penderita yang

mengetahu bahwa orang lain mengetahui tentang penyakit mereka.

Kebanyakan penelitian pada tahun 1970 yang focus pada debat label vs

kelakuan, namun ini adalah dikotomi yang salah. Bukan salah satu dari labeling

atau kelakuan yang mengakibatkan stigma, namun campuran dari keduanya.

Mereka dengan gangguan jiwa didiskriminasi dan menderita sebagai akibatnya.

8

Page 9: Seminar DM Stigma

2.4 Akibat Stigma

Masyarakat UK telah lama berlaih dari rumah sakit jiwa gaya Victoria.

Pengobatan efektif saat ini mengizinkan kesembuhan dan integrasi dari pasien

gangguan jiwa dengan masyarakat. Namun, stigma dari gangguan jiwa masih

mempengaruhi kesempatan untuk penderita mendapatkan pekerjaan atau rumah

atau pernikahan. Diskriminasi mengubah bagaimana pasien melihat diri mereka,

nilai diri dan tempat mereka di masa depan.

Efek psikologis segera dari diagnosa psikiatrik adalah ketidakpercayaan,

malu, terror, kesedihan dan kemarahan. Penolakan sosial menyebabkan penurunan

dari kepercayaan diri, yang menjurus pada penarikan diri. Penderita mungkin

menerima rendahnya ekspektasi masyarakat terhadap mereka dan menyerah untuk

berusaha. Tidak adanya harapan dan kurang prospek adalah faktor yang erberan

dalam tingginya angka bunuh diri pada orang dengan gangguan jiwa.

Label gangguan jiwa membuat semakin sulit mencari kerja. Skizofrenia

mengakibatkan UK kehilangan £1,7 miliar pertahun. Ketika orang dengan

gangguan jiwa berat diberi dorongan dan disuport untuk mencari kerja, maka

angka rawat inap akan turun dan secara garis besar akan meningkatkan kesehatan

mental mereka.

Beberapa dari mereka yang merespon pada MIND’s 1996 survei, merasa

bahwa mereka pernah didiskriminasikan oleh petugas medis, kebanyakan

disebabkan oleh gangguan jiwa yang menutupi penyakit fisik. Penderita, seperti

yang dilaporkan pada survei besar dari Yayasan Kesehatan Mental, menganggap

bahwa dokter umum mereka tidak sensitive, acuh, dan sangat bergantung pada

obat untuk treatmen. Mungkin karena kurangnya pelayanan kesehatan

berkontribusi pada tingginya angka mortalitas pada penderita skizifrenia di UK.

Petugas medis menyembunyikan jiwa mereka atau anggota keluar.

Penyangkalan terhadap penyakit menunda pengobatan dan memiliki andil dalam

tingginya angka bunuh diri pada mahasiswa kedokteran dan dokter muda. Orang

yang memiliki gangguan jiwa sering dianggap bukan saksi yang kredibel dan

tuntutan kebanyakan dibatalkan karena mereka takut, apabila rahasia medisnya

terbongkar, mereka tidak akan dipercaya.

9

Page 10: Seminar DM Stigma

Keluarga penderita gangguan jiwa berat juga merasakan stigma yang

membuat separuh dari mereka untuk menyembunyikan admisi keluarga mereka

dengan gangguan jiwa berat dalam rumah sakit. Stigma yang dirasakan secara

langsung oleh mereka yang tinggal dengan penderita gangguan jiwa juga

dirasakan oleh petugas kesehatan dalam derajat tertentu. Kita tidak boleh lupa

bahwa dalam Nazi Jerman, beberapa tenaga kesehatan juga dibunuh bersama para

penderita gangguan jiwa. Petugas kesehatan jiwa juga kebanyakan tidak mendapat

uang yang layak, hal ini berpengaruh pada kesulitan rekrutmen dan retensi.

2.5 Penanggulangan Stigma

Keuntungan pada individu dan keluarga dalam menghadapi stigma

meliputi merubah efek negatif dari diskriminasi yang disebutkan diatas.

Kemungkinan penderita akan datang lebih awal dan lebih patuh dalam mengikuti

pengobatan apabila pelayanan medis tidak menstigma. Pelayanan yang dinilai

lebih tidak menstigma memiliki angka drop-out lebih rendah. Bukti anekdotal

menunjukan bahwa stigma dari gangguan jiwa akan memberi efek pada rekrutmen

dan retensi pada staff. Lingkungan kerja yang anti-stigma dapat menjadi

pengalamn positif bagi mereka yang terlibat. Masyarakat akan mendapat

keuntungan dari kohesi sosial yang lebih besar, dan secara finansial, dengan

merehabilitasi pasien untuk mendapatkan pekerjaan kembali. Diskriminasi

gangguan jiwa bercabang dari struktur masyarakat dan dari sikap dan perilaku

individual, kedua hal tersebut perlu dirubah dengan pembaharuan hokum, edukasi

publik, dan protes. Edukasi publik dan protes dapat berbasis internasional,

nasional, dan lokal. Proyek internasional termasuk diantaranya global program

dari Asosiasi Psikiatri Dunia untuk memerangi stigma dan diskriminasi yang

muncul dari skizofrenia. Program ini diawali di beberapa Negara dan memberikan

hasil awal yang menjanjikan. Hari Kesehatan Mental Sedunia dirayakan di lebih

dari seratus Negara setiap tahunnya, dengan banyak acara edukasi publik yang

berbeda. Pada tahun 1992 di Norwegia diselenggarakan kampanye mass-media

yang mengakibatkan perubahan dalam pengetahuan dan sikap yang berarti.

Mungkin hal ini membantu membuat reaksi positif pada Perdana Menteri

Norwegia ketika, pada 1998, dia mengambil cuti karena depresi.

10

Page 11: Seminar DM Stigma

Dalam pemerintahan Inggris dibuat kebijakan untuk mempromosikan

inklusi para penderita gangguan mental dalam berbagai area di masyarakat. The

Royal College of Psychiatrists (Inggris) saat ini sedang melakukan kampanye 5

tahun ‘Changing Minds, every family in the land’. Tujuannya adalah untuk

mereduksi stigma dari gangguan jiwa dengan aktivitas seperti road show, acara

local, dan trailer bioskop. Tentu saja, media, terutama TV merupakan sumber

utama informasi masyarakat dan pandangan mengenai gangguan mental. The

Royal College of Psychiatrists memiliki jaringan pada Divisional Public

Education Officers yang perannya adalah mendukung media lokal untuk

memberikan informasi yang akurat tentang kesehatan mental, menulis artikel,

menjadi nara sumber untuk jurnalis, menulis komplain tentang diskriminasi dan

memberi dukungan bagi orang yang juga melakukan protes. Penyedian informasi

yang akurat yang mengkontradiksi stereotipe dapat membantu mengubah

kepercayaan yang salah tentang gangguan jiwa. Kesulitan terletak pada cara

menyalurkan informasi yang benar kepada target.

11

Page 12: Seminar DM Stigma

BAB 3

KESIMPULAN

Konsep gangguan jiwa dari the Diagnostic and Statistical Manual of

Mental Disorder (DSM)-IV, yang merupakan rujukan dari PPDGJ-III,

menyatakan bahwa gangguan jiwa dikonseptualisasikan secara klinis sebagai

sindrom psikologis atau pola behavioral yang terdapat pada seorang individu dan

diasosiasikan dengan distress (misalnya symptom yang menyakitkan) atau

disabilitas (yakni hendaya di dalam satu atau lebih wilayah fungsi yang penting)

atau diasosiasikan dengan resiko mengalami kematian, penderitaan, disabilitas,

atau kehilangan kebebasan diri yang penting sifatnya, yang meningkat secara

signifikan. Gangguan jiwa adalah suatu bentuk ketidakmampuan menyesuaikan

diri yang serius sifatnya, terhadap tuntutan atau kondisi lingkungan yang

mengakibatkan ketidakmampuan tertentu. Beban yang ditimbulkan oleh gangguan

jiwa yang dipikul oleh penderita membuat mereka tak mampu menikmati

kehidupannya secara normal, baik secara individu maupun social. Beban ini

ditambah oleh adanya stigma negative masyarakat terhadap penderita gangguan

jiwa. Stigma adalah ciri negative yang melekat pada pribadi seseorang karena

pengaruh lingkungannya. Stigma yang paling umum terjadi, ditimbulkan oleh

pandangan sebagian masyarakat yang mengidentikan gangguan jiwa dengan

“orang gila”.

Oleh karena gejala – gejala yang dianggap aneh dan berbeda dengan orang

normal, masih banyak orang yang menanggapi penderita gangguan jiwa,

khususnya gangguan jiwa seperti psikosis dan skizofrenia) dengan perasaan takut,

jijik, dan menganggap mereka berbahaya. Tidak jarang mereka diperlakukan

dengan cara yang semena – mena seperti penghinaan, perlakuan kasar, hingga

dipasung dalam kamar gelap. Selain bentuk stigma tersebut, ada beberapa bentuk

stigma lain yang berkembang di dalam masyarakat kita. Pertama, keyakinan atau

kepercayaan bahwa gangguan jiwa itu disebabkan pengaruh supranatural dan hal

– hal gaib, seperti guna – guna, tempat keramat, roh jahat, setan, sesaji yang salah,

kutukan, dan lain sebagainya. Kedua, keyakinan atau kepercayaan bahwa

gangguan jiwa merupakan penyakit yang tidak dapat disembuhkan. Ketiga,

12

Page 13: Seminar DM Stigma

keyakinan atau kepercayaan bahwa gangguan jiwa meruapakan penyakit yang

bukan urusan medis. Keempat, keyakinan atau kepercayaan bahwa gangguan jiwa

merupakan penyakit yang bersifat herediter. Stigmatisasi terhadap gangguan jiwa

adalah sebuah faktor penting yang mencegah penderita gangguan jiwa untuk

mendapatkan terapi dan pengobatan. Banyak penderita gangguan jiwa yang tidak

mendapat penanganan sebagaimana mestinya atau menjalani pengobatan secara

tuntas. Hal itu terkait dengan masih kuatnya stigma dari masyarakat bahwa orang

yang berobat ke RSJ selalu diidentikkan sebagai orang gila.

Stigma terhadap gangguan jiwa tidak hanya menimbulkan konsekuensi

negative terhadap penderitanya, tetapi juga anggota keluarganya. Beban stigma

menderita gangguan jiwa membuat penderita dan keluarganya memilih untuk

menyembunyikan kondisinya daripada mencari, bahkan stigma tersebut dapat

membuat pihak keluarga tak memahami karakter anggota keluarganya yang

menderita gangguan jiwa. Keluarga jadi bersikap apatis dan sering mengelak bila

diajak untuk berobat, misalnya ke psikiater, padahal dukungan keluarga sangat

penting untuk upaya penyembuhan pasien dengan gangguan jiwa. Salah satu

contoh upaya anti stigma yang cukup besar adalah kampanye global yang dirintis

oleh World Psychiatric Association pada tahun 1996 yang bernama Open The

Doors. Kampanye ini memfokuskan untuk memerangi stigma dan diskriminasi

pada skizofrenia dan sudah dimulai di 20 negara dengan tujuan khusus yaitu

meningkatkan pengetahuan dan kewaspadaan pada skizofrenia dan

penanganannya, mengembangkan kemampuan penderita skizofrenia dan keluarga

mereka yang mengalami skizofrenia, dan memulai aksi untuk menghilangkan

penghakiman dan diskriminasi. Di Amerika, dalam upaya untuk mengatasi atau

mengurangi stigma di masyarakat terhadap gangguan jiwa ini, sejumlah anggota

keluarga dari para penderita gangguan jiwa mendirikan the National Alliance for

Mentally Ill (NAMI). Dalam perkembangan selanjutnya program yang

dilaksanakan antara lain memberikan public education and information. Termasuk

di sini adalah membantu pasien dan keluarganya untuk mendapatkan pengetahuan

dan keterampilan untuk hidup dengan gangguan jiwa. NAMI juga

menyelenggarakan support group yang dilaksanakan family-to-family dan peer-to-

peer. Program yang lain adalah awareness and stigma di mana mereka melakukan

13

Page 14: Seminar DM Stigma

talk show dan rally untuk mengalang dana dan meningkatkan kesadaran

masyarakat tentang gangguan jiwa. Mereka juga memberikan respon tentang

stigma yang kurang benar tentang gangguan jiwa dengan menulis di berbagai

media massa. Upaya ini sekaligus juga berusaha meningkatkan pemahaman

masyarakat sehingga masyarakat dapat menghargai dan menerima orang yang

mengalami gangguan jiwa. Di Indonesia sejauh ini belum ada sebuah organisasi

atau kelompok mantan pasien gangguan jiwa atau keluarganya. Namun indikasi

mengarah ke sana sudah mulai tampak, misalnya telah mulai muncul gerakan

pemberdayaan pasien dan keluarga gangguan jiwa yang bertujuan untuk memberi

keterlibatan keluarga dalam proses terapi yang diberikan pihak rumah sakit.

Beberapa rumah sakit telah menerapkan kegiatan family gathering dimana

keluarga diberi psikoedukasi mengenai gangguan jiwa, penyebab dan terapinya.

Dalam kesempatan ini keluarga juga mendapatkan kesempatan untuk berbagi

pengalaman. Peningkatan kemandirian dan produktifitas pasien tersebut

diharapkan dapat berpengaruh terhadap stigma terhadap pasien gangguan jiwa

yang selama ini ada pada masyarakat. Masyarakat di sekitar pasien diharapkan

dapat berubah persepsi dan perilakunya setelah mengetahui perkembangan

kemandirian pasien sehingga kesemua upaya ini diharapkan akan mampu

mengurangi stigma masyarakat terhadap gangguan jiwa.

14

Page 15: Seminar DM Stigma

DAFTAR PUSTAKA

Byrne, Peter. 2001. Psychiatric Stigma. Diunduh dari

www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed

Gray, Alison J. 2002. Stigma in Psychiatry. Diunduh dari

www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed

Maramis, Willy F. 2009. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Surabaya: Airlangga

University Press.

Wesr, Keon, Miles Hwestone dan Emily A. Holmes. 2010. Rethinking ‘Mental

Health Stigma’. Diunduh dari www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed

15