demam tifoid.doc

14
DEMAM TIFOID PENDAHULUAN Demam tifoid merupakan penyakit infeksi akut usus halus. Penyakit ini disebabkan oleh kuman Salmonella typhy yang merupakan bakteri gram negatif, tidak berkapsul, mempunyai flagel, mempunyai antigen somatic (O) dari oligosakarida, antigen flagelar (H) dari protein, dan antigen selubung (K) dari polisakarida. Ada beberapa spesies lain yaitu paratifi A, paratifi B, dan paratifi C yang merupakan penyebab demam paratifoid. EPIDEMIOLOGI Demam tifoid merupakan penyakit endemik di Indonesia, termasuk penyakit menular yang tercantum dalam UU No 6 tahun 1962 dan dapat menimbulkan wabah. Insiden demam tifoid bervariasi di tiap daerah dan biasanya terkait dengan higiene perorangan dan sanitasi lingkungan yang kurang baik, serta persediaan air minum yang kurang memenuhi syarat kesehatan. Di Indonesia insiden demam tifoid sekitar 350-810 kasus per 100.000 penduduk per tahun dengan angka kematian 2% PATOGENESIS 1

Upload: vanniyya-salka

Post on 16-Jan-2016

220 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: DEMAM TIFOID.doc

DEMAM TIFOID

PENDAHULUAN

Demam tifoid merupakan penyakit infeksi akut usus halus. Penyakit ini

disebabkan oleh kuman Salmonella typhy yang merupakan bakteri gram negatif,

tidak berkapsul, mempunyai flagel, mempunyai antigen somatic (O) dari

oligosakarida, antigen flagelar (H) dari protein, dan antigen selubung (K) dari

polisakarida. Ada beberapa spesies lain yaitu paratifi A, paratifi B, dan paratifi C

yang merupakan penyebab demam paratifoid.

EPIDEMIOLOGI

Demam tifoid merupakan penyakit endemik di Indonesia, termasuk

penyakit menular yang tercantum dalam UU No 6 tahun 1962 dan dapat

menimbulkan wabah.

Insiden demam tifoid bervariasi di tiap daerah dan biasanya terkait dengan

higiene perorangan dan sanitasi lingkungan yang kurang baik, serta persediaan air

minum yang kurang memenuhi syarat kesehatan. Di Indonesia insiden demam

tifoid sekitar 350-810 kasus per 100.000 penduduk per tahun dengan angka

kematian 2%

PATOGENESIS

Masuknya kuman S. typhy dan S. paratyphy ke dalam tubuh manusia

terjadi melalui makanan yang tekontaminasi kuman. Sebagian kuman

dimusnahkan dalam lambung, sebagian lolos masuk ke dalam usus dan

berkembang biak. Bila respon imunitas humoral mukosa (Ig A) kurang baik maka

kuman akan menembus sel-sel epitel (terutama sel M) selanjutnya ke lamina

propia. Di lamina propia kuman berkembang biak dan difagosit oleh makrofag.

Kuman dapat hidup dan berkembang biak di dalam makrofag. Kuman selanjutnya

dibawa ke plaque peyer ileum distal kemudian menuju KGB mesenterika dan

melalui duktus thoracicus kuman memasuki peredaran darah (menimbulkan

1

Page 2: DEMAM TIFOID.doc

bakteriemia I yang asimptomatik) dan menyebar ke seluruh organ

retikuloendothelial terutama hati dan limpa. Di dalam organ ini kuman

meninggalkan sel-sel fagosit dan berkembang biak di luar sel (ruang sinusoid)

untuk selanjutnya masuk ke dalam sirkulasi darah lagi mengakibatkan bakteriemia

II yang disertai dengan gejala dan tanda penyakit infeksi sistemik (simptomatik)

seperti bemam, malaise, mialgia, sakit kepala, sakit perut, instabilitas vascular,

gangguan mental dan koagulasi. Gejala klinis ini disebabkan oleh pengaruh

endotoksisn pada hipotalamus, maupun pengaruh sitokin proinflamasi yang

diproduksi oleh makrofag yang terinfeksi kuman.

Di dalam hati kuman masuk ke dalam kandung empedu, berkembang biak,

dan bersama kandung empedu yang diekskresikan secara intermitten ke dalam

lumen usus . Sebagian kuman dikeluarkan melalui feses dan sebagian masuk lagi

kedalam sirkulasi setelah menembus usus. Proses yang sama akan terulang

kembali.

Di dalam plaque peyer, makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi

hiperplasi jaringan (S. typhy intra makrofag menginduksi reaksi hipersensitivitas

tipe lambat, hiperplasia jaringan dan nekrosis jaringan). Perdarahan saluran cerna

dapat terjadi akibat erosi pembuluh darah sekitar plaque peyer yang mengalami

nekrosis dan hiperplasia akibat akumulasi sel-sel mononuclear di dinding usus.

Proses patologis jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga ke lapisan otot,

serosa usus, dan dapat mengakibatkan perforasi.

Endotoksin dapat menempel di reseptor endotel kapiler dan

mengakibatkan timbulnya komplikasi seperti gangguan neoropsikiatrik,

kardiovaskuler, pernapasan, dan gangguan organ lainnya.

DIAGNOSIS

Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinis dan ditunjang

dengan pemeriksaan laboratorium.

MANIFESTASI KLINIS

2

Page 3: DEMAM TIFOID.doc

Umumnya menyerang penderita kelompok umur 5-30 tahun. Laki-laki

sama dengan wanita. Masa inkubasi antara 10-14 hari. Gejala klinis yang timbul

sangat bervariasi dari ringan sampai berat.

Pada minggu pertama ditemukan keluhan dan gejala serupa dengan

penyakit infeksi akut pada umumnya yaitu demam, nyeri kepala, pusing, nyeri

otot, anoreksia, mual, muntah, obstipasi atau diare, perasaan tidak enak di perut,

batuk dan epistaksis. Sifat demamnya meningkat perlahan-lahan dan terutama

pada sore hinggga malam hari

Pada minggu kedua gejala menjadi lebih jelas berupa demam , bradikardi

relatif (peningkatan suhu 1oC tidakdidikuti peningkatan denyat nadi 8x permenit),

lidah berselaput (kotor di tengah, tepi dan ujung merah dan tremor), hepatomegali,

splenomegali, meteorismus, gangguan mental berupa samnolen, stupor, koma,

delirium,atau psikosis, serta roseolae (jarang)

PEMERIKSAAN LABORATORIUM

1. Darah

Leukopeni atau leukosit normal, atau leukositosis

Anemia

Trombositopenia

Aneosinofilia

Limfositosis

Neutropenia

LED meningkat

SGPT/SGOT meningkat

2. Uji Widal

Dilakukan untuk menentukan adanya aglutinin di dalam serum

pasien yaitu aglutini O (dari tubuh kuman) , H (dari flagella kuman), dan

Vi (dari simpai kuman). Dari ketiganya hanya anlutinin O dan H yang

digunakan, dimana semakin tinggi titernya, maka semakin besar

kemungkinan terinfeksi kuman ini.

3

Page 4: DEMAM TIFOID.doc

Pembentukan aglutinin mulai terjadi pada akhir minggu pertama

demam, dan meningkat dengan cepat dan mencapai kadar puncaknya pada

minggu ke empat, dantetap tinggi selama beberapa minggu. Pada fase akut

mula-mula timbul agglutinin O kemuidian diikuti agglutinin H. Pada orang

yang telah sembuh agglutinin O masih tetap dijumpai setelah 4-6 bulan

dan agglutinin H selama 9-12 bulan.

Beberapa hal yang mempengaruhi uji widal yaitu pengobatan dini

dengan antibiotic, gangguan pembentukan antibody, pemberian

kortoikosteroid, waktu pengambilan darah, daerah endemic, riwayat

vaksinasi, reaksi amnestik, dan factor teknik pemeriksaan laboraorium

3. Kultur darah

Hasil biakan kuman paling tinggi pada I sakit (80-90%), minggu II

(20-25%), minggu III (10-15%). Hasil biakan darah positif memastikan

demam tifoid, akan tetapi hasil negative tidak menyingkirkan demam

tifoid karena kemungkinan pasien telah mendapatkan terapi antibiotic,

volume darah kurang, adanya riwayat vaksinasi, dan saat pengambilan

darah setelah minggu kedua.

4. Tes diazo positif

a. Urine + reagen diazo + beberapa tetes ammoniak 30% (dalam tabung

reaksi) dikocok buih berwarna merah atau merah muda

b. Biakan kuman dari specimen urin paling tinggi pada minggu II/III

diagnosis pasti atau carier

5. Pemeriksaan tinja

a. Ditemukan banyak eritrosit dalam tinja kadang-kadang darah

b. Biakan kuman daris pecimen tinja pada minggu II/III sakit diagnosis

pasti atau carier

6. ELISA

4

Page 5: DEMAM TIFOID.doc

a. Deteksi antibody menggunakan antigen O, H ,dan Vi dapat

mendeteksi antibody Ag A, Ig M, dan Ig G S. typhy

b. Dengan menggunakan protein Ag khusus disebut “Dot enzyme

immuno assay” (Dot EIA) dengan menggunakan kertas nitroselulose

(tes dipstick) Dapat mendiagnosis dengan cepat (3-4 jam), Jika Ig

M (+) maka demam tifoid akaut, Jika Ig G (+) berarti relaps.

7. Deteksi DNA

a. Hibridisasi dengan pelacak DNA (DNA probe) kurang sensitive

bila jumlah S. typhy dalam darah sedikit

b. PCR (polymerase chain reaction) dapat mendeteksi strain S. thypi

dan untuk membuat vaksin. Waktu pemeriksaan cepat (6 jam) tetapi

akurat

8. Deteksi antigen

a. Tes koagulasi lebih cepat dari biakan kuman. Menggunakan

antisera Vi

b. Tes ELISA Digunakan ELISA indirek dari bahan air seni dan darah

penderita, atau digunakan antibody monoclonal yang ditempelkan pada

kertas nitroselulose

9. Pemeriksaan Sutul

Dengan biakan sumsum tulang. Merupakan tindakan invasive,

akan tetapi cara ini sangat sensitive (95%) dimana tidak dipengaruhi oleh

pemberian antibiotic dan fase penyakit

TERAPI

1. Istirahat dan perawatan

Tujuannya adalah mencegah komplikasi dan mempercepat

penyembuhan. Pasien harus tirah baring sampai minimal 7 hari bebas

5

Page 6: DEMAM TIFOID.doc

panas dan mobilisasi dilakukan bertahap, dan bila pasien tidak sadar,

posisi diubah ubah setiap 2 jam

2. Diet dan terapi penunjang (simptomatik)

Tujuannya mengembalikan rasa nyaman dan kesehatan pasien

secara optimal. Diberikan makanan yang rendah serat dan mudah dicerna.

Pemberian makanan padat dini terbukti dapat mempercepat penyembuhan

3. Antibiotik

a. Kloramfenikol

Merupakan DOC demam tifoid. Dosis 4 x 500 mg/hr (PO/IV)

diberikan sampai 7 hari bebas demam. Obat ini rata-rata dapat

menurunkan demam setelah hari ke 5-7,2

b. Tiamfenikol

Dosis 4 x 500 mg . Rata-rata demam turun setelah hari ke 5-6

c. Kotrimoksazole

Dosis 2 x 2 tablet dan diberikan selama 2 minggu

d. Ampisilin dan amoksisilin

Dosis 59-150 mg/kgBB dan diberikan selama 2 minggu

e. Sefalosporin generasi III (ceftriakson)

Dosis 3-4 gr dalam dekstrosa 100 cc diberi selama ½ jam perinfus

sekali sehari. Diberi selama 3-5 hari

f. Golongan fluorokuinolon

- Norfloksasin 2 x 400 mg/hr selama 14 hari

- Siprofloksasin 2 x 500 mg/hr selama 6 hari

- Ofloksasin 2 x 400 mg/hr selama 7 hari

- Pefloksasin 400 mg/hr selama 7 hari

- Fleroksasin 400 mg/hr selama 7 hari

Kombinasi 2 antibiotik atau lebih diindikasikan hanya pada keadaan

tertentu saja seperti toksik tifoid, peritonitis, atau perforasi, serta syok

septic

6

Page 7: DEMAM TIFOID.doc

4. Kortikosteroid

Pengguanaan steroid hanya diindikasikan pada toksik tifoid atau demam

tifoid yang mengalami syok septic. Dosis 3 x 5 mg

KOMPLIKASI

1. Komplikasi intestinal

a. Perdarahan usus

b. Perforasi usus

c. Ileus paralitik

2. Komplikasi Ekstra intestinal

a. Kardiovaskuler : syok septic, miokarditis, trombophlebitis

b. Darah : anemia hemolitik, trombositipenia, DIC, Anemia

hemolitik, trombositopeni, DIC, uremia hemolitik

c. Paru : Pneumoni, pleuritis, empiema

d. Hati dan kandung empedu : Hepatitis tiposa, kolesistitis

e. Ginjal : Glomerulonefritis, pyelonefritis, perinefritis

f. Tulang : Osteomyelitis, periostitis, Artritis

g. Neuropsikiatri : Delirium, psikosis,meningismis, meningitis, GBS,

polyneuritis.

DIAGNOSIS BANDING

Richettiozis

Brucellosis

Tularamia

Lepstopirosis

Viral hepatitis

Cytomegalovirus

Malaria

Lymphoma

Infections mononukleosis

7

Page 8: DEMAM TIFOID.doc

PENCEGAHAN

Orang sehat

1. Pengawasan higiene dan sanitasi lingkungan hidup

Perlu adanya WC umum, persediaan air bersih, tempat pembuangan

sampah rumah tangga

2. Pengawasan higiene makanan dan minuman

Memasak makanan, merebus air minum, memperhatikan cara penyajian

makanan

3. Higiene perorangan

Mencuci tangan, BAB di WC, dll

Vaksinasi

Dianjurkan untuk wisatawan ke daerah endemic dan pekerja laboratorium

1. Acetone inactivated vaccine

- Merupakan kuman mati

- 2 vaksin: K acetone inactivated vaccine dan L heatphenol

inactivated vaccine

- Efektifitas 51-88%

- ES: 32-54% berupa demam, sekit kepala, reaksi local tempat

suntikan

- Cara pemberian : 0,5 cc s.c. dilanjutkan 1 cc s.c. . 7-10 hari

kemudian

- Efektif minimal 1 tahun

2. Oral live attenuated vaccine (TY21la)

- Kuman hidup yang dilemahkan

- Imunitas 3-6 th

- Booster 5 th kemudian

- Berhasil dicoba di Chili dan Mesir tapi gagal di Indonesia

3. Vi parental Vaksin

- Booster setelah 5 th

- Dapat diberikan pada anak > 6 bln

8

Page 9: DEMAM TIFOID.doc

- Dapat diberikan bersamaan dengan vaksin lain dalam satu alat

suntik

Penderita

1. Tidak perlu ruang khusus

2. Tirah baring. Diet diperhatikan

3. Sterilisasi pakaian, bahan, dan alat yang digunakan penderita

4. cuci tangan dengan sabun dan air yang mengalir

5. Hati-hati dengan air seni, tinja dan muntahan penderita

“carrier”

1. Tidak boleh jadi tukang masak

2. Pendidikan : kesadaran untuk tidak menulari orang lain

Carrier” kronis

Adalah individu yang mengeluarkan S. typhy baik dari tinja maupun air

seninya selama 1 tahun atau lebih

Sumber infeksi berasal dari kandung empedu dan ginjal (infeksi kronis,

batu, kelainan anatomi)

Jika medikamentosa anti tifoid gagal, dilakukan operasi untuk

menghilangkan batu/memperbaiki kelainan anatomi

Terapi : amoksisillin 3 x 1000-2000 mg (6 minggu)

Ciprofloxasin 2 x 500 mg/hr atau Norfloxasin 2 x 400 mg/hr (4

minggu), Kotrimoksasol 2 x 2 tab (6 minggu)

Jika urinary carrier karena infeksi cacing schistosoma, ditambah

praziquantel.

PROGNOSIS

Prognosis demam tifoid tergantung dari umur, keadaan umum, derajat kekebalan

tubuh, jumlah dan virulensi kuman, dan kecepatan pengobatan. Pasien dapat

dipulangkan dan dilanjutkan pengobatan di rumah bila tidak demam selama 24

9

Page 10: DEMAM TIFOID.doc

jam tanpa antipiretik, nafsu makan membaik, perbaikan klinis dan tidak dijumpai

komplikasi,

10