demam rematik 1

27
MAKALAH TATALAKSANA PENYAKIT DEMAM REMATIK Oleh : Aprilian Candra Ayu Sita S 0510710019 Samudra Widagdo A 0510710123 Siti Khodijah bt Dul Hadi 0510714015 Pembimbing: Dr Sasmojo Widito, Sp.PD Sp.JP

Upload: sufrianusbrianrantesalu

Post on 21-Oct-2015

52 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

Page 1: Demam rematik 1

MAKALAH

TATALAKSANA PENYAKIT DEMAM REMATIK

Oleh :

Aprilian Candra Ayu Sita S 0510710019

Samudra Widagdo A 0510710123

Siti Khodijah bt Dul Hadi 0510714015

Pembimbing:

Dr Sasmojo Widito, Sp.PD Sp.JP

LABORATORIUM / SMF ILMU PENYAKIT DALAM

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA

RUMAH SAKIT UMUM DR. SAIFUL ANWAR MALANG

Juli 2010

Page 2: Demam rematik 1

DAFTAR ISI

Halaman Judul 1

Daftar Isi 2

BAB I Pendahuluan 3

BAB II Tinjauan Pustaka 5

BAB III Penutup

Daftar Pustaka

2

Page 3: Demam rematik 1

BAB I

PENDAHULUAN

2.1. Latar Belakang

Demam rematik (DR) merupakan proses imun sistemik yang dapat

bersifat akut, subakut, kronik, atau fulminan, dan dapat terjadi setelah infeksi

Streptococcus beta hemolyticus group A pada saluran pernafasan bagian atas.

Tanda – tanda demam rematik biasanya muncul pada saat 2 -3 minggu setelah

infeksi tapi tanda – tanda tersebut dapat muncul pada awal minggu pertama atau

pada akhir minggu ke 5. Sedangkan yang dimaksud dengan penyakit jantung

rematik (PJR) adalah kelainan jantung yang terjadi akibat demam rematik atau

kelainan karditis rematik. Kebanyakan kasus menyerang pada katub mitral

sebanyak 75 – 85%, kemudian katub aorta 30%, sedangkan untuk katub

tricuspid dan pulmonal prevalensinya kurang dari 5% (Leman, 2009; Olivier,

2004; Tierney, 2004).

Pada tahun 2005 Carapetis et Al menerbitkan ringkasan temuan utama

dari tinjauan mendalam yang dilakukan untuk WHO, diperkirakan bahwa lebih

dari 2.400.000 anak usia 5-14 tahun yang terpengaruh dengan penyakit jantung

rematik (PJR) dan 79% dari semua kasus penyakit jantung rematik berasal dari

negara kurang berkembang. Lebih lanjut, jumlah kasus tahunan yang terbaru

pada anak usia 5-14 tahun adalah lebih dari 336.000. Dari sana, mereka

memperkirakan bahwa dari semua kasus demam rematik akut, 60% akan terus

berkembang menjadi PJR setiap tahun. Akhirnya, mereka memperkirakan bahwa

ada lebih dari 492.000 kematian per tahun akibat PJR, dengan sekitar 468.000

ini terjadi pada negara kurang berkembang.

Prevalensi DR di Indonesia belum diketahui secara pasti, meskipun

beberapa penelitian yang pernah dilakukan menunjukkan bahwa prevalensi PJR

berkisar 0,3 sampai 0,8 per 1.000 anak sekolah. Dengan demikian, secara kasar

dapat diperkirakan bahwa prevalensi DR di Indonesia pasti lebih tinggi dan angka

tersebut, mengingat PJR merupakan akibat dari DR (Olivier, 2004).

Oleh karena itu, pada kesempatan kali ini, penulis memaparkan secara

singkat mengenai penyakit DR, mulai dari kriteria diagnosis dan tatalaksana yang

tepat, serta pencegahan yang berkesinambungan, yang perlu kita ketahui agar

dapat melakukan manajemen terhadap penyakit DR ini sehingga dapat

menurunkan kejadian, kecacatan dan kematian akibat penyakit ini.

3

Page 4: Demam rematik 1

1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimanakah cara menegakkan diagnosis yang tepat terhadap penyakit

demam rematik ini ?

2. Bagaimanakah tatalaksana penyakit demam rematik ?

3. Bagaimanakah usaha pencegahan terhadap penyakit demam rematik ?

1.3 Tujuan

1. Mengetahui cara diagnosis tepat terhadap penyakit demam rematik.

2. Mengetahui tatalaksana penyakit demam rematik

3. Mengetahui usaha pencegahan penyakit demam rematik.

1.4 Manfaat

1. Memberikan informasi kepada Dokter Muda, sehingga mampu untuk

melakukan diagnosis, penatalaksanaan dini secara tepat serta

pencegahan yang efisien terhadap penyakit demam rematik.

2. Dengan diagnosis yang tepat, membantu mengurangi angka kematian

akibat penyakit demam rematik .

4

Page 5: Demam rematik 1

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Patogenesis

Hubungan antara infeksi infeksi Streptococcus beta hemoliticus grup A

dengan terjadinya DR telah lama diketahui. Demam rematik merupakan respons

auto imun terhadap infeksi Streptococcus beta hemoliticus grup A pada

tenggorokan. Respons manifestasi klinis dan derajat penyakit yang timbul

ditentukan oleh kepekaaan genetik dari host, keganasan organisme dan

lingkungan yang kondusif. Mekanisme patogenesis yang pasti sampai saat ini

tidak diketahui, tetapi peran antigen histokompatibiliti mayor, antigen jaringan

spesifik potensial dan antibodi yang berkembang segera setelah infeksi

Streptoccocus telah diteliti sebagai faktor resiko yang potensial dalam

patogenesis penyakit ini. Terbukti sel limfosit T memegang peranan dalam

patogenesis penyakit ini dan ternyata tipe M dari Streptococcus beta hemoliticus

grup A mempunyai potensi rheumatogenik. Beberapa serotipe biasanya

mempunyai kapsul, berbentuk besar, koloni mukoid yang kaya dengan M-protein

(Olivier, 2004).

M-protein adalah salah satu determinan virulensi bakteri, strukturnya

homolog dengan myosin kardiak dan molecul alpha-helical coiled coil, seperti

tropomyosin, keratin dan laminin. Laminin adalah matriks protein ekstraseluler

yang disekresikan oleh sel endothelial katup jantung dan bagian integral dari

struktur katup jantung. Lebih dari 130 M protein sudah teridentifikasi dan tipe 1,

3, 5, 6, 14, 18, 19 dan 24 berhubungan dengan terjadinya demam rematik

(Olivier, 2004).

Superantigen streptokokal adalah glikoprotein unik yang disintesa oleh

bakteri dan virus yang dapat berikatan dengan major histocompatibility complex

molecules dengan nonpolymorphic V b-chains dari T-cell receptors. Pada kasus

Streptoccocus banyak penelitian yang difokuskan pada peranan superantigen-

like activity dari fragmen M protein dan juga streptococcal pyrogenic exotoxin,

dalam patogenesis demam rematik. Terdapat bukti kuat bahwa respons

autoimmune terhadap antigen Streptoccocus memegang peranan dalam

terjadinya demam rematik dan penyakit jantung rematik pada orang yang rentan.

Sekitar 0,3 – 3 persen individu yang rentan terhadap infeksi faringitis

Streptoccocus berlanjut menjadi demam rematik. Data terakhir menunjukkan

5

Page 6: Demam rematik 1

bahwa gen yang mengontrol low level respons antigen Streptoccocus

berhubungan dengan Class II human leukocyte antigen, HLA. Infeksi

Streptoccocus dimulai dengan ikatan permukaan bakteri dengan reseptor spesifik

sel host dan melibatkan proses spesifik seperti pelekatan,kolonisasi dan invasi.

Ikatan permukaan bakteri dengan permukaan reseptor host adalah kejadian yang

penting dalam kolonisasi dan dimulai oleh fibronektin dan oleh streptococcal

fibronectin-binding proteins. Faktor lingkungan seperti kondisi kehidupan yang

jelek, kondisi tinggal yang berdesakan dan akses kesehatan yang kurang

merupakan determinan yang signifikan dalam distribusi penyakit ini. Variasi

cuaca juga mempunyai peran yang besar dalam terjadinya infeksi Streptoccocus

untuk terjadi demam rematik (Olivier, 2004).

Gambar Patogenesis Demam Rematik – Penyakit Jantung Rematik

(Siregar, 2008)

6

Page 7: Demam rematik 1

2.2. Diagnosis

Temuan klinis, laboratorium, maupun atau tes pemeriksaan lainnya tidak

spesifik untuk menegakkan diagnosis demam rematik. Pada tahun 1944, T.

Duckett Jones merumuskan kriteria-nya untuk diagnosis demam rematik yang

kemudian dikenal sebagai Kriteria Jones. Kriteria ini masih berlaku dan telah

dimodifikasi, direvisi, diedit, dan diperbarui oleh Komite Demam reumatik,

endokarditis, dan penyakit Kawasaki (American Heart Association). Kriteria

diagnosis demam rematik meliputi kelompok kriteria mayor dan minor yang pada

dasarnya merupakan manifestasi klinik dan laboratorik demam rematik serta

dengan tambahan bukti adanya infeksi Streptococcus sebelumnya (Braunwald,

2001).

Tabel 1: Pedoman untuk diagnosis Demam Rematik Kriteria Jones

(Fuster,2001)

Kriteria Major Kriteria Minor Temuan klinis yang mendukung

infeksi Streptokokus beta

hemolitik A

Karditis

Poliartritis

Chorea

Eritema marginatum

Nodul subkutan

Temuan klinis:

- Athralgia

- Demam

-

Temuan labaratoris:

- Peningkatan reaktan

fasa akut

- Peningkatan

sedimentasi eritrosit

- Peningkatan CRP

- Interval PR

memanjang

Kultur tenggorokan untuk bakteri

Streptokokus beta hemolitik A

(+)

Peningkatan antistreptolisin O/

antibody Streptokokus

Riwayat demam Scarlet

2.3. Tatalaksana Penyakit Demam Rematik

Apabila memungkinkan pasien harus dirawat di rumah sakit agar dapat

dilakukan observasi ketat dan harus beristirahat di tempat tidur (tirah baring). Hal

tersebut penting untuk mengurangi progresivitas penyakit. Lamanya tirah baring

7

Page 8: Demam rematik 1

dapat bervariasi tergantung masing – masing individu. Mobilisasi dapat dilakukan

apabila fase akut dari demam rematik telah terlewati. Pasien juga harus diizinkan

untuk kembali ke kegiatan normal dengan aktivitas fisik yang minimal. Olahraga

fisik yang keras harus dihindari, terutama apabila disertai karditis. Meskipun

kultur tenggorokan jarang positif untuk infeksi Streptococcus grup A pada saat

onset RF, pasien harus diobati dengan penisilin selama 10 hari. Apabila pasien

alergi penisilin maka diganti dengan eritromisin. Apabila ada gagal jantung,

pasien diberharus tambahan terapi berupa diuretik, oksigen, dan digitalis serta

dengan pembatasan diet natrium. Penggunaan digitalis harus hati-hati karena

dengan dosis konvensional pun dapat terjadi toksisitas jantung (Braunwald,

2001).

Tidak ada pengobatan khusus untuk mengatasi reaksi inflamasi akibat

demam rematik. Yang dapat dilakukan adalah memberikan terapi supportif yang

bertujuan untuk mengurangi gejala konstitusional, mengendalikan manifestasi

toksisitas, dan memperbaiki fungsi jantung. Pasien dengan ringan atau tanpa

karditis biasanya merespon baik pada pemberian salisilat. Salisilat sangat efektif

dalam mengurangi nyeri sendi, rasa sakit serta bengkak. Tidak menutup

kemungkinan setelah pemberian salisilat, nyeri tidak berkurang, maka diagnosis

demam rematik dapat dipertanyakan dan harus dievaluasi ulang. Karena tidak

ada tes diagnostik khusus untuk demam rematik, maka terapi antiinflamasi harus

ditahan sampai gambaran klinis telah menjadi cukup jelas untuk memungkinkan

diagnosis. Untuk efek antiinflamasi yang optimal, kadar salisilat serum sekitar 20

persen mg diperlukan. Aspirin, pada dosis 100 mg / kg / hari, diberikan empat

sampai lima kali sehari, biasanya menghasilkan kadar serum cukup untuk

mencapai respon klinis. Terapi optimal salisilat harus tunggal, hal ini untuk

memastikan respon yang memadai dan menghindari toksisitas. Tinnitus, mual,

muntah, dan anoreksia adalah efek samping terkait dengan penggunaan salisilat.

Efek samping dapat mereda setelah beberapa hari pengobatan meskipun obat

dilanjutkan (Braunwald, 2004; Thierney, 2004).

Pasien yang memiliki gangguan fungsi jantung, terutama perikarditis atau

gagal jantung kongestif - merespon lebih cepat untuk kortikosteroid daripada

salisilat. Steroid dapat menyelamatkan hidup pada pasien yang sangat sakit.

Pasien yang tidak merespon salisilat pada dosis yang adekuat, kadang - kadang

dapat berespon baik pada pemberian kortikosteroid. Dosis yang biasa digunakan

adalah prednisone, 1 - 2 mg/kg/hari (Braunwald, 2001).

8

Page 9: Demam rematik 1

Tidak ada bukti bahwa salisilat atau terapi kortikosteroid mempengaruhi

jalannya carditis atau mengurangi insiden penyakit jantung. Oleh karena itu,

durasi terapi dengan agen antiinflamasi berdasarkan perkiraan tingkat keparahan

episode dan ketepatan dari respon klinis. Pada serangan ringan dengan

keterlibatan sedikit atau bahkan tidak ada keterlibatan dari inflamasi sel jantung,

dapat diobati dengan salisilat selama sekitar 1 bulan atau sampai ada cukup

bukti klinis dan laboratorium inaktivasi dari inflamasi tersebut. Dalam kasus yang

lebih berat, terapi dengan kortikosteroid dapat dilanjutkan selama 2 sampai 3

bulan. obat tersebut kemudian dikurangi secara bertahap selama 2 minggu

berikutnya. Bahkan dengan terapi berkepanjangan, beberapa pasien (kurang

lebih 5 persen) terus menunjukkan bukti aktivitas rematik selama 6 bulan atau

lebih. Fenomena rebound terlihat dengan munculnya kembali gejala-gejala

ringan atau reaktan fase akut, dapat terjadi pada beberapa pasien yang telah

menghentikan pengobatan antiinflamasi, biasanya dalam waktu 2 minggu. Gejala

yang sederhana biasanya mereda tanpa pengobatan; gejala lebih parah

mungkin memerlukan pengobatan dengan salisilat. Beberapa dokter

merekomendasikan penggunaan salisilat (aspirin, 75 mg/kg/hari) selama periode

tapering off kortikosteroid, dan dipercaya bahwa pendekatan seperti itu dapat

mengurangi kemungkinan rebound. Informasi tentang penggunaan salisilat selain

aspirin pada terapi demam rematik masih sangat terbatas. Tidak ada bukti

menunjukkan bahwa agen antiinflamasi nonsteroid lain lebih efektif daripada

aspirin. Pada pasien yang tidak dapat mentolerir aspirin atau yang alergi

terhadap hal itu, dapat dicoba menggunakan agen nonsteroid lain. Preparat

aspirin yang dilapisi atau yang mengandung alkali atau buffer juga dapat dicoba,

hal ini bertujuan agar pemberian aspirin dapat ditolerir serta mengurangi efek

samping yang tidak diinginkan (Braunwald, 2001).

Berikut ini disajikan tabel pengobatan dari bermacam – macam

manifestasi klinis sewaktu pasien datang berobat pada fase akut.

Tabel 2: Hubungan Manifestasi Klinis dan Pengobatan

Manifestasi Klinis Pengobatan

9

Page 10: Demam rematik 1

Artralgia Salisilat saja

Artritis saja dan/atau karditis tanpa

kardiomegali

Salisilat 100mg/kgBB/hari selama 2

minggu dan diteruskan dengan 75

mg/kgBB/ hari selama 4-6 minggu

Karditis dengan kardiomegali atau gagal

jantung

Prednison 2 mg/kgBB/hari selama 2

minggu da tapering off selama 2

minggu dengan ditambahkan salisilat

75 mg/kgBB/haru untuk 6 minggu

(Leman, 2009)

2.4. Strategi Pencegahan

Pencegahan demam rematik ada 2 cara :

2.4.1. Pencegahan Primer

Pencegahan serangan utama pada DR tergantung pada kecepatan

dan deteksi awal dari penyakit ini. Eradikasi bakteri Streptococcus beta

hemoliticus grup A dari tenggorokan merupakan upaya pencegahan primer

terhadap penyakit demam rematik. Terapi antibiotik yang sesuai dimulai

sejak awal hingga 9 hari setelah onset akut faringitis Streptococcus cukup

efektif dalam mencegah serangan utama demam rematik, terapi awal

disarankan karena dinilai mampu mengurangi baik morbiditas dan periode

infektifitas bakteri ini. Dalam memilih regimen obat untuk pengobatan

faringitis akibat Streptococcus beta hemoliticus grup A, berbagai faktor

harus dipertimbangkan, termasuk kemanjuran dari segi bakteriologis dan

klinis, kemudahan kepatuhan terhadap regimen yang direkomendasikan

(frekuensi administrasi sehari-hari, lama terapi), biaya; spektrum aktivitas

agen yang dipilih, dan potensi efek samping.

Penisilin adalah agen antibiotik pilihan untuk pengobatan terhadap bakteri

Streptococcus beta hemoliticus grup A, kecuali pada pasien dengan

riwayat alergi terhadap penisilin. Penisilin merupakan antibiotik spektrum

sempit, dan memiliki efektivitas yang telah terbukti dalam mengobati infeksi

akibat Streptococcus beta hemoliticus grup A. Hingga saat ini, resistensi

bakteri ini terhadap penisilin belum didokumentasikan. Penisilin dapat

diberikan secara intramuskular atau oral, tergantung pada kemungkinan

kepatuhan pasien terhadap regimen obat oral. Pemberian benzathine

penisilin G secara intramuscular adalah pilihan, khususnya bagi pasien

10

Page 11: Demam rematik 1

yang tidak mungkin diberi 10 hari terapi oral dan untuk pasien dengan

riwayat pribadi atau keluarga DR atau penyakit jantung rematik. Suntikan

benzathine suntikan penisilin G harus diberikan sebagai dosis tunggal

dalam massa otot besar.

Antibiotik oral pilihan adalah penisilin V (penisilin fenoksimetil).

Pasien harus mengkonsumsi penisilin oral secara teratur hingga 10-hari,

meskipun gejala masih belum nampak pada beberapa hari pertama.

Meskipun amoksisilin spektrum yang lebih luas dan sering digunakan untuk

pengobatan faringitis akibat Streptococcus beta hemoliticus grup A ,namun

hal tersebut tidak memberikan keuntungan mikrobiologi melebihi penisilin.

Eritromisin oral dapat diberikan untuk pasien yang alergi terhadap penisilin.

Pengobatan juga harus diberikan selama 10 hari. Eritromisin estolat (20-40

mg/kg/hari dalam dua sampai empat dosis terbagi), atau eritromisin etil

suksinat (40 mg/kg/hari dalam dua sampai empat dosis terbagi) efektif

dalam mengobati faringitis Streptococcus, namun keberhasilan dua kali

regimen sehari pada orang dewasa membutuhkan studi lebih lanjut. Dosis

maksimal adalah 1 gram eritromisin /hari. Azitromisin memiliki efektivitas

mirip dengan eritromisin dalam melawan Streptococcus beta hemoliticus

grup A tetapi dapat menyebabkan efek samping gastrointestinal yang lebih

ringan. Azitromisin dapat diberikan satu kali sehari dan menghasilkan

konsentrasi tonsillar jaringan tinggi. Pemberian azitromisin selama 5 hari

disetujui oleh Food and Drug Administration sebagai terapi lini kedua untuk

pengobatan pasien usia 16 tahun atau lebih dengan faringitis

Streptococcus beta hemoliticus grup A. Dosis yang dianjurkan adalah 500

mg sebagai dosis tunggal pada hari pertama diikuti oleh 250 mg sekali

sehari selama 4 hari. Pemberian sefalosporin oral selama 10 hari

merupakan alternatif yang dapat diterima, terutama untuk pasien alergi

penisilin. Sefalosporin spektrum sempit , seperti sefadroksil atau sefaleksin,

lebih dipilih daripada sefalosporin spektrum yang lebih luas seperti sefaclor,

sefuroxime, sefiksim, dan sefpodoxime. Beberapa orang alergi penisilin

(<15 %) juga alergi terhadap sefalosporin, dan agen ini tidak boleh

digunakan oleh pasien yang hipersensitif terhadap penisilin (reaksi

anafilaktik). Beberapa laporan menunjukkan bahwa pemberian sefalosporin

oral selama 10 hari lebih unggul daripada 10 hari penisilin oral dalam

pemberantasan Streptococcus beta hemoliticus grup A dari faring. Ada

11

Page 12: Demam rematik 1

beberapa antibiotik tertentu yang tidak dianjurkan untuk pengobatan infeksi

saluran pernafasan atas akibat bakteri Streptococcus beta hemoliticus grup

A. Tetrasiklin tidak boleh digunakan karena tingginya prevalensi strain

resisten. Sulfonamides dan trimethoprimsulfamethoxazole tidak akan

memberantas bakteri Streptococcus beta hemoliticus grup A pada pasien

dengan faringitis dan tidak boleh digunakan untuk mengobati infeksi aktif.

Kloramfenikol tidak dianjurkan karena efikasinya tidak diketahui dan

berpotensi menimbulkan toksisitas yang serius (Braunwald, 2001).

2.4.2. Pencegahan Sekunder

Pencegahan sekunder terhadap DR merupakan metode pencegahan

terjadinya demam rematik berulang, yaitu berupa pemberian antibiotic

suntikan benzathine penicillin sewtiap 4 minggu ecara berkelanjutan (Libby,

2008). Tujuannya untuk mencegah kolonisasi maupun infeksi pada saluran

pernafasan atas terutama yang disebabkan oleh bakteri Streptococcus beta

hemoliticus grup A dan juga mencegah rekurensi dari serangan DR

(Beggs, 2008). Pasien yang telah mengalami serangan DR sebelumnya

dan menderita faringitis Streptococcus, beresiko tinggi mengalami

serangan berulang dari DR. Infeksi Streptococcus beta hemoliticus grup A

yang rekurren seringnya asimptomatik. Selain itu, DR dapat kambuh

bahkan ketika gejala infeksi telah ditekan secara optimal. Untuk alasan ini,

maka untuk pencegahan DR berulang, memerlukan antibiotik profilaksis

secara terus – menerus. Antibiotik profilaksis direkomendasikan untuk

diberikan pada pasien dengan riwayat DR (termasuk yang memiliki

manifestasi chorea Sydenhaim) maupun yang terbukti menderita penyakit

jantung rematik. Antibiotik profilaksis harus dimulai segera setelah pasien

terdiagnosa demam rematik akut maupun penyakit jantung rematik.

Pengobatan secara lengkap dengan penicillin seharusnya diberikan

diawal terhadap pasien dengan DR akut untuk mengeradikasi sisa bakteri

Streptokokus bahkan bila kultur tenggorokan sudah negative pada saat itu.

Infeksi streptokokus yang dialami oleh salah satu anggota keluarga harus

segera diobati (Braunwald, 2001)

Setelah 4 minggu pasca suntikan, level benzathine penicillin rendah

atau tidak terdeteksi sehingga untuk daerah endemikmaupun pasien yang

berisiko tinggi frekwensi pemberian suntikan menjadi tiap 3 minggu,

meskipun bukti perbaikan setelah pemberian suntikan belum jelas kuat.

12

Page 13: Demam rematik 1

Tabel 3 Terapi Antibiotik untuk Demam Rematik Akut dan Pencegahan

Jangka Panjang

Terapi awal terhadap Faringitis akibat infeksi Streptokokus Beta Hemolitik A

(Libby,2008)

Antibiotik Dosis Frekwensi Durasi Komentar

Benzathine

penicillin G

Penicilin V

Amoxicilin

Cefalosporin/

eritromisin

1,2 juta unit

IM

500 mg PO

500 mg PO

Bervariasi

tergantung

jenis obat

1x

2x/ hari

3x/ hari

Bervariasi

Onset akut

sahaja

10 hari

10 hari

10 hari

Menurunkan

compliance

issues

Peningkatkan

nyeri

Diberikan

apabila pasien

alergi penicilin

Tabel 4: Regimen pencegahan sekunder untuk pasien yang terdiagnosa

demam rematik (Libby, 2008)

Antibiotik Dosis Frekwensi Komentar

Benzathine

Penicilin G

Penicilin V

Eritromisin

Sulfonamide

1,2 juta unit IM

250 mg PO

250 mg PO

1 g PO

Tiap 3-4 mggu

2x/hari

2x/hari

Tiap hari

Menurunkan

compliance issues

Peningkatkan nyeri

-

Alternatif apabila

pasien alergi

penicilin

Tabel 5: Durasi Pencegahan Sekunder penyakit Demam Rematik

(Fuster,2001)

Kategori Durasi Demam rematik dengan karditis dan kelainan menetap

Sekurang – kurangnya 10 tahun sejak episode yang terakhir dan sampai usia 40 tahun dan kadang-kadang seumur hidup

13

Page 14: Demam rematik 1

Demam rematik dengan karditis tanpa kelainan katup yang menetap*

Demam rematik tanpa karditis

10 tahun atau sampai dewasa, bisa lama

5 tahun atau sampai usia 21 tahun, bisa lebih lama

Klinis / echocardiografi

Tabel 6: Petunjuk Tirah Baring dan Ambulasi (Siregar, 2008)

Hanya artritis Karditis

minimal

Karditis

sedang

Karditis berat

Tirah baring 2 minggu 2-3 minggu 4-5 minggu 2-4 bulan

Ambulasi

dalam rumah

1-2 minggu 2-3 minggu 4-5 minggu 2-3 bulan

Ambulasi luar

(sekolah)

2 minggu 2-4 minggu 1-3 bulan 2-3 bulan

Aktivitas

penuh

Setelah 4-

6minggu

Setelah 6-10

minggu

Setelah 3-6

bulan

Bervariasi

Tabel 7: Rekomendasi Penggunaan Antiinflamasi (Siregar, 2008)

Hanya

Artrutis

Karditis

Minimal

Karditiitis

Sedang

Karditis

Berat

Prednison 0 0 2-4 minggu* 2-6 minggu*

Aspirin 1-2 minggu 2-4 minggu+ 6-8 minggu* 2-4 bulan

Dosis Prednison 2 mg/kgBB/hari dibagi 4 dosis

Aspirin 100 mg/kgBB/hari dibagi 6 dosis

*Dosis prednison ditappering dan apirin dimulai selama minggu akhir

+Aspirin dapat dikurangi menjadi 60 mg/kgBB/hari setelah 2 minggu

pengobatan

2.5 Profilaksis Endokarditis

Tabel 8: Prosedur yang dipertimbangkan untuk pemberian profilaksis

Rekomendasi pemberian profilaksisTidak rekomendasi untuk pemberian

profilaksis

Tindakan gigi yang yang bisa

menyebabkan perdarahan gingival

Tindakan gigi yang tidak

menyebabkan perdarahn misalnya

14

Page 15: Demam rematik 1

atau mukosa, termasuk

pembersihan gig dan scaling

Tosilektomi atau adenoidectomy

Operasi yang melibatkan

gastrointestinal atau mukosa

respiratori atas

Scleroterapi

Dilatasi esophagus

Operasi kandung empedu

Cystoscopy

Kateresasi uretra bila ada infeksi

traktus urinarius

Operasi tratus urinarius termasuk

operasi prostat

Insisi jaringan infeksi

Hysterektomi

Komplikasi infeksi partus

pervaginam

orthodontic dan tempelan

Injeksi intraoral atau anestesi lokal

Insersi tube Tympanostomi

Insersi tube endotrakeal

Brochoskopi dengan/tanpa biopsi†

Katerisasi kardia

Endoskopi gastrointestinal

Cesarean section

Tidak ada infeksi : Katerisasi

uretra, kuretase, tidak ada

komplikasi pada partus

pervaginam, insersi atau

mengeluarkan alat untrauterine,

tindakan yang steril, laparoskopi†

Antibiotik profilaksis diberikan untuk eradikasi pathogen yang

menyebabkan endokarditis, biasanya yang disebabkan pleh bakteri

staphylococcus

† pada pasien dengan risiko tinggi bisa diberikan profilaksis untuk tindakan

tersebut

Table 9: Risiko Terkena Infeksi Endokarditis Disertai Adanya Kelainan

Jantung

Risiko Tinggi Risiko Sedang Risiko Rendah*

Katup Jantung

prostetik†

Pernah mengalami

infeksi endikarditis †

Penyakit jantung

Prolaps katup mitral

dengan regurgitasi

(murmur)

Murni Mitral stenosis

Prolaps katup mitral

tanpa regurgitasi

(murmur)

Ada regurgitasi valvular

pada ekokardiografi

15

Page 16: Demam rematik 1

bawaan sianotik†

Paten duktus

arteriosus

Aorta regurgitasi

Aota stenosis

Mitral regurgitasi

Mitral stenosis dan

regurgitasi

Defek septal ventrikel

Koartasi aorta

Operasi perbaikan lesi

intrakardia dengan

residual hemodinamik

abnormal

Operasi shunt

pulmonal†

Tricuspid valve disease

Stenosis pulmonal

Nipertropi septal yang

asimetris

Bicuspid aortic valve

atau calcific aorta

skerosis dengan

minimal hemodinamik

yang abnormal

Penyakit Degenerasi

valvular pada orang tua

Operasi perbaikan lesi

intrakardia dengan

minimal atau tidak ada

abnormalitas

hemodinamik, dalam 6

bulan pertama setelah

operasi

tanpa kelainan

structural

Isolated atrial septal

defek (secundum)

Plak arteriosklerosis

Penyakit jantung

koroner

Pacemarker, implantasi

defibrillator

Operasi perbaikan lesi

intrakardia dengan

minimal atau tidak ada

kelainan hemodinamik

lebih dari 6 bulan

setelah operasi

Bypass koroner

Penyakit Kawasaki atau

demam rematik tanpa

disfungsi valvular

Tidak direkomendasikan profilaksis untuk endokarditis

† Lesi dianggap risiko tinggi untuk terkena endokarditis

Tabel 10: Regimen profilaksis untuk endokarditis pada tindakan gigi, oral

dan saluran pernafasan bagian atas

Regimen

Regimen standart† Amoxicillin 3.0 mg oral 1 jam sebelum

tindakan kmd 1.5 mg , 6 jam setelah dosis

awal

Regimen untuk pasien alergi

penicillin/amoxicillin

Eritromycin ethylsuccinate , 800 mg atau

erythromycin stearate, 1.0 mg oral 2 jam

16

Page 17: Demam rematik 1

sebelum tindakan kmd setengah dosis 6

jam setelah dosis awal

ATAU

Clindamycin , 300 mg oral 1 jam sebelum

tindakan dan 150 mg 6 jam setelah dosis

awal

Pasien yang tidak mampu konsumsi obat

oral

Ampicillin, 2.0 mg IM/IV 30 meni sebelum

tindakan seterusnya ampicilin, 1.0 mg

IM/IV atau amoxicillin 1.5 mg oral setelah

6 jam dosis awal

Regimen untuk pasien alergi penicillin dan

tidak mampu minum obat oral

Clindamycin, 300mg IV 30 menit sebelum

tindakan diikuti 150 mg setelah 6 jam

setelah dosis awal

Regimen untuk pasien yang berisiko tinggi

dan bukan kandidat untuk regimen standart

Gunakan regimen standart untuk tindakan

genitourinari dan gastrointestinal

Regimen untuk pasien yang alergi penicillin

dan berisiko tinggi

Gunakan regimen untuk pasien yang

alergi pada tindakan genitourinary dan

gastrointestinal

Dosis untuk dewasa

Untuk anak-anak, dosis awal: Ampicillin / Amoxicillin, 50 mg/kg, 10

mg/kg ; eritromycin ethylsuccinate atau erythromycin stearate, 20 mg/kg ;

gentamycin, 20 mg/kg dan vancomycin, 20 mg/kg. untuk dosis yang

seterusnya adalah separuh dari dosis awal.

† rekomendasi pada pasien dengan risiko tinggi termasuk pasien dengan

katup jantung prostetik.

Tabel 11: Profilaksis Endokarditis; Regimen Yang Digunakan Untuk

Tindakan Genitourinari/Gastrointestinal

REGIMEN

Regimen Standart† Ampicilin, 2.0mg IV ditambah 1.5 mg/kg

(max 80mg) IV / IM 3o menit sebelum

tindakan: diikuti amoxicillin 1.5 mg oral 6

17

Page 18: Demam rematik 1

jam setelah dosis awal

Regimen untuk ampicilin/amoxicillin/ pasien

alergi pencillin†

Vancomycin, parenteral dan bisa diulang

setiap 8 jam setelah dosis awal

Alternative regimen untuk pasien dengan

risiko rendah

Amoxicillin 3.0mg oral 1 jam sebelum

tindakan, kmd 1.5 mg 6 jam setelah dosis

awal

Dosis untuk dewasa. Dosis ulang untuk vamcomycin dan gentamicin

perlu diatur pada pasien dengan disfungsi renal.

BAB III

PENUTUP

3.1. Kesimpulan

o Demam rematik merupakan proses imun sistemik yang dapat bersifat

akut, subakut, kronik, atau fulminan, dan dapat terjadi setelah infeksi

Streptococcus beta hemolyticus group A pada saluran pernafasan bagian

atas.

o Penyakit jantung rematik adalah kelainan jantung yang terjadi akibat

demam rematik atau kelainan karditis rematik.

o Kriteria diagnosis demam rematik meliputi kelompok kriteria mayor dan

minor yang pada dasarnya merupakan manifestasi klinik dan laboratorik

demam rematik serta dengan tambahan bukti adanya infeksi

Streptococcus sebelumnya

18

Page 19: Demam rematik 1

o Tatalaksana Penyakit Demam Rematik meliputi istirahat di tempat tidur

(tirah baring), dan terapi suportif lainnya (pemberian antiinflamasi

mengurangi gejala, antibiotik profilaksis, dsb)

3.2 Saran

o Kita sebagai calon tenaga kessehatan seharusnya mengerti dan mampu

untuk melakukan diagnosis, penatalaksanaan dini secara tepat serta

pencegahan yang efisien terhadap penyakit demam rematik sebab

dengan diagnosis yang tepat, membantu mengurangi angka kematian

akibat penyakit demam rematik.

DAFTAR PUSTAKA

Beggs, Sean; Peterson, Gregory; Tompson, Anna. 2008.Antibiotic use for the

Prevention and Treatment of Rheumatic Fever and Rheumatic Heart

Disease in Children. Second Meeting of the Subcommittee of the Expert

Committee on the Selection and Use of Essential Medicines . Paediatric

Department, Royal Hobart Hospital and University of Tasmania

Braunwald. 2001. Heart Disease: A Textbook of Cardiovascular Medicine, 6th

ed., Copyright W. B. Saunders Company

Leman, Saharman. 2009. Demam Rematik dan Penyakit Jantung Rematik. Buku

Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid II edisi V. halaman 1662-1668. Jakarta :

Interna Publishing

Olivier, WC. 2004. Rheumatic Fever, Orphanet. http://www.orpha.net/data/patho/

19

Page 20: Demam rematik 1

GB/uk-RF.pdf

Siregar A A. 2008. Demam rematik dan Penyakit jantung rematik Permasalahan

Indonesia. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap Pada Fakultas

Kedokteran diucapkan di hadapan rapat terbuka Universitas Sumatera

Utara

Tierney, L.M. ; McPhee. S.J.; Papadakis, M.A. 2004. Current Medical Diagnosis

& Treatment 43rd edition (October 21, 2003) McGraw-Hill/Appleton &

LangeBy OkDoKeY

Wilson et al, 2007. Prevention of Infective Endocarditis. A Guideline From the

American Heart Association Rheumatic Fever, Endocarditis, and

Kawasaki Disease Committee, Council on Cardiovascular Disease in

the Young, and the Council on Clinical Cardiology, Council on

Cardiovascular Surgery and Anesthesia, and the Quality of Care and

Outcomes Research Interdisciplinary Working Group. Circulation-

Journal of the American Heart Association. Online.

20