demam rematik dan penyakit jantung rematik
DESCRIPTION
makalahTRANSCRIPT
Demam Rematik
dan
Penyakit Jantung RematikBernadina N S Lewowerang
102011303
Kelompok : C8
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jalan Arjuna Utara No. 6 Jakarta Barat 11510
email : [email protected]
Pendahuluan
Demam reumatik adalah suatu penyakit peradangan multisistem akut yang diperantarai
secara imunologis dan terjadi beberapa minggu setelah faringitis yang disebabkan
streptokokus grup A. Karditis reumatik akut selama fase aktif dapat berkembang menjadi
penyakit jantung reumatik (Reumatic Heart Disease) kronik. 1
Di awal tahun 1960, demam reumatik dan komplikasi utamanya yaitu penyakit jantung
valvuler, merupakan masalah besar di seluruh dunia. Selama dekade akhir 1960 dan 1970
penyakit ini hampir menghilang di Amerika Serikat dan Eropa Barat, walaupun penyakit ini
terus tidak mereda di negara-negara berkembang seperti Timur Tengah dan Afrika. 1,2
Penurunan penyakit ini mungkin merupakan akibat berkurangnya virulensi streptokokus
hemolitikus beta, pengenalan antibiotika, dan perbaikan kondisi sosial. Demam reumatik
mungkin merupakan respons imunologis abnormal terhadap streptokus hemolitikus beta,
yaitu suatu organisme yang sering menimbulkan faringitis dan tonsilitis. Diperkirakan bahwa
tubuh tidak dapat membedakan antigen dari tubuh sendiri dengan antigen dari organisme
tersebut sehingga terjadi reaksi autoimun. 1,2
Demam reumatik kemudian muncul kembali di Amerika Serikat pada pertengahan dan
akhir tahun 1980. Munculnya kembali demam reumatik ini menekankan kembali perlunya
pengertian yang lebih baik dari patogenesis demam reumatik sehingga cara-cara kesehatan
masyarakat dan cara-cara pencegahan lain dapat lebih efektif. 1
1
Anamnesis
Untuk dapat menegakan diagnosis maka dokter harus membedakan gejala-gejala
antara satu penyakit dengan penyakit yang lainnya, oleh karena itu anamnesis yang baik
dapat membantu dokter itu sendiri untuk mendiagnosa dengan tepat. Anamnesis merupakan
komunikasi antara dokter dan pasien. Untuk pengetahui data tentang pasien serta keluhan dan
riwayat penyakit pasien. Jika pasiennya masih anak – anak,biasanya anamnesis ditujukan
kepada orang tua atau keluarga pasien. Dalam hal ini yang ditanyakan berupa riwayat
penyakit pasien sejak kecil. Urutan anamnesis seperti biasanya mulai ditanyakan keluhan
utama (KU), Riwayat Penyakit Sekarang (RPS), Riwayat Penyakit Dahulu (RPD), Riwayat
Penyakit Keluarga (RPK) serta kehidupan social masyarakat tempat pasien tinggal. Demam
reumatik harus dibedakan dengan dengan Rematoid Arthritis dan juga Systemic Lupus
Erythematosus karena riwayat keluarga perlu ditanyakan dengan jelas. Jika ada riwayat
keluarga yang pernah mengalami hal yang sama kemungkinan pasien menderita RA atau
SLE. 3
Biasanya pasien datang dengan tanda-tanda Karditis, disebabkan karena gejala-gejala
poliartritis akan sembuh dengan sempurna dalam beberapa minggu. 2
Berikut ada beberapa pertanyaan yang dapat digunakan dalam anamnesis pasien yang diduga
menderita demam rematik.3,4
Infeksi tenggorokan
apakah ada keluhan nyeri menelan sebelumnya?
Apakah disertai gejala batuk dan mata merah?
Adakah keluhan demam?
Adakah nyeri tekan pada kelenjar leher?
Poliartritis
Sendi mana yang terkena? Apakah ada bengkak yang terjadi tiba-tiba pada sendi-
sendi besar (lutut, pergelangan kaki atau tangan, paha,lengan, siku dan bahu)
sebelumnya?
Bila mengenai sendi yang kecil, maka kemungkinan nya adalah rheumatoid
arthritis.
Apakah bengkak pada sendi simetris dan berpindah?
Apakah bengkak tersebut disertai nyeri?
Adakah kaku, bengkak atau deformitas?
Pada Reumatoid Arthritis dan Systemic Lupus Erythematosus biasanya disertai
2
kaku pada pagi hari.
Karditis
Adakah sesak? Apakah sesak dipengaruhi aktivitas?
Adakah sesak pada malam hari?
Adakah sesak yang terjadi pada posisi berbaring dan hilang pada posisi duduk?
Adakah nyeri dada? Bagaimanakah sifat nyeri?
Adakah pembengkakan (udem)?
Korea
Adakah gerakan-gerakan yang tidak disadari?
Adakah kelemahan otot?
Adakah ketidakstabilan emosi?
Eritema marginatum
Adakah bercak kemerahan yang tidak gatal?
Apakah bercaknya seakan-akan menjauhi pusat lingkaran?
Apakah bercak berpindah-pindah?
Nodul Subkutan
Adakah teraba massa padat?
Apakah massa tersebut tidak terasa nyeri, mudah digerakkan dari kulit di atasnya
Pemeriksaan Fisik
Inspeksi
Perhatikan apakah terjadi deformitas dada. Pembesaran jantung yang lama pada bayi dan
anak dapat menimbulkan penonjolan satu sisi dada, sehingga terjadi asimetri dada (voussure
cardiaque). Hipertensi pulmonal pada pirau dari kiri dan kanan dapat menimbulkan kelainan
bentuk dada yang membulat ke depan akibat pembesaran ventrikel kanan. Dilatasi atau
hipertrofi ventrikel kiri akan menyebabkan penonjolan dinding dada di garis mamilaris.
Penonjolan difus dapat terjadi bila terdapat hipertrofi ventrikel kiri dan kanan. Kelainan
bentuk dada lainnya ialah dada burung (pektus karinatum) dan pectus ekskavatus. Yang
terakhir ini sering disertai depresi iga-iga bawah ke dalam yang sering tampak pada pirau
kanan ke kiri yang besar, disebut sebagai “Harrison’s groove”. Perhatikan pula iktus kordis
pada dinding dada serta pulsasi pembuluh darah di leher, dada, dan perut.5
Palpasi
3
Dengan palpasi kita memastikan iktus kordis yang mungkin sudah terlihat pada inspeksi .
Di samping itu juga kita raba denyutan jantung, aktivitas ventrikel serta getaran bising
(thrill). Dengan berdiri di sebelah kanan penderita yang terlentang, jari-jari tangan kanan
pemeriksa diletakkan di sela-sela iga ke 4,5, dan 6 pada linea aksilaris anterior kiri penderita.
Palpasi diteruskan ke tepi kiri bawah sternum, sepanjang tepi kiri dan kanan sternum, semua
sela iga kiri dan kanan, akhirnya seluruh dinding toraks dipalpasi dengan cermat.
Aktifitas ventrikel kanan hanya teraba normal pada bulan-bulan pertama kehidupan saja,
terutama pada fase inspirasi, di daerah bawah kiri sternum dan sub-xifoid. Aktifitas ventrikel
kanan yang teraba pada anak yang lebih tua berarti abnormal. Aktifitas ventrikel kanan
kadang-kadang dapat diraba pada sela iga 2 atau 3 di tepi kiri sternum, pada jalan keluar
ventrikel kanan. Bunyi jantung II juga dapat diraba di tempat ini, misalnya pada hipertensi
pulmonal (pulmonary tapping). Hiperaktifitas ventrikel kiri akan memberi gejala heaving
yang difus di daerah medioklavikular kiri, kadang-kadang meluas sampai ke linea aksilaris
anterior atau medius atau ke arah bawah sela iga ke-6.
Adanya denyut nadi interkostal pada koarktasio aorta dapat diraba di tepi bawah iga,
sebaiknya dilakukan pada posisi duduk. Getaran bising (thrill), sesuai dengan namanya
adalah bising jantung yang dapat diraba. Area terbaik untuk meraba getaran bising ialah
dengan meletakkan telapak tangan secara ringan di dinding dada. Perhatikan waktu terjadinya
getaran bising, lokasi serta bila ada penjalarannya. Getaran bisng sesuai tampaknya dengan
pungtum maksimum bising pada auskultasi.5
Perkusi
Perkusi dinding dada pada bayi dan anak kecil biasanya tidak memberikan informasi apa-
apa akibat tipisnya dinding dada. Dengan palpasi kita dapat memperoleh informasi lebih
banyak. Perkusi dapat dilakukan pada anak yang besar atau dewasa muda; di samping untuk
menentukan batas-batas jantung secara klinis, juga untuk menilai keadaan paru-paru,
khususnya terdapat efusi pleura.5
Auskultasi
Seluruh dinding dada dari prekordium sampai ke punggung harus diperiksa bila kita
hanya mendengarkan daerah-daerah tersebut saja mungkin kita akan kehilangan banyak
informasi yang berharga. Bila mungkin anak diletakkan berbaring telentang, stetoskop
diletakkan mulai dari apeks ke arah tepi kiri sternum dan kemudian menuju ke basis jantung,
kemudian ke sepanjang tepi kanan sternum dan akhirnya ke seluruh dinding depan dan
belakang toraks harus diperiksa. 3
4
Pemeriksa harus menentukan fase siiklus jantung, menentukan bunyi jantung I dan II,
serta bila ada bunyi hantung III dan IV. Bising jantung serta bunyi tambahan lainnya harus
diperhatikan dan dicatat dengans ekasama. Perhatikan semua bunyi dan bising jantung
apakah berubah dengan fase-fase respirasi serta perubahan posisi seperti duduk, duduk
dengan menunduk serta miring ke kiri. Untuk memperoleh hasil maksimal, stetoskop yang
dipakai harus sesuai dengan besarnya anak. Stetoskop yang terlalu kecil mungkin tidak cukup
baik untuk mengumpulkan suara yang jelas, sedangkan stetoskop yang terlalu besar akan
menyulitkan pemeriksa untuk melokalisasi bunyi atau bising jantung dengan tepat.
Bunyi jantung yang selalu ada ialah bunyi jantung I dan bunyi jantung II. Kedua bunyi ini
harus ditentukan dengan tepat terlebih dahulu; bila tidak maka penilaian terhadap bunyi lain
serta bising jantung menjadi tidak akurat atau malah menjadi salah sama sekali. Bunyi
jantung I dan II ditentukan dengan memperhatikan hal-hal berikut.
a. Bunyi jantung I bersamaan dengan iktus kordis.
b. Bunyi jantung I bersamaan atau hampir bersamaan dengan dengan denyut karotis.
c. Bunyi jantung I terdengar lebih keras di apeks dibandingkan dengan di basis jantung.
d. Bunyi jantung II terdengar keras di basis jantung dan bila stetoskop digeser ke apeks,
maka bunyi jantung II akan semakin melemah.
Jarak antara bunyi jantung I dan bunyi jantung II (fase sistole) lebih pendek daripada jarak
antara bunyi jantung II-bunyi jantung I (fase diastole). Hal ini jelas bila irama jantung teratur
dan frekuensi denyut jantung tidak terlalu cepat (biasanya di bawah 100/menit); pada fase
frekuensi 70/menit menempati 3/8 bagian sedangkan fase diastole menempati 5/8 bagian dari
siklus jantung.
Pemeriksaan Lain
Paru-paru
Memperhatikan ada atau tidaknya dispneu, takipneu, nafas cuping hidung serta retraksi.
Pada bayi atau anak yang terlalu kurus, sering terlihat retraksi sela iga tanpa ada gangguan
pernapasan. Dinilai juga dalamnya pernapasan, apakah “air entry” cukup dan sifat pernapasan
apakah bersifat abdominal, abdomino-torakal. Sifat pernapasan, apakah normal, kusmaul,
biot, cheyne stokes.
Perkusi paru dilakukan untuk anak yang agak besar untuk menentukan apakah ada efusi
pleura atau tidak. Pada auskultasi untuk menentukan apakah ada ronki pada gagal jantung
kongestif. Stridor inspiratorik selain terjadi pada kelainan jalan napas, juga dapat terjadi pada
5
pada kelainan vaskular di mediastinum. Wheezing yang biasa di dapat pada kelainan
obstruktif paru, juga dapat ditemukan pada salah satu tanda gagal jantung kongestif.5
Abdomen
Tentukan posisi hati. Hati yang terletak di kiri adalah tanda terdapatnya situs inversus,
yang sering disertai kelainan jantung bawaan. Pada bayi dan anak kecil, hati yang teraba 2 cm
di bawah arkus costae mungkin masih normal. Pada anak yang lebih besar, biasanya hati
sudah tidak teraba kecuali pada inspirasi dalam. Selain ukurannya, perhatikan pula
permukaannya, tepinya (tajam atau tumpul) dan ada atau tidaknya nyeri tekan. Perhatikan
adanya pulsasi hati yang abnormal. Refluks hepatojugularis yang positif menandakan
terdapatnya bendungan sistem vena sistemik pada gagal jantung kanan. Splenomegali dapat
ditemukan pada endokarditis. Palpasi ginjal penting untuk menentukan adanya kelainan
bawaan lain pada sistem traktus urinarius.5
Ekstremitas
Menilai ada atau tidaknya sianosis. Jari-jari tabuh (clubbing of fingers) terdapatnya pada
kelaianan jantung bawaan sianotik, biasanya setelah berumur 1 tahun. Edema tungkai perlu
dicari, sebagai salah satu tanda gagal jantung kanan. Edema ini lebih sering terlihat pada anak
yang besar daripada bayi. Kelaianan sendi erat hubungannya dengan beberapa kelainan
jantung yang didapat khususnya demam rematik. Nodul subkutan juga perlu dicari secara
khusus di bagian ekstensor ekstremitas, di sekitar prosesus vertebralis dan di oksiput.5
Kulit
Kelainan kulit pada demam reumatik berupa eritema marginatum perlu pula dicari, bila
perlu dilakukan provokasi dengan air hangat. Berbagai manifestasi kulit endokarditis
bakterialis (ptekie, nodus Osler, kelainan Janeway, dan splinter hemorrhage) mudah
terlewatkan bila tidak diperhatikan secara khusus. Lesi kupu-kupu pada kulit muka dikatakan
khas untuk SLE.5
Sistem Saraf
Di samping penilaian kesadaran, terdapatnya kelainan refleks serta paresia atau paralisis perlu
diteliti, yang mungkin merupakan komplikasi jantung bawaan sianotik.5
6
Pemeriksaan Penunjang
1. Biakan tenggorokan
Tidak ada satu uji laboratorium spesifik yang dapat memperkuat diagnosis demam
reumatik akut. Bukti laboratorium adanya infeksi streptokokus berasal dari biakan
atau adanya respons imun terhadap antigen streptokokus grup A. biakan tenggorok
merupakan standar baku. Semua penderita yang dicurigai menderita demam reumatik
akut harus sekurang-kurangnya dilakukan satu kali biakan tenggorok sebelum
memulai terapi antibiotik.1,2
2. Uji Serologi
Uji antibodi streptokokus merupakan metode lain untuk mendeteksi infeksi
streptokokus grup A. uji yang paling sering digunakan adalah uji ASTO. Uji lain yang
mungkin digunakan adalah anti-DNase B dan uji AH. Kenaikan titer antiodi
merupakan bukti adanya infeksi streptokokus grup A, tetapi bukti yang dapat lebih
dipercaya adalah adanya peningkatan titer antara serum akut dan konvalesen. Uji
ASTO mencapai puncaknya 3-6 minggu sesudah infeksi, sedang uji anti DNase B
mencapai puncaknya sedikit lebih lambat yaitu 6-8 minggu. 1,2
3. Reaktan fase akut
LED atau PCR biasanya naik pada permulaan demam reumatik akut. Namun uji
ini tidak spesifik. Penentuan faktor reumatoid, antibodi antinuklear, dan penentuan
kadar komplemen jarang membantu membuat diagnosis demam reumatik akut.
Kadang kenaikan nonspesifik gamma globulin serum dapat ditemukan. 1,2
4. Elektrokardiogram
Elektrokardiogram dapat menunjukan blokade jantung pertama (pemanjangan
interval PR), dan pada keadaan jarang blokade derajat 2 atau 3. Pada serangan
pertama, elektrokardiogram biasanya tidak luar biasa. Pada penderita dengan penyakit
jantung reumatik kronis, manifestasi elektrokardiografi akibat penyakit jantung
seperti pembesaran atrium kiri. 1,2
5. Rontgen
Tidak ada tanda-tanda spesifik yang ditunjukkan oleh rontgenogram dada biasa
tetapi sering ada kardiomegali, terutama pada individu dengan karditis yang berarti. 1,2
6. Ekokardiogram
Beberapa individu dengan bukti adanya penyakit katup subklinis mungkin
menunjukkan regurgitasi katup pada ekokardiografi Doppler dua-dimensi.
7
Ekokardiogram berguna dalam mengevaluasi penderita yang dicurigai sedang
menderita demam reumatik atau penyakit jantung reumatik. 1,2
Dignosis kerja
Penyakit jantung rematik (rematic heart disease) adalah suatu kondisi dimana katup jantung
terusak oleh infeksi Streptococcus Beta Hemoliticus group A yang disebabkan penyakit
demam rematik terdahulu. Demam rematik adalah sindroma klinis akibat infeksi
Streptococcus Beta Hemoliticus Group A.
Diagnosis banding
Tetralogi fallot
TF adalah penyakit jantung bawaan sianotik yang paling sering ditemukan, mencakup 5-
8 % seluruh penyakit jantung bawaan. Tetralogi fallot terjadi bila terdapat kegagalan
perkembangan infundibulum. Sindrom ini terdiri dari 4 kelainan, yakni: (1) defek septum
ventrikel, (2) stenosis pulmonal, (3) overriding aorta, (4) hipertrofi ventrikel kanan.
Kelainan yang penting secara fisiologis adalah stenosis pulmonal dan defek septum
ventrikel. Oleh karena defek septum ventrikel hampir selalu besar (lebih kurang sama
dengan diameter pangkal aorta), maka derajat TF ditentukan oleh beratnya stenosis
pulmonal; makin berat derajat stenosisnya makin berat juga derajat TF.6
Defek septum ventrikel (DVS)
Defek septum ventrikel (DVS) merupakan Penyakit jantung bawaan (PJB) yang paling
sering ditemukan, sekitar 30% dari semua jenis PJB. Pada sebagian kasus, diagnosis
kelainan ini ditegakkan setelah melewati masa neonatus, karena pada minggu-minggu
pertama bising yang bermakna biasanya belum terdengar karena resistensi vascular paru
masih tinggi dan akan menurun setelah 8-10 minggu. Pada DVS kecil hanya terjadi pirai
dari kiri ke kanan yang minimal sehingga tidak terjadi gangguan hemodinamik yang
berarti. Pada defek sedang dan besar terjadi pirau yang bermakna dari ventrikel kiri ke
ventrikel kanan.6
Duktus Arteriosus Persisten
Duktus Arteriosus Persisten (DPA) adalah duktus arteriosus yang tetap terbuka setelah
bayi lahir. Kelainan ini merupakan 7% dari seluruh PJB. DPA sering dijumpai pada bayi
8
premature, insidensnya bertambah dengan berkurangnya masa gestasi. Sebagian besar
DAP persisten menghubungkan aorta dengan a.pulmonalis kiri. Pada bayi baru lahir,
duktus arteriosus yang semula mengalirkan darah dari a.pulmonalis ke aorta akan
berfungsi sebaliknya karena resistensi vascular paru menurun dengan tajam dan secara
normal mulai menutup. Maka, dalam beberapa jam secara fungsional tidak terdapat arus
darah dari aorta ke a.pulmonalis. Bila duktus tetap terbuka, terjadi keseimbangan antara
aorta dan a.pulmonalis. dengan semakin berkurangnya resistensi vascular paru maka pirai
dari aorta ke arah a.pulmonalis (kiri ke kanan) makin meningkat.6
Epidemiologi
Demam rematik (DR) masih sering didapati pada anak di negara sedang berkembang dan
sering mengenai anak usia antara 5 – 15 tahun. Pada tahun 1944 diperkirakan diseluruh dunia
terdapat 12 juta penderita DR dan PJR dan sekitar 3 juta mengalami gagal jantung dan
memerlukan rawat inap berulang di rumah sakit. Prevalensinya dinegara sedang berkembang
berkisar antara 7,9 sampai 12,6 per 1000 anak sekolah dan relatif stabil. Data terakhir
mengenai prevalensi demam rematik di Indonesia untuk tahun 1981 – 1990 didapati 0,3-0,8
diantara 1000 anak sekolah dan jauh lebih rendah dibanding negara berkembang lainnya.
Statistik rumah sakit di negara sedang berkembang menunjukkan sekitar 10 – 35 persen dari
penderita penyakit jantung yang masuk kerumah sakit adalah penderita DR dan PJR. Data
yang berasal dari negara berkembang memperlihatkan mortalitas karena DR dan PJR masih
merupakan problem dan kematian karena DR akut terdapat pada anak dan dewasa muda. 1-3
Di negara maju insiden DR dan prevalensi PJR sudah jauh berkurang dan bahkan sudah
tidak dijumpai lagi, tetapi akhir-akhir ini dilaporkan memperlihatkan peningkatan dibeberapa
negara maju. Dilaporkan dibeberapa tempat di Amerika Serikat pada pertengahan dan akhir
tahun 1980an telah terjadi peningkatan insidens DR, demikian juga pada populasi aborigin di
Australia dan New Zealand dilaporkan peningkatan penyakit ini. 1,2,3
Etiologi
Infeksi Streptococcus Beta Hemoliticus group A. infeksi bakteri ini biasanya menyebabkan
faringitis dan sebagian kecil infeksi pada kulit (pioderma). Tidak semua streptococcus group
A dapat menyebabkan demam rematik, serotype seperti M tipe 4,2,12.
Streptococcus Beta Hemoliticus dikenali oleh karena morfologi koloninya dan
kemampuannya untuk menimbulkan hemolisis. Sel ini terdiri dari sitoplasma yang dikelilingi
oleh tiga lapisan membrane, yang disusun terutama dari lipoprotein. Diluar membrane
9
sitoplasma adalah dinding sel, terdiri dari tiga komponen: (1) komponen bagian dalam adalah
peptidoglikan yang memberi kekakuan dinding sel. (2) polisakarida dinding sel atau
karbohidrat spesifik grup. (3) mosaic protein yang dilabel sebagai protein M yakni antigen
spesifik tipe dari streptococcus group A. adanya protein ini menghambat fagositosis.
Streptococcus menghasilkan sejumlah enzim ekstraseluler termasuk dua hemolisin atau
streptolisin S yang stabil pada oksigen, serta streptolisin O yang labil terhadap oksigen.1,2
Patogenesis
Meskipun sampai sekarang ada hal-hal yang belum jelas, tetapi ada penelitian yang
mendapatkan bahwa DR yang mengakibatkan PJR terjadi akibat sensitisasi dari antigen
streptokokus di faring. Lebih kurang 95% pasien menunjukan peninggian titer antistreptoksin
O (ASTO), antideoksiribonukleat B ( anti DNA-ase B) yang merupakan dua macam tes yang
biasa dilakukan, untuk infeksi kuman SGA.
Faktor-faktor yang diduga terjadinya komplikasi pasca streptokokus ini kemungkinan utama
adalah virulensi dan antigensitas streptokokus dan besarnya response umum dari host dan
persistensi organisme yang menginfeksi faring. Resiko untuk kambuh sesudah mendapat
serangan streptokokus adalah 50-60%.
Penelitian-penelitian lain kebanyakan menyokong mekanisme autoimunitas atas dasar reaksi
antigen antibody terhadap antigen streptokokus. Salah satu antigen tersebut adalah protein M-
streptokokus.3
Manifestasi Klinik
DR/PJR yang kita kenal sekarang merupakan kumpulan gejala terpisah-pisah dan kemudian
menjadi suatu penyakit DR/PJR.
Arthritis
Merupakan gejala mayor yang sering ditemukan pada DR akut. Sendi yang dikenai
berpindah-pindah tanpa cacat yang biasanya adalah sendi besar seperti lutut,
pergelangan kaki, paha, lengan, panggul, siku dan bahu. Munculnya tiba-tiba dengan
rasa nyeri yang meningkat 12-24 jam yang diikuti dengan reaksi radang. Nyeri ini
akan menghilang secara perlahan-lahan. Radang sendi ini jarang menetap lebih dari 1
minggu sehingga terlihat sembuh sempurna.3,7
10
Karditis
Merupakan manifestasi yang klinis yang penting dengan insidens 40-50% atau
berlanjut dengan gejala yang lebih berat yaitu gagal jantung. Kadang-kadang karditis
itu asimptomatik dan terdeteksi saat adanya nyeri sendi dan bisa hanya mengenai
endokardium saja. Endokarditis terdeteksi saat adanya bising jantung. Yang banyak
terkenai adalah katup mitral dan katup aorta. Adanya regurgitasi mitral ditemukan
dengan bising sistolik yang menjalar ke asila, dan kadang-kadang juga disertai bising
mid-diastolik. Dengan dua dimensi ekokardiografi dapat mengevaluasi kelainan
anatomi jantung sedangkan dengan Doppler dapat menentukan fungsi dari jantung.3,7
Chorea
Chorea ini didapatkan 10% dari DR yang dapat merupakan manifestasi klinis sendiri
atau bersamaan dengan karditis. Masa laten infeksi SGA dengan chorea cukup lama
yaitu 2-6 bulan atau lebih. Lebih sering dikenai pada perempuan 8-12 tahun. Dan
gejala ini muncul sampai 3-4 bulan. Dapat juga ditemukan pada anak, suatu emosi
yang labil dimana anak ini suka menyendiri dan kurang perhatian terhadap
lingkungannya sendiri.3,7
Eritema marginatum
Ditemukan kira-kira 5% dari pasien DR dan berlangsung berminggu-minggu dan
berbulan, tidak nyeri dan gatal.3
Nodul subkutanius
Nodulnya terbatas dan tidak nyeri tekan. Demam pada DR tidak khas, dan jarang
menjadi keluhan utama oleh pasien.3
Penatalaksanaan
1. Eradikasi kuman
Dianjurkan menggunakan penisilin dosis biasa selama 10 hari, pada penderita
yang peka terhadap penisilin dapat diganti dengan eritromisin. Pengobatan terhadap
streptokokus harus tetap diberikan mesikpun biakan usap tenggorok negatif, karena
ada kemungkinan kuman masih hidup dalam jumlah sedikit di jaringan farig dan
tonsil. Penisilin tidak memiliki efek terhadap demam, gejala sendi, dan laju endap
darah, tetapi berperan dalam penurunan insiden penyakit jantung reumatik.1,3
11
Tabel 1. Pengobatan Infeksi Streptokokus Hemolitikus Beta Grup A
Jenis Cara Pemberian Dosis Frekuensi
Penisilin benzatin
G
Penisilin prokain
Penisilin V
Eritromisin
IM
IM
Oral
Oral
1,2 juta S
600.000 S
250.000 S
125-250 mg
1 kali
1-2 kali sehari
selama 10 hari
3 kali sehari selama
10 hari
4 kali sehari selama
10 hari
Pencegahan
Dalam tindakan pencegahan terhadap demam reumatik atau penyakit jantung
reumatik, dikenal 2 bentuk profilaksis yaitu profilaksis primer dan profilaksis
sekunder.
1. Profilaksis primer
Profilaksis primer demam reumatik adalah pengobatan adekuat terhadap semua
penderita infeksi saluran nafas bagian atas akibat streptokokus hemolitikus beta grup
A. diperlukan pengenalan terhadap infeksi streptokokus oleh para dokter. Jenis obat,
cara pemberian dan dosisnya sama dengan untuk eradikasi kuman pada pengobatan
demam reumatik akut. 1,3
2. Profilaksis sekunder
Profilaksis sekunder merupakan cara untuk mencegah terjadinya infeksi
streptokokus pada penderita demam reumatik atau penyakit jantung reumatik stadium
IV yaitu fase inaktif, termasuk untuk mereka yang hanya pernah menunjukkan gejala
khorea minor saja. Tindakan profilaksis ini berlangsung lama, perlu kesadaran
dokter, petugas kesehatan lain selain penderita dan orang tua penderita agar program
profilaksis dapat berjalan sebagaimana mestinya. Profilaksis sekunder harus segera
dilakukan segera setelah diagnosis ditegakkan. Profilaksis mulai diberikan pada hari
ke-11 perawatan yaitu setelah program eradikasi terhadap kuman streptokokus
hemolitikus beta grup A selama 10 hari selesai. 1,3
12
a. Penisilin benzatin G
Merupakan obat pilihan untuk profilaksis sekunder karena sangat efektif,
absorpsi lebih baik daripada cara oral serta mudah dipantau. Penderita hanya
perlu datang sebulan sekali, harganya pun relatif lebih murah.
b. Penisilin oral
Lebih efektif daripada sulfa. Dosis oral adalah 2x1 tablet (200.000
Satuan/hari). Seperti semua obat oral lainnya, diperlukan ketaatan untuk
meminum obat secara teratur selama bertahun-tahun.
c. Sulfadiazin, 2x1 tablet (500mg/hari)
d. Eritromisin 2x250 mg/hari untuk penderita alergi terhadap penisilin dan sulfa.
Prognosis
DR tidak akan kambuh bila infeksi streptokokus diatasi. Prognosis sangat baik bila
karditis sembuh pada saat permulaan serangan akut DR. selama 5 tahun pertama perjalanan
penyakit DR dan PJR tidak membaik bila bising organic katup tidak menghilang. Prognosis
memburuk bila gejala karditisnya lebih berat.
Kesimpulan
Demam rematik atau penyakit jantung koroner merupakan penyakit yang masih menjadi masalah di Indonesia. Diagnosis dini, pengobatan secara tepat dan pencegahan sekunder merupakan aspek yang sangat penting dalam penanganan demam rematik atau penyakit jantung koroner.
13
Daftar Pustaka
1. Behrman RE, Kliegman R, Arvin AM. Nelson ilmu kesehatan anak. Edisi ke-15,
Volume ke-3. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2012.h.929-35
2. Rudolph AM, Hoffman JIE, Rudolph CD. Buku ajar pediatri Rudolph. Edisi ke-20,
Volume ke-3. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2007.h.1668-71.
3. Leman, Saharman. Demam rematik dan penyakit jantung rematik. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam jilid II edisi V. halaman 1662-1668. 2009. Jakarta ;I nternal
Publishing. h.1662-1668
4. Kowalak JP, welsh W. Buku pegangan uji diagnostic. Edisi ke 3. Jakarta: EGC;2009.
h.209-749
5. Staf pengajar IKA FKUI. Ilmu kesehatan anak. Volume ke-2. Jakarta: Bagian Ilmu
Kesehatan Anak Universitas Indonesia; 2007.h.661-753.
6. Pudjiadi AH, Hegar B, Handryastuti S dkk. Pedoman pelayanan medis. Jilid 1,2:
Ikatan Dokter Anak Indonesia.h.38-41.
7. Mitchell RN. Buku saku dasar patologis penyakit Robbins & Cotran. Edisi ke-7.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2009.h.344-60.
14