dbd fix
DESCRIPTION
dbdTRANSCRIPT
LAPORAN KASUS
1.1. IDENTITAS PASIEN
Nama : Nn. F
Usia : 19 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Pekerjaan : Karyawan
Agama : Islam
Alamat : kemayoran , Jakarta Pusat
Tanggal masuk : 1-12-2014
1.2. AUTOANAMNESIS
Keluhan Utama : Demam tinggi sejak 1 minggu SMRS.
Keluhan Tambahan : Mimisan, nyeri ulu hati, mual, muntah, batuk
berdahak, mencret, pusing, nafsu makan menurun, lemas.
Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang dengan keluhan demam tinggi sejak 1 minggu SMRS.
Demam dirasakan saat sore menjelang malam. Pagi harinya pasien mengaku
demam sedikit menurun, namun masih dalam kondisi demam, 2 hari SMRS
demam dirasakan terus menerus. Demam disertai menggigil. 5 hari SMRS,
pasien mimisan 2x dalam sehari dan banyak. Selain itu pasien merasakan
pusing, mual, batuk batuk hingga memuntahkan sisa makanan. Pasien juga
mengeluh nyeri ulu hati. Pasien juga mengeluh mencret sejak 1 minggu
SMRS, selama 2 hari. Dalam sehari pasien mencret 5x, cair, berwarna kuning,
berampas dan berbau asam. Namun 2 hari SMRS pasien belum BAB. BAK
normal seperti biasanya. 4 hari SMRS timbul bintik kemerahan pada kaki dan
tangan pasien berobat ke klinik diberi obat antibiotik, parasetamol, dan obat
perdarahan, namun tidak ada perbaikan. Lalu 2 hari SMRS pasien berobat ke
Puskesmas, diberi antibiotik dan parasetamol, tetap tidak ada perbaikan.
Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien belum pernah mengalami penyakit seperti ini. Diabetes
Mellitus (-), Hipertensi (-), Asma (-).
Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat Diabetes Mellitus (-), Hipertensi (-), Asma (-).
Riwayat Pengobatan
Pasien berobat ke klinik diberi obat antibiotik, parasetamol, dan obat
perdarahan, namun tidak ada perbaikan. Lalu pasien berobat ke Puskesmas,
tetap tidak ada perbaikan.
Riwayat Alergi
Pasien tidak mempunyai alergi terhadap makanan ataupun obat-obatan
Riwayat Psikososial
Pasien sehari-hari bekerja di sebuah supermarket. 1 minggu sebelum
demam pasien bersih-bersih di gudang. Pasien suka jajan di sembarangan
tempat. Merokok (-), Minum alkohol (-). Di lingkungan rumah ataupun kerja
tidak ada yang mengalami gejala yang sama
1.3. PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis
Tanda Vital : TD : 110/80 mmHg ; Nadi : 104 x/menit
Suhu : 39,60C ; Pernafasan : 28 x/menit
Status Generalis
‒ Kepala : Normochepal
‒ Mata : Konjungtiva anemis (-)/(-), Sklera ikterik (-)/(-),
‒ Hidung : Normosmia, sekret (-)
‒ Telinga : Normatia, serumen (-)/(-)
‒ Mulut : Bibir kering (+), lidah kotor (-), stomatitis
THORAX : Paru-paru
◦ Inspeksi : Simetris, tidak tampak adanya bagian dada yang
tertinggal saat inspirasi
◦ Palpasi : Vocal fremitus teraba sama di seluruh lapang paru
◦ Perkusi : sonor pada kedua lapang paru
◦ Auskultasi : Vesikuler, ronkhi (-)/(-), wheezing (-)/(-)
Jantung
◦ Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
◦ Palpasi : Ictus cordis teraba pada ics 5 linea midclavicularis
◦ Perkusi : - Batas kanan jantung pada ICS IV linea
parasternal dekstra
- Batas kiri jantung pada ICS V linea midclavicula
sinistra
- Batas paru jantung setinggi ICS III
◦ Auskultasi : Bunyi Jantung I & II murni, mur-mur (-),gallop (-)
Abdomen
◦ Inspeksi : Datar
◦ Auskultasi : Bising usus (+)
◦ Palpasi : Nyeri tekan epigastrium (+), tekan pada
hipokondrium kanan (+), Splenomegali (-),
hepar teraba 2 jari dibawah arcus costae
◦ Perkusi : Timpani di ke empat kuadran abdomen
Ekstremitas Atas & bawah : Petekie (+), rumple leed (+)
◦ Akral : Hangat
◦ Edema : - / -
- / -
◦ RCT : < 2 detik
1.4. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Rujukan
Hb 11,7 g/dl (11,7-15,5)
Leukosit 8,61 ribu/mm3 (5,60-11)
Ht 32 % (33-47)
Trombosit 98 ribu/mm3 (150-440)
MCV 76 fl (80-100)
MCH 27 pg (26-34)
MCHC 35 g/dl (32-36)
SGOT 186 U/L 10-31
SGPT 140 U/L 9-36
Na 133 mEq/L 135-147
K 3,3 mEq/L 3,5-5,0
Cl 92 mEq/L 94-111
Anti Salmonela IgM 4,0 <2,0
1.5. RESUME
Wanita, 19 th datang dengan keluhan demam tinggi sejak 1 minggu SMRS,
timbul saat sore menjelang malam, menggigil (+), epistaksis(+), pusing(+),
nausea(+), batuk hingga vomit (+), nyeri epigastrium(+), diare(+) 1 minggu SMRS,
5x sehari, cair, kuning, berbau asam. 4 hari SMRS timbul petekie (+). 2 hari SMRS
demam dirasakan terus menerus, konstipasi. Sudah berobat ke klinik dan puskesmas,
tidak ada perubahan. Pada pemeriksaan fisik didapatkan suhu 39,6ºC, mukosa bibir
kering (+), nyeri tekan epigastrium dan hipokondrium dextra (+), petekie (+),
hepatomegali (+), rumple leed (+). Pada pemeriksaan penunjang didapatkan
Trombosit : 98 ribu/mm3, SGOT : 186 U/L, SGPT : 140 U/L, Anti Salmonela IgM :
4,0
1.6. DAFTAR MASALAH
- Febris ec. Viral infection / Bacterial Infection
- Dyspepsia
- Konstipasi
- Trombositopeni
- Hepatomegali
1.7. ASSESMENT
- Febris ec. Viral infection
S : demam tinggi sejak 2 hari SMRS, terusmenerus, disertai menggigil,
epistaksis(+), pusing(+), nyeri perut (+).
O : Suhu : 39,6ºC, mukosa bibir kering (+), nyeri tekan epigastrium dan
hipokondrium dextra (+), hepatomegali (+) petekie (+), rumple
leed (+). Trombosit : 98 ribu/mm3, SGOT : 186 U/L, SGPT : 140 U/L
A : - DBD derajat II dgn kenaikan hematokrit >20%
P : - tirah baring
- rehidrasi dengan kristaloid, 6-7ml/kg/jam = 390-455 ml/jam
- Paracetamol 3x500 mg
- Cek Serologi IgM dan IgG
- cek darah rutin
- Ondansentron
- Rantin 2 x1
- Febris ec. Bacterial Infection
S : demam lebih dari 1 minggu, semakin naik dari hari kehari, terjadi pada
sore hari menjelang malam, mual (+), pasien diare 1 minggu
SMRS, 5x sehari, cari, kuning, berbau asam, 2 hari SMRS
konstripasi (+).
O : Suhu : 39,6ºC, mukosa bibir kering (+), nyeri tekan epigastrium dan
hipokondrium dextra (+), hepatomegali (+). Pem penunjang :
anti salmonela IgM = 4,0 (positif lemah), SGOT: 186 U/L, SGPT :
140 U/L
A : Demam Tifoid
P : - tirah baring
- Kloramfenikol 4 x 500 mg sampai 7 hari, bebas demam
- Paracetamol 3x500 mg
- diet tinggi serat
- Dispepsia
S : mual (+), vomit (+), nyeri epigastrium(+)
O : nyeri tekan epigastrium (+)
A : Dispepsia
P : - Ondansentron
- Rantin 2 x1
- Konstipasi
S : 2 hari SMRS Os belum buang air besar
O : -
A : konstipasi
P : perbanyak konsumsi serat
1.8. FOLLOW UP
Hari/
Tanggal
S O A P
3/12/
2014
Demam (+), Mual
(+), lemas (+)
TD : 110/70
mmHg,
- DBD
- Tifoid
- IVFD asering
-antipiretik,
Paracetamol 3x500
(06.00)
4/12/2014
(13.30)
5/12/2014
(09.30)
Muntah (-),
Pusing (+),
Nyeri perut (+)
Belum BAB (+)
Demam (+), Mual
(-), lemas (+)
Pusing (-),
Nyeri perut (-)
sudah BAB
Tidak ada
keluhan, petekie
sudah mulai
hilang.
N: 96x/menit
S: 39,9oC
RR: 24x/menit
PF :
mukosa bibir kering
(+), nyeri tekan
epigastrium dan
hipokondrium
dextra (+),
hepatomegali (+)
petekie (+).
TD : 100/60
mmHg,
N: 88x/menit
S: 37,7oC
RR: 28x/menit
mukosa bibir kering
(+), nyeri tekan
epigastrium dan
hipokondrium
dextra (-),
hepatomegali (-)
petekie (+).
Ht : 35%
Tromb : 120 rb
TD : 120/80
mmHg,
N: 84x/menit
S: 36,9oC
- DBD
- Tifoid
- DBD
- Tifoid
(perbaika
n)
mg
- Ranin 2x1
- ondansentron
- cek darah rutin
tiap 24 jam
- Ht: 40 %
- Tromb : 108
- IVFD asering
-antipiretik,
Paracetamol 3x500
mg
- cek darah rutin
tiap 24 jam
- IFVD asering
-antipiretik,
Paracetamol 3x500
mg prn
- cek darah rutin
6/12/2014
(06.30)
Tidak ada
keluhan, petekie
sudah hilang.
RR: 24x/menit
mukosa bibir kering
minimal, nyeri
tekan epigastrium
dan hipokondrium
dextra (-),
hepatomegali (-)
petekie (-).
Ht : 37 %
Tromb : 102 rb
TD : 110/70
mmHg,
N: 84x/menit
S: 37.0oC
RR: 24x/menit
mukosa bibir kering
(-), nyeri tekan
abdomen (-),
hepatomegali (-)
petekie (-).
Ht : 33 %
Tromb : 114 rb
- DBD
(perbai
kan)
-Tifoid
(perbaikan)
tiap 24 jam
-antipiretik,
Paracetamol 3x500
mg prn
- cek darah rutin
tiap 24 jam
TINJAUAN PUSTAKA
2. 1.DEMAM BERDARAH DENGUE
2.1.1. DEFINISI
Demam Berdarah Dengue atau Dengue Haemorragic Fever (DHF) ialah penyakit
infeksi yang disebabkan oleh virus dengue dengan manifestasi klinis demam, nyeri
oto dan/ atau nyeri sendi yang disertai leukopenia, ruam, limfadenopati,
trombositopenia, dan diatesis hemoragik. Pada DBD terjadi perembesan plasma
yang ditandai dengan hemakonsentrasi (peningkatan hematokrit) atau penumpukan
cairan di rongga tubuh.
2.1.2. EPIDEMIOLOGI
Di banyak negara tropis, virus dengue sangat endemik. Di Asia, penyakit ini
sering menyerang di Cina, Pakistan, India, dan semua negara di Asia Tenggara.
Secara umum, demam dengue menyebabkan angka kesakitan dan kematian lebih
besar dibanding dengan infeksi arbovirus yang lainnya pada manusia. Setiap tahun
diperkirakan terdapat 50-100 juta kejadian infeksi dengue yang mana ratusan ribu
kasus demam berdarah dengue terjadi, tergantung dari aktifitas epidemiknya (WHO,
2000). Di Indonesia kasus demam berdarah pertama kali dilaporkan terjadi di
Surabaya dengan jumlah kematian sebanyak 24 orang pada tahun 1968. Tahun-
tahun selanjutnya kasus DBD berfluktuasi jumlahnya setiap tahun dan cenderung
meningkat. Demikian juga wilayah yang terjangkit bertambah luas. Insiden DBD di
indonesia antara 6 hingga 15 per 100.000 penduduk (1989 hingga 1995); dan pernah
meningkat tajam saat kejadian luar biasa hingga 35 per 100.000 penduduk pada
tahun 1998, sedangkan mortalitas DBD cenderung menurun hingga mencapai 2%
pada tahun 1999. Depkes RI melaporkan bahwa pada tahun 2010 di Indonesia
tercatat 14.875 orang terkena DBD dengan kematian 167 penderita. Daerah yang
perlu diwaspadai adalah DKI Jakarta, Bali,dan NTB.
2.1.3. ETIOLOGI
Virus Dengue
Penyakit DBD disebabkan oleh virus dengue dengan tipe DEN-1, DEN-2,
DEN-3, dan DEN-4. Virus tersebut termasuk dalam genus flavivirus (grup
Arbovirus B), famili Flaviviridae. Infeksi dengan salah satu serotipe akan
menimbulkan antibodi seumur hidup terhadap serotipe bersangkutan tetapi tidak
ada perlindungan terhadap serotipe lain. Keempat jenis virus tersebut semuanya
terdapat di indonesia. Di daerah endemik DBD, seseorang dapat terkena infeksi
semua serotipe pada waktu bersamaan.
Vektor DBD
Di Indonesia dikenal 2 jenis nyamuk Aedes sebagai vektor utama dengue
yaitu Aedes aegypti (didaerah perkantoran) dan Aedes albopictus (di daerah
pedesaan). Naymuk yang menjadi vektor penyakit dbd adalah nyamuk yang
menjadi terinfeksi saat menggigit manusia yang sedang sakit dan viremia. Ciri-
ciri naymuk Aedes aegypti adalah :
Paling sering ditemukan adalah nyamuk yang hidup di daerah tropis,
terutama hidup dan berkembang biak di dalam rumah yaitu di tempat
penampungan air jernih atau tempat penampungan air disekitar rumah.
Nyamuk bewarna hitam dengan bergaris-garis putih pada bagian-bagian
badannya terutama pada kakinya.
Jarak terbang 100 meter
Naymuk betina bersiafat multiple biters
2.1.4. PATOGENESIS
Patogenesis DBD dan SSD (Sindrom syok dengue) masih merupakan masalah
yang kontroversial. Dua teori yang banyak dianut pada DBD dan SSD adalah
hipotesis infeksi sekunder (teori secondary heterologous infection) atau hipotesis
immune enhancement. Hipotesis ini menyatakan secara tidak langsung bahwa pasien
yang mengalami infeksi yang kedua kalinya dengan serotipe virus dengue yang
heterolog mempunyai risiko berat yang lebih besar untuk menderita DBD/Berat.
Antibodi heterolog yang telah ada sebelumnya akan mengenai virus lain yang akan
menginfeksi dan kemudian membentuk kompleks antigen antibodi yang kemudian
berikatan dengan Fc reseptor dari membran sel leokosit terutama makrofag. Oleh
karena antibodi heterolog maka virus tidak dinetralisasikan oleh tubuh sehingga
akan bebas melakukan replikasi dalam sel makrofag. Dihipotesiskan juga mengenai
antibodi dependent enhancement (ADE), suatu proses yang akan meningkatkan
infeksi dan replikasi virus dengue di dalam sel mononuklear. Sebagai tanggapan
terhadap infeksi tersebut, terjadi sekresi mediator vasoaktif yang kemudian
menyebabkan peningkatan permeabilitas pembuluh darah, sehingga mengakibatkan
keadaan hipovolemia dan syok.
Patogenesis terjadinya syok berdasarkan hipotesis the secondary heterologous
infection dapat dilihat pada Gambar 1 yang dirumuskan oleh Suvatte, tahun 1977.
Sebagai akibat infeksi sekunder oleh tipe virus dengue yang berlainan pada seorang
pasien, respons antibodi anamnestik yang akan terjadi dalam waktu beberapa hari
mengakibatkan proliferasi dan transformasi limfosit dengan menghasilkan titer
tinggi antibodi IgG anti dengue. Disamping itu, replikasi virus dengue terjadi juga
dalam limfosit yang bertransformasi dengan akibat terdapatnya virus dalam jumlah
banyak. Hal ini akan mengakibatkan terbentuknya virus kompleks antigen-antibodi
(virus antibody complex) yang selanjutnya akan mengakibatkan aktivasi sistem
komplemen. Pelepasan C3a dan C5a akibat aktivasi C3 dan C5 menyebabkan
peningkatan permeabilitas dinding pembuluh darah dan merembesnya plasma dari
ruang intravaskular ke ruang ekstravaskular. Pada pasien dengan syok berat, volume
plasma dapat berkurang sampai lebih dari 30 % dan berlangsung selama 24-48 jam.
Perembesan plasma ini terbukti dengan adanya, peningkatan kadar hematokrit,
penurunan kadar natrium, dan terdapatnya cairan di dalam rongga serosa (efusi
pleura, asites). Syok yang tidak ditanggulangi secara adekuat, akan menyebabkan
asidosis dan anoksia, yang dapat berakhir fatal, oleh karena itu, pengobatan syok
sangat penting guna mencegah kematian.
Sebagai tanggapan terhadap infeksi virus dengue, kompleks antigen-antibodi
selain mengaktivasi sistem komplemen, juga menyebabkan agregasi trombosit dan
mengaktivitasi sistem koagulasi melalui kerusakan sel endotel pembuluh darah
(gambar 2). Kedua faktor tersebut akan menyebabkan perdarahan pada DBD.
Agregasi trombosit terjadi sebagai akibat dari perlekatan kompleks antigen-antibodi
pada membran trombosit mengakibatkan pengeluaran ADP (adenosin di phosphat),
sehingga trombosit melekat satu sama iain. Hal ini akan menyebabkan trombosit
dihancurkan oleh RES (reticulo endothelial system) sehingga terjadi
trombositopenia. Agregasi trombosit ini akan menyebabkan pengeluaran platelet
faktor III mengakibatkan terjadinya koagulopati konsumtif (KID = koagulasi
intravaskular deseminata), ditandai dengan peningkatan FDP (fibrinogen
degredation product) sehingga terjadi penurunan faktor pembekuan. Agregasi
trombosit ini juga mengakibatkan gangguan fungsi trombosit, sehingga walaupun
jumlah trombosit masih cukup banyak, tidak berfungsi baik. Di sisi lain, aktivasi
koagulasi akan menyebabkan aktivasi faktor Hageman sehingga terjadi aktivasi
sistem kinin sehingga memacu peningkatan permeabilitas kapiler yang dapat
mempercepat terjadinya syok. Jadi, perdarahan masif pada DBD diakibatkan oleh
trombositpenia, penurunan faktor pembekuan (akibat KID), kelainan fungsi
trombosit, dankerusakan dinding endotel kapiler. Akhirnya, perdarahan akan
memperberat syok yang terjadi.
2.1.5. GAMBARAN KLINIS
Infeksi virus dengue memperlihatkan gambaran klinis yang bervariasi, dari
derajat ringan sampai berat. Infeksi dengue yang paling ringan dapat tidak
menimbulkan gejala (silent dengue infection), atau demam tanpa penyebab yang
jelas (undifferentiated febrile illness), diikuti oleh demam dengue (DD), dan demam
berdarah dengue (DBD). Manifestasi klinis DBD dapat berupa demam akut,
perdarahan, serta kecenderungan terjadi renjatan yang dapat berakibat fatal. Masa
inkubasi dengue antara 3-15 hari, rata-rata 5-8 hari.
Pada pasien DBD dapat terjadi gejala perdarahan pada hari ke-3 atau ke-5
berupa petekie, purpura, ekimosis, hematemesis, melena, dan epistaksis. Hati
umumnya membesar dan terdapat nyeri tekan yang tidak sesuai dengan beratnya
penyakit. Pada pasien DSS, gejala renjatan ditandai dengan kulit yang terasa lembab
dan dingin, sianosis perifer yang terutama tampak pada ujung hidung, jari-jari
tangan dan kaki, serta dijumpai penurunan tekanan darah. Renjatan biasanya terjadi
pada waktu demam atau saat demam turun antara hari ke – 3 dan hari ke – 7
penyakit.
Kriteria klinis DBD menurut WHO (1997) :
1. Demam akut, yang tetap tinggi selama 2-7 hari, biasanya bifasik
2. Terdapat minimal satu dari manifestasi perdarahan berikut ini :
uji torniquet positif
petekie, ekimosis, atau purpura
perdarahan mukosa, saluran cerna, bekas suntikan, atau tempat lain
hematemesis atau melena
3. Trombositopenia (≤ 100.000/mm³)
4. Terdapat minimal satu tanda-tanda plasma leakage oleh karena peningkatan
permeabilitas kapiler berikut :
Hematokrit meningkat ≥20% dibanding hematokrit rata-rata pada usia, jenis
kelamin, dan populasi yang sama
Hematokrit turun hingga ≥20% dari hematokrit awal, setelah pemberian
cairan
Terdapat tanda kebocoran plasma seperti : efusi pleura, asites, dan
hipoproteinemia
Klasifikasi derajat penyakit Infeksi Virus Dengue, dapat dilihat pada table
berikut:
DD/DBD Derajat Gejala Lab
DD Demam disertasi 2
atau lebih tanda :
sakit kepala, nyeri
retro-orbital,
mialgia, artralgia
Leukopenia
Trombositopenia,
tdk ada
kebocoran
plasma
Serologi
dengue (+)
DBD I Gejala diatas,
ditambah dgn uji
bendung (+)
Trombositopenia
(<100.000), bukti
ada kebocoran
plasma
II Gejala diatas, Trombositopenia
ditambah dgn
perdarahan spontan
(<100.000), bukti
ada kebocoran
plasma
III Gejala diatas
ditambah dengan
kegagalan sirkulasi
(kulit dingin dan
lembab, serta
gelisah)
Trombositopenia
(<100.000), bukti
ada kebocoran
plasma
IV Syok berat disertai
dengan tekanan
darah dan nadi tidak
terukur
Trombositopenia
(<100.000), bukti
ada kebocoran
plasma
Sementara untuk diagnosis Sindrom Syok Dengue (SSD) adalah ditemukannya
semua kriteria di atas untuk DBD disertai kegagalan sirkulasi dengan manifestasi
nadi yang cepat dan lemah, tekanan darah turun (≤20 mmHg), hipotensi
dibandingkan standar sesuai umur, kulit dingin dan lembab serta gelisah.
2.1.6. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium
Pemeriksaan darah yang rutin dilakukan untuk menapis pasien tersangka
demam dengue adalah melalui pemeriksaan kadar hemoglobin, hematokrit, jumlah
trombosit, dan hapusan darah tepi untuk melihat adanya limfositosis relative disertai
gambaran limfosit plasma biru.
Diangnosis pasti didapatkan dari hasil isolasi virus dengue (cell culture)
ataupun deteksi antigen virus RNA dengue dengan teknik RT-PCR (Reverse
Transcriptase Polymerase Chain Reaction), namun karena teknik yang lebih rumit,
saat ini tes serologis yang mendeteksi adanya antibody spesifik terhadap dengue
berupa antibody total, IgM maupun IgG lebih banyak.
Parameter laboratorium yang dapat diperiksa antara lain :
Leukosit
Dapat normal atau menurun. Mulai hari ke 3 dapat ditemukan limfositosis
relative (>45% dari leukosit) disertai adanya lifosit plasma biru (LPB) >
15% dari jumlah total leukosit pada fase syok akan meningkat.
Trombosit
Umumnya terdapat trombositopenia pada hari ke 3-8.
Hematokrit
Kebocoran plasma dibuktikan peningkatan hematokrin ≥ 20% dari
hematokrin awal, umumnya dimulai pada hari ke-3 demam
Hemostasis
Dilakukan pemeriksaan AP, APTT, Fibrinogen, D- Dimer atau FDP pada
keadaan yang dicurigai terjadi perdarahan atau kelainan pembekuan darah.
Protein/albumin
Dapat terjadi hipoalbuminemia akibat kebocoran plasma
Elektrolit
Sebagai parameter pemantauan pemberian cairan
Serelogi
Dilakukan pemeriksaan serologi IgM dan IgG terhadap dengue, yaitu:
- IgM muncul pada hari ke 3-5, meningkat sampai minggu ke 3,
menghilang setelah 60-90 hari
- IgG terdeteksi mulai hari ke 14 (infeksi primer), hari ke 2 (infeksi
sekunder).
NS1
Antigen NS1 dapat terdeteksi pada awal demam hari pertama sampai hari
kedelapan. Sensitivitas sama tingginya dengan spesitifitas gold standart
kultur virus. Hasil negatif antigen NS1 tidak menyingkirkan adanya
infeksi virus dengue.
Radiologis
Pada foto rontgen dada didapatkan efusi pleura, terutama pada hemitoraks
kanan tetapi apabila terjadi perembesan plasma hebat, efusi pleura dapat dijumpai
pada kedua hemitoraks. Pemeriksaan foto rontgen dada sebaiknya dilakukan
dalam posisi lateral dekubitus kanan. Asites dan efusi pleura dapat pula dideteksi
dengan pemeriksaan USG.
Masa inkubasi dalam tubuh mausia sekitar 4-6 hari (rentang 3-14 hari),
timbuk gejala prodormal yag tidak khas seperti nyeri kepala, nyeri tulang,
belakang dan perasaan lelah.
2.1.7. DIAGNOSIS BANDING
1. Adanya demam pada awal penyakit dapat dibandingkan dengan infeksi bakteri
maupun virus, seperti demam tifoid, malaria dan sebagainya. Pemeriksaan LED
dapat dipergunakan untuk membedakan infeksi bakteri dengan virus. Adanya
trombositopenia yang jelas disertai hemokonsentrasi dapat membedakan antara
DBD dengan penyakit lain.
2. Adanya ruam yang akut seperti pada morbili perlu dibedakan dengan DBD
3. Adanya pembesaran hati perlu dibedakan hepatitis akut dan leptospirosis
4. Idiophatic thrombpcytopenic purpurae (ITP)
Pada ITP sulit dibedakan dengan DBD derajat II, oleh karena didapatkan
demam disertai perdarahan di bawah kulit. Pada hari pertama, diagnosis ITP
sulit dibedakan dengan penyakit DBD, tetapi pada ITP demam cepat
menghilang, tidak dijumpai hemokonsentrasi, dan pada fase penyembuhan DBD
jumlah trombosit lebih cepat kembali normal dari ITP.
5. Leukemia atau anemia
Pada Leukemia demam tidak teratur, kelenjar limfe dapat teraba dan tampak
sangat anemis. Pemeriksaan darah tepi dan sumsum tulang akan memperjelas
diagnosis leukemia.
Pada anemia aplastik tampak sangat anemik, demam timbul karena infeksi
sekunder. Pada pemeriksaan darah ditemukan pansitopenia (leukosit,
hemoglobin dan trombosit menurun). Pada pasien dengan perdarahan hebat,
pemeriksaan foto toraks dan/ atau kadar protein dapat membantu menegakkan
diagnosis, pada DBD ditemukan efusi pleura dan hipoproteinemia sebagai tanda
rembesan plasma.
6. Demam chikugunya (DC)
Pada DC biasanya seluruh anggota keluarga dapat terserang dan penularannya
mirip influenza. DC mempunyai serangan demam mendadak, masa demam
lebih pendek, suhu lebih tinggi, hampir selalu disertai ruam makulopapular,
injeksi konjuntiva dan lebih sering dijumpai nyeri sendi. Proporsi uji torniquet
positif, petekie dan epistaksis hampir sama dengan DBD. Pada DC tidak
ditemukan perdarahan gastrointestinal dan syok.
7. Korean haemorragic fever
Korean haemorragic fever adalah salah satu tipe berat dari Haemorragic fever
with renal syndrome (HFRS). HFRS disebabkan oleh adanya kontak sekresi
tikus (Apedomus agrarius) yang terinfeksi virus yang termasuk dalam genus
Hantavirus dari famili Bunyaviridae. Gejala khas HFRS adalah demam, gagal
ginjal dan perdarahan. Gejala lainnya yaitu lemas, sakit kepala, menggigil, nyeri
otot, nyeri punggung, nyeri perut, mual dan muntah.
2.1.8. PENATALAKSANAAN
Protokol dibagi dalam 5 kategori :
1. Protokol 1: Penanganan Tersangka (Probable) DBD Dewasa tanpa Syok
Protokol ini digunakan sebagai petunjuk dalam pemberian pertolongan
pertama pada penderita DBD atau yang diduga DBD di Instalasi Gawat Darurat
dan juga dipakai sebagai petunjuk dalam memutuskan indikasi rawat.
Seseorang yang tersangka menderita DBD Unit Gawat Darurat dilakukan
pemeriksaan hemonglonin (Hb), hematokrin (Ht), dan trombosit, bila :
a. Hb, Ht dan trombosit normal atau trombosit antara 100.000-150.000,
pasien dapat dipulangkan dengan anjuran kontrol atau berobat jalan ke
Poliklinik dalam waktu 24 jam berikutnya (dilakukan pemriksaan Hb, Ht,
leukosit dan trombosit tiap 24 jam) atau bila keadaan penderita memburuk
segera kembali ke Unit Gawat Darurat.
b. Hb, Ht normal tetapi trombosit , 100.000 dianjurkan untuk dirawat
c. Hb, Ht meningkat dan tombosit normal atau turun juga dianjurka untuk
dirawat
2. Protokol 2. Pemberian Cairan pada Tersangka DBD Dewasa di Ruanag
Rawat
Pasien yang tersangka DBD tanpa perdarahan spontan dan masih dan
tanpa syok maka di ruang rawat diberikan cairan infus kristaloid dengan jumlah
seperti rumus berikut ini :
Volume cairan kristaloid / hari yang diperkukan, sesuai rumus berikut :
1500+ (20 x (BB dalam kg – 20 )
Setelah pemberian cairan dilakukan dilakukan pemberian Hb, Ht tiap 24 jam:
a. Bila Hb, Ht meningkan 10-20% dan tombosit < 100.000 jumlah
pemberian cairan tetap seperti rumus diatas tetapi pemantauan Hb, Ht,
trombo dilakukan tiap 12 jam.
b. Bila Hb, Ht meningkat > 20% dan trombosit <100.000 maka pemberian
cairan sesuai dengan protocol penatalaksanaan DBD dengan peningkatan
Ht >20%.
3. Protokol 3. Penatalaksaan DBD dengan Peningkatan Ht > 20%
Meningkatnya Ht > 20% menunjukkan bahwa tubuh mengalami defisit
cairan sebanyak 5%. Pada keadaan ini terapi awal pemberian cairan adalah
dengan memberikan infus cairan kristaloid sebanyak 6-7 ml/kg/jam. Pasien
kemudian dipantau setelah 3-4 jam pemberian cairan. Bila terjadi perbaikkan
perbaikan yang ditandai dengan tanda-tanda hematokrin turun, frekuensi nadi
turun tekanan darah stabil, produksi urin meningkat maka jumlah cairan infuse
dikurangimenjadi 5 ml/KgBB/jam. Dua jam kemudian dilakukan pemantauan
kembali dan bila keadaan tetap menunjukkan perbaikkan maka jumlah cairan
infuse dikurangi 3ml/KgBB/jam. Bila dalam pemantauan keadaan tetap
membaik cairan dapat dihentikan24-48 jam kemudian
Apabila setelah pemberian terapi cairan awal 6-7 ml/KgBB/jam dalam tapi
keadaan tetap tidak membaik, yang ditndai dengan Ht dan nadi meningkat,
tekanan nadi menurun < 20 mmHg, produksi urin menurun, maka kita harus
menaikkan jumlah cairan infuse menjadi 10 ml/kgBB/jam. Dua jam kemudian
dilakukan pemantauan kembali dan bila keadaan menunjukkan perbaikkan
maka jumlah cairan dikuarangi menjadi 5 ml/KgBB/jam tetapi bila keadaan
tidak menunjukkan perbaikkan maka jumlaah cairan infuse dinaikkan
15ml/KgBB/jam dan bila dalam perkembangannya kondisi menjadi memburuk
dan didapatkn tanda-tanda syok maka pasien ditananganisesuai protocol
tatalaksana sindrom syok dengue pada dewasa. Bila syok telah teratasi maka
pemberian cairan dimulai lagi seperti terapi pemberian cairan.
4. Protokol 4. Penatalaksaan Perdarahan Spontan pada DBD Dewasa
Perdarahan spontan dan masif pada penderita DBD dewasa adalah :
perdarahan hidung/epistaksis yang tidak terkendali walaupun telah diberikan
tampon hidung, perdarahan saluran cerna (hematemesis dan melena atau
hematoskesia), perdarahan saluran kencing ( hematuria, perdarahan otak atau
perdarahan sembunyi dengan jumlah perdarahan sebanyak 4-5 ml/KgBB/jam.
Pada keadaan seperti ini jumlah dan kecepatan pemberian cairan tetap seperti
keadaan DBD tanpa syok. Pemeriksaan TD, nadi, pernapasan, dan jumlah urin
dilakukan sesering mungkin dengan kewaspadaan Hb, Ht, dan trombosit
sebaiknya diulang setiap 4-6 jam.
Pemberian heparin diberikan apabila secara klinis dan laboratoris
didapatkan tanda-tanda koagulasi intravaskuler diseminata (KID). Taranfusi
komponen darah diberikan sesuai indikasi. FFP diberikan bila didapatkan
defisiensi factor-faktor pembekuan darah (PT dan aPTT) yang memanjang),
PRC diberikan bila nilai Hb kurang dari 10 g/dl. Transfusi trombosit hanya
diberikan pada pasien DBD yang perdarahan spontan dan massif dengan
jumlah tromboit <100.000/mm3 disertai atau tanpa KID.
5. Protokol 5. Tatalaksanaan Sindrom Syok Dengue pada Dewasa
Bila berhadapan dengan SSD maka hal pertama yang harus diingat adalah
renjatan harus segera diatasi dan oleh karena itu penggantian cairan dilakukan
intravaskuler yang hilang harus segera dilakukan. Angka kematian SSD 10 kali
lipat dibandingakan dengan penderita DBD tanpa renjatan. Dan renjatan dapat
terjadi karena kerelambatan penderita DBD mendapat pertolongan.
Pada kasus SSD cairan kritaloid adalah pilihan utama yang diberikan.
Penderita juga diberikan O2 2-4 liter/menit. Pemeriksaan yang harus dilakukan
adalah pemeriksaan darah perifer lengkap (DPL), hemostalisi, analisis gas
darah, kadar natrium, kalium dan klorida, serta ureum dan kreatinin.
Pada fase awal, cairan kristaloid diguyur sebanyak 10-20ml/kgBB dan
evaluasi 15-30 menit. Bila renjatan telah teratasi ( ditandai dengan TD sistolik
100mmHg dan tekanan nadi > 20mmHg, frekuensi nadi <100 x/menit dengan
volume yang cukup, akral teraba hangat, dan kulit tidak pucat srta dieresis 0,5-
1 ml/kgBB/jam) jumlah cairan dikurangi 7 ml/kgBB/jam. Biala dalam waktu
60-120 menit keadaan tetap stabil pemberian cairan menjadi 5ml/kgBB/jam.
Bila dam waktu 60-120 menit keadaan tetap stabil pemberian cairan dikurangi
3 ml/kgBB/jam. Bila 23-48 jam setelag renjatan teratasi tanda-tanda vital,
hematokrin tetap stabil srta dieresis cukup maka pemberian cairan perinfus
dihentikan.
Pengawan dini tetap dilakukan tertama dalam 24 jam pertama sejak terjadi
renjatan. Oleh karena itu untuk mengetahui apakah renjatan telah teratasi
dengan baik, diperlukan pemantauan tanda vital, pembesaran hati, nyeri tekan
didaerah hipokondrium kana dan epigastrium serta jumlah dieresis (diusahakan
2ml/kgBB/jam). Pemantauan DPL dipergunakan untuk pemantauan perjalanan
penyakit.
Bila fase awal pemberian ternyata renjatan belum teratasi, maka pemberan
cairan kristaloid dapat ditingkatkan menjadi 20-30ml/kgBB, dan kemudian
dievaluasi setelah 20-30 menit.
Bila keadaan tetap belum teratasi, maka perhatikan nilai Ht.
a. Bila Ht meningkat berarti perembesan plasma masih berlangsung maka
pemberian cairan koloid merupakan pilihan.
1) Pemberian koloid mula-mula diberikan 10-20ml.kgBB dan dievaluasi
setelah 10-30 menit. Bila keadaan tetap belum teratasi maka
pemantaun cairan dilakukan pemasangan kateter vena sentral, dan
pmberian dapat ditambah hingga jumlah maksimum 30ml/kgBB
( maksimal 1-1,5µ/hari) dengan sasaran tekanan vena sentral 15-
18cmH2O
2) Bila keadaan belum teratasi harus diperhatikan dan dilakukan koreksi
terhadap gangguan asam basa, elektrolit, hipoglikemia, anemia, KID,
infeksi sekunder.
3) Bila tekanan vena sentral penderita sudah sesuai dengan target tetapu
renjatan tetap belum teratasi maka dapat diberikan obat inotropik /
vasopresor.
b. Bila Ht menurun, berarti terjadi perdarahan (internal bleeding) maka pada
penderita diberikan transfuse darah segar 10ml/kgBB dan dapat diulang
sesuai kebutuhan.
Kriteria untuk memulangkan pasien :
Tidak ada demam selama sedikitnya 24 jam tanpa penggunaan terapi
antipiretik
Nafsu makan membaik
Tampak perbaikan secara klinis
Output urine yang cukup
Melewati sedikitnya 2 hari setelah pemulihan dari syok
Tidak ada distress pernapasan (disebabkan oleh efusi pleura atau asites)
Jumlah trombosit ≥ 50.000/mm³. Jika tidak, pasien dapat dianjurkan untuk
menghindari kegiatan traumatis setidaknya 1-2 minggu untuk trombosit
menjadi normal. Dalam kebanyakan kasus rumit, trombosit meningkat normal
dalam waktu 3-5 hari.
PROGNOSIS
Mortalitas pada penyakit DBD cukup tinggi. Penelitian pada orang dewasa di
Surabaya, Semarang dan Jakarta menunjukkan bahwa prognosis dan perjalanan
penyakit umumnya lebih ringan daripada anak-anak.
2.2. DEMAM TIFOID
2.2.1. DEFINISI
Demam tifoid adalah infeksi akut pada saluran pencernaan yang disebabkan
oleh Salmonella typhi. Demam paratifoid secara patologik maupun klinis adalah
sama dnegan demam tifoid namun biasanya lebih ringan, penyakit ini disebabkan
oleh Salmonella enteriditis. Terdapat 3 bioserotipe Salmonella enteriditis yaitu
bioserotipe paratyphi A, paratyphi B (S. Schotsmuellen) dan paratyphi C (S.
Hirschfeldii)
2.2.2. ETIOLOGI
Penyebab demam tifoid adalah Salmonella typhi. Salmonella adalah bakteri
Gram-negatif, tidak berkapsul mempunyai flagella dan tidak membentuk spora.
Bakteri ini akan mati pada pemanasan 57˚C selama beberapa menit. Kuman ini
mempunyai tiga anti gen yang penting untuk pemeriksaan laboratorium, yaitu :
Antigen O (somatic), yang terdiri dari oligosakarida
Antigen H (flagella), yang terdiri dari protein
Antigen K (selaput). Yang terdiri dari polisakarida
Etiologi demam tifoid dan demam paratifoid adalah S. typhi, S. paratyphi A,
S. paratyphi B (S. Schotmuelleri) dan S. paratyphi C (S. Hirschfeldii). Masa
inkubasinya adalah 10-20 hari, meskipun ada yang menyebutkan angka 8-14 hari.
Adapun pada gejala gastroenteritis yang diakibatkan oleh paratifoid, masa
inkubasinya berlangsung lebih cepat, yaitu sekitar 1-10 hari. Mikroorganisme dapat
ditemukan pada tinja dan urin setelah 1 minggu demam (hari ke-8). Jika penderita
diobati dengan benar, maka kuman tidak akan ditemukan pada tinja dan urin pada
minggu ke-4. Akan tetapi, jika masih terdapat kuman pada minggu ke-4 melalui
pemeriksaan kultur tinja, maka penderita dinyatakan sebagai carrier.
2.2.3. PATOFISIOLOGI
Masuknya kuman Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi ke dalam tubuh
manusia terjadi melalui makanan yang terkontaminasi kuman. Pada saat melewati
lambung dengan suasana asam (pH < 2) banyak kuman yang mati namun sebagian
lolos masuk ke dalam usus dan berkembang biak. Bakteri yang masih hidup akan
mencapai usus halus. Di usus halus, bakteri melekat pada sel-sel mukosa dan
kemudian menginvasi mukosa dan menembus dinding usus, tepatnya di ileum dan
jejunum. Sel-sel M merupakan sel epitel khusus yang melapisi PeyerPatch,
merupakan port de entry dari kuman ini dan selanjutnya ke lamina propria. Di
lamina propria kuman berkembang biak dan difagosit oleh sel- sel fagosit terutama
makrofag. Kuman dapat hidup dan berkembang biak di dalam makrofag dan
selanjutnya dibawa ke peyer patch di ileum distal dan kemudian kelenjar getah
bening mesenterika.
Selanjutnya melalui ductus thoracicus, kuman yang terdapat dalam makrofag
ini masuk ke dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakteremia pertama yang
sifatnya asimtomatik) dan menyebar ke seluruh organ Retikuloendotelial tubuh
terutama hati dan Limpa. Di organ- organ RES ini kuman meninggalkan sel- sel
fagosit dan kemudian berkembang biak di luar sel atau ruang sinusoid dan
selanjutnya kembali masuk ke sirkulasi sistemik yang mengakibatkan bakteremia
kedua dengan disertai tanda- tanda dan gejala infeksi sistemik.
Dalam hepar, kuman masuk ke dalam kandung empedu, berkembang biak, dan
bersama cairan empedu diekskresikan secara intermitten ke dalam lumen usus.
Sebagian kuman dikeluarkan bersama feses dan sebagian masuk lagi ke dalam
sirkulasi setelah menembus usus. Proses yang sama terulang kembali, berhubung
makrofag telah teraktivasi dan hiperaktif maka pada saat fagositosis kuman
Salmonella terjadi beberapa pelepasan mediator inflamasi yang selanjutnya akan
menimbulkan gejala reaksi inflamasi sistemik seperti demam, malaise, mialgia, sakit
kepala, sakit perut, diare diselingi konstipasi.
2.2.4. MANIFESTASI KLINIS
Masa tunas demam tifoid berlangsung antara 10-14 hari. Gejala-gejala klinis
yang timbul sangat bervariasi dari ringan sampai dengan berat, dari asimtomatik
hingga gambarab penyakit yang khas disertai komplikasi hingga kematian.
Pada minggu pertama gejala klinis penyakit ini ditemukan keluhan dan gejala
serupa dengan penyakit infeksi akut pada umumnya yaitu demam, nyeri kepala,
pusing, nyeri otot, anoreksia, mual, muntah, obstipasi atau diare, perasaan tidak enak
diperut dan batuk. Pada pemeriksaan fisik hanya didapatkan suhu badan meningkat.
Sifat demam adalah meningkat perlahan-lahan dan terutama pada sore hingga malam
hari. Dalam minggu kedua gejala-gejala menjadi lebih jelas berupa demam, bradikardi
relatif ( adalah peningkatan suhu 1oC tidak diikuti peningkatan denyut nadi 8 kali per
menit), lidah yang berselaput (kotor di tengah, tepi merah serta tremor), hepatomegali,
splenomegali, meteorismus, gangguan mental berupa somnolen, stupor, koma,
delirium, atau psikosis. Roseola jarang ditemukan pada orang Indonesia
2.2.5. PEMERIKSAAN PENUNJANG
- Pemeriksaan Rutin : anemia normokromi normositik (akibat perdarahan usus
atau supresi pada sumsum tulang), leukopenia/leukositosis/ leukosit normal,
dapat juga terjadi trombositopeni. SGOT dan SGPT seringkali meningkat,
tetapi akan kembali menjadi normal setelah sembuh. Kenaikan SGOT dan
SGPT tidak memerlukan penangan khusus.
- Uji serologi Widal : dilakukan untuk deteksi antibodi terhadap kuman S.
Typhi. antibodi aglutinasi terhadap antigen somatik (O), flagela (H).
Semakin tinggi titernya semakin besar kemungkinan terinfeksi kuman ini.
Pembentukan glutinin mulai terjadi pada akhir minggu pertama demam.
Uji TUBEX : Tes TUBEX merupakan tes aglutinasi kompetitif semi kuantitatif
yang sederhana, cepat (kurang lebih 5 menit) dan sangat akurat dalam diagnosis
infeksi akut demam tifoid karena hanya mendeteksi adanya antibodi IgM Anti-
Salmonella dan tidak mendeteksi antibodi IgG dalam waktu beberapa menit.
Pembacaan hasil tes TUBEX berdasarkan atas warna yang terlihat setelah reaksi
pencampuran tersebut. Rentang warna yang muncul bisa dari merah hingga biru
tua. Pada penyangga magnet sudah tercantum skala warna sebagai panduan
pembacaan hasil. Terdapat 0 sampai 10 skor, skor 0 menunjukan semakin merah
warna yang terlihat dan semakin negatif hasil yang didapat, sedangkan skor 10
menunjukan semakin biru warna yang muncul dan semakin positif hasilnya.
Kalau di spesifikkan angkanya, skor 0-3 negatif, 4-5 positif lemah, 6-10 positif
kuat.
2.2.6. TATALAKSANA
- Tirah baring
- Simtomatis
- Pemberian nutrisi
- Antibiotik :
o Kloramfenikol : 4 x 500 mg sampai dengan 7 hari bebas demam.
o Tiamfenikol 4 x 500 mg
o Kotrimoksazol 2 x 2 tablet selama 2 minggu
o Ampisilin dan amoksisilin 50 - 150 mg/kgBB selama 2 minggu
- Transfusi darah (bila disertai penyulit perdarahan usus)
2.2.7. PENCEGAHAN
- Perhatikan kualitas makanan dan minuman
- Untuk makanan, pemanasan sampai suhu 57°C beberapa menit dan secara merata
dapat mematikan kuman S. typhi
- Pengadaan sarana air dan pengaturan pembuangan sampah, serta kesadaran
individu terhadap higiene pribadi
- Imunisasi aktif dapat membantu menekan angka kejadian demam tifoid
2.2.8. VAKSIN TIFOID
Vaksin yang berisi kuman Salmonella typhi, S. paratyphi A, S. paratyphi B
yang dimatikan (TAB Vaccine) telah puluhan tahun digunakan dengan cara
pemberian suntikan subkutan; namun vaksin ini hanya memberikan daya
kekebalan yang terbatas, disamping efeksamping lokal pada tempat suntikan yang
cukup sering.
Vaksin yang berisi kuman Salmonella typhi hidup yang dilemahkan (Ty-
21a) diberikan per oral tiga kali dengan interval pemberian selang sehari,
memberi daya perlindungan 5 tahun. Vaksin Ty-21a diberikan pada anak berumur
diatas 2 tahun. Vaksin yang berisi komponen Vi dari Salmonella typhi diberikan
secara suntikan intramuskular memberikan perlindungan 60-70% selama 3 tahun.
DAFTAR PUSTAKA
Widoyono. 2011. PENYAKIT TROPIS Epidemiologi, Penularan, Pencegahan &
Pemberantasanya. Jakarta : Erlangga Medical Series
Sudoyo W, Aru, dkk. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III. Jakarta: Pusat
Penerbit FKUI.
Rani A, Soegando S, Uyainah A, Prasetya I, Mansjoer A. 2009. PANDUAN
PELAYANAN MEDIK. Jakarta : Interna Publishing Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit
Dalam.
World Health Organization. Comprehensive Guidlines for Prevention and Control of
Dengue and Dengue Haemorrhagic Fever. 2011. India : WHO.