dari hutan larangan hingga cerita rakyat p - cifor.org · efektivitas kepercayaan supranatural...

2
52 GATRA 15 AGUSTUS 2012 (pendam), tempat leluhur masyarakat Iban Sungai Sedik dikubur. Kawasan hutan larangan terluas yang berdekatan dengan makam kuno ini mencapai 15- 20 hektare. Kawasan ini menjadi sakral karena masyarakat percaya, kawasan itu dihuni roh-roh yang bukan berasal dari manusia. Kawasan lain adalah kawasan yang disebut pula antu, yang dikatakan dihuni berbagai macam arwah. Salah satu puncak di kawasan itu terlarang untuk ditanami, sebab masyarakat percaya, arwah yang menjadi pelindung babi hutan tinggal di sana. Beberapa pemburu mengatakan, jika anjing- anjing mereka mengejar seekor babi hutan dan babi itu memasuki hutan terlarang tersebut, sang anjing akan kehilangan daya penciumannya. ekonomi masyarakat. Konsep hutan larangan sendiri banyak digunakan komunitas masyarakat adat di berbagai belahan dunia sebagai tempat untuk perlindungan hewan dan tanaman yang berguna bagi masyarakat lokal. Studi yang dilakukan Carol dan Reed terfokus pada komunitas rumah panjang Dayak Iban di Sungai Sedik, yang masih merupakan bagian dari Taman Nasional Danau Sentarum, 700 kilometer dari Pontianak. Masyarakat Iban di kawasan ini menguasai kawasan hutan seluas sekitar 24 kilometer persegi. Di antara kawasan itulah masyarakat Iban Sungai Sedik mengenal adanya beberapa hutan larangan. Kawasan itu ada yang terdapat di dekat pemakaman khas Dayak P enelitian yang dilakukan Masao Sasaoka dan Yves Lamonier bukanlah satu-satunya penelitian yang membuktikan efektivitas kepercayaan supranatural dalam menjaga kelestarian alam. Penelitian yang dilakukan Reed L. Wadley dan Carol J. Pierce Colfer terhadap masyarakat Dayak Iban, serta penelitian Erin P. Riley di Taman Nasional Lore Lindu, membuktikan bahwa sistem kepercayaan serupa tumbuh dan berjalan efektif di wilayah- wilayah lain di Indonesia. Reed dan Carol meneliti bagaimana penerapan kawasan hutan terlarang (sacred forest) dalam masyarakat Dayak Iban di Kalimantan Barat berperan besar dalam menjaga keanekaragaman hayati dan ketahanan DIMIATI.BLOGSPOT.COM Dari Hutan Larangan Hingga Cerita Rakyat Kawasan hutan Sungai Sedik, Kapuas Hulu, Kalimantan Barat

Upload: dinhnguyet

Post on 03-Mar-2019

225 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

52 GATRA 15 AGUSTUS 2012

(pendam), tempat leluhur masyarakat Iban Sungai Sedik dikubur. Kawasan hutan larangan terluas yang berdekatan dengan makam kuno ini mencapai 15-20 hektare. Kawasan ini menjadi sakral karena masyarakat percaya, kawasan itu dihuni roh-roh yang bukan berasal dari manusia.

Kawasan lain adalah kawasan yang disebut pula antu, yang dikatakan dihuni berbagai macam arwah. Salah satu puncak di kawasan itu terlarang untuk ditanami, sebab masyarakat percaya, arwah yang menjadi pelindung babi hutan tinggal di sana. Beberapa pemburu mengatakan, jika anjing-anjing mereka mengejar seekor babi hutan dan babi itu memasuki hutan terlarang tersebut, sang anjing akan kehilangan daya penciumannya.

ekonomi masyarakat. Konsep hutan larangan sendiri banyak digunakan komunitas masyarakat adat di berbagai belahan dunia sebagai tempat untuk perlindungan hewan dan tanaman yang berguna bagi masyarakat lokal.

Studi yang dilakukan Carol dan Reed terfokus pada komunitas rumah panjang Dayak Iban di Sungai Sedik, yang masih merupakan bagian dari Taman Nasional Danau Sentarum, 700 kilometer dari Pontianak. Masyarakat Iban di kawasan ini menguasai kawasan hutan seluas sekitar 24 kilometer persegi. Di antara kawasan itulah masyarakat Iban Sungai Sedik mengenal adanya beberapa hutan larangan.

Kawasan itu ada yang terdapat di dekat pemakaman khas Dayak

Penelitian yang dilakukan Masao Sasaoka dan Yves Lamonier bukanlah satu-satunya penelitian yang membuktikan

efektivitas kepercayaan supranatural dalam menjaga kelestarian alam. Penelitian yang dilakukan Reed L. Wadley dan Carol J. Pierce Colfer terhadap masyarakat Dayak Iban, serta penelitian Erin P. Riley di Taman Nasional Lore Lindu, membuktikan bahwa sistem kepercayaan serupa tumbuh dan berjalan efektif di wilayah-wilayah lain di Indonesia.

Reed dan Carol meneliti bagaimana penerapan kawasan hutan terlarang (sacred forest) dalam masyarakat Dayak Iban di Kalimantan Barat berperan besar dalam menjaga keanekaragaman hayati dan ketahanan

DIM

IATI.BLO

GSPOT.C

OM

Dari Hutan Larangan Hingga Cerita Rakyat

Kawasan hutan Sungai Sedik, Kapuas Hulu, Kalimantan Barat

ragam 40-a.indd 52 6/8/12 10:46:52 AM

53GATRA 15 AGUSTUS 2012

membuat kepercayaan terhadap arwah-arwah mulai menghilang. Akibatnya, kepercayaan terhadap larangan adat makin kendur dan dapat berakibat negatif terhadap kehidupan hewan. Seperti dikatakan Sasaoka, perubahan sosial-kultural memang membawa dampak penting bagi ketahanan kepercayaan adat.

Selain perpindahan kepercayaan, kedatangan penduduk dari luar desa adat dan berbagai interaksi sosial lainnya, seperti tingkat pendidikan yang tinggi, bisa membuat kepercayaan-kepercayaan lokal perlahan-lahan menghilang. “Ini menjadi tantangan tersendiri ke depan yang harus segera dijawab oleh masyarakat adat,” kata Sasaoka.

Meski demikian, kenyataan itu memang tidak selalu berlaku pada semua kasus. Dalam kasus cerita rakyat Lindu soal Macaca, perpindahan agama warga Lindu ke Kristen tidak berpengaruh pada kepercayaan lokal soal hubungan manusia dan kera Macaca. Dalam kasus masyarakat Amano oho pun demikian. Kepercayaan seli kaitahu tidak pudar ketika banyak warga desa memeluk Kristen. Hanya, kepercayaan itu bertransformasi menjadi kepercayaan sasi greja.

M. Agung Riyadi

“Jika kera-kera datang ke kebun, kami hanya bisa mengusirnya. Anda tidak bisa mengasarinya karena akan membuat mereka marah,” kata seorang penduduk berusia 40 tahun yang diwawancara peneliti.

Hanya saja, menurut Riley, meski berbagai kepercayaan tradisional dan keyakinan pantangan/larangan sosial atau social taboo (seperangkat aturan tak tertulis atau larangan yang mengatur perilaku manusia) mulai dipahami sebagai hal yang penting dalam upaya konservasi, semua itu sangat tergantung sejauh mana adat atau budaya konservasi itu bisa dijaga. Dalam beberapa hal, kata Riley, social taboo berlaku pada lingkup yang kecil, sehingga kontribusinya sangat kecil bagi keseluruhan sistem ekologi.

Misalnya, larangan berburu (hunting taboo) dan memakan orangutan yang berlaku di masyarakat Dayak Iban perlahan-lahan menghilang ketika banyak warga Iban menjadi pemeluk Kristen. Penelitian oleh Wadley pada 1997 menemukan, perpindahan kepercayaan orang Iban ke agama Kristen membuat warga mulai mengabaikan larangan membunuh dan memakan orangutan.

Pada masyarakat Lindu, perubahan agama ke Kristen juga

Alhasil, kawasan itu menjadi kawasan perlindungan alami bagi babi hutan dan jenis-jenis hewan lainnya, seperti rusa dan berbagai jenis burung.

Berbeda dari penelitian tadi, penelitian yang dilakukan Erin P. Riley memfokuskan pada peran cerita rakyat (folklor) dalam melestarikan suatu habitat ataupun jenis margasatwa tertentu. Dalam hal ini, Riley meneliti cerita rakyat menyangkut hubungan manusia dengan kera Macaca di kawasan Taman Nasional Lore Lindu, Sulawesi Tengah, yang hidup di tengah masyarakat adat To Lindu atau Kaili Tado.

Masyarakat To Lindu percaya bahwa kera Macaca di kawasan itu memiliki hubungan yang saling terkait dengan manusia, baik secara biologis, ekologis, maupun budaya. Kepercayaan ini membuat masyarakat To Lindu sangat berpantang menyakiti atau membunuh kera Macaca, meski mereka kerap merusak kebun-kebun milik orang To Lindu. Kepercayaan itu muncul dari cerita leluhur tentang tiga orang yang ingin membuat taman dan berniat membakar area tersebut. Malangnya, tiga orang itu malah terkurung api, kemudian berubah menjadi kera.

Masyarakat To Lindu juga percaya harus berperilaku tertentu jika bertemu kera di hutan atau taman mereka. Sebagai contoh, mereka dilarang berkata-kata kotor kepada para kera karena bisa menyebabkan kera-kera itu marah. Masyarakat memberi mereka makanan berupa jagung dan berkata: “Ini untuk kamu.” Kebiasaan itu terus berlangsung hingga gerombolan kera Macaca berhenti memakan hasil panen penduduk.

Masyarakat juga percaya bahwa kera Macaca adalah penjaga adat Lindu. Kera-kera itu bisa menjadi pemberi tanda adanya pelanggaran, misalnya terjadinya kehamilan di luar nikah (masalah hamil) atau pelanggaran adat lainnya, dengan menghancurkan kebun dan membunuh anjing serta kerbau. Jika ini terjadi, masyarakat akan mengambil satu hewan dan mengambil darahnya, kemudian mencelupkan darah itu ke air serta menyimpannya. Dengan begitu, semuanya akan baik kembali.

Cerita-cerita inilah yang membuat masyarakat Lindu ditabukan menyakiti kera yang mereka temui.

INFO

SULA

WESITEN

GAH

.WORD

PRESS.CO

M

Kera Macaca

ragam 40-a.indd 53 6/8/12 10:47:02 AM