dampak pengembangan perkebunan kelapa rakyat terhadap
TRANSCRIPT
13
TINJAUAN PUSTAKA
Konsep Pembangunan Ekonomi
Secara filosofis proses pembangunan dapat diartikan sebagai upaya yang
sistematik dan berkesinambungan untuk menciptakan keadaan yang dapat
menyediakan berbagai alternatif yang sah bagi pencapaian aspirasi setiap warga
yang paling humanistik (Rustiadi et al,. 2005). Selanjutnya Todaro (2000)
pembangunan paling tidak harus memenuhi tiga komponen dasar yang dijadikan
sebagai basis konseptual dan pedoman praktis dalam memahaminya. Komponen
yang paling hakiki tersebut yaitu kecukupan makanan (sustenance), memenuhi
kebutuhan pokok, meningkatkan rasa harga diri atau jati diri (self-esteem), serta
kebebasan (freedom) untuk memilih. Todaro (1998), juga mendefinisikan
pembangunan merupakan proses multidimensional yang melibatkan perubahan-
perubahan besar dari struktur sosial sikap mental yang sudah terbiasa dan
lembaga-lembaga nasional sebagai akselerator pertumbuhan ekonomi,
pengurangan ketimpangan, dan kemiskinan absolut.
Sedangkan dari sudut pandang yang lebih sempit, Glasson (1977)
mendefinisikan pembangunan wilayah yaitu kemampuan wilayah yang
bersangkutan untuk menghasilkan barang dan jasa yang dibutuhkan. Sehubungan
dengan itu, Anwar dan Rustiadi (2000) mengemukakan tujuan pembangunan
wilayah secara umum, yakni (1) pertumbuhan ekonomi (growth), (2) pemerataan
(equity), (3) dan keberlanjutan (sustainability). Selanjutnya Anwar dan Rustiadi
juga mengemukakan bahwa pembangunan berbasis pengembangan wilayah dan
lokal memandang penting keterpaduan antar sektoral, antar spatial (keruangan),
serta antar pelaku pembangunan di dalam dan antar daerah, sehingga program-
program pembangunan sektoral dilaksanakan dalam kerangka pembangunan
wilayah.
Teori pembangunan ekonomi, pasca-perang dunia kedua, awalnya di
dominasi oleh pemikiran neoklasik dimana akumulasi kapital merupakan engine
pertumbuhan ekonomi suatu negara atau wilayah. Salah satu model yang sering
digunakan sebagai rujukannya adalah model Harrod-Domar. Pada tahun 1940-
14
an, Harrod (1948) dan Domar (1946) secara terpisah membangun suatu model
makro dinamis melalui pengembangan teori Keynes. Dimana pada tahun 1950-an
dan 1960-an, model ini diaplikasikan untuk perencanaan ekonomi di negara
berkembang. Teori ini memang berhasil membangun ekonomi Jerman dan Israel,
tetapi useless untuk diterapkan di negara berkembang karena faktanya investasi
saja tidak cukup.
Secara implisit teori ini mengasumsikan adanya sikap-sikap yang sama
antara negara berkembang dengan negara maju. Akan tetapi asumsi ini tidak
sesuai dengan kenyataan yang ada di negara-negara berkembang. Di negara
berkembang, Indonesia misalnya, sangat kekurangan faktor-faktor komplementer
yang paling penting seperti halnya kecakapan manajerial, tenaga kerja yang
terlatih, kemampuan perencanaan dan pengelolaan berbagai proyek pembangunan,
kelembagaan dan faktor budaya yang kondusif bagi pembangunan (Todaro, 2000).
Dalam perspektif demikian, oleh Hayami (2001) model Harrod-Domar
yang diterapkan di negara berkembang berakhir pada jebakan keseimbangan
ekonomi yang rendah (low equilibrium trap). Oleh karena itu model ini juga
disebut sebagai model of low equilibrium trap. Dimana untuk melepaskan diri dari
perangkap keseimbangan rendah menuju ekonomi berkelanjutan, perlu melalui
mobilisasi tingkat tabungan yang tinggi, dimana tidak ada tabungan yang
dihasilkan jika dibiarkan tergantung pada mekanisme pasar. Lompatan yang luar
biasa dalam memobilisasikan tabungan dan investasi adalah “critical minimum
effort” bagi ekonomi berpendapatan rendah. Model ini berimplikasi bahwa jika
impor modal skala besar seperti yang dialami selama masa kolonial dipandang
tidak berharga bagi ekonomi berkembang yang baru merdeka, maka tidak ada
alternatif pembangunan lainnya kecuali memaksa masyarakatnya mengencangkan
ikat pinggangnya (Hayami, 2001).
Dalam perkembangan selanjutnya, teori pembangunan ekonomi diwarnai
oleh model yang dikembangkan oleh Solow (1956) dan Swan (1956). Dengan
menggunakan fungsi produksi neoklasik, Solow (1956) dan Swan (1956) dalam
Hayami (2001) mengembangkan sudut pandang yang sangat berbeda dari model
Harrod-Domar dalam kaitannya dengan akumulasi modal dan pertumbuhan
15
ekonomi. Perbedaannya terletak pada asumsi fungsi produksi yang digunakan.
Pada model Harrod-Domar diasumsikan bahwa rasio kapital dan output bersifat
tetap. Asumsi ini berimplikasi bahwa fungsi produksi agregat memiliki bentuk
Y=AK, dimana A=1/c dan bersifat konstan; dan c=K/Y. Sementara Solow-Swan
model menggunakan bentuk fungsi produksi Neoclassical yakni Y= f (L,K;T);
dimana Y adalah output dan L adalah Tenaga Kerja yang berada dalam tingkat
teknologi T.
Kontribusi penting dari model Solow-Swan yaitu terlihat dari
kemampuannya dalam menjelaskan peranan perubahan teknologi dalam
pertumbuhan ekonomi. Menurut Solow-Swan model pertumbuhan pendapatan per
kapita tidak bisa berkelanjutan tanpa disertai kemajuan teknologi. Namun
demikian model ini masih sangat terbatas, karena mengasumsikan teknologi
sebagai faktor eksogen. Determinan kemajuan teknologi belum bisa dijelaskan
oleh model Solow-Swan.
Oleh karena itu keterbatasan model Solow-Swan tersebut dilengkapi oleh
endogenous growth model yang dipelopori oleh Romer (1986) dan Lucas (1988).
Pada model pertumbuhan endogenus, berusaha untuk menjelaskan mekanisme
bagaimana pengetahuan baru tercipta melalui aktivitas ekonomi, sehingga
meningkatkan skala ekonomi. Asumsi dasar yang digunakan adalah bahwa
pengetahuan baru untuk memperbaiki ekonomi produksi terakumulasi sedikit
demi sedikit melalui upaya-upaya individual perusahaan untuk mendesain dan
mengkonstruksi mesin dan pabrik lebih efisien dalam aktivitas investasinya dan
pengetahuan sebagai barang publik. Sehingga dalam jangka panjang, keseluruhan
desain yang ditemukan oleh semua perusahaan dalam suatu ekonomi akan
menjadi stok pengetahuan yang dapat digunakan oleh perusahaan lainnya. Dan
pada gilirannya, efisiensi produktif dari suatu perusahaan akan meningkat secara
paralel dengan peningkatan pada total modal dan pengetahuan dalam ekonomi.
Dari model pertumbuhan endogen tersebut maka dapat diambil intinya yaitu
akumulasi kapital dalam bentuk tangible (berwujud, yakni kapital fisik) dan
kapital dalam bentuk intangible (yakni pengetahuan dan ide-ide baru) serta
bersama-sama dengan teknologi merupakan faktor penting sebagai determinan
16
pertumbuhan ekonomi (Hayami, 2001). Selanjutnya Hayami (2001) menjelaskan
bahwa dalam konteks pembangunan sistem sosial perlu memperhatikan
keterkaitan institutions (Rule), budaya (culture) faktor produksi dan teknologi.
Dengan lain perkataan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi perlu dukungan
keterkaitan komponen tesebut.
Kemudian pada teori pembangunan ekonomi wilayah, dalam
perkembangannya mencoba memasukkan faktor institusi/kelembagaan sebagai
determinan pembangunan ekonomi wilayah yang dikenal dengan teori Growth
Machine Theory (GMT) dan The New Institutional Economics (NIE) Theory. Pada
dua teori ini terlihat sudah memperhatikan peranan politik dan political institution
dalam pembangunan ekonomi. Karena pemikiran local politicians dan perencana
lokal akan secara langsung mempengaruhi tingkat pertumbuhan dan penentuan
kebijakan pembangunan. Keterlibatan politik seperti langsung dalam penentuan
kebijakan, peraturan-peraturan, pajak, penyediaan infrastruktur publik. Oleh
karena itu dimensi politik dijadikan sebagai komponen penting yang perlu
diperhatikan.
The New Institutional Economics (NIE) berusaha memasukkan faktor
kelembagaan (institusi) dan perubahan institusi dalam teori pembangunan
ekonomi. Proposisi yang dikembangkan oleh NIE adalah bahwa perkembangan
perekonomian suatu wilayah dapat didekati melalui perubahan kelembagaan
(institutional change) dan penataan kelembagaan sebagai infrastruktur
pengembangan wilayah. Pendekatan ini adalah turunan (derivat) dari mazhab
institusionalisme yang mengembangkan keyakinan bahwa kelembagaan menjadi
kata-kunci penting suatu perubahan sosio-ekonomi regional. Gagasan ini
dikembangkan dari ide dasar Coase (1937) yang mengajukan proposisi bahwa
kelembagaan memastikan bekerjanya sistem organisasi lebih kokoh sekaligus
menghindarkan beban biaya tinggi yang diperlukan untuk memonitor
ketidakpastian dalam proses-proses transaksi yang harus ditanggung oleh para
pihak yang berinteraksi.
North (1990) mengukuhkan proposisi Coase dengan menyodorkan satu teori
institutional adaptation and change yang berbasiskan pada asumsi-kerja bahwa
17
kelembagaan politik dan ekonomi memang menjadi kebutuhan untuk disesuaikan
dan dikembangkan guna menekan transaction cost dilemma yang selalu hadir
pada suatu sistem sosial-ekonomi yang berkembang semakin kompleks sebagai
akibat pertukaran-pertukaran ekonomi yang bekerja di bawah kelembagaan
kapitalistik. Dalam pandangan North (1990) perkembangan perekonomian dan
pertukaran (transaksi ekonomi) di suatu wilayah yang terus meningkat perlu di
imbangi dengan pengembangan sistem tata-pengaturan kelembagaan yang
kompatibel, jika tidak, maka akan muncul informal forms of governance yang
hadir untuk memfasilitasi kebutuhan dan pemanfaatan kesempatan untuk short-
term profits.
Sementara Menurut GMT pertumbuhan ekonomi suatu kawasan (negara,
daerah) dapat terbentuk sebagai akibat langsung dari aktivitas tata pengaturan
administrasi-politik yang secara operasional mampu men-generate keputusan-
keputusan dan aturan-aturan yang decisive bagi berkembangnya aktivitas ekonomi
kawasan tersebut. Artinya, “kekuatan pengaturan politik lokal” dapat berfungsi
sebagai mesin penggerak perkembangan wilayah lokal.
Dalam melihat pertumbuhan regional pada dasarnya menggunakan konsep-
konsep pertumbuhan ekonomi secara agregat. Hanya saja pada pertumbuhan
regional titik penekanan analisisnya lebih diletakkan pada akumulasi faktor
produksi. Akumulasi faktor produksi tenaga kerja dan modal dalam suatu daerah
dari satu tahun ke tahun berikutnya. Selain itu bila dikaitkan dengan Sistem
Neraca Sosial Ekonomi (SNSE), maka dapat dilihat pertumbuhan neraca sektor
produksi, dan neraca rumah tangga. Dalam sistem dinamik, tingkat pertumbuhan
suatu daerah dapat ditemukan lebih tinggi/lebih rendah dari pada tingkat normal
yang dicapai oleh perekonomian nasional. Dalam kaitannya dengan pertumbuhan
regional maka pada sistem neraca sosial ekonomi dapat dijadikan instrumen untuk
melihat pertumbuhan akumulasi dari faktor produksi, sektor produksi dan rumah
tangga di daerah.
Mengacu pada Model Harrod-Domar yang menjelaskan pentingnya peranan
investasi di dalam proses pertumbuhan ekonomi, khususnya mengenai dampak
ganda yang dimiliki investasi, seperti (1) investasi dapat menciptakan pendapatan,
18
dan (2) investasi membesarkan kapasitas produksi perekonomian dengan cara
meningkatkan stok modal. Yang pertama disebut sebagai dampak permintaan, dan
kedua disebut sebagai dampak penawaran investasi (Kasliwal, 1995).
Arsyad (1999) menjelaskan yang dimaksud dengan pertumbuhan ekonomi
daerah adalah apabila terjadi peningkatan pendapatan masyarakat di suatu
wilayah, yaitu kenaikan seluruh nilai tambah (added value) yang terjadi di
wilayah tertentu. Pertambahan pendapatan tersebut di ukur dalam nilai rill atau di
nyatakan dalam harga konstan. Djojohadikusuma (1994) menjelaskan
pertumbuhan ekonomi pada dasarnya terkait dengan proses peningkatan produksi
barang dan jasa dalam satu daerah. Pertumbuhan menyangkut perkembangan
berdemensi tunggal dan di ukur dengan meningkatnya hasil produksi (output) dan
pendapatan. Identifikasi pertumbuhan menurut Kuznet dalam Djojohadikusumo,
(1985) memiliki beberapa ciri, yaitu (1) laju pertumbuhan pendapatan perkapita
dalam arti nyata (2) distribusi angkatan kerja menurut sektor kegiatan produksi
yang menjadi sumber nafkah, dan (3) pola persebaran penduduk.
Selanjutnya Sukirno (1985) melihat ada beberapa faktor yang
mempengaruhi pertumbuhan ekonomi suatu wilayah, yaitu (1) tanah dan
kekayaan alam (2) jumlah dan kualitas penduduk dan tenaga kerja (3) barang
modal dan tingkat teknologi, (4) sistem sosial dan sikap masyarakat (5) luas pasar
sebagai sumber pertumbuhan. Sedangkan menurut Todaro (2000) komponen-
komponen pertumbuhan ekonomi yang penting dalam masyarakat, yaitu : (1)
akumulasi modal termasuk semua investasi baru dalam bentuk tanah, peralatan
fisik dan sumber daya alam (2) perkembangan penduduk, khususnya yang
menyangkut pertumbuhan angkatan kerja, dan (3) kemajuan teknologi.
Pembangunan yang dilaksanakan disuatu daerah pada dasarnya ditujukan
untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di wilayah (region) tersebut tanpa
melupakan tujuan pembangunan nasional. Kegagalan dalam melaksanakan
kegiatan pembangunan akan terlihat apabila laju pertumbuhan ekonomi
meningkat, namun tingkat pendapatan masyarakat masih rendah. Implikasinya
bahwa kegiatan pembangunan belum mampu menciptakan spread effect maupun
trickling down effect yang memihak kepada masyarakat.
19
Menurut Anwar (1992), kegiatan pembangunan seringkali bersifat
eksploitasi dengan menggunakan teknologi yang padat modal dan kurang
memanfaatkan tenaga kerja setempat, sehingga manfaatnya bocor keluar wilayah.
Lebih lanjut dikatakan, multiplier yang ditimbulkan kurang dapat ditangkap
secara lokal dan regional, sehingga penduduk setempat seolah-olah (as if) menjadi
penonton. Hal tersebut dapat terjadi karena adanya disparitas terhadap
pembangunan atau tingkat pertumbuhan suatu wilayah, sehingga kemampuan
wilayah dalam mengelola barang dan jasa, baik dalam bentuk barang jadi maupun
setengah jadi akan berbeda.
Tingkat kebocoran suatu wilayah dapat ditandai dengan tingginya
keterkaitan kebelakang (backward linkage) sedang keterkaitan kedepannya
(forward linkage) cenderung rendah dan juga berkaitan dengan rendahnya dampak
pengganda (multiplier effect), karena nilai tambah (value added) yang semestinya
dapat ditangkap wilayah tersebut justru manfaatnya diambil wilayah lain. Menurut
Anwar (1995) beberapa hal yang dapat mengakibatkan tingginya tingkat
kebocoran wilayah antara lain :
(1). Sifat Komoditas
Komoditas yang bersifat eksploitasi umumnya yang natural resources
mempunyai kecenderungan mengalami kebocoran wilayah yang tinggi apabila
dalam sistem produksinya membutuhkan persyaratan-persyaratan tertentu, baik
kualitas sumberdaya manusia, teknologi yang dipakai, kedekatan dengan pasar
maupun persyaratan lainnya yang mengakibatkan aktifitas ekonomi suatu
komoditas yang berasal dari suatu wilayah dilaksanakan di wilayah lain, sehingga
nilai tambahnya sebagian besar ditangkap wilayah lain.
(2). Sifat Kelembagaan
Salah satu sifat kelembagaan yang utama adalah menyangkut kepemilikan
(owners), karena berkaitan dengan tingkat kebocoran wilayah yang terjadi. Faktor
pemilikan lahan juga berpengaruh terhadap persyaratan dalam penerimaan tenaga
kerja walaupun hal ini tidak secara nyata, namun sering terlihat bahwa pemilik
yang berasal dari luar daerah misalnya warga negara Indonesia atau warga negara
asing dalam mengambil keputusan atau kebijaksanaan terlihat berbeda jika
20
dibandingkan dengan yang berasal daerah setempat. Pada umumnya yang berasal
dari luar daerah lebih mementingkan profit sedangkan yang berasal dari daerah
setempat selain profit, juga memperhatikan sosial budaya dan lingkungan.
Selain itu tingkat kebocoran suatu wilayah dapat dilihat dari komposisi
impornya, baik impor sebagai input antara maupun sebagai input dari komponen
permintaan akhir. Biasanya untuk mengukur tingkat kebocoran wilayah digunakan
rasio input antara yang berasal dari impor dengan total input.
Konsep pembangunan berkelanjutan sudah mulai diadopsi dalam
pelaksanaan pembangunan ekonomi dimana tujuan sosial, ekonomi dan ekologi
dipertimbangkan dalam kerangka pembangunan. Menurut Laporan Komisi
Lingkungan dan Pembangunan (The Burdtland Comission) yang berjudul Our
Common Future dalam Gonarsyah, (2005) pembangunan berkelanjutan artinya
memenuhi kebutuhan generasi saat ini tanpa mengorbankan kebutuhan generasi
yang akan datang. Lebih jauh Serageldin (1996) menguraikan tujuan-tujuan
pembangunan berkelanjutan dalam tiga tujuan pokok yang saling berkaitan, yakni
: (1) tujuan ekonomi, yaitu pertumbuhan berkelanjutan dan efisiensi kapital, (2)
tujuan sosial, yaitu pengentasan kemiskinan dan pemerataan, serta (3) tujuan
ekosistem, yaitu pengelolaan sumberdaya yang menjamin keberlanjutan.
Uraian yang dikemukakan terdahulu menunjukkan bahwa tujuan ganda
efisiensi dan keberlanjutan dapat dicapai dengan memperlakukan keberlanjutan
sebagai kendala. Artinya, masyarakat yang berpegang pada kedua tujuan tersebut
akan membatasi diri untuk hanya mempertimbangkan jalur-jalur efisiensi yang
juga berkelanjutan (sustainable). Sejauhmana kendala keberlanjutan mengikat
(binding) atau tidak tergantung sekali kepada kemajuan sosial dan peningkatan
(augmenting) sumberdaya. Lepas dari polemik antara kubu optimis dan kubu
pesimis mengenai keberlanjutan ekonomi, yang penting bagi kita adalah
mempertimbangkan kebijakan yang dapat meningkatkan kemungkinan
tercapainya jalur yang efisien dan keberlanjutan (Gonarsyah, 2005).
Pada Gambar 3 terlihat bahwa untuk menuju pembangunan wilayah yang
berkelanjutan maka diperlukan adanya saling keterkaitan yang bersinergi antar
aspek politik, ekonomi dan manajemen, kelembagaan (sosial dan budaya), tata
21
ruang serta lingkungan. Dengan lain perkataan bahwa untuk mencapai
pembangunan wilayah yang berkelanjutan maka sejak dini diperlukan pemahaman
masyarakat dan pemerintah daerah, serta semua komponen pembangunan bahwa
antar aspek seperti Gambar 3. memiliki peran yang tidak dapat diabaikan satu
sama lain begitu saja.
Gambar 3. Perspektif Pembangunan Wilayah Berkelanjutan
Pendekatan makro yang hingga saat ini dipandang relevan untuk menelaah
dampak atau keterkaitan antara sektor perekonomian wilayah adalah analisis
Input-Output yang sekaligus merupakan pengembangan teori ”Keseimbangan
umum Walras” (Daryanto dan Hafizrianda, 2010). Dalam table I-O tersebut
keadaan perekonomian wilayah diasumsikan berada dalam keseimbangan dalam
artian jumlah penawaran komoditas sama dengan jumlah permintaan.
Keterkaitan antar Sektor dan Multiplier terhadap Ekonomi Wilayah
Aspel Lingkungan Aspek Ekonomi & Manajemen
Aspek Politik
Aspek Tata Ruang
Aspek kelembagaan (Sosial budaya)
22
Alat analisis Input-Output (model I-O) pada hakekatnya dikembangkan
untuk menganalisis dan mengukur hubungan-hubungan antar berbagai sektor
produksi dan konsumsi dalam perekonomian regional. Ketergantungan antara
sektor-sektor dalam sistem tertentu dijabarkan melalui seperangkat persamaan-
persamaan linier, serta karakteristik struktural direfleksikan oleh besaran koefisien
persamaan yang bersangkutan.
Hasil analisa Input-Output menunjukan sektor-sektor kunci (key sector)
dalam perekonomian regional yang menjadi pertimbangan utama untuk
dikembangkan yang pada akhirnya menentukan tingkat pertumbuhan atau
pembangunan ekonomi yang biasa diukur dengan nilai produk dosmestik
Regional Bruto (PDRB) atau Gross Dosmestic Product (GDP) yang merupakan
nilai pasar yang berlaku dari seluruh barang dan jasa yang dihasilkan suatu
wilayah dalam satu tahun. Penggunaan nilai PDRB ini penting dan sering
digunakan mengingat sebagian besar PDRB yang diperoleh dari data wilayahnya.
Dalam konteks nasional istilah yang digunakan pada akhirnya akan menjadi
pendapatan wilayah dan untuk hal tersebut adalah Gross National Product (GNP).
Jadi PDRB mencerminkan pertumbuhan ekonomi (Rustiadi et al., 2005).
Dengan demikian analisis Input-Output menitik beratkan analisis dan kajian
tentang pembangunan ekonomi. Pembangunan ekonomi erat kaitannya dengan
pembangunan sosial. Pembangunan sosial dapat mendorong pembangunan
ekonomi terutama pembangunan sosial yang berkaitan dengan mekanisme
pelaksanaan sosial (Social Enforcement) melalui norma-norma sosial yang akan
menciptakan keadaan ekonomi yang lebih efisien dari pada mekanisme
pelaksanaan hukum yang eksplisit (Explicit Legal Enterforcement) (Anwar,
2005).
Dalam analisis Input-Output dikaji tentang pendapatan, tenaga kerja kondisi
riil pembangunan ekonomi, dan dampaknya terhadap kesempatan kerja. Dengan
demikian analisis Input-Output yang menitikberatkan kajian kinerja pembangunan
ekonomi berkaitan erat dengan pembangunan sosial karena pembangunan
ekonomi atau lebih tepat pertumbuhan ekonomi merupakan persyaratan bagi
terciptanya pembangunan manusia, karena dengan pembangunan ekonomi
23
terjamin peningkatan pendapatan melalui penciptaan kesempatan kerja (Rustiadi
et al. 2005).
Tabel I-O merupakan gambaran perekonomian suatu wilayah pada tahun
tertentu secara makro dan menyeluruh (comprehensive) sehingga dapat digunakan
sebagai alat analisis dan dasar perencanaan ekonomi yang praktis dan bersifat
kuantitatif. Salah satu keunggulan tabel tersebut adalah dapat menjadi dasar untuk
perencanaan pembangunan, baik partial, struktural, maupun global, karena untuk
setiap kebijakan yang akan diambil, dapat pula diperhitungkan segala macam
kemungkinan akibat/dampak yang akan terjadi, baik terhadap objek pembangunan
itu sendiri maupun yang lain-lainnya. Dengan demikian sasaran pembangunan
akan dapat dicapai relatif lebih tepat. Pandangan tersebut bertolak dari kenyataan
bahwa tabel I-O merupakan suatu analisa matriks yang menunjukkan hubungan
transaksi barang dan jasa yang terjadi di suatu wilayah, pada suatu periode
tertentu, dan juga menunjukkan keterkaitan suatu sektor dengan sektor ekonomi
lainnya. Tabel tersebut sangat menonjolkan hubungan dan keterkaitan antar sektor
produksi, antara input dan output, antara domestik dan impor. Demikian juga
hubungan antara permintaan akhir.
Tabel I-O yang menunjukkan dampak akibat bertambahnya satu unit
permintaan akhir terhadap seluruh sektor disebut derajat kepekaan atau
keterkaitan ke hilir atau keterkaitan kedepan (forward linkage). Sedang dampak
yang diakibatkan satu unit permintaan masing-masing sektor terhadap output
seluruh sektor disebut daya penyebaran atau keterkaitan kebelakang (backward
linkage) hubungan ke bahan hulu. Apabila derajat kepekaan dan daya penyebaran
ini dihitung indeksnya masing-masing, akan diperoleh forward linkage effect ratio
dan backward linkage effect ratio. Indeks tersebut dapat dipakai untuk mengetahui
sektor-sektor mana yang merupakan sektor kunci (key sector) dimana dalam
perencanaan pembangunan ekonomi tentunya akan mendapat prioritas untuk
dikembangkan.
Keterkaitan perlu diperhatikan, karena setiap kasus dalam proses
pembangunan saling mempengaruhi sehingga tingkat pertumbuhan suatu sektor
ekonomi juga dipengaruhi sektor-sektor lain baik secara langsung maupun tidak
24
langsung. Disamping keterkaitan intersektor dalam proses pembangunan perlu
memperhatikan bentuk-bentuk keterkaitan lainnya antara lain keterkaitan spasial,
keterkaitan lokasi dan produksi sebagaimana dikemukakan Williams dan Nilson
(1980), Batten dan Roy 1982) dalam Rustiadi et al., (2005). Konsep dasar
keterkaitan lokasi dan produksi (Location-Production Interaction/LPI)
mempertimbangkan tiga fenomena dalam suatu formulasi yang simultan, yakni :
1. Lokasi stock kapital fisik
2. Aktifitas produksi yang terjadi pada stock tersebut
3. Aliran-aliran berbagai aktifitas.
Interaksi lokasi produksi tersebut di definisikan sebagai distribusi peluang
(rs
ijkP ) dimana r adalah wilayah asal, i, aktifitas yang respon terhadap faktor-
faktor produksi/resproduksi (k) yang difasilitasi j dan s adalah wilayah tujuan.
Sebagai contoh kita dapat menghubungkan teori lokasi perdagangan Ohlins
(1993) dengan model interaksi produksi dari Input-Output Wilson (1970) dalam
Rustiadi et al., (2005).
Keterkaitan (linkage) yang juga berperan dalam proses pembangunan
ekonomi adalah interaksi antar wilayah (interaksi spasial). Interaksi spasial
merupakan suatu proses yang terjadi disuatu wilayah karena aktifitas yang
dilakukan manusia di dalam/antar wilayah. Aktifitas-aktifitas yang dimaksudkan
antara lain mobilitas kerja, migrasi arus informasi dan arus komoditas. Analisis
interaksi spasial mempelajari pergerakan komoditi, barang-barang, orang,
informasi, dan lainnya antar titik-titik dalam ruang. Analisis yang popular
digunakan untuk menduga besarnya interaksi spasial adalah model gravitasi yang
dapat digunakan untuk menganalisis dan menduga pola interaksi spasial.
Keterkaitan sektor pertanian dengan sektor industri dikembangkan
Aldelman dan Hirschman dalam Syafaat dan Mardianto (2002). Pandangan
Adelman mengenai pengembangan sektor pertanian berbeda dengan Hirschman.
Hirschman memandang sektor pertanian sebagai sektor yang pasif, sementara
Adelman sebaliknya. Perbedaan pandangan itu terletak pada kriteria pemilihan
sektor kunci (leading sektor) dalam akselerasi pembangunan. Kriteria yang
digunakan Hirschman dalam menentukan sektor kunci menurut pandangan
25
Adelman terlalu sempit karena hanya mempertimbangkan keterkaitan produk dan
yang lebih spesifik keterkaitan kebelakang yang jelas akan menempatkan sektor
pertanian pada sektor inferior. Padahal kenyataannya berdasarkan hasil penelitian
Rangarajan (1982); Bell dan hazel (1980); Adelman (1984); Haggblade et al.
(1991); Delgado et al. (1994); Bautista (1986); Capallo dan Mundlak (1982),
menunjukkan bahwa keterkaitan antara sektor pertanian dengan sektor industri
tidak hanya keterkaitan produk, tetapi ada media keterkaitan lainnya, yaitu
keterkaitan konsumsi, investasi, dan tenaga kerja yang mampu menjelaskan secara
lebih menyeluruh mengenai keterkaitan kedua sektor tersebut.
Oleh karena itu, maka kriteria yang diciptakan oleh Hirschman untuk
menentukan sektor kunci tidak mampu mengartikulasikan potensi keterkaitan
sektor pertanian dengan industri. Hasil penelitian Rangarajan dalam Syafaat dan
Mardianto (2002) menunjukkan bahwa (a) semakin tinggi output sektor pertanian
maka semakin tinggi pula pengeluaran untuk komoditas bukan pangan (nonfood)
dan pengeluaran untuk pakaian; (b) semakin tinggi pendapatan rumah tangga,
maka semakin tinggi pula simpanan (savings) rumah tangga. Haggblade et al.,
dalam Syafaat dan Mardianto (2002) menemukan bahwa sumbangan keterkaitan
konsumsi berkisar 90-99 persen di Sierra Leon dan 71-83 persen di Malaysia, dan
56-68 persen di Oklahoma. Delgado et al. (1994) menemukan bahwa sumbangan
keterkaitan konsumsi adalah 42 persen di Senegal, 70 persen di Niger, 93 persen
di Burkina, dan 98 persen di Zambia. Fakta tersebut menunjukkan bahwa potensi
keterkaitan sektor pertanian berada pada keterkaitan konsumsi dan investasi
dimana kedua keterkaitan tersebut tidak dipunyai oleh sektor industri. Oleh karena
itu kriteria penentuan sektor kunci perlu ditambah dengan keterkaitan konsumsi
dan investasi. Dengan tiga kriteria keterkaitan, yaitu produk, konsumsi, dan
investasi. Dengan demikian pertanian akan terpilih sebagai sektor kunci dalam
akselerasi pembangunan ekonomi nasional.
Keterkaitan melalui konsumsi berasal dari nilai tambah yang diperoleh dari
suatu sektor digunakan untuk membeli produk industri lain dalam rangka
memenuhi kebutuhan konsumsi rumah tangga. Dengan kata lain, keterkaitan
konsumsi merupakan penciptaan permintaan produk yang dihasilkan oleh
berbagai industri. Adanya permintaan tersebut merupakan faktor utama
26
peningkatan permintaan investasi. Oleh karena itu keterkaitan konsumsi juga
merupakan pencipta artikulasi antar sektor.
Nilai tambah yang digunakan untuk konsumsi terdiri dari upah, laba, dan
sewa. Dengan demikian semakin intensif penggunaan tenaga kerja suatu sektor
maka semakin tinggi pula dampak terhadap keterkaitan konsumsinya. Hasil kajian
Simatupang dalam Syafaat dan Mardianto (2002) menunjukkan bahwa semua sub
sektor dalam lingkup sektor pertanian termasuk dalam kategori penyerapan tenaga
kerja sedang sampai tinggi. Pangsa pengeluaran konsumsi rumah tangga pertanian
sebesar 48.01 persen lebih tinggi dibanding rumah tangga non pertanian kota dan
desa yang masing-masing sebesar 42.53 dan 30.63 persen. Elastisitas pengeluaran
rumah tangga non pertanian untuk konsumsi makanan sedikit lebih rendah
dibanding non makanan. Ini berarti bahwa dampak peningkatan pendapatan
terhadap pengeluaran konsumsi bagi rumah tangga pertanian lebih tinggi dari
pada rumah tangga non pertanian. Implikasi dari kajian Simatupang tersebut
adalah bahwa peningkatan pendapatan rumah tangga pertanian sangat penting
dalam pembangunan keterkaitan konsumsi. Peningkatan pendapatan rumah tangga
pertanian dapat ditempuh melalui pengembangan teknologi.
Keterkaitan antar sub sektor pertanian dalam sektor pertanian telah terbukti
di beberapa negara yang mengandalkan pertanian sebagai sektor andalan
perekonomian nasionalnya seperti kasus Costa Rica (Celes dan Lizano, 1995);
Colombia (Berry, 1995); India (Bhalla, 1995); kecuali kasus Filipina (Baustita,
1995) dimana sektor pertanian tidak mampu mendorong pertumbuhan sektor non
pertanian.
Dalam model ekonomi makro dikenal suatu terminologi yang disebut
sebagai pengganda (multiplier) yang menjelaskan dampak yang terjadi terhadap
variabel endogen (endogenous variable) akibat perubahan pada variabel eksogen
(exogenous variable). Pengganda dimaksud, misalnya, pengganda pendapatan
nasional yang dirumuskan sebagai 1/(1-MPC) dimana MPC = Marginal
Propensity to Consume atau kecendrungan hasrat mengkonsumsi. Pengganda
tersebut menjelaskan bahwa perubahan pendapatan nasional ditentukan oleh
perubahan MPC; semakin besar MPC, maka semakin besar pendapatan nasional.
27
Dalam tabel I-O, pengganda demikian dapat juga diperoleh, tidak hanya
merupakan satu besaran pengganda tetapi bahkan merupakan beberapa
(sekelompok) besaran pengganda yang dinyatakan dalam bentuk matriks
pengganda (multiplier matrix). Sama dengan pengganda pada model ekonomi
makro yang telah dijelaskan diatas, matriks pengganda pada tabel I-O juga
menjelaskan perubahan yang terjadi pada berbagai peubah endogen sebagai akibat
perubahan pada suatu atau beberapa peubah eksogen. Matriks pengganda dalam
tabel I-O digunakan untuk melakukan analisis dampak (impact analysis) seperti
analisis dampak output, analisis dampak pendapatan, analisis dampak tenaga
kerja, analisis dampak nilai tambah bruto, analisis impor dan analisis keterkaitan
(daya penyebaran dan derajat kepekaan).
Dampak pengganda dapat diartikan sebagai suatu dampak yang terjadi baik
secara langsung maupun secara tidak langsung terhadap berbagai kegiatan
ekonomi didalam negeri sebagai akibat dari adanya perubahan pada variabel-
variabel eksogen perekonomian nasional. Salah satu keunggulan analisis dengan
model I-O adalah dapat digunakan untuk mengetahui seberapa jauh tingkat
hubungan atau keterkaitan antar sektor produksi. Hubungan ini dapat berupa (1)
hubungan kedepan (forward linkage), adalah hubungan dengan sektor hilir; dan
(2) hubungan kebelakang (backward linkage) yang hampir selalu merupakan
hubungan dengan bahan mentah ataupun sektor hulu.
Sejauh ini pemanfaatan analisis Input-Output cenderung mengedepankan
analisis kuadran I dan III sehingga hanya mampu memberikan informasi
hubungan langsung antara sektor dan hubungan pasar namun tidak mampu
memberikan penjelasan dan pemahaman keterkaitan yang bersifat kelembagaan.
Oleh karena itu model Model Sistem Neraca Sosial Ekonomi (SNSE) merupakan
suatu model yang dapat melihat keterkaitan kelembagaan dalam suatu
perekonomian wilayah.
Model Sistem Neraca Sosial Ekonomi (SNSE) pertama kali diperkenalkan
oleh Richard Stone dkk. (Cambride University) yang memformulasikan System
for National Account atau SNA di Inggris. Model ini telah banyak dibuat dan
digunakan oleh negara-negara berkembang sebagai salah satu alat dalam
28
menentukan berbagai kebijakan pembangunan nasionalnya. Sebagai contoh Pyatt
dan Roe (1978) telah menggunakan model SAM untuk merencanakan
pembangunan Sri Langka. Kemudian Mc Carthy dan Taylor (1980) menggunakan
model SAM dalam perencanaan kebijaksanaan pangan di Pakistan. Eckaus (1981)
menerapkan SAM untuk analisis distribusi pendapatan di Mesir, dan Keuning dan
Thoebecke (1992) menggunakan model SAM untuk melihat dampak keterbatasan
anggaran pemerintah Indonesia akibat turunnya harga minyak bumi pertengahan
tahun 1980-an terhadap distribusi pendapatan beberapa golongan masyarakat.
Pengalaman yang diperoleh oleh banyak negara yang mengaplikasikan
strategi pertumbuhan ekonomi adalah meningkatnya pendapatan nasional, akan
tetapi disuatu sisi memunculkan masalah lain yang cukup serius, diantaranya
adalah masalah distribusi pendapatan yang tidak merata dan pengangguran.
Berdasarkan pengalaman tersebut, banyak negara mulai memperhatikan di
samping masalah peningkatan pendapatan, tetapi juga masalah pemerataan
pendapatan dan ketenagakerjaan dalam perencanaan pembangunan.
Beberapa konsepsi telah direkomendasikan oleh para ahli untuk dapat
memantau masalah pemerataan pendapatan dan permasalahan pengangguran.
Untuk mengukur ketidakmerataan pendapatan, saat ini telah berkembang teori
Indeks Gini (Gini Index), Ukuran Bank Dunia ataupun dengan menggunakan
Kurva Lorenz. Sedangkan permasalahan pengangguran dapat dipantau dengan
menggunakan ukuran Unemployment Rate, yaitu suatu ukuran yang
membandingkan jumlah penduduk yang menganggur dengan mereka yang
bekerja.
Sistem Neraca Sosial Ekonomi (SNSE) atau Social Accounting Matrix
(SAM) merupakan salah satu cara yang lain yang digunakan untuk memantau
permasalahan pemerataan atau distribusi pendapatan dan masalah ketenagakerjaan
di suatu daerah. Sistem ini diharapkan mampu memberikan gambaran mengenai
distribusi pendapatan dan permasalahan pengangguran secara komprehensif
sehingga memudahkan dalam penyusunan perencanaan pembangunan. Secara
umum SNSE merupakan pendekatan terbaik bagi kerangka perhitungan
29
keseimbangan umum perekonomian yang tersedia bagi para peneliti ekonomi dan
sosial (Thorbecke, 1985).
Sistem Neraca Sosial Ekonomi (SNSE) adalah sebuah neraca ekonomi
masukan ganda tradisional berbentuk matrik partisi yang mencatat segala
transaksi ekonomi antara agen, terutama sekali antara sektor-sektor di dalam blok
produksi, sektor-sektor di dalam blok institusi (termasuk di dalamnya rumah
tangga), dan sektor-sektor di dalam blok produksi di suatu perekonomian (Pyatt
dan Roe, 1978).
Selain itu SNSE juga merupakan suatu sistem pendataan yang baik karena:
(1) SNSE merangkum seluruh kegiatan transaksi ekonomi yang terjadi di suatu
perekonomian untuk suatu kurun waktu tertentu. Dengan demikian, SNSE dapat
dengan mudah memberikan gambaran umum mengenai perekonomian suatu
wilayah; dan (2) SNSE memotret struktur sosial ekonomi di suatu wilayah dan
juga memberikan gambaran tentang kemiskinan dan distribusi pendapatan
masyarakat.
Disamping itu SNSE juga merupakan alat analisa yang penting karena: (1)
analisa yang menggunakan SNSE dapat menunjukkan dengan baik dampak dari
suatu kebijakan ekonomi terhadap pendapatan masyarakat. Dengan demikian,
dapat diketahui dampak dari suatu kebijakan ekonomi terhadap masalah
kemiskinan dan distribusi pendapatan; dan (2) analisa yang menggunakan SNSE
juga masih tergolong relatif sederhana. Dengan demikian, penerapannya dapat
dilakukan dengan mudah dalam mendukung sistem perencanaan dan pengambilan
kebijakan daerah (Daryanto, A dan Hafizrianda, 2010).
Pada prinsipnya, SNSE dibentuk atas dasar dua pilar utama: (1) Sebagai
suatu sistem kerangka data yang bersifat modular yang dapat menghubungkan
variabel-variabel ataupun subsistem-subsistem yang terdapat didalamnya secara
terpadu. (2) Sebagai suatu sistem klasifikasi data yang konsisten dan konfrehensif,
sehingga dapat digunakan sebagai alat analisis ekonomi-sosial terutama yang
berkaitan dengan pertumbuhan ekonomi, distribusi pendapatan dan
ketenagakerjaan.
30
Sekitar akhir tahun 1930-an para ahli statistik dan perencanaan
pembangunan menyusun suatu kerangka statistik (statistical framework) yang
dapat mengabungkan berbagai indikator atau ukuran pembangunan yang selama
ini disusun secara terpisah-pisah dan berdiri sendiri (partial), seperti ukuran-
ukuran pendapatan, produksi, konsumsi, dan sebagainya. Dalam suatu kerangka
dasar neraca ekonomi nasional (national accounting framework). Kerangka
statistik diharapkan mampu memperhatikan keterkaitan antara variabel-vaiabel
sosial ekonomi, sehingga kinerja perekonomian secara nasional atau regional
dapat dijelaskan secara simultan. Sistem Neraca Sosial Ekonomi merupakan suatu
kerangka data yang disusun dalam bentuk matriks yang merangkum berbagai
variabel sosial ekonomi secara kompak dan terintegrasi sehingga dapat
memberikan gambaran keragaan perekonomian suatu daerah pada suatu waktu
tertentu, seperti produk domestik regional, distribusi pendapatan, dan tenaga kerja.
Salah satu pendekatan (model) yang selama ini diangap memadai dalam
melihat integrasi kinerja perekonomian adalah analisis dengan mengunakan
Sistem Neraca Sosial Ekonomi (SNSE). Proses pembuatan sistem ini mempunyai
kelebihan, yaitu: (1) sebagai suatu sistem data yang menyeluruh, konsisten dan
lengkap sehingga dapat menangkap keterkaitan antar pelaku ekonomi di suatu
wilayah dalam kurun waktu tertentu, (2) mampu menganalisis dampak kebijakan
yang berkaitan dengan kesempatan kerja, kemiskinan, dan distribusi pendapatan,
dan (3) sebagai suatu alat analisis yang sederhana dan komprehensif.
Menurut Thorbecke (1985), Sistem Neraca Sosial Ekonomi (SNSE) dapat
digunakan untuk menyusun perencanaan pembangunan, dengan cara mensimulasi,
neraca eksogen terhadap perubahan neraca endogen. Model perencanaan
pembangunan yang didasarkan pada kerangka SNSE akan memberikan saran-
saran, yaitu : (1) perlakuan perubahan struktural, terutama yang berhubungan
dengan perubahan dalam distribusi asset dan dalam menghasilkan distribusi
pendapatan faktor dan institusi, (2) perlakuan sektor-sektor informal, terutama
yang berhubungan dengan tingkat dan kriteria klasifikasi yang merinci aktifitas
produksi, (3) penggabungan beberapa dimensi regional, dan (4) perlakuan
kebutuhan dasar, pengukuran dan identifikasi kemiskinan sesuai dengan
klasifikasi rumah tangga.
31
Konsep Kebocoran Wilayah
Perkembangan Definisi Kebocoran Wilayah
Dilihat dari unsur kata “kebocoran wilayah” terdiri dari dua unsur kata yaitu
“kebocoran” dan “wilayah”. Kata kebocoran oleh beberapa ahli didefinisikan,
seperti Doeksen dan Charles (1969), diartikan sebagai
Selain itu dalam model dasar arus melingkar pendapatan nasional (circular
flow of national income model), semua pendapatan yang diterima oleh rumah
tangga dibelanjakan untuk konsumsi sekarang. Dalam model arus melingkar
pendapatan yang diperluas, sebagian dari pendapatan yang diterima oleh rumah
tangga ditabung, sebagian digunakan untuk membayar pajak dan sebagian
dibelanjakan untuk barang dan jasa yang di impor. Pada kondisi seperti ini
tabungan (saving), pajak (taxation) dan impor (imports) merupakan penarikan
atau “kebocoran” arus pembelanjaan pendapatan (Bendavid, 1991). Sedangkan
jumlah perubahan total
output sebagai hasil perubahan satu dolar pada permintaan akhir yang tidak
terhitung pada suatu wilayah karena berkaitan dengan impor, atau jumlah
pendapatan baru yang tidak dihasilkan di dalam suatu wilayah sebagai akibat
kenaikan satu dolar pada pendapatan karena adanya impor. Selanjutnya Bendavid
(1991) menjelaskan bahwa kebocoran adalah tipe pengeluaran yang tidak
meningkatkan tambahan pendapatan domestik seperti pada pengeluaran
pembelian barang-barang yang berasal dari impor, termasuk pembelian yang
dilakukan di luar wilayah, pengeluaran untuk pajak, tabungan, dan sejenisnya
dimana pada kegiatan pengeluaran tersebut tidak menghasilkan arus peningkatan
pendapatan bagi masyarakat dan wilayah.
Reis dan Rua (2006) menjelaskan bahwa dalam ekonomi terbuka kecil, kebocoran
didefenisikan
Kemudian “kata wilayah” menurut konsep nomenklatur kewilayahan seperti
“kawasan”, “daerah”, “regional”, ”area”, “ruang”, dan istilah-istilah sejenis,
adanya tambahan impor produk jika permintaan akhir untuk output
meningkat sebesar satu unit. Sedangkan Rada dan Taylor (2006) menjelaskan
kebocoran dapat dilihat dari sisi agregat demand pada perubahan investasi, ekspor
dan belanja pemerintah, yang menghasilkan multiplier pendapatan yang kecil bagi
suatu daerah.
32
banyak dipergunakan, dan saling dapat dipertukarkan pengertiannya, walaupun
masing-masing memiliki bobot penekanan pemahaman yang berbeda-beda
(Rustiadi et al,. 2005). Namun demikian secara teoritik tidak ada perbedaan
nomenklatur atara istilah wilayah, kawasan, dan daerah, semuanya secara umum
dapat diistilahkan dengan wilayah (region). Dengan demikian ”wilayah” dapat
didefinisikan sebagai unit geografis dengan batas-batas spesifik (tertentu) dimana
komponen-komponen wilayah tersebut satu sama lain saling berinteraksi.
Dari berbagai konsep dan pendefinisian kata kebocoran dan wilayah, maka
dapat diartikan bahwa ”kebocoran wilayah” merupakan jenis aktivitas
pengeluaran/penerimaan wilayah yang tidak meningkatkan tambahan pendapatan
Selain
itu Anwar (2004) menjelaskan bahwa kegiatan pembangunan yang menggunakan
teknologi padat modal serta kurang memanfaatkan tenaga kerja lokal berpotensi
menciptakan kebocoran wilayah, hal ini karena multiplier yang ditimbulkan tidak
dapat ditangkap secara optimal oleh suatu wilayah.
suatu wilayah, atau dengan kata lain kebocoran wilayah merupakan kondisi
terjadinya aliran nilai tambah ke wilayah lainnya karena adanya potensi nilai
tambah yang tidak dapat dimanfaatkan secara optimal, sehingga menyebabkan
kecilnya multiplier yang dapat ditimbulkan dari kegiatan ekonomi suatu wilayah.
Isu-Isu Kebocoran Wilayah
Dalam bidang ekonomi regional isu-isu tentang kebocoran wilayah
merupakan salah satu hal penting yang sering menjadi perhatian para ahli
ekonomi wilayah. Untuk mendapatkan jawaban mengapa kebocoran wilayah
dipermasalahkan dalam bidang ekonomi regional, beberapa literatur menjelaskan
seperti Rustiadi et al. (2005) bahwa kebocoran wilayah dapat mendorong semakin
besarnya perangkap kemiskinan serta dapat mendorong semakin lebarnya
ketimpangan ekonomi antar wilayah. Selain itu ditinjau dari tujuan pembangunan
yaitu perlu diarahkan pada pertumbuhan (growth), efisiensi (effeciency) dan
pemerataan (equity) serta keberlanjutan (sustainability), terutama dalam memberi
panduan kepada alokasi sumberdaya, baik pada tingkatan nasional maupun
regional (Anwar, 2005) maka terjadinya kebocoran wilayah dapat menghambat
laju pertumbuhan pembangunan wilayah. Sedangkan Hayami (2001), menjelaskan
33
bahwa pertumbuhan ekonomi perlu memperhatikan faktor-faktor yang berkaitan
dengannya serta perlu dilihat dari peningkatan rata-rata nilai tambah per kapita
(pendapatan) yang diwujudkan melalui peningkatan penggunaan sumberdaya per
kapita dan/atau “kemajuan teknologi” sebagai peningkatan nilai tambah ekonomi
bagi masyarakat, baik melalui input tenaga kerja, modal dan sumberdaya alam
dalam periode tertentu, dengan “nilai tambah” yang didistribusikan ke pemilik
sumberdaya sebagai pendapatannya, sehingga secara agregasi pendapatan
masyarakat dapat menjadi pendapatan wilayah.
Karena dalam pembangunan ekonomi wilayah peningkatan nilai tambah dan
pendapatan, merupakan sasaran pentingnya yang perlu dilakukan. Dengan
demikian sehingga terjadi kebocoran nilai tambah tentu mempengaruhi
pendapatan wilayah. Artinya kebocoran wilayah dapat merugikan pembangunan
ekonomi wilayah. Hal tersebut sesuai dengan Bendavid (1991) menjelaskan
bahwa dalam pembangunan ekonomi wilayah, multiplikasi pendapatan
merupakan inti dari proses pertumbuhan ekonomi. Terjadi kebocoran nilai tambah
sehingga multiplier yang dihasilkan dari pembangunan ekonomi di suatu wilayah
akan semakin kecil, atau dengan kata lain semakin besar kebocoran yang terjadi
maka semakin besar multiplier pendapatan yang hilang. Dari berbagai konsep di
atas sehingga dapat dipahami alasan mengapa para ahli ekonomi regional melihat
kebocoran wilayah sebagai persoalan dalam pembangunan ekonomi wilayah.
Selain itu Gonarsyah (1977) menjelaskan bahwa kecilnya pendapatan suatu
wilayah dapat mendorong terjadinya kesenjangan dan ketidakadilan serta dapat
mengurangi tingkat kepercayaan masyarakat kepada pemerintah, terutama
ketidakpercayaan pada kemauan baik (good will) dan kemampuan pemerintah
dalam mengelola sumberdaya alam untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran
rakyat dan menciptakan pembangunan yang merata. Dengan kata lain terjadinya
kebocoran wilayah dapat mengakibatkan kecilnya pendapatan suatu wilayah.
Kecilnya pendapatan mendorong kurangnya kepercayaan masyarakat terhadap
pemerintah, dan pada akhirnya dapat menghambat pertumbuhan wilayah.
Beberapa ahli melihat beberapa penyebab terjadi kebocoran wilayah
(regional leakages) diantaranya karena adanya international dan interregional
34
demonstration effect, yaitu adanya sifat masyarakat tertinggal yang cenderung
mencontoh pola konsumsi di kalangan masyarakat modern. Artinya wilayah-
wilayah yang telah lebih maju memperkenalkan produk-produk yang mutunya
"lebih baik" sehingga wilayah-wilayah masyarakat tradisional mengimpor dan
mengkonsumsi barang-barang tersebut, dan pada akhirnya sejumlah modal yang
telah terakumulasi bukan digunakan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi
wilayahnya melainkan mendorong terjadi kebocoran wilayah (Anwar, 2004).
Kemudian Rustiadi et al. (2005) juga menjelaskan bahwa beberapa kekuatan
penting yang menyebabkan kondisi kebocoran wilayah diantaranya yakni: (a)
wilayah-wilayah yang telah lebih maju menciptakan keadaan yang “menghambat”
perkembangan wilayah-wilayah yang masih terbelakang (back-wash effects); (b)
Wilayah-wilayah yang telah lebih maju menciptakan keadaan yang “mendorong”
perkembangan wilayah-wilayah yang masih terbelakang (spread effects). Selain
itu fenomena backwash pada kawasan perdesaan dan daerah-daerah tertinggal
berlangsung melalui beberapa tahap aliran, seperti: (1) aliran bahan mentah/bahan
baku (sumberdaya alam), (2) aliran sumberdaya manusia berkualitas/produktif
(brain drain), (3) aliran sumberdaya finansial (capital outflow), (4) aliran
sumberdaya informasi, dan (5) aliran kekuasaan (power).
Berlangsung aliran bahan baku/mentah berupa sumberdaya alam seperti
kayu, ikan, serta berbagai produk pertanian dan hasil ekstraksi sumberdaya alam
yang dialirkan ke perkotaan untuk diolah (processing) guna menghasilkan produk-
produk olahan. Pada tahap awal memang diyakini memiliki nilai tambah, dan
proses masih dapat dianggap netral (tidak merugikan) jika: (1) pusat-pusat
pengolahan di perkotaan merupakan lokasi-lokasi yang memiliki locational rent
terbaik untuk kegiatan-kegiatan pengolahan, (2) proses ekstraksi sumberdaya alam
di perdesaan dilakukan tanpa mengurangi daya dukung dan kualitas lingkungan
(tidak menyebabkan degradasi atau kerusakan sumberdaya alam dan lingkungan
hidup), serta (3) diiringi dengan terjadinya peningkatan produktivitas di
perdesaan. Sedangkan pada saat perdesaan dan kawasan hinterland ditinggalkan
oleh sumberdaya manusia yang berkualitas sehingga produktivitas perdesaan
menjadi stagnan atau lebih rendah dibandingkan perkotaan.
35
Selain itu dari sisi sumberdaya terjadi proses "brain-drain" dalam arti
mengalirnya intelektual perdesaan ke kota atau disedotnya intelektual-intelektual
desa oleh perkotaan. Rendahnya kapasitas sumberdaya manusia perdesaan akibat
mengalirnya sumberdaya manusia berkualitas ke kawasan perkotaan disatu sisi,
dan terkonsentrasinya aktivitas-aktivitas pengolahan yang menghasilkan nilai
tambah tinggi di kawasan perkotaan yang didukung oleh sumberdaya manusia
yang lebih produktif, dan mengakibatkan terjadinya aliran konsentrasi kapital ke
perkotaan. Lemahnya kapasitas produksi kawasan perdesaan menyebabkan
masyarakat desa semakin tergantung pada konsumsi produk-produk manufaktur
perkotaan. Akibat output barang/jasa yang dihasilkan di kawasan perdesaan
bersifat inferior terhadap produk-produk olahan dari perkotaan, sehingga
menyebabkan perdesaan mengalami net-capital outflow, atau dalam kondisi
demikian berarti desa mengalami "kebocoran".
Kemudian Anwar (2004) menjelaskan bahwa beberapa hal yang
menyebabkan terjadinya kebocoran wilayah antara lain karena: (1) Sifat
komoditas yang bersifat eksploitatif. Seperti pada umumnya natural resources
mempunyai kecenderungan mengalami kebocoran wilayah yang tinggi apabila
dalam sistem produksinya membutuhkan persyaratan-persyaratan tertentu, baik
kualitas sumberdaya manusia, teknologi yang dipakai, kedekatan dengan pasar
maupun persyaratan lainnya yang mengakibatkan aktivitas ekonomi suatu
komoditas yang berasal dari suatu wilayah dilaksanakan di wilayah lain, sehingga
sebagian besar nilai tambah ditangkap wilayah lainnya, (2) Sifat kelembagaan,
yaitu menyangkut kepemilikan (owners).
Dari berbagai isu dalam kebocoran wilayah sehingga dapat diartikan bahwa
kebocoran wilayah merupakan isu penting yang memiliki peran dalam
mempengaruhi pertumbuhan ekonomi suatu wilayah. Dengan demikian sehingga
terjadinya kebocoran wilayah maka multiplier yang dihasilkan dari pembangunan
ekonomi di suatu wilayah tentu semakin kecil, atau dengan kata lain semakin
besar kebocoran yang terjadi maka semakin besar potensi multiplier pendapatan
bagi suatu wilayah yang hilang. Dengan lain perkataan bahwa untuk
meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi wilayah maka perlu menekan tingkat
kebocoran wilayah.
36
Pengukuran Kebocoran Wilayah
Beberapa literatur menjelaskan bahwa untuk melakukan identifikasi tentang
kebocoran wilayah dalam perspektif ekonomi wilayah dapat digunakan
pendekatan analisis model Input-Output, sebagaimana digunakan Doeksen dan
Charles (1969); Bendavid (1991); Reis dan Rua (2006). Dalam melakukan
pendeteksian kebocoran wilayah Doeksen dan Charles (1969) menjelaskan dapat
diidentifikasi dari aspek multiplier output, dan multiplier income. Sedangkan
Bendavid (1991) menjelaskan bahwa kebocoran wilayah dapat dilihat dari besar
kecilnya komponen input antara yang berasal dari impor, termasuk juga
pembelian yang dilakukan di luar wilayah. Selain itu Rada dan Lance (2006)
menjelaskan bahwa kebocoran dapat dilihat dari sisi aggregat demand ketika
terjadinya perubahan dalam injeksi investasi, ekspor dan belanja pemerintah.
Kemudian Rodriguez dan Kroijer (2008) menjelaskan kebocoran dapat dilihat dari
sisi pengeluaran lokal kaitannya dengan desentralisasi fiskal. Landesmann dan
Robert (2006) menjelaskan kebocoran dapat dilihat dari derajat integrasi pasar
modal (FDI, tenaga kerja asing). Sun (2007) menjelaskan Kebocoran dapat dilihat
dari besar kecilnya rasio barang impor. Sedangkan Christopher dan Bryan (1994)
dalam Jaya (2009). menjelaskan kebocoran dapat ditandai oleh besarnya aspek
tabungan (saving), pajak (taxation) dan besarnya belanja input impor, namun
tidak meningkatkan pendapatan wilayah.
Kemudian menurut Reis dan Rua (2006) kebocoran wilayah dapat dilihat
dari kebocoran ke belakang (backward leakage) dan kebocoran ke depan (forward
leakage). Untuk mengidentifikasi kebocoran ke depan dapat digunakan nilai
koefisien kebocoran sektor (Reis dan Rua, 2006) yaitu
jl
analog dengan pengukuran
keterkaitan sektor yang ditunjukkan dengan rendahnya rata-rata koefisien sektor
yang terboboti pada backward leakage atau forward leakage. Skema pembobotan
pada impor, dan secara alami pada barang impor i tidak harus sama dengan impor
sektor produksi. Untuk memboboti backward leakage yaitu menggunakan barang
impor. Sedangkan untuk forward leakage digunakan sektor impor. Misalkan
adalah jumlah elemen pada kolom ke-j dari matrik Am(I - Ad)-1 *il dan yaitu
jumlah elemen pada baris ke-i dari matrik (I– A*d)-1A*m.
37
Selanjutnya Doeksen dan Charles (1969) menjelaskan bahwa di Oklahoma
secara umum daerah yang memiliki tingkat keterkaitan sektor ekonomi yang
rendah, merupakan daerah yang mengalami kebocoran yang tinggi. Demikian juga
daerah yang memiliki keterkaitan sektor ekonomi yang tinggi, karena daerahnya
memiliki tingkat pengeluaran impor yang lebih besar, maka daerah tersebut juga
memiliki tingkat kebocoran yang tinggi. Sedangkan hasil penelitian Reis dan
Rua (2006) menunjukkan bahwa kebocoran wilayah sektor jasa di Portugal lebih
rendah dibandingkan dengan kebocoran sektor lainnya, dan multiplier effect
sektor akan lebih tinggi jika keterkaitan menyebar dalam perekonomian serta
berdampak pada rendahnya kebocoran wilayah.
Dari berbagai konsep tentang pengukuran kebocoran wilayah maka dapat
diartikan bahwa untuk mendeteksi indikasi, potensi dan dampak kebocoran
wilayah, maka dapat diidentifikasi dengan memperhatikan (i) koefisien
keterkaitan sektor ke depan dan koefisien keterkaitan ke belakang pada model
input output; yaitu semakin kecil nilai koefisien keterkaitan sektor maka semakin
besar potensi terjadinya kebocoran wilayah, dan begitu juga sebaliknya semakin
kuat keterkaitan antar sektor maka semakin kecil terjadinya kebocoran wilayah
(ii) rasio input dan impor; yaitu semakin besar input impor yang digunakan dalam
proses produksi maka semakin besar terjadinya potensi kebocoran wilayah, (iii)
rasio permintaan antara dengan ekspor; yaitu semakin kecil permintaan antara
dibandingkan dengan ekspor menunjukkan kecilnya nilai tambah yang diperoleh
suatu wilayah atau semakin besarnya potensi kebocoran yang terjadi (iv)
Dalam
konteks sistem agribinis, dominan nilai tambah yang dimanfaatkan atau mengalir
ke wilayah lain, menciptakan potensi kebocoran wilayah.
Kemiskinan dan Pembangunan Ekonomi
Strategi pembangunan yang menitik beratkan kepada pertumbuhan ekonomi
menganggap bahwa kesejahteraan masarakat dapat ditingkatkan dengan cepat
melalui peningkatan pertumbuhan ekonomi, namun berdasarkan penelitian-
penelitian yang telah dilakukan para ahli (seperti Adelman dan Morris, 1973; Wei,
1983), pada suatu sisi strategi pertumbuhan ekonomi memang memberikan
dampak pendapatan per kapita, tetapi pada sisi lain ternyata meninggalkan
38
masalah lain, seperti kemiskinan. Dan juga pertumbuhan ekonomi yang telah
dicapai oleh suatu negara atau wilayah menyembunyikan adanya sekelompok
masyarakat yang menjadi bertambah buruk (wose off) dalam hal kondisi sosial
ekonomi secara relatif dibandingkan dengan kelompok yang lain; dan bahwa
terdapat perbedaan pendapatan yang semakin melebar antar kelompok atau
golongan masyarakat. Dengan demikian, prestasi pembanguanan suatu negara
atau wilayah belum cukup diukur oleh peningkatan pendapatan per kapita tetapi
perlu juga untuk mengetahui bagaimana pendapatan nasional (regional)
didistribusikan kepada berbagai golongan masyarakat.
Kemiskinan yang terjadi di suatu wilayah juga mempunyai hubungan
dengan kondisi wilayah dan pembangunan ekonomi wilayah. Suatu wilayah yang
terbentuk dengan sumberdaya alam yang subur, maka penduduk yang tinggal
disekitar wilayah tersebut dapat menggunakan sumberdaya alam yang ada untuk
memperoleh atau meningkatkan penghasilan atau pendapatan. Sebaliknya, ada
suatu wilayah yang merupakan kawasan yang kurang subur sehingga tidak
memungkinkan masyarakat di sekitar kawasan untuk dapat menggunakan
sumberdaya alam yang ada untuk memperoleh atau meningkatkan pendapatan
mereka sehingga mereka menjadi miskin. Oleh karena itu disuatu sisi, kemiskinan
dapat disebabkan kondisi wilayah secara fisik (kondisi alam). Tetapi dapat juga
terjadi bahwa di sekitar suatu wilayah yang subur ternyata terdapat penduduk
yang miskin. Keadaan ini dapat terjadi karena : (i) sumberdaya alam di sekitar
wilayah tersebut belum digunakan oleh penduduk setempat secara optimal, (ii)
penduduk disekitar wilayah tersebut tidak mempunyai kemampuan yang cukup
(seperti keterampilan, modal dsb) untuk dapat mengelola sumberdaya alam untuk
menghasilkan pendapatan dan meningkatkan kesejahteraan mereka, dan (iii)
sumberdaya alam yang diolah di wilayah tersebut tidak dapat dinikmati oleh
penduduk atau masyarakat setempat karena adanya kebocoran regional (regional
leakages).
Pengertian dan Penyebab Kemiskinan
Secara umum kemiskinan diartikan sebagai suatu keadaan dimana seseorang
tidak sanggup memelihara dirinya sendiri sesuai dengan taraf kehidupan
39
kelompoknya dan tidak mampu memanfaatkan tenaga, mental, dan pikirannya
dalam kelompok tersebut (TKPK, 2006 dan Syahyuti, 2006). Selanjutnya pada
RPJM Nasional kemiskinan didefinisikan sebagai kondisi dimana seseorang atau
sekelompok orang, laki-laki dan perempuan, tidak mampu memenuhi hak
dasarnya untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang
bermartabat. Hak-hak dasar masyarakat antara lain, terpenuhinya kebutuhan
pangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, perumahan, air bersih, pertanahan,
sumberdaya alam, dan lingkungan hidup, rasa aman dari perlakuan atau ancaman
tindak kekerasan, dan hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial-politik,
baik perempuan maupun laki-laki. Sedangkan kemiskinan (ketertinggalan)
wilayah ditentukan oleh ketersediaan infrastruktur bagi penduduk di wilayah
bersangkutan.
Konsep tentang kemiskinan sangat beragam, mulai dari sekedar ketidak-
mampuan memenuhi kebutuhan konsumsi dasar dan memperbaiki keadaan,
kurangnya kesempatan berusaha, hingga pengertian yang lebih luas yang
memasukkan aspek sosial dan moral. Bappenas (2002) mendefinisikan
kemiskinan sebagai suatu situasi atau kondisi yang dialami seseorang atau
kelompok orang yang tidak mampu menyelenggarakan hidupnya sampai suatu
taraf yang dianggap manusiawi. Lebih lanjut Bappenas (2004) dalam Susanto
(2005) mendefinisikan kemiskinan sebagai suatu kondisi dimana seseorang atau
sekelompok orang, tidak mampu memenuhi hak-hak dasarnya untuk
mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat. Hak-hak
dasar masyarakat antara lain terpenuhinya kebutuhan pangan, kesehatan,
pendidikan, pekerjaan, perumahan, air bersih, pertanahan, sumberdaya alam dan
lingkungan hidup, rasa aman dari perlakuan atau ancaman tindak kekerasan dan
hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial, politik, baik bagi perempuan
maupun laki-laki.
Ravallion (2001) mengemukakan bahwa kemiskinan meliputi dimensi
politik, sosial budaya dan psikologi, ekonomi dan akses terhadap asset. Dimensi
tersebut saling terkait dan saling mengunci/membatasi. Kemiskinan adalah kela-
paran, tidak memiliki tempat tinggal, bila sakit tidak mempunyai dana untuk
berobat. Orang miskin umumnya tidak dapat membaca karena tidak mampu
40
bersekolah, tidak memiliki pekerjaan, takut menghadapi masa depan, kehilangan
anak karena sakit. Kemiskinan adalah ketidakberdayaan, terpinggirkan dan tidak
memiliki rasa bebas.
Menurut Sumodiningrat (2005), masyarakat miskin secara umum ditandai
oleh beberapa hal sebagai berikut:
1. Ketidakberdayaan atau ketidakmampuan memenuhi kebutuhan-kebutuhan
dasar seperti pangan dan gizi, sandang, papan, pendidikan dan kesehatan (basic
need deprivation).
2. Ketidakberdayaan dan ketidakmampuan melakukan kegiatan usaha produktif
(unproductiveness).
3. Ketidakmampuan menjangkau sumberdaya sosial dan ekonomi (inaccesibility).
4. Ketidakberdayaan dan ketidakmampuan menentukan nasib dirinya sendiri serta
senantiasa mendapat perlakuan diskriminatif, mempunyai perasaan ketakutan
dan kecurigaan, serta sikap apatis; dan
5. Membebaskan diri dari mental dan budaya miskin serta senantiasa merasa
mempunyai martabat dan harga diri yang rendah (no freedom for poor).
Pendefinisian yang lebih tegas dan mendalam disampaikan oleh KIKIS
(2002) yaitu kemiskinan adalah kondisi tidak terpenuhinya kebutuhan asasi atau
esensial sebagai manusia. Kebutuhan asasi, meliputi: kebutuhan akan subsistensi,
afeksi, keamanan, identitas, proteksi, kreasi, kebebasan, partisipasi, dan waktu
luang. Kemiskinan subsistensi terjadi karena rendahnya pendapatan, tak
terpenuhinya kebutuhan akan sandang, pangan, papan, serta kebutuhan-kebutuhan
dasar lainnya. Kemiskinan perlindungan terjadi karena meluasnya budaya
kekerasan atau tidak memadainya sistem perlindungan atas hak dan kebutuhan
dasar. Kemiskinan afeksi terjadi karena adanya bentuk-bentuk penindasan, pola
hubungan eksploitatif antara manusia dengan manusia, dan antara manusia dengan
alam. Kemiskinan pemahaman terjadi karena kualitas pendidikan yang rendah,
selain faktor kuantitas yang tidak mampu memenuhi kebutuhan. Kemiskinan
partisipasi terjadi karena adanya diskriminasi dan peminggiran rakyat dari proses
pengambilan keputusan, sedangkan kemiskinan identitas terjadi karena
dipaksakannya nilai-nilai asing terhadap budaya lokal yang mengakibatkan
hancurnya nilai sosio-kultural yang ada.
41
Di sisi lain, Chambers (2001) mengatakan bahwa kemiskinan adalah suatu
integrated concept yang memiliki lima dimensi, yaitu: (1) kemiskinan itu sendiri
(proper), (2) ketidakberdayaan (powerless), (3) kerentanan menghadapi situasi
darurat (state of emergency), (4) ketergantungan (dependence), dan (5)
keterasingan (isolation) baik secara geografis maupun sosiologis. Sedangkan
Mas’oed (1997) membedakan kemiskinan menjadi dua jenis, yaitu kemiskinan
alamiah dan kemiskinan buatan (artificial). Kemiskinan alamiah berkaitan dengan
kelangkaan sumberdaya alam dan prasarana umum, serta keadaan tanah yang
tandus. Kemiskinan buatan lebih banyak diakibatkan oleh sistem modernisasi atau
pembangunan yang membuat masyarakat tidak dapat menguasai sumberdaya,
sarana, dan fasilitas sosial ekonomi yang ada secara merata.
Sedangkan Nasikun (2001) menyoroti beberapa sumber dan proses
penyebab terjadinya kemiskinan, antara lain :
a. Policy induce processes; proses pemiskinan yang dilestarikan, direproduksi
melalui pelaksanaan suatu kebijakan (induced of policy) diantaranya adalah
kebijakan anti kemiskinan, tetapi realitanya justru melestarikan dan
menyuburkan.
b. Socio-economy dualism; Negara eks koloni mengalami kemiskinan karena
pola produksi kolonial, yaitu petani menjadi marjinal karena tanah yang
paling subur dikuasai petani skala besar dan berorientasi ekspor.
c. Population growth; perspektif yang didasari pada teori Malthus bahwa
pertambahan penduduk seperti deret ukur sedangkan pertambahan pangan
seperti deret hitung.
d. Recources management and the environment; adanya unsur kesalahan
manajemen sumber daya alam dan lingkungan, seperti manajemen
pertanian yang asal tebang akan menurunkan produktivitas.
e. Natural cycles and processes; kemiskinan terjadi karena siklus alam,
misalnya tinggal di lahan kritis, dimana lahan ini jika turun hujan akan
terjadi banjir tetapi jika musim kemarau akan kekurangan air, sehingga tidak
memungkinkan produktivitas yang maksimal dan terjadi secara terus
menerus.
42
f. The marginalization of woman; peminggiran kaum perempuan karena
perempuan masih dianggap kelas kedua, sehingga akses dan penghargaan
hasil kerja yang diberikan lebih rendah dari laki-laki.
g. Cultural and etnic factor; bekerjanya faktor budaya dan etnik yang
memelihara kemiskinan. Misalnya, pola hidup konsumtif pada petani dan
nelayan ketika panen raya, serta adat istiadat yang konsumtif saat upacara
adat atau keagamaan.
h. Exploitatif intermediation; keberadaan penolong menjadi penodong,
seperti rentenir (lintah darat).
i. Internal political fragmentation and civil strata; suatu kebijakan yang
diterapkan pada suatu daerah yang fragmentasi politiknya kuat, dapat
menjadi penyebab kemiskinan.
j. Internatinal processes; bekerjanya sistem-sistem internasional
(kolonialisme dan kapitalisme) membuat banyak negara menjadi semakin
miskin.
Selanjutnya, selain beberapa faktor tersebut di atas, penyebab kemiskinan di
masyarakat khususnya di daerah perdesaan disebabkan oleh keterbatasan asset
yang dimiliki (Suryawati, 2005), yaitu:
a. Natural assets; seperti tanah dan air, karena sebagian besar masyarakat desa
hanya menguasai lahan kurang memadai untuk mata pencahariannya.
b. Human assets; menyangkut kualitas sumberdaya manusia yang relatif masih
rendah dibandingkan masyarakat perkotaan (tingkat pendidikan,
keterampilan maupun tingkat kesehatan dan penguasaan teknologi).
c. Physical assets; minimnya akses ke infrastruktur dan fasilitas umum
seperti jaringan jalan, listrik, dan komunikasi di perdesaan.
d. Financial assets; berupa tabungan (saving) serta akses untuk memperoleh
modal usaha.
e. Social assets; berupa jaringan, kontak dan pengaruh politik, dalam hal ini
kekuatan bargaining position dalam pengambilan keputusan-keputusan
politik.
43
Namun demikian, secara umum penyebab kemiskinan dapat dikategorikan
dalam tiga bentuk, antara lain (Makmun, 2003) :
1. Kemiskinan Struktural, yaitu kemiskinan yang disebabkan oleh hal-hal yang
berhubungan dengan kebijakan, peraturan maupun lembaga yang ada di
masyarakat sehingga dapat menghambat peningkatan produktivitas dan
mobilitas masyarakat.
2. Kemiskinan Kultural, yaitu kemiskinan yang berhubungan dengan adanya
nilai-nilai yang tidak produktif dalam masyarakat, tingkat pendidikan yang
rendah, kondisi kesehatan dan gizi yang buruk; dan
3. Kemiskinan alamiah, yaitu kemiskinan yang ditunjukkan oleh kondisi alam
maupun geografis yang tidak mendukung, misalnya daerah tandus, kering,
maupun keterisolasian.
Selain pengertian kemiskinan tersebut di atas, penyebab kemiskinan juga
penting untuk dipahami. Ada banyak penyebab kemiskinan dan tak ada satupun
jawaban yang mampu menjelaskan semuanya secara sekaligus. Ini ditunjukkan
oleh adanya berbagai pendapat mengenai penyebab kemiskinan sesuai dengan
keadaan, waktu, dan tempat tertentu yang mencoba mencari penyebab
kemiskinan. Smeru (2001) menyimpulkan bahwa penyebab dasar kemiskinan
antara lain; (i) kegagalan kepemilikan, terutama tanah dan modal; (ii) terbatasnya
ketersediaan bahan kebutuhan dasar, sarana dan prasarana; (iii) kebijakan yang
bias perkotaan dan bias sektor; (iv) adanya perbedaan kesempatan diantara
anggota masyarakat dan sistem yang kurang mendukung; (v) adanya perbedaan
sumberdaya manusia dan perbedaan antar sektor ekonomi (ekonomi tradisional
versus ekonomi modern); (vi) rendahnya produktivitas dan tingkat pembentukan
modal dalam masyarakat; (vii) budaya hidup yang dikaitkan dengan kemampuan
seseorang mengelola sumber daya alam dan lingkungannya; dan (viii) tidak
adanya tata kepemerintahan yang bersih dan baik (good governance).
Sumodiningrat (2005) mengklasifikasikan pengertian kemiskinan ke dalam
lima kelas, yaitu kemiskinan absolut, kemiskinan relatif, kemiskinan kultural,
kemiskinan kronis dan kemiskinan sementara. Kemiskinan absolut, adalah apabila
tingkat pendapatan seseorang di bawah garis kemiskinan (poverty line) atau
sejumlah pendapatannya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup minimum
44
(basic needs), antara lain kebutuhan pangan, sandang, kesehatan, perumahan dan
pendidikan yang diperlukan untuk hidup dan bekerja. Kemiskinan relatif, adalah
apabila seseorang mempunyai penghasilan di atas garis kemiskinan, namun relatif
lebih rendah dibandingkan dengan pendapatan masyarakat sekitarnya.
Kemiskinan relatif erat kaitannya dengan masalah pembangunan yang sifatnya
struktural, yakni kesenjangan akibat kebijakan pembangunan yang belum
menjangkau seluruh masyarakat. Kemiskinan kultural, mengacu pada sikap
seseorang atau masyarakat yang disebabkan oleh faktor budaya tidak mau
berusaha untuk memperbaiki tingkat kehidupan meskipun ada usaha dari pihak
luar untuk membantunya. Kemiskinan kronis, disebabkan oleh beberapa hal,
yaitu: (a) kondisi sosial budaya yang mendorong sikap dan kebiasaan hidup
masyarakat yang tidak produktif, (b) keterbatasan sumber daya dan keterisolasian
(daerah-daerah kritis sumber daya alam dan daerah terpencil), dan (c) rendahnya
taraf pendidikan dan derajat perawatan kesehatan, terbatasnya lapangan kerja
dan ketidakberdayaan masyarakat dalam mengikuti ekonomi pasar. Kemiskinan
sementara, terjadi akibat adanya: (a) perubahan siklus ekonomi dari kondisi
normal menjadi krisis ekonomi, (b) perubahan yang bersifat musiman seperti
dijumpai pada kasus kemiskinan nelayan dan pertanian tanaman pangan, dan (c)
bencana alam atau dampak dari suatu kebijakan tertentu yang menyebabkan
menurunnya tingkat kesejahteraan suatu masyarakat.
Ukuran Kemiskinan
Di Indonesia, pengertian kemiskinan didasarkan pada pengertian yang
ditetapkan berdasarkan kriteria dari tiga institusi (BPS, 2008) yaitu:
1. Kriteria BPS, kemiskinan adalah suatu kondisi seseorang yang hanya dapat
memenuhi makannya kurang dari 2 100 kalori per kapita per hari. Data
kemiskinan yang digunakan oleh BPS terdiri dari data Susenas dan untuk
menyalurkan BLT. Data Susenas merupakan data yang bersifat makro, data ini
hanya menunjukkan jumlah agregat dan persentase penduduk miskin, tetapi
tidak dapat menunjukkan siapa, dimana alamatnya secara rinci, data ini hanya
digunakan untuk mengevaluasi pertambahan/pengurangan jumlah penduduk
miskin. Sedangkan untuk menyalurkan BLT (Bantuan Langsung Tunai) dalam
rangka kompensasi BBM, sifatnya mikro yang dapat menunjukkan nama
45
kepala keluarga yang berhak menerima BLT dan lokasi tempat tinggalnya.
Sedangkan untuk mengukur kemiskinan dengan menggunakan kebutuhan dasar
makanan (setara 2 100 kalori per kapita per hari) dan bukan makanan (variabel
kuantitatif), penentuan rumah tangga penerima BLT didasarkan pada
pendekatan karakteristik rumah tangga dengan menggunakan 14 variabel
kuantitatif penjelas kemiskinan. Ke 14 variabel yang digunakan adalah luas
lantai per kapita, jenis lantai, jenis dinding, fasilitas tempat buang air besar,
sumber air minum, sumber penerangan, bahan bakar, membeli daging,
ayam/susu, frekuensi makan, membeli pakaian baru, kemampuan berobat,
lapangan usaha kepala rumah tangga, pendidikan rumah tangga, dan asset yang
dimiliki rumah tangga.
2. Kriteria BKKBN, kemiskinan adalah keluarga miskin prasejahtera, apabila
memenuhi kriteria berikut (BPS, 2008) :
a. Tidak dapat melaksanakan ibadah menurut agamanya.
b. Seluruh anggota keluarga tidak mampu makan dua kali sehari.
c. Seluruh anggota keluarga tidak memiliki pakaian berbeda untuk di rumah,
bekerja/sekolah dan bepergian.
d. Bagian terluas dari rumahnya berlantai tanah.
e. Tidak mampu membawa anggota keluarga ke sarana kesehatan.
3. Kriteria Bank Dunia, kemiskinan adalah keadaan tidak tercapainya
kehidupan yang layak dengan penghasilan US$ 1.00 per kapita per hari (BPS,
2008).
Menurut Darwis dan Nurmanaf (2001), secara teoritis garis kemiskinan
dapat dihitung dengan menggunakan tiga pendekatan, yaitu pendekatan produksi,
pendapatan dan pengeluaran. Garis kemiskinan yang ditentukan berdasarkan
tingkat produksi, misalnya produksi padi per kapita, hanya dapat menggambarkan
kegiatan produksi tanpa memperhatikan pemenuhan kebutuhan hidup.
Perhitungan garis kemiskinan dengan pendekatan pendapatan rumah tangga
dinilai paling baik. Cara ini tidak mudah dilakukan karena kesulitan untuk
memperoleh data pendapatan rumah tangga yang akurat. Untuk mengatasi
kesulitan tersebut, maka garis kemiskinan ditentukan dengan pendekatan
46
pengeluaran yang digunakan sebagai proksi atau perkiraan pendapatan rumah
tangga.
Garis kemiskinan yang dipergunakan BPS dinyatakan sebagai jumlah rupiah
yang dikeluarkan atau dibelanjakan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi yang
setara dengan 2 100 kalori per kapita ditambah dengan pemenuhan kebutuhan
minimum lainnya seperti sandang, perumahan, kesehatan, pendidikan, angkutan
dan bahan bakar. Penggunaan kebutuhan kalori dengan pendekatan pengeluaran
sebagai dasar penentuan garis kemiskinan, sebelumnya telah diperkenalkan oleh
Sayogyo tahun 1977. Konsep ini dinilai lebih mendekati kondisi kehidupan
masyarakat yang sesungguhnya karena pengeluaran pokok di luar kebutuhan
pangan juga diperhitungkan (Yusdja et al., 2003).
Berdasarkan garis kemiskinan yang dipergunakan, dapat dihitung jumlah
penduduk miskin di suatu wilayah. Garis kemiskinan dibedakan antara daerah
perkotaan dan perdesaan, dimana garis kemiskinan di perkotaan lebih tinggi
dibandingkan dengan di perdesaan sesuai dengan perbedaan indeks harga bahan-
bahan kebutuhan pokok masyarakat di kedua wilayah tersebut. Garis kemiskinan
juga berubah dari tahun ke tahun, dikoreksi menurut perkembangan tingkat harga
kebutuhan pokok masyarakat (Sumedi dan Supadi, 2004).
Indikator yang biasa digunakan untuk mengukur kemiskinan dalam studi-
studi empiris adalah sebagai berikut (Yudhoyono dan Harniati, 2004; Nanga,
2006; dan Foster et al., 1984):
1. Incidence of poverty, yang menggambarkan persentase dari populasi yang
hidup dalam keluarga dengan pengeluaran konsumsi per kapita di bawah garis
kemiskinan. Indeksnya disebut poverty headcount index, yang merupakan
ukuran kasar dari kemiskinan, karena hanya menjumlahkan berapa banyak
orang miskin yang ada di dalam perekonomian kemudian dibuat persentasenya
terhadap total penduduk. Dengan ukuran ini, setiap orang miskin memiliki
bobot yang sama besarnya, tidak ada perbedaan antara penduduk yang paling
miskin dan penduduk yang paling kaya di antara orang-orang miskin.
2. Depth of poverty, yang menggambarkan tingkat kedalaman kemiskinan di
suatu wilayah yang diukur dengan poverty gap index. Indeks ini mengestimasi
47
jarak atau perbedaan rata-rata pendapatan orang miskin dari garis kemiskinan,
yang dinyatakan sebagai suatu proporsi dari garis kemiskinan tersebut.
Kelemahan indeks ini adalah mengabaikan atau belum memperhatikan
distribusi pendapatan di antara penduduk miskin.
3. Severity of poverty, yang menunjukkan kepelikan kemiskinan di suatu wilayah,
yang merupakan rata-rata dari kuadrat kesenjangan kemiskinan (squared
poverty gaps). Indikator ini selain memperhitungkan jarak yang memisahkan
orang miskin dari garis kemiskinan juga ketimpangan pendapatan di antara
orang miskin tersebut. Indeks ini juga sering dinamakan sebagai indeks
keparahan kemiskinan (poverty severity index)
Tambunan (2001) mengemukakan bahwa terdapat sejumlah cara untuk
mengukur tingkat kesenjangan dalam distribusi pendapatan, yang dapat dibagi
ke dalam dua kelompok pendekatan yaitu asiomatic approach dan stochastic
dominance. Pendekatan yang sering digunakan dalam studi-studi empiris
adalah pendekatan pertama dengan tiga alat ukur yaitu: (1) the generalized
entropy (GE), (2) the Atkinson measure, dan (3) Gini coefficien
Rumus GE dapat dituliskan sebagai berikut:
−
−
= ∑=
n
i yyi
nGE
12 111)(
α
ααα ……………………………............(2.1)
dimana: n adalah jumlah individu (orang) di dalam sampel, yi adalah
pendapatan dari individu (1, 2, n), dan y = (1/n) yi adalah ukuran rata-rata
pendapatan. Nilai GE terletak antara 0 sampai. Nilai GE nol berarti distribusi
pendapatan merata (pendapatan dari semua individu di dalam sampel sama)
dan berarti kesenjangan yang sangat besar. Parameter mengukur besarnya
perbedaan antar pendapatan dari kelompok yang berbeda di dalam distribusi
tersebut.
Dari persamaan (2.1) di atas, dapat diturunkan cara mengukur
ketimpangan dari Atkinson sebagai berikut:
εε −
=
−
−= ∑
1
1
111
n
i yyi
nA ………………………………………......….(2.2)
48
dimana: ε adalah parameter ketimpangan (0 < ε < 1), semakin tinggi nilai ε
maka semakin tidak seimbang pembagian pendapatan. Nilai A terletak antara 0
sampai 1. Nilai A sama dengan nol berarti tidak ada ketimpangan dalam
distribusi pendapatan.
Alat ukur ketiga yang sering digunakan dalam setiap studi empiris
mengenai kesenjangan dalam pembagian pendapatan adalah koefisien atau
rasio Gini, yang formulanya dapat dirumuskan sebagai berikut:
{ }∑=
−+−=n
iYiFYiFPiG
1)1(*)(*1 …………………………...........…(2.3)
dimana: G adalah nilai koefisien gini, n adalah jumlah sampel, Pi= 1/n, F*(Yi)
adalah persentase pendapatan sampel ke-i dibagi total pendapatan seluruh
sampel, dan F*(Yi-1) adalah jumlah persentase kumulatif pendapatan sampel
ke-(i-1). Nilai Gini (G) berada pada selang 0 sampai 1. Apabila rasio Gini = 0,
berarti kemerataan yang sempurna (setiap orang mendapat porsi dari
pendapatan yang sama). Apabila rasio Gini = 1, berarti ketidakmerataan yang
sempurna dalam pembagian pendapatan. Dengan kata lain, satu orang (satu
kelompok pendapatan) di suatu negara menikmati semua pendapatan negara
tersebut.
Dengan menggunakan grafik, rasio Gini dapat digambarkan dengan Kurva
Lorenz seperti yang disajikan pada Gambar 4. Koefisien Gini adalah rasio antara
daerah di dalam grafik yang terletak di antara kurva Lorenz dan garis
kemerataan sempurna (yang membentuk sudut 450 dari titik 0 sumbu Y dan X)
terhadap daerah segitiga antara garis kemerataan dan sumbu Y dan X. Semakin
tinggi nilai rasio Gini, yakni mendekati 1 atau semakin menjauh kurva Lorenz
dari garis 450, semakin besar tingkat ketidakmerataan distribusi pendapatan.
49
Sumber: Tambunan (2001)
Gambar 4. Rasio Gini dan Kurva Lorenz
Foster et al. (1984) mengemukakan suatu ukuran atau indikator yang dapat
digunakan untuk menganalisis kemiskinan melalui distribusi pendapatan.
Ukuran atau indikator tersebut adalah Foster-Greer-Thorbecke (FGT) poverty
index, yang dapat dirumuskan sebagai berikut:
0,);(1);(1
≥
= ∑
=
ααN
i zzpg
NazP .......................................................(2.4)
dimana:
g(p;z) = distribusi dari poverty gaps
z = garis kemiskinan (poverty line)
Untuk mengetahui bagaimana interpretasi FGT indeks, menurut nilai,
dapat dilihat pada Gambar 5, yang menggambarkan kontribusi total
kemiskinan P(z;) dari masing-masing individu dengan tingkat kemiskinan p
yang berbeda. Kontribusi tersebut ditunjukkan oleh [g(p;z)/z]. Untuk = 0,
kontribusinya adalah 1 untuk yang miskin dan 0 untuk yang kaya (yang
mempunyai ranking melebihi F(z) pada gambar atau sama dengan pendapatan
Q(p) yang melebihi z). Headcount index adalah daerah empat persegi panjang.
50
Untuk =1 kontribusi seseorang pada tingkat kemiskinan p, persis sama dengan
poverty gaps, g(p;z)/z. Rata-rata kemiskinan yang dinormalkan adalah yang
berada pada daerah di bawah g(p;z)/z. Demikian juga untuk nilai yang lebih
besar, misalnya kontribusi untuk P(z;=3) dari individu-individu pada tingkat
kemiskinan p adalah (g(p;z)/z)3, sehingga rata-rata kemiskinan P(z;=3) adalah
area yang berada di bawah kurva (g(p;z)/z)3.
Sumber: Foster et al. (1984)
Gambar 5. Poverty Gaps dan FGT Indeks
Duclos dan Araar (2004) memperkenalkan dua pendekatan yang dapat
digunakan untuk mengukur kemiskinan. Kedua pendekatan ukuran kemiskinan
tersebut adalah: (1) equality distributed equivalent (EDE), yaitu standar hidup
dari masyarakat dimana pendapatan menjadi acuan batas garis kemiskinan, dan
(2) kombinasi antara pendapatan dan garis kemiskinan menjadi poverty gaps
dan mengelompokkannya dalam kesejahteraan masyarakat.
Tinjauan Penelitian Terdahulu
Penelitian yang menganalisis tentang kelapa telah banyak dilakukan namun
penelitian yang dilakukan masih bersifat parsial dan belum dilakukan secara
komperensif. Dari berbagai penelitian yang telah dilaksanakan dapat dilihat
perkembangannya antara lain : Tarigan (2003) meneliti tentang Pengembangan
Usaha Tani Kelapa Berbasis Pendapatan Melalui Penerapan Teknologi yang
Berwawasan Pengurangan Kemiskinan Petani Kelapa di Indonesia, Sumarti
(2003) Dinamika Kesejahteraan Petani Kelapa dan Strategi Pengembangan
Kelapa Rakyat, Mahmud (2003) Pemberdayaan Petani Kelapa dengan Sistem
Usahatani Kelapa Terpadu, Aris (2003) Analisis Pengembagan Agribisnis Kelapa
51
Rakyat di Kabupaten Indragiri Hilir, Kuswari (2005) Pengembangan Agribisnis
Kelapa dalam Rangka Pengembangan Ekonomi Lokal di Kabupaten Indragiri
Hilir, dan Luntunhan (2006) Peningkatan Pendapatan Komunitas Petani Kelapa
Melalui Inovasi Teknologi di Desa Sei Arah Kabupaten Indragiri Hilir.
Dari berbagai penelitian terdahulu yang telah dilakukan, maka untuk
mengisi keterbatasan penelitian/kajian tersebut dalam aspek sosial ekonomi
masyarakat kaitannya dengan pembangunan wilayah, maka peneliti tertarik untuk
melakukan perluasan penelitian tentang kelapa dengan menggunakan pendekatan
model analisis sosial ekonomi. Dalam hal ini peneliti akan menggunakan Model
Sistem Neraca Sosial Ekonomi (SNSE), guna melihat lebih luas dampak dari
pengembangan kelapa terhadap distribuasi pendapatan, tenaga kerja dan
pertumbuhan ekonomi wilayah Kabupaten Indragiri Hilir, serta keterkaitannya
dengan institusi pembangunan ekonomi wilayah baik masyarakat, pemerintah
maupun swasta. Guna mendapatkan hasil yang komprehensif maka Model SNSE
yang akan digunakan.
Model Sistem Neraca Sosial Ekonomi (SNSE) merupakan perluasan dan
penyempurnaan dari Model Input-Output. Untuk kasus Indonesia penggunaan
model tersebut hingga dewasa ini masih relatif terbatas. Ditinjau dari
perkembangan studi-studi yang mengunakan kerangka analisis tersebut antara lain
seperti Sastrowiharjo (1989) menggunakan model Input-Output untuk mengetahui
pertumbuhan dan perubahan struktur ekonomi Provinsi Jambi. Hasil studinya
menemukan bahwa proses pertumbuahan perekonomian Provinsi Jambi
ditentukan oleh pertumbuhan permintaan akhir berupa konsumsi rumah tangga,
pengeluaran rutin pemerintah, pengeluaran pemerintah untuk proyek-proyek
pembangunan, Investasi swasta, stok dan ekspor. Dalam jangka pendek,
pertumbuhan permintaan akhir untuk setiap komoditi bersifat independen, artinya
tidak ditentukan oleh sistem produksi itu sendiri, tetapi ditentukan oleh faktor-
faktor lain. Temuan lainnya yaitu struktur perekonomian Provinsi Jambi tahun
1984 mengalami perubahan yang berbeda, yaitu kelompok sektor pertanian pada
tahun 1978 memberikan sumbangan terhadap PDRB 53.46 persen, dan pada tahun
1984 turun menjadi sebesar 44.46 persen.
52
Selanjutnya Sembiring (1995) menggunakan model Input-Output dalam
mengakaji peran agroindustri terhadap pembangunan ekonomi di Provinsi
Sumatera Utara. Hasil studinya menemukan bahwa sektor agroindustri
penyumbang terbesar terhadap output dan ekspor, masing-masing sebesar 26.30
persen dan 33.90 persen, tetapi sektor ini juga pengimpor terbesar, yaitu sebesar
45.00 persen untuk proses produksinya, sehingga terjadi defisit terbesar yaitu
34.89 persen. Kontribusi sektor agroindustri terhadap nilai tambah dan
kesempatan kerja masih rendah dibanding dengan sektor pertanian, tetapi
produktivitas tenaga kerja di sektor agroindustri relatif jauh lebih tinggi (Rp.
11.88 juta/orang/tahun). Sedangkan sektor pertanian (Rp. 1.61 juta/orang/tahun).
Selain itu ditemukan sektor agroindusti belum jadi sektor utama (the leading
sector) tetapi termasuk sebagai salah satu sektor utama (a leading sector) dalam
pembangunan ekonomi di Provinsi Sumatera Utara tahun 1990.
Arief (1993) model input output adalah keseimbangan di dalam masing-
masing sektor produksinya. Di dalam tabel input output banyak sektor sama
dengan banyak komoditi. Walaupun tabel input output disusun secara rinci,
namun tabel Input-Output hanya memperlihatkan keseimbangan total antara
produksi dan konsumsi, tanpa melihat aspek sosial yang akan terjadi dalam
perekonomian. Sebagai contoh model input output tidak mencakup aspek
distribusi pendapatan sebab dalam model ini rumah tangga hanya dianggap
sebagai satu aktor (tidak dibedakan menurut lapisan sosial ekonominya).
Keterbatasan yang dihadapi oleh model input output tersebut dapat diperluas
dengan menggunakan model sistem neraca sosial ekonomi (SNSE). SNSE semula
dirintis oleh Richard Stone dan kawan-kawannya dari Cambridge University of
England. SNSE, merupakan gabungan berbagai ukuran ekonomi yang semula
terpisah-pisah. Ia merangkum berbagai variabel sosial dan ekonomi secara
kompak dan terintegrasi untuk memperlihatkan gambaran umum mengenai
perekonomian satu negara dan keterkaitan antara variabel sosial dan ekonomi
pada waktu tertentu. Berbeda dengan dua model sebelumnya, SNSE melihat
keseimbangan umum dengan mengutamakan pemerataan struktur produksi,
distribusi pendapatan dan konsumsi.
53
Selanjutnya Narapalasingam (1985) menggunakan Social Accounting
Matrix/SAM untuk menganalisis perekonomian Sri Lanka 1970. Webster (1985)
menggunakan Social Accounting Matrix untuk menganalisis perekonomian
Swaziland tahun 1971-1972. Sedangkan Greenfield (1985) mengunakan Social
Accounting Matrix untuk perekonomian Bostwana tahun 1974-1975 dalam Pyatt
and Round (1985). Sedangkan Budiyanti dan Schreiner (1991) menerapkan Social
Accounting Matrix terhadap data PATANAS 1988. Hasil analisisnya diperoleh
bahwa Social Accounting Matrix bermanfaat dalam menganalisis sumber-sumber
dan distribusi pendapatan antar sistem usahatani (tanaman dan ternak), daerah-
daerah produksi, buruh tani, dan tenaga kerja wanita.
Khan dan Thorbecke (1989) menggunakan kerangka Sistem Neraca Sosial
Ekonomi dalam menganalisis dampak langsung dan tidak langsung pilihan
teknologi terhadap distribusi pendapatan, jumlah pendapatan, komposisi output
dan kesempatan kerja di Indonesia. Dalam enam sektor yang spesifik dampak dari
distribusi teknologi dilihat dengan menggunakan model Sistem Neraca Sosial
Ekonomi secara terpisah dengan menggunakan model fixed price multiplier,
diperoleh gambaran tentang pola distribusi pendapatan dan kesempatan kerja yang
lebih sensitif dalam mengadopsi teknologi baru.
Secara teoritis, Sistem Neraca Sosial Ekonomi dapat digunakan sebagai alat
analisis wilayah yang lebih kecil. Sementara aplikasinya diperkenalkan oleh
Lewis dan Thorbecke (1992) dengan contoh kasus Kota Kutus, Kenya. Seperti
halnya pada SNSE sebelumnya dalam studi tersebut neraca di klasifikasikan atas:
aktivitas produksi, faktor produksi, dan institusi yang di dalamnya tercakup rumah
tangga, kapital dan rest of the world. Namun dalam konteks ini rest of the world
yang dimaksud adalah seluruh wilayah ekonomi di luar Kota Kutus maupun di
luar Kenya.
Selanjutnya Sutomo (1995) menerapakan Sistem Neraca Sosial Ekonomi
untuk menganalisis Ekonomi untuk Provinsi Riau dan Nusa Tenggara Timur
(NTT). Salah satu hasil studinya yakni distribusi pendapatan antar golongan
rumah tangga di kedua Provinsi Riau dan NTT berada dalam keadaan timpang,
hal tersebut ditunjukkan oleh indeks gini di kedua provinis tersebut melebihi 0.50
54
sedangkan distribusi pendapatan faktorial antara tenaga kerja dan kapital
menunjukkan bahwa proses produksi di Provinsi Nusa Tenggara Timur memiliki
insentif tenaga kerja yang ditunjukkan oleh koefisien tenaga kerja sebesar 0.68
lebih besar dari pada kapital 0.32. Namun di Provinis Riau terjadi sebaliknya
yakni insentif kapital yaitu koefisien kapital sebesar 0.52 lebih besar dari pada
tenaga kerja 0.48. Ini berarti bahwa masing-masing provinsi tersebut peningkatan
penggunaan tenaga kerja dan kapital memiliki peranan penting dalam
meningkatkan nilai tambah bruto wilayah.
Kemudian Model Sistem Neraca Sosial Ekonomi digunakan Wagner (1999)
dalam meneliti peranan kunjungan wisata asing terhadap perekonomian wilayah
di APA de Guaraquecaba, Brazil. Wagner mengukur tiga jenis multiplier yakni :
type I, type II, dan multiplier Sistem Neraca Sosial Ekonomi. Output multiplier
type I digunakan untuk melakukan estimasi hanya pada blok aktifitas atau matrik
antar sektor ekonomi. Multiplier type II menggambarkan dampak intra, inter, dan
extra group. Sedangkan multiplier Sistem Neraca Sosial Ekonomi selain dapat
menjelaskan dampak dan yang ditunjukkan oleh multiplier type II, juga
menggambarkan pembayaran modal terhadap rumah tangga. Nilai multiplier yang
dihasilkan untuk type II lebih besar nilainya dibandingkan dengan type I dan nilai
multiplier Sistem Neraca Sosial Ekonomi, nilainya lebih besar dibandingkan
dengan type II. Hasil penelitian ini disimpulkan bahwa secara umum sektor yang
paling besar dipengaruhi oleh besarnya kunjungan wisata asing adalah rumah
tangga perdesaan yang menghasilkan output kerajinan dengan input lokal. Mereka
banyak memperoleh manfaat yang lebih besar dari kedatangan wisatawan asing
dengan mendapatkan dollar yang lebih besar dari produk yang dihasilkannya.
Selanjutnya Antara (1999) hasil penelitiannya menunjukkan produksi
tanaman pangan menimbulkan effek pengganda, peningkatan produksi padi
berperan besar dalam meningkatkan permintaan produk-produk industri alat
angkutan. Peningkatan alokasi pengeluaran pemerintah untuk infrastruktur
ekonomi sebesar 15 persen, berdampak menumbuhkan perekonomian Bali sebesar
0.05 persen, pendapatan rumah tangga 0.05 persen, sektor produksi 0.09 persen
dan khususnya sektor produksi pertanian 0.10 persen. Pembangunan ekonomi Bali
55
memprioritaskan tiga sektor utama yaitu pertanian, pariwisata dan industri kecil
telah menunjukkan hasil yang relatif baik.
Sedangkan Manaf (2000) menggunakan Sistem Neraca Sosial Ekonomi
Indonesia tahun 1995 untuk meneliti pengaruh subsidi harga pupuk terhadap
pendapatan petani melalui analisis alur struktur atau structural path analysis
(SPA). SPA ini digunakan untuk mengidentifikasi alur-alur asal pengaruh yang
dipancarkan dari satu sektor asal ke sektor-sektor tujuan. Hasil penelitiannya
menunjukkan bahwa pengaruh yang terbesar dari adanya subsidi harga pupuk
diterima oleh sektor perkebunan. Sedangkan pengaruh paling kecil justru diterima
oleh rumah tangga petani pemilik lahan luas 0.5-1.0 hektar, itupun setelah melalui
faktor produksi modal.
Selanjutnya Model Sistem Neraca Sosial Ekonomi digunakan oleh Sinha et
al. (2000) dalam melakukan analisis rumah tangga baik formal maupun informal.
Studi tersebut melakukan simulasi kebijakan peningkatan ekspor tekstil, baik yang
formal maupun informal dengan menggunakan analisis multiplier. Hasil simulasi
menunjukkan bahwa faktor produksi di sektor formal terlihat lebih merasakan
dampak apabila naiknya ekspor tekstil tersebut. Hal ini ditandai dengan adanya
peningkatan pendapatan yang tinggi. Dampak peningkatan ekspor juga banyak
dirasakan oleh sektor rumah tangga di sektor formal dibandingkan dengan rumah
tangga sektor informal.
Nielsen (2002) telah berhasil membangun Sistem Neraca Sosial Ekonomi di
negara Vietnam tahun 1996 dan 1997 dalam kerangka Sistem Neraca Sosial
Ekonomi, Neilsen mengelompokkan sektor pertanian yang merupakan sektor
unggulan di negara vietnam menjadi delapan sektor produksi pertanian, dua sektor
jasa pertanian dan tiga belas sektor agroindustri. Sementara itu, Bautista (2000)
juga telah membangun model Sistem Neraca Sosial Ekonomi untuk wilayah
Vietnam pusat yang terdiri dari 25 sektor produksi, 4 kelompok rumah tangga, 2
kelompok perusahaan, dan pemerintah, modal, serta neraca luar negeri, masing-
masing satu kelompok. Studi yang dilakukan oleh Bautista terhadap
perekonomian Vietnam pusat dengan analisis multiplier dengan kesimpulan
bahwa nilai multiplier baik gross output, value added, maupun pendapatan rumah
56
tangga terutama keluarga di sektor pertanian selalu lebih besar dibanding dengan
sektor pertambangan dan industri pengolahan. Berdasarkan hasil penelitiannya
Bautista merekomendasikan untuk menerapkan pembangunan berbasis pertanian
di Vietnam Pusat.