sistem perkebunan kelapa sawit memperlemah posisi perempuan sw/data...sistem perkebunan kelapa sawit...

80
Laporan Penelitian Sistem Perkebunan Kelapa Sawit Memperlemah Posisi Perempuan Penulis: Achmad Surambo Elsa Susan Endang herdian Falda Hasibuan Inda Fanaware Maya Safira Puspa Dewy Rahmawa Retno Winarni Tini Sastra Sawit Watch & Solidaritas Perempuan 2010

Upload: danghanh

Post on 17-Jul-2019

268 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

i

Sistem Perkebunan Kelapa Sawit Memperlemah Posisi Perempuan

Laporan Penelitian

Sistem Perkebunan Kelapa Sawit Memperlemah

Posisi Perempuan

Penulis:Achmad Surambo

Elsa SusantiEndang herdiantiFatilda HasibuanInda Fatinaware

Maya SafiraPuspa Dewy

Rahmawati Retno WinarniTini Sastra

Sawit Watch & Solidaritas Perempuan2010

ii

Sistem Perkebunan Kelapa Sawit Memperlemah Posisi Perempuan

iii

Sistem Perkebunan Kelapa Sawit Memperlemah Posisi Perempuan

APA yang dirasakan perempuan di perkebunan kelapa sawit?, apa yang dilihat perempuan di perkebunan kelapa sawit?, dan apa yang didengar perempuan di perkebunan kelapa sawit? serta apa dialami oleh perempuan di perkebunan kelapa sawit? Hal inilah yang ingin didokumentasikan dalam buku ini. Buku ini secara garis besar ingin menunjukkan betapa kebijakan Orde baru yang membatasi perempuan sebatas tiga I (istri, ibu, dan istri rumah tangga) terasa sangat kuat di perkebunan kelapa sawit, bahkan kehadiran perkebunan kelapa sawit semakin menguatkan ketidak adilan yang dialami perempuan. Bagaimana system tersebut menyebabkan hal diatas, buku ini mencoba menceritakan pengalaman dan pengetahuan perempuan baik yang menjadi buruh perkebunan maupun perempuan yang tinggal di sekitar perkebunan. Pastinya buku ini masih terdapat berbagai kekurangan di sana-sini.

Hadirnya buku ini, kami sangat menyambut gembira, karena melengkapi bagaimana dampak perkebunan besar kelapa sawit bagi perempuan. Untuk hal itu, kami sangat berterima kasih terhadap kawan-kawan peneliti baik dari Sawit Watch maupun Solidaritas Perempuan. Ucapan terima kasih juga saya sampaikan kepada masyarakat dan perempuan – perempuan di wilayah penelitian. Semoga buku ini bermanfaat bagi kita semua. Selamat membaca.

Bogor, 3 November 2010

Sawit Watch dan Solidaritas Perempuan

Kata Pengantar

iv

Sistem Perkebunan Kelapa Sawit Memperlemah Posisi Perempuan

Sistem Perkebunan Kelapa Sawit Memperlemah Posisi Perempuan

v

Sistem Perkebunan Kelapa Sawit Memperlemah Posisi Perempuan

Daftar Isi

Kata Pengantar iii

Bab 1Pendahuluan 1

Bab 2Sistem Perkebunan Kelapa Sawit 9

Bab 3Gender Sebagai Sebuah Alat Analisis 25

Bab 4Temuan-temuan dan Analisis 31

Bab 5Kesimpulan dan Rekomendasi 69

Daftar Pustaka 72

vi

Sistem Perkebunan Kelapa Sawit Memperlemah Posisi Perempuan

1

Sistem Perkebunan Kelapa Sawit Memperlemah Posisi Perempuan

Latar BeLakang

PemBANgUNAN perkebunan kelapa sawit di Indonesia semakin meluas. Jika tahun 1980-an hingga tahun 1990-an perkebunan kelapa sawit banyak dikembangkan di Sumatera dan sebagian Kalimantan, saat ini perkebunan kelapa sawit sudah memasuki Sulawesi bahkan Papua. Luas perkebunan kelapa sawitpun meningkat signifikan, jika Tahun 2005 telah mencapai 5,4 juta ha, tahun 2009 malah sudah mencapai 7,5 juta ha (kompas 4 Januari 2010). Data lain menunjukkan bahwa luasan perkebunan kelapa sawit di Indonesia adalah 9,1 juta ha (Sawit Watch, 2010). Berkenaan dengan CPO-nya telah dihasilkan lebih dari 20 juta ton CPO dimana hampir 60 %-nya diekspor (orientasi pasar). Berkenaan dengan rencana pengembangan perkebunan kelapa sawit terdata lebih dari 20 juta ha lahan yang akan dialokasikan oleh beberapa Pemerintah Provinsi di Indonesia (Sawit Watch, 2010).

Dari beberapa temuan terungkap bahwa pembangunan perkebunan kelapa sawit telah mengakibatkan beberapa dampak negatif (marti, 2008) yakni- Banyak masyarakat adat kehilangan tanah dan akses ke air serta

tidak mendapat penghidupan yang layak- Komunitas-komunitas yang dulunya mandiri dalam memenuhi

kebutuhan sehari-hari, sekarang terjerat hutang dan harus berjuang keras untuk memperoleh akses ke pendidikan dan memenuhi kebutuhan pangan mereka

- Tradisi dan budaya juga turut hancur oleh proses ekspansi

PendahuluanBAB 1

2

Sistem Perkebunan Kelapa Sawit Memperlemah Posisi Perempuan

perkebunan kelapa sawit, sejalan dengan rusaknya hutan dan satwa serta tumbuhan liar di Indonesia.

- Beberapa komunitas mengalami pelanggaran hak asasi manusia dan hak-hak perempuan – termasuk hak atas air, kesehatan, pekerjaan, budaya, dan hak untuk dilindungi dari perlakuan buruk dan kesewenang-wenangan.

Ketika perkebunan kelapa sawit hadir, kita dapat membedakan kelompok masyarakat internal dan eksternal perkebunan. Dalam kelompok internal perkebunan terdapat petani kelapa sawit dan buruh kelapa sawit, dalam kelompok internal terdapat masyarakat adat dan masyarakat lokal (Sawit Watch, 2008). Beberapa investigasi dan penelitian banyak mengungkapkan berbagai kelompok didepan dari kelompok internal sampai kelompok eksternal. Bagaimana dengan perempuan dan anak, dimana kelompok ini melintas dari kelompok internal dan kelompok eksternal? Perempuan dan anak di perkebunan kelapa sawit adalah kelompok yang paling rentan, tetapi belum ada upaya-upaya yang cukup optimal untuk mengadvokasi kelompok ini dari praktek dan kebijakan di sektor perkebunan kelapa sawit. Temuan-temuan awal Sawit Watch (2008) menunjukkan beberapa hal diantaranya - Dalam pembagian lahan dalam sistem perkebunan kelapa sawit

model perusahaan inti rakyat (PIR), perempuan hanya sebagai pelengkap bagi suaminya, dimana kepemilikan lahan sering dinamakan milik suami bukan kepemilikan berdua, walaupun dalam mekanisme pembagian berdasarkan satu keluarga.

- Perempuan dan anak sering terlibat dan bekerja di perkebunan kelapa sawit tetapi mereka hanyalah kelompok membantu suami atau ayah mereka, artinya ‘bekerja tanpa dibayar’. Hal ini sering kita temui bilamana suami atau ayah mereka adalah buruh perkebunan kelapa sawit.

- Selain itu, beberapa pekerjaan yang sering identik dengan pekerjaan perempuan adalah memupuk, memipil, menyemprot,

3

Sistem Perkebunan Kelapa Sawit Memperlemah Posisi Perempuan

dan lain sebagainya, dimana pekerjaan tersebut sangat rentan terutama bagi kesehatan perempuan. Dampak kehadiran perkebunan terhadap perempuan telah lama

ditemukan, namun belum dilakukan upaya-upaya penguatan dan advokasi yang cukup optimal terutama bagi perempuan. Hal ini salah satunya disebabkan minimnya pengetahuan dan wawasan tentang perempuan, sehingga berbagai proses yang terkait perkebunan kelapa sawit tidak melibatkan perempuan. Oleh karena itu, salah satu kegiatan yang dianggap sebagai langkah awal mengupayakan advokasi perempuan dan anak serta penguatan perempuan di perkebunan kelapa sawit adalah pengumpulan data dan informasi berkenaan dengan perempuan dan anak di perkebunan kelapa sawit sehingga dapat menyusun langkah-langkah advokasinya ke depan. Untuk hal ini, Sawit Watch bekerjasama dengan Solidaritas Perempuan melakukan riset berkenaan dengan posisi perempuan dan anak di sistem perkebunan kelapa sawit.

tujuan dan HasiL diHarapkan

Penelitian ini bertujuan:1. mengidentifikasi persoalan yang dihadapi perempuan buruh

perkebunan kelapa sawit terkait dengan pemenuhan hak-hak mereka.2. Untuk mengetahui pemahaman perempuan di perkebunan kelapa

sawit tentang hak-hak perempuan baik sebagai buruh maupun petani.

3. Untuk meningkatkan pengetahuan tentang system perkebunan kelapa sawit di Indonesia bagi semua pihak yang terlibat dalam penelitian ini terutama bagi perempuan yang menjadi focus penelitian.

4. mengembangkan strategi advokasi bagi buruh perempuan diperkebunan kelapa sawit dan mengembangkan konsep untuk mempengaruhi perubahan kebijakan system perkebunan kelapa sawit yang berpihak kepada perlindungan hak-hak perempuan.

4

Sistem Perkebunan Kelapa Sawit Memperlemah Posisi Perempuan

Hasil yang diharapkan dalam penelitian ini adalah 1. adanya data dasar mengenai situasi perempuan di perkebunan

maupun di sekitar perkebunan. 2. Adanya pemahaman yang lebih baik tentang pemahaman

perempuan di perkebunan kelapa sawit tentang hak-hak perempuan baik sebagai buruh maupun petani.

3. Adanya laporan mengenai sistem perkebunan kelapa sawit khususnya dengan perspektif perempuan.

4. Adanya strategi advokasi bagi buruh perempuan di perkebunan kelapa sawit dan mengembangkan konsep SW dan SP untuk mempengaruhi perubahan kebijakan system perkebunan kelapa sawit yang berpihak kepada perlindungan hak-hak perempuan.

pentingnya riset perempuan dan perkeBunan sawit

Riset ini menjadi penting, karena belum banyak literatur yang komprehensif tentang studi perempuan di perkebunan indonesia tentang peran dan dampak perkebunan sawit bagi perempuan. Artinya, dalam riset ini sulit ditemukan rujukan pustaka sebelumnya yang bisa dijadikan pijakan persoalan apa saja yang muncul terkait keberadaan dan keterlibatan perempuan di perkebunan sawit. Untuk itu, riset ini menjadi temuan penting untuk tujuan pengorganisasian atau advokasi ke depan berkenaan posisi perempuan di perkebunan kelapa sawit.

metode peneLitian

Paradigma utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah paradigma teori kritis dan paradigma partisipatif yakni riset aksi partisipatif dalam perspektif feminist (feminist partisipatory action research, FPAR) dimana dalam penelitian ini perempuan merupakan subjek utama bukan menjadi objek penelitian. Riset menggunakan metode ini sebenarnya bukan sekedar mengumpulkan data atau membuat buku tetapi lebih bagaimana perempuan mampu mendokumentasikan pengalaman hidupnya dan mampu mengambil

5

Sistem Perkebunan Kelapa Sawit Memperlemah Posisi Perempuan

inisiatif atas ketidakadilan yang mereka alami. Berbeda dengan riset lainnya seperti riset akademis yang selalu menekankan ’obyektifitas’, metode FPAR merupakan salah satu riset yang ‘berpihak’, yaitu berpihak pada kepentingan advokasi hak-hak perempuan. Artinya, apa yang dilakukan oleh para peneliti dan perempuan di perkebunan kelapa sawit serta keluarga petani sawit tidak akan berhenti pada pengumpulan data, tetapi akan berlanjut dengan aksi-aksi atau kegiatan lain yang bertujuan menguatkan perempuan di perkebuan dan keluarga petani sawit.

Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini meliputi data primer dan data sekunder. model yang digunakan dalam mengumpulkan data dan informasi adalah diskusi mendalam dengan narasumber dan diskusi kelompok terfokus (FgD, focus group discussion). FgD dilakukan dengan melibatkan perempuan di lokasi penelitian untuk mengkaji bersama kebijakan-kebijakan yang terkait dengan kehidupan mereka serta mendorong perempuan mengungkapkan pengalaman dan pengetahuan perempuan yang bekerja atau tinggal di sekitar perkebunan kelapa sawit, sedangkan wawancara mendalam dilakukan terhadap narasumber terpilih berkenaan dengan sejarah desa, penguasaan-penguasaan agraria, pengalaman serta dampak-dampak yang dialaminya dengan adanya perkebunan kelapa sawit. Hal-hal yang menjadi fokus dalam FgD dan wawancara mendalam adalah 5 ketidakadilan gender yaitu diskriminasi, subordinasi, marginalisasi, kekerasan, beban ganda dan stereotype yang dialami perempuan dengan adanya perkebunan kelapa sawit, serta menggunakan pendekatan interseksionalitas.

metode pengumpulan data sekunder dalam penelitian ini adalah Secondary Data Review (SDR). SDR merupakan cara mengumpulkan sumber-sumber informasi yang telah diterbitkan maupun yang belum disebarkan. Tujuan dari usaha ini adalah untuk mengetahui data manakah yang telah ada, sehingga tidak perlu lagi dikumpulkan. Data-data sekunder yang bersumber dari dari dokumen Perkumpulan Sawit Watch, Solidaritas Perempuan, lembaga perempuan atau institusi lainnya, pemerintah desa, pemerintah daerah, dan perusahaan sawit,

6

Sistem Perkebunan Kelapa Sawit Memperlemah Posisi Perempuan

serta hasil dokumentasi kebijakan (peraturan) dan publikasi (literatur) terkait ini akan melengkapi dan mempertajam analisis (pembahasan) hasil temuan dari penggalian data primer. model analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis value chain kelapa sawit, dimana industri kelapa sawit melibatkan banyak pihak diantaranya lembaga finansial (bank internasional, nasional, dan lokal), perusahaan perkebunan kelapa sawit, perusahaan pengolah, retailer, dan lain sebagainya. Untuk lebih detail lihat gambar 1.

gambar 1. Jejaring industri kelapa sawit (Wakker, e., 2003)

7

Sistem Perkebunan Kelapa Sawit Memperlemah Posisi Perempuan

Industri kelapa sawit bukanlah hanya berbicara soal tanaman kelapa sawit, tetapi suatu industri dari investasi (aliran kapital) dan konsumsi (aliran barang (sumber daya alam). Dalam penelitian ini dibatasi pada wilayah on-farm (wilayah perkebunan kelapa sawit), dimana dalam fase-fase on farm yakni fase sebelum menghasilkan (tanaman belum menghasilkan, 0 – 4 tahun, tbm) dan fase menghasilkan (tanaman menghasilkan, > 4 tahun, tm). Dalam fase tbm, kita akan menemukan fase pembukaan lahan, pembibitan, dan penanaman bibit sawit, sampai pengelolaan tanaman sebelum menghasilkan (biasanya sampai 4 tahun). Dalam fase tm, kita akan menemukan fase pengelolaan tanaman berupa pemupukan, perawatan tanaman, pemanenan, dan lain sebagainya.

Dalam penelitian ini, fokus yang diteliti adalah perempuan petani kelapa sawit (petani plasma) dan perempuan buruh perkebunan kelapa sawit. Selain entitas-entitas tersebut, sebenarnya di Perkebunan kelapa sawit terdapat beberapa entitas lain, diantaranya masyarakat adat, dan masyarakat lokal. Untuk lebih sederhananya relasi berbagai entitas dalam perubahan hutan menjadi perkebunan kelapa sawit secara sederhana dapat digambarkan dalam gambar 2.

gambar 2. Relasi Aktor di Perkebunan kelapa sawit (Surambo, A., 2009)

8

Sistem Perkebunan Kelapa Sawit Memperlemah Posisi Perempuan

Unit analisis pada rumah tangga menekankan kondisi dan permasalahan perempuan dalam rumah tangga, baik istri petani maupun istri buruh, termasuk buruh perempuan dan anak perempuan mereka. Untuk itu Analisis ini mengkaji sejauhmana atau seberapa besar dampak perkebunan sawit terhadap ekonomi sosial sebuah rumah tangga dan relasi kuasa yang terjadi.

Dalam penelitian ini terdapat dua lokasi penelitian, yakni• Dusun Pekasau; Desa modang, Desa Trans Kuaro, dan Desa

Kendarom; Kecamatan Kuaro; Kabupaten Paser; Kalimantan Timur. Wilayah ini adalah desa tujuan transmigrasi dalam proyek PIR-Bun tahun 1980-an dengan perusahaan mitra adalah PTPN XIII

• Dusun Sukma, Dusun Toronggili, Dusun Ranomotali; Desa Olumokunde dan Desa Kamba; Kecamatan Pamona Timur; Kabupaten Poso; Sulawesi Tengah dengan perusahaan yang beroperasi di wilayah tersebut adalah PT Sawit Jaya Abadi (PT SJA), group Astra.

9

Sistem Perkebunan Kelapa Sawit Memperlemah Posisi Perempuan

pendaHuLuan

“SeJARAH perkembangan perkebunan di negara berkembang termasuk Indonesia, tidak dapat dipisahkan dari sejarah perkembangan kolonialisme, kapitalisme dan modernisasi. Di negara-negara berkembang, pada umumnya perkebunan hadir sebagai perpanjangan dari perkembangan kapitalisme agraris barat yang diperkenalkan melalui sistem perekonomian kolonial. Perkebunan pada awal perkembangannya hadir sebagai sistem perkeonomian baru yang semula belum dikenal yaitu sistem perekonomian pertanian komersial yang bercorak kolonial. Sistem yang dibawa oleh pemerintah kolonial atau yang didirikan oleh korporasi kapitalis asing itu pada dasarnya adalah sistem perkebunan eropa, yang berbeda dengan sistem kebun (garden sistem) yang telah lama berlaku di negara-negara berkembang pada masa pra-kolonial” (Kartodirdjo & Suryo (1991)).

Bila kita coba bandingkan dua model pengembangan perkebunan tersebut jelas terdapat perbedaan yang nyata. Istilah sistem kebun (garden sistem) agaknya bertumpang tindih dengan beberapa istilah diantaranya sistem hutan kerakyatan (shk), agroforestry, wilayah kelola rakyat, dan lain sebagainya. Bahkan terdapat istilah lokal yang sebenarnya mencerminkan tata kelola ala masyarakat adat atau masyarakat tradisional. Beberapa istilah yang tumpang tindih dengan garden system diantaranya repong damar, simpunk, tembawang, dan lain sebagainya. Berbagai terminologi ditemukan untuk menyebut pelaku garden system tersebut diantaranya perkebun mandiri, masyarakat tradisional, masyarakat adat, dan sebagainya.

Sistem Perkebunan Kelapa Sawit

BAB 2

10

Sistem Perkebunan Kelapa Sawit Memperlemah Posisi Perempuan

Garden system menunjukkan bahwa usaha perkebunan dalam usaha rumah tangga adalah usaha tambahan atau pelengkap dari kegiatan kehidupan pertanian pokok terutama pertanian pangan secara keseluruhan. Usaha ini biasanya kita temui dalam bentuk usaha kecil, tidak padat modal, penggunaan lahan tidak terlalu luas, sumber tenaga kerja berpusat pada anggota keluarga, kurang berorientasi kepada pasar, dan lebih fokus untuk melayani kebutuhan subsisten. Hal ini berbeda dengan sistem perkebunan atau saat ini lebih dikenal dengan perusahaan perkebunan besar yang merupakan bagian dari sistem perekonomian pertanian komersial dan kapitalistik. Sistem ini diwujudkan dalam bentuk usaha pertanian dalam skala besar, monokultur, bersifat padat modal, penggunaan areal pertanahan luas, organisasi tenaga kerja besar, pembagian kerja rinci, penggunaan tenaga kerja upahan, struktur hubungan kerja yang kompleks dan diajukan untuk memenuhi kebutuhan pasar (komoditi ekspor).

Tabel 1. Perbedaan Perusahaan Perkebunan Skala Besar dengan Perkebunan Rakyat

Item Perusahaan Perkebunan Perkebunan RakyatPelaku Investor hanya sebagai

pemodal dan tidak ikut menanam langsung tanaman

Ikut bekerja menanam langsung tanaman tersebut

Luasan lahan Skala besar dimana biasanya diatas 25 Ha

Tidak terlalu luas dimana kebanyakan kurang dari 10 Ha

Orientasi Untuk kebutuhan pasar dan keuntungan

Untuk mencukupi kebutuhan keluarga

Capital Financial (padat modal) Tenaga kerja (Padat tenaga kerja)

Tanaman yang dikembangkan

Tanaman yang laku keras di pasar

Tanaman yang sudah dikenal dan dapat memenuhi kebutuhan rumah tangga

Sumber : Surambo, A. 2007. Sistem Kelola Rakyat Vs Sistem Kebun Besar. Bogor. Perkumpulan Sawit Watch

11

Sistem Perkebunan Kelapa Sawit Memperlemah Posisi Perempuan

Seperti yang diungkapkan di depan, bahwa terdapat dua model tata pengelolaan yakni sistem perusahaan perkebunan besar dan kebun rakyat (garden system). Dua model tata kelola tersebut digambarkan secara hitam dan putih (saling berdiameteral/berlawanan). Saat ini, dua model kelola tersebut adalah suatu kontinum dimana satu titik ekstrim di ujung kanan adalah kebun rakyat (garden system) dan satu titik di ujung ekstrim kiri adalah sistem perusahaan perkebunan besar. Jadi, selain dua model tata kelola yang ekstrim dapat kita temui, kita juga dapat menemukan sistem tata kelola campuran karakter dari dua tata kelola, yakni tanaman yang ditanam untuk subsisten dan tanaman yang ditanam untuk perdagangan. Sistem tata kelola campuran dua karakter tersebut dikenal dengan petty cultivation (perkebunan campuran). Sistem tata kelola ini mengetengahkan bahwa hasil-hasil pertanian bukan hanya dikonsumsi sendiri tetapi terdapat sebagian hasil pertanian yang dijual ke pasar.

keBun sawit, dari masa ke masa

Kelapa sawit termasuk perkebunan yang dikembangkan dengan sifat komersial dan melayani pasar atau kebun besar. Identifikasi awal terhadap model pengembangan kebun besar dimulai ketika pemerintah colonial Belanda mengenalkan kopi di bumi priangan (Jawa Barat) (Fauzi, N, 2008). Hal ini terjadi sebelum masa liberal (sebelum 1870). Pada masa inilah sebenarnya sedang dilakukan semacam ‘pilot project’ bagaimana membuat system perkebunan besar untuk melayani pasar di eropa.

Berkenaan dengan asal usul tanaman kelapa sawit, beberapa kalangan mempercayai bahwa tanaman kelapa sawit berasal dari wilayah Afrika Barat, tetapi beberapa kalangan yang lain mempercayainya bahwa kelapa sawit berasal dari wilayah Amerika Selatan. Sampai dengan saat ini belum ada kesepakatan berkenaan pendapat mana yang kuat, tetapi beberapa ahli menyatakan sebenarnya wilayah Afrika dan Amerika dahulunya menjadi satu sehingga cikal bakal kelapa sawit ditemukan di dua tempat tersebut.

12

Sistem Perkebunan Kelapa Sawit Memperlemah Posisi Perempuan

Kelapa sawit masuk ke Indonesia pada tahun 1848, dimana awalnya berupa empat pohon yang coba dibudidayakan di Kebun Raya Bogor, dua pohon berasal dari Hortus Botanicus Amsterdam dan dua lagi berasal dari mauritus sehingga diduga bahwa kelapa sawit yang ada di Indonesia semuanya berasal dari Afrika tetapi melalui jalan yang berbeda. Untuk tujuan memperluas turunan kelapa sawit tersebut ditanam di Banyumas (Jawa), dan Palembang, dan tahun 1875 dibangun perkebunan kelapa sawit di wilayah Deli (Sumatra Utara). Pengembangan usaha perkebunan kelapa sawit skala besar dilakukan oleh Adrian Hallet tahun 1911 di Sungai Liput (Pantai Timur Aceh) dan Pulo Raja (Asahan). Pada tahun yang sama juga K.L.T. Schadt menanam juga kelapa sawit di Sungai Itam Ulu (Deli). Tahun 1914 luasan perkebunan kelapa sawit mencapai 3.250 Ha.

Saat ini Indonesia muncul sebagai negara yang memiliki luas kebun kelapa sawit terluas, yakni 9,1 juta Ha (Sawit Watch, 2010). Indonesia mempunyai kebun yang luas lewat mengkonversi hutan-hutan dan kebun-kebun rakyat menjadi perkebunan kelapa sawit. Hal ini dipicu oleh dua hal yakni pertama, adanya kebijakan pemerintah Indonesia yang berkeinginan menjadi negara terluas sehingga terdapat berbagai kemudahan seperti perijinan, upah buruh murah, dan lain sebagainya. Kedua, adanya permintaan terhadap minyak nabati khususnya minyak sawit yang tinggi. Berkenaan dengan fase-fase dalam perluasan kebun kelapa sawit dan kebijakannya dapat dilihat dalam tabel 2.

Tabel 2. Perkembangan Perkebunan Kelapa Sawit di masa Pemerintah Indonesia

Fase Keadaan Aktor-aktor berpengaruh

Fase Soekarno

Perusahaan as-ing skala besar, Pemerintahan Soekarno dian-taranya militer,

Fase ini ditandai dengan adanya kemerdekaan indonesia lepas dari penjajahan dari Belanda ataupun Jepang secara fisik. Revolusi sosial terjadi dimana-dimana setelah Kemerdekaan Indonesia diumumkan. Di berbagai tempat rakyat Indonesia gegap gempita menyambut kemerdekaan Indonesia ini. Salah satu praktek yang dilakukan dalam menyambut Kemerdekaan Indonesia adalah mengusir penjajahan dalam

13

Sistem Perkebunan Kelapa Sawit Memperlemah Posisi Perempuan

tokoh-tokoh pergerakan nasional

berbagai bentuk. Beberapa aset negara yang mencerminkan kepemilikan penjajah diambil alih. Salah satunya adalah pendudukan perkebunan oleh pemuda-pemudi bersama rakyat lainnya. Di perkebunan terjadi pendudukan lahan secara sporadis. Bahkan Bung Hatta sendiri me-nyatakan bahwa tanah-tanah perkebunan yang ada saat ini adalah hasil ‘merampok’ tanah-tanah rakyat. Berkaitan dengan pernyataan Bung Hatta tersebut sepatutnya lah pendudukan tersebut dilakukan. Tetapi jaman memang cepat berubah salah satu hasil dari Konferensi meja Bundar (KmB) adalah pengembalian kembali aset-aset perusahaan asing kepada perusahaan tersebut diantaranya pengembalian kembali lahan-lahan perkebunan yang sempat diduduki oleh rakyat kepada perusahaan asing lama. Tragis sekali, Bung Hatta yang menyetujui, Bung Hatta pula yang mencabutnya.

Salah satu hasil KmB lain adalah pengembalian Papua Barat ke Indonesia setahun kemudian. Akibat berlarut-larutnya pengembalian ini, Pemerintahan Soekarno melakukan beberapa langkah monumental. Pertama, Pemerintahan Soekarno mengemplang semua hutang-hutang kepada Penjajah Belanda. Selain itu, langkah fonumental lainnya adalah Pemerintahan Soekarno melakukan nasionalisasi pada semua perusahaan-perusahaan Belanda. Salah satu perusahaan yang dinasionalisasi adalah lahan-lahan perkebunan yang dimiliki oleh perusahaan-perusahaan Belanda. Hal yang menjadi kurang dalam nasionalisasi tersebut adalah pengelolaan perkebunan tersebut dikarenakan kurangnya kaum pro-fesional sewaktu itu sehingga mengakibatkan militer dilibatkan untuk memegang beberapa perusahaan perkebunan.

Puncak dari kebijakan Pemerintah Soekarno yang populis adalah rencana land reform dengan diterbitkannya Undang-Undang Pokok Agraria No 5 tahun 1960, dimana salah satu obyek dari land reform adalah lahan-lahan perkebunan skala besar. Akhir cerita ini adalah agenda land reform tersebut belum sempat dilakukan Pemerintahan Soekarno keburu jatuh. Perkembangan yang siginifikan di Perkebunan dalam penguasaan lahan tidak terjadi lonjakan berarti bahkan beberapa perkebunan besar sepertinya terlantar.

Fase Soeharto – orde refor-masi

perangkat-perangkatnya, Perusahaan perkebunan skala besar, NgO, serikat-serikat Petani, dan masyara-kat adat, serta serikat-serikat buruh

Fase inilah perkebunan massif dikembangkan. Dengan model pemban-gunan yang menggunakan tiga prinsip yakni stabilitas, pertumbuhan, dan pemerataan. Salah satu kebijakan Pemerintahan Soeharto adalah mengeluarkan undang-undang tentang penanaman modal asing. Salah satu konsep yang dikembangkan oleh Pemerintahan Soeharto adalah konsep kemitraan Perusahaan Inti Rakyat (PIR) yang merupakan bagian revolusi hijau, dimana dalam suatu perkebunan skala besar kita akan mendapati inti dan plasma. Inti mempunyai kewajiban untuk me-nyediakan saprotan (sarana produksi tani), jaminan pasar, penjamin di Bank; sedangkan plasma mempunyak kewajiban menyediakan lahan, tenaga kerja, dan menyerahkan hasil-hasil perkebunan tersebut ke inti. PIR-perkebunan dilakukan pertama menggunakan sumber keuangan dari Bank Dunia tahun 1977 di dua lokasi yakni Alue merah, Aceh dan Tabenan, Sumatra Selatan. Proyek ini dikenal dengan NeS (nucleus estate smallholder), bahkan proyek ini dikembangkan sampai NeS V. Untuk wilayah Kalimantan, proyek PIR dikembangkan di dua wilayah yakni Sanggau, Kalimantan Barat dan Paser, Kalimantan Timur pada

14

Sistem Perkebunan Kelapa Sawit Memperlemah Posisi Perempuan

Sumber: Surambo, A. 2008. Sejarah Singkat Perkebunan Kelapa Sawit Indonesia. Bogor. Perkumpulan Sawit Watch

Seperti yang diungkapkan didepan, bahwa perkebunan di Indonesia tidak lepas dari kolonialisme, kapitalisme dan modernisasi.

akhir tahun 80-an. Konsep PIR ini berkembang pesat bahkan diinte-grasikan dengan proyek pemerintah lain yakni transmigrasi dengan mengeluarkan Inpres No 1 tahun 1986 tentang PIR-Transmigrasi. Beberapa konsep tentang PIR dapat dilihat dalam Tabel 4.Bila kita coba bandingkan antara PIR dan kerja tanam paksa terlihat beberapa kesamaan dan beberapa perbedaan, tabel 5 menunjukkan hal ini.

Salah satu hal yang masif dikembangkan dalam era Soeharto adalah pembangunan perkebunan kelapa sawit skala besar. Pembangunan ini dilakukan dengan cara melakukan konversi hutan menjadi perkebunan. Indonesia saat ini menjadi negara dengan perkebunan kelapa sawit terluas di dunia yakni 9,1 juta Ha (Perkumpulan Sawit Watch, 2010). Pembangunan perkebunan kelapa sawit skala besar ini menimbulkan dampak yang luar biasa baik dari sisi lingkungan maupun sosial. Ber-bagai kerusakan lingkungan berupa kebakaran hutan, banjir, longsor, dan limbahnya mencemari sungai. Di wilayah sosial, pembangunan perkebunan ini menimbulkan beragam konflik dari konflik masyarakat adat dengan perusahaan perkebunan sampai dengan konflik horizontal antara buruh dengan petani/masyarakat adat. Data monitoring Perkumpulan Sawit Watch (2010) terdapat 608 kasus konflik di perke-bunan kelapa sawit di Indonesia.

Krisis moneter tahun 1997 mengakibatkan krisis politik juga di Indonesia. Hal ini mengakibatkan pemerintahan Soeharto yang berkuasa kurang lebih 30 tahunan jatuh dan digantikan oleh orde reformasi. Salah satu perubahan yang signifikan adalah digunakannya tata pemerintahan desentralisasi bukan sentralisasi seperti jaman orde baru. Beberapa kebijakan yang sifatnya dapat diurus di daerah maka kewenangan tersebut diberikan kepada daerah. Salah satu kewenan-gan itu adalah pemberian ijin pembangunan perkebunan skala besar. Akibatnya pembangunan perkebunan skala besar semakin massif khususnya kelapa sawit. Cerita dampak perkebunan skala besar dalam fase orde baru semakin menjadi-jadi. Bahkan pemerintahan SBY-JK ini mengenalkan konsep revitalisasi pertanian. Jelas konsep ini berkeingi-nan meneguhkan sistem perkebunan yang lama, yang jelas-jelas kurang memberi manfaat banyak kepada rakyat.

Hal yang signifikan dalam penguasaan lahan dalam fase ini adalah munculnya perusahaan dengan konglomerasi penguasaan lahan, lihat gambar 2. Bila kita lihat lebih teliti kembali bahwa adanya kemerdekaan Indonesia dengan cara revolusi tahun 1945 ternyata tidak bisa merubah sistem perkebunan dimana sistem yang ada saat ini adalah turunan dan pengembangan dari Fase Liberal semasa penjajah kolonial Belanda.

15

Sistem Perkebunan Kelapa Sawit Memperlemah Posisi Perempuan

Perkebunan besar cepat beradaptif secara dinamis dengan kondisi situasi zaman,lihat Tabel 3.

Tabel 3. Perbandingan Kebun Besar Masa Kolonial dan Post-Kolonial

Item Kolonial Post-KolonialPelaku Perusahaan-perusahaan

luar negri langsung (deli mascapay, Lonsum)

Perusahaan-perusahaan dalam negri yang dapat modal dari luar negri (Astra, sinar mas, lonsum)

jaman dikembangkan era setelah politik liberal (1875) setelah jaman tanam paksa di Jawa

Jaman Kemerdekaan dimana mulai massif era Soeharto sampai sekarang

Tanaman yang dikembangkan

Tanaman yang laku keras di pasar (lada dan rempah-rempah, tebu, kopi, tembakau)

Tanaman yang laku keras di pasar (sawit, kopi, dll)

Ijin operasionalnya Hak erpacht, selama 75 tahun

HgU (hak guna usaha) selama 30 tahun dan dapat diperpanjang lagi

Tanah yang digunakan ‘selalu’ mengakui menggunakan tanah negara dengan prinsip domein varklaring

‘selalu’ mengakui menggunakan tanah negara dengan menggunakan prinsip Hak menguasai Negara (HmN)

Yang dipekerjakan Orang-orang bawahan (buruh kasar) adalah inlander, sedangkan pimpinannya banyak orang asing

Orang-orang indonesia sendiri tetapi sudah larut untuk kepentingan mencari untung sendiri-sendiri

Konflik yang sering terjadi

Konflik tanah, kompeni dibantui oleh pemerintah

Konflik tanah, perusahaan dibantui oleh pemerintah,

16

Sistem Perkebunan Kelapa Sawit Memperlemah Posisi Perempuan

Berbagai dinamika sosial politik menyertai bagaimana tumbuh kembangnya kebun-kebun besar. model operasi ini diawali oleh datangnya berbagai perjalanan para penjelajah dari eropa ke nusantara, dari penjelajahan inilah diketahui sumber-sumber pala, lada, dan lain sebagainya dimana waktu itu sebagai komoditas yang laku keras di pasar eropa. Belanda sebagai salah satu negara yang memelopori penjelajahan tersebut memberikan mandate kepada VOC (suatu perusahaan transnasional pertama di dunia) berkenaan dengan perdagangan komoditas-komoditas tersebut.

VOC dalam operasinya awalnya sebagai pedagang, yakni membeli di Nusantara, dan menjual di eropa, yang berbeda adalah dengan sedikit-demi-sedikit VOC dapat menguasai distribusi dan harga beberapa komoditas yang laku keras di pasar tersebut. Bahkan kekuasaan VOC sampai berpengaruh terhadap tata pemerintahan berbagai daerah di Nusantara. Ibaratkan sekarang VOC adalah tengkulak besar. Di beberapa wilayah, Pemerintah Belanda mulai mengenalkan komoditas kopi sebagai tanaman wajib di priangan dan maluku sehingga dikenallah preanger stelsel sebagai cikal bakal model kebun besar (lihat Noer Fauzi, 2002).

Kemenangan kelompok liberal dalam menguasai parlemen Pemerintahan Kerajaan Belanda, membawa perubahan dengan lahirnya Agrarian Wet 1870 sehingga berbagai investor asing dapat menanamkan modalnya secara langsung di Nusantara bahkan para investor ini seperti layaknya penguasa local sehingga dikenalah plantocrazy, tata pemerintahan yang berdasarkan birokrasi kebun (Wiradi, 2006). Berbagai kebijakan yang lahir di masa ini, dalam kerangka penjajahan dimana intinya memecah sekaligus juga mengontrol (margarito Kamis, 2007).

Akhir Perang Dunia ke-2, berbagai kelompok berhasil memerdekakan dirinya dari colonial. Untuk Indonesia berakibat banyak terlantar beberapa tanah-tanah perkebunan besar. Bahkan beberapa tanah-tanah perkebunan tersebut menjadi objek dari land reform. Kebijakan yang fenomenal waktu ini adalah UUPA no 5 tahun

17

Sistem Perkebunan Kelapa Sawit Memperlemah Posisi Perempuan

1960 (Wiradi, 2006). Lewat undang-undang inilah gerakan kaum tani dan buruh menjadi sangat massif pengaruhnya di perkebunan.

Jatuhnya Pemerintahan Soekarno dan berdirinya Pemerintahan Soeharto memberikan perubahan yang signifikan, dimana kebijakan-kebijakan yang ada sangat mendukung terhadap penanaman modal asing diantaranya UU No 1 tahun 1967 tentang penanaman modal asing dimana bentuk turunan undang-undang ini adalah Inpres no 1 tentang pedoman pengembangan perusahaan inti rakyat. memang para investor asing tidak dapat secara langsung menanamkan modalnya tetapi dapat melakukan kerjasama dengan para pengusaha local. model operasi penanaman modal ini, saat ini dikenal dengan model agribisnis. glover (1984) menyatakan Istilah ini ”pada umumnya mengacu kepada kegiatan Trans-national corporation (TNC) di bidang pertanian sebagai produsen pengolah, atau pedagang komoditas pertanian dan sebagai penjual berbagai sarana produksi dan mesin-mesin”

Susan george (1977) dalam Wiradi (2006) menyatakan bahwa gerakan agribisnis lahir karena para pemilik modal raksasa (TNC) tidak lagi dapat menanam modalnya di masing-masing negara maju (sebab sudah jenuh) dan memalingkan perhatiannya kepada negara berkembang. Namun karena bidang pertanian memerlukan tanah, sedangkan negara-negara berkembang sesudah perang dunia kedua telah menjadi negara nasional yang merdeka, maka masalah jangkauan terhadap tanah ini dirasakan sebagai hambatan. Akibatnya, meraka terpaksa ”nebeng” pemerintah negara maju melalui program bantuan. Negara maju sebagai donor dapat membujuk negara berkembang agar, dalam rangka program bantuan di bidang pertanian, pemerintah setempat menyediakan kemudahan dalam hal jangkauan terhadap penguasaan tanah. Akan tetapi mengingat faktor di dalam negeri pemerintah nasional negara berkembang tidak dapat begitu saja menyediakan tanah bagi modal asing, seperti jaman kolonial. Bentuk ”inti-satelit” tampaknya merupakan jalan keluar. Berkenaan dengan berbagai model PIR di perkebunan dapat dilihat dalam Tabel 4.

18

Sistem Perkebunan Kelapa Sawit Memperlemah Posisi Perempuan

Orde reformasi adalah kelanjutan dari pemerintahan Soeharto di Indonesia. Beberapa kebijakan yang lahir di masa orde reformasi ini adalah UU no 18 tahun 2004 tentang perkebunan, UU no. 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan, UU no.25 tahun 2007 tentang Penanaman modal. Berbagai kebijakan ini lahir untuk memudahkan para investor menanamkan modalnya di Indonesia, salah satunya di sektor perkebunan. Undang-undang perkebunan lahir dengan adanya kesadaran negara bahwa Pengamanan perkebunan dipandang mendesak pengamanannya akibat maraknya aksi penjarahan, pencurian, dan penggarapan lahan perkebunan. Hal inilah yang menjadi hasil rapat koordinasi yang membahas penanganan pengamanan terpadu perusahaan perkebunan. Rapat koordinasi itu dipimpin menko Polkam Susilo Bambang Yudhoyono dan dihadiri mentan, Kapolri, dan direksi perusahaan perkebunan negara dan swasta se-Sumatera (Susilo Bambang Yudhoyono belum tentukan pilihan politik, gatra, 2002).

Tabel 4. Berbagai Macam Pola KemitraanKriteria NES Pir-Khusus Pir-Bantuan Pir-Trans

Tanaman Pokok 2 ha 2 ha 2 ha 2 ha

Tanaman Pangan 0 ha 0,75 ha 0,75 ha 0,50 ha

Lahan Pekarangan 0 ha 0,25 ha 0,25 ha 0,50 ha

Peserta Penduduk setempat Transmigran Penduduk

lokal

Transmigran penduduk lokal

Rumah (m2

) Tidak ada 36 36 36

Lokasi

Sekitar perkebunan yang sudah ada

Bukaan baru Bukaan baru Bukaan baru

Sumber Dana Bank dunia Swadana Bantuan luar negeri Kredit khusus

Sumber: berbagai sumber

19

Sistem Perkebunan Kelapa Sawit Memperlemah Posisi Perempuan

Beberapa turunan dari undang-undang ini diantaranya Permentan no 26 tahun 2007 dan Permentan no 14 tahun 2009 semakin mempermudah para investor untuk menanamkan modalnya di sektor Perkebunan. Beberapa hal yang mempermudah para investor diantaranya Permentan no 26 tahun 2007 menyatakan cukup 20 % saja dari HgU pelibatan masyarakat dan luasan untuk perusahaan perkebunan kelapa sawit boleh sampai 100.000 Ha, dan permentan no 14 tahun 2009 menyatakan bolehnya menggunakan lahan gambut untuk perkebunan kelapa sawit dimana jelas-jelas tidak layak secara lingkungan dan sosial.

Kebijakan-kebijakan yang dilakukan dalam orde reformasi ini berakibat signifikan dimana terdapat ketidakseimbangan dalam struktur penguasaan agrarian, khususnya wilayah-wilayah dimana kebun-kebun besar menumpuk modalnya. Kalimantan Tengah adalah salah satu wilayah dimana pertambangan, perkebunan besar, dan wilayah-wilayah konservasi dapat ditemukan. Ternyata dari 12-an juta Ha hanya 2,5-an juta Ha adalah wilayah sisa dimana wilayah ini di sepanjang sungai-sungai yang ada. Wilayah ini dapat diintrepertasikan wilayah inilah dimana rakyat berada, lihat gambar 1. Lewat kebijakan yang ada ini, ekspansi perkebunan kelapa sawit diperkirakan tiap tahunnya mencapai 600 – 700 ribu Ha (Sawit Watch, 2008). Bila berbagai kebijakan yang ada saat ini tidak dirubah maka semakin memunculkan adanya ketimpangan dalam penguasaan agrarian.

20

Sistem Perkebunan Kelapa Sawit Memperlemah Posisi Perempuan

gambar 1. Overlapping antara perkebunan kelapa sawit, pertambangan, wilayah konservasi, dan lain sebagainya di

Kalimantan Tengah 2009.

Secara sederhana, model operasi yang dilakukan para investor di perkebunan kelapa sawit adalah sederhana inilah dari dulu hingga sekarang belum berubah. Tanah dan tenaga kerja adalah modal utama yang menggerakkan model ini. Dengan tanah yang luas dan tenaga kerja yang murah, model perkebunan besar kelapa sawit kokoh berdiri. Kondisi inilah yang cocok dengan kondisi Indonesia selama ini. Indonesia mempunyai potensi lahan 18 juta Ha dengan 13,7 juta Ha adalah ‘hutan’ konversi (Deptan, 2009). Praktek-praktek mungkin bisa berbeda dalam tiap jaman tetapi ‘pengontrol’ tetaplah yang mempunyai modal. Beberapa bank yang mendanai bisnis perkebunan kelapa sawit adalah

- ABN AmRO Bank -Netherlands- BNP Paribas - France

21

Sistem Perkebunan Kelapa Sawit Memperlemah Posisi Perempuan

- CDC - United Kingdom- Citigroup - United States- Commerzbank - germany- Crédit Suisse - Switzerland- Crédit Lyonnais - France- Deg - germany- Deutsche Bank - germany- HSBC Bank - United Kingdom- HypoVereinsbank - germany- INg Bank - Netherlands- mizuho Bank - Japan- Rabobank - Netherlands- Société générale - France- Sumitomo mitsui Banking - Japan- UBS - Switzerland- UFJ Bank – Japan (van gelder, J. W. & Wakker, e. 2003)

gambar 2. Adanya Pemusatan Kekuatan dalam Industri Kelapa Sawit

22

Sistem Perkebunan Kelapa Sawit Memperlemah Posisi Perempuan

keBijakan perempuan di perkeBunan keLapa sawit

Untuk mengetahui berkenaan kebijakan-kebijakan perempuan di perkebunan kelapa sawit, tidak secara eksplisit dapat dinyatakan. Kita perlu mengetahui dalam konteks kapan dan dimana pembangunan perkebunan kelapa sawit dilakukan. Seperti diungkapkan di depan, bahwa pembangunan perkebunan kelapa sawit massif dilakukan tahun 1970-an sewaktu era Soeharto (orde baru). Konteks inilah yang dapat membaca kondisi dan kebijakan perempuan di perkebunan kelapa sawit.

Kebijakan perempuan era orde baru melahirkan peran perempuan dibatasi sebatas tiga I yakni istri, ibu, dan istri rumah tangga (Wulan 2008). Peran perempuan yang direduksi ini tanpa disadari telah menyebabkan tidak adanya tempat bagi perempuan sebagai “manusia merdeka yang dapat mengekspresikan pikirannya bagi kemajuan kaum perempuan dari sudut kepentingan perempuan.” Keadaan ini membuat berbagai persoalan kekerasan dan ketidakadilan yang menimpa perempuan di masyarakat atau di luar lingkup keluarga praktis diabaikan. Organisasi perempuan pada saat itu memainkan peran subordinasi dan menyebarluaskan citra peran ideal perempuan dalam konteks tiga I tersebut, dalam konotasi “Kodrat”. Dengan “kodrat” ini perempuan ideal dicitrakan bersifat “lemah lembut, tidak berbicara dengan keras, tidak mementingkan kepentingan pribadi, tidak mendahulukan urusan sendiri di atas urusan suami, serta menjadi istri yang penurut dan anak perempuan yang patuh.

Lebih lanjut Hubies (2001) dalam Wulan (2008) menjelaskan bahwa pada pemerintahan Orba praktis telah memobilisasi perempuan dengan kekuatan politik organisasi untuk tujuan politik tertentu. Orba telah memanfaatkan jaringan organisasi perempuan untuk mendominasi kaum perempuan (PKK, Dharma Wanita, dan lain-lain) untuk tunduk dan patuh pada negara yang pada waktu itu ada pada dominasi kekuatan tunggal partai politik. Perempuan mengalami titik nadir pada masa awal Orde Baru karena menerapkan politik gender yang secara mendasar mendelegitimasi partisipasi

23

Sistem Perkebunan Kelapa Sawit Memperlemah Posisi Perempuan

perempuan dalam kegiatan politik maupun ruang publik. perempuan diperlakukan seperti Ibu yang berperan sekunder dan selalu menjadi penanggungjawab pendidikan anak, dan lain-lain. Oleh karena itu, kemudian muncul program negara bagi perempuan seperti PKK, Panca Dharma Wanita, dan sebagainya. Peran perempuan maupun keluarga dalam konteks itu tidak dihapuskan oleh negara, namun dijinakkan dan dimanfaatkan (Wulan, 2008).

Kondisi perempuan di perkebunan kelapa sawit saat ini seperti dinyatakan Komisi Cedaw (penghapusan diskriminasi terhadap perempuan) pada sidang umum Cedaw pada tanggal 27 Juli 2007 di New York, bahwa komite prihatin mengenai meluasnya kemiskinan kalangan perempuan dan kondisi kemiskinan sosial ekonomi merupakan penyebab dilanggarnya HAm perempuan dan diskriminasi terhadap perempuan. Komite secara khusus prihatin mengenai situasi perempuan pedesaan termasuk tidak tersedianya perlindungan hukum, perawatan kesehatan, dan pendidikan bagi perempuan.

Untuk itu, Komite Cedaw memberikan rekomendasi agar negara pihak memastikan bahwa peningkatan kesetaraan gender dan sosialisasi persoalan-persoalan kesetaran gender merupakan komponen yang eksplisit dari, dan sepenuhnya dilaksanakan dalam, rencana, dan kebijakan pembangunan nasional, terutama ditujukan pada pengurangan kemiskinan, pembangunan berkelanjutan, dan penanggulangan bencana alam.

24

Sistem Perkebunan Kelapa Sawit Memperlemah Posisi Perempuan

25

Sistem Perkebunan Kelapa Sawit Memperlemah Posisi Perempuan

pendaHuLuan

KeTIKA mendengar kata ‘gender’ maka yang terlintas dalam pikiran banyak orang adalah hanyalah ‘perempuan’. Kesalahpahaman ini adalah jamak terjadi karena diskursus-diskursus gender menempatkan perempuan mendapatkan perhatian lebih dibanding laki-laki. Perhatian lebih ini berangkat dari fakta kehidupan di masyarakat patriarkhi bahwa perempuan mendapat perlakuan tidak adil baik dari aspek peran, hak, akses, dan kontrol, baik di ranah keluarga, masyarakat, tempat kerja, maupun negara. Karena gender lebih banyak memberi perhatian terhadap perempuan, maka pemahaman umum adalah gender urusan perempuan. Bahkan terdapat anggapan bahwa gender kelamin perempuan.

Jadi apakah itu gender itu? gender adalah peran dan tanggung jawab antara perempuan dan laki-laki yang ditentukan atau dikonstruksi secara social, yang kemudian menjadi kebiasan dan budaya. Contohnya adalah mencuci, memasak, bersih-bersih rumah atau pekerjaan domestic lainnya adalah pekerjaan yang biasa diperankan oleh perempuan. Sedangkan mencari nafkah, ronda malam, berburu, dan pekerjaan-pekerjaan publik lainnya diperankan dan tanggung jawab laki-laki. Dari kebiasaan ini, tanpa sadar baik perempuan mapupun laki-laki diharapkan untuk berpikir dan bertindak sebagai ‘perempuan dan laki-laki’ berdasarkan pengaturan masyarakat. Sifat dan perilaku yang tidak sesuai dengan kebiasaan dianggap menyimpang atau tidak normal, seperti laki-laki harus pemberani, tidak boleh menangis, kuat, pelindung, dan lain-lain;

Gender Sebagai Sebuah Alat Analisis

BAB 3

26

Sistem Perkebunan Kelapa Sawit Memperlemah Posisi Perempuan

sementara perempuan harus lembut, merawat, melayani, penurut, dan lain-lain.

Sebenarnya, perbedaan dan pembagian peran antara laki-laki dan perempuan tidaklah menjadi masalah sepanjang tidak menimbulkan ketidakadilan. misalnya dalam sistem pertanian tradisional di Jawa, laki-laki membajak dan perempuan memanen dengan ‘ani-ani’; dalam kehidupan rumah tangga, perempuan memegang pisau untuk memasak dan laki-laki memegang parang untuk membelah kayu. Namun hal ini menjadi masalah ketika peran dan tanggung jawab itu membatasi hak-hak perempuan untuk mendapat akses dan kontrolnya. misalnya perempuan tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan, baik di ranah keluarga atau desanya karena pengambilan keputusan dilakukan para laki-laki sebagai kepala keluarga, dan rapat-rapat di desa hanya dihadiri oleh laki-laki sebagai kepala keluarga. Harapan keluarga dan masyarakat terhadap anak gadis untuk cepat menikah dan ibu yang baik seringkali juga membatasi anak perempuan dalam mengakses pendidikan tinggi. Peran-peran gender harapan masyarakat terhadap perempuan seperti inilah menimbulkan ketidakadilan bagi perempuan.

Bentuk-Bentuk ketidakadiLan gender

Pembagian peran, kerja dan tanggung jawab antara laki-laki dan perempuan di atas membentuk konstruksi sosial bahwa perempuan ditempatkan dalam ruang privat dan bertanggung jawab pada urusan-urusan yang sifatnya domestik, sedangkan laki-laki ditempatkan pada ruang publik tempat pengambilan keputusan-keputusan sosial. Akibatnya peluang perempuan menjadi terbatas dan perempuan tidak dapat menyuarakan atau mengartikulasikan kepentingannya. Suara, kepentingan dan kebutuhan perempuan tidak pernah terdengar. Dalam masyarakat patriarkhi suara laki-laki atau kepala keluarga dianggap sudah mewakili suara perempuan. Padahal anatara kebutuhan dan persoalan perempuan dan laki-laki jelas berbeda.

27

Sistem Perkebunan Kelapa Sawit Memperlemah Posisi Perempuan

Dari situasi dan kondisi tersebut dapat diindentifikasi bentuk-bentuk ketidakadilan gender dalam masyarakat dimana perempuan lebih dirugikan. a. Dominasi/sub-ordinasi/marjinalisasi perempuan -- Dominasi

merupakan kekuatan atau cara yang dimiliki dan dilakukan oleh individu atau seseorang atau kelompok tertentu untuk menundukkan, menguasai atau melemahkan individu atau kelompok lain. Dominasi membuat individu atau kelompok lain menjadi tersub-ordinasi dan kemudian termarjinalisasi, sehingga kepentingan kelompok tersebut menjadi tidak bisa terungkap maupun menjadi perhatian dan menjadi keputusan. Hal inilah yang terjadi terhadap perempuan dalam masyarakat, kepentingan perempuan tidak bisa terungkap, menjadi perhatian dan menjadi keputusan.

b. Diskriminasi -- Pembedaan perlakuan, pengucilan dan pembatasan yang dibuat atas dasar jenis kelamin, ras, kelas, agama, kepercayaan, ideologi, pilihan politik, pilihan seksual, cacad, penyakit, dan lainnya, yang mempunyai pengaruh atau mengurangi dan menghapuskan pengakuan, penikmatan atau penggunaan hak azasi manusia dan kebebasan-kebebasan mendasar di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, sipil atau bidang apa pun lainnya.

c. Stereotyping (pelabelan)—Sebuah cara pandang yang melekatkan predikat atau identitas atau label atau sebutan tertentu dengan tujuan melemahkan atau mengabaikan posisi dan keberadaan orang atau kelompok yang bersangkutan. Stereotyping merupakan cara paling halus untuk meminggirkan peran dan posisi perempuan pada berbagai sektor dengan melabelkan perempuan pada kerja-kerja yang sifatnya domestik. Akibatnya antara lain kompensasi yang lebih rendah dimana perempuan walaupun melakukan kerja-kerja sifatnya publik tetap ‘dilabel’ sebagai kerja-kerja sifatnya domestik.

d. Kekerasan – Kekerasan dapat dijelaskan sebagai tindakan yang membuat orang lain merasa tidak nyaman, takut, terluka secara

28

Sistem Perkebunan Kelapa Sawit Memperlemah Posisi Perempuan

fisik dan psikologis. Beberapa bentuk kekerasan lainnya, seperti kekerasan dalam rumah tangga yang bisa berupa kekerasan fisik, psikologis, pelecehan seksual, perkosaan dalam perkawinan; kekerasan ekonomi seperti melarang perempuan bekerja di luar rumah, memaksa perempuan bekerja dan mengeksploitasi/mengkontrol hasil kerjanya, dll; Kekerasan di wilayah publik: kekerasan seksual dan non-seksual; serta kekerasan negara yang bersumber dari politik negara dan yang dilakukan aparat negara (selain seksual juga eksploitasi SDA/sumberdaya alam)

e. Beban ganda -- Status sekaligus beban nyata yang ditanggung banyak perempuan terutama mereka yang juga beraktivitas/bekerja di wilayah publik, di mana mereka juga tetap diwajibkan melakukan kerja-kerja domestik setelah bekerja di luar rumah.

anaLisis BerBasis gender

Analisis berbasis gender merupakan sebuah cara yang sistematis dalam melihat perbedaan dampak pembangunan terhadap laki-laki dan perempuan. Perbedaan yang dilihat di sini meliputi bagaimana peranan laki-laki dan perempuan dalam sebuah program pembangunan, alokasi anggaran, manfaat bagi laki-laki dan perempuan, dan lain-lain. Dalam melakukan analisis gender juga dibutuhkan sebuah data terpisah berdasar jenis kelamin dan pemahaman bagaimana terjadi pembagian dan penilaian kerja. Hal ini dilakukan untuk mengetahui sejauh mana beban kerja yang harus dilakukan perempuan dan juga manfaat yang diterima oleh mereka.

Analisis gender harus dilakukan di semua tahap proses pembangunan dan perencanaannya , keputusan, dan dampaknya. Dari sini akan kelihatan apakah dalam sebuah program pembangunan sudah memberikan peran, akses dan kontrol bagi perempuan, atau sebaliknya terjadi ketidakadilan gender yang terindentifikasi adanya domonasi-subordinasi-marginalisasi, diskriminasi, stereotype, kekerasan dan beban ganda.

Untuk itu dalam melakukan analisis gender perlu diingat

29

Sistem Perkebunan Kelapa Sawit Memperlemah Posisi Perempuan

beberapa komponen yang menjadi indikatornya: a. Tidak menyatukan/menyamakan jenis kelamin--memisahkan data

sesuai dengan jenis kelamin—bisa terlihat berapa peran dan manfaat sebuah kegiatan/pembangunan

b. Konstruksi sosial –memahami sejarah asal mula relasi subordinat dan dominasi jenis kelamin(mis. Perempuan diciptakan dari tulang rusuk, perempuan penggoda, perempuan haid kotor, dll)

c. Pembagian kerja—melihat bagimana masyarakat mentukan aturan main tentang peran gender yang berdampak dalam pembagian kerja antara perempuan dan laki-laki—bisa berbeda menurut waktu dan tempat—artinya bukan kodrat

d. Akses dan Kontrol —menekankan pentingnya perempuan mempunyai akses dan kontrol terhadap fasilitas hidup—tidak cukup mendapat akses, tatapi juga harus mampu mengantrol lewat pengambilan keputusan

Buta gender Seseorang dapat dikatakan buta gender apabila tidak mengakui bahwa ada konstruksi sosial/gender merupakan penentu penting atas pilihan-pilihan hidup yang disediakan masyarakat untuk kita. Baik perempuan maupun laki-laki bisa saja mengalami buta gender. Seorang perempuan bisa dikatakan buta gender bila dirinya tidak menyadari adanya ketidakadilan yang dia alami dalam keluarga, masyarakat, tempat kerja dan negara yang disebabkan oleh pembedaan peran dan tanbggung jawab berdasarkan seksual yang telah menyebabkan akses dan kontrolnya tertutup.

Dalam konteks lebih luas, buta gender bisa terjadi dalam kebijakan dan program-program pembanguan yang tidak memperhatikan dan member prempuan akses dan kontrolnya sehingga permepuan mendapat ketidakadilan yang teridentifikasi dalam bentuk-bentuk ketidakadilan seperti dijelaskan di atas.

30

Sistem Perkebunan Kelapa Sawit Memperlemah Posisi Perempuan

31

Sistem Perkebunan Kelapa Sawit Memperlemah Posisi Perempuan

1. kaBupaten paser, kaLimantan timur

Gambaran UmumLUAS Kecamatan Kuaro adalah 747,30 km² atau 6.44% dari luas Kabupaten Paser. Luas daratan 596,76 km² dan lautan 150,54 km². Kecamatan Kuaro memiliki 11 kelurahan yaitu Lolo, Kuaro, Pondong Baru, Rangan, modang, Kendarom, Kerta Bumi, Air mati, padang Jaya, Pasir mayang, dan Sandeley. Wilayah penelitian adalah Kecamatan Kuaro tepatnya 3 desa yaitu modang, Trans Kuaro, dan Kendarom.

Kecamatan Kuaro merupakan wilayah penempatan transmigrasi untuk dijadikan petani plasma dari perkebunan kelapa sawit PTPN 13. Transmigrans rata-rata berasal dari Jawa, Banjar, Bugis dan transmigrans local dari wilayah kabubaten Paser lainnya. mereka ditempatkan di daerah Kuaro mulai tahun 1987 dan masing-masing mendapat 1 kapling atau sekitar 2 hektar.

a. Desa ModangDesa modang berdiri lewat program transmigrasi. Pada tahun

1986 sekitar 40 kepala keluarga (KK) peserta transmigrasi datang ke Provinsi Kalimantan Timur. Awalnya mereka diberitahukan bahwa mereka akan mendapat lahan kebun, rumah dan pekarangan yang siap digarap. Namun setelah mereka sampai di daerah tujuan, mereka menemukan bahwa lahan kebun, rumah dan pekarangan belum dibangun, mereka hanya menemukan hutan belantara yang luas.

Temuan-Temuan dan AnalisisBAB 4

32

Sistem Perkebunan Kelapa Sawit Memperlemah Posisi Perempuan

Setelah rombongan pertama datang, beberapa hari kemudian disusul rombongan kedua yang berjumlah 40 KK. Dalam perencanaanya pemerintah berharap terdapat keseimbangan antara penduduk lokal dengan pendatang, ternyata hanya ada 1 KK penduduk lokal dari 80 KK transmigran. Asal peserta transmigrasi di desa modang sebagian besar berasal dari penduduk Jawa Tengah dan DIY (Daerah Istimewa Yogyakarta) (Bantul, Wonosari, Purwokerto, dan Sleman) sehingga Desa modang disebut juga desa DIY.

Di awal-awal kedatangannya, para peserta transmigrasi dan masyarakat lokal ini bekerja membuka lahan dimana mereka diupah sebesar Rp 1500 rupiah per hari. Tiap peserta tranmigrasi ini mendapatkan 2 ha untuk kebun sawit, ¼ ha untuk perumahan, dan ¼ ha untuk lahan kebun pangan. Dalam mendapatkan berbagai lahan tersebut lewat pengundian. Desa modang terdiri dari 2 dusun yaitu Dusun modang dan Dusun Pekasau.

b. Desa Kendarom Seperti Desa modang, Desa Kendarom lahir karena adanya

program transmigrasi. Asal penduduk peserta transmigrasi Jawa Tengah (Purwekerto, Kebumen, dan daerah sekitarnya). Desa Kendarom tidak berbeda dengan Desa modang, bahwa semua rombongan peserta transmigrasi harus bekerja membuka lahan perkebunan sebelum akhirnya bisa menggarapnya. Bedanya, Desa Kendarom tidak ada satu pun penduduk lokal semuanya berasal dari Pulau Jawa.

c. Desa Trans-Kuaro Desa Kuaro merupakan salah satu wilayah transmigrasi. Tahun

1982, mulai dilakukan pembukaan lahan di kecamatan Kuaro tepatnya 4 desa yaitu Desa Sendeley, Desa Kuaro, Desa Paser mayang, dan Desa Lolo. Pembukaan lahan melibatkan masyarakat lokal berupa penebasan dan penebangan. Selain penduduk Desa Kuaro, banyak juga masyarakat sekitar Desa Kuaro yang ikut

33

Sistem Perkebunan Kelapa Sawit Memperlemah Posisi Perempuan

bekerja membuka lahan. Para pekerja tersebut mendapatkan upah Rp 2500 per hari. Lahan seluas sekitar 204 ha berhasil dibuka dan direncanakan untuk program transmigrasi khusus di Desa Kuaro.

Tahun 1986, peserta transmigrasi mulai berdatangan. Desa ini dikenal dengan desa Trans-Kuaro dikarenakan banyak penduduk lokal mengikuti program transmigrasi. Lahan yang dibuka untuk 80 KK penduduk asli Paser ternyata hanya 40 KK mengikuti program transmigrasi. Kebanyakan mereka takut mengikuti program ini karena mereka belum mengerti sesungguhnya yang terjadi. Untuk memenuhi hal tersebut, pemerintah mendatangkan 40 KK lagi dari Pulau Jawa. Setelah banyak orang Jawa yang datang, ketakutan penduduk lokal berubah, mereka ingin pula bergabung dengan program ini, setahun kemudian pemerintah akhirnya menambah 122 KK lagi dari penduduk asli Paser, sehingga jumlah peserta transmigrasi menjadi 202 KK, dengan lahan 404 ha. Dengan kedatangan peserta tahap berikut ini, PTPN juga memperkerjakan peserta transmigrasi untuk membersihkan lahan. Seelesainya program transmigrasi, sejak Juni 2010 Desa Trans Kuaro berubah nama menjadi Desa Klempang Sari hingga saat ini.

Kondisi Sosial EkonomiLebih dari 50% penduduk kabupaten Paser dari kecamatan Long Ikis sampai Tanah grogot adalah petani sawit baik Pir ataupun swadaya. Awalnya, masyarakat Paser banyak menaruh curiga terhadap program PIR-Bun. Lahan dibuka dan dibatasi dengan pagar tinggi sehingga banyak masyarakat bertanya dan masyarakat yang ikut bekerja didalam pagar, jarang sekali keluar karena mereka bekerja didalam hutan menebas dan membabat. Setelah kedatangan para peserta transmigrasi membuat perubahan yang cukup significant. Karakter pendatang yang gigih bekerja memberikan pengaruh positif bagi penduduk lokal. Pada tahun 1987, banyak penduduk lokal mendaftar menjadi peserta transmigrasi.

Di akhir tahun 1999, hampir setiap rumah mempunyai lebih dari satu sepeda motor, hampir setiap rumah memiliki parabola

34

Sistem Perkebunan Kelapa Sawit Memperlemah Posisi Perempuan

dan akhirnya merubah gaya hidup penduduk setempat menjadi lebih konsumeris. Disisi lain, kota menjadi tambah ramai. Adanya bangunan gedung-gedung pemerintahan, sekolah, dan rumah sakit serta lancarnya jalan penghubung antara Kabupaten paser dengan Kalimantan Selatan. Penduduk rata-rata memiliki keinginan untuk menyekolahkan anaknya ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi.

Peran Perempuan di PerkebunanBerdasar temuan lapangan di atas, maka perempuan berperan di perkebunan plasma mulai dari pembukaan lahan sampai masa pemanenan. Keterlibatan perempuan dalam perkebunan mulai dari pembukaan lahan, pemibitan, pemupukan, penyiangan, pemanenan dan penjualan bukan berarti perempuan serta merta tidak menerima bentuk-bentuk ketidakadilan gender. Sekilas dapat terlihat bahwa meskipun perempuan terlibat dalam perkebunan, tetapi mereka tetap melakukan pekerjaan domestic sebagai tugas utamnya. Sementara itu, laki-laki pada umunya hanya mempunyai tugas di kebun dan menganggap pekerjaan rumah itu tugas istri. Dan pekerjaan istri di kebun sawit ‘hanya’ membantu.

Untuk mengetahui dan mendalami lebih jauh peran perempuan dan ketidakadilan gender yang terjadi di perkebunan sawit, digunakan point-poin 5 ketidakadilan gender yaitu diskriminasi, subordinasi, marginalisasi, kekerasan, beban ganda dan stereotype. Dari sini akan diketahuai sejauh apa perempuan memiliki akses dan control dalam kehidupan sehari-hari sebagai petani sawit atau istri petani sawit. Selain itu, Adapun area yang dilihat mencakup proses sejak keberangkatan sebagai transmigran, pembukaan lahan, pembibitan, perawatan, pemanenan dan penjualan.

Selain itu, secara umum penting dilihat sejauh mana kebijakan pemerintah menjamin hak-hak perempuan dalam perkebunan sawit yang tercermin dalam kebijakan-kebijakan terkait, seperti peraturan tentang transmigrasi. Di sini digunakan Konvensi CeDAW yang mencakup Hak Sipil Politik (asal 7-9) dan Hak –hak ekosob (pasal 10-14) untuk melihat apakah kebijakan pemrintah sudah mengacu

35

Sistem Perkebunan Kelapa Sawit Memperlemah Posisi Perempuan

pada Konvensi CeDAW . Dan juga pasal 3 yang merupakan inti dari kewajiban negara dalam memenuhi hak-hak perempuan menyatakan:

“Negara-negara peserta membuat peraturan-peraturan yang tepat, termasuk pembuatan undang-undang di semua bidang, khususnya dibidang politik, sosial, ekonomi dan budaya,untuk menjamin perkembangan dan kemajuan perempuan sepenuhnya, dengan tujuan untuk menjamin mereka melaksanakan dan menikmati hak-hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasanpokok atas dasar persamaan dengan laki-laki.”

Cakupan atau Area Ketidakadilan Gendera. Pra keberangkatan TransmigrasiKebijakan pemerintah dalam program transmigrasi (Kepres

No.1 tahin 1986) kriteria peserta transmigrasi adalah keluarga yang terdiri dari suami dan istri merupakan hambatan bagi perempuan lajang atau janda untk berpeluang mendapatkan lahan atas namanya sendiri. Peserta transmigrasi untuk perkebunan sawit diwajibkan pasangan suami istri dengan otomatis kepemilikan tanah adalah kepala keluarga atau suami. Posisi istri sebagai ‘pendamping suami’ yang diajarkan dalam prinsip-prinsip PKK tanpa sadar juga diadopsi dalam program transmigrasi ini. meskipun begitu, para istri transmigran yang dianggap ‘lemah’ karena keperempuanannya, tetap saja terlibat dalam perkebunan, dari pembukaan lahan, pembibitan, perawatan sampai pemanenan. Akan tetapi, karena konstruksi yang terbangun bahwa istri hanya pendamping suami, maka posisi istri hanya dianggap sebagai membantu saja di kebun. meskipun sebenarnya bila diberi kesempatan, perempuan bisa saja mempunyai kebun sendiri, misalnya dua perempuan bersaudara yang tidak/belum menikah atau Ibu dan anak perempuannya.

Kebijakan atau ketentuan peserta transmigrasi yang diskriminatif ini, yaitu sebuah keluarga yang terdiri dari suami istri, telah memarginalkan perempuan-perempuan yang belum/tidak menikah atau janda dari akses mendapatkan kesempatan memiliki

36

Sistem Perkebunan Kelapa Sawit Memperlemah Posisi Perempuan

lahan kebun sawit sendiri. Bila dilihat dari Konvensi CeDAW dapat dikatakan Kepres No. 1 Tahun 1986 ini belum mengacu pada pemenuhan Hak-hak ekosob perempua seperti yang tersebut pada pasal 11 tentang Hak Bekerja dan pasal 14 tentang Hak Khusus perempuan pedesaan dalam keterlibatan perempuan dalam perluasan implementasi pembanguanan di segala tingkatan, dalam hal ini Program transmigrasi waku itu.

Bahkan, persyaratan peserta transmigrasi yang harus sepasang suami istri ini juga melahirkan kekerasan tarhadap istri salah seorang calon transmigran yang tidak mau diajak mengikuti suaminya menjadi tarnsmigran. Kekerasan yang dialaminya adalah harus merelakan suaminya menikah lagi karena suaminya tetap harus berangkat menjadi transmigran, seperti yang terjadi pada Sumarni istri mbah Prapto (desa Kendarom), salah satu peserta transmigrasi asal Purwokerto. meskipun pada akhirnya Sumarni menyusul suaminya pada kemudian hari. Artinya mbah Prapto memilki dua istri di tempat transmigrasi

b. Di Lahan Kebun SawitSebagai istri petani, para perempuan di keluarga petani sawit

PIR-Trans terlibat dalam proses pengelolaan kebun keluarga, baik sejak dari pembukaan lahan, perawatan, pemupukan, hingga pemanenan. Peran dan keterlibatan para istri petani sawit ini justru menjadi boomerang bagi mereka sendiri. Pertama, mereka secara tidak langsung telah menjadi buruh PTPN XIII dan sekaligus menjadi petani tanpa lahan karena secara administrasi yang tercatat sebagai petani adalah suaminya yang mendapat lahan 2 ha secara kredit (yang dicicil saat panen). Akan tetapi, pada kenyataaannya, para istri petani sawit transmigran ini juga bekerja di kebun sawit dengan beban yang sama dengan suaminya. Peran para istri ini sekilas atau ‘seolah-olah’ perempuan sudah terlibat setara dengan laki-laki dalam kebun mereka karena mereka berbagi tugas secara merata, meski dalam berbagi tugas itu perempuan mendapat bagian

37

Sistem Perkebunan Kelapa Sawit Memperlemah Posisi Perempuan

yang dianggap ringan. misalnya, dalam memupuk perempuan yang menabur ke tanaman dan suaminya yang mengangkut pupuk dalam jumlah banyak; dan saat panen suaminya yang mendodos tandan buah sawit, sementara istrinya mengumpulkan dan memunguti brondolnya. Kedua, keikutsertaan mereka mengerjakan kebun sawit sebenarnya justru menambah beban kerja mereka sebagai ibu rumah tangga, bahkan bisa dikatakan ‘eksploitasi’ terselubung sebagai buruh tak dibayar. Ini perlu dicek dalam kontrak keberangkatan sebagai PIR-Trans apakah ada ketentuan istri petani PIR-Trans juga dianjurkan terlibat dalam pengerjaan kebun sawit. Atau juga dalam Kepres No. 1 Tahun 1986, apakah ketentuan hyang mengarah pada anjuran bahwa istri petani membantu suami juga dalam kebun sawit. Dikhawatirkan bahwa ketentuan seorang peserta transmigran harus mengajak istri ini memanfaatkan culture yang ada dalam masyarakat yang dilegalkan dalam ajaran PKK bahwa istri adalah pendamping suami, yang sekaligus akan membantu pekerjaan suami dalam pengelolaan kebun sawit. Adanya stereotype atau pelabelan ‘istri pendamping suami’ ini pada gilirannya telah membawa perempuan pada beban ganda karena harus membantu suami di ranah public. Dalam hal ini sebagai istri petani harus membantu suami di kebun sawit. Di sini juga menimbulkan kerancuan status bagi istri para petani PIR-Trans, apakah mereka dapat dikatakan sebagai petani sawit atau tidak. Secara fakta lapangan mereka bekerja di kebun sawit, tetapi mereka tidak memiliki tanah sendiri.

38

Sistem Perkebunan Kelapa Sawit Memperlemah Posisi Perempuan

Tabel 1. Jenis pekerjaan keluarga Transmigrasi di Perkebunan Kelapa sawit

Jenis Pekerjaan Istri (Perempuan)

Suami (Lelaki) keteranganMembuka lahan

a. membabat √b. menebas ranting √c. menebang pohon besar √d. memindahkan hasil babat √e. menumpuk ranting √ √f. membakar rumput √ √g. membawa ranting pulang √ √

2 Penanaman Bibita. membeli bibit √b. mengukur jarak pohon √c. melubangi tanah √d. menggali √e. menanam bibit √

3 Perawatan dan pemeliharaan

a. membersihkan piringan √b. memupuk √c. Langsir pupuk √d. menyemprotkan pestisida √e. membersihkan lahan kebun √ √

4 Panen hasil kebun

a. mendodos buah √b. mengegrek buah √c. memungut buah jatuh

(mbrondol) √

d. menggendong buah di keranjang √

e. mendorong buah di troli √5 Penjualan

a. menghitung hasil timbangan √b. mencatat hasil timbangan √ √c. menerima hasil penjualan √d. mengatur keuangan keluarga

Jumlah 15 16

39

Sistem Perkebunan Kelapa Sawit Memperlemah Posisi Perempuan

c. Di ranah Keluarga Petani Sawit Sebagai istri atau ibu rumah tangga, sebagian besar dari mereka

mengerjakan pekerjaan domestik, seperti memasak, mencuci, mengurus anak, dan pekerjaan rumah lainnya. Relasi dalam keluarga petani PIR-Trans dapat dikatakan sudah egaliter. Hal ini dapat dilihat cara mereka berkomunikasi. Perempuan-perempuan di Pekasau seperti Tukiyem (40) dan Tunem(55) menunjukkan percaya diri mereka saat berkomunikasi di depan suami mereka, tidak menunjukkan malu-malu, minder, atau takut salah omong. Ini juga ditunjukkan oleh maryatni (26) dan Kamsiah (45) dari Sungai Rie. Artinya sudah ada kebebasan berpendapat di dalam keluarga. Rasa percaya diri dalam berpendapat ini juga ditunjukkan selama dalam forum FgD.

Bagi perempuan sendiri, keterlibatannya di kebun sawit tidak dirasakan sebagai beban, tetapi lebih sebagai ‘kerja sama’ dalam berkeluarga. Berdasarkan pengakuan perempuan di Pekasau, saat mereka mempunyai anak kecil mereka tidak ikut bekerja di kebun, tetapi lebih mengurus anak. Artinya, keikutsertaan istri bekerja di kebun merupakan sampingan saat mereka mempunayi waktu luang saja. Akan tetapi, saat anak-anak mereka sudah bisa mengurus dirinya sendiri, mereka kembali ikut ke kebun. Biasanya perempuan bangun lebih pagi dari suaminya untuk menyiapkan bekal ke kebun, seperti yang diungkapkan Kamsiah dari Sungai Rie. Sepulang dari kebun pun mereka masih harus membereskan rumah, seperti mencuci peralatan masak dan mencuci pakaian, serta menyiapkan untuk makan malam. Dari sini bisa dilihat bahwa perempuan memang lebih panjang jam kerjanya dari suami.

Baik di desa Pekasau, Trans-Kuaro atau Sungai Rie rata-rata perempuan sudah memilki kebebasan untuk berorganisasi, istri petai PIR-Trans rata-rata mereka mempunyai kegiatan dan aktif di luar rumah, seperti pengajian atau kelompok Yasinan. mereka juga mempunyai ikut dalam kegiatan olah raga seperti bola volley, serta kegiatan budaya seperti kelompok Jatilan.

40

Sistem Perkebunan Kelapa Sawit Memperlemah Posisi Perempuan

Dalam keluarga petani sawit sudah ada kesadaran tentang kesetaraan hak pendidikan antara anak-laki-laki dan perempuan. mereka tidak membedakan peluang antara anak laki-laki dan perempuan dalam menikmati pendidikan. Rata-rata keluarga petani sawit berniat menyekolahkan anak-anaknya sampai perguruan tinggi, baik laki-laki atau perempuan.

Beberapa petani sawit, seperti Arfansyah dari Trans-Kuaro, telah memiliki kesadaran terkait hak waris perempuan tidak dibedakan dengan anak laki-laki. Bahkan, salah satu responden dari Sungai Rie, yaitu Kamsiah, telah mengolah kebun sawit atas namanya sendiri yang merupakan warisan orang tuanya. Kamsiah ini merupakan penduduk lokal. Hal ini sangat berbeda dengan kebijakan PIR-Bun yang berlaku, dimana hampir semua surat kepemilikan lahan diatasnamakan nama suami bukan yang lain. Walaupun peserta transmigrasi adalah suami istri.

Kekerasan yang terjadi dalam keluarga petani sawit sangat kasusistik, jadi tidak terjadi secara umum. Rata-rata dalam relasi keluarga, suami memandang istri sebagai partner yang dihormati. Ini bisa dilihat dalam menemui tamu meraka duduk setara dan memberi kesempatan istri untuk bicara, seperti pasangan Tukiyem-Kabit dan Tunem-Karjo di Pekasau; Arfansyah-Jamiyem (Trans-Kuaro) dan maryatni-Awaludin di Sungai Rie. Sementara keluarga yang saat wawancara tidak ada suaminya tetap menunjukkan percaya diri yang tinggi dan terlihat runtut saat memberikan penjelasan, seperti Kamsia (Sungai Rie); Salimah (Kendarom) dan Norma(Pekasau). Hal ini menandakan mereka sudah terbiasa mengungkapkan pendapat dalam keluarga. Namun begitu, ada juga keluarga yang saat wawancara berlangsung, istri diam dan duduk menjauh dan tidak diberi kesempatan oleh suaminya untuk memberikan pendapatnya. misalnya yang terlihat di keluarga Ketua Adat, Amin. Dalam keluarga ini terlihat sekali bahwa suami sangat dominan dan istri masih belum berani ‘asertif’ mengungapkan pendapatnya.

41

Sistem Perkebunan Kelapa Sawit Memperlemah Posisi Perempuan

Tabel 2. Jenis Pekerjaan DomestikJenis Pekerjaan Istri

(Perempuan)Suami

(Lelaki) keterangan1. Pagi

a. Bangun duluan √b. menyiapkan bekal di kebun √c. memandikan anak √d. mencuci pakaian √ √e. membersihkan rumah √ √f. menjaga anak √

2 Soref. memasak √g. memandikan anak √h. mencuci piring √i. menyetrika √

3 malamf. menjaga anak √g. merapikan tempat tidur √

Jumlah 12 2

Ketimpangan Peran Domestik dan Peran di Kebunmelihat table 1 dan 2 di atas, terlihat ketimpangan yang menyolok beban pekerjaan antara suami dan istri. Peran istri di kebun sawit meski status meraka hanya membantu pekerjaan suami, tetapi secara kuantitatif hampir sama jumlahnya dengan suami (15/16). Dapat dikatakan apa yang bisa dikerjakan suami bisa dikerjakan oleh istri. Ini terbalik ketika kita melihat bagaimana peran suami dalam kerja-kerja domestic. Di sini terlihat bahwa peran suami dalam kerja-kerja domestic sangat minim (12/2). Kalau boleh dijumlahkan maka perbandingan anatar jumlah pekerjaan suami istri adalah 27 item untuk istri dan 18 untuk suami. Dari fakta inilah kita dapat mengatakan terjadinya ‘beban ganda’ untuk istri di keluarga petani sawit Trans-PIR.

Selain itu, angka 15/16 kuantitatif jenis pekerjaan di kebun sawit juga bisa membuktikan bahwa perempuan sebenarnya bisa manjadi

42

Sistem Perkebunan Kelapa Sawit Memperlemah Posisi Perempuan

‘petani yang berstatus’ yang mampu memikul tanggung jawab kepemilikan tanah, daripada sekedar ‘petani sawit semu’ yang hanya membantu suami. Berdasar temuan ini maka bisa dikatakan bahwa paradigma ‘perempuan pendamping suami’ merupakan ‘simbolic order’ yang telah membawa perempuan pada posisi subordinatif dan tereksploitasi. Stereotype bahwa perempuan pendamping suami telah menenggelamkan potensi perempuan yang sebenarnya mereka punya. Situasi ini telah menghalangi perempuan mendapat akses sumber-sumber produksi seperti tanah, kredit, dan akses program pembangunan lainnya.

Inisiatif Perempuan untuk Memperbaiki Kehidupannya Perempuan istri petani PIR-Trans rata-rata telah mempunyai inisiatif untuk merubah atau memperbaiki kehidupannya, khususnya istri PIR-Trans dari Jawa. Sebenarnya Inisiatif ini bisa dikategorikan menjadi 2 yaitu, inisiatif kolektif dalam semangat sebagai anggota keluarga dan inisiatif individu. Inisiatif kolektif ini ditunjukkan sejak mereka mempunyai keinginan mengikuti program transmigrasi. Beberapa keluarga di Pekasau, seperti keluarga Tarjo dari Sleman dan istrinya Tunem mengakui bahwa inisiatif mengikuti transmigrasi muncul dari istrinya untuk memperbaiki kehidupnnya. Inisiatif kolektif ini juga muncul setelah dilokasi PIR-Trans. Beberapa perempuan istri petani sawit melakukan usaha kecil-kecilan untuk menambah penghasilan keluarga, seperti membuka warung, berjualan keliling desa, membuat makanan kecil, dll.

Sementara inisiatif individu ini terkait dengan ketidakdilan yang menimpanya. Inisiatif ini diekspresikan dengan ‘pemberontakan’ seperti ‘minggat’ dari rumah saat mendapat kekerasan dari suami. Ada juga yang mengungkapkan dengan ‘membalas dendam’ atas perlakukan buruk suaminya(tidak dinafkai, dicemburui berlebihan, dilarang beraktivitas) dengan mencari perhatian pada laki-laki di luar. Terlepas apa yang dilakukan ini buruk, tetapi dari apa yang mereka lakukan itu, tidak terlihat mereka adalah perempuan yang

43

Sistem Perkebunan Kelapa Sawit Memperlemah Posisi Perempuan

tidak berdaya dalam menghadapi ketidakadilan yang menimpanya. Akan tetapi, kesadaran untuk mengambil inisiatif saat menerima ketidakadilan ini juga tercermin dari jawaban saat FgD. Dari FgD ini terdapat beberapa jawaban yang menjelaskan bahwa ketika mendapat ketidakadilan , misalnya dilarang keluar rumah untuk berorganisasi mereka akan menjelaskan pada suaminya sebagai anggota masyarakat mereka harus bergaul karena kalau ada masalah, sebagai anggota masyarakat tidak bisa dihadapi sendirian. Ada juga yang menjelaskan akan menempuh jalan bermusyawarah.

Petani Sawit di Mata non-petaniStatus petani di mata warga non-petani seperti pedagang, aparat desa, karyawan, dll dipandang sebagai pekerjaan yang prospek atau tidak dipandang sebagai status yang rendah. Ini terlihat dari keinginan mereka yang sebenarnya juga ingin mempunyai atau membeli lahan untuk kebun sawit, seperti yang diungkapkan oleh Nurul (40) pedagang Soto Lamongan di Kuaro asal Kediri. Fenomena ini juga ditegaskan oleh informasi dari Jaka, salah satu aparat di kecamatan Kuaro yang menyatakan bahwa sebenarnya di wilayah di Long Ikis yang lahannya diperuntukkan untuk persawahan sebagai cadangan pangan di Kabupaten Paser. Akan tetapi, dengan inisiatif para pemilik sawah, di Long Ikis banyak lahan yang dikonversi menjadi lahan sawit karena dianggap lebih menguntungkan secara ekonomi. Kecendenrungan ini pada akhirnya akan berdampak pada produksi pangan, khususnya beras di Kabupaten paser. Namun begitu, penduduk lokal sebagian besar masih menanam padi ladang sebagai cadangan pangan mereka sendiri, seperti yang dilakukan oleh penduduk Trans Kuaro.

Relasi Petani PIR-Trans dan Trans-LokRelasi antara PIR-Trans pendatang dan PIR-Trans Lok cukup harmonis. Tidak ada riwayat terjadi persengketaan. Berdasarkan pengakuan Normah (warga Pekasau), bahkan dia yang lebih dulu

44

Sistem Perkebunan Kelapa Sawit Memperlemah Posisi Perempuan

datang di lokasi desa DIY, ikut menyambut kedatangan transmigran dari Jawa pada tahun 1987. Di mata petani sawit lokal,seperti yang diungkapkan oleh warga Trans-Kuaro, petani pendatang dipandang lebih ulet, bekerja keras atau pun lebih punya pengalaman. mereka juga tidak menunjukkan rasa kecemburuan, justru ada keinginana untuk belajar kepada petani pendatang. Bahkan, beberapa mereka sudah terjadi interaksi akulturisasi seperti berbaur dalam ikatan perkawinan. Pak Dugau yang merupakan penduduk asli mempunyai menantu orang Jawa.

Kenyataan lain ada pendangan yang kontroversi, misalnya yang diungkapkan oleh mutiara manurung, seorang bidan puskesmas pembantu yang juag memilki kebun sawit cukup luas. Dia menjadi petani sawit lebih sebagai usaha bisnis yang dikelola secar professional dengan kalkulasi yang terliti. misalnya bibit harus berkualitas dan pupuk juga harus memadai sehingga menghasilkan buah sawit yang bagus dan melimpah. menurut mutiara, para petani sawit trans rata-rata ‘pemalas’ dan tidak merawat kebunnya dengan benar sehingga tidak menghasikan buah yang maksimal.

Sawit di mata Tokoh Adatmenurut pernyataan Pak Amin Sidar, keberadaan kebun sawit ada dampak posisti negatifnya. Secara ekonomi memang ada kemajuan, pertumbuhan jalan-jalan, took-toko, meskipun banyak warga pendatang yang pempunyai usaha. Secara sosial, budaya konsumtif sangat tinggi. Banyak masyarakat yang kredit motor dan banyak yang ditarik kembali oleh dealer karena tidak bisa membayar cicilan. Banyak pula berdatangan tukang kredit dari Jawa. Secara lingkungan, sejak ada perkebunan sawit air mulai berkurang, bila kemarau 1 bulan saja air sumur sudah kering dan harus mencari air sejauh dua km.

45

Sistem Perkebunan Kelapa Sawit Memperlemah Posisi Perempuan

2. kaBupaten poso, suLawesi tengaH

Gambaran Umuma. Sejarah Desa Olumokunde.

Dahulunya penduduk dari kampung tua Penggoli yang letaknya lebih kurang 9 km arah selatan dari desa Olumokunde adalah kampung asal penduduk desa Olumokunde. Awal pindahnya penduduk kampung Penggoli adalah ketika datang Bangsa Belanda ke kampung Penggoli. Selain mengajarkan kepercayaan mereka yaitu agama Kristen, mereka juga mengajarkan cara bermasyarakat yang baik serta menganjurkan untuk mencari tempat pemukiman yang baik dan lokasi perkebunan atau pertanian/persawahan yang baik pula.

Saat itu, nama kepala suku atau kepala kampung Penggoli adalah Latempa alias Tagarupu alias Papa mpo’o, yang sangat menerima tawaran dari orang Belanda tersebut, dan bersama masyarakat mulai mencari tempat yang layak bagi pemukiman dan lokasi pertanian/persawahan atau perkebunan. Kepala suku bersama anggota masyarakatnya dalam pencarian lokasi yang dimaksud kemudian menemukan dataran Sungai Kamba, yang selain cocok untuk perkampungan juga dilihat bahwa areal persawahan cukup luas dengan sungai Kamba sebagai jaminan mutlak untuk menunjang irigasi/ pengairan persawahan.

Dengan waktu yang tidak begitu lama, masyarakat kembali bermusyawarah untuk memulai membuka lahan baru yang akan digunakan untuk pemukiman penduduk, dan mereka secara gotong royong mulai membangun rumah-rumah penduduk. Setelah selesai membangun perumahan secara gotong royong, masyarakat kembali bermusyawarah untuk menentukan nama desa mereka. Dari hasil musyawarah bersama disepakati untuk menamai desa tersebut OLUmOKUNDe, dimana nama tersebut berasal dari dua kata yaitu OLU yang artinya selesai atau usai, dan mOKUNDe yang artinya naik. Sehingga ketika menggabungkan dua kata tersebut,

46

Sistem Perkebunan Kelapa Sawit Memperlemah Posisi Perempuan

maka nama desa tersebut mempunyai arti sudah selesai dibangun kampung baru, kemudian barulah ditempati atau naik ketempat tersebut, demikianlah arti nama dari desa Olumokunde.

b. Demografi Desa OlumokundeDesa Olumokunde merupakan desa yang terletak diujung timur

wilayah kecamatan Pamona Timur, Kab. Poso. Sulawesi Tengah, dengan jarak ± 10 Km dari kota kecamatan dan ± 110 Km dari kota kabupaten. Desa Olumokunde memiliki tiga dusun yaitu dusun Sukma, dusun Toronggili dan dusun Ranomotali, dengan batas wilayah sebagai berikut :

• Sebelah Utara dengan Desa Kamba• Sebelah Timur dengan Desa Tamonjongi, Kab. morowali• Sebelah Barat dengan Desa matialemba• Sebelah Selatan dengan Desa Pancasila 1.

Desa Olumokunde merupakan desa yang dikelilingi oleh pegunungan. Dengan jumlah penduduk 247 KK, diantaranya 237 KK laki-laki dan 10 KK perempuan, mayoritas penduduknya adalah bertani dan berkebun. Secara keseluruhan penduduk desa berjumlah 1024 jiwa, dimana 518 jiwa penduduk laki-laki dan 506 jiwa penduduk perempuan.

Luas wilayah desa Olumokunde adalah 4.166 ha, yang diantaranya terbagi menjadi :

• Pemukiman : ±120 ha• Persawahan : ± 686 ha• Perkebunan (termasuk lahan baru) : ±460 ha• Padang rumput : ±850 ha• Hutan : ±1.500 ha• Rawa (persiapan sawah baru) : ± 500 ha.

Dilihat dari pembagian wilayah desa Olumokunde, terlihat bahwa mata pencaharian masyarakat di desa tersebut mayoritas adalah

47

Sistem Perkebunan Kelapa Sawit Memperlemah Posisi Perempuan

bertani/berkebun. Setiap keluarga rata-rata memiliki lahan pertanian/perkebunan seluas 1–2 ha/KK. Desa Olumokunde ini juga memiliki tanah adat seluas ± 800 ha, dimana tanah adat tersebut dimanfaatkan oleh masyarakat untuk berkebun dan bertani sebagai mata pencaharian masyarakat di desa tersebut. menurut informasi yang didapat dari kepala desa Olumokunde, tanah di desa Olumokunde saat ini belum ada yang memiliki sertifikat, dimana bukti kepemilikan tanah masih berupa surat-surat berharga dengan tanda tangan dan saksi.

c. Infrastruktur dan sumberdaya alam yang dimiliki Desa. Fasilitas di desa Olumokunde seperti balai desa, kantor desa,

sekolah dasar, puskesmas pembantu, transportasi umum, tempat ibadah sudah cukup memadai, akan tetapi sampai hari ini, pasokan listrik masih menjadi kendala, dimana Desa Olumokunde dan desa disekitarnya hanya dapat menikmati listrik pada malam hari, dan masih terjadi pemadaman bergilir. Listrik hanya hidup dari jam 18.00 – 00.00 malam, sementara dari pagi hingga petang, listrik tidak berfungsi. Begitu pula untuk informasi dari media massa, kepala desa Olumokunde mengatakan, sampai hari ini belum ada surat kabar yang masuk secara rutin, sehingga informasi yang didapat oleh masyarakat desa Olumokunde masih sangat terbatas.

Begitu pula dengan sarana pendidikan, dimana desa Olumokunde hanya memiliki sekolah dasar, sehingga untuk bersekolah di SmP, SmA atau perguruan tinggi harus menempuh jarak berpuluh-puluh kilometer. Hal ini dapat kita lihat tingkat pendidikan masyarakat di desa Olumokunde yang rata-rata hanya sampai tingkat SD atau SmP, walaupun saat ini, sudah terdapat beberapa yang masih di perguruan tinggi.

Secara bangunan pemukimam, bentuk bangunannya bervariasi, dimana sebahagian kecil berbentuk tanah, sebahagian masih berlantai tanah dan berdinding bambu, berlantai tanah dan berdinding papan, dan sebahagian besar masih menggunakan atap dari rumbia. Desa Olumokunde merupakan desa yang sangat kaya akan sumberdaya

48

Sistem Perkebunan Kelapa Sawit Memperlemah Posisi Perempuan

alam, sehingga masyarakat di desa tersebut sangat bergantung pada hasil alam, selain bertani/berkebun, untuk menambah penghasilan masyarakat juga banyak yang mencari damar atau rotan di hutan. Selain damar dan rotan, desa Olumokunde juga terdapat kebun kakao, vanili dan buah-buahan lainnya. Akan tetapi, sebahagian kecil masyarakat juga berdagang sebagai mata pencaharian mereka.

Walaupun hampir seluruh masyarakat di desa Olumokunde telah memiliki lahan persawahan, akan tetapi masih terdapat masyarakat yang bekerja sebagai buruh tani. “...upah buruh tani untuk menanam bibit dihitung per are, 1 are diupah Rp.5.000,-. minimal setiap buruh menanam bibit 10 are, sehingga dalam satu hari buruh bisa mendapatkan upah Rp. 50.000,-...” ungkap ibu Yasmin.

Situasi tersebut semakin marak dilakukan setelah ada perkebunan kelapa sawit, dimana pemilik sawah yang bekerja di perkebunan kelapa sawit juga pada akhirnya membayar buruh tani untuk mengurus sawahnya, karena mereka sudah terlanjur bekerja di perkebunan kelapa sawit jadi tidak mempunyai waktu lagi untuk mengurus sawah dan kebun mereka Ada juga yang sengaja bekerja menjadi buruh pembibitan untuk mengumpulkan uang. Uang yang terkumpul dari hasil bekerja di pembibitan tersebut kemudian digunakan untuk membayar upah buruh tanam di sawah mereka.

Saat ini, masyarakat juga sudah mulai berkebunan kelapa sawit melalui swadaya (baca : kebun mandiri), dilakukan secara berkelompok, dimana anggota kelompok perkebunan sawit baru berjumlah 9 orang. Pembentukan kelompok tersebut diinisiasi oleh kepala desa. Lahan yang digunakan untuk pembukaan lahan perkebunan kelapa sawit seluas 18 ha, dimana masing-masing anggota memiliki lahan 1-2 ha untuk perkebunan kelapa sawit. Kelompok perkebunan kelapa sawit ini terbentuk pada awal 2010.

Selain kelompok perkebunan kelapa sawit, di desa Olumokunde juga terdapat kelompok petani sawah dan kebun yang terbentuk pada 2008. Pembentukan kelompok tersebut difasilitasi oleh dinas pertanian. Dinas juga memberikan sejumlah traktor dan membentuk

49

Sistem Perkebunan Kelapa Sawit Memperlemah Posisi Perempuan

kelompok simpan pinjam bagi petani, yang sampai saat ini masih berjalan.

Sosial Ekonomi dan budaya perempuan di Desa Olumokunde dan Desa Kamba.Olumokunde dan Kamba adalah dua desa yang berada di

kecamatan Pamona Timur Kabupaten Poso Propinsi Sulawesi Tengah. Bertetangga dengan Desa Pancasila lokasi pembibitan kelapa sawit milik perusahaan sawit Jaya Abadi anak atau group dari perusahaan perkebunan sawit PT. Astra.

masyarakat Olumokunde dan Kamba adalah anak suku Pamona yang menganut Adat Pakambia. mereka mengakui bahwa tidak ada perbedaan peran sosial antara laki-laki dan perempuan baik di publik maupun di ranah domestik, ini menurut pengakuan beberapa warga ketika kami melakukan wawancara mendalam dan diskusi terfokus dengan kelompok perempuan buruh pembibitan kelapa sawit, kelompok perempuan non buruh dan tokoh agama (pendeta) serta tokoh adat (tetua adat). Peran laki-laki dan perempuan memang sama namun dalam menjalankan peran tersebut beban perempuan lebih berat dibandingkan dengan laki-laki, utamanya dalam ranah domestik, misalnya untuk kerja-kerja rumah tangga (menyiapkan makanan, membersihkan rumah, mencuci dan mengasuh anak tetap menjadi pekerjaan yang dominan dibebankan kepada perempuan. Laki-laki atau suami hanya membantu ketika istri lagi berhalangan atau sakit. Begitupun pekerjaan di luar rumah seperti kesawah dan kebun laki-laki dan perempuan sama-sama bekerja di sawah dan kebun namun perempuan terlebih dahulu harus memasak atau menyiapkan makanan baik untuk bekal kesawah atau ke kebun maupun makanan untuk anak-anak yang ditinggal di rumah sebelum berangkat kerja ke sawah atau ke kebun. Beban ini bertambah ketika perempuan bekerja di pembibitan karena harus bangun lebih cepat dari biasanya. Penjelasan lebih lanjut pada bagian lain tulisan ini.

Rata-rata setiap warga di Desa Olumokunde dan Desa Kamba

50

Sistem Perkebunan Kelapa Sawit Memperlemah Posisi Perempuan

memiliki sedikitnya 1 ha sawah dan 1 ha kebun coklat per-keluarga. Sumber pendapatan ekonomi mereka adalah dari hasil sawah dan kebun. Sebelum adanya perusahaan sawit yang melakukan pembibitan di Desa Pancasila yaitu sekitar 5 km dari Desa Olumokunde dan Desa Kamba. Perempuan di kedua desa tersebut mayoritas adalah bertani dan berkebun, selain bertani dan berkebun, juga memanfaatkan hasil hutan berupa damar dan rotan. Selebihnya ada yang buka kios menjual kebutuhan sehari-hari.

Setiap tahunnya mereka menggarap sawah dua kali dalam setahun. Ketika musim tanam selesai maka mereka mengurus kebun mereka (coklat, kacang mente dan manggis) atau ke hutan mengambil rotan dan damar. Paroh waktu kadang mereka menyiangi padi, nanti setelah padi siap dipanen maka mereka balik lagi ke sawah untuk panen. Pendapatan dari mengolah sawah normalnya dua kali setahun. “Untuk 1 ha bisa menghasilkan 5-6 ton gabah satu kali panen, jadi bisa dapat 15 juta, kadang juga terjadi gagal panen karena terjadi kekeringan/puso pada musim kemarau atau banjir jika curah hujan tinggi”, menurut salah satu peserta FgD dari kelompok buruh dan mantan buruh. Untuk kebun coklat, sekarang mereka panen hanya dua bulan sekali karena terserang penyakit. Sedangkan manggis berbuah sekali saja dalam setahun. Satu pohon manggis yang besar bisa menghasilkan 50 kilogram satu kali musim. Kalau pohon yang sudah tua bisa mencapai 100 kilogram per pohon per musim. Tahun lalu satu kilo seharga lima sampai tujuh ribu kalau langsung dibawa ke Poso.

Secara sosial ekonomi, mereka merasa berhasil ketika mereka mandiri secara ekonomi dalam pemenuhan kebutuhan pangan, sandang dan papan atau dengan kata lain mereka tidak tergantung pada orang lain. memiliki tanah atau lahan yang luas, mampu menyekolahkan anak-anak mereka ke jenjang perguruan tinggi atau akademi adalah merupakan ukuran kesuksesan ekonomi. Biasanya anak-anak mereka sekolahkan di makassar atau Palu, minimal di Kabupaten Poso. Saat ini kesuksesan ekonomi juga diukur dari

51

Sistem Perkebunan Kelapa Sawit Memperlemah Posisi Perempuan

kemampuan memiliki sepeda motor. Kesuksesan lain ketika jadi Pegawai Negeri Sipil/PNS atau pegawai di kantor.

Kehadiran PT Sawit Jaya AbadiPT Sawit Jaya Abadi (PT SJA) group Astra masuk ke Desa

Pancasila pada akhir tahun 2007 dan memulai operasinya diawal tahun 2008. Luas konsesi untuk pembibitan adalah 72 Ha diatas lahan atau tanah yang disewa dari masyarakat di Desa Pancasila selama 3 tahun. masyarakat berlomba-lomba mengontrakkan tanahnya ke perusahaan. Ada 37 warga yang mengontrakkan tanahnya dengan luas lahan yang disewa rata-rata 2-3 ha dengan nilai kontrak yang ditetapkan oleh pereusahaan melalui calo adalah Rp 500.000/ ha selama tiga tahun. Lahan yang dikontrakkan umumnya lahan tidur yang umumnya tanah rawa dan perbukitan.

menurut Kepala Desa Olumokunde, lahan yang ditempati oleh PT Sawit Jaya Abadi merupakan lahan yang akan digunakan sebagai program pencetakan sawah baru. Program tersebut merupakan program recovery pemerintah pasca konflik Poso dengan jumlah dana Rp 825 juta untuk luas lahan 125 Ha yang terbagi untuk di tiga desa, yakni 40 Ha untuk Desa Pancasila, 40 Ha untuk Desa Olumokunde dan 45 Ha untuk Desa Kamba. Data yang diperoleh dari Humas PT. Astra, bahwa bibit yang disemai di Desa Pacasila diperuntukkan bagi lokasi-lakasi yang telah disiapkan oleh PT Astra seluas 8.500 Ha di 12 desa. 5000 Ha berada di Pamona Timur, meliputi Desa Pancasila, masewe, Kancu’u, Tiu, taripa, Pattiro, matialemba dan Olumokunde. Selebihnya 3.500 Ha lahan telah disediakan oleh PT. Astra berada di Kalimantan dan Sulawesi Barat.

Selain PT. SJA di Desa Pancasila, juga terdapat beberapa perusahaan perkebunan lainnya seperti PTPN XIV di Kabupaten morowali dengan luas 110 Ha lahan masyarakat yang sudah dibebaskan dan mulai dilakukan penanaman seluas 80 ha. Selain itu juga terdapat perusahaan PT. Sinar mas yang juga melakukan kegiatan perkebunan kelapa sawit di Kabupaten morowali.

52

Sistem Perkebunan Kelapa Sawit Memperlemah Posisi Perempuan

Perwakilan kantor PT Sawit Jaya Abadi bertempat di matialemba. Pilihan tempat di matialemba, selain untuk memudahkan informasi dan transportasi juga dikarenakan di matialemba termasuk wilayah yang akan ditanami sawit. Akan tetapi pembukaan lahan untuk penanaman mengalami kendala, karena lahan yang akan digunakan masih merupakan lahan transmigrasi. Hasil wawancara dengan mandor PT. SJA, mengatakan bahwa lahan yang sekarang digunakan untuk pembibitan sawit belum mendapat izin dari pemerintah daerah. Karena lahan untuk penanaman sawit atau kebun belum siap maka perusahaan menghadapi masalah penanaman kebun, makanya bibit yang semestinya sudah harus ditanam di kebun menjadi tertunda. Dari sejumlah 925.000 bibit yang tersedia diawal, hanya 822.000 bibit yang hidup atau layak tanam. Kemudian masalah lagi dengan lahan hingga tidak bisa segera ditanam.. Dimana idealnya bibit sudah harus mulai ditanam ketika sudah berumur Sembilan bulan hingga lima belas bulan dan maksimal delapan belas bulan. Namun saat ini bibit sudah melebihi dari 30 bulan, jadi bibit tersebut sudah seharusnya ditanam dan kalaupun ditanam akan mempengaruhi kwalitas buah dan tentu saja berdampak pada produktifitas.

PT. SJA merupakan perkebunan skala besar, dimana perusahaan mengelola perkebunan yang luasnya lebih dari 10.000 ha. Perusahaan menggunakan sistem buruh harian lepas (BHL) dan buruh borongan. “Sebelum perusahaan melakukan kegiatan pembibitan di Pancasila, kami tidak pernah dapat informasi baik dari perusahaan maupun dari pemerintah setempat, apalagi dimintai pendapat. Dapat Informasi dari teman ketika diajak untuk bekerja di pembibitan sawit”. Demikian ungkapan dari perempuan di Desa Olumokunde dan Desa Kamba. Baik yang bekerja sebagai buruh maupun yang tidak bekerja di pembibitan sawit.

mereka (perempuan) baru tahu tentang pembibitan sawit di Desa Pancasila ketika perusahaan sedang mencari buruh untuk pembibitan. Informasi ini diperoleh dari mandor perusahaan yang disampaikan kepada kepala desa dan selanjutnya disampaikan kepada warga. Sebelumnya perempuan di desa Kamba dan Olumokunde

53

Sistem Perkebunan Kelapa Sawit Memperlemah Posisi Perempuan

tidak mengetahui akan adanya kegiatan pembibitan perkebunan kelapa sawit di desa tetangga (Desa Pancasila). Namun akhir-akhir ini, informasi tentang pekerjaan di perkebunan kelapa sawit didapat dari teman mereka yang bekerja di perkebunan kelapa sawit.

Jadi informasi tentang pembibitan kelapa sawit, memang rata-rata mereka /buruh mendapatkan informasi dan diajak oleh teman yang memang terlebih dulu sudah bekerja disana. Ada yang dapat informasi dari iparnya yang kerja eskavator. Sosialisasi oleh perusahaan hanya melibatkan Kepala Desa, Sekretaris Desa dan perangkat Desa. Sedangkan dengan Tokoh masyarakat, Tokoh Adat, Tokoh Agama serta beberapa masyarakat, sosialisasinya tentang harga kontrak tanah dan kesempatan kerja bagi warga desa. Sosialisasi tersebut hanya dilakukan di Desa Pancasila. menurut Tokoh Adat olumokunde dan Kamba, mereka tidak pernah diundang untuk membicarakan rencana pembukaan lahan perkebunan sawit.Pada sosialisasi tersebut, perusahaan berjanji untuk melakukan perbaikan jalan yang ada di Pancasila dan sekitarnya sehingga akses ekonomi dapat berjalan dengan baik.

Peran Perempuan di Pembibitan Kelapa SawitSejak dibukanya pembibitan kelapa sawit di Desa Pancasila

pada akhir tahun 2007 . Perempuan dari Desa Olumokunde dan Desa Kamba banyak yang menjadi buruh harian lepas atau sering disingkat BHL di pembibitan sawit. Selain system BHL perusahaan juga menggunakan system buruh borongan. Dengan hanya menyetor foto copy KTP mereka bisa langsung bekerja sebagai buruh tanpa harus membuat surat lamaran dan perusahaan juga tidak memberikan kontrak kerja. Buruh borongan biasanya melibatkan keluarga mereka dalam pekerjaan di pembibitan, biasanya yang dilibatkan adalah anak untuk membantu mempercepat penyelesaian pekerjaan mereka.

“saya diajak teman, katanya marijo kita kerja di kelapa sawit, disana bagus gajinya baik dan lancer, saya bilang nanti bulan baru.

54

Sistem Perkebunan Kelapa Sawit Memperlemah Posisi Perempuan

Jadi pada saat awal bulan berikutnya saya ikut dan langsung tulis nama dan langsung ditempatkan di bulbek, isi tanah. Dalam sehari bisa isi tanah 100 biji koker. Kita bisa cepat pulang dan saya juga biasa dibantu anak saya” (buruh pembibitan)

Perusahaan lebih banyak memilih mempekerjakan buruh perempuan dari pada laki-laki karena perusahaan menganggap perempuan lebih teliti dibandingkan laki-laki, karena ini baru bibitnya sehingga butuh perawatan intensif dan sangat hati-hati. Itu alasan mengapa banyak mempekerjakan buruh perempuan dari pada laki-laki, ujar mandor dari perusahaan.

“kalian harus berhati-hati memperlakukan bibit sawit, sebagaimana kalian memperlakukan atau merawat bayi kalian”, demikian ungkap Dona, ibu rumah tangga, eks buruh. Jenis pekerjaan perempuan buruh adalah mulai dari isi polibag/ koker atau isi tanah, isi baby, penyiangan, pemberian pupuk hingga penyemprotan dengan upah yang sama untuk semua jenis pekerjaan. “kami harus angkat sendiri pupuk dalam 1 karung yang kira-kira beratnya 50 – 60 kilo. Sehari biasanya dapat angkat 10-20 karung”(kesaksian Lintodipira, eks buruh pembibitan).

Di bagian penyemprotan, chemis dan pemupukan semua dilakukan oleh buruh perempuan, tidak ada buruh laki-laki. Buruh yang bekerja untuk penyemprotan bibit harus mengangkat sendiri tangki semprot yang berisi air yang sudah dicampur dengan bahan kimia yang akan disemprotkan ke bibit sawit. Buruh laki-laki hanya bekerja memindahkan dan mengatur bibit yang sudah dimasukkan dalam polybag.

55

Sistem Perkebunan Kelapa Sawit Memperlemah Posisi Perempuan

Tabel 3. Perbandingan Pekerjaan laki-laki dan Perempuan di Pembibitan PT SJA

Laki – Laki Perempuan• Buat parit• menyemprot/ Chemis• Buat Jembatan untuk Arco• Buat got / Petak• Buat Atap untuk tempat bibit• ecer Pupuk• Angkat bibit

• memilih bibit Untuk di tanam• Chemis/Penyemprotan• Isi Poly bek ( koker besar )• Isi baby (Koker kecil)• menanam bibit Sawit• Cabut rumput• Angkat Tanah• Ayak tanah• Angkat pupuk• menyemprot/Chemis• memindahkan bibit ke Petak• membersihkan Lar• meluruskan bibit Kecambah

Dari tabel di depan, tergambar diskriminasi yang dialami buruh perempuan, bahwa beban buruh perempuan dan laki-laki berbeda, dimana beban berlebih dilakukan oleh perempuan, sementara upah yang diberikan sama antara laki-laki dan perempuan. Selain itu jenis pekerjaan yang dilakukan oleh perempuan juga sangat rentan terhadap kesehatan termasuk kesehatan reproduksi perempuan, seperti penyemprotan/chemis.

Kontrak kerja dan Upah buruhSebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa proses untuk

menjadi buruh pembibitan tidak ada prosedur khusus. Cukup memberikan KTP kepada mandor (untuk memastikan bahwa mereka penduduk local), kita akan langsung dapat bekerja dan tidak ada kontrak kerjasama. Informasi tentang upah dan jam kerja didapatkan dari mandor, selain itu juga diberikan buku harian. Informasi ini berbeda dari mandor dimana perusahaan memberikan kontrak kerja kepada buruh yang akan bekerja di pembibitan. Kontrak kerja yang disiapkan sebanyak 2 copy, satu untuk buruh dan satunya untuk perusahaan.

56

Sistem Perkebunan Kelapa Sawit Memperlemah Posisi Perempuan

Secara umum tidak ada yang membedakan antara upah buruh perempuan dengan laki-laki. Dengan jam kerja perhari 7-8 jam dan 1 jam waktu untuk istirahat, mereka diupah Rp 31.600, per hari. Ada kenaikan upah sejak 2010 mejadi Rp 32.800. upah dibayarkan setiap bulan pada tanggal 25. Jika bekerja penuh dalam satu bulan, buruh mendapatkan gaji sebesar Rp 786.800. Dalam pengupahan ini tidak dibedakan antara buruh yang sudah lama bekerja dengan baru bekerja.

Tunjangan untuk hari raya/THR diperoleh jika buruh sudah mencapai 60 hari kerja secara kontiyu selama tiga bulan. Jika selama tiga bulan berturut-turut tidak mencapai 60 hari kerja sampai hari raya idul fitri maka buruh tidak mendapatkan THR. Sementara untuk mandor, mereka mendapatkan beberapa tunjangan. Selain THR mandor juga mendapat tunjangan beras, pengobatan, jamsostek dan bonus akhir tahun.

Perlindungan dan Keselamatan KerjaSelama menjadi buruh pembibitan, buruh perempuan tidak

mendapatkan perlindungan maupun keselamatan kerja. Bahkan peralatan kerja tidak memadai. Akhirnya para buruh membawa peralatan sendiri berupa parang, cangkul dan ember.

“ Pada awal kami bekerja, perusahaan tidak menyediakan peralatan yang cukup. Kami Cuma dikasi kain untuk masker, baru beberapa bulan terakhir perusahaan menyediakan masker dan peralatan lainnya” (Ibu Wiwik (nama samaran) buruh perempuan). Peralatan kerja dan masker diberikan oleh perusahaan karena buruh perempuan sering mengeluh dan minta langsung ke mandor. “ memang buruh yang minta, karena kalau kami melakukan penyemprotan, itu kan kami menghirup obat matadol, decis dan semua itu obat-obat beracun. Jadi kami menghadap langsung ke mandor masing-masing. Waktu itu saya katakan kemandor ‘pak kalau bisa kami dibijaksanai masker karena selama ini kami sudah banyak menghirup racun dan masuk ke paru-papru’ kemudian Mandor lapor ke Asisten”(ibu Pince, eks buruh pembibitan).

57

Sistem Perkebunan Kelapa Sawit Memperlemah Posisi Perempuan

Buruh yang bekerja untuk penyemprotan bibit, harus mengangkat sendiri tangki semprot yang berisi air yang sudah dicampur dengan bahan kimia yang akan disemprotkan ke bibit sawit. Tiga bulan terakhir ini, khusus bagi buruh penyemprot sudah mulai diberikan segelas susu putih setiap pagi sebelum bekerja. menurut pihak perusahaan susu tersebut sebagai penetral racun akibat bahan kimia yang dihirup dari aktivitas penyemprotan tersebut.

menurut perawat yang bertugas di puskesmas pembantu Desa Olumokunde, dimana buruh perempuan banyak yang berobat dengan mengeluh sakit pinggang, pegal-pegal dan gatal-gatal. Bahkan ada yang mengalami alergi seluruh tubuh. Namun menurut informasi yang didapatkan dari buruh bahwa perusahaan tidak memberikan pengobatan jika ada buruh yang mengalami sakit sebagaimana banyak dialami oleh perempuan semenjak bekerja di pembibitan kelapa sawit.

“...dahulu perusahaan pernah mengatakan akan memberikan jamsostek kepada buruh, dengan mengajukan syarat-syarat. Akan tetapi sampai saat ini, tidak pernah diberikan, walaupun sudah terpenuhi syarat-syaratnya...” (Ibu Yani (nama samaran) buruh perempuan).

Dampak sawit terhadap perempuan dari tinjauan social dan ekonomiSebelum perusahaan kelapa sawit beroperasi terdapat berbagai

aktivitas perempuan, tetapi setelah perusahaan kelapa sawit datang, aktivitas perempuan dipenuhi kegiatan memenuhi ekonomi keluarga. Beberapa kegiatan sebelum perkebunan kelapa sawit hadir diantara kegiatan PKK, Dasawisma, dan kegiatan keagamaan. “sebelum perkebunan datang, kita belajar memasak, menjahit, informasi kesehatan dan lain sebagainya” ungkap ibu Jasmin dan Yosrin Peleli.

Sekarang hampir semua orang sudah bekerja menjadi buruh di pembibitan sawit dan bahkan bekerja di perkebunan milik Sinarmas di morowali, maka kegiatan dasawisma dan PKK sudah

58

Sistem Perkebunan Kelapa Sawit Memperlemah Posisi Perempuan

tidak berjalan. malahan dulunya setiap perayaan kemerdekaan 17 Agustus, perempuan di kampung tersebut aktif dalam perlombaan olah raga dan kesenian rakyat seperti vocal group,Torompio, Dero asli, dan Volly. Sekarang tidak adalagi kegiatan tersebut karena semua sudah sibuk bekerja menjadi buruh sawit. “Dengan adanya sawit maka mematikan kesenian rakyat khususnya bagi ibu-ibu. Buktinya sekarang lagi perayaan 17 Agustus tidak ada perempuan dari Desa Olu dan Desa Kamba yang ikut lomba”, ungkap ibu Lian alias mama Yosua salah satu peserta diskusi kelompok terfokus/FgD dari kelompok perempuan non buruh. “Kami tidak bisa lagi berpartisipasi atau ikut perlombaan 17 Agustus karena sudah tidak sempat, waktu habis untuk bekerja di sawit, walupun Sabtu dan Minggu libur tapi kami gunakan untuk ibadah kegereja dan juga istirahat”, (Ibu Dona dan ibu Deice Romba).

Tabel 4. Peran laki-laki dan Perempuan di Masyarakat Laki –Laki Perempuan•Terlibat dalam organisasi gereja

(Komisi Bapak)•Terlibat dalam Posintuvu Duka dan

Pesta Kawin di Desa (membuat tenda, mencari kayu bakar, membuat tempat memasak, ibada duka, membuat peti mayat)

• rapat-rapat di Desa (pengurus air bersih)

•Terlibat dalam kepengurusan Lembaga Adat sebagai ketua lembaga adat

• Ikut Terlibat budaya mesale (gotong royong di Sawah dan Kebun) Dalam Kampung.

•Terlibat dalam Organisasi gereja (Komisi Ibu)

• Ikut Terlibat dalam Posintuvu Duka dan Pesta Kawin di Desa (memasak, menyiapkan makanan untuk di makan bersama, mengurusi mayat, membuat hiasan untuk mayat ).

• Ikut Terlibat budaya mesale (gotong royong di Sawah dan Kebun) Dalam Kampung.

•Terlibat dalam Kepengurusan Lembaga Adat di Desa sebagai bendahara di lembaga adat

Tabel di depan menggambarkan peran perempuan di desa Olumokunde diranah-ranah publik mulai diperhitungkan, dimana perempuan terlibat di kegiatan-kegiatan keagamaan dan adat. Walaupun peran perempuan didalam kegiatan-kegiatan tersebut

59

Sistem Perkebunan Kelapa Sawit Memperlemah Posisi Perempuan

juga masih dalam ranah domestik, misalnya terlibat dalam posintuvu duka dan pesta kawin, perempuan berperan sebagai memasak, menyiapkan makanan untuk di makan bersama, mengurusi mayat, membuat hiasan untuk mayat.

motivasi ibu-ibu atau perempuan yang bekerja di pembibitan sawit adalah ingin mendapat tambahan ekonomi atau pendapatan untuk pemenuhan kebutuhan hidup dan biaya sekolah anak. “karena disini sulit untuk mencari pekerjaan, menambah keuangan. Anak-anak sekolah, sedikit-sedikit minta uang sedangkan buah cokelat sekarang kurang karena kena penyakit” (Ibu Pince).

Sebelum adanya perkebunan sebahagian besar perempuan di kampung ini bekerja di sawah dan ada juga yang mengerjakan kebun coklat . dan setelah panen disawah maka perempuan hanya menganggur. Namun setelah ada pembibitan sawit maka perempuan bekerja sebagai buruh. “Supaya ada tambahan pendapatan sambil menunggu panen. Uang dari Upah bekerja buruh dipakai untuk membantu kebutuhan keluarga.” (Ibu Dahliana, pernah bekerja sebagai buruh pembibitan di Pancasila selama kurang lebih dua tahun). Alasan lain mengapa banyak perempuan mau menjadi buruh pembibitan adalah dengan memperoleh gaji atau upah setiap bulan, selain menambah pendapatan keluarga juga bisa kredit barang dengan sistem cicil bayarnya setiap bulan setelah gajian.

Oleh karena itu, terjadi perubahan pola konsumsi yang cendrung konsumtif. Sekarang mereka (buruh) berani berutang di warung atau kios bahkan mengambil barang kredit dari pedagang keliling dari luar kampung yang sengaja datang untuk menjajakan barang dagangan mereka. Padahal dahulu sebelum bekerja di pembibitan sawit, mereka tidak biasa berhutang. Tidak hanya sebatas kebutuhan hari-hari dan alat-alat rumah tangga, bahkan banyak dari mereka berani kredit motor. Walaupun pada akhirnya motor tersebut tersebut ditarik oleh dialer karena tidak sanggup membayar cicilan. Karena terbelit utang maka terpaksa harus bekerja terus jadi buruh.

“Kami sepakat mencicil motor karena biasanya kalau ada pekerjaan di

60

Sistem Perkebunan Kelapa Sawit Memperlemah Posisi Perempuan

gereja saya terlambat berangkat kerja, jadi bapak bilang ambil saja motor supaya bisa diantar kalau mau bekerja. Dengan uang muka 2,3 juta rupiah dan angsuran selama tiga tahun. Itulah kenapa saya katakan sudah semakin berat saat bekerja di sawit dibandingkan dulu ketika masih bertani, karena sudah tinggi tingkat kebutuhan hidup” (Ibu Pince, buruh sawit) bekerja bertani adalah pekerjaan utama, bekerja sebagai buruh hanyalah selingan atau mengisi waktu saja setelah selesai menanam dan panen di sawah, daripada nganggur. masyarakat Desa Olumokunde dan Desa Kamba sadar bahwa menggarap sawah dan berkebun lebih menguntungkan secara ekonomi dan tenaga, dari pada bekerja sebagai buruh banyak tenaga terkuras dan tidak bisa mengatur waktu karena terikat dengan perusahaan. Jika kerja di sawah dan di kebun sendiri bisa mengatur waktu.

Bekerja di pembibitan menambah beban kerja perempuan karena jam empat subuh sudah harus bangun memasak dan menyiapkan makanan untuk bekal dan keluarga (suami dan anak). Bahkan sebelum mereka dijemput oleh mobil perusahaan, mereka bahkan harus bangun sebelum jam empat karena harus berjalan kaki ke lokasi pembibitan. “Enak punya usaha sendiri atau kerja di kebun dan di sawah sendiri daripada kerja di perusahaan pembibitan kelapa sawit. Bekerja di pereusahaan banyak bahayanya, bisa banyak penyakit atau bermasalah dengan kesehatan. Jam 4 subuh sudah berangkat dan sore baru sampai dirumah. Anak-anak juga tidak terurus.” (Ibu Yosron (nama samaran), buruh kebun). “Kerja dilapangan setengah mati, pokoknya jadi buruh itu susah. Kepanasan dan kehujanan harus diterima. Selain bertanggungjawab pekerjaan rumah tangga, juga bertanggungjawab pekerjaan di luar rumah, dari pagi sampai sore dan setiba dirumah juga masih harus menyelesaikan pekerjaan rumah tangga” (Ny Diah (nama samaran), buruh kebun).

61

Sistem Perkebunan Kelapa Sawit Memperlemah Posisi Perempuan

Tabel 5. Peran laki-laki dan perempuan dalam rumah tanggaRumah tangga non-buruh Rumah tangga buruh

Laki-laki Perempuan Laki-laki Perempuan•06.00 minum

kopi sambil bercerita

• Jam 06.30 Pergi ke Sawah/kebun

•12.00 – 13. 00 Istirahat di kebun /sawah

•13.00 -16.00 bekerja kembali

•16.00 mencari kayu bakar

•17.00 Pulang•17.30 – 22.00•Istirahat sambil

minum kopi•makan malam •Nonton

Televisi•Istrahat

•05.30 •Bangun pagi•mengurus anak•menyelesaikan

Pekerjaan Rumah Tangga

•memasak•07.00•Pergi Bekerja di

Sawah/Kebun.•1200 – 13.00•Istrahat makan

siang di kebun •13.00 – 16.00•Bekerja kembali•16.00•Pulang bersama •16.00 – 22.00•mengurus anak •menyiapkan

makan malam.•mengurus anak •Istirahat

•6.00 •minum kopi

sambil bercerita• Jam 6.30•Pergi ke Sawah/

kebun •12.00 – 13. 00•Istirahat di

kebun /sawah•13.00 -16.00• bekerja

kembali•16.00 •mencari kayu

bakar•17.00•Pulang•17.30 – 22.00•Istirahat sambil

minum kopi•makan malam •Nonton Televisi•Istrahat

•3.30 •Bangun pagi•menyelesaikan

Pekerjaan Rumah Tangga

•memasak •5.30•menunggu

jemputan di terminal penjemputan buruh

•7.00•Bekerja sebagai

buruh di pembibitan

•1200 – 13.00•Istrahat makan

siang di kebun •13.00 – 15.00•Bekerja kembali•16.00•menunggu

mobil jemputan untuk pulang

•16.00 – 22.00•mengurus anak •menyiapkan

makan malam.•mengurus anak •Istirahat

Tabel di depan menggambarkan bagaimana buruh perempuan yang bekerja di perkebunan kelapa sawit memiliki beban ganda, karena selain mengurus rumah tangga seperti memasak, mencuci dan mengurus anak, perempuan juga harus bekerja di perkebunan kelapa sawit. Beban yang dialami perempuan lebih berat dibandingkan laki-laki. Selain itu, tabel diatas juga menunjukkan jumlah jam kerja

62

Sistem Perkebunan Kelapa Sawit Memperlemah Posisi Perempuan

perempuan lebih panjang dan jam istirahat lebih singkat dari pada laki-laki.

Pandangan Perempuan terhadap Buruh Perempuan di Perusahaan Sawit

“Bekerja di perkebunan/ pembibitan adalah pekerjaan yang setengah mati. Karena kerja lapangan jadi panas-panasan. Pokoknya jadi buruh itu susah mana kepanasan dibawah terik matahari dan kalau hujanpun terpaksa harus hujan-hujanan. Makanya lebih enak punya usaha sendiri atau kerja bisnis dari pada diperusahaan. Berjualan kebutuhan sehari-hari dirumah selain dapat untung sekaligus bisa memenuhi kebutuhan dapur sehari-hari. Mana bekerja di perusahaan bermasalah denga kesehatan. Bisa penyakitan. Berangkat jam 4 subuh tiba dilokasi jam setengah 7 dan langsung menyiapkan alat kerja, jam 7 sudah muai kerja – jam 2 baru pulang dan sampai dirumah bisa jam lima sore bahkan kadang setengah enam sore. Mana lagi kerja tidak menggunakan alat pengaman misalnya bagian pemupukan dan racun, semakin berisiko terhadap kesehatan dan keselamatan kerja” (Dian (nama samaran) buruh perkebunan).

Ada yang berpendapat bahwa adanya perusahaan yang mempekerjakan buruh perempuan, memang ekonomi perempuan sedikit terbantu. Ada peningkatan ekonomi bagi mereka yang bisa mengatur keuangan. Dulu berkekurangan dan sekarang agak mendingan. Namun banyak juga menjadi konsumtif, sehingga tambahan pendapatan tidak signifikan atau sebenarnya tidak memperoleh nilai tambah. Dengan mengandalkan gaji bulanan jadi berani cicil barang berupa kursi, lemari, belanga, televisi sampai kredit motor. gaji bulanan bahkan tidak menutupi utang di kios karena pengambilan barang melebihi dari hari kerja. Hal ini terkadang melenceng dari prediksi. Bisanya tiba-tiba sakit dan tidak bisa pergi kerja akibatnya hari kerja tidak penuh dalam sebulan dan berimplikasi pada jumlah gaji yang diterima.

63

Sistem Perkebunan Kelapa Sawit Memperlemah Posisi Perempuan

“Orang yang kerja sawit akhirnya beli beras karena tidak menggarap sawah. Ada yang setiap bulan kerjanya gali lobang tutup lobang” (mama Nona, petani dan ibu rumah tangga).

masalah baru yang muncul tidak hanya terkait dengan keuangan. Bagi ibu-ibu yang punya balita atau anak kecil setiap hari dari subuh hingga sore meninggalkan anak-anak mereka. Pagi-pagi buta ibunya sudah ke pembibitan, ayahnya juga harus ke sawah atau ke kebun, neneknya juga kesawah. Akhirnya anak-anak mereka titip di tetangga. Anak-anak tidak terurus, akhirnya tetangga yang urus padahal mereka masih butuh perhatian kedua orang tua terutama dari ibunya. Karena tidak mendapatkan bimbingan dari orang tua berakibat anak tidak naik kelas. Ketika anak tidak naik kelas, kembali perempuan yang disalahkan, karena dianggap menerlantarkan anak. Ini juga merupakan beban ganda bagi perempuan.

“Bersawah dan berkebun jauh lebih baik dan menguntungkan karena bisa mengatur waktu kerja, orang yang kerja sebagai buruh, dikejar-kejar waktu. Tidak leluasa lagi ikut kegiatan di kampung termasuk jika terjadi duka”, (Irnambasali, petani dan ibu rumah tangga). “Setelah dihitung-hitung, lebih untung kerja berkebun dan bertani. Kalau urus sawah dan kebun adalah untuk jangka panjang, sementara di sawit tidak pasti” (mama Intan, Ibu rumah tangga). “Saya lebih memilih buka warung kopi dari pada kerja jadi kuli. Tidak ada yang perintah-perintah dan marah-marah” (Sri-Pamona, usaha warung kopi).

64

Sistem Perkebunan Kelapa Sawit Memperlemah Posisi Perempuan

Tabel 6. Berbagai aktivitas (Suami, Istri, Anak Perempuan dan Anak Laki-laki ) Sejak Bangun sampai Istirahat Malam

Suami Istri Anak Laki-laki AnakPerempuan

• Bangun pagi• minum Kopi• Sarapan• Berangkat ke • Sawah/kebun• Istirahat• makan siang• Kerja• Pulang ke

rumah• Istirahat/

minum kopi• mandi• menonton TV• Istirahat/Tidur

• Bangun pagi• Cuci Piring• masak Air• masak Nasi• Buat Sarapan• Buat Teh/Kopi• membersihkan

Rumah• mandi• mengurus anak

ke sekolah• Sarapan• mencuci

Pakaian• memasak

untuk makan siang

• Pergi ke Sawah• Bekerja di

Sawah• mandi• memasak

untuk makan malam

• mengurus anak/Suami

• Istirahat/tidur

• Bangun Pagi

• mandi• Berangkat

ke sekolah• Pulang ke

rumah• makan• Bermain• mandi• makan• menonton

TV• Istirahat/

tidur

• Bangun Pagi• mencuci piring• mandi• Sarapan• Berangkat ke

sekolah• Pulang sekolah• Bermain• mandi• membantu

membersihkan rumah

• membantu menyiapkan makan malam

• menonton TV• Tidur/ Istirahat

Tersingkirnya Peran-Peran sosial perempuan Kehadiran perkebunan kelapa sawit, juga sedikit demi sedikit

menghilangkan ruang-ruang sosial bagi perempuan. Seperti yang diungkapkan perempuan di desa Olumokunde pada diskusi, dimana sejak mereka bekerja menjadi buruh perkebunan kelapa sawit, mereka tidak memiliki waktu untuk melakukan kegiatan-kegiatan khusus perempuan di desa tersebut, seperti PKK, dan kegiatan sosial lainnya. Hanya 1 -2 kegiatan sosial yang masih dilakukan oleh perempuan, seperti kegiatan-kegiatan keagamaan.

Padahal ruang-ruang sosial tersebut sangat bermanfaat bagi perempuan di desa Olumokunde. Seperti yang disampaikan oleh Ibu

65

Sistem Perkebunan Kelapa Sawit Memperlemah Posisi Perempuan

Yasmin, dimana ruang tersebut dipergunakan perempuan sebagai ruang bertukar informasi dan pengetahuan perempuan. Bahkan juga menghasilkan kreatifitas-kreatifitas bagi perempuan di desa Olumokunde.

Hal tersebut menjadikan akses perempuan terhadap informasi dan mendapatkan pengetahuan, secara tidak langsung dan perlahan-lahan dihilangkan oleh kehadiran perusahaan perkebunan kelapa sawit.

Minimnya Informasi bagi Perempuan. Dari awal kehadiran perusahaan perkebunan tersebut, perempuan

tidak pernah terinformasikan, menurut perempuan, hal tersebut mungkin karena pembibitan kelapa sawit tersebut tidak dilakukan di desa mereka. Padahal jika dilihat dampak dan pengaruh yang juga muncul dengan adanya perusahaan, perempuan di desa Olumokunde seharusnya dilibatkan dalam proses awal kehadiran perusahaan, dan diminta pendapatnya, seperti menjadi buruh perkebunan kelapa sawit.

Banyaknya perempuan dari desa Olumokunde yang menjadi buruh di perkebunan kelapa sawit, selain karena faktor ekonomi keluarga, mereka juga belum terinformasi dengan jelas mengenai dampak yang akan mereka terima dengan bekerja di perkebunan kelapa sawit, terutama bagi buruh perempuan yang mendapatkan bagian penyemprotan bibit kelapa sawit.

Bahkan ketika mereka-pun telah bekerja sebagai buruh perkebunan kelapa sawit, hanya sebagaian perempuan yang diinformasikan mengenai dampak yang akan mereka alami dengan bekerja sebagai buruh diperkebunan, khususnya bagi mereka yang bekerja sebagai penyemprot bibit, yang banyak bersentuhan dengan bahan-bahan kimia dan pestisida.

Temuan diatas, menjelaskan bahwa perusahaan telah mengabaikan hak-hak buruh perempuan, dalam hal informasi dan terutama dalam perlindungan kerja. Walaupun saat ini, perusahaan

66

Sistem Perkebunan Kelapa Sawit Memperlemah Posisi Perempuan

telah menyediakannya beberapa fasilitas perlindungan kerja seperti masker, hal tersebut tidak terlepas dari desakan buruh perempuan, bahkan perlindungan yang diberikan masih sangat minim, jika dilihat dengan dampak yang mereka alami. Beban yang dipikul oleh buruh perempuan juga lebih berat dan rentan dibandingkan buruh laki-laki (dapat dilihat pada tabel 3 – perbandingan pekerjaan buruh laki-laki dan buruh perempuan di PT.SJA), akan tetapi secara upah tidak ada perbedaan. Hal ini menjadi tidak adil bagi buruh perempuan, dimana dengan memikul beban yang berat dan rentan terhadap gangguan kesehatan, diperlakukan sama dengan buruh laki-laki yang beban pekerjaannya sedikit ringan dari buruh perempuan.

Pengabaian tersebut dikarenakan, perusahaan masih menganggap buruh perempuan ‘lemah’. Akan tetapi disatu sisi perusahaan mengatakan, bahwa buruh perempuan sangat dibutuhkan, karena dengan ketelitian mereka dalam merawat bibit kelapa sawit. Tenaga yang digunakan oleh buruh perempuan dan beban yang harus dipikul buruh perempuan dalam melakukan tugasnya, tidak sebanding dengan upah yang mereka hasilkan setiap harinya.

Bertambahnya Beban Domestik Ketidak adilan yang dialami perempuan, tidak hanya di

perusahaan perkebunan kelapa sawit. Perempuan juga kembali mengalami ketidak adilan di dalam rumah tangga mereka, dimana konstruksi sosial masih menempatkan perempuan dalam kerja-kerja domestik. Pengalaman perempuan di desa Olumokunde menjelaskan bahwa sejak mereka bekerja menjadi buruh perkebunan, keluarga dan anak-anak mereka menjadi terlantar. Ini menunjukkan bahwa beban dalam mengurus anak dan rumah tangga masih berada di pundak perempuan, sehingga ketika sesuatu yang kurang baik terjadi terhadap keluarga mereka, maka perempuan kembali disalahkan.

Situasi tersebut, juga dikarenakan bahwa di dalam diri perempuan tersebut masih ‘terkungkung’ dengan konstruksi sosial yang ada, padahal pekerjaan-pekerjaan domestik tidak hanya

67

Sistem Perkebunan Kelapa Sawit Memperlemah Posisi Perempuan

menjadi tanggung jawab perempuan, tetapi juga menjadi tanggung jawab laki-laki.

Bekerja diperkebunan kelapa sawit, membuat waktu istirahat perempuan semakin sedikit. Dahulu dengan bekerja sebagai petani disawah, perempuan masih dapat mengatur waktu istirahat bagi mereka. Akan tetapi semenjak bekerja menjadi buruh diperkebunan kelapa sawit yang jaraknya sangat jauh dari tempat tinggal mereka (± 1 jam), perempuan semakin sulit untuk menentukan waktu istirahat bagi diri mereka, karena ketika pulang dari perkebunan, mereka disibukkan dengan urusan domestik, seperti menyiapkan makan malam keluarga, mengurus anak, dan sebagainya.

Terabaikan Perlindungan Hak – Hak PerempuanDidalam CeDAW yang kemudian diratifikasi oleh Indonesia

menjadi UU No. 7 tahun 1984 tentang penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan, telah secara eksplisit menjelaskan tentang hak-hak perempuan, baik hak sipil politik maupun hak ekosob.

Namun, hak-hak perempuan tersebut belum diimplementasikan dengan maksimal, baik dalam kebijakan-kebijakan maupun dalam program. Kebijakan-kebijakan yang berkaitan dengan perkebunan kelapa sawit, seperti UU Perkebunan, saat ini masih belum menyentuh kepentingan perempuan, bahkan belum mengintegrasikan UU No.7 tahun 1984 tersebut. Kepentingan komoditas dan ekonomi lebih diutamakan dibandingkan memperhatikan aspek perlindungan dan keselamatan perempuan. Hal tersebut menjadikan perempuan, sering menjadi korban dengan adanya kehadiran perkebunan kelapa sawit.

eksploitasi tenaga buruh perempuan secara terus menerus dan sistematis terjadi di areal perkebunan kelapa sawit, bahkan juga terjadi di ranah domestik. Seperti yang dijelaskan diatas, dimana beban-beban domestik terus bertambah dan berimplikasi terhadap eksploitasi tenaga perempuan.

68

Sistem Perkebunan Kelapa Sawit Memperlemah Posisi Perempuan

Perempuan, yang masih dilihat sebagai entitas ke-dua, telah menimbulkan ketidak adilan terhadap mereka sampai saat ini, bahkan semakin diperburuk dengan kehadiran perkebunan kelapa sawit. Dimana ruang-ruang perempuan untuk dapat mengekspresikan diri mereka, semakin terbatas, bahkan kebiasaan-kebiasaan perempuan mulai terkikis.

Hal tersebut, baru disadari perempuan, ketika perusahaan telah ada, walaupun masih pada tahapan pembibitan dan dilakukan di desa tetangga Olumokunde (desa Pancasila), karena dari awal proses perempuan tidak pernah dilibatkan, sehingga informasi mengenai dampak perkebunan kelapa sawit tidak pernah terinformasi dengan mereka. Pandangan partiarkhi masih melihat bahwa pengetahuan dan pengalaman perempuan tidak pernah didengar dan dipertimbangkan dalam setiap rapat – rapat pengambilan keputusan.

69

Sistem Perkebunan Kelapa Sawit Memperlemah Posisi Perempuan

kesimpuLan

KeBIJAKAN Orde Baru yang mereduksi perempuan sebatas tiga I (istri, ibu, dan istri rumah tangga) ikut berkontribusi cukup besar bagi peran dan posisi perempuan di perkebunan kelapa sawit. Perempuan dicitrakan sebagai bersifat “lemah lembut, tidak berbicara dengan keras, tidak mementingkan kepentingan pribadi, tidak mendahulukan urusan sendiri di atas urusan suami, serta menjadi istri yang penurut dan anak perempuan yang patuh. Lewat konstruksi sosial yang terbangun diatas berdampak terhadap perempuan yang kemudian dimanfaatkan dan dijinakkan. Hal ini yang semakin menguatkan bentuk-bentuk ketidak adilan yang dialami perempuan terutama dengan kehadirannya perkebunan kelapa sawit.

Temuan-temuan dilapangan baik di Kalimantan Timur dan Sulawesi Tengah menunjukkan telah terjadi berbagai bentuk ketidakadilan yang dialami perempuan seperti tidak dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan, sampai beban ganda yang dialami perempuan buruh perkebunan kelapa sawit. Tetapi peran dan posisi perempuan tersebut umumnya tidak dirasakan sebagai suatu bentuk ketidakadilan oleh masyarakat bahkan oleh negara dikarenakan konstruksi sosial yang dilekatkan pada perempuan.

rekomendasi paser

1. Program transmigrasi mungkin tidak akan semassif, tetapi pengalaman terkait kebijakan perempuan pendamping istri telah menghambat perempuan untuk memilki lahan sendiri bisa

Kesimpulan dan Rekomendasi

BAB 5

70

Sistem Perkebunan Kelapa Sawit Memperlemah Posisi Perempuan

dijadikan pelajaran pada program-program lainnnya yang sejenis, seperti Reforma Agraria dalam konteks redistribusi tanah.

2. Perlu adanya peningkatan kapasitas bagi petani, khususnya perempuan dalam pengelolaan kebun mereka agar berproduksi lebih optimal. Temuan penelitian ini menunjukkan bahwa produktivitas perkebunan kelapa sawit sangat tergantung terhadap peran-peran perempuan.

3. Terkait dengan gaya hidup konsumtifisme dalam keluarga petani sawit, maka perlu adanya pendidikan manajemen keluarga.

4. Perlu dibentuk kelompok-kelompok perempuan (istri petani atau istri) yang dapat mengakomodasi berbagai kepentingan perempuan.

rekomendasi poso 1. Penyelesaian terhadap konflik lahan yang terjadi antara desa

Kamba (Kamba dan desa Olumokunde) dengan desa Pancasila perlu melibatkan perempuan.

2. Negara memberikan perlindungan dan jaminan keselamatan bagi buruh perempuan perkebunan kelapa sawit yang masih belum terpenuhi, khususnya hak-hak perempuan seperti cuti melahirkan, cuti haid.

3. Penguatan dan pemahaman terhadap perempuan di desa Olumokunde dan desa Kamba tentang dampak dan proses kehadiran kelapa sawit, hal ini terkait dengan adanya informasi perluasan lahan perkebunan kelapa sawit di 12 desa tersebut.

4. Pemerintah melakukan monitoring terhadap perusahaan perkebunan kelapa sawit, tidak hanya dari aspek manajemen perusahaan tetapi juga dari aspek buruh/tenaga kerja.

5. memastikan kebijakan perkebunan memperhatikan dan memastikan aspek perlindungan dan pemenuhan buruh perempuan.

6. mulai mengkampanyekan dan advokasi kepada kementerian pemberdayaan perempuan, departemen perkebunan dan

71

Sistem Perkebunan Kelapa Sawit Memperlemah Posisi Perempuan

departemen ketenaga kerjaan terkait dengan dampak perkebunan kelapa sawit terhadap perempuan.

7. Pemerintah daerah seharusnya juga membuka solusi lain selain perkebunan kelapa sawit yang bertumpu kepada sumber-sumber lokal dan usah-usaha rakyat, termasuk sumber daya yang dimiliki perempuan.

72

Sistem Perkebunan Kelapa Sawit Memperlemah Posisi Perempuan

Fakih, m. 1996. Analisis Gender dan Tranformasi Sosial. Yogyakarta. Pustaka Pelajar

Ritzer, g. & goodman, D.J. 2004. Teori Sosiologi Modern. Terjemahan edisi Keenam. Jakarta. Prenada media.

Reinharz, S. 2005. Metode-Metode Feminis dalam Penelitian Sosial. Terjemahan. Jakarta. Women Research Instute.

Yin, R. K. 2003. Studi Kasus: Desain dan Metode. Terjemahan. Jakarta. PT Raja grafindo Persada.

gelder, J. W. & Wakker, e. 2003. The Risks Financial Forest Conversion. Paris. Profundo & Aid environment.

Kartodirdjo & Suryo. 1991. Sejarah Perkebunan Indonesia. Jogjakarta. PT Indomedia.

Surambo, A. 2007. Sistem Kelola Rakyat Vs Sistem Kebun Besar. Bogor. Perkumpulan Sawit Watch

Surambo, A. 2008. Sejarah Singkat Perkebunan Kelapa Sawit Indonesia. Bogor. Perkumpulan Sawit Watch

glover, R.J. 1984. Contract Farming and Smallholder Outgrower Schemes in Lees Developed Countries. World Depelopment

george, Susan. 1977. How The Other Half Dies Harmondsworth Penguin Books. I

Wiradi, g. 2006. Tinjauan Ringkas Masalah Perkebunan Model-PIR. Bahan diskusi bulanan SW. Bogor. Perkumpulan Sawit Watch.

Breman, Jan. 1983.Control of land and Labour in Colanial Java. Holland. Foris Publication.

Kamis, m. 2007. Jalan Panjang Konstitusionalisme di Indonesia. Di

Daftar Pustaka

73

Sistem Perkebunan Kelapa Sawit Memperlemah Posisi Perempuan

download di http://203.130.230.4/index2.php?option=com_content&do_pdf=1&id=82 pada tanggal 18 Januari 2010.

Noer, F. 2002. Land Reform: Agenda Pembaruan Struktur Agraria dalam Dinamika Panggung Politik, dalam endang Suhendar et. Al. Menuju Keadilan Agraria: 70 Tahun Gunawan Wiradi.Bandung. Akatiga

Wulan, T. R. 2008. Pemetaan gerakan Perempuan di Indonesia dan Implikasinya terhadap Penguatan Publik Sphere di Pedesaan. Jurnal Studi Gender dan Anak Vol 3 No 1. Purwokerto. PSg STAIN Purwokerto

Cedaw. 2008. Komentar Akhir Komite Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan atas Laporan Ke – 4 dan ke – 5 Indonesia yang disampaikan dalam sesi ke-39 Sidang Umum CEDAW tanggal 27 Juli 2007 New York. Terjemahan. Jakarta. CWgI.

74

Sistem Perkebunan Kelapa Sawit Memperlemah Posisi Perempuan