dampak faali dari program pelatihan (exercise program ...digilib.unm.ac.id/files/disk1/6/universitas...
TRANSCRIPT
Sarifin, Dampak Faali Dari Program Pelatiha Pada Orang Dewasa 8
DAMPAK FAALI DARI PROGRAM PELATIHAN (EXERCISE PROGRAM)
PADA ORANG DEWASA
Sarifin
Program Studi Ilmu Keolahragaan FIK Universitas Negeri Makassar Jln. Wijaya Kusuma Raya
No.14, Kampus Banta-bantaeng Kode Pos 90222, Tlp. (0411) 872602
Abstract: Dampak Faali Dari Program Pelatihan (Exercise Program) Pada
Orang Dewasa. Ketika tubuh melakukan latihan fisik yang merupakan salah
satu bentuk stressor fisik dapat menyebabkan gangguan homeostatic, maka
tubuh akan memberi tanggapan berupa mekanisme umpan balik negatif.
Tanggapan tersebut berupa: respon „jawaban sewaktu‟ adalah perubahan
fungsi organ tubuh yang sifatnya sementara dan berlangsung tiba-tiba,
sebagai akibat dari aktivitas fisik. dengan melakukan training „pelatihan‟
akan terjadi perubahan penting di dalam tubuh sedangkan dengan melakukan
exercise perubahan yang terjadi kurang penting. Dampak Faali atau sistem
tubuh akibat program pelatihan yang dilakukan pada orang dewasa adalah
terjadinya perubahan otot, perubahan kardiorespirasi, aspek hormonal, pada
individu yang terlatih terjadi peningkatan pengaturan panas tubuh karena
dapat menyesuaikan diri terhadap kondisi panas dengan mudah, hal ini
disebabkan oleh besarnya volume plasma dan lebih responsifnya mekanisme
termoregulator, perubahan penampilan atau performa dengan meningkatnya
kapasitas endurance „daya tahan‟.
Kata kunci: program pelatihan, orang dewasa.
Di dalam dunia olahraga antara pria dan
wanita terdapat perbedaan yang cukup
signifikan, ini dapat dilihat dari faktor faali.
Untuk pria dewasa muda atau pada atlet
golongan ini, telah dilakukan pengukuran
yang relatif lengkap. Namun pengukuran-
pengukuran tersebut telah dilakukan juga
pada wanita, dengan menggunakan prinsip
fisiologi dasar yang hampir identik seperti
pada pria kecuali perbedaan-perbedaan
kuantitatif yang disebabkan oleh perbedaan
dalam ukuran tubuh, komposisi tubuh, dan
ada tidaknya hormon sekspria testosteron.
Umumnya, sebagaian besar nilai kuantitatif
untuk wanita seperti kekuatan otot,
ventilasi paru, dan curah jantung, di mana
semuanya berkaitan dengan massa otot
akan bervariasi antara dua pertiga dan tiga
perempat nilai pada pria
(Guyton,1994 : 374). Ketika tubuh
melakukan latihan fisik yang merupakan
salah satu bentuk stressor fisik dapat
menyebabkan gangguan homeostatic, maka
tubuh akan memberi tanggapan berupa
mekanisme umpan balik negatif (Sugiharto,
2003:7). Tanggapan tersebut berupa:
respon „jawaban sewaktu‟ adalah
perubahan fungsi organ tubuh yang sifatnya
sementara dan berlangsung tiba-tiba,
sebagai akibat dari aktivitas fisik.
Perubahan fungsi ini akan hilang dengan
segera dan kembali normal setelah aktivitas
dihentikan. Adaptasi „jawaban lambat‟
adalah perubahan struktur atau fungsi
organ-organ tubuh yang sifatnya lebih
menetap karena latihan fisik yang
dilakukan dengan teratur dalam periode
waktu tertentu. Reaksi adaptasi hanya akan
timbul apabila beban latihan yang diberikan
intensitasnya cukup memadai dan
berlangsung cukup lama. Berdasarkan teori
stres fisik adaptasi jaringan terjadi sebagai
respon terhadap stres fisik. Menurut
McArdle menyebutkan bahwa ada dua
istilah latihan yang kita kenal yaitu acute
exercise dan chronic exercise. Acute
exercise adalah latihan yang dilakukan
hanya sekali saja atau disebut juga dengan
exercise, sedangkan chronic exercise
adalah latihan yang dilakukan secara
berulang-ulang sampai beberapa hari atau
sampai beberapa bulan (training). Hal
penting yang perlu diperhatikan ialah
bahwa dengan melakukan training
8
Sarifin, Dampak Faali Dari Program Pelatiha Pada Orang Dewasa 9
„pelatihan‟ akan terjadi perubahan penting
di dalam tubuh sedangkan dengan
melakukan exercise perubahan yang terjadi
kurang penting. Perubahan yang terjadi
pada waktu seseorang melakukan exercise
disebut dengan respon. Sedangkan
perubahan yang terjadi karena training
disebut adaptasi (Supriadi, 2000:69).
Adaptasi sistem tubuh akibat latihan
aerobik adalah sebagai berikut (McArdle,
2001:466-477): (1) Perubahan otot , (2)
Perubahan kardiorespirasi, (3) Aspek
hormonal, (4) Pada individu yang terlatih
terjadi peningkatan pengaturan panas tubuh
karena dapat menyesuaikan diri terhadap
kondisi panas dengan mudah, hal ini
disebabkan oleh besarnya volume plasma
dan lebih responsifnya mekanisme
termoregulator, (5) Perubahan penampilan
atau performa dengan meningkatnya
kapasitas endurance „daya tahan‟.
Sedangkan pada usia lanjut proses
ketuaan akan terjadi perubahan fungsi dan
struktur sel tubuh manusia. Maturitas akan
terjadi pada sekitar usia 20 atau 25 tahun,
dan pertumbuhan akan berhenti, dan proses
ketuaan ini akan mulai nampak usia kira
kira 30 tahun. Akan terjadi proses
berkurangnya jumlah dan ukuran satuan
fungsional pada setiap sistem tubuh. Jadi
dapat dikatakan, proses ketuaan ditandai
oleh menurunnya kemampuan tubuh untuk
beradaptasi atau pulih dari suatu
rangsangan. Begitu pula orang tua akan
berkurang kemampuannya dalam
melaksanakan kegiatan fisik.Pada proses
ketuaan, terjadi proses kehilangan massa
tulang pada sekitar usia 30 - 35 tahun dan
menjadi lebih cepat pada manopause (pada
wanita) dan pada usia 50 - 55 tahun (pada
pria). Berarti tulang mereka akan lebih
rapuh. Proses lain yang terjadi adalah
bertambahnya lemak tubuh dan
mengecilnya otot-otot. Dalam tingkat sel,
terjadi penurunan cadangan ATP, CP dan
glikogen. Pada sel syaraf, terjadi penurunan
fungsi syaraf, sehingga semua gerakan
menjadi lebih tidak presisi. Tendon dan
ligamen akan menjadi lebih
kaku,sedangkan pada paru-paru terjadi
penurunan fungsi yang menyebabkan
supply oksigen ke seluruh tubuh akan
berkurang, dan ini akan nampak pada
latihan yang intensif. Sistem kardiovaskuler
jugs menurun, yaitu kemampuan adaptasi
terhadap. latihan. Jadi memang orang tua
akan lebih lemah, lambat dan kurang
kekuatan serta kemampuannya dalam setiap
aktivitas. Kecuali aktivitas-aktivitas ringan,
di mana kebutuhan enersi masih dapat
dipenuhi. Beberapa penyakit akan lebih
sering ditemui pada usia tua, misalnya:
artritis; penyakit kardiovaskuler, diabetes
melitus, dislipoproteinemia, emfisema dan
hipertensi. Ini juga akan menghalangi
kemampuan orang tua dalam latihan fisik.
(Tilarso ;Cermin Dunia Kedokteran No. 48,
1988: 20).
PEMBAHASAN
Latihan
Kata ”latihan” dalam lingkup
pembinaan olahraga sehari-hari sering
digunakan untuk menyebutkan secara
praktis istilah ”exercise” dan ”training”
yang sesungguhnya kedua istilah itu
mempunyai makna yang berbeda. Kata
”respons” dan ”adaptasi” juga sering
digunakan secara bergantian dalam buku
teks fisiologi kerja sehubungan dengan
perubahan yang terjadi didalam tubuh.
Istilah-istilah exercise, training, respons
dan adaptasi ini perlu diperjelas karena
berkaitan dengan pengaruhnya terhadap
tubuh serta ciri beban latihan dan prinsip
latihan itu sendiri. Dalam Oxforf
Dictionary of Sport Science and Medicine
(Kent, 1994), kata ”exercise” diartika
sebagai : 1) gerakan-gerakan dan kegiatan
fisik yang melibatkan penggunaan
kelompok otot besar seperti dansa,
kalistenik, permainan dan aktivitas yang
lebih formal seperti jogging, berenang dan
berlari, 2) susunan gerakan apa saja yang
dirancang untuk melatih atau memperbaiki
keterampilan, sedangkan “training”
diartikan sebagai suatu program exercise
yang dirancang untuk membantu
pembelajaran keterampilan, memperbaiki
kesegaran jasmsni untuk menyiapkan atlet
menghadapi kompetisi tertentu.
Lamb (1984) mengindentikkan
“exercise” dengan “acute exercise”,
sedangkan “training” bersesuaian dengan
istilah “chronic exercise”. Acute exercise
adalah latihan dengan periode pemberian
Sarifin, Dampak Faali Dari Program Pelatiha Pada Orang Dewasa 10
beban kerja tunggal, sedangkan chronic
exercise adalah pemberian beban kerja
yang dilakukan berulang-ulang melebihi
beberapa hari atau bulan. Menurut Rushall
dan Pyke (1990), serta Dick (1995)
exercise merupakan unit dasar suatu sesi
latihan yang disebut “training unit” yaitu
pelaksanaan suatu tugas dengan tujuan
yang telah ditetapkan, seperti berenang 20
meter, melempar cakram, dan melakukan
usaha melompat sejauh dua meter. Menurut
Janssen (1989) exercise adalah usaha yang
mengerahkan tenaga, atau menurut Fox
(1993) yaitu aktivitas apa saja yang
melibatkan pembangkitan tenaga melalui
penggiatan otot. Sedangkan latihan
(training) menurut Bompa (1994) adalah
suatu program exercise untuk
mengembangkan kinerja dan kapasitas
energi atlet menghadapi kejuaraan tertentu.
Jadi jelas bahwa exercise adalah
aktivitas yang dilakukan dalam satu sesi,
sedangkan training merupakan exercise
yang dilakukan secara berulang-ulang yang
harus memenuhi ciri-ciri beban latihan dan
prinsip pembebanan.
Dosis Latihan
Aktivitas pengguanaan energi dari
suatu item latihan disebut beban-lebih
(overload), sedangkan jumlah beban-lebih
untuk setiap segmen latihan disebut
ransang latihan (stimulator). Keseluruhan
ransang latihan yang menghasilkan beban-
lebih dalam segmen latihan yang
membentuk suatu beban umum sesi latihan
disebut session load (Rushall dan Pyke,
1990). Session load ini oleh Nossek (1981)
dan Harre (1982) disebut beban latihan
(training load). Tidak semua aktivitas fisik
dapat merupakan stimulator bagi fungsi
organ tubuh (Pyke dan Woodman, 1991).
Suatu latihan menguntungkan sepanjang
latihan itu cukup memberi rangsang yang
kuat untuk beradaptasi terhadap stress dari
suatu usaha fisik. Jika stress tidak cukup
menantang tubuh maka tidak akan terjadi
penyesuaian, atau sebaliknya suatu stress
sedemikian berat dimana hal itu tidak dapat
ditoleransi, malahan akan berakibat cedera
atau over training, atau penyesuaian hanya
terjadi jika suatu rangsang mencapai
intensitas yang proporsional pada ambang
kapasitas individu (Harre, 1982; Bompa,
1994). Besarnya beban latihan perlu dikaji
sebelum diaplikasikan untuk program
latihan, agar tidak menimbulkan jejas
mikro atau stressor organ (Setyawan,
1996). Karena beban latihan harus terukur,
maka disebut dosis latihan (Kent,
199Karena beban latihan harus terukur,
maka disebut dosis latihan (Kent, 1994).
Ada dua bentuk dosis latihan :
dosis eksternal dan dosis internal (Nossek,
1981); Harre, 1982; Bompa, 1994). Dosis
eksternal (outer load) adalah jumlah beban
kerja yang direncanakan bagi seseorang
atlet yang menyusun kerangka sesi latihan
dari suatu program latihan. Untuk
menyusun program latihan yang benar,
seorang pelatih perlu mengenal
karakteristik dosis eksternal. Komponen-
komponen dosis eksternal menurut Nossek
(1981), Fox (1993), dan Bompa (1994),
adalah (1). Volume, yaitu jumlah kerja
yang ditampilkan selama satu sesi latihan
atau satu fase latihan. Volume latihan dapat
berupa durasi, jarak tempuh, dan jumlah
pengulangan (repetisi). (2). Intensitas, yaitu
komponen kaulitatif dari kerja yang
dilakukan dalam suatu periode waktu yang
tersedia. Intensitas latihan dinyatakan
dalam bentuk presentase beratnya beban
yang diangkut dengan satu ulangan
maksimal (pada latihan kekuatan), dan
tingkat keseriusan pengerahan kecepatan
(pada latihan kecepatan dan daya tahan).
(3). Kepadatan (density), yaitu kekerapan
dimana seorang dipaparkan serangkaian
ransang atau beban latihan per unit waktu.
Istilah kepadatan menunjukkan hubungan
waktu-antara fase kerja dan pemulihan
yang dinyatakan rasio kerja-istirahat. (4).
Frekuensi, yaitu jumlah sesi latihan dalam
suatu periode tertentu (hari, minggu,
bulan).
Oleh karena semua komponen ini
dengan mudah dapat diukur, maka dalam
penyusunannya harus dinyatakan dalam
bentuk angka. Dosis internal (inner load)
merupakan reaksi (respons) fisiologis,
biokimia, dan psikologis akibat dari
pemaparan suatu dosis eksternal. Reaksi
terhadap dosis eksternal ini dapat berupa
meningkatnya frekuensi denyut jantung,
frekuensi pernafasan, angka keringat,
akumulasi asam laktat darah, naiknya
10 Jurnal ILARA, Volume I I, Nomor 2, Juli 2011, hlm. 8 – 14
Sarifin, Dampak Faali Dari Program Pelatiha Pada Orang Dewasa 11
tekanan darah, tingginya keterlibatan
sistem endokrin, dan lain-lain.(Harre, 1982;
Lamb, 1984; Bompa, 1994; Dick, 1995).
Untuk memberi pengaruh terhadap
peningkatan kapasitas fungsional
organisme, maka suatu program latihan
harus disusun secara sistematik, terencana
dan berulang-ulang, atau mengikuti prinsip-
prinsip latihan.Perubahan otot. Pembesaran
jaringan dapat terjadi akibat proses
hipertrofi atau hiperplasi. Hipertofi berarti
bertambahnya massa atau ukuran sel,
sedangkan hiperplasi adalah bertambahnya
jumlah sel dari proses pembelahan. Pada
otot skelet manusia belum ditemukan bukti,
bahwa pembebanan latihan fisik dapat
terjadi hiperplasia tetapi hanya terjadi
hipertrofi.
Namun demikian, besar dosis
atau pembebanan latihan fisik terhadap
mekanisme hipertrofi belum jelas tetapi
fakta dilapangan menunjukkan, bahwa
beban latihan fisik dengan overload
progression dapat menimbulkan hipertrofi.
Substansi hipertrofi otot skelet terutama
meliputi: (1) penambahan jumlah myofibril
aktin dan miosin secara pararel, (2)
penambahan sejumlah enzim untuk
metabolisme energi. Sedangkan pada usia
lanjut otot akan mengalami penurunan,
yaitu : Jumlah sel-sel otot lurik = turun
50% pada usia 80. Berat otot lurik = pada
21 thn = 45% dari berat badan,untuk usia
70 thn berat otot lurik = 27% dari berat
badan . ( Tilarso ;Cermin Dunia
Kedokteran No. 48, 1988: 20).
Perubahan Kardiorespirasi
Fungsi kardiovaskular dalam
olahraga adalah mengangkut oksigen dan
nutrisi lain ke otot. Untuk itu, selama aliran
darah otot meningkat secara dramatis
selama latihan. Hampir separuh dari
kenaikan aliran ini merupakan akibat
vasodilatasi intramuskular yang disebabkan
oleh pengaruh langsung kenaikan
metabolisme otot, separuh penyebab
kenaikan lainnya disebabkan oleh banyak
faktor, dimana yang paling penting
mungkin kenaikan tekanan darah arteri
dalam tingkat sedang yang terjadi selama
latihan, biasanya naik kira-kira 30%.
Kenaikan aliran darah juga meregangkan
dinding anteroil dan lebih lanjut
menurunkan tahanan vaskular. Oleh sebab
itu, kenaikan tekanan darah sebanyak 30
persen sering dapat meningkatkan aliran
darah, lebih dari sekedar menggandakan,
hal ini akan menambah kenaikan aliran
yang lebih besar yang telah disebabkan
oleh vasodilatasi metabolik paling sedikit
dua kali lipat lagi. Selama olahraga karena
curah kerja otot meningkatkan konsumsi
oksigen, dan selanjutnya konsumsi oksigen
akan melebarkan pembuluh darah otot,
sehingga meningkatkan aliran balik vena
dan curah jantung. Konsumsi oksigen
normal pada pria dewasa muda sewaktu
istirahat adalah sekitar 250 ml per menit.
Namun pada keadaan maksimum, hal ini
dapat ditingkatkan sampai tingkat berikut :
Pria rata-rata terlatih 3600 ml/menit, pria
rata-rata terlatih dalam atletik 4000
ml/menit, pelari maraton pria 5100
ml/menit
Jadi kapasitas pernapasan
maksimum adalah sekitar 50% lebih besar
daripada ventilasi paru sesungguhnya
selama latihan maksimum. Hal ini jelas
menyediakan elemen keamanan bagi atlet,
memberikan ventilasiekstra yang dapat
digunakan pada kondisi seperti (1) latihan
pada ketinggian, (2) latihan pada kondisi
sangat panas, dan (3) abnormalitas sistem
pernapasan. Hal yang penting adalah bahwa
sistem pernapasan secara normal bukanlah
pembatas utama pengangkutan oksigen ke
dalam otot selama metabolisme aerob otot
maksimum. Kita akan melihat secara
singkat bahwa kemampuan jantung untuk
memompa darah ke otot merupakan faktor
pembatas yang lebih besar. Kecepatan
pemakaian oksigen dalam metabolisme
aerob maksimum disingkat menjadi VO2
Maks. progresif dari latihan atletik terhadap
VO2 Maks yang dicatat dalam suatu
kelompok subjek yang dimulai pada tingkat
tanpa latihan dan kemudian meningkatkan
program latihan selama 7-13 minggu.
Dalam penelitian ini, sangat mengejutkan
bahwa VO2 Maks meningkat hanya sekitar
10%. Frekuensi latihan, baik 2 kali atau 5
kali per minggu, memberikan sedikit
perbedaan dalam peningkatan VO2 Maks.
Seperti yang dikemukakan, VO2 Maks
pelari maraton adalah sekitar 45% lebih
besar daripada orang yang tidak terlatih.
Sebagian VO2 Maks yang lebih besar ini
Sarifin, Dampak Faali Dari Program Pelatiha Pada Orang Dewasa 12
ditentukan oleh genetik ; yaitu, orang yang
memiliki ukuran dada lebih besar dan otot
pernapasan lebih kuat terseleksi menjadi
pelari maraton.(Guyton,1994:382).
Aspek Hormonal
Perbedaan hormonal antara pria
dan wanita tentulah bertanggung jawab
untuk bagian yang besar, bila tidak untuk
sebagian besar perbedaan pada performa
atletik. Testosteron yang disekresi oleh
testis pria memiliki daya anabolik kuat,
yang berarti dapat menyebabkan dengan
hebat peningkatan deposisi protein ke
seluruh tubuh, terutama dalam otot.
Kenyataannya, pria yang jarang melakukan
aktivitas olahraga namun dianugerahi
dengan testosteron yang baik mempunyai
otot yang tumbuh 40% lebih besar atau
lebih dari wanita. Sedangkan pada wanita
Estrogen telah diketahui meningkatkan
deposisi pada lemak, terutama dalam
jaringan tertentu seperti payudara, pinggul
dan jaringan subkutan. Karena alasan ini,
rata-rata wanita bukan atlet memiliki
komposisi lemak tubuh sebesar 25%
dibandingkan dengan pria bukan atlet, yang
memiliki sekitar 15%. Pada pelari maraton
yang telah melatih diri sehingga kelebihan
lemak sangat sedikit, pelari pria memiliki
komposisi lemak tubuh sekitar 4% dan atlet
wanita 6%. Jadi, baik dalam keadaan
terlatih baik maupun tidak, wanita
umumnya memiliki lemak tubuh 50% lebih
banyak dibandingkan pria. Ini merupakan
suatu hambatan untuk mencapai performa
pada perlombaan yang ditentukan oleh
kecepatan atau kekuatan tubuh, namun
sebaliknya merupakan penolong dalam
lomba daya tahan tubuh yang meletihkan
yang memerlukan lemak sebagai energi.
Estrogen memainkan peran lain
yang lebih tidak kentara dalam atletik,
karena estrogenlah yang disekresi oleh
ovarium wanita setelah pubertas, yang
menyebabkan tinggi badan wanita lebih
pendek dari pria. Setelah pubertas, sentakan
sekresi estrogen menyebabkan dorongan
pertumbuhan yang cepat yang
menyebabkan wanita pascapubertastumbuh
lebih cepat dari pria. Pertumbuhan ini
berlangsung singkat karena kartilago epifisi
dari tulang panjang, tempat dimana
pertumbuhan terjadi dengan cepat
menjalankan rangkiannya dan menghilang.
Sehingga epifisi menyatu dengan badan
tulang panjang, dengan demikian tidak
terdapat lagi pertumbuhan memanjang.
Tidak dapat di kesampingkan pengaruh
hormon seks terhadapa watak seseorang.
Tidak diragukan lagi bahwa testosteron
meningkatkan agresivitas dan bahwa
estrogen berkaitan dengan watak yang
lebih halus. Bagian terbesar dari olahraga
kompetisi adalah semangat agresif yang
mendorong seseorang pada usaha
maksimum, dengan pengendalian yang
bijaksana.(Guyton,1994:375).
Pengaturan Panas Tubuh Akibat
Latihan
Hampir semua energi yang
dilepaskan pada metabolisme nutrien
internal pada akhirnya diubah menjadi
panas tubuh. Ini berlaku pada energi yang
menyebabkan kontraksi otot, karena :
efisiensi maksimum untuk pengubahan
energi nutrien menjadi energi kerja, dalam
kondisi terbaik sekalipun hanyalah 20-
25% ; sisa energi nutrien diubah menjadi
panas selama berlangsungnya reaksi kimia
intraseluler. Hampir semua energi yang
digunakan untuk kerja otot masih menjadi
panas tubuh karena hanya sebagian saja
enegi ini yang digunakan untuk (1)
mengatasi tahanan cairan terhadap gerakan
otot dan sendi, (2) mengatasi friksi darah
yang mengalir melalui pembuluh darah,
dan (3) pengaruh sejenis lainnya yang
mengubah energi kontraksi otot menjadi
panas. Komsumsi oksigen oleh tubuh dapat
meningkatkan sebesar 20 kali lipat pada
atlet yang terlatih baik dan bahwa jumlah
panas yang dilepaskan ketubuh secara
langsung sebanding dengan komsumsi
oksigen, bahwa panas dalam jumlah besar
masuk kejaringan tubuh internal selama
lomba atletik daya tahan. Dengan
menggandakan aliran panas yang cepat ini
kedalam tubuh dihari yang sangat panas
dan lembab dimana mekanisme berkeringat
tak dapat mengeliminasi panas tersebut,
seorang atlet dengan mudah dapat
mengalami situasi yang tak dapat
ditoleransi bahkan letal yang disebut heat
stroke. Heat stroke adalah kenaikan suhu
12 Jurnal ILARA, Volume I I, Nomor 2, Juli 2011, hlm. 8 – 14
Sarifin, Dampak Faali Dari Program Pelatiha Pada Orang Dewasa 13
pada tubuh dari tingkat yang normal
menjadi bersifat destruktif terhadap sel-sel
jaringan, terutama merusak sel-sel otak.
Apabila ini terjadi, mulai timbul gejala
multipel, meliputi kelemahan yang ekstrim,
kelelahan, nyeri kepala, pusing, mual,
banyak berkeringat, kelam pikiran, gaya
jalan sempoyongan, koleps, dan tidak
sadar. Penurunan suhu tubuh tidak dengan
sendirinya dapat turun dengan mudah,
salah satu alasannya adalah bahwa pada
suhu yang tinggi ini sering kali terjadi
kegagalan mekanisme pengaturan suhu
tubuh itu sendiri. Alasan kedua adalah
bahwa suhu tinggi menggandakan semua
reaksi kimia intra seluler, jadi masih
membebaskan lebih banyak
panas.(Guyton,1994:386)
Daya Tahan
Daya tahan (strength endurance)
adalah kemampuan seluruh organisme
tubuh untuk mengatasi lelah pada waktu
melakukan aktivitas yang menuntut
strength dalam waktu yang lama.
Ketahanan ditinjau dari kerja otot adalah
kemampuan kerja otot atau sekelompok
otot dalam jangka waktu yang tertentu,
sedangkan pengertian ketahanan dari sistem
energi adalah kemampuan kerja organ-
organ tubuh dalam jangka waktu tertentu.
Ada beberapa macam ketahanan, sebagai
contoh ;ketahanan jangka panjang,
menengah, dan pendek. Untuk istilah dalam
sistem energi , ada ketahanan aerobik,
anaerobik alaktik, dan anaerobik laktik.
Ketahanan selalu terkait erat dengan lama
kerja (durasi) dan intensitas kerja, semakin
lama durasi latihan dan semakin tinggi
intensitas kerja yang dapat dilakukan
seorang olahragawan, berarti ia memiliki
ketahanan yang
baik.(Sukadiyanto,2005:57).
Sedangkan pemberian dosis latihan
untuk daya tahan orang tua harus lebih
rendah dapat juga yang biasa. Program
latihan harus dimulai dengan beban yang
lebih rendah (ringan), lebih-lebih bila orang
tersebut lama tidak aktif berolahraga.
Misalnya untuk usia 65 tahun, beban dapat
dimulai dengan 2 - 3 METs (misalnya
berjalan kaki 2 - 3 mph = 3,2-4,8 Km/jam).
Lalu intensitas ini juga harus dipertahankan
lama, barulah ditingkatkan misalnya
sampai 50-70% VO max. DeVries
menganjurkan, intensitas latihan sekitar
40% V0 max dan Smith dan Gilligan
menganjurkan 40-70% V0 max. Karena
orang tua kurang cepat adaptasi dan
menurun pemulihannya terhadap reaksi
luar, maka setiap perubahan beban latihan
harus berangsur-angsur
(meningkat/menurun).
Jadi orang tua harus lebih lama
pemanasan dan pemulihan
(pendinginannya). Harus dihindari
perubahan beban/aktivitas yang cepat/tiba-
tiba. Lama latihan ini harus cukup,untuk
membakar kalori yang ada, sehingga
dianjurkan lamanya kira-kira 1 jam atau
kira-kira 10% dari kalori sehari-hari. Jadi ±
10% x 1800 = 2200 Kcal atau sekitar 200
Kcal harus dibakar perhari dengan beban
ringan. Bila beban lebih berat maka lama
latihan dikurangi. Bila seseorang telah
dapat berlatih reguler maka lama minimal
latihannya harus kira-kira 30 menit.
Latihan-latihan yang diberikan ini
sebaiknya 3x seminggu. Macam latihan
yang diberikan umumnya yang bersifat
lama dan melibatkan otot besar tubuh. Jadi
yang dianjurkan adalah berjalan, jogging,
bersepeda dan latihan ditambah beberapa
bentuk lain misalnya, permainan-
permainan untuk meningkatkan koordinasi,
keseimbangan dan kelenturan tubuh.
(Tilarso ;Cermin Dunia Kedokteran No. 48,
1988: 20).
PENUTUP
Dampak Faali atau sistem tubuh
akibat program pelatihan yang dilakukan
pada orang dewasa adalah terjadinya
perubahan otot, perubahan kardiorespirasi,
aspek hormonal, pada individu yang
terlatih terjadi peningkatan pengaturan
panas tubuh karena dapat menyesuaikan
diri terhadap kondisi panas dengan mudah,
hal ini disebabkan oleh besarnya volume
plasma dan lebih responsifnya mekanisme
termoregulator, perubahan penampilan atau
performa dengan meningkatnya kapasitas
endurance „daya tahan‟.
Sarifin, Dampak Faali Dari Program Pelatiha Pada Orang Dewasa 14
DAFTAR RUJUKAN
Andriewongso, 2007. Olahraga Ringan
Lebih Efektif, SmartFM, Indonesia.
(www.Andriewongso.com, diakses
14 Januari 2008).
Bowers RW. (1992). Sport Physiology. 3rd
edition. New York : Wm C Brown
Pub.
Falsing NF brasel JA Cooper DM. Effect of
low and high intensity exercise on
circulation Growth Hormone in
men J clinical endocrinol Metb
1992.
Fox, T.L.E.L., Bowers, R.W., dan Foss
M.L. (1993). The Physiological
Basis for Exercise and Sport, fifth
edition. Lowa: Brown &
Benchmark Publisher.
Ganong W.F. (1999). Fisiologi Kedokteran.
Alih bahasa Ken Ariata Tengadi.
Jakarta : Penerbit buku kedokteran
EGC.
Guyton,M.D. 1994. Buku Ajar Fisiologi
Kedokteran : Penerbit Buku
Kedokteran EGC.
McClenaghan,Rotella,Pate.1993. Dasar-
dasar Ilmiah Kepelatihan : IKIP
Semarang Press.
Marieb EN, . Human Anatomy and
Physiology. 5 th ed. USA :
Benjamin Cumming, 2001
McArdle, William D, Katch, Frank I. &
Katch, Victor L. 2001. Exercise
Physiology: Energy, Nutrition, and
Human Performance. Philadelphia
etc: Lippincott Williams and
Wilkins.
Sherwood, L. (2001). Fisiologi Manusia
dari Sel ke Sistem, alih bahasa
Brahm U. Pendit. Jakarta : Penerbit
Buku Kedokteran EGC.
Sukadiyanto, (2005). Pengantar Teori dan
Metodologi Melatih Fisik.
Universitas Negeri Yogyakarta
Sugiharto. 2000. Pembentukan Radikal
Bebas Oksigen Dalam Aktivitas
Fisik. Lab Jurnal Ilmu
Keolahragaan dan Pendidikan
Jasmani, 10 (1): 22-32.
Supriadi. 2000. Pengaruh Latihan Aerobik
dan Anaerobik Terhadap Luas
Penampang Serabut Otot Merah
(Slow Twitch) dan Otot Putih (Fast
Twitch) Pada Tikus Wistar. Tesis
Surabaya: Program Pasca Sarjana
UNAIR.
Sri Pamoedjo Rahardjo, 2004. Demografi
dan Konflik dalam Masyarakat.
Sinar Harapan No. 4629.
Copyright © Sinar Harapan ).
Warren MP Constantini NW. sport
endocrinology New Jersey Human
Pressing 2000.
14 Jurnal ILARA, Volume I I, Nomor 2, Juli 2011, hlm. 8 – 14