issn : 1858-330x studi tentang kekerasan geopolimer ...digilib.unm.ac.id/files/disk1/4/universitas...
TRANSCRIPT
ISSN : 1858-330X
JSPF Vol. 9, Mei 2009 | 57
STUDI TENTANG KEKERASAN VICKERS GEOPOLIMER BERBAHAN DASAR FLY ASH DAN METAKAOLIN
Subaer, Agus Susanto, M. Jam’an
Jurusan Fisika FMIPA, Universitas Negeri Makassar
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk melihat korelasi antara vickers hardness dengan struktur permukaan geopolimer berbahan dasar fly ash dan metakaolin yang diaktivasi dengan larutan alkali sodium silicate dan sodium hydroxide. Berdasarkan foto Scanning Electron Microscopy (SEM), geopolimer fly ash memiliki struktur matriks yang padat namun mengandung banyak partikel yang tidak bereaksi, sedangkan keberadaan partikel yang tidak bereaksi tidak dapat dijelaskan secara pasti karena struktur permukaan yang tidak rata akibat pemolesan yang kurang halus. Nilai Vickers hardness geopolimer fly ash yang diperoleh mencapai 0.74 GPa, sedangkan untuk metakaolin hanya mencapai 0.29 GPa.
KATA KUNCI : fly ash, metakaolin, mikrostruktur, vickers hardness
1. Pendahuluan
Geopolimer semakin mendapat perhatian
yang besar sebagai sebuah bentuk baru polimer
inorganik karena selain untuk mensubtitusi
semen Portland, dapat juga digunakan sebagai
bahan plastik, bahan keramik (komposit tahan
panas) dan produk-produk mineral lainnya.
Seiring dengan perkembangan aplikasi
material geopolimer, maka informasi mengenai
karakteristik (sifat) material tersebut mutlak
untuk diketahui. Sifat-sifat material yang penting
tersebut meliputi berbagai aspek seperti aspek
mekanik, optik, listrik, magnetik, termal, dan
daya tahan (terhadap lingkungan fisik atau
kimia). Sifat mekanik berkaitan dengan
deformasi yang dihasilkan oleh beban atau gaya
seperti pada pengukuran hardness (kekerasan),
modulus elastisitas dan kekuatan tekan
(compressive strength).
Davidovits memperkenalkan istilah
geopolimer pada tahun 1978 untuk
menggambarkan keluarga pengikat mineral
dengan struktur kimia yang sama dengan zeolit.
Dia juga memperkenalkan istilah poly(sialate)
untuk geopolimer yang dibuat silico-aluminate.
Poly(sialate) merupakan polimer rantai dan
cincin yang terbentuk dari Si4+ dan Al3- dalam
bilangan koordinasi lipat IV, serta oksigen
dengan matriks berupa amorf hingga semi-
kristal. Rumus empiris poly(sialate) adalah:
Mn [(-SiO2)z-AlO2]n. wH2O
dimana z adalah 1, 2, 3, sampai 32; M adalah
kation monovalen seperti potassium atau
sodium; dan n adalah derajat polikondensasi.
Selain itu, Davidovits juga memperkenalkan 3
jenis poly(sialate) yaitu poly(sialate),
poly(sialate-siloxo), poly(sialate-disiloxo)
Struktur dari ketiga jenis poly(sialate) tersebut
dapat dilihat pada gambar 1.1.
Geopolimerisasi melibatkan reaksi kimia
oksida alumina-silikat (Si2O5.Al2O3) dengan
alkali poly(silicate) yang memiliki ikatan
polimerik Si-O-Al. Polysilicate seperti sodium
silikat atau potassium silikat biasanya diperoleh
dari industri-industri kimia atau berupa bubuk
ISSN : 1858-330X
JSPF Vol. 9, Mei 2009 | 58
silika halus sebagai hasil produksi metalurgi
ferro-silicon.
Gambar 1.1 Struktur kimia poly(sialate). (Davidovits, 1991)
Untuk menghasilkan poly(sialate-disiloxo)
(rasio atomik Si:Al = 3), sejumlah silika amorf
(misalnya dari bahan silica fume) ditambahkan
ke campuran pereaksi (Na,K)-PSS. Material
seperti ini sangat bermanfaat sebagai bahan
untuk proteksi api dan komposit tahan panas.
Geopolimer dengan rasio Si:Al >>3 memiliki
struktur polimer yang diperoleh dari rantai cross-
linked atau lempeng polisilikat dengan sialate.
Tidak seperti pada semen Portland biasa
(OPC), geopolimer tidak membentuk calcium-
silicate-hidrates (CSHs) dalam struktur
matriksnya, namun dengan optimalisasi
polikondensasi precursor silika dan alumina dan
alkali yang tinggi dapat membentuk kekuatan
strukturnya.
Oleh karena itu, geopolimer sering disebut
sebagai pengikat alkali-activated alumino
silicate. Dari rumus kimia pada gambar 1.2
berikut dapat dilihat bahwa air terbentuk selama
terjadi reaksi kimia dalam pembentukan
geopolimer atau selama proses curing.
NaOH, KOH2 5 2 5 2 2 3 3
(-) (Si O , Al O )n + nSiO + nH O n(OH) -Si-O-Al-O-Si-(OH)
→
2
(-)
| (OH)
NaOH, KOH (+)
3 3 2
(-) | |n(OH) -Si-O-Al-O-Si-(OH) (Na,K) -(-Si-O-Al-O-Si-O-) + nH O |
|→
2
| | | (OH) O O O
Gambar 1.2 Reaksi geopolimerisasi: disolusi dan polikondensasi anion ortho (sialate-siloxo)
(Davidovits 1991)
2. Metode Penelitian
Dalam penelitian ini digunakan bahan
dasar fly ash dari PLTU Asam-Asam
Banjarmasin. Sedangkan bahan dasar
metakaolin diperoleh dari Toko Bahan Kimia
Intraco. Sedangkan larutan alkali menggunakan
campuran larutan NaOH, Na2O.3SiO2, H2O. Fly
ash dicampur dengan larutan alkali sedikit demi
sedikit sampai terbentuk pasta geopolimer dan
dimasukkan kedalam cetakan, kemudian di-
curing dalam oven bersuhu 60-70 selama 2 jam.
Proses pembuatan geopolimer dari metakaolin
sama dengan geopolimer fly ash namun untuk
memperoleh metakaolin terlebih dahulu kaolin
didehidroksilasi pada suhu 750 selama 22 jam.
Tabel 1. Komposisi geopolimer:
Geopolimer fly ash
- Fly ash = 75 gr- NaOH = 3 gr- Na2O.3SiO2 = 12 gr- H2O = 7.5gr
Geopolimer metakaolin
- Metakaolin (Al2Si2O5(OH)4) - NaOH - Na2O.3SiO2 - H2O
Pengujian vickers hardness
laboratorium Fisika FMIPA Institut Teknologi
Sepuluh November (ITS Surabaya), sedangkan
karakterisasi SEM dilakukan di laboratorium
FMIPA Institut Teknologi Bandung (ITB).
3. Hasil dan Pembahasan
3.1. Mikrostruktur geopolimer
Mikrograf bahan dasar fly ash
pada gambar 3.1. Dari gambar tersebut dapat
dilihat struktur permukaan berupa butiran
dengan ukuran yang bervariasi. Butiran
partikel tersebut kemungkinan masih terdiri dari
partikel lain yang ukurannya lebih kecil.
Warna yang lebih cerah (putih mengkilap)
pada gambar 3.1. menunjukkan terdapat unsur
atom dengan nomor atom yang lebih tinggi.
Unsur dengan nomor atom yang tinggi memiliki
tingkat absorbsi elektron yang tinggi dan
menyebabkan terlepasnya elektron sekunder
atau backscattered.
JSPF Vol.
memperoleh metakaolin terlebih dahulu kaolin
didehidroksilasi pada suhu 750 selama 22 jam.
Tabel 1. Komposisi geopolimer:
= 75 gr = 3 gr ↔ 0.075 mol = 12 gr↔0.067 mol = 7.5gr↔0.417 mol
= 30 gr = 3.4 gr = 13.8 gr = 10 gr
vickers hardness dilakukan di
laboratorium Fisika FMIPA Institut Teknologi
Sepuluh November (ITS Surabaya), sedangkan
karakterisasi SEM dilakukan di laboratorium
FMIPA Institut Teknologi Bandung (ITB).
fly ash ditunjukkan
Dari gambar tersebut dapat
dilihat struktur permukaan berupa butiran
dengan ukuran yang bervariasi. Butiran-butiran
masih terdiri dari
partikel lain yang ukurannya lebih kecil.
ebih cerah (putih mengkilap)
menunjukkan terdapat unsur
atom dengan nomor atom yang lebih tinggi.
Unsur dengan nomor atom yang tinggi memiliki
tingkat absorbsi elektron yang tinggi dan
menyebabkan terlepasnya elektron sekunder
Gambar 3.1. Hasil foto SEM bahan dasar ash perbesaran 3000 kali
Gambar 3.2. menunjukkan
partikel fly ash berbentuk butiran dengan ukuran
yang bervariasi dari 0,125µm hingga 6,875µm.
Warna cerah pada partikel menunjukkan bahwa
partikel tersebut terdiri dari unsur dengan nomor
atom yang tinggi yang tidak lain merupakan
pengotor fly ash seperti unsur titanium d
Gambar 3.2. Hasil foto SEM bahan dasar perbesaran 7500 kali.
Mikrograf geopolimer berbahan dasar
ash diperlihatkan dalam gambar 3.3
3.3.(b). Berdasarkan gambar
dilihat bahwa pada permukaan sampel banyak
terdapat pori dan butiran
yang tidak bereaksi.
permukaan sampel kemungkinan besar
disebabkan oleh terlepasnya sejumlah butiran
ISSN : 1858-330X
JSPF Vol. 9, Mei 2009 | 59
.1. Hasil foto SEM bahan dasar fly perbesaran 3000 kali
Gambar 3.2. menunjukkan bahwa
berbentuk butiran dengan ukuran
yang bervariasi dari 0,125µm hingga 6,875µm.
Warna cerah pada partikel menunjukkan bahwa
partikel tersebut terdiri dari unsur dengan nomor
atom yang tinggi yang tidak lain merupakan
seperti unsur titanium dan besi.
Hasil foto SEM bahan dasar fly ash perbesaran 7500 kali.
Mikrograf geopolimer berbahan dasar fly
diperlihatkan dalam gambar 3.3.(a) dan
Berdasarkan gambar 3.3.(a) dapat
dilihat bahwa pada permukaan sampel banyak
terdapat pori dan butiran-butiran partikel fly ash
yang tidak bereaksi. Banyaknya pori pada
permukaan sampel kemungkinan besar
disebabkan oleh terlepasnya sejumlah butiran
dari permukaan sampel selama proses
pemolesan berlangsung.
Pada gambar 3.3.(b) ditunjukkan
permukaan sampel dengan matriks geopolimer
yang padat dengan retakan sekunder.
sekunder ini kemungkinan terbentuk ketika
sampel dipotong atau dipoles. Retakan dengan
(a)
Gambar 3.3 Hasil foto SEM geopolimer berbahan dasar
Gambar 3.4. berikut
mikrograf bahan dasar kaolin.
Gambar 3.4. Mikrograf bahan dasar kaolin
Pada gambar terlihat tumpukan partikel
kaolinite berbentuk lempeng. Mikrograf kaolin
dengan mengunakan TEM diperlihatkan pada
gambar 3.5. Gambar ini menunjukkan
kaolinite berbentuk hampir heksagonal (
JSPF Vol.
dari permukaan sampel selama proses
ditunjukkan struktur
permukaan sampel dengan matriks geopolimer
yang padat dengan retakan sekunder. Retakan
sekunder ini kemungkinan terbentuk ketika
es. Retakan dengan
lebar kurang dari 10 µm dikategorikan sebagai
retakan mikro (microcrack
(2001) mengkategorikan sebuah retakan
sebagai retakan mikro bila lebar retakan
tersebut lebih kecil daripada 50
(a) (b)
.3 Hasil foto SEM geopolimer berbahan dasar fly ash (a) perbesaran 1000 kali, (b) perbesaran 5000 kali.
memperlihatkan
Mikrograf bahan dasar kaolin.
tumpukan partikel
Mikrograf kaolin
diperlihatkan pada
menunjukkan bahwa
berbentuk hampir heksagonal (pseudo-
hexagonal) dengan tepian yang tidak sempurna
dan menunjukkan ketidaksempurnaan
kristalisasi
Gambar 3.5 Mikrograf TEM kristal kaolin
Gambar 3.6.(a)
memperlihatkan mikrograf geopolimer
metakaolin. Terlihat dari gambar 3.6.(a) bahwa
kehalusan permukaan geopolimer metakaolin
ISSN : 1858-330X
JSPF Vol. 9, Mei 2009 | 60
m dikategorikan sebagai
microcrack). Bisschop & van Mier
(2001) mengkategorikan sebuah retakan
sebagai retakan mikro bila lebar retakan
tersebut lebih kecil daripada 50 µm.
(a) perbesaran 1000 kali, (b) perbesaran
) dengan tepian yang tidak sempurna
dan menunjukkan ketidaksempurnaan
Mikrograf TEM kristal kaolin
dan gambar 3.6.(b)
memperlihatkan mikrograf geopolimer
Terlihat dari gambar 3.6.(a) bahwa
kehalusan permukaan geopolimer metakaolin
tergolong rendah, hal ini diakibatkan pada saat
pemolesan geopolimer yang tidak berlangsung
dengan baik. Warna yang cerah (putih
mengkilap) pada permukaan sampel geopolimer
kemungkinan selain menunjukkan bahwa pada
bagian tersebut terdapat unsur dengan nomor
atom yang lebih tinggi, dapat juga diakibatkan
(a)
Gambar 3.6. Hasil foto SEM geopolimer berbahan metakaolin (a) perbesaran 1000 kali, (b) perbesaran
Homogenitas metakaolin menunjukkan
partikel-partikel penyusun metakaolin yang
bereaksi dan ini berarti bahwa larutan s
silikat yang tersedia cukup untuk mengaktivasi
hampir seluruh partikel metakaolin dan
menghasilkan geopolimer setelah melewati
proses perawatan (curing).
Karakterisasi Geopolimer dengan SEM
Karakterisasi SEM dilakukan
memahami mikrostruktur geopolimer dalam
rangka meningkatkan sifat atau kualitas
geopolimer. Karakterisasi ini dilengkapi dengan
dengan EDS untuk mengetahui komposisi
elemental suatu material.
Gambar 3.7. berikut merupakan
karakterisasi geopolimer dari bahan dasar
ash dengan perbesaran 2.500 kali dengan
penempatan spot elektron yang berbeda
JSPF Vol.
tergolong rendah, hal ini diakibatkan pada saat
pemolesan geopolimer yang tidak berlangsung
yang cerah (putih
mengkilap) pada permukaan sampel geopolimer
kemungkinan selain menunjukkan bahwa pada
bagian tersebut terdapat unsur dengan nomor
atom yang lebih tinggi, dapat juga diakibatkan
oleh permukaan sampel yang tidak merata
(halus).
Gambar 3.6.(b) menunjukkan struktur
sampel geopolimer metakaolin berbentuk
lempengan yang tersusun. Karena permukaan
sampel yang tidak rata maka sulit untuk
mengetahui tingkat homogenitas metakaolin
(b)
Hasil foto SEM geopolimer berbahan metakaolin (a) perbesaran 1000 kali, (b) perbesaran 5000 kali.
Homogenitas metakaolin menunjukkan
partikel penyusun metakaolin yang
bereaksi dan ini berarti bahwa larutan sodium
silikat yang tersedia cukup untuk mengaktivasi
hampir seluruh partikel metakaolin dan
menghasilkan geopolimer setelah melewati
Karakterisasi Geopolimer dengan SEM-EDS
SEM dilakukan untuk
memahami mikrostruktur geopolimer dalam
sifat atau kualitas
. Karakterisasi ini dilengkapi dengan
dengan EDS untuk mengetahui komposisi
Gambar 3.7. berikut merupakan hasil
mer dari bahan dasar fly
dengan perbesaran 2.500 kali dengan
penempatan spot elektron yang berbeda-beda.
Gambar 3.7. Foto SEM geopolimer perbesaran 2.500 kali dengan spot untuk EDS pada
partikel
Dalam gambar 3
elektron untuk EDS, spot EDS diperlihatkan
dengan gambar kotak. Bagian luar spot tampak
butiran partikel dengan berbagai perbesaran
serta retakan sekunder yang terjadi ketika
sampel dipotong dan dipoles.
ISSN : 1858-330X
JSPF Vol. 9, Mei 2009 | 61
oleh permukaan sampel yang tidak merata
(b) menunjukkan struktur
sampel geopolimer metakaolin berbentuk
lempengan yang tersusun. Karena permukaan
sampel yang tidak rata maka sulit untuk
mengetahui tingkat homogenitas metakaolin
(b)
Hasil foto SEM geopolimer berbahan metakaolin (a) perbesaran 1000 kali, (b) perbesaran
Foto SEM geopolimer perbesaran 2.500 kali dengan spot untuk EDS pada
partikel fly ash
3.7 juga ditampilkan spot
elektron untuk EDS, spot EDS diperlihatkan
dengan gambar kotak. Bagian luar spot tampak
butiran partikel dengan berbagai perbesaran
serta retakan sekunder yang terjadi ketika
sampel dipotong dan dipoles.
ISSN : 1858-330X
JSPF Vol. 9, Mei 2009 | 62
Selanjutnya, berdasarkan spektrum
EDS yang ditunjukkan dalam gambar 3.8.,
terlihat bahwa oksida tertinggi adalah SiO2.
Komposisi elementalnya diperlihatkan pada
tabel 4.1 dan menunjukkan rasio molar Si : Al
sebesar 2 : 1.
Gambar 3.8 Spektrum EDS dari matriks geopolimer gambar 4.4
Tabel 4.1 Komposisi elemental geopolimer berbahan dasar fly ash berdasarkan hasil EDS gambar 3.8.
Karakterisasi SEM-EDS pada bagian
matriks geopolimer ditunjukkan pada gambar
3.9 berikut.
ISSN : 1858-330X
JSPF Vol. 9, Mei 2009 | 63
Gambar 3.9 Foto SEM geopolimer perbesaran 2.500 kali dengan spot untuk
EDS pada matriks geopolimer
Dari gambar 3.9 tampak terdapat
banyak pori dengan berbagai ukuran.
Selanjutnya penyelidikan dengan EDS
memberikan informasi mengenai komposisi
kimia dari partikel geopolimer seperti pada
gambar 3.10. berikut.
Gambar 3.10. Spektrum EDS dari matriks geopolimer gambar 3.9
Tabel 4.2 Komposisi elemental geopolimer berbahan dasar fly ash berdasarkan hasil EDS gambar 3.10.
ISSN : 1858-330X
JSPF Vol. 9, Mei 2009 | 64
Berdasarkan spektrum EDS pada gambar
3.10., menunjukkan kandungan silika (SiO2)
berkurang diikuti dengan penambahan zat
pengotor berupa FeO. Komposisi tiap elemental
(tabel 4.2) memperlihatkan perbandingan atomik
Si:Al = 2 : 1.
Gambar 3.11. menunjukkan foto SEM
dengan penempatan spot pada butiran partikel fly
ash yang tidak bereaksi paling besar.
Gambar 3.11. Foto SEM geopolimer perbesaran 2.500 kali dengan spot untuk EDS pada partikel
fly ash yang tidak bereaksi
Gambar 3.12. Spektrum EDS dari matriks geopolimer gambar 3.11
ISSN : 1858-330X
JSPF Vol. 9, Mei 2009 | 65
Tabel 4.3 Komposisi elemental geopolimer berbahan dasar fly ash berdasarkan hasil EDS gambar 3.11.
Tampak silika (SiO2) agak meningkat, namun FeO
sebagai pengotor masih lebih dominan.
Berdasarkan tabel komposisi elemental
memperlihatkan perbandingan atomik Si : Al
sebesar 2 : 1. Dari ketiga hasil karakterisasi
tersebut, dapat dilihat bahwa komposisi elemental
tiap bagian tertentu berbeda-beda dan FeO
merupakan zat pengotor yang paling dominan dari
fly ash.
Pengujian Vickers hardness Geopolimer.
Pengujian kekerasan dengan metode vickers
bertujuan menentukan kekerasan suatu material
dalam bentuk daya tahan material terhadap intan
berbentuk piramida dengan sudut puncak 1360
yang ditekankan pada permukaan material uji
tersebut.
Tabel 4. Hasil pengujian Vickers hardness
Sampel Titik
Indentasi Beban
(kg) Diameter (µm) Hv
(N/mm2) Rata-rata
(GPa) d1 d2 Fly ash
1
1 2 3
2 2 2
239.3 235.6 234.2
238.6 236.5 239.8
649.4 665.5 660.2
0.66±0.007
2
1 2 3
2 2 2
244.6 240.6 240.9
243.0 246.5 245.3
623.8 625.1 627.4
0.63±0.001
3
1 2 3
2 2 2
224.5 222.2 222.1
223.0 223.1 223.8
740.7 748.0 746.0
0.74±0.003
Metakaolin
1
1 2 3
2 2 2
387.6 385.3 385.2
385.2 384.1 382.0
248.4 250.6 252.0
0.25±0.001
2
1 2 3
2 2 2
371.7 369.1 372.4
372.8 368.2 368.6
267.6 272.8 270.1
0.27±0.002
3
1 2 3
2 2 2
353.1 362.8 361.6
359.7 362.9 355.8
291.9 281.6 288.2
0.29±0.004
ISSN : 1858-330X
JSPF Vol. 9, Mei 2009 | 66
Tabel di atas menunjukkan bahwa sampel
1 geopolimer fly ash memiliki nilai Vickers
hardness sebesar 0.66±0.007GPa, sampel 2
sebesar 0.63±0.001 GPa, dan sampel 3 sebesar
0.74±0.003GPa. Sedangkan untuk sampel 1
geopolimer metakaolin diperoleh nilai Vickers
hardness sebesar 0.25±0.001GPa, untuk
sampel 2 sebesar 0.27±0.002 GPa, dan untuk
sampel ke-3 sebesar 0.29±0.004 GPa.
Ketiga sampel di atas memiliki nilai Vickers
hardness yang berbeda-beda pada setiap titik
indentasi. Perbedaan ini diakibatkan oleh
struktur permukaan sampel yang tidak merata
karena adanya partikel-partikel yang tidak
bereaksi. Pada geopolimer fly ash tampak
banyak terdapat partikel yang tidak bereaksi
seperti halnya pada geopolimer metakaolin.
Namun khusus untuk metakaolin, tidak jelas
keberadaan partikel yang tidak bereaksi karena
permukaan yang tidak rata sehingga sulit
diamati melalui hasil foto SEM.
4. Kesimpulan
Dari hasil karakterisasi SEM menunjukkan
bahwa geopolimer fly ash memiliki matriks yang
lebih padat dibandingkan dengan geopolimer
metakaolin, sehingga terdapat perbedaan nilai
Vickers hardness yang cukup signifikan dimana
geopolimer fly ash memiliki nilai Vickers
hardness yang lebih besar.
.
DAFTAR PUSTAKA
[1]. Davidovits J. (1994) “Properties of
Geopolymer Cements”, Alkaline Cements and Concretes.
[2]. Duxson, P., Mallicoat, S. W., Lukey, G. C.,
Kriven, W. M., van Deventer, J. S. J., (2006), “The Effect of Alkali And Si/Al Ratio on The Development of Mechanical Properties of Metakaolin-Based geopolymers”, Colloids And Surfaces.
[3]. Duxsona P, Provis J. L, Lukey G. C,
Mallicoat S. W, Kriven W. M, van Deventer J. S. J, (2005), “Understanding The Relationship Between Geopolymer Composition, Microstructure And Mechanical Properties”, Colloids and Surfaces, 47-58.
[4]. Ferna´ndez-Jime´nez A, Palomo A, Criado
M, (2005), ”Microstructure Development Of Alkali-Activated Fly Ash Cement: A Descriptive Model”, Cement and Concrete Research, 1204–1209.
[5]. Granizo, M. L,. Blanco-Varela M. T,
Martı´nez-Ramı´rez, S, (2007), ”Alkali Activation Of Metakaolins: Parameters Affecting Mechanical, Structural And Microstructural Properties”, J. Material Science, 2934–2943.
[6]. Hardjito, D. & Rangan, B. V., (2005),
“Development And Properties Of Low-Calcium Fly Ash-Based Geopolymer Concrete”, Reseach Report, Faculty of Engineering Curtin University of Technology Perth, Australia.
[7].http://www.calce.umd.edu/general/Facilities/
Hardness_ad_.htm, (6/7/2008) [8]. http://www.fhwa.dot.gov/index.html,
(6/7/2008) [9]. Sabir, B. B., Wild, S., Bai, J. (2001)
“Metakaolin and Calcined Clays as Pozzolans For Concrete: a review”, Cement & Concrete Composites, 441-454.
ISSN : 1858-330X
JSPF Vol. 9, Mei 2009 | 67
[10]. Subaer, 2007, “Pengantar fisika
Geopolimer”. UNM. [11]. van Jaarsveld, J.G.S, van Deventer, J.S.J,
Lukey, G.C, (2003), “The Characterisation Of Source Materials In Fly Ash-Based Geopolymers”, Materials Letters, 1272–1280.
[12]. van Jaarsveld, J. G. S., van Deventer, J. S.
J., Lorenzen, L. (1997), “The Potential Use Of Geopolymeric To Immobilise Toxict Metals: Part 1. Theory And Applications”, Minerals Enginering, 659-669.