contoh laporan pkl
DESCRIPTION
Untuk yang akan menyusun laporanTRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Salah satu komponen abiotik utama yang memiliki peran penting untuk
kehidupan adalah air. Air digunakan oleh semua makhluk hidup untuk proses
metabolismenya dan juga dapat dimanfaatkan oleh manusia sebagai modal dasar serta
faktor utama pembangunan yang nantinya dapat meningkatkan kesejahteraan umum.
Oleh karena itu, kebersihan air di berbagai habitat harus terjaga. Berdasarkan Keputusan
Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1405/menkes/sk/xi/2002 tentang
Persyaratan Kesehatan Lingkungan Kerja Perkantoran dan industri, terdapat pengertian
mengenai air bersih yaitu air yang dipergunakan untuk keperluan sehari-hari dan
kualitasnya memenuhi persyaratan kesehatan air bersih sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku dan dapat diminum apabila dimasak.
Parameter kualitas air bersih yang ditetapkan dalam PERMENKES 416/1990
terdiri atas parameter fisik, parameter kimiawi, parameter mikrobiologis. Apabila salah
satu parameter di bawah ini tidak terpenuhi, maka air dikatakan tercemar atau terkena
polusi.
1. Parameter Fisik
Parameter fisik yang harus dipenuhi pada air minum yaitu harus jernih, tidak
berbau, tidak berasa dan tidak berwarna. Sementara suhunya sebaiknya sejuk dan tidak
panas. Selain itu, air minum tidak menimbulkan endapan. Jika air yang kita konsumsi
menyimpang dari hal ini, maka sangat mungkin air telah tercemar.
2. Parameter Kimia
Dari aspek kimiawi, bahan air minum tidak boleh mengandung partikel terlarut
dalam jumlah tinggi serta logam berat (misalnya Hg, Ni, Pb, Zn,dan Ag) ataupun zat
beracun seperti senyawa hidrokarbon dan detergen. Ion logam berat dapat mendenaturasi
protein, disamping itu logam berat dapat bereaksi dengan gugus fungsi lainnya dalam
biomolekul. Karena sebagian akan tertimbun di berbagai organ terutama saluran cerna,
hati dan ginjal, maka organ-organ inilah yang terutama dirusak.
1
2
3. Parameter Mikrobiologis
Bakteri patogen yang tercantum dalam Kepmenkes yaitu Escherichia
colli, Clostridium perfringens, Salmonella. Bakteri patogen tersebut dapat
membentuk toksin (racun) setelah periode laten yang singkat yaitu beberapa
jam. Keberadaan bakteri coliform yang banyak ditemui di kotoran manusia
dan hewan menunjukkan kualitas sanitasi yang rendah dalam proses
pengadaan air. Makin tinggi tingkat kontaminasi bakteri coliform, makin
tinggi pula risiko kehadiran bakteri patogen, seperti bakteri Shigella
(penyebab muntaber), S. typhii (penyebab typhus), kolera, dan disentri.
Pencemaran air meliputi pencemaran di darat dan di dalam perairan
(air tawar dan air laut). Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 82 Tahun 2001 Pasal 1 Ayat 11, pengertian pencemaran air adalah
masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi dan atau
komponen lain ke dalam air oleh kegiatan manusia, sehingga kualitas air turun
sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan air tidak dapat berfungsi sesuai
dengan peruntukannya. Akan banyak organisme yang mati atau mengalami
gangguan ketika air di tempat hidupnya tercemar. Jika masyarakat
menggunakan air yang tercemar sebagai bahan untuk mandi, memasak, dan
mencucui pakaian, maka pencemaran yang ditimbulkannya dapat
mengakibatkan berbagai penyakit akibat bakteri dan virus.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 18
Tahun 1999 Pasal 1 Ayat 1, limbah adalah sisa suatu usaha dan/atau kegiatan.
Selanjutnya dalam Ayat 2 disebutkan limbah bahan berbahaya dan beracun,
disingkat limbah B3 adalah sisa suatu usaha atau kegiatan yang mengandung
bahan berbahaya atau beracun yang karena sifat atau konsentrasinya dan
jumlahnya baik secara langsung atau tidak langsung akan dapat
membahayakan lingkungan hidup, kesehatan, kelangsungan hidup manusia
serta mahluk hidup lain. Definisi limbah B3 berdasarkan BAPEDAL (1995)
3
ialah setiap bahan sisa (limbah) suatu kegiatan proses produksi yang
mengandung bahan berbahaya dan beracun (B3) karena sifat (toxicity,
flammability, reactivity, dan corrosivity) serta konsentrasi atau jumlahnya
yang baik secara langsung maupun tidak langsung dapat merusak,
mencemarkan lingkungan, atau membahayakan kesehatan manusia.
Merkuri atau air raksa merupakan salah satu contoh bahan berbahaya
dan beracun. Merkuri biasa dimanfaatkan orang dalam berbagai keperluan,
meskipun di beberapa industri kini sangat ditekan peredarannya karena
bahaya yang ditimbulkannya. Industri yang memungkinkan menghasilkan
limbah yang mengandung merkuri antara lain industri cat, kertas, peralatan
listrik, pabrik soda kostik, penambangan emas, dan bahkan industri penghasil
produk kosmetik. Diantara industri di atas, penggunaan merkuri yang sangat
tidak terkontrol yaitu pada kegiatan penambangan emas. Usaha pertambangan
emas biasanya dilakukan secara amalgamasi yaitu dengan menggunakan
merkuri sebagai media untuk mengikat emas dan memisahkan emas dari
kotorannya (Setiabudi, 2005).
Dalam habitat perairan, merkuri anorganik dikonversi oleh
mikroorganisme menjadi metal merkuri yang sangat beracun dan mudah
terserap ke dalam jaringan. Bahaya logam berat merkuri tidak hanya
menyerang komunitas biota yang hidup dalam perairan tersebut, tetapi juga
akan membahayakan kesehatan manusia. Semua bentuk merkuri baik dalam
bentuk metil maupun dalam bentuk alkil yang masuk ke dalam tubuh manusia
secara terus-menerus akan menyebabkan kerusakan permanen pada otak, hati
dan ginjal (Roger, et al dalam Alfian, 2006).
Ion merkuri menyebabkan pengaruh toksik, karena terjadinya proses
presipitasi protein menghambat aktivitas enzim dan bertindak sebagai bahan
yang korosif. Merkuri juga terikat oleh gugus sulfhidril, fosforil, karboksil,
amida dan amina, di mana dalam gugus tersebut merkuri dapat menghabat
fungsi enzim. Bentuk organik seperti metil-merkuri, sekitar 90% diabsorpsi
4
oleh dinding usus, hal ini jauh lebih besar daripada bentuk anorganik (HgCl2)
yang hanya sekitar 10%. Akan tetapi bentuk merkuri anorganik ini kurang
bersifat korosif daripada bentuk organik. Bentuk organik tersebut juga dapat
menembus barrier darah dan plasenta sehingga dapat menimbulkan pengaruh
teratogenik dan gangguan syaraf (Darmono dalam Alfian, 2006).
Mengingat bahaya logam merkuri bagi hampir semua makhluk hidup,
beberapa negara telah mengembangkan penelitian untuk menguji air limbah
tidak secara fisik dan kimiawi saja tetapi sampai pada uji toksisitas. Sebelum
air limbah dilepaskan ke air penerima misal sungai, air limbah tersebut perlu
diuji efek toksisitasnya pada organisme akuatik. Umumnya, organisme
akuatik yang kerap dijadikan bahan uji toksisitas adalah Daphnia sp. Selain
Daphnia, juga dapat digunakan orgaisme lain dengan syarat organisme
tersebut mudah dikembangkan di laboratorium, sensitive terhadap berbagai
polutan, dan tersedia sepanjang tahun dalam sumber komersil.
B. Batasan Masalah
Batasan masalah dalam penelitian ini yaitu:
1. Subyek penelitian yang digunakan adalah Daphnia sp yang berumur < 24
jam.
2. Logam berat yang digunakan adalah merkuri dalam bentuk larutan HgCl2.
3. Toksisitas merkuri diuji pada perairan darat/tawar.
4. Pengujian toksisitas akut dan kronik merkuri terhadap Daphnia dilakukan
berdasarkan standar di laboratorium.
5. Uji toksisitas akut diamati pada nilai lethal concentration 50 (LC50) dan
uji toksisitas kronik diamati pada tingkat reproduksi Daphnia.
C. Rumusan Masalah
Kasus pertambangan illegal di Indonesia bukan merupakan suatu hal
yang baru. Ada banyak jenis-jenis pertambangan ilegal seperti intan, timah,
5
batu bara dan termasuk salah satunya adalah Pertambangan Emas Tanpa Ijin
(PETI). Kegiatan PETI ini merupakan kegiatan pertambangan yang dilakukan
masyarakat secara tradisional, tanpa dilandasi aturan hukum pertambangan
resmi Pemerintah Pusat atau Daerah.
Penggunaan merkuri yang berlebihan dan tanpa pemahaman akan
bahanyanya seperti yang terjadi pada kegiatan PETI ini mengakibatkan
penurunan kualitas air, punahnya biota air, kerusakan bentuk lahan, dan
bentang alam serta menimbulkan berbagai macam penyakit bagi manusia.
Para penambang PETI tidak mengolah merkuri yang digunakan sebagai bahan
untuk pengikat emas terlebih dahulu sebelum dibuang ke lingkungan. Merkuri
tersebut tercampur/terpecah menjadi butiran-butiran halus yang sifatnya sukar
dipisahkan pada proses penggilingan yang dilakukan bersamaan dengan
proses amalgamasi, sehingga pada proses pencucian merkuri dalam ampas
terbawa masuk ke sungai.
Mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang
Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air dimana kadar Hg
maksimum yang diziinkan untuk berada dalam badan air adalah 0,005 mg/l
(untuk kriteria air kelas 4) dan aturan hukum positif negara (PP Republik
Indonesia Nomor 29 Tahun 1986) serta informasi pencemaran lingkungan
akibat pembuangan limbah/tailing dari proses amalgamasi, maka menjadi
penting bagi para pelaku usaha pertambangan emas untuk menerapkan metode
penanganan limbah secara tepat guna; sehingga tercipta usaha pertambangan
yang berwawasan lingkungan.
Adanya permasalahan di atas, maka perlu dilakukan penelitian tentang
uji toksisitas logam merkuri terhadap salah satu organisme aquatik contohnya
Daphnia sp. Dari uji toksisitas ini, maka dapat ditemukan suatu informasi
mengenai kisaran awal konsentrasi merkuri yang mulai memberikan sinyal
bahaya bagi kehidupan ekosistem air tawar.
6
D. Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah mengetahui
konsentrasi merkuri yang dapat menyebabkan dampak toksisitas akut dan
kronik terhadap Daphnia sp.
E. Manfaat Penelitian
Kegunaan penelitian ini diharapkan :
1. Bagi mahasiswa
a) Setelah mengikuti kegiatan Praktik Kerja Lapangan (PKL) ini
diharapkan mahasiswa dapat mengetahui konsentrasi merkuri yang
dapat menyebabkan dampak toksisitas akut dan kronik terhadap
Daphnia sp.
b) Setelah mengikuti kegiatan PKL diharapkan mahasiswa mampu
melakukan pengujian toksisitas akut dan kronik dengan baik dan
benar.
c) Sebagai syarat untuk lulus salah satu mata kuliah di semester 7 yaitu
Praktik Kerja Lapangan (PKL)
2. Bagi instansi
Yaitu dapat membantu para peneliti dalam melaksanakan penelitian yang
akan dan atau sedang dilaksanakan.
3. Bagi masyarakat
Melalui publikasi dan sosialisasi yang dilakukan mahasiswa kepada
masyarakat, diharapkan dapat memberikan informasi secara khusus
mengenai dampak toksisitas akut dan kronik merkuri terhadap Daphnia sp
dan bagi biota aquatik lainnya secara umum.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pencemaran Air
Suatu planet dikatakan memiliki kehidupan jika di dalamnya ditemukan air. Air
merupakan sumber kehidupan di bumi dan juga merupakan penggerak segala aktivitas
manusia. Di alam semesta ini, air yang ada tidak pernah terdapat dalam bentuk murni,
namun bukan berarti bahwa semua air sudah tercemar. Misalnya, walaupun di daerah
pegunungan atau hutan dengan udara yang bersih dan bebas dari pencemaran, air hujan
yang turun di atasnya selalu mengandung bahan-bahan terlarut, seperti karbon dioksida
(CO2), oksigen (O2), dan nitrogen (N2), serta bahan-bahan tersuspensi misalnya debu dan
partikel-partikel lainnya yang terbawa air hujan dari atmosfir.
Adanya benda-benda asing yang mengakibatkan air tersebut tidak dapat
digunakan sesuai dengan peruntukannya secara normal disebut dengan pencemaran air.
Definisi pencemaran diungkapkan oleh Holdgate (1979) dalam Moore (2003) yaitu
masuknya substansi atau materi ke dalam lingkungan oleh manusia, yang dapat
menimbulkan bahaya bagi kesehatan, merugikan sumberdaya hayati dan sistem ekologis,
merusak strukur dan keserasian, atau bertentangan dengan undang-undang penggunaan
lingkungan. Batas pencemaran untuk berbagai jenis air berbeda mengingat kebutuhan
manusia yang beragam pula. Sebagai contoh, air di pegunungan yang belum tercemar
tidak dapat digunakan langsung sebagai air minum karena belum memenuhi persyaratan
untuk dijadikan air minum.
Bahan pencemar yang dihasilkan oleh aktivitas manusia sangat beragam. Moore
(2003) menjelaskan tipe umum pencemar beracun adalah sebagai berikut:
1) Logam-logam, seperti timbal, nikel, cadmium, seng, tembaga, dan raksa, bersumber
dari banyak proses industri dan pengolahaan pertanian. Istilah logam berat kadang-
kadang tidak begitu tepat, tetapi sebagian besar meliputi logam dengan nomor
atom di atas 20, tetapi di luar logam-logam alkali, akali tanah, lathanida, dan
aktinida.
8
2) Senyawaan organik, seperti pestisida organo-chlorine, herbisida, polychlorinated
biphenyl (PCBs), chlorinated aliphatic hydrocarbon, pelarut-pelarut, surfaktan
rantai panjang, petroleum hydrocarbon, polynuclear aromatic, chlorinated
dibenzooxin, organometallic, phenil, formaldehid. Zat ini berasal dari berbagai
macam industri,pertanian, dan bebrapa industri rumah tangga.
3) Gas, seperti klorin dan ammonia
4) Anion-anion, seperti sianidam fluorida, sulfida dan sulfit
5) Asam dan alkali
Efek keberadaan suatu bahan pencemar pada suatu organisme atau komunitas
bergantung pada kadar senyawaan itu dan lamaya pemaparan dengan senyawaan
tersebut (misalnya dosis).
Pemahaman terhadap pencemaran sangatlah penting mengingat berbagai sumber
daya menjadi rusak karenanya. Dengan segala aktivitasnya, manusia menghasilkan
pencemaran. Pengguna-pengguna domestik, industri, dan pertanian menghasilkan
sejumlah besar limbah, dan saluran air merupakan sarana yang murah dan efektif untuk
membuang limbah tersebut. Ketika musim kering tiba, aliran air di sejumlah sungai
hampir merupakan aliran buangan (effluent). Aliran buangan di beberapa kota menjadi
pasokan air kota lainnya di bagian hilir. Keadaan ini menjadikan suatu peringatan bahwa
aliran buangan yang masuk ke dalam saluran air harus terjamin mutunya bahkan
memiliki kualitas tinggi dan tingkat pencemaran tidak melebihi kapasitas pulih diri (self-
purifying) sungai.
B. Logam Berat
Logam berat adalah unsur kimia dengan bobot jauh lebih besar dari 5 gr/cm3,
terletak di sudut kanan bawah sistem periodik, mempunyai afinitas tinggi terhadap unsur
belerang atau Sulfur (S) dan bernomor atom 22 sampai 29 dari periode 3 sampai 7.
Menurut Allen (1998) logam berat ini cenderung membentuk kompleks atau senyawa
yang kuat dengan komponen organik dan ini menyebabkan logam berat stabil di
lingkungan perairan. Logam berat dapat berbentuk organik, anorganik terlarut, atau
terikat dalam suatu partikel dan tersebar di seluruh permukaan bumi baik tanah, air, dam
udara. Logam berat dapat berinteraksi dengan sel atau jaringan tubuh organisme sehingga
9
dapat terjadi akumulasi logam berat dalam tubuh organisme. Di perairan, logam berat
diperlukan dalam jumlah sedikit. Bila kadar logam berat yang terlalu rendah di suatu
perairan dapat menyebabkan kehidupan organisme mengalami defisiensi, namun bila
unsur logam berat dalam jumlah yang berlebihan dapat bersifat toksik.
Menurut Arifin (2008) logam berat terbagi ke dalam dua jenis berdasarkan sudut
pandang toksikologi, yaitu:
1) Logam berat esensial yaitu logam yang sangat dibutuhkan oleh tubuh organisme
dalam konsentrasi tertentu. Jika jumlahnya berlebihan dapat menimbulkan efek racun.
Contoh: Zn, Fe, Cu, dan Co.
2) Logam berat tidak esensial yaitu logam yang tidak dibutuhkan oleh makhluk hidup
karena bersifat racun. Contoh: Hg, Cd, dan Pb. Unsur ini akan menyerang ikatan
belerang dalam enzim, menonaktifkan kerja enzim dan menggangu metabolisme
tubuh sehingga bisa berdampak pada kematian.
Berdasarkan urutan toksisitasnya, dari yang paling tinggi sampai yang paling rendah
yaitu Hg, Cd, Cu, Zn, Ni, Pb, Cr, Al, dan Co (Abel, 1989).
Logam berat biasanya sangat sedikit dalam air secara ilmiah kurang dari 1 g/l.
Menurut Palar (2004) kelarutan dari unsur-unsur logam dan logam berat dalam badan air
dikontrol oleh : pH badan air dan jenis serta konsentrasi logam. Konsentrasi logam berat
yang terkandung di dalam suatu perairan perlu dikontrol secara kontinu, juga diperlukan
suatu kajian yang melihat seberapa besar pengaruh unsur-unsur logam berat tersebut bisa
mempengaruhi ekosistem perairan terutama yang berhubungan langsung dengan kualitas
airnya.
Pemerintah Indonesia telah melakukan suatu kajian untuk mengetahui ukuran
batas atau kadar makhluk hidup, zat, energi, atau komponen yang ada atau harus ada
dan atau unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya di dalam air yang biasa disebut
dengan baku mutu air. Kajian ini dituangkan dalam PP No 82 Tahun 2001 tentang
pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air. Dalam peraturan
tersebut dikatakan hasil perhitungan baku mutu air menentukan mutu air. Mutu air
adalah kondisi kualitas air yang diukur dan atau diuji berdasarkan parameter-parameter
10
tertentu dan metoda tertentu berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku
(Bab 1 Pasal 1 Ayat 5 PP No 82 Tahun 2001). Klasifikasi mutu air ditetapkan menjadi 4
(empat) kelas :
1) Kelas satu : air yang peruntukannya dapat digunakan untuk air baku air minum, dan
atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan
tersebut;
2) Kelas dua, air yang peruntukannya dapat digunakan untuk prasarana/sarana rekreasi
air, pembudidayaan ikan air tawar, peternakan, air untuk mengairi pertanaman, dan
atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan
tersebut;
3) Kelas tiga, air yang peruntukannya dapat digunakan untuk pembudidayaan ikan air
tawar, peternakan, air untuk mengairi pertanaman, dan atau peruntukan lain yang
mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut;
4) Kelas empat, air yang peruntukannya dapat digunakan untukmengairi pertanaman
dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan
kegunaan tersebut
Pada tabel 1 di bawah ini disajikan data mengenai standar baku mutu air terhadap
logam berat untuk mutu air kelas 2 menurut PP No 82 Tahun 2001 dan EPA. EPA
(Environmental Protection Agency) adalah organisasi dunia yang mengurusi bidang
kesehatan lingkungan. Kadar logam berat yang ditenggang oleh EPA lebih kecil dan
spesifik dibandingkan dengan yang telah ditentukan oleh pemerintah Indonesia.
Perbedaan ini disebabkan karena pemerintah Indonesia telah melakukan penelitian
pengukuran sendiri yang disesuaikan dengan kondisi perairan Indonesia baik secara
faktor biotik dan abiotiknya
Tabel 1. Standar Baku Mutu Air Terhadap Logam Berat
Standar Baku
Logam Simbol Perikanan (mg/l)1 EPA (ppm)2
Kadmium Cd 0.01 0.0043
Krom Cr 0.05 0.016
11
Timbal Pb 0.01 0.065
Seng Zn 0.02 0.12
Merkuri Hg 0.002 0.0014
Keterangan :
1. PP No 82 tahun 2001
2. Environmental Protection Agency. 1973. Water Quality Criteria
C. Merkuri (Hg)
Raksa (nama lama: air raksa) atau merkuri atau hydrargyrum (Hg) adalah unsur
kimia pada tabel periodik dengan simbol merkuri dan nomor atom 80 dengan berat
atom 200,59 g/mol, titik beku -390C dan titik didih 356,60C. Merkuri merupakan satu-
satunya logam yang berbentuk cair pada suhu 250 C, terletak di urutan ke tiga
golongan IIB dalam sistem periodik unsur (Moore,1984). Hg tahan terhadap basa
, larut dalam asam sulfat atau asam nitrit tetapi sukar larut dalam pelarut-pelarut
yang umum seperti air dan aseton. Hg juga mempunyai kecenderungan untuk
menguap lebih besar, mudah bercampur dengan logam-logam lain menjadi logam
campuran (Amalgam/Alloi), dan dapat mengalirkan arus listrik sebagai konduktor
baik tegangan arus listrik tinggi maupun tegangan arus listrik rendah (Alvian Zul, 2006).
Potensial oksidasi Hg yitu 0,799 volt. Potensial oksidasi yang rendah ini
menyebabkan raksa tidak dapat bereaksi dengan oksigen pada suhu kamar, dan tahan
terhadap korosi (Hutagalung, 1985). Pada suhu sekitar titik didihnya, merkuri dapat
bereaksi dengan oksigen membentuk HgO yang berwarna merah. Senyawa HgO ini tidak
begitu stabil, sehingga bila dipanaskan pada suhu yang lebih tinggi (sekitar 500°C),
oksigen akan dilepaskan kembali. Bila dalam merkuri terkandung sedikit logam lain,
misalnya Zn atau Pb, maka merkuri menjadi sensitif terhadap O2. Raksa bereaksi cepat
dengan gas-gas Cl2, S, Br2, J2 dan N2O, tetapi tidak dapat bereaksi dengan air, uap, alkalis
atau asam-asam yang bukan oksidator kuat (Durrant, 1960 dalam Hutagalung, 1985).
Kelimpahan merkuri di kerak bumi menempati urutan ke 67 diantara elemen
lainnya. Di alam, merkuri jarang ditemukan dalam bentuk bebas, melainkan berupa bijih
12
cinnabar (HgS). Untuk mendapatkan logam merkuri dari bijih sinnabar, maka perlu
dilakukan pemanasan bijih sinnabar dengan menggunakan O2 pada suhu 8000 C. Berikut
persamaan reaksinya ; HgS + O2 Hg + SO2. Merkuri (Hg) yang telah dilepaskan
kemudian dikondensasi, sehingga diperoleh logam cair murni. Logam cair inilah yang
kemudian digunakan oleh manusia untuk bermacam-macam keperluan.
Secara umum ada tiga bentuk mekuri (Hammond dan Beliles, 1980 dalam Zul
Alfian, 2006) yaitu:
1) Unsur Merkuri (Hg0)
Mempunyai tekanan uap yang tinggi dan sukar larut dalam air. Pada suhu kamar
kelarutannya kira-kira 60 mg/l dalam air dan antara 5- 50 mg/l dalam lipida.
Jika ada oksigen, merkuri diasamkan dalam bentuk ionik. Uap
merkuri hadir dalam bentuk monoatom yang apabila terserap
ke dalam tubuh akan dibebaskan ke dasar alveolar.
2) Merkuri Anorganik (Hg2+ dan Hg22+)
Di antara dua tahapan pengoksidasian, Hg2+ adalah lebih reaktif. Ia dapat membentuk
kompleks ligan organik, terutama golongan sulfurhidril. Contohnya HgCl2 yang
sangat larut dalam air dan sangat toksik, sebaliknya HgCl tidak larut dan
kurang toksik. Selain itu, ada pula Hg(ONC)2 yang biasa digunakan
sebagai bahan detonator, dan HgS digunakan untuk pigmen cat berwarna merah
dan bahan antiseptik.
3) Merkuri Organik
Senyawa merkuri yang berikatan dengan senyawa karbon, contohnya metil merkuri,
fenil merkuri, etil merkuri,dll. Saluran pernapasan merupakan jalan utama
penyerapan raksa dalam bentuk unsur. Tingkat pengendapan dan akumulasinya adalah
tinggi, lebih kurang 80%, karena sifatnya yang larut di dalam lipida. Dalam bentuk
unsur penyerapannya melalui saluran gastrointestin sangat sedikit, mungkin kurang
dari 0,01%, karena merkuri berbentuk partikel globular yang besar, oleh karena itu
sukar melintasi selaput mukosa. Merkuri mungkin dapat melintasi kulit tetapi belum
dapat dibuktikan (Berlin, 1979 dalam Zul Alfian, 2006).
13
Merkuri anorganik dapat berubah menjadi merkuri organik yaitu metil merkuri
(CH3-Hg) dengan melibatkan aktifitas mikroorganisme. Metil merkuri mempunyai sifat
toksik, daya ikat yang kuat dan kelarutan yang tinggi terutama dalam tubuh hewan
air. Hal tersebut mengakibatkan merkuri terakumulasi melalui proses bioakumulasi
dan biomagnifikasi dalam jaringan tubuh hewan-hewan air, sehingga kadar merkuri
dapat mencapai level yang berbahaya baik bagi kehidupan hewan air maupun
kesehatan manusia, yang makan hasil tangkap hewan-hewan air tersebut (Budiono,
2003 dalam Sembiring Rodieiser, 2009).
Sanusi (1980) dalam Sembiring (2009), mengemukakan bahwa terjadinya proses
akumulasi merkuri di dalam tubuh hewan air karena laju pengambilan merkuri
oleh organisme air lebih cepat dibandingkan dengan proses ekskresi. Senyawa merkuri
yang masuk bersama makanan, akan mengalami absorbsi di usus kemudian akan dibawa
ke hati oleh vena porta hepatik. Selanjutnya di dalam hati, Hg mengalami proses ionisasi
lambat menjadi Hg2+. Hg2+ yang masuk ke hati dapat menghambat enzim proteolitik
karena ion merkuri ini dapat terikat oleh gugus sulfhidril, fosforil, karbosil, amida, dan
amina yang terkandung di dalam enzim tersebut dan kemudian menyebabkan kerusakan
sel. Merkuri yang masuk ke dalam hati akan terbagi dua yaitu sebagian akan
terakumulasi pada hati, sedangkan sebagian lainnya akan dikirim ke empedu. Dalam
kantong empedu, akan dirombak menjadi senyawa merkuri anorganik yang kemudian
akan dikirim lewat darah ke ginjal, di mana sebagian akan terakumulasi pada ginjal dan
sebagian lagi dibuang bersama urin (Palar, 1994 dalam Yuniar Vika, 2009).
Jalur masuk merkuri ke tubuh hewan air selain melalui saluran pencernaan juga
bisa masuk melalui saluran pernafasan (insang). Zat tersebut akan masuk melalui insang
yang langsung bersentuhan dengan lingkungan air. Setelah melewati insang, merkuri
akan ikut ke dalam sistem pernafasan sampai akhirnya menembus sel epitelendothelial
kapiler darah untuk masuk ke dalam darah. Selanjutnya akan masuk ke dalam aliran
darah dan akhirnya ikut dalam proses metabolisme.
Toksisitas merkuri terhadap kehidupan avertebrata perairan bergantung pada
jenis spesies, tahap perkembangan hewan, dan kondisi lingkungan. Masing-masing
14
spesies biota akuatik memiliki daya tahan yang berbeda-beda terhadap zat toksik yang
masuk ke perairan. Satu spesies pun bisa memberikan respon yang berbeda terhadap
zat toksik yang konsentrasinya sama. Perbedaan ini disebabkan adanya faktor fisiologis
yang berbeda di satu spesies. Faktor fisiologis ini dipengaruhi oleh gen, usia, hormon,
tingkat stress, dan nutrisi yang masuk.
Jika tabel 1 hanya mencantumkan batasan kadar merkuri yang boleh ada di mutu
air kelas 2, berikut disajikan tabel 2 yang menjelaskan lebih spesifik mengenai kadar
logam merkuri yang diperbolehkan ada di tiap kelas. Pada penjelasan sebelumya sudah
dijelaskan mengenai mutu air yang tergolong kelas 1, 2, 3, dan 4.
Tabel 2. Kadar Logam Berat Merkuri Berdasarkan Kelas
Selain itu, WHO juga turut menetapkan batasan kandungan merkuri maksimal adalah
0,0001 ppm untuk air (Slamet, 1984). Jika kadar merkuri pada perairan sungai telah
melebihi batas seperti ketentuan yang telah diatur oleh PP No 82 Tahun 2001, maka
dapat dikatakan bahwa perairan tersebut telah tercemar logam merkuri. Sebagai
konsekuensi dari pencemaran ini, maka Pemerintah mengeluarkan aturan tentang sanksi
bagi yang melakukan pencemaran atau perusakan lingkungan hidup yang diatur dalam
PP No 82 Tahun 2001.
D. Toksisitas
Toksisitas adalah kemampuan suatu molekul atau senyawa kimia dalam
menimbulkan kerusakan pada bagian yang peka di dalam maupun di bagian luar tubuh
makhluk hidup (Durham, 1975 dalam Vika Yuniar, 2009). Seperti yang sudah
disinggung di atas, bahan yang dapat menimbulkan pencemaran disebut polutan. Polutan
digolongkan toksik jika pada konsentrasi terkecil mengakibatkan timbulnya pengaruh
pada organisme uji. Pengaruh yang timbul dapat berupa kematian, pengaruh terhadap
fisiologi maupun pertumbuhan organisme. Polutan toksik dapat memaksakan efeknya
PARAMETER SATUANKELAS
I II III IV
MERKURI Mg/L 0,001 0,002 0,002 0,005
15
dengan berbagai cara tergantung pada karakteristik racun, jenis air penerima, dan
komunitas biologis di perairan itu (Abel, 1989).
Tolok ukur pengujian daya racun suatu polutan bisa dilakukan dengan uji
toksisitas. Uji toksisitas adalah suatu uji yang digunakan untuk mengevaluasi konsentrasi
bahan kimia dan lamanya pemaparan yang dapat menimbulkan pengaruh tertentu karena
uji kimia dan fisik tidak mampu mengetahui efek potensial yang terjadi pada makhluk
hidup. Prinsip dari uji toksisitas adalah mengidentifikasikan bahan kimia yang dapat
menimbulkan dampak negatif bagi biota perairan (Hindarti, 1997).
Uji toksisitas perairan dapat dikategorikan menurut respon organisme yang diuji
(Palar, 2004) sebagai berikut :
1) Uji toksisitas akut, yaitu suatu uji untuk melihat respon organisme terhadap keadaan
yang cukup parah dan diindikasikan dengana 50 % respon umumnya dalam
waktu 96 jam atau kurang misalnya LC50, efek berupa kematian.
2) Uji toksisitas subakut, yaitu suatu uji yang melihat pengaruh kondisi yang kurang
parah pada organisme, dibandingkan dengan pengaruh akut, dan dalam waktu
yang lama.
3) Uji toksisitas kronik, merupakan uji yang melihat respon organisme terhadap kondisi
berkesinambungan. Umumnya 10% organisme bertahan hidup. Efek berupa
penurunan pertumbuhan dan reproduksi maupun aktivitas enzim.
Sparague (1969) memberikan definisi yang berguna untuk digunakan dalam penelitian uji
toksisitas, yaitu :
1) Akut (accute) yaitu datang dengan cepat pada tingkat kritis.
2) Kronis (chronic) yaitu berlanjut dalam waktu yang panjang.
3) Mematikan (lethal) yaitu menybabkan kematian, atau cukup menyebabkan kematian
dengan pengaruh langsung.
4) Semimematikan (sublethal) yaitu di bawah tingkat yang secara tidak langsung
menyebabkan kematian.
5) Kumulatif (cumulative) yaitu mengakibatkan atau meningkat dalam kekuatan dengan
pertambahan berlanjut.
16
American Public Health Association et al (1976) turut mengeluarkan beberapa istilah
yang digunakan untuk mendeskripsikan secara kuantitatif hasil dari penelitian daya
racun. Adapun istilah yang dimaksud antara lain :
1) Kadar mematikan (Lethal concentration) (LC) merupakan kriteria daya racun,
hasilnya dapat dinyatakan dalam suatu jumlah (LC50, LC70) dan menunjukkan
presentase dari hewan uji yang terbunuh pada kadar tertentu. Waktu yang digunakan
untuk pemaparan dalam mempelajari daya racun harus dinyatakan. Misal LC50 48
jam artinya kadar dari satu bahan racun yang membunuh 50% jumlah hewan uji
dalam waktu 48 jam.
2) Kadar efektif (Effective concentration) (EC) adalah istilah yang digunakan jika uji
toksistas yang dilakukan mempelajari hal lain diluar kematian, sebagai contoh
tekanan respirasi, perkembangan abnormalitas, atau perubahan-perubahan perilaku.
Hasilnya dinyatakan dengan pola yang sama dengan kadar mematikan, misal 48 jam
EC50.
3) Tingkat kematian awal (Incipient lethal level) adalah kadar daya racun akut tidak
terjadi, biasanya diambil sebagai kadar 50% dari populasi hewan uji dapat hidup
selama waktu yang tidak ditentukan.
4) Kadar aman (Safe concentration) adalak kadar maksimum dari satu toksikan yang
tidak mempunyai pengaruh yang dapat diobservasi pada satu spesies setelah jangka
waktu pengamatan yang panjang melebihi satu atau lebih generasi.
5) Kadar racun maksimum yang diizinkan (Maximum allowable toxicant concentration)
adalah kadar toksikan yang mungkin ada pada perairan penerima tanpa menyebabkan
bahaya terhadap produktivitas dan penggunaannya.
Tahap awal uji toksisitas adalah uji pendahuluan akut terlebih dahulu. Uji
pendahuluan akut ini bertujuan untuk mencari nilai LC50 tentative. Kemudian dilanjutkan
dengan uji definitif akut guna menemukan nilai LC50 yang sebenarnya. Uji definitf ini
didasarkan dari nilai LC50 tentative yang konsentrasinya diturunkan dan dinaikkan secara
geometrik. Selain mengetahui LC50 yang sebenarnya, dari uji definitif akut ini juga bisa
didapatkan nilai LOEC dan NOEC tentatif. Lowest Observed Effect Concentration
(LOEC) adalah konsentrasi terendah yang memberikan efek dan variabel terikat yang
diteliti memiliki hasil yang berbeda secara signifikan dengan kontrol. Sedangkan, No
17
Observed Effect Concentration (NOEC) adalah konsentrasi di bawah LOEC yang tidak
memberikan dampak atau tidak berbeda dengan hasil uji di kontrol. Setelah uji toksisitas
akut selesai, maka pengujian bisa berlanjut ke uji toksisitas subakut atau kronik. Dari uji
inilah, nilai LOEC dan NOEC sebenarnya dapat ditemukan.
E. Daphnia sp
Nama lokal Daphnia adalah kutu air. Daphnia termasuk dalam golongan udang-
udangan dan tidak ada hubungannya dengan kutu secara taksonomi. Menurut Pennak
(1989), Daphnia magna diklasifikasikan sebagai berikut:
Kingdom : Animalia
Filum : Arthropoda
Subfilum : Crustacea
Kelas : Branchiopoda
Subkelas : Diplostraca
Ordo : Cladocera
Subordo : Eucladocera
Famili : Daphnidae
Subfamili : Daphnoidea
Genus : Daphnia
Spesies : Daphnia magna
Daphnia merupakan udang-udangan renik air tawar dari golongan Branchiopoda.
Disebut kutu air karena morfologi dan gerakannya tampak "meloncat" seperti seekor
kutu. Binatang ini berenang dengan berbagai gaya menggunakan antenanya sehingga
terkadang antennanya disebut sebagai kakinya.
Daphnia adalah krustasea berukuran kecil yang habitatnya di air tawar mulai dari
kolam kecil hingga danau luas dengan rentang daerah tropis hingga artik. Dari lima puluh
spesies genus ini di seluruh dunia, hanya enam spesies yang secara normal dapat
ditemukan di daerah tropika. Salah satunya adalah spesies Daphnia magna (Delbaere &
Gambar 1 Daphnia magna betina
Sumber Clare, 2002
18
Dhert, 1996). Daphnia bersifat planktonik hanya mengikuti arus air (Isnansetyo dan
Kurniastuti, 1995) ada juga beberapa yang bersifat bentik.
Ukuran tubuh Daphniidae bermacam-macam, tergantung pada spesiesnya.
Biasanya, Daphnia berukuran 0.1 – 3 mm (Pangkey, 2009). Bentuk tubuhnya mirip
ginjal, mempunyai satu mata majemuk (namun, mereka juga mempunyai satu osellus
yaitu mata sesungguhnya dan masih sangat sederhana), sepasang antenna (ukurannya bisa
setengah lebih pendek/panjang dari panjang tubuhnya), dan di sebelah dalam karapaks
ada anggota tubuh yang bentuknya mirip daun berfungsi untuk menciptakan arus air guna
mengangkut makanan dan oksigen ke dalam mulut dan insang (Clare, 2009).
Sebagian besar tubuhnya transparan sehingga detak jantungnya bisa terlihat dari bawah
mikroskop dan terkadang makanan terakhirnya pun dapat diketahui (usus berwarna hijau
menandakan ia telah memakan alga).
Tubuhnya tersusun bersegmen-segmen dan jarak antar segmen sangat berdekatan
sehingga hampir tak terlihat. Kepala menyatu, dengan bentuk membungkuk ke arah
tubuh bagian ventral. Anggota tubuh dilindungi oleh karapaks. Ruang antara cangkang
dan tubuh bagian atas (dorsal) merupakan tempat pengeraman telur. Pada ujung post
abdomen terdapat dua kuku yang berduri kecil-kecil yang berfungsi untuk membersihkan
karapaks dari sampah.
19
Masa hidup Daphnia mulai dari telur hingga dewasa dan mati tergantung pada
jenis spesiesnya dan kondisi lingkungan (Pennak, 1978). Biasanya, umur lebih lama jika
suhu agak rendah dan mengakibatkan aktivitas metabolism turun. Ada 4 periode dalam
kehidupan Daphnia yaitu telur-larva-muda-dewasa. Waktu untuk sampai ke periode
dewasa biasanya ketika Daphnia telah berumur 6-10 hari ( Clare, 2009).
Daphnia memakan krustasea, rotifer kecil,alga uniseluler, dan berbagai macam
detritus organik termasuk protista dan bakteri. Daphnia juga memakan beberapa jenis
ragi, tetapi hanya berlaku bagi mereka yang hidup di lingkongan terkontrol seperti
laboratorium. Daphnia mengambil makanannya dengan menyaring makanan atau filter
feeding. Partikel makanan yang tersaring kemudian dibentuk menjadi bolus yang akan
turun melalui rongga pencernaan sampai penuh dan melalui anus ditempatkan di bagian
ujung rongga pencernaan. Partikel makanan yang tidak terserap akan dikeluarkan ke
lingkungan melalui arus kecil yang tercipta akibat pergerakan sepasang kaki pertama dan
kedua. Organ Daphnia untuk berenang didukung oleh antenna kedua yang ukurannya
lebih besar. Gerakan antenna ini sangat berpengaruh untuk gerakan melawan arus
(Waterman, 1960).
Gambar 1 Daphnia magna betinaSumber Clare, 2002
Summ
Keterangan B : otak BC : kantung telurC : digestive caecumCE : mata majemukF : formiksFA : antennula (antenna pertama)H : jantungINT : ususO : osellusOV : ovariumR : rostrumSG : kelenjar cangkang
Gambar 2 Anatomi Daphnia pulex betina Sumber Storch, 1925 dalam Clare, 2002
Summ
20
Fase aseksual berupa partenogenesis terjadi
ketika kondisi lingkungan menguntungkan, di mana
kualitas air sesuai dan pakan terpenuhi. Dalam
kondisi demikian hampir semua Daphnia yang
diproduksi adalah betina. Telur yang tidak dibuahi ini
berkembang di dalam kantung telur induk kemudian
berubah menjadi larva. Seekor Daphnia dapat
menghasilkan telur setiap 2-3 hari sekali. Umumnya
di dalam kantung telur terdapat 6-10 telur (Clare,
2009). Dalam waktu 60 hari seekor betina bisa
menghasilkan 13 milyar keturunan yag semuanya
betina. Tentu saja tidak semua jumlah ini bisa hidup
hingga dewasa, keseimbangan alam telah
mengaturnya sedemikian rupa dengan diciptakannya berbagai predator Daphnia untuk
mengendalikan populasi mereka (Mundayana, 2006).
Apabila kondisi lingkungan hidup tidak menguntungkan, beberapa Daphnia akan
memproduksi telur jantan. Keberadaan jantan ini diperlukan untuk membuahi telur, yang
selanjutnya akan berubah menjadi telur tidur (kista/aphippa). Telur hasil reproduksi
seksual ini mempunyai cangkang tebal dan dilindungi dengan mekanisme pertahanan
terhadap kondisi buruk. Kista dapat bertahan dalam lumpur, es, dan kekeringan serta
dapat tertiup angin kemana-mana, sehingga wajar saja kalau tiba-tiba dalam genangan air
di sekitar rumah ditemukan Daphnia. Telur ini bisa bertahan selama lebih dari 20 tahun
dan menetas setelah menemukan kondisi yang sesuai (O-FISH, 2002). Selanjutnya
mereka hidup dan berkembang biak secara aseksual. Bentuk tubuh Daphnia muda hampir
mirip dengan bentuk dewasanya tetapi belum dilengkapi dengan antenna.
Warna tubuh Daphnia merupakan salah satu bentuk adaptasi fisiologis. Di
lingkungan yang kadar oksigennya minim, Daphnia memproduksi hemoglobin dalam
jumlah berlebih guna meningkatkan akdar penyerapan oksigen di lingkungannya. Pada
kasus demikian, tubuh Daphnia cenderun berwarna merah. Sebaliknya, jika kadar
oksigen di lingkungannya melimpah, tubuhnya berwarna kuning atau tidak berwarna
Gambar 3 Daphnia yang bertelurSumber Pangkey, 2009
21
sama sekali (transparan). Selain itu, warna tubuh juga menandakan jenis makanan
Daphnia. Jika makanannya alga, maka tubuhnya berwarna hijau transparan, tetapi jika
makanannya bakteri tubuhnya berwarna pink salmon.
Selang suhu optimum bagi pertumbuhan dan perkembangan Daphnia adalah 18-
24°C. Di luar selang tersebut, Daphnia akan cenderung dorman. Daphnia membutuhkan
pH sedikit alkali yaitu antara 6.7 sampai 9.2. Daphnia diketahui sangat sensitif terhadap
ion-ion logam, seperti Mn, Zn, dan Cu, dan bahan racun terlarut lain seperti pestisida,
bahan pemutih, dan deterjen. Selain itu, mereka juga membutuhkan vitamin dan mineral
dari dalam air. Mineral yang harus ada dalam air adalah kalsium, Unsur ini diperlukan
dalam pembentukan "cangkang"nya. Oleh karena itu, dalam wadah pembiakan akan
lebih baik apabila ditambahkan potongan batu kapur, karang (koral) batu apung dan
sejenisnya. Selain dapat meningkatkan pH bahan tersebut akan memberikan suplai
kalsium yang cukup bagi Daphnia. Beberapa jenis kotoran hewan yang sering dijadikan
media tumbuh Daphnia seringkali telah mengandung kalsium dalam jumlah cukup,
dalam kondisi demikian kalsium tidak perlu lagi ditambahkan.
Menurut Greenberg dkk (2005), jenis Daphnia yang biasa digunakan sebagai
subjek uji toksisitas perairan adalahh Daphnia pulex dan Daphnia magna.
Daphnia pulex betina memiliki ukuran tubuh 2.5 - 3.5 mm dan jantan bisanya 1.5 mm,
umurnya bisa mencapai 50 hari pada suhu 200 C. Sedangkan ukuran tubuh Daphnia
magna betina 3-5 mm dan jantan sekitar 2 mm, hidup sampai umur 40 hari pada suhu
250 C atau 56 hari pada suhu 200 C. Daphnia magna lebih sering digunakan sebagai
subjek uji toksisitas perairan daripada Daphnia pulex karena ukuran tubuhnya yang lebih
besar sehingga mudah diteliti. Walaupun begitu, bukan berarti Daphnia pulex tidak
memiliki kelebihan. Populasi Daphnia pulex lebih banyak dibandingkan Daphnia magna
dan mudah dikultur.
22
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu Praktek Kerja Lapangan
Praktek kerja lapangan dilaksanakan di Laboratorium Toksikologi Pusat
Penelitian Limnologi LIPI Cibinong, Bogor, Jawa Barat dari tanggal 8 Juli – 4 Agustus
2013. Waktu bekerja mulai hari Senin-Jumat jam 08.00 – 15.00 WIB dan Sabtu-Minggu
jam 07.00-09.00 WIB.
B. Alat dan Bahan
Alat yang digunakan dalam penelitian adalah wadah bening kapasitas ±100 ml,
wadah plastik besar, saringan, centong, botol kaca, sendok, tip, corong, wadah limbah,
jerigen, lemari asam, gayung ukur 2 L, gayung ukur 3 L, labu erlenmeyer 1 L, timbangan
digital, alas timbangan plastik, botol plastik, makropipet 5 ml, beaker glass, labu ukur
100 ml, labu ukur 250 ml, botol semprot, botol schott, nampan, meja pengamatan, dan
mikropipet 100-1000 µl. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Daphnia sp,
HgCl2, air kolam biakan Daphnia sp, HNO3 10%, yeast, dan akuades.
C. Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan adalah metode eksperimen. Konsentrasi logam
merkuri (Hg) digunakan sebagai variabel bebas dan toksisitas akut dan kronik pada
Daphnia sp sebagai variabel terikat.
Design penelitian yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL).
Penelitian ini dibagi menjadi dua tahapan yaitu uji toksisitas akut berupa jumlah kematian
Daphnia sp selama 24 jam dan uji toksisitas kronik berupa jumlah reproduksi Daphnia sp
selama 3 kali reproduksi. Pengujian dilakukan dalam waktu yang berbeda dengan
menggunakan 140 ekor Daphnia sp pada uji toksisitas akut dan 50 ekor Daphnia pada uji
toksisitas kronik.
Petunjuk uji toksisitas akut berdasarkan OECD Guidelines for the Testing of
Chemicals; Daphnia sp; Acute Immobilisation Test, 2004 dan uji toksisitas kronik
berdasarkan OECD Guidelines for the Testing of Chemicals, Guidelines 211:
24
Daphnia magna Reproduction Test, September 1998. Hasil dari uji toksisitas akut
digunakan sebagai dasar untuk uji toksisitas kronik untuk mencari nilai LOEC dan NOEC
yang sesungguhnya.
D. Prosedur Kerja
1. Pembiakan anakan Daphnia.
Wadah plastik bening berkapasitas ± 100 ml diisi dengan air kolam biakan Daphnia
sp yang berada di rumah kaca Puslit Limnologi LIPI Cibinong. Volume air yang
dimasukkan ± 50 ml. Setelah itu, seekor induk Daphnia dimasukkan ke dalam wadah
dan diletakkan di dalam papan kolam biakan. Induk Daphnia sp yang disiapkan
berjumlah 100 untuk tiap uji.
2. Persiapan wadah hewan untuk uji toksisitas.
Wadah yang digunakan untuk uji toksisitas juga terbuat dari plastik yang berkapasitas
±100ml. Sebelum digunakan, wadah harus dicuci terlebih dahulu. Pencucian wadah
meliputi beberapa tahapan. Pertama, wadah dicuci dengan sabun cair kemudian
dibilas dengan air mengalir untuk membersihkan sisa kotoran yang masih terdapat
pada wadah tersebut. Kedua, wadah dikeringkan di dalam lemari asam dengan
menekan tombol blower pada lemari asam. Ketiga, setelah kering maka wadah
tersebut dicuci kembali dengan HNO3 10%. HNO3 ini berfungsi untuk menghilangkan
sisa logam berat yang tertinggal pada uji sebelumnya. Terakhir, wadah tersebut
dibilas dengan air mengalir dan dikeringkan kembali.
3. Pembuatan pakan hewan uji.
Pakan hewan uji dibuat dari ragi atau yeast. Konsentrasi yeast yang digunakan 2,5
gr/L. pelarut yang digunakan adalah akuades. Satu induk biakan Daphnia sp diberi
pakan sehari sekali dengan takaran 0.5 ml.
4. Pelaksanaan uji pendahuluan toksisitas akut.
Uji pendahuluan dilaksanakan untuk menentukan rentang umum nilai LC50 dengan 7
perlakuan yang terdiri dari 6 tingkat konsentrasi dan 1 kontrol dengan dua ulangan.
25
Larutan uji berupa HgCl2 dengan volume 20 mL di setiap konsentrasi. Penentuan
konsentrasi uji pada uji ini ditetapkan secara geometric series (OECD, 2004), yaitu
kontrol (0 mg) 0,25 mg/L; 0,5 mg/L; 1 mg/L; 2 mg/L; 4 mg/L; 8 mg/L. Waktu
pelaksanaan selama 24 jam. Syarat uji pendahuluan dimulai adalah ketika anakan
Daphnia yang dibiakkan jumlahnya mencapai 140 ekor dengan pola masng-masing
induk memiliki anak 7 ekor dan umur anakan < 24 jam. Jadi setidaknya ada 20 induk
Daphnia yang memiliki 7 anak berumur < 24 jam. Dalam uji ini agar hasilnya dapat
diterima, maka kematian hewan uji dalam kontrol tidak boleh lebih dari 20%. Data
dari hasil pengamatan tersebut dimasukkan ke dalam tabel pengamatan dan dihitung
dengan menggunakan Software Trimmed Spearman Karber sehingga diketahui nilai
LC50 24 jam yang dihasilkan pada uji pendahuluan yaitu 0,38 ppm.
5. Pelaksanaan uji definitif toksisitas akut.
Nilai LC50 24 jam sebesar 0,38 mg/L dijadikan sebagai pedoman awal dalam
menentukan konsentrasi HgCl2 di uji definitif akut. Nilai tersebut ditetapkan secara
geometric series sebagai nilai pertengahan konsentrasi (OECD, 2004), yaitu
konsentrasi ke 3 dengan rumus ar0 atau 0,38 mg/L, konsentrasi ke 1 dengan rumus ar-
2, konsentrasi ke 2 dengan rumus ar-1, konsentrasi 4 dengan rumus ar1, konsentrasi 5
dengan rumus ar2. Dengan begitu, konsentrasi yang digunakan adalah kontrol (0
mg/L); 0,1 mg/L; 0,2 mg/L; 0,4 mg/L; 0,8 mg/L; 1,6 mg/L. Konsentrasi awal HgCl 2
yang digunakan adalah 4 mg/L kemudian diencerkan dengan aquadest 100 mL dan
dibuat larutan dengan konsentrasi seperti di atas. Rumus pengenceran : V1 M1 = V2 M2.
Jumlah anakan Daphnia yang digunakan juga 140 ekor dengan pola yang sama seperti
uji pendahuluan. Dalam uji ini agar hasilnya dapat diterima, maka kematian hewan uji
dalam kontrol tidak boleh lebih dari 20%.
Setelah dilakukan uji definitif akut selama 24 jam, tidak ditemukan nilai LC50
sebenarnya karena anakan Daphnia di konsentrasi 0,1-1,6 ppm mati semua.
Kemudian dilakukan uji ulang dengan konsentrasi yang sama tetapi konsentrasi awal
HgCl2 yang digunakan sebelum pengenceran yaitu 0,25 mg/L. Hasil uji yang
didapatkan pun sama, tidak ditemukan nilai LC50 karena pola kematian yang naik
turun dari konsentrasi rendah ke tinggi.
26
Pengulangan ke tiga pun dilakukan dengan tetap menggunakan HgCl2 0,25 mg/L
sebagai konsentrasi awal kemudian diencerkan konsentrasinya menjadi 0,02 mg/L;
0,04 mg/L; 0,06 mg/L dan 0,1 mg/L. Jumlah anakan yang mati di kontrol tidak boleh
> 20% . Uji definitif akut menghasilkan nilai LC50 24 jam sebesar 0,08 mg/L dan
LOEC 0,02 mg/L .
6. Pelaksanaan uji toksisitas kronik.
Uji toksisitas kronik dilakukan dengan menghitung jumlah anakan Dhapnia sp
dalam 3 kali reproduksi. Penelitian ini terdiri dari 5 perlakuan konsentrasi yaitu 4
konsentrasi HgCl2 yang perhitungannya didasarkan pada hasil LOEC uji definitive
akut, satu kontrol yaitu hanya menggunakan akuadest dan masing-masing perlakuan
terdiri dari 10 ulangan. Tiap wadah uji terdiri dari 1 ekor Daphnia sp dan volume
HgCl2 20 mL. Penentuan konsentrasi uji pada uji kronik ditetapkan secara geometric
series (OECD, 1998) yaitu konsentrasi 4 dengan rumus ar0 atau 2x nilai LOEC dari
uji definitif akut, konsentrasi 1 dengan rumus ar-3, konsentrasi 2 dengan rumus ar-2,
konsentrasi 3 dengan rumus ar-1. Wadah diganti setiap 2 hari sekali dan pemberian
pakan dilakukan sehari sekali dengan takaran 0,15 ml. Dalam uji ini agar hasilnya
dapat diterima, maka kematian hewan uji dalam kontrol tidak boleh lebih dari 20%.
E. Hipotesis Statistik
Perumusan hipotesis statistik dalam penelitian ini adalah:
1. Uji toksisitas akut
Ho : µ1 = µ2 = µ3 = µ4 = µ5 = µ6
H1 : salah satu perlakuan tidak sama
Dimana µ1 - µ6 adalah rata-rata kematian anakan Daphnia sp di perlakuan 1,2,3,4,5,
dan 6.
2. Uji toksisitas kronik
Ho : µ1 = µ2 = µ3 = µ4 = µ5 = µ6
H1 : salah satu perlakuan tidak sama
Dimana µ1 - µ6 adalah rata-rata kematian anakan Daphnia sp di perlakuan 1,2,3,4,5,
dan 6.
27
F. Teknik Analisis Data
1. Uji toksisitas akut
Analisis data pada uji toksisitas akut merkuri (Hg) pada Daphnia sp dilakukan
dengan menggunakan perangkat Software EPA Probit Analysis Program Version 1.5
untuk mengetahui nilai LC50 24 jam dan Software Toxstat Version 1.5 untuk
mengetahui nilai LOEC. Menurut EPA (2002), penentuan LC50 dari berbagai macam
konsentrasi uji toksisitas akut dapat dilihat pada gambar di bawah ini:
Gambar 4 Penentuan Nilai LC50 dari Berbagai Macam Konsentrasi Uji Toksisitas Akut (Sumber: EPA, 2002)
2. Uji toksisitas kronikAnalisis data pada uji toksisitas kronik merkuri (Hg) pada Daphnia dilakukan
dengan menggunakan perangkat Software Toxstat Version 1,5. Analisi data tersebut
untuk mengetahui nilai LOEC dan NOEC. Analisis statistik nilai NOEC dan LOEC
uji toksisitas kronik dapat dilihat pada gambar 5.
Data Mortalitas (Jumlah Kematian)
Apakah Sesuai dengan Model Probit ?
Metode Probit Metode Trimmed Spearman Karber
Ya
LC-50 dengan selang kepercayaan (α) = 95%
Tidak
28
Gambar 5 Analisis Statistik LOEC dan NOEC (Sumber: EPA, 2002)
Distribusi Normal
Data Reproduksi (Jumlah Anakan)
Transformasi Arc Sine Uji Shapiro-Wilk’s
Homogenitas beragam (Uji Bartlett)
Homogenitas beragam (Uji Bartlett)
Uji Dunnet Uji Steel’s Many One Rank
ESTIMASI NOEC dan LOEC
Tidak Ya
Normalitas
Parametrik
Variansi sama
Distribusi Tidak Normal
Non-Parametrik
Variansi berbeda
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Uji Toksisitas Akut Merkuri (Hg) Terhadap Daphnia sp
Hasil uji toksisitas akut berupa jumlah kematian hewan uji selama 24 jam pada
logam berat Hg dalam bentuk larutan HgCl2 dengan jumlah hewan uji sebanyak 10 ekor
tiap konsentrasi larutan uji dapat dilihat pada tabel 3- 6.
Tabel 3 Hasil Uji Pendahuluan Toksisitas Akut
Konsentrasi(mg/L)
Ulangan
Jumlah Daphnia yang mati (1-24 jam) Rata-Rata Kematian Daphnia
selama 24 jam
1 2 4 24
01 0 0 2 3
22 0 0 0 0
0,25 1 0 0 0 21
2 0 0 0 0
0,51 0 0 2 7
92 0 3 0 10
11 0 4 6 10
102 0 6 7 10
21 0 5 6 10
102 2 5 7 10
41 2 6 8 10
102 4 7 8 10
81 10 10 10 10
102 10 10 10 10
Hasil uji pendahuluan akut menunjukkan bahwa kematian hewan uji pada
konsentrasi 0 ppm (kontrol) selama 24 jam menunjukkan angka 15% dengan demikian
hasil uji pendahuluan akut dapat diterima. Berdasarkan tabel 4, terlihat bahwa mulai dari
konsentrasi 0,25 mg/L logam berat merkuri telah berhasil mematikan populasi Daphnia
100%, kemudian turun sedikit menjadi 85% pada konsentrasi 0,5 mg/L dan kembali naik
100% pada konsentrasi 1-8 mg/L.
Nilai LC50 24 jam diperoleh dari perhitungan analisis dengan menggunakan
Software EPA Probit Analysis Program Version 1,5 melalui metode Spearman-Karber.
29
30
Alasan menggunakan metode Spearman-Karber karena rata-rata data yang didapatkan
dari konsentrasi terendah sampai ke konsentrasi tertinggi naik turun. Jika rata-rata
Daphnia yang mati mengalami kenaikan/penurunan secara konstan maka data diolah
dengan metode Probit.
Data yang dimasukkan ke dalam perhitungan statistik berdasarkan data rata-rata
kematian Daphnia selama 24 jam. Hasil pengolahan data toksisitas akut melalui metode
Spearman-Karber dapat dilihat pada lampiran 1. Berdasarkan hasil penghitungan,
nilai LC50 24 jam yang diperoleh adalah 0,38 mg/L. Konsentrasi merkuri yang dapat
mematikan populasi Daphnia hingga 50% berkisar pada nilai 0,38 mg/L. Jika diuji
ulang, kemungkinan hasil yang didapatkan juga tidak akan jauh dari 0,38 mg/L .Iini
dapat dilihat dari penghitungan 95% lower and upper confidence. Jadi, nilai LC50
jika diuji ulang berkisar diantara 0,05 - 0,72 mg/L.
Setelah uji pendahuluan selesai, maka dilakukan uji definitif toksisitas akut.
Uji definitif toksisitas akut dilakukan dengan 3 kali uji karena nilai LC-50 24 jam tidak
dapat ditentukan secara statistik. Data uji sebenarnya toksisitas akut disajikan pada
tabel 6-8. Pada I , konsentrasi awal HgCl2 sebelum dilakukan pengenceran untuk
konsentrasi yang tertera pada tabel 4 adalah 4 mg/L.
Tabel 4 Hasil Uji Definitif I Toksisitas Akut
Konsentrasi
(mg/L)
Jumlah Kematian Daphnia sp (ekor) selama 24 jam
Ulangan
1
Ulangan
2
Ulangan
3
Rata-Rata
Kontrol (0) 0 0 0 0
0,1 10 10 10 10
0,2 10 10 10 10
0,4 10 10 10 10
0,6 10 10 10 10
0,8 10 10 10 10
Berdasarkan data di atas waktu yang dicatat hanya hingga jam ke 4 untuk konsentrasi
0,2-0,8 mg/L , sedangkan pada konsentrsi 0,1 mg/L populasi Daphnia yang mati
31
pada jam ke 24. Uji ini harus diulang kembali karena nilai LC50 uji pendahuluan yakni
0,38 mg/L berada diantara selang 0,2-0,8 mg/L yang seharusnya kematian hewan uji
pada konsentrasi 0,2 mg/L tidak mencapai 100%,.
Kemudian dilakukan uji ulang dengan konsentrasi yang sama tetapi konsentrasi
awal HgCl2 yang digunakan sebelum pengenceran yaitu 0,25 mg/L.
Tabel 5 Hasil Uji Definitif II Toksisitas Akut
Konsentrasi
(mg/L)
Jumlah Kematian Daphnia sp (ekor) selama 24 jam
Ulangan
1
Ulangan
2
Ulangan
3
Rata-Rata
Kontrol (0) 0 0 0 0
0,1 3 2 2 2
0,2 2 5 2 3
0,4 3 2 4 3
0,6 2 3 2 2
0,8 1 1 1 1
Hasil uji yang didapatkan pun sama, tidak ditemukan nilai LC50 karena pola kematian
yang naik turun dari konsentrasi rendah ke tinggi.
Pengulangan ke tiga pun dilakukan dengan tetap menggunakan HgCl2 0,25 mg/L
sebagai konsentrasi awal. Dua kali uji menggunakan konsentrasi 0,1 – 0,8 mg/L tidak
menghasilkan data yang diinginkan. Oleh karena itu, pengubahan konsentrasi uji rasanya
perlu dilakukan. Pengubahan konsentrasi uji pun dilakukan dengan melihat hasil
penghitungan uji pendahuluan kronik pada nilai 95% upper confidence yaitu 0,33 dari
0,38 sebesar 0,05 mg/L,. Kemudian konsentrasi uji ditetapkan menjadi 0,02 mg/L; 0,04
mg/L; 0,06 mg/L; 0,08 mg/L dan 0,1 mg/L, di mana nilai 0,05 mg/L berada di tengah
0,02 – 0,1 mg/L.
Tabel 6 Hasil Uji Definitif III Toksisitas Akut
Konsentrasi
(mg/L)
Jumlah Kematian Daphnia sp (ekor) selama 24 jam
Ulangan Ulangan Ulangan Rata-Rata
32
1 2 3
Kontrol (0) 0 0 0 0
0,02 3 2 2 2
0,04 2 5 2 3
0,06 3 2 4 3
0,08 3 2 2 2
0,1 10 10 10 10
Hasil uji definitif III toksisitas akut dapat diterima. Hal ini dikarenakan jumlah
kematian Daphnia pada kontrol tidak melebihi 20% bahkan 0% dan pola kematian
meningkat dari konsentrasi rendah ke tinggi walaupun sempat turun sedikit pada
konsentrasi 0,08 mg/L.
Nilai LC50 24 jam uji definitif III toksisitas akut diperoleh dari perhitungan
analisis dengan menggunakan Software EPA Probit Analysis Program Version 1,5
melalui metode Spearman-Karber. Data yang dimasukkan ke dalam perhitungan statistik
mengacu pada tabel 7. Nilai LC-50 24 jam uji sebenarnya toksisitas akut yang diperoleh
yaitu 0,08 mg/L. Sementara itu, nilai LOEC diperoleh dari perhitungan Software
Toxstat Version 1.5. Konsentrasi 0,08 tidak dimasukkan karena nilai kematian sempat
turun sedikit pada konsentrasi tersebut. Namun pengurangan ini tidak memberikan
pengaruh besar pada kisaran nilai LOEC. Nilai LOEC yang diperoleh yakni 0,02 mg/L.
Hasil penghitungan nilai LC50 24 jam uji definitif III dan nilai LOEC toksisitas akut
bisa dilihat pada lampiran 2.
Berdasarkan uji ANOVA dengan taraf kepercayaan 95% (α = 0, 05) diperoleh
hasil yang signifikan artinya masing-masing perlakuan berbeda nyata, dimana F hitung >
F tabel yaitu 48, 636 > 3, 48. Berdasarkan ini, maka Ho ditolak, terdapat
perbedaan pengaruh konsentrasi logam berat merkuri (Hg) terhadap kematian anakan
Daphnia. Setelah uji ANOVA selesai dilakukan, penghitungan statistik dilanjutkan untuk
uji DUNNET. Uji DUNNET bertujuan untuk mengetahui perbedaan pengaruh
konsentrasi logam berat Hg dirasakan ada ketika pada konsentrasi yang ke berapa.
Hasil uji DUNNET menunjukan bahwa perbedaan itu dimulai dari konsentrasi 0,02 –
0,1 mg.L (lihat tanda * pada lampiran 2 ). Dapat dijelaskan jika 0,02 mg/L
33
merupakan nilai Lowest Observed Effect Concentration (LOEC) yang artinya 0,02
mg/L merupakan konsentrasi terendah yang memberikan efek berbeda secara signifikan
terhadap kontrol. Jadi, perbedaan itu sudah tampak dari konsentrasi terendah. Jika
tanda * mulai ada di konsentrasi 0,06 mg/L, maka 0,06 mg/L merupakan nilai LOEC
dan 0,02 mg/L merupakan nilai No Observed Effect Concentration (NOEC) yaitu
konsentrasi di bawah LOEC yang tidak memberikan dampak atau tidak berbeda dengan
hasil uji di kontrol.
Kematian yang diukur adalah kematian anakan yang berumur < 24 jam. Hasil uji
yang digunakan ialah selama 24 jam sebab tidak ada anakan yang bertahan hidup
lebih dari 24 jam saat uji berlangsung. Oleh sebab itu standar 48 jam pada referensi
diganti 24 jam sesuai kondisi yang ada. Nilai LOEC uji definitif/uji sebenarnya
merupakan nilai yang digunakan sebagai pedoman dalam menentukan konsentrasi
merkuri pada uji kronik.
B. Uji Toksisitas Kronik Merkuri (Hg) Terhadap Daphnia sp
Hasil uji toksisitas kronik berupa jumlah anakan Daphnia sp selama 1 minggu
pada logam berat Hg dalam larutan HgCl2 dapat dilihat pada tabel 7.
Tabel 7. Jumlah Anakan Daphnia sp Selama 1 Minggu pada Logam Berat HgCl2
I IIIII
IV V VI1 2 3 4 5 6 7 8 9 10Y A Y A Y A Y A Y A Y A Y A Y A Y A Y A
0
1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 010 0
2 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 210
0,2
3 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 110
0,1
4 1 1 1 5 1 2 1 1 2 1 1 1 1 910
0,9
5 5 1 7 1 1 1 1 1 1 1 7 1 119
10
1,9
6 1 1 5 1 5 1 3 1 6 1 4 1 1 110 1
33
10
3,3
7 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 5 1 1 810
0,8
Ʃ 5 7 8 7 6 710 7 6 7 6 7 7 7 1 7
13 7
10 7
72
70
7,2
34
I IIIII
IV V VI1 2 3 4 5 6 7 8 9 10Y A Y A Y A Y A Y A Y A Y A Y A Y A Y A
0,005
1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 010 0
2 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 110
0,1
3 1 1 1 1 1 1 1 1 1 6 1 610
0,6
4 1 1 1 1 3 1 1 1 1 1 1 310
0,3
5 1 7 1 1 1 1 1 1 1 1 1 7
10
0,7
6 1 1 8 1 1 5 1 4 1 6 1 X 7 1 7 137 9
4,1
7 8 1 6 1 1 4 1 1 1 1 X 1 118 9 2
Ʃ 9 713 7 8 7 4 7 8 7 4 7 6 7 0 5 7 7
13 7
72
68
7,8
I IIIII
IV V VI1 2 3 4 5 6 7 8 9 10Y A Y A Y A Y A Y A Y A Y A Y A Y A Y A
0,01
1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 010 0
2 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 310
0,3
3 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 010 0
4 1 6 1 1 1 1 1 1 1 4 1 110
10 1
5 6 1 1 1 1 6 1 1 1 1 1 112
10
1,2
6 1 1 4 1 4 1 4 1 1 1 6 1 6 1 5 1 9 139
10
3,9
7 1 1 1 1 1 3 1 1 1 1 1 1 1 510
0,5
Ʃ 7 710 7 4 7 5 7 6 7 4 7 7 7 6 7
11 7 9 7
69
70
6,9
I IIIII
IV V VI1 2 3 4 5 6 7 8 9 10Y A Y A Y A Y A Y A Y A Y A Y A Y A Y A
0,02
1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 010 0
2 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 010 0
3 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 010 0
4 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 010 0
5 1 7 1 1 1 1 1 1 1 7 1 7 1 1,
35
0 4
6 1 7 1 4 1 1 4 1 1 5 1 6 1 1 126
10
2,6
7 1 1 1 1 5 1 1 1 1 8 1 4 117
10
1,7
Ʃ 0 714 7 4 7 0 7 9 7 0 7 5 7 6 7 8
13 4 7
50
70
5,7
I IIIII
IV V VI1 2 3 4 5 6 7 8 9 10Y A Y A Y A Y A Y A Y A Y A Y A Y A Y A
0,04
1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 010 0
2 1 1 1 1 X 1 1 X 1 1 0 8 03 1 1 1 1 X 1 1 X 1 1 0 8 04 1 1 1 1 X 1 1 X 1 1 0 8 0
5 8 1 1 1 1 X 1 1 X 8 1 7 123 8
2,9
6 2 1 1 1 4 1 1 X 3 1 5 1 X 1 115 8
1,9
7 1 1 1 1 X 3 1 1 X 5 1 1 8 8 1
Ʃ10 7 1 7 4 7 0 7 0 1 6 7 5 7 0 1
13 7 7 7
46
58
5,8
`
Keterangan :
I = Konsentrasi IV = Jumlah Anakan A = Adult
II = Hari V = Jumlah Induk Y = Young
III = Reproduksi VI = Anakan/indukan
Gambar 6. Diagram Batang Hasil Uji Toksisitas Kronik
36
0 (kontrol) 0,005 0,01 0.02 0.040
10
20
30
40
50
60
70
80
Jumlah Anakan Jumlah IndukanJumlah Anakan/Indukan
Data di atas dianalisis menggunakan program software Toxstat Program Version 1.5
(lihat lampiran 2). Berdasarkan hasil penghitungan, nilai LOEC dan NOEC kronik tidak
dapat ditemukan. Hal ini dikarenakan nilai F hitung < F tabel yaitu 1,02 < 2,61. Nilai
tersebut memberi arti jika semua perlakuan bersifat sama (Ho diterima). Dilihat dari data
mentah pun sebenarnya sudah terlihat karena jumlah anakan/indukan yang ada (Gambar 6)
naik turun.
Secara statistik, perlakuan yang diterapkan pada uji toksisitas kronik ini sama/tidak
berbeda nyata. Secara deskriptif pun,jika tabel 8 diamati lebih lanjut, kita kurang menemukan
perbedaan itu di tiap perlakuan. Hal itu bisa dilihat dari 3 berikut yaitu frekuensi beranak,
jumlah kematian induk, dan waktu reproduksi. Frekuensi beranak kontrol lebih tinggi
dibandingkan yang lainnya. Daphnia yang mengalami reproduksi sebanyak 3 kali hanya ada
di kontrol, selebihnya di semua perlakuan uji hanya mengalami 2 kali reproduksi. Jumlah
kematian induk 0% untuk kontrol, 14% untuk konsentrasi HgCl2 0,005 mg/L, turun kembali
0% pada HgCl2 konsentrasi 0,01 mg/L dan 0,02 mg/L, kemudian naik 30% pada konsentrasi
HgCl2 konsentrasi 0,04 mg/L. Untuk kasus kematian indukan, memang pola kematiannya
tidak begitu baik karena data yang didapatkan naik turun, tetapi yang perlu digaris bawahi
adalah kematian di kontrol 0% dan yang tertinggi ada di perlakuan terakhir yaitu HgCl 2 0,04
37
mg/L. Point ke tiga mengenai perbedaan waktu reproduksi. Pada hari ke 2, jumlah indukan
yang sudah beranak yaitu ada 2 indukan pada kontrol, 1 indukan pada perlakuan HgCl 2 0,005
mg/L, dan 3 indukan pada perlakuan HgCl2 0,01 mg/L. Pada hari ke 5, ada 1 indukan yang
berhasil beranak untuk konsentrasi HgCl2 0,02 mg/L dan 3 indukan pada konsentrasi HgCl2
0,04 mg/L.
Terdapat kekurangan dalam uji toksisitas kronik ini karena tidak bisa memberikan
keterangan untuk nilai LOEC dan NOEC. Keadaan ini bukan disebabkan dari kesalahan
penentuan konsentrasi HgCl2 kronik mengingat pada uji sebenarnya toksisitas akut sudah
mengalami 3 kali pengulangan uji hingga dihasilkan nilai LOEC. Faktor fisiologis Daphnia
itu sendiri yang diluar kontrol penguji menjadi salah satu penyebabnya.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kesimpulan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Logam HgCl2 memiliki nilai LC50 24 jam pada toksisitas akut sebesar 0,08 mg/L dan
nilai LOEC 0,02 mg/L.
2. Nilai LOEC dan NOEC kronik tidak dapat ditemukan dikarenakan nilai F hitung < F
tabel yaitu 1,02 < 2,61.
B. Saran
Saran yang dapat diberikan adalah dilakukan penelitian lanjut dengan melakukan
uji toksisitas akut dan kronik menggunakan bahan pencemar dan biota air yang sama
dengan rentang waktu uji yang lebih lama, ± 3 bulan. Waktu penelitian yang lebih lama
memberikan nilai yang lebih valid. Selain itu, perlu dilakukan penelitian lanjut dengan
melalukan uji toksisitas kronik terhadap perubahan morfologi, pertumbuhan dan
perkembangan pada Daphnia sp maupun pada hewan lainnya dengan menggunakan
logam merkuri dan bahan pencemar lainnya.
38
DAFTAR PUSTAKA
Abel, P. D. Water Pollution Biology. West Sussex: Ellis Horwood Limited, 1989.
Allen, Hobert E., A, Wayne Garrison., George, W Luther. Metals in Surface Waters. Michigan: Ann Arbor Press, 1997.
Alvian, Zul. “Merkuri: Antara Manfaat dan Efek Penggunaannya Bagi Kesehatan Manusia dan Lingkungan”. Artikel diakses pada 10 Juli 2013 dari http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/708/1/08E00123.pdf
Ariens, E J., E, Mutschler dan A, M, Simons. Pengantar Toksikologi Umum. Jogjakarta: Gadjah Mada University Press, 1993.
Chamid, Chusharini., Neni, Yunialita., Puti, Renosori. “Kajian Tingkat Konsentrsi Merkuri (Hg) pada Rambut Masyarakat Kota Bandung”. Artikel diakses pada 29 Juli 2013 dari prosiding.lppm.unisba.ac.id/index.php/Sains/article/download/130/pdf.
Chapman, Deborah. Water Quality Assessments. Cambridge: Great Britain at the University Press, 1996.
Clare, John. “Daphnia: An Aquarist’s Guide”. Artikel diakses pada 15 Juli 2013 dari http://www.cems.uvm.edu/~dhemenwa/WaterGarden/Daphnia%20for%20control%20of%20algae/Daphnia.pdf
Darojatun, Widodo. “Pengaruh Waktu Inokulasi Daphnia sp pada Media Air yang Mengandung 9 g/L Kotoran Ayam dan 6, 75 g/L Tepung Tapioka Terhadap Kelimpahan Daphnia sp”. Skripsi S1 Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor, 2002. Diakses pada 15 Juli 2013 dari http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/15735/C02wda.pdf?sequence=1
F, Mason. C. Biology of Freshwater Pollution. Singapore: Longman Singapore Publishers Ple Ltd, 1988.
Hutagalung, Horas, P. “Raksa (Hg)”. Artikel diakses pada 31 Juli 2013 dari http://www.oseanografi.lipi.go.id/sites/default/files/oseana_x%283%2993-105.pdf
Magdalena, Yulia dan Katharina, Oginawati. “Uji Toksisitas Limbah Cair Industri Bearing Pt. X Terhadap Daphnia magna (STUDI KASUS: PT. X)”. Artikel diakses pada 19 Juli 2013 dari http://www.ftsl.itb.ac.id/kk/teknologi_pengelolaan_lingkungan/wp content/uploads/2010/10/EH1-15304041-Yulia-Magdalena.pdf .
39
40
Malins, Donald. C dan Gary,K, Ostrander. Aquatic Toxicology: Molecular, Biochemical, and Cellular Perspectives. USA: Lowis Publisher, 1994.
Moore, James. W dan S, Ramamoorthy. Heavy Metals in Natural Waters: New York: Sprinfer Verlay New York inc, 1984.
Movahedian, H. B, Bina., G, H, Asghari. “Toxicity Evaluation of Wastewater Treatment Plant Effluents Using Daphnia magna”. Artikel diakses pada 26 Juli 2013 dari http://journals.tums.ac.ir/upload_files/pdf/_/2015.pdf
Newman, Michael. C dan Alan, W, Mclntosh. Metal Ecotoxicology Concepts & Applications. USA: Lowis Publishers, 1991.
Pangkey, Hanneke. “Daphnia dan Penggunaannya”. Artikel diakses pada 26 Juli 2013 dari http://repo.unsrat.ac.id/126/1/DAPHNIA_DAN_PENGGUNAANNYA.pdf.
Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 Tentang Pengelolaan Kualitas Air Dan Pengendalian Pencemaran Air.
Sembiring, Rodiesier. “Analisis Kandungan LoGgm Berat Hg, Cd dan Pb Daging Kijing Lokal (Pilsbryoconcha Exilis) dari Perairan Situ Gede, Bogor”. Skripsi S1 Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Diakses pada 15 Juli 2013 dari http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/19435/C09rse.pdf
Setiabudi, Bambang Tjahjono. “Penyebaran Merkuri Akibat Usaha Pertambangan Emas Di Daerah Sangon, Kabupaten Kulon Progo, D.I. Yogyakarta”. Artikel dikases pada 26 Juli 2013 dari http://psdg.bgl.esdm.go.id/kolokium/Konservasi/61.%20konservasi%20-%20Sangon,%20Yogyakarta.pdf.
Subanri. “Kajian Beban Pencemaran Merkuri (Hg) Terhadap Air Sungai Menyuke dan Gangguan Kesehatan pada Penambang sebagai Akibat Penambangan Emas Tanpa Izin (Peti) di Kecamatan Menyuke Kabupaten Landak Kalimantan Barat”. Tesis Pasca Sarjana Magister Kesehatan Lingkungan, Universitas Diponegoro, 2008. Diakses dari : http://eprints.undip.ac.id/24139/1/Subanri.pdf.
Tanpa nama. “Acute Toxicity for Daphnia”. Artikel diakses pada 26 Juli 2013 dari http://enfo.agt.bme.hu/drupal/sites/default/files/C02web1992.pdf
Tanpa nama. “C 20 Daphnia magna Reproduction Test”. Artikel diakses pada 26 Juli 2013 dari http://enfo.agt.bme.hu/drupal/sites/default/files/C20web2001.pdf.
Yuniar, Vika. “Toksisitas Merkuri (Hg) Terhadap Tingkat Kelangsungan Hidup, Pertumbuhan, Gambaran Darah, dan Kerusakan Organ pada Ikan Nila Oreochromis niloticus”. Skripsi
41
S1 Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor, 2009. Diakses pada 15 Juli 2013 dari http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/14185/C09vyu%20db.pdf?sequence=2