ca nasofaring

Upload: dewida-dewet-maulidatu

Post on 09-Mar-2016

8 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

mkk

TRANSCRIPT

BAB IPENDAHULUAN

I.1 Latar BelakangKarsinoma nasofaring (KNF) merupakan tumor ganas yang paling banyak dijumpai di antara tumor ganas THT di Indonesia, dimana karsinoma nasofaring termasuk dalam lima besar tumor ganas , dengan frekuensi tertinggi (bersama tumor ganas serviks uteri, tumor payudara, tumor getah bening dan tumor kulit), sedangkan didaerah kepala dan leher menduduki tempat pertama ( KNF mendapat persentase hampir 60% dari tumor di daerah kepala dan leher, diikuti tumor ganas hidung dan sinus paranasal 18%, laring 16%, dan tumor ganas rongga mulut, tonsil, hipofaring dalam persentase rendah).Kejadian karsinoma nasofaring termasuk jarang di populasi dunia, sekitar kurang dari satu per 100.000 penduduk per tahun, namun relatif tinggi di Cina Selatan, Asia Tenggara dan Afrika Utara. Perbandingan laki-laki dan perempuan 2,2:1. Karsinoma nasofaring lebih sering timbul pada ras Mongoloid. Insiden di Cina Selatan dan Asia Tenggara sekitar 20 sampai 40 per 100.000 jiwa per tahun, tertinggi di provinsi Guangdong dan wilayah Guangxi, Cina sebesar lebih dari 50 orang per 100.000 jiwa per tahun. Diagnosis dini menentukan prognosis pasien, namun cukup sulit dilakukan karena nasofaring tersembunyi dibelakang tabir langit-langit dan terletak di bawah dasar tengkorak serta berhubungan dengan banyak daerah penting didalam tengkorak dan ke lateral maupun ke posterior leher. Sampai saat ini radioterapi masih memegang peranan penting dalam penatalaksanaan KNF. Terapi utama untuk KNF adalah radioterapi dengan atau tanpa kemoterapi. Kemoterapi sebagai terapi tambahan pada KNF ternyata dapat meningkatkan hasil terapi, terutama diberikan pada stadium lanjut atau pada keadaan kambuh.

BAB IIPEMBAHASAN

II.1 Definisi Karsinoma NasofaringKanker Nasofaring adalah jenis kanker yang tumbuh di rongga belakang hidung dan belakang langit-langit rongga mulut.Karsinoma nasofaring merupakan kanker ganas yang tumbuh di daerah nasofaring dengan predileksi di fossa Rossenmuller pada nasofaring yang merupakan daerah transisional dimana epitel kuboid berubah menjadi epitel squamosa (National Cancer Institude, 2009).

Gambar 1. Karsinoma Nasofaring

II.2 Anatomi NasofaringNasofaring merupakan rongga dengan dinding kaku di atas, belakang dan lateral. Batas-batas nasofaring yaitu batas atas (atap) adalah os sphenoid dan sebagian prosessus basilaris, batas anterior adalah koana dan palatum molle, batas posterior adalah vertebra servikal dan batas inferior adalah permukaan atas palatum molle dan berhubungan dengan orofaring. Batas nasofaring: Superior : basis kranii, diliputi oleh mukosa dan fascia Inferior : bidang horizontal yang ditarik dari palatum durum ke posterior, bersifat subjektif karena tergantung dari palatum durum. Anterior : choane, oleh os vomer dibagi atas choane kanan dan kiri. Posterior : vertebra cervicalis I dan II Fascia space = rongga yang berisi jaringan longgar Mukosa lanjutan dari mukosa atas Lateral : - mukosa lanjutan dari mukosa atas dan belakang Muara tuba eustachii Fossa rosenmulleriPada dinding lateral nasofaring lebih kurang 1,5 inci dari bagian belakang konka nasal inferior terdapat muara tuba eustachius. Pada bagian belakang atas muara tuba eustachius terdapat penonjolan tulang yang disebut torus tubarius dan dibelakangnya terdapat suatu lekukan dari fossa Rosenmuller dan tepat diujung atas posteriornya terletak foramen laserum. Pada daerah fossa ini sering terjadi pertumbuhan jaringan limfe yang menyempitkan muara tuba eustachius sehingga mengganggu ventilasi udara telinga tengah. Dinding lateral nasofaring merupakan bagian terpenting, dibentuk oleh lamina faringobasilaris dari fasia faringeal dan otot konstriktor faring superior. Fasia ini mengandung jaringan fibrokartilago yang menutupi foramen ovale, foramen jugularis, kanalis karotis dan kanalis hipoglossus. Struktur ini penting diketahui karena merupakan tempat penyebaran tumor ke intrakranial (FKUI,2010).

Gambar 2. Anatomi nasofaring

Gambar 3. Fossa of RosenmullerNasofaring berbentuk kerucut dan selalu terbuka pada waktu respirasi karena dindingnya dari tulang, kecuali dasarnya yang dibentuk oleh palatum molle. Nasofaring akan tertutup bila paltum molle melekat ke dinding posterior pada waktu menelan, muntah, mengucapkan kata-kata tertentu (Bambang, 2005).Struktur penting yang ada di Nasopharing1. Ostium Faringeum tuba auditiva muara dari tuba auditiva2. Torus tubarius, penonjolan di atas ostium faringeum tuba auditiva yang disebabkan karena cartilago tuba auditiva3. Torus levatorius, penonjolan di bawah ostium faringeum tuba auditiva yang disebabkan karena musculus levator veli palatini.4. Plica salpingopalatina, lipatan di depan torus tubarius5. Plica salpingopharingea, lipatan di belakang torus tubarius, merupakan penonjolan dari musculus salphingopharingeus yang berfungsi untuk membuka ostium faringeum tuba auditiva terutama ketika menguap atau menelan.6. Recessus Pharingeus disebut juga fossa rossenmuller. Merupakan tempat predileksi Karsinoma Nasofaring.7. Tonsila pharingea, terletak di bagian superior nasopharynx. Disebut adenoid jika ada pembesaran. Sedangkan jika ada inflammasi disebut adenoiditis.8. Tonsila tuba, terdapat pada recessus pharingeus.9. Isthmus pharingeus merupakan suatu penyempitan di antara nasopharing dan oropharing karena musculus sphincterpalatopharing10. Musculus constrictor pharingeus dengan origo yang bernama raffae pharingei

Gambar 4. NasofaringFungsi nasofaring : Sebagai jalan udara pada respirasi Jalan udara ke tuba eustachii Resonator Sebagai drainage sinus paranasal kavum timpani dan hidung (FKUI, 2010)II.3 EpidemiologiMeskipun banyak ditemukan di negara dengan penduduk non-mongoloid, namun demikian daerah Cina bagian selatan masih menduduki tempat tertinggi yaitu dengan 2.500 kasus baru pertahun untuk provinsi Guang-dong (Kwantung) atau prevalensi 39,84/100.000 penduduk. Ras Mongoloid merupakan faktor dominan timbulnya kanker nasofaring sehingga kekerapan cukup tinggi pada penduduk Cina bagian selatan, Hongkong, Vietnam, Thailand, Malaysia, Singapura dan Indonesia (Averdi R, 2012). Distribusi penyakit ini paling banyak dijumpai pada ras Mongoloid, di samping Mediteranian, dan beberapa ras di Afrika di bagian Utara. Di Hongkong tercatat sebanyak 24 pasien kanker nasofaring per tahun per 100.000 penduduk, sedangkan angka rata-rata di Cina bagian selatan berkisar antara 20 per 100.000 penduduk, dibandingkan dengan negara Eropa atau Amerika Utara yang mempunyai angka kejadian hanya 1 per 100.000 penduduk per tahun. Angka kejadian KNF di Indonesia cukup tinggi, yaitu sekitar 4,7 kasus baru per tahun per 100.000 penduduk atau diperkirakan sekitar 7000-8000 kasus per tahun di seluruh Indonesi (Melani W, 2013).II.4 Etiologia. Genetik Perubahan genetik mengakibatkan proliferasi sel-sel kanker secara tidak terkontrol. Beberapa perubahan genetik ini sebagian besar akibat mutasi, putusnya kromosom, dan kehilangan sel-sel somatik. Sejumlah laporan menyebutkan bahwa HLA (Human Leucocyte antigen) berperan penting dalam kejadian KNF. Teori tersebut didukung dengan adanya studi epidemiologik mengenai angka kejadian dari kanker nasofaring. Kanker nasofaring banyak ditemukan pada masyarakat keturunan Tionghoa (Nasir,2009).b. Virus Banyak perhatian ditujukan kepada hubungan langsung antara karsinoma nasofaring dengan ambang titer antibody virus Epstein-Barr (EBV). Serum pasien-pasien orang Asia dan Afrika dengan karsinoma nasofaring primer maupun sekunder telah dibukt ikan mengandung antibody Ig G terhadap antigen kapsid virus (VCA) EB dan seringkali pula terhadap antigen dini (EA); dan antibody Ig A terhadap VCA (VCA-IgA), sering dengan titer yang tinggi. Hubungan ini juga terdapat pada pasien di Amerika yang mendapat karsinoma nasofaring aktif. Bentuk-bentuk anti-EBV ini berhubungandengan karsinoma nasofaring tidak berdifrensiasi (undifferentiated) dan karsinoma nasofaring non-keratinisasi (non-keratinizing) yang aktif (dengan mikroskop cahaya) tetapi biasanya tidak berhubung dengan tumor sel skuamosa atau elemen limfoid dalam limfoepitelioma (Nasir,2009 dan NasionalCancer Institute, 2009). c. LingkunganPenelitian akhir-akhir ini menemukan zat-zat berikut berkaitan dengan timbulnya karsinoma nasofaring yaitu golongan Nitrosamin,diantaranya dimetilnitrosamin dan dietilnitrosamin, Hidrokarbon aromaticdan unsur Renik, diantaranya nikel sulfat (Roezin,Anida, 2007dan Nasir,2009). II.5 HistopatologiKlasifikasi gambaran histopatologi yang direkomendasikan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sebelum tahun 1991, dibagi atas 3 tipe, yaitu 1. Karsinoma sel skuamosa berkeratinisasi (Keratinizing Squamous Cell Carcinoma).Tipe ini dapat dibagi lagi menjadi diferensiasi baik, sedang dan buruk.2. Karsinoma non-keratinisasi (Non-keratinizing Carcinoma).Pada tipe ini dijumpai adanya diferensiasi, tetapi tidak ada diferensiasi sel skuamosa tanpa jembatan intersel. Pada umumnya batas sel cukup jelas.3. Karsinoma tidak berdiferensiasi (Undifferentiated Carcinoma).Pada tipe ini sel tumor secara individu memperlihatkan inti yang vesikuler,Berbentuk oval atau bulat dengan nukleoli yang jelas. Pada umumnya batas sel tidak terlihat dengan jelas. Tipe tanpa diferensiasi dan tanpa keratinisasi mempunyai sifat yang sama, yaitu bersifat radiosensitif. Sedangkan jenis dengan keratinisasi tidak begitu radiosensitif.Klasifikasi gambaran histopatologi terbaru yang direkomendasikan oleh WHO, hanya dibagi atas 2 tipe, yaitu :1. Karsinoma sel skuamosa berkeratinisasi (Keratinizing Squamous Cell Carcinoma).2. Karsinoma non-keratinisasi (Non-keratinizing Carcinoma).Tipe ini dapat dibagi lagi menjadi berdiferensiasi dan tak berdiferensiasi. (Averdi R, 2012).II.6 Gejala KlinisGejala nasofaring yang pokok adalah :1. Gejala Telinga Oklusi Tuba EustachiusPada umumnya bermula pada fossa Rossenmuller. Pertumbuhan tumor dapat menekan tuba eustachius hingga terjadi oklusi pada muara tuba. Hal ini akan mengakibatkan gejala berupa mendengung (Tinnitus) pada pasien. Gejala ini merupakan tanda awal pada karsinoma nasofaring. Oklusi Tuba Eustachius dapat berkembang hingga terjadi Otitis Media. Sering kali pasien datang sudah dalam kondisi pendengaran menurun, dan dengan tes rinne dan webber, biasanya akan ditemukan tuli konduktif2. Gejala Hidung Epistaksis; dinding tumor biasanya dipenuhi pembuluh darah yang dindingnya rapuh, sehingga iritasi ringan pun dapat menyebabkan dinding pembuluh darah tersebut pecah. Terjadinya penyumbatan pada hidung akibat pertumbuhan tumor dalam nasofaring dan menutupi koana. Gejala menyerupai rinitis kronis.Gejala telinga dan hidung di atas bukanlah gejala khas untuk Karsinoma Nasofaring, karena dapat ditemukan pada berbagai kasus pada penyakit lain. Namun jika gejala terus terjadi tanpa adanya respons yang baik pada pengobatan, maka perlu dicurigai akan adanya penyebab lain yang ada pada penderita; salah satu di antaranya adalah karsinoma nasofaring. (Averdi R, 2012).3. Gejala Mata Pada penderita karsinoma nasofaring seringkali ditemukan adanya diplopia (penglihatan ganda) akibat perkembangan tumor melalui foramen laseratum dan menimbulkan gangguan N. IV dan N. VI. Bila terkena chiasma opticus akan menimbulkan kebutaan. (Averdi R, 2012).

4. Tumor sign : Pembesaran kelenjar limfa pada leher, merupakan tanda penyebaran atau metastase dekat secara limfogen dari karsinoma nasofaring.5. Cranial sign :Gejala cranial terjadi bila tumor sudah meluas ke otak dan mencapai saraf-saraf kranialis. Gejalanya antara lain : Sakit kepala yang terus menerus, rasa sakit ini merupakan metastase secara hematogen. Sensitibilitas derah pipi dan hidung berkurang. Kesukaran pada waktu menelan Afoni Sindrom Jugular Jackson atau sindroma reptroparotidean mengenai N. IX, N. X, N. XI, N. XII. Dengan tanda-tanda kelumpuhan pada lidah, palatum, faring atau laring, M. Sternocleidomastoideus dan M. Trapezeus. (Roenzin, 2007)Pada penderita karsinoma nasofaring, sering ditemukan adanya tuli konduktif bersamaan dengan elevasi dan imobilitas dari palatum lunak serta adanya rasa nyeri pada wajah dan bagian lateral dari leher (akibat gangguan pada nervus trigeminal). Ketiga gejala ini jika ditemukan bersamaan, maka disebut Trotters Triad. (Roenzin, 2007)II.7 DiagnosisDitegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang a. AnamnesisTerdiri dari gejala hidung, gejala telinga, gejala mata dan saraf, serta gejala metastasis/leher. Gejala tersebut mencakup hidung tersumbat, epistaksis ringan, tinitus, telinga terasa penuh, otalgia, diplopia dan neuralgia trigeminal (saraf III, IV, V, VI), dan muncul benjolan pada leher. (Averdi R, 2012).

b. Pemeriksaan FisikPemeriksaan status generalis dan status lokalis.Pemeriksaan nasofaring: Rinoskopi posterior Nasofaringoskopi fiber/rigidc. Pemeriksaan PenunjangPersoalan diagnostik sudah dapat dipecahkan dengan pemeriksaan CT-Scan daerah kepala dan leher, sehingga pada tumor primer yang tersembunyi pun tidak akan terlalu sulit ditemukan.Pemeriksaan foto tengkorak potongan anteroposterior, lateral dan Waters menunjukan massa jaringan lunak di daerah nasofaring. Foto dasar tengkorak memperlihatkan destruksi atau erosi tulang di daerah fossa serebri media. Pemeriksaan darah tepi, fungsi hati, ginjal dan lain -lain dilakukan untuk mendeteksi metastasis (Nasir,2008). Pemeriksaan serologi IgA anti EA dan IgA anti VCA untuk infeksi virus E-B telah menunjukkan kemajuan dalam mendeteksi karsinoma nasofaring. Tetapi pemeriksaan ini hanya digunakan untuk menentukan prognosis pengobatan. Diagnosis pasti ditegakkan dengan melakukan biopsi nasofaring. Biopsi dapat dilakukan dengan dua cara yaitu dari hidung atau dari mulut.Biopsi dari hidung dilakukan tanpa melihat jelas tumornya (blind biopsi). Cunam biopsi dimasukkan melalui rongga hidung menelusuri konka media ke nasofaring kemudian cunam diarahkan ke lateral dan dilakukan biopsy (Krishnakat, Samir,2002 dan Nasir, 2008). Biopsi melalui mulut dengan memakai bantuan kateter nelaton yang dimasukkan melalui hidung dan ujung kateter yang berada didalam mulut ditarik keluar dan diklem bersam-sama ujung kateter yang di hidung. Demikian juga dengan kateter dari hidung disebelahnya, sehingga palatum mole tertarik keatas. Kemudian dengan kaca laring dilihat daerah nasofaring. Biopsi dilakukan dengan melihat tumor melalui kaca tersebut atau memakai nasofaringoskop yang dimasukka n melalui mulut, massa tumor akan terlihat lebih jelas. Biopsi tumor nasofaring umumnya dilakuan dengan anestsi topical dengan Xylocain 10%. Bila dengan cara ini masih belum didapatkan hasil yang memuaskan maka dilakukan pengerokan dengan kuret daerah lateral nasofaring dalam nakrosis. Endoskopi dapat membantu dokter untuk melihat bagian dalam tubuh dengan hanya menggunakan thin, fexible tube. Pasien disedasi semasa tuba dimasukkan melalui mulut ataupun hidung untuk menguji area kepala ataupun leher. Apabila endoskopi telah digunakan untuk melihat nasofaring, disebut nasofaringoskopi (Pandi, 1983 dan Arima, 2006).II.8 StadiumPenentuan stadium yang terbaru berdasarkan atas kesepakatan antara UICC (Union Internationale Contre Cancer) pada tahun 1992 adalah sebagai berikut :T = Tumor, menggambarkan keadaan tumor primer, besar dan perluasannya. T0 : Tidak tampak tumor T1 : Tumor terbatas pada 1 lokasi di nasofaring T2 : Tumor meluas lebih dari 1 lokasi, tetapi masih di dalam rongga nasofaring T3 : Tumor meluas ke kavum nasi dan / atau orofaring T4 : Tumor meluas ke tengkorak dan / sudah mengenai saraf otakN = Nodul, menggambarkan keadaan kelenjar limfe regional N0 : Tidak ada pembesaran kelenjar N1 : Terdapat pembesaran kelenjar homolateral yang masih dapat digerakkan N2 : Terdapat pembesaran kelenjar kontralateral / bilateral yang masih dapat digerakkan N3 : Terdapat pembesaran kelenjar baik homolateral, kontralateral atau bilateral, yang sudah melekat pada jaringan sekitar.M = Metastase, menggambarkan metastase jauh M0 : Tidak ada metastase jauh M1 : Terdapat metastase jauh.Berdasarkan TNM tersebut di atas, stadium penyakit dapat ditentukan : Stadium I : T1 N0 M0 Stadium II : T2 N0 M0 Stadium III : T3 N0 M0 T1,T2,T3 N1 M0 Stadium IV : T4 N0,N1 M0 Tiap T N2,N3 M0 Tiap T Tiap N M1Menurut American Joint Committee Cancer tahun 1988, tumor staging dari nasofaring diklasifikasikan sebagai berikut : Tis : Carcinoma in situ T1 : Tumor yang terdapat pada satu sisi dari nasofaring atau tumor yang tak dapat dilihat, tetapi hanya dapat diketahui dari hasil biopsi. T2 : Tumor yang menyerang dua tempat, yaitu dinding postero-superior dan dinding lateral. T3 : Perluasan tumor sampai ke dalam rongga hidung atau orofaring. T4 : Tumor yang menjalar ke tengkorak kepala atau menyerang saraf kranial (atau keduanya) (Chan, 2002 dan Roenzin, 2007).II.9 Penatalaksanaan Stadium I: Radioterapi Stadium II & III: Kemoterapi Stadium IV dengan N6 cm: Kemoterapi dosis penuh dilanjutkan kemoradiasi (Averdi R, 2012).1. RadioterapiSampai saat ini radioterapi masih memegang peranan penting dalam penatalaksanaan karsinoma nasofaring. Penatalaksanaan pertama untuk karsinoma nasofaring adalah radioterapi dengan atau tanpa kemoterapi.Sampai saat ini pengobatan pilihan terhadap tumor ganas nasofaring adalah radiasi, karena kebanyakan tumor ini tipe anaplastik yang bersifat radiosensitif. Radioterapi dilakukan dengan radiasi eksterna, dapat menggunakan pesawat kobal (Co60 ) atau dengan akselerator linier ( linier Accelerator atau linac). Radiasi pada jaringan dapat menimbulkan ionisasi air dan elektrolit dari cairan tubuh baik intra maupun ekstra seluler, sehingga timbul ion H+ dan OH- yang sangat reaktif. Ion itu dapat bereaksi dengan molekul DNA dalam kromosom, sehingga dapat terjadi :1. Rantai ganda DNA pecah2. Perubahan cross-linkage dalam rantai DNA3. Perubahan base yang menyebabkan degenerasi atau kematian sel.Dosis lethal dan kemampuan reparasi kerusakan pada sel-sel kanker lebih rendah dari sel-sel normal, sehingga akibat radiasi sel-sel kanker lebih banyak yang mati dan yang tetap rusak dibandingkan dengan sel-sel normal.Sel-sel yang masih tahan hidup akan mengadakan reparasi kerusakan DNA-nya sendiri-sendiri. Kemampuan reparasi DNA sel normal lebih baik dan lebih cepat dari sel kanker. Keadaan ini dipakai sebagai dasar untuk radioterapi pada kanker.Radiasi ini ditujukan pada kanker primer didaerah nasofaring dan ruang parafaringeal serta pada daerah aliran getah bening leher atas, bawah seerta klasikula. Radiasi daerah getah bening ini tetap dilakukan sebagai tindakan preventif sekalipun tidak dijumpai pembesaran kelenjar. Metode brakhiterapi, yakni dengan memasukkan sumber radiasi kedalam rongga nasofaring saat ini banyak digunakan guna memberikan dosis maksimal pada tumor primer tetapi tidak menimbulkan cidera yang serius pada jaringan sehat disekitarnya. Kombinasi ini diberikan pada kasus-kasus yang telah memeperoleh dosis radiasi eksterna maksimum tetapi masih dijumpai sisa jaringan kanker atau pada kasus kambuh lokal. Perkembangan teknologi pada dasawarsa terakhir telah memungkinkan pemberian radiasi yang sangat terbatas pada daerah nasofaring dengan menimbulkan efek samping sesedikit mungkin. Metode yang disebut sebagai IMRT ( Intersified Modulated Radiotion Therapy ) telah digunakan dibeberapa negara maju. Prinsip Pengobatan Radiasi, inti sel dan plasma sel terdiri dari (1) RNA Ribose Nucleic Acid dan (2) DNA Desoxy Ribose Nucleic Acid . DNA terutama terdapat paa khromosom ionizing radiation menghambat metabolisme DNA dan menghentikan aktifitas enzim nukleus. Akibatnya pada inti sel terjadi khromatolisis dan plasma sel menjadi granuar serta timbul vakuola-vakuola yang kahirnya berakibat sel akan mati dan menghilang. Pada suatu keganasan ditandai oleh mitosis sel yang berlebihan ; stadium profase mitosis merupakan stadium yang paling rentan terhadap radiasi. Daerah nasofaring dan sekitarnya yang meliputi fosa serebri media, koane dan daerah parafaring sepertiga leher bagian atas. Daerah-daerah lainnya yang dilindungi dengan blok timah. Arah penyinaran dari lateral kanan dan kiri, kecuali bila ada penyerangan kerongga hidung dan sinus paranasal maka perlu penambahan lapangan radiasi dari depan. Pada penderita dengan stadium yang masih terbataas (T1,T2), maka luas lapangan radiasi harus diperkecil setelah dosis radiasi mencapai 4000 rad , terutama dari atas dan belakang untuk menghindari bagian susunan saraf pusat . Dengan lapangan radiasi yang terbatas ini, radiasi dilanjutkan sampai mencapai dosis seluruh antara 6000- 7000 rad . pada penderita dengan stadium T3 dan T4, luas lapangan radiasi tetap dipertahankan sampai dosis 6000 rad. Lapangan diperkecil bila dosis akan ditingkatkan lagi sampai sekitar 7000 rad. Daerah penyinaran kelenjar leher sampai fosa supraklavikula. Apabila tidak ada metastasis kelenjar leher, maka radiasi daerah leher ini bersifat profilaktik dengan dosis 4000 rad, sedangkan bila ada metastasis diberikan dosis yang sama dengan dosis daerah tumor primer yaitu 6000 rad, atau lebih. Untuk menghindari gangguan penyinaran terhadap medulla spinalis, laring dan esofagus, maka radiasi daerah leher dan supraklavikula ini, sebaiknya diberikan dari arah depan dengan memakai blok timah didaerah leher tengah.Hasil pengobatan yang dinyatakan dalam angka respons terhadap penyinaran sangat tergantung pada stadium tumor. Makin lanjut stadium tumor, makin berkurang responsnya. Untuk stadium I dan II, diperoleh respons komplit 80% - 100% dengan terapi radiasi. Sedangkan stadium III dan IV, ditemukan angka kegagalan respons lokal dan metastasis jauh yang tinggi, yaitu 50% - 80%. Angka ketahanan hidup penderita karsinoma nasofaring tergantung beberapa faktor, diantaranya yang terpenting adalah stadium penyakit (Abdul R, 2006).a. Tujuan Radioterapi1. Radiasi KuratifDiberikan kepada semua tingkatan penyakit, kecuali pada penderita dengan metastasis jauh. Sasaran radiasi adalah tumor primer, KGB leher dan supra klavikular. Dosis total radiasi yang diberikan adalah 6600-7000 rad dengan fraksi 200 rad, 5 x pemberian per minggu. Setelah dosis 4000 rad medulla spinalis di blok dan setelah 5000 rad lapangan penyinaran supraklavikular dikeluarkan.2. Radiasi PaliatifDiberikan untuk metastasis tumor pada tulang dan kekambuhan lokal. Dosis radiasi untuk metastasis tulang 3000 rad dengan fraksi 300 rad, 5 x per minggu. Untuk kekambuhan lokal, lapangan radiasi terbatas pada daerah kambuh.Bagian Radiologi FK UI / RSCM memberikan dosis per fraksi 200 cGy yang diberikan 5 x dalam seminggu untuk tumor primer maupun kelenjar. Setelah dosis mencapai 4000 cGy penderita mendapat istirahat selama 2-3 minggu, pada akhir istirahat dilakukan penilaian respon terhadap tumor untuk kemungkinan mengecilkan lapangan radiasi dan penilaian ada tidaknya metastasis jauh yang manifes. Setelah itu radiasi dilanjutkan 10-13 x 200 cGy lagi untuk tumor primer sehingga dosis total adalah 6000-6600 cGy. Bila tidak didapatkan pembesaran kelenjar regional maka radiasi efektif pada kelenjar leher dan supraklavikular cukup sampai 4000 cGy (Abdul R, 2006).

b. Persiapan / perencanaan sebelum radioterapiSebelum diberi terapi radiasi, dibuat penentuan stadium klinik, diagnosis histopatologik, sekaligus ditentukan tujuan radiasi, kuratif atau paliatif. Penderita juga dipersiapkan secara mental dan fisik. Pada penderita, bila perlu juga keluarganya diberikan penerangan mengenai perlunya tindakan ini, tujuan pengobatan, efek samping yang mungkin timbul selama periode pengobatan.Pemeriksaan fisik dan laboratorium sebelum radiasi dimulai adalah mutlak. Penderita dengan keadaan umum yang buruk, gizi kurang atau demam tidak diperbolehkan untuk radiasi, kecuali pada keadaan yang mengancam hidup penderita, seperti obstruksi jalan makanan, perdarahan yang masif dari tumor, radiasi tetap dimulai sambil memperbaiki keadaan umum penderita. Sebagai tolok ukur, kadar Hb tidak boleh kurang dari 10 gr%, jumlah lekosit tidak boleh kurang dari 3000 per mm3 dan trombosit 100.000 per uL.3,12. (Abdul R, 2006)c. Penentuan batas-batas lapangan radiasiTindakan ini merupakan salah satu langkah yang terpenting untuk menjamin berhasilnya suatu radioterapi. Lapangan penyinaran meliputi daerah tumor primer dan sekitarnya / potensi penjalaran perkontinuitatum serta kelenjar-kelenjar getah bening regional. Untuk tumor stadium I dan II, daerah-daerah dibawah ini harus disinari :1. Seluruh nasofaring2. Seluruh sfenoid dan basis oksiput3. Sinus kavernosus4. Basis kranii, minimal luasnya 7 cm2 meliputi foramen ovale, kanalis karotikus dan foramen jugularis lateral.5. Setengah belakang kavum nasi6. Sinus etmoid posterior7. 1/3 posterior orbit8. 1/3 posterior sinus maksila9. Fossa pterygoidea10. Dinding lateral dan posterior faring setinggi fossa midtonsilar11. Kelenjar retrofaringeal12. Kelenjar servikalis bilateral termasuk jugular posterior, spinal aksesori dan supraklavikular.Apabila ada perluasan ke kavum nasi atau orofaring ( T3 ) seluruh kavum nasi dan orofaring harus dimasukkan dalam lapangan radiasi. Apabila perluasan melalui dasar tengkorak sudah mencapai rongga kranial, batas atas dari lapangan radiasi terletak di atas fossa pituitary. Apabila penyebaran tumor sampai pada sinus etmoid dan maksila atau orbit, seluruh sinus atau orbit harus disinari. Kelenjar limfe sub mental dan oksipital secara rutin tidak termasuk, kecuali apabila ditemukan limfadenopati servikal yang masif atau apabila ada metastase ke kelenjar sub maksila. Secara garis besar, batas-batas lapangan penyinaran adalah : Batas atas : meliputi basis kranii, sella tursika masuk dalam lapanganradiasi. Batas depan : terletak dibelakang bola mata dan koana Batas belakang : tepat dibelakang meatus akustikus eksterna, kecuali bilaterdapat pembesaran kelenjar maka batas belakang harus terletak 1 cm di belakang kelenjar yang teraba. Batas bawah : terletak pada tepi atas kartilago tiroidea, batas ini berubah bila didapatkan pembesaran kelenjar leher, yaitu 1 cm lebih rendah dari kelenjar yang teraba. Lapangan ini mendapat radiasi dari kiri dan kanan penderita. Pada penderita dengan kelenjar leher yang sangat besar sehingga metode radiasi di atas tidak dapat dilakukan, maka radiasi diberikan dengan lapangan depan dan belakang. Batas atas mencakup seluruh basis kranii. Batas bawah adalah tepi bawah klavikula, batas kiri dan kanan adalah 2/3 distal klavikula atau mengikuti besarnya kelenjar.Kelenjar supra klavikula serta leher bagian bawah mendapat radiasi dari lapangan depan, batas atas lapangan radiasi ini berimpit dengan batas bawah lapangan radiasi untuk tumor primer. (Abdul R, 2006)

Gambar : Daerah penyinaran

Gambar : Daerah penyinaran bagian anteriord. Sinar untuk radioterapiSinar yang dipakai untuk radioterapi adalah :1. Sinar AlfaSinar alfa ialah sinar korpuskuler atau partikel dari inti atom. Inti atom terdiri dari proton dan neutron. Sinar ini tidak dapat menembus kulit dan tidak banyak dipakai dalam radioterapi.2. Sinar BetaSinar beta ialah sinar elektron. Sinar ini dipancarkan oleh zat radioaktif yang mempunyai energi rendah. Daya tembusnya pada kulit terbatas, 3-5 mm. Digunakan untuk terapi lesi yang superfisial.3. Sinar GammaSinar gamma ialah sinar elektromagnetik atau foton. Sinar ini dapat menembus tubuh. Daya tembusnya tergantung dari besar energi yang menimbulkan sinar itu. Makin tinggi energinya atau makin tinggi voltagenya, makin besar daya tembusnya dan makin dalam letak dosis maksimalnya.e. Radioisotop1. Caecium137 :sinar gamma2. Cobalt60 :sinar gamma3. Radium226 :sinar alfa, beta, gamma.f. Teknik RadioterapiAda 3 cara utama pemberian radioterapi, yaitu :1. Radiasi Eksterna / TeleterapiSumber sinar berupa aparat sinar-X atau radioisotop yang ditempatkan di luar tubuh. Sinar diarahkan ke tumor yang akan diberi radiasi. Besar energi yang diserap oleh suatu tumor tergantung dari :a. Besarnya energi yang dipancarkan oleh sumber energib. Jarak antara sumber energi dan tumorc. Kepadatan massa tumor.Teleterapi umumnya diberikan secara fraksional dengan dosis 150-250 rad per kali, dalam 2-3 seri. Diantara seri 1-2 atau 2-3 diberi istirahat 1-2 minggu untuk pemulihan keadaan penderita sehingga radioterapi memerlukan waktu 4-6 minggu.2. Radiasi Interna / BrachiterapiSumber energi ditaruh di dalam tumor atau berdekatan dengan tumor di dalam rongga tubuh. Ada beberapa jenis radiasi interna :a. InterstitialRadioisotop yang berupa jarum ditusukkan ke dalam tumor, misalnya jarum radium atau jarum irridium.b. IntracavitairPemberian radiasi dapat dilakukan dengan :- After loadingSuatu aplikator kosong dimasukkan ke dalam rongga tubuh ketempat tumor. Setelah aplikator letaknya tepat, baru dimasukkanradioisotop ke dalam aplikator itu.- InstalasiLarutan radioisotop disuntikkan ke dalam rongga tubuh, misal :pleura atau peritoneum.3. IntravenaLarutan radioisotop disuntikkan ke dalam vena. Misalnya I131 yang disuntikkan IV akan diserap oleh tiroid untuk mengobati kanker tiroid (Asroel,2002).

f. Dosis radiasiAda 2 jenis radiasi, yaitu :1. Radiasi KuratifDiberikan kepada semua tingkatan penyakit, kecuali pada penderita dengan metastasis jauh. Sasaran radiasi adalah tumor primer, KGB leher dan supra klavikular. Dosis total radiasi yang diberikan adalah 6600-7000 rad dengan fraksi 200 rad, 5 x pemberian per minggu. Setelah dosis 4000 rad medulla spinalis di blok dan setelah 5000 rad lapangan penyinaran supraklavikular dikeluarkan.2. Radiasi PaliatifDiberikan untuk metastasis tumor pada tulang dan kekambuhan lokal. Dosis radiasi untuk metastasis tulang 3000 rad dengan fraksi 300 rad, 5 x per minggu. Untuk kekambuhan lokal, lapangan radiasi terbatas pada daerah kambuh.Setelah dosis mencapai 4000 cGy penderita mendapat istirahat selama 2-3 minggu, pada akhir istirahat dilakukan penilaian respon terhadap tumor untuk kemungkinan mengecilkan lapangan radiasi dan penilaian ada tidaknya metastasis jauh yang manifes. Setelah itu radiasi dilanjutkan 10-13 x 200 cGy lagi untuk tumor primer sehingga dosis total adalah 6000-6600 cGy. Bila tidak didapatkan pembesaran kelenjar regional maka radiasi efektif pada kelenjar leher dan supraklavikular cukup sampai 4000 cGy.g. Respon radiasiSetelah diberikan radiasi, maka dilakukan evaluasi berupa respon terhadap radiasi. Respon dinilai dari pengecilan kelenjar getah bening leher dan pengecilan tumor primer di nasofaring. Penilaian respon radiasi berdasarkan kriteria WHO :- Complete Response : menghilangkan seluruh kelenjar getah bening yang besar.- Partial Response : pengecilan kelenjar getah bening sampai 50% atau lebih.- No Change : ukuran kelenjar getah bening yang menetap.- Progressive Disease : ukuran kelenjar getah bening membesar 25% atau lebih (Asroel,2002).h. Komplikasi radioterapiKomplikasi radioterapi dapat berupa :1. Komplikasi diniBiasanya terjadi selama atau beberapa minggu setelah radioterapi, seperti :- Xerostomia - Mual-muntah- Mukositis - Anoreksi- Dermatitis- Eritema2. Komplikasi lanjutBiasanya terjadi setelah 1 tahun pemberian radioterapi, seperti :- Kontraktur- Gangguan pertumbuhan (Yusuf, 2005).2. KemoterapiKemoterapi sebagai terapi tambahan pada karsinoma nasofaring ternyata dapat meningkatkan hasil terapi. Terutama diberikan pada stadium lanjut atau pada keadaan kambuh (Adlin, 2005).

3. OperasiTindakan operasi pada penderita karsinoma nasofaring berupa diseksi leher radikal dan nasofaringektomi. Diseksi leher dilakukan jika masih ada sisa kelenjar pasca radiasi atau adanya kekambuhan kelenjar dengan syarat bahwa tumor primer sudah dinyatakan bersih yang dibuktikan dengan pemeriksaan radiologik dan serologi.Nasofaringektomi merupakan suatu operasi paliatif yang dilakukan pada kasus-kasus yang kambuh atau adanya residu pada nasofaring yang tidak berhasil diterapi dengan cara lain (Widjoseno, 2005)3. ImunoterapiDengan diketahuinya kemungkinan penyebab dari karsinoma nasofaring adalah virus Epstein-Barr, maka pada penderita karsinoma nasofaring dapat diberikan imunoterapi (Guigay, 2006).

BAB IIIPENUTUP

III.1 Kesimpulan Karsinoma nasofaring merupakan kanker ganas yang tumbuh di daerah nasofaring dengan predileksi di fossa Rossenmuller pada nasofaring yang merupakan daerah transisional dimana epitel kuboid berubah menjadi epitel squamosa. Kejadian karsinoma nasofaring merupakan paling banyak di indonesia, penyebab nya adalah genetik, infeski virus EBV dan lingkungan. Penatalaksanaan karsinoma nasofaring dapat dilakukakn dengan radioterapi, kemoterapi, operasi dan imunoterapi.

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Rasyid. Karsinoma nasofaring : penatalaksanaan radioterapi. Tinjauan pustaka. Dalam : Majalah Kedokteran Nusantara. Vol. XXXIII No.1. Medan : FK USU, 2006. h. 52-8. Adlin Adnan. Beberapa aspek karsinoma nasofaring di bagian THT FK USU/RSUP. H.Adam Malik. Skripsi.Medan : FK USU, 2005.h. 52. Asroel, Harry A. 2002. Penatalaksanaan Radioterapi Pada Karsinoma Nasofaring. USU digital library : Bagian Tenggorokan Hidung danTelinga Universitas Sumatera Utara. Averdi Roezin, Anida Syafril. Karsinoma nasofaring. Dalam : Efiaty A. Soepardi (ed). Buku ajar ilmu penyakit telinga hidung tenggorok. Edisi ketiga. Jakarta : FK UI,1997. h. 149-53.Bambang S.S. 2005. Diagnostik dan Pengelolaan Kanker Telinga, Hidung, Tenggorok dan Kepala Leher. Semarang : Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro. Chan A T C, Teo P M L, Johnson P J. Nasopharyngeal carcinoma. Annals of oncology. 2002; 13: 1007-15 Guigay, J., Temam, S., Bourhis, J., Pignon, J.P. dan Armand, J.P. 2006. Nasopharyngeal carcinoma and therapeutic management: the place of chemotherapy. Annals of Oncology 17 (Supplement 10): x304x307, 2006. doi:10.1093/annonc/mdl278Mansjoer Arif, Dkk, KAPITA SELEKTA KEDOKTERAN, 110-111, Media Aesculapius Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2001, JakartaMcDermott, A.L., Dutt, S.N., Watkinson, J.C.. 2001. The Aetiology of Nasopharyngeal Carcinoma. Clinical Otolaryngology. 26th Edition. Hal. 89-92.National Comprehensive Cancer Network (NCCN). NCCN Clinical Practice Guidelines in Oncology (NCCN Guidelines) : Head and Neck Cancers Version 2.2013. NCCN; 2013. Diakses tanggal 01 Januari 2016 http://oralcancerfoundation.org/treatment/pdf/head-and-neck.pdfRoezin A dan Adham M. Karsinoma nasofaring, pada telinga hidung tenggorok pada kepala & leher. Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 2007: 182-7. Soepardi EA, Iskandar N. 2010. Buku Ajar Ilmu Penyakit Telinga Hidung Tenggorokan Edisi 6. Jakarta: Balai Penerbit FKUISusworo R. Kanker nasofaring epidemiologi dan pengobatan mutakhir. Cermin Dunia Kedokteran. 2004; 144: 16-9.