referat ca nasofaring

64
Bab 1 PENDAHULUAN Karsinoma nasofaring (KNF) merupakan tumor ganas yang paling banyak dijumpai di antara tumor ganas THT di Indonesia, dimana karsinoma nasofaring termasuk dalam lima besar tumor ganas , dengan frekuensi tertinggi (bersama tumor ganas serviks uteri, tumor payudara, tumor getah bening dan tumor kulit), sedangkan didaerah kepala dan leher menduduki tempat pertama ( KNF mendapat persentase hampir 60% dari tumor di daerah kepala dan leher, diikuti tumor ganas hidung dan sinus paranasal 18%, laring 16%, dan tumor ganas rongga mulut, tonsil, hipofaring dalam persentase rendah). 1,2,3 Santosa (1988) mendapatkan jumlah 716 (8,46%) penderita KNF berdasarkan data patologi yang diperoleh di Laboratorium Patologi anatomi FK Unair Surabaya (1973 – 1976) diantara 8463 kasus keganasan di Seluruh tubuh. Di Bagian THT Semarang mendapatkan 127 kasus KNF dari tahun 2000 – 2002. Survei yang dilakukan oleh Departemen Kesehatan pada tahun 1980 secara “pathology based” mendapatkan angka prevalensi karsinoma nasofaring 4,7 per 100.000 penduduk atau diperkirakan 7000 – 8000 kasus per tahun di seluruh Indonesia. 1,2 Penanggulangan karsinoma nasofaring sampai saat ini masih merupakan suatu masalah, hal ini karena etiologi yang masih belum pasti, gejala dini yang tidak khas serta letak nasofaring yang tersembunyi,dan tidak mudah diperiksa oleh mereka yg bukan ahli sehingga diagnosis sering terlambat, dengan ditemukannya metastasis pada leher sebagai gejala 1

Upload: anggraeni-parwati

Post on 02-Jan-2016

669 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

referaat

TRANSCRIPT

Page 1: Referat CA Nasofaring

Bab 1

PENDAHULUAN

Karsinoma nasofaring (KNF) merupakan tumor ganas yang paling banyak dijumpai di

antara tumor ganas THT di Indonesia, dimana karsinoma nasofaring termasuk dalam lima

besar tumor ganas , dengan frekuensi tertinggi (bersama tumor ganas serviks uteri, tumor

payudara, tumor getah bening dan tumor kulit), sedangkan didaerah kepala dan leher

menduduki tempat pertama ( KNF mendapat persentase hampir 60% dari tumor di daerah

kepala dan leher, diikuti tumor ganas hidung dan sinus paranasal 18%, laring 16%, dan tumor

ganas rongga mulut, tonsil, hipofaring dalam persentase rendah).1,2,3

Santosa (1988) mendapatkan jumlah 716 (8,46%) penderita KNF berdasarkan data

patologi yang diperoleh di Laboratorium Patologi anatomi FK Unair  Surabaya (1973 – 1976)

diantara 8463 kasus keganasan di Seluruh tubuh. Di Bagian THT Semarang mendapatkan

127 kasus KNF dari tahun 2000 – 2002. Survei yang dilakukan oleh Departemen Kesehatan

pada tahun 1980 secara “pathology based” mendapatkan angka prevalensi karsinoma

nasofaring 4,7 per 100.000 penduduk atau diperkirakan 7000 – 8000 kasus per tahun di

seluruh Indonesia.1,2

Penanggulangan karsinoma nasofaring sampai saat ini masih merupakan suatu

masalah, hal ini karena etiologi yang masih belum pasti, gejala dini yang tidak khas serta

letak nasofaring yang tersembunyi,dan tidak mudah diperiksa oleh mereka yg bukan ahli

sehingga diagnosis sering terlambat, dengan ditemukannya metastasis pada leher sebagai

gejala pertama. Dengan makin terlambatnya diagnosis maka prognosis ( angka bertahan

hidup 5 tahun) semakin buruk.

Dengan melihat hal tersebut, diharapkan dokter dapat berperan dalam pencegahan,

deteksi dini, terapi maupun rehabilitasi dari karsinoma nasofaring ini. Penulis berusaha untuk

menuliskan aspek-aspek yang dirasakan perlu untuk dipahami melalui tinjauan pustaka dalam

referat ini dan diharapkan dapat bermanfaat.

1

Page 2: Referat CA Nasofaring

Bab 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DEFINISI

Karsinoma adalah pertumbuhan baru yang ganas terdiri dari sel-sel epithelial yang

cenderung menginfiltrasi jaringan sekitarnya dan menimbulkan metastasis.2

Nasofaring merupakan suatu rongga dengan dinding kaku di atas, belakang dan lateral

yang secara anatomi termasuk bagian faring.

Karsinoma Nasofaring merupakan tumor ganas yang timbul pada epithelial pelapis

ruangan dibelakang hidung (nasofaring).2

2.2. EPIDEMIOLOGI dan ETIOLOGI

Angka kejadian Kanker Nasofaring (KNF) di Indonesia cukup tinggi, yakni 4,7

kasus/tahun/100.000 penduduk atau diperkirakan 7000 – 8000 kasus per tahun di seluruh

Indonesia (Survei yang dilakukan oleh Departemen Kesehatan pada tahun 1980 secara

“pathology based”). Santosa (1988) mendapatkan jumlah 716 (8,46%) penderita KNF

berdasarkan data patologi yang diperoleh di Laboratorium Patologi anatomi FK Unair 

Surabaya (1973 – 1976) diantara 8463 kasus keganasan di Seluruh tubuh. Di Bagian THT

Semarang mendapatkan 127 kasus KNF dari tahun 2000 – 2002. Di RSCMJakarta ditemukan

lebih dari 100 kasus setahun, RS. Hasan Sadikin Bandung rata-rata 60 kasus, Ujung Pandang

25 kasus, Denpasar 15 kasus, dan di Padang dan Bukit tinggi (1977-1979). Dalam

pengamatan dari pengunjung poliklinik tumor THT RSCM, pasien karsinoma nasofaring dari

ras Cina relative sedikit lebih banyak dari suku bangsa lainya.1,3

Studi epidemiologi KNF dengan berfokus kepada etiologi dan kebiasaan biologi dari

penyakit ini telah dikemukakan hasilnya oleh UICC (International Union against Cancer)

dalam symposium kanker nasofaring yg diadakan di Singapura tahun 1964, dan dari

investigasi dalam empat dekade terakhir telah ditemukan banyak temuan penting di semua

aspek. KNF mempunyai gambaran epidemiologi yg unik, dalam daerah yg jelas, ras, serta

agregasi family.1,4

KNF mempunyai daerah distribusi endemik yang tidak seimbang antara berbagai

Negara, maupun yang tersebar dalam 5 benua. Tetapi, insiden KNF lebih rendah dari 1/105

2

Page 3: Referat CA Nasofaring

di semua area. Insiden tertinggi terpusat pada di Cina bagian selatan (termasuk Hongkong),

dan insiden ini tertinggi di provinsi Guangdong pada laki-laki mencapai 20-50/100000

penduduk. Berdasarkan data IARC (International Agency for Research on Cancer) tahun

2002 ditemukan sekitar 80,000 kasus baru KNF diseluruh dunia, dan sekitar 50,000 kasus

meninggal dengan jumlah penduduk Cina sekitar 40%. Ditemukan pula cukup banyak kasus

pada penduduk lokal dari Asia Tenggara, Eskimo di Artik dan penduduk di Afrika utara dan

timur tengah 1,4,5

Tumor ini lebih sering ditemukan pada pria dibanding wanita dengan rasio 2-3:1 dan

apa sebabnya belum dapat diungkapkan dengan pasti, mungkin ada hubungannya dengan

faktor genetic, kebiasaan hidup, pekerjaan dan lain-lain. Distribusi umur pasien dengan KNF

berbeda-beda pada daerah dengan insiden yg bervariasi. Pada daerah dengan insiden rendah

insisden KNF meningkat sesuia dengan meningkatnya umur, pada daerah dengan insiden

tinggi KNF meningkat setelah umur 30 tahun, puncaknya pada umur 40-59 tahun dan

menurun setelahnya 5

Ras mongoloid merupakan faktor dominan timbulnya KNF, sehingga kekerapan

cukup tinggi pada pendduduk Cina bagian selatan, Hongkong, Vietnam, Thailand, Malaysia,

Singapura, dan Indonesia. Sekalipun termasuk ras Mongoloid, bangsa Korea, Jepang dan

Tiongkok sebelah utara tidak banyak yang dijumpai mengidap penyakit ini. Berbagai studi

epidemilogik mengenai angka kejadian ini telah dipublikasikan di berbagai jurnal. Salah

satunya yang menarik adalah penelitian mengenai angka kejadian Kanker Nasofaring (KNF)

pada para migran dari daratan Tiongkok yang telah bermukim secara turun temurun di China

town (pecinan) di San Fransisco Amerika Serikat. Terdapat perbedaan yang bermakna dalam

terjadinya Kanker Nasofaring (KNF) antara para migran dari daratan Tiongkok ini dengan

penduduk di sekitarnya yang terdiri atas orang kulit putih (Caucasians), kulit hitam dan

Hispanics, di mana kelompok Tionghoa menunjukkan angka kejadian yang lebih tinggi.

Sebaliknya, apabila orang Tionghoa migran ini dibandingkan dengan para kerabatnya yang

masih tinggal di daratan Tiongkok maka terdapat penurunan yang bermakna dalam hal

terjadinya Kanker Nasofaring (KNF) pada kelompok migran tersebut. Jadi kesimpulan yang

dapat ditarik adalah, bahwa kelompok migran masih mengandung gen yang ‘memudahkan’

untuk terjadinya Kanker Nasofaring (KNF), tetapi karena pola makan dan pola hidup selama

di perantauan berubah maka faktor yang selama ini dianggap sebagai pemicu tidak ada lagi

maka kanker ini pun tidak tumbuh. Untuk diketahui bahwa penduduk di provinsi Guang

Dong ini hampir setiap hari mengkonsumsi ikan yang diawetkan (diasap, diasin), bahkan

3

Page 4: Referat CA Nasofaring

konon kabarnya seorang bayi yang baru selesai disapih, sebagai makanan pengganti susu ibu

adalah nasi yang dicampur ikan asin ini. Di dalam ikan yang diawetkan dijumpai substansi

yang bernama nitrosamine yang terbukti bersifat karsinogen bagi hewan percobaan.1,4,5

Dijumpai pula kenaikan angka kejadian ini pada komunitas orang perahu (boat

people) yang menggunakan kayu sebagai bahan bakar untuk memasak. Hal ini tampak

mencolok pada saat terjadi pelarian besar besaran orang Vietnam dari negaranya. Bukti

epidemiologik lain adalah angka kejadian kanker ini di Singapura. Persentase terbesar yang

dikenai adalah masyarakat keturunan Tionghoa (18,5/100.000 penduduk), disusul oleh

keturunan Melayu (6,5/100.000) dan terakhir adalah keturunan Hindustan (0,5/100.000) 4,5

Prevalensi KNF di Indonesia adalah 3,9 per 100.000 penduduk setiap tahun. Di rumah

Sakit H. Adam Malik Medan, Provinsi Sumatera Utara, penderita KNF ditemukan pada lima

kelompok suku. Suku yang paling banyak menderita KNF adalah suku Batak yaitu 46,7%

dari 30 kasus.5

Karsinoma nasofaring secara histopatologi dapat dibedakan menjadi Karsinoma

nasofaring dengan keratinisasi dan karsinoma nasofaring non-keratinisasi, di mana karsinoma

nasofaring non keratinisasi ada yang berdiferensisasi dan tidak berdiferensisasi. Pada

penelitian ditemukan bahwa Ca Nasofaring non-keratinisasi merespons pengobatan dan terapi

lebih baik dibandingkan Ca Nasofaring keratinisasi. Karsinoma nasofaring non-keratinisasi

merupakan yang paling sering terjadi (75% dari kasus KNF yang ada).1,4,7,8

Dijumpainya Epstein-Barr Virus (EBV), pada hampir semua kasus KNF non

keratinisasi telah mengaitkan terjadinya kanker ini dengan keberadaan virus tersebut. Pada

1966, seorang peneliti menjumpai peningkatan titer antibodi terhadap EBV pada KNF serta

titer antibodi IgG terhadap EBV, capsid antigen dan early antigen. Kenaikan titer ini sejalan

pula dengan tingginya stadium penyakit. Namun virus ini juga acapkali dijumpai pada

beberapa penyakit keganasan lainnya bahkan dapat pula dijumpai menginfeksi orang normal

tanpa menimbulkan manifestasi penyakit. Jadi adanya virus ini tanpa faktor pemicu lain tidak

cukup untuk menimbulkan proses keganasan.4,7,8

Berbeda halnya dengan jenis kanker kepala dan leher lain, Kanker Nasofaring (KNF)

jarang dihubungkan dengan kebiasaan merokok dan minum alkohol tetapi lebih dikaitkan

dengan virus Epstein Barr, predisposisi genetik dan pola makan tertentu. Meskipun demikan

tetap ada peneliti yang mencoba menghubungkannya dengan merokok, secara umum resiko

terhadap KNF pada perokok 2-6 kali dibandingkan dengan bukan perokok (HSU dkk.2009).

4

Page 5: Referat CA Nasofaring

ditemukan juga bahwa menurunnya angka kematian KNF di Amerika utara dan Hongkong

merupakan hasil dari mengurangi frekuensi merokok. Adanya hubungan antara faktor

kebiasaan makan dengan terjadinya KNF dipelajari oleh Ho dkk. Ditemukan kasus KNF

dalam jumlah yang tinggi pada mereka yang gemar mengkonsumsi ikan asin yang dimasak

dengan gaya Kanton (Cantonese-style salted fish). Risiko terjadinya KNF sangat berkaitan

dengan lamanya mereka mengkonsumsi makanan ini. Di beberapa bagian negeri Cina

makanan ini mulai digunakan sebagai pengganti air susu ibu pada saat menyapih.7,8

Tentang faktor genetik telah banyak ditemukan kasus herediter atau familier dari

pasien KNF dengan keganasan pada organ tubuh lain. Suatu contoh terkenal di Cina selatan,

satu keluarga dengan 49 anggota dari dua generasi didapatkan 9 pasien KNF dan 1 menderita

tumor ganas payudara. Secara umum didapatkan 10% dari pasien karsinoma nasofaring

menderita keganasan organ lain.7,8

Penyebab lain yang dicurigai adalah pajanan di tempat kerja seperti formaldehid, debu

kayu serta asap kayu bakar. Belakangan ini penelitian dilakukan terhadap pengobatan alami

(Chinese herbal medicine=CHB). Hildesheim dkk memperoleh hubungan yang erat antara

terjadinya KNF, infeksi EBV dan penggunaan CHB. Beebrapa tanaman dan bahan CHB

dapat menginduksi aktivasi dari virus EBV yang laten. Seperti pada TPA

(Tetradecanoylyphorbol Acetate) yaitu substansi yg ada di alam dan tumbuhan jika

dikombinasi dengan N-Butyrate yang merupkan produk dari bakteri anaerob yang ditemukan

di nasofaring dapat menginduksi sintesis antigen EBV di tikus, meningkatnya transformasi

cell-mediated immunity dari EBV dan mempromosikan pembentukan KNF (genesis).9

2.3. ANATOMI DAN FISIOLOGI NASOPHARING

Nasofaring merupakan rongga dengan dinding kaku di atas, belakang dan lateral. Batas-

batas nasofaring yaitu batas atas (atap) adalah os sphenoid dan sebagian prosessus basilaris,

batas anterior adalah koana dan palatum molle, batas posterior adalah vertebra servikal dan

batas inferior adalah permukaan atas palatum molle dan berhubungan dengan orofaring.4

Batas nasofaring:

Superior : basis kranii, diliputi oleh mukosa dan fascia

Inferior : bidang horizontal yang ditarik dari palatum durum ke posterior, bersifat

subjektif karena tergantung dari palatum durum.

Anterior : choane, oleh os vomer dibagi atas choane kanan dan kiri.

5

Page 6: Referat CA Nasofaring

Posterior : - vertebra cervicalis I dan II

- Fascia space = rongga yang berisi jaringan longgar

- Mukosa lanjutan dari mukosa atas

Lateral : - mukosa lanjutan dari mukosa atas dan belakang

- Muara tuba eustachii

- Fossa rosenmulleri10,11

Pada dinding lateral nasofaring lebih kurang 1,5 inci dari bagian belakang konka nasal

inferior terdapat muara tuba eustachius. Pada bagian belakang atas muara tuba eustachius

terdapat penonjolan tulang yang disebut torus tubarius dan dibelakangnya terdapat suatu

lekukan dari fossa Rosenmuller dan tepat diujung atas posteriornya terletak foramen laserum.

Pada daerah fossa ini sering terjadi pertumbuhan jaringan limfe yang menyempitkan muara

tuba eustachius sehingga mengganggu ventilasi udara telinga tengah.4

Dinding lateral nasofaring merupakan bagian terpenting, dibentuk oleh lamina

faringobasilaris dari fasia faringeal dan otot konstriktor faring superior. Fasia ini mengandung

jaringan fibrokartilago yang menutupi foramen ovale, foramen jugularis, kanalis karotis dan

kanalis hipoglossus. Struktur ini penting diketahui karena merupakan tempat penyebaran

tumor ke intrakranial.

Gambar 1 Anatomi nasofaring

6

Page 7: Referat CA Nasofaring

Gambar 2 Fossa of Rosenmuller

Nasofaring berbentuk kerucut dan selalu terbuka pada waktu respirasi karena

dindingnya dari tulang, kecuali dasarnya yang dibentuk oleh palatum molle. Nasofaring

akan tertutup bila paltum molle melekat ke dinding posterior pada waktu menelan, muntah,

mengucapkan kata-kata tertentu.

Struktur penting yang ada di Nasopharing

1. Ostium Faringeum tuba auditiva muara dari tuba auditiva

2. Torus tubarius, penonjolan di atas ostium faringeum tuba auditiva yang disebabkan

karena cartilago tuba auditiva

3. Torus levatorius, penonjolan di bawah ostium faringeum tuba auditiva yang

disebabkan karena musculus levator veli palatini.

4. Plica salpingopalatina, lipatan di depan torus tubarius

5. Plica salpingopharingea, lipatan di belakang torus tubarius, merupakan penonjolan

dari musculus salphingopharingeus yang berfungsi untuk membuka ostium faringeum

tuba auditiva terutama ketika menguap atau menelan.

6. Recessus Pharingeus disebut juga fossa rossenmuller. Merupakan tempat predileksi

Karsinoma Nasofaring.

7

Page 8: Referat CA Nasofaring

7. Tonsila pharingea, terletak di bagian superior nasopharynx. Disebut adenoid jika ada

pembesaran. Sedangkan jika ada inflammasi disebut adenoiditis.

8. Tonsila tuba, terdapat pada recessus pharingeus.

9. Isthmus pharingeus merupakan suatu penyempitan di antara nasopharing dan

oropharing karena musculus sphincterpalatopharing

10. Musculus constrictor pharingeus dengan origo yang bernama raffae pharingei

Gambar 3 Nasofaring

Fungsi nasofaring :

Sebagai jalan udara pada respirasi

Jalan udara ke tuba eustachii

Resonator

Sebagai drainage sinus paranasal kavum timpani dan hidung

2.4. HISTOLOGI

Mukosa nasofaring dilapisi oleh epitel bersilia repiratory type. Setelah 10 tahun

kehidupan, epitel secara lambat laun bertransformasi menjadi epitel nonkeratinizing

squamous, kecuali pada beberapa area (transition zone). Mukosa mengalami invaginasi

membentuk kripta. Stroma kaya akan jaringan limfoid dan terkadang dijumpai jaringan

limfoid yang reaktif. Epitel permukaan dan kripta sering diinfiltrasi dengan sel radang

8

Page 9: Referat CA Nasofaring

limfosit dan terkadang merusak epitel membentuk reticulated pattern. Kelenjar seromucinous

dapat juga dijumpai, tetapi tidak sebanyak yang terdapat pada rongga hidung.13

Gambar 4 Sel epitel transisional, pelapis nasofaring (Dikutip dari : Respiratory system pre lab [cited 2010 Jan 5]. Available from: http://anatomy.iupui.edu/courses/histo_D502)

2.5. GEJALA DAN TANDA KARSINOMA NASOFARING

Karsinoma nasofaring biasanya dijumpai pada dinding lateral dari nasofaring

termasuk fossa rosenmuler. Yang kemudian dapat menyebar ke dalam ataupun keluar

nasofaring ke sisi lateral lainnya dan atau posterosuperior dari dasar tulang tengkorak atau

palatum, rongga hidung atau orofaring. Metastase khususnya ke kelenjar getah bening

servikal. Metastase jauh dapat mengenai tulang, paru-paru, mediastinum dan hati (jarang).

Gejala yang akan timbul tergantung pada daerah yang terkena1,2. Sekitar separuh pasien

memiliki gejala yang beragam, tetapi sekitar 10% asimtomatik. Pembesaran dari kelenjar

getah bening leher atas yang nyeri merupakan gejala yang paling sering dijumpai5,13. Gejala

dini karsinoma nasofaring sulit dikenali oleh karena mirip dengan infeksi saluran nafas atas.

Gejala klinik pada stadium dini meliputi gejala hidung dan gejala telinga. Ini terjadi

karena tumor masih terbatas pada mukosa nasofaring. Tumor tumbuh mula-mula di fossa

Rosenmuller di dinding lateral nasofaring dan dapat meluas ke dinding belakang dan atap

nasofaring, menyebabkan permukaan mukosa meninggi. Permukaan tumor biasanya rapuh

sehingga pada iritasi ringan dapat tejadi perdarahan. Timbul keluhan pilek berulang dengan

9

Page 10: Referat CA Nasofaring

mukus yang bercampur darah. Kadang-kadang dapat dijumpai epistaksis. Tumor juga dapat

menyumbat muara tuba eustachius, sehingga pasien mengeluhkan rasa penuh di telinga, rasa

berdenging kadang-kadang disertai dengan gangguan pendengaran. Gejala ini umumnya

unilateral, dan merupakan gejala yang paling dini dari karsinoma nasofaring. Sehingga bila

timbul berulang-ulang dengan penyebab yang tidak diketahui perlu diwaspadai sebagai

karsinoma nasofaring6,17.

Pada karsinoma nasofaring stadium lanjut gejala klinis lebih jelas sehingga pada

umumnya telah dirasakan oleh pasien, hal ini disebabkan karena tumor primer telah meluas

ke organ sekitar nasofaring atau mengadakan metastasis regional ke kelenjar getah bening

servikal. Pada stadium ini gejala yang dapat timbul adalah gangguan pada syaraf otak karena

pertumbuhan ke rongga tengkorak dan pembesaran kelenjarleher5,6,17. Tumor yang meluas ke

rongga tengkorak melalui foramen laserasum dan mengenai grup anterior saraf otak yaitu

syaraf otak III, IV dan VI. Perluasan yang paling sering mengenai syaraf otak VI ( paresis

abdusen) dengan keluhan berupa diplopia, bila penderita melirik ke arah sisi yang sakit.

Penekanan pada syaraf otak V memberi keluhan berupa hipestesi ( rasa tebal) pada pipi dan

wajah. Gejala klinik lanjut berupa ophtalmoplegi bila ketiga syaraf penggerak mata terkena.

Nyeri kepala hebat timbul karena peningkatan tekanan intrakranial6,17. Metastasis sel-sel

tumor melalui kelenjar getah bening mengakibatkan timbulnya pembesaran kelenjar getah

bening bagian samping ( limfadenopati servikal). Selanjutnya sel-sel kanker dapat

mengadakan infiltrasi menembus kelenjar dan mengenai otot dibawahnya. Kelenjar menjadi

lekat pada otot dan sulit digerakkan. Limfadenopati servikal ini merupakan gejala utama yang

dikeluhkan oleh pasien6,17.

Gejala nasofaring yang pokok adalah :

1. Gejala Telinga

Oklusi Tuba Eustachius

Pada umumnya bermula pada fossa Rossenmuller. Pertumbuhan tumor dapat

menekan tuba eustachius hingga terjadi oklusi pada muara tuba. Hal ini akan

mengakibatkan gejala berupa mendengung (Tinnitus) pada pasien. Gejala ini

merupakan tanda awal pada KNF.

Oklusi Tuba Eustachius dapat berkembang hingga terjadi Otitis Media.

Sering kali pasien datang sudah dalam kondisi pendengaran menurun, dan

dengan tes rinne dan webber, biasanya akan ditemukan tuli konduktif

10

Page 11: Referat CA Nasofaring

2. Gejala Hidung

Epistaksis; dinding tumor biasanya dipenuhi pembuluh darah yang dindingnya

rapuh, sehingga iritasi ringan pun dapat menyebabkan dinding pembuluh

darah tersebut pecah.

Terjadinya penyumbatan pada hidung akibat pertumbuhan tumor dalam

nasofaring dan menutupi koana. Gejala menyerupai rinitis kronis.

Gejala telinga dan hidung di atas bukanlah gejala khas untuk Karsinoma Nasofaring,

karena dapat ditemukan pada berbagai kasus pada penyakit lain. Namun jika gejala terus

terjadi tanpa adanya respons yang baik pada pengobatan, maka perlu dicurigai akan

adanya penyebab lain yang ada pada penderita; salah satu di antaranya adalah KNF.

3. Gejala Mata

Pada penderita KNF seringkali ditemukan adanya diplopia (penglihatan

ganda) akibat perkembangan tumor melalui foramen laseratum dan

menimbulkan gangguan N. IV dan N. VI. Bila terkena chiasma opticus akan

menimbulkan kebutaan.

4. Tumor sign :

Pembesaran kelenjar limfa pada leher, merupakan tanda penyebaran atau

metastase dekat secara limfogen dari karsinoma nasofaring.

5. Cranial sign :

Gejala cranial terjadi bila tumor sudah meluas ke otak dan mencapai saraf-saraf

kranialis.

Gejalanya antara lain :

Sakit kepala yang terus menerus, rasa sakit ini merupakan metastase secara

hematogen.

Sensitibilitas derah pipi dan hidung berkurang.

Kesukaran pada waktu menelan

Afoni

Sindrom Jugular Jackson atau sindroma reptroparotidean mengenai N. IX, N.

X, N. XI, N. XII. Dengan tanda-tanda kelumpuhan pada:

11

Page 12: Referat CA Nasofaring

o Lidah

o Palatum

o Faring atau laring

o M. sternocleidomastoideus

o M. trapezeus 14,15

Pada penderita KNF, sering ditemukan adanya tuli konduktif bersamaan dengan

elevasi dan imobilitas dari palatum lunak serta adanya rasa nyeri pada wajah dan

bagian lateral dari leher (akibat gangguan pada nervus trigeminal). Ketiga gejala ini

jika ditemukan bersamaan, maka disebut Trotter’s Triad.

2.6. PATOFISIOLOGI KARSINOMA NASOFARING

Karsinoma Nasofaring merupakan munculnya keganasan berupa tumor yang berasal

dari sel-sel epitel yang menutupi permukaan nasofaring. Tumbuhnya tumor akan dimulai

pada salah satu dinding nasofaring yang kemudian akan menginfiltrasi kelenjar dan jaringan

sekitarnya. Lokasi yang paling sering menjadi awal terbentuknya KNF adalah pada Fossa

Rossenmuller. Penyebaran ke jaringan dan kjelenjar limfa sekitarnya kemudian terjadi

perlahan, seperti layaknya metastasis lesi karsinoma lainnya.

Penyebaran KNF dapat berupa :

1. Penyebaran ke atas

Tumor meluas ke intrakranial menjalar sepanjang fossa medialis, disebut penjalaran

Petrosfenoid, biasanya melalui foramen laserum, kemudian ke sinus kavernosus dan

Fossa kranii media dan fossa kranii anterior mengenai saraf-saraf kranialis anterior ( n.I –

n VI). Kumpulan gejala yang terjadi akibat rusaknya saraf kranialis anterior akibat

metastasis tumor ini disebut Sindrom Petrosfenoid. Yang paling sering terjadi adalah

diplopia dan neuralgia trigeminal.

2. Penyebaran ke belakang

Tumor meluas ke belakang secara ekstrakranial menembus fascia pharyngobasilaris

yaitu sepanjang fossa posterior (termasuk di dalamnya foramen spinosum, foramen ovale dll)

di mana di dalamnya terdapat nervus kranialais IX – XII; disebut penjalaran retroparotidian.

Yang terkena adalah grup posterior dari saraf otak yaitu n VII - n XII beserta nervus

simpatikus servikalis. Kumpulan gejala akibat kerusakan pada n IX – n XII disebut sindroma

12

Page 13: Referat CA Nasofaring

retroparotidean atau disebut juga sindrom Jugular Jackson. Nervus VII dan VIII jarang

mengalami gangguan akibat tumor karena letaknya yang tonggi dalam sistem anatomi tubuh,

Gejala yang muncul umumnya antara lain:

a. Trismus

b. Horner Syndrome ( akibat kelumpuhan nervus simpatikus servikalis)

c. Afonia akibat paralisis pita suara

d. Gangguan menelan

3. Penyebaran ke kelenjar getah bening

Penyebaran ke kelenjar getah bening merupakan salah satu penyebab utama sulitnya

menghentikan proses metastasis suatu karsinoma. Pada KNF, penyebaran ke kelenjar getah

bening sangat mudah terjadi akibat banyaknya stroma kelanjar getah bening pada lapisan sub

mukosa nasofaring. Biasanya penyebaran ke kelenjar getah bening diawali pada nodus

limfatik yang terletak di lateral retropharyngeal yaitu Nodus Rouvier.

Di dalam kelenjar ini sel tersebut tumbuh dan berkembang biak sehingga kelenjar

menjadi besar dan tampak sebagai benjolan pada leher bagian samping. Benjolan ini

dirasakan tanpa nyeri karenanya sering diabaikan oleh pasien. Selanjutnya sel-sel kanker

dapat berkembang terus, menembus kelenjar dan mengenai otot dibawahnya. Kelenjar

menjadi lekat pada otot dan sulit digerakkan. Keadaan ini merupakan gejala yang lebih lanjut

lagi. Limfadenopati servikalis merupakan gejala utama yang mendorong pasien datang ke

dokter.

Dari hasil penelitian didapati :

- gejala-gejala hidung sebanyak 77,5%

- gejala-gejala telinga sebanyak 73%

- sakit kepala sebanyak 61%

- pembesaran kelenjar getah bening sebanyak 60%

Dari hasil penelitian lain berdasarkan pemeriksaan fisik didapati :

-Gejala yang paling sering didapati adalah pembesaran kelenjar getah bening tanpa nyeri

sebanyak 80%.

13

Page 14: Referat CA Nasofaring

-Kelumpuhan saraf cranial ditemukan pada 25% penderita

Penelitian mengenai metastase jauh, didapati :

- paru-paru 20%

- tulang 20%

- hati 10%

- ginja1 0,4%

- otak 0,4%

Gejala akibat metastase jauh:

Sel-sel kanker dapat ikut mengalir bersama getah bening atau darah, mengenai organ

tubuh yang letaknya jauh dari nasofaring. Yang sering ialah tulang, hati dari paru. Hal ini

merupakan stadium akhir dan prognosis sangat buruk.

Dalam penelitian lain ditemukan bahwa karsinoma nasofaring dapat mengadakan

metastase jauh, yang terbanyak ke paru-paru dan tulang, masing-masing sebanyak 20%,

sedangkan ke hati 10%, otak 4%, ginjal 0,4%, tiroid 0,4%. Kira-kira 25% penderita datang

berobat ke dokter sudah-mempunyai pertumbuhan ke intrakranial atau pada foto rontgen

terlihat destruksi dasar tengkorak dan hampir 70% metastase kelenjar leher.

Karsinoma nasofaring umumnya disebabkan oleh multifaktor. Sampai sekarang

penyebab pastinya belum jelas. Faktor yang berperan untuk terjadinya karsinoma nasofaring

ini adalah faktor makanan seperti mengkonsumsi ikan asin, sedikit memakan sayur dan buah

segar. Faktor lain adalah non makanan seperti debu, asap rokok, uap zat kimia, asap kayu

bakar dan asap dupa (kemenyan). 2-19

Faktor genetik juga dapat mempengaruhi terjadinya karsinoma nasofaring1. Selain itu

terbukti juga infeksi virus Epstein Barr juga dihubungkan dengan terjadinya karsinoma

nasofaring terutama pada tipe karsinoma nasofaring non-keratinisasi. Hal ini dibuktikan

dengan adanya kenaikan titer antigen EBV dalam tubuh penderita Ca Nasofaring non

keratinisasi dan kenaikan titer ini pun berbanding lurus dengan stadium Ca nasofaring; di

mana semakin berat stadium Ca Nasofaring, ditemukan titer antibodi EBV yang semakin

tinggi. Hal ini dapat dibuktikan dengan dijumpai adanya keberadaan protein-protein laten

pada penderita karsinoma nasofaring. Pada penderita ini sel yang terinfeksi oleh EBV akan

14

Page 15: Referat CA Nasofaring

menghasilkan protein tertentu yang berfungsi untuk proses proliferasi dan mempertahankan

kelangsungan virus di dalam sel host. Protein laten ini dapat dipakai sebagai petanda

(marker) dalam mendiagnosa karsinoma nasofaring, yaitu EBNA-1 dan LMP-1, LMP- 2A

dan LMP-2B. Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya pada 50% serum penderita karsinoma

nasofaring LMP-1 sedangkan EBNA-1 dijumpai di dalam serum semua pasien karsinoma

nasofaring2. Selain itu dibuktikan oleh hasil penelitian Khrisna dkk (2004) terhadap suku

Indian asli bahwa EBV DNA di dalam serum penderita karsinoma nasofaring dapat dipakai

sebagai biomarker pada karsinoma nasofaring primer. 12,13,15

Hubungan antara karsinoma nasofaring dan infeksi virus Epstein-Barr juga

dinyatakan oleh berbagai peneliti dari bagian yang berbeda di dunia ini. Pada pasien

karsinoma nasofaring dijumpai peninggian titer antibodi anti EBV (EBNA-1) di dalam serum

plasma.1-19 EBNA-1 adalah protein nuklear yang berperan dalam mempertahankan genom

virus. Huang dalam penelitiannya, mengemukakan keberadaan EBV DNA dan EBNA di

dalam sel penderita karsinoma nasofaring. 12,13,15

Karsinoma nasofaring sangat sulit didiagnosa, hal ini mungkin disebabkan karena

letaknya sangat tersembunyi dan juga pada keadaan dini pasien tidak datang untuk berobat.

Biasanya pasien baru datang berobat, bila gejala telah mengganggu dan tumor tersebut telah

mengadakan infiltrasi serta metastase pada pembuluh limfe sevikal. Hal ini merupakan

keadaan lanjut dan biasanya prognosis yang jelek. Pemeriksaan terhadap karsinoma

nasofaring dilakukan dengan cara anamnesa penderita dan disertai dengan pemeriksaan

nasofaringoskopi, radiologi, histopatologi, immunohistokimia, dan juga pemeriksaan serologi

dengan menggunakan tehnik Enzyme Linked Immunosorbent Assay atau disingkat dengan

ELISA6. Karena beberapa penelitian telah membuktikan bahwa di dalam serum penderita

karsinoma nasofaring dijumpai EBNA-1 maka sebaiknya pasien yang mempunyai gejala

yang mengarah ke karsinoma nasofaring dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan serologi

yaitu antibodi anti EBV (EBNA-1).13,14,15 Tentang pengaruh EBV yang sebagian besar hanya

ditemukan pada Ca Nasofaring tipe non-keratinisasi belum dapat dijelaskan hingga saat ini.

Proses perkembangan KNF:

15

Tumor Confined in Nasopharynx

Page 16: Referat CA Nasofaring

Gambar 5 Patogenesis KNF

2.6.1 Virus Epstein-Barr

Group : Grup I (dsDNA)

16

Distant Metastis Spread of tumor to nasopharyngealsurrounding parts

Regional Lymph Node Metastasis

Hemmorhage in Nasopharynx

Infection in Nasopharynx

Neurological Symptoms

Other Symptomss

Other Symptomss

Other Symptomss

Other Symptomss

Neurological Symptoms

Page 17: Referat CA Nasofaring

Family : Herpesviridae

Subfamily : Gammaherpesvirinae

Genus : Lymphocryptovirus

Species : Human Herpes Virus 4 (HHV-4)

Virus Epstein-Barr bereplikasi dalam sel-sel epitel dan menjadi laten dalam limfosit B.

Infeksi virus epstein-barr terjadi pada dua tempat utama yaitu sel epitel kelenjar saliva dan sel

limfosit. EBV memulai infeksi pada limfosit B dengan cara berikatan dengan reseptor virus,

yaitu komponen komplemen C3d (CD21 atau CR2). Glikoprotein (gp350/220) pada kapsul

EBV berikatan dengan protein CD21 dipermukaan limfosit B3. Aktivitas ini merupakan

rangkaian yang berantai dimulai dari masuknya EBV ke dalam DNA limfosit B dan

selanjutnya menyebabkan limfosit B menjadi immortal. Sementara itu, sampai saat ini

mekanisme masuknya EBV ke dalam sel epitel nasofaring belum dapat dijelaskan dengan

pasti. Namun demikian, ada dua reseptor yang diduga berperan dalam masuknya EBV ke

dalam sel epitel nasofaring yaitu CR2 dan PIGR (Polimeric Immunogloblin Receptor). Sel

yang terinfeksi oleh virus epstein-barr dapat menimbulkan beberapa kemungkinan yaitu : sel

menjadi mati bila terinfeksi dengan virus epstein-barr dan virus mengadakan replikasi, atau

virus epstein- barr yang menginfeksi sel dapat mengakibatkan kematian virus sehingga sel

kembali menjadi normal atau dapat terjadi transformasi sel yaitu interaksi antara sel dan virus

sehingga mengakibatkan terjadinya perubahan sifat sel sehingga terjadi transformsi sel

menjadi ganas sehingga terbentuk sel kanker.16

Gen EBV yang diekspresikan pada penderita KNF adalah gen laten, yaitu EBERs,

EBNA1, LMP1, LMP2A dan LMP2B. Protein EBNA1 berperan dalam mempertahankan

virus pada infeksi laten. Protein transmembran LMP2A dan LMP2B menghambat sinyal

tyrosine kinase yang dipercaya dapat menghambat siklus litik virus. Diantara gen-gen

tersebut, gen yang paling berperan dalam transformasi sel adalah gen LMP1. Struktur protein

LMP1 terdiri atas 368 asam amino yang terbagi menjadi 20 asam amino pada ujung N, 6

segmen protein transmembran (166 asam amino) dan 200 asam amino pada ujung karboksi

(C). Protein transmembran LMP1 menjadi perantara untuk sinyal TNF (tumor necrosis

factor) dan meningkatkan regulasi sitokin IL-10 yang memproliferasi sel B dan menghambat

respon imun lokal. 16

17

Page 18: Referat CA Nasofaring

2.6.2 Genetik

Walaupun karsinoma nasofaring tidak termasuk tumor genetik, tetapi kerentanan

terhadap karsinoma nasofaring pada kelompok masyarakat tertentu relative menonjol dan

memiliki agregasi familial. Analisis korelasi menunjukkan gen HLA (human leukocyte

antigen) dan gen pengode enzim sitokrom p450 2E1 (CYP2E1) kemungkinan adalah gen

kerentanan terhadap karsinoma nasofaring. Sitokrom p450 2E1 bertanggung jawab atas

aktivasi metabolik yang terkait nitrosamine dan karsinogen.

Analisa genetik pada populasi endemik berhubungan dengan HLA-A2, HLAB17 dan

HLA-Bw26. Dimana orang dengan yang memiliki gen ini memiliki resiko dua kali lebih

besar menderita karsinoma nasofaring. Studi pada orang Cina dengan keluarga menderita

karsinoma nasofaring dijumpai adanya kelemahan lokus pada regio HLA. Studi dari

kelemahan HLA pada orang-orang Cina menunjukkan bahwa orang-orang dengan HLA

A*0207 atau B*4601 tetapi tidak pada A*0201 memiliki resiko yang meningkat untuk

terkena karsinoma nasofaring.13,14,15,17

2.6.3 Faktor lingkungan

Sejumlah besar studi kasus yang dilakukan pada populasi yang berada di berbagai

daerah di asia dan america utara, telah dikonfirmasikan bahwa ikan asin dan makanan

lain yang awetkan mengandung sejumlah besar nitrosodimethyamine (NDMA),

nitrospurrolidene (NPYR) dan nitrospiperidine (NPIP ) yang mungkin merupakan faktor

karsinogenik karsinoma nasofaring. Selain itu pengkonsumsi alkohol dan perokok juga

merupakan salah satu faktor yan diperkirakan menginisiasi terjadinya karsinoma

18

Gambar 6 Infeksi EBV

Page 19: Referat CA Nasofaring

nasofaring. Di mana alkohol dan asap rokok ditemukan mengadung formaldehyde yang

diteliti merupakan faktor risiko karsinoma nasofaring dengan cara mengaktifkan kembali

infeksi dari EBV.13,14,15,17

2.7 DIAGNOSIS

Jika ditemukan adanya kecurigaan yang mengarah pada suatu karsinoma nasofaring,

protokol dibawah ini dapat membantu untuk menegakkan diagnosis pasti serta stadium

tumor:

2.7.1. Anamnesis / pemeriksaan fisik

Anamnesis berdasarkan keluhan yang dirasakan pasien (tanda dan gejala KNF)

2.7.1.1 Pemeriksaan Nasofaring

Pemeriksaan tumor primer di nasofaring dapat dilakukan dengan cara rinoskopi posterior

(tidak langsung) dan nasofaringoskop (langsung) serta fibernasofaringoskopi15.Jika

ditemukan tumor berupa massa yang menonjol pada mukosa dan memiliki permukaan halus,

berrnodul dengan atau tanpa ulserasi pada permukaan atau massa yang menggantung dan

infiltratif. Namun terkadang tidak dijumpai lesi pada nasofaring sehingga harus dilakukan

biopsi dan pemeriksaan sitologi.

2.7.1.2 Gejala Klinis

Menurut Formula Digby, setiap simptom mempunyai nilai diagnostik dan

berdasarkan jumlah nilai dapat ditentukan ada tidaknya karsinoma nasofaring

Tabel 1 Formula Digsby 17

Gejala Nilai

19

Page 20: Referat CA Nasofaring

Massa terlihat pada Nasofaring

Gejala khas di hidung

Gejala khas pendengaran

Sakit kepala unilateral atau bilateral

Gangguan neurologik saraf kranial

Eksoftalmus

Limfadenopati leher

25

15

15

5

5

5

25

Bila jumlah nilai mencapai 50, diagnosa klinik karsinoma nasofaring dapat

dipertangungjawabkan. Sekalipun secara klinik jelas karsinoma nasofaring, namun

biopsi tumor primer mutlak dilakukan, selain untuk konfirmasi diagnosis

histopatologi, juga menentukan subtipe histopatologi yang erat kaitannya dengan

pengobatan dan prognosis.17

2.7.2 Biopsi nasofaring

Diagnosis pasti dari KNF ditentukan dengan diagnosis klinik ditunjang dengan

diagnosis histologik atau sitologik. Diagnosis histologik atau sitologik dapat

ditegakan bila dikirim suatu material hasil biopsy cucian, hisapan (aspirasi), atau

sikatan (brush), biopsy dapat dilakukan dengan 2 cara, yaitu dari hidung atau dari

mulut. Biopsi tumor nasofaring umunya dilakukan dengan anestesi topical dengan

xylocain 10%.

Biopsi melalui hidung dilakukan tanpa melihat jelas tumornya (blind biopsy).

Cunam biopsy dimasukan melalui rongga hidung menyelusuri konka media ke

nasofaring kemudian cunam diarahkan ke lateral dan dilakukan biopsy.

Biopsy melalui mulut dengan memakai bantuan kateter nelaton yang

dimasukan melalui hidung dan ujung kateter yang berada dalam mulut ditarik

keluar dan diklem bersama-sama ujung kateter yang dihdung. Demikian juga

kateter yang dari hidung disebelahnya, sehingga palatum mole tertarik ke

atas. Kemudian dengan kacalaring dilihat daerah nasofaring. biopsy dilakukan

20

Page 21: Referat CA Nasofaring

dengan melihat tumor melalui kaca tersebut atau memakai nasofaringoskop

yang dimasukan melalui mulut, masaa tumor akan terlihat lebih jelas.

Bila dengan cara ini masih belum didapatkan hasil yang memuaskan mala dilakukan

pengerokan dengan kuret daerah lateral nasofaring dalam narkosis.

2.7.3 Sitologi dan Histopatologi

Klasifikasi WHO tahun 1978 untuk karsinoma nasofaring (1) Keratinizing

squamous cell carcinoma ditandai dengan adanya keratin atau intercellular bridge

atau keduanya. (2) Non keratinizing squamous cell carcinoma yang ditandai dengan

batas sel yang jelas (pavement cell pattern). (3) Undifferentiated carcinoma ditandai

oleh pola pertumbuhan syncitial, sel-sel poligonal berukuran besar atau sel dengan

bentuk spindel,anak inti yang menonjol dan stroma dengan infiltrasi sel-sel radang

limfosit.1,2,3,4 Sedangkan klasifikasi WHO tahun 1991 membagi karsinoma nasofaring

menjadi Keratinizing squamous cell carcinoma, Non keratinizing squamous cell

carcinoma terdiri atas differentiated dan undifferentiated dan Basaloid Carcinoma. 1,

18

Tipe tanpa diferensiasi dan tanpa keratinisasi mempunyai sifat yang sama, yaitu

bersifat radiosensitif. Sedangkan jenis dengan keratinisasi tidak begitu radiosensitif.18

2.7.3.1 Sitologi

Squamous Cell Carcinoma

Inti squamous cell carcinoma bentuknya lebih "spindel" dan lebih memanjang dengan

khromatin inti yang padat dan tersebar tidak merata. Pleomorfisme dari inti dan membran inti

lebih jelas. Selalu terlihat perbedaan (variasi) yang jelas dalam derajat khromasia di antara

inti yang berdampingan. Nukleoli bervariasi dalam besar dan jumlahnya. Sitoplasma lebih

padat, berwarna biru dan batas sel lebih mudah dikenal. Perbandingan inti, sitoplasma dan

nukleolus adalah inti lebih kecil. Keratinisasi merupakan indikasi yang paling dapat

dipercaya sebagai tanda adanya diferensiasi ke arah squamous cell. Bila keratinisasi tidak

terlihat maka dijumpainya halo pada sitoplasma di sekitar inti dan kondensasi sitoplasma

pada bagian pinggir sel merupakan penuntun yang sangat menolong untuk mengenal lesi

tersebut sebagai squamous cell carcinoma. 19

21

Page 22: Referat CA Nasofaring

Gambar 7 Cytology smear showing clusters of keratinizing squamous

carcinoma indicating metastasis in the lymph node. (MGG X 400)

(*cited from The Internet Journal of Pathology™ ISSN: 1528-8307)

Undifferentiated Carcinoma

Gambaran sitologi yang dapat dijumpai pada undifferentiated carcinoma berupa

kelompokan sel-sel berukuran besar yang tidak berdiferensiasi, inti yang membesar dan

khromatin pucat, terdapat anak inti yang besar, sitoplasma sedang, dijumpai latar belakang

sel-sel radang limfosit diantara sel-sel epitel. 19,20,21 Dijumpai gambaran mikroskopis yang

sama dari aspirat yang berasal dari lesi primer dan metastase pada kelenjar getah bening

regional 19,20

22

Page 23: Referat CA Nasofaring

Gambar 8 Kelompokan sel-sel epitel undifferentiated, dengan latar belakang limfosit.Tampak sitoplasma yang eosinofilik dan anak inti yang prominen (Dikutip dari: Orell, SR, Philips,J.

Fine-Needle Aspiration Cytology, Fourth Edition Elsevier, 2005).

2.7.3.2 Histopatologi

Keratinizing Squamous Cell Carcinoma

Pada pemeriksaan histopatologi keratinizing squamous cell carcinoma memiliki

kesamaan bentuk dengan yang terdapat pada lokasi lainnya.5,13 Dijumpai adanya diferensiasi

dari sel squamous dengan intercellular bridge atau keratinisasi.2,6 Tumor tumbuh dalam

bentuk pulau-pulau yang dihubungkan dengan stroma yang desmoplastik dengan infiltrasi sel-

sel radang limfosit, sel plasma, neutrofil dan eosinofil yang bervariasi. Sel-sel tumor

berbentuk poligonal dan stratified. Batas antar sel jelas dan dipisahkan oleh intercellular

bridge. Sel-sel pada bagian tengah pulau menunjukkan sitoplasma eosinofilik yang banyak

mengindikasikan keratinisasi. Dijumpai adanya keratin pearls.19,20

23

Page 24: Referat CA Nasofaring

Gambar 9 Keratinizing Squamous Cell Carcinoma (Dikutip dari: Rosai J. Rosai andAckermans Surgical Pathology,Volume one, Ninth Edition, Philadelphia: Mosby,

2004).

Gambar 10 Keratinizing Squamous Cell Carcinoma (Dikutip dari: Rosai J. Rosai andAckermans Surgical Pathology,Volume one, Ninth Edition, Philadelphia: Mosby,

2004).

Non Keratinizing Squamous Cell Carcinoma

Pada pemeriksaan histopatologi non keratinizing squamous cell carcinoma

memperlihatkan gambaran stratified dan membentuk pulau-pulau.2,12 Sel-sel menunjukkan

batas antar sel yang jelas dan terkadang dijumpai intercellular bridge yang samar-samar.

Dibandingkan dengan undifferentiated carcinoma ukuran sel lebih kecil, rasio inti sitoplasma

lebih kecil, inti lebih hiperkhromatik dan anak inti tidak menonjol 19,20

24

Page 25: Referat CA Nasofaring

Gambar 11 Non Keratinizing Squamous Cell Carcinoma. (Dikutip dari: Rosai J. Rosaiand Ackermans Surgical Pathology,Volume one, Ninth Edition, Philadelphia: Mosby,

2004).

Undifferentiated Carcinoma

Pada pemeriksaan undifferentiated carcinoma memperlihatkan gambaran sinsitial

dengan batas sel yang tidak jelas,inti bulat sampai oval dan vesikular, dijumpai anak inti. Sel-

sel tumor sering tampak terlihat tumpang tindih6. Beberapa sel tumor dapat berbentuk

spindel. Dijumpai infiltrat sel radang dalam jumlah banyak, khususnya limfosit, sehingga

dikenal juga sebagai lymphoepithelioma. Dapat juga dijumpai sel-sel radang lain, seperti sel

plasma, eosinofil, epitheloid dan multinucleated giant cell (walaupun jarang)2,12.

Terdapat dua bentuk pola pertumbuhan tipe undifferentiated yaitu tipe Regauds, yang

terdiri dari kumpulan sel-sel epiteloid dengan batas yang jelas yang dikelilingi oleh jaringan

ikat fibrous dan sel-sel limfosit. Yang kedua tipe Schmincke, sel-sel epitelial neoplastik

tumbuh difus dan bercampur dengan sel-sel radang. Tipe ini sering dikacaukan dengan large

cell malignant lymphoma. 19,20

25

Page 26: Referat CA Nasofaring

Gambar 12 Undifferentiated Carcinoma terdiri dari sel-selyang membentuk sarang-sarang padat( “Regaud type”). (Dikutip dari: Rosai J. Rosai and Ackermans Surgical Pathology,Volume one,

Ninth Edition, Philadelphia: Mosby, 2004).

Gambar 13 Undifferentiated Carcinoma terdiri sel-sel yang tumbuh membentuk gambaransyncytial yang difus (Schmincke type). (Dikutip dari: Rosai J. Rosai and Ackermans Surgical

Pathology,Volume one, Ninth Edition, Philadelphia: Mosby, 2004).

Pemeriksaan yang teliti dari inti sel tumor dapat membedakan antara karsinoma

nasofaring dan large cell malignant lymphoma, dimana inti dari karsinoma nasofaring

memiliki gambaran vesikular, dengan pinggir inti yang rata dan berjumlah satu, dengan anak

inti yang jelas berwarna eosinophil. Inti dari malignant lymphoma biasanya pinggirnya lebih

iregular, khromatin kasar dan anak inti lebih kecil dan berwarna basofilik atau amphofilik.

Terkadang undifferentiated memiliki sel-sel dengan bentuk oval atau spindle. 19,20

26

Page 27: Referat CA Nasofaring

Basaloid Squamous Cell Carcinoma

Bentuk mikroskopis lain yang jarang dijumpai adalah basaloid squamous cell

carcinoma5,12. Tipe ini memiliki dua komponen yaitu sel-sel basaloid dan sel-sel squamous.

Sel-sel basaloid berukuran kecil dengan inti hiperkhromatin dan tidak dijumpai anak inti dan

sitoplasma sedikit. Tumbuh dalam pola solid dengan konfigurasi lobular dan pada beberapa

kasus dijumpai adanya peripheral palisading. Komponen sel-sel squamous dapat in situ atau

invasif. Batas antara komponen basaloid dan squamous jelas. 19,20

Gambar 14 Basaloid Squamous Cell Carcinoma pada nasofaring.Sel-sel basaloid menunjukkanfestoonin growth pattern, sel-sel basaloid berselang-seling dengan squamous differentiaton.

(Dikutip dari: Barnes L. Eveson JW. Reichart P. Sidrasky D. Pathology and Genetic Head andNeck Tumours. Lyon: IARC Press, 2003).

2.7.4 Pemeriksaan radiologi

Pemeriksaan radiologi pada kecurigaan KNF merupakan pemeriksaan penunjang

diagnostic yang penting. Dapat dilakukan foto polos, CT Scan ataupun MRI. Saat ini untuk

mendiagnosa secara pasti C.T Scan dan MRI merupakan suatu modalitas utama. Melalui C.T

Scan dan MRI dapat dilihat secara jelas ada tidaknya massa dan sejauh apa penyebaran massa

tersebut, hingga dapat membantu dalam menentukan stadium dan jenis terapi yang akan

dilakukan.

Tujuan utama pemeriksaan radiologik tersebut adalah:

Memberikan diagnosis yang lebih pasti pada kecurigaan adanya tumor pada

daerah nasofaring

Menentukan lokasi yang lebih tepat dari tumor tersebut

27

Page 28: Referat CA Nasofaring

Mencari dan menetukan luasnya penyebaran tumor ke jaringan sekitarnya.12,21

a. Computed Tomography Scan (C. T Scan)

Fig. 1.-Example of early nasopharyngeal Fig. 2.-Tumor has spread through pharyngobasilarcarcinoma. There is blunting of left fossa of fascia to involve parapharyngeal fat space.Rosenmuller and enlargement of levator palatini Note that normal fat density of this space is partlymuscle. Although there is asymmetry of superficial obliterated and that there is obvious asymmetry of the fossamucosal contours of nasopharynx, the changes can be of Rosenmuller. quite subtle

b. Magnetic Resonance Imaging (MRI)

28

Page 29: Referat CA Nasofaring

3 Pemeriksaan neurologis. Karena nasofaring berhubungan dekat dengan rongga

tengkorak melalui beberapa foramen, maka gangguan beberapa saraf otak dapat terjadi

sebagai gejala lanjut KNF ini.14,20

4 Pemeriksaan serologi.

Pemeriksaan serologi IgA anti EA (early antigen) dan igA anti VCA (capsid antigen)

untuk infeksi virus E-B telah menunjukan kemajuan dalam mendeteksi karsinoma

nasofaring. Tjokro Setiyo dari FK UI Jakarta mendapatkan dari 41 pasien karsinoma

nasofaring stadium lanjut (stadium III dan IV) senstivitas IgA VCA adalah 97,5%

dan spesifitas 91,8% dengan titer berkisar antara 10 sampai 1280 dengan terbanyak

titer 160. IgA anti EA sensitivitasnya 100% tetapi spesifitasnya hanya 30,0%,

sehingga pemeriksaan ini hanya digunakan untuk menetukan prognosis pengobatan,

titer yang didpat berkisar antara 80 sampai 1280 dan terbanyak 160. 14,20

2.8 DIAGNOSIS BANDING

1. Hiperplasia adenoid

Biasanya terdapat pada anak-anak, jarang pada orang dewasa, pada anak-anak

hyperplasia ini terjadi karena infeksi berulang. Pada foto polos akan terlihat suatu

massa jaringan lunak pada atap nasofaring umumnya berbatas tegas dan umumnya

simetris serta struktur-struktur sekitarnya tak tampak tanda- tanda infiltrasi seperti

tampak pada karsinoma. 12,14

2. Angiofibroma juvenilis

Biasanya ditemui pada usia relatif muda dengan gejala-gejala menyerupai

KNF. Tumor ini kaya akan pembuluh darah dan biasnya tidak infiltrative. Pada foto

polos akan didapat suatu massa pada atap nasofaring yang berbatas tegas. Proses

dapat meluas seperrti pada penyebaran karsinoma, walaupun jarang menimbulkan

destruksi tulang hanya erosi saja karena penekanan tumor. Biasanya ada

pelengkungan ke arah depan dari dinding belakang sinus maksilarisyang dikenal

sebagai antral sign. Karena tumor ini kaya akan vaskular maka arteriografi karotis

eksterna sangat diperlukan sebab gambaranya sangat karakteristik. Kadang-kadang

sulit pula membedakan angiofibroma juvenils dengan polip hidung pada foto

polos.14,18

3. Tumor sinus sphenooidalis

29

Page 30: Referat CA Nasofaring

Tumor ganas primer sinus sphenoidalis adalah sangat jarang dan biasanya

tumor sudah sampai stadium agak lanjut waktu pasien dating untuk pemeriksaan

pertama.14,18,19

4. Neurofibroma

Kelompok tumor ini sering timbul pada ruang faring lateral sehingga

menyerupai keganasan dinding lateral nasofaring. Secara C.T. Scan, pendesakan

ruang para faring ke arah medial dapat membantu mebedakan kelompok tumor ini

dengan KNF.14,19

5. Tumor kelenjar parotis

Tumor kelenjar parotis terutama yang berasal dari lobus yang terletak agak

dalam mengenai ruang parafaring dan menonjol ke arah lumen nasofaring. Pada

sebagian besar kasus terlihat pendesakan ruang parafaring ke arah medial yang

tampak pada pemeriksaan C.T.Scan.12,14,18,19

6. Chordoma

Walaupun tanda utama chordoma adalah destruksi tulang, tetapi mengingat

KNF pun sering menimbulkan destruksi tulang, maka sering timbul kesulitan untuk

membedakannya. Dengan foto polos, dapat dilihat kalsifikasi atau destruksi terutama

di daerah clivus. CT dapat membantu melihat apakah ada pembesaran kelenjar

cervikal bagian atas karena chordoma umumnya tidak memperlihatkan kelainan pada

kelenjar tersebut sedangkan KNF sering bermetastasis ke kelenjar getah bening.12,14,19

7. Meningioma basis kranii

Walaupun tumor ini agak jarang tetapi gambarannya kadang-kadang

meyerupai KNF dengan tanda-tanda sklerotik pada daerah basis kranii. Ganbaran CT

meningioma cukup karakteristik yaitu sedikit hiperdense sebelum penyuntikan zat

kontras dan akan menjadi sangat hiperdense setelah pemberian zat kontras intravena.

Pemeriksaan arteiografi juga sangat membantu diagnosis tumor ini.12,14,19

2.9. STADIUM

Penentuan stadium yang terbaru berdasarkan atas kesepakatan antara UICC (Union

Internationale Contre Cancer) pada tahun 1992 adalah sebagai berikut :

30

Page 31: Referat CA Nasofaring

T = Tumor, menggambarkan keadaan tumor primer, besar dan perluasannya.

T0 : Tidak tampak tumor

T1 : Tumor terbatas pada 1 lokasi di nasofaring

T2 : Tumor meluas lebih dari 1 lokasi, tetapi masih di dalam rongga nasofaring

T3 : Tumor meluas ke kavum nasi dan / atau orofaring

T4 : Tumor meluas ke tengkorak dan / sudah mengenai saraf otak

N = Nodul, menggambarkan keadaan kelenjar limfe regional

N0 : Tidak ada pembesaran kelenjar

N1 : Terdapat pembesaran kelenjar homolateral yang masih dapat digerakkan

N2 : Terdapat pembesaran kelenjar kontralateral / bilateral yang masih dapat digerakkan

N3 :Terdapat pembesaran kelenjar baik homolateral, kontralateral atau bilateral, yang sudah

melekat pada jaringan sekitar.

M = Metastase, menggambarkan metastase jauh

M0 : Tidak ada metastase jauh

M1 : Terdapat metastase jauh.2,3,9-13

Berdasarkan TNM tersebut di atas, stadium penyakit dapat ditentukan :

Stadium I : T1 N0 M0

Stadium II : T2 N0 M0

Stadium III : T3 N0 M0

T1,T2,T3 N1 M0

Stadium IV : T4 N0,N1 M0

Tiap T, N2,N3 M0

Tiap T, Tiap N, M12

Menurut American Joint Committee Cancer tahun 1988, tumor staging dari

nasofaring diklasifikasikan sebagai berikut :

Tis : Carcinoma in situ

T1 : Tumor yang terdapat pada satu sisi dari nasofaring atau tumor yang tak dapat

dilihat, tetapi hanya dapat diketahui dari hasil biopsi.

T2 : Tumor yang menyerang dua tempat, yaitu dinding postero-superior dan

dindinglateral.

31

Page 32: Referat CA Nasofaring

T3 : Perluasan tumor sampai ke dalam rongga hidung atau orofaring.

T4 : Tumor yang menjalar ke tengkorak kepala atau menyerang saraf cranial (atau

keduanya).12,13,14,16

2.10. PROGNOSIS

Ditemukan bahwa karsinoma nasofaring tipe 1 (karsinoma sel skuamosa) memiliki prognosis

yang lebih buruk dibandingkan dengan karsinoma nasofaring tipe 2 dan 3. Hal ini terjadi

karena pada karsinoma nasofaring tipe 1, mestastasis lebih mudah terjadi. Secara

keseluruhan, angka bertahan hidup 5 tahun adalah 45 %. Prognosis diperburuk oleh beberapa

faktor, seperti :

Stadium yang lebih lanjut.

Usia lebih dari 40 tahun

Laki-laki dari pada perempuan

Ras Cina dari pada ras kulit putih

Adanya pembesaran kelenjar leher

Adanya kelumpuhan saraf otak adanya kerusakan tulang tengkorak

Adanya metastasis jauh12,16

2.11. KOMPLIKASI

Metastasis ke kelenjar limfa dan jaringan sekitar merupakan suatu komplikasi yang

selalu terjadi. Pada KNF, sering kali terjadi komplikasi ke arah nervus kranialis yang

bermanifestasi dalam bentuk :

1. Petrosphenoid sindrom

Tumor tumbuh ke atas ke dasar tengkorak lewat foramen laserum sampai sinus

kavernosus menekan saraf N. III, N. IV, N.VI juga menekan N.II. yang memberikan

kelainan :

32

Page 33: Referat CA Nasofaring

Neuralgia trigeminus ( N. V ) : Trigeminal neuralgia merupakan suatu nyeri

pada wajah sesisi yang ditandai dengan rasa seperti terkena aliran listrik yang

terbatas pada daerah distribusi dari nervus trigeminus.

Ptosis palpebra ( N. III )

Ophthalmoplegia ( N. III, N. IV, N. VI )20

2. Retroparidean sindrom

Tumor tumbuh ke depan kearah rongga hidung kemudian dapat menginfiltrasi ke

sekitarnya. Tumor ke samping dan belakang menuju ke arah daerah parapharing dan

retropharing dimana ada kelenjar getah bening. Tumor ini menekan saraf N. IX, N. X,

N. XI, N. XII dengan manifestasi gejala :

N. IX : kesulitan menelan karena hemiparesis otot konstriktor superior serta

gangguan pengecapan pada sepertiga belakang lidah

N. X : hiper / hipoanestesi mukosa palatum mole, faring dan laring disertai

gangguan respirasi dan saliva

N XI : kelumpuhan / atrofi oto trapezius , otot SCM serta hemiparese palatum

mole

N. XII : hemiparalisis dan atrofi sebelah lidah.

Sindrom horner : kelumpuhan N. simpaticus servicalis, berupa penyempitan

fisura palpebralis, onoftalmus dan miosis.20

3. Sel-sel kanker dapat ikut mengalir bersama getah bening atau darah, mengenai organ

tubuh yang letaknya jauh dari nasofaring. Yang sering adalah tulang, hati dan paru.

Hal ini merupakan hasil akhir dan prognosis yang buruk. Dalam penelitian lain

ditemukan bahwa karsinoma nasofaring dapat mengadakan metastase jauh, ke paru-

paru dan tulang, masing-masing 20 %, sedangkan ke hati 10 %, otak 4 %, ginjal 0.4

%, dan tiroid 0.4 %. 11,12,17

33

Page 34: Referat CA Nasofaring

2.12. PENATALAKSANAAN

2.12.1. Radioterapi

Sampai saat ini radioterapi masih memegang peranan penting dalam penatalaksanaan

karsinoma nasofaring. Penatalaksanaan pertama untuk karsinoma nasofaring adalah

radioterapi dengan atau tanpa kemoterapi.

Sampai saat ini pengobatan pilihan terhadap tumor ganas nasofaring adalah radiasi,

karena kebanyakan tumor ini tipe anaplastik yang bersifat radiosensitif. Radioterapi

dilakukan dengan radiasi eksterna, dapat menggunakan pesawat kobal (Co60 ) atau dengan

akselerator linier ( linier Accelerator atau linac). Radiasi pada jaringan dapat menimbulkan

ionisasi air dan elektrolit dari cairan tubuh baik intra maupun ekstra seluler, sehingga timbul

ion H+ dan OH- yang sangat reaktif. Ion itu dapat bereaksi dengan molekul DNA dalam

kromosom, sehingga dapat terjadi :

1. Rantai ganda DNA pecah

2. Perubahan cross-linkage dalam rantai DNA

3. Perubahan base yang menyebabkan degenerasi atau kematian sel.

Dosis lethal dan kemampuan reparasi kerusakan pada sel-sel kanker lebih rendah dari

sel-sel normal, sehingga akibat radiasi sel-sel kanker lebih banyak yang mati dan yang tetap

rusak dibandingkan dengan sel-sel normal.

Sel-sel yang masih tahan hidup akan mengadakan reparasi kerusakan DNA-nya

sendiri-sendiri. Kemampuan reparasi DNA sel normal lebih baik dan lebih cepat dari sel

kanker. Keadaan ini dipakai sebagai dasar untuk radioterapi pada kanker.

Radiasi ini ditujukan pada kanker primer didaerah nasofaring dan ruang parafaringeal

serta pada daerah aliran getah bening leher atas, bawah seerta klasikula. Radiasi daerah getah

bening ini tetap dilakukan sebagai tindakan preventif sekalipun tidak dijumpai pembesaran

kelenjar. Metode brakhiterapi, yakni dengan memasukkan sumber radiasi kedalam rongga

nasofaring saat ini banyak digunakan guna memberikan dosis maksimal pada tumor primer

tetapi tidak menimbulkan cidera yang serius pada jaringan sehat disekitarnya. Kombinasi ini

diberikan pada kasus-kasus yang telah memeperoleh dosis radiasi eksterna maksimum tetapi

masih dijumpai sisa jaringan kanker atau pada kasus kambuh lokal. Perkembangan teknologi

pada dasawarsa terakhir telah memungkinkan pemberian radiasi yang sangat terbatas pada

daerah nasofaring dengan menimbulkan efek samping sesedikit mungkin. Metode yang

disebut sebagai IMRT ( Intersified Modulated Radiotion Therapy ) telah digunakan

dibeberapa negara maju.

34

Page 35: Referat CA Nasofaring

Prinsip Pengobatan Radiasi, inti sel dan plasma sel terdiri dari (1) RNA “Ribose

Nucleic Acid“ dan (2) DNA “ Desoxy Ribose Nucleic Acid “. DNA terutama terdapat paa

khromosom “ ionizing radiation “ menghambat metabolisme DNA dan menghentikan

aktifitas enzim nukleus. Akibatnya pada inti sel terjadi khromatolisis dan plasma sel menjadi

granuar serta timbul vakuola-vakuola yang kahirnya berakibat sel akan mati dan menghilang.

Pada suatu keganasan ditandai oleh mitosis sel yang berlebihan ; stadium profase mitosis

merupakan stadium yang paling rentan terhadap radiasi. Daerah nasofaring dan sekitarnya

yang meliputi fosa serebri media, koane dan daerah parafaring sepertiga leher bagian atas.

Daerah-daerah lainnya yang dilindungi dengan blok timah. Arah penyinaran dari lateral

kanan dan kiri, kecuali bila ada penyerangan kerongga hidung dan sinus paranasal maka perlu

penambahan lapangan radiasi dari depan. Pada penderita dengan stadium yang masih

terbataas (T1,T2), maka luas lapangan radiasi harus diperkecil setelah dosis radiasi mencapai

4000 rad , terutama dari atas dan belakang untuk menghindari bagian susunan saraf pusat .

Dengan lapangan radiasi yang terbatas ini, radiasi dilanjutkan sampai mencapai dosis seluruh

antara 6000- 7000 rad . pada penderita dengan stadium T3 dan T4, luas lapangan radiasi tetap

dipertahankan sampai dosis 6000 rad. Lapangan diperkecil bila dosis akan ditingkatkan lagi

sampai sekitar 7000 rad. Daerah penyinaran kelenjar leher sampai fosa supraklavikula.

Apabila tidak ada metastasis kelenjar leher, maka radiasi daerah leher ini bersifat profilaktik

dengan dosis 4000 rad, sedangkan bila ada metastasis diberikan dosis yang sama dengan

dosis daerah tumor primer yaitu 6000 rad, atau lebih. Untuk menghindari gangguan

penyinaran terhadap medulla spinalis, laring dan esofagus, maka radiasi daerah leher dan

supraklavikula ini, sebaiknya diberikan dari arah depan dengan memakai blok timah didaerah

leher tengah.

Hasil pengobatan yang dinyatakan dalam angka respons terhadap penyinaran sangat

tergantung pada stadium tumor. Makin lanjut stadium tumor, makin berkurang responsnya.

Untuk stadium I dan II, diperoleh respons komplit 80% - 100% dengan terapi radiasi.

Sedangkan stadium III dan IV, ditemukan angka kegagalan respons lokal dan metastasis jauh

yang tinggi, yaitu 50% - 80%. Angka ketahanan hidup penderita karsinoma nasofaring

tergantung beberapa faktor, diantaranya yang terpenting adalah stadium penyakit.22

2.12.1.1 Tujuan Radioterapi

1. Radiasi Kuratif

Diberikan kepada semua tingkatan penyakit, kecuali pada penderita dengan metastasis

jauh. Sasaran radiasi adalah tumor primer, KGB leher dan supra klavikular. Dosis total

35

Page 36: Referat CA Nasofaring

radiasi yang diberikan adalah 6600-7000 rad dengan fraksi 200 rad, 5 x pemberian per

minggu. Setelah dosis 4000 rad medulla spinalis di blok dan setelah 5000 rad lapangan

penyinaran supraklavikular dikeluarkan.22

2. Radiasi Paliatif

Diberikan untuk metastasis tumor pada tulang dan kekambuhan lokal. Dosis radiasi

untuk metastasis tulang 3000 rad dengan fraksi 300 rad, 5 x per minggu. Untuk kekambuhan

lokal, lapangan radiasi terbatas pada daerah kambuh.22

Bagian Radiologi FK UI / RSCM memberikan dosis per fraksi 200 cGy yang

diberikan 5 x dalam seminggu untuk tumor primer maupun kelenjar. Setelah dosis mencapai

4000 cGy penderita mendapat istirahat selama 2-3 minggu, pada akhir istirahat dilakukan

penilaian respon terhadap tumor untuk kemungkinan mengecilkan lapangan radiasi dan

penilaian ada tidaknya metastasis jauh yang manifes. Setelah itu radiasi dilanjutkan 10-13 x

200 cGy lagi untuk tumor primer sehingga dosis total adalah 6000-6600 cGy. Bila tidak

didapatkan pembesaran kelenjar regional maka radiasi efektif pada kelenjar leher dan

supraklavikular cukup sampai 4000 cGy.22

Di bagian Radiologi FK USU / RS.Dr. Pirngadi Medan, radiasi diberikan secara

bertahap dengan dosis 200 cGy dosis tumor 5 x per minggu untuk tumor primer dan KGB

leher sampai mencapai dosis total 6000 cGy, dengan menggunakan pesawat megavoltage dan

menggunakan radioisotop Cobalt60.22

2.12.1.2 Respon radiasi

Setelah diberikan radiasi, maka dilakukan evaluasi berupa respon terhadap radiasi.

Respon dinilai dari pengecilan kelenjar getah bening leher dan pengecilan tumor primer di

nasofaring. Penilaian respon radiasi berdasarkan kriteria WHO :

- Complete Response : menghilangkan seluruh kelenjar getah bening yang besar.

- Partial Response : pengecilan kelenjar getah bening sampai 50% atau lebih.

- No Change : ukuran kelenjar getah bening yang menetap.

- Progressive Disease : ukuran kelenjar getah bening membesar 25% atau lebih.

2.12.1.3 Komplikasi radioterapi

a) Komplikasi dini

Biasanya terjadi selama atau beberapa minggu setelah radioterapi, seperti :

- Xerostomia - Mual-muntah

36

Page 37: Referat CA Nasofaring

- Mukositis (nyeri telan, mulut kering, dan hilangnya cita rasa) kadang

diperparah dengan infeksi jamur pada mukosa lidah dan palatum

- Anoreksia

- Xerostamia (kekeringan mukosa mulut akibat disfungsi kelenjar

parotis yang terkena radiasi)

- Eritema

b) Komplikasi lanjut

Biasanya terjadi setelah 1 tahun pemberian radioterapi, seperti :

- Kontraktur

- Penurunan pendengaran

- Gangguan pertumbuhan

Untuk menghindari efek samping semaksimal mungkin maka sebelum dan selama

pengobatan, bahkan setelah selesai terapi, pasien akan selalu diawasi oleh dokter. Perawatan

sebelum radiasi adalah dengan membenahi gigi geligi, memberikan informasi kepada pasien

mengenai metode pembersihan ruang mulut dan gigi secara benar. Untuk mengurangi

keluhan penderita juga dapat diberikan obat kumur yang mengandung adstringens, misalnya

bactidol, efisol, gargarisma diberikan 3-4 kali sehari. Bila tampak tanda-tanda moniliasis

diberikan antimikotik misalnya funfilin. Pemberian obat-obatan yang mengandung anestesi

local seperti FG troches bias mengurangi keluhan nyeri telan. Untuk keluhan umum nausea,

anorexia dan sebagainya bisa diberikan obat-obatan simptomatik terhadap keluhan tersebut.22

2.12.2. Kemoterapi

Kemoterapi sebagai terapi tambahan pada karsinoma nasofaring ternyata dapat

meningkatkan hasil terapi. Terutama diberikan pada stadium lanjut atau pada keadaan

kambuh.14,15,18,23

2.12.2.1 Indikasi Kemoterapi

Terapi adjuvan tidak dapat diberikan begitu saja tetapi memiliki indikasi yaitu bila setelah

mendapat terapi utamanya yang maksimal ternyata :

- kankernya masih ada, dimana biopsi masih positif

- kemungkinan besar kankernya masih ada, meskipun tidak ada bukti secara makroskopis.

37

Page 38: Referat CA Nasofaring

- pada tumor dengan derajat keganasan tinggi ( oleh karena tingginya resiko kekambuhan

dan metastasis jauh). 15,18,23

2.12.2.2 Kemoterapi berdasarkan waktu pemberiannya

Berdasarkan saat pemberiannya kemoterapi adjuvan pada tumor ganas kepala leher

dibagi menjadi

1. neoadjuvant atau induction chemotherapy (yaitu pemberian kemoterapi mendahului

pembedahan dan radiasi)

2. concurrent, simultaneous atau concomitant chemoradiotherapy (diberikan

bersamaan dengan penyinaran atau operasi)

3. post definitive chemotherapy (sebagai terapi tambahan paska pembedahan dan atau

radiasi )14,16,23

2.12.2.3 Efek Samping Kemoterapi

Agen kemoterapi tidak hanya menyerang sel tumor tapi juga sel normal yang

membelah secara cepat seperti sel rambut, sumsum tulang dan Sel pada traktus gastro

intestinal. Akibat yang timbul bisa berupa perdarahan, depresi sumsum tulang yang

memudahkan terjadinya infeksi. Pada traktus gastro intestinal bisa terjadi mual, muntah

anoreksia dan ulserasi saluran cerna. Sedangkan pada sel rambut mengakibatkan kerontokan

rambut. Jaringan tubuh normal yang cepat proliferasi misalnya sum-sum tulang, folikel

rambut, mukosa saluran pencernaan mudah terkena efek obat sitostatika. Untungnya sel

kanker menjalani siklus lebih lama dari sel normal, sehingga dapat lebih lama dipengaruhi

oleh sitostatika dan sel normal lebih cepat pulih dari pada sel kanker23

Efek samping yang muncul pada jangka panjang adalah toksisitas terhadap jantung,

yang dapat dievaluasi dengan EKG dan toksisitas pada paru berupa kronik fibrosis pada paru.

Toksisitas pada hepar dan ginjal lebih sering terjadi dan sebaiknya dievalusi fungsi faal

hepar dan faal ginjalnya. Kelainan neurologi juga merupakan salah satu efek samping

pemberian kemoterapi.23

38

Page 39: Referat CA Nasofaring

Kemoradioterapi kombinasi adalah pemberian kemoterapi bersamaan dengan

radioterapi dalam rangka mengontrol tumor secara lokoregional dan meningkatkan survival

pasien dengan cara mengatasi sel kanker secara sistemik lewat mikrosirkulasi.22,23

2.12.2.4 Manfaat Kemoradioterapi

Manfaat pemberian keoterapi adjuvan antara lain :

1. Mengecilkan massa tumor, karena dengan mengecilkan tumor akan memberikan hasil

terapi radiasi lebih efektif. Telah diketahui bahwa pusat tumor terisi sel hipoksik dan

radioterapi konvensional tidak efektif jika tidak terdapat oksigen. Pengurangan massa

tumor akan menyebabkan pula berkurangnya jumlah sel hipoksia.

2. Mengontrol metastasis jauh dan mengontrol mikrometastase.

3. Modifikasi melekul DNA oleh kemoterapi menyebabkan sel lebih sensitif terhadap

radiasi yang diberikan (radiosensitiser). 22,23

Terapi kombinasi ini selain bisa mengontrol sel tumor yang radioresisten, memiliki

manfaat juga untuk menghambat pertumbuhan kembali sel tumor yang sudah sempat terpapar

radiasi.20,22,23

Kemoterapi neoajuvan dimaksudkan untuk mengurangi besarnya tumor sebelum

radioterapi. Pemberian kemoterapi neoadjuvan didasari atas pertimbangan vascular bed

tumor masih intak sehingga pencapaian obat menuju massa tumor masih baik. Disamping itu,

kemoterapi yang diberikan sejak dini dapat memberantas mikrometastasis sistemik seawal

mungkin. Kemoterapi neoadjuvan pada keganasan kepala leher stadium II – IV dilaporkan

overall response rate sebesar 80 %- 90 % dan CR ( Complete Response ) sekitar 50%.

Kemoterapi neoadjuvan yang diberikan sebelum terapi definitif berupa radiasi dapat

mempertahankan fungsi organ pada tempat tumbuhnya tumor (organ preservation). 20,22,23

Secara sinergi agen kemoterapi seperti Cisplatin mampu menghalangi perbaikan

kerusakan DNA akibat induksi radiasi. Sedangkan Hidroksiurea dan Paclitaxel dapat

memperpanjang durasi sel dalam keadaan fase sensitif terhadap radiasi. 20,22,23

Kemoterapi yang diberikan secara bersamaan dengan radioterapi (concurrent or

concomitant chemoradiotherapy ) dimaksud untuk mempertinggi manfaat radioterapi.

Dengan cara ini diharapkan dapat membunuh sel kanker yang sensitif terhadap kemoterapi

dan mengubah sel kanker yang radioresisten menjadi lebih sensitif terhadap radiasi.

39

Page 40: Referat CA Nasofaring

Keuntungan kemoradioterapi adalah keduanya bekerja sinergistik yaitu mencegah resistensi,

membunuh subpopulasi sel kanker yang hipoksik dan menghambat recovery DNA pada sel

kanker yang sublethal. 20,22,23

2.12.2.5 Kelemahan Kemoradioterapi

Kelemahan cara ini adalah meningkatkan efek samping antara lain mukositis,

leukopeni dan infeksi berat. Efek samping yang terjadi dapat menyebabkan penundaan

sementara radioterapi. Toksisitas Kemoradioterapi dapat begitu besar sehingga berakibat

fatal. 22,23

Beberapa literatur menyatakan bahwa pemberian kemoterapi secara bersamaan

dengan radiasi dengan syarat dosis radiasi tidak terlalu berat dan jadwal pemberian tidak

diperpanjang, maka sebaiknya gunakan regimen kemoterapi yang sederhana sesuai jadwal

pemberian.22,23

Untuk mengurangi efek samping dari kemoradioterapi diberikan kemoterapi tunggal

(single agent chemotherapy) dosis rendah dengan tujuan khusus untuk meningkatkan

sensitivitas sel kanker terhadap radioterapi (radiosensitizer). Sitostatika yang sering

digunakan adalah Cisplatin, 5-Fluorouracil dan MTX dengan response rate 15%-47%.22,23

2.12.3. Operasi

Tindakan operasi pada penderita karsinoma nasofaring berupa diseksi leher radikal dan

nasofaringektomi. Diseksi leher dilakukan jika masih ada sisa kelenjar pasca radiasi atau

adanya kelenjar dengan syarat bahwa tumor primer sudah dinyatakan bersih yang dibuktikan

dengan pemeriksaan radiologik dan serologi. Nasofaringektomi merupakan suatu operasi

paliatif yang dilakukan pada kasus-kasus yang kambuh atau adanya residu pada nasofaring

yang tidak berhasil diterapi dengan cara lain.

2.12.4. Imunoterapi

Dengan diketahuinya kemungkinan penyebab dari karsinoma nasofaring adalah virus

Epstein-Barr, maka pada penderita karsinoma nasofaring dapat diberikan imunoterapi, yaitu

dengan mengambil sampel darah tepi dari penderita, yang kemudian melalui suatu proses

imunohistokimia, dibuat suatu vaksin yang kemudian diinjeksikan kembali ke tubuh pasien di

mana diharapkan melalui injeksi vaksin tersebut, tubuh akan memberikan reaksi imunitas

40

Page 41: Referat CA Nasofaring

baru terhadap EBV. Namun teknik ini masih dalam pen elitian sehingga belum dapat

digunakan dalam terapi kanker nasofaring.

2.13. PENCEGAHAN

Penerangan akan kebiasaan hidup yang salah, mengubah cara memasak makanan

untuk mencegah akibat yang timbul dari bahan-bahan yang berbahaya.

Penyuluhan mengenai lingkungan hidup yang tidak sehat, meningkatkan keadaan

sosial ekonomi dan berbagai hal yang berkaitan dengan kemungkinan-kemungkinan

faktor penyebab.

Melakukan tes serologik IgA anti VCA dan IgA anti EA secara massal di masa yang

akan datang bermanfaat dalam menemukan karsinoma nasofaring secara lebih dini.

41

Page 42: Referat CA Nasofaring

BAB 3

PENUTUP

3.1 KESIMPULAN

Karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas nomor satu yang mematikan dan

menempati urutan ke 10 dari seluruh tumor ganas di tubuh.

Banyak faktor yang diduga berhubungan dengan KNF, yaitu

(1)Adanya infeksi EBV,

(2) Faktor lingkungan

(3) Genetik

Karsinoma nasofaring banyak ditemukan pada ras mongoloid, termasuk di Indonesia

3.2 SARAN

Deteksi awal yang cermat terhadap gejala karsinoma nasofaring sangatlah diperlukan

walaupun sulit, karena seringkalai penderita KNF terdeteksi pada stadium lanjut.

42

Page 43: Referat CA Nasofaring

DAFTAR PUSTAKA

1. Averdi Roezin, Aninda Syafril. Karsinoma Nasofaring. Dalam: Efiaty A. Soepardi

(ed). Buku ajar ilmu penyakit telinga hidung tenggorok. Edisi kelima. Jakarta : FK UI,

2001. h. 146-50.

2. Harry a. Asroel. Penatalaksanaan radioterapi pada karsinoma nasofaring. Referat.

Medan: FK USU,2002.h. 1-11.

3. Hasibuan R, A. H. pharingologi. Jakarta: Samatra Media Utama, 2004.h. 70-81.

4. Kartikawati, Henny. Penatalaksanaan karsinoma nasofaring menuju terapi

kombinasi/kemoradioterapi.

5. Lu Jiade J, Cooper Jay S, M Lee Anne WM. The epidemiologi of Nasopharigeal

Carcinoma In : Nasopharyngeal Cancer. Berlin : Springer,2010. p. 1-9.

6. Susworo, Makes D. Karsinoma nasofaring aspek radiodiagnostik dan radioterapi.

Jakarta: FK UI, 1987.h. 69-82.

7. Susworo, R. Kanker nasofaring : epidemiologi dan pengobatan mutakhir. Tinjauan

pustaka artikel. Dalam: Cermin Dunia Kedokteran. No. 144, 2004.h. 16-18.

8. Ahmad, A.. 2002. Diagnosis dan Tindakan Operatif pada Penatalaksanaan

Karsinoma Nasofaring dan Pengobatan Suportif. Jakarta: FKUI. Hal. 1-13.

9. Arif Mansjoer, et al.. 1999. Kapita Selekta Kedokteran. Ed.III. Jilid 1. Jakarta: Media

Aesculapius FKUI. Hal. 371-396

10. Averdi Roezin, Aninda Syafril. 2001. Karsinoma Nasofaring. Dalam: Efiaty A.

Soepardi (Ed.). Buku Ajar Ilmu Penyakit Telinga Hidung Tenggorok. Edisi kelima.

Jakarta: FKUI. Hal.146-50.

11. Ballenger J. Jacob.. 1994. Penyakit Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher.

ed.13. Jilid 1. Jakarta: Binarupa Aksara. Hal. 371-396

12. Cottrill, C.P., Nutting, C.M.. 2003. Tumours of The Nasopharynx. Dalam: Evans

P.H.R., Montgomery P.Q., Gullane P.J. (Ed.). Principles and Practice of Head and

Neck Oncology. United Kingdom: Martin-Dunitz. Hal. 473-81.

13. Kurniawan A. N.. 1994. Nasopharynx dan Pharynx. Kumpulan kuliah Patologi.

Jakarta: FKUI. Hal.151-152

43

Page 44: Referat CA Nasofaring

14. McDermott, A.L., Dutt, S.N., Watkinson, J.C.. 2001. The Aetiology of

Nasopharyngeal Carcinoma. Clinical Otolaryngology. 26th Edition. Hal. 89-92.

15. Mansjoer Arif, Dkk, KAPITA SELEKTA KEDOKTERAN, 110-111, Media

Aesculapius Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2001, Jakarta

16. http://en.wikipedia.org/wiki/Epstein-Barr_virus "

17. http://www.pdgionline.com/web/index.php?

option=content&task=view&id=600&Itemid=0&limit=1&limitstart=1

18. 11. T.Yohanita, Ramsi Lutan. Pengobatan karsinoma nasofaring dengan radioterapi.

Laporan kasus. Dalam : Majalah Kedokteran Nusantara. Vol.XXVI No.1. Medan: FK

USU, 1996. h. 15-20.

19. Abdul Rasyid. Karsinoma nasofaring : penatalaksanaan radioterapi. Tinjauan pustaka.

Dalam : Majalah Kedokteran Nusantara. Vol. XXXIII No.1. Medan : FK USU, 2000.

h. 52-8.

20. Muhammad Yunus, Ramsi Lutan. Efek samping radioterapi pada pengobatan

karsinoma nasofaring. Referat. Medan : FK USU, 2000.h. 1-16.

21. I Dewa Gede Sukardja. Onkologi klinik. Surabaya : FK Unair, 1996.h. 179-87.

22. Adlin Adnan. Beberapa aspek karsinoma nasofaring di bagian THT FK USU/RSUP.

H.Adam Malik. Skripsi.Medan : FK USU, 1996.h. 52.

23. Ho JHC. Staging and radiotherapy of nasopharyngeal carcinoma. In : Cancer in Asia

Pacific. Vol.1. Hong Kong, 1998.p. 487-93

44