ca nasofaring

49
BAB I PENDAHULUAN Karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas yang paling banyak dijumpai di antara tumor ganas THT di Indonesia. Karsinoma nasofaring termasuk dalam 5 besar tumor ganas dengan frekuensi tertinggi bersama dengan tumor ganas serviks, tumor payudara, tumor getah bening, dan tumor kulit. Di daerah kepala leher karsinoma nasofaring merupakan keganasan paling sering ditemukan (60%) diikuti tumor ganas hidung dan sinus paranasal, laring, dan tumor ganas rongga mulut, tonsil, dan hipofaring (Adham, 2007). Secara global, pada tahun 2000 diperkirakan terdapat 65.000 kasus baru dan 38.000 kematian yang diakibatkan oleh kanker nasofaring (WHO, 2005). Sedangkan di Indonesia, frekusensi pasien hampir merata di setiap daerah. Di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta saja ditemukan lebih dari 100 kasus setahun, RS Hasan Sadikin Bandung rata-rata 60 kasus, Ujung Pandang 25 kasus, Palembang 25 kasus, dan 11 kasus di Padang dan Bukit Tinggi (Adham, 2007). 1

Upload: anggrian-iba

Post on 21-Feb-2016

11 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Laporan Kasus

TRANSCRIPT

Page 1: Ca Nasofaring

BAB I

PENDAHULUAN

Karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas yang paling banyak

dijumpai di antara tumor ganas THT di Indonesia. Karsinoma nasofaring

termasuk dalam 5 besar tumor ganas dengan frekuensi tertinggi bersama

dengan tumor ganas serviks, tumor payudara, tumor getah bening, dan tumor

kulit. Di daerah kepala leher karsinoma nasofaring merupakan keganasan

paling sering ditemukan (60%) diikuti tumor ganas hidung dan sinus

paranasal, laring, dan tumor ganas rongga mulut, tonsil, dan hipofaring

(Adham, 2007).

Secara global, pada tahun 2000 diperkirakan terdapat 65.000 kasus

baru dan 38.000 kematian yang diakibatkan oleh kanker nasofaring (WHO,

2005). Sedangkan di Indonesia, frekusensi pasien hampir merata di setiap

daerah. Di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta saja ditemukan lebih

dari 100 kasus setahun, RS Hasan Sadikin Bandung rata-rata 60 kasus, Ujung

Pandang 25 kasus, Palembang 25 kasus, dan 11 kasus di Padang dan Bukit

Tinggi (Adham, 2007).

Penanggulangan karsinoma nasofaring sampai saat ini masih

merupakan suatu problem, hal ini karena etiologi yang masih belum pasti,

gejala dini yang tidak khas serta letak nasofaring yang tersembunyi,dan tidak

mudah diperiksa oleh mereka yg bukan ahli sehingga diagnosis sering

terlambat, dengan ditemukannya metastasis pada leher sebagai gejala

pertama. Dengan makin terlambatnya diagnosis maka prognosis ( angka

bertahan hidup 5 tahun) semakin buruk.

Dalam makalah ini akan dijabarkan kasus karsinoma nasofaring yang

ditemukan di RS Muhammadiyah Palembang.

1

Page 2: Ca Nasofaring

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi 2.1.1 Faring

Faring adalah suatu kantong fibromuskuler yang bentuknya seperti

corong, yang besar di bagian atas dan sempit bagian bawah. Kantong ini

mulai dari dasar tengkorak kemudian menyambung ke esophagus setinggi

vertebra servikal 6.

a. Ke atas faring berhubungan dengan rongga hidung melalui koana,

b. Ke depan berhubungan dengan rongga mulut melalui ismus orofaring,

sedangkan dengan laring di bawah berhubungan dengan rongga mulut

melalui ismus aditus laring.

c. Ke bawah berhubungan dengan esophagus.

Dinidng faring dibentuk oleh (dari dalam keluar) selaput lendir, fasia

faringobasiler, pembungkus otot dan sebagian fasia bukofaringeal. (Adams ,

1997)

Untuk keperluan klinis faring dibagi manjadi 3 bagian utama, yaitu

nasofaring, orofaring, dan laringofaring atau hipofaring. Nasofaring

merupakan sepertiga bagian atas faring, yang tidak dapat bergerak kecuali

palatum mole di bagian bawah. Orofaring terdapat pada bagian tengan faring,

dari batas bawah palatum mole sampai permukaan lingual epiglotis. Pada

orofaring terdapat tonsila palatina dengan arkusnya, dan tonsila lingualis pada

dasar lidah. Hipofaring merupakan bagian bawah faring yang menunjukkan

daerah saluran napas atas yang terpisah dari saluran pencernaan bagian atas

(Adams, 1997).

2

Page 3: Ca Nasofaring

2.1.2. Nasofaring

Nasofaring merupakan rongga dengan dinding kaku di atas, belakang,

dan lateral. Di sebelah atas nasofaring dibentuk oleh korpus sfenoid dan

prosesus basilar os. Oksipital, sebelah anterior oleh koana dan palatum mole,

sebelah posterior oleh vertebra servikalis, dan di sebelah inferior nasofaring

berlanjut menjadi orofaring. Orifisium tuba Eustachius terletak pada dinding

lateral nasofaring, di belakang ujung posterior konka inferior. Di sebelah atas

belakang orifisium tuba Eustachius terdapat satu penonjolan yang dibentuk

oleh kartilago Eustachius ( Ballenger, 1997).

Ruang nasofaring memiliki hubungan dengan beberapa organ penting

(Adams dalam Adams et al, 1997):

Pada dinding posterior terdapat jaringan adenoid yang meluas ke arah kubah.

Pada dinding lateral dan pada resesus faringeus terdapat jaringan limfoid yang

dikenal sebagai fossa Rosenmuller.

Torus tubarius merupakan refleksi mukosa faringeal di atas bagian kartilagi

tuba eustachius, berbentuk lonjong, tampak seperti penonjolan ibu jari ke

dinding lateral nasofaring di atas perlekatan palatum mole.

Koana posterior rongga hidung.

Foramen kranial yang terletak berdekatan dan dapat terkena akibat perluasan

penyakit nasofaring, termasuk foramen jugularis yang dilalui nervus

glosofaringeus, vagus, dan asesorius spinalis, dan foramen hipoglosus yang

dilalui nervus hipoglosus.

Struktur pembuluh darah yang penting dan terletak berdekatan adalah sinus

petrosus inferior, vena jugularis interna, cabang-cabang meningeal dari

oksipital dan arteri faringeal asenden.

Tulang temporalis bagian petrosa dan foramen laserum yang letaknya dekat

dengan bagian lateral atap nasofaring.

Ostium dari sinus-sinus sfenoid.

3

Page 4: Ca Nasofaring

4

Page 5: Ca Nasofaring

Batas-batas nasofaring:

Superior : basis cranii, diliputi oleh mukosa dan fascia

Inferior : bidang horizontal yang ditarik dari palatum durum ke

posterior, batas ini bersifat subyektif karena tergantung dari palatum durum.

Anterior : koana, yang dipisahkan menjadi koana dekxtra dan sinistra

oleh os vomer

Posterior : vertebra ervicalis I dan II, fascia space, mukosa lanjutan dari

mukosa bagian atas

Lateral : mukosa lanjutandari mukosa di bagian superior dan posterior,

muara tuba Eustachii, Fossa Rosenmuller

2.2. Karsinoma Nasofaring

A. Epidemiologi

Angka kejadian Kanker Nasofaring (KNF) di Indonesia cukup tinggi,

yakni 4,7 kasus/tahun/100.000 penduduk atau diperkirakan 7000 – 8000

kasus per tahun di seluruh Indonesia (Survei yang dilakukan oleh

Departemen Kesehatan pada tahun 1980 secara “pathology based”). Santosa

(1988) mendapatkan jumlah 716 (8,46%) penderita KNF berdasarkan data

patologi yang diperoleh di Laboratorium Patologi anatomi FK Unair

5

Page 6: Ca Nasofaring

Surabaya (1973 – 1976) diantara 8463 kasus keganasan di Seluruh tubuh. Di

Bagian THT Semarang mendapatkan 127 kasus KNF dari tahun 2000 – 2002.

Di RSCMJakarta ditemukan lebih dari 100 kasus setahun, RS. Hasan Sadikin

Bandung rata-rata 60 kasus, Ujung Pandang 25 kasus, Denpasar 15 kasus,

dan di Padang dan Bukit tinggi (1977-1979). Dalam pengamatan dari

pengunjung poliklinik tumor THT RSCM, pasien karsinoma nasofaring dari

ras Cina relative sedikit lebih banyak dari suku bangsa lainya. Studi

epidemiologi KNF dengan berfokus kepada etiologi dan kebiasaan biologi

dari penyakit ini telah dikemukakan hasilnya oleh UICC (International

Union against Cancer) dalam symposium kanker nasofaring yg diadakan di

Singapura tahun 1964 (MUIR,dkk.1967), dan dari investigasi dalam empat

dekade terakhir telah ditemukan banyak temuan penting di semua aspek.

KNF mempunyai gambaran epidemiologi yg unik, dalam daerah yg jelas, ras,

serta agregasi family.

KNF mempunyai daerah distribusi endemic yang tidak seimbang antara

berbagai Negara, maupun yang tersebar dalm 5 benua. Tetapi, insiden KNF

lebih rendah dari 1/105 di semua area. Insiden tertinggi terpusat pada di Cina

bagian selatan (termasuk Hongkong), dan insiden ini tertinggi di provinsi

Guangdong pada laki-laki mencapai 20-50/100000 penduduk. Berdasarkan

data IARC (International Agency for Research on Cancer) tahun 2002

ditemukan sekitar 80,000 kasus baru KNF diseluruh dunia, dan sekitar 50,000

kasus meninggal dengan jumlah penduduk Cina sekitar 40%. Ditemukan pula

cukup banyak kasus pada penduduk local dari Asia Tenggara, Eskimo di

Artik dan penduduk di Afrika utara dan timur tengah (Lu. 2010)

Tumor ini lebih sering ditemukan pad pria disbanding wanita dengan rasio 2-

3:1 dan apa sebabnya belum dapat diungkapkan dengan pasti, mungkin ada

hubungannya dengan factor genetic, kebiasaan hidup, pekerjaan dan lain-lain.

Distribusi umur pasien dengan KNF berbeda-beda pada daerah dengan

insiden yg bervariasi. Pada daerah dengan insiden rendah insisden KNF

6

Page 7: Ca Nasofaring

meningkat sesuia dengan meningkatnya umur, pada daeraj dengan insiden

tinggi KNF meningkat setelah umur 30 tahun, ;uncaknya pada umur 40-59

tahun dan menurun setelahnya.

Ras mongoloid merupakan factor dominan timbulnya KNF, sehingga

kekerapan cukup tinggi pada pendduduk CIna bagian selatan, Hongkong,

Vietnam, Thailand, Malaysia, Singapura, dan Indonesia. Sekalipun termasuk

ras Mongoloid, bangsa Korea, Jepang dan Tiongkok sebelah utara tidak

banyak yang dijumpai mengidap penyakit ini. Berbagai studi epidemilogik

mengenai angka kejadian ini telah dipublikasikan di berbagai jurnal. Salah

satunya yang menarik adalah penelitian mengenai angka kejadian Kanker

Nasofaring (KNF) pada para migran dari daratan Tiongkok yang telah

bermukim secara turun temurun di China town (pecinan) di San Fransisco

Amerika Serikat. Terdapat perbedaan yang bermakna dalam terjadinya

Kanker Nasofaring (KNF) antara para migran dari daratan Tiongkok ini

dengan penduduk di sekitarnya yang terdiri atas orang kulit putih

(Caucasians), kulit hitam dan Hispanics, di mana kelompok Tionghoa

menunjukkan angka kejadian yang lebih tinggi. Sebaliknya, apabila orang

Tionghoa migran ini dibandingkan dengan para kerabatnya yang masih

tinggal di daratan Tiongkok maka terdapat penurunan yang bermakna dalam

hal terjadinya Kanker Nasofaring (KNF) pada kelompok migran tersebut.

Jadi kesimpulan yang dapat ditarik adalah, bahwa kelompok migran masih

mengandung gen yang ‘memudahkan’ untuk terjadinya Kanker Nasofaring

(KNF), tetapi karena pola makan dan pola hidup selama di perantauan

berubah maka faktor yang selama ini dianggap sebagai pemicu tidak ada lagi

maka kanker ini pun tidak tumbuh. Untuk diketahui bahwa penduduk di

provinsi Guang Dong ini hampir setiap hari mengkonsumsi ikan yang

diawetkan (diasap, diasin), bahkan konon kabarnya seorang bayi yang baru

selesai disapih, sebagai makanan pengganti susu ibu adalah nasi yang

dicampur ikan asin ini. Di dalam ikan yang diawetkan dijumpai substansi

7

Page 8: Ca Nasofaring

yang bernama nitrosamine yang terbukti bersifat karsinogen bagi hewan

percobaan. (Lu. 2010)

B. Etiologi

Karsinoma nasofaring terjadi akibat gabungan dari faktor predisposisi

genetik, faktor lingkungan, dan infeksi virus Ebstein-Barr (Adham, 2009 &

Wolden, 2001).

1. Genetik

Analisis genetik pada populasi endemik menunjukkan orang-orang

dengan kelemahan pada gen HLA memiliki resiko dua kali lebih tinggi untuk

menderita karsinoma nasofaring.

2. Lingkungan

Penelitian-penelitian menunjukkan konsumsi makanan yang

mengandung volatile nitrosamine (misalnya ikan asin), paparan

formaldehide, akumulasi debu kapas, asam, caustic, proses pewarnaan kain,

merokok, nikel, alkohol, dan infeksi jamur pada cavum nasi meningkatkan

resiko terjadinya karsinoma nasofaring.

3. Virus Ebstein-Barr

Infeksi EBV pada manusia bermanifestasi menjadi beberapa bentuk

penyakit. Virus ini dapat menyebabkan infeksi mononukleosis, limfoma

burkit dan karsinoma nasofaring. Infeksi EBV-1 dan EBV-2 telah

dihubungkan dengan kejadian karsinoma nasofaring di Cina Selatan, Asia

Tenggara, Mediterania, Afrika, dan Amerika Serikat. Dijumpainya Epstein-

Barr Virus (EBV), pada hampir semua kasus KNF telah mengaitkan

terjadinya kanker ini dengan keberadaan virus tersebut. Pada 1966, seorang

peneliti menjumpai peningkatan titer antibodi terhadap EBV pada KNF serta

titer antibodi IgG terhadap EBV, capsid antigen dan early antigen. Kenaikan

titer ini sejalan pula dengan tingginya stadium penyakit. Namun virus ini juga

acapkali dijumpai pada beberapa penyakit keganasan lainnya bahkan dapat

8

Page 9: Ca Nasofaring

pula dijumpai menginfeksi orang normal tanpa menimbulkan manifestasi

penyakit. Jadi adanya virus ini tanpa faktor pemicu lain tidak cukup untuk

menimbulkan proses keganasan. (Lu. 2010)

Virus Epstein-Barr bereplikasi dalam sel-sel epitel dan menjadi laten

dalam limfosit B. Infeksi virus epstein-barr terjadi pada dua tempat utama

yaitu sel epitel kelenjar saliva dan sel limfosit. EBV memulai infeksi pada

limfosit B dengan cara berikatan dengan reseptor virus, yaitu komponen

komplemen C3d (CD21 atau CR2). Glikoprotein (gp350/220) pada kapsul

EBV berikatan dengan protein CD21 dipermukaan limfosit B3. Aktivitas ini

merupakan rangkaian yang berantai dimulai dari masuknya EBV ke dalam

DNA limfosit B dan selanjutnya menyebabkan limfosit B menjadi immortal.

Sementara itu, sampai saat ini mekanisme masuknya EBV ke dalam sel epitel

nasofaring belum dapat dijelaskan dengan pasti. Namun demikian, ada dua

reseptor yang diduga berperan dalam masuknya EBV ke dalam sel epitel

nasofaring yaitu CR2 dan PIGR (Polimeric Immunogloblin Receptor). Sel

yang terinfeksi oleh virus epstein-barr dapat menimbulkan beberapa

kemungkinan yaitu : sel menjadi mati bila terinfeksi dengan virus epstein-

barr dan virus mengadakan replikasi, atau virus epstein- barr yang

menginfeksi sel dapat mengakibatkan kematian virus sehingga sel kembali

menjadi normal atau dapat terjadi perubahan sifat sel sehingga terjadi

transformsi sel yaitu interaksi antara sel dan virus sehingga mengakibatkan

terjadinya perubahan sifat sel sehingga terjadi transformasi sel menjadi ganas

sehingga terbentuk sel kanker.

Gen EBV yang diekspresikan pada penderita KNF adalah gen laten,

yaitu EBERs, EBNA1, LMP1, LMP2A dan LMP2B. Protein EBNA1

berperan dalam mempertahankan virus pada infeksi laten. Protein

transmembran LMP2A dan LMP2B menghambat sinyal tyrosine kinase yang

dipercaya dapat menghambat siklus litik virus. Diantara gen-gen tersebut, gen

yang paling berperan dalam transformasi sel adalah gen LMP1. Struktur

9

Page 10: Ca Nasofaring

protein LMP1 terdiri atas 368 asam amino yang terbagi menjadi 20 asam

amino pada ujung N, 6 segmen protein transmembran (166 asam amino) dan

200 asam amino pada ujung karboksi (C). Protein transmembran LMP1

menjadi perantara untuk sinyal TNF (tumor necrosis factor) dan

meningkatkan regulasi sitokin IL-10 yang memproliferasi sel B dan

menghambat respon imun lokal.

Berbeda halnya dengan jenis kanker kepala dan leher lain, Kanker

Nasofaring (KNF) jarang dihubungkan dengan kebiasaan merokok dan

minum alkohol tetapi lebih dikaitkan dengan virus Epstein Barr, predisposisi

genetik dan pola makan tertentu. Meskipun demikan ada peneliti yg

mencoba menghubungkannya dengan merokok, secara umum resiko terhadap

KNF pada perokok 2-6 kali dibandingkan dengan bukan perokok.

C. Patologi

Nasofaring berhubungan dengan beberapa struktur. Ke anterior

nasofaring berhubungan dengan rongga hidung melalui koana, sehingga

sumbatan hidung merupakan gangguan yang sering timbul. Penyebaran

tumor ke lateral akan menyumbat muara tuba Eustachius sehingga akan

menimbulkan gangguan pendengaran dan penumpukan cairan di telinga

tengah. Di bagian posterior dinding nasofaring melengkung ke atas dan

kedepan, terletak di bawah korpus os sphenoid dan bagian basilar os

oksipital. Nekrosis akibat penekanan mungkin timbul di tempat-tempat

tersebut. Di supero-posterior torus tubarius terdapat resesus faring atau fossa

Rosenmuleri dan tepat di ujung posterosuperiornya terdapat foramen laserum.

Tumor dapat menjalar ke arah intracranial dalam dua arah, yang masing-

masing menimbulkan gejala neurologis yang khas. Perluasan langsung

melalui foramen laserum ke sinus kavernosus dan fossa cranii media

menyebabkan gangguan pada N.III, N.IV, N.VI, dan kadang N.II.

Penyebaran ke kelenjar faring lateral dan di sekitar selubung karotis/jugularis

10

Page 11: Ca Nasofaring

pada ruang retroparotis akan menyebabkan gangguan pada N.IX, N.X, N.XI,

dan N.XII. Di nasofaring terdapat banyak saluran limfe yang terutama

mengalir ke lateral dan bermuara di kelenjar retrofaring Krause (kelenjar

Rouviere) (Ballenger, 1997).

Secara makroskopis tumor dapat berupa massa yang menonjol pada

mukosa dan memiliki permukaan halus, bernodul dengan atau tanpa ulserasi

pada permukaan atau massa yang menggantung dan infiltrate. Namun

terkadang tidak dijumpai lesi pada nasofaring.

Secara mikroskopis karsinoma nasofaring dapat dibedakan menjadi 3

bentuk yaitu :

1. Bentuk ulseratif

Bentuk ini paling sering terdapat pada dinding posterior dan di daerah

sekitar fosa rosenmulleri. Juga dapat ditemukan pada dinding lateral

didepan tuba eustachius dan pada bagian atap nasofaring. Lesi ini

biasanya lebih kecil disertai dengan jaringan yang nekrotik dan sangat

mudah mengadakan infiltrasi ke jaringan sekitarnya. Gambaran

histopatologik bentuk ini adalah karsinoma sel skuamosa deengan

diferensiasi baik.

2. Bentuk noduler/lubuler/proliferative

Bentuk noduler atau lobuler sangat sering dijumpai pada daerah

sekitar muara tuba eustachius. Tumor jenis ini berbentuk seperti buah

anggur atau polipoid. Jarang dijumpai adanya ulserasi, namun

kadang-kadang dijumpai ulserasi kecil. Gambaran histopatologik

bentuk ini biasanya karsinoma tanpa diferensiasi.

3. Bentuk eksofitik

Bentuk eksofitik biasanya tumbuh pada satu sisi nasofaring, tidak

dijumpai adanya ulserasi, kadang-kadang bertangkai dan prmukaannya

licin. Tumor jenis ini biasanya tumbuh dari atap nasofaring dan dapat

11

Page 12: Ca Nasofaring

mengisi seluruh rongga nasofaring. Tumor nini dapat mendorong

palatum mole ke bawah dan tumbuh kearah koana dan masuk ke dalam

rongga hidung. Gambaran histopatologik berupa limfasarkoma.

D. Manifestasi Klinis

Gejala karsinoma nasofaring dapat dibagi menjadi 4 kelompok, yaitu

gejala nasofaring sendiri, gejala telinga, gejala mata dan saraf, serta

metastasis, atau gejala di leher. Gejala nasofaring dapat berupa epistaksis

rigan atau sumbatan hidung, untuk itu nasofaring harus diperiksa dengan

cermat, kalau perlu dengan nasofaringoskop, karena sering gejala belum ada

sedangkan tumor sudah tumbuh, atau tumor tidak tampak karena masih

berada dibawah (creeping tumor) (Adham, 2007)

Gangguan pada telinga merupakan gangguan dini yang timbul karena

tempat asal tumor dekat muara tuba eustasius (fossa rosenmuller). Gangguan

dapat berupa tinitus, rasa tidak nyaman di telinga sampai rasa nyeri di telinga

(otalgia). Tidak jarang pasien dengan gangguan pendengaran ini kemudian

baru di sadari bahwa penyebabnya adalah karsinoma nasofaring (Adham,

2007)

Karena nasofaring berhubungan dekat dengan rongga tengkorak

melalui beberapa lubang, maka gangguan beberapa saraf otak dapat terjadi

sebagai gejala lanjut karsinoma ini. Penjalaran melalui foramen lacerum akan

mengenai saraf otak ke III, IV, VI dan dapat pula ke V, sehingga tidak jarang

diplopialah gejalayang membawa pasien terlebih dahulu ke dokter mata.

Neuralgia trigeminal merupakan gejala yang sering ditemukan oleh ahli saraf

jika belum terdapat keluhan lain yang berarti (Adham, 2007)

Proses karsinoma yang lanjut akan mengenai saraf otak ke IX, X, XI,

dan XII jika penjalaran melalui foramen jugulare, yaitu suatu tempat yang

relatif jauh dari nasofaring. Gangguan ini sering disebut dengan sindrom

Jackson. Bila sudah mengenai seluruh saraf otak disebut sindrom unilateral.

12

Page 13: Ca Nasofaring

Dapat pula disertai dengan destruksi tulang tengkorak dan bila sudah terjadi

demikian, biasanya prognosisnya buruk (Adham, 2007).

Metastasis ke kelenjar leher dalam bentuk benjolan di leher yang

mendorong pasien untuk berobat, karena sebelumnya tidak terdapat keluhan

ini (Adham, 2007).

E. Stadium

Berdasarkan kesepakatan UICC tahun 1992, stadium karsinoma

nasofaring dibagi menjadi: (Adham, 2007)

T : tumor, menggambarkan keadaan tumor primer, besar, dan perluasannya

T0 : Tidak tampak tumor

T1 : Tumor terbatas pada satu lokasi di nasofaring

T2 : Tumor meluas lebih dari satu lokasi, tetapi masih dalam rongga

nasofaring

T3 : Tumor meluas ke kavum nasi dan atauorofaring

T4 : Tumor meluas ke tengkorak dan atau sudah mengenai saraf otak

N : nodul, menggambarkan kedaan kelenjar limfe regional

N0 : tidak terdapat pembesaran kelenjar

N1 : terdapat pembesaran kelenjar homolateral yang masih dapat

digerakkan

N2 : terdapat pembesaran kelenjar kontralateral atau bilateral yang masih

dapat digerakkan

N3 : terdapat pembesaran kelenjar homolateral, kontralateral, atau

bilateral yang sudah melekat dengan jaringan sekitar

M : metastasis, menggambarkan keberadaan metastasis jauh

M0 : tidak terdapat metastasis jauh

M1 : terdapat metastasis jauh

13

Page 14: Ca Nasofaring

Berdasarkan TNM tersebut, stadium dapat dibagi menjadi:

Stadium I : T1 N0 M0

Stadium II : T2 N0 M0

Stadium III : T3 N0 M0

T1, T2, T3, N1 M0

Stadium IV : T4 N0, N1 M0

T1 – T4 N2,N3 M0

T1 – T4 N0 – N3 M1

F. Diagnosis

Beberapa cara yang digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis

karsinoma nasofaring:

1. Anamnesis dan pemeriksaan fisik

2. Pemeriksaan nasofaring

3. Biopsi nasofaring

Diagnosis pasti karsinoma nasofaring ditentukan dengan diagnosis

klinik ditunjang dengan diagnosis histologis dan sitologis. Materi biopsi

yang diperiksa adalah hasil biopsi cucian, aspirasi, atau sikatan (brush).

Biopsi nasofaring dilakukan dengan anestesi topikal melalui 2 jalur, yaitu

melalui hidung dan mulut:

Biopsi melalui hidung dilakukan tanpa melihat jelas tumornya (blind

biopsy). Cunam biopsy dimasukkan melalui rongga hidung menyusuri

konka media ke nasofaring, kemudian cunam diarahkan ke lateral dan

dilakukan biopsi.

Biopsi melalui mulut dilakukan dengan bantuan kateter nelaton yang

dimasukkan melalui hidung dan ujung kateter yang merada dalam mulut

ditaik dan diklem bersama dengan ujung kateter di hidung, sehingga

palatum molle tertarik ke atas. Daerah nasofaring dilihat dengan kaca

14

Page 15: Ca Nasofaring

laring. Biopsi dilakukan dengan melihat tumor melalui kaca tersebut.

Tumor akan terlihat lebih jelas menggunakan nasofaringoskop. Bila

dengan cara ini masih belum didapatkan hasil yang memuaskan maka

dilakukan pengerokan dengan kuret di daerah lateral nasofaring dalam

keadaan narkosis. (Wolden, 2001)

4. Pemeriksaan patologi anatomi

Klasifikasi gambaran histopatologis yang direkomendasikan WHO

sebelum tahun 1991 terbagi menjadi 3 tipe, yaitu:

1. Karsinoma sel squamosa terkeratinisasi, yang terbagi lagi menjadi tipe

diferensiasi baik, sedang, dan buruk.

2. Karsinoma non-keratinisasi. Pada tipe ini dijumpai adanya diferensiasi, dan

pada umumnya batas sel cukup jelas.

3. Karsinoma tidak terdiferensiasi. Pada tipe ini sel tumor secara individual

memperlihatkan inti yang vesikuler, berbentuk oval atau bulat dengan

nukleoli yang prominen. Pada umumnya batas sel tidak terlihat dengan jelas.

Tipe tanpa keratinisasi dan tanpa diferensiasi bersifat radiosensitif,

sedangkan jenis dengan keratinisasi tidak terlalu sensitif dengan

radioterapi.

Klasifikasi gambaran histopatologis yang direkomendasikan WHO

pada tahun 1991 hanya terbagi menjadi 2 tipe, yaitu:

1. Karsinoma sel squamosa terkeratinisasi

2. Karsinoma non-keratinisasi

Kedua tipe ini dibagi lagi menjadi tipe terdiferensiasi dan tidak

berdiferensiasi (WHO, 2005).

5. Pemeriksaan radiologi

Tujuan utama pemeriksaan radiologi adalah unutk memberikan

diagnosis yang lebih pasti pada kecurigaan tumor di daerah nasofaring,

menentukan lokasi tumor yang lebih tepat, mencari dan menentukan

luasnya penyebaran tumor ke jaringan sekitar.

15

Page 16: Ca Nasofaring

Foto polos

Karsinoma yang dapat dideteksi secara jelas denga foto

polos pada umumnya adalah tumor eksofitik yang cukup besar,

sedangkan bula kecil mungkin tidak terdeteksi. Perluasan tumor

yang terjadi pada submukosa, atau penyebaran yang belum

terlalu luas tidak akan terdeteksi melalui foto polos.

Beberapa posisi foto polos perlu dibuat untuk mencari

kemungkian tumor pada daerah nasofaring, yaitu: (Wolden,

2001)

o Posisi lateral dengan teknik foto jaringan lunak

o Posisi basis cranii atau submentoforteks

o Tomogram lateral daerah nasofaring

o Tomogram anteroposterior daerah nasofaring

CT-Scan

Keunggulan CT-Scan dibandingkan dengan foto polos

adalah kemampuan untuk membedakan berbagai densitas pada

daerah nasofaring. CT Scan mampu membedakan berbagai

densitas pada jaringan lunak maupun perubahan-perubahan pada

tulang. Dapat dinilai lebih akurat mengenai perluasan tumor ke

jaringan sekitar, destruksi tulang, dan penyebaran intracranial

(Wolden, 2001).

G. Diagnosis Banding

1. Hiperplasia adenoid

Biasanya terdapat pada anak-anak, jarang pada orang dewasa,

pada anak-anak hyperplasia ini terjadi Karena infeksi berulang. Pada

foto polos akan terlihat suatu massa jaringna lunak pada aatap

nasofaring umunya berbatas tegas dan umunya simetris serta struktur-

16

Page 17: Ca Nasofaring

struktur sekitarnya tak tampak tanda- tanda infiltrasi seprti tampak

pada karsinoma.

2. Angiofibroma juvenilis

Biasanya ditemui pada usia relative muda dengan gejala-gejala

menyerupai KNF. Tumor ini kaya akan pembuluh darah dan biasnya

tidak infiltrative. Pada foto polos akan didapat suatu massa pada atap

nasofairng yang berbatas tegas. Proses dapat meluas seperti pada

penyebaran karsinoma, walaupun jarang menimbulkan destruksi

tulang hanya erosi saja karena penekanan tumor. Biasanya ada

pelengkungan ke arah depan dari dinding belakang sinus maksilaris

yang dikenal sebgai antral sign. Karena tumor ini kaya akan vascular

maka arterigrafi carotis eksterna sangat diperlukan sebab gambaranya

sangat karakteristik. Kadang-kadang sulit pula membedakan

angiofibroma juvenils dengan polip hidung pada foto polos.

3. Tumor sinus sphenoidalis

Tumor ganas primer sinus sphenoidalis adalah sangat jarang

dan biasanya tumor sudah sampai stadium agak lanjut waktu pasien

datang untuk pemeriksaan pertama.

4. Neurofibroma

Kelompok tumor ini sering timbul pada ruang faring lateral

sehingga menyerupai keganasan dinding lateral nasofaring. secara

C.T-Scan, pendesakan ruang para faring kearah medial dapat

membantu membedakan kelompok tumor ini dengan KNF.

5. Tumor kelenjarr parotis

17

Page 18: Ca Nasofaring

Tumor kelenjar parotis terutama yang berasal dari lobus yang

terletak agak dalam mengenai ruang para faring dan menonjol kearah

lumen nasofaring. pada sebagian besar kasus terlihat pendesakan

ruang parafaring kearah medial yang tampak pada pemeriksaan

C.T.Scan.

6. Chordoma

Walaupun tanda utama chordoma adalah destruksi tulang,

tetapi mengingat KNF pun sering menimbulkan destruksi tulang,

maka sering timbul kesulitan untuk membedakanya. Dengan foto

polos, dapat dilihat kalsifikasi atau destruksi terutama di daerah

clivus. CT dapat membantu melihat apakah ada pembesaran kelenjar

cervical bagian atas karena chordoma umunya tidak memperhatikan

kelainan pada kelenjar tersebut sedangkan KNF sering bermetastasis

ke kelenjar getah bening.

7. Meningioma basis kranii

Walaupun tumor ini agak jarang tetapi gambarannya kadang-

kadang menyerupai KNF dengan tanda-tanda sklerotik pada daerah

basis kranii. Gambaran CT meningioma cukup karakteristikk yaitu

sedikit hiperdense sebelum penyuntikan zat kontras dan akan menjadi

sangat hiperdense setelah pemberian zat kontras intravena.

Pemeriksaan arteiografi juga sangat membantu diagnosis tumor ini.

H. Tatalaksana

Radioterapi

Sampai saat ini radioterapi masih memegang peranan penting dalam

penatalaksanaan karsinoma nasofaring. Penatalaksanaan pertama untuk

karsinoma nasofaring adalah radioterapi dengan atau tanpa kemoterapi.

18

Page 19: Ca Nasofaring

Sampai saaat ini pengobatan pilihan terhadap tumor ganas nasofaring

adalah radiasi, karena kebanyakan tumor ini tipe anaplastik yang bersifat

radiosensitif. Radioterapi dilakukan dengan radiasi eksterna, dapat

menggunakan pesawat kobal (Co60 ) atau dengan akselerator linier ( linier

Accelerator atau linac). Radiasi ini ditujukan pada kanker primer didaerah

nasofaring dan ruang parafaringeal serta pada daerah aliran getah bening

leher atas, bawah serta klavikula. Radiasi daerah getah bening ini tetap

dilakukan sebagai tindakan preventif sekalipun tidak dijumpai pembesaran

kelenjar. Metode brakhioterapi, yakni dengan memasukkan sumber radiasi

kedalam rongga nasofaring saat ini banyak digunakan guna memberikan

dosis maksimal pada tumor primer tetapi tidak menimbulkan cidera yang

serius pada jaringan sehat disekitarnya. Kombinasi ini diberikan pada kasus-

kasus yang telah memeperoleh dosis radiasi eksterna maksimum tetapi masih

dijumpai sisa jaringan kanker atau pada kasus kambuh lokal.

Perkembangan teknologi pada dasawarsa terakhir telah memungkinkan

pemberian radiasi yang sangat terbatas pada daerah nasofaring dengan

menimbulkan efek samping sesedikit mungkin. Metode yang disebut sebagai

IMRT ( Intersified Modulated Radiotion Therapy ) telah digunakan

dibeberapa negara maju. (Harry, 2002)

Daerah penyinaran kelenjar leher sampai fosa supraklavikula. Apabila

tidak ada metastasis kelenjar leher, maka radiasi daerah leher ini bersifat

profilaktik dengan dosis 4000 rad, sedangkan bila ada metastasis diberikan

dosis yang sama dengan dosis daerah tumor primer yaitu 6000 rad, atau lebih.

Untuk menghindari gangguan penyinaran terhadap medulla spinalis, laring

dan esofagus, maka radiasi daerah leher dan supraklavikula ini, sebaiknya

diberikan dari arah depan dengan memakai blok timah didaerah leher tengah.

(Harry, 2002)

19

Page 20: Ca Nasofaring

Dosis radiasi

Dosis radiasi umumnya berkisar antara 6000 – 7000 rad, dalam waktu 6 – 7 minggu

dengan periode istirahat 2 – 3 minggu (“split dose”). Alat yang biasanya dipakai ialah

“cobalt 60”, “megavoltage”orthovoltage”

Komplikasi radioterapi dapat berupa :

a) Komplikasi dini

Biasanya terjadi selama atau beberapa minggu setelah radioterapi,

seperti :

- Xerostomia - Mual-muntah

- Mukositis (nyeri telan, mulut kering, dan hilangnya cita rasa) kadang

diperparah dengan infeksi jamur pada mukosa lidah dan palatum

- Anoreksi

- Xerostamia (kekeringan mukosa mulut akibat disfungsi kelenjar parotis

yang terkena radiasi)

- Eritema

b) Komplikasi lanjut

Biasanya terjadi setelah 1 tahun pemberian radioterapi, seperti :

- Kontraktur

- Penurunan pendengaran

- Gangguan pertumbuhan

Untuk menghindari efek samping semaksimal mungkin maka sebelum

dan selama pengobatan, bahkan setelah selesai terapi, pasien akan selalu

diawasi oleh dokter. Perawatan sebelum radiasi adalah dengan membenahi

gigi geligi, memberikan informasi kepada pasien mengenai metode

pembersihan ruang mulut dan gigi secara benar. Untuk mengurangi keluhan

penderita juga dapat diberikan obat kumur yang mengandung adstringens,

20

Page 21: Ca Nasofaring

misalnya bactidol, efisol, gargarisma diberikan 3-4 kali sehari. Bila tampak

tanda-tanda moniliasis diberikan antimikotik misalnya funfilin. Pemberian

obat-obatan yang mengandung anestesi local seperti FG troches bias

mengurangi keluhan nyeri telan. Untuk keluhan umum nausea, anorexia dan

sebgainya bisa diberikan obat-obatan simptomatik terhadap keluhan ini

seperti avomit, avopreg. (Harry, 2002)

Kemoterapi

Kemoterapi sebagai terapi tambahan pada karsinoma nasofaring

ternyata dapat meningkatkan hasil terapi. Terutama diberikan pada stadium

lanjut atau pada keadaan kambuh. (Harry, 2002)

Terapi adjuvan tidak dapat diberikan begitu saja tetapi memiliki

indikasi yaitu bila setelah mendapat terapi utamanya yang maksimal

ternyata :

- kankernya masih ada, dimana biopsi masih positif

- kemungkinan besar kankernya masih ada, meskipun tidak ada bukti secara

makroskopis.

- pada tumor dengan derajat keganasan tinggi ( oleh karena tingginya resiko

kekambuhan dan metastasis jauh).

Efek Samping Kemoterapi

Agen kemoterapi tidak hanya menyerang sel tumor tapi juga sel normal

yang membelah secara cepat seperti sel rambut, sumsum tulang dan Sel pada

traktus gastro intestinal. Akibat yang timbul bisa berupa perdarahan, depresi

sum-sum tulang yang memudahkan terjadinya infeksi. Pada traktus gastro

intestinal bisa terjadi mual, muntah anoreksia dan ulserasi saluran cerna.

Sedangkan pada sel rambut mengakibatkan kerontokan rambut. Jaringan

tubuh normal yang cepat proliferasi misalnya sum-sum tulang, folikel

rambut, mukosa saluran pencernaan mudah terkena efek obat sitostatika.

Untungnya sel kanker menjalani siklus lebih lama dari sel normal, sehingga

21

Page 22: Ca Nasofaring

dapat lebih lama dipengaruhi oleh sitostatika dan sel normal lebih cepat pulih

dari pada sel kanker. (Wolden, 2001)

Efek samping yang muncul pada jangka panjang adalah toksisitas

terhadap jantung, yang dapat dievaluasi dengan EKG dan toksisitas pada paru

berupa kronik fibrosis pada paru. Toksisitas pada hepar dan ginjal lebih

sering terjadi dan sebaiknya dievalusi fungsi faal hepar dan faal ginjalnya.

Kelainan neurologi juga merupakan salah satu efek samping pemberian

kemoterapi. (Wolden, 2001)

Kemoradioterapi kombinasi adalah pemberian kemoterapi bersamaan

dengan radioterapi dalam rangka mengontrol tumor secara lokoregional dan

meningkatkan survival pasien dengan cara mengatasi sel kanker secara

sistemik lewat mikrosirkulasi. (Harry, 2001)

Manfaat Kemoradioterapi adalah

1. Mengecilkan massa tumor, karena dengan mengecilkan tumor akan

memberikan hasil terapi radiasi lebih efektif. Telah diketahui bahwa pusat

tumor terisi sel hipoksik dan radioterapi konvensional tidak efektif jika tidak

terdapat oksigen. Pengurangan massa tumor akan menyebabkan pula

berkurangnya jumlah sel hipoksia.

2. Mengontrol metastasis jauh dan mengontrol mikrometastase.

3. Modifikasi melekul DNA oleh kemoterapi menyebabkan sel lebih sensitif

terhadap radiasi yang diberikan (radiosensitiser).

Terapi kombinasi ini selain bisa mengontrol sel tumor yang

radioresisten, memiliki manfaat juga untuk menghambat pertumbuhan

kembali sel tumor yang sudah sempat terpapar radiasi.

Kemoterapi neoajuvan dimaksudkan untuk mengurangi besarnya tumor

sebelum radioterapi. Pemberian kemoterapi neoadjuvan didasari atas

pertimbangan vascular bed tumor masih intak sehingga pencapaian obat

menuju massa tumor masih baik. Disamping itu, kemoterapi yang diberikan

22

Page 23: Ca Nasofaring

sejak dini dapat memberantas mikrometastasis sistemik seawal mungkin.

Kemoterapi neoadjuvan pada keganasan kepala leher stadium II – IV

dilaporkan overall response rate sebesar 80 %- 90 % dan CR ( Complete

Response ) sekitar 50%. Kemoterapi neoadjuvan yang diberikan sebelum

terapi definitif berupa radiasi dapat mempertahankan fungsi organ pada

tempat tumbuhnya tumor (organ preservation). (Wolden, 2001)

Secara sinergi agen kemoterapi seperti Cisplatin mampu menghalangi

perbaikan kerusakan DNA akibat induksi radiasi. Sedangkan Hidroksiurea

dan Paclitaxel dapat memperpanjang durasi sel dalam keadaan fase sensitif

terhadap radiasi.

Kemoterapi yang diberikan secara bersamaan dengan radioterapi

(concurrent or concomitant chemoradiotherapy ) dimaksud untuk

mempertinggi manfaat radioterapi. Dengan cara ini diharapkan dapat

membunuh sel kanker yang sensitif terhadap kemoterapi dan mengubah sel

kanker yang radioresisten menjadi lebih sensitif terhadap radiasi. Keuntungan

kemoradioterapi adalah keduanya bekerja sinergistik yaitu mencegah

resistensi, membunuh subpopulasi sel kanker yang hipoksik dan menghambat

recovery DNA pada sel kanker yang sublethal. (Wolden, 2001)

Kelemahan Kemoradioterapi

Kelemahan cara ini adalah meningkatkan efek samping antara lain

mukositis, leukopeni dan infeksi berat. Efek samping yang terjadi dapat

menyebabkan penundaan sementara radioterapi. Toksisitas Kemoradioterapi

dapat begitu besar sehingga berakibat fatal.

Beberapa literatur menyatakan bahwa pemberian kemoterapi secara

bersamaan dengan radiasi dengan syarat dosis radiasi tidak terlalu berat dan

jadwal pemberian tidak diperpanjang, maka sebaiknya gunakan regimen

kemoterapi yang sederhana sesuai jadwal pemberian. (Harry, 2001)

Untuk mengurangi efek samping dari kemoradioterapi diberikan kemoterapi

tunggal (single agent chemotherapy) dosis rendah dengan tujuan khusus

23

Page 24: Ca Nasofaring

untuk meningkatkan sensitivitas sel kanker terhadap radioterapi

(radiosensitizer). Sitostatika yang sering digunakan adalah Cisplatin, 5-

Fluorouracil dan MTX dengan response rate 15%-47%.

Operasi

Tindakan operasi pada penderita karsinoma nasofaring berupa diseksi leher

radikal dan nasofaringektomi. Diseksi leher dilakukan jika masih ada sisa

kelenjar pasca radiasi atau adanya kelenjar dengan syarat bahwa tumor

primer sudah dinyatakan bersih yang dibuktikan dengan pemeriksaan

radiologik dan serologi. Nasofaringektomi merupakan suatu operasi paliatif

yang dilakukan pada kasus-kasus yang kambuh atau adanya residu pada

nasofaring yang tidak berhasil diterapi dengan cara lain.

Imunoterapi

Dengan diketahuinya kemungkinan penyebab dari karsinoma nasofaring

adalah virus Epstein-Barr, maka pada penderita karsinoma nasofaring dapat

diberikan imunoterapi.

I. PROGNOSIS

Faktor terpenting untuk menentukan prognosis adalah stadium dari

kanker. Pada studi tahun 2002 yang menggunakan TNM staging system,

menunjukkan angka harapan hidup 5 tahun untuk stadium I sebesar 98%,

stadium II A-B, 95%, stadium III 86%, dan stadium IV 73%.

Faktor penting lainnya adalah host. Dimana bila pasien yang terkena

berumur lebih muda (<40 tahun) dan berjenis kelamin wanita, memiliki

prognosis yang lebih baik.

Selain itu tatalaksana yang baik juga merupakan faktor yang dapat

menentukan prognosis dari pasien (WHO, 2005)

24

Page 25: Ca Nasofaring

J. PENCEGAHAN

Pemberian vaksinasi dengan vaksin spesifik membran glikoprotein virus

Epstein Barr yang dimurnikan pada penduduk yang bertempat tinggal di

daerah dengan resiko tinggi.

Memindahkan (migrasi) penduduk dari daerah resiko tinggi ke tempat

lainnya.

Penerangan akan kebiasaan hidup yang salah, mengubah cara memasak

makanan untuk mencegah akibat yang timbul dari bahan-bahan yang

berbahaya.

Penyuluhan mengenai lingkungan hidup yang tidak sehat, meningkatkan

keadaan sosial ekonomi dan berbagai hal yang berkaitan dengan

kemungkinan-kemungkinan faktor penyebab. Melakukan tes serologik IgA

anti VCA dan IgA anti EA secara massal di masa yang akan datang

bermanfaat dalam menemukan karsinoma nasofaring secara lebih dini.

25

Page 26: Ca Nasofaring

BAB III

LAPORAN KASUS

1.1 Identifikasi

Nama : Tn. I

Umur : 50 tahun

Jenis Kelamin : laki-laki

Alamat : Jl. Raya No.7 RT.21 RW.07 Kel.16 Ulu, Palembang

Pekerjaan : Wirausaha

Suku/Bangsa : Indonesia

Tanggal Pemeriksaan : Kamis, 17 September 2015

1.2 Anamnesis

Keluhan Utama : Telinga kiri berdenging sejak 2 tahun yang lalu

Keluhan Tambahan : -

Riwayat Penyakit Sekarang :

OS datang ke poli THT RSMP dengan keluhan telinga kiri berdenging kembali

lebih sering dan mengganggu aktivitas sejak 3 hari yang lalu.

Riwayat Penyakit Dahulu :

Kurang lebih 2 tahun yang lalu os mengeluh telinga kiri berdenging. Os juga

mengaku muncul benjolan pada leher sebelah kiri. Benjolan kurang lebih

seukuran telur ayam. Benjolan dirasakan nyeri jika dipegang. Os mengeluh sulit

untuk membuka mulut dan lidah tidak dapat dikeluarkan, os juga sulit menelan,

hidung rasa tersumbat (-), ingus keluar dari lubang hidung (-). Keluhan sering

mimisan disangkal. Penurunan pendengaran disangkal. Riwayat pernah keluar

air dan nyeri telinga sebelumnya juga disangkal.

26

Page 27: Ca Nasofaring

Riwayat Penyakit dalam Keluarga :

Tidak ada di keluaga yang mengalami keluhan yang sama seperti os

Riwayat Pengobatan :

Os pernah berobat pada tahun 2013 karena mengeluh telinga berdenging dan

terdapat benjolan di leher sebelah kiri. Dan os juga pernah menjalankan

kemoterapi sebanyak 35 kali.

Riwayat Allergi :

Os mengaku tidak memiliki riwayat alergi makanan, obat-obatan, tidak pernah

bersin-bersin saat terkena debu atau dingin.

1.2. Pemeriksaaan Fisik

Status present

Keadaan umum : Baik

Kesadaran : Compos mentis

TD : 110/70mmHg RR : 20x/menit

Nadi : 82x/menit Temp : 36,6oC

Status lokalis

Telinga

Kanan Kiri

Auricula Normal Normal

Nyeri tekan

tragus

- -

Serumen - -

27

Page 28: Ca Nasofaring

Otalgia - -

Otorrhe - -

Edema - -

Hiperemis - -

Sekret - -

Membran timpani Kanan Kiri

Refleks cahaya + +

Retraksi - -

Bulging - -

Perforasi - -

Hidung

Luar Kanan Kiri

Bentuk Normal Normal

Inflamasi - -

Nyeri tekan - -

Deformitas - -

Cavum nasi Kanan Kiri

Bentuk Normal Normal

28

Page 29: Ca Nasofaring

Mukosa Normal Normal

Sekret - -

Konka nasi inferior Kanan Kiri

Edema - -

Mukosa hiperemis - -

Septum nasi Kanan Kiri

Deviasi - -

Benda asing - -

Perdarahan - -

Mulut dan Tenggorokan

Bibir : Tidak ada kelainan

Mulut : Tidak ada kelainan

Gigi : Tidak ada kelainan

Lidah : Tidak ada kelainan

Uvula : Bentuk normal, Hiperemis (-), edema (-),

Palatum mole : Ulkus (-), Hiperemis (-)

Faring : Hiperemis (-)

Tonsila

palatina

Kanan Kiri

besar T1 T1

warna Normal normal

Kripta - -

29

Page 30: Ca Nasofaring

melebar

detritus - -

Pemeriksaan Leher :

Tidak ditemukan massa di region colli dextra-et sinistra, nyeri tekan (-).

1.3. Diagnosis Kerja

Tinitus ec riwayat Karsinoma Nasofaring

1.4. Tatalaksana

- Analgetik seperti asam mefenamat 3x 500mg

- Vitamin seperti neurodex 3x1

1.9 PrognosisQuo ad vitam: Dubia ad bonam

Quo ad functionam: Dubia ad bonam

BAB IV

PEMBAHASAN

Berdasarkan laporan kasus yang telah dilaporkan seorang pasien laki-laki ,

usia 50 tahun mengeluh telinga kiri berdenging. Keluhan telinga berdenging

dirasakan semakin sering dan mengganggu aktivitas os sejak 3 hari yang lalu.

Keluhan ini bukan pertama kali dirasakan os. Pada 2 tahun yang lalu, os pertama kali

merasakan telinga kiri berdenging. Os juga mengaku terdapat benjolan di leher

bagian kiri sebesar telur ayam. Benjolan terasa nyeri. Os juga sulit menelan.

Berdasarkan hasil pemeriksaan fisik telinga kiri tidak didapatkan liang telinga

hiperemis, serumen, dan membran timpani normal, serta masih terlihat refleks

cahaya. Dan telinga kanan normal. Dari pemeriksaan hidung dan leher tak tampak

kelainan.

30

Page 31: Ca Nasofaring

Berdasarkan hasil anamnesis, riwayat penyakit dahulu dan riwayat

pengobatan serta pemeriksaan fisik, maka pasien mengalami tinitus karena riwayat

menderita karsinoma nasofaring.

Karsinoma nasofaring merupakan suatu keganasan yang paling banyak

ditemukan di daerah kepala dan leher. Penyebabnya belum diketahui, namun factor

resiko kemungkinan dari lingkungan. Gangguan pada telinga merupakan gangguan

dini yang timbul karena tempat asal tumor dekat muara tuba eustasius (fossa

rosenmuller). Gangguan dapat berupa tinitus, rasa tidak nyaman di telinga sampai

rasa nyeri di telinga (otalgia). Jadi karsinoma tersebut menyebabkan keluhan

berdenging yang dialami os.

Terapi yang diberikan adalah terapi simtomatik berupa betahistin 3x1 untuk

mengurangi keluhan telinga berdenging dan pemberian tambahan suplemen vitamin,

neurodex 3x1 untuk menjaga kondisi pasien.

DAFTAR PUSTAKA

Adams, George L. 1997. Embriologi, Anatomi dan Fisiologi Rongga Mulut,

Faring, Esofagus, dan Leher, dalam BIOES Buku Ajar Penyakit

THT Edisi Keenam. Jakarta: EGC. Hal: 263-271

Adham, M. Dan Rozein, A. 2007. Karsinoma Nasofaring, dalam Buku Ajar

Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher Edisi

Keenam. Jakarta: FKUI. Hal:182-187

31

Page 32: Ca Nasofaring

Ballenger, JJ. 1997. Tumor dan Kista di Muka, Faring, dan Nasofaring,

dalam Ballenger: Penyakit Telinga Hidung Tenggorok, dan leher

Jilid I. Jakarta: Bina Rupa Aksara. Hal: 1020-1039

Brennan B. Review Nasopharyngeal Carcinoma. Orphanet Journal of Rare

Disease; 2006, available from:

http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1559589/pdf/1750-

1172-1-23.pdf

Harry a. Asroel. Penatalaksanaan radioterapi pada karsinoma nasofaring.

Referat. Medan: FK USU,2002.h. 1-11.

Lu Jiade J, Cooper Jay S, M Lee Anne WM. The epidemiologi of

Nasopharigeal Carcinoma In : Nasopharyngeal Cancer. Berlin :

Springer,2010. p. 1-9.

Wolden, Suzanne L. 2001. Cancer of Nasopharynx, dalam buku Atlas of

Clinical Oncology: Cancer of the Head and Neck. London: BC

Decker inc. Page: 142-156

World Health Organization. 2005. World Health Organization Classification

Head and Neck Tumours. Lyon: IARC Press. Available at:

www.iarc.fr/IARCPress/pdfs/index1.php accessed: 17 September

2015.

32