bulletin 2015 - barubalitklimat.litbang.pertanian.go.id/wp-content/... · mikro cakardipa, das...

68
balitklimat.litbang.pertanian.go.id

Upload: others

Post on 12-Oct-2020

1 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Bulletin 2015 - BARUbalitklimat.litbang.pertanian.go.id/wp-content/... · Mikro Cakardipa, DAS Ciliwung Hulu, Jawa Barat., hal 3-17. Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

balitkl

imat.l

itbang.p

ertania

n.go.id

Page 2: Bulletin 2015 - BARUbalitklimat.litbang.pertanian.go.id/wp-content/... · Mikro Cakardipa, DAS Ciliwung Hulu, Jawa Barat., hal 3-17. Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 12 2015 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

balitkl

imat.l

itbang.p

ertania

n.go.id

Page 3: Bulletin 2015 - BARUbalitklimat.litbang.pertanian.go.id/wp-content/... · Mikro Cakardipa, DAS Ciliwung Hulu, Jawa Barat., hal 3-17. Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 12 2015 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

2

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

Penanggung Jawab: Haris Syahbuddin Redaksi Teknis: Haryono, Suciantini, Adang Ham-

dani, Woro estiningtyas, Istiqlal Amien, Hendri Sosiawan, dan Fadhlullah Ramad-hani

Redaksi Pelaksana: Eko Prasetyo dan Tuti Muliani Penerbit: Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi,

Jl, Tentara Pelajar 1A, Bogor 16111, Jawa Barat, Indonesia

Telepon +62-0251-8312760 Faksimil +62-0251-8323909

PRAKATA

Buletin ini memuat makalah hasil penelitian primer ataupun review yang berkaitan dengan sumberda-ya iklim dan air. Makalah yang disajikan sudah melalui tahap seleksi dan telah dikoreksi Tim Redaksi, baik dari segi isi, bahasa, maupun pen-yajiannya. Pada edisi ini terdapat empat makalah, yang disajikan dalam bahasa Indonesia.

Untuk memperlancar penerbitan tahun-tahun berikutnya, artikel yang dimuat tidak perlu terikat secara kronologis oleh penyajian makalah atau acara seminar, tetapi lebih ditentukan oleh ketanggapan penulis dan kelayakan ilmiah tulisan.

Redaksi mengucapkan terimakasih kepa-da semua pihak yang telahmembantumemperlan-car proses penerbitan. Semoga media ini berman-faat bagi khalayak. Kritik dan saran dari pembaca selalu kami nantikan.

Redaksi

CARA MERUJUK YANG BENAR Nani Heryani dan Budi KArtiwa. 2015. Analisis Fungsi Hidrologi dan Pengelolaan Lahan di DAS Mikro Cakardipa, DAS Ciliwung Hulu, Jawa Barat., hal 3-17. Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi. Vol. 12. Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Bogor.

Tulisan yang dimuat adalah hasil penelitian primer maupun review yang berkaitan dengan sumber-daya iklim dan air, dan belum pernah dipublikasikan pada media cetak mana pun. Tulisan hendaknya mengikuti Pedoman Bagi Penulis (lihat halaman sampul dalam). Redaksi berhak menyunting makalah tanpa mengubah isi dan makna tulisan atau menolak penerbitan suatu makalah.

Analisis Fungsi Hidrologi dan Pengel-olaan Lahan di DAS Mikro Cakardipa, DAS Ciliwung Hulu, Jawa Barat. NANI HERYANI dan BUDI KARTIWA ……..….

Daya Dukung Sumberdaya Air Dan Adaptasi Waktu Tanam Terhadap Anomali Ikim Di Wilayah Sentra Pro-duksi Padi. YAYAN APRIYANA .………..

Sebaran Korelasi Curah Hujan dan Indikator Global di Indonesia. WORO ESTININGTYAS, ARIS PRAMUDIA, ERNI SUSANTI, YAYAN APRIYANA dan SUCIANTINI …………………………

Peranan Kriteria Air tersedia terhadap pemberian Air irigasi di Kebun Percobaan Balitbangtan. HARYONO .....

3

18

33

48

@ 2015, Balitklimat Bogor ISSN 0216-3934 Volume 12, 2015

balitkl

imat.l

itbang.p

ertania

n.go.id

Page 4: Bulletin 2015 - BARUbalitklimat.litbang.pertanian.go.id/wp-content/... · Mikro Cakardipa, DAS Ciliwung Hulu, Jawa Barat., hal 3-17. Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 12 2015 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

3

ANALISIS FUNGSI HIDROLOGI DAN PENGELOLAAN LAHAN DI DAS

MIKRO CAKARDIPA, DAS CILIWUNG HULU, JAWA BARAT

Nani Heryani dan Budi Kartiwa

ABSTRAK

Pengelolaan DAS mikro dengan menerapkan satu paket teknologi pengelolaan lahan yang tepat dapat mengurangi aliran permukaan yang masuk ke sungai dan dapat mengurangi kerusakan lahan. Untuk mengetahui teknologi pengelolaan yang tepat perlu diketahui karak-teristik hidrologi yang terjadi di dalam DAS. Penelitian dilaksanakan di DAS mikro Cakardipa, DAS Ciliwung Hulu, Bogor, Jawa Barat pada ahun 2009. Tujuan penelitian adalah mengukur karakteristik hidrologi di dalam skala DAS mikro. Penelitian dilakukan melalui beberapa tahapan yaitu: 1) mengkarakterisasi kondisi iklim dan hidrologi di dalam DAS, 2) mendeliniasi satuan lahan berdasarkan analisis terrain peta topografi skala 1:10000 dan mengevaluasi kesesuaian lahan untuk komoditas tanaman pangan, 3) mengevaluasi perencanaan sistem penggunaan lahan yang ada ke arah penggunaan lahan yang lebih menguntungkan berdasarkan hasil evaluasi kesesuaian lahan dan analisis fungsi hidrologinya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa debit maksimum Sungai Ciliwung yang terjadi selama musim hujan cenderung meningkat dari tahun 1997 sampai dengan tahun 2006 sebesar 5,6 %, sedangkan debit minimum cenderung menurun sebesar 91,4 %. teknologi pengelolaan lahan yang dapat dilakukan di DAS mikro Cakardipa untuk mening-katkan produktivitas lahan antara lain: budi daya tanaman mengikuti garis kontur, pembua-tan dan/atau perbaikan teras, penggunaan irigasi suplemen. Kata kunci: SPI, aliran permukaan, debit, pengelolaan lahan

balitkl

imat.l

itbang.p

ertania

n.go.id

Page 5: Bulletin 2015 - BARUbalitklimat.litbang.pertanian.go.id/wp-content/... · Mikro Cakardipa, DAS Ciliwung Hulu, Jawa Barat., hal 3-17. Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 12 2015 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

4

PENDAHULUAN Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan suatu daerah tertentu yang bentuk dan sifat alamnya sedemikian rupa, sehingga merupakan kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya yang melalui daerah tersebut dalam fungsinya untuk menampung air yang berasal dari curah hujan dan sumber air lainnya dan kemudian mengalirkannya melalui sungai utamanya (outlet). Satu DAS dipisahkan dari wilayah lain di sekitarnya (DAS-DAS lain) oleh pemisah alam topografi, seperti punggung perbukitan dan pegunungan. DAS mikro (small watershed) memiliki luas sekitar 5 - 10 square miles atau setara dengan 1300 ha. Karena memiliki areal yang agak kecil, maka perubahan yang sedikit saja di dalam DAS tersebut akan memberikan pengaruh yang siginifikan pada keluaran sub DAS seperti kuantitas dan kualitas air serta sifat-sifat hidrologinya (Sinukaban, 2006). Pengelolaan DAS Mikro harus mempertimbangkan aspek sumber daya tanah dan air serta sumber daya manusia untuk menghasilkan model pengelolaan lahan yang tepat. Terkait dengan pengelolaan DAS, pengelolaan lahan harus ditujukan untuk: 1) mendapatkan produksi maksimum dalam waktu tidak terbatas, 2) menekan bahaya kerusakan seminimum mungkin, dan 3) memperoleh distribusi air yang baik (well distributed water yield). Pola pertanaman dan jenis tanaman yang diusahakan sangat berpengaruh terhadap erosi dan aliran permukaan, karena berpengaruh pada penutupan tanah dan produksi bahan organik yang berfungsi sebagai bahan pemantap agregat tanah. Siddoway dan Barnett (1977, dalam Sinukaban, 2006) mengatakan bahwa aliran permukaan dan erosi pada

tanaman monokultur hampir dua kali lebih besar dari pada tanaman yang dirotasikan, pada curah hujan rata-rata tahunan sebesar 1260 mm. Informasi karakteristik atau fungsi hidrologi serta sumber daya tanah dan iklim sebagai komponen dari sumber-daya lahan merupakan faktor yang sangat mempengaruhi kualitas perairan dalam suatu DAS. Upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk menekan erosi dan memperbaiki karakteristik DAS adalah perbaikan teknologi pengelolaan lahan berupa perbaikan teras, penanaman tanaman strip rumput pada bibir teras, dan pembuatan Drop Structure (Terjunan air dalam Saluran Pembuangan Air). Dari segi hidrologi, Kartiwa dan Heryani (2003) menunjukkan bahwa model debit aliran permukaan yang disusun dari aplikasi konsep aliran permukaan menurut Horton dan aplikasi konsep hidrograf satuan mampu mensimulasi debit di DAS mikro Kretek, Wonosobo, Jawa Tengah, dengan baik untuk kejadian hujan dengan inten-sitas relatif tinggi dan konstan. Sementara itu Heryani et al., (2013) menyatakan bahwa aplikasi mulsa dan pengelolaan lahan (perbaikan teras dan pemanfaatan air melalui embung) di DAS mikro Selopa-mioro dapat mempengaruhi karakteristik hidrologi yaitu terdapat penurunan debit puncak antara 4-69% dan perpanjangan waktu respon 6 menit, penurunan aliran permukaan dan koefisien aliran permu-kaan antara 14-75 dan 17-74 % pada curah hujan < 22mm. Menurut van Noord-wijk (2004) hingga tingkat curah hujan tertentu fungsi hidrologi DAS berhubungan dengan kemampuan DAS dalam hal: 1) transmisi air, 2) penyangga pada puncak kejadian hujan, 3) pelepasan air secara perlahan, 4) memelihara kualitas air, 5) mengurangi perpindahan massa tanah,

balitkl

imat.l

itbang.p

ertania

n.go.id

Page 6: Bulletin 2015 - BARUbalitklimat.litbang.pertanian.go.id/wp-content/... · Mikro Cakardipa, DAS Ciliwung Hulu, Jawa Barat., hal 3-17. Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 12 2015 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

5

misalnya melalui longsor, 6) mengurangi erosi, dan 7) mempertahankan iklim mikro. Hasil pengamatan Heryani et al., (2008) di DAS mikro Bunder menunjukkan bahwa perbaikan teras pada lahan usahatani, penggunaan drop structure, dan pengel-olaan air yang lebih baik antara lain den-gan pengerukan sedimen dari dam parit, pembuatan jaringan pendistribusian air dari bangunan pemanen air telah mem-bantu meningkatkan prouktivtas lahan dan memenuhi kebutuhan air rumah tangga.

BAHAN DAN METODE Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan pada Januari 2009 sampai dengan Desember 2009 di DAS Mikro Cakardipa, sub DAS Cisukabirus, DAS Ciliwung Hulu, Jawa Barat. Bahan dan Peralatan Bahan yang digunakan yaitu : 1) Peta Digital Rupa Bumi skala 1:25.000 , 2) Peta Tanah skala 1:250.000, 3) Peta Geologi skala 1:500.000, 4) Data iklim dan hidrologi, dan penggunaan lahan. Sedangkan peralatan yang digunakan yaitu: alat pengukur curah hujan, iklim, dan debit; Current Meter dan GPS. Metode penelitian

Analisis Karakteristik Iklim dan Hidrologi Analisis Kekeringan dan Kebasahan Analisis kekeringan dan kebasahan dilakukan berdasarkan interpretasi perhitungan Indeks Presipitasi Baku (Standardised Precipitation Index, SPI) (Agnew, 2000), yang dihitung berdasarkan persamaan :

σ/)( imij XXSPI −=

Xij : curah hujan musiman pada stasiun hujan ke-i dan pengamatan ke-j,

Xim : curah hujan musiman rata-rata periode panjang

: simpangan baku Tingkat kekeringan ataupun kebasahan ditetapkan berdasarkan kriteria sebagaimana disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Kriteria penilaian tingkat

kekeringan dan kebasahan berdasarkan nilai SPI

Analisis Karakteristik Hidrologis Untuk mempelajari karakteristik hidrologi DAS mikro dilakukan beberapa analisis hidrograf debit, yaitu : • Analisis hidrograf debit sesaat, dilaku-

kan untuk menentukan puncak debit, kurva resesi, waktu naik, waktu dasar, serta koefisien run off.

• Analisis Frekuensi debit harian mak-simum dan minimum periode bulanan menggunakan sebaran Gumbel, den-gan periode ulang 5, 10 ,25, 50, dan 100 tahun.

Fungsi repartisi sebaran Gumbel, direpresentasikan dengan persamaan sebagai berikut:

σ

⎟⎟⎠

⎞⎜⎜⎝

⎛⎥⎦⎤

⎢⎣⎡ −−−=

baxxF expexp)(

balitkl

imat.l

itbang.p

ertania

n.go.id

Page 7: Bulletin 2015 - BARUbalitklimat.litbang.pertanian.go.id/wp-content/... · Mikro Cakardipa, DAS Ciliwung Hulu, Jawa Barat., hal 3-17. Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 12 2015 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

6

Dengan mengintroduksikan peubah u = (x-a)/b pada persamaan di atas maka akan diperoleh persamaan:

F (x) : Frekuensi hitung n : jumlah tahun pengamatan r : rangking Untuk memprediksi debit pada periode ulang tertentu (Xt), berdasarkan parameter a dan b, dapat digunakan persamaan berikut:

Xt : debit pada periode ulang tertentu (m3/s) a : konstanta persamaan regresi

linear antara variabel u dengan variabel debit pengukuran

b : slope persamaan regresi antara variabel u dengan variabel debit pengukuran

T : Periode ulang Untuk menganalisis trend debit digunakan analisis rata-rata bergerak (Moving Average):

Q(n)i : Debit rata-rata bergerak n tahun pada tahun ke i

Qi : Debit pengukuran pada tahun ke-i

Qi-1 : Debit pengukuran pada tahun ke-i-1

))(ln(ln( xFu −−=

nrxF 5.0)( −

=

tt buaX +=

⎟⎟⎠

⎞⎜⎜⎝

⎛⎟⎟⎠

⎞⎜⎜⎝

⎛⎥⎦⎤

⎢⎣⎡−−−=T

ut11lnln

HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik Wilayah DAS Mikro Cakardipa

DAS mikro Cakardipa merupakan bagian dari Sub DAS Cisukabirus, DAS Ciliwung Hulu, Bogor. Daerah ini secara adminis-tratif meliputi 3 kampung yaitu Bojong Keji, Lemah Neundeut dan Lemah Neundeut Peuntas yang termasuk ke dalam Desa Sukagalih, Kecamatan Megamendung, Kabupaten Bogor, meliputi areal seluas 60,77 ha. Peta satuan lahan DAS mikro Cakardipa disajikan pada Gambar 1.

Jumlah curah hujan di daerah penelitian selama 5 tahun terakhir (2001-2005) berkisar antara 2735– 3687 mm/tahun dengan rata-rata 3077 mm. Jumlah bulan kering yaitu bulan dengan curah hujan kurang dari 100 mm berkisar antara 2-4 bulan, dan bulan basah yaitu bulan dengan curah hujan lebih dari 200 mm berkisar antara 6-8 bulan. Sedangkan jumlah bulan dimana curah hujan lebih kecil dari evapotranspirasi berkisar antara 2-4 bulan/tahun. Pada periode ini ada kemungkinan terjadinya kelangkaan atau defisit air bagi tanaman. Pada Gambar 2 disajikan distribusi curah hujan dan evapo-transpirasi dasarian rata-rata di daerah penelitian.

nQQQQnQ iiii

i321)( −−− +++

=

balitkl

imat.l

itbang.p

ertania

n.go.id

Page 8: Bulletin 2015 - BARUbalitklimat.litbang.pertanian.go.id/wp-content/... · Mikro Cakardipa, DAS Ciliwung Hulu, Jawa Barat., hal 3-17. Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 12 2015 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

7

Gambar 1. Peta satuan lahan (land unit) DAS mikro Cakardipa, DAS Ciliwung Hulu, Jawa Barat

Berdasarkan data curah hujan dan evapotranspirasi dasarian rata-rata dari tahun 2001-2005 dapat diketahui bahwa daerah penelitian mempunyai penyebaran curah hujan secara temporal yang tidak merata. Curah hujan tertinggi setiap tahun terjadi pada bulan Januari dan Pebruari, sedangkan pada bulan Mei sampai den-gan September rata-rata curah hujannya

lebih rendah dari evapotranspirasi. Pada bulan-bulan tersebut sebagian petani membiarkan lahannya bera, namun terda-pat pula petani yang mengusahakan lahan pertanian dengan irigasi suplemen dari dam parit.

balitkl

imat.l

itbang.p

ertania

n.go.id

Page 9: Bulletin 2015 - BARUbalitklimat.litbang.pertanian.go.id/wp-content/... · Mikro Cakardipa, DAS Ciliwung Hulu, Jawa Barat., hal 3-17. Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 12 2015 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

8

Gambar 2. Distribusi curah hujan dan evapotranspirasi dasarian rata-rata di stasiun meteo-rologi Citeko, Bogor, Jawa Barat

Karakteristik Iklim dan Hidrologi Indeks Kekeringan dan Kebasahan

Untuk mendeteksi tingkat kekeringan dan kebasahan, dalam penelitian ini dilakukan penentuan indeks presipitasi baku (Standardized Precipitation Index/SPI). SPI merupakan indeks kekeringan yang ditetapkan hanya berdasarkan curah hujan pada periode waktu tertentu. SPI dirancang untuk mendeteksi kejadian kekeringan dan monitoringnya (Mc Kee et al., 1993). SPI dapat dipergunakan untuk mengukur kekeringan pada skala waktu yang berbeda, seperti bulanan, triwulanan, musiman, dan tahunan. Karena periode kekeringan sangat bervariasi durasinya, maka sangatlah penting untuk mendeteksi dan memonitornya pada beberapa skala waktu yang berbeda dalam jangka panjang. Kekeringan jangka pendek dapat diukur

oleh peralatan meteorologi dan ditetapkan sesuai dengan iklim spesifik lokasi. Dalam pertanian, kekeringan akan mengakibatkan defisit dalam kelembaban tanah, sehingga apabila terjadi kekeringan selama 3 sampai 6 bulan akan mengakibatkan dampak yang besar. Kekeringan jangka panjang (bulanan sampai tahunan) dapat memberikan dampak penting terhadap suplai air permukaan dan air tanah.

Pada penelitian ini telah dianalisis SPI bulanan dari stasiun hujan Citeko, Bogor, Jawa Barat, selama periode tahun 2001 sampai 2008. Berdasarkan SPI bulanan, terdapat 6 bulan basah, 12 bulan agak basah, 65 bulan normal (atau mencapai 67,7% dari total 96 bulan pengamatan), dan 9 bulan agak kering dan 4 bulan kering dengan SPI berkisar antara 2 sampai -2,1 (Gambar 3).

0

50

100

150

200

250

300

Jan I Peb I Mar I Apr I Mei I Jun I Jul I Agu I Sept I Okt I Nop I Des I

CH d

an E

TP (

mm

)

Curah hujan Evapotranspirasi

balitkl

imat.l

itbang.p

ertania

n.go.id

Page 10: Bulletin 2015 - BARUbalitklimat.litbang.pertanian.go.id/wp-content/... · Mikro Cakardipa, DAS Ciliwung Hulu, Jawa Barat., hal 3-17. Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 12 2015 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

9

Karakteristik Debit

Untuk mempelajari karakteristik hujan dan aliran DAS Mikro Cakardipa, dilakukan analisis seri hietograf dan hidrogaf debit DAS Mikro Cakardipa, selama periode Juni – Nopember 2009. Selama periode tersebut, pada bulan Oktober tercatat 6 episode hujan-aliran permukaan sedangkan pada bulan Nopember tercatat 2 episode hujan-aliran permukaan yang cukup besar. Ke delapan episode tersebut yaitu episode 13 Oktober, 14 Oktober, 22

Oktober, 24 Oktober, 27 Oktober dan 31 Oktober, serta episode 11 Nopember dan 17 Nopember.

-2.5

-2.0

-1.5

-1.0

-0.5

0.0

0.5

1.0

1.5

2.0

2.5

Jan-

01

Jan-

02

Jan-

03

Jan-

04

Jan-

05

Jan-

06

Jan-

07

Jan-

08

BULAN

SPI

Gambar 3. Indeks Presipitasi Baku Bulanan DAS Mikro Cakardipa, DAS Ciliwung Hulu, Jawa Barat, periode tahun 2001-2008.

balitkl

imat.l

itbang.p

ertania

n.go.id

Page 11: Bulletin 2015 - BARUbalitklimat.litbang.pertanian.go.id/wp-content/... · Mikro Cakardipa, DAS Ciliwung Hulu, Jawa Barat., hal 3-17. Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 12 2015 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

10

ANALISIS PEMISAHAN HIDROGAF DAS MIKRO CAKARDIPA EPISODE 14 Oktober 2009

0

5

10

15

20

25

14:2

4:00

16:4

8:00

19:1

2:00

21:3

6:00

00:0

0:00

02:2

4:00

04:4

8:00

07:1

2:00

09:3

6:00

12:0

0:00

14:2

4:00

Waktu

Deb

it (l/

s)

0

5

10

15

20

25

30

Intensitas Hujan (m

m/5 m

en)

Debit TotalAliran Bawah PermukaanAliran PermukaanAliran DasarCurah Hujan

Gambar 4. Analisis pemisahan hidrograf DAS Mikro Cakardipa episode 14 Oktober 2009

Analisis terhadap 8 episode kejadian hujan-debit DAS Mikro Cakardipa menunjukkan beberapa karakteristik hujan-debit meliputi curah hujan (CH), intensitas hujan maksimum (Imax), debit maksimum (Qmax), koefisien aliran permukaan (Kr), waktu Naik (Tn) dan waktu Konsentrasi (Tc). Parameter karakteristik hujan-debit dianalisis berdasarkan analisis grafik hietograf dan hidrograf serta analisis pemisahan hidrograf. Analisis pemisahan hidrograf perlu dilakukan untuk menghitung koefisien aliran permukaan. Pada Gambar 4 disajikan analisis pemisahan hidrograf DAS Mikro Cakardipa pada episode 14 Oktober 2009. Secara

rinci karakteristik hietograf dan hidrograf DAS Mikro Cakardipa disajikan pada Tabel 2. Selama awal musim hujan di tahun 2009, curah hujan maksimum yang terekam di DAS Mikro Cakardipa sebesar 61,5 mm dengan intensitas maksimum sebesar 10,2 mm/5 menit atau setara dengan intensitas hujan 122 mm/jam. Curah hujan dengan intensitas tersebut telah membangkitkan debit puncak sebesar 58,2 lt/det. Koefisien aliran permukaan yang dihitung berdasarkan analisis pemisahan hidrograf menunjukkan variasi nilai antara 0,030 % hingga 0,613%.

balitkl

imat.l

itbang.p

ertania

n.go.id

Page 12: Bulletin 2015 - BARUbalitklimat.litbang.pertanian.go.id/wp-content/... · Mikro Cakardipa, DAS Ciliwung Hulu, Jawa Barat., hal 3-17. Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 12 2015 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

11

Debit Maksimum dan Minimum DAS Cili-wung Hulu

Analisis debit maksimum dan minimum yang dimaksud disini berbasis pendekatan teori Gumbel, yang sangat sering diguna-kan sebagai metode untuk memperkirakan nilai-nilai ekstrim seperti sebaran peluang nilai maksimum dan minimum yang dia-mati selama periode tertentu. Kecenderungan (trend) dari debit minimum dihitung menggunakan analisis rata-rata bergerak.

Analisis debit maksimum dan minimum khusus untuk DAS mikro Cakardipa belum dapat dilakukan karena belum terdapat data debit time series. Sebagai gambaran di DAS besarnya yaitu DAS Ciliwung debit maksimum dan minimumnya dapat dilihat pada Tabel 3. Berdasarkan model statistik (Gumbel), sebaran peluang debit tahunan maksimum dan minimum Sungai Ciliwung berkaitan dengan periode ulang 2, 5, 20, 50, dan 100, disajikan dalam Tabel 4.

Tabel 2. Karakteristik Hujan dan Debit DAS Mikro Cakardipa untuk setiap episode yang tercatat selama bulan Oktober – Nopember 2009.

balitkl

imat.l

itbang.p

ertania

n.go.id

Page 13: Bulletin 2015 - BARUbalitklimat.litbang.pertanian.go.id/wp-content/... · Mikro Cakardipa, DAS Ciliwung Hulu, Jawa Barat., hal 3-17. Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 12 2015 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

12

Hasil analisis sebaran peluang Gumbel menunjukkan bahwa debit mak-simum Sungai Ciliwung pada periode ulang 2, 5, 20, 50, dan 100 adalah berturut-turut sebesar 55; 66,2; 84,1; 95,4 dan

103,9 m3/s, debit minimum pada periode ulang 2 dan 5 tahun adalah 3,3 dan 0,8 m3/s, sedangkan pada periode ulang 20, 50 dan 100 tahun debit minimum yang terjadi adalah 0 m3/s.

Tabel 4. Debit maksimum dan minimum tahunan DAS Ciliwung Hulu pada periode ulang 2, 5, 20, 50, dan 100 tahun dengan metode Gumbel

Untuk mempelajari kecenderungan debit maksimum dan minimum Sungai Ciliwung selama periode 1990-2006, dilakukan aplikasi analisis rata-rata bergerak (moving average analysis). Hasil analisis rata-rata bergerak 8 tahunan, menunjuk-

kan bahwa debit maksimum Sungai Cili-wung yang terjadi selama musim hujan cenderung meningkat dari tahun 1997 sampai dengan tahun 2006 sebesar 5,6 %, sedangkan debit minimum cenderung menurun sebesar 91,4 % (Gambar 5).

Tabel 3. Debit maksimum dan minimum DAS Ciliwung Hulu berdasarkan data debit harian periode 1990-2006

balitkl

imat.l

itbang.p

ertania

n.go.id

Page 14: Bulletin 2015 - BARUbalitklimat.litbang.pertanian.go.id/wp-content/... · Mikro Cakardipa, DAS Ciliwung Hulu, Jawa Barat., hal 3-17. Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 12 2015 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

13

Gambar 5. Trend debit DAS Ciliwung Hulu selama 17 tahun: (a) debit maksimum, dan (b) debit minimum

Evaluasi Kesesuaian Lahan untuk Padi Sawah Hasil penilaian kesesuaian lahan untuk padi di wilayah DAS mikro Cakardipa da-pat diklasifikasikan kedalam kelas cukup sesuai (S2), sesuai marginal (S3) dan kelas tidak sesuai (N). Evaluasi kese-suaian lahan untuk padi sawah dilakukan pada penggunaan lahan sawah tadah hujan yang mendapatkan air dari curah hujan, namun setelah ada dam parit maka sawah tersebut menjadi lahan sawah iri-gasi desa. Hasil penilaian terhadap tana-man padi disajikan pada Tabel 5 dan pen-yebarannya pada Gambar 6. Area lahan cukup sesuai pada Tabel 5 terdapat pada

ketinggian <1000 mdpl terdiri dari satuan lahan nomor 22 dan 30. Areal ini merupakan sawah eksisting dengan faktor pembatas tergolong ringan berupa salah satu atau kombinasi dari reaksi tanah masam (nr) suhu udara rata-rata 20oC (tc) dan lereng 3-8% (eh).

Lahan sesuai marginal (S3) seluas 28.22 ha atau 46.42% dari total DAS mikro Cakardipa. Kelas S3 terdiri dari 2 sub kelas yaitu S3eh terdapat pada sataun lahan 23, 27, dan 32, sedangkan S3rc terdapat pada satuan lahan 4 dan 6. Faktor pembatasnya merupakan salah satu atau kombinasi dari tekstur agak kasar/berkerikil 10-20% (rc) dan lereng 8-30% (eh).

balitkl

imat.l

itbang.p

ertania

n.go.id

Page 15: Bulletin 2015 - BARUbalitklimat.litbang.pertanian.go.id/wp-content/... · Mikro Cakardipa, DAS Ciliwung Hulu, Jawa Barat., hal 3-17. Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 12 2015 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

14

Tabel 5. Hasil penilaian kesesuaian lahan untuk tanaman padi

Untuk memberikan arahan teknologi pengelolaan DAS di DAS mikro Cakardipa dipilih beberapa alternatif teknologi yang memiliki laju erosi lebih kecil atau sama dengan dari erosi yang dapat ditoleransi. Erosi yang dapat ditoleransi di DAS Mikro Cakardipa mencapai 61,6 ton/ha/tahun. Berdasarkan hasil evaluasi kesesuaian lahan tanaman padi, maka pada satuan lahan 22 dan 30 usaha pengelolaan lahan

yang dapat dilakukan untuk menurunkan erosi sampai batas yang dapat ditoleransi sehingga dapat meningkatkan produktivitas lahan antara lain budi daya padi searah lereng. Sedangkan pada satuan lahan 23, 32, dan 27 antara lain melalui pembuatan atau perbaikan teras dan pemanfaatan irigasi suplemen melalui dam parit.

Lahan tidak sesuai (N) seluas 23.71 ha atau 39.02% dari total DAS mikro Cakardipa. Faktor pembatasnya berupa salah satu atau kombinasi dari tekstur kasar/drainase cepat /bahan kasar >30% (rc) dan lereng >30% (eh), terdiri dari 2

sub kelas. Faktor pembatas tersebut tergolong sangat berat, sehingga pada lahan ini sebaiknya tidak dimanfaatkan untuk sawah.

balitkl

imat.l

itbang.p

ertania

n.go.id

Page 16: Bulletin 2015 - BARUbalitklimat.litbang.pertanian.go.id/wp-content/... · Mikro Cakardipa, DAS Ciliwung Hulu, Jawa Barat., hal 3-17. Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 12 2015 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

15

Hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilaporkan Heryani et al., (2009, 2010, 2011, 2013) di DAS mikro Bunder dan Selopamioro, DAS Progo, bahwa beberapa upaya yang dilakukan untuk meningkatkan produktivitas lahan dan mengurangi erosi adalah melalui pengelolaan lahan berupa aplikasi DMC

(direct seeding mulch based on cropping system), perbaikan teras, penanaman tanaman strip rumput pada bibir teras, dan pembuatan drop structure. Pada satauan lahan 4 dan 6 sebaiknya dilakukan pen-gambilan batu atau kerikil sebelum dilaku-kan pengolahan tanah. Satuan lahan 28, 34, dan 35 sebaiknya tidak ditanami padi.

Gambar 6. Peta kesesuaian lahan untuk tanaman padi DAS Mikro Cakardipa, Ciliwung Hulu, Jawa Barat

balitkl

imat.l

itbang.p

ertania

n.go.id

Page 17: Bulletin 2015 - BARUbalitklimat.litbang.pertanian.go.id/wp-content/... · Mikro Cakardipa, DAS Ciliwung Hulu, Jawa Barat., hal 3-17. Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 12 2015 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

16

KESIMPULAN

Curah hujan maksimum di DAS Mikro Cakardipa mencapai 61,5 mm dengan intensitas maksimum sebesar 10,2 mm/5 menit atau setara dengan intensitas hujan 122 mm/jam. Debit puncak mencapai 58,2 lt/det, dengan koefisien aliran permukaan bervariasi antara 0,029 % hingga 0,591%. Debit maksimum Sungai Ciliwung yang terjadi selama musim hu-jan cenderung meningkat dari tahun 1997 sampai dengan tahun 2006 sebesar 5,6 %, se-dangkan debit minimum cenderung menurun sebesar 91,4 %. Waktu konsentrasi bervariasi antara 10 hingga 40 menit. Teknologi pengelolaan lahan melalui aplikasi konservasi tanah dan air yang dapat dilakukan di DAS mikro Cakardipa antara lain melakukan budi daya tanaman searah lereng, pembuatan dan perbaikan teras, pemanfaatan irigasi suplemen.

balitkl

imat.l

itbang.p

ertania

n.go.id

Page 18: Bulletin 2015 - BARUbalitklimat.litbang.pertanian.go.id/wp-content/... · Mikro Cakardipa, DAS Ciliwung Hulu, Jawa Barat., hal 3-17. Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 12 2015 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

17

DAFTAR PUSTAKA

Agnew C.T. 2000. Using the SPI to Identify Drought. Drought Network News, Vol. 12, No. 1, Winter 1999–Spring 2000.

Heryani, N., B. Kartiwa , Y. Sugiarto, T. Handayani. 2013. Pemberian Mulsa dalam Budi-daya Cabai Rawit di Lahan Kering: Dampaknya terhadap Hasil Tanaman dan Aliran Permukaan. J. Agron. Indonesia 41 (2): 147 – 153.

Heryani, N. H. Sosiawan, S. Talaohu, B. Kartiwa. 2011. Pengelolaan Lahan pada DAS Mikro untuk Meningkatkan Produktivitas Pertanian. Laporan akhir penelitian. Balitklimat, BBSDLP, Badan Litbang Pertanian. (tidak dipublikasi).

Heryani N, Wiganda S, Kartiwa B, Tala’ohu S H, Sosiawan H, Sumarno. 2010. Penelitian Desain Teknik Pengelolaan Sumberdaya Air Skala DAS Mikro. Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi. Bogor. Laporan Hasil Penelitian (tidak dipublikasi) .

Heryani, N. H. Sosiawan, B. Kartiwa, S. Talaohu. 2009. Analisis Fungsi Hidrologi Berbagai Penggunaan Lahan Di DAS Mikro. Laporan akhir penelitian. Balitklimat, BBSDLP, Badan Litbang Pertanian. (tidak dipublikasikan).

Kartiwa, B., dan N. Heryani. 2003. Pemodelan Debit Aliran Permukaan Berdasarkan Aplikasi Konsep Horton dan Hidrograf Satuan Pada DAS Mikro Kertek Wonosobo, Jawa Tengah. Jurnal Agromet Indonesia. Vol. XVII No. 1 dan 2. ISSN:0126-3633.

McKee, T.B., N.J. Doesken, J. Kleist.1993. The relationship of drought frequency and duration of time scales. Eight conference on Applied Climatology, American Metorological Society. Jan17-23, 1993. Anaheim CA pp 179-186. http://www.wrcc.dri.edu/spi/explanation.html. Diakses tanggal 14 Juli 2007.

Sinukaban, N. 2006. Bahan kuliah Pengelolaan DAS. Sekolah Pascasarjana IPB. van Noordwijk, M., F. Agus , D. Suprayogo , K. Hairiah , G. Pasya , B. Verbist, Farida.

2004. Peranan Agroforestri dalam mempertahankan fungsi hidrologi daerah aliran sungai (DAS). AGRIVITA Vol. 26 No.1.

balitkl

imat.l

itbang.p

ertania

n.go.id

Page 19: Bulletin 2015 - BARUbalitklimat.litbang.pertanian.go.id/wp-content/... · Mikro Cakardipa, DAS Ciliwung Hulu, Jawa Barat., hal 3-17. Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 12 2015 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

18

DAYA DUKUNG SUMBERDAYA AIR DAN ADAPTASI WAKTU TANAM TERHADAP ANOMALI IKIM

DI WILAYAH SENTRA PRODUKSI PADI Yayan Apriyana

ABSTRAK

Penelitian dilaksanakan dengan tujuan 1) Mengkaji adaptasi petani terhadap kondisi iklim terutama pada wilayah–wilayah yang terindikasi kuat terkena dampak anomali iklim, 2) Membangun informasi terpadu antara waktu tanam petani dengan ketersediaan sumberdaya air pada wilayah yang terkena dampak anomali iklim. Penelitian dilaksanakan melalui 1) Pengumpulan data primer dan sekunder, 2) Wawancara dengan menggunakan purposive sampling. Responden dipilih dengan ketentuan petani/petani penggarap sawah minimal 10 tahun terdiri dari 2 lokasi kabupaten terpilih di Jawa Barat yaitu Indramayu dan Cianjur dan 2 lokasi di Sumatera Barat yaitu Solok dan Pesisir Selatan. Selain itu untuk menjaring informasi lebih akurat dilakukan teknik wawancara terstruktur yang mendalam (in-depth interview) dengan panduan kuisioner. 3) Pengamatan lapang dengan pendekatan kondisi sumberdaya iklim (jumlah, pola, dan distribusi curah hujan dasarian) dan sumberdaya air (aksesibilitas terhadap sumber air dan tingkat ketersediaan air) serta pengaruhnya terhadap kalender tanam. Hasil penelitian menunjukkan bahwa di wilayah monsunal terkena dampak anomali iklim seperti di Indramayu, selain menggunakan air sungai dan hujan, petani harus menambah pasokan irigasi dengan pompanisasi dan sumur. Di wilayah equatorial, seperti di Pesisir Selatan, petani kebanyakan mengandalkan air hujan dan sungai sebagai pasokan irigasinya. Petani di Indramayu berupaya untuk menambah air ataupun dengan menyesuaikan waktu tanam dengan menunda waktu tanam sampai lebih dari 3 dasarian. Petani di lahan yang tidak terpengaruh (Cianjur) tetap menanam atau kalaupun menunda waktu tanam hanya sampai 2 dasarian. Di wilayah equatorial yang tidak terpengaruh (Solok) pada umumnya tidak mengalami masalah kekurangan air kecuali pada lahan tadah hujan waktu tanam tertunda sampai 2 dasarian sedangkan yang terkena pengaruh (Pesisir Selatan) sebagian petani menunda waktu tanam 2 – 3 dasarian. Di wilayah monsunal pada lahan irigasi diterapkan rotasi tanam padi-padi atau padi-palawija, sedangkan untuk lahan tadah hujan, padi-palawija atau padi. Di wilayah equatorial, pada lahan petani yang tidak terpengaruh anomali iklim diterapkan rotasi tanam padi-padi-palawija atau padi-palawija.

Kata Kunci: Sumberdaya air - waktu tanam - anomali iklim - sentra produksi padi

balitkl

imat.l

itbang.p

ertania

n.go.id

Page 20: Bulletin 2015 - BARUbalitklimat.litbang.pertanian.go.id/wp-content/... · Mikro Cakardipa, DAS Ciliwung Hulu, Jawa Barat., hal 3-17. Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 12 2015 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

19

PENDAHULUAN Perilaku iklim di Indonesia tidak selalu berada dalam kondisi normalnya. Pada suatu saat terjadi penurunan curah hujan yang mengakibatkan terjadinya kekeringan dan pada saat yang lain mengakibatkan tingginya curah hujan sehingga dapat menimbulkan banjir (Allan 2000). Kondisi tersebut sering dipengaruhi oleh fenomena yang terjadi di Samudera Pasifik Tropik, berupa gangguan yang terjadi pada sirkulasi Walker, dikenal sebagai fenomena ENSO (El-Nino-Southern Oscillation) (Kirono and Khakim, 1999; Naylor et al. 2001). Selain El Niño di Samudera Pasifik, terdapat pula fenomena interaksi lautan-atmosfer lainnya yang diduga menyebabkan peristiwa kekeringan di Indonesia yang dikenal dengan Indian Ocean Dipole Mode (IOD) (Saji et al. 1999; Webster et al . 1999; Ashok et al . 2001; Mulyana 2001). Fluktuasi, frekuensi dan intensitas anomali iklim yang semakin meningkat, sangat nyata pengaruhnya terhadap produksi padi, sebagai akibat dari penurunan luas sawah, luas panen, dan hasil pada saat terjadi anomali iklim. Anomali iklim berdampak juga terhadap perubahan pola tanam, baik di lahan sa-wah irigasi maupun lahan tadah hujan (Las et al. 2007).

Pada tataran praktis, petani telah lama memiliki kemampuan adaptasi tersendiri yang dilakukan dalam menghadapi perubahan iklim dan keterbatasan sumberdaya air sebagai pendukung utama dalam menetapkan waktu dan pola tanam yang akan diusahakan. Akan tetapi pada kasus tertentu masih terjadi kesenjangan antara kondisi iklim, sumberdaya air dan praktek budidaya pertanian yang menjadi ciri kondisi spesifik lahan usaha tani dengan luasan tertentu. Pada satu daerah, petani

mampu beradaptasi terhadap perubahan iklim dan keterbatasan sumberdaya air secara optimal tetapi belum tentu berhasil untuk daerah dan waktu yang lain.

Inventarisasi data adaptasi petani dibatasi pada tindakan petani dalam mengelola sumberdaya iklim dan air. Inventarisasi ini dilakukan pada setiap tingkat sensitivitas dampak ENSO-IOD di Sumatera Barat dan Jawa Barat, melalui hasil wawancara dengan petani ataupun dengan pengamatan langsung di lapangan. Sampai saat ini tindakan petani di dalam mengatasi kekurangan air misalnya, adalah dengan membuat sumur pompa, melakukan tindakan irigasi, atau memompa air dari sungai. Penentuan lokasi disesuaikan dengan lokasi tahap sebelumnya, agar diperoleh kombinasi yang tepat antara faktor sumberdaya iklim, air dan teknologi. Selain masalah teknologi pengelolaan sumberdaya air, juga dikaji bagaimana petani menentukan kalender tanam setiap musim tanam. Oleh karena itu dilakukan penelitian dengan tujuan (1) Mengkaji adaptasi petani terhadap kondisi iklim terutama pada wilayah – wilayah yang terindikasi kuat terkena dampak anomali iklim, (2) Membangun informasi yang terpadu antara waktu tanam petani dengan ketersediaan sumberdaya air pada wilayah yang terkena dampak, sehingga pada akhirnya dapat dijadikan masukan dalam upaya strategi adaptasi menghadapi variabilitas iklim yang akhir-akhir ini sering mengalami ketidakpastian.

METODOLOGI Lokasi Penelitian Penelitian ini mengambil kasus di sentra produksi padi yang terkena dampak anomali iklim (ENSO dan IOD) di wilayah monsunal

balitkl

imat.l

itbang.p

ertania

n.go.id

Page 21: Bulletin 2015 - BARUbalitklimat.litbang.pertanian.go.id/wp-content/... · Mikro Cakardipa, DAS Ciliwung Hulu, Jawa Barat., hal 3-17. Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 12 2015 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

20

yaitu kabupaten Indramayu, Jawa Barat dan di wilayah equatorial yaitu di kabupaten Pesisir Selatan, Sumatera Barat. Sebagai pembanding diambil pula kasus di sentra padi yang tidak terkena dampak anomali iklim di wilayah monsunal yaitu kabupaten Cianjur, Jawa Barat dan di wilayah equatorial yaitu di kabupaten Solok, Sumatera Barat (Koesmaryono et al. 2008; Koesmaryono et al. 2009). Metode Penelitian

Pengumpulan Data

• Jenis dan Sumber Data

Data yang dibutuhkan dalam penelitian ini dibagi menjadi dua jenis data yaitu data sekunder dan primer. Data sekunder dapat diperoleh dari beberapa literatur penting seperti statistik, laporan hasil penelitian, jurnal dan sebagainya yang menunjang kelengkapan data penelitian. Data primer diperoleh dari fenomena yang terjadi di lapang, baik yang dikumpulkan dari panduan kuesioner yang tersedia dan pengamatan langsung yang mencerminkan kondisi spesifik lokasi penelitian.

• Teknik Pengumpulan Data Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan metode literatur survey terhadap beberapa data statistik yang relevan dengan studi dan sumber infor-masi lain yang berkaitan dengan peneli-tian. Teknik wawancara yang digunakan adalah dengan pengambilan sample (sampling). Teknik ini diperlukan agar sample dapat merepresentasikan atau mewakili populasi, sehingga memperkecil bias (perbedaan) yang diperoleh sample yang diambil dari populasi.

Responden dalam penelitian ini adalah petani/ketua kelompok tani seban-

yak 5 orang pada setiap tipe lahan irigasi. Penelitian ini menggunakan teknik wawan-cara purposive sampling. Responden dipilih dengan ketentuan petani/petani penggarap sawah minimal 10 tahun terdiri dari 2 lokasi kabupaten terpilih di Jawa Barat yaitu Indramayu dan Cianjur dan 2 lokasi di Sumatera Barat yaitu Solok dan Pesisir Selatan. Selain itu untuk menjaring informasi lebih akurat dilakukan teknik wawancara terstruktur yang mendalam (in-depth interview) dengan panduan kuisioner. Beberapa tahap dalam pengumpulan data: Tahap 1. Identifikasi karakteristik target

kelompok petani Tahap 2. Mendesain kuesioner Tahap 3. Tabulasi data deskriptif hasil

survey Tahap 4. Menganalisis data hasil survey Tahap 5. Pelaporan hasil survey.

Pengamatan lapang

• Daya Dukung Sumberdaya Iklim dan Air Spesifik Lo-kasi Berdasarkan Tingkat Sensitivitas Daerah Terkena Dampak Anomali Iklim (ENSO dan IOD)

Daya dukung sumberdaya iklim dan air dinilai berdasarkan nilai intrinsik (intrinsic value) yaitu nilai yang tidak diperoleh dari pemanfaatan sumber-daya tersebut. Daya dukung tersebut dianalisis berdasarkan peta sensitivitas terhadap anomali iklim (terpengaruh dan tidak terpengaruh) dengan mela-kukan inventarisasi sumberdaya iklim dan air yang dominan mempengaruhi kalender tanam dan menjadi ciri khusus setiap wilayah. Daya dukung sumberdaya iklim dan air didasarkan pada dua pendekatan, yaitu kondisi

balitkl

imat.l

itbang.p

ertania

n.go.id

Page 22: Bulletin 2015 - BARUbalitklimat.litbang.pertanian.go.id/wp-content/... · Mikro Cakardipa, DAS Ciliwung Hulu, Jawa Barat., hal 3-17. Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 12 2015 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

21

sumberdaya iklim dan air serta penga-ruhnya terhadap kalender tanam. Sumber-daya iklim yang dimaksud adalah jumlah, pola, dan distribusi curah hujan dasarian, sedangkan sumberdaya air adalah (a) aksesibilitas terhadap sumber air dan (b) tingkat ketersediaan air. Aksesibilitas terhadap sumberdaya air dibagi berdasarkan :

1) Jarak dari lahan ke sumber air 2) Sarana yang tersedia untuk mem-

peroleh air Tingkat ketersediaan air dibagi berdasar-kan:

1) Jenis sumber air (sungai, air tanah dan irigasi)

2) Kuantitas sumber air

HASIL DAN PEMBAHASAN Maju mundurnya waktu tanam dan pan-jang pendeknya rentang waktu serta pene-tapan pola tanam sangat berkaitan erat dengan ketersediaan air baik berasal dari hujan maupun irigasi suplementer serta sistem pengairan yang diterapkan petani. Untuk mengetahui karakteristik daya du-kung sumberdaya air yang ada di wilayah penelitian dilakukan analisis dan wawan-cara dengan petani.

Sumber Air Lahan Sawah di Wilayah Monsunal

Berdasarkan hasil wawancara, ketersedia-an air di Indramayu pada saat tahun-tahun normal relatif aman baik pada lahan irigasi maupun tadah hujan. Seluruh responden baik petani yang menggunakan irigasi teknis maupun tadah hujan masih mempe-roleh pasokan irigasi suplementer meski-pun pada lahan tadah hujan di Musim Tanam (MT) II, sekitar 75% responden melakukan antisipasi dengan mengguna-kan mesin pompa untuk menaikkan air sungai ke lahan sawah (Tabel 1).

Keragaman sumber irigasi terjadi saat tahun-tahun kering. Pada umumnya kekeringan tidak berpengaruh pada lahan irigasi teknis golongan 1 dan 2. Kekeringan mulai berpengaruh pada lahan petani irigasi teknis golongan 3, sekitar 83% responden masih menggunakan sarana irigasi sebagai pasokan airnya sisanya sudah mengalami kekeringan. Sekitar 33% responden membuat sumur pompa untuk mengairi lahannya dan 17% responden menggunakan pompa untuk mengambil air di sungai. Di lahan tadah hujan pada Musim Tanam Pertama (MT I), sebagian responden (43%) menggunakan pompa sungai untuk irigasinya dan pada MT II seluruh responden menggunakan pompa sungai untuk pasokan irigasinya.

Pada tahun kering secara umum petani di Cianjur yang berada di lahan irigasi teknis 1 dan 2 tidak mengalami masalah terutama pada MT I, tetapi pada MT II petani yang berada baik pada lahan irigasi teknis 3, maupun tadah hujan mulai menggunakan air sungai sebagai pasokan irigasinya. Perubahan tersebut dapat dilihat dari sekitar 17% responden petani lahan irigasi teknis 3 mulai menggunakan sungai sebagai pasokan irigasinya, bahkan pada lahan tadah hujan seperti halnya di Indramayu, seluruh petani menggunakan air sungai (Tabel 2). Perbedaan penggunaan sumber air di setiap musim tanam antara Cianjur dan Indramayu yang terlihat jelas adalah pada lahan tadah hujan. Pada tahun normal MT II petani yang berada pada lahan tadah hujan di Indramayu menggunakan pompa sungai sebagai alternatif irigasinya sedangkan petani di Cianjur hanya mengandalkan hujan sebagai pasokan irigasinya. Perbedaan lebih terlihat jelas pada tahun kering, kekeringan yang terjadi lebih dirasakan oleh petani di daerah Indramayu

balitkl

imat.l

itbang.p

ertania

n.go.id

Page 23: Bulletin 2015 - BARUbalitklimat.litbang.pertanian.go.id/wp-content/... · Mikro Cakardipa, DAS Ciliwung Hulu, Jawa Barat., hal 3-17. Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 12 2015 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

22

dibandingkan daerah Cianjur. Untuk mengatasi kekeringan, petani di Indramayu lebih beragam menggunakan alternatif irigasinya yaitu sekitar 17% petani pada MT I menggunakan pompa sungai dan 33% petani pada MT II

membuat sumur pompa. Dengan demikian petani di Indramayu harus mengeluarkan biaya tambahan penggunaan pompa untuk mengatasi kekeringan yang terjadi.

Tabel 1. Respon Petani terhadap Penggunaan Sumber Air untuk Tanaman Padi pada Tahun Normal dan Tahun Kering di Kabupaten Indramayu Musim Tanam I dan Musim Tanam II

Tabel 2. Respon Petani terhadap Penggunaan Sumber Air untuk Tanaman Padi pada Tahun Normal dan Tahun Kering di Kabupaten Cianjur Musim Tanam I dan Musim Tanam II.

balitkl

imat.l

itbang.p

ertania

n.go.id

Page 24: Bulletin 2015 - BARUbalitklimat.litbang.pertanian.go.id/wp-content/... · Mikro Cakardipa, DAS Ciliwung Hulu, Jawa Barat., hal 3-17. Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 12 2015 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

23

Sumber air yang digunakan oleh petani untuk mengairi lahannya tidak se-lalu sama, baik pada setiap musim tanam maupun pada tahun normal dan tahun kering. Ketersedian air pada saat tahun kering sangat berbeda apabila dibanding-kan pada saat tahun normal. Tahun kering sendiri sering disebabkan oleh adanya anomali iklim yang terjadi pada daerah tersebut, dalam hal ini di Indramayu tahun kering disebabkan adanya fenomena El Niño dan IOD positif. Petani melakukan perubahan penggunaan sumber air pada tahun kering sebagai bentuk adaptasi untuk memenuhi kebutuhan air lahan per-taniannya dan sekaligus menghindari ter-jadinya kerusakan akibat kekeringan.

Sumber Air di Lahan Sawah Wilayah Equatorial

Di wilayah equatorial, dipilih Solok dan Pesisir Selatan masing-masing untuk wilayah yang tidak terpengaruh dan ter-pengaruh oleh ENSO dan IOD. Pada lahan irigasi teknis, di kedua wilayah terse-but perbedaan tahun kering dan tahun normal tidak tergambar dengan jelas se-hingga sumberdaya air yang tersedia ham-pir merata baik pada tahun normal mau-pun kering.

Pada tahun normal perbedaan terjadi pada saat MT II di lahan irigasi non teknis. Sekitar 33% responden di Pesisir Selatan sudah mulai mengandalkan hujan sebagai pasokan irigasinya karena se-bagian besar saluran irigasi mulai menger-ing saat memasuki MT II.

Pada tahun kering MT I di Solok, petani pada lahan irigasi teknis masih dapat menggunakan irigasinya sebagai sumber air utama, pasokan irigasi berkurang baik pada lahan irigasi semi teknis maupun non teknis sehingga ban-yak yang menggunakan sumber air alter-natif. Hal tersebut ditandai dengan respon

petani yang menggunakan mata air, sun-gai, dan menunggu hujan masing-masing 40%, 10% dan 20% sebagai pengganti air dari saluran irigasi dan penggunaan sun-gai dan mata air semakin meningkat pada MT II di lahan tadah hujan (Tabel 3).

Memasuki MT II pada tahun nor-mal, 33% petani dengan tipe lahan tadah hujan mulai mengalami kesulitan dalam memperoleh air. Sehingga petani meman-faatkan sungai sebagai sumber air alter-natif. Tahun kering pada MT II tidak terlalu terlihat perbedaan penggunaan sumber air pada petani yang memiliki lahan irigasi dengan MT I di tahun kering. Sumber air alternatif lain yang banyak digunakan oleh para petani tadah hujan adalah sungai dengan bantuan pompa yaitu 45% dan mata air 22% petani. Pada MT II ini, tidak semua petani tadah hujan yang melaku-kan penanaman. Ada sekitar 10% petani tadah hujan yang hanya melakukan sekali tanam setiap tahunnya.

MT I di Pesisir Selatan pada tahun kering sudah terlihat jelas perbedaan penggunaan sumber airnya terutama un-tuk petani irigasi semi teknis, non teknis dan tadah hujan. Seluruh petani dengan tipe lahan tersebut seluruhnya tidak meng-gunakan irigasinya sebagai sumber pen-gairan lahan pada MT I di tahun kering. 75% petani irigasi semi teknis mengandal-kan hujan dan 25% petani mengandalkan sungai sebagai sumber air lahannya. Pet-ani pada tipe lahan irigasi non teknis, selu-ruh petani mengandalakn hujan sebagai sumber air utamanya pada tahun kering (Tabel 4).

Pada MT II di tahun nomal tidak terlalu terlihat perubahan penggunaan sumber air untuk pengairan lahan. Namun 33% petani dengan tipe lahan irigasi non teknis mengandalkan hujan sebagai sum-ber air lahannya. Tahun kering di MT II tidak begitu berbeda dengan MT I.

balitkl

imat.l

itbang.p

ertania

n.go.id

Page 25: Bulletin 2015 - BARUbalitklimat.litbang.pertanian.go.id/wp-content/... · Mikro Cakardipa, DAS Ciliwung Hulu, Jawa Barat., hal 3-17. Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 12 2015 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

24

Banyaknya petani yang mengandalkan hujan mengindikasikan bahwa kurangnya

sumber air alternatif yang dapat digunakan oleh para petani di Pesisir Selatan.

Tabel 3. Respon Petani terhadap Penggunaan Sumber Air untuk Tanaman Padi pada Tahun Normal dan Tahun Kering di Kabupaten Solok Musim Tanam I dan

Perbedaan penggunaan sumber air untuk pengairan lahan yang paling terlihat di kedua kabupaten adalah petani pada tipe lahan irigasi semi teknis dan tadah hujan. Pada tahun kering di MT I untuk daerah Solok, 80% petani masih menggunakan irigasi sebagai sumber air lahannya sedangkan petani di daerah Pesisir Selatan dengan tipe lahan yang sama seluruhnya sudah tidak mengandal-kan irigasi lagi sebagai sumber air lahan. Hal ini mengindikasikan bahwa kebutuhan air pada musim kering tidak dapat dipe-nuhi melalui irigasi di Pesisir Selatan se-dangkan di Solok irigasinya masih mampu untuk memenuhi kebutuhan air lahan pet-ani pada musim kering.

Perbedaan penggunaan sumber air pada petani tadah hujan juga terjadi di kedua kabupaten tersebut. Pada tahun kering petani di Pesisir Selatan sepe-nuhnya mengandalkan hujan sedangkan petani Solok, 40% petani mengandalkan

sungai sebagai sumber air alternatif. Hal ini dapat diartikan bahwa petani di Solok memiliki sumber air lainnya yang dapat digunakan untuk mengairi lahan sedang-kan petani di Pesisir Selatan hanya men-gandalkan hujan.

Pada lahan irigasi teknis petani di Pesisir Selatan tidak mengalami kendala dalam memperoleh pasokan irigasi meskipun pada tahun kering. Pasokan berkurang saat terjadi kekeringan pada lahan dengan tipe lahan irigasi semi tek-nis. Sebanyak 25% responden melakukan antisipasi kekeringan dengan mengguna-kan pompa dari sungai sedangkan petani yang letak lahannya relatif jauh dari sungai hanya mengandalkan hujan. Untuk lahan dengan irigasi non teknis dan tadah hujan, petani hanya mengandalkan hujan se-hingga saat terjadi kekeringan lahan di-tanami palawija atau sayuran bahkan dib-erakan (Tabel 4).

balitkl

imat.l

itbang.p

ertania

n.go.id

Page 26: Bulletin 2015 - BARUbalitklimat.litbang.pertanian.go.id/wp-content/... · Mikro Cakardipa, DAS Ciliwung Hulu, Jawa Barat., hal 3-17. Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 12 2015 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

25

Adaptasi waktu tanam padi di Wilayah Monsunal

Untuk memperoleh gambaran waktu tanam di wilayah monsunal terkena dam-pak seperti di Indramayu dilakukan wawancara di lima kecamatan antara lain di Anjatan, Bongas, Kertasemaya, Sukagumiwang, dan Krangkeng. Waktu tanam dimulai antara Oktober I/II sampai dengan Desember II/III. Sebanyak 50% responden di lahan irigasi teknis menanam pada Oktober I/II sisanya menanam pada November I sampai dengan Desember II. Namun pada lahan irigasi teknis golongan 3 sebagian besar responden (50%) mela-kukan penanaman pada Oktober III/November I dan sebagian petani lainnya menanam sampai dengan Desember II. Pada lahan tadah hujan 57% responden melakukan penanaman pada November II/III dan sisanya sebanyak 43% menanam pada Oktober III/November I (Gambar 1).

Untuk mengetahui gambaran waktu dan masa tanam di wilayah monsu-nal yang tidak terkena dampak anomali iklim yaitu di Kabupaten Cianjur dilakukan wawancara di empat kecamatan antara lain di Ciranjang, Warungkondang, Cam-paka dan Karangtengah. Waktu tanam di kabupaten Cianjur pada lahan irigasi tek-nis 1 dan 2 pada September III/Oktober I sebanyak 50% petani menanam pada periode tersebut dan 50% lainnya menanam pada November I/II. Petani pada lahan irigasi teknis 3 serempak menanam pada Oktober II/III sedangkan petani pada lahan tadah hujan sekitar 60% melakukan penanaman pada November I/II selebihnya menanam pada Oktober II/III. Dari hasil wawancara tersebut menunjuk-kan bahwa baik petani di Indramayu mau-pun di Cianjur masih belum menanam dengan waktu tanam yang serempak. (Gambar 2).

Tabel 4. Respon Petani terhadap Penggunaan Sumber Air untuk Tanaman Padi pada Tahun Normal dan Tahun Kering di Kabupaten Pesisir Selatan Musim Tanam I dan Musim Tanam II

balitkl

imat.l

itbang.p

ertania

n.go.id

Page 27: Bulletin 2015 - BARUbalitklimat.litbang.pertanian.go.id/wp-content/... · Mikro Cakardipa, DAS Ciliwung Hulu, Jawa Barat., hal 3-17. Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 12 2015 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

26

Gambar 1. Respon petani terhadap waktu tanam padi di wilayah monsunal terkena dampak anomali iklim. Kabupaten Indramayu

Gambar 2. Respon petani terhadap waktu tanam padi di wilayah monsunal tidak terkena dampak anomali iklim. Kabupaten Cianjur

Perbedaan rotasi tanam yang dilakukan oleh petani di Indramayu sangat tergantung pada tipe lahan irigasi, teru-tama irigasi teknis dan non irigasi (tadah hujan). Pada lahan dengan tipe lahan irigasi, sekitar 33% dari seluruh responden dengan tipe lahan rigasi teknis 1 dan 2 melakukan tiga kali tanam yaitu padi-padi-padi demikian pula pada irigasi teknis 3, sebanyak 58% responden menanam den-gan pola yang sama. Pada lahan dengan tipe lahan tadah hujan kebanyakan hanya melakukan dua kali tanam setiap tahunnya yaitu padi-padi-bera sebanyak 64%.

Perbedaan ketersediaan air di kedua daerah ini terlihat melalui rotasi tanam yang jauh berbeda antara kedua daerah tersebut. Perbedaan ini terlihat

jelas pada lahan tadah hujan, pola tanam di daerah Indramayu didominasi oleh dua kali tanam yaitu padi-padi, sedangkan di daerah Cianjur didominasi oleh tiga kali tanam yaitu padi-padi-palawija (Tabel 5). Daerah Cianjur lebih dipengaruhi oleh iklim lokal karena letak wilayah yang dekat dengan pegunungan sehingga tidak terlalu terlihat jelas perbedaan pola tanama antara tipe lahan irigasi teknis dan tadah hujan dengan curah hujan terjadi hampir terjadi setiap tahun dan sumber air yang cukup banyak melalui aliran sungai mau-pun mata air.

balitkl

imat.l

itbang.p

ertania

n.go.id

Page 28: Bulletin 2015 - BARUbalitklimat.litbang.pertanian.go.id/wp-content/... · Mikro Cakardipa, DAS Ciliwung Hulu, Jawa Barat., hal 3-17. Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 12 2015 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

27

Tabel 5. Respon Petani terhadap Penyesuaian Rotasi Tanam pada Tahun Normal dan Tahun Kering di Wilayah Monsunal

Perilaku petani di daerah In-dramayu dan Cianjur dalam beradaptasi disaat tahun kering disajikan pada Tabel 6. Sebagian besar petani berusaha me-menuhi kebutuhan air lahan pertaniannya dengan cara mencari sumber air yang lain atau memundurkan waktu tanam.

Sebagian besar petani di In-dramayu atau sekitar 75 – 83% respon-den pada lahan irigasi teknis baik pada irigasi golongan 1, 2 dan 3 melakukan antisipasi kekeringan dengan memundur-kan waktu tanam rata-rata sekitar 2 minggu, hanya sekitar 25% petani tidak melakukan perubahan waktu tanam karena air relatif tersedia. Petani dengan lahan irigasi teknis golongan 1 dan 2 tidak berusaha mencari air dalam mengantisi-

pasi waktu tanam, mereka lebih memilih memundurkan waktu tanamnya rata-rata sekitar 2 minggu menunggu suplai irigasi. Sebagian besar (64%) petani pada lahan tadah hujan lebih memilih mencari air sedangkan sisanya (36%) lebih memilih untuk memundurkan waktu tanam menunggu hujan meskipun lebih dari 4 minggu.

Lebih dari 80% Petani di Cianjur baik pada lahan irigasi maupun pada la-han tadah hujan saat menghadapi kekerin-gan mencari air dengan memompa air dari sungai. Hanya sebagian kecil (17 – 20%) petani tetap menanam pada lahan irigasi teknis dan hanya 20% petani lahan tadah hujan yang memundurkan waktu tanam-nya.

Tabel 6. Respon Petani terhadap Kekeringan di Indramayu dan Cianjur

balitkl

imat.l

itbang.p

ertania

n.go.id

Page 29: Bulletin 2015 - BARUbalitklimat.litbang.pertanian.go.id/wp-content/... · Mikro Cakardipa, DAS Ciliwung Hulu, Jawa Barat., hal 3-17. Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 12 2015 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

28

Akibat terjadinya kekeringan yang tidak dapat dihindari, petani sendiri mela-kukan tindakan pencegahan baik dengan memundurkan jadual tanam atau tindakan lain yang dapat mengurangi kerusakan akibat kekeringan. Perbedaan respon petani di Indramayu dan Cianjur disebab-kan kondisi iklim dan ketersediaan air yang cukup berbeda. Responden yang berada di Cianjur lebih memilih untuk men-cari sumber air lain dibanding memundur-kan jadual tanam di saat terjadi kekerin-gan. Hal ini dilakukan oleh seluruh respon-den di Cianjur baik pada lahan irigasi mau-pun lahan tadah hujan. Namun ada juga beberapa responden yang memundurkan jadual tanam sekitar 2 minggu dari yang sudah ditentukan karena letak lahan yang cukup jauh dari sumber air.

Berbeda dengan Cianjur, respon-den dengan tipe lahan lahan irigasi di Indramayu lebih memilih untuk memundur-kan jadual tanam dibanding mencari air. Responden dengan lahan irigasi teknis 1 di Indramayu lebih memilih untuk memun-durkan jadual tanam sekitar 2 minggu. Responden dengan lahan irigasi teknis 3 juga melakukan hal yang serupa dengan yang dilakukan oleh para petani dengan tipe lahan lahan irigasi teknis 1. Pemundu-ran jadual tanam ini disebabkan petani takut mengalami kerugian akibat kerusa-kan lahan dan petani juga tidak mau mengeluarkan biaya tambahan untuk men-yewa pompa dan menggunakan air sun-gai. Tindakan petani ini terlihat jelas pada MT II tahun kering, sangat sedikit petani yang menggunakan pompa sungai seba-gai alternatif sumber air lainnya. Untuk wilayah tadah hujan, respon petani sangat

terlihat perbedaannya dibandingkan den-gan respon petani pada lahan irigasi. Pet-ani tadah hujan lebih memilih untuk men-cari air dimana responden kebanyakan yang melakukan 2 kali tanam. Hal ini terlihat juga melalui sumber air yang ser-ing mereka gunakan di musim kering yaitu pompa sungai, petani mau untuk menge-luarkan biaya tambahan untuk mengguna-kan pompa. Petani tadah hujan yang me-mundurkan jadual tanam hingga satu bu-lan adalah petani yang melakukan hanya sekali tanam, sehingga para petani menunggu hujan untuk mulai menanam lagi.

Adaptasi Waktu Tanam Padi di Wilayah Equatorial

Jadual tanam di Solok dan Pesisir Selatan yang dilakukan oleh petani cukup bervari-asi (Gambar 3 dan 4). Sebaran awal tanam yang cukup bervariasi tersebut dapat dilihat pada petani tadah hujan, ada petani yang menanam pada awal Juni namun ada juga yang menanam pada awal Januari. Petani daerah Solok melaku-kan penanaman lebih cepat bila diband-ingkan dengan petani di daerah Pesisir Selatan. Petani pada lahan irigasi teknis memulai tanam pada bulan Agustus hingga September, sedangkan petani di Pesisir Selatan baru mulai tanam pada bulan Desember dasarian ketiga. Begitu juga dengan petani dengan sistem irigasi yang lain di daerah Solok lebih dulu mela-kukan penanaman dibanding daerah Pe-sisir Selatan. Perbedaan waktu tanam di kedua daerah tersebut sekitar dua hingga tiga dasarian pada setiap tipe lahan irigasi lahan.

balitkl

imat.l

itbang.p

ertania

n.go.id

Page 30: Bulletin 2015 - BARUbalitklimat.litbang.pertanian.go.id/wp-content/... · Mikro Cakardipa, DAS Ciliwung Hulu, Jawa Barat., hal 3-17. Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 12 2015 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

29

Gambar 3. Respon petani terhadap waktu tanam padi di wilayah monsunal terkena dampak anomali iklim. Kabupaten Pesisir Selatan

Gambar 4. Respon petani terhadap waktu tanam padi di wilayah monsunal tidak terkena dampak anomali iklim. Kabupaten Solok

balitkl

imat.l

itbang.p

ertania

n.go.id

Page 31: Bulletin 2015 - BARUbalitklimat.litbang.pertanian.go.id/wp-content/... · Mikro Cakardipa, DAS Ciliwung Hulu, Jawa Barat., hal 3-17. Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 12 2015 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

30

Hasil analisis secara global menunjukkan bahwa di Solok perbedaan pola tanam yang dilakukan oleh para pet-ani sangat tergantung pada tipe lahan irigasi, terutama irigasi teknis dan non irigasi (tadah hujan). Pada lahan dengan tipe lahan irigasi, sekitar 50% dari seluruh responden dengan tipe lahan irigasi teknis dan semi teknis melakukan tiga kali tanam yaitu padi-padi-padi demikian pula pada irigasi non teknis sebanyak 40% respon-den menanam dengan pola yang sama. Pada lahan dengan tipe lahan tadah hujan kebanyakan hanya melakukan dua kali tanam setiap tahunnya yaitu padi-padi-bera sebesar 60% dan padi-palawija/sayuran-bera sebanyak 40%. Seluruh responden di Solok menyatakan bahwa lahan sawah mereka tidak mengalami kekeringan sehingga tidak terjadi peruba-han rotasi tanam yang dilakukan oleh petani.

Tidak seperti di Solok, petani di Pesisir Selatan lebih memilih menanam padi-padi-palawija dan padi-padi-bera. Hanya 22% petani yang berada pada lahan irigasi teknis yang menanam padi sepanjang tahun. Petani yang berada

pada irigasi semi teknis sebagian besar (80%) menggunakan rotasi tanam padi-padi-palawija, petani yang berada pada irigasi non teknis sebagian besar (80%) menggunakan rotasi padi-padi-bera. Untuk petani di lahan tadah hujan sebagian be-sar (60%) menggunakan rotasi tanam padi-palawija-bera sedangkan petani lainnya (30%) hanya sekali tanam padi saja. Ro-tasi tanam pada tahun kering di Pesisir Selatan juga tidak banyak berubah, hanya saja tdak terdapat petani yang menanam padi sepanjang tahunnya ( Tabel 7).

Secara umum respon perbedaan petani di Solok dengan Pesisir Selatan terdapat pada dominasi panjang rotasi tanan padi dimana rotasi tanam di daerah Pesisir Selatan didominasi oleh dua kali tanam yaitu padi-padi, sedangkan pada daerah Solok didominasi oleh tiga kali tanam yatiu padi-padi-padi. Daerah Solok lebih dipengaruhi oleh iklim lokal karena letak wilayah yang dekat dengan pegunun-gan bukit barisan sehingga curah hujan hampir merata sepanjang tahun. dan sum-ber air yang cukup banyak melalui aliran sungai maupun mata air.

Tabel 7. Penyesuaian Rotasi Tanam Oleh Petani pada Tahun Normal dan Kering di Solok dan Pesisir Selatan Pada Pola Hujan Equatorial.

balitkl

imat.l

itbang.p

ertania

n.go.id

Page 32: Bulletin 2015 - BARUbalitklimat.litbang.pertanian.go.id/wp-content/... · Mikro Cakardipa, DAS Ciliwung Hulu, Jawa Barat., hal 3-17. Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 12 2015 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

31

Respon Petani akibat terjadinya kekeringan di kedua daerah sangat ber-beda (Tabel 8). Hal tersebut disebabkan oleh kondisi iklim maupun ketersediaan air yang tidak sama. Petani dengan sistem irigasi di Solok masih banyak yang tetap menanam walaupun terjadi kekeringan. Namun ada 20% petani dengan irigasi semi teknis yang memundurkan jadual tanam sekitar dua minggu dan 40% petani dengan irigasi non-teknis yang mencari sumber air alternatif. Tindakan yang dilakukan oleh petani tadah hujan juga tidak seragam, sekitar 50% petani tadah hujan memilih untuk mencari sumber air lain dan 50% petani memilih untuk

memundurkan jadual tanam sekitar dua minggu.

Petani di daerah Pesisir Selatan hampir seluruhnya memundurkan jadual tanam baik pada lahan irigasi maupun lahan tadah hujan. Seluruh petani responden irigasi teknis memilih untuk memudurkan jadual tanam sekitar dua minggu. Hal ini dilakukan juga oleh petani dengan irigasi semi teknis. Petani tadah hujan di daerah Pesisir Selatan sangat jauh berbeda tindakan yang dilakukan bila dibandingkan petani di Solok. Petani memundurkan jadual tanamnya lebih dari empat minggu karena petani lebih memilih untuk menunggu hujan turun.

Tabel 8. Respon Petani terhadap Kekeringan di Solok dan Pesisir Selatan

KESIMPULAN Di wilayah monsunal yang terkena dampak anomali iklim seperti di Indramayu, selain menggunakan air sungai dan hujan, petani harus menambah pasokan irigasi dengan pompanisasi dan sumur. Di wilayah equatorial, seperti di Pesisir Selatan, petani kebanyakan mengandalkan air hujan dan sungai sebagai pasokan irigasinya.

Petani di Indramayu berupaya untuk menambah air ataupun dengan menyesuaikan waktu tanam dengan menunda waktu tanam sampai lebih dari 3 dasarian. Petani di lahan yang tidak terpengaruh (Cianjur) tetap menanam atau kalaupun menunda waktu tanam hanya sampai 2 dasarian. Di wilayah equatorial yang tidak terpengaruh (Solok) pada umumnya tidak mengalami masalah kekurangan air kecuali pada lahan tadah hujan waktu tanam tertunda sampai 2 dasarian sedangkan yang terkena pengaruh (Pesisir Selatan) sebagian petani menunda waktu tanam 2 – 3 dasarian.

Di wilayah monsunal petani lahan irigasi yang biasanya menerapkan rotasi tanam padi-padi-padi berubah menjadi padi-padi atau padi-palawija, sedangkan untuk lahan tadah hujan, petani mengubah dari padi-padi menjadi padi-palawija atau padi. Di wilayah equatorial, pada lahan petani yang tidak terpengaruh anomali iklim, umumnya tidak merubah rotasi tanam. Tetapi untuk lahan yang terpengaruh, perubahan terjadi dari padi-padi-padi bergeser menjadi padi-padi-palawija atau padi-palawija.

balitkl

imat.l

itbang.p

ertania

n.go.id

Page 33: Bulletin 2015 - BARUbalitklimat.litbang.pertanian.go.id/wp-content/... · Mikro Cakardipa, DAS Ciliwung Hulu, Jawa Barat., hal 3-17. Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 12 2015 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

32

DAFTAR PUSTAKA

Allan R. 2000. ENSO and climatic variability in the past 150 years, in ENSO: Multiscale Variability and Global and Regional Impacts, Diaz, H. & Markgraf, V. (Eds.), pp. 3-55. Cambridge Univ. Press. Cambridge.

Ashok K, Guan Z, and Yamagata T. 2001: Impact of the Indian Ocean Dipole on the relationship between the Indian monsoon rainfall and ENSO. Geophys. Res. Lett., 28, 4499–4502.

Kirono DGC, and Khakim N. 1999. ENSO Rainfall Variability and Inpacts on Crop Production in Indonesia.Physical Geography, Vol 20. 6, pp. 508-519.

Koesmaryono Y, Las I, Aldrian E, Runtunuwu E, Pramudia A, Apriyana Y, Trinugroho W. 2009. Laporan Hasil Kegiatan. Pengembangan Stándar Operasional Prosedur Adaptasi Kalender Tanaman Padi terhadap ENSO-IOD Berbasis Sumberdaya Iklim dan Air. Laporan KKP3T. Litbang Deptan-IPB. (Tidak dipublikasikan).

Koesmaryono Y, Las I, Aldrian E, Runtunuwu E, Syahbuddin H, Apriyana Y, Ramadhani F, Trinugroho W. 2008. Laporan Hasil Kegiatan. Sensitivitas dan Dinamika Kalender Tanam Padi Terhadap Parameter ENSO (El-Nino Southern Oscillation) dan IOD (Indian Ocean Dipole) di Daerah Monsunal dan Equatorial. Laporan KKP3T. Litbang Deptan-IPB. (Tidak dipublikasi).

Las I, Unadi A, Subagyono K, Syahbuddin H, Runtunuwu E. 2007. Atlas Kalender Tanam Pulau Jawa. Skala 1:1.000.000 dan 1:250.000. Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi. 96 hal.

Mulyana E. 2001. Interannual Variation of Rainfall over Indonesia and Its Relation to the Atmospheric Circulation, ENSO and Indian Ocean Dipole Mode. Hokaido University. Japan.

Naylor RL, Falcon WP, Rochberg D and Nikolaswada. 2001. Using El Niño/Southern Oscillation Climate Data to Predict Rice Production in Indonesia. Center for Environmental Science and Policy, Encina hall 405e, Stanford University, Stanford, Ca 94305-6055, U.S.A. Climatic Change 50: 255–265,.

Saji NH, Goswami BN, Vinayachandran P N, Yamagata T. 1999 : A Dipole in the Tropical Indian Ocean. Nature, 401, 360-363.

Webster PJ, Moore AM, Loschnigg JP, and Leben RR. 1999. Coupled ocean-Atmosphere Dynamics in the Indian Ocean during 1997-98, Nature, 401, 356-359.

balitkl

imat.l

itbang.p

ertania

n.go.id

Page 34: Bulletin 2015 - BARUbalitklimat.litbang.pertanian.go.id/wp-content/... · Mikro Cakardipa, DAS Ciliwung Hulu, Jawa Barat., hal 3-17. Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 12 2015 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

33

SEBARAN KORELASI CURAH HUJAN DAN INDIKATOR GLOBAL DI INDONESIA

Woro Estiningtyas, Aris Pramudia, Erni Susanti, Yayan Apriyana dan Suciantini

PENDAHULUAN

Perubahan iklim membawa dampak pada hampir semua aspek kehidupan dan aktivitas ekonomi. Dampak yang dirasakan ada yang bersifat langsung seperti pada sektor pertanian maupun tidak langsung. Dampak negatif perubahan iklim yang dialami negara berkembang diperkirakan lebih besar dibandingkan negara maju (IPCC 2001). Sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang rawan terhadap dampak negatif dari perubahan perilaku iklim (Yohe and Tol 2002, Stern et al. 2006).

Perubahan iklim telah menyebabkan tingginya frekuensi kejadian iklim ekstrim (banjir dan kekeringan) dan sulit diprediksi. Keadaan ini sangat berpengaruh nyata terhadap berbagai sektor ekonomi, tidak terkecuali usahatani dan mengancam ketersediaan dan ketahanan pangan nasional. Salah satu sektor yang cukup rentan terhadap perubahan iklim adalah sektor pertanian. Usaha pertanian memiliki karakteristik usaha berisiko tinggi terha-dap perubahan iklim. Di sisi lain, sektor pertanian merupakan sektor andalan bagi pereko-nomian Indonesia yang memiliki peran penting dan startegis. Menurut Sanim (2009) sektor pertanian menyumbang 14.02% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) (posisi semester II 2009) dan merupakan sumber PDB terbesar ketiga setelah sektor industri pengolahan dan konstruksi. Selain itu berdasarkan data BPS 2006-2007 tingkat penyerapan tenaga kerja di sektor pertanian cukup tinggi, rata-rata melebihi 40% terhadap total tenaga kerja.

Besar kecilnya dampak pada setiap sektor dan wilayah sangat dipengruhi oleh re-spon terhadap perubahan iklim. Indonesia merupakan wilayah dengan posisi geografis yang sangat strategis. Di sisi lain, banyaknya faktor penentu iklim di wilayah Indonesia men-jadikan kondisi iklim di Indonesia sangat dinamis dan kompleks. Siklus Hadley, Walker, Monsun, DMI, ITCZ serta sebaran luas daratan dan lautan sangat mempengaruhi dinamika iklim di Indonesia. Secara garis besar, iklim regional Indonesia dipengaruhi oleh 4 hal, yaitu : (1) jumlah lautan yang lebih luas dari daratannya mengakibatkan tingginya tingkat penguapan di wilayah Indonesia (2) sirkulasi monsun Asia-Australia yang terutama mempengaruhi sirkulasi udara di Pulau Sumatera, Jawa, Bali dan Nusa Tenggara, (3) sirkulasi zonal di Pasifik ekuator (Siklus Walker) yang terutama mempengaruhi sirkulasi udara di sekitar Papua, Maluku, Sulawesi dan Kalimantan, (4) sirkulasi zonal di Samudera Hindia ekuator yang juga mempengaruhi sirkulasi udara di Indonesia bagian barat. Interaksi antara ke-4 hal tersebut mengakibatkan keragaman iklim antara wilayah di Indonesia sangat tinggi. Mengingat pentingnya posisi sektor pertanian serta dampak yang cukup besar aki-bat perubahan iklim, maka perlu adanya dukungan data dan informasi tentang hubungan curah hujan dengan indikator global yang dapat merepresentasikan kejadian iklim ekstrim maupun fenomena iklim lainnya. Tujuan penulisan ini adalah menyampaikan informasi ten-tang korelasi curah hujan dengan indikator global yaitu SST Nino 3.4 dan IOD. Dengan

balitkl

imat.l

itbang.p

ertania

n.go.id

Page 35: Bulletin 2015 - BARUbalitklimat.litbang.pertanian.go.id/wp-content/... · Mikro Cakardipa, DAS Ciliwung Hulu, Jawa Barat., hal 3-17. Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 12 2015 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

34

mengetahui sebaran korelasi ini maka dapat dipetakan sebaran wilayah ber-dasarkan tingkat korelasinya. Informasi ini penting karena dengan korelasi yang kuat maka indikator global SST Nino 3.4 dan IOD dapat digunakan sebagai prediktor curah hujan di beberapa wilayah di Indo-nesia.

PENGARUH El NINO-SOUTHERN OSCILLATION (ENSO)

Pada skala waktu antar tahun, fenomena ENSO dapat mempengaruhi keragaman atau anomali iklim di Indonesia secara signifikan, khususnya terhadap keragaman curah hujan di Indonesia (Aldrian et al., 2003; Boer and Faqih, 2004; Faqih, 2004; Faqih, 2010; Kirono et al., 1999; Saji et al., 1999). Bentuk dari kejadian ENSO berupa El Niño atau La Niña seringkali berkaitan dengan terjadinya peningkatan frekuensi dan intensitas kejadian cuaca/iklim ekstrim, seperti hujan lebat, banjir, kekeringan, kebakaran hutan, gelombang badai dan pasang surut yang tinggi. Umumnya pada saat kejadian episode ENSO hangat atau biasa dikenal dengan El Niño, curah hujan di Indonesia akan turun dibawah normal, sementara saat episode ENSO dingin atau dikenal dengan istilah La Niña, curah hujan di Indonesia akan berada di atas normal.

ENSO memiliki periode ulang sekitar 2-7 tahun sekali dengan rata-rata kemunculan sekitar 4 atau 5 tahunan. Durasi kejadian ENSO bervariasi mulai dari 5 hingga 18 bulan atau hampir 2 ta-hun. Berdasarkan data historis, telah ter-jadi peningkatan intensitas kejadian El Nino selama beberapa dekade terakhir dan peningkatan tersebut konsisten den-gan terjadinya peningkatan suhu udara rata-rata global (WMO, 2013). Dengan kata lain, terdapat kemungkinan bahwa perubahan iklim ikut memberikan dampak

terhadap perubahan kebiasaan dan peri-laku ENSO yang selanjutnya berdampak pada perubahan kejadian iklim ekstrim terutama yang berkaitan dengan ENSO. Rekam data historis menunjukkan bahwa kejadian El Nino ekstrim terjadi pada pe-riode akhir abad 20, yaitu pada tahun 1982/83 dan 1997/98.

Gambar 1a menunjukkan keter-kaitan yang signifikan antara anomali suhu muka laut (ASPL) di wilayah Nino-3.4 terhadap keragaman curah hujan antar-tahun di sebagian besar wilayah Indonesia berdasarkan periode data 1901-1998. Peningkatan (penurunan) ASPL sebesar 1 °C di wilayah tersebut yang terkait dengan fenomena El Nino (La Nina) dapat menye-babkan penurunan (peningkatan) curah hujan lebih dari 20 mm/bulan di luar pen-garuh Monsun dan faktor pengendali iklim lainnya (Gambar 1b). Wilayah yang paling banyak terpengaruh sebagian besar berada wilayah Indonesia bagian tengah, timur dan sebagain wilayah barat.

Selama lebih dari 100 tahun terakhir, anomali curah hujan di Indonesia sebagai akibat dari keragaman dan perubahan iklim telah mengalami pola perubahan. Gambar 2 menunjukkan vari-asi temporal dan rataan zonal wilayah Indonesia (diagram time-latitude) untuk anomali curah hujan tahunan yang menun-jukkan kondisi penyimpangan curah hujan yang semakin besar dalam beberapa dekade terakhir. Hal ini berkaitan erat dengan meningkatnya frekuensi kejadian ENSO terhadap peningkatan kejadian iklim ekstrim seperti hujan ekstrim, banjir, dan kekeringan selama periode tersebut. Selain itu faktor pengendali iklim lainnya seperti Indian Ocean Dipole (IOD) dan Madden-Julian Oscillation juga berpenga-ruh terhadap meningkatnya kejadian iklim ekstrim tersebut. Sebagai contoh, tercatat bahwa kejadian IOD positif yang berkaitan

balitkl

imat.l

itbang.p

ertania

n.go.id

Page 36: Bulletin 2015 - BARUbalitklimat.litbang.pertanian.go.id/wp-content/... · Mikro Cakardipa, DAS Ciliwung Hulu, Jawa Barat., hal 3-17. Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 12 2015 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

35

dengan kekeringan di Indonesia terjadi berbarengan dengan El Nino pada tahun 1997/98 sehingga memberikan dampak

kekeringan yang cukup luar biasa di Indo-nesia.

Gambar 1. Hubungan ENSO dengan keragaman curah hujan di Indonesia berdasarkan a) koefisien korelasi spasial, dan b) koefisien regresi linear antara data anomaly suhu permukaan laut ENSO impacts on rainfall variability in Indonesia repre-sented by significant a) correlations coefficients, and b) regression coefficients between rainfall and sea surface temperature anomaly in Nino-3.4 region (Sumber : Faqih, 2004)

Gambar 2. Anomali curah hujan tahunan di Indonesia (6°LU - 11°08'LS dan 95°'BT - 141°45'BT) disajikan dalam grafik time series (atas) dan grafik hubungan lintang-waktu dari rataan zonal wilayah Indonesia (95°'BT - 141°45'BT; bawah). Data curah hujan diambil dari data CRU-TS3.1 (CRU, 2008; Mitchell et al., 2004; Mitchell and Jones, 2005). Anomali dihitung dengan menggunakan rataan curah hujan tahunan periode 1970-2009 (Sumber : Faqih, 2010)

balitkl

imat.l

itbang.p

ertania

n.go.id

Page 37: Bulletin 2015 - BARUbalitklimat.litbang.pertanian.go.id/wp-content/... · Mikro Cakardipa, DAS Ciliwung Hulu, Jawa Barat., hal 3-17. Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 12 2015 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

36

PENGARUH INDIAN OCEAN DIPOLE (IOD)

Fenomena lainnya yang mempengaruhi keragaman iklim di Indonesia yaitu Indian Ocean Dipole (IOD). Fenomena tersebut terjadi di Samudera Hindia dan dapat menyebabkan penyimpangan iklim di Indonesia, khususnya di wilayah bagian barat. Kejadian IOD dapat diidentifikasi dari data indeks yang dikenal dengan Dipole Mode Index (Saji et al., 1999). DMI dapat dihitung dari selisih data unsur iklim di atmosfer atau lautan seperti data tekanan, suhu permukaan laut, OLR, dan unsur lainnya, pada dua lokasi yaitu di bagian barat dan timur/tenggara Samudera Hindia. Identifikasi IOD melalui struktur keragaman suhu permukaan laut

dan angin permukaan berdasarkan data observasi pernah dilakukan oleh Saji and Yamagata (2003). Gambar 3 menunjukkan ilustrasi kejadian IOD, dimana pada saat terjadi DMI positif, terjadi kekeringan di Indonesia karena awan konvektif lebih banyak terjadi di wilayah Afrika Timur. Sebaliknya, pada saat DMI negatif, terjadi peningkatan curah hujan di Indonesia dan pengurangan curah hujan di kawasan Samudera Hindia bagian barat dan Afrika Timur. Kejadian IOD dapat terjadi berbarengan dengan ENSO. Sebagai contoh, pada tahun 1997/89, fenomena IOD positif terjadi berbarengan dengan El Nino sehingga memperparah kekeringan yang terjadi di Indonesia.

Gambar 3. Ilustrasi kejadian IOD pada saat IOD positif (kiri) dan IOD negatif (kanan). Sumber gambar: http://www.jamstec.go.jp/frcgc/research/d1/iod/

iod_home.html.en

KORELASI CURAH HUJAN DENGAN SST NINO 3.4 DAN IOD

Untuk mengetahui sebaran korelasi curah hujan dengan SST Nino 3.4 dan IOD pada setiap bulannya, maka dalam tahun ang-garan 2014 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi melakukan penelitian Key Area Keragaman Iklim Indonesia Mengha-dapi Dampak Perubahan Iklim. Didalam

salah satu bagiannya dihasilkan korelasi antara kedua indikator tersebut dengan curah hujan yang disajikan dalam tulisan ini. Untuk mengetahui pengaruh indi-kator global terhadap curah hujan di Indo-nesia, maka dilakukan analisis korelasi antara curah hujan di seluruh Indonesia dengan dua indikator iklim global yaitu SST Nino 3.4 dan IOD pada lag 0. SST

balitkl

imat.l

itbang.p

ertania

n.go.id

Page 38: Bulletin 2015 - BARUbalitklimat.litbang.pertanian.go.id/wp-content/... · Mikro Cakardipa, DAS Ciliwung Hulu, Jawa Barat., hal 3-17. Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 12 2015 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

37

Nino 3.4 merupakan salah satu indikator iklim global yang banyak digunakan seba-gai detektor dini anomali curah hujan, sedangkan parameter iklim yang terlihat jelas perilakunya akibat terjadinya anomali iklim adalah curah hujan. Beberapa hasil penelitian menunjukkan adanya korelasi antara SST dengan curah hujan. Ber-dasarkan hasil penelitian Hendon (2003) diketahui bahwa variabilitas SST Nino 3.4 mempengaruhi 50% variasi curah hujan seluruh Indonesia, sedangkan variabilitas SST di Laut India 10-15%. Pada musim kemarau, anomali SST yang mencapai +1o C sudah menyebabkan curah hujan turun sampai di bawah normal. Dengan data curah hujan Indonesia dan SST Indo Pasi-fik periode 1951-1997, Aldrian dan Susanto (2003) menyimpulkan bahwa anomali curah hujan pada musim kemarau adalah koheren dan berkorelasi kuat den-gan variasi ENSO di Pasifik, sebaliknya pada musim hujan korelasi tersebut le-mah. Sejak April 1996 NOAA mendifinisi-kan daerah kunci ENSO, yaitu Nino 3.4 (5oLU - 5oLS dan 170oBB-120oBB). Indika-tor lain yang juga digunakan untuk pende-teksi dini anomali curah hujan adalah In-dian Ocean Dipole Mode (IODM). Menurut Saji et al. (1999) IODM adalah sebuah fenomena fisis samudera dan atmosfer di kawasan Samudera Hindia ekuator yang ditandai dengan adanya anomali negatif suhu permukaan laut dibagian barat Samudera Hindia. Sinyal fenomena IODM sering diasosiasikan dengan perubahan anomali suhu muka laut (SPL) antara Samudera Hindia tropis bagian Barat (50o E -70 o E dan 10o S – 10o N) dengan Samudera Hindia tropis bagian Timur (90o E -110o E dan 10o S – 10o ekuator). Indian Ocean Dipole (IOD) adalah fenomena laut yang digabungkan dengan fenomena at-mosfer di Samudra Hindia khatulistiwa yang mempengaruhi iklim Australia dan

negara-negara lain yang mengelilingi ce-kungan Samudra Hindia (Saji et al. 1999).

Hasil korelasi secara umum menunjukkan dua pola pengaruh yaitu positif dan negatif. Korelasi positif artinya meningkatnya SST Nino 3.4 atau IOD berdampak terhadap meningkatnya curah hujan. Sebaliknya korelasi negatif artinya meningkatnya SST Nino 3.4 atau IOD berdampak terhadap menurunnya curah hujan. Dalam melakukan identifikasi wilayah, korelasi positif adalah untuk nilai korelasi lebih dari 0.6, dan korelasi negatif diambil nilai korelasi yang lebih kecil dari 0.6. Korelasi Curah Hujan dan SST Nino 3.4

Hasil korelasi bulanan antara curah hujan dengan SST Nino 3.4 pada lag 0 menunjukkan bahwa pengaruh SST Nino 3.4 terhadap curah hujan di wilayah Indonesia cukup beragam (Gambar 4). Apabila diperhatikan secara umum terlihat pola yang bergerak mulai Bulan Januari hingga Desember. Pada Bulan Januari sampai dengan Mei korelasi positif ber-gerak mulai dari Papua hingga Sumatera dan Kalimantan Barat. Sebaliknya korelasi negatif bergerak mulai Bulan Juni hingga November kearah timur Indonesia. Artinya sebagian besar wilayah Indonesia pada Bulan Juni hingga November mengalami penurunan curah hujan akibat meningkat-nya SST di Nino 3.4. Untuk Pulau Su-matera pengaruh SST Nino 3.4 terhadap penurunan curah hujan terlihat paling jelas pada Bulan Agustus, untuk Pulau Kaliman-tan pada Bulan Juli, untuk Pulau Sulawesi pada Bulan Agustus, untuk Papua pada Bulan November dan untuk Pulau Jawa pada Bulan Oktober.

balitkl

imat.l

itbang.p

ertania

n.go.id

Page 39: Bulletin 2015 - BARUbalitklimat.litbang.pertanian.go.id/wp-content/... · Mikro Cakardipa, DAS Ciliwung Hulu, Jawa Barat., hal 3-17. Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 12 2015 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

38

Tabel 1 menunjukkan hasil identifi-kasi wilayah dengan korelasi positif lebih dari 0.6 pada Bulan Januari hingga De-sember. Pada Bulan Januari wilayah yang memiliki korelasi cukup tinggi dengan SST Nino 3.4 adalah Lampung, Jawa Barat, Maluku, Maluku Utara dan Papua. Pada Bulan Februari Sumatera Selatan, Jawa Barat, Jawa Timur, Sulawesi Tenggara dan Papua, dan seterusnya hingga Bulan Desember dapat dilihat sebaran wilayah-nya. Dari Tabel 1 ini dapat dicatat bahwa wilayah-wilayah ini mengalami peningka-tan curah hujan ketika terjadi peningkatan SST Nino 3.4. Hal yang perlu mendapat perhatian lebih adalah wilayah-wilayah

yang mengalami penurunan curah hujan ketika terjadi kenaikan SST Nino 3.4 seperti disajikan dalam Tabel 2. Wilayah dengan korelasi negatif ini lebih banyak sebarannya dibandingkan korelasi positif. Pada 4 bulan pertama Januari-April wilayah yang mengalami penurunan curah hujan sebagian besar adalah di wilayah timur Indonesia seperti Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah, Sulawesi Utara, Maluku dan Papua. Sementara pada pe-riode Juli-Desember lebih banyak se-barannya termasuk di wilayah barat mulai dari Sumatera Utara, sebagian besar Pu-lau Jawa, Sulawesi Tenggara hingga Maluku dan Papua.

Gambar 4. Hasil korelasi antara curah hujan dengan SST Nino 3.4 bulanan

balitkl

imat.l

itbang.p

ertania

n.go.id

Page 40: Bulletin 2015 - BARUbalitklimat.litbang.pertanian.go.id/wp-content/... · Mikro Cakardipa, DAS Ciliwung Hulu, Jawa Barat., hal 3-17. Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 12 2015 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

39

Tabel 1. Sebaran wilayah dengan korelasi SST Nino 3.4 positif

Tabel 2. Sebaran wilayah dengan korelasi SST Nino 3.4 negatif

balitkl

imat.l

itbang.p

ertania

n.go.id

Page 41: Bulletin 2015 - BARUbalitklimat.litbang.pertanian.go.id/wp-content/... · Mikro Cakardipa, DAS Ciliwung Hulu, Jawa Barat., hal 3-17. Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 12 2015 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

40

Gambar 5. Hasil korelasi antara curah hujan dengan SST Nino 3.4 pada MH dan MK

Untuk penentuan indikator, dibe-dakan menjadi dua yaitu positif dan negatif berdasarkan konsistensinya lebih dari sama dengan 2 bulan, sedangkan periode-nya dibagi berdasarkan musim yaitu Okto-ber-Maret (MH) dan April-September (MK). Hal ini selaras juga dengan periode prakiraan hujan yang dikeluarkan BMKG serta Kalender Tanam Terpadu. Berdasar-kan pendekatan tersebut, maka Indikator awal untuk wilayah kunci dengan korelasi positif pada periode MH adalah Riau, Su-matera Selatan, Lampung, Jawa Barat, Sulawesi Tenggara, Maluku dan Papua, sedangkan untuk periode MK adalah Aceh, Sumatera Utara, Jambi, Sumatera Selatan dan Kalimantan Barat.

Untuk korelasi negatif, indikator wilayah kunci periode MH adalah Jawa

Timur, Kalimantan Timur, Sulawesi Utara, Maluku, Maluku Utara dan Papua. Untuk periode MK adalah Jawa Barat, Jawa Tengah, NTB, Kalimantan Barat, Kaliman-tan Tengah, Kalimantan Timur, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, Sulawesi Teng-gara dan Papua. Untuk MK (+) wilayah kuncinya adalah Aceh, Sumatera Utara, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat dan Papua, sementara untuk MK (-) adalah Jawa Barat, Jawa Tengah, NTB, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Sulawesi Utara, Su-lawesi Selatan, Sulawesi Tenggara dan Papua. Sebaran secara spasial korelasi curah hujan dan SST Nino 3.4 pada MH dan MK disajikan dalam Gambar 5.

balitkl

imat.l

itbang.p

ertania

n.go.id

Page 42: Bulletin 2015 - BARUbalitklimat.litbang.pertanian.go.id/wp-content/... · Mikro Cakardipa, DAS Ciliwung Hulu, Jawa Barat., hal 3-17. Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 12 2015 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

41

Gambar 6. Peta korelasi curah hujan dengan SST Nino 3.4 musiman

Analisis korelasi juga dilakukan untuk periode 3 bulanan, yaitu Desember-Januari-Februari (DJF), Maret-April-Mei (MAM), Juni-Juli-Agustus (JJA) dan Sep-tember-Oktober-November (SON). Hasil analisis musiman pada lag 0 menunjukkan bahwa korelasi negatif yang relatif tinggi

antara curah hujan dengan SST Nino 3.4 lebih tampak terlihat pada periode Sep-tember-Oktober-November (SON), teru-tama di Pulau Sumatera bagian selatan dan timur (Lampung dan sekitarnya), Kali-mantan Timur dan Sulawesi Utara serta sebagian Jawa Timur (Gambar 6).

Hasil Korelasi Curah Hujan dengan IOD Hasil analisis korelasi dengan IOD bu-lanan menunjukkan bahwa sebagian besar adalah positif, artinya peningkatan IOD membawa dampak berupa peningkatan curah hujan. Pengaruh IOD terhadap pe-nurunan curah hujan di sebagian besar wilayah Indonesia terlihat nyata pada Bu-lan Juli sampai dengan November kecuali Maluku dan Papua (Gambar 7).

Secara umum sebaran wilayah berdasarkan hasil korelasi antara curah hujan dengan IOD lebih sedikit dibanding-kan dengan SST Nino 3.4 baik positif mau-pun negatif. Hal ini disebabkan pengaruh

IOD terhadap curah hujan di Indonesia lebih dominan pada wilayah bagan barat saja seperti Sumatera, Jawa dan seki-tarnya meskipun dampaknya bisa mem-perkuat atau memperlemah kejadian iklim ekstrim seperti El-Nino atau La-Nina.

Hasil identifikasi wilayah kunci pada MH dengan nilai positif lebih dari 0.6 hanya terlihat di Kalimantan Tengah, se-dangkan pada MK hanya di Maluku (Tabel 3). Sementara untuk korelasi negatif pada MH wilayah kuncinya adalah Sumatera Selatan, Jawa Tengah, Kalimantan Barat, Maluku dan Maluku Utara, sedangkan pada MK Sumatera Selatan, Bengkulu, Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah,

balitkl

imat.l

itbang.p

ertania

n.go.id

Page 43: Bulletin 2015 - BARUbalitklimat.litbang.pertanian.go.id/wp-content/... · Mikro Cakardipa, DAS Ciliwung Hulu, Jawa Barat., hal 3-17. Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 12 2015 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

42

Banten, Kalimantan Barat, Sulawesi Utara dan Papua (Tabel 4). Sebaran secara spasial hasil korelasi curah hujan dan IOD

pada MH dan MK disajikan dalam Gambar 8.

Gambar 7. Hasil korelasi antara curah hujan dengan IOD bulanan

balitkl

imat.l

itbang.p

ertania

n.go.id

Page 44: Bulletin 2015 - BARUbalitklimat.litbang.pertanian.go.id/wp-content/... · Mikro Cakardipa, DAS Ciliwung Hulu, Jawa Barat., hal 3-17. Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 12 2015 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

43

Tabel 3. Sebaran wilayah berdasarkan hasil korelasi curah hujan dan IOD positif

Tabel 4. Sebaran wilayah berdasarkan hasil korelasi curah hujan dan IOD negatif

balitkl

imat.l

itbang.p

ertania

n.go.id

Page 45: Bulletin 2015 - BARUbalitklimat.litbang.pertanian.go.id/wp-content/... · Mikro Cakardipa, DAS Ciliwung Hulu, Jawa Barat., hal 3-17. Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 12 2015 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

44

Gambar 7. Hasil korelasi antara curah hujan dengan IOD MH dan MK

balitkl

imat.l

itbang.p

ertania

n.go.id

Page 46: Bulletin 2015 - BARUbalitklimat.litbang.pertanian.go.id/wp-content/... · Mikro Cakardipa, DAS Ciliwung Hulu, Jawa Barat., hal 3-17. Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 12 2015 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

45

Seperti hasil korelasi dengan SST Nino 3.4, hasil analisis musiman pada lag 0 menunjukkan bahwa korelasi negatif yang relatif tinggi baik dengan IOD lebih tampak terlihat pada periode September-Oktober-November (SON), terutama di Pulau Sumatera bagian selatan dan timur (Lampung dan sekitarnya), Kalimantan Timur dan Sulawesi Utara serta sebagian Jawa Timur. Untuk korelasi positif lebih terlihat pada periode DJF dan MAM yang merupakan musim hujan di Indonesia (Gambar 9).

Dari hasil analisis tersebut diatas terlihat bahwa SST Nino 3.4 lebih mem-berikan indikasi yang kuat untuk meng-gambarkan curah hujan di Indonesia teru-tama di musim kemarau. Oleh karena itu

SST Nino 3.4 dapat digunakan sebagai prediktor yang baik untuk curah hujan di Indonesia. Penggunaan SST Nino 3.4 sebagai prediktor curah hujan telah dilaku-kan di Indonesia dengan beberapa model seperti Filter Kalman (Estiningtyas, 2005, Estiningtyas et al 2006), ANN (Pramudia, 2008) dan sebagainya. Kekuatan SST Nino 3.4 sebagai predictor curah hujan di Indonesia juga diperlihatkan dari hasil penelitian Hendon (2003), Faqih (2010) dan Aldrian (2003). Hasil penelitian ini semakin memperkuat penggunaan SST Nino 3.4 sebagai indikator global untuk membantu memberi gambaran keragaman curah hujan di Indonesia yang diperkuat dengan indikator IOD.

Gambar 9. Peta korelasi curah hujan dengan IOD musiman

balitkl

imat.l

itbang.p

ertania

n.go.id

Page 47: Bulletin 2015 - BARUbalitklimat.litbang.pertanian.go.id/wp-content/... · Mikro Cakardipa, DAS Ciliwung Hulu, Jawa Barat., hal 3-17. Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 12 2015 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

46

PENUTUP Posisi Indonesia diantara dua benua dan dua samudera serta berbentuk kepulauan men-jadikan iklim di Indonesia sangat dinamis dan kompleks. Dua siklus yang terlibat didalam-nya yaitu Siklus Hadley dan Walker menjadi kunci untuk menjelaskan mekanisme perpinda-han masa uap air diatas daratan dan lautan Indonesia. Mengingat luas wilayah yang sangat besar dengan mekanisme yang kompleks, maka pemilihan indikator global berdasarkan korelasi serta sebaran lokasinya sangat diper-lukan untuk memudahkan identifikasi serta pengelolaan risiko terkait iklim. Indikasi awal yang telah dihasilkan dari penelitian ini memberi gambaran keragaman curah hujan di Indonesia secara spasial dan temporal. Informasi ini sangat penting untuk mendu-kung prediksi curah hujan di Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA

Aldrian, E., dan R. D. Susanto, 2003, Identification Of Three Dominant Rainfall Regions Within Indonesia and Their Relationship To Sea Surface Temperature, International Journal Of Climatology, Int. J. Climatol, 23: 1435-1452. Wiley InterScience.

Estiningtyas, W. 2005. Prediksi Curah Hujan Dengan Metode Filter Kalman Untuk Menyusun Pola Tanam. Tesis. Institut Teknologi Bandung.

Estiningtyas, W, B. Tjasjono, M.A. Ratag dan G. Irianto. 2006. Prediksi Curah Hujan Dengan Metode Filter Kalman Pada Wilayah Dengan Tipe Hujan Monsunal Dan Ekuatorial. Jurnal Teknologi Mineral (JTM) volume XIII No. 1/2006. ITB.

Faqih. 2013. Keragaman dan Perubahan Iklim di Indonesia. Makalah disajikan dalam FGD Gugus Tugas KATAM : Arah dan Metodologi Kajian Kerentanan Ketahanan Ketahanan Pangan Mengahadapi Perubahan Iklim.

Faqih dan R. Boer. 2015. Sains Perubahan Iklim dan Implikasinya di Indonesia. Bahan Ta-yang disajikan dalam Focus Group Discussion Kerentanan. Bogor, 8 Januari 2015.

Hendon, H.H, 2003, Indonesian Rainfall Variability : Impacts of ENSO and Local Air-Sea Interaction, American Meteorology Society.

IPCC, 2011: IPCC Special Report on Renewable Energy Sources and Climate Change Mitigation. Prepared by Working Group III of the Intergovernmental Panel on Climate Change [O. Edenhofer, R. Pichs-Madruga, Y. Sokona, K. Seyboth, P. Matschoss, S. Kadner, T. Zwickel, P. Eickemeier, G. Hansen, S. Schlömer, C. von Stechow (eds)]. Cambridge University Press, Cambridge, United Kingdom and New York, NY, USA, 1075 pp.

IRI. 2012. Index Insurance Capacity Building Exercises for Indonesia Release 2.0. IRI, Earth Institute, Columbia University.

balitkl

imat.l

itbang.p

ertania

n.go.id

Page 48: Bulletin 2015 - BARUbalitklimat.litbang.pertanian.go.id/wp-content/... · Mikro Cakardipa, DAS Ciliwung Hulu, Jawa Barat., hal 3-17. Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 12 2015 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

47

Kirono, D.G.C, N.J. Tapper. 1999. Enso Rainfall Variability And Impacts On Crop Production In Indonesia. Physical Geography. Volume 20, Issue 6, 1999. Special Issue : El-Nino-Southern Oscillation : Relationships and Implications, Part II. Pages 508-519.

Naylor, R.L., Battisti, D.S., Vimont, D.J., Falcon, W.D., Burke, M.B., 2007. Assesing risks of climate variability and climate change for Indonesian rice agriculture. PNAS. 104 (19), 7752-7757.

Pramudia, A. 2008. Pewilayahan Hujan dan Model Prediksi Curah Hujan untuk Mendukung Analisis Ketersediaan dan Kerentanan Pangan di Sentra Produksi Padi. Disertasi. Pasaca Sarjana, Institut Pertanian Bogor.

Saji, N.H., Goswami, B.N., Vinayachandran, P.N., and Yamagata, T., 1999. A dipole mode in the tropical Indian Ocean., Nature International Weekly Journal of Science 401, 360-363.

Sanim Bunasor. 2009. Dukungan Asuransi Pertanian Terhadap Risiko Anomali dan Perubahan Iklim. Makalah Seminar dan Lokakarya Nasional Inovasi Sumberdaya Lahan. Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian.

Stern, N., S.Peters, V. Bakhshi, A. Bowen, C. Cameron, S. Catovsky, D. Crane, S. Cruickshank, S. Dietz, N. Edmonson, S.L. Garbett, L. Hamid, G. Hoffman, D. Ingram, B. Jones, N. Patmore, H. Radcliffe, R. Sathiyarajah, M. Stock, C. Taylor, T. Vernon, H. Wanjie dan D. Zenghelis. 2006. Stern Review : The Economics of Climate Change. HM Treasury. London.

WMO. 2013. WMO Statement on The Status of The Global Climate in 2013. World Meteoro-logical Organization. Geneva.

Yohe, G.W. dan R.S.J. Tol. 2002. Indicators for Social and Economic Coping Capacity-Moving Towards a Working Definition of Adaptive Capacity. Global Environmental Change, 1.

http://www.jamstec.go.jp/frcgc/research/d1/iod/iod_home.html.en. 

balitkl

imat.l

itbang.p

ertania

n.go.id

Page 49: Bulletin 2015 - BARUbalitklimat.litbang.pertanian.go.id/wp-content/... · Mikro Cakardipa, DAS Ciliwung Hulu, Jawa Barat., hal 3-17. Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 12 2015 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

48

Haryono

PERANAN KRITERIA AIR TERSEDIA TERHADAP PEMBERIAN AIR IRIGASI DI KEBUN PERCOBAAN BALITBANGTAN

PENDAHULUAN Dalam rangka mendukung swasembada Pangan Nasional, selain tanaman padi juga Jagung dan kedelai termasuk dalam prioritas Pemerintah, sampai saat ini Kedelai masih belum mencukupi kebutuhan Nasional, banyak keterbatasan dalam meningkatkan produktivtas Kedelai, salah satu nya adalah kebutuhan air yang tidak sesuaai dengan kondisi, dimana masalah air sekarang sudah semakin sulit untuk daerah tertentu, sehingga diperlukan berbagai terobosan untuk penggunaan air se efisien mungkin ( Renstra Kementerian pertanian 2015) Kebun Percobaan (KP) merupakan salah satu aset Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (Badan Litbang Pertanian), berupa sebidang lahan pada wilayah agroekosistem tertentu yang dilengkapi dengan sarana dan prasarana pendukung. Kebun Percobaan mempunyai fungsi utama untuk mendukung pelaksanaan kegiatan penelitian, pengkajian dan pengembangan inovasi teknologi pertanian terutama berkaitan dengan konservasi ex-situ sumber daya genetik, produksi benih sumber pada skala lapangan serta sekaligus sebagai sarana show window inovasi teknologi pertanian (Laporan Akhir Desain pengelolaan Air KP 2013)

Pada wilayah lahan kering ketersediaan air untuk memenuhi kebutuhan air tanaman merupakan faktor penentu bagi keberlanjutan produksi dan produktivitas tanaman. Optimalisasi pengelolaan sumberdaya air pada lahan kering dititikberatkan untuk menyediakan air irigasi untuk tanaman dengan memanfaatkan potensi sumberdaya air yang ada, baik berupa air permukaan maupun air tanah. Sifat Fisika Tanah secara umum, khususnya menunjukkan bahwa setiap air tanah yang masuk kedalam tanah (proses Infiltrasi), tidak selalu bisa dimanfaatkan oleh tanaman, hanya air tersedia saja yang bisa di manfaatkan oleh tanaman, tergantung sifat fisika tanah tersebut (LPT, 1980).

Kadar air di dalam tanah, terutama di sekitar daerah perakaran harus cukup untuk memenuhi kebutuhan air tanaman atau berada dalam kondisi kapasitas lapangan, agar tanaman dapat tumbuh dengan optimal, sehingga menghasilkan produksi yang maksimal. Oleh karena itu, data kadar air tanah sangat diperlukan untuk menilai apakah kondisi kadar air dalam tanah tersebut sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan air tanaman atau belum. Apabila kadar air dalam tanah tersebut belum cukup, maka harus ditambahkan sejumlah air, sehingga dapat memenuhi kebutuhan air tanaman, berupa air irigasi. Data kadar air yang diperlukan untuk menghitung kebutuhan air irigasi adalah data kadar air tanah pada kondisi kapasitas lapangan dan titik layu permanen, serta kadar air pada saat tertentu ketika air irigasi dianggap perlu untuk ditambahkan. Selisih kadar air antara kapasitas lapangan dan titik layu permanen disebut air tersedia (A. Abdurahman, Umi Haryati dan Ishak Juarsah., 2006).

balitkl

imat.l

itbang.p

ertania

n.go.id

Page 50: Bulletin 2015 - BARUbalitklimat.litbang.pertanian.go.id/wp-content/... · Mikro Cakardipa, DAS Ciliwung Hulu, Jawa Barat., hal 3-17. Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 12 2015 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

49

Titik layu permanen merupakan kandungan air tanah dimana akar akar tanaman mulai tidak mampu lagi menyerap air dari tanah, sehingga tanaman menjadi layu. Tanaman akan tetap layu baik pada siang maupun malam hari (Hardjowigeno, 2007)

BAHAN DAN METODA Bahan dan Alat Bahan yang dipergunakan pada awal kegiatan adalah Ring Sample untuk pengambilan contoh tanah utuh, yaitu Tabung dari Tembaga dengan penutup dari plastik, berukuran tinggi 4 cm, diameter dalam 7,63 cm dan diameter luar 7,93 cm (Husein Suganda, Achmad Racrhman dan Sutono., 2006). Cangkul, sekop, pisau/kater, gunting, palu, kayu/

balok, kertas label, kantong plastik; sedangkan untuk menetukan kadar air dengan berbagai tekanan serta analisis pF di gunakan peralatan di lab Fisika Balai Penelitian Tanah Bogor.

Metodologi

Setelah didapat hasil Analisis Fisika tanah, kemudian di kelaaskan sesuai dengan kriteria kemaampuan pori pori tanah memegang air, dan dibuat neraca pF, sehingga bisa dilihat berbagaai kelas kriteria dari tiap lahan di masing masing Kebun percobaan. Untuk menentukan kriteria Air tersedia di gunakan kelas kriteria Kemampuan poripori tanah memegang air (LPT 1980), seperti dalam Tabel 01.

Sumber : Buku Sifat Fisik Tanah & Metoda Analisisnya 2006

Gambar 1. Peralatan untuk penetuan kadar air dengan berbagai tekanan (Foto dari Lab Fisika B Tanah)

Tabel 1. Kriteria Kemampuan pori pori tanah memegang air Kriteria Kemampuan pori pori Tanah memegang Air (LPT 1980)

% Volume Kriteria % Volume Kriteria Kelas

< 5 Sangat rendah < 5 Sangat Rendah 5 - 10 Rendah 5 - 10 Rendah10 - 15 Sedang 10 - 15 Sedang

> 15 Tinggi 15 - 20 Tinggi>20 Sangat Tinggi

Pori Air TersediaPori Drainase

balitkl

imat.l

itbang.p

ertania

n.go.id

Page 51: Bulletin 2015 - BARUbalitklimat.litbang.pertanian.go.id/wp-content/... · Mikro Cakardipa, DAS Ciliwung Hulu, Jawa Barat., hal 3-17. Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 12 2015 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

50

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil Analisis sifat Fisika, dari lab Fisika Balai penelitian Tanah Bogor, terlihat seperti pada Tabel 02. Secara umum dari 5 kriteria kelas Air tersedia, yaitu kelas Sangat rendah’ Rendah, sedang; Tinggi dan sangat tinggi, untuk lahan 7 KP yang di analisisa hanya ada pada 4 kelas, untuk

kelas pori air tersedia sangat rendah tidak ada. Sedang untuk Kelas Rendah adalah KP Payah gajah dan Ngemplak, sedangkan kelas Sedang terdiri dari KP Mukti harjo, Bonto Bili dan, Kelas Tinggi ada 2 KP yaitu Gurgur, Luwu dan untuk kelas Sangat tinggi hanya ada satu, yaitu KP Gayo (Tabel 2).

Tabel 2. Hasil Analisis Sifat Fisika Tanah dari beberapa KP Balitbangtan.

Nama KP pF1 pF 2 pF2.54 pF 4.2 Kelas

Paya Gajah 50.8 49.0 33.0 26.1 20.7 5.4 rendahNgemplak 54.0 53.9 44.3 38.7 29.6 9.1 rendahMuktiHarjo 53.6 47.8 42.9 36.7 25.9 10.8 sedangBontobili 65.1 61.0 45.8 40.1 29.1 11.0 sedangGurgur 61.4 59.9 41.0 35.1 17.0 18.1 tinggiLuwu 51.4 50.6 41.4 36.4 18.0 18.4 tinggiGayo 62.9 61.8 51.8 47.2 21.9 25.3 sangat tinggiKeterangan: Diameter pori pada (pF): (1) 296μ, (2) 28.6μ, (2,54) 8.6μ, dan (4,2) 0,2μ

RPT Kadar Air Air Tersedia

........................................% Volume ............................................

1. Kebun Percobaan Paya Gajah Kebun Percobaan Paya Gajah secara administratif terdapat di Desa Paya Gajah, Kecamatan Peureulak Barat, Kabupaten Aceh Timur merupakan lahan kering dengan bentuk wilayah datar pada ketinggian + 6-25 m diatas permukaan

laut. Luas KP Paya Gajah secara keseluruhan 153,5 ha, penggunaan lahan KP Paya Gajah saat ini adalah untuk tanaman kelapa seluas 91,6 ha, dan untuk sawah tadah hujan dan lahan kering seluas 61,9 ha.

KP Paya Gajah(0-20) Aceh

pF 4.2 (Titik Layu Permanen)=20.7%

pF2.54 (Kapasitas Lapang)=26.1%

pF 2= 33.0%

pF1= 49.0%

RPT=50.8%

0.02.04.06.08.0

10.012.014.016.018.020.022.024.026.028.030.032.034.036.038.040.042.044.046.048.050.052.054.056.058.060.062.064.066.0

RPT pF1 pF 2 pF2.54 pF 4.2

Kad

ar A

ir %

Vol

Gambar 2. Neraca pF KP Paya Gajah

balitkl

imat.l

itbang.p

ertania

n.go.id

Page 52: Bulletin 2015 - BARUbalitklimat.litbang.pertanian.go.id/wp-content/... · Mikro Cakardipa, DAS Ciliwung Hulu, Jawa Barat., hal 3-17. Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 12 2015 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

51

Tanahnya diklasifikasikan dalam Regosol (Entisols), tekstur pasir, sehingga kemampuan memegang/menyimpan air sangat rendah, akibatnya dimusim kemarau tanaman mengalami kekurangan air. Dari hasil Analisis Sifat fisika tanah (Tabel 2), bahwa Air tersedia termasuk dalam kelas Rendah, menurut Kriteria kemampuan pori pori tanah memegang air (LPT 1980), seperti terlihat dalam Grafik Neraca pF. Pilihan teknologi eksploitasi sumber air ditentukan oleh jenis dan karakteristik sumber air berupa air permukaan dan air tanah. Sumber air permukaan dapat berupa air yang mengalir dari sungai dan saluran irigasi, atau air yang tersimpan dalam suatu

cekungan baik alami berupa danau, ataupun cekungan artifisial berupa embung dan waduk). Sedangkan sumber air tanah berupa cadangan air yang tersimpan dalam batuan didalam tanah yang banyak mengandung air (aquifer). Sarana dan prasana yang diperlukan dalam eksploitasi sumberdaya air permukaan adalah: bendung, pintusadap, bak penampungan, rumah pompa, pompa. Desain eksploitasi sumber air tanah: bak penampungan, rumah pompa, pemilihan jenis dan spesifikasi pompa (Pompa Celup, Pompa Turbin Vertikal). Sumberdaya air yang ada di KP Paya Gajah yang ada saat ini adalah air permukaan (embung ) dan air tanah (dalam dan dangkal).

Gambar 3. Peta desain distribusi air untuk irigasi/penyiraman tanaman kelapa di Kebun Percobaan Paya Gajah, Kab. Aceh Timur

balitkl

imat.l

itbang.p

ertania

n.go.id

Page 53: Bulletin 2015 - BARUbalitklimat.litbang.pertanian.go.id/wp-content/... · Mikro Cakardipa, DAS Ciliwung Hulu, Jawa Barat., hal 3-17. Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 12 2015 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

52

Berdasarkan kondisi sumberdaya air dan tanah serta mempertimbangkan aspek tanaman dan efisiensi air, maka sistim penyiraman yang cocok untuk tanaman kelapa di KP Gayo adalah spray jet. Sedangkan untuk tanaman pangan lahan kering, jika diperlukan sistim irigasinya dapat dilakukan dengan menggunakan Big Gun Springkler dengan memanfaatkan air embung yang ada. 2. Kebun Percobaan Ngemplak KP Ngemplak merupakan kebun percobaan di bawah pengelolaan Balai Penelitian seluas 7 ha yang terletak di

Desa Ngemplak. dan kebun percobaan yang terletak di Desa Ngemplak, Kecamatan Margoyoso, Kebutuhan air blok Ngemplak berasal dari 3 sumur air dangkal dengan kedalaman pada musim kemarau berkisar antara 20 – 40 meter, sedangkan pada musim penghujan sumur tersebut kedalaman airnya rata dengan permukaan tanah. Pendistribusian air irigasi dilakukan dengan memopa air dari sumur dan disalurkan ke lahan dengan pipa distribusi yang di tanam di dalam tanah, selanjutnya dari ujung pipa disambung ke lahan dengan selang pemadam kebakaran.

KP Ngemplak( 0-20) Jawa Tengah

pF 4.2 (Titik Layu Permanen)=29.6%

pF2.54 (Kapasitas Lapang)=38.7%

pF 2= 44.3%

pF1= 53.9%

RPT=54.0%

0.02.04.06.08.0

10.012.014.016.018.020.022.024.026.028.030.032.034.036.038.040.042.044.046.048.050.052.054.056.058.060.062.064.066.0

RPT pF1 pF 2 pF2.54 pF 4.2

Kad

ar A

ir %

Vol

Gambar 4. Neraca pF KP Ngemplak Dari hasil Analisis tanah, KP Ngemplak termasuk dalam kelas rendah menurut kriteria kekuatan pori pori tanah memegang air (LPT 1980) atau Air tersedia sebesar 9,1 % Volume, biasanya kondisi ini membuat menjadi lahan kering, di perlukan pemberian air yang sering dan tidak banyak, seperti gambar 4. Sistem distribusi air untuk wilayah blok I dan IV di dilakukan dengan menggunakan big gun sprinkler yang dapat dipindahkan sehingga bisa menyirami seluruh blok. Sistem ini dapat

digunakan untuk berbagai kondisi lahan baik lahan datar maupun berombak. Sistem ini terdiri dari pompa dan pipa mainline. Keuntungan dari sistem gun ini adalah memberikan aplikasi debit (flow rate) yang lebih besar dan diameter basahan yang lebih besar pula sehingga kebutuhan akan tenaga kerja dapat dikurangi. Sedangkan untuk blok II dan blok III dilakukan dengan cara dialirkan melalui pipa furrow yang terdapat di beberapa titik.

balitkl

imat.l

itbang.p

ertania

n.go.id

Page 54: Bulletin 2015 - BARUbalitklimat.litbang.pertanian.go.id/wp-content/... · Mikro Cakardipa, DAS Ciliwung Hulu, Jawa Barat., hal 3-17. Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 12 2015 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

53

3. KP Muktiharjo Pati Jawa Tengah Kebun Percobaan Muktiharjo dengan luas lahan 74,408 ha yang berada di Desa Muktiharjo, Kecamatan Margorejo, (KP. Induk) Kabupaten Pati terletak pada ketinggian 50 meter di atas permukaan laut. Saat ini kebutuhan air untuk keperluan kantor dan lahan utama di sekitar kantor dipenuhi dari sumur dalam yang terletak di bagian belakang kantor. Air dari sumur dalam dipompa dengan menggunakan pompa sentrifugal 3 fase yang ditampung dalam bak penampung dengan dimensi 2,6 x 4,8 x 1,5 selanjutnya didistribusikan ke lahan di sekitar kantor. Selain itu fungsi sumur dalam juga untuk memenuhi kebutuhan air irigasi lahan yang berada di sebelah timur kantor

dengan jarak jangkau 200 meter dengan memanfaatkan tenaga dorong pompa sentrifugal yang ada. Untuk mengalirkan air ke lahan tersebut sudah dibangun saluran distribusi pipa paralon yang ditanam di dalam tanah dengan ukuran pipa sebesar 2 inch. Di sebelah utara kantor yang terletak di seberang jalan terdapat dua sumur dangkal yang dilengkapi oleh pompa sentrifugal dengan kapasitas 1 fase. Sampai saat ini teknik pengairan yang digunakan adalah irigasi leb (furrow irrigation). Selain itu untuk memenuhi kebutuhan air irigasi KP. Muktiharjo (KP induk) menggunakan sumber air yang berasal dari Waduk Gembong terutama untuk mengairi lahan Blok IV yang terletak di sebelah timur.

Gambar 5. Desain irigasi Kebun Percobaan Muktiharjo Blok Ngemplak, Kab. Pati

balitkl

imat.l

itbang.p

ertania

n.go.id

Page 55: Bulletin 2015 - BARUbalitklimat.litbang.pertanian.go.id/wp-content/... · Mikro Cakardipa, DAS Ciliwung Hulu, Jawa Barat., hal 3-17. Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 12 2015 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

54

KP Muktiharjo(0-20) Jawa Tengah

RPT=53.6%

pF1= 47.8%

pF 2= 42.9%

pF2.54 (Kapasitas Lapang)=36.7%

pF 4.2 (Titik Layu Permanen)=25.9%

0.02.04.06.08.0

10.012.014.016.018.020.022.024.026.028.030.032.034.036.038.040.042.044.046.048.050.052.054.056.058.060.062.064.066.0

RPT pF1 pF 2 pF2.54 pF 4.2

Kad

ar A

ir %

Vol

Gambar 5. Neraca pF KP Muktiharjo

Hasil Analisis tanah dari menunjukan bahwa kelas kekuatan pori pori tanah memegang air dalam kelas Sedang (LPT 1980), atau mempunyai jumlah Air tersedia 10,8 % Volume, yaitu selisih dari Kapasitas Lapang dengan Titik Layu permanen, seperti dalam gambar neraca pF. Dalam kriteria tersebut kemampuan lahan sedikit bisa menyimpan air, sehingga menunjukan kondisi lahan kering, yang perlu diberikan pengairan sering dalam jumlah tidak terlalu banyak, jika diberi air banyak juga akan terjadi pada kondisi Air tidak berguna, atau air tersebut tidak bisa digunakan oleh tanaman. Berdasarkan potensi sumberdaya air, jenis tanaman yang dibudidayakan serta prasarana irigasi yang sudah ada di wilayah Blok Muktiharjo, desain distribusi air yang digunakan pada dasarnya menambah jaringan distribusi yang sudah ada

sehingga menjangkau seluruh lahan. Di setiap 150 m (tergantung jarak maksimum lahan) dibuat bak tampungan air ukuran 2 x 1 x 1,5 meter yang digunakan sebagai wahana untuk menampung air dari bak utama untuk mensuplai irigasi big gun sprinkle dan atau di sambungkan dengan sistem furrow pipe system.

Gambar 6. Rencana Desain Irigasi Kebun Percobaan Muktiharjo (KP. Induk)

balitkl

imat.l

itbang.p

ertania

n.go.id

Page 56: Bulletin 2015 - BARUbalitklimat.litbang.pertanian.go.id/wp-content/... · Mikro Cakardipa, DAS Ciliwung Hulu, Jawa Barat., hal 3-17. Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 12 2015 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

55

4. Kebun Percobaan Bontobili, Gowa, Sulawesi Selatan

Kebun percobaan Bontobili terletak pada posisi gerografis 5°17'13.4“S 119°34'08.8"E, berada di bawah naungan Balitserealia dengan jarak tempuh sekitar 2 jam dari Maros. Kebun ini merupakan areal lahan kering dan tadah hujan untuk pelaksanaan penelitian dan perbanyakan benih. Penelitian dan perbanyakan benih jagung dan sorgum. Kondisi kantor KP Bontobili dan kondisi lapang pada MK 2 Eksploitasi sumberdaya air merupakan upaya pengambilan dan pemanfaatan air untuk keperluan irigasi. Pilihan teknologi eksploitasi sumber air ditentukan oleh jenis dan karakteristik sumber air dapat berupa air permukaan dan/atau air tanah. Desain eksploitasi sumber air permukaan dapat berupa bendung, pintu sadap, bak penampungan, rumah pompa, serta pemilihan jenis dan spesifikasi pompa berupa sentrifugal atau pompa turbin

vertikal. Sedangkan desain eksploitasi sumber air tanah dapat berupa bak penampungan, rumah pompa, pemilihan jenis dan spesifikasi pompa seperti pompa celup, pompa turbin vertikal. Di kebun percobaan Bontobili sumber air irigasi berasal dari air sungai yang mengalir dari Bendungan Bili-bili. Di areal kebun terdapat 3 buah pompa untuk menyalurkan air ke areal tanam. Air dari sungai disalurkan melalui pipa tertutup sampai ke bak penampung dengan kapasitas 27 m3 (9x2x1,5 m) menggunakan pompa diesel berkekuatan 22 HP. Hasil Analisis sifat fisika tanah, kondisi air tersedia adalah 11,0 % Volime, yaitu sekisih antara kondisi titik Layu permanen dengan kondisi Kapasitas lapang, seperti dalam gambar neraca air, sedang menurut kriteria kekuatan pori pori memegang air termasuk dalam kriteria sedang (LPT 1980).

Gambar 7. Kondisi eksisting lapang di KP Bontobili

KP Bonto Bili (0- 20) Sulawesi Selatan

RPT=65.1%

pF1= 61.0%

pF 2= 45.8%

pF2.54 (Kapasitas Lapang)=40.1%

pF 4.2 (Titik Layu Permanen)=29.1%

0.02.04.06.08.0

10.012.014.016.018.020.022.024.026.028.030.032.034.036.038.040.042.044.046.048.050.052.054.056.058.060.062.064.066.0

RPT pF1 pF 2 pF2.54 pF 4.2

Kad

ar A

ir %

Vol

Gambar 8. Neraca pF KP Bontobili

balitkl

imat.l

itbang.p

ertania

n.go.id

Page 57: Bulletin 2015 - BARUbalitklimat.litbang.pertanian.go.id/wp-content/... · Mikro Cakardipa, DAS Ciliwung Hulu, Jawa Barat., hal 3-17. Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 12 2015 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

56

Kondisi ini hampir sama dengan lahan di KP Muktiharjo, lahan tidak bisa menyimpan air dalam jumlah banyak, dan harus diberikan pengairan berkali kali, jika diberikan dalam sekaligus, air berada dalam kondisi air tidak berguna atau kondisi tanaman tidak mampu memanfaatkan air tersebut, seperti terlihat pada gambar neraca pF. Teknik penyiraman yang dapat diaplikasikan untuk irigasi suplementer di KP Bontobili adalah dengan Big Gun Sprinkler. Teknik penyiraman model ini merupakan Irigasi curah bergerak/irigasi tipe curah bertekanan tinggi yang menggunakan nozle yang dapat bergerak ke segala arah dengan instalasi yang tidak

permanen sehingga dapat dipindahka secara cepat. Irigasi tipe ini dapat mendistribusikan air irigasi dengan debit irigasi cukup tinggi dan dengan jangkauan cukup jauh. Teknik irigasi ini cocok baik untuk tanaman palawija seperti jagung, kedelai, kacang hijau, tanaman sayuran maupun tanaman perkebunan seperti jarak pagar. Irigasi dengan Big Gun Sprinkler ini cukup efisien dalam pemakaian bahan bakar, efisien dalam pemanfaatan tenaga, efisien pemakaian air dan efisien waktu. Untuk tanaman rambutan teknik penyiraman yang digunakan adalah irigasi fan sprayer. Teknik penyiraman ini pada dasarnya merupakan sistem irigasi curah.

Gambar 9. Peta desain distribusi air di KP Bontobili, Sulawesi Selatan 5. Kebun Percobaan Gurgur, Baligo

Toba Samosir Sumatera Utara Kebun Percobaan Gurgur terletak di desa Gurgur Kecamatan Tampahan Kabupaten Toba Samosir yang mempunyai lokasi

yang strategis berada dikawasan dataran tinggi Danau Toba merupakan kawasan objek wisata. Topografi bergelombang sampai berbukit dengan ketinggian 1.217 m diatas permukaan laut, luas lahan 40ha.

balitkl

imat.l

itbang.p

ertania

n.go.id

Page 58: Bulletin 2015 - BARUbalitklimat.litbang.pertanian.go.id/wp-content/... · Mikro Cakardipa, DAS Ciliwung Hulu, Jawa Barat., hal 3-17. Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 12 2015 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

57

Kawasan KP Gurgur juga mulai ditata oleh Dinas Pariwisata dengan tersedianya Rest House. Tersedianya berbagai tanaman buah-buahan dan didukung dengan

peralatan klimatologi yang merupakan sarana pendukung untuk menjadikan KP Gurgur sebagai Agrowisata Ilmiah.

KP Gurgur (0-20) Sumatera Utara

RPT=61.4%

pF1= 59.9%

pF 2= 41.0%

pF2.54 (Kapasitas Lapang)=35.1%

pF 4.2 (Titik Layu Permanen)=17.0%

0.02.04.06.08.0

10.012.014.016.018.020.022.024.026.028.030.032.034.036.038.040.042.044.046.048.050.052.054.056.058.060.062.064.066.0

RPT pF1 pF 2 pF2.54 pF 4.2

Kad

ar A

ir %

Vol

Gambar 10. Neraca pF KP Gurgur Hasil Analisis sifat fisika dari Laboratorium Fisika, menunjukan bahwa Lahan dataran tinggi KP Gurgur mempunyai kondisi Air tersedia sebesar 18,1 % Volume, yaitu selisih antara kondisi titik layu permanen dengan Kapasitas lapang, dan menurut Kriteria Kemampuan pori pori tanah memegang air, termasuk dala kriteria Tinggi (LPT 1980), seperti terlihat pada gambar neraca pF, hingga dalam pemberian air bisa dilakukan dengan jarang, karena sifat fisik nya mempunya i kemampuan un tuk menyimpan air, kondisi ini mempunyai potensi besar untuk pengembangan bibit unggul khususnya tanaman hortikultura dan perkebunan yaitu kopi terutama untuk memenuhi kebutuhan masyarakat Tobasa dan sekitarnya. Kabupaten Tobasa mempunyai peluang pengembangan tanaman pertanian dan sangat memungkinkan produktivitas komoditas

unggulan dapat ditingkatkan dan pemanfaatan lahan dapat dioptimalkan sehingga akan menunjang kestabilan ketahanan pangan dan peningkatan kesejahteraan petani dapat tercapai. Tahun 2005 telah dilakukan penanaman berbagai jenis buah-buahan yang menjadikan KP Gurgur sebagai kebun koleksi buah-buahan yaitu seluas 20 ha dengan populasi ± 1600 pokok. Tahun 2008 dilaksanakan penanaman kopi lintong seluas 4 ha dengan populasi ± 7000 batang dan pembibitan kopi Gayo. Tahun 2009 dilakukan penanaman kopi gayo sebanyak 6000 pokok. Tahun 2010 adalah perawatan tanaman kopi lintong dan kopi gayo. Pada tahun 2011 dilakukan perawatan buah-buahan, kopi lintong dan kopi gayo serta perbanyakan bibit kentang varietas Granola. Sumber air untuk irigasi di KP berasal dari air permukaan di embung

balitkl

imat.l

itbang.p

ertania

n.go.id

Page 59: Bulletin 2015 - BARUbalitklimat.litbang.pertanian.go.id/wp-content/... · Mikro Cakardipa, DAS Ciliwung Hulu, Jawa Barat., hal 3-17. Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 12 2015 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

58

yang berukuran 80 x 80 x 2 m. Air dari embung dialirkan ke lahan melalui jaringan pipa utama berukuran 4 inchi yang ditanam sedalam 2 m di bawah permukaan tanah, pipa sekunder berukuran 1 1/2", dan pipa tersier 1/2" untuk pengeluaran di lahan. Titik keluar air dari embung menuju pipa utama (titik masuk jaringan pipa) mempunyai head 1 m. Embung dibangun sejak tahun 1964, sedangkan jaringan pipa ada sejak tahun 2005. Embung dimanfaatkan untuk irigasi

di kebun percobaan dan sisa airnya dimanfaatkan untuk sawah masyarakat di sekitar KP. Desain jaringan distribusi pipa dan teknik penyiraman di KP Gurgur yang disarankan untuk kebun produksi adalah teknik irigasi fan sprayer jet dan mini sprinkler. Sedangkan untuk blok pembibitan, teknik irigasi yang disarankan adalah irigasi tetes dengan regulating stick di atau PC Emitter di petak pembibitan, sedangkan di rumah kaca disarankan menggunakan teknik penyiraman kabut.

Gambar 11. Peta desain distribusi air KP Gurgur 6. Kebun Percobaan Luwu, Luwu Utara

Sulawesi Selatan Kebun Percobaan (KP) Mariri yang kemudian berubah nama menjadi KP Luwu terletak pada posisi geografis6036’ 0” S dan 1060 48’ 0” E, berada di bawah naungan Balai Penelitian Tanaman Serealia (Balitserealia). KP ini diarahkan menjadi: sentra pengembangan benih padi unggulan di Sulawesi Selatan, lahan percobaan budidaya padi (uji adaptasi, uji

multilokasi, dan gelar teknologi), klinik percobaan tanaman padi dan palawija, serta penelitian perbaikan potensi komoditas. KP ini teletak di desa Tamuku, kecamatan Bone-bone, kabupaten Luwu Utara 510 km dari ibu kota propinsi Sulawesi Selatan, memiliki lahan seluas 34 ha. Saat ini kegiatan penelitian dan pengkajian yang mendukung produk lahan irigasi (padi) meliputi areal seluas 27 ha.

balitkl

imat.l

itbang.p

ertania

n.go.id

Page 60: Bulletin 2015 - BARUbalitklimat.litbang.pertanian.go.id/wp-content/... · Mikro Cakardipa, DAS Ciliwung Hulu, Jawa Barat., hal 3-17. Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 12 2015 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

59

Di Sulawesi terdapat 3 zona musim yaitu wilayah pantai barat, pantai timur dan peralihan. Luwu merupakan wilayah peralihan sehingga memiliki karakteristik hujan yang khas yaitu musim hujan pada periode bulan Maret-Juni dengan puncak hujan pada bulan Mei, dan puncak kemarau terjadi pada bulan Oktober dan Nopember. Dengan irigasi semi teknis (sumber air dari bendungan Kanjiro), pola tanam di lahan sawah adalah padi-padi-bera. Waktu tanam I adalah bulan Maret/April dengan waktu panen bulan Agustus, sedangkan waktu tanam II adalah bulan Nopember dengan waktu panen bulan Februari. Produksi padi musim tanam I mencapai 5 ton/ha, sedangkan produksi benih mencapai 4 ton/ha. Fasilitas lain yang ada di areal kebun yaitu stasiun pengamat iklim BMKG dan AWS telemetri Balitbangtan yang

dipasang pada tahun 2012. Komoditas rambutan yang terdapat di areal lahan kering dengan jarak tanam 12 x 8 m berjumlah 16 baris, setiap baris terdapat 5 pohon, sehingga seluruhnya berjumlah 80 pohon. Sedangkan tanaman jagung ditanam di sekitar rambutan dengan jarak tanam 80 x 20 cm.

Untuk areal lahan kering yang ada di KP Luwu yang ditanami jagung dan rambutan akan diairi dari sumur tanah dangkal yang berada di sekitar lahan, Hasil analisis sifat fisika dari Lahan Kering KP Luwu, untuk Air Tersedia adalah 18,4 % Volume, yaitu selisih kadar air antara pF 2,54 dengan pF 4,2 atau selisih kondisi Titik Layu permanen dan Kapasitas Lapang, termasuk dalam kriteria Pori air tersedia Tinggi, menurut Kriteria kemampuan pori pori tanah memegang air (LPT 1980).

KP Luwu (0-20) Sulawesi Selatan

pF 4.2 (Titik Layu Permanen)=18.0%

pF2.54 (Kapasitas Lapang)=36.4%

pF 2= 41.4%

pF1= 50.6%

RPT=51.4%

0.02.04.06.08.0

10.012.014.016.018.020.022.024.026.028.030.032.034.036.038.040.042.044.046.048.050.052.054.056.058.060.062.064.066.0

RPT pF1 pF 2 pF2.54 pF 4.2

Kad

ar A

ir %

Vol

Gambar 12. Neraca pF KP Luwu Kondisi kelas Air Tersedia tinggi, mempunyai potensi menyimpan air tinggi, sehingga tidak diperlukan pemberian air yang banyak dan sering, untuk memenuhi kebutuhan tanaman. Teknik penyiraman yang dapat diaplikasikan untuk irigasi

suplementer pada lahan kering di KP Luwu adalah dengan Big Gun Sprinkler. Teknik penyiraman model ini merupakan Irigasi curah bergerak/irigasi tipe curah bertekanan tinggi yang menggunakan nozle yang dapat bergerak ke segala arah

balitkl

imat.l

itbang.p

ertania

n.go.id

Page 61: Bulletin 2015 - BARUbalitklimat.litbang.pertanian.go.id/wp-content/... · Mikro Cakardipa, DAS Ciliwung Hulu, Jawa Barat., hal 3-17. Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 12 2015 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

60

dengan instalasi yang tidak permanen sehingga dapat dipindahka secara cepat. Irigasi tipe ini dapat mendistribusikan air irigasi dengan debit irigasi cukup tinggi dan dengan jangkauan cukup jauh. Teknik irigasi ini cocok baik untuk tanaman palawija seperti jagung, kedelai, kacang hijau, tanaman sayuran maupun tanaman perkebunan seperti jarak pagar. Irigasi dengan Big Gun Sprinkler ini cukup efisien dalam pemakaian bahan bakar, efisien dalam pemanfaatan tenaga, efisien pemakaian air dan efisien waktu. Desain teknik penyiraman Big Gun Sprinkler untuk tanaman jagung di KP Luwu. Sistem distribusi air di lahan kering KP Luwu akan dibuat berupa sistem saluran tertutup (p ipe l i ne i r r iga t i on system). Air dari sumur didistribusikan ke lahan per tanaman jagung m e n g g u n a k a n menggunakan p ipa utama berukuran 4 inchi sepanjang kurang lebih 50 m. Dari pipa utama 4 inchi air akan dialirkan ke pipa berukuran 2,5 inchi yang dipasang secara paralel, dan terakhir akan masuk ke pipa berukuran 2 i n c h i u n t u k pemasangan big gun. U n t u k t a n a m a n rambutan, distribusi air dari bak penampung ke

setiap blok lahan menggunakan pipa PVC 2 inchi (saluran pipa utama). Di setiap jalur pohon rambutan dibuat percabangan (flow T) untuk disambungkan ke pipa PE 9 inchi melayani 5 sampai 6 pohon rambutan. Selanjutnya untuk mengalirkan air ke tanaman rambutan di buat percabangan dari pipa PE 9 inchi ke pipa PE 13 inchi yang dipasang melingkar tanaman. Jumlah nozle yang digunakan di setiap tanaman adalah 4 nozle yang di pasang di setiap arah empat penjuru mata angin mengelilingi tanaman rambutan.

Gambar 13. Peta distribusi air KP Luwu, Sulawesi Selatan

balitkl

imat.l

itbang.p

ertania

n.go.id

Page 62: Bulletin 2015 - BARUbalitklimat.litbang.pertanian.go.id/wp-content/... · Mikro Cakardipa, DAS Ciliwung Hulu, Jawa Barat., hal 3-17. Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 12 2015 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

61

Gambar 14. Teknik penyiraman Big Gun Sprinkler di KP Luwu, Sulawesi Selatan

Gambar 15. Teknik penyiraman Fan Sprayer di KP Luwu, Sulawesi Selatan

balitkl

imat.l

itbang.p

ertania

n.go.id

Page 63: Bulletin 2015 - BARUbalitklimat.litbang.pertanian.go.id/wp-content/... · Mikro Cakardipa, DAS Ciliwung Hulu, Jawa Barat., hal 3-17. Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 12 2015 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

62

7. Kebun Percobaan Gayo Bener Meriah Aceh Tengah

Kebun Percobaan Gayo secara adminis-tratif terdapat di Desa Pondok Gajah, Ke-camatan Bandar, Kabupaten Bener Meriah merupakan lahan kering dengan bentuk wilayah bergunung pada ketinggian + 1500 m diatas permukaan laut. Tanahnya termasuk andosol (Andisols). Hasil analisis sifat fisik pada lahan KP gayo, untuk air tersedia adalah 25,3 % Volume, yaitu selisih kadar air pF 2,54 dengan kadar air pF 4,2 atau kondisi antara kapasitas lapang dengan titik layu permanen, Kondisi air tersedia KP Gayo berdsarkan kelas Air tersedia termasuk “ Sangat Tinggi” berdasarkan Kriteria ke-mampuan pori pori tanah memegang air (LPT 1980). Kondisi lahan KP Gayo, mempunyai potensi menyimpan air yang sangat tinggi, sehingga bmempunyai potensi untuk pengembangan tanaman berbagai komoditas yang mempunyai kebutuhn air banyak, dengan penyiraman agak jarang, mengurangi biaya dalam pengairan. Sedangkan teknik untuk penyiraman bisa dilakukan dengan berbagai sistem, yaitu Secara garis besar teknik pengairan yang diaplikasikan dikelompokkan ke dalam empat cara, yaitu: 1) Pemberian air di permukaan tanah (surface irrigation), 2) Pemberian air di bawah permukaan tanah dilakukan dengan menggunakan pipa (tiles) yang dibenamkan ke dalam tanah, 3) Irigasi curah (sprinkle irrigation) yairu pemberian air dengan cara penyiraman mancakup oscillating sprinkler dan rotary sprinkler, semuanya disebut juga overhead irrigation karena air diberikan atau disiramkan dari atas seperti air hujan. 4) Irigasi tetes (drip or trickle irrigation). Pemberian air di permukaan tanah meliputi penggenangan (flooding), biasanya di persawahan, dan

pemberian air melalui saluran-saluran (furrow irrigation), dalam barisan tanaman (corrugation irrigation) dan pemberian air di bawah permukaan tanah (subsurface irrigation). Pemberian air di permukaan dan di bawah permukaan tanah disebut juga pengairan gravitasi, karena air dialirkan berdasarkan gaya berat air. Desain teknik penyiraman ditetapkan berdasarkan jenis komoditas dan jarak tanam dalam blok irigasi. Teknik penyiraman/irigasi untuk bibit tanaman kopi dilapangan III yang direkomendasikan adalah dengan spray jet menggantung. Sumber daya air yang ada di KP Gayo adalah air permukaan yang berasal dari aliran alur Sungai Kresek yang berjarak sekitar 5 km dari KP Gayo dan air yang tertampung dalam kolam penampungan yang terletak di lapangan III. Air dari alur sungai Kresek mempunyai debit sekitar 20 liter/detik, dan telah dimanfaatkan untuk Kebun Percobaan maupun penduduk kampung disekitar lokasi air dengan jalan membuat penampungan dan jaringan pipanisasi. Kusus untuk KP Gayo, pemanfaatan air dari alur sungai kresek terbatas untuk keperluan mandi dan cuci dan tidak dimanfaatkan untuk minum dikarenakan kandungan belerang yang tinggi sehingga tidak direkomendasikan untuk untuk air minum. Kebutuhan air tanaman kopi di KP Gayo sudah tercukupi oleh air hujan, karena tanaman kopi disini berada sesuai dengan agroekosistemnya sehingga tidak memerlukan penyiraman/irigasi. Untuk tanaman kopi, air dari alur sungai Kresek dimanfaatkan untuk menyiram bibit kopi jika diperlukan. Sedangkan air dari kolam penampungan yang ada di belakang kantor KP tidak/belum dimanfaatkan baik untuk menyiram bibit kopi maupun keperluan kantor.

balitkl

imat.l

itbang.p

ertania

n.go.id

Page 64: Bulletin 2015 - BARUbalitklimat.litbang.pertanian.go.id/wp-content/... · Mikro Cakardipa, DAS Ciliwung Hulu, Jawa Barat., hal 3-17. Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 12 2015 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

63

Penggunaan lahan saat ini adalah untuk perawatan dan pemeliharaan Plasma Nutfah kopi variteas arabika maupun klon-klon lamtoro sebagai naungan kopi (Gambar 2). Plasma nutfah kopi yang ada diharapkan sebagai sumber b e n i h ( S e e d B a n k ) d a l a m

pengembangnan kopi di di Dataran Tinggi Gayo, terutama varietas yang mempunyai potensi produksi dan mutu yang baik. Jumlah plasma nutfah kopi sebanyak 56 jenis, sedangkan Lamtoro sebanyak 6 jenis. Tanaman kopi yang ada ditanam antara tahun 1992 sampai 2005.

KP Gayo (0-20) Aceh

RPT=62.9%

pF1= 61.8%

pF 2= 51.8%

pF2.54 (Kapasitas Lapang)=47.2%

pF 4.2 (Titik Layu Permanen)=21.9%

0.02.04.06.08.0

10.012.014.016.018.020.022.024.026.028.030.032.034.036.038.040.042.044.046.048.050.052.054.056.058.060.062.064.066.0

RPT pF1 pF 2 pF2.54 pF 4.2

Kad

ar A

ir %

Vol

Gambar 16. Neraca pF di KP Gayo

Gambar 17. Peta desain distribusi air untuk irigasi/penyiraman bibit kopi dan air bersih untuk kantor di Kebun Percobaan Gayo, Kab. Bener Meriah, Prov. Aceh

balitkl

imat.l

itbang.p

ertania

n.go.id

Page 65: Bulletin 2015 - BARUbalitklimat.litbang.pertanian.go.id/wp-content/... · Mikro Cakardipa, DAS Ciliwung Hulu, Jawa Barat., hal 3-17. Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 12 2015 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

64

KESIMPULAN Penentuan kriteria air tersedia atau kelas kemampuan pori pori lahan untuk memegang air, tiap lokasi bisa berbeda tergantung sifat fisika dari lahan tersebut, sehingga dengan mengetahui kelas Air tersedia, bisa merencanakan kebutuhan air dan jenis pengairan yang paling efisien, disesuaikan dengan komoditas yang akan di rencanakan, mulai dari kelas paling rendah yaitu KP Pyah Gajah dan KP Ngemplak, dengan kondisi lahan kering, memerlukan pemberian air yang sering dalam jumlah tidak terlalu banyak, sedang untk kelas Sedang, yaitu KP Muktiharjo dan KP Bontobilli, diperlukan pemberian air yang agak berkurang dibanding kelas rendah, KP Gurgur dan KP Luwu, termasuk kelas tinggi yang memiliki potensi air tersedia banyak, sehingga pemberian air bisa lebih efisien dan di berikan dalam jumlah banyak dalam kurun yang panjang, dan kelas sangat tinggi, mempunyai potensi menyimpan air tersedia banyak, bisa dimanfaatkan untuk pengembangan kebun dengan komoditas tanaman yang relatif memerlukan banyak air, dengan waktu pemberian air yang jarang, bisa lebih efisien.

Gambar 18. Sistem penyiraman spray jet untuk bibit kopi di KP Gayo

balitkl

imat.l

itbang.p

ertania

n.go.id

Page 66: Bulletin 2015 - BARUbalitklimat.litbang.pertanian.go.id/wp-content/... · Mikro Cakardipa, DAS Ciliwung Hulu, Jawa Barat., hal 3-17. Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 12 2015 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

65

PUSTAKA A. Abdurachman, Umi Haryati dan Ishak Juarsah,. 2006. Penetapan Kadar Air Tanah

dengan Metoda Gravimetri, dalam Sifat Fisik Tanah dan Metoda Analisanya. Balai Besar Litbang Sumberdaya lahan Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian

Hardjowigeno, S. 2007. Ilmu Tanah. Jakarta: Akademika Pressindo Husein Suganda, Achmad Rachman dan Sutono., 2006. Petunjuk pengambilan contoh

tanah tanah, dalam Sifat Fisik Tanah dan Metoda Analisanya Balai Besar Litbang Sumberdaya lahan Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian

Laporan Akhir Desain Pengelolaan Air KP 2013. Balai Penelitian agroklimat dan Hidrologi, Balitbangtan

LPT (Lembga Penelitian Tanah). 1980. Term of Reference (TOR) Tipe A. Pemetaan Tanah Proyek Penelitian Pertanian Menunjang Transmigrasi (P3MT) Baitbangtan Bogor.

Rencana Strategis Kementerian Pertanian 2015-2019., 2015. Biro Perencanaan, Sekretariat Jenderal Kemnterian Pertanian. www.pertanian.go.id@2015

Sudirman, S Sutono dan Ishak Juarsah., 2006. Penetapan Retensi Air Tanah di Laboratorium dalam Sifat Fisik Tanah dan Metoda Analisanya Balai Besar Litbang Sumberdaya lahan Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian.

balitkl

imat.l

itbang.p

ertania

n.go.id

Page 67: Bulletin 2015 - BARUbalitklimat.litbang.pertanian.go.id/wp-content/... · Mikro Cakardipa, DAS Ciliwung Hulu, Jawa Barat., hal 3-17. Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 12 2015 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

66

PEDOMAN BAGI PENULIS BULETIN BALITKLIMAT

Naskah hasil penelitian primer ditulis dalam bahasa indonesia atau inggeris dengan urutan pembagian bab sebagai berikut: JUDUL & NAMA PENULIS ditulis dengan huruf besar pada awal setiap kata dan disertai catatan kaki yang ditulis lengkap (tidak disingkat) tentang profesi/jabatan dan nama instansi tempat penulis bekerja. Judul hendaknya singkat (tidak lebih dari 14 kata) dan mampu menggambarkan isi pokok tulisan. Contoh: Prospek dan Kendala Dam Parit di Lahan Kering. ABSTRAK ditulis dalam bahasa indonesia, sebanyak-banyaknya 150 kata yang dituangkan pada satu alinea dengan susunan: judul, nama(-nama) penulis, dan ringkasan isi. ABSTRAK merupakan inti seluruh tulisan dan harus mampu memberikan uraian yang tepat, jelas tapi singkat tentang latar belakang, tujuan yang ingin dicapai, metodologi yang digunakan dalam pencapaian tujuan, hasil penelitian yang terpenting, dan kesimpulan (apabila memungkinkan). Contoh: ABSTRAK <Judul> <Nama[-nama] penulis> <Abstrak isi>. KATA KUNCI terdiri dari beberapa kata atau gugus kata yang menggambarkan isi naskah. Demi keseragaman format dan kemudahan dalam pen-database-an, dianjurkan untuk diawali dengan <nama komoditas> (apabila jenis komoditasnya tidak terlalu banyak). Contoh: Kedelai, Neraca air, Indeks Palmer. ABSTRACT & KEY WORDS ditulis dengan bahasa inggeris dengan ketentuan seperti pada ABSTRAK & KATA KUNCI. Pada naskah berbahasa inggeris, bab ini mendahului ABSTRAK & KATA KUNCI. PENDAHULUAN (nama bab tidak ditulis), mencakup latar belakang masalah, alasan pentingnya penelitian itu dilakukan, temuan terdahulu yang akan disanggah atau dikembangkan (termasuk didalamnya telusuran pustaka terkait), pendekatan umum, dan tujuan penelitian. Nama jasad hidup yang menjadi topik penelitian harus disertai nama ilmiahnya. Contoh: Kedelai (Glyncine max L. [Merrill]). BAHAN & METODE berisi penjelasan ringkas tentang waktu dan tempat penelitian, bahan dan teknik yang digunakan, rancangan percobaan, dan analisis data. Teknik yang dirujuk tidak perlu diuraikan (kecuali apabila dimodifikasi), tetapi cukup disebut nama sumbernya dan tahun atau metodenya.nama piranti lunak komputer yang digunakan untuk menganalisis data seyogyanya disebutkan. HASIL & PEMBAHASAN merupakan kupasan penulis tentang hasil, menerangkan arti hasil penelitian, persamaan dan perbedaan hasil penelitian ini dibandingkan dengan penelitian terdahulu (baik dari dalam maupun luar negeri), peran hasil penelitian terhadap pemecahan masalah yang disebutkan di bab pendahuluan, hubungan antara parameter yang satu dengan yang lain, dan kemungkinan pengembangannya. KESIMPULAN (apabila memungkinan) hasil kongkrit atau keputusan yang diperoleh dari penelitian yang telah dilakukan serta saran-saran. Informasi yang bersifat faktual (e.g., umur tanaman, dll.) bukanlah kesimpulan, sehingga tidak perlu dimasukkan ke dalam bab kesimpulan.

balitkl

imat.l

itbang.p

ertania

n.go.id

Page 68: Bulletin 2015 - BARUbalitklimat.litbang.pertanian.go.id/wp-content/... · Mikro Cakardipa, DAS Ciliwung Hulu, Jawa Barat., hal 3-17. Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 12 2015 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

67

UCAPAN TERIMA KASIH (apabila dianggap perlu), berisi penghargaan singkat kepada pihak-pihak yang telah berjasa selama penelitian (3-5 kalimat ringkas). PUSTAKA disusun menurut abjad dan diberi nomor urut. Secara umum, setiap pustaka hendaknya terdiri atas nama penulis, tahun, judul, halaman, dan penerbit. Pustaka seyogyanya dipilih yang masih mempunyai kaitan dengan topik penelitian dan ditulis sebagai berikut: Untuk Artikel di dalam buku: Nama(-nama) penulis, tahun penerbitan, judul artikel, halaman, nama penyunting, judul publikasi atau buku, nama dan tempat penerbit. Contoh: Ginting, Z., K. Romimohtarto, S. Hadi , dan S. Saimima. 2004 Prediksi perkembangan iklim di Indonesia Tahun 2004, hal. 135-185. Dalam H. Djojodihardjo et al. (red.). Strategi Antisipasi Dampak Perubahan Iklim, Bogor, 21-23 Maret 2003. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat Bogor. Untuk Terbitan Berkala: Nama(-nama) penulis, tahun penerbitan, judul artikel, nama terbitan (disingkat, apabila dianjurkan), volume dan nomor, dan nomor halaman. Contoh: Yates, A. W., Jr., J. R. Boyle, and D. R. Duran. 2004. Improving water use efficiency in the rainfed farming systems. J. Agric. Science. 72(4): 519-522. Untuk buku: Nama(-nama) penulis, tahun penerbitan, judul buku, edisi dan tahun revisi, nama dan tempat penerbit, dan jumlah halaman. Contoh: Su, J. 2004. Forecasting and time series analysis, vol I. Edwards, Ann Arbor, Michigan, 345pp. PERSIAPAN TULISAN. Persiapan Tulisan. Naskah diketik dua spasi pada kertas ukuran A4 , satu muka, tipe huruf baku ukuran 12 cpi dan tidak lebih dari 15 halaman (termasuk tabel, gambar, dan pustaka). Badan naskah dicetak dengan ketentuan batas pinggir kertas 3cm atas, bawah, dan kanan, dan 4 cm dari kiri. Tabel ‘masuk’ ke dalam teks, tidak dikumpulkan di bagian akhir makalah sebagaimana halnya lampiran. Judul tabel terletak di atas tabel yang bersangkutan dan hendaknya berupa satu kalimat yang singkat dan jelas (termasuk keterangan tempat dan waktu). Angka desimal ditandai dengan koma (bahasa Indonesia) atau titik (bahasa Inggeris). Besaran ditulis menurut Standar Internasional, bukan besaran lokal (e.g., kuintal, are) dan mengikuti kaidah Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan (misalnya: g, l, kg, bukan gr. Ltr, atau Kg). Catatan kaki pada tabel ditandai dengan huruf atau angkadengan posisi agak naik (superscript). Gambar & Grafis hendaknya dibuat dengan piranti lunak komputer berikut ini: Microsoft Excel dan Corel Draw. Foto hendaknya kontras, tajam, dan jelas. Penyerahan File Penulis yang makalahnya akan segera diterbitkan agar menyerahkan file teks dan gambar (format seperti tertera sebelumnya) file diserahkan ke bagian Jasa Penelitian Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi jl. Tentara Pelajar No. 1 A Cimanggu Bogor 16111.

balitkl

imat.l

itbang.p

ertania

n.go.id