buku ciliwung

111

Upload: denny-boy-mochran

Post on 19-Jun-2015

2.237 views

Category:

Documents


42 download

TRANSCRIPT

Page 1: BUKU CILIWUNG
Page 2: BUKU CILIWUNG

HUBUNGAN KERJASAMA INSTITUSI DALAM

PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI

KASUS DAS CILIWUNG

Omo Rusdiana Sudaryanto

Iin Ichwandi Nana Mulyana Arifjaya

Hendrayanto Rinekso Soekmadi

Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor

2003

Page 3: BUKU CILIWUNG

HUBUNGAN KERJASAMA INSTITUSI DALAM PENGELOLAAN DAS: KASUS DAS CILIWUNG

PENULIS Omo Rusdiana Sudaryanto Iin Ichwandi Nana Mulyana Arifjaya Hendrayanto Rinekso Soekmadi EDITOR Hariadi Kartodihardjo M. Buce Saleh TATA LETAK Kasuma Wijaya Syamsul Budiman ILUSTRASI SAMPUL Kasuma Wijaya @ Fakultas Kehutanan IPB, 2003 VI+104 hal, 190 x 280 mm ISBN 979-9337-16-X Perpustakaan Nasional Republik Indonesia

Page 4: BUKU CILIWUNG

i i i

KATA PENGANTAR

Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan pengelolaan sumberdaya yang terdapat di suatu DAS, baik sumberdaya alam (natural capital), sumberdaya manusia (human capital) beserta pranata institusi formal maupun informal masyarakat (social capital), maupun sumberdaya buatan (man made capital) yang satu sama lain saling berinteraksi (interaction).

Isu-isu penurunan kualitas lingkungan dalam pengelolaan DAS, terutama isu banjir dan kekeringan seringkali ditanggapi sebagai isu-isu yang disebabkan oleh masalah-masalah yang bersifat teknis semata, sehingga usulan-usulan pemecahan masalah lebih banyak dipusatkan pada kegiatan-kegiatan yang bersifat teknis, seperti sodetan sungai, normalisasi sungai, pembuatan resapan aliran permukaan, penanaman di daerah hulu sungai dan sebagainya, masih jarang yang melihat prasyarat-prasyarat yang diperlukan agar kegiatan-kegiatan yang bersiafta teknis tersebut dapat berjalan dengan baik.

Tim Kerja Fakultas Kehutanan IPB telah melakukan beberapa studi sebagai upaya untuk mengkaji permasalahan-permasalahan yang dihadapi dalam Pengelolaan DAS, terutama dalam rangka merespon isu banjir dan kegagalan Rehabilitasi Lahan. Dari hasil-hasil studi tersebut ditemukan indikasi kuat bahwa kegiatan-kegiatan yang bersifat teknis memerlukan kegiatan-kegiatan non teknis sebagai prasyarat keberhasilan kegiatan teknis. Lemahnya Sistem Insentif dan Kelembagaan dalam Pengelolaan DAS merupakan dua hal yang dominan yang menyebabkan munculnya isu banjir dan kegagalan rehabilitasi lahan.

Hasil dari studi tersebut ditulis dalam tiga buku, sebagai upaya untuk memberikan tambahan pengetahuan dan bahan acuan bagi studi dan praktek pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Ketiga buku tersebut adalah:

1. Penataan Institusi Pengelolaan DAS

2. Sistem Insentif Rehabilitasi Lahan Dalam Kerangka Pengelolaan DAS

3. Hubungan Kerjasama Institusi dalam Pengelolaan DAS : Kasus DAS Ciliwung

Buku 1. Penataan Institusi Pengelolaan DAS secara garis besar berisi konsep institusi/kelembagaan, pengalaman penerapannya di beberapa negara, permasalahan institusi pengelolaan DAS di Indonesia, serta telaah penatanaannya.

Buku 2. Sistem Insentif Rehabilitasi Lahan Dalam Kerangka Pengelolaan DAS, secara garis besar berisi konsep insentif, sejarah pengelolaan DAS di Indonesia, dan hasil studi kasus sistem insentif yang diperlukan di DAS Ciliwung (Jawa Barat), Rokan (Riau) dan DAS Dodokan (NTB), posisi insentif dan kebijakan rehabilitasi lahan dalam kerangka pengelolaan DAS, serta panduan pengembangan sistem insentif.

Buku 3. Hubungan Kerjasama Institusi dalam Pengelolaan DAS : Kasus DAS Ciliwung, secara garis besar berisi konsep pengelolaan DAS, karakteristik DAS Ciliwung, permasalahan DAS Ciliwung dan pengelolaannya, kebijakan pengelolaan DAS Ciliwung, dan sintesa rekomendasi pengelolaan DAS dan pengendalian banjir di Jakarta.

Disadari bahwa dalam penulisan buku-buku ini masih belum sempurna sehingga masukan dari pembaca sangat berguna dalam menyempurnakan isi dan penulisan buku ini. Terlepas

Page 5: BUKU CILIWUNG

i v

dari kekurangan yang masih ada, diharapkan buku-buku tersebut dapat bermanfaat bagi perbaikan pengelolaan DAS di Indonesia.

Tulisan ini tidak akan terdokumentasi dengan baik tanpa bantuan Japan International Agency (JICA). Terima kasih untuk Hiroshi Nakata, Rika Novida dan Irma Imelda yang dengan sabar menunggu kompilasi dokumen ini. Tanpa lupa penghargaan kami berikan kepada tim dapur, Kasuma Wijaya dan Syamsul Budiman yang telah melakukan pekerjaan dengan sangat baik.

Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor Dekan,

Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS

Page 6: BUKU CILIWUNG

v

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR DAFTAR ISI

1. PENDAHULUAN

2. KONSEP PENGELOLAAN DAS 2.1. Daerah Aliran Sungai (DAS), Komponen dan Pencirinya ................................. 5 2.2. Pengelolaan DAS ...................................................................................................... 9 2.3. Peran Pemangku Kepentingan dalam Pengelolaan DAS ................................... 10

3. KARAKTERISTIK DAS CILIWUNG 3.1. Bentuk DAS dan Wilayah DAS.............................................................................. 11 3.2. Karakteristik Topografi dan Curah Hujan ............................................................ 12 3.3. Karakteristik Hidrologi dan Hidrogeologi ............................................................ 15 3.4. Karakteristik Lahan dan Tata Ruang Wilayah DAS ............................................ 21 3.5. Karakteristik Sosial Ekonomi Masyarakat............................................................. 27

4. PERMASALAHAN DAS CILIWUNG DAN PENGELOLANNYA 4.1. Gejala Banjir di DKI Jakarta ................................................................................... 31 4.2. Karakteristik Banjir di DKI Jakarta ...................................................................... 32 4.3. Andil Daerah Hulu dan Tengah DAS Ciliwung terhadap Debit dan

Volume Banjir............................................................................................................ 38 4.4. Faktor Geologi dan Penyebab Banjir .................................................................... 40 4.5. Tidak Berjalannya Kebijakan Penataan Ruang..................................................... 40 4.6. Rehabilitasi Lahan Tidak Berhasil .......................................................................... 44 4.7. Kerugian Akibat Banjir 2002................................................................................... 46

5. KEBIJAKAN PENGELOLAAN DAS CILIWUNG 5.1. Kebijakan Penataan Ruang DAS Ciliwung ........................................................... 51 5.2. Organisasi, Program dan Kegiatan Pengelolaan DAS ........................................ 62 5.3. Ketidakterpaduan Program ..................................................................................... 66

6. SINTESA REKOMENDASI PENGELOLAAN DAS DAN PENGENDALIAN BANJIR JAKARTA

6.1. Kerangka Pendekatan Pengelolaan DAS Ciliwung.............................................. 83 6.2. Pendekatan Teknologi.............................................................................................. 85 6.3. Pendekatan Institusi.................................................................................................. 91 6.4. Proses Multipihak Penanganan Pengelolaan DAS Ciliwung.............................. 94 6.5. Rekomendasi Teknologi/Teknis ............................................................................ 94 6.6. Rekomendasi Institusi .............................................................................................. 97 6.7. Rekomendasi Proses Multipihak dan Program Pemerintah............................... 97 6.8. Mekanisme dan Proses yang Diperlukan .............................................................. 98

PUSTAKA

Page 7: BUKU CILIWUNG

v i

Page 8: BUKU CILIWUNG

Hubungan Kerjasama Institusi dalam Pengelolaan DAS

Kasus DAS Ciliwung 1

1. PENDAHULUAN

Banjir di DKI Jakarta bukan merupakan hal baru, tetapi hampir terjadi setiap tahun dengan skala dan intensitas yang bervariasi. Di antara kasus banjir di DKI yang menimbulkan kerugian besar telah terjadi pada tahun 1996 dan 2002. Pada besaran curah hujan yang sama dengan saat kejadian banjir tersebut, DKI Jakarta akan tetap mengalami kebanjiran ulang, terutama bila tata lingkungan di Daerah Aliran Sungai (DAS) yang memiliki aliran sungai melewati DKI Jakarta tidak diperbaiki secara serius. Dalam konteks ini, banjir di DKI Jakarta yang telah terjadi secara berulang-ulang merupakan gejala (symptom) dari terlampauinya kapasitas DAS-DAS untuk meregulasi debit yang aliran sungainya melewati DKI Jakarta, yaitu: S. Ciliwung, S. Angke, S. Cakung, Cengkareng Drain, S. Mookervart, S. Krukut, S. Buaran, S. Sunter, S. Cipinang dan S. Pasanggrahan.

Untuk mengatasi banjir di DKI Jakarta, sudah banyak program dilakukan dengan curahan dana dan usaha yang besar, tetapi kejadian banjir tetap berulang. Banjir tersebut menimbulkan kerugian yang sangat besar bagi masyarakat. Masalah yang dihadapi nampaknya bukan semata-mata terletak pada hal teknis, tetapi pada masalah kelembagaan pengelolaan DAS dan lemahnya kebijakan publik, khususnya menyangkut lemahnya pertanggung-gugatan (accountability) pengelolaan DAS dan sumberdaya air yang merupakan sumberdaya publik. Selain itu, pendekatan teknis yang telah dan akan dilakukan belum menggunakan DAS sebagai unit analisis, tetapi cenderung bersifat parsial, sektoral atau terkait dengan kewenangan wilayah administratif tertentu. Mengingat karakteristik DKI Jakarta yang sebagian wilayahnya merupakan dataran banjir (flood plain), upaya peniadaan banjir di wilayah tersebut jelas merupakan pekerjaan yang membutuhkan biaya dan tenaga besar. Dari segi karakter hidrologi, prioritas perlu diberikan pada usaha-usaha yang mampu menjamin keberhasilan jangka panjang tanpa memindahkan masalah ke wilayah lain, antara lain dengan meningkatkan kapasitas alamiah untuk meregulasi debit DAS-DAS yang aliran sungainya melewati DKI Jakarta.

Respons atas kejadian banjir tahun 1996 dan 2002 telah menghasilkan banyak rekomendasi dan rumusan program yang sasarannya adalah memecahkan masalah pengelolaan DAS terpadu dan pengendalian banjir. Hasil penelaahan atas berbagai rekomendasi dan program-program yang sudah, sedang dan akan dilaksanakan oleh para pemangku kepentingan menunjukkan lemahnya sinergi, baik di tingkat kebijakan maupun di tingkat operasional. Selain itu sebagian besar rekomendasi dan program masih bersifat makro dan belum dikaitkan dengan tapak dimana masalah tersebut terjadi, serta belum dipertimbangkannya secara mendalam karakteristik hulu, tengah dan hilir DAS. Akibatnya, implementasi program dan kegiatan belum terfokus pada upaya penyelesaian masalah riil di lapangan.

Banjir di Jakarta bukanlah bencana alam yang tidak dapat dihindarkan, tetapi merupakan indikator kegagalan pemerintah dan para pemangku kepentingan lainnya dalam mengelola sumber daya alam yang memiliki manfaat publik. Dalam konteks tersebut, kegagalan kebijakan dan kegagalan kelembagaan pengelolaan DAS merupakan hal penting yang harus segera dibenahi oleh para pengambil keputusan. Secara substansi, lemahnya koordinasi antar berbagai pemangku kepentingan (stakeholders) dan lemahnya pertanggunggugatan publik (public accountability) program-program pengelolaan DAS terpadu merupakan fokus masalah yang harus dipecahkan bersama. Dalam hubungannya dengan otonomi daerah, penguatan kapasitas dari para pemangku kepentingan untuk memecahkan masalah riil

Page 9: BUKU CILIWUNG

Hubungan Kerjasama Institusi dalam Pengelolaan DAS

2 Kasus DAS Ciliwung

pengelolaan DAS terpadu yang berorientasi pada tujuan jangka panjang, termasuk mengurangi resiko banjir, merupakan agenda bersama para pemangku kepentingan yang tidak bisa ditunda.

Koordinasi memerlukan komitmen yang tinggi dan pertukaran informasi secara intensif untuk mengkonfirmasikan waktu, biaya, dan aktivitas yang dilakukan oleh setiap instansi/lembaga untuk mencapai tujuan dengan ukuran kinerja yang disepakati bersama. Hambatan koordinasi biasanya terletak di dalam struktur organisasi/lembaga masing-masing, yaitu pertentangan antara fleksibilitas yang diperlukan dengan kekakuan tugas pokok dan fungsi yang telah ditetapkan, dan bukan terletak pada tingkat kebijakan dan tujuan-tujuannya. Secara riil, tantangannya terletak pada diakui dan dijalankannya kegiatan-kegiatan yang sifatnya bukan struktural/administratif tetapi pada program yang dirumuskan dengan tujuan yang diartikulasikan secara jelas, melalui proses pertukaran (sharing) pengetahuan, pencarian informasi secara sistematis, serta mekanisme umpan balik (feedback) yang terjadi di antara para pemangku kepentingan. Pertukaran informasi dan pengetahuan akan memfasilitasi proses belajar bersama bagi seluruh pemangku kepentingan untuk memastikan partisipasinya dalam menjalankan kegiatan dan melakukan penyesuaian-penyesuaian yang diperlukan berdasarkan pada hasil penilaian masing-masing, sehingga kinerjanya dapat ditingkatkan. Proses-proses koordinasi tersebut juga menjadi ajang pertanggunggugatan publik bagi seluruh pemangku kepentingan dalam menjalankan tugas pokok dan fungsi masing-masing.

Keberhasilan peningkatan kapasitas alamiah DAS akan dapat dicapai, jika dan hanya jika, pengelolaan DAS dilakukan secara terpadu, baik antar pemerintah propinsi/kabupaten maupun antar sektor, dengan dukungan partisipasi aktif dari berbagai kelompok masyarakat. Kelembagaan yang memiliki mekanisme koordinasi yang jelas dan dapat dipertanggunggugatkan kepada publik merupakan kebutuhan yang secara serius perlu dipertimbangkan oleh seluruh pemangku kepentingan (stakeholders). Sebagai sebuah konsep, pentingnya koordinasi telah disadari oleh berbagai pihak, namun sebagai sebuah proses riil, koordinasi cenderung menjadi keranjang sampah bagi kegagalan berbagai pihak dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya. Lemahnya ukuran kinerja keberhasilan pengelolaan DAS yang semestinya dipertanggunggugatkan dihadapan publik memastikan bahwa telah terjadi dis-orientasi tujuan pengelolaan DAS sebagai sumberdaya publik. Untuk mencapai tujuan pengelolaan DAS terpadu sebagaimana yang diharapkan, berbagai proses partisipatif yang bertujuan untuk membangun kapasitas bersama merupakan syarat keharusan.

DAS Ciliwung merupakan salah satu pemasok air yang penting bagi DKI Jakarta dan bila meluap dampak yang ditimbulkannya akan langsung mengenai jantung Ibukota dan pusat-pusat ekonomi yang penting di DKI Jakarta. Pentingnya DAS Ciliwung bagi DKI Jakarta dan kompleksitas masalah struktural di DAS tersebut merupakan contoh representatif untuk membangun kapasitas dan solidaritas multipihak dalam pengelolaan sumberdaya alam yang berwawasan lingkungan. Keberhasilan dalam membangun kapasitas multipihak dalam pengelolaan DAS Ciliwung akan dapat direplikasikan pada DAS-DAS lain di Indonesia.

Dalam buku ini akan mencoba membahas pengelolaan DAS Terpadu dengan contoh kasus DAS Ciliwung, meliputi konsep pengelolaan DAS terpadu, kejadian banjir di DKI Jakarta dan kerugian yang diakibatkannya, permasalahan-permasalahan pokok, serta upaya-upaya penanggulangan dan proses-proses para pihak yang telah dilakukan sampai saat ini. Tulisan

Page 10: BUKU CILIWUNG

Hubungan Kerjasama Institusi dalam Pengelolaan DAS

Kasus DAS Ciliwung 3

ini merupakan pengembangan dari hasil Lokakarya Pengelolaan DAS Terpadu dan beberapa tulisan/laporan serta proses-proses yang telah terjadi yang terkait dengan pengelolaan DAS Ciliwung. Semoga tulisan ini dapat dijadikan sebagai salah satu instrumen untuk belajar bersama guna memahami “Underlying Causes” dalam pengelolaan DAS terpadu, khususnya DAS Ciliwung.

Page 11: BUKU CILIWUNG

Hubungan Kerjasama Institusi dalam Pengelolaan DAS

4 Kasus DAS Ciliwung

Page 12: BUKU CILIWUNG

Hubungan Kerjasama Institusi dalam Pengelolaan DAS

Kasus DAS Ciliwung 5

2. KONSEP PENGELOLAAN DAS

Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) secara terpadu merupakan suatu proses penyusunan dan penerapan suatu tindakan yang melibatkan sumberdaya alam dan manusia di dalam DAS, dengan mempertimbangkan faktor-faktor sosial, politik, ekonomi, lingkungan dan institusi (kelembagaan) dalam DAS, untuk mencapai dan seluas mungkin mengembangkan lingkup dari tujuan masyarakat jangka pendek dan panjang (Boehmer et al., 1997).

DAS Ciliwung merupakan Urban Watershed yang perlu dikelola secara khusus dengan pendekatan yang holistik. Sampai saat ini pengelolaan DAS Ciliwung masih bersifat sebagian-sebagian (partial), sekalipun telah diupayakan berbagai program terpadu seperti Program Kali Bersih (PROKASIH), Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah (RLKT), Jabotabek Water Resources Management Project (JWRM), dan Penanggulangan Ruang Kawasan (PRK) Bopunjur. Namun demikian masing-masing sektor mengasumsikan bahwa apa yang diputuskan dan dilakukannya secara otomatis serasi dengan program sektor lainnya sehingga program-program tersebut tidak pernah mencapai tujuan dan sasarannya.

Dengan memperhatikan hal-hal tersebut di atas, agar setiap sektor dan pihak-pihak yang terkait dalam pengelolaan DAS dapat menempatkan peran dan posisinya dalam mencapai tujuan dan sasaran yang ingin dicapai harus dimulai dari pemahaman yang sama mengenai DAS itu sendiri, pengelolaan DAS dan peranan pemangku kepentingan dalam pengelolaan DAS.

2.1. Daerah Aliran Sungai (DAS), Komponen dan Pencirinya

Daerah Aliran Sungai (DAS) sebagai terjemahan dari watershed secara harfiah diartikan sebagai setiap permukaan miring yang mengalirkan air. Dalam konteks unit kajian dan unit pengelolaan, DAS didefinisikan sebagai bentang lahan yang dibatasi oleh topografi pemisah aliran (topographic divide), yaitu punggung-punggung bukit/gunung yang menangkap curah hujan kemudian menyimpan dan mengalirkannya melalui saluran-saluran pengaliran ke satu titik patusan (outlet) (Manan, 1976). Titik patusan umumnya berupa muara sungai di laut, kadang-kadang di danau. Suatu DAS yang titik patusannya berada di sungai diistilahkan sebagai sub DAS dari sungai tempat titik patusan berada. Daerah Pengaliran Sungai (DPS) merupakan terminologi lain yang mempunyai arti yang sama dengan pengertian DAS.

Mengacu kepada pengertian DAS yang telah diterima secara luas di atas, batas permukaan DAS menjadi jelas, dan mudah dibatasi baik di lapangan maupun di peta kontur atau peta topografi, terutama untuk lahan-lahan bergelombang sampai bergunung. Batas permukaan di lahan-lahan datar dan di lahan dengan sistem drainase buatan lebih sulit ditetapkan. Pengertian DAS di atas juga menunjukkan bahwa DAS merupakan satuan (unit) sistem hidrologi, yaitu satuan daerah pengaliran air dari mulai curah hujan jatuh di permukaan tanah mengalir sampai di titik patusan. DAS sebagai sistem hidrologi dimana titik patusan merupakan titik kajian hasil air (water yield) menjelaskan lebih lanjut bahwa air di titik patusan tidak hanya berasal dari aliran di permukaan tanah (surface flow) tetapi juga berasal dari aliran di dalam tanah, yaitu aliran bawah permukaan (sub surface flow) dan aliran bumi (ground water flow). Pergerakan aliran bawah permukaan dan aliran bumi dipengaruhi oleh sifat tanah dan jenis serta struktur batuan (geologi) yang terdapat di suatu DAS. Dengan melihat sistem hidrologi tersebut, batas suatu DAS tidak hanya batas di permukaan tanah saja tetapi juga terdapat batas di dalam tanah, di mana batas keduanya tidak selalu

Page 13: BUKU CILIWUNG

Hubungan Kerjasama Institusi dalam Pengelolaan DAS

6 Kasus DAS Ciliwung

bersesuaian (coincide). Batas di bawah permukaan tanah relatif lebih sulit ditetapkan dan cenderung bersifat dinamis, sehingga dalam kegiatan praktis, batas suatu DAS hanya menggunakan batas di permukaan tanah, yang bersifat definitif untuk aliran permukaan dan bersifat indikatif untuk aliran di dalam tanah dan untuk keseluruhan sistem hidrologi DAS tersebut.

Secara grafis tiga dimensi, pemahaman pengertian DAS secara terpadu dapat dilihat pada Gambar 2.1 dan 2.2. Sedangkan Gambar 2.3 lebih menjelaskan batas DAS pada bagian permukaan dan bagian bawah permukaan.

Sumber : Viessman, W. et al. (1989)

Keterangan: P : presipitasi/curah hujan q : debit sungai q0 : air permukaan

Gambar 2.1. DAS dalam pandangan 3-D (tiga dimensi)

Sumber : EOEA (2001)

Gambar 2.2. Gambar Proyeksi Permukaan DAS (2-D)

Page 14: BUKU CILIWUNG

Hubungan Kerjasama Institusi dalam Pengelolaan DAS

Kasus DAS Ciliwung 7

Sumber : Linsley, R.K. et al (1982)

Gambar 2.3. Gambar Batas Permukaan dan di Bawah Permukaan suatu DAS

Ukuran DAS sangat bervariasi dari sangat kecil (beberapa hektar) sampai sangat besar (ribuan hektar). DAS berukuran sangat kecil dicirikan oleh adanya sungai utama berhulu di bukit-bukit yang berbatasan langsung dengan laut. Sungai utamanya umumnya bersifat intermittent, yaitu hanya berair pada saat hujan dan beberapa saat setelah hujan berhenti. DAS sangat besar berhulu di pegunungan yang jauh dari laut. Sungai utamanya umumnya bersifat perennial, yaitu berair hampir sepanjang tahun.

Batas (permukaan) DAS tidak selalu, bahkan sebagian besar tidak bersesuaian dengan batas wilayah administrasi pemerintahan baik pemerintah propinsi maupun kabupaten/kota. Sesuai dengan ukuran DAS, ada DAS yang hanya mencakup satu wilayah pemerintahan kabupaten/kota, tetapi ada juga yang mencakup lebih dari satu wilayah kabupaten/kota dalam satu wilayah propinsi dan propinsi yang berbeda bahkan ada juga yang mencakup wilayah negara yang berbeda. Dalam beberapa publikasi ada istilah DAS lokal yaitu DAS yang hanya mencakup satu wilayah kabupaten/kota, DAS regional yaitu DAS yang mencakup lebih dari satu wilayah kabupaten/kota dalam propinsi yang sama, DAS nasional yaitu DAS yang mencakup dua wilayah propinsi atau lebih (Ambar, 2001). Sedangkan untuk DAS mencakup lebih dari satu wilayah negara dapat diistilahkan sebagai DAS internasional.

Mengacu kepada pengertian DAS dalam uraian di atas, maka di dalam suatu DAS terdapat berbagai komponen sumberdaya, baik sumberdaya alam (natural capital), yaitu udara (atmosphere), tanah dan batuan penyusunnya, vegetasi, satwa, sumberdaya manusia (human capital) beserta pranata institusi formal maupun informal masyarakat (social capital), maupun sumberdaya buatan (man made capital) yang satu sama lain saling berinteraksi. Komponen-komponen sumberdaya tersebut adalah khas untuk suatu DAS sehingga menjadi karakteristik dari DAS tersebut.

Sumberdaya alam terutama udara, tanah dan batuan penyusunnya serta morfologinya merupakan faktor yang hampir tak dapat dimanipulasi dalam jangka pendek, relatif

Page 15: BUKU CILIWUNG

Hubungan Kerjasama Institusi dalam Pengelolaan DAS

8 Kasus DAS Ciliwung

terhadap faktor sumberdaya manusia, sumberdaya buatan manusia serta pranata institusi formal maupun informal masyarakat (Kartodihardjo et al., 2000). Sumberdaya alam sebagai obyek pengelolaan dapat dikelompokkan menjadi sumberdaya air, tanah dan penutup tanah dalam bentuk vegetasi maupun non vegetasi.

Dengan memandang DAS sebagai satuan sistem hidrologi, interaksi antar komponen sumberdaya tersebut di suatu DAS dapat digambarkan melalui siklus/pergerakan air di DAS tersebut. Perubahan suatu komponen sumberdaya dapat dikaji dampaknya terhadap komponen sumberdaya lainnya dengan melihat dampak perubahan tersebut terhadap komponen proses pergerakan air dan keseluruhan siklus air. Gambaran tentang siklus air di suatu DAS dapat dilihat dalam Gambar 2.4.

Sumber : University of Michigan (2000)

Gambar 2.4. Siklus/pergerakan Air di Suatu DAS

Dari sistem pergerakan air nampak jelas adanya hubungan sebab-akibat hulu-hilir. Daerah hulu dari segi letak daerah dalam suatu DAS dan yang dipersepsikan oleh masyarakat luas merupakan daerah paling atas sedangkan daerah hilir adalah daerah paling bawah dari suatu DAS. Daerah hulu umumnya dicirikan oleh topografi bergunung, curah hujan tinggi dan kondisi sosial ekonomi masyarakat lokalnya kurang maju. Semakin ke arah hilir cenderung makin landai, hujan makin kurang dan kondisi sosial ekonomi lebih baik. Dalam pengertian lebih luas pengertian hulu-hilir tidak sebatas dalam letak suatu daerah di atas dan di bawahnya, tetapi lebih melihat hubungan sebab-akibat, seperti halnya pencemaran udara dimana pergerakan udara yang menentukan “hulu-hilir” suatu daerah, yang tidak selalu di atas dan di bawahnya.

Keadaan udara dan hujan yang diistilahkan sebagai iklim, morfologi DAS, sifat jenis tanah dan batuan, struktur batuan mencerminkan kapasitas dan kemampuan lahan alamiah dalam mendukung kehidupan. Ukuran kapasitas dan kemampuan lahan alamiah ditentukan oleh tingkat pengetahuan dan penguasaan teknologi masyarakat lokal maupun global. Penggunaan lahan yang melampaui kapasitas dan kemampuannya akan mengakibatkan penurunan kapasitas dan kemampuan yang akhirnya menyebabkan

Page 16: BUKU CILIWUNG

Hubungan Kerjasama Institusi dalam Pengelolaan DAS

Kasus DAS Ciliwung 9

kerusakan sehingga lahan tidak mampu lagi memberikan fungsi dalam mendukung kehidupan.

Sumberdaya suatu DAS dari segi penguasaannya dapat dikelompokkan menjadi sumberdaya yang dikuasai oleh negara dan yang dikuasai rakyat baik sebagai komunitas maupun individu. Dalam konteks sumberdaya DAS sebagai kesatuan ekosistem, maka dalam pemanfaatan kedua sumberdaya tersebut harus memperhatikan kepentingan/fungsi publik. Sumberdaya yang dikuasai oleh negara seyogyanya dapat memberikan kemanfaatan publik lebih besar dibandingkan dengan yang dikuasai oleh rakyat.

2.2. Pengelolaan DAS

Hewlett (1982) memberikan batasan tentang Pengelolaan DAS sebagai berikut: Watershed management is one part of natural resources management or the development and administration of a country to satisfy their needs of present and future human resident. Departemen Pertanian (SK Mentan No. 251/kpts/Um/4/1979) merumuskan pengelolaan DAS sebagai upaya manusia di dalam mengendalikan hubungan timbal balik diantara sumberdaya alam dengan manusia dan segala aktivitasnya dengan tujuan membina kelestarian dan keserasian ekosistem serta meningkatkan kemanfaatan sumberdaya alam bagi manusia.

Society of American Forester (1985) memberikan batasan Pengelolaan DAS sebagai: Application of business methods in watershed to assure maximum supplies of useable water, desirable water flow, prevention and control of erosion and the reduction of flood, sediment damages.

Dari batasan/pengertian tersebut, kata-kata kunci yang menandai pengertian Pengelolaan DAS terpadu adalah:

a. Pengelolaan sumberdaya alam. b. Pemenuhan kebutuhan manusia sekarang dan yang akan datang. c. Kelestarian dan keserasian ekosistem. d. Pengendalian hubungan timbal balik antara sumberdaya alam dengan manusia. e. Penyediaan air, pengendalian erosi, banjir dan sedimentasi, dan f. Mempertimbangkan faktor-faktor sosial, politik, ekonomi, lingkungan dan institusi

(kelembagaan).

Dari batasan-batasan pengelolaan DAS di atas, pengelolaan DAS pada dasarnya adalah pengelolaan sumberdaya alam dan buatan yang terdapat di suatu DAS. Praktek pengelolaan sumberdaya alam dan buatan di Indonesia dibagi atau dikelompokkan kedalam sektor-sektor pengelolaan/pembangunan. Sebagai contoh: sektor yang terkait dengan tanah dan batuan yang menyusunnya serta vegetasi diatasnya yaitu pertambangan, pertanian, perkebunan, kehutanan, sektor yang terkait dengan badan air dan sumberdaya buatan, yaitu energi, prasarana, pemukiman dan lain-lain. Pengelolaan sektoral sumberdaya tersebut melibatkan instansi pemerintah, propinsi maupun kabupaten/kota, perusahaan swasta atau milik negara maupun masyarakat sebagai individu maupun kelompok. Multi sumberdaya yang dikelola oleh lembaga-lembaga sektoral pemerintahan, dan non pemerintah menjadikan pengelolaan DAS bersifat multi/lintas sektoral dan multi pemangku kepentingan (stakeholders).

Page 17: BUKU CILIWUNG

Hubungan Kerjasama Institusi dalam Pengelolaan DAS

1 0 Kasus DAS Ciliwung

2.3. Peran Pemangku Kepentingan Dalam Pengelolaan DAS

Sifat DAS yang multi sumberdaya, multi sektor, multi pemangku kepentingan dan DAS sebagai satu kesatuan ekosistem menuntut pengelolaan bersifat menyeluruh (holistic) dalam melihat hubungan interaksi antar komponen sumberdaya DAS sehingga pengelolaan juga harus melibatkan multi disiplin keilmuan, koordinatif dan transparan serta dapat dipertanggung-gugatkan (accountable) baik dalam perencanaan maupun pelaksanaan, selain harus efektif dan efisien, sehingga pemahaman menyeluruh, koordinatif, transparan dan dapat dipertanggugatkan merupakan prinsip-prinsip yang harus digunakan dalam pencapaian tujuan pengelolaan DAS terpadu. Selain itu dengan adanya daerah hulu-hilir dalam suatu DAS yang diartikan sebagai “sebab-akibat”, dimana daerah yang mengakibatkan harus memberikan kompensasi bagi daerah yang diakibatkan (dalam konteks akibat negatif), dan sebaliknya dalam konteks akibat positif, prinsip berbagi pembiayaan (cost sharing) harus diperhatikan dan diterapkan secara konsisten.

Tujuan (goal) pengelolaan DAS yang dapat dirumuskan dari pengertian pengelolaan DAS dan pengelolaan DAS terpadu adalah terpeliharanya :

a. kelestarian fungsi produksi b. kelestarian fungsi lingkungan c. kelestarian fungsi sosial-ekonomi.

Sebagai konsekuensi DAS sebagai satuan pengelolaan sumberdaya DAS maka seluruh program dan kegiatan masing-masing komponen pengelola harus bersinergi ke arah tercapainya tujuan pengelolaan tersebut. Kenyataan yang ada sampai sekarang, program dan kegiatan-kegiatan pengelolaan sumberdaya DAS oleh masing-masing yang mempunyai kewenangan dalam pengelolaan sumberdaya DAS di Indonesia belum sinergis bahkan dalam banyak kasus bertentangan atau bersifat menghambat tercapainya tiga tujuan tersebut.

Pencapaian tujuan pengelolaan DAS terpadu yang melibatkan multi pemangku kepentingan memerlukan kerangka kerja logis atau logical framework (logframe) yang disusun dengan tujuan untuk mengukur kinerja atau hingga sejauh mana tingkat ketercapaian tujuan pengelolaan DAS terpadu dalam suatu skema/kerangka pemikiran secara logis dan bertahap. Dalam pentahapannya atau tingkat pencapaian tujuan, tujuan akhir (goal) pengelolaan DAS terpadu (bersifat abstrak) dapat dicapai jika keluaran langsung (output) program dan kegiatan bersifat lebih kongkrit/operasional, dapat diukur dan keluaran tersebut akan bisa diperoleh jika ada asupan kegiatan (input). Pengelolaan DAS terpadu sebagai proses dapat diketahui secara runut kinerjanya melalui indikator-indikator tersusun dalam kerangka logis tersebut. Indikator yang tersusun harus bersifat obyektif atau disebut juga sebagai Objective Veriviable Indicators (OVI). Artinya indikator tersebut dapat diukur melalui serangkaian proses verifikasi dan pengumpulan data, sehingga setiap indikator harus mempunyai instrumen verifikasi (verifier). Sedapat mungkin, verifier dapat dikuantifikasikan sehingga penentuan tolok ukur atau ukuran nilai dapat disusun dengan pengelompokan/klasifikasi yang lebih akurat (Murtilaksono, 2002).

Page 18: BUKU CILIWUNG

Hubungan Kerjasama Institusi dalam Pengelolaan DAS

Kasus DAS Ciliwung 1 1

3. KARAKTERISTIK DAS CILIWUNG

3.1. Bentuk dan Wilayah DAS

DAS Ciliwung dari mulai hulu sampai titik patusan di Teluk Jakarta meliputi areal seluas 347 km2. Panjang sungai utamanya adalah 117 km. Menurut toposekuensnya DAS Ciliwung dibagi ke dalam tiga bagian, yaitu: hulu, tengah dan hilir, masing-masing dengan stasiun pengamatan arus sungai di Bendung Katulampa Bogor, Ratujaya Depok, dan Pintu Air Manggarai Jakarta Selatan (Pawitan, 2002). Masing-masing bagian tersebut mempunyai karakteristik fisik, penggunaan lahan, dan sosial ekonomi masyarakat yang sedikit banyak berbeda. Distribusi penutupan lahan di DAS Ciliwung dapat dilihat pada Gambar 3.1 yang diperoleh berdasarkan hasil penafsiran citra satelit Landsat ETM tahun 2001 oleh Fakultas Kehutanan IPB.

Sumber : Citra Landsat ETM, 2001

Gambar 3.1. Keadaan Penutupan Lahan di DAS Ciliwung Tahun 2001

Berdasarkan wilayah administrasi, DAS Ciliwung (dari hulu sampai hilir) melingkupi Kab. Bogor, Kodya Bogor, Kotif Depok, dan Propinsi DKI Jakarta dengan deliniasi wilayah sebagai berikut :

Page 19: BUKU CILIWUNG

Hubungan Kerjasama Institusi dalam Pengelolaan DAS

1 2 Kasus DAS Ciliwung

a. Bagian hulu DAS Ciliwung sebagian besar termasuk wilayah Kabupaten Bogor (Kecamatan Megamendung, Cisarua dan Ciawi) dan sebagian kecil Kota Madya Bogor (Kecamatan Kota Bogor Timur dan Kota Bogor Selatan).

b. Bagian tengah DAS Ciliwung termasuk wilayah Kabupaten Bogor (Kecamatan Sukaraja, Cibinong, Bojonggede dan Cimanggis), Kota Madya Bogor (Kecamatan Kota Bogor Timur, Kota Bogor Tengah, Kota Bogor Utara, dan Tanah Sareal) dan Kota Administratif Depok (Kecamatan Pancoran Mas, Sukmajaya dan Beji).

c. Bagian hilir sampai dengan Pintu Air Manggarai termasuk wilayah administrasi pemerintahan Kota Madya Jakarta Selatan dan Jakarta Pusat, lebih ke hilir dari Pintu Air Manggarai, termasuk saluran buatan Kanal Barat, Sungai Ciliwung ini melintasi wilayah Kota Madya Jakarta Pusat, Jakarta Barat dan Jakarta Utara.

3.2. Karakteristik Topografi dan Curah Hujan

Bagian Hulu DAS

Bagian hulu DAS Ciliwung mencakup areal seluas 146 km2 yang merupakan daerah pegunungan dengan elevasi antara 300 m sampai 3.000 m dpl. Di bagian hulu paling sedikit terdapat 7 Sub DAS, yaitu: Tugu, Cisarua, Cibogo, Cisukabirus, Ciesek, Ciseuseupan, dan Katulampa. Bagian hulu dicirikan oleh sungai pegunungan yang berarus deras, variasi kemiringan lereng yang tinggi, dengan kemiringan lereng 2-15% (70,5 km2 ), 15-45% (52,9 km2), dan sisanya lebih dari 45%. Di bagian hulu masih banyak dijumpai mata air yang bergantung pada komposisi litografi dan kelulusan batuan.

Curah hujan rata-rata tahunan selama periode 1989-2001 adalah 3.636 mm dengan rata-rata hujan bulanan 303 mm. Sebaran waktu (time distribution) hujan di bagian hulu disajikan dalam Gambar 3.2.

Sumber : diolah dari Antoro dan Fahmiza (2002)

Gambar 3.2. Distribusi waktu hujan di Bagian Hulu DAS Ciliwung

Page 20: BUKU CILIWUNG

Hubungan Kerjasama Institusi dalam Pengelolaan DAS

Kasus DAS Ciliwung 1 3

Batas musim kemarau dengan musim penghujan di bagian hulu tidak jelas, kecuali daerah Citeko dimana musim kemarau terjadi pada bulan Juni sampai dengan September, dan musim penghujan pada bulan Oktober sampai dengan bulan Mei (Antoro dan Fahmiza, 2002). Debit sungai rata-rata selama periode 1989-2001 di Bendung Katulampa disajikan dalam Gambar 3.3.

Sumber : Tim IPB (2002)

Gambar 3.3. Debit S. Ciliwung rata-rata periode 1989-2001 di Bendung Katulampa

Bagian Tengah DAS

Bagian tengah mencakup areal seluas 94 km2 merupakan daerah bergelombang dan berbukit-bukit dengan variasi elevasi antara 100 m sampai 300 m dpl. Di bagian Tengah terdapat dua anak sungai, yaitu: Cikumpay dan Ciluar, yang keduanya bermuara di sungai Ciliwung. Bagian tengah Ciliwung didominasi area dengan kemiringan lereng 2-15%. Curah hujan rata-rata tahunan selama periode 1989-2001 adalah 3.910 mm dengan rata-rata hujan bulanan 326 mm. Sebaran waktu (time distribution) hujan di bagian tengah disajikan dalam Gambar 3.4.

Batas musim kemarau dengan musim penghujan di bagian tengah lebih tidak jelas (Antoro dan Fahmiza, 2002). Hujan di Depok jauh lebih rendah dibandingkan dengan hujan di tiga stasiun hujan lainnya yang ada di bagian tengah DAS Ciliwung. Secara umum hujan di bagian tengah lebih tinggi dibandingkan dengan hujan di bagian hilir, kecuali pada musim penghujan (Januari-Maret) hujan di hilir lebih tinggi.

Bagian Hilir DAS

Bagian hilir sampai stasiun pengamatan Kebon Baru/Manggarai pada elevasi PP+8 m mencakup areal seluas 82 km2 merupakan dataran rendah bertopografi landai dengan elevasi antara 0 m sampai 100 m dpl. Bagian hilir didominasi area dengan kemiringan lereng 0-2 %, dengan arus sungai yang tenang. Bagian lebih hilir dari Manggarai dicirikan oleh jaringan drainase, yang sudah dilengkapi dengan Kanal Barat sebagai penangkal banjir berupa saluran kolektor. Dalam kondisi demikian batas DAS menjadi tidak tegas.

Page 21: BUKU CILIWUNG

Hubungan Kerjasama Institusi dalam Pengelolaan DAS

1 4 Kasus DAS Ciliwung

Sumber : diolah dari Antoro dan Fahmiza (2002)

Gambar 3.4. Distribusi Waktu Hujan di Bagian Tengah DAS Ciliwung

Curah hujan rata-rata tahunan selama periode 1989-2001 adalah 2.126 mm dengan rata-rata hujan bulanan 177 mm. Sebaran waktu (time distribution) hujan di bagian hilir disajikan dalam Gambar 3.5.

Sumber : diolah dari Antoro dan Fahmiza (2002)

Gambar 3.5. Distribusi Curah Hujan di Bagian Hilir DAS Ciliwung

Page 22: BUKU CILIWUNG

Hubungan Kerjasama Institusi dalam Pengelolaan DAS

Kasus DAS Ciliwung 1 5

Di daerah hilir yang umumnya berada di Jakarta dan Tangerang batas antara musim kemarau dan musim penghujan tampak jelas. Musim penghujan mulai jatuh pada bulan Desember dan berakhir pada bulan Maret. Secara umum hujan di bagian hilir ini paling kering dibandingkan dengan hujan di bagian tengah dan hulu DAS.

3.3. Karakteristik Hidrologi dan Hidrogeologi

3.3.1. Hidrologi

Dari analisis curah hujan deras didapatkan bahwa untuk daerah hilir Ciliwung terjadi dengan rerata 5 kejadian hujan deras pada bulan Januari dan hanya 0,2 kejadian pada bulan Juli. Rerata intensitas hujan deras bervariasi antara 8 mm/jam sampai 20 mm/jam dengan lama kejadian 3 sampai 5 jam. Untuk wilayah Ciliwung Hulu didapatkan bahwa hujan harian lebih dari 50 mm dan hujan 3-harian melebihi 100 mm dapat dikelaskan sebagai hujan deras yang dapat menghasilkan banjir di daerah hilirnya. Sifat hujan deras ini dapat dianggap sama untuk wilayah hulu, tengah, maupun hilir DAS Ciliwung. Dan hasil analisis frekuensi untuk data hujan maksimum harian untuk stasiun Katulampa (1972-1997) menghasilkan nilai curah hujan maksimum harian untuk periode ulang 5-tahunan sebesar 164 mm; 10-tahunan sebesar 189 mm; 25-tahunan sebesar 220 mm; 50-tahunan sebesar 243 mm; dan 100-tahunan sebesar 266 mm (Pawitan, 2002). Sedang statistik intensitas hujan maksimum pada jangka waktu singkat sampai 24 jam untuk stasiun #27 (Jakarta Obs, 1971-1987) dapat dilihat pada Tabel 3.1.

Tabel 3.1. Intensitas hujan maksimum untuk stasiun Jakarta (1971-1987)

Waktu Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nov Des

5-min 14.0 9.0 13.5 11.8 10.0 10.0 10.0 10.0 12.4 10.0 9.8 10.5

10-min 21.0 12.4 25.7 23.7 20.0 17.5 12.8 14.3 20.0 20.2 14.0 20.0

30-min 37.5 48.5 60.0 46.5 40.0 38.1 22.7 33.8 45.8 47.2 24.0 60.0

1-jam 78.0 81.1 89.3 60.1 58.0 58.0 41.7 66.2 65.0 66.0 40.0 72.0

6-jam 161.4 145.3 113.0 71.8 89.6 72.4 61.6 83.8 68.5 76.8 66.4 92.7

24-jam 197.0 145.7 113.0 114.2 89.6 72.4 63.1 83.8 69.5 76.8 73.0 107.0

Sumber: Pawitan (1989) dalam Pawitan (2002)

Berdasarkan pengukuran lapang infiltrasi di DAS Ciliwung Hulu dan prediksi infiltrasi DAS diperoleh dugaan infiltrasi kumulatif tahunan sebesar 70 sampai 74 persen dari total curah hujan. Prediksi erosi di Ciliwung Hulu didapatkan masih lebih tinggi dari erosi yang diperbolehkan (sebesar antara 20 – 43 ton/ha/tahun) yang terutama terjadi pada lahan tegalan, semak dan perkebunan, yang meliputi lebih dari 50 persen dari luas Ciliwung Hulu.

Limpasan permukaan dari DAS Ciliwung menunjukkan nisbah yang berlebihan sebagaimana diperoleh untuk nilai bulanan, harian, maupun jam dengan variasi antara 10 sampai 100 persen. Diperkirakan andil dari airbumi perlu diperhitungkan dengan mempertimbangkan batas aquifer yang kemungkinan tidak sama dengan batas DAS. Hasil perhitungan nisbah limpasan untuk sejumlah episode banjir untuk stasiun Katulampa dapat dilihat Tabel 3.2. Satu episode banjir dapat dicirikan berlangsung selama 10 sampai 20 hari, dan dapat terjadi antara Agustus sampai April dengan mode pada Januari-Februari. Nisbah banjir antara 16% sampai 51 %. Untuk bagian tengah dan hilir dapat diharapkan

Page 23: BUKU CILIWUNG

Hubungan Kerjasama Institusi dalam Pengelolaan DAS

1 6 Kasus DAS Ciliwung

bahwa nisbah banjir ini akan lebih tinggi dari bagian hulu karena terjadinya penurunan kapasitas infiltrasi di bagian tengah dan hilir DAS (Pawitan, 1989 dalam Pawitan, 2002).

Perhitungan waktu pemusatan juga menunjukkan variasi yang besar, yaitu: 0,4 sampai 3 jam untuk Ciliwung Hulu; 0,9 sampai 7,1 jam untuk Ciliwung Tengah; dan 1,6 sampai 15,5 jam untuk Ciliwung Hilir. Waktu pemusatan 10 jam dinilai wajar untuk pintu air Manggarai.

Tabel 3.2. Nisbah Banjir Ciliwung Hulu.

Total aliran langsung Episode banjir

(m3/s) (mm) CH (mm) Nisbah banjir (%)

13-24 Agu 1978 178,0 105.4 206,7 51

21-31 Jan 1979 171,5 101,5 209,0 49

17-30 Jan 1980 108,8 64,4 324,1 20

5-18 Apr. 1980 48,9 28,9 88,1 33

21-31 Jan 1981 184,4 109,1 252,6 43

1-12 Feb 1981 116,4 68,9 161,1 43

10-21 Apr 1982 51,7 30,6 195,2 16

1-13 Nov 1983 176,7 104,6 254,5 41

1-13 Feb 1984 62,9 37,2 187,7 20

12-24 Okt 1985 107,7 63,7 196,4 32 Sumber: Pawitan (1989) dalam Pawitan (2002)

3.3.2. Hidrogeologi

A. Konfigurasi Sistem Akifer

Hasil studi terakhir yang dilakukan oleh Dinas Pertambangan DKI Jakarta dan LPM ITB (2001) menunjukkan bahwa batuan-batuan sedimen di daerah DKI Jakarta dan sekitarnya membentuk sistem akifer yang sangat heterogen dan kompleks (Hutasoit, 2002). Keheterogenan dan ke-kompleksan sistem akifer di daerah ini ditandai oleh interfingering antara akifer dan akitar, variasi ketebalan, dan terdapatnya sesar/patahan.

Dari hasil studi tersebut diperoleh beberapa penemuan penting (Hutasoit, 2002), yaitu:

a. Diketahuinya sistem akifer-akitar di di wilayah DKI Jakarta dan sekitarnya. Secara umum, untuk penampang utara-selatan, sistem ini menebal ke utara; untuk penampang barat-timur, sistem ini menebal ke tengah. Adapun lapisan akifernya, secara umum, untuk penampang utara-selatan, juga menebal ke utara; untuk penampang barat timur, lapisan akifer ini menebal ke utara dan tengah. Kedalaman lapisan akifer ini berkisar dari 0 – (-300) m dpl.

b. Terjawabnya pertanyaan mengenai daerah resapan air tanah Jakarta. Pemahaman umum selama ini adalah daerah Bopunjur merupakan daerah resapan untuk air tanah di wilayah DKI Jakarta. Daerah-daerah resapan tersebut adalah:

Page 24: BUKU CILIWUNG

Hubungan Kerjasama Institusi dalam Pengelolaan DAS

Kasus DAS Ciliwung 1 7

- sebelah selatan: Parung, Depok, Ciangsana/Cileungsir, dan Cibubur

- sebelah utara: Tongkol, Kayu Besar (Cengkareng), Muara Angke, Tongkol, dan Kebonwaru

- sebelah tengah: Kuningan, Pekayon, Dukuh Atas, dan Pulomas

- sebelah barat: Serpong dan Rawa Bokor (Multi Bintang/Tangerang)

- sebelah timur: Bekasi

c. Akifer di daerah ini dapat terkekang atau tidak terkekang.

B. Kondisi Muka Air Tanah

Dari hasil studi yang dilakukan oleh Dinas Pertambangan DKI dan DGTL (1995), Dinas Pertambangan DKI dan LPM ITB (1996), dan Asseggaf (1998), dalam Hutasoit (2002) diketahui bahwa kondisi muka air tanah di wilayah DKI Jakarta dan sekitarnya adalah sebagai berikut: a. Akifer pada kedalaman 0 – 40 m dpl

Pada periode sebelum 1950 yang dianggap sebagai kondisi alami, muka air tanah berada pada kedudukan sekitar 5 mdpl. Pada periode 1992 muka air tanah telah mencapai kedudukan -2,49 m dpl. Periode 1993 menunjukkan bahwa muka air tanah mencapai kedudukan -3,5 m dpl. Sedangkan hasil pengukuran pada tahun 1994 menunjukkan bahwa muka air tanah telah mencapai kedudukan -3,9 m dpl (Gambar 3.6).

b. Akifer pada kedalaman 40 – 140 m dpl Muka air tanah pada kondisi alami berada pada kedudukan antara 1 – 10 m dpl. Periode 1992 muka air tanah mencapai kedudukan (-18,64) – (-35, 50) m dpl. Pada periode 1994 muka air tanah mencapai kedudukan (-20, 80) – (-43,70) m dpl (Gambar 3.7)

c. Akifer pada kedalaman 140 – 250 m dpl Muka air tanah pada kondisi alami berada pada kedudukan 2 m dpl, sementara pada periode 1992 muka air tanah telah berada pada kedudukan (-20) – (-29,30) m dpl. Periode 1994 muka air tanah mengalami penurunan lagi sehingga mencapai kedudukan -49.5 m dpl (Gambar 3.8)

Page 25: BUKU CILIWUNG

Hubungan Kerjasama Institusi dalam Pengelolaan DAS

1 8 Kasus DAS Ciliwung

Sumber: Hutasoit, L (2002)

Gambar 3.6. Muka air tanah pada akifer kedalaman 0 – 40 m tahun 1994 (GTL, 1995)

Page 26: BUKU CILIWUNG

Hubungan Kerjasama Institusi dalam Pengelolaan DAS

Kasus DAS Ciliwung 1 9

Sumber: Hutasoit, L (2002)

Gambar 3.7. Muka airtanah pada akifer kedalaman 40 – 140 m tahun 1994 (GTL, 1995)

Page 27: BUKU CILIWUNG

Hubungan Kerjasama Institusi dalam Pengelolaan DAS

2 0 Kasus DAS Ciliwung

Sumber: Hutasoit, L (2002)

Gambar 3.8. Muka air tanah pada akifer kedalaman 140 - 250 m tahun 1994 (GTL, 1995)

Page 28: BUKU CILIWUNG

Hubungan Kerjasama Institusi dalam Pengelolaan DAS

Kasus DAS Ciliwung 2 1

3.4. Karakteristik Lahan dan Tata Ruang Wilayah DAS

3.4.1. Penguasaan Lahan dan Penggunaan Lahan

Penguasaan lahan di bagian hulu dapat dikelompokkan menjadi lahan negara, hak milik dan hak guna usaha. Lahan negara dalam bentuk kawasan hutan dikelola oleh pemerintah c.q Balai Taman Nasional Gede-Pangrango (Kawasan Taman Nasional), Balai Konservasi Sumberdaya Alam (Kawasan Hutan Cagar Alam Telaga Warna) Departemen Kehutanan, dan Perum Perhutani (Kawasan Lindung dan Produksi). Lahan dalam bentuk situ dan badan sungai dikelola oleh Pemda dan pemerintah c.q Balai Pengelolaan Sumberdaya Air, Departemen Pemukiman dan Prasarana Wilayah. Lahan milik umumnya digunakan untuk kebun, sawah tadah hujan dan teknis, tegalan/ladang, pemukiman dan tempat rekreasi. Sedangkan lahan dalam bentuk hak guna usaha digunakan sebagai kebun (PT Gunung Mas dan PT Ciliwung). Lahan milik umumnya dimiliki oleh orang yang bertempat tinggal di luar lahan milik tersebut.

Penguasaan lahan di bagian tengah seperti halnya di bagian hulu dapat dikelompokkan menjadi lahan negara, hak milik dan hak guna usaha. Lahan negara dalam bentuk kawasan hutan dikelola oleh pemerintah c.q. Perum Perhutani (Kawasan Lindung dan Produksi). Lahan dalam bentuk situ dan badan sungai dikelola oleh Pemda dan pemerintah c.q Balai Pengelolaan Sumberdaya Air, Departemen Pemukiman dan Prasarana Wilayah. Lahan milik umumnya digunakan untuk kebun, sawah tadah hujan, dan teknis, tegalan/ladang, pemukiman dan tempat rekreasi. Sedangkan lahan dalam bentuk hak guna usaha digunakan sebagai kebun. Penggunaan lahan di bagian hilir didominasi oleh lahan hunian (build up areas), jaringan jalan, badan sungai dan saluran drainase lainnya, sedikit lahan hijau dalam bentuk taman (Soetarto, 2002).

Kondisi penggunaan lahan, dalam hal ini tingkat penutupan lahan (land cover)- merupakan indikator penting dalam mengenali kondisi keseluruhan DAS. Hal ini berkaitan dengan terpeliharanya daerah resapan air, pengurangan aliran permukaan serta pengendalian erosi saat musim penghujan dan mencegah kekeringan saat musim kemarau.

3.4.2. Perubahan Penggunaan Lahan dan Tata Ruang Wilayah DAS

Berdasarkan hasil kajian Direktorat Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah, Ditjen RRL, Dephut (1997), pola penggunaan lahan di wilayah DAS Ciliwung bagian hulu dan bagian tengah secara garis besar dibedakan menjadi 4 (empat) jenis pemanfaatan lahan yaitu hutan, pertanian, pemukiman (termasuk diantaranya industri, perdagangan, dll), dan lain-lain (termasuk situ). Baik DAS bagian hulu maupun bagian tengah masih didominasi oleh kawasan pertanian yaitu masing-masing sebesar 63,9% dan 72,2%. Akan tetapi, DAS bagian hulu masih terdapat kawasan hutan sekitar 25 % sedangkan DAS bagian tengah sudah tidak mempunyai kawasan hutan sama sekali.

Kawasan hutan yang ada di DAS Ciliwung bagian hulu sebagian besar merupakan hutan lindung yang berstatus hutan negara. Kawasan hutan ini didominasi oleh vegetasi hasil suksesi alami dan menurut data pada BRKLT Ciliwung-Cisadane (1986) dalam Anonimous (1997), kerapatan vegetasi pada hutan lindung tersebut makin lama makin berkurang. Pada wilayah hutan lindung, penyebaran vegetasinya tidak merata, sehingga terdapat daerah gundul (tanah kosong) yang perlu segera direhabilitasi. Sekitar 30 % kawasan hutan di DAS bagian hulu merupakan hutan produksi yang didominasi oleh tanaman Pinus sp. yang

Page 29: BUKU CILIWUNG

Hubungan Kerjasama Institusi dalam Pengelolaan DAS

2 2 Kasus DAS Ciliwung

banyak dimanfaatkan oleh masyarakat setempat dan tanpa pengelolaan yang baik sehingga keberadaan tanaman Pinus makin berkurang, penutupan hutan tersebut sebesar 25 % dari total DAS bagian hulu. Kawasan pertanian di DAS Ciliwung bagian hulu, didominasi oleh persawahan (25,4 %) yang hampir seluruhnya menggunakan sistem pengairan (baik teknis, maupun pengairan sederhana) dan hanya sekitar 5 % yang menggunakan sistem tadah hujan. Perkebunan yang ada di wilayah ini (16,2 %) didominasi oleh perkebunan teh dan cengkeh.

Untuk DAS Ciliwung bagian tengah, lahan pertanian yang paling banyak dijumpai adalah kebun campuran (31 %) yang merupakan kebun yang dimiliki oleh perorangan yang fungsinya selain untuk pertanian juga sebagai tempat hunian. Meskipun demikian, lahan pertanian untuk persawahan juga masih cukup luas (24,8 %).

Data pemilikan/penguasaan tanah pertanian di Ciliwung menunjukkan adanya kecenderungan ke arah menyempitnya luas lahan yang dikuasai oleh petani. Perubahan yang paling mencolok dalam hal penggunaan lahan di wilayah hulu dan tengah adalah pada proporsi lahan yang digunakan untuk kawasan pemukiman. Areal pemukiman di wilayah tengah mencapai luasan sebesar 29,6 % sedangkan di DAS Ciliwung bagian hulu hanya sekitar 7,4 %. Pola penggunaan lahan di wilayah DAS Ciliwung hulu dan tengah disajikan pada Tabel 3.3.

Tabel 3.3. Pola Penggunaan Lahan di Wilayah DAS Ciliwung Bagian Hulu dan Tengah.

Luas Sub DAS

Jenis Pemanfaatan Lahan

Ha % Hulu Kawasan Hutan 4.274 28,8 Kawasan Pertanian 9.503 63,9 • Perkebunan 2.407 16,2 • Kebun campuran 1.775 11,9 • Tegalan / ladang 1.543 10,4 • Sawah 3.777 25,4 Kawasan Pemukiman 1.099 7,4 Lain-lain 0 0 Jumlah 14.876 100

Tengah Kawasan Hutan 0 0 Kawasan Pertanian 9.923 72,12 • Perkebunan 0 0 • Kebun campuran 5.560 40,41 • Tegalan / ladang 2.070 15,04 • Sawah 2.244 16,31 • Alang-alang/semak 49 0,36 Kawasan non Pertanian 3.701 26,92 • Pemukiman 2.796 20,32 • Komplek 214 1,56 • Real estate 636 4,62 • Industri 58 0,42 Lain-lain (situ) 135 0,8 Jumlah 13.763 100

Sumber : Anonimous (1996)

Page 30: BUKU CILIWUNG

Hubungan Kerjasama Institusi dalam Pengelolaan DAS

Kasus DAS Ciliwung 2 3

Pola pemukiman di wilayah hulu berbeda dengan pola yang ada di kawasan tengah. Pola pemukiman di DAS Ciliwung bagian tengah membentuk akumulasi-akumulasi hunian yang cenderung terpusat di Kotamadya Bogor, di Cibinong (sebagai ibukota Kabupaten Tk. II Bogor) dan di Kota Administratif Depok (sebagai pusat kota baru terdekat dengan Jakarta). Pemukiman di kawasan tengah jauh lebih tertata dan memang berfungsi sebagai tempat tinggal. Selain untuk hunian, penggunaan lahan pemukiman di wilayah DAS Ciliwung bagian tengah juga banyak berubah fungsi menjadi kawasan industri dan kawasan perdagangan maupun perkantoran. Di wilayah DAS bagian tengah ini terdapat akumulasi industri yang terletak di sepanjang jalan Raya Bogor dan di sebagian pinggir Sungai Ciliwung.

Berbeda dengan DAS Ciliwung bagian tengah, pemukiman di bagian hulu cenderung menyebar meskipun ada juga kecenderungan memusat ke arah sepanjang jalan raya Ciawi - Cisarua. Kawasan pemukiman di daerah hulu ini cenderung meningkat pesat dari tahun ke tahun baik jumlah maupun jenisnya, akan tetapi kecenderungan tersebut mengarah pada berkembangnya daerah ini menjadi kawasan wisata.

Kawasan pemukiman di wilayah DAS Ciliwung bagian hulu tidak hanya berfungsi sebagai tempat tinggal (hunian) tapi juga berfungsi sebagai tempat peristirahatan yang hanya dihuni pada saat-saat tertentu saja. Selain itu, sebagian pemukiman penduduk setempat masih mencerminkan tipe pemukiman pedesaan yaitu tempat tinggal yang digabung dengan kebun.

Dari pola penggunaan lahannya, dapat dikatakan bahwa DAS Ciliwung tengah sudah lebih mengalami proses urbanisasi dibandingkan dengan DAS Ciliwung hulu. Pola penggunaan lahan di Ciliwung hulu masih dapat dikatagorikan wilayah pertanian dengan fungsi khusus sebagai daerah pariwisata dan konservasi. Perkembangan ini dapat terjadi karena adanya pengaruh urbanisasi dari Jakarta ke arah Bogor yang dipercepat oleh jalan tol Jagorawi (hingga Gadok). Selain itu, adanya akumulasi industri di Ciliwung bagian tengah ini juga mempercepat terjadinya urbanisasi.

3.4.3. Kecenderungan Perubahan Penggunaan Lahan di DAS Ciliwung Hulu

Pola penggunaan lahan di wilayah DAS Ciliwung masih didominasi oleh lahan pertanian dan perkebunan, yaitu 61% dari luas DAS Ciliwung hulu dan 73% dari luas DAS Ciliwung tengah. Kawasan hutan yang terdapat di DAS Ciliwung hulu seluas 5.310 ha, sebagaimana disajikan secara lengkap pada Tabel 3.4, berikut untuk kondisi tahun 1981 dan 1999. Perbedaan total luas antara dua tahun pengamatan tersebut dikarenakan pengukuran luas diperoleh dari dua peta yang berbeda, yang masing-masing diperoleh sebagai hasil interpretasi citra Landsat. Perubahan penggunaan lahan dari kondisi dua tahun pengamatan ini menunjukkan penurunan luas hutan di Ciliwung Hulu seluas dua ha, perkebunan seluas 35 ha, sawah seluas 62 ha, dan lahan tegalan/ladang seluas 152 ha, penurunan penggunaan lahan serupa didapati juga pada kawasan tengah. Peningkatan yang mencolok terjadi pada luas kawasan pemukiman, baik di Ciliwung Hulu maupun Tengah, masing-masing meningkat dari 255 ha menjadi 506 ha untuk Ciliwung Hulu dan dari 1.147 ha menjadi 1.961 ha untuk Ciliwung Tengah, atau peningkatan masing-masing sebesar 98% dan 71%, yang diperoleh terutama dari pengurangan luas sawah dan tegalan, baik di kawasan hulu maupun tengah.

Page 31: BUKU CILIWUNG

Hubungan Kerjasama Institusi dalam Pengelolaan DAS

2 4 Kasus DAS Ciliwung

Tabel 3.4. Penggunaan Lahan DAS Ciliwung Hulu dan Tengah Tahun 1981 dan 1999.

Luas Ciliwung Hulu (Ha) Luas Ciliwung Tengah (Ha) Jenis Penggunaan Lahan

1981 1999 1981 1999 Hutan 5312 5310 108 101 Kebun Campuran/ Perkebunan 3266 3231 1837 1704 Kawasan Pemukiman 255 506 1147 1961 Sawah Teknis 2270 2227 1499 1283 Sawah Tadah Hujan 289 271 203 197 Tegalan/ladang 3490 3338 2907 2456 Sungai, situ dll 81 81 52 48 Total 14963 14964 7663 7706

Sumber: Singgih (2000) dalam Pawitan (2002)

Berdasarkan sumber lain, perubahan penggunaan lahan di DAS Ciliwung bagian hulu dan tengah dari tahun 1981, 1985, dan 1990 ditampilkan pada Tabel 3.5. dan perubahan tipenya pada Tabel 3.6.

Perubahan mendasar dalam pola penggunaan lahan di bagian hulu selama 10-15 tahun terakhir terjadi terutama karena kebutuhan lahan untuk pemukiman termasuk pertumbuhan tempat peristirahatan (hotel, motel, vila dan bungalau) yang tersebar di kawasan hulu tersebut.

Tabel 3.5 menunjukkan urutan jenis penggunaan lahan dari yang terluas hingga tersempit yang berlainan pada setiap tahun pengamatan. Perbedaan urutan luasan ini menunjukan bahwa telah terjadi perubahan penggunaan lahan yang relatif cepat dan mengarah ke penggunaan non pertanian. Hal tersebut jelas akan memberikan pengaruh terhadap kelestarian dan produktivitas sumberdaya lahan, baik sebagai areal pertanian maupun yang berkaitan dengan fungsi hidrologis karena merupakan bagian hulu dari DAS Ciliwung sebagai daerah tangkapan air.

Tabel 3.5. Perubahan Luas Penggunaan Lahan di DAS Ciliwung Bagian Hulu pada Kurun Waktu 1981-1985, 1985-1990 dan 1981-1990

Perubahan 1981-1985 Perubahan 1985-1990 Perubahan 1998-1990 No

Penggunaan Lahan Ha

% Perubahan

Urutan Ha %

PerubahanUrutan Ha

% Perubahan

Urutan

1 Hutan lebat belukar -316.8 -7.4 5 -354.6 16.6 8 -971.4 -22.8 9

2 Hutan belukar -154.7 -32 6 +867 +263.8 1 +712.5 +147.4 2

3 Hutan semak -303.4 -62.6 5 +68.4 +37.7 7 -235.0 -48.5 5

4 Kebun campuran -104.2 -8.8 7 +50.6 +4.7 10 -53.6 -4.6 10

5 Kebun teh +64.0 +2.2 9 +1338.8 +44.3 6 +1402.8 +47.4 7

6 Kebun karet +136.9 +230.1 2 -196.4 -100.0 3 -59.5 100.0 4

7 Pemukiman +943.2 +125.1 3 +269.2 +15.9 9 +1212.4 +160.8 1

8 Lahan terbuka +534.0 +834.4 1 -458.2 -76.6 4 +75.62 +118.4 3

9 Tegalan -770.6 -81.6 4 +443.4 +254.8 2 -327.2 -34.6 8

10 Sawah -28.3 -0.8 10 -1734.5 -47.6 5 -1762.8 -48.0 6

11 Danau / situ 0 0 11 0 0 11 0 0 11

Ket : * Tanda negatif (-) menyatakan penurunan luasan areal * Tanda positif (+) menyatakan peningkatan luasan areal Sumber : Anonimous (1997).

Page 32: BUKU CILIWUNG

Hubungan Kerjasama Institusi dalam Pengelolaan DAS

Kasus DAS Ciliwung 2 5

Tabel 3.6. Perubahan Tipe Penggunaan Lahan di DAS Ciliwung Bagian Hulu pada Kurun Waktu 1981-1985 dan 1985-1990

Tipe Penggunaan Lahan 1981 – 1985

Perubahan Penggunaan Lahan

1985 – 1990 Perubahan Penggunaan

Lahan Hlb (hutan lebat belukar) ↓ Lt, Hs, Kt, Kc ↓ Kt Hb (hutan belukar) ↑ Lt ↑ Lt, Kc Hs (semak) ↑ Kr, Kc, Lt, Sw, Pk, KT

↑ Hlb ↑ Kr

Kc (kebun campuran) ↓ Sw, Pk, Kr, Lt ↑ Hlb, Hs

↑ Kr, Lt ↓ Tg, Hb, Kt

Kt (kebun teh) ↑ Hlb, Sw, Hs ↑ Hlb, Kc, Lt ↓ Pk

Kr (kebun karet) ↑ Hs, Kc ↓ Kc, Hs, Kt Pk (pemukiman) ↑ Sw, Kc, Tg, Hs ↑ Sw, Tg, Kc, Kt, Kr Lt (lahan tebuka) ↑ Hs, Kc, Hlb, Hb, Tg ↓ Hb, Kc, Kt Tg (tegalan) ↓ Pk, Lt, Sw ↑ Sw, Kc

↓ Pk Sw (sawah) ↓ Pk, Kt, Tg

↑ Hs, Kc ↓ Tg, Pk

Ket : ↓ Luasan areal berkurang, terkonversi menjadi ↑ Luasan areal bertambah, berasal dari Sumber : Anonimous (1997)

Berdasarkan data pada Tabel 3.5 dan Tabel 3.6, dapat dikemukakan bahwa pada kurun waktu 1981-1985 telah terjadi perubahan penggunaan lahan yang cukup cepat, yaitu meningkatnya areal pemukiman dan lahan terbuka serta berkurangnya areal tegalan, hutan lebat belukar, semak dan hutan belukar.

Luas areal pemukiman meningkat sebesar 943 ha dalam DAS Ciliwung bagian hulu. Areal pemukiman mencakup kampung dan penggunaan non-pertanian lainnya seperti sarana dan prasarana daerah wisata. Perubahan ini terutama terjadi pada daerah-daerah dengan tingkat aksesibilitas yang tinggi atau mempunyai sarana perhubungan yang baik. Sebelum menjadi areal pemukiman, daerah tersebut merupakan sawah, kebun campuran, tegalan, semak dan hutan. Lahan terbuka juga menunjukan peningkatan luas yaitu 534 ha dalam DAS Ciliwung hulu yang sebelumnya merupakan hutan semak, kebun campuran, hutan lebat belukar, hutan belukar dan tegalan.

Hutan lebat belukar memiliki struktur vegetasi yang baik dan penutupan yang tinggi hingga sangat tinggi. Hutan belukar memiliki struktur penutupan vegetasi yang kurang baik dibandingkan dengan hutan lebat belukar. Kebun campuran umumnya terdiri dari kombinasi tanaman semusim dan tanaman keras/kayu. Tegalan umumnya diusahakan untuk tanaman semusim. Perubahan dari hutan lebat belukar menjadi hutan belukar atau bahkan menjadi kebun campuran maupun tegalan akan sangat mempengaruhi sistim tata air (hidrologi) DAS Ciliwung.

Selama 1985-1990, perubahan penggunaan lahan yang cukup cepat adalah berkurangnya areal persawahan, hutan lebat belukar dan lahan terbuka serta bertambahnya areal kebun teh, hutan belukar dan tegalan. Areal persawahan berkurang seluas 1.734 ha terkonversi menjadi tegalan dan pemukiman, sedangkan hutan lebat belukar berkurang seluas 654 ha

Page 33: BUKU CILIWUNG

Hubungan Kerjasama Institusi dalam Pengelolaan DAS

2 6 Kasus DAS Ciliwung

terkonversi seluruhnya menjadi kebun teh, dan lahan terbuka berkurang seluas 458 ha terkonversi menjadi hutan belukar, kebun campuran dan kebun teh. Hal ini merupakan indikasi adanya desakan penduduk terhadap lahan di kawasan hutan, disamping indikasi dari upaya-upaya reboisasi yang masih belum berjalan optimal.

Dalam kurun waktu 1985-1990, kebun teh menunjukan perluasan areal yang sangat cepat yaitu seluas 1.338 ha, berasal dari areal yang sebelumnya merupakan hutan belukar, kebun campuran dan lahan terbuka. Di sisi lain, areal kebun teh juga sedikit terkonversi menjadi pemukiman. Kebun teh ini meliputi areal dengan tanaman yang lebih produktif maupun areal yang masih baru ditanami. Perubahan yang menarik dalam kurun waktu 1985-1990 adalah konversi seluruh areal kebun karet seluas 200 ha menjadi pola penggunaan kebun campuran, hutan dan pemukiman, karena umur karet sudah tidak produktif. Penebangan pohon karet diikuti oleh perubahan ke pola penggunaan lainnya. Kenaikan areal pemukiman dalam kurun waktu 1985-1990 sebesar 269 ha jauh lebih kecil dibandingkan kurun waktu 1981-1985.

Dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa perubahan pola penggunaan lahan yang terjadi di DAS Ciliwung bagian hulu mempunyai kecenderungan yang meningkat dari tahun ke tahun kearah penggunaan yang karakteristik resapannya lebih kecil dan mengakibatkan berkurangnya fungsi konservasi dari areal Ciliwung bagian hulu. Berkurangnya luasan hutan menjadi areal lain terutama lahan terbuka, pemukiman dan penggunaan lain menyebabkan fungsi hidrologis terganggu.

Perubahan tata ruang akibat perubahan penggunaan lahan sampai saat ini terus terjadi. Berdasarkan data Neraca Sumber Daya Alam dan Spasial Daerah Kabupaten Bogor, dalam kurun masa 1995-1999, di Kabupaten Bogor telah terjadi perubahan tata guna lahan sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 3.7. Tabel 3.7. Perubahan Penggunaan Lahan Kab. Bogor 1995 – 1999

Perubahan No.

Tata Guna Lahan

Luas 1995 (Ha)

Luas 1999 (Ha) Luas (Ha) %

% Perub. Thd Total

Lahan 1 Sawah 37.400,90 34.910,00 -2.490,90 -6,66 -1,05 2 Tegalan 17.313,97 15.832,95 -1.481,02 -8,55 -0,62 3 Kebun campuran 59.668,70 54.607.01 -5.061,69 -8,48 -2,13 4 Perkebunan besar 32.243,42 22.439,54 -9.803,88 -30,41 -4,13 5 Hutan 66.014,00 65.882,13 -131,87 -0,20 -0,06 6 Semak/alang-alang 8.642,18 6.456,21 -2.185,97 -25,29 -0,92 7 Danau/situ/telaga 500,27 437,35 -62,92 -12,58 -0,03 Jumlah 221.783,44 200.565,19 -21.218,25 -92,17 -8,95 8 Pemukiman perkotaan 2.105,10 5.935,01 3.829,91 181,93 1,62 9 Pemukiman pedesaan 6.208,71 22.436,83 16.228,12 261,38 6,84 10 Pertambangan terbuka 1.265,70 1.874,30 608,60 48,08 0,26 11 Industri 1.638,68 1.654,99 16,31 1,00 0,01 12 Pariwisata 136,04 160,43 24,39 17,93 0,01 13 Lahan bukaan sementara 797,67 990,44 192,77 24,17 0,08 14 Lain-lain (sungai, jalan) 3.187,25 3.805,81 618,56 19,41 0,26

Jumlah 15.339,15 36.857,81 21.518,66 553,89 9,07 Total Luas Lahan 237.122,59 237.423,00 -42.736,91 461,72 0,13

Sumber: Bappeda Kab. Bogor, dalam NSDASD Kab. Bogor, 1999 (diolah) dalam Anonimous (2002)

Page 34: BUKU CILIWUNG

Hubungan Kerjasama Institusi dalam Pengelolaan DAS

Kasus DAS Ciliwung 2 7

Berdasarkan Tabel 3.7, selama kurun waktu 1995-1999 telah terjadi peningkatan penggunaan lahan untuk pemukiman, baik pemukiman perkotaan maupun pemukiman pedesaan, dimana besarnya peningkatan lahan pemukiman perkotaan seluas 3.829 Ha (181,93%) dan pemukiman pedesaan seluas 16.228 Ha (261,38%). Peningkatan penggunaan lahan juga terjadi untuk pertambangan terbuka (48,08%), lahan bukaan sementara (24,17%), pariwisata (17,93%), industri (1%) dan penggunaan lain-lain (19,41%). Secara total, selama kurun waktu 1995-1999 telah terjadi perubahan penggunaan lahan sebesar 21.518,66 Ha atau 9,07 % dari luas total lahan Kabupaten Bogor tahun 1995 yaitu 237.122,59 Ha. Terjadinya peningkatan penggunaan lahan tersebut di atas, tentunya dengan merubah atau mengkonversi penggunaan lahan yang lain, yaitu lahan sawah, tegalan, kebun campuran, perkebunan besar, hutan, semak belukar, bahkan danau/situ/telaga.

3.5. Karakteristik Sosial Ekonomi Masyarakat

3.5.1. Kepadatan Penduduk

Karakteristik sosial yang paling menonjol dari DAS Ciliwung adalah pertumbuhan penduduk yang sangat tinggi. Berdasarkan data BPS DKI Jakarta (Tabel 3.8) dapat diketahui bahwa laju perkembangan penduduk Jabotabek mulai tahun 1961 s/d tahun 2000 mengalami pertumbuhan penduduk yang sangat pesat. Pada tahun 1961, jumlah penduduk Jabotabek baru mencapai 5,65 juta jiwa. Kemudian pada tahun 1971 menjadi 7,97 juta jiwa, tahun 1980 menjadi 11,65 juta jiwa, tahun 1990 bertambah lagi menjadi 16,83 juta jiwa dan akhir tahun 2000 diperkirakan mencapai 23,31 juta jiwa. Selain DKI Jakarta sebagai bagian hilir DAS Ciliwung yang mengalami pertumbuhan penduduk yang tinggi, Bogor dan Depok yang merupakan bagian hulu dan tengah DAS Ciliwung juga mengalami pertumbuhan yang sangat tinggi. Pada Gambar 3.9 dapat dilihat peta penyebaran kepadatan penduduk wilayah Jabotabek dan sekitarnya.

Tabel 3.8. Perkembangan Penduduk Jabotabek 1961 – 2000 (x 1000)

Wilayah SP 1961 SP 1971 SP 1980 SP 1990 SP 2000

Jakarta Pusat 1,002.10 1,260.30 1,236.90 1,074.80 948.20 Jakarta Utara 469.80 612.40 976.40 1,362.90 1,697.00 Jakarta Barat 469.50 820.80 1,231.20 1,815.30 2,389.90 Jakarta Selatan 466.40 1,050.90 1,579.80 1,905.00 2,090.30 Jakarta Timur 498.70 802.10 1,456.70 2,064.50 2,595.00 DKI Jakarta 2,906.50 4,546.50 6,481.00 8,222.50 9,720.40

KAB+KODYA

Bogor + Depok 1,257.80 1,597.20 2,493.90 3,736.20 5,423.30 Tangerang 817.20 1,025.70 1,529.10 2,765.00 4,594.20 Bekasi 669.70 803.00 1,143.60 2,104.40 3,570.60 BOTABEK 2,744.70 3,425.90 5,166.60 8,605.60 13,588.10 JABOTABEK 5,651.20 7,972.40 11,647.60 16,828.10 23,308.50 Sumber : BPS DKI Jakarta dalam Bappeda DKI Jakarta (2001)

Bila dilihat lebih spesifik, karakteristik penduduk di bagian hulu DAS Ciliwung (3 kecamatan di Bogor) dapat digambarkan lebih jarang (< 50 jiwa/ha) dibandingkan dengan bagian tengah DAS Ciliwung (4 kecamatan di Bogor dan 3 kecamatan di Depok) yang

Page 35: BUKU CILIWUNG

Hubungan Kerjasama Institusi dalam Pengelolaan DAS

2 8 Kasus DAS Ciliwung

kepadatan penduduknya rata-rata diatas 50 jiwa/ha sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 3.9.

Tabel 3.9. Luas, Jumlah dan Kepadatan Penduduk di DAS Ciliwung Bagian Hulu dan Tengah

Penduduk No Kecamatan Luas (Ha)

Jumlah Kepadatan

A. Wilayah Bogor 1 Ciawi 2.518 78.792 31.29 2 Cisarua 6.372 90.914 14.26 3 Megamendung 4.006 77.558 19.36 4 Cibinong 4.249 207.763 48.89 5 Sukaraja 4.202 125.658 29.90 6 Kemang 2.341 107.989 46,13 7 Bojonggede 5.561 199.544 35.88 B. Wilayah Depok 1 Pancoran Mas 2.671 156.118 58,45 2 Beji 1.614 80.377 49,80 3 Sukmajaya 3.398 216.118 63,60 4. Cimanggis 5.077 221.330 43.59

Sumber : RTRW Kab. Bogor dan Profil Kabupaten/Kota (Gramedia) dalam Anonimous (2002)

Sumber : Ditjen Cipta Karya-Dep. PU (1995)

Gambar 3.9. Peta Penyebaran Penduduk Jabotabek Berdasarkan Kepadatan.

Page 36: BUKU CILIWUNG

Hubungan Kerjasama Institusi dalam Pengelolaan DAS

Kasus DAS Ciliwung 2 9

3.5.2. Kegiatan Ekonomi dan Ketergantungan Pada Lahan

Kegiatan ekonomi masyarakat di wilayah DAS Ciliwung sangat beragam dan terus mengalami pergeseran sejalan dengan perkembangan wilayah Jakarta, Depok, dan Bogor. Pergeseran kegiatan ekonomi masyarakat dari sektor pertanian ke sektor industri, perdagangan dan jasa telah terjadi secara nyata hampir di seluruh wilayah DAS Ciliwung. Kegiatan ekonomi masyarakat pada sektor pertanian, dimana kegiatan usahanya tergantung pada lahan sudah semakin terbatas, yaitu pada wilayah DAS Ciliwung bagian hulu dan sebagian kecil wilayah DAS Ciliwung bagian tengah. Demikian pula jika melihat perkembangan tingginya alih fungsi (konversi) lahan dan alih pemilikan lahan pada wilayah ini ada kecenderungan yang sangat kuat bahwa kegiatan ekonomi berbasis lahan tidak dapat dipertahankan lagi.

Sebagaimana diketahui sejak 3 (tiga) dekade terakhir khususnya kawasan Puncak yang merupakan bagian dari wilayah hulu DAS Ciliwung telah berkembang begitu rupa karena faktor udara yang sejuk, kesuburan tanah yang baik serta lokasi yang strategis dilihat dari ibukota Jakarta, Bogor, dan Bandung, telah terjadi proses komersialisasi lahan yang agresif. Penguasaan lahan perorangan makin meningkat menggantikan status lahan yang semula adalah hak garap dari masyarakat petani lokal.

Semenjak timbulnya arus komersialisasi lahan yang semakin merebak, banyak masyarakat petani lokal yang tergiur melepaskan sebagian atau seluruh lahan miliknya kepada orang kota yang bermodal kuat. Pembelian lahan seperti itu jelas makin mempersempit lahan usahatani masyarakat petani lokal. Pada kondisi ini sebagian masyarakat mencari pekerjaan di sektor non-pertanian seperti menjadi tukang ojek sepeda motor, penjaga villa peristirahatan milik orang kota, karyawan rumah makan, padang golf, dan sebagainya. Sementara lahan yang telah mengalami perubahan kepemilikan (milik orang kota), biasanya akan segera mengalami konversi ke penggunaan lahan yang bersifat non-pertanian. Hal ini akan menyumbangkan pengurangan penutupan vegetasi pada permukaan lahan yang penting untuk pemeliharaan fungsi wilayah hulu DAS Ciliwung sebagai daerah tangkapan hujan (water catchment area).

Berdasarkan temuan studi dari desa-desa di wilayah hulu DAS Ciliwung dapatlah dikatakan bahwa pola penguasaan lahan milik yang ada cukup beragam. Paling sedikit ditemukan 4 pola penguasaan lahan yang penting sekaligus kombinasinya dengan pola pengusahaan yang menyertainya (usaha tani) adalah sebagai berikut:

a. Lahan yang kepenguasaannya langsung di tangan warga masyarakat setempat, lahan ini dikelola sendiri oleh warga dengan usahatani yang umumnya berupa tanaman hortikultur.

b. Lahan yang kepenguasaannya berada di tangan orang luar desa, diusahakan oleh warga setempat dengan status sebagai penggarap. Hasil panen sepenuhnya menjadi milik penggarap dan bahkan pihak yang disebut terakhir masih mendapatkan upah bulanan sebagai imbalan karena telah berjasa menjaga dan memelihara lahan/tanah tersebut.

c. Lahan yang dimiliki orang luar desa diusahakan warga setempat dengan hasil panen menjadi milik petani. Bedanya mereka ini tidak menerima imbalan gaji.

d. Lahan yang dimiliki orang luar desa diusahakan oleh mereka sendiri dengan menggaji buruh tani dari penduduk setempat.

Page 37: BUKU CILIWUNG

Hubungan Kerjasama Institusi dalam Pengelolaan DAS

3 0 Kasus DAS Ciliwung

Page 38: BUKU CILIWUNG

Hubungan Kerjasama Institusi dalam Pengelolaan DAS

Kasus DAS Ciliwung 3 1

4. PERMASALAHAN DAS CILIWUNG DAN PENGELOLAANNYA

4.1. Gejala Banjir di DKI Jakarta

Kejadian banjir yang diartikan sebagai luapan air hujan dari penampungan merupakan phenomena alam sebagai akibat hujan tidak tertampung oleh tanah dan penampungan permukaan baik dalam bentuk kolam, danau/situ, badan sungai dan saluran drainase. Faktor yang berpengaruh terhadap phenomena alam banjir ini dapat dikelompokan menjadi dua kelompok yaitu faktor bentukan alam, yang dipengaruhi tidak hanya oleh kondisi lokal tetapi juga kondisi global (iklim, pasang surut muka laut, morfologi) dan faktor bentukan manusia (penggunaan lahan, saluran drainase buatan).

Bencana banjir yang terjadi pada akhir Januari dan awal Pebruari 2002 di Jakarta dan merata di seluruh wilayah Indonesia merupakan indikator yang sangat nyata telah terjadinya kerusakan lingkungan. Kegiatan dan aktivitas manusia yang bersifat mengubah pola tata guna lahan, atau pola penutupan lahan dalam suatu DAS dapat mempengaruhi besar–kecilnya air yang dihasilkan dari DAS. Pelanggaran terhadap Tata Ruang, penegakan hukum yang lemah dan kerusakan hutan yang terletak di hulu-hulu sungai secara langsung merupakan penyebab terjadinya bencana yang terjadi dewasa ini.

Banjir bulan akhir Januari 2002 dan awal Pebruari 2002 begitu luas dampak yang ditimbulkannya, dan merupakan banjir terbesar dan terburuk yang pernah melanda ibukota Jakarta. Permasalahan banjir di DKI Jakarta tidak bisa lepas dari keberadaan 13 sungai yang bermuara di bagian Utara Jakarta. Ketiga belas sungai itu masing-masing: Mookervaart, Kali Angke, Kali Pasangrahan, Kali Grogol, Kali Krukut, Kali Baru Barat, Ciliwung, Kali Baru Timur, Kali Cipinang, Kali Sunter, Kali Buaran, Kali Jati Keramat dan Kali Cakung (Singgih, 2000 dalam Pawitan, 2002). Ke 13 sungai tersebut ada yang bermula dari daerah Serpong, Parung, Depok, dan Sungai Ciliwung yang merupakan sungai terpanjang yang melalui DKI Jakarta berhulu di daerah Bogor, Puncak dan berasal dari Gunung Pangrango.

Secara administratif keberadaan sungai-sungai tersebut ada di 2 propinsi dan 8 wilayah adminstratif setingkat Kabupaten dan Kota masing-masing 3 Kab/kota di luar DKI yaitu Kab Bogor, Kota Bogor, Depok, dan 5 wilayah Kota berada di DKI masing-masing Jakarta Timur, Jakarta Barat, Jakarta Selatan, Jakarta Utara dan Jakarta Pusat.

Berdasarkan peta administratif dan batas DAS/Sub DAS 58 % (85.650 ha) berada diluar wilayah DKI Jakarta serta 42 % (62.730 ha) berada di wilayah administratif DKI Jakarta, sehingga dengan demikian membahas permasalahan banjir di DKI Jakarta tidak terlepas dengan perkembangan pembangunan dan perubahan tataguna lahan dan penutupan lahan yang ada di luar DKI –Jakarta. Data sebaran luas DAS di masing-masing DAS/Sub DAS secara lengkap disajikan pada Tabel 4.1.

Berdasarkan sebaran DAS yang mengalir ke Jakarta maka penanganan banjir di DKI Jakarta harus dilakukan secara menyeluruh pada seluruh DAS, dan tidak hanya berasal dari konstribusi S. Ciliwung, sehingga penataan dan penanggulangan harus dilakukan secara komprehensif terhadap 13 sungai yang mengalir di DKI Jakarta. Perubahan penutupan lahan akibat pemukiman dan hilangnya beberapa resapan air apabila tidak ditanggulangi secara cepat, komprehensif dan terpadu hanya akan memperparah bahaya banjir di kemudian hari.

Page 39: BUKU CILIWUNG

Hubungan Kerjasama Institusi dalam Pengelolaan DAS

3 2 Kasus DAS Ciliwung

Tabel 4.1. Luasan DAS yang Masuk ke Wilayah DKI Jakarta

No DAS/Sub DAS Luas DAS/Sub DAS (Km2)

Di Dalam DKI (Km2)

Di Luar DKI (Km2)

1. Angke 174.77 174.77 367.83 2. Cakung 105.33 20.59 84.74 3. Kali baru 104.84 79.37 25.47 4. Krukut 141.18 113.78 27.40 5. Sunter 230.49 171.64 58.85 6. Ciliwung 359.36 67.15 292.21

Total Luas (ha) 1483.80 627.30 856.50 Total Luas (%) 100% 42 % 58 %

Sumber: Bakosurtanal (2002)

4.2. Karakteristik Banjir di DKI Jakarta

Berdasarkan pengamatan data curah hujan yang terekam di beberapa stasiun pada saat terjadi banjir tahun 2002 terlihat bahwa curah hujan harian yang turun di Halim dan Ciledug merupakan periode ulang 2 tahunan, di daerah Depok, Citeko, Tanjung Priok, dan Darmaga periode ulang 5 tahun, dan di kantor pusat BMG merupakan periode ulang 10 tahun, sehingga dengan demikian waktu frekwensi terjadinya banjir seperti tahun 2002 kisaran waktunya antara 2 sampai 5 tahun. Akan tetapi apabila dilihat dari curah hujan kumulatif 2 hari (Duration Dept Frekwensi =DDF) curah hujan yang terjadi tergolong tinggi dengan kisaran 130-295 mm. Data selengkapnya secara lengkap disajikan pada Tabel 4.2.

Tabel 4.2. Penyebaran curah hujan di wilayah DKI dan DAS Ciliwung

No Nama Stasiun Curah Hujan 1 hari (mm)

Curah Hujan 2 hari (mm)

Tanggal

1 Halim PK 107.6 185.6 1-2 Peb 2002 2 Depok 150 165 31Jan – 1Peb 2002 3 Cengkareng 88 167.5 27 – 28 Jan 2002 4 Tanggerang 83 143.5 27-28 Jan 2002 5 Tanjung priok 137.5 216.2 1-2 Pebruari 2002 6 BMG 168.1 192 1-2 Pebruari 2002 7 Pakubuwono 90 137 29-30 Jan 2002 8 Cileduk 109 132 22-23 Jan 2002 9 Darmaga 127 177.5 31 Jan -1 Peb 2002 10 Gn Mas 147 230 30 – 31 Jan 2002 11 Citeko 145.9 183.8 30-31 Jan 2002 12 Bekasi 250 295 29-30 Jan 2002 13 Kedoya 122 154 26-27 Jan 2002

Sumber: BMG, 2002 dalam Anonimous (2002)

Akibat curah hujan yang turun selama awal Januari, menyebabkan kondisi tanah telah jenuh air, sehingga sangat sedikit air yang dapat diinfiltrasikan Pada tanggal 30 Januari terjadi pengaruh pasang air laut yang tertinggi di pantai utara Jakarta, sehingga curah hujan yang tinggi di bagian hulu DAS Ciliwung bersamaan dengan terjadinya pasang tertinggi. Banjir pada akhir Januari 2002 merupakan gabungan antara kondisi pasang surut dan pola curah hujan yang tinggi yang terjadi di bagian hulu dan hilir DAS Ciliwung serta Jakarta dan sekitarnya. Kondisi Pasang surut secara lengkap disajikan pada Tabel 4.3.

Page 40: BUKU CILIWUNG

Hubungan Kerjasama Institusi dalam Pengelolaan DAS

Kasus DAS Ciliwung 3 3

Pada tanggal 4 Pebruari 2002 yang merupakan banjir besar dan belum juga surut, telah menurunkan kapasitas saluran akibat banjir sebelumnya, terutama sampah dan material telah menutupi sebagian saluran. Banyak sumbatan dan hambatan yang terjadi, tidak ada pengaruh pasang surut, dan sebagian hujan belum berhenti, beberapa pompa tidak berfungsi sehingga banjir masih berlangsung.

Berdasarkan pola induk yang telah dibuat tahun 1973 dan kemudian disempurnakan tahun 1997 setelah ada banjir besar yang melanda tahun 1996, nampak bahwa telah terjadi kenaikan debit rencana pada semua badan sungai yang ada di DKI-Jakarta. Master plan Cengkareng drain telah dinaikan dari 390 m3/det menjadi 620 m3/det, sementara sungai Ciliwung telah dinaikan dari 370 m3/det menjadi 570 m3/det. Perubahan pola induk ini untuk mengantisipasi kenaikan debit sungai-sungai yang ada di DKI-Jakarta akibat perubahan tata guna lahan, khususnya kurangnya daerah resapan dan terlalu dominannya permukiman yang hampir menutup seluruh DKI dan sekitarnya akibat pesatnya pertumbuhan permukiman. Data debit rencana secara lengkap disajikan pada Tabel 4.4.

Tabel 4.3. Kondisi pasang surut pada akhir Januari dan awal Pebruari 2002 di Tanjung Priok, Jakarta.

No Tanggal Tinggi Pasut di Tanjung Priok (cm) 1. 27 Januari 2002 250 2. 28 Januari 2002 250 3. 29 Januari 2002 252 4. 30 Januari 2002 260 5. 31 Januari 2002 240 6. 1 Pebruari 2002 230 7. 2 Pebruari 2002 230 8. 3 Pebruari 2002 220

Sumber: Nedeco, (2002).

Tabel 4.4. Debit rencana pada beberapa sungai di wilayah DKI-Jakarta

Debit Rencana (m3/det) No Nama Kanal/Sungai

Pola Induk 1973 Pola Induk 1997 1 Cengkareng drain 390 620 2 Mookervaart 100 125 3 Angke 210 290 4 Pasangrahan 160 290 5 Banjir kanal barat 450 670 6. Ciliwung 370 570 7. Krukut 125 135 8 Banjir kanal timur (rencana) 340 370 9. Cipinang 77 85 10 Sunter 105 110 11 Buaran + Jatikeramat 62 95 12 Cakung 60 84

Sumber : Proyek Induk Ciliwung-Cisadane (1999)

Perubahan kenaikan debit ternyata tidak hanya terjadi di daerah hilir akan tetapi terjadi juga di daerah hulu. Di sungai Ciliwung yang meliputi Ciliwung hulu di daerah Katulampa dan Ciliwung tengah (Depok) juga terjadi kenaikan debit yang sangat signifikan terutama sejak tahun 1980 kenaikan debit puncak sudah sangat mengkhawatirkan. Sebelum tahun

Page 41: BUKU CILIWUNG

Hubungan Kerjasama Institusi dalam Pengelolaan DAS

3 4 Kasus DAS Ciliwung

1980 debit maksimum di sungai Ciliwung hulu (Katulampa) masih berada di bawah 200 m3/det, akan tetapi saat ini kondisinya terus menunjukkan kenaikan yang sangat signifikan seperti yang terlihat pada Gambar 4.1.

Sumber : Tim IPB (2002)

Gambar 4.1. Kenaikan Debit Puncak di S. Ciliwung Hulu

Sumber : Tim IPB (2002)

Gambar 4.2. Penurunan Debit Rendah di S. Ciliwung di Katulampa

Page 42: BUKU CILIWUNG

Hubungan Kerjasama Institusi dalam Pengelolaan DAS

Kasus DAS Ciliwung 3 5

Indikasi kenaikan debit puncak merupakan indikator yang kuat telah terjadi perubahan tata guna lahan yang serius di DAS Ciliwung bagian hulu. Perubahan tata guna lahan di daerah hulu ini akan secara otomatis merubah pola induk sungai-sungai yang ada di hilir sehingga dengan demikian perubahan ini harus diantisipasi dengan pola pengembangan DAS yang efektif dan efisien. Perencanaan tata ruang harus berbasis DAS dan seoptimal mungkin memasukan curah hujan ke dalam tanah.

Salah satu indikator kerusakan daerah hulu Sungai Ciliwung terlihat dari semakin menurunnya debit rendah (base flow) pada saat musim kering dan semakin naiknya debit puncak pada musim hujan, sehingga hal ini akan menyebabkan berkurangnya keseimbangan neraca air di DAS Ciliwung. Kondisi ke 12 DAS lainnya yang ada di Jakarta lebih parah dibanding Ciliwung karena prosentase penutupan lahan yang mampu meresapkan airnya jauh lebih sedikit, sehingga rehabilitasi lahan harus dilakukan pada ke 13 sungai yang mengalir menuju Jakarta.

Apabila dilihat secara seksama debit rencana tahun 1997 sebenarnya telah terlewati akibat banjir tahun 1996 sehingga dengan demikian banjir di DKI-Jakarta disebabkan oleh 3 faktor penentu utama yaitu:

1. Akibat perubahan kondisi di bagian hulu dan tengah DAS Ciliwung sehingga terjadi debit puncak yang tinggi melebihi kapasitas daya tampung saluran yang ada,

2. Akibat curah hujan yang turun di DKI-Jakarta sendiri yang tidak mampu diresapkan dan dialihkan ke bagian hilir serta

3. Akibat adanya pengaruh pasang surut air laut yang menghambat laju aliran air ke laut.

Ke tiga faktor penyebab banjir tersebut harus ditangani secara komprehensif dan dengan metode yang berbeda pula.

Salah satu alternatif dalam penggulangan banjir di Jakarta, Departemen Kimpraswil melalui proyek–Induk pengembangan Ciliwung- Cisadane telah membuat kajian untuk menggabungkan antara Sungai Ciliwung dengan Cisadane melalui terowongan di daerah Kota Bogor, yang kajiannya dilakukan oleh JICA (1997) dari arah Bantar Kemang menuju Empang di Sungai Cisadane, dengan kapasitas debit 300 m3/det, dan lebar terowongan 8 m serta panjang 900 m. Terowongan tersebut akan menaikan debit rencana Sungai Cisadane dari 1.600 m3/det menjadi 1.900 m3/det, sehingga kapasitas Sungai Cisadane harus dinaikan. Dengan debit kejadian pada banjir 1996 sebesar 740 m3/det maka debit Sungai Ciliwung di Katulampa setelah disodet menjadi 440 m3/det, dan debit tersebut masih di atas debit kejadian pada banjir tahun 2002 dimana debit di Katulampa hanya 425 m3/det. Andaikan terowongan tersebut telah ada pada kejadian banjir 2002 terowongan itu tidak akan tersentuh oleh permukaan air karena didisain untuk debit 440 m3/det, sehingga terowongan ada, tetapi Jakarta tetap kebanjiran. Di samping itu terowongan tersebut hanya terairi 2-3 hari dalam 2-5 tahun sekali, mengingat debit rata-rata di Katulampa dalam keadaaan normal hanya berkisar 20 m3/det. Usulan terowongan akhirnya batal karena ditolak oleh masyarakat kota Tanggerang, yang mengkhawatirkan akan semakin memperparah kondisi tata air di Sungai Cisadane.

Berdasarkan data kejadian banjir tahun 2002 total curah hujan harian selama 3 hari berturut-turut (29 - 31 Januari 2002) untuk Ciliwung hulu tercatat 233 mm, dan dari total curah hujan tersebut sebesar 62,3 % telah berubah menjadi aliran permukaan dengan total

Page 43: BUKU CILIWUNG

Hubungan Kerjasama Institusi dalam Pengelolaan DAS

3 6 Kasus DAS Ciliwung

run off 145 mm dengan debit aliran maksimum sebesar 378 m3/det yang berlangsung selama 5 jam berturut-turut. Pada tanggal 18 Januari 2002, tercatat debit maksimum sebesar 525 m3/det yang diakibatkan oleh hujan sebesar 66 mm selama dua hari dan berubah menjadi aliran permukaan sebesar 50 mm atau 75 % dari total curah hujan tetapi hanya berlangsung selama 2 jam sehingga tidak menimbulkan banjir yang besar dibanding kejadian akhir Januari 2002 seperti yang disajikan pada Gambar 4.3.

Tabel 4.5. Rencana debit Ciliwung-Cisadane setelah dilakukan penyodetan

No Sub DAS/DAS Debit Rencana (m3/det)

Debit Setelah disodet (m3/det)

1 Ciliwung katulampa 790 490 2 Cisadane empang 810 970 3 Cisadane Pasar baru 1600 1900

Sumber : Proyek Induk Ciliwung-Cisadane (1999)

Sumber : Tim IPB (2002)

Gambar 4.3. Perbandingan Hidrograf Debit S. Ciliwung di Katulampa Tahun 2002.

Page 44: BUKU CILIWUNG

Hubungan Kerjasama Institusi dalam Pengelolaan DAS

Kasus DAS Ciliwung 3 7

Kejadian banjir tahun 1996 yang pernah terjadi sangat berbeda dengan fenomena banjir tahun 2002 yang lalu. Kejadian banjir tahun 1996 lebih banyak disebabkan karena terjadinya curah hujan yang tinggi di daerah hulu, yang tidak mampu diresapkan sehingga terjadi banjir yang hebat di daerah hilir. Berdasarkan hasil kajian hidrograf pada tanggal 6 Januari 1996 debit Sungai Ciliwung di Katulampa telah mencapai 740 m3/det, dan berada pada kisaran diatas 400 m3/det selama lebih dari 10 jam sehingga Jakarta mengalami banjr yang hebat, yang diakibatkan oleh kejadian hujan di hulu yang tercatat di daerah Gadog curah hujan mencapai 250 mm. Dengan curah hujan sebesar 230 mm di tahun 1998, debit Sungai Ciliwung di Katulampa mencapai sebesar 651 m3/det, dan tahun 1999 dengan curah hujan 220 mm debitnya mencapai 610 m3/det. Dari data yang tersedia terlihat bahwa kapasitas saluran sungai di Jakarta khususnya Ciliwung yang didesain hanya 570 m3/det hampir setiap 2 tahun sekali akan terlampaui, sehingga dengan demikian daerah hulu Ciliwung perlu mendapat perhatian yang serius, karena tanpa perbaikan daerah hulu Ciliwung, pembuatan kanal di Jakarta tidak akan mampu menanggulangi banjir yang ada.

Sumber : Tim IPB (2002)

Gambar 4.4. Hidrograf Debit Ciliwung di Katulampa tahun 1996.

Berdasarkan penelusuran banjir dengan menggunakan analisis input-output model Muskingum, antara stasiun Katulampa, Depok dan Manggarai terlihat bahwa lama waktu tempuh aliran antara Katulampa ke Depok sebesar 7 jam, dari Depok ke Manggarai 1 jam, sementara waktu konsentrasi aliran di Katulampa sebesar 3 jam sehingga dengan demikian waktu tempuh aliran berkisar 10 jam sejak terjadinya hujan di bagian hulu DAS Ciliwung. Penurunan debit dari Katulampa ke Depok sebesar 25-27 % sementara dari Depok ke Manggarai terjadi penurunan debit puncak sebesar 5 %. Adanya perbedaan waktu tempuh ini seharusnya bisa digunakan untuk sistem peringatan dini, sehingga tingkat kerugian yang terjadi bisa dikurangi, paling tidak masyarakat dapat diberitahu kapan banjir itu datang dan masyarakat dapat bersiap-siap serta mampu menyelamatkan harta bendanya.

Page 45: BUKU CILIWUNG

Hubungan Kerjasama Institusi dalam Pengelolaan DAS

3 8 Kasus DAS Ciliwung

Sumber : Tim IPB (2002)

Gambar 4.5. Perbedaan waktu tempuh aliran di S. Ciliwung

4.3. Andil Daerah Hulu dan Tengah DAS Ciliwung Terhadap Debit dan Volume Banjir

Perubahan pola penggunaan lahan kearah bentuk penggunaan lahan terbangun memberi dampak pada pengurangan kapasitas resapan, terutama dilihat dari proporsi perubahan luasan pemukiman yang terjadi di Ciliwung Hulu dan Tengah, sehingga akan meningkatkan laju limpasan permukaan yang menghasilkan banjir di kawasan hilir Ciliwung. Untuk mengkaji andil daerah hulu dan tengah DAS Ciliwung terhadap debit dan volume banjir daerah hilir digunakan model hidrologi HEC-1 sebagai alat untuk menduga berbagai parameter hidrograf banjir, dengan menggunakan data penggunaan lahan yang diperoleh dari penafsiran citra satelit Landsat 1981 dan 1999 (Singgih, 2000 dalam Pawitan, 2002). DAS Ciliwung Hulu telah dibagi ke dalam tujuh Sub DAS, yang masing-masing dicirikan oleh parameter masukan model yang meliputi: intensitas hujan 30-menitan, bilangan kurva sebagai fungsi dari penggunaan lahan dan jenis tanah, luas sub DAS, kelerengan lahan, panjang lereng, dan kharakteristik sungai yang meliputi: lebar sungai, kelerengan sungai, dan kekasaran Manning. Keseluruhan parameter ini juga diperoleh untuk dua sub DAS di Ciliwung Tengah. Pengujian model terhadap data masukan ini dilakukan untuk tujuh kejadian hujan deras (> 20 mm/kejadian) tahun 1999 dengan hasil pada Tabel 4.6. Hasil ini menunjukkan tingkat akurasi prediksi model yang dapat diterima, sehingga model dengan parameter terkalibrasi kemudian digunakan untuk mensimulasi debit dan volume banjir untuk kondisi tahun 1981 dan 1999, termasuk kemudian digunakan untuk menentukan pola penggunaan lahan yang dapat menekan dampak perubahan lahan terhadap peningkatan debit dan volume banjir.

Page 46: BUKU CILIWUNG

Hubungan Kerjasama Institusi dalam Pengelolaan DAS

Kasus DAS Ciliwung 3 9

Tabel 4.6. Perbandingan Debit dan Volume banjir hasil pengamatan dan prediksi model HEC-1

Debit banjir (m3/det) Volume banjir (1000m3) Tanggal Hujan

Obs. Model Obs. Model 4 Feb. 1999 79 71 929,9 1311,4 11 Feb. 1999 87 90 1399,1 1689,4 8 Mar 1999 119 125 1721,6 2275,2 16 Mar. 1999 89 90 1392,0 1891,3 30 Mar. 1999 55 51 944,3 1134,8 2 Mei 1999 72 71 1183,2 1445,3 4 Mei 1999 66 65 1079,1 1358,2

Sumber: Singgih (2000) dalam Pawitan (2002)

Hasil simulasi model HEC-1 untuk kondisi penggunaan lahan DAS Ciliwung Hulu dan Tengah tahun 1981 dan 1999 diberikan pada Tabel 4.7. Perubahan respons hidrologi DAS yang dinyatakan oleh debit dan volume banjir untuk berbagai sub DAS di Ciliwung ini menunjukkan peningkatan debit antara 1,6% sampai 158% untuk subDAS-subDAS di Ciliwung Hulu, dan total untuk Ciliwung Hulu dengan peningkatan debit dari kondisi 1981 ke 1999 sebesar 67 %, dan untuk Ciliwung Tengah debit banjir meningkat sebesar antara 18% sampai 31%, dengan gabungan sebesar 24%. Sedang untuk volume banjir, peningkatan di Ciliwung Hulu sebesar 59 % dan di Ciliwung Tengah sebesar 17% (Singgih, 2000 dalam Pawitan, 2002)

Sedang untuk menghitung andil yang diberikan oleh kedua bagian DAS Ciliwung ini volume aliran terhadap banjir di daerah hilir, hasil simulasi dengan HEC-1 untuk kondisi tahun 1981 menunjukkan bahwa 43 % diberikan oleh Ciliwung Hulu dan 57% dari Ciliwung Tengah, sedang pada tahun 1999 keadaannya sudah berubah menjadi 51% dari Ciliwung Hulu dan 49% dari Ciliwung Tengah.

Tabel 4.7. Perubahan parameter hidrograf banjir untuk tahun 1981 dan 1999

Debit Puncak (m3/s) Vol. Limpasan (1000m3)

Sub DAS 1981 1999

% Perubahan

1981 1999 %

Perubahan

Tugu 6,70 16,41 144,9 147,5 287,5 95 Cisarua 2,08 5,92 148,2 76,4 132,7 74 Cibogo 2,73 5,4 97,8 71,1 81,7 15 Cisukabirus 4,54 14,25 117,9 68,1 120,2 77 Ciesek 5,67 14,40 157,9 109,6 202,8 85 Ciseuseupan 28,73 29,16 1,6 182,9 217,9 20 Katulampa 10,59 12,18 15,0 56,1 103,5 84 Ciliwung Hulu 46,53 77,65 67,3 711,5 1130,2 59 Ciliwung 22,75 29,75 30,7 533,3 620,0 16 Ciluar 31,32 37.24 18,9 402,5 479,2 19 Ciliwung Tengah 49,71 61,83 24,4 935,6 1098,5 17 Ciliwung 82,85 125,29 51,2 1647,3 2228,1 35

Sumber: Singgih (2000) dalam Pawitan (2002)

Simulasi pengelolaan lahan DAS dalam bentuk tindakan rehabilitasi dan konservasi tanah dan air yang dilakukan menggunakan model HEC-1 dengan memodifikasi nilai parameter

Page 47: BUKU CILIWUNG

Hubungan Kerjasama Institusi dalam Pengelolaan DAS

4 0 Kasus DAS Ciliwung

model menurut skenario yang dipilih secara nyata dapat menurunkan debit dan volume banjir sampai batas yang diinginkan. Tiga skenario yang dipilih, dibandingkan kondisi pada tahun 1999, adalah (1) penerapan teknik konservasi tanah dan air terbatas di Ciliwung Hulu saja; (2) sama seperti (1) ditambah tindakan yang sama untuk kawasan tengah; dan (3) sama seperti (2) ditambah tindakan penghutanan kembali lahan kebun campuran. Hasil skenario (1) menunjukkan penurunan 34 % debit puncak di Katulampa dan 25 % volume banjir di Ratujaya. Andil Ciliwung Hulu terhadap debit di Ratujaya adalah 34 % dan sisanya dari bagian tengah sendiri, dengan peran dominan dari subDAS Ciesek dan Cibogor. Hasil skenario (2) menunjukkan peningkatan penurunan volume banjir di Ciliwung Hulu-tengah dari 25% (skenario 1) menjadi 43%. Andil kawasan tengah sendiri turun 37% untuk volume banjir dan penurunan 45% debit banjir. Dan skenario (3) memberi penurunan debit dan volume banjir, masing-masing sebesar 53% dan 65% untuk Ciliwung Hulu dan 53% dan 39% untuk Ciliwung Tengah.

4.4. Faktor Geologi dan Penyebab Banjir

Selain permasalahan kelebihan run-off, secara geologi, terdapat beberapa faktor yang menyebabkan banjir di daerah DKI Jakarta dan sekitarnya. Faktor-faktor geologi yang mengakibatkan terjadinya daerah genangan/banjir di wilayah DKI Jakarta adalah (Hutasoit, 2002) :

1. Secara geomorfologi, terdapatnya “cekungan-cekungan” alamiah yang berpotensi menjadi daerah genangan air. Cekungan-cekungan tersebut adalah: danau oxbow lake, cekungan antar tanggul alam, cekungan antar pematang pantai, cekungan bekas laguna, dan rawa-rawa.

2. Masih terjadinya kompaksi alamiah pada lapisan yang heterogen di wilayah DKI Jakarta. Hal ini mengakibatkan terjadinya differential compaction yang menyebabkan terjadinya depresi di permukaan, yang dapat menjadi daerah genangan air.

3. Terdapatnya struktur geologi aktif di daerah DKI Jakarta. Pergerakan dari struktur geologi aktif ini mengakibatkan terjadinya depresi atau pembubungan di sekitar daerah tersebut, yang dapat mengakibatkan terjadinya daerah genangan air.

4.5. Tidak Berjalannya Kebijakan Penataan Ruang

Ketidaksesuaian penggunaan lahan antara yang aktual terjadi di lapangan dengan rencana (RUTR dan RDTR) juga terjadi di DAS Ciliwung bagian hulu dan tengah. Secara keseluruhan tata ruang DAS tersebut telah diatur dalam RDTR DAS Ciliwung yang merupakan penjabaran dari RUTR Kawasan Bopunjur. Menurut RDTR di DAS Ciliwung bagian hulu, lahan yang diperuntukan bagi budidaya non-pertanian (rumah industri, pemukiman, dll) adalah hanya 1.890 ha atau 13 % dari total wilayah DAS Ciliwung bagian hulu (14.867 ha). Luas areal untuk non-pertanian di dalam RUTR bahkan jauh lebih kecil yaitu hanya 5 % di wilayah hulu Ciliwung. Angka ini relatif sangat mendukung fungsi kawasan sesuai dengan Keppres 79/1985 yang menetapkan peruntukan DAS Ciliwung bagian hulu sebagai kawasan konservasi dan wisata.

Sampai dengan tahun 1996 tercatat bahwa penggunaan tanah untuk budidaya non-pertanian telah mencapai 3.807 ha (26 % dari total wilayah hulu) atau terjadi ketidaksesuaian dengan peruntukan non-pertanian dalam RUTR (396%) dan RDTR

Page 48: BUKU CILIWUNG

Hubungan Kerjasama Institusi dalam Pengelolaan DAS

Kasus DAS Ciliwung 4 1

(101%). Tabel 4.8 memperlihatkan secara rinci rencana peruntukan lahan di DAS Ciliwung bagian hulu dan tengah.

Tabel 4.8. Peruntukan Lahan menurut RUTR dan RDTR serta Penggunaan Lahan yang ada di DAS Ciliwung

Menurut RUTR Menurut RDTRPenggunaan Tanah

yang ada Sub DAS Peruntukan Luas (Ha) % Luas (Ha) % Luas (Ha) %

Lindung (Hutan) 5.426 36 4.650 31 3.783 25 Bud. Pertanian 8.683 58 8.336 56 7.286 49 Bud. Non Pertanian 767 5 1.890 13 3.807 26

Hulu

Jumlah 14.876 100 14.876 100 14.876 100 Lindung (Hutan) 0 0 0 0 0 0 Bud. Pertanian 1.147 8 1.174 9 8.476 62 Bud. Non Pertanian 12.616 92 12.589 91 5.287 38

Tengah

Jumlah 13.763 100 13.763 100 13.763 100 Lindung (Hutan) 5.426 19 4.650 16 3.783 13 Bud. Pertanian 9.830 34 9.510 33 15.762 55 Bud. Non Pertanian 13.383 47 14.479 51 9.094 32

Hulu & Tengah

Jumlah 28.639 100 28.639 100 28.639 100 Sumber : Peta RUTR dan RDTR (1996) dalam Anonimous (1997)

Berkembangnya luas lahan kawasan budidaya non-pertanian, antara lain untuk vila, pemukiman, pariwisata dan sebagainya, terutama karena terjadi perambahan besar-besaran terhadap kawasan yang diperuntukkan sebagai kawasan budidaya pertanian dan kawasan fungsi lindung.

Hutan atau kawasan lindung di wilayah DAS bagian hulu tercatat cukup luas yaitu mencapai 25 % dari luas wilayah bagian DAS Ciliwung bagian hulu dan keberadaannya wajib untuk ditingkatkan baik jumlah maupun kualitasnya. Dari segi jumlah luasan, sangat diharapkan adanya kawasan hutan atau yang berfungsi lindung dimana luasan minimal yang dibutuhkan dalam suatu DAS adalah 30% dari wilayah. Di dalam suatu RUTR dan RDTR, areal hutan atau yang berfungsi lindung di wilayah hulu direncanakan di atas 30% dan luas ini sangat berpengaruh kepada kondisi hidrologi Ciliwung.

Upaya penambahan areal lindung sampai 30% sudah dimulai yaitu dengan mengembalikan kawasan kebun teh yang habis masa HGU menjadi kawasan hutan serta menghijaukan lahan terbuka. Penambahan luasan ini juga disertai dengan peningkatan kualitas hutan yang ada. Disamping itu, pengembangan hutan rakyat dapat menjadi alternatif untuk mengembangkan luasan hutan atau kawasan yang berfungsi lindung.

Perbedaan antara kenyataan di lapangan dengan RDTR dan RUTR di bagian hulu juga dijumpai untuk areal non-pertanian. Hal ini disebabkan oleh berkembangnya kawasan agrowisata dan sarana wisata lainnya. Hingga tahun 1996, areal non-pertanian sudah mencapai luasan 26% dari total areal bagian hulu padahal di dalam RUTR direncanakan hanya 5% dan di dalam RDTR seluas 13%. Di dalam RDTR direncanakan bahwa kawasan ini mempunyai areal pertanian seluas 8.336 ha atau 56% dan di dalam RUTR seluas 8.683 atau 58%, namun kawasan pertanian hanya dijumpai sebesar 7.286 ha atau 49 %. Upaya

Page 49: BUKU CILIWUNG

Hubungan Kerjasama Institusi dalam Pengelolaan DAS

4 2 Kasus DAS Ciliwung

pengembalian kawasan non-pertanian menjadi pertanian ditandai dengan upaya pembongkaran pemukiman yang tidak sesuai dengan peruntukannya.

Kawasan hutan seluas kurang lebih 3.783 ha atau 25% dari luas DAS Ciliwung hulu mempunyai beban yang cukup besar sebagai pendukung fungsi hidrologis, khususnya kawasan DAS Ciliwung dan wilayah Bopunjur pada umumnya. Beban berat ini disebabkan karena tidak adanya hutan atau kawasan yang mempunyai fungsi lindung baik di wilayah DAS bagian tengah maupun DAS bagian hilir. Melihat peranan hutan tersebut sebagai kawasan konservasi mencakup keseluruhan luas wilayah DAS maka jumlah luasan hutan di atas menjadi relatif kecil atau kurang, sebab areal lindung yang ada di DAS Ciliwung hanya sekitar 13% dari total wilayah DAS Ciliwung bagian hulu dan tengah atau hanya 10% dari total luasan seluruh DAS Ciliwung.

Luasan hutan yang ada saat ini masih relatif kecil dibandingkan dengan luasan hutan yang diharapkan ada dalam satu DAS. Program pengembangan kawasan hutan atau kawasan yang berfungsi lindung dapat dilaksanakan pada daerah-daerah bantaran sungai, daerah bahaya banjir atau daerah yang tidak sesuai dan aman untuk pemukiman maupun pada daerah ruang terbuka di tengah kota. Untuk kawasan Ciliwung bagian tengah, baik RDTR maupun RUTR mengidentifikasikan adanya peluang perkembangan daerah perkotaan. Di dalam RUTR dan RDTR, wilayah DAS Ciliwung bagian tengah sangat dimungkinkan berkembang menjadi kawasan perkotaan, karena peruntukan untuk fungsi budidaya non-pertanian menurut rencana sangat besar (RUTR mencapai 92% dan RDTR mencapai 91%) walaupun realisasinya baru sekitar 38 %.

Kawasan Ciliwung tengah mempunyai kecenderungan perkembangan kearah bentuk perkotaan mengingat wilayah ini merupakan daerah penyangga DKI Jakarta. Pada DAS Ciliwung bagian tengah, di dalam rencana tata ruangnya tidak dialokasikan kawasan hutan yang dapat mengurangi aliran permukaan yang akhirnya mempengaruhi perilaku banjir ke dan di Jakarta.

Pemerintah Daerah Kabupaten Bogor juga telah membuat perencanaan alokasi ruang yang didasarkan atas kesesuaian lahan untuk penggunaan tertentu, yang dituangkan ke dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten (RTRWK). Alokasi penggunaan ruang/lahan menurut RTRW Kabupaten Bogor Tahun 2000 disajikan pada Tabel 4.9. Pada tabel tersebut terlihat bahwa pada tahun 2000 rencana alokasi lahan untuk pemukiman dan pengembangan perkotaan meningkat menjadi lebih dari 25%. Kecenderungan ini akan meningkat terus sejalan dengan diimplementasikannya UU No. 22/1999 pada tahun 2001, dimana kabupaten memiliki kewenangan penuh dalam mengatur alokasi sumberdaya yang terdapat di wilayahnya.

Selain wilayah Kabupaten Bogor, Kawasan BOPUNJUR juga memainkan peran penting dalam kontribusinya terhadap banjir Jakarta. Hal ini karena sebagian kawasan BOPUNJUR juga merupakan wilayah DAS Ciliwung. Data penggunaan lahan di kawasan Bopunjur dapat dilihat pada Tabel 4.10. Kawasan lindung menyebar di bagian selatan kawasan Bopunjur menempati lahan dengan morfologi yang bergunung dengan ketinggian lahan diatas 1000 m dpl dan curah hujan di kawasan ini sangat tinggi. Kawasan lindung menyebar di Kecamatan Cisarua, Megamendung, Ciawi, Babakan Madang, dan Sukaraja. Sementara kawasan budidaya menyebar di bagian tengah hingga utara dengan karakteristik lahan pada umumnya datar, ketinggian kurang dari 1000 m dpl, dan curah hujan relatif lebih rendah.

Page 50: BUKU CILIWUNG

Hubungan Kerjasama Institusi dalam Pengelolaan DAS

Kasus DAS Ciliwung 4 3

Tabel 4.9. Alokasi Penggunaan Ruang berdasarkan RTRW Kabupaten Bogor Tahun 2000

No. Alokasi Ruang Luas (ha) Persentasi (%) 1. Kawasan Hutan Lindung 33.760 14,24 2. Kawasan Hutan Produksi 38.270 16,14 3. Kawasan Perkebunan 11.924 5,03 4. Kawasan Pariwisata 2.102 0,89 5. Kawasan Tanaman Tahunan 19.708 8,31 6. Kawasan Pertanian Lahan Kering 35.005 14,76 7. Kawasan Pertanian Lahan Basah 26.504 11,18 8. Kawasan Pengembangan Perkotaan 42.091 17,75 9. Kawasan Pemukiman Perkotaan 19.657 8,29 10. Kawasan Industri 4.004 1,69 11. Kawasan Waduk 1.849 0,79 12. Kawasan Zona Tambang 2.112 0,89 13. Kawasan Setu/Danau 106 0,04 Jumlah 237.092 100,00

Sumber: RTRW Kabupaten Bogor Tahun 2000 dalam Anonimous (2002)

Berbagai upaya dalam memenuhi kebutuhan perumahan bagi penduduk Kabupaten Bogor merupakan isu penting dalam kaitannya dengan perubahan penggunaan lahan menjadi kawasan pemukiman. Kenyataan ini ditandai dengan diberikannya perijinan menyangkut pendirian bangunan baru (Tabel 4.10). Meskipun kondisi perekonomian sektor riil agak lesu, tetapi pertumbuhan perumahan cenderung meningkat sejalan dengan pertambahan penduduk Kabupaten Bogor.

Tabel 4.10. Penggunaan Lahan di Kawasan Bopunjur

No Jenis Penggunaan Lahan Luas (Ha) Persentasi (%) 1 Permukiman 19.342,00 23,80 2 Industri 732,55 0,89 3 Pariwisata/rekreasi 4.323,86 4,60 4 Sawah 5.817,00 7,16 5 Tegal/Ladang/Kebun 15.671,00 19,28 6 Ladang/Huma 0,00 0,00 7 Padang Rumput 400,00 0,49 8 Hutan Rakyat 2.793,00 3,44 9 Hutan Negara 4.603,00 5,66 10 Perkebunan 6.433,49 7,92 11 Kolam/Empang 1.189,00 1,46 12 Lain-lain 19.651,10 24,91 13 Tidak diusahakan 319,00 0,39 Jumlah 81.275,00 100,00

Sumber : Bappeda Bogor, 2002 dalam Anonimous (2002)

Ijin lokasi yang telah dikeluarkan dan dalam proses yang tercatat sampai tahun 1998 di kawasan Bopunjur mencapai 392 buah untuk berbagai sektor/kegiatan usaha (Tabel 4.11). Untuk kecamatan-kecamatan di wilayah DAS Ciliwung ijin lokasi yang dikeluarkan Pemda Bogor relatif sedikit. Hal ini sejalan dengan posisi dan fungsi kawasan yang umumnya terletak di bagian hulu DAS dan berfungsi sebagai daerah resapan.

Page 51: BUKU CILIWUNG

Hubungan Kerjasama Institusi dalam Pengelolaan DAS

4 4 Kasus DAS Ciliwung

Tabel 4.11. Jenis Perijinan (IMB) di setiap kecamatan di Kabupaten Bogor yang termasuk DAS Ciliwung

Jenis Izin Mendirikan Bangunan No. Kecamatan Rumah Tinggal Pemutihan Industri Perumahan

I. WIL.CIBINONG 1. Cibinong 458 249 86 30 2. Sukaraja 184 35 18 4

II. WIL.PARUNG 1. Bojong Gede 101 235 142 28

III. WIL.CIAWI 1. Ciawi 779 952 17 - 2. Mega Mendung 150 18 12 - 3. Cisarua 2074 133 15 -

JUMLAH 3746 1622 290 62 Sumber: Bappeda Kab. Bogor dalam Anonimous (2002)

Tabel 4.12. Jumlah ijin lokasi di Kawasan Bopunjur tahun 1998

No. Kecamatan Jumlah Ijin Lokasi (unit usaha)

Persentasi (%)

1. Ciawi 39 9,95 2. Cisarua 35 8,93 3. Citeureup 91 23,21 4. Gunung Putri 172 43,87 5. Cibinong 20 5,12 6. Sukaraja 14 3,57 7. Parung 12 3,06 8. Gunung Sindur 9 2,29

Jumlah 392 100,00 Sumber: Bappeda Kab. Bogor dalam Anonimous (2002)

4.6. Rehabilitasi Lahan Tidak Berhasil

Sebagai suatu program yang keberhasilan kegiatannya membutuhkan keterlibatan dan dukungan warga komunitas (petani) maka penting untuk memperhatikan bagaimana sesungguhnya respon petani terhadap implementasi program rehabilitasi lahan/ penghijauan yang selama ini dilakukan. Berdasarkan hasil Studi Sistem Insentif Rehabilitasi Lahan (Anonimous, 2001) diperoleh aspirasi penduduk lokal di kawasan DAS tentang bagaimana program rehabilitasi sebaiknya dilakukan. Secara ringkas harapan dan kritik warga masyarakat DAS Ciliwung dapat diringkaskan sebagai berikut :

1. Program Rehabilitasi/Penghijauan Lahan Kritis masih dirasakan bersifat Top-Down. Hal ini ditandai dengan penyusunan Rencana Program yang belum melibatkan partisipasi Warga Masyarakat. Akibatnya pilihan atas Jenis Bibit Tanaman yang akan disebarluaskan, misalnya, tidak senantiasa cocok dengan kemauan warga.

Page 52: BUKU CILIWUNG

Hubungan Kerjasama Institusi dalam Pengelolaan DAS

Kasus DAS Ciliwung 4 5

2. Berubah-ubahnya rencana program secara sepihak oleh pihak aparat instansi dapat mengacaukan dan mengecewakan perasaan warga, antara lain; janji untuk membuat sumur resapan di desa Gunung Geulis yang ternyata hingga kini tidak terwujud, tidak adanya upah untuk tahap perawatan tanaman (di lahan penanaman maupun di Kebun Bibit Desa) yang akhirnya justru menjadi beban warga sendiri. Dengan demikian pendekatan program diharapkan dapat lebih bersifat partisipatif dengan pemahaman agar warga masyarakat mendapat akses pada pembuatan keputusan-keputusan atas alokasi sumberdaya program, sehingga dapat lebih sesuai dengan kemauan dan kemampuan riil yang ada pada warga masyarakat itu sendiri. Beberapa hal yang dianggap penting dibicarakan bersama dengan masyarakat antara lain adalah berapa jumlah bibit tanaman buah atau bibit tanaman keras (misal: Albasia, Mindi) yang harus diadakan, berapa upah yang perlu dialokasikan, pada tahap apa saja alokasi upah perlu diadakan, berapa orang warga masyarakat yang perlu dilibatkan dalam tahap kegiatan program kali ini, dan seterusnya. Dalam ungkapan yang lebih singkat, program harus berbasiskan pada komunitas warga karena mereka adalah salah satu pilar (stakeholders) strategis DAS Ciliwung yang harus mendapatkan posisi yang memadai.

3. Program ini diharapkan dapat berlangsung secara berkesinambungan dan sistematis mengikuti hasil evaluasi atas tahapan kegiatan yang sudah dilakukan sebelumnya. Hal ini diajukan mengingat selama ini program yang dilancarkan dirasakan lebih bersifat sporadis dan parsial, serta tidak fokus. Selama ini pelaksanaan program dianggap dilakukan secara mendadak dan tidak menyangkutkan diri dengan kebutuhan dan permasalahan warga dalam konteks yang lebih komprehensif. Pertanyaan seperti seberapa jauh program rehabilitasi lahan/penghijauan ini dapat menjadi peluang insentif baik dalam bentuk peluang kerja atau sumber pendapatan baru, sering dilontarkan oleh masyarakat. Pertanyaan tersebut seyogyanya dapat menjadi bahan pantauan dan evaluasi pihak-pihak yang terlibat dalam suatu proses ‘duduk bersama’ yang jujur dan terbuka. Patut dicatat pada dasarnya program ini telah mendapatkan sambutan baik dengan menjadikan warga sebagai subyek sasaran program sehingga warga merasa telah mendapat semacam pengakuan dari pemerintah bahwa mereka adalah ‘pemilik’ sah atas tanah garapannya. Namun program ini belum diikuti dengan tindakan lebih lanjut yang mendudukan mereka sebagai subyek aktif dalam penyusunan dan pelaksanaan program agar lebih merasa sebagai pemilik program itu sendiri.

4. Banyaknya penguasaan lahan (misal: villa-villa peristirahatan) oleh orang luar jelas telah menyulitkan pelaksanaan program, karenanya pelaksanaan kegiatan program tidak dapat sepenuhnya dibebankan pada warga setempat/kelompok tani. Apalagi diketahui sejak ditetapkan adanya kebijaksanaan Bopunjur ternyata pembangunan sebagian villa-villa tetap tidak mengindahkan lingkungan dan malahan tanpa IMB. Tentu saja semua ini berimbas pada penciptaan situasi dan kondisi yang tidak kondusif, pada derajat tertentu warga meragukan tekad dan itikad pemerintah dalam menyukseskan program rehabilitasi lahan/penghijauan tersebut.

5. Ada gagasan menjadikan program tersebut terpadu dengan pembangunan Hutan Wisata, sehingga sekaligus dapat membuka peluang kerja/usaha bagi warga setempat. Wilayah hulu DAS Ciliwung yang selama ini telah menjadi tujuan wisata untuk banyak orang kota dan mancanegara seyogyanya dapat dilengkapi dengan suatu pembangunan Hutan Wisata. Tentu saja gagasan ini terpulang kepada hasil kajian dan komitmen dari semua pihak yang menjadi stakeholders DAS Ciliwung.

Page 53: BUKU CILIWUNG

Hubungan Kerjasama Institusi dalam Pengelolaan DAS

4 6 Kasus DAS Ciliwung

Selanjutnya studi tersebut menunjukkan bahwa permasalahan pokok yang menghambat keberhasilan program rehabilitasi lahan/penghijauan dan/atau pengelolaan DAS masih diakibatkan oleh berjalannya kelembagaan pada masa lalu, khususnya menyangkut masalah pengorganisasiannya. Pengelompokan permasalahan yang didasarkan pada persepsi pihak-pihak terkait menunjukkan hal yang tidak jauh berbeda dengan permasalahan yang terjadi sebelum otonomi daerah, meliputi aspek-aspek berikut:

1. Pelaksanaan yang sentralistik dan belum diwujudkannya kepastian tata ruang: Permasalahan ini dipersepsikan oleh pihak-pihak terkait DAS Ciliwung terutama berkaitan dengan kekakuan kebijakan, lemahnya penegakan hukum, tidak adanya tata ruang yang disepakati seluruh pihak terkait.

2. Organisasi penyelenggaraan lemah: Permasalahan yang menonjol di DAS Ciliwung adalah lemahnya fungsi koordinasi, lemahnya fungsi kontrol, tidak adanya perencanaan terpadu yang disepakati forum koordinasi yang ada tidak berfungsi sebagaimana yang diharapkan, kebijakan yang dilaksanakan belum dipahami oleh masyarakat dan lemahnya sosialisasi program.

3. Lemahnya pendekatan sosial budaya:

4. Kesadaran dan peran serta masyarakat rendah: Permasalahan ini menggambarkan bahwa terdapat kesenjangan yang besar antara manfaat individu dengan manfaat sosial dan lemahnya insentif bagi manfaat individu untuk meningkatkan manfaat sosial rehabilitasi lahan/penghijauan.

5. Tuntutan ekonomi masyarakat terhadap pemanfaatan sumberdaya alam sangat tinggi: Permasalahan ini dipersepsikan oleh pihak terkait di DAS Ciliwung, dikaitkan dengan masalah kemiskinan penduduk lokal

4.7. Kerugian Akibat Banjir 2002

Banjir memang sangat merugikan, berbagai aspek kehidupan. Banjir besar yang melanda Jakarta tahun 2002 telah mnyentuh seluruh aspek kehupan masyarakat pada berbagai lapisan masyarakat. Jumlah penduduk yang terkena banjir mencapai 3.709.324 jiwa yang tersebar pada berbagai wilayah di Jakarta, dengan luas areal genagan mencapai 8.707 ha atau mencapai 1/6 dari seluruh areal Jakarta. Data sebaran tingkat kerusakan dan jumlah penduduk secara lengkap disajikan pada Tabel 4.13.

Tabel 4.13. Sebaran Areal dan Jumlah Penduduk yang Terkena Banjir Tahun 2002

No Wilayah Jumlah

Penduduk

Penduduk Terkena Banjir

Luas Areal (Ha)Luas

Genangan Banjir (ha)

1 Jakarta Selatan 1.784.004 785.804 14.572 731 2 Jakarta Timur 2.347.917 997.964 18.776 454 3 Jakarta Pusat 874.595 400.403 4.790 890 4 Jakarta Barat 1.904.191 874.583 12.615 2.482 5 Jakarta Utara 1.419.091 650.570 14.231 4.149 Jumlah 8.329.838 3.709.324 64.983 8.707

Sumber: NEDECO (2002)

Page 54: BUKU CILIWUNG

Hubungan Kerjasama Institusi dalam Pengelolaan DAS

Kasus DAS Ciliwung 4 7

Banjir yang ada telah menimbulkan kerugian langsung maupun tidak langsung. Kerugian langsung antara lain adalah pada sektor perumahan dan non perumahan. Kerugian pada sektor perumahan permanen mencapai Rp 3,2 trilyun dan paling parah terjadi daerah Jakarta Barat. Sedangkan pada bangunan non perumahan yang terbesar mengalami kerugian adalah bangunan pabrik di daerah Jakarta Utara dengan kerugian lebih dari 587 milyar. Besar kerugian pada masing-masing sektor secara lengkap disajikan pada Tabel 4.14 dan Tabel 4.15.

Tabel 4.14. Tingkat Kerugian pada Sektor Perumahan

Kerusakan langsung (Milyar Rp) Perumahan No WILAYAH

Permanen Semi Permanen Non Permanen 1 Jakarta Selatan 202,212 18,125 998 2 Jakarta Timur 204,136 47,956 4,485 3 Jakarta Pusat 155,264 30,902 2,495 4 Jakarta Barat 1,391,209 144,017 16,925 5 Jakarta Utara 1,305,650 72,834 10,569 Jumlah 3.258.471 313.837 35.472

Sumber: NEDECO (2002)

Tabel 4.15. Kerugian pada Sektor Non Perumahan pada Banjir Tahun 2002

Kerusakan langsung (Milyar Rp) Non Permukiman

No

WILAYAH Gudang Toko, Restoran &

Hotel

Pabrik Perkantoran Sekolah & tempat ibadah

1 Jakarta Selatan 2,960 13,070 4,528 522 3,746 2 Jakarta Timur 4,390 18,556 20,560 1,040 5,144 3 Jakarta Pusat 3,776 11,051 798 392 4,423 4 Jakarta Barat 124,048 303,427 253,075 5,104 24,154 5 Jakarta Utara 48,414 95,100 587,124 2,736 18,134 Jumlah 183,590 441,202 866,084 9,794 55,601

Sumber: NEDECO (2002)

Kerusakan langsung juga terjadi pada non bangunan antara lain menimbulkan biaya pada masalah kesehatan, infrastruktur, pertanian dan kerugian lainnya yang kisarannya antara 1,8 sampai 32 milyar, data selengkapnya disajikan pada Tabel 4.16.

Tabel 4.16. Kerusakan Banjir pada Sektor Non Bangunan

Kerusakan langsung (Milyar Rp) No WILAYAH Fasilitas

Kesehatan Infra-

stuktur Biaya Medis

Pertanian Kehilangan

lainnya 1 Jakarta Selatan 1,760 4,841 1,563 147 11,125 2 Jakarta Timur 1,550 3,003 4,046 100 26,594 3 Jakarta Pusat 2,188 5,892 1,551 244 6,767 4 Jakarta Barat 9,885 16,428 658 273 45,161 5 Jakarta Utara 7,801 27,458 1,808 2,466 32,165 Jumlah 23,184 57,622 9,624 3,231 121,812

Sumber: NEDECO (2002)

Page 55: BUKU CILIWUNG

Hubungan Kerjasama Institusi dalam Pengelolaan DAS

4 8 Kasus DAS Ciliwung

Berdasarkan hasil perhitungan baik yang langsung maupun yang tidak langsung besar kerugian yang ditimbulkan akibat banjir tahun 2002 mencapai 9,8 trilyun dimana daerah yang paling parah terjadi di Jakarta Utara disusul kemudian daerah Jakarta Barat. Kerusakan tidak langsung antara lain akibat banjir telah menghilangkan aktivitas ekonomi, bahkan kegiatan bursa sempat dihentikan. Akibat banjir tersebut kerugian pada kehilangan aktivitas ekonomi mencapai 2,5 trilyun, kehilangan sarana transportasi dan telekomunikasi sebesar 78 milyar. Total kerusakan secara lengkap disajikan pada Tabel 4.17.

Tabel 4.17. Total Kerusakan Banjir Tahun 2002 pada Seluruh Sektor

Kerusakan (Milyar Rp)

No

WILAYAH Kehilangan

aktivitas ekonomi

Kehilangan transportasi & telekomunikasi

Kerusakan Langsung

Kerusakan Tidak

Langsung

Total Kerusakan

1 Jakarta Selatan 116,228 4,562 265,598 126,007 470,010 2 Jakarta Timur 153,008 7,010 341,560 165,052 607,935 3 Jakarta Pusat 405,415 12,110 225,745 425,731 781,772 4 Jakarta Barat 818,372 29,688 2,33,363 935,127 3,923,389 5 Jakarta Utara 1,043,676 25,182 2,2212,256 1,207,945 4,104,242 Jumlah 2,536,698 78,552 5,379,523 2,859,933 9,887,347

Sumber: NEDECO (2002).

Sumber : Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (2002)

Gambar 4.6. Kondisi banjir di wilayah pemukiman di Jakarta tahun 2002

Page 56: BUKU CILIWUNG

Hubungan Kerjasama Institusi dalam Pengelolaan DAS

Kasus DAS Ciliwung 4 9

Sumber : U.S.Embassy Jakarta Home Page (2002)

Gambar 4.7. Kondisi lingkungan pemukiman saat banjir di Jakarta tahun 2002

Sumber : Adventist Development and Relief Agency (2002)

Gambar 4.8. Genangan air di Jalan Thamrin-Jakarta tahun 2002

Page 57: BUKU CILIWUNG

Hubungan Kerjasama Institusi dalam Pengelolaan DAS

5 0 Kasus DAS Ciliwung

Page 58: BUKU CILIWUNG

Hubungan Kerjasama Institusi dalam Pengelolaan DAS

Kasus DAS Ciliwung 5 1

5. KEBIJAKAN PENGELOLAAN DAS CILIWUNG

5.1. Kebijakan Penataan Ruang DAS Ciliwung

Sebagaimana telah diketahui bahwa DAS Ciliwung melingkupi beberapa wilayah administrasi yaitu Kab. Bogor, Kodya Bogor, Kotif Depok, dan Propinsi DKI Jakarta. Dengan demikian maka kebijakan tata ruang DAS Ciliwung sangat dipengaruhi oleh kebijakan tata ruang masing-masing daerah administratif. Selain itu, karena DAS Ciliwung juga berkaitan dengan wilayah Puncak, maka tata ruang DAS Ciliwung dipengaruhi juga oleh kebijakan BOPUNJUR (Bogor-Puncak-Cianjur).

Dalam perjalanannya, kebijakan penataan ruang DAS Ciliwung dituangkan dalam berbagai peraturan perundangan baik tingkat pusat maupun tingkat daerah (Propinsi dan Kabupaten/Kota). Di bawah ini diuraikan beberapa peraturan perundangan yang berkaitan dengan penataan ruang DAS Ciliwung, khususnya bagian hulu.

5.1.1. Peraturan Perundangan Tingkat Pusat

A. Peraturan Pemerintah Nomor 13 tahun 1963

Peraturan Pemerintah No. 13 tahun 1963 tentang Penertiban Pembangunan Baru sepanjang jalan Jakarta - Bogor - Puncak - Cianjur, di luar batas DKI Jaya, Daerah Swatantra Tk II Bogor dan Cianjur ini merupakan langkah awal adanya penanganan kawasan Bopunjur (Bogor – Puncak – Cianjur) secara khusus.

B. Keputusan Presiden RI Nomor 48 tahun 1983

Sehubungan dengan perkembangan di kawasan Bopunjur yang sangat pesat dan tidak terkendali serta mengingat fungsi utama kawasan Bopunjur sebagai kawasan lindung, maka dikeluarkan Keputusan Presiden RI No. 48 tahun 1983 tentang Penanganan Khusus Penataan Ruang dan Penertiban serta Pengendalian Pembangunan pada Kawasan Pariwisata Puncak - Cianjur di Luar Wilayah Khusus Ibukota Jakarta, Kotamadya Bogor, Kota Administratif Depok, Kota Cianjur dan Kota Cibinong. Dengan berlakunya keputusan ini maka Peraturan Pemerintah No. 13 tahun 1963 dinyatakan tidak berlaku lagi.

C. Keputusan Presiden Nomor 79 tahun 1985

Keputusan Presiden RI No. 79 tahun 1985 tentang Penetapan Rencana Umum Tata Ruang Kawasan Bopunjur merupakan pengaturan lebih lanjut dari pelaksanaan Keputusan Presiden No. 48 tahun 1983. Dalam Keputusan ini ditetapkan bahwa Rencana Umum Tata Ruang Kawasan Bopunjur harus dilengkapi dengan rencana alokasi penggunaan ruang dalam rangka mencegah kerusakan lingkungan yang semakin parah khususnya di kawasan Bopunjur yang dituangkan dalam peta skala 1 : 50.000. Fungsi utama kawasan Bopunjur ditetapkan sebagai kawasan konservasi air, tanah, udara, flora dan fauna. Selain itu dalam kawasan inipun ditetapkan mempunyai fungsi budidaya kepariwisataan, pertanian, perindustrian, pemukiman perdesaan dan pemukiman perkotaan.

Berdasarkan keputusan Presiden tersebut, kawasan Bopunjur meliputi 14 kecamatan yang terbagi menjadi 3 kawasan fungsi utama yaitu :

Page 59: BUKU CILIWUNG

Hubungan Kerjasama Institusi dalam Pengelolaan DAS

5 2 Kasus DAS Ciliwung

1. Kawasan Lindung (terdapat di Kecamatan Citeureup, Cisarua, Cugenang. Ciawi, Cisarua, Pacet).

2. Kawasan Penyangga (terdapat di Kecamatan Ciawi, Cisarua, Pacet, Cugenang, Citeureup).

3. Kawasan Budidaya (terdapat di Kecamatan Gunung Sindur, Ciputat, Sawangan, Parung, Semplak, Cibinong, Cimanggis, Gunung Putri, Citeureup, Pacet, Cisarua, Kedung Halang).

D. Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 22 Tahun 1989

Kepmendagri Nomor 22 tahun 1989 tentang Tata Laksana Penertiban dan Pengendalian Pembangunan di Kawasan Puncak menetapkan bahwa:

1. Gubernur KDH Tingkat I Jawa. Barat bertindak sebagai Penanggung Jawab dalam Pembinaan dan Pengendalian Pembangunan di Kawasan Puncak.

2. Bupati KDH Tingkat II Bogor, Cianjur dan Tangerang bertindak sebagai Penanggung Jawab Pelaksanaan Penertiban dan Pengendalian Pembangunan

3. Camat dan Kepala Desa bertanggung jawab atas pemantauan, pengawasan dan pelaporan pembangunan di wilayahnya. Laporan bulanan harus diserahkan kepada Bupati KDH Tingkat II yang berisi : Kesesuaian IMB dengan pelaksanaan pembangunan, Perubahan status kepemilikan tanah, Perubahan fungsi dan peruntukan tanah, dan Perubahan fungsi dan peruntukan bangunan.

4. Selain itu Camat dan Lurah sewaktu-waktu dapat memberikan laporan tentang penyimpangan, kerusakan maupun pencemaran lingkungan.

E. Surat Keputusan Ketua Bappenas No. 016/KET/4/1996

Surat Keputusan tersebut menetapkan pembentukan Kelompok Kerja Pengelolaan Ruang Kawasan (PRK) Bopunjur. Pokja PRK Bopunjur bertugas melaksanakan :

1. Pengkajian dan pemantauan pemanfaatan ruang di Bopunjur terutama berkaitan dengan fungsinya sebagai daerah resapan dalam DAS Ciliwung-Cisadane.

2. Penyusunan bahan bagi penetapan kebijaksanaan dalam upaya pemanfaatan ruang yang optimal sesuai dengan fungsi yang ditetapkan.

3. Penyusunan bahan bagi penetapan kebijaksanaan pemanfaatan ruang kawasan Bopunjur sebagai kawasan tertentu bagi kelangsungan fungsi ruang.

4. Membantu penyerasian Rencana Tata Ruang Wilayah.

5. Membantu koordinasi pelaksanaan penertiban pemanfaatan ruang sebagai upaya rehabilitasi fungsi kawasan Bopunjur sebagai daerah resapan air hujan dan wisata alam.

F. Keppres 114 tahun 1999 tentang Penataan Ruang Kawasan Bopunjur

Keppres No. 114 Tahun 1999 Tentang Penataan Ruang Kawasan Bopunjur merupakan Keppres terbaru dari ketetapan Keppres sebelumnya, yaitu Keppres No. 48 Tahun 1983

Page 60: BUKU CILIWUNG

Hubungan Kerjasama Institusi dalam Pengelolaan DAS

Kasus DAS Ciliwung 5 3

Tentang Penanganan Khusus Penataan Ruang dan Penertiban serta Pengendalian Pembangunan pada Kawasan Pariwisata Puncak dan Wilayah Jalur Jalan Jakarta-Bogor-Puncak-Cianjur di Wilayah Luar DKI Jakarta, Kotamadya Bogor, Kotif Depok, Kota Cianjur, dan Kota Cibinong dan Keppres No. 79 Tahun 1985 Tentang Penetapan Rencana Umum Tata Ruang Kawasan Puncak. Dalam Keppres 114/1999, selain pertimbangan di atas terdapat pertimbangan lainnya yang ditinjau berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 1997 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, dimana Kawasan Bogor-Puncak-Cianjur dikategorikan sebagai kawasan tertentu yang memerlukan penanganan khusus dan merupakan kawasan yang mempunyai nilai strategis sebagai kawasan yang memberikan perlindungan kawasan bawahannya bagi wilayah Daerah Propinsi Jawa Barat dan wilayah Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta.

Adapun tujuan dari diterbitkannya Keppres 114 tahun 1999 adalah : 1) Menjamin tetap berlangsungnya konservasi air dan tanah yang merupakan fungsi utama kawasan; 2) Menjamin tersedianya air tanah, air permukaan, dan penanggulangan banjir bagi Kawasan Bopunjur dan daerah hilirnya.

Dengan sasaran penetapan Kawasan Bopunjur sebagai konservasi air dan tanah adalah :

1. Terwujudnya peningkatan fungsi lindung terhadap tanah, air, udara, flora, dan fauna dengan ketentuan : a. Tingkat erosi yang tidak mengganggu; b. Tingkat peresapan air hujan yang menjamin tercegahnya bencana banjir dan

ketersediaan air sepanjang tahun bagi kepentingan umum baik di Kawasan Bopunjur dan sekitarnya maupun di Wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta;

c. Kualitas air yang menjamin kesehatan lingkungan; d. Situ yang berfungsi sebagai daerah tangkapan air, sumber air baku, dan sistem

irigasi; e. Pelestarian flora dan fauna yang menjamin pengawetan keanekaragaman jenis

tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya; f. Tingkat perubahan suhu udara tetap menjamin kenyamanan kehidupan

lingkungan.

2. Tercapainya optimalisasi fungsi budidaya dengan ketentuan: a. Kegiatan budidaya yang tidak melampaui ketersediaan sumber daya alam dan

energi; b. Kegiatan usaha pertanian berskala besar dan kecil yang menerapkan teknologi

pertanian yang memperhatikan konservasi air dan tanah; b. Daya tampung bagi penduduk yang selaras dengan kemampuan penyediaan

prasarana dan sarana lingkungan yang bersih dan sehat serta dapat mewujudkan jasa pelayanan yang optimal;

c. Kegiatan pariwisata pegunungan yang tetap menjamin kenyamanan dan keamanan masyarakat serta serasi dengan lingkungan alamnya serta membuka kesempatan kerja dan berusaha yang optimal bagi penduduk setempat dalam kegiatan kepariwisataan sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan penduduk;

Page 61: BUKU CILIWUNG

Hubungan Kerjasama Institusi dalam Pengelolaan DAS

5 4 Kasus DAS Ciliwung

d. Tingkat gangguan terhadap lalu lintas pada jalan arteri dan pencemaran lingkungan hidup yang serendah-rendahnya melalui penerapan baku mutu lingkungan hidup dan baku limbah industri secara konsisten.

Kemudian berkaitan dengan penjelasan di atas, maka ditetapkanlah 19 kecamatan yang termasuk kedalam lingkup Kawasan Bopunjur, yang antara lain : a. 11 (sebelas) kecamatan terdapat di Daerah Kabupaten Bogor b. 3 (tiga) kecamatan terdapat di Daerah Kabupaten Cianjur c. 3 (tiga) kecamatan terdapat di Daerah Kota Depok d. 2 (dua) kecamatan terdapat di Daerah Kabupaten Tangerang

Selanjutnya Kawasan Bopunjur ini mengalami perluasan sejalan dengan perkembangan yang dialami, dapat dilihat berdasarkan jumlah kecamatan dari keppres sebelumnya, yang hanya terdiri dari 14 kecamatan. Perkembangan tersebut didasarkan pada perkembangan kawasan yang ditinjau dari perkembangan atau perluasan secara administratif dari masing-masing wilayah yang terdapat dalam lingkup Kawasan Bopunjur. Salah satunya adalah perubahan yang dialami Depok yang saat ini berstatus sebagai kota administratif. Selain itu, yang menjadi dasar penetapan masing-masing kecamatan masuk dalam lingkup Kawasan Bopunjur, adalah didasarkan pada : a. Konsep pemikiran perwilayahan, yaitu berdasarkan perkembangan sepanjang jalur

Jalan Raya Puncak dan wilayah sekitarnya. b. Kondisi fisik berdasarkan analisis geologi dan tata lingkungan. c. Pengaruh DAS (Daerah Aliran Sungai), yaitu Sungai Ciliwung dan Cisadane. d. Perkembangan Kawasan Bopunjur.

Perubahan jumlah kecamatan yang termasuk kedalam lingkup Kawasan Bopunjur berdasarkan masing-masing Keppres dapat dilihat pada Tabel 5.1.

Dalam Keppres 114 tahun 1999, diatur pokok-pokok kebijakan penataan ruang Kawasan Bopunjur yang meliputi arahan untuk : Perencanaan tata ruang; Pemanfaatan ruang; dan Pengendalian pemanfaatan ruang.

Perencanaan tata ruang Kawasan Bopunjur merupakan penetapan lokasi dominasi pemanfaatan ruang berdasarkan : Fungsi utama kawasan; dan Fungsi kawasan dan aspek kegiatan.

Dari sejumlah kecamatan yang masuk dalam lingkup Kawasan Bopunjur diatas, diatur pola pemanfaatan ruang yang pendeliniasiannya didasarkan pada fungsi kawasan, terdiri dari : a. Kawasan Lindung yang terdiri atas:

− Kawasan Hutan Lindung. − Kawasan Cagar Alam. − Kawasan Taman Nasional. − Kawasan Taman Wisata Alam. − Kawasan Perlindungan Setempat, yang terdiri atas Kawasan Sempadan Sungai,

Kawasan Sekitar Mata air, dan Kawasan sekitar Waduk/Danau/Situ.

Page 62: BUKU CILIWUNG

Hubungan Kerjasama Institusi dalam Pengelolaan DAS

Kasus DAS Ciliwung 5 5

b. Kawasan Budidaya − Kawasan pertanian lahan basah.

Tabel 5.1. Perubahan Jumlah Kecamatan

Keppres No. 48 Tahun 1983

Keppres No. 79 Tahun 1985

Keppres No. 114 Tahun 1999

11 (sebelas) Kec. di Dati II Kab. Bogor, yaitu : Kec. Ciawi Kec. Cibinong Kec. Cimanggis Kec. Cisarua Kec. Citeureup Kec. Gunung Putri Kec. Gunung Sindur Kec. Kedung Halang Kec. Parung Kec. Sawangan Kec. Semplak 2 (dua) Kec. di Dati II Kab. Cianjur, yaitu : Kec. Cugenang Kec. Pacet 1 (satu) Kec. di Dati II Kab. Tangerang, yaitu : Kecamatan Ciputat

11 (sebelas) Kec. di Dati II Kab. Bogor, yaitu : Kec. Ciawi Kec. Cibinong Kec. Cimanggis Kec. Cisarua Kec. Citeureup Kec. Gunung Putri Kec. Kedung Halang Kec. Gunung Sindur Kec. Parung Kec. Sawangan Kec. Semplak 2 (dua) Kec. di Dati II Kab. Cianjur, yaitu : Kec. Cugenang Kec. Pacet 1 (satu) Kec. di Dati II Kab. II Tangerang, yaitu : Kecamatan Ciputat

11 (sebelas) Kec. di Daerah Kab. Bogor, meliputi yaitu : Kec. Ciawi; Kec. Cibinong; Kec. Citeureup; Kec. Gunung Putri; Kec. Sukaraja; Kec. Parung; Kec. Kemang; Kec. Gunung Sindur; Kec. Cisarua; Kec. Megamendung; Kec. Bojong Gede. Kec. Putat Nutag* Kec. Babakan Madang* Kec. Ranca Bungur* 3 (tiga) Kec. di Dati II Kab. Cianjur, yaitu : Kecamatan Cugenang; Kecamatan Pacet; Kecamatan Sukaresmi. 3 (tiga) Kec di Daerah Kota Depok, yaitu : Kecamatan Cimanggis; Kecamatan Sawangan; Kecamatan Limo. 2 (dua) Kec di Daerah Kab. Tangerang, yaitu : Kecamatan Ciputat; Kecamatan Pamulang.

Sumber: Anonimous (2002)

Kawasan lainnya yang terdiri dari kawasan permukiman, kawasan pertanian lahan kering, kawasan perkebunan, dan lain-lain.

Sedangkan, untuk pola pemanfaatan yang didasarkan pada fungsi kawasan dan aspek kegiatan, terdiri atas :

Page 63: BUKU CILIWUNG

Hubungan Kerjasama Institusi dalam Pengelolaan DAS

5 6 Kasus DAS Ciliwung

a. Kawasan perdesaan yang terdiri atas: − Kawasan pertanian lahan basah. − Kawasan lainnya.

b. Kawasan perkotaan

Penetapan lokasi kawasan sebagaimana dijelaskan di atas, didasarkan pada kondisi geografis dan topografi yang dimiliki Kawasan Bopunjur. Hal ini bertujuan agar tercapai keseimbangan ekosistem pemanfaatan dan penggunaan lahan diantara bagian hulu dan bagian hilir dari Kawasan Bopunjur. Pada bagian hulu kawasan, sebagian besar pola pemanfaatan ruangnya merupakan Kawasan lindung, selain itu terdapat juga berberapa kawasan yang merupakan kawasan budidaya seperti perumahan hunian rendah, pertanian lahan basah/kering, ladang, perkebunan, peternakan, agro industri, hutan produksi, dan industri berorientasi padat tenaga kerja. Pada bagian hilir kawasan, pola pemanfaatannya lebih didominasi oleh fungsi kawasan budidaya, yang antara lain didominasi oleh perumahan dengan tingkat hunian padat, kegiatan perdagangan dan jasa, serta industri ringan non polutan dan berorientasi besar. Keterkaitan antara fungsi kawasan dan dasar dari penetapan fungsi kawasan tersebut dapat dilihat pada Tabel 5.2.

Selain pola pemanfaatan yang ditinjau berdasarkan fungsi kawasan diatas, terdapat juga pola pemanfaatan yang didasarkan pada fungsi kawasan dan aspek kegiatan. Hal ini dibedakan atas kawasan pedesaan dan kawasan perkotaan, dimana perbedaannya dilihat berdasarkan tujuan dari fungsi penetapan masing-masing kawasan tersaji dalam Tabel 5.3.

Selanjutnya dalam Keppres 114 tahun 1999 ini, diatur juga pemanfaatan tata ruang yang penekanannya difokuskan pada bagaimana suatu bentuk pemanfaatan ruang yang tidak melanggar salah satu fungsi kawasan dikarenakan adanya bentuk kegiatan lain, seperti adanya suatu kegiatan budidaya yang melakukan kegiatan di kawasan lindung. Untuk itu, Pemerintah Daerah perlu melakukan rehabilitasi dan reboisasi kawasan lindung dengan tutupan vegetasi tetap.

Namun, di luar kawasan lindung dapat dikembangkan kegiatan budidaya dengan ketentuan sebagai berikut :

a. Perlu menjaga konservasi air dan tanah;

b. Tidak mengganggu kesuburan tanah, keawetan tanah, fungsi hidrologi, kelestarian flora dan fauna, keserasian fungsi lingkungan hidup;

Bentuk-bentuk pemanfaatan ruang yang tidak boleh atau dilarang penggunaannya berdasarkan masing-masing fungsi kawasan dapat dilihat pada Tabel 5.4.

Dalam hal pengaturan yang terkait dengan pemanfaatan ruang kawasan lindung, kawasan budidaya, kawasan pedesaan, dan kawasan perkotaan dikeluarkan oleh instansi pemerintah baik di tingkat pusat maupun daerah dengan kewenangan yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku, kemudian pelaksanaannya dilakukan oleh pemerintah yang berwenang berkoordinasi dengan instansi terkait. Dalam pengaturan tersebut selanjutnya wajib memperhatikan : a. Rencana rinci tata ruang yang telah ditetapkan; b. Persyaratan-persyaratan teknis yang mendukung konservasi air dan tanah.

Page 64: BUKU CILIWUNG

Hubungan Kerjasama Institusi dalam Pengelolaan DAS

Kasus DAS Ciliwung 5 7

Selanjutnya agar pola pemanfaatan ruang diatas dapat lebih terarah, maka dalam Keppres 114 tahun 1999 diatur pengendalian pemanfaatan ruang untuk Kawasan Bopunjur. Kegiatan pengendalian pemanfaatan ruang ini dilakukan melalui kegiatan pengawasan dan penertiban terhadap pemanfaatan ruang yang dilaksanakan oleh Bupati/Walikota dan aparat yang ditunjuk dan bertanggung jawab kepada Gubernur, sedangkan koordinator pengendalian pemanfaatan ruang dilakukan oleh Gubernur yang bertanggung jawab kepada Presiden yang dalam mengendalikan pemanfaatan ruang, Gubernur memperhatikan arahan Menteri.

Tabel 5.2. Keterkaitan antara Fungsi Kawasan dan Dasar Penetapan

FUNGSI KAWASAN DASAR PENETAPAN 1. Kawasan Hutan Lindung Memelihara dan mempertahankan kawasan hutan lindung

sebagai hutan dengan tutupan vegetasi tetap untuk mencegah terjadinya erosi, bencana banjir, sedimentasi dan menjaga fungsi hidrologi tanah di kawasan hutan lindung sehingga ketersediaan unsur hara tanah, air tanah, dan air permukaan selalu dapat terjamin.

2. Cagar Alam Memelihara dan mempertahankan serta melindungi keanekaragaman biota, tipe ekosistem, gejala dan keunikan alam untuk kepentingan perlindungan plasma nutfah, penelitian dan pengembangan, ilmu pengetahuan dan pendidikan.

3. Taman Nasional Memelihara dan mempertahankan serta melestarikan fungsi lindung dan tatanan lingkungan untuk pengembangan pendidikan, rekreasi dan pariwisata ekologi, serta peningkatan kualitas lingkungan sekitarnya dan perlindungan dari pencemaran untuk menjamin berlangsungnya fungsi perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.

4. Taman Wisata Alam Memelihara dan mempertahankan serta melestarikan fungsi lidung dan tatanan lingkungan untuk dimanfaatkan bagi pariwisata dan rekreasi alam, serta pendidikan dan penelitian yang menunjang pengelolaan dan budidaya sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.

5. Kawasan Perlindungan Setempat a. Menjaga sempadan sungai dari kegiatan manusia yang dapat mengganggu dan merusak kualitas air sungai, kondisi fisik pinggir dan dasar sungai serta mngamankan aliran sungai;

b. Menjaga kawasan sekitar mata air untuk melindungi mata air dari berbagai usaha dan atau kegiatan yang dapat merusak kualitas air dan kondisi fisik kawasan sekitarnya.

6. Kawasan Pertanian Lahan Basah Memanfaatkan potensi lahan yang sesuai untuk kegiatan usaha peningkatan produksi tanaman pangan dan hortikultura lahan basah serta perikanan dengan tetap memperhatikan kelestarian fungsi lingkungan hidup.

Sumber: Anonimous (2002)

Page 65: BUKU CILIWUNG

Hubungan Kerjasama Institusi dalam Pengelolaan DAS

5 8 Kasus DAS Ciliwung

Tabel 5.3. Keterkaitan antara Fungsi Kawasan dan Tujuan Penetapan

FUNGSI KAWASAN TUJUAN PENETAPAN 1. Kawasan Perdesaan a. Menjaga kelestarian fungsi kawasan lindung

dan pengembangan fungsi kawasan budidaya di kawasan perdesaan;

b. Menciptakan keserasian perkembangan kegiatan pertanian di kawasan perdesaan dalam menunjang pengembangan wilayah sekitarnya;

c. Mengendalikan konversi pemanfaatan ruang berskala besar;

d. Mencegah kerusakan lingkungan, yang dapat mengganggu antara lain tata udara, tata air, dan keanekaragaman hayati.

2. Kawasan Perkotaan a. Mengatur pemanfaatan ruang kawasan

perkotaan guna meningkatkan kemakmuran rakyat dan mencegah serta menanggulangi dampak negatif terhadap lingkungan alam, lingkungan buatan, dan lingkungan sosial;

b. Meningkatkan fungsi kawasan perkotaan secara serasi, selaras, dan seimbang antara perkembangan lingkungan dengan tata kehidupan masyarakat;

a. Mencapai kualitas tata ruang kawasan

perkotaan yang optimal, serasi, selaras dan seimbang dalam pengembangan kualitas hidup manusia;

b. Mendorong dinamika kegiatan pembangunan perkotaan sehingga dicapai kehidupan perkotaan yang layak, dinamis, optimal, berwawasan lingkungan, berkeadilan serta menunjang pelestarian nilai budaya

Sumber: Anonimous (2002)

Page 66: BUKU CILIWUNG

Hubungan Kerjasama Institusi dalam Pengelolaan DAS

Kasus DAS Ciliwung 5 9

Tabel 5.4. Keterkaitan antara Fungsi Kawasan dan Aspek Kegiatan dengan Penataan Ruang

FUNGSI KAWASAN DAN ASPEK KEGIATAN

PEMANFAATAN RUANG

1. Kawasan Hutan Lindung a. Pemanfaatan ruang yang mengganggu bentang alam, mengganggu kesuburan serta keawetan tanah, fungsi hidrologi, kelestarian flora dan fauna, serta kelestarian fungsi lingkungan hidup;

b. Kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan dan perusakan terhadap keutuhan kawasan dan ekosistemnya sehinggga mengurangi/menghilangkan fungsi dan luas kawasan seperti perambahan hutan, pembukaan lahan, penebangan pohon dan perburuan satwa;

c. Kegiatan budidaya termasuk mendirikan bangunan kecuali bangunan yang diperlukan untuk menunjang fungsi hutan lindung dan atau bangunan yang merupakan bagian dari suatu jaringan atau transmisi bagi kepentingan umum seperti pos pengamatan kebakaran, pos penjagaan, papan petunjuk/penerangan, patok triangulasi, tugu, muara kereta kabel, tiang listrik, menara televisi.

2. Kawasan Cagar Alam a. Pemanfaatan ruang yang mengganggu bentang alam, mengganggu kesuburan dan keawetan tanah, fungsi hidrologi, kelestarian flora dan fauna, serta kelestarian fungsi lingkungan hidup;

b. Kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan/kerusakan terhadap keutuhan kawasan suaka alam dan ekosistemnya sehingga mengurangi/menghilangkan fungsi dan luas kawasan cagar alam;

c. Mengambil, menebang, memiliki, merusak, memusnahkan, mengangkut dan memperniagakan flora dan fauna yang dilindungi atau bagian-bagiannya dalam keadaan hidup atau mati;

d. Mengeluarkan flora dan fauna yang dilindungi atau bagian-bagiannya dalam keadaan hidup atau mati dari kawasan cagar alam, dan memasukan jenis-jenis tumbuhan dan satwa tidak asli ke dalam kawasan cagar alam.

3. Kawasan Taman Nasional a. Pemanfaatan ruang yang mengganggu bentang alam, mengganggu kesuburan dan keawetan tanah, fungsi hidrologi, kelestarian flora dan fauna, serta kelestarian fungsi lingkungan hidup;

b. Kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan terhadap keutuhan zona inti taman nasional, baik mengurangi, menghilangkan fungsi dan luas zona inti, maupun menambah jenis tumbuhan dan satwa lain yang tidak asli;

c. Kegiatan yang tidak sesuai dengan fungsi zona pemanfaatan dan zona lain dari taman nasional.

Page 67: BUKU CILIWUNG

Hubungan Kerjasama Institusi dalam Pengelolaan DAS

6 0 Kasus DAS Ciliwung

Tabel 5.4. Lanjutan

FUNGSI KAWASAN DAN ASPEK KEGIATAN

PEMANFAATAN RUANG

4. Kawasan Taman Wisata Alam a. Pemanfaatan ruang yang mengganggu bentang alam, mengganggu kesuburan dan keawetan tanah, fungsi hidrologi, kelestarian flora dan fauna, serta kelestarian fungsi lingkungan hidup;

b. Kegiataan yang tidak sesuai dengan fungsi zona pemanfaatan dan zona lain dari taman wisata alam.

5. Kawasan Sempadan Sungai a. Pemanfaatan ruang yang mengganggu bentang

alam, mengganggu kesuburan dan keawetan tanah, fungsi hidrologi, kelestarian flora dan fauna, serta kelestarian fungsi lingkungan hidup;

b. Pemanfaatan hasil kayu; c. Perusakan kualitas air sungai, kondisi fisik tepi

sungai dan dasar sungai serta mengganggu aliran air.

6. Kawasan Sekitar Mata Air a. Pemanfaatan ruang yang mengganggu bentang

alam, mengganggu kesuburan dan keawetan tanah, fungsi hidrologi, kelestarian flora dan fauna, serta kelestarian fungsi lingkungan hidup;

b. Pemanfaatan hasil kayu; c. Perusakan kualitas air, kondisi fisik kawasan

sekitarnya dan daerah tangkapan air kawasan yang bersangkutan.

7. Kaw. Sekitar Waduk/Danau/Situ a. Pemanfaatan ruang yang mengganggu bentang

alam, mengganggu kesuburan dan keawetan tanah, fungsi hidrologi, kelestarian flora dan fauna, serta kelestarian fungsi lingkungan hidup;

b. Pemanfaatan hasil kayu; c. Perusakan kualitas air waduk/danau/situ, kondisi

fisik kawasan sekitar waduk/danau/situ, serta mengganggu debit air.

8. Kawasan Pertanian Lahan Basah tidak boleh dialihfungsikan untuk kegiatan lain. 9. Kawasan Perdesaan a. Mengurangi areal produktif pertanian dan wisata

alam; b. Mengurangi daya serap air; c. Merubah benteng alam.

10. Kawasan Perkotaan a. Membangun industri yang mencemarkan lingkungan dan banyak menggunakan air;

b. Memperluas dan atau menambah industri di Kecamatan Cimanggis, Kecamatan Cibinong dan Kecamatan Gunung Putri.

Sumber: Anonimous (2002)

Page 68: BUKU CILIWUNG

Hubungan Kerjasama Institusi dalam Pengelolaan DAS

Kasus DAS Ciliwung 6 1

5.1.2. Peraturan Perundangan Tingkat Daerah

Beberapa produk hukum/peraturan yang berkaitan dengan penataan ruang DAS Ciliwung yang telah keluarkan pada tingkat Propinsi Jawa Barat dan Kabupaten Bogor adalah :

a. SK. Gubernur KDH.Tk.I Jawa Barat No. 556.1/SK.295-Huk/1985, tentang Prosedur dan Tata Cara Pengendalian (Kriteria Teknis Bangunan) pada Kawasan pariwisata jalur jalan Bogor – Puncak-Cianjur.

b. SK.Gubernur KDH.Tk.I Jawa Barat No.821/SK.05-Binpro/85 tanggal 2 Januari 1985, tentang Pembentukan Tim Asistensi Teknik Pengendalian Tata Ruang Kawasan Puncak Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Barat.

c. Instruksi Gubernur KDH.Tk.I Jawa Barat No. 593/Ins.561- Binpro/86 tanggal 16 April 1986, tentang Pengendalian mutasi tanah di Kawasan Puncak.

d. SK. Gubernur KDH.TK.I Jawa Barat No. 413.21/SK.222-Huk/91 tanggal 13 Nopember 1991, Tentang Kriteria Lokasi dan Standar Teknis Penataan Ruang di Kawasan Puncak.

e. SK Gubernur KDH Tingkat I Jawa Barat No. 413.21/SK 222-HUK/1991: Surat keputusan ini mengatur Kriteria Lokasi dan Standar Teknis Penataan Ruang di kawasan Puncak, selain itu juga mengatur ketentuan Teknis Bangunan.

f. Surat Gubernur KDH.Tk.I Jawa Barat No.24 tahun 1993, tentang Pencabutan Keputusan Gubernur KDH.Tk.I Jawa Barat No. 17 tahun 1989 tentang Tim Asistensi Teknik (TAT) dan Pengendalian Pembangunan di Kawasan Puncak.

g. Surat Gubernur KDH Tk.I Jawa Barat No.640/3246-Bappeda/1994 yang intinya adalah menyatakan tidak diterbitkannya ijin lokasi di Kecamatan Sukaresmi, Pacet, Cugenang di Kab. Dati.II Cianjur dan Kec. Ciawi, Cisarua, Megamendung Kab. Bogor serta sebagian Desa di Kec. Cugenang dan Sukaresmi di Kab.Cianjur.

h. SK Gubernur KDH Tingkat 1 Jawa Barat No. 640/182/Bappeda/1995.tentang Penanganan Pembangunan Kawasan Puncak ini menetapkan bahwa tidak diterbitkan ijin lokasi baru di kecamatan Ciawi, Cisarua dan Megamendung di Kabupaten Bogor untuk pengembangan pemukiman villa dan sejenisnya kecuali di desa- desa sbb : Desa Kopo, Leuwimalang, Cisarua dan Citeko, Kecamatan Cisarua. Desa Sukamaju, Sukaresmi, Sukamahi, Kecamatan Megamendung.

i. Perda Kabupaten Bogor No. 3 tahun 1988 tentang Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) kawasan Puncak di Kabupaten DT II Bogor: Perda ini memberikan petunjuk pengendalian pembangunan dalam rangka memelihara, meningkatkan dan mencegah kerusakan lingkungan. Materi yang diatur dalam RDTR ini adalah alokasi peruntukan ruang untuk Kawasan Lindung, Kawasan jalur Pengamanan Aliran Sungai dan Mata Air, Kawasan penyangga, Kawasan Budidaya Pertanian dan Kawasan Budidaya Non Pertanian.

j. Perda Kabupaten Bogor No. 17/2000 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bogor.

k. Perda Kabupaten Bogor No. 23/2000 tentang ijin mendirikan Bangunan.

Page 69: BUKU CILIWUNG

Hubungan Kerjasama Institusi dalam Pengelolaan DAS

6 2 Kasus DAS Ciliwung

5.2. Organisasi, Program dan Kegiatan Pengelolaan DAS

5.2.1. Organisasi

Berdasarkan data program dan proyek yang dapat dikumpulkan dari berbagai sumber, terdapat banyak organisasi/instansi pemerintah yang terlibat baik secara langsung maupun tidak langsung dengan penanganan banjir dan pengelolaan DAS Ciliwung. Adapun instansi tersebut antara lain adalah :

a. Instansi Pemerintah Pusat

− Kantor Lingkungan Hidup

− Direktoral Jenderal Sumberdaya Air

− Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial

− Direktorat Jenderal Perumahan dan Pemukiman

− Direktorat Jenderal Penataan Ruang

b. Instansi Pemerintah Daerah

− Pemda Propinsi DKI

− Pemda Propinsi Jawa Barat

− Pemda Kotif Depok

− Pemda Kodya Bogor

− Pemda Kabupaten Bogor

Pada tingkat Pemda sendiri dapat terdiri dari dinas-dinas seperti Dinas Kehutanan dan Perkebunan, Dinas Tata Ruang dan Lingkungan Hidup, dll.

5.2.2. Program dan Kegiatan

Program dan kegiatan pengelolaan yang terkait dengan DAS Ciliwung (Tabel 5.5) yang telah berlangsung antara lain Program Kali Bersih (PROKASIH), Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah (RLKT), Jabotabek Water Resources management Project (JWRM), Penanggulangan Ruang Kawasan (PRK) Bopunjur.

Dari kelima kegiatan tersebut hanya kegiatan RLKT dan PRK Bopunjur yang sangat berkaitan dengan masalah erosi dan kuantitas debit air sungai dalam rangka mengantisipasi banjir di Jakarta, sedangkan ketiga lainnya berkaitan dengan penanganan masalah kualitas air.

Berdasarkan data kegiatan pengelolaan DAS Ciliwung, selama ini timbul kesan bahwa hanya DAS Ciliwung Hulu yang dianggap sebagai penyebab utama secara kuantitatif banjir di bagian hilir. Sedangkan faktor lainnya yang sebenarnya lebih menyumbangkan banjir di Jakarta belum ditangani secara intensif melalui program-program yang terpadu. Faktor-faktor tersebut antara lain intensitas hujan yang tinggi di Bagian Tengah maupun Hilir, kecilnya daya peresapan air di DAS Ciliwung Tengah dan Hilir, dan ketersediaan serta kondisi drainase. Dengan demikian tidak proporsional terlalu membebankan fungsi

Page 70: BUKU CILIWUNG

Hubungan Kerjasama Institusi dalam Pengelolaan DAS

Kasus DAS Ciliwung 6 3

konservasi air dan tanah hanya pada wilayah hulu untuk mencegah banjir dan sedimentasi di bagian hilir.

Tabel 5.5. Kegiatan Pengelolaan DAS Ciliwung yang Pernah Dijalankan

Kegiatan Penanggung Jawab

Tujuan Kegiatan

Area Target

Kelompok Target

PROKASIH Pemda Tk I • Jangka pendek: peningkatan kualitas air sungai dengan prioritas pengawas pada limbah industri.

• Jangka panjang: penanganan limbah industri dan domestik (cair dan padat)

TENGAH HILIR

HULU, TENGAH,

HILIR

Industri Industri dan masyarakat

RLKT BRLKT Dep. Kehutanan

• Mengendalikan laju erosi dan run off

• Meningkatkan kemampuan daya peresapan air

• Mengendalikan laju sedimentasi

HULU TENGAH

Petani dan masyarakat

JWRM • Jangka pendek: penyedian basis data

• Jangka panjang: pengendalian dan pemanfaatan sumber daya alam DAS secara optimal

HULU, TENGAH,

HILIR

Instansi

Penanggu-langan Pencemaran Kab. Bogor

Tim Koordinasi Penanggulangan Pencemaran (TKP2) Kab. Bogor

• Penanggulangan pencemaran limbah industri dan domestik baik berupa limbah cair maupun padat

• Pengawasan dan pemantauan terhadap kegiatan yang berpotensi sebagai sumber pencemaran

TENGAH Industri dan masyarakat

Pengelolaan Ruang Kawasan

Pokja PRK Bopunjur

• Pengkajian, pemantauan dan pemanfaatan ruang

• Penyusunan bahan bagi penetapan kebijaksanaan pemanfaatan ruang dalam rangka membantu Badan Koordinasi Tata Ruang Nasional

• Penyeserasian Rencana Tata Ruang Wilayah

• Mengkoordinasi pelaksanaan penertiban pemanfaatan ruang

Bopunjur (Ciliwung bagian hulu sebagai prioritas utama)

Industri dan masyarakat

Sumber: Anonimous (1997)

Page 71: BUKU CILIWUNG

Hubungan Kerjasama Institusi dalam Pengelolaan DAS

6 4 Kasus DAS Ciliwung

Sementara itu, sesuai dengan SK Ketua Bappenas No. 016/Ket/4/1996, DAS Ciliwung termasuk dalam pengelolaan ruang kawasan Bopunjur yang penanganannya dibantu oleh Satgas/Pokja Bopunjur.

Pokja Bopunjur yang pernah dibentuk diketuai oleh Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Ketua Bappenas dan dahulu memiliki anggota yang melibatkan instansi lintas sektoral yaitu Ditjen Pengairan PU, Ditjen Cipta PU, Badan Pertanahan Nasional, Ditjen Bangda Depdagri, Ditjen RRL Dephut, Ditjen Perkebunan Deptan, Ditjen Pariwisata Deparpostel, Kantor Kementerian Lingkungan Hidup, Bakosurtanal, Pemda Tk I Jawa Barat dan Tingkat II Bogor, Cianjur dan Tangerang. Dalam pelaksanaannya yang lalu, tugas Pokja PRK Bopunjur membentuk Satgas Bopunjur yang bertugas melakukan kegiatan program di lapang.

Dengan demikian hanya kegiatan Pokja PRK Bopunjur yang secara langsung menangani permasalahan tingginya laju perubahan peruntukan lahan, dari peruntukan pertanian menjadi non pertanian atau berkurangnya daerah hijau/resapan. Namun demikian, pelaksanaannya belum tuntas benar, berkurangnya wewenang Bappenas dan perubahan organisasi di setiap Departemen, maka pengelolaan kawasan Bopunjur menjadi luntur atau kabur lagi. Alhasil, peraturan perundangan yang masih bisa dijadikan pegangan lebih dititikberatkan pada Peraturan Daerah, baik itu Pemerintah Daerah Tingkat I maupun Tingkat II.

Badan Kerjasama Pembangunan (BKSP) Jabotabek yang diberikan mandat untuk mengkoordinasikan penggunaan lahan dalam kawasan Bopunjur melalui Keppres No. 114 Tahun 1999 tentang Penataan Ruang Kawasan Bopunjur telah melakukan sosialisasi dengan mengundang dan mendiskusikan ruang kawasan Bopunjur pada Tahun 2000 bersama stakeholdersnya (Pemda Tk II kebawah dan dinas-dinas terkait, masyarakat, Bappenas, akademisi). Keppres tersebut merupakan peraturan perundangan mutakhir sebagai pengganti atau memperkaya peraturan sebelumnya. Instansi semacam ini secara fungsional dapat dianggap sebagai pengganti Pokja Bopunjur yang telah tidak efektif lagi saat ini. Memang sejauh ini, hingga pelaksanaan diskusi LFA di Bogor, BKSP belum berbuat banyak untuk keberlanjutan DAS Ciliwung. Tabel 5.6. menyajikan uraian tugas pokok Pokja Bopunjur yang pernah disusun. Sampai saat ini berbagi tugas tersebut tampaknya belum sepenuhnya dilakukan.

Permasalahan klasik yang sering dihadapi oleh Tim yang bersifat sektoral ini ternyata muncul di Pokja Bopunjur ini. Aspek koordinasi merupakan rantai yang terlemah. Masing-masing sektor mengasumsikan bahwa apa yang diputuskan dan dilakukannya secara otomatis serasi dengan program sektor lainnya. BKSP Jabotabek diharapkan tidak menghadapi permasalahan klasik tersebut dan mengulangi kesalahan yang pernah ada di Pokja Bopunjur.

Program dan kegiatan yang pernah, sedang dan akan dilakukan di wilayah DAS Ciliwung sudah cukup banyak, namun demikian persoalan pengelolaan DAS terpadu yang antara lain dicirikan dengan terkendalinya banjir belum terjadi sebagaimana yang diharapkan. Rincian program dan kegiatan yang terkait langsung maupun tidak langsung dengan pengelolaan DAS Ciliwung pada periode 1993-2002 dapat dilihat pada Tabel 5.7.

Page 72: BUKU CILIWUNG

Hubungan Kerjasama Institusi dalam Pengelolaan DAS

Kasus DAS Ciliwung 6 5

Tabel 5.6. Tugas Pokok Pokja Bopunjur yang telah Pernah Tersusun

Lembaga Deputi/

Direktorat Tugas

Dalam Negeri DitJen Pembangunan Perkotaan

• Mengarahkan Pemda Tk I dan II dalam mengkaji ulang Perda tentang RUTR dan RDTR

• Membina dan memantau perkembangan pembangunan agar sesuai dengan RUTR

• Mengkoordinasi pembangunan dan mendayagunakan kerjasama pembangunan berwawasan lingkungan

• Membina dan mengarahkan Pemda Tk II dalam menetapkan pengawasan dan penindakan terhadap pelanggaran IMB

Agraria/ Badan Pertanahan Nasional

Deputi Bid. Pengaturan dan Pengusahaan Tanah

• Tidak mengeluarkan ijin lokasi baru dan kerjasama dengan Dep. Kehutanan meningkatkan fungsi kawasan lindung

• Seluruh kawasan budaya harus dilengkapi dengan sumur resapan dan pembatalan ijin lokasi yang menguruk situ

• Mengembalikan dan meningkatkan fungsi situ • Menyempurnakan RUTR menjadi RTR kawasan

tertentu Pekerjaan Umum

DitJen Pengairan dan Dit Jen Cipta Karya

• Meningkatkan pengelolaan tata air melalui penyusunan juknis pembuatan sumur resapan, pembuatan check dam, mengembalikan fungsi situ pengamanan bantaran sungai dan pencegahan pembuangan sampah

• Menetapkan sarana dan prasarana penerapan KDB bekerjasama dengan Pemda

• Menyusun pengembangan kawasan wisata di luar Jabotabek

Lingkungan Hidup/ Bapedal

Asmen Bid. Pengembangan Pengawasan dan Pengendalian

• Melakukan pengkajian dampak lingkungan • Meningkatkan kesamaan persepsi dan kesadaran

masyarakat • Memantau pelaksanaan pembangunan dan

membantu upaya penegakan hukum Kehutanan DitJen Reboisasi dan

Rehabilitasi Lahan • Melaksanakan rehabilitasi kawasan lindung dan

penyangga bekerjasama dengan Pemda • Memberikan bimbingan teknis kepada masyarakat

dan menyediakan bibit tanaman • Bekerjasama dangan PU memberikan bimbingan

teknis kepada Pemda Tk II dalam pembuatan dam pengendalian dan terasering serta menentukan juknis sumur resapan

• Memberikan penyuluhan pembuatan terasering sumur dan penanaman pohon oleh masyarakat

Page 73: BUKU CILIWUNG

Hubungan Kerjasama Institusi dalam Pengelolaan DAS

6 6 Kasus DAS Ciliwung

Tabel 5.6. Lanjutan

Lembaga Deputi/

Direktorat Tugas

Pertanian DitJen Perkebunan • Memberikan bimbingan kepada usaha perkebunan dan pertanian untuk meningkatkan pola tanam dan pengelolaan tanah

• Membantu persiapan pemindahan perkebunan yang berada di kawasan lindung

Bakosurtanal Ketua • Mempersiapkan peta dasar yang mutakhir untuk penyusunan RUTR dan RTL

• Membantu mempersiapkan peta rinci untuk RDTR kec.

Pemerintah Daerah Tk.I Jawa Barat

Ketua Bappedal Tk I Kepala Daerah Tk II

• Inventarisasi bangunan • Mengembalikan fungsi kawasan lindung,

penyangga dan budidaya pertanian • Membantu masyarakat dalam pembuatan

terasering, sumur resapan serta penanaman pohon • Membatasi pembangunan di jalur wisata • Memfungsikan situ

Sumber: Anonimous (1997)

5.3. Ketidakterpaduan Program

Program dan kegiatan yang pernah, sedang dan akan dilakukan di wilayah DAS Ciliwung sudah cukup banyak, namun demikian persoalan pengelolaan DAS terpadu yang antara lain dicirikan dengan terkendalinya banjir belum terjadi sebagaimana yang diharapkan.

Program dan kegiatan yang terkait langsung maupun tidak langsung dengan pengelolaan DAS yang diamati adalah pada periode 1993-2002. Pada umumnya program dan kegiatan tersebut menggunakan pendekatan komoditi dan sektoral serta terkotak-kotak dalam wilayah administrasi sehingga tujuan utama dari pengelolaan DAS Ciliwung belum terarah. Dari segi substansi, hampir semua program dan kegiatan tersebut berada pada tahapan perencanaan, belum terlihat tindakan dan hasil nyata di lapangan. Secara sederhana, program dan kegiatan di DAS Ciliwung sebagaimana disajikan dalam Gambar 5.1.

Kebijakan Pengelolaan DAS Terpadu merupakan kebijakan lintas sektoral dan lintas batas wilayah administrasi, yang menyangkut kepentingan banyak pihak dan melibatkan berbagai institusi dan unsur masyarakat. Permasalahan dasar yang harus dipahami dan disepakati secara bersama oleh berbagai pihak dalam pengelolaan DAS Ciliwung secara terpadu ini adalah: 1. Bagaimana mengintegrasikan berbagai kepentingan ke dalam suatu program kegiatan

pengelolaan DAS yang optimal. 2. Bagaimana program kegiatan tersebut dapat didistribusikan, ke dalam pokok-pokok

kegiatan yang harus dilakukan oleh masing-masing pihak, sehingga jelas siapa, berbuat apa.

3. Bagaimana para pihak ini dapat berkoordinasi dan dikoordinasikan dalam suatu sistem kelembagaan, sehingga penyelenggaraannya dapat berlangsung secara efisien dan efektif.

Page 74: BUKU CILIWUNG

Hubungan Kerjasama Institusi dalam Pengelolaan DAS

Kasus DAS Ciliwung 6 7

Hili

r

√ √ √ √

Ten

gah

√ √ √ √ √ √ √ √ √

Hu

lu

√ √ √ √ √ √ √ √ √ √

Pen

angg

un

g Ja

wab

Ditj

en S

DA

Men

. LH

Men

hut,

Ditj

en

RLPS

Men

hut,

Ditj

en

RLPS

Ditj

en S

DA

Ditj

en S

DA

Din

as T

RL

Kab

Bog

or,

Pem

kot B

ogor

Din

as T

RL

Kab

Bog

or

Din

as T

RL

Kab

Bog

or

Men

. LH

Per

iod

e W

aktu

2002

2002

2001

2002

2001

2001

2002

?

2002

-200

3

2003

2002

Pro

gram

/P

roye

k

Prog

ram

Keg

iatan

Pen

ingk

atan

Ker

jasam

a In

stitu

si da

lam ra

ngka

Man

ajem

en L

ingk

unga

n.

Peng

emba

ngan

Kele

mba

gaan

dan

Pem

biay

aan

Man

ajem

en L

ingk

unga

n Su

ngai

Ciliw

ung.

Pola

umum

stan

dar d

an k

riter

ia RH

L K

epM

en

20/I

I/20

01

Balai

Pen

gelo

laan

DA

S

Tim

Koo

rdin

asi P

enge

lolaa

n Su

mbe

rday

a A

ir (K

eppr

es 1

23/2

001)

Balai

Pen

gelo

laan

Sum

berd

aya

Air

Usu

lan P

embe

ntuk

an L

emba

ga K

oord

inas

i Pe

nerti

ban

Bang

unan

dan

Pem

bent

ukan

Lem

baga

O

torit

a P

enge

lolaa

n D

AS

(Pus

at)

Pers

iapan

dan

Pela

ksan

aan

“Bes

t Pra

ctice

” (P

ilot

Proj

ect)

Pena

ngan

an C

iliw

ung

di C

iawi

Pem

buat

an P

eta

Dae

rah

Raw

an B

enca

na

(Lon

gsor

/Ban

jir d

an P

enya

kit)

Kam

pany

e Pe

lesta

rian

Ciliw

ung

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Kla

sifi

kasi

Pro

gram

Huk

um L

ingk

unga

n

Peng

elolaa

n D

AS

Peng

elolaa

n Su

ngai

Kep

edul

ian M

asya

raka

t

Tab

el 5

.7. R

incia

n Pr

ogra

m M

asin

g-m

asin

g O

rgan

isasi

Dala

m R

angk

a Pe

nang

anan

DA

S Ci

liwun

g

Issu

e B

ahas

an

Fok

us

dan

E

fisi

ensi

Pu

sat

Org

anis

asi/

Pro

ses

Pen

du

kun

g

Page 75: BUKU CILIWUNG

Hubungan Kerjasama Institusi dalam Pengelolaan DAS

6 8 Kasus DAS Ciliwung

Hili

r

√ √ √ √ √

Ten

gah

√ √ √ √ √ √ √

Hu

lu

√ √ √ √ √ √ √

Pen

angg

un

g Ja

wab

Din

as T

RL K

ab

Bogo

r

Ditj

en P

erum

ahan

da

n Pe

muk

iman

Ditj

en S

DA

Ditj

en S

DA

Din

as T

RL K

ab

Bogo

r

Din

as T

RL K

ab

Bogo

r, D

itjen

Pe

nata

an R

uang

Din

as T

RL K

ab

Bogo

r, Pe

mda

D

KI

Din

as T

RL K

ab

Bogo

r

Per

iod

e W

aktu

2002

-200

3

2002

2002

2001

-200

2

2003

2002

2002

-200

6

2002

-200

6

Pro

gram

/P

roye

k

Eva

luas

i Pem

bang

unan

Per

umah

an d

an

Perm

ukim

an (P

eriji

nan,

Per

oleh

an T

anah

, Pe

mba

ngun

an F

isik,

AM

DA

L, U

KL/

UPL

, PIL

da

n D

ampa

k Ba

njir)

Sosia

lisas

i Dae

rah

Raw

an B

anjir

dan

Ren

cana

Pe

nang

anan

nya

Stud

i Pen

gem

bang

an T

erpa

du C

iliw

ung-

Cisa

dane

Pem

buat

an F

oto

Uda

ra K

awas

an B

opun

jur d

i K

abup

aten

Bog

or

Eva

luas

i Per

ubah

an P

eman

faat

an R

uang

Ter

hada

p Re

ncan

a Ta

ta R

uang

dan

Per

ubah

an P

engg

unaa

n La

han

terh

adap

Kon

disi

Eks

istin

g

Opt

imali

sasi

Tim

Koo

rdin

asi P

enat

aan

Ruan

g

Pem

anta

pan

Sist

em M

onito

ring

dan

Peng

awas

an

Pena

taan

Rua

ng

11 12

13

14

15

16

17

Kla

sifi

kasi

Pro

gram

Huk

um L

ingk

unga

n

Pena

taan

Rua

ng

Issu

e B

ahas

an

Page 76: BUKU CILIWUNG

Hubungan Kerjasama Institusi dalam Pengelolaan DAS

Kasus DAS Ciliwung 6 9

H

ilir

√ √ √ √ √ √ √

Ten

gah

√ √ √ √ √ √ √

Hu

lu

√ √ √ √ √ √

Pen

angg

un

g Ja

wab

Din

as T

RL K

ab

Bogo

r

Ditj

en T

PTP,

Pe

mko

t Bog

or

Pem

da D

KI

Din

as T

RL K

ab

Bogo

r

Ditj

en R

LPS,

BP

DA

S

Ditj

en S

DA

Ditj

en S

DA

Ditj

en S

DA

Ditj

en S

DA

Din

as T

RL K

ab

Bogo

r

Ditj

en P

erum

ahan

da

n Pe

muk

iman

Per

iod

e W

aktu

2002

-200

6

2001

-200

2

1999

-200

2

2002

-200

3

2002

-?

2002

2002

2003

2002

2003

2002

Pro

gram

/P

roye

k

Pem

bang

unan

Sar

ana

dan

Pras

aran

a Pe

rsam

paha

n (T

PA, T

PS, A

lat P

engo

lah S

ampa

h da

n A

ngku

tan

Pers

ampa

han)

Stud

i dan

Pem

bang

unan

Wad

uk/K

olam

Ref

ensi

Peng

enda

li Ba

njir

di K

ecam

atan

Ciaw

i

Pere

ncan

aan

Peng

elolaa

n D

AS

Terp

adu

Kaji

an P

enat

aan

Ulan

g D

aera

h Se

mpa

dan

Sung

ai Ci

liwun

g U

ntuk

Opt

imali

sasi

Kap

asita

s Sun

gai

Pem

bang

unan

Sist

em P

erin

gata

n Ba

njir

deng

an

Tekn

ik R

adar

Peny

usun

an D

isain

Pen

gend

alian

Ban

jir d

enga

n Pe

ndek

atan

Par

tisip

atip

Pene

litian

Kua

litas

Air

Pen

yusu

nan

Renc

ana

Peng

emba

ngan

dan

Pe

mba

ngun

an P

erum

ahan

dan

Per

muk

iman

D

aera

h

18 19

20

21

22

23

24

25

Kla

sifi

kasi

Pro

gram

Pem

bang

unan

Pra

sara

na

kota

Peng

elolaa

n D

AS

Peng

elolaa

n Su

ngai

Peng

elolaa

n K

ualit

as A

ir

Issu

e B

ahas

an

Page 77: BUKU CILIWUNG

Hubungan Kerjasama Institusi dalam Pengelolaan DAS

7 0 Kasus DAS Ciliwung

H

ilir

√ √ √

Ten

gah

√ √ √ √ √ √ √ √

Hu

lu

√ √ √ √ √

Pen

angg

un

g Ja

wab

Pem

kot B

ogor

Din

as T

RL

Kab

Bog

or

Din

as T

RL

Kab

Bog

or

Ditj

en S

DA

Men

eg L

H

Din

as T

RL

Kab

Bog

or

Pem

kot B

ogor

Din

as T

RL

Kab

Bo

gor,D

itjen

Pe

nata

an

Ruan

g, P

emda

D

KI,

Pem

kot

Bogo

r

Per

iod

e W

aktu

2002

- ?

2002

-200

3

2003

-200

4

2002

- ?

2000

2003

-200

4

2002

- ?

2001

-200

2

Pro

gram

/P

roye

k

Sega

la be

ntuk

ker

usak

an/k

erug

ian m

asya

raka

t m

enjad

i tan

ggun

g jaw

ab se

penu

hnya

pro

yek

(dala

m

rang

ka so

deta

n)

Sist

em p

ende

teks

ian D

ini T

erha

dap

Benc

ana

Alam

ya

ng B

erba

sis M

asya

raka

t

Ana

lisa

Dam

pak

Ling

kung

an (A

MD

AL)

Kaw

asan

pr

iorit

as

Peny

iapan

Per

atur

an-P

erat

uran

, Ped

oman

dan

Pr

osed

ur P

erlin

dung

an te

ntan

g Pe

ngen

dalia

n Pe

kerja

an T

anah

, Ero

si da

n Se

dim

enta

si

Peng

emba

ngan

Sist

em T

arif

Air

Lim

bah

Revi

ew M

ekan

isme

Pem

beria

n Pe

rijin

an

Pem

anfa

atan

Rua

ng

Pem

beba

san

Tana

h Se

suai

Kep

utus

an P

resid

en N

o 55

tahu

n 19

93 (d

alam

rang

ka so

deta

n)

Revi

ew R

enca

na T

ata

Ruan

g K

awas

an (R

TRW

)

26

27

28

29

30

31

32

33

Kla

sifi

kasi

Pro

gram

Kep

edul

ian M

asya

raka

t

Huk

um L

ingk

unga

n

Pena

taan

ruan

g

Issu

e B

ahas

an

Inst

rum

en

Keb

ijaka

n

Page 78: BUKU CILIWUNG

Hubungan Kerjasama Institusi dalam Pengelolaan DAS

Kasus DAS Ciliwung 7 1

H

ilir

√ √ √

Ten

gah

√ √ √ √ √ √ √

Hu

lu

√ √ √ √ √

Pen

angg

un

g Ja

wab

Din

as T

RL

Kab

Bog

or

Din

as T

RL

Kab

Bog

or

Ditj

en T

PTP

Din

as T

RL

Kab

Bog

or,

Pem

kot B

ogor

, Pe

mda

DK

I

Men

eg L

H

Dish

utbu

n K

ab. B

ogor

,

Dish

utbu

n K

ab. B

ogor

Pem

kot B

ogor

Pem

da Ja

bar

Per

iod

e W

aktu

2002

2002

1991

2003

-200

4

2000

1995

-97,

19

99,2

001

2002

-200

4

1999

2000

Pro

gram

/P

roye

k

Peny

usun

an R

enca

na T

ekni

s Tat

a Ru

ang

Kaw

asan

Revi

ew K

riter

ia Lo

kasi

dan

Stan

dar T

ekni

s Pe

man

faat

an R

uang

dan

Pen

yusu

nan

PBS

Peny

usun

an M

aste

r Plan

Sist

em D

rain

ase

Men

ingk

atka

n K

ualit

as L

ingk

unga

n Su

ngai

Ciliw

ung

Mela

lui P

ende

kata

n In

stru

men

Eko

nom

i.

Pem

buat

an R

ekom

enda

si Su

mur

Res

apan

Peny

usun

an N

erac

a Su

mbe

rday

a da

n Si

stem

In

form

asi D

AS

Sura

t W

aliko

ta B

ogor

No

614/

3988

/Tap

em

tang

gal 2

9/11

/199

9 ha

l Re

kom

enda

si Pe

mba

ngun

an T

erow

onga

n Pe

ngen

dalia

n Ba

njir

Ciliw

ung

Cisa

dane

Sura

t Kep

utus

an G

uber

nur N

o. 5

93/S

K 0

8 P

em.

Um

/200

0 Ta

ngga

l 14/

1/ 2

000

Pers

etuj

uan

Pene

tapa

n Lo

kasi

untu

k Pe

mba

ngun

an S

istem

Pe

ngen

dalia

n Ba

njir

Sung

ai Ci

liwun

g-Ci

sada

ne

34

35

36 37

38

39

40

41

Kla

sifi

kasi

Pro

gram

Peng

emba

ngan

Pe

muk

iman

Peng

emba

ngan

Sar

ana

Kot

a

Peng

emba

ngan

usa

ha

ekon

omi m

asya

raka

t

Peng

elolaa

n D

AS

Peng

elolaa

n Su

ngai

Issu

e B

ahas

an

Page 79: BUKU CILIWUNG

Hubungan Kerjasama Institusi dalam Pengelolaan DAS

7 2 Kasus DAS Ciliwung

H

ilir

√ √ √ √ √

Ten

gah

√ √ √ √ √ √ √

Hu

lu

√ √ √ √ √ √

Pen

angg

un

g Ja

wab

Din

as T

RL

Kab

Bog

or

Ditj

en T

PTP

Ditj

en

Pena

taan

Ru

ang,

Men

eg

LH

Ditj

en

Peru

mah

an d

an

Pem

ukim

an

Ditj

en T

PTP

Din

as T

RL

Kab

Bog

or

Din

as T

RL

Kab

Bog

or

Pem

kot B

ogor

, D

itjen

Pe

nata

an

Ruan

g, P

emda

D

KI

Per

iod

e W

aktu

2002

-200

4

2002

2002

2002

-200

4

2001

-200

5

2002

2002

2002

- ?

Pro

gram

/P

roye

k

Prog

ram

Kali

Ber

sih S

unga

i Cili

wun

g,

Pub

lik C

ampa

ign

(dala

m ra

ngka

rum

ah su

sun)

Peny

usun

an R

enca

na P

artis

ipas

i Mas

yara

kat d

alam

Pe

mba

ngun

an P

erum

ahan

dan

Pem

ukim

an

Com

mun

ity a

nd P

rivat

e Se

ctor

par

ticip

atio

n (C

PSP)

dala

m B

idan

g Pe

ngelo

laan

Sam

pah

Org

anik

Penc

egah

an K

erus

akan

Lin

gkun

gan

(Pen

ertib

an

pena

mba

ngan

tanp

a iji

n (P

ETI

), So

sialis

asi

Peng

elolaa

n La

han

sesu

ai K

aeda

h K

TA.

Sosia

lisas

i dan

Pela

tihan

Tek

nik

Peng

olah

an L

ahan

pe

rtani

an B

erlan

dask

an K

aidah

Kon

serv

asi A

lam

Sosia

lisas

i Kep

ada

Stak

ehol

ders

dan

Mas

yara

kat

(dala

m ra

ngka

sode

tan)

42 43

44

45

46

47

48

Kla

sifi

kasi

Pro

gram

Kep

edul

ian M

asya

raka

t

Huk

um L

ingk

unga

n

Kep

edul

ian M

asya

raka

t

Issu

e B

ahas

an

Aku

nta

bili

tas

Pu

blik

Pen

guat

an

Kel

emb

agaa

n

Dae

rah

Page 80: BUKU CILIWUNG

Hubungan Kerjasama Institusi dalam Pengelolaan DAS

Kasus DAS Ciliwung 7 3

H

ilir

√ √

Ten

gah

√ √ √ √ √

Hu

lu

√ √ √ √ √ √ √ √

Pen

angg

un

g Ja

wab

Men

eg L

H

Din

as T

RL

Kab

Bog

or

Din

as T

RL

Kab

Bog

or

Dish

utbu

n K

ab. B

ogor

, D

inas

TRL

K

ab B

ogor

, Pe

mda

DK

I, Pe

mda

Jaba

r

Dish

utbu

n K

ab. B

ogor

Din

as T

RL

Kab

Bog

or

Din

as T

RL

Kab

Bog

or

Din

as T

RL

Kab

Bog

or

Per

iod

e W

aktu

2000

2007

2002

-201

1

2002

-200

3

2000

-200

4

2002

2002

-200

6

2002

- ?

Pro

gram

/P

roye

k

Pelat

ihan

Man

ajem

en P

enge

lolaa

n Li

ngku

ngan

yan

g di

foku

skan

Pad

a A

spek

Sos

ial B

uday

a M

asya

raka

t Pa

da S

unga

i Cili

wun

g

Peni

ngka

tan

Peny

idik

Peg

awai

Neg

eri s

ipil

Bid

ang

Ling

kung

an H

idup

Sosia

lisas

i dan

Pen

egak

an H

ukum

di b

idan

g lin

gkun

gan

Hid

up

Peng

emba

ngan

Eko

nom

i Mas

yara

kat S

ecar

a Pa

rtisip

asi

Peng

emba

ngan

SD

M (P

elatih

an P

etan

i, pe

tuga

s, W

idya

wisa

ta)

Pene

rtiba

n K

egiat

an P

enam

bang

an T

anpa

Ijin

(P

ETI

) Ben

ahan

Gali

an g

olon

gan

“C”

di B

opun

jur

Pene

rtiba

n Ba

ngun

an T

anpa

Ijin

pad

a K

awas

an-

kaw

asan

Prio

ritas

Pena

tagu

naan

Tan

ah (P

ener

tiban

tana

h-ta

nah

nega

ra, R

edist

ribus

i tan

ah-ta

nah

nega

ra, P

erce

pata

n pr

oses

Per

panj

anga

n H

GU

(Pus

at),

Pene

gaka

n hu

kum

terh

adap

per

amba

h hu

tan

dan

perk

ebun

an

49

50

51

52

53

54

55

56

Kla

sifi

kasi

Pro

gram

Huk

um L

ingk

unga

n

Peng

emba

ngan

Usa

han

Eko

nom

i Mas

yara

kat

Peng

elolaa

n D

AS

Huk

um L

ingk

unga

n

Pena

taan

Rua

ng

Issu

e B

ahas

an

Keg

iata

n

Op

eras

ion

al

Dae

rah

Page 81: BUKU CILIWUNG

Hubungan Kerjasama Institusi dalam Pengelolaan DAS

7 4 Kasus DAS Ciliwung

Hili

r

√ √ √

Ten

gah

√ √ √ √

Hu

lu

√ √ √ √ √

Pen

angg

un

g Ja

wab

Din

as T

RL

Kab

Bog

or

Din

as T

RL

Kab

Bog

or

Ditj

en P

P

Ditj

en P

P

Din

as T

RL

Kab

Bog

or,

Pem

kot B

ogor

Ditj

en T

PTP

Din

as T

RL

Kab

Bog

or,

Pem

kot B

ogor

Pem

kot B

ogor

Per

iod

e W

aktu

2003

-200

6

2003

-200

6

2002

2001

-200

5

2002

2002

2002

2002

- ?

Pro

gram

/P

roye

k

Pene

rtiba

n Ta

nah

Mili

k Su

ngai

(Pen

guku

ran,

Pe

mat

okan

, Ser

tifik

asi d

an P

ener

tiban

Ban

guna

n Li

ar d

iatas

nya)

Relo

kasi

Bang

unan

dan

Ban

tara

n Su

ngai

dan

Situ

(O

byek

Pen

ertib

an) s

erta

dar

i Dae

rah

Raw

an

Benc

ana

Peng

adaa

n Ru

mah

Sus

un (e

ks b

anta

ran

sung

ai)

Reha

bilit

asi/

perb

aikan

Pra

sara

na Ja

lan –

Jem

bata

n –

Tebi

ngan

Prog

ram

Urb

an E

nviro

nmen

tal M

anag

emen

t

Pena

ngan

an P

asca

Ban

jir: (

Reha

bilit

asi B

angu

nan

Air,

Sar

ana

Pend

idik

an, P

erib

adat

an, K

eseh

atan

, Pe

rikan

an se

rta B

antu

an S

aran

a Pr

oduk

si Pe

rtani

an

Tana

man

Pan

gan

dan

Hor

tikul

tura

serta

Perik

anan

)

Pena

taan

di L

okas

i Pen

ampu

ngan

Pen

dudu

k Te

rgus

ur (s

odet

an)

57

58 59

60

61

62

63

Kla

sifi

kasi

Pro

gram

Peng

emba

ngan

Pem

ukim

an

Peng

emba

ngan

Pra

sara

na

Kot

a

Issu

e B

ahas

an

Page 82: BUKU CILIWUNG

Hubungan Kerjasama Institusi dalam Pengelolaan DAS

Kasus DAS Ciliwung 7 5

Hili

r

√ √ √

Ten

gah

√ √ √

Hu

lu

√ √ √ √ √ √ √

Pen

angg

un

g Ja

wab

Pem

da D

KI,

Jaba

r

Pem

da D

KI,

Jaba

r

Ditj

en

Peru

mah

an d

an

Pem

ukim

an

Dish

utbu

n K

ab. B

ogor

, D

inas

TRL

K

ab B

ogor

Dish

utbu

n K

ab. B

ogor

, D

inas

TRL

K

ab B

ogor

Dish

utbu

n K

ab. B

ogor

, D

inas

TRL

K

ab B

ogor

Dish

utbu

n K

ab. B

ogor

Per

iod

e W

aktu

2002

-200

3

2003

-200

4

2003

Pelit

a V

, 19

94-2

000

Pelit

a V

, 19

97-2

004

1997

-199

9

1994

,199

7,19

98, 2

000-

2004

Pro

gram

/P

roye

k

Sosia

lisas

i dan

Per

enca

naan

Upa

ya P

erba

ikan

E

kono

mi M

asya

raka

t

Pem

bang

unan

Per

umah

an B

ertu

mpu

Pad

a K

elom

pok

Pem

berd

ayaa

n U

saha

Eko

nom

i Mas

yara

kat (

kred

it,

dsb)

Pem

buat

an G

ully

Plug

Pem

buat

an S

umur

Res

apan

Per

lindu

ngan

Sum

ber A

ir

Reha

bilit

asi T

eras

64

65

66

67

68

69

70

Kla

sifi

kasi

Pro

gram

Peng

emba

ngan

Usa

ha

Eko

nom

i Mas

yara

kat

Peng

elolaa

n D

AS

Issu

e B

ahas

an

Page 83: BUKU CILIWUNG

Hubungan Kerjasama Institusi dalam Pengelolaan DAS

7 6 Kasus DAS Ciliwung

Hili

r

√ √

Ten

gah

√ √ √

Hu

lu

√ √ √ √

Pen

angg

un

g Ja

wab

Din

as T

RL

Kab

Bog

or,

Dish

utbu

n K

ab. B

ogor

,

Dish

utbu

n K

ab. B

ogor

Pe

mda

DK

I, Pe

mko

t Bog

or

Din

as T

RL

Kab

Bog

or,

Din

as T

RL

Kab

Bog

or,

Ditj

en S

DA

Dish

utbu

n K

ab. B

ogor

, D

inas

TRL

K

ab B

ogor

Dish

utbu

n K

ab. B

ogor

, D

inas

TRL

K

ab B

ogor

Per

iod

e W

aktu

2001

2001

, 200

2- ?

2003

-200

6

2001

-200

5

1999

,200

1,

2002

- ?

Pelit

a V

, 19

94-2

004

Pro

gram

/P

roye

k

Pem

bang

unan

Salu

ran

Div

ersi

Pem

buat

an S

abuk

Sun

gai/

Pen

ghija

uan

Kan

an-

Kiri

Sun

gai

Nor

mali

sasi

Situ

dan

Dan

au

Perh

utan

an S

osial

(Pem

buat

an T

anam

an M

urbe

i, Pe

mbu

atan

Per

sute

raan

Alam

, Per

lebah

an, J

amur

K

ayu,

Bud

iday

a Ta

nam

an G

arut

Pen

gkay

aan

Tana

man

)

Pers

emaia

n Pe

rman

en, K

ebun

Bib

it D

esa

dan

Hut

an R

akya

t

71

72 73

74

75

Kla

sifi

kasi

Pro

gram

Issu

e B

ahas

an

Page 84: BUKU CILIWUNG

Hubungan Kerjasama Institusi dalam Pengelolaan DAS

Kasus DAS Ciliwung 7 7

H

ilir

Ten

gah

√ √ √ √ √ √ √

Hu

lu

√ √ √ √ √ √ √ √

Pen

angg

un

g Ja

wab

Dish

utbu

n K

ab. B

ogor

,

Din

as T

RL

Kab

Bog

or

Dish

utbu

n K

ab. B

ogor

, Pe

mko

t Bog

or

Din

as T

RL

Kab

Bog

or

Din

as T

RL

Kab

Bog

or

Pem

kot B

ogor

Ditj

en S

DA

Din

as T

RL

Kab

Bog

or

Din

as T

RL

Kab

Bog

or

Dish

utbu

n K

ab. B

ogor

, D

inas

TRL

K

ab B

ogor

, Pe

mko

t Bog

or

Per

iod

e W

aktu

1999

, 200

0,

2001

, 200

2- ?

1996

,199

7,

2000

-200

9

2003

-200

6

2002

-200

4

2002

- ?

2003

2003

-200

4

2003

-200

4

Pelit

a V

, 19

94-2

004

Pro

gram

/P

roye

k

UPS

A, P

engh

ijaua

n A

real

Dam

pak

dan

Inte

nsifi

kasi

Tum

pang

Sar

i

Pena

nam

an P

ohon

Sem

pada

n Su

ngai,

Set

u,

Tana

man

Kot

a da

n H

utan

Kot

a

Peng

hijau

an d

an P

emat

okan

Dae

rah

Peng

aman

Si

tu/L

indu

ng S

etem

pat

Rekl

amas

i Bek

as P

enam

bang

an B

ahan

gali

an

Gol

onga

n “C

” di

Kaw

asan

Bop

unju

r

Pen

ataa

n da

n Pe

ngam

anan

di s

ekita

r Inl

et d

an

Out

let d

enga

n Pe

nghi

jauan

dsb

Stud

i Pen

gem

bang

an T

anam

an T

ropi

s Dala

m

Rang

ka M

ence

gah

Long

sor d

an M

ampu

Men

yera

p Po

lusi

Eva

luas

i Sun

gai d

an A

nak

Sung

ai D

AS

Ciliw

ung

Eva

luas

i Situ

/Raw

a/D

anau

Pem

buat

an D

AM

Pen

ahan

dan

Dam

Pen

gend

ali

76 77

78

79

80

81

82

83

84

Kla

sifi

kasi

Pro

gram

Peng

elolaa

n Su

ngai

Issu

e B

ahas

an

Page 85: BUKU CILIWUNG

Hubungan Kerjasama Institusi dalam Pengelolaan DAS

7 8 Kasus DAS Ciliwung

H

ilir

√ √ √ √ √ √ √

Ten

gah

√ √ √ √ √

Hu

lu

√ √ √ √ √ √

Pen

angg

un

g Ja

wab

Dish

utbu

n K

ab. B

ogor

, Pe

mko

t Bog

or

Din

as T

RL

Kab

Bog

or

Pem

da D

KI,

Dish

utbu

n K

ab. B

ogor

, D

inas

TRL

K

ab B

ogor

, Pe

mko

t Bog

or

Pem

da D

KI

Pem

da D

KI

Pem

da D

KI

Ditj

en S

DA

Ditj

en S

DA

Ditj

en S

DA

Din

as T

RL

Kab

Bog

or

Per

iod

e W

aktu

Pelit

a V

2001

2002

- ?

2000

2000

-200

5

2002

-201

0

2001

-200

5

2001

-200

5

2003

2002

Pro

gram

/P

roye

k

Perli

ndun

gan

Tebi

ng S

unga

i

Pem

asan

gan

Bron

jong

Kaw

at

Peny

uluh

an N

orm

alisa

si Su

ngai

Nor

mali

sasi

Sung

ai K

ampu

ng M

elayu

, Pom

pa d

an

Pint

u A

ir di

Bid

ara

Cina

, DE

D M

angg

arai.

Nor

mali

sasi

Sung

ai M

T H

aryo

no

Nor

mali

sasi

Sung

ai da

n Pe

mba

ngun

an Ja

lan

Insp

eksi

sam

pai d

enga

n M

angg

arai

Reha

bilit

asi K

anal

Bara

t, K

anal

Tim

ur, P

embu

atan

So

deta

n, T

angg

ul d

an P

intu

Air

Ciliw

ung

Nor

mali

sasi

Das

ar S

unga

i Cili

wun

g

Pem

buat

an S

arin

gan

dan

Fold

er S

unga

i Cili

wun

g

Reha

bilit

asi B

angu

nan

Air

85 86

87

88

89

90

91

92

93

Kla

sifi

kasi

Pro

gram

Issu

e B

ahas

an

Page 86: BUKU CILIWUNG

Hubungan Kerjasama Institusi dalam Pengelolaan DAS

Kasus DAS Ciliwung 7 9

H

ilir

√ √ √ √ √ √ √ √

Ten

gah

√ √ √ √

Hu

lu

√ √ √

Pen

angg

un

g Ja

wab

Din

as T

RL

Kab

Bog

or,

Pem

kot B

ogor

Ditj

en T

PTP

Pem

da D

KI,

Din

as T

RL

Kab

Bog

or,

Pem

kot B

ogor

Pem

da D

KI

Ditj

en

Pena

taan

Ru

ang

Pem

kot B

ogor

Ditj

en T

PTP

Pem

da D

KI,

Ditj

en T

PTP

Pem

da D

KI

Pem

da D

KI

Per

iod

e W

aktu

2005

-201

1

2002

2002

- ?

2002

- ?

2002

2002

- ?

1991

-200

2

2001

-200

2

2000

/05

2000

/05

Pro

gram

/P

roye

k

Pem

bang

unan

Sist

em D

rain

ase

Wila

yah

Pene

rtiba

n Ba

ngun

an d

an T

anah

Bad

an S

unga

i dan

Pe

mbu

atan

But

ton

Cont

rol s

unga

i Cili

wun

g

Pem

bang

unan

Pom

pa/

Pint

u air

dan

Pe

mba

ngun

an Ja

lan In

spek

si

Pen

yusu

nan

Renc

ana

Pena

ngan

an D

aera

h Ba

ntar

an S

unga

i

Pene

ntua

n Lo

kasi

Pem

buan

gan

Tana

h Be

kas

Gali

an S

odet

an

Solid

Was

te M

anaje

men

(SW

M) d

an P

enge

lolaa

n Li

mba

h

Reha

bilit

asi M

CK, P

emas

anga

n Si

stem

Per

pipa

an

Air

Lim

bah

dan

Pem

bang

unan

WW

TP

Peng

elolaa

n Li

mba

h D

omes

tik

Peny

uluh

an

94 95

96

97

98

99

100

101

102

Kla

sifi

kasi

Pro

gram

Peng

elolaa

n K

ualit

as A

ir

Issu

e B

ahas

an

Sum

ber:

Tim

IPB

(200

2)

Page 87: BUKU CILIWUNG

Hubungan Kerjasama Institusi dalam Pengelolaan DAS

8 0 Kasus DAS Ciliwung

Sumber: Tim IPB (2002)

Gambar 5.1. Program dan Kegiatan di DAS Ciliwung

Dengan permasalahan DAS Ciliwung yang begitu kompleks dan menyangkut banyak pihak, baik secara sektoral maupun cakupan wilayah administrasinya, saat ini penanganannya dilakukan pada tingkat nasional dan dikoordinasikan oleh Kementerian Kimpraswil. Tim Koordinasi dan Kelompok Kerja Pengelolaan Sungai Ciliwung tersebut dibentuk berdasarkan Kepmen Kimpraswil No. 20/kpts/M/2002 tanggal 31 Januari 2002.

Organisasi tersebut menunjukkan adanya kewenangan sentral yang mengkoordinasikan pengelolaan Sungai Ciliwung meliputi Tim Pengarah, Tim Koordinasi dan Kelompok Kerja. Kelompok Kerja dibagi menjadi tiga, yaitu : 1. Kelompok Kerja I, dengan satuan tugas Penataan Ruang, Kepedulian Masyarakat,

Aspek Hukum dan Lingkungan. 2. Kelompok Kerja II, dengan satuan tugas : Pengembangan Perumahan dan

Pemukiman; Pengembangan Prasarana Perkotaan; Pengembangan Kegiatan Usaha Ekonomi Masyarakat.

3. Kelompok Kerja III, dengan satuan tugas Pengelolaan DAS; Pengelolaan Sungai dan Pengelolaan Kualitas Air.

Kelompok kerja ini melibatkan sekaligus institusi pusat, provinsi dan Kabupaten/Kota baik perencana, pelaksana dan pengawas. Program kerja yang berupa Rencana Kegiatan disusun oleh masing-masing satuan tugas melalui pembahasan pada Kelompok Kerja I, II dan III. Rencana kegiatan tersebut secara garis besar meliputi :

Page 88: BUKU CILIWUNG

Hubungan Kerjasama Institusi dalam Pengelolaan DAS

Kasus DAS Ciliwung 8 1

1. Penyusunan RTRW Kawasan Ciliwung terpadu (Hulu – Hilir) 2. Pemberian insentif dan disinsentif pengawasan pemanfaatan dan pengelolaan

sumberdaya alam 3. Penyiapan kerjasama daerah hulu dan hilir 4. Pembangunan sarana dan prasarana pengendalian aliran air dan sedimen (waduk, cek

dam, terowongan, teras) 5. Penyusunan masterplan kawasan pemukiman 6. Penanganan Air bersih, Sistem Drainase Sampah dan Normalisasi Sungai 7. Sosialisasi pengelolaan Sungai Ciliwung dengan upaya perbaikan ekonomi masyarakat 8. Program masyarakat peduli pengelolaan dan pengembangan sumberdaya air 9. Pengelolaan bantaran sungai dan sempadan sungai untuk optimalisasi kapasitas

hidrolik saluran sungai 10. Program-program yang telah dilaksanakan baik di wilayah Bopunjur dan di luar

Bopunjur diarahkan pada rehabilitasi lahan dan konservasi tanah, meliputi : (1) Pengendalian sungai dan situ, (2) Penghijauan dan rehabilitasi, (3) Pengendalian ruang, (4) Perbaikan kualitas lingkungan dan Pengelolaan SDA, (5) Kelembagaan.

Berdasarkan hasil pengumpulan informasi yang berupa dokumen program dan audiensi di berbagai instansi yang terkait dengan pengelolaan Sungai Ciliwung dapat disintesakan sebagai berikut :

1. Sesuai dengan program Tim Koordinasi Kimpraswil, maka program-program yang disusun oleh masing-masing instansi yang terkoordinasi dalam Kelompok Kerja tetap mengacu pada Kimpraswil

2. Instansi teknis yang tidak terkoordinasi dalam kelompok kerja tersebut, seperti Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Bogor, mengacu pada program pembangunan Pemerintah Kabupaten, Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Direktorat Jenderal RLPS, Departemen Kehutanan.

Jumlah program dan kegiatan yang telah, sedang dan akan berjalan di wilayah DAS Ciliwung terdapat ± 102 program/kegiatan. Jumlah masing-masing program berdasarkan kelompok program dan aspek kajian disajikan dalam Tabel 5.8.

Sebagian besar program/proyek tersebut berada dalam level kelompok kegiatan operasional daerah (49 program) diikuti dengan kelompok organisasi/proses pendukung (19 program), kelompok instrumen kebijakan (17 program/kegiatan), kelompok penguatan kelembagaan daerah (7 program), kelompok fokus dan efisiensi pemerintah pusat (6 program), dan kelompok akuntabilitas publik (4 program).

Dari hasil pengelompokkan tersebut dapat dilihat bahwa program dan proyek yang memperhatikan aspek akuntabilitas publik sangat kurang. Perhatian semua pihak masih pada upaya untuk dapat melakukan sendiri kegiatan operasional di daerah. Padahal disisi lain, program/kegiatan yang berupaya meningkatkan penguatan lembaga daerah masih sangat kurang.

Page 89: BUKU CILIWUNG

Hubungan Kerjasama Institusi dalam Pengelolaan DAS

8 2 Kasus DAS Ciliwung

Tabel 5.8. Klasifikasi Program/Kegiatan Penanganan DAS Ciliwung dan Banjir di DKI Jakarta

Jumlah Program/Kegiatan Menurut Aspek :

Kelompok Program

1 2 3 4 5 6 7 8 9

Jumlah

Fokus & Efisiensi Pusat 2 - - - - - 2 2 - 6

Organisasi/ Proses Pendukung 3 4 4 1 - - 2 3 2 19

Instrumen Kebijakan 3 2 4 1 1 1 2 3 - 17 Akuntabilitas Publik 1 3 - - - - - - - 4 Penguatan Kelembagaan Daerah 2 3 - - - 1 1 - - 7

Kegiatan Operasional 2 - 1 4 3 3 17 15 4 49 Jumlah 13 12 9 6 4 5 24 23 6 102

Sumber: Tim IPB (2002) Keterangan : 1. Hukum lingkungan, 2. Kepedulian masyarakat, 3. Penataan Ruang, 4. Pengembangan Prasarana Kota, 5. Pengendalian Pengembangan Pemukiman, 6. Pengembangan Usaha Masyarakat, 7. Pengelolaan DAS, 8. Pengelolaan Sungai, 9. Pengelolaan Kualitas Air

Program dan kegiatan yang mendorong organisasi/proses pendukung dan menyediakan instrumen kebijakan, terutama di level nasional sudah cukup banyak. Sebaliknya, dari hasil audiensi, diperoleh keterangan bahwa masih banyak Perda yang harus dibuat untuk implementasi kegiatan di lapangan.

Pada tingkat kegiatan operasional program dan kegiatan nampak belum sinkron antara Depkimpraswil dengan Dinas Teknis terkait dibawah pemerintah daerah. Hal ini disebabkan oleh karena masih adanya perbedaan pemahaman atas wilayah pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) dan Satuan Wilayah Sungai (SWS) yang mempunyai dimensi berbeda.

Dari penjelasan terhadap program dan proyek di DAS Ciliwung dapat dilihat bahwa persyaratan-persyaratan yang harus dibenahi terlebih dahulu atau paling tidak dilaksanakan secara berbarengan belum tercermin. Persyaratan tersebut adalah kesiapan di lapangan yang meliputi penyelesaian konflik hak-hak pemanfaatan sumberdaya alam, alih fungsi lahan, perambahan areal perkebunan, kehutanan, dan tanah negara lainnya, persoalan struktural, serta keterlaksanaan penyelesaian pendekatan sipil teknis. Secara normatif hal-hal tersebut memang sudah dapat dilihat dalam penentuan dan pemilihan program yang ada. Namun belum diikuti oleh kegiatan operasional yang kini sedang dan akan dijalankan.

Page 90: BUKU CILIWUNG

Hubungan Kerjasama Institusi dalam Pengelolaan DAS

Kasus DAS Ciliwung 8 3

6. SINTESA REKOMENDASI PENGELOLAAN DAS DAN PENGENDALIAN BANJIR JAKARTA

6.1. Kerangka Pendekatan Pengelolaan DAS Ciliwung

Daerah aliran sungai yang diartikan sebagai bentang lahan yang dibatasi oleh pembatas topografi (topography divide) yang menangkap, menampung dan mengalirkan air hujan ke suatu titik putusan (outlet) telah secara luas diterima sebagai satuan (unit) pengelolaan sumberdaya alam yang ada di dalam DAS. Istilah “one river, one plan, one management” yang populer mengindikasikan pentingnya DAS dikelola sebagai suatu kesatuan utuh ekosistem sumberdaya alam.

Secara garis besar sumberdaya alam suatu DAS dapat dikelompokkan menjadi sumberdaya alam, sumberdaya manusia, sumberdaya buatan, dan sumberdaya sosial (institusi) yang masing-masing saling pengaruh-mempengaruhi. Pengelolaan DAS dalam kerangka pengelolaan sumberdaya alam tersebut bertujuan untuk mengoptimalkan fungsi-fungsi sumberdaya alam tersebut bukan memaksimalkan salah satu fungsi dengan mengabaikan fungsi lainnya.

Dalam konteks pengelolaan DAS Ciliwung, dari uraian karateristik DAS bagian hulu, tengah dan hilir nampak bahwa masing-masing bagian mempunyai karakteristik sumberdaya sendiri-sendiri sehingga memerlukan tindakan yang spesifik untuk masing-masing bagian DAS. Bentuk DAS Ciliwung dan karakteristik pengelolaannya disajikan dalam Gambar 6.1.

Sebagaimana profil memanjang Sungai Ciliwung dari hulu ke hilir yang disajikan dalam Gambar 6.2, berbagai upaya yang dilakukan di wilayah hulu pada prinsipnya ditujukan untuk menghambat aliran air, sedangkan berbagai upaya yang dilakukan di bagian hilir ditujukan untuk mempercepat aliran air ke laut.

Dalam hal kewenangan pengelolaan sumberdaya alam yang ada sekarang, di DAS Ciliwung melibatkan multi-pemerintahan dan sektor. Terdapat dua pemerintahan propinsi yang terkait, yaitu Jawa Barat dan DKI Jakarta, tujuh pemerintah kabupaten/kota yaitu 3 di Propinsi Jawa Barat (Kabupaten Bogor, Kota Bogor, Kota Depok) dan 4 di DKI Jakarta (Kota Jakarta Selatan, Pusat, Barat dan Utara). Selain itu paling tidak tiga instansi teknis pemerintah yang terkait erat yaitu Departemen Kehutanan, Departemen Pemukiman dan Prasarana Wilayah, serta Badan Pertanahan Nasional. Instansi lain yang terlibat langsung dalam penanganan sektoral paling tidak terdapat sektor pertanian, perkebunan, dan pertambangan.

Dengan memperhatikan aspek penunjang bagi keberlangsungan pengelolaan sumberdaya alam, maka hampir semua instansi baik pemerintah, swasta dan non-pemerintah terlibat dalam pengelolaan DAS Ciliwung. Badan usaha yang menggunakan lahan dalam skala cukup besar di bagian hulu antara lain Perhutani, PTP Gunung Mas dan Ciliwung, Taman Safari dll.

Kenyataan menunjukkan bahwa tujuan pengelolaan sumberdaya alam di DAS Ciliwung oleh masing-masing instansi baik pemerintah maupun swasta tersebut sering berbeda yang menjadikan rumusan program dan kegiatan dalam pencapaian tujuan masing-masing instansi tersebut tidak sinergis terhadap pencapaian tujuan pengelolaan DAS.

Page 91: BUKU CILIWUNG

Hubungan Kerjasama Institusi dalam Pengelolaan DAS

8 4 Kasus DAS Ciliwung

Sumber : Tim IPB (2002)

Gambar 6.1. DAS Ciliwung dan Bentuk Pengelolaannya

Page 92: BUKU CILIWUNG

Hubungan Kerjasama Institusi dalam Pengelolaan DAS

Kasus DAS Ciliwung 8 5

Sumber : Tim IPB (2002)

Gambar 6.2. Profil memanjang dan karakteristik aliran Sungai Ciliwung

6.2. Pendekatan Teknologi

Pembahasan mengenai bagaimana pengendalian banjir di DKI Jakarta sudah sering dilakukan. Dalam bagian ini akan disampaikan telaah rekomendasi dari empat kali pembahasan, yang telah dilakukan masing-masing oleh Bappenas (2002), Depkimpraswil (2002), Sodetan Ciliwung (1997), dan IPB (2002), serta dari tulisan-tulisan lain yang relevan.

Dalam menanggulangi kelebihan air di badan air yang dapat menyebabkan banjir dapat dilakukan pendekatan teknologi yang memungkinkan, yaitu:

1. Pendekatan dengan membangun bangunan-bangunan pencegah banjir (structural measure)

2. Pendekatan dengan tidak membangun bangunan pencegah banjir (non structural measure)

Upaya teknis yang dilakukan untuk mengatur kelebihan air di badan sungai dapat dilakukan dengan penerapan prinsip pengaturan jumlah air di badan sungai dan mencegah air sampai di badan sungai. Pendekatan konservasi air dengan cara memasukan sebanyak mungkin jumlah curah hujan ke dalam tanah merupakan pendekatan yang ramah lingkungan dan murah. Konsep pengaturan air di dalam suatu DAS dapat dilakukan pada 3 tahap proses yaitu:

1. Kelebihan air hujan ditahan oleh pohon/vegetasi (intersepsi, stem flow dan evapotranspirasi)

2. Kelebihan air hujan ditahan oleh tanah (melalui proses infiltrasi dan perkolasi dan ditampung di aquifer)

3. Kelebihan air hujan ditahan oleh badan air (mengendalikan jumlah aliran permukaan/run off, bendungan, cekdam, sumur resapan, dll)

Penerapan teknologi dalam pencegahan dan penurunan laju dan jumlah aliran permukaan dapat dilakukan dengan kegiatan: 1) pengaturan tata guna lahan (land use mangement) dan 2) pengaturan dan pemanfaatan air (water management).

Page 93: BUKU CILIWUNG

Hubungan Kerjasama Institusi dalam Pengelolaan DAS

8 6 Kasus DAS Ciliwung

6.2.1. Pendekatan Pembangunan Badan Air (structural measure approach)

A. Drainase dan Normalisasi Sungai

Berdasarkan dokumen sistem pengembangan dan strategi penanganan drainase di DKI Jakarta yang telah dibuat tahun 1991 terdapat beberapa konsep sistem drainase di DKI Jakarta diantaranya didasarkan beberapa prinsip diantaranya :

1. Jaringan drainase dikembangkan berdasarkan rencana tata ruang

2. Badan penerima air drainase adalah sungai, waduk, embung dan laut

3. Di bagian selatan pengaliran merupakan sistem gravitasi, pada bagian utara dengan sistem polder (pintu air, tanggul, waduk, dan pompa).

Berdasarkan zone drainase, pengembangan drainase DKI Jakarta di bagi kedalam enam zone dapat dilihat pada Tabel 6.1.

Tabel 6.1. Zona drainase di wilayah DKI Jakarta

Nama Zona Luas (ha) 1. Cengkareng 10.017 2. Grogol 11.023 3. Kali Baru Barat/Mampang 8.356 4. Monas/Ciliwung hilir 5.125 5. Ciliwung tengah 11.119 6. Cipinang/Jaktim 19.509

Jumlah 65.149 Sumber: Master Plan Drainase DKI

Di daerah DKI Jakarta terdapat beberapa sungai yang perlu dinormalisasi antara lain: S. Kamal, S. Tanjungan, Kali Gede, Saluran Cengkareng, S.Padongkelan, Kali Semenan, S.Kreo, S.Pasanggrahan Bawah, S. Kedaung, S.Cilawe, S.Mampang, S.Cideng, Kali Bata, Kali Sentiong, S. Kebon Bawang, S. Lagoa Tinggiri, S.Rawa Badak, S.Jati Bening, S. Cakung Lama, S. Cakung Merunda, dan Kali Sepak.

B. Instalasi IPAL

Daerah DKI Jakarta juga selain mengalami masalah kelebihan air sehingga menyebabkan banjir juga mengalami masalah kualitas air terutama pencemaran akibat limbah domestik sehingga memerlukan pembuatan sarana Instalasi Pengolah Air Limbah (IPAL). Sarana IPAL yang diperlukan berdasarkan kepadatan penduduk wilayah DKI Jakarta dibedakan menjadi:

1. Kawasan kepadatan tinggi (> 300 orang/ha)

Luas areal 166 km2, penduduk 6,4 jiwa. Jumlah limbah 101 ton/hari fasilitas IPAL baru dapat melayani 2 % (560 ha).

2. Kepadatan sedang (100-300 org/ha)

Luas areal 274 km2 dengan penduduk 5 juta, pengolahan limbah setempat (septictank) dan diolah di Pusat Limbah Terpadu Pulo Gebang

Page 94: BUKU CILIWUNG

Hubungan Kerjasama Institusi dalam Pengelolaan DAS

Kasus DAS Ciliwung 8 7

3. Areal dengan kepadatan kurang (<100 org/ha), seluas 211 km2 dengan penduduk 1,5 juta jiwa.

Menurut Master Plan air limbah tahun 1991, Zona barat IPAL direncanakan di jalur hijau Kelurahan Rembangan, Zone tengah IPAL Induk Pluit dengan sistem modular di kawasan Grogol, Waduk Grogol, Siantar dan Kali Ancol, serta Zone Timur di Waduk Sunter Timur II. Tahun 2001 dibuat detail enginering desain (DED) yang terbagi Phase I dan Phase II.

Phase 1

Pembangunan sistem perpipaan di Casablanca sepanjang 6.000 m dengan diameter pipa 400-1350 mm dengan luas jangkauan 640 ha di sekitar Casablanca. Rehabilitasi IPAL Setiabudi diharapkan dapat mengolah air limbah dengan kapasitas 26,00 m3/hari

Phase 2

1. Pembangunan perpipaan sepanjang Thamrin, Gajah Mada, Pantai Mutiara sepanjang 8500 m dengan luas pelayanan 1.050 ha

2. Pembangunan IPAL Setiabudi Barat dengan beban limbah 40,000 m3/hari

3. Pembangunan IPAL di Muara Baru dengan kapsitas 62,00 m3/hari

C. Pengembangan dan Pengendalian Banjir Ciliwung-Cisadane

Tahun 1995/1996 Departemen Kimpraswil bekerja sama dengan JICA telah melakukan studi di wilayah Jabotabek yang meliputi 21 sungai dan 8 wilayah sungai yaitu Sub Wilayah Sungai Cidurian, Cimanceuri, Cirarab, Cisadane, Sub Sistem Cengkareng floodway, Sub Sistem Banjir Kanal Barat, Sub Sistem Banjir Kanal Timur, Sub Wilayah CBL Flooodway. Dari hasil studi pengendalian banjir untuk wilayah sistem banjir kanal barat telah dihasilkan 3 alternatif penanggulangan: 1. Normalisasi banjir kanal barat 2. Normalisasi kanal barat dan Bendung Ciawi 3. Normalisasi kanal barat dan pembangunan pengelak banjir Ciliwung dan normalisasi

Sungai Cisadane

Alternatif 3 yang paling memungkinkan karena alternatif 1 sulit dilakukan karena di sekitar kanal barat sudah terdapat infrastruktur yang sangat vital sehingga akan terganggu. Pembuatan bendungan di Ciawi sedikit pengaruhnya terhadap pengendalian banjir Jakarta (Dokumen Sodetan Ciliwung-Cisadane).

Pada tahun 1996 Ciliwung mengalami banjir besar, sedangkan S. Cisadane tidak. Debit rencana 50 tahun S. Cisadane tanpa pengelak S. Ciliwung adalah 1.600 m3/det, sehingga S. Cisadane hilir perlu dinormalisasi. Dengan ditambah debit pengelak S. Ciliwung sebesar 600 m3/det, maka sungai Cisadane menjadi 1.900 m3/det walaupun debit pengelak banjir S. Ciliwung 600 m3/det, hal ini disebabkan karena perbedaan waktu konsentrasi dan efek kemampuan tampung S. Cisadane.

Luas wilayah Cisadane di bendung di Pasar Baru 1.248 km2 dan Ciliwung hanya 154 km2 sampai di inlet saluran pengelak banjir. Bangunan pengelak banjir yang akan dibuat berupa 2 buah terowongan dengan kapasitas masing-masing 300 m3/det untuk periode ulang 100

Page 95: BUKU CILIWUNG

Hubungan Kerjasama Institusi dalam Pengelolaan DAS

8 8 Kasus DAS Ciliwung

tahun. Pekerjaan ini akan dilakukan dalam 2 tahap. Tahap pertama perencanaan detail, normalisasi Cisadane hilir, pembangunan terowongan 1 dan pemasangan peringatan dini banjir. Tahap kedua normalisasi Cisadane hilir, dan pengalihan debit Ciliwung, serta pembuatan terowongan 2 Ciliwung-Cisadane. Debit sungai yang dapat dialirkan 600 m3/det dengan panjang saluran 900 m diameter 8 m yang terletak 20 m dibawah permukaan tanah yang terletak di inlet Sukasari Bogor, outlet Pasir Jambu Empang di S. Cisadane.

Berdasakan hasil audiensi dengan Dirjen SDA Kimpraswil pada tanggal 22 April 2002 diperoleh keterangan bahwa terowongan yang akan di buat hanya 1 buah dengan kapasitas 300 m3/det, dan melakukan normalisasi di Cisadane hilir. Akan tetapi rencana tersebut belum mendapatkan persetujuan dari Pemerintah Kabupaten dan Kota Tanggerang, Propinsi Banten. Alternatif lain adalah membuat bendungan di daerah Ciawi dan Genteng di dalam aliran S. Ciliwung. Akan tetapi alternatif ini prosesnya belum banyak diketahui.

6.2.2. Pendekatan Non Struktural (non structural measure)

Dalam pendekatan non struktural yang dilakukan adalah melaksanakan pencegahan banjir melalui pendekatan secara menyeluruh dan melakukan konservasi air yang dilakukan sebelum air sampai di badan sungai. Kegiatan konservasi tanah dan air di bagian hulu, serta pemberdayaan masyarakat merupakan kunci utama untuk melakukan pendekatan ini. Konservasi tanah dan air mempunyai efek yang ramah lingkungan karena air akan masuk ke dalam tanah. Selain mengurangi aliran permukaan tanah juga akan memperbaiki kondisi air tanah.

Berdasarkan karakteristik DAS Ciliwung dengan bentuk DAS yang menyerupai corong, sehingga luas di daerah hulu lebih dominan, menyebabkan untuk menghindari banjir di DKI Jakarta harus dilakukan pendekatan yang komprehensif terutama rehabilitasi di daerah hulu.

Analisis terhadap pengaruh faktor bentukan manusia (penggunaan lahan) di bagian hulu dan tengah terhadap debit sungai dengan menggunakan data perubahan lahan di bagian hulu dan tengah DAS Ciliwung dan model HEC-1 menunjukkan bahwa perubahan penggunaan lahan Tahun 1981 menjadi penggunaan lahan Tahun 1999 meningkatkan debit S. Ciliwung Hulu sebesar 67% dan S. Ciliwung Tengah 24% dan meningkatkan volume banjir di hulu sebesar sebesar 59% dan di tengah sebesar 17%. Sedang andil yang diberikan oleh kedua bagian DAS Ciliwung ini terhadap banjir di daerah hilir untuk kondisi tahun 1981 menunjukkan bahwa 43 % diberikan oleh Ciliwung Hulu dan 57% dari Ciliwung Tengah, sedang pada tahun 1999 keadaannya sudah berubah menjadi: 51% dari Ciliwung Hulu dan 49% dari Ciliwung Tengah (Pawitan, 2002).

Simulasi pengelolaan lahan di hulu dan tengah DAS dalam bentuk tindakan rehabilitasi dan konservasi tanah dan air yang dilakukan menggunakan model HEC-1 dengan memodifikasi nilai parameter model menurut skenario yang dipilih secara nyata dapat menurunkan debit dan volume banjir sampai batas yang diinginkan. Tiga skenario yang dipilih, dibandingkan kondisi 1999, adalah (1) penerapan teknik konservasi tanah dan air terbatas di Ciliwung Hulu saja; (2) sama seperti (1) ditambah tindakan yang sama untuk kawasan tengah; dan (3) sama seperti (2) ditambah tindakan penghutanan kembali lahan kebun campuran. Hasil skenario (1) menunjukkan penurunan 34 % debit puncak di Katulampa dan 25 % volume banjir di Ratujaya. Andil Ciliwung Hulu terhadap debit di Ratujaya adalah 34 % dan sisanya

Page 96: BUKU CILIWUNG

Hubungan Kerjasama Institusi dalam Pengelolaan DAS

Kasus DAS Ciliwung 8 9

dari bagian tengah sendiri, dengan peran dominan dari sub DAS Ciesek dan Cibogo. Hasil skenario (2) menunjukkan peningkatan penurunan volume banjir di Ciliwung Hulu-tengah dari 25% (skenario 1) menjadi 43%. Andil kawasan tengah sendiri turun 37% untuk volume banjir dan penurunan 45% debit banjir. Dan skenario (3) memberi penurunan debit dan volume banjir lebih lanjut untuk Ciliwung Hulu dan Tengah, masing-masing sebesar 53% dan 65% untuk Ciliwung Hulu dan 53% dan 39% untuk Ciliwung Tengah (Pawitan, 2002).

Berdasarkan data rata-rata debit dan curah hujan dari tahun 1981 - 2001, terlihat bahwa debit Ciliwung hulu adalah 2.363 mm/th dengan rata-rata curah hujan tahunan sebesar 3.519 mm/th ternyata koefisien run off tahunan telah mencapai 67 % dengan demikian baik koefisien tahunan maupun kejadian hujan tunggal tidak jauh berbeda. Dari data hidrograf tersebut terlihat bahwa koefisien aliran permukaan di Ciliwung hulu berkisar antara 60-75 % dari total curah hujan, sehingga memerlukan perhatian yang serius, terutama harus ada upaya penerapan teknologi untuk menurunkan koefisien aliran permukaan.

Berdasarkan dokumen pola induk debit rencana Ciliwung hilir didesain pada tahun 1973 sebesar 370 m3/det, kemudian dalam pola induk 1997 telah berubah menjadi 570 m3/det. Pola induk tersebut semuanya telah terlewati sebab pada kejadian banjir 1996 debit di Katulampa telah mencapai 740 m3/det, sehingga dengan terus menaiknya debit puncak menggambarkan tingkat kerusakan yang signifikan antara tahun 1973 – 2002. Dengan demikian rehabilitasi DAS bagian hulu dan penerapan teknologi konservasi tanah dan air di bagian hulu menjadi salah satu kunci penaggulangan banjir di Jakarta. Berdasarkan sebaran maksimum debit puncak yang ada maka debit rencana periode ulang 100 tahun di Stasiun Katulampa telah menjadi 1.100 m3/det, sehingga dengan demikian dalam jangka panjang pembangunan bangunan pencegah banjir yang tidak diimbangi dengan tindakan konservasi tanah dan air di bagian hulu akan sia-sia.

Dari uraian di atas nampak bahwa pengelolaan lahan di hulu dan tengah DAS Ciliwung melalui rehabilitasi lahan baik secara vegetatif maupun sipil teknis (soil conservation measures) memberikan kemungkinan besar dalam pengendalian banjir di hilir. Tindakan pengendalian banjir di tengah dan hilir melalui pembuatan saluran pengendali di bagian tengah DAS dan normalisasi badan sungai dan saluran drainase juga memberikan kemungkinan pengurangan debit banjir di hilir (Kimpraswil, 1998).

6.2.3. Pendekatan Hidrogeologi

Solusi untuk mengatasi masalah banjir dari tinjauan hidrogeologi adalah tersedianya ruang di bawah pemukaan yang dapat menyimpan air (akifer). Ketersediaan ruang ini, jika dimanfaatkan dengan diisi oleh air tanah, mempunyai manfaat ganda, yaitu untuk mengatasi banjir di musim hujan dan mengatasi kekurangan air di musim kemarau.

Untuk memasukkan air kedalam akifer tersebut dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu (Hutasoit, 2002):

Page 97: BUKU CILIWUNG

Hubungan Kerjasama Institusi dalam Pengelolaan DAS

9 0 Kasus DAS Ciliwung

A. Memelihara (maintain) resapan alamiah.

Dari pembahasan mengenai konfigurasi sistem akifer di DKI Jakarta dapat diketahui bahwa akifer-akifer di wilayah DKI Jakarta, di beberapa daerah, tersingkap di permukaan. Untuk memelihara resapan alamiahnya, daerah ini harus dijadikan sebagai daerah terbuka.

Selain hal tersebut di atas, terdapat suatu pandangan yang menarik mengenai daerah resapan ini. Pemahaman umum selama ini adalah bahwa airtanah di daerah resapan adalah tidak boleh dimanfaatkan karena akan mengganggu ketersediaan cadangan airtanah. Dilihat dari sudut pandang ruang, sebenarnya pengambilan airtanah ini justru akan mengakibatkan tersedianya ruang penyimpan yang semakin besar. Hal ini berarti semakin banyaknya airtanah yang dapat masuk. Selain itu, berdasarkan kemudahan pengisian kembali, pengambilan di daerah resapan jauh lebih mudah terisi kembali dibandingkan dengan pengambilan di daerah luahan. Hal ini diakibatkan airhujan, yang merupakan sumber airtanah, tidak perlu melalui lintasan akifer untuk mengisi daerah resapan dan sebaliknya untuk mengisi daerah luahan.

B. Imbuhan buatan.

Teknologi ini dapat berupa sumur resapan, paritan, dan kolam untuk akifer tidak terkekang (unconfined aquifer) dan singkapan (daerah resapan akifer terkekang) serta sumur injeksi untuk akifer terkekang (confined aquifer). Untuk keefektifan teknologi imbuhan buatan ini, diperlukan pengetahuan mengenai parameter akifer dan kondisi muka airtanahnya.

Pada akifer bebas, penurunan muka airtanah berarti dewatering/groundwater mining, yaitu berkurangnya volume airtanah yang terdapat di akifer (Gambar 6.3). Hal ini secara otomatis akan mengakibatkan terdapatnya ruang kosong di akifer yang dapat diisi oleh airtanah. Imbuhan airtanah (sumur resapan, paritan, dan kolam) pada akifer ini dapat secara langsung (sistem gravitasi) dilakukan jika terjadi penurunan muka airtanah.

Sumber : Hutasoit (2002)

Gambar 6.3. Penurunan Muka Air Tanah Pada Akifer Tidak Tertekan

Page 98: BUKU CILIWUNG

Hubungan Kerjasama Institusi dalam Pengelolaan DAS

Kasus DAS Ciliwung 9 1

Berbeda dengan akifer tidak tertekan, penurunan muka airtanah pada akifer tertekang belum tentu terjadinya dewatering, tetapi yang pasti terjadi adalah penurunan tekanan airtanah (Gambar 6.4). Imbuhan airtanah, yang berupa sumur injeksi, pada sistem akifer ini, harus dilakukan dengan mempertimbangkan tekanan air tanah tersebut. Airtanah dapat diimbuhkan kedalam sistem akifer ini jika tekanannya lebih besar dari tekanan air tanah yang terdapat pada akifer tertekan ini.

Dengan pertimbangan ini, daerah-daerah yang telah memiliki penurunan muka airtanah yang besar (yang telah membentuk kerucut) akan lebih mudah dijadikan daerah imbuhan buatan.

Sumber : Hutasoit (2002)

Gambar 6.4. Penurunan Muka Air Tanah Pada Akifer Tertekan

6.3. Pendekatan Institusi

Pendekatan teknis yang selama ini dijadikan sebagai alternatif pengendalian banjir umumnya bersifat jangka pendek, disamping itu menyebabkan biaya sosial dan finansial yang tinggi, sehingga apabila pendekatan teknis/teknologi ini kurang didukung oleh pendekatan-pendekatan sosial, ekonomi dan kelembagaan yang mantap maka tidak akan memberikan hasil yang memuaskan.

Dalam melakukan kajian kebijakan peningkatan pengelolaan DAS, kita tidak hanya dihadapkan pada pilihan-pilihan kebijakan yang diambil – yang biasanya dilakukan dengan pertimbangan layak-tidak layak, atau kegiatan mana yang paling minimal biaya dan pengorbanannya, atau yang paling besar manfaatnya – melainkan melakukan perubahan dari kondisi status quo. Faktor penentu perubahan tersebut bukan lagi masalah benar-salah (pertimbangan logika), baik-buruk (pertimbangan moral atau etika), serta prioritas-bukan prioritas (pertimbangan kepentingan dengan keterbatasan anggaran) dari kegiatan yang akan dilakukan, melainkan insentif atau disinsentif apa yang dihadapi oleh para pengambil keputusan. Para pengambil keputusan yang rasional akan menjalankan aktivitas

Page 99: BUKU CILIWUNG

Hubungan Kerjasama Institusi dalam Pengelolaan DAS

9 2 Kasus DAS Ciliwung

yang dibutuhkan publik hanya apabila mereka mendapat insentif dari aktivitas tersebut, dan sebaliknya.

Penilaian tentang insentif atau disinsentif, bagi para pengambil keputusan, sangat tergantung pada persepsi, kepentingan, serta informasi, pengetahuan dan keyakinan tentang apa yang akan dikerjakan. Seringkali seseorang pengambil keputusan menganggap bahwa apa yang akan dikerjakan dapat memberi insentif bagi dirinya, tetapi bagi pengambil keputusan lainnya, tidak. Hal demikian semata-mata dapat disebabkan oleh perbedaan informasi, pengetahuan yang dimiliki, serta posisi dan dukungan dari pihak lain, yang pada akhirnya menentukan perbedaan keyakinan diantara para pengambil keputusan tersebut. Maka, dalam hal ini, adanya kelengkapan informasi, pengetahuan, dan dukungan, akan meyakinkan seseorang pengambil keputusan untuk menjalankan suatu kegiatan yang diinginkan publik, dan sebaliknya.

Disamping itu perbedaan keputusan juga disebabkan oleh adanya kepentingan dan agenda tertentu. Para pengambil keputusan yang mempunyai tujuan politik dan tujuan politik tersebut tidak sejalan dengan terlaksananya suatu kegiatan yang diinginkan publik, pastilah mereka tidak mendukung pelaksanaan kegiatan yang diinginkan publik tersebut. Ada kalanya para pengambil keputusan tidak mempunyai kaitan dengan tujuan-tujuan politik yang luas, tetapi mempunyai kaitan dengan materi yang akan diperoleh untuk kepentingan dirinya sendiri. Maka suatu kegiatan yang penting bagi publik tidak akan dijalankannya apabila kegiatan tersebut menghilangkan atau mengurangi apa yang akan dapat diperoleh untuk kepentingan dirinya sendiri.

Karena pengambil keputusan biasanya dilakukan di dalam lingkup organisasi publik (pemerintah), maka kapasitas dan kapabilitas (internal) organisasi juga sangat menentukan pilihan – yang berimplikasi pada arah perubahan – yang akan ditetapkannya. Transparansi informasi, pelaksanaan pengambilan keputusan, kejelasan akuntabilitas, akan menentukan kinerja organisasi publik tersebut. Namun demikian, adanya karakteristik lemahnya kontrol bawahan terhadap atasan dalam organisasi publik/pemerintah juga menunjukkan pentingnya peran faktor eksternal. Dalam kaitan ini, sejauhmana peran interest groups dapat mempengaruhi konsistensi kebijakan yang diambil oleh organisasi publik tersebut, juga sangat menentukan.

Berdasarkan kerangka pendekatan tersebut, mengapa berbagai rekomendasi kebijakan maupun kegiatan operasional, serta koordinasi seringkali tidak dapat berjalan disebabkan oleh alasan-alasan institusi, yang terdiri dari, baik peraturan-perundangan, kebijakan, instrumen kebijakan, maupun faktor-faktor yang menentukan kapasitas dan kapabilitas organisasi (publik), khususnya dalam pengambilan keputusan.

Pengendalian banjir melalui peningkatan kapasitas pengelolaan DAS dapat dilakukan melalui pelaksanaan sejumlah kegiatan teknis/teknologis. Namun demikian, pelajaran selama ini juga menunjukkan bahwa rekomendasi tersebut tidak dapat berjalan sebagaimana yang diharapkan. Dengan menggunakan pendekatan (konsepsi) di atas, beberapa komponen kegiatan yang menjadi sumber permasalahan adalah :

1. Pelaksanaan koordinasi tingkat nasional untuk melakukan revisi dan/atau pembaruan perundang-undangan yang diperlukan. Dalam kaitan ini, kepastian kewenangan dan pelaksanaan kegiatan operasional dalam pengelolaan DAS antara Pusat dan Daerah perlu segera dituntaskan;

Page 100: BUKU CILIWUNG

Hubungan Kerjasama Institusi dalam Pengelolaan DAS

Kasus DAS Ciliwung 9 3

2. Kebijakan nasional tersebut belum dikaitkan dengan kebijakan untuk penguatan lembaga publik di tingkat propinsi dan kabupaten. Kuatnya koordinasi tingkat nasional maupun kuatnya lembaga publik tingkat propinsi dan kabupaten diharapkan dapat menghasilkan instrumen kebijakan untuk memastikan dapat dilaksanakannya :

a. Penataan tata ruang,

b. Reformulasi kebijakan pengelolaan sumberdaya alam,

c. Kepastian hak masyarakat atas penguasaan dan pengelolaan sumberdaya alam, termasuk penyelesaian konflik pemanfaatan sumberdaya alam yang kini masih terjadi,

d. Penerapan instrumen ekonomi, valuasi ekonomi, serta ukuran kinerja pengelolaan DAS,

e. Promosi untuk mewujudkan kesepakatan-kesepakatan sukarela serta tanggungjawab sendiri, serta

f. Penegakan hukum;

3. Lemahnya peran interest groups/lembaga independen, serta belum terwujudnya mekanisme dan proses pelaksanaan program yang bertanggung-gugat (accountable).

Secara fungsional keterkaitan antar komponen-komponen permasalahan tersebut disajikan dalam Gambar 6.5.

Sumber : Tim IPB (2002)

Gambar 6.5. Keterkaitan Komponen Permasalahan yang dapat menghambat

dilaksanakannya Rekomendasi Teknis/Teknologi Pengelolaan DAS

Page 101: BUKU CILIWUNG

Hubungan Kerjasama Institusi dalam Pengelolaan DAS

9 4 Kasus DAS Ciliwung

Secara keseluruhan permasalahan yang terlihat adalah belum menyentuhnya berbagai rekomendasi yang telah diutarakan dari berbagai seminar/lokakarya terhadap permasalahan riil di lapangan, terutama yang menyangkut upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat yang berbasis sumberdaya alam. Disamping itu juga belum ada solusi untuk memecahkan hambatan alih fungsi kawasan akibat adanya usaha-usaha besar – utamanya dari sektor kehutanan dan perkebunan – sebagai upaya mengembalikan berfungsinya kawasan lindung.

6.4. Proses Multipihak Penanganan Pengelolaan DAS Ciliwung

Berbagai pemikiran tentang penanganan Ciliwung telah dilakukan melalui proses-proses multipihak, yang dilakukan baik dengan masyarakat hilir, maupun tengah dan hulu, serta melibatkan unsur pemerintah, dunia usaha, LSM dan perguruan tinggi. Beberapa butir-butir penting yang dapat digali dari : (1) Lokakarya Pengembangan Sistem Insentif Dalam Rangka Rehabilitasi Lahan/Penghijauan di DAS Ciliwung di Hotel Salak Bogor tahun 2001, (2) Lokakarya Peningkatan Peran Serta Masyarakat Dalam Pengelolaan DAS Terpadu Pemukiman dan Sungai Ciliwung di Kabupaten Bogor tahun 2002, (3) Lokakarya Peran Serta Masyarakat Dalam Pengelolaan Terpadu Permukiman dan Sungai Ciliwung Oleh Tim Koordinasi Pengelolaan DAS Ciliwung Bekerjasama Dengan BPLHD DKI, Mei 2002, (4) Lokakarya Peran Serta Masyarakat Hulu dan Tengah di Cibinong Oleh TKPDL, BPLHD dan IPB, Juli 2002, (5) Semiloka Peningkatan Peran Serta Masyarakat Ciliwung Dalam Upaya Pelestarian Terpadu DAS Ciliwung Oleh GCB, UI, IPB dan BPLHD DKI, Oktober 2002.

6.5. Rekomendasi Teknologi/Teknis

Himpunan rekomendasi pendekatan teknis/teknologi dalam pengelolaan DAS Ciliwung dan pengendalian banjir DKI Jakarta disajikan dalam Tabel 6.2. Beberapa pilihan teknologi lain yang dapat diterapkan untuk menanggulangi masalah banjir adalah yang tidak terkait dengan bangunan (non structural measure) seperti :

a. Peramalan banjir

b. Pemetaan bahaya banjir

c. Pembentukan kelembagaan pengelolaan DAS

d. Pendidikan masyarakat dan perilaku masyarakat

e. Kampanye penanggulangan lingkungan

f. Kompensasi hulu hilir (sharing pendanaan antara hulu dan hilir)

g. Pembentukan tim penanggulangan bahaya banjir.

Langkah dan strategi yang diperlukan dalam upaya pengendalian banjir diantaranya:

1. Pembentukan landasan hukum untuk pengelolaan DAS

2. Melakukan perlakuan dan kegiatan konservasi tanah dan air di bagian hulu

3. Menerapkan sistem monitoring pemanfaatan dan perubahan penggunaan lahan dengan menggunakan citra satelit.

Page 102: BUKU CILIWUNG

Hubungan Kerjasama Institusi dalam Pengelolaan DAS

Kasus DAS Ciliwung 9 5

RE

KO

ME

ND

ASI

1.

Kon

sep

peng

enda

lian

banj

ir (s

trukt

ural,

no

n st

rukt

ural)

: Lan

d us

e m

anag

emen

t da

n w

ater

man

agem

ent,

2.

SOP:

kon

stru

ksi,

oper

asi d

an

pem

eliha

raan

pra

sara

na p

enge

ndali

ba

njir,

3.

Pe

ngem

bang

an d

ata

base

dan

sist

em

mon

itorin

g ev

aluas

i DA

S un

tuk

peng

emba

ngan

sist

em p

erin

gata

n di

ni,

4.

Seca

ra te

knis

deng

an id

entif

ikas

i pe

nggu

naan

laha

n ya

ng ti

dak

sesu

ai de

ngan

per

untu

kann

ya d

an p

enge

ndali

an

peng

olah

an la

han

yang

tida

k se

suai

deng

an te

knik

KTA

, 5.

A

spek

non

tekn

is m

elipu

ti fa

ktor

alam

da

n fa

ktor

man

usia,

6.

In

vent

arisa

si da

n pe

man

taua

n fa

ktor

ala

m se

perti

cua

ca d

an ik

lim,

7.

Pelay

anan

info

rmas

i “Pe

ringa

tan

Din

i”

bagi

mas

yara

kat,

8.

Peni

ngka

tan

kuali

tas S

DM

dala

m ra

ngka

pe

ngem

bang

an fu

ngsi

huta

n, ta

nah

dan

air.

HIL

IR

1.

Nor

mali

sasi

sung

ai (h

ilir),

2.

So

deta

n Ci

liwun

g-Ci

sada

ne,

3.

Prog

ram

pen

gelo

laan

SDA

hut

an

(pen

cega

han

keru

saka

n, h

utan

raky

at,

pem

bina

an),

pem

bang

unan

hut

an b

aru,

pe

nghi

jauan

dan

rebo

isasi

daer

ah h

ilir,

4.

Reha

bilit

asi s

empa

dan

sung

ai,

5.

Nor

mali

sasi

salu

ran

buat

an,

6.

Mem

asuk

kan

air k

e da

lam a

kife

r (m

emeli

hara

resa

pan

alam

iah, i

mbu

han

buat

an),

7.

Perb

aikan

sist

em d

rain

ase

pem

ukim

an d

an

perk

otaa

n.

TE

NG

AH

1.

M

enin

gkat

kan

fung

si re

tens

i ek

olog

is pa

da a

lur s

unga

i, 2.

A

rtific

ial R

echar

ge: T

aman

Res

apan

, Be

ndun

gan,

Situ

, dll,

3.

So

deta

n Ci

liwun

g-Ci

sada

ne,

4.

Prog

ram

pen

gelo

laan

SDA

Hut

an

(pen

cega

han

keru

saka

n, h

utan

ra

kyat

, pem

bina

an),

pem

bang

unan

hu

tan

baru

, pen

ghija

uan

dan

rebo

isasi,

5.

Re

habi

litas

i sem

pada

n su

ngai,

6.

Pe

rbaik

an si

stem

dra

inas

e pe

muk

iman

dan

per

kota

an.

Tab

el 6

.2.

Him

puna

n re

kom

enda

si ke

giat

an te

knis

/tek

nolo

gi p

enge

lolaa

n D

AS

Ciliw

ung

DA

S

HU

LU

1.

A

rtific

ial R

echar

ge: S

umur

Res

apan

2.

Pr

ogra

m p

enge

lolaa

n SD

A H

utan

(p

ence

gaha

n ke

rusa

kan,

hut

an ra

kyat

, pe

mbi

naan

), pe

mba

ngun

an h

utan

bar

u,

peng

hijau

an d

an re

boisa

si da

erah

hul

u,

3.

Perli

ndun

gan

sem

pada

n su

ngai,

4.

So

deta

n Ci

liwun

g-Ci

sada

ne,

5.

Bend

unga

n di

Ciaw

i dan

Gen

teng

AC

TIO

N P

LA

N

1.

Nor

mali

sasi

sung

ai hi

lir d

i zon

e 1,

2.

M

enin

gkat

kan

kem

ampu

an d

an k

iner

ja pa

ra p

elaks

ana,

3.

Pena

taan

ruan

g ka

was

an p

edes

aan

seca

ra n

yata

di d

aera

h, sa

mpa

i ke

daer

ah h

ulu,

seba

gai k

awas

an b

udid

aya

dan

kaw

asan

lind

ung,

serta

mem

berik

an sa

nksi

yang

tega

s pad

a se

tiap

pelan

ggar

an.

Dila

kuka

n pe

nyus

unan

tata

ruan

g se

cara

ber

jenjan

g, y

ang

dim

ulai

dari

kam

pung

. Re

ncan

a ta

ta ru

ang

kam

pung

ini h

arus

dib

ahas

oleh

mas

yara

kat (

linta

s sta

keho

lder

s) d

an

dijad

ikan

bag

ian d

ari r

enca

na ta

ta ru

ang

wila

yah,

4.

In

tegr

ated

regu

ler w

ater

mon

itorin

g (q

uant

ity &

qua

lity)

Sum

ber :

Has

il a

nalis

is da

ri be

rbag

ai re

kom

enda

si m

akala

h se

min

ar y

ang

dilak

ukan

Bap

pena

s (20

02),

Kim

pras

wil

(200

2), S

odet

an C

iliw

ung

(199

7),

d

an P

enge

lolaa

n D

AS

Terp

adu-

IPB

(200

2)

Page 103: BUKU CILIWUNG

Hubungan Kerjasama Institusi dalam Pengelolaan DAS

9 6 Kasus DAS Ciliwung

Aksi dan penerapan teknologi yang mungkin dilakukan dalam upaya mencegah dan menurunkan resiko banjir diantaranya :

1. Menyimpan dan memasukan air sebanyak-banyaknya kedalam tanah melalui : a. Pembangunan taman resapan air hujan di setiap komplek pemukiman dan ruang

terbuka hijau b. Mengaktifkan daerah resapan air yang sudah ada c. Merubah pola penutupan lahan ke yang lebih mampu meresapkan air d. Penghijauan dan penghutanan daerah gundul e. Membuat taman resapan f. Membuat sumur resapan g. Membangun bangunan cekdam, embung di daerah hulu dan tengah

2. Memperlambat aliran air di badan sungai

3. Kegiatan konservasi harus dilakukan pada tingkat pohon, tanah melalui penerapan tindakan konservasi tanah dan air di bagian hulu dan tengah

4. Melakukan pembenahan tata ruang diantaranya melalui kegiatan : a. Membuat rencana tata ruang Jabotabek dimana banjir menjadi bahan

pertimbangan dan faktor pembatas penggunaan lahan dan penataan ruang b. Memelihara dan meningkatkan kemampuan DAS dalam menyimpan air c. Gunakan dan tegakan sistem perijinan yang disesuaikan dengan rencana

pengembangan tata ruang d. Hentikan konversi lahan dari yang dapat meresapkan air ke bentuk yang tidak

meresapkan air e. Berikan ruang gerak air dalam badan sungai secara utuh f. Tingkatkan kemampuan lahan dalam meresapkan air di bagian hulu, tengah dan

hilir

5. Membuat prakiraan debit banjir a. Membuat sistem peringatan dini bahaya banjir b. Meningkatkan waktu periode ulang

6. Model kerjasama yang menguntungkan dan melibatkan semua pihak

7. Koordinasi antar sektor dan wilayah

8. Dukungan politik dan masyarakat

9. Pendekatan terpadu

10. Tranparansi

11. Tujuannya jelas dan terarah

12. Melibatkan semua stakeholder

13. Solidaritas

Page 104: BUKU CILIWUNG

Hubungan Kerjasama Institusi dalam Pengelolaan DAS

Kasus DAS Ciliwung 9 7

6.6. Rekomendasi Institusi

Beberapa rekomendasi kebijakan institusi yang telah disampaikan dalam beberapa kegiatan lokakarya/seminar yang telah dilakukan, adalah sebagai berikut :

a. Perlu penegakan hukum baik dalam pengelolaan di kawasan lindung, di bantaran sungai, maupun di pantai utara Jakarta.

b. Perlu adanya peraturan yang memuat prosedur baku penanganan bencana banjir. Pengaturan ini seharusnya dikeluarkan oleh Badan Penanggulangan Banjir yang independen, yang dalam pembentukannya melibatkan masyarakat luas.

c. Diperlukan revitalisasi dan reformulasi kebijakan nasional PSDA, khususnya dalam lingkup pemanfaatan DAS Ciliwung.

d. Diperlukan penataan ulang tata ruang wilayah yang terkena banjir, penggunaan lahan disesuaikan dengan peruntukan. Dalam kaitan ini perlu segera ditetapkan kebijakan tentang penataan ruang kawasan pedesaan.

e. Diperlukan kesepakatan tentang penggunaan metode penilaian dan penggunaan valuasi sebagai instrumen penilaian. Oleh karena itu perlu studi untuk menentukan indikator penetapan kinerja DAS Ciliwung.

f. Diperlukan pengembangan instrumen ekonomi untuk meningkatkan kualitas lingkungan DAS Ciliwung.

g. Penerapan AMDAL secara ketat terhadap seluruh kegiatan yang memerlukan AMDAL.

h. Diperlukan pengelolaan DAS terpadu, untuk mewujudkan kebijakan one river one plan, dan one management dan untuk itu perlu dipastikan bentuk campur tangan pemerintah pusat (untuk Bopunjur). Dalam kaitan ini diperlukan studi peran multipihak dalam penetapan cost and benefit sharing antara pemerintahan di wilayah hulu dan hilir

i. Diperlukan identifikasi formasi dan struktur organisasi untuk melakukan pengelolaan DAS Ciliwung serta upaya peningkatan kelembagaan (peraturan, pendanaan, SDM, tenaga kerja) pengelolaan sungai Ciliwung.

j. Mempromosikan tanggungjawab sendiri bagi semua pelaku dan mempromosikan kesepakatan-kesepakatan secara sukarela dengan menyertakan interest groups.

k. Menjalankan pilot projects serta melakukan monitoring dan evaluasi implementasinya di lapangan.

6.7. Rekomendasi Proses Multipihak dan Program Pemerintah

Hasil penelaahan terhadap rekomendasi dari kegiatan seminar/lokakarya dan program pemerintah yang sudah, sedang, dan akan dijalankan secara umum sudah menuju pada sasaran-sasaran kebijakan dan kegiatan operasional yang diperlukan dalam pengelolaan DAS Ciliwung dan pengendalian banjir di DKI Jakarta. Masalah potensial yang mungkin terjadi dalam melakukan perancangan kebijakan dan implementasi program dan kegiatan adalah sebagai berikut :

Page 105: BUKU CILIWUNG

Hubungan Kerjasama Institusi dalam Pengelolaan DAS

9 8 Kasus DAS Ciliwung

1. Identifikasi masalah yang telah dilakukan baik dari hasil seminar/lokakarya, Tim Koordinasi Pengelolaan Sungai Ciliwung, maupun oleh instansi pemerintah daerah, pada umumnya masih bersifat umum/makro dan belum dikaitkan dengan lokasi-lokasi dimana masalah tersebut berada, serta karakteristik hulu, tengah dan hilir DAS. Akibat dari kondisi yang demikian, maka implementasi program dan kegiatan belum terfokus pada upaya penyelesaian masalah di lapangan.

2. Tim Koordinasi dan Kelompok Kerja Pengelolaan Sungai Ciliwung yang dibentuk berdasarkan Kepmen Kimpraswil No. 20/Kpts/M/2002 dapat menjadi motor penggerak koordinasi bagi seluruh instansi pemerintah, swasta dan masyarakat yang terlibat. Kecuali untuk pelaksanaan kegiatan sipil teknis, berbagai kegiatan yang dikoordinasikan oleh Tim ini diharapkan dapat secara langsung dikaitkan dengan permasalahan di lapangan. Hambatan struktural yang berkaitan dengan hak penguasaan lahan serta alih fungsi lahan/kawasan hutan, sangat terkait dengan kebijakan nasional. Oleh karena itu dapat menjadi fokus dari Tim ini.

3. Untuk kawasan hulu dan tengah DAS, kemampuan untuk menangani permasalahan pengelolaan DAS sangat terkait dengan kemampuan pemerintah daerah. Inisiatif pemerintah daerah untuk melengkapi Perda yang berkaitan dengan pengendalian kerusakan sempadan sungai, konservasi situ, dan perlindungan serta rehabilitasi kawasan lindung pada umumnya perlu dipacu. Dalam kaitan ini diperlukan peningkatan peran interest groups serta peningkatan akuntabilitas publik dalam perancangan dan implementasi program dan kegiatan pengelolaan DAS.

4. Pada tingkat kegiatan operasional program dan kegiatan nampak belum sinkron antara Depkimpraswil dengan Dinas Teknis terkait dibawah pemerintah daerah. Hal ini disebabkan oleh karena masih adanya perbedaan pemahaman atas wilayah pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) dan Satuan Wilayah Sungai (SWS) yang mempunyai dimensi berbeda.

5. Dari penjelasan terhadap program dan proyek di DAS Ciliwung dapat diketahui bahwa persyaratan-persyaratan yang harus dibenahi terlebih dahulu atau paling tidak dilaksanakan secara berbarengan belum tercermin. Persyaratan tersebut adalah kesiapan di lapangan yang meliputi penyelesaian konflik hak-hak pemanfaatan sumberdaya alam, alih fungsi lahan, perambahan areal perkebunan, kehutanan, dan tanah negara lainnya, persoalan struktural, serta keterlaksanaan penyelesaian pendekatan sipil teknis.

6.8. Mekanisme dan Proses Yang Diperlukan

Untuk mewujudkan kesepakatan dalam pengelolaan DAS terpadu, diperlukan agar para pemangku kepentingan sepakat untuk melaksanakan proses, antara lain sebagai berikut:

1. Memastikan keterlibatan/peran-serta para pemangku kepentingan. 2. Melaksanakan pertemuan dengan anggota-anggota lembaga koordinasi DAS yang

telah ada (apabila belum, membangun kelembagaan koordinatifnya). 3. Melaksanakan pertemuan seluruh pemangku kepentingan untuk menyepakati aturan

main dalam DAS.

Page 106: BUKU CILIWUNG

Hubungan Kerjasama Institusi dalam Pengelolaan DAS

Kasus DAS Ciliwung 9 9

Para pemangku kepentingan sangat mengharapkan dukungan dari para pengambil keputusan, baik di tingkat pemerintah pusat, pemerintah propinsi maupun pemerintah kabupaten/kota, agar seluruh kesepakatan dapat di adopsi dan disinergikan dengan setiap keputusan yang menyangkut pengelolaan DAS. Bentuk-bentuk dukungan riil yang diharapkan antara lain: (1) Penyelenggaraan proses-proses publik untuk setiap perencanaan kebijakan dan program/kegiatan, termasuk yang telah diagendakan oleh para pemangku kepentingan; (2) Memastikan pendanaan berdasarkan prinsip pembagian biaya-manfaat bagi daerah hulu dan hilir, termasuk menggalang pendanaan dari sektor swasta; (3) Mengembangkan sistem insentif bagi pelaku konservasi atau rehabilitasi DAS; (4) Mengembangkan sistem informasi pengelolaan DAS Terpadu, termasuk melakukan studi-studi pendukungnya; dan (5) Penguatan instansi-instansi pengelolaan DAS yang ada dalam hal organisasi, manajemen dan teknis.

Dalam pengelolaan sumberdaya alam yang melibatkan multi pemangku kepentingan (stakeholder) maka prinsip-prinsip partisipatif, koordinatif, transparansi, dan dapat dipertanggunggugatkan (accountable) perlu dipegang oleh seluruh pemangku kepentingan. Dalam kaitan ini “koordinasi” adalah tantangan yang perlu dipecahkan bersama.

Koordinasi memerlukan pertukaran informasi secara intensif untuk mengkonfirmasikan waktu, biaya, dan aktivitas yang dilakukan oleh setiap instansi/lembaga untuk mencapai tujuan dengan ukuran kinerja yang disepakati bersama. Hambatan koordinasi biasanya terletak di dalam struktur organisasi/lembaga masing-masing, yaitu pertentangan antara fleksibilitas yang diperlukan dengan kekakuan tugas dan fungsi yang telah ditetapkan, dan bukan terletak pada tingkat kebijakan dan tujuan-tujuannya.

Tantangannya terletak pada diakui dan dijalankannya kegiatan-kegiatan yang sifatnya bukan struktural/administratif, yang berjalan berdasarkan tujuan yang diartikulasikan secara jelas, didasarkan pada sharing pengetahuan, pencarian informasi secara sistematis, pertukaran, serta proses feedback. Pemrosesan informasi yang dikaitkan dengan sharing pengetahuan akan mengantarkan seluruh organisasi/lembaga dapat belajar bersama dalam keikutsertaannya menjalankan kegiatan, dan melakukan penyesuaian kegiatan-kegiatan yang didasarkan pada hasil assesment masing-masing.

Tidak mudah untuk mewujudkan “lingkungan” yang memungkinkan terjadinya koordinasi, karenanya diperlukan berbagai interaksi diantara banyak organisasi yang mempunyai tingkat otoritas, tanggungjawab, dan tugas yang berbeda-beda. Buku ini diharapkan menjadi salah satu bahan untuk melakukan interaksi tersebut.

Page 107: BUKU CILIWUNG

Hubungan Kerjasama Institusi dalam Pengelolaan DAS

1 0 0 Kasus DAS Ciliwung

Page 108: BUKU CILIWUNG

Hubungan Kerjasama Institusi dalam Pengelolaan DAS

Kasus DAS Ciliwung 1 0 1

PUSTAKA Anonimous. 1963. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 1963

tentang Penertiban Pembangunan Baru di sepanjang jalan antara Jakarta-Bogor- Puncak-Cianjur

_________. 1983. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 1983 tentang penanganan khusus Penataan Ruang dan Penertiban serta Pengendalian Pembangunan pada kawasan pariwisata Puncak dan wilayah jalur jalan Jakarta- Bogor-Puncak-Cianjur di luar wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Kotamadya Bogor, Kota Administratif Depok, Kota Cianjur dan Kota Cibinong

_________. 1985. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 79 Tahun 1985 tentang Penetapan Rencana Umum Tata Ruang Kawasan Puncak

_________. 1985. Keputusan Gubernur KDH.Tk.I Jawa Barat Nomor 556.1 Tahun 1985 tentang Prosedur dan Tata Cara Pengendalian (Kriteria Teknis Bangunan) pada Kawasan pariwisata jalur jalan Bogor – Puncak-Cianjur

_________. 1985. Keputusan Gubernur KDH.Tk.I Jawa Barat Nomor 821 Tahun 1985 tentang Pembentukan Tim Asistensi Teknik Pengendalian Tata Ruang Kawasan Puncak Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Barat

_________. 1986. Instruksi Gubernur KDH.Tk.I Jawa Barat Nomor 593 Tahun 1986 tentang Pengendalian mutasi tanah di Kawasan Puncak

_________. 1988. Peraturan Daerah Kabupaten Bogor Nomor 3 Tahun 1988 tentang Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) Kawasan Puncak di Kabupaten DT II Bogor

_________. 1991. Keputusan Gubernur KDH.TK.I Jawa Barat Nomor 413.21 Tahun 1991 tentang Kriteria Lokasi dan Standar Teknis Penataan Ruang di Kawasan Puncak.

_________. 1993. Keputusan Gubernur KDH.Tk.I Jawa Barat Nomor 24 Tahun 1993 tentang Pencabutan Keputusan Gubernur KDH.Tk.I Jawa Barat Nomor 17 Tahun 1989 tentang Tim Asistensi Teknik (TAT) dan Pengendalian Pembangunan di Kawasan Puncak.

Asdak, Chay. 1995. Hidrologi dan Pengelolaan DAS. Gajahmada University Press. Jogjakarta

Anonimous. 1995. Keputusan Gubernur KDH.Tk.I Jawa Barat Nomor 640 Tahun 1995 tentang Penanganan Pembangunan Kawasan Puncak

_________. 1996. Keputusan Kepala Bappenas Nomor 016 Tahun 1996 tentang Pembentukan Kelompok Kerja Pengelolaan Ruang Kawasan (PRK) Bopunjur

_________. 1996. Laporan Hasil Monitoring Hidrologi Stasiun Pengamat Arus Sungai DAS Ciliwung, Sub DAS Ciliwung Hulu Tahun 1995/1996. SWP DAS Ciliwung, Cisadane dan Cimandiri. Sub BRLKT Ciujung-Ciliwung, BRLKT Wilayah IV. Bandung

_________. 1997. Laporan Utama Evaluasi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Ciliwung Bagian Hulu. Direktorat Rehabilitasi dan Konservasi Tanah, Direktorat Jenderal Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan, Departemen Kehutanan. Jakarta

Page 109: BUKU CILIWUNG

Hubungan Kerjasama Institusi dalam Pengelolaan DAS

1 0 2 Kasus DAS Ciliwung

_________. 1997. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 47 Tahun 1997 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional

_________. 1999. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 114 Tahun 1999 tentang Penataan Ruang Kawasan Bopunjur

_________. 1999. Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 22 Tahun 1989 tentang Tata Laksana Penertiban dan Pengendalian Pembangunan di Kawasan Puncak

_________. 1999. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah

_________. 2000. Peraturan Daerah Kabupaten Bogor Nomor 17 Tahun 2000 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bogor

_________. 2000. Peraturan Daerah Kabupaten Bogor Nomor 23 Tahun 2000 tentang ijin mendirikan Bangunan

_________. 2001. Laporan Akhir Studi Pengembangan Sistem Insentif Dalam Rangka Rehabilitasi Lahan/Penghijauan Di 3 (Tiga) DAS. Kerjasama Fakultas Kehutanan IPB dengan Ditjen RLPS Departemen Kehutanan. Jakarta

_________. 2002. Keputusan Menteri Pemukiman dan Prasarana Wilayah Nomor 20 Tahun 2002 tentang Pembentukan Organisasi Tim Koordinasi dan Kelompok Kerja Pengelolaan Sungai Ciliwung

_________. 2002. Laporan Kaji Ulang Penataan Ruang Kabupaten Bogor dalam Rangka Mitigasi Banjir DKI Jakarta dan Sekitarnya. Direktorat Jenderal Penataan Ruang-Depertemen Kimpraswil. Jakarta

_________. 2002. Laporan Kaji Ulang Penataan Ruang Kabupaten Bogor dalam Rangka Mitigasi Banjir DKI Jakarta dan Sekitarnya. Direktorat Jenderal Penataan Ruang-Depertemen Kimpraswil. Jakarta

Antoro, H dan Fahmiza. 2002. Sifat Hujan Bogor Periode 1995-2001 Pada Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciliwung dan Cisadane Kaitannya dengan Kejadian Banjir Di Jakarta. Makalah untuk Lokakarya Pengelolaan DAS Terpadu di Era Otonomi Daerah: Peningkatan Kapasitas Multipihak Dalam Pengendalian Banjir DKI Jakarta, 8 Mei 2002 yang diselenggarakan oleh LP-IPB dan Andersen/Prasetyo Strategic Consulting. Jakarta

Adventist Development and Relief Agency. 2002. Flood Relief in Indonesia. http://uisda.org/2002/news/news2.html (21 Juli 2003)

Boehmer, K., M. E. Haight, and B. Mitchell. 1997. Guidelines for Integrated Watershed Management Training. Dalhuousie Univ. ESCD in Indonesia. Jakarta

Bappeda DKI Jakarta. 2001. Kilas Jakarta: Info Penduduk. http://bappedajakarta.go.id/ kilas/infopenduduk.html (10 Maret 2003)

Ditjen Cipta Karya-Departemen Pekerjaan Umum. 1995. Laporan Pembangunan. http://pu.go.id/ publik/cipta20%karya/html/ind/lap.pemb.html (10 Maret 2003)

Departemen Pemukiman dan Prasarana Wilayah Direktorat Jenderal Sumberdaya Air, Direktorat Penatagunaan Sumberdaya Air. 2002. Workshop Konsultasi Stakeholders untuk Basin Water Resources Management Planning (BwRmP) wilayah Sungai Ciliwung-Cisadane. Bogor

Page 110: BUKU CILIWUNG

Hubungan Kerjasama Institusi dalam Pengelolaan DAS

Kasus DAS Ciliwung 1 0 3

Hewlett. 1982. Principles of Forest Hydrology. The University of Georgia Press, Athens. USA

Hutasoit, Lambok. 2002. Hidrogeologi Daerah DKI Jakarta dalam Kaitannya dengan Penanganan Banjir di Wilayah DKI Jakarta. Makalah untuk Lokakarya Pengelolaan DAS Terpadu di Era Otonomi Daerah: Peningkatan Kapasitas Multipihak Dalam Pengendalian Banjir DKI Jakarta, 8 Mei 2002 yang diselenggarakan oleh LP-IPB dan Andersen/Prasetyo Strategic Consulting. Jakarta

Kartodihardjo, H. dkk. 2000. Kajian Institusi Pengelolaan DAS dan Konservasi Tanah. Kelompok Pengkajian Pengelolaan Sumberdaya Berkelanjutan (K3SB). Bogor

Linsley, R. K., M.A. Kohler, and J. L. H. Paulhus. 1982. Hydrology For Engineers. McGraw-Hill. New York

Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat. 2002. Banjir: Tanggung jawab negara. Asasi News Letter edisi Maret-April 2002. http://www.elsam.or.id/text/asasi/ 2002_0304/ 01.html (21 Juli 2003)

Manan, Syafei. 1976. Pengaruh Hutan dan Pengelolaan DAS, Proyek Peningkatan Perguruan Tinggi. Fakultas Kehutanan IPB. Bogor

Muliastuty, W.A. 2001. Pendugaan Limpasan Langsung dalam Penelusuran Banjir di DAS Ciliwung. Skripsi Jurusan Teknik Pertanian, Fakultas Teknik Pertanian IPB. Bogor

Massachusetts Executive Office of Environmental Affair (EOEA). 2001. Massachusetts Watershed Inisiative. http://www.state.ma.us/envir/mwi/watershed.html (21 Juli 2003)

Murtilaksono, Kukuh. 2002. Kerangka Logis (Logical Framework) Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Terpadu. Makalah untuk Lokakarya Pengelolaan DAS Terpadu di Era Otonomi Daerah: Peningkatan Kapasitas Multipihak Dalam Pengendalian Banjir DKI Jakarta, 8 Mei 2002 yang diselenggarakan oleh LP-IPB dan Andersen/Prasetyo Strategic Consulting. Jakarta

NEDECO. 2002. What happened in January/February 2002. Hand out presentation in Workshop on dissemination of result of Quick Reconnaissance Study Flood Jakarta 2002, june 6, 2002. Jakarta

Proyek Induk Pengembangan Wilayah Sungai Ciliwung-Cisadane Direktorat Jenderal Pengairan, DPU. 1999. Rencana Pembangunan Sistem Pengendalian Banjir Sungai Ciliwung-Cisadane. Makalah Rapat Koordinasi Panitia Pengadaan Tanah Kotamadya Bogor. Bogor

Pawitan, Hidayat. 2002. Hidrologi DAS Ciliwung dan Andilnya terhadap Banjir Jakarta. Makalah untuk Lokakarya Pengelolaan DAS Terpadu di Era Otonomi Daerah: Peningkatan Kapasitas Multipihak Dalam Pengendalian Banjir DKI Jakarta, 8 Mei 2002 yang diselenggarakan oleh LP-IPB dan Andersen/Prasetyo Strategic Consulting. Jakarta

Soetarto, Endriatmo. 2002. Politik Agraria: Antara Regulasi dan Implementasi. Makalah untuk Lokakarya Pengelolaan DAS Terpadu di Era Otonomi Daerah: Peningkatan Kapasitas Multipihak Dalam Pengendalian Banjir DKI Jakarta, 8 Mei 2002 yang diselenggarakan oleh LP-IPB dan Andersen/Prasetyo Strategic Consulting. Jakarta

Tim Deputy Survey Dasar dan Sumberdaya Alam Bakosurtanal. 2002. Kajian Keruangan Banjir di Kawasan Jakarta dan sekitarnya. Bakosurtanal. Bogor

Page 111: BUKU CILIWUNG

Hubungan Kerjasama Institusi dalam Pengelolaan DAS

1 0 4 Kasus DAS Ciliwung

Tim IPB. 2002. Peningkatan Kapasitas Pengelolaan DAS Ciliwung Untuk Pengendalian Banjir di Ibukota Jakarta. Makalah Sintesa untuk Lokakarya Pengelolaan DAS Terpadu di Era Otonomi Daerah: Peningkatan Kapasitas Multipihak Dalam Pengendalian Banjir DKI Jakarta, 8 Mei 2002 yang diselenggarakan oleh LP-IPB dan Andersen/Prasetyo Strategic Consulting. Jakarta

University of Michigan. 2000. The Water Cycle. http://www.windows.ucar.edu/earth/ images/watercycle.gif (21 Juli 2003)

US Embassy Jakarta Home Page. 2002. Pictures From US Relief in Jakarta, Januari 2002. http://usembassyjakarta.org/fotobjr.html (21 Juli 2003)

Ubaidilillah, R. Maryanto, I. et all. 2003. Manajemen Bioregional Jabotabek: Tantangan dan Harapan. Pusat Penelitian Biologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Bogor. Januari 2003

Viessman, W., J.W. Knapp, G.L. Lewis. 1989. Introduction to Hydrology. Harper & Row Publisher. New York