buku ciliwung
TRANSCRIPT
HUBUNGAN KERJASAMA INSTITUSI DALAM
PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI
KASUS DAS CILIWUNG
Omo Rusdiana Sudaryanto
Iin Ichwandi Nana Mulyana Arifjaya
Hendrayanto Rinekso Soekmadi
Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor
2003
HUBUNGAN KERJASAMA INSTITUSI DALAM PENGELOLAAN DAS: KASUS DAS CILIWUNG
PENULIS Omo Rusdiana Sudaryanto Iin Ichwandi Nana Mulyana Arifjaya Hendrayanto Rinekso Soekmadi EDITOR Hariadi Kartodihardjo M. Buce Saleh TATA LETAK Kasuma Wijaya Syamsul Budiman ILUSTRASI SAMPUL Kasuma Wijaya @ Fakultas Kehutanan IPB, 2003 VI+104 hal, 190 x 280 mm ISBN 979-9337-16-X Perpustakaan Nasional Republik Indonesia
i i i
KATA PENGANTAR
Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan pengelolaan sumberdaya yang terdapat di suatu DAS, baik sumberdaya alam (natural capital), sumberdaya manusia (human capital) beserta pranata institusi formal maupun informal masyarakat (social capital), maupun sumberdaya buatan (man made capital) yang satu sama lain saling berinteraksi (interaction).
Isu-isu penurunan kualitas lingkungan dalam pengelolaan DAS, terutama isu banjir dan kekeringan seringkali ditanggapi sebagai isu-isu yang disebabkan oleh masalah-masalah yang bersifat teknis semata, sehingga usulan-usulan pemecahan masalah lebih banyak dipusatkan pada kegiatan-kegiatan yang bersifat teknis, seperti sodetan sungai, normalisasi sungai, pembuatan resapan aliran permukaan, penanaman di daerah hulu sungai dan sebagainya, masih jarang yang melihat prasyarat-prasyarat yang diperlukan agar kegiatan-kegiatan yang bersiafta teknis tersebut dapat berjalan dengan baik.
Tim Kerja Fakultas Kehutanan IPB telah melakukan beberapa studi sebagai upaya untuk mengkaji permasalahan-permasalahan yang dihadapi dalam Pengelolaan DAS, terutama dalam rangka merespon isu banjir dan kegagalan Rehabilitasi Lahan. Dari hasil-hasil studi tersebut ditemukan indikasi kuat bahwa kegiatan-kegiatan yang bersifat teknis memerlukan kegiatan-kegiatan non teknis sebagai prasyarat keberhasilan kegiatan teknis. Lemahnya Sistem Insentif dan Kelembagaan dalam Pengelolaan DAS merupakan dua hal yang dominan yang menyebabkan munculnya isu banjir dan kegagalan rehabilitasi lahan.
Hasil dari studi tersebut ditulis dalam tiga buku, sebagai upaya untuk memberikan tambahan pengetahuan dan bahan acuan bagi studi dan praktek pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Ketiga buku tersebut adalah:
1. Penataan Institusi Pengelolaan DAS
2. Sistem Insentif Rehabilitasi Lahan Dalam Kerangka Pengelolaan DAS
3. Hubungan Kerjasama Institusi dalam Pengelolaan DAS : Kasus DAS Ciliwung
Buku 1. Penataan Institusi Pengelolaan DAS secara garis besar berisi konsep institusi/kelembagaan, pengalaman penerapannya di beberapa negara, permasalahan institusi pengelolaan DAS di Indonesia, serta telaah penatanaannya.
Buku 2. Sistem Insentif Rehabilitasi Lahan Dalam Kerangka Pengelolaan DAS, secara garis besar berisi konsep insentif, sejarah pengelolaan DAS di Indonesia, dan hasil studi kasus sistem insentif yang diperlukan di DAS Ciliwung (Jawa Barat), Rokan (Riau) dan DAS Dodokan (NTB), posisi insentif dan kebijakan rehabilitasi lahan dalam kerangka pengelolaan DAS, serta panduan pengembangan sistem insentif.
Buku 3. Hubungan Kerjasama Institusi dalam Pengelolaan DAS : Kasus DAS Ciliwung, secara garis besar berisi konsep pengelolaan DAS, karakteristik DAS Ciliwung, permasalahan DAS Ciliwung dan pengelolaannya, kebijakan pengelolaan DAS Ciliwung, dan sintesa rekomendasi pengelolaan DAS dan pengendalian banjir di Jakarta.
Disadari bahwa dalam penulisan buku-buku ini masih belum sempurna sehingga masukan dari pembaca sangat berguna dalam menyempurnakan isi dan penulisan buku ini. Terlepas
i v
dari kekurangan yang masih ada, diharapkan buku-buku tersebut dapat bermanfaat bagi perbaikan pengelolaan DAS di Indonesia.
Tulisan ini tidak akan terdokumentasi dengan baik tanpa bantuan Japan International Agency (JICA). Terima kasih untuk Hiroshi Nakata, Rika Novida dan Irma Imelda yang dengan sabar menunggu kompilasi dokumen ini. Tanpa lupa penghargaan kami berikan kepada tim dapur, Kasuma Wijaya dan Syamsul Budiman yang telah melakukan pekerjaan dengan sangat baik.
Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor Dekan,
Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS
v
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR DAFTAR ISI
1. PENDAHULUAN
2. KONSEP PENGELOLAAN DAS 2.1. Daerah Aliran Sungai (DAS), Komponen dan Pencirinya ................................. 5 2.2. Pengelolaan DAS ...................................................................................................... 9 2.3. Peran Pemangku Kepentingan dalam Pengelolaan DAS ................................... 10
3. KARAKTERISTIK DAS CILIWUNG 3.1. Bentuk DAS dan Wilayah DAS.............................................................................. 11 3.2. Karakteristik Topografi dan Curah Hujan ............................................................ 12 3.3. Karakteristik Hidrologi dan Hidrogeologi ............................................................ 15 3.4. Karakteristik Lahan dan Tata Ruang Wilayah DAS ............................................ 21 3.5. Karakteristik Sosial Ekonomi Masyarakat............................................................. 27
4. PERMASALAHAN DAS CILIWUNG DAN PENGELOLANNYA 4.1. Gejala Banjir di DKI Jakarta ................................................................................... 31 4.2. Karakteristik Banjir di DKI Jakarta ...................................................................... 32 4.3. Andil Daerah Hulu dan Tengah DAS Ciliwung terhadap Debit dan
Volume Banjir............................................................................................................ 38 4.4. Faktor Geologi dan Penyebab Banjir .................................................................... 40 4.5. Tidak Berjalannya Kebijakan Penataan Ruang..................................................... 40 4.6. Rehabilitasi Lahan Tidak Berhasil .......................................................................... 44 4.7. Kerugian Akibat Banjir 2002................................................................................... 46
5. KEBIJAKAN PENGELOLAAN DAS CILIWUNG 5.1. Kebijakan Penataan Ruang DAS Ciliwung ........................................................... 51 5.2. Organisasi, Program dan Kegiatan Pengelolaan DAS ........................................ 62 5.3. Ketidakterpaduan Program ..................................................................................... 66
6. SINTESA REKOMENDASI PENGELOLAAN DAS DAN PENGENDALIAN BANJIR JAKARTA
6.1. Kerangka Pendekatan Pengelolaan DAS Ciliwung.............................................. 83 6.2. Pendekatan Teknologi.............................................................................................. 85 6.3. Pendekatan Institusi.................................................................................................. 91 6.4. Proses Multipihak Penanganan Pengelolaan DAS Ciliwung.............................. 94 6.5. Rekomendasi Teknologi/Teknis ............................................................................ 94 6.6. Rekomendasi Institusi .............................................................................................. 97 6.7. Rekomendasi Proses Multipihak dan Program Pemerintah............................... 97 6.8. Mekanisme dan Proses yang Diperlukan .............................................................. 98
PUSTAKA
v i
Hubungan Kerjasama Institusi dalam Pengelolaan DAS
Kasus DAS Ciliwung 1
1. PENDAHULUAN
Banjir di DKI Jakarta bukan merupakan hal baru, tetapi hampir terjadi setiap tahun dengan skala dan intensitas yang bervariasi. Di antara kasus banjir di DKI yang menimbulkan kerugian besar telah terjadi pada tahun 1996 dan 2002. Pada besaran curah hujan yang sama dengan saat kejadian banjir tersebut, DKI Jakarta akan tetap mengalami kebanjiran ulang, terutama bila tata lingkungan di Daerah Aliran Sungai (DAS) yang memiliki aliran sungai melewati DKI Jakarta tidak diperbaiki secara serius. Dalam konteks ini, banjir di DKI Jakarta yang telah terjadi secara berulang-ulang merupakan gejala (symptom) dari terlampauinya kapasitas DAS-DAS untuk meregulasi debit yang aliran sungainya melewati DKI Jakarta, yaitu: S. Ciliwung, S. Angke, S. Cakung, Cengkareng Drain, S. Mookervart, S. Krukut, S. Buaran, S. Sunter, S. Cipinang dan S. Pasanggrahan.
Untuk mengatasi banjir di DKI Jakarta, sudah banyak program dilakukan dengan curahan dana dan usaha yang besar, tetapi kejadian banjir tetap berulang. Banjir tersebut menimbulkan kerugian yang sangat besar bagi masyarakat. Masalah yang dihadapi nampaknya bukan semata-mata terletak pada hal teknis, tetapi pada masalah kelembagaan pengelolaan DAS dan lemahnya kebijakan publik, khususnya menyangkut lemahnya pertanggung-gugatan (accountability) pengelolaan DAS dan sumberdaya air yang merupakan sumberdaya publik. Selain itu, pendekatan teknis yang telah dan akan dilakukan belum menggunakan DAS sebagai unit analisis, tetapi cenderung bersifat parsial, sektoral atau terkait dengan kewenangan wilayah administratif tertentu. Mengingat karakteristik DKI Jakarta yang sebagian wilayahnya merupakan dataran banjir (flood plain), upaya peniadaan banjir di wilayah tersebut jelas merupakan pekerjaan yang membutuhkan biaya dan tenaga besar. Dari segi karakter hidrologi, prioritas perlu diberikan pada usaha-usaha yang mampu menjamin keberhasilan jangka panjang tanpa memindahkan masalah ke wilayah lain, antara lain dengan meningkatkan kapasitas alamiah untuk meregulasi debit DAS-DAS yang aliran sungainya melewati DKI Jakarta.
Respons atas kejadian banjir tahun 1996 dan 2002 telah menghasilkan banyak rekomendasi dan rumusan program yang sasarannya adalah memecahkan masalah pengelolaan DAS terpadu dan pengendalian banjir. Hasil penelaahan atas berbagai rekomendasi dan program-program yang sudah, sedang dan akan dilaksanakan oleh para pemangku kepentingan menunjukkan lemahnya sinergi, baik di tingkat kebijakan maupun di tingkat operasional. Selain itu sebagian besar rekomendasi dan program masih bersifat makro dan belum dikaitkan dengan tapak dimana masalah tersebut terjadi, serta belum dipertimbangkannya secara mendalam karakteristik hulu, tengah dan hilir DAS. Akibatnya, implementasi program dan kegiatan belum terfokus pada upaya penyelesaian masalah riil di lapangan.
Banjir di Jakarta bukanlah bencana alam yang tidak dapat dihindarkan, tetapi merupakan indikator kegagalan pemerintah dan para pemangku kepentingan lainnya dalam mengelola sumber daya alam yang memiliki manfaat publik. Dalam konteks tersebut, kegagalan kebijakan dan kegagalan kelembagaan pengelolaan DAS merupakan hal penting yang harus segera dibenahi oleh para pengambil keputusan. Secara substansi, lemahnya koordinasi antar berbagai pemangku kepentingan (stakeholders) dan lemahnya pertanggunggugatan publik (public accountability) program-program pengelolaan DAS terpadu merupakan fokus masalah yang harus dipecahkan bersama. Dalam hubungannya dengan otonomi daerah, penguatan kapasitas dari para pemangku kepentingan untuk memecahkan masalah riil
Hubungan Kerjasama Institusi dalam Pengelolaan DAS
2 Kasus DAS Ciliwung
pengelolaan DAS terpadu yang berorientasi pada tujuan jangka panjang, termasuk mengurangi resiko banjir, merupakan agenda bersama para pemangku kepentingan yang tidak bisa ditunda.
Koordinasi memerlukan komitmen yang tinggi dan pertukaran informasi secara intensif untuk mengkonfirmasikan waktu, biaya, dan aktivitas yang dilakukan oleh setiap instansi/lembaga untuk mencapai tujuan dengan ukuran kinerja yang disepakati bersama. Hambatan koordinasi biasanya terletak di dalam struktur organisasi/lembaga masing-masing, yaitu pertentangan antara fleksibilitas yang diperlukan dengan kekakuan tugas pokok dan fungsi yang telah ditetapkan, dan bukan terletak pada tingkat kebijakan dan tujuan-tujuannya. Secara riil, tantangannya terletak pada diakui dan dijalankannya kegiatan-kegiatan yang sifatnya bukan struktural/administratif tetapi pada program yang dirumuskan dengan tujuan yang diartikulasikan secara jelas, melalui proses pertukaran (sharing) pengetahuan, pencarian informasi secara sistematis, serta mekanisme umpan balik (feedback) yang terjadi di antara para pemangku kepentingan. Pertukaran informasi dan pengetahuan akan memfasilitasi proses belajar bersama bagi seluruh pemangku kepentingan untuk memastikan partisipasinya dalam menjalankan kegiatan dan melakukan penyesuaian-penyesuaian yang diperlukan berdasarkan pada hasil penilaian masing-masing, sehingga kinerjanya dapat ditingkatkan. Proses-proses koordinasi tersebut juga menjadi ajang pertanggunggugatan publik bagi seluruh pemangku kepentingan dalam menjalankan tugas pokok dan fungsi masing-masing.
Keberhasilan peningkatan kapasitas alamiah DAS akan dapat dicapai, jika dan hanya jika, pengelolaan DAS dilakukan secara terpadu, baik antar pemerintah propinsi/kabupaten maupun antar sektor, dengan dukungan partisipasi aktif dari berbagai kelompok masyarakat. Kelembagaan yang memiliki mekanisme koordinasi yang jelas dan dapat dipertanggunggugatkan kepada publik merupakan kebutuhan yang secara serius perlu dipertimbangkan oleh seluruh pemangku kepentingan (stakeholders). Sebagai sebuah konsep, pentingnya koordinasi telah disadari oleh berbagai pihak, namun sebagai sebuah proses riil, koordinasi cenderung menjadi keranjang sampah bagi kegagalan berbagai pihak dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya. Lemahnya ukuran kinerja keberhasilan pengelolaan DAS yang semestinya dipertanggunggugatkan dihadapan publik memastikan bahwa telah terjadi dis-orientasi tujuan pengelolaan DAS sebagai sumberdaya publik. Untuk mencapai tujuan pengelolaan DAS terpadu sebagaimana yang diharapkan, berbagai proses partisipatif yang bertujuan untuk membangun kapasitas bersama merupakan syarat keharusan.
DAS Ciliwung merupakan salah satu pemasok air yang penting bagi DKI Jakarta dan bila meluap dampak yang ditimbulkannya akan langsung mengenai jantung Ibukota dan pusat-pusat ekonomi yang penting di DKI Jakarta. Pentingnya DAS Ciliwung bagi DKI Jakarta dan kompleksitas masalah struktural di DAS tersebut merupakan contoh representatif untuk membangun kapasitas dan solidaritas multipihak dalam pengelolaan sumberdaya alam yang berwawasan lingkungan. Keberhasilan dalam membangun kapasitas multipihak dalam pengelolaan DAS Ciliwung akan dapat direplikasikan pada DAS-DAS lain di Indonesia.
Dalam buku ini akan mencoba membahas pengelolaan DAS Terpadu dengan contoh kasus DAS Ciliwung, meliputi konsep pengelolaan DAS terpadu, kejadian banjir di DKI Jakarta dan kerugian yang diakibatkannya, permasalahan-permasalahan pokok, serta upaya-upaya penanggulangan dan proses-proses para pihak yang telah dilakukan sampai saat ini. Tulisan
Hubungan Kerjasama Institusi dalam Pengelolaan DAS
Kasus DAS Ciliwung 3
ini merupakan pengembangan dari hasil Lokakarya Pengelolaan DAS Terpadu dan beberapa tulisan/laporan serta proses-proses yang telah terjadi yang terkait dengan pengelolaan DAS Ciliwung. Semoga tulisan ini dapat dijadikan sebagai salah satu instrumen untuk belajar bersama guna memahami “Underlying Causes” dalam pengelolaan DAS terpadu, khususnya DAS Ciliwung.
Hubungan Kerjasama Institusi dalam Pengelolaan DAS
4 Kasus DAS Ciliwung
Hubungan Kerjasama Institusi dalam Pengelolaan DAS
Kasus DAS Ciliwung 5
2. KONSEP PENGELOLAAN DAS
Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) secara terpadu merupakan suatu proses penyusunan dan penerapan suatu tindakan yang melibatkan sumberdaya alam dan manusia di dalam DAS, dengan mempertimbangkan faktor-faktor sosial, politik, ekonomi, lingkungan dan institusi (kelembagaan) dalam DAS, untuk mencapai dan seluas mungkin mengembangkan lingkup dari tujuan masyarakat jangka pendek dan panjang (Boehmer et al., 1997).
DAS Ciliwung merupakan Urban Watershed yang perlu dikelola secara khusus dengan pendekatan yang holistik. Sampai saat ini pengelolaan DAS Ciliwung masih bersifat sebagian-sebagian (partial), sekalipun telah diupayakan berbagai program terpadu seperti Program Kali Bersih (PROKASIH), Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah (RLKT), Jabotabek Water Resources Management Project (JWRM), dan Penanggulangan Ruang Kawasan (PRK) Bopunjur. Namun demikian masing-masing sektor mengasumsikan bahwa apa yang diputuskan dan dilakukannya secara otomatis serasi dengan program sektor lainnya sehingga program-program tersebut tidak pernah mencapai tujuan dan sasarannya.
Dengan memperhatikan hal-hal tersebut di atas, agar setiap sektor dan pihak-pihak yang terkait dalam pengelolaan DAS dapat menempatkan peran dan posisinya dalam mencapai tujuan dan sasaran yang ingin dicapai harus dimulai dari pemahaman yang sama mengenai DAS itu sendiri, pengelolaan DAS dan peranan pemangku kepentingan dalam pengelolaan DAS.
2.1. Daerah Aliran Sungai (DAS), Komponen dan Pencirinya
Daerah Aliran Sungai (DAS) sebagai terjemahan dari watershed secara harfiah diartikan sebagai setiap permukaan miring yang mengalirkan air. Dalam konteks unit kajian dan unit pengelolaan, DAS didefinisikan sebagai bentang lahan yang dibatasi oleh topografi pemisah aliran (topographic divide), yaitu punggung-punggung bukit/gunung yang menangkap curah hujan kemudian menyimpan dan mengalirkannya melalui saluran-saluran pengaliran ke satu titik patusan (outlet) (Manan, 1976). Titik patusan umumnya berupa muara sungai di laut, kadang-kadang di danau. Suatu DAS yang titik patusannya berada di sungai diistilahkan sebagai sub DAS dari sungai tempat titik patusan berada. Daerah Pengaliran Sungai (DPS) merupakan terminologi lain yang mempunyai arti yang sama dengan pengertian DAS.
Mengacu kepada pengertian DAS yang telah diterima secara luas di atas, batas permukaan DAS menjadi jelas, dan mudah dibatasi baik di lapangan maupun di peta kontur atau peta topografi, terutama untuk lahan-lahan bergelombang sampai bergunung. Batas permukaan di lahan-lahan datar dan di lahan dengan sistem drainase buatan lebih sulit ditetapkan. Pengertian DAS di atas juga menunjukkan bahwa DAS merupakan satuan (unit) sistem hidrologi, yaitu satuan daerah pengaliran air dari mulai curah hujan jatuh di permukaan tanah mengalir sampai di titik patusan. DAS sebagai sistem hidrologi dimana titik patusan merupakan titik kajian hasil air (water yield) menjelaskan lebih lanjut bahwa air di titik patusan tidak hanya berasal dari aliran di permukaan tanah (surface flow) tetapi juga berasal dari aliran di dalam tanah, yaitu aliran bawah permukaan (sub surface flow) dan aliran bumi (ground water flow). Pergerakan aliran bawah permukaan dan aliran bumi dipengaruhi oleh sifat tanah dan jenis serta struktur batuan (geologi) yang terdapat di suatu DAS. Dengan melihat sistem hidrologi tersebut, batas suatu DAS tidak hanya batas di permukaan tanah saja tetapi juga terdapat batas di dalam tanah, di mana batas keduanya tidak selalu
Hubungan Kerjasama Institusi dalam Pengelolaan DAS
6 Kasus DAS Ciliwung
bersesuaian (coincide). Batas di bawah permukaan tanah relatif lebih sulit ditetapkan dan cenderung bersifat dinamis, sehingga dalam kegiatan praktis, batas suatu DAS hanya menggunakan batas di permukaan tanah, yang bersifat definitif untuk aliran permukaan dan bersifat indikatif untuk aliran di dalam tanah dan untuk keseluruhan sistem hidrologi DAS tersebut.
Secara grafis tiga dimensi, pemahaman pengertian DAS secara terpadu dapat dilihat pada Gambar 2.1 dan 2.2. Sedangkan Gambar 2.3 lebih menjelaskan batas DAS pada bagian permukaan dan bagian bawah permukaan.
Sumber : Viessman, W. et al. (1989)
Keterangan: P : presipitasi/curah hujan q : debit sungai q0 : air permukaan
Gambar 2.1. DAS dalam pandangan 3-D (tiga dimensi)
Sumber : EOEA (2001)
Gambar 2.2. Gambar Proyeksi Permukaan DAS (2-D)
Hubungan Kerjasama Institusi dalam Pengelolaan DAS
Kasus DAS Ciliwung 7
Sumber : Linsley, R.K. et al (1982)
Gambar 2.3. Gambar Batas Permukaan dan di Bawah Permukaan suatu DAS
Ukuran DAS sangat bervariasi dari sangat kecil (beberapa hektar) sampai sangat besar (ribuan hektar). DAS berukuran sangat kecil dicirikan oleh adanya sungai utama berhulu di bukit-bukit yang berbatasan langsung dengan laut. Sungai utamanya umumnya bersifat intermittent, yaitu hanya berair pada saat hujan dan beberapa saat setelah hujan berhenti. DAS sangat besar berhulu di pegunungan yang jauh dari laut. Sungai utamanya umumnya bersifat perennial, yaitu berair hampir sepanjang tahun.
Batas (permukaan) DAS tidak selalu, bahkan sebagian besar tidak bersesuaian dengan batas wilayah administrasi pemerintahan baik pemerintah propinsi maupun kabupaten/kota. Sesuai dengan ukuran DAS, ada DAS yang hanya mencakup satu wilayah pemerintahan kabupaten/kota, tetapi ada juga yang mencakup lebih dari satu wilayah kabupaten/kota dalam satu wilayah propinsi dan propinsi yang berbeda bahkan ada juga yang mencakup wilayah negara yang berbeda. Dalam beberapa publikasi ada istilah DAS lokal yaitu DAS yang hanya mencakup satu wilayah kabupaten/kota, DAS regional yaitu DAS yang mencakup lebih dari satu wilayah kabupaten/kota dalam propinsi yang sama, DAS nasional yaitu DAS yang mencakup dua wilayah propinsi atau lebih (Ambar, 2001). Sedangkan untuk DAS mencakup lebih dari satu wilayah negara dapat diistilahkan sebagai DAS internasional.
Mengacu kepada pengertian DAS dalam uraian di atas, maka di dalam suatu DAS terdapat berbagai komponen sumberdaya, baik sumberdaya alam (natural capital), yaitu udara (atmosphere), tanah dan batuan penyusunnya, vegetasi, satwa, sumberdaya manusia (human capital) beserta pranata institusi formal maupun informal masyarakat (social capital), maupun sumberdaya buatan (man made capital) yang satu sama lain saling berinteraksi. Komponen-komponen sumberdaya tersebut adalah khas untuk suatu DAS sehingga menjadi karakteristik dari DAS tersebut.
Sumberdaya alam terutama udara, tanah dan batuan penyusunnya serta morfologinya merupakan faktor yang hampir tak dapat dimanipulasi dalam jangka pendek, relatif
Hubungan Kerjasama Institusi dalam Pengelolaan DAS
8 Kasus DAS Ciliwung
terhadap faktor sumberdaya manusia, sumberdaya buatan manusia serta pranata institusi formal maupun informal masyarakat (Kartodihardjo et al., 2000). Sumberdaya alam sebagai obyek pengelolaan dapat dikelompokkan menjadi sumberdaya air, tanah dan penutup tanah dalam bentuk vegetasi maupun non vegetasi.
Dengan memandang DAS sebagai satuan sistem hidrologi, interaksi antar komponen sumberdaya tersebut di suatu DAS dapat digambarkan melalui siklus/pergerakan air di DAS tersebut. Perubahan suatu komponen sumberdaya dapat dikaji dampaknya terhadap komponen sumberdaya lainnya dengan melihat dampak perubahan tersebut terhadap komponen proses pergerakan air dan keseluruhan siklus air. Gambaran tentang siklus air di suatu DAS dapat dilihat dalam Gambar 2.4.
Sumber : University of Michigan (2000)
Gambar 2.4. Siklus/pergerakan Air di Suatu DAS
Dari sistem pergerakan air nampak jelas adanya hubungan sebab-akibat hulu-hilir. Daerah hulu dari segi letak daerah dalam suatu DAS dan yang dipersepsikan oleh masyarakat luas merupakan daerah paling atas sedangkan daerah hilir adalah daerah paling bawah dari suatu DAS. Daerah hulu umumnya dicirikan oleh topografi bergunung, curah hujan tinggi dan kondisi sosial ekonomi masyarakat lokalnya kurang maju. Semakin ke arah hilir cenderung makin landai, hujan makin kurang dan kondisi sosial ekonomi lebih baik. Dalam pengertian lebih luas pengertian hulu-hilir tidak sebatas dalam letak suatu daerah di atas dan di bawahnya, tetapi lebih melihat hubungan sebab-akibat, seperti halnya pencemaran udara dimana pergerakan udara yang menentukan “hulu-hilir” suatu daerah, yang tidak selalu di atas dan di bawahnya.
Keadaan udara dan hujan yang diistilahkan sebagai iklim, morfologi DAS, sifat jenis tanah dan batuan, struktur batuan mencerminkan kapasitas dan kemampuan lahan alamiah dalam mendukung kehidupan. Ukuran kapasitas dan kemampuan lahan alamiah ditentukan oleh tingkat pengetahuan dan penguasaan teknologi masyarakat lokal maupun global. Penggunaan lahan yang melampaui kapasitas dan kemampuannya akan mengakibatkan penurunan kapasitas dan kemampuan yang akhirnya menyebabkan
Hubungan Kerjasama Institusi dalam Pengelolaan DAS
Kasus DAS Ciliwung 9
kerusakan sehingga lahan tidak mampu lagi memberikan fungsi dalam mendukung kehidupan.
Sumberdaya suatu DAS dari segi penguasaannya dapat dikelompokkan menjadi sumberdaya yang dikuasai oleh negara dan yang dikuasai rakyat baik sebagai komunitas maupun individu. Dalam konteks sumberdaya DAS sebagai kesatuan ekosistem, maka dalam pemanfaatan kedua sumberdaya tersebut harus memperhatikan kepentingan/fungsi publik. Sumberdaya yang dikuasai oleh negara seyogyanya dapat memberikan kemanfaatan publik lebih besar dibandingkan dengan yang dikuasai oleh rakyat.
2.2. Pengelolaan DAS
Hewlett (1982) memberikan batasan tentang Pengelolaan DAS sebagai berikut: Watershed management is one part of natural resources management or the development and administration of a country to satisfy their needs of present and future human resident. Departemen Pertanian (SK Mentan No. 251/kpts/Um/4/1979) merumuskan pengelolaan DAS sebagai upaya manusia di dalam mengendalikan hubungan timbal balik diantara sumberdaya alam dengan manusia dan segala aktivitasnya dengan tujuan membina kelestarian dan keserasian ekosistem serta meningkatkan kemanfaatan sumberdaya alam bagi manusia.
Society of American Forester (1985) memberikan batasan Pengelolaan DAS sebagai: Application of business methods in watershed to assure maximum supplies of useable water, desirable water flow, prevention and control of erosion and the reduction of flood, sediment damages.
Dari batasan/pengertian tersebut, kata-kata kunci yang menandai pengertian Pengelolaan DAS terpadu adalah:
a. Pengelolaan sumberdaya alam. b. Pemenuhan kebutuhan manusia sekarang dan yang akan datang. c. Kelestarian dan keserasian ekosistem. d. Pengendalian hubungan timbal balik antara sumberdaya alam dengan manusia. e. Penyediaan air, pengendalian erosi, banjir dan sedimentasi, dan f. Mempertimbangkan faktor-faktor sosial, politik, ekonomi, lingkungan dan institusi
(kelembagaan).
Dari batasan-batasan pengelolaan DAS di atas, pengelolaan DAS pada dasarnya adalah pengelolaan sumberdaya alam dan buatan yang terdapat di suatu DAS. Praktek pengelolaan sumberdaya alam dan buatan di Indonesia dibagi atau dikelompokkan kedalam sektor-sektor pengelolaan/pembangunan. Sebagai contoh: sektor yang terkait dengan tanah dan batuan yang menyusunnya serta vegetasi diatasnya yaitu pertambangan, pertanian, perkebunan, kehutanan, sektor yang terkait dengan badan air dan sumberdaya buatan, yaitu energi, prasarana, pemukiman dan lain-lain. Pengelolaan sektoral sumberdaya tersebut melibatkan instansi pemerintah, propinsi maupun kabupaten/kota, perusahaan swasta atau milik negara maupun masyarakat sebagai individu maupun kelompok. Multi sumberdaya yang dikelola oleh lembaga-lembaga sektoral pemerintahan, dan non pemerintah menjadikan pengelolaan DAS bersifat multi/lintas sektoral dan multi pemangku kepentingan (stakeholders).
Hubungan Kerjasama Institusi dalam Pengelolaan DAS
1 0 Kasus DAS Ciliwung
2.3. Peran Pemangku Kepentingan Dalam Pengelolaan DAS
Sifat DAS yang multi sumberdaya, multi sektor, multi pemangku kepentingan dan DAS sebagai satu kesatuan ekosistem menuntut pengelolaan bersifat menyeluruh (holistic) dalam melihat hubungan interaksi antar komponen sumberdaya DAS sehingga pengelolaan juga harus melibatkan multi disiplin keilmuan, koordinatif dan transparan serta dapat dipertanggung-gugatkan (accountable) baik dalam perencanaan maupun pelaksanaan, selain harus efektif dan efisien, sehingga pemahaman menyeluruh, koordinatif, transparan dan dapat dipertanggugatkan merupakan prinsip-prinsip yang harus digunakan dalam pencapaian tujuan pengelolaan DAS terpadu. Selain itu dengan adanya daerah hulu-hilir dalam suatu DAS yang diartikan sebagai “sebab-akibat”, dimana daerah yang mengakibatkan harus memberikan kompensasi bagi daerah yang diakibatkan (dalam konteks akibat negatif), dan sebaliknya dalam konteks akibat positif, prinsip berbagi pembiayaan (cost sharing) harus diperhatikan dan diterapkan secara konsisten.
Tujuan (goal) pengelolaan DAS yang dapat dirumuskan dari pengertian pengelolaan DAS dan pengelolaan DAS terpadu adalah terpeliharanya :
a. kelestarian fungsi produksi b. kelestarian fungsi lingkungan c. kelestarian fungsi sosial-ekonomi.
Sebagai konsekuensi DAS sebagai satuan pengelolaan sumberdaya DAS maka seluruh program dan kegiatan masing-masing komponen pengelola harus bersinergi ke arah tercapainya tujuan pengelolaan tersebut. Kenyataan yang ada sampai sekarang, program dan kegiatan-kegiatan pengelolaan sumberdaya DAS oleh masing-masing yang mempunyai kewenangan dalam pengelolaan sumberdaya DAS di Indonesia belum sinergis bahkan dalam banyak kasus bertentangan atau bersifat menghambat tercapainya tiga tujuan tersebut.
Pencapaian tujuan pengelolaan DAS terpadu yang melibatkan multi pemangku kepentingan memerlukan kerangka kerja logis atau logical framework (logframe) yang disusun dengan tujuan untuk mengukur kinerja atau hingga sejauh mana tingkat ketercapaian tujuan pengelolaan DAS terpadu dalam suatu skema/kerangka pemikiran secara logis dan bertahap. Dalam pentahapannya atau tingkat pencapaian tujuan, tujuan akhir (goal) pengelolaan DAS terpadu (bersifat abstrak) dapat dicapai jika keluaran langsung (output) program dan kegiatan bersifat lebih kongkrit/operasional, dapat diukur dan keluaran tersebut akan bisa diperoleh jika ada asupan kegiatan (input). Pengelolaan DAS terpadu sebagai proses dapat diketahui secara runut kinerjanya melalui indikator-indikator tersusun dalam kerangka logis tersebut. Indikator yang tersusun harus bersifat obyektif atau disebut juga sebagai Objective Veriviable Indicators (OVI). Artinya indikator tersebut dapat diukur melalui serangkaian proses verifikasi dan pengumpulan data, sehingga setiap indikator harus mempunyai instrumen verifikasi (verifier). Sedapat mungkin, verifier dapat dikuantifikasikan sehingga penentuan tolok ukur atau ukuran nilai dapat disusun dengan pengelompokan/klasifikasi yang lebih akurat (Murtilaksono, 2002).
Hubungan Kerjasama Institusi dalam Pengelolaan DAS
Kasus DAS Ciliwung 1 1
3. KARAKTERISTIK DAS CILIWUNG
3.1. Bentuk dan Wilayah DAS
DAS Ciliwung dari mulai hulu sampai titik patusan di Teluk Jakarta meliputi areal seluas 347 km2. Panjang sungai utamanya adalah 117 km. Menurut toposekuensnya DAS Ciliwung dibagi ke dalam tiga bagian, yaitu: hulu, tengah dan hilir, masing-masing dengan stasiun pengamatan arus sungai di Bendung Katulampa Bogor, Ratujaya Depok, dan Pintu Air Manggarai Jakarta Selatan (Pawitan, 2002). Masing-masing bagian tersebut mempunyai karakteristik fisik, penggunaan lahan, dan sosial ekonomi masyarakat yang sedikit banyak berbeda. Distribusi penutupan lahan di DAS Ciliwung dapat dilihat pada Gambar 3.1 yang diperoleh berdasarkan hasil penafsiran citra satelit Landsat ETM tahun 2001 oleh Fakultas Kehutanan IPB.
Sumber : Citra Landsat ETM, 2001
Gambar 3.1. Keadaan Penutupan Lahan di DAS Ciliwung Tahun 2001
Berdasarkan wilayah administrasi, DAS Ciliwung (dari hulu sampai hilir) melingkupi Kab. Bogor, Kodya Bogor, Kotif Depok, dan Propinsi DKI Jakarta dengan deliniasi wilayah sebagai berikut :
Hubungan Kerjasama Institusi dalam Pengelolaan DAS
1 2 Kasus DAS Ciliwung
a. Bagian hulu DAS Ciliwung sebagian besar termasuk wilayah Kabupaten Bogor (Kecamatan Megamendung, Cisarua dan Ciawi) dan sebagian kecil Kota Madya Bogor (Kecamatan Kota Bogor Timur dan Kota Bogor Selatan).
b. Bagian tengah DAS Ciliwung termasuk wilayah Kabupaten Bogor (Kecamatan Sukaraja, Cibinong, Bojonggede dan Cimanggis), Kota Madya Bogor (Kecamatan Kota Bogor Timur, Kota Bogor Tengah, Kota Bogor Utara, dan Tanah Sareal) dan Kota Administratif Depok (Kecamatan Pancoran Mas, Sukmajaya dan Beji).
c. Bagian hilir sampai dengan Pintu Air Manggarai termasuk wilayah administrasi pemerintahan Kota Madya Jakarta Selatan dan Jakarta Pusat, lebih ke hilir dari Pintu Air Manggarai, termasuk saluran buatan Kanal Barat, Sungai Ciliwung ini melintasi wilayah Kota Madya Jakarta Pusat, Jakarta Barat dan Jakarta Utara.
3.2. Karakteristik Topografi dan Curah Hujan
Bagian Hulu DAS
Bagian hulu DAS Ciliwung mencakup areal seluas 146 km2 yang merupakan daerah pegunungan dengan elevasi antara 300 m sampai 3.000 m dpl. Di bagian hulu paling sedikit terdapat 7 Sub DAS, yaitu: Tugu, Cisarua, Cibogo, Cisukabirus, Ciesek, Ciseuseupan, dan Katulampa. Bagian hulu dicirikan oleh sungai pegunungan yang berarus deras, variasi kemiringan lereng yang tinggi, dengan kemiringan lereng 2-15% (70,5 km2 ), 15-45% (52,9 km2), dan sisanya lebih dari 45%. Di bagian hulu masih banyak dijumpai mata air yang bergantung pada komposisi litografi dan kelulusan batuan.
Curah hujan rata-rata tahunan selama periode 1989-2001 adalah 3.636 mm dengan rata-rata hujan bulanan 303 mm. Sebaran waktu (time distribution) hujan di bagian hulu disajikan dalam Gambar 3.2.
Sumber : diolah dari Antoro dan Fahmiza (2002)
Gambar 3.2. Distribusi waktu hujan di Bagian Hulu DAS Ciliwung
Hubungan Kerjasama Institusi dalam Pengelolaan DAS
Kasus DAS Ciliwung 1 3
Batas musim kemarau dengan musim penghujan di bagian hulu tidak jelas, kecuali daerah Citeko dimana musim kemarau terjadi pada bulan Juni sampai dengan September, dan musim penghujan pada bulan Oktober sampai dengan bulan Mei (Antoro dan Fahmiza, 2002). Debit sungai rata-rata selama periode 1989-2001 di Bendung Katulampa disajikan dalam Gambar 3.3.
Sumber : Tim IPB (2002)
Gambar 3.3. Debit S. Ciliwung rata-rata periode 1989-2001 di Bendung Katulampa
Bagian Tengah DAS
Bagian tengah mencakup areal seluas 94 km2 merupakan daerah bergelombang dan berbukit-bukit dengan variasi elevasi antara 100 m sampai 300 m dpl. Di bagian Tengah terdapat dua anak sungai, yaitu: Cikumpay dan Ciluar, yang keduanya bermuara di sungai Ciliwung. Bagian tengah Ciliwung didominasi area dengan kemiringan lereng 2-15%. Curah hujan rata-rata tahunan selama periode 1989-2001 adalah 3.910 mm dengan rata-rata hujan bulanan 326 mm. Sebaran waktu (time distribution) hujan di bagian tengah disajikan dalam Gambar 3.4.
Batas musim kemarau dengan musim penghujan di bagian tengah lebih tidak jelas (Antoro dan Fahmiza, 2002). Hujan di Depok jauh lebih rendah dibandingkan dengan hujan di tiga stasiun hujan lainnya yang ada di bagian tengah DAS Ciliwung. Secara umum hujan di bagian tengah lebih tinggi dibandingkan dengan hujan di bagian hilir, kecuali pada musim penghujan (Januari-Maret) hujan di hilir lebih tinggi.
Bagian Hilir DAS
Bagian hilir sampai stasiun pengamatan Kebon Baru/Manggarai pada elevasi PP+8 m mencakup areal seluas 82 km2 merupakan dataran rendah bertopografi landai dengan elevasi antara 0 m sampai 100 m dpl. Bagian hilir didominasi area dengan kemiringan lereng 0-2 %, dengan arus sungai yang tenang. Bagian lebih hilir dari Manggarai dicirikan oleh jaringan drainase, yang sudah dilengkapi dengan Kanal Barat sebagai penangkal banjir berupa saluran kolektor. Dalam kondisi demikian batas DAS menjadi tidak tegas.
Hubungan Kerjasama Institusi dalam Pengelolaan DAS
1 4 Kasus DAS Ciliwung
Sumber : diolah dari Antoro dan Fahmiza (2002)
Gambar 3.4. Distribusi Waktu Hujan di Bagian Tengah DAS Ciliwung
Curah hujan rata-rata tahunan selama periode 1989-2001 adalah 2.126 mm dengan rata-rata hujan bulanan 177 mm. Sebaran waktu (time distribution) hujan di bagian hilir disajikan dalam Gambar 3.5.
Sumber : diolah dari Antoro dan Fahmiza (2002)
Gambar 3.5. Distribusi Curah Hujan di Bagian Hilir DAS Ciliwung
Hubungan Kerjasama Institusi dalam Pengelolaan DAS
Kasus DAS Ciliwung 1 5
Di daerah hilir yang umumnya berada di Jakarta dan Tangerang batas antara musim kemarau dan musim penghujan tampak jelas. Musim penghujan mulai jatuh pada bulan Desember dan berakhir pada bulan Maret. Secara umum hujan di bagian hilir ini paling kering dibandingkan dengan hujan di bagian tengah dan hulu DAS.
3.3. Karakteristik Hidrologi dan Hidrogeologi
3.3.1. Hidrologi
Dari analisis curah hujan deras didapatkan bahwa untuk daerah hilir Ciliwung terjadi dengan rerata 5 kejadian hujan deras pada bulan Januari dan hanya 0,2 kejadian pada bulan Juli. Rerata intensitas hujan deras bervariasi antara 8 mm/jam sampai 20 mm/jam dengan lama kejadian 3 sampai 5 jam. Untuk wilayah Ciliwung Hulu didapatkan bahwa hujan harian lebih dari 50 mm dan hujan 3-harian melebihi 100 mm dapat dikelaskan sebagai hujan deras yang dapat menghasilkan banjir di daerah hilirnya. Sifat hujan deras ini dapat dianggap sama untuk wilayah hulu, tengah, maupun hilir DAS Ciliwung. Dan hasil analisis frekuensi untuk data hujan maksimum harian untuk stasiun Katulampa (1972-1997) menghasilkan nilai curah hujan maksimum harian untuk periode ulang 5-tahunan sebesar 164 mm; 10-tahunan sebesar 189 mm; 25-tahunan sebesar 220 mm; 50-tahunan sebesar 243 mm; dan 100-tahunan sebesar 266 mm (Pawitan, 2002). Sedang statistik intensitas hujan maksimum pada jangka waktu singkat sampai 24 jam untuk stasiun #27 (Jakarta Obs, 1971-1987) dapat dilihat pada Tabel 3.1.
Tabel 3.1. Intensitas hujan maksimum untuk stasiun Jakarta (1971-1987)
Waktu Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nov Des
5-min 14.0 9.0 13.5 11.8 10.0 10.0 10.0 10.0 12.4 10.0 9.8 10.5
10-min 21.0 12.4 25.7 23.7 20.0 17.5 12.8 14.3 20.0 20.2 14.0 20.0
30-min 37.5 48.5 60.0 46.5 40.0 38.1 22.7 33.8 45.8 47.2 24.0 60.0
1-jam 78.0 81.1 89.3 60.1 58.0 58.0 41.7 66.2 65.0 66.0 40.0 72.0
6-jam 161.4 145.3 113.0 71.8 89.6 72.4 61.6 83.8 68.5 76.8 66.4 92.7
24-jam 197.0 145.7 113.0 114.2 89.6 72.4 63.1 83.8 69.5 76.8 73.0 107.0
Sumber: Pawitan (1989) dalam Pawitan (2002)
Berdasarkan pengukuran lapang infiltrasi di DAS Ciliwung Hulu dan prediksi infiltrasi DAS diperoleh dugaan infiltrasi kumulatif tahunan sebesar 70 sampai 74 persen dari total curah hujan. Prediksi erosi di Ciliwung Hulu didapatkan masih lebih tinggi dari erosi yang diperbolehkan (sebesar antara 20 – 43 ton/ha/tahun) yang terutama terjadi pada lahan tegalan, semak dan perkebunan, yang meliputi lebih dari 50 persen dari luas Ciliwung Hulu.
Limpasan permukaan dari DAS Ciliwung menunjukkan nisbah yang berlebihan sebagaimana diperoleh untuk nilai bulanan, harian, maupun jam dengan variasi antara 10 sampai 100 persen. Diperkirakan andil dari airbumi perlu diperhitungkan dengan mempertimbangkan batas aquifer yang kemungkinan tidak sama dengan batas DAS. Hasil perhitungan nisbah limpasan untuk sejumlah episode banjir untuk stasiun Katulampa dapat dilihat Tabel 3.2. Satu episode banjir dapat dicirikan berlangsung selama 10 sampai 20 hari, dan dapat terjadi antara Agustus sampai April dengan mode pada Januari-Februari. Nisbah banjir antara 16% sampai 51 %. Untuk bagian tengah dan hilir dapat diharapkan
Hubungan Kerjasama Institusi dalam Pengelolaan DAS
1 6 Kasus DAS Ciliwung
bahwa nisbah banjir ini akan lebih tinggi dari bagian hulu karena terjadinya penurunan kapasitas infiltrasi di bagian tengah dan hilir DAS (Pawitan, 1989 dalam Pawitan, 2002).
Perhitungan waktu pemusatan juga menunjukkan variasi yang besar, yaitu: 0,4 sampai 3 jam untuk Ciliwung Hulu; 0,9 sampai 7,1 jam untuk Ciliwung Tengah; dan 1,6 sampai 15,5 jam untuk Ciliwung Hilir. Waktu pemusatan 10 jam dinilai wajar untuk pintu air Manggarai.
Tabel 3.2. Nisbah Banjir Ciliwung Hulu.
Total aliran langsung Episode banjir
(m3/s) (mm) CH (mm) Nisbah banjir (%)
13-24 Agu 1978 178,0 105.4 206,7 51
21-31 Jan 1979 171,5 101,5 209,0 49
17-30 Jan 1980 108,8 64,4 324,1 20
5-18 Apr. 1980 48,9 28,9 88,1 33
21-31 Jan 1981 184,4 109,1 252,6 43
1-12 Feb 1981 116,4 68,9 161,1 43
10-21 Apr 1982 51,7 30,6 195,2 16
1-13 Nov 1983 176,7 104,6 254,5 41
1-13 Feb 1984 62,9 37,2 187,7 20
12-24 Okt 1985 107,7 63,7 196,4 32 Sumber: Pawitan (1989) dalam Pawitan (2002)
3.3.2. Hidrogeologi
A. Konfigurasi Sistem Akifer
Hasil studi terakhir yang dilakukan oleh Dinas Pertambangan DKI Jakarta dan LPM ITB (2001) menunjukkan bahwa batuan-batuan sedimen di daerah DKI Jakarta dan sekitarnya membentuk sistem akifer yang sangat heterogen dan kompleks (Hutasoit, 2002). Keheterogenan dan ke-kompleksan sistem akifer di daerah ini ditandai oleh interfingering antara akifer dan akitar, variasi ketebalan, dan terdapatnya sesar/patahan.
Dari hasil studi tersebut diperoleh beberapa penemuan penting (Hutasoit, 2002), yaitu:
a. Diketahuinya sistem akifer-akitar di di wilayah DKI Jakarta dan sekitarnya. Secara umum, untuk penampang utara-selatan, sistem ini menebal ke utara; untuk penampang barat-timur, sistem ini menebal ke tengah. Adapun lapisan akifernya, secara umum, untuk penampang utara-selatan, juga menebal ke utara; untuk penampang barat timur, lapisan akifer ini menebal ke utara dan tengah. Kedalaman lapisan akifer ini berkisar dari 0 – (-300) m dpl.
b. Terjawabnya pertanyaan mengenai daerah resapan air tanah Jakarta. Pemahaman umum selama ini adalah daerah Bopunjur merupakan daerah resapan untuk air tanah di wilayah DKI Jakarta. Daerah-daerah resapan tersebut adalah:
Hubungan Kerjasama Institusi dalam Pengelolaan DAS
Kasus DAS Ciliwung 1 7
- sebelah selatan: Parung, Depok, Ciangsana/Cileungsir, dan Cibubur
- sebelah utara: Tongkol, Kayu Besar (Cengkareng), Muara Angke, Tongkol, dan Kebonwaru
- sebelah tengah: Kuningan, Pekayon, Dukuh Atas, dan Pulomas
- sebelah barat: Serpong dan Rawa Bokor (Multi Bintang/Tangerang)
- sebelah timur: Bekasi
c. Akifer di daerah ini dapat terkekang atau tidak terkekang.
B. Kondisi Muka Air Tanah
Dari hasil studi yang dilakukan oleh Dinas Pertambangan DKI dan DGTL (1995), Dinas Pertambangan DKI dan LPM ITB (1996), dan Asseggaf (1998), dalam Hutasoit (2002) diketahui bahwa kondisi muka air tanah di wilayah DKI Jakarta dan sekitarnya adalah sebagai berikut: a. Akifer pada kedalaman 0 – 40 m dpl
Pada periode sebelum 1950 yang dianggap sebagai kondisi alami, muka air tanah berada pada kedudukan sekitar 5 mdpl. Pada periode 1992 muka air tanah telah mencapai kedudukan -2,49 m dpl. Periode 1993 menunjukkan bahwa muka air tanah mencapai kedudukan -3,5 m dpl. Sedangkan hasil pengukuran pada tahun 1994 menunjukkan bahwa muka air tanah telah mencapai kedudukan -3,9 m dpl (Gambar 3.6).
b. Akifer pada kedalaman 40 – 140 m dpl Muka air tanah pada kondisi alami berada pada kedudukan antara 1 – 10 m dpl. Periode 1992 muka air tanah mencapai kedudukan (-18,64) – (-35, 50) m dpl. Pada periode 1994 muka air tanah mencapai kedudukan (-20, 80) – (-43,70) m dpl (Gambar 3.7)
c. Akifer pada kedalaman 140 – 250 m dpl Muka air tanah pada kondisi alami berada pada kedudukan 2 m dpl, sementara pada periode 1992 muka air tanah telah berada pada kedudukan (-20) – (-29,30) m dpl. Periode 1994 muka air tanah mengalami penurunan lagi sehingga mencapai kedudukan -49.5 m dpl (Gambar 3.8)
Hubungan Kerjasama Institusi dalam Pengelolaan DAS
1 8 Kasus DAS Ciliwung
Sumber: Hutasoit, L (2002)
Gambar 3.6. Muka air tanah pada akifer kedalaman 0 – 40 m tahun 1994 (GTL, 1995)
Hubungan Kerjasama Institusi dalam Pengelolaan DAS
Kasus DAS Ciliwung 1 9
Sumber: Hutasoit, L (2002)
Gambar 3.7. Muka airtanah pada akifer kedalaman 40 – 140 m tahun 1994 (GTL, 1995)
Hubungan Kerjasama Institusi dalam Pengelolaan DAS
2 0 Kasus DAS Ciliwung
Sumber: Hutasoit, L (2002)
Gambar 3.8. Muka air tanah pada akifer kedalaman 140 - 250 m tahun 1994 (GTL, 1995)
Hubungan Kerjasama Institusi dalam Pengelolaan DAS
Kasus DAS Ciliwung 2 1
3.4. Karakteristik Lahan dan Tata Ruang Wilayah DAS
3.4.1. Penguasaan Lahan dan Penggunaan Lahan
Penguasaan lahan di bagian hulu dapat dikelompokkan menjadi lahan negara, hak milik dan hak guna usaha. Lahan negara dalam bentuk kawasan hutan dikelola oleh pemerintah c.q Balai Taman Nasional Gede-Pangrango (Kawasan Taman Nasional), Balai Konservasi Sumberdaya Alam (Kawasan Hutan Cagar Alam Telaga Warna) Departemen Kehutanan, dan Perum Perhutani (Kawasan Lindung dan Produksi). Lahan dalam bentuk situ dan badan sungai dikelola oleh Pemda dan pemerintah c.q Balai Pengelolaan Sumberdaya Air, Departemen Pemukiman dan Prasarana Wilayah. Lahan milik umumnya digunakan untuk kebun, sawah tadah hujan dan teknis, tegalan/ladang, pemukiman dan tempat rekreasi. Sedangkan lahan dalam bentuk hak guna usaha digunakan sebagai kebun (PT Gunung Mas dan PT Ciliwung). Lahan milik umumnya dimiliki oleh orang yang bertempat tinggal di luar lahan milik tersebut.
Penguasaan lahan di bagian tengah seperti halnya di bagian hulu dapat dikelompokkan menjadi lahan negara, hak milik dan hak guna usaha. Lahan negara dalam bentuk kawasan hutan dikelola oleh pemerintah c.q. Perum Perhutani (Kawasan Lindung dan Produksi). Lahan dalam bentuk situ dan badan sungai dikelola oleh Pemda dan pemerintah c.q Balai Pengelolaan Sumberdaya Air, Departemen Pemukiman dan Prasarana Wilayah. Lahan milik umumnya digunakan untuk kebun, sawah tadah hujan, dan teknis, tegalan/ladang, pemukiman dan tempat rekreasi. Sedangkan lahan dalam bentuk hak guna usaha digunakan sebagai kebun. Penggunaan lahan di bagian hilir didominasi oleh lahan hunian (build up areas), jaringan jalan, badan sungai dan saluran drainase lainnya, sedikit lahan hijau dalam bentuk taman (Soetarto, 2002).
Kondisi penggunaan lahan, dalam hal ini tingkat penutupan lahan (land cover)- merupakan indikator penting dalam mengenali kondisi keseluruhan DAS. Hal ini berkaitan dengan terpeliharanya daerah resapan air, pengurangan aliran permukaan serta pengendalian erosi saat musim penghujan dan mencegah kekeringan saat musim kemarau.
3.4.2. Perubahan Penggunaan Lahan dan Tata Ruang Wilayah DAS
Berdasarkan hasil kajian Direktorat Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah, Ditjen RRL, Dephut (1997), pola penggunaan lahan di wilayah DAS Ciliwung bagian hulu dan bagian tengah secara garis besar dibedakan menjadi 4 (empat) jenis pemanfaatan lahan yaitu hutan, pertanian, pemukiman (termasuk diantaranya industri, perdagangan, dll), dan lain-lain (termasuk situ). Baik DAS bagian hulu maupun bagian tengah masih didominasi oleh kawasan pertanian yaitu masing-masing sebesar 63,9% dan 72,2%. Akan tetapi, DAS bagian hulu masih terdapat kawasan hutan sekitar 25 % sedangkan DAS bagian tengah sudah tidak mempunyai kawasan hutan sama sekali.
Kawasan hutan yang ada di DAS Ciliwung bagian hulu sebagian besar merupakan hutan lindung yang berstatus hutan negara. Kawasan hutan ini didominasi oleh vegetasi hasil suksesi alami dan menurut data pada BRKLT Ciliwung-Cisadane (1986) dalam Anonimous (1997), kerapatan vegetasi pada hutan lindung tersebut makin lama makin berkurang. Pada wilayah hutan lindung, penyebaran vegetasinya tidak merata, sehingga terdapat daerah gundul (tanah kosong) yang perlu segera direhabilitasi. Sekitar 30 % kawasan hutan di DAS bagian hulu merupakan hutan produksi yang didominasi oleh tanaman Pinus sp. yang
Hubungan Kerjasama Institusi dalam Pengelolaan DAS
2 2 Kasus DAS Ciliwung
banyak dimanfaatkan oleh masyarakat setempat dan tanpa pengelolaan yang baik sehingga keberadaan tanaman Pinus makin berkurang, penutupan hutan tersebut sebesar 25 % dari total DAS bagian hulu. Kawasan pertanian di DAS Ciliwung bagian hulu, didominasi oleh persawahan (25,4 %) yang hampir seluruhnya menggunakan sistem pengairan (baik teknis, maupun pengairan sederhana) dan hanya sekitar 5 % yang menggunakan sistem tadah hujan. Perkebunan yang ada di wilayah ini (16,2 %) didominasi oleh perkebunan teh dan cengkeh.
Untuk DAS Ciliwung bagian tengah, lahan pertanian yang paling banyak dijumpai adalah kebun campuran (31 %) yang merupakan kebun yang dimiliki oleh perorangan yang fungsinya selain untuk pertanian juga sebagai tempat hunian. Meskipun demikian, lahan pertanian untuk persawahan juga masih cukup luas (24,8 %).
Data pemilikan/penguasaan tanah pertanian di Ciliwung menunjukkan adanya kecenderungan ke arah menyempitnya luas lahan yang dikuasai oleh petani. Perubahan yang paling mencolok dalam hal penggunaan lahan di wilayah hulu dan tengah adalah pada proporsi lahan yang digunakan untuk kawasan pemukiman. Areal pemukiman di wilayah tengah mencapai luasan sebesar 29,6 % sedangkan di DAS Ciliwung bagian hulu hanya sekitar 7,4 %. Pola penggunaan lahan di wilayah DAS Ciliwung hulu dan tengah disajikan pada Tabel 3.3.
Tabel 3.3. Pola Penggunaan Lahan di Wilayah DAS Ciliwung Bagian Hulu dan Tengah.
Luas Sub DAS
Jenis Pemanfaatan Lahan
Ha % Hulu Kawasan Hutan 4.274 28,8 Kawasan Pertanian 9.503 63,9 • Perkebunan 2.407 16,2 • Kebun campuran 1.775 11,9 • Tegalan / ladang 1.543 10,4 • Sawah 3.777 25,4 Kawasan Pemukiman 1.099 7,4 Lain-lain 0 0 Jumlah 14.876 100
Tengah Kawasan Hutan 0 0 Kawasan Pertanian 9.923 72,12 • Perkebunan 0 0 • Kebun campuran 5.560 40,41 • Tegalan / ladang 2.070 15,04 • Sawah 2.244 16,31 • Alang-alang/semak 49 0,36 Kawasan non Pertanian 3.701 26,92 • Pemukiman 2.796 20,32 • Komplek 214 1,56 • Real estate 636 4,62 • Industri 58 0,42 Lain-lain (situ) 135 0,8 Jumlah 13.763 100
Sumber : Anonimous (1996)
Hubungan Kerjasama Institusi dalam Pengelolaan DAS
Kasus DAS Ciliwung 2 3
Pola pemukiman di wilayah hulu berbeda dengan pola yang ada di kawasan tengah. Pola pemukiman di DAS Ciliwung bagian tengah membentuk akumulasi-akumulasi hunian yang cenderung terpusat di Kotamadya Bogor, di Cibinong (sebagai ibukota Kabupaten Tk. II Bogor) dan di Kota Administratif Depok (sebagai pusat kota baru terdekat dengan Jakarta). Pemukiman di kawasan tengah jauh lebih tertata dan memang berfungsi sebagai tempat tinggal. Selain untuk hunian, penggunaan lahan pemukiman di wilayah DAS Ciliwung bagian tengah juga banyak berubah fungsi menjadi kawasan industri dan kawasan perdagangan maupun perkantoran. Di wilayah DAS bagian tengah ini terdapat akumulasi industri yang terletak di sepanjang jalan Raya Bogor dan di sebagian pinggir Sungai Ciliwung.
Berbeda dengan DAS Ciliwung bagian tengah, pemukiman di bagian hulu cenderung menyebar meskipun ada juga kecenderungan memusat ke arah sepanjang jalan raya Ciawi - Cisarua. Kawasan pemukiman di daerah hulu ini cenderung meningkat pesat dari tahun ke tahun baik jumlah maupun jenisnya, akan tetapi kecenderungan tersebut mengarah pada berkembangnya daerah ini menjadi kawasan wisata.
Kawasan pemukiman di wilayah DAS Ciliwung bagian hulu tidak hanya berfungsi sebagai tempat tinggal (hunian) tapi juga berfungsi sebagai tempat peristirahatan yang hanya dihuni pada saat-saat tertentu saja. Selain itu, sebagian pemukiman penduduk setempat masih mencerminkan tipe pemukiman pedesaan yaitu tempat tinggal yang digabung dengan kebun.
Dari pola penggunaan lahannya, dapat dikatakan bahwa DAS Ciliwung tengah sudah lebih mengalami proses urbanisasi dibandingkan dengan DAS Ciliwung hulu. Pola penggunaan lahan di Ciliwung hulu masih dapat dikatagorikan wilayah pertanian dengan fungsi khusus sebagai daerah pariwisata dan konservasi. Perkembangan ini dapat terjadi karena adanya pengaruh urbanisasi dari Jakarta ke arah Bogor yang dipercepat oleh jalan tol Jagorawi (hingga Gadok). Selain itu, adanya akumulasi industri di Ciliwung bagian tengah ini juga mempercepat terjadinya urbanisasi.
3.4.3. Kecenderungan Perubahan Penggunaan Lahan di DAS Ciliwung Hulu
Pola penggunaan lahan di wilayah DAS Ciliwung masih didominasi oleh lahan pertanian dan perkebunan, yaitu 61% dari luas DAS Ciliwung hulu dan 73% dari luas DAS Ciliwung tengah. Kawasan hutan yang terdapat di DAS Ciliwung hulu seluas 5.310 ha, sebagaimana disajikan secara lengkap pada Tabel 3.4, berikut untuk kondisi tahun 1981 dan 1999. Perbedaan total luas antara dua tahun pengamatan tersebut dikarenakan pengukuran luas diperoleh dari dua peta yang berbeda, yang masing-masing diperoleh sebagai hasil interpretasi citra Landsat. Perubahan penggunaan lahan dari kondisi dua tahun pengamatan ini menunjukkan penurunan luas hutan di Ciliwung Hulu seluas dua ha, perkebunan seluas 35 ha, sawah seluas 62 ha, dan lahan tegalan/ladang seluas 152 ha, penurunan penggunaan lahan serupa didapati juga pada kawasan tengah. Peningkatan yang mencolok terjadi pada luas kawasan pemukiman, baik di Ciliwung Hulu maupun Tengah, masing-masing meningkat dari 255 ha menjadi 506 ha untuk Ciliwung Hulu dan dari 1.147 ha menjadi 1.961 ha untuk Ciliwung Tengah, atau peningkatan masing-masing sebesar 98% dan 71%, yang diperoleh terutama dari pengurangan luas sawah dan tegalan, baik di kawasan hulu maupun tengah.
Hubungan Kerjasama Institusi dalam Pengelolaan DAS
2 4 Kasus DAS Ciliwung
Tabel 3.4. Penggunaan Lahan DAS Ciliwung Hulu dan Tengah Tahun 1981 dan 1999.
Luas Ciliwung Hulu (Ha) Luas Ciliwung Tengah (Ha) Jenis Penggunaan Lahan
1981 1999 1981 1999 Hutan 5312 5310 108 101 Kebun Campuran/ Perkebunan 3266 3231 1837 1704 Kawasan Pemukiman 255 506 1147 1961 Sawah Teknis 2270 2227 1499 1283 Sawah Tadah Hujan 289 271 203 197 Tegalan/ladang 3490 3338 2907 2456 Sungai, situ dll 81 81 52 48 Total 14963 14964 7663 7706
Sumber: Singgih (2000) dalam Pawitan (2002)
Berdasarkan sumber lain, perubahan penggunaan lahan di DAS Ciliwung bagian hulu dan tengah dari tahun 1981, 1985, dan 1990 ditampilkan pada Tabel 3.5. dan perubahan tipenya pada Tabel 3.6.
Perubahan mendasar dalam pola penggunaan lahan di bagian hulu selama 10-15 tahun terakhir terjadi terutama karena kebutuhan lahan untuk pemukiman termasuk pertumbuhan tempat peristirahatan (hotel, motel, vila dan bungalau) yang tersebar di kawasan hulu tersebut.
Tabel 3.5 menunjukkan urutan jenis penggunaan lahan dari yang terluas hingga tersempit yang berlainan pada setiap tahun pengamatan. Perbedaan urutan luasan ini menunjukan bahwa telah terjadi perubahan penggunaan lahan yang relatif cepat dan mengarah ke penggunaan non pertanian. Hal tersebut jelas akan memberikan pengaruh terhadap kelestarian dan produktivitas sumberdaya lahan, baik sebagai areal pertanian maupun yang berkaitan dengan fungsi hidrologis karena merupakan bagian hulu dari DAS Ciliwung sebagai daerah tangkapan air.
Tabel 3.5. Perubahan Luas Penggunaan Lahan di DAS Ciliwung Bagian Hulu pada Kurun Waktu 1981-1985, 1985-1990 dan 1981-1990
Perubahan 1981-1985 Perubahan 1985-1990 Perubahan 1998-1990 No
Penggunaan Lahan Ha
% Perubahan
Urutan Ha %
PerubahanUrutan Ha
% Perubahan
Urutan
1 Hutan lebat belukar -316.8 -7.4 5 -354.6 16.6 8 -971.4 -22.8 9
2 Hutan belukar -154.7 -32 6 +867 +263.8 1 +712.5 +147.4 2
3 Hutan semak -303.4 -62.6 5 +68.4 +37.7 7 -235.0 -48.5 5
4 Kebun campuran -104.2 -8.8 7 +50.6 +4.7 10 -53.6 -4.6 10
5 Kebun teh +64.0 +2.2 9 +1338.8 +44.3 6 +1402.8 +47.4 7
6 Kebun karet +136.9 +230.1 2 -196.4 -100.0 3 -59.5 100.0 4
7 Pemukiman +943.2 +125.1 3 +269.2 +15.9 9 +1212.4 +160.8 1
8 Lahan terbuka +534.0 +834.4 1 -458.2 -76.6 4 +75.62 +118.4 3
9 Tegalan -770.6 -81.6 4 +443.4 +254.8 2 -327.2 -34.6 8
10 Sawah -28.3 -0.8 10 -1734.5 -47.6 5 -1762.8 -48.0 6
11 Danau / situ 0 0 11 0 0 11 0 0 11
Ket : * Tanda negatif (-) menyatakan penurunan luasan areal * Tanda positif (+) menyatakan peningkatan luasan areal Sumber : Anonimous (1997).
Hubungan Kerjasama Institusi dalam Pengelolaan DAS
Kasus DAS Ciliwung 2 5
Tabel 3.6. Perubahan Tipe Penggunaan Lahan di DAS Ciliwung Bagian Hulu pada Kurun Waktu 1981-1985 dan 1985-1990
Tipe Penggunaan Lahan 1981 – 1985
Perubahan Penggunaan Lahan
1985 – 1990 Perubahan Penggunaan
Lahan Hlb (hutan lebat belukar) ↓ Lt, Hs, Kt, Kc ↓ Kt Hb (hutan belukar) ↑ Lt ↑ Lt, Kc Hs (semak) ↑ Kr, Kc, Lt, Sw, Pk, KT
↑ Hlb ↑ Kr
Kc (kebun campuran) ↓ Sw, Pk, Kr, Lt ↑ Hlb, Hs
↑ Kr, Lt ↓ Tg, Hb, Kt
Kt (kebun teh) ↑ Hlb, Sw, Hs ↑ Hlb, Kc, Lt ↓ Pk
Kr (kebun karet) ↑ Hs, Kc ↓ Kc, Hs, Kt Pk (pemukiman) ↑ Sw, Kc, Tg, Hs ↑ Sw, Tg, Kc, Kt, Kr Lt (lahan tebuka) ↑ Hs, Kc, Hlb, Hb, Tg ↓ Hb, Kc, Kt Tg (tegalan) ↓ Pk, Lt, Sw ↑ Sw, Kc
↓ Pk Sw (sawah) ↓ Pk, Kt, Tg
↑ Hs, Kc ↓ Tg, Pk
Ket : ↓ Luasan areal berkurang, terkonversi menjadi ↑ Luasan areal bertambah, berasal dari Sumber : Anonimous (1997)
Berdasarkan data pada Tabel 3.5 dan Tabel 3.6, dapat dikemukakan bahwa pada kurun waktu 1981-1985 telah terjadi perubahan penggunaan lahan yang cukup cepat, yaitu meningkatnya areal pemukiman dan lahan terbuka serta berkurangnya areal tegalan, hutan lebat belukar, semak dan hutan belukar.
Luas areal pemukiman meningkat sebesar 943 ha dalam DAS Ciliwung bagian hulu. Areal pemukiman mencakup kampung dan penggunaan non-pertanian lainnya seperti sarana dan prasarana daerah wisata. Perubahan ini terutama terjadi pada daerah-daerah dengan tingkat aksesibilitas yang tinggi atau mempunyai sarana perhubungan yang baik. Sebelum menjadi areal pemukiman, daerah tersebut merupakan sawah, kebun campuran, tegalan, semak dan hutan. Lahan terbuka juga menunjukan peningkatan luas yaitu 534 ha dalam DAS Ciliwung hulu yang sebelumnya merupakan hutan semak, kebun campuran, hutan lebat belukar, hutan belukar dan tegalan.
Hutan lebat belukar memiliki struktur vegetasi yang baik dan penutupan yang tinggi hingga sangat tinggi. Hutan belukar memiliki struktur penutupan vegetasi yang kurang baik dibandingkan dengan hutan lebat belukar. Kebun campuran umumnya terdiri dari kombinasi tanaman semusim dan tanaman keras/kayu. Tegalan umumnya diusahakan untuk tanaman semusim. Perubahan dari hutan lebat belukar menjadi hutan belukar atau bahkan menjadi kebun campuran maupun tegalan akan sangat mempengaruhi sistim tata air (hidrologi) DAS Ciliwung.
Selama 1985-1990, perubahan penggunaan lahan yang cukup cepat adalah berkurangnya areal persawahan, hutan lebat belukar dan lahan terbuka serta bertambahnya areal kebun teh, hutan belukar dan tegalan. Areal persawahan berkurang seluas 1.734 ha terkonversi menjadi tegalan dan pemukiman, sedangkan hutan lebat belukar berkurang seluas 654 ha
Hubungan Kerjasama Institusi dalam Pengelolaan DAS
2 6 Kasus DAS Ciliwung
terkonversi seluruhnya menjadi kebun teh, dan lahan terbuka berkurang seluas 458 ha terkonversi menjadi hutan belukar, kebun campuran dan kebun teh. Hal ini merupakan indikasi adanya desakan penduduk terhadap lahan di kawasan hutan, disamping indikasi dari upaya-upaya reboisasi yang masih belum berjalan optimal.
Dalam kurun waktu 1985-1990, kebun teh menunjukan perluasan areal yang sangat cepat yaitu seluas 1.338 ha, berasal dari areal yang sebelumnya merupakan hutan belukar, kebun campuran dan lahan terbuka. Di sisi lain, areal kebun teh juga sedikit terkonversi menjadi pemukiman. Kebun teh ini meliputi areal dengan tanaman yang lebih produktif maupun areal yang masih baru ditanami. Perubahan yang menarik dalam kurun waktu 1985-1990 adalah konversi seluruh areal kebun karet seluas 200 ha menjadi pola penggunaan kebun campuran, hutan dan pemukiman, karena umur karet sudah tidak produktif. Penebangan pohon karet diikuti oleh perubahan ke pola penggunaan lainnya. Kenaikan areal pemukiman dalam kurun waktu 1985-1990 sebesar 269 ha jauh lebih kecil dibandingkan kurun waktu 1981-1985.
Dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa perubahan pola penggunaan lahan yang terjadi di DAS Ciliwung bagian hulu mempunyai kecenderungan yang meningkat dari tahun ke tahun kearah penggunaan yang karakteristik resapannya lebih kecil dan mengakibatkan berkurangnya fungsi konservasi dari areal Ciliwung bagian hulu. Berkurangnya luasan hutan menjadi areal lain terutama lahan terbuka, pemukiman dan penggunaan lain menyebabkan fungsi hidrologis terganggu.
Perubahan tata ruang akibat perubahan penggunaan lahan sampai saat ini terus terjadi. Berdasarkan data Neraca Sumber Daya Alam dan Spasial Daerah Kabupaten Bogor, dalam kurun masa 1995-1999, di Kabupaten Bogor telah terjadi perubahan tata guna lahan sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 3.7. Tabel 3.7. Perubahan Penggunaan Lahan Kab. Bogor 1995 – 1999
Perubahan No.
Tata Guna Lahan
Luas 1995 (Ha)
Luas 1999 (Ha) Luas (Ha) %
% Perub. Thd Total
Lahan 1 Sawah 37.400,90 34.910,00 -2.490,90 -6,66 -1,05 2 Tegalan 17.313,97 15.832,95 -1.481,02 -8,55 -0,62 3 Kebun campuran 59.668,70 54.607.01 -5.061,69 -8,48 -2,13 4 Perkebunan besar 32.243,42 22.439,54 -9.803,88 -30,41 -4,13 5 Hutan 66.014,00 65.882,13 -131,87 -0,20 -0,06 6 Semak/alang-alang 8.642,18 6.456,21 -2.185,97 -25,29 -0,92 7 Danau/situ/telaga 500,27 437,35 -62,92 -12,58 -0,03 Jumlah 221.783,44 200.565,19 -21.218,25 -92,17 -8,95 8 Pemukiman perkotaan 2.105,10 5.935,01 3.829,91 181,93 1,62 9 Pemukiman pedesaan 6.208,71 22.436,83 16.228,12 261,38 6,84 10 Pertambangan terbuka 1.265,70 1.874,30 608,60 48,08 0,26 11 Industri 1.638,68 1.654,99 16,31 1,00 0,01 12 Pariwisata 136,04 160,43 24,39 17,93 0,01 13 Lahan bukaan sementara 797,67 990,44 192,77 24,17 0,08 14 Lain-lain (sungai, jalan) 3.187,25 3.805,81 618,56 19,41 0,26
Jumlah 15.339,15 36.857,81 21.518,66 553,89 9,07 Total Luas Lahan 237.122,59 237.423,00 -42.736,91 461,72 0,13
Sumber: Bappeda Kab. Bogor, dalam NSDASD Kab. Bogor, 1999 (diolah) dalam Anonimous (2002)
Hubungan Kerjasama Institusi dalam Pengelolaan DAS
Kasus DAS Ciliwung 2 7
Berdasarkan Tabel 3.7, selama kurun waktu 1995-1999 telah terjadi peningkatan penggunaan lahan untuk pemukiman, baik pemukiman perkotaan maupun pemukiman pedesaan, dimana besarnya peningkatan lahan pemukiman perkotaan seluas 3.829 Ha (181,93%) dan pemukiman pedesaan seluas 16.228 Ha (261,38%). Peningkatan penggunaan lahan juga terjadi untuk pertambangan terbuka (48,08%), lahan bukaan sementara (24,17%), pariwisata (17,93%), industri (1%) dan penggunaan lain-lain (19,41%). Secara total, selama kurun waktu 1995-1999 telah terjadi perubahan penggunaan lahan sebesar 21.518,66 Ha atau 9,07 % dari luas total lahan Kabupaten Bogor tahun 1995 yaitu 237.122,59 Ha. Terjadinya peningkatan penggunaan lahan tersebut di atas, tentunya dengan merubah atau mengkonversi penggunaan lahan yang lain, yaitu lahan sawah, tegalan, kebun campuran, perkebunan besar, hutan, semak belukar, bahkan danau/situ/telaga.
3.5. Karakteristik Sosial Ekonomi Masyarakat
3.5.1. Kepadatan Penduduk
Karakteristik sosial yang paling menonjol dari DAS Ciliwung adalah pertumbuhan penduduk yang sangat tinggi. Berdasarkan data BPS DKI Jakarta (Tabel 3.8) dapat diketahui bahwa laju perkembangan penduduk Jabotabek mulai tahun 1961 s/d tahun 2000 mengalami pertumbuhan penduduk yang sangat pesat. Pada tahun 1961, jumlah penduduk Jabotabek baru mencapai 5,65 juta jiwa. Kemudian pada tahun 1971 menjadi 7,97 juta jiwa, tahun 1980 menjadi 11,65 juta jiwa, tahun 1990 bertambah lagi menjadi 16,83 juta jiwa dan akhir tahun 2000 diperkirakan mencapai 23,31 juta jiwa. Selain DKI Jakarta sebagai bagian hilir DAS Ciliwung yang mengalami pertumbuhan penduduk yang tinggi, Bogor dan Depok yang merupakan bagian hulu dan tengah DAS Ciliwung juga mengalami pertumbuhan yang sangat tinggi. Pada Gambar 3.9 dapat dilihat peta penyebaran kepadatan penduduk wilayah Jabotabek dan sekitarnya.
Tabel 3.8. Perkembangan Penduduk Jabotabek 1961 – 2000 (x 1000)
Wilayah SP 1961 SP 1971 SP 1980 SP 1990 SP 2000
Jakarta Pusat 1,002.10 1,260.30 1,236.90 1,074.80 948.20 Jakarta Utara 469.80 612.40 976.40 1,362.90 1,697.00 Jakarta Barat 469.50 820.80 1,231.20 1,815.30 2,389.90 Jakarta Selatan 466.40 1,050.90 1,579.80 1,905.00 2,090.30 Jakarta Timur 498.70 802.10 1,456.70 2,064.50 2,595.00 DKI Jakarta 2,906.50 4,546.50 6,481.00 8,222.50 9,720.40
KAB+KODYA
Bogor + Depok 1,257.80 1,597.20 2,493.90 3,736.20 5,423.30 Tangerang 817.20 1,025.70 1,529.10 2,765.00 4,594.20 Bekasi 669.70 803.00 1,143.60 2,104.40 3,570.60 BOTABEK 2,744.70 3,425.90 5,166.60 8,605.60 13,588.10 JABOTABEK 5,651.20 7,972.40 11,647.60 16,828.10 23,308.50 Sumber : BPS DKI Jakarta dalam Bappeda DKI Jakarta (2001)
Bila dilihat lebih spesifik, karakteristik penduduk di bagian hulu DAS Ciliwung (3 kecamatan di Bogor) dapat digambarkan lebih jarang (< 50 jiwa/ha) dibandingkan dengan bagian tengah DAS Ciliwung (4 kecamatan di Bogor dan 3 kecamatan di Depok) yang
Hubungan Kerjasama Institusi dalam Pengelolaan DAS
2 8 Kasus DAS Ciliwung
kepadatan penduduknya rata-rata diatas 50 jiwa/ha sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 3.9.
Tabel 3.9. Luas, Jumlah dan Kepadatan Penduduk di DAS Ciliwung Bagian Hulu dan Tengah
Penduduk No Kecamatan Luas (Ha)
Jumlah Kepadatan
A. Wilayah Bogor 1 Ciawi 2.518 78.792 31.29 2 Cisarua 6.372 90.914 14.26 3 Megamendung 4.006 77.558 19.36 4 Cibinong 4.249 207.763 48.89 5 Sukaraja 4.202 125.658 29.90 6 Kemang 2.341 107.989 46,13 7 Bojonggede 5.561 199.544 35.88 B. Wilayah Depok 1 Pancoran Mas 2.671 156.118 58,45 2 Beji 1.614 80.377 49,80 3 Sukmajaya 3.398 216.118 63,60 4. Cimanggis 5.077 221.330 43.59
Sumber : RTRW Kab. Bogor dan Profil Kabupaten/Kota (Gramedia) dalam Anonimous (2002)
Sumber : Ditjen Cipta Karya-Dep. PU (1995)
Gambar 3.9. Peta Penyebaran Penduduk Jabotabek Berdasarkan Kepadatan.
Hubungan Kerjasama Institusi dalam Pengelolaan DAS
Kasus DAS Ciliwung 2 9
3.5.2. Kegiatan Ekonomi dan Ketergantungan Pada Lahan
Kegiatan ekonomi masyarakat di wilayah DAS Ciliwung sangat beragam dan terus mengalami pergeseran sejalan dengan perkembangan wilayah Jakarta, Depok, dan Bogor. Pergeseran kegiatan ekonomi masyarakat dari sektor pertanian ke sektor industri, perdagangan dan jasa telah terjadi secara nyata hampir di seluruh wilayah DAS Ciliwung. Kegiatan ekonomi masyarakat pada sektor pertanian, dimana kegiatan usahanya tergantung pada lahan sudah semakin terbatas, yaitu pada wilayah DAS Ciliwung bagian hulu dan sebagian kecil wilayah DAS Ciliwung bagian tengah. Demikian pula jika melihat perkembangan tingginya alih fungsi (konversi) lahan dan alih pemilikan lahan pada wilayah ini ada kecenderungan yang sangat kuat bahwa kegiatan ekonomi berbasis lahan tidak dapat dipertahankan lagi.
Sebagaimana diketahui sejak 3 (tiga) dekade terakhir khususnya kawasan Puncak yang merupakan bagian dari wilayah hulu DAS Ciliwung telah berkembang begitu rupa karena faktor udara yang sejuk, kesuburan tanah yang baik serta lokasi yang strategis dilihat dari ibukota Jakarta, Bogor, dan Bandung, telah terjadi proses komersialisasi lahan yang agresif. Penguasaan lahan perorangan makin meningkat menggantikan status lahan yang semula adalah hak garap dari masyarakat petani lokal.
Semenjak timbulnya arus komersialisasi lahan yang semakin merebak, banyak masyarakat petani lokal yang tergiur melepaskan sebagian atau seluruh lahan miliknya kepada orang kota yang bermodal kuat. Pembelian lahan seperti itu jelas makin mempersempit lahan usahatani masyarakat petani lokal. Pada kondisi ini sebagian masyarakat mencari pekerjaan di sektor non-pertanian seperti menjadi tukang ojek sepeda motor, penjaga villa peristirahatan milik orang kota, karyawan rumah makan, padang golf, dan sebagainya. Sementara lahan yang telah mengalami perubahan kepemilikan (milik orang kota), biasanya akan segera mengalami konversi ke penggunaan lahan yang bersifat non-pertanian. Hal ini akan menyumbangkan pengurangan penutupan vegetasi pada permukaan lahan yang penting untuk pemeliharaan fungsi wilayah hulu DAS Ciliwung sebagai daerah tangkapan hujan (water catchment area).
Berdasarkan temuan studi dari desa-desa di wilayah hulu DAS Ciliwung dapatlah dikatakan bahwa pola penguasaan lahan milik yang ada cukup beragam. Paling sedikit ditemukan 4 pola penguasaan lahan yang penting sekaligus kombinasinya dengan pola pengusahaan yang menyertainya (usaha tani) adalah sebagai berikut:
a. Lahan yang kepenguasaannya langsung di tangan warga masyarakat setempat, lahan ini dikelola sendiri oleh warga dengan usahatani yang umumnya berupa tanaman hortikultur.
b. Lahan yang kepenguasaannya berada di tangan orang luar desa, diusahakan oleh warga setempat dengan status sebagai penggarap. Hasil panen sepenuhnya menjadi milik penggarap dan bahkan pihak yang disebut terakhir masih mendapatkan upah bulanan sebagai imbalan karena telah berjasa menjaga dan memelihara lahan/tanah tersebut.
c. Lahan yang dimiliki orang luar desa diusahakan warga setempat dengan hasil panen menjadi milik petani. Bedanya mereka ini tidak menerima imbalan gaji.
d. Lahan yang dimiliki orang luar desa diusahakan oleh mereka sendiri dengan menggaji buruh tani dari penduduk setempat.
Hubungan Kerjasama Institusi dalam Pengelolaan DAS
3 0 Kasus DAS Ciliwung
Hubungan Kerjasama Institusi dalam Pengelolaan DAS
Kasus DAS Ciliwung 3 1
4. PERMASALAHAN DAS CILIWUNG DAN PENGELOLAANNYA
4.1. Gejala Banjir di DKI Jakarta
Kejadian banjir yang diartikan sebagai luapan air hujan dari penampungan merupakan phenomena alam sebagai akibat hujan tidak tertampung oleh tanah dan penampungan permukaan baik dalam bentuk kolam, danau/situ, badan sungai dan saluran drainase. Faktor yang berpengaruh terhadap phenomena alam banjir ini dapat dikelompokan menjadi dua kelompok yaitu faktor bentukan alam, yang dipengaruhi tidak hanya oleh kondisi lokal tetapi juga kondisi global (iklim, pasang surut muka laut, morfologi) dan faktor bentukan manusia (penggunaan lahan, saluran drainase buatan).
Bencana banjir yang terjadi pada akhir Januari dan awal Pebruari 2002 di Jakarta dan merata di seluruh wilayah Indonesia merupakan indikator yang sangat nyata telah terjadinya kerusakan lingkungan. Kegiatan dan aktivitas manusia yang bersifat mengubah pola tata guna lahan, atau pola penutupan lahan dalam suatu DAS dapat mempengaruhi besar–kecilnya air yang dihasilkan dari DAS. Pelanggaran terhadap Tata Ruang, penegakan hukum yang lemah dan kerusakan hutan yang terletak di hulu-hulu sungai secara langsung merupakan penyebab terjadinya bencana yang terjadi dewasa ini.
Banjir bulan akhir Januari 2002 dan awal Pebruari 2002 begitu luas dampak yang ditimbulkannya, dan merupakan banjir terbesar dan terburuk yang pernah melanda ibukota Jakarta. Permasalahan banjir di DKI Jakarta tidak bisa lepas dari keberadaan 13 sungai yang bermuara di bagian Utara Jakarta. Ketiga belas sungai itu masing-masing: Mookervaart, Kali Angke, Kali Pasangrahan, Kali Grogol, Kali Krukut, Kali Baru Barat, Ciliwung, Kali Baru Timur, Kali Cipinang, Kali Sunter, Kali Buaran, Kali Jati Keramat dan Kali Cakung (Singgih, 2000 dalam Pawitan, 2002). Ke 13 sungai tersebut ada yang bermula dari daerah Serpong, Parung, Depok, dan Sungai Ciliwung yang merupakan sungai terpanjang yang melalui DKI Jakarta berhulu di daerah Bogor, Puncak dan berasal dari Gunung Pangrango.
Secara administratif keberadaan sungai-sungai tersebut ada di 2 propinsi dan 8 wilayah adminstratif setingkat Kabupaten dan Kota masing-masing 3 Kab/kota di luar DKI yaitu Kab Bogor, Kota Bogor, Depok, dan 5 wilayah Kota berada di DKI masing-masing Jakarta Timur, Jakarta Barat, Jakarta Selatan, Jakarta Utara dan Jakarta Pusat.
Berdasarkan peta administratif dan batas DAS/Sub DAS 58 % (85.650 ha) berada diluar wilayah DKI Jakarta serta 42 % (62.730 ha) berada di wilayah administratif DKI Jakarta, sehingga dengan demikian membahas permasalahan banjir di DKI Jakarta tidak terlepas dengan perkembangan pembangunan dan perubahan tataguna lahan dan penutupan lahan yang ada di luar DKI –Jakarta. Data sebaran luas DAS di masing-masing DAS/Sub DAS secara lengkap disajikan pada Tabel 4.1.
Berdasarkan sebaran DAS yang mengalir ke Jakarta maka penanganan banjir di DKI Jakarta harus dilakukan secara menyeluruh pada seluruh DAS, dan tidak hanya berasal dari konstribusi S. Ciliwung, sehingga penataan dan penanggulangan harus dilakukan secara komprehensif terhadap 13 sungai yang mengalir di DKI Jakarta. Perubahan penutupan lahan akibat pemukiman dan hilangnya beberapa resapan air apabila tidak ditanggulangi secara cepat, komprehensif dan terpadu hanya akan memperparah bahaya banjir di kemudian hari.
Hubungan Kerjasama Institusi dalam Pengelolaan DAS
3 2 Kasus DAS Ciliwung
Tabel 4.1. Luasan DAS yang Masuk ke Wilayah DKI Jakarta
No DAS/Sub DAS Luas DAS/Sub DAS (Km2)
Di Dalam DKI (Km2)
Di Luar DKI (Km2)
1. Angke 174.77 174.77 367.83 2. Cakung 105.33 20.59 84.74 3. Kali baru 104.84 79.37 25.47 4. Krukut 141.18 113.78 27.40 5. Sunter 230.49 171.64 58.85 6. Ciliwung 359.36 67.15 292.21
Total Luas (ha) 1483.80 627.30 856.50 Total Luas (%) 100% 42 % 58 %
Sumber: Bakosurtanal (2002)
4.2. Karakteristik Banjir di DKI Jakarta
Berdasarkan pengamatan data curah hujan yang terekam di beberapa stasiun pada saat terjadi banjir tahun 2002 terlihat bahwa curah hujan harian yang turun di Halim dan Ciledug merupakan periode ulang 2 tahunan, di daerah Depok, Citeko, Tanjung Priok, dan Darmaga periode ulang 5 tahun, dan di kantor pusat BMG merupakan periode ulang 10 tahun, sehingga dengan demikian waktu frekwensi terjadinya banjir seperti tahun 2002 kisaran waktunya antara 2 sampai 5 tahun. Akan tetapi apabila dilihat dari curah hujan kumulatif 2 hari (Duration Dept Frekwensi =DDF) curah hujan yang terjadi tergolong tinggi dengan kisaran 130-295 mm. Data selengkapnya secara lengkap disajikan pada Tabel 4.2.
Tabel 4.2. Penyebaran curah hujan di wilayah DKI dan DAS Ciliwung
No Nama Stasiun Curah Hujan 1 hari (mm)
Curah Hujan 2 hari (mm)
Tanggal
1 Halim PK 107.6 185.6 1-2 Peb 2002 2 Depok 150 165 31Jan – 1Peb 2002 3 Cengkareng 88 167.5 27 – 28 Jan 2002 4 Tanggerang 83 143.5 27-28 Jan 2002 5 Tanjung priok 137.5 216.2 1-2 Pebruari 2002 6 BMG 168.1 192 1-2 Pebruari 2002 7 Pakubuwono 90 137 29-30 Jan 2002 8 Cileduk 109 132 22-23 Jan 2002 9 Darmaga 127 177.5 31 Jan -1 Peb 2002 10 Gn Mas 147 230 30 – 31 Jan 2002 11 Citeko 145.9 183.8 30-31 Jan 2002 12 Bekasi 250 295 29-30 Jan 2002 13 Kedoya 122 154 26-27 Jan 2002
Sumber: BMG, 2002 dalam Anonimous (2002)
Akibat curah hujan yang turun selama awal Januari, menyebabkan kondisi tanah telah jenuh air, sehingga sangat sedikit air yang dapat diinfiltrasikan Pada tanggal 30 Januari terjadi pengaruh pasang air laut yang tertinggi di pantai utara Jakarta, sehingga curah hujan yang tinggi di bagian hulu DAS Ciliwung bersamaan dengan terjadinya pasang tertinggi. Banjir pada akhir Januari 2002 merupakan gabungan antara kondisi pasang surut dan pola curah hujan yang tinggi yang terjadi di bagian hulu dan hilir DAS Ciliwung serta Jakarta dan sekitarnya. Kondisi Pasang surut secara lengkap disajikan pada Tabel 4.3.
Hubungan Kerjasama Institusi dalam Pengelolaan DAS
Kasus DAS Ciliwung 3 3
Pada tanggal 4 Pebruari 2002 yang merupakan banjir besar dan belum juga surut, telah menurunkan kapasitas saluran akibat banjir sebelumnya, terutama sampah dan material telah menutupi sebagian saluran. Banyak sumbatan dan hambatan yang terjadi, tidak ada pengaruh pasang surut, dan sebagian hujan belum berhenti, beberapa pompa tidak berfungsi sehingga banjir masih berlangsung.
Berdasarkan pola induk yang telah dibuat tahun 1973 dan kemudian disempurnakan tahun 1997 setelah ada banjir besar yang melanda tahun 1996, nampak bahwa telah terjadi kenaikan debit rencana pada semua badan sungai yang ada di DKI-Jakarta. Master plan Cengkareng drain telah dinaikan dari 390 m3/det menjadi 620 m3/det, sementara sungai Ciliwung telah dinaikan dari 370 m3/det menjadi 570 m3/det. Perubahan pola induk ini untuk mengantisipasi kenaikan debit sungai-sungai yang ada di DKI-Jakarta akibat perubahan tata guna lahan, khususnya kurangnya daerah resapan dan terlalu dominannya permukiman yang hampir menutup seluruh DKI dan sekitarnya akibat pesatnya pertumbuhan permukiman. Data debit rencana secara lengkap disajikan pada Tabel 4.4.
Tabel 4.3. Kondisi pasang surut pada akhir Januari dan awal Pebruari 2002 di Tanjung Priok, Jakarta.
No Tanggal Tinggi Pasut di Tanjung Priok (cm) 1. 27 Januari 2002 250 2. 28 Januari 2002 250 3. 29 Januari 2002 252 4. 30 Januari 2002 260 5. 31 Januari 2002 240 6. 1 Pebruari 2002 230 7. 2 Pebruari 2002 230 8. 3 Pebruari 2002 220
Sumber: Nedeco, (2002).
Tabel 4.4. Debit rencana pada beberapa sungai di wilayah DKI-Jakarta
Debit Rencana (m3/det) No Nama Kanal/Sungai
Pola Induk 1973 Pola Induk 1997 1 Cengkareng drain 390 620 2 Mookervaart 100 125 3 Angke 210 290 4 Pasangrahan 160 290 5 Banjir kanal barat 450 670 6. Ciliwung 370 570 7. Krukut 125 135 8 Banjir kanal timur (rencana) 340 370 9. Cipinang 77 85 10 Sunter 105 110 11 Buaran + Jatikeramat 62 95 12 Cakung 60 84
Sumber : Proyek Induk Ciliwung-Cisadane (1999)
Perubahan kenaikan debit ternyata tidak hanya terjadi di daerah hilir akan tetapi terjadi juga di daerah hulu. Di sungai Ciliwung yang meliputi Ciliwung hulu di daerah Katulampa dan Ciliwung tengah (Depok) juga terjadi kenaikan debit yang sangat signifikan terutama sejak tahun 1980 kenaikan debit puncak sudah sangat mengkhawatirkan. Sebelum tahun
Hubungan Kerjasama Institusi dalam Pengelolaan DAS
3 4 Kasus DAS Ciliwung
1980 debit maksimum di sungai Ciliwung hulu (Katulampa) masih berada di bawah 200 m3/det, akan tetapi saat ini kondisinya terus menunjukkan kenaikan yang sangat signifikan seperti yang terlihat pada Gambar 4.1.
Sumber : Tim IPB (2002)
Gambar 4.1. Kenaikan Debit Puncak di S. Ciliwung Hulu
Sumber : Tim IPB (2002)
Gambar 4.2. Penurunan Debit Rendah di S. Ciliwung di Katulampa
Hubungan Kerjasama Institusi dalam Pengelolaan DAS
Kasus DAS Ciliwung 3 5
Indikasi kenaikan debit puncak merupakan indikator yang kuat telah terjadi perubahan tata guna lahan yang serius di DAS Ciliwung bagian hulu. Perubahan tata guna lahan di daerah hulu ini akan secara otomatis merubah pola induk sungai-sungai yang ada di hilir sehingga dengan demikian perubahan ini harus diantisipasi dengan pola pengembangan DAS yang efektif dan efisien. Perencanaan tata ruang harus berbasis DAS dan seoptimal mungkin memasukan curah hujan ke dalam tanah.
Salah satu indikator kerusakan daerah hulu Sungai Ciliwung terlihat dari semakin menurunnya debit rendah (base flow) pada saat musim kering dan semakin naiknya debit puncak pada musim hujan, sehingga hal ini akan menyebabkan berkurangnya keseimbangan neraca air di DAS Ciliwung. Kondisi ke 12 DAS lainnya yang ada di Jakarta lebih parah dibanding Ciliwung karena prosentase penutupan lahan yang mampu meresapkan airnya jauh lebih sedikit, sehingga rehabilitasi lahan harus dilakukan pada ke 13 sungai yang mengalir menuju Jakarta.
Apabila dilihat secara seksama debit rencana tahun 1997 sebenarnya telah terlewati akibat banjir tahun 1996 sehingga dengan demikian banjir di DKI-Jakarta disebabkan oleh 3 faktor penentu utama yaitu:
1. Akibat perubahan kondisi di bagian hulu dan tengah DAS Ciliwung sehingga terjadi debit puncak yang tinggi melebihi kapasitas daya tampung saluran yang ada,
2. Akibat curah hujan yang turun di DKI-Jakarta sendiri yang tidak mampu diresapkan dan dialihkan ke bagian hilir serta
3. Akibat adanya pengaruh pasang surut air laut yang menghambat laju aliran air ke laut.
Ke tiga faktor penyebab banjir tersebut harus ditangani secara komprehensif dan dengan metode yang berbeda pula.
Salah satu alternatif dalam penggulangan banjir di Jakarta, Departemen Kimpraswil melalui proyek–Induk pengembangan Ciliwung- Cisadane telah membuat kajian untuk menggabungkan antara Sungai Ciliwung dengan Cisadane melalui terowongan di daerah Kota Bogor, yang kajiannya dilakukan oleh JICA (1997) dari arah Bantar Kemang menuju Empang di Sungai Cisadane, dengan kapasitas debit 300 m3/det, dan lebar terowongan 8 m serta panjang 900 m. Terowongan tersebut akan menaikan debit rencana Sungai Cisadane dari 1.600 m3/det menjadi 1.900 m3/det, sehingga kapasitas Sungai Cisadane harus dinaikan. Dengan debit kejadian pada banjir 1996 sebesar 740 m3/det maka debit Sungai Ciliwung di Katulampa setelah disodet menjadi 440 m3/det, dan debit tersebut masih di atas debit kejadian pada banjir tahun 2002 dimana debit di Katulampa hanya 425 m3/det. Andaikan terowongan tersebut telah ada pada kejadian banjir 2002 terowongan itu tidak akan tersentuh oleh permukaan air karena didisain untuk debit 440 m3/det, sehingga terowongan ada, tetapi Jakarta tetap kebanjiran. Di samping itu terowongan tersebut hanya terairi 2-3 hari dalam 2-5 tahun sekali, mengingat debit rata-rata di Katulampa dalam keadaaan normal hanya berkisar 20 m3/det. Usulan terowongan akhirnya batal karena ditolak oleh masyarakat kota Tanggerang, yang mengkhawatirkan akan semakin memperparah kondisi tata air di Sungai Cisadane.
Berdasarkan data kejadian banjir tahun 2002 total curah hujan harian selama 3 hari berturut-turut (29 - 31 Januari 2002) untuk Ciliwung hulu tercatat 233 mm, dan dari total curah hujan tersebut sebesar 62,3 % telah berubah menjadi aliran permukaan dengan total
Hubungan Kerjasama Institusi dalam Pengelolaan DAS
3 6 Kasus DAS Ciliwung
run off 145 mm dengan debit aliran maksimum sebesar 378 m3/det yang berlangsung selama 5 jam berturut-turut. Pada tanggal 18 Januari 2002, tercatat debit maksimum sebesar 525 m3/det yang diakibatkan oleh hujan sebesar 66 mm selama dua hari dan berubah menjadi aliran permukaan sebesar 50 mm atau 75 % dari total curah hujan tetapi hanya berlangsung selama 2 jam sehingga tidak menimbulkan banjir yang besar dibanding kejadian akhir Januari 2002 seperti yang disajikan pada Gambar 4.3.
Tabel 4.5. Rencana debit Ciliwung-Cisadane setelah dilakukan penyodetan
No Sub DAS/DAS Debit Rencana (m3/det)
Debit Setelah disodet (m3/det)
1 Ciliwung katulampa 790 490 2 Cisadane empang 810 970 3 Cisadane Pasar baru 1600 1900
Sumber : Proyek Induk Ciliwung-Cisadane (1999)
Sumber : Tim IPB (2002)
Gambar 4.3. Perbandingan Hidrograf Debit S. Ciliwung di Katulampa Tahun 2002.
Hubungan Kerjasama Institusi dalam Pengelolaan DAS
Kasus DAS Ciliwung 3 7
Kejadian banjir tahun 1996 yang pernah terjadi sangat berbeda dengan fenomena banjir tahun 2002 yang lalu. Kejadian banjir tahun 1996 lebih banyak disebabkan karena terjadinya curah hujan yang tinggi di daerah hulu, yang tidak mampu diresapkan sehingga terjadi banjir yang hebat di daerah hilir. Berdasarkan hasil kajian hidrograf pada tanggal 6 Januari 1996 debit Sungai Ciliwung di Katulampa telah mencapai 740 m3/det, dan berada pada kisaran diatas 400 m3/det selama lebih dari 10 jam sehingga Jakarta mengalami banjr yang hebat, yang diakibatkan oleh kejadian hujan di hulu yang tercatat di daerah Gadog curah hujan mencapai 250 mm. Dengan curah hujan sebesar 230 mm di tahun 1998, debit Sungai Ciliwung di Katulampa mencapai sebesar 651 m3/det, dan tahun 1999 dengan curah hujan 220 mm debitnya mencapai 610 m3/det. Dari data yang tersedia terlihat bahwa kapasitas saluran sungai di Jakarta khususnya Ciliwung yang didesain hanya 570 m3/det hampir setiap 2 tahun sekali akan terlampaui, sehingga dengan demikian daerah hulu Ciliwung perlu mendapat perhatian yang serius, karena tanpa perbaikan daerah hulu Ciliwung, pembuatan kanal di Jakarta tidak akan mampu menanggulangi banjir yang ada.
Sumber : Tim IPB (2002)
Gambar 4.4. Hidrograf Debit Ciliwung di Katulampa tahun 1996.
Berdasarkan penelusuran banjir dengan menggunakan analisis input-output model Muskingum, antara stasiun Katulampa, Depok dan Manggarai terlihat bahwa lama waktu tempuh aliran antara Katulampa ke Depok sebesar 7 jam, dari Depok ke Manggarai 1 jam, sementara waktu konsentrasi aliran di Katulampa sebesar 3 jam sehingga dengan demikian waktu tempuh aliran berkisar 10 jam sejak terjadinya hujan di bagian hulu DAS Ciliwung. Penurunan debit dari Katulampa ke Depok sebesar 25-27 % sementara dari Depok ke Manggarai terjadi penurunan debit puncak sebesar 5 %. Adanya perbedaan waktu tempuh ini seharusnya bisa digunakan untuk sistem peringatan dini, sehingga tingkat kerugian yang terjadi bisa dikurangi, paling tidak masyarakat dapat diberitahu kapan banjir itu datang dan masyarakat dapat bersiap-siap serta mampu menyelamatkan harta bendanya.
Hubungan Kerjasama Institusi dalam Pengelolaan DAS
3 8 Kasus DAS Ciliwung
Sumber : Tim IPB (2002)
Gambar 4.5. Perbedaan waktu tempuh aliran di S. Ciliwung
4.3. Andil Daerah Hulu dan Tengah DAS Ciliwung Terhadap Debit dan Volume Banjir
Perubahan pola penggunaan lahan kearah bentuk penggunaan lahan terbangun memberi dampak pada pengurangan kapasitas resapan, terutama dilihat dari proporsi perubahan luasan pemukiman yang terjadi di Ciliwung Hulu dan Tengah, sehingga akan meningkatkan laju limpasan permukaan yang menghasilkan banjir di kawasan hilir Ciliwung. Untuk mengkaji andil daerah hulu dan tengah DAS Ciliwung terhadap debit dan volume banjir daerah hilir digunakan model hidrologi HEC-1 sebagai alat untuk menduga berbagai parameter hidrograf banjir, dengan menggunakan data penggunaan lahan yang diperoleh dari penafsiran citra satelit Landsat 1981 dan 1999 (Singgih, 2000 dalam Pawitan, 2002). DAS Ciliwung Hulu telah dibagi ke dalam tujuh Sub DAS, yang masing-masing dicirikan oleh parameter masukan model yang meliputi: intensitas hujan 30-menitan, bilangan kurva sebagai fungsi dari penggunaan lahan dan jenis tanah, luas sub DAS, kelerengan lahan, panjang lereng, dan kharakteristik sungai yang meliputi: lebar sungai, kelerengan sungai, dan kekasaran Manning. Keseluruhan parameter ini juga diperoleh untuk dua sub DAS di Ciliwung Tengah. Pengujian model terhadap data masukan ini dilakukan untuk tujuh kejadian hujan deras (> 20 mm/kejadian) tahun 1999 dengan hasil pada Tabel 4.6. Hasil ini menunjukkan tingkat akurasi prediksi model yang dapat diterima, sehingga model dengan parameter terkalibrasi kemudian digunakan untuk mensimulasi debit dan volume banjir untuk kondisi tahun 1981 dan 1999, termasuk kemudian digunakan untuk menentukan pola penggunaan lahan yang dapat menekan dampak perubahan lahan terhadap peningkatan debit dan volume banjir.
Hubungan Kerjasama Institusi dalam Pengelolaan DAS
Kasus DAS Ciliwung 3 9
Tabel 4.6. Perbandingan Debit dan Volume banjir hasil pengamatan dan prediksi model HEC-1
Debit banjir (m3/det) Volume banjir (1000m3) Tanggal Hujan
Obs. Model Obs. Model 4 Feb. 1999 79 71 929,9 1311,4 11 Feb. 1999 87 90 1399,1 1689,4 8 Mar 1999 119 125 1721,6 2275,2 16 Mar. 1999 89 90 1392,0 1891,3 30 Mar. 1999 55 51 944,3 1134,8 2 Mei 1999 72 71 1183,2 1445,3 4 Mei 1999 66 65 1079,1 1358,2
Sumber: Singgih (2000) dalam Pawitan (2002)
Hasil simulasi model HEC-1 untuk kondisi penggunaan lahan DAS Ciliwung Hulu dan Tengah tahun 1981 dan 1999 diberikan pada Tabel 4.7. Perubahan respons hidrologi DAS yang dinyatakan oleh debit dan volume banjir untuk berbagai sub DAS di Ciliwung ini menunjukkan peningkatan debit antara 1,6% sampai 158% untuk subDAS-subDAS di Ciliwung Hulu, dan total untuk Ciliwung Hulu dengan peningkatan debit dari kondisi 1981 ke 1999 sebesar 67 %, dan untuk Ciliwung Tengah debit banjir meningkat sebesar antara 18% sampai 31%, dengan gabungan sebesar 24%. Sedang untuk volume banjir, peningkatan di Ciliwung Hulu sebesar 59 % dan di Ciliwung Tengah sebesar 17% (Singgih, 2000 dalam Pawitan, 2002)
Sedang untuk menghitung andil yang diberikan oleh kedua bagian DAS Ciliwung ini volume aliran terhadap banjir di daerah hilir, hasil simulasi dengan HEC-1 untuk kondisi tahun 1981 menunjukkan bahwa 43 % diberikan oleh Ciliwung Hulu dan 57% dari Ciliwung Tengah, sedang pada tahun 1999 keadaannya sudah berubah menjadi 51% dari Ciliwung Hulu dan 49% dari Ciliwung Tengah.
Tabel 4.7. Perubahan parameter hidrograf banjir untuk tahun 1981 dan 1999
Debit Puncak (m3/s) Vol. Limpasan (1000m3)
Sub DAS 1981 1999
% Perubahan
1981 1999 %
Perubahan
Tugu 6,70 16,41 144,9 147,5 287,5 95 Cisarua 2,08 5,92 148,2 76,4 132,7 74 Cibogo 2,73 5,4 97,8 71,1 81,7 15 Cisukabirus 4,54 14,25 117,9 68,1 120,2 77 Ciesek 5,67 14,40 157,9 109,6 202,8 85 Ciseuseupan 28,73 29,16 1,6 182,9 217,9 20 Katulampa 10,59 12,18 15,0 56,1 103,5 84 Ciliwung Hulu 46,53 77,65 67,3 711,5 1130,2 59 Ciliwung 22,75 29,75 30,7 533,3 620,0 16 Ciluar 31,32 37.24 18,9 402,5 479,2 19 Ciliwung Tengah 49,71 61,83 24,4 935,6 1098,5 17 Ciliwung 82,85 125,29 51,2 1647,3 2228,1 35
Sumber: Singgih (2000) dalam Pawitan (2002)
Simulasi pengelolaan lahan DAS dalam bentuk tindakan rehabilitasi dan konservasi tanah dan air yang dilakukan menggunakan model HEC-1 dengan memodifikasi nilai parameter
Hubungan Kerjasama Institusi dalam Pengelolaan DAS
4 0 Kasus DAS Ciliwung
model menurut skenario yang dipilih secara nyata dapat menurunkan debit dan volume banjir sampai batas yang diinginkan. Tiga skenario yang dipilih, dibandingkan kondisi pada tahun 1999, adalah (1) penerapan teknik konservasi tanah dan air terbatas di Ciliwung Hulu saja; (2) sama seperti (1) ditambah tindakan yang sama untuk kawasan tengah; dan (3) sama seperti (2) ditambah tindakan penghutanan kembali lahan kebun campuran. Hasil skenario (1) menunjukkan penurunan 34 % debit puncak di Katulampa dan 25 % volume banjir di Ratujaya. Andil Ciliwung Hulu terhadap debit di Ratujaya adalah 34 % dan sisanya dari bagian tengah sendiri, dengan peran dominan dari subDAS Ciesek dan Cibogor. Hasil skenario (2) menunjukkan peningkatan penurunan volume banjir di Ciliwung Hulu-tengah dari 25% (skenario 1) menjadi 43%. Andil kawasan tengah sendiri turun 37% untuk volume banjir dan penurunan 45% debit banjir. Dan skenario (3) memberi penurunan debit dan volume banjir, masing-masing sebesar 53% dan 65% untuk Ciliwung Hulu dan 53% dan 39% untuk Ciliwung Tengah.
4.4. Faktor Geologi dan Penyebab Banjir
Selain permasalahan kelebihan run-off, secara geologi, terdapat beberapa faktor yang menyebabkan banjir di daerah DKI Jakarta dan sekitarnya. Faktor-faktor geologi yang mengakibatkan terjadinya daerah genangan/banjir di wilayah DKI Jakarta adalah (Hutasoit, 2002) :
1. Secara geomorfologi, terdapatnya “cekungan-cekungan” alamiah yang berpotensi menjadi daerah genangan air. Cekungan-cekungan tersebut adalah: danau oxbow lake, cekungan antar tanggul alam, cekungan antar pematang pantai, cekungan bekas laguna, dan rawa-rawa.
2. Masih terjadinya kompaksi alamiah pada lapisan yang heterogen di wilayah DKI Jakarta. Hal ini mengakibatkan terjadinya differential compaction yang menyebabkan terjadinya depresi di permukaan, yang dapat menjadi daerah genangan air.
3. Terdapatnya struktur geologi aktif di daerah DKI Jakarta. Pergerakan dari struktur geologi aktif ini mengakibatkan terjadinya depresi atau pembubungan di sekitar daerah tersebut, yang dapat mengakibatkan terjadinya daerah genangan air.
4.5. Tidak Berjalannya Kebijakan Penataan Ruang
Ketidaksesuaian penggunaan lahan antara yang aktual terjadi di lapangan dengan rencana (RUTR dan RDTR) juga terjadi di DAS Ciliwung bagian hulu dan tengah. Secara keseluruhan tata ruang DAS tersebut telah diatur dalam RDTR DAS Ciliwung yang merupakan penjabaran dari RUTR Kawasan Bopunjur. Menurut RDTR di DAS Ciliwung bagian hulu, lahan yang diperuntukan bagi budidaya non-pertanian (rumah industri, pemukiman, dll) adalah hanya 1.890 ha atau 13 % dari total wilayah DAS Ciliwung bagian hulu (14.867 ha). Luas areal untuk non-pertanian di dalam RUTR bahkan jauh lebih kecil yaitu hanya 5 % di wilayah hulu Ciliwung. Angka ini relatif sangat mendukung fungsi kawasan sesuai dengan Keppres 79/1985 yang menetapkan peruntukan DAS Ciliwung bagian hulu sebagai kawasan konservasi dan wisata.
Sampai dengan tahun 1996 tercatat bahwa penggunaan tanah untuk budidaya non-pertanian telah mencapai 3.807 ha (26 % dari total wilayah hulu) atau terjadi ketidaksesuaian dengan peruntukan non-pertanian dalam RUTR (396%) dan RDTR
Hubungan Kerjasama Institusi dalam Pengelolaan DAS
Kasus DAS Ciliwung 4 1
(101%). Tabel 4.8 memperlihatkan secara rinci rencana peruntukan lahan di DAS Ciliwung bagian hulu dan tengah.
Tabel 4.8. Peruntukan Lahan menurut RUTR dan RDTR serta Penggunaan Lahan yang ada di DAS Ciliwung
Menurut RUTR Menurut RDTRPenggunaan Tanah
yang ada Sub DAS Peruntukan Luas (Ha) % Luas (Ha) % Luas (Ha) %
Lindung (Hutan) 5.426 36 4.650 31 3.783 25 Bud. Pertanian 8.683 58 8.336 56 7.286 49 Bud. Non Pertanian 767 5 1.890 13 3.807 26
Hulu
Jumlah 14.876 100 14.876 100 14.876 100 Lindung (Hutan) 0 0 0 0 0 0 Bud. Pertanian 1.147 8 1.174 9 8.476 62 Bud. Non Pertanian 12.616 92 12.589 91 5.287 38
Tengah
Jumlah 13.763 100 13.763 100 13.763 100 Lindung (Hutan) 5.426 19 4.650 16 3.783 13 Bud. Pertanian 9.830 34 9.510 33 15.762 55 Bud. Non Pertanian 13.383 47 14.479 51 9.094 32
Hulu & Tengah
Jumlah 28.639 100 28.639 100 28.639 100 Sumber : Peta RUTR dan RDTR (1996) dalam Anonimous (1997)
Berkembangnya luas lahan kawasan budidaya non-pertanian, antara lain untuk vila, pemukiman, pariwisata dan sebagainya, terutama karena terjadi perambahan besar-besaran terhadap kawasan yang diperuntukkan sebagai kawasan budidaya pertanian dan kawasan fungsi lindung.
Hutan atau kawasan lindung di wilayah DAS bagian hulu tercatat cukup luas yaitu mencapai 25 % dari luas wilayah bagian DAS Ciliwung bagian hulu dan keberadaannya wajib untuk ditingkatkan baik jumlah maupun kualitasnya. Dari segi jumlah luasan, sangat diharapkan adanya kawasan hutan atau yang berfungsi lindung dimana luasan minimal yang dibutuhkan dalam suatu DAS adalah 30% dari wilayah. Di dalam suatu RUTR dan RDTR, areal hutan atau yang berfungsi lindung di wilayah hulu direncanakan di atas 30% dan luas ini sangat berpengaruh kepada kondisi hidrologi Ciliwung.
Upaya penambahan areal lindung sampai 30% sudah dimulai yaitu dengan mengembalikan kawasan kebun teh yang habis masa HGU menjadi kawasan hutan serta menghijaukan lahan terbuka. Penambahan luasan ini juga disertai dengan peningkatan kualitas hutan yang ada. Disamping itu, pengembangan hutan rakyat dapat menjadi alternatif untuk mengembangkan luasan hutan atau kawasan yang berfungsi lindung.
Perbedaan antara kenyataan di lapangan dengan RDTR dan RUTR di bagian hulu juga dijumpai untuk areal non-pertanian. Hal ini disebabkan oleh berkembangnya kawasan agrowisata dan sarana wisata lainnya. Hingga tahun 1996, areal non-pertanian sudah mencapai luasan 26% dari total areal bagian hulu padahal di dalam RUTR direncanakan hanya 5% dan di dalam RDTR seluas 13%. Di dalam RDTR direncanakan bahwa kawasan ini mempunyai areal pertanian seluas 8.336 ha atau 56% dan di dalam RUTR seluas 8.683 atau 58%, namun kawasan pertanian hanya dijumpai sebesar 7.286 ha atau 49 %. Upaya
Hubungan Kerjasama Institusi dalam Pengelolaan DAS
4 2 Kasus DAS Ciliwung
pengembalian kawasan non-pertanian menjadi pertanian ditandai dengan upaya pembongkaran pemukiman yang tidak sesuai dengan peruntukannya.
Kawasan hutan seluas kurang lebih 3.783 ha atau 25% dari luas DAS Ciliwung hulu mempunyai beban yang cukup besar sebagai pendukung fungsi hidrologis, khususnya kawasan DAS Ciliwung dan wilayah Bopunjur pada umumnya. Beban berat ini disebabkan karena tidak adanya hutan atau kawasan yang mempunyai fungsi lindung baik di wilayah DAS bagian tengah maupun DAS bagian hilir. Melihat peranan hutan tersebut sebagai kawasan konservasi mencakup keseluruhan luas wilayah DAS maka jumlah luasan hutan di atas menjadi relatif kecil atau kurang, sebab areal lindung yang ada di DAS Ciliwung hanya sekitar 13% dari total wilayah DAS Ciliwung bagian hulu dan tengah atau hanya 10% dari total luasan seluruh DAS Ciliwung.
Luasan hutan yang ada saat ini masih relatif kecil dibandingkan dengan luasan hutan yang diharapkan ada dalam satu DAS. Program pengembangan kawasan hutan atau kawasan yang berfungsi lindung dapat dilaksanakan pada daerah-daerah bantaran sungai, daerah bahaya banjir atau daerah yang tidak sesuai dan aman untuk pemukiman maupun pada daerah ruang terbuka di tengah kota. Untuk kawasan Ciliwung bagian tengah, baik RDTR maupun RUTR mengidentifikasikan adanya peluang perkembangan daerah perkotaan. Di dalam RUTR dan RDTR, wilayah DAS Ciliwung bagian tengah sangat dimungkinkan berkembang menjadi kawasan perkotaan, karena peruntukan untuk fungsi budidaya non-pertanian menurut rencana sangat besar (RUTR mencapai 92% dan RDTR mencapai 91%) walaupun realisasinya baru sekitar 38 %.
Kawasan Ciliwung tengah mempunyai kecenderungan perkembangan kearah bentuk perkotaan mengingat wilayah ini merupakan daerah penyangga DKI Jakarta. Pada DAS Ciliwung bagian tengah, di dalam rencana tata ruangnya tidak dialokasikan kawasan hutan yang dapat mengurangi aliran permukaan yang akhirnya mempengaruhi perilaku banjir ke dan di Jakarta.
Pemerintah Daerah Kabupaten Bogor juga telah membuat perencanaan alokasi ruang yang didasarkan atas kesesuaian lahan untuk penggunaan tertentu, yang dituangkan ke dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten (RTRWK). Alokasi penggunaan ruang/lahan menurut RTRW Kabupaten Bogor Tahun 2000 disajikan pada Tabel 4.9. Pada tabel tersebut terlihat bahwa pada tahun 2000 rencana alokasi lahan untuk pemukiman dan pengembangan perkotaan meningkat menjadi lebih dari 25%. Kecenderungan ini akan meningkat terus sejalan dengan diimplementasikannya UU No. 22/1999 pada tahun 2001, dimana kabupaten memiliki kewenangan penuh dalam mengatur alokasi sumberdaya yang terdapat di wilayahnya.
Selain wilayah Kabupaten Bogor, Kawasan BOPUNJUR juga memainkan peran penting dalam kontribusinya terhadap banjir Jakarta. Hal ini karena sebagian kawasan BOPUNJUR juga merupakan wilayah DAS Ciliwung. Data penggunaan lahan di kawasan Bopunjur dapat dilihat pada Tabel 4.10. Kawasan lindung menyebar di bagian selatan kawasan Bopunjur menempati lahan dengan morfologi yang bergunung dengan ketinggian lahan diatas 1000 m dpl dan curah hujan di kawasan ini sangat tinggi. Kawasan lindung menyebar di Kecamatan Cisarua, Megamendung, Ciawi, Babakan Madang, dan Sukaraja. Sementara kawasan budidaya menyebar di bagian tengah hingga utara dengan karakteristik lahan pada umumnya datar, ketinggian kurang dari 1000 m dpl, dan curah hujan relatif lebih rendah.
Hubungan Kerjasama Institusi dalam Pengelolaan DAS
Kasus DAS Ciliwung 4 3
Tabel 4.9. Alokasi Penggunaan Ruang berdasarkan RTRW Kabupaten Bogor Tahun 2000
No. Alokasi Ruang Luas (ha) Persentasi (%) 1. Kawasan Hutan Lindung 33.760 14,24 2. Kawasan Hutan Produksi 38.270 16,14 3. Kawasan Perkebunan 11.924 5,03 4. Kawasan Pariwisata 2.102 0,89 5. Kawasan Tanaman Tahunan 19.708 8,31 6. Kawasan Pertanian Lahan Kering 35.005 14,76 7. Kawasan Pertanian Lahan Basah 26.504 11,18 8. Kawasan Pengembangan Perkotaan 42.091 17,75 9. Kawasan Pemukiman Perkotaan 19.657 8,29 10. Kawasan Industri 4.004 1,69 11. Kawasan Waduk 1.849 0,79 12. Kawasan Zona Tambang 2.112 0,89 13. Kawasan Setu/Danau 106 0,04 Jumlah 237.092 100,00
Sumber: RTRW Kabupaten Bogor Tahun 2000 dalam Anonimous (2002)
Berbagai upaya dalam memenuhi kebutuhan perumahan bagi penduduk Kabupaten Bogor merupakan isu penting dalam kaitannya dengan perubahan penggunaan lahan menjadi kawasan pemukiman. Kenyataan ini ditandai dengan diberikannya perijinan menyangkut pendirian bangunan baru (Tabel 4.10). Meskipun kondisi perekonomian sektor riil agak lesu, tetapi pertumbuhan perumahan cenderung meningkat sejalan dengan pertambahan penduduk Kabupaten Bogor.
Tabel 4.10. Penggunaan Lahan di Kawasan Bopunjur
No Jenis Penggunaan Lahan Luas (Ha) Persentasi (%) 1 Permukiman 19.342,00 23,80 2 Industri 732,55 0,89 3 Pariwisata/rekreasi 4.323,86 4,60 4 Sawah 5.817,00 7,16 5 Tegal/Ladang/Kebun 15.671,00 19,28 6 Ladang/Huma 0,00 0,00 7 Padang Rumput 400,00 0,49 8 Hutan Rakyat 2.793,00 3,44 9 Hutan Negara 4.603,00 5,66 10 Perkebunan 6.433,49 7,92 11 Kolam/Empang 1.189,00 1,46 12 Lain-lain 19.651,10 24,91 13 Tidak diusahakan 319,00 0,39 Jumlah 81.275,00 100,00
Sumber : Bappeda Bogor, 2002 dalam Anonimous (2002)
Ijin lokasi yang telah dikeluarkan dan dalam proses yang tercatat sampai tahun 1998 di kawasan Bopunjur mencapai 392 buah untuk berbagai sektor/kegiatan usaha (Tabel 4.11). Untuk kecamatan-kecamatan di wilayah DAS Ciliwung ijin lokasi yang dikeluarkan Pemda Bogor relatif sedikit. Hal ini sejalan dengan posisi dan fungsi kawasan yang umumnya terletak di bagian hulu DAS dan berfungsi sebagai daerah resapan.
Hubungan Kerjasama Institusi dalam Pengelolaan DAS
4 4 Kasus DAS Ciliwung
Tabel 4.11. Jenis Perijinan (IMB) di setiap kecamatan di Kabupaten Bogor yang termasuk DAS Ciliwung
Jenis Izin Mendirikan Bangunan No. Kecamatan Rumah Tinggal Pemutihan Industri Perumahan
I. WIL.CIBINONG 1. Cibinong 458 249 86 30 2. Sukaraja 184 35 18 4
II. WIL.PARUNG 1. Bojong Gede 101 235 142 28
III. WIL.CIAWI 1. Ciawi 779 952 17 - 2. Mega Mendung 150 18 12 - 3. Cisarua 2074 133 15 -
JUMLAH 3746 1622 290 62 Sumber: Bappeda Kab. Bogor dalam Anonimous (2002)
Tabel 4.12. Jumlah ijin lokasi di Kawasan Bopunjur tahun 1998
No. Kecamatan Jumlah Ijin Lokasi (unit usaha)
Persentasi (%)
1. Ciawi 39 9,95 2. Cisarua 35 8,93 3. Citeureup 91 23,21 4. Gunung Putri 172 43,87 5. Cibinong 20 5,12 6. Sukaraja 14 3,57 7. Parung 12 3,06 8. Gunung Sindur 9 2,29
Jumlah 392 100,00 Sumber: Bappeda Kab. Bogor dalam Anonimous (2002)
4.6. Rehabilitasi Lahan Tidak Berhasil
Sebagai suatu program yang keberhasilan kegiatannya membutuhkan keterlibatan dan dukungan warga komunitas (petani) maka penting untuk memperhatikan bagaimana sesungguhnya respon petani terhadap implementasi program rehabilitasi lahan/ penghijauan yang selama ini dilakukan. Berdasarkan hasil Studi Sistem Insentif Rehabilitasi Lahan (Anonimous, 2001) diperoleh aspirasi penduduk lokal di kawasan DAS tentang bagaimana program rehabilitasi sebaiknya dilakukan. Secara ringkas harapan dan kritik warga masyarakat DAS Ciliwung dapat diringkaskan sebagai berikut :
1. Program Rehabilitasi/Penghijauan Lahan Kritis masih dirasakan bersifat Top-Down. Hal ini ditandai dengan penyusunan Rencana Program yang belum melibatkan partisipasi Warga Masyarakat. Akibatnya pilihan atas Jenis Bibit Tanaman yang akan disebarluaskan, misalnya, tidak senantiasa cocok dengan kemauan warga.
Hubungan Kerjasama Institusi dalam Pengelolaan DAS
Kasus DAS Ciliwung 4 5
2. Berubah-ubahnya rencana program secara sepihak oleh pihak aparat instansi dapat mengacaukan dan mengecewakan perasaan warga, antara lain; janji untuk membuat sumur resapan di desa Gunung Geulis yang ternyata hingga kini tidak terwujud, tidak adanya upah untuk tahap perawatan tanaman (di lahan penanaman maupun di Kebun Bibit Desa) yang akhirnya justru menjadi beban warga sendiri. Dengan demikian pendekatan program diharapkan dapat lebih bersifat partisipatif dengan pemahaman agar warga masyarakat mendapat akses pada pembuatan keputusan-keputusan atas alokasi sumberdaya program, sehingga dapat lebih sesuai dengan kemauan dan kemampuan riil yang ada pada warga masyarakat itu sendiri. Beberapa hal yang dianggap penting dibicarakan bersama dengan masyarakat antara lain adalah berapa jumlah bibit tanaman buah atau bibit tanaman keras (misal: Albasia, Mindi) yang harus diadakan, berapa upah yang perlu dialokasikan, pada tahap apa saja alokasi upah perlu diadakan, berapa orang warga masyarakat yang perlu dilibatkan dalam tahap kegiatan program kali ini, dan seterusnya. Dalam ungkapan yang lebih singkat, program harus berbasiskan pada komunitas warga karena mereka adalah salah satu pilar (stakeholders) strategis DAS Ciliwung yang harus mendapatkan posisi yang memadai.
3. Program ini diharapkan dapat berlangsung secara berkesinambungan dan sistematis mengikuti hasil evaluasi atas tahapan kegiatan yang sudah dilakukan sebelumnya. Hal ini diajukan mengingat selama ini program yang dilancarkan dirasakan lebih bersifat sporadis dan parsial, serta tidak fokus. Selama ini pelaksanaan program dianggap dilakukan secara mendadak dan tidak menyangkutkan diri dengan kebutuhan dan permasalahan warga dalam konteks yang lebih komprehensif. Pertanyaan seperti seberapa jauh program rehabilitasi lahan/penghijauan ini dapat menjadi peluang insentif baik dalam bentuk peluang kerja atau sumber pendapatan baru, sering dilontarkan oleh masyarakat. Pertanyaan tersebut seyogyanya dapat menjadi bahan pantauan dan evaluasi pihak-pihak yang terlibat dalam suatu proses ‘duduk bersama’ yang jujur dan terbuka. Patut dicatat pada dasarnya program ini telah mendapatkan sambutan baik dengan menjadikan warga sebagai subyek sasaran program sehingga warga merasa telah mendapat semacam pengakuan dari pemerintah bahwa mereka adalah ‘pemilik’ sah atas tanah garapannya. Namun program ini belum diikuti dengan tindakan lebih lanjut yang mendudukan mereka sebagai subyek aktif dalam penyusunan dan pelaksanaan program agar lebih merasa sebagai pemilik program itu sendiri.
4. Banyaknya penguasaan lahan (misal: villa-villa peristirahatan) oleh orang luar jelas telah menyulitkan pelaksanaan program, karenanya pelaksanaan kegiatan program tidak dapat sepenuhnya dibebankan pada warga setempat/kelompok tani. Apalagi diketahui sejak ditetapkan adanya kebijaksanaan Bopunjur ternyata pembangunan sebagian villa-villa tetap tidak mengindahkan lingkungan dan malahan tanpa IMB. Tentu saja semua ini berimbas pada penciptaan situasi dan kondisi yang tidak kondusif, pada derajat tertentu warga meragukan tekad dan itikad pemerintah dalam menyukseskan program rehabilitasi lahan/penghijauan tersebut.
5. Ada gagasan menjadikan program tersebut terpadu dengan pembangunan Hutan Wisata, sehingga sekaligus dapat membuka peluang kerja/usaha bagi warga setempat. Wilayah hulu DAS Ciliwung yang selama ini telah menjadi tujuan wisata untuk banyak orang kota dan mancanegara seyogyanya dapat dilengkapi dengan suatu pembangunan Hutan Wisata. Tentu saja gagasan ini terpulang kepada hasil kajian dan komitmen dari semua pihak yang menjadi stakeholders DAS Ciliwung.
Hubungan Kerjasama Institusi dalam Pengelolaan DAS
4 6 Kasus DAS Ciliwung
Selanjutnya studi tersebut menunjukkan bahwa permasalahan pokok yang menghambat keberhasilan program rehabilitasi lahan/penghijauan dan/atau pengelolaan DAS masih diakibatkan oleh berjalannya kelembagaan pada masa lalu, khususnya menyangkut masalah pengorganisasiannya. Pengelompokan permasalahan yang didasarkan pada persepsi pihak-pihak terkait menunjukkan hal yang tidak jauh berbeda dengan permasalahan yang terjadi sebelum otonomi daerah, meliputi aspek-aspek berikut:
1. Pelaksanaan yang sentralistik dan belum diwujudkannya kepastian tata ruang: Permasalahan ini dipersepsikan oleh pihak-pihak terkait DAS Ciliwung terutama berkaitan dengan kekakuan kebijakan, lemahnya penegakan hukum, tidak adanya tata ruang yang disepakati seluruh pihak terkait.
2. Organisasi penyelenggaraan lemah: Permasalahan yang menonjol di DAS Ciliwung adalah lemahnya fungsi koordinasi, lemahnya fungsi kontrol, tidak adanya perencanaan terpadu yang disepakati forum koordinasi yang ada tidak berfungsi sebagaimana yang diharapkan, kebijakan yang dilaksanakan belum dipahami oleh masyarakat dan lemahnya sosialisasi program.
3. Lemahnya pendekatan sosial budaya:
4. Kesadaran dan peran serta masyarakat rendah: Permasalahan ini menggambarkan bahwa terdapat kesenjangan yang besar antara manfaat individu dengan manfaat sosial dan lemahnya insentif bagi manfaat individu untuk meningkatkan manfaat sosial rehabilitasi lahan/penghijauan.
5. Tuntutan ekonomi masyarakat terhadap pemanfaatan sumberdaya alam sangat tinggi: Permasalahan ini dipersepsikan oleh pihak terkait di DAS Ciliwung, dikaitkan dengan masalah kemiskinan penduduk lokal
4.7. Kerugian Akibat Banjir 2002
Banjir memang sangat merugikan, berbagai aspek kehidupan. Banjir besar yang melanda Jakarta tahun 2002 telah mnyentuh seluruh aspek kehupan masyarakat pada berbagai lapisan masyarakat. Jumlah penduduk yang terkena banjir mencapai 3.709.324 jiwa yang tersebar pada berbagai wilayah di Jakarta, dengan luas areal genagan mencapai 8.707 ha atau mencapai 1/6 dari seluruh areal Jakarta. Data sebaran tingkat kerusakan dan jumlah penduduk secara lengkap disajikan pada Tabel 4.13.
Tabel 4.13. Sebaran Areal dan Jumlah Penduduk yang Terkena Banjir Tahun 2002
No Wilayah Jumlah
Penduduk
Penduduk Terkena Banjir
Luas Areal (Ha)Luas
Genangan Banjir (ha)
1 Jakarta Selatan 1.784.004 785.804 14.572 731 2 Jakarta Timur 2.347.917 997.964 18.776 454 3 Jakarta Pusat 874.595 400.403 4.790 890 4 Jakarta Barat 1.904.191 874.583 12.615 2.482 5 Jakarta Utara 1.419.091 650.570 14.231 4.149 Jumlah 8.329.838 3.709.324 64.983 8.707
Sumber: NEDECO (2002)
Hubungan Kerjasama Institusi dalam Pengelolaan DAS
Kasus DAS Ciliwung 4 7
Banjir yang ada telah menimbulkan kerugian langsung maupun tidak langsung. Kerugian langsung antara lain adalah pada sektor perumahan dan non perumahan. Kerugian pada sektor perumahan permanen mencapai Rp 3,2 trilyun dan paling parah terjadi daerah Jakarta Barat. Sedangkan pada bangunan non perumahan yang terbesar mengalami kerugian adalah bangunan pabrik di daerah Jakarta Utara dengan kerugian lebih dari 587 milyar. Besar kerugian pada masing-masing sektor secara lengkap disajikan pada Tabel 4.14 dan Tabel 4.15.
Tabel 4.14. Tingkat Kerugian pada Sektor Perumahan
Kerusakan langsung (Milyar Rp) Perumahan No WILAYAH
Permanen Semi Permanen Non Permanen 1 Jakarta Selatan 202,212 18,125 998 2 Jakarta Timur 204,136 47,956 4,485 3 Jakarta Pusat 155,264 30,902 2,495 4 Jakarta Barat 1,391,209 144,017 16,925 5 Jakarta Utara 1,305,650 72,834 10,569 Jumlah 3.258.471 313.837 35.472
Sumber: NEDECO (2002)
Tabel 4.15. Kerugian pada Sektor Non Perumahan pada Banjir Tahun 2002
Kerusakan langsung (Milyar Rp) Non Permukiman
No
WILAYAH Gudang Toko, Restoran &
Hotel
Pabrik Perkantoran Sekolah & tempat ibadah
1 Jakarta Selatan 2,960 13,070 4,528 522 3,746 2 Jakarta Timur 4,390 18,556 20,560 1,040 5,144 3 Jakarta Pusat 3,776 11,051 798 392 4,423 4 Jakarta Barat 124,048 303,427 253,075 5,104 24,154 5 Jakarta Utara 48,414 95,100 587,124 2,736 18,134 Jumlah 183,590 441,202 866,084 9,794 55,601
Sumber: NEDECO (2002)
Kerusakan langsung juga terjadi pada non bangunan antara lain menimbulkan biaya pada masalah kesehatan, infrastruktur, pertanian dan kerugian lainnya yang kisarannya antara 1,8 sampai 32 milyar, data selengkapnya disajikan pada Tabel 4.16.
Tabel 4.16. Kerusakan Banjir pada Sektor Non Bangunan
Kerusakan langsung (Milyar Rp) No WILAYAH Fasilitas
Kesehatan Infra-
stuktur Biaya Medis
Pertanian Kehilangan
lainnya 1 Jakarta Selatan 1,760 4,841 1,563 147 11,125 2 Jakarta Timur 1,550 3,003 4,046 100 26,594 3 Jakarta Pusat 2,188 5,892 1,551 244 6,767 4 Jakarta Barat 9,885 16,428 658 273 45,161 5 Jakarta Utara 7,801 27,458 1,808 2,466 32,165 Jumlah 23,184 57,622 9,624 3,231 121,812
Sumber: NEDECO (2002)
Hubungan Kerjasama Institusi dalam Pengelolaan DAS
4 8 Kasus DAS Ciliwung
Berdasarkan hasil perhitungan baik yang langsung maupun yang tidak langsung besar kerugian yang ditimbulkan akibat banjir tahun 2002 mencapai 9,8 trilyun dimana daerah yang paling parah terjadi di Jakarta Utara disusul kemudian daerah Jakarta Barat. Kerusakan tidak langsung antara lain akibat banjir telah menghilangkan aktivitas ekonomi, bahkan kegiatan bursa sempat dihentikan. Akibat banjir tersebut kerugian pada kehilangan aktivitas ekonomi mencapai 2,5 trilyun, kehilangan sarana transportasi dan telekomunikasi sebesar 78 milyar. Total kerusakan secara lengkap disajikan pada Tabel 4.17.
Tabel 4.17. Total Kerusakan Banjir Tahun 2002 pada Seluruh Sektor
Kerusakan (Milyar Rp)
No
WILAYAH Kehilangan
aktivitas ekonomi
Kehilangan transportasi & telekomunikasi
Kerusakan Langsung
Kerusakan Tidak
Langsung
Total Kerusakan
1 Jakarta Selatan 116,228 4,562 265,598 126,007 470,010 2 Jakarta Timur 153,008 7,010 341,560 165,052 607,935 3 Jakarta Pusat 405,415 12,110 225,745 425,731 781,772 4 Jakarta Barat 818,372 29,688 2,33,363 935,127 3,923,389 5 Jakarta Utara 1,043,676 25,182 2,2212,256 1,207,945 4,104,242 Jumlah 2,536,698 78,552 5,379,523 2,859,933 9,887,347
Sumber: NEDECO (2002).
Sumber : Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (2002)
Gambar 4.6. Kondisi banjir di wilayah pemukiman di Jakarta tahun 2002
Hubungan Kerjasama Institusi dalam Pengelolaan DAS
Kasus DAS Ciliwung 4 9
Sumber : U.S.Embassy Jakarta Home Page (2002)
Gambar 4.7. Kondisi lingkungan pemukiman saat banjir di Jakarta tahun 2002
Sumber : Adventist Development and Relief Agency (2002)
Gambar 4.8. Genangan air di Jalan Thamrin-Jakarta tahun 2002
Hubungan Kerjasama Institusi dalam Pengelolaan DAS
5 0 Kasus DAS Ciliwung
Hubungan Kerjasama Institusi dalam Pengelolaan DAS
Kasus DAS Ciliwung 5 1
5. KEBIJAKAN PENGELOLAAN DAS CILIWUNG
5.1. Kebijakan Penataan Ruang DAS Ciliwung
Sebagaimana telah diketahui bahwa DAS Ciliwung melingkupi beberapa wilayah administrasi yaitu Kab. Bogor, Kodya Bogor, Kotif Depok, dan Propinsi DKI Jakarta. Dengan demikian maka kebijakan tata ruang DAS Ciliwung sangat dipengaruhi oleh kebijakan tata ruang masing-masing daerah administratif. Selain itu, karena DAS Ciliwung juga berkaitan dengan wilayah Puncak, maka tata ruang DAS Ciliwung dipengaruhi juga oleh kebijakan BOPUNJUR (Bogor-Puncak-Cianjur).
Dalam perjalanannya, kebijakan penataan ruang DAS Ciliwung dituangkan dalam berbagai peraturan perundangan baik tingkat pusat maupun tingkat daerah (Propinsi dan Kabupaten/Kota). Di bawah ini diuraikan beberapa peraturan perundangan yang berkaitan dengan penataan ruang DAS Ciliwung, khususnya bagian hulu.
5.1.1. Peraturan Perundangan Tingkat Pusat
A. Peraturan Pemerintah Nomor 13 tahun 1963
Peraturan Pemerintah No. 13 tahun 1963 tentang Penertiban Pembangunan Baru sepanjang jalan Jakarta - Bogor - Puncak - Cianjur, di luar batas DKI Jaya, Daerah Swatantra Tk II Bogor dan Cianjur ini merupakan langkah awal adanya penanganan kawasan Bopunjur (Bogor – Puncak – Cianjur) secara khusus.
B. Keputusan Presiden RI Nomor 48 tahun 1983
Sehubungan dengan perkembangan di kawasan Bopunjur yang sangat pesat dan tidak terkendali serta mengingat fungsi utama kawasan Bopunjur sebagai kawasan lindung, maka dikeluarkan Keputusan Presiden RI No. 48 tahun 1983 tentang Penanganan Khusus Penataan Ruang dan Penertiban serta Pengendalian Pembangunan pada Kawasan Pariwisata Puncak - Cianjur di Luar Wilayah Khusus Ibukota Jakarta, Kotamadya Bogor, Kota Administratif Depok, Kota Cianjur dan Kota Cibinong. Dengan berlakunya keputusan ini maka Peraturan Pemerintah No. 13 tahun 1963 dinyatakan tidak berlaku lagi.
C. Keputusan Presiden Nomor 79 tahun 1985
Keputusan Presiden RI No. 79 tahun 1985 tentang Penetapan Rencana Umum Tata Ruang Kawasan Bopunjur merupakan pengaturan lebih lanjut dari pelaksanaan Keputusan Presiden No. 48 tahun 1983. Dalam Keputusan ini ditetapkan bahwa Rencana Umum Tata Ruang Kawasan Bopunjur harus dilengkapi dengan rencana alokasi penggunaan ruang dalam rangka mencegah kerusakan lingkungan yang semakin parah khususnya di kawasan Bopunjur yang dituangkan dalam peta skala 1 : 50.000. Fungsi utama kawasan Bopunjur ditetapkan sebagai kawasan konservasi air, tanah, udara, flora dan fauna. Selain itu dalam kawasan inipun ditetapkan mempunyai fungsi budidaya kepariwisataan, pertanian, perindustrian, pemukiman perdesaan dan pemukiman perkotaan.
Berdasarkan keputusan Presiden tersebut, kawasan Bopunjur meliputi 14 kecamatan yang terbagi menjadi 3 kawasan fungsi utama yaitu :
Hubungan Kerjasama Institusi dalam Pengelolaan DAS
5 2 Kasus DAS Ciliwung
1. Kawasan Lindung (terdapat di Kecamatan Citeureup, Cisarua, Cugenang. Ciawi, Cisarua, Pacet).
2. Kawasan Penyangga (terdapat di Kecamatan Ciawi, Cisarua, Pacet, Cugenang, Citeureup).
3. Kawasan Budidaya (terdapat di Kecamatan Gunung Sindur, Ciputat, Sawangan, Parung, Semplak, Cibinong, Cimanggis, Gunung Putri, Citeureup, Pacet, Cisarua, Kedung Halang).
D. Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 22 Tahun 1989
Kepmendagri Nomor 22 tahun 1989 tentang Tata Laksana Penertiban dan Pengendalian Pembangunan di Kawasan Puncak menetapkan bahwa:
1. Gubernur KDH Tingkat I Jawa. Barat bertindak sebagai Penanggung Jawab dalam Pembinaan dan Pengendalian Pembangunan di Kawasan Puncak.
2. Bupati KDH Tingkat II Bogor, Cianjur dan Tangerang bertindak sebagai Penanggung Jawab Pelaksanaan Penertiban dan Pengendalian Pembangunan
3. Camat dan Kepala Desa bertanggung jawab atas pemantauan, pengawasan dan pelaporan pembangunan di wilayahnya. Laporan bulanan harus diserahkan kepada Bupati KDH Tingkat II yang berisi : Kesesuaian IMB dengan pelaksanaan pembangunan, Perubahan status kepemilikan tanah, Perubahan fungsi dan peruntukan tanah, dan Perubahan fungsi dan peruntukan bangunan.
4. Selain itu Camat dan Lurah sewaktu-waktu dapat memberikan laporan tentang penyimpangan, kerusakan maupun pencemaran lingkungan.
E. Surat Keputusan Ketua Bappenas No. 016/KET/4/1996
Surat Keputusan tersebut menetapkan pembentukan Kelompok Kerja Pengelolaan Ruang Kawasan (PRK) Bopunjur. Pokja PRK Bopunjur bertugas melaksanakan :
1. Pengkajian dan pemantauan pemanfaatan ruang di Bopunjur terutama berkaitan dengan fungsinya sebagai daerah resapan dalam DAS Ciliwung-Cisadane.
2. Penyusunan bahan bagi penetapan kebijaksanaan dalam upaya pemanfaatan ruang yang optimal sesuai dengan fungsi yang ditetapkan.
3. Penyusunan bahan bagi penetapan kebijaksanaan pemanfaatan ruang kawasan Bopunjur sebagai kawasan tertentu bagi kelangsungan fungsi ruang.
4. Membantu penyerasian Rencana Tata Ruang Wilayah.
5. Membantu koordinasi pelaksanaan penertiban pemanfaatan ruang sebagai upaya rehabilitasi fungsi kawasan Bopunjur sebagai daerah resapan air hujan dan wisata alam.
F. Keppres 114 tahun 1999 tentang Penataan Ruang Kawasan Bopunjur
Keppres No. 114 Tahun 1999 Tentang Penataan Ruang Kawasan Bopunjur merupakan Keppres terbaru dari ketetapan Keppres sebelumnya, yaitu Keppres No. 48 Tahun 1983
Hubungan Kerjasama Institusi dalam Pengelolaan DAS
Kasus DAS Ciliwung 5 3
Tentang Penanganan Khusus Penataan Ruang dan Penertiban serta Pengendalian Pembangunan pada Kawasan Pariwisata Puncak dan Wilayah Jalur Jalan Jakarta-Bogor-Puncak-Cianjur di Wilayah Luar DKI Jakarta, Kotamadya Bogor, Kotif Depok, Kota Cianjur, dan Kota Cibinong dan Keppres No. 79 Tahun 1985 Tentang Penetapan Rencana Umum Tata Ruang Kawasan Puncak. Dalam Keppres 114/1999, selain pertimbangan di atas terdapat pertimbangan lainnya yang ditinjau berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 1997 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, dimana Kawasan Bogor-Puncak-Cianjur dikategorikan sebagai kawasan tertentu yang memerlukan penanganan khusus dan merupakan kawasan yang mempunyai nilai strategis sebagai kawasan yang memberikan perlindungan kawasan bawahannya bagi wilayah Daerah Propinsi Jawa Barat dan wilayah Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta.
Adapun tujuan dari diterbitkannya Keppres 114 tahun 1999 adalah : 1) Menjamin tetap berlangsungnya konservasi air dan tanah yang merupakan fungsi utama kawasan; 2) Menjamin tersedianya air tanah, air permukaan, dan penanggulangan banjir bagi Kawasan Bopunjur dan daerah hilirnya.
Dengan sasaran penetapan Kawasan Bopunjur sebagai konservasi air dan tanah adalah :
1. Terwujudnya peningkatan fungsi lindung terhadap tanah, air, udara, flora, dan fauna dengan ketentuan : a. Tingkat erosi yang tidak mengganggu; b. Tingkat peresapan air hujan yang menjamin tercegahnya bencana banjir dan
ketersediaan air sepanjang tahun bagi kepentingan umum baik di Kawasan Bopunjur dan sekitarnya maupun di Wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta;
c. Kualitas air yang menjamin kesehatan lingkungan; d. Situ yang berfungsi sebagai daerah tangkapan air, sumber air baku, dan sistem
irigasi; e. Pelestarian flora dan fauna yang menjamin pengawetan keanekaragaman jenis
tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya; f. Tingkat perubahan suhu udara tetap menjamin kenyamanan kehidupan
lingkungan.
2. Tercapainya optimalisasi fungsi budidaya dengan ketentuan: a. Kegiatan budidaya yang tidak melampaui ketersediaan sumber daya alam dan
energi; b. Kegiatan usaha pertanian berskala besar dan kecil yang menerapkan teknologi
pertanian yang memperhatikan konservasi air dan tanah; b. Daya tampung bagi penduduk yang selaras dengan kemampuan penyediaan
prasarana dan sarana lingkungan yang bersih dan sehat serta dapat mewujudkan jasa pelayanan yang optimal;
c. Kegiatan pariwisata pegunungan yang tetap menjamin kenyamanan dan keamanan masyarakat serta serasi dengan lingkungan alamnya serta membuka kesempatan kerja dan berusaha yang optimal bagi penduduk setempat dalam kegiatan kepariwisataan sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan penduduk;
Hubungan Kerjasama Institusi dalam Pengelolaan DAS
5 4 Kasus DAS Ciliwung
d. Tingkat gangguan terhadap lalu lintas pada jalan arteri dan pencemaran lingkungan hidup yang serendah-rendahnya melalui penerapan baku mutu lingkungan hidup dan baku limbah industri secara konsisten.
Kemudian berkaitan dengan penjelasan di atas, maka ditetapkanlah 19 kecamatan yang termasuk kedalam lingkup Kawasan Bopunjur, yang antara lain : a. 11 (sebelas) kecamatan terdapat di Daerah Kabupaten Bogor b. 3 (tiga) kecamatan terdapat di Daerah Kabupaten Cianjur c. 3 (tiga) kecamatan terdapat di Daerah Kota Depok d. 2 (dua) kecamatan terdapat di Daerah Kabupaten Tangerang
Selanjutnya Kawasan Bopunjur ini mengalami perluasan sejalan dengan perkembangan yang dialami, dapat dilihat berdasarkan jumlah kecamatan dari keppres sebelumnya, yang hanya terdiri dari 14 kecamatan. Perkembangan tersebut didasarkan pada perkembangan kawasan yang ditinjau dari perkembangan atau perluasan secara administratif dari masing-masing wilayah yang terdapat dalam lingkup Kawasan Bopunjur. Salah satunya adalah perubahan yang dialami Depok yang saat ini berstatus sebagai kota administratif. Selain itu, yang menjadi dasar penetapan masing-masing kecamatan masuk dalam lingkup Kawasan Bopunjur, adalah didasarkan pada : a. Konsep pemikiran perwilayahan, yaitu berdasarkan perkembangan sepanjang jalur
Jalan Raya Puncak dan wilayah sekitarnya. b. Kondisi fisik berdasarkan analisis geologi dan tata lingkungan. c. Pengaruh DAS (Daerah Aliran Sungai), yaitu Sungai Ciliwung dan Cisadane. d. Perkembangan Kawasan Bopunjur.
Perubahan jumlah kecamatan yang termasuk kedalam lingkup Kawasan Bopunjur berdasarkan masing-masing Keppres dapat dilihat pada Tabel 5.1.
Dalam Keppres 114 tahun 1999, diatur pokok-pokok kebijakan penataan ruang Kawasan Bopunjur yang meliputi arahan untuk : Perencanaan tata ruang; Pemanfaatan ruang; dan Pengendalian pemanfaatan ruang.
Perencanaan tata ruang Kawasan Bopunjur merupakan penetapan lokasi dominasi pemanfaatan ruang berdasarkan : Fungsi utama kawasan; dan Fungsi kawasan dan aspek kegiatan.
Dari sejumlah kecamatan yang masuk dalam lingkup Kawasan Bopunjur diatas, diatur pola pemanfaatan ruang yang pendeliniasiannya didasarkan pada fungsi kawasan, terdiri dari : a. Kawasan Lindung yang terdiri atas:
− Kawasan Hutan Lindung. − Kawasan Cagar Alam. − Kawasan Taman Nasional. − Kawasan Taman Wisata Alam. − Kawasan Perlindungan Setempat, yang terdiri atas Kawasan Sempadan Sungai,
Kawasan Sekitar Mata air, dan Kawasan sekitar Waduk/Danau/Situ.
Hubungan Kerjasama Institusi dalam Pengelolaan DAS
Kasus DAS Ciliwung 5 5
b. Kawasan Budidaya − Kawasan pertanian lahan basah.
Tabel 5.1. Perubahan Jumlah Kecamatan
Keppres No. 48 Tahun 1983
Keppres No. 79 Tahun 1985
Keppres No. 114 Tahun 1999
11 (sebelas) Kec. di Dati II Kab. Bogor, yaitu : Kec. Ciawi Kec. Cibinong Kec. Cimanggis Kec. Cisarua Kec. Citeureup Kec. Gunung Putri Kec. Gunung Sindur Kec. Kedung Halang Kec. Parung Kec. Sawangan Kec. Semplak 2 (dua) Kec. di Dati II Kab. Cianjur, yaitu : Kec. Cugenang Kec. Pacet 1 (satu) Kec. di Dati II Kab. Tangerang, yaitu : Kecamatan Ciputat
11 (sebelas) Kec. di Dati II Kab. Bogor, yaitu : Kec. Ciawi Kec. Cibinong Kec. Cimanggis Kec. Cisarua Kec. Citeureup Kec. Gunung Putri Kec. Kedung Halang Kec. Gunung Sindur Kec. Parung Kec. Sawangan Kec. Semplak 2 (dua) Kec. di Dati II Kab. Cianjur, yaitu : Kec. Cugenang Kec. Pacet 1 (satu) Kec. di Dati II Kab. II Tangerang, yaitu : Kecamatan Ciputat
11 (sebelas) Kec. di Daerah Kab. Bogor, meliputi yaitu : Kec. Ciawi; Kec. Cibinong; Kec. Citeureup; Kec. Gunung Putri; Kec. Sukaraja; Kec. Parung; Kec. Kemang; Kec. Gunung Sindur; Kec. Cisarua; Kec. Megamendung; Kec. Bojong Gede. Kec. Putat Nutag* Kec. Babakan Madang* Kec. Ranca Bungur* 3 (tiga) Kec. di Dati II Kab. Cianjur, yaitu : Kecamatan Cugenang; Kecamatan Pacet; Kecamatan Sukaresmi. 3 (tiga) Kec di Daerah Kota Depok, yaitu : Kecamatan Cimanggis; Kecamatan Sawangan; Kecamatan Limo. 2 (dua) Kec di Daerah Kab. Tangerang, yaitu : Kecamatan Ciputat; Kecamatan Pamulang.
Sumber: Anonimous (2002)
Kawasan lainnya yang terdiri dari kawasan permukiman, kawasan pertanian lahan kering, kawasan perkebunan, dan lain-lain.
Sedangkan, untuk pola pemanfaatan yang didasarkan pada fungsi kawasan dan aspek kegiatan, terdiri atas :
Hubungan Kerjasama Institusi dalam Pengelolaan DAS
5 6 Kasus DAS Ciliwung
a. Kawasan perdesaan yang terdiri atas: − Kawasan pertanian lahan basah. − Kawasan lainnya.
b. Kawasan perkotaan
Penetapan lokasi kawasan sebagaimana dijelaskan di atas, didasarkan pada kondisi geografis dan topografi yang dimiliki Kawasan Bopunjur. Hal ini bertujuan agar tercapai keseimbangan ekosistem pemanfaatan dan penggunaan lahan diantara bagian hulu dan bagian hilir dari Kawasan Bopunjur. Pada bagian hulu kawasan, sebagian besar pola pemanfaatan ruangnya merupakan Kawasan lindung, selain itu terdapat juga berberapa kawasan yang merupakan kawasan budidaya seperti perumahan hunian rendah, pertanian lahan basah/kering, ladang, perkebunan, peternakan, agro industri, hutan produksi, dan industri berorientasi padat tenaga kerja. Pada bagian hilir kawasan, pola pemanfaatannya lebih didominasi oleh fungsi kawasan budidaya, yang antara lain didominasi oleh perumahan dengan tingkat hunian padat, kegiatan perdagangan dan jasa, serta industri ringan non polutan dan berorientasi besar. Keterkaitan antara fungsi kawasan dan dasar dari penetapan fungsi kawasan tersebut dapat dilihat pada Tabel 5.2.
Selain pola pemanfaatan yang ditinjau berdasarkan fungsi kawasan diatas, terdapat juga pola pemanfaatan yang didasarkan pada fungsi kawasan dan aspek kegiatan. Hal ini dibedakan atas kawasan pedesaan dan kawasan perkotaan, dimana perbedaannya dilihat berdasarkan tujuan dari fungsi penetapan masing-masing kawasan tersaji dalam Tabel 5.3.
Selanjutnya dalam Keppres 114 tahun 1999 ini, diatur juga pemanfaatan tata ruang yang penekanannya difokuskan pada bagaimana suatu bentuk pemanfaatan ruang yang tidak melanggar salah satu fungsi kawasan dikarenakan adanya bentuk kegiatan lain, seperti adanya suatu kegiatan budidaya yang melakukan kegiatan di kawasan lindung. Untuk itu, Pemerintah Daerah perlu melakukan rehabilitasi dan reboisasi kawasan lindung dengan tutupan vegetasi tetap.
Namun, di luar kawasan lindung dapat dikembangkan kegiatan budidaya dengan ketentuan sebagai berikut :
a. Perlu menjaga konservasi air dan tanah;
b. Tidak mengganggu kesuburan tanah, keawetan tanah, fungsi hidrologi, kelestarian flora dan fauna, keserasian fungsi lingkungan hidup;
Bentuk-bentuk pemanfaatan ruang yang tidak boleh atau dilarang penggunaannya berdasarkan masing-masing fungsi kawasan dapat dilihat pada Tabel 5.4.
Dalam hal pengaturan yang terkait dengan pemanfaatan ruang kawasan lindung, kawasan budidaya, kawasan pedesaan, dan kawasan perkotaan dikeluarkan oleh instansi pemerintah baik di tingkat pusat maupun daerah dengan kewenangan yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku, kemudian pelaksanaannya dilakukan oleh pemerintah yang berwenang berkoordinasi dengan instansi terkait. Dalam pengaturan tersebut selanjutnya wajib memperhatikan : a. Rencana rinci tata ruang yang telah ditetapkan; b. Persyaratan-persyaratan teknis yang mendukung konservasi air dan tanah.
Hubungan Kerjasama Institusi dalam Pengelolaan DAS
Kasus DAS Ciliwung 5 7
Selanjutnya agar pola pemanfaatan ruang diatas dapat lebih terarah, maka dalam Keppres 114 tahun 1999 diatur pengendalian pemanfaatan ruang untuk Kawasan Bopunjur. Kegiatan pengendalian pemanfaatan ruang ini dilakukan melalui kegiatan pengawasan dan penertiban terhadap pemanfaatan ruang yang dilaksanakan oleh Bupati/Walikota dan aparat yang ditunjuk dan bertanggung jawab kepada Gubernur, sedangkan koordinator pengendalian pemanfaatan ruang dilakukan oleh Gubernur yang bertanggung jawab kepada Presiden yang dalam mengendalikan pemanfaatan ruang, Gubernur memperhatikan arahan Menteri.
Tabel 5.2. Keterkaitan antara Fungsi Kawasan dan Dasar Penetapan
FUNGSI KAWASAN DASAR PENETAPAN 1. Kawasan Hutan Lindung Memelihara dan mempertahankan kawasan hutan lindung
sebagai hutan dengan tutupan vegetasi tetap untuk mencegah terjadinya erosi, bencana banjir, sedimentasi dan menjaga fungsi hidrologi tanah di kawasan hutan lindung sehingga ketersediaan unsur hara tanah, air tanah, dan air permukaan selalu dapat terjamin.
2. Cagar Alam Memelihara dan mempertahankan serta melindungi keanekaragaman biota, tipe ekosistem, gejala dan keunikan alam untuk kepentingan perlindungan plasma nutfah, penelitian dan pengembangan, ilmu pengetahuan dan pendidikan.
3. Taman Nasional Memelihara dan mempertahankan serta melestarikan fungsi lindung dan tatanan lingkungan untuk pengembangan pendidikan, rekreasi dan pariwisata ekologi, serta peningkatan kualitas lingkungan sekitarnya dan perlindungan dari pencemaran untuk menjamin berlangsungnya fungsi perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.
4. Taman Wisata Alam Memelihara dan mempertahankan serta melestarikan fungsi lidung dan tatanan lingkungan untuk dimanfaatkan bagi pariwisata dan rekreasi alam, serta pendidikan dan penelitian yang menunjang pengelolaan dan budidaya sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.
5. Kawasan Perlindungan Setempat a. Menjaga sempadan sungai dari kegiatan manusia yang dapat mengganggu dan merusak kualitas air sungai, kondisi fisik pinggir dan dasar sungai serta mngamankan aliran sungai;
b. Menjaga kawasan sekitar mata air untuk melindungi mata air dari berbagai usaha dan atau kegiatan yang dapat merusak kualitas air dan kondisi fisik kawasan sekitarnya.
6. Kawasan Pertanian Lahan Basah Memanfaatkan potensi lahan yang sesuai untuk kegiatan usaha peningkatan produksi tanaman pangan dan hortikultura lahan basah serta perikanan dengan tetap memperhatikan kelestarian fungsi lingkungan hidup.
Sumber: Anonimous (2002)
Hubungan Kerjasama Institusi dalam Pengelolaan DAS
5 8 Kasus DAS Ciliwung
Tabel 5.3. Keterkaitan antara Fungsi Kawasan dan Tujuan Penetapan
FUNGSI KAWASAN TUJUAN PENETAPAN 1. Kawasan Perdesaan a. Menjaga kelestarian fungsi kawasan lindung
dan pengembangan fungsi kawasan budidaya di kawasan perdesaan;
b. Menciptakan keserasian perkembangan kegiatan pertanian di kawasan perdesaan dalam menunjang pengembangan wilayah sekitarnya;
c. Mengendalikan konversi pemanfaatan ruang berskala besar;
d. Mencegah kerusakan lingkungan, yang dapat mengganggu antara lain tata udara, tata air, dan keanekaragaman hayati.
2. Kawasan Perkotaan a. Mengatur pemanfaatan ruang kawasan
perkotaan guna meningkatkan kemakmuran rakyat dan mencegah serta menanggulangi dampak negatif terhadap lingkungan alam, lingkungan buatan, dan lingkungan sosial;
b. Meningkatkan fungsi kawasan perkotaan secara serasi, selaras, dan seimbang antara perkembangan lingkungan dengan tata kehidupan masyarakat;
a. Mencapai kualitas tata ruang kawasan
perkotaan yang optimal, serasi, selaras dan seimbang dalam pengembangan kualitas hidup manusia;
b. Mendorong dinamika kegiatan pembangunan perkotaan sehingga dicapai kehidupan perkotaan yang layak, dinamis, optimal, berwawasan lingkungan, berkeadilan serta menunjang pelestarian nilai budaya
Sumber: Anonimous (2002)
Hubungan Kerjasama Institusi dalam Pengelolaan DAS
Kasus DAS Ciliwung 5 9
Tabel 5.4. Keterkaitan antara Fungsi Kawasan dan Aspek Kegiatan dengan Penataan Ruang
FUNGSI KAWASAN DAN ASPEK KEGIATAN
PEMANFAATAN RUANG
1. Kawasan Hutan Lindung a. Pemanfaatan ruang yang mengganggu bentang alam, mengganggu kesuburan serta keawetan tanah, fungsi hidrologi, kelestarian flora dan fauna, serta kelestarian fungsi lingkungan hidup;
b. Kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan dan perusakan terhadap keutuhan kawasan dan ekosistemnya sehinggga mengurangi/menghilangkan fungsi dan luas kawasan seperti perambahan hutan, pembukaan lahan, penebangan pohon dan perburuan satwa;
c. Kegiatan budidaya termasuk mendirikan bangunan kecuali bangunan yang diperlukan untuk menunjang fungsi hutan lindung dan atau bangunan yang merupakan bagian dari suatu jaringan atau transmisi bagi kepentingan umum seperti pos pengamatan kebakaran, pos penjagaan, papan petunjuk/penerangan, patok triangulasi, tugu, muara kereta kabel, tiang listrik, menara televisi.
2. Kawasan Cagar Alam a. Pemanfaatan ruang yang mengganggu bentang alam, mengganggu kesuburan dan keawetan tanah, fungsi hidrologi, kelestarian flora dan fauna, serta kelestarian fungsi lingkungan hidup;
b. Kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan/kerusakan terhadap keutuhan kawasan suaka alam dan ekosistemnya sehingga mengurangi/menghilangkan fungsi dan luas kawasan cagar alam;
c. Mengambil, menebang, memiliki, merusak, memusnahkan, mengangkut dan memperniagakan flora dan fauna yang dilindungi atau bagian-bagiannya dalam keadaan hidup atau mati;
d. Mengeluarkan flora dan fauna yang dilindungi atau bagian-bagiannya dalam keadaan hidup atau mati dari kawasan cagar alam, dan memasukan jenis-jenis tumbuhan dan satwa tidak asli ke dalam kawasan cagar alam.
3. Kawasan Taman Nasional a. Pemanfaatan ruang yang mengganggu bentang alam, mengganggu kesuburan dan keawetan tanah, fungsi hidrologi, kelestarian flora dan fauna, serta kelestarian fungsi lingkungan hidup;
b. Kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan terhadap keutuhan zona inti taman nasional, baik mengurangi, menghilangkan fungsi dan luas zona inti, maupun menambah jenis tumbuhan dan satwa lain yang tidak asli;
c. Kegiatan yang tidak sesuai dengan fungsi zona pemanfaatan dan zona lain dari taman nasional.
Hubungan Kerjasama Institusi dalam Pengelolaan DAS
6 0 Kasus DAS Ciliwung
Tabel 5.4. Lanjutan
FUNGSI KAWASAN DAN ASPEK KEGIATAN
PEMANFAATAN RUANG
4. Kawasan Taman Wisata Alam a. Pemanfaatan ruang yang mengganggu bentang alam, mengganggu kesuburan dan keawetan tanah, fungsi hidrologi, kelestarian flora dan fauna, serta kelestarian fungsi lingkungan hidup;
b. Kegiataan yang tidak sesuai dengan fungsi zona pemanfaatan dan zona lain dari taman wisata alam.
5. Kawasan Sempadan Sungai a. Pemanfaatan ruang yang mengganggu bentang
alam, mengganggu kesuburan dan keawetan tanah, fungsi hidrologi, kelestarian flora dan fauna, serta kelestarian fungsi lingkungan hidup;
b. Pemanfaatan hasil kayu; c. Perusakan kualitas air sungai, kondisi fisik tepi
sungai dan dasar sungai serta mengganggu aliran air.
6. Kawasan Sekitar Mata Air a. Pemanfaatan ruang yang mengganggu bentang
alam, mengganggu kesuburan dan keawetan tanah, fungsi hidrologi, kelestarian flora dan fauna, serta kelestarian fungsi lingkungan hidup;
b. Pemanfaatan hasil kayu; c. Perusakan kualitas air, kondisi fisik kawasan
sekitarnya dan daerah tangkapan air kawasan yang bersangkutan.
7. Kaw. Sekitar Waduk/Danau/Situ a. Pemanfaatan ruang yang mengganggu bentang
alam, mengganggu kesuburan dan keawetan tanah, fungsi hidrologi, kelestarian flora dan fauna, serta kelestarian fungsi lingkungan hidup;
b. Pemanfaatan hasil kayu; c. Perusakan kualitas air waduk/danau/situ, kondisi
fisik kawasan sekitar waduk/danau/situ, serta mengganggu debit air.
8. Kawasan Pertanian Lahan Basah tidak boleh dialihfungsikan untuk kegiatan lain. 9. Kawasan Perdesaan a. Mengurangi areal produktif pertanian dan wisata
alam; b. Mengurangi daya serap air; c. Merubah benteng alam.
10. Kawasan Perkotaan a. Membangun industri yang mencemarkan lingkungan dan banyak menggunakan air;
b. Memperluas dan atau menambah industri di Kecamatan Cimanggis, Kecamatan Cibinong dan Kecamatan Gunung Putri.
Sumber: Anonimous (2002)
Hubungan Kerjasama Institusi dalam Pengelolaan DAS
Kasus DAS Ciliwung 6 1
5.1.2. Peraturan Perundangan Tingkat Daerah
Beberapa produk hukum/peraturan yang berkaitan dengan penataan ruang DAS Ciliwung yang telah keluarkan pada tingkat Propinsi Jawa Barat dan Kabupaten Bogor adalah :
a. SK. Gubernur KDH.Tk.I Jawa Barat No. 556.1/SK.295-Huk/1985, tentang Prosedur dan Tata Cara Pengendalian (Kriteria Teknis Bangunan) pada Kawasan pariwisata jalur jalan Bogor – Puncak-Cianjur.
b. SK.Gubernur KDH.Tk.I Jawa Barat No.821/SK.05-Binpro/85 tanggal 2 Januari 1985, tentang Pembentukan Tim Asistensi Teknik Pengendalian Tata Ruang Kawasan Puncak Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Barat.
c. Instruksi Gubernur KDH.Tk.I Jawa Barat No. 593/Ins.561- Binpro/86 tanggal 16 April 1986, tentang Pengendalian mutasi tanah di Kawasan Puncak.
d. SK. Gubernur KDH.TK.I Jawa Barat No. 413.21/SK.222-Huk/91 tanggal 13 Nopember 1991, Tentang Kriteria Lokasi dan Standar Teknis Penataan Ruang di Kawasan Puncak.
e. SK Gubernur KDH Tingkat I Jawa Barat No. 413.21/SK 222-HUK/1991: Surat keputusan ini mengatur Kriteria Lokasi dan Standar Teknis Penataan Ruang di kawasan Puncak, selain itu juga mengatur ketentuan Teknis Bangunan.
f. Surat Gubernur KDH.Tk.I Jawa Barat No.24 tahun 1993, tentang Pencabutan Keputusan Gubernur KDH.Tk.I Jawa Barat No. 17 tahun 1989 tentang Tim Asistensi Teknik (TAT) dan Pengendalian Pembangunan di Kawasan Puncak.
g. Surat Gubernur KDH Tk.I Jawa Barat No.640/3246-Bappeda/1994 yang intinya adalah menyatakan tidak diterbitkannya ijin lokasi di Kecamatan Sukaresmi, Pacet, Cugenang di Kab. Dati.II Cianjur dan Kec. Ciawi, Cisarua, Megamendung Kab. Bogor serta sebagian Desa di Kec. Cugenang dan Sukaresmi di Kab.Cianjur.
h. SK Gubernur KDH Tingkat 1 Jawa Barat No. 640/182/Bappeda/1995.tentang Penanganan Pembangunan Kawasan Puncak ini menetapkan bahwa tidak diterbitkan ijin lokasi baru di kecamatan Ciawi, Cisarua dan Megamendung di Kabupaten Bogor untuk pengembangan pemukiman villa dan sejenisnya kecuali di desa- desa sbb : Desa Kopo, Leuwimalang, Cisarua dan Citeko, Kecamatan Cisarua. Desa Sukamaju, Sukaresmi, Sukamahi, Kecamatan Megamendung.
i. Perda Kabupaten Bogor No. 3 tahun 1988 tentang Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) kawasan Puncak di Kabupaten DT II Bogor: Perda ini memberikan petunjuk pengendalian pembangunan dalam rangka memelihara, meningkatkan dan mencegah kerusakan lingkungan. Materi yang diatur dalam RDTR ini adalah alokasi peruntukan ruang untuk Kawasan Lindung, Kawasan jalur Pengamanan Aliran Sungai dan Mata Air, Kawasan penyangga, Kawasan Budidaya Pertanian dan Kawasan Budidaya Non Pertanian.
j. Perda Kabupaten Bogor No. 17/2000 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bogor.
k. Perda Kabupaten Bogor No. 23/2000 tentang ijin mendirikan Bangunan.
Hubungan Kerjasama Institusi dalam Pengelolaan DAS
6 2 Kasus DAS Ciliwung
5.2. Organisasi, Program dan Kegiatan Pengelolaan DAS
5.2.1. Organisasi
Berdasarkan data program dan proyek yang dapat dikumpulkan dari berbagai sumber, terdapat banyak organisasi/instansi pemerintah yang terlibat baik secara langsung maupun tidak langsung dengan penanganan banjir dan pengelolaan DAS Ciliwung. Adapun instansi tersebut antara lain adalah :
a. Instansi Pemerintah Pusat
− Kantor Lingkungan Hidup
− Direktoral Jenderal Sumberdaya Air
− Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial
− Direktorat Jenderal Perumahan dan Pemukiman
− Direktorat Jenderal Penataan Ruang
b. Instansi Pemerintah Daerah
− Pemda Propinsi DKI
− Pemda Propinsi Jawa Barat
− Pemda Kotif Depok
− Pemda Kodya Bogor
− Pemda Kabupaten Bogor
Pada tingkat Pemda sendiri dapat terdiri dari dinas-dinas seperti Dinas Kehutanan dan Perkebunan, Dinas Tata Ruang dan Lingkungan Hidup, dll.
5.2.2. Program dan Kegiatan
Program dan kegiatan pengelolaan yang terkait dengan DAS Ciliwung (Tabel 5.5) yang telah berlangsung antara lain Program Kali Bersih (PROKASIH), Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah (RLKT), Jabotabek Water Resources management Project (JWRM), Penanggulangan Ruang Kawasan (PRK) Bopunjur.
Dari kelima kegiatan tersebut hanya kegiatan RLKT dan PRK Bopunjur yang sangat berkaitan dengan masalah erosi dan kuantitas debit air sungai dalam rangka mengantisipasi banjir di Jakarta, sedangkan ketiga lainnya berkaitan dengan penanganan masalah kualitas air.
Berdasarkan data kegiatan pengelolaan DAS Ciliwung, selama ini timbul kesan bahwa hanya DAS Ciliwung Hulu yang dianggap sebagai penyebab utama secara kuantitatif banjir di bagian hilir. Sedangkan faktor lainnya yang sebenarnya lebih menyumbangkan banjir di Jakarta belum ditangani secara intensif melalui program-program yang terpadu. Faktor-faktor tersebut antara lain intensitas hujan yang tinggi di Bagian Tengah maupun Hilir, kecilnya daya peresapan air di DAS Ciliwung Tengah dan Hilir, dan ketersediaan serta kondisi drainase. Dengan demikian tidak proporsional terlalu membebankan fungsi
Hubungan Kerjasama Institusi dalam Pengelolaan DAS
Kasus DAS Ciliwung 6 3
konservasi air dan tanah hanya pada wilayah hulu untuk mencegah banjir dan sedimentasi di bagian hilir.
Tabel 5.5. Kegiatan Pengelolaan DAS Ciliwung yang Pernah Dijalankan
Kegiatan Penanggung Jawab
Tujuan Kegiatan
Area Target
Kelompok Target
PROKASIH Pemda Tk I • Jangka pendek: peningkatan kualitas air sungai dengan prioritas pengawas pada limbah industri.
• Jangka panjang: penanganan limbah industri dan domestik (cair dan padat)
TENGAH HILIR
HULU, TENGAH,
HILIR
Industri Industri dan masyarakat
RLKT BRLKT Dep. Kehutanan
• Mengendalikan laju erosi dan run off
• Meningkatkan kemampuan daya peresapan air
• Mengendalikan laju sedimentasi
HULU TENGAH
Petani dan masyarakat
JWRM • Jangka pendek: penyedian basis data
• Jangka panjang: pengendalian dan pemanfaatan sumber daya alam DAS secara optimal
HULU, TENGAH,
HILIR
Instansi
Penanggu-langan Pencemaran Kab. Bogor
Tim Koordinasi Penanggulangan Pencemaran (TKP2) Kab. Bogor
• Penanggulangan pencemaran limbah industri dan domestik baik berupa limbah cair maupun padat
• Pengawasan dan pemantauan terhadap kegiatan yang berpotensi sebagai sumber pencemaran
TENGAH Industri dan masyarakat
Pengelolaan Ruang Kawasan
Pokja PRK Bopunjur
• Pengkajian, pemantauan dan pemanfaatan ruang
• Penyusunan bahan bagi penetapan kebijaksanaan pemanfaatan ruang dalam rangka membantu Badan Koordinasi Tata Ruang Nasional
• Penyeserasian Rencana Tata Ruang Wilayah
• Mengkoordinasi pelaksanaan penertiban pemanfaatan ruang
Bopunjur (Ciliwung bagian hulu sebagai prioritas utama)
Industri dan masyarakat
Sumber: Anonimous (1997)
Hubungan Kerjasama Institusi dalam Pengelolaan DAS
6 4 Kasus DAS Ciliwung
Sementara itu, sesuai dengan SK Ketua Bappenas No. 016/Ket/4/1996, DAS Ciliwung termasuk dalam pengelolaan ruang kawasan Bopunjur yang penanganannya dibantu oleh Satgas/Pokja Bopunjur.
Pokja Bopunjur yang pernah dibentuk diketuai oleh Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Ketua Bappenas dan dahulu memiliki anggota yang melibatkan instansi lintas sektoral yaitu Ditjen Pengairan PU, Ditjen Cipta PU, Badan Pertanahan Nasional, Ditjen Bangda Depdagri, Ditjen RRL Dephut, Ditjen Perkebunan Deptan, Ditjen Pariwisata Deparpostel, Kantor Kementerian Lingkungan Hidup, Bakosurtanal, Pemda Tk I Jawa Barat dan Tingkat II Bogor, Cianjur dan Tangerang. Dalam pelaksanaannya yang lalu, tugas Pokja PRK Bopunjur membentuk Satgas Bopunjur yang bertugas melakukan kegiatan program di lapang.
Dengan demikian hanya kegiatan Pokja PRK Bopunjur yang secara langsung menangani permasalahan tingginya laju perubahan peruntukan lahan, dari peruntukan pertanian menjadi non pertanian atau berkurangnya daerah hijau/resapan. Namun demikian, pelaksanaannya belum tuntas benar, berkurangnya wewenang Bappenas dan perubahan organisasi di setiap Departemen, maka pengelolaan kawasan Bopunjur menjadi luntur atau kabur lagi. Alhasil, peraturan perundangan yang masih bisa dijadikan pegangan lebih dititikberatkan pada Peraturan Daerah, baik itu Pemerintah Daerah Tingkat I maupun Tingkat II.
Badan Kerjasama Pembangunan (BKSP) Jabotabek yang diberikan mandat untuk mengkoordinasikan penggunaan lahan dalam kawasan Bopunjur melalui Keppres No. 114 Tahun 1999 tentang Penataan Ruang Kawasan Bopunjur telah melakukan sosialisasi dengan mengundang dan mendiskusikan ruang kawasan Bopunjur pada Tahun 2000 bersama stakeholdersnya (Pemda Tk II kebawah dan dinas-dinas terkait, masyarakat, Bappenas, akademisi). Keppres tersebut merupakan peraturan perundangan mutakhir sebagai pengganti atau memperkaya peraturan sebelumnya. Instansi semacam ini secara fungsional dapat dianggap sebagai pengganti Pokja Bopunjur yang telah tidak efektif lagi saat ini. Memang sejauh ini, hingga pelaksanaan diskusi LFA di Bogor, BKSP belum berbuat banyak untuk keberlanjutan DAS Ciliwung. Tabel 5.6. menyajikan uraian tugas pokok Pokja Bopunjur yang pernah disusun. Sampai saat ini berbagi tugas tersebut tampaknya belum sepenuhnya dilakukan.
Permasalahan klasik yang sering dihadapi oleh Tim yang bersifat sektoral ini ternyata muncul di Pokja Bopunjur ini. Aspek koordinasi merupakan rantai yang terlemah. Masing-masing sektor mengasumsikan bahwa apa yang diputuskan dan dilakukannya secara otomatis serasi dengan program sektor lainnya. BKSP Jabotabek diharapkan tidak menghadapi permasalahan klasik tersebut dan mengulangi kesalahan yang pernah ada di Pokja Bopunjur.
Program dan kegiatan yang pernah, sedang dan akan dilakukan di wilayah DAS Ciliwung sudah cukup banyak, namun demikian persoalan pengelolaan DAS terpadu yang antara lain dicirikan dengan terkendalinya banjir belum terjadi sebagaimana yang diharapkan. Rincian program dan kegiatan yang terkait langsung maupun tidak langsung dengan pengelolaan DAS Ciliwung pada periode 1993-2002 dapat dilihat pada Tabel 5.7.
Hubungan Kerjasama Institusi dalam Pengelolaan DAS
Kasus DAS Ciliwung 6 5
Tabel 5.6. Tugas Pokok Pokja Bopunjur yang telah Pernah Tersusun
Lembaga Deputi/
Direktorat Tugas
Dalam Negeri DitJen Pembangunan Perkotaan
• Mengarahkan Pemda Tk I dan II dalam mengkaji ulang Perda tentang RUTR dan RDTR
• Membina dan memantau perkembangan pembangunan agar sesuai dengan RUTR
• Mengkoordinasi pembangunan dan mendayagunakan kerjasama pembangunan berwawasan lingkungan
• Membina dan mengarahkan Pemda Tk II dalam menetapkan pengawasan dan penindakan terhadap pelanggaran IMB
Agraria/ Badan Pertanahan Nasional
Deputi Bid. Pengaturan dan Pengusahaan Tanah
• Tidak mengeluarkan ijin lokasi baru dan kerjasama dengan Dep. Kehutanan meningkatkan fungsi kawasan lindung
• Seluruh kawasan budaya harus dilengkapi dengan sumur resapan dan pembatalan ijin lokasi yang menguruk situ
• Mengembalikan dan meningkatkan fungsi situ • Menyempurnakan RUTR menjadi RTR kawasan
tertentu Pekerjaan Umum
DitJen Pengairan dan Dit Jen Cipta Karya
• Meningkatkan pengelolaan tata air melalui penyusunan juknis pembuatan sumur resapan, pembuatan check dam, mengembalikan fungsi situ pengamanan bantaran sungai dan pencegahan pembuangan sampah
• Menetapkan sarana dan prasarana penerapan KDB bekerjasama dengan Pemda
• Menyusun pengembangan kawasan wisata di luar Jabotabek
Lingkungan Hidup/ Bapedal
Asmen Bid. Pengembangan Pengawasan dan Pengendalian
• Melakukan pengkajian dampak lingkungan • Meningkatkan kesamaan persepsi dan kesadaran
masyarakat • Memantau pelaksanaan pembangunan dan
membantu upaya penegakan hukum Kehutanan DitJen Reboisasi dan
Rehabilitasi Lahan • Melaksanakan rehabilitasi kawasan lindung dan
penyangga bekerjasama dengan Pemda • Memberikan bimbingan teknis kepada masyarakat
dan menyediakan bibit tanaman • Bekerjasama dangan PU memberikan bimbingan
teknis kepada Pemda Tk II dalam pembuatan dam pengendalian dan terasering serta menentukan juknis sumur resapan
• Memberikan penyuluhan pembuatan terasering sumur dan penanaman pohon oleh masyarakat
Hubungan Kerjasama Institusi dalam Pengelolaan DAS
6 6 Kasus DAS Ciliwung
Tabel 5.6. Lanjutan
Lembaga Deputi/
Direktorat Tugas
Pertanian DitJen Perkebunan • Memberikan bimbingan kepada usaha perkebunan dan pertanian untuk meningkatkan pola tanam dan pengelolaan tanah
• Membantu persiapan pemindahan perkebunan yang berada di kawasan lindung
Bakosurtanal Ketua • Mempersiapkan peta dasar yang mutakhir untuk penyusunan RUTR dan RTL
• Membantu mempersiapkan peta rinci untuk RDTR kec.
Pemerintah Daerah Tk.I Jawa Barat
Ketua Bappedal Tk I Kepala Daerah Tk II
• Inventarisasi bangunan • Mengembalikan fungsi kawasan lindung,
penyangga dan budidaya pertanian • Membantu masyarakat dalam pembuatan
terasering, sumur resapan serta penanaman pohon • Membatasi pembangunan di jalur wisata • Memfungsikan situ
Sumber: Anonimous (1997)
5.3. Ketidakterpaduan Program
Program dan kegiatan yang pernah, sedang dan akan dilakukan di wilayah DAS Ciliwung sudah cukup banyak, namun demikian persoalan pengelolaan DAS terpadu yang antara lain dicirikan dengan terkendalinya banjir belum terjadi sebagaimana yang diharapkan.
Program dan kegiatan yang terkait langsung maupun tidak langsung dengan pengelolaan DAS yang diamati adalah pada periode 1993-2002. Pada umumnya program dan kegiatan tersebut menggunakan pendekatan komoditi dan sektoral serta terkotak-kotak dalam wilayah administrasi sehingga tujuan utama dari pengelolaan DAS Ciliwung belum terarah. Dari segi substansi, hampir semua program dan kegiatan tersebut berada pada tahapan perencanaan, belum terlihat tindakan dan hasil nyata di lapangan. Secara sederhana, program dan kegiatan di DAS Ciliwung sebagaimana disajikan dalam Gambar 5.1.
Kebijakan Pengelolaan DAS Terpadu merupakan kebijakan lintas sektoral dan lintas batas wilayah administrasi, yang menyangkut kepentingan banyak pihak dan melibatkan berbagai institusi dan unsur masyarakat. Permasalahan dasar yang harus dipahami dan disepakati secara bersama oleh berbagai pihak dalam pengelolaan DAS Ciliwung secara terpadu ini adalah: 1. Bagaimana mengintegrasikan berbagai kepentingan ke dalam suatu program kegiatan
pengelolaan DAS yang optimal. 2. Bagaimana program kegiatan tersebut dapat didistribusikan, ke dalam pokok-pokok
kegiatan yang harus dilakukan oleh masing-masing pihak, sehingga jelas siapa, berbuat apa.
3. Bagaimana para pihak ini dapat berkoordinasi dan dikoordinasikan dalam suatu sistem kelembagaan, sehingga penyelenggaraannya dapat berlangsung secara efisien dan efektif.
Hubungan Kerjasama Institusi dalam Pengelolaan DAS
Kasus DAS Ciliwung 6 7
Hili
r
√ √ √ √
Ten
gah
√ √ √ √ √ √ √ √ √
Hu
lu
√ √ √ √ √ √ √ √ √ √
Pen
angg
un
g Ja
wab
Ditj
en S
DA
Men
. LH
Men
hut,
Ditj
en
RLPS
Men
hut,
Ditj
en
RLPS
Ditj
en S
DA
Ditj
en S
DA
Din
as T
RL
Kab
Bog
or,
Pem
kot B
ogor
Din
as T
RL
Kab
Bog
or
Din
as T
RL
Kab
Bog
or
Men
. LH
Per
iod
e W
aktu
2002
2002
2001
2002
2001
2001
2002
?
2002
-200
3
2003
2002
Pro
gram
/P
roye
k
Prog
ram
Keg
iatan
Pen
ingk
atan
Ker
jasam
a In
stitu
si da
lam ra
ngka
Man
ajem
en L
ingk
unga
n.
Peng
emba
ngan
Kele
mba
gaan
dan
Pem
biay
aan
Man
ajem
en L
ingk
unga
n Su
ngai
Ciliw
ung.
Pola
umum
stan
dar d
an k
riter
ia RH
L K
epM
en
20/I
I/20
01
Balai
Pen
gelo
laan
DA
S
Tim
Koo
rdin
asi P
enge
lolaa
n Su
mbe
rday
a A
ir (K
eppr
es 1
23/2
001)
Balai
Pen
gelo
laan
Sum
berd
aya
Air
Usu
lan P
embe
ntuk
an L
emba
ga K
oord
inas
i Pe
nerti
ban
Bang
unan
dan
Pem
bent
ukan
Lem
baga
O
torit
a P
enge
lolaa
n D
AS
(Pus
at)
Pers
iapan
dan
Pela
ksan
aan
“Bes
t Pra
ctice
” (P
ilot
Proj
ect)
Pena
ngan
an C
iliw
ung
di C
iawi
Pem
buat
an P
eta
Dae
rah
Raw
an B
enca
na
(Lon
gsor
/Ban
jir d
an P
enya
kit)
Kam
pany
e Pe
lesta
rian
Ciliw
ung
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Kla
sifi
kasi
Pro
gram
Huk
um L
ingk
unga
n
Peng
elolaa
n D
AS
Peng
elolaa
n Su
ngai
Kep
edul
ian M
asya
raka
t
Tab
el 5
.7. R
incia
n Pr
ogra
m M
asin
g-m
asin
g O
rgan
isasi
Dala
m R
angk
a Pe
nang
anan
DA
S Ci
liwun
g
Issu
e B
ahas
an
Fok
us
dan
E
fisi
ensi
Pu
sat
Org
anis
asi/
Pro
ses
Pen
du
kun
g
Hubungan Kerjasama Institusi dalam Pengelolaan DAS
6 8 Kasus DAS Ciliwung
Hili
r
√ √ √ √ √
Ten
gah
√ √ √ √ √ √ √
Hu
lu
√ √ √ √ √ √ √
Pen
angg
un
g Ja
wab
Din
as T
RL K
ab
Bogo
r
Ditj
en P
erum
ahan
da
n Pe
muk
iman
Ditj
en S
DA
Ditj
en S
DA
Din
as T
RL K
ab
Bogo
r
Din
as T
RL K
ab
Bogo
r, D
itjen
Pe
nata
an R
uang
Din
as T
RL K
ab
Bogo
r, Pe
mda
D
KI
Din
as T
RL K
ab
Bogo
r
Per
iod
e W
aktu
2002
-200
3
2002
2002
2001
-200
2
2003
2002
2002
-200
6
2002
-200
6
Pro
gram
/P
roye
k
Eva
luas
i Pem
bang
unan
Per
umah
an d
an
Perm
ukim
an (P
eriji
nan,
Per
oleh
an T
anah
, Pe
mba
ngun
an F
isik,
AM
DA
L, U
KL/
UPL
, PIL
da
n D
ampa
k Ba
njir)
Sosia
lisas
i Dae
rah
Raw
an B
anjir
dan
Ren
cana
Pe
nang
anan
nya
Stud
i Pen
gem
bang
an T
erpa
du C
iliw
ung-
Cisa
dane
Pem
buat
an F
oto
Uda
ra K
awas
an B
opun
jur d
i K
abup
aten
Bog
or
Eva
luas
i Per
ubah
an P
eman
faat
an R
uang
Ter
hada
p Re
ncan
a Ta
ta R
uang
dan
Per
ubah
an P
engg
unaa
n La
han
terh
adap
Kon
disi
Eks
istin
g
Opt
imali
sasi
Tim
Koo
rdin
asi P
enat
aan
Ruan
g
Pem
anta
pan
Sist
em M
onito
ring
dan
Peng
awas
an
Pena
taan
Rua
ng
11 12
13
14
15
16
17
Kla
sifi
kasi
Pro
gram
Huk
um L
ingk
unga
n
Pena
taan
Rua
ng
Issu
e B
ahas
an
Hubungan Kerjasama Institusi dalam Pengelolaan DAS
Kasus DAS Ciliwung 6 9
H
ilir
√ √ √ √ √ √ √
Ten
gah
√ √ √ √ √ √ √
Hu
lu
√ √ √ √ √ √
Pen
angg
un
g Ja
wab
Din
as T
RL K
ab
Bogo
r
Ditj
en T
PTP,
Pe
mko
t Bog
or
Pem
da D
KI
Din
as T
RL K
ab
Bogo
r
Ditj
en R
LPS,
BP
DA
S
Ditj
en S
DA
Ditj
en S
DA
Ditj
en S
DA
Ditj
en S
DA
Din
as T
RL K
ab
Bogo
r
Ditj
en P
erum
ahan
da
n Pe
muk
iman
Per
iod
e W
aktu
2002
-200
6
2001
-200
2
1999
-200
2
2002
-200
3
2002
-?
2002
2002
2003
2002
2003
2002
Pro
gram
/P
roye
k
Pem
bang
unan
Sar
ana
dan
Pras
aran
a Pe
rsam
paha
n (T
PA, T
PS, A
lat P
engo
lah S
ampa
h da
n A
ngku
tan
Pers
ampa
han)
Stud
i dan
Pem
bang
unan
Wad
uk/K
olam
Ref
ensi
Peng
enda
li Ba
njir
di K
ecam
atan
Ciaw
i
Pere
ncan
aan
Peng
elolaa
n D
AS
Terp
adu
Kaji
an P
enat
aan
Ulan
g D
aera
h Se
mpa
dan
Sung
ai Ci
liwun
g U
ntuk
Opt
imali
sasi
Kap
asita
s Sun
gai
Pem
bang
unan
Sist
em P
erin
gata
n Ba
njir
deng
an
Tekn
ik R
adar
Peny
usun
an D
isain
Pen
gend
alian
Ban
jir d
enga
n Pe
ndek
atan
Par
tisip
atip
Pene
litian
Kua
litas
Air
Pen
yusu
nan
Renc
ana
Peng
emba
ngan
dan
Pe
mba
ngun
an P
erum
ahan
dan
Per
muk
iman
D
aera
h
18 19
20
21
22
23
24
25
Kla
sifi
kasi
Pro
gram
Pem
bang
unan
Pra
sara
na
kota
Peng
elolaa
n D
AS
Peng
elolaa
n Su
ngai
Peng
elolaa
n K
ualit
as A
ir
Issu
e B
ahas
an
Hubungan Kerjasama Institusi dalam Pengelolaan DAS
7 0 Kasus DAS Ciliwung
H
ilir
√ √ √
Ten
gah
√ √ √ √ √ √ √ √
Hu
lu
√ √ √ √ √
Pen
angg
un
g Ja
wab
Pem
kot B
ogor
Din
as T
RL
Kab
Bog
or
Din
as T
RL
Kab
Bog
or
Ditj
en S
DA
Men
eg L
H
Din
as T
RL
Kab
Bog
or
Pem
kot B
ogor
Din
as T
RL
Kab
Bo
gor,D
itjen
Pe
nata
an
Ruan
g, P
emda
D
KI,
Pem
kot
Bogo
r
Per
iod
e W
aktu
2002
- ?
2002
-200
3
2003
-200
4
2002
- ?
2000
2003
-200
4
2002
- ?
2001
-200
2
Pro
gram
/P
roye
k
Sega
la be
ntuk
ker
usak
an/k
erug
ian m
asya
raka
t m
enjad
i tan
ggun
g jaw
ab se
penu
hnya
pro
yek
(dala
m
rang
ka so
deta
n)
Sist
em p
ende
teks
ian D
ini T
erha
dap
Benc
ana
Alam
ya
ng B
erba
sis M
asya
raka
t
Ana
lisa
Dam
pak
Ling
kung
an (A
MD
AL)
Kaw
asan
pr
iorit
as
Peny
iapan
Per
atur
an-P
erat
uran
, Ped
oman
dan
Pr
osed
ur P
erlin
dung
an te
ntan
g Pe
ngen
dalia
n Pe
kerja
an T
anah
, Ero
si da
n Se
dim
enta
si
Peng
emba
ngan
Sist
em T
arif
Air
Lim
bah
Revi
ew M
ekan
isme
Pem
beria
n Pe
rijin
an
Pem
anfa
atan
Rua
ng
Pem
beba
san
Tana
h Se
suai
Kep
utus
an P
resid
en N
o 55
tahu
n 19
93 (d
alam
rang
ka so
deta
n)
Revi
ew R
enca
na T
ata
Ruan
g K
awas
an (R
TRW
)
26
27
28
29
30
31
32
33
Kla
sifi
kasi
Pro
gram
Kep
edul
ian M
asya
raka
t
Huk
um L
ingk
unga
n
Pena
taan
ruan
g
Issu
e B
ahas
an
Inst
rum
en
Keb
ijaka
n
Hubungan Kerjasama Institusi dalam Pengelolaan DAS
Kasus DAS Ciliwung 7 1
H
ilir
√ √ √
Ten
gah
√ √ √ √ √ √ √
Hu
lu
√ √ √ √ √
Pen
angg
un
g Ja
wab
Din
as T
RL
Kab
Bog
or
Din
as T
RL
Kab
Bog
or
Ditj
en T
PTP
Din
as T
RL
Kab
Bog
or,
Pem
kot B
ogor
, Pe
mda
DK
I
Men
eg L
H
Dish
utbu
n K
ab. B
ogor
,
Dish
utbu
n K
ab. B
ogor
Pem
kot B
ogor
Pem
da Ja
bar
Per
iod
e W
aktu
2002
2002
1991
2003
-200
4
2000
1995
-97,
19
99,2
001
2002
-200
4
1999
2000
Pro
gram
/P
roye
k
Peny
usun
an R
enca
na T
ekni
s Tat
a Ru
ang
Kaw
asan
Revi
ew K
riter
ia Lo
kasi
dan
Stan
dar T
ekni
s Pe
man
faat
an R
uang
dan
Pen
yusu
nan
PBS
Peny
usun
an M
aste
r Plan
Sist
em D
rain
ase
Men
ingk
atka
n K
ualit
as L
ingk
unga
n Su
ngai
Ciliw
ung
Mela
lui P
ende
kata
n In
stru
men
Eko
nom
i.
Pem
buat
an R
ekom
enda
si Su
mur
Res
apan
Peny
usun
an N
erac
a Su
mbe
rday
a da
n Si
stem
In
form
asi D
AS
Sura
t W
aliko
ta B
ogor
No
614/
3988
/Tap
em
tang
gal 2
9/11
/199
9 ha
l Re
kom
enda
si Pe
mba
ngun
an T
erow
onga
n Pe
ngen
dalia
n Ba
njir
Ciliw
ung
Cisa
dane
Sura
t Kep
utus
an G
uber
nur N
o. 5
93/S
K 0
8 P
em.
Um
/200
0 Ta
ngga
l 14/
1/ 2
000
Pers
etuj
uan
Pene
tapa
n Lo
kasi
untu
k Pe
mba
ngun
an S
istem
Pe
ngen
dalia
n Ba
njir
Sung
ai Ci
liwun
g-Ci
sada
ne
34
35
36 37
38
39
40
41
Kla
sifi
kasi
Pro
gram
Peng
emba
ngan
Pe
muk
iman
Peng
emba
ngan
Sar
ana
Kot
a
Peng
emba
ngan
usa
ha
ekon
omi m
asya
raka
t
Peng
elolaa
n D
AS
Peng
elolaa
n Su
ngai
Issu
e B
ahas
an
Hubungan Kerjasama Institusi dalam Pengelolaan DAS
7 2 Kasus DAS Ciliwung
H
ilir
√ √ √ √ √
Ten
gah
√ √ √ √ √ √ √
Hu
lu
√ √ √ √ √ √
Pen
angg
un
g Ja
wab
Din
as T
RL
Kab
Bog
or
Ditj
en T
PTP
Ditj
en
Pena
taan
Ru
ang,
Men
eg
LH
Ditj
en
Peru
mah
an d
an
Pem
ukim
an
Ditj
en T
PTP
Din
as T
RL
Kab
Bog
or
Din
as T
RL
Kab
Bog
or
Pem
kot B
ogor
, D
itjen
Pe
nata
an
Ruan
g, P
emda
D
KI
Per
iod
e W
aktu
2002
-200
4
2002
2002
2002
-200
4
2001
-200
5
2002
2002
2002
- ?
Pro
gram
/P
roye
k
Prog
ram
Kali
Ber
sih S
unga
i Cili
wun
g,
Pub
lik C
ampa
ign
(dala
m ra
ngka
rum
ah su
sun)
Peny
usun
an R
enca
na P
artis
ipas
i Mas
yara
kat d
alam
Pe
mba
ngun
an P
erum
ahan
dan
Pem
ukim
an
Com
mun
ity a
nd P
rivat
e Se
ctor
par
ticip
atio
n (C
PSP)
dala
m B
idan
g Pe
ngelo
laan
Sam
pah
Org
anik
Penc
egah
an K
erus
akan
Lin
gkun
gan
(Pen
ertib
an
pena
mba
ngan
tanp
a iji
n (P
ETI
), So
sialis
asi
Peng
elolaa
n La
han
sesu
ai K
aeda
h K
TA.
Sosia
lisas
i dan
Pela
tihan
Tek
nik
Peng
olah
an L
ahan
pe
rtani
an B
erlan
dask
an K
aidah
Kon
serv
asi A
lam
Sosia
lisas
i Kep
ada
Stak
ehol
ders
dan
Mas
yara
kat
(dala
m ra
ngka
sode
tan)
42 43
44
45
46
47
48
Kla
sifi
kasi
Pro
gram
Kep
edul
ian M
asya
raka
t
Huk
um L
ingk
unga
n
Kep
edul
ian M
asya
raka
t
Issu
e B
ahas
an
Aku
nta
bili
tas
Pu
blik
Pen
guat
an
Kel
emb
agaa
n
Dae
rah
Hubungan Kerjasama Institusi dalam Pengelolaan DAS
Kasus DAS Ciliwung 7 3
H
ilir
√ √
Ten
gah
√ √ √ √ √
Hu
lu
√ √ √ √ √ √ √ √
Pen
angg
un
g Ja
wab
Men
eg L
H
Din
as T
RL
Kab
Bog
or
Din
as T
RL
Kab
Bog
or
Dish
utbu
n K
ab. B
ogor
, D
inas
TRL
K
ab B
ogor
, Pe
mda
DK
I, Pe
mda
Jaba
r
Dish
utbu
n K
ab. B
ogor
Din
as T
RL
Kab
Bog
or
Din
as T
RL
Kab
Bog
or
Din
as T
RL
Kab
Bog
or
Per
iod
e W
aktu
2000
2007
2002
-201
1
2002
-200
3
2000
-200
4
2002
2002
-200
6
2002
- ?
Pro
gram
/P
roye
k
Pelat
ihan
Man
ajem
en P
enge
lolaa
n Li
ngku
ngan
yan
g di
foku
skan
Pad
a A
spek
Sos
ial B
uday
a M
asya
raka
t Pa
da S
unga
i Cili
wun
g
Peni
ngka
tan
Peny
idik
Peg
awai
Neg
eri s
ipil
Bid
ang
Ling
kung
an H
idup
Sosia
lisas
i dan
Pen
egak
an H
ukum
di b
idan
g lin
gkun
gan
Hid
up
Peng
emba
ngan
Eko
nom
i Mas
yara
kat S
ecar
a Pa
rtisip
asi
Peng
emba
ngan
SD
M (P
elatih
an P
etan
i, pe
tuga
s, W
idya
wisa
ta)
Pene
rtiba
n K
egiat
an P
enam
bang
an T
anpa
Ijin
(P
ETI
) Ben
ahan
Gali
an g
olon
gan
“C”
di B
opun
jur
Pene
rtiba
n Ba
ngun
an T
anpa
Ijin
pad
a K
awas
an-
kaw
asan
Prio
ritas
Pena
tagu
naan
Tan
ah (P
ener
tiban
tana
h-ta
nah
nega
ra, R
edist
ribus
i tan
ah-ta
nah
nega
ra, P
erce
pata
n pr
oses
Per
panj
anga
n H
GU
(Pus
at),
Pene
gaka
n hu
kum
terh
adap
per
amba
h hu
tan
dan
perk
ebun
an
49
50
51
52
53
54
55
56
Kla
sifi
kasi
Pro
gram
Huk
um L
ingk
unga
n
Peng
emba
ngan
Usa
han
Eko
nom
i Mas
yara
kat
Peng
elolaa
n D
AS
Huk
um L
ingk
unga
n
Pena
taan
Rua
ng
Issu
e B
ahas
an
Keg
iata
n
Op
eras
ion
al
Dae
rah
Hubungan Kerjasama Institusi dalam Pengelolaan DAS
7 4 Kasus DAS Ciliwung
Hili
r
√ √ √
Ten
gah
√ √ √ √
Hu
lu
√ √ √ √ √
Pen
angg
un
g Ja
wab
Din
as T
RL
Kab
Bog
or
Din
as T
RL
Kab
Bog
or
Ditj
en P
P
Ditj
en P
P
Din
as T
RL
Kab
Bog
or,
Pem
kot B
ogor
Ditj
en T
PTP
Din
as T
RL
Kab
Bog
or,
Pem
kot B
ogor
Pem
kot B
ogor
Per
iod
e W
aktu
2003
-200
6
2003
-200
6
2002
2001
-200
5
2002
2002
2002
2002
- ?
Pro
gram
/P
roye
k
Pene
rtiba
n Ta
nah
Mili
k Su
ngai
(Pen
guku
ran,
Pe
mat
okan
, Ser
tifik
asi d
an P
ener
tiban
Ban
guna
n Li
ar d
iatas
nya)
Relo
kasi
Bang
unan
dan
Ban
tara
n Su
ngai
dan
Situ
(O
byek
Pen
ertib
an) s
erta
dar
i Dae
rah
Raw
an
Benc
ana
Peng
adaa
n Ru
mah
Sus
un (e
ks b
anta
ran
sung
ai)
Reha
bilit
asi/
perb
aikan
Pra
sara
na Ja
lan –
Jem
bata
n –
Tebi
ngan
Prog
ram
Urb
an E
nviro
nmen
tal M
anag
emen
t
Pena
ngan
an P
asca
Ban
jir: (
Reha
bilit
asi B
angu
nan
Air,
Sar
ana
Pend
idik
an, P
erib
adat
an, K
eseh
atan
, Pe
rikan
an se
rta B
antu
an S
aran
a Pr
oduk
si Pe
rtani
an
Tana
man
Pan
gan
dan
Hor
tikul
tura
serta
Perik
anan
)
Pena
taan
di L
okas
i Pen
ampu
ngan
Pen
dudu
k Te
rgus
ur (s
odet
an)
57
58 59
60
61
62
63
Kla
sifi
kasi
Pro
gram
Peng
emba
ngan
Pem
ukim
an
Peng
emba
ngan
Pra
sara
na
Kot
a
Issu
e B
ahas
an
Hubungan Kerjasama Institusi dalam Pengelolaan DAS
Kasus DAS Ciliwung 7 5
Hili
r
√ √ √
Ten
gah
√ √ √
Hu
lu
√ √ √ √ √ √ √
Pen
angg
un
g Ja
wab
Pem
da D
KI,
Jaba
r
Pem
da D
KI,
Jaba
r
Ditj
en
Peru
mah
an d
an
Pem
ukim
an
Dish
utbu
n K
ab. B
ogor
, D
inas
TRL
K
ab B
ogor
Dish
utbu
n K
ab. B
ogor
, D
inas
TRL
K
ab B
ogor
Dish
utbu
n K
ab. B
ogor
, D
inas
TRL
K
ab B
ogor
Dish
utbu
n K
ab. B
ogor
Per
iod
e W
aktu
2002
-200
3
2003
-200
4
2003
Pelit
a V
, 19
94-2
000
Pelit
a V
, 19
97-2
004
1997
-199
9
1994
,199
7,19
98, 2
000-
2004
Pro
gram
/P
roye
k
Sosia
lisas
i dan
Per
enca
naan
Upa
ya P
erba
ikan
E
kono
mi M
asya
raka
t
Pem
bang
unan
Per
umah
an B
ertu
mpu
Pad
a K
elom
pok
Pem
berd
ayaa
n U
saha
Eko
nom
i Mas
yara
kat (
kred
it,
dsb)
Pem
buat
an G
ully
Plug
Pem
buat
an S
umur
Res
apan
Per
lindu
ngan
Sum
ber A
ir
Reha
bilit
asi T
eras
64
65
66
67
68
69
70
Kla
sifi
kasi
Pro
gram
Peng
emba
ngan
Usa
ha
Eko
nom
i Mas
yara
kat
Peng
elolaa
n D
AS
Issu
e B
ahas
an
Hubungan Kerjasama Institusi dalam Pengelolaan DAS
7 6 Kasus DAS Ciliwung
Hili
r
√ √
Ten
gah
√ √ √
Hu
lu
√ √ √ √
Pen
angg
un
g Ja
wab
Din
as T
RL
Kab
Bog
or,
Dish
utbu
n K
ab. B
ogor
,
Dish
utbu
n K
ab. B
ogor
Pe
mda
DK
I, Pe
mko
t Bog
or
Din
as T
RL
Kab
Bog
or,
Din
as T
RL
Kab
Bog
or,
Ditj
en S
DA
Dish
utbu
n K
ab. B
ogor
, D
inas
TRL
K
ab B
ogor
Dish
utbu
n K
ab. B
ogor
, D
inas
TRL
K
ab B
ogor
Per
iod
e W
aktu
2001
2001
, 200
2- ?
2003
-200
6
2001
-200
5
1999
,200
1,
2002
- ?
Pelit
a V
, 19
94-2
004
Pro
gram
/P
roye
k
Pem
bang
unan
Salu
ran
Div
ersi
Pem
buat
an S
abuk
Sun
gai/
Pen
ghija
uan
Kan
an-
Kiri
Sun
gai
Nor
mali
sasi
Situ
dan
Dan
au
Perh
utan
an S
osial
(Pem
buat
an T
anam
an M
urbe
i, Pe
mbu
atan
Per
sute
raan
Alam
, Per
lebah
an, J
amur
K
ayu,
Bud
iday
a Ta
nam
an G
arut
Pen
gkay
aan
Tana
man
)
Pers
emaia
n Pe
rman
en, K
ebun
Bib
it D
esa
dan
Hut
an R
akya
t
71
72 73
74
75
Kla
sifi
kasi
Pro
gram
Issu
e B
ahas
an
Hubungan Kerjasama Institusi dalam Pengelolaan DAS
Kasus DAS Ciliwung 7 7
H
ilir
Ten
gah
√ √ √ √ √ √ √
Hu
lu
√ √ √ √ √ √ √ √
Pen
angg
un
g Ja
wab
Dish
utbu
n K
ab. B
ogor
,
Din
as T
RL
Kab
Bog
or
Dish
utbu
n K
ab. B
ogor
, Pe
mko
t Bog
or
Din
as T
RL
Kab
Bog
or
Din
as T
RL
Kab
Bog
or
Pem
kot B
ogor
Ditj
en S
DA
Din
as T
RL
Kab
Bog
or
Din
as T
RL
Kab
Bog
or
Dish
utbu
n K
ab. B
ogor
, D
inas
TRL
K
ab B
ogor
, Pe
mko
t Bog
or
Per
iod
e W
aktu
1999
, 200
0,
2001
, 200
2- ?
1996
,199
7,
2000
-200
9
2003
-200
6
2002
-200
4
2002
- ?
2003
2003
-200
4
2003
-200
4
Pelit
a V
, 19
94-2
004
Pro
gram
/P
roye
k
UPS
A, P
engh
ijaua
n A
real
Dam
pak
dan
Inte
nsifi
kasi
Tum
pang
Sar
i
Pena
nam
an P
ohon
Sem
pada
n Su
ngai,
Set
u,
Tana
man
Kot
a da
n H
utan
Kot
a
Peng
hijau
an d
an P
emat
okan
Dae
rah
Peng
aman
Si
tu/L
indu
ng S
etem
pat
Rekl
amas
i Bek
as P
enam
bang
an B
ahan
gali
an
Gol
onga
n “C
” di
Kaw
asan
Bop
unju
r
Pen
ataa
n da
n Pe
ngam
anan
di s
ekita
r Inl
et d
an
Out
let d
enga
n Pe
nghi
jauan
dsb
Stud
i Pen
gem
bang
an T
anam
an T
ropi
s Dala
m
Rang
ka M
ence
gah
Long
sor d
an M
ampu
Men
yera
p Po
lusi
Eva
luas
i Sun
gai d
an A
nak
Sung
ai D
AS
Ciliw
ung
Eva
luas
i Situ
/Raw
a/D
anau
Pem
buat
an D
AM
Pen
ahan
dan
Dam
Pen
gend
ali
76 77
78
79
80
81
82
83
84
Kla
sifi
kasi
Pro
gram
Peng
elolaa
n Su
ngai
Issu
e B
ahas
an
Hubungan Kerjasama Institusi dalam Pengelolaan DAS
7 8 Kasus DAS Ciliwung
H
ilir
√ √ √ √ √ √ √
Ten
gah
√ √ √ √ √
Hu
lu
√ √ √ √ √ √
Pen
angg
un
g Ja
wab
Dish
utbu
n K
ab. B
ogor
, Pe
mko
t Bog
or
Din
as T
RL
Kab
Bog
or
Pem
da D
KI,
Dish
utbu
n K
ab. B
ogor
, D
inas
TRL
K
ab B
ogor
, Pe
mko
t Bog
or
Pem
da D
KI
Pem
da D
KI
Pem
da D
KI
Ditj
en S
DA
Ditj
en S
DA
Ditj
en S
DA
Din
as T
RL
Kab
Bog
or
Per
iod
e W
aktu
Pelit
a V
2001
2002
- ?
2000
2000
-200
5
2002
-201
0
2001
-200
5
2001
-200
5
2003
2002
Pro
gram
/P
roye
k
Perli
ndun
gan
Tebi
ng S
unga
i
Pem
asan
gan
Bron
jong
Kaw
at
Peny
uluh
an N
orm
alisa
si Su
ngai
Nor
mali
sasi
Sung
ai K
ampu
ng M
elayu
, Pom
pa d
an
Pint
u A
ir di
Bid
ara
Cina
, DE
D M
angg
arai.
Nor
mali
sasi
Sung
ai M
T H
aryo
no
Nor
mali
sasi
Sung
ai da
n Pe
mba
ngun
an Ja
lan
Insp
eksi
sam
pai d
enga
n M
angg
arai
Reha
bilit
asi K
anal
Bara
t, K
anal
Tim
ur, P
embu
atan
So
deta
n, T
angg
ul d
an P
intu
Air
Ciliw
ung
Nor
mali
sasi
Das
ar S
unga
i Cili
wun
g
Pem
buat
an S
arin
gan
dan
Fold
er S
unga
i Cili
wun
g
Reha
bilit
asi B
angu
nan
Air
85 86
87
88
89
90
91
92
93
Kla
sifi
kasi
Pro
gram
Issu
e B
ahas
an
Hubungan Kerjasama Institusi dalam Pengelolaan DAS
Kasus DAS Ciliwung 7 9
H
ilir
√ √ √ √ √ √ √ √
Ten
gah
√ √ √ √
Hu
lu
√ √ √
Pen
angg
un
g Ja
wab
Din
as T
RL
Kab
Bog
or,
Pem
kot B
ogor
Ditj
en T
PTP
Pem
da D
KI,
Din
as T
RL
Kab
Bog
or,
Pem
kot B
ogor
Pem
da D
KI
Ditj
en
Pena
taan
Ru
ang
Pem
kot B
ogor
Ditj
en T
PTP
Pem
da D
KI,
Ditj
en T
PTP
Pem
da D
KI
Pem
da D
KI
Per
iod
e W
aktu
2005
-201
1
2002
2002
- ?
2002
- ?
2002
2002
- ?
1991
-200
2
2001
-200
2
2000
/05
2000
/05
Pro
gram
/P
roye
k
Pem
bang
unan
Sist
em D
rain
ase
Wila
yah
Pene
rtiba
n Ba
ngun
an d
an T
anah
Bad
an S
unga
i dan
Pe
mbu
atan
But
ton
Cont
rol s
unga
i Cili
wun
g
Pem
bang
unan
Pom
pa/
Pint
u air
dan
Pe
mba
ngun
an Ja
lan In
spek
si
Pen
yusu
nan
Renc
ana
Pena
ngan
an D
aera
h Ba
ntar
an S
unga
i
Pene
ntua
n Lo
kasi
Pem
buan
gan
Tana
h Be
kas
Gali
an S
odet
an
Solid
Was
te M
anaje
men
(SW
M) d
an P
enge
lolaa
n Li
mba
h
Reha
bilit
asi M
CK, P
emas
anga
n Si
stem
Per
pipa
an
Air
Lim
bah
dan
Pem
bang
unan
WW
TP
Peng
elolaa
n Li
mba
h D
omes
tik
Peny
uluh
an
94 95
96
97
98
99
100
101
102
Kla
sifi
kasi
Pro
gram
Peng
elolaa
n K
ualit
as A
ir
Issu
e B
ahas
an
Sum
ber:
Tim
IPB
(200
2)
Hubungan Kerjasama Institusi dalam Pengelolaan DAS
8 0 Kasus DAS Ciliwung
Sumber: Tim IPB (2002)
Gambar 5.1. Program dan Kegiatan di DAS Ciliwung
Dengan permasalahan DAS Ciliwung yang begitu kompleks dan menyangkut banyak pihak, baik secara sektoral maupun cakupan wilayah administrasinya, saat ini penanganannya dilakukan pada tingkat nasional dan dikoordinasikan oleh Kementerian Kimpraswil. Tim Koordinasi dan Kelompok Kerja Pengelolaan Sungai Ciliwung tersebut dibentuk berdasarkan Kepmen Kimpraswil No. 20/kpts/M/2002 tanggal 31 Januari 2002.
Organisasi tersebut menunjukkan adanya kewenangan sentral yang mengkoordinasikan pengelolaan Sungai Ciliwung meliputi Tim Pengarah, Tim Koordinasi dan Kelompok Kerja. Kelompok Kerja dibagi menjadi tiga, yaitu : 1. Kelompok Kerja I, dengan satuan tugas Penataan Ruang, Kepedulian Masyarakat,
Aspek Hukum dan Lingkungan. 2. Kelompok Kerja II, dengan satuan tugas : Pengembangan Perumahan dan
Pemukiman; Pengembangan Prasarana Perkotaan; Pengembangan Kegiatan Usaha Ekonomi Masyarakat.
3. Kelompok Kerja III, dengan satuan tugas Pengelolaan DAS; Pengelolaan Sungai dan Pengelolaan Kualitas Air.
Kelompok kerja ini melibatkan sekaligus institusi pusat, provinsi dan Kabupaten/Kota baik perencana, pelaksana dan pengawas. Program kerja yang berupa Rencana Kegiatan disusun oleh masing-masing satuan tugas melalui pembahasan pada Kelompok Kerja I, II dan III. Rencana kegiatan tersebut secara garis besar meliputi :
Hubungan Kerjasama Institusi dalam Pengelolaan DAS
Kasus DAS Ciliwung 8 1
1. Penyusunan RTRW Kawasan Ciliwung terpadu (Hulu – Hilir) 2. Pemberian insentif dan disinsentif pengawasan pemanfaatan dan pengelolaan
sumberdaya alam 3. Penyiapan kerjasama daerah hulu dan hilir 4. Pembangunan sarana dan prasarana pengendalian aliran air dan sedimen (waduk, cek
dam, terowongan, teras) 5. Penyusunan masterplan kawasan pemukiman 6. Penanganan Air bersih, Sistem Drainase Sampah dan Normalisasi Sungai 7. Sosialisasi pengelolaan Sungai Ciliwung dengan upaya perbaikan ekonomi masyarakat 8. Program masyarakat peduli pengelolaan dan pengembangan sumberdaya air 9. Pengelolaan bantaran sungai dan sempadan sungai untuk optimalisasi kapasitas
hidrolik saluran sungai 10. Program-program yang telah dilaksanakan baik di wilayah Bopunjur dan di luar
Bopunjur diarahkan pada rehabilitasi lahan dan konservasi tanah, meliputi : (1) Pengendalian sungai dan situ, (2) Penghijauan dan rehabilitasi, (3) Pengendalian ruang, (4) Perbaikan kualitas lingkungan dan Pengelolaan SDA, (5) Kelembagaan.
Berdasarkan hasil pengumpulan informasi yang berupa dokumen program dan audiensi di berbagai instansi yang terkait dengan pengelolaan Sungai Ciliwung dapat disintesakan sebagai berikut :
1. Sesuai dengan program Tim Koordinasi Kimpraswil, maka program-program yang disusun oleh masing-masing instansi yang terkoordinasi dalam Kelompok Kerja tetap mengacu pada Kimpraswil
2. Instansi teknis yang tidak terkoordinasi dalam kelompok kerja tersebut, seperti Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Bogor, mengacu pada program pembangunan Pemerintah Kabupaten, Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Direktorat Jenderal RLPS, Departemen Kehutanan.
Jumlah program dan kegiatan yang telah, sedang dan akan berjalan di wilayah DAS Ciliwung terdapat ± 102 program/kegiatan. Jumlah masing-masing program berdasarkan kelompok program dan aspek kajian disajikan dalam Tabel 5.8.
Sebagian besar program/proyek tersebut berada dalam level kelompok kegiatan operasional daerah (49 program) diikuti dengan kelompok organisasi/proses pendukung (19 program), kelompok instrumen kebijakan (17 program/kegiatan), kelompok penguatan kelembagaan daerah (7 program), kelompok fokus dan efisiensi pemerintah pusat (6 program), dan kelompok akuntabilitas publik (4 program).
Dari hasil pengelompokkan tersebut dapat dilihat bahwa program dan proyek yang memperhatikan aspek akuntabilitas publik sangat kurang. Perhatian semua pihak masih pada upaya untuk dapat melakukan sendiri kegiatan operasional di daerah. Padahal disisi lain, program/kegiatan yang berupaya meningkatkan penguatan lembaga daerah masih sangat kurang.
Hubungan Kerjasama Institusi dalam Pengelolaan DAS
8 2 Kasus DAS Ciliwung
Tabel 5.8. Klasifikasi Program/Kegiatan Penanganan DAS Ciliwung dan Banjir di DKI Jakarta
Jumlah Program/Kegiatan Menurut Aspek :
Kelompok Program
1 2 3 4 5 6 7 8 9
Jumlah
Fokus & Efisiensi Pusat 2 - - - - - 2 2 - 6
Organisasi/ Proses Pendukung 3 4 4 1 - - 2 3 2 19
Instrumen Kebijakan 3 2 4 1 1 1 2 3 - 17 Akuntabilitas Publik 1 3 - - - - - - - 4 Penguatan Kelembagaan Daerah 2 3 - - - 1 1 - - 7
Kegiatan Operasional 2 - 1 4 3 3 17 15 4 49 Jumlah 13 12 9 6 4 5 24 23 6 102
Sumber: Tim IPB (2002) Keterangan : 1. Hukum lingkungan, 2. Kepedulian masyarakat, 3. Penataan Ruang, 4. Pengembangan Prasarana Kota, 5. Pengendalian Pengembangan Pemukiman, 6. Pengembangan Usaha Masyarakat, 7. Pengelolaan DAS, 8. Pengelolaan Sungai, 9. Pengelolaan Kualitas Air
Program dan kegiatan yang mendorong organisasi/proses pendukung dan menyediakan instrumen kebijakan, terutama di level nasional sudah cukup banyak. Sebaliknya, dari hasil audiensi, diperoleh keterangan bahwa masih banyak Perda yang harus dibuat untuk implementasi kegiatan di lapangan.
Pada tingkat kegiatan operasional program dan kegiatan nampak belum sinkron antara Depkimpraswil dengan Dinas Teknis terkait dibawah pemerintah daerah. Hal ini disebabkan oleh karena masih adanya perbedaan pemahaman atas wilayah pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) dan Satuan Wilayah Sungai (SWS) yang mempunyai dimensi berbeda.
Dari penjelasan terhadap program dan proyek di DAS Ciliwung dapat dilihat bahwa persyaratan-persyaratan yang harus dibenahi terlebih dahulu atau paling tidak dilaksanakan secara berbarengan belum tercermin. Persyaratan tersebut adalah kesiapan di lapangan yang meliputi penyelesaian konflik hak-hak pemanfaatan sumberdaya alam, alih fungsi lahan, perambahan areal perkebunan, kehutanan, dan tanah negara lainnya, persoalan struktural, serta keterlaksanaan penyelesaian pendekatan sipil teknis. Secara normatif hal-hal tersebut memang sudah dapat dilihat dalam penentuan dan pemilihan program yang ada. Namun belum diikuti oleh kegiatan operasional yang kini sedang dan akan dijalankan.
Hubungan Kerjasama Institusi dalam Pengelolaan DAS
Kasus DAS Ciliwung 8 3
6. SINTESA REKOMENDASI PENGELOLAAN DAS DAN PENGENDALIAN BANJIR JAKARTA
6.1. Kerangka Pendekatan Pengelolaan DAS Ciliwung
Daerah aliran sungai yang diartikan sebagai bentang lahan yang dibatasi oleh pembatas topografi (topography divide) yang menangkap, menampung dan mengalirkan air hujan ke suatu titik putusan (outlet) telah secara luas diterima sebagai satuan (unit) pengelolaan sumberdaya alam yang ada di dalam DAS. Istilah “one river, one plan, one management” yang populer mengindikasikan pentingnya DAS dikelola sebagai suatu kesatuan utuh ekosistem sumberdaya alam.
Secara garis besar sumberdaya alam suatu DAS dapat dikelompokkan menjadi sumberdaya alam, sumberdaya manusia, sumberdaya buatan, dan sumberdaya sosial (institusi) yang masing-masing saling pengaruh-mempengaruhi. Pengelolaan DAS dalam kerangka pengelolaan sumberdaya alam tersebut bertujuan untuk mengoptimalkan fungsi-fungsi sumberdaya alam tersebut bukan memaksimalkan salah satu fungsi dengan mengabaikan fungsi lainnya.
Dalam konteks pengelolaan DAS Ciliwung, dari uraian karateristik DAS bagian hulu, tengah dan hilir nampak bahwa masing-masing bagian mempunyai karakteristik sumberdaya sendiri-sendiri sehingga memerlukan tindakan yang spesifik untuk masing-masing bagian DAS. Bentuk DAS Ciliwung dan karakteristik pengelolaannya disajikan dalam Gambar 6.1.
Sebagaimana profil memanjang Sungai Ciliwung dari hulu ke hilir yang disajikan dalam Gambar 6.2, berbagai upaya yang dilakukan di wilayah hulu pada prinsipnya ditujukan untuk menghambat aliran air, sedangkan berbagai upaya yang dilakukan di bagian hilir ditujukan untuk mempercepat aliran air ke laut.
Dalam hal kewenangan pengelolaan sumberdaya alam yang ada sekarang, di DAS Ciliwung melibatkan multi-pemerintahan dan sektor. Terdapat dua pemerintahan propinsi yang terkait, yaitu Jawa Barat dan DKI Jakarta, tujuh pemerintah kabupaten/kota yaitu 3 di Propinsi Jawa Barat (Kabupaten Bogor, Kota Bogor, Kota Depok) dan 4 di DKI Jakarta (Kota Jakarta Selatan, Pusat, Barat dan Utara). Selain itu paling tidak tiga instansi teknis pemerintah yang terkait erat yaitu Departemen Kehutanan, Departemen Pemukiman dan Prasarana Wilayah, serta Badan Pertanahan Nasional. Instansi lain yang terlibat langsung dalam penanganan sektoral paling tidak terdapat sektor pertanian, perkebunan, dan pertambangan.
Dengan memperhatikan aspek penunjang bagi keberlangsungan pengelolaan sumberdaya alam, maka hampir semua instansi baik pemerintah, swasta dan non-pemerintah terlibat dalam pengelolaan DAS Ciliwung. Badan usaha yang menggunakan lahan dalam skala cukup besar di bagian hulu antara lain Perhutani, PTP Gunung Mas dan Ciliwung, Taman Safari dll.
Kenyataan menunjukkan bahwa tujuan pengelolaan sumberdaya alam di DAS Ciliwung oleh masing-masing instansi baik pemerintah maupun swasta tersebut sering berbeda yang menjadikan rumusan program dan kegiatan dalam pencapaian tujuan masing-masing instansi tersebut tidak sinergis terhadap pencapaian tujuan pengelolaan DAS.
Hubungan Kerjasama Institusi dalam Pengelolaan DAS
8 4 Kasus DAS Ciliwung
Sumber : Tim IPB (2002)
Gambar 6.1. DAS Ciliwung dan Bentuk Pengelolaannya
Hubungan Kerjasama Institusi dalam Pengelolaan DAS
Kasus DAS Ciliwung 8 5
Sumber : Tim IPB (2002)
Gambar 6.2. Profil memanjang dan karakteristik aliran Sungai Ciliwung
6.2. Pendekatan Teknologi
Pembahasan mengenai bagaimana pengendalian banjir di DKI Jakarta sudah sering dilakukan. Dalam bagian ini akan disampaikan telaah rekomendasi dari empat kali pembahasan, yang telah dilakukan masing-masing oleh Bappenas (2002), Depkimpraswil (2002), Sodetan Ciliwung (1997), dan IPB (2002), serta dari tulisan-tulisan lain yang relevan.
Dalam menanggulangi kelebihan air di badan air yang dapat menyebabkan banjir dapat dilakukan pendekatan teknologi yang memungkinkan, yaitu:
1. Pendekatan dengan membangun bangunan-bangunan pencegah banjir (structural measure)
2. Pendekatan dengan tidak membangun bangunan pencegah banjir (non structural measure)
Upaya teknis yang dilakukan untuk mengatur kelebihan air di badan sungai dapat dilakukan dengan penerapan prinsip pengaturan jumlah air di badan sungai dan mencegah air sampai di badan sungai. Pendekatan konservasi air dengan cara memasukan sebanyak mungkin jumlah curah hujan ke dalam tanah merupakan pendekatan yang ramah lingkungan dan murah. Konsep pengaturan air di dalam suatu DAS dapat dilakukan pada 3 tahap proses yaitu:
1. Kelebihan air hujan ditahan oleh pohon/vegetasi (intersepsi, stem flow dan evapotranspirasi)
2. Kelebihan air hujan ditahan oleh tanah (melalui proses infiltrasi dan perkolasi dan ditampung di aquifer)
3. Kelebihan air hujan ditahan oleh badan air (mengendalikan jumlah aliran permukaan/run off, bendungan, cekdam, sumur resapan, dll)
Penerapan teknologi dalam pencegahan dan penurunan laju dan jumlah aliran permukaan dapat dilakukan dengan kegiatan: 1) pengaturan tata guna lahan (land use mangement) dan 2) pengaturan dan pemanfaatan air (water management).
Hubungan Kerjasama Institusi dalam Pengelolaan DAS
8 6 Kasus DAS Ciliwung
6.2.1. Pendekatan Pembangunan Badan Air (structural measure approach)
A. Drainase dan Normalisasi Sungai
Berdasarkan dokumen sistem pengembangan dan strategi penanganan drainase di DKI Jakarta yang telah dibuat tahun 1991 terdapat beberapa konsep sistem drainase di DKI Jakarta diantaranya didasarkan beberapa prinsip diantaranya :
1. Jaringan drainase dikembangkan berdasarkan rencana tata ruang
2. Badan penerima air drainase adalah sungai, waduk, embung dan laut
3. Di bagian selatan pengaliran merupakan sistem gravitasi, pada bagian utara dengan sistem polder (pintu air, tanggul, waduk, dan pompa).
Berdasarkan zone drainase, pengembangan drainase DKI Jakarta di bagi kedalam enam zone dapat dilihat pada Tabel 6.1.
Tabel 6.1. Zona drainase di wilayah DKI Jakarta
Nama Zona Luas (ha) 1. Cengkareng 10.017 2. Grogol 11.023 3. Kali Baru Barat/Mampang 8.356 4. Monas/Ciliwung hilir 5.125 5. Ciliwung tengah 11.119 6. Cipinang/Jaktim 19.509
Jumlah 65.149 Sumber: Master Plan Drainase DKI
Di daerah DKI Jakarta terdapat beberapa sungai yang perlu dinormalisasi antara lain: S. Kamal, S. Tanjungan, Kali Gede, Saluran Cengkareng, S.Padongkelan, Kali Semenan, S.Kreo, S.Pasanggrahan Bawah, S. Kedaung, S.Cilawe, S.Mampang, S.Cideng, Kali Bata, Kali Sentiong, S. Kebon Bawang, S. Lagoa Tinggiri, S.Rawa Badak, S.Jati Bening, S. Cakung Lama, S. Cakung Merunda, dan Kali Sepak.
B. Instalasi IPAL
Daerah DKI Jakarta juga selain mengalami masalah kelebihan air sehingga menyebabkan banjir juga mengalami masalah kualitas air terutama pencemaran akibat limbah domestik sehingga memerlukan pembuatan sarana Instalasi Pengolah Air Limbah (IPAL). Sarana IPAL yang diperlukan berdasarkan kepadatan penduduk wilayah DKI Jakarta dibedakan menjadi:
1. Kawasan kepadatan tinggi (> 300 orang/ha)
Luas areal 166 km2, penduduk 6,4 jiwa. Jumlah limbah 101 ton/hari fasilitas IPAL baru dapat melayani 2 % (560 ha).
2. Kepadatan sedang (100-300 org/ha)
Luas areal 274 km2 dengan penduduk 5 juta, pengolahan limbah setempat (septictank) dan diolah di Pusat Limbah Terpadu Pulo Gebang
Hubungan Kerjasama Institusi dalam Pengelolaan DAS
Kasus DAS Ciliwung 8 7
3. Areal dengan kepadatan kurang (<100 org/ha), seluas 211 km2 dengan penduduk 1,5 juta jiwa.
Menurut Master Plan air limbah tahun 1991, Zona barat IPAL direncanakan di jalur hijau Kelurahan Rembangan, Zone tengah IPAL Induk Pluit dengan sistem modular di kawasan Grogol, Waduk Grogol, Siantar dan Kali Ancol, serta Zone Timur di Waduk Sunter Timur II. Tahun 2001 dibuat detail enginering desain (DED) yang terbagi Phase I dan Phase II.
Phase 1
Pembangunan sistem perpipaan di Casablanca sepanjang 6.000 m dengan diameter pipa 400-1350 mm dengan luas jangkauan 640 ha di sekitar Casablanca. Rehabilitasi IPAL Setiabudi diharapkan dapat mengolah air limbah dengan kapasitas 26,00 m3/hari
Phase 2
1. Pembangunan perpipaan sepanjang Thamrin, Gajah Mada, Pantai Mutiara sepanjang 8500 m dengan luas pelayanan 1.050 ha
2. Pembangunan IPAL Setiabudi Barat dengan beban limbah 40,000 m3/hari
3. Pembangunan IPAL di Muara Baru dengan kapsitas 62,00 m3/hari
C. Pengembangan dan Pengendalian Banjir Ciliwung-Cisadane
Tahun 1995/1996 Departemen Kimpraswil bekerja sama dengan JICA telah melakukan studi di wilayah Jabotabek yang meliputi 21 sungai dan 8 wilayah sungai yaitu Sub Wilayah Sungai Cidurian, Cimanceuri, Cirarab, Cisadane, Sub Sistem Cengkareng floodway, Sub Sistem Banjir Kanal Barat, Sub Sistem Banjir Kanal Timur, Sub Wilayah CBL Flooodway. Dari hasil studi pengendalian banjir untuk wilayah sistem banjir kanal barat telah dihasilkan 3 alternatif penanggulangan: 1. Normalisasi banjir kanal barat 2. Normalisasi kanal barat dan Bendung Ciawi 3. Normalisasi kanal barat dan pembangunan pengelak banjir Ciliwung dan normalisasi
Sungai Cisadane
Alternatif 3 yang paling memungkinkan karena alternatif 1 sulit dilakukan karena di sekitar kanal barat sudah terdapat infrastruktur yang sangat vital sehingga akan terganggu. Pembuatan bendungan di Ciawi sedikit pengaruhnya terhadap pengendalian banjir Jakarta (Dokumen Sodetan Ciliwung-Cisadane).
Pada tahun 1996 Ciliwung mengalami banjir besar, sedangkan S. Cisadane tidak. Debit rencana 50 tahun S. Cisadane tanpa pengelak S. Ciliwung adalah 1.600 m3/det, sehingga S. Cisadane hilir perlu dinormalisasi. Dengan ditambah debit pengelak S. Ciliwung sebesar 600 m3/det, maka sungai Cisadane menjadi 1.900 m3/det walaupun debit pengelak banjir S. Ciliwung 600 m3/det, hal ini disebabkan karena perbedaan waktu konsentrasi dan efek kemampuan tampung S. Cisadane.
Luas wilayah Cisadane di bendung di Pasar Baru 1.248 km2 dan Ciliwung hanya 154 km2 sampai di inlet saluran pengelak banjir. Bangunan pengelak banjir yang akan dibuat berupa 2 buah terowongan dengan kapasitas masing-masing 300 m3/det untuk periode ulang 100
Hubungan Kerjasama Institusi dalam Pengelolaan DAS
8 8 Kasus DAS Ciliwung
tahun. Pekerjaan ini akan dilakukan dalam 2 tahap. Tahap pertama perencanaan detail, normalisasi Cisadane hilir, pembangunan terowongan 1 dan pemasangan peringatan dini banjir. Tahap kedua normalisasi Cisadane hilir, dan pengalihan debit Ciliwung, serta pembuatan terowongan 2 Ciliwung-Cisadane. Debit sungai yang dapat dialirkan 600 m3/det dengan panjang saluran 900 m diameter 8 m yang terletak 20 m dibawah permukaan tanah yang terletak di inlet Sukasari Bogor, outlet Pasir Jambu Empang di S. Cisadane.
Berdasakan hasil audiensi dengan Dirjen SDA Kimpraswil pada tanggal 22 April 2002 diperoleh keterangan bahwa terowongan yang akan di buat hanya 1 buah dengan kapasitas 300 m3/det, dan melakukan normalisasi di Cisadane hilir. Akan tetapi rencana tersebut belum mendapatkan persetujuan dari Pemerintah Kabupaten dan Kota Tanggerang, Propinsi Banten. Alternatif lain adalah membuat bendungan di daerah Ciawi dan Genteng di dalam aliran S. Ciliwung. Akan tetapi alternatif ini prosesnya belum banyak diketahui.
6.2.2. Pendekatan Non Struktural (non structural measure)
Dalam pendekatan non struktural yang dilakukan adalah melaksanakan pencegahan banjir melalui pendekatan secara menyeluruh dan melakukan konservasi air yang dilakukan sebelum air sampai di badan sungai. Kegiatan konservasi tanah dan air di bagian hulu, serta pemberdayaan masyarakat merupakan kunci utama untuk melakukan pendekatan ini. Konservasi tanah dan air mempunyai efek yang ramah lingkungan karena air akan masuk ke dalam tanah. Selain mengurangi aliran permukaan tanah juga akan memperbaiki kondisi air tanah.
Berdasarkan karakteristik DAS Ciliwung dengan bentuk DAS yang menyerupai corong, sehingga luas di daerah hulu lebih dominan, menyebabkan untuk menghindari banjir di DKI Jakarta harus dilakukan pendekatan yang komprehensif terutama rehabilitasi di daerah hulu.
Analisis terhadap pengaruh faktor bentukan manusia (penggunaan lahan) di bagian hulu dan tengah terhadap debit sungai dengan menggunakan data perubahan lahan di bagian hulu dan tengah DAS Ciliwung dan model HEC-1 menunjukkan bahwa perubahan penggunaan lahan Tahun 1981 menjadi penggunaan lahan Tahun 1999 meningkatkan debit S. Ciliwung Hulu sebesar 67% dan S. Ciliwung Tengah 24% dan meningkatkan volume banjir di hulu sebesar sebesar 59% dan di tengah sebesar 17%. Sedang andil yang diberikan oleh kedua bagian DAS Ciliwung ini terhadap banjir di daerah hilir untuk kondisi tahun 1981 menunjukkan bahwa 43 % diberikan oleh Ciliwung Hulu dan 57% dari Ciliwung Tengah, sedang pada tahun 1999 keadaannya sudah berubah menjadi: 51% dari Ciliwung Hulu dan 49% dari Ciliwung Tengah (Pawitan, 2002).
Simulasi pengelolaan lahan di hulu dan tengah DAS dalam bentuk tindakan rehabilitasi dan konservasi tanah dan air yang dilakukan menggunakan model HEC-1 dengan memodifikasi nilai parameter model menurut skenario yang dipilih secara nyata dapat menurunkan debit dan volume banjir sampai batas yang diinginkan. Tiga skenario yang dipilih, dibandingkan kondisi 1999, adalah (1) penerapan teknik konservasi tanah dan air terbatas di Ciliwung Hulu saja; (2) sama seperti (1) ditambah tindakan yang sama untuk kawasan tengah; dan (3) sama seperti (2) ditambah tindakan penghutanan kembali lahan kebun campuran. Hasil skenario (1) menunjukkan penurunan 34 % debit puncak di Katulampa dan 25 % volume banjir di Ratujaya. Andil Ciliwung Hulu terhadap debit di Ratujaya adalah 34 % dan sisanya
Hubungan Kerjasama Institusi dalam Pengelolaan DAS
Kasus DAS Ciliwung 8 9
dari bagian tengah sendiri, dengan peran dominan dari sub DAS Ciesek dan Cibogo. Hasil skenario (2) menunjukkan peningkatan penurunan volume banjir di Ciliwung Hulu-tengah dari 25% (skenario 1) menjadi 43%. Andil kawasan tengah sendiri turun 37% untuk volume banjir dan penurunan 45% debit banjir. Dan skenario (3) memberi penurunan debit dan volume banjir lebih lanjut untuk Ciliwung Hulu dan Tengah, masing-masing sebesar 53% dan 65% untuk Ciliwung Hulu dan 53% dan 39% untuk Ciliwung Tengah (Pawitan, 2002).
Berdasarkan data rata-rata debit dan curah hujan dari tahun 1981 - 2001, terlihat bahwa debit Ciliwung hulu adalah 2.363 mm/th dengan rata-rata curah hujan tahunan sebesar 3.519 mm/th ternyata koefisien run off tahunan telah mencapai 67 % dengan demikian baik koefisien tahunan maupun kejadian hujan tunggal tidak jauh berbeda. Dari data hidrograf tersebut terlihat bahwa koefisien aliran permukaan di Ciliwung hulu berkisar antara 60-75 % dari total curah hujan, sehingga memerlukan perhatian yang serius, terutama harus ada upaya penerapan teknologi untuk menurunkan koefisien aliran permukaan.
Berdasarkan dokumen pola induk debit rencana Ciliwung hilir didesain pada tahun 1973 sebesar 370 m3/det, kemudian dalam pola induk 1997 telah berubah menjadi 570 m3/det. Pola induk tersebut semuanya telah terlewati sebab pada kejadian banjir 1996 debit di Katulampa telah mencapai 740 m3/det, sehingga dengan terus menaiknya debit puncak menggambarkan tingkat kerusakan yang signifikan antara tahun 1973 – 2002. Dengan demikian rehabilitasi DAS bagian hulu dan penerapan teknologi konservasi tanah dan air di bagian hulu menjadi salah satu kunci penaggulangan banjir di Jakarta. Berdasarkan sebaran maksimum debit puncak yang ada maka debit rencana periode ulang 100 tahun di Stasiun Katulampa telah menjadi 1.100 m3/det, sehingga dengan demikian dalam jangka panjang pembangunan bangunan pencegah banjir yang tidak diimbangi dengan tindakan konservasi tanah dan air di bagian hulu akan sia-sia.
Dari uraian di atas nampak bahwa pengelolaan lahan di hulu dan tengah DAS Ciliwung melalui rehabilitasi lahan baik secara vegetatif maupun sipil teknis (soil conservation measures) memberikan kemungkinan besar dalam pengendalian banjir di hilir. Tindakan pengendalian banjir di tengah dan hilir melalui pembuatan saluran pengendali di bagian tengah DAS dan normalisasi badan sungai dan saluran drainase juga memberikan kemungkinan pengurangan debit banjir di hilir (Kimpraswil, 1998).
6.2.3. Pendekatan Hidrogeologi
Solusi untuk mengatasi masalah banjir dari tinjauan hidrogeologi adalah tersedianya ruang di bawah pemukaan yang dapat menyimpan air (akifer). Ketersediaan ruang ini, jika dimanfaatkan dengan diisi oleh air tanah, mempunyai manfaat ganda, yaitu untuk mengatasi banjir di musim hujan dan mengatasi kekurangan air di musim kemarau.
Untuk memasukkan air kedalam akifer tersebut dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu (Hutasoit, 2002):
Hubungan Kerjasama Institusi dalam Pengelolaan DAS
9 0 Kasus DAS Ciliwung
A. Memelihara (maintain) resapan alamiah.
Dari pembahasan mengenai konfigurasi sistem akifer di DKI Jakarta dapat diketahui bahwa akifer-akifer di wilayah DKI Jakarta, di beberapa daerah, tersingkap di permukaan. Untuk memelihara resapan alamiahnya, daerah ini harus dijadikan sebagai daerah terbuka.
Selain hal tersebut di atas, terdapat suatu pandangan yang menarik mengenai daerah resapan ini. Pemahaman umum selama ini adalah bahwa airtanah di daerah resapan adalah tidak boleh dimanfaatkan karena akan mengganggu ketersediaan cadangan airtanah. Dilihat dari sudut pandang ruang, sebenarnya pengambilan airtanah ini justru akan mengakibatkan tersedianya ruang penyimpan yang semakin besar. Hal ini berarti semakin banyaknya airtanah yang dapat masuk. Selain itu, berdasarkan kemudahan pengisian kembali, pengambilan di daerah resapan jauh lebih mudah terisi kembali dibandingkan dengan pengambilan di daerah luahan. Hal ini diakibatkan airhujan, yang merupakan sumber airtanah, tidak perlu melalui lintasan akifer untuk mengisi daerah resapan dan sebaliknya untuk mengisi daerah luahan.
B. Imbuhan buatan.
Teknologi ini dapat berupa sumur resapan, paritan, dan kolam untuk akifer tidak terkekang (unconfined aquifer) dan singkapan (daerah resapan akifer terkekang) serta sumur injeksi untuk akifer terkekang (confined aquifer). Untuk keefektifan teknologi imbuhan buatan ini, diperlukan pengetahuan mengenai parameter akifer dan kondisi muka airtanahnya.
Pada akifer bebas, penurunan muka airtanah berarti dewatering/groundwater mining, yaitu berkurangnya volume airtanah yang terdapat di akifer (Gambar 6.3). Hal ini secara otomatis akan mengakibatkan terdapatnya ruang kosong di akifer yang dapat diisi oleh airtanah. Imbuhan airtanah (sumur resapan, paritan, dan kolam) pada akifer ini dapat secara langsung (sistem gravitasi) dilakukan jika terjadi penurunan muka airtanah.
Sumber : Hutasoit (2002)
Gambar 6.3. Penurunan Muka Air Tanah Pada Akifer Tidak Tertekan
Hubungan Kerjasama Institusi dalam Pengelolaan DAS
Kasus DAS Ciliwung 9 1
Berbeda dengan akifer tidak tertekan, penurunan muka airtanah pada akifer tertekang belum tentu terjadinya dewatering, tetapi yang pasti terjadi adalah penurunan tekanan airtanah (Gambar 6.4). Imbuhan airtanah, yang berupa sumur injeksi, pada sistem akifer ini, harus dilakukan dengan mempertimbangkan tekanan air tanah tersebut. Airtanah dapat diimbuhkan kedalam sistem akifer ini jika tekanannya lebih besar dari tekanan air tanah yang terdapat pada akifer tertekan ini.
Dengan pertimbangan ini, daerah-daerah yang telah memiliki penurunan muka airtanah yang besar (yang telah membentuk kerucut) akan lebih mudah dijadikan daerah imbuhan buatan.
Sumber : Hutasoit (2002)
Gambar 6.4. Penurunan Muka Air Tanah Pada Akifer Tertekan
6.3. Pendekatan Institusi
Pendekatan teknis yang selama ini dijadikan sebagai alternatif pengendalian banjir umumnya bersifat jangka pendek, disamping itu menyebabkan biaya sosial dan finansial yang tinggi, sehingga apabila pendekatan teknis/teknologi ini kurang didukung oleh pendekatan-pendekatan sosial, ekonomi dan kelembagaan yang mantap maka tidak akan memberikan hasil yang memuaskan.
Dalam melakukan kajian kebijakan peningkatan pengelolaan DAS, kita tidak hanya dihadapkan pada pilihan-pilihan kebijakan yang diambil – yang biasanya dilakukan dengan pertimbangan layak-tidak layak, atau kegiatan mana yang paling minimal biaya dan pengorbanannya, atau yang paling besar manfaatnya – melainkan melakukan perubahan dari kondisi status quo. Faktor penentu perubahan tersebut bukan lagi masalah benar-salah (pertimbangan logika), baik-buruk (pertimbangan moral atau etika), serta prioritas-bukan prioritas (pertimbangan kepentingan dengan keterbatasan anggaran) dari kegiatan yang akan dilakukan, melainkan insentif atau disinsentif apa yang dihadapi oleh para pengambil keputusan. Para pengambil keputusan yang rasional akan menjalankan aktivitas
Hubungan Kerjasama Institusi dalam Pengelolaan DAS
9 2 Kasus DAS Ciliwung
yang dibutuhkan publik hanya apabila mereka mendapat insentif dari aktivitas tersebut, dan sebaliknya.
Penilaian tentang insentif atau disinsentif, bagi para pengambil keputusan, sangat tergantung pada persepsi, kepentingan, serta informasi, pengetahuan dan keyakinan tentang apa yang akan dikerjakan. Seringkali seseorang pengambil keputusan menganggap bahwa apa yang akan dikerjakan dapat memberi insentif bagi dirinya, tetapi bagi pengambil keputusan lainnya, tidak. Hal demikian semata-mata dapat disebabkan oleh perbedaan informasi, pengetahuan yang dimiliki, serta posisi dan dukungan dari pihak lain, yang pada akhirnya menentukan perbedaan keyakinan diantara para pengambil keputusan tersebut. Maka, dalam hal ini, adanya kelengkapan informasi, pengetahuan, dan dukungan, akan meyakinkan seseorang pengambil keputusan untuk menjalankan suatu kegiatan yang diinginkan publik, dan sebaliknya.
Disamping itu perbedaan keputusan juga disebabkan oleh adanya kepentingan dan agenda tertentu. Para pengambil keputusan yang mempunyai tujuan politik dan tujuan politik tersebut tidak sejalan dengan terlaksananya suatu kegiatan yang diinginkan publik, pastilah mereka tidak mendukung pelaksanaan kegiatan yang diinginkan publik tersebut. Ada kalanya para pengambil keputusan tidak mempunyai kaitan dengan tujuan-tujuan politik yang luas, tetapi mempunyai kaitan dengan materi yang akan diperoleh untuk kepentingan dirinya sendiri. Maka suatu kegiatan yang penting bagi publik tidak akan dijalankannya apabila kegiatan tersebut menghilangkan atau mengurangi apa yang akan dapat diperoleh untuk kepentingan dirinya sendiri.
Karena pengambil keputusan biasanya dilakukan di dalam lingkup organisasi publik (pemerintah), maka kapasitas dan kapabilitas (internal) organisasi juga sangat menentukan pilihan – yang berimplikasi pada arah perubahan – yang akan ditetapkannya. Transparansi informasi, pelaksanaan pengambilan keputusan, kejelasan akuntabilitas, akan menentukan kinerja organisasi publik tersebut. Namun demikian, adanya karakteristik lemahnya kontrol bawahan terhadap atasan dalam organisasi publik/pemerintah juga menunjukkan pentingnya peran faktor eksternal. Dalam kaitan ini, sejauhmana peran interest groups dapat mempengaruhi konsistensi kebijakan yang diambil oleh organisasi publik tersebut, juga sangat menentukan.
Berdasarkan kerangka pendekatan tersebut, mengapa berbagai rekomendasi kebijakan maupun kegiatan operasional, serta koordinasi seringkali tidak dapat berjalan disebabkan oleh alasan-alasan institusi, yang terdiri dari, baik peraturan-perundangan, kebijakan, instrumen kebijakan, maupun faktor-faktor yang menentukan kapasitas dan kapabilitas organisasi (publik), khususnya dalam pengambilan keputusan.
Pengendalian banjir melalui peningkatan kapasitas pengelolaan DAS dapat dilakukan melalui pelaksanaan sejumlah kegiatan teknis/teknologis. Namun demikian, pelajaran selama ini juga menunjukkan bahwa rekomendasi tersebut tidak dapat berjalan sebagaimana yang diharapkan. Dengan menggunakan pendekatan (konsepsi) di atas, beberapa komponen kegiatan yang menjadi sumber permasalahan adalah :
1. Pelaksanaan koordinasi tingkat nasional untuk melakukan revisi dan/atau pembaruan perundang-undangan yang diperlukan. Dalam kaitan ini, kepastian kewenangan dan pelaksanaan kegiatan operasional dalam pengelolaan DAS antara Pusat dan Daerah perlu segera dituntaskan;
Hubungan Kerjasama Institusi dalam Pengelolaan DAS
Kasus DAS Ciliwung 9 3
2. Kebijakan nasional tersebut belum dikaitkan dengan kebijakan untuk penguatan lembaga publik di tingkat propinsi dan kabupaten. Kuatnya koordinasi tingkat nasional maupun kuatnya lembaga publik tingkat propinsi dan kabupaten diharapkan dapat menghasilkan instrumen kebijakan untuk memastikan dapat dilaksanakannya :
a. Penataan tata ruang,
b. Reformulasi kebijakan pengelolaan sumberdaya alam,
c. Kepastian hak masyarakat atas penguasaan dan pengelolaan sumberdaya alam, termasuk penyelesaian konflik pemanfaatan sumberdaya alam yang kini masih terjadi,
d. Penerapan instrumen ekonomi, valuasi ekonomi, serta ukuran kinerja pengelolaan DAS,
e. Promosi untuk mewujudkan kesepakatan-kesepakatan sukarela serta tanggungjawab sendiri, serta
f. Penegakan hukum;
3. Lemahnya peran interest groups/lembaga independen, serta belum terwujudnya mekanisme dan proses pelaksanaan program yang bertanggung-gugat (accountable).
Secara fungsional keterkaitan antar komponen-komponen permasalahan tersebut disajikan dalam Gambar 6.5.
Sumber : Tim IPB (2002)
Gambar 6.5. Keterkaitan Komponen Permasalahan yang dapat menghambat
dilaksanakannya Rekomendasi Teknis/Teknologi Pengelolaan DAS
Hubungan Kerjasama Institusi dalam Pengelolaan DAS
9 4 Kasus DAS Ciliwung
Secara keseluruhan permasalahan yang terlihat adalah belum menyentuhnya berbagai rekomendasi yang telah diutarakan dari berbagai seminar/lokakarya terhadap permasalahan riil di lapangan, terutama yang menyangkut upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat yang berbasis sumberdaya alam. Disamping itu juga belum ada solusi untuk memecahkan hambatan alih fungsi kawasan akibat adanya usaha-usaha besar – utamanya dari sektor kehutanan dan perkebunan – sebagai upaya mengembalikan berfungsinya kawasan lindung.
6.4. Proses Multipihak Penanganan Pengelolaan DAS Ciliwung
Berbagai pemikiran tentang penanganan Ciliwung telah dilakukan melalui proses-proses multipihak, yang dilakukan baik dengan masyarakat hilir, maupun tengah dan hulu, serta melibatkan unsur pemerintah, dunia usaha, LSM dan perguruan tinggi. Beberapa butir-butir penting yang dapat digali dari : (1) Lokakarya Pengembangan Sistem Insentif Dalam Rangka Rehabilitasi Lahan/Penghijauan di DAS Ciliwung di Hotel Salak Bogor tahun 2001, (2) Lokakarya Peningkatan Peran Serta Masyarakat Dalam Pengelolaan DAS Terpadu Pemukiman dan Sungai Ciliwung di Kabupaten Bogor tahun 2002, (3) Lokakarya Peran Serta Masyarakat Dalam Pengelolaan Terpadu Permukiman dan Sungai Ciliwung Oleh Tim Koordinasi Pengelolaan DAS Ciliwung Bekerjasama Dengan BPLHD DKI, Mei 2002, (4) Lokakarya Peran Serta Masyarakat Hulu dan Tengah di Cibinong Oleh TKPDL, BPLHD dan IPB, Juli 2002, (5) Semiloka Peningkatan Peran Serta Masyarakat Ciliwung Dalam Upaya Pelestarian Terpadu DAS Ciliwung Oleh GCB, UI, IPB dan BPLHD DKI, Oktober 2002.
6.5. Rekomendasi Teknologi/Teknis
Himpunan rekomendasi pendekatan teknis/teknologi dalam pengelolaan DAS Ciliwung dan pengendalian banjir DKI Jakarta disajikan dalam Tabel 6.2. Beberapa pilihan teknologi lain yang dapat diterapkan untuk menanggulangi masalah banjir adalah yang tidak terkait dengan bangunan (non structural measure) seperti :
a. Peramalan banjir
b. Pemetaan bahaya banjir
c. Pembentukan kelembagaan pengelolaan DAS
d. Pendidikan masyarakat dan perilaku masyarakat
e. Kampanye penanggulangan lingkungan
f. Kompensasi hulu hilir (sharing pendanaan antara hulu dan hilir)
g. Pembentukan tim penanggulangan bahaya banjir.
Langkah dan strategi yang diperlukan dalam upaya pengendalian banjir diantaranya:
1. Pembentukan landasan hukum untuk pengelolaan DAS
2. Melakukan perlakuan dan kegiatan konservasi tanah dan air di bagian hulu
3. Menerapkan sistem monitoring pemanfaatan dan perubahan penggunaan lahan dengan menggunakan citra satelit.
Hubungan Kerjasama Institusi dalam Pengelolaan DAS
Kasus DAS Ciliwung 9 5
RE
KO
ME
ND
ASI
1.
Kon
sep
peng
enda
lian
banj
ir (s
trukt
ural,
no
n st
rukt
ural)
: Lan
d us
e m
anag
emen
t da
n w
ater
man
agem
ent,
2.
SOP:
kon
stru
ksi,
oper
asi d
an
pem
eliha
raan
pra
sara
na p
enge
ndali
ba
njir,
3.
Pe
ngem
bang
an d
ata
base
dan
sist
em
mon
itorin
g ev
aluas
i DA
S un
tuk
peng
emba
ngan
sist
em p
erin
gata
n di
ni,
4.
Seca
ra te
knis
deng
an id
entif
ikas
i pe
nggu
naan
laha
n ya
ng ti
dak
sesu
ai de
ngan
per
untu
kann
ya d
an p
enge
ndali
an
peng
olah
an la
han
yang
tida
k se
suai
deng
an te
knik
KTA
, 5.
A
spek
non
tekn
is m
elipu
ti fa
ktor
alam
da
n fa
ktor
man
usia,
6.
In
vent
arisa
si da
n pe
man
taua
n fa
ktor
ala
m se
perti
cua
ca d
an ik
lim,
7.
Pelay
anan
info
rmas
i “Pe
ringa
tan
Din
i”
bagi
mas
yara
kat,
8.
Peni
ngka
tan
kuali
tas S
DM
dala
m ra
ngka
pe
ngem
bang
an fu
ngsi
huta
n, ta
nah
dan
air.
HIL
IR
1.
Nor
mali
sasi
sung
ai (h
ilir),
2.
So
deta
n Ci
liwun
g-Ci
sada
ne,
3.
Prog
ram
pen
gelo
laan
SDA
hut
an
(pen
cega
han
keru
saka
n, h
utan
raky
at,
pem
bina
an),
pem
bang
unan
hut
an b
aru,
pe
nghi
jauan
dan
rebo
isasi
daer
ah h
ilir,
4.
Reha
bilit
asi s
empa
dan
sung
ai,
5.
Nor
mali
sasi
salu
ran
buat
an,
6.
Mem
asuk
kan
air k
e da
lam a
kife
r (m
emeli
hara
resa
pan
alam
iah, i
mbu
han
buat
an),
7.
Perb
aikan
sist
em d
rain
ase
pem
ukim
an d
an
perk
otaa
n.
TE
NG
AH
1.
M
enin
gkat
kan
fung
si re
tens
i ek
olog
is pa
da a
lur s
unga
i, 2.
A
rtific
ial R
echar
ge: T
aman
Res
apan
, Be
ndun
gan,
Situ
, dll,
3.
So
deta
n Ci
liwun
g-Ci
sada
ne,
4.
Prog
ram
pen
gelo
laan
SDA
Hut
an
(pen
cega
han
keru
saka
n, h
utan
ra
kyat
, pem
bina
an),
pem
bang
unan
hu
tan
baru
, pen
ghija
uan
dan
rebo
isasi,
5.
Re
habi
litas
i sem
pada
n su
ngai,
6.
Pe
rbaik
an si
stem
dra
inas
e pe
muk
iman
dan
per
kota
an.
Tab
el 6
.2.
Him
puna
n re
kom
enda
si ke
giat
an te
knis
/tek
nolo
gi p
enge
lolaa
n D
AS
Ciliw
ung
DA
S
HU
LU
1.
A
rtific
ial R
echar
ge: S
umur
Res
apan
2.
Pr
ogra
m p
enge
lolaa
n SD
A H
utan
(p
ence
gaha
n ke
rusa
kan,
hut
an ra
kyat
, pe
mbi
naan
), pe
mba
ngun
an h
utan
bar
u,
peng
hijau
an d
an re
boisa
si da
erah
hul
u,
3.
Perli
ndun
gan
sem
pada
n su
ngai,
4.
So
deta
n Ci
liwun
g-Ci
sada
ne,
5.
Bend
unga
n di
Ciaw
i dan
Gen
teng
AC
TIO
N P
LA
N
1.
Nor
mali
sasi
sung
ai hi
lir d
i zon
e 1,
2.
M
enin
gkat
kan
kem
ampu
an d
an k
iner
ja pa
ra p
elaks
ana,
3.
Pena
taan
ruan
g ka
was
an p
edes
aan
seca
ra n
yata
di d
aera
h, sa
mpa
i ke
daer
ah h
ulu,
seba
gai k
awas
an b
udid
aya
dan
kaw
asan
lind
ung,
serta
mem
berik
an sa
nksi
yang
tega
s pad
a se
tiap
pelan
ggar
an.
Dila
kuka
n pe
nyus
unan
tata
ruan
g se
cara
ber
jenjan
g, y
ang
dim
ulai
dari
kam
pung
. Re
ncan
a ta
ta ru
ang
kam
pung
ini h
arus
dib
ahas
oleh
mas
yara
kat (
linta
s sta
keho
lder
s) d
an
dijad
ikan
bag
ian d
ari r
enca
na ta
ta ru
ang
wila
yah,
4.
In
tegr
ated
regu
ler w
ater
mon
itorin
g (q
uant
ity &
qua
lity)
Sum
ber :
Has
il a
nalis
is da
ri be
rbag
ai re
kom
enda
si m
akala
h se
min
ar y
ang
dilak
ukan
Bap
pena
s (20
02),
Kim
pras
wil
(200
2), S
odet
an C
iliw
ung
(199
7),
d
an P
enge
lolaa
n D
AS
Terp
adu-
IPB
(200
2)
Hubungan Kerjasama Institusi dalam Pengelolaan DAS
9 6 Kasus DAS Ciliwung
Aksi dan penerapan teknologi yang mungkin dilakukan dalam upaya mencegah dan menurunkan resiko banjir diantaranya :
1. Menyimpan dan memasukan air sebanyak-banyaknya kedalam tanah melalui : a. Pembangunan taman resapan air hujan di setiap komplek pemukiman dan ruang
terbuka hijau b. Mengaktifkan daerah resapan air yang sudah ada c. Merubah pola penutupan lahan ke yang lebih mampu meresapkan air d. Penghijauan dan penghutanan daerah gundul e. Membuat taman resapan f. Membuat sumur resapan g. Membangun bangunan cekdam, embung di daerah hulu dan tengah
2. Memperlambat aliran air di badan sungai
3. Kegiatan konservasi harus dilakukan pada tingkat pohon, tanah melalui penerapan tindakan konservasi tanah dan air di bagian hulu dan tengah
4. Melakukan pembenahan tata ruang diantaranya melalui kegiatan : a. Membuat rencana tata ruang Jabotabek dimana banjir menjadi bahan
pertimbangan dan faktor pembatas penggunaan lahan dan penataan ruang b. Memelihara dan meningkatkan kemampuan DAS dalam menyimpan air c. Gunakan dan tegakan sistem perijinan yang disesuaikan dengan rencana
pengembangan tata ruang d. Hentikan konversi lahan dari yang dapat meresapkan air ke bentuk yang tidak
meresapkan air e. Berikan ruang gerak air dalam badan sungai secara utuh f. Tingkatkan kemampuan lahan dalam meresapkan air di bagian hulu, tengah dan
hilir
5. Membuat prakiraan debit banjir a. Membuat sistem peringatan dini bahaya banjir b. Meningkatkan waktu periode ulang
6. Model kerjasama yang menguntungkan dan melibatkan semua pihak
7. Koordinasi antar sektor dan wilayah
8. Dukungan politik dan masyarakat
9. Pendekatan terpadu
10. Tranparansi
11. Tujuannya jelas dan terarah
12. Melibatkan semua stakeholder
13. Solidaritas
Hubungan Kerjasama Institusi dalam Pengelolaan DAS
Kasus DAS Ciliwung 9 7
6.6. Rekomendasi Institusi
Beberapa rekomendasi kebijakan institusi yang telah disampaikan dalam beberapa kegiatan lokakarya/seminar yang telah dilakukan, adalah sebagai berikut :
a. Perlu penegakan hukum baik dalam pengelolaan di kawasan lindung, di bantaran sungai, maupun di pantai utara Jakarta.
b. Perlu adanya peraturan yang memuat prosedur baku penanganan bencana banjir. Pengaturan ini seharusnya dikeluarkan oleh Badan Penanggulangan Banjir yang independen, yang dalam pembentukannya melibatkan masyarakat luas.
c. Diperlukan revitalisasi dan reformulasi kebijakan nasional PSDA, khususnya dalam lingkup pemanfaatan DAS Ciliwung.
d. Diperlukan penataan ulang tata ruang wilayah yang terkena banjir, penggunaan lahan disesuaikan dengan peruntukan. Dalam kaitan ini perlu segera ditetapkan kebijakan tentang penataan ruang kawasan pedesaan.
e. Diperlukan kesepakatan tentang penggunaan metode penilaian dan penggunaan valuasi sebagai instrumen penilaian. Oleh karena itu perlu studi untuk menentukan indikator penetapan kinerja DAS Ciliwung.
f. Diperlukan pengembangan instrumen ekonomi untuk meningkatkan kualitas lingkungan DAS Ciliwung.
g. Penerapan AMDAL secara ketat terhadap seluruh kegiatan yang memerlukan AMDAL.
h. Diperlukan pengelolaan DAS terpadu, untuk mewujudkan kebijakan one river one plan, dan one management dan untuk itu perlu dipastikan bentuk campur tangan pemerintah pusat (untuk Bopunjur). Dalam kaitan ini diperlukan studi peran multipihak dalam penetapan cost and benefit sharing antara pemerintahan di wilayah hulu dan hilir
i. Diperlukan identifikasi formasi dan struktur organisasi untuk melakukan pengelolaan DAS Ciliwung serta upaya peningkatan kelembagaan (peraturan, pendanaan, SDM, tenaga kerja) pengelolaan sungai Ciliwung.
j. Mempromosikan tanggungjawab sendiri bagi semua pelaku dan mempromosikan kesepakatan-kesepakatan secara sukarela dengan menyertakan interest groups.
k. Menjalankan pilot projects serta melakukan monitoring dan evaluasi implementasinya di lapangan.
6.7. Rekomendasi Proses Multipihak dan Program Pemerintah
Hasil penelaahan terhadap rekomendasi dari kegiatan seminar/lokakarya dan program pemerintah yang sudah, sedang, dan akan dijalankan secara umum sudah menuju pada sasaran-sasaran kebijakan dan kegiatan operasional yang diperlukan dalam pengelolaan DAS Ciliwung dan pengendalian banjir di DKI Jakarta. Masalah potensial yang mungkin terjadi dalam melakukan perancangan kebijakan dan implementasi program dan kegiatan adalah sebagai berikut :
Hubungan Kerjasama Institusi dalam Pengelolaan DAS
9 8 Kasus DAS Ciliwung
1. Identifikasi masalah yang telah dilakukan baik dari hasil seminar/lokakarya, Tim Koordinasi Pengelolaan Sungai Ciliwung, maupun oleh instansi pemerintah daerah, pada umumnya masih bersifat umum/makro dan belum dikaitkan dengan lokasi-lokasi dimana masalah tersebut berada, serta karakteristik hulu, tengah dan hilir DAS. Akibat dari kondisi yang demikian, maka implementasi program dan kegiatan belum terfokus pada upaya penyelesaian masalah di lapangan.
2. Tim Koordinasi dan Kelompok Kerja Pengelolaan Sungai Ciliwung yang dibentuk berdasarkan Kepmen Kimpraswil No. 20/Kpts/M/2002 dapat menjadi motor penggerak koordinasi bagi seluruh instansi pemerintah, swasta dan masyarakat yang terlibat. Kecuali untuk pelaksanaan kegiatan sipil teknis, berbagai kegiatan yang dikoordinasikan oleh Tim ini diharapkan dapat secara langsung dikaitkan dengan permasalahan di lapangan. Hambatan struktural yang berkaitan dengan hak penguasaan lahan serta alih fungsi lahan/kawasan hutan, sangat terkait dengan kebijakan nasional. Oleh karena itu dapat menjadi fokus dari Tim ini.
3. Untuk kawasan hulu dan tengah DAS, kemampuan untuk menangani permasalahan pengelolaan DAS sangat terkait dengan kemampuan pemerintah daerah. Inisiatif pemerintah daerah untuk melengkapi Perda yang berkaitan dengan pengendalian kerusakan sempadan sungai, konservasi situ, dan perlindungan serta rehabilitasi kawasan lindung pada umumnya perlu dipacu. Dalam kaitan ini diperlukan peningkatan peran interest groups serta peningkatan akuntabilitas publik dalam perancangan dan implementasi program dan kegiatan pengelolaan DAS.
4. Pada tingkat kegiatan operasional program dan kegiatan nampak belum sinkron antara Depkimpraswil dengan Dinas Teknis terkait dibawah pemerintah daerah. Hal ini disebabkan oleh karena masih adanya perbedaan pemahaman atas wilayah pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) dan Satuan Wilayah Sungai (SWS) yang mempunyai dimensi berbeda.
5. Dari penjelasan terhadap program dan proyek di DAS Ciliwung dapat diketahui bahwa persyaratan-persyaratan yang harus dibenahi terlebih dahulu atau paling tidak dilaksanakan secara berbarengan belum tercermin. Persyaratan tersebut adalah kesiapan di lapangan yang meliputi penyelesaian konflik hak-hak pemanfaatan sumberdaya alam, alih fungsi lahan, perambahan areal perkebunan, kehutanan, dan tanah negara lainnya, persoalan struktural, serta keterlaksanaan penyelesaian pendekatan sipil teknis.
6.8. Mekanisme dan Proses Yang Diperlukan
Untuk mewujudkan kesepakatan dalam pengelolaan DAS terpadu, diperlukan agar para pemangku kepentingan sepakat untuk melaksanakan proses, antara lain sebagai berikut:
1. Memastikan keterlibatan/peran-serta para pemangku kepentingan. 2. Melaksanakan pertemuan dengan anggota-anggota lembaga koordinasi DAS yang
telah ada (apabila belum, membangun kelembagaan koordinatifnya). 3. Melaksanakan pertemuan seluruh pemangku kepentingan untuk menyepakati aturan
main dalam DAS.
Hubungan Kerjasama Institusi dalam Pengelolaan DAS
Kasus DAS Ciliwung 9 9
Para pemangku kepentingan sangat mengharapkan dukungan dari para pengambil keputusan, baik di tingkat pemerintah pusat, pemerintah propinsi maupun pemerintah kabupaten/kota, agar seluruh kesepakatan dapat di adopsi dan disinergikan dengan setiap keputusan yang menyangkut pengelolaan DAS. Bentuk-bentuk dukungan riil yang diharapkan antara lain: (1) Penyelenggaraan proses-proses publik untuk setiap perencanaan kebijakan dan program/kegiatan, termasuk yang telah diagendakan oleh para pemangku kepentingan; (2) Memastikan pendanaan berdasarkan prinsip pembagian biaya-manfaat bagi daerah hulu dan hilir, termasuk menggalang pendanaan dari sektor swasta; (3) Mengembangkan sistem insentif bagi pelaku konservasi atau rehabilitasi DAS; (4) Mengembangkan sistem informasi pengelolaan DAS Terpadu, termasuk melakukan studi-studi pendukungnya; dan (5) Penguatan instansi-instansi pengelolaan DAS yang ada dalam hal organisasi, manajemen dan teknis.
Dalam pengelolaan sumberdaya alam yang melibatkan multi pemangku kepentingan (stakeholder) maka prinsip-prinsip partisipatif, koordinatif, transparansi, dan dapat dipertanggunggugatkan (accountable) perlu dipegang oleh seluruh pemangku kepentingan. Dalam kaitan ini “koordinasi” adalah tantangan yang perlu dipecahkan bersama.
Koordinasi memerlukan pertukaran informasi secara intensif untuk mengkonfirmasikan waktu, biaya, dan aktivitas yang dilakukan oleh setiap instansi/lembaga untuk mencapai tujuan dengan ukuran kinerja yang disepakati bersama. Hambatan koordinasi biasanya terletak di dalam struktur organisasi/lembaga masing-masing, yaitu pertentangan antara fleksibilitas yang diperlukan dengan kekakuan tugas dan fungsi yang telah ditetapkan, dan bukan terletak pada tingkat kebijakan dan tujuan-tujuannya.
Tantangannya terletak pada diakui dan dijalankannya kegiatan-kegiatan yang sifatnya bukan struktural/administratif, yang berjalan berdasarkan tujuan yang diartikulasikan secara jelas, didasarkan pada sharing pengetahuan, pencarian informasi secara sistematis, pertukaran, serta proses feedback. Pemrosesan informasi yang dikaitkan dengan sharing pengetahuan akan mengantarkan seluruh organisasi/lembaga dapat belajar bersama dalam keikutsertaannya menjalankan kegiatan, dan melakukan penyesuaian kegiatan-kegiatan yang didasarkan pada hasil assesment masing-masing.
Tidak mudah untuk mewujudkan “lingkungan” yang memungkinkan terjadinya koordinasi, karenanya diperlukan berbagai interaksi diantara banyak organisasi yang mempunyai tingkat otoritas, tanggungjawab, dan tugas yang berbeda-beda. Buku ini diharapkan menjadi salah satu bahan untuk melakukan interaksi tersebut.
Hubungan Kerjasama Institusi dalam Pengelolaan DAS
1 0 0 Kasus DAS Ciliwung
Hubungan Kerjasama Institusi dalam Pengelolaan DAS
Kasus DAS Ciliwung 1 0 1
PUSTAKA Anonimous. 1963. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 1963
tentang Penertiban Pembangunan Baru di sepanjang jalan antara Jakarta-Bogor- Puncak-Cianjur
_________. 1983. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 1983 tentang penanganan khusus Penataan Ruang dan Penertiban serta Pengendalian Pembangunan pada kawasan pariwisata Puncak dan wilayah jalur jalan Jakarta- Bogor-Puncak-Cianjur di luar wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Kotamadya Bogor, Kota Administratif Depok, Kota Cianjur dan Kota Cibinong
_________. 1985. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 79 Tahun 1985 tentang Penetapan Rencana Umum Tata Ruang Kawasan Puncak
_________. 1985. Keputusan Gubernur KDH.Tk.I Jawa Barat Nomor 556.1 Tahun 1985 tentang Prosedur dan Tata Cara Pengendalian (Kriteria Teknis Bangunan) pada Kawasan pariwisata jalur jalan Bogor – Puncak-Cianjur
_________. 1985. Keputusan Gubernur KDH.Tk.I Jawa Barat Nomor 821 Tahun 1985 tentang Pembentukan Tim Asistensi Teknik Pengendalian Tata Ruang Kawasan Puncak Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Barat
_________. 1986. Instruksi Gubernur KDH.Tk.I Jawa Barat Nomor 593 Tahun 1986 tentang Pengendalian mutasi tanah di Kawasan Puncak
_________. 1988. Peraturan Daerah Kabupaten Bogor Nomor 3 Tahun 1988 tentang Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) Kawasan Puncak di Kabupaten DT II Bogor
_________. 1991. Keputusan Gubernur KDH.TK.I Jawa Barat Nomor 413.21 Tahun 1991 tentang Kriteria Lokasi dan Standar Teknis Penataan Ruang di Kawasan Puncak.
_________. 1993. Keputusan Gubernur KDH.Tk.I Jawa Barat Nomor 24 Tahun 1993 tentang Pencabutan Keputusan Gubernur KDH.Tk.I Jawa Barat Nomor 17 Tahun 1989 tentang Tim Asistensi Teknik (TAT) dan Pengendalian Pembangunan di Kawasan Puncak.
Asdak, Chay. 1995. Hidrologi dan Pengelolaan DAS. Gajahmada University Press. Jogjakarta
Anonimous. 1995. Keputusan Gubernur KDH.Tk.I Jawa Barat Nomor 640 Tahun 1995 tentang Penanganan Pembangunan Kawasan Puncak
_________. 1996. Keputusan Kepala Bappenas Nomor 016 Tahun 1996 tentang Pembentukan Kelompok Kerja Pengelolaan Ruang Kawasan (PRK) Bopunjur
_________. 1996. Laporan Hasil Monitoring Hidrologi Stasiun Pengamat Arus Sungai DAS Ciliwung, Sub DAS Ciliwung Hulu Tahun 1995/1996. SWP DAS Ciliwung, Cisadane dan Cimandiri. Sub BRLKT Ciujung-Ciliwung, BRLKT Wilayah IV. Bandung
_________. 1997. Laporan Utama Evaluasi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Ciliwung Bagian Hulu. Direktorat Rehabilitasi dan Konservasi Tanah, Direktorat Jenderal Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan, Departemen Kehutanan. Jakarta
Hubungan Kerjasama Institusi dalam Pengelolaan DAS
1 0 2 Kasus DAS Ciliwung
_________. 1997. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 47 Tahun 1997 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional
_________. 1999. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 114 Tahun 1999 tentang Penataan Ruang Kawasan Bopunjur
_________. 1999. Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 22 Tahun 1989 tentang Tata Laksana Penertiban dan Pengendalian Pembangunan di Kawasan Puncak
_________. 1999. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah
_________. 2000. Peraturan Daerah Kabupaten Bogor Nomor 17 Tahun 2000 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bogor
_________. 2000. Peraturan Daerah Kabupaten Bogor Nomor 23 Tahun 2000 tentang ijin mendirikan Bangunan
_________. 2001. Laporan Akhir Studi Pengembangan Sistem Insentif Dalam Rangka Rehabilitasi Lahan/Penghijauan Di 3 (Tiga) DAS. Kerjasama Fakultas Kehutanan IPB dengan Ditjen RLPS Departemen Kehutanan. Jakarta
_________. 2002. Keputusan Menteri Pemukiman dan Prasarana Wilayah Nomor 20 Tahun 2002 tentang Pembentukan Organisasi Tim Koordinasi dan Kelompok Kerja Pengelolaan Sungai Ciliwung
_________. 2002. Laporan Kaji Ulang Penataan Ruang Kabupaten Bogor dalam Rangka Mitigasi Banjir DKI Jakarta dan Sekitarnya. Direktorat Jenderal Penataan Ruang-Depertemen Kimpraswil. Jakarta
_________. 2002. Laporan Kaji Ulang Penataan Ruang Kabupaten Bogor dalam Rangka Mitigasi Banjir DKI Jakarta dan Sekitarnya. Direktorat Jenderal Penataan Ruang-Depertemen Kimpraswil. Jakarta
Antoro, H dan Fahmiza. 2002. Sifat Hujan Bogor Periode 1995-2001 Pada Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciliwung dan Cisadane Kaitannya dengan Kejadian Banjir Di Jakarta. Makalah untuk Lokakarya Pengelolaan DAS Terpadu di Era Otonomi Daerah: Peningkatan Kapasitas Multipihak Dalam Pengendalian Banjir DKI Jakarta, 8 Mei 2002 yang diselenggarakan oleh LP-IPB dan Andersen/Prasetyo Strategic Consulting. Jakarta
Adventist Development and Relief Agency. 2002. Flood Relief in Indonesia. http://uisda.org/2002/news/news2.html (21 Juli 2003)
Boehmer, K., M. E. Haight, and B. Mitchell. 1997. Guidelines for Integrated Watershed Management Training. Dalhuousie Univ. ESCD in Indonesia. Jakarta
Bappeda DKI Jakarta. 2001. Kilas Jakarta: Info Penduduk. http://bappedajakarta.go.id/ kilas/infopenduduk.html (10 Maret 2003)
Ditjen Cipta Karya-Departemen Pekerjaan Umum. 1995. Laporan Pembangunan. http://pu.go.id/ publik/cipta20%karya/html/ind/lap.pemb.html (10 Maret 2003)
Departemen Pemukiman dan Prasarana Wilayah Direktorat Jenderal Sumberdaya Air, Direktorat Penatagunaan Sumberdaya Air. 2002. Workshop Konsultasi Stakeholders untuk Basin Water Resources Management Planning (BwRmP) wilayah Sungai Ciliwung-Cisadane. Bogor
Hubungan Kerjasama Institusi dalam Pengelolaan DAS
Kasus DAS Ciliwung 1 0 3
Hewlett. 1982. Principles of Forest Hydrology. The University of Georgia Press, Athens. USA
Hutasoit, Lambok. 2002. Hidrogeologi Daerah DKI Jakarta dalam Kaitannya dengan Penanganan Banjir di Wilayah DKI Jakarta. Makalah untuk Lokakarya Pengelolaan DAS Terpadu di Era Otonomi Daerah: Peningkatan Kapasitas Multipihak Dalam Pengendalian Banjir DKI Jakarta, 8 Mei 2002 yang diselenggarakan oleh LP-IPB dan Andersen/Prasetyo Strategic Consulting. Jakarta
Kartodihardjo, H. dkk. 2000. Kajian Institusi Pengelolaan DAS dan Konservasi Tanah. Kelompok Pengkajian Pengelolaan Sumberdaya Berkelanjutan (K3SB). Bogor
Linsley, R. K., M.A. Kohler, and J. L. H. Paulhus. 1982. Hydrology For Engineers. McGraw-Hill. New York
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat. 2002. Banjir: Tanggung jawab negara. Asasi News Letter edisi Maret-April 2002. http://www.elsam.or.id/text/asasi/ 2002_0304/ 01.html (21 Juli 2003)
Manan, Syafei. 1976. Pengaruh Hutan dan Pengelolaan DAS, Proyek Peningkatan Perguruan Tinggi. Fakultas Kehutanan IPB. Bogor
Muliastuty, W.A. 2001. Pendugaan Limpasan Langsung dalam Penelusuran Banjir di DAS Ciliwung. Skripsi Jurusan Teknik Pertanian, Fakultas Teknik Pertanian IPB. Bogor
Massachusetts Executive Office of Environmental Affair (EOEA). 2001. Massachusetts Watershed Inisiative. http://www.state.ma.us/envir/mwi/watershed.html (21 Juli 2003)
Murtilaksono, Kukuh. 2002. Kerangka Logis (Logical Framework) Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Terpadu. Makalah untuk Lokakarya Pengelolaan DAS Terpadu di Era Otonomi Daerah: Peningkatan Kapasitas Multipihak Dalam Pengendalian Banjir DKI Jakarta, 8 Mei 2002 yang diselenggarakan oleh LP-IPB dan Andersen/Prasetyo Strategic Consulting. Jakarta
NEDECO. 2002. What happened in January/February 2002. Hand out presentation in Workshop on dissemination of result of Quick Reconnaissance Study Flood Jakarta 2002, june 6, 2002. Jakarta
Proyek Induk Pengembangan Wilayah Sungai Ciliwung-Cisadane Direktorat Jenderal Pengairan, DPU. 1999. Rencana Pembangunan Sistem Pengendalian Banjir Sungai Ciliwung-Cisadane. Makalah Rapat Koordinasi Panitia Pengadaan Tanah Kotamadya Bogor. Bogor
Pawitan, Hidayat. 2002. Hidrologi DAS Ciliwung dan Andilnya terhadap Banjir Jakarta. Makalah untuk Lokakarya Pengelolaan DAS Terpadu di Era Otonomi Daerah: Peningkatan Kapasitas Multipihak Dalam Pengendalian Banjir DKI Jakarta, 8 Mei 2002 yang diselenggarakan oleh LP-IPB dan Andersen/Prasetyo Strategic Consulting. Jakarta
Soetarto, Endriatmo. 2002. Politik Agraria: Antara Regulasi dan Implementasi. Makalah untuk Lokakarya Pengelolaan DAS Terpadu di Era Otonomi Daerah: Peningkatan Kapasitas Multipihak Dalam Pengendalian Banjir DKI Jakarta, 8 Mei 2002 yang diselenggarakan oleh LP-IPB dan Andersen/Prasetyo Strategic Consulting. Jakarta
Tim Deputy Survey Dasar dan Sumberdaya Alam Bakosurtanal. 2002. Kajian Keruangan Banjir di Kawasan Jakarta dan sekitarnya. Bakosurtanal. Bogor
Hubungan Kerjasama Institusi dalam Pengelolaan DAS
1 0 4 Kasus DAS Ciliwung
Tim IPB. 2002. Peningkatan Kapasitas Pengelolaan DAS Ciliwung Untuk Pengendalian Banjir di Ibukota Jakarta. Makalah Sintesa untuk Lokakarya Pengelolaan DAS Terpadu di Era Otonomi Daerah: Peningkatan Kapasitas Multipihak Dalam Pengendalian Banjir DKI Jakarta, 8 Mei 2002 yang diselenggarakan oleh LP-IPB dan Andersen/Prasetyo Strategic Consulting. Jakarta
University of Michigan. 2000. The Water Cycle. http://www.windows.ucar.edu/earth/ images/watercycle.gif (21 Juli 2003)
US Embassy Jakarta Home Page. 2002. Pictures From US Relief in Jakarta, Januari 2002. http://usembassyjakarta.org/fotobjr.html (21 Juli 2003)
Ubaidilillah, R. Maryanto, I. et all. 2003. Manajemen Bioregional Jabotabek: Tantangan dan Harapan. Pusat Penelitian Biologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Bogor. Januari 2003
Viessman, W., J.W. Knapp, G.L. Lewis. 1989. Introduction to Hydrology. Harper & Row Publisher. New York