enam prajurit ciliwung

51
MUSA RUSTAM 6 Prajurit Ciliwung Keping mimpi anak kali Ciliwung dari Kampung Pulo sampai ke Kota Tokyo Penerbit Nulisbuku.com

Upload: musa-rustam

Post on 28-Nov-2014

531 views

Category:

Education


4 download

DESCRIPTION

 

TRANSCRIPT

Page 1: Enam prajurit ciliwung

MUSA RUSTAM

6 Prajurit Ciliwung

Keping mimpi anak kali Ciliwung dari Kampung Pulo sampai ke Kota Tokyo

Penerbit

Nulisbuku.com

Page 2: Enam prajurit ciliwung

2

MUSA RUSTAM

6 Prajurit Ciliwung

Keping mimpi anak kali Ciliwung dari Kampung Pulo sampai ke Kota Tokyo

Penerbit

Nulisbuku.com

Page 3: Enam prajurit ciliwung

3

Enam Prajurit Ciliwung

Oleh: Musa Rustam

Copyright © 2014 by Musa Rustam

Penerbit

Nulisbuku.com

Desain Sampul:

Musa Rustam

Diterbitkan melalui:

Nulisbuku.com

Page 4: Enam prajurit ciliwung

4

Buku ini kupersembahkan untuk :

Emakku Ibu Rinah, Guruku Ibu Euis, ustad Marzuki

serta Enam sahabat masa kecilku anggota Prajurit

Ciliwung dan Semua Warga Kampung Pulo Jatinegara

Jakarta Timur

Page 5: Enam prajurit ciliwung

5

Ucapan Terima Kasih...

Ucapan terima kasih kusampaikan kepadaNYA,

Segala puji saya panjatkan ke hadirat Allah

SWT, berkat pertolongan dan hidayahnya.

Kepada Nurul wanita setia pendampingku,

sosok sangat bermakna yang selalu

memberikan dukungan dengan inspirasinya

yang luar biasa. Kepada putraku, Muhammad

Hafiz Danish Veysa, yang senantiasa menjadi

penerang dan pelipur lara dalam hidupku.

Kepada orangtuaku, Mak Rinah, Bapak

Rustam (Alm), Mama Mahirmani, Papa Adi

Sucipto, yang telah memberikan cinta kasih

dan dukungan yang sangat luar biasa

kepadaku. Kepada Kalak, Para Kabid,

Sekretaris dan rekan-rekan BPBD Provinsi DKI

Jakarta, Rekan-rekan Satpol PP Provinsi DKI

Jakarta, dosenku di STIA LAN Jakarta dan

teman-teman baikku yang telah mendukungku

selama ini serta Nulisbuku.com.

Page 6: Enam prajurit ciliwung

6

Isi Buku

Bab 1 Murid Seberang

Bab 2 Sekolah Seberang

Bab 3 Kampung Banjir

Bab 4 Keturunan Delapan

Bab 5 Adik Sarah

Bab 6 Ustad Marzuki

Bab 7 The Flood Gates of Manggarai

Bab 8 The Tower of Monas

Bab 9 Jakarta kota Metropolitan

Bab 10 13 Aliran Sungai

Bab 11 SMA 8

Bab 12 Berjualan keliling kampung

Bab 13 Buaya Buntung

Bab 14 Festival Ciliwung

Bab 15 Kantong Ajaib

Bab 16 Jam Idaman

Bab 17 Enam Prajurit Ciliwung dan Getek

Bab 18 Kampung Ilmu

Bab 19 Puisi cinta dan mahkluk tercantik

Page 7: Enam prajurit ciliwung

7

Bab 20 Ada cinta di Pabrik Tahu

Bab 21 Regu terbaik

Bab 22 Getek romantis

Bab 23 Dalam Beduk

Bab 25 Si Pitung Kampung

Bab 26 Pulau Dream

Bab 27 Reni Anggraini

Bab 28 Orde Baru

Bab 29 Deni Bram

Bab 30 Negeri Impian-Jepang

Bab 31 Deep Tunel & Tokyo Tower

Glosarium

Tentang Penulis

Synopsis

Page 8: Enam prajurit ciliwung

8

“Hidup adalah sebuah perjuangan. Tanpa

kekuatan mimpi, manusia seperti kerbau yang

bekerja tanpa tujuan. Allah menganugerahkan

segala imajinasi dan mimpi sebagai kekuatan

maha dahsyat didalam hati dan pikiran kita.

Aku bersyukur karena sebuah mimpi itu kini

membuatku menjadi manusia yang berarti...”

Rustam, 1960 - 2006

Page 9: Enam prajurit ciliwung

9

Bab 1

Murid Seberang

Senin pagi itu, aku pertama kali berangkat

ke sekolah di antarkan Emak. Kumpulan

batang Pohon bambu yang kira-kira

berjumlah 15 batang pohon bambu di ikat

menjadi satu, tersusun rapi membentang

menjadi sebuah getek yang membawaku.

Emak di sebelahku, memegang erat

pergelangan tanganku dengan tangan

kanannya yang lembut. Emakku seorang

perempuan berbadan kurus dan mungil.

Wajahnya sekurus badannya, dengan

sepasang mata yang bersih yang di naungi

alis tipis. Mukanya selalu mengibarkan

senyum ke siapa saja. Kalau keluar

rumah selalu menggunakan baju kebaya

Page 10: Enam prajurit ciliwung

10

yang dipadu dengan kain atau rok

panjang. Tidak pernah celana panjang.

Kepalanya selalu ditutup turban dan di

lehernya tergantung selendang.

Emak tidak pernah menamatkan

Sekolah Rakyatnya, ia sekolah hanya

sampai kelas dua saja, di karenakan

keluarganya masih berfikir sekolah tidak

perlu tinggi–tinggi untuk anak perempuan,

karena ujung-ujungnya pasti di dapur juga.

Begitulah pemikiran yang masih terbenam

sama di beberapa pemikiran orang-orang

tua terdahulu, mereka belum mendapatkan

virus semangat yang di bawa oleh Ibu

Kartini, pentingnya emansipasi wanita

bahwa pendidikan itu sangat penting untuk

laki-laki dan perempuan.

Di antara 5 gundukan batang yang

tersusun di atas susunan 15 batang pohon

bambu, di sela-sela tengah pada bagian

Page 11: Enam prajurit ciliwung

11

depan di ikat erat menjadi penguat untuk

di kendalikan, di ujung tali terikat di atas

pohon waru dan di seberang satunya pun

demikian terikat dengan pohon yang

rindang, di ujung depan berdiri di atas

getek yang diawaki seorang laki-laki yang

berkopiah putih, sekuat tenaga menarik

getek untuk membawa kami ke seberang.

Laki-laki itu adalah seorang bapak tua

berwajah penuh kesabaran, Pak Marzuki,

sang penarik getek.

Namun, senyum Pak Zuki adalah

senyum yang getir penuh makna, karena

terlihat sangat jelas kecemasan wajahnya

penuh ketegangan dan keletihan sambil

terengah-engah menarik nafas berulang

kali. Sesekali menghitung jumlah

penumpang yang naik di getek-nya. Ia

begitu khawatir sehingga terkadang tak

peduli pada peluh yang mengalir deras di

Page 12: Enam prajurit ciliwung

12

lehernya. Bulir-bulir keringat yang

bermunculan di seputar keningnya sebagai

tanda perjuangan yang harus di

kenakannya, membuat wajahnya terlihat

semakin letih berbentuk raut kelelahan.

“Sepuluh orang...sudah sepuluh orang

pak...bu...dek...,sudah lewat kapasitas

nanti terbalik...” katanya penuh kegusaran

pada para penumpang getek-nya. Emak

dengan penuh kehati-hatian menjagaku

dari licinnya kumpulan bambu yang aku

injak.

Aku juga merasakan kecemasan. Aku

cemas karena melihat aliran air kali

Ciliwung sangat deras dan karena beban

yang di rasakan Pak Zuki terlihat jelas,

beberapa otot-otot yang mulai jelas

menonjol di depan mataku. Meskipun

beliau begitu tenang pagi ini tapi

genggaman tangannya yang melingkari tali

Page 13: Enam prajurit ciliwung

13

tambang kemudi getek, tetap saja tidak

dapat aku pungkiri degup jantungku terasa

cepat, pertama kalinya aku menyeberang

kali, aku tahu beliau sedang tidak gugup

ataupun grogi karena hal ini sudah

menjadi rutinitas beliau setiap hari, pria

berusia lima puluh tahunan itu, seorang

buruh serabutan yang beranak banyak

dengan penghasilan seadanya. Siang hari

bekerja mencari nafkah untuk keluarga

dengan menarik getek, mengumpulkan

sisa-sisa sampah plastik yang di

kumpulkan dari arus membawa sampah di

Kali Ciliwung untuk di jual kembali kepada

pengepul barang rongsokan dan ketika

malam pun tiba beliau mengajarkan kami

mengaji kepada anak-anak seumuranku.

Getek pun sampai ke seberang, emak

dan aku bergegas perlahan untuk turun

melalui jembatan yang terbuat dari bambu

Page 14: Enam prajurit ciliwung

14

di susun 4 buah dan di ikat kuat

menjuntai hingga menempel ke dasar kali

serta mengarah ke dasar pelataran tanah

yang agak tinggi dan becek. Ku coba

melangkah dengan penuh perhatian dan

perlahan, dengan tangan kiri memegang

pagar jembatan dari bambu itu sambil di

pegangi tangan kananku dengan emak. Tak

tahu kenapa, aku seperti merasa bisa

sendiri, tak ingin dipegangi, dan dengan

bantuan Emak.

“Emak, Ucha bisa kok....ga„ perlu

dipegangin „mak”

Emak tak sampai hati untuk

melepaskan tangannya yang memegangi

pergelangan tangan kananku. Tapi Emak

pun akhirnya mengabulkan keinginanku,

dengan mengalah karena percaya aku

merasa bisa untuk menyeberangi jembatan

bambu itu tanpa harus di peganginya.

Page 15: Enam prajurit ciliwung

15

Ternyata dewi fortuna tidak besertaku.

Selang hanya beberapa detik saja,

waktunya sangat cepat terjadi, tangan

kananku di lepas emak, hanya satu

langkah saja dari pegangan Emak, aku

terpeleset jatuh masuk ke air kali berwarna

kecoklatan penuh dengan sampah yang

aliran airnya deras.

“ Astagfirlohalazim, Ya Allah Ya

Rabb....anak saya ke cemplung”

“ Tolong...tolong...anak saya kecebur...Pak

Zuki tolong.....”

Teriak Emak yang panik, melihatku

yang terpeleset jatuh masuk ke dalam air,

sontak semua orang langsung tertuju ke

sumber teriakan. Aku panik dengan

gerakan yang tidak beraturan vertikal

terbawa air memutar-mutar seperti

Page 16: Enam prajurit ciliwung

16

pusaran air, pandangan tidak jelas mana

yang harus aku tuju.

Ekspresi wajah emak yang panik

memerah, seperti ada penyeselan karena

telah melepas pergelangan tanganku. Aku

belum bisa berenang, hanya berteriak

sekencang-kencangnya meminta

pertolongan dengan keadaan kadang

mengambang timbul tenggelam, dengan

secara refleks aku berusaha agar kepalaku

selalu ada dipermukaan air untuk

memberitahukan keberadaan diriku

sehingga ada yang segera menolongku,

arus air yang deras terus membawaku

semakin jauh dari Emak.

Pak Zuki dengan cekatan langsung

nyebur ke arahku, dengan gaya front crawl

perlahan tapi pasti mengejarku, kedua

belah lengan secara bergantian di gerakkan

jauh ke depan dengan gerakan mengayuh,

Page 17: Enam prajurit ciliwung

17

sementara kedua belah kaki secara

bergantian di cambukkan naik turun ke

atas dan ke bawah. Posisi wajah Pak Zuki

menghadap ke permukaan air, dengan

pernapasannya di lakukan saat lengan di

gerakkan ke luar dari air saat tubuhnya

menjadi miring dan kepala berpaling ke

samping. Sewaktu mengambil napasnya, ia

bisa memilih untuk menoleh ke kiri atau ke

kanan. Gaya berenangnya bisa membuat

tubuhnya melaju lebih cepat di air untuk

menjangkauku.

Pak Zuki segera menghampiriku,

dengan terengah-engah meraihku, aku

yang sambil menangis dan pucat

ketakutan, Pak Zuki seperti seorang water

rescue dengan teknik pertolongan

korban/evakuasi yang dilakukan di air,

kemampuannya menolong untuk memilih

dan menentukan kemampuan yang dimiliki

Page 18: Enam prajurit ciliwung

18

seorang rescuer, dengan metode yang harus

dilakukan untuk menolong harus bisa

memilih metode pertolongan yang paling

cepat dengan resiko yang kecil.

Pengetahuan mengenai bahaya-bahaya

ketika berada di air, contoh : panik, letih,

kram arus air.

Akhirnya, aku tersadar dan

terbangun. Penglihatan maata dari mulai

remang-remang menjadi terang, perlahan

aku coba menggerakkan tanganku yang

digenggam sama Emak. Air matanya

diusap olehnya karena telah melihat aku

tersadar dari pingsan.

“ Emak, Ucha kenapa ?” tanyaku lirih

karena masih mencoba mengingat-ngingat

apa yang terjadi denganku.

“ Iya, anakku kamu tadi terjatuh di

kali ..sayang “

Page 19: Enam prajurit ciliwung

19

“ tapi Alhamdulillah kamu enggak

apa-apa „kan ?” sambil memegang badanku

dan memeriksa dari mulai tangan, bahu

dan kepala apakah aku memiliki luka,

dengan wajah peluh kepanikan. “ Tapi

Alhamdulillah kamu enggak apa-apa „kan ?

“ lirih dilemparkan pertanyaan lagi untuk

meyakinkan kalau aku tidak apa-apa.

“Alham...dulillah Emak...

alhamdulillah Emak... Ucha enggak apa-

apa, Ucha hanya kaget dan panik, maafkan

Ucha yah „Mak karena nakal tak mau

dipegangi”

Pak Zuki telah menyelamatkan

nyawaku. Di hari pertama dalam sejarah

hidup di hari pertamaku berangkat ke

sekolah.

Page 20: Enam prajurit ciliwung

20

Bab 2

Sekolah Seberang

Aku duduk di bangku panjang

paling depan, deretan kedua dari dekat

meja guru, vas bunga yang terdiri dari

tangkai bunganya yang terbuat dari

potongan sedotan plastik, bunganya dari

lipatan kertas kreps dan kertas warna yang

di bentuk dan di lem menggunakan lem

kertas, di samping kiri dinding terpampang

dengan foto bingkai dari beberapa wajah

yang asing bagiku, karena baru pertama

kali aku melihat foto-foto tersebut. Aku

yang terlambat datang ke sekolah karena

kecerobohanku, aku baru masuk sekolah

pada hari kedua.

Kami memiliki tiga lantai dengan

berjumlah delapan belas kelas, ada enam

Sekolah Dasar yaitu ; SDN 01, SDN 09 dan

Page 21: Enam prajurit ciliwung

21

SDN 011 untuk kelas pagi, sedangkan SDN

02, SDN 010 dan SDN 012 untuk kelas

siang, maka kami dari siswa seberang yang

masuk kelas pagi memiliki sebuah

kebanggaan karena track record prestasi

siswanya yang gemilang, di kampung kami

belum ada sekolah. Aku sesungguhnya

merasa cemas. Aku cemas karena melihat

Emak yang resah dan karena beban

ekonomi yang ditanggung seorang diri,

karena bapak tidak kunjung sembuh dari

penyakit kesadarannya. Tapi Emak tak

pernah gentar, tak tahu mengapa ? Emak

penuh keyakinan untuk menyekolahkan

anakku di sekolah yang terbaik ini, Emak

memasukkan aku pada kelas pagi.

Ibu Euis terdengar dengan lantang

dan kencang seperti suara kereta api listrik

yang berteriak kencang hampir tiga puluh

menitan sekali yang posisi relnya tepat

Page 22: Enam prajurit ciliwung

22

dibelakang sekolahku. Dengan

mengenakan batik berwarna kecoklatan

serta ornamen yang nampak indah, beliau

dengan ceria mengatur formasi kami

seperti mengatur strategi proses

pembelajaraan yang efektif melihat dan

mengamati tingkah laku anak-anak yang

punya ke khas-an tersendiri agar proses

belajar dan mengajar menjadi terarah.

Ibu Euis dengan wajah tersenyum

sumringah mengabsen kami satu persatu,

kenapa aku baru masuk hari ini, aku

mencoba menyambutnya dengan senyum

getir, aku menceritakan bahwa aku

kemarin tercebur di kali ketika hendak

berangkat ke sekolah. Dipanggil kami

persatu-satu dengan mengancungkan

tangan kanan kami.

Ucha (Musa Rustam), Ajat

(Muhammad Sudrajat), Holil (M Holil),

Page 23: Enam prajurit ciliwung

23

Maulana (Ahmad Maulana), Fadil

(Muhammad Fadil) dan Deni (Deni Bram)

adalah bocah-bocah yang penuh warna dan

kreatif, selain punya asal-usul yang

berbeda, keenamnya memang punya

ceritanya sendiri yang unik dengan

dinamika dan kekhas-annya masing-

masing. Ucha, bocah SD ini berasal dari

Betawi. Perawakannya kalem, putih tapi

agak penakut. Oleh sahabatnya dia sebut

sebagai inspirator kelompoknya. Meski

masih bocah, dia memiliki mimpi yang

luhur untuk memperbaharui kampungnya.

Ada juga Ajat. Dia anak Sunda yang punya

cita-citanya ingin jadi Teknokrat. Ayahnya

yang tukang ayam di Pasar Jatinegara

sangat mendukung anaknya agar terus

belajar, bekerja dan berkarya.

Deni, anak asal Ambon Padang ini

tergolong unik. Anak kali yang memiliki

Page 24: Enam prajurit ciliwung

24

kulit hitam ini, dengan senyumnya yang

hitam manis, anak yang paling jenius

diantara kita yang memiliki cita-cita

menjadi dosen. Holil tak kalah seru. Dia

berasal dari keturunan Arab sunda. Yang

senang dengan musik marawis, suka

mengajarkan kita teknik ilmu dagang dari

negeri arab. Lainnya ada Fadil, yang

bersepupuan dengan Holil dan Ajat yang

jago tendangan saltonya dalam permainan

futsal. Yang tak kalah menarik adalah Reni

(Reni Anggraini), dara berdarah Sumedang

anak dari pemilik warung kelontong yang

termasyhur di kampung kami.

Page 25: Enam prajurit ciliwung

25

Bab 3

Kampung Banjir

Tak sukar menggambarkan kampung

kami, karena kampung kami adalah

kampung yang terkenal dengan banjir di

setiap musim penghujan tiba. Dengan

kondisi curah hujan yang tinggi dan terus

menerus apabila intensitas mencapai 150

mm/hari baik di hulu bogor maupun di

hilir Jakarta, kampung kami di pastikan

terkena banjir. Aku berasal dari

permukiman kumuh bantaran kali, yang

merupakan permasalahan klasik yang

sejak lama telah berkembang di kota-kota

besar. Permasalahan permukiman kumuh

Page 26: Enam prajurit ciliwung

26

tetap menjadi masalah dan hambatan

utama bagi pengembangan kota.

Laju perkembangan kota Jakarta

yang semakin pesat membuat pemanfaatan

lahan yang semakin kompetitif, sedangkan

di sisi lain, perkembangan kota menjadi

daya tarik urbanisasi yang pada akhirnya

menyebabkan tingginya tingkat permintaan

akan tempat tinggal di dalam kota. Selain

itu, pesatnya perkembangan penduduk

perkotaan tersebut yang umumnya berasal

dari urbanisasi tidak selalu dapat

diimbangi oleh kemampuan pelayanan kota

sehingga telah berakibat pada semakin

meluasnya lingkungan permukiman

kumuh. Kampung yang tak pernah luput

dari tempat persinggahan arus urbanisasi.

Kampung kami memiliki dua RW

yang lumayan padat penduduknya, di

kampung kami sudah menjadi langganan

Page 27: Enam prajurit ciliwung

27

setiap tahunnya karena kampung kami

terletak di dataran sangat rendah, yang

bentuk kampungnya bila dilihat dari atas,

serupa tapal kuda dikelilingi oleh sungai

Ciliwung sepanjang kampung. Banjir

menjadi sudah biasa, kampung yang

berdampingan dengan banjir yang sudah

dianggap menjadi konsekwensi dari musim

hujan yang melanda, ketika di daerah

puncak hujan lebat, sekitar delapan

sampai dengan sembilan jam kemudian

banjir akan menggenangi kampung kami,

hingga mencapai kedalaman dua meter.

Kami mencoba bertahan dengan banjir

menjadi potret tiap tahun musim

penghujan di Kampung kami.

Aku kelas enam SD tepat tahun

1996, kampung kami dilanda kebanjiran

yang sangat besar. Bahkan Pasar Proyek

Jatinegara tempat aku bermain bola ketika

Page 28: Enam prajurit ciliwung

28

malam hari ikut terkena banjir walau

hanya semata kaki. Bapak, Emak dan

ketiga adikku sibuk menyelamatkan harta

benda kami. Semua tetangga pun sibuk

dengan menaikkan barang-barang

berharga ke lantai dua rumah mereka.

Semua dipusingkan bagaimana agar harta

tidak terbawa banjir dan keharusan kami

untuk mengungsi.

Mereka mencoba bertahan dengan

segala kemampuan mereka. Air tergenang

di mana-mana membuat kampung kami

menjadi kolam renang raksasa dengan air

kecoklatan, seperti macam tempat

permainan orang-orang dewasa yang lalu

lalang dengan berenang.

Aku mencoba menyikapi segala

sesuatunya dengan positif, keadaan serba

sulit ini membuat Aku kecil mencoba

bangkit dari keterpurukan, menjalani

Page 29: Enam prajurit ciliwung

29

kehidupan sebagai pengungsi banjir

dijalani dengan senyum dan sabar, dalam

wajah kesedihan yang tercermin

terkandung sebuah harapan dan impian,

ketika melihat para Fasilitator dari mbak-

mbak trauma healling dalam menghibur

kami anak-anak korban banjir, mereka

menyatakan bahwa semua bencana dan

duka itu pasti ada hikmahnya, jadi adik-

adik tidak perlu takut, dibalik setiap ujian

dan bencana, semua itu pasti ada sesuatu

yang indah kelak.

Ku coba merenung dan selalu

menanamkan mimpi dan khayalanku,

nanti kelak aku dewasa akan menjadi

seseorang yang bermanfaat untuk orang

lain, mimpi dan hati kecil yang mulia itu

lahir dari sebuah keprihatinan akan

pengalaman diri sendiri, dengan segala

keterbatasan dan kekurangan, aku harus

Page 30: Enam prajurit ciliwung

30

terus berjuang mencoba mencapai mimpi

dan harapan dengan selalu belajar dan

bekerja keras serta berjualan, suatu saat

nanti aku akan menjadi orang yang

berguna.

Aku menjalankan kehidupan yang

sangat pahit di karenakan aku adalah anak

pertama dengan tiga bersaudara yang

menjadi tanggungjawabku kelak,

perjuangan itu di mulai dari Aku duduk

dibangku kelas 3 SD, aku harus berjualan

mengelilingi Kampung Pulo hingga

menyeberang kampung dengan bantuan

getek. Aku mencoba menjajakan

daganganku sambil meneriakkan :

“sate ayam “...

”ucus goreng...

“kepala ayam”...

begitulah teriakanku dengan suaranya

yang lantang.

Page 31: Enam prajurit ciliwung

31

Aku mencoba menapakkan semangat

dan senyumku berusaha membantu Emak.

Di karenakan Bapak tidak bisa bekerja

memberi nafkah untuk keluarga di

karenakan sakit yang tak kunjung sembuh

dari kesadarannya, aku pun tak pernah

mengerti kenapa Bapak hanya diam dan

membisu, pernah aku menanyakan apa

yang terjadi sama Bapak dengan Emak.

Emak pun hanya terdiam dan menangis.

Hari demi hari, Aku menapaki setiap

jalan becek, dari satu gang ke gang yang

lain, masuk kampung keluar kampung

berkeliling menjajaki daganganku,

mencoba mencari penghasilan untuk

kebutuhan adik-adikku yang masih kecil.

Aku mencoba berjuang dengan penuh

keyakinan suatu saat nanti aku bisa

sukses menjadi seorang prajurit ABRI. Iya,

cita-cita yang hampir umum untuk anak

Page 32: Enam prajurit ciliwung

32

laki-laki kala itu, menjadi seorang prajurit

gagah dan berani membela negara dan

bangsa.

Sepulang sekolah dengan getek

bersama-sama teman menyebrangi sungai

Ciliwung yang membatasi antara Kampung

Pulo dengan Bukitduri. Aku mencoba

mandiri tanpa di suruh Emak, aku

berinisiatif berjualan setiap hari pulang

sekolah, dengan berbeda-beda barang yang

aku pernah jual, mulai dari makanan

berupa sate ayam goreng, putu mayang,

tempe goreng dan risol goreng pernah aku

jajakan, Aku kecil sangat bahagia, apabila

musim banjir pun melanda, di karenakan

sekolah menjadi libur. Keuntungannya di

bilang lumayan dua kali lipat karena

hampir semua orang membeli makanan

yang dijajakan, di karenakan semua berasa

lapar ketika banjir, karena hampir semua

Page 33: Enam prajurit ciliwung

33

keluarga tidak bisa memasak karena

banjir, sehingga penghasilanku dibilang

lumayan karena itu.

Page 34: Enam prajurit ciliwung

34

Bab 4

Keturunan Delapan

Semua itu berawal dari pernyataan Kakek

yang sangat sayang dengan cucunya yang

di pesankan oleh Bapak, kata-kata itu

terus terngiang ;

“Ucha harta kakek tujuh turunan tidak akan

pernah habis-habis di makan semua

keluarga hingga tujuh turunan”.

Ingatan masa kecil yang terus

ditanamkan sama Kakek melalui Bapak,

menjadi cambuk luar biasa, aku sering

diejek-ejek sama teman sepermainan ku

Page 35: Enam prajurit ciliwung

35

karena dianggap menjadi anak sial, karena

aku adalah anak keturunan delapan.

“anak keturunan delapan”

“Ucha anak keturunan delapan” wkwkwk

sambil tertawa dan terbahak-bahak semua

menertawakan diriku” mereka mengejek

berramai-ramai.

“dasar anak keturunan delapan

sih,,,sialkan jadinya keluarga kamu tuh,

ayo jangan ditemenin anak sial itu anak

keturunan delapan”.

Sungguh sangat menyedihkan sekali aku

ketika itu, aku dianggap menjadi anak sial,

karena aku keturunan delapan, yang

menyebabkan kesulitan ekonomi

keluargaku, dikarenakan kehadiranku

Page 36: Enam prajurit ciliwung

36

yang membuat semuanya menjadi hancur,

tanah yang begitu luas, rumah yang begitu

banyak, sampai dengan warung habis tak

bersisa, yang ada hanya cerita dan

kenangan, semua itu habis dan tanpa

bekas. Aku pun tidak mengerti mengapa

semua itu terjadi, apakah benar itu

memang semua karena penyebabnya

karena aku, sungguh luar biasa mata air

ku tak terbendung, meratapi begitu

malangnya aku, tidak banyak yang mau

berteman dengan ku kala itu, karena

dianggap menjadi sebuah musibah karena

kelahiranku.

Emakkulah yang menjadi

penyemangat ku dalam membangkitkan

semuanya dari keterpurukan mental dan

percaya diri yang begitu hancur.

Page 37: Enam prajurit ciliwung

37

“Ucha, yang sabar yah, Emak tahu Ucha

sedih dengan kelakuan teman-teman Ucha,

janganlah kamu bersedih, anakku

semuanya itu sudah diatur sama Allah

SWT, jadi Ucha jangan bersedih, suatu saat

nanti Ucha akan menjadi orang hebat

karena kesabaran dan kerja keras Ucha

dalam menghadapi cobaan hidup ini”

“Emak hanya bisa mendoakan kelak

engkau jadi orang yang berguna dan orang-

orang akan melihat karyamu akan berguna

untuk orang lain, ketika kamu tetap sabar

dan menjalankan cobaan dari Allah dan

kamu tetap tidak sombong ketika kamu

sukses „nak”.

“Percayalah „nak sebuah kesuksesan itu

kelak akan kamu raih dengan kerja keras

dan senyummu akan bermanfaat untuk

Page 38: Enam prajurit ciliwung

38

mereka, jadikanlah masa-masa sulit ini

menjadi pembelajaran yang terus kamu

ingat, di saat kamu pun di atas kamu tidak

akan pernah sombong, karena

kesombongan kamu itu justru akan

menghancurkan diri kamu sendiri”

“Emak sangat sayang sekali dengan Ucha,

terima kasih banyak yah „nak, waktu

bermainmu, kamu menjadi berjualan setiap

hari demi kebutuhan hidup kita sehari-hari”

Air mataku tak tahu kenapa menetes deras

membasahi tangan Emak, Emak pun sama

meneteskan air mata, kami larut dengan

air mata sebuah harapan, suatu saat nanti

aku yakin menjadi orang sukses. Itulah

emosi yang sangat menemaniku kuat

dalam menapaki hidup dengan harapan

serta doa dari Emak.

Page 39: Enam prajurit ciliwung

39

Bab 5

Adik Sarah

Aku dengan suka cita bersama Ajat, Holil,

Fadil, dan Maulana sibuk berenang di air

yang kotor memakai ban bekas mobil. Kami

tidak pernah peduli kuman penyakit akan

menempel dikulit, berenang dan bermain

air sampai kulit kami mengkerut.

Walaupun kami harus membersihkan

sampah yang berserakan didalam rumah

atau lumpur akibat kemasukan luapan air

tak diundang. Bahkan ketika kami harus

mengungsi. Kami bersama-sama warga

sekampung tidur dalam tenda berramai-

ramai, makan bersama dari dapur umum

seperti acara perkemahan pramuka

Perjusami (Perkemahan Jumat Sabtu dan

Page 40: Enam prajurit ciliwung

40

Minggu) yang di lakukan di Bumi

Perkemahan Cibubur. Wajah orangtua

kami mendung seperti langit di bulan

Januari atau gerutuan tentang bantuan

yang sedikit dari pemerintah.

Di pengungsian kami bertemu

dengan Adik Sarah yang berumur delapan

tahun, Adik Sarah kaki kanannya

mendadak lumpuh dan layu. Tidak bisa

menyangga tubuhnya lagi. Bahkan untuk

dia berjalan pun harus diseret kakinya.

Menurut Dokter Puskesmas yang ada di

pengungsian dia terserang penyakit polio.

Sejak itu dia sangat membenci bulan

penghujan tiba. Dia tidak bisa berenang di

kolam raksasa saat air menggenangi

kampung. Dia merasa menjadi beban

untuk bapak dan kedua kakak laki-lakinya

saat harus mengungsi. Mereka terpaksa

harus menggendong atau memapah dalam

Page 41: Enam prajurit ciliwung

41

mengevakuasi dari rumah yang hampir

tenggelam.

Polio juga membuatnya berhenti

sekolah. Dia tidak tahan dengan ejekan

dari teman-teman yang menghina kakinya.

Setiap pulang sekolah dia selalu menangis

sedih. Bukan kehendaknya, kakinya

menjadi lumpuh layu. Apabila boleh

meminta, dia pun ingin kakinya normal

seperti anak-anak yang lain. Namun takdir

berkehendak lain. Dia harus hidup dengan

kaki yang harus diseret jalannya.

Kecacatannya menjadi bahan olok-olok

yang lucu bagi teman sekolahnya. Walau

guru sudah memarahi teman-teman yang

doyan menghinanya, mereka tidak jera

juga. Saat guru lengah, mereka terus

mengejek yang menghancurkan harga diri.

Satu-satunya jalan untuk menghentikan

Page 42: Enam prajurit ciliwung

42

penghinaan adalah dengan berhenti

sekolah.

Untuk mengisi waktu, Dia belajar

menjahit pada ibunya yang memang

seorang tukang jahit. Kami sangat iba

sekali dengan kondisi Adik Sarah, kami

mencoba menghiburnya, memberikan

semangat agar dia bisa bangkit dari mental

yang terpuruk akibat musibah penyakitnya

itu. Adik Sarah tak perlu malu harus

bertemu dengan orang asing. Tatapan

kasihan atau menghina selalu diterimanya.

Polio membuatnya menjadi beban

bapak dan kedua kakak laki-lakinya saat

banjir datang. Mereka harus menggendong

atau mendukung untuk mengevakuasi dari

rumah yang hampir tenggelam. Udara

dingin dan lembab membuat kaki

kanannya semakin ngilu untuk digerakkan.

Page 43: Enam prajurit ciliwung

43

Januari, puncaknya musim penghujan

sungguh menyiksanya.

Aku juga dan teman-teman tak

nyaman berada di pengungsian. Bercampur

baur dengan banyak manusia yang

beragam watak dan sifatnya membuat kita

harus mengontrol emosi dengan ketat.

Amarah gampang sekali tersulut. Mungkin

karena rasa lelah, capek dan putus asa

bercampur aduk membuat kesabaran

makin menipis. Belum lagi makanan di

pengungsian yang selalu kurang atau telat

datang, tidur yang tak bisa nyenyak karena

bayi dan anak kecil yang sibuk menangis di

malam hari karena kedinginan dan

kelaparan, saling berebut menerima

bantuan menjadi cerita suram di

pengungsian.

Bertahan di rumah yang kebanjiran

juga bukan pilihan. Saat malam harus

Page 44: Enam prajurit ciliwung

44

bergelap-gelapan karena tidak ada aliran

listrik. PLN sengaja memutus aliran listrik

ke daerah yang tergenang banjir biar tidak

terjadi korsleting. Tidak ada akses

informasi. Tidak bisa kemana-mana kecuali

memakai perahu. Ditambah lagi susahnya

mendapatkan bahan makanan untuk

mengganjal perut. Betul-betul seperti buah

simalakama.

Pernah ada kerabat yang datang dari

kampung bertanya kepada Emak mengapa

kami tidak pindah saja dari daerah ini.

"Sudah tahu tiap tahun kebanjiran kenapa

tidak pindah ke tempat lain saja yang bebas

banjir?"

Emak menghela nafas panjang, "Ini

Jakarta. Harga tanah di sini lebih tinggi dari

harga emas. Harga tanah di daerah yang

langganan banjir saja sudah mencekik

leher, apalagi di kawasan yang katanya

Page 45: Enam prajurit ciliwung

45

bebas banjir. Kami tetap bertahan disini

karena tidak ada pilihan lain!"ujar Emak

dengan nada prihatin.

Rumah bertingkat dua di

kampungku bukan barang mewah tapi

lebih sebuah kebutuhan. Untuk

menyelamatkan perabotan dan nyawa.

Ketika hujan turun dengan deras, Emak

dan ketiga adikku sibuk mengangkuti

perabotan ke lantai dua. Bersiap-siap

menghadapi banjir yang sewaktu-waktu

bisa datang kapan saja.

Saat banjir besar Tahun 1996, Aku

ingat dengan detail peristiwa yang menjadi

latar belakangnya. Banjir hampir

menenggelamkan kediamanku, air yang

masuk tingginya lebih dari dua meter, aku

dan Emak beserta adik-adik serta Bapak

memilih bertahan di lantai dua...Emak

Page 46: Enam prajurit ciliwung

46

tahu bahwa aku dan adik-adik tidak

nyaman berada dipengungsian.

Aku dan Emak harus berpuasa.

Tidak ada lagi yang bisa dimakan dan

diminum dirumah ini. Doa-doa terus

dipanjatkan agar ada cepat datang

pertolongan. Sepertinya doaku tertahan di

langit, belum juga menampakkan ada

hasilnya. Airmata sudah tumpah di pipi.

Panik, sedih, kedinginan serta lapar yang

mendera membaur jadi satu memunculkan

putus asa. Di saat aku hampir kehilangan

harapan, Allah mengirimkan

pertolongannya. Petugas dari SAR yang

menyisir perkampungan menemukan kami

yang lagi meringkuk kedinginan. Suara

memanggil dari Toa berwarna krem.

Page 47: Enam prajurit ciliwung

47

“Kepada semua warga agar segera

mengungsi karena debit air akan semakin

tinggi, demi keselamatan saudara-saudara

semua harus kami ungsikan ketempat yang

lebih aman”

Aku segera mengiyakan ucapan seorang

anggota SAR yang tertulis di dadanya yang

berwarna orange.

“Kami mau mengungsi pak, tolong kami”

teriakku bersama-sama keluargaku.

Bertahan di rumah yang dikepung banjir

bukan karena takut meninggalkan harta

benda. Tidak ada barang berharga di

rumah ini. Lilin menjadi penerang saat

malam tiba. Dingin, lembap dan sepi yang

mencekam membuatku terus memeluk erat

Emak bersama adik-adikku. Untuk mengisi

Page 48: Enam prajurit ciliwung

48

perut, kami mengandalkan mie instan.

Namun ketika minyak tanah dan

persediaan air bersih menipis, aku dan

Emak menjadi panik. Sementara Bapak

hanya terdiam tak pernah mengerti dengan

keadaan sekitanya, beliau hanya diam dan

sesekali tersenyum sendiri, yang kita tak

pernah mengerti apa yang terjadi padanya.

"Cepat pakai jaket ini biar hangat,"

ujar seorang petugas yang memakai topi

pet berwarna hitam. Ia melepaskan jaket

yang dipakainya dan menyerahkannya

kepadaku.

Dibantu Emak, aku dan adik-adikku serta

bapak langsung kenakan jaket yang

diberikannya. Petugas Basarnas itu

kemudian memapah Emak untuk menaiki

Page 49: Enam prajurit ciliwung

49

perahu karet. Masih sempat aku

mendengar Emak yang memohon kepada

petugas untuk membopongku dan adik-

adik ke perahu.

"Kenapa kalian tidak mengungsi?"

tanyanya. Aku bingung untuk mencari

jawaban. Untung Emak cepat mengambil

alih menjawab pertanyaannya.

"Maunya mengungsi tapi kami pikir banjir

tidak akan sebesar ini”. ujar Emak.

"Syukurlah kalian ditemukan, yang penting

sekarang kalian selamat" Petugas dengan

penuh syukur.

Aku dan Emak serta adik-adik langsung

berpelukan dan dihujani ciuman oleh

Emak.

Page 50: Enam prajurit ciliwung

50

MUSA RUSTAM

Dari Pegawai ke Novelis, Dari anak Kampung Pulo ke Tokyo

Musa Rustam, lahir di Jakarta. Yang di panggil oleh teman-

temannya sebagai “anak kali”.

Lahir dari keluarga yang kurang

mampu tidak mengecilkan hatinya untuk selalu berjuang

dan bermimpi, ia amat

menggemari ilmu komputer yang dipelajari secara otodidak,

menjadi seorang PNS adalah

cita-cita Emaknya, mencoba menyebarkan virus

pegawaiprenuer lewat

tulisannya.

Penulis multitalenta ini, pendiri DEEP OF TEEN

Corporate, sebuah perusahaan pembuatan

Merchandise & Souvenir Unik. Pegawai Negeri Sipil

yang sehari-hari bertugas di Kantor Badan Penanggulangan Bencana Daerah Provinsi DKI Jakarta.

Menjadi anggota komunitas bisnis Pandu Wirausaha dan Komunitas Tangan Diatas/TDA Jakarta Selatan

serta beberapa Komunitas Fotografer. Mulai

membuka bisnis DEEP OF TEEN pada 5 November

2010, menjadi Supplier Trans Studio Februari 2011. Mulai mendapatkan beberapa penghargaan dalam

bisnis yaitu ;

Sebagai Finalis Wirausaha Muda Mandiri Regional Jabodetabek kategori Industri Kreatif dari Bank

Mandiri tahun 2011.

Sebagai Finalis Indigo Fellowship kategori Web

Page 51: Enam prajurit ciliwung

51

Application dari PT. Telkom Indonesia tahun

2011. Sebagai Pemenang Kategori Kewirausahaan dalam

International Youth Muslim Creation dari

International Muslim Summit Student di ITB pada Juli 2012.

Juara 3 Lomba Inovasi Bisnis tingkat Nasional

dari Kementerian Pemuda dan Olahraga Republik

Indonesia pada November 2012. Juara 2 Apresiasi Astra Socio Enterprenuer tahun

2012 dari PT. Astra International.

5 besar Esai Terbaik Kompetisi Esai Nasional Gebyar Pemuda Indonesia tahun 2013 di

Universitas Gajah Mada Yogyakarta.

Beberapa buku yang sudah di terbitkan secara self

publishing melalui nulisbuku.com antara lain;

Meraup Ratusan Juta Rupiah dari Bisnis Narsis,

Traveller Photography Anti Teler, dan Menjadi Pegawaiprenuer Sukses.

Menjadi pembicara dan motivator menjadi kekuatan yang diyakini memperkaya kehidupan manusia

dalam beraktivitas dan ini menjadi hobi yang akan

selalu menginspirasinya !!

Penulis dapat dikontak di Twitter @musajkcc