kali ciliwung

29
BAB 1: PENDAHULUAN Latar Belakang Sebagai penduduk kota DKI Jakarta, kita seringkali melihat dan mendengar pemberitaan mengenai masalah-masalah yang meliputi kependudukan di ibukota ini. Salah satu masalah yang seringkali diliput dalam pemberitaan mengenai masyarakat adalah tentang pemukiman warga yang berada di sekitar daerah bantaran kali. Dengan mendengar hal ini saja, tentu kemudian langsung akrab di benak kita berita-berita terdahulu mengenai masyarakat di bantaran Kali Ciliwung, Kampung Melayu, Jakarta Timur. Suatu pemukiman dimana terdapat komunitas besar di dalamnya, yang acap kali menjadi bahan pemberitaan di media dimana selalu menyoroti masalah-masalah yang dihadapi oleh komunitas pemukiman tersebut. Satu permasalahan pokok yang yang selalu dihadapi oleh mereka sejak beberapa tahun yang lalu dan berlangsung hingga kini adalah mengenai kehidupan mereka di pemukiman yang telah mereka tempati selama bertahun-tahun lamanya itu. Daerah bantaran Kali Ciliwung dengan komunitas penduduknya yang relative besar merupakan wilayah yang sangat rawan dengan adanya banjir setiap kali Jakarta diguyur hujan deras. Masyarakat yang tinggal disana selama bertahun-tahun benar-benar sudah biasa, bahkan bisa dibilang sudah akrab dengan fenomena banjir yang meliputi wilayah pemukiman mereka tersebut. Apa yang menjadi penarik perhatian kami sebagai peneliti sehingga sampai pada keputusan untuk melakukan 1

Upload: pipinipil

Post on 27-Dec-2015

43 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

sdbfkjsdf

TRANSCRIPT

Page 1: Kali Ciliwung

BAB 1: PENDAHULUANLatar Belakang

Sebagai penduduk kota DKI Jakarta, kita seringkali melihat dan

mendengar pemberitaan mengenai masalah-masalah yang meliputi

kependudukan di ibukota ini. Salah satu masalah yang seringkali

diliput dalam pemberitaan mengenai masyarakat adalah tentang

pemukiman warga yang berada di sekitar daerah bantaran kali.

Dengan mendengar hal ini saja, tentu kemudian langsung akrab

di benak kita berita-berita terdahulu mengenai masyarakat di bantaran

Kali Ciliwung, Kampung Melayu, Jakarta Timur. Suatu pemukiman

dimana terdapat komunitas besar di dalamnya, yang acap kali menjadi

bahan pemberitaan di media dimana selalu menyoroti masalah-

masalah yang dihadapi oleh komunitas pemukiman tersebut.

Satu permasalahan pokok yang yang selalu dihadapi oleh

mereka sejak beberapa tahun yang lalu dan berlangsung hingga kini

adalah mengenai kehidupan mereka di pemukiman yang telah mereka

tempati selama bertahun-tahun lamanya itu. Daerah bantaran Kali

Ciliwung dengan komunitas penduduknya yang relative besar

merupakan wilayah yang sangat rawan dengan adanya banjir setiap

kali Jakarta diguyur hujan deras. Masyarakat yang tinggal disana

selama bertahun-tahun benar-benar sudah biasa, bahkan bisa dibilang

sudah akrab dengan fenomena banjir yang meliputi wilayah

pemukiman mereka tersebut.

Apa yang menjadi penarik perhatian kami sebagai peneliti

sehingga sampai pada keputusan untuk melakukan penelitian

terhadap komunitas masyarakat bantaran Kali Ciliwung adalah, kami

melihat bahwa masalah ini telah berkembang semakin luas dan

dinamis dimana sekarang permasalahan pemukiman yang selalu kena

banjir ini diikuti dengan upaya pemerintah kota DKI Jakarta yang ingin

memindahkan mereka semua ke bangunan tinggal rumah susun yang

hendak disediakan oleh pihak pemerintah tersebut.

Setelah melakukan sedikit research mengenai gambaran umum

masyarakat bantaran Kali Ciliwung yang bermukim di daerah Kampung

1

Page 2: Kali Ciliwung

Melayu, Jakarta Timur, kami memperoleh informasi bahwa ternyata

masyarakat ini telah seringkali diupayakan oleh pihak pemerintah

untuk pindah ke pemukiman yang menurut pemerintah lebih baik dan

terakomodir dengan baik secara social dan budaya, yaitu bangunan

rumah susun (rusun).

Akan tetapi, sekilas dari informasi hasil sedikit research tidak

langsung yang kami lakukan itu, kami menemukan bahwa masyarakat

bantaran Kali Ciliwung tidak pernah mau menerima usulan upaya dari

pemerintah itu, baik secara individu per rumah tangga maupun

komunitas secara keseluruhan. Pertimbangan-pertimbangan yang

diajukan pemerintah mengenai tingkat kehidupan yang seyogyanya

akan lebih baik dari memilih tetap bermukim di bantaran kali, system

sanitasi yang juga lebih memadai, serta beberapa pertimbangan dalam

lingkup kehidupan lainnya pun tidak menjadi bahan pertimbangan

masyarakat tersebut untuk setidaknya dipikirkan lebih lanjut. Mereka

tetap menolak dan bersikukuh mempertahankan pemukiman mereka

yang saat ini sudah menjadi lahan tempat kehidupan mereka

berlangsung, walaupun tetap menghadapi realita bahwa banjir akan

selalu rawan menyapu wilayah pemukiman mereka.

Untuk itu, kami peneliti memutuskan untuk mengadakan

penelitian di tempat ini, dengan berbekal sedikit gambaran umum

mengenai bentuk permasalahan yang ada, maka kami berniat untuk

mengetahui dan mengobservasi lebih lanjut apakah gerangan

penyebab warga masyarakat bantaran Kali Ciliwung ini tidak mau

berkompromi dengan dinamika yang ditawarkan oleh pihak pemerintah

dalam rangka mengaktualisasikan upaya peningkatan kehidupan

warga DKI Jakarta secara umum.

Pokok Permasalahan

Menurut kami, hal ini sangat menarik dan penting untuk

diangkat menjadi tema penelitian karena sesungguhnya akan banyak

aspek yang bisa ditemukan, ditelaah, dan digali lebih lanjut secara

bersamaan yang belum diketahui, yang berkaitan dengan bagaimana

sebenarnya upaya pemenuhan rasa keadilan dan tentunya bagaimana

2

Page 3: Kali Ciliwung

akses keadilan yang berhak untuk diperoleh masyarakat bantaran Kali

Ciliwung dalam menghadapi masalah yang sangat kompleks ini.

Di lain sisi, penting bagi peneliti khususnya dan kita semua

sebagai warga masyarakat ibu kota Jakarta pada umumnya, untuk

mengetahui dan pada akhirnya memahami bagaimana kehidupan

dinamikan social masyarakat dan aspek hukum yang menyertainya,

dan apakah sudah terakomodir secara memadai bagi warga bantaran

Kali Ciliwung ini. Dalam memulai penelitian ini, kami pun berangkat

dari ketentuan peraturan yang mengatur mengenai hal yang berkaitan

dengan masalah kependudukan masyarakat atau warga bantaran Kali

Ciliwung ini, yaitu mengenai ketertiban umum. Pemerintah kota DKI

Jakarta telah membentuk dan menetapkan Peraturan Daerah Provinsi

Daerah Khusus Ibukota Jakarta No. 8 Tahun 2007, yang didalamnya

mencakup pengaturan mengenai kawasan sungai atau kali yang

seyogyanya tidak boleh didirikan bangunan tempat tinggal dan

pemukiman lain di sekitarnya.

Peraturan ini penting adanya untuk dicermati terkait dengan

upaya-upaya pemerintah untuk menangani permasalahan pemukiman

yang dihadapi oleh warga masyarakat bantaran Kali Ciliwung. Dengan

demikian, peneliti beranggapan bahwa tema penelitian ini sangatlah

menarik untuk dikaji dan ditelusuri secara mendalam, karena melihat

betapa kompleksnya masalah ini berkembang selama beberapa tahun

lamanya, dan hingga kini belum ada solusi nyata sebagai pemecahan

masalah yang mengindikasikan adanya keadilan yang memadai pada

warga masyarakat bantaran Kali Ciliwung.

3

Page 4: Kali Ciliwung

BAB 2: ISIKonsep Akses Keadilan

Akses terhadap keadilan mengacu pada sebuah keadaan dan

proses dimana warga negara mampu mencari dan memperoleh

pemulihan hak-haknya melalui lembaga-lembaga keadilan formal dan

informal sesuai dengan standar hak asasi manusia. Pencapaian

terhadap akses keadilan itu dapat dilakukan dengan menggunakan

beberapa elemen antara lain :1

1. Kerangka normatif ;

2. Kesadaran hukum ;

3. Akses kepada forum yang sesuai ;

4. Penanganan keluhan yang efektif ;

5. Pemulihan hak yang memuaskan ; dan terakhir

6. Terselesaikannya permasalahan-permasalahan kemiskinan,

kelompok tertindas, dan terpinggirkan.

Selanjutnya, akses terhadap keadilan itu meliputi pula :

1. Hak terhadap pelayanan hukum (the rights to legal

representation)

2. Hak terhadap pengadilan yang cepat, mudah, sederhana, dan

berbiaya ringan (the rights to speedy, easily, simple, and low

cost trial)

3. Hak untuk memperoleh informasi hukum (the rights to access

legal information)

4. Hak untuk tidak mendapat perlakuan diskriminatif atas dasar

apapun1 Budi Wignyosukarto, “Akses Terhadap Keadilan” http://budiws.wordpress.com/2008/02/12/akses-terhadap-keadilan/

4

Page 5: Kali Ciliwung

5. Hak untuk mendapat perlindungan dan pelayanan yang baik

ketika dalam masa penahanan dan/atau pemenjaraan

6. Dan hak-hak lain yang dijamin dalam hukum nasional Indonesia.

Akses Keadilan pada Masyarakat Bantaran Kali Ciliwung

Pada masyarakat bantaran kali Ciliwung dapat kita lihat bahwa

akses mereka terhadap keadilan sebenarnya telah tersedia, karena

pemerintah sudah sering mendatangi perkumuhan mereka. Tetapi

pada dasarnya, masyarakat di bantaran kali tidak merasakan keadilan

itu secara sepenuhnya dan seutuhnya. Hal ini dapat dilihat dari

keengganan mereka untuk pindah ke rumah susun yang akan

disediakan oleh pemerintah. Mereka merasa bahwa tawaran

pemerintah untuk memindahkan merek ke rumah susun adalah hal

yang tidak adil. Hal dikarenakan anggapan mereka bahwa kehidupan

di dalam rumah susun akan sangat menyulitkan mereka, baik dari segi

ekonomi, social maupun budaya.

Tentunya mereka merasa takut karena factor ekonomi yang akan

menghambat kehidupan mereka, karena pada dasarnya setiap bulan

mereka harus memberikan uang sewa agar tetap dapat tinggal di

rumah susun.

Dari segi factor social, mereka merasa akan terlalu rumit jika

harus tinggal di daerah rumah susun, karena bentuk dari rumah susun

itu sendiri yang tidak mendukung penghuninya memiliki kenyamanan

dan keamanan yang seutuhnya. Contohnya jika terjadi kebakaran

maka akan mengancam banyak sekali jiwa karena bentuk rumah susun

yang bertingkat, yang tidak memudahkan penghuninya untuk dengan

cepat bisa keluar dari tempat tinggalnya.

Dari segi budaya, mereka tentunya akan merasa kaget sekali

tinggal ditempat yang mungkin aneh menurut mereka karena rumah

terdiri dari bangunan bertingkat dimana mereka harus siap untuk

saling berbagi, baik tempat, privasi, maupun kenyamanan.

5

Page 6: Kali Ciliwung

Sebenarnya warga sudah menyadari bahaya tinggal di daerah

bantaran kali Ciliwung. Namun, mereka tampak tak mempunyai pilihan

lain untuk pindah. Padahal, selama menempati daerah bantaran kali

itu, musibah banjir kerap melanda mereka. Puluhan nyawa manusia

melayang, harta benda pun tak terselamatkan. Tapi tetap saja,

tawaran pemerintah yang akan merelokasi ke sejumlah lahan kosong

milik Badan Penyehatan Perbankan Negara, ditolak mentah-mentah

oleh masyarakat bantaran kali.

Wali Kota Jakarta Timur Murdhani dalam suatu kesempatan

meminta warga yang menempati bantaran Kali Ciliwung pindah ke

rumah susun (rusun) yang disediakan Pemda Jakarta di Cakung Jakarta

Timur dan Cengkareng Jakarta Barat. Tetapi pernyataan Wali Kota itu

ibarat kalimat basi yang selalu disampaikan pejabat Pemda Jakarta. Hal

itu sepertinya juga sudah terpatri dalam benak masyarakat bantaran

kali Ciliwung, seperti tercermin dalam wawancara yang dilakukan oleh

peneliti berikut ini.

Penolakan warga terhadap rumah susun

Warga 1

Ibu Cicih (58 tahun)

Qustion (Q) : Ibu pernah didatengin sama pemerintah?

Answer (A) : Pernah. Waktu itu Pak Fauzi Bowo juga pernah dateng

kesini.

Q : Ngapain bu?

A : nyuruh kita pindah neng.

Q : Trus jawaban ibu apa?

A : ya ga mau.

Q : Kenapa ga mau, Bu?

A : abis disuruhnya pindah ke rumah susun.

Q : Kenapa rumah susun ga mau, Bu?

6

Page 7: Kali Ciliwung

A : abis pegel nanti kalo naik tangga. Maunya kalo dikasih

rumah beneran langsung biar ga perlu capek naik turun

tangga. Lagian biayanya juga mahal nanti tiap bulan

harus bayar. Belom lagi kalo ada kebakaran. Ribet.

Q : Tapi Ibu kan udah beberapa kali ngalamin banjir. Emang

Ibu ga kapok?

A : Kapok mah kapok neng. Tapi apa boleh buat. Kami kan

sudah puluhan tahun tinggal disini. Jika terpaksa harus

pindah, kami meminta ganti rugi yang setimpal.

Warga 2

Bapak Didin (55 tahun)

Q : Bapak pernah ditawarin tinggal di rusun?

A : Pernah.

Q : apakah ada pihak pemerintah yang pernah datang

kesini?

A : Pak walikota udah pernah datang kesini nyuruh kami

pindah ke rumah susun (rusun) yang disediakan Pemda

Jakarta di Cakung Jakarta Timur dan Cengkareng Jakarta

Barat.

Pak Fauzi Bowo juga pernah dateng.

Q : Kenapa Bapak tidak mau pindah ke rusun?

A : soalnya udah banyak neng contoh rusun yang ga sesuai

dengan keinginan warga. Unit rusun malah pindah tangan

ke kelompok orang mampu.

Q : warga lain mau ga sih pak pindah ke rusun?

A :.ya ga mau kalo ganti ruginya ga setimpal.

Warga 3

7

Page 8: Kali Ciliwung

Ibu Ratna (44 tahun)

Q : ibu sudah pernah dengar soal rusun yang diusulin

pemerintah ke warga sini?

A : sering atuh mbak. Mas-mas yang katanya dari DKI sering

pada dateng ke sini, bawa brosur.

Q : biasanya kalo dateng mereka ngapain bu?

A : datengin satu-satu rumah warga sini, nawarin mau kagak

kalo pada pindah aja ke rusun, tar dibikinin katanya.

Pokoknya ya gitu dah. Sering mbak, saya aja udah 4 kali

didatengin waktu itu.

Q : maaf bu, katanya tar dibikinin? Jadi rusunnya juga

sebenarnya belum jadi, begitu maksudnya bu?

A : lah iya neng (sambil dibarengi tertawa kecil). Bawa

brosur aja masnya itu, ada gambarnya juga.

Q : tapi sebenarnya ibu sendiri mau gak sih pindah ke rusun?

Kan katanya rusun yang mau dibuat sama pemerintah

nanti itu bagus bu, gak kena banjir lagi.

A : gak mau mbak. Kita disini sih udh sering dipaksa-paksa,

tapi kita semua bilang mendingan tetap di sini aja. Kalo di

rusun tar, oalah, bayarnya mau berapa lagi. Gak punya

duit saya mbak.

Q : selain itu ada lagi nggak bu? Rusun gratis misalnya?

A : belom tau deh kalo gratis mau pindah ato nggak. Tapi

pemerintah mah gitu mbak, kali ini aja dari dulu katanya

mau dibenerin, eh gak jadi-jadi juga. Tar rusunnya gitu

juga kali ya neng? Hehehe...

Forum Penyelesaian sengketa yang Dimiliki

Ibu Endang (35 tahun), staf RT 04

8

Page 9: Kali Ciliwung

Q : di kampung sini ada perkumpulan masyarakat ga sih bu?

A : buat apa neng?

Q : buat kalo ada masalah uang terjadi atau untuk forum

masyarakat sebagai pembela aspisari masyarakat waktu

nggak mau digusur sama pemerintah?

A : oh. Iya ada neng. Namanya Sanggar Ciliwung.

Q : biasanya tugasnya ngapain aja Bu?

A : biasanya masing-masing ketua RT pada dateng kesana

tiap bulan sekali. Ngomongin masalah pemberdayaan

masyarakat sama buat peraturan-peraturan buat

menjaga kesejahteraan masyarakat.

Q : ibu pernah dateng kesana?

A : pernah neng.

Q : ibu ngapain disana?

A : ibu ikutan diskusi masalah rusun, sama pemanfaatan

lingkungan.

Seperti sudah diatur, jauh sebelumnya, Gubernur Jakarta Fauzi

Bowo pun membuat pernyataan serupa. Pak Gubernur mengaku

pusing tujuh keliling mengatasi persoalan warga yang tinggal di

bantaran kali. Saking pusingnya, Fauzi Bowo mencoba meniru gaya

kepemimpinan Sutiyoso: mengancam akan mengambil tindakan tegas

pada warga penghuni bantaran kali yang menolak relokasi ke rumah

rusun.

Para pejabat Pemda Jakarta sepertinya menyadari satu hal

penting, bahwa memindahkan warga untuk tinggal di rusun bukan

perkara mudah. Persoalannya tidak sesederhana itu. Tidak hanya

dengan menggiring warga untuk bedol desa ke rusun yang menjulang

tinggi. Akan banyak benturan masalah yang terjadi apabila hanya

sekedar mengambil solusi dengan menerapkan upaya ini. pemerintah

harus melihat langsung dan benar-benar memahami kesulitan-

9

Page 10: Kali Ciliwung

kesulitan yang dirasakan oleh warga masyarakat bantaran Kali

Ciliwung itu.

Peneliti berhasil menemukan fakta itu di lapangan, melalui

wawancara lain dengan salah satu warga masyarakat bantaran.

Ditambah pula, banyak contoh pembangunan rusun bagi

keluarga miskin di ibu kota yang belakangan ternyata keliru. Unit rusun

itu secara perlahan tetapi pasti ternyata pindah tangan ke kelompok

menengah atas. Bahkan, sejumlah rusun belakangan malah menjadi

ajang bisnis para calo yang menawarkan rusun yang letaknya di

tengah kota. Sebut saja Rusun Bendungan Hilir (Benhil) II yang hampir

separuhnya malah kini dihuni warga berdasi. Lokasi parkir di sana

dipadati mobil-mobil mewah. Padahal ketika Gubernur Surjadi

Soedirdja membangun Rusun Benhil II, dia menekankan bahwa rusun

itu untuk warga setempat.

Warga masyarakat yang bermukim di bantaran Kali Ciliwung

ternyata tidak begitu suka mendengar hal-hal yang berkaitan dengan

pengendalian banjir. Ada dua faktor yang memicu ketidaksukaan

warga. Pertama, program pengendalian banjir dikhawatirkan akan

menggusur tempat tinggal mereka. Perlu diketahui bahwa banyak

warga yang telah mendiami wilayah itu selama bertahun-tahun dan

tentunya sekarang ini dapat diistilahkan tidak sudi untuk dianjurkan

pindah ke wilayah lan, dengan pemukiman yang bentuk dan

suasananya asing sama sekali dari tempat kediaman yang sekarang.

Kedua, janji-janji pemerintah untuk membenahi bantaran Kali Ciliwung

tidak pernah terwujud.

Warga kecewa terhadap Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, karena

pada satu sisi menakuti warga dengan rencana-rencana. penggusuran.

Di sisi lain, mereka wring dijejali janji-janji kosong tentang

pembenahan bantaran Kali Ciliwung. Menurut para warga bantaran

kali, pemerintah DKI Jakarta sudah pernah merencanakan

pembangunan tembok sepanjang Kali Ciliwung untuk menghindari pen-

dangkalan. Juga direncanakan program penghijauan di sepanjang

bantaran kali Ciliwung untuk menghindari penggerusan dinding sungai.

10

Page 11: Kali Ciliwung

Pandangan skeptis warga diperlihatkan ketika berhadapan

dengan pewanwancara. Tidak mengherankan, jika pewawancara juga

disambut sikap skeptis, seperti yang terlihat dalam wawancara di atas.

Semi Autonomous Social Field

Seperti yang telah diungkapkan sebelumnya di dalam

wawancara dengan salah satu warga telah diungkapkan bahwa adanya

sebuah perkumpulan komunitas warga untuk dapat menyuarakan

aspirasinya. Nama SASF ini adalah Sanggar Ciliwung. Sanggar Ciliwung

telah memberanikan diri untuk mengumpulkan kembali komunitas-

komunitas masyarakat di bantaran kali Ciliwung untuk dapat

menyelesaikan permasalahan yang mereka alami. Tetapi kehadirannya

selalu disangkal, dianggap sampah, dan yang lebih parah dicap

sebagai penyakit sosial yang harus dimusnahkan. Penyangkalan ini

mewujud pada berbagai usaha untuk mengusir, menggusur, dan

membatasi akses mereka atas penghidupan layak, pendidikan,

kesehatan, rasa aman, kebebasan berpendapat dan berkumpul. Hal-

hal yang seharusnya didapatkan oleh setiap anak di belahan bumi

manapun karena itu adalah hak yang melekat. Mereka lahir dari rahim

kemiskinan. Mereka adalah ampas pembangunan-isme yang telah

membius Indonesia dan banyak negara dunia ketiga selama berpuluh

tahun. Tetapi selalu saja anak-anak pinggiran dipersalahkan, dianggap

malas, nakal, dan mengganggu ketertiban. Tidak ada usaha tulus

untuk merangkul mereka keluar dari keterbatasan. Yang ada hanya

proyek-proyek yang dikerjakan setengah hati. Keterbatasan dan

keterpinggiran bukanlah takdir dan nasib yang datang begitu saja.

Keterbatasan dan keterpinggiran adalah akibat budaya global dan

struktur pembangunan yang tidak adil dan memiskinkan. Keterbatasan

dan keterpinggiran hanya bisa diselesaikan dengan merombak cara

pandang dan struktur yang lebih adil untuk semua orang.

Saat ini, kita tidak bisa berharap keadilan tersaji seketika di

depan mata. Hak harus dituntut, kesempatan harus direbut, bukan

11

Page 12: Kali Ciliwung

dengan kekerasan tapi dengan cara yang bermartabat. Sanggar

Ciliwung menjadi pembuktian bahwa anak-anak pinggiran adalah

manusia-manusia cerdas, kreatif, dan penuh potensi yang siap

memimpin Indonesia menjadi bangsa merdeka dan bermartabat.

Sanggar ini menjadi langkah awal bagi komunitas anak pinggiran untuk

bergandeng tangan dan merapatkan barisan merebut hak yang telah

sekian lama terenggut.

Sanggar Ciliwung adalah sebuah sanggar kecil di mana

masyarakat bantaran kali, mulai dari anak-anak, remaja, sampai orang

tua, bisa beraktualisasi secara kreatif.

Saat menyusuri Jembatan Tong Tek menuju sanggar itu dari

arah

Terminal Kampung Melayu, tampaklah beragam perkakas bekas,

seperti

lemari, meja, dan kursi kayu, di kanan kiri jembatan. Dari gang kecil

di samping terminal Kampung Melayu di ujung

jembatan tampaklah permukiman padat Kampung Melayu Kecil yang

diapit Kali Ciliwung dan rel kereta api Stasiun Tebet.

Suasana gang amat riuh. Anak-anak kecil berlarian sepanjang

gang, sementara warga Kampung Melayu Kecil yang umumnya tinggal

di rumah-rumah petak berukuran sempit, siang itu, duduk mengobrol

di depan rumah.

Kawasan itu dulu dikenal sebagai kawasan bramacorah,

kawasan "hitam", yang setiap tahun ada saja rumah warga yang

hanyut

dibawa banjir. Penduduk dengan cepat mengenali orang yang baru

pertama bertandang ke sana.

SANGGAR yang berdiri persis di tepian Kali Ciliwung itu berupa

rumah tingkat berpagar kayu. Sanggar berukuran 7 x 8 meter itu

sebagian besar menggunakan kayu kamper dengan dinding batu bata

yang tidak dilapisi semen. Lantai satu yang merupakan ruangan luas

12

Page 13: Kali Ciliwung

menjadi arena belajar dan bermain anak-anak, sekaligus tempat warga

berkumpul. Dari teras belakang tampak derasnya arus Kali Ciliwung.

    Lantai dua menjadi ruang tamu, perpustakaan, ruang kerja, dan

dapur. Lantai tiga yang memanfaatkan ruang kecil di atap antara lain

menjadi tempat sembahyang para relawan Sanggar Ciliwung dari

berbagai

kalangan: Islam, Buddha, Kristen, maupun Katolik. Ruang lainnya di

lantai yang sama dimanfaatkan untuk menyimpan barang-barang

bantuan

banjir atau sablonan kaus.

Bangunan Sanggar Ciliwung resmi berdiri pada 13 Agustus 2000,

diawali dari cuti sabatikal mantan Direktur Institut Sosial Sandyawan

Sumardi SJ tahun 1999 ketika kejenuhan mulai mengimpitnya. Ia

memilih "menyepi", merefleksikan aksinya, dan mendalami spiritualitas

dengan mengontrak rumah yang nyaris roboh, di gang yang

dikenalnya

saat membantu korban banjir.

Begitu ada aktivitas, rumah kontrakan yang dapurnya hanyut

saat

banjir itu pun dibeli Sandyawan dari honor berceramah dan menulis

kata pengantar buku. Ketika seorang teman berniat membantu

pembangunan rumah, Sandyawan berkonsultasi dengan warga sekitar.

Dengan persetujuan warga, rumah itu lalu menjadi arena berkumpul

anak-anak dan remaja Kampung Melayu. De facto, inilah ruang publik

terbesar di kawasan itu.

Program-program pendidikan pun mulai disusun untuk anak-

anak

warga Kampung Melayu. Setiap hari, seusai pulang sekolah-dari Senin

hingga Minggu, anak-anak diajar menggambar, matematika, sastra,

bahasa Inggris, olah vokal, seni kriya, menulis buku harian, bermain

musik, membaca dan mendongeng, juga bermain teater.

      SANGGAR Ciliwung benar-benar menjadi rumah terbuka, menjadi

tempat warga berkumpul mendiskusikan persoalan hidup mereka,

13

Page 14: Kali Ciliwung

bahkan

menjadi posko banjir dan kebakaran. Solidaritas warga pun makin

mengental.

Dengan bantuan warga masyarakat kali Ciliwung bisa

dikumpulkan bahan material untuk membangun 14 rumah. Warga

sekitar bersedia bergotong royong membangun. Bahkan, seorang ibu,

koordinator koperasi di sini yang akan mendapat bantuan, justru

menolak. Dia bilang, bantuan

dikumpulkan saja supaya bisa didistribusikan dengan benar.

Rumahnya

sudah hanyut tenggelam, namun ibu itu masih memikirkan orang

lain.    Atas bantuan arsitek-arsitek muda, mushala pun turut

diperbaiki

dan menjadi cantik di tengah "kumuhnya" perkampungan. Tiga sarana

mandi cuci kakus (MCK) besar dengan masing-masing empat kamar

mandi

juga diwujudkan dengan saling bekerja sama.

       Kampung Melayu yang semula dikenal sebagai daerah preman,

daerah laki- laki bertato dan sangar, perlahan mulai pupus. Remaja-

remaja bertato itu kini rajin menyablon. Home industry sablon atau

membuat kertas daur ulang mulai terlihat di beberapa rumah.

       Dengan membantu orang lain, mereka merasa berguna dan

memiliki arti hidup karena dapat berbuat sesuatu untuk sesamanya.

Kalau saja sanggar-sanggar yang "menggarap" masyarakat basis

seperti ini muncul di wilayah lain di Indonesia, alangkah tenteram dan

sejahteranya warga. Apalagi, kuncinya sederhana: memanusiakan

manusia.

Pertimbangan dalam pelaksanaan kerja tim warga, yaitu:

o Bahwa program tersebut merupakan alternatif solusi yang paling bisa

kita kerjakan secara bersama-sama (gotong royong) untuk menjawab

keprihatinan (persoalan) kita bersama. Sehingga manfaat dari program

ini bisa dirasakan bersama dan juga dijaga / dikelola bersama, bukan

personal / perseorangan.

14

Page 15: Kali Ciliwung

Kelima program tersebut merupakan gerakan bersama berbasis

lingkungan hidup, yang meliputi:

Pendidikan

Yang dimaksud disini adalah pendidikan berbasis lingkungan hidup.

Sederhananya, pendidikan menjadi media bagi anak-anak dan remaja

untuk mengenali secara mendalam (belajar) lingkungan hidup sendiri.

Diharapkan anak-anak dan remaja bisa memperbaiki pola hidupnya

agar ramah dan cinta dengan lingkungannya sendiri. Jadi, tidak

mengadakan sekolah formal seperti jenjang sekolah yang ada. Dalam

pertemuan yang lalu juga terungkap pentingnya ruang belajar /

bermain untuk anak, karena anak-anak selama ini lebih banyak

menggunakan jalanan. Serta diharapkan bisa diterapkan waktu (jam)

belajar diwilayah bantaran kali ini. Namun untuk persisnya rencana

kerja pendidikan, silakan nanti tim kerja terpilih mengonsep itu

bersama-sama dengan tim kerja dari RT lain, termasuk dengan

pendamping dari Sanggar Ciliwung.

Air Bersih

Merupakan media untuk membangun kesadaran bersama tentang

pentingnya air bersih, dengan mengenali secara mendalam

kandungan-kandungan di dalamnya agar proposional bagi pemenuhan

kesehatan bersama. Dengan demikian warga bisa mengelola dan

menjaga secara kolektif (bersama) sumber air bersih dan

penggunaannya. Program ini sifatnya untuk memenuhi kebutuhan

bersama, bukan pribadi (privat). Bagaimana bentuk dan teknis

kerjanya seperti apa, tim kerja terpilih mengonsep itu bersama-sama

dengan tim kerja dari RT lain, termasuk dengan pendamping dari

Sanggar Ciliwung.

Pengolahan sampah

Merupakan media untuk membangun kesadaran bersama tentang

baik-buruknya sampah dalam keterkaitannya dengan kehidupan

15

Page 16: Kali Ciliwung

masyarakat, khususnya di lingkungan bantaran kali. Diharapkan bisa

terbangun kesadaran bersama, sehingga terwujud perilaku hidup yang

baru, yang ramah terhadap sampah kita. Karena pada dasarnya kita

hidup tidak bisa lepas dari sampah. Jadi sederhananya, sudah saatnya

kita belajar ”mengubah sampah menjadi berkah”. Bagaimana bentuk

dan teknis kerjanya, tim kerja terpilih mengonsep itu bersama-sama

dengan tim kerja dari RT lain, termasuk dengan pendamping dari

Sanggar Ciliwung.

Dalam pelaksanaannya, pengolahan sampah jelas membutuhkan lahan

yang lumayan luas. Berkaitan dengan hal ini, saya berharap warga bisa

membantu mencari lahan disekitar kita yang memungkinkan untuk

pengolahan sampah ini.

Perbaikan Gizi

Merupakan media untuk membangun kesadaran bersama tentang

pentingnya hidup sehat, secara khusus bagi kesehatan Ibu (usia

produktif) dan Anak. Perlu diketahui juga, saya berharap dengan

adanya program ini tidak bermaksud mengambil alih / menggantikan

peranan Posyandu yang selama ini ada di wilayah bantaran kali. Tetapi

justru menguatkan dari yang sudah ada. Bentuk dan teknis kerjanya,

tim kerja terpilih mengonsep itu bersama-sama dengan tim kerja dari

RT lain, termasuk dengan pendamping dari Sanggar Ciliwung.

Kesehatan Warga

Merupakan media untuk membangun kesadaran bersama tentang

pentingnya hidup sehat, secara sederhana sesuai dengan potensi dan

kempuan yang ada pada masyarakat (swadaya kesehatan). Telah kita

ketahui bersama, bahwa sakit itu mahal obatnya. Bahkan bisa

dikatakan, bahwa di Jakarta ini ”orang miskin dilarang sakit”.

Sederhananya, lebih baik mencegah dari pada mengobati.

Bentuk dan teknis kerjanya, tim kerja terpilih mengonsep itu bersama-

sama dengan tim kerja dari RT lain, termasuk dengan pendamping dari

Sanggar Ciliwung".

16

Page 17: Kali Ciliwung

BAB 3: PENUTUPAnalisa dan Kesimpulan

Bagi kota Jakarta, kemiskinan yang identik dengan kekumuhan

dianggap sebagai beban kota. Mulai dari penghuni bantaran kali

sampai pedagang kaki lima, misalnya, disingkirkan. Penggusuran,

pembakaran, dan operasi yustisi terhadap kaum miskin mencerminkan

paradigma yang diambil Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam

memecahkan persoalan kemiskinan di kota. Jakarta memerangi

kekumuhan dengan "menyembunyikan kemiskinan di bawah karpet".

Penanganan kaum miskin kota Jakarta, yang menjadi contoh bagi kota

lain dalam menangani persoalan yang sama, adalah bukti bahwa kaum

miskin kota belum memiliki ruang untuk ikut terlibat dalam

pengelolaan kota. Karena itu, solusi yang dipilih seharusnya adalah

tidak menempatkan kaum miskin sebagai sumber masalah, melainkan

sebagai bagian dari pengembangan kota.

Berdasarkan penelitian dan wawancara yang dilakukan di lapangan,

kami peneliti berusaha untuk menganalisa bentuk permasalahan dan

konsep pemenuhan akses terhadap keadilan yang terdapat di dalam

kehidupan warga masyarakat bantaran Kali Ciliwung. Seperti yang

telah diketahui oleh seluruh masyarakat di Jakarta ini secara umum,

daerah bantaran kali Ciliwung tidak pernah lepas dari masalah banjir

yang melanda apabila hujuan deras mengguyur daerah tersebut.

Selama bertahun-tahun mereka hidup dengan kondisi demikian, dan

telah menjadi sesuatu yang dimaklumi bagi warga tersebut apabila

lagi-lagi fenomena banjir datang dan menyusahkan mereka. Di sisi lain,

pihak pemerintah berargumen bahwa hal itu dikarenakan juga oleh

andil warga yang tidak memperhatikan dan memelihara lingkungannya

17

Page 18: Kali Ciliwung

dengan baik, salah satunya yaitu membuang sampah sembarangan ke

kali, sehingga apabila hujan deras datang mau tidak mau banjir juga

turut menyertainya. Dengan demikian pemerintah beranggapan adalah

lebih baik apabila solusi dari masalah ini berupa pemindahan seluruh

warga dari wilayah banjir tersebut ke tempat yang lebih baik dan

permanen, yaitu rumah susun (rusun). Mulailah pemerintah

mengupayakan hal tersebut dengan memperkenalkan ide tinggal di

rumah susun kepada warga, disertai dengan persuasi bahwa kiranya

mereka akan memperoleh tingkat kehidupan yang lebih baik apabila

mendiami tempat tinggal yang permanen dan dipastikan bebas dari

gangguan banjir yang selama ini selalu dihadapi sebagai masalah

utama warga. Tujuan dari upaya pemerintah ini antara lain untuk

memuluskan kegiatan penertiban umum wilayah kota Jakarta yang

bebas dari pemukiman liar dan membangun tata ruang kota yang

didasarkan perencanaan. Upaya pemerintah ini tidak akan terlaksana

jika warga masyarakat bantaran Kali Cliliwung sendiri tidak kooperatif

dan mendukung. Program merusunkan masyarakat miskin sepertinya

merupakan kebijakan yang pro rakyat. Tentunya warga masyarakat

bantaran Kali Ciliwung akan sangat senang apabila mereka diboyong

untuk mendiami hunian baru berupa rumah tinggal permanen yang

bebas banjir, dimana sebelumnya hanya tinggal di rumah kecil atau

bedeng biasa. Namun, jika dilihat lebih jauh, sangat boleh jadi program

rumah susun yang digalakkan oleh pemerintah ini tidak lebih dari

viktimisasi tersembunyi, yakni menjadikan masyarakat miskin korban

banjir sebagai tersangka tunggal. Benar masyarakat miskin punya

andil karena telah menempati daerah aliran sungai sebagai tempat

tinggal. Tetapi berapa persenlah kiranya kaum tidak mampu ini

berperan dan memiliki andil dalam mereduksi ruang terbuka hijau

(RTH) yang kini hanya tersisa 9,38 persen dari total luas wilayah

Jakarta? Masyarakat kaya, yang mendiami area-area strategis, jauh

lebih signifikan andilnya bagi kemerosotan RTH dan tragedi banjir

Jakarta. Perilaku mereka tidak ada bedanya dengan warga masyarakat

miskin yang mendiami bantaran Kali Ciliwung. Mereka sama-sama

melakukan vandalisme terhadap lingkungan Jakarta. Yang

membedakan, masyarakat miskin, karena kemiskinannya,

18

Page 19: Kali Ciliwung

mengeksplorasi bantaran kali. Sedangkan masyarakat kaya melakukan

vandalisme terhadap lingkungan Jakarta karena ketamakannya.

Bentuknya, ketika mereka menghabiskan luas tanah hanya untuk

mendirikan rumah/bangunan lain, yang seharusnya disisakan 30

persen untuk RTH, sesuai dengan prinsip surat izin mendirikan

bangunan (IMB).

Jadi, pembangunan seribu menara rumah susun secara politis

merupakan bentuk stigmatisasi pemerintah bahwa seolah-olah

masyarakat miskin yang mendiami bantaran Kali Ciliwung adalah

penyebab tunggal terjadinya banjir di Jakarta. Ini jelas sangat

diskriminatif dan tidak adil. Seharusnya masyarakat kaya yang rumah

dan bangunannya tidak ramah lingkungan juga harus dipersoalkan

(rumahnya dibongkar). Bahkan, seiring menyusutnya jumlah RTH,

Pemerintah DKI telah terbukti mengubah peruntukan tanah. Area yang

semula RTH kemudian disulap menjadi pusat belanja dan hunian

mewah demi mengejar target Jakarta memiliki 200 pusat belanja,

layaknya Singapura. Terendamnya jaringan serat optik PT Telkom yang

melumpuhkan 70 ribu akses telepon adalah contoh telanjang betapa

pembangunan hunian mewah (apartemen) yang terletak di belakang

PT Telkom merupakan vandalisme serius karena telah menciutkan

Sungai Krukut (semula lebar Sungai Krukut 16 m, kini tinggal 4 meter).

Tetapi anehnya, hunian mewah tersebut hingga kini menjadi proyek

yang eksis dan tak tersentuh pemerintah.

Lebih dari itu, tanpa skema yang partisipatif dan akomodatif bagi

masyarakat miskin, secara sosial, ekonomi, bahkan budaya, program

rumah susun itu tidak akan berfungsi efektif. Alih-alih, rumah susun

tersebut malah diborong masyarakat kaya sebagaimana fenomena

yang terjadi saat ini, misalnya rumah susun Tanah Abang. Minimal ada

dua alasan yang menguatkan dugaan tersebut.

Pertama, secara regulasi (peraturan pemerintah), saat ini tidak ada lagi

hak milik terhadap rumah susun di Indonesia, melainkan hak sewa.

Sementara itu, di pasaran, tarif sewa rumah susun saat ini minimal Rp

500 ribu per bulan. Itu belum termasuk tagihan rekening listrik dan

19

Page 20: Kali Ciliwung

tagihan air PDAM. Asumsikan tagihan kedua komoditas publik itu

masing-masing Rp 50 ribu, maka pengeluaran rata-rata minimal

penghuni rumah susun adalah Rp 600 ribu per bulan. Dari mana

masyarakat miskin tersebut mendapatkan uang sebanyak itu hanya

untuk membayar ongkos tempat tinggal? Bahkan dari wawancara yang

peneliti lakukan, masih banyak masyarakat yang pekerjaannya tidak

tetap alias serabutan. Jadi, kalau pemerintah merelokasi mereka untuk

tinggal di rumah susun, praktis mereka tidak akan mampu

membayarnya. Kemampuan membayar mereka tidak akan memadai

untuk membayar biaya akomodasi rumah susun.

Kedua, persoalan budaya yang tidak sejalan. Mereka sudah terbiasa

tinggal di rumah yang menapak di atas tanah, sekalipun di pinggir kali,

kemudian tiba-tiba akan diboyong untuk menempati rumah yang

modelnya menyundul langit (vertikal). Manusia bukan barang, bukan

binatang, yang bisa seenaknya dipindah-pindahkan. Pemerintah tidak

cukup hanya memindahkan fisik mereka dari bantaran kali menuju

bantaran langit (rumah susun) tanpa memfasilitasi proses perubahan

psikologi, sosial, dan kulturalnya.

Pemerintah tentunya tidak ingin dianggap peduli saja, tanpa aksi

konkret untuk menyelamatkan masyarakat miskin yang menjadi

korban banjir atau korban pembangunan lainnya. Pemerintah

seharusnya membuat komitmen terlebih dahulu kepada publik,

bagaimana model pembayaran dan besaran harga rumah susun

tersebut. Jika menggunakan mekanisme pasar yang berlaku seperti

sekarang, akan benar-benar mustahil bagi warga masyarakat tersebut

untuk berkesempatan mendiami rumah susun itu. Bahkan mungkin

hanya mimpi. Alih-alih, seribu rumah susun itu akan jatuh ke tangan

kaum berduit. Bagaimana dengan ide menggratiskan seratus persen

rumah susun tersebut? Rasanya juga kurang kondusif, karena akan

mengecilkan rasa kepemilikan bagi penghuni rumah susun. Besaran

harga dan mekanisme pembayaran yang partisipatif dan akomodatif

dengan pendapatan alias kemampuan membayar warga masyarakat

20

Page 21: Kali Ciliwung

bantaran Kali Ciliwung mungkin merupakan jalan tengah yang paling

adil.

Lebih dari itu, jika pemerintah memang serius dan konsisten untuk

menyelamatkan Jakarta dan kota lain di Indonesia dari terjangan banjir,

seharusnya bukan hanya masyarakat miskin yang diuber-uber.

Masyarakat kaya yang terbukti melakukan vandalisme juga harus

"dirusunkan" (membuat rumah yang ramah lingkungan). Pemerintah

seharusnya melakukan audit bangunan terhadap seluruh bangunan di

DKI Jakarta, apakah bangunan tersebut ber-IMB. Dan jika ber-IMB,

apakah bangunan itu memenuhi ketentuan di dalam IMB, misalnya

menerapkan aturan 30 persen untuk RTH. Oknum pemerintah provinsi

yang diduga kuat/terbukti menjualbelikan surat IMB atau melakukan

alih fungsi lahan harus ditindak tegas.

Pilihan rumah susun sebagai alternatif tempat tinggal, dari sisi

pengelolaan tata ruang, sebenarnya merupakan pilihan yang tepat.

Rusaknya tata ruang di Jakarta dan kota-kota besar lain di Indonesia

justru karena pilihan pengembangannya menyamping (horizontal),

bukan naik ke atas (vertikal). Di kota-kota besar lain di dunia, yang

tingkat keberadaban kotanya di atas Jakarta, hampir semua hunian

mengarah ke atas. Di luar negeri hanya sebagian kecil masyarakat

kaya yang mampu mendiami rumah konvensional, tapi mereka harus

membayar pajak sangat tinggi. Banjir di Jakarta seharusnya

menumbuhkan kesadaran baru bagi pemerintah untuk memfasilitasi

dan mengembangkan pola tata ruang yang memenuhi pakem, bukan

lagi "tata uang" yang didominankan.

Dalam kurun 2000-2006, Pemda Jakarta telah mengeluarkan lebih dari

Rp 1 triliun untuk membangun rusun. Dengan anggaran sebanyak itu

ternyata Pemda Jakarta telah gagal membangun rusun yang didirikan

untuk keluarga miskin. Subsidi yang diberikan bagi keluarga miskin

malah dinikmati golongan masyarakat menengah ke atas.

Melihat lagi lebih jauh, satu hal yang sering dilupakan Pemda Jakarta

dalam upaya merumahsusunkan warga bantaran kali adalah Pemda

21

Page 22: Kali Ciliwung

Jakarta juga harus mempersiapkan mental penghuninya untuk

memasuki kultur yang baru yang belum pernah mereka alami

sebelumnya. Pemda selama ini hanya mempersiapkan fisik bangunan

semata. Bagi warga yang harus dirumahsusunkan perlu ada bimbingan

pra-konstruksi dan pasca-kontruksi, dan itu merupakan syarat mutlak

agar kelompok masyarakat tidak mengalami gegar budaya (cultural

schock).

Pemda Jakarta seharusnya sadar bahwa konsep peremajaan kawasan

di bantaran kali di kota besar tidak berdiri sendiri. Harus dilihat secara

keseluruhan, tidak hanya membangun rumah susun sebagai tempat

tinggal saja. Mungkin Pemda Jakarta memadukan program rusun

dengan Program Tribina yang dulu pernah dilakukan oleh Pemda

Jakarta. Program Tri Bina meliputi bina lingkungan, bina usaha, dan

bina manusia. Program ini adalah salah satu langkah membenahi

lingkungan sekaligus manusia penghuninya. Dalam program ini

dipikirkan pula aspek modal sebagai penggerak perekonomian

keluarga miskin. Jangan sampai ketika mereka dipindahkan ke rusun

yang layak dan lebih baik, mereka kehilangan mata pencaharian yang

dulu didapatkan, misalnya di bantaran kali.

Singkat kata, upaya Pemda Jakarta untuk merumahsusunkan warga

penghuni bantaran kali di Ibu Kota tidak seperti memindahkan barang.

Ingat penghuni bantaran kali memiliki penghayatan sendiri akan

kehidupannya dan penghayatan itu tidak dapat dianggap lebih rendah

atau tidak normal. Jangan mentah-mentang mereka kelompok keluarga

miskin maka Pemda bisa sesuka hati merelokasi mereka ke rusun.

22