Download - Kali Ciliwung
BAB 1: PENDAHULUANLatar Belakang
Sebagai penduduk kota DKI Jakarta, kita seringkali melihat dan
mendengar pemberitaan mengenai masalah-masalah yang meliputi
kependudukan di ibukota ini. Salah satu masalah yang seringkali
diliput dalam pemberitaan mengenai masyarakat adalah tentang
pemukiman warga yang berada di sekitar daerah bantaran kali.
Dengan mendengar hal ini saja, tentu kemudian langsung akrab
di benak kita berita-berita terdahulu mengenai masyarakat di bantaran
Kali Ciliwung, Kampung Melayu, Jakarta Timur. Suatu pemukiman
dimana terdapat komunitas besar di dalamnya, yang acap kali menjadi
bahan pemberitaan di media dimana selalu menyoroti masalah-
masalah yang dihadapi oleh komunitas pemukiman tersebut.
Satu permasalahan pokok yang yang selalu dihadapi oleh
mereka sejak beberapa tahun yang lalu dan berlangsung hingga kini
adalah mengenai kehidupan mereka di pemukiman yang telah mereka
tempati selama bertahun-tahun lamanya itu. Daerah bantaran Kali
Ciliwung dengan komunitas penduduknya yang relative besar
merupakan wilayah yang sangat rawan dengan adanya banjir setiap
kali Jakarta diguyur hujan deras. Masyarakat yang tinggal disana
selama bertahun-tahun benar-benar sudah biasa, bahkan bisa dibilang
sudah akrab dengan fenomena banjir yang meliputi wilayah
pemukiman mereka tersebut.
Apa yang menjadi penarik perhatian kami sebagai peneliti
sehingga sampai pada keputusan untuk melakukan penelitian
terhadap komunitas masyarakat bantaran Kali Ciliwung adalah, kami
melihat bahwa masalah ini telah berkembang semakin luas dan
dinamis dimana sekarang permasalahan pemukiman yang selalu kena
banjir ini diikuti dengan upaya pemerintah kota DKI Jakarta yang ingin
memindahkan mereka semua ke bangunan tinggal rumah susun yang
hendak disediakan oleh pihak pemerintah tersebut.
Setelah melakukan sedikit research mengenai gambaran umum
masyarakat bantaran Kali Ciliwung yang bermukim di daerah Kampung
1
Melayu, Jakarta Timur, kami memperoleh informasi bahwa ternyata
masyarakat ini telah seringkali diupayakan oleh pihak pemerintah
untuk pindah ke pemukiman yang menurut pemerintah lebih baik dan
terakomodir dengan baik secara social dan budaya, yaitu bangunan
rumah susun (rusun).
Akan tetapi, sekilas dari informasi hasil sedikit research tidak
langsung yang kami lakukan itu, kami menemukan bahwa masyarakat
bantaran Kali Ciliwung tidak pernah mau menerima usulan upaya dari
pemerintah itu, baik secara individu per rumah tangga maupun
komunitas secara keseluruhan. Pertimbangan-pertimbangan yang
diajukan pemerintah mengenai tingkat kehidupan yang seyogyanya
akan lebih baik dari memilih tetap bermukim di bantaran kali, system
sanitasi yang juga lebih memadai, serta beberapa pertimbangan dalam
lingkup kehidupan lainnya pun tidak menjadi bahan pertimbangan
masyarakat tersebut untuk setidaknya dipikirkan lebih lanjut. Mereka
tetap menolak dan bersikukuh mempertahankan pemukiman mereka
yang saat ini sudah menjadi lahan tempat kehidupan mereka
berlangsung, walaupun tetap menghadapi realita bahwa banjir akan
selalu rawan menyapu wilayah pemukiman mereka.
Untuk itu, kami peneliti memutuskan untuk mengadakan
penelitian di tempat ini, dengan berbekal sedikit gambaran umum
mengenai bentuk permasalahan yang ada, maka kami berniat untuk
mengetahui dan mengobservasi lebih lanjut apakah gerangan
penyebab warga masyarakat bantaran Kali Ciliwung ini tidak mau
berkompromi dengan dinamika yang ditawarkan oleh pihak pemerintah
dalam rangka mengaktualisasikan upaya peningkatan kehidupan
warga DKI Jakarta secara umum.
Pokok Permasalahan
Menurut kami, hal ini sangat menarik dan penting untuk
diangkat menjadi tema penelitian karena sesungguhnya akan banyak
aspek yang bisa ditemukan, ditelaah, dan digali lebih lanjut secara
bersamaan yang belum diketahui, yang berkaitan dengan bagaimana
sebenarnya upaya pemenuhan rasa keadilan dan tentunya bagaimana
2
akses keadilan yang berhak untuk diperoleh masyarakat bantaran Kali
Ciliwung dalam menghadapi masalah yang sangat kompleks ini.
Di lain sisi, penting bagi peneliti khususnya dan kita semua
sebagai warga masyarakat ibu kota Jakarta pada umumnya, untuk
mengetahui dan pada akhirnya memahami bagaimana kehidupan
dinamikan social masyarakat dan aspek hukum yang menyertainya,
dan apakah sudah terakomodir secara memadai bagi warga bantaran
Kali Ciliwung ini. Dalam memulai penelitian ini, kami pun berangkat
dari ketentuan peraturan yang mengatur mengenai hal yang berkaitan
dengan masalah kependudukan masyarakat atau warga bantaran Kali
Ciliwung ini, yaitu mengenai ketertiban umum. Pemerintah kota DKI
Jakarta telah membentuk dan menetapkan Peraturan Daerah Provinsi
Daerah Khusus Ibukota Jakarta No. 8 Tahun 2007, yang didalamnya
mencakup pengaturan mengenai kawasan sungai atau kali yang
seyogyanya tidak boleh didirikan bangunan tempat tinggal dan
pemukiman lain di sekitarnya.
Peraturan ini penting adanya untuk dicermati terkait dengan
upaya-upaya pemerintah untuk menangani permasalahan pemukiman
yang dihadapi oleh warga masyarakat bantaran Kali Ciliwung. Dengan
demikian, peneliti beranggapan bahwa tema penelitian ini sangatlah
menarik untuk dikaji dan ditelusuri secara mendalam, karena melihat
betapa kompleksnya masalah ini berkembang selama beberapa tahun
lamanya, dan hingga kini belum ada solusi nyata sebagai pemecahan
masalah yang mengindikasikan adanya keadilan yang memadai pada
warga masyarakat bantaran Kali Ciliwung.
3
BAB 2: ISIKonsep Akses Keadilan
Akses terhadap keadilan mengacu pada sebuah keadaan dan
proses dimana warga negara mampu mencari dan memperoleh
pemulihan hak-haknya melalui lembaga-lembaga keadilan formal dan
informal sesuai dengan standar hak asasi manusia. Pencapaian
terhadap akses keadilan itu dapat dilakukan dengan menggunakan
beberapa elemen antara lain :1
1. Kerangka normatif ;
2. Kesadaran hukum ;
3. Akses kepada forum yang sesuai ;
4. Penanganan keluhan yang efektif ;
5. Pemulihan hak yang memuaskan ; dan terakhir
6. Terselesaikannya permasalahan-permasalahan kemiskinan,
kelompok tertindas, dan terpinggirkan.
Selanjutnya, akses terhadap keadilan itu meliputi pula :
1. Hak terhadap pelayanan hukum (the rights to legal
representation)
2. Hak terhadap pengadilan yang cepat, mudah, sederhana, dan
berbiaya ringan (the rights to speedy, easily, simple, and low
cost trial)
3. Hak untuk memperoleh informasi hukum (the rights to access
legal information)
4. Hak untuk tidak mendapat perlakuan diskriminatif atas dasar
apapun1 Budi Wignyosukarto, “Akses Terhadap Keadilan” http://budiws.wordpress.com/2008/02/12/akses-terhadap-keadilan/
4
5. Hak untuk mendapat perlindungan dan pelayanan yang baik
ketika dalam masa penahanan dan/atau pemenjaraan
6. Dan hak-hak lain yang dijamin dalam hukum nasional Indonesia.
Akses Keadilan pada Masyarakat Bantaran Kali Ciliwung
Pada masyarakat bantaran kali Ciliwung dapat kita lihat bahwa
akses mereka terhadap keadilan sebenarnya telah tersedia, karena
pemerintah sudah sering mendatangi perkumuhan mereka. Tetapi
pada dasarnya, masyarakat di bantaran kali tidak merasakan keadilan
itu secara sepenuhnya dan seutuhnya. Hal ini dapat dilihat dari
keengganan mereka untuk pindah ke rumah susun yang akan
disediakan oleh pemerintah. Mereka merasa bahwa tawaran
pemerintah untuk memindahkan merek ke rumah susun adalah hal
yang tidak adil. Hal dikarenakan anggapan mereka bahwa kehidupan
di dalam rumah susun akan sangat menyulitkan mereka, baik dari segi
ekonomi, social maupun budaya.
Tentunya mereka merasa takut karena factor ekonomi yang akan
menghambat kehidupan mereka, karena pada dasarnya setiap bulan
mereka harus memberikan uang sewa agar tetap dapat tinggal di
rumah susun.
Dari segi factor social, mereka merasa akan terlalu rumit jika
harus tinggal di daerah rumah susun, karena bentuk dari rumah susun
itu sendiri yang tidak mendukung penghuninya memiliki kenyamanan
dan keamanan yang seutuhnya. Contohnya jika terjadi kebakaran
maka akan mengancam banyak sekali jiwa karena bentuk rumah susun
yang bertingkat, yang tidak memudahkan penghuninya untuk dengan
cepat bisa keluar dari tempat tinggalnya.
Dari segi budaya, mereka tentunya akan merasa kaget sekali
tinggal ditempat yang mungkin aneh menurut mereka karena rumah
terdiri dari bangunan bertingkat dimana mereka harus siap untuk
saling berbagi, baik tempat, privasi, maupun kenyamanan.
5
Sebenarnya warga sudah menyadari bahaya tinggal di daerah
bantaran kali Ciliwung. Namun, mereka tampak tak mempunyai pilihan
lain untuk pindah. Padahal, selama menempati daerah bantaran kali
itu, musibah banjir kerap melanda mereka. Puluhan nyawa manusia
melayang, harta benda pun tak terselamatkan. Tapi tetap saja,
tawaran pemerintah yang akan merelokasi ke sejumlah lahan kosong
milik Badan Penyehatan Perbankan Negara, ditolak mentah-mentah
oleh masyarakat bantaran kali.
Wali Kota Jakarta Timur Murdhani dalam suatu kesempatan
meminta warga yang menempati bantaran Kali Ciliwung pindah ke
rumah susun (rusun) yang disediakan Pemda Jakarta di Cakung Jakarta
Timur dan Cengkareng Jakarta Barat. Tetapi pernyataan Wali Kota itu
ibarat kalimat basi yang selalu disampaikan pejabat Pemda Jakarta. Hal
itu sepertinya juga sudah terpatri dalam benak masyarakat bantaran
kali Ciliwung, seperti tercermin dalam wawancara yang dilakukan oleh
peneliti berikut ini.
Penolakan warga terhadap rumah susun
Warga 1
Ibu Cicih (58 tahun)
Qustion (Q) : Ibu pernah didatengin sama pemerintah?
Answer (A) : Pernah. Waktu itu Pak Fauzi Bowo juga pernah dateng
kesini.
Q : Ngapain bu?
A : nyuruh kita pindah neng.
Q : Trus jawaban ibu apa?
A : ya ga mau.
Q : Kenapa ga mau, Bu?
A : abis disuruhnya pindah ke rumah susun.
Q : Kenapa rumah susun ga mau, Bu?
6
A : abis pegel nanti kalo naik tangga. Maunya kalo dikasih
rumah beneran langsung biar ga perlu capek naik turun
tangga. Lagian biayanya juga mahal nanti tiap bulan
harus bayar. Belom lagi kalo ada kebakaran. Ribet.
Q : Tapi Ibu kan udah beberapa kali ngalamin banjir. Emang
Ibu ga kapok?
A : Kapok mah kapok neng. Tapi apa boleh buat. Kami kan
sudah puluhan tahun tinggal disini. Jika terpaksa harus
pindah, kami meminta ganti rugi yang setimpal.
Warga 2
Bapak Didin (55 tahun)
Q : Bapak pernah ditawarin tinggal di rusun?
A : Pernah.
Q : apakah ada pihak pemerintah yang pernah datang
kesini?
A : Pak walikota udah pernah datang kesini nyuruh kami
pindah ke rumah susun (rusun) yang disediakan Pemda
Jakarta di Cakung Jakarta Timur dan Cengkareng Jakarta
Barat.
Pak Fauzi Bowo juga pernah dateng.
Q : Kenapa Bapak tidak mau pindah ke rusun?
A : soalnya udah banyak neng contoh rusun yang ga sesuai
dengan keinginan warga. Unit rusun malah pindah tangan
ke kelompok orang mampu.
Q : warga lain mau ga sih pak pindah ke rusun?
A :.ya ga mau kalo ganti ruginya ga setimpal.
Warga 3
7
Ibu Ratna (44 tahun)
Q : ibu sudah pernah dengar soal rusun yang diusulin
pemerintah ke warga sini?
A : sering atuh mbak. Mas-mas yang katanya dari DKI sering
pada dateng ke sini, bawa brosur.
Q : biasanya kalo dateng mereka ngapain bu?
A : datengin satu-satu rumah warga sini, nawarin mau kagak
kalo pada pindah aja ke rusun, tar dibikinin katanya.
Pokoknya ya gitu dah. Sering mbak, saya aja udah 4 kali
didatengin waktu itu.
Q : maaf bu, katanya tar dibikinin? Jadi rusunnya juga
sebenarnya belum jadi, begitu maksudnya bu?
A : lah iya neng (sambil dibarengi tertawa kecil). Bawa
brosur aja masnya itu, ada gambarnya juga.
Q : tapi sebenarnya ibu sendiri mau gak sih pindah ke rusun?
Kan katanya rusun yang mau dibuat sama pemerintah
nanti itu bagus bu, gak kena banjir lagi.
A : gak mau mbak. Kita disini sih udh sering dipaksa-paksa,
tapi kita semua bilang mendingan tetap di sini aja. Kalo di
rusun tar, oalah, bayarnya mau berapa lagi. Gak punya
duit saya mbak.
Q : selain itu ada lagi nggak bu? Rusun gratis misalnya?
A : belom tau deh kalo gratis mau pindah ato nggak. Tapi
pemerintah mah gitu mbak, kali ini aja dari dulu katanya
mau dibenerin, eh gak jadi-jadi juga. Tar rusunnya gitu
juga kali ya neng? Hehehe...
Forum Penyelesaian sengketa yang Dimiliki
Ibu Endang (35 tahun), staf RT 04
8
Q : di kampung sini ada perkumpulan masyarakat ga sih bu?
A : buat apa neng?
Q : buat kalo ada masalah uang terjadi atau untuk forum
masyarakat sebagai pembela aspisari masyarakat waktu
nggak mau digusur sama pemerintah?
A : oh. Iya ada neng. Namanya Sanggar Ciliwung.
Q : biasanya tugasnya ngapain aja Bu?
A : biasanya masing-masing ketua RT pada dateng kesana
tiap bulan sekali. Ngomongin masalah pemberdayaan
masyarakat sama buat peraturan-peraturan buat
menjaga kesejahteraan masyarakat.
Q : ibu pernah dateng kesana?
A : pernah neng.
Q : ibu ngapain disana?
A : ibu ikutan diskusi masalah rusun, sama pemanfaatan
lingkungan.
Seperti sudah diatur, jauh sebelumnya, Gubernur Jakarta Fauzi
Bowo pun membuat pernyataan serupa. Pak Gubernur mengaku
pusing tujuh keliling mengatasi persoalan warga yang tinggal di
bantaran kali. Saking pusingnya, Fauzi Bowo mencoba meniru gaya
kepemimpinan Sutiyoso: mengancam akan mengambil tindakan tegas
pada warga penghuni bantaran kali yang menolak relokasi ke rumah
rusun.
Para pejabat Pemda Jakarta sepertinya menyadari satu hal
penting, bahwa memindahkan warga untuk tinggal di rusun bukan
perkara mudah. Persoalannya tidak sesederhana itu. Tidak hanya
dengan menggiring warga untuk bedol desa ke rusun yang menjulang
tinggi. Akan banyak benturan masalah yang terjadi apabila hanya
sekedar mengambil solusi dengan menerapkan upaya ini. pemerintah
harus melihat langsung dan benar-benar memahami kesulitan-
9
kesulitan yang dirasakan oleh warga masyarakat bantaran Kali
Ciliwung itu.
Peneliti berhasil menemukan fakta itu di lapangan, melalui
wawancara lain dengan salah satu warga masyarakat bantaran.
Ditambah pula, banyak contoh pembangunan rusun bagi
keluarga miskin di ibu kota yang belakangan ternyata keliru. Unit rusun
itu secara perlahan tetapi pasti ternyata pindah tangan ke kelompok
menengah atas. Bahkan, sejumlah rusun belakangan malah menjadi
ajang bisnis para calo yang menawarkan rusun yang letaknya di
tengah kota. Sebut saja Rusun Bendungan Hilir (Benhil) II yang hampir
separuhnya malah kini dihuni warga berdasi. Lokasi parkir di sana
dipadati mobil-mobil mewah. Padahal ketika Gubernur Surjadi
Soedirdja membangun Rusun Benhil II, dia menekankan bahwa rusun
itu untuk warga setempat.
Warga masyarakat yang bermukim di bantaran Kali Ciliwung
ternyata tidak begitu suka mendengar hal-hal yang berkaitan dengan
pengendalian banjir. Ada dua faktor yang memicu ketidaksukaan
warga. Pertama, program pengendalian banjir dikhawatirkan akan
menggusur tempat tinggal mereka. Perlu diketahui bahwa banyak
warga yang telah mendiami wilayah itu selama bertahun-tahun dan
tentunya sekarang ini dapat diistilahkan tidak sudi untuk dianjurkan
pindah ke wilayah lan, dengan pemukiman yang bentuk dan
suasananya asing sama sekali dari tempat kediaman yang sekarang.
Kedua, janji-janji pemerintah untuk membenahi bantaran Kali Ciliwung
tidak pernah terwujud.
Warga kecewa terhadap Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, karena
pada satu sisi menakuti warga dengan rencana-rencana. penggusuran.
Di sisi lain, mereka wring dijejali janji-janji kosong tentang
pembenahan bantaran Kali Ciliwung. Menurut para warga bantaran
kali, pemerintah DKI Jakarta sudah pernah merencanakan
pembangunan tembok sepanjang Kali Ciliwung untuk menghindari pen-
dangkalan. Juga direncanakan program penghijauan di sepanjang
bantaran kali Ciliwung untuk menghindari penggerusan dinding sungai.
10
Pandangan skeptis warga diperlihatkan ketika berhadapan
dengan pewanwancara. Tidak mengherankan, jika pewawancara juga
disambut sikap skeptis, seperti yang terlihat dalam wawancara di atas.
Semi Autonomous Social Field
Seperti yang telah diungkapkan sebelumnya di dalam
wawancara dengan salah satu warga telah diungkapkan bahwa adanya
sebuah perkumpulan komunitas warga untuk dapat menyuarakan
aspirasinya. Nama SASF ini adalah Sanggar Ciliwung. Sanggar Ciliwung
telah memberanikan diri untuk mengumpulkan kembali komunitas-
komunitas masyarakat di bantaran kali Ciliwung untuk dapat
menyelesaikan permasalahan yang mereka alami. Tetapi kehadirannya
selalu disangkal, dianggap sampah, dan yang lebih parah dicap
sebagai penyakit sosial yang harus dimusnahkan. Penyangkalan ini
mewujud pada berbagai usaha untuk mengusir, menggusur, dan
membatasi akses mereka atas penghidupan layak, pendidikan,
kesehatan, rasa aman, kebebasan berpendapat dan berkumpul. Hal-
hal yang seharusnya didapatkan oleh setiap anak di belahan bumi
manapun karena itu adalah hak yang melekat. Mereka lahir dari rahim
kemiskinan. Mereka adalah ampas pembangunan-isme yang telah
membius Indonesia dan banyak negara dunia ketiga selama berpuluh
tahun. Tetapi selalu saja anak-anak pinggiran dipersalahkan, dianggap
malas, nakal, dan mengganggu ketertiban. Tidak ada usaha tulus
untuk merangkul mereka keluar dari keterbatasan. Yang ada hanya
proyek-proyek yang dikerjakan setengah hati. Keterbatasan dan
keterpinggiran bukanlah takdir dan nasib yang datang begitu saja.
Keterbatasan dan keterpinggiran adalah akibat budaya global dan
struktur pembangunan yang tidak adil dan memiskinkan. Keterbatasan
dan keterpinggiran hanya bisa diselesaikan dengan merombak cara
pandang dan struktur yang lebih adil untuk semua orang.
Saat ini, kita tidak bisa berharap keadilan tersaji seketika di
depan mata. Hak harus dituntut, kesempatan harus direbut, bukan
11
dengan kekerasan tapi dengan cara yang bermartabat. Sanggar
Ciliwung menjadi pembuktian bahwa anak-anak pinggiran adalah
manusia-manusia cerdas, kreatif, dan penuh potensi yang siap
memimpin Indonesia menjadi bangsa merdeka dan bermartabat.
Sanggar ini menjadi langkah awal bagi komunitas anak pinggiran untuk
bergandeng tangan dan merapatkan barisan merebut hak yang telah
sekian lama terenggut.
Sanggar Ciliwung adalah sebuah sanggar kecil di mana
masyarakat bantaran kali, mulai dari anak-anak, remaja, sampai orang
tua, bisa beraktualisasi secara kreatif.
Saat menyusuri Jembatan Tong Tek menuju sanggar itu dari
arah
Terminal Kampung Melayu, tampaklah beragam perkakas bekas,
seperti
lemari, meja, dan kursi kayu, di kanan kiri jembatan. Dari gang kecil
di samping terminal Kampung Melayu di ujung
jembatan tampaklah permukiman padat Kampung Melayu Kecil yang
diapit Kali Ciliwung dan rel kereta api Stasiun Tebet.
Suasana gang amat riuh. Anak-anak kecil berlarian sepanjang
gang, sementara warga Kampung Melayu Kecil yang umumnya tinggal
di rumah-rumah petak berukuran sempit, siang itu, duduk mengobrol
di depan rumah.
Kawasan itu dulu dikenal sebagai kawasan bramacorah,
kawasan "hitam", yang setiap tahun ada saja rumah warga yang
hanyut
dibawa banjir. Penduduk dengan cepat mengenali orang yang baru
pertama bertandang ke sana.
SANGGAR yang berdiri persis di tepian Kali Ciliwung itu berupa
rumah tingkat berpagar kayu. Sanggar berukuran 7 x 8 meter itu
sebagian besar menggunakan kayu kamper dengan dinding batu bata
yang tidak dilapisi semen. Lantai satu yang merupakan ruangan luas
12
menjadi arena belajar dan bermain anak-anak, sekaligus tempat warga
berkumpul. Dari teras belakang tampak derasnya arus Kali Ciliwung.
Lantai dua menjadi ruang tamu, perpustakaan, ruang kerja, dan
dapur. Lantai tiga yang memanfaatkan ruang kecil di atap antara lain
menjadi tempat sembahyang para relawan Sanggar Ciliwung dari
berbagai
kalangan: Islam, Buddha, Kristen, maupun Katolik. Ruang lainnya di
lantai yang sama dimanfaatkan untuk menyimpan barang-barang
bantuan
banjir atau sablonan kaus.
Bangunan Sanggar Ciliwung resmi berdiri pada 13 Agustus 2000,
diawali dari cuti sabatikal mantan Direktur Institut Sosial Sandyawan
Sumardi SJ tahun 1999 ketika kejenuhan mulai mengimpitnya. Ia
memilih "menyepi", merefleksikan aksinya, dan mendalami spiritualitas
dengan mengontrak rumah yang nyaris roboh, di gang yang
dikenalnya
saat membantu korban banjir.
Begitu ada aktivitas, rumah kontrakan yang dapurnya hanyut
saat
banjir itu pun dibeli Sandyawan dari honor berceramah dan menulis
kata pengantar buku. Ketika seorang teman berniat membantu
pembangunan rumah, Sandyawan berkonsultasi dengan warga sekitar.
Dengan persetujuan warga, rumah itu lalu menjadi arena berkumpul
anak-anak dan remaja Kampung Melayu. De facto, inilah ruang publik
terbesar di kawasan itu.
Program-program pendidikan pun mulai disusun untuk anak-
anak
warga Kampung Melayu. Setiap hari, seusai pulang sekolah-dari Senin
hingga Minggu, anak-anak diajar menggambar, matematika, sastra,
bahasa Inggris, olah vokal, seni kriya, menulis buku harian, bermain
musik, membaca dan mendongeng, juga bermain teater.
SANGGAR Ciliwung benar-benar menjadi rumah terbuka, menjadi
tempat warga berkumpul mendiskusikan persoalan hidup mereka,
13
bahkan
menjadi posko banjir dan kebakaran. Solidaritas warga pun makin
mengental.
Dengan bantuan warga masyarakat kali Ciliwung bisa
dikumpulkan bahan material untuk membangun 14 rumah. Warga
sekitar bersedia bergotong royong membangun. Bahkan, seorang ibu,
koordinator koperasi di sini yang akan mendapat bantuan, justru
menolak. Dia bilang, bantuan
dikumpulkan saja supaya bisa didistribusikan dengan benar.
Rumahnya
sudah hanyut tenggelam, namun ibu itu masih memikirkan orang
lain. Atas bantuan arsitek-arsitek muda, mushala pun turut
diperbaiki
dan menjadi cantik di tengah "kumuhnya" perkampungan. Tiga sarana
mandi cuci kakus (MCK) besar dengan masing-masing empat kamar
mandi
juga diwujudkan dengan saling bekerja sama.
Kampung Melayu yang semula dikenal sebagai daerah preman,
daerah laki- laki bertato dan sangar, perlahan mulai pupus. Remaja-
remaja bertato itu kini rajin menyablon. Home industry sablon atau
membuat kertas daur ulang mulai terlihat di beberapa rumah.
Dengan membantu orang lain, mereka merasa berguna dan
memiliki arti hidup karena dapat berbuat sesuatu untuk sesamanya.
Kalau saja sanggar-sanggar yang "menggarap" masyarakat basis
seperti ini muncul di wilayah lain di Indonesia, alangkah tenteram dan
sejahteranya warga. Apalagi, kuncinya sederhana: memanusiakan
manusia.
Pertimbangan dalam pelaksanaan kerja tim warga, yaitu:
o Bahwa program tersebut merupakan alternatif solusi yang paling bisa
kita kerjakan secara bersama-sama (gotong royong) untuk menjawab
keprihatinan (persoalan) kita bersama. Sehingga manfaat dari program
ini bisa dirasakan bersama dan juga dijaga / dikelola bersama, bukan
personal / perseorangan.
14
Kelima program tersebut merupakan gerakan bersama berbasis
lingkungan hidup, yang meliputi:
Pendidikan
Yang dimaksud disini adalah pendidikan berbasis lingkungan hidup.
Sederhananya, pendidikan menjadi media bagi anak-anak dan remaja
untuk mengenali secara mendalam (belajar) lingkungan hidup sendiri.
Diharapkan anak-anak dan remaja bisa memperbaiki pola hidupnya
agar ramah dan cinta dengan lingkungannya sendiri. Jadi, tidak
mengadakan sekolah formal seperti jenjang sekolah yang ada. Dalam
pertemuan yang lalu juga terungkap pentingnya ruang belajar /
bermain untuk anak, karena anak-anak selama ini lebih banyak
menggunakan jalanan. Serta diharapkan bisa diterapkan waktu (jam)
belajar diwilayah bantaran kali ini. Namun untuk persisnya rencana
kerja pendidikan, silakan nanti tim kerja terpilih mengonsep itu
bersama-sama dengan tim kerja dari RT lain, termasuk dengan
pendamping dari Sanggar Ciliwung.
Air Bersih
Merupakan media untuk membangun kesadaran bersama tentang
pentingnya air bersih, dengan mengenali secara mendalam
kandungan-kandungan di dalamnya agar proposional bagi pemenuhan
kesehatan bersama. Dengan demikian warga bisa mengelola dan
menjaga secara kolektif (bersama) sumber air bersih dan
penggunaannya. Program ini sifatnya untuk memenuhi kebutuhan
bersama, bukan pribadi (privat). Bagaimana bentuk dan teknis
kerjanya seperti apa, tim kerja terpilih mengonsep itu bersama-sama
dengan tim kerja dari RT lain, termasuk dengan pendamping dari
Sanggar Ciliwung.
Pengolahan sampah
Merupakan media untuk membangun kesadaran bersama tentang
baik-buruknya sampah dalam keterkaitannya dengan kehidupan
15
masyarakat, khususnya di lingkungan bantaran kali. Diharapkan bisa
terbangun kesadaran bersama, sehingga terwujud perilaku hidup yang
baru, yang ramah terhadap sampah kita. Karena pada dasarnya kita
hidup tidak bisa lepas dari sampah. Jadi sederhananya, sudah saatnya
kita belajar ”mengubah sampah menjadi berkah”. Bagaimana bentuk
dan teknis kerjanya, tim kerja terpilih mengonsep itu bersama-sama
dengan tim kerja dari RT lain, termasuk dengan pendamping dari
Sanggar Ciliwung.
Dalam pelaksanaannya, pengolahan sampah jelas membutuhkan lahan
yang lumayan luas. Berkaitan dengan hal ini, saya berharap warga bisa
membantu mencari lahan disekitar kita yang memungkinkan untuk
pengolahan sampah ini.
Perbaikan Gizi
Merupakan media untuk membangun kesadaran bersama tentang
pentingnya hidup sehat, secara khusus bagi kesehatan Ibu (usia
produktif) dan Anak. Perlu diketahui juga, saya berharap dengan
adanya program ini tidak bermaksud mengambil alih / menggantikan
peranan Posyandu yang selama ini ada di wilayah bantaran kali. Tetapi
justru menguatkan dari yang sudah ada. Bentuk dan teknis kerjanya,
tim kerja terpilih mengonsep itu bersama-sama dengan tim kerja dari
RT lain, termasuk dengan pendamping dari Sanggar Ciliwung.
Kesehatan Warga
Merupakan media untuk membangun kesadaran bersama tentang
pentingnya hidup sehat, secara sederhana sesuai dengan potensi dan
kempuan yang ada pada masyarakat (swadaya kesehatan). Telah kita
ketahui bersama, bahwa sakit itu mahal obatnya. Bahkan bisa
dikatakan, bahwa di Jakarta ini ”orang miskin dilarang sakit”.
Sederhananya, lebih baik mencegah dari pada mengobati.
Bentuk dan teknis kerjanya, tim kerja terpilih mengonsep itu bersama-
sama dengan tim kerja dari RT lain, termasuk dengan pendamping dari
Sanggar Ciliwung".
16
BAB 3: PENUTUPAnalisa dan Kesimpulan
Bagi kota Jakarta, kemiskinan yang identik dengan kekumuhan
dianggap sebagai beban kota. Mulai dari penghuni bantaran kali
sampai pedagang kaki lima, misalnya, disingkirkan. Penggusuran,
pembakaran, dan operasi yustisi terhadap kaum miskin mencerminkan
paradigma yang diambil Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam
memecahkan persoalan kemiskinan di kota. Jakarta memerangi
kekumuhan dengan "menyembunyikan kemiskinan di bawah karpet".
Penanganan kaum miskin kota Jakarta, yang menjadi contoh bagi kota
lain dalam menangani persoalan yang sama, adalah bukti bahwa kaum
miskin kota belum memiliki ruang untuk ikut terlibat dalam
pengelolaan kota. Karena itu, solusi yang dipilih seharusnya adalah
tidak menempatkan kaum miskin sebagai sumber masalah, melainkan
sebagai bagian dari pengembangan kota.
Berdasarkan penelitian dan wawancara yang dilakukan di lapangan,
kami peneliti berusaha untuk menganalisa bentuk permasalahan dan
konsep pemenuhan akses terhadap keadilan yang terdapat di dalam
kehidupan warga masyarakat bantaran Kali Ciliwung. Seperti yang
telah diketahui oleh seluruh masyarakat di Jakarta ini secara umum,
daerah bantaran kali Ciliwung tidak pernah lepas dari masalah banjir
yang melanda apabila hujuan deras mengguyur daerah tersebut.
Selama bertahun-tahun mereka hidup dengan kondisi demikian, dan
telah menjadi sesuatu yang dimaklumi bagi warga tersebut apabila
lagi-lagi fenomena banjir datang dan menyusahkan mereka. Di sisi lain,
pihak pemerintah berargumen bahwa hal itu dikarenakan juga oleh
andil warga yang tidak memperhatikan dan memelihara lingkungannya
17
dengan baik, salah satunya yaitu membuang sampah sembarangan ke
kali, sehingga apabila hujan deras datang mau tidak mau banjir juga
turut menyertainya. Dengan demikian pemerintah beranggapan adalah
lebih baik apabila solusi dari masalah ini berupa pemindahan seluruh
warga dari wilayah banjir tersebut ke tempat yang lebih baik dan
permanen, yaitu rumah susun (rusun). Mulailah pemerintah
mengupayakan hal tersebut dengan memperkenalkan ide tinggal di
rumah susun kepada warga, disertai dengan persuasi bahwa kiranya
mereka akan memperoleh tingkat kehidupan yang lebih baik apabila
mendiami tempat tinggal yang permanen dan dipastikan bebas dari
gangguan banjir yang selama ini selalu dihadapi sebagai masalah
utama warga. Tujuan dari upaya pemerintah ini antara lain untuk
memuluskan kegiatan penertiban umum wilayah kota Jakarta yang
bebas dari pemukiman liar dan membangun tata ruang kota yang
didasarkan perencanaan. Upaya pemerintah ini tidak akan terlaksana
jika warga masyarakat bantaran Kali Cliliwung sendiri tidak kooperatif
dan mendukung. Program merusunkan masyarakat miskin sepertinya
merupakan kebijakan yang pro rakyat. Tentunya warga masyarakat
bantaran Kali Ciliwung akan sangat senang apabila mereka diboyong
untuk mendiami hunian baru berupa rumah tinggal permanen yang
bebas banjir, dimana sebelumnya hanya tinggal di rumah kecil atau
bedeng biasa. Namun, jika dilihat lebih jauh, sangat boleh jadi program
rumah susun yang digalakkan oleh pemerintah ini tidak lebih dari
viktimisasi tersembunyi, yakni menjadikan masyarakat miskin korban
banjir sebagai tersangka tunggal. Benar masyarakat miskin punya
andil karena telah menempati daerah aliran sungai sebagai tempat
tinggal. Tetapi berapa persenlah kiranya kaum tidak mampu ini
berperan dan memiliki andil dalam mereduksi ruang terbuka hijau
(RTH) yang kini hanya tersisa 9,38 persen dari total luas wilayah
Jakarta? Masyarakat kaya, yang mendiami area-area strategis, jauh
lebih signifikan andilnya bagi kemerosotan RTH dan tragedi banjir
Jakarta. Perilaku mereka tidak ada bedanya dengan warga masyarakat
miskin yang mendiami bantaran Kali Ciliwung. Mereka sama-sama
melakukan vandalisme terhadap lingkungan Jakarta. Yang
membedakan, masyarakat miskin, karena kemiskinannya,
18
mengeksplorasi bantaran kali. Sedangkan masyarakat kaya melakukan
vandalisme terhadap lingkungan Jakarta karena ketamakannya.
Bentuknya, ketika mereka menghabiskan luas tanah hanya untuk
mendirikan rumah/bangunan lain, yang seharusnya disisakan 30
persen untuk RTH, sesuai dengan prinsip surat izin mendirikan
bangunan (IMB).
Jadi, pembangunan seribu menara rumah susun secara politis
merupakan bentuk stigmatisasi pemerintah bahwa seolah-olah
masyarakat miskin yang mendiami bantaran Kali Ciliwung adalah
penyebab tunggal terjadinya banjir di Jakarta. Ini jelas sangat
diskriminatif dan tidak adil. Seharusnya masyarakat kaya yang rumah
dan bangunannya tidak ramah lingkungan juga harus dipersoalkan
(rumahnya dibongkar). Bahkan, seiring menyusutnya jumlah RTH,
Pemerintah DKI telah terbukti mengubah peruntukan tanah. Area yang
semula RTH kemudian disulap menjadi pusat belanja dan hunian
mewah demi mengejar target Jakarta memiliki 200 pusat belanja,
layaknya Singapura. Terendamnya jaringan serat optik PT Telkom yang
melumpuhkan 70 ribu akses telepon adalah contoh telanjang betapa
pembangunan hunian mewah (apartemen) yang terletak di belakang
PT Telkom merupakan vandalisme serius karena telah menciutkan
Sungai Krukut (semula lebar Sungai Krukut 16 m, kini tinggal 4 meter).
Tetapi anehnya, hunian mewah tersebut hingga kini menjadi proyek
yang eksis dan tak tersentuh pemerintah.
Lebih dari itu, tanpa skema yang partisipatif dan akomodatif bagi
masyarakat miskin, secara sosial, ekonomi, bahkan budaya, program
rumah susun itu tidak akan berfungsi efektif. Alih-alih, rumah susun
tersebut malah diborong masyarakat kaya sebagaimana fenomena
yang terjadi saat ini, misalnya rumah susun Tanah Abang. Minimal ada
dua alasan yang menguatkan dugaan tersebut.
Pertama, secara regulasi (peraturan pemerintah), saat ini tidak ada lagi
hak milik terhadap rumah susun di Indonesia, melainkan hak sewa.
Sementara itu, di pasaran, tarif sewa rumah susun saat ini minimal Rp
500 ribu per bulan. Itu belum termasuk tagihan rekening listrik dan
19
tagihan air PDAM. Asumsikan tagihan kedua komoditas publik itu
masing-masing Rp 50 ribu, maka pengeluaran rata-rata minimal
penghuni rumah susun adalah Rp 600 ribu per bulan. Dari mana
masyarakat miskin tersebut mendapatkan uang sebanyak itu hanya
untuk membayar ongkos tempat tinggal? Bahkan dari wawancara yang
peneliti lakukan, masih banyak masyarakat yang pekerjaannya tidak
tetap alias serabutan. Jadi, kalau pemerintah merelokasi mereka untuk
tinggal di rumah susun, praktis mereka tidak akan mampu
membayarnya. Kemampuan membayar mereka tidak akan memadai
untuk membayar biaya akomodasi rumah susun.
Kedua, persoalan budaya yang tidak sejalan. Mereka sudah terbiasa
tinggal di rumah yang menapak di atas tanah, sekalipun di pinggir kali,
kemudian tiba-tiba akan diboyong untuk menempati rumah yang
modelnya menyundul langit (vertikal). Manusia bukan barang, bukan
binatang, yang bisa seenaknya dipindah-pindahkan. Pemerintah tidak
cukup hanya memindahkan fisik mereka dari bantaran kali menuju
bantaran langit (rumah susun) tanpa memfasilitasi proses perubahan
psikologi, sosial, dan kulturalnya.
Pemerintah tentunya tidak ingin dianggap peduli saja, tanpa aksi
konkret untuk menyelamatkan masyarakat miskin yang menjadi
korban banjir atau korban pembangunan lainnya. Pemerintah
seharusnya membuat komitmen terlebih dahulu kepada publik,
bagaimana model pembayaran dan besaran harga rumah susun
tersebut. Jika menggunakan mekanisme pasar yang berlaku seperti
sekarang, akan benar-benar mustahil bagi warga masyarakat tersebut
untuk berkesempatan mendiami rumah susun itu. Bahkan mungkin
hanya mimpi. Alih-alih, seribu rumah susun itu akan jatuh ke tangan
kaum berduit. Bagaimana dengan ide menggratiskan seratus persen
rumah susun tersebut? Rasanya juga kurang kondusif, karena akan
mengecilkan rasa kepemilikan bagi penghuni rumah susun. Besaran
harga dan mekanisme pembayaran yang partisipatif dan akomodatif
dengan pendapatan alias kemampuan membayar warga masyarakat
20
bantaran Kali Ciliwung mungkin merupakan jalan tengah yang paling
adil.
Lebih dari itu, jika pemerintah memang serius dan konsisten untuk
menyelamatkan Jakarta dan kota lain di Indonesia dari terjangan banjir,
seharusnya bukan hanya masyarakat miskin yang diuber-uber.
Masyarakat kaya yang terbukti melakukan vandalisme juga harus
"dirusunkan" (membuat rumah yang ramah lingkungan). Pemerintah
seharusnya melakukan audit bangunan terhadap seluruh bangunan di
DKI Jakarta, apakah bangunan tersebut ber-IMB. Dan jika ber-IMB,
apakah bangunan itu memenuhi ketentuan di dalam IMB, misalnya
menerapkan aturan 30 persen untuk RTH. Oknum pemerintah provinsi
yang diduga kuat/terbukti menjualbelikan surat IMB atau melakukan
alih fungsi lahan harus ditindak tegas.
Pilihan rumah susun sebagai alternatif tempat tinggal, dari sisi
pengelolaan tata ruang, sebenarnya merupakan pilihan yang tepat.
Rusaknya tata ruang di Jakarta dan kota-kota besar lain di Indonesia
justru karena pilihan pengembangannya menyamping (horizontal),
bukan naik ke atas (vertikal). Di kota-kota besar lain di dunia, yang
tingkat keberadaban kotanya di atas Jakarta, hampir semua hunian
mengarah ke atas. Di luar negeri hanya sebagian kecil masyarakat
kaya yang mampu mendiami rumah konvensional, tapi mereka harus
membayar pajak sangat tinggi. Banjir di Jakarta seharusnya
menumbuhkan kesadaran baru bagi pemerintah untuk memfasilitasi
dan mengembangkan pola tata ruang yang memenuhi pakem, bukan
lagi "tata uang" yang didominankan.
Dalam kurun 2000-2006, Pemda Jakarta telah mengeluarkan lebih dari
Rp 1 triliun untuk membangun rusun. Dengan anggaran sebanyak itu
ternyata Pemda Jakarta telah gagal membangun rusun yang didirikan
untuk keluarga miskin. Subsidi yang diberikan bagi keluarga miskin
malah dinikmati golongan masyarakat menengah ke atas.
Melihat lagi lebih jauh, satu hal yang sering dilupakan Pemda Jakarta
dalam upaya merumahsusunkan warga bantaran kali adalah Pemda
21
Jakarta juga harus mempersiapkan mental penghuninya untuk
memasuki kultur yang baru yang belum pernah mereka alami
sebelumnya. Pemda selama ini hanya mempersiapkan fisik bangunan
semata. Bagi warga yang harus dirumahsusunkan perlu ada bimbingan
pra-konstruksi dan pasca-kontruksi, dan itu merupakan syarat mutlak
agar kelompok masyarakat tidak mengalami gegar budaya (cultural
schock).
Pemda Jakarta seharusnya sadar bahwa konsep peremajaan kawasan
di bantaran kali di kota besar tidak berdiri sendiri. Harus dilihat secara
keseluruhan, tidak hanya membangun rumah susun sebagai tempat
tinggal saja. Mungkin Pemda Jakarta memadukan program rusun
dengan Program Tribina yang dulu pernah dilakukan oleh Pemda
Jakarta. Program Tri Bina meliputi bina lingkungan, bina usaha, dan
bina manusia. Program ini adalah salah satu langkah membenahi
lingkungan sekaligus manusia penghuninya. Dalam program ini
dipikirkan pula aspek modal sebagai penggerak perekonomian
keluarga miskin. Jangan sampai ketika mereka dipindahkan ke rusun
yang layak dan lebih baik, mereka kehilangan mata pencaharian yang
dulu didapatkan, misalnya di bantaran kali.
Singkat kata, upaya Pemda Jakarta untuk merumahsusunkan warga
penghuni bantaran kali di Ibu Kota tidak seperti memindahkan barang.
Ingat penghuni bantaran kali memiliki penghayatan sendiri akan
kehidupannya dan penghayatan itu tidak dapat dianggap lebih rendah
atau tidak normal. Jangan mentah-mentang mereka kelompok keluarga
miskin maka Pemda bisa sesuka hati merelokasi mereka ke rusun.
22