bentang alam fluvial
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Maksud
Menginterpretasikan kenampakan bentang alam fluvial pada peta
topografi.
Mengetahui proses-proses pembentukan bentang alam fluvial.
Mengetahui macam-macam bentang alam fluvial.
Mengetahui pembagian stadia sungai.
1.2 Tujuan
Mampu menginterpretasikan kenampakan bentang alam fluvial pada peta
topografi.
Mampu mengetahui proses-proses pembentukan bentang alam fluvial.
Mampu mengetahui macam-macam bentang alam fluvial.
Mampu mengetahui pembagian stadia sungai.
1.3 Waktu dan Tempat Pelaksanaan
Hari / Tanggal : Jumat, 5 April 2013
Pukul : 13.30 – 15.00 WIB
Tempat : Ruang GS 301
Gedung Pertamina Sukowati
Teknik Geologi
Universitas Diponegoro
BAB II
1
DASAR TEORI
2.1. Macam – Macam Proses Fluvial
2.1.1 Proses Erosi
Proses erosi adalah suatu proses atau peristiwa hilangnya lapisan
permukaan tanah atau terangkutnya tanah atau bagian – bagian tanah
dari suatu tempat ke tempat lain oleh pergerakan air atau angin.
Menurut Holy, 1980, agen penyebab erosi dibagi empat macam
yaitu erosi oleh air, erosi oleh angin, erosi oleh gletser, dan erosi oleh
salju. Dalam bentang alam fluvial, agen penyebab erosi yang paling
dominan adalah air.
Berdasarkan arahnya, erosi dapat dibedakan menjadi:
Erosi ke arah hulu
Erosi yang terjadi pada ujung bagian hulu sungai.
Gambar 1. Erosi ke arah hulu di Lavaka, Madagaskar.
Erosi vertikal
2
Erosi yang arahnya tegak dan cenderung teradi pada daerah bagian
hulu sungai dan menyebabkan terjadinya pendalaman lembah
sungai.
Gambar 2. Erosi Vertikal.
Erosi lateral
Erosi yang arahnya mendatar dan dominan terjadi pada daerah
tengah sungai yang menyebabkan bertmabah lebar dan penjang
sungai.
Gambar 3. Erosi lateral.
Intensitas erosi suatu sungai berbanding lurus dengan kecepatan
aliran sungai. Erosi akan lebih efektif apabila media yang bersangkutan
mengangkut bermacam-macam material.
Sifat-sifat erosi:
3
Intensitasnya sebanding dengan aliran sungai.
Semakin banyak bercampur dengan material lain, maka erosi
semakain efektif.
Selalu menuju ke ultimate base level.
2.1.2 Proses Transportasi
Sungai mengangkut material hasil erosinya dengan berbagai cara,
yaitu:
Traksi, yaitu material yang diangkut akan terseret pada dasar sungai.
Rolling, yaitu material akan terangkut dengan cara menggelinding di
dasar sungai.
Saltasi, yaitu material terangkut dengan cara menggelinding pada
dasar sungai.
Suspensi, yaitu proses pengangkutan material secara mengambang
dan bercampur dengan air sehingga menyebabkan air sungai keruh.
Solution, yaitu pengangkutan material larut dalam air dan
membentuk larutan kima.
Gambar 4. Proses Transportasi
2.1.3 Proses Sedimentasi
4
Proses sedimentasi adalah proses pengendapan material karena
aliran sungai tidak mampu lagi mengangkut material yang dibawanya.
Apabila tenaga angkut semakin berkurang, maka material yang
berukuran besar dan lebih berat akan terendapkan terlebih dahulu,
kemudian material yang halus dan ringan.
Bagian sungai yang paling efektif untuk proses pengendapan
adalah bagian hilir atau pada bagian slip of slope pada kelokan sungai.
Ukuran material berbanding lurus dengan besarnya energi pengangkut.
Semakin ke arah hilir, energi semakin kecil, material yang diendapkan
Gambar 5. Pengedapan pada bagian slip of slope.
2.2. Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Proses Erosi dan Sedimentasi
2.2.1 Kecepatan aliran sungai
Kecepatan aliran sungai maksimal pada tengah alur sungai.
Apabila sungai membelok, maka kecepatan maksimal ada pada daerah
cut off slope (terjadi erosi) karena gaya sentrifugal. Pengendapan terjadi
bila kecepatan menurun bahkan hilang.
2.2.2 Gradien atau kemiringan lereng sungai
5
Slip of Slope
Apabila air mengalir dari sungai yang kemiringan lerengnya curam
ke dataran yang lebih rendah, maka kecepatan air berkurang dan tiba-
tiba hilang, sehingga menyebabkan pengendapan pada dasar sungai.
Apabila kemudian ada lereng yang terjal lagi, kecepatan akan
meningkat, sehingga terjadi erosi yang menyebabkan pendalaman
lembah.
2.2.3 Bentuk alur sungai
Aliran air akan menggerus bagian tepid an dasar sungai. Semakin
besar gesekan yang terjadi, maka air akan mengalir lebih lambat.
Sungai yang dalam, sempit, dan permukaan dasarnya tidak kasar, aliran
airnya deras. Sungai yang lebar, dangkal, dan permukaan dasarnya tidak
kasar atau sempit, dalam, tetapi permukaan dasarnya kasar, aliran
airnya lambat.
2.2.4 Discharge
Merupakan volume air yang keluar dari suatu sungai. Proses erosi
dan transportasi terjadi karena besarnya kecapatan aliran sugai dan
discharge.
2.3. Pola Pengaliran (Drainage Pattern)
Bentuk-bentuk tubuh air disebut pengaliran (drainage) meliputi danau,
sungai, rawa, laut, dan sejenisnya. Suatu sungai atau lebih beserta anak sungai
dan cabangnya akan membentuk suatu pola atau system tertentu yang dikenal
sebagai pola pengaliran. (drainage pattern).
Pola ini bervariasi bergantung pada struktur batuan dan variasi
litologinya.
2.3.1 Pola Pengaliran Rectangular
6
Pola pengaliran di mana anak-anak sungainya membentuk sudut
tegak lurus dengan sungai utamanya. Pola ini biasanya terdapat pada
daerah patahan bersistem teratur.
Gambar 6. Pola pengaliran rectangular.
2.3.2 Pola Pengaliran Dendritik
Pola pengaliran berbentuk sepert pohon dan cabang-cabangnya
yang berarah tidak beraturan. Pola ini berkembang pada daerah dengan
batuan yang resistensinya seragam, lapisan sedimen mendatar, batuan
beku massif, daerah lipatan, dan daerah metamorf yang kompleks.
Gambar 7. Pola pengaliran dendritik.
2.3.3 Pola Pengaliran Sejajar / Parallel
7
Pola pengaliran yang arah alirannya sejajar. Berkembang pada
daerah yang lerengnya mempunyai kemiringan yang nyata dan
batuannya bertekstur halus.
Gambar 8. Pola pengaliran parallel atau sejajar.
2.3.4 Pola Pengaliran Trellis
Pola pengaliran yang berbentuk seperti daun dengan anak-anak
sungai sejajar, sungai utamanya biasanya memanjang searah dengan
jurus perlapisan batuan. Banyak dijumpai pada daerah patahan atau
lipatan.
Gambar 9. Pola pengaliran trellis.
2.3.5 Pola Pengaliran Radial
8
Pola pengaliran yang arah-arah pengalirannya menyebar kesegala
arah dari suatu pusat. Umumnya berkembang pada daerah dengan
struktur kubah stadia muda, pada kerucut gunungapi, dan pada bukit-
bukit berbentuk kerucut.
Gambar 10. Pola pengaliran radial.
2.3.6 Pola Pengaliran Annular
Pola pengaliran di mana sungai atau anak sungainya mempunyai
penyebaran yang melingkar, sering dijumpai pada daerah kubah stadia
dewasa.
Gambar 11. Pola pengaliran annular.
2.3.7 Pola Pengaliran Multi Basinal
9
Disebut juga sink hole, adalah pola pengaliran yang tidak
sempurna. Kadang tampak, kadang hilang yang disebut sebagai sungai
bawah tanah. Berkembang pada daerah karst atau batu gamping.
Gambar 12. Pola pengaliran multi basinal.
2.3.8 Pola Pengaliran Contorted
Pola pengaliran yang arah alirannya berbalik dari arah semula.
Terdapat pada daerah patahan.
Gambar 13. Pola pengaliran contorted
2.4 Genesa Pembentukan Lembah Sungai
2.4.1 Stadia Muda
10
Biasanya di daerah hulu.
Sungai sangat aktif, erosi berlangsung cepat.
Erosi vertikal lebih kuat daripada erosi lateral.
Lembah sungai mempunyai profil berbentuk V.
Gradien sungai curam, terdapat jeram dan air terjun.
Anak sungai sedikit dan kecil.
Aliran sungai deras (energi pengangkutnya besar).
Bentuk sungai relatif lurus.
Gambar 14. Sungai stadia muda
2.4.2 Stadia Dewasa
Kecepatan aliran mulai berkurang.
Gradien sungai sedang, tidak terdapat jeram, dan air terjun.
Mulai terbentuk dataran banjir dan tanggul alam.
Erosi lateral (ke samping) lebih kuat dari erosi vertikal.
Mulai terbentuk meander sungai.
Pada tingkat ini sungai mencapai kedalaman paling besar.
11
Gambar 15. Sungai stadia dewasa
2.4.3 Stadia Tua
Kecepatan aliran semakin berkurang.
Lebih banyak sedimentasi daripada erosi.
Berkembang di daera hilir.
Banyak terbentuk sungai meander, danau tapal kuda, dan tanggul
alam.
Terjadi pelebaran lembah.
Gambar 16. Sungai stadia tua
BAB III
METODOLOGI
12
3.1 Alat dan Bahan
3.1.1.Alat
Gunting
Perlengkapan alat tulis
Pensil Warna
Kalkulator
3.1.2.Bahan
Kertas kallir A3 tiga lembar
Kertas milimeter blok A3
Peta topografi daerah Ungaran skala 1:25.000
Kertas HVS A4 2 lembar
3.2 Cara Kerja
3.2.1. Persiapan alat dan bahan di atas meja.
3.2.2. Pemerian garis tepi pada 3 lembar kertas kalkir A 3.
3.2.3. Pengkaitan ujung-ujung 3 lembar kertas kalkir A 3 di atas peta
topografi daerah Randudongkal dan sekitarnya skala 1:25.000.
3.2.4. Pembuatan deliniasi struktur rapat, struktur renggang,
denudasional, dan fluvial dengan memberi batas-batas di antara
keduanya pada kertas lembar kalkir yang pertama.
3.2.5. Pemberian warna ungu tua pada struktur yang rapat dan pemberian
warna ungu muda pada struktur yang renggang.
3.2.6. Pembuatan 5 sayatan pada struktur rapat dan 5 sayatan pada
struktur renggang yang masing–masing melewati 5 kontur pada
hasil deliniasi yang telah diberi warna.
3.2.7. Penghitungan persen kelerengan rata-rata dan beda tinggi.
3.2.8. Pengklasifikasian ke dalam klasifikasi relief Van Zuidam 1983.
3.2.9. Pembuataan dan pewarnaan deliniasi fluvial dengan warna hijau.
13
3.2.10. Pembuatan 5 sayatan pada hasil deliniasi fluvial dari batas sungai
sampai kontur terdekat.
3.2.11. Penghitungan persen kelerengan rata-rata.
3.2.12. Pengklasifikasian ke dalam klasifikasi relief Van Zuidam 1983.
3.2.13. Pembuatan deliniasi denudasional dan pemerian warna coklat.
3.2.14. Pergantian kertas kalkir yang baru.
3.2.15. Pemerian warna biru tua untuk pola pengaliran sungai utama.
3.2.16. Pemerian warna biru muda untuk pola pengaliran anak sungai.
3.2.17. Pemerian warna merah untuk jalan.
3.2.18. Pembuatan sayatan dengan panjang 30 cm pada peta topografi yang
melewati satuan kontur sangat rapat, rapat, renggang, dan sungai
pada kertas kalkir lembar pertama.
3.2.19. Pembuatan profil sayatan melintang eksagrasi pada kertas
millimeter blok A3.
3.2.20. Pemerian warna pada hasil profil sayatan melintang eksagrasi
sesuai dengan hasil deliniasi.
3.2 Diagram Alir
14
Mulai
BAB IV
15
Penyiapan alat dan bahan yang dibutuhkan.
Pembuatan deliniasi struktur rapat, struktur renggang, fluvial, dan denudasional yang terdapat pada peta topografi daerah Randudongkal dan
sekitarnya dengan skala 1: 25.000 di atas kertas kalkir.
Pemberian warna hasil deliniasi. Warna ungu tua untuk struktur yang rapat, ungu muda untuk struktur yang renggang, hijua untuk fluvial, dan coklat
untuk denudasional.
Pembuatan lima garis sayatan pada struktur rapat dan lima garis sayatan pada struktur renggang yang masing-masing memotong lima kontur, dan lima garis
sayatan pada fluvial dari batas sungai sampai kontur terdekat
Penghitungan morfometri masing-masing sayatan.
Pengklasifikasian relief pada sayatan rapat, sayatan renggang, dan sayatan fluvial ke dalam klasifikasi Van Zuidam.
Pembuatan pola pengaliran jalan pada kertas kalkir yang berbeda dan pemberian warna merah pada hasil deliniasi.
Pencatatan hasil perhitungan morfometri pada kertas HVS A4.
Selesai
Pembuatan pola pengaliran sungai pada kertas kalkir yang berbeda dan pemerian warna biru tua untuk sungai besar dan biru muda untuk anak sungai
Pembuatan sayatan melintang sepanjang 30 cm pada peta topografi yang melewati kontur sangat rapat, rapat, renggang, dan sungai.
Pemindahan hasil sayatan ke kertas millimeter blok A3 dengan profil sayatan melintang dan dengan skala vertikal 1:12.500 dan skala horizontal 1:25.000
PERHITUNGAN MORFOMETRI
Klasifikasi relief berdasarkan table Van Zuidam 1983
% lereng = h/d x 100%
IK = 1/2000 x skala
= 1/2000 x 25.000
= 12,5 m
d = Panjang Garis x skala peta (dalam satuan meter)
Rata-rata kelerengan = % lereng total/jumlah sayatan
Beda Tinggi = Tophill – Lowhill (dalam satuan meter)
Tabel 1. Klasifikasi Relief Van Zuidam 1983
3.1 Satuan Struktural Kontur Rapat
∆ h = n kontur x Indeks Kontur (IK)
16
= 5 x 12,5
= 62,5 m
3.1.1. Sayatan 1
c 1 = p x skala
= 0,5 x 25000
= 12.500 cm
= 125 m
% lereng = ∆ h/d x 100 %
= 62,5/125 x 100 %
= 50 %
3.1.2. Sayatan 2
c 2 = p x skala
= 0,6 x 25000
= 15.000 cm
= 150 m
% lereng = ∆ h/d x 100 %
= 62,5/150 x 100 %
= 41,67 %
3.1.3. Sayatan 3
c 3 = p x skala
= 0,5 x 25000
= 12.500 cm
= 125 m
% lereng = ∆ h/d x 100 %
= 62,5/125 x 100%
= 50 %
3.1.4. Sayatan 4
c 4 = p x skala
17
= 0,4 x 25000
= 10.000 cm
= 100 m
% lereng = ∆ h/d x 100 %
= 62,5/100 x 100%
= 62,5 %
3.1.5. Sayatan 5
c 5 = p x skala
= 0,6 x 25000
= 15.000 cm
= 150 m
% lereng = ∆ h/d x 100 %
= 62,5/150 x 100%
= 41,67 %
3.1.6. Rata-Rata Kelerengan
= % lereng total/jumlah sayatan
= (50 % + 41,67 % + 50 % + 62,5 % + 41,67 %) / 5
= 245,84 % / 5
= 49,17 %
(Berbukit Terjal)
3.1.7. Beda Tinggi
= Tophill – Lowhill
= 770 - 500
= 270 m
(Berbukit Terjal)
3.1.8. Klasifikasi Relief
18
Jadi, dari hasil rata-rata % kelerengan dan beda tinggi, klasifikasi
relief dari satuan struktural kontur rapat yaitu berbukit berbukit terjal.
3.2 Satuan Struktural Kontur Renggang
∆ h = n kontur x Indeks Kontur (IK)
= 5 x 12,5
= 62,5 m
3.2.1. Sayatan 1
b 1 = p x skala
= 1,5 x 25000
= 37500 cm
= 375 m
% lereng = ∆ h/d x 100 %
= 62,5/375 x 100 %
= 16,67 %
3.2.2. Sayatan 2
b 2 = p x skala
= 2 x 25000
= 50.000 cm
= 500 m
% lereng = ∆ h/d x 100 %
= 62,5/500 x 100 %
= 12,5 %
3.2.3. Sayatan 3
19
b 3 = p x skala
= 1 x 25000
= 25.000 cm
= 250 m
% lereng = ∆ h/d x 100 %
= 62,5/250 x 100%
= 25 %
3.2.4. Sayatan 4
b 4 = p x skala
= 1,5 x 25000
= 37.500 cm
= 375 m
% lereng = ∆ h/d x 100 %
= 62,5/375 x 100%
= 16,67 %
3.2.5. Sayatan 5
b 5 = p x skala
= 2 x 25000
= 50.000 cm
= 500 m
% lereng = ∆ h/d x 100 %
= 62,5/500 x 100%
= 13,1 %
3.2.6. Rata-Rata Kelerengan
20
= % lereng total/jumlah sayatan
= (16,67 % + 12,5 % + 25 % + 16,67 % + 13,1 %) / 5
= 83,94 % / 5
= 16,78 %
(Berbukit Bergelombang)
3.2.7. Beda Tinggi
= Tophill – Lowhill
= 634 - 390
= 244 m
(Berbukit Terjal)
3.2.8. Klasifikasi Relief
Jadi, dari hasil rata-rata % kelerengan dan beda tinggi, klasifikasi
relief dari satuan struktural kontur renggang yaitu berbukit
bergelombang – berbukit terjal.
3.3 Satuan Fluvial
∆ h = n kontur x Indeks Kontur (IK)
= 1 x 12,5
= 12,5 m
3.3.1. Sayatan 1
d 1 = p x skala
= 0,4 x 25000
= 10.000 cm
= 100 m
% lereng = ∆ h/d x 100 %
= 12,5/100 x 100 %
= 12,5 %
3.3.2. Sayatan 2
21
d 2 = p x skala
= 0,9 x 25000
= 22.500 cm
= 225 m
% lereng = ∆ h/d x 100 %
= 12,5/225 x 100 %
= 5,56 %
3.3.3. Sayatan 3
d 3 = p x skala
= 0,5 x 25000
= 12.500 cm
= 125 m
% lereng = ∆ h/d x 100 %
= 12,5/125 x 100%
= 10 %
3.3.4. Sayatan 4
d 4 = p x skala
= 0,5 x 25000
= 12.500 cm
= 125 m
% lereng = ∆ h/d x 100 %
= 12,5/125 x 100%
= 10 %
3.3.5. Sayatan 5
22
d 5 = p x skala
= 0,5 x 25000
= 12.500 cm
= 125 m
% lereng = ∆ h/d x 100 %
= 12,5/125 x 100%
= 10 %
3.3.6. Rata-Rata Kelerengan
= % lereng total/jumlah sayatan
= (12,5 % + 5,56 % + 10 % + 10 % + 10 %) / 5
= 48,06 % / 5
= 9,612 %
(Bergelombang Miring)
3.3.7. Klasifikasi Relief
Jadi, dari hasil rata-rata % kelerengan, klasifikasi relief dari satuan
fluvial yaitu bergelombang miring.
BAB V
23
PEMBAHASAN
Bentang alam fluvial adalah bentang alam yang terbentuk karena proses
fluviatil. Proses fluviatil adalah semua proses yang terjadi di alam baik fisika
maupun kimia yang mengakibatkan adanya perubahan bentuk permukaan bumi
yang disebabkan aksi air permukaan.
Proses fluviatil akan menghasilkan suatu bantang alam yang khas sebagai
tingkah laku air yang mengalir di permukaan. Bentang alam yang dibentuk dapat
terjadi karena proses erosi maupun proses sedimentasi yang dilakukan oleh air
permukaan.
5.1 Satuan Deliniasi Fluvial
Proses pembentukan sungai dipengaruhi oleh proses fluviatil yaitu
proses yang terjadi di alam baik fisika maupun kimia yang mengakibatkan
adanya perubahan bentuk muka bumi yang disebabkan oleh aksi air
permukaan. Air permukaan bersifat mengerosi daerah yang dilewatinya,
sehingga intensitas dan laju air yang mengalir secara terus menerus
mempengaruhi bentuk-bentuk tubuh air yang ada.
Pada peta topografi, warna hijau muda digunakan untuk mendeliniasi
daerah aliran sungai besar atau sungai utama. Daerah ini dibatasi oleh dua
kontur dan memiliki pola yang memotong kontur daerah di sekitarnya.
Proses pertama pendeliniasian adalah pewarnaan. Setelah daerah ini
diwarnai, dibuat 5 sayatan yang masing-masing memotong 5 kontur. Setiap
sayatan dihitung presentase kelerengannya dengan perhitungan morfometri
untuk mendapatkan klasifikasi kelerengan yang sesuai dengan klasifikasi Van
Zuidam (1983). Setelah dihitung, didapatkan presentase kelerengan rata-rata
sebesar 9,162 %. Presentasi ini menunjukkan bahwa klasifikasi lereng masuk
ke dalam bergelombang miring. Hal ini menunjukkan bahwa jarak antara
bagian sungai pada peta topografi dengan bagian hulu sudah jauh.
Proses-proses fluvial yang mempengaruhi pertumbuhan dan
perkembangan sungai yaitu erosi, transportasi, dan sedimentasi. Pada hasil
24
pengamatan peta topografi, pada sungai utama terdapat gosong tengah
(channel bar) sebagai hasil endapan yang ada di tengah sungai. Adanya
channel bar dan bentuk sungainya yang lebar, dapat diindikasikan bahwa
sungai ini termasuk sungai stadia dewasa.
Pada sungai stadia dewasa, erosi yang dominan dan berkembang yaitu
erosi lateral yang menyebabkan sungai bertambah lebar dan panjang. Erosi
lateral terjadi karena energi kinetik pada aliran sungai semakin berkurang
pada daerah yang relatif datar atau landai. Energi kinetik yang semakin
berkurang, mengakibatkan kecepatan aliran air juga semakin berkurang,
sedangkan energi potensialnya bertambah. Kecepatan aliran yang semakin
berkurang dan penambahan energi potensial mengakibatkan material –
material besar yang dibawanya akan diendapkan terlebih dahulu. Apabila
diendapkannya pada tengah sungai disebut channel bar, sedangkan yang di
tepi sungai disebut point bar. Terdapatnya endapan-endapan yang kasar,
mengakibatkan air tidak mampu mengerosi bagian dasar sungai, sehingga air
hanya mampu mengerosi bagian kanan dan kiri atau tepi sungai.
Sungai stadia dewasa juga dicirikan oleh adanya meander. Meander
adalah bentuk sungai yang berkelok-kelok yang terjadi akibat adanya
pengikisan dan pengendapan. Pada aliran air yang menuju kelokan sungai
akan terjadi perbedaan kecepatan antara slip of slope (lekukan yang menjorok
ke dalam) dan cut off slope (lekukan yang menjorok keluar). Kecepatan aliran
air maksimal ada pada bagian cut off slope karena gaya sentrifugal, sehingga
mengakibatkan energi kinetik maksimum. Energi kinetik yang maksimum,
menyebabkan proses erosi pada bagian cut off slope juga maksimum. Erosi
lateral yang terjadi dalam waktu yang cukup lama akan mengakibatkan
bertambah lebarnya sungai. Pada saat bagian cut off slope memperoleh
kecepatan aliran air yang maksimal, bagian slip of slope memperoleh
kecepatan aliran air yang minimum, sehingga energi kinetiknya minimum.
Energi kinetik yang minimum berbanding terbalik dengan energi potensialnya
yang maksimum. Energi potensial yang maksimum, mengakibatkan adanya
25
proses pengendapan karena dipengaruhi gaya gravitasi. Endapan ini terdapat
pada bagian tepi, sehingga disebut point bar.
Sungai merupakan salah satu bentuk tubuh air. Sungai utama dan anak
sungai dapat membentuk suau pola atau dikenal sebagai pola pengaliran. Pola
pengaliran yang berkembang pada hasil pengamatan peta topografi
dikategorikan ke dalam pola pengaliran dendritik. Pola ini berbentuk seperti
pohon dan cabang-cabangnya yang berarah tidak beraturan. Pola pengaliran
seperti ini, mengindikasikan bahwa daerah tersebut tersusun atas litologi
batuannya yang seragam.
Sungai besar stadia dewasa seperti ini biasa digunakan masyarakat
untuk MCK dan pengairan. Potensi positif sungai ini yaitu untuk penelitian,
penambangan pasir, dan bendungan, sedangkan potensi negatifnya yaitu
rawan terjadinya banjir terutama pada wilayah dataran banjir.
5.2 Satuan Deliniasi Denudasional
Daerah denudasional adalah daeah yang terbentuk akibat dari proses
erosi, pelapukan, dan pergerakan massa batuan sebagai bagian dari tenaga
eksogen yang menyebabkan terjadinya pengikisan muka bumi sehingga akan
menjadi level yang lebih rendah dan proses tersebut akan berhenti apabila
telah mencapai level dasar yang sama dengan daerah di sekitarnya. Pelapukan
yang terjadi, disebabkan oleh terakumulasinya air permukaan pada batuan
yang dilaluinya. Batuan yang tingkat resistensinya rendah akan mudah lapuk,
sehingga juga akan mudah tererosi. Hal ini mengindikasikan bahwa batuan
penyusunnya, mempunyai litologi yang seragam yaitu batuan yang mudah
lapuk.
Pada peta topografi, warna coklat digunakan untuk mendeliniasi daerah
denudasional. Daerah ini ditandai dengan kontur yang sangat jarang atau
hampir tidak ditemukannya kontur. Karena konturnya jarang atau hampir
tidak ditemukan, maka daerah ini memiliki ketinggian atau elevasi yang
hampir sama, sehingga daerahnya sangat landai atau hampir datar.
26
Pada daerah yang seperti ini, banyak ditemukan bangunan-bangunan,
rumah-rumah penduduk, dan infrastruktur lainnya. Potensi positif pada
daerah ini yaitu sebagai pusat atau tempat penyedia fasilitas-fasilitas dan
perlengkapan kebutuhan manusia karena akses jalan yang mudah, sedangkan
potensi negatifnya yaitu rawan banjir dan tanah yang ambles.
5.3 Satuan Deliniasi Struktural Kontur Rapat
Struktur rapat adalah kontur-kontur yang memilki jarak yang sangat
rapat atau rapat antara kontur yang satu dengan yang lainnya dan memiliki
puncak ketinggian. Pada umumnya, daerah berstruktur rapat mengindikasikan
bahwa daerah tersebut terjal.
Pada peta topografi, warna ungu tua digunakan untuk mendeliniasi
daerah yang memiliki kontur rapat. Setelah daerah ini diwarnai, dibuat 5
sayatan yang masing-masing memotong 5 kontur. Setiap sayatan dihitung
presentase kelerengannya dengan perhitungan morfometri untuk
mendapatkan klasifikasi kelerengan yang sesuai dengan klasifikasi Van
Zuidam (1983). Setelah dihitung, didapatkan presentase kelerengan rata-rata
sebesar 49,17 %. Presentasi ini menunjukkan bahwa klasifikasi lereng masuk
ke dalam berbukit terjal. Bukit tertinggi yang ada mempunyai ketinggian 770
meter di atas permukaan laut dan bukit terendanya mempunyai ketinggian
500 meter di atas permukaan laut. Dari bukit tertinggi dan buki terendah
dapat dihitung beda tingginya dan didapat hasil sebesar 270 meter. Hasil beda
tinggi ini menurut klasifikasi Van Zuidam 1983 masuk ke dalam berbukit
terjal. Dari hasil persen kelerengan dan beda tinggi, dapat disimpulkan bahwa
klasifikasi reliefnya yaitu berbukit terjal.
Proses geomorfik yang berkembang pada daerah ini, lebih didominasi
oleh tenaga endogen. Tenaga endogen ini berasal dari aktivitas tumbukan dua
lempeng. Hal ini mengakibatkan terdeformasinya suatu lapisan batuan.
Kontur rapat yang berada di sekitar kontur yang renggang,
mengindikasikan bahwa daerah tersebut dimungkinkan terdapat struktur.
Akan tetapi, diperlukan survei lapangan untuk memastikan kemungkinan
27
adanya struktur. Meskipun tenaga endogen paling dominan, tetapi tidak
menututp kemungkinan adanya proses pelapukan, erosi, transportasi, dan
sedimentasi sebagai bagian dari tenaga eksogen dalam presentase yang kecil.
Pada kondisi kelerengan yang seperti ini sangat jarang ditemukan jalan,
sehingga juga jarang ditemukan area pemukiman warga. Daerah ini pada
umumnya digunakan oleh masyarakat sekitar untuk daerah bercocok tanam
sayur-sayuran, kopi, teh, atau tumbuhan lain yang dapat hidup pada
ketinggian ini. Potensi positif yang mungkin ada yaitu untuk daerah wisata
alam, penelitian, dan daerah penambangan batu, sedangkan potensi
negatifnya yaitu sering terjadinya longsor.
5.4 Satuan Deliniasi Struktural Kontur Renggang
Struktur renggang adalah kontur-kontur yang memilki jarak yang
renggang atau tidak rapat antara yang kontur yang satu dengan yang lainnya.
Pada peta topografi, warna ungu muda digunakan untuk mendeliniasi daerah
yang memiliki kontur renggang. Kontur-konturnya yang renggang
mengindikasikan bahwa daerah tersebut merupakan suatu dataran yang
landai.
Setelah daerah ini diwarnai, dibuat 5 sayatan yang masing-masing
memotong 5 kontur. Setiap sayatan dihitung presentase kelerengannya
dengan perhitungan morfometri untuk mendapatkan klasifikasi kelerengan
yang sesuai dengan klasifikasi relief Van Zuidam (1983). Setelah dihitung,
didapatkan presentase kelerengan rata-rata sebesar 16,78 %. Presentasi ini
menunjukkan bahwa klasifikasi lereng masuk ke dalam berbukit
bergelombang. Bukit tertinggi yang ada mempunyai ketinggian 634 meter di
atas permukaan laut dan bukit terendanya mempunyai ketinggian 390 meter
di atas permukaan laut. Dari bukit tertinggi dan buki terendah dapat dihitung
beda tingginya dan didapat hasil sebesar 244 meter. Hasil beda tinggi ini
menurut klasifikasi relief Van Zuidam 1983 masuk ke dalam berbukit terjal.
Dari hasil persen kelerengan dan beda tinggi, dapat disimpulkan bahwa
klasifikasi reliefnya yaitu berbukit miring - berbukit terjal. Perbedaan hasil
28
klasifikasi relief antara persen kelerengan dan beda tinggi dikarenakan masih
salahnya proses pendelinasian.
Proses geomorfik yang berkembang pada daerh ini yaitu yang
disebabkan oleh tenaga eksogen. Sebagai contoh yaitu proses erosi dan
pelapukan. Ketika air permukaan yang mengalir menuruni lereng dan sampai
pada permukaan yang landai, maka akan menggenang pada suatu dataran atau
cekungan. Hal ini akan menyebabkan masuknya air pada tubuh batuan.
Apabila air tersebut terus menerus masuk, maka akan menyebabkan
pelapukan dan kemudian hancur. Batuan yang telah hancur, akan mudah
tererosi, tertransportasi oleh air, dan kemudian akan diendapkan ketika sudah
tidak ada lagi tenaga yang mengangkut material-material hasil erosi. Tidak
seperti hasil dari tenaga endogen yang bersifat membangun, proses erosi
umumnya bersifat destruktif (merusak).
Pada kondisi kelerengan yang seperti ini jalan dan bangunan mulai ada,
sehingga aktivitas masyarakat di sekitar gunung mulai berkembang. Lahan-
lahan pertanian dan ladang-ladang juga sering ditemukan. Hal ini dikaenakan
akses jalan dan pengerjaan yang mudah. Potensi positif yang mungkin ada
pada daerah ini yaitu untuk daerah wisata, sedangkan potensi negatifnya yaitu
rawan banjir dan longsor.
29
BAB VI
PENUTUP
6.1 Kesimpulan
Pada satuan deliniasi fluvial, warna pendeliniasiannya hijau muda,
klasifikasi reliefnya yaitu berbukit bergelombang, jenis sungainya yaitu
sungai stadia dewasa, pola pengalirannya yaitu dendritik, proses geomorfik
yang dominan disebabkan oleh tenaga eksogen, tata guna lahannya yaitu
untuk MCK dan pengairan, potensi positifnya yaitu penelitian,
penambangan pasir, bendungan, sedangkan potensi negatifnya yaitu rawan
banjir, terutaama pada dataran banjir.
Pada satuan deliniasi denudasional, warna pendeliniasiannya colat, proses
geomorfik yang dominan disebabkan oleh tenaga eksogen, tata guna
lahannya yaitu sebagai pemukiman, potensi positifnya yaitu sebagai
tempat atau pusat penyedia fasilitas-fasilitas dan perlengkapan kebutuhan
manusia, sedangkan potensi negatifnya yaitu polusi udara, rawan banjir,
dan tanah yang ambles.
Pada satuan deliniasi struktural kontur rapat, warna pendeliniasiannya
ungu tua, klasifikasi reliefnya yaitu berbukit terjal, proses geomorfik yang
dominan disebabkan oleh tenaga endogen, tata guna lahannya yaitu
sebagai tempat bercocok tanam sayuran, kopi, teh, dan tanaman yang
dapat tumbuh pada ketinggian ini, potensi positifnya yaitu sebagai daerah
wisata alam, penelitian, penambangan batu, sedangkan potensi negatifnya
yaitu rawan longsor.
Pada satuan deliniasi struktural kontur renggang, warna pendeliniasiannya
ungu muda, klasifikasi reliefnya yaitu berbukit bergelombang – berbukit
terjal, proses geomorfik yang dominan disebabkan oleh tenaga eksogen,
tata guna lahannya yaitu sebagai tempat ladang dan tempat pertanian,
potensi positifnya yaitu sebagai daerah wisata, sedangkan potensi
negatifnya yaitu rawan banjir dan longsor.
30
6.2 Saran
Tempat berkontur rapat, tidak cocok apabila didirikan bangunan-bangunan
tinggi atau pencakar langit.
Kurang tepat apabila mendirikan rumah atau bangunan di dataran banjir.
Apabila ingin mendirikan bangunan pada daerah denudasional, sebaiknya
dilihat dahulu jenis tanahnya.
31