bentang alam fluvial

43
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Maksud Menginterpretasikan kenampakan bentang alam fluvial pada peta topografi. Mengetahui proses-proses pembentukan bentang alam fluvial. Mengetahui macam-macam bentang alam fluvial. Mengetahui pembagian stadia sungai. 1.2 Tujuan Mampu menginterpretasikan kenampakan bentang alam fluvial pada peta topografi. Mampu mengetahui proses-proses pembentukan bentang alam fluvial. Mampu mengetahui macam-macam bentang alam fluvial. Mampu mengetahui pembagian stadia sungai. 1.3 Waktu dan Tempat Pelaksanaan Hari / Tanggal : Jumat, 5 April 2013 Pukul : 13.30 – 15.00 WIB Tempat : Ruang GS 301 Gedung Pertamina Sukowati Teknik Geologi Universitas Diponegoro 1

Upload: ammar-baskara

Post on 22-Jan-2016

127 views

Category:

Documents


8 download

TRANSCRIPT

Page 1: Bentang Alam Fluvial

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Maksud

Menginterpretasikan kenampakan bentang alam fluvial pada peta

topografi.

Mengetahui proses-proses pembentukan bentang alam fluvial.

Mengetahui macam-macam bentang alam fluvial.

Mengetahui pembagian stadia sungai.

1.2 Tujuan

Mampu menginterpretasikan kenampakan bentang alam fluvial pada peta

topografi.

Mampu mengetahui proses-proses pembentukan bentang alam fluvial.

Mampu mengetahui macam-macam bentang alam fluvial.

Mampu mengetahui pembagian stadia sungai.

1.3 Waktu dan Tempat Pelaksanaan

Hari / Tanggal : Jumat, 5 April 2013

Pukul : 13.30 – 15.00 WIB

Tempat : Ruang GS 301

Gedung Pertamina Sukowati

Teknik Geologi

Universitas Diponegoro

BAB II

1

Page 2: Bentang Alam Fluvial

DASAR TEORI

2.1. Macam – Macam Proses Fluvial

2.1.1 Proses Erosi

Proses erosi adalah suatu proses atau peristiwa hilangnya lapisan

permukaan tanah atau terangkutnya tanah atau bagian – bagian tanah

dari suatu tempat ke tempat lain oleh pergerakan air atau angin.

Menurut Holy, 1980, agen penyebab erosi dibagi empat macam

yaitu erosi oleh air, erosi oleh angin, erosi oleh gletser, dan erosi oleh

salju. Dalam bentang alam fluvial, agen penyebab erosi yang paling

dominan adalah air.

Berdasarkan arahnya, erosi dapat dibedakan menjadi:

Erosi ke arah hulu

Erosi yang terjadi pada ujung bagian hulu sungai.

Gambar 1. Erosi ke arah hulu di Lavaka, Madagaskar.

Erosi vertikal

2

Page 3: Bentang Alam Fluvial

Erosi yang arahnya tegak dan cenderung teradi pada daerah bagian

hulu sungai dan menyebabkan terjadinya pendalaman lembah

sungai.

Gambar 2. Erosi Vertikal.

Erosi lateral

Erosi yang arahnya mendatar dan dominan terjadi pada daerah

tengah sungai yang menyebabkan bertmabah lebar dan penjang

sungai.

Gambar 3. Erosi lateral.

Intensitas erosi suatu sungai berbanding lurus dengan kecepatan

aliran sungai. Erosi akan lebih efektif apabila media yang bersangkutan

mengangkut bermacam-macam material.

Sifat-sifat erosi:

3

Page 4: Bentang Alam Fluvial

Intensitasnya sebanding dengan aliran sungai.

Semakin banyak bercampur dengan material lain, maka erosi

semakain efektif.

Selalu menuju ke ultimate base level.

2.1.2 Proses Transportasi

Sungai mengangkut material hasil erosinya dengan berbagai cara,

yaitu:

Traksi, yaitu material yang diangkut akan terseret pada dasar sungai.

Rolling, yaitu material akan terangkut dengan cara menggelinding di

dasar sungai.

Saltasi, yaitu material terangkut dengan cara menggelinding pada

dasar sungai.

Suspensi, yaitu proses pengangkutan material secara mengambang

dan bercampur dengan air sehingga menyebabkan air sungai keruh.

Solution, yaitu pengangkutan material larut dalam air dan

membentuk larutan kima.

Gambar 4. Proses Transportasi

2.1.3 Proses Sedimentasi

4

Page 5: Bentang Alam Fluvial

Proses sedimentasi adalah proses pengendapan material karena

aliran sungai tidak mampu lagi mengangkut material yang dibawanya.

Apabila tenaga angkut semakin berkurang, maka material yang

berukuran besar dan lebih berat akan terendapkan terlebih dahulu,

kemudian material yang halus dan ringan.

Bagian sungai yang paling efektif untuk proses pengendapan

adalah bagian hilir atau pada bagian slip of slope pada kelokan sungai.

Ukuran material berbanding lurus dengan besarnya energi pengangkut.

Semakin ke arah hilir, energi semakin kecil, material yang diendapkan

Gambar 5. Pengedapan pada bagian slip of slope.

2.2. Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Proses Erosi dan Sedimentasi

2.2.1 Kecepatan aliran sungai

Kecepatan aliran sungai maksimal pada tengah alur sungai.

Apabila sungai membelok, maka kecepatan maksimal ada pada daerah

cut off slope (terjadi erosi) karena gaya sentrifugal. Pengendapan terjadi

bila kecepatan menurun bahkan hilang.

2.2.2 Gradien atau kemiringan lereng sungai

5

Slip of Slope

Page 6: Bentang Alam Fluvial

Apabila air mengalir dari sungai yang kemiringan lerengnya curam

ke dataran yang lebih rendah, maka kecepatan air berkurang dan tiba-

tiba hilang, sehingga menyebabkan pengendapan pada dasar sungai.

Apabila kemudian ada lereng yang terjal lagi, kecepatan akan

meningkat, sehingga terjadi erosi yang menyebabkan pendalaman

lembah.

2.2.3 Bentuk alur sungai

Aliran air akan menggerus bagian tepid an dasar sungai. Semakin

besar gesekan yang terjadi, maka air akan mengalir lebih lambat.

Sungai yang dalam, sempit, dan permukaan dasarnya tidak kasar, aliran

airnya deras. Sungai yang lebar, dangkal, dan permukaan dasarnya tidak

kasar atau sempit, dalam, tetapi permukaan dasarnya kasar, aliran

airnya lambat.

2.2.4 Discharge

Merupakan volume air yang keluar dari suatu sungai. Proses erosi

dan transportasi terjadi karena besarnya kecapatan aliran sugai dan

discharge.

2.3. Pola Pengaliran (Drainage Pattern)

Bentuk-bentuk tubuh air disebut pengaliran (drainage) meliputi danau,

sungai, rawa, laut, dan sejenisnya. Suatu sungai atau lebih beserta anak sungai

dan cabangnya akan membentuk suatu pola atau system tertentu yang dikenal

sebagai pola pengaliran. (drainage pattern).

Pola ini bervariasi bergantung pada struktur batuan dan variasi

litologinya.

2.3.1 Pola Pengaliran Rectangular

6

Page 7: Bentang Alam Fluvial

Pola pengaliran di mana anak-anak sungainya membentuk sudut

tegak lurus dengan sungai utamanya. Pola ini biasanya terdapat pada

daerah patahan bersistem teratur.

Gambar 6. Pola pengaliran rectangular.

2.3.2 Pola Pengaliran Dendritik

Pola pengaliran berbentuk sepert pohon dan cabang-cabangnya

yang berarah tidak beraturan. Pola ini berkembang pada daerah dengan

batuan yang resistensinya seragam, lapisan sedimen mendatar, batuan

beku massif, daerah lipatan, dan daerah metamorf yang kompleks.

Gambar 7. Pola pengaliran dendritik.

2.3.3 Pola Pengaliran Sejajar / Parallel

7

Page 8: Bentang Alam Fluvial

Pola pengaliran yang arah alirannya sejajar. Berkembang pada

daerah yang lerengnya mempunyai kemiringan yang nyata dan

batuannya bertekstur halus.

Gambar 8. Pola pengaliran parallel atau sejajar.

2.3.4 Pola Pengaliran Trellis

Pola pengaliran yang berbentuk seperti daun dengan anak-anak

sungai sejajar, sungai utamanya biasanya memanjang searah dengan

jurus perlapisan batuan. Banyak dijumpai pada daerah patahan atau

lipatan.

Gambar 9. Pola pengaliran trellis.

2.3.5 Pola Pengaliran Radial

8

Page 9: Bentang Alam Fluvial

Pola pengaliran yang arah-arah pengalirannya menyebar kesegala

arah dari suatu pusat. Umumnya berkembang pada daerah dengan

struktur kubah stadia muda, pada kerucut gunungapi, dan pada bukit-

bukit berbentuk kerucut.

Gambar 10. Pola pengaliran radial.

2.3.6 Pola Pengaliran Annular

Pola pengaliran di mana sungai atau anak sungainya mempunyai

penyebaran yang melingkar, sering dijumpai pada daerah kubah stadia

dewasa.

Gambar 11. Pola pengaliran annular.

2.3.7 Pola Pengaliran Multi Basinal

9

Page 10: Bentang Alam Fluvial

Disebut juga sink hole, adalah pola pengaliran yang tidak

sempurna. Kadang tampak, kadang hilang yang disebut sebagai sungai

bawah tanah. Berkembang pada daerah karst atau batu gamping.

Gambar 12. Pola pengaliran multi basinal.

2.3.8 Pola Pengaliran Contorted

Pola pengaliran yang arah alirannya berbalik dari arah semula.

Terdapat pada daerah patahan.

Gambar 13. Pola pengaliran contorted

2.4 Genesa Pembentukan Lembah Sungai

2.4.1 Stadia Muda

10

Page 11: Bentang Alam Fluvial

Biasanya di daerah hulu.

Sungai sangat aktif, erosi berlangsung cepat.

Erosi vertikal lebih kuat daripada erosi lateral.

Lembah sungai mempunyai profil berbentuk V.

Gradien sungai curam, terdapat jeram dan air terjun.

Anak sungai sedikit dan kecil.

Aliran sungai deras (energi pengangkutnya besar).

Bentuk sungai relatif lurus.

Gambar 14. Sungai stadia muda

2.4.2 Stadia Dewasa

Kecepatan aliran mulai berkurang.

Gradien sungai sedang, tidak terdapat jeram, dan air terjun.

Mulai terbentuk dataran banjir dan tanggul alam.

Erosi lateral (ke samping) lebih kuat dari erosi vertikal.

Mulai terbentuk meander sungai.

Pada tingkat ini sungai mencapai kedalaman paling besar.

11

Page 12: Bentang Alam Fluvial

Gambar 15. Sungai stadia dewasa

2.4.3 Stadia Tua

Kecepatan aliran semakin berkurang.

Lebih banyak sedimentasi daripada erosi.

Berkembang di daera hilir.

Banyak terbentuk sungai meander, danau tapal kuda, dan tanggul

alam.

Terjadi pelebaran lembah.

Gambar 16. Sungai stadia tua

BAB III

METODOLOGI

12

Page 13: Bentang Alam Fluvial

3.1 Alat dan Bahan

3.1.1.Alat

Gunting

Perlengkapan alat tulis

Pensil Warna

Kalkulator

3.1.2.Bahan

Kertas kallir A3 tiga lembar

Kertas milimeter blok A3

Peta topografi daerah Ungaran skala 1:25.000

Kertas HVS A4 2 lembar

3.2 Cara Kerja

3.2.1. Persiapan alat dan bahan di atas meja.

3.2.2. Pemerian garis tepi pada 3 lembar kertas kalkir A 3.

3.2.3. Pengkaitan ujung-ujung 3 lembar kertas kalkir A 3 di atas peta

topografi daerah Randudongkal dan sekitarnya skala 1:25.000.

3.2.4. Pembuatan deliniasi struktur rapat, struktur renggang,

denudasional, dan fluvial dengan memberi batas-batas di antara

keduanya pada kertas lembar kalkir yang pertama.

3.2.5. Pemberian warna ungu tua pada struktur yang rapat dan pemberian

warna ungu muda pada struktur yang renggang.

3.2.6. Pembuatan 5 sayatan pada struktur rapat dan 5 sayatan pada

struktur renggang yang masing–masing melewati 5 kontur pada

hasil deliniasi yang telah diberi warna.

3.2.7. Penghitungan persen kelerengan rata-rata dan beda tinggi.

3.2.8. Pengklasifikasian ke dalam klasifikasi relief Van Zuidam 1983.

3.2.9. Pembuataan dan pewarnaan deliniasi fluvial dengan warna hijau.

13

Page 14: Bentang Alam Fluvial

3.2.10. Pembuatan 5 sayatan pada hasil deliniasi fluvial dari batas sungai

sampai kontur terdekat.

3.2.11. Penghitungan persen kelerengan rata-rata.

3.2.12. Pengklasifikasian ke dalam klasifikasi relief Van Zuidam 1983.

3.2.13. Pembuatan deliniasi denudasional dan pemerian warna coklat.

3.2.14. Pergantian kertas kalkir yang baru.

3.2.15. Pemerian warna biru tua untuk pola pengaliran sungai utama.

3.2.16. Pemerian warna biru muda untuk pola pengaliran anak sungai.

3.2.17. Pemerian warna merah untuk jalan.

3.2.18. Pembuatan sayatan dengan panjang 30 cm pada peta topografi yang

melewati satuan kontur sangat rapat, rapat, renggang, dan sungai

pada kertas kalkir lembar pertama.

3.2.19. Pembuatan profil sayatan melintang eksagrasi pada kertas

millimeter blok A3.

3.2.20. Pemerian warna pada hasil profil sayatan melintang eksagrasi

sesuai dengan hasil deliniasi.

3.2 Diagram Alir

14

Mulai

Page 15: Bentang Alam Fluvial

BAB IV

15

Penyiapan alat dan bahan yang dibutuhkan.

Pembuatan deliniasi struktur rapat, struktur renggang, fluvial, dan denudasional yang terdapat pada peta topografi daerah Randudongkal dan

sekitarnya dengan skala 1: 25.000 di atas kertas kalkir.

Pemberian warna hasil deliniasi. Warna ungu tua untuk struktur yang rapat, ungu muda untuk struktur yang renggang, hijua untuk fluvial, dan coklat

untuk denudasional.

Pembuatan lima garis sayatan pada struktur rapat dan lima garis sayatan pada struktur renggang yang masing-masing memotong lima kontur, dan lima garis

sayatan pada fluvial dari batas sungai sampai kontur terdekat

Penghitungan morfometri masing-masing sayatan.

Pengklasifikasian relief pada sayatan rapat, sayatan renggang, dan sayatan fluvial ke dalam klasifikasi Van Zuidam.

Pembuatan pola pengaliran jalan pada kertas kalkir yang berbeda dan pemberian warna merah pada hasil deliniasi.

Pencatatan hasil perhitungan morfometri pada kertas HVS A4.

Selesai

Pembuatan pola pengaliran sungai pada kertas kalkir yang berbeda dan pemerian warna biru tua untuk sungai besar dan biru muda untuk anak sungai

Pembuatan sayatan melintang sepanjang 30 cm pada peta topografi yang melewati kontur sangat rapat, rapat, renggang, dan sungai.

Pemindahan hasil sayatan ke kertas millimeter blok A3 dengan profil sayatan melintang dan dengan skala vertikal 1:12.500 dan skala horizontal 1:25.000

Page 16: Bentang Alam Fluvial

PERHITUNGAN MORFOMETRI

Klasifikasi relief berdasarkan table Van Zuidam 1983

% lereng = h/d x 100%

IK = 1/2000 x skala

= 1/2000 x 25.000

= 12,5 m

d = Panjang Garis x skala peta (dalam satuan meter)

Rata-rata kelerengan = % lereng total/jumlah sayatan

Beda Tinggi = Tophill – Lowhill (dalam satuan meter)

Tabel 1. Klasifikasi Relief Van Zuidam 1983

3.1 Satuan Struktural Kontur Rapat

∆ h = n kontur x Indeks Kontur (IK)

16

Page 17: Bentang Alam Fluvial

= 5 x 12,5

= 62,5 m

3.1.1. Sayatan 1

c 1 = p x skala

= 0,5 x 25000

= 12.500 cm

= 125 m

% lereng = ∆ h/d x 100 %

= 62,5/125 x 100 %

= 50 %

3.1.2. Sayatan 2

c 2 = p x skala

= 0,6 x 25000

= 15.000 cm

= 150 m

% lereng = ∆ h/d x 100 %

= 62,5/150 x 100 %

= 41,67 %

3.1.3. Sayatan 3

c 3 = p x skala

= 0,5 x 25000

= 12.500 cm

= 125 m

% lereng = ∆ h/d x 100 %

= 62,5/125 x 100%

= 50 %

3.1.4. Sayatan 4

c 4 = p x skala

17

Page 18: Bentang Alam Fluvial

= 0,4 x 25000

= 10.000 cm

= 100 m

% lereng = ∆ h/d x 100 %

= 62,5/100 x 100%

= 62,5 %

3.1.5. Sayatan 5

c 5 = p x skala

= 0,6 x 25000

= 15.000 cm

= 150 m

% lereng = ∆ h/d x 100 %

= 62,5/150 x 100%

= 41,67 %

3.1.6. Rata-Rata Kelerengan

= % lereng total/jumlah sayatan

= (50 % + 41,67 % + 50 % + 62,5 % + 41,67 %) / 5

= 245,84 % / 5

= 49,17 %

(Berbukit Terjal)

3.1.7. Beda Tinggi

= Tophill – Lowhill

= 770 - 500

= 270 m

(Berbukit Terjal)

3.1.8. Klasifikasi Relief

18

Page 19: Bentang Alam Fluvial

Jadi, dari hasil rata-rata % kelerengan dan beda tinggi, klasifikasi

relief dari satuan struktural kontur rapat yaitu berbukit berbukit terjal.

3.2 Satuan Struktural Kontur Renggang

∆ h = n kontur x Indeks Kontur (IK)

= 5 x 12,5

= 62,5 m

3.2.1. Sayatan 1

b 1 = p x skala

= 1,5 x 25000

= 37500 cm

= 375 m

% lereng = ∆ h/d x 100 %

= 62,5/375 x 100 %

= 16,67 %

3.2.2. Sayatan 2

b 2 = p x skala

= 2 x 25000

= 50.000 cm

= 500 m

% lereng = ∆ h/d x 100 %

= 62,5/500 x 100 %

= 12,5 %

3.2.3. Sayatan 3

19

Page 20: Bentang Alam Fluvial

b 3 = p x skala

= 1 x 25000

= 25.000 cm

= 250 m

% lereng = ∆ h/d x 100 %

= 62,5/250 x 100%

= 25 %

3.2.4. Sayatan 4

b 4 = p x skala

= 1,5 x 25000

= 37.500 cm

= 375 m

% lereng = ∆ h/d x 100 %

= 62,5/375 x 100%

= 16,67 %

3.2.5. Sayatan 5

b 5 = p x skala

= 2 x 25000

= 50.000 cm

= 500 m

% lereng = ∆ h/d x 100 %

= 62,5/500 x 100%

= 13,1 %

3.2.6. Rata-Rata Kelerengan

20

Page 21: Bentang Alam Fluvial

= % lereng total/jumlah sayatan

= (16,67 % + 12,5 % + 25 % + 16,67 % + 13,1 %) / 5

= 83,94 % / 5

= 16,78 %

(Berbukit Bergelombang)

3.2.7. Beda Tinggi

= Tophill – Lowhill

= 634 - 390

= 244 m

(Berbukit Terjal)

3.2.8. Klasifikasi Relief

Jadi, dari hasil rata-rata % kelerengan dan beda tinggi, klasifikasi

relief dari satuan struktural kontur renggang yaitu berbukit

bergelombang – berbukit terjal.

3.3 Satuan Fluvial

∆ h = n kontur x Indeks Kontur (IK)

= 1 x 12,5

= 12,5 m

3.3.1. Sayatan 1

d 1 = p x skala

= 0,4 x 25000

= 10.000 cm

= 100 m

% lereng = ∆ h/d x 100 %

= 12,5/100 x 100 %

= 12,5 %

3.3.2. Sayatan 2

21

Page 22: Bentang Alam Fluvial

d 2 = p x skala

= 0,9 x 25000

= 22.500 cm

= 225 m

% lereng = ∆ h/d x 100 %

= 12,5/225 x 100 %

= 5,56 %

3.3.3. Sayatan 3

d 3 = p x skala

= 0,5 x 25000

= 12.500 cm

= 125 m

% lereng = ∆ h/d x 100 %

= 12,5/125 x 100%

= 10 %

3.3.4. Sayatan 4

d 4 = p x skala

= 0,5 x 25000

= 12.500 cm

= 125 m

% lereng = ∆ h/d x 100 %

= 12,5/125 x 100%

= 10 %

3.3.5. Sayatan 5

22

Page 23: Bentang Alam Fluvial

d 5 = p x skala

= 0,5 x 25000

= 12.500 cm

= 125 m

% lereng = ∆ h/d x 100 %

= 12,5/125 x 100%

= 10 %

3.3.6. Rata-Rata Kelerengan

= % lereng total/jumlah sayatan

= (12,5 % + 5,56 % + 10 % + 10 % + 10 %) / 5

= 48,06 % / 5

= 9,612 %

(Bergelombang Miring)

3.3.7. Klasifikasi Relief

Jadi, dari hasil rata-rata % kelerengan, klasifikasi relief dari satuan

fluvial yaitu bergelombang miring.

BAB V

23

Page 24: Bentang Alam Fluvial

PEMBAHASAN

Bentang alam fluvial adalah bentang alam yang terbentuk karena proses

fluviatil. Proses fluviatil adalah semua proses yang terjadi di alam baik fisika

maupun kimia yang mengakibatkan adanya perubahan bentuk permukaan bumi

yang disebabkan aksi air permukaan.

Proses fluviatil akan menghasilkan suatu bantang alam yang khas sebagai

tingkah laku air yang mengalir di permukaan. Bentang alam yang dibentuk dapat

terjadi karena proses erosi maupun proses sedimentasi yang dilakukan oleh air

permukaan.

5.1 Satuan Deliniasi Fluvial

Proses pembentukan sungai dipengaruhi oleh proses fluviatil yaitu

proses yang terjadi di alam baik fisika maupun kimia yang mengakibatkan

adanya perubahan bentuk muka bumi yang disebabkan oleh aksi air

permukaan. Air permukaan bersifat mengerosi daerah yang dilewatinya,

sehingga intensitas dan laju air yang mengalir secara terus menerus

mempengaruhi bentuk-bentuk tubuh air yang ada.

Pada peta topografi, warna hijau muda digunakan untuk mendeliniasi

daerah aliran sungai besar atau sungai utama. Daerah ini dibatasi oleh dua

kontur dan memiliki pola yang memotong kontur daerah di sekitarnya.

Proses pertama pendeliniasian adalah pewarnaan. Setelah daerah ini

diwarnai, dibuat 5 sayatan yang masing-masing memotong 5 kontur. Setiap

sayatan dihitung presentase kelerengannya dengan perhitungan morfometri

untuk mendapatkan klasifikasi kelerengan yang sesuai dengan klasifikasi Van

Zuidam (1983). Setelah dihitung, didapatkan presentase kelerengan rata-rata

sebesar 9,162 %. Presentasi ini menunjukkan bahwa klasifikasi lereng masuk

ke dalam bergelombang miring. Hal ini menunjukkan bahwa jarak antara

bagian sungai pada peta topografi dengan bagian hulu sudah jauh.

Proses-proses fluvial yang mempengaruhi pertumbuhan dan

perkembangan sungai yaitu erosi, transportasi, dan sedimentasi. Pada hasil

24

Page 25: Bentang Alam Fluvial

pengamatan peta topografi, pada sungai utama terdapat gosong tengah

(channel bar) sebagai hasil endapan yang ada di tengah sungai. Adanya

channel bar dan bentuk sungainya yang lebar, dapat diindikasikan bahwa

sungai ini termasuk sungai stadia dewasa.

Pada sungai stadia dewasa, erosi yang dominan dan berkembang yaitu

erosi lateral yang menyebabkan sungai bertambah lebar dan panjang. Erosi

lateral terjadi karena energi kinetik pada aliran sungai semakin berkurang

pada daerah yang relatif datar atau landai. Energi kinetik yang semakin

berkurang, mengakibatkan kecepatan aliran air juga semakin berkurang,

sedangkan energi potensialnya bertambah. Kecepatan aliran yang semakin

berkurang dan penambahan energi potensial mengakibatkan material –

material besar yang dibawanya akan diendapkan terlebih dahulu. Apabila

diendapkannya pada tengah sungai disebut channel bar, sedangkan yang di

tepi sungai disebut point bar. Terdapatnya endapan-endapan yang kasar,

mengakibatkan air tidak mampu mengerosi bagian dasar sungai, sehingga air

hanya mampu mengerosi bagian kanan dan kiri atau tepi sungai.

Sungai stadia dewasa juga dicirikan oleh adanya meander. Meander

adalah bentuk sungai yang berkelok-kelok yang terjadi akibat adanya

pengikisan dan pengendapan. Pada aliran air yang menuju kelokan sungai

akan terjadi perbedaan kecepatan antara slip of slope (lekukan yang menjorok

ke dalam) dan cut off slope (lekukan yang menjorok keluar). Kecepatan aliran

air maksimal ada pada bagian cut off slope karena gaya sentrifugal, sehingga

mengakibatkan energi kinetik maksimum. Energi kinetik yang maksimum,

menyebabkan proses erosi pada bagian cut off slope juga maksimum. Erosi

lateral yang terjadi dalam waktu yang cukup lama akan mengakibatkan

bertambah lebarnya sungai. Pada saat bagian cut off slope memperoleh

kecepatan aliran air yang maksimal, bagian slip of slope memperoleh

kecepatan aliran air yang minimum, sehingga energi kinetiknya minimum.

Energi kinetik yang minimum berbanding terbalik dengan energi potensialnya

yang maksimum. Energi potensial yang maksimum, mengakibatkan adanya

25

Page 26: Bentang Alam Fluvial

proses pengendapan karena dipengaruhi gaya gravitasi. Endapan ini terdapat

pada bagian tepi, sehingga disebut point bar.

Sungai merupakan salah satu bentuk tubuh air. Sungai utama dan anak

sungai dapat membentuk suau pola atau dikenal sebagai pola pengaliran. Pola

pengaliran yang berkembang pada hasil pengamatan peta topografi

dikategorikan ke dalam pola pengaliran dendritik. Pola ini berbentuk seperti

pohon dan cabang-cabangnya yang berarah tidak beraturan. Pola pengaliran

seperti ini, mengindikasikan bahwa daerah tersebut tersusun atas litologi

batuannya yang seragam.

Sungai besar stadia dewasa seperti ini biasa digunakan masyarakat

untuk MCK dan pengairan. Potensi positif sungai ini yaitu untuk penelitian,

penambangan pasir, dan bendungan, sedangkan potensi negatifnya yaitu

rawan terjadinya banjir terutama pada wilayah dataran banjir.

5.2 Satuan Deliniasi Denudasional

Daerah denudasional adalah daeah yang terbentuk akibat dari proses

erosi, pelapukan, dan pergerakan massa batuan sebagai bagian dari tenaga

eksogen yang menyebabkan terjadinya pengikisan muka bumi sehingga akan

menjadi level yang lebih rendah dan proses tersebut akan berhenti apabila

telah mencapai level dasar yang sama dengan daerah di sekitarnya. Pelapukan

yang terjadi, disebabkan oleh terakumulasinya air permukaan pada batuan

yang dilaluinya. Batuan yang tingkat resistensinya rendah akan mudah lapuk,

sehingga juga akan mudah tererosi. Hal ini mengindikasikan bahwa batuan

penyusunnya, mempunyai litologi yang seragam yaitu batuan yang mudah

lapuk.

Pada peta topografi, warna coklat digunakan untuk mendeliniasi daerah

denudasional. Daerah ini ditandai dengan kontur yang sangat jarang atau

hampir tidak ditemukannya kontur. Karena konturnya jarang atau hampir

tidak ditemukan, maka daerah ini memiliki ketinggian atau elevasi yang

hampir sama, sehingga daerahnya sangat landai atau hampir datar.

26

Page 27: Bentang Alam Fluvial

Pada daerah yang seperti ini, banyak ditemukan bangunan-bangunan,

rumah-rumah penduduk, dan infrastruktur lainnya. Potensi positif pada

daerah ini yaitu sebagai pusat atau tempat penyedia fasilitas-fasilitas dan

perlengkapan kebutuhan manusia karena akses jalan yang mudah, sedangkan

potensi negatifnya yaitu rawan banjir dan tanah yang ambles.

5.3 Satuan Deliniasi Struktural Kontur Rapat

Struktur rapat adalah kontur-kontur yang memilki jarak yang sangat

rapat atau rapat antara kontur yang satu dengan yang lainnya dan memiliki

puncak ketinggian. Pada umumnya, daerah berstruktur rapat mengindikasikan

bahwa daerah tersebut terjal.

Pada peta topografi, warna ungu tua digunakan untuk mendeliniasi

daerah yang memiliki kontur rapat. Setelah daerah ini diwarnai, dibuat 5

sayatan yang masing-masing memotong 5 kontur. Setiap sayatan dihitung

presentase kelerengannya dengan perhitungan morfometri untuk

mendapatkan klasifikasi kelerengan yang sesuai dengan klasifikasi Van

Zuidam (1983). Setelah dihitung, didapatkan presentase kelerengan rata-rata

sebesar 49,17 %. Presentasi ini menunjukkan bahwa klasifikasi lereng masuk

ke dalam berbukit terjal. Bukit tertinggi yang ada mempunyai ketinggian 770

meter di atas permukaan laut dan bukit terendanya mempunyai ketinggian

500 meter di atas permukaan laut. Dari bukit tertinggi dan buki terendah

dapat dihitung beda tingginya dan didapat hasil sebesar 270 meter. Hasil beda

tinggi ini menurut klasifikasi Van Zuidam 1983 masuk ke dalam berbukit

terjal. Dari hasil persen kelerengan dan beda tinggi, dapat disimpulkan bahwa

klasifikasi reliefnya yaitu berbukit terjal.

Proses geomorfik yang berkembang pada daerah ini, lebih didominasi

oleh tenaga endogen. Tenaga endogen ini berasal dari aktivitas tumbukan dua

lempeng. Hal ini mengakibatkan terdeformasinya suatu lapisan batuan.

Kontur rapat yang berada di sekitar kontur yang renggang,

mengindikasikan bahwa daerah tersebut dimungkinkan terdapat struktur.

Akan tetapi, diperlukan survei lapangan untuk memastikan kemungkinan

27

Page 28: Bentang Alam Fluvial

adanya struktur. Meskipun tenaga endogen paling dominan, tetapi tidak

menututp kemungkinan adanya proses pelapukan, erosi, transportasi, dan

sedimentasi sebagai bagian dari tenaga eksogen dalam presentase yang kecil.

Pada kondisi kelerengan yang seperti ini sangat jarang ditemukan jalan,

sehingga juga jarang ditemukan area pemukiman warga. Daerah ini pada

umumnya digunakan oleh masyarakat sekitar untuk daerah bercocok tanam

sayur-sayuran, kopi, teh, atau tumbuhan lain yang dapat hidup pada

ketinggian ini. Potensi positif yang mungkin ada yaitu untuk daerah wisata

alam, penelitian, dan daerah penambangan batu, sedangkan potensi

negatifnya yaitu sering terjadinya longsor.

5.4 Satuan Deliniasi Struktural Kontur Renggang

Struktur renggang adalah kontur-kontur yang memilki jarak yang

renggang atau tidak rapat antara yang kontur yang satu dengan yang lainnya.

Pada peta topografi, warna ungu muda digunakan untuk mendeliniasi daerah

yang memiliki kontur renggang. Kontur-konturnya yang renggang

mengindikasikan bahwa daerah tersebut merupakan suatu dataran yang

landai.

Setelah daerah ini diwarnai, dibuat 5 sayatan yang masing-masing

memotong 5 kontur. Setiap sayatan dihitung presentase kelerengannya

dengan perhitungan morfometri untuk mendapatkan klasifikasi kelerengan

yang sesuai dengan klasifikasi relief Van Zuidam (1983). Setelah dihitung,

didapatkan presentase kelerengan rata-rata sebesar 16,78 %. Presentasi ini

menunjukkan bahwa klasifikasi lereng masuk ke dalam berbukit

bergelombang. Bukit tertinggi yang ada mempunyai ketinggian 634 meter di

atas permukaan laut dan bukit terendanya mempunyai ketinggian 390 meter

di atas permukaan laut. Dari bukit tertinggi dan buki terendah dapat dihitung

beda tingginya dan didapat hasil sebesar 244 meter. Hasil beda tinggi ini

menurut klasifikasi relief Van Zuidam 1983 masuk ke dalam berbukit terjal.

Dari hasil persen kelerengan dan beda tinggi, dapat disimpulkan bahwa

klasifikasi reliefnya yaitu berbukit miring - berbukit terjal. Perbedaan hasil

28

Page 29: Bentang Alam Fluvial

klasifikasi relief antara persen kelerengan dan beda tinggi dikarenakan masih

salahnya proses pendelinasian.

Proses geomorfik yang berkembang pada daerh ini yaitu yang

disebabkan oleh tenaga eksogen. Sebagai contoh yaitu proses erosi dan

pelapukan. Ketika air permukaan yang mengalir menuruni lereng dan sampai

pada permukaan yang landai, maka akan menggenang pada suatu dataran atau

cekungan. Hal ini akan menyebabkan masuknya air pada tubuh batuan.

Apabila air tersebut terus menerus masuk, maka akan menyebabkan

pelapukan dan kemudian hancur. Batuan yang telah hancur, akan mudah

tererosi, tertransportasi oleh air, dan kemudian akan diendapkan ketika sudah

tidak ada lagi tenaga yang mengangkut material-material hasil erosi. Tidak

seperti hasil dari tenaga endogen yang bersifat membangun, proses erosi

umumnya bersifat destruktif (merusak).

Pada kondisi kelerengan yang seperti ini jalan dan bangunan mulai ada,

sehingga aktivitas masyarakat di sekitar gunung mulai berkembang. Lahan-

lahan pertanian dan ladang-ladang juga sering ditemukan. Hal ini dikaenakan

akses jalan dan pengerjaan yang mudah. Potensi positif yang mungkin ada

pada daerah ini yaitu untuk daerah wisata, sedangkan potensi negatifnya yaitu

rawan banjir dan longsor.

29

Page 30: Bentang Alam Fluvial

BAB VI

PENUTUP

6.1 Kesimpulan

Pada satuan deliniasi fluvial, warna pendeliniasiannya hijau muda,

klasifikasi reliefnya yaitu berbukit bergelombang, jenis sungainya yaitu

sungai stadia dewasa, pola pengalirannya yaitu dendritik, proses geomorfik

yang dominan disebabkan oleh tenaga eksogen, tata guna lahannya yaitu

untuk MCK dan pengairan, potensi positifnya yaitu penelitian,

penambangan pasir, bendungan, sedangkan potensi negatifnya yaitu rawan

banjir, terutaama pada dataran banjir.

Pada satuan deliniasi denudasional, warna pendeliniasiannya colat, proses

geomorfik yang dominan disebabkan oleh tenaga eksogen, tata guna

lahannya yaitu sebagai pemukiman, potensi positifnya yaitu sebagai

tempat atau pusat penyedia fasilitas-fasilitas dan perlengkapan kebutuhan

manusia, sedangkan potensi negatifnya yaitu polusi udara, rawan banjir,

dan tanah yang ambles.

Pada satuan deliniasi struktural kontur rapat, warna pendeliniasiannya

ungu tua, klasifikasi reliefnya yaitu berbukit terjal, proses geomorfik yang

dominan disebabkan oleh tenaga endogen, tata guna lahannya yaitu

sebagai tempat bercocok tanam sayuran, kopi, teh, dan tanaman yang

dapat tumbuh pada ketinggian ini, potensi positifnya yaitu sebagai daerah

wisata alam, penelitian, penambangan batu, sedangkan potensi negatifnya

yaitu rawan longsor.

Pada satuan deliniasi struktural kontur renggang, warna pendeliniasiannya

ungu muda, klasifikasi reliefnya yaitu berbukit bergelombang – berbukit

terjal, proses geomorfik yang dominan disebabkan oleh tenaga eksogen,

tata guna lahannya yaitu sebagai tempat ladang dan tempat pertanian,

potensi positifnya yaitu sebagai daerah wisata, sedangkan potensi

negatifnya yaitu rawan banjir dan longsor.

30

Page 31: Bentang Alam Fluvial

6.2 Saran

Tempat berkontur rapat, tidak cocok apabila didirikan bangunan-bangunan

tinggi atau pencakar langit.

Kurang tepat apabila mendirikan rumah atau bangunan di dataran banjir.

Apabila ingin mendirikan bangunan pada daerah denudasional, sebaiknya

dilihat dahulu jenis tanahnya.

31