bank indonesia, kajian stabilitas keuangan no.12 maret 2009
DESCRIPTION
Edisi ini sangat penting karena akhir-akhir ini banyak sekali perkembangan yang terjadi yang perlu dikaji dampaknya terhadap stabilitas sistem keuangan secara keseluruhan.Hasil kajian menunjukkan bahwa secara umum ketahanan sektor keuangan Indonesia selama semester II tahun 2008 relatif cukup terjaga meskipun tekanan terhadap stabilitas sistem keuangan meningkat tajam karena imbas krisis global.TRANSCRIPT
Kajian Stabilitas Keuangan (KSK) ini disusun sebagai bagian dari pelaksanaan
tugas Bank Indonesia dalam mewujudkan misi ≈mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah
melalui pemeliharaan kestabilan moneter dan stabilitas sistem keuangan dalam rangka mewujudkan
pembangunan ekonomi jangka panjang yang berkesinambungan∆.
Penerbit:
Bank Indonesia
Jl. MH Thamrin No.2, Jakarta
Indonesia
Informasi dan Order :
KSK ini terbit pada bulan Maret 2009 dan didasarkan pada data dan informasi per Desember 2008, kecuali dinyatakan lain.
Dokumen KSK lengkap dalam format pdf tersedia pada web site Bank Indonesia : http://www.bi.go.id
Permintaan, komentar dan saran harap ditujukan kepada :
Bank Indonesia
Direktorat Penelitian dan Pengaturan Perbankan
Biro Stabilitas Sistem Keuangan
Jl.MH Thamrin No.2, Jakarta, Indonesia
Telepon : (+62-21) 381 8902, 381 8075
Fax : (+62-21) 351 8629
Email : [email protected]
KSK diterbitkan secara semesteran dengan tujuan untuk :
Meningkatkan wawasan publik dalam memahami stabilitas sistem keuangan
Mengkaji risiko-risiko potensial terhadap stabilitas sistem keuangan
Menganalisa perkembangan dan permasalahan dalam sistem keuangan
Merekomendasi kebijakan untuk mendorong dan memelihara sistem keuangan yang stabil.
Kajian Stabilitas KeuanganI - 2007( No. 12, Maret 2009 )
ii
iii
Kata Pengantar vi
Gambaran Umum 3
Bab 1 Kondisi Makroekonomi dan Sektor Riil 9
Kondisi Makroekonomi 9
Kondisi Sektor Riil 12
Boks 1.1. Survei Neraca Rumah Tangga Indonesia
2008 15
Boks 1.2. Risiko Kredit Sektor Korporasi:
Credit Default Swaps (CDS) 17
Boks 1.3. Transition Matrices: Potensi Risiko Kredit
Korporasi pada 3 Sektor 18
Bab 2 Sektor Keuangan 21
Struktur Sistem Keuangan Indonesia 21
Indeks Stabilitas Keuangan 22
Perbankan 22
Pendanaan dan Risiko Likuiditas 22
Perkembangan dan Risiko Kredit 25
Risiko Pasar 31
Profitabilitas dan Permodalan 33
Lembaga Keuangan Bukan Bank dan Pasar Modal 36
Perusahaan Pembiayaan 36
Pasar Modal 39
Boks 2.1. Kronologis Gejolak Sektor Keuangan
2008 dan Respon Kebijakan 46
Boks 2.2. Pengambilalihan Bank Century, Penutupan
Bank Indover dan Stabilitas Sistem
Keuangan 47
Daftar Isi
Boks 2.3. Segmentasi Pasar Uang Antar Bank (PUAB) 48
Boks 2.4. Structured Products dan Offshore Products :
Dampaknya terhadap Stabilitas Sistem
Keuangan 50
Boks 2.5. Dampak Utang Luar Negeri terhadap
Stabilitas Sistem Keuangan 52
Bab 3 Infrastruktur Keuangan dan
Mitigasi Risiko 55
Perkembangan Sistem Pembayaran 55
Pengembangan Biro Informasi Kredit 59
Jaring Pengaman Sistem Keuangan 63
Boks 3.1. Stabilitas Sistem Keuangan dan PERPPU
tentang Perubahan Undang Undang Bank
Indonesia 65
Boks 3.2. Best Practices Analisis Dampak Sistemik
terhadap Sistem Keuangan 66
Bab 4 Prospek Sistem Keuangan Indonesia 69
Prospek Ekonomi dan Persepsi Risiko 69
Profil Risiko Perbankan: Tingkat dan Arah 70
Prospek Sistem Keuangan Indonesia 72
Artikel
Artikel 1 Dampak Contagion Risk pada Pasar Modal
Indonesia 75
Artikel 2 Corporate Balance Sheet Modelling:
Determinants of Indonesian Corporate
Debt 85
iii
iv
Daftar Tabel dan Grafik
Tabel
1.1 Indikator Ekonomi Dunia 10
2.1 Laba/Rugi Perbankan 34
2.2 Perkembangan Pembiayaan Perusahaan
Pembiayaan 37
2.3 Rasio-rasio Keuangan Perusahaan Pembiayaan 37
2.4 Perkembangan NPL Perusahaan Pembiayaan 39
2.5 Pertumbuhan Indeks Bursa Regional 41
2.6 Pertumbuhan Indeks Sektoral 41
3.1 Perkembangan Data SID 2006-2008 60
3.2 Kerangka Kerja Jaring Pengaman Sistem
Keuangan 64
4.1 Proyeksi Beberapa Indikator Ekonomi 69
4.2 Persepsi Risiko Indonesia 70
Tabel Boks :
1.3.1 Migrasi Kolektibilitas Debitur 3 Sektor 18
2.1.1 Kronologis Gejolak Sektor Keuangan Indonesia
2008 46
2.1.2 Respon Kebijakan 46
2.3.1 Rata-rata per Hari Volume Transaksi PUAB
Rupiah Januari s.d Desember 2008 48
2.3.2 Rata-rata per Hari Volume Transaksi PUAB Valas
DN Januari s.d Desember 2008 49
2.5.1 Utang Luar Negeri Swasta Jatuh Tempo 2009 52
1.1 Business Confidence Indicators 9
1.2 Indeks Harga Beberapa Komoditas 10
1.3 Pertumbuhan PDB Negara Industri 10
1.4 Pertumbuhan PDB Beberapa Negara Emerging
Market 11
1.5 Indeks Harga Saham Global 11
1.6 Perkembangan Nilai Tukar Rupiah IDR/USD 11
1.7 Perkembangan Inflasi ASEAN-5 dan Vietnam 12
1.8 Tingkat Bunga Riil Indonesia, AS dan Singapura 12
1.9 Pertumbuhan ROA dan ROE Perusahaan Non
Financial Go Public 13
1.10 Perkembangan DER dan TL/TA Perusahaan Non
Financial Go Public 13
1.11 Probability of Default (PD) Perusahaan Non
Financial Go Public 13
1.12 Tingkat Pengangguran Beberapa Negara ASEAN 14
1.13 Komposisi Sumber Pendapatan Rumah Tangga 14
2.1 Komposisi Aset Lembaga Keuangan 21
2.2 Indeks Stabilitas Keuangan
(Financial Stability Index) 22
2.3 Perkembangan DPK 23
2.4 Perkembangan DPK Valas 23
2.5 Perkembangan DPK Valas vs Nilai Tukar Rupiah 23
2.6 Ekses Likuiditas Bank 23
2.7 Volume Transaksi PUAB DN (rata-rata per hari) 24
2.8 Pertumbuhan Kredit (yoy) 25
2.9 Perkembangan Kredit 2007-2008 25
2.10 Pertumbuhan Kredit Kelompok Bank (ytd) 26
2.11 Pertumbuhan Kredit Jenis Penggunaan (ytd) 26
2.12 Pertumbuhan Kredit Sektor Ekonomi 26
2.13 Pertumbuhan KPR, Kartu Kredit & Lainnya 27
2.14 Perkembangan Kredit Properti 27
2.15 Pertumbuhan Kredit Berdasarkan Valuta Asal 27
2.16 Pangsa Kredit Penggunaan 27
Grafik
iv
v
2.17 Perkembangan Kredit MKM 28
2.18 Non Performing Loans 28
2.19 Kredit, NPL, dan PPAP (Rp Triliun) 28
2.20 Rasio NPL Gross Kelompok Bank 29
2.21 Rasio NPL Gross Sektor Ekonomi 29
2.22 Rasio NPL Gross Jenis Penggunaan 29
2.23 Rasio NPL Gross Kredit Konsumsi 29
2.24 Rasio NPL Gross Kredit Properti (%) 30
2.25 Rasio NPL Gross Kredit Rupiah dan Valas (%) 30
2.26 Rasio NPL Gross MKM & Non MKM (%) 30
2.27 Rasio NPL Gross Kredit MKM (%) 31
2.28 Suku Bunga Rp & Nilai Tukar 32
2.29 Profil Maturitas Rupiah 32
2.30 Profil Maturitas Valas 32
2.31 Posisi Devisa Netto 32
2.32 Pangsa Kepemilikan SUN Perbankan 33
2.33 Perkembangan SUN (Rp T) 33
2.34 Profitabilitas Bank-mtm 2008 34
2.35 Pendapatan Bunga Bank 34
2.36 Perkembangan Rasio ROA per Kelompok Bank 34
2.37 Perkembangan Rasio BOPO per Kelompok Bank 35
2.38 Modal, ATMR, dan CAR 35
2.39 Integrated Stress Test terhadap CAR 15
Bank Besar 36
2.40 Interbank Stress Test 36
2.41 Kegiatan Usaha Perusahaan Pembiayaan 37
2.42 Sumber Dana Perusahaan Pembiayaan 37
2.43 Komposisi Nominal Pembiayaan PP (Nov'08) 37
2.44 NPL Pembiayaan 38
2.45 Perkembangan Nominal NPL 38
2.46 Arus Kas PP Swasta Nasional 38
2.47 Arus Kas PP Patungan 38
2.48 Exposure Perbankan 39
2.49 Perkembangan Penurunan NPL PP Subsidiary
Bank 39
2.50 Perkembangan Kenaikan NPL PP subsidiary Bank 39
2.51 Penanaman Investor Asing: SBI-SUN-Saham 40
2.52 Penanaman Investor Asing: SBI-SUN-Saham 40
2.53 Kepemilikan SUN dan SBI Investor Asing 40
2.54 Penyerapan SUN Lembaga Keuangan Domestik
dan Asing 40
2.55 Perkembangan IHSG & Indeks Global dan Regional
(Diindekskan dengan Indeks 31 Desember 2005) 41
2.56 Volatilitas (30 hari) beberapa Indeks Bursa Asia 41
2.57 Nilai Transaksi Saham Investor Domestik dan
Asing 42
2.58 Nilai Kapitalisasi & Nilai Emisi 42
2.59 Perkembangan Harga Saham Beberapa Bank 42
2.60 P/E Ratio Saham Bank 42
2.61 Perkembangan Harga Beberapa Seri FR 43
2.62 Yield SUN 1 s.d. 30 tahun 43
2.63 SUN: Likuiditas Pasar Berbagai Tenor 43
2.64 Emisi dan Posisi Obligasi Korporasi 43
2.65 Nilai Aktiva Bersih Reksadana 44
2.66 Reksadana : Redemption-Subscription-NAB 44
2.67 Reksadana : NAB-Unit Penyertaan 44
2.68 Kinerja Penghimpunan Dana Reksadana 44
3.1 Perkembangan Transaksi BI-RTGS 55
3.2 Perkembangan Transaksi SKN-BI 56
3.3 Perkembangan Transaksi APMK 56
3.4 Perkembangan Transaksi E-Money 56
3.5 Peran Biro Informasi Kredit 59
3.6 Kebijakan Strategis BIK 60
4.1 Profil Risiko Perbankan dan Arah ke Depan 71
Grafik Boks :
1.1.1 Komposisi Hutang Rumah Tangga
(dalam % terhadap Total Hutang) 16
1.1.2 Tujuan Pinjaman Rumah Tangga 16
1.2.1 Perkembangan Harga CDS Indonesia 17
1.2.2 Perkembangan Spread CDS Indonesia 17
v
vi
Dengan mengucapkan puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa kami menyambut baik penerbitan Kajian Stabilitas
Keuangan (KSK) No.12 Maret 2009 ini. Edisi ini kami pandang sangat penting karena akhir-akhir ini banyak sekali
perkembangan yang terjadi yang perlu dikaji dampaknya terhadap stabilitas sistem keuangan secara keseluruhan.
Hasil kajian menunjukkan bahwa secara umum ketahanan sektor keuangan Indonesia selama semester II tahun
2008 relatif cukup terjaga meskipun tekanan terhadap stabilitas sistem keuangan meningkat tajam karena imbas krisis
global. Salah satu indikator peningkatan tekanan tersebut adalah Financial Stability Index (FSI) yang melampaui batas
maksimum indikatif angka 2 pada bulan November dan Desember 2008. Di pasar modal, peningkatan tekanan terlihat
pada merosotnya Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG), sementara di pasar SUN terjadi penurunan harga yang signifikan.
Di perbankan, tekanan tersebut tercermin pada peningkatan risiko likuiditas terutama pada bulan Agustus-Septem-
ber 2008. Tekanan likuiditas itu muncul tidak saja karena imbas krisis global, namun juga karena tingginya pertumbuhan
kredit yang lebih banyak dibiayai dengan secondary reserves dibandingkan dengan pembiayaan yang berasal dari kenaikan
dana masyarakat. Pada saat yang sama, perbankan juga menghadapi peningkatan risiko nilai tukar karena menurunnya
nilai mata uang Rupiah. Setelah dikeluarkannya berbagai kebijakan, baik oleh Pemerintah maupun Bank Indonesia,
menjelang akhir 2008 tekanan terhadap stabilitas sistem keuangan mulai berkurang meskipun belum sepenuhnya pulih.
Salah satu bentuk permasalahan yang belum dapat diatasi secara sempurna adalah segmentasi di Pasar Uang Antar Bank
(PUAB).
Meskipun tekanan terhadap sektor keuangan meningkat, namun kinerja perbankan sebagai industri yang paling
dominan di sektor keuangan, relatif masih cukup baik. Pada akhir Desember 2008, rasio permodalan (CAR) perbankan
tercatat masih tinggi (16,2%) dengan kualitas aktiva yang masih tetap terjaga sebagaimana tercermin pada rasio NPL
yang relatif rendah, yaitu 3,8% (gross) dan 1,5% (netto).
Namun demikian, ke depan perlu terus diwaspadai berbagai sumber instabilitas, termasuk potensi peningkatan
risiko kredit dan kemungkinan berulangnya tekanan likuiditas. Masalah lainnya yang juga dapat menimbulkan tekanan
adalah semakin lambatnya penyaluran kredit (credit crunch) oleh perbankan yang pada gilirannya dapat mengganggu
kinerja sektor riil, baik pada level korporasi maupun pada level households. Terganggunya kinerja sektor riil berpotensi
meningkatkan risiko kredit di perbankan.
Kata Pengantar
vii
Semakin banyaknya tantangan di sektor keuangan perlu diantisipasi dengan selalu berupaya untuk memperbaiki
dan meningkatkan kualitas surveillance guna mendukung deteksi dini. Dengan mengetahui lebih awal potensi risiko,
langkah-langkah mitigasi risiko dapat direncanakan secara cermat sehingga kerugian dapat diminimalisir. Untuk itulah
kami memandang penting penerbitan KSK ini karena dapat digunakan sebagai media yang efektif untuk
mengkomunikasikan kepada para stakeholders hasil-hasil surveillance yang telah dilakukan. Semoga KSK berhasil
mengemban misinya itu dengan baik dan informasi yang disediakannya bermanfaat bagi semua pihak.
Jakarta, Maret 2009
DEPUTI GUBERNUR BANK INDONESIA
Muliaman D. Hadad Muliaman D. Hadad Muliaman D. Hadad Muliaman D. Hadad Muliaman D. Hadad
viii
1
Gambaran Umum
Gambaran Umum
2
Gambaran Umum
Halaman ini sengaja dikosongkan
3
Gambaran Umum
Stabilitas sistem keuangan pada semester II 2008 masih tetap terjaga. Selama
periode tersebut, terimbas oleh krisis global, tekanan terhadap sektor keuangan
domestik menjadi semakin besar. Indeks harga saham gabungan (IHSG) merosot
tajam, sementara harga Surat Utang Negara (SUN) mengalami penurunan yang
signifikan. Perbankan juga sempat mengalami tekanan likuiditas tidak saja
karena pengaruh krisis likuiditas global, namun juga karena tingginya
pertumbuhan kredit yang berlangsung s.d. Oktober 2008 yang sebagian besar
dibiayai dengan secondary reserves. Selain itu, menurunnya nilai tukar Rupiah
sejak awal Oktober 2008 juga meningkatkan risiko di sektor keuangan. Gejolak
di sektor keuangan ini telah mengakibatkan Indeks Stabilitas Keuangan selama
semester laporan meningkat tajam, bahkan melampaui batas maksimum
indikatif angka 2 pada bulan November dan Desember 2008. Untuk menjaga
stabilitas sistem keuangan, Pemerintah menerbitkan beberapa Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-undang (PERPPU), sementara Bank Indonesia
mengeluarkan beberapa ketentuan baru, termasuk merubah Giro Wajib
Minimum (GWM). Dampak positifnya adalah kondisi likuiditas industri
perbankan semakin membaik dan nilai tukar Rupiah semakin berkurang
volatilitasnya meskipun belum kembali pada level seperti sebelum Oktober
2008. Namun, menjelang akhir 2008 dan awal 2009 terdapat tanda-tanda
bahwa pertumbuhan kredit perbankan menjadi semakin melambat. Apabila
hal ini terus berlangsung dikhawatirkan akan berdampak negatif terhadap
perekonomian mengingat perbankan selama ini merupakan sumber
pembiayaan yang paling utama. Ke depan, prospek stabilitas sistem keuangan
diperkirakan masih akan tetap positif meskipun tantangan yang dihadapi
semakin berat karena akan semakin melambatnya pertumbuhan ekonomi.
Gambaran Umum
1. SUMBER-SUMBER INSTABILITAS
1.1. Krisis Keuangan Global
Krisis keuangan global merupakan sumber instabilitas
yang terutama. Hal ini karena perekonomian Indonesia
semakin terintegrasi dengan perekonomian global. Selain
itu, sumber dana dari luar negeri selama ini merupakan
salah satu sumber dana yang penting, baik bagi
perusahaan perbankan maupun perusahaan non-
perbankan. Oleh karena itu, krisis keuangan yang dialami
sejumlah negara sejak beberapa waktu terakhir ini
4
Gambaran Umum
berpotensi menular ke Indonesia. Tidak saja sektor
keuangan domestik menjadi semakin rentan oleh gejolak
keuangan, perusahaan-perusahaan Indonesia menjadi
semakin sulit mendapatkan dana asing untuk membiayai
kegiatan usahanya. Akibatnya, perusahaan-perusahaan di
sektor riil yang selama ini tergantung pada sumber
pembiayaan dari luar negeri dapat terganggu kinerjanya
dan dapat menurunkan debt repayment capacity dari
perusahaan-perusahaan tersebut. Di perbankan, hal-hal
ini dapat mendorong terjadinya peningkatan kredit
bermasalah (NPL), serta perlambatan pertumbuhan kredit
dan pembiayaan lainnya dalam valas yang dibutuhkan
untuk mendukung kegiatan perekonomian.
1.2. Kondisi Makroekonomi
Stabilitas makroekonomi merupakan prasyarat
utama untuk tercapainya stabilitas sistem keuangan.
Berbagai pihak memperkirakan bahwa kondisi
makroekonomi domestik tahun 2009 tidak lebih baik
dibandingkan dengan tahun 2008, terutama karena
pengaruh perlambatan ekonomi global. Memburuknya
kondisi makroekonomi berpotensi menekan stabilitas
keuangan karena dapat mendorong peningkatan NPL.
Disamping itu, perbankan kemungkinan menjadi semakin
selektif menyalurkan kredit. Untuk itu, perlu dilakukan
langkah-langkah antisipatif untuk mencegah
meningkatnya risiko perbankan karena memburuknya
kondisi makroekonomi, termasuk dengan memperketat
monitoring dan mempercepat pelaksanaan restrukturisasi
kredit terhadap debitur-debitur yang terkena imbas krisis
global.
1.3. Kondisi Sektor Riil dan Infrastruktur
Potensi instabilitas juga dapat berasal dari kondisi
sektor riil dan infrastruktur domestik yang masih belum
menggembirakan. Terimbas krisis global, hasil pemantauan
menunjukkan bahwa kinerja korporasi pada umumnya
mengalami penurunan terutama dari segi profitabilitas dan
ketersediaan likuiditas. Selain itu, leverage juga cenderung
meningkat sejalan dengan penurunan modal karena
berkurangnya profitabilitas. Selanjutnya, meskipun hasil
survei tahun 2008 menunjukkan bahwa kondisi sektor
rumah tangga (household) masih relatif aman, namun
ancaman pemutusan hubungan kerja yang terjadi pada
beberapa perusahaan sangat berpotensi mengganggu
kinerja household ke depan. Sementara itu, kondisi
infrastruktur, dalam enam bulan terakhir juga tidak
menunjukkan kemajuan yang berarti. Secara keseluruhan,
kondisi sektor riil dan infratsruktur yang masih belum
mendukung ini berpotensi menimbulkan tekanan terhadap
stabilitas sistem keuangan, terutama dalam bentuk
peningkatan NPL dan melambatnya penyaluran kredit
perbankan.
1.4. Inovasi Keuangan, Structured Products dan
Offshore Products
Dalam KSK edisi sebelumnya (No.11 September
2008) telah dikemukakan pentingnya perbankan
memperhatikan aspek manajemen risiko dan perlindungan
nasabah dalam melakukan inovasi terhadap produk-
produk keuangan yang ditawarkan kepada nasabah,
termasuk structured products. Dalam kenyataannya sejak
beberapa waktu terakhir sejalan dengan pelemahan nilai
tukar mata uang domestik, beberapa negara mengalami
kesulitan karena kerugian yang disebabkan oleh structured
products sehingga menimbulkan dispute antara bank
dengan nasabahnya. Meskipun di Indonesia, potensi
kerugian yang ditimbulkan lebih kecil dibandingkan
negara-negara lainnya, hal ini perlu mendapat perhatian
karena dapat meningkatkan risiko kredit dan risiko nilai
tukar di perbankan. Di samping itu, risiko reputasi dan
risiko hukum dari bank-bank yang terkait dengan
5
Gambaran Umum
structured products juga berpotensi meningkat, khususnya
jika dispute dengan nasabah tidak berhasil diselesaikan
dengan baik.
Selain itu, perbankan juga perlu pula meningkatkan
kehati-hatian terkait dengan kegiatan keagenan offshore
products. Hal tersebut antara lain karena penanaman yang
berlebihan dalam produk tersebut dapat mendorong
terjadinya pelarian dana investor domestik ke luar negeri,
membuat bank lebih terekspose risiko reputasi dan risiko
hukum, serta meningkatkan potensi terjadinya dispute
dengan nasabah, terutama apabila transparansi dan
perlindungan konsumen masih belum diprioritaskan.
1.5. Segmentasi Pasar Uang Antar Bank (PUAB)
Secara umum, tekanan likuiditas yang sempat dialami
pada semester kedua 2008 dewasa ini telah teratasi dan
industri perbankan sudah semakin likuid. Namun demikian,
masih ada persoalan yang tersisa yaitu masih terdapatnya
segmentasi PUAB dimana bank-bank besar cenderung
hanya bertransaksi dengan bank-bank besar pula,
sementara bank-bank kecil dan menengah relatif masih
mengalami kesulitan dalam mendapatkan dana antar
bank. Ke depan, segmentasi PUAB ini perlu segera diatasi
karena dapat menimbulkan tekanan pada stabilitas
perbankan, khususnya dari sisi likuiditas.
1.6. Perkembangan Politik dan Keamanan Dalam
Negeri
Pelaksanaan Pemilu 2009 dapat berdampak terhadap
kondisi politik dan keamanan dalam negeri yang apabila
tidak terkendali dapat mengganggu stabilitas keuangan.
Namun, dengan mempertimbangkan bahwa rakyat selama
ini sudah semakin terbiasa dengan pesta demokrasi seperti
halnya Pemilihan Gubernur dan Bupati yang berlangsung
terus menerus silih berganti sepanjang tahun di berbagai
tempat di dalam negeri, dapat diperkirakan bahwa Pemilu
tahun 2009 juga akan terlaksana dengan aman dan
terkendali. Keberhasilan melaksanakan Pemilu dengan
damai dan demokratis akan mendorong meningkatnya
investasi di dalam negeri, baik yang berasal dari investor
lokal maupun investor international.
2. MITIGASI RISIKO
2.1. Memperkuat Manajemen Risiko dan Good
Governance
Cara yang terbaik untuk menekan potensi instabilitas
di sektor keuangan adalah memperkuat manajemen risiko
dan good governance di lembaga-lembaga keuangan, baik
bank maupun non-bank. Manajemen risiko yang lebih baik
akan sangat membantu dalam pengambilan langkah-
langkah yang diperlukan untuk memitigasi risiko untuk
menghindarkan potensi kerugian. Sementara itu,
penerapan good governance akan membuat lembaga-
lembaga keuangan semakin memperhatikan prinsip-
prinsip transparansi, akuntabilitas dan fairness yang
memungkinkan berjalannya mekanisme disiplin pasar dan
perlindungan nasabah yang memadai. Dibandingkan
dengan tahun-tahun sebelumnya, pelaksanaan
manajemen risiko dan good governance di perbankan
sudah mengalami kemajuan. Namun, untuk
mengantisipasi dampak semakin memburuknya ekonomi
global, diperlukan upaya yang lebih keras lagi untuk terus
memperkuat manajemen risiko dan implementasi good
governance di perbankan.
2.2. Memperkuat Surveillance
Mitigasi risiko di sektor keuangan juga dapat
dilakukan dengan memperkuat surveillance. Untuk itu,
telah dikembangkan berbagai tools dan methodologies
seperti stress tests, analisis probability of default, financial
stability index serta survey households untuk mendukung
surveillance pada tingkat macroprudential. Dari waktu
6
Gambaran Umum
ke waktu masing-masing pendekatan ini terus direview
dan dikembangkan agar dapat menjadi alat deteksi dini
(early warning) yang andal. Sementara itu, pada level
microprudential, fungsi pengawasan bank terus
diperkuat, antara lain dengan membenahi sumber daya
manusia pengawasan bank, serta terus memperbaiki
berbagai pendekatan yang digunakan dalam rangka
penerapan Risk-Based Supervision. Disamping itu,
sejumlah ketentuan baru di bidang perbankan yang
ditujukan antara lain untuk menjaga stabilitas sistem
keuangan, juga telah dikeluarkan.
2.3. Memperkuat Protokol Manajemen Krisis
Untuk memitigasi risiko dalam konteks yang lebih
luas di sektor keuangan telah disusun protokol manajemen
krisis yang merupakan bagian penting dalam kerangka
Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK). Terkait dengan
hal tersebut, untuk memitigasi risiko karena bergejolaknya
sektor keuangan pada bulan Oktober 2008, Pemerintah
telah menerbitkan 3 PERPPU, yaitu masing-masing tentang
(i) Peningkatan penjaminan oleh LPS dari semula maksimal
Rp100 juta menjadi Rp2 milyar perorang pernasabah; (ii)
Perubahan Undang-undang tentang Bank Indonesia yang
memungkinkan penggunaan kredit lancar sebagai agunan
dalam mendapatkan fasilitas pendanaan jangka pendek
(FPJP) dari Bank Indonesia; dan (iii) Jaring Pengaman Sistem
Keuangan (JPSK).
Penerbitan ketiga PERPPU tersebut terbukti
membantu meredam tekanan likuiditas perbankan,
sehingga perbankan tetap tenang meskipun pada saat
tekanan likuiditas terjadi terdapat 1 bank yang diserahkan
ke LPS untuk disehatkan. Dalam perkembangan
selanjutnya, PERPPU tentang perubahan cakupan
penjaminan oleh LPS dan perubahan Undang-undang Bank
Indonesia sudah mendapatkan persetujuan dari DPR,
sementara PERPPU tentang JPSK tidak mendapat
persetujuan. Kondisi terakhir, Pemerintah telah
mempersiapkan Rancangan Undang-undang tentang JPSK
dan sudah mulai dibahas dengan DPR.
3. PROSPEK STABILITAS SISTEM KEUANGAN
Prospek stabilitas sistem keuangan ke depan
diperkirakan masih akan tetap positif meskipun tantangan
yang dihadapi akan semakin berat terutama karena belum
pulihnya kondisi perekonomian baik domestik maupun
global. Sebagaimana yang akan diuraikan lebih rinci pada
Bab 4, hal-hal yang mendasari perkiraan ini sebagai berikut.
Pertama, gejolak keuangan yang terjadi akhir-akhir ini
terjadi lebih banyak karena faktor eksternal, sementara
perbankan domestik relatif tidak memiliki masalah seberat
perbankan di luar negeri. Kedua, dewasa ini perbankan
dan otoritas pengawasan bank lebih siap menghadapi krisis
dibandingkan kondisi tahun 1997/1998. Ketiga,
infrastruktur sektor keuangan sudah semakin lengkap,
antara lain ditandai dengan adanya Lembaga Penjamin
Simpanan (LPS) yang cukup dipercaya dan menimbulkan
ketentraman bagi nasabah penyimpan dana di perbankan.
Faktor penting berikutnya yang mendukung prospek positif
stabilitas keuangan ke depan adalah Jaring Pengaman
Sektor Keuangan (JPSK) yang saat ini rancangan Undang-
undangnya sudah dipersiapkan dan telah mulai dibahas
di DPR.
Ditengah-tengah optimisme tersebut di atas, kehati-
hatian perlu terus lebih ditingkatkan karena krisis global
dewasa ini dinilai sebagai yang terberat paska Depresi Besar
(Great Depression) tahun 1929. Melambatnya
pertumbuhan ekonomi global secara kolektif akan sulit
dihindarkan dampaknya terhadap ekonomi domestik. Oleh
karena itu sangat penting untuk membentengi sektor
keuangan domestik dengan membuat jaring pengaman
yang memadai serta mengedepankan kehati-hatian dalam
menjalankan aktivitas usaha.
7
Bab 1 Kondisi Makroekonomi dan Sektor Riil
Bab 1Kondisi Makroekonomidan Sektor Riil
8
Bab 1 Kondisi Makroekonomi dan Sektor Riil
Halaman ini sengaja dikosongkan
9
Bab 1 Kondisi Makroekonomi dan Sektor Riil
1. KONDISI MAKROEKONOMI
Perkembangan ekonomi internasional selama
semester II 2008 diwarnai oleh meluasnya krisis keuangan
global hingga merambat ke sektor riil. Kelangkaan
likuiditas dan peningkatan volatilitas di pasar uang
memicu penurunan kepercayaan sektor korporasi
(produsen) maupun sektor rumah tangga (konsumen)
terhadap kondisi perekonomian. Hal ini tergambar pada
penurunan Business Confidence Indicator yang
dikeluarkan oleh IMF.
Kondisi ini menyebabkan produsen dan konsumen
melakukan langkah antisipasi dengan menahan diri untuk
melakukan investasi dan konsumsi. Hal tersebut
berdampak pada perlambatan pertumbuhan ekonomi
terutama di negara-negara maju. Selama tahun 2008
perekonomian dunia diperkirakan hanya tumbuh sekitar
Selama semester II 2008 stabilitas makroekonomi Indonesia masih tetap
terjaga meskipun mendapat tekanan dari krisis keuangan global. Penurunan
kepercayaan pasar menyebabkan krisis keuangan merambat ke sektor riil
sehingga mendorong terjadinya perlambatan ekonomi pada banyak negara
termasuk Indonesia. Sementara itu, penurunan daya beli yang diiringi dengan
penurunan harga menyebabkan profitabilitas sektor korporasi menurun.
Akibatnya, pelaku usaha melakukan efisiensi berupa pengurangan tenaga
kerja dan pembatasan kegiatan ekspansi yang pada gilirannya dapat
menyebabkan penurunan pendapatan rumah tangga. Jika terus berlanjut,
hal ini berpotensi menimbulkan gangguan terhadap stabilitas sistem
keuangan domestik.
Kondisi Makroekonomi dan Sektor RiilBab 1
3,4%, melambat dibandingkan pertumbuhan tahun 2007
yang sebesar 5,2%. Perlambatan ini diperkirakan akan
berlanjut pada tahun 2009 yaitu menjadi hanya sekitar
0,5%. Pada tahun 2010, keadaan diperkirakan akan sedikit
membaik dengan pertumbuhan sebesar 3,0%.
Grafik 1.1Business Confidence Indicators
Sumber: World Economic Outlook-IMF November, 2008
Manufacturing PMls
(values greater than 50 indicate expansion)
2008
EmergingEconomies
UnitedStates
Euro Area
1985 1990 1995 2000 2005Okt
35
40
45
50
55
60
65
10
Bab 1 Kondisi Makroekonomi dan Sektor Riil
Penurunan kegiatan ekonomi di negara-negara maju
berdampak pada penurunan permintaan terhadap
komoditas yang menyebabkan turunnya harga komoditas
di pasar global. Semula, pada semester I 2008, pelemahan
nilai tukar dollar AS dan gejolak yang terjadi di pasar uang
mendorong beralihnya arus dana investasi ke pasar
komoditi yang memicu terjadinya lonjakan harga
komoditas. Harga minyak mentah dunia sempat mencapai
level tertinggi mendekati USD150 per barrel yang diikuti
pula dengan kenaikan harga komoditas lainnya. Namun,
memasuki semester II 2008, seiring dengan menurunnya
jumlah permintaan akibat penurunan kegiatan ekonomi
dan berkurangnya transaksi yang bersifat spekulatif di
pasar komoditas, harga minyak mentah dan harga
komoditas utama dunia lainnya menurun tajam.
Dibandingkan akhir semester I 2008, harga minyak dunia
mengalami penurunan lebih dari 50% hingga menjadi
USD44,6 per barrel pada akhir semester II 2008. Penurunan
tersebut juga diikuti oleh penurunan harga-harga
komoditas utama dunia lainnya.
Penurunan permintaan terhadap barang dan jasa,
khususnya dari negara-negara maju seperti AS dan Uni
Grafik 1.2Indeks Harga Beberapa Komoditas
Tabel 1.1Indikator Ekonomi Dunia
World Output: 5,2 3,4 0,5 3,0Advanced Economies 2,7 1,0 (2,0) 1,1
United States 2,0 1,1 (1,6) 1,6Euro area 2,6 1,0 (2,0) 0,2
Emerging & Developing Countries 8,3 6,3 3,3 5,0
Consumer Price:Advanced Economies 2,1 3,5 0,3 0,8Emerging & Developing Countries1) 6,4 9,2 5,8 5,0
LIBOR2)
US Dollar Deposit 5,3 3,0 1,3 2,9Euro Deposit 4,3 4,6 2,2 2,7Yen Deposit 0,9 1,0 1,0 0,4
Oil Price (USD) - rata-rata3) 10,7 36,4 (48,5) 20,0
Kategori 2007 2008
(%)(%)(%)(%)(%)Proyeksi
2009 2010
Sumber: World Economic Outlook - IMF Januari 2009
Grafik 1.3Pertumbuhan PDB Negara Industri
1990 = 100
Sumber: Bank Indonesia
0
100
200
300
400
500
600
2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 20080
100
200
300
400
500
600Minyak TembagaTimah EmasMinyak Sawit KopiBeras KaretAluminium
Sumber: Bloomberg
%
(3,00)
(2,00)
(1,00)
-
1,00
2,00
3,00
4,00
5,00
6,00
2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008
Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3Q4 Q1 Q2 Q3Q4 Q1 Q2 Q3Q4 Q1 Q2 Q3Q4 Q1 Q2 Q3Q4 Q1 Q2 Q3Q4 Q1 Q2 Q3Q4 Q1 Q2 Q3Q4
Amerika Serikat JepangJerman InggrisCanada
Eropa yang selama ini menjadi pasar ekspor utama negara-
negara emerging market, yang disertai dengan penurunan
harga komoditas di pasar global menyebabkan turunnya
kinerja ekspor negara-negara emerging market termasuk
Indonesia. Karena pendapatan negara-negara emerging
market umumnya tergantung pada hasil ekspor, maka
penurunan kinerja ekspor tersebut menyebabkan
penurunan pertumbuhan ekonomi di masing-masing
negara.
Akan tetapi penting dicatat bahwa meskipun
pertumbuhan ekonomi Indonesia melambat signifikan
pada triwulan IV 2008, namun secara keseluruhan selama
tahun 2008 pertumbuhan ekonomi Indonesia masih
tumbuh cukup kuat, yaitu sebesar 6,1%, atau lebih tinggi
dibandingkan pertumbuhan ekonomi beberapa negara
11
Bab 1 Kondisi Makroekonomi dan Sektor Riil
tukar rupiah melemah sekitar 20,5% hingga mencapai
Rp11.120 per dollar AS pada akhir semester II 2008.
Pelemahan ini masih terlihat meskipun volatitasnya sudah
semakin berkurang.
Grafik 1.4Pertumbuhan PDB Beberapa Negara Emerging Market
Sumber: Bloomberg
%
(9,00)
(6,00)
(3,00)
-
3,00
6,00
9,00
12,00
2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3Q4 Q1 Q2 Q3Q4 Q1 Q2 Q3Q4 Q1 Q2 Q3Q4 Q1 Q2 Q3Q4 Q1 Q2 Q3Q4 Q1 Q2 Q3Q4 Q1 Q2 Q3Q4
IndonesiaThailandChina
SingapuraKorea SelatanIndia
ASEAN lainnya seperti Singapura, Korea Selatan dan
Thailand. Kondisi tersebut ditopang oleh masih cukup
tingginya pertumbuhan konsumsi swasta, khususnya dari
sektor-sektor non tradable seperti sektor pengangkutan
dan komunikasi, sehingga mengimbangi penurunan di
sektor-sektor yang berorientasi ekspor.
Sementara itu, di sisi keuangan, peningkatan
intensitas krisis keuangan global memicu para investor
menarik investasi portfolionya dari negara-negara
emerging market, baik untuk memenuhi kebutuhan
likuiditas (flight to liquidity) maupun mencari tempat
penanaman yang dianggap lebih aman (flight to quality).
Kondisi ini juga dialami Indonesia. Dibandingkan akhir
semester I 2008, indeks harga saham gabungan di Bursa
Efek Indonesia turun tajam sekitar 42,3% dari 2.349,11
menjadi 1.355,41 pada akhir semester II 2008. Aksi
pelepasan investasi asing tersebut antara lain
menyebabkan neraca modal dan finansial Indonesia pada
triwulan IV 2008 mengalami defisit. Selama tahun 2008
neraca pembayaran Indonesia diperkirakan defisit sebesar
USD2.302 juta.
Gejolak keuangan yang meningkat khususnya sejak
awal semester II 2008 juga berdampak kepada
terdepresiasinya nilai tukar rupiah dengan volatilitas yang
juga meningkat. Dibandingkan akhir semester I 2008, nilai
Pada sisi lain, penurunan permintaan dan penurunan
harga komoditas di pasar internasional menyebabkan
tekanan inflasi yang terjadi cukup kuat pada pertengahan
tahun 2008 mulai mereda. Momentum penurunan inflasi
ini mendorong bank sentral di beberapa negara melakukan
pelonggaran kebijakan moneter melalui penurunan suku
bunga guna mendorong pertumbuhan kegiatan ekonomi.
Pada bulan Desember 2008 Fed Fund Rate mencapai titik
terendahnya 0,25%, sementara suku bunga European
Central Bank turun menjadi 2,50%. BI rate juga mengalami
Grafik 1.6Perkembangan Nilai Tukar Rupiah
IDR/USD
Sumber: Bloomberg
9.039 9.210
9.258 9.352
Rata-rata bulanan
Rata-rata semesteran
0
2.000
4.000
6.000
8.000
10.000
12.000
14.000
2007 2008
9.07
59.
077
9.17
29.
095
8.84
28.
981
9.06
79.
358
9.10
59.
102
9.26
79.
356
9.40
69.
180
9.17
89.
203
9.28
19.
288
9.15
99.
151
9.35
49.
990
11.3
1411
.803
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 120
2.000
4.000
6.000
8.000
10.000
12.000
14.000
Grafik 1.5Indeks Harga Saham Global
Sumber: Bloomberg
0
5000
10000
15000
20000
25000
30000
35000
2006 2007 2008
Singapore
NYANew York
Dow Jones
IndonesiaNikkei
0
5000
10000
15000
20000
25000
30000
35000
12
Bab 1 Kondisi Makroekonomi dan Sektor Riil
penurunan menjadi 9,25% pada Desember 2008 yang
berlanjut hingga menjadi 7,75% pada Maret 2009.
Meskipun BI rate mengalami penurunan tetapi iklim
investasi di Indonesia diperkirakan masih cukup menarik,
karena secara riil tingkat bunga di Indonesia masih lebih
tinggi dibandingkan beberapa negara ASEAN lainnya.
diharapkan dapat mengimbangi tekanan dari sektor
eksternal. Stimulus dari sisi moneter adalah penurunan
suku bunga, sementara stimulus dari sisi fiskal antara lain
adalah pelaksanaan program peningkatan daya beli
masyarakat oleh pemerintah melalui Program Nasional
Pemberdayaan Masyarakat Mandiri, penurunan harga
bahan bakar minyak dan tarif angkutan, kenaikan Upah
Minimum Regional (UMR) yang diperkirakan melebihi
11%, dan kenaikan gaji pegawai negeri sipil. Tidak kalah
pentingnya adalah kegiatan Pemilu maupun Pilkada yang
diperkirakan juga akan mendorong pertumbuhan
konsumsi swasta yang sangat diperlukan untuk
mengimbangi tekanan dari sektor eksternal.
2. KONDISI SEKTOR RIIL
Perlambatan ekspor karena imbas krisis keuangan
global berdampak pula kepada kinerja sektor rill dalam
negeri, baik korporasi maupun rumah tangga. Hal ini
antara lain tercermin pada penurunan kinerja keuangan
perusahaan-perusahaan non financial go public yang
menyebabkan terjadinya pembatasan kegiatan ekspansi
maupun pemutusan hubungan kerja. Kondisi ini pada
gilirannya dapat berdampak pada penurunan daya beli
rumah tangga.
Penurunan harga, berkurangnya permintaan ekspor
dan melemahnya daya beli masyarakat karena krisis global
menyebabkan sektor korporasi khususnya perusahaan non
financial go public mengalami penurunan margin. Hal ini
terlihat dari menurunnya pertumbuhan profitabilitas usaha
(ROA dan ROE) perusahaan-perusahaan tersebut pada
triwulan III 2008 dibandingkan dengan periode yang sama
tahun sebelumnya.
Sementara dari sisi pembiayaan, sektor korporasi
terlihat mulai mengalami keterbatasan modal. Untuk
memenuhi kebutuhan operasionalnya, perusahaan mulai
banyak mengandalkan dana dari pihak ketiga, baik
Grafik 1.7Perkembangan Inflasi ASEAN-5 dan Vietnam
Sumber: CEIC
y.o.y %
(5)
0
5
10
Jan Apr Jul Okt Jan Apr Jul Okt
2007 2008
Filipina Singapura Thailand
Malaysia Indonesia Vietnam
Grafik 1.8Tingkat Bunga Riil Indonesia, AS dan Singapura
Sumber: Bloomberg dan CEIC
%
IndonesiaASSingapura
(8,0)
(6,0)
(4,0)
(2,0)
0,0
2,0
4,0
2003 2004 2005 2006 2007 2008Mar Jun Sep Des Mar Jun Sep Des Mar Jun Sep Des Mar Jun Sep Des Mar Jun Sep Des Mar Jun Sep Des
Ke depan, tekanan krisis ekonomi global terhadap
ekonomi dan keuangan domestik diperkirakan masih
berlanjut. Penurunan permintaan barang ekspor akibat
perlambatan kegiatan ekonomi global kemungkinan akan
semakin menekan pertumbuhan ekonomi nasional.
Namun, beberapa stimulus dari dalam negeri baik dari sisi
moneter maupun dari sisi fiskal diperkirakan cukup mampu
mendorong pertumbuhan konsumsi swasta dan
13
Bab 1 Kondisi Makroekonomi dan Sektor Riil
perbankan maupun melalui penerbitan obligasi dan surat
berharga lainnya. Hal ini dapat diamati dari meningkatnya
debt to equity ratio (DER) dan rasio total liabilities terhadap
total assets (TL/TA) pada triwulan III 2008 dibandingkan
dengan triwulan III 2007.
Selain menghadapi potensi peningkatan risiko kredit,
perusahaan-perusahaan di sektor riil khususnya
konglomerasi besar Indonesia juga berpotensi mendapat
tekanan risiko nilai tukar. Berdasarkan data per September
2008, konglomerasi besar Indonesia tampaknya perlu
memperhatikan potensi risiko karena fluktuasi nilai tukar.
Namun demikian, hasil stress test terhadap 46
konglomerasi besar yang rutin dipantau menunjukkan
bahwa secara umum permodalan masih dapat
dipertahankan dan baru akan tertekan sampai 100%
apabila nilai tukar rupiah melebihi Rp16.100 per USD.
Penurunan profitabilitas akibat penurunan daya beli
yang diiringi dengan penurunan harga, mendorong pelaku
usaha khususnya di sektor yang berorientasi ekspor untuk
melakukan efisiensi berupa pengurangan tenaga kerja dan
pembatasan kegiatan ekspansi. Hal ini berpotensi
menambah jumlah pengangguran nasional. Berdasarkan
data terakhir pada tahun 2008, meskipun cenderung
Grafik 1.9Pertumbuhan ROA dan ROE
Perusahaan Non Financial Go Public
Sumber: Bursa Efek Indonesia
-200
-100
0
100
200
300
400
500
600
700
-150
-100
-50
0
50
100
150
200
250
300
350
2003 2004 2005 2006 2007 2008Tw1 Tw2 Tw3 Tw4 Tw1 Tw2 Tw3 Tw4 Tw1 Tw2 Tw3 Tw4 Tw1 Tw2 Tw3 Tw4Tw1 Tw2 Tw3 Tw4 Tw1 Tw2 Tw3
ROA (kiri)ROE (kanan)
Grafik 1.10Perkembangan DER dan TL/TA
Perusahaan Non Financial Go Public
Grafik 1.11Probability of Default (PD)
Perusahaan Non Financial Go Public
Sumber: Bursa Efek Indonesia
0,00
0,20
0,40
0,60
0,80
1,00
1,20
1,40
1,60
1,80
2003 2004 2005 2006 2007 2008Tw1 Tw2 Tw3 Tw4 Tw1 Tw2 Tw3 Tw4 Tw1 Tw2 Tw3 Tw4 Tw1 Tw2 Tw3 Tw4Tw1 Tw2 Tw3 Tw4 Tw1 Tw2 Tw3
DERDebt/TA
Sejalan dengan menurunnya kinerja perusahaan
non financial go public tersebut, hasil estimasi probability
of default (PD) juga menunjukkan adanya kenaikan. Jumlah
perusahaan dengan PD lebih besar dari 0,5 meningkat dari
21 perusahaan pada September 2008 menjadi 29
perusahaan pada September 2009. Bagi perbankan, hal
ini merupakan salah satu indikasi dini tentang peningkatan
risiko kredit ke depan.
Probability of Default - September 2008
Jumlah
215
5 4 3 2 0 1 1 019
250
200
150
100
50
00,0-0,1 0,1-0,2 0,2-0,3 0,3-0,4 0,4-0,5 0,5-0,6 0,6-0,7 0,7-0,8 0,8-0,9 0,9-0,10
Probability of Default - September 2009
Jumlah
171
2114
6 90 4 1 1
23
0,0-0,1 0,1-0,2 0,2-0,3 0,3-0,4 0,4-0,5 0,5-0,6 0,6-0,7 0,7-0,8 0,8-0,9 0,9-0,10
180
160
140
120
100
80
60
40
20
0
14
Bab 1 Kondisi Makroekonomi dan Sektor Riil
bergerak turun tetapi tingkat pengangguran Indonesia
sebesar 8,4% masih menjadi yang tertinggi di bandingkan
beberapa negara ASEAN lainnya.
tangga. Apabila kondisi ini terus berlanjut, dapat
menurunkan kemampuan membayar (repayment capacity)
rumah tangga.
Sementara itu, dilihat dari komposisi asetnya, rumah
tangga Indonesia tampaknya masih memiliki eksposur yang
kecil terhadap aset keuangan. Aset rumah tangga
Indonesia didominasi oleh non financial asset berupa
rumah, bangunan dan tanah dengan porsi 76,81% dari
total aset. Seiring kecilnya eksposur aset rumah tangga
pada sistem keuangan, diperkirakan dampak langsung
volatilitas pasar keuangan terhadap kondisi aset rumah
tangga relatif kecil. Namun, tetap diperlukan kehati-hatian
mengingat kenaikan nilai aset tersebut diperkirakan lebih
dipengaruhi oleh kenaikan indeks harga properti yang
terjadi secara persisten sejak tahun 2004. Dalam kondisi
ekonomi yang melambat seperti sekarang ini, besar
kemungkinan permintaan terhadap properti akan
menurun sehingga harga properti juga berpotensi turun.
Jika harga properti turun tentunya nilai aset rumah tangga
juga akan turun. Penurunan nilai aset dan penurunan
pendapatan rumah tangga akan semakin menekan
kemampuan membayar rumah tangga.
Ke depan, tantangan di sektor rill diperkirakan masih
akan tetap tinggi sejalan dengan masih terbatasnya
pembangunan infrastruktur di dalam negeri.
Perekonomian diperkirakan juga akan masih dipengaruhi
imbas krisis keuangan global. Sebagai antisipasi terhadap
tekanan ekspor yang cukup besar, diperlukan langkah-
langkah untuk mendorong pertumbuhan sektor-sektor
usaha yang non tradable. Dalam jangka pendek, beberapa
stimulus yang telah dikeluarkan baik dari sisi moneter
maupun fiskal diharapkan dapat mendorong pertumbuhan
konsumsi dan ketahanan sektor riil. Jika berhasil
diwujudkan maka stabilitas sistem keuangan ke depan
diperkirakan akan tetap terpelihara dengan baik.
Grafik 1.12Tingkat Pengangguran Beberapa Negara ASEAN
%
0,0
2,0
4,0
6,0
8,0
10,0
Indonesia Thailand Malaysia Singapura
2006 2007 2008*)
Sumber: CEICKeterangan:*) : Data untuk Indonesia (Agustus 2008), Thailand (November 2008), Malaysia dan Singapura (September 2008).
Hasil survey Neraca Rumah Tangga (Household)
menunjukkan bahwa pada tahun 2008 secara keseluruhan
rumah tangga Indonesia masih mempunyai kemampuan
membayar hutang yang cukup baik. Hal ini tergambar dari
masih kecilnya rasio hutang terhadap total pendapatan
maupun terhadap disposable income, yaitu hanya berada
pada kisaran 6,31% s.d. 28,62%. Namun, mengingat
56% dari total pendapatan rumah tangga bersumber dari
gaji dan tunjangan, maka pemutusan hubungan kerja oleh
perusahaan berpotensi menurunkan pendapatan rumah
Grafik 1.13Komposisi Sumber Pendapatan Rumah Tangga
PenerimaanPensiun
3%
Gaji dan Tunjangan56%
Lainnya10%
Pendapatan usahanetto 31%
Sumber: Survey Neraca Rumah Tangga 2008
15
Bab 1 Kondisi Makroekonomi dan Sektor Riil
Survei Neraca Rumah Tangga Indonesia 2008Boks 1.1
Neraca rumah tangga (household) merupakan
indikator penting untuk menganalisis potensi risiko
kredit dari sektor rumah tangga. Pada bulan Juni 2008,
Bank Indonesia bekerjasama dengan Biro Pusat Statistik
(BPS) melakukan survei guna menyusun neraca rumah
tangga Indonesia. Survei dilakukan pada 10 propinsi
(Sumatera Barat, Sumatera Selatan, DKI Jakarta, Jawa
Barat, DI Yogyakarta, Jawa timur, Bali, Kalimantan
Selatan, Kalimantan Timur, Gorontalo) dengan total
responden 3.553 rumah tangga.
Gambaran Umum Neraca Rumah Tangga
Indonesia
Aset Rumah Tangga
Seperti lazimnya di negara sedang berkembang,
aset rumah tangga Indonesia didominasi aset non
keuangan (non financial asset) berupa properti seperti
rumah, bangunan dan tanah dengan pangsa sebesar
76,81% dari total aset, diikuti oleh aset non keuangan
lainnya (15,57%), dan asset keuangan (7,62%).
Dibandingkan hasil survei 2007, komposisi aset
non keuangan lainnya (emas, ternak dan lainnya)
sedikit meningkat. Hal ini dipicu kenaikan harga emas
pada pertengahan 2008 yang mendorong rumah
tangga mengalihkan sebagian aset keuangannya ke
dalam bentuk emas. Sementara itu, aset keuangan
rumah tangga didominasi oleh penanaman pada bank
(73%), diikuti oleh penanaman pada lembaga
keuangan non bank (13%).
Sumber Dana Rumah Tangga
Sumber dana utama rumah tangga adalah dari
penghasilan sendiri (networth), mencapai 96,13% dari
total aset. Pembiayaan dari hutang bank hanya 3,01%
dari total aset, diikuti oleh pembiayaan dari lembaga
keuangan non bank (0,47%) dan sumber dana lainnya
(0,39%). Relatif tingginya networth rumah tangga
didukung kemampuan menabung. Hal itu tercermin
pada rasio total pengeluaran terhadap total pendapatan
rumah tangga dan rasio pengeluaran konsumsi
terhadap disposable income yang di bawah 100%, yaitu
masing-masing sebesar 91,29% dan 90,59%.
Namun demikian, kemampuan menabung rumah
tangga yang tidak memiliki hutang cenderung lebih
besar, terlihat pada rasio total pengeluaran terhadap
total pendapatan rumah tangga dan rasio pengeluaran
konsumsi terhadap disposable income yang lebih
rendah, yaitu masing-masing sebesar 83,64% dan
83,39%. Sementara itu, kemampuan menabung
kelompok rumah tangga yang berhutang cenderung
kurang memadai sehingga berhutang untuk
membiayai kebutuhan dan pembelian asetnya. Hal ini
tercermin dari rasio total pengeluaran terhadap total
pendapatannya dan rasio pengeluaran konsumsi
terhadap disposable income yang di atas 100%, yaitu
masing-masing sebesar 102,61%, dan 103,12%.
Hutang Rumah Tangga
Sebagian besar (sekitar 65%) responden
menyatakan bahwa mereka memiliki uang tunai yang
disisihkan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan tak
terduga. Namun, apabila kebutuhan tak terduga
tersebut sudah melebihi dana cadangan maka rumah
tangga mengatasinya dengan berhutang.
Berdasarkan nominalnya, hutang rumah tangga
Indonesia didominasi oleh hutang bank (78%), diikuti
oleh hutang kepada lembaga keuangan non bank (12%)
dan sumber lain diluar lembaga keuangan (10%).
Tujuan pinjaman atau berhutang adalah 24% untuk
modal usaha, 16% untuk membeli alat transportasi, 14%
untuk membangun atau renovasi rumah, dan 13% untuk
konsumsi makanan. Sementara rata-rata jangka waktu
pengembalian hutang adalah sekitar 20 bulan.
16
Bab 1 Kondisi Makroekonomi dan Sektor Riil
Potensi Risiko
Potensi risiko terhadap sistem keuangan terutama
ditransmisikan melalui volatilitas harga properti
mengingat mayoritas aset rumah tangga berupa
housing asset (aset properti seperti rumah, bangunan,
dan tanah). Sementara itu, risiko rumah tangga yang
berhutang terhadap sektor keuangan relatif rendah
mengingat kemampuan membayar kewajibannya yang
jatuh tempo cukup baik. Berikut dikemukakan hasil
analisis menggunakan beberapa rasio keuangan:
Liquidity Mismatch Ratio
Rasio ini menggambarkan kemampuan
pendapatan rumah tangga untuk membayar
kewajibannya. Hasil survei menunjukkan bahwa rasio
hutang rumah tangga terhadap total pendapatan
maupun disposable income kurang dari 100%, yaitu
sebesar 10,38% dan 11,22%. Debt servicing ratio
(cicilan pokok pinjaman dan biaya bunga terhadap
disposable income) rumah tangga juga kurang dari
100% yaitu hanya sebesar 6,31%. Kecil angka rasio-
rasio ini mengindikasikan bahwa rumah tangga mampu
mengelola pengeluarannya sedemikian rupa sehingga
pendapatan yang dihasilkan dapat digunakan untuk
membayar kewajibannya yang jatuh tempo.
Selanjutnya, meskipun rasio hutang terhadap
disposable income maupun debt servicing ratio dari
kelompok rumah tangga yang berhutang kepada bank
dan LKBB adalah yang tertinggi (72,11% dan 33,08%),
namun kedua rasio tersebut juga masih di bawah 100%.
Dengan demikian, kelompok rumah tangga tersebut
diperkirakan masih memiliki kemampuan membayar
yang baik apabila terdapat kewajiban yang jatuh tempo.
Solvency Ratio
Rasio ini menggambarkan kemampuan aset
rumah tangga untuk meng-cover hutangnya apabila
terjadi default. Hasil survei menunjukkan bahwa
kemampuan aset rumah tangga Indonesia cukup baik
tercermin dari household gearing ratio (rasio total
hutang terhadap total aset) maupun rasio total hutang
terhadap networth yang sangat rendah, yaitu masing-
masing hanya 3,87% dan 4,03%. Nilai household
gearing ratio yang kecil ini juga merupakan salah satu
indikasi bahwa rumah tangga masih mempunyai
kemampuan yang cukup besar untuk mendapatkan
tambahan pembiayaan dari bank.
Dari pengelompokkan rumah tangga
berdasarkan sumber hutangnya, diketahui bahwa
kelompok rumah tangga yang berhutang kepada bank
dan LKBB mempunyai household gearing ratio tertinggi
dibandingkan lainnya. Namun, nilai rasio tersebut juga
masih di bawah 100%. Hal tersebut mencerminkan
bahwa kelompok rumah tangga yang berhutang
cenderung juga masih mempunyai kemampuan
membayar yang baik.
Grafik Boks 1.1.2Tujuan Pinjaman Rumah Tangga
Modal usaha24%
Konsumsimakanan
13%
Pendidikan8%
Kesehatan3%
Membangun/Renovasi Rumah
14%
Membeli Rumahditempati sendiri
2%
MembeliTanah/Rumah
tidak ditempati2%
Membeli Alattransportasi
16%
Elektronik2%
Lainnya16%
Grafik Boks 1.1.1Komposisi Hutang Rumah Tangga(dalam % terhadap Total Hutang)
Hutang LKBB12%
HutangLainnya10%
Hutang bank78%
17
Bab 1 Kondisi Makroekonomi dan Sektor Riil
Risiko Kredit Sektor Korporasi: Credit Default Swaps (CDS)Boks 1.2
Sektor riil mencakup 2 komponen yaitu rumah
tangga (household) dan korporasi. Perkembangan
terakhir sektor rumah tangga telah diungkapkan pada
Boks 1.1. Pada Boks 1.2 ini dikemukakan salah satu
pendekatan yang dapat digunakan untuk menilai
perkembangan risiko kredit sektor korporasi, yaitu
dengan menganalisis perkembangan Credit Default
Swaps (CDS).
CDS dikenal luas sebagai salah satu instrument
credit derivative. Secara konseptual, CDS dapat
dipandang sebagai asuransi atau perlindungan atas
default-nya kredit atau bonds (Duffie dan Singleton,
2003; Lando, 2004). Secara teknis, risiko kredit
tercermin pada spread CDS. Namun demikian, harga
(price) CDS juga tetap perlu diperhatikan karena juga
dapat menggambarkan perkembangan tekanan pasar.
Akhir-akhir ini, sejalan dengan semakin
memburuknya pasar keuangan global, perkembangan
harga dan spread CDS semakin menjadi pusat perhatian.
Bahkan, CDS tidak saja sebagai cerminan risiko kredit
korporasi, namun telah berkembang menjadi salah satu
indikator sovereign risk.
Gejolak pasar keuangan yang sempat terjadi pada
semester II 2008 telah menyebabkan harga dan spread
CDS Indonesia menjadi melonjak tinggi. Puncaknya
adalah sekitar tanggal 28 Oktober 2008 pada saat
Bursa Efek Indonesia terpaksa ditutup sementara
karena IHSG merosot tajam, mencapai 1111,4 yaitu
terendah sejak Desember 2005. Namun, setelah
Pemerintah dan Bank Indonesia mengambil sejumlah
kebijakan penting, harga dan spread CDS sudah mulai
menurun, meskipun tetap lebih tinggi dibandingkan
dengan kondisi sebelum Oktober 2008.
Sementara itu, apabila dibandingkan dengan
negara-negara tetangga, harga dan spread CDS
Indonesia juga masih menjadi yang tertinggi. Hal ini
mengindikasikan kentalnya persepsi pasar bahwa risiko
kredit korporasi Indonesia masih tergolong tinggi.
Persepsi tersebut cenderung kurang
menggambarkan kondisi yang sebenarnya mengingat
harga dan spread CDS yang tinggi tersebut juga dipicu
oleh tipisnya pasar.
Namun demikian, untuk tujuan surveillance
ketahanan sistem keuangan, data tentang harga dan
spread CDS ini dapat dijadikan sebagai salah satu alat
deteksi dini (early warning).
Grafik Boks 1.2.1Perkembangan Harga CDS Indonesia
Grafik Boks 1.2.2Perkembangan Spread CDS Indonesia
Daftar Pustaka:
Lando, D. (2004), Credit Risk Modeling, Princeton
University Press, Princeton, New Jersey.
Duffie, D. dan Singleton, K.J. (2003), Credit Risk:
Pricing, Measurement, and Management, Princeton
University Press, Princeton, New Jersey.
Sumber : Bloomberg
0
200
400
600
800
1000
1200
3Jul
2Ags
1Sep
1Okt
31Okt
30Nov
30Des
29Jan
2008 2009
Thailand
Korea
Philipin
Indonesia
Sumber : Bloomberg2008 2009
-80
-30
20
70
120
170
220
270
320
370
3Jul
2Ags
1Sep
1Okt
31Okt
30Nov
30Des
29Jan
IndonesiaPhilipin
KoreaThailand
18
Bab 1 Kondisi Makroekonomi dan Sektor Riil
Transition Matrices: Potensi Risiko Kredit Korporasipada 3 Sektor
Boks 1.3
Transition matrices (matriks transisi) merupakan
salah satu alat atau pendekatan yang dapat digunakan
untuk mendeteksi risiko kredit pada korporasi, yaitu
dengan menghitung probabilitas terjadinya migrasi
rating atau perubahan kualitas kredit terakhir suatu
perusahaan. Matriks transisi merupakan salah satu input
penting dalam berbagai aplikasi manajemen risiko.
Bahkan, perhitungan kecukupan modal (capital
requirements) sesuai rekomendasi New Basel Accord
(BIS, 2001) antara lain harus memperhatikan migrasi
rating.
Penelitian sebelumnya (Credit Risk Modelling:
Rating Transition Matrices oleh Hadad et al., 2007
dalam KSK No.9 September 2007) menggunakan rating
yang dikeluarkan oleh PT Pemeringkat Efek Indonesia
(Pefindo) sejak Februari 2001 s.d. Juni 2006. Penelitian
tersebut menggunakan dua pendekatan, yaitu metode
Continuous Time dan metode Cohort, serta
mengasumsikan bahwa proses rating kredit mengikuti
Markov chain. Kesimpulannya adalah metode
Continuous Time memberikan hasil yang lebih efisien
dibandingkan metode Cohort. Selain itu, metode
Continuous Time juga memungkinkan adanya
probabilitas migrasi ke rating yang memiliki jarak
cukup jauh (rating default).
Melanjutkan penelitian Hadad et al. (2007),
dilakukan penelitian baru untuk mempelajari migrasi
kolektibilitas kredit pada 3 sektor (properti, transportasi
dan tekstil) selama tahun 2008 dengan menggunakan
data triwulanan SID yang mencakup 448.183 debitur.
Adapun pendekatan yang digunakan adalah metode
Continuous Time dengan pertimbangan lebih unggul
dibandingkan metode Cohort.
Hasil estimasi menunjukkan bahwa dari ketiga
sektor tersebut, debitur-debitur pada sektor properti
cenderung lebih baik dibandingkan 2 sektor lainnya.
Hal ini tercermin pada:
Peluang migrasi debitur dengan kolektibilitas 1 dan
2 (Performing Loans atau PL) ke kolektibilitas 3, 4
dan 5 (Non Performing Loans atau NPL) pada sektor
properti lebih kecil dibandingkan 2 sektor lainnya.
Peluang migrasi debitur NPL ke PL pada sektor
properti lebih besar dibandingkan 2 sektor lainnya.
Peluang migrasi debitur kolektibilitas 3 ke
kolektibilitas 5 pada sektor properti lebih kecil
dibandingkan 2 sektor lainnya.
Tabel Boks 1.3.1Migrasi Kolektibilitas Debitur 3 Sektor
1 89,7% 9,3% 0,3% 0,3% 0,4%2 64,4% 28,0% 1,7% 1,5% 4,4%3 37,7% 19,6% 5,8% 3,8% 33,1%4 23,4% 10,8% 1,5% 4,7% 59,5%5 0,0% 0,0% 0,0% 0,0% 100,0%
PropertiKolek 1 2 3 4 5
1 89,5% 8,0% 0,5% 0,4% 1,7%2 53,5% 28,7% 1,7% 2,0% 14,0%3 7,5% 3,5% 3,3% 1,7% 84,1%4 2,9% 1,1% 0,3% 3,0% 92,6%5 0,0% 0,0% 0,0% 0,0% 100,0%
TransportasiKolek 1 2 3 4 5
1 94,0% 3,8% 0,6% 0,3% 1,4%2 77,9% 4,6% 1,0% 1,1% 15,3%3 27,0% 2,3% 0,7% 1,5% 68,6%4 0,0% 0,0% 0,0% 0,6% 99,4%5 0,0% 0,0% 0,0% 0,0% 100,0%
TekstilKolek 1 2 3 4 5
19
Bab 2 Sektor Keuangan
Bab 2Sektor Keuangan
20
Bab 2 Sektor Keuangan
Halaman ini sengaja dikosongkan
21
Bab 2 Sektor Keuangan
Sektor KeuanganBab 2
2.1. STRUKTUR SISTEM KEUANGAN INDONESIA
Dibandingkan dengan kondisi pada semester
sebelumnya, pada semester II 2008 struktur sistem
keuangan Indonesia tidak banyak mengalami perubahan.
Industri perbankan yang terdiri dari bank umum dan bank
perkreditan rakyat (BPR) masih tetap mendominasi dengan
pangsa sekitar 74% dari total asset sektor keuangan.
Sementara itu, pangsa industri keuangan lainnya, yaitu
asuransi, dana pensiun, perusahaan pembiayaan, sekuritas
dan pegadaian relatif masih tetap rendah.
Pada industri perbankan, 15 bank besar menguasai
sebagian besar (70%) total aset industri. Selama semester
II 2008, total asset bank umum bertumbuh Rp269,7 triliun
(13,2%) menjadi Rp2.310,6 triliun. Pertumbuhan ini
merupakan salah satu pertanda bahwa krisis global yang
tengah terjadi tidak berdampak signifikan terhadap
industri perbankan. Namun, krisis global telah memicu
merosotnya IHSG dari 2.349,11 (Juni 2008) menjadi
Selama semester II 2008, sektor keuangan Indonesia terus bertumbuh
ditengah semakin beratnya tekanan yang berasal dari krisis keuangan global.
Secara umum, ketahanan sistem keuangan dapat tetap terjaga. Perbankan
sebagai industri yang paling dominan di sektor keuangan masih tetap
menunjukkan kinerja yang positif. Namun, krisis global telah sempat menekan
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dan harga Surat Utang Negara (SUN).
1.355,41 (Desember 2008) atau turun 42,3%. Sementara,
harga SUN juga sempat turun yaitu sekitar 2,3% selama
periode 30 Juni s.d. 25 September 2008, meskipun kembali
rebound sebesar 8,6% selama periode 25 September 2008
s.d. 31 Desember 2008. Akan tetapi, sejak akhir Desember
2008 s.d. pertengahan Maret 2009, harga SUN kembali
mengalami tekanan dan turun sekitar 5,62%.
Grafik 2.1Komposisi Aset Lembaga Keuangan
79,0%
1,1%8,0%
3,2%5,8% 2,7% 0,3% Bank Umum
BPR
Perusahaan Asuransi
Dana Pensiun
Perusahaan Pembiayaan
Perusahaan Sekuritas
Pegadaian
22
Bab 2 Sektor Keuangan
2.2. INDEKS STABILITAS KEUANGAN
Perkembangan stabilitas keuangan dari waktu ke
waktu tercermin pada Indeks Stabilitas Keuangan atau
Financial Stability Index (FSI).1 Terpengaruh oleh krisis
keuangan global, sektor keuangan dalam negeri bergejolak
sehingga stabilitas keuangan selama semester II 2008
mengalami tekanan (lihat Boks 2.1). Akibatnya, FSI
meningkat tajam dari 1,60 pada akhir Juni 2008 menjadi
2,10 pada akhir Desember 2008, dengan posisi tertinggi
pada bulan November 2008 sebesar 2,43. Bersamaan
dengan itu, sejak Oktober 2008, nilai tukar rupiah juga
mengalami tekanan.
Dengan demikian, angka FSI dalam dua bulan
terakhir 2008 telah melampaui batas indikatif maksimum
2. Tingginya angka FSI tersebut lebih banyak karena
merosotnya IHSG dan harga SUN sebagai imbas krisis
global.
Perkembangan terakhir menunjukkan bahwa
tekanan krisis keuangan global mulai sedikit menurun yang
ditandai dengan mulai membaiknya IHSG dan harga SUN.
Respon kebijakan yang ditempuh Pemerintah dan Bank
Indonesia juga berhasil meredam gejolak keuangan yang
sempat terjadi. Sejalan dengan itu, FSI semakin menurun,
mencapai 2,06 per Januari 2009.
Penurunan FSI tersebut mencerminkan bahwa
stabilitas keuangan secara umum masih relatif terjaga.
Bahkan, ke depan pada akhir Juni 2009, FSI diperkirakan
akan mencapai sekitar 1,77 √ 2,13, dengan skenario
moderat sebesar 1,95 atau relatif lebih rendah
dibandingkan posisi akhir Desember 2008. Oleh karena
itu, prospek stabilitas keuangan diperkirakan masih tetap
positif dan stabilitas sistem keuangan ke depan akan relatif
tetap terpelihara.
2.3. PERBANKAN
2.3.1. Pendanaan dan Risiko Likuiditas
Perkembangan Dana Pihak Ketiga
Dana Pihak Ketiga (DPK), sebagai sumber dana
utama perbankan, pada awal semester II 2008 tumbuh
negatif, dan baru tumbuh positif sejak pertengahan
semester. Kenaikan signifikan DPK sejak bulan September
2008 menyebabkan selama periode laporan, DPK tumbuh
positif sekitar 12,87% mencapai Rp1.753,3 triliun.
Peningkatan tersebut terjadi pada semua komponen, baik
giro, tabungan, maupun deposito.
Peningkatan DPK sejak pertengahan semester II 2008
tampaknya terkait dengan tingginya suku bunga pada
waktu itu sebelum akhirnya diturunkan di penghujung
tahun 2008. Tingginya suku bunga merupakan salah satu
faktor yang mempengaruhi naiknya minat masyarakat
untuk kembali menanamkan dananya di perbankan.
Terlebih di tengah kondisi perekonomian yang belum
sepenuhnya stabil, investasi pada lembaga non perbankan
dinilai oleh sebagian pemilik dana sebagai berisiko tinggi
dan imbal hasil yang diperoleh cenderung tidak pasti
dibandingkan dengan menyimpan dana di perbankan.
Faktor penting lain yang turut mendorong kenaikan DPK
adalah kebijakan Pemerintah melalui PERPPU pada
pertengahan Oktober 2008 untuk meningkatkan besarnya
cakupan penjaminan simpanan oleh LPS dari sebesar
1 Uraian detail tentang metodologi dan pendekatan yang digunakan untuk menghitungIndeks Stabilitas Keuangan dapat dilihat pada KSK No.8 Maret 2007 dan No.9 September2007.
Grafik 2.2Indeks Stabilitas Keuangan (Financial Stability Index)
2,13
2,10
1,95
1,77
0
0,5
1
1,5
2
2,5
3
2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009
Proyeksi FSIFSI
23
Bab 2 Sektor Keuangan
Kecukupan Likuiditas
Lambatnya pertumbuhan DPK pada awal semester
II 2008 yang terjadi bersamaan dengan keringnya
likuiditas global menyebabkan kondisi l ikuiditas
perbankan domestik ikut tertekan. Selain itu,
pertumbuhan kredit yang cukup tinggi s.d. bulan Oktober
2008, ternyata sebagian besar dibiayai dengan pencairan
secondary reserves sehingga menekan likuiditas
perbankan. Akibatnya, kecukupan likuiditas semakin
berkurang dengan puncaknya pada bulan Agustus 2008,
pada saat ekses likuiditas mencapai titik terendah.2
Sampai dengan bulan tersebut, ekses likuiditas turun
sekitar 30,18% (ytd) dengan penurunan terbesar pada
Sertifikat Bank Indonesia (SBI).
Rp100 juta menjadi Rp2 miliar per nasabah per bank.
Kebijakan tersebut dinilai cukup efektif untuk
mempertahankan dan bahkan mendorong peningkatan
dana masyarakat di perbankan.
Grafik 2.3Perkembangan DPK
Giro (ki)
Tabungan (ki)
Deposito (ka)
Rp triliun
350
400
450
500
550
0
150
300
450
600
750
900
Des Feb Aprl Jun Ags Okt Des2007 2008
Berdasarkan jenis valuta, pertumbuhan DPK dalam
valuta asing tercatat sebesar 18,94% atau sedikit lebih
tinggi dibandingkan pertumbuhan DPK rupiah sebesar
18,85%. Namun, karena faktor depresiasi nilai tukar rupiah
terhadap USD yang cukup besar selama periode laporan,
maka apabila dihitung dalam denominasi valas,
pertumbuhan DPK valas selama periode laporan justru
turun sebesar USD1,36 miliar, terutama pada komponen
deposito dan giro yang masing-masing turun sebesar
USD0,98 miliar dan USD0,58 miliar.
Grafik 2.4Perkembangan DPK Valas
18
21
24
27
30
DPK va dlm USD(skala kiri)
DPK va dlm Rp(skala kanan)
Rp triliunUSD miliar
Des Feb Apr Jun Ags Okt Des
2007 2008
200
230
260
290
320
2 Ekses likuiditas terdiri dari SBI, penempatan lainnya pada Bank Indonesia selain Giropada BI (Fasbi/FTK), dan Surat-surat Berharga.
Grafik 2.5Perkembangan DPK Valas vs Nilai Tukar Rupiah
dalam USD(skala kiri)
nilai tukarrupiah thd USD(skala kanan)
RupiahUSD miliar
18
21
24
27
30
2006 2007 2008Des Apr Ags Des Apr Ags Des
8.500
9.300
10.100
10.900
11.700
12.500
Grafik 2.6Ekses Likuiditas Bank
SBI (ki)
Fasbi/FTK (ki)
SUN (kn)
0
50
100
150
200
250
Des Feb Apr Jun Ags Okt Des270
275
280
285
290
2007 2008
24
Bab 2 Sektor Keuangan
Selain tercermin pada penurunan jumlah ekses
likuiditas, berkurangnya kecukupan likuiditas bank juga
ditunjukkan oleh rasio alat likuid terhadap Non Core
Deposits (NCD)3 yang terus menurun dan mencapai angka
terendah pada bulan Agustus 2008, yaitu 84,9%. Rasio
ini menunjukkan kemampuan bank untuk dapat
memenuhi penarikan DPK sewaktu-waktu. Dengan
angka rasio yang kurang dari 100%, maka ketahanan
likuiditas perbankan pada waktu itu cenderung kurang
memadai.
Namun, seiring dengan kenaikan signifikan DPK sejak
awal September 2008, tekanan likuiditas mulai berkurang.
Kenaikan DPK tersebut, seperti yang telah dikemukakan
sebelumnya, antara lain karena kebijakan Pemerintah
meningkatkan besarnya cakupan penjaminan simpanan
oleh LPS. Disamping itu, Bank Indonesia juga telah
mengeluarkan beberapa kebijakan untuk mengurangi
tekanan likuiditas, termasuk pelonggaran kewajiban GWM
rupiah dan valas. Akibatnya, kondisi likuiditas industri
perbankan semakin membaik sehingga mendorong
meningkatnya ketahanan likuiditas. Perkembangan positif
tersebut juga tercermin dari angka rasio alat likuid terhadap
NCD yang terus membaik, sehingga pada akhir Desember
2008 berhasil mencapai 109,1%. Hal ini mengindikasikan
bahwa kondisi likuiditas perbankan sudah semakin
terkendali.
Pasar Uang Antar Bank
Sejalan dengan meningkatnya tekanan likuiditas
global, terdapat kecenderungan bank-bank domestik
untuk menahan likuiditasnya dan membatasi transaksi
antar bank sehingga menimbulkan segmentasi Pasar Uang
Antar Bank (PUAB). Bersamaan dengan itu, rata-rata per
hari volume transaksi bank pada PUAB Dalam Negeri (DN)
cenderung menurun, baik dalam rupiah maupun valuta
asing (valas).
Grafik 2.7Volume Transaksi PUAB DN (rata-rata per hari)
USD jutaRp triliun
0
2
4
6
8
10
12
14
0
100
200
300
400
500
2008Jan Mar Mei Jul Sep Nov
PUAB Rupiah PUAB valas
Untuk meminimalkan dampak segmentasi di PUAB,
Bank Indonesia telah melakukan enhancement Operasi
Pasar Terbuka (OPT) sejak Februari 2008. Setelah
mengaktifkan fasilitas Fine Tune Operation (FTO), baik yang
bersifat ekspansi (FTE) untuk memberi kelonggaran bagi
bank yang kesulitan likuiditas, maupun yang bersifat
kontraksi (FTK) sebagai fasilitas penempatan dana bagi
bank dengan kelebihan likuiditas, Bank Indonesia
kemudian melakukan penyempurnaan pada fitur FTO. Hal
ini dilakukan dengan memperpanjang tenor FTE dari
maksimum 14 hari menjadi maksimum 3 bulan agar bank
dapat memperoleh akses lebih besar terhadap likuiditas
dari bank sentral. Sementara itu, Bank Indonesia juga
mengadakan transaksi repo dengan tenor lebih panjang
(2-14 hari) untuk membantu bank yang mengalami
kesulitan likuiditas. Langkah-langkah ini terbukti cukup
berhasil mengatasi tekanan likuiditas pada industri
perbankan.
Selanjutnya, dalam rangka mengetahui ketahanan
likuiditas perbankan, khususnya terhadap kemungkinan
penarikan DPK secara tiba-tiba dan dalam jumlah besar
telah dilakukan suatu simulasi dengan mengasumsikan
bahwa penurunan/penarikan DPK akan dibiayai dari ekses3 Alat likuid terdiri dari kas dan penempatan pada BI (Giro BI, SBI, dan penempatan lainnya).
Sedangkan NCD diasumsikan terdiri dari 30% giro + 30% tabungan + 10% depositojangka waktu s.d 3 bulan.
25
Bab 2 Sektor Keuangan
likuiditas bank. Hasil simulasi berdasarkan data akhir
Desember 2008 menunjukkan bahwa ekses likuiditas yang
dimiliki bank masih mencukupi untuk mengcover
penurunan DPK hingga 29,27%. Selain itu, juga telah
dilakukan stress test risiko likuiditas untuk mengetahui
ketahanan permodalan dalam menyerap biaya
mendapatkan likuiditas dari PUAB apabila bank
menghadapi kesulitan pendanaan. Hasil stress test
menunjukkan bahwa secara umum permodalan bank
masih cukup kuat menghadapi tekanan risiko likuiditas
dimaksud.
2.3.2. Perkembangan dan Risiko Kredit
Perkembangan Kredit
Pertumbuhan kredit yang tinggi menjadi hal yang
menonjol pada tahun 2008. Gejala pertumbuhan kredit
yang pesat sebenarnya sudah mulai terlihat sejak tahun
2007. Waktu itu pertumbuhan kredit mencapai 25% atau
lebih tinggi dari target sebesar 22%. Pada tahun 2008,
sesuai Rencana Bisnis, perbankan menargetkan
pertumbuhan kredit sekitar 24%. Namun, sebelum tahun
2008 berakhir, target kredit tersebut sudah terlampaui
hingga mencapai puncaknya pada bulan Oktober 2008
dengan pertumbuhan 37% yoy.
Sejalan dengan meningkatnya tekanan karena
memburuknya perekonomian, sejak bulan November 2008
pertumbuhan kredit mulai melambat sehingga mencapai
29,5% pada akhir tahun. Mengingat selama periode
laporan telah terjadi depresiasi nilai tukar rupiah yang
signifikan, maka dengan menghilangkan faktor nilai tukar,
pertumbuhan kredit tahun 2008 sebenarnya lebih rendah,
yaitu sebesar 25,7%.
Tingginya pertumbuhan kredit antara lain didorong
oleh tingginya permintaan pengusaha domestik untuk
modal kerja dan investasi sejalan dengan semakin sulitnya
mendapat pendanaan dari luar negeri sebagai dampak
dari krisis global. Pertumbuhan kredit yang cukup tinggi
tampaknya juga bagian dari strategi bank untuk
mempertahankan tingkat laba karena spread antara biaya
bunga DPK dengan pendapatan bunga dari penanaman
pada PUAB dan SBI cenderung semakin menipis.
Pertumbuhan kredit yang tinggi tersebut dapat pula
dipandang sebagai hasil dari berbagai kebijakan Bank
Indonesia pada waktu-waktu sebelumnya dalam rangka
mendorong fungsi intermediasi perbankan.
Grafik 2.8Pertumbuhan Kredit (yoy)
Kredit Valas dlm USDTotal KreditTotal Kredit (NT Tetap)Kredit RupiahKredit Valas dlm Rp
Data Des'08 menggunakan data LHBU
0
5
10
15
20
25
30
35
40
45
50
%
Des Feb Apr Jun Ags Okt Des2007 2008
Grafik 2.9Perkembangan Kredit 2007-2008
(15) 25 65 105 145 185 225 2650
Total Kredit (Rp T)
Kredit Rupiah (Rp T)
Kredit Valas (Rp T)
Kredit Valas (USD T)20082007
Sebelumnya telah dikemukakan bahwa selama
periode laporan dana pihak ketiga (DPK) bertumbuh sekitar
12,87%. Pertumbuhan DPK yang lebih rendah
dibandingkan pertumbuhan kredit mendorong
peningkatan loan to deposit ratio (LDR) dari 76,6% pada
Juni 2008 menjadi 77,2% pada Desember 2008. Bahkan
26
Bab 2 Sektor Keuangan
Komunikasi; sektor Konstruksi; sektor Jasa Dunia Usaha;
dan sektor Industri Pengolahan.
angka LDR sempat mencapai titik tertinggi setelah krisis
1997/1998 yaitu sebesar 81,6% pada Agustus 2008.
Dari segi kelompok bank, penyaluran kredit oleh
bank Persero dan bank Swasta masih mendominasi.
Selama periode laporan, kredit kelompok bank Persero
meningkat signifikan, terutama untuk sektor Industri
Pengolahan, Lain-Lain (Konsumsi) serta Perdagangan.
Sementara itu, walaupun masih tumbuh tinggi,
peningkatan kredit bank Swasta cenderung lebih rendah
dibandingkan semester sebelumnya. Perlambatan
pertumbuhan kredit pada kelompok bank Swasta terutama
untuk sektor Perdagangan dan Lain-Lain (Konsumsi),
sedangkan sektor Industri Pengolahan masih naik cukup
besar.
Suatu hal yang menggembirakan dari penyaluran
kredit selama semester II 2008 adalah cukup tingginya
penyaluran kredit untuk sektor produktif. Hal ini tercermin
pada Kredit Modal Kerja dan Kredit Investasi yang
mendominasi penyaluran kredit dengan menyumbang
masing-masing sebesar 49% dan 27% dari total kenaikan
kredit. Dengan demikian, secara keseluruhan
pertumbuhan Kredit Modal Kerja dan Kredit Investasi
selama tahun 2008 bertumbuh cukup tinggi masing-
masing 32% dan 37%. Sementara itu, secara sektoral,
pertumbuhan kredit yang cukup tinggi terdapat pada
sektor Listrik, Air dan Gas; sektor Pengangkutan dan
Grafik 2.10Pertumbuhan Kredit Kelompok Bank (ytd)
32%
27%
36%
50%
46%
32%
%
20082007
0 10 20 30 40 50
BUMN
Swasta
BPD
Campuran
Asing
Industri
Meskipun tidak sebesar pertumbuhan kredit lainnya,
Kredit Konsumsi tetap meningkat sebesar Rp39 triliun
selama semester II 2008. Kenaikan kredit konsumsi
terutama berasal dari peningkatan kredit Lainnya
(mencakup kredit kendaraan bermotor, kredit tanpa
agunan, dan lain-lain) sebesar Rp25,6 triliun dan diikuti
kredit pemilikan rumah (KPR) sebesar Rp10,1 triliun.
Dengan demikian, selama tahun 2008, pertumbuhan
kredit Lainnya dan KPR menjadi lebih tinggi dibandingkan
pertumbuhan Kartu Kredit. Sementara itu, dari 3 jenis
kredit yang termasuk dalam kelompok Kredit Properti (KPR,
Kredit Real Estate dan Kredit Konstruksi), KPR
menyumbang 54,6% dari total kenaikan kredit Properti
selama semester laporan yang mencapai Rp18,5 triliun.
Dengan total kredit mencapai Rp198,9 triliun, pangsa
Grafik 2.11Pertumbuhan Kredit Jenis Penggunaan (ytd)
Grafik 2.12Pertumbuhan Kredit Sektor Ekonomi
Modal Kerja
Investasi
Konsumsi
32%
37%
29%20082007
%0 10 20 30 40
Perdagangan
Lain-lain
Industri Pengolahan
Pengangkutan
Konstruksi
Pertanian
Jasa Dunia Usaha
Jasa Sosial
Pertambangan
Listrik
%
20,7%
29,1%
37,9%
70,2%
42,8%
19,1%
39,6%
11,1%
25,9%
133,8%
0 20 40 60 80 100 120 140
20082007
27
Bab 2 Sektor Keuangan
kredit Properti mengalami sedikit penurunan dari 15,7%
pada akhir Juni 2008 menjadi 15,2% pada akhir Desember
2008.
Grafik 2.15Pertumbuhan Kredit Berdasarkan Valuta Asal
% Rp
(60)
(40)
(20)
-
20
40
60
2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 20086.000
8.000
10.000
12.000
14.000
yoy Rp (%) yoy Va USD (%) kurs
Konsumsi lebih merata, tercermin pada pangsa untuk
pulau Jawa berkisar antara 50%-60%. Sementara itu,
kredit di pulau Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi lebih
kepada kredit investasi.
Grafik 2.13Pertumbuhan KPR, Kartu Kredit & Lainnya
Grafik 2.14Perkembangan Kredit Properti
29%
26%
29%
KPR
Kartu Kredit
Lainnya
%0 5 10 15 20 25 30
20082007
Pertumbuhan 2007 (%) Pertumbuhan 2008 (% ytd)
Delta Kredit 2007 (Rp M) Delta Kredit 2008 (Rp M)
0 9 18 27 36 45
Konstruksi
Real Estate
KPR
Kredit rupiah masih mendominasi penyaluran kredit
perbankan pada semester laporan, dengan pangsa
mencapai 80% dari total kenaikan kredit. Sementara itu,
kenaikan kredit valas sebesar Rp32,4 triliun lebih
dipengaruhi oleh faktor depresiasi nilai tukar rupiah.
Dengan menggunakan denominasi USD, kredit valas
sebenarnya turun sebesar USD0,8 miliar menjadi USD23,1
miliar. Penurunan kredit valas terjadi sejalan dengan
meningkatnya risiko akibat berfluktuasinya nilai tukar dan
kondisi perekonomian dunia yang masih belum
menggembirakan.
Dari sisi lokasi proyek, penyaluran kredit masih
terpusat di pulau Jawa, terutama untuk kredit modal kerja
(pangsa 72,9%). Perkembangan Kredit investasi dan Kredit
Grafik 2.16Pangsa Kredit Penggunaan
JaBar + Banten
DKI Jakarta
JaTeng + DIY
Jawa Timur
Sumatra
Kalimantan
Sulawesi
Bali + NusTra
Maluku + Papua
0 5 10 15 20 25 30 35
KKKIKMK
%
Pada semester II 2008, kredit MKM (Mikro, Kecil dan
Menengah) mengalami peningkatan sebesar Rp58,6 triliun
atau tumbuh 26,1% yoy, atau di bawah angka
pertumbuhan total kredit perbankan. Akibatnya,
pangsanya terhadap total kredit mengalami sedikit
penurunan dari 50,1% pada akhir Juni 2008 menjadi
48,5% pada akhir Desember 2008. Secara umum, kredit
MKM masih didominasi oleh Kredit Konsumsi dengan
peningkatan mencapai 61,5% dari total peningkatan
kredit MKM. Kredit produktif pada kredit MKM lebih
cenderung dalam bentuk Kredit Modal Kerja untuk
kebutuhan operasional sehari-hari yang peningkatannya
28
Bab 2 Sektor Keuangan
selama selama semester laporan mencapai Rp19 triliun
(32,4% dari total peningkatan kredit). Sementara itu,
sumbangan kredit Investasi relatif kecil yaitu sekitar 6,1%
dari total kenaikan kredit MKM. Secara sektoral, sektor
yang mengalami kenaikan kredit terbesar adalah sektor
Lain-Lain dan Perdagangan.
yang lebih tinggi dibandingkan peningkatan nominal NPL
mengindikasikan bahwa perbankan sudah mulai
mengantisipasi kemungkinan kenaikan risiko kredit ke
depan.
Grafik 2.18Non Performing Loans
(%) (Triliun)
NPL Gross (kr)
NPL Nominal (kn)
NPL Net (kr)
-
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
2006 Jun 2007 Jun 2008 Jun Des30
35
40
45
50
55
60
65
70
75
Grafik 2.19Kredit, NPL, dan PPAP (Rp Triliun)
Nominal NPL (kiri)
Kredit (kanan)
30
35
40
45
50
55
60
65
70
75
2006 2007 2008 Des200
400
600
800
1000
1200
1400
1600
Dari segi kelompok bank, selama semester laporan,
kenaikan nominal NPL terjadi pada kelompok bank Swasta,
kantor cabang bank Asing dan bank Campuran,
sedangkan nominal NPL bank Persero justru turun Rp3,1
triliun karena penghapusbukuan kredit. Naiknya nominal
NPL pada kelompok bank Swasta dan Campuran disertai
pula dengan peningkatan rasio NPL gross yang terjadi sejak
pertengahan semester II 2008, sementara kenaikan rasio
NPL kelompok kantor cabang bank Asing baru terjadi pada
akhir semester. Kenaikan kredit bermasalah pada kelompok
bank Swasta dan Campuran terutama pada kredit untuk
sektor Industri Pengolahan serta sektor Jasa Dunia Usaha,
sementara untuk kelompok kantor cabang bank Asing
Risiko Kredit
Selama semester II 2008, kenaikan nominal NPL
cenderung meningkat sejalan dengan meningkatnya
tekanan perlambatan perekonomian. Meskipun selama
periode laporan nominal NPL hanya naik Rp2,3 triliun
menjadi Rp50,9 triliun, namun mengingat rendahnya
peningkatan nominal NPL tersebut adalah karena
penghapusbukuan kredit yang cukup signifikan pada satu
bank besar, maka kenaikan nominal NPL perlu diwaspadai
apalagi kondisi ekonomi tengah kurang menggembirakan.
Dari sisi rasio NPL, dibandingkan dengan posisi akhir
semester I 2008, rasio NPL gross menurun menjadi 3,76%.
Rendahnya rasio NPL dipengaruhi oleh tingginya
peningkatan kredit yang jauh melebihi peningkatan
nominal NPL. Sementara itu, kenaikan nominal NPL juga
diiringi dengan kenaikan Penyisihan Penghapusan Aktiva
Produktif (PPAP) dalam jumlah yang lebih tinggi yaitu
sebesar Rp4,4 triliun menjadi Rp47,5 triliun selama
semester laporan. Hal ini menyebabkan rasio NPL net
menurun sebesar 0,2% menjadi 1,47%. Peningkatan PPAP
Grafik 2.17Perkembangan Kredit MKM
%
44
46
48
50
52
54
200
400
600
800
1000
1200
1400
2006 2007 2008 Des
Total Kredit Rp T (kiri)
MKM Rp T (kiri)% MKM/Kredit
29
Bab 2 Sektor Keuangan
diikuti pula oleh kredit sektor Lain-Lain (konsumsi),
terutama yang berasal dari kartu kredit.
pada Kredit Investasi dan Kredit Konsumsi mengalami
penurunan. Meskipun jumlah nominalnya mengalami
peningkatan, secara rasio, NPL gross Kredit Modal Kerja
sedikit menurun dibandingkan periode sebelumnya
sehingga menjadi 3,4%. Selanjutnya, walaupun secara
rasio, NPL tertinggi masih terdapat pada Kredit Investasi,
telah terjadi penurunan kredit non-lancar yang cukup
signifikan karena adanya hapus buku sehingga rasio NPL
gross Kredit Investasi turun dari 4,6% pada akhir Juni 2008
menjadi 3,8% pada akhir Desember 2008. Sementara itu,
sejalan dengan penurunan nominal NPL Kredit Konsumsi,
rasio NPL grossnya juga mengalami penurunan dari 2,9%
menjadi 2,5%.
Grafik 2.20Rasio NPL Gross Kelompok Bank
0
1
2
3
4
5
6
7
BUMN Swasta BPD Campuran Asing
Des-07Jun-08Des-08
Grafik 2.21Rasio NPL Gross Sektor Ekonomi
Pertanian
Pertambangan
Ind. Pengolahan
Konstruksi
Perdagangan
Pengangkutan
Jasa Dunia Usaha
Lain-lain Des-07Jun-08Des-08
0,0 1,5 3,0 4,5 6,0 7,5
Peningkatan nominal NPL sektor Jasa Dunia Usaha
dan Industri Pengolahan membuat kedua sektor ekonomi
tersebut mendominasi kenaikan nominal NPL sektoral
industri perbankan, masing-masing sebesar Rp1 triliun dan
Rp0,7 triliun. Kedua sektor tercatat memiliki rasio NPL gross
masing-masing sebesar 2,12% dan 5,41%. Dengan
demikian, Industri Pengolahan tampaknya masih menjadi
sektor dengan tingkat risiko kredit yang cukup tinggi,
meskipun sedikit membaik pada akhir periode laporan
sejalan dengan hapus buku yang dilakukan oleh salah satu
bank besar.
Grafik 2.22Rasio NPL Gross Jenis Penggunaan
0
1
2
3
4
5
6
7
Modal Kerja Investasi Konsumsi
Des-07Jun-08
Des-08
Dari segi jenis penggunaan kredit, peningkatan
nominal NPL selama semester II 2008 hanya terjadi pada
Kredit Modal Kerja, yaitu sebesar Rp1,7 triliun, sementara
Penurunan nominal NPL Kredit Konsumsi terutama
karena penurunan nominal kredit KPR yang menyebabkan
rasio NPL gross KPR turun menjadi 2,26%. Sementara itu,
Grafik 2.23Rasio NPL Gross Kredit Konsumsi
0
2
4
6
8
10
12
KPR Kartu Kredit Lainnya
Des-07
Jun-08
Des-08
%
30
Bab 2 Sektor Keuangan
penghapusbukuan kredit. Ke depan, perlu semakin
diwaspadai turunnya ekspor dan pelemahan nilai tukar
rupiah karena berpotensi mempengaruhi kemampuan
debitur membayar kewajibannya, terutama kewajiban
dalam valas.
rasio NPL gross Kartu Kredit masih cukup tinggi, yaitu 10,8%
pada akhir Desember 2008, meskipun sedikit menurun
dibandingkan posisi akhir Juni 2008 sebesar 11,6%.
Sebagian besar (78,2%) nominal NPL Kartu Kredit terdapat
pada kelompok Kantor Cabang Bank Asing. Sementara itu,
walaupun nominal NPL KPR sudah mengalami penurunan,
secara total, nominal NPL Kredit Properti masih mengalami
peningkatan sebesar Rp0,3 triliun. Hal tersebut karena
nominal NPL Kredit Real Estate mengalami peningkatan
dengan rasio NPL menjadi sebesar 4,51%.
Grafik 2.26Rasio NPL Gross MKM & Non MKM (%)
Grafik 2.25Rasio NPL Gross Kredit Rupiah dan Valas (%)
0
1
2
3
4
5
Rupiah Valas
Des-07
Jun-08Des-08
0
1
2
3
4
5
MKM Non MKM
Des-07Juni-08
Nov-08
Grafik 2.24Rasio NPL Gross Kredit Properti (%)
-
1
2
3
4
5
6
Konstruksi Real Estate KPR
Des-07Jun-08Des-08
Kredit valas menjadi sumber utama peningkatan
nominal NPL perbankan. Selama semester II 2008, nominal
NPL kredit valas naik Rp1,9 triliun menjadi Rp10,5 triliun
antara lain karena pelemahan nilai tukar rupiah. Apabila
dinyatakan dalam USD, nominal NPL kredit valas hanya
naik USD29,7 juta. Sejalan dengan itu, rasio NPL gross
kredit valas juga meningkat menjadi 4,14%. Kenaikan
nominal NPL kredit valas terbesar pada kelompok bank
Persero sebesar Rp0,8 triliun, diikuti Kantor Cabang Bank
Asing sebesar Rp0,7 triliun.
Di lain pihak, rasio NPL gross kredit rupiah turun
menjadi 2,98% sejalan dengan penurunan nominal NPL
kredit rupiah sebesar Rp0,7 triliun. Penurunan nominal NPL
kredit rupiah terutama karena menurunnya nominal NPL
pada kelompok bank Persero dalam jumlah yang signifikan,
yaitu sebesar Rp3,9 triliun yang disebabkab oleh
Pada periode laporan, nominal NPL Kredit MKM
turun Rp1 triliun menjadi Rp18,8 triliun. Sejalan dengan
itu, rasio NPL gross Kredit MKM juga turun menjadi 2,97%.
Berdasarkan jenis penggunaan, nominal NPL dari semua
jenis Kredit MKM turun, terutama pada Kredit Modal Kerja
sebesar Rp0,5 triliun. Dari sisi sektoral, penurunan nominal
NPL terjadi pada hampir semua sektor, kecuali sektor
Industri Pengolahan, dengan penurunan terbesar pada
sektor Perdagangan sebesar Rp1 triliun. Nominal NPL kredit
MKM sektor Industri Pengolahan naik Rp0,6 triliun,
sehingga rasio NPL gross-nya naik menjadi 7,5%. Hal ini
31
Bab 2 Sektor Keuangan
masih tinggi pada saat itu juga berpotensi meningkatkan
tekanan inflasi ke depan. Sebagai respon atas kondisi
tersebut, Bank Indonesia menaikkan suku bunga
kebijakannya (BI rate) sebagai upaya untuk meredam
tekanan inflasi. Sejak Juli sampai dengan Oktober, secara
berturut-turut BI rate terus dinaikkan sebesar 25 bps,
sehingga mencapai 9,5% pada Oktober.
Namun, pada perkembangan lebih lanjut,
memburuknya kondisi pasar keuangan dunia mulai
mempengaruhi kondisi ekonomi domestik, terutama di
pasar keuangan yang menyebabkan menurunnya kinerja
pasar saham, dan harga SUN, serta pelemahan nilai tukar
Rupiah yang signifikan. Selain itu, perlambatan ekonomi
dunia menyebabkan pertumbuhan ekspor Indonesia turun
signifikan, sehingga ekonomi domestik mulai tumbuh
melambat. Memperhatikan kondisi tersebut, Bank
Indonesia mempertahankan level BI rate pada 9,5% pada
bulan November. Pada penghujung 2008, Bank Indonesia
mulai menurunkan BI rate sebesar 25 bps menjadi 9,25%
untuk mendorong kegiatan ekonomi mengingat prospek
pertumbuhan ekonomi domestik ke depan diperkirakan
melambat cukup dalam.
Penurunan BI rate pada akhir 2008 tidak langsung
direspon dengan penurunan suku bunga perbankan. Suku
bunga perbankan masih meningkat meskipun sudah
cenderung melambat. Selama periode laporan, suku bunga
deposito 1 bulan naik 356 bps menjadi 10,75%,
sedangkan suku bunga kredit naik dalam level yang lebih
rendah. Masih tingginya suku bunga perbankan,
khususnya suku bunga deposito, terjadi karena perang
suku bunga untuk menarik dana masyarakat sebesar-
besarnya guna meningkatkan likuiditas perbankan.
Sementara itu, suku bunga kredit Kredit Modal Kerja,
Kredit Investasi dan Kredit Konsumsi masing-masing naik
222 bps, 139 bps, dan 27 bps, sehingga spread suku bunga
cenderung menyempit.
Grafik 2.27Rasio NPL Gross Kredit MKM (%)
0,0
1,0
2,0
3,0
4,0 Des-07 Jun-08Des-08
Mikro Kecil Menengah
menunjukkan bahwa risiko kredit di sektor Industri
Pengolahan tidak hanya berasal dari korporasi besar (Non
MKM) tetapi juga dari usaha skala kecil dan menengah
(MKM).
Sebagaimana dikemukakan pada Bab 1, potensi
peningkatan risiko kredit tercermin pula pada hasil analisis
Probability of Default (PD) yang mengindikasikan bahwa
ke depan risiko kredit yang berasal dari sektor riil
(korporasi) akan cenderung meningkat. Berdasarkan
analisis Probability of Default (PD) dan model
ekonometrik, diproyeksikan bahwa pada akhir tahun
2009 rasio NPL gross perbankan akan meningkat menjadi
sekitar 4,9%-5,6%. Namun demikian, hasil stress test
terhadap 15 bank besar dengan menggunakan skenario
pesimis (rasio NPL gross akan meningkat menjadi 5,6%
yaitu sebesar proyeksi tertinggi untuk tahun 2009)
menunjukkan bahwa secara umum perbankan masih
mampu mengatasi kemungkinan kerugian yang akan
terjadi sehingga tidak terdapat bank yang CAR-nya turun
menjadi di bawah 8%.
2.3.3. Risiko Pasar
Perkembangan ekonomi domestik pada awal
semester II 2008 ditandai dengan tingginya inflasi sebagai
dampak dari kenaikan harga BBM dan tingginya harga
komoditas pokok dunia. Pertumbuhan ekonomi yang
32
Bab 2 Sektor Keuangan
pendapatan bunga bersih perbankan lebih tinggi
dibandingkan semester I 2008 sebagai akibat dari
penyaluran kredit yang masih tinggi, namun ke depan hal
ini berpotensi mengurangi profitabilitas. Hasil stress test
menunjukkan bahwa apabila suku bunga meningkat 1%,
tidak terdapat bank yang mengalami penurunan CAR
menjadi di bawah 8%.
Grafik 2.30Profil Maturitas Valas
M USD
(15)
(10)
(5)
0
5
10
sd 1 bln 1 - 3 bln 3 - 6 bulan 6 - 12 bln > 12 bln
Des07 Mrt08 Jun08
Sep08 Des08
Grafik 2.31Posisi Devisa Netto
%
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Des07 Mrt08 Jun08 Sep08 Des08
BUSN Campuran BPD Persero Asing SELURUH
Grafik 2.28Suku Bunga Rp & Nilai Tukar
Grafik 2.29Profil Maturitas Rupiah
Deposito 1bln (ki)
KI (ki)
KK (ki)
Kurs (kn)
% Rp
KMK (ki)
6
8
10
12
14
16
18
20
2006 2007 2008 Des7500
8500
9500
10500
11500
12500
Rp triliun
(500)
(400)
(300)
(200)
(100)
0
100
200
300
400
500
sd 1 bln 1 - 3 bln 3 - 6 bulan 6 - 12 bln > 12 bln
Des07 Mrt08 Jun08
Sep08 Des08
Dengan profil maturitas perbankan, baik rupiah
maupun valas, yang secara umum cenderung short dalam
jangka pendek dan long dalam jangka panjang, kenaikan
suku bunga perbankan berpotensi merugikan karena akan
mengurangi keuntungan atau meningkatkan kerugian.
Pada periode laporan, posisi short aset/kewajiban dalam
rupiah untuk jangka waktu sangat pendek (s.d. 1 bulan)
cenderung semakin meningkat seiring dengan gencarnya
perbankan dalam menarik dana masyarakat untuk
meningkatkan likuiditas. Sebaliknya, untuk aset/kewajiban
dalam valas, posisi shortnya cenderung menurun sejalan
dengan meningkatnya risiko akibat depresiasi rupiah yang
cukup tajam.
Meningkatnya posisi short jangka pendek ini
berpotensi meningkatkan risiko pasar perbankan akibat
kenaikan suku bunga, terlebih dengan spread yang
semakin menyempit. Meskipun selama semester II 2008
Gejolak pasar keuangan global juga menimbulkan
tekanan terhadap nilai tukar rupiah. Bahkan rupiah sempat
mencapai Rp12.150 per USD pada November 2008,
sehingga rata-rata nilai tukar rupiah selama semester II
2008 mencapai Rp10.138 per USD dibandingkan semester
I 2008 sebesar Rp9.235 per dolar AS. Namun demikian,
rasio PDN perbankan yang relatif rendah (6,2%)
menyebabkan eksposur perbankan terhadap risiko nilai
tukar relatif terbatas. Hasil stress test menunjukkan bahwa
33
Bab 2 Sektor Keuangan
apabila nilai tukar rupiah mengalami depresiasi sampai
dengan Rp5.000 per USD, rasio kecukupan modal (CAR)
perbankan masih berada di atas 8%. Namun demikian,
perlu diwaspadai pengaruh fluktuasi nilai tukar terhadap
perbankan melalui penurunan kemampuan membayar
debitur.
Tekanan terhadap pasar saham dan pasar utang
domestik selama semester II 2008 semakin tinggi akibat
krisis pasar keuangan global yang semakin buruk. Salah
satu dampaknya adalah harga surat utang negara yang
sempat turun signifikan pada Oktober, meski pada akhir
2008 sudah mulai meningkat. Perkembangan ini sangat
mempengaruhi neraca dan laba rugi perbankan, karena
sebagian besar bank memiliki SUN sebagai salah satu
portofolio dalam aktiva produktif.
Untuk mengurangi kerugian yang lebih besar, pada
tanggal 9 Oktober 2008, Bank Indonesia, Pemerintah
(Bapepam-LK), dan Ikatan Akuntan Indonesia (IAI)
menerbitkan keputusan bersama yang memungkinkan
perbankan untuk menunda penerapan marking to market
dalam penetapan nilai wajar untuk SUN. Selain itu,
perbankan juga dimungkinkan untuk mengalihkan tujuan
kepemilikan SUN dari kategori Trading dan Available for
Sale (AFS) menjadi kategori Hold to Maturity (HTM).
Kebijakan tersebut memberikan dampak positif terhadap
neraca dan laba rugi perbankan. Hal ini tercermin pada
net unrealized loss di neraca dan nilai kerugian bersih
Grafik 2.32Pangsa Kepemilikan SUN Perbankan
Grafik 2.33Perkembangan SUN (Rp T)
%
0
10
20
30
40
50
60
HTM AFS Trading
Des07Jun08Des08
2007 2008
130,
628
,212
6,8
0
50
100
150
200
250
300
Des Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des
AFS Trading HTM
156,
416
,910
1,4
pada laporan laba rugi yang menurun pada Desember
2008, setelah sempat meningkat tinggi pada Oktober
2008.
Harga SUN yang turun tajam juga mendorong
perbankan untuk mengalihkan tujuan kepemilikan SUN dari
AFS menjadi HTM untuk mengurangi kerugian. Akibatnya,
selama semester II 2008, pangsa kepemilikan SUN untuk
AFS turun 10,8% menjadi 36,9%, sedangkan pangsa HTM
naik 11,3% menjadi 56,9%. Pangsa kepemilikan SUN
trading yang cukup rendah dan penundaan berlakunya
marking to market menjadikan perbankan tidak terlalu
terekspos dengan risiko penurunan harga SUN. Hasil stress
test menunjukkan bahwa apabila harga SUN turun sampai
20%, tidak terdapat bank yang mengalami penurunan CAR
menjadi di bawah batas minimum 8%.
2.3.4. Profitabilitas dan Permodalan
Profitabilitas
Di tengah peningkatan tekanan terhadap
perekonomian, industri perbankan masih mampu
mempertahankan profitabilitasnya, meskipun menurun bila
dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Net Interest
Income (NII), sebagai salah satu indikator profitabilitas,
menunjukkan peningkatan yaitu dari Rp53,2 triliun (Juni
2008) menjadi Rp59,9 triliun (Desember 2008).
Peningkatan tersebut antara lain karena pertumbuhan
34
Bab 2 Sektor Keuangan
terkait melambatnya pertumbuhan ekonomi ke depan
dengan meningkatkan beban Penyisihan Penghapusan
Aktiva Produktif (PPAP). Akibatnya, terjadi penurunan laba
operasional sekitar 30,6%, yaitu dari Rp17,6 triliun (Juni
2008) menjadi Rp12,2 triliun (Desember 2008). Setelah
memperhitungkan pajak, perolehan laba selama semester
II 2008 turun 33,9%, yaitu dari Rp18,4 triliun menjadi
Rp12,2 triliun.
Penting dicatat bahwa penurunan laba yang terjadi
pada paruh kedua tahun 2008 ini, merupakan
kecenderungan tahunan yang juga terjadi pada tahun
2007 yang lalu. Hanya saja, meningkatnya tekanan
terhadap kondisi perbankan pada tahun 2008,
menyebabkan perolehan laba berjalan menjadi lebih
menurun, yaitu dari sebesar Rp35,0 triliun pada akhir 2007
menjadi Rp30,6 triliun pada akhir 2008. Sementara itu,
pada periode yang sama total aset perbankan juga
mengalami peningkatan. Hal ini kemudian menyebabkan
ROA perbankan juga menjadi menurun.
kredit yang tinggi sejak awal tahun dan baru mulai
melambat sejak bulan November 2008. Dengan demikian,
peningkatan NII lebih ditopang oleh pendapatan bunga
kredit.
Grafik 2.34Profitabilitas Bank-mtm 2008
Rp triliun
0
5
10
15
20
25
Nov2007
Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des2008
Pend. BungaBeban BungaNII
Grafik 2.35Pendapatan Bunga Bank
0
50
100
150
200
250LainnyaKredit
SSBBI
Nov Des Nov Des2007 2008
L/R Operasional 18,07 16,97 35,04 17,63 12,23 29,86
L/R Non Operasional 7,10 7,72 14,82 7,23 11,01 18,24
L/R sebelum Pajak 25,17 24,69 49,86 24,86 23,24 48,10
L/R setelah Pajak 18,38 16,63 35,02 18,39 12,16 30,55
Tabel 2.1Laba/Rugi Perbankan
2007 2008
Semester I Semester II Total Semester I Semester II Total
Rp triliunRp triliunRp triliunRp triliunRp triliun
Grafik 2.36Perkembangan Rasio ROA per Kelompok Bank
%
-
1
2
3
4
15 BB S. Menengah S. Kecil BPD Campuran Asing Industri
ROA Des'07 ROA Des'08
Akan tetapi, profitabilitas yang dihasilkan dari
pendapatan bunga tersebut tidak seluruhnya dapat
langsung menjadi laba bersih bank. Hal tersebut karena
perbankan mengantisipasi memburuknya kualitas kredit
35
Bab 2 Sektor Keuangan
Sementara itu, rasio modal inti (Tier 1) terhadap
Aktiva Tertimbang Menurut Risiko (ATMR) juga masih
cukup tinggi, yaitu sebesar 14,4%. Dengan demikian,
permodalan perbankan diperkirakan masih cukup kuat
untuk menyerap berbagai risiko, serta masih memiliki
ruang gerak yang mencukupi untuk terus bertumbuh dan
melakukan ekspansi kredit.
Grafik 2.37Perkembangan Rasio BOPO per Kelompok Bank
%
15 BB S. Menengah S. Kecil BPD Campuran Asing Industri-
20
40
60
80
100
120BOPO Des'07 BOPO Des'08
Penurunan laba operasional sepanjang tahun 2008
tampaknya juga dipicu oleh tingkat efisiensi yang ikut
berkurang. Penurunan efisiensi ini tercermin pada rasio
Beban Operasional terhadap Pendapatan Operasional
(BOPO) yang meningkat. Oleh karena itu, salah satu
agenda penting perbankan ke depan adalah upaya untuk
meningkatkan efisiensi.
Sementara itu, data yang ada menunjukkan bahwa
inefisiensi ternyata lebih banyak terlihat pada kelompok
bank kecil dibandingkan kelompok bank lainnya. Dengan
demikian, salah satu cara untuk meningkatkan efisiensi
adalah dengan memperbesar size atau skala usaha bank.
Hal ini dapat dilakukan antara lain melalui merger dan
akuisisi dalam rangka konsolidasi perbankan.
Permodalan
Secara umum, rasio permodalan (CAR) industri
perbankan pada akhir semester II 2008 masih cukup tinggi,
yaitu 16,2%. Namun demikian, jika dibandingkan dengan
posisi akhir semester sebelumnya sebesar 16,4%, terdapat
sedikit penurunan. Hal tersebut disebabkan oleh tingginya
pertumbuhan kredit yang dibarengi dengan lambannya
peningkatan laba bank. Apabila kredit perbankan ke depan
terus bertumbuh pada kisaran 15%-18%, maka CAR
industri perbankan pada akhir tahun 2009 diperkirakan
akan turun menjadi sekitar 14,3%.
Grafik 2.38Modal, ATMR, dan CAR
%Rp triliun
-
400
800
1.200
1.600
2.000
0
5
10
15
20
25ModalATMRCAR (kanan)
Des Feb Apr Jun Ags Okt Des
2007 2008
Ketahanan perbankan terhadap tekanan berbagai
risiko tersebut tercermin pada hasil integrated stress test,
yang mencakup risiko kredit, risiko suku bunga, risiko nilai
tukar, risiko harga SUN dan risiko likuiditas. Stress test ini
dilakukan terhadap 15 bank besar yang mencakup sekitar
70% dari total aset industri perbankan. Skenario yang
digunakan adalah rasio NPL gross meningkat menjadi
sebesar 5,6% (proyeksi pesimis rasio NPL tahun 2009),
harga SUN turun 20%, suku bunga turun 1% dan rupiah
terdepresiasi sampai dengan Rp5.000 per USD. Selain itu,
Grafik 2.39Integrated Stress Test terhadap CAR 15 Bank Besar
0%
5%
10%
15%
20%
25%
30%
A B C D E F G H I J K L M N O
CAR AWAL
CAR BARU
36
Bab 2 Sektor Keuangan
dampak lanjutannya (second round effects) berpotensi
membuat 24 bank lainnya (multiple failure) juga
menghadapi tekanan permodalan.
Sementara itu, apabila dilihat secara individual,
beberapa bank masih memiliki modal inti minimum kurang
dari Rp100 miliar. Meskipun ketentuan modal inti minimum
sebesar Rp100 miliar baru akan berlaku pada akhir tahun
2010, bank-bank yang dewasa ini masih belum memiliki
modal inti Rp100 miliar perlu segera menyiapkan langkah-
langkah untuk pemenuhannya. Salah satu langkah yang
mungkin dapat dilakukan adalah dengan melakukan
merger dan akuisisi sehingga dapat mempercepat proses
konsolidasi perbankan.
2.4. LEMBAGA KEUANGAN BUKAN BANK DAN
PASAR MODAL
2.4.1. Perusahaan Pembiayaan
Perusahaan Pembiayaan (PP) merupakan salah satu
jenis lembaga keuangan bukan bank yang berfungsi
melakukan pembiayaan melalui berbagai jenis pembiayaan
antara lain pembiayaan konsumen, sewa guna usaha,
anjak piutang dan kartu kredit. Selama semester II 2008
(s.d November), kinerja PP meningkat cukup signifikan,
tercermin pada peningkatan total asset dan modal masing-
masing sebesar 23,80% dan 2,01%, sementara kegiatan
pembiayaan meningkat sebesar 16,58%.
Pesatnya kegiatan usaha PP ditopang oleh kenaikan
pendanaan, terutama yang bersumber dari kredit
perbankan yang meningkat cukup pesat yaitu sekitar
24,42% sehingga pangsanya menjadi 42% dari total
pendanaan. Krisis keuangan global yang memperketat
likuiditas menyebabkan tingginya biaya emisi saham dan
obligasi. Akibatnya, PP semakin tergantung pada sumber
dana kredit perbankan.
Dari segi jenis pembiayaan yang diberikan, pangsa
pembiayaan konsumen semakin berkurang dan cenderung
Grafik 2.40Interbank Stress Test
Bank Kena Dampak
Bank
Pem
icu A
BCDEFGHIJKL
F M N O P Q R S T U V J W K
kekurangan likuiditas diasumsikan dipenuhi dari dana
PUAB. Hasil stress test menunjukkan bahwa tidak terdapat
bank yang CARnya turun menjadi di bawah 8%.
Selanjutnya, mengingat beberapa bank dewasa ini
sedang menghadapi potensi kerugian terkait structured
products, telah dilakukan pula stress test untuk
mengetahui ketahanan permodalan dari bank-bank
tersebut. Hasil stress test ini menunjukkan bahwa secara
umum permodalan bank cukup kuat, meskipun beberapa
Kantor Cabang Bank Asing tertentu yang aktif melakukan
transaksi structured products harus siap-siap segera
meningkatkan modal apabila potensi kerugian menjadi
semakin meningkat.
Untuk mendapatkan gambaran tentang ketahanan
perbankan dalam menghadapi gejolak faktor-faktor
makroekonomi, telah dilakukan macroeconomic stress test,
khususnya terhadap 15 bank besar. Hasil stress test ini
memperlihatkan bahwa pada akhir 2009, sejalan dengan
proyeksi perlambatan pertumbuhan ekonomi, maka secara
rata-rata rasio NPL 15 bank besar akan meningkat, namun
masih pada kisaran 5%.
Selain itu, telah dilakukan pula interbank stress test,
yaitu untuk mengetahui dampak contagion kegagalan
suatu bank terhadap bank lainnya dalam sistem perbankan
(contagion risk). Hasil stress test ini menunjukkan bahwa
apabila 11 bank pemicu gagal (single failure) terdapat 14
bank yang berpotensi permodalannya tertekan, sementara
37
Bab 2 Sektor Keuangan
Grafik 2.41Kegiatan Usaha Perusahaan Pembiayaan
0,00
20,00
40,00
60,00
80,00
100,00
120,00
140,00
160,00
180,00
200,0023,80%
16,58%28,19%
2,01%
Aset Pembiayaan Pendanaan Modal
Jun 07Des'07Jun'08Nov'08
Grafik 2.42Sumber Dana Perusahaan Pembiayaan
Grafik 2.43Komposisi Nominal Pembiayaan PP (Nov'08)
Piutang pembiayaan 141.179 46.257 93.795
Sewa Guna Usaha 53.480 5.759 46.634
Anjak Piutang 2.222 1.182 1.001
Kartu Kredit 1.178 2 1.175
Pembiayaan Konsumen 84.299 39.314 44.985
Pembiayaan (dalam Rp miliar)
0
20.000
40.000
60.000
80.000
100.000
120.000
140.000
160.000
Total Swasta Nasional Patungan
Sewa Guna Usaha 33,34% 11,31% 44,85%Anjak Piutang 1,82% 3,10% 1,05%Kartu Kredit 1,07% 0,01% 1,69%Pembiayaan Konsumen 63,76% 85,59% 52,40%
Tabel 2.2Perkembangan Pembiayaan Perusahaan Pembiayaan
Jun»08 Total Swasta Nasional Patungan
Nov»08 Total Swasta Nasional Patungan
Sewa Guna Usaha 37,88% 12,45% 49,72%Anjak Piutang 1,57% 2,56% 1,07%Kartu Kredit 0,83% 0,01% 1,25%Pembiayaan Konsumen 59,71% 84,99% 47,96%
*Total Sumber Dana: SSB, Pinjaman Subordinasi dan Total Pinjaman Dalam dan Luar Negeri
-7,33%
24,42%
28,19%
Rp miliar
Pinjaman BankDomestik
Surat Berharga yangDiterbitkan
Total Sumber Dana*
Jun'07
Des'07
Jun'08
Nov'08
0
20.000
40.000
60.000
80.000
100.000
120.000
140.000
Sementara itu, keuntungan PP meningkat cukup
signifikan, yaitu sebesar Rp2,85 triliun menjadi Rp5,96
triliun. Kenaikan laba tersebut mendorong meningkatnya
ROA dan ROE. Efisiensi usaha juga berhasil dipertahankan
dengan rasio Biaya Operasi terhadap Pendapatan Operasi
(BOPO) sebesar 77%.
didiversifikasi melalui peningkatan pembiayaan sewa guna
usaha. Penurunan konsentrasi kegiatan pembiayaan
konsumen terutama terjadi pada PP Patungan yaitu dari
52,40% (Juni 2008) menjadi 47,96% (November 2008).
Asset 116.000.000.000 127.000.000.000 140.649.000.000 174.124.731.707
Debt (Pinjaman/
Obligasi) 81.524.052.728 90.319.642.214 100.183.895.911 128.423.157.567
Kewajiban 95.241.046.752 102.466.196.738 113.722.737.895 143.568.726.785
Equity 20.758.953.248 24.533.803.262 26.926.262.105 30.556.004.922
Profit Before Tax 2.978.914.227 5.763.866.446 4.134.560.328 8.078.856.892
Profit After Tax 2.244.670.921 4.379.780.690 3.114.695.467 5.961.654.328
ROA 0,03 0,05 0,03 0,05
ROE 0,14 0,23 0,15 0,26
BOPO 0,81 0,83 0,77 0,77
Debt/Equity 3,93 3,68 3,72 4,2
Kewajiban/Equity 4,59 4,18 4,22 4,7
Tabel 2.3Rasio-rasio Keuangan Perusahaan Pembiayaan
Des-06 Mei-07 Des-07 Mei-07
Tetap baiknya kinerja PP pada semester laporan
didukung oleh perkembangan pasar kendaraan bermotor
yang masih tetap menggembirakan. Berdasarkan data
Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia
(Gaikindo), sepanjang periode 2008, penjualan mobil di
Indonesia meningkat sekitar 40% menyentuh rekor
tertinggi mencapai 607,15 unit, meskipun terdapat trend
penurunan penjualan pada November dan Desember.
38
Bab 2 Sektor Keuangan
Sementara itu, berdasarkan data Asosiasi Industri Sepeda
Motor Indonesia (AISI), penjualan sepeda motor selama
tahun 2008 juga meningkat mencapai 6,22 juta, atau jauh
lebih banyak dibandingkan penjualan pada tahun 2007
sebesar 4,69 juta unit.
Suku bunga kredit yang cukup tinggi pada semester
laporan meningkatkan potensi risiko pembiayaan oleh PP.
Di samping itu, menurunnya pendapatan nasabah sebagai
dampak krisis global juga berpotensi meningkatkan NPL.
Pada tahun 2008 rasio NPL pembiayaan PP tetap menurun,
namun secara nominal terindikasi adanya peningkatan
NPL, khususnya pada pembiayaan konsumen dan sewa
guna usaha.
Selain itu, risiko likuiditas juga berpotensi meningkat.
Hal tersebut terutama karena membesarnya mismatch
liquidity. Arus masuk likuiditas yang bersumber dari
pendanaan sebenarnya cukup tinggi, namun tetap tidak
mampu mengimbangi tingginya arus kas keluar karena
aktivitas operasi yang meningkat pesat.
Grafik 2.44NPL Pembiayaan
NPL (%)
Jun'07 2,67% 14,14% 4,28% 1,55%
Des'07 2,28% 11,59% 3,66% 1,68%
Jun'07 1,90% 11,32% 2,79% 1,70%
Nov'08 1,67% 9,04% 3,09% 1,66%
0,00
2,00
4,00
6,00
8,00
10,00
12,00
14,00
16,00
Sewa GunaUsaha
Anjak Piutang Kartu Kredit PembiayaanKonsumen
Grafik 2.45Perkembangan Nominal NPL
Rp miliar
0
500.000.000
1.000.000.000
1.500.000.000
2.000.000.000
2.500.000.000
3.000.000.000
Jun Des Jun Nov
2007 2008
SGUAPKK
PKTotal
Grafik 2.46Arus Kas PP Swasta Nasional
Arus kas neto dariaktivitas operasi 792 1.184
-
1.312
-
1.772
Arus kas neto dariaktivitas investasi -45 -162 -177 -322
Arus kas neto dariaktivitas pendanaan -903 -811 1.721 3.109
Rp miliar
Jun 07 Des 07 Jun 08 Nov 08-3.000
-2.000
-1.000
0
1.000
2.000
3.000
4.000
Grafik 2.47Arus Kas PP Patungan
Arus kas neto dariaktivitas operasi 3.528 7.133 5.221 9.786
Arus kas neto dariaktivitas investasi 174 494 944 724
Arus kas neto dariaktivitas pendanaan 4.790 7.513 4.480 11.222
Rp miliar
-15.000
-10.000
-5.000
0
5.000
10.000
15.000
Jun-07 Des-07 Jun-08 Nov-08
Meningkatnya risiko pembiayaan dan risiko likuiditas
tersebut pada gilirannya dapat mengganggu kinerja atau
meningkatkan risiko bagi bank yang menjadi sumber dana
bagi PP. Dengan demikian, potensi risiko yang lebih besar
akan dihadapi oleh bank-bank yang memiliki anak
39
Bab 2 Sektor Keuangan
perusahaan PP. Sementara itu, meningkatnya kegiatan
channeling dan joint financing antara bank dengan PP
berpotensi meningkatkan tekanan risiko bagi bank. Selama
semester II 2008, channeling meningkat 23,74% menjadi
Rp9,33 triliun, sedangkan joint financing meningkat 9,8%
menjadi Rp49,61 triliun.
Grafik 2.48Exposure Perbankan
Grafik 2.50Perkembangan Kenaikan NPL PP Subsidiary Bank
0
50000000
10000000
15000000
20000000
25000000
30000000
0
500000
1000000
1500000
2000000
2500000
3000000
3500000
4000000
4500000
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nov
2008
236
7910
Grafik 2.49Perkembangan Penurunan NPL PP Subsidiary Bank
0
2000000
4000000
6000000
8000000
10000000
12000000
0
20000000
40000000
60000000
80000000
10000000
12000000
1 8 4 5
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nov
2008Rp Miliar
0
5.000
10.000
15.000
20.000
25.000
30.000
35.000
40.000
45.000
50.000Channelling
Joint Financing
Jun Des Jun Nov2007 2008
Terkait dengan perkembangan tersebut, berdasarkan
pemantauan terhadap 21 PP yang terafiliasi dengan bank
diketahui adanya 10 PP yang memiliki NPL dan 6
diantaranya cenderung mengalami peningkatan. Kenaikan
nominal NPL yang signifikan terutama terjadi pada PP yang
memiliki porsi pembiayaan sewa guna usaha yang tinggi.
Sementara, NPL nominal pembiayaan konsumen
cenderung mengalami penurunan.
2.4.2. Pasar Modal
Portofolio Investasi Asing
Pada semester II 2008, investor asing cenderung
melakukan realisasi gain. Akibatnya, terjadi outflows
investasi asing pada aset keuangan rupiah sebesar Rp20,4
triliun, padahal pada semester sebelumnya terjadi inflows
sebesar Rp18,5 triliun. Outflows tersebut tercermin pada
turunnya kepemilikan asing pada SBI dan SUN masing-
masing Rp25,2 triliun dan Rp6,7 triliun.
Sementara itu, sentimen negatif paska kejatuhan
institusi keuangan internasional seperti Lehman Brothers
di AS dan beberapa bank investasi di Eropa serta
kegagalan Asuransi AIG menyebabkan semakin
berfluktuasinya harga saham, sehingga meningkatkan
peluang profit taking bagi investor asing. Di pasar saham
domestik, perilaku profit taking investor asing
1 0,54% 0,37% - - - -3.558.416
2 32,63% 53,28% 93.069.554 413.988 - 42.591.752
3 0,37% 0,37% - - - - -990.623
4 1,03% 0,00% - - - -26.578.328
5 1,20% 1,07% - - - -5.406.096
6 0,00% 0,06% 799.020 - - -
7 0,20% 0,44% - - - 1.370.608
8 0,79% 0,58% 142.127 - - -
9 0,00% 0,66% -540.907 - - -
10 0,02% 0,03% - - - 279.805
Tabel 2.4Perkembangan NPL Perusahaan Pembiayaan
Perubahan % NPL
PP Jun»08 Nov»08
∆ Perubahan Nominal NPL
Jun»08 - Nov»08 SGU Ajk.Ptng KK Pmb.Kons
40
Bab 2 Sektor Keuangan
mengakibatkan terjadinya net beli saham sebesar Rp11,5
triliun.
pelepasan SUN oleh investor domestik (khususnya lembaga
keuangan) sekitar Rp10,1 triliun. Akibatnya, pelemahan
pasar SUN sangat mendalam dan recovery pasar menjadi
sangat lambat. Pada sisi lain, tetap tingginya portofolio
SUN yang dimiliki oleh lembaga keuangan domestik,
seperti perbankan (sebesar Rp253,9 triliun), asuransi
(Rp53,3 triliun), dana pensiun (Rp32,2 triliun) dan
reksadana (Rp31,9 triliun), menyebabkan pelemahan pasar
SUN akan berdampak negatif terhadap kinerja lembaga
keuangan domestik tersebut sehingga perlu diwaspadai.
Grafik 2.51Penanaman Investor Asing: SBI-SUN-Saham
Rp triliun
-35
-25
-15
-5
5
15
25
35SBI SUN Saham
Sep Okt Nov Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des
2007 2008
Grafik 2.52Penanaman Investor Asing: SBI-SUN-Saham
Rp triliun
-35
-25
-15
-5
5
15
25
35
Sep Okt Nov Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des
2007 2008
Grafik 2.53Kepemilikan SUN dan SBI Investor Asing
0
20
40
60
80
100
120SBI SUN
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des
2008
Rp triliun
Grafik 2.54Penyerapan SUN Lembaga Keuangan Domestik dan Asing
-50
-40
-30
-20
-10
0
10
20
2008Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des
LK Domestik LK Asing
Rp triliunPerilaku profit taking oleh investor asing berpotensi
menekan stabilitas sistem keuangan karena berpotensi
memicu pembalikan arus dana secara tiba-tiba dan
serentak (sudden reversal). Kerawanan terutama
bersumber pada portofolio SUN yang dimiliki investor asing
sejumlah Rp87,4 triliun per akhir Desember 2008 yang
sebagian besar merupakan portofolio manajer investasi
asing. Selain berpotensi memicu sudden reversal,
pelepasan SUN oleh investor asing juga akan berpotensi
menekan nilai tukar rupiah dan harga SUN.
Potensi kerawanan semakin besar karena perilaku
investor utama SUN cenderung searah. Hal ini tampak pada
perkembangan selama semester laporan yaitu pelepasan
SUN oleh investor asing sebesar Rp4,7 triliun diikuti dengan
Pasar Saham
Pada semester laporan, bursa saham global terkoreksi
turun terimbas sentimen negatif kejatuhan perusahaan-
perusahaan investasi peringkat atas serta meningkatnya
laporan kerugian lembaga keuangan internasional. Bursa
Dow Jones turun pesat sekitar 23% dan sempat
41
Bab 2 Sektor Keuangan
menyentuh level terendah 7.552,2 (pertengahan
November 2008). Prospek memburuknya kondisi
perekonomian global dan adanya ekspektasi resesi di AS
dan beberapa negara di Eropa berdampak pada turunnya
kinerja bursa regional Asia. Dalam hal ini, IHSG tercatat
turun sekitar 42,3% menjadi 1.355,41 (Desember 2008)
dan sempat mencapai level terendah sebesar 1.111,39
pada tanggal 28 Oktober 2008. Dengan perkembangan
tersebut, rata-rata IHSG selama semester II 2008 sekitar
1.723,06, atau jauh lebih rendah dibandingkan rata-rata
selama semester sebelumnya sebesar 2.485,47.
Grafik 2.55Perkembangan IHSG & Indeks Global dan Regional
(Diindekskan dengan Indeks 31 Desember 2005)
0,20
0,70
1,20
1,70
2,20
Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des
2007 2008
IHSG FSSTI SET KLCIPCOMP NKY Hang Seng KOSPIFTSE NYA DJIA
IHSG 2.139,28 2.745,83 2.349,11 1.832,51 1.355,41 28,35 (42,30) (21,99)Indeks Sektor Keuangan 223,14 260,57 203,74 203,37 176,33 16,78 (13,45) (0,18)Indeks Sektor Pertanian 1.680,12 2.754,76 3.061,06 1.489,57 918,77 63,96 (69,99) (51,34)Indeks Sektor Industri Dasar 196,10 238,05 200,05 162,93 134,99 21,39 (32,52) (18,55)Indeks Sektor Konsumsi 437,01 436,04 398,29 381,36 326,84 (0,22) (17,94) (4,25)Indeks Sektor Properti 211,72 251,82 168,53 142,42 103,49 18,94 (38,59) (15,49)Indeks Sektor Pertambangan 1.647,04 3.270,09 3.415,96 1.833,24 877,68 98,54 (74,31) (46,33)Indeks Sektor Infrastruktur 750,43 874,07 652,81 570,91 490,35 16,47 (24,89) (12,55)Indeks Sektor Perdagangan 387,38 392,24 356,76 261,33 148,33 1,26 (58,42) (26,75)Indeks Sektor Aneka Industri 324,96 477,35 360,65 326,15 214,94 46,89 (40,40) (9,57)
Tabel 2.6Pertumbuhan Indeks Sektoral
Sem II 07 Sem II 08 Jun-Sep 08
Pertumbuhan (%)Jun 07 Des 07 Jun 08 Sep 08 Des 08
pertambangan yang masing-masing turun sekitar 70% dan
74%. Pelemahan cukup besar juga dialami indeks sektoral
yang rentan terhadap pelemahan nilai tukar yaitu indeks
sektor perdagangan dan indeks sektor aneka industri yang
masing-masing turun sekitar 58% dan 40%.
IHSG 2.139,28 2.745,83 2.349,11 1.832,51 1.355,41 28,35 (42,30) (21,99)STI 3.475,89 3.465,63 2.947,54 2358,91 1.761,56 (0,30) (40,24) (19,97)SET 776,79 858,10 768,59 596,54 449,96 10,47 (41,46) (22,39)KLCI 1.354,38 1.445,03 1.186,57 1.018,68 876,75 6,69 (26,11) (14,15)PCOMP 3.660,86 3.621,60 2.459,98 2.569,65 1.872,85 (1,07) (23,87) 4,46NIKKEI 18.138,36 15.307,78 13.484,38 11.259,86 8.859,56 (15,61) (34.28) (16,48)HSCI 21.772,73 27.812,65 22.102,01 18.016,21 14.387,48 27,74 (34,90) (18,49)KOSPI 1.743,60 1.897,13 1.674,92 1.448,06 1.124,47 8,81 (32,86) (13,54)FTSE 9.873,02 9.740,32 8.660,48 7.532,80 5.757,05 (1,34) (33,53) (13,02)UKX 6.607,90 6.456,90 5.625,90 4.902,45 4.434,17 (2,29) (21,18) (12,86)DJIA 13408,62 13264,82 11350,01 10850,66 8776,39 (1,07) (22,68) (4,40)
Tabel 2.5Pertumbuhan Indeks Bursa Regional
Sem II 07 Sem II 08 Jun-Sep 08
Pertumbuhan (%)Jun 07 Des 07 Jun 08 Sep 08 Des 08
Sementara itu, berkurangnya tekanan inflasi dan
terdapatnya sinyal penurunan suku bunga pada menjelang
akhir tahun 2008 berhasil menahan pelemahan indeks
sektor keuangan yang hanya turun sekitar 0,18%. Gejolak
krisis pasar global sempat membuat volatilitas pasar saham
domestik melonjak tinggi pada periode September-
November 2008. Namun, karena secara rata-rata volatilitas
pasar saham domestik cukup moderat, maka minat
investor untuk profit taking jangka pendek masih tetap
bertahan.
Seluruh indeks sektoral mengalami pelemahan,
terutama indeks sektor pertanian dan indeks sektor
Grafik 2.56Volatilitas (30 hari) beberapa Indeks Bursa Asia
%
0
20
40
60
80
100
120
Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des
2007 2008
Indonesia JepangThailand MalaysiaSingapore Hongkong
42
Bab 2 Sektor Keuangan
Turun tajamnya indeks saham diiringi pula dengan
berkurangnya aktivitas transaksi. Hal tersebut antara lain
karena adanya libur panjang menjelang akhir tahun 2008.
Selama semester II 2008, transaksi saham turun sekitar
64% menjadi Rp34,88 triliun. Transaksi saham investor
asing menurun, namun tetap tingginya minat investor
mengakibatkan terdapatnya net beli sebesar Rp7,77 triliun.
Penurunan harga yang disertai turunnya transaksi
perdagangan menyebabkan turunnya kapitalisasi pasar
sebesar 45,86% menjadi hanya Rp1,076 triliun. Sementara
itu, likuiditas pasar tetap rendah, tercermin pada emisi
saham yang hanya meningkat 6,94% menjadi Rp407,46
triliun dengan jumlah emiten yang hanya bertambah 17
perusahaan menjadi 485 perusahaan.
Grafik 2.60P/E Ratio Saham Bank
%
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90Jun 07 Des 07
Jun 08 Des 08
Danamon BCA BRI Mandiri BNI BII CIMBNiaga
Selama semester laporan, harga sebagian besar
saham perbankan melemah signifikan meskipun
menjelang akhir semester terindikasi rebound. Sementara
itu, dari sisi Price/Earning Ratio (PER), sebagian besar saham
bank mengalami penurunan.
Grafik 2.58Nilai Kapitalisasi & Nilai Emisi
Grafik 2.57Nilai Transaksi Saham Investor Domestik dan Asing
Rp triliun
0
20
40
60
80
100
120
140
160
2008Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des
Total Indonesia Asing
Rp triliun
0
500
1000
1500
2000
2500
3000
3500
2008Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des
0
50
100
150
200
250
300
350
400
450
N Kap (BEI)N Kap (BEJ)N Kap (BES)IHSG (RHS)N Emisi
Grafik 2.59Perkembangan Harga Saham Beberapa Bank
-
1.000,00
2.000,00
3.000,00
4.000,00
5.000,00
6.000,00
7.000,00
8.000,00
9.000,00
-
200,00
400,00
600,00
800,00
1.000,00
1.200,00
Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des
2007 2008
BCA (LHS) BRI (LHS) Mandiri (LHS)Danamon (LHS) BNI (LHS) BII (RHS)CIMB Niaga (RHS)
Pasar Surat Utang
Tingginya suku bunga sejak awal sampai
pertengahan semester II 2008 menyebabkan kinerja pasar
surat utang menjadi tertekan. Harga SUN mengalami
penurunan, tercermin pada turunnya indeks IDMA sekitar
11% menjadi 88,21. Bahkan, indeks IDMA sempat
43
Bab 2 Sektor Keuangan
Grafik 2.62Yield SUN 1 s.d. 30 tahun
Grafik 2.61Perkembangan Harga Beberapa Seri FR
2008
20
40
60
80
100
120
140
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des
FR02 FR49 FR27FR48 FR47 FR45
%
4
6
8
10
12
14
16
18
20
Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des
2007 2008
1 tahun 3 tahun 5 tahun
10 tahun 15 tahun 30 tahun
Grafik 2.63SUN: Likuiditas Pasar Berbagai Tenor
Rp triliun
0
5
10
15
20
25
30
35
40
45FR VR ORI Zero Coupon SPN
2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020 2021 2022 2023 2024 2025 2026 2027 2028 2037 2038
mencapai level terendah 67,11 pada tanggal 29 Oktober
2008. Untuk mengurangi potensi kerugian investor karena
turun pesatnya harga SUN, telah ditempuh kebijakan untuk
melonggarkan aturan marking to market bagi investor
SUN. Sejalan dengan penurunan BI rate sejak awal
November 2008, pasar mulai rebound, terindikasi pada
turunnya yield penanaman rupiah berbagai tenor.
berkembangnya transaksi SUN untuk tenor jangka
panjang. Tidak adanya acuan yield yang wajar untuk
penanaman rupiah berjangka panjang (berjangka waktu
lebih dari 10 tahun) juga menghambat perkembangan
transaksi SUN berjangka panjang.
Tertekannya pasar surat utang mengurangi minat
emiten untuk menghimpun dana melalui penerbitan
obligasi. Pada tahun 2008, pembiayaan melalui emisi
obligasi korporasi tercatat rendah, yaitu nilai emisi hanya
naik sekitar 9% menjadi Rp145,9 triliun dengan tambahan
emiten hanya 3 perusahaan sehingga menjadi 178
perusahaan. Emisi obligasi korporasi tersebut tidak
berdampak nyata terhadap likuiditas pasar obligasi
korporasi karena sebagian besar emisi merupakan
refinancing. Secara keseluruhan, posisi obligasi korporasi
Dari segi likuiditas, tidak adanya lelang SUN pada
Kuartal IV (sejak 14 Oktober 2008) telah menyeimbangkan
likuiditas pasar yang diwarnai aksi jual. Sejalan dengan
itu, posisi SUN pada semester laporan turun dari Rp515,0
triliun menjadi Rp511,0 triliun. Dari segi tenor, likuiditas
pasar SUN tetap terkonsentrasi pada SUN berjangka
pendek dan menengah yang menyebabkan kurang
Grafik 2.64Emisi dan Posisi Obligasi Korporasi
0
20
40
60
80
100
120
140
160
170
171
172
173
174
175
176
177
178
179
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des
2008
(Emisi & Posisi Trl Rp) (Emiten)
Emisi Posisi Emiten
44
Bab 2 Sektor Keuangan
pada akhir Desember 2008 tercatat sebesar Rp73 triliun,
atau turun sebesar 13,7% dibandingkan posisi pada akhir
Desember 2007.
Reksadana
Semakin melemahnya pasar keuangan menyebabkan
memburuknya kinerja reksadana. Hal tersebut terlihat pada
perkembangan Nilai Aktiva Bersih (NAB) pada semester
laporan (s.d Oktober 2008) yang turun 25% menjadi
Rp68,9 triliun. Dengan perkembangan tersebut, selama
tahun 2008 NAB reksadana turun sekitar 27%.
Perkembangan bursa saham yang kurang
menggembirakan yang disertai meningkatnya volatilitas
IHSG mengakibatkan NAB reksadana saham turun sebesar
53% menjadi Rp16,6 triliun, sementara NAB reksadana
campuran turun 38% menjadi Rp8,7 triliun. Selanjutnya,
Grafik 2.65Nilai Aktiva Bersih Reksadana
0
5
10
15
20
25
30
35
40
2008Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt
2007
Pend Tetap Saham Camp Ps Uang Terproteksi
Rp triliun
Grafik 2.66Reksadana : Redemption-Subscription-NAB
0
2
4
6
8
10
12
14
2007 2008Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt
Rdmp, trl Rp,kr Subscr, trl Rp,kr NAB, trl Rp,knn
0
20
40
60
80
100
120
Grafik 2.67Reksadana : NAB-Unit Penyertaan
0
20
40
60
80
100
120NAB, trl Rp,kr Unit Penyertaan,
mil unit,krNAB/Unit,knn
Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt2007 2008
0
200
400
600
800
1000
1200
1400
1600
1800
2000
Grafik 2.68Kinerja Penghimpunan Dana Reksadana
0
20
40
60
80
100
120
140
160
2007 2008Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep
420
440
460
480
500
520
540
560Juml Unit Penyertaan,kr Juml Dana,Trl Rp,kr Juml Reksadana, knn
sejalan dengan melemahnya pasar surat utang, NAB
reksadana pendapatan tetap turun 15% menjadi Rp14,0
triliun.
Sementara itu, pemberlakuan ketentuan Bapepam-
LK yang melarang redemption reksadana terproteksi yang
belum selesai masa pengelolaannya, menyebabkan NAB
reksadana terproteksi tetap meningkat, yaitu naik 21%
menjadi Rp24,9 triliun. Sejalan dengan itu, pangsa
reksadana terproteksi pada akhir Desember 2008 menjadi
yang terbesar yaitu sekitar 36%, padahal pada akhir
Desember 2007 pangsanya masih sekitar 17%. Tetap
meningkatnya NAB reksadana terproteksi berhasil
mengurangi tekanan redemption. Bahkan, selama tahun
2008 redemption tetap lebih kecil dibandingkan dengan
subscription, yaitu Rp81,6 triliun berbanding Rp83,8
triliun.
45
Bab 2 Sektor Keuangan
Namun demikian, terdapat tanda-tanda bahwa minat
investor terhadap reksadana semakin menurun. Hal tersebut
antara lain terlihat pada unit penyertaan. Meskipun
sepanjang tahun 2008 terdapat peningkatan unit penyertaan
sebesar 17%, namun sejak September 2008 menurun
menjadi sekitar 62,5 miliar unit. Selain itu, peningkatan
penghimpunan dana melalui reksadana pada tahun 2008
(s.d September) tergolong kecil yaitu hanya sebesar 2%
menjadi Rp135,5 triliun, sementara jumlah reksadana
meningkat cukup besar yaitu sekitar 16% menjadi 549.
46
Bab 2 Sektor Keuangan
Kronologis Gejolak Sektor Keuangan 2008 dan ResponKebijakanBoks 2.1
Kondisi sektor keuangan pada tahun 2008,
khususnya selama semester II, penuh gejolak.
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, gejolak tersebut
telah membuat Indeks Stabilitas Keuangan (Financial
Stability Index - FSI) meningkat tajam selama semester
laporan, bahkan pernah melampaui batas indikatif
maksimum angka 2 pada bulan November dan
Desember 2008. Sementara itu, nilai tukar rupiah juga
mengalami tekanan. Dalam perkembangan terakhir,
FSI mulai sedikit menurun sejalan dengan
membaiknya IHSG dan harga SUN, namun nilai tukar
rupiah masih belum kembali kepada level sebelum
Oktober 2008, meskipun volatilitasnya sudah semakin
berkurang.
8-10 Oktober 200828 Oktober 200829 Oktober 2008
20 Nopember 2008
24 Nopember 2008
Tabel Boks 2.1.1Kronologis Gejolak Sektor Keuangan Indonesia 2008
Tanggal Kejadian
Bursa Efek Indonesia ditutup sementara.IHSG: 1.111,39, terendah sejak Desember 2005.Indeks Harga SUN (IDMA): 67,11, terendah sejakpenerbitan SUN pertama kali pada Januari 2005.LPS mengambilalih 1 bank yang dinilai berdampaksistemik (Bank Century).Nilai tukar Rp/USD: 12.650, terendah sejak krisis 1997/1998.
Berikut ini disampaikan ringkasan kronologis
gejolak keuangan di Indonesia selama semester II 2008
dan respon kebijakan yang telah diambil untuk
menjaga stabilitas sistem keuangan.
16 September 2008
23 September 2008
13 Oktober 2008
15 Oktober 2008
24 Oktober 2008
29 Oktober 2008
13 Nopember 2008
14 Nopember 2008
18 Nopember 200816 Desember 2008
Tabel Boks 2.1.2Respon Kebijakan
Tanggal Kejadian
BI menurunkan O/N repo rate dari BI rate plus 300 bps menjadi BI rate plus 100 bps.BI menyesuaikan FASBI rate dari BI rate minus 200 bps menjadi BI rate minus 100 bps.BI memperpanjang jangka waktu Fine Tune Operation (FTO) dari 1 hari s.d 14 hari menjadi 1 hari s.d 3 bulan(PBI No.10/14/PBI/2008).BI merubah ketentuan tentang GWM rupiah dan GWM valas bagi Bank Umum (PBI No.10/19/PBI2008).BI meniadakan pembatasan posisi saldo harian Pinjaman Luar Negeri (PLN) jangka pendek (PBI No.10/20/PBI/2008).Penerbitan PERPPU No.2 Tahun 2008 tentang perubahan Undang-Undang Bank Indonesia yang memungkinkan kreditberkolektibilitas lancar dijadikan agunan untuk mendapatkan Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP).Penerbitan PERPPU No.3 Tahun 2008 yang mengatur kenaikan nilai simpanan nasabah yang dijamin LPS dari Rp100 jutamenjadi Rp 2 milyar.BI memperpanjang tenor FX Swap dari paling lama 7 hari menjadi 1 bulan (PBI No.10/21/PBI/2008).BI berkomitmen menyediakan valas bagi korporasi domestik melalui perbankan (PBI No.10/22/PBI/2008).Penerbitan PERPPU No.4 Tahun 2008 tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK).BI mengeluarkan perubahan atas PBI No.10/19/PBI2008 untuk menyempurnakan perhitungan GWM Rupiah menjadiGWM utama sebesar 5% dari DPK Rupiah, dan GWM sekunder sebesar 2.5% dari DPK Rupiah (PBI No.10/25/PBI/2008).BI mengeluarkan peraturan tentang Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek bagi Bank Umum (FPJP)(PBI No.10/26/PBI/2008).BI mengeluarkan peraturan yang membatasi transaksi spekulatif valas terhadap rupiah dengan mewajibkan adanyaunderlying transaksi untuk setiap pembelian valas yang melebihi USD100.000 (PBI No.10/28/PBI/2008).BI mengeluarkan perubahan atas PBI No.10/26/PBI/2008 tentang Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP) bagi BankUmum (PBI No. 10/30/PBI/2008).BI mengeluarkan aturan mengenai Fasilitas Pinjaman Darurat (FPD) (PBI No.10/31/PBI/2008).BI melarang transaksi derivatif structured product yang terkait transaksi valas (PBI No.10/38/PBI/2008).
47
Bab 2 Sektor Keuangan
Pengambilalihan Bank Century, Penutupan Bank Indover danStabilitas Sistem KeuanganBoks 2.2
Pada semester II 2008 terdapat 2 permasalahan
di perbankan yang banyak mendapat perhatian. Yang
pertama adalah pengambilalihan Bank Century oleh
LPS dan yang kedua adalah penutupan Bank Indover.
Pertanyaannya adalah apakah kedua permasalahan
tersebut mengganggu stabilitas sistem keuangan
Indonesia?
Bank Century adalah hasil merger Bank CIC,
Bank Pikko dan Bank Danpac pada bulan Desember
2004. Bersamaan dengan terjadinya kekeringan
likuiditas global yang berimbas ke dalam negeri, pada
bulan Juli 2008 Bank Century mengalami kesulitan
likuiditas yang ditandai dengan pelanggaran GWM
beberapa kali. Setelah itu, kinerja bank terus menurun
sehingga masuk dalam pengawasan khusus (Special
Surveillance) Bank Indonesia. Namun demikian,
kondisi bank terus memburuk sehingga dinyatakan
sebagai bank gagal pada tanggal 20 November 2008.
Selanjutnya, mengingat bank tersebut dinilai
berdampak sistemik maka Bank Century kemudian
diambilalih oleh LPS untuk disehatkan.
Dalam kenyataannya pengambilalihan Bank
Century oleh LPS tidak menimbulkan gejolak atau
shock yang signifikan di perbankan. Baik nasabah
maupun lembaga perbankan relatif tenang sehingga
tidak menimbulkan tekanan terhadap stabilitas sistem
keuangan. Pengambilalihan bank yang tidak
menimbulkan gejolak ini sekaligus juga merupakan
cerminan semakin kuatnya koordinasi antara
lembaga-lembaga terkait dalam sistem keuangan di
Indonesia dan berjalannya mekanisme protokol
manajemen krisis (crisis management protocol) yang
telah disepakati bersama.
Sementara itu, De Indonesische Overzeese Bank
atau lebih dikenal dengan Bank Indover adalah anak
perusahaan Bank Indonesia yang berkedudukan di
Amsterdam, Belanda. Bank Indover sempat memiliki
kinerja yang cukup bagus sebelum mengalami
kesulitan likuiditas akibat penurunan secara drastis
money market line sebagai dampak dari gejolak pasar
keuangan global, khususnya yang terjadi di Eropa.
Bank ini akhirnya dibekukan oleh pengadilan Belanda
pada tanggal 6 Oktober 2008.
Salah satu potensi tekanan terhadap stabilitas
keuangan adalah penanaman yang dilakukan oleh
bank-bank domestik pada Bank Indover. Data yang
ada menunjukkan terdapat sekitar 14 bank domestik
yang melakukan penanaman pada Bank Indover
sebelum ditutup. Mengingat jumlah eksposur ke14
bank domestik pada Bank Indover tersebut hanya
sekitar Rp1,6 triliun atau 0,07% dari total asset industri
perbankan per Oktober 2008, maka penutupan Bank
Indover tidak menimbulkan dampak yang signifikan
terhadap ketahanan sistem keuangan Indonesia.
Selain itu, dampaknya terhadap rasio
permodalan (CAR) industri perbankan juga tidak besar.
Penutupan Bank Indover hanya mengakibatkan
penurunan CAR dari 16,18% menjadi 16,09%. Hasil
interbank stress test juga menunjukkan bahwa bank-
bank yang mengalami penurunan CAR karena
penutupan Bank Indover bukanlah bank-bank yang
dapat menimbulkan dampak sistemik. Dari sisi
likuiditas, juga tidak berdampak signifikan karena
hanya mengakibatkan penurunan likuiditas dalam
kisaran antara 0,01% s.d 7,28% dari secondary
reserves perbankan.
48
Bab 2 Sektor Keuangan
Segmentasi Pasar Uang Antar Bank (PUAB)Boks 2.3
Segmentasi PUAB adalah suatu kondisi dimana
transaksi antar bank cenderung terbatas dan hanya
terjadi antara sesama kelompok bank tertentu saja.
Dengan tersegmentasinya PUAB, bank yang memiliki
likuiditas menjadi semakin berhati-hati dalam
menempatkan atau mengelola likuiditasnya.
Sementara, bank yang memerlukan likuiditas menjadi
semakin berhati-hati dalam meminjam dana di PUAB,
bukan hanya karena keterbatasan supply, namun juga
untuk menjaga reputasi.
Segmentasi PUAB dapat ditelusuri dari
perkembangan penurunan rata-rata perhari volume
transaksi PUAB. Pada PUAB Rupiah, penurunan rata-
rata per hari volume transaksi terjadi sejak bulan
September 2008, sementara pada PUAB Valas Dalam
Negeri (DN) penurunan rata-rata per hari volume
transaksi baru terjadi satu bulan kemudian, yaitu sejak
bulan Oktober 2008.
Pada Tabel di bawah ini tahun 2008 dipecah
menjadi dua periode. Periode I adalah sebelum
terjadinya tekanan likuiditas (Januari s.d. Agustus
untuk PUAB Rupiah atau Januari s.d. September untuk
PUAB Valas DN), sedangkan periode II adalah setelah
terjadi tekanan likuiditas (September s.d. Desember
untuk PUAB Rupiah atau Oktober s.d. Desember untuk
PUAB Valas DN). Dengan memperbandingkan kedua
periode tersebut, terlihat bahwa pada periode II hampir
semua kelompok bank membatasi transaksi, baik
dalam hal menempatkan dana (placing) maupun
dalam hal meminjam (taking). Selain itu, kalaupun ada
Tabel Boks 2.3.1Rata-rata per Hari Volume Transaksi PUAB Rupiah Januari s.d Desember 2008
Periode I 266.184 260.786 99.627 8.628 706.069 143.799 1.485.0931.485.0931.485.0931.485.0931.485.093Periode II 17.690 30.547 4.762 0 112.154 3.962 169.115169.115169.115169.115169.115
Perubahan -93,4% -88,3% -95,2% -100,0% -84,1% -97,2% -88,6%Periode I 456.839 239.003 119.152 69.866 592.022 188.310 1.665.1921.665.1921.665.1921.665.1921.665.192Periode II 121.980 372.240 173.638 20.184 367.196 143.939 1.199.1771.199.1771.199.1771.199.1771.199.177
Perubahan -73,3% 55,7% 45,7% -71,1% -38,0% -23,6% -28,0%Periode I 49.585 62.317 36.332 50.926 81.815 17.459 298.434298.434298.434298.434298.434Periode II 51.991 100.921 126.384 31.345 90.521 33.659 434.819434.819434.819434.819434.819
Perubahan 4,9% 61,9% 247,9% -38,5% 10,6% 92,8% 45,7%Periode I 9.382 53.515 63.656 36.223 7.424 22.954 193.155193.155193.155193.155193.155Periode II 4.963 37.090 45.772 15.076 1.594 12.730 117.226117.226117.226117.226117.226
Perubahan -47,1% -30,7% -28,1% -58,4% -78,5% -44,5% -39,3%Periode I 10.229 4.897 2.377 1.411 252.279 0 271.193271.193271.193271.193271.193Periode II 2.500 11.701 2.778 0 318.728 0 335.707335.707335.707335.707335.707
Perubahan -75,6% 139,0% 16,9% -100,0% 26,3% - 23,8%Periode I 873.565 695.964 197.388 71.858 97.870 917.118 2.853.7632.853.7632.853.7632.853.7632.853.763Periode II 225.304 614.915 355.914 15.469 51.586 1.090.923 2.354.1122.354.1122.354.1122.354.1122.354.112
Perubahan -74,2% -11,6% 80,3% -78,5% -47,3% 19,0% -17,5%Periode I 1.665.7831.665.7831.665.7831.665.7831.665.783 1.316.4821.316.4821.316.4821.316.4821.316.482 518.532518.532518.532518.532518.532 238.913238.913238.913238.913238.913 1.737.4801.737.4801.737.4801.737.4801.737.480 1.289.6401.289.6401.289.6401.289.6401.289.640 6.766.8296.766.8296.766.8296.766.8296.766.829Periode II 424.429424.429424.429424.429424.429 1.167.4151.167.4151.167.4151.167.4151.167.415 709.247709.247709.247709.247709.247 82.07482.07482.07482.07482.074 941.778941.778941.778941.778941.778 1.285.2131.285.2131.285.2131.285.2131.285.213 4.610.1574.610.1574.610.1574.610.1574.610.157
Perubahan -74,5% -11,3% 36,8% -65,6% -45,8% -0,3% -31,9%
BANK PEMBERI
Kelompok Bank
Rp jutaRp jutaRp jutaRp jutaRp juta
4 BankPersero
BAN
K P
EMIN
JAM
Bank BesarNon Persero
Bank SwastaMenengah
Bank SwastaKecil
BPDBank
Campuran &KCBA
Total
4 Bank Persero4 Bank Persero4 Bank Persero4 Bank Persero4 Bank Persero
Bank BesarBank BesarBank BesarBank BesarBank BesarNon PerseroNon PerseroNon PerseroNon PerseroNon Persero
Bank SwastaBank SwastaBank SwastaBank SwastaBank SwastaMenengahMenengahMenengahMenengahMenengah
Bank SwastaBank SwastaBank SwastaBank SwastaBank SwastaKecilKecilKecilKecilKecil
BPDBPDBPDBPDBPD
BankBankBankBankBankCampuran &Campuran &Campuran &Campuran &Campuran &
KCBAKCBAKCBAKCBAKCBA
TOTALTOTALTOTALTOTALTOTAL
49
Bab 2 Sektor Keuangan
transaksi, hal itu cenderung hanya terjadi terbatas
pada kelompok bank-bank tertentu saja. Bank-bank
besar terlihat hanya mau bertransaksi dengan sesama
bank besar pula, sementara bank-bank kecil dan
menengah relatif kesulitan dalam mendapatkan dana
antar bank.
Perkembangan terakhir, seiring mulai
membaiknya kondisi likuiditas domestik paska
serangkaian kebijakan yang diambil Bank Indonesia
dan Pemerintah, maka mulai penghujung tahun 2008,
baik PUAB rupiah maupun valas DN, sama-sama
menunjukkan peningkatan rata-rata per hari volume
transaksinya. Dengan demikian, ke depan diharapkan
permasalahan segmentasi PUAB ini segera
terselesaikan secara menyeluruh sehingga tidak
menimbulkan tekanan terhadap stabilitas keuangan.
Tabel Boks 2.3.2Rata-rata per Hari Volume Transaksi PUAB Valas DN Januari s.d Desember 2008
Periode I 8.623 14.935 5.980 759 1.337 2.873 34.508Periode II 4.455 16.072 4.481 894 174 4.418 30.494
Perubahan -48,3% 7,6% -25,1% 17,6% -87,0% 53,8% -11,6%Periode I 10.481 9.057 6.014 1.109 52 6.561 33.274Periode II 2.209 7.193 4.530 1.065 50 2.121 17.168
Perubahan -78,9% -20,6% -24,7% -4,0% -4,5% -67,7% -48,4%Periode I 2.504 2.837 670 1.525 24 330 7.889Periode II 1.170 1.568 648 1.212 8 376 4.982
Perubahan -53,3% -44,7% -3,3% -20,5% -65,0% 14,1% -36,8%Periode I 0 3 78 53 0 45 179Periode II 0 0 0 18 0 25 43
Perubahan - -100,0% -100,0% -66,9% - -44,7% -76,2%Periode I 32 14 0 0 0 94 139Periode II 0 700 19 19 0 0 737
Perubahan -100,0% 5037,9% - -100,0% 429,7%Periode I 45.668 60.364 24.368 5.943 144 81.611 218.098Periode II 2.585 41.127 13.445 6.093 0 71.763 135.014
Perubahan -94,3% -31,9% -44,8% 2,5% -100,0% -12,1% -38,1%Periode I 67.307 87.209 37.110 9.390 1.558 91.513 294.087Periode II 10.419 66.660 23.122 9.300 232 78.703 188.437
Perubahan -84,5% -23,6% -37,7% -1,0% -85,1% -14,0% -35,9%
BANK PEMBERI
Kelompok Bank
USD ribuUSD ribuUSD ribuUSD ribuUSD ribu
4 BankPersero
BAN
K P
EMIN
JAM
Bank BesarNon Persero
Bank SwastaMenengah
Bank SwastaKecil
BPDBank
Campuran &KCBA
Total
4 Bank Persero4 Bank Persero4 Bank Persero4 Bank Persero4 Bank Persero
Bank BesarBank BesarBank BesarBank BesarBank BesarNon PerseroNon PerseroNon PerseroNon PerseroNon Persero
Bank SwastaBank SwastaBank SwastaBank SwastaBank SwastaMenengahMenengahMenengahMenengahMenengah
Bank SwastaBank SwastaBank SwastaBank SwastaBank SwastaKecilKecilKecilKecilKecil
BPDBPDBPDBPDBPD
BankBankBankBankBankCampuran &Campuran &Campuran &Campuran &Campuran &
KCBAKCBAKCBAKCBAKCBA
TOTALTOTALTOTALTOTALTOTAL
50
Bab 2 Sektor Keuangan
Structured Products dan Offshore Products: Dampaknyaterhadap Stabilitas Sistem KeuanganBoks 2.4
Structured Products
Beberapa bank, terutama kantor cabang bank
asing dan bank swasta nasional yang dimiliki asing,
akhir-akhir ini aktif melakukan penawaran produk-
produk investasi yang dikenal di Indonesia sebagai
structured products. Secara umum, structured
products dapat dipandang sebagai derivatif produk
keuangan konvensional dengan struktur aset yang
diharapkan menghasilkan return yang paling optimal
atau memberikan yield enhancement bagi nasabah,
berdasarkan asumsi-asumsi tertentu dari indikator
pasar keuangan yang umum, misalnya suku bunga,
nilai tukar dan indeks saham.
Structured products yang berkembang di
Indonesia umumnya merupakan derivatif dari deposito
dengan option atau hedging (umumnya forward)
dengan option. Data menunjukkan bahwa
perkembangan transaksi option sangat pesat, yaitu
pada tahun 2007 meningkat 251% dan pada tahun
2008 meningkat 134%. Sementara itu, transaksi
forward juga meningkat yaitu pada tahun 2007 dan
2008 masing-masing naik 24% dan 46%.
Sementara itu, memburuknya perekonomian
global menekan kinerja neraca pembayaran Indonesia.
Hal ini kemudian menjadi sentimen negatif yang
membuat nilai tukar rupiah terdepresiasi. Pada tahun
2008, nilai tukar Rp/USD melemah sekitar 18,5%
sehingga nilai tukar pada akhir Desember mencapai
sekitar Rp11.120/USD. Pelemahan nilai tukar rupiah
ini kemudian mempengaruhi kinerja structured
products yang pada umumnya tidak pernah
memperkirakan bahwa nilai tukar rupiah akan
terdepresiasi secara signifikan.
Dalam perkembangan lebih lanjut, menurunnya
kinerja structured products menimbulkan kerugian
bagi investor, sementara investor tetap harus
menyediakan dana untuk memelihara nilai simpanan.
Bahkan nasabah structured products tertentu, seperti
eksportir, dewasa ini ada yang menghadapi persoalan
pembatalan sepihak oleh importir di luar negeri terkait
dengan memburuknya perekonomian global.
Akibatnya, nasabah ini tidak memiliki dana cukup
untuk memelihara nilai simpanan, padahal mereka
juga kesulitan untuk membatalkan transaksi
structured products karena tingginya biaya
pembatalan transaksi (unwinding cost). Sementara itu,
karena bank masih memiliki kewajiban terhadap bank
lain terkait transaksi structured products nasabah,
maka bank seringkali menutup kewajiban nasabah
yang jatuh waktu terlebih dahulu. Namun, praktek
tersebut akan meningkatkan eksposur risiko kredit
bank, dan dapat menjadi sumber dispute dengan
nasabah. Dengan demikian, transaksi structured
products telah menimbulkan suatu kesulitan baru
diperbankan dan apabila tidak diselesaikan secara
cermat, berpotensi menekan stabilitas keuangan.
Pelajaran berharga yang dapat dipetik dari
permasalahan structured products yang saat ini ramai
dibicarakan adalah pentingnya perbankan
menerapkan kehati-hatian dan keterbukaan dalam
memasarkan produk tersebut, termasuk dalam
menjelaskan aspek mitigasi risiko dan perlindungan
konsumen. Apabila masalah structured products tidak
tuntas diselesaikan, hal ini akan meningkatkan risiko
reputasi dan risiko hukum dari masing-masing bank
yang terkait.
Offshore Products
Sementara itu, maraknya transaksi reksadana
telah mendorong perbankan untuk melakukan
kegiatan keagenan reksadana. Akibatnya, keagenan
reksadana oleh perbankan tidak lagi hanya terbatas
51
Bab 2 Sektor Keuangan
pada reksadana onshore, yaitu reksadana yang
diterbitkan oleh manajer investasi (MI) domestik,
namun juga mencakup penawaran produk keuangan
offshore, baik yang bersifat structured funds maupun
structured notes. Pada dasarnya, structured funds
merupakan reksadana yang diterbitkan oleh MI luar
negeri, sementara structured notes merupakan jenis
produk keuangan terstruktur yang yang diterbitkan
oleh investment banks di luar negeri.
Beberapa alasan utama dilakukannya kegiatan
penawaran produk keuangan offshore oleh
perbankan adalah: (i) adanya permintaan dari
nasabah utama (prime customers); (ii) dalam rangka
memelihara hubungan dengan nasabah atau
menjaga agar nasabah tidak pindah ke bank lain; dan
(iii) untuk menghadapi persaingan dengan semakin
maraknya penawaran produk-produk keuangan luar
negeri oleh bank dan MI luar negeri yang dilakukan
dengan cara mengunjungi calon investor langsung
ke Indonesia.
Dengan latar belakang tersebut, kantor cabang
bank Asing (KCBA) adalah kelompok bank yang paling
aktif dalam melakukan keagenan produk keuangan
offshore, khususnya melalui unit private banking atau
unit wealth management. Pada sebagian bank, unit
wealth management di Indonesia berhubungan
langsung dan merupakan bagian dari unit wealth
management pada global office bank yang
bersangkutan di luar negeri. Hal lain yang
menyebabkan KCBA menjadi cukup aktif dalam
melakukan penawaran produk keuangan offshore
adalah karena kegiatan serupa telah sering dilakukan
di kantor-kantor cabang bank tersebut di negara-
negara lain.
Berdasarkan laporan dari beberapa bank
penyelenggara keagenan produk keuangan offshore
diketahui bahwa penawaran produk keuangan luar
negeri pada semester II 2008 turun 14% menjadi
sekitar Rp32 triliun. Penurunan tersebut terkait dengan
melemahnya pasar keuangan global sehingga
mengurangi minat investor terhadap produk-produk
investasi terstruktur. Namun demikian, jumlah bank
penyelenggara semakin meningkat. Hal tersebut
antara lain karena bertambahnya bank domestik yang
telah diambil alih pihak asing.
Di samping perbankan, penawaran produk
keuangan offshore juga dilakukan oleh MI domestik.
Berdasarkan data sementara s.d November 2008,
penawaran produk keuangan offshore oleh MI
domestik jauh lebih rendah, yaitu hanya berkisar Rp2,5
triliun. Bahkan, selama semester II 2008 (data s.d
November) jumlahny menurun sekitar 6% sehingga
menjadi sekitar Rp2 triliun. Namun demikian, secara
keseluruhan, posisi produk keuangan offshore yang
ditawarkan oleh bank dan MI domestik relatif kecil,
yaitu pangsanya secara rata-rata hanya sekitar 29%
dari reksadana onshore.
Penawaran produk keuangan offshore yang
dilakukan oleh perbankan tampaknya masih
cenderung terbatas, yaitu hanya ditujukan bagi calon
investor yang telah memiliki pemahaman yang cukup
tentang risiko penanaman pada produk keuangan
offshore. Meskipun masih cenderung terbatas, kehati-
hatian perlu ditingkatkan mengingat kegiatan
keagenan produk keuangan offshore berpotensi
membuat bank lebih terekspose terhadap risiko
reputasi dan risiko hukum, disamping memperbesar
peluang meningkatnya kesalahpahaman dengan
investor, khususnya apabila masalah tranparansi dan
perlindungan nasabah kurang diperhatikan. Dampak
penting lainnya yang perlu diperhatikan adalah
penanaman yang berlebihan dalam offshore products
berpotensi mendorong terjadinya pelarian dana
investor domestik ke luar negeri.
52
Bab 2 Sektor Keuangan
Dampak Utang Luar Negeri terhadap Stabilitas SistemKeuanganBoks 2.5
Pengalaman krisis 1997/1998 menunjukkan
bahwa utang luar negeri (ULN) perbankan dan korporasi
dapat menjadi pemicu krisis, khususnya apabila nilai
tukar domestik mengalami penurunan yang signifikan.
Belajar dari pengalaman tersebut, bank dewasa ini
cukup berhati-hati dalam menjaga Posisi Devisa Netto
(PDN), tercermin dari rata-rata PDN industri perbankan
yang cukup rendah (6,2%) padahal batas maksimal
adalah 20% dari modal. Namun demikian, mengingat
profil maturitas valas perbankan menunjukkan cukup
tingginya posisi short jangka pendek (tenor s.d. 1 bulan),
maka kehati-hatian perlu lebih ditingkatkan.
Secara umum diperkirakan kewajiban
pembayaran utang luar negeri 2009 masih
manageable. Selama 2009 diperkirakan akan
dilakukan pembayaran ULN sebesar USD27,5 miliar
yang mencakup kewajiban pembayaran ULN
Pemerintah dan Swasta.
Jumlah pokok dan bunga ULN swasta perbankan
yang jatuh tempo pada tahun 2009 hanya sebesar
USD3,1 miliar, sedangkan jumlah ULN swasta non
bank adalah sekitar USD14,2 miliar (tidak termasuk
jumlah ULN yang standstill). Bagi perbankan,
kewajiban pembayaran ULN diperkirakan akan cukup
terkendali, mengingat sekitar 60% dari total ULN yang
akan jatuh tempo pada tahun 2009 merupakan
banker»s acceptance. Sementara itu, jumlah ULN
swasta non bank juga masih relatif kecil dibandingkan
dengan cadangan devisa. Dengan demikian, tekanan
terhadap nilai tukar yang berasal dari ULN swasta
termasuk perbankan pada tahun 2009 diperkirakan
tidak akan signifikan.
Tabel Boks 2.5.1Utang Luar Negeri Swasta Jatuh Tempo 2009
Loan Agreement 4.208,97 2.191,40 1.919,57 3.190,13 11.510,06Securities 1.614,73 750,35 223,03 93,36 2.681,46Trade Credits 755,45 154,43 87,03 87,55 1.084,47Other Loan 32,94 10,76 3,23 57,55 104,46JumlahJumlahJumlahJumlahJumlah 6.612,086.612,086.612,086.612,086.612,08 3.106,943.106,943.106,943.106,943.106,94 2.232,862.232,862.232,862.232,862.232,86 3.428,583.428,583.428,583.428,583.428,58 15.380,4615.380,4615.380,4615.380,4615.380,46
LOAN_TYPE Tw I-09 Tw II-09 Tw III-09 Tw IV-09 USD Juta
Loan Agreement 271,47 555,55 238,14 699,22 1.764,38Securities 54,60 66,11 49,06 62,66 232,44JumlahJumlahJumlahJumlahJumlah 326,07326,07326,07326,07326,07 621,67621,67621,67621,67621,67 287,21287,21287,21287,21287,21 761,88761,88761,88761,88761,88 1.996,821.996,821.996,821.996,821.996,82Grand TotalGrand TotalGrand TotalGrand TotalGrand Total 6.938,146.938,146.938,146.938,146.938,14 3.728,613.728,613.728,613.728,613.728,61 2.520,062.520,062.520,062.520,062.520,06 4.190,464.190,464.190,464.190,464.190,46 17.377,2817.377,2817.377,2817.377,2817.377,28
Bank 3.140,50Non Bank 14.236,70ULN Swasta* 17.377,20
BUNGA
LOAN_TYPE Tw I-09 Tw II-09 Tw III-09 Tw IV-09 USD Juta
* Tidak termasuk surat-surat berharga domestik yang dimiliki asing sebesar USD1.308 juta.
53
Bab 3 Infrastruktur Keuangan dan Mitigasi Risiko
Bab 3Infrastruktur Keuangandan Mitigasi Risiko
54
Bab 3 Infrastruktur Keuangan dan Mitigasi Risiko
Halaman ini sengaja dikosongkan
55
Bab 3 Infrastruktur Keuangan dan Mitigasi Risiko
3.1. PERKEMBANGAN SISTEM PEMBAYARAN
Secara umum, peranan Sistem BI-RTGS dalam sistem
pembayaran semakin penting karena dari sisi nilai transaksi,
sekitar 93% pembayaran menggunakan sistem ini.
Namun, dari sisi volume transaksi, pembayaran dengan
menggunakan kartu (Kartu kredit, kartu debit dan kartu
ATM) lebih mendominasi, yaitu sebesar 97% dari total
pembayaran.
Nilai transaksi pembayaran melalui Sistem BI-RTGS
mengalami peningkatan sebesar Rp3,1 ribu triliun atau
tumbuh 14,68% (yoy) mencapai nilai Rp23,9 ribu triliun
(yoy). Seiring dengan peningkatan nilai transaksi, volume
transaksi pembayaran melalui Sistem BI-RTGS bertambah
710 ribu transaksi atau tumbuh 14,9% mencapai 5,45
juta transaksi dibandingkan periode sebelumnya.
Peningkatan volume transaksi tersebut terutama karena
semakin banyaknya transaksi antar nasabah dan transaksi
pemerintah yang dilakukan melalui Sistem BI-RTGS.
Sementara itu, setelmen melalui SKN-BI
menunjukkan pola yang agak berbeda dengan yang
melalui BI-RTGS. Selama 2 tahun terakhir sampai dengan
akhir semester II 2008, nilai dan volume transaksi
pembayaran melalui SKN-BI mengalami tren kenaikan,
namun pada semester II 2008 cenderung menurun. Secara
lebih khusus, jika dibandingkan dengan semester II 2007,
transfer dana ritel melalui SKN-BI mengalami penurunan
Kehandalan infrastruktur keuangan selama semester II 2008 tetap terpelihara
dengan baik sehingga dapat mendukung aktivitas di sistem keuangan dan
perekonomian. Sistem pembayaran terus menunjukkan kemajuan, sementara
informasi yang disediakan oleh Biro Informasi Kredit semakin banyak
dimanfaatkan. Keberadaan Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK) yang
saat ini sedang dipersiapkan undang-undangnya akan semakin memperkuat
stabilitas sistem keuangan ke depan.
Infrastruktur Keuangan dan Mitigasi RisikoBab 3
Grafik 3.1Perkembangan Transaksi BI-RTGS
-
2,0
4,0
6,0
8,0
10,0
12,0
-
10.000
20.000
30.000
40.000
50.000
2004 2005 2006 2007 2008
Volume (jutaan)
Nominal (trilyun)
56
Bab 3 Infrastruktur Keuangan dan Mitigasi Risiko
Rp105,35 triliun (14,31%) menjadi Rp631 triliun. Dari sisi
volume transaksi juga terdapat penurunan yaitu 19,35 juta
transaksi (47,96%) menjadi 21 juta transaksi.
meningkat sebesar 1,15 juta transaksi (163,75%).
Peningkatan ini karena semakin banyaknya penerbit baru
e-money, sehingga sampai dengan akhir tahun 2008 sudah
terdapat 8 penerbit e-money.
3.1.1. Risk Assessment dan Mitigasi Risiko
Dalam rangka mitigasi risiko kredit dalam sistem
pembayaran dan dalam upaya mengantisipasi dampak
krisis global yang berpotensi membahayakan kebutuhan
likuiditas dalam sistem pembayaran, Bank Indonesia telah
menyempurnakan ketentuan Fasilitas Likuiditas Intrahari
(FLI) dan Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP), serta
mengeluarkan ketentuan baru mengenai Fasilitas
Pembiayaan Darurat (FPD).
Selain itu, dalam rangka mitigasi risiko setelmen
dalam penyelenggaraan Sistem Kliring Nasional, Bank
Indonesia telah menetapkan prefund sebagai salah satu
Grafik 3.2Perkembangan Transaksi SKN-BI
Volume Nilai (Rp Juta)
6
5
4
3
2
1
-1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
2007 2008
20
-
40
60
80
100
120Volume (Juta)
Nilai (Rp Triliun)
Penggunaan alat pembayaran menggunakan kartu
(APMK) juga cukup tinggi dengan jumlah transaksi melalui
kartu ATM/Debit masih mendominasi hingga mencapai
89%, sedangkan penggunaan kartu kredit hanya sebesar
11%. Dari sisi nilai transaksi, penggunaan kartu ATM/Debit
juga tetap tertinggi yaitu sebesar 95%, sedangkan kartu
kredit hanya 5%.
Transaksi electronic money (e-money) dalam
semester II 2008 mengalami pertumbuhan secara
signifikan dibandingkan dengan semester I 2008. Dari sisi
nilai transaksi, penggunaan e-money meningkat sebesar
Rp0,05 triliun (398,44%). Sementara, dari sisi volume
Grafik 3.3Perkembangan Transaksi APMK
95%
5%
Kartu Berbasis (ATM dan ATM + Debit) Kartu Kredit Kartu Berbasis (ATM dan ATM + Debit) Kartu Kredit
89%
11%
Grafik 3.4Perkembangan Transaksi E-Money
0,00
100,00
200,00
300,00
400,00
500,00
0,00
5,00
10,00
15,00
20,00Volume (ribu)
Nominal (milyar)
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des
57
Bab 3 Infrastruktur Keuangan dan Mitigasi Risiko
mekanisme failure to settle (FtS) sebagaimana diatur dalam
Peraturan Bank Indonesia No.7/18/PBI/2005 tentang
Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia (SKN-BI).
Mekanisme prefund merupakan kewajiban bank peserta
SKN-BI untuk penyediaan dana awal baik berupa dana
tunai (cash prefund) atau surat berharga (collateral
prefund) dalam rekening giro dan agunan di Bank
Indonesia untuk dapat mengikuti kegiatan kliring debet.
Dengan adanya kewajiban prefund ini diharapkan dapat
meminimalkan risiko terjadinya bank yang tidak memiliki
likuiditas yang cukup untuk memenuhi kewajibannya
dalam setelmen kliring debet. Kegagalan pemenuhan
prefund pada waktu yang ditetapkan dapat
mengakibatkan bank peserta tidak dapat mengikuti kliring
debet pada hari tersebut.
Dalam rangka mitigasi risiko gagal bayar dalam
penyelesaian hasil kliring transaksi pembayaran debet
antar-bank, pada akhir tahun 2008 Bank Indonesia telah
mengeluarkan kebijakan untuk menerapkan pula prinsip
no money no game untuk kliring debet.Ω Melalui penerapan
kebijakan penyempurnaan penyelesaian hasil kliring
transaksi pembayaran debet antar-bank tersebut, risiko
gagal bayar dalam penyelesaian hasil kliring debet dapat
dimitigasi, dan Bank Indonesia sebagai Penyelenggara
Kliring tidak akan menanggung risiko gagal bayar dari bank
peserta kliring debet (mitigasi credit risk yang berpotensi
dihadapi oleh Bank Indonesia). Penerapan kebijakan no
money no game dengan instrumen pre-fund tersebut akan
membuat seluruh transaksi pembayaran debet dari suatu
bank dapat dibatalkan oleh Penyelenggara Kliring apabila
pre-fund untuk meng-cover kewajiban dari hasil kliring
debet-nya tidak mencukupi.
Terkait dengan upaya mengurangi risiko dalam
penyelenggaraan Kegiatan Usaha Pengiriman Uang
(KUPU), Bank Indonesia mengeluarkan ketentuan
pelaksana Surat Edaran Bank Indonesia No.10/49/DASP
tanggal 24 Desember 2008 perihal Perizinan KUPU, yang
mencabut ketentuan pelaksanaan sebelumnya (Surat
Edaran Bank Indonesia No.8/32/DASP tanggal 20
Desember 2006 perihal Pendaftaran KUPU). Dengan
berlakunya SE baru tersebut, masa transisi selama 2 tahun
yang diberikan kepada penyelenggara KUPU untuk
melakukan pendaftaran kegiatan usaha KUPU telah
berakhir dan setiap penyelenggara KUPU diwajibkan untuk
memperoleh izin dari Bank Indonesia. Dengan adanya
ketentuan baru ini diharapkan penyelenggaraan KUPU
dapat termonitor dengan lebih baik dan memiliki standar
kegiatan sesuai international best practices.
Bank Indonesia juga terus berupaya untuk
menyempurnakan ketentuan dan pengawasan APMK
guna memastikan bahwa penyelenggara APMK dapat
mengelola potensi risiko. Dalam rangka meningkatkan
keamanan dan mitigasi potensi risiko penyalahgunaan dan/
atau pemalsuan kartu kredit termasuk keamanan
perangkat Electronic Data Capture, Bank Indonesia telah
mengeluarkan kebijakan bahwa penggunaan chip pada
kartu kredit harus dilakukan selambat-lambatnya 31
Desember 2009.
Sementara itu, sebagai tindak lanjut hasil security
assessment dan progress implementasi chip kartu kredit
yang telah dilakukan pada semester I tahun 2008 dapat
diinformasikan bahwa 46 temuan atau 58% dari 80 total
temuan telah diselesaikan pada akhir semester II tahun
2008. Selanjutnya, Penerbit dan Acquirer diminta
menyampaikan laporan progres implementasi chip dan
tindak lanjut security assessment secara berkala
(triwulanan).
Sebagai upaya untuk terus memitigasi potensi risiko
dalam sistem pembayaran antar-bank di Indonesia, pada
Sistem BI-RTGS direncanakan akan dikembangkan
mekanisme Payment-Versus-Payment (PVP) Settlement. Hal
ini dimaksudkan untuk memitigasi risiko kegagalan
58
Bab 3 Infrastruktur Keuangan dan Mitigasi Risiko
pembayaran dalam penyelesaian transaksi perdagangan
valuta asing (valas) antar-bank di Indonesia (mitigasi FX
settlement risk). Dengan PVP settlement, pembayaran mata
uang domestik dan mata uang asing dari transaksi
perdagangan valas antar-bank di Indonesia akan dilakukan
secara bersamaan (simultaneous settlement), sehingga dua
pihak dalam perdagangan valas antar-bank tidak akan
mengalami kondisi telah melakukan serah mata uang yang
dijualnya namun belum menerima mata uang yang
dibelinya (FX settlement risk).
Mekanisme PVP settlement yang akan dikembangkan
pada Sistem BI-RTGS terutama untuk penyelesaian
perdagangan Dolar Amerika Serikat terhadap Rupiah (USD/
IDR). Hal ini karena perdagangan USD/IDR merupakan porsi
terbesar dalam perdagangan valas antar-bank di Indonesia.
Mekanisme PVP yang dinamai USD/IDR PVP tersebut akan
dikembangkan dengan membangun USD/IDR PVP Link yang
akan menghubungkan Sistem BI-RTGS (untuk setelmen
pembayaran IDR) dengan Sistem USD-CHATS4 di HongKong
(untuk setelmen pembayaran USD). Untuk itu, Bank
Indonesia dan Hong Kong Monetary Authority telah
menandatangani Nota Kesepahaman (Memorandum of
Understanding) pada tanggal 24 Oktober 2008.
3.1.2. Business Continuity Plan (BCP) Sistem BI-
RTGS
Kegagalan sistem pembayaran dapat menimbulkan
gangguan terhadap stabilitas sistem keuangan. Oleh
karena itu, sistem pembayaran harus memiliki kinerja baik,
handal, serta termitigasi risikonya. Untuk itu, diperlukan
kesiapan sumber daya manusia dan kehandalan
infrastruktur (aplikasi, hardware dan jaringan) baik pada
penyelenggara maupun peserta dalam menghadapi
kondisi darurat.
Untuk menjaga kelangsungan sistem BI-RTGS pada
penyelenggara, Bank Indonesia melaksanakan ujicoba sistem
backup secara berkala dengan menggunakan berbagai
skenario. Sementara untuk memastikan keberfungsian
sistem backup pada peserta, Bank Indonesia memberikan
kesempatan untuk melakukan ujicoba koneksi ke
penyelenggara. Selain itu, Bank Indonesia juga menyediakan
alternatif mekanisme penyelesaian transaksi yang dapat
digunakan oleh peserta dalam kondisi gangguan dan/atau
keadaan darurat berupa fasilitas Guest Bank (penggunaan
fasilitas hardware dan software di Bank Indonesia) dan
penggunaan instrumen Cek dan Bilyet Giro Bank Indonesia.
Dalam rangka menjaga kehandalan infrastruktur
Sistem BI-RTGS dalam kondisi gangguan atau keadaan
darurat, Bank Indonesia terus melakukan ujicoba dan
analisa untuk meminimalkan recovery time objective (RTO).
RTO adalah target waktu yang ditetapkan dalam proses
pemulihan kegiatan operasional dan sistem untuk
memastikan kesinambungan kegiatan operasional apabila
terjadi gangguan (disaster). Penetapan RTO merupakan
iterative process dan negotiation process yang dilakukan
dengan mempertimbangkan antara biaya dan risiko yang
akan ditanggung. Mengingat BI-RTGS merupakan sistem
penyelesaian transaksi nilai besar dan merupakan
systemically important payment system (SIPS), maka RTO
diupayakan seminimal mungkin. Dalam kaitan ini, upaya-
upaya peningkatan percepatan proses recovery terus
dilakukan melalui kajian teknis dan penyelenggaran uji
coba disaster recovery plan (DRP) secara berkala.
3.1.3. Upaya Pemenuhan CP-SIPS
Bank Indonesia terus berupaya untuk memenuhi
standar internasional dalam penyelenggaraan sistem
pembayaran yang bersifat sistemik seperti pemenuhan core
principle systemically important payment system (CP-SIPS)
yang dikeluarkan oleh Bank for International Settlements4 CHATS singkatan dari Clearing House Automated Transfer System, yang merupakansalah satu sistem RTGS di HongKong.
59
Bab 3 Infrastruktur Keuangan dan Mitigasi Risiko
(BIS) untuk penyelenggaraan Sistem BI-RTGS. Upaya yang
dilakukan antara lain mencakup peningkatan good
corporate governance melalui reorganisasi satuan kerja
penyelenggara Sistem BI-RTGS.
Pada akhir tahun 2008, Bank Indonesia telah
menerbitkan ketentuan internal No.10/86/Intern tanggal
23 Desember 2008 mengenai Reorganisasi Direktorat
Akunting dan Sistem Pembayaran (DASP) sebagai salah
satu langkah agar penyelenggaraan sistem pembayaran
dilakukan secara efektif, dapat dipertanggungjawabkan
dan transparan. Reorganisasi DASP merupakan
perwujudan dari kewajiban penyelenggara SIPS untuk
menerapkan prinsip tata kelola yang baik antara lain
melalui adanya pemisahan tanggung jawab pelaporan
(reporting line) unit kerja yang menangani pengawasan
(payment system oversight) dengan unit kerja yang
melaksanakan operasional Sistem BI-RTGS.
Selain itu, Bank Indonesia bekerjasama dengan
beberapa peserta Sistem BI-RTGS membentuk suatu
working group sebagai bagian dari upaya meningkatkan
transparansi antara penyelenggara dan peserta dengan
melibatkan para peserta dalam pengembangan Sistem BI-
RTGS. Pendekatan ini diharapkan akan meningkatkan
efisiensi dan kehandalan sistem yang ada.
3.2. PENGEMBANGAN BIRO INFORMASI KREDIT
Pembentukan Biro Informasi Kredit (BIK), yang
diresmikan pada bulan Juni 2006, merupakan salah satu
upaya Bank Indonesia untuk memperkuat infrastruktur
sistem perbankan dan sistem keuangan di Indonesia. Hal
ini merupakan wujud pelaksanaan Arsitektur Perbankan
Indonesia (API) khususnya Pilar V yaitu penguatan
infrastruktur untuk menciptakan perbankan yang sehat,
kuat dan efisien.
Tugas utama BIK adalah menghimpun dan
menyimpan data perkreditan, mempertukarkan dan pada
akhirnya mendistribusikannya sebagai informasi debitur
dalam rangka mendukung pelaksanaan fungsi intermediasi
lembaga keuangan. Keberadaan BIK diharapkan dapat
membantu meminimalkan permasalahan asymmetric
information antara penyedia dana dan penerima dana.
Guna mendukung pencapaian tugas tersebut, BIK
mengoperasikan dan mengelola sebuah sistem dengan
nama Sistem Informasi Debitur (SID). Sistem ini telah
mengalami penyempurnaan secara berkesinambungan
dan sejak tahun 2005, telah berbasis web. Dengan
demikian pelaporan data disampaikan secara on-line dan
permintaan informasi debitur dapat dilakukan secara on-
line dan real-time. Data perkreditan sebagai input SID,
PERTUMBUHANEKONOMI
PERTUMBUHAN SEKTOR RIIL
SEKTORKEUANGAN
BA
NK
NO
NB
AN
K
INFOR-MASI
INFOR-MASI
PENGHIMUPUNAN DAN PENYEDIAAN DANA
BIRO INFORMASI KREDITMEMPERLANCAR
FUNGSIINTERMEDIASI
MEMINIMALKANGAP INFORMASI
DAN RISIKO
MASYARAKAT
MEMPERCEPATPENGAMBILAN
KEPUTUSAN
MENURUNKANBIAYA
BAD
AN
USA
HA
PERO
RAN
GA
N
SEKTORNON KEUANGAN
PERUSH.UTILITAS PUBLIK
TRANSPARANSIPEMERINTAH / REGULATOR
DISIPLIN PASAR
Grafik 3.5Peran Biro Informasi Kredit
60
Bab 3 Infrastruktur Keuangan dan Mitigasi Risiko
dihimpun dari semua lembaga penyedia dana yang
meliputi Bank Umum, Bank Perkreditan Rakyat (BPR),
Lembaga Keuangan Non Bank (LKNB) termasuk
Penyelenggara Kartu Kredit Selain Bank (PKKSB).
ke atas selama 6 bulan berturut-turut, dan PKKSB.
Sedangkan pelapor sukarela adalah BPR yang total asetnya
belum sesuai dengan persyaratan menjadi pelapor wajib,
LKNB, dan Koperasi Simpan Pinjam.
Dari angka statistik, penyelenggaraan BIK telah
menunjukan hasil yang cukup menggembirakan. Selama
2 tahun pasca beroperasi, telah terjadi peningkatan yang
cukup signifikan pada jumlah pelapor, debitur, fasilitas
kredit maupun akses terhadap informasi debitur. Namun
demikian, dapat dicatat bahwa pelapor SID dari LNKB,
khususnya Perusahaan Pembiayaan (PP) masih tergolong
minim. Hal tersebut terutama karena kepesertaannya
bersifat sukarela, serta adanya gap yang cukup besar antara
struktur data yang dimiliki LKNB dengan struktur data yang
dipersyaratkan dalam SID.
Sementara itu, dari sisi pemanfaatan output SID, rata-
rata permintaan informasi debitur selama tahun 2008
mengalami peningkatan sebesar 55% dibandingkan tahun
Grafik 3.6Kebijakan Strategis BIK
KUALITASDATA
PRODUK &LAYANAN
SISTEM &APLIKASI
KETENTUAN &PENGATURAN
PELAPOR &PENGGUNA
EDUKASIMASYARAKAT
BIK
Jumlah Pelapor (Lembaga) 486 751 777Bank Umum 130 130 127BPR 355 618 646PP 1 3 4
Jumlah Pelapor (Kantor Cabang) 3.374 3.788 4.054Bank Umum 2.548 2.788 2.790BPR 825 2.633 1.260PP 1 3 4
Jumlah Debitur (berdasarkan Debtor Identification Number) 20.359.850 28.187.986 35.900.857Bank Umum 19.535.979 26.312.078 33.070.536BPR 822.849 1.780.534 2.521.748PP 1.022 95.374 308.573
Jumlah Fasilitas Kredit (rekening)*) 21.689.062 29.479.139 57.782.495Bank Umum 20.863.200 27.640.264 53.573.464BPR 824.839 1.697.186 3.813.657PP 1.023 141.689 395.374
Jumlah Permintaan Informasi Debitur**) 782.626 1.178.957 2.050.957Bank Umum 751.769 1.147.096 1.833.158BPR 30.857 30.192 206.255PP 0 1.669 10.915
Tabel 3.1Perkembangan Data SID 2006-2008
Desember Desember Desember2006 2007 2008
Catatan:*) Desember 2006, data jumlah fasilitas kredit yang tersedia hanya untuk rekening yang aktif. Sedangkan Desember 2007 dan 2008, jumlah fasilitas
kredit mencakup rekening yang aktif dan pasif.**) Jumlah permintaan pada bulan tersebut.
Saat ini terdapat 2 jenis kepesertaan dalam SID yaitu
kepesertaan yang bersifat wajib dan sukarela. Pelapor wajib
terdiri dari Bank Umum, BPR dengan total aset Rp10 miliar
61
Bab 3 Infrastruktur Keuangan dan Mitigasi Risiko
2007. Share terbesar dari pemanfaatan informasi debitur
dilakukan oleh Bank Umum, sementara pemanfaatan
output SID oleh BPR masih sangat rendah.
Untuk lebih mengembangkan BIK sekaligus
mengatasi kendala-kendala yang masih ada, Bank
Indonesia menjalankan beberapa kebijakan strategis yang
mencakup aspek peningkatan kualitas data,
penyempurnaan sistem dan aplikasi, perluasan cakupan
pelapor dan pengguna, penyempurnaan ketentuan dan
pengaturan, pengembangan produk dan layanan, serta
edukasi kepada masyarakat.
3.2.1. Peningkatan Kualitas Data
Untuk meningkatkan kualitas data dan informasi
yang dihasilkan SID, upaya yang dilakukan Bank Indonesia
meliputi absensi secara periodik untuk memastikan
ketepatan waktu pelaporan, pembersihan data duplikat
dan pemberian teguran atas kesalahan pelaporan, dan
pemeriksaan terhadap pelapor untuk meningkatkan
kesadaran pelapor terhadap ketentuan yang berlaku dan
pentingnya pelaporan secara benar. Disamping itu, telah
dilakukan pula pelatihan kepada petugas pelapor untuk
meningkatkan pengetahuan serta kualitas pelaporan.
Upaya lainnya adalah peningkatan layanan help-desk SID.
3.2.2. Penyempurnaan Sistem dan Aplikasi
Penyempurnaan sistem dan aplikasi SID dilakukan
secara berkesinambungan. Kegiatan ini dimulai dengan
melakukan evaluasi terhadap existing sistem dan aplikasi,
yang dilakukan oleh internal Bank Indonesia maupun
dengan melibatkan para pelapor. Evaluasi tersebut tidak
hanya sebatas pada aplikasi SID, namun terhadap aplikasi
lainnya yang terkait. Hasil evaluasi selanjutnya
dipergunakan sebagai dasar penyempurnaan, serta
masukan dalam pembuatan kajian rencana
pengembangan BIK ke depan.
Dalam kajian rencana pengembangan BIK, telah
dirumuskan rencana pengembangan SID dalam jangka
pendek, menengah dan panjang. Pada tahap awal,
pengembangan SID akan lebih difokuskan pada
peningkatan akurasi data dan performance sistem.
Sedangkan untuk tahap selanjutnya, akan dilakukan
perubahan terhadap mekanisme penyampaian laporan
debitur agar lebih efektif dan efisien. Pelaksanaan dari
kajian ini dimulai tahun 2009 dan akan berlangsung sampai
dengan 2 tahun ke depan.
3.2.3. Perluasan Cakupan Pelapor dan Pengguna
Keandalan informasi debitur yang dihasilkan oleh BIK
ditentukan pula oleh luasnya cakupan sumber data. Masih
minimnya jumlah LKNB yang melaporkan SID saat ini
menunjukan bahwa masih terdapat potensi data yang
belum dimanfaatkan. Untuk itu, Bank Indonesia bekerja
sama dengan Departemen Keuangan (Bapepam LK) telah
berupaya mendorong keikutsertaan LKNB dalam SID
melalui penandatanganan Nota Kesepahaman pada bulan
September 2007. Sebagai tindak lanjutnya, telah disusun
rencana kegiatan sosialisasi kepada pegawai Bapepam LK,
workshop secara bertahap untuk Asosiasi Perusahaan
Pembiayaan Indonesia (APPI) dan LKNB calon pelapor SID,
serta penyusunan standard operating procedure (SOP)
untuk joint procedure pengecekan kepada LKNB pelapor
SID mulai tahun 2009.
Selain itu, mengikuti standar credit bureau
internasional, sumber data SID direncanakan akan
diperluas sehingga mencakup data pelanggan perusahaan
utilitas publik, seperti Telkom, PLN dan PDAM. Hal ini telah
tertuang dalam Paket Kebijakan Sektor Keuangan (PKSK)
tahun 2008, dengan target keluaran ≈tercakupnya data
perusahaan utilitas publik pada SID∆. Terkait dengan hal
tersebut, telah dilakukan kajian terhadap
integrasi∆database dari perusahaan utilitas publik.
62
Bab 3 Infrastruktur Keuangan dan Mitigasi Risiko
Berdasarkan kajian tersebut masih terdapat beberapa
kendala, termasuk kendala legal. Untuk itu, akan dilakukan
harmonisasi ketentuan yang terkait dengan pemberian
data dari perusahaan utilitas publik ke dalam SID.
Sementara itu, untuk meningkatkan jumlah penggunaan
informasi debitur oleh BPR telah dilakukan sosialisasi serta
pelatihan SID kepada pejabat dan petugas BPR.
3.2.4. Penyempurnaan Ketentuan
Untuk menjamin kelancaran operasional BIK, pada
tahun 2007-2008 telah dilakukan penyempurnaan
Peraturan Bank Indonesia tentang SID beserta Surat
Edaran Bank Indonesia sebagai aturan pelaksanaannya.
Secara garis besar, ketentuan SID tersebut mengatur
mengenai pihak yang dapat menjadi pelapor; kewajiban
pelapor; cakupan dan prosedur penyampaian laporan
debitur; pihak yang dapat meminta informasi debitur
beserta batasan penggunaannya; pengawasan Bank
Indonesia kepada pelapor; serta pengenaan sanksi atas
pelanggaran yang dilakukan. Dengan adanya ketentuan
ini, seluruh hak dan kewajiban dari pelapor dan debitur
dapat lebih diperjelas.
Proses penyusunan ketentuan tersebut telah
mengakomodir kebutuhan industri perkreditan melalui
keterlibatan perwakilan pelapor SID, yang terdiri dari
perwakilan Bank Pemerintah, Bank Asing, BPR dan LKNB
yang tergabung dalam Working Group SID. Kontribusi aktif
dari Working Group tersebut telah memperkaya materi
pengaturan SID serta sebagai masukan untuk penyusunan
rencana penyempurnaan aplikasi serta pengembangan BIK.
3.2.5. Pengembangan Produk dan Layanan
Pengembangan produk dan layanan BIK terus
diarahkan untuk dapat memenuhi standar credit
bureauinternasional. Produk BIK saat ini adalah informasi
debitur atau dikalangan perbankan dikenal dengan namaBI
Checking. Informasi debitur yang dihasilkan mencakup
informasi positif (yaitu informasi kredit yang tidak
mengalami kegagalan dalam penyelesaiannya) dan
informasi negatif (yaitu informasi kredit yang mengalami
kegagalan dalam penyelesaiannya) untuk seluruh
penyediaan dana mulai dari Rp1 ke atas, serta mencakup
pula informasi tentang historis pembayaran yang dilakukan
oleh debitur dalam kurun waktu 24 bulan terakhir. Dengan
demikian, informasi debitur yang dihasilkan dapat
memberikan gambaran mengenai exposure kredit, serta
performance dan kualitas kredit dari debitur yang
bersangkutan.
Produk lain yang telah dikembangkan adalah
penyediaan consumer report atau informasi debitur yang
dapat diminta oleh debitur atas nama dirinya sendiri di
Gerai Info - Bank Indonesia atau di lembaga keuangan
pelapor SID yang memberikan penyediaan dana kepada
debitur tersebut. Penyediaan consumer report ini
merupakan salah satu bentuk pelaksanaan transparansi
pelapor kepada debitur, serta sebagai sarana cross check
debitur atas pelaporan yang telah dilakukan. Lokasi layanan
penyediaan consumer report juga diperluas pada Kantor
Bank Indonesia di daerah dan counter informasi kredit yang
disediakan pada beberapa event khusus seperti Bazar
UMKM dan Festival Ekonomi Syariah.
Pada credit bureau berstandar internasional, produk
yang dihasilkan tidak hanya berupa basic report tetapi
mencakup pula value added services yang merupakan
olahan dan pengembangan data yang dihimpun dan
teknologi yang dimiliki oleh credit bureau tersebut. Value
added services ini dapat berupa credit scoring, fraud alert/
detection, pengelolaan risiko kredit, jasa konsultasi, dan
sebagainya. Dari sisi sumber data, data yang dihimpun
oleh credit bureau internasional mencakup pula data dari
perusahaan utilitas publik, koperasi dan keputusan
pengadilan. Sebagai bagian dari upaya menjadikan BIK
63
Bab 3 Infrastruktur Keuangan dan Mitigasi Risiko
berstandar internasional, maka penyediaan value added
services, khususnya credit scoring dan perluasan sumber
data dari perusahaan utilitas publik, merupakan target
pengembangan produk BIK berikutnya.
3.2.6. Edukasi Kepada Masyarakat
Pencapaian sistem perkreditan yang sehat dan
efisien, tidak hanya tergantung pada kesadaran dari para
penyedia dana dalam melakukan pelaporan, namun juga
memerlukan kesadaran dari masyarakat akan pentingnya
menjaga reputasi kreditnya. Dengan mengetahui bahwa
riwayat kreditnya terdata di BIK dan dapat diakses oleh
seluruh lembaga penyedia dana yang menjadi pelapor SID,
diharapkan awareness debitur untuk menjaga nama
baiknya akan meningkat.
Berbagai upaya telah dilakukan untuk meningkatkan
kesadaran masyarakat akan keberadaan BIK, antara lain
melalui sosialisasi berupa seminar di beberapa daerah, serta
edukasi masyarakat melalui advertorial di media massa
nasional. Dampaknya adalah semakin meningkatnya
jumlah permintaan consumer report melalui Gerai Info
Bank Indonesia oleh masyarakat. Hal tersebut sesuatu yang
positif bagi pengembangan BIK ke depan, karena dengan
semakin seringnya output SID diakses oleh masyarakat,
semakin tinggi pula tuntutan untuk meningkatkan kualitas
data dan informasi debitur.
3.3. JARING PENGAMAN SISTEM KEUANGAN
Infrastruktur keuangan lainnya yang dinilai sangat
penting bagi stabilitas sistem keuangan suatu negara
adalah Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK). Secara
konseptual, adanya JPSK akan sangat membantu dalam
memitigasi risiko sistemik. Lazimnya dalam JPSK diatur
protokol manajemen krisis (crisis management protocol)
sebagai bagian dari mekanisme koordinasi diantara
lembaga-lembaga pada saat sektor keuangan sedang
mengalami tekanan. Secara lebih rinci, manfaat yang dapat
diperoleh dari JPSK adalah:
terdapat landasan hukum yang kuat dalam melakukan
tindakan pencegahan dan penanganan krisis;
adanya transparansi dan akuntabilitas dalam
mekanisme pengambilan keputusan dalam rangka
pencegahan dan penanganan krisis;
terdapat mekanisme koordinasi diantara lembaga
terkait dalam menghadapi gangguan yang berpotensi
mengancam stabilitas sistem keuangan nasional,
tanpa mengurangi independensi masing-masing
otoritas;
penanganan permasalahan lembaga keuangan yang
berdampak sistemik dapat dilakukan secara tuntas;
terdapat sumber pendanaan yang jelas untuk
tindakan pencegahan dan penanganan krisis dengan
memperhatikan tatacara dan mekanisme hak budget
Dewan Perwakilan Rakyat.
Sementara itu, di Indonesia, pada semester II 2008
terdapat beberapa bulan yang penuh tekanan di sektor
keuangan, antara lain ditandai dengan keringnya likuiditas
rupiah dan valas yang dibarengi dengan penurunan nilai
tukar rupiah yang cukup signifikan. Untuk itu, pada
pertengahan Oktober 2008, Pemerintah telah menerbitkan
beberapa Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
undang (PERPPU) yang salah satunya adalah mengenai
JPSK (PERPPU No.4 Tahun 2008 tanggal 15 Oktober 2008).
Berdasarkan PERPPU tersebut, JPSK merupakan suatu
mekanisme pengamanan sistem keuangan dari ancaman
krisis yang mencakup pencegahan dan penanganan krisis.
Adapun tindakan pencegahan dan penanganan krisis
meliputi: (i) penanganan kesulitan likuiditas dan/atau
masalah solvabilitas bank yang berdampak sistemik, dan
(ii) penanganan kesulitan likuiditas dan/atau masalah
solvabilitas lembaga keuangan bukan bank (LKBB) yang
berdampak sistemik. Untuk mencapai tujuan dari JPSK,
64
Bab 3 Infrastruktur Keuangan dan Mitigasi Risiko
dibentuk Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) yang
beranggotakan Menteri Keuangan (sebagai Ketua) dan
Gubernur Bank Indonesia. KSSK berwenang menetapkan
kebijakan dan langkah-langkah dalam rangka pencegahan
dan penanganan krisis di sektor keuangan dan melakukan
koordinasi dengan berbagai otoritas dalam
pelaksanaannya.
Dalam perjalanannya PERPPU No.4 Tahun 2008
tentang JPSK tidak mendapat persetujuan DPR sehingga
harus disusun ulang dan diajukan kembali ke DPR. Pada
saat ini Rancangan Undang-undang (RUU) JPSK sudah
berhasil disusun dan telah mulai dibahas di DPR.
Adapun ruang lingkup yang diatur dalam RUU JPSK
adalah pencegahan dan penanganan krisis yang meliputi
tindakan mengatasi permasalahan likuiditas dan
permasalahan solvabilitas pada bank dan LKBB yang
berdampak sistemik. Pencegahan krisis meliputi tindakan
mengatasi permasalahan: (i) Bank yang mengalami
permasalahan likuiditas yang berdampak Sistemik; (ii) Bank
yang mengalami permasalahan solvabilitas atau kegagalan
pelunasan Fasilitas Pinjaman Darurat (FPD) yang berdampak
sistemik; dan (iii) LKBB yang mengalami permasalahan
likuiditas dan/atau permasalahan solvabilitas yang
berdampak sistemik. Sementara itu, penanganan krisis
meliputi tindakan mengatasi permasalahan (i) beberapa
bank yang mengalami permasalahan likuiditas dan/atau
solvabilitas yang secara individu berdampak sistemik; (ii)
Bank yang secara individu dalam keadaan normal tidak
berdampak sistemik tetapi dalam kondisi krisis berdampak
sistemik dan berpotensi krisis; dan (iii) Beberapa LKBB yang
mengalami permasalahan likuiditas dan/atau solvabilitas
yang berdampak sistemik. Sementara itu, kerangka kerja
yang diusulkan adalah sebagaimana yang tercantum pada
Tabel 3.2
Pencegahan KrisisPencegahan KrisisPencegahan KrisisPencegahan KrisisPencegahan Krisis
Tabel 3.2Kerangka Kerja Jaring Pengaman Sistem Keuangan
Tujuan/Ruang Lingkup
PengambilanKeputusan
KeputusanTool Kits/
MekanismeSumber
Pendanaan
1. Likuiditas Bank
2. Solvabilitas Bank/Bank Gagal
3. Likuiditas dan/atausolvabilitas
KSSK melakukan:a. Evaluasi masalahb. Penetapan masalahc. Penetapan langkah
penanganan masalah
1. Pemberian bantuanlikuiditas
2.a. Penyertaan ModalSementara (PMS)untuk Bank Sistemik.
2. b. Penyelesaian BankNon-sistemik
3. Pemberian pinjamanatau penyertaan modaluntuk LKBB
FPD oleh BI, dijaminPemerintah2.a. PMS oleh LPS2.b. Penutupan Bank dan
Pembayaran jaminanoleh LPS
3. Pinjaman ataupenyertaan modal olehPemerintah
Sumber pendanaanPemerintah untukpencegahan danpenanganan Krisisberasal dari APBNmelalui penerbitanSBN (Surat BerhargaNegara) atau tunai.BI dapat membeliSBN dimaksud dipasar primer.Penggunaan danaAPBN untukpencegahan danpenanganan krisisharus terlebihdahulu mendapatpersetujuan dari DPR
Penanganan KrisisPenanganan KrisisPenanganan KrisisPenanganan KrisisPenanganan Krisis
1. Likuiditas dan/atausolvabilitas Bank
2. Likuiditas dan/atausolvabilitas LKBB
KSSK melakukan:a. Evaluasi masalahb. Penetapan masalahc. Penetapan langkah
penanganan masalah
1.a. Pemberian bantuanlikuiditas
1.b. Penyertaan ModalSementara
2. Pemberian bantuanlikuiditas/PenyertaanModal Sementara
1.a. FPD oleh BI1.b. PMS oleh LPS atau
Pemerintah atauBadan Khusus
2. Pinjaman/PMS olehPemerintah atau BadanKhusus
65
Bab 3 Infrastruktur Keuangan dan Mitigasi Risiko
Stabilitas Sistem Keuangan dan PERPPU tentang PerubahanUndang Undang Bank IndonesiaBoks 3.1
Salah satu kebijakan penting yang diambil
Pemerintah pada pertengahan Oktober 2008 adalah
penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang (PERPPU) Republik Indonesia No. 2 Tahun 2008
tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia. PERPPU
ini penting artinya bagi stabilitas sistem keuangan
karena memberikan dasar hukum bagi Bank Indonesia
dalam memberikan Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek
(FPJP) secara lebih luas bagi bank yang memerlukan.
Perluasan akses bagi bank tersebut didasarkan atas
perubahan terhadap Pasal 11 Undang-Undang Bank
Indonesia.
Sebelum dilakukan perubahan, Pasal 11 pada
intinya mengatur bahwa Bank Indonesia dapat
memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan
prinsip syariah untuk jangka waktu paling lama 90 hari
kepada bank untuk mengatasi kesulitan pendanaan
jangka pendek bank. Pelaksanaan pemberian kredit
atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah tersebut
wajib dijamin oleh bank penerima dengan agunan yang
berkualitas tinggi yang nilainya minimal sebesar jumlah
kredit atau pembiyaan yang diterimanya. Sedangkan
yang dimaksud dengan agunan yang berkualitas tinggi
dan mudah dicairkan meliputi surat berharga dan/atau
tagihan yang diterbitkan oleh Pemerintah atau badan
hukum lain yang mempunyai peringkat tinggi
berdasarkan hasil penilaian lembaga pemeringkat yang
kompeten dan sewaktu-waktu dengan mudah dapat
dijual ke pasar untuk dijadikan uang tunai.
Perubahan yang diatur PERPPU menyebutkan
bahwa yang dimaksud dengan agunan berkualitas
tinggi dan mudah dicarikan, tidak saja meliputi surat
berharga dan/atau tagihan yang diterbitkan oleh
Pemerintah atau badan hukum lain yang mempunyai
peringkat tinggi berdasarkan hasil penilaian lembaga
pemeringkat yang kompeten dan sewaktu-waktu
dengan mudah dapat dijual ke pasar untuk dijadikan
uang tunai, namun juga termasuk aset kredit
kolektibilitas lancar. Dengan demikian, obyek yang
dapat dijadikan sebagai agunan oleh bank untuk
mendapatkan FPJP menjadi lebih banyak jenisnya,
sehingga memperluas akses bagi bank untuk
menggunakan FPJP.
Dalam pencegahan maupun penanganan krisis,
diperlukan dasar hukum yang kuat serta mekanisme
kerja yang jelas untuk mendukung pengambilan
keputusan-keputusan yang penting untuk mencegah
terjadinya krisis ataupun menyelamatkan perekonomian
dari krisis. Perubahan Undang-Undang Bank Indonesia
yang dilakukan melalui PERPPU tersebut di atas
merupakan contoh langkah antisipatif Pemerintah dari
sisi dasar hukum guna menjaga stabilitas sistem
keuangan dalam menghadapi krisis global.
66
Bab 3 Infrastruktur Keuangan dan Mitigasi Risiko
Best Practices Analisis Dampak Sistemik terhadapSistem KeuanganBoks 3.2
Secara konseptual, dampak sistemik terhadap
sistem keuangan terjadi apabila permasalahan dari
suatu lembaga keuangan, baik secara individu maupun
bersama-sama yang karena ukuran (size) dari lembaga
keuangan tersebut dan potensi penyebaran masalah
(contagion effect) yang ditimbulkannya, menyebabkan
kegagalan pada sistem keuangan secara keseluruhan.
Berdasarkan best practices atau praktek yang
berlaku umum di dunia internasional, maka kriteria
dampak sistemik tidak ditetapkan secara eksplisit
dimuka (ex ante) dalam suatu ketentuan perundang-
undangan, dengan dua alasan pokok sebagai berikut.
Pertama, penetapan secara ex ante berpotensi
menimbulkan moral hazard. Adanya kriteria yang
eksplisit, akan mendorong lembaga keuangan untuk
melakukan pengambilan risiko yang tidak terkendali
(excessive risk taking) karena yakin akan tetap
diselamatkan oleh Pemerintah.
Kedua, penetapan dampak sistemik cenderung
bersifat situasional. Hal itu karena pemicu krisis sistemik
dapat berbeda-beda tergantung situasi, baik yang
bersifat internal lembaga keuangan, maupun yang
bersifat eksternal seperti krisis keuangan global,
serangan teroris, dan bencana alam. Oleh karena itu,
dampak sistemik sulit untuk ditetapkan diawal. Suatu
lembaga keuangan dapat dinyatakan berdampak
sistemik pada situasi tertentu, namun tidak berdampak
sistemik pada situasi yang lain. Dengan demikian,
penetapan dampak sistemik memerlukan professional
judgement.
Salah satu sumber referensi dalam penilaian
dampak sistemik adalah dokumen Memorandum of
Understanding on Cooperation between the Financial
Supervisory Authorities, Central Banks and Finance
Ministries of the European Union on Cross Border
Financial Stability (Annex 2 Template for Systemic
Assessment Framework). Dokumen ini antara lain
merekomendasikan bahwa penilaian dampak sistemik
perlu memperhatikan dampak kegagalan atau
permasalahan yang dihadapi lembaga keuangan
terhadap: (i) institusi keuangan lainnya secara
keseluruhan, (ii) pasar keuangan, (iii) sistem
pembayaran, dan (iv) psikologi pasar. Selain itu,
penilaian juga harus mencakup perkiraan
kemungkinan akan terganggunya sektor riil dengan
memperhatikan peranan atau kontribusi lembaga
keuangan yang bersangkutan terhadap sektor
tersebut.
67
Bab 4 Prospek Sistem Keuangan Indonesia
Bab 4Prospek SistemKeuangan Indonesia
68
Bab 4 Prospek Sistem Keuangan Indonesia
Halaman ini sengaja dikosongkan
69
Bab 4 Prospek Sistem Keuangan Indonesia
4.1. PROSPEK EKONOMI DAN PERSEPSI RISIKO
Perekonomian Indonesia diperkirakan akan
mengalami perlambatan dengan pertumbuhan sekitar 4-
5% di tahun 2009 seiring dengan perlambatan ekonomi
dunia. Perlambatan pertumbuhan ekonomi akan
mengurangi tekanan dari sisi permintaan sehingga inflasi
relatif terkendali. Hal-hal lainnya yang diperkirakan akan
turut berkontribusi terhadap penurunan inflasi adalah
penurunan harga komoditas di pasar global yang
mendorong penurunan harga komoditas domestik,
penurunan harga BBM pada awal tahun 2009,
swasembada dan surplus beras yang diperkirakan akan
terus berlanjut pada tahun 2009. Oleh karena itu, pada
kuartal II 2009 diperkirakan inflasi berada di bawah satu
digit, yaitu 8%, turun dari 11.1% pada akhir 2008. Namun,
perlambatan ekonomi dunia dan penurunan harga
komoditas di pasar global menyebabkan nilai ekspor
menurun sehingga kinerja Neraca Perdagangan 2009
diperkirakan akan mengalami penurunan.
Secara umum, prospek sistem keuangan Indonesia diperkirakan masih akan
tetap positif, meskipun tekanan karena belum pulihnya kondisi perekonomian
global dan domestik tampaknya masih akan terus menjadi tantangan. Di
perbankan, prospek positif tersebut antara lain didukung oleh permodalan
yang masih cukup tinggi. Sementara itu, koordinasi antara otoritas perbankan
dengan otoritas pasar modal dan lembaga keuangan non-bank diperkirakan
akan semakin erat dan menjadi bagian penting dari jaring pengaman sistem
keuangan yang mendukung ketahanan sektor keuangan.
Prospek Sistem Keuangan IndonesiaBab 4
PDB (% yoy) 6,3 6,4 6,4 5,2 4,5 4,3 4,4 4,7
Inflasi (% yoy) 7,6 11,0 12,0 11,1 10,2 8,0 5,8 5,8
Neraca Perdagangan (US$ miliar) 7,5 5,3 5,8 8* 6,7 7,1 6,8 7,7
Tabel 4.1Proyeksi Beberapa Indikator Ekonomi
2008 2009*
Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4
* Prediksi dari Asia Pacific Concensus Forecast
Sementara itu, krisis keuangan global yang berimbas
pada sektor keuangan domestik telah semakin
meningkatkan persepsi risiko tentang Indonesia. Hal itu
tercermin pada yield spread yang cenderung meningkat.
Tingginya persepsi risiko tersebut berpotensi menghambat
aliran investasi masuk, apalagi di negara asalnya para
investor umumnya sedang kesulitan likuiditas karena krisis
global. Bagi perbankan, tingginya persepsi risiko akan
membuat penyaluran kredit menjadi semakin selektif.
Aliran investasi masuk yang rendah cenderung
menekan pertumbuhan ekonomi sehingga sektor riil, baik
70
Bab 4 Prospek Sistem Keuangan Indonesia
korporasi maupun rumah tangga (household), dapat
terganggu kinerjanya. Pada gilirannya hal ini dapat
mendorong peningkatan risiko kredit di perbankan.
Disamping itu, rendahnya aliran investasi yang masuk juga
berpotensi menimbulkan tekanan pada nilai tukar.
Akibatnya, bank-bank yang mengalami posisi short dalam
valas berpotensi mengalami kerugian karena risiko nilai
tukar. Hal-hal ini perlu diwaspadai agar stabilitas sistem
perbankan dan sistem keuangan tetap terjaga.
16,2%. Berdasarkan hasil stress test, permodalan tersebut
masih mampu menyerap berbagai jenis risiko, seperti risiko
pasar (mencakup risiko suku bunga, risiko nilai tukar, dan
risiko penurunan harga SUN), risiko likuiditas dan risiko
kredit, termasuk pula risiko yang berasal dari kerugian
karena structured products.
Risiko pasar berada pada level moderat meskipun
pada paruh kedua tahun 2008 sempat mengalami
peningkatan yang signifikan terutama karena penurunan
harga SUN dan nilai tukar rupiah yang terus terdepresiasi,
disamping karena trend kenaikan suku bunga pada waktu
itu. Namun menjelang akhir 2008, risiko penurunan harga
SUN berkurang dengan terbitnya Surat Edaran Bank
Indonesia yang membolehkan bank untuk menangguhkan
kewajiban marking to market. Sementara, risiko nilai tukar
cukup terkendali mengingat Posisi Devisa Netto (PDN) yang
dipegang industri perbankan tergolong rendah (sekitar
6,2%) dan kebanyakan bank memiliki posisi long dalam
valas. Selanjutnya, risiko suku bunga juga berkurang
sejalan dengan penurunan BI rate yang dilakukan
berulang-ulang sejak bulan Desember 2008 hingga
menjadi sebesar 8,25% pada bulan Februari 2009.
Namun demikian, ke depan perbankan tampaknya
masih tetap memiliki potensi risiko pasar yang cukup besar
mengingat gejolak krisis keuangan global masih belum
sepenuhnya mereda. Di samping itu, sejalan dengan
pelemahan nilai tukar rupiah, beberapa bank diketahui
memiliki potensi kerugian yang terkait dengan structured
products. Meskipun berdasarkan hasil stress test potensi
kerugian tersebut masih dapat diserap oleh permodalan
bank. Ke depan perbankan tampaknya perlu lebih
meningkatkan kehati-hatian terhadap produk serupa dan
transaksi derivatif pada umumnya, termasuk offshore
products.
Risiko likuiditas pada awal semester II 2008, terutama
pada bulan Agustus, cenderung meningkat sejalan dengan
Indo 49 Ba3 (Moody's) 11,70 997,47 1015,41
Indo 48 Ba3 (Moody's) 11,86 932,46 965,17
Indo 45 Ba3 (Moody's) 11,95 918,30 925,92
Tabel 4.2Persepsi Risiko Indonesia
Obligasi Rating Ytm (%)Yield Spread (bp)
September Desember2008 2008
4.2. PROFIL RISIKO PERBANKAN: TINGKAT DAN
ARAH
Tantangan terhadap stabilitas sistem keuangan yang
dialami pada semester I 2008 terus berlanjut pada semester
II 2008 dan bahkan semakin besar. Seperti telah diuraikan
dalam bab-bab sebelumnya, gejolak pasar keuangan global
dan perlambatan ekonomi dunia yang berimbas pada
kondisi pasar keuangan dan perekonomian domestik telah
menimbulkan tekanan pada sektor keuangan Indonesia.
Hal tersebut antara lain ditandai dengan merosotnya Indeks
Harga Saham Gabungan di Bursa Efek Indonesia dan
menurunnya harga Surat Utang Negara (SUN). Namun
demikian, secara keseluruhan kondisi sektor keuangan
tetap terkendali.
Sementara itu, perbankan yang merupakan industri
yang paling dominan dalam sektor keuangan domestik,
secara umum masih memiliki ketahanan yang relatif baik
yang tercermin dari CAR yang masih cukup tinggi di level
71
Bab 4 Prospek Sistem Keuangan Indonesia
berkurangnya ekses likuiditas perbankan akibat
pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK) yang masih tetap
lambat sementara kredit yang disalurkan cenderung sangat
ekspansif. Pada saat itu, terimbas krisis keuangan global,
kondisi pasar uang antar bank (PUAB) cenderung ketat
dan terjadi segmentasi yang membatasi akses bank-bank
khususnya dari kelompok menengah dan kecil untuk
masuk ke PUAB. Namun, dengan pelonggaran ketentuan
GWM yang dilakukan oleh Bank Indonesia dan
peningkatan jumlah simpanan yang dijamin LPS, kondisi
likuiditas industri perbankan terus membaik. Bahkan sejak
November 2008 sejalan dengan peningkatan DPK dan
berkurangnya penyaluran kredit, penanaman bank dalam
alat likuid seperti SBI kembali mengalami peningkatan yang
signifikan. Ke depan, walaupun risiko likuiditas
diperkirakan akan relatif stabil, tetap perlu diwaspadai
potensi tekanan yang berasal dari belum pulihnya kondisi
likuiditas global serta masih adanya segmentasi di PUAB.
Sementara itu, risiko kredit perbankan relatif stabil
pada tingkat moderat dengan rasio kredit bermasalah (NPL)
yang terus menurun. Namun, ke depan perlu diwaspadai
potensi kenaikan risiko kredit karena proyeksi akan
memburuknya kondisi ekonomi. Sebagaimana
dikemukakan pada Bab 1, potensi peningkatan risiko kredit
ke depan juga tercermin pada hasil estimasi Probability of
Default (PD) menggunakan data keuangan dari
perusahaan non-financial go public yang listed di Bursa
Efek Indonesia. Selain itu, potensi kenaikan risiko kredit
juga dapat berasal dari debitur yang mengalami kerugian
karena pelemahan nilai tukar rupiah yang kemudian
mempengaruhi kemampuan mereka dalam menyelesaikan
semua jenis kewajiban kepada perbankan.
Risiko lain yang juga cukup penting diperhatikan
adalah risiko operasional. Secara umum masih banyak
tantangan yang harus dihadapi perbankan terkait dengan
risiko operasional ini, terutama yang berkaitan dengan
kapasitas dan integritas sumber daya manusia untuk
meminimalisir human error maupun kemungkinan fraud,
serta infrastruktur pendukung seperti teknologi informasi
yang memadai dan good governance. Sementara itu,
tekanan yang berasal dari krisis global juga perlu
diperhitungkan dampaknya terhadap kemampuan
perbankan dalam melakukan penilaian terhadap risiko
operasional. Untuk meningkatkan kesiapan perbankan di
tengah krisis global tersebut, rencana implementasi Basel
II yang ditandai dengan kewajiban membentuk capital
charges untuk risiko operasional yang rencananya dimulai
pada tahun 2009 ditunda sampai dengan 2010.
Grafik 4.1Profil Risiko Perbankan dan Arah ke Depan
Risk Control System (RCS)
Sem II-2008
Outlook
Sem II-2008
Outlook
Sem II-2008
Outlook
High
Mod
erat
eLo
w
Risiko Likuiditas Risiko KreditRisiko Pasar
StrongAcceptableWeak StrongAcceptableWeak StrongAcceptableWeak
Inhe
rent
Risk
SukuBunga
NilaiTukar
HargaSUN
72
Bab 4 Prospek Sistem Keuangan Indonesia
Penundaan tersebut diharapkan tetap membuat
perbankan memperhatikan aspek-aspek yang terkait
dengan risiko operasional, termasuk memperkuat
pelaksanaan fungsi pengendalian intern pada masing-
masing bank.
4.3. PROSPEK SISTEM KEUANGAN INDONESIA
Prospek sistem keuangan Indonesia ke depan
diperkirakan masih tetap positif di tengah-tengah
perlambatan pertumbuhan ekonomi global dan domestik.
Beberapa hal yang mendasari perkiraan ini sebagai berikut.
Pertama, gejolak keuangan yang terjadi akhir-akhir ini
terjadi lebih banyak karena faktor eksternal, sementara
perbankan domestik relatif tidak memiliki masalah seberat
perbankan di luar negeri. Hal ini sangat berbeda
dibandingkan dengan situasi krisis 1997/1998 yang lebih
banyak dipicu oleh berbagai kelemahan pada perbankan
dalam negeri seperti tingginya NPL serta pelanggaran Batas
Maksimum Pemberian Kredit (BMPK) dan Posisi Devisa
Netto (PDN). Dengan demikian, diperkirakan dampak dari
krisis global terhadap sektor keuangan dalam negeri akan
sangat terbatas.
Kedua, dewasa ini perbankan lebih siap menghadapi
krisis dibandingkan kondisi tahun 1997/1998. Kesiapan
itu antara lain tercermin pada membaiknya pelaksanaan
manajemen risiko dan good governance di perbankan.
Dibandingkan satu dawarsa yang lalu, sekarang ini tidak
mudah untuk menjadi pengurus dan pemegang saham
pengendali bank karena harus lulus Fit and Proper Test.
Dengan governance perbankan yang semakin baik,
perbankan semakin tahan terhadap gejolak keuangan.
Ketiga, otoritas pengawasan bank juga semakin siap
menghadapi krisis dibandingkan kondisi tahun 1997/1998.
Saat itu, pengawasan bank masih berorientasi pada
compliance-based, tidak risk-based seperti yang sekarang
ini dijalankan. Para pengawas bank dewasa ini diharuskan
mengikuti program sertifikasi dan diberi kesempatan yang
lebih luas untuk mengikuti training dalam rangka capacity
building. Ke depan, untuk meningkatkan kualitas
pengawasan, hasil pengawasan dan pemeriksaan juga
akan dibahas dengan panel ahli (expert panel).
Prospek positif stabilitas keuangan juga diperkuat
oleh telah semakin dipercayanya Lembaga Penjamin
Simpanan (LPS) oleh masyarakat luas. Keberadaan LPS juga
sudah semakin teruji dengan penutupan sejumlah Bank
Perkreditan Rakyat (BPR) bermasalah serta pengambilalihan
1 bank umum yang dinilai berdampak sistemik pada bulan
November 2008. Dalam kenyataannya penutupan BPR
maupun pengambilalihan bank umum tersebut sama sekali
tidak menimbulkan gejolak di perbankan. Ke depan, upaya
memperkuat infrastruktur keuangan tersebut akan
semakin mantap apabila rancangan Undang-undang
tentang Jaring Pengaman Sektor Keuangan (JPSK) dapat
disetujui DPR.
Secara keseluruhan, prospek positif stabilitas
keuangan tercermin pada Indeks Stabilitas Keuangan
(Financial Stability Index - FSI) yang setelah meningkat tajam
selama semester II 2008, kemudian mulai menunjukkan
penurunan sejak beberapa bulan terakhir. Sebagaimana
dikemukakan pada Bab 2, ke depan pada akhir Juni 2009,
FSI diperkirakan mencapai sekitar 1,77-2,13, dengan
skenario moderat sebesar 1,95 atau relatif lebih rendah
dibandingkan posisi akhir Desember 2008 sebesar 2,10.
Perkiraan FSI yang relatif akan lebih rendah tersebut
memberikan harapan bahwa ketahanan sektor keuangan
ke depan masih akan tetap terjaga.
73
Artikel I - Dampak Contagion Risk pada Pasar Modal Indonesia
Ar t ike l
74
Artikel I - Dampak Contagion Risk pada Pasar Modal Indonesia
Halaman ini sengaja dikosongkan
75
Artikel I - Dampak Contagion Risk pada Pasar Modal Indonesia
Artikel I
Dampak Contagion Risk pada Pasar Modal Indonesia
Wimboh Santoso1, Bagus Santoso2, Ita Rulina3, Elis Deriantino4
Penelitian ini bertujuan untuk melihat apakah terdapat contagion risk pada pasar modal Indonesia.
Pendekatan yang dipakai adalah Multivariate GARCH/ Dynamic Conditional Correlations (DCC) dan Markov Regime
Switching. Adapun data yang digunakan dalam studi ini adalah data harian indeks saham dari 15 negara yaitu
Indonesia, Australia, Amerika Serikat (Dow Jones dan Nasdaq), Inggris, Jerman, Jepang, Korea, Hong Kong,
Cina, Taiwan, India, Filipina, Thailand, Singapura, dan Malaysia, data T-Bill 3 bulan, nilai tukar Rp/USD, suku
bunga PUAB dan harga minyak dunia, dengan periode 2 Januari 1995 sampai 13 November 2008. Dengan
menggunakan Indonesia sebagai titik referensi, data harian ini dibagi menjadi 4 periode. Hasil estimasi
menunjukkan bahwa terdapat contagion antara Indonesia dengan negara-negara lainnya dalam penelitian ini
dan Indonesia lebih merupakan shock absorber dan bukan merupakan shock transmitter, terutama untuk negara-
negara maju (Jepang, Australia, Jerman, Inggris, dan AS).
Key words: Financial Aspect of Economic Integration, International Financial Market, Time Series Model
JEL classification: F36, G15, C22
1 Kepala Biro Stabilitas Sistem Keuangan, Direktorat Penelitian dan Pengaturan Perbankan,Bank Indonesia; alamat email: [email protected]
2 Peneliti, Universitas Gadjah Mada, email: [email protected] Peneliti Senior Biro Stabilitas Sistem Keuangan, Direktorat Penelitian dan Pengaturan
Perbankan, Bank Indonesia, email: [email protected] Peneliti Yunior Biro Stabilitas Sistem Keuangan, Direktorat Penelitian dan Pengaturan
Perbankan, Bank Indonesia, email: [email protected]
LATAR BELAKANG
Globalisasi keuangan yang menyebabkan
terintegrasinya sektor keuangan suatu negara terhadap
pasar keuangan global, membuat negara-negara tersebut
mengalami eksposur risiko contagion, yaitu krisis yang
terjadi di suatu negara dapat menyebar ke negara lain.
Devaluasi nilai tukar, default terhadap sovereign obligation
di suatu negara akan berdampak pada negara lainnya.
Sebagai contoh, krisis 1997 yang berawal di Thailand akibat
devaluasi baht yang diikuti kebijakan pengambangan nilai
tukar baht, dengan cepat menyebar ke Indonesia, Malaysia,
Korea, Filipina, menyebabkan rata-rata nilai tukar negara-
negara tersebut terdepresiasi sekitar 75%. Pada 1998,
bangkrutnya pasar obligasi domestik Rusia dan jatuhnya
LTCM berimbas pada Hongkong, Brazil dan Mexico dan
emerging market lainnya. Yang terakhir adalah krisis
subprime mortgage 2007 di AS yang berdampak terutama
pada pasar saham di negara-negara Eropa dan mulai
menyebar ke negara-negara lain di dunia.
76
Artikel I - Dampak Contagion Risk pada Pasar Modal Indonesia
Dimana
rt = (r1,t, r2,t,..., rn,t), ai = (a1,i, a2,i,..., an,i), et = (e1,t, e2,t,...,
en,t), dan et l Σt-1 ~ N(0, Ht)
rt adalah return index saham masing-masing negara
dengan n=16 (Indonesia, Singapura, Thailand,
Malaysia, Filipina, India, Hongkong, Taiwan, Korea,
Jepang, Cina, UK, Jerman, Australia, Dow Jones, dan
Nasdaq).
Tbill3m adalah Treasury bill √ 3 bulan Amerika Serikat.
Multivariate conditional variance dirumuskan sebagai
berikut.
H t = D t R t D t
Dt merupakan matriks diagonal nxn yang elemennya
merupakan time varying standard deviation dari
model univariat dengan diagonal ke-i dan Rt matriks
time varying correlation nxn.
Dalam model DCC, matriks time varying covariance
dituliskan sebagai berikut.
Qt = (1-a-β)Q = aut-1u»t-1 + βQt-1
Qt=(qij,t) matriks time varying covariance dari ut
berukuran nxn, Q = E[ut ut»] matriks unconditional
variance ut berukuran nxn, dan a, β skalar nonnegatif.
Matriks korelasi kemudian dapat dirumuskan dengan:
Rt = (diag(Qt ))1/2 Qt (diag(Qt ))
1/2
dimana (diag(Qt ))1/2 = diag(1/ q1,t,...1/ qn,t).
Model DCC tersebut kemudian diestimasi dengan
menggunakan fungsi log likelihood sebagai berikut:
2. Markov Regime Switching
Namun, metode Multivariate GARCH tersebut
memiliki kelemahan dalam mendeteksi contagion.
Salah satunya dikemukakan oleh Bekaert et al. (2005)
yang menyatakan bahwa model GARCH tidak dapat
menangkap adanya volatilitas yang tidak simetris dan
hal ini dapat mempengaruhi korelasi yang diestimasi
Kondisi Indonesia saat ini ditandai dengan semakin
derasnya aliran hot money. Kondisi ekonomi AS yang
berada diambang resesi sehingga memaksa The Fed
menurunkan suku bunganya membuat spread suku bunga
antar kedua negara semakin lebar, aset-aset Indonesia
menawarkan imbal hasil yang lebih tinggi dibandingkan
AS, sehingga semakin mendorong kuatnya aliran hot
money.
Sentimen global negatif berpotensi mendorong
terjadinya sudden reversal dalam jumlah yang signifikan
yang akan memberikan tekanan ke bawah pada harga
aset-aset Indonesia sehingga menurunkan return aset
tersebut. Hal ini akan menimbulkan kepanikan bagi
investor dalam negeri sehingga ikut melepas saham yang
dimilikinya mengikuti investor asing. Akibatnya kejatuhan
harga aset yang terjadi semakin dalam. Hal ini juga akan
membawa implikasi lain seperti pelemahan nilai tukar
rupiah. Oleh karena itu deteksi contagion perlu dilakukan
termasuk identifikasi asal contagion tersebut. Adapun
tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah
terdapat contagion risk pada pasar modal Indonesia
sebagaimana digambarkan pada analytical framework
berikut:
METODOLOGI PENELITIAN
Untuk menguji apakah terdapat contagion pada
pasar modal Indonesia, penelitian ini menggunakan
beberapa metode yaitu:
1. Multivariate GARCH/ Dynamic Conditional
Correlations (DCC)
Model GARCH multivariate yang dikemukakan oleh
Engle (2002) dapat digunakan untuk mengestimasi
dynamic conditional correlation (DCC). Penelitian ini
menggunakan model multivariate GARCH (1,1)
dengan persamaan mean konstanta AR(1) dan tbill3m
sebagai world common factor:
rt = a0 + ai rt-1 + a2 tbill3m + et
lt (Σ,f ) = - (nlog(2p) + log l Dt l2 + e»tDt
2et) +12Σ»
- 12Σ»t-1
t-1(log l Rt l
+ u»tRt ut - u»tut)-1
77
Artikel I - Dampak Contagion Risk pada Pasar Modal Indonesia
selama periode krisis. Oleh karena itu digunakan
metode regime-switching untuk melakukan deteksi
contagion.
Markov-switching merupakan metode untuk
menangkap adanya perubahan sifat stokhastik data
time series dengan memodelkan data dalam beberapa
persamaan. Keunggulan metode switching regime
dibandingkan dengan model GARCH dalam
melakukan estimasi adalah kemampuannya dalam
mengestimasi data yang memiliki nilai ekstrim yang
merupakan indikasi adanya peristiwa yang ekstrim.
Metode ini mampu memberikan periode krisis yang
secara endogen didefinisikan dalam sistem
persamaan. Oleh karena itu, metode switching regime
ini dianggap mampu menyelesaikan masalah generasi
pertama pengujian contagion yang mensyaratkan
bahwa periode krisis dan tranquil didefinisikan
terlebih dahulu sebelum pengujian dilakukan.
Misalkan return saham dalam suatu pasar memiliki
dua keadaan atau state, yaitu tranquil state (St=1)
dan volatile state (St=2), untuk menggambarkan
perpindahan dari St=1 ke St=2 digunakan prinsip
rantai Markov yaitu :
Pr (St = j l St-1 = i, St-2 = k,..., yt-1, yt-2,...) = Pr (St = j l
St-1 = i ) = pij
Dengan first order Markov-switching, probabilitas
transisi (transition probabilities) dapat diformulasikan
sebagai berikut.
dimana p11+p12=p21+p22=1 dan
Dalam keadaan St tidak dapat diamati secara
langsung, diperlukan informasi mengenai sifat
stokastik St. Estimasi parameter dilakukan dengan
menggunakan metode maximum likelihood.
DATA
Data yang digunakan dalam studi ini adalah data
harian (berdasarkan 5 hari kerja) indeks saham dari 15
negara: Indonesia, Australia, Amerika Serikat (Dow Jones
dan Nasdaq), Inggris, Jerman, Jepang, Korea, Hong Kong,
Cina, Taiwan, India, Filipina, Thailand, Singapura, dan
Malaysia, data T-Bill 3 bulan, nilai tukar Rp/USD, suku
bunga PUAB dan harga minyak dunia,
Data harian dimulai dari 2 Januari 1995 sampai 13
November 2008. Dengan menggunakan Indonesia
sebagai titik referensi, data harian ini dibagi menjadi 4
periode. Adapun periode-periode tersebut adalah sebagai
berikut:
1. Periode Pertama Pertama Pertama Pertama Pertama disebut dengan periode sebelum Pra-Pra-Pra-Pra-Pra-
KrisisKrisisKrisisKrisisKrisis. Periode ini dimulai dari 2 Januari 1995 sampai
15 Juli 1997.
2. Periode Kedua Kedua Kedua Kedua Kedua disebut periode Krisis IKrisis IKrisis IKrisis IKrisis I. Periode ini
dimulai dari 16 Juli 1997 sampai 29 Desember 2000.
3. Periode Ketiga Ketiga Ketiga Ketiga Ketiga adalah periode Setelah KrisisSetelah KrisisSetelah KrisisSetelah KrisisSetelah Krisis. Periode
ini dimulai dari 1 Januari 2001 sampai 14 Agustus
2007.
4. Periode Keempat Keempat Keempat Keempat Keempat adalah periode Krisis IIKrisis IIKrisis IIKrisis IIKrisis II. Periode ini
dimulai dari 15 Agustus 2007 sampai 13 November
2008.
Salah satu permasalahan dalam studi ini adalah
menentukan break pada data harian dan bulanan. Dalam
menentukan break, Indonesia merupakan titik referensi
atau pusat hubungan dengan negara-negara amatan
dalam studi ini, kecuali penentuan break pada estimasi
Markov-Switching. Metode estimasi yang digunakan
dalam menentukan adanya break pada data harian adalah
sebagai berikut:
P =P11 P12
P21 P22
P11 - Pr [St - 1lSt -1- 1]
P12 - Pr [St - 2lSt -1- 1]
P21 - Pr [St - 1lSt -1- 2]
P22 - Pr [St - 2lSt -1- 2]
78
Artikel I - Dampak Contagion Risk pada Pasar Modal Indonesia
Penentuan Periode Kedua sebagai periode Krisis IKrisis IKrisis IKrisis IKrisis I
(16 Juli 1997-29 Desember 2000) dipilih berdasarkan krisis
di Indonesia. Break pada periode tersebut dipilih karena
return saham Indonesia menunjukkan volatilitas yang
tinggi.
Penentuan break pada Krisis II Krisis II Krisis II Krisis II Krisis II (15 Agustus 2007-13
November 2008) berdasarkan krisis global. Pada periode
itu menunjukkan bahwa indeks harga saham Dow Jones
dan Nasdaq mengalami penurunan yang signifikan.
HASIL ESTIMASI DETEKSI CONTAGION
1. Multivariate GARCH/ Dynamic Conditional
Correlations (DCC)
Grafik A1.1 menunjukkan korelasi antara Indonesia
dengan negara-negara di kawasan Asia Tenggara. Terlihat
bahwa korelasi antara Indonesia dengan Thailand lebih
rendah dibandingkan dengan korelasi dengan negara lain
di kawasan ini pada pertengahan 1997. Namun korelasi
ini kemudian meningkat secara signifikan dan mencapai
puncaknya pada saat krisis Asia 1998. Hal ini menunjukkan
bahwa pada krisis Asia, terdapat contagion antara
Indonesia dengan Thailand. Sedangkan pada periode
2007-2008, terdapat peningkatan korelasi yang cukup
signifikan antara Indonesia dengan Singapura dan
Indonesia dengan Malaysia. Hal ini mengindikasikan bahwa
terdapat contagion antara Indonesia dengan kedua negara
ini pada Periode Krisis II.
Grafik A1.2 menunjukkan korelasi antara Indonesia
dengan negara-negara di Asia (kecuali negara-negara di
kawasan Asia Tenggara). Terlihat bahwa Indonesia memiliki
korelasi yang relatif rendah untuk negara-negara dalam
grafik sampai dengan sebelum Periode Krisis II, kecuali
Hong Kong. Indonesia mengalami peningkatan korelasi
pada periode Krisis I dengan Hong Kong, yang
mengindikasikan adanya contagion antara Indonesia
dengan Hong Kong. Periode Krisis II menunjukkan
peningkatan korelasi yang cukup signifikan antara
Indonesia dengan semua negara dalam grafik, kecuali
Cina, dengan korelasi yang cukup tinggi antara Indonesia
dengan Hong Kong.
Grafik A1.1Dynamic Conditional Correlations (DCC) Indonesia
dengan Negara-Negara di Asia Tenggara
Idn-sin
Idn-thai
Idn-mly
Idn-phl
0,8
0,7
0,6
0,5
0,4
0,3
0,2
0,1
01995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008
Grafik A1.2Dynamic Conditional Correlations (DCC) Indonesia
dengan Negara-Negara di Asia (kecuali Asia Tenggara)
1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008
R_IND_HK
R_IND_TWN
R_IND_CHN
R_IND_INA
R_IND_JPN
R_IND_KOR
0,8
0,7
0,6
0,5
0,4
0,3
0,2
0,1
0
-0,1
Grafik A1.3 menggambarkan korelasi antara
Indonesia dengan negara-negara maju. Terlihat bahwa
Indonesia tidak memiliki korelasi yang tinggi dengan
negara-negara dalam grafik. Bahkan pada periode Krisis
I, Indonesia memiliki korelasi yang negatif dengan Amerika
Serikat (baik untuk Dow Jones Index maupun Nasdaq).
Namun pada periode Krisis II, korelasi antara Indonesia
dan Australia meningkat secara signifikan. Hal ini
mengindikasikan adanya contagion antara Indonesia
dengan Australia.
Untuk melihat apakah kenaikan korelasi yang
diperoleh signifikan, DCC yang diperoleh dari Model 4
dipecah menjadi empat periode, yaitu Periode Sebelum
79
Artikel I - Dampak Contagion Risk pada Pasar Modal Indonesia
Krisis, Krisis I, Setelah Krisis, dan Krisis II. Dari seri korelasi
yang diperoleh tersebut kemudian diperoleh nilai rata-rata
korelasi untuk keempat periode. Nilai korelasi yang
diperoleh ini kemudian diuji dengan menggunakan Uji
Fisher. Adanya peningkatan korelasi pada pengujian ini
mengindikasikan adanya contagion antara Indonesia
dengan negara lain. Null hypothesis dalam uji ini adalah
tidak ada perbedaan korelasi antara periode volatilitas
rendah dengan periode volatilitas tinggi (∑i = ∑h). Sedangkan
hipotesis alternatif dalam uji ini adalah korelasi pada
periode volatilitas tinggi lebih tinggi dibandingkan dengan
korelasi pada periode volatilitas rendah (∑i < ∑h).
Hasil yang diperoleh berdasarkan Uji Fisher pada tabel
A1.1 menunjukkan tidak adanya peningkatan korelasi yang
signifikan pada Periode 2 antara return saham Indonesia
dengan return saham negara lain. Hal ini berarti pada
periode Krisis Asia, tidak ada contagion antara Indonesia
dengan negara-negara dalam penelitian ini.
Untuk Periode 3, hasil estimasi dengan DCC
menunjukkan adanya peningkatan korelasi yang signifikan
antara Indonesia dengan Jepang dan India pada tingkat
signifikansi 5 persen, serta antara Indonesia dengan Korea
dan Taiwan pada tingkat signifikansi 1 persen. Hal ini
berarti terdapat contagion di Indonesia yang berasal dari
negara-negara tersebut. Sedangkan untuk Periode 4,
peningkatan korelasi yang signifikan terjadi di hampir di
semua negara, kecuali korelasi antara Indonesia dengan
Filipina, Jerman, Dow Jones, dan Nasdaq.
Grafik A1.3Dynamic Conditional Correlations (DCC) Indonesia
dengan Negara-Negara Maju
1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008-0,2
0,7
0,6
0,5
0,4
0,3
0,2
0,1
0
-0,1
R_IND_UK
R_IND_GER
R_IND_DOW
R_IND_NASDAQ
R_IND_AUS
IDN - CHN 0,02885 0,01949 0,06040 0,21785 0,18315 -0,69170 -2,77582 ***
IDN - HK 0,38930 0,36340 0,35565 0,62349 0,59024 0,85513 -4,60957 ***
IDN - JPN 0,20369 0,21825 0,27484 0,44552 -0,29805 -1,65232 ** -3,92898 ***
IDN - KOR 0,14951 0,16979 0,29427 0,47997 -0,40707 -3,33905 *** -5,36774 ***
IDN - TWN 0,13661 0,16031 0,26543 0,44685 -0,47405 -2,94255 *** -4,94937 ***
IDN - PHIL 0,35927 0,32417 0,25437 0,37696 0,77732 2,53743 -0,29511
IDN - SIN 0,42429 0,40541 0,37972 0,54769 0,44598 1,16358 -2,33810 ***
IDN - MLY 0,33618 0,26867 0,27986 0,52233 1,45414 1,36211 -3,31258 ***
IDN - THAI 0,32858 0,33702 0,30109 0,44945 -0,18549 0,66773 -2,05835 **
IDN - AUS 0,28818 0,27669 0,30222 0,55227 0,24430 -0,33648 -4,68655 ***
IDN - UK 0,17723 0,15270 0,16984 0,31572 0,49313 0,16669 -2,13033 **
IDN - GER 0,18563 0,18358 0,15692 0,26901 0,04146 0,64712 -1,26861
IDN - INA 0,17594 0,13356 0,27282 0,47507 0,84920 -2,23446 ** -4,88472 ***
IDN - DOW 0,07272 0,03421 0,05611 0,12253 0,75542 0,36499 -0,72521
IDN - NASDAQ 0,05999 0,00406 0,04681 0,11701 1,09522 0,28916 -0,82877
Tabel A1.1Deteksi Contagion dengan Dynamic Conditional Correlation (DCC)-Return Saham harian
P1 P2 P3 P4 Z-Stat P2 Z-Stat P3 Z-Stat P4
Keterangan: P1: Korelasi Periode 1 (Januari 1995 - Juli 1997)P2: Korelasi Periode 2 (Agustus 1997 - Desember 2000)P3: Korelasi Periode 3 (1 Januari 2001 - 14 Agustus 2007)P4: Korelasi Periode 4 (15 Agustus - 13 November 2008)
***: Signifikan untuk a=1%**: Signifikan untuk a=5%*: Signifikan untuk a=10%
80
Artikel I - Dampak Contagion Risk pada Pasar Modal Indonesia
2. Markov√Switching Regime Estimation Method
Pada penelitian ini, metode switching regime
diestimasi dengan menggunakan persamaan GARCH (1,1)
dengan persamaan mean dan variansi sebagai berikut:
ridn,t = ac,St + a1,St
ridn,t-1 + a2,St idn_exe_dlog + a3,St
idn_int +
a4,St tbill3m + a5,St
oil_dlog + a6,St rm,t + eSt,t
eSt,t ~ N(0, s2
St,t)
s2St,t
= VASt + VBSt
e2St,t-1 + VCSt
s2St,t-1
Keterangan:
ridn,t: return saham Indonesia
rm,t: return saham negara lain
idn_exe_dlog: rate of depreciation nilai tukar Indonesia
idn_int: interest rate Indonesia (PUAB)
tbill3m: T-Bill 3 bulan
oil_dlog: perubahan harga minyak
e : error
s2 : variansi
St: regime 1 (non krisis) dan regime 2 (krisis)
Persamaan Markov-switching di atas,
mengasumsikan bahwa arah contagion terjadi dari negara-
negara yang diestimasi ke Indonesia. Variabel independen
dalam persamaan mean di atas diperoleh berdasarkan hasil
estimasi dengan menggunakan metode Autoregressive
Distributed Lag (ADL) untuk melihat variabel-variabel
keuangan dan ekonomi apakah yang berpengaruh
terhadap return saham Indonesia.
Dalam penelitian ini dilakukan estimasi dengan
membagi state menjadi dua regime, yaitu Regime Krisis
dan Non-Krisis berdasarkan persistensi dan unconditional
variance yang diperoleh dari conditional variance.
Persistensi yang lebih rendah antara kedua state
dikategorikan sebagai Regime 1 (non krisis), sedangkan
persistensi yang lebih tinggi dikategorikan sebagai Regime
2 (krisis). Contagion dikatakan terjadi antara Indonesia
dengan negara lain apabila terjadi peningkatan signifikan
koefisien return negara lain (a6) dari Regime 1 ke Regime
2. Tabel A1.2 memperlihatkan bahwa nilai koefisien a6
IDN - CHN regime 1 0,004 *** 0,010 -0,142 *** -0,014 *** -0,019 0,005 0,011regime 2 -0,006 *** 0,714 *** -0,696 *** 0,035 *** 0,017 0,054 * 0,152 ***
IDN - HK regime 1 0,003 *** 0,053 ** -0,068 *** -0,009 *** -0,027 ** 0,001 0,174 ***regime 2 -0,001 0,159 *** -0,518 *** 0,005 0,035 0,055 ** 0,616 ***
IDN - JPN regime 1 0,003 *** 0,002 -0,132 *** -0,010 *** 0,015 0,003 0,137 ***regime 2 -0,002 0,658 *** -0,622 *** -0,002 0,036 0,046 0,393 ***
IDN - KOR regime 1 0,003 *** -0,004 -0,120 *** 0,014 *** -0,015 -0,001 0,090 ***regime 2 -0,004 ** 0,484 *** -0,614 *** 0,026 *** 0,016 0,050 * 0,334 ***
IDN - TWN regime 1 0,003 *** 0,006 -0,128 *** -0,014 *** -0,013 0,006 0,059 ***regime 2 -0,004 ** 0,538 *** -0,640 *** 0,029 *** -0,001 0,046 0,451 ***
IDN - PHIL regime 1 0,004 *** -0,010 -0,116 *** -0,013 *** -0,020 0,003 0,119 ***regime 2 -0,005 *** 0,442 *** -0,562 *** 0,021 *** 0,033 0,021 0,549 ***
IDN - SIN regime 1 0,003 *** -0,002 -0,040 ** -0,012 *** -0,015 -0,006 0,194 ***regime 2 -0,001 0,243 *** -0,415 *** 0,008 0,007 0,045 *** 0,686 ***
IDN - MLY regime 1 0,003 *** -0,015 -0,104 *** -0,014 *** -0,018 -0,008 0,112 ***regime 2 -0,002 * 0,297 *** -0,500 *** 0,015 ** 0,020 0,051 ** 0,672 ***
IDN - THAI regime 1 0,003 *** 0,009 -0,127 *** -0,011 *** -0,019 -0,002 0,085 ***regime 2 -0,004 ** 0,357 *** -0,474 *** 0,008 0,065 * 0,047 * 0,603 ***
IDN - AUS regime 1 0,003 *** 0,009 -0,127 *** -0,011 *** -0,019 -0,002 0,085 ***regime 2 -0,004 ** 0,357 *** -0,474 *** 0,008 0,065 * 0,047 * 0,603 ***
IDN - UK regime 1 0,003 *** 0,014 -0,135 *** -0,016 *** -0,004 0,015 0,050 ***regime 2 -0,002 0,522 *** -0,608 *** 0,045 *** -0,080 ** -0,018 0,754 ***
Tabel A1.2Markov Switching Mean Equation
a0 a1 a2 a3 a4 a5 a6
81
Artikel I - Dampak Contagion Risk pada Pasar Modal Indonesia
signifikan dan mengalami peningkatan pada Regime 2
untuk semua negara, kecuali Amerika Serikat (baik untuk
Dow Jones maupun Nasdaq).
Berdasarkan analisis dengan metode Markov-
Switching diperoleh kesimpulan bahwa contagion terjadi
antara Indonesia dengan hampir semua negara yang
diteliti, kecuali dengan Amerika Serikat (Dow Jones dan
Nasdaq).
KESIMPULAN
Tabel A1.3 merupakan rangkuman hasil estimasi
dengan menggunakan metode DCC-MG (Dynamic
IDN - GER regime 1 0,003 *** 0,014 -0,135 *** -0,016 *** -0,004 0,015 0,050 ***regime 2 -0,002 0,522 *** -0,608 *** 0,045 *** -0,080 ** -0,018 0,754 ***
IDN - INA regime 1 0,003 *** 0,004 -0,122 *** -0,015 *** -0,015 0,001 0,056 ***regime 2 -0,004 ** 0,387 *** -0,582 *** 0,029 *** 0,008 0,053 ** 0,437 ***
IDN - DOW regime 1 0,003 *** 0,000 -0,142 *** -0,012 *** -0,020 * 0,006 0,042 **regime 2 -0,004 ** 0,796 *** -0,650 *** 0,007 0,042 0,042 0,051
IDN - NASDAQ regime 1 0,003 *** 0,000 -0,141 *** -0,012 *** -0,020 0,006 0,034 ***regime 2 -0,004 ** 0,800 *** -0,651 *** 0,007 0,043 0,043 0,020
Tabel A1.2Markov Switching Mean Equation (lanjutan)
a0 a1 a2 a3 a4 a5 a6
IDN-MLY √*** √***IDN-SIN √*** √***IDN-THA √*** √***IDN-PHI √***IDN-JPN √*** √*** √***IDN-TWN √*** √*** √***IDN-HK √*** √***IDN-CHN √*** √***IDN-KOR √*** √*** √***IDN-INA √*** √*** √***IDN-AUS √*** √***IDN-GER √***IDN-UK √*** √***IDN-US(DJ)IDN-US(NQ)
Tabel A1.3Kesimpulan Hasil Pengujian Deteksi Contagion (1)
DCC/Multivariate GARCHMarkov-Regime Switching
P2 P3 P4
Keterangan: ***: Signifikan untuk α=1% (critical value: -2,32)**: Signifikan untuk α=5% (critical value: -1,64)*: Signifikan untuk α=10% (critical value: -1,28)
Tanda √ menunjukkan bahwa terdapat contagion antara kedua negara.
Conditional Correlation-Multivariate GARCH) dan Markov-
Switching. Kedua uji ini merupakan pengujian contagion
tanpa memperhitungkan negara yang menjadi awal krisis.
Markov-Switching melakukan pengujian adanya contagion
tanpa memberikan terlebih dahulu periodisasi krisis.
Metode ini merupakan salah satu upaya untuk mengatasi
permasalahan dalam pengujian contagion yang
mensyaratkan adanya titik krisis dan non-krisis yang
ditetapkan secara arbitrary.
Tabel tersebut menunjukkan bahwa terdapat
contagion antara Indonesia dengan negara-negara lainnya
dalam penelitian ini. Contagion terutama terjadi antara
Indonesia dengan negara-negara Asia Timur, seperti
Jepang, Taiwan, dan Korea. Terdapat pula contagion antara
Indonesia dengan India. Selain itu, perilaku pasar saham
di Indonesia pun tidak jauh berbeda dengan pasar saham
India. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh banyaknya
investor asing yang berinvestasi baik di India dan Indonesia.
Indonesia dan India memiliki kondisi fundamental dan
kondisi sosial yang mirip, sehingga investor menggunakan
India sebagai sinyal bagi kondisi pasar di Indonesia, dan
sebaliknya menggunakan Indonesia sebagai sinyal bagi
kondisi pasar di India. Hal ini menunjukkan adanya wake-
up call hypothesis.
Hasil estimasi juga menunjukkan bahwa tidak ada
contagion antara Indonesia dan Amerika Serikat, baik
untuk estimasi dengan menggunakan indeks Dow Jones
maupun dengan indeks Nasdaq. Oleh karena itu, apabila
82
Artikel I - Dampak Contagion Risk pada Pasar Modal Indonesia
Indonesia terpengaruh krisis global yang terjadi saat ini,
yang berawal dari krisis sub-prime mortgage di Amerika
Serikat, pengaruh ini bukan merupakan pengaruh
langsung dari pasar Amerika Serikat, melainkan
merupakan pengaruh terusan dari pasar-pasar modal di
Asia yang memiliki hubungan langsung dengan pasar
modal Amerika Serikat.
Tabel A1.4 menunjukkan bahwa Indonesia memiliki
hubungan contagion dengan negara-negara di kawasan
Asia, seperti Jepang, Taiwan, Korea, Hongkong, dan
India. Hubungan contagion ini merupakan hubungan
dua arah, dalam artian Indonesia mempengaruhi negara
lain dan negara lain pun memiliki pengaruh terhadap
Indonesia. Namun berdasarkan uji deteksi error, dapat
dilihat bahwa Indonesia lebih merupakan shock absorber
dan bukan merupakan shock transmitter terutama untuk
negara-negara maju (Jepang, Australia, Jerman, Inggris,
dan AS).
IDN-MLY √ ^^^ √ ^ √ ^IDN-SIN √ ^^^ √ ^IDN-THA √ ^^^ √ ^ √ ^ √ ^ √ ^IDN-PHI √ ^^^ √ ^IDN-JPN √ ^^^ √ ^ √ ^^^ √ ^ √ ^^^ √ ^^^IDN-TWN √ ^^^ √ ^ √ ^^^ √ ^^^ √ ^^^IDN-HK √ ^^^ √ ^^^IDN-CHN √ ^ √ ^^^ √ ^^^ √ ^^^ √ ^^^IDN-KOR √ ^^^ √ ^ √ ^^^ √ ^^^ √ ^^^ √ ^^^IDN-INA √ ^^^ √ ^ √ ^^^ √ ^^^ √ ^^^IDN-AUS √ ^ √ ^IDN-GER √ ^ √ ^ √ ^^IDN-UK √ ^ √ ^IDN-US(DJ) √ ^ √ ^IDN-US-(NQ) √ ^
Tabel A1.4Kesimpulan Hasil Pengujian Deteksi Contagion (2)
NegaraData
HarianData
Bulanan
Data Harian Data Bulanan
P2 P3 P4 P2 P3*
Keterangan: P2 : Periode 2 (data harian: 16 Juli 1997 - 29 Desember 2000; data bulanan Agustus 1997-Desember 2000)P3 : Periode 3 (data harian: 1 Januari 2001 - 14 Agustus 2007; data bulanan Januari 2000-September 2008)P4 : Periode 4 (15 Agustus - 13 November 2008)^^^ : Hubungan contagion dua arah^^ : Hubungan contagion dengan Indonesia sebagai asal shock^ : Hubungan contagion dengan negara lain sebagai asal shockTanda √ menunjukkan bahwa terdapat contagion antara kedua negaraTingkat signifikansi yang digunakan adalah 5% dan 1%
83
Artikel I - Dampak Contagion Risk pada Pasar Modal Indonesia
Agenor, Aizenman, dan Hoffmaister. 2008. ≈External
Shocks, Bank Lending Spreads, External Shocks,Bank
Lending Spreads, and Output Fluctuations∆, Review
of International Economics,16:1, 1-20.
Arestis, et al. 2005. ≈Testing for Financial Contagion
between Developed and Emerging Markets during
the 1997 East Asian Crisis∆, International Journal of
Finance and Economics, 10, 359-367.
Caporale, Cipollini, dan Spagnolo. 2005. ≈Testing for
Contagion: a Conditional Correlation Analysis∆,
Journal of Empirical Finance, 12, 476-489.
Caramazza, Ricci, dan Salgado. 2004. ≈International
Financial Contagion in Currency Crisis∆, Journal of
International Money and Finance, 23, 51-70.
Cartapanis, Dropsy, dan Mametz. 2002. ≈The Asian
Currency Crises: Vulnerability, Contagion, or
Unsustainability∆, Review∆of International Economics,
10(1), 79-91.
Castiglionesi. 2007. ≈Financial Contagion and the Role of
the Central Bank∆, Journal of Banking and Finance,
31, 81-101.
Chiang, Bang Nam Jeon, dan Huimin Li. 2007. ≈Dynamic
Correlation Analysis Of Financial Contagion: Evidence
From Asian Markets∆, Journal of International Money
and Finance, 26, 1206-1228.
Chu-Sheng Tai. 2004. ≈Contagion: Evidence from
International Banking Industry∆, Journal of
Multinational Financial Management, 14, 353-368.
Cifuentes, Ferrucci, dan Shin. 2005. ≈Liquidity Risk and
Contagion∆, Journal of the European Economic
Association, 3(2-3), 556-566.
Daftar Pustaka
Collins dan Gavron, 2004. ≈Channels of Financial Market
Contagion∆, Applied Economics, 36:21, 2461- 2469.
Collins dan Gavron. 2005. ≈Measuring Equity Market
Contagion in Multiple Financial Events∆, Applied
Financial Economics, 15:8, 531-538.
Dornbusch, Park, dan Claessens. 2000. ≈Contagion: How
It Spreads and How It Can be Stopped∆, Forthcoming
World Bank Research Observer.
Duggar dan Mitra. 2007. ≈External Linkages and
Contagion Risk in Irish Bank∆, IMF Working Paper.
Engle, G. 2000. ≈Dynamic Conditional Correlation √ A
Simple Class of Multivariate GARCH Models∆, UCSD
Economics Discussion Paper, 2000-9.
Essaadi, Jouini, dan Khallouli. 2007. ≈The Asian Crisis
Contagion: A Dynamic Correlation Approach
Analysis∆, Documents De Travail-Working Papers, 07-
25.
Forbes dan Rigobon. 2000. ≈Contagion in Latin America:
Definition, Measurement and Policy Implication∆,
NBER Working Paper Series, 7885.
Hatemi-J dan Hacker. 2005. ternative Method to Test for
Contagion with an Application to the Asian Financial
Crisis∆, Applied Financial Economics Letters, 1:6, 343-
347.
Horta, Mendes, dan Vieira. 2008. Contagion Effects of
the U.S Subprime Crisis on Developed Countries∆,
CEFAGE-UE Working Paper, 08.
Luo dan Tang. 2007. ≈Capital Openness and Financial
Crises: A Financial Contagion Model with Multiple
Equilibria∆, Journal of Economic Policy Reform, 10:4,
283-296.
84
Artikel I - Dampak Contagion Risk pada Pasar Modal Indonesia
Marais dan Bates. 2006. ≈An Empirical Study to Identify
Shift Contagion during the Asian Crisis∆, International
Financial Markets Institutions and Money, 16, 468-
479.
Marongiu. 2005. ≈Towards a New Set of Leading Indicators
of Currency Crisis for Developing Countries: an
Application to Argentina∆.
Rodriguez. 2007. ≈Measuring Financial Contagion: A
Copula Approach∆, Journal of Empirical Finance,14,
401-423.
Sojli. 2007. ≈Contagion in Emerging Markets: the Russian
Crisis∆, Applied Financial Economics, 17:3, 197-213.
Sriananthakumar dan Silvapulle. 2008. ≈Multivariate
Conditional Heteroscedasticity Models with Dynamic
Correlations for Testing Contagion∆, Applied Financial
Economics, 18:4, 267-273.
Suliman. 2005. ≈Interest Rate Volatility, Exchange Rates,
and External Contagion∆, Applied Financial
Economics, 15:12, 883-894.
Van Horen, Jager, dan Klaassen. 2006. ≈Foreign Exchange
Market Contagion in the Asian Crisis: A Regression-
Based Approach∆.
Walti. 2003. ≈Contagion and Interdependence among
Central European Economies: the Impact
of≈Common External Shocks∆, HEI Working Paper,
02.
Yang dan Lim. 2004. ≈Crisis, Contagion, and East Asian
Stock Markets∆, Review of Pacific Basin Financial
Markets and Policies, 7:1, 119-151.
Yoon. 2005. ≈Correlation Coefficients, Heteroskedasticity
and Contagion of Financial Crises∆, The Manchester
School, 73:1, 92-100.
85
Artikel II - Corporate Balance Sheet Modelling: Determinants of Indonesian Corporate Debt
Artikel II
Corporate Balance Sheet Modelling:Determinants of Indonesian Corporate Debt
Wimboh Santoso1, Viverita2, Ardiansyah3, Reska Prasetya4, Heny Sulistyaningsih5
Penelitian ini bertujuan untuk menguji faktor-faktor yang mempengaruhi hutang perusahaan Indonesia
yang pada gilirannya akan mempengaruhi keputusan pembiayaan dan investasi perusahaan tersebut. Model
yang digunakan merupakan pengembangan dari model Gibbard dan Stevens (2006) yang dikombinasikan
dengan pendekatan tradisional struktur modal trade-off theory dan pecking order theory. Penelitian ini akan
memodelkan corporate leverage dengan mengkombinasikan hutang, equity issuance serta model investasi dan
mengaplikasikan Generalized Moment of Method (GMM) dengan panel data dari 218 perusahaan yag sudah go
public. Hasil estimasi menunjukkan bahwa penentuan level hutang korporasi di Indonesia dipengaruhi oleh
default probability effect, sehingga membutuhkan penilaian yang hati-hati dalam penentuan sumber pendanaan.
Diketahui pula bahwa aktivitas Investasi, akuisisi serta ketersediaan kas akan mempengaruhi tingkat hutang
korporasi. Selanjutnya, hasil estimasi juga menggambarkan bahwa teori pecking order berkontribusi signifikan
terhadap model neraca korporasi.
Keywords : Corporate debt; balance sheet; capital structure; speed of adjustment
JEL Classification: C51;C33;N65
1 Kepala Biro Stabilitas Sistem Keuangan, Direktorat Penelitian dan Pengaturan Perbankan,Bank Indonesia; alamat email: [email protected]
2 Peneliti Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia, e-mail address: [email protected] Peneliti Eksekutif, Biro Stabilitas Sistem Keuangan, Direktorat Penelitian dan Pengaturan
Perbankan; alamat email: [email protected] Peneliti Yunior, Biro Stabilitas Sistem Keuangan, Direktorat Penelitian dan Pengaturan
Perbankan; alamat email: [email protected] Peneliti Yunior, Biro Stabilitas Sistem Keuangan, Direktorat Penelitian dan Pengaturan
Perbankan; alamat email: [email protected]
1. PENDAHULUAN
Meningkatnya volatilitas di pasar komoditas dan
pasar uang internasional serta melambatnya pertumbuhan
ekonomi dunia berimbas kepada perlambatan
pertumbuhan ekonomi nasional. Kondisi ini secara tidak
langsung berpotensi menurunkan kinerja keuangan sektor
korporasi. Melemahnya daya beli konsumen menyebabkan
tingkat penjualan korporasi menurun sehingga pendapatan
korporasi juga menurun. Penurunan pendapatan yang
tidak diiringi dengan penurunan biaya operasional maupun
biaya produksi menyebabkan korporasi membutuhkan
pinjaman dari pihak ketiga, baik berupa hutang kepada
perbankan atau pembiayaan non bank lainnya. Semakin
86
Artikel II - Corporate Balance Sheet Modelling: Determinants of Indonesian Corporate Debt
mempengaruhi optimal level of debt dari suatu perusahaan
dengan menggunakan teori pecking order dan teori trade-
off.
2. TINJAUAN PUSTAKA
Menurut Modigliani dan Miller (1963), korporasi
cenderung akan menjaga kapasitas cadangan hutang
dalam kondisi pasar yang sempurna. Oleh karena itu,
fasilitas pinjaman yang akan diterima perusahaan akan
berkurang seiring dengan meningkatnya pinjaman yang
telah diterima oleh perusahaan tersebut. Sementara itu,
Farrar dan Selwyn (1967) yang berpendapat sama dengan
Stiglitz (1972) menyatakan bahwa perbedaan dari pajak
personal income yang dikenakan pada penambahan modal
dan pendapatan tetap mengurangi keyakinan pada teori
yang menyatakan bahwa keuntungan pajak dari fasilitas
pinjaman akan berdampak pada penolakan penggunaan
fasilitas pinjaman sebagai modal. Di sisi lain, literatur
mengenai credit rationing menjelaskan sudut pandang
kreditur dan perbankan tentang alasan korporasi
membatasi jumlah pinjamannya. Jaffe (1971)
menggambarkan bahwa ketidakinginan seorang manajer
untuk mendapatkan pinjaman disebabkan mereka ingin
menjaga posisi dan kesejahteraan mereka. Faktor lain yang
dianggap mempengaruhi penggunaan pinjaman adalah
besarnya biaya yang dicadangkan apabila terjadi
kebangkrutan atau apabila kondisi keuangan sedang buruk
(Warner, 1976 dan Robichek dan Myers, 1966).
Menurut teori, sebuah perusahaan akan melakukan
investasi apabila mempunyai cash. Oleh karena itu,
keputusan untuk menggunakan sumber pembiayaan dari
internal maupun eksternal tidak hanya bergantung pada
waktu berinvestasi, namun juga pada ketersediaan
kesempatan investasi. Keputusan untuk tidak menerbitkan
saham dan tidak menggunakan kesempatan berinvestasi
akan berakibat pada ketidaktepatan pengalokasian dana
yang nantinya akan menurunkan nilai perusahaan tersebut
besar hutang korporasi semakin besar eksposur korporasi
terhadap sistem keuangan. Peningkatan jumlah hutang
yang diiringi penurunan pendapatan lebih lanjut berpotensi
menurunkan kemampuan membayar korporasi. Disisi lain,
penurunan pendapatan berpotensi menurunkan
kemampuan membayar korporasi terhadap kewajibannya
kepada pihak ketiga sehingga dapat menjadi sumber
instabilitas sistem keuangan.
Terdapat beberapa alasan suatu perusahaan
menerbitkan hutang sebagai sumber pembiayaan usahanya.
Menurut Jensen (1986), hutang merupakan cara yang efisien
untuk mengurangi biaya-biaya yang terkait dengan
penerbitan saham sedangkan Klaus dan Litzenberger
berpendapat bahwa hutang dapat mengoptimalkan struktur
permodalan korporasi melalui keuntungan pajak. Ross
(2008) dan Leldan & Pyle (1977) berpendapat bahwa hutang
merupakan poin yang penting dari nilai suatu perusahaan.
Raviv (1991) menemukan bahwa peningkatan leverage
sejalan dengan peningkatan hutang, non-debt tax shield,
kesempatan investasi. Sebaliknya, penurunan leverage
sejalan dengan peningkatan volatilitas, advertising
expenditure, default probability dan keunikan dari suatu
produk. Oleh karena itu, optimal debt ratio ditentukan
dengan mempertimbangkan keuntungan dan biaya yang
dikeluarkan untuk menerbitkan hutang (Frydenberg, 2004).
Sampai dengan Juni 2008, perbankan berkontribusi
memberikan pembiayaan ke perusahaan berupa kredit
modal kerja dan kredit investasi sebesar 71% dari total
kredit perbankan. Hal ini mengindikasikan bahwa eksposur
terbesar dari perbankan dan institusi keuangan lainnya
adalah korporasi Indonesia. Oleh karena itu, sangatlah
penting untuk membuat suatu model yang dapat
menentukan neraca korporasi Indonesia dengan meneliti
peran dari optimal debt dalam mengambil keputusan
pembiayaan dan investasi. Penelitian ini bertujuan untuk
membangun model neraca korporasi dengan meneliti
struktur hutang dan juga faktor-faktor yang
87
Artikel II - Corporate Balance Sheet Modelling: Determinants of Indonesian Corporate Debt
atau dikenal dengan financing trap (Myers dan Majluf,
1984). Berdasarkan perkembangan ini, perusahaan
cenderung akan menggunakan hutang sebagai sumber
eksternal saat pemegang saham yang ada tergolong
sebagai passive investors. Dampaknya, perusahaan yang
mempunyai kelonggaran pembiayaan yang cukup besar
cenderung akan mengambil kesempatan investasi yang
ada. Jensen (1986) berpendapat bahwa sebuah
perusahaan yang lebih memilih untuk menerbitkan dan
mempergunakan hutang sebagai sumber pembiayaan
akan menguntungkan tidak hanya bagi manajer dalam
kaitannya dengan hak untuk menunda pemberian future
dividends, namun juga memberikan hak bagi pemilik
perusahaan untuk mengambil legal action saat terjadi
default. Adanya kenaikan penggunaan hutang akan
meningkatkan leverage dari suatu perusahaan maupun
agency dan bankruptcy cost.
Terdapat 2 (dua) teori yang umum digunakan untuk
menjelaskan struktur hutang korporasi yaitu teori trade
off dan teori pecking order. Teori trade off mengenai
struktur permodalan menjelaskan bahwa tingkat hutang
korporasi bisa dijelaskan dengan keseimbangan antara
biaya dan keuntungan dari penggunaan hutang sebagai
sumber pembiayaan, dengan biaya kebangkrutan sebagai
biaya hutang dan pengurangan pajak sebagai keuntungan
dari penggunaan hutang. Hal ini menjelaskan adanya trade
off antara keuntungan pajak dan biaya karena adanya
tekanan keuangan. Teori ini fokus pada keseimbangan
antara keuntungan dari hutang dan tingginya biaya
penggunaannya serta kesempatan dari tekanan keuangan.
Selain itu, teori ini juga menjelaskan keterkaitan antara
hutang dan risiko gagal bayar maupun hutang dan
kesempatan pertumbuhan.
The pecking order theory menyatakan mengenai
strategi pembiayaan jangka panjang dari perusahaan dan
penggunaan sumber internal sebagai suatu pilihan
pembiayaan. Secara umum, teori ini menjelaskan prioritas
perusahaan dalam memilih sumber internal sebagai
sumber pembiayaan daripada menggunakan hutang.
Namun, apabila sumber eksternal sangat dibutuhkan,
hutang lebih baik dibandingkan dengan equity (Myers dan
Majluf, 1984). Teori ini lebih fokus pada bagaimana cara
mengatur perusahaan agar mencapai keseimbangan
antara ekonomi dengan stabilitas keuangan. Teori ini dapat
dijelaskan sebagai berikut (1) pembiayaan dari internal
(modal yang ditahan) digunakan karena dinilai lebih aman
dibandingkan dengan hutang yang memiliki default risk,
(2) menerbitkan surat hutang sebagai sumber pembiayaan
paling aman apabila pembiayaan dari eksternal tidak dapat
dihindari lagi. Dalam teori ini pula, menerbitkan saham
sebagai sumber pembiayaan merupakan pilihan
pembiayaan yang kurang tepat mengingat nantinya tetap
akan dibutukan pembiayaan dari sumber lain. Oleh karena
itu, kondisi tersebut dapat menciptakan gap antara
corporate expenses dan free cash flow yang membutuhkan
pembiayaan dari hutang (financing gap). Berdasarkan teori
ini, perubahan dari hutang harus sama dengan financing
gap. Studi lain yang dilakukan oleh Shyam-sunder dan
Myers (1999) mempergunakan debt ratio sebagai proxy
untuk optimal level of debt dengan asumsi target level of
debt konstan.
Gibbard dan Stevens (2006) meneliti faktor-faktor
penentu hutang korporasi di UK, US, Perancis, dan Jerman.
Studi ini menjelaskan peran hutang korporasi dengan
menghitung investasi dan penerbitan equity. Dengan
menggunakan persamaan, ditemukan bahwa variabel
pecking order terutama cash flow dan akuisisi mempunyai
pengaruh yang signifikan terhadap corporate debt level.
Studi ini juga menemukan bahwa hutang memiliki korelasi
yang positif dengan kebutuhan pembiayaan perusahaan,
sementara level optimal hutang korporasi berkorelasi
negatif dengan market to book ratio. Selanjutnya,
procyclicality hutang merupakan efek dari procyclicality
gap pembiayaan. Temuan lain menggambarkan bahwa
88
Artikel II - Corporate Balance Sheet Modelling: Determinants of Indonesian Corporate Debt
pertumbuhan hutang korporasi pada saat ekonomi
membaik tidak dapat dijelaskan oleh kenaikan hutang
optimal namun dijelaskan oleh gap pembiayaan.
Sementara itu, Welch (2002) menyarankan bahwa struktur
modal korporasi ditentukan dari return saham (misalnya,
nilai equity, perkiraan nilai equity saat ini dan debt equity
ratio). Oleh sebab itu, faktor penentu utama dari struktur
permodalan adalah pengaruh eksternal daripada struktur
internal. Di satu sisi, Welch (2004) menemukan bahwa
40% perubahan di struktur hutang korporasi
kemungkinan besar karena pendapatan dari saham.
Sementara itu, penerbitan hutang jangka panjang
mempengaruhi 30% dari perubahan debt level.
Fama dan French (2002) memperkenalkan two-step
regression untuk menentukan level optimal dari hutang
dengan menggabungkan Teori Trade off dan Teori pecking
order dan menemukan 4 (empat) faktor penentu yaitu (1)
profitability, (2) investment opportunity, (3) ukuran
perusahaan (dilihat dari total aset) dan (4) target dividend
payout. Hasil penelitian ini menunjukkan adanya
perbedaan dan hasil yang bertolak belakang dari aplikasi
ke-2 teori tersebut. Contohnya, saat mengaplikasikan teori
trade off, ditemukan bahwa perusahaan dengan investasi
yang besar memiliki hutang yang kecil. Sebaliknya, teori
pecking order menunjukkan bahwa terdapat hubungan
yang negatif antara expected investment dan book
leverage. Selain itu, terdapat hubungan yang positif antara
leverage dan besarnya perusahaan maupun antara dividen
payout dengan besarnya perusahaan. Hal ini
mengindikasikan bahwa perusahaan dengan pendapatan
yang cukup besar memiliki pengaruh yang signifikan
terhadap struktur permodalan.
Tsiplakov (2007) menggunakan model dinamis dari
optimal capital structure dan menemukan adanya
hubungan yang kuat antara pendapatan dari saham
perusahaan dan perubahan debt level. Penemuan ini
mendukung Welch (2004). Sementara itu, Drobetz dan
Wanzenried (2002) meneliti pengaruh dari faktor-faktor
tertentu di perusahaan dan faktor makroekonomi
terhadap speed of adjustment untuk target leverage 90
perusahaan di Swiss. Penelitian ini menemukan bahwa
makin tinggi tingkat pertumbuhan suatu perusahaan dan
makin jauh dari tingkat optimal debt akan makin cepat
mencapai target leverage. Selain itu, ditemukan juga
bahwa tangibility dan besar kecilnya perusahaan tidak
mempunyai hubungan yang positif dengan leverage.
Sebaliknya, profitability mempunyai hubungan yang
negatif terhadap leverage. Tingginya pertumbuhan
perusahaan (market to book ratio) mempunyai leverage
yang lebih rendah dibandingkan dengan perusahaan yang
memiliki market to book ratio yang rendah. Historis dari
market to book value digunakan oleh Hovakimian (2003)
untuk meneliti pengaruh dari faktor ini terhadap
keputusan investasi dan pembiayaan. Hasilnya ditemukan
bahwa terdapat pengaruh yang signifikan terhadap
keputusan investasi dan pembiayaan. Hal ini menunjukkan
bahwa current market to book value terhadap hutang
gagal menggambarkan kesempatan pertumbuhan suatu
perusahaan.
3. METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian ini menggabungkan teori trade off dan
teori pecking order untuk membangun neraca korporasi
di Indonesia. Teori pecking order menyatakan bahwa
penggunaan sumber internal merupakan sumber
pembiayaan yang lebih utama dibandingkan dengan
penerbitan saham. Teori ini berpendapat bahwa penerbitan
saham akan dianggap sebagai sentimen negatif oleh
investor. Sementara itu, teori trade off mengajukan konsep
proxy tingkat optimal hutang dengan membandingkan
keuntungan marginal dengan biaya marginal dari
penggunaan hutang. Berdasarkan tujuan penelitian ini,
selanjutnya akan disusun neraca korporasi Indonesia
dengan menggunakan model penelitian empiris mengenai
89
Artikel II - Corporate Balance Sheet Modelling: Determinants of Indonesian Corporate Debt
struktur permodalan, seperti yang pernah dilakukan oleh
Gibbard dan Stevens (2006).
Terdapat perbedaan sudut pandang dalam melihat
perubahan posisi hutang apabila didasarkan pada 2 (dua)
teori tersebut. Teori pecking order berpendapat bahwa
perubahan posisi hutang bergantung pada financing gap
yaitu gap antara pengeluaran korporasi (investasi & akuisisi)
dengan sumber pembiayaan yang berupa cash. Untuk
mengatasi keterbatasan cash, perusahaan akan
menggunakan hutang sebagai sumber utama dari
pembiayaan eksternal. Di satu sisi, teori trade off
berpendapat bahwa perubahan posisi hutang adalah
perbedaan antara tingkat optimal hutang dengan hutang
aktual. Gambar A2.1 menunjukkan kerangka konsep
model hutang dari neraca korporasi Indonesia.
(2) rata-rata rasio hutang selama periode penelitian (Sunder
dan Myers 1999); dan (3) penentuan tingkat optimum debt
dengan meregressi variabel yang mungkin mempengaruhi
target debt ratio perusahaan (Fama dan French, 1999).
Nilai yang sesuai dari hasil regresi akan menggambarkan
optimal debt dari korporasi.
Beberapa penelitian empiris telah dilakukan untuk
memodelkan struktur permodalan korporasi dengan
menggunakan beberapa model seperti debt model, equity
issuance model, dan investment model seperti yang
dijelaskan dibawah ini:
3.1. Debt Model
Model ini menjelaskan faktor-faktor yang
mempengaruhi tingkat hutang korporasi. Menurut teori
pecking order, variabel investasi (I) dan akuisisi (A) memiliki
hubungan yang positif dengan tingkat hutang korporasi,
sementara cash (C) mempunyai hubungan yang negatif
dengan tingkat hutang. Selain itu, tingkat optimal dari
hutang (M) diharapkan memiliki hubungan negatif dengan
tingkat aktual hutang korporasi. Penelitian lain yang
dilakukan oleh Welch (2002) memberikan kesimpulan yang
berbeda, dimana market to book value of debt mempunyai
hubungan yang negatif dengan tingkat hutang korporasi.
Namun, secara statistik hubungan ini tidak signifikan. Hasil
yang ambigu ini dapat dijelaskan melalui dua pendekatan
yaitu efek pertumbuhan kesempatan (Myers, 1977) dan
efek kemungkinan untuk default (Welch, 2002) seperti
dalam persamaan dibawah ini:
Dit = α + α
1D
i,t-1 + α
2I
it + α
3I
i,t-1 + α
4A
it + α
5A
i,t-1 + α
6C
it +
α7C
i,t-1 + α
8M
it + α
9M
i,t-1 + η
1 + ε
it(2)
η1 di persamaan (2) menggambarkan efek khusus
perusahaan, yang disebabkan oleh ketidakkonsistenan
dalam koefisien regresi, namun bisa diselesaikan
menggunakan teknik differencing. Namun, dengan
mendifferensialkan variabel endogen dapat menyebabkan
korelasi antara differenced of error term dan differenced
Gambar A2.1Kerangka Konsep dari Model Neraca Korporasi
DEBTEQUITYCASH
Use to financeINVESTMENTACQUISITION
Penelitian yang dilakukan Gibbard dan Stevens
(2006) menggabungkan 2 (dua) teori mengenai struktur
permodalan. Penelitian ini memberikan kemungkinan
untuk melihat siklus pergerakan dari hutang korporasi dan
menghitung seberapa jauh pergerakan hutang memicu
kebutuhan pembiayaan dan kecepatan penyesuaian dari
tingkat hutang, seperti yang digambarkan dalam
persamaan dibawah ini:
Dit = αG
it + βD
it
* + (1-β) Di,t-1
(1)
Dimana, Dit adalah hutang korporasi pada suatu waktu t;
Git = financing gap; dimana variabel utama yang digunakan
adalah arus kas, pengeluaran investasi dan akuisisi. Dit*
adalah optimal debt (dinyatakan oleh teori trade off) dan
bisa ditentukan dari salah satu model berikut ini: (1) market
to book value (Gibbard dan Stevens 2006, Welch 2002);
90
Artikel II - Corporate Balance Sheet Modelling: Determinants of Indonesian Corporate Debt
lag of endogenous term. Masalah ini bisa diatasi dengan
menggunakan lebih dari satu lag untuk tingkat variabel.
Misalnya, Arellano dan Bond (1991) menggunakan
Generalized Methods of Moment (GMM) yang akan
menghasilkan estimasi yang efisien.
3.2. Equity Issuance Model
Persamaan (3) menggambarkan model dari
penerbitan equity yang dipengaruhi oleh financing gap
maupun tingkat optimal hutang korporasi, berdasarkan
model empiris yang dibangun oleh Benito dan Young
(2002). Model ini mendukung debt model dalam
persamaan (2) dan digunakan untuk menentukan tingkat
hutang korporasi Indonesia. Model ini mengharapkan
pengeluaran modal (A & I) memiliki hubungan yang positif
dengan kenaikan jumlah saham yang diterbitkan,
sementara cash (C) diharapkan memiliki hubungan yang
negatif. Tingkat hutang optimal memiliki hubungan yang
ambigu dengan kenaikan jumlah saham yang diterbitkan
dimana tingkat hutang optimal memiliki hubungan yang
positif atau negatif dengan jumlah saham yang diterbitkan.
Equity Issuance Model dapat ditunjukkan dalam persamaan
(3) berikut:
Eit = α + α
1D
i,t-1 + α
2I
it + α
3A
it + α
4C
it + α
5M
it + η
1 + ε
it(3)
3.3. Investment Model
Persamaan (4) memodelkan tingkat investasi dari
perusahaan. Model ini mengharapkan bahwa cash (C)
memiliki hubungan yang positif dengan nilai investasi
perusahaan. Pertama, variabel Q (variabel yang digunakan
berdasarkan bukti-bukti empiris dari Blundell, at.al.,1992)
dimasukkan di dalam persamaan. Variabel ini diharapkan
menjadi pengaruh yang positif terhadap investasi
korporasi. Model ini dapat dituliskan dalam persamaan
dibawah ini:
Iit = α + α
1D
i,t-1 + α
3I
i,t-1 + α
4A
it + α
6C
it + α
7C
i,t-1 + α
8Q
it +
α9Q
i,t-1 + η
1 + ε
it(4)
3.4. Spesifikasi Model
Berdasarkan model-model sebelumnya, model yang
disusun untuk penelitian ini terutama menggunakan model
dari Gibbard dan Stevens (2006). Penelitian Welch (2002)
memasukkan pendapatan saham (R) sebagai salah satu
variabel yang mempengaruhi tingkat hutang perusahaan
Indonesia. Penggunaan pendapatan saham bertujuan
untuk menguji inertia dari penggunaan hutang di dalam
struktur permodalan. Pendekatan perilaku ini secara tidak
langsung akan menjelaskan bahwa pendapatan saham
yang negatif akan memberikan sinyal yang negatif
sehingga akan meningkatkan tingkat hutang korporasi.
Model dapat digambarkan sebagai berikut :
Dit = α + α
1D
i,t-1 + α
2I
it + α
3I
i,t-1 + α
4A
it + α
5A
i,t-1 + α
6C
it +
α7C
i,t-1 + α
8M
it + α
9M
i,t-1 + α
10R
i,t,t-1 + η
1 + ε
it(5)
dimana, Di,t-1
adalah hutang pada waktu t-1; I adalah
investasi pada waktu t; Ait menunjukkan akuisisi pada waktu
t; Cit adalah arus kas korporasi pada waktu t; M
it adalah
target debt ratio pada waktu t; dan Ri,t,t-1
menggambarkan
pendapatan saham perusahaan pada waktu t.
3.4.1. Menentukan Tingkat Optimal Hutang
Perusahaan
Menurut Fama dan French (2002), rasio target
leverage dari perusahaan ditentukan oleh nilai tetap dari
persamaan (6). Rasio target leverage perusahaan (M)
nantinya menjadi model neraca perusahaan Indonesia.
Mt = b
0 + b
1MV
t-1 + b
2EBIT
t-1 + b
3DP
t-1 + b
4RD
t-1 +
b5 ln(A
t-1) + b
6FA
t-1 + b
7MI
t + b
8M
t-1 + e
t+1(6)
Hal ini diasumsikan bahwa perusahaan memiliki laba
sebelum pajak (EBIT) tinggi atau tingkat leverage yang
rendah. Rendahnya leverage bisa terjadi di perusahaan
yang mempunyai laba ditahan cukup besar atau saat
perusahaan membatasi leverage untuk melindungi
franchise dalam menghasilkan laba yang besar. Tingginya
leverage menggambarkan kemampuan perusahaan untuk
memenuhi pembayaran hutang diluar relatif tingginya arus
91
Artikel II - Corporate Balance Sheet Modelling: Determinants of Indonesian Corporate Debt
kas. Selanjutnya, tingginya market to book ratio (MV)
secara umum menggambarkan pertumbuhan yang lebih
baik di masa depan. Dalam hal ini, tingginya pertumbuhan
perusahaan cenderung dapat dilindungi dengan
membatasi jumlah leverage.
Depresiasi (DP) merupakan proporsi total aset.
Perusahaan dengan tingkat depresiasi yang tinggi akan
memperoleh pengurangan interest terkait dengan
besarnya penggunaan leverage sebagai sumber
pembiayaan. Perusahaan dengan nilai aset yang tinggi
ln(At) cenderung akan menggunakan lebih banyak hutang
dibandingkan perusahaan yang memiliki aset yang kecil.
Hal ini bisa terjadi karena perusahaan cenderung lebih
transparan atau memiliki akses yang lebih mudah ke pasar
surat hutang. Perusahaan yang memiliki tangible asset (FA)
tinggi cenderung memiliki kapasitas hutang besar,
sementara perusahaan yang memiliki intangible asset
tinggi dalam bentuk R&D lebih memilih equity sebagai
sumber pembiayaan. Selanjutnya, firm»s lagged industry
media debt ratio (MI) digunakan untuk mengontrol
karakteristik industri yang tidak bisa digambarkan oleh
variabel independen lainnya.
4. ANALISIS
Penelitian ini menggunakan unbalanced panel data
dari 218 perusahaan go public yang terbagi dalam delapan
sektor yaitu konsumsi, infrastruktur, mining, property, basic
industry, agriculture, trading dan miscellaneous industry
dari tahun 2004 sampai dengan 2007. Data bersumber
dari Bloomberg dan Bursa Efek Indonesia.
Tabel A2.1 menggambarkan bahwa nilai rata-rata
hutang perusahaan Indonesia adalah lebih dari 400 kali
total aset perusahaan tersebut. Namun, standar deviasi
dari masing-masing variabel juga lebih tinggi dari rata-
ratanya. Untuk menguji faktor-faktor yang menentukan
level hutang korporasi Indonesia, digunakan estimator
generalised methods of moments mengikuti Arrelano dan
Bover (1995). Metode ini digunakan untuk mengurangi
firm specific effect dari sample perusahaan mengingat
perusahaan-perusahaan tersebut berasal dari beragam
sektor industri.
Mengikuti Fama & French (2002) serta Hovakimian
et al (2003), study ini menemukan bahwa level optimal
hutang korporasi Indonesia secara negatif dan signifikan
dipengaruhi level keuntungan. Hal ini sejalan dengan
ekspektasi. Kondisi ini menunjukkan bahwa secara umum
korporasi Indonesia lebih menyukai menggunakan
keuntungan (internal sources) daripada menggunakan
hutang sebagai sumber pembiayaan. Di lain pihak,
ditemukan juga bahwa besarnya perusahaan berhubungan
secara negatif dan signifikan dengan penggunaan external
source sebagai sumber pembiayaan.
Tabel A2.2 menunjukkan estimasi persamaan hutang
dari perusahaan Indonesia. Tabel tersebut menunjukkan
bahwa teori pecking order secara signifikan mampu
menjelaskan hutang korporasi. Hal ini digambarkan pula
oleh tanda dan koefisien yang signifikan dari 2 faktor
Total Asset (Trilliun IDR) 6.133,65 55.821,59Current Asset (Trilliun IDR) 872,02 1.891,74Fixed Asset (Trilliun IDR) 1.118,58 4.157,16Tangible assets (Trilliun IDR) 6.024,73 55.745,80Intangible Asset (Trilliun IDR) 90,11 558,83Total Debt (Trilliun IDR) 25.471,62 437.384,39Net Sales (Trilliun IDR) 1.935,43 5.641,06Net income (Trilliun IDR) 246,87 1.812,31Depretiation (Trilliun IDR) 644,08 3.079,11Amortization (Trilliun IDR) 46,55 473,89Capital expenditure (Trilliun IDR) 167,08 992,40EBIT 327,52 1.658,52Cash per total asset 0,33 0,34Depreciation Expense per tangible asset 0,27 0,24R & D Expense per total asset 0,05 1,11Size (Log of Total Asset) 27,14 1,85Fixed asset per total asset 0,38 0,24Debt per total asset 0,78 1,04Investment (Capex per total asset) 0,04 0,10acquisition (Acquisition per total asset) 0,03 0,08
Tabel A2.1Deskripsi Statistik Korporasi Indonesia (2004 √ 2007)
VariabelAll
Mean Standard Deviation
92
Artikel II - Corporate Balance Sheet Modelling: Determinants of Indonesian Corporate Debt
financing gap yaitu investasi dan cash flow. Komponen
lain, akuisisi memiliki unexpected sign (negative sign) dan
tidak signifikan.
ACTA : Hasil regresi menunjukkan hubungan negatif
dengan penggunaan hutang korporasi walaupun
hasilnya tidak signifikan. Studi empiris
menunjukkan hasil koefisien yang berbeda.
Hubungan negatif antara akuisisi
mengindikasikan prioritas sumber pembiayaan
lain untuk membiayai aktivitas akuisisi.
Hasil estimasi seperti tercantum pada Tabel A2.2
menunjukkan bahwa Fitted Values of Debt (OD-1) sebagai
suatu proxy level optimal dari hutang korporasi
menunjukkan hubungan negatif dan signifikan dengan
level hutang aktual. Koefisien negatif ini mendukung efek
default probability (Myers, 1977 dan Jensen, 1986). Hal
ini mengindikasikan bahwa keputusan mengambil hutang
sebagai sumber pembiayaan merupakan hal penting dan
perlu dilakukan perusahaan secara hati-hati. Selanjutnya,
variabel stock return perusahaan sebagai proxy ekspektasi
pasar menunjukkan bahwa stock return berpengaruh
secara negatif dan signifikan terhadap level optimal
hutang. Kondisi ini menggambarkan bahwa pasar memiliki
ekspektasi tinggi dan positif terhadap kinerja perusahaan
di masa depan, karenanya korporasi perlu lebih sedikit
hutang sebagai sumber pembiayaan. Sejalan dengan
Welch (2204), stock return perusahaan mempengaruhi
variabilitas level hutang yang optimal.
5. KESIMPULAN
Penelitian ini bertujuan untuk memodelkan neraca
korporasi Indonesia dan menguji faktor-faktor yang
mempengaruhi level optimal hutang korporasi dengan
mengkombinasikan teori trade-off dan pecking order.
Dengan menggunakan estimator Generalised Methods of
Moment, hasil penelitian ini menangkap dinamika level
hutang korporasi yang menyesuaikan dengan level
optimalnya.
Hasil estimasi menunjukkan bahwa level hutang
korporasi Indonesia ditentukan secara signifikan oleh level
KeteranganDEBT : Total debt per total assetACTA : Total Acquisition per total assetCASH : Total cash per total assetINVTA : Total Investment per total assetReturn : Tingkat pengembalian Saham per year
DEBT(-1) 0.5740 13.0137 0.0000ACTA -0.1456 -1.2976 0.1971ACTA(-1) 0.0692 0.4581 0.6478CASH 0.0574 0.6196 0.5368CASH(-1) 0.0359 0.6204 0.5362INVTA 0.1816 2.0067 0.0472INVTA(-1) 0.1186 1.3022 0.1956OD 0.0054 0.5342 0.5943OD(-1) -0.5757 -41.0524 0.0000RETURN -0.0341 -3.0392 0.0030RETURN(-1) -0.0158 -4.1306 0.0001Cross-section fixed (first differences)R-squared 0.983631P-value (Chi square) 0.00000SSE 0.07645N (Firms) 201
Tabel A2.2Determinants of Corporate Debt
DEBT EQUATION (GMM Sys)Dependent Variable :DEBT
Variable Coefficient t-Statistic Prob.
Analisis masing-masing variabel adalah sebagai
berikut:
INVTA : Koefisien dari investasi terhadap rasio penggunaan
hutang korporasi adalah positif (+) dan signifikan
pada level 5%. Hal ini mengindikasikan semakin
banyak jumlah investasi perusahaan maka
penggunaan hutang semakin meningkat. Ini
sejalan dengan dengan teori pecking-order.
CASH : Koefisien dari investasi terhadap rasio
penggunaan hutang korporasi adalah positif (+).
Kedua variabel ini sesuai dengan pecking-order
theory, dimana semakin untung perusahaan
maka penggunaan hutang semakin meningkat
(kelebihan kas digunakan untuk keperluan lain
seperti pembayaran deviden).
93
Artikel II - Corporate Balance Sheet Modelling: Determinants of Indonesian Corporate Debt
investasi dan arus kas. Temuan juga mengindikasikan
bahwa teori pecking order berkontribusi signifikan
terhadap model neraca korporasi Indonesia. Selanjutnya,
level hutang optimal mendukung efek default probability
seperti yang dijelaskan Myers (1977) dan Jensen (1986).
Karena hasil temuan menunjukkan bahwa neraca korporasi
Indonesia secara umum dipengaruhi oleh teori pecking
order, hal ini mengindikasikan bahwa aktivitas investasi
dan akuisisi akan mempengaruhi level hutang korporasi.
Berdasarkan estimasi GMM-SYS, ditemukan bahwa
hutang korporasi Indonesia menyesuaikan sedikit lebih
rendah dari level optimalnya, yaitu dengan implied
adjustment rate sebesar 0,43. Artinya bahwa perusahaan
perlu mempertimbangkan seluruh faktor yang
mempengaruhi level hutangnya dan secara hati-hati perlu
memperhatikan penyesuaian biaya karena level hutang
ditentukan oleh efek default probability.
Temuan study ini menunjukkan faktor-faktor yang
menjadi penentu hutang perusahaan sehingga perusahaan
menyesuaikan level hutangnya sedemikan rupa sampai
mencapai level optimal hutangnya. Lebih lanjut, temuan
tersebut dapat digunakan untuk memonitor hutang
perusahaan yang digunakan untuk aktivitas investasi dan
akuisisi sehingga pada akhirnya dapat digunakan untuk
mnghitung potensi risiko default. Untuk itu, kreditur dan
regulator perlu melakukan penilaian komprehensif untuk
mengurangi dampak negatif penggunaan hutang yang
berlebihan. Pada akhirnya, manajemen level hutang yang
baik yang mengarah pada level optimal hutang akan
mendorong naiknya nilai perusahaan.
94
Artikel II - Corporate Balance Sheet Modelling: Determinants of Indonesian Corporate Debt
Arellano Manuel dan Stephen Bond (1991), ≈Some Tests
of Specification of Panel Data: Monte Carlo Evidence
dan Application to Employment Equations∆. The
Review of Economic Studies, Vol. 58, No. 2 (Apr.,
1991), pp. 277-297
Antoniou, A., Guney, Y dan Paudyal, K (2003),
≈Determinants of corporate debt ownership structure:
evidence from market-based dan bank-based
economies∆, mimeo, University of Durham Business
School.
Blundell, Richard dan Stephen Bond (1998), ≈Initial
Conditions dan Moment Restrictions in Dynamic Panel
Data Models∆. Journal of Econometrics 87, pp. 115-
143.
Davis, E. P. (1995): Banking, corporate finance dan
monetary policy: an empirical perspective, Oxford
Review of Economic Policy, 10, pp. 49-67
Deminguc-Kunt A. dan Maksimovic V. (1996): ≈Financial
constraints, uses of funds dan firm growth. An
international comparison∆, World Bank, Policy
Research Working Paper 1671.
Drobetz, Wolfgang dan Gabrielle Wanzenried (2002),
≈What determines the speed of adjustment to the
target capital structure?∆.
Fama, E dan French, K (2002), ≈Testing trade-off dan
pecking order prediction about dividends dan debt∆,
The Review of financial studies, vol. 15 (1), pp. 1-33.
Farrar, Donald dan Lee Selwyn (1967),∆Taxe, corporate
policy, dan return to investors.∆. National Tax Journal
20,pp. 444-54.
Friderichs, Hans, Bernard Paranque dan Annie Sauve»
(1999), ≈Structures of corporate finance in Germany
Daftar Pustaka
dan France:a comparative analysis for west German
dan French incorporated enterprises with special
reference to institutional factors∆.
Frydenberg,Stein (2004), ≈Theory of capital structure √ a
review∆. Sor-Trondelag University College,
Department of Business Administration, Jonsvannsun,
82,7004 Trondheim, Norway. http://www.ssrn.com/
abstract=556631.
Gibbard, P dan Stevens, I (2006), ≈Corporate debt dan
financial balance sheet adjustment: a comparison of
the United States, the United Kingdom, France dan
Germany∆, WP No. 317, Bank of Engldan.
Hovakimian, Harmen (2003), ≈Are Observed Capital
Structures Determined by Equity Market Timing?∆.
Baruch College, the City University of New York, One
Bernard Baruch Way, Box B 10-225, NY 10010.
Jaffe, D. M., 1971, Credit Rationing dan the Commercial
Loan Market, (Wiley, New York).
Jensen, M (1986). ≈Agency costs of free cash flow,
corporate finance dan takeovers∆, American
Economic Review, Vol. 76, pages 323-29.
Modigliani, F. dan M. H. Miller (1963). ≈The Cost of Capital,
Corporation Finance dan the Theory of Investment:
Corrections,∆ American Economic Review 53, 433-
443
Myers, Stewart C (1977). ≈The determinants of corporate
borrowing∆. Journal of Financial Economics, Vol. 5,
No. 2. pp. 147-175.
Myers dan Majluf, N (1984). ≈Corporate Financing dan
Investment Decision when Firms have information
that investors do not have∆. Journal of Financial
Economics, Vol.13, pp. 187-221.
95
Artikel II - Corporate Balance Sheet Modelling: Determinants of Indonesian Corporate Debt
Robichek, A. A. dan S. C. Myers, ≈Problems in the Theory
of Optimal Capital Structure ≈Journal of Financial dan
Quantitative Analysis 1,(12).pp. 1-35.
Ross, Westerfield dan Jaffe (2008), ≈Corporate Fianance∆.
McGraw Hill InternationalEdition.
Von Thadden, E. L. (1992): The commitment of finance,
duplicated monitoring dan the investment horizon,
Working Paper, Centre for Economic Policy Research,
London
Stiglitz, J. E., 1972, ≈On Some Aspects of the Pure Theory
of Corporate Finance, Bankruptcies dan Takeovers,∆
Bell Journal of Economics 3,458-82.
Shyam-Sunder, Laksmi dan Stewart C. Myers (1999),
≈Testing static trade-off against pecking order models
of capital structure. Journal of Financial Economics
51, pp. 219-244.
Titman, Sheridan dan Sergei Tsiplakov (2007),∆A dynamic
model of optimal capital structure∆. McCombs
Research Paper Series No. FIN-03-06. SSRN: http://
ssrn.com/abstract=332042 .
Warner, J. B., 1976, ≈Bankruptcy Costs, Absolute Priority
dan the Pricing of Risky Debt Claims, Journal of
Financial Economics, 4.
Welch, Ivo (2002): Columbus» Egg: The real determinant
of capital structure, Working Paper,8782, National
Bureau of Economics Research.
Welch, Ivo (2004): Capital structure dan stock returns.
Journal of Political Economy, Vol.112, No. 1. The
University of Chicago.
96
Artikel II - Corporate Balance Sheet Modelling: Determinants of Indonesian Corporate Debt
Halaman ini sengaja dikosongkan
PENGARAH
Halim Alamsyah Wimboh Santoso Suhaedi
KOORDINATOR & EDITOR
Agusman
TIM PENYUSUN
Ardiansyah, Linda Maulidina, Ratih A. Sekaryuni, Anto Prabowo, Tirta Segara, Wini
Purwanti, Endang Kurnia Saputra, Ita Rulina, Boyke Wibowo Suadi, Ida Rumondang,
Azka Subhan, Pipih Dewi Purusitawati, Noviati, Rosita Dewi, Erma Kusumawati,
Darmawan Tohap B, Sagita Rachmanira, Reska Prasetya, Elis Deriantino, Hero Wonida,
Mestika Widantri, Heny Sulistyaningsih, Primitiva Febriarti, Adidoyo Prakoso
KOMPILATOR, LAYOUT & PRODUKSI
Boyke Wibowo Suadi Primitiva Febriarti
KONTRIBUTOR
Direktorat Pengawasan Bank 1
Direktorat Pengawasan Bank 2
Direktorat Pengawasan Bank 3
Direktorat Perbankan Syariah
Direktorat Kredit, BPR dan UMKM
Direktorat Perizinan dan Informasi Perbankan
Direktorat Investigasi dan Mediasi Perbankan
Direktorat Akunting dan Sistem Pembayaran
Direktorat Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter
Diserktorat Pengelolaan Moneter
Direktorat Pengelolaan Devisa
PENGOLAHAN DATA
Suharso I Made Yogi
Kajian Stabilitas KeuanganNo. 12, Maret 2009