bank indonesia, kajian stabilitas keuangan no. 9, september 2007
DESCRIPTION
Kajian Stabilitas Keuangan (KSK) ini disusun sebagai bagian dari pelaksanaan tugas Bank Indonesia dalam mewujudkan misi ≈mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah melalui pemeliharaan kestabilan moneter dan stabilitas sistem keuangan dalam rangka mewujudkan pembangunan ekonomi jangka panjang yang berkesinambungan.TRANSCRIPT
No. 9, September 2007
KAJIANSTABILITAS KEUANGAN
DIREKTORAT PENELITIAN DAN PENGATURAN PERBANKAN
KA
JIAN
ST
AB
ILITA
S K
EU
AN
GA
N I - 2
00
7
Kajian Stabilitas Keuangan (KSK) ini disusun sebagai bagian dari pelaksanaan
tugas Bank Indonesia dalam mewujudkan misi ≈mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah
melalui pemeliharaan kestabilan moneter dan stabilitas sistem keuangan dalam rangka mewujudkan
pembangunan ekonomi jangka panjang yang berkesinambunganΔ.
Penerbit:
Bank Indonesia
Jl. MH Thamrin No.2, Jakarta
Indonesia
Informasi dan Order :
KSK ini terbit pada bulan September 2007 dan didasarkan pada data dan informasi per Juni 2007, kecuali dinyatakan lain.
Dokumen KSK lengkap dalam format pdf tersedia pada web site Bank Indonesia : http://www.bi.go.id
Permintaan, komentar dan saran harap ditujukan kepada :
Bank Indonesia
Direktorat Penelitian dan Pengaturan Perbankan
Biro Stabilitas Sistem Keuangan
Jl.MH Thamrin No.2, Jakarta, Indonesia
Telepon : (+62-21) 381 8902, 381 8336
Fax : (+62-21) 351 8629
Email : [email protected]
KSK diterbitkan secara semesteran dengan tujuan untuk :
• Meningkatkan wawasan publik dalam memahami stabilitas sistem keuangan
• Mengkaji risiko-risiko potensial terhadap stabilitas sistem keuangan
• Menganalisa perkembangan dan permasalahan dalam sistem keuangan
• Merekomendasi kebijakan untuk mendorong dan memelihara sistem keuangan yang stabil.
Kajian Stabilitas KeuanganI - 2007( No. 9, September 2007 )
ii
iii
Kata Pengantar vi
Gambaran Umum 3
Bab 1 Kondisi Makroekonomi dan Sektor Riil 9
Kondisi Makro Ekonomi 9
Kondisi Sektor Riil 12
Boks 1.1. Potensi Dampak Krisis Subprime Mortgage
AS terhadap Pasar Keuangan Domestik 16
Bab 2 Sektor Keuangan 21
Struktur Sektor Keuangan 21
Perbankan 22
Pendanaan dan Risiko Likuiditas 22
Perkembangan dan Risiko Kredit 25
Risiko Pasar 30
Profitabilitas dan Permodalan 32
Lembaga Keuangan Bukan Bank dan Pasar Modal 34
Perusahaan Pembiayaan 35
Pasar Modal 36
Boks 2.1. Kondisi Financial Deepening di Indonesia 42
Boks 2.2. Capital Inflows dan Sudden Reversal:
Siapkah Kita Menghadapi Krisis? 44
Daftar Isi
Bab 3 Prospek Sistem Keuangan Indonesia 49
Prospek Ekonomi dan Persepsi Risiko 49
Profil Risiko Perbankan: Tingkat dan Arah 50
Prospek Sistem Keuangan Indonesia 51
Potensi Kerawanan 53
Boks 3.1. Financial Stability Index dan Probability
of Default 54
Bab 4 Infrastruktur Keuangan dan Mitigasi
Risiko 59
Sistem Pembayaran 59
Kebijakan dan Mitigasi Risiko Dalam Sistem
Pembayaran 61
Jaring Pengaman Sektor Keuangan (JPSK) 63
Forum Stabilitas Sistem Keuangan (FSSK) 64
Artikel
Artikel 1 Dinamika Struktur Industri Perbankan, Risiko
Stratejik Bank Serta Implikasinya Terhadap
Stabilitas Sistem Keuangan 69
Artikel 2 Credit Risk Modelling:
Rating Transition Matrices 81
iv
Daftar Tabel dan Grafik
Tabel
1.1 Indikator Ekonomi Dunia (Volume) 9
2.1 Perkembangan Indeks Harga Beberapa Bursa
Regional 37
2.2 Perkembangan Indeks Harga Sektoral 37
2.3 Perkembangan Efisiensi Pasar Saham 38
3.1 Konsensus Proyeksi Beberapa Indikator Ekonomi 49
3.2 Persepsi Risiko Indonesia 49
3.3 Dampak Nilai Tukar terhadap Permodalan
Konglomerasi 52
4.1 Perkembangan Nilai dan Volume Setelmen
dalam Sistem BI-RTGS 59
4.2 Transaksi APMK 60
4.3 Struktur dan Keanggotaan FSSK 64
Tabel Boks :
2.1.1 Perkembangan Financial Deepening Indonesia 42
2.1.2 Perkembangan Financial Deepening Indonesia 42
2.1.3 Real Rates of Returns di Indonesia 43
1.1 Perkembangan Suku Bunga Dunia 9
1.2 Perkembangan PDB Indonesia 10
1.3 Ekspor Non Migas Indonesia 10
1.4 Impor Non Migas Indonesia 10
1.5 Indeks Harga Saham Gabungan 10
1.6 Tingkat Bunga Riil Indonesia dan AS 10
1.7 Pergerakan Mata Uang Utama Dunia 11
1.8 Perkembangan Nilai Tukar Rupiah 11
1.9 Perkembangan Harga Minyak Dunia 12
1.10 Harga Beberapa Komoditas Utama Dunia 12
1.11 Perkembangan Suku Bunga dan Inflasi 12
1.12 Perkembangan Kredit Konsumsi 13
1.13 Ekspektasi Konsumen 13
1.14 Kinerja Keuangan Perusahaan Swasta
Non Financial Go Public 13
1.15 NPL Kredit Modal Kerja dan Investasi 13
1.16 Pembiayaan dan Ekspansi Korporasi 14
1.17 Tingkat Pengangguran 14
1.18 Estimasi Output Gap 14
1.19 Perkembangan DER dan Debt/TA 15
1.20 Neto Transaksi Asing: Saham dan SUN 15
2.1 Aset Lembaga Keuangan 22
2.2 Struktur Pendanaan dan Penempatan Bank 22
2.3 Rasio Alat Likuid Perbankan 22
2.4 Suku Bunga Rata-rata PUAB O/N 23
2.5 Perkembangan DPK 23
2.6 Perkembangan DPK Berdasarkan Valuta 23
2.7 Perkembangan DPK Valas 23
2.8 Pertumbuhan Deposito 23
2.9 Struktur DPK 24
2.10 Perkembangan DPK terkait Penjaminan 24
2.11 Pertumbuhan Kredit 25
Grafik
v
2.12 Pangsa Aktiva Produktif 25
2.13 Pertumbuhan Jenis Penggunaan Kredit 26
2.14 Pertumbuhan Jenis Penggunaan Kredit 26
2.15 Kredit per Sektor Ekonomi 26
2.16 Non Performing Loan (NPL) 26
2.17 Perkembangan Nominal NPL 27
2.18 NPL Gross Per Kelompok Bank 27
2.19 NPL Gross Per Sektor Ekonomi 27
2.20 Pangsa NPL Menurut Sektor Ekonomi 27
2.21 Pangsa NPL Menurut Jenis Penggunaan Kredit 28
2.22 Perkembangan Nominal NPL Konsumsi 28
2.23 Perkembangan NPL Gross 28
2.24 Nominal NPL Korporasi dan UMKM 29
2.25 NPL Gross Kredit UMKM dan Korporasi 29
2.26 Perkembangan Kurs dan NPL Valas 29
2.27 Perkembangan NPL Gross Valas 29
2.28 Kredit, NPL dan PPAP 30
2.29 Perkembangan Suku Bunga dan Nilai Tukar 30
2.30 Suku Bunga Kredit Per Kelompok Bank 31
2.31 Maturity Profile Rupiah 31
2.32 Maturity Profile Valas 31
2.33 Perkembangan PDN (Overall) 32
2.34 SUN yang Dimiliki Perbankan 32
2.35 Perkembangan NII Perbankan 33
2.36 Perkembangan Laba dan Asset Perbankan 33
2.37 Komposisi Pendapatan Bunga Perbankan 33
2.38 ATMR, Modal dan CAR 34
2.39 Rasio Tier 1 terhadap ATMR, dan CAR 34
2.40 Kegiatan Usaha Perusahaan Pembiayaan 35
2.41 Perusahaan Pembiayaan 35
2.42 Sumber Dana Perusahaan Pembiayaan Swasta
Nasional 35
2.43 Sumber Dana Perusahaan Pembiayaan Patungan 35
2.44 Arus Kas Neto Perusahaan Pembiayaan 36
2.45 Capital Inflows pada SUN-SBI-Saham 36
2.46 Perkembangan Indeks Saham Bursa Regional 37
2.47 Perkembangan Indeks Sektoral 38
2.48 Transaksi Saham Investor Domestik-Asing 38
2.49 Nilai Kapitalisasi & Nilai Emisi 38
2.50 Perkembangan Harga SUN 39
2.51 Distribusi SUN Menurut Tenor 39
2.52 Kepemilikan SUN 39
2.53 Perkembangan Yield Tenor 20 Tahun 40
2.54 Perbandingan Volatilitas Harga Aset Keuangan 40
2.55 Emisi dan Posisi Obligasi Korporasi 40
2.56 Perkembangan Reksa Dana Per Jenis 41
3.1 Kurva Yield 50
3.2 Profil Risiko Industri Perbankan dan Arahnya 50
3.3 Financial Stability Index 51
3.4 Probability of Default Perusahaan Non Financial
Go Public 52
4.1 Aktivitas Transaksi Sistem Pembayaran
Semester I 2007 59
Grafik Boks :
1.1.1 Indeks Harga Rumah di Beberapa Negara 16
1.1.2 Delinquency Rate SPM 16
1.1.3 Foreclosure Rate SPM 17
2.2.1. NPL & CAR Sebelum dan Sesudah Krisis 45
2.2.2. Perkembangan Kredit Valas 45
3.1.1. Probability of Default √ Metode Barrier Option 55
3.1.2. Probability of Default √ Metode Option Biasa 55
vi
Dengan mengucapkan puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, kami menyambut gembira penerbitan Kajian
Stabilitas Keuangan (KSK) No.9 September 2007 ini. Kajian ini dinilai sangat penting dan tepat waktu mengingat pasar
keuangan global dewasa ini berkembang sangat dinamis dan cenderung terus bergejolak sehingga dampaknya terhadap
stabilitas keuangan domestik perlu dipahami secara baik. Kajian ini akan membantu untuk meningkatkan pemahaman
tentang betapa pentingnya memelihara stabilitas keuangan ditengah-tengah meningkatnya keterkaitan antara pasar
global dengan sektor keuangan domestik.
Sebagaimana halnya kajian-kajian sebelumnya maka kajian edisi ini akan menjelaskan perkembangan stabilitas
sistem keuangan Indonesia, sumber-sumber kerentanan dan risiko-risiko yang dihadapi, langkah-langkah mitigasi risiko,
serta prospek sistem keuangan ke depan. Di samping itu, kajian ini secara khusus akan menyoroti berbagai isu mutakhir
seperti krisis subprime mortgage dan kemungkinan terjadinya pembalikan arus modal (sudden reversal) yang dapat
memicu krisis seperti yang pernah terjadi tepat 10 tahun yang lalu. Masih dalam konteks menjaga stabilitas sistem
keuangan, kajian ini juga akan membahas pentingnya untuk segera memprioritaskan upaya-upaya peningkatan financial
deepening di Indonesia dewasa ini.
Dengan membahas isu-isu tersebut di atas, kajian ini diharapkan akan menjadi masukan berharga bagi para pelaku
bisnis pada sektor keuangan, pejabat-pejabat Pemerintah, akademisi dan pengamat ekonomi. Kajian ini diharapkan juga
dapat menggugah kepedulian semua pihak terkait agar bersama-sama secara proaktif memelihara stabilitas sistem
keuangan. Tanpa memiliki sistem keuangan yang stabil dan terjaga dengan baik, sulit bagi kita untuk meningkatkan
pertumbuhan ekonomi, mengurangi pengangguran dan mengatasi kemiskinan.
Akhirnya atas nama Dewan Gubernur, kami mengucapkan terima kasih dan penghargaan kepada Tim Penyusun
dan semua pihak yang telah memberikan bantuan baik secara langsung maupun tidak langsung dalam penulisan kajian
ini. Semoga hasil kerja keras ini dapat bermanfaat dalam menjaga stabilitas sistem keuangan yang berkelanjutan.
DEPUTI GUBERNUR
BANK INDONESIA
Muliaman D. Hadad Muliaman D. Hadad Muliaman D. Hadad Muliaman D. Hadad Muliaman D. Hadad
Kata Pengantar
1
Gambaran Umum
Gambaran Umum
2
Gambaran Umum
Halaman ini sengaja dikosongkan
3
Gambaran Umum
Stabilitas sistem keuangan Indonesia pada semester I 2007 tetap terpelihara
dengan prospek yang baik. Adanya kekhawatiran tentang sudden reversal
arus modal berjangka pendek, serta kemungkinan contagion effect dari krisis
subprime mortgage yang terjadi di beberapa negara lainnya akhir-akhir ini
ternyata tidak menimbulkan gangguan yang cukup berarti pada ketahanan
sistem keuangan Indonesia. Terpeliharanya stabilitas sistem keuangan tidak
terlepas dari dukungan stabilitas moneter dan membaiknya perekonomian
domestik, di samping karena masih tetap terkendalinya tekanan dari
perekonomian internasional. Secara keseluruhan, kondisi ini kondusif bagi
peningkatan kinerja sektor keuangan. Sebagai industri yang mendominasi
sektor keuangan, perbankan tetap likuid dengan kualitas aktiva produktif
yang relatif terjaga, profitabilitas yang tinggi dan permodalan yang kuat.
Namun, dengan adanya berbagai sumber instabilitas maka upaya antisipasi
dan langkah-langkah mitigasi risiko perlu terus menerus dilakukan.
Gambaran Umum
1. SUMBER-SUMBER INSTABILITAS
1.1. Gejolak lingkungan eksternal
Semakin terintegrasinya ekonomi domestik dengan
ekonomi dunia membuat Indonesia semakin rentan
terhadap berbagai gejolak pada lingkungan eksternal, baik
yang bersifat ekonomi dan non-ekonomi. Beberapa
pemicu gejolak adalah berlebihnya likuiditas dunia yang
mendorong peningkatan arus modal berjangka pendek,
masih adanya ketidakseimbangan global, dan
kecenderungan peningkatan harga minyak dunia. Gejolak
juga dapat muncul karena permasalahan yang melanda
sektor usaha tertentu pada suatu negara dapat menjalar
(contagion effect) ke negara-negara lain, sebagaimana
terlihat pada krisis subprime mortgage yang melanda
beberapa negara akhir-akhir ini.
1.2. Tingginya ketergantungan terhadap
perbankan
Perbankan masih mendominasi sektor keuangan
Indonesia. Hal ini menimbulkan tingginya ketergantungan
kepada perbankan sebagai sumber pembiayaan
pembangunan dan perekonomian. Ketergantungan yang
tinggi tersebut dapat mendatangkan kerawanan karena
gejolak yang melanda perbankan dapat dengan cepat
mengganggu stabilitas sistem keuangan. Oleh karena itu,
4
Gambaran Umum
setiap jenis risiko yang dapat membahayakan perbankan
harus dimitigasi secara tepat agar tidak berkembang
menjadi sumber instabilitas. Salah satu potensi instabilitas
yang perlu diwaspadai adalah kemungkinan peningkatan
risiko kredit karena belum tuntasnya penyelesaian
restrukturisasi kredit, penerapan manajemen risiko kredit
yang masih memerlukan perbaikan dan masih adanya
kelemahan dalam sistem informasi manajemen kredit
perbankan.
1.3. Kendala-kendala di sektor riil
Sektor riil masih menghadapi beberapa kendala,
antara lain permasalahan ketenagakerjaan dan
keterbatasan infrastruktur. Selain itu, beban usaha juga
masih tinggi sehingga cenderung menghambat
pengembangan usaha. Apabila berlangsung terus
menerus, hal ini dapat menimbulkan instabilitas jika banyak
korporasi yang menutup bisnisnya atau pindah usaha ke
negara lain. Akibatnya, perbankan mengalami ekses
likuiditas sejalan dengan terbatasnya permintaan kredit
oleh korporasi dan menjadi kurang optimal dalam
menjalankan fungsi intermediasi. Oleh karena itu,
penyelesaian berbagai kendala di sektor riil sangat
dibutuhkan untuk mendukung tercapainya stabilitas sistem
keuangan.
1.4. Terkonsentrasinya kredit pada pembiayaan
konsumen
Sumber instabilitas penting lainnya adalah semakin
terkonsentrasinya kredit perbankan pada pembiayaan
konsumen. Hal ini antara lain terlihat dari peningkatan
pinjaman untuk kartu kredit, kenderaan bermotor dan
perumahan. Kerawanan dapat muncul apabila pendapatan
sektor rumah tangga (household income) tidak cukup
memadai untuk membayar kewajiban kepada bank
sehingga dapat meningkatkan risiko kredit.
2. MITIGASI RISIKO
Untuk memperkecil peluang terjadinya instabilitas
dan tingginya risiko yang dihadapi oleh sektor keuangan
Indonesia, maka dilakukan langkah-langkah sebagai
berikut:
2.1. Memperkuat Manajemen Risiko Perbankan
Manajemen risiko perbankan perlu diperkuat karena
kegiatan bisnis perbankan semakin kompleks dan dinamis
sejalan dengan kemajuan teknologi informasi dan
meningkatnya persaingan usaha. Program sertifikasi
manajemen risiko yang saat ini sedang terus berlangsung
dan implementasi Basel II mulai 2008 diharapkan dapat
meningkatkan kualitas manajemen risiko perbankan.
Sejalan dengan itu, sistem informasi manajemen kredit
perbankan perlu terus dibenahi agar dapat meningkatkan
efektivitas manajemen risiko. Sementara itu, dari sisi
pengawasan bank, pendekatan risk-based supervision
terus dikembangkan yang didukung oleh peningkatan
kemampuan pengawasan melalui program sertifikasi
tenaga pengawas bank.
2.2. Memperkuat Infrastruktur Keuangan
Penguatan infrastruktur keuangan dapat dilakukan
melalui dua cara. Pertama, melalui pengembangan sistem
pembayaran yang handal dan aman oleh Bank Indonesia.
Kedua, melalui penguatan jaring pengaman sektor
keuangan (JPSK) dan manajemen krisis berdasarkan kerja
sama antara Bank Indonesia dan Pemerintah. Dengan
memiliki infrastruktur keuangan yang lebih kuat, maka
risiko instabilitas pada sektor keuangan dapat diperkecil.
2.3. Meningkatkan Efektivitas Pemantauan
terhadap Sistem Keuangan
Mitigasi risiko pada sektor keuangan hanya akan
efektif apabila dilakukan pemantauan (surveillance) yang
5
Gambaran Umum
terus menerus terhadap perkembangan sistem keuangan.
Sehubungan dengan itu, efektivitas pemantauan terus
ditingkatkan melalui pengembangan berbagai metodologi
dan stress test untuk mengukur risiko dan ketahanan
sistem keuangan. Diskusi dengan pelaku pasar dan tukar
pendapat dengan para akademisi terus dilakukan untuk
mempertajam analisis tentang potensi instabilitas dalam
sektor keuangan.
2.4. Meningkatkan Financial Deepening
Untuk mengurangi kerawanan yang ditimbulkan
oleh tingginya ketergantungan terhadap industri
perbankan, maka peningkatan financial deepening
(pendalaman keuangan) perlu segera dilakukan.
Peningkatan financial deepening akan mendorong
pertumbuhan kegiatan usaha keuangan non-bank,
memperbanyak alternatif instrumen keuangan, serta
meningkatkan akses masyarakat miskin dan terkebelakang
terhadap produk dan jasa keuangan.
3. PROSPEK STABILITAS SISTEM KEUANGAN
Secara keseluruhan, risiko sistem keuangan pada
semester I 2007 relatif terkendali dengan arah yang stabil
sejalan dengan stabilitas moneter dan perbaikan kondisi
perekonomian. Adanya kekhawatiran tentang sudden
reversal arus modal berjangka pendek, serta kemungkinan
contagion effect dari krisis subprime mortgage yang terjadi
di beberapa negara lainnya akhir-akhir ini ternyata tidak
menimbulkan gangguan yang cukup berarti pada
ketahanan sistem keuangan Indonesia. Ke depan, faktor
eksternal yang berpotensi mempengaruhi ketahanan
sistem keuangan Indonesia meliputi pertumbuhan
ekonomi dunia yang melambat, potensi lonjakan harga
minyak dunia, dan arus modal masuk berjangka pendek.
Selain itu, efektivitas langkah-langkah penyelesaian krisis
subprime mortgage yang dilakukan oleh otoritas moneter
dan perbankan negara-negara terkait juga dapat
berpengaruh terhadap stabilitas sistem keuangan
Indonesia.
Dari sisi internal, diperlukan kewaspadaan terhadap
dampak persiapan menjelang Pemilu terhadap aktivitas
bisnis dan perkembangan risiko pada sektor keuangan,
terutama karena kondisi keamanan yang tidak kondusif
dapat memicu terjadinya capital outflows. Kewaspadaan
juga diperlukan karena ke depan, perbankan sebagai
industri yang mendominasi sektor keuangan, akan
menghadapi berbagai tantangan yang tidak ringan, antara
lain penyelesaian restrukturisasi kredit, perbaikan
manajemen risiko dan sistem informasi kredit, sinkronisasi
antara upaya peningkatan fungsi intermediasi dengan
upaya penurunan risiko kredit, pengembangan rencana
kontinjensi untuk mengurangi risiko operasional,
peningkatan efektivitas pengendalian internal dan tata
kelola usaha, dan pemenuhan ketentuan modal inti
minimum bank sebesar Rp80 milyar pada akhir tahun 2007
dan sebesar Rp100 milyar pada akhir tahun 2010.
Sementara itu, hasil stress test yang dilakukan untuk
mengukur risiko kredit, risiko likuiditas dan risiko pasar
menunjukkan bahwa perbankan memiliki ketahanan yang
memadai terhadap berbagai guncangan akibat perubahan
variabel makroekonomi. Selanjutnya, hasil stress test
sederhana terhadap beberapa konglomerasi/korporasi
besar yang mendapatkan pinjaman dalam valuta asing
mengindikasikan bahwa mereka relatif cukup tahan
terhadap gejolak risiko nilai tukar. Meskipun hasil estimasi
menunjukkan bahwa jumlah perusahaan non financial go
public yang memiliki probability of default (PD) lebih dari
0,5 akan mengalami sedikit peningkatan, namun
pembentukan cadangan dan kuatnya permodalan bank
diperkirakan dapat mencegah hal tersebut menjadi sumber
instabilitas. Secara keseluruhan prospek sektor keuangan
ke depan akan tetap stabil dan cukup terkendali.
6
Gambaran Umum
Halaman ini sengaja dikosongkan
7
Bab 1 Kondisi Makroekonomi dan Sektor Riil
Bab 1Kondisi Makroekonomi
8
Bab 1 Kondisi Makroekonomi dan Sektor Riil
Halaman ini sengaja dikosongkan
9
Bab 1 Kondisi Makroekonomi dan Sektor Riil
1.1. KONDISI MAKRO EKONOMI
Selama semester I 2007 perekonomian global
dihadapkan pada tekanan perlambatan pertumbuhan
ekonomi, serta permasalahan kredit macet sektor properti
(subprime mortgage) dalam beberapa waktu terakhir.
Dalam upaya pemulihan pertumbuhan ekonomi Amerika
Serikat (AS), terutama untuk mengatasi kekhawatiran
masih akan tingginya inflasi, The Fed antara lain mengambil
keputusan untuk menunda rencana kenaikan Fedfund rate
dan mempertahankan pada level 5,25%.1 Hal ini sangat
mempengaruhi perkembangan pasar keuangan global
karena Fedfund rate sebelumnya diekspektasikan akan
turun.
Seiring dengan berlangsungnya proses pemulihan
ekonomi AS, perekonomian global mengindikasikan proses
penyesuaian ketidakseimbangan menuju skenario soft
landing sebagai dampak dari peningkatan fleksibilitas
sistem nilai tukar di Asia, peningkatan pengeluaran oleh
negara-negara penghasil minyak, serta reformasi struktural
di Eropa dan Jepang. Upaya koreksi ketidakseimbangan
Selama Semester I 2007 ekspansi ekonomi berlanjut dengan stabilitas
makroekonomi yang tetap terjaga. Tekanan vulnerabilitas sektor eksternal
belum berdampak signifikan terhadap stabilitas ekonomi domestik.
Sementara itu, turunnya tingkat bunga domestik secara perlahan mulai
memicu pergerakan di sektor riil. Namun, masih adanya berbagai kendala
usaha di lapangan serta permasalahan pembiayaan menyebabkan sektor riil
belum bertumbuh optimal.
Kondisi Makroekonomi dan Sektor RiilBab 1
Grafik 1.1Perkembangan Suku Bunga Dunia
Persen
0
1,0
2,0
3,0
4,0
5,0
6,0
7,0
20072004 2005 2006200320022001
SIBOR LIBOR
ECB FFR
Jun Des Jun Des Jun Des Jun Des Jun Des Jun Des Jun
World Output 4,9 5,5 5,2 5,2Advanced Economies 2,6 3,1 2,6 2,8United States 3,2 3,3 2,0 2,8Emerging & Developing Countries 7,5 8,1 8,0 7,6
Consumer PriceAdvanced Economies 2,3 2,3 2,0 2,1Emerging & Developing Countries 5,4 5,3 5,7 5,0LIBORUS Dollar Deposit 3,8 5,3 5,4 5,3Euro Deposit 2,2 3,1 3,8 3,7Yen Deposit 0,1 0,4 0,8 1,2
Oil Price (USD) - rata-rata 41,3 20,5 (0,8) 7,8
Tabel 1.1Indikator Ekonomi Dunia (Volume)
Kategori 2005 2006
%%%%%Proyeksi
2007 2008
Sumber: World Economic Outlook - IMF Juli 2007
1 Perkembangan terakhir, pada tanggal 18 September 2007, The Fed menurunkan Fedfundrate 50 basis points (bps) sehingga menjadi 4,75%.
10
Bab 1 Kondisi Makroekonomi dan Sektor Riil
global tersebut mendorong berlanjutnya ekspansi ekonomi
di negara-negara berkembang termasuk Indonesia.
Peningkatan ekspansi ekonomi Indonesia dapat
diamati dari kondisi perekonomian Indonesia yang selama
semester I 2007 tumbuh semakin kuat dengan laju inflasi
yang terkendali. Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada
Triwulan I 2007 mencapai 6,0% (y-o-y) dan kemudian
meningkat menjadi 6,1% (y-o-y) pada Triwulan II 2007.
Pertumbuhan ini lebih tinggi dibandingkan dengan
triwulan yang sama tahun sebelumnya yang hanya sebesar
5,0% (y-o-y). Akselerasi pertumbuhan ekonomi selama
Triwulan II 2007 terutama didukung oleh peningkatan
konsumsi swasta dan ekspor, terutama ekspor dari sektor
manufaktur, seiring membaiknya daya beli masyarakat dan
masih tingginya permintaan dunia. Neraca transaksi
berjalan diperkirakan surplus USD1,2 miliar yang
Grafik 1.2Perkembangan PDB Indonesia
Persen
2,00
4,00
6,00
8,00
-
4,12
5,22
4,39
5,87
6,30
4,96
T-I T-II T-III T-IV T-I T-II T-III T-IV T-I T-II T-III T-IV T-I T-II T-III T-IV T-I T-II T-III T-IV T-I T-II
2002 2003 2004 2005 2006 2007
Grafik 1.4Impor Non Migas Indonesia
Juta USD
Agriculture, Hunting and Fishing Mining and Quarrying
Manufacturing Total
0
1.000
2.000
3.000
4.000
5.000
6.000
7.000
8.000
2006 2007Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun
menopang surplus Neraca Pembayaran Indonesia (NPI)
sebesar USD3,7 miliar. Dengan perkembangan ini, pada
akhir Juni 2007 cadangan devisa meningkat menjadi
sebesar USD50,9 miliar.
Sementara itu, kondisi ekonomi AS yang belum stabil
dan diikuti keputusan menahan rencana kenaikan tingkat
bunga The Fed, mendorong terjadinya pengalihan investasi
Grafik 1.5Indeks Harga Saham Gabungan
0
500
1.000
1.500
2.000
2.500
2003 20072004 2005 2006Jun Des Jun Des Jun Des Jun Des Jun
Grafik 1.3Ekspor Non Migas Indonesia
Agriculture, Hunting and Fishing Mining and Quarrying
Manufacturing Total
Juta USD
0
1.000
2.000
3.000
4.000
5.000
6.000
7.000
8.000
9.000
2006 2007Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Aug Sep Okt Nov Des Feb Mar Apr Mei JunJan
Grafik 1.6Tingkat Bunga Riil Indonesia dan AS
Persen
2003 20072004 2005 2006
(8.00)
(6.00)
(4.00)
(2.00)
-
2.00
4.00
6.00
Indonesia AS
Jun Des Jun Des Jun Des Jun Des Jun
11
Bab 1 Kondisi Makroekonomi dan Sektor Riil
ke emerging market yang pertumbuhan ekonominya
cenderung membaik dan menawarkan imbal hasil lebih
tinggi. Derasnya aliran dana asing tersebut antara lain
dapat diamati dari indeks harga di pasar modal domestik,
regional dan internasional yang meningkat cukup
signifikan. Pada semester I 2007 pasar saham regional Asia
Tenggara mengalami bullish yang lebih tajam dibandingkan
semester sebelumnya.
Surplus dana pada beberapa negara di dunia
mendorong semakin berkembangnya aktivitas hedge fund
dengan volume yang semakin membesar. Sementara itu,
tingkat bunga Jepang yang sangat rendah mendorong aksi
carry trade oleh para pelaku pasar global. Mereka
memanfaatkan sumber dana murah di Jepang untuk
kemudian ditanamkan ke dalam mata uang lain yang
menawarkan imbal hasil tinggi untuk mendapatkan spread
keuntungan yang memuaskan. Penanaman dana tersebut
umumnya dilakukan untuk jangka waktu pendek sehingga
mengakibatkan tetap tingginya volatilitas harga di pasar
keuangan global maupun regional termasuk Indonesia.
Terjadinya peningkatan capital inflows tersebut
memberikan dampak positif terhadap nilai tukar mata
uang emerging market termasuk Indonesia. Sebaliknya,
mata uang Jepang cenderung melemah akibat aksi carry
trade. Pada Mei 2007, nilai tukar rupiah terhadap dollar
AS bahkan sempat menguat signifikan ke posisi Rp8.670.-
Namun demikian, dalam beberapa waktu terakhir
khususnya sejak akhir Juli 2007, nilai tukar beberapa mata
uang regional Asia termasuk Indonesia sedikit berfluktuasi
dengan kecenderungan melemah meskipun masih dalam
dalam batas yang terkendali. Pelemahan nilai tukar rupiah
tersebut dipengaruhi oleh perkembangan yang kurang
menguntungkan dalam pasar keuangan global dan
regional yang berimbas kepada penurunan pasar keuangan
domestik. Kejatuhan pasar surat utang subprime mortgage
di AS yang berasal dari kemacetan subprime loans menjadi
sentimen negatif yang memicu investor asing untuk
mengurangi portofolio instrumen keuangan berisiko tinggi
di emerging market termasuk Indonesia dan berpindah
ke aset-aset berdenominasi dollar AS (lihat Boks 1.1.).
Perilaku tersebut mendorong terjadinya capital outflows
yang berkontribusi kepada pelemahan nilai tukar rupiah
terhadap dollar AS. Selain itu, faktor kenaikan harga
minyak dunia juga ikut mendorong pelemahan nilai tukar
rupiah.
Meskipun demikian, fundamental ekonomi Indonesia
yang cukup baik antara lain tercermin dari naiknya surplus
kinerja NPI, meningkatnya jumlah cadangan devisa, eksposur
risiko nilai tukar dalam sistem perbankan yang terjaga,
pertumbuhan ekonomi yang membaik dan ketahanan fiskal
pemerintah serta terjadinya perbaikan debt rating outlook
Grafik 1.7Pergerakan Mata Uang Utama Dunia
96
98
100
102
104
106
108
110
Jan Feb Mar Apr Mei Jun
SGD THBPHP KRWEUR JPYIDR
Grafik 1.8Perkembangan Nilai Tukar Rupiah
Rp/USD
- Badai Katrina di New Orleans, Louisiana (29 Agt 2005)- Harga Minyak Dunia USD69,81 per barrel (30 Agt 2005)
Berlakunya harga BBMbaru & Bom Bali II 1 Okt 2005
FFR 5% (10 Mei 2006)BI-rate 12,50% (9 Mei 2006)
2005Jan Apr Jul Ags DesOkt Feb Mei Mar Jun
2006 2007
7.000
7.500
8.000
8.500
9.000
9.500
10.000
10.500
11.000
11.500
12.000
12
Bab 1 Kondisi Makroekonomi dan Sektor Riil
Indonesia dari stabil menjadi positif oleh lembaga
pemeringkat internasional (Fitch Rating dan Moody»s) pada
awal semester I 2007 bersama-sama dengan penurunan
premi swap dan stabilnya yield spread menunjukkan
terjaganya faktor risiko dalam negeri. Secara keseluruhan,
hal ini memberikan sentimen positif terhadap Indonesia
sehingga meskipun terdapat peningkatan tekanan volatilitas
pasar keuangan global, perekonomian dan sektor keuangan
domestik masih tetap terjaga dengan baik.
Ke depan, tekanan risiko pasar terutama yang berasal
dari volatilitas pasar saham global dan regional diperkirakan
masih cukup besar. Selain itu, potensi kembali terjadinya
lonjakan harga minyak dunia, serta potensi tekanan inflasi
akibat kenaikan harga komoditas dunia juga masih terbuka
lebar. Hal-hal ini perlu diwaspadai agar tidak menimbulkan
tekanan terhadap stabilitas sistem keuangan.
1.2. KONDISI SEKTOR RIIL
Membaiknya berbagai indikator makroekonomi
memberi keyakinan akan tercapainya sasaran inflasi ke
depan sehingga membuka ruang untuk dilakukannya
penurunan BI-Rate hingga ke level 8,25% sampai dengan
akhir semester I 2007. Penurunan BI-Rate tersebut sesuai
dengan ekspektasi pelaku pasar sehingga memberikan
sentimen positif terhadap pergerakan nilai tukar rupiah.
Di tengah-tengah pergerakan nilai tukar rupiah yang relatif
stabil dengan kecenderungan menguat, penurunan BI-Rate
mulai diikuti oleh suku bunga domestik lainnya, terutama
suku bunga deposito 1 bulan yang pada akhir Juni 2007
berada pada level 7,46% atau turun 150 bps dibandingkan
posisi akhir Desember 2006. Sementara itu, pada periode
yang sama, suku bunga kredit modal kerja, investasi dan
konsumsi turun lebih lambat, masing-masing sebesar 119
bps, 111 bps dan 67 bps sehingga menjadi sebesar
13,88%, 13,99% dan 16,91%.
Meskipun penurunan BI-Rate masih ditransmisikan
secara terbatas terhadap suku bunga kredit tetapi trend
penurunan suku bunga serta membaiknya berbagai
indikator makroekonomi mulai menumbuhkan keyakinan
konsumen (demand) dan meningkatkan optimisme
produsen (supply) terhadap perbaikan perekonomian.
Dari sisi demand, meskipun terbatas, konsumsi
swasta menunjukkan trend yang meningkat dan berada
Grafik 1.9Perkembangan Harga Minyak Dunia
USD/ barrel
20,00
30,00
40,00
50,00
60,00
70,00
80,00
2003 20072004 2005 2006
Future 6 bln
WTI Spot Price
Future 3 bln
Jun Des Jun Des Jun Des Jun Des Jun
Grafik 1.10Harga Beberapa Komoditas Utama Dunia
USD
0
50
100
150
200
250
300
20072004 2005 20062003
Kayu Lapis
Minyak Sawit
Beras
Jun Des Jun Des Jun Des Jun Des Jun
Grafik 1.11Perkembangan Suku Bunga dan Inflasi
2003 20072004 2005 2006
Deposito 1 Bulan
Suku Bunga Kredit Modal Kerja
Suku Bunga Kredit Investasi
Suku Bunga Kredit Konsumsi Inflasi
0
5
10
15
20
25Persen
BI-Rate
SBI 1 bln
Jun Des Jun Des Jun Des Jun Des Jun
13
Bab 1 Kondisi Makroekonomi dan Sektor Riil
pada fase ekspansi. Selain sebagai akibat dari penurunan
suku bunga, peningkatan konsumsi swasta juga didukung
oleh peningkatan daya beli masyarakat. Kondisi ini antara
lain ditunjukkan oleh meningkatnya pertumbuhan kredit
konsumsi setelah mengalami tekanan berat akibat
kenaikan harga BBM pada Oktober 2005. Selain itu,
beberapa indikator ekonomi juga mengindikasikan adanya
peningkatan konsumsi swasta seiring mulai meningkatnya
ekspektasi terhadap penghasilan, ekonomi dan
ketersediaan lapangan kerja.
Sementara dari sisi supply, sejalan dengan kondisi
makroekonomi yang cukup mendukung, kinerja keuangan
perusahaan non financial go public tahun 2006 terlihat
relatif membaik dibandingkan tahun sebelumnya. Hal ini
antara lain ditandai oleh kenaikan rentabilitas usaha (ROE)
dengan leverage yang terjaga.
Membaiknya kinerja korporasi menimbulkan
dampak positif terhadap sektor keuangan karena dapat
mendorong meningkatnya kemampuan pembayaran
kembali kredit. Sejalan dengan hal tersebut, persentase
dan nominal Non Performing Loans (NPL) kredit modal
kerja dan kredit investasi cenderung menurun pada
semester I 2007.
Grafik 1.13Ekspektasi Konsumen
0
20
40
60
80
100
120
140
160
180
2003 20072004 2005 2006
PenghasilanEkonomiKetersediaan Lapangan Kerja
Jun Des Jun Des Jun Des Jun Des Mei
Grafik 1.12Perkembangan Kredit Konsumsi
Persen
KK growth (kiri)
NPL (kanan)
7
12
17
22
27
32
37
42
47
52
0,00
1,00
2,00
3,00
4,00
5,00
6,00
7,00
8,00
9,00
20072004 2005 2006
Persen
Jun Des Jun Des Jun Des Mei
Current Ratio 1,27 1,21
ROA (Return on Assets) 0,06 0,06
ROE (Return on Equity) 0,15 0,17
ITO (Inventory Turn Over) 0,18 0,16
Sales to Total Asset 0,87 0,78
DER (Debt Equity Ratio) 1,53 1,52
Grafik 1.14Kinerja Keuangan Perusahaan Swasta
Non Financial Go Public
Current Ratio
ROA
ROE
I T O
Sales toTotal Asset
DER
2005
2006
-
5,0
10,0
15,0
20,0
Keterangan:Semakin mendekati titik tengah risiko semakin kecil
2005
PersenPersenPersenPersenPersen
2006
Grafik 1.15NPL Kredit Modal Kerja dan Investasi
Persen
0
2
4
6
8
10
12
14
16
18
2003 2004 2005 2006 2007
Kredit Investasi
Kredit Modal Kerja
Jun Des Jun Des Jun Des Jun Des Jun
14
Bab 1 Kondisi Makroekonomi dan Sektor Riil
Namun demikian, peningkatan kinerja sektor korporasi
tersebut belum diiringi oleh peningkatan ekspansi usaha
yang memadai. Secara umum, korporasi masih menghadapi
berbagai hambatan dalam pengembangan usahanya, antara
lain permasalahan ketenagakerjaan dan keterbatasan
infrastruktur. Sementara itu, belum terselesaikannya masalah
beban usaha yang masih tinggi mendorong korporasi untuk
cenderung menggunakan sumber dana internal
dibandingkan dengan sumber dana eksternal berupa kredit
perbankan untuk membiayai pengembangan usaha. Hal ini
juga menjelaskan mengapa penyaluran kredit oleh
perbankan masih belum sesuai harapan.
Grafik 1.16Pembiayaan dan Ekspansi Korporasi
-0,5
0,0
0,5
1,0
1,5
2,0
0,0
0,1
0,2
0,3
0,4
0,5
0,6
1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006
Pertumbuhan Sales (kiri)Pertumbuhan Aset Korporasi Tbk (kiri)
Pembiayaan dengan Modal Sendiri (kanan)
Grafik 1.18Estimasi Output Gap
1996
Periode output gapmenyempit menuju titik nol
Akselerasioutput gap
menuju titk nolmelambat
Output GapAccelerated Output Gap
0,1
0,05
0
-0,05
-0,1
-0,10
-0,5
-0,0
-0,01
1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008T- I I T- IV T- I I T- IV T- I I T- IV T- I I T- IV T- I I T- IV T- I I T- IV T- I I T- IV T- I I T- IV T- I I T- IV T- I I T- IV T- I I T- IV T- I I T- IV T- I I T- IV
Kecenderungan pembiayaan korporasi dengan
sumber dana internal juga dapat diamati dari relatif
tingginya rasio modal sendiri terhadap total aset pada
perusahaan yang go public. Pada satu sisi, kecenderungan
tersebut menggambarkan semakin membaiknya kondisi
keuangan korporasi karena sudah tidak lagi tergantung
pada pembiayaan dari hutang. Namun pada sisi lain,
kecenderungan tersebut berpotensi menghambat
korporasi untuk dapat melakukan ekspansi secara penuh
mengingat terbatasnya sumber dana internal. Apabila
kondisi ini terus berlanjut maka ketersediaan lapangan
pekerjaan baru akan menjadi semakin terbatas dan
menyulitkan upaya penurunan tingkat pengangguran yang
saat ini masih tergolong sangat tinggi.
Di samping itu, meskipun terdapat trend penurunan
suku bunga, alokasi kredit yang disediakan bank belum
dimanfaatkan oleh para pelaku usaha secara maksimal.
Terdapat indikasi bahwa pelaku usaha masih menunggu
implementasi paket perbaikan iklim investasi pasca
pengesahan Rancangan Undang-Undang Penanaman
Modal (RUU-PM) dan implementasi proyek percepatan
pembangunan infrastruktur. Akibatnya, meskipun kondisi
perekonomian Indonesia membaik, namun sebenarnya
bertumbuh di bawah tingkat potensialnya.
Sementara itu, aliran dana dari luar negeri (capital
inflows) yang banyak masuk ke Indonesia pada semester I
2007 belum memberikan dampak positif yang signifikan
terhadap pembiayaan sektor riil, khususnya sektor
korporasi. Ditengah-tengah derasnya aliran dana masuk
Grafik 1.17Tingkat Pengangguran
Persen
0
2
4
6
8
10
12
Feb Ags Feb2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007
Sumber : BPS
15
Bab 1 Kondisi Makroekonomi dan Sektor Riil
ke Indonesia, rasio hutang terhadap modal (debt-to-equity
ratio) perusahaan-perusahaan non financial go public
malah cenderung menurun. Hal ini menunjukkan bahwa
aliran dana yang masuk belum terserap ke sektor korporasi,
khususnya yang telah go public. Aliran dana tersebut lebih
bersifat jangka pendek dan hanya berputar di sekitar
instrumen keuangan seperti saham dan Surat Utang
Negara (SUN).
Ke depan, agar perekonomian dapat bergerak lebih
dinamis diperlukan dukungan dari berbagai pihak untuk
mengatasi kendala-kendala yang ada di sektor riil. Dengan
demikian, membaiknya indikator makroekonomi akan
benar-benar diikuti oleh membaiknya perkembangan di
sektor riil sehingga akan meningkatkan ketahanan
perekonomian dan sektor keuangan domestik terhadap
vulnerabilitas sektor eksternal.
Grafik 1.19Perkembangan DER dan Debt/TA
Persen
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
-
1
2
3
4
5
6
7
8
9
2003 2004 2005 2006
TL/TA (kiri)
DER (kanan)
Grafik 1.20Neto Transaksi Asing: Saham dan SUN
8200
8400
8600
8800
9000
9200
9400
9600
9800
10000
-4,00
-2,00
0,00
2,00
4,00
6,00
8,00
10,00
2005 2006Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des
Triliun Rp Rp/U$$
Net Saham Net SUN Nilai Tukar
16
Bab 1 Kondisi Makroekonomi dan Sektor Riil
Potensi Dampak Krisis Subprime Mortgage AS terhadapPasar Keuangan Domestik
Boks 1.1
Sub-prime mortgage loans (SPM) merupakan jenis
kredit yang diberikan lembaga keuangan dalam rangka
pembiayaan perumahan yang tidak memenuhi
persyaratan pengajuan standar yang berlaku umum,
atau berisiko tinggi. Skim yang digunakan dapat berupa
Fixed Rate Mortgage (FRM) atau Adjustable Rate
Mortgage (ARM). Namun, sebagian besar SPM
merupakan ARM, yaitu mortgage loans yang suku
bunganya dapat disesuaikan setelah periode tertentu
sesuai dengan perubahan tingkat risiko di pasar.
SPM tumbuh pesat (booming) di AS sejak 2003.
Sejalan dengan pesatnya perkembangan sektor
perumahan di AS waktu itu, permintaan terhadap SPM
meningkat tajam. Lembaga keuangan memanfaatkan
peluang bisnis ini dan kemudian mengembangkan
sekuritisasi terhadap SPM. Maraknya sekuritisasi telah
mendukung perkembangan pasar sekunder SPM, baik
di negara-negara maju maupun di emerging countries
seperti Amerika Latin, Eropa Timur, dan Asia (tidak
termasuk Indonesia). Selain itu, berbagai instrumen
derivatif berbasis SPM juga semakin diminati investor.
Pesatnya perkembangan pasar sekunder SPM
mendorong kenaikan permintaan SPM oleh para
debitur yang umumnya merupakan investor properti
yang membeli rumah untuk dijual kembali dengan
harapan memperoleh keuntungan dari meningkatnya
harga rumah. Terus berlanjutnya kenaikan harga
properti di AS saat itu mampu mengubah persepsi dari
kreditur tentang risiko kredit dari SPM. Kreditur
cenderung meyakini bahwa risiko kredit dari SPM relatif
rendah karena tingginya ekspektasi tentang
peningkatan nilai rumah untuk mengcover pinjaman.
Namun, mulai pertengahan 2006, pasar properti
AS mulai jenuh yang diikuti dengan turunnya harga
properti. Keadaan menjadi semakin kurang
menguntungkan karena tekanan perlambatan ekonomi
AS berdampak pada menurunnya kemampuan
membayar debitur SPM sehingga menimbulkan kredit
macet. Negara-negara lain yang juga menjalankan
bisnis SPM, mengalami pengalaman yang sama
dengan AS.
Pada sisi lain, lesunya pasar properti telah
mengubah ekspektasi dan persepsi terhadap risiko dari
kreditur SPM. Untuk mengantisipasi risiko yang lebih
besar, mereka melakukan penyesuaian suku bunga
SPM dan menetapkan marjin yang jauh lebih tinggi.
Hal ini justru semakin mempersulit debitur SPM untuk
melunasi hutangnya sehingga mendorong
peningkatan delinquency rate ARM dari 14,5%
(Desember 2006) menjadi 16% (Maret 2007),
meskipun delinquency rate FRM relatif tetap 10%.
Grafik Boks 1.1.1Indeks Harga Rumah di Beberapa Negara
-40,0
-30,0
-20,0
-10,0
0,0
10,0
20,0
30,0
40,0
US UK Australia S Korea HK Thailand
T-IV T-I I I T- I I T- I T- IV T-I I I T- I I T- I T- IV T-I I I T- I I T- I T- IV T-I I I T- I I T- I T- IV T-I I I T- I I T- I
92 93 94 95 96 97 98 99 00 01 02 03 04 05 06 07
%
Grafik Boks 1.1.2Delinquency Rate SPM
0
2
4
6
8
10
12
14
16
18Total Sub-Prime FRM ARM
2002 2003 2004 2005 2006 2007
Persen
T - I T - III T - I T - III T - I T - III T - I T - III T - I T - III T - I
17
Bab 1 Kondisi Makroekonomi dan Sektor Riil
Memburuknya kinerja SPM juga tercermin pada
meningkatnya foreclosure rate baik untuk SPM yang
menunggak s.d. 90 hari (Starting Delinquency),
maupun untuk SPM yang menunggak lebih dari 90
hari (Serious Delinquency). Foreclosure rate untuk
Starting Delinquency dan Serious Delinquency masing-
masing meningkat dari 2,0% dan 7,8% (Desember
2006) menjadi 2,4% dan 8,3% (Maret 2007).
Grafik Boks 1.1.3Foreclosure Rate SPM
Penurunan kualitas kredit SPM ternyata
berdampak luas dengan kerugian terbesar terutama
dialami oleh para investor di pasar sekunder yang
melakukan penanaman pada sekuritas berbasis SPM
maupun derivatif-nya. Peningkatan delinquency rate
dan foreclosure rate SPM menjadi sentimen negatif
yang mendorong investor untuk melakukan
redemption secara besar-besaran dan bersamaan.
Akibatnya, sejumlah hedge funds melakukan
likuidasi sehingga memicu peningkatan kebutuhan
likuiditas di pasar global.
Di emerging markets, dengan relatif
rendahnya eksposur penanaman lembaga
keuangan pada instrumen berbasis SPM,
diperkirakan dampak kerugian relatif lebih kecil dan
tidak signifikan. Relatif tingginya permodalan
lembaga keuangan di sebagian emerging markets,
juga dapat mengurangi kekhawatiran. Namun,
Serious Delinquency
0
2
4
6
8
10
12
14
Persen
2002 2003 2004 2005 2006 2007
Total Sub Prime Starting Delinquency
T - I T - III T - I T - III T - I T - III T - I T - III T - I T - III T - I
meningkatnya kebutuhan likuiditas di pasar global
karena tekanan krisis SPM telah mempengaruhi
kinerja pasar keuangan emerging markets yang
sebagian besar didukung oleh aliran dana masuk dari
luar (inflows).
Di pasar keuangan Indonesia, tekanan likuiditas
pasar global telah menimbulkan aliran dana ke luar
(outflows), tercermin pada turunnya jumlah
penanaman investor asing terutama pada SUN dan
SBI. Telah tingginya keuntungan yang diperoleh dari
penanaman pada SUN dan SBI serta mengecilnya
potensi keuntungan dari penanaman pada SUN
mendorong investor asing untuk merealisasikan profit
dan mengalihkan penanaman pada pasar global
terutama dalam bentuk aset-aset yang berdenominasi
dollar AS. Hal ini kemudian mendorong pelemahan
nilai tukar rupiah terhadap dollar AS dalam beberapa
waktu terakhir.
Sementara itu, data yang ada menunjukkan
bahwa perbankan Indonesia tidak ada yang
melakukan penanaman langsung pada SPM sehingga
terhindar dari dampak langsung krisis SPM. Hal ini
terutama karena ketentuan perbankan mewajibkan
bank menggolongkan penanaman pada surat
berharga berperingkat rendah (non-investment grade)
sebagai non-performing. Namun, potensi kerugian
dapat muncul dari aksi jual SUN oleh investor asing
yang mengakibatkan jatuhnya harga SUN. Akan tetapi,
karena penurunan harga SUN yang ditimbulkan oleh
krisis SPM ini masih tergolong kecil (sekitar 2% selama
Juli √ Agustus 2007), potensi kerugian terhadap bank
yang memiliki portfolio SUN juga kecil. Selain itu,
berdasarkan hasil stress test, penurunan harga SUN
baru akan berdampak terhadap permodalan (CAR)
bank apabila terdapat penurunan harga sebesar 20%
atau lebih. Dengan demikian, secara keseluruhan krisis
SPM diperkirakan tidak akan mengganggu stabilitas
sistem keuangan.
18
Bab 1 Kondisi Makroekonomi dan Sektor Riil
Halaman ini sengaja dikosongkan
19
Bab 2 Sektor Keuangan
Bab 2Sektor Keuangan
20
Bab 2 Sektor Keuangan
Halaman ini sengaja dikosongkan
21
Bab 2 Sektor Keuangan
Sektor KeuanganBab 2
2.1. STRUKTUR SEKTOR KEUANGAN
Sektor keuangan Indonesia terdiri dari perbankan
umum dan bank perkreditan rakyat, serta industri
keuangan non-bank, yaitu asuransi, dana pensiun,
perusahaan pembiayaan, sekuritas dan pegadaian. Dengan
pangsa mencapai sekitar 80% dari total aset seluruh sistem
keuangan, perbankan tetap mendominasi sektor
keuangan. Hal ini mencerminkan tingginya
ketergantungan kepada perbankan sebagai sumber
pembiayaan perekonomian dan pembangunan.
Sementara itu, bank-bank besar masih terus mendominasi
industri perbankan, dengan pangsa sekitar 69% dari total
aset perbankan. Oleh karena itu, stabilitas sistem keuangan
Indonesia sangat dipengaruhi oleh perilaku risiko (risk
behavior) dari bank-bank besar.
Pangsa total aset perusahaan sekuritas dalam sistem
keuangan menunjukkan peningkatan yang cukup
signifikan, yaitu dari 1,0% pada 2005 menjadi 3,7% pada
2006. Kenaikan pangsa total aset perusahaan sekuritas
ini diimbangi oleh penurunan pangsa total aset perbankan
dan perusahaan pembiayaan. Pada satu sisi, kenaikan ini
menunjukkan hal yang positif karena dapat mengurangi
ketergantungan kepada industri perbankan. Namun,
pada sisi lain diperlukan peningkatan kemampuan
pengendalian risiko yang lebih baik dalam internal
perusahaan sekuritas, disamping pengawasan eksternal
yang lebih memadai oleh otoritas pengawasan yang
berwenang agar perkembangan positif tersebut
bermanfaat bagi perekonomian dan tidak
membahayakan stabilitas sistem keuangan.
Selama semester I 2007 stabilitas sistem keuangan masih terjaga. Industri
perbankan yang mendominasi sektor keuangan terus menunjukkan
kinerja yang menggembirakan, meskipun laju pertumbuhan kredit masih
perlu ditingkatkan. Perbankan sangat likuid dengan kualitas aset yang
cenderung membaik. Risiko pasar cukup terkendali sejalan dengan
tingginya profitabilitas dan permodalan yang sangat memadai. Sementara
itu, lembaga keuangan bukan bank dan pasar modal semakin maju dan
berkembang meskipun belum sepenuhnya terbebas dari berbagai jenis
risiko dan tantangan dari gejolak faktor eksternal yang berpotensi
menekan stabilitas sistem keuangan.
22
Bab 2 Sektor Keuangan
Ketergantungan yang tinggi pada sektor perbankan
merupakan salah satu indikasi bahwa sektor keuangan
Indonesia sedang mengalami permasalahan dalam
financial deepening (lihat Boks 2.1). Oleh karena itu,
peningkatan financial deepening merupakan agenda
pokok yang harus segera dilaksanakan untuk
meningkatkan peranan sektor keuangan dalam
mendukung pembangunan perekonomian Indonesia.
2.2. PERBANKAN
2.2.1. Pendanaan dan Risiko Likuiditas
Dana Pihak Ketiga (DPK) tetap sebagai sumber dana
terbesar perbankan dengan tingkat pertumbuhan
cenderung melambat seiring dengan trend penurunan
suku bunga. Dominasi DPK sebagai sumber dana
perbankan mencapai sekitar 90% dan sebagian besar
berjangka waktu pendek. Meskipun pengalaman
sebelumnya menunjukkan bahwa perbankan dapat
mengelola likuiditas dengan baik, ke depan perbankan
perlu terus menjaga agar kesenjangan masa jatuh tempo
sumber dana ini tidak berkembang menjadi permasalahan
yang mengganggu kondisi likuiditas bank.
Kecukupan Likuiditas
Kondisi likuiditas perbankan selama semester I 2007
relatif terkendali. Hal ini terlihat antara lain dari rasio antara
jumlah alat likuid2 Ω terhadap jumlah non core deposit
(NCD)3 yang masih melampaui angka 100%, meskipun
cenderung menurun hingga mencapai 138,9% pada akhir
Juni 2007. Penurunan tersebut terjadi karena peningkatan
jumlah kewajiban jangka pendek (6,6%) yang lebih besar
dibandingkan dengan peningkatan jumlah alat likuid
(1,2%). Sementara itu, kondisi Pasar Uang Antar Bank
(PUAB) juga relatif stabil. Hal-hal ini mengindikasikan
bahwa perbankan memiliki ketahanan likuiditas yang
cukup memadai dengan risiko likuiditas yang relatif rendah.
Grafik 2.1Aset Lembaga Keuangan
% dari Total Aset Sektor Keuangan
Sumber: BI dan sumber lainnya
0
20
40
60
80
100
2005 2006
80,6 80,1
1,0 3,7
PegadaianPersahaan SekuritasPerusahaanPembiayaanDana PensiunPerusahaan AsuransiBPRBank Umum
Grafik 2.2Struktur Pendanaan dan Penempatan Bank
Persen
0
20
40
60
80
100
Penempatan Dana Sumber Dana
SuratBerharga
Antar Bank
Pinjaman
Dana PihakKetiga
904,0
224,1
342,0
165,086,0
1353,75
13,98118,67
16,81PenyertaanAntar Bank
SuratBerharga &Tagh Lain
SBI/Fasbi
Kredit
Grafik 2.3Rasio Alat Likuid Perbankan
Alat Likuid NCD Alat Likuid/NCD
Rp Triliun
0
80
160
240
320
400
60
120
180
Des Feb MeiMar Apr JunJanDes2005 20072006
Persen
2 Alat likuid terdiri dari kas dan penempatan pada BI (Giro BI, SBI dan Fasbi).3 Asumsi non core deposit (NCD) adalah 30% giro dan tabungan + 10% deposito jangka
waktu s.d. 3 bulan.
Pasar Uang Antar Bank (PUAB)
Kondisi PUAB rupiah selama semester I 2007 cukup
terkendali meskipun tingkat suku bunga rata-rata untuk
23
Bab 2 Sektor Keuangan
perbankan. Dibandingkan dengan posisi akhir semester
sebelumnya, terdapat kenaikan sebesar Rp66,8 triliun atau
5,2%. Sementara itu, DPK valas bertumbuh lebih besar
dibandingkan dengan DPK rupiah, sehingga pangsa DPK
valas terhadap total DPK perbankan meningkat dari 15,0%
menjadi 16,5%.
Grafik 2.4Suku Bunga Rata-rata PUAB O/N
Persen
PUAB sore
PUAB Va DN
PUAB pagi
PUAB Va LN
3
6
9
12
2007Jan Mar MeiFeb Apr Jun
Grafik 2.5Perkembangan DPK
GiroTabungan
Deposito (kanan)
Rp Triliun
320
340
360
380
Des Feb Apr JunMeiMarJan2006 2007
610
615
620
625
630
Grafik 2.6Perkembangan DPK Berdasarkan Valuta
Rp Triliun
1.050
1.075
1.100
1.125
1.150
DPK Rupiah (kiri)
DPK Valas
180
190
200
210
220
230
2006Des Feb Apr JunJan Mar Mei
2007
Grafik 2.7Perkembangan DPK Valas
dalam USD(skala kiri)
dalam Rupiah (skala kanan)
USD Miliar Rp Triliun
20
21
22
23
24
25
180
200
220
240
2006Des Feb Apr JunJan Mar Mei
2007
Grafik 2.8Pertumbuhan Deposito
(m-t-m)
-10
-5
0
5
10
RP Va
2006Jul-Jun Nov-Okt Mar-Feb Jul-Jun
2007
transaksi overnight (O/N) cenderung berfluktuasi pada
kisaran 4% s.d. 10%. PUAB juga sempat beberapa kali
ketat terutama pada saat menghadapi kebutuhan likuiditas
yang cukup besar, seperti pembayaran pajak tahunan pada
akhir bulan Maret dan penarikan uang kartal oleh
masyarakat. Akibatnya, suku bunga O/N pernah mencapai
angka tertinggi sebesar 29% pada 22 Maret 2007. Namun,
dengan pengelolaan likuiditas yang cukup baik oleh
perbankan, antara lain melalui pemanfaatan fasilitas SBI
Repo dan Fine Tune Expansion (FTE), kondisi PUAB tetap
terkendali.
Struktur Dana Pihak Ketiga
Meskipun dengan tingkat pertumbuhan yang
cenderung melambat, DPK perbankan selama semester I
2007 terus meningkat sehingga pada akhir Juni 2007
mencapai Rp1.353,7 triliun atau 76,4% dari total aset
24
Bab 2 Sektor Keuangan
Selama semester I 2007, DPK dalam denominasi valas
meningkat sebesar USD3,16 miliar. Peningkatan tersebut
terjadi hampir merata pada semua kelompok bank untuk
semua jenis DPK (giro, deposito dan tabungan). Secara
nominal, peningkatan terbesar terdapat pada giro dan
diikuti oleh deposito, sementara pertumbuhan tertinggi
terdapat pada tabungan. Penyebab peningkatan DPK valas
tersebut antara lain karena sebagian anggota masyarakat
menilai bahwa penempatan dana dalam bentuk valas
terutama deposito lebih menguntungkan. Selain itu,
khusus mengenai tabungan valas, peningkatannya juga
dipicu oleh pemberlakuan PBI No.9/4/2007 tanggal 26
Maret 2007 yang mencabut pelarangan penerimaan
tabungan valas.
Meskipun DPK perbankan menunjukkan
perkembangan yang positif, namun masih terdapat hal-
hal yang berpotensi meningkatkan risiko likuiditas,
khususnya yang berkaitan dengan struktur DPK yang
kurang berimbang, yakni masih terkonsentrasi pada dana
jangka pendek, deposan besar dan dimiliki oleh
perorangan. Sampai dengan akhir semester I 2007, DPK
berjangka pendek (giro, tabungan, dan deposito sampai
dengan 3 bulan) mencapai 93,2% dari total DPK,
sedangkan deposan besar dengan nominal rekening di atas
Rp100 juta mencakup 78% dari total DPK meskipun hanya
dimiliki oleh 2,5% dari total rekening nasabah. Sementara
itu, berdasarkan kepemilikan, DPK masih didominasi oleh
perorangan yang mencapai 54,8% dari total DPK. Struktur
DPK yang demikian ini sangat rentan terhadap penarikan
dana secara tiba-tiba, terutama apabila dilakukan oleh
nasabah besar. Untuk memitigasi risiko likuiditas ini,
perbankan melakukan penanaman dana pada aset-aset
yang likuid dan berisiko rendah. Akibatnya, selama
semester I 2007, kepemilikan SBI oleh perbankan
meningkat sebesar 12,9%.
Dampak Penurunan Skim Penjaminan Terbatas
Diberlakukannya skim penjaminan terbatas
maksimum Rp100 juta per nasabah per bank sejak 22
Maret 2007 tidak berpengaruh signifikan terhadap DPK
perbankan. Minat masyarakat untuk menginvestasikan
dananya di perbankan masih tetap tinggi yang terlihat dari
peningkatan DPK pada semua kelompok bank. Hal ini
sekaligus mengindikasikan bahwa penurunan penjaminan
tidak mengakibatkan terjadinya migrasi dana dari bank
yang dianggap kurang aman ke bank yang dianggap lebih
aman (flight to safety).
Perorangan(54,8%)
s.d 3 bln(93,2%)
> 100 jt(78,0%)
Lainnya(42,5%)
> 3 bln(6,8%)
< 100 jt(22,0%)
kepemilikan
jangka waktu
nominal
Grafik 2.9Struktur DPK
Grafik 2.10Perkembangan DPK terkait Penjaminan
Rp Triliun
0
100
200
300
400
500
600
22 Maret '07 468.8 124.9 99.5 39.4 20.3 84.311 449.840
26 Juni '07 479.7 138.2 103.8 46.9 20.9 86.518 457.632
Persero BPD Asing Campuran SwastaKecil
SwastaMenengah
SwastaBesar
Sementara itu, hipotesis yang mengatakan bahwa
penurunan skim penjaminan akan mendorong terjadinya
pemecahan rekening nasabah ke dalam nominal yang lebih
kecil, juga tidak terbukti. Sejak pemberlakuan skim
penjaminan terbatas tersebut, jumlah rekening nasabah
di perbankan justru cenderung menurun. Selain itu,
25
Bab 2 Sektor Keuangan
periode yang sama pada tahun sebelumnya yang hanya
mencapai 3,7%. Secara y-o-y pertumbuhan kredit per Juni
2007 tercatat sebesar 19,4%, atau lebih baik dari tahun
sebelumnya sebesar 14%. Namun demikian, pencapaian
target kredit sampai dengan semester I 2007 masih di bawah
rencana bisnis bank, meskipun dengan deviasi yang relatif
kecil, yaitu Rp0,3 triliun. Dengan tingkat pertumbuhan DPK
yang lebih lambat dibandingkan tingkat pertumbuhan
kredit, LDR perbankan meningkat dari 64,7% per Desember
2006 menjadi 66,8% per Juni 2007. Sementara itu,
kelebihan dana yang dimiliki perbankan umumnya
ditanamkan dalam SBI/Fasbi dan surat-surat berharga.
Namun demikian, preferensi penempatan bank
dalam SBI/Fasbi cenderung menurun, terlihat dari
penurunan pangsanya terhadap total aktiva produktif dari
14,0% menjadi 13,7%, meskipun secara nominal
jumlahnya naik sebesar Rp6,5 triliun. Sementara itu,
kepemilikan surat berharga korporasi oleh perbankan
cenderung meningkat walaupun masih relatif rendah,
sedangkan untuk surat berharga pemerintah cenderung
menurun. Hal ini menyebabkan menurunnya porsi
penempatan bank pada surat-surat berharga dari 22,0%
menjadi 20,8%.
Penguatan nilai tukar rupiah yang terjadi pada
Triwulan II 2007 turut mempengaruhi perkembangan
kredit perbankan dimana penyaluran kredit dalam valuta
asing menurun, sedangkan kredit Rupiah meningkat.
Namun demikian, pada Juni 2007 kredit dalam valuta asing
tumbuh cukup tinggi (9,1%) sejalan dengan pelemahan
kembali nilai tukar rupiah.
Trend penurunan suku bunga kredit belum langsung
direspon dengan kenaikan setiap jenis kredit perbankan.
Dalam 13 bulan terakhir penurunan suku bunga Kredit
Investasi (KI) dan Kredit Konsumsi (KK) masing-masing
mencapai 174 bps dan 43 bps, dan hal ini direspon
perbankan dengan peningkatan penyaluran KI dan KK.
berdasarkan sebaran rekening nasabah, persentase
rekening dengan nominal kurang dari Rp100 juta juga
tidak mengalami kenaikan. Secara keseluruhan, hal-hal ini
menunjukkan bahwa penurunan skim penjaminan tidak
menimbulkan dampak negatif yang signifikan terhadap
perbankan, sekaligus mengindikasikan bahwa kepercayaan
masyarakat terhadap sistem perbankan Indonesia sudah
semakin meningkat. Meningkatnya kepercayaan tersebut
sangat diperlukan dalam menjaga stabilitas sistem
keuangan.
2.2.2. Perkembangan dan Risiko Kredit
Perkembangan Kredit
Selama semester I 2007 jumlah kredit perbankan
terus meningkat, namun dengan tingkat pertumbuhan
yang relatif masih rendah, yaitu sebesar 8,5% atau naik
Rp71,1 triliun dibandingkan posisi akhir 2006. Tingkat
pertumbuhan tersebut lebih baik dibandingkan dengan
Grafik 2.11Pertumbuhan Kredit
Persen
y-o-y
y-t-d
-5
0
5
10
15
20
25
2006 2007
Jan Jun Jan JunFeb Mar Apr Mei Jul Ags Sep Okt Nov Des Feb Mar Apr Mei Jul
Grafik 2.12Pangsa Aktiva Produktif
Penyertaan
Antar Bank
SSB+Tagihan Lain
SBI & Fasbi
Kredit
Persen
0
25
50
75
100
Des Jun
2006 2007
53,5
14,0
22,0
10,10,4 0,4
55,1
13,7
20,8
10,1
26
Bab 2 Sektor Keuangan
Namun demikian, khusus untuk KMK, meskipun
penurunan suku bunganya tercatat paling tinggi yaitu 229
bps, hal tersebut tidak mengakibatkan kenaikan
penyaluran kredit. Sampai dengan Mei 2007 pertumbuhan
KMK masih memiliki trend yang melambat, walaupun pada
Juni 2007 meningkat secara signifikan.
Jenis Kredit Konsumsi masih mendominasi
pertumbuhan kredit. Meskipun kenaikan kredit terbesar
terdapat pada KMK yaitu sebesar Rp31,3 triliun (tumbuh
7,5%), namun tingkat pertumbuhan tertinggi terdapat
pada Kredit Konsumsi yakni sebesar 10,2% (naik Rp23,1
triliun) secara y-t-d. Berdasarkan sektor ekonomi, Sektor
Lain-lain yang mencakup kredit untuk tujuan konsumsi
mengalami kenaikan paling besar, yaitu sebesar Rp23,1
triliun. Namun demikian, tingkat pertumbuhan tertinggi
terdapat pada kredit untuk Sektor Pertambangan, yaitu
sebesar 44,9%.
Prospek perkreditan ke depan tetap positif. Kredit
masih akan tetap tumbuh, tercermin dari jumlah
undisbursed loans yang terus naik, terutama KMK.
Sementara itu, untuk KI sejak Triwulan II 2007 mulai
terlihat adanya peningkatan jumlah persetujuan kredit.
Namun demikian, kenaikan jumlah undisbursed loans
relatif terkendali, tercermin dari stabilnya rasio
undisbursed loans terhadap total kredit pada kisaran
20%.
Risiko Kredit
Dibandingkan posisi akhir semester II 2006, jumlah
kredit bermasalah menurun sebesar Rp0,6 triliun atau
1,0% sehingga menjadi sebesar Rp57,5 triliun pada akhir
semester I 2007. Sementara itu, jumlah kredit yang
disalurkan perbankan mengalami peningkatan yang cukup
besar dibandingkan semester sebelumnya. Akibatnya, rasio
Grafik 2.13Pertumbuhan Jenis Penggunaan Kredit
Persen
-6
-4
-2
0
2
4
6
8
KMK KI KK
2006 2007
Jan Jun Jan JunFeb Mar Apr Mei Jul Ags Sep Okt Nov Des Feb Mar Apr Mei Jul
Grafik 2.14Pertumbuhan Jenis Penggunaan Kredit
KMK KI KK
46%
21%
33%
Grafik 2.16Non Performing Loan (NPL)
Persen Triliun
NPL Gross
NPL Nominal
NPL Net
-1
234
567
89
10
1112
2002 2003 2004 2005 2006 2007 Jun25
30
35
40
45
50
55
60
65
70
75
Grafik 2.15Kredit per Sektor Ekonomi
21%
30%22%
3%
4%5%
11%1% 2% 1%
Perdagangan
Lain-lain
Industri Pengolahan
Pengangkutan
Konstruksi
Pertanian
Jasa Dunia Usaha
Jasa Sosial
Pertambangan
Listrik
27
Bab 2 Sektor Keuangan
10,5% menjadi 10,0%. Namun demikian, mengingat NPL
sektor Industri Pengolahan ini mendominasi total NPL
perbankan dengan pangsa sekitar 37,2% maka kredit
bermasalah pada sektor ini perlu dimonitor secara ketat dan
segera diselesaikan agar tidak menjadi sumber instabilitas.
Pada sisi lain, membaiknya kondisi ekonomi tidak
menimbulkan dampak positif terhadap kualitas kredit sektor
Lain-lain (umumnya kredit konsumsi) dan sektor
Perdagangan. Selama semester I 2007, NPL kedua sektor
NPL menurun dari 7,0% menjadi 6,4% (gross) atau dari
3,6% menjadi 2,9% (netto).
Penurunan rasio NPL tersebut tidak dapat langsung
diartikan bahwa kualitas kredit perbankan secara
keseluruhan membaik. Hal tersebut karena perbaikan
kualitas kredit lebih banyak terjadi pada kredit channelling
yang risikonya tidak berada pada perbankan, sementara
kredit bermasalah non channelling justru meningkat
sebesar Rp1,7 triliun atau 3,6%. Meskipun perbankan
telah membentuk cadangan (PPAP) untuk menghadapi
peningkatan NPL ini, namun kewaspadaan tetap
diperlukan untuk menjaga agar gejala awal peningkatan
risiko kredit ini tidak berkembang menjadi permasalahan
berat yang dapat mengganggu stabilitas sistem keuangan.
Dari segi kelompok bank, perkembangan NPL
cenderung bervariasi. Pada kelompok bank-bank besar,
NPL gross turun dari 8,4% menjadi 7,4%, terutama karena
membaiknya kualitas kredit channelling pada bank-bank
BUMN. Sementara itu, kelompok bank asing mengalami
peningkatan NPL cukup signifikan selama periode laporan
yaitu sebesar Rp1,2 triliun atau 43,7%, tertinggi dalam
beberapa tahun terakhir. Kenaikan nominal NPL juga
dialami oleh kelompok bank menengah yaitu sebesar
Rp0,8 triliun atau 30,3%.
Sementara itu, sejalan dengan membaiknya kondisi
makroekonomi, kualitas kredit sektor Industri Pengolahan
juga membaik, tercermin dari penurunan NPL gross dari
Grafik 2.17Perkembangan Nominal NPL
KurangLancar (kiri)
Macet (kanan)
Diragukan (kiri)
Total NPL
2,0
4,0
6,0
8,0
10,0
12,0
14,0
16,0
18,0
20,0
22,0
24,0
30,0
35,0
40,0
45,0
50,0
55,0
60,0
65,0
70,0
75,0
2006Jun
2007JunDesMar Sep Mar
Grafik 2.18NPL Gross Per Kelompok Bank
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
2004 Juni 2005 Juni 2006 Juni 2007 Juni
Besar Menengah Kecil Campuran Asing
Grafik 2.19NPL Gross Per Sektor Ekonomi
0,0 2,0 4,0 6,0 8,0 10,0 12,0
Jun-07Des 06
Pertanian
Pertambangan
Industri Pengolahan
Listrik
Konstruksi
Perdagangan
Pengangkutan
Jasa Dunia Usaha
Jasa Sosial
Grafik 2.20Pangsa NPL Menurut Sektor Ekonomi
Pertanian
Industri
Perdagangan
Gabungan Lainnya
Jasa Dunia Usaha
Gabungan Lainnya = Pertambangan, Listrik, Jasa Sosial, Konstruksi, Pengangkutan
Persen
0
20
40
60
80
100
2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 Jun
28
Bab 2 Sektor Keuangan
semester I 2007, sehingga rasio NPL gross-nya meningkat
dari 2,9% menjadi 3,5%.
Dapat dicatat bahwa kecenderungan terus
memburuknya kualitas kredit konsumsi dimulai sejak 2000.
Sejak saat itu pangsa kredit bermasalah kredit konsumsi
terhadap total kredit bermasalah terus meningkat. Pada
akhir semester I 2007, pangsa tersebut mencapai 17,4%,
jauh lebih tinggi dibandingkan dengan pangsa pada akhir
semester sebelumnya sebesar 13,7%. Terkonsentrasinya
pemberian kredit untuk tujuan konsumsi ini perlu
diwaspadai karena apabila pendapatan sektor rumah
tangga (household income) tidak cukup memadai untuk
membayar kewajiban kepada bank, maka hal ini dapat
mendorong terjadinya peningkatan risiko kredit.
Kualitas KMK dan KI hanya mengalami sedikit
perbaikan. Hal ini tercermin dari penurunan rasio NPL
gross dari 6,3% menjadi 5,8% (KMK), dan dari 10,3%
menjadi 9,1% (KI). Meskipun perbaikan kualitas kedua
jenis kredit ini tidak tergolong besar, namun diperkirakan
cukup mengurangi potensi instabilitas mengingat pangsa
kredit bermalahnya cukup dominan, masing-masing
sebesar 52,1% dan 30,5% dari total kredit bermasalah
perbankan.
Sementara itu, kualitas kredit korporasi cenderung
membaik, tercermin dari penurunan rasio NPL gross dari
8,1% menjadi 7,2%. Perbaikan kualitas kredit ini
diperkirakan berdampak positif terhadap stabilitas sistem
ini malah mengalami peningkatan masing-masing sebesar
Rp2,0 triliun (31,4%) dan Rp0,9 triliun (0,9%). Namun
demikian, potensi risiko kredit sektor Perdagangan dan
sektor Lain-lain cenderung lebih terkendali dibandingkan
sektor Industri Pengolahan, antara lain karena: (i) kredit
sektor Perdagangan dan sektor Lain-lain umumnya
berbentuk kredit modal kerja dan kredit konsumsi dengan
baki debet kredit relatif lebih kecil, (ii) debitur umumnya
bukan korporasi, dan (iii) hampir semua bank mempunyai
portofolio kredit kedua sektor ini sehingga risikonya lebih
terdiversifikasi.
Meskipun kondisi makroekonomi terus membaik,
kualitas kredit sektor rumah tangga yang tercermin dari
perkembangan kualitas kredit konsumsi terus mengalami
penurunan. Adanya penurunan suku bunga kredit
konsumsi sepanjang 2007 ternyata tidak membantu
peningkatan kualitas kreditnya. NPL kredit konsumsi malah
meningkat sebesar Rp21,1 triliun atau 31,7% selama
Grafik 2.21Pangsa NPL Menurut Jenis Penggunaan Kredit
Persen
0
20
40
60
80
100
1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007
Investasi
Modal Kerja
Konsumsi
Grafik 2.22 Perkembangan Nominal NPL Konsumsi
Rp Triliun
Kredit (kanan)
NPL
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
2003 2004 2005 2006 2007 Juni75
95
115
135
155
175
195
215
235
255
275
Grafik 2.23Perkembangan NPL Gross
Investasi (kiri)
Modal Kerja (kiri)
Konsumsi (kanan)
2,0
7,0
12,0
17,0
22,0
1,5
2,0
2,5
3,0
3,5
4,0
2002 2003 2004 2005 2006 2007 Jun
Persen Persen
29
Bab 2 Sektor Keuangan
keuangan karena pangsa kredit korporasi tergolong
besar mencapai 48,6% dari total kredit perbankan,
sedangkan pangsa kredit bermasalahnya mencapai
60,8% dari total NPL perbankan. Salah satu hal yang
mendorong perbaikan kualitas kredit korporasi adalah
pelaksanaan restrukturisasi kredit pada beberapa bank
BUMN beberapa waktu yang lalu.
Kualitas kredit untuk Usaha Mikro Kecil dan
Menengah (UMKM) mengalami penurunan, tercermin dari
peningkatan rasio NPL gross dari 4,2% menjadi 4,4%.
Secara nominal, NPL tersebut meningkat sebesar Rp2,4
triliun (14,3%), atau tertinggi selama beberapa tahun
terakhir. Namun demikian, dalam jangka pendek hal ini
diperkirakan tidak akan membahayakan stabilitas sistem
keuangan, terutama karena kredit tersebut cukup
terdiversifikasi dengan plafon yang relatif kecil dan jumlah
debitur yang cukup besar.
Perkembangan positif nilai tukar selama semester I
2007 ikut mendorong perbaikan kinerja kredit valas
sehingga mengurangi tekanan risiko kredit. Pada periode
laporan, nilai tukar Rupiah terhadap USD menguat sebesar
Rp191/USD. Sementara itu, sebagian besar debitur
korporasi yang direstrukturisasi pada bank-bank BUMN
mendapatkan fasilitas kredit valas. Akibatnya, kredit valas
bermasalah menurun cukup besar yaitu sebesar Rp1,7
triliun atau 11,0%, sehingga rasio NPL gross kredit valas
menurun dari 9,9% menjadi 7,9%. Pada sisi lain, kualitas
kredit rupiah menurun karena naiknya kredit bermasalah
sekitar Rp3,4 triliun atau 10,4% sehingga rasio NPL gross
dalam rupiah sedikit meningkat dari 5,1% menjadi 5,3%.
Grafik 2.24Nominal NPL Korporasi dan UMKM
Rp Triliun
Korporasi
UMKM
-
10
20
30
40
50
2001 2004 `2005 2006 2007 Juni
Grafik 2.25NPL Gross Kredit UMKM dan Korporasi
Korporasi (kiri)
4,0
5,0
6,0
7,0
8,0
9,0
10,0
11,0
12,0
13,0
2003 2004 2005 2006 2007 Juni2,0
2,5
3,0
3,5
4,0
4,5
5,0
5,5MKM (kanan)
Persen Persen
Grafik 2.26Perkembangan Kurs dan NPL Valas
Kurs/USD Triliun
8.000
8.500
9.000
9.500
10.000
10.500
11.000
11.500
12.000
2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 Juni10
15
20
25
30
35
40
45
50
NPL ValasKurs
Grafik 2.27Perkembangan NPL Gross Valas
Persen
NPL Total
NPL Rp
0
5
10
15
20
25
30
35
40
45
2000 2002 2003 2004 2005 2006 2007 Juni
NPL Valas
Mitigasi Risiko Kredit
Untuk memitigasi risiko kredit, perbankan menjaga
kecukupan pembentukan penyisihan penghapusan kredit.
Selama semester I 2007, perbankan membentuk
30
Bab 2 Sektor Keuangan
penyisihan penghapusan kredit sebesar Rp4,2 triliun atau
meningkat sebesar 10,7% dibandingkan dengan semester
sebelumnya. Dengan pembentukan penyisihan tersebut,
NPL netto perbankan mengalami penurunan dari 3,6%
menjadi 2,9%.
credit derivative akan membantu perbankan dalam
mengelola risiko kredit, memudahkan penyelesaian
masalah likuiditas, dan mendorong peningkatan financial
deepening.
2.2.3. Risiko Pasar
Kondisi makroekonomi yang membaik yang didukung
oleh laju inflasi serta trend penurunan suku bunga yang
terkendali membuat risiko pasar perbankan relatif terjaga.
Selama semester I 2007, trend penurunan suku bunga yang
telah berlangsung sejak pertengahan tahun lalu masih terus
berlanjut. Penurunan terjadi baik untuk suku bunga DPK
(deposito 1 bulan) maupun suku bunga semua jenis kredit
(KMK, KI dan KK). Meskipun penurunan suku bunga DPK
pada semester I 2007 (sebesar 150 bps) masih lebih besar
dibandingkan penurunan suku bunga kredit, namun
penurunan tersebut lebih rendah dibandingkan penurunan
suku bunga DPK semester sebelumnya (238 bps).
Sebaliknya, penurunan suku bunga kredit baik KMK, KI,
maupun KK pada semester I 2007 (masing-masing 119 bps,
111 bps, dan 67 bps) justru lebih besar dibandingkan
semester sebelumnya. Secara keseluruhan, hal-hal ini
mengindikasikan bahwa perbankan sudah lebih berani
menurunkan suku bunga kredit. Namun demikian, suku
bunga kredit konsumsi (KK) masih tergolong tinggi,
terutama pada kelompok bank asing dan campuran dengan
rata-rata suku bunga di atas 30%.
Grafik 2.28Kredit, NPL dan PPAP
Triliun
NPL (kiri)
PPAP (kiri)
Kredit (kanan)
30
40
50
60
70
80
90
100
200
300
400
500
600
700
800
900
1000
2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007Juni
Grafik 2.29Perkembangan Suku Bunga dan Nilai Tukar
Deposito 1 Bulan
KMK
KI
KK
Kurs (kanan)
Persen Rp
4
7
10
13
16
19
22
2002 2003 2004 2005 2006 20077500
8500
9500
10500
11500
Upaya-upaya lainnya yang dapat dilakukan
perbankan untuk memitigasi risiko kredit adalah (i)
menerapkan manajemen risiko yang tepat dalam
penyaluran kredit, (ii) meningkatkan kemampuan analisis
kredit dari loan officers, (iii) mengurangi kesenjangan
informasi (asymmetric information) dalam pemberian
kredit, antara lain dengan memanfaatkan data dan
informasi yang disediakan Biro Informasi Kredit (Credit
Buraeu), (iv) meningkatkan pemberian kredit melalui
sindikasi atau risk sharing agreement lainnya, dan (v)
mengefektifkan penerapan Peraturan Pemerintah No.33/
2006 tentang Tata Cara Penghapusan Piutang Negara,
untuk memperlancar restrukturisasi kredit pada bank-bank
BUMN. Dengan melakukan upaya-upaya ini, perbankan
diharapkan dapat mengatasi berbagai permasalahan
perkreditan yang berpotensi menekan stabilitas sistem
keuangan.
Ke depan, sejalan dengan semakin majunya bisnis
perbankan maka berbagai alternatif upaya mitigasi risiko
kredit perlu dikembangkan, antara lain dengan melakukan
sekuritisasi dan credit derivative. Kegiatan sekuritisasi dan
31
Bab 2 Sektor Keuangan
Secara umum perbankan melakukan pengelolaan
risiko suku bunga dengan memelihara portofolio dengan
posisi short untuk jangka pendek dan long pada jangka
panjang. Dengan profil maturity yang short pada dana
jangka pendek tersebut, bank akan menikmati keuntungan
dengan adanya trend penurunan suku bunga. Posisi short
pada jangka pendek dan long untuk jangka panjang
terdapat baik pada portofolio rupiah maupun valas. Untuk
profil maturity rupiah, terlihat trend penurunan posisi short
pada jangka pendek dan posisi long untuk jangka panjang,
sedangkan untuk profil maturity valas, terdapat
kecenderungan peningkatan untuk posisi short jangka
pendek (s.d. 1 bulan). Hal ini mencerminkan pergeseran
komposisi portofolio bank dari rupiah ke valas yang terjadi
seiring dengan terus turunnya suku bunga.
Meskipun pada saat ini risiko suku bunga relatif
terkendali, profil maturity seperti dijelaskan di atas dapat
menimbulkan kerawanan apabila terjadi pembalikan arah
suku bunga. Potensi kerawanan itu perlu diwaspadai
mengingat di dalam negeri pasar hedging dan derivative
yang dapat mendukung pelaksanaan mitigasi risiko suku
bunga belum berkembang. Dengan demikian, apabila
terjadi pembalikan arah suku bunga sedangkan
perbankan tidak dapat merespon dengan baik, maka hal
ini dapat menimbulkan kerugian yang menekan
permodalan (CAR) perbankan. Berdasarkan hasil stress
test diketahui bahwa apabila suku bunga mengalami
peningkatan, secara rata-rata akan terjadi penurunan
CAR sebesar 28 bps untuk setiap peningkatan suku
bunga sebesar 100 bps.
Sementara itu, untuk mengatasi risiko nilai tukar,
perbankan memelihara Posisi Devisa Netto (PDN) yang
relatif rendah. Secara rata-rata, PDN perbankan selama
semester I 2007 berkisar antara 3% s.d. 5%. Dengan
memelihara PDN (overall) pada tingkat yang rendah,
kemampuan bank untuk menghadapi risiko pergerakan
nilai tukar relatif lebih baik. Dari hasil stress test tentang
dampak apresiasi/depresiasi nilai tukar rupiah terhadap
CAR diketahui bahwa secara umum bank-bank mampu
memelihara CAR di atas 8%. Oleh karena itu, adanya
gejolak nilai tukar rupiah yang sempat terjadi akhir-akhir
ini diperkirakan tidak akan sampai menimbulkan
instabilitas.
Grafik 2.32Maturity Profile Valas
Miliar USD
(10)
(5)
0
5
10
sd 1 bln 1 - 3 bln 3 - 6 bulan 6 - 12 bln > 12 bln
Des05
Jun06
Des06
Jun07
Grafik 2.30Suku Bunga Kredit Per Kelompok Bank
Persen
Des-05 Jun-06
Des-06 Jun-07
0
10
20
30
40
KMK KI KK KMK KI KK KMK KI KK KMK KI KK KMK KI KK
Persero BPD BUSN Asing & Campuran Seluruh
Grafik 2.31Maturity Profile Rupiah
Rp Triliun
(450)
(300)
(150)
0
150
300
450
sd 1 bln 1 - 3 bln 3 - 6 bulan 6 - 12 bln > 12 bln
Des-05
Jun-06
Des-06
Jun-07
32
Bab 2 Sektor Keuangan
Dengan kemampuan bank memelihara posisi PDN
yang rendah serta didukung permodalan yang relatif tinggi
dan kondisi perekonomian yang membaik, maka risiko
pasar (nilai tukar) diperkirakan tetap terkendali. Namun
demikian, diperlukan kewaspadaan apabila terjadi
peningkatan suku bunga dan pembalikan arus dana asing
berjangka pendek (sudden reversal). Untuk itu, perbankan
perlu terus menerus meningkatkan kemampuan
manajemen risikonya serta mempersiapkan contingency
plan yang memadai.
Selama semester I 2007, jumlah Surat Utang Negara
(SUN) trading yang dimiliki perbankan mengalami
peningkatan sehingga pangsanya terhadap total aset
meningkat dari 7,4% menjadi 8,9%. Selain itu, proporsi
SUN trading terhadap total SUN juga meningkat, yaitu dari
46,3% menjadi 61,1%. Peningkatan portofolio trading
ini berpotensi meningkatkan risiko pasar. Hal ini perlu
diwaspadai mengingat pasar keuangan global dewasa ini
cenderung terus bergejolak yang dapat mengakibatkan
penurunan nilai aset-aset keuangan yang dimiliki
perbankan di dalam negeri, termasuk SUN. Penurunan nilai
tersebut kemudian dapat menimbulkan kerugian yang
menekan permodalan. Hasil stress test menunjukkan
bahwa apabila terjadi penurunan harga SUN sebesar 15%
atau lebih, terdapat 2 bank besar yang akan mengalami
penurunan CAR sehingga menjadi di bawah 10%.
Untuk mendukung peningkatan kemampuan
manajemen perbankan dalam mengelola dan memitigasi
risiko pasar, maka pengembangan pasar hedging dan
derivative sangat diperlukan. Tanpa pasar hedging dan
derivative, kemampuan untuk mengendalikan risiko pasar
oleh manajemen perbankan menjadi sangat terbatas. Pasar
hedging dan derivative yang berkembang baik akan
membantu pelaksanaan manajemen risiko pasar sekaligus
mendorong peningkatan financial deepening.
2.2.4. Profitabilitas dan Permodalan
Profitabilitas
Selama semester I 2007, profitabilitas perbankan
terus meningkat, tercermin dari kenaikan pendapatan
bunga bersih (NII) dari Rp42,5 triliun menjadi Rp46,4 triliun,
dan ROA dari 2,6% menjadi 2,8%. Sementara itu, efisiensi
operasi perbankan juga membaik, terlihat dari penurunan
rasio BOPO dari 86,5% menjadi 84,6%.
Trend penurunan suku bunga dimanfaatkan
perbankan untuk meningkatkan pendapatan. Perbankan
umumnya merespon trend tersebut dengan memperlebar
spread melalui penurunan suku bunga DPK yang lebih
besar dan lebih cepat dibandingkan dengan penurunan
suku bunga kredit. Akibatnya spread suku bunga Rupiah
meningkat dari 10,17% menjadi 10,28%, sedangkan
Grafik 2.34SUN yang Dimiliki Perbankan
Persen
0
25
50
75
100
5
9
13
17
21
Des Mar Jun Sept Des Mar Jun2005 2006 2007
Persen
Trading (kiri) Investment (kiri)% SUN Trading thd TA (kanan) % SUN thd TA (kanan)
Grafik 2.33Perkembangan PDN (Overall)
Persen
Okt Nov Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun2006 2007
17,115,6
14,716,3
18,416,9 16,6 17,0
15,3
BUSNBank Asing
Bank CampuranSeluruh
BPDPDN Tertinggi
Bank Persero
0
4
8
12
16
20
33
Bab 2 Sektor Keuangan
spread suku bunga valas meningkat dari 5,30% menjadi
5,47%. Pada sisi lain, aktiva produktif bank, terutama
dalam bentuk kredit, terus mengalami peningkatan dalam
jumlah yang lebih besar daripada peningkatan DPK
sehingga pendapatan bunga naik lebih tinggi
dibandingkan dengan beban bunga. Secara keseluruhan,
hal-hal ini berdampak positif terhadap pendapatan bunga
bersih (NII) perbankan.
Peningkatan NII dan kenaikan pendapatan non
operasional mendorong peningkatan laba perbankan
dalam porsi yang lebih besar daripada kenaikan total aset
rata-rata. Selama semester I 2007, laba bank meningkat
14,1% sedangkan total aset rata-rata hanya naik sebesar
7,7%. Akibatnya, ROA perbankan meningkat dari 2,6%
menjadi 2,8%. Dari segi kelompok bank, kenaikan ROA
tertinggi dialami oleh kelompok 15 bank besar, yakni dari
Grafik 2.36Perkembangan Laba dan Asset Perbankan
Juta Rp
1.000.000
1.100.000
1.200.000
1.300.000
1.400.000
1.500.000
1.600.000
1.700.000
Jun Des Jun Des Jun Des Jun25.000
30.000
35.000
40.000
45.000
50.000
LABAAset rata-rata
2004 2005 20072006
Grafik 2.37Komposisi Pendapatan Bunga Perbankan
0
25
50
75
100
BI SSB Kredit Lainnya
2003 2004 2005 2006 2007Des Jun Des Jun Des Jun Des Jun
7,0 7,8 6,9 7,3 8,9 9,2 8,2 7,9
49,856,4 59,7 63,3 63,1 59,2 60,1 63,5
32,526,3 25,1 22,2 22,0
22,9 21,4 16,8
10,8 9,5 8,3 7,2 6,0 8,7 10,4 11,8
Persen
2,4% menjadi 2,6%. Sementara itu, kelompok bank
lainnya hanya naik tipis dari 3,2% menjadi 3,3%. Tingginya
kenaikan ROA kelompok bank besar mencerminkan
peranan penting bank-bank besar dalam menentukan
kinerja keuangan industri perbankan.
Meningkatnya penyaluran kredit selama semester I
2007 mengakibatkan pendapatan bunga kredit
mendominasi total pendapatan bunga bank. Jika pada
semester sebelumnya pangsa pendapatan bunga kredit
terhadap total pendapatan bunga perbankan hanya
sebesar 60,1% maka pada semester I 2007 meningkat
menjadi sebesar 63,5%. Sumber pendapatan bunga
lainnya yang juga meningkat adalah pendapatan bunga
dari SBI/Fasbi, khususnya karena kenaikan penanaman
bank dalam SBI/Fasbi yakni Rp6,5 triliun. Namun demikian,
pangsa pendapatan bunga dari surat-surat berharga
lainnya turun cukup besar, yaitu dari 21,4% menjadi
16,8%, terutama karena menurunnya penanaman bank
dalam obligasi korporasi sebesar Rp16,5 triliun.
Peningkatan profitabilitas tersebut sejalan dengan
perbaikan efisiensi usaha yang tercermin dari penurunan
rasio BOPO. Meskipun terdapat kenaikan beban
pembentukan penyisihan aktiva produktif (PPAP) dari rata-
rata Rp2,6 triliun per bulan menjadi Rp3,0 triliun per bulan,
namun karena tingginya pendapatan operasional yang
berasal dari pendapatan bunga maka rasio BOPO menurun,
Grafik 2.35Perkembangan NII Perbankan
-
2,0
4,0
6,0
8,0
10,0
12,0
14,0
16,0
18,0
Pendapatan Bunga Beban Bunga NII
2005 2006 2007Feb Jun Okt Feb Jun Okt Feb Jun
34
Bab 2 Sektor Keuangan
yaitu dari 86,5% menjadi 84,6%. Peningkatan profitabilitas
dan perbaikan efisiensi usaha perbankan ini akan
berdampak positif terhadap stabilitas sistem keuangan.
Permodalan
Tingginya profitabilitas selama semester I 2007
memungkinkan perbankan untuk melakukan pemupukan
modal secara internal (internal growth). Sementara itu,
kenaikan jumlah modal perbankan terlihat lebih tinggi
dibandingkan dengan kenaikan jumlah ATMR sehingga
rasio permodalan (CAR) naik tipis dari 20,5% menjadi
20,7%. Secara nominal, jumlah modal perbankan
meningkat 8,8% menjadi Rp198,5 triliun, sementara
jumlah ATMR mengalami kenaikan 7,2% menjadi
Rp958,9 triliun.
Selain memiliki CAR yang tergolong tinggi,
perbankan juga memiliki rasio modal inti terhadap ATMR
yang juga tinggi, yaitu mencapai 17,8%. Dengan
permodalan yang kuat tersebut, perbankan akan lebih
mampu menyerap berbagai jenis risiko sehingga dapat
memperkuat stabil itas sistem keuangan. Rasio
permodalan yang tinggi juga akan memberi ruang gerak
yang cukup bagi peningkatan fungsi intermediasi
perbankan.
Meskipun secara aggregat CAR perbankan
tergolong tinggi, namun masih terdapat sejumlah kecil
bank yang memiliki CAR yang marjinal. Dengan CAR yang
marjinal, bank-bank tersebut akan sangat rentan
terhadap peningkatan risiko. Untuk mengatasi
permasalahan ini, kepatuhan perbankan terhadap
pemenuhan ketentuan modal inti minimum sebesar Rp80
miliar pada akhir tahun 2007, dan Rp100 miliar pada
akhir 2010 sangat diperlukan.
2.3. LEMBAGA KEUANGAN BUKAN BANK DAN
PASAR MODAL
Selama semester I 2007, kinerja perusahaan
pembiayaan dan pasar modal sebagai Ωalternatif sumber
pembiayaan cukup baik. Perkembangan tersebut
terutama didukung oleh membaiknya prospek
perekonomian yang memungkinkan turunnya suku
bunga. Di pasar modal, mulai terdapatnya emisi baru
telah sedikit memperbaiki l ikuiditas pasar dan
menurunkan volatilitas sehingga mengurangi tekanan
risiko investasi. Namun, perkembangan emisi Ωcenderung
lambat sehingga Ωtidak mampu mengimbangi pesatnya
kenaikan permintaan investor, terutama investor asing.
Akibatnya, bubble price sulit dihindarkan. Perkembangan
pasar yang terutama didukung permintaan investor asing
cenderung rawan koreksi khususnya apabila terjadi
sudden reversal. Untuk itu, perlu segera dikembangkan
financial deepening yang memungkinkan tersedianya
berbagai alternatif penanaman bagi investor dalam
rangka diversifikasi risiko.
Grafik 2.38ATMR, Modal dan CAR
Persen
-
100
200
300
400
500
600
700
800
900
1.000
1.100
10
12
14
16
18
20
22Modal
Des Jun Des Jun Des Jun Des Jun
2003 2004 2005 2006 2007
ATMR CAR (kanan)
Rp Triliun
Grafik 2.39Rasio Tier 1 terhadap ATMR, dan CAR
Persen
0,0
5,0
10,0
15,0
20,0
25,0
30,0
CAR
Tier 1 : ATMR
A B C D E F G H I J K L M N O 15 BB AsgCmpr
LainnyaIndst
35
Bab 2 Sektor Keuangan
Grafik 2.41Perusahaan Pembiayaan
0
20.000
40.000
60.000
80.000
100.000
120.000
Des Mei Des Mei2005 2006 2007
Total Perusahaan PembiayaanPerusahaan Pembiayaan Swasta NasionalPerusahaan Pembiayaan Patungan
Rp Miliar
Grafik 2.43Sumber Dana Perusahaan Pembiayaan Patungan
0
5.000
10.000
15.000
20.000
25.000
30.000
35.000
Des Mei Des Jan Feb Mar Apr Mei2005 2006 2007
Pinjaman DN Pinjaman LN SSB
Rp Miliar
Pinjaman perbankan tetap menjadi sumber dana
utama PP, dengan pangsa yang meningkat, yaitu dari 85%
(Mei 2006) menjadi 90% (Mei 2007). PP Swasta Nasional
sangat tergantung terhadap perbankan domestik,
sedangkan PP Patungan mengandalkan pinjaman
perbankan luar negeri. Meskipun demikian, PP Patungan
mulai melakukan diversifikasi sumber dana dengan
mengurangi pinjaman perbankan luar negeri dan
meningkatkan penerbitan emisi saham dan obligasi.
Ketergantungan yang tinggi pada pinjaman
perbankan domestik cenderung berdampak negatif kepada
kinerja PP Swasta Nasional, khususnya karena mahalnya
biaya dana yang harus dibayarkan. Sementara itu, PP
Patungan dapat beroperasi secara lebih efisien karena suku
bunga pinjaman luar negeri yang harus dibayar lebih rendah.
Sebagaimana dikemukakan sebelumnya, baik PP
Swasta Nasional maupun PP Patungan sangat tergantung
Grafik 2.40Kegiatan Usaha Perusahaan Pembiayaan
Rp Triliun
0
20
40
60
80
100
120
Aset Pembiayaan Pendanaan Modal
20052006
Jan 07Mar 07Mei 07
2.3.1. Perusahaan Pembiayaan
Selama semester I 2007, penurunan suku bunga
mulai berdampak terhadap kinerja Perusahaan Pembiayaan
(PP), baik swasta nasional maupun usaha patungan. Hal
ini antara lain terlihat dari meningkatnya rasio pembiayaan
terhadap ekuitas dan rasio pembiayaan terhadap pinjaman.
Sejalan dengan peningkatan pembiayaan tersebut, total
aset PP meningkat sebesar 4,2%.
Grafik 2.42Sumber Dana Perusahaan Pembiayaan Swasta Nasional
0
2.000
4.000
6.000
8.000
10.000
12.000
14.000Pinjaman DN Pinjaman LN SSB
Des Mei Des Jan Feb Mar Apr Mei2005 2006 2007
Rp Miliar
Secara umum, kegiatan usaha PP masih
terkonsentrasi pada pembiayaan konsumen (64%),
terutama untuk pembelian kendaraan bermotor. Namun
demikian, pembiayaan yang dilakukan oleh PP Patungan
lebih besar dibandingkan dengan PP Swasta Nasional. Hal
tersebut antara lain karena PP Patungan melakukan
ekspansi pembiayaan dengan jangka waktu yang lebih
panjang, termasuk pembiayaan infrastrukur dan
perumahan melalui sewa guna usaha.
36
Bab 2 Sektor Keuangan
pada sumber dana pinjaman perbankan. PP Patungan
memiliki struktur sumber dana yang didominasi oleh
pinjaman perbankan luar negeri. Lebih rendahnya suku
bunga pinjaman perbankan luar negeri membuat PP
Patungan lebih efisien menyalurkan pembiayaan. PP
Patungan juga mulai aktif menerbitkan obligasi di luar
negeri meskipun jumlahnya masih relatif sedikit yaitu
sebesar USD 6 juta.
Biaya operasi PP Swasta Nasional cenderung lebih
tinggi terutama karena meningkatnya kredit defaults yang
mengharuskan pembentukan pencadangan. Tingginya
biaya operasi ini selanjutnya mengakibatkan tingginya
defisit dari aktivitas operasi, sehingga risiko likuiditas PP
juga tergolong tinggi.
Di samping risiko likuiditas, PP Swasta Nasional juga
menghadapi risiko kredit yang cukup tinggi, terutama
karena adanya kecenderungan ekspansi pembiayaan
dilakukan secara agresif dan terkonsentrasi. Agresifnya
ekspansi pembiayaan berpotensi menimbulkan dampak
penularan (contagion effects) khususnya karena semakin
kuatnya kecenderungan konglomerasi antara bank, PP,
asuransi dan industri otomotif. Pada sisi lain, tingginya
ketergantungan PP terhadap sumber dana pinjaman
perbankan dapat mengakibatkan meningkatnya eksposur
risiko industri perbankan.
Sementara itu, tingginya kecenderungan PP
Patungan untuk menggunakan pinjaman luar negeri untuk
ekspansi pembiayaan dalam rupiah berpotensi
menimbulkan tekanan terhadap stabilitas sistem
keuangan, khususnya apabila tidak dilakukan hedging atas
pinjaman luar negeri tersebut. Selain itu, pelemahan rupiah
juga akan mempersulit pengembalian pinjaman luar negeri
oleh PP. Secara kolektif, hal-hal ini berpotensi menimbulkan
tekanan pada stabilitas sistem keuangan.
2.3.2. Pasar Modal
Terkendalinya inflasi yang memberikan ruang gerak
berlanjutnya penurunan suku bunga sebagaimana ditandai
oleh turunnya BI rate sehingga menjadi 8,25% (sejak Juni
2007) dari 9,5% (awal 2007) menjadi sentimen positif yang
mendukung berlanjutnya capital inflows. Pada semester I
2007 capital inflows yang bersumber dari penanaman
investor asing pada SBI, SUN dan saham meningkat pesat
(melebihi 100%) sehingga mencapai sekitar Rp58 triliun
dibandingkan dengan capital inflows pada semester II 2006
yang hanya sekitar Rp24,5 triliun.
Pesatnya kenaikan capital inflows tersebut
mendukung perkembangan pasar modal. Namun, tidak
terdapatnya pasar hedging dan tetap tidak likuidnya pasar
modal menyebabkan penanaman oleh investor asing
bersifat jangka pendek. Menjelang akhir semester (Juni
2007), perilaku profit taking investor asing yang terutama
dipicu sentimen negatif dari pasar internasional
menyebabkan terkoreksinya perkembangan pasar modal
Grafik 2.45 Capital Inflows pada SUN-SBI-Saham
Rp Triliun
-20
-10
0
10
20
30
Saham SBI SUN
2006 2007Jun Jul Sep Okt Nov Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun
Grafik 2.44Arus Kas Neto Perusahaan Pembiayaan
Rp Miliar
-4.000
-2.000
0
2.000
4.000
2007Jan Feb Mar Apr Mei
Arus Kas Neto dari Aktivitas Investasi
Arus Kas Neto dari Aktivitas Pendanaan
Arus Kas Neto dari Aktivitas Operasi
37
Bab 2 Sektor Keuangan
yang sempat menekan nilai tukar. Kondisi tersebut
menimbulkan kekhawatiran akan berulangnya krisis
keuangan yang bersumber dari terjadinya capital outflows
dalam jumlah besar secara bersamaan (sudden reversal)
yang berpotensi menekan stabilitas sistem keuangan (lihat
Boks 2.2). Namun, ketahanan sistem keuangan yang
dimiliki yang didukung oleh membaiknya prospek
perekonomian diperkirakan akan mampu mencegah
dampak negatif dari capital outflows.
Pasar Saham
Pada semester I 2007 bullish pasar saham emerging
countries berlanjut yang didukung tetap tingginya minat
investor asing. Pada awal 2007 pasar saham emerging
countries sempat mengalami koreksi yang dipicu sentimen
negatif dari bursa saham Cina. Di samping itu, koreksi pasar
terjadi karena sentimen negatif dari tekanan inflasi AS
terutama pada menjelang akhir semester I 2007. Namun,
cukup kuatnya sentimen positif dari pasar internasional yang
terutama bersumber dari meningkatnya harga komoditi
logam dan prospek berlanjutnya pertumbuhan ekonomi AS
mampu mendukung berlanjutnya penguatan pasar saham
emerging countries. Di pasar saham domestik, kuatnya
sentimen positif yang bersumber dari baiknya prospek
perekonomian ke depan mampu mempertahankan
penguatan pasar, sehingga pada semester I 2007 IHSG tetap
menguat sekitar 18% yang mencapai 2.139,28.
Koreksi pasar menyebabkan melambatnya
pertumbuhan hampir seluruh indeks sektoral yang pada
semester II 2006 mengalami pertumbuhan pesat.
Membaiknya prospek perekonomian ke depan yang
memberikan ruang gerak bagi berlanjutnya penurunan
suku bunga telah mendukung berlanjutnya penguatan
indeks sektor konstruksi, properti dan real estate yang pada
semester I 2007 tumbuh sekitar 75% (semester II 2006
tumbuh 56%). Menguatnya pertumbuhan sektor
pertambangan terutama didukung oleh membaiknya
perkembangan harga komoditi. Pertumbuhan indeks
Grafik 2.46Perkembangan Indeks Saham Bursa Regional
0
1000
2000
3000
4000
5000
6000IHSG
SET
NIKKEI NASDAQ
PCOMM
STI KLCI
HSCI
2007
29Des
12Jan
26Jan
9Feb
23Feb
9Mar
23Mar
6Apr
20Apr
4Mei
18Mei
1Jun
15Jun
29Jun
2006
IHSG 1,310.26 1,805.52 2,139.28 37.80 18.49
STI 2,435.39 2,985.83 3,548.20 22.60 18.83
KLCI 914.69 1,096.24 1,354.38 19.85 23.55
SET 678.13 679.84 776.79 0.25 14.26
PCOMM 3,020.13 3,940.47 5,148.42 30.47 30.65
HSCI 2,182.73 2,802.68 3,109.64 28.40 10.95
NIKKEI 309.54 336.39 356.40 8.67 5.95
NASDAQ 2,172.09 3,415.29 2,603.23 57.24 -23.78
DJI 11,150.22 12,463.15 13,443.75 11.77 7.87
SIASA 4,543.79 6,979.53 13,202.68 53.61 89.16
KOSPI 1,295.15 1,434.46 1,743.60 10.76 21.55
Tabel 2.1Perkembangan Indeks Harga Beberapa Bursa Regional
Sem II 06 Sem I 07
Pertumbuhan (%)Jun 06 Des 06 Jun 07
Pertanian 661.25 1,190.71 1,680.12 80.07 41.10
Industri Dasar 111.45 148.79 196.10 33.50 31.80
Knstr, Properti,RE 77.43 120.82 211.72 56.03 75.24
Konsumsi 299.32 390.19 437.01 30.36 12.00
Keuangan 142.39 204.39 223.14 43.54 9.17
Infra Struktur 585.96 754.54 750.43 28.77 -0.54
Pertambangan 729.65 920.31 1,647.04 26.13 78.97
Aneka Industri 192.43 282.14 324.96 46.62 15.18
Jasa Perdagangan 212.68 274.28 387.38 28.96 41.24
Grafik 2.2Perkembangan Indeks Harga Sektoral
Jun 06 Des 06 Jun 07Sem II 06 Sem I 07
Pertumbuhan (%)
38
Bab 2 Sektor Keuangan
kapitalisasi pasar walau likuiditas pasar tetap rendah. Pada
semester I 2007 likuiditas pasar saham diharapkan
membaik dengan terdapatnya emisi sebesar Rp11,5 triliun.
Namun, tampaknya emisi tersebut belum mampu
mengimbangi tingginya minat investor untuk melakukan
penanaman pada saham sehingga tetap terjadi bubble
price. Cenderung tertahannya emisi baru juga karena
adanya kecenderungan sebagian emiten untuk memilih
melakukan emisi obligasi dengan memanfaatkan
momentum perkembangan pasar yang menguat dengan
turunnya perkembangan suku bunga.
Walau belum mampu sepenuhnya mendukung
pembentukan harga yang efisien, terdapatnya emisi baru
telah memperbaiki likuiditas yang selanjutnya mengurangi
tekanan risiko pasar saham. Hal tersebut tampak pada
Grafik 2.48Transaksi Saham Investor Domestik-Asing
Rp Triliun
0
20
40
60
80
100
120
Jun Sep Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun2006 2007
Total Indonesia Asing
Grafik 2.49Nilai Kapitalisasi & Nilai Emisi
N Kapitalisasi, Rp Triliun N Emisi, Rp Triliun
0
200
400
600
800
1000
1200
1400
1600
270
272
274
276
278
280
282
284
286N Kap (BEJ) N EmisiN Kap (BES)
2006 2007
Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun
sektor industri dasar stabil yaitu sekitar 30% yang didukung
tetap membaiknya harga logam di pasar internasional.
Profit taking yang dilakukan investor asing pada saham
sektor keuangan menyebabkan terkoreksinya harga.
Namun, kuatnya sentimen positif penurunan suku bunga
menyebabkan tetap menguatnya harga saham sektor
keuangan.
Pesatnya perkembangan harga saham lebih
didukung oleh maraknya transaksi. Pada semester I 2007
transaksi saham meningkat sekitar Rp38 triliun sehingga
menjadi Rp87 triliun. Sejalan dengan perkembangan
tersebut, transaksi saham investor asing juga meningkat
yang mencatat net beli sekitar Rp11 triliun (semester I
2007) dibandingkan dengan net beli sekitar Rp7,5 triliun
(semester II 2006).
Pesatnya perkembangan harga yang hanya didukung
maraknya transaksi mampu mendukung pertumbuhan
0
200
400
600
800
1000
1200
1400
1600
1800
2000
2007
29Des
12Jan
26Jan
9Feb
23Feb
9Mar
23Mar
6Apr
20Apr
4Mei
18Mei
1Jun
15Jun
29Jun
2006
PertanianKonsumsiPertambangan
Indust DasarKeuanganAneka Indus
Konstruksi,Properti,Real EstateInfrastrukturJasa Perdag
Grafik 2.47Perkembangan Indeks Sektoral
IHSG 0.80 0.20 0.00 0.00 0.15 0.43 0.43 0.00Pertanian 0.51 0.49 0.00 0.00 0.46 0.54 0.00 0.00Industri Dasar 0.31 0.69 0.00 0.00 0.35 0.27 0.39 0.00Konstruksi,Properti, RE 0.31 0.69 0.00 0.00 0.39 0.61 0.00 0.00Konsumsi 0.33 0.67 0.00 0.00 0.37 0.27 0.35 0.00Keuangan 0.47 0.53 0.00 0.00 0.36 0.64 0.00 0.00Infra Struktur 0.29 0.71 0.00 0.00 0.46 0.54 0.00 0.00Pertambangan 0.34 0.66 0.00 0.00 0.39 0.45 0.16 0.00Aneka Industri 0.42 0.58 0.00 0.00 0.34 0.66 0.00 0.00Jasa Perdagangan 0.31 0.69 0.00 0.00 0.39 0.34 0.27 0.00
Tabel 2.3Perkembangan Efisiensi Pasar Saham
< 0,5 0,5 - <0,75 0,75 - <1 >1 < 0,5 0,5 - <0,75 0,75 - <1 >1
Sem II 2006 Sem I 2007
39
Bab 2 Sektor Keuangan
perkembangan distribusi koefisien efisiensi pasar (MEC)
yang menunjukkan jauh berkurangnya volatilitas jangka
pendek pada semester I 2007 dengan meningkatnya
proporsi nilai MEC yang berada pada kisaran 0,75-<1 pada
semester I 2007.4
Pasar Obligasi
Pada semester I 2007 pasar obligasi mengalami
perkembangan pesat terutama didukung perkembangan
suku bunga yang menurun. Di pasar SUN, pesatnya
perkembangan harga kurang didukung perkembangan
likuiditas yang setara, sehingga tingkat harga naik terlalu
tinggi. Pada semester I 2007 posisi SUN naik dari Rp419
triliun menjadi Rp451 triliun. Sejak Mei 2007 pemerintah
juga telah menerbitkan SPN yang posisinya mencapai
Rp3,9 triliun (akhir semester I 2007).
Grafik 2.52Kepemilikan SUN
Triliun Rp
0
50
100
150
200
250
300
2006 2007Sep Okt Nov Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun
Perbankan Residen Asing
diversifikasi penanaman pada SPN. Perilaku tersebut
menyebabkan sedikit terkoreksinya harga SUN.
Penyesuaian portofolio investor berdampak pada
turunnya kepemilikan SUN perbankan dari sekitar Rp269
triliun (awal 2007) menjadi Rp258 triliun (akhir semester I
2007). Namun, baiknya prospek pasar obligasi
menyebabkan tetap tingginya minat investor terhadap
SUN. Pada semester I 2007 kepemilikan SUN investor
residen non perbankan dan investor asing naik dari masing-
masing sekitar Rp87 triliun dan Rp55 triliun (awal 2007)
menjadi masing-masing Rp97 triliun dan Rp82 triliun (akhir
semester I 2007).
Grafik 2.50Perkembangan Harga SUN
85
90
95
100
105
110
115
120
125
130
2Jan
16Jan
30Jan
13Feb
27Feb
13Mar
27Mar
10Apr
24Apr
8Mei
22Mei
5Jun
19Jun
2007
FR0040
FR0028
FR0045
FR0043
FR0034
FR0042
FR0044
Tetap tidak likuidnya pasar terutama untuk tenor
panjang, di samping terdapatnya isu kenaikan suku bunga
global yang bersumber dari tekanan inflasi perekonomian
AS mendorong investor utama SUN, yaitu perbankan dan
asing menyesuaikan portofolio, yaitu melepas SUN yang
harganya sudah terlalu tinggi dan membeli SUN yang
harganya masih murah melalui pembelian di pasar
perdana. Di samping itu, investor perbankan melakukan
Grafik 2.51Distribusi SUN Menurut Tenor
Rp Triliun
0
5
10
15
20
25
30
35
40
1 th 3 th 5 th 7 th 9 th 11 th 13 th 15 th 17 th 19 th 30 th
FR VR
4 Penjelasan lebih rinci tentang koefisien efisiensi pasar (MEC) dapat dilihat pada KSKNo.5, September 2005.
Ekspektasi berlanjutnya penurunan suku bunga
domestik memberikan prospek positif bagi perkembangan
pasar obligasi. Ekspektasi tersebut terindikasi pada
turunnya yield penanaman rupiah tenor jangka panjang
sekitar 80 bps. Perkembangan yang sama terjadi pada yield
40
Bab 2 Sektor Keuangan
penanaman jangka panjang emerging markets Asia, seperti
Thailand, Malaysia dan Singapura. Namun, prospek jangka
panjang pasar obligasi emerging countries dibayangi
kekhawatiran terjadinya koreksi pasar yang dipicu sentimen
negatif meningkatnya suku bunga global. Kekhawatiran
tersebut menyebabkan sempat meningkatnya yield
penanaman jangka panjang emerging markets pada akhir
semester I 2007 sebagai imbas dari naiknya yield
penanaman US$. Terdapatnya kekhawatiran tersebut
menyebabkan penanaman pada instrumen keuangan
emerging markets cenderung berjangka pendek yang
berdampak pada perkembangan harga yang volatile
terutama dalam jangka pendek.
Trend penurunan suku bunga mulai berdampak
positif terhadap perkembangan pasar obligasi korporasi.
Perkembangan tersebut sejalan dengan mulai turunnya
suku bunga kredit perbankan. Pada semester I 2007,
emiten obligasi korporasi bertambah dari 162 perusahaan
(Desember 2006) menjadi 168 perusahaan (Juni 2007).
Nilai emisi oleh 6 emiten baru mencapai sekitar Rp3 triliun
sementara nilai emisi seluruh emiten naik Rp18,5 triliun
menjadi Rp121,12 triliun (akhir semester I 2007).
Dengan memperhitungkan obligasi korporasi jatuh
waktu, realisasi emisi obligasi korporasi naik Rp12,5 triliun.
Perkembangan tersebut juga mengindikasikan terdapatnya
sebagian emisi obligasi korporasi yang merupakan
refinancing terutama karena memanfaatkan trend
menurunnya perkembangan suku bunga ke depan.
Reksa Dana
Pesatnya perkembangan pasar saham dan pasar
obligasi sebagai dampak turunnya suku bunga telah
berimbas pada kinerja reksa dana. Turunnya suku bunga
simpanan juga mendorong investor untuk mengalihkan
penanaman dari deposito berjangka kepada instrumen
pasar modal yang menjanjikan return lebih tinggi
terutama reksa dana. Pada semester I 2007 NAB naik
31,7% sehingga menjadi sebesar Rp67,01 triliun.
Kenaikan NAB disertai kenaikan pada jumlah unit
penyertaan mencerminkan adanya tambahan investor
baru. Jenis reksa dana tetap terkonsentrasi pada jenis
pendapatan tetap yang memiliki aset pendukung obligasi
terutama SUN. Bullishnya pasar saham telah mendukung
Grafik 2.55Emisi dan Posisi Obligasi Korporasi
Emisi & Posisi, Rp Triliun Emiten
0
20
40
60
80
100
120
140
156
158
160
162
164
166
168
170Emisi Posisi Emiten
Jun Sep Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun2006 2007
Grafik 2.54Perbandingan Volatilitas Harga Aset Keuangan
Persen0 5 10 15 20 25
30hr 100hr
Singapore
US
Indonesia
Philipina
Thailand
Malaysia
Grafik 2.53Perkembangan Yield Tenor 20 Tahun
Persen
0
2
4
6
8
10
12
Indonesia Philipina Thailand
Malaysia Singapura Amerika Serikat
2007
8Jan
22Jan
5Feb
19Feb
5Mar
19Mar
2Apr
16Apr
30Apr
14Mei
28Mei
11Jun
25Jun
41
Bab 2 Sektor Keuangan
Grafik 2.56Perkembangan Reksa Dana Per Jenis
Sumber: Bapepam
Rp Triliun
-
10
20
30
40
50
60
70
80
Mar Jun Sep Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun2006 2007
FI Saham Mixed PU Terproteksi Indeks NAV
kenaikan reksa dana jenis saham. Sementara itu, sejalan
dengan turunnya perkembangan suku bunga, reksa dana
jenis pasar uang mengalami penurunan.
Di samping reksa dana, investor semakin aktif
melakukan penanaman melalui para manajer investasi
(MI). Pada semester I 2007 (s.d April 2007), pengelolaan
dana oleh MI naik 15% sehingga menjadi Rp90,53 triliun
sementara jumlah MI meningkat dari 90 menjadi 94. Dana
sebesar Rp90,53 triliun tersebut terbagi atas dana kelolaan
reksa dana, discretionary funds dan lainnya. Dari seluruh
dana kelolaan tersebut sebagian besar yaitu 96% dimiliki
investor domestik, terutama investor institusi.
Semakin berkembangnya berbagai alternatif
instrumen pasar modal yang ditawarkan melalui
pengelolaan dana oleh MI menyebabkan dampak
penurunan suku bunga terhadap reksa dana tidak sebesar
sebagaimana tahun-tahun sebelumnya. Di samping itu,
semakin berkembangnya regulasi reksa dana terutama
terkait disiplin penerapan mark to market dan aspek
transparansi telah semakin meningkatkan pemahaman
masyarakat akan risiko reksa dana. Dengan dukungan
aspek regulasi tersebut, pertumbuhan reksa dana akan
lebih sustainable sehingga risiko bagi investor semakin
terantisipasi.
42
Bab 2 Sektor Keuangan
Kondisi Financial Deepening di IndonesiaBoks 2.1
Financial deepening merupakan suatu istilah yang
menggambarkan perkembangan sektor keuangan
pada suatu negara (Lynch, 1996; Kiyotaki dan Moore,
2005). Financial deepening sangat diperlukan untuk:
(i) memperkuat dan meningkatkan stabilitas sistem
keuangan, (ii) meningkatkan aliran uang dalam sektor
keuangan, (iii) meningkatkan efisiensi dan daya saing
sektor keuangan, dan (iv) meningkatkan akses terhadap
produk dan jasa keuangan, termasuk akses dari
masyarakat miskin dan terkebelakang.
Untuk menilai kondisi financial deepening, Shaw
(1973) menggunakan Rasio M2/GDP, Rasio Claims on
Private Sectors/GDP, dan Rasio Fixed Capital Formation/
GDP. Semakin tinggi rasio berarti semakin dalam
financial deepening, semakin besar penggunaan uang
dalam perekonomian, atau semakin luas kegiatan
sektor keuangan. Penilaian juga dapat dilakukan
dengan memperbandingkan nominal finance dan real
finance, dan dengan meneliti apakah terdapat real rates
of return yang rendah atau negatif.
Kebalikan dari financial deepening adalah
≈shallow financeΔ (Shaw, 1973), dengan karakteristik
antara lain sebagai berikut:
• Sektor keuangan didominasi oleh perbankan dan
aliran uang dari luar negeri baik berupa bantuan/
pinjaman, suppliers» credits, maupun investasi
langsung.
Real rates of return rendah atau negatif. Akibatnya,
pemilik aset keuangan tidak memperoleh reward
dari real growth pada portfolio, mereka malah
dirugikan.
Perekonomian sangat tergantung pada anggaran
pemerintah dan international capital accounts.
Permintaan terhadap aset keuangan terhambat oleh
suku bunga riil yang rendah, sedangkan penawaran
terhambat oleh credit rationing.
Terjadi overvaluation pada domestic money di pasar
foreign exchange spot. Hal ini tidak mendorong
ekspor dan tabungan, tapi malah mendorong
impor dan konsumsi.
Terjadi pelarian modal (capital flight) ke luar negeri.
Sektor keuangan Indonesia dewasa ini
menunjukkan beberapa kemajuan. Hal ini antara lain
terlihat dari meningkat pesatnya kegiatan di pasar
saham dan pasar obligasi (terutama SUN). Disamping
itu, transaksi valas secara bertahap terus mengalami
kenaikan sejalan dengan peningkatan kebutuhan
pelaku pasar, terkait dengan partisipasi pelaku asing
yang meningkat pesat di pasar keuangan domestik.
Sumber: Hasil olahan data yang berasal dari Bank Indonesia. Index dihitung denganmenjadikan tahun 2000 sebagai tahun dasar, mengikuti perhitungan GDP Riil denganharga konstan tahun 2000. Untuk menghitung Real Finance digunakan deflatorIndeks Harga Konsumen (IHK) pada tahun yang bersangkutan.
2000 1,00 1,002001 1,13 0,972002 1,18 0,962003 1,28 0,992004 1,38 1,012005 1,61 1,032006 1,85 1,02
Tabel Boks 2.1.2Perkembangan Financial Deepening Indonesia
Tahun IndeksNominal Finance
Indeks Real Finance
1997 56,66 60,82 28,311998 60,41 53,21 25,431999 58,76 20,48 20,142000 53,75 19,45 19,852001 50,11 17,75 19,232002 47,44 18,91 19,002003 46,93 20,95 19,292004 45,48 24,97 21,682005 44,06 25,96 21,972006 41,40 23,86 23,97
Tabel Boks 2.1.1Perkembangan Financial Deepening Indonesia
Tahun M2/GDP(%)
Claims on PrivateSectors /GDP (%)
Fixed CapitalFormation/GDP (%)
Sumber: Hasil olahan data yang berasal dari Bloomberg.
43
Bab 2 Sektor Keuangan
2000 12,17 n.a n.a 2,82 n.a n.a2001 15,48 n.a n.a 2,93 n.a n.a2002 15,28 14,79 n.a 5,25 4,76 n.a2003 10,39 12,16 13,07 5,29 7,06 7,972004 7,07 8,66 10,27 0,67 2,26 3,872005 10,95 13,25 13,30 -6,15 -3,85 -3,802006 11,63 8,31 9,36 5,03 1,71 2,76
Namun demikian, kondisi financial deepening
Indonesia tampaknya masih belum menggembirakan,
tercermin dari angka Rasio M2/GDP, Rasio Claims on
Private Sectors/GDP, dan Rasio Fixed Capital Formation/
GDP yang cenderung terus menurun (Tabel 2.1.1).
Indikator lainnya adalah real finance yang jauh lebih
rendah daripada nominal finance. Sebagai contoh,
pada tahun 2006 nominal pertumbuhan M2 sebesar
85%, namun secara riil hanya sebesar 2% (Tabel
2.1.2). Selain itu, menggunakan data tingkat bunga
deposito dan yield Surat Utang Negara (SUN) seri FR05
dan FR21 sebagai suatu illustrasi, real rates of return
terlihat rendah dan bahkan negatif pada tahun
tertentu (Tabel 2.1.3).
Hal-hal lainnya yang mengindikasikan bahwa
Indonesia dewasa ini sedang menghadapi
permasalahan dalam financial deepening adalah (i)
kurang berjalannya fungsi intermediasi perbankan, (ii)
relatif mahalnya biaya dana, (iii) kurang tersedianya
sumber dana jangka panjang, (iv) keterbatasan
alternatif instrument keuangan yang disediakan oleh
lembaga-lembaga keuangan, dan (v) belum
berkembangnya pasar hedging dan derivatif. Selain
itu, akses dari masyarakat miskin dan terkebelakang
terhadap produk dan jasa keuangan juga masih relatif
terbatas.
Untuk mendiskusikan langkah-langkah yang
dapat ditempuh guna memajukan financial deepening
di Indonesia, pada 22-24 Agustus 2007 di Bali telah
dilaksanakan Seminar Internasional dengan tema
≈Financial Sector Deepening and Financial Stability:
Benefits and ChallengesΔ. Belajar dari pengalaman
negara lain yang diungkapkan dalam seminar
tersebut, terlihat betapa pentingnya bagi Indonesia
untuk segera melakukan financial deepening, namun
harus dilakukan secara berhati-hati agar tidak
menimbulkan tekanan terhadap stabilitas sistem
keuangan. Untuk itu, beberapa kajian untuk
meningkatkan financial deepening saat ini terus
dilakukan.
Daftar Pustaka
Kiyotaki, N. dan Moore, J. (2005), ≈Financial
DeepeningΔ, Journal of the European Economic
Association, 3(2-3): 701-713.
Lynch, D. (1996), ≈Measuring Financial Sector
Development: A Study of Selected Asia-Pacific
CountriesΔ, The Developing Economies, 34(1):
3-33.
Shaw, E. S. (1973), Financial Deepening in Economic
Development, Oxford University Press, London.
Tabel Boks 2.1.3Real Rates of Returns di Indonesia
Tahun Tingkat BungaDeposito (%)
Sumber: Hasil olahan data yang berasal dari Bloomberg dan Bank Indonesia.
Yield SUNFR05 (%)
Yield SUNFR21 (%)
Real Rates of ReturnsDeposito (%)
Real Rates of ReturnsSUN FR05 (%)
Real Rates of ReturnsSUN FR21 (%)
44
Bab 2 Sektor Keuangan
Capital Inflows dan Sudden Reversal: Siapkah KitaMenghadapi Krisis?
Boks 2.2
Peningkatan capital inflows ke Indonesia akhir-
akhir ini telah menimbulkan kekhawatiran akan
berulangnya krisis keuangan yang terjadi tepat 10 tahun
yang lalu. Meskipun tidak ada satu orangpun yang dapat
memastikan kapan akan terjadinya krisis, penting sekali
dilakukan analisis tentang kemungkinan terjadinya krisis
dan seberapa siapkah kita menghadapinya.
Hal yang paling ditakutkan dari peningkatan capital
inflows adalah apabila terjadi pembalikan arus modal
secara tiba-tiba dan secara serentak (sudden reversal)
sehingga dapat memicu terulangnya krisis. Ketakutan
ini cukup beralasan karena mayoritas capital inflows
berjangka pendek dan umumnya ditanamkan dalam SBI,
SUN dan saham. Dengan penanaman dalam instrumen
berjangka pendek, investor asing dapat dengan mudah
mengalihkan penanaman ke luar Indonesia.
Faktor-faktor apa sajakah yang dapat memicu
sudden reversal? Secara umum terdapat 2 kelompok
faktor penyebab, yaitu faktor ekonomi dan faktor non-
ekonomi. Termasuk dalam faktor ekonomi adalah (i)
menyempitnya interest rate differential, (ii) rendahnya
yield yang dapat membuat berinvestasi di Indonesia
menjadi kurang menarik, dan (iii) contagion effect dari
negara lain. Contoh faktor non-ekonomi adalah
gejolak politik dan keamanan dalam negeri. Untuk
menghindari terulangnya krisis, penting sekali
dilakukan langkah-langkah untuk menghilangkan,
atau paling tidak meminimalkan, keberadaan faktor-
faktor pemicu tersebut.
Secara umum, dampak sudden reversal dapat
dilihat paling tidak dari 2 (dua) perspektif, yaitu (i) First
Round Effect, yaitu dampak yang langsung
mempengaruhi posisi keuangan bank atau lebih
bersifat mikro, dan (ii) Second Round Effect, yaitu
dampak lanjutan yang bersifat tidak langsung terhadap
posisi keuangan individual bank dan industri perbankan
secara keseluruhan (makro).
Pada first round effect, terdapat potensi kerugian
pada bank karena repricing asset/liability valas, dan
potensi gangguan likuiditas untuk pemenuhan
kebutuhan valas. Selain itu, first round effect juga dapat
menimbulkan kerugian pada trading portfolio surat-
surat berharga. Sebagai contoh, aksi jual yang dilakukan
investor asing dapat membuat harga SUN jatuh
sehingga bank yang memiliki SUN akan mengalami
kerugian. Sementara itu, pada second round effect,
sudden reversal akan mengakibatkan peningkatan NPL
valas. Hal ini kemudian akan memicu peningkatan NPL
rupiah karena debitur kedit valas biasanya juga
mendapat kredit rupiah. Gangguan likuiditas akan lebih
besar karena deposan rupiah kemungkinan ikut-ikutan
menarik uangnya untuk bermain dalam valas.
Akibatnya, nilai rupiah akan semakin tertekan sehingga
krisis yang baru menjadi diambang pintu.
Seberapa siapkah Indonesia menghadapi krisis
yang baru? Belajar dari pengalaman krisis 1997/1998,
telah banyak langkah perbaikan yang dilakukan
sehingga Indonesia dewasa ini sudah lebih siap dan
memiliki ketahanan sistem keuangan yang lebih baik
dibandingkan dengan periode sebelum krisis.
Beberapa kemajuan penting yang telah dicapai oleh
industri perbankan paska krisis adalah:
- Permodalan bank dalam beberapa tahun terakhir
relatif jauh lebih tinggi dibandingkan sebelum
krisis, sehingga dapat menjadi buffer yang kuat
dalam menghadapi ΔshockΔ. Selain itu,
profitabilitas juga relatif lebih baik dibandingkan
dengan kondisi sebelum krisis.
- Kualitas kredit terus membaik yang tercermin dari
rasio NPL yang terus menurun, berbeda dengan
situasi menjelang krisis dimana kualitas kredit terus
memburuk.
- Dalam pengelolaan bisnis sehari-hari, perbankan
telah menerapkan fungsi risk management yang
45
Bab 2 Sektor Keuangan
lebih baik dan wajib dilaksanakan dari sisi
ketentuan, sementara sebelum krisis fungsi
tersebut kurang diterapkan. Selain itu, perbankan
sudah menerapkan prinsip-prinsip good corporate
governance, sesuatu hal yang diabaikan sebelum
krisis.
- Posisi Devisa Neto (PDN) perbankan dewasa ini
sangat kecil, yaitu sekitar 3% s.d. 5%. Selain itu,
pelaksanaan transaksi derivatif tidak seaktif
sebelum krisis, umumnya hanya untuk hedging and
matching position, bukan untuk maksud trading
sebagaimana yang terjadi sebelum krisis.
- Tidak ada pelanggaran Batas Maksimum
Pemberian Kredit (BMPK), padahal menjelang krisis
banyak terjadi pelanggaran BMPK (terutama untuk
pihak terkait).
- Paska krisis, potensi risiko perbankan relatif
berkurang dan terdiversifikasi sejalan dengan (i)
pergesaran fokus kredit dari jangka panjang ke
kredit jangka pendek seperti konsumsi, atau dari
jenis kredit korporasi ke kredit UMKM, (ii)
penurunan kredit sektor Industri Pengolahan dan
kemudian bergeser ke kredit sektor Perdagangan,
(iii) kredit dalam valas, yang sensitif terhadap
perubahan nilai tukar, tumbuh stabil dengan
pangsa sekitar 20% - 23%, dan (iv) meningkatnya
penanaman bank dalam SBI dan SUN.
Hal-hal lainnya yang berhasil dicapai paska krisis
dan mendukung ketahanan sistem keuangan adalah:
- Adanya Jaring Pengaman Sektor Keuangan (JPSK),
termasuk pendirian Lembaga Penjamin Simpanan
(LPS) untuk perlindungan dana nasabah. Sebelum
krisis, Indonesia tidak memiliki jaring pengaman
(safety nets) seperti ini.
- Cadangan devisa jauh lebih besar dibanding
periode sebelum krisis dengan kecenderungan
terus meningkat. Dengan cadangan devisa yang
lebih besar, ketahanan sistem keuangan menjadi
lebih kuat.
- Paska krisis sudah disusun Arsitektur Perbankan
Indonesia (API) yang antara lain mencakup
program-program seperti konsolidasi perbankan,
kewajiban sertifikasi manajemen risiko bagi
perbankan, penguatan kualitas operasional dan
manajemen perbankan, serta penerapan best
practices dalam pengawasan bank.
Kemajuan-kemajuan tersebut di atas
memberikan petunjuk yang cukup kuat bahwa
dewasa ini sektor keuangan Indonesia, terutama
industri perbankan, telah memiliki ketahanan yang
lebih baik. Dengan demikian, Indonesia akan lebih siap
menghadapi setiap kemungkinan terjelek yang dapat
mengganggu stabilitas sektor keuangan, termasuk jika
terjadi sudden reversal yang memicu krisis.
Grafik Boks 2.2.2.Perkembangan Kredit Valas
700
600
500
400
300
200
100
0
12.000
10.000
8.000
6.000
4.000
0
2.000
1995 1997 1999 2001 2003 2005 2007
Kredit ValasKredit Rupiah
Kurs (kanan)
Rp Triliun USD/Rp
Grafik Boks 2.2.1.NPL & CAR Sebelum dan Sesudah Krisis
NPLs Gross (%) CAR (%)
Pre Crisis
Crisis
Recovery
1996 1998 2000 2002 2004 2006
-25,0
-15,0
-5,0
5,0
15,0
25,0
35,0
45,0
55,0
46
Bab 2 Sektor Keuangan
Halaman ini sengaja dikosongkan
47
Bab 3 Prospek Sistem Keuangan Indonesia
Bab 3Prospek SistemKeuangan Indonesia
48
Bab 3 Prospek Sistem Keuangan Indonesia
Halaman ini sengaja dikosongkan
49
Bab 3 Prospek Sistem Keuangan Indonesia
Indo 14 BB- 6.57 196.5 114.8
Indo 17 BB- 6.74 203 124
Indo 35 BB- 7.34 245.6 177.4
PDB (% yoy) 6.0 6.3 6.1 6.1 6.2 6.0 6.1 6.0
Inflasi (% yoy) 6.4 6.0 6.3 6.5 6.3 6.5 6.4 6.3
Neraca Perdagangan (US$ miliar) 8.0 9.3 8.7 9.5 9.4 9.6 9.5 10.3
3.1. PROSPEK EKONOMI DAN PERSEPSI RISIKO
Prospek ekonomi tampaknya masih positif dan
berpotensi tumbuh dalam beberapa periode ke depan.
Analis ekonomi Asia Pasifik juga meyakini pertumbuhan
ekonomi yang didukung dengan peningkatan
perdagangan internasional dan tingkat inflasi yang
terjaga pada tingkat sekitar 6%. Kondisi ini diharapkan
mampu mendorong pengembangan sektor riil dan
memperkuat ketahanan perekonomian terhadap risiko-
risiko yang dapat mempengaruhi kestabilan sistem
keuangan. Selain itu momentum kestabilan kondisi makro
dan masih menariknya yield instrumen telah
meningkatkan investasi yang dilakukan oleh para hedge
fund untuk dapat mengkompensasi penurunan credit
spread investasi global.
Investor asing masih menganggap kondisi ekonomi
Indonesia menarik dan relatif stabil. Oleh karena itu, telah
masuk aliran investasi baik berjangka panjang maupun
berjangka pendek yang di pasar negara berkembang
berbentuk obligasi, leveraged lending dan structured credit
products. Namun demikian, kondisi yang positif tersebut
perlu diwaspadai karena peningkatan suku bunga di pasar
keuangan negara berkembang lain atau di negara maju
yang sebesar 200 bps berpotensi memicu pemindahan
dana sehingga akan mempengaruhi potensi pertumbuhan
ekonomi Indonesia.
Sistem keuangan Indonesia dalam semester I 2007 relatif stabil yang didukung
permodalan bank yang kuat, indikator makro ekonomi yang kondusif dan
kondisi korporasi yang memiliki kinerja rentabilitas yang positif. Namun
demikian, peningkatan investasi asing jangka pendek di pasar modal dan
berbagai tekanan di pasar global yang dapat menyebabkan pembalikan
investasi serta adanya potensi peningkatan risiko kredit perbankan domestik
perlu dipantau secara konsisten dan berkesinambungan.
Prospek Sistem Keuangan IndonesiaBab 3
Tabel 3.1Konsensus Proyeksi Beberapa Indikator Ekonomi
2007 2008
Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4
Sumber: Asia Pacific Concensus Forecast
Tabel 3.2Persepsi Risiko Indonesia
Sumber: Bloomberg
Obligasi Rating Ytm (%)Yield Spread (bp)
Juni Desember
50
Bab 3 Prospek Sistem Keuangan Indonesia
3.2. PROFIL RISIKO PERBANKAN: TINGKAT DAN
ARAH
Sistem perbankan masih dalam kondisi yang stabil
walaupun kegiatan intermediasi bank masih belum
optimal. Kondisi tersebut tampaknya mendorong
penguatan permodalan bank yang memiliki CAR sebesar
21,4% dan ROA sebesar 2,8%. Namun demikian, relaksasi
ketentuan yang dilakukan agar bank segera menyalurkan
kredit perlu mendapat perhatian agar tidak meningkatkan
kredit bermasalah bank.
Sementara itu, risiko pasar (nilai tukar) masih rendah
dengan volatilitas nilai tukar yang juga rendah. Ke depan,
potensi risiko nilai tukar diperkirakan tidak material karena
perbankan diperkirakan masih akan memelihara portofolio
valas atau PDN yang rendah. Namun demikian, risiko suku
bunga agak moderat. Hal tersebut karena profil maturity
perbankan cukup rawan terhadap pembalikan arah suku
bunga. Selain itu, instrumen keuangan yang dapat
digunakan manajemen untuk mengendalikan risiko suku
bunga juga masih terbatas sejalan dengan belum
berkembangnya pasar hedging dan derivative di dalam
negeri.
Sama halnya dengan risiko suku bunga, maka risiko
pasar harga SUN juga tergolong agak moderat. Namun
demikian, pengendalian risiko suku bunga dapat dilakukan
secara lebih baik dibandingkan dengan pengendalian risiko
pasar harga SUN. Pengendalian risiko pasar harga SUN
jauh lebih sulit karena gejolak pasar global dapat langsung
mempengaruhi harga SUN, padahal gejolak tersebut di
luar kendali manajemen.
Beberapa hal yang dapat memicu peningkatan risiko
likuiditas adalah struktur DPK yang masih terkonsentrasi
pada dana berjangka pendek, deposan besar, dan dana
milik perorangan. Untuk memitigasi risiko likuditas,
perbankan melakukan penempatan dana pada surat
berharga yang likuid dan memiliki risiko yang rendah. Hal
ini tampaknya cukup berhasil sehingga secara keseluruhan
risiko likuditas perbankan tergolong rendah dengan risk
control system yang umumnya acceptable.
Risiko kredit masih moderat di tengah upaya
restrukturisasi dan peningkatan penyaluran kredit karena
semakin mudahnya akses terhadap kredit untuk proyek-
Grafik 3.1Kurva Yield
Sumber: Bloomberg Tahun
Persen
0
2
4
6
8
10
12
1 3 5 6 7 8 9 10 15 20
3/30/2007
6/29/2007Log. (6/29/2007)
Log. (3/30/2007)
Grafik 3.2Profil Risiko Industri Perbankan dan Arahnya
Smt-I 2007
Outlook
Smt-I 2007
Outlook
Smt-I 2007
Outlook
Inherent Risk
HighM
oderateLow
Strong Acceptable WeakRisk Control
Strong Acceptable WeakRisk Control
Strong Acceptable WeakRisk Control
Risiko Likuiditas Risiko KreditRisiko Pasar
Nilai Tukar
SukuBunga Harga
SUN
51
Bab 3 Prospek Sistem Keuangan Indonesia
proyek infrastruktur. Namun, proses restrukturisasi debitur-
debitur besar yang belum tuntas dan berlangsung lama
telah menyebabkan biaya restrukturisasi menjadi semakin
mahal sehingga diperkirakan dapat mendorong
peningkatan risiko kredit ke depan. Potensi peningkatan
risiko kredit juga muncul karena penerapan manajemen
risiko kredit yang masih memerlukan perbaikan dan masih
adanya kelemahan dalam sistem informasi manajemen
kredit perbankan.
Sementara itu, dari segi risiko operasional,
perbankan Indonesia masih dihadapi berbagai tantangan,
antara lain karena masih banyaknya kasus-kasus
kejahatan perbankan dan masalah-masalah lain yang
terkait dengan teknologi informasi. Selain itu, beberapa
kejadian bencana banjir dan gangguan sistem telah
menyebabkan kegagalan sistem telekomunikasi
walaupun belum menimbulkan kerugian yang signifikan
dan menurunkan kepercayaan masyarakat kepada
perbankan. Tantangan berat lainnya yang dihadapi
perbankan adalah masih adanya kesulitan dalam
melakukan pengukuran risiko operasional dan
merumuskan langkah-langkah mitigasi risikonya. Hal ini
terjadi terutama karena keterbatasan data dan keahlian
yang dimiliki perbankan. Implementasi Basel II diharapkan
akan meningkatkan kemampuan perbankan dalam
pengukuran dan pengendalian risiko operasional.
3.3. PROSPEK SISTEM KEUANGAN INDONESIA
Kondisi sistem keuangan cenderung masih stabil dan
membaik terutama apabila dibandingkan dengan kondisi
pada akhir Desember 2006. Hal tersebut tercermin dari
penurunan indeks stabilitas sistem keuangan (financial
stability index) dari 1,37 menjadi 1,21 (lihat Boks 3.1).
Stabilitas ini didukung oleh semakin membaiknya kondisi
makro ekonomi dan perbankan serta pasar saham dan
obligasi. Ketahanan sistem keuangan pada semester
berikutnya diperkirakan tetap baik, tercermin dari simulasi
indeks stabilitas sistem keuangan yang mencapai 1,25
(Desember 2007).
Prakiraan
0
0,5
1
1,5
2
2,5
3
3,5FSI FSI Average
2003 2004 2005 2006 2007M8 M10M12M2 M4 M6 M8 M10M12 M2 M4 M6 M8 M10M12M2 M4 M6 M8 M10M12 M2 M4 M6 M8 M10M12
Grafik 3.3Financial Stability Index
Potensi risiko terbesar yang dihadapi Indonesia
adalah sebagai akibat meningkatnya modal asing jangka
pendek di pasar saham yang masih bergelembung. Hal ini
merupakan fenomena normal saat ini dimana modal dapat
berpindah secara cepat melewati batas negara.
Perkembangan ini didorong oleh tiga aspek perubahan
yaitu (i) pertumbuhan aset yang dikelola oleh manajer
investasi (ii) perubahan perilaku investasi yang tidak lagi
bersifat ≈home biasΔ dan (iii) inovasi dan progres di bidang
pengelolaan risiko perbankan dan korporasi. Pertumbuhan
hedge funds yang diperkirakan mengelola US$1,4 triliun
dan fokus mereka untuk memperoleh pendapatan absolut
mempengaruhi keputusan investasi hedge funds di pasar
negara berkembang.
Peningkatan aliran dana antar pasar keuangan
menyebabkan pasar antar negara menjadi tanpa batas.
Sebagai contoh, pasar obligasi dan pasar saham di Eropa,
Jepang dan Amerika Serikat menjadi lebih dekat
dibandingkan satu dekade yang lalu. Tekanan yang terjadi
di pasar AS akan menyebabkan permasalahan di negara
lain misalnya sebagaimana krisis subprime mortgage di
AS yang berlanjut ke Australia, Jerman, dan negara
lainnya.
52
Bab 3 Prospek Sistem Keuangan Indonesia
Probability of Default
0
10
20
30
40
50
60
70
0 0,1 0,2 0,3 0,4 0,5 0,6 0,7 0,8 0,9 1
Desember 2007
Walaupun sebagian bursa saham global sudah mulai
kembali normal namun potensi gejolak yang akan terjadi
masih besar. Beberapa faktor utama yang dapat menjadi
pemicu adalah akselerasi inflasi di China, kecenderungan
kenaikan suku bunga global, dan kenaikan harga minyak
dunia yang sempat meningkat menjadi USD70,68 per
barrel pada semester I 2007. Faktor-faktor ini perlu
dipantau dan dimitigasi sehingga tidak menyebabkan
dampak negatif terhadap Indonesia. Salah satu yang perlu
mendapat perhatian adalah faktor penularan ke Bursa Efek
Jakarta sehingga menyebabkan investor melakukan
penarikan dana atau pindah ke instrumen investasi di pasar
uang. Namun diharapkan tekanan ini hanya bersifat
temporer sehingga yang perlu dilakukan adalah melakukan
pemantauan yang berkesinambungan sehingga dapat
diantisipasi perkembangan risikonya.
Sebagaimana yang telah dijelaskan pada bab
sebelumnya, stress test risiko pasar terhadap perbankan
menunjukkan ketahanan yang cukup baik terhadap
perubahan-perubahan variabel makroekonomi. Sementara
itu, stress test sederhana yang dilakukan terhadap sampel
35 konglomerasi/korporasi besar Indonesia yang memiliki
kewajiban valas menunjukkan bahwa permodalan mereka
relatif cukup kuat menghadapi risiko nilai tukar, khususnya
pelemahan rupiah s.d. Rp11.500/USD. Apabila rupiah
melemah lebih dari angka tersebut baru terdapat lebih
dari satu konglomerasi yang akan mengalami tekanan
dalam permodalannya.
Grafik 3.4Probability of Default Perusahaan Non Financial Go Public
Probability of Default
0
10
20
30
40
50
60
70
0 0,1 0,2 0,3 0,4 0,5 0,6 0,7 0,8 0,9 1
Desember 2006
Hasil estimasi probability of default (PD) terhadap
sampel 219 perusahaan non financial go public
menunjukkan bahwa jumlah perusahaan yang memiliki
PD lebih dari 0,5 mengalami sedikit peningkatan, yaitu
dari 66 perusahaan pada akhir Desember 2006 menjadi
69 perusahaan pada akhir Desember 2007 (lihat Boks 3.1).
Hal ini mengindikasikan bahwa risiko kredit ke depan akan
meningkat tipis. Hasil estimasi ini konsisten dengan analisis
sebelumnya yang juga memperkirakan bahwa risiko kredit
akan sedikit meningkat. Namun demikian, pembentukan
cadangan dan kuatnya permodalan bank diperkirakan
dapat mengatasi peningkatan risiko kredit tersebut.
S.d. Rp.11.000/USD 0
S.d. Rp.11.500/USD 1
S.d. Rp.12.000/USD 2
S.d. Rp.13.000/USD 7
S.d. Rp.15.000/USD 10
S.d. Rp.17.000/USD 14
> Rp17.000/USD 35
Tabel 3.3Dampak Nilai Tukar terhadap Permodalan Konglomerasi
KursJumlah konglomerasi yang menjadi
bermasalah permodalannya
53
Bab 3 Prospek Sistem Keuangan Indonesia
Ke depan, pertumbuhan PDB dan masih rendahnya
suku bunga diperkirakan akan meningkatkan prospek
pertumbuhan aktivitas usaha perbankan. Beberapa sektor
yang diperkirakan tumbuh di atas rata-rata pertumbuhan
ekonomi adalah sektor konstruksi (10,2%), transportasi
dan komunikasi (9,7%) dan industri manufaktur (8,5%).
Rencana ekspansi kredit perbankan diperkirakan
meningkat sekitar 22% yang didukung dengan
pertumbuhan dana pihak ketiga. Pengembangan sektor
riil diperkirakan dapat didorong dengan peningkatan
aktivitas di pasar modal khususnya penerbitan obligasi oleh
korporasi.
3.4. POTENSI KERAWANAN
Ketahanan sistem keuangan Indonesia dalam periode
ke depan tampaknya relatif aman. Namun demikian, dari
sisi eksternal terdapat potensi kerawanan antara lain
pertumbuhan ekonomi dunia yang melambat, potensi
lonjakan harga minyak dunia, dan arus modal masuk
berjangka pendek. Selain itu, efektivitas langkah-langkah
penyelesaian krisis subprime mortgage yang dilakukan oleh
otoritas moneter dan perbankan negara-negara terkait
juga dapat berpengaruh terhadap stabilitas sistem
keuangan Indonesia. Dari sisi internal, potensi kerawanan
dapat muncul dari persiapan menjelang Pemilu yang
diperkirakan dapat mempengaruhi aktivitas bisnis dan
perkembangan risiko pada sektor keuangan, terutama
kondisi keamanan yang tidak mendukung dapat memicu
terjadinya capital outflows.
Sementara itu, ke depan industri perbankan juga
menghadapi berbagai tantangan yang tidak ringan, antara
lain penyelesaian restrukturisasi kredit, perbaikan
manajemen risiko dan sistem informasi manajemen kredit,
serta sinkronisasi antara upaya peningkatan fungsi
intermediasi perbankan dengan upaya penurunan risiko
kredit. Tantangan lainnya adalah pengembangan rencana
kontinjensi untuk mengurangi risiko operasional, serta
peningkatan efektivitas pengendalian internal dan tata
kelola usaha untuk memperkecil kerawanan pada industri
perbankan. Selain itu, pemenuhan ketentuan modal inti
minimum bank sebesar Rp80 milyar pada akhir tahun 2007
dan sebesar Rp100 milyar pada akhir tahun 2010
diperkirakan juga dapat menjadi tantangan tersendiri bagi
beberapa bank karena dapat mempengaruhi kemampuan
pengendalian risiko mereka ke depan.
Dalam upaya untuk mengurangi risiko telah
dilakukan koordinasi antara Pemerintah dan Bank
Indonesia. Sebagaimana yang akan dijelaskan pada bab
selanjutnya, salah satu inisiatif yang dihasilkan adalah
pembentukan Forum Stabilitas Sistem Keuangan (FSSK)
yang bertujuan untuk menjadi media pertukaran
informasi dan pembahasan risiko-risiko yang berkembang
dalam perekonomian yang berpotensi menyebabkan
krisis.
54
Bab 3 Prospek Sistem Keuangan Indonesia
Financial Stability Index dan Probability of DefaultBoks 3.1
Financial Stability Index
Financial Stability Index (FSI) merupakan suatu
indikator yang digunakan untuk menilai perkembangan
stabilitas keuangan suatu negara. FSI dibangun dari 3
(tiga) blok utama di sektor keuangan Indonesia, yaitu
perbankan, pasar saham dan pasar obligasi (lihat Hadad
et al., 2007). Ketiga blok tersebut saling berhubungan
dan interaksinya mempengaruhi stabilitas keuangan.
Masing-masing blok diwakili oleh satu set persamaan
perilaku, sedangkan keterkaitan antar blok dijelaskan
oleh suatu persamaan identitas. Hal ini terlihat sebagai
berikut:
Persamaan Perilaku:
Blok Perbankan: Non-Performing Loan
npl = f[rlnd, log(income), (rlnd-sbi)]
Blok Pasar Saham: Indeks Harga Saham Gabungan
log(ihsg) = f[log(ihsg(-1)), log(income), rlnd, log(er)]
Blok Pasar Obligasi:Government Yield Bond (5 Years)
yield5yr = f[rdep1m, log(income), log(er)]
Persamaan Identitas:
income = cons + inv
Penjelasan Variabel:
Dengan menggunakan data bulanan yang
berasal dari Laporan Bulanan Bank Umum (LBU),
Bloomberg dan CEIC, masing-masing persamaan
diestimasi dengan pendekatan Three Stage Least
Squares (3SLS). Dalam kajian ini, periode observasi
mencakup Januari 2003 s.d. Juni 2007. Validitas hasil
estimasi pada variabel-variabel endogen diuji dengan
memperhatikan hasil perhitungan root mean squared
error, mean absolute error, mean absolute percentage
error, dan theil inequality coefficient. Selanjutnya
dilakukan pembobotan untuk pembentukan FSI.
Mengingat perbankan mendominasi sektor keuangan,
maka bobot yang lebih besar diberikan kepada
indikator perbankan (dalam hal ini NPL). Hasil estimasi
model dapat digunakan untuk memprediksi FSI satu
tahun ke depan.
Probability of Default
Probability of default (PD) digunakan untuk
mengetahui seberapa besar kemungkinan terjadinya
default (kegagalan pemenuhan kewajiban oleh
perusahaan) di masa yang akan datang. Untuk
mengestimasi PD digunakan metode Barrier Option
yang memodelkan perilaku aset perusahaan terhadap
kewajibannya atas dasar data neraca. Metode ini lebih
disukai karena mampu mengukur PD individual
perusahaan dengan data terbatas, sementara model
lain membutuhkan data yang cukup besar. Metode
ini juga cocok untuk pengukuran PD sektor ekonomi
atau industri yang memiliki karakteristik khusus.
Metode Barrier Option didasarkan pada
pendekatan Merton (1974) dimana aset diasumsikan
mengikuti proses Brownian Motion, yaitu suatu proses
stochastic dengan waktu kontinu yang merupakan
limit dari proses Random Walk. Metode Barrier Option
menjelaskan bagaimana asset bergerak dan seberapa
besar kemungkinan nilai asset jatuh pada treshold
tertentu. Yang menjadi treshold adalah kewajiban
(rlnd-sbi) selisih tingkat suku bunga pinjaman (lendingrate) dan SBI
log(er) nilai tukar nominal (Rp per USD)
log(ihsg) indeks harga saham gabungan
log(income) agregat pendapatan, sektor konsumsi dan
investasi
npl non-performing loanrdep1m tingkat suku bunga deposito 1 bulan
rlnd tingkat suku bunga pinjaman (lending rate)
sbi tingkat suku bunga SBI, 1 bulan
yield5yr government yield bond, 5 years
cons konsumsi
inv investasi
Variabel Pengertian
#) log : logaritma natural##) notasi ≈(-1)Δ : nilai satu periode sebelumnya
55
Bab 3 Prospek Sistem Keuangan Indonesia
(liabilities) dari perusahaan. Pendekatan ini dinilai lebih
baik daripada pendekatan option biasa karena mampu
memperhitungkan seberapa besar kemungkinan nilai
aset jatuh di bawah treshold sebelum masa jatuh
tempo dari aset.
Dalam kajian ini digunakan data total aset dan
total liabilites dari sampel 219 perusahaan non
financial go public yang terdaftar di Bursa Efek Jakarta
(BEJ) pada akhir Desember 2005 dan 2006. Atas dasar
data total aset, dilakukan estimasi terhadap nilai rata-
rata pertumbuhan asset dan nilai volatilitasnya. Hasil
estimasi ini kemudian diolah lebih lanjut untuk
menghitung PD untuk 1 tahun ke depan. Untuk
menghitung PD akhir Desember 2006 digunakan data
neraca perusahaan posisi akhir Desember 2005 dan
untuk menghitung PD akhir Desember 2007
digunakan data posisi akhir Desember 2006. Hasil
estimasi menunjukkan bahwa jumlah perusahaan
yang memiliki PD lebih dari 0,5 pada akhir tahun 2007
akan sedikit meningkat dibandingkan dengan posisi
pada akhir tahun 2006.
Daftar Pustaka
Crosbie, P. (2003), Modeling Default Risk; Modeling
Methodology , Moody»s KMV, 18 Desember 2003.
Hadad, M.D., Safuan, S., Santoso, W., Besar, D.S., dan
Rulina, I. (2007), ≈Model Makroekonomi
Pengukuran Indeks Stabilitas Keuangan: Studi
Kasus IndonesiaΔ, Kajian Stabilitas Keuangan
(KSK), II - 2006 No.8, Maret 2007.
Merton, R.C. (1974), ≈On the Pricing of Corporate
Debt: The Risk Structure of Interest RateΔ, Journal
of Finance, 29:449-470.
Reisz, A. S. dan Perlich, C. (2007), ≈A Maket-Based
Framework for Bankruptcy PredictionΔ, Journal of
Financial Stability, doi:10.1016/j.jfs.2007.02.001.
Grafik Boks 3.1.1.Probability of Default - Metode Barrier Option
Grafik Boks 3.1.2.Probability of Default - Metode Option Biasa
Sumber: Reisz dan Perlich (2007)
Asset
Possible assetvalue path
DefaultPoint
Tt*Default Event
Sumber: Crosbie (2003)
AssetsPossible
asset valuepath
Distributionof asset valueat the horizon
DefaultPoint
ProbabilityDefault
H0
Vo
56
Bab 3 Prospek Sistem Keuangan Indonesia
Halaman ini sengaja dikosongkan
57
Bab 4 Infrastruktur Keuangan dan Mitigasi Risiko
Bab 4Infrastruktur Keuangandan Mitigasi Risiko
58
Bab 4 Infrastruktur Keuangan dan Mitigasi Risiko
Halaman ini sengaja dikosongkan
59
Bab 4 Infrastruktur Keuangan dan Mitigasi Risiko
Nilai Transaksi Volume Nilai Transaksi Volume Nilai Volume
(ribu triliun) Transaksi (ribu triliun) Transaksi
(juta) (juta)
Rp. 16,01 3,63 Rp. 22,09 3,87 38,03% 6,48%
4.1. SISTEM PEMBAYARAN
Sistem pembayaran Indonesia cukup handal serta
tidak menunjukkan risiko yang mengganggu stabilitas
sistem keuangan. Risiko gagal bayar dalam sistem
pembayaran semakin diminimalkan.
seluruh transaksi bernilai besar (>Rp100 juta) dilakukan
melalui sistem ini. Komposisi sistem BI-RTGS selama
semester I 2007 mencapai 92,85%, sistem kliring 3,50%
dan sisanya melalui sistem yang dilaksanakan di luar Bank
Indonesia. Transaksi melalui sistem BI-RTGS pada semester
ini mengalami peningkatan baik secara nilai maupun
volume jika dibandingkan dengan semester sebelumnya.
Nilai transaksi semester ini tercatat sebesar Rp22,09 ribu
triliun atau naik 38,03% dari semester sebelumnya
(Rp16,01 ribu triliun). Sedangkan volume transaksi
semester ini adalah sebesar 3,87 juta transaksi atau
Selama semester I 2007, sistem pembayaran yang merupakan infrastruktur
keuangan utama di Indonesia tetap handal dan mendukung terpeliharanya
stabilitas sistem keuangan. Kendati terjadi peningkatan volume dan nilai
setelmen, sistem pembayaran berfungsi tanpa kendala. Sementara itu, upaya
penguatan Jaringan Pengaman Sistem Keuangan (JPSK) terus dilanjutkan.
Selain itu, Forum Stabilitas Sistem Keuangan (FSSK) yang organisasinya baru
saja lebih disempurnakan telah mulai beroperasi. Ke depan, FSSK juga akan
menjadi wadah koordinasi pelaksanaan Financial Sector Assessment Program
(FSAP) dan Arsitektur Sistem Keuangan Indonesia (ASKI).
Infrastruktur Keuangan dan Mitigasi RisikoBab 4
Grafik 4.1Aktivitas Transaksi Sistem Pembayaran Semester I 2007
92,85%
3,48%
0,18%3,50%
RTGSKliringKartu kredit Kartu account based (ATM,ATM+debet & debet)
BI-RTGS semakin berperan penting dalam sistem
pembayaran, tercermin dari peningkatan pangsa dan
volume setelmen. Setelmen pada sistem pembayaran di
Indonesia semakin didominasi oleh sistem BI-RTGS, karena
Tabel 4.1Perkembangan Nilai dan Volume Setelmen
dalam Sistem BI-RTGS
Pertumbuhanq to q
Semester II 2006 Semester I 2007
60
Bab 4 Infrastruktur Keuangan dan Mitigasi Risiko
meningkat 6,48% dibanding semester sebelumnya (3,63
juta transaksi).
Peningkatan nilai dan volume setelmen terutama
karena peningkatan nilai transaksi pasar uang. Aktivitas
pasar uang masih merupakan transaksi yang mempunyai
pangsa besar dalam sistem BI-RTGS. Nilai transaksi pasar
uang dalam semester ini sebesar Rp9,16 ribu triliun atau
mengalami kenaikan 58,45% dibandingkan semester
sebelumnya. Walaupun volume transaksi pasar uang hanya
1,19% dari total volume transaksi RTGS, namun pangsa
transaksi pasar uang terhadap total nilai transaksi sistem
BI-RTGS dalam semester ini adalah sebesar 41,46%.
Selain itu, terjadi peningkatan transaksi antar bank.
Nilai transaksi antar bank dalam semester ini adalah sebesar
Rp9,72 ribu triliun atau 36,32% lebih besar dibanding
semester sebelumnya. Apabila dilihat dari keseluruhan
transaksi sistem BI-RTGS pada semester ini, transaksi antar
bank mempunyai pangsa terbesar yaitu 44,01% dari total
nilai transaksi dan 86,66% dari total volume transaksi.
Transaksi antara bank terutama untuk jual beli surat
berharga, dengan kenaikan sebesar Rp586,81 triliun atau
naik sekitar 81,04%.
Setelmen melalui kliring juga berjalan tanpa kendala.
Sejak 2005, telah diimplementasikan Sistem Kliring
Nasional Bank Indonesia (SKNBI) yang sampai semester I
2007 telah mencakup 36 wilayah KBI dan 28 wilayah non
BI. Untuk itu, kegiatan kliring terbagi dalam beberapa
siklus, yaitu kliring kredit I, kliring kredit II, dan kliring debet
(terdiri dari kliring penyerahan dan kliring pengembalian).
Pelaksanaan kliring kredit dilakukan secara terpusat di
Jakarta sedangkan kliring debet masih dilaksanakan secara
lokal di masing-masing wilayah KBI namun setelmennya
dilakukan secara terpusat. Nilai transaksi kliring kredit
melalui SKNBI pada semester ini adalah sebesar Rp170,26
triliun dengan volume transaksi sebesar 18,01 juta
transaksi. Sedangkan nilai transaksi kliring debet, dengan
instrumen Cek dan Bilyet Giro (BG) pada semester ini
adalah sebesar Rp466,76 triliun dengan volume transaksi
sebesar 19,85 juta transaksi. Implementasi SKNBI di seluruh
wilayah Indonesia akan lebih meningkatkan kegiatan
perekonomian karena perpindahan dana dapat dilakukan
lebih cepat dengan biaya yang relatif murah.
Di sisi lain, perkembangan instrumen alat pembayaran
dengan mempergunakan kartu (APMK) semakin
meningkat, tidak hanya nilai dan volume transaksinya,
namun juga jenis dan jumlah kartu yang beredar. Jenis
APMK yang ada saat ini adalah Kartu Kredit, Kartu ATM
dan Kartu ATM yang berfungsi sekaligus sebagai Kartu
Debit (ATM+Debit). Jumlah ketiga jenis APMK tersebut di
atas yang beredar sampai dengan akhir semester ini adalah
sebesar 40,46 juta kartu dengan volume transaksi sebesar
809,22 juta dan nilai transaksi mencapai Rp1,103 ribu
triliun. Dari ketiga jenis APMK tersebut, kartu ATM+Debit
merupakan jenis kartu yang mempunyai pangsa terbesar,
baik secara jumlah, nilai maupun volume transaksi. Jumlah
kartu ATM+Debit yang beredar sampai dengan akhir
semester ini adalah sebanyak 29,63 juta kartu atau 73,23%
dari total kartu, dengan pangsa volume dan nilai transaksi
masing-masing sebesar 61,95% dan 66,07%.
Sementara itu, risiko gagal bayar dalam sistem
pembayaran semakin diminimalkan. Dengan prinsip No
Money No Game dalam sistem BI-RTGS dan telah
diterapkannya mekanisme Failure to Settle (FtS) dalam
SKNBI maka risiko gagal bayar sudah diminimalisir sehingga
Kartu Kredit 8,44 62,01 33,05
Kartu ATM 2,39 245,86 341,46
Kartu ATM +debet 29,63 501,29 729,39
TotalTotalTotalTotalTotal 809,22809,22809,22809,22809,22 1.103,891.103,891.103,891.103,891.103,89
Tabel 4.2Transaksi APMK
Jenis Kartu Jumlah Volume Nilai Transaksikartu Transaksi (dalam trilyun)
(dalam juta) (dalam juta)
61
Bab 4 Infrastruktur Keuangan dan Mitigasi Risiko
transaksi pembayaran di Indonesia yang belum tercover
hanya sekitar 3,72%. Bank Indonesia sebagai regulator
semakin mengintensifkan upaya mitigasi risiko dalam
sistem pembayaran. Hal ini antara lain dilakukan melalui
penerbitan ketentuan yang memperhatikan aspek kehati-
hatian dan perlindungan konsumen seperti ketentuan
mengenai Prinsip Perlindungan Nasabah dan Kehati-hatian,
serta Peningkatan Keamanan dalam Penyelenggaraan
Kegiatan APMK.
4.2. KEBIJAKAN DAN MITIGASI RISIKO DALAM
SISTEM PEMBAYARAN
Sepanjang semester I 2007, upaya mitigasi risiko dan
peningkatan kehandalan sistem pembayaran terus
diintensifkan oleh Bank Indonesia. Hal ini dilandaskan
kepada 4 (empat) prinsip, yaitu minimalisasi risiko,
optimalisasi efisiensi, kesetaraan akses dan perlindungan
konsumen. Beberapa kebijakan dan pencapaian sistem
pembayaran yang telah dilakukan selama semester I 2007
adalah:
1.1.1.1.1. Intensifikasi Pemenuhan Sistem BI-RTGS terhadap CPIntensifikasi Pemenuhan Sistem BI-RTGS terhadap CPIntensifikasi Pemenuhan Sistem BI-RTGS terhadap CPIntensifikasi Pemenuhan Sistem BI-RTGS terhadap CPIntensifikasi Pemenuhan Sistem BI-RTGS terhadap CP
SIPSSIPSSIPSSIPSSIPS
CP SIPS merupakan standard internasional yang
dikeluarkan oleh Bank for International Settlements
(BIS), melalui Committee on Payment and Settlement
Sistems (CPSS) yang memuat prinsip-prinsip yang
harus diperhatikan dalam mendisain dan
mengoperasikan sistem pembayaran di setiap negara.
Dari hasil self assessment terhadap sistem BI-RTGS
yang telah dilakukan pada periode sebelumnya, masih
terdapat beberapa CP dimana sistem BI-RTGS masih
belum memenuhi dan memerlukan penyempurnaan.
Berkaitan dengan upaya pemenuhan terhadap CP
tersebut, Bank Indonesia telah melakukan
penyempurnaan pada sisi aplikasi maupun ketentuan
sistem BI-RTGS. Pada sisi aplikasi ditekankan pada
peningkatan fitur-fitur keamanan sistem BI-RTGS dan
kehandalan sistem BI-RTGS yang terkait dengan
ketersediaan sistem bagi peserta selama jam
operasional, baik menggunakan sistem utama
maupun sistem back up. Penyempurnaan ketentuan
dilakukan dengan mempertegas peran Bank
Indonesia dalam penyelenggaraan sistem BI-RTGS,
yaitu peran sebagai regulator, penyelenggara dan
pengawas sistem BI-RTGS.
2.2.2.2.2. Pengawasan Penyelenggaraan Sistem BI-RTGSPengawasan Penyelenggaraan Sistem BI-RTGSPengawasan Penyelenggaraan Sistem BI-RTGSPengawasan Penyelenggaraan Sistem BI-RTGSPengawasan Penyelenggaraan Sistem BI-RTGS
Pengawasan BI-RTGS diintensifkan untuk memastikan
kehandalan sistem. Sistem BI-RTGS merupakan sistem
pembayaran yang bersifat SIPS. Oleh karena itu
penyelenggaraan sistem BI-RTGS merupakan prioritas
dalam pengawasan sistem pembayaran. Tujuan
pengawasan kepada penyelenggaraan sistem BI-RTGS
adalah untuk memastikan penyelenggaraan sistem
BI-RTGS dilakukan secara cepat, aman dan handal
untuk mendukung stabilitas sistem keuangan dengan
memperhatikan prinsip perlindungan konsumen.
Mengingat penyelenggaraan sistem BI-RTGS
melibatkan 2 (pihak), yaitu Bank Indonesia sebagai
penyelenggara dan peserta maka apabila sebelumnya
pengawasan sistem BI-RTGS hanya difokuskan pada
peserta, untuk periode ini pengawasan
penyelenggaraan sistem BI-RTGS juga dilakukan
terhadap penyelenggara sistem BI-RTGS. Terkait
dengan tujuan pengawasan tersebut di atas maka
pengawasan terhadap penyelenggara sistem BI-RTGS
difokuskan pada penilaian secara keseluruhan
terhadap penyelenggaraan sistem BI-RTGS
berdasarkan aspek keamanan, efisiensi, perlindungan
konsumen, penilaian kepatuhan terhadap ketentuan
yang berlaku, standard penyelenggaraan yang telah
disepakati atau kebijakan sistem pembayaran yang
berlaku.
62
Bab 4 Infrastruktur Keuangan dan Mitigasi Risiko
3.3.3.3.3. Business Continuity Plan (BCP) Sistem BI-RTGSBusiness Continuity Plan (BCP) Sistem BI-RTGSBusiness Continuity Plan (BCP) Sistem BI-RTGSBusiness Continuity Plan (BCP) Sistem BI-RTGSBusiness Continuity Plan (BCP) Sistem BI-RTGS
Bank Indonesia terus meningkatkan kesiapan SDM
peserta dalam kondisi darurat dengan melaksanakan
kegiatan uji coba BCP secara rutin. Kelangsungan
operasional sistem BI-RTGS baik di penyelenggara
maupun peserta membutuhkan tidak hanya
kehandalan infrastruktur sistem (aplikasi, hardware
dan jaringan), namun juga tersedianya Sumber Daya
Manusia (SDM) yang memahami prosedur dalam
keadaan darurat (contingency). Berkaitan dengan itu
dan sesuai dengan salah satu rekomendasi
assessment sistem BI-RTGS, Bank Indonesia sebagai
penyelenggara sistem BI-RTGS terus berusaha
meningkatkan kesiapan SDM Peserta dalam kondisi
darurat dengan melaksanakan kegiatan uji coba BCP
secara periodik pada semester I 2007. Disisi lain, untuk
meningkatkan kesiapan sistem backup, Bank
Indonesia memberikan kesempatan kepada peserta
untuk melakukan pengujian backup-nya secara
periodik. Sedangkan untuk meningkatkan kesiapan
infrastruktur di sisi penyelenggara, Bank Indonesia
melakukan uji coba operasional sistem BI-RTGS
dengan menggunakan sistem backup di lokasi
Disaster Recovery Centre (DRC).
Khusus mengenai prosedur dalam kondisi gangguan
dan/atau keadaan darurat, Bank Indonesia akan
menyempurnakan ketentuan mengenai alternatif
penyelesaian transaksi sistem BI-RTGS yang dapat
digunakan oleh Peserta dalam kondisi gangguan dan
keadaan darurat sehingga operasional sistem BI-RTGS
Peserta dapat terus berjalan mengingat dampak
terhentinya operasional salah satu Peserta dapat
berpotensi menimbulkan risiko sistemik.
Penyempurnaan tersebut adalah dengan menambah
alternatif mekanisme penyelesaian transaksi yang
dapat digunakan oleh Peserta dalam kondisi
gangguan dan/atau keadaan darurat. Bila sebelumnya
hanya disediakan instrumen Cek dan Bilyet Giro Bank
Indonesia (BGBI), Bank Indonesia bermaksud untuk
menyediakan RT backup di lokasi Bank Indonesia
untuk digunakan oleh Peserta dalam kondisi
gangguan dan/atau keadaan darurat.
4.4.4.4.4. Peningkatan Keamanan Alat PembayaranPeningkatan Keamanan Alat PembayaranPeningkatan Keamanan Alat PembayaranPeningkatan Keamanan Alat PembayaranPeningkatan Keamanan Alat Pembayaran
Menggunakan Kartu (APMK)Menggunakan Kartu (APMK)Menggunakan Kartu (APMK)Menggunakan Kartu (APMK)Menggunakan Kartu (APMK)
Bank Indonesia menyempurnakan ketentuan APMK
yang terkait dengan pelaporan APMK secara online.
Dengan demikian, pengawasan tidak langsung
terhadap penyelenggaraan APMK lebih mudah
dilakukan. Di sisi lain, hal ini meningkatkan upaya
perlindungan konsumen, karena informasi mengenai
APMK akan lebih up to date sehingga proses
pengambilan kebijakan dapat dilakukan lebih cepat.
Di samping melakukan pengawasan tidak langsung
melalui analisa laporan penyelenggaraan APMK, Bank
Indonesia juga tetap melakukan pengawasan
langsung kepada penyelenggara APMK untuk
menjamin risiko-risiko penyelenggaraan kegiatan
APMK dapat dikelola dengan baik oleh
penyelenggara. Ke depan, melihat potensi risiko
penyalahgunaan dan pemalsuan kartu, Bank
Indonesia berusaha memitigasi risiko dengan
mengeluarkan kebijakan penggunaan teknologi chip
untuk kartu ATM dan kartu debit.
5.5.5.5.5. Risk AssessmentRisk AssessmentRisk AssessmentRisk AssessmentRisk Assessment dan dan dan dan dan Risk ManagementRisk ManagementRisk ManagementRisk ManagementRisk Management Sistem Sistem Sistem Sistem Sistem
PembayaranPembayaranPembayaranPembayaranPembayaran
Dalam penyelenggaraan sistem BI-RTGS dan sistem
Kliring, Bank Indonesia mempunyai 2 (dua) peranan,
yaitu sebagai Penyelenggara dan Peserta. Baik dalam
pelaksanaan operasional sebagai Penyelenggara
maupun Peserta, Bank Indonesia menghadapi
potensi risiko, antara lain risiko finansial, reputasi
dan hukum. Risiko tersebut muncul antara lain
63
Bab 4 Infrastruktur Keuangan dan Mitigasi Risiko
karena timbulnya permasalahan operasional, baik
yang disebabkan gangguan sistem maupun
kesalahan manusia (human error). Untuk
mengurangi kemungkinan kesalahan dalam transfer
dana karena human error tersebut, Bank Indonesia
melakukan risk assessment untuk mengidentifikasi
faktor penyebab permasalahan operasional, dampak
dan risiko permasalahan serta langkah-langkah
pencegahan yang perlu diambil. Kegiatan identifikasi
tersebut dapat dilaksanakan dengan beberapa
metode, antara lain metode Control Self Assessment
(CSA).
6.6.6.6.6. Implementasi Ketentuan Daftar Hitam Nasional (DHN)Implementasi Ketentuan Daftar Hitam Nasional (DHN)Implementasi Ketentuan Daftar Hitam Nasional (DHN)Implementasi Ketentuan Daftar Hitam Nasional (DHN)Implementasi Ketentuan Daftar Hitam Nasional (DHN)
Dalam rangka pelaksanaan prinsip perlindungan
nasabah serta untuk menjaga kepercayaan
masyarakat terhadap cek dan Bilyet Giro sebagai
instrumen pembayaran, Bank Indonesia
mengeluarkan ketentuan mengenai Daftar Hitam
Nasional (DHN) Penarik Cek dan/atau Bilyet Giro
Kosong dengan metode yang berbeda dengan
ketentuan sebelumnya. Upaya peningkatan
perlindungan kepada nasabah dilakukan oleh Bank
Indonesia melalui penambahan klausul kewajiban
pemegang rekening giro terhadap penggunaan Cek
dan Bilyet Giro dan pengawasan kepada bank atas
pelaksanaan penatausahaan DHN Penarik Cek dan/
atau Bilyet Giro Kosong.
Di samping itu, Bank Indonesia juga melakukan
perubahan metode dalam penatausahaan DHN.
Apabila dalam ketentuan sebelumnya, DHN dikelola
oleh Bank Indonesia maka pada ketentuan yang baru
ini, penatausahaan DHN diserahkan kepada masing-
masing bank. Latar belakang perubahan metode ini
adalah karena bank merupakan pihak yang lebih
mengenal karakteristik nasabahnya. Selain itu, hal ini
juga bertujuan untuk lebih meningkatkan kepedulian
bank dalam menerapkan prinsip Know Your
Customer (KYC).
4.3. JARING PENGAMAN SEKTOR KEUANGAN
(JPSK)
Pada semester I 2007, penguatan JPSK terus
dilanjutkan dalam rangka meningkatkan ketahanan sektor
keuangan, terutama sektor perbankan. Kerangka JPSK saat
ini telah dituangkan ke dalam suatu Rancangan Undang
Undang tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan yang
secara komprehensif mencakup: (i) pengaturan dan
pengawasan lembaga dan pasar keuangan, (ii) fasilitas
lender of the last resort, (iii) program penjaminan
simpanan, dan (iv) manajemen krisis.
Skim penjaminan simpanan oleh Lembaga Penjamin
Simpanan (LPS) dan fasilitas pembiayaan darurat (FPD)
merupakan 2 komponen JPSK yang terpenting. LPS telah
melakukan pembayaran klaim penjaminan simpanan
kepada nasabah 9 BPR yang ditutup pada 2005 dan 2006.
Sementara itu, meskipun FPD telah diberlakukan sejak
2005, sampai saat ini belum ada bank yang
memanfaatkannya. Hal ini mencerminkan kondisi
perbankan yang sehat serta tidak memiliki kesulitan
likuiditas yang berdampak sistemik.
Selanjutnya, pada tanggal 29 Juni 2007, Gubernur
Bank Indonesia (BI) dan Ketua Dewan Komisioner Lembaga
Penjamin Simpanan (LPS) telah menandatangani Nota
Kesepakatan sebagai bagian dari upaya untuk memperkuat
Jaring Pengaman Sektor Keuangan (JPSK). Nota
Kesepakatan tersebut mengatur tentang koordinasi dan
pertukaran informasi antara BI dan LPS yang memuat lima
aspek terkait program penjaminan dan pengawasan bank
serta penanganan bank gagal yakni: (i) pelaksanaan
penjaminan simpanan, (ii) penanganan bank bermasalah,
(iii) penyelesaian dan atau penanganan bank gagal, (iv)
tindak lanjut bank yang dicabut izin usahanya, dan (v)
64
Bab 4 Infrastruktur Keuangan dan Mitigasi Risiko
Departemen KeuanganDepartemen KeuanganDepartemen KeuanganDepartemen KeuanganDepartemen Keuangan- Direktur Jenderal Lembaga Keuangan- Direktur Jenderal Perbendaharaan dan- Ka. Badan Pengkajian Ekonomi, Keuangan, dan Kerjasama Internasional
Bank IndonesiaBank IndonesiaBank IndonesiaBank IndonesiaBank Indonesia- Deputi Gubernur Senior- Deputi Gubernur Bidang Penelitian dan Pengaturan Perbankan dan- Deputi Gubernur Bidang Pengawasan Perbankan serta dan
Lembaga Penjamin SimpananLembaga Penjamin SimpananLembaga Penjamin SimpananLembaga Penjamin SimpananLembaga Penjamin Simpanan- Kepala Eksekutif LPS
18 orang anggota yakni 6 orang pejabat eselon dua satuan kerja terkait DepartemenKeuangan, 6 orang Direktur dari satuan kerja terkait BI dan 2 orang Direktur LPS.
Tim Kerja beranggotakan pejabat dari Departemen Keuangan, BI dan LPS yangdibentuk berdasarkan usulan dari masing-masing lembaga dan keputusan ForumPengarah. Disamping itu, dimungkinkan untuk membentuk semacam Gugus Tugasuntuk menangani proyek-proyek tertentu seperti ASKI dan persiapan FSAP.
Forum PengarahForum PengarahForum PengarahForum PengarahForum Pengarah bertugas untukmemberikan arahan kepada ForumPelaksana terkait dengan fungsi-fungsiForum SSK di atas
Forum PelaksanaForum PelaksanaForum PelaksanaForum PelaksanaForum Pelaksana yang bertugasmelaksanakan fungsi Forum SSK sesuaiarahan Forum Pengarah.
Tim KerjaTim KerjaTim KerjaTim KerjaTim Kerja yang berfungsi untuk menunjangkelancaran tugas Forum Pelaksana danPengarah.
penetapan tingkat bunga yang wajar dalam rangka
penetapan klaim yang layak bayar. Dengan telah
ditandatanganinya Nota Kesepakatan antara BI dengan
LPS, Indonesia semakin memiliki kelengkapan perangkat
hukum dan pedoman yang jelas untuk pencegahan dan
penanganan krisis keuangan.
4.4. FORUM STABILITAS SISTEM KEUANGAN
(FSSK)
Koordinasi dalam rangka pemeliharaan stabilitas
sistem keuangan dilakukan melalui Forum Stabilitas
Sistem Keuangan (FSSK). FSSK dibentuk pada 30
Desember 2005 melalui suatu Keputusan Bersama (KB)
antara Menteri Keuangan, Gubernur Bank Indonesia
serta Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin
Simpanan (LPS). Selanjutnya, mengingat terjadi
reorganisasi dan perubahan struktur di Departemen
Keuangan serta Bank Indonesia yang mempengaruhi
keanggotaan di FSSK maka pada 29 Juni 2007 telah
ditandatangani KB antara Menteri Keuangan, Gubernur
Bank Indonesia, dan Ketua Dewan Komisioner LPS
Nomor 299/KMK.010/2007, Nomor 9/27/KEP.GBI/2007,
dan Nomor 015/DK-LPS/VI/2007 tanggal 29 Juni 2007
yang sifatnya mengukuhkan keanggotaan baru serta
mempertegas fungsi forum dimaksud. FSSK telah mulai
beroperasi dan telah melaksanakan pertemuan secara
reguler sejak 1 Juli 2007. Forum Pengarah bertemu
triwulanan, sementara Forum Pelaksana mengadakan
pertemuan bulanan setiap hari Senin minggu kedua. Di
luar itu, pertemuan dilaksanakan di tingkat Tim Kerja.
Dalam jangka pendek ke depan, FSSK akan menjadi
wadah koordinasi pelaksanaan Financial Sector Assessment
Program (FSAP) dan Arsitektur Sistem Keuangan Indonesia
(ASKI). Tim Kerja FSSK akan bekerjasama untuk persiapan
dan pelaksanaan FSAP yang akan dilakukan oleh Bank Dunia
dan IMF. Tujuan FSAP adalah untuk menilai ketahanan sektor
Tabel 4.3Struktur dan Keanggotaan FSSK
F o r u m A n g g o t a
65
Bab 4 Infrastruktur Keuangan dan Mitigasi Risiko
keuangan serta menilai sejauh mana suatu sistem keuangan
memiliki compliance terhadap standar regulasi prudensial
internasional. Selain itu, Tim Kerja FSSK akan
mengkoordinasikan dan mengharmonisasikan penyusunan
ASKI yang merupakan arah pengembangan sistem
keuangan Indonesia dalam jangka menengah dan jangka
panjang ke depan.
Perkembangan terakhir, Rapat Anggota Forum
Pelaksana FSSK tanggal 13 Agustus 2007 menyepakati
pembentukan 2 (dua) gugus tugas, yaitu gugus tugas
Macro Early Warning System (EWS) dan Crisis
Management Protocol (CMP). Gugus tugas Macro EWS
diharapkan dapat memberikan kajian mengenai dampak
yang ditimbulkan apabila terjadi krisis global, berapa lama
krisis terjadi serta langkah-langkah berikutnya yang harus
dilakukan. Sementara itu, gugus tugas CMP akan
membuat acuan bagi otoritas keuangan dalam
menangani krisis. Dalam CMP akan dijelaskan mekanisme
penanganan krisis yang terjadi di sektor perbankan,
lembaga keuangan non-bank, pasar modal, serta pasar
uang. Dengan adanya CMP, maka otoritas diharapkan
dapat memberikan respon yang tepat dan efektif,
sehingga krisis dapat tertangani secara cepat, efektif, dan
tidak menimbulkan dampak negatif.
66
Bab 4 Infrastruktur Keuangan dan Mitigasi Risiko
Halaman ini sengaja dikosongkan
67
Artikel I - Jaring Pengaman Keuangan: Kajian Literatur dan Praktiknya di Indonesia
Ar t ike l
68
Artikel I - Dinamika Struktur Industri Perbankan, Risiko Stratejik Bank Serta Implikasinya terhadap Stabilitas Sistem Keuangan
Halaman ini sengaja dikosongkan
69
Artikel I - Jaring Pengaman Keuangan: Kajian Literatur dan Praktiknya di Indonesia
Artikel I
Dinamika Struktur Industri Perbankan, Risiko StratejikBank Serta Implikasinya Terhadap Stabilitas Sistem Keuangan
Muliaman D. Hadad1 , Wimboh Santoso2 , Bambang Hermanto3
Dwityapoetra S. Besar4 , Ita Rulina W. S5
Tujuan penelitian ini menganalisis struktur, dinamika, dan kinerja industri perbankan dengan pengukuran
indeks konsentrasi yaitu HHI, HTI, CR 15, dan HHI-CR 15. Analisis dinamika dan risiko industri menggunakan
pendekatan Matriks Transisi Probabilitas Markov, sedangkan stabilitas industri dan risiko stratejik diukur dengan
nilai Entropy Dinamika Peringkat Kinerja baik pada tingkat industri maupun individu. Data yang digunakan
berasal dari laporan keuangan bulanan bank seluruh bank komersial di Indonesia selama September 2000 (156
bank) sampai dengan Mei 2006 (131 bank). Hasil penelitian menunjukkan bahwa industri perbankan Indonesia
berada dalam kondisi stabil karena memang belum beraktifitas pada tingkat persaingan yang normal. Namun,
ketatnya persaingan tersebut berbeda antar sub industri berdasarkan ukuran aset dan kinerja. Persaingan terketat
terjadi pada sub bank menengah. Hasil penelitian juga menunjukkan adanya pengurangan jumlah bank dalam
industri diikuti oleh penurunan indeks konsentrasi, khususnya HHI dan HTI, serta pengurangan pangsa pasar 15
bank besar. Pada awal periode, 15 bank besar memiliki pangsa pasar +/-70% kemudian menjadi +/
- 60% di akhir
periode. Secara matematis, pengurangan jumlah bank dalam industri, ceteris paribus, seharusnya diikuti dengan
peningkatan indeks konsentrasi. Namun demikian, hasil penelitian menunjukkan fakta sebaliknya, hal ini
menandakan terjadinya proses konsolidasi industri.
1 Deputi Gubernur Bank Indonesia. Artikel ini ditulis pada waktu beliau masih menjadiDirektur √ Direktorat Penelitian dan Pengaturan Perbankan, Bank Indonesia; e-mailaddressΩ: [email protected]
2 Kepala Biro Stabilitas Sistem Keuangan √ Direktorat Penelitian dan Pengaturan Perbankan,Bank Indonesia; e-mail addressΩ: [email protected]
3 Pengajar Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia; e-mail address: [email protected] Peneliti Senior √ Biro Stabilitas Sistem Keuangan √ Direktorat Penelitian dan Pengaturan
Perbankan, Bank Indonesia; email address: [email protected] Peneliti √ Biro Stabilitas Sistem Keuangan √ Direktorat Penelitian dan Pengaturan
Perbankan, Bank Indonesia; email address: [email protected]
1. PENDAHULUAN
Penelitian ini bertujuan untuk mengukur risiko
stratejik industri perbankan Indonesia khususnya mengenai
kestabilan industri perbankan, dengan menggunakan
pendekatan disiplin Organisasi Industri. Paradigma
Structure √ Conduct √ Performance diterjemahkan secara
70
Artikel I - Dinamika Struktur Industri Perbankan, Risiko Stratejik Bank Serta Implikasinya terhadap Stabilitas Sistem Keuangan
2. METODOLOGI
Penelitian ini menggunakan data bulanan bank
umum per Maret 2006 dengan periode waktu antara
September 2000 hingga Mei 2006, dengan variabel-
variabel antara lain aset, beban, laba, modal, kredit, DPK,
dan pendapatan.
Pendekatan disiplin Organisasi Industri. Paradigma
Structure √ Conduct √ Performance diterjemahkan secara
operasional dalam bentuk variabel pengukuran, yaitu:
indeks konsentrasi, pergerakan runtun waktu, dan entropi
dengan alur kerja penelitian disajikan dalam Gambar A.1.1
berikut:
operasional dalam bentuk variabel pengukuran, yaitu:
indeks konsentrasi, pergerakan runtun waktu, dan entropi.
Secara umum disepakati bahwa konsentrasi pasar
adalah salah satu penentu derajat persaingan yang penting,
walaupun pasar yang sangat terkonsentrasi tidak harus
mencerminkan kelangkaan tingkah laku kompetitif di pasar
itu (Nathan dan Neavel, 1989). Kedua kajian tersebut
memberikan bukti-bukti empiris yang mengindikasikan
bahwa konsentrasi pasar yang tinggi cenderung
mengurangi derajat persaingan di sektor perbankan
(Gilbert, 1984 dan Bhattacharya dan Das, 2003). Mengikuti
Rueffly, penelitian ini mengkaitkan persaingan dengan risiko
sekaligus dengan kestabilan industri.
Penelitian ini bersifat eksploratif dengan analisis awal
yang terbatas, mengingat penelitian ini merupakan
penelitian pertama dan belum ada rujukan pengukuran
dari hasil penelitian sebelumnya. Sistematika penyajian
hasil penelitian adalah sebagai berikut:
Bagian 2Bagian 2Bagian 2Bagian 2Bagian 2, menyajikan garis besar metodologi yang
digunakan untuk melihat struktur industri, dinamika
industri, serta ukuran kinerja, risiko, dan stabilitas industri
perbankan.
Bagian 3Bagian 3Bagian 3Bagian 3Bagian 3, menyajikan hasil pengukuran konsentrasi
statis dari variabel aset, kredit, dan DPK yang dilihat dari
HHI, HTI, dan Entropi Statis dari pangsa pasar baik industri
maupun sub kelompok industri sebagai variabel indikator
struktur industri dengan perubahannya dari awal ke akhir
periode penelitian, serta menyajikan entropi relatif
dinamika peringkat industri perbankan dari berbagai
variabel selama periode pengamatan sebagai ukuran
stabilitas dari industri perbankan, entropi individu 15 bank
terbesar sebagai ukuran risiko stratejik, serta dinamika
perubahan individu bank besar dalam sub kelompok.
Bagian 4Bagian 4Bagian 4Bagian 4Bagian 4, menyimpulkan temuan pada bagian
terdahulu dengan menggunakan kerangka organisasi
industri.
Gambar A1.1Alur Kerja Penelitian
Konsentrasi Industri
Ukuran-Ukuran Konsentrasi Statis
Ukuran populer yang digunakan adalah Herfindahl-
Hirschman indeks (HHI). Untuk n perusahaan di dalam
sebuah industri dengan pangsa pasar Si, HHI adalah:
(1) HHI =
Semakin sama ukuran perusahaan, semakin kecil
HHI. Berdasarkan definisi, HHI akan bernilai antara 1/n
10.000 di mana n adalah banyaknya perusahaan di dalam
Matriks Peringkat RelatifMatriks Insiden
Matriks Frekuensi TransisiPeringkat (total)
Matriks ProbabilitasTransisi Markov
(total)
Entropi DinamikaPeringkat Kinerja (sistem)
Entropi DinamikaPeringkat Kinerja (individu)
Matriks ProbabilitasTransisi Markov
Peringkat (4 periode-an)
Matriks Frekuensi TransisiPeringkat (4 periode-an)
Ukuran Dinamika,Risiko Stratejik,
dan Risiko Sistem
Statistik Deskriptif(industri dan kelompok)
Ukuran Konsentrasi Statis(industri dan kelompok)
71
Artikel I - Jaring Pengaman Keuangan: Kajian Literatur dan Praktiknya di Indonesia
sebuah industri. Konsentrasi maksimal sebesar 10.000
ketika satu perusahaan memiliki semua penjualan, output,
atau yang lain di dalam sebuah industri. Ukuran lainnya,
yang secara ekstensif digunakan dalam berbagai kajian
organisasi industri, adalah:
The Hall-Tideman Index (HTI). HTI didefinisikan
dengan:
HTI =
Indeks ini memberikan bobot untuk pangsa pasar
perusahaan sesuai dengan peringkat relatifnya. Indeks ini
mempertimbangkan banyaknya bank dalam penghitungan
indeks konsentrasi untuk mencerminkan adanya pemain
dominan.
Relative Entropy Measure
Konsep entropi berasal dari teori informasi bertujuan
untuk mengukur kandungan informasi harapan ex-ante
dari suatu distribusi. Diformulasikan dengan:
Entropi-Pangsa =
Pengukuran berbasis entropi ini bersifat lebih umum dan
relatif mudah untuk diterapkan, sehingga sering
disarankan untuk mengukur konsentrasi pasar.
Risiko Stratejik dan Stabilitas
Konsep risiko stratejik didasarkan pada rancangan
ordinal mengikuti Collins dan Ruefli (1992). Risiko stratejik
dalam konteks ini diartikan dengan kemungkinan
perusahaan mengalami hilangnya posisi kompetitif relatif
di dalam sektor usahanya. Risiko stratejik dan stabilitas
industri perbankan juga diukur dengan menggunakan
entropi.
Ukuran Risiko Sistem
Informasi yang diperlukan untuk mengukur
ketidakpastian untuk sebuah sistem bisa diperoleh dari
distribusi-distribusi probabilitas yang mendeskripsikan
tingkah laku sistem (Shannon 1948). Penelitian ini
menggunakan ukuran entropi bersyarat relatif H(J|K)rel
untuk
merepresentasikan ketidakpastian relatif dari sistem. H(K|J)
adalah ukuran entropi absolut bersyarat rata-rata dari
sistem dan dirumuskan oleh:
H(K|J) =
H(K|J) menginformasikan nilai informasi yang dikandung
oleh observasi-observasi pada sistem apabila urutan
peringkat-peringkat perusahaan saat ini diketahui.
Sedangkan H*(K|J) = ln n adalah entropi bersyarat rata-
rata maksimal dari sistem dan bernilai sama dengan ln n.
Jadi entropi relatif dinamika peringkat kinerja H(K|J) rel
adalah :
H(K|J)rel =
H(K|J)rel mengekspresikan ketidakpastian relatif
sistem yang mencerminkan nilai informasi rata-rata transisi
sebuah perusahaan di dalam sistem antara dua keadaan
dalam dua waktu yang berbeda, bila diketahui keadaan
awal dari masing-masing perusahaan. H(K|J)rel bernilai dari
0 hingga 1. Apabila sistem benar-benar pasti, artinya,
apabila probabilitas semua keluaran bersyarat adalah 0
atau 1, maka entropi dari sistem, H(K|J), adalah 0. apabila
entropi sistem mendekati entropi maksimum yang
mungkin, H*(K|J), H(K|J)rel mendekati satu. Artinya, ketika
probabilitas masing-masing transisi dalam matriks transisi
mendekati 1/n, entropinya mendekati entropi maksimum
(atau itulah sistem yang random).
72
Artikel I - Dinamika Struktur Industri Perbankan, Risiko Stratejik Bank Serta Implikasinya terhadap Stabilitas Sistem Keuangan
Ukuran Risiko Stratejik Individual
Andaikan Nijk adalah total banyaknya transisi yang
dilakukan oleh perusahaan i dari peringkat j ke peringkat
k. Selanjutnya, dengan mengetahui bahwa untuk semua
perusahaan pk|j = N.jk/N.j., nilai harapan tertimbang dari
informasi yang berkenaan dengan transisi peringkat
bersyarat dapat ditulis:
h(k|j) = - [N.jk/N.j.]ln(pk|j)
Kemudian, nilai harapan total informasi tertimbang
yang berkenaan dengan transisi-transisi di dalam sistem
dari peringkat j ke peringkat k, yang dialamatkan pada
sebuah individu perusahaan i, dapat ditulis dengan
menggunakan entropi individu yang dirumuskan dengan:
hi(k|j) = - [Nijk/N.j.]ln(pk|j)
porsi ketidakpastian total yang dikontribusi oleh
perusahaan i di dalam sistem ditentukan oleh:
HWi(K|J) =
HWi(K|J)rel = HWi(K|J)/ HW*(K|J).
Untuk analisis dinamika pergerakan individu bank
dikaitkan dengan kinerja dan risiko di pergunakan
modifikasi matriks BCG, yang berakar pada disiplin
Organisasi Industri, mengingat jumlah data runtun waktu
masih terlalu sedikit untuk di analisis secara ekonometrik.
Modifikasi tersebut dalam bentuk Matriks Pangsa-Kinerja,
Pangsa√Risiko, dan Risiko-Kinerja yang dibandingkan
dalam dua titik waktu pengamatan yang berbeda; awal
periode dan akhir periode.
3. STRUKTUR INDUSTRI PERBANKAN, STABILITAS
INDUSTRI, DAN RISIKO STRATEJIK BANK
Pola persaingan dalam suatu industri ditentukan oleh
struktur industri yang diukur dengan: jumlah pemain,
adanya pemain dominan dan tingkat konsentrasi industri.
Hasil perhitungan statistik beberapa indeks konsentrasi
industri perbankan selama periode penelitian berdasarkan
berbagai variabel disajikan pada butir-butir berikut.
Pengukuran Konsentrasi: Aset, kredit dan DPK
Tabel A.1.1 memperlihatkan bahwa rerata HHI aset
sebesar 888, yang berarti bahwa industri perbankan
Indonesia relatif tidak terkonsentrasi, empat pemain
dominan terbesar tidak dapat mendikte pasar atau market
power (kekuatan pasar) pemain-pemain tersebut rendah.
Hal tersebut sejalan dengan rerata CR 15 yang
menunjukkan bahwa 15 bank dengan nilai aktiva terbesar,
secara bersama, rata-rata menguasai 68% aset
perbankan, dengan simpang baku (standard deviation)
sebesar 2%. Sejalan dengan hal tersebut adalah kecilnya
nilai indeks HTI, serta kecenderungan runtun waktu kedua
ukuran indeks konsentrasi aset, HHI, HHI-15 dan HTI yang
terus menurun sebagaimana terlihat pada Grafik A.1.1
Trend tersebut menunjukkan semakin kecilnya kekuatan
pasar dari bank besar. Penurunan indeks-indeks konsentrasi
aset tersebut bersamaan dengan penurunan jumlah bank
yang mencapai 16%. Pada awal periode penelitian
terdaftar 156 bank dan di akhir periode hanya 131 bank.
Secara teoritis seharusnya penurunan jumlah bank diikuti
Gambar A1.2Matriks Dinamika Risiko-Kinerja √ Awal/Akhir Periode T
Matriks Dinamika Risiko-Kinerja - Pada Periode T
Kinerja
Risi
ko
1Balance
Laggart Superiori
Alert2
3 4
-0,4
-0,3
-0,2
-0,1
0
0,1
0,2
-7 -6 -5 -4 -3 -2 -1 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
Sumber: diolah
Keterangan :- Kuadran 1 : posisi individu bank dengan nilai kinerja dan risiko lebih dari rata-rata
kelompok (Balance)- Kuadran 2 : posisi individu bank dengan nilai kinerja kurang dari rata-rata kelompok
namun nilai risiko lebih dari rata-rata kelompok (Alert)- Kuadran 3 : posisi individu bank dengan nilai kinerja dan risiko kurang dari rata-rata
kelompok (Laggart)- Kuadran 4 : posisi individu bank dengan nilai kinerja lebih dari rata-rata kelompok namun
nilai risiko kurang dari rata-rata kelompok ( Superiori)
73
Artikel I - Jaring Pengaman Keuangan: Kajian Literatur dan Praktiknya di Indonesia
HHI AVG 10.000/n < HHI < 10.000 888.937 601.451 890.798SD 151.718 31.995 113.625CV 5.859 18.798 7.840
HHI - CR 15 AVG 10.000/n < HHI-15 < 10.000 870.096 568.062 717.506SD 153.562 41.908 105.800CV 5.666 13.555 6.782
ENTROPY - STATIS AVG 0 < ENTROPY-STA < 1 0.643 0.701 0.648SD 0.023 0.010 0.025CV 28.514 71.702 25.571
CR-15 AVG 0 < CR-15 < 1 0.681 0.588 0.549SD 0.025 0.047 0.027CV 26.918 12.390 20.038
HTI AVG 0 < HTI < 1 0.042 0.034 0.045SD 0.003 0.002 0.002CV 15.792 19.543 19.020
dengan peningkatan indeks-indeks konsentrasi, atau
peningkatan kekuatan pasar di industri perbankan.
Hal ini sejalan dengan penelitian Bikker dan Haaf
(2001), yang melakukan kajian yang sama pada berbagai
negara dan hasil kerja Bhattacharya dan Das (2003) yang
mengkaji dinamika konsentrasi pasar perbankan di India.
Konsentrasi pasar kredit diukur dengan berbagai
ukuran konsentrasi statis sebagaimana pada Tabel A.1.1
di atas menunjukkan bahwa rerata tingkat kekuatan pasar
pemain lebih kecil dibandingkan dengan konsentrasi aset.
Berdasarkan grafik A.1.3 di bawah, pada awal 2002 sampai
Tabel A1.1.Rerata, Simpang Baku dan Koefisien Kovariasi Berbagai Ukuran Konsentrasi Statis Industri Perbankan
KISARAN ASSET KREDIT DPK
Sumber : diolah
Jumlah Bank HHI HHI 15 Besar HTI Pangsa 15 Besar
SepNov JanMarMei Jul Sep NovJanMarMei Jul Sep Nov JanMarMei Jul Sep Nov JanMarMei Jul Sep Nov JanMarMei Jul Sep Nov JanMarMei
2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006
0
200
400
600
800
1000
1200
1400
Grafik A1.1Pergerakan HHI, HHI-15, CR-15, dan Jumlah Bank
Berdasarkan Asset : 06/2000 √ 05/2006
0,54
0,56
0,58
0,6
0,62
0,64
0,66
0,68
0,7
SepNov JanMarMei Jul Sep NovJanMarMei Jul Sep Nov JanMarMei Jul Sep Nov JanMarMei Jul Sep Nov JanMarMei Jul Sep Nov JanMarMei
2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006
Grafik A1.2Pergerakan Entropi pangsa berdasarkan Asset :
06/2000-05/2006
Untuk kepentingan penyesuaian skala grafik pangsa pasar 15 besar dikalikan dengan 1000Sumber : diolah Sumber : diolah
dengan awal 2005 terjadi kenaikkan pada HHI Industri,
HHI-CR 15, dan CR 15, bersamaan juga dengan penurunan
entropi pangsa. Hal ini menandakan bahwa pada periode
tersebut kekuatan pasar pemain meningkat, namun mulai
pertengahan 2002 hingga kuartal pertama 2006 indeks
HHI dan HTI kembali menurun dan nilai entropi juga
meningkat yang berarti bahwa kekuatan pasar berkurang.
Secara absolut nilai indeks konsentrasi DPK lebih
mendekati indeks aset dan berbeda dari indeks kredit,
dengan demikian penafsiran hasil dan kesimpulan
mengenai persaingan adalah senada dengan aset. Tabel
74
Artikel I - Dinamika Struktur Industri Perbankan, Risiko Stratejik Bank Serta Implikasinya terhadap Stabilitas Sistem Keuangan
A.1.1 di atas juga menjelaskan bahwa secara rata-rata
kekuatan pasar DPK relatif rendah sepanjang periode
penelitian. Seperti juga pada aset, terlihat kecenderungan
menurunnya daya pengaruh ke pasar bagi bank besar, yang
terlihat dari menurunnya tren HHI maupun HTI, dan juga
nilai entropi pasar yang semakin mendekati satu seperti
pada grafik di bawah berikut. Dari sisi persaingan,
ditemukan bahwa pada pasar kredit persaingan lebih ketat
dibanding pada pasar DPK.
Stabilitas Industri dan Risiko Stratejik
Stabilitas industri perbankan tercermin dari tingkat
keacakan peringkat kinerja bank, sebagai hasil dari
persaingan di pasar asupan maupun keluaran, ditunjukkan
oleh besarnya Entropi Relatif Dinamika Peringkat (ERDP)
kinerja seluruh bank dalam industri. Stabilitas industri ini
erat terkait dengan risiko stratejik bank-bank, yang diukur
dengan Entropi Absolut Dinamika Peringkat individu,
mengingat keduanya diturunkan dari matriks probabilitas
transisi Markov.
Gambar diagram pencar distribusi probabilitas transisi
menurut aset dan ROI, disajikan pada Gambar A.1.3 dan
A.1.4 di bawah memperlihatkan bahwa nilai probabilitas
transisi, baik peringkat ROI maupun aset, tersebar di sekitar
garis diagonal, tidak merata pada seluruh matriks. Hal
tersebut menunjukkan bahwa kenaikan atau penurunan
peringkat kinerja terjadi dalam rentang tertentu yang relatif
tidak acak. Namun demikian terlihat suatu pola yaitu pada
Grafik A1.4Pergerakan Entropi pangsa berdasarkan Kredit :
09/2000-05/2006
0,67
0,68
0,69
0,7
0,71
0,72
0,73
SepNov JanMarMei Jul Sep NovJanMarMei Jul Sep Nov JanMarMei Jul Sep Nov JanMarMei Jul Sep Nov JanMarMei Jul Sep Nov JanMarMei
2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006Sumber : diolah
Grafik A1.3Pergerakkan HHI, HHI-15, CR-15, dan Jumlah Bank
Berdasarkan Kredit : 06/2000 √ 05/2006
0
100
200
300
400
500
600
700
SepNov JanMarMei Jul Sep NovJanMarMei Jul Sep Nov JanMarMei Jul Sep Nov JanMarMei Jul Sep Nov JanMarMei Jul Sep Nov JanMarMei
2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006
Jumlah Bank HHI HHI 15 Besar HTI Pangsa 15 Besar
Untuk kepentingan penyesuaian skala grafik pangsa pasar 15 besar dikalikan dengan 1000Sumber : diolah
Grafik A1.6Pergerakan Entropi pangsa berdasarkan DPK :
09/2000-05/2006
Untuk kepentingan penyesuaian skala grafik pangsa pasar 15 besar dikalikan dengan 1000Sumber : diolah
Sumber : diolah
Grafik A1.5Pergerakkan HHI, HHI-15, CR-15, dan Jumlah Bank
Berdasarkan DPK : 06/2000 √ 05/2006
0
200
400
600
800
1000
1200
SepNov JanMarMei Jul Sep NovJanMarMei Jul Sep Nov JanMarMei Jul Sep Nov JanMarMei Jul Sep Nov JanMarMei Jul Sep Nov JanMarMei
2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006
Jumlah Bank HHI HHI 15 Besar HTI Pangsa 15 Besar
0,54
0,56
0,58
0,60
0,62
0,64
0,66
0,68
0,70
SepNov JanMarMei Jul Sep NovJanMarMei Jul Sep Nov JanMarMei Jul Sep Nov JanMarMei Jul Sep Nov JanMarMei Jul Sep Nov JanMarMei
2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006
75
Artikel I - Jaring Pengaman Keuangan: Kajian Literatur dan Praktiknya di Indonesia
perhitungan stabilitas industri perbankan, entropi relatif
dinamika peringkat, maupun risiko stratejik individu bank
tertentu. Berikut sajian dan analisis hasil perhitungan
entropi industri perbankan.
Entropi Kinerja Lima Belas Bank Besar
Entropi absolut menunjukkan pola perilaku
dinamis individu bank dari waktu ke waktu dimana
dinamika yang tinggi mengindikasikan ketidakpastian
posisi baik dalam perolehan pasar maupun pencapaian
kinerja; dan dipergunakan sebagai indikator/ukuran risiko
stratejik. Tabel A.1. 2 menyajikan ikhtisar hasil perhitungan
entropi absolut per kuartal dari lima belas bank terbesar.
Dari tabel tersebut terlihat bahwa terjadi penurunan
rerata entropi dari awal ke akhir periode penelitian, empat
dari lima bank dengan entropi terkecil dan kurang dari
entropi rerata pada awal periode bertahan sampai akhir
periode. Sebaliknya lima entropi awal periode terbesar
empat diantaranya berganti bank hanya satu yang tetap
yaitu bank dengan kode IIHB. Dengan kata lain entropi
yang besar memang menunjukkan tingkat dinamika yang
lebih dibanding dengan yang kecil. Bank dengan kode IIPI
meskipun secara rerata memiliki entropi terkecil ternyata
pada awal dan akhir periode posisi entropinya selalu di
atas rerata limabelas bank besar, artinya pada tengah
periode penelitian saja entropi bank tersebut jauh di bawah
rerata. Grafik pergerakan runtun waktu entropi 15 bank
terbesar selama periode penelitian sebagai pelengkap
terlampir.
Dinamika Risiko Stratejik Dan Kinerja Individu
Lima Belas Bank Besar
Secara empiris belum ada rujukan yang menyatakan
pola hubungan antara risiko stratejik dengan kinerja bank.
Matriks Risiko-Kinerja, Pangsa-Kinerja, dan Pangsa-Risiko
digunakan untuk memetakan posisi relatif individual bank
pada awal dan akhir penelitian sebagai alat
Gambar A.1.3Pola Penyebaran Probabilitas Transisi Peringkat ROI
Seluruh Industri Perbankan
Gambar A.1.4Pola Penyebaran Probabilitas Transisi Peringkat Asset
Seluruh Industri Perbankan
kedua ujung diagonal rentang tersebut relatif sempit, pada
ROI tiga sampai tujuh peringkat kemudian melebar pada
bagian tengah diagonal antara peringkat duapuluhan
sampai dengan peringkat delapan puluhan dengan
rentang antara dua puluh sampai tujuh puluh peringkat.
Pola yang sama juga terlihat pada ERDP aset namun
dengan rentang yang lebih sempit. Pola tersebut
mengindikasikan bahwa bank pada peringkat tengah,
peringkat duapuluhan sampai dengan delapan puluhan
inilah kelompok dinamis yang probailitas sebagai pemicu
ketidakstabilan dalam industri lebih besar dibandingkan
dengan kelompok peringkat atas dan bawah. Matriks
transisi probalitas Markov tersebut merupakan dasar
76
Artikel I - Dinamika Struktur Industri Perbankan, Risiko Stratejik Bank Serta Implikasinya terhadap Stabilitas Sistem Keuangan
mengelompokkan, menggambarkan dinamika serta
implikasinya terhadap stabilitas industri perbankan. Berikut
disajikan hasil pemetaan menurut berbagai matriks
tersebut.
Entropi Absolut vs ROI 15 Bank Besar
Pada matriks dinamika risiko-kinerja di bawah terlihat
bahwa, pertama, penyebaran individu-individu bank pada
tiap kuadran dari awal sampai akhir penelitian relatif tidak
berubah, kedua, tidak terlihat pola hubungan linier antara
kinerja dengan risiko stratejik. Terlihat 4 individu bank (IIHP,
IIIR, IIPI, IIPP) yang menunjukkan kinerja di atas rata-rata,
tetapi hanya ada satu individu bank (IIPI) yang
memperlihatkan nilai entropi absolut diatas rata-rata atau
pada kuadran balance, sedangkan 11 lainnya berada pada
kuadran dengan kinerja dibawah rata-rata.
Pangsa pasar seringkali digunakan sebagai ukuran
kinerja dalam perolehan pasar. Untuk melihat perilaku
individu bank dari waktu ke waktu disajikan pola hubungan
antara pangsa pasar dan ROI.
Gambar A.1.5Matriks Dinamika Risiko-Kinerja Entropi Absolut dan ROI
15 Bank Besar - Awal & Akhir Periode Sampel
Sumber : diolah
ROI
Entr
oAbs
EntroAbs vs ROI Standard-Awal Periode Sampel
-7 -6 -5 -4 -3 -2 -1 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
-0,4
-0,3
-0,2
-0,1
0
0,1
0,2
ROI
Entr
oAbs
EntroAbs vs ROI Standard-Akhir Periode Sampel
-0,8
-0,6
-0,4
-0,2
0
0,2
0,4
-3 -2 -1 0 1 2 3 4 5 6 7
1 Iipi 0.01052 Iihp 0.01543 Iiir 0.01734 Iipp 0.01875 Iipb 0.02036 Iisi 0.02267 Irsb 0.02328 Iiap 0.02409 Iiar 0.024210 Iihb 0.024311 Irrb 0.024612 Iaia 0.024813 Iisb 0.025114 Iibi 0.025515 Iihi 0.0260
Rata-rata 0.0218
1 Iisb 0.01572 Iihp 0.01573 Iipp 0.02144 Iiir 0.02145 Iaia 0.02146 Irsb 0.02707 Irrb 0.02708 Iisi 0.02709 Iipi 0.027010 Iipb 0.027011 Iiar 0.027012 Iihi 0.027013 Iihb 0.027014 Iibi 0.027015 iiap 0.0270
Rata-rata 0.0244
1 Iipp 0.00332 Iipb 0.01233 Iihp 0.01574 Iiir 0.01575 Iaia 0.02146 Iiap 0.02147 Iiar 0.02148 Irrb 0.02149 Irsb 0.027010 Iibi 0.027011 Iihb 0.027012 Iihi 0.027013 Iipi 0.027014 Iisb 0.027015 iisi 0.0270
Rata-rata 0.0215
Tabel A.1.2Entropi Absolut Dinamika Peringkat ROI - 15 Bank Besar
Rata-rata Selama Periode Penelitian, Kuartal II 2001 dan Kuartal I 2006
Sumber : diolah
No.Kode
15 Bank Besar
Rata-Rata
Entropi IndividuNo.
Kode15 Bank Besar
Rata-Rata
Posisi AwalPeriode
No.Kode
15 Bank Besar
Rata-Rata
Posisi AkhirPeriode
77
Artikel I - Jaring Pengaman Keuangan: Kajian Literatur dan Praktiknya di Indonesia
Pangsa Pasar vs ROI 15 Bank Besar
Matriks dinamika berikut memperlihatkan posisi 15
bank besar berdasarkan pangsa pasar dan kinerjanya.
Sebagaimana pada matriks entropi-ROI di atas, terlihat 4
individu bank (IIHP, IIIR, IIPI, IIPP) dengan pangsa pasar dan
kinerja di atas rata-rata yang relatif tidak berubah dari awal
hingga akhir periode sampel. Sisa 11 bank lainnya
berkumpul pada kuadran 3 dengan pangsa pasar dan
kinerja di bawah rata-rata sehingga dapat disimpulkan
bahwa kedua matriks di bawah ini juga menunjukkan
adanya kemungkinan pola hubungan linear antara pangsa
dan kinerja keuangan, meskipun disertai fenomena
heteroskedastis, atau perubahan menjadi nonlinear pada
akhir periode.
Fungsi intermediasi bank dalam menyeimbangkan
perolehan DPK dan penyaluran kredit menjadi pusat
perhatian banyak pihak. Realita yang disampaikan adalah
tidak optimalnya fungsi penyaluran kredit. Penelitian ini
juga menyajikan secara lebih komprehensif realita tersebut
dengan melihat pola perilaku pertumbuhan DPK/
pertumbuhan kredit pada 15 bank besar dan ROI.
Ukuran keseimbangan fungsi intermediasi bank
dapat ditunjukkan oleh tingkat pertumbuhan DPK
berbanding dengan tingkat pertumbuhan kredit. Pada
bahasan selanjutnya akan disajikan pola hubungan dari
perbandingan pertumbuhan DPK dan kredit terhadap
kinerja (ROI) untuk 15 bank besar.
Pertumbuhan DPK/Pertumbuhan Kredit Vs ROI
15 Bank Besar
Rasio antara pertumbuhan DPK dengan
pertumbuhan kredit dari dua titik waktu, melengkapi
kedua matriks sebelumnya, dapat mengindikasikan
kestabilan fokus strategi dan kebijakan alokasi sumberdaya
bank. Pada matriks di bawah terlihat bahwa pada sebagian
besar bank alokasi sumberdaya relatif lebih besar ke pasar
kredit, demikian pula dengan keempat bank yang
berprestasi terbaik berkumpul pada kuadran 4 atau
superior (IIHP, IIIR, IIPI, IIPP). Hanya 2 bank (IIBI, IIHB) yang
menunjukkan sebaliknya pada awal periode dan pada akhir
periode sampel, posisi tersebut digantikan oleh IIAR dan
IIRB, jika kualitas kredit kedua bank ini kurang atau tidak
bagus maka kondisi ini dapat memperburuk kinerja ke
depan dan pada gilirannya berpotensi sebagai penyebab
ketidakstabilan industri perbankan. Posisi relatif bank-bank
besar lainnya pada matriks ini tidak bergerak dari awal
hingga akhir periode.
Dinamika individu bank untuk variabel pertumbuhan
DPK/pertumbuhan kredit terlihat hanya 2 individu dengan
nilai di atas rata-rata, hal ini mengandung 2 makna yakni
apakah nilai DPK individu bank tersebut relatif besar
ataukah nilai penyaluran kreditnya relatif kecil. Penelusuran
Gambar A.1.6Matriks Dinamika Risiko-Kinerja Pangsa Pasar dan ROI 15
Bank Besar - Awal & Akhir Periode Sampel
Sumber : hasil olahan tim peneliti
ROI
Pang
sa
-7 -6 -5 -4 -3 -2 -1 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
Pangsa vs ROI Standard-Awal Periode Sampel
-0,1
-0,05
0
0,05
0,1
0,15
0,2
0,25
Pangsa vs ROI Standard-Akhir Periode Sampel
ROI
Pang
sa
-0,06-0,04-0,02
00,020,040,060,08
0,10,120,14
-3 -2 -1 0 1 2 3 4 5 6 7
78
Artikel I - Dinamika Struktur Industri Perbankan, Risiko Stratejik Bank Serta Implikasinya terhadap Stabilitas Sistem Keuangan
data memperlihatkan bahwa kedua bank ini memiliki
perolehan DPK yang terlalu besar sementara penyaluran
kredit yang relatif kecil (contoh IIBI dengan pangsa DPK
sebesar 5% sementara pangsa Kreditnya sebesar 0,6%).
Namun demikian pencapaian ROI kedua individu bank ini
relatif di bawah rata-rata yang berarti kedua bank ini
memfokuskan diri pada perluasan pasar (input atau output)
dengan marjin yang relatif rendah. Uraian di atas
memperlihatkan bahwa perubahan 15 bank besar relatif
kecil, hanya sebagian kecil individu bank yang
memperlihatkan perubahan signifikan dari posisi low
menjadi high dari nilai rata-rata yang dimiliki oleh
kelompok ini (entropi absolut, pangsa pasar, gD/gK, ROI).
Bahkan terlihat individu bank yang memiliki pangsa pasar
tinggi namun dengan tingkat kinerja relatif rendah yang
mengindikasikan aktifitas mass product dengan orientasi
perolehan pasar dan marjin yang rendah.
Dari ketiga hubungan di atas (poin V.4.1-3) terlihat
peta dinamika dalam kelompok 15 bank besar dengan
kecenderungan 4 individu bank (IIHP, IIIR, IIPI, IIPP) dengan
tingkat kinerja di atas rata-rata, sedangkan sisanya berada
di bawah rata-rata. Pergerakan ke-15 bank besar ini relatif
stabil dari waktu ke waktu, walaupun beberapa individu
(IIBI, IIHB, IIHI, IISB, IIPI, IISI, IRSB) menampilkan nilai entropi
absolut di atas rata-rata. Dinamika persaingan pada 11
individu bank (selain 4 bank dengan kinerja tinggi)
memperlihatkan perubahan dan pertukaran posisi dari
awal hingga akhir periode sampel. Ketatnya persaingan
pada 11 bank ini kemungkinan besar dikarenakan ukuran
yang relatif sama dibanding dengan 4 bank dengan kinerja
tinggi.
BOPO vs ROI 15 Bank Besar
Matriks berikut memperlihatkan bahwa 4 individu
bank dengan kinerja yang relatif di atas rata-rata
memperlihatkan nilai BOPO yang relatif tinggi (IIHP, IIIR,
IIPI, IIPP). Hal ini menandakan bahwa keempat bank
tersebut memiliki beban operasional yang relatif tinggi
namun dengan pencapaian ROI yang juga relatif tinggi.
Sebaliknya untuk 11 bank lainnya memperlihatkan nilai
BOPO yang relatif di bawah rata-rata dengan kinerja yang
relatif rendah di kelompoknya. Dengan kata lain, kelompok
15 bank besar dapat dibedakan ke dalam 2 kelompok yakni
yang berada pada kuadran 1 dengan nilai BOPO dan kinerja
di atas rata-rata dan pada kuadran 3 dengan nilai BOPO
dan kinerja di bawah rata-rata. Fenomena ini sejalan
dengan fenomena hubungan antara ROI dengan pangsa
yang linear dan heteroskedastik.
Pola hubungan antara BOPO dengan ROI pada dua
titik waktu observasi sepintas terlihat tidak logis, counter
intuitive. Namun hal tersebut ternyata juga terjadi di negara
lain (Neceur, 2003 dan Bhattacharya, 2003), sehingga
dapat disimpulkan bahwa pola tersebut merupakan
kekhasan industri perbankan.
Gambar A.1.7Martiks Dinamika Risiko-Kinerja
Pertumbuhan DPK/Pertumbuhan Kredit dan ROI 15 BankBesar- Awal & Akhir Periode Sampel
Sumber : diolah
gD/gK vs ROI Standard-Awal Periode Sampel
ROI
gD/g
K
-7 -6 -5 -4 -3 -2 -1 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
-3-2-101234567
gD/gK vs ROI Standard-Akhir Periode Sampel
-20-10
0
10203040
5060
3-3 -2 -1 0 1 2 4 5 6 7
ROI
gD/g
K
79
Artikel I - Jaring Pengaman Keuangan: Kajian Literatur dan Praktiknya di Indonesia
4. KESIMPULAN
Penelitian eksploratif ini bertujuan untuk
memperoleh gambaran mengenai keterkaitan antara
struktur, dinamika, dan kinerja industri perbankan,
khususnya kestabilan industri dan risiko stratejik individu
bank dengan menggunakan pendekatan Organisasi
Industri sebagai berikut:
1. Pengelompokan bank berdasarkan berbagai kriteria
Bank Indonesia didukung oleh kenyataan adanya
perbedaan distribusi statistik berbagai variabel
keuangan antar kelompok tersebut. Kelompok
tersebut dapat dianggap sebagai sub industri
perbankan yang berbeda secara riil.
2. Terjadi konsolidasi industri perbankan secara perlahan,
pada saat berkurangnya jumlah bank berkurang pula
kekuatan pasar pemain besar; sebaliknya, pemain
menengah bertambah kekuatan pasarnya. Hal ini
menunjukkan beberapa kemungkinan, pertama,
nasabah dari bank yang ditutup tidak berpindah ke
bank besar, atau kedua, bank menengah berhasil
menarik nasabah baru, ketiga, bank menengah
berhasil menarik nasabah lama dari bank besar, atau
yang terakhir adalah gabungan dari ketiganya.
3. Berkaitan dengan butir dua di atas, dalam pandangan
sebagian nasabah Indonesia dan sejauh berkaitan
dengan trade-off antara imbal hasil dan risiko, jasa/
produk bank besar adalah sama dengan jasa/produk
bank menengah/kecil. Hal ini mungkin akan
menambah keseriusan masalah informasi yang
asimetri pada industri perbankan Indonesia, yakni apa
yang disebut sebagai lemon market- nya Akerloff.
4. Secara keseluruhan industri perbankan Indonesia
dalam kondisi stabil, karena memang belum
beraktifitas pada tingkat persaingan yang normal,
namun, ketatnya persaingan tersebut berbeda antar
sub industri berdasarkan ukuran aset dan kenerja.
Persaingan terketat ada pada sub bank menengah.
5. Pola hubungan linier antara risiko stratejik dengan
berbagai variabel kinerja dan pangsa tidak dapat
ditetapkan dari data, hal ini mungkin berkaitan
dengan fenomena nonlinearitas risiko, tidak
sebagaimana halnya dengan pola hubungan antara
pangsa dan berbagai kinerja keuangan yang sudah
lebih jelas. Yang khas pada industri perbankan adalah
adanya hubungan linier positif antara rasio
profitabilitas dengan rasio BOPO.
Gambar A.1.8.Matriks Dinamika Risiko-Kinerja BOPO dan ROI 15 Bank
Besar-Awal & Akhir Periode Sampel
Sumber : hasil olahan tim peneliti
BOPO vs ROI Standard-Awal Periode Sampel
ROI
BOPO
-7 -6 -5 -4 -3 -2 -1 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
-0,1
-0,05
0
0,05
0,1
0,15
0,2
0,25
BOPO vs ROI Standard-Akhir Periode Sampel
ROI
BOPO
-0,1-0,05
00,05
0,10,15
0,20,25
-3 -2 -1 0 1 2 3 4 5 6 7
80
Artikel I - Dinamika Struktur Industri Perbankan, Risiko Stratejik Bank Serta Implikasinya terhadap Stabilitas Sistem Keuangan
Avi Fiegenbaum and Howard Thomas (2004),Δ Strategic
risk and competitive advantage: an integrative
perspectiveΔ, European Management Review (2004)
1, 84√95
Basel Committee on Banking Supervision. 1998. Risk
Management for Electronic Banking and Electronic
Money Activities.
Basel Committee on Banking Supervision. 2001. Working
Paper on the Regulatory Treatment of Operational
Risk.
Basel Committee on Banking Supervision. 2003. Risk
Management Principles for Electronic Banking.
Basel Committee on Banking Supervision. 2003. Sound
Practices for the Management and Supervision of
Operational Risk.
Ben Naceur, Samy.October (2003).ΔThe Determinants of
The Tunisian Banking Industry Profitability: Panel
EvidenceΔ. Universite» Libre de Tunis. Department of
Finance.
Boss, Michael, Helmut Elsinger, Martin Summer, dan Stefan
turner (2004),ΔThe Network Topology of the
Interbank MarketΔ, Working Paper.
Boss, Michael, Helmut Elsinger, Martin Summer, dan Stefan
turner (2003), ≈An Empirical Analysis of the Network
Structure of the Austrian Interbank MarketΔ, Financial
Stability Report 7.
Collins, James M and Ruefli, Timothy W (1992), Δ Strategic
Risk : An Ordinal ApproachΔ, Management Science
Vol.38 No.12
Elsinger, Helmut, Alferd Lehar, dan Martin Summer
(2006),ΔUsing Market Information for Banking System
Risk AssessmentΔ, International Journal of Central
Banking, Vol 2 No 1.
Elsinger, Helmut, Alferd Lehar, dan Martin Summer,≈A New
Approach to Assessing the Risk of Interbank LoansΔ,
Financial Stability Report 3.
Daftar Pustaka
Freddy Delbaen (2000), ≈Coherent Risk Measures on
General Probability SpacesΔ, ¨ossische Technische
Hochschule, Z¨urich ,March 10
Jorion, Philippe. (2001). Value at Risk: The New Benchmark
for Managing Financial Risk, 2nd edition. New York:
McGraw-Hill.
Kaushik Bhattacharya and Abhiman Das (2003),Δ Dynamics
of Market Structure and Competitiveness of the
Banking Sector in India and its Impact on Output and
Prices of Banking ServicesΔ, Reserve Bank of India
Occasional Papers Vol. 24, No. 3, Winter.
Mehra Ajay (1996), Δ Resources and Market based
Determinants of Performance in the US Banking
IndustryΔ, Journal of Strategic Management Vol 17
No.4
Peraturan Bank Indonesia No 5/8/PBI/2003 tanggal 19 Mei
2003 tentang Penerapan Manajemen Risiko.
Ruefli, Timothy W (1990),Δ Mean-Variance Approaches
to Risk-Return Relationships in Strategy: Paradox
LostΔ,Management Science; Mar 1990; 36, 3; ABI/
INFORM Global pg. 368
Ruefli, Timothy W.; Wilson, Chester L. (1987), ΔOrdinal
Time Series Methodology for Industry and
Competitive AnalysisΔ, Management Science, May;
33, 5; ABI/INFORM Global pg. 640
The Financial Services Roundtable. (1999). Guiding
Principals in Risk Management for U.S. Commercial
Banks: A Report of The Subcommittee and Working
Group on Risk Management Principles. Washington
D.C.
Winfrey, Frank L. dan James L. Budd (1997),Δ Reframing
Strategic RiskΔ, S.A.M. Advanced Management
Journal. Autumn; 62, 4; ABI/INFORM Global, hal. 13-
21.
81
Artikel II - Model Makroekonomi Pengukuran Indeks Stabilitas Keuangan: Studi Kasus Indonesia
Artikel II
Credit Risk Modelling:Rating Transition Matrices
Muliaman D. Hadad1 , Wimboh Santoso2 , Bagus Santoso3
Dwityapoetra S. Besar4 , Ita Rulina W. S5
1. PENDAHULUAN
Risiko kredit masih menjadi masalah utama
perbankan. Oleh karena itu, perbankan perlu
mengidentifikasi, mengukur, memonitor, dan mengontrol
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui migrasi rating pada periode tertentu, heterogenitas migrasi
rating dan tingkat volatilitas migrasi rating. Dengan menggunakan rating yang dikeluarkan oleh PT Pemeringkat
Efek Indonesia (Pefindo) sejak February 2001 sampai dengan Juni 2006, dihitung rating transition matrices
dengan menggunakan metode cohort dan continuous. Untuk setiap metode, disusun matriks tahunan, dua
tahunan (2004-2005), tiga tahunan (2003-2005), empat tahunan (2002-2005) dan lima tahunan (2001-2005).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa metode Continuous memberikan hasil yang lebih efisien dari pada metode
Cohort. Estimasi dengan menggunakan metode Continuous memberikan hasil terbaik untuk rating obligasi
korporasi dan menghasilkan distribusi probababilitas yang lebih tersebar. Dari sisi trend migrasi rating, estimasi
baik dengan menggunakan metode Cohort maupun Continuous memberikan hasil yang relatif konsisten. Selain
itu, migrasi rating cenderung untuk bergerak ke arah perbaikan rating dan hal ini konsisten dengan analisis
rating activity and rating drift.
risiko kredit serta memastikan tersedianya cukup modal
untuk mengantisipasi risiko tersebut (Basel Committee on
Banking Supervision, 1999). Basel II menetapkan bahwa
institusi keuangan perlu memiliki kemampuan untuk
menguji kinerja model kredit dan rating internal untuk
memastikan bahwa model tersebut dapat secara konsisten
dan meaningful mengukur risiko kredit (van Deventer dan
Wang, 2003). Secara khusus, van Deventer dan Imai (2003)
menyebutkan bahwa risiko kredit merupakan penyebab
utama default perbankan.
1 Deputi Gubernur Bank Indonesia. Artikel ini ditulis pada waktu beliau masih menjadiDirektur √ Direktorat Penelitian dan Pengaturan Perbankan, Bank Indonesia; e-mailaddressΩ: [email protected]
2 Kepala Biro Stabilitas Sistem Keuangan √ Direktorat Penelitian dan Pengaturan Perbankan,Bank Indonesia; e-mail addressΩ: [email protected]
3 Pengajar Fakultas Ekonomi, Universitas Gadjah Mada; e-mail address:[email protected]
4 Peneliti Senior √ Biro Stabilitas Sistem Keuangan √ Direktorat Penelitian dan PengaturanPerbankan, Bank Indonesia; email address: [email protected]
5 Peneliti √ Biro Stabilitas Sistem Keuangan √ Direktorat Penelitian dan PengaturanPerbankan, Bank Indonesia; email address: [email protected]
82
Artikel II - Credit Risk Modelling : Rating Transition Matrices
Ada beberapa kesulitan dalam menentukan solusi
risiko kredit yang mencakup banyak perusahaan. Pertama,
risiko kredit memiliki berbagai bentuk dan ukuran. Kedua,
jenis risiko kredit yang berbeda umumnya dikelola secara
ketat dan terpusat. Sumber risiko kredit juga relatif
beragam dan mencakup mulai dari corporate atau
sovereign bonds, credit derivatives, over-the-counter
derivatives (misalnya interest rate swap), pinjaman
komersial, retail mortgages, dan kartu kredit. Ketiga, bank
cenderung mengelola risiko kredit secara terpisah dari risiko
pasar.
Dalam melakukan pengukuran credit risk, Kamakura
Risk Information Services-KRIS (2004) menggunakan tiga
pendekatan kuantitatif untuk memodelKAN default
probabilities, yaitu Model Jarrow Chava, Model Struktural
Merton, dan Model Hibrid Jarrow Merton. Ketiga
pendekatan tersebut memasukkan informasi mengenai
harga pasar ekuitas perusahaan dan tingkat suku bunga,
sehingga current market expectation dapat terakomodasi
dalam default probability estimates. Van Deventer dan
Wang (2003) menggunakan model ini untuk mengestimasi
eksplisit probabilitas default dengan menggunakan regresi
logistik berdasarkan database default historis.
Selain melalui estimasi probabilitas default, analisis
risiko kredit juga dapat dilakukan melalui analisis migrasi
risiko (probabilitas migrasi rating obligasi). Bond rating
merupakan salah satu indikator penting untuk menilai
kualitas kredit perusahaan, dan juga default probability
perusahaan tersebut. Perubahan rating sebuah perusahaan
merefleksikan penilaian apakah kualitas kredit perusahaan
tersebut membaik (upgrade) atau memburuk (downgrade).
Analisis perpindahan rating, termasuk default, berguna
dalam credit risk model untuk mengukur future credit loss.
Dengan demikian, matriks yang berisi probabilitas transisi
rating (atau sering disebut transition matrix) memiliki peran
penting dalam credit risk modelling.
Secara teoritis, matriks transisi dapat diestimasi
untuk horison transisi yang diinginkan. Akan tetapi,
biasanya yang sering digunakan adalah matriks transisi
tahunan atau lima tahunan. Secara khusus, matriks
transisi menunjukkan risiko default dan volatilitas
migrasi yang tinggi untuk portofolio dengan grade
kualitas yang rendah. Default likelihood akan meningkat
secara eksponensial dengan adanya penurunan grade.
Semua matriks transisi memiliki karakteristik yang sama,
yaitu memiliki probabilitas yang tinggi di diagonal
matriks: obligor cenderung mempertahankan rating
mereka saat ini. Probabilitas terbesar kedua biasanya
berada di sekitar diagonal. Sementara itu, semakin jauh
dari diagonal, semakin kecil kecenderungan terjadinya
perubahan rating (Violi, 2004). Hasil studi Kryzanowski
dan Ménard (2001) menunjukkan bahwa probabilitas
suatu obligasi untuk tetap berada di rating semula akan
mengecil apabila horison waktu yang dianalisis semakin
panjang.
Diskusi mengenai credit modeling tidak hanya
berpusat pada probability of default, namun juga
menganalisis apa yang terjadi pada sebuah kredit yang
sudah hampir default (McNulty dan Levin, 2000). Oleh
karena itu, para peneliti mulai memfokuskan perhatian
pada probabilitas perpindahan rating kredit dari satu level
ke level lain. Salah satu cara yang cukup representatif untuk
menyajikan informasi tersebut adalah dengan
menggunakan matriks transisi (transition matrix).
2. TUJUAN PENELITIAN
Penelitian ini bertujuan untuk Melakukan estimasi
credit rating transition matrix, yaitu secara khusus
digunakan untuk mengetahui:
- Migrasi rating pada periode tertentu.
- Heterogenitas migrasi rating.
- Tingkat volatilitas migrasi rating.
83
Artikel II - Model Makroekonomi Pengukuran Indeks Stabilitas Keuangan: Studi Kasus Indonesia
3. PERKEMBANGAN STUDI LITERATUR
Matriks Transisi Rating
Migrasi kredit atau matriks transisi menunjukkan
perubahan kualitas kredit terakhir dari perusahaan. Matriks
transisi merupakan input utama dalam berbagai aplikasi
manajemen risiko. Contohnya, dalam New Basel Accord
(BIS, 2001), capital requirements didasarkan pada migrasi
rating. Bahkan sejak tahun 1999, Basel Committee on
Banking Supervision (BCBS) menegaskan manfaat matriks
transisi dan mengharuskan penyusunan matriks transisi
sebagai dasar untuk pemenuhan securitisation framework.
Proses rating kredit merupakan proses dimana pada
sembarang pengamatan rating kredit dapat menempati
salah satu dari sejumlah berhingga state rating. Pada
penelitian ini, diasumsikan proses rating kredit mengikuti
Markov chain/process. Hal ini berarti probabilitas
menempati suatu state hanya dapat ditentukan dengan
mengetahui state pada observasi sebelumnya. Asumsi
Markov Chain pada proses rating kredit mengimplikasikan
bahwa transisi kredit tersebut menjadi time invariant atau
time homogenous, dimana probabilitas transisi tidak
berubah terhadap waktu dan konstan sepanjang horison
yang telah ditentukan.
Jika sebuah Markov Chain memiliki state space S =
{1, 2, º, k}, maka probabilitas bahwa proses rating kredit
menempati state j pada suatu observasi sesudah
menempati state i pada observasi sebelumnya dinotasikan
dengan pij. Kemudian p
ij disebut probabilitas transisi dari
state i ke state j. Matriks yang berisi probabilitas transisi
dari state i ke state j disebut matriks transisi dari Markov
Chain (Anton dan Roses, 1987). Selanjutnya matriks transisi
tersebut dinotasikan dengan P. Bentuk umum matriks
probabilitas transisi satu langkah adalah sebagai berikut.
(3.1)
Pada persamaan (3.1) di atas, pij menyatakan probabiltas
transisi dari state i pada waktu t ke state j pada waktu
t+1. Selain itu, matriks transisi Markov Chain di atas
mempunyai ciri bahwa entri-entri dalam satu baris
berjumlah 1. Secara matematis, ciri Markov Chain tersebut
dapat ditulis sebagai berikut.
(3.2)
Kemudian state vector xxxxx(t) untuk suatu observasi Markov
Chain dengan state space S = {1, 2, º,k} didefinisikan
sebagai vektor kolom xxxxx dimana komponen yang ke i, yaitu
xi , merupakan probabilitas menempati state ke i pada waktu
t. Vektor kolom tersebut dapat diformulasikan sebagai:
(3.3)
Menurut teorema yang dikemukakan oleh Anton dan
Rorres (1987), jika P adalah matriks transisi Markov Chain
dan x(n) merupakan state vector pada observasi ke n, maka.
(3.4)
Dari teorema di atas, diketahui bahwa:
(3.5)
Dengan kata lain, persamaan (3.5) menyatakan bahwa
state vector awal x(0) dan matriks transisi P menentukan
nilai state vector x(n).
Steady-State Behavior
Konsekuensi utama dari fakta bahwa penjumlahan
elemen-elemen dari setiap baris matriks PPPPP bernilai satu
adalah bahwa sistem dinamik yang mendeskripsikan
evolusi x(n) adalah murni stabil (neutrally stable). Artinya,
solusi untuk x(n) tidak pernah sama dengan nol ataupun
menuju ke tak terhingga (infinity). Solusi tersebut mencapai
solusi steady-state, x~ = x (n�~), dimana pada akhirnya
elemen-elemen dari xxxxx mencapai nilai konstan, x~ , dengan
syarat penjumlahan elemen-elemen dari xxxxx harus sama
dengan satu.
84
Artikel II - Credit Risk Modelling : Rating Transition Matrices
credit derivatives maka diperlukan horison yang lebih
pendek walaupun pada penerapannya hanya matriks
transisi tahunan yang biasanya digunakan oleh agen-agen
rating sebagai horison transisi.
Jarrow, Lando dan Turnbull (1997) dalam studi
mengenai current credit derivatives pricing models,
menyelesaikan permasalahan horison transisi yang relatif
panjang dengan menghitung intensitas-intensitas
probabilitas yakni continuous time probabilities dari matriks
transisi satu tahun. Selain itu, Hillegeist et al. (2004) juga
menerapkan matriks transisi satu tahun horison dalam
memprediksi probabilitas kebangkrutan.
4. SPESIFIKASI PENDEKATAN MATRIKS TRANSISI
YANG DIGUNAKAN
Dalam studi ini, dilakukan konstruksi transisi matriks
untuk waktu diskrit maupun kontinyu. Berdasarkan
pendekatan waktu diskrit, perubahan rating obligor (atau
skor kredit) hanya diamati setelah suatu jangka waktu
tertentu yang fixed, misalnya enam bulan, sembilan bulan,
setahun, atau periode tertentu lainnya. Sementara
berdasarkan pendekatan waktu kontinyu, perubahan
rating dapat diamati setiap saat, bahkan mungkin hanya
dalam hitungan menit (Ahmed et al., 2004). Dalam
mengkonstruksi matriks transisi berdasarkan pendekatan
waktu diskrit, mengacu pada Jafry dan Schuermann
(2004). Sementara itu, konstruksi matriks transisi
berdasarkan pendekatan waktu kontinyu mengadaptasi
studi Lando dan Skμdeberg (2002).
Matriks Transisi Waktu Diskrit: Metode Cohort
(Frequentist)
Salah satu metode yang dapat digunakan untuk
menghitung perubahan probabilitas dari data yang
diestimasi pada waktu diskrit adalah dengan
menggunakan metode Cohort. Metode Cohort telah
banyak digunakan karena menggunakan perhitungan
The Absorbing ≈DefaultΔ State
Secara umum, default state dipandang sebagai
absorbing state. Hal ini mengimplikasikan bahwa setiap
perusahaan yang telah mencapai default state tidak dapat
berpindah ke state rating kredit lainnya. Hal ini dapat dilihat
pada baris terakhir dari bentuk umum matriks transisi yang
tersaji dalam persamaan (3.1), dimana semua elemen dari
baris tersebut adalah nol kecuali elemen dari default state
yang mempunyai entri satu (unity).
Konsekuensi matematik utama dalam memasukkan
absorbing state ke dalam state space adalah bahwa solusi
steady state, yaitu eigenvector pertama dan transpos
matriks P, adalah identik dengan absorbing row dari matriks
transisi P. Dengan kata lain, bentuk umum matriks migrasi
yang menunjukkan probabilitas default yang berhingga
yaitu matriks transisi P mempunyai berhingga elemen tak
nol dalam absorbing column, distribusi probabilitas x(n) akan
selalu menempati default state. Jika diberikan waktu yang
cukup lama maka pada akhirnya semua perusahaan akan
merosot ke default state.
Time Horizon
Secara teoretis, matriks-matriks transisi dapat
diestimasi untuk horison transisi berapapun namun matriks
transisi yang diestimasi dengan periode yang lebih pendek
sangat baik untuk menggambarkan proses rating. Semakin
pendek interval yang digunakan untuk mengestimasi
matriks transisi, semakin sedikit perubahan rating yang
diabaikan. Namun demikian, durasi yang lebih pendek juga
menghasilkan pergerakan (movements) rating yang kurang
ekstrim dimana pergerakan yang tinggi sering dicapai
dalam beberapa intermediary steps.
Faktor-faktor lain yang menentukan horison transisi
adalah tujuan aplikasi matriks transisi. Jika matriks transisi
diaplikasikan untuk menghitung credit risk exposures maka
umumnya digunakan horison transisi satu tahun. Jika
aplikasi matriks transisi adalah untuk menentukan harga
85
Artikel II - Model Makroekonomi Pengukuran Indeks Stabilitas Keuangan: Studi Kasus Indonesia
λij > 0, untuk i = j
(3.7)
Entri tersebut menjelaskan perilaku probabilistik
holding time di state i sebagaimana yang didistribusikan
secara eksponensial (exponentially distributed) dengan
parameter λi, dimana λi = - λii, dan probabilitas untuk
berpindah dari state i ke state j adalah λij /λi.
Probabilitas transisi untuk setiap horizon waktu
merupakan fungsi dari generator. Oleh karena itu, kita
dapat memperoleh estimator maximum likelihood dari
matriks probabilitas transisi dengan cara memperoleh
estimasi maximum likelihood dari generator tersebut
kemudian mengaplikasikan fungsi eksponensial matriks
pada estimasi maximum likelihood dari generator tersebut.
Berdasarkan asumsi time homogeneity, elemen dari
matriks generator dihitung dengan menggunakan
estimator maximum likelihood sebagaimana yang
dilakukan oleh Küchler dan Sμrensen, 1997):
untuk (3.8)
dimana:
Nij (T) : jumlah transisi dari state rating i ke state rating j
selama periode pengamatan
Yij (s) : jumlah perusahaan yang menempati state rating
i saat s.
Dengan kata lain, denominator dari persamaan (3.8)
menyatakan jumlah »firm-years» dari semua perusahaan
dalam sampel saat menempati state awal i. Jadi, setiap
periode yang dihabiskan perusahaan untuk menempati
suatu state ikut dihitung sebagai denominator.
Metode Kontinyu dengan Asumsi Time Non-
Homogenous
Menurut studi yang dilakukan Lando dan Skμdeberg
(2002), salah satu cara untuk menghitung matriks
yang sederhana, meskipun terkadang memberikan hasil
yang kurang efisien.
Matriks Transisi Waktu Kontinyu
Konstruksi matriks transisi berdasarkan pendekatan
waktu kontinyu telah menarik perhatian banyak modeller
beberapa waktu terakhir. Ahmed et al. (2004)
menyebutkan dua manfaat utama penggunaan
pendekatan ini, yaitu:
1. memudahkan estimasi probabilitas transisi dimana
transisi ke suatu rating tertentu relatif jarang terjadi,
misalnya indirect default (default melalui downgrade
secara sekuensial)1
2. memungkinkan konstruksi matriks transisi untuk
setiap periode waktu (misalnya matriks transisi 73
hari).
Metode Kontinyu dengan Asumsi Time Homoge-
neous
Dalam pendekatan ini, dimisalkan terdapat K-state
Markov chain dimana state 1 sebagai state tertinggi dan
state K sebagai kondisi default. Probabilitas-probabilitas
transisi selama suatu periode tertentu dinyatakan dalam
matriks P(t) KxK dengan elemen ij adalah probabilitas
migrasi dari state i ke state j selama periode t. Matriks
generator dengan dimensi KxK adalah λ dengan
nonnegative off-diagonal entries dengan jumlah baris sama
dengan nol Israel et al., 2001, dimana (Lando dan
Skμdeberg, 2002):
P(t) = exp (λt), t > 0 (3.6)
Matriks λt merupakan matriks λ dikalikan t pada
setiap entri dan fungsi eksponensial merupakan
eksponensial matriks. Entri dari matriks λ adalah:
1 Jika dalam sebuah periode terdapat transisi dari AAA ke AA, kemudian terdapat transisidari AA ke default namun oleh perusahaan lainnya, maka estimator transisi dari AAA keD tidak sama dengan nol karena ternyata terdapat probabilitas untuk default setelahadanya downgrade meskipun oleh perusahaan lain. Berbeda dengan metode kontinu,metode diskrit tidak dapat mengakomodasi proses tersebut.
86
Artikel II - Credit Risk Modelling : Rating Transition Matrices
probabilitas transisi dari data waktu kontinyu dengan
asumsi time non-homogenuous adalah dengan
menggunakan estimator Aalen-Johansen. Berdasarkan
Jafry dan Schuermann (2003) estimator Aalen-Johansen
atau estimator limit produk non parametrik yang diperoleh
adalah konsisten. Konstruksi matriks transisi berdasarkan
metode ini merupakan metode Cohort untuk periode yang
sangat pendek, misalnya dalam hitungan hari (Landschoot,
2005).
Dalam mengestimasi matriks transisi menggunakan
metode kontinyu dengan asumsi time non-homogeneous,
dimisalkan P[s,t] matriks probabilitas transisi dengan
periode [s,t]. Elemen ij dari matriks tersebut menotasikan
probabilitas proses Markov yang memulai transisi dari state
i saat s akan menempati state j saat t. Kemudian jika
diketahui terdapat sejumlah m transisi selama periode [s,t]
maka P[s,t] dapat diestimasi dengan menggunakan
estimator Aalen-Johansen (Jafri dan Schuermann (2003).
. (3.9)
Penilaian Kualitas Rating
Untuk memperdalam hasil analisis, terdapat
beberapa indikator yang perlu diperhatikan. Salah satu
indikator penting dalam menilai trend kualitas rating
korporasi (corporate rating) secara keseluruhan adalah
rating activity. Menurut Carty dan Fons (1993), rating
activity dapat dihitung dari penjumlahan semua perubahan
rating yang membaik (upgrades) maupun perubahan
rating yang memburuk (downgrades) dan membaginya
dengan jumlah issuer yang beroperasi pada awal tahun.
Salah satu indikator penting lainnya adalah rating
drift. Rating drift merupakan dependensi terhadap rating
sebelumnya dan merupakan non-Markovian behaviour
Lando dan Skodeberg (2002). Rating drift dihitung dengan
cara menjumlahkan jumlah perubahan rating yang
membaik dikurangi dengan jumlah perubahan rating yang
memburuk dan kemudian membagi selisih tersebut
dengan jumlah issuer yang beroperasi pada awal tahun.
Berdasarkan contoh yang diberikan oleh Carty dan Fons
(1993), perubahan rating dari BBB ke A merupakan satu
perubahan rating, sementara perubahan dari BBB ke AA
merupakan dua perubahan rating.
Model Discrete Hazard
Salah satu model risiko kredit yang akan digunakan
sebagai alat analisis risiko kredit adalah hazard rate model.
Hazard rate model adalah suatu metode pengukuran
kebangkrutan dengan memasukkan intensitas gagal bayar
(default intensity). Model hazard sangat banyak digunakan
dalam aplikasi pengukuran kinerja. Salah satu aplikasi
model hazard rate antara lain digunakan dalam metode
penetapan harga (pricing), kebangkrutan dan estimasi
probabilitas gagal bayar perusahaan. Terdapat dua model
hazard, yaitu discrete hazard rate dan continuous hazard
rate. Perbedaan antara dua model hazard tersebut dapat
diketahui melalui fungsi survival yang digunakan. Penelitian
permodelan kebangkrutan perusahaan kali ini hanya
terfokus pada model discrete hazard.
Model discrete hazard merupakan model yang sesuai
untuk menganalisa data yang terdiri dari observasi-
observasi binary, time-series dan cross-sectional contohnya
data kebangkrutan. Hazard rate didefinisikan dalam ilmu
ekonomi sebagai risiko transisi ke berbagai keadaan (state).
Dalam literatur finansial, hazard rate menunjuk kepada
credit default risk.
5. SUMBER DATA
Data yang digunakan berasal dari PT Pemeringkat
Efek Indonesia (Pefindo). Rating perusahaan (company
rating) maupun rating obligasi perusahaan (debt specific
rating) yang telah dipublikasikan oleh PEFINDO pada bulan
Februari 2001 sampai dengan bulan Juni 2006 digunakan
untuk mengestimasi matriks transisi, baik dengan metode
diskrit maupun dengan metode durasi/kontinyu. Namun,
87
Artikel II - Model Makroekonomi Pengukuran Indeks Stabilitas Keuangan: Studi Kasus Indonesia
beberapa rating obligasi yang dipublikasikan oleh Pefindo
memuat obligasi yang dirating oleh agen pemeringkat
rating selain Pefindo, yaitu Kasnic.
Data rating perusahaan yang dipublikasikan dalam
kurun waktu tersebut merupakan semi-annual publication
yang dipublikasikan pada Februari dan Agustus. Publikasi
pada Februari tahun i merupakan data rating perusahaan
dari 31 Desember tahun i-1, sedangkan publikasi pada
Agustus tahun i merupakan data rating perusahaan dari
31 Juni tahun i. Sementara itu, data rating obligasi
perusahaan yang digunakan dalam estimasi merupakan
data untuk periode 2001-2005 yang dipublikasikan oleh
Pefindo setiap bulan, dari Juli 2003 sampai dengan Juni
2006 dan semi-annual publication rating dari 2001 sampai
dengan 2002.
Data yang diperoleh dari PEFINDO terdiri dari 115
rating perusahaan dan 412 rating obligasi perusahaan yang
berasal dari 119 perusahaan. Namun, tidak semua data
tersebut dapat dimasukkan dalam estimasi mengingat
tidak semua data tersebut mempunyai rating pada setiap
awal periode estimasi.
6. ANALISIS HASIL ESTIMASI MATRIKS TRANSISI
6.1 Penilaian Kualitas Rating
Gambar A.2.1. menunjukkan bahwa kualitas rating
korporasi sampel secara umum menunjukkan perbaikan.
Hal ini ditandai dengan turunnya persentase jumlah
perusahaan yang mengalami downgrade selama 2001-
2004 (dari 25% menjadi 3,23%). Meskipun demikian,
pada 2005, persentase jumlah perusahaan yang
mengalami downgrade kembali meningkat menjadi 4%.
Sebaliknya, peningkatan kualitas rating korporasi
ditunjukkan dengan peningkatan persentase jumlah
perusahaan yang mengalami upgrade, yaitu dari 10% pada
2001 menjadi 14,3% pada 2003. Persentase ini kembali
turun pada 2004 dan 2005. Sejak 2003, jumlah
perusahaan yang mengalami upgrade lebih banyak
dibandingkan perusahaan yang mengalami downgrade.
Hal ini merupakan sinyal awal perbaikan kondisi
perusahaan sampel.
Grafik A2.1Jumlah Perusahaan Sampel yang
Mengalami Upgrade dan Downgrade
0
5
10
15
20
25
30
25,0
7,1
3,2 4,0
14,3
7,5 7,0
12,2 12,2
10,0
2001 2002 2003 2004 2005
Downgrade Upgrade
Sumber: Pefindo. diolah
Persen
Grafik A2.2Jumlah Obligasi Sampel yang Mengalami
Upgrade dan Downgrade
13,5
6,3
2,51,3
16,8
7,1 7,48,2
5,1
7,7
0
2
4
6
8
10
12
14
16
18
2001 2002 2003 2004 2005
UpgradeDowngrade
Sumber: Pefindo. diolah
Persen
Hal ini juga ditegaskan oleh Grafik A.2.2 dimana
jumlah obligasi yang mengalami penurunan rating selama
lima tahun terakhir menunjukkan trend menurun. Pada
2001, jumlah obligasi sampel yang mengalami downgrade
sebanyak 13,5% sementara pada 2005 hanya terdapat
1,3% obligasi sampel yang mengalami donwgrade.
Secara singkat, Grafik A2.1. dan Grafik A2.2.
memberikan indikasi awal perbaikan creditworthiness
perusahaan penerbit obligasi yang menjadi sampel. Hal
ini tercermin dari penurunan persentase perusahaan
maupun obligasi yang mengalami downgrade, dan
peningkatan persentase perusahaan maupun obligasi yang
mengalami upgrade.
88
Artikel II - Credit Risk Modelling : Rating Transition Matrices
Rating Activity dan Rating Drift
Rating drift yang bernilai positif (+) menunjukkan
bahwa jumlah upgrade melebihi jumlah downgrade atau
peningkatan kualitas rating, sementara rating drit yang
bernilai negatif (-) menunjukkan bahwa jumlah downgrade
melebihi jumlah upgrade atau penurunan kualitas kredit.
Secara singkat, rating drift menunjukkan apakah
perubahan rating menunjukkan perbaikan atau memburuk
selama periode waktu tertentu.
Rating activity dan rating drift perusahaan sampel
selama 2001-2005 ditunjukkan di Grafik A2.3. Terlihat
adanya penurunan letter activity rating perusahaan sampel
selama 2001-2004. Pada 2005, rating activity perusahaan
sampel menunjukkan peningkatan, yaitu menjadi 15%.
Meskipun persentase rating activity menunjukkan
penurunan, namun rating drift menunjukkan trend
menaik. Hal ini berarti bahwa meskipun persentase activity
rating perusahaan sampel selama beberapa tahun terakir
kurang menggembirakan, namun arah perubahan rating
menunjukkan perbaikan. Pada 2001 dan 2002, rating drift
negatif (-), yang berarti jumlah downgrades lebih besar
dibandingkan jumlah upgrades. Meskipun demikian, rating
drift mengalami penurunan sejak 2004, namun tidak
seburuk pada periode 2001-2002.
Grafik A2.4. menunjukkan rating activity dan rating
drift obligasi sampel selama 2001-2005. Persentase letter
rating activity obligasi sampel juga menunjukkan
penurunan, yaitu dari 65,4% pada 2001 menjadi 8,7%
pada 2005.
Meskipun persentase rating activity menunjukkan
penurunan, namun arah rating drift menunjukkan
perbaikan, karena rating drift obligasi sampel memiliki
trend menaik. Hal ini berarti bahwa meskipun persentase
activity rati ng obligasi beberapa tahun terakhir mengalami
penurunan, namun arah perubahan rating menunjukkan
perbaikan.
Pada 2001 dan 2002, rating drift negatif (-), yang
berarti jumlah downgrades yang terjadi lebih besar
dibandingkan jumlah upgrades. Meskipun demikian, rating
drift terus mengalami peningkatan sehingga mencapai
21% pada 2003. Hal ini berarti jumlah upgrades yang
terjadi lebih besar dibandingkan downgrades, serupa
dengan rating drift perusahaan sampel.
Secara umum dapat disimpulkan bahwa persentase
rating activity perusahaan dan obligasi sampel selama periode
2001-2005 relatif menurun. Meskipun demikian, arah
aktivitas rating menunjukkan perbaikan, seperti ditunjukkan
oleh peningkatan rating drift. Hal ini memiliki implikasi awal
bahwa creditworthiness perusahaan dan obligasi sampel
relatif membaik selama beberapa tahun terakhir.
6.2. Analisis Matriks Transisi Rating
Terdapat dua pendekatan utama yang dapat
digunakan untuk mengestimasi matriks transisi, yaitu
Grafik A2.3Letter Rating Activity dan Rating Drift Perusahaan Sampel
-60
-40
-20
0
20
40
60
80
100
120
2001 2002 2003 2004 2005
-55,0
-10,2
12,54,3
-1,0
110,0
55,1
26,8
10,8 15,0
Rating DriftRating Activity
Sumber: Pefindo, diolah
Persen
Grafik A2.4Letter Rating Activity dan Rating Drift
Obligasi Sampel
-60
-40
-20
0
20
40
60
80
2001 2002 2003 2004 2005
-42,3
-18,4
21,0
4,2 6,1
65,4
36,7 36,4
10,8 8,7
Rating Activity Rating Drift
Sumber: Pefindo, diolah
Persen
89
Artikel II - Model Makroekonomi Pengukuran Indeks Stabilitas Keuangan: Studi Kasus Indonesia
38 transisi, dua transisi dari Not Rated dan dua transisi ke
Not Rated. Pola probabilitas default matriks transisi lima
tahun mirip dengan pola probabilitas default matriks
transisi empat tahun. Bahkan, distribusi probabilitas transisi
2001-2005 menunjukkan distribusi yang lebih merata
(Tabel A2.1).
Terkait hubungan simetri antara stabilitas rating
dengan kualitas rating, hasil estimasi untuk periode 2001-
2005 menunjukkan hubungan yang serupa dengan
matriks transisi periode dua, tiga, dan empat tahun.
Tingkat stabilitas rating semakin menurun seiring
penurunan rating, hingga rating BB. Selanjutnya, rating B
memiliki tingkat stabilitas yang lebih tinggi dibandingkan
rating BB.
Probabilitas transisi umumnya semakin mengecil
dengan semakin jauhnya jarak transisi, meskipun beberapa
rating memiliki probabilitas yang cukup tinggi untuk
bermigrasi ke rating yang jauh di atasnya atau di
bawahnya.
Setelah lima tahun, terdapat banyak kemungkinan
yang terjadi, baik transisi dari speculative grade ke
investment grade dan sebaliknya. Meskipun demikian, arah
transisi ke rating yang lebih tinggi (upgrade) lebih banyak
dibandingkan jumlah transisi ke rating yang lebih rendah
(downgrade). Hal ini menunjukkan bahwa perusahaan
sampel dalam jangka panjang menunjukkan peningkatan
metode Cohort dan metode Kontinyu/Durasi. Metode
Kontinyu dibedakan berdasarkan asumsi time
homogeneous dan asumsi time non-homogeneous. Dalam
studi ini, diestimasi matrisk transisi berdasarkan metode
Cohort dan metode Kontinyu dengan asumsi time
homogeneous.
Dalam mengkonstruksi matriks transisi berdasarkan
pendekatan waktu diskrit, digunakan metode Cohort yang
mengacu pada Jafry dan Schuermann (2004). Sementara
itu, konstruksi matriks transisi berdasarkan pendekatan
waktu kontinyu mengadaptasi studi Lando dan Skμdeberg
(2002). Untuk meringkas penyajiannya, dalam paper ini
hanya metode kontinyu yang disajikan.
Matriks Transisi Rating Perusahaan Metode
Kontinyu Asumsi Time Homogeneous
Estimasi matriks transisi rating perusahaan dengan
menggunakan metode kontinyu dilakukan per tahun, dua
tahun (2004-2005), tiga tahun (2003-2005), empat tahun
(2002-2005) dan lima tahun (2001-2005). Untuk
meringkas penyajiannya, hanya matriks lima tahun (2001-
2005) saja yang disajikan.
Matriks Transisi Lima Tahun Periode 2001-2005
Pada 2001-2005, jumlah transisi yang terjadi
berdasarkan metode kontinyu time homogeneous adalah
AAAAAAAAAAAAAAA 1 100 0 0 0 0 0 0 0 0AAAAAAAAAA 5 0 94,31 5,42 0,06 0,04 0 0,05 0,06 0,02AAAAA 20 0 4,51 86,72 2,02 1,31 0,23 1,37 2,19 0,70
BBBBBBBBBBBBBBB 7 0 0,38 14,61 82,87 0,13 0,24 0,13 0,17 1,39BBBBBBBBBB 0 0 0,10 5,50 27,41 41,40 1,40 13,48 10,32 0,28BBBBB 2 0 0,03 1,55 7,70 4,94 78,33 5,18 1,29 0,07
CCCCCCCCCCCCCCC 1 0 0,56 19,19 2,59 6,82 8,99 39,50 21,43 0,11DDDDD 3 0 0 0 0 0 0 0 100 0
NRNRNRNRNR 1 0 0,61 21,89 1,29 0,94 20,61 0,97 0,41 52,31TOTALTOTALTOTALTOTALTOTAL 40 Ω Ω Ω Ω Ω Ω Ω Ω Ω
Tabel A2.1Matriks Transisi Corporate Rating Berdasarkan Metode Kontinyu (%), Periode 2001-2005
JumlahPerusahaan Pada AAA AA A BBB BB B CCC D NR
Awal Priode
90
Artikel II - Credit Risk Modelling : Rating Transition Matrices
creditworthiness, meskipun terdapat juga perusahaan yang
kualitas kreditnya memburuk.
Dalam jangka waktu lima tahun, perusahaan
menghadapi probabilitas gagal bayar atau transisi ke rating
D. Bahkan, perusahaan yang berada pada rating AA dan
A pun memiliki kemungkinan untuk mengalami gagal
bayar. Perusahaan yang tidak menghadapi risiko gagal
bayar dalam periode lima tahun adalah perusahaan yang
memiliki rating AAA. Hal ini serupa dengan hasil estimasi
transisi matriks empat tahun. Probabilitas gagal bayar ini
juga semakin meningkat dengan menurunnya kualitas
rating, kecuali rating BB dan rating B yang memiliki
probabilitas gagal bayar yang cukup rendah.
Terkait stabilitas rating, matriks transisi lima tahun
dan empat tahun menunjukkan bahwa rating yang
termasuk kategori investment grade memiliki stabilitas
yang cukup tinggi. Sementara itu, speculative rating yang
memiliki stabilitas relatif tinggi adalah rating B dan C untuk
estimasi matriks transisi empat tahun dan rating B untuk
estimasi matriks transisi lima tahun.
Stabilitas Rating Perusahaan Berdasarkan
Metode Kontinyu Asumsi Time Homogeneous
Pola perubahan tingkat kestabilitasan rating untuk
kategori investment grade terlihat pada Grafik A2.5,
sedangkan pola perubahan kestabilitasan rating kategori
non-investment atau speculative grade dapat dilihat pada
Grafik A2.6 Pada Grafik A2.5, terlihat bahwa investment
grade umumnya mempunyai tingkat kestabilitasan di atas
65%.
Rating yang memiliki tren kestabilan menaik adalah
rating A. Hal ini berarti dari tahun ke tahun, rating ini
semakin stabil. Sementara itu, rating AA dan BBB
mengalami fluktuasi tingkat kestabilan yang cukup
signifikan.
Perusahaan sampel yang mempunyai rating AAA
memiliki tingkat kestabilan yang tinggi dari tahun ke tahun.
Hal ini mengindikasikan bahwa issuer yang mempunyai
rating AAA cenderung mempunyai tingkat kestabilan yang
tinggi dan tahan terhadap pengaruh atau gejolak negatif
pasar. Meskipun demikian, perlu dicatat bahwa jumlah
observasi yang pernah berada di rating ini hanya beberapa
perusahaan, sehingga belum cukup representatif untuk
Grafik A2.5Tingkat Stabilitas Corporate Rating yang Tergolong
Investment Grade Berdasarkan Metode KontinyuTime Homogeneous
50
60
70
80
90
100
2001 2002 2003 2004 2005
AAA
AA BBB
A
Persen
Grafik A2.6Tingkat Stabilitas Corporate Rating yang Tergolong
Speculative Grade Berdasarkan MetodeKontinyuTime Homogeneous
2001 2002 2003 2004 2005
BB
B
CCC
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100Persen
Gambar A2.7Tingkat Stabilitas Corporate Rating yang Tergolong
Investment Grade Berdasarkan Metode KontinyuTime Homogeneous pada Berbagai Periode Estimasi
75
80
85
90
95
100
AAA AA A BBB
(2001-2005)
(2002-2005)
(2003-2005)
(2004-2005)
2005
Persen
91
Artikel II - Model Makroekonomi Pengukuran Indeks Stabilitas Keuangan: Studi Kasus Indonesia
AAAAAAAAAAAAAAA 0 100 0 0 0 0 0 0 0 0AAAAAAAAAA 1 0 100 0 0 0 0 0 0 0AAAAA 27 0 7,14 86,76 0,99 0 0,01 0 5,10 0
BBBBBBBBBBBBBBB 11 0 0,18 4,54 93,58 0,03 1,47 0,04 0,16 0BBBBBBBBBB 2 0 0 0,14 5,82 87,96 0,05 0 6,03 0BBBBB 8 0 0 0,15 6,13 3,77 82,29 4,43 3,23 0
CCCCCCCCCCCCCCC 3 0 0 0,03 1,72 23,87 22,48 50,58 1,32 0DDDDD 0 0 0 0 0 0 0 0 100 0
NRNRNRNRNR 0 0 0,04 1,22 39,66 6,85 6,95 26,98 0,30 18,01TotalTotalTotalTotalTotal 52 Ω Ω Ω Ω Ω Ω Ω Ω Ω
Stabilitas rating yang tergolong speculative atau non-
investment grade juga umumnya mengalami penurunan
stabilitas dengan bertambahnya periode observasi.
Meskipun demikian terdapat tingkat kestabilan tersebut
juga mengalami fluktuasi, utamanya rating CCC.
Matriks Transisi Obligasi Perusahaan Metode
Kontinyu Asumsi Time Homogeneous
Matriks Transisi Lima Tahun Periode 2001-2005
Pada periode 2001-2005, jumlah transisi rating
obligasi yang terjadi berdasarkan metode kontinyu adalah
29 transisi dan dua transisi dari Not Rated. Hasil estimasi
matriks transisi berdasarkan metode kontinyu asumsi time
homogeneous pada periode 2001-2005 ditampilkan pada
Tabel A2.2.
Tingkat kestabilan rating obligasi Indonesia periode
2001-2005 cukup tinggi yaitu antara 87,96-100%, kecuali
tingkat kestabilan rating CCC yang hanya mencapai
50,58%. Rendahnya kestabilan rating CCC karena rating
ini tergolong dalam junk bond atau speculative grade,
artinya obligasi memiliki kualitas rating yang rendah
dengan probabilitas default yang relatif tinggi. Karena
obligasi investment grade memiliki tingkat stabilitas yang
tinggi maka obligasi ini cenderung tidak dimainkan untuk
tujuan spekulasi, melainkan untuk tujuan investasi. Lain
Gambar A2.8Tingkat Stabilitas Corporate Rating yang TergolongSpeculative Grade Berdasarkan Metode Kontinyu
Time Homogeneous pada Berbagai Periode Estimasi
0
20
40
60
80
100
120
BB B CCC
(2003-2005)2005 (2004-2005) (2002-2005) (2001-2005)
Persen
menggambarkan kondisi pasar. Di sisi lain, rating yang
paling tidak stabil di antara investment grade lainnya
adalah BBB karena persentase kestabilannya paling kecil.
Grafik A2.8 menunjukkan stabilitas rating yang
termasuk kategori investment grade untuk setiap periode
estimasi. Untuk kelima periode estimasi, stabilitas rating
yang termasuk kategori ini cukup tinggi, selalu berada di
atas 75%. Secara umum, rating yang lebih tinggi memiliki
stabilitas yang lebih tinggi dibandingkan rating yang lebih
rendah. Grafik tersebut juga menunjukkan bahwa stabilitas
rating ini semakin menurun dengan bertambahnya periode
estimasi. Sedikit berbeda dengan hal tersebut, stabilitas
rating BBB menunjukkan fluktuasi.
Tabel A2.2Matriks Transisi Bond Rating Berdasarkan Metode Kontinyu (%), Periode 2001 - 2005
JumlahPerusahaan Pada AAA AA A BBB BB B CCC D NR
Awal Priode
92
Artikel II - Credit Risk Modelling : Rating Transition Matrices
halnya obligasi kategori speculative grade yang memiliki
fluktuasi perubahan rating yang tinggi yang
mengakibatkan obligasi jenis ini menarik untuk dimainkan
oleh para spekulan untuk mendapatkan return yang tinggi.
Tabel A2.2. menunjukkan bahwa rating CCC
memiliki probabilitas transisi upgrade ke rating B (22,48%),
rating BB (23,%), BBB (1,72%), dan A (0,03%). Namun
demikian, rating CCC memiliki probabilitas default sebesar
1,32%.
Matriks transisi 2001-2005 tidak menunjukkan pola
yang simetris. Semakin jauh dari sisi diagonal, besarnya
transisi rating sangat bervariasi dan belum tentu
probabilitasnya semakin kecil. Dari sisi stabilitasnya pun
(sisi diagonal) tidak menunjukkan pola yang konsisten.
Seharusnya semakin rendah kualitas obligasi semakin
rendah pula tingkat kesatabilannya.
Pada matriks transisi lima tahun hanya obligasi
dengan rating A dan BBB (kategori investment grade)
yang memiliki probabilitas transisi menuju speculative
grade. Selain itu, seluruh obligasi dengan kategori
speculative grade (BB, B, dan CCC) masing-masing
memiliki probabilitas transisi menjadi kategori investment
grade.
Stabilitas Bond Rating Metode Continue Homo-
geneous
Tingkat stabilitas rating obligasi 2001 sampai dengan
2005 dapat dianalisis terpisah antara stabilitas obligasi
investment grade dengan stabilitas obligasi speculative
grade. Tingkat stabilitas obligasi investment grade lebih
tinggi dibandingkan dengan tingkat stabilitas obligasi
speculative grade. Seperti yang terlihat pada Grafik A2.9.
bahwa persebaran persentase kestabilan obligasi
investment grade antara 70-100%. Sementara itu, pada
Grafik A2.10. terlihat bahwa persebaran nilai stabilitas
rating obligasi speculative grade antara 20-100%. Grafik-
grafik pada obligasi investment grade cenderung
berbentuk lebih datar dibandingkan dengan grafik pada
obligasi speculative grade.
Di antara obligasi-obligasi kategori investment grade,
obligasi dengan rating AAA merupakan obligasi yang
paling stabil disusul dengan obligasi rating AA, BBB dan
A. Rating kualitas tertinggi yaitu rating AAA merupakan
rating yang paling stabil. Tingkat kestabilan rating BBB
lebih stabil daripada rating A yang ditunjukkan dengan
kedataran garis BBB relatif terhadap garis A. Namun
demikian tren stabilitas rating A dari 2001 hingga tahun
2005 mengalami kenaikan. Hal ini berseberangan dengan
tren stabilitas rating BBB yang mengalami penurunan.
Tingkat stabilitas rating obligasi periode 2001 hingga
2005 sangat fluktuatif seperti terlihat pada besarnya
pergerakan grafik yang naik turun. Di dalam kategori
Gambar A2.9Tingkat Stabilitas Bond Rating yang Tergolong
Investment Grade Berdasarkan Metode Kontinyu AsumsiTime Homogeneous
Gambar A2.10Tingkat Stabilitas Bond Rating yang Tergolong
Speculative Grade Berdasarkan Metode Kontinyu AsumsiTime Homogeneous
50
70
90
110
2001 2002 2003 2004 2005
AAA
AA
A
BBB
Persen
0
20
40
60
80
100
120
2001 2002 2003 2004 2005
BBBCCC
Persen
93
Artikel II - Model Makroekonomi Pengukuran Indeks Stabilitas Keuangan: Studi Kasus Indonesia
speculative grade, rating BB merupakan rating yang relatif
paling stabil disusul dengan rating B dan rating CCC. Dari
Grafik A.2.10. dapat disimpulkan bahwa semakin rendah
kualitas rating obligasi semakin rendah pula tingkat
stabilitasnya.
7. KESIMPULAN HASIL ESTIMASI DAN IMPLIKASI
KEBIJAKAN
Rating Activity dan Rating Drift
1. Perbaikan creditworthiness perusahaan penerbit
obligasi yang menjadi sampel. Hal ini tercermin dari
penurunan persentase perusahaan maupun obligasi
yang mengalami downgrade, dan peningkatan
persentase perusahaan maupun obligasi yang
mengalami upgrade.
2. Persentase rating activity perusahaan dan obligasi
sampel selama periode 2001-2005 relatif menurun.
Meskipun demikian, arah aktivitas rating
menunjukkan perbaikan, seperti ditunjukkan oleh
peningkatan rating drift. Hal ini memiliki implikasi
awal bahwa creditworthiness perusahaan sampel dan
obligasi sampel relatif membaik selama beberapa
tahun terakhir.
Estimasi Matriks Transisi Rating
1. Estimasi dengan menggunakan Metode Kontinyu
memberikan hasil yang lebih efisien dibandingkan
dengan Metode Cohort. Metode Kontinyu juga
memudahkan estimasi tak langsung suatu rating
tertentu secara sekuensial. Selain itu, metode ini
memungkinkan konstruksi matriks transisi yang
mengakomodasi unsur dinamis aktivitas rating
sepanjang periode, dan tidak hanya pada awal dan
akhir periode.
2. Estimasi dengan menggunakan Metode Cohort
menghasilkan matriks transisi dengan probabilitas
distribusi yang tidak merata dan hanya terdistribusi
di sekitar diagonal matriks. Sementara itu, estimasi
dengan menggunakan metode kontinyu,
menghasilkan matriks transisi dengan probabilitas
distribusi yang relatif lebih merata dan
memungkinkan adanya probabilitas migrasi ke rating
yang memiliki jarak cukup jauh dari diagonal matriks
(transisi ekstrim), bahkan ke rating default, meskipun
tidak terdapat direct transition ke rating tersebut. Hal
ini dimungkinkan melalui indirect transition melalui
rating lainnya. Pola distribusi probabilitas migrasi yang
tersebar ini terutama ditunjukkan oleh hasil estimasi
dengan menggunakan periode lebih dari satu tahun.
3. Estimasi dengan menggunakan metode Cohort tidak
menunjukkan adanya hubungan antara tingkat
stabilitas dengan tingkat rating. Hal ini ditunjukkan
oleh tingkat stabilitas rating yang tidak simetris atau
tingkat stabilitas rating tidak menurun dengan
menurunnya tingkat rating, terutama untuk periode
satu tahun. Beberapa hasil estimasi dengan
menggunakan periode lebih dari satu tahun
menunjukkan adanya hubungan simetris antara
stabilitas rating dan tingkat rating, namun hanya pada
invetsment grade.
4. Sebagian besar estimasi dengan menggunakan
Metode Kontinyu untuk berbagai periode
menunjukkan hasil yang hampir konsisten, yaitu
terdapat hubungan yang simetris antara stabilitas
rating dengan tingkat rating. Pola ini terutama terjadi
pada rating yang termasuk kategori investment grade.
Tingkat stabilitas rating tersebut bervariasi, namun
umumnya berkisar di atas 65%.
5. Rating yang termasuk kategori speculative grade
memiliki tingkat stabilitas yang berfluktuasi dan tidak
menunjukkan pola yang konsisten. Hal ini terutama
disebabkan terbatasnya jumlah sampel, baik
perusahaan maupun obligasi, yang pernah berada di
rating ini. Dengan demikian, transisi satu sampel yang
94
Artikel II - Credit Risk Modelling : Rating Transition Matrices
berada di kategori speculative grade menyebabkan
perubahan dan dampak yang signifikan terhadap pola
distribusi probabilitas migrasi rating.
6. Terkait arah migrasi rating, hasil estimasi dengan
menggunakan Metode Cohort dan Metode Kontinyu
memberikan hasil yang relatif konsisten. Migrasi rating
cenderung mengarah ke rating yang lebih tinggi
(upgrading). Hal ini konsisten dengan analisis yang
dilakukan terhadap rating activity dan rating drift.
7. Secara umum dapat disimpulkan bahwa Metode
Kontinyu asumsi time homogeneous memberikan
hasil estimasi matriks transisi rating yang lebih efisien
dan memberikan indikasi adanya kemungkinan
migrasi rating yang secara historis jarang terjadi,
misalnya probabilitas untuk mengalami gagal bayar,
melalui mekanisme indirect default. Selain itu, hasil
estimasi baik dengan menggunakan Metode Cohort
maupun Metode Kontinyu asumsi time homogeneous
menunjukkan bahwa perusahaan dan obligasi sampel
mengalami peningkatan creditworthiness. Hal ini
ditunjukkan dengan arah migrasi rating yang
cenderung dan memiliki persentase yang lebih besar
ke arah rating yang lebih tinggi.
Adapun keterbatasan yang dihadapi dalam studi ini
adalah periode dan jumlah sampel yang sangat terbatas.
Selain itu, variasi aktivitas rating, yang ditunjukkan dengan
jumlah transisi rating, juga sangat terbatas. Periode sampel
yang sangat pendek menyebabkan estimasi matriks transisi
rating dalam jangka panjang tidak dapat dilakukan dan
tidak mencakup periode resesi perekonomian Indonesia.
Sementara itu, jumlah sampel yang sangat terbatas
menyebabkan satu transisi rating memiliki dampak yang
sangat besar dan signifikan terhadap pola distribusi
probabilitas transisi rating. Hal ini tarutama terjadi pada
sampel yang berada di kategori rating speculative grade.
Dengan demikian, analisis creditworthiness perusahaan
obligasi yang berada di kategori tersebut menjadi sulit
untuk dilakukan.
95
Artikel II - Model Makroekonomi Pengukuran Indeks Stabilitas Keuangan: Studi Kasus Indonesia
Ahmed, Sarfaraz dkk. 2004. ≈Use of Transition Matrices
in Risk Management and ValuationΔ. A Fair Isaac
White Paper
Aldridge, Irene E. 2006. ≈Risk-Rating Private Loans:
Strategic Defaults.Δ
Altman, E. I. 1968. ≈Financial Ratios, Discriminant Analysis
and the Prediction of Corporate Bankruptcy.Δ Journal
of Finance, Vol. 23, pp. 589-609.
Altman, E. I., dkk. 1977. ΔZETA analysis: A New Model to
Identity Bankruptcy Risk of Corporations.Δ Journal of
Banking and Finance 10:29-54
Altman, E. I., dan Duen Li Kao. 1991. ≈Examining and
Modeling Corporate Bond Rating Drift,Δ Working
Paper Series, New York University Salomon Center.
Altman, E., dan Kao, D.1992. ΔThe Implications Of
Corporate Bond Rating Drift.Δ Financial Analysts
Journal, 64√75.
Anderson, Ronald dan Suresh Sundaresan. 2000. ≈A
Comparative Study of Structural Models of Corporate
Bond Yields: An Explanatory Investigation,Δ Journal
of Banking & Finance 24 P. 255-269
Arora, N., dkk. 2005. ≈Reduced Form Vs. Structural Models
Of Credit Risk: A Case Study Of Three ModelsΔ Journal
Of Investment Management, Vol. 3, No. 4, pp. 43√
67
Bank for International Settlements, (1999), ≈Estimating
And Interpreting Probability Density Functions,Δ
Proceedings of the workshop held at the BIS on 14
June 1999
Basel Committee on Banking Supervision (1999): Credit
risk modelling: current practices and applications.
Basel Committee on Banking Supervision, (2000), ≈Best
Practices for Credit Risk DisclosureΔ
Basel Committee on Banking Supervision, (2000), ≈Industry
Views on Credit Risk MitigationΔ
Basel Committee on Banking Supervision, (2001) ≈Working
Paper on the Internal Ratings-Based Approach to
Specialised Lending ExposuresΔ
Daftar Pustaka
Cantor, Richard dan Frank Packer, ≈The Credit Rating
Industry,Δ Federal Reserve Bank of New York Quarterly
Review 19 (Summer-Fall 1994), 1-26.
Carty, L. dan D. Lieberman (1996) Corporate bond defaults
and default rates 1938-1999, Moody»s Investors
Service Global Credit Research, New York, NY.
Chava S., Jarrow R.A., Bankruptcy Prediction With Industry
Effects, Market Versus Accounting Variables, And
Reduced Form Credit Risk Models, SSRN, October 20,
2001.
Chava, Sudheer dan Robert A. Jarrow. 2004. Bankruptcy
Prediction with Industry Effects. Review of Finance 8:
537-569
Crouhy, Michel , Dan Galai, Robert Mark, (2000), A
Comparative Analysis of Current Credit Risk Models,
Journal of Banking and Finance 24 (2000) 59-117
Crouhy, M., D. Galai & R. Mark (2001) ≈Prototype risk
rating system.Δ Journal of Banking & Finance 25, pp.
47-95.
D. Duffie, L. Pedersen dan K. Singleton (2000). ΔModeling
Sovereing Yield Spreads: A Case of Study of Russian
DebtΔ. Working paper, Graduate School of Business,
Stanford University.
Duffie, D. dan K. Singleton, 1999, ≈Modeling Term
Structures of Defaultable Bonds,Δ Review of Financial
Studies, 12 (4), 197-226.
Duffie, D. dan D. Lando (2000) ≈Term Structure of Credit
Spreads with Incomplete Accounting InformationΔ
Duffie, D., Pedersen, L. dan Singleton, K. (2000).
≈Modeling Sovereign Yield Spreads: A Case Study of
Russian Debt.Δ Working paper, Stanford University.
Fender, Ingo dan John Kiff (2004) ≈CDO rating
methodology: Some thoughts on model risk and its
implications. BIS Working Papers No 163
Fernandes, João Eduardo (2005), ≈Corporate Credit Risk
Modeling: Quantitative Rating System And Probability
Of Default EstimationΔ
96
Artikel II - Credit Risk Modelling : Rating Transition Matrices
Frey, Rudiger dan Jochen Backhaus, (2004) ≈Portfolio
Credit Risk Models with Interacting Default Intensities:
a Markovian ApproachΔ
Gagliardini, P. dan C. Gouriéroux, 2005, ≈Stochastic
Migration Models with Apllication to Corporate,Δ
Journal of Financial Econometrics.
Gordy, Michael B., (1998), ≈From CreditMetrics to
CreditRisk+ and Back AgainΔ
Hadad, M. D., W. Santoso; D. S. Besar, dan Ita Rulina,
(2004), ≈Probabilitas Kegagalan Korporasi Dengan
Menggunakan Model MertonΔ Bank Indonesia
Heitfield, Erik (2004), ≈Rating System Dynamics and Bank-
Reported Default Probabilities under the New Basel
Capital AccordΔ
Hillegeist, Stephen A., Elizabeth Keating, Donald P. Cram
dan Kyle G. Lunstedt, 2004, Assessing the probability
of bankruptcy, Review of Accounting Studies 9, 5√
34.
Hurd T.R., dan A. Kuznetsov, 2005, ≈Affine Markov Chain
Model of Multifirm Credit Migration,Δ Natural
Sciences and Engineering Research Council of Canada
dan Mathematics of Information Technology and
Complex System in Canada.
Jarrow, Robert A & Lando, David & Turnbull, Stuart M,
1997. ≈A Markov Model for the Term Structure of
Credit Risk Spreads,Δ Review of Financial Studies,
Oxford University Press for Society for Financial
Studies, vol. 10(2), pages 481-523.
Kamakura Risk Information Services, 2004, Kamakura
pabulic Firm Models, Version 3.0.
Kaplan, R. dan G. Urwitz (1979), «»Statistical Models of
Bond ratings: A Methodological Inquiry»», Journal of
Business, April: 231-262
Kijima, M., dan K. Komoribayashi, 1998, ≈A Markov Chain
Model for Valuing Credit Risk DerivativesΔ, The
Journal of Derivatives, Fall, 97-108.
Lando, D. (1998) ≈On Cox Processes and Credit Risky
SecuritiesΔ Review of Derivatives Research, Vol. 2 (2/
3), pp. 99-120
Lando, David dan Torben M. Skμdeberg. 2002. Analyzing
rating transitions and rating drift with continuous
observations. Journal of Banking and Finance 26. 423-
444. www. Elsevier. Com
McNulty, Cynthia dan Ron Levin, 2000, ≈Modeling Credit
Migration,Δ JP Morgan Securities
Morokoff, William J., 2005, ≈Simulation Analysis of
Correlation and Credit Migration Models for Credit
Portfolios,Δ Proceedings of the 2005 Winter
Simulation Conference.
Nickell, P., Perraudin, W., dan S. Variotto, 2000, ΔStability
of Rating TransitionsΔ, Journal of Banking and
Finance, 24, 203-227.
Nickell, Pamela et al. 2001. Stability of ratings transitions
Nickell, Pamela et. al. 2001. Rating versus equity based
credit risk modelling: an empirical analysis
Nickell, Pamela et.al. 2005. Rating-Based credit Risk
Modelling : an Empirical analysis
Pefindo,2001. Indonesian Rating Highlights. Annual Report
Rommer, Anne Dyrberg, 2005, ≈Testing the Assumptions
of Credit-Scoring Models,Δ Danmarks Nationalbank
dan Centre for Applied Microeconometrics, Institute
of Economics, University of Copenhagen.
Sabourin, Patrick. 1999. Analyzing and Forecasting Credit
Ratings: Some Canadian Evidence
Schuermann, Til dan Yusuf Jafry. (2003). Measurement and
Estimation of Credit Migration Matrices. Wharton
Financial Institutions Centre.
van Deventer, D. dan K. Imai, (2003). ≈Credit Risk Models
and the Basel Accords: The Merton Model and
Reduced Form Models, John Wiley & Sons
van Deventer, Donald R. and Xiaoming Wang, (2003).
≈Advanced Credit Model Performance Testing to
Meet Basel Requirements,Δ Forthcoming in The Basel
Handbook √ A Guide for Financial Practitioners from
RISK Publications
Van Landschoot, Astrid (2003), ≈The Term Structure of
Credit Spreads on Euro Corporate BondsΔ
Van Landschoot, Astrid. 2005. Transition Probabilities
andAsset Correlation:Structured Products versus
Corporates. The McGrawhill Companies.
Violi, Roberto. 2004. Credit Ratings Transition in Structured
Finance. CGFS Working Group on Ratings in
Structured Finance.
Glosari
97
Glosari
Glosari
98
Halaman ini sengaja dikosongkan
Glosari
99
Biaya penyediaan dana Biaya penyediaan dana Biaya penyediaan dana Biaya penyediaan dana Biaya penyediaan dana (cost of loanable funds)(cost of loanable funds)(cost of loanable funds)(cost of loanable funds)(cost of loanable funds): : : : : meliputi
biaya bunga, biaya operasional dan premi asuransi
simpanan dan biaya penyediaan giro wajib minimum.
Bank Indonesia Bank Indonesia Bank Indonesia Bank Indonesia Bank Indonesia Real Time Gross Settlement Real Time Gross Settlement Real Time Gross Settlement Real Time Gross Settlement Real Time Gross Settlement (BI-RTGS)(BI-RTGS)(BI-RTGS)(BI-RTGS)(BI-RTGS):
penyelesaian transaksi secara elektronis dan real time
dimana rekening peserta dapat didebit/dikredit berkali-kali
dalam sehari sesuai perintah.
Manajemen kontinuitas bisnis Manajemen kontinuitas bisnis Manajemen kontinuitas bisnis Manajemen kontinuitas bisnis Manajemen kontinuitas bisnis (business continuity(business continuity(business continuity(business continuity(business continuity
management)management)management)management)management): pengelolaan risiko untuk memastikan tetap
berjalannya fungsi-fungsi penting dalam keadaan
gangguan dan proses pemulihan yang efektif.
Downside riskDownside riskDownside riskDownside riskDownside risk: potensi penurunan harga suatu sekuritas
atau investasi atau timbulnya kerugian akibat penurunan
harga.
Mekanisme kegagalan pembayaran Mekanisme kegagalan pembayaran Mekanisme kegagalan pembayaran Mekanisme kegagalan pembayaran Mekanisme kegagalan pembayaran (failure to settle)(failure to settle)(failure to settle)(failure to settle)(failure to settle):
mekanisme yang mewajibkan peserta kliring menyediakan
dana (prefund) untuk mengantisipasi kewajiban yang
mungkin timbul pada akhir hari.
Fasilitas diskonto Fasilitas diskonto Fasilitas diskonto Fasilitas diskonto Fasilitas diskonto (discount window)(discount window)(discount window)(discount window)(discount window): kredit yang diberikan
oleh bank sentral kepada bank untuk mengatasi kesulitan
likuiditas akibat ketidaksesuaian sementara (mismatch)
pengelolaan dana.
Financial deepeningFinancial deepeningFinancial deepeningFinancial deepeningFinancial deepening: : : : : istilah yang menggambarkan
perkembangan sektor keuangan pada suatu negara.
Financial Sector Assessment Program (FSAP)Financial Sector Assessment Program (FSAP)Financial Sector Assessment Program (FSAP)Financial Sector Assessment Program (FSAP)Financial Sector Assessment Program (FSAP)::::: program IMF
dan Bank Dunia yang ditujukan untuk menilai ketahanan
sistem keuangan suatu negara termasuk kepatuhan
terhadap standar-standar internasional.
Flight to safetyFlight to safetyFlight to safetyFlight to safetyFlight to safety: perpindahan dana dari bank yang
dianggap kurang aman ke bank yang dianggap lebih
aman.
Prinsip empat mata (Prinsip empat mata (Prinsip empat mata (Prinsip empat mata (Prinsip empat mata (four eyes principle)four eyes principle)four eyes principle)four eyes principle)four eyes principle): pemutusan kredit
yang melibatkan sisi bisnis dan manajemen risiko.
Glosari
Jaring pengaman sistem keuangan Jaring pengaman sistem keuangan Jaring pengaman sistem keuangan Jaring pengaman sistem keuangan Jaring pengaman sistem keuangan (financial safety nets)(financial safety nets)(financial safety nets)(financial safety nets)(financial safety nets):
suatu kebijakan untuk memperkuat stabilitas sistem
keuangan yang mencakup empat elemen terkait: (i)
pengaturan dan pengawasan bank; (ii) lender of lastΩresort;
(iii) asuransi simpanan; dan (iv) manajemen krisis.
Kewajiban Pemenuhan Modal Minimum (Kewajiban Pemenuhan Modal Minimum (Kewajiban Pemenuhan Modal Minimum (Kewajiban Pemenuhan Modal Minimum (Kewajiban Pemenuhan Modal Minimum (CapitalCapitalCapitalCapitalCapital
Adequacy Ratio/CARAdequacy Ratio/CARAdequacy Ratio/CARAdequacy Ratio/CARAdequacy Ratio/CAR))))): Rasio kecukupan modal bank;
merupakan pembagian jumlah modal yang meliputi tier I,
tier II, dan tier III dengan aktiva tertimbang menurut risiko.
Kredit Bermasalah (Kredit Bermasalah (Kredit Bermasalah (Kredit Bermasalah (Kredit Bermasalah (non performing loan/NPLnon performing loan/NPLnon performing loan/NPLnon performing loan/NPLnon performing loan/NPL))))): terdiri dari
kredit yang tergolong Kurang Lancar (KL), Diragukan (D)
dan Macet (M).
Lender of last resortLender of last resortLender of last resortLender of last resortLender of last resort: fungsi bank sentral untuk memberikan
kredit kepada bank untuk mengatasi kesulitan likuiditas
akibat ketidaksesuaian sementara (mismatch) pendanaan.
Manajemen krisis (Manajemen krisis (Manajemen krisis (Manajemen krisis (Manajemen krisis (crisis managementcrisis managementcrisis managementcrisis managementcrisis management))))): proses yang
meliputi identifikasi, mitigasi dan penyelesaian krisis.
Mark to marketMark to marketMark to marketMark to marketMark to market: penilaian instrumen keuangan
berdasarkan harga pasar saat ini atau berdasarkan harga
pasar instrumen keuangan lainnya yang sejenis.
Mitigasi risiko Mitigasi risiko Mitigasi risiko Mitigasi risiko Mitigasi risiko (risk mitigation)(risk mitigation)(risk mitigation)(risk mitigation)(risk mitigation): upaya untuk mengurangi
kemungkinan terjadinya dan dampak risiko.
Modal ekonomis (Modal ekonomis (Modal ekonomis (Modal ekonomis (Modal ekonomis (economic capitaleconomic capitaleconomic capitaleconomic capitaleconomic capital))))): modal riil yang
diperlukan bank untuk mengantisipasi risiko-risiko dan
mempertahankan kelangsungan usahanya.
Penyimpangan moralPenyimpangan moralPenyimpangan moralPenyimpangan moralPenyimpangan moral (moral hazard) (moral hazard) (moral hazard) (moral hazard) (moral hazard): penyimpangan
pelaku bisnis (pemilik, pengurus dan nasabah bank) yang
merugikan bank.
Pencegahan krisis (Pencegahan krisis (Pencegahan krisis (Pencegahan krisis (Pencegahan krisis (crisis preventioncrisis preventioncrisis preventioncrisis preventioncrisis prevention))))): upaya mencegah krisis
melalui berbagai kebijakan meliputi pengawasan dan
pengaturan (micro prudential) terhadap lembaga dan pasar
keuangan dan pemantauan dan mitigasi (surveillance)
terhadap sistem keuangan (macroprudential).
Glosari
100
Penyelesaian krisis (Penyelesaian krisis (Penyelesaian krisis (Penyelesaian krisis (Penyelesaian krisis (crisis resolutioncrisis resolutioncrisis resolutioncrisis resolutioncrisis resolution))))): upaya untuk
mengatasi krisis bila terjadi termasuk restrukturisasi dan
rekapitalisasi bank-bank yang berdampak sistemik.
Ambil untungAmbil untungAmbil untungAmbil untungAmbil untung (profit taking) (profit taking) (profit taking) (profit taking) (profit taking): tindakan investor dengan
menjual aset/surat berharga pada saat harga tinggi untuk
mendapatkan keuntungan.
Modal regulasi Modal regulasi Modal regulasi Modal regulasi Modal regulasi (regulatory capital)(regulatory capital)(regulatory capital)(regulatory capital)(regulatory capital): modal minimum
bank yang ditetapkan regulator dimana perhitungannya
dapat berbeda dengan perhitungan akuntansi pada
umumnya.
RestrukturisasiRestrukturisasiRestrukturisasiRestrukturisasiRestrukturisasi: penyesuaian persyaratan kredit dengan
penambahan dana dan/atau konversi seluruh atau
sebagian tunggakan bunga menjadi pokok kredit baru,
dan/atau konversi seluruh atau sebagian dari kredit menjadi
penyertaan bank dalam perusahaan, yang dapat disertai
dengan penjadwalan kembali dan/atau persyaratan
kembali (reconditioning).
Risiko kredit (Risiko kredit (Risiko kredit (Risiko kredit (Risiko kredit (credit riskcredit riskcredit riskcredit riskcredit risk))))): risiko yang timbul akibat
kegagalan debitur atau mitra bisnis memenuhi
kewajibannya.
Risiko likuiditas (Risiko likuiditas (Risiko likuiditas (Risiko likuiditas (Risiko likuiditas (liquidity riskliquidity riskliquidity riskliquidity riskliquidity risk))))): risiko yang timbul akibat
ketidakmampuan bank untuk memenuhi kewajiban
jangka pendeknya akibat ketidaksesuaian dana masuk
dan keluar.
Risiko operasional (Risiko operasional (Risiko operasional (Risiko operasional (Risiko operasional (operational riskoperational riskoperational riskoperational riskoperational risk))))): risiko yang terjadi baik
secara langsung maupun tidak langsung akibat
ketidakmampuan atau kegagalan proses internal, manusia
dan sistem atau kejadian eksternal.
Risiko pasar (Risiko pasar (Risiko pasar (Risiko pasar (Risiko pasar (market riskmarket riskmarket riskmarket riskmarket risk))))): risiko atas posisi perdagangan
akibat perubahan harga.
Risiko atau dampak sistemik (Risiko atau dampak sistemik (Risiko atau dampak sistemik (Risiko atau dampak sistemik (Risiko atau dampak sistemik (systemic risksystemic risksystemic risksystemic risksystemic risk))))): risiko yang
timbul akibat kegagalan satu lembaga keuangan dalam
memenuhi kewajibannya menyebabkan kegagalan
peserta-peserta lainnya untuk memenuhi kewajibannya
sehingga berdampak sistemik.
Aset tak berisiko (Aset tak berisiko (Aset tak berisiko (Aset tak berisiko (Aset tak berisiko (risk free assetsrisk free assetsrisk free assetsrisk free assetsrisk free assets))))): aset yang tingkat
pengembaliannya dapat diketahui dengan pasti.
Sistematically Important Payment SystemsSistematically Important Payment SystemsSistematically Important Payment SystemsSistematically Important Payment SystemsSistematically Important Payment Systems (SIPS) (SIPS) (SIPS) (SIPS) (SIPS): sistem
pembayaran yang berperan penting dan dapat
menimbulkan dampak sistemik jika tidak diatur dan diawasi
dengan baik.
Sistem kontrol risiko (Sistem kontrol risiko (Sistem kontrol risiko (Sistem kontrol risiko (Sistem kontrol risiko (risk control systemsrisk control systemsrisk control systemsrisk control systemsrisk control systems))))): sistem
pengendalian risiko yang telah dituangkan dalam kebijakan
dan prosedur bank sesuai dengan prinsip-prinsip
manajemen risiko yang baik.
Sistem skor kredit (Sistem skor kredit (Sistem skor kredit (Sistem skor kredit (Sistem skor kredit (credit scoring systemcredit scoring systemcredit scoring systemcredit scoring systemcredit scoring system))))): teknik penilaian
kelayakan kredit calon debitur yang ditujukan untuk
mempercepat proses keputusan kredit.
Stabilitas sistem keuanganStabilitas sistem keuanganStabilitas sistem keuanganStabilitas sistem keuanganStabilitas sistem keuangan: suatu sistem keuangan dengan
intermediasi keuangan yang efektif dimana lembaga, pasar
dan infrastruktur pasar mampu memfasilitasi aliran dana
antara penabung dan debitur sehingga mendukung
pertumbuhan ekonomi.
Stress testingStress testingStress testingStress testingStress testing: estimasi potensi kerugian terhadap eksposur
kredit dan likuiditas yang dihasilkan dari beberapa skenario
perubahan harga dan volatilitas.
Kredit belum tersalurKredit belum tersalurKredit belum tersalurKredit belum tersalurKredit belum tersalur (undisbursed loans) (undisbursed loans) (undisbursed loans) (undisbursed loans) (undisbursed loans): kredit yang telah
disetujui namun belum dicairkan.
Kerugian diluar perkiraan (Kerugian diluar perkiraan (Kerugian diluar perkiraan (Kerugian diluar perkiraan (Kerugian diluar perkiraan (unexpected loss)unexpected loss)unexpected loss)unexpected loss)unexpected loss): kerugian atas
suatu instrumen yang merupakan selisih antara kerugian
yang diharapkan (expected loss) dan kerugian terburuk
(worst case loss).
VolatilitasVolatilitasVolatilitasVolatilitasVolatilitas: standar deviasi dari perubahan nilai suatu
instrumen keuangan dengan jangka waktu spesifik;
digunakan untuk menghitung risiko dari instrumen
keuangan pada suatu periode waktu umumnya secara
tahunan.
YieldYieldYieldYieldYield: tingkat bunga yang dihasilkan atas suatu investasi
dimana besar bunga tersebut sesuai dengan pasar atau
berdasarkan harga pasar investasi yang berlaku.
PENGARAH
Halim Alamsyah Wimboh Santoso
KOORDINATOR & EDITOR
Agusman
TIM PENYUSUN
Sukarela Batunanggar, Linda Maulidina, Herawanto, Ronald L. Toruan, Dwityapoetra S. Besar,
Pipih Dewi Purusitawati, Wini Purwanti, Endang Kurnia Saputra, Ferial Ahmad, Ita Rulina,
Ricky Satria, Fernando R. B, Noviati, Sagita Rachmanira, Reska Prasetya, Leanita Indah P.,
Elis Deriantino, Hero Wonida, Mestika Widantri, Heny S
KOMPILATOR, LAYOUT & PRODUKSI
Ita Rulina Ricky Satria Primitiva Febriarti
KONTRIBUTOR
Direktorat Pengawasan Bank 1
Direktorat Pengawasan Bank 2
Direktorat Pengawasan Bank 3
Direktorat Pengawasan Bank Perkreditan Rakyat
Direktorat Perbankan Syariah
Direktorat Investigasi dan Mediasi Perbankan
Direktorat Perizinan dan Informasi Perbankan
Direktorat Akunting dan Sistem Pembayaran
Biro Kredit
Direktorat Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter
Direktorat Pengelolaan Moneter
Direktorat Pengelolaan Devisa
PENGOLAHAN DATA
Suharso I Made Yogi Tita Hapsari
Kajian Stabilitas KeuanganNo. 9, September 2007