bangunan vihara buddhayana dewi kwan im burung mandi di
TRANSCRIPT
Bangunan Vihara Buddhayana Dewi Kwan Im Burung Mandi di Pulau
Belitung: Kajian Arkeologi
Eunike Yuditha Kusumaningtyas, Heriyanti Ongkodharma
Departemen Arkeologi, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, Depok
Email: [email protected]
Abstrak
Skripsi ini tentang tata letak dan arah hadap setiap bangunan pada Kompleks Vihara Buddhayana Dewi Kwan Im Burung Mandi berdasarkan Kepercayaan Masyarakat Cina, Ilmu Feng Shui, dan Kepercayaan Agama Buddha. Vihara Buddhayana Burung Mandi berada di pinggir bukit dan berada di daerah pantai. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui apa yang menyebabkan pola tata letak bangunan pada kelenteng tersebut berbeda dengan kelenteng-kelenteng pada umumnya, sehingga dapat diperoleh unsur-unsur kebudayaan pada bentuk bangunannya. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tata letak dari pembangunan Kelenteng ini bukan hanya dipengaruhi oleh Feng Shui saja, tetapi juga dipengaruhi oleh kondisi geografis, tempat suci dari Dewi Kwan Im sebagai Dewa Utama kelenteng ini, bahkan juga dipengaruhi oleh unsur-unsur Buddha.
Kata Kunci : Vihara Buddhayana Dewi Kwan Im Burung Mandi; Feng Shui; Astadikpalaka; Dewi Kwan Im
Buildings of Temple Buddhayana Dewi Kwan Im Burung Mandi at Billiton Island: Archaeological Studies
Abstract
This Final Resume is all about the layout and the orientation of every buildings at temple Buddhayana Dewi Kwan Im Burung Mandi based on Chinese culture, Feng Shui, and Buddhist religion. Temple Buddhayana Burung Mandi is at the edge of cliff and near coast. The purpose of this research is to knowing the patterns of the buildings layout of the temple was different with other usual temples, so we can provide the elements of culture on building form. The results of this research is to show the patterns of the temple was not affected only by Feng Shui, but affected too by geography position, the holy place of Kwan Im Goddess as the main Goddess of this temple, even affected by Buddhist culture.
KeyWords : Temple of Buddhayana Dewi Kwan Im Burung Mandi; Feng Shui; Astadikpalaka; Kwan Im Goddess
Pendahuluan
Negara Indonesia merupakan negara berkembang yang terdiri dari berbagai suku
bangsa yang masing-masing memiliki kebudayaan yang berbeda-beda. Perbedaan-perbedaan
itu menyangkut berbagai bidang, seperti adat-istiadat, agama, tingkah laku, dan lain-lain.
Bangunan Vihara ..., Eunike Yuditha Kusumaningtyas, FIB UI, 2016
Dalam masalah agama pun tiap orang menganut agama yang berbeda satu sama lain. Hal ini
juga terjadi pada orang-orang Cina di Nusantara.
Di Nusantara, terdapat beberapa agama asli dan agama pendatang. Agama asli
nusantara adalah sesuatu yang dipercayai oleh masyarakat di setiap daerah di Nusantara.
Agama asli nusantara merupakan suatu kepercayaan, karena tidak menjamin adanya
kehidupan setelah mati. Kepercayaan hanya mengajarkan suatu kebaikan pada saat menjalani
suatu kehiduapan. Beberapa agama asli nusantara (kepercayaan), seperti Sunda Wiwitan yang
dipeluk oleh masyarakat Sunda di Kanekes, Lebak, Banten; Sunda Wiwitan aliran Madrais
yang dipeluk di Cigugur, Kuningan, Jawa Barat; Kejawen di Jawa Tengah dan Jawa Timur;
kepercayaan Parmalim yang merupakan agama asli orang Batak; kepercayaan Buhun di Jawa
Barat; kepercayaan Kaharingan di Kalimantan; Kepercayaan Tonaas Walian di Minahasa;
Kepercayaan Tolottang di Sulawesi Selatan; kepercayaan Wetu Telu di Lombok; agama
Naurus di Pulau Seram, dll (Sukamto, 2015: 8-20).
Selain itu terdapat juga beberapa agama yang berasal dari luar Nusantara kemudian
masuk ke Nusantara, yang disebut juga sebagai agama pendatang. Beberapa agama
pendatang, yaitu Islam, Kristen, Buddha, Hindu, dan Konghucu. Agama-agama pendatang ini
bukan hanya sekedar kepercayaan, karena terdapat suatu organisasi yang mengurusnya dan
agama tersebut menjamin kepada umatnya bahwa adanya kehidupan setelah mati bagi
umatnya yang melakukan kebaikan pada saat mereka hidup di dunia (Sukamto, 2015: 8-20).
Di dalam agama Konghucu sendiri terdapat agama dan kepercayaan di dalamnya,
dilihat dari adanya Tridharma yang terdiri dari Taoisme, Konfusianisme, dan Buddhisme.
Taoisme dan Konfusianisme merupakan suatu kepercayaan karena kedua aliran ini hanya
mengajarkan kebaikan pada saat manusia berada di dunia, sedangkan Buddhisme menjamin
kehidupan setelah mati apabila manusia tersebut melakukan kebaikan dan taat kepada
perintah agama pada saat menjalankan kehidupan di dunia (Peeters, 1941: 4-5).
Setiap religi atau agama memerlukan wadah dan sarana untuk menunjang aktivitas
peribadatannya. Koentjaraningrat (1987: 81) menuliskan masalah tentang sarana atau wadah
ini ke dalam salah satu dari lima komponen religi, yaitu peralatan ritus dan upacara. Dalam
ritus dan upacara religi biasanya dipergunakan bermacam-macam sarana dan peralatan,
seperti: tempat atau gedung pemujaan, patung dewa, patung orang suci, alat bunyi-bunyian
suci, dan pakaian yang dianggap mempunyai sifat suci yang dikenakan oleh para pelaku
upacara.
Setiap agama mempunyai tempat untuk melakukan upacara dan kegiatan yang
berkaitan dengan kepercayaan tersebut. Tempat pemujaan adalah salah satu kebutuhan dalam
Bangunan Vihara ..., Eunike Yuditha Kusumaningtyas, FIB UI, 2016
rangka mewadahi segala kegiatan ritual yang dilakukan masyarakat pendukungnya.
Kebutuhan ini kemudian menjadi salah satu penyebab timbulnya kekhasan bentuk pada
sebuah bangunan suci. Biasanya tempat pemujaan atau tempat peribadatan ini hanya
mewakili satu aliran agama saja, misalnya: Candi untuk umat Hindu atau Buddha, Masjid
untuk umat Islam, dan Gereja untuk umat Kristiani. Namun tidak halnya dengan tempat
peribadatan masyarakat Cina yang dikenal dengan nama Kelenteng. Pada kelenteng, berbagai
aliran ajaran agama yang dianut terdapat pada lokasi yang sama.
Secara umum, kelenteng mempunyai arti sebagai bangunan suci bagi masyarakat Cina
(Tionghoa) untuk melaksanakan ibadah sembahyang kepada Tuhan, nabi-nabi, serta arwah-
arwah para leluhur yang berkaitan dengan ajaran Konfusianisme, Taoisme, dan Buddhisme
(Depdiknas, 2000: 22). Seperti bangunan suci lainnya, kelenteng juga memiliki konsep
penataan ruang yang disesuaikan dengan kebutuhan para pemeluknya. Hal ini tercermin
dalam pola penataan ruang, sistem konstruksi bangunan, dan komponen-komponen yang
terdapat di dalamnya. Di Indonesia terutama di tempat-tempat yang banyak dihuni oleh
orang-orang Cina biasanya terdapat bangunan-bangunan Kelenteng. Istilah ‘kelenteng’
merupakan asli dari Indonesia, sebab dalam bahasa Tionghoa, Singapura, dan Malaysia tidak
terdapat istilah yang demikian (Setiawan, 1990: 14). Bagi masyarakat Tionghoa, kelenteng
tidak hanya sebagai tempat ibadah saja, tetapi juga mempunyai peran yang sangat besar
dalam kehidupan komunitas Tionghoa di masa lampau.
Masyarakat Cina merupakan bangsa yang banyak bermigrasi ke tempat-tempat lain,
misalnya kepulauan Nusantara. Orang-orang Cina telah ada dan menetap di Nusantara sejak
lama. Hubungan itu diperkirakan telah berlangsung sejak abad ke-2 M. Pada abad ini,
terdapat penemuan data atau sumber arkeologis berupa keramik Cina dari masa dinasti Han
yang diperkirakan merupakan bukti keberadaan orang-orang Cina di Indonesia (Dradjat dkk.,
1995: 1). Selain itu, menurut berita Cina, diketahui pula bahwa Sriwijaya mengirimkan
utusan ke negeri Cina sejak abad ke-5 M sampai pertengahan abad ke-6 M (Poesponegoro &
Notosusanto, 1993: 74).
Pada awalnya, orang-orang Cina yang merantau ke Indonesia hanya bermukim di
sekitar pelabuhan untuk jangka waktu yang tidak terlalu lama. Proses ini berlangsung selama
berabad-abad. Memasuki permulaan abad ke-16, setelah bangsa Eropa muncul di wilayah
Asia Tenggara, jumlah migrasi Bangsa Cina semakin meningkat. Situasi ini membuka
peluang bagi Cina untuk berperan lebih aktif di bidang perdagangan dan memungkinkan
mereka untuk tinggal di wilayah Nusantara dalam waktu yang lama. Bahkan ketika kekuasaan
Nusantara berada di bawah pemerintahan Belanda, telah banyak ditemukan pemukiman Cina
Bangunan Vihara ..., Eunike Yuditha Kusumaningtyas, FIB UI, 2016
di beberapa daerah seperti Pulau Bangka Belitung, Kalimantan Barat, pantai timur Sumatera,
dan sepanjang pesisir utara Pulau Jawa (Supardi dkk., 2000: 6-7).
Masyarakat Cina di Indonesia sendiri diperkirakan datang dari Cina bagian selatan. Di
antara mereka terdapat lima kelompok atau suku bangsa terbesar yang terdapat di Indonesia,
antara lain Hokkian, Hakka, Yunan, Thiau Chiu, dan Kanton. Pada masa itu, orang-orang
Cina yang datang ke Nusantara kebanyakan berasal dari suku bangsa Hokkian.
Walaupun masyarakat Cina telah merantau jauh dari tanah leluhur tempat asal mereka
bahkan tinggal menetap, tetapi mereka tidak melupakan tradisi kepercayaan leluhur. Seiring
berkembangnya kegiatan perdagangan dan pola pemukiman menetap, mereka pun
membutuhkan tempat ibadah sebagai sarana pemenuhan kebutuhan keagamaan dalam
berkomunikasi dengan Tuhannya. Di Indonesia, bangunan-bangunan keagamaan Cina tidak
hanya terdapat di kota-kota besar, melainkan juga di tempat-tempat terpencil. Kenyataan ini
menunjukkan bahwa dengan merantaunya orang-orang Cina ke Indonesia, mereka tidak
melupakan kepercayaan leluhurnya (Joe Lan Nio, 1961: 61). Seiring dengan merantaunya
orang Cina ke Indonesia, maka masuk pula kebudayaan mereka, seperti bahasa, religi, sistem
pengetahuan, organisasi sosial, sistem peralatan hidup dan teknologi, dan sistem mata
pencaharian hidup.
Sejak abad ke-7, pada awalnya orang-orang Cina sudah masuk ke Sumatra, hanya
untuk tempat singgah pada saat mereka melakukan pelayaran. Kemudian orang-orang Cina
ini mengembangkan pelayaran dan perdagangan di Pulau Sumatra, dan mereka ada yang
menetap di Sumatra (Poesponegoro & Notosusanto, 1993: 1). Selama itu beberapa orang Cina
ada yang menetap di Sumatra, sampai kedatangan kongsi dagang Belanda, yaitu VOC ke
Sumatra. Pada masa kolonial, pada abad 19, masyarakat etnis Cina di Sumatra berkembang
karena selain orang-orang Cina yang sudah menetap di Sumatra, banyak masyarakat Cina
yang juga didatangkan dari negerinya untuk menjadi buruh perkebunan Belanda di Sumatra.
Mereka menjadi buruh dan juga menjadi budak bagi orang Belanda (Poesponegoro &
Notosusanto, 1993: 393-395).
Sejak masa pra kolonial, yaitu sebelum abad ke 19, Belitung telah dihuni oleh
pedagang melayu dan etnis cina yang bermukim di sekitar pantai, yang berdagang parang,
damar, dan wax (lilin), serta produk-produk yang terbuat dari besi baja. Namun pada
kedatangan perusahaan dagang Belanda ke Belitung dan menemukan timah di Belitung,
Belanda mengekspor buruh dari cina yang diperbudak untuk menggali timah. Sejak
kedatangan kuli timah dari negeri cina ini, jumlah penduduk cina di Pulau Belitung semakin
bertambah (Abdullah, 1983: 207-208).
Bangunan Vihara ..., Eunike Yuditha Kusumaningtyas, FIB UI, 2016
Setelah tahun 1965, sebutan Kelenteng mengalami perubahan menjadi Vihara (bahasa
sansekerta), dan segala sesuatu yang berhubungan dengan Cina dimusnahkan oleh
pemerintah. Hal ini dilakukan sebagai akibat situasi politik pada saat itu dan juga berkaitan
dengan pengakuan Indonesia sebagai negara ber-Ketuhanan Yang Maha Esa. Kecenderungan
ke arah monotheis menyebabkan kaum Tri Dharma1 ditiadakan.
Pada awal perkembangan agama Buddha di India, Vihara lebih dikenal sebagai tempat
tinggal bhiksu yang dilengkapi dengan ruang semedi. Kemudian Vihara berkembang menjadi
tempat peribadatan bagi umat Buddha yang dilengkapi dengan altar patung Buddha dan
akhirnya sebutan Vihara digunakan pula untuk bangunan suci tempat beribadat orang-orang
Cina yang dulu terkenal dengan sebutan Kelenteng. Tujuan penggantian nama Kelenteng
menjadi Vihara adalah untuk memberikan pengaruh Budhis pada kelenteng-kelenteng
tersebut (Salmon & Lombard, 1985: 48). Walaupun telah berubah nama dari Kelenteng
menjadi Vihara, masih banyak pula orang yang menyebutnya Kelenteng.
Selain pemakaian istilah Kelenteng dan Vihara untuk menyebut bangunan suci tempat
beribadah masyarakat Cina, banyak Kelenteng yang memakai nama atau gelar dewa utama
yang dipuja di dalamnya. Misalnya, Vihara Dewi Samudera, Kelenteng Dewi Welas Asih,
Vihara Dewi Kwan Im, Kelenteng Keutamaan Emas (Jin De Yuan). Kemudian ditemukan
juga kelenteng-kelenteng yang menggunakan beberapa kata Sansekerta, seperti: dharma,
jaya, ratna, dan sassana untuk menunjukkan aspek Buddhisnya (Salmon & Lombard, 1985:
48).
Vihara Buddhayana Burung Mandi dibangun oleh para pedagang etnis cina pada abad
18, yaitu pada tahun 1747 yang menetap di pinggir pantai Pulau Belitung. Pada saat itu,
kelenteng ini merupakan satu-satunya kelenteng yang ada di Pulau Belitung. Vihara ini
berukuran besar karena dibangun oleh para pedagang cina. Kelenteng Buddhayana Burung
Mandi memuja Dewi Welas Asih atau Dewi Kwan Im. Dewi ini sangat dipuja oleh para
pekerja timah dari cina, karena dewi ini dianggap sebagai dewi penolong untuk setiap
penderitaan manusia, dan merupakan dewi penyayang. Mereka percaya bahwa dewi ini akan
menolong mereka dari penderitaan. Selain itu, pada kelenteng ini juga terdapat perwujudan
dewi welas asih sebagai dewi pelindung (Hanjaya, 2006: 11).
1 Tri dharma adalah sebuah kepercayaan yang termasuk dalam budaya Tionghoa, yang merupakan gabungan dari 3 ajaran. 3 ajaran yang dimaksud adalah Konfusianisme, Taoisme, dan Buddhisme. Tri dharma merupakan suatu bentuk kepercayaan tradisional masyarakat Tionghoa sebagai hasil dari sinkritisme ketiga ajaran yang mempengaruhi kebudayaan Tionghoa (Supardi, 2000: 15).
Bangunan Vihara ..., Eunike Yuditha Kusumaningtyas, FIB UI, 2016
Perwujudan ini juga digunakan oleh para pedagang cina yang bermukim di Pulau
Belitung sebagai rasa terimakasih mereka karena sudah dilindungi selama berlayar, karena
perairan di Pulau Bangka Belitung yang banyak karangnya dan susah dilalui, sehingga sudah
banyak kapal yang tenggelam di situ. Pada belakang bangunan utama juga terdapat sebuah
batu besar yang menjadi salah satu alasan pembangunan Vihara Buddhayana Dewi Kwan Im
ini pada tahun 1747 yang ditujukan sebagai penghormatan kepada batu besar tersebut yang
dianggap sakral oleh masyarakat cina sekitar pada masa itu (Hanjaya, 2006: 11 – 12).
Di Pulau Belitung terdapat tiga kelenteng lainnya, yaitu Kelenteng “Sijuk”, Vihara
“Dharma Suci Manggar”, dan Kelenteng “Sun Go Kong”. Ketiga kelenteng ini merupakan
kelenteng dari abad ke 19, sedangkan Vihara Buddhayana Dewi Kwan Im Burung Mandi
merupakan kelenteng dari abad ke-18. Vihara Buddhayana Burung Mandi merupakan
kelenteng tertua dan terbesar di Pulau Belitung. Penelitian kelenteng ini dapat berguna bagi
sejarah kebudayaan Indonesia, karena dengan ditelitinya kelenteng ini, maka dapat diketahui
pula sejak kapan orang-orang cina datang ke daerah Pulau Belitung, mengingat kelenteng ini
merupakan kelenteng tertua di Pulau Belitung. Vihara Buddhayana Burung Mandi mengalami
pemugaran pada tahun 1987. Vihara ini direnovasi pada sebagian unsur bangunan, seperti
dinding, lantai, dan atap yang sudah dimakan usia. Akan tetapi, beberapa bentuk denah masih
tetap dipertahankan keasliannya, antara lain Bangunan Suci Utama dan Bangunan Suci
Pengiring. Selain itu, batu besar yang bersandar pada bangunan utama juga masih tetap
dipertahankan keasliannya (Hanjaya, 2006: 15).
Selain Kelenteng-Kelenteng di Pulau Belitung, banyak juga literatur yang membahas
tentang Kelenteng-Kelenteng di Pulau Jawa, diantaranya yaitu buku yang berjudul Riwayat
Kelenteng, Vihara, dan Lithang yang ditulis oleh Yoest pada tahun 2008; Kelenteng Kuno di
DKI Jakarta dan Jawa Barat yang dipubikasikan oleh Departemen Pendidikan Nasional pada
tahun 2000; tesis yang berjudul Tipologi Bangunan Kelenteng Abad 16 hingga paruh awal
Abad 20 di DKI Jakarta yang ditulis oleh Greysia Susilo Junus pada tahun 2006.
Orang-orang Cina mulai merantau ke Indonesia pada masa akhir pemerintahan Dinasti
Tang. Mereka datang ke Pulau Jawa untuk mencari rempah-rempah. Banyak dari mereka
yang kemudian menetap di daerah pelabuhan Pantai Utara Jawa, seperti daerah Tuban,
Surabaya, Gresik, Banten, Cirebon, Semarang, dan Jakarta (Mutakin, 1993: 65). Hal ini
terbukti dari masih terdapat kelenteng-kelenteng kuno di daerah-daerah tersebut, seperti
Vihara “Dharma Bhakti” (Kim Tek Ji) di Jakarta, Vihara “Avalokitesvara” di Banten,
Kelenteng “Dewi Welas Asih” di Cirebon, Kelenteng “Gedong Batu” di Semarang,
Bangunan Vihara ..., Eunike Yuditha Kusumaningtyas, FIB UI, 2016
Kelenteng “Boen Bio” di Surabaya, Tempat Ibadat Tridharma “Kiem Hien Hong” di Gresik,
dan Tempat Ibadat Tridharma “Kwan Sing Bio” di Tuban. Sama halnya dengan Vihara
“Buddhayana Dewi Kwan Im” di Pulau Belitung, Kelenteng-Kelenteng ini juga didirikan di
dekat pantai dan didirikan oleh para pedagang Cina.
Ada beberapa alasan mengapa penulis melakukan penelitian ini, antara lain karena tata
letak bangunan-bangunan pada Kompleks Vihara Buddhayana Burung Mandi tidak memiliki
orientasi arah hadap yang sama. Hal ini berbeda dengan kelenteng-kelenteng pada umumnya,
berdasarkan ilmu Feng Shui dan kondisi geografis pada lingkungan Kelenteng. Selain itu,
belum ada yang meneliti tentang bangunan ini, walaupun bangunan ini merupakan bangunan
yang bersejarah bagi orang cina di Belitung.
Masalah Penelitian
Penelitian terhadap Vihara Buddhayana Dewi Kwan Im Burung Mandi dilakukan
untuk mengetahui jawaban dari dua permasalahan yang menjadi masalah dalam penelitian ini.
Permasalahan yang pertama adalah bagaimana tata letak bangunan-bangunan dan tata letak
dewa-dewa pada altar di Kompleks Vihara Buddhayana Dewi Kwan Im Burung Mandi
berdasarkan keadaan lingkungan geografis di tempat kelenteng itu berdiri. Permasalahan yang
kedua adalah apakah tata letak bangunan dan tata letak dewa-dewa pada altar di Kompleks
Vihara Buddhayana Dewi Kwan Im Burung Mandi mengikuti aturan Feng Shui. Kedua
pertanyaan pada penelitian ini didasarkan atas perbedaan tata letak dan arah hadap pada setiap
bangunan di kompleks Vihara Buddhayana Burung Mandi yang berada di tanah yang
berbukit-bukit, dibandingkan dengan bangunan kelenteng lainnya yang berada di tanah datar.
Tujuan dan Manfaat Penelitian
Pada penelitian ini terdapat tujuan yang ingin dicapai, yaitu untuk mengetahui
hal-hal apa yang menyebabkan denah bangunan kelenteng tersebut berbeda dengan
kelenteng-kelenteng pada umumnya, serta memberikan gambaran mengenai tata letak
bangunan-bangunan pada Kompleks Vihara Buddhayana Dewi Kwan Im Burung Mandi
sehingga diperoleh gambaran mengenai unsur-unsur kebudayaan pada bentuk bangunannya.
Bangunan Vihara ..., Eunike Yuditha Kusumaningtyas, FIB UI, 2016
Metode Penelitian
Di dalam ilmu arkeologi terdapat serangkaian teknik dan prosedur yang dilakukan
untuk menemukan, memperoleh, memelihara, menggambarkan, dan menganalisa tinggalan-
tinggalan masa lalu (Sharer & Ashmore, 1979: 11-12). Tahap-tahap dilakukan secara
sistematis, mulai dari tahap formulasi, implementasi, pengumpulan data, pemrosesan data,
analisis data, interpretasi, dan publikasi (lihat tabel 1.1).
Formulasi merupakan tahapan awal yaitu penemuan topik atau permasalahan
penelitian, penyusun latar belakang, dan studi kelayakan (Sharer & Ashmore, 2003: 156).
Dalam penelitian ini, hal pertama kali yang dilakukan adalah menemukan topik dan
permasalahan, yaitu mengenai Vihara Buddhayana Dewi Kwan Im Burung Mandi, dan
mempelajari penelitian-penelitian sebelumnya mengenai lingkungan yang sama dan dengan
objek yang sejenis, serta melihat apakah bangunan ini merupakan bangunan asli atau bukan,
dengan cara melihat dari riwayat pembangunan kelenteng ini. Pada tahap ini juga dilakukan
pengumpulan data kepustakaan atau sumber literatur, yang meliputi buku-buku dan artikel
tentang kelenteng dan kebudayaan cina, latar belakang keberadaan orang-orang Cina, dan
bahan-bahan pustaka lain yang mendukung tujuan dari penulisan ini.
Pada tahap implementasi, hal yang dilakukan adalah pengurusan perizinan,
penyediaan logistik, dan pendanaan (Sharer & Ashmore, 2003: 168-169). Dalam penelitian
ini, perizinan penelitian ditujukan kepada Badan Geologi Bandung, Kantor Kecamatan
Damar, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Belitung Timur, dan Vihara
Buddhayana Dewi Kwan Im Burung Mandi. Pada tahap ini juga dilakukan persiapan dalam
pengadaan dana, dan perlengkapan, seperti skala batang sebagai perbandingan ukuran pada
foto, kamera untuk mendokumentasikan bangunan, GPS untuk menentukan arah hadap setiap
bangunan, dan alat-alat lain yang menunjang penelitian ini.
Pada tahap pengumpulan data, hal yang dilakukan adalah penjajakan, perekaman, dan
ekskavasi (Sharer & Ashmore, 2003: 170-174). Akan tetapi, pada tahap ini tidak dilakukan
penjajakan dan ekskavasi. Data yang dikumpulkan terbagi menjadi dua, yaitu data lapangan
dan data pustaka. Pengambilan data lapangan dilakukan dengan cara survey di bangunan
Vihara Buddhayana Dewi Kwan Im Burung Mandi. Data yang dikumpulkan adalah ukuran
denah kelenteng, arah hadap setiap bangunan, dan letak bangunan dari permukaan laut.
Pada tahap ini, penulis melakukan pengamatan secara tidak langsung, yaitu penulis
mengumpulkan sumber pustaka yang memuat hal-hal yang berhubungan dengan keberadaan
kelenteng tersebut, baik sejarah keberadaannya, komponen-komponen bangunan, keadaan
Bangunan Vihara ..., Eunike Yuditha Kusumaningtyas, FIB UI, 2016
lingkungan sekitar, dan pengumpulan peta-peta yang mendukung, yang diperoleh dari hasil
penelitian terdahulu. Sumber literature merupakan data sekunder yang digunakan sebagai
pedoman dalam membuat deskripsi di lapangan. Data sejarah Vihara Buddhayana Dewi
Kwan Im Burung Mandi diperoleh dari sumber literatur maupun dengan wawancara oleh
penjaga kelenteng. Penulis juga melakukan pengamatan secara langsung, yaitu dengan
melihat Vihara Buddhayana Burung Mandi ini secara langsung, melakukan wawancara
dengan penjaga Vihara, dan mengambil beberapa foto yang diperlukan untuk penelitian.
Pada tahap pemrosesan data, penulis melakukan pendeskripsian data, kemudian
membandingkan literature dan lapangan. Deskripsi dilakukan dengan menggunakan deskripsi
verbal (pencatatan deksripsi bangunan) maupun piktorial (pemotretan, penggambaran,
pengukuran) secara horizontal (deskripsi denah kompleks kelenteng, terutama denah
keletakan bangunan suci utama dan bangunan suci pengiring). Dalam hal ini data primer
adalah data-data yang didapat langsung di lapangan, sedangkan data sekunder merupakan
data-data kepustakaan.
Hasil deskripsi dari unsur-unsur bangunan yang telah dibuat sebelumnya kemudian
dianalisis. Tahap analisis memberikan informasi yang berguna untuk interpretasi (Sharer &
Ashmore, 2003: 180-181). Dalam penelitian ini, penulis menggunakan analisis spacial.
Analisis spacial digunakan untuk mengkaji hubungan antartemuan, antarsitus, dan hubungan
antara situs dengan lingkungannya (Sharer & Ashmore, 2003: 423). Analisis spacial
dilakukan dengan mengidentifikasi keletakkan bangunan suci utama dan bangunan suci
pengiring serta batu besar pada Kompleks Vihara Buddhayana Dewi Kwan Im Burung Mandi
dan dihubungkan dengan keadaan geografis di tempat kelenteng tersebut berdiri dan tata letak
bangunan suci utama dan bangunan suci pengiring serta batu besar pada kompleks vihara
tersebut. Pada tahap analisis, dibuat sebuah tabel untuk mendata unsur-unsur setiap bangunan
kelenteng yang perlu diteliti.
Pada tahap interpretasi, hal yang dilakukan adalah sintesis data berupa
pengintegrasian perekaman data verbal dan piktorial (Sharer & Ashmore, 2003: 159 – 160).
Hal yang dilakukan dalam tahap penelitian ini adalah menggabungkan hasil deskripsi, foto,
dan hasil analisis, sehingga menghasilkan suatu informasi mengenai bentuk dan keletakan
bangunan Vihara Buddhayana Dewi Kwan Im Burung Mandi. Pada tahap ini hasil identifikasi
dikomparasikan dengan aturan umum dalam prinsip fengshui dan konsep penataan ruang
kelenteng pada umumnya, serta dihubungkan dengan keadaan lingkungan sekitar dan kondisi
geografis. Perbandingan dilakukan secara horizontal, dengan cara membuat tabel untuk
memudahkan penulis membandingkan setiap komponen-komponen bangunan kelenteng pada
Bangunan Vihara ..., Eunike Yuditha Kusumaningtyas, FIB UI, 2016
umumnya dengan komponen-komponen yang terdapat pada Vihara Buddhayana Dewi Kwan
Im Burung Mandi.
Pada tahap publikasi, dilakukan pengulasan kembali pada tulisan ini berupa jurnal
maupun laporan akhir penelitian yang ditujukan kepada masyarakat umum. Dalam penelitian
ini, publikasi dilakukan dalam bentuk skripsi dan disimpan di perpustakaaan oleh pihak
universitas.
Vihara Buddhayana Dewi Kwan Im Burung Mandi
Foto 1. Vihara Buddhayana Dewi Kwan Im Burung Mandi
Vihara Buddhayana Dewi Kwan Im, secara administratif terletak di Desa Burung
Mandi, Kecamatan Damar, Kabupaten Belitung Timur, Propinsi Kepulauan Bangka Belitung.
Batas-batas di sekitar kelenteng adalah sebagai berikut: di sebelah barat merupakan jalan
setapak; sebelah utara merupakan akses jalan menuju Pantai Burung Mandi; sebelah timur
merupakan lahan kosong dan terdapat pantai Burung Mandi; dan sebelah selatan merupakan
hutan.
Bangunan Vihara Buddhayana Dewi Kwan Im Burung Mandi diperkirakan dibangun
sekitar abad ke-17. Seiring berkembangnya kebutuhan umat, saat ini Bangunan Vihara
Buddhayana Dewi Kwan Im telah berada dalam suatu kompleks beserta beberapa bangunan
tambahan lainnya. Kompleks ini dibatasi oleh tebing dan pagar tembok serta gapura yang
berada di sebelah Barat. Bangunan ini berada di perbukitan, dengan ketinggian 140 m dari
permukaan laut. Vihara Buddhayana Dewi Kwan Im Burung Mandi ini dibangun di atas tanah
berbukit-bukit seluas 3 Ha. Ruangan pada setiap bangunan dibangun secara terpisah sehingga
membentuk beberapa bangunan.
Bangunan Vihara ..., Eunike Yuditha Kusumaningtyas, FIB UI, 2016
Keletakan setiap bangunan pada kompleks kelenteng secara keseluruhan dapat diamati
pada Foto 1. Pada kompleks kelenteng ini, setiap bangunan mempunyai arah hadap yang
berbeda-beda (lihat gambar 1). Pada bangunan suci utama, yaitu bangunan Dewi Kwan Im
menghadap ke arah timur, sedangkan ruangan dewa pendamping, yaitu ruangan Buddhayana
dan ruangan Dewa Kwan Kong menghadap ke arah timur laut. Akan tetapi, gerbang kelenteng
menghadap ke arah barat daya. Pada bagian depan kompleks terdapat halaman luas yang
berfungsi sebagai areal parkir. Selain itu, setiap bangunan pada kompleks vihara ini memiliki
ketinggian dari permukaan laut yang berbeda-beda. Secara umum, kelenteng ini terletak di
kaki bukit dan berada di pinggir tebing. Tidak jauh dari area kelenteng, terdapat Pantai
Burung Mandi yang merupakan Pantai dari Laut Jawa.
Keterangan: : Batu Besar
: Bangunan Tambahan : Jalan Setapak : Tangga : Bangunan Suci : Hutan : Altar Thian : Laut : Akses jalan menuju pantai Burung Mandi
Gambar 1. Denah Vihara Buddhayana Dewi Kwan Im Burung Mandi
Vihara Buddhayana Dewi Kwan Im Burung Mandi memiliki 2 buah bangunan suci
pengiring, yang berisi dewa-dewa Buddha. Bangunan suci pengiring I berdenah persegilima
dan berukuran 4 m pada bagian belakang, 3 m bagian samping, dan 1 m pada bagian depan;
serta berada di sebelah Barat Bangunan Suci Utama, serta berada di sebelah Timur Bangunan
Bangunan Vihara ..., Eunike Yuditha Kusumaningtyas, FIB UI, 2016
Suci Pengiring II. Bangunan ini menghadap ke arah 25° timur laut. Bangunan Suci Pengiring
I berada pada ketinggian 150 m di atas permukaan laut. Pada bagian dalam, terdapat 1 altar
pemujaan yang berisi hiolo, 4 patung Dewa Guru Padmasanbhava, dan 1 patung Maitreya;
dan 1 altar persembahan yang berisi hiolo dan buah-buahan sebagai persembahan kepada
dewa-dewa (lihat gambar 2).
Keterangan: I : Patung Dewa Guru Padmasanbhava berukuran besar II : Patung Dewa Guru Padmasanbhava berukuran kecil III : Patung Maitreya / Dewa Milefo dengan memegang tasbih IV : Patung Maitreya / Dewa Milefo dengan janggut putih V : Patung Maitreya / Dewa Milefo dengan memakai tasbih
: Bangunan Suci : Lilin : Teras : Hiolo
: Tempat Pembakaran Kertas : Persembahan Buah-Buahan : Altar
Gambar 2. Denah Bangunan Suci Pengiring I
Bangunan suci pengiring II berada di sebelah barat bangunan suci pengiring I.
Bangunan suci pengiring I berdenah persegi dengan ukuran 4 x 4 m. Bangunan ini
menghadap ke arah 33° timur laut. Bangunan ini berada pada ketinggian 148 m di atas
permukaan laut. Pada bangunan suci pengiring II terdapat altar yang berisi Dewi Kwan Im
yang berwujud Avalokitesvara, dan Dewa Guo Hongfu (lihat gambar 3).
Bangunan Vihara ..., Eunike Yuditha Kusumaningtyas, FIB UI, 2016
Keterangan: I : Patung Dewi Kwan Im / Avalokitesvara II : Patung Dewa Guo Hongfu berukuran besar III : Patung Dewa Guo Hongfu berukuran kecil
: Bangunan Suci : Lilin : Hiolo
: Altar Thian : Persembahan Buah-Buahan : Altar
Gambar 3. Denah Bangunan Suci Pengiring II
Bangunan Suci Utama berada pada bagian tenggara kompleks, yang dibangun pada
ketinggian 153 m di atas permukaan laut. Bangunan Suci Utama berdenah persegi dengan
ukuran 10 x 10 m dan menghadap ke arah 80° timur. Pada bagian depan bangunan suci utama
terdapat teras yang berukuran 10 x 10,5 m. Pada Bangunan Suci Utama terdapat 3 altar
pemujaan, dimana patung Dewi Kwan Im berada di 2 altar dan patung Dewa Kwan Kong
yang berada di altar lainnya (lihat foto 4). Pada altar yang berada di tengah, digambarkan
Dewi Kwan Im yang memakai jubah putih dan berdiri di atas teratai. Dewi Kwan Im yang
berada di altar sebelah Timur berisi 27 buah patung Dewi Kwan Im dengan 9 jenis
penampilan, yaitu Dewi Kwan Im yang digambarkan berdiri di atas air, Dewi Kwan Im yang
digambarkan berada di hutan bambu ungu, Dewi Kwan Im dengan keranjang berisi ikan,
Dewi Kwan Im dengan delapan rintangan, Dewi Kwan Im yang digambarkan memiliki
Bangunan Vihara ..., Eunike Yuditha Kusumaningtyas, FIB UI, 2016
banyak tangan, Dewi Kwan Im berjubah putih, Dewi Kwan Im yang digambarkan sedang
membawa anak, Dewi Kwan Im yang membawa sebotol air suci, dan Dewi Kwan Im yang
sedang berdiri di atas sebuah batu karang. Keterangan: I : Altar Dewi Kwan Im memakai jubah putih II : Altar Dewa Kwan Kong + Milefo III : Altar Dewi Kwan Im dengan berbagai wujud
: Bangunan Suci : Batu Besar : Teras : Hiolo
: Tempat Pembakaran Kertas : Persembahan Buah-Buahan : Altar
Gambar 4. Denah Bangunan Suci Utama
Penerapan Arah Hadap Menurut Tempat Suci Dewi Kwan Im
Dewa-Dewi pada Vihara Buddhayana Dewi Kwan Im Burung Mandi mempunyai
tempat suci yang sama, yaitu di sekitar daerah Fujian yang terletak di Cina Selatan bagian
Timur, yang merupakan tempat suci bagi dewa-dewi tersebut, khususnya Dewi Kwan Im.
Pada daerah ini juga terdapat “Puncak Buddha”. Apabila ditarik garis lurus, secara
keseluruhan bangunan Vihara ini menghadap ke satu titik daerah tersebut. Hal ini yang
menyebabkan arah hadap bangunan suci pada Vihara ini mempunyai arah hadap yang sama
yaitu menghadap ke arah Timur Laut, tetapi dengan derajat kemiringan yang berbeda-beda.
Berbeda dengan Bangunan Suci Pengiring I dan Bangunan Suci Pengiring II, Bangunan Suci
Utama mempunyai arah hadap yang paling berbeda, yaitu menghadap ke Timur. Hal ini
disebabkan karena dewa utama pada kelenteng ini merupakan Dewi Laut. Oleh karena itu,
Bangunan Vihara ..., Eunike Yuditha Kusumaningtyas, FIB UI, 2016
untuk menghormati dewa ini, bangunan tersebut menghadap ke arah Timur, karena arah
hadap ini menghadap langsung ke arah laut.
Tabel 1. Orientasi Bangunan Pada Kompleks Vihara Buddhayana Burung Mandi
Pengamatan di lapangan menunjukkan ketiga bangunan pada Kompleks Vihara
Buddhayana Dewi Kwan Im Burung Mandi memiliki orientasi arah hadap masing-masing.
Dewi Kwan Im merupakan dewa utama bagi Vihara Buddhayana Dewi Kwan Im Burung
Mandi. Secara keseluruhan, Kompleks Vihara Buddhayana Dewi Kwan Im Burung Mandi
menghadap ke arah Timur Laut. Jika ditarik garis lurus, secara keseluruhan kelenteng ini
menghadap ke arah menghadap ke Pulau Putuo Shan sebagai tempat suci bagi Dewi Kwan Im
di daratan Cina (lihat gambar 5). Di tengah pulau ini terdapat sebuah bukit yang merupakan
tempat tertinggi dari Pulau tersebut, yang disebut dengan Foding atau Puncak Buddha. Pada
tahun 916, seorang pendeta Buddha, Hui E, mendirikan kuil Buddha di situ.
BANGUNAN DEWA TEMPAT SUCI
Bangunan Suci Utama Dewi Kwan Im Putuo Shan Dewa Kwan Kong Gunung Yiquan Shan Milefo / Maitreya Zhejiang
Bangunan Suci Pengiring I Dewa Guru Padmasanbhava Danau Davakosa Milefo / Maitreya Zhejiang
Bangunan Suci Pengiring II Dewi Kwan Im Putuo Shan Dewa Guo Hongfu Quanzhou
Tabel 2. Tempat Suci Dewa-Dewa pada Vihara Buddhayana Burung Mandi
BANGUNAN DEWA ORIENTASI
Bangunan Suci Utama Dewi Kwan Im
Timur, menghadap ke laut Dewa Kwan Kong Milefo
Bangunan Suci Pengiring I Dewa Guru Padmasanbhava
Timur Laut Maitreya
Bangunan Suci Pengiring II Dewi Kwan Im
Timur Laut Dewa Guo Hongfu
Bangunan Vihara ..., Eunike Yuditha Kusumaningtyas, FIB UI, 2016
Keterangan:
1 : Bangunan Suci Utama (orientasi 80° Timur) 2 : Bangunan Suci Pengiring I (orientasi 25° Timur Laut) 3 : Bangunan Suci Pengiring II (orientasi 33° Timur Laut)
Gambar 5.
Arah Hadap Vihara Buddhayana Burung Mandi terhadap Tempat Suci Dewi Kwan Im
Penerapan Tata Letak Vihara Berdasarkan Kepercayaan Masyarakat Cina, Ilmu Feng Shui, Kepercayaan Agama Buddha (Astadikpalaka), dan Keletakan Adanya Batu Besar
Vihara Buddhayana Dewi Kwan Im Burung Mandi didirikan oleh masyarakat Cina
yang berperan sebagai pendatang di Pulau Belitung. Vihara ini digunakan sebagai tempat
ibadah bagi Tridharma atau San Jiao, yang terdiri dari Konfusianisme, Taoisme, dan
Buddhisme. Selain memiliki unsur-unsur Cina dalam pembuatan bangunannya, yaitu
berdasarkan kepercayaan masyarakat Cina dan Ilmu Feng Shui, Vihara ini juga memiliki
unsur-unsur Buddhist di dalamnya, seperti keberadaan Dewa Buddha dan keletakan serta arah
hadap Bangunan Suci Utama berdasarkan Astadikpalaka.
Pulau Belitung
Bangunan Vihara ..., Eunike Yuditha Kusumaningtyas, FIB UI, 2016
a. Penerapan Tata Letak Vihara Berdasarkan Kepercayaan Masyarakat Cina
Berdasarkan tata urutan pemujaan, diketahui terdapat pola yang memperlihatkan
adanya hierarki dewa-dewa. Dewa yang dipuja pertama kali dan seterusnya menunjukkan
tingkatan dewa-dewa tersebut dimulai dari tingkat dewa yang dianggap paling tinggi.
Disamping itu ada kecenderungan untuk memuja dewa yang berada di sebelah kiri dewa
utama terlebih dahulu. Setelah memuja Dewa Kwan Kong, dilanjutkan dengan memuja Dewi
Kwan Im yang digambarkan dengan berbagai perwujudan. Demikian pula setelah memuja
Dewa-Dewa Buddha pada Bangunan Suci Pengiring I dilanjutkan dengan memuja Dewi
Kwan Im dan Dewa Guo Hongfu pada Bangunan Suci Pengiring II.
Kedudukan kiri-kanan dewa-dewa ini juga disesuaikan dengan orientasi bangunan
kelenteng. Hal ini menunjukkan perhatian besar kebudayaan Cina terhadap pembagian kiri
dan kanan. Menurut Marcel Granet dalam tulisannya yang berjudul Right and Left in China
(1973) menjelaskan bahwa di dalam kebudayaan Cina, sisi kiri dianggap memiliki
kehormatan yang lebih tinggi dibandingkan sisi kanan. Pembagian sisi kiri dan kanan ini
terkait dengan klasifikasi “yin” dan “yang” sebagai dasar berpikir orang-orang Cina dalam
menghadapi fenomena alam. “Yang” diyakini sebagai prinsip dasar untuk laki-laki, matahari,
arah selatan, terang (siang), dan segala hal yang termasuk sifat aktif. Sementara “yin” adalah
posisi kanan yang merupakan simbolisasi dari prinsip-prinsip untuk wanita, bulan, arah utara,
dingin, gelap (malam), serta segala yang bersifat pasif. Menurut kebudayaan Cina, membeda-
bedakan segala sesuatu atas kiri dan kanan merupakan suatu kewajiban (Granet, 1973: 45).
Mengacu pada prinsip tersebut, dewa-dewa yang menduduki sisi kiri dapat dianggap
sebagai dewa yang lebih tinggi kedudukannya dibandingkan dengan dewa lainnya.
Kedudukan kiri-kanan tersebut dilihat dari posisi sang dewa. Pada kelenteng ini, terlihat
bahwa Bangunan Suci Utama berada pada bagian sebelah kanan kelenteng. Semakin ke
bagian kiri kompleks, bangunan-bangunan yang berdiri di daerah itu bukan bangunan yang
sakral. Sebaliknya, semakin ke bagian kanan kompleks, bangunan yang didirikan semakin
bersifat sakral dan merupakan elemen yang penting bagi sebuah kelenteng.
Akan tetapi, pada Bangunan Suci Utama, terlihat bahwa Dewa-Dewi yang ada pada
bangunan tersebut tidak diletakkan menurut kepercayaan masyarakat Cina mengenai kiri dan
kanan. Dewi Kwan Im sebagai dewi utama pada kelenteng ini berada pada altar bagian
tengah. Setelah memuja Dewi Kwan Im, dilanjutkan dengan memuja Dewa Kwan Kong yang
berada pada altar sebelah kiri. Setelah itu dilanjutkan dengan pemujaan terhadap Dewi Kwan
Im dengan berbagai macam wujud. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa kelenteng ini
Bangunan Vihara ..., Eunike Yuditha Kusumaningtyas, FIB UI, 2016
tidak sepenuhnya mengikuti aturan kiri-kanan yang dipercaya oleh masyarakat Cina pada
umumnya.
b. Penerapan Tata Letak Vihara Berdasarkan Ilmu Feng Shui
Tebing yang tinggi dan lembah yang curam berbahaya untuk sebuah bangunan.
Apabila bangunan berada di pinggir tebing atau di dekat jurang, bangunan dilarang dibuat
penuh sampai ke bibir jurang, tetapi harus menjauh dari bibir jurang. Sisa lahan dapat
difungsikan sebagai taman. Taman ini harus berisi pohon atau tanaman yang besar agar
akarnya dapat menahan erosi (Dian, 1999: 124). Vihara Buddhayana Burung Mandi didirikan
di dekat tebing, tetapi di belakangnya terdapat pohon-pohon besar dan sebuah taman. Vihara
ini juga didirikan di atas tanah yang pada bagian belakang lebih tinggi. Keadaan tanah seperti
ini baik sekali. Keadaan tanah ini disebut dengan formasi “bersandar pada gunung”. Logika
dari keadaan tanah ini, yaitu supaya dapat leluasa mengamati kondisi dan keadaan di depan
bangunan (Dian, 1999: 70-76).
Menurut Feng Shui, semakin tinggi letak bangunan atau ruangan pada suatu
kelenteng, maka bangunan itu semakin memiliki kehormatan yang lebih tinggi (Schniz, 1996:
418). Dapat dilihat bahwa Bangunan Suci Utama pada Vihara Buddhayana Dewi Kwan Im
Burung Mandi didirikan di tempat yang lebih tinggi, dan pada bangunan ini terdapat dewa
utama (lihat tabel 3). Bangunan Suci Pengiring I memiliki ketinggian yang lebih rendah dari
Bangunan Suci Utama, namun memiliki ketinggian yang lebih tinggi dari Bangunan Suci
Pengiring II. Bangunan Suci Pengiring I berisi Dewi Kwan Im dan Dewa Kepercayaan
Rakyat. Bangunan Suci Pengiring II merupakan bangunan yang memiliki ketinggian lebih
rendah dari Bangunan Suci Utama maupun Bangunan Suci Pengiring I. Bangunan Suci
Pengiring II berisi Dewa-Dewa Buddha.
BANGUNAN KETINGGIAN TANAH Bangunan Suci Utama ± 153 mdpl Bangunan Suci Pengiring I ± 150 mdpl Bangunan Suci Pengiring II ± 148 mdpl
Tabel 3. Ketinggian Bangunan-Bangunan Suci pada Kompleks Vihara Buddhayana Burung Mandi
Selain berada di tempat yang lebih tinggi, Bangunan Suci Utama sebagai bangunan
yang paling penting pada kompleks Vihara ini mempunyai arah hadap ke arah laut. Menurut
Bangunan Vihara ..., Eunike Yuditha Kusumaningtyas, FIB UI, 2016
Feng Shui, arah hadap kelenteng yang baik adalah arah yang menghadap ke sumber air
(Schniz, 1996: 36). Dilihat dari keletakan Vihara ini, arah laut sebagai sumber air yang paling
dekat yaitu menghadap ke arah Timur. Sehingga dapat dikatakan bahwa arah hadap Bangunan
Suci Utama menghadap ke arah timur karena keberadaan laut terdekat sebagai sumber air
berada di sebelah timur Kelenteng.
c. Penerapan Tata Letak Vihara Berdasarkan Kepercayaan Agama Buddha
(Astadikpalaka)
Sama halnya dengan ilmu Feng Shui, bahwa posisi bagian Tenggara merupakan posisi
yang baik. Di dalam Astadikpalaka, bagian Tenggara ditempati oleh Dewa Agni, yang
merupakan Dewa Api. Selain menjadi penguasa api, tugas lain dari Dewa Agni adalah sebagai
utusan para dewa sekaligus pembawa korban yang ditawarkan oleh manusia untuk para dewa.
Agni merupakan salah satu dewa yang paling penting dalam kepercayaan Buddha, karena
penyembahan api merupakan salah satu kepercayaan tertua di dunia. Agni adalah dewa yang
mampu memberikan keabadian pada manusia serta mampu membersihkan dosa manusia
dengan api (National Heritage Board, 1995: 124). Dengan demikian, Vihara Buddhayana
Burung Mandi memiliki Bangunan Suci Utama yang terletak di sebelah Tenggara, karena
menurut agama Buddha, lokasi di sebelah Tenggara merupakan suatu lokasi yang ditempati
oleh dewa yang dapat mendatangkan kebaikan.
d. Penerapan Tata Letak Vihara Berdasarkan Adanya Keletakan Batu Besar
Vihara Buddhayana Dewi Kwan Im dengan kokoh tetap berdiri di atas permukaan
tanah yang tidak datar. Menurut masyarakat setempat, bangunan Vihara Buddhayana Burung
Mandi didirikan atas dasar keberadaan sebuah batu besar. Batu besar ini disakralkan sehingga
di tempat itu juga didirikan Vihara. Batu besar dalam kepercayaan Cina sangat erat kaitannya
dengan mitos tentang penciptaan manusia dalam mitologi Cina. Mitologi ini menceritakan
bahwa manusia yang keluar dari sebuah gua atau muncul dari sebongkah batu besar. Selain itu
sebongkah batu besar juga dipakai untuk penghormatan seekor naga. Naga merupakan hewan
yang paling disakralkan oleh masyarakat Cina. Dalam buku History of the Yuan Dinasty,
disebutkan bahwa pada tahun ke-27, seekor naga muncul di dekat Gunung Long di wilayah
Linxong, Propinsi Shandong. Naga itu membuat sebuah batu besar melayang di udara.
Selain itu, batu besar yang terdapat pada Vihara ini merupakan tempat bagi anak naga
yang pertama (Zheng Wang, 2013: 3-4), dan Bangunan Suci Utama diibaratkan sebagai naga
yang menduduki singgasana yang berada di punggung bagian bawah batu besar. Vihara ini
Bangunan Vihara ..., Eunike Yuditha Kusumaningtyas, FIB UI, 2016
juga menghadap ke Gunung Long yang berada di Propinsi Shandong, bagian Timur negara
China, di dekat Propinsi Fujian. Vihara ini menghadap ke daerah tersebut untuk menghormati
batu besar tersebut.
Kesimpulan
Berdasarkan uraian yang telah disebutkan pada subbab sebelumnya, dapat
disimpulkan sebagai berikut:
Sesuai Tidak Sesuai
Letak Tempat Suci Dewa
Arah hadap 2 Bangunan Suci Pengiring terhadap tempat suci Dewi Kwan Im �
Arah hadap Bangunan Suci Utama ke arah laut sebagai penghormatan Dewi Kwan Im sebagai Dewa Utama �
Feng Shui
Letak Geografis � Arah hadap keseluruhan
kompleks � Bangunan Suci Utama
mengarah ke laut � Ketinggian tanah
terhadap tempat yang dianggap suci �
Kepercayaan Masyarakat Cina
Kepercayaan terhadap posisi kiri dan kanan
�
Pantheon Agama Buddha
Bangunan Suci Utama yang berorientasi ke Timur �
Letak Bangunan Suci Utama di sebelah Tenggara Kompleks �
Tabel 6. Kesesuaian Tata Letak dan Arah Hadap Bangunan pada Kompleks Buddhayana Burung Mandi terhadap Letak Asal Tempat Suci Dewa Utama, Kepercayaan Masyarakat Cina, Feng Shui, dan Kepercayaan Agama Buddha
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa tata letak pembangunan Kelenteng ini
bukan hanya dipengaruhi oleh Feng Shui saja, tetapi juga dipengaruhi oleh kondisi geografis,
tempat suci Dewi Kwan Im, bahkan juga dipengaruhi oleh unsur-unsur Buddha.
Daftar Referensi
Abdullah, Husnial Husin.
Bangunan Vihara ..., Eunike Yuditha Kusumaningtyas, FIB UI, 2016
1983 Sejarah Perjuangan Kemerdekaan RI di Bangka Belitung. Jakarta: PT Karya Unipress.
Departemen Pendidikan Nasional.
2000 Kelenteng Kuno di DKI Jakarta dan Jawa Barat. Jakarta: Proyek Pembinaan Peninggalan Sejarah dan Kepurbakalaan Pusat.
Dian, Mas.
1999 Fengshui Interior. Jakarta: PT Elex Media Komputindo. Hanjaya, Windy. 2006 Sekilas Sejarah Vihara Buddhayana Dewi Kwan Yin Burung Mandi. Belitung:
Yayasan Vihara Dewi Kwan Yin Pulau Belitung. Koentjaraningrat.
1987 Pengantar Antropologi. Jakarta: Aksara Baru. Mutakin, Hidayat Zenal. 1993 Masyarakat dan Kebudayaan Cina Indonesia. Bandung: Penerbit PT Tarsito. National Heritage Board.
1995 The Legacy of Majapahit. Singapore: National Museum (Singapore).
Nio, Joe Lan. 1961 Peradaban Tionghoa Selajang Pandang. Jakarta: Keng Po.
Peeters, Hermes.
1941 The Religions of China: Confucianism, Taoism, Buddhism, Popular Belief. California: College of Chinese Studies.
Poesponegoro, Marwati Djoened dan Nugroho Notosusanto.
1993 Sejarah Nasional Indonesia vol. II. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Schniz, Alfred.
1996 The Magic Square Cities in Ancient China. Sungnam: Daehan Printing & Publishing Co.
Sedyawati, Edi, Ingrid H. E. Pojoh, dan Supraatikno Rahardjo.
1990 MONUMEN: Karya Persembahan untuk Prof. DR. R. Soekmono. Depok: Fakultas Sastra Universitas Indonesia.
Sharer, Robert J., dan Wendy Ashmore.
1979 Fundamentals of Archaeology. United States: Benjamin Cummings Publishing Company.
2003 Archaeology: Discovering Our Past. New York: McGraw Hill Companies. Sukamto.
2015 Perjumpaan Antarpemeluk Agama di Nusantara: Masa Hindu-Buddha sampai sebelum masuknya Portugis. Yogyakarta: Deepublish.
Wang, Zheng.
2012 Never Forget National Humiliation: Historical Memory in Chinese Politics and Foreign Relations. New York: Columbia University Press.
Bangunan Vihara ..., Eunike Yuditha Kusumaningtyas, FIB UI, 2016