bangunan vihara buddhayana dewi kwan im burung mandi di

21
Bangunan Vihara Buddhayana Dewi Kwan Im Burung Mandi di Pulau Belitung: Kajian Arkeologi Eunike Yuditha Kusumaningtyas, Heriyanti Ongkodharma Departemen Arkeologi, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, Depok Email: [email protected] Abstrak Skripsi ini tentang tata letak dan arah hadap setiap bangunan pada Kompleks Vihara Buddhayana Dewi Kwan Im Burung Mandi berdasarkan Kepercayaan Masyarakat Cina, Ilmu Feng Shui, dan Kepercayaan Agama Buddha. Vihara Buddhayana Burung Mandi berada di pinggir bukit dan berada di daerah pantai. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui apa yang menyebabkan pola tata letak bangunan pada kelenteng tersebut berbeda dengan kelenteng-kelenteng pada umumnya, sehingga dapat diperoleh unsur-unsur kebudayaan pada bentuk bangunannya. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tata letak dari pembangunan Kelenteng ini bukan hanya dipengaruhi oleh Feng Shui saja, tetapi juga dipengaruhi oleh kondisi geografis, tempat suci dari Dewi Kwan Im sebagai Dewa Utama kelenteng ini, bahkan juga dipengaruhi oleh unsur-unsur Buddha. Kata Kunci : Vihara Buddhayana Dewi Kwan Im Burung Mandi; Feng Shui; Astadikpalaka; Dewi Kwan Im Buildings of Temple Buddhayana Dewi Kwan Im Burung Mandi at Billiton Island: Archaeological Studies Abstract This Final Resume is all about the layout and the orientation of every buildings at temple Buddhayana Dewi Kwan Im Burung Mandi based on Chinese culture, Feng Shui, and Buddhist religion. Temple Buddhayana Burung Mandi is at the edge of cliff and near coast. The purpose of this research is to knowing the patterns of the buildings layout of the temple was different with other usual temples, so we can provide the elements of culture on building form. The results of this research is to show the patterns of the temple was not affected only by Feng Shui, but affected too by geography position, the holy place of Kwan Im Goddess as the main Goddess of this temple, even affected by Buddhist culture. KeyWords : Temple of Buddhayana Dewi Kwan Im Burung Mandi; Feng Shui; Astadikpalaka; Kwan Im Goddess Pendahuluan Negara Indonesia merupakan negara berkembang yang terdiri dari berbagai suku bangsa yang masing-masing memiliki kebudayaan yang berbeda-beda. Perbedaan-perbedaan itu menyangkut berbagai bidang, seperti adat-istiadat, agama, tingkah laku, dan lain-lain. Bangunan Vihara ..., Eunike Yuditha Kusumaningtyas, FIB UI, 2016

Upload: others

Post on 30-Oct-2021

3 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Bangunan Vihara Buddhayana Dewi Kwan Im Burung Mandi di

Bangunan Vihara Buddhayana Dewi Kwan Im Burung Mandi di Pulau

Belitung: Kajian Arkeologi

Eunike Yuditha Kusumaningtyas, Heriyanti Ongkodharma

Departemen Arkeologi, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, Depok

Email: [email protected]

Abstrak

Skripsi ini tentang tata letak dan arah hadap setiap bangunan pada Kompleks Vihara Buddhayana Dewi Kwan Im Burung Mandi berdasarkan Kepercayaan Masyarakat Cina, Ilmu Feng Shui, dan Kepercayaan Agama Buddha. Vihara Buddhayana Burung Mandi berada di pinggir bukit dan berada di daerah pantai. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui apa yang menyebabkan pola tata letak bangunan pada kelenteng tersebut berbeda dengan kelenteng-kelenteng pada umumnya, sehingga dapat diperoleh unsur-unsur kebudayaan pada bentuk bangunannya. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tata letak dari pembangunan Kelenteng ini bukan hanya dipengaruhi oleh Feng Shui saja, tetapi juga dipengaruhi oleh kondisi geografis, tempat suci dari Dewi Kwan Im sebagai Dewa Utama kelenteng ini, bahkan juga dipengaruhi oleh unsur-unsur Buddha.

Kata Kunci : Vihara Buddhayana Dewi Kwan Im Burung Mandi; Feng Shui; Astadikpalaka; Dewi Kwan Im

Buildings of Temple Buddhayana Dewi Kwan Im Burung Mandi at Billiton Island: Archaeological Studies

Abstract

This Final Resume is all about the layout and the orientation of every buildings at temple Buddhayana Dewi Kwan Im Burung Mandi based on Chinese culture, Feng Shui, and Buddhist religion. Temple Buddhayana Burung Mandi is at the edge of cliff and near coast. The purpose of this research is to knowing the patterns of the buildings layout of the temple was different with other usual temples, so we can provide the elements of culture on building form. The results of this research is to show the patterns of the temple was not affected only by Feng Shui, but affected too by geography position, the holy place of Kwan Im Goddess as the main Goddess of this temple, even affected by Buddhist culture.

KeyWords : Temple of Buddhayana Dewi Kwan Im Burung Mandi; Feng Shui; Astadikpalaka; Kwan Im Goddess

Pendahuluan

Negara Indonesia merupakan negara berkembang yang terdiri dari berbagai suku

bangsa yang masing-masing memiliki kebudayaan yang berbeda-beda. Perbedaan-perbedaan

itu menyangkut berbagai bidang, seperti adat-istiadat, agama, tingkah laku, dan lain-lain.

Bangunan Vihara ..., Eunike Yuditha Kusumaningtyas, FIB UI, 2016

Page 2: Bangunan Vihara Buddhayana Dewi Kwan Im Burung Mandi di

Dalam masalah agama pun tiap orang menganut agama yang berbeda satu sama lain. Hal ini

juga terjadi pada orang-orang Cina di Nusantara.

Di Nusantara, terdapat beberapa agama asli dan agama pendatang. Agama asli

nusantara adalah sesuatu yang dipercayai oleh masyarakat di setiap daerah di Nusantara.

Agama asli nusantara merupakan suatu kepercayaan, karena tidak menjamin adanya

kehidupan setelah mati. Kepercayaan hanya mengajarkan suatu kebaikan pada saat menjalani

suatu kehiduapan. Beberapa agama asli nusantara (kepercayaan), seperti Sunda Wiwitan yang

dipeluk oleh masyarakat Sunda di Kanekes, Lebak, Banten; Sunda Wiwitan aliran Madrais

yang dipeluk di Cigugur, Kuningan, Jawa Barat; Kejawen di Jawa Tengah dan Jawa Timur;

kepercayaan Parmalim yang merupakan agama asli orang Batak; kepercayaan Buhun di Jawa

Barat; kepercayaan Kaharingan di Kalimantan; Kepercayaan Tonaas Walian di Minahasa;

Kepercayaan Tolottang di Sulawesi Selatan; kepercayaan Wetu Telu di Lombok; agama

Naurus di Pulau Seram, dll (Sukamto, 2015: 8-20).

Selain itu terdapat juga beberapa agama yang berasal dari luar Nusantara kemudian

masuk ke Nusantara, yang disebut juga sebagai agama pendatang. Beberapa agama

pendatang, yaitu Islam, Kristen, Buddha, Hindu, dan Konghucu. Agama-agama pendatang ini

bukan hanya sekedar kepercayaan, karena terdapat suatu organisasi yang mengurusnya dan

agama tersebut menjamin kepada umatnya bahwa adanya kehidupan setelah mati bagi

umatnya yang melakukan kebaikan pada saat mereka hidup di dunia (Sukamto, 2015: 8-20).

Di dalam agama Konghucu sendiri terdapat agama dan kepercayaan di dalamnya,

dilihat dari adanya Tridharma yang terdiri dari Taoisme, Konfusianisme, dan Buddhisme.

Taoisme dan Konfusianisme merupakan suatu kepercayaan karena kedua aliran ini hanya

mengajarkan kebaikan pada saat manusia berada di dunia, sedangkan Buddhisme menjamin

kehidupan setelah mati apabila manusia tersebut melakukan kebaikan dan taat kepada

perintah agama pada saat menjalankan kehidupan di dunia (Peeters, 1941: 4-5).

Setiap religi atau agama memerlukan wadah dan sarana untuk menunjang aktivitas

peribadatannya. Koentjaraningrat (1987: 81) menuliskan masalah tentang sarana atau wadah

ini ke dalam salah satu dari lima komponen religi, yaitu peralatan ritus dan upacara. Dalam

ritus dan upacara religi biasanya dipergunakan bermacam-macam sarana dan peralatan,

seperti: tempat atau gedung pemujaan, patung dewa, patung orang suci, alat bunyi-bunyian

suci, dan pakaian yang dianggap mempunyai sifat suci yang dikenakan oleh para pelaku

upacara.

Setiap agama mempunyai tempat untuk melakukan upacara dan kegiatan yang

berkaitan dengan kepercayaan tersebut. Tempat pemujaan adalah salah satu kebutuhan dalam

Bangunan Vihara ..., Eunike Yuditha Kusumaningtyas, FIB UI, 2016

Page 3: Bangunan Vihara Buddhayana Dewi Kwan Im Burung Mandi di

rangka mewadahi segala kegiatan ritual yang dilakukan masyarakat pendukungnya.

Kebutuhan ini kemudian menjadi salah satu penyebab timbulnya kekhasan bentuk pada

sebuah bangunan suci. Biasanya tempat pemujaan atau tempat peribadatan ini hanya

mewakili satu aliran agama saja, misalnya: Candi untuk umat Hindu atau Buddha, Masjid

untuk umat Islam, dan Gereja untuk umat Kristiani. Namun tidak halnya dengan tempat

peribadatan masyarakat Cina yang dikenal dengan nama Kelenteng. Pada kelenteng, berbagai

aliran ajaran agama yang dianut terdapat pada lokasi yang sama.

Secara umum, kelenteng mempunyai arti sebagai bangunan suci bagi masyarakat Cina

(Tionghoa) untuk melaksanakan ibadah sembahyang kepada Tuhan, nabi-nabi, serta arwah-

arwah para leluhur yang berkaitan dengan ajaran Konfusianisme, Taoisme, dan Buddhisme

(Depdiknas, 2000: 22). Seperti bangunan suci lainnya, kelenteng juga memiliki konsep

penataan ruang yang disesuaikan dengan kebutuhan para pemeluknya. Hal ini tercermin

dalam pola penataan ruang, sistem konstruksi bangunan, dan komponen-komponen yang

terdapat di dalamnya. Di Indonesia terutama di tempat-tempat yang banyak dihuni oleh

orang-orang Cina biasanya terdapat bangunan-bangunan Kelenteng. Istilah ‘kelenteng’

merupakan asli dari Indonesia, sebab dalam bahasa Tionghoa, Singapura, dan Malaysia tidak

terdapat istilah yang demikian (Setiawan, 1990: 14). Bagi masyarakat Tionghoa, kelenteng

tidak hanya sebagai tempat ibadah saja, tetapi juga mempunyai peran yang sangat besar

dalam kehidupan komunitas Tionghoa di masa lampau.

Masyarakat Cina merupakan bangsa yang banyak bermigrasi ke tempat-tempat lain,

misalnya kepulauan Nusantara. Orang-orang Cina telah ada dan menetap di Nusantara sejak

lama. Hubungan itu diperkirakan telah berlangsung sejak abad ke-2 M. Pada abad ini,

terdapat penemuan data atau sumber arkeologis berupa keramik Cina dari masa dinasti Han

yang diperkirakan merupakan bukti keberadaan orang-orang Cina di Indonesia (Dradjat dkk.,

1995: 1). Selain itu, menurut berita Cina, diketahui pula bahwa Sriwijaya mengirimkan

utusan ke negeri Cina sejak abad ke-5 M sampai pertengahan abad ke-6 M (Poesponegoro &

Notosusanto, 1993: 74).

Pada awalnya, orang-orang Cina yang merantau ke Indonesia hanya bermukim di

sekitar pelabuhan untuk jangka waktu yang tidak terlalu lama. Proses ini berlangsung selama

berabad-abad. Memasuki permulaan abad ke-16, setelah bangsa Eropa muncul di wilayah

Asia Tenggara, jumlah migrasi Bangsa Cina semakin meningkat. Situasi ini membuka

peluang bagi Cina untuk berperan lebih aktif di bidang perdagangan dan memungkinkan

mereka untuk tinggal di wilayah Nusantara dalam waktu yang lama. Bahkan ketika kekuasaan

Nusantara berada di bawah pemerintahan Belanda, telah banyak ditemukan pemukiman Cina

Bangunan Vihara ..., Eunike Yuditha Kusumaningtyas, FIB UI, 2016

Page 4: Bangunan Vihara Buddhayana Dewi Kwan Im Burung Mandi di

di beberapa daerah seperti Pulau Bangka Belitung, Kalimantan Barat, pantai timur Sumatera,

dan sepanjang pesisir utara Pulau Jawa (Supardi dkk., 2000: 6-7).

Masyarakat Cina di Indonesia sendiri diperkirakan datang dari Cina bagian selatan. Di

antara mereka terdapat lima kelompok atau suku bangsa terbesar yang terdapat di Indonesia,

antara lain Hokkian, Hakka, Yunan, Thiau Chiu, dan Kanton. Pada masa itu, orang-orang

Cina yang datang ke Nusantara kebanyakan berasal dari suku bangsa Hokkian.

Walaupun masyarakat Cina telah merantau jauh dari tanah leluhur tempat asal mereka

bahkan tinggal menetap, tetapi mereka tidak melupakan tradisi kepercayaan leluhur. Seiring

berkembangnya kegiatan perdagangan dan pola pemukiman menetap, mereka pun

membutuhkan tempat ibadah sebagai sarana pemenuhan kebutuhan keagamaan dalam

berkomunikasi dengan Tuhannya. Di Indonesia, bangunan-bangunan keagamaan Cina tidak

hanya terdapat di kota-kota besar, melainkan juga di tempat-tempat terpencil. Kenyataan ini

menunjukkan bahwa dengan merantaunya orang-orang Cina ke Indonesia, mereka tidak

melupakan kepercayaan leluhurnya (Joe Lan Nio, 1961: 61). Seiring dengan merantaunya

orang Cina ke Indonesia, maka masuk pula kebudayaan mereka, seperti bahasa, religi, sistem

pengetahuan, organisasi sosial, sistem peralatan hidup dan teknologi, dan sistem mata

pencaharian hidup.

Sejak abad ke-7, pada awalnya orang-orang Cina sudah masuk ke Sumatra, hanya

untuk tempat singgah pada saat mereka melakukan pelayaran. Kemudian orang-orang Cina

ini mengembangkan pelayaran dan perdagangan di Pulau Sumatra, dan mereka ada yang

menetap di Sumatra (Poesponegoro & Notosusanto, 1993: 1). Selama itu beberapa orang Cina

ada yang menetap di Sumatra, sampai kedatangan kongsi dagang Belanda, yaitu VOC ke

Sumatra. Pada masa kolonial, pada abad 19, masyarakat etnis Cina di Sumatra berkembang

karena selain orang-orang Cina yang sudah menetap di Sumatra, banyak masyarakat Cina

yang juga didatangkan dari negerinya untuk menjadi buruh perkebunan Belanda di Sumatra.

Mereka menjadi buruh dan juga menjadi budak bagi orang Belanda (Poesponegoro &

Notosusanto, 1993: 393-395).

Sejak masa pra kolonial, yaitu sebelum abad ke 19, Belitung telah dihuni oleh

pedagang melayu dan etnis cina yang bermukim di sekitar pantai, yang berdagang parang,

damar, dan wax (lilin), serta produk-produk yang terbuat dari besi baja. Namun pada

kedatangan perusahaan dagang Belanda ke Belitung dan menemukan timah di Belitung,

Belanda mengekspor buruh dari cina yang diperbudak untuk menggali timah. Sejak

kedatangan kuli timah dari negeri cina ini, jumlah penduduk cina di Pulau Belitung semakin

bertambah (Abdullah, 1983: 207-208).

Bangunan Vihara ..., Eunike Yuditha Kusumaningtyas, FIB UI, 2016

Page 5: Bangunan Vihara Buddhayana Dewi Kwan Im Burung Mandi di

Setelah tahun 1965, sebutan Kelenteng mengalami perubahan menjadi Vihara (bahasa

sansekerta), dan segala sesuatu yang berhubungan dengan Cina dimusnahkan oleh

pemerintah. Hal ini dilakukan sebagai akibat situasi politik pada saat itu dan juga berkaitan

dengan pengakuan Indonesia sebagai negara ber-Ketuhanan Yang Maha Esa. Kecenderungan

ke arah monotheis menyebabkan kaum Tri Dharma1 ditiadakan.

Pada awal perkembangan agama Buddha di India, Vihara lebih dikenal sebagai tempat

tinggal bhiksu yang dilengkapi dengan ruang semedi. Kemudian Vihara berkembang menjadi

tempat peribadatan bagi umat Buddha yang dilengkapi dengan altar patung Buddha dan

akhirnya sebutan Vihara digunakan pula untuk bangunan suci tempat beribadat orang-orang

Cina yang dulu terkenal dengan sebutan Kelenteng. Tujuan penggantian nama Kelenteng

menjadi Vihara adalah untuk memberikan pengaruh Budhis pada kelenteng-kelenteng

tersebut (Salmon & Lombard, 1985: 48). Walaupun telah berubah nama dari Kelenteng

menjadi Vihara, masih banyak pula orang yang menyebutnya Kelenteng.

Selain pemakaian istilah Kelenteng dan Vihara untuk menyebut bangunan suci tempat

beribadah masyarakat Cina, banyak Kelenteng yang memakai nama atau gelar dewa utama

yang dipuja di dalamnya. Misalnya, Vihara Dewi Samudera, Kelenteng Dewi Welas Asih,

Vihara Dewi Kwan Im, Kelenteng Keutamaan Emas (Jin De Yuan). Kemudian ditemukan

juga kelenteng-kelenteng yang menggunakan beberapa kata Sansekerta, seperti: dharma,

jaya, ratna, dan sassana untuk menunjukkan aspek Buddhisnya (Salmon & Lombard, 1985:

48).

Vihara Buddhayana Burung Mandi dibangun oleh para pedagang etnis cina pada abad

18, yaitu pada tahun 1747 yang menetap di pinggir pantai Pulau Belitung. Pada saat itu,

kelenteng ini merupakan satu-satunya kelenteng yang ada di Pulau Belitung. Vihara ini

berukuran besar karena dibangun oleh para pedagang cina. Kelenteng Buddhayana Burung

Mandi memuja Dewi Welas Asih atau Dewi Kwan Im. Dewi ini sangat dipuja oleh para

pekerja timah dari cina, karena dewi ini dianggap sebagai dewi penolong untuk setiap

penderitaan manusia, dan merupakan dewi penyayang. Mereka percaya bahwa dewi ini akan

menolong mereka dari penderitaan. Selain itu, pada kelenteng ini juga terdapat perwujudan

dewi welas asih sebagai dewi pelindung (Hanjaya, 2006: 11).

                                                                                                                         1  Tri  dharma  adalah  sebuah  kepercayaan  yang  termasuk  dalam  budaya  Tionghoa,  yang  merupakan  gabungan  dari  3  ajaran.  3  ajaran  yang  dimaksud  adalah  Konfusianisme,  Taoisme,  dan  Buddhisme.  Tri  dharma  merupakan  suatu  bentuk  kepercayaan  tradisional  masyarakat  Tionghoa  sebagai  hasil  dari  sinkritisme  ketiga  ajaran  yang  mempengaruhi  kebudayaan  Tionghoa  (Supardi,  2000:  15).  

Bangunan Vihara ..., Eunike Yuditha Kusumaningtyas, FIB UI, 2016

Page 6: Bangunan Vihara Buddhayana Dewi Kwan Im Burung Mandi di

Perwujudan ini juga digunakan oleh para pedagang cina yang bermukim di Pulau

Belitung sebagai rasa terimakasih mereka karena sudah dilindungi selama berlayar, karena

perairan di Pulau Bangka Belitung yang banyak karangnya dan susah dilalui, sehingga sudah

banyak kapal yang tenggelam di situ. Pada belakang bangunan utama juga terdapat sebuah

batu besar yang menjadi salah satu alasan pembangunan Vihara Buddhayana Dewi Kwan Im

ini pada tahun 1747 yang ditujukan sebagai penghormatan kepada batu besar tersebut yang

dianggap sakral oleh masyarakat cina sekitar pada masa itu (Hanjaya, 2006: 11 – 12).

Di Pulau Belitung terdapat tiga kelenteng lainnya, yaitu Kelenteng “Sijuk”, Vihara

“Dharma Suci Manggar”, dan Kelenteng “Sun Go Kong”. Ketiga kelenteng ini merupakan

kelenteng dari abad ke 19, sedangkan Vihara Buddhayana Dewi Kwan Im Burung Mandi

merupakan kelenteng dari abad ke-18. Vihara Buddhayana Burung Mandi merupakan

kelenteng tertua dan terbesar di Pulau Belitung. Penelitian kelenteng ini dapat berguna bagi

sejarah kebudayaan Indonesia, karena dengan ditelitinya kelenteng ini, maka dapat diketahui

pula sejak kapan orang-orang cina datang ke daerah Pulau Belitung, mengingat kelenteng ini

merupakan kelenteng tertua di Pulau Belitung. Vihara Buddhayana Burung Mandi mengalami

pemugaran pada tahun 1987. Vihara ini direnovasi pada sebagian unsur bangunan, seperti

dinding, lantai, dan atap yang sudah dimakan usia. Akan tetapi, beberapa bentuk denah masih

tetap dipertahankan keasliannya, antara lain Bangunan Suci Utama dan Bangunan Suci

Pengiring. Selain itu, batu besar yang bersandar pada bangunan utama juga masih tetap

dipertahankan keasliannya (Hanjaya, 2006: 15).

Selain Kelenteng-Kelenteng di Pulau Belitung, banyak juga literatur yang membahas

tentang Kelenteng-Kelenteng di Pulau Jawa, diantaranya yaitu buku yang berjudul Riwayat

Kelenteng, Vihara, dan Lithang yang ditulis oleh Yoest pada tahun 2008; Kelenteng Kuno di

DKI Jakarta dan Jawa Barat yang dipubikasikan oleh Departemen Pendidikan Nasional pada

tahun 2000; tesis yang berjudul Tipologi Bangunan Kelenteng Abad 16 hingga paruh awal

Abad 20 di DKI Jakarta yang ditulis oleh Greysia Susilo Junus pada tahun 2006.

Orang-orang Cina mulai merantau ke Indonesia pada masa akhir pemerintahan Dinasti

Tang. Mereka datang ke Pulau Jawa untuk mencari rempah-rempah. Banyak dari mereka

yang kemudian menetap di daerah pelabuhan Pantai Utara Jawa, seperti daerah Tuban,

Surabaya, Gresik, Banten, Cirebon, Semarang, dan Jakarta (Mutakin, 1993: 65). Hal ini

terbukti dari masih terdapat kelenteng-kelenteng kuno di daerah-daerah tersebut, seperti

Vihara “Dharma Bhakti” (Kim Tek Ji) di Jakarta, Vihara “Avalokitesvara” di Banten,

Kelenteng “Dewi Welas Asih” di Cirebon, Kelenteng “Gedong Batu” di Semarang,

Bangunan Vihara ..., Eunike Yuditha Kusumaningtyas, FIB UI, 2016

Page 7: Bangunan Vihara Buddhayana Dewi Kwan Im Burung Mandi di

Kelenteng “Boen Bio” di Surabaya, Tempat Ibadat Tridharma “Kiem Hien Hong” di Gresik,

dan Tempat Ibadat Tridharma “Kwan Sing Bio” di Tuban. Sama halnya dengan Vihara

“Buddhayana Dewi Kwan Im” di Pulau Belitung, Kelenteng-Kelenteng ini juga didirikan di

dekat pantai dan didirikan oleh para pedagang Cina.

Ada beberapa alasan mengapa penulis melakukan penelitian ini, antara lain karena tata

letak bangunan-bangunan pada Kompleks Vihara Buddhayana Burung Mandi tidak memiliki

orientasi arah hadap yang sama. Hal ini berbeda dengan kelenteng-kelenteng pada umumnya,

berdasarkan ilmu Feng Shui dan kondisi geografis pada lingkungan Kelenteng. Selain itu,

belum ada yang meneliti tentang bangunan ini, walaupun bangunan ini merupakan bangunan

yang bersejarah bagi orang cina di Belitung.

Masalah Penelitian

Penelitian terhadap Vihara Buddhayana Dewi Kwan Im Burung Mandi dilakukan

untuk mengetahui jawaban dari dua permasalahan yang menjadi masalah dalam penelitian ini.

Permasalahan yang pertama adalah bagaimana tata letak bangunan-bangunan dan tata letak

dewa-dewa pada altar di Kompleks Vihara Buddhayana Dewi Kwan Im Burung Mandi

berdasarkan keadaan lingkungan geografis di tempat kelenteng itu berdiri. Permasalahan yang

kedua adalah apakah tata letak bangunan dan tata letak dewa-dewa pada altar di Kompleks

Vihara Buddhayana Dewi Kwan Im Burung Mandi mengikuti aturan Feng Shui. Kedua

pertanyaan pada penelitian ini didasarkan atas perbedaan tata letak dan arah hadap pada setiap

bangunan di kompleks Vihara Buddhayana Burung Mandi yang berada di tanah yang

berbukit-bukit, dibandingkan dengan bangunan kelenteng lainnya yang berada di tanah datar.

Tujuan dan Manfaat Penelitian

Pada penelitian ini terdapat tujuan yang ingin dicapai, yaitu untuk mengetahui

hal-hal apa yang menyebabkan denah bangunan kelenteng tersebut berbeda dengan

kelenteng-kelenteng pada umumnya, serta memberikan gambaran mengenai tata letak

bangunan-bangunan pada Kompleks Vihara Buddhayana Dewi Kwan Im Burung Mandi

sehingga diperoleh gambaran mengenai unsur-unsur kebudayaan pada bentuk bangunannya.

Bangunan Vihara ..., Eunike Yuditha Kusumaningtyas, FIB UI, 2016

Page 8: Bangunan Vihara Buddhayana Dewi Kwan Im Burung Mandi di

Metode Penelitian

Di dalam ilmu arkeologi terdapat serangkaian teknik dan prosedur yang dilakukan

untuk menemukan, memperoleh, memelihara, menggambarkan, dan menganalisa tinggalan-

tinggalan masa lalu (Sharer & Ashmore, 1979: 11-12). Tahap-tahap dilakukan secara

sistematis, mulai dari tahap formulasi, implementasi, pengumpulan data, pemrosesan data,

analisis data, interpretasi, dan publikasi (lihat tabel 1.1).

Formulasi merupakan tahapan awal yaitu penemuan topik atau permasalahan

penelitian, penyusun latar belakang, dan studi kelayakan (Sharer & Ashmore, 2003: 156).

Dalam penelitian ini, hal pertama kali yang dilakukan adalah menemukan topik dan

permasalahan, yaitu mengenai Vihara Buddhayana Dewi Kwan Im Burung Mandi, dan

mempelajari penelitian-penelitian sebelumnya mengenai lingkungan yang sama dan dengan

objek yang sejenis, serta melihat apakah bangunan ini merupakan bangunan asli atau bukan,

dengan cara melihat dari riwayat pembangunan kelenteng ini. Pada tahap ini juga dilakukan

pengumpulan data kepustakaan atau sumber literatur, yang meliputi buku-buku dan artikel

tentang kelenteng dan kebudayaan cina, latar belakang keberadaan orang-orang Cina, dan

bahan-bahan pustaka lain yang mendukung tujuan dari penulisan ini.

Pada tahap implementasi, hal yang dilakukan adalah pengurusan perizinan,

penyediaan logistik, dan pendanaan (Sharer & Ashmore, 2003: 168-169). Dalam penelitian

ini, perizinan penelitian ditujukan kepada Badan Geologi Bandung, Kantor Kecamatan

Damar, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Belitung Timur, dan Vihara

Buddhayana Dewi Kwan Im Burung Mandi. Pada tahap ini juga dilakukan persiapan dalam

pengadaan dana, dan perlengkapan, seperti skala batang sebagai perbandingan ukuran pada

foto, kamera untuk mendokumentasikan bangunan, GPS untuk menentukan arah hadap setiap

bangunan, dan alat-alat lain yang menunjang penelitian ini.

Pada tahap pengumpulan data, hal yang dilakukan adalah penjajakan, perekaman, dan

ekskavasi (Sharer & Ashmore, 2003: 170-174). Akan tetapi, pada tahap ini tidak dilakukan

penjajakan dan ekskavasi. Data yang dikumpulkan terbagi menjadi dua, yaitu data lapangan

dan data pustaka. Pengambilan data lapangan dilakukan dengan cara survey di bangunan

Vihara Buddhayana Dewi Kwan Im Burung Mandi. Data yang dikumpulkan adalah ukuran

denah kelenteng, arah hadap setiap bangunan, dan letak bangunan dari permukaan laut.

Pada tahap ini, penulis melakukan pengamatan secara tidak langsung, yaitu penulis

mengumpulkan sumber pustaka yang memuat hal-hal yang berhubungan dengan keberadaan

kelenteng tersebut, baik sejarah keberadaannya, komponen-komponen bangunan, keadaan

Bangunan Vihara ..., Eunike Yuditha Kusumaningtyas, FIB UI, 2016

Page 9: Bangunan Vihara Buddhayana Dewi Kwan Im Burung Mandi di

lingkungan sekitar, dan pengumpulan peta-peta yang mendukung, yang diperoleh dari hasil

penelitian terdahulu. Sumber literature merupakan data sekunder yang digunakan sebagai

pedoman dalam membuat deskripsi di lapangan. Data sejarah Vihara Buddhayana Dewi

Kwan Im Burung Mandi diperoleh dari sumber literatur maupun dengan wawancara oleh

penjaga kelenteng. Penulis juga melakukan pengamatan secara langsung, yaitu dengan

melihat Vihara Buddhayana Burung Mandi ini secara langsung, melakukan wawancara

dengan penjaga Vihara, dan mengambil beberapa foto yang diperlukan untuk penelitian.

Pada tahap pemrosesan data, penulis melakukan pendeskripsian data, kemudian

membandingkan literature dan lapangan. Deskripsi dilakukan dengan menggunakan deskripsi

verbal (pencatatan deksripsi bangunan) maupun piktorial (pemotretan, penggambaran,

pengukuran) secara horizontal (deskripsi denah kompleks kelenteng, terutama denah

keletakan bangunan suci utama dan bangunan suci pengiring). Dalam hal ini data primer

adalah data-data yang didapat langsung di lapangan, sedangkan data sekunder merupakan

data-data kepustakaan.

Hasil deskripsi dari unsur-unsur bangunan yang telah dibuat sebelumnya kemudian

dianalisis. Tahap analisis memberikan informasi yang berguna untuk interpretasi (Sharer &

Ashmore, 2003: 180-181). Dalam penelitian ini, penulis menggunakan analisis spacial.

Analisis spacial digunakan untuk mengkaji hubungan antartemuan, antarsitus, dan hubungan

antara situs dengan lingkungannya (Sharer & Ashmore, 2003: 423). Analisis spacial

dilakukan dengan mengidentifikasi keletakkan bangunan suci utama dan bangunan suci

pengiring serta batu besar pada Kompleks Vihara Buddhayana Dewi Kwan Im Burung Mandi

dan dihubungkan dengan keadaan geografis di tempat kelenteng tersebut berdiri dan tata letak

bangunan suci utama dan bangunan suci pengiring serta batu besar pada kompleks vihara

tersebut. Pada tahap analisis, dibuat sebuah tabel untuk mendata unsur-unsur setiap bangunan

kelenteng yang perlu diteliti.

Pada tahap interpretasi, hal yang dilakukan adalah sintesis data berupa

pengintegrasian perekaman data verbal dan piktorial (Sharer & Ashmore, 2003: 159 – 160).

Hal yang dilakukan dalam tahap penelitian ini adalah menggabungkan hasil deskripsi, foto,

dan hasil analisis, sehingga menghasilkan suatu informasi mengenai bentuk dan keletakan

bangunan Vihara Buddhayana Dewi Kwan Im Burung Mandi. Pada tahap ini hasil identifikasi

dikomparasikan dengan aturan umum dalam prinsip fengshui dan konsep penataan ruang

kelenteng pada umumnya, serta dihubungkan dengan keadaan lingkungan sekitar dan kondisi

geografis. Perbandingan dilakukan secara horizontal, dengan cara membuat tabel untuk

memudahkan penulis membandingkan setiap komponen-komponen bangunan kelenteng pada

Bangunan Vihara ..., Eunike Yuditha Kusumaningtyas, FIB UI, 2016

Page 10: Bangunan Vihara Buddhayana Dewi Kwan Im Burung Mandi di

umumnya dengan komponen-komponen yang terdapat pada Vihara Buddhayana Dewi Kwan

Im Burung Mandi.

Pada tahap publikasi, dilakukan pengulasan kembali pada tulisan ini berupa jurnal

maupun laporan akhir penelitian yang ditujukan kepada masyarakat umum. Dalam penelitian

ini, publikasi dilakukan dalam bentuk skripsi dan disimpan di perpustakaaan oleh pihak

universitas.

Vihara Buddhayana Dewi Kwan Im Burung Mandi

Foto 1. Vihara Buddhayana Dewi Kwan Im Burung Mandi

Vihara Buddhayana Dewi Kwan Im, secara administratif terletak di Desa Burung

Mandi, Kecamatan Damar, Kabupaten Belitung Timur, Propinsi Kepulauan Bangka Belitung.

Batas-batas di sekitar kelenteng adalah sebagai berikut: di sebelah barat merupakan jalan

setapak; sebelah utara merupakan akses jalan menuju Pantai Burung Mandi; sebelah timur

merupakan lahan kosong dan terdapat pantai Burung Mandi; dan sebelah selatan merupakan

hutan.

Bangunan Vihara Buddhayana Dewi Kwan Im Burung Mandi diperkirakan dibangun

sekitar abad ke-17. Seiring berkembangnya kebutuhan umat, saat ini Bangunan Vihara

Buddhayana Dewi Kwan Im telah berada dalam suatu kompleks beserta beberapa bangunan

tambahan lainnya. Kompleks ini dibatasi oleh tebing dan pagar tembok serta gapura yang

berada di sebelah Barat. Bangunan ini berada di perbukitan, dengan ketinggian 140 m dari

permukaan laut. Vihara Buddhayana Dewi Kwan Im Burung Mandi ini dibangun di atas tanah

berbukit-bukit seluas 3 Ha. Ruangan pada setiap bangunan dibangun secara terpisah sehingga

membentuk beberapa bangunan.

Bangunan Vihara ..., Eunike Yuditha Kusumaningtyas, FIB UI, 2016

Page 11: Bangunan Vihara Buddhayana Dewi Kwan Im Burung Mandi di

Keletakan setiap bangunan pada kompleks kelenteng secara keseluruhan dapat diamati

pada Foto 1. Pada kompleks kelenteng ini, setiap bangunan mempunyai arah hadap yang

berbeda-beda (lihat gambar 1). Pada bangunan suci utama, yaitu bangunan Dewi Kwan Im

menghadap ke arah timur, sedangkan ruangan dewa pendamping, yaitu ruangan Buddhayana

dan ruangan Dewa Kwan Kong menghadap ke arah timur laut. Akan tetapi, gerbang kelenteng

menghadap ke arah barat daya. Pada bagian depan kompleks terdapat halaman luas yang

berfungsi sebagai areal parkir. Selain itu, setiap bangunan pada kompleks vihara ini memiliki

ketinggian dari permukaan laut yang berbeda-beda. Secara umum, kelenteng ini terletak di

kaki bukit dan berada di pinggir tebing. Tidak jauh dari area kelenteng, terdapat Pantai

Burung Mandi yang  merupakan Pantai dari Laut Jawa.

Keterangan: : Batu Besar

: Bangunan Tambahan : Jalan Setapak : Tangga : Bangunan Suci : Hutan : Altar Thian : Laut : Akses jalan menuju pantai Burung Mandi

Gambar 1. Denah Vihara Buddhayana Dewi Kwan Im Burung Mandi

Vihara Buddhayana Dewi Kwan Im Burung Mandi memiliki 2 buah bangunan suci

pengiring, yang berisi dewa-dewa Buddha. Bangunan suci pengiring I berdenah persegilima

dan berukuran 4 m pada bagian belakang, 3 m bagian samping, dan 1 m pada bagian depan;

serta berada di sebelah Barat Bangunan Suci Utama, serta berada di sebelah Timur Bangunan

Bangunan Vihara ..., Eunike Yuditha Kusumaningtyas, FIB UI, 2016

Page 12: Bangunan Vihara Buddhayana Dewi Kwan Im Burung Mandi di

Suci Pengiring II. Bangunan ini menghadap ke arah 25° timur laut. Bangunan Suci Pengiring

I berada pada ketinggian 150 m di atas permukaan laut. Pada bagian dalam, terdapat 1 altar

pemujaan yang berisi hiolo, 4 patung Dewa Guru Padmasanbhava, dan 1 patung Maitreya;

dan 1 altar persembahan yang berisi hiolo dan buah-buahan sebagai persembahan kepada

dewa-dewa (lihat gambar 2).

Keterangan: I : Patung Dewa Guru Padmasanbhava berukuran besar II : Patung Dewa Guru Padmasanbhava berukuran kecil III : Patung Maitreya / Dewa Milefo dengan memegang tasbih IV : Patung Maitreya / Dewa Milefo dengan janggut putih V : Patung Maitreya / Dewa Milefo dengan memakai tasbih

: Bangunan Suci : Lilin : Teras : Hiolo

: Tempat Pembakaran Kertas : Persembahan Buah-Buahan : Altar

Gambar 2. Denah Bangunan Suci Pengiring I

Bangunan suci pengiring II berada di sebelah barat bangunan suci pengiring I.

Bangunan suci pengiring I berdenah persegi dengan ukuran 4 x 4 m. Bangunan ini

menghadap ke arah 33° timur laut. Bangunan ini berada pada ketinggian 148 m di atas

permukaan laut. Pada bangunan suci pengiring II terdapat altar yang berisi Dewi Kwan Im

yang berwujud Avalokitesvara, dan Dewa Guo Hongfu (lihat gambar 3).

Bangunan Vihara ..., Eunike Yuditha Kusumaningtyas, FIB UI, 2016

Page 13: Bangunan Vihara Buddhayana Dewi Kwan Im Burung Mandi di

Keterangan: I : Patung Dewi Kwan Im / Avalokitesvara II : Patung Dewa Guo Hongfu berukuran besar III : Patung Dewa Guo Hongfu berukuran kecil

: Bangunan Suci : Lilin : Hiolo

: Altar Thian : Persembahan Buah-Buahan : Altar

Gambar 3. Denah Bangunan Suci Pengiring II

Bangunan Suci Utama berada pada bagian tenggara kompleks, yang dibangun pada

ketinggian 153 m di atas permukaan laut. Bangunan Suci Utama berdenah persegi dengan

ukuran 10 x 10 m dan menghadap ke arah 80° timur. Pada bagian depan bangunan suci utama

terdapat teras yang berukuran 10 x 10,5 m. Pada Bangunan Suci Utama terdapat 3 altar

pemujaan, dimana patung Dewi Kwan Im berada di 2 altar dan patung Dewa Kwan Kong

yang berada di altar lainnya (lihat foto 4). Pada altar yang berada di tengah, digambarkan

Dewi Kwan Im yang memakai jubah putih dan berdiri di atas teratai. Dewi Kwan Im yang

berada di altar sebelah Timur berisi 27 buah patung Dewi Kwan Im dengan 9 jenis

penampilan, yaitu Dewi Kwan Im yang digambarkan berdiri di atas air, Dewi Kwan Im yang

digambarkan berada di hutan bambu ungu, Dewi Kwan Im dengan keranjang berisi ikan,

Dewi Kwan Im dengan delapan rintangan, Dewi Kwan Im yang digambarkan memiliki

Bangunan Vihara ..., Eunike Yuditha Kusumaningtyas, FIB UI, 2016

Page 14: Bangunan Vihara Buddhayana Dewi Kwan Im Burung Mandi di

banyak tangan, Dewi Kwan Im berjubah putih, Dewi Kwan Im yang digambarkan sedang

membawa anak, Dewi Kwan Im yang membawa sebotol air suci, dan Dewi Kwan Im yang

sedang berdiri di atas sebuah batu karang. Keterangan: I : Altar Dewi Kwan Im memakai jubah putih II : Altar Dewa Kwan Kong + Milefo III : Altar Dewi Kwan Im dengan berbagai wujud

: Bangunan Suci : Batu Besar : Teras : Hiolo

: Tempat Pembakaran Kertas : Persembahan Buah-Buahan : Altar

Gambar 4. Denah Bangunan Suci Utama

Penerapan Arah Hadap Menurut Tempat Suci Dewi Kwan Im

Dewa-Dewi pada Vihara Buddhayana Dewi Kwan Im Burung Mandi mempunyai

tempat suci yang sama, yaitu di sekitar daerah Fujian yang terletak di Cina Selatan bagian

Timur, yang merupakan tempat suci bagi dewa-dewi tersebut, khususnya Dewi Kwan Im.

Pada daerah ini juga terdapat “Puncak Buddha”. Apabila ditarik garis lurus, secara

keseluruhan bangunan Vihara ini menghadap ke satu titik daerah tersebut. Hal ini yang

menyebabkan arah hadap bangunan suci pada Vihara ini mempunyai arah hadap yang sama

yaitu menghadap ke arah Timur Laut, tetapi dengan derajat kemiringan yang berbeda-beda.

Berbeda dengan Bangunan Suci Pengiring I dan Bangunan Suci Pengiring II, Bangunan Suci

Utama mempunyai arah hadap yang paling berbeda, yaitu menghadap ke Timur. Hal ini

disebabkan karena dewa utama pada kelenteng ini merupakan Dewi Laut. Oleh karena itu,

Bangunan Vihara ..., Eunike Yuditha Kusumaningtyas, FIB UI, 2016

Page 15: Bangunan Vihara Buddhayana Dewi Kwan Im Burung Mandi di

untuk menghormati dewa ini, bangunan tersebut menghadap ke arah Timur, karena arah

hadap ini menghadap langsung ke arah laut.

Tabel 1. Orientasi Bangunan Pada Kompleks Vihara Buddhayana Burung Mandi

Pengamatan di lapangan menunjukkan ketiga bangunan pada Kompleks Vihara

Buddhayana Dewi Kwan Im Burung Mandi memiliki orientasi arah hadap masing-masing.

Dewi Kwan Im merupakan dewa utama bagi Vihara Buddhayana Dewi Kwan Im Burung

Mandi. Secara keseluruhan, Kompleks Vihara Buddhayana Dewi Kwan Im Burung Mandi

menghadap ke arah Timur Laut. Jika ditarik garis lurus, secara keseluruhan kelenteng ini

menghadap ke arah menghadap ke Pulau Putuo Shan sebagai tempat suci bagi Dewi Kwan Im

di daratan Cina (lihat gambar 5). Di tengah pulau ini terdapat sebuah bukit yang merupakan

tempat tertinggi dari Pulau tersebut, yang disebut dengan Foding atau Puncak Buddha. Pada

tahun 916, seorang pendeta Buddha, Hui E, mendirikan kuil Buddha di situ.

BANGUNAN DEWA TEMPAT SUCI

Bangunan Suci Utama Dewi Kwan Im Putuo Shan Dewa Kwan Kong Gunung Yiquan Shan Milefo / Maitreya Zhejiang

Bangunan Suci Pengiring I Dewa Guru Padmasanbhava Danau Davakosa Milefo / Maitreya Zhejiang

Bangunan Suci Pengiring II Dewi Kwan Im Putuo Shan Dewa Guo Hongfu Quanzhou

Tabel 2. Tempat Suci Dewa-Dewa pada Vihara Buddhayana Burung Mandi

BANGUNAN   DEWA   ORIENTASI  

Bangunan  Suci  Utama  Dewi  Kwan  Im  

Timur,  menghadap  ke  laut  Dewa  Kwan  Kong  Milefo  

Bangunan  Suci  Pengiring  I  Dewa  Guru  Padmasanbhava  

Timur  Laut  Maitreya  

Bangunan  Suci  Pengiring  II  Dewi  Kwan  Im  

Timur  Laut  Dewa  Guo  Hongfu  

Bangunan Vihara ..., Eunike Yuditha Kusumaningtyas, FIB UI, 2016

Page 16: Bangunan Vihara Buddhayana Dewi Kwan Im Burung Mandi di

Keterangan:

1 : Bangunan Suci Utama (orientasi 80° Timur) 2 : Bangunan Suci Pengiring I (orientasi 25° Timur Laut) 3 : Bangunan Suci Pengiring II (orientasi 33° Timur Laut)

Gambar 5.

Arah Hadap Vihara Buddhayana Burung Mandi terhadap Tempat Suci Dewi Kwan Im

Penerapan Tata Letak Vihara Berdasarkan Kepercayaan Masyarakat Cina, Ilmu Feng Shui, Kepercayaan Agama Buddha (Astadikpalaka), dan Keletakan Adanya Batu Besar

Vihara Buddhayana Dewi Kwan Im Burung Mandi didirikan oleh masyarakat Cina

yang berperan sebagai pendatang di Pulau Belitung. Vihara ini digunakan sebagai tempat

ibadah bagi Tridharma atau San Jiao, yang terdiri dari Konfusianisme, Taoisme, dan

Buddhisme. Selain memiliki unsur-unsur Cina dalam pembuatan bangunannya, yaitu

berdasarkan kepercayaan masyarakat Cina dan Ilmu Feng Shui, Vihara ini juga memiliki

unsur-unsur Buddhist di dalamnya, seperti keberadaan Dewa Buddha dan keletakan serta arah

hadap Bangunan Suci Utama berdasarkan Astadikpalaka.

Pulau Belitung

Bangunan Vihara ..., Eunike Yuditha Kusumaningtyas, FIB UI, 2016

Page 17: Bangunan Vihara Buddhayana Dewi Kwan Im Burung Mandi di

a. Penerapan Tata Letak Vihara Berdasarkan Kepercayaan Masyarakat Cina

Berdasarkan tata urutan pemujaan, diketahui terdapat pola yang memperlihatkan

adanya hierarki dewa-dewa. Dewa yang dipuja pertama kali dan seterusnya menunjukkan

tingkatan dewa-dewa tersebut dimulai dari tingkat dewa yang dianggap paling tinggi.

Disamping itu ada kecenderungan untuk memuja dewa yang berada di sebelah kiri dewa

utama terlebih dahulu. Setelah memuja Dewa Kwan Kong, dilanjutkan dengan memuja Dewi

Kwan Im yang digambarkan dengan berbagai perwujudan. Demikian pula setelah memuja

Dewa-Dewa Buddha pada Bangunan Suci Pengiring I dilanjutkan dengan memuja Dewi

Kwan Im dan Dewa Guo Hongfu pada Bangunan Suci Pengiring II.

Kedudukan kiri-kanan dewa-dewa ini juga disesuaikan dengan orientasi bangunan

kelenteng. Hal ini menunjukkan perhatian besar kebudayaan Cina terhadap pembagian kiri

dan kanan. Menurut Marcel Granet dalam tulisannya yang berjudul Right and Left in China

(1973) menjelaskan bahwa di dalam kebudayaan Cina, sisi kiri dianggap memiliki

kehormatan yang lebih tinggi dibandingkan sisi kanan. Pembagian sisi kiri dan kanan ini

terkait dengan klasifikasi “yin” dan “yang” sebagai dasar berpikir orang-orang Cina dalam

menghadapi fenomena alam. “Yang” diyakini sebagai prinsip dasar untuk laki-laki, matahari,

arah selatan, terang (siang), dan segala hal yang termasuk sifat aktif. Sementara “yin” adalah

posisi kanan yang merupakan simbolisasi dari prinsip-prinsip untuk wanita, bulan, arah utara,

dingin, gelap (malam), serta segala yang bersifat pasif. Menurut kebudayaan Cina, membeda-

bedakan segala sesuatu atas kiri dan kanan merupakan suatu kewajiban (Granet, 1973: 45).

Mengacu pada prinsip tersebut, dewa-dewa yang menduduki sisi kiri dapat dianggap

sebagai dewa yang lebih tinggi kedudukannya dibandingkan dengan dewa lainnya.

Kedudukan kiri-kanan tersebut dilihat dari posisi sang dewa. Pada kelenteng ini, terlihat

bahwa Bangunan Suci Utama berada pada bagian sebelah kanan kelenteng. Semakin ke

bagian kiri kompleks, bangunan-bangunan yang berdiri di daerah itu bukan bangunan yang

sakral. Sebaliknya, semakin ke bagian kanan kompleks, bangunan yang didirikan semakin

bersifat sakral dan merupakan elemen yang penting bagi sebuah kelenteng.

Akan tetapi, pada Bangunan Suci Utama, terlihat bahwa Dewa-Dewi yang ada pada

bangunan tersebut tidak diletakkan menurut kepercayaan masyarakat Cina mengenai kiri dan

kanan. Dewi Kwan Im sebagai dewi utama pada kelenteng ini berada pada altar bagian

tengah. Setelah memuja Dewi Kwan Im, dilanjutkan dengan memuja Dewa Kwan Kong yang

berada pada altar sebelah kiri. Setelah itu dilanjutkan dengan pemujaan terhadap Dewi Kwan

Im dengan berbagai macam wujud. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa kelenteng ini

Bangunan Vihara ..., Eunike Yuditha Kusumaningtyas, FIB UI, 2016

Page 18: Bangunan Vihara Buddhayana Dewi Kwan Im Burung Mandi di

tidak sepenuhnya mengikuti aturan kiri-kanan yang dipercaya oleh masyarakat Cina pada

umumnya.

b. Penerapan Tata Letak Vihara Berdasarkan Ilmu Feng Shui

Tebing yang tinggi dan lembah yang curam berbahaya untuk sebuah bangunan.

Apabila bangunan berada di pinggir tebing atau di dekat jurang, bangunan dilarang dibuat

penuh sampai ke bibir jurang, tetapi harus menjauh dari bibir jurang. Sisa lahan dapat

difungsikan sebagai taman. Taman ini harus berisi pohon atau tanaman yang besar agar

akarnya dapat menahan erosi (Dian, 1999: 124). Vihara Buddhayana Burung Mandi didirikan

di dekat tebing, tetapi di belakangnya terdapat pohon-pohon besar dan sebuah taman. Vihara

ini juga didirikan di atas tanah yang pada bagian belakang lebih tinggi. Keadaan tanah seperti

ini baik sekali. Keadaan tanah ini disebut dengan formasi “bersandar pada gunung”. Logika

dari keadaan tanah ini, yaitu supaya dapat leluasa mengamati kondisi dan keadaan di depan

bangunan (Dian, 1999: 70-76).

Menurut Feng Shui, semakin tinggi letak bangunan atau ruangan pada suatu

kelenteng, maka bangunan itu semakin memiliki kehormatan yang lebih tinggi (Schniz, 1996:

418). Dapat dilihat bahwa Bangunan Suci Utama pada Vihara Buddhayana Dewi Kwan Im

Burung Mandi didirikan di tempat yang lebih tinggi, dan pada bangunan ini terdapat dewa

utama (lihat tabel 3). Bangunan Suci Pengiring I memiliki ketinggian yang lebih rendah dari

Bangunan Suci Utama, namun memiliki ketinggian yang lebih tinggi dari Bangunan Suci

Pengiring II. Bangunan Suci Pengiring I berisi Dewi Kwan Im dan Dewa Kepercayaan

Rakyat. Bangunan Suci Pengiring II merupakan bangunan yang memiliki ketinggian lebih

rendah dari Bangunan Suci Utama maupun Bangunan Suci Pengiring I. Bangunan Suci

Pengiring II berisi Dewa-Dewa Buddha.

BANGUNAN KETINGGIAN TANAH Bangunan Suci Utama ± 153 mdpl Bangunan Suci Pengiring I ± 150 mdpl Bangunan Suci Pengiring II ± 148 mdpl

Tabel 3. Ketinggian Bangunan-Bangunan Suci pada Kompleks Vihara Buddhayana Burung Mandi

Selain berada di tempat yang lebih tinggi, Bangunan Suci Utama sebagai bangunan

yang paling penting pada kompleks Vihara ini mempunyai arah hadap ke arah laut. Menurut

Bangunan Vihara ..., Eunike Yuditha Kusumaningtyas, FIB UI, 2016

Page 19: Bangunan Vihara Buddhayana Dewi Kwan Im Burung Mandi di

Feng Shui, arah hadap kelenteng yang baik adalah arah yang menghadap ke sumber air

(Schniz, 1996: 36). Dilihat dari keletakan Vihara ini, arah laut sebagai sumber air yang paling

dekat yaitu menghadap ke arah Timur. Sehingga dapat dikatakan bahwa arah hadap Bangunan

Suci Utama menghadap ke arah timur karena keberadaan laut terdekat sebagai sumber air

berada di sebelah timur Kelenteng.

c. Penerapan Tata Letak Vihara Berdasarkan Kepercayaan Agama Buddha

(Astadikpalaka)

Sama halnya dengan ilmu Feng Shui, bahwa posisi bagian Tenggara merupakan posisi

yang baik. Di dalam Astadikpalaka, bagian Tenggara ditempati oleh Dewa Agni, yang

merupakan Dewa Api. Selain menjadi penguasa api, tugas lain dari Dewa Agni adalah sebagai

utusan para dewa sekaligus pembawa korban yang ditawarkan oleh manusia untuk para dewa.

Agni merupakan salah satu dewa yang paling penting dalam kepercayaan Buddha, karena

penyembahan api merupakan salah satu kepercayaan tertua di dunia. Agni adalah dewa yang

mampu memberikan keabadian pada manusia serta mampu membersihkan dosa manusia

dengan api (National Heritage Board, 1995: 124). Dengan demikian, Vihara Buddhayana

Burung Mandi memiliki Bangunan Suci Utama yang terletak di sebelah Tenggara, karena

menurut agama Buddha, lokasi di sebelah Tenggara merupakan suatu lokasi yang ditempati

oleh dewa yang dapat mendatangkan kebaikan.

d. Penerapan Tata Letak Vihara Berdasarkan Adanya Keletakan Batu Besar

Vihara Buddhayana Dewi Kwan Im dengan kokoh tetap berdiri di atas permukaan

tanah yang tidak datar. Menurut masyarakat setempat, bangunan Vihara Buddhayana Burung

Mandi didirikan atas dasar keberadaan sebuah batu besar. Batu besar ini disakralkan sehingga

di tempat itu juga didirikan Vihara. Batu besar dalam kepercayaan Cina sangat erat kaitannya

dengan mitos tentang penciptaan manusia dalam mitologi Cina. Mitologi ini menceritakan

bahwa manusia yang keluar dari sebuah gua atau muncul dari sebongkah batu besar. Selain itu

sebongkah batu besar juga dipakai untuk penghormatan seekor naga. Naga merupakan hewan

yang paling disakralkan oleh masyarakat Cina. Dalam buku History of the Yuan Dinasty,

disebutkan bahwa pada tahun ke-27, seekor naga muncul di dekat Gunung Long di wilayah

Linxong, Propinsi Shandong. Naga itu membuat sebuah batu besar melayang di udara.

Selain itu, batu besar yang terdapat pada Vihara ini merupakan tempat bagi anak naga

yang pertama (Zheng Wang, 2013: 3-4), dan Bangunan Suci Utama diibaratkan sebagai naga

yang menduduki singgasana yang berada di punggung bagian bawah batu besar. Vihara ini

Bangunan Vihara ..., Eunike Yuditha Kusumaningtyas, FIB UI, 2016

Page 20: Bangunan Vihara Buddhayana Dewi Kwan Im Burung Mandi di

juga menghadap ke Gunung Long yang berada di Propinsi Shandong, bagian Timur negara

China, di dekat Propinsi Fujian. Vihara ini menghadap ke daerah tersebut untuk menghormati

batu besar tersebut.

Kesimpulan

Berdasarkan uraian yang telah disebutkan pada subbab sebelumnya, dapat

disimpulkan sebagai berikut:

Sesuai Tidak Sesuai

Letak Tempat Suci Dewa

Arah hadap 2 Bangunan Suci Pengiring terhadap tempat suci Dewi Kwan Im �

Arah hadap Bangunan Suci Utama ke arah laut sebagai penghormatan Dewi Kwan Im sebagai Dewa Utama �

Feng Shui

Letak Geografis � Arah hadap keseluruhan

kompleks � Bangunan Suci Utama

mengarah ke laut � Ketinggian tanah

terhadap tempat yang dianggap suci �

Kepercayaan Masyarakat Cina

Kepercayaan terhadap posisi kiri dan kanan

Pantheon Agama Buddha

Bangunan Suci Utama yang berorientasi ke Timur �

Letak Bangunan Suci Utama di sebelah Tenggara Kompleks �

Tabel 6. Kesesuaian Tata Letak dan Arah Hadap Bangunan pada Kompleks Buddhayana Burung Mandi terhadap Letak Asal Tempat Suci Dewa Utama, Kepercayaan Masyarakat Cina, Feng Shui, dan Kepercayaan Agama Buddha

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa tata letak pembangunan Kelenteng ini

bukan hanya dipengaruhi oleh Feng Shui saja, tetapi juga dipengaruhi oleh kondisi geografis,

tempat suci Dewi Kwan Im, bahkan juga dipengaruhi oleh unsur-unsur Buddha.

Daftar Referensi

Abdullah, Husnial Husin.

Bangunan Vihara ..., Eunike Yuditha Kusumaningtyas, FIB UI, 2016

Page 21: Bangunan Vihara Buddhayana Dewi Kwan Im Burung Mandi di

1983 Sejarah Perjuangan Kemerdekaan RI di Bangka Belitung. Jakarta: PT Karya Unipress.

Departemen Pendidikan Nasional.

2000 Kelenteng Kuno di DKI Jakarta dan Jawa Barat. Jakarta: Proyek Pembinaan Peninggalan Sejarah dan Kepurbakalaan Pusat.

Dian, Mas.

1999 Fengshui Interior. Jakarta: PT Elex Media Komputindo. Hanjaya, Windy. 2006 Sekilas Sejarah Vihara Buddhayana Dewi Kwan Yin Burung Mandi. Belitung:

Yayasan Vihara Dewi Kwan Yin Pulau Belitung. Koentjaraningrat.

1987 Pengantar Antropologi. Jakarta: Aksara Baru. Mutakin, Hidayat Zenal. 1993 Masyarakat dan Kebudayaan Cina Indonesia. Bandung: Penerbit PT Tarsito. National Heritage Board.

1995 The Legacy of Majapahit. Singapore: National Museum (Singapore).

Nio, Joe Lan. 1961 Peradaban Tionghoa Selajang Pandang. Jakarta: Keng Po.

Peeters, Hermes.

1941 The Religions of China: Confucianism, Taoism, Buddhism, Popular Belief. California: College of Chinese Studies.

Poesponegoro, Marwati Djoened dan Nugroho Notosusanto.

1993 Sejarah Nasional Indonesia vol. II. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Schniz, Alfred.

1996 The Magic Square Cities in Ancient China. Sungnam: Daehan Printing & Publishing Co.

Sedyawati, Edi, Ingrid H. E. Pojoh, dan Supraatikno Rahardjo.

1990 MONUMEN: Karya Persembahan untuk Prof. DR. R. Soekmono. Depok: Fakultas Sastra Universitas Indonesia.

Sharer, Robert J., dan Wendy Ashmore.

1979 Fundamentals of Archaeology. United States: Benjamin Cummings Publishing Company.

2003 Archaeology: Discovering Our Past. New York: McGraw Hill Companies. Sukamto.

2015 Perjumpaan Antarpemeluk Agama di Nusantara: Masa Hindu-Buddha sampai sebelum masuknya Portugis. Yogyakarta: Deepublish.

Wang, Zheng.

2012 Never Forget National Humiliation: Historical Memory in Chinese Politics and Foreign Relations. New York: Columbia University Press.

Bangunan Vihara ..., Eunike Yuditha Kusumaningtyas, FIB UI, 2016