bahan blok 3.doc
TRANSCRIPT
catatan kecil
January 7, 2010
Humaniora
Filed under: Forensik,med papers — ningrum @ 5:45 am
PENDAHULUAN
Secara eksplisit Humaniora tercantum di dalam KIPD II (Dirjen Dikti,1994), dalam rangkaian Humaniora, Filsafat, Metodologi, Etik dan Hukum Kedokteran. Hal ini bertujuan untuk memberi landasan bagi pemahaman tentang ilmu dan profesi kedokteran. Akan tetapi tidak ada ketetapan lebih lanjut tentang arahan, tujuan, lingkup bahasan cabang ilmu, dan buku ajar sebagai rujukan. Hal-hal tersebut diserahkan kepada masing-masing Fakultas Kedokteran. (1)
Dalam KIPDI III, yang dikenal dengan Kurikulum Berbasis Kompetensi (Dirjen Dikti, 2005), kata humaniora tidak lagi secara eksplisit dicantumkan, tetapi terdapat 2 kompetensi yang berkaitan dengan etika, yakni 1) Kompetensi komunikasi, kemampuan berkomunikasi efektif secara etis, dan 2) Etika, moral, medikolegal, profesionalisme dan keselamatan pasien. (1)
Perubahan ini mencerminkan lebih difokuskannya humaniora kepada etik, yang antara keduanya bersinggungan, bahkan adanya bagian yang bertumpang tindih. (1)
Tulisan ini diharapkan dapat memberikan arti yang tepat dari humaniora, wilayah kajiannya, dan perlunya humaniora dalam pendidikan dan praktek kedokteran. (1)
Humaniora adalah cerita, ide dan kata-kata yang membantu kita merasakan kehidupan dan dunia kita. Humaniora mengenalkan kita pada orang-orang yang tidak pernah kita temui, tempat yang tidak pernah kita kunjungi, dan ide yang tidak pernah terlintas dalam benak kita. Dengan memperlihatkan bagaimana orang-orang lain hidup dan berpikir tentang kehidupan, humaniora membantu kita menentukan apa yang penting dalam kehidupan kita dan apa yang dapat kita lakukan untuk membuatnya lebih baik. (2)
DEFINISI
Secara umum, definisi humaniora adalah disiplin akademik yang mempelajari kondisi manusia, menggunakan metode yang terutama analitik, kritikal, atau spekulatif, sebagaimana dicirikan dari sebagian besar pendekatan empiris alami dan ilmu sosial. (3)
Contoh dari disiplin humaniora adalah bahasa kuno dan moderen, literatur, hukum, sejarah, filosofi, agama, dan seni visual dan drama (termasuk musik). Subyek-subyek tambahan yang terkadang masuk dalam humaniora adalah teknologi, antropologi, studi area, studi komunikasi, studi kultural, dan linguistik, meskipun cabang tersebut selalu dianggap sebagai ilmu sosial. (3)
BAHASA, PERISTILAHAN
Secara bahasa, kita mengenal istilah humaniora (Latin), humanities (Inggris), humanisme, humanitarian, humanitarianisme, humanis, yang semuanya berasal dari kata human, yang berarti mankind, manusia, makhluk dengan derajat tertinggi. Humaniora maupun humanitas, kedua-duanya dipergunakan dalam bahasa Latin/Yunani, misalnya dalam Literae Humanitates, atau Literae Humaniores. Oleh karena literatur Yunani/Latin adalah sumber utama dari pengetahuan, kebijaksanaan dan ekspresi, maka humanitas (Latin) berarti bahasa dan literatur (termasuk filsafat, sejarah, ilmu pidato, dan sastra), Yunani dan Romawi kuno. (1)
Sebagai gerakan, humaniora bangkit berbarengan dengan renaisans, sesudah ditemukannya kembali pustaka dan peradaban Yunani/Romawi kuno, yang membangkitkan minat kepada manusia, budaya, dan karyanya. (1)
Bahasa Indonesia, yang menerjemahkan kata-kata Inggris dengan suku kata akhir ty, misalnya university, faculty, dan lain-lain, dengan …tas, yang menjadi universitas dan fakultas, cenderung lebih menggunakan kata humaniora daripada humanitas. Hal ini menunjukkan bahwa humaniora bukan terjemahan dari humanity (Inggris), tetapi dari bahasa Latin humaniores. Selanjutnya dalam tulisan ini dipakai kata humaniora dan bukan humanitas. Sedang kata humanitas (kb) diartikan sebagai kodrat manusia atau perikemanusiaan (Fajri dan Senja). Perlu dicatat juga terdapat penggunaan kata humaniora sebagai padanan dari humanisme, misalnya oleh Riyadi DS, (2005). (1)
Humaniora dapat berarti : (1)
1. Studi tentang bahasa-bahasa dan sastra klasik Yunani dan Romawi2. Cabang pengetahuan yang mempelajari manusia dan budayanya, seperti filsafat,
sastra, dan seni; tidak termasuk di dalamnya ilmu (science) seperti biologi dan ilmu politik. Agama/kepercayaan kepada Tuhan, juga kemudian, sejak William Caxton (1422-1491) tidak dimasukkan dalam kajian humaniora (Morris, 1981; Encycl Brit 1973)
3. Dalam arti yang paling umum, humaniora adalah kualitas, perasaan dan kecenderungan, bukan saja deskriptif tetapi juga normatif. Dalam kaitan ini humaniora mempunyai konotasi perasaan dan perilaku manusia sebagai gentleman, orang yang berbudi luhur dan sifat-sifat luhur yang melekat dengannya. Humaniora juga mempunyai konotasi budaya intelektual. Humaniora dimaksudkan juga studi, pelatihan, proses yang menghasilkan kualifikasi tersebut. Istilah inhumanitas diartikan sebagai not civilized, tidak berbudaya, atau bar-bar.
Kata-kata yang berdekatan dengan humaniora, bahkan sering disama artikan, adalah sebagai berikut: (1)
Humanitarian (kata sifat) o Memfokuskan pada kebutuhan manusia dan menghilangkan/mengangkat
penderitaan manusia
o Berkaitan dengan pengabdian pada usaha-usaha kesejahteraan manusia dan dorongan untuk perubahan masyarakat (social reform) = phylantopist, filantropis
Humanitarianisme
o Pandangan, dasar-dasar, metoda dari humanitarian = filantropi
o Keyakinan, bahwa satu-satunya kewajiban moral manusia adalah bekerja untuk kesejahteraan kemanusiaan yang lebih baik (berdekatan dengan pengertian etik)
o Keyakinan bahwa kondisi manusia dapat mencapai kesempurnaan dengan upayanya sendiri, tanpa Tuhan
Humanisme
o Keadaan atau kondisi atau kualitas sebagai manusia, makhluk berderajat tinggi
o Filsafat atau sikap yang menaruh perhatian terhadap manusia, perhatian dan pencapaiannya
o Studi humaniora; ajaran tentang kesopanan dan budaya
o Gerakan/budaya dan intelektual yang terjadi pada masa renaisans
Humanis
o Orang yang mengkaji humaniora, terutama mahasiswa tentang masalah-masalah klasik
o Orang yang menaruh perhatian kepada kajian tentang upaya dan kemampuan/pencapaian manusia
o Pengkaji/mahasiswa tentang renaisans, atau pengikut dari paham humanisme
Humanistik (ks)
Berhubungan dengan humanisme atau humaniora
Dari uraian diatas, istilah Indonesia yang merupakan serapan dari bahasa Arab, yang dapat mewadahi humaniora ialah adab. Dalam ilmu al adab terkandung ilmu sastra, sejarah sastra, ilmu kritik sastra, filologi. Adab juga berarti budaya yang baik. Tidak beradab berarti tidak berbudaya, tidak berperilaku baik, sebagaimana Cicero (filsuf Yunani) mengartikan inhumanitas dengan barbar. (1)
Adab dapat berarti antara lain discipline of mind and manners, and of conduct or behaviour (Huges, 2004). Karya al Makdisi (2005), dapat lebih memastikan bahwa ilmu adab adalah Humaniora. (1)
SEJARAH HUMANIORA
Di dunia Barat, studi humaniora dapat dilacak hingga ke Yunani Kuno, sebagai basis pendidikan yang besar bagi masyarakat. Selama masa Romawi, konsep tujuh seni liberal
bertingkat, termasuk grammar, retorika dan logika (trivium), bersama dengan aritmatika, geometri, astronomi dan musik (quadrivium). Subjek-subjek ini membentuk curahan pendidikan pertengahan, dengan penekanan pada humaniora sebagai keterampilan atau “cara melakukan sesuatu”. (3)
Sebuah pergeseran utama selama masa Renaissance, ketika humaniora mulai dihargai sebagai subyek untuk lebih dipelajari daripada dipraktekkan, dengan penyesuaian bergeser dari bidang tradisional kepada area seperti literatur dan sejarah. Pada abad ke 20, pandangan ini ditantang oleh pergerakan paska-modernisasi, yang dicari untuk menggambarkan kembali humaniora dalam istilah yang lebih menganut persamaan untuk masyarakat demokratis. (3)
BIDANG-BIDANG HUMANIORA
Sebagai sebuah bidang studi, humaniora menekankan pada analisa dan pertukaran ide-ide dibandingkan ekspresi kreatif seni atau penjelasan kuantitatif ilmu pengetahuan. (2)
1. Sejarah, Antropologi, dan Arkeologi mempelajari perkembangan sosial, politik dan budaya manusia. (2)
2. Literatur, Bahasa dan Linguistik mempelajari bagaimana kita berkomunikasi satu sama lain, dan bagaimana ide dan pengalaman kita akan pengalaman kemanusiaan diekspresikan dan diinterpretasikan. (2)
3. Filosofi, Etika, dan Perbandingan Agama mempertimbangkan ide tentang makna hidup dan alasan bagi pemikiran dan tindakan kita. (2)
4. Yurisprudensi menguji nilai-nilai dan prinsip-prinsip yang menginformasikan hukum kita. (2)
5. Pendekatan Historis, Kritis, dan Teoritis terhadap Seni merefleksikan dan menganalisa proses kreatif. (2)
Pembagian bidang humaniora (3)
Sastra Klasik Sejarah
Bahasa
Hukum
Literatur
Seni Drama
o Musik
o Teater
o Dansa
o Filosofi
o Agama
o Seni visual
Melukis
HUMANIORA DAN ETIKA
Bila humaniora memusatkan perhatian kepada manusia, etika sebagai ilmu merupakan bagian dari filsafat yang mempelajari nilai baik-buruk, benar-salah, pantas-tidak pantas dalam kehidupan manusia dalam berinteraksi dengan manusia dan lingkungannya (Hariadi, 2005). Tampak ada bidang tumpang tindih antara humaniora dan etika. Humanisme atau humanitarianisme dapat berarti juga etika, yakni faham, ajaran, bahwa satu-satunya kewajiban moral manusia adalah bekerja untuk kebaikan, perbaikan dan kesejahteraan manusia (Moris (ed), 1981). (1)
HUMANIORA DAN AGAMA
Semula humaniora mencakup didalamnya juga agama/kepercayaan, tetapi kemudian, sejak William Caxton (1422-1491) (Encycl Britt, 1973) agama dipisahkan dari humaniora mempercayai adanya kekuatan supranatural merupakan naluri manusia. Nilai-nilai agama diturunkan kepada manusia melalui wahyu, yang dibawakan oleh utusanNya. Nilai-nilai religius seharusnya merupakan nilai-nilai yang paling dasar dari segala tata nilai dan karena itu ada titik temu dengan nilia-nilai budaya yang dikembangkan manusia (Muljohardjono,2004). (1)
Penguasaan ilmu dan pengembangan teknologi adalah upaya pemenuhan kebutuhan manusia. Untuk menjaga tercapainya tujuan tersebut, perlu hal tersebut dijaga, dikoridori oleh nilai-nilai budaya, dan nilai-nilai agama. Para agamawan/ruhaniawan tidak seharusnya terpaku pada kaidah-kaidah klasik dan baku, dalam mengantar, mengawal, perkembangan ilmu dan teknologi agar benar-benar bermanfaat bagi manusia. Agama (Islam) membuka pintu kajian-kajian terhadap rancangan, hasil, dan pemanfaatan dari pengembangan iptek. Pintu tersebut adalah ijtihad. Dengan persyaratan-persyaratan tertentu agamawan/ruhaniawan dapat mengkaji masalah-masalah kemajuan iptek, dan menghasilkan fatwa-fatwa kontemporer yang menjadi dasar yang dapat dipertanggungjawabkan bagi pemanfaatan hasil pengembangan serta rancangan pengembangan selanjutnya. (1)
HUMANIORA DAN PENGEMBANGAN ILMU DAN TEKNOLOGI
Penguasaan dan pengembangan ilmu dan teknologi adalah amanat kemanusiaan, oleh karena itu harus memberi manfaat bagi kesejahteraan manusia. Humaniora membawa nilai-nilai budaya manusia. Nilai-nilai tersebut adalah universal. Tanpa humaniora pengembangan ilmu dan teknologi tidak lagi bermanfaat bagi manusia. Pengembangan/ perkembangan yang banyak disusupi nilai-nilai bisnis menimbulkan hedonisme yang bermula di masyarakat bisnis, yang berlanjut pada umunya. (1)
HUMANIORA DAN ILMU KEDOKTERAN
Lebih khusus dalam kaitan dengan pengembangan ilmu dan teknologi, ialah Iptek Kedokteran. Kedokteran adalah ilmu yang paling manusiawi, seni yang paling indah, dan humaniora yang paling ilmiah (Pellegrino, 1970). (1)
Clauser (1990) berpendapat bahwa mempelajari humaniora – sastra, filsafat, sejarah – dapat meningkatkan kualitas pikir (qualities of mind) yang diperlukan dalam ilmu kedokteran. Kualitas pikir tidak lagi terfokus pada hal-hal hafalan, materi baku, konsep mati, tetapi ditingkatkan dalam hal kemampuan kritik, perspektif yang lentur, tidak terpaku pada dogma, dan penggalian nilai-nilai yang berlaku didalam ilmu kedokteran. Menurunnya studi kedokteran cenderung memfokuskan mindset pada ujian, diskusi yang monoton tentang pasien, hasil laboratorium, insiden, banyak pasien, dan lain-lain. Humaniora membebaskan kita dari terkunci dalam satu mindset. Kita perlu kelenturan dalam mengubah perspektif, dan mengubah interpretasi bila diperlukan. Dengan sastra, seseorang (mahasiswa kedokteran) dapat mengembangkan empati dan toleransi, mencoba menempatkan diri dalam gaya hidup, imaginasi, keyakinan yang berbeda. (1)
Ilmu kedokteran, selain ilmu-ilmu dasar, adalah juga profesi. Pengembangan profesi cenderung mengkotak-kotakkan pada bidang spesialisasi. Seorang spesialis cenderung memahami hanya bidang spesialisasinya saja. Tuntutan efektif-efisien, perhitungan cost-benefit cenderung menghapus nilai empati, kurang dapat menempatkan diri sebagai penderita. Hubungan dokter-pasien menjadi kurang manusiawi. Humaniora memperbaiki kondisi tersebut. (1)
Humaniora medis
Humaniora medis merupakan bidang interdisipliner medis dimana termasuk humaniora (literatur, filosofi, etika, sejarah dan bahasa), ilmu sosial (antropologi, studi budaya, psikologi, sosiologi), dan seni (literatur, teater, film dan seni visual) dan aplikasinya terhadap edukasi dan praktek medis. (4)
Humaniora dan seni memberikan pengertian yang dalam tentang kondisi manusia, penderitaan, kemanusiaan dan tanggung jawab kita satu sama lain, dan menawarkan perspektif sejarah dalam praktek medis. Perhatian terhadap literatur dan seni membantu dalam membangun dan memelihara kemampuan observasi, analisis, empati dan refleksi-diri – kemampuan yang penting bagi pengobatan medis manusia. Ilmu sosial membantu kita memahami bagaimana biologi dan medis menempatkan diri dalam konteks sosial dan budaya dan juga bagaimana budaya berinteraksi dengan pengalaman individual akan kesakitan dan cara ilmu medis dipraktekkan. (4)
KESIMPULAN
1. Secara umum, definisi humaniora adalah disiplin akademik yang mempelajari kondisi manusia, menggunakan metode yang terutama analitik, kritikal, atau spekulatif, sebagaimana dicirikan dari sebagian besar pendekatan empiris alami dan ilmu sosial.
2. Humaniora terdiri atas unsur-unsur seni, etika, kearifan, nilai-nilai kejujuran, kebenaran, kelembutan, memanusiakan manusia, menyingkirkan beban dari dan berbuat baik bagi manusia. Tanpa nilai-nilai tersebut, manusia atau perilakunya dapat dikategorikan tidak human, tidak manusiawi, tidak berbudaya atau barbar.
3. Pengembangan ilmu dan teknologi adalah amanat kemanusiaan, untuk kesejahteraan manusia. Oleh karena itu perlu dipandu oleh nilai-nilai humaniora, agar terjamin kemanfaatannya untuk manusia.
4. Agama seharusnya merupakan nilai yang paling azasi dari seluruh nilai-nilai humaniora. Nilai-nilai agama diharapkan dapat dikembangkan oleh
agamawan/ruhaniawan untuk memandu pengembangan ilmu/teknologi dan penerapannya.
5. Ilmu kedokteran adalah ilmu yang sarat dengan nilai-nilai, namun hal ini sering dilupakan. Oleh karena itu humaniora perlu diberikan untuk membuat profesi medik lebih sensitif terhadap adanya nilai-nilai tersebut dan pengetrapannya dalam praktek.
6. Humaniora diharapkan dapat meningkatkan kualitas berfikir, yang ditengarai sebagai sifat kritis, lentur dalam perspektif, tidak terpaku pada dogma, tanggap terhadap nilai-nilai, dan sifat empati.
http://ningrumwahyuni.wordpress.com/2010/01/07/humaniora/
Humaniora dalam Kedokteran
Aplikasi nilai-nilai humaniora dalam bidang ilmu kedokteran dan kesehatan
Feeds:PosKomentar
Humaniora Kesehatan
Juni 7, 2008 oleh shulhanamokhtar
Tulisan ini merupakan Bahan Ajar untuk mahasiswa Fakultas Kedokteran UMI, Makassar Angk.2007
HUMANIORA KESEHATAN
I. PENDAHULUAN
A. Deskripsi
Humaniora merupakan suatu ilmu pengetahuan yang mempelajari segala hal
yang diciptakan atau menjadi perhatian manusia baik itu ilmu filsafat, hukum, sejarah,
bahasa, teologi, sastra, seni dan lain sebagainya. Atau makna intrinsik nilai-nilai
kemanusiaan (Kamus Umum Bahasa Indonesia). Dalam bahasa Latin, humaniora
artinya manusiawi.
Menurut Martiatmodjo, BS dalam “Catatan Kecil tentang Humaniora”
dikatakan sebagai Ilmu Budaya Dasar yang merupakan mata kuliah wajib di Perguruan
Tinggi dan merupakan juga terjemahan dari istilah Basic Humanities atau pendidikan
humaniora. Humaniora ini menyajikan bahan pendidikan yang mencerminkan
keutuhan manusia dan membantu agar manusia menjadi lebih manusiawi. Martiatmodjo
menegaskan bahwa perlunya humaniora bagi pendidik berarti menempatkan manusia di
tengah-tengah proses pendidikan.
B. Manfaat/Relevansi
Lantas, apa relevansinya mempelajari humaniora bagi seorang dokter? Dokter
adalah salah satu profesi yang berhubungan langsung dengan manusia sebagai lawan
interaksinya. Karena itu seorang dokter harus mengetahui segala hal yang berkaitan
dengan manusia, baik sebagai individu maupun sebagai makhluk sosial. Salah satunya
dengan pengetahuan humaniora ini.
Sebetulnya, pengetahuan ini haruslah terintegrasi ke dalam seluruh kurikulum
kedokteran (demikian juga semua pokok bahasan yang ada dalam blok ini harus
diintegrasikan ke dalam tiap-tiap blok). Karena yang kita harapkan adalah lahirnya
dokter-dokter yang tidak saja kompeten dalam keilmuannya, tapi juga memiliki perilaku
yang manusiawi, memperlakukan pasiennya seperti dirinya ingin diperlakukan. Tentu
saja perilaku tersebut tidak akan muncul tanpa adanya pengetahuan tentang apa dan
bagaimana sebetulnya sifat yang manusiawi itu.
Agar Anda dapat memahami dan selanjutnya dapat menerapkan prinsip-
prinsip yang terkandung dalam humaniora, maka Anda diperkenalkan dengan
pengetahuan ini. Tentu, pengetahuan ini sendiri belumlah cukup untuk mencapai apa
yang kita harapkan, tapi harus dipadukan dengan pengetahuan-pengetahuan lain yang
akan dipelajari di dalam blok ini.
C. Tujuan Instruksional Khusus
Mahasiswa mampu menerapkan prinsip-prinsip humaniora dalam Ilmu
Kedokteran dan Kesehatan
II. PENYAJIAN
Apakah Anda pernah berpikir, ingin jadi dokter seperti apakah Anda kelak?
Sudahkah Anda memiliki bayangan dokter ideal itu seperti apa? Mungkin, Anda merasa
tertarik melihat dokter yang mempunyai kedudukan yang terhormat dalam masyarakat.
Atau mungkin juga Anda takjub melihat banyak dokter yang sejahtera dari segi
finansial, segala apa yang menjadi standar kemewahan melekat pada mereka. Atau
Anda bangga melihat dokter mampu mempengaruhi jalan hidup seseorang,
menyelamatkan nyawa orang-orang di dekat Anda, memberi sentuhan keajaiban dalam
takdir kehidupan orang lain.
Apapun yang ada dalam bayangan Anda, profesi dokter memiliki sejarah
perjalanan yang lengkap. Pengetahuan humaniora ini berusaha memberi gambaran pada
kita bagaimana menjadi seorang dokter yang sejatinya ideal, dokter yang manusiawi,
yang berperilaku/berakhlak baik, berkepribadian profesional. Untuk mendapatkan hasil
di hilir yang baik, tentu kondisi di hulu sudah harus dipersiapkan sebelumnya. Karena
itu disajikan pengetahuan mengenai humaniora yang diharapkan dapat memberikan
kontribusi untuk dapat memahami lebih baik tentang makna kehidupan Anda sebagai
seorang dokter.
Mungkin saja terdapat anggapan bahwa masalah perilaku/akhlak baik dan sifat
belas kasih merupakan bawaan atau sifat lahiriah seseorang, bahkan ia adalah watak
alami yang melekat pada seseorang sejak dia dilahirkan, dan berkembang sesuai
pengaruh lingkungannya. Menganggap sifat belas kasih atau compassion bukanlah
sesuatu yang dapat dipelajari, tetapi suatu materi yang akan berpindah secara alami –
melalui proses yang panjang- dari satu manusia ke manusia lain. Tapi bila kita kembali
kepada jati diri sebagai manusia yang penuh dengan kekurangan, maka kita tahu bahwa
banyak hal yang harus kita pelajari, cermati, hayati dan amalkan dalam hidup ini,
apalagi bila dikaitkan dengan jati diri kita sebagai seorang muslim. Dalam agama Islam
diajarkan mengenai akhlak secara lengkap dan terperinci. Bedanya, konsep akhlak
adalah konsep akhirat, jadi berimplikasi tidak hanya di dunia ini saja. Sedangkan,
konsep humaniora yang akan kita bahas adalah konsep dunia, khususnya dunia medis
jadi implikasinya jelas di dunia medis juga. Namun, sebagai seorang muslim kita tentu
percaya bahwa semua aspek kehidupan kita di dunia ini pada akhirnya akan berdampak
juga di akhirat kelak.
Sebetulnya, dalam kurikulum kita dikenal pendidikan ilmu budaya dasar yang
menurut Martiatmodjo merupakan juga terjemahan dari istilah Basic Humanities atau
pendidikan humaniora. Hanya saja penyajiannya jarang dikaitkan dengan kehidupan
kita kelak sebagai seorang dokter, jadi pengetahuan tersebut mengawang-awang, sangat
idealis, sehingga mahasiswa sulit menerapkannya dalam realitas kedokteran yang
terkenal praktis. Padahal bagi komunitas medis, apa saja yang disentuhkan pada
kulitnya melalui kata medis, akan mudah melekat karena ada sekian banyak reseptor
yang sensitif dengan kata tersebut pada kulitnya. Karena itu dibutuhkan pengetahuan
yang lebih integratif agar kita menjadi paham arah dan tujuan pembelajaran kita.
Pengetahuan tentang humaniora sangat luas. Tapi bahasan kita dalam kuliah
ini terbatas pada bidang kehidupan kita sebagai dokter. Pengetahuan ini harus dapat
diterapkan di segala bidang kehidupan Anda kelak sebagai dokter. Bidang yang
dimaksud antara lain:
Praktek kedokteran Pelayanan kesehatan
Pendidikan kedokteran
Penelitian
Berbicara tentang humaniora, berarti berbicara tentang beberapa aspek yang
memiliki pengertian yang saling berkaitan, di antaranya mengenai humanisme, etika,
kebudayaan dan perilaku. Humaniora memberikan wadah bagi lahirnya makna intrinsik
nilai-nilai humanisme. Humanisme sendiri adalah aliran yang bertujuan menghidupkan
rasa perikemanusiaan/mencita-citakan pergaulan yang lebih baik. Ada juga yang
berpendapat humanisme sebagai sikap/tingkah laku mengenai perhatian manusia
dengan menekankan pada rasa belas kasih serta martabat individu.
Pengertian etika yang dipahami lebih luas di kalangan medis selama ini selalu
menjadi jargon seorang dokter. Etika kedokteran dalam kamus kedokteran Stedman
dirumuskan sebagai principles of correct professional conduct with regard to the rights
of the physician himself, his patients, and his fellow practitioners. Dengan kata lain
etika dalam kedokteran merupakan prinsip-prinsip mengenai tingkah laku profesional
yang tepat berkaitan dengan hak dirinya sebagai dokter, hak pasiennya, dan hak teman
sejawatnya.
Bila dikaitkan dengan kebudayaan, maka seperti yang telah disebutkan
sebelumnya, dokter adalah suatu profesi yang berhubungan langsung dengan manusia
sebagai lawan interaksinya dalam konteks makhluk yang sama berbudaya. Karena itu
seorang dokter harus mengetahui segala hal yang berkaitan dengan manusia, baik
sebagai individu maupun sebagai makhluk sosial. Untuk membangun nilai-nilai sosial
itu agar tetap menjadi landasan bagi setiap dokter -terutama sebagai dokter muslim-
dalam menjalani kehidupan profesinya yang luas, maka disinilah pengetahuan
kebudayaan menjadi konsep dasar dalam membangun jati diri sebagai petugas layanan
kesehatan.
Sehubungan dengan itu, penggunaan konsep perilaku di sini berada dalam
pengertian ketunggalannya dengan konsep kebudayaan. Perilaku seseorang, sedikit atau
banyak, terkait dengan pengetahuan, nilai dan norma dalam lingkungan-lingkungan
sosialnya, demikian juga halnya dengan seorang dokter. Untuk proses hulu, lingkungan
pendidikan yang baik tentu akan mengantar seseorang untuk berperilaku yang baik
pula.
Ilmu kedokteran khususnya kedokteran umum yang menangani manusia jelas
sangat paralel dengan pengetahuan budaya yang berkaitan dengan hasil kesadaran
manusia. Segala penalaran dokter sebagai manusia akan sama dengan penalaran budi
manusia. Ilmu kedokteran yang selalu memikirkan jasmani dan rohani manusia akan
selalu dituntut oleh keadaan lingkungan masyarakat. Salah pikir dari seorang dokter
berarti akan bertentangan dengan hati nurani manusia yang melekat dalam pribadi sang
dokter. Sebaliknya kesuksesan dokter akan selalu menjunjung tinggi dan mengangkat
nama harumnya karena segala kesuksesan itu tentu dilandasi oleh budi/pikiran manusia
secara sadar. Lantas, bagaimana kaitannya dengan humanisme?
Menurut Profesor U Mia Tu dari Myanmar dalam orasinya tentang humanisme
dan etika dalam berbagai bidang kedokteran, terminologi humanisme awalnya dikaitkan
dengan pergeseran filosofi dan budaya selama masa renaisans Eropa. Belakangan,
maknanya bergeser menjadi sebuah sikap yang berkenaan dengan perhatian manusia
pada sesamanya dengan menekankan pada ‘compassion’ -belas kasihan- dan martabat
individual.
Secara tidak langsung, humanisme menyatakan suatu penghargaan kepada
pasien sebagai seorang individu; menunjukkan belas kasih dan mengerti akan rasa takut
dan khawatir dalam diri pasiennya; menyatakan suatu komunikasi yang berarti kepada
pasien sebagai seseorang dan bukannya sebagai sebuah penyakit. Lebih lanjut dia
mengatakan, humanisme dalam kedokteran lebih dari sebuah etika. Lebih dari sekedar
menahan diri untuk tidak melakukan hal-hal yang merugikan fisik dan mental pasien
karena kelalaian diri. Lebih dari yang sekedar tertulis dalam sumpah Hippocrates.
Humanisme merupakan tindakan positif, seperti halnya belas kasihan yang bukan
sekedar perasaan prihatin kepada penderitaan orang lain tapi menolong dengan
memberi saran atau tindakan yang meringankan penderitaannya. Namun sungguh
mengejutkan karena definisi ‘belas kasihan’ tidak masuk dalam dua kamus utama
kedokteran – Dorland dan Stedman. Meskipun demikian, rasa belas kasih sama
pentingnya dengan pengetahuan ilmiah dan keterampilan pada seorang dokter yang
humanistik.
Situasi apa yang menyebabkan sehingga humanisme dan etika mengilhami
profesi kedokteran saat ini? Apa yang telah terjadi sehingga menyebabkan banyak
dokter-dokter senior menyuarakan keprihatinannya terhadap kondisi profesi kita?
Jika kita mengamati sejenak, akan disadari betapa kita telah jauh menyimpang
dari idealisme sebagai dokter. Fenomena ini telah mendunia dan juga telah menyebar ke
dalam negara kita. Bukan hanya praktek medis dan perawatan pasien yang menyimpang
dari idealisme sosial, bahkan konsep humanisme menjadi sesuatu yang asing dalam
pendidikan kedokteran dan dalam bidang penelitian kedokteran. Benar bahwa etika
kedokteran termasuk dalam kurikulum pada beberapa sekolah kedokteran, namun
diduga hal tersebut hanya sebagai metode resmi untuk menenangkan hati mereka.
Kenyataannya, dibutuhkan lebih dari sekedar memasukkan subjek etika kedokteran ke
dalam kurikulum agar lulusan kedokteran menjadikan humanisme dan perilaku etis
sebagai sifat kedua mereka.
Seorang dokter bernama Assi Ba’l mengemukakan kerisauannya tentang
profesi dokter saat ini. Menurutnya ada beberapa hal yang menyebabkan terjadinya
fenomena tersebut, antara lain:
Pemisahan antara jasad dan jiwa
Pemisahan antara pencegahan dan pengobatan
Penghambaan diri terhadap teknologi modern
Berlebihan dalam mengejar spesialisasi
Perbedaan dalam tingkat pelayanan kesehatan
Karena tuntutan akan kompetensi profesi yang semakin meningkat, dokter-
dokter berlomba dalam menyempurnakan sisi keilmuannya. Kegamangan menghadapi
masyarakat yang gemar menggugat, ketakutan melakukan malapraktek, peningkatan
kejahatan moral oleh praktisi medis, semua hal-hal tersebut menyebabkan para dokter
sangat fokus pada keahlian medis mereka. Mereka menjadi sangat perhatian dalam
menangani keluhan fisik pasien, yang penting pasien sembuh dari derita fisiknya.
Mereka tidak perlu repot-repot menangani jiwa pasien mereka, yang penting pasien itu
belum masuk kategori gila (silakan ke ahli jiwa kalau jiwa anda terganggu).
Untuk urusan pencegahan penyakit, diserahkan dengan hormat kepada teman-
teman mereka, ahli kesehatan masyarakat. ”Kami cukup mengobati mereka yang sakit.
Kalau ikut-ikutan dalam program pencegahan, bisa-bisa kita dituding mengambil lahan
kerja mereka”. Begitu barangkali yang ada dalam benak para dokter. Padahal sangat
jelas bahwa para dokter pun diharapkan partisipasi aktifnya dalam program pencegahan
penyakit, bahkan mulai pada tahap awal dari five level prevention, yaitu promosi
kesehatan.
Perkembangan teknologi dalam dunia kesehatan begitu menggila belakangan
ini. Seorang dokter tentu tidak mau ketinggalan dalam bidang teknologi atau akan
dicemoohkan oleh masyarakat -yang sudah semakin kritis- tentang jati dirinya sebagai
seorang profesional. Tidak ada istilah, dokter tidak mengerti tentang perkembangan
jaman, walaupun dokter itu baru saja kembali dari daerah terpencil yang harus
didiaminya selama dua-tiga tahun. Teknologi modern adalah suatu keharusan. Salah
satu hal yang dapat memfasilitasi kebutuhan itu adalah dengan bersekolah kembali, dan
yang menjadi prioritas tentunya pendidikan spesialisasi. Ikut pendidikan dokter
spesialis tentunya akan membuat para dokter akan terus-menerus berhubungan dengan
perkembangan teknologi karena pusat pendidikan berada di kota-kota besar. Tentu saja
kita tidak dapat menyalahkan dokter yang berniat meneruskan minatnya pada ilmu
tertentu. Ditopang oleh kecenderungan masyarakat yang selalu mengandalkan dokter
spesialis dan bertindak merujuk dirinya sendiri langsung kepada seorang ahli, serta
adanya jaminan income yang lebih menjanjikan, membuat mereka berlomba-lomba
meraih gelar tersebut.
Menurut Anda, apakah semua ini tidak cukup membuat seorang dokter merasa
terbebani sehingga punya waktu lagi untuk memikirkan perasaan pasiennya? Tidak
cukupkah dia dapat menghilangkan keluhan pasien-pasiennya dan meringankan derita
fisik mereka? Dan ada apa dengan orang-orang di sekelilingnya, toh mereka
mempunyai kehidupan masing-masing yang tidak memerlukan campur tangan batinnya,
selama dia tidak merugikan mereka. This is our own life, marilah kita jalani sendiri-
sendiri tanpa saling mengganggu. Kita sendiri yang akan mempertanggungjawabkan
kehidupan kita kelak. Ini betul. Tapi apakah memang semuanya harus berjalan
demikian? Betulkah semata-mata tangan dingin sang dokter saja yang dibutuhkan
dalam menyelesaikan masalah pasiennya? Mari kita lihat bagaimana humaniora
memandang kehidupan seorang dokter.
Humanisme dan etika dalam praktek kedokteran
Merawat orang sakit pada level fundamental berakar pada jiwa manusia dan
humanisme. Misalnya seorang ibu yang merawat anak atau bayinya yang sedang sakit,
kenalan/keluarga sekitarnya menawarkan bantuan berupa saran/nasihat dimanapun
diinginkan, sementara seorang wanita tua di antara para warga merespon permintaan
bantuan ibu tadi. Mereka semua tidak memiliki motif yang berkaitan dengan uang
dalam memberikan bantuan, tapi dilandasi atas dasar belas kasih.
Pada level yang berbeda, sejak jaman dahulu orang-orang suci, pendeta, tabib
dan dukun telah merawat orang-orang sakit karena adanya keyakinan bahwa penyakit
adalah manifestasi dari pengaruh iblis yang dilakukan dengan perantaraan tuhan atau
makhluk supernatural atau manusia lain. Motif mereka dalam menyembuhkan orang
sakit mungkin tidak sepenuhnya untuk kepentingan orang sakit tersebut karena mereka
memperoleh keuntungan dalam tatanan sosial atas bantuan tersebut, disamping adanya
kekuasaan dan otoritas yang diberikan pada mereka dalam masyarakat.
Saat hal tersebut dikaitkan dengan profesi dokter, kita diyakinkan bahwa
masalah sosialnya berakar pada sikap humanisme, belas kasih terhadap penderitaan
pasien, dan keinginan untuk memberikan pelayanan kesehatan. Dokter praktek dan
spesialis saat ini memiliki hubungan dokter-pasien ’one-to-one’ yang unik dan sangat
pribadi, melibatkan kepatuhan, ketergantungan, dan kepercayaan yang utuh dari pasien
terhadap otoritas, pengetahuan dan keterampilan dokternya. Dengan otoritas tersebut
terciptalah unsur kewajiban sosial untuk melayani dengan belas kasih kepada mereka
yang percaya dan bergantung kepada kita.
Tetapi martabat dan status profesi dokter dulunya tidak setinggi seperti yang
kita lihat sekarang. Misalnya pada jaman India kuno, hanya dokter kerajaan yang
memiliki status yang tinggi. Dokter pada jaman itu dianggap tidak berdarah murni dan
tidak pernah diundang pada acara-acara sesajian untuk dewa-dewa. Kasta Brahmana
tidak seharusnya menerima makanan dari seorang dokter karena dianggap najis/kotor
(Rao & Radhalaksmi,1960). Pada masa kekaisaran Roma, dokter adalah pekerja berat,
orang liar, orang asing, dan pengobatan dianggap sebagai pekerjaan rendah. Di Inggris
abad ke-18, dokter bedah dan ahli obat-obatan dianggap seperti pedagang dan termasuk
kelas pinggiran. Bahkan sekurangnya di abad 19, dokter di Perancis sangat miskin dan
statusnya juga rendah (Starr, 1949).
Namun, dengan perkembangan dan kemajuan ilmu kedokteran dan
kemampuan para dokter mempengaruhi perjalanan penyakit secara radikal, bermula di
akhir abad ke-19, secara perlahan kedokteran berubah statusnya dari sekedar
tukang/pekerja berat menjadi sebuah profesi dan bersamaan dengan itu kekuasaan dan
martabat profesi dokter juga meningkat seterusnya hingga di abad 20 ini.
Dengan tercapainya status profesi itu, segala yang menjadi karakter sebuah
profesi juga didapatkan. Kedokteran memiliki otonomi, mengontrol semua yang ingin
memasuki profesi ini, menetapkan standar kompetensi melalui pelatihan termasuk teori,
bukan hanya keterampilan seperti pada pekerjaan tukang. Profesi kedokteran
selanjutnya menyusun lembaga profesi struktural (asosiasi, publikasi, sekolah
kedokteran yang dapat dikontrol) dan bertujuan memberikan pelayanan yang
humanistik kepada masyarakat untuk kepentingan mereka.
Prinsip-prinsip etika telah menjadi bagian yang mendasar sejak masa awal dan
berkaitan dengan kewajiban dan tanggung-jawab seorang dokter. Namun harus dicatat,
bahwa semua pernyataan tentang etika dapat disesuaikan secara profesional dengan
dunia medis. Dan tidak satupun yang berkenaan dengan aspek humanistik.
Pola praktek dokter pada awal abad delapanbelas bersifat ‘biaya pelayanan
tunggal’ yaitu seorang dokter memberikan pelayanan medis dan untuk itu dia dibayar,
baik berupa uang maupun berupa hasil-hasil pertanian seperti yang masih terdapat di
negara-negara berkembang di beberapa daerah dan desa yang miskin. Ini adalah masa
dokter pedesaan atau dokter ‘kuno’ atau dokter keluarga yang mengetahui dengan baik
keluarga tersebut, berkeliling ke rumah-rumah, dan bertindak sebagai ‘teman dan
penuntun yang dapat dipercaya’, di samping merawat orang-orang sakit dalam keluarga
itu.
Perkembangan kota-kota besar dan rumah-rumah sakit di abad 18 dan 19
membuat dokter-dokter desa perlahan menghilang dan semakin banyak dokter menetap
di daerah kota untuk berpraktek. Hilangnya dokter pedesaan atau dokter keluarga
memulai timbulnya ‘pelayanan dehumanisasi’ di rumah-rumah sakit.
Dalam dekade terakhir abad 20, pola praktek di negara-negara industri
berubah sama sekali dengan ekonomi berorientasi pasar. Dari praktek mandiri, sekarang
kebanyakan dokter praktek berkelompok di bawah persetujuan formal penggunaan
fasilitas dan peralatan medis bersama-sama dan pendapatan didistrubusikan sesuai
perjanjian awal dengan melibatkan personalia kesehatan.
Kalangan bisnis melihat pasar besar dalam lapangan kesehatan, hasilnya
adalah meningkatnya komersialisasi layanan medis dan bertumbuhnya industri medis
yang kompleks. Kedokteran tidak lagi merupakan industri rakyat seperti saat dokter
berpraktek mandiri. Manager di bidang kesehatan ini – ekonom dan CEO (pejabat
eksekutif), yang semakin sering memutuskan jenis praktek pelayanan dan jenis
organisasi dibandingkan para dokter. Harga-harga obat melambung dan penggunaan
peralatan medis yang canggih berkonsekuensi dengan pembayaran yang tinggi. Telah
dikatakan, semakin dokter bergantung pada teknologi semata, semakin mereka
kehilangan rasa kemanusiaannya, yang berujung pada ‘pelayanan dehumanisasi’. Hal
tersebut ditambah dengan ketakutan akan tuntutan malapraktek, dokter membayar
asuransi untuk dirinya, yang tentu berdampak pada pasien sehingga biaya layanan
kesehatan semakin tinggi.
Perubahan ini mewarnai sikap dan tingkah laku profesi yang menekankan
pada aspek finansial dan teknologi dalam terapi dan merusak panggilan altruistik dan
humanistik sang dokter.
Lagi menurut Profesor Tu, seorang dokter di Myanmar menelaah sebuah film
bergenre kedokteran, berjudul “Patch Adam”. Dia tertarik pada kritik sang pemain,
yang berperan sebagai dr. Hunter Adam: “Anda bahkan tidak melihat kepada pasien
saat Anda berbicara pada mereka” dan saat dia berbicara melawan Badan Medis:
“Kematian bukanlah musuh, saudara-saudara, tapi sebuah kelalaian. Anda menangani
penyakit, hasilnya kalah atau menang. Anda menangani pasien, anda akan menang
bagaimanapun hasil akhirnya”.
Keadaan ini pun sudah terlihat di negara kita. Ada berapa banyak dokter yang
betul-betul menangani pasiennya dengan rasa belas kasih? Saya tidak menyatakan
bahwa tidak ada dokter yang memiliki rasa belas kasih karena saya mengenal beberapa
dokter yang betul-betul menangani pasiennya dengan hati.
Tapi, pemandangan seperti itu sangat jarang kita rasakan. Banyak dokter melayani
pasiennya dengan senyum, ramah, sopan dan penuh tatakrama, tapi yang kita bicarakan
dalam kaitannya dengan humanisme adalah dokter melayani pasiennya dengan melihat
ke dalam perasaan pasiennya. Menampakkan pengertian akan derita pasiennya dan
tidak semata-mata memburu apa yang menjadi diagnosis agar pengobatannya tepat dan
pasien ini segera menyingkir dari kehidupannya yang cukup sibuk.
Anda keliru jika menyangka pasien tidak membutuhkan sentuhan
humanisme, dan tepat jika menduga bahwa mereka akan lebih nyaman dengan dokter
yang menatap mereka saat melakukan anamnesis dan memperlihatkan sikap menerima
dan mengerti akan segala keluhannya. Itu tidak sulit dilakukan. Tempatkan saja diri
Anda pada posisi mereka. Lalu nilai, situasi mana yang lebih Anda sukai, ditangani oleh
dokter yang berwajah dingin yang sibuk meneliti penyakit Anda atau oleh dokter yang
menunjukkan perasaan kasih akan tiap keluhan Anda.
Humanisme dan etika dalam pelayanan kesehatan
Sejak jaman dulu, pemegang kekuasaan bertanggung-jawab terhadap
kesehatan rakyatnya. Raja pada jaman Indis kuno membangun tempat untuk orang-
orang sakit dan cacat, bahkan tempat khusus semacam rumah sakit untuk kebidanan dan
bedah. Kerajaan Romawi mengatur tempat layanan kesehatan untuk orang-orang miskin
yang akan dikunjungi oleh dokter-dokter umum untuk memberikan pemeriksaan
kesehatan yang dibutuhkan.
Pada saat Abad Kegelapan baru saja terangkat dari Eropa, kedokteran di
negara-negara Arab sangat berkembang. Terdapat rumah-rumah sakit yang besar di
Damascus, Kordoba, dan Kairo yang memperhatikan segala aspek dari layanan
kesehatan termasuk aspek humanistik seperti sisi spiritualnya (memperdengarkan Al-
Quran sepanjang saat tanpa henti), aspek-aspek estetika (seperti memainkan musik
lembut di malam hari untuk membantu mereka yang sulit tidur), dan aspek-aspek yang
dapat meningkatkan semangat mereka (seperti membacakan kisah-kisah yang
menggugah jiwa pasien). Bahkan pasien diberikan sejumlah uang yang dapat menutupi
kekurangan semasa sakit, hingga mereka mampu kembali bekerja (Guthrie, 1958). Ini
adalah pendekatan yang betul-betul manusiawi.
Pelayanan kesehatan di Eropa, khususnya Inggris relatif terlambat. Butuh
terjadinya suatu epidemi (kolera) untuk terbentuknya Badan Kesehatan sebagai badan
resmi walaupun sebelumnya negara telah megambil alih langkah darurat jika terjadi
penyakit epidemik. Perkembangan spektakuler di dunia medis pada masa-masa
setelahnya mengubah pola tingkah dokter dan pelayanan kesehatan. Teknologi tersebut
membutuhkan biaya yang mahal sehingga tidak mampu digapai oleh masyarakat
miskin. Ditambah lagi dengan dokter-dokter yang terlatih di rumah sakit yang sangat
sedikit dibekali dengan kemampuan untuk menghadapi masalah kesehatan dalam
masyarakat dan perkembangan baru dalam pelayanan kesehatan. Sekarang ini,
dikembangkan filosofi baru mengenai pelayanan kesehatan berbasis persamaan dan
keadilan sosial yang berakhir pada gerakan Pelayanan Kesehatan Primer dan Kesehatan
untuk Semua (World Health Organisation, 1981)
Seperti telah disebutkan sebelumnya, dalam era pasar ekonomi, kedokteran
telah menjadi bisnis besar hingga di negara-negara berkembang. Karena bisnis bersifat
mengejar keuntungan, biaya pelayanan kesehatan akhirnya meningkat. Dan akibatnya
pelayanan terhadap masyarakat miskin terabaikan. Idealnya, dokter mampu melakukan
praktek hingga menyentuh seluruh lapisan masyarakat, agar nilai-nilai humanisme tetap
terjaga. Tentu, secara pribadi hal tersebut sulit dilaksanakan. Tapi, jika penentu
kebijakan terutama dalam bidang kesehatan memperhatikan masalah ini dan berangkat
dengan keikhlasan untuk berbuat demi kemanusiaan, maka teknologi yang tercanggih
sekalipun dapat dimanfaatkan oleh masyarakat banyak.
Humaniora dan etika dalam pendidikan kedokteran
Lantas, apa yang bisa menjadikan seorang dokter memiliki kemampuan teknis
sekaligus sikap humanistik dalam perilaku profesinya? Apakah itu bagian dari pelatihan
dan pendidikan mahasiswa kedokteran dengan melihat contoh dari para dosennya? Mari
kita lihat bagaimana humanisme dalam pendidikan kedokteran.
Baik di dunia barat maupun dalam budaya timur, pelatihan untuk menjadi
seorang dokter bermula dari sistem magang, yaitu suatu sistem pelatihan yang bersifat
desentralisasi di mana murid dan gurunya terikat dalam suatu hubungan pribadi. Sejak
jaman dulu, murid kedokteran di India misalnya, tinggal di rumah gurunya dan bahkan
menjadi anggota keluarga yang ikut mengerjakan segala pekerjaan rumah sang guru.
Karena kontak yang sangat dekat dengan gurunya, seorang murid tidak hanya belajar
dari guru, tapi menyerap filosofi, sikap, tingkah laku moral, nilai-nilai dan metode
hidupnya serta cara guru menghadapi pasiennya, singkatnya ‘bedside manner’ sang
guru tadi.
Karena kebutuhan akan dokter dan ahli bedah semakin meningkat, perubahan
sistem pelatihan mengalami perubahan. Kerajaan Romawi mengambil alih pelatihan
dokter dengan menunjuk guru-gurunya. Di negara-negara Islam, pendidikan kedokteran
telah berjalan dengan baik. Mereka ditempatkan di rumah sakit untuk pendidikan
kedokteran. Warga yang kaya membangun rumah-rumah sakit yang mempekerjakan
dokter-dokter handal yang bertanggung-jawab dalam penanganan pasien sekaligus
mengajar murid-murid kedokteran.
Sekolah-sekolah kedokteran di Eropa pada abad 9 hingga 13 menjadikan
pendidikan kedokteran sebagai basis dan memberikan gelar dokter setelah melalui suatu
pendidikan dan ujian tertentu. Fakultas kedokteran ini tidak hanya melatih para dokter
tetapi juga mengontrol tindakan mereka. Dengan semakin banyaknya mahasiswa yang
dilatih di rumah sakit, keadaan pasien yang sebenarnya terabaikan. Metode pengajaran
klinis dengan jumlah mahasiswa yang besar berdampak buruk pada pasien. Dan metode
ini diadaptasi oleh semua sentra pendidikan kedokteran di dunia.
Sekarang kita mungkin dapat melihatnya di rumah-rumah sakit, beberapa
pasien mengeluh jika terlalu banyak disentuh oleh mahasiswa (ko-ass). Mereka
menghindar untuk dirawat di rumah sakit pendidikan karena merasa dijadikan orang
coba oleh para ko-ass, terurama pasien-pasien dari golongan menengah ke atas.
Sebetulnya keadaan ini dapat kita hindari bersama. Pasien tentu tidak akan mengeluh
jika tidak merasa dirinya hanya dijadikan objek pembelajaran. Caranya tentu dengan
menanamkan kepercayaan kepada pasien dan masyarakat umumnya. Dan itu dapat
dimulai dari Anda, sebagai calon dokter.
Sebagai mahasiswa, Anda harus betul-betul memahami semua yang Anda
pelajari selama proses pendidikan dan menguasai seluruh kompetensi yang sudah
ditetapkan. Jika kelak Anda dipercayakan untuk memegang pasien pada saat
kepanitraan klinik dan dapat menunjukkan bahwa sebagai mahasiswa kedokteran Anda
cukup handal, maka pasien akan dengan senang hati mempercayakan penanganan
penyakitnya pada Anda . Apalagi jika dibarengi dengan tindakan yang etis dan penuh
sentuhan manusiawi, tidak akan ada pasien yang menolak Anda. Kita harus benar-benar
tulus menghadapi mereka, mendengar keluhan mereka dengan sabar, memperhatikan
apa yang menjadi persoalan sesungguhnya bagi mereka. Ingatlah pepatah bijak orang
tua kita bahwa apa yang dilakukan dari hati sampainya ke hati juga.
Dengan begitu, Anda dapat melalui proses pendidikan kedokteran dengan
baik karena sebenarnyalah hubungan yang terjadi antara Anda dengan pasien tadi
adalah hubungan kerjasama. Anda, sebagai mahasiswa, membutuhkan mereka. Maka
buatlah mereka pun membutuhkan Anda.
Dalam pendidikan tentang bioetik dan humaniora ini, Anda akan banyak dibekali
dengan pengetahuan tentang etika terutama saat Anda telah menjadi dokter. Namun
sebenarnya, prinsip-prinsip etika telah tertuang secara lengkap dalam Islam, yaitu dalam
ilmu tentang akhlak. Bahkan ilmu ini tidak terbatas kepada profesi dokter saja, tapi
memayungi semua insan yang mengaku sebagai muslim. Jadi, saat sekarang pun
prinsip-prinsip etika sudah harus kita jalankan karena akhlak -yang sumbernya jelas dari
Allah SWT- berimplikasi pada akhirat yang mengikat muslim yang berakal dan dewasa,
yaitu kita semua.
Selama masa pendidikan, Anda akan berhubungan dengan dosen, sesama
mahasiswa, pegawai di lingkungan Anda, dan orang-orang dalam lingkungan kampus.
Sekarang ini adalah masa yang tepat bagi Anda untuk melatih diri bagaimana bersikap
menjadi dokter yang baik.
Selama masa pendidikan, Anda akan berhubungan dengan dosen, sesama
mahasiswa, pegawai di lingkungan Anda, dan orang-orang dalam lingkungan kampus.
Sekarang ini adalah masa yang tepat bagi Anda untuk melatih diri bagaimana bersikap
menjadi dokter yang baik. Betul bahwa setiap orang memiliki karakter yang berbeda,
tapi sikap dan perilaku yang baik bukannya tidak dapat diamalkan. Sebagai contoh,
dalam berdiskusi dengan teman-teman Anda, seringkali terjadi benturan pendapat.
Walaupun Anda yakin bahwa pendapat Andalah yang benar, dan didukung oleh
beberapa teman yang lain, sangat tidak bijak jika Anda langsung menyalahkan dan
mematahkan pendapat teman Anda. Apalagi jika yang Anda serang adalah pribadinya,
bukan opininya.
Belum lagi jika menghadapi persoalan yang berbeda, adanya beban tugas dari
dosen yang tidak habis-habis (walaupun alasan bahwa hal tersebut untuk kepentingan
mahasiswa sendiri kadang sulit diterima), dan waktu yang terasa sangat menghimpit,
tentu akan sulit bagi kita untuk tetap bersikap stabil. Masalahnya, kita tidak punya
pilihan selain menghadapinya. Kita menerima pengakuan sebagai pribadi dewasa, jadi
sudah seharusnya kita menyadari konsekuensi dari suatu pilihan. Anda memilih untuk
menjadi dokter, berarti sedikit banyaknya Anda tahu seperti apa profesi ini.
Dari segi keterampilan, kompetensi yang dikehendaki dijelaskan oleh masing-
masing sub divisi pendidikan kedokteran. Dengan sistem integrasi yang baru
diterapkan, Anda diharapkan memiliki keterampiln klinis yang lebih terarah. Keaktifan
dari Anda sebagai mahasiswa diharapkan karena pembelajaran ini memang dipusatkan
pada Anda (student-centered learning). Para pendidik di bidang kedokteran sepakat
bahwa tujuan pembelajaran yang baru ini adalah mengarahkan pendidikan kedokteran
kepada pengalaman berbasis komunitas, model yang berpusat pada pembelajar sehingga
memungkinkan dokter untuk menjadi pembelajar sepanjang hayat sekaligus berpraktek
dengan berbekal pengetahuan dan keterampilan yang memasukkan aspek-aspek
psikososial dan biologi dalam pelayanan kesehatan.
Humanisme dan etika dalam penelitian dan pengembangan ilmu kedokteran
Kesadaran sosial, tanggung jawab sosial dan akuntabilitas sosial telah menjadi
ciri profesi dokter, dan karakteristik ini dapat diterapkan juga kepada para peneliti di
bidang kedokteran. Etika dan humanisme dapat diaplikasikan ke dalam seluruh
spektrum kegiatan penelitian, mulai dari pemilihan topik penelitian, hingga pada cara
penelitian yang dilakukan dan pada aplikasi hasil penelitian dan pengembangan.
Misalnya dalam memilih topik penelitian, harus disadari bahwa peneliti
memiliki tanggung jawab sosial untuk mencoba mencari solusi dari masalah-masalah
yang paling banyak menyebabkan munculnya penyakit dan penderitaan dalam
masyarakat.
Dalam melakukan percobaan yang melibatkan manusia sebagai relawan,
peneliti haruslah dibawah kontrol etis yang ketat. Dan seperti halnya seorang dokter
harus memiliki perilaku medis yang baik dengan hubungan manusiawi dengan
pasiennya, begitu juga seharusnya seorang peneliti.
Tanggung jawab dan akuntabilitas sosial dalam penelitian dimaksudkan agar
penelitian tersebut dilakukan bukan hanya untuk kepentingannya saja. Peneliti
diwajibkan melihat kegunaan hasil penelitiannya. Jadi hasilnya tidak hanya berakhir di
kertas jurnal saja, tapi harus mencapai ke penentu kebijakan, pembuat keputusan dalam
pelayanan kesehatan, dan para profesi di bidang kesehatan serta para konsumen.
Daftar Pustaka
1. Assi Ba’l, Z.A.: Dokter-dokter, Bagaimana Akhlakmu, Gema Insani Press, Jakarta, 1992
2. •Prasetya, J.T.,: Ilmu Budaya Dasar, Rineka Cipta, Jakarta, 1998
3. Samil, RS. Etika Kedokteran Indonesia. Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohrdjo. Jakarta. 2001
4. Tu, U.M. Humanism and Ethics in Medical Practice, Health Service, Medical Education and Medical Research, dalam The First Myanmar Academy of Medical Science Oration. Myanmar.2001.
http://shulhana.wordpress.com/