bab_ii__case_bp_fix

56
BAB I PENDAHULUAN Infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) merupakan salah satu masalah kesehatan di seluruh dunia, baik di negara maju maupun di negara berkembang termasuk Indonesia. Hal ini disebabkan masih tingginya angka kesakitan dan angka kematian karena ISPA khususnya pneumonia atau bronkopneumonia, terutama pada bayi dan anak balita. Bronkopneumonia adalah peradangan pada parenkim paru yang melibatkan bronkus/bronkiolus yang berupa distribusi berbentuk bercak-bercak (patchy distribution). Bronkopneumonia dapat disebabkan oleh Streptokokus grup B, Respiratory Sincytial Virus (RSV), Virus parainfluenza, virus influenza, Adenovirus, Cytomegalovirus, Pneumokokus, Mycobacterium tuberculosa. Bronkopneumonia biasanya didahului oleh infeksi saluran nafas bagian atas selama beberapa hari. Suhu dapat naik secara mendadak sampai 39-40 o C dan mungkin disertai kejang karena demam yang tinggi. Anak sangat gelisah, dispnu, pernafasan cepat dan dangkal disertai pernafasan cuping hidung dan sianosis di sekitar hidung dan mulut. Batuk biasanya tidak dijumpai pada awal penyakit, namun batuk terjadi setelah 1

Upload: dwi-lestari

Post on 18-Jan-2016

217 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

BAB_II__case_BP_fix

TRANSCRIPT

Page 1: BAB_II__case_BP_fix

BAB I

PENDAHULUAN

Infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) merupakan salah satu masalah

kesehatan di seluruh dunia, baik di negara maju maupun di negara berkembang

termasuk Indonesia. Hal ini disebabkan masih tingginya angka kesakitan dan

angka kematian karena ISPA khususnya pneumonia atau bronkopneumonia,

terutama pada bayi dan anak balita.

Bronkopneumonia adalah peradangan pada parenkim paru yang melibatkan

bronkus/bronkiolus yang berupa distribusi berbentuk bercak-bercak (patchy

distribution). Bronkopneumonia dapat disebabkan oleh Streptokokus grup B,

Respiratory Sincytial Virus (RSV), Virus parainfluenza, virus influenza,

Adenovirus, Cytomegalovirus, Pneumokokus, Mycobacterium tuberculosa.

Bronkopneumonia biasanya didahului oleh infeksi saluran nafas bagian atas

selama beberapa hari. Suhu dapat naik secara mendadak sampai 39-40oC dan

mungkin disertai kejang karena demam yang tinggi. Anak sangat gelisah, dispnu,

pernafasan cepat dan dangkal disertai pernafasan cuping hidung dan sianosis di

sekitar hidung dan mulut. Batuk biasanya tidak dijumpai pada awal penyakit,

namun batuk terjadi setelah beberapa hari, di mana pada awalnya berupa batuk

kering kemudian menjadi produktif.

Insidensi bronkopneumonia pada negara berkembang hampir 30% terjadi

pada anak-anak di bawah umur 5 tahun dengan resiko kematian yang tinggi,

sedangkan di Amerika pneumonia menunjukkan angka 13% dari seluruh penyakit

infeksi pada anak di bawah umur 2 tahun. Diperkirakan hampir seperlima

kematian anak di seluruh dunia, lebih kurangdua juta anak balita, meninggal

setiap tahun akibat pneumonia, sebagian besar terjadi diAfrika dan Asia Tenggara.

Menurut data yang diperoleh pada tahun 2007 dari hasil Riset Kesehatan

Dasar (Riskesdas) pneumonia menduduki posisi kedua setelah diare yang menjadi

penyebab tingginya angka kematian anak di Indonesia pada usia 29 hari-4 tahun.

Maka dari itu, apabila kasus pneumonia pada anak mengalami penurunan, maka

mortalitas pada anak juga akan mengalami penurunan.

1

Page 2: BAB_II__case_BP_fix

Penatalaksanaan tepat pada kasus bronkopneumonia dan pencegahan faktor

resiko diharapkan dapat menurunkan angka mortalitas anak. Banyaknya faktor

risiko dan sedikitnya pengetahuan masyarakat mengenai faktor risiko inilah yang

menjadi salah satu penyebab masih tingginya kasus bronkopneumonia di

Indonesia.

BAB II

2

Page 3: BAB_II__case_BP_fix

STATUS PASIEN

2.1 Identifikasi Pasien

a. Nama : Randy Hiskia

b. Umur : 13 bulan

c. Jenis kelamin : laki-laki

d. Nama Ayah : Paul

e. Usia Ayah : 36 Tahun

f. Pekerjaan Ayah : Swasta

g. Alamat : komplek Mega Asri I blok D18, Kel. Sukajadi,

Kec. Talang Kelapa, Banyuasin

h. Dikirim oleh : Rujukan RS. Miria Palembang

i. MRS tanggal, pukul : 20 Oktober 2014

j. Nomor RM : 0000852500

2.2 Anamnesis

Tanggal : 21 Oktober 2014

Diberikan oleh : Ibu Pasien

a. Riwayat Penyakit Sekarang

1. Keluhan utama : Sesak napas

2. Keluhan tambahan : Demam dan batuk

3. Riwayat Perjalanan Penyakit

+ 10 hari SMRS pasien mengalami demam (+) tinggi, terus-menerus (+),

batuk (+), pilek (-), mual (-), muntah (-), BAB dan BAK seperti biasa. Pasien

kemudian dibawa ke klinik dan diberi obat sirup dan obat serbuk, batuk

berkurang tetapi demam tidak turun.

+ 7 hari SMRS pasien menderita sesak napas (+), sesak tidak dipengaruhi

cuaca, aktivitas dan posisi. Batuk (+), pilek (+), demam (+) tinggi, terus

menerus, mual (-), muntah (-), BAB dan BAK seperti biasa. Pasien lalu dibawa

ke RS. Miria dan dirawat inap selama 7 hari. Di RS. Miria pasien mendapat

3

Page 4: BAB_II__case_BP_fix

terapi eritromisin 2x500 mg dan nebulisasi ventolin. Pasien didiagnosis

bronkopneumonia prolonged. Karena demam tidak turun-turun dan alasan

regulasi BPJS pasien dirujuk ke RS. Mohammad Hoesin Palembang.

b. Riwayat Sebelum Masuk Rumah Sakit

1. Riwayat Kehamilan dan Kelahiran

Masa kehamilan : 9 bulan

Partus : spontan per vaginam

Ditolong oleh : bidan

BB : 4100 gram

2. Riwayat Penyakit yang Pernah Diderita

- riwayat penyakit yang sama (+) satu bulan yang lalu dengan diagnosis

bronkopneumonia+hipokalemia

- Parotitis : tidak ada

- Difteri : tidak ada

- Tetanus : tidak ada

- Campak : tidak ada

- Varisela : tidak ada

- Typhoid : tidak ada

- Demam lama : tidak ada

- TBC : tidak ada

- Lumpuh : tidak ada

- Otitis media : tidak ada

- Muntah berak : tidak ada

- Batuk/pilek : ada, tapi jarang

- Kecacingan : tidak ada

- Patah tulang : tidak ada

- Jantung : tidak ada

- Sendi bengkak : tidak ada

- Kecelakaan : tidak ada

4

Page 5: BAB_II__case_BP_fix

- Operasi : tidak ada

- Keracunan : tidak ada

- Sakit kencing : tidak ada

- Sakit ginjal : tidak ada

- Alergi : tidak ada

- Perut kembung : tidak ada

- Malaria : tidak ada

- DBD : tidak ada

- Kejang : tidak ada

- Asma : tidak ada

3. Riwayat Makanan

ASI : lahir-sekarang

Susu Formula : 6 bulan-sekarang, 2 kali sehari

Bubur saring : 6 bulan- 1 tahun, 3 kali sehari

Nasi biasa : 1 tahun-sekarang, 3 kali sehari

Kesan : Asupan makan kurang

4. Riwayat Imunisasi

BCG : 1x

Hepatitis : 3x

Polio : 3x

DPT : 3x

Campak : 1x

Kesan : imunisasi dasar lengkap

5. Riwayat Perkembangan Fisik

Tengkurap : Bisa tengkurap, belum dapat duduk

Bicara : mengoceh yang tidak dapat dimengerti

Kesan : perkembangan fisik dan bicara terlambat

6. Riwayat Keluarga

5

Page 6: BAB_II__case_BP_fix

Menikah : 10 tahun

Jumlah saudara : 3

Riwayat penyakit : riwayat penyakit dengan keluhan yang sama

dengan pasien dalam keluarga tidak ada.

Pedigree :

Keterangan:

: laki-laki

: perempuan

: pasien

2.3 Pemeriksaan Fisik ( Oktober 2014)

a. Pemeriksaan Umum

Keadaan umum : tampak sakit sedang

Kesadaran : kompos mentis

BB : 8,5 kg

PB : 78 cm

BB/U : di antara 0 dan -2 SD

PB/U : di antara 0 dan 2 SD

BB/PB : di antara 0 dan -2 SD

Kesan status gizi : gizi baik

Edema : tidak ada

Sianosis : tidak ada

Dispnea : ada

Ikterus : tidak ada

Pucat : akral pucat (+)

Suhu : 380C

Frekuensi napas : 50 x/menit

Tipe pernaasan : abdominothorakal

Nadi

6

Page 7: BAB_II__case_BP_fix

Frekuensi : 130 x/menit

Isi : cukup

Equalitas : equal

Regularitas : reguler

Pulsus defisit : tidak ada

Pulsus alternans : tidak ada

Pulsus paradox : tidak ada

Pulsus tardus : tidak ada

Pulsus celler : tidak ada

Pulsus magnus : tidak ada

Pulsus parvus : tidak ada

Pulsus bigeminus : tidak ada

Pulsus trigeminus : tidak ada

Kulit

Warna : kuning langsat

Hiperpigmentasi : tidak ada

Hipopigmentasi : tidak ada

Eritema : tidak ada

Makula, papula : tidak ada

Vesikel : tidak ada

Pustula : tidak ada

Sikatrik : tidak ada

Edema : tidak ada

Turgor : baik, cubitan kulit perut kembali cepat

Hemangioma : tidak ada

Ptekie, purpura : tidak ada

b. Pemeriksaan Khusus

Kepala

Ubun-ubun : rata

Lingkar kepala : 46 cm

Mata

Palpebra : edema (-/-)

Konjungtiva : pucat (+/+)

Sklera : ikterik (-/-)

7

Page 8: BAB_II__case_BP_fix

Pupil : bulat, isokor

Diameter : 3mm/3mm

Refleks cahaya : +/+

Hidung

Bentuk : normal

Napas cuping hidung : ada

Sekret :tidak ada

Mulut

Bibir

Bentuk : normal

Warna : merah muda

Ukuran : 3,5 cm

Ulkus : tidak ada

Rhagaden : tidak ada

Sikatriks : tidak ada

Cheilosis : tidak ada

Sianosis : tidak ada

Labioschizis : tidak ada

Bengkak : tidak ada

Vesikel : tidak ada

Oral trush : tidak ada

Trismus : tidak ada

Bercak Koplik : tidak ada

Palatoschizis : tidak ada

Gigi

Kebersihan : cukup

Karies :tidak ada

Hutchinson : tidak ada

8

Page 9: BAB_II__case_BP_fix

Gusi : hipertrofi tidak ada, perdarahan tidak ada

Lidah

Bentuk : normal

Gerakan : normal

Tremor : tidak ada

Warna : merah muda

Selaput : tidak ada

Hiperemis : tidak ada

Atrofi papil : tidak ada

Makroglosia :tidak ada

Mikroglosia : tidak ada

Faring Tonsil

Warna : merah muda

Edema : tidak ada

Selaput :tidak ada

Pembesaran tonsil : tidak ada

Ukuran : T1-T1

Simetris :simetris

Telinga

Bentuk : normal

Aurikula : normal

Cairan : tidak ada

Serumen : dalam batas normal

Leher

Inspeksi

Struma : tidak ada

Bendungan vena : tidak ada

Limphadenopati : tidak ada

Tortikolis : tidak ada

9

Page 10: BAB_II__case_BP_fix

Bullneck : tidak ada

Parotitis : tidak ada

Palpasi

Kaku kuduk : tidak ada

Pergerakan : luas

Struma : tidak ada

Thoraks Depan dan Paru

Inspeksi Statis

Bentuk : normal

Simetris : simetris

Vousure cardiac : tidak terlihat

Clavicula : normal

Sternum : normal

Bendungan vena : tidak ada

Tumor : tidak ada

Sela iga : normal, tidak melebar

Inspeksi Dinamis

Gerakan : simetris

Bentuk pernapasan : abdominothorakal

Retraksi : ada intercostal dan subscapula

Palpasi

Nyeri tekan : tidak ada

Fraktur iga : tidak ada

Tumor : tidak ada

Krepitasi : tidak ada

Stem fremitus : normal, kanan = kiri

10

Page 11: BAB_II__case_BP_fix

Perkusi

Bunyi ketuk : sonor / sonor

Nyeri ketuk : tidak ada

Tumor : tidak ada

Auskultasi

Bunyi napas pokok : vesikuler (+) meningkat

Bunyi napas tambahan

Ronkhi : basah halus nyaring

Wheezing : tidak ada

Jantung

Inspeksi

Vousure cardiac : tidak terlihat

Ictus cordis : tidak terlihat

Pulsasi jantung : tidak terlihat

Palpasi

Ictus cordis : teraba di ICS IV linea midclavicula sinistra

Thrill : tidak teraba

Perkusi

Batas kiri : ICS IV linea midclavicularis sinistra

Batas kanan : ICS IV linea parasternalis sinistra

Batas atas : ICS II linea parasternalis sinistra

Auskultasi

Bunyi jantung I

Mitral : normal

Trikuspid : normal

Bunyi jantung II

11

Page 12: BAB_II__case_BP_fix

Mitral : normal

Trikuspid : normal

Irama derap : tidak ada

Opening snap : tidak ada

Click : tidak ada

Bising jantung : tidak ada

Thoraks Belakang

Inspeksi Statis

Bentuk : normal

Processus spinosus : tidak terlihat

Scapula : normal

Skoliosis : tidak ada

Kifosis : tidak ada

Lordosis : tidak ada

Gibbus : tidak ada

Palpasi

Nyeri tekan : tidak ada

Tumor : tidak ada

Krepitasi : tidak ada

Stem fremitus : normal, kanan = kiri

Perkusi

Bunyi ketuk : sonor / sonor

Nyeri ketuk : tidak ada

Auskultasi

12

Page 13: BAB_II__case_BP_fix

Bunyi napas pokok :vesikuler (+) meningkat

Bunyi napas tambahan

Ronkhi : basah halus nyaring

Wheezing : tidak ada

Abdomen

Inspeksi

Bentuk : datar

Umbilikus : normal

Ptekie : tidak ada

Spider nevi : tidak ada

Bendungan vena : tidak ada

Gambaran usus : tidak ada

Palpasi

Nyeri tekan : tidak ada

Nyeri lepas : tidak ada

Defans muscular : tidak ada

Meteorismus : tidak ada

Perkusi

Nyeri ketuk : tidak ada

Undulasi : tidak ada

Shifting dullness : tidak ada

Auskultasi

Bising usus : normal

Hepar

Tidak teraba

Lien

13

Page 14: BAB_II__case_BP_fix

Tidak teraba

Ginjal

Tidak teraba

Lipat Paha dan Genital

Kulit : normal

Kelenjar getah bening : pembesaran tidak ada

Edema : tidak ada

Sikatriks : tidak ada

Genitalia : normal

Anus : normal

Status Neurologis

Fungsi MotorikLengan Tungkai

Kanan Kiri Kanan Kiri

Gerakan Luas Luas luas Luas

Kekuatan 5 5 5 5

Tonus Eutoni Eutoni eutoni Eutoni

Klonus - - - -

Refleks fisiologis + + + +

Refleks patologis - -

Fungsi sensorik + (normal) + (normal) + (normal) + (normal)

Nervi craniales : dalam batas normal

Gejala rangsang meningeal : -

2.4 Pemeriksaan Laboratorium

14

Page 15: BAB_II__case_BP_fix

Spesimen Darah (20 oktober 2014)

Komponen Hasil Pemeriksaan Nilai Normal

Hemoglobin 9,2 11,3-14,1g/dl

Eritrosit 3,71 4,40-4,48 106/mm2

Leukosit 11.000 5.000- 10.000 /μL

Trombosit 383.000 150.000 – 400.000/μL

MCV 75,2 81-95 fl

MCH 25 25-29 pg

MCHC 33 29-32 g/dL

Hematokrit 28 37-41%

LED 24 <15 mm/jam

Hitung jenis

Basofil 0 0-1 %

Eosinofil 4 1-3 %

Neutrofil batang 0 2-6 %

Neutrofil segmen 31 50-70 %

Limfosit 53 20-40 %

Monosit 12 2-8 %

CRP kualitatif Negatif Negatif

CRP kuantitatif <5 <5

Retikulosit 1,4 0,5-1,5 %

Fe 63 61-157 μg/mL

TIBC 377 112-346 μg/mL

Ferritin 16,88 13-400 ng/mL

T3 total 1,16 0,92-2,48 ng/mL

Free T4 1,04 096-1,77 ng/mL

TSH 5,57 0,70-5,97 μU/mL

2.5 Resume

15

Page 16: BAB_II__case_BP_fix

Pasien seorang anak laki-laki berusia 13 bulan datang dengan keluhan

utama sesak yang terjadi sejak ± 7 hari SMRS. Perjalanan penyakit dimulai +

10 hari SMRS pasien mengalami demam (+) tinggi, terus-menerus (+), batuk

(+), pilek (-), mual (-), muntah (-), BAB dan BAK seperti biasa. Pasien

kemudian dibawa ke klinik dan diberi obat syrup dan obat serbuk, batuk

berkurang tetapi demam tidak turun.

+ 7 hari SMRS pasien menderita sesak napas (+), sesak tidak dipengaruhi

cuaca, aktivitas dan posisi. Batuk (+), pilek (+), demam (+) tinggi, terus

menerus, mual (-), muntah (-), BAB dan BAK seperti biasa. Pasien lalu dibawa

ke RS. Miria dan dirawat inap selama 7 hari. Di RS. Miria pasien mendapat

terapi eritromisin 2x500 mg dan nebulisasi ventolin. Pasien didiagnosis

bronkopneumonia prolonged. Karena demam tidak turun-turun dan alasan

regulasi BPJS pasien dirujuk ke RS. Mohammad Hoesin Palembang.

Riwayat asma dan keluarga dengan asma tidak ada. Pasien pernah

menderita keluhan yang sama sekitar satu bulan yang lalu dan didiagnosa

bronkopneumonia dengan hipokalemia.

Pada pemeriksaan fisik didapatkan frekuensi nadi 130 x/menit, frekuensi

napas 50 x/menit, temperatur 380C, konjungtiva anemis, akral pucat, dan

retraksi di intercostal dan subscapula, ronkhi basah halus nyaring. Pada

pemeriksaan laboratorium diketahui hemoglobin 9,2 g/dL, eritrosit

3.710.000/mm2 leukosit 11.00/μL, trombosit 383.000/μL, MCV 75,2 fl, MCH

25 pg, MCHC 33 g/dL, hematokrit 28%, hitung jenis 0/4/1/31/53/12,

retikulosit 1,4%, Fe 63 μg/mL, TIBC 377 μg/mL, Ferritin 16,88 ng/mL, T3

Total 1,16 ng/mL, free T4 1,04 ng/mL, TSH 5,57 μU/mL dan CRP <5.

2.6 Diagnosis Banding

a. Bronkopneumonia + anemia e.c penyakit kronik

b. Bronkopeumonia + anemia e.c. defisiensi besi

2.7 Diagnosis Kerja

16

Page 17: BAB_II__case_BP_fix

Bronkopneumonia + anemia e.c penyakit kronik

2.8 Terapi

a. Oksigen nasal 1 L/menit

b. IVFD D5 1/2 NS gtt 6x/m makro

c. Inj Ampisilin 3 x 300 mg i.v.

d. Inj Gentamisin 2 x 4 mg i.v.

e. Paracetamol 120 mg bila suhu >38,5% oC

2.9 Prognosis

Quo ad vitam : bonam

Quo ad fungsionam : bonam

Follow Up

17

Page 18: BAB_II__case_BP_fix

22 Oktober 2014

S Sesak (+) << , demam (+) <<, batuk (+)

O Keadaan umum : tampak sakit sedang

Kesadaran : kompos mentis

Nadi : 118 x/menit

RR : 30 x/menit

T : 37,50C

Kepala : napas cuping hidung (-), konjungtiva pucat (-/-)

Thoraks : simetris, retraksi (+) IC dan SC

Cor : bunyi jantung I&II normal, murmur (-), gallop (-)

Pulmo :vesikuler (+) normal, ronkhi basah (+), wheezing (-)

Abdomen : datar, lemas, hepar dan lien tidak teraba, bising usus (+)

normal

Ektremitas : akral hangat, CRT < 2”, pucat (-)

A Bronkopneumonia + anemia e.c penyakit kronik

P a. Oksigen nasal 1 L/menit bila sesakb. IVFD D5 ¼ NS gtt 6 makroc. Inj .Ampisilin 3 x 300 mg i.v.d. Inj. Gentamisin 2 x 45 mg i.ve. Paracetamol 3x 120 mg bila suhu> 38.5

23 Oktober 2014

S Sesak (+) << , demam (+) <<, batuk (+)

O Keadaan umum : tampak sakit sedang

Kesadaran : kompos mentis

Nadi : 114 x/menit

RR : 34x/menit

T : 37,80C

Kepala : napas cuping hidung (-), konjungtiva pucat (-/-)

Thoraks : simetris, retraksi (+) IC dan SC

Cor : bunyi jantung I&II normal, murmur (-), gallop (-)

Pulmo :vesikuler (+) normal, ronkhi basah (+), wheezing (-)

18

Page 19: BAB_II__case_BP_fix

Abdomen : datar, lemas, hepar dan lien tidak teraba, bising usus (+)

normal

Ektremitas : akral hangat, CRT < 2”, pucat (-)

A Bronkopneumonia + anemia e.c penyakit kronik

P a. Oksigen nasal 1 L/menit bila sesakb. IVFD D5 ¼ NS gtt 6 makroc. Inj .Ampisilin 3 x 300 mg i.v.d. Inj. Gentamisin 2 x 45 mg i.ve. Paracetamol 3x 120 mg bila suhu> 38.5f. Nebu ventolin+Nacl 0.9% / 8 jam

24 Oktober 2014

S Sesak (+) << , demam (+), batuk (+) <<

O Keadaan umum : tampak sakit sedang

Kesadaran : kompos mentis

Nadi : 110 x/menit

RR : 32x/menit

T : 390C

Kepala : napas cuping hidung (-), konjungtiva pucat (-/-)

Thoraks : simetris, retraksi (+) IC dan SC

Cor : bunyi jantung I&II normal, murmur (-), gallop (-)

Pulmo :vesikuler (+) normal, ronkhi basah (+), wheezing (-)

Abdomen : datar, lemas, hepar dan lien tidak teraba, bising usus (+)

normal

Ektremitas : akral hangat, CRT < 2”, pucat (-)

A Bronkopneumonia + anemia e.c penyakit kronik

P a. Oksigen nasal 1 L/menit bila sesakb. IVFD D5 ¼ NS gtt 6 makroc. Inj .Ampisilin 3 x 300 mg i.v.d. Inj. Gentamisin 2 x 45 mg i.ve. Paracetamol 3x 120 mg bila suhu> 38.5f. Nebu ventolin+Nacl 0.9% / 8 jam

25 Oktober 2014

S Sesak (+) << , demam (+), batuk (+)

19

Page 20: BAB_II__case_BP_fix

O Keadaan umum : tampak sakit sedang

Kesadaran : kompos mentis

Nadi : 110 x/menit

RR : 32x/menit

T : 390C

Kepala : napas cuping hidung (-), konjungtiva pucat (-/-)

Thoraks : simetris, retraksi (+) IC dan SC

Cor : bunyi jantung I&II normal, murmur (-), gallop (-)

Pulmo :vesikuler (+) normal, ronkhi basah (+), wheezing (-)

Abdomen : datar, lemas, hepar dan lien tidak teraba, bising usus (+)

normal

Ektremitas : akral hangat, CRT < 2”, pucat (-)

A Bronkopneumonia + anemia e.c penyakit kronik

P a. IVFD D5 ¼ NS gtt 6 makrob. Inj .Ampisilin 3 x 300 mg i.v.c. Inj. Ceftazidim 2 x 425 mg i.vd. Paracetamol 3x 120 mg bila suhu> 38.5e. Nebu ventolin+ Nacl 0.9% / 8 jam

26 Oktober 2014

S Sesak (+) << , demam (+) <<, batuk (+) <<

O Keadaan umum : tampak sakit sedang

Kesadaran : kompos mentis

Nadi : 107 x/menit

RR : 32x/menit

T : 38.0 0C

Kepala : napas cuping hidung (-), konjungtiva pucat (-/-)

Thoraks : simetris, retraksi (+) IC dan SC

Cor : bunyi jantung I&II normal, murmur (-), gallop (-)

Pulmo :vesikuler (+) normal, ronkhi basah (+), wheezing (-)

Abdomen : datar, lemas, hepar dan lien tidak teraba, bising usus (+)

20

Page 21: BAB_II__case_BP_fix

normal

Ektremitas : akral hangat, CRT < 2”, pucat (-)

A Bronkopneumonia + anemia e.c penyakit kronik

P a. IVFD D5 ¼ NS gtt 6 makrob. Inj .Ampisilin 3 x 300 mg i.v.c. Inj. Ceftazidim 2 x 425 mg i.vd. Paracetamol 3x 120 mg bila suhu> 38.5e. Nebu ventolin+ Nacl 0.9% / 8 jam

27 Oktober 2014

S Sesak (+) << , demam (+) <<, batuk (+) <<

O Keadaan umum : tampak sakit sedang

Kesadaran : kompos mentis

Nadi : 108 x/menit

RR : 30x/menit

T : 38.50C

Kepala : napas cuping hidung (-), konjungtiva pucat (-/-)

Thoraks : simetris, retraksi (+) IC dan SC

Cor : bunyi jantung I&II normal, murmur (-), gallop (-)

Pulmo :vesikuler (+) normal, ronkhi basah (+), wheezing (-)

Abdomen : datar, lemas, hepar dan lien tidak teraba, bising usus (+)

normal

Ektremitas : akral hangat, CRT < 2”, pucat (-)

A Bronkopneumonia + anemia e.c penyakit kronik

P a. IVFD D5 ¼ NS gtt 6 makrob. Inj .Ampisilin 3 x 300 mg i.v.c. Inj. Ceftazidim 2 x 425 mg i.vd. Paracetamols 3x 120 mg bila suhu> 38.5e. Nebu ventolin+ Nacl 0.9% / 8 jam

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

21

Page 22: BAB_II__case_BP_fix

3.1 Anatomi

Struktur dasar jalan nafas telah ada sejak lahir dan berkembang selama

neonatus dan dewasa menjadi sistem bronkhopulmonal. Jalan nafas pada setiap

usia tidak simetris. Apabila dibagi menjadi dua bagian, ada perbedaan bentuk dan

jumlah cabang yang tergantung dari lokasinya. Variasi tersebut menyebabkan

implikasi fisiologi yang berbeda. Alur yang berbeda menyebabkan perbedaan

resistensi terhadap aliran udara, sehingga menyebabkan distribusi udara atau

partikel yang terhisap tidak merata. Cabang dari bronkus mengalami pengecilan

ukuran dan kehilangan kartilago, yang kemudian disebut bronkhiolus.

Bronkhiolus terminalis membuka saat pertukaran udara dalam paru-paru.

Jalan nafas dilapisi oleh membran epitel yang berganti secara bertahap dari

epitel kolumner bertingkat bersilia di bronkus menjadi epitel kubus bersilia pada

area tempat pertukaran udara. Sillia berfungsi untuk menghantarkan mukus dari

pinggir jalan nafas ke faring. Sistem transport mukosilier ini berperan penting

dalam mekanisme pertahanan paru.

Sel goblet pada trakhea dan bronkhus memproduksi musin dalam retikulum

endoplasma kasar dan apparatus golgi. Sel goblet meningkat jumlahnya pada

beberapa gangguan seperti bronkhitis kronis yang hasilnya terjadi hipersekresi

mukus dan peningkatan produksi sputum. 

Unit pertukaran udara (terminal respiratory) terdiri dari  bronkhiolus distal

sampai terminal : bronkhiolus respiratorius, duktus alveolaris dan alveoli. Pada

pemeriksaan luar pulmo dekstra lebih pendek dan lebih berat dibanding pulmo

sinistra. Pulmo dekstra dan sinistra dibagi oleh alur yang disebut incissura

interlobaris dalam beberapa lobus pulmonis. 8

Pulmo dekstra dibagi menjadi 3 lobi, yaitu:

1. Lobus Superior dibagi menjadi 3 segmen: apikal, posterior, inferior

2. Lobus Medius dibagi menjadi 2 segmen: lateralis dan medialis

22

Page 23: BAB_II__case_BP_fix

3. Lobus Inferior dibagi menjadi 5 segmen: apikal, mediobasal, anterobasal,

laterobasal, posterobasal

Pulmo sinistra dibagi menjadi 2 lobi, yaitu:

1. Lobus Superior

Dibagi menjadi segmen: apikoposterior, anterior, lingularis superior, lingularis

inferior.

2. Lobus Inferior

Dibagi menjadi 4 segmen: apikal, anteromediobasal, laterobasal,  dan

posterobasal.8

3.2 Bronkopneumonia

3.2.1 Definisi

23

Page 24: BAB_II__case_BP_fix

Bronkopneumonia adalah peradangan pada parenkim paru yang melibatkan

bronkus/bronkiolus yang berupa distribusi berbentuk bercak-bercak (patchy

distribution). Bronkopneumonia adalah radang paru-paru yang mengenai satu atau

beberapa lobus paru-paru yang ditandai dengan adanya bercak-bercak infiltrat.9

Bronkopneumonia disebut juga pneumoni lobularis, yaitu radang paru-paru

yang disebabkan oleh bakteri, virus, jamur dan benda-benda asing.5

Berdasarkan beberapa pengertian di atas maka dapat disimpulkan bahwa

bronkopneumonia adalah radang paru-paru yang mengenai satu atau beberapa

lobus paru-paru yang ditandai dengan adanya bercak-bercak infiltrat yang

disebabkan oleh bakteri,virus, jamur dan benda asing.

Pneumonia adalah peradangan parenkim paru, distal dari bronkhiolus

terminalis yang mencakup bronkhiolus respiratorius, dan alveoli yang berupa

infiltrat atau konsolidasi pada alveoli atau jaringan interstisial. Pneumonia ini

dapat mengakibatkan gangguan pertukaran gas setempat. Istilah pneumonia lazim

dipakai bila peradangan terjadi oleh proses infeksi akut yang merupakan penyebab

tersering, sedangkan istilah pneumonitis sering dipakai untuk proses non infeksi.5,9

3.2.2 Epidemiologi

Insidensi bronkopneumonia pada negara berkembang hampir 30% pada

anak-anak di bawah umur 5 tahun dengan resiko kematian yang tinggi, sedangkan

di Amerika pneumonia menunjukkan angka 13% dari seluruh penyakit infeksi

pada anak di bawah umur 2 tahun. Menurut survey kesehatan nasional (SKN)

2001, 27,6% kematian bayi dan 22,8% kematian balita di Indonesia disebabkan

oleh penyakit sistem respirasi, terutama pneumonia. Angka kematian pneumonia

pada balita di Indonesia diperkirakan mencapai 21 %.4

Angka kejadian tertinggi ditemukan pada usia kurang dari 4 tahun dan

mengurang dengan meningkatnya umur. Pneumonia lobaris hampir selalu

disebabkan oleh Pneumococcus, ditemukan pada orang dewasa dan anak besar,

sedangkan bronkopneumonia lebih sering dijumpai anak kecil dan bayi.7

Menurut penelitian Widodo (2007) di Tasikmalaya dengan menggunakan

desain Case Control, hasil analisis statistik menunjukkan jenis kelamin

berhubungan secara bermakna dengan kejadian pneumonia pada balita (p=0,001)

24

Page 25: BAB_II__case_BP_fix

dan diperoleh nilai OR=1,524 (CI 95%=1,495-4,261), maka balita yang

mengalami pneumonia kemungkinan 1,524 kali lebih besar pada perempuan

dibandingkan laki-laki.4

3.2.3 Etiologi

Penyebab bronkopneumonia yang biasa dijumpai adalah :

1. Faktor Infeksi

a. Pada neonatus: Streptokokus grup B, Respiratory Sincytial Virus

(RSV).

b. Pada bayi:

Virus: Virus parainfluenza, influenza, Adenovirus, RSV,

Cytomegalovirus.

Organisme atipikal: Chlamidia trachomatis, pneumocytis.

Bakteri: Streptokokus pneumoni, Haemofilus influenza, Mycobacterium

tuberculosa, B. pertusis.

c. Pada anak-anak :

Virus: Parainfluensa, Influensa Virus, Adenovirus, RSP.

Organisme atipikal: Mycoplasma pneumonia

Bakteri : Pneumokokus, Mycobacterium tuberculosa.

d. Pada anak besar – dewasa muda :

Organisme atipikal: Mycoplasma pneumonia, C. Trachomatis

Bakteri: Pneumokokus, B. Pertusis, M. tuberculosis.

2. Faktor Non Infeksi.

Terjadi akibat disfungsi menelan atau refluks esophagus meliputi :

a. Bronkopneumonia hidrokarbon:

Terjadi karena aspirasi selama penelanan muntah atau sonde lambung (zat

hidrokarbon seperti pelitur, minyak tanah dan bensin).

b. Bronkopneumonia lipoid:

Terjadi akibat masuknya obat yang mengandung minyak secara intranasal,

termasuk jeli petroleum. Setiap keadaan yang mengganggu mekanisme

menelan seperti latoskizis, pemberian makanan dengan posisi horizontal,

25

Page 26: BAB_II__case_BP_fix

atau pemaksaan pemberian makanan seperti minyak ikan pada anak yang

sedang menangis. Keparahan penyakit tergantung pada jenis minyak yang

terinhalasi. Jenis minyak binatang yang mengandung asam lemak tinggi

bersifat paling merusak contohnya seperti susu dan minyak ikan.4,9

Selain faktor di atas, daya tahan tubuh sangat berpengaruh untuk terjadinya

Bronkopneumonia. Menurunnya sistem imun pada penderita-penderita penyakit

yang berat seperti AIDS dan respon imunitas yang belum berkembang pada bayi

dan anak, malnutrisi energy protein (MEP), penyakit menahun, pengobatan

antibiotik yang tidak sempurna merupakan faktor predisposisi terjadinya penyakit

ini.2,7,9

Bakteri penyebab Pneumonia berdasarkan umur

Umur Bakteri

< 1 Bulan

Grup B streptococcusGram negativ

E. coliKebsiella

1-3 BulanChlammydia

Staphilococcus aureusGrup B streptococcus

3 Bulan – 5 tahun

H. InfluenzaeS. Pneumoniae

S. AureusGrup A streptococcus

Mycoplasma

5-10 Tahun

MycoplasmaS. Aureus

Grup A streptococcus

> 10 Tahun

S. PneumoniaeMycoplasma

Grup A streptococcusKlabsiella

3.2.4 Klasifikasi

26

Page 27: BAB_II__case_BP_fix

Pembagian pneumonia sendiri pada dasarnya tidak ada yang memuaskan,

dan pada umumnya pembagian berdasarkan anatomi dan etiologi. Beberapa ahli

telah membuktikan bahwa pembagian pneumonia berdasarkan etiologi terbukti

secara klinis dan memberikan terapi yang lebih relevan. Berikut pembagian secara

anatomis:5,9

1. Pneumonia lobaris

2. Pneumonia lobularis (bronkopneumonia)

3. Pneumonia interstisialis (bronkiolitis)

Sedangkan pembagian secara etiologi :

a. Bakteri : Pneumococcus pneumonia, Streptococcus pneumonia,

Staphylococcus pneumonia, Haemofilus influenzae.

b. Virus : Respiratory Syncitial virus, Parainfluenzae virus, Adenovirus

c. Jamur : Candida, Aspergillus, Mucor, Histoplasmosis, Coccidiomycosis,

Blastomycosis, Cryptoccosis.

d. Corpus alienum

e. Aspirasi

f. Pneumonia hipostatik

3.2.5 Patogenesis

Dalam keadaan sehat pada paru tidak akan terjadi pertumbuhan

mikroorganisme, keadaan ini disebabkan oleh adanya mekanisme pertahanan

paru. Masuknya mikroorganisme ke dalam saluran nafas dan paru dapat melalui

berbagai cara, antara lain:

1. Inhalasi langsung dari udara

2. Aspirasi dari bahan-bahan yang ada di nasofaring dan orofaring.

3. Perluasan langsung dari tempat-tempat lain.

4. Penyebaran secara hematogen.

Mekanisme daya tahan traktus respiratorius bagian bawah sangat efisien

untuk mencegah infeksi yang terdiri dari :

27

Page 28: BAB_II__case_BP_fix

1. Susunan anatomis rongga hidung.

2. Jaringan limfoid di nasofaring.

3. Bulu getar yang meliputi sebagian besar epitel traktus respiratorius dan sekret

lain yang dikeluarkan oleh sel epitel tersebut.

4. Refleks batuk.

5. Refleks epiglotis yang mencegah terjadinya aspirasi sekret yang terinfeksi.

6. Drainase sistem limfatis dan fungsi menyaring kelenjar limfe regional.

7. Fagositosis aksi limfosit dan respon imunohumoral terutama dari Ig A.

8. Sekresi enzim – enzim dari sel-sel yang melapisi trakeo-bronkial yang

bekerja sebagai antimikroba yang non spesifik.5,9

Bila pertahanan tubuh tidak kuat maka mikroorganisme dapat melalui jalan

nafas sampai ke alveoli yang menyebabkan radang pada dinding alveoli dan

jaringan sekitarnya. Setelah itu mikroorganisme tiba di alveoli membentuk suatu

proses peradangan yang meliputi empat stadium, yaitu:

1. Stadium I (4 – 12 jam pertama/kongesti)

Disebut hiperemia, mengacu pada respon peradangan permulaan yang

berlangsung pada daerah baru yang terinfeksi. Hal ini ditandai dengan

peningkatan aliran darah dan permeabilitas kapiler di tempat infeksi. Hiperemia

ini terjadi akibat pelepasan mediator-mediator peradangan dari sel-sel mast

setelah pengaktifan sel imun dan cedera jaringan. Mediator-mediator tersebut

mencakup histamin dan prostaglandin. Degranulasi sel mast juga mengaktifkan

jalur komplemen. Komplemen bekerja sama dengan histamin dan prostaglandin

untuk melemaskan otot polos vaskuler paru dan peningkatan permeabilitas kapiler

paru.

Hal ini mengakibatkan perpindahan eksudat plasma ke dalam ruang

interstisium sehingga terjadi pembengkakan dan edema antar kapiler dan alveolus.

Penimbunan cairan di antara kapiler dan alveolus meningkatkan jarak yang harus

ditempuh oleh oksigen dan karbondioksida maka perpindahan gas ini dalam darah

28

Page 29: BAB_II__case_BP_fix

paling berpengaruh dan sering mengakibatkan penurunan saturasi oksigen

hemoglobin.

2. Stadium II (48 jam berikutnya)

Disebut hepatisasi merah, terjadi sewaktu alveolus terisi oleh sel darah

merah, eksudat dan fibrin yang dihasilkan oleh penjamu ( host ) sebagai bagian

dari reaksi peradangan. Lobus yang terkena menjadi padat oleh karena adanya

penumpukan leukosit, eritrosit dan cairan, sehingga warna paru menjadi merah

dan pada perabaan seperti hepar, pada stadium ini udara alveoli tidak ada atau

sangat minimal sehingga anak akan bertambah sesak, stadium ini berlangsung

sangat singkat, yaitu selama 48 jam.

3. Stadium III (3 – 8 hari)

Disebut hepatisasi kelabu yang terjadi sewaktu sel-sel darah putih

mengkolonisasi daerah paru yang terinfeksi. Pada saat ini endapan fibrin

terakumulasi di seluruh daerah yang cedera dan terjadi fagositosis sisa-sisa sel.

Pada stadium ini eritrosit di alveoli mulai diresorbsi, lobus masih tetap padat

karena berisi fibrin dan leukosit, warna merah menjadi pucat kelabu dan kapiler

darah tidak lagi mengalami kongesti.

4. Stadium IV (7 – 11 hari)

Disebut juga stadium resolusi yang terjadi sewaktu respon imun dan

peradangan mereda, sisa-sisa sel fibrin dan eksudat lisis dan diabsorsi oleh

makrofag sehingga jaringan kembali ke strukturnya semula.5,7,9

3.2.6 Gambaran Klinis

Bronkopneumonia biasanya didahului oleh infeksi saluran nafas bagian atas

selama beberapa hari. Suhu dapat naik secara mendadak sampai 39-40oC dan

mungkin disertai kejang karena demam yang tinggi. Anak sangat gelisah, dispnu,

pernafasan cepat dan dangkal disertai pernafasan cuping hidung dan sianosis di

sekitar hidung dan mulut. Batuk biasanya tidak dijumpai pada awal penyakit, anak

akan mendapat batuk setelah beberapa hari, di mana pada awalnya berupa batuk

kering kemudian menjadi produktif.

1. Pemeriksaan fisik

29

Page 30: BAB_II__case_BP_fix

a. Inspeksi : pernafasan cuping hidung(+), sianosis sekitar hidung dan mulut,

retraksi sela iga.

b. Palpasi : Stem fremitus yang meningkat pada sisi yang sakit.

c. Perkusi : Sonor memendek sampai beda.

d. Auskultasi : Suara pernafasan mengeras (vesikuler mengeras ) disertai ronki

basah halus sampai sedang.

Pada bronkopneumonia, hasil pemeriksaan fisik tergantung pada luasnya

daerah yang terkena. Pada perkusi toraks sering tidak dijumpai adanya kelainan.

Pada auskultasi mungkin hanya terdengar ronki basah gelembung halus sampai

sedang.Bila sarang bronkopneumonia menjadi satu (konfluens) mungkin pada

perkusi terdengar suara yang meredup dan suara pernafasan pada auskultasi

terdengar mengeras. Pada stadium resolusi ronki dapat terdengar lagi. Tanpa

pengobatan biasanya proses penyembuhan dapat terjadi antara 2-3 minggu.2,5,7

3.2.7 Pemeriksaan Penunjang

1. Gambaran darah menunjukkan leukositosis, biasanya 15.000 – 40.000/ mm3

dengan pergeseran ke kiri. Jumlah leukosit yang tidak meningkat

berhubungan dengan infeksi virus atau mycoplasma.

2. Nilai Hb biasanya tetap normal atau sedikit menurun

3. Sinar x: mengidentifikasi distribusi struktural; dapat juga menyatakan abses

luas/infiltrat, empiema(stapilococcus); infiltrasi menyebar atau terlokalisasi

(bakterial); atau penyebaran/perluasan infiltrat nodul (virus). Pneumonia

mikoplasma sinar x dada mungkin bersih.

4. Analisa gas darah (AGD) menunjukkan hipoksemia dan hiperkarbia. Pada

stadium lanjut dapat terjadi asidosis metabolik.

5. Pemeriksaan gram/kultur sputum dan darah: diambil dengan biopsi jarum,

aspirasi transtrakeal, bronkoskopifiberotik atau biopsi pembukaan paru untuk

mengatasi organisme penyebab. Kultur dahak dapat positif pada 20 – 50%

penderita yang tidak diobati.

30

Page 31: BAB_II__case_BP_fix

6. JDL : leukositosis biasanya ada, meski sel darah putih rendah terjadi pada

infeksi virus, kondisi tekanan imun memungkinkan berkembangnya

pneumonia bakterial.

7. Pemeriksaan serologi: titer virus atu legionella, aglutinin dingin.

8. LED: meningkat

9. Pemeriksaan fungsi paru: volume mungkin menurun (kongesti dan kolaps

alveolar); tekanan jalan nafas mungkin meningkat dan komplain menurun,

hipoksemia.

10. Elektrolit: natrium dan klorida mungkin rendah

11. Bilirubin: mungkin meningkat

12. Aspirasi perkutan/biopsi jaringan paru terbuka: menyatakan intranuklear

tipikal dan keterlibatan sitoplasmik (CMV).2,5,7

3.2.8 Diagnosis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik

yang sesuai dengan gejala dan tanda yang diuraikan sebelumnya disertai

pemeriksaan penunjang. Pada bronkopneumonia, bercak-bercak infiltrat didapati

pada satu atau beberapa lobus. Foto rontgen dapat juga menunjukkan adanya

komplikasi seperti pleuritis, atelektasis, abses paru, pneumotoraks atau

perikarditis. Gambaran ke arah sel polimorfonuklear juga dapat dijumpai. Pada

bayi-bayi kecil jumlah leukosit dapat berada dalam batas yang normal. Kadar

hemoglobin biasanya normal atau sedikit menurun.5,9

Diagnosis etiologi dibuat berdasarkan pemeriksaan mikrobiologi serologi,

karena pemeriksaan mikrobiologi tidak mudah dilakukan dan bila dapat dilakukan

kuman penyebab tidak selalu dapat ditemukan. Oleh karena itu WHO mengajukan

pedoman diagnosa dan tata laksana yang lebih sederhana. Berdasarkan pedoman

tersebut bronkopneumonia dibedakan berdasarkan:5,7

1. Bronkopneumonia sangat berat:

Bila terjadi sianosis sentral dan anak tidak sanggup minum,maka anak harus

dirawat di rumah sakit dan diberi antibiotika.

2. Bronkopneumonia berat:

31

Page 32: BAB_II__case_BP_fix

Bila dijumpai adanya retraksi, tanpa sianosis dan masih sanggup minum,maka

anak harus dirawat di rumah sakit dan diberi antibiotika.

3. Bronkopneumonia:

Bila tidak ada retraksi tetapi dijumpai pernafasan yang cepat: > 60 x/menit pada

anak usia <2 bulan; > 50 x/menit pada anak usia 2 bulan – 1 tahun > 40 x/menit

pada anak usia 1 - 5 tahun.

4. Bukan bronkopenumonia :

Hanya batuk tanpa adanya tanda dan gejala seperti diatas, tidak perlu dirawat dan

tidak perlu diberi antibiotika.

Diagnosis pasti dilakukan dengan identifikasi kuman penyebab:

1. Kultur sputum atau bilasan cairan lambung

2. Kultur nasofaring atau kultur tenggorokan (throat swab), terutama virus

3. Deteksi antigen bakteri

3.2.9 Diagnosa Banding

1. Bronkiolitis

2. Aspirasi pneumonia

3. Tb paru primer

3.2.10 Penatalaksanaan

1. Terapi Kausatif

Antibiotik polifragmasi selama 10-15 hari, yaitu:

a. Ampicilin 100 mg/kgBB/hari dalam 3-4 dosis

b. Klorampenikol dengan dosis:

Umur < 6 bulan: 25-50 mg/kgBB/hari

Umur > 6 bulan: 50-75 mg/kgBB/hari dosis dibagi dalam 3 dosis atau

Gentamisin dengan dosis 3-5 mg/kgBB/hari diberikan dalam 2 dosis

2. Terapi Supportif

a. Pemberian oksigen dan cairan intravena, biasanya diperlukan campuran

glukose 5% dan Nacl 0.9% dalam perbandingan 3:1 ditambah larutan KCL 10

mEq/500 ml/botol infus. Oksigen 2-4 L/menit sampai sesak hilang.

32

Page 33: BAB_II__case_BP_fix

b. Karena sebagian besar pasien jatuh kedalam asidosis metabolik akibat kurang

makan dapat diberikan koreksi sesuai denagn hasil analisa gas darah arteri.

Seringkali pasien pneumonia yang dirawat di rumah sakit datang sudah dalam

keadaan payah, sangat dispnea, pernapasan cuping hidung, sianosis, dan gelisah.

Masalah yang perlu diperhatikan ialah:

a. Menjaga kelancaran pernafasan.

b. Kebutuhan istirahat.

c. Kebutuhan nutrisi dan cairan.

d. Mengontrol suhu tubuh.

e. Mencegah komplikasi/gangguan rasa aman dan nyaman.

f. Kurangnya pengetahuan orang tua mengenai penyakit.2,5

3.2.11 Komplikasi

Komplikasi dari bronchopneumonia adalah:

1. Atelektasis adalah pengembangan paru-paru yang tidak sempurna atau kolaps

paru merupakan akibat kurangnya mobilisasi atau refleks batuk hilang.

2. Empiema adalah suatu keadaan dimana terkumpulnya nanah dalam rongga

pleura terdapat di satu tempat atau seluruh rongga pleura.

3. Abses paru adalah pengumpulan pus dalam jaringan paru yang meradang.

4. Infeksi sistemik

5. Endokarditis yaitu peradangan pada setiap katup endokardial.

6. Meningitis yaitu infeksi yang menyerang selaput otak.

7. Efusi pleura

8. Otitis media

9. Bronkiektase5

3.2.12 Prognosis

Prognosis penyakit ini bonam, mortalitas kurang dari 1 %, mortalitas bisa

lebih tinggi didapatkan pada anak-anak dengan keadaan malnutrisi energi-protein

dan datang terlambat untuk pengobatan.

33

Page 34: BAB_II__case_BP_fix

Interaksi sinergis antara malnutrisi dan infeksi sudah lama diketahui. Infeksi

berat dapat memperjelek keadaan melalui asupan makanan dan peningkatan

hilangnya zat-zat gizi esensial tubuh. Sebaliknya malnutrisi ringan memberikan

pengaruh negatif pada daya tahan tubuh terhadap infeksi. Kedua-duanya bekerja

sinergis, maka malnutrisi bersama-sama dengan infeksi memberi dampak negatif

yang lebih besar dibandingkan dengan dampak oleh faktor infeksi dan malnutrisi

apabila berdiri sendiri.5,7

3.2.13 Pencegahan

Penyakit bronkopneumonia dapat dicegah dengan menghindari kontak

dengan penderita atau mengobati secara dini penyakit-penyakit yang dapat

menyebabkan terjadinya bronkopneumonia ini. Selain itu hal-hal yang dapat

dilakukan adalah dengan meningkatkan daya tahan tubuh kaita terhadap berbagai

penyakit saluran nafas seperti: cara hidup sehat, makan makanan bergizi dan

teratur ,menjaga kebersihan,beristirahat yang cukup, rajin berolahraga, dll.

Melakukan vaksinasi juga diharapkan dapat mengurangi kemungkinan terinfeksi

antara lain:

Vaksinasi Pneumokokus

Vaksinasi H. influenza

Vaksinasi Varisela yang dianjurkan pada anak dengan daya tahan tubuh

rendah

Vaksin influenza yang diberikan pada anak sebelum anak sakit.5,7

3.3 Anemia

3.3.1 Anemia Defisiensi Besi

Anemia defisiensi besi ialah anemia yang disebabkan oleh cadangan besi

tubuh berkurang. Keadaan ini ditandai dengan saturasi transferin menurun, dan

kadar feritin atau hemosiderin sumsum tulang berkurang. Menurut Walmsley et

34

Page 35: BAB_II__case_BP_fix

al. secara berurutan perubahan laboratoris pada defisiensi besi sebagai berikut: (1)

penurunan simpanan besi, (2) penurunan feritin serum, (3) penurunan besi serum

disertai meningkatnya transferin serum, (4) peningkatan Red cell Distribution

Width (RDW), (5) penurunan Mean Corpuscular Volume (MCV), dan terakhir (6)

penurunan hemoglobin.

Didasari keadaan cadangan besi, akan timbul defisiensi besi yang terdiri

atas tiga tahap, dimulai dari tahap yang paling ringan yaitu tahap pralaten (iron

depletion), kemudian tahap laten (iron deficient erythropoesis) dan tahap anemia

defisiensi besi (iron deficiency anemia). Pada tahap pertama terjadi penurunan

feritin serum kurang dari 12μg/L dan besi di sumsum tulang kosong atau positif

satu, sedangkan komponen yang lain seperti kapasitas ikat besi total/total iron

bindincapacity (TIBC), besi serum/serum iron (SI), saturasi transferin, RDW,

MCV, hemoglobin dan morfologi sel darah masih dalam batas normal, dan

disebut tahap deplesi besi.

Pada tahap kedua terjadi penurunan feritin serum, besi serum, saturasi

transferin dan besi di sumsum tulang yang kosong, tetapi TIBC meningkat >390

μg/dl. Komponen lainnya masih normal, dan disebut eritropoesis defisiensi besi.

Tahap ketiga disebut anemia defisiensi besi. Anemia defisiensi besi ialah tahap

defisiensi besi yang berat dari dan ditandai selain kadar feritin serum serta

hemoglobin yang turun. Semua komponen lainjuga akan mengalami perubahan

seperti gambaran morfologi sel darah mikrositik hipokromik, sedangkan RDW

dan TIBC meningkat >410 μg/dl.

3.3.2 Anemia Penyakit Kronis

Anemia pada penyakit kronik adalah anemia yang dijumpai pada penyakit

kronik tertentu yang khas ditandai oleh gangguan metabolisme besi yaitu adanya

hipoferemia sehingga menyebabkan berkurangnya penyediaan besi yang

dibutuhkan untuk sintesis hemoglobin tetapi cadangan besi sumsum tulang masih

35

Page 36: BAB_II__case_BP_fix

cukup. Anemia penyakit kronis merupakan bentuk anemia derajat ringan sampai

sedang yang terjadi akibat infeksi kronis, peradangan, trauma dan penyakit

neoplastik yang telah berlangsung 1–2 bulan dan tidak disertai penyakit hati,

ginjal dan endokrin. Jenis anemia ini ditandai dengan kelainan metabolism besi,

sehingga terjadi hipoferemia dan penumpukan besi di makrofag. Secara garis

besar pathogenesis anemia penyakit kronis dititik beratkan pada 3 abnormalitas

utama: ketahanan hidup eritrosit yang memendek akibat terjadinya lisis eritrosit

lebih dini, respon sumsum tulang karena respon eritropoetin yang terganggu atau

menurun, dan gangguan metabolisme berupa gangguan reutilisasi besi

Anemia pada penyakit kronik adalah anemia paling sering nomor dua

setelah anemia defisiensi besi. Tidak ada data epidemiologis mengenai semua

kondisi penyakit dasar yang berhubungan dengan anemia pada penyakit kronik.

Prevalensi dan beratnya anemia berhubungan dengan stage penyakit dan kondisi

penyakit dasar. Penyebab tersering anemia pada penyakit kronik adalah

tuberkulosis paru. Belum banyak data epidemiologis anemia pada penyakit kronik

dipublikasikan di Indonesia.

Ciri khas anemia pada penyakit kronik adalah gangguan hemostasis besi

yaitu meningkatnya uptake dan retensi besi dalam sel sel retikuloendotelial. Ini

menimbulkan perpindahan besi dari sirkulasi kedalam tempat penyimpanan besi

tubuh didalam sistem retikuloendotelial sehingga penyediaan besi untuk sel

progenitor eritroid di sumsum tulang dalam proses eritropoisis akan berkurang

dan terjadi eritropoisis dengan restriksi besi.

Anemia pada penyakit kronik adalah immune driven, dimana sitokin dan

sel- sel retikuloendotelial menginduksi perubahan homeostasis besi, proliferasi sel

progenitor eritroid, produksi eritropoietin oleh ginjal, berkurangnya umur eritrosit,

yang semuanya berkontribusi pada patogenesis terjadinya anemia pada penyakit

kronik, karena dipengaruhi berbagai penyakit dasar maka menjadi sulit untuk

36

Page 37: BAB_II__case_BP_fix

menentukan salah satu mekanisme yang paling bertanggung jawab dalam

terjadinya anemia pada penyakit kronik.

BAB IV

ANALISIS KASUS

Pasien seorang anak laki-laki berusia 13 bulan datang dengan keluhan

utama sesak yang terjadi sejak ± 7 hari SMRS. Perjalanan penyakit dimulai +

37

Page 38: BAB_II__case_BP_fix

10 hari SMRS pasien mengalami demam (+) tinggi, terus-menerus (+), batuk

(+), pilek (-), mual (-), muntah (-), BAB dan BAK seperti biasa. + 7 hari SMRS

pasien menderita sesak napas (+), sesak tidak dipengaruhi cuaca, aktivitas dan

posisi. Batuk (+), pilek (+), demam (+) tinggi, terus menerus, mual (-), muntah

(-), BAB dan BAK seperti biasa. Riwayat asma dan keluarga dengan asma

tidak ada. Pasien pernah menderita keluhan yang sama sekitar satu bulan yang

lalu dan didiagnosa bronkopneumonia dengan hipokalemia. Keluhan ini

merupakan petunjuk diagnosis banding yang mungkin, yaitu bronkopneumonia

dan brokiolitis. Bronkopneumonia dan bronkiolitis bermanifestasi klinis

demam, batuk, sesak napas.

Pada pemeriksaan fisik didapatkan frekuensi nadi 130 x/menit, frekuensi

napas 50 x/menit, temperatur 380C, konjungtiva anemis, akral pucat, dan

retraksi di intercostal dan subscapula, ronkhi basah halus nyaring. Dari hasil

pemeriksaan fisik anak terlihat sesak, demam, dan terdapat ronki basah halus

nyaring. Dari perjalanan penyakit, pasien menderita demam tinggi sekitar 3

hari sebelum anak menderita sesak dan ditemukan ronki basaah halus nyaring

hal ini dapat menyingirkan kemungkinan pasien menderita bronkhiolitis karena

pada bronkhiolitis demam biasanya tidak terlalu tinggi (penyebab terbanyak

bronkhiolitis adalah virus) dan pada pemeriksaan fisik ditemukan wheezing.

Rokhi basah halus nyaring terjadi akibat aliran udara melewatti cairan

(bronkopneumonia menghasilkan banyak sekret) sedangkan wheezing terjadi

karena peyempitan jalan pernapasan akibat bronkospasme seperti yang terjadi

pada bronkiolitis dan asma. Pada anak juga ditemukan konjungtiva pucat dan

akral pucat, kemungkinan anak menderita anemia karena penyakit kronis.

Hal ini didukung dengan hasil laboratorium hemoglobin 9,2 g/dL, MCV

75,2 fl, MCH 25 pg, MCHC 33 g/dL, Fe serum 63 ug/L, TIBC 377 ug/dL, dan

ferritin 16,88 ng/mL (kesan: normokrom mikrositik dengan peningkatan

TIBC).

Terapi yang digunakan pada pasien ini adalah kombinasi antiobiotik

ampisilin dan gentamisin. Ampisilin merupakan antibiotik spektrum luas

38

Page 39: BAB_II__case_BP_fix

golongan penicilin yang sangat efektif terhadap bakteri streptococcus yang

merupakan penyebab terbanyak bronkopneumonia. Ampisilin bersifat

bakteriasid yaitu bersifat destruktif terhadap bakteri. Gentamisin merupakan

antibiotik spektrum luas kurang efektif terhadap bakteri anaerob dan bakteri

streptokokus dan pneumokokus sehingga pemberian gentamisin akan lebih

efektif dikombinasikan dengan golongan penisilin.

DAFTAR PUSTAKA

1. Behrman R.E, Vaughan V.C. 1992. Ilmu Kesehatan Anak Nelson Jilid 2. Jakarta:

EGC.

2. Kiagus Yangtjik. 2012. Bronkopnemonia. Dalam Standar Pelaksanaan

39

Page 40: BAB_II__case_BP_fix

Universitas Sriwijaya. Palembang: UniversitasSriwijaya.

3. Mansjoer A, Wardhani WI.2000. Kapita Selekta Kedokteran Edisi 3 Jilid2.

Jakarta: Media Aesculapius FK UI

4. UNICEF. 2006. Pneumonia The Forgotten Killer of Children.

5. Price, Sylvia Anderson, Wilson Lorraine Mc Carty. 2006. Patofisiologi Proses

Penyakit Edisi 4. Jakarta: EGC.

6. Said Mardjanis.1995. Pneumonia dan Bronkiolitis pada Anak. Jakarta: FKUI.

7. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak. 1985. Pneumonia. Dalam: Buku Kuliah

Ilmu Rusepno Illasan, Husein Alatas, editor. Ilmu Kesehatan Anak 3. Jakarta:

Universitas Indonesia; hal 1228-1233.

8. Snell,Richard S. 2006. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran Edisi 6.

Jakarta: EGC

9. Victoria, C.G. Sandra, C.F. Flores, J.A.C. Fonseca, W. Kirkwood, B. 1994. Risk

Factors for Pneumonia Among Children in a Brazillian Metropolitan Area. J

Pediatric; p 977-985.

10. Muhammad Adang dan Osman Sianipar. 2005. Penentuan Defisiensi Besi

Anemia Penyaki Kronis Menggunakan Peran Indeks sTfR-F dalam http:

www.ojsunud.ac.id diakses pada 27 Oktober 2014

40