bab vi produksi lakase dari marasmius sp. dalam bioreaktor ... · pdf filekompresor sistem...

23
50 Bab VI Produksi Lakase dari Marasmius sp. dalam Bioreaktor Imersi Berkala Termodifikasi Abstrak Lakase merupakan salah satu enzim yang dihasilkan oleh jamur pelapuk putih yang dapat digunakan pada degradasi lignin. Kemampuan ini dapat dimanfaatkan untuk proses pemutihan pulp. Penelitian produksi lakase telah banyak dilakukan pada berbagai spesies jamur, jenis reaktor, jenis kultivasi dan inducer yang digunakan. Salah satu faktor yang berpengaruh pada produksi lakase adalah tegangan geser (shear stress). Tegangan geser yang kuat pada kultur akan menghambat dan membuat lakase tidak aktif. Temporary immersion bioreactor merupakan bioreaktor yang dapat mengurangi tegangan geser terhadap kultur jamur. Pada penelitian ini dilakukan produksi lakase pada bioreaktor imersi berkala termodifikasi. Penelitian dilakukan untuk mengetahui pengaruh lamanya waktu imersi pada produksi lakase. Variasi waktu imersi yang dilakukan adalah waktu imersi 15 menit, 12 jam dan 24 jam. Hasil penelitian menunjukkan bahwa aktivitas maksimum lakase diperoleh pada kultur Marasmius sp dengan waktu imersi 12 jam, yaitu sebesar 457,6 U/l dan diikuti berturut-turut oleh kultur Marasmius sp. dengan waktu imersi 15 menit (348,4 U/l) dan 24 jam (281,9 U/l). Aktivitas lakase pada siklus kedua lebih rendah dibandingkan siklus pertama. Persentase penurunan tertinggi aktivitas lakase pada siklus kedua terjadi pada kultur dengan waktu imersi 24 jam (80,66%) kemudian diikuti oleh kultur dengan waktu imersi 12 jam (64,30%) dan 15 menit (3,83%). Kultur dengan waktu imersi 12 jam menghasilkan lakase lebih tinggi dibandingkan kultur dengan waktu imersi 15 menit dan 24 jam, namun produktivitas kultur tersebut tidak menunjukkan nilai yang paling tinggi. Hasil penelitian menunjukkan produktivitas kultur Marasmius sp. dengan waktu imersi 15 menit menghasilkan produktivitas yang paling tinggi yaitu 348,4 U/l/hari diikuti oleh kultur dengan waktu imersi 24 jam (281,9 U/l/hari) dan 12 jam (152,5 U/l/hari). Aktivitas lakase dapat juga dinyatakan sebagai Unit per mg total protein. Aktivitas lakase siklus pertama dan siklus kedua memiliki pola kecenderungan yang sama yaitu mula-mula aktivitasnya naik sampai aktivitas tertinggi kemudian turun aktivitasnya. Aktivitas lakase yang didapat pada siklus pertama untuk waktu imersi 12 jam sebesar 7,46 U/mg protein, berturut-turut kemudian adalah waktu imersi 15 menit (3,49 U/mg protein) dan waktu imersi 24 jam (2,57 U/mg protein). Aktivitas lakase pada siklus kedua menunjukkan pola yang sama dengan siklus pertama namun nilainya lebih rendah. Hal ini menunjukkan adanya protein (enzim ekstraseluler) lain selain lakase. Kata kunci : lakase, Marasmius sp., bioreaktor imersi berkala termodifikasi, tegangan geser, waktu imersi, aktivitas lakase, produktivitas kultur.

Upload: lytu

Post on 31-Jan-2018

215 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

50

Bab VI Produksi Lakase dari Marasmius sp.

dalam Bioreaktor Imersi Berkala Termodifikasi

Abstrak

Lakase merupakan salah satu enzim yang dihasilkan oleh jamur pelapuk putih yang dapat digunakan pada degradasi lignin. Kemampuan ini dapat dimanfaatkan untuk proses pemutihan pulp. Penelitian produksi lakase telah banyak dilakukan pada berbagai spesies jamur, jenis reaktor, jenis kultivasi dan inducer yang digunakan. Salah satu faktor yang berpengaruh pada produksi lakase adalah tegangan geser (shear stress). Tegangan geser yang kuat pada kultur akan menghambat dan membuat lakase tidak aktif. Temporary immersion bioreactor merupakan bioreaktor yang dapat mengurangi tegangan geser terhadap kultur jamur. Pada penelitian ini dilakukan produksi lakase pada bioreaktor imersi berkala termodifikasi. Penelitian dilakukan untuk mengetahui pengaruh lamanya waktu imersi pada produksi lakase. Variasi waktu imersi yang dilakukan adalah waktu imersi 15 menit, 12 jam dan 24 jam. Hasil penelitian menunjukkan bahwa aktivitas maksimum lakase diperoleh pada kultur Marasmius sp dengan waktu imersi 12 jam, yaitu sebesar 457,6 U/l dan diikuti berturut-turut oleh kultur Marasmius sp. dengan waktu imersi 15 menit (348,4 U/l) dan 24 jam (281,9 U/l). Aktivitas lakase pada siklus kedua lebih rendah dibandingkan siklus pertama. Persentase penurunan tertinggi aktivitas lakase pada siklus kedua terjadi pada kultur dengan waktu imersi 24 jam (80,66%) kemudian diikuti oleh kultur dengan waktu imersi 12 jam (64,30%) dan 15 menit (3,83%). Kultur dengan waktu imersi 12 jam menghasilkan lakase lebih tinggi dibandingkan kultur dengan waktu imersi 15 menit dan 24 jam, namun produktivitas kultur tersebut tidak menunjukkan nilai yang paling tinggi. Hasil penelitian menunjukkan produktivitas kultur Marasmius sp. dengan waktu imersi 15 menit menghasilkan produktivitas yang paling tinggi yaitu 348,4 U/l/hari diikuti oleh kultur dengan waktu imersi 24 jam (281,9 U/l/hari) dan 12 jam (152,5 U/l/hari). Aktivitas lakase dapat juga dinyatakan sebagai Unit per mg total protein. Aktivitas lakase siklus pertama dan siklus kedua memiliki pola kecenderungan yang sama yaitu mula-mula aktivitasnya naik sampai aktivitas tertinggi kemudian turun aktivitasnya. Aktivitas lakase yang didapat pada siklus pertama untuk waktu imersi 12 jam sebesar 7,46 U/mg protein, berturut-turut kemudian adalah waktu imersi 15 menit (3,49 U/mg protein) dan waktu imersi 24 jam (2,57 U/mg protein). Aktivitas lakase pada siklus kedua menunjukkan pola yang sama dengan siklus pertama namun nilainya lebih rendah. Hal ini menunjukkan adanya protein (enzim ekstraseluler) lain selain lakase.

Kata kunci : lakase, Marasmius sp., bioreaktor imersi berkala termodifikasi, tegangan geser, waktu imersi, aktivitas lakase, produktivitas kultur.

51

VI.1 Pendahuluan

Lakase dikelompokkan ke dalam enzim oksidatif yang berperan sebagai biokatalis

proses degradasi lignin. Dengan kemampuannya ini, industri pulp, kertas dan

tekstil mulai menggunakan enzim ini pada proses produksinya untuk

mendapatkan proses produksi yang efisien dan ramah lingkungan karena dalam

kerjanya enzim ini hanya memerlukan oksigen dan menghasilkan air sebagai satu-

satunya produk samping (Riva, 2005). Namun demikian penggunaan enzim ini

pada industri tersebut di atas masih sangat rendah atau masih dalam tahap

pengembangan. Salah satu penyebabnya adalah harga lakase yang masih sangat

mahal. Jika industri tersebut dapat memproduksi enzim ini secara mandiri dan

langsung digunakan tanpa harus melalui proses pemurnian yang panjang, maka

diperkirakan biaya pengadaan enzim ini akan turun dan penggunaannya akan

meningkat.

Di alam terdapat tiga jenis jamur pengurai kayu yaitu pelapuk putih (white rot),

pelapuk coklat (brown rot), dan pelapuk lunak (soft rot, yang dapat mendegradasi

lignin. Jamur pelapuk putih merupakan kelompok jamur pengurai kayu yang

memiliki kemampuan mendegradasi lignin paling tinggi. Jamur ini melakukan

dekomposisi lignin sehingga dapat mencapai selulosa dan hemiselulosa (Pérez

dkk., 2005). Degradasi lignin dalam kayu menyebabkan terbentuknya kantung-

kantung yang berwarna putih, sehingga kelompok jamur ini disebut sebagai

jamur pelapuk putih (gambar VI.1). Beberapa contoh jamur pelapuk putih antara

lain Trametes versicolor, Irpex lacteus, P. chrysosporium, Heterobasidium

annosum, Ganoderma australe, Phlebia tremellosa, Pleurotus spp. dan Phellinus

pini yang merupakan kelompok Basidiomycetes, serta Xylaria hypoxylan yang

termasuk dalam kelompok Ascomycetes (Martinez dkk., 2005).

52

Gambar VI.1. Degradasi kayu pinus oleh jamur pelapuk putih oleh Phellinus

pini. Bagian berwarna putih merupakan daerah delignifikasi atau penyisihan lignin dan bukan merupakan degradasi selulosa (www.forestpathology.coafes.umn.edu).

Jamur pelapuk coklat mempunyai kemampuan degradasi lignin lebih rendah

daripada jamur pelapuk putih, yang lebih suka menguraikan selulosa dan tidak

mendegradasi lignin secara luas. Pertumbuhan jamur pelapuk coklat pada kayu

hanya akan mengakibatkan lignin termodifikasi secara terbatas agar dapat

mengakses karbohidrat dinding sel (Pérez dkk., 2005). Proses pelapukan oleh

jamur pelapuk coklat akan mengakibatkan kayu menjadi berwarna coklat, kering,

mudah patah dengan patahan seperti kubus. Seluruh jamur pelapuk coklat masuk

ke dalam kelompok Basidiomycetes seperti C. Puteana, Gleophyllum trabeum,

Laetiporus sulphureus, Piptoporus betulinus, Postia placenta dan Serpula

lacrimans (Martinez dkk., 2005).

53

Gambar VI.2.

Degradasi kayu oleh jamur pelapuk coklat. Perhatikan bentuk kotak-kotak pada kayu yang merupakan ciri khas pelapukan kayu oleh jamur pelapuk coklat. (www.forestpathology.coafes.umn.edu)

Jamur pelapuk lunak merupakan pendegradasi yang lambat dan kurang agresif

dibandingkan dengan pelapuk putih dan pelapuk coklat. Jamur ini memiliki

kemampuan yang paling rendah untuk mendegradasi lignin jika dibandingkan

dengan jamur pengurai kayu lainnya. Secara umum kelompok jamur ini

mendegradasi selulosa dan hemiselulosa dengan hanya sedikit memodifikasi

lignin. Hasil pelapukan kayu oleh jamur pelapuk lunak mirip dengan pelapukan

oleh jamur pelapuk coklat seperti disajikan pada gambar VI.3. Pada kelembaban

yang tinggi kayu yang diuraikan oleh jamur ini akan menjadi lunak sedangkan

pada kondisi yang kering kayu akan berwarna coklat dan mudah menjadi bubuk.

Beberapa contoh spesies jamur pelapuk lunak antara lain Chaetomium globusum,

Ustulina deusta yang termasuk dalam kelompok Ascomycetes serta Alternaria

alternata, Thielavia terrestris, Paecilomyces spp. yang termasuk dalam kelompok

Deuteromycetes.

54

Gambar VI.3. Degradasi kayu oleh jamur pelapuk lunak

(www.forestpathology.coafes.umn.edu)

Ketiga jamur tersebut mensekresikan enzim-enzim ekstraseluler untuk

menguraikan komponen kayu. Hal tersebut yang mendasari penelitian ini yaitu

memproduksi enzim ekstraseluler untuk mendegradasi lignin pada proses

biobleaching pulp. Lakase (EC 1.10.3.2, p-difenol oksidase) merupakan salah satu

enzim ekstraseluler yang berfungsi mengkatalisis proses pemecahan lignin,

sehingga dapat digunakan sebagai bahan aktif pada proses biobleaching pulp.

Enzim ini dihasilkan oleh spesies jamur yang masuk ke dalam kelompok

Ascomycetes dan Basidiomycetes.

Penelitian produksi enzim lakase telah banyak dilakukan seperti disajikan pada

tabel VI.1. Penelitian tersebut dilakukan pada berbagai spesies jamur, jenis

reaktor, jenis kultivasi dan inducer yang digunakan (Couto dkk., 2006). Menurut

Van der Merwe (2002) produksi enzim ligninolitik jamur pelapuk putih

dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain spesies jamur, kandungan nitrogen,

temperatur, pH, inducer dan inhibitor. Sedangkan Prasad dkk. (2006)

mengungkapkan bahwa selain faktor tersebut transfer oksigen juga sangat penting.

Kultur yang teragitasi secara mekanis merupakan penghambat produksi lakase

karena adanya tegangan geser (shear stress) yang diterima oleh miselia jamur

55

dalam kultur rendam (Prasad dkk., 2005). Oleh karena itu pemilihan bioreaktor

sangat berpengaruh pada produksi enzim ini. Couto dkk. (2004) menggunakan

bioreaktor imersi dan peneliti yang sama pada tahun 2006 menggunakan

bioreaktor air-lift untuk memproduksi lakase. Pada kedua bioreaktor tersebut

tidak terdapat tegangan geser akibat agitasi mekanis, namun kebutuhan oksigen

tetap terpenuhi dengan baik.

Temporary immersion bioreactor telah digunakan dengan sukses untuk

menumbuhkan kultur Trametes versicolor dan Phanerochaete chrysosporium

yang digunakan pada proses penghilangan warna sintetis (Böhmer dkk., 2006).

Sistem kultivasi ini berhasil karena dapat mengurangi shear stress yang

menghambat produksi lakase.

Bioreaktor sistem RITA (Récipient à Immersion Temporaire Automatique)

(Artiles, 2003) terdiri dari dua kompartemen yaitu kompartemen untuk

pertumbuhan mikroorganisme dan kompartemen untuk medium cair. Kedua

kompartemen tersebut dihubungkan dengan selang silikon atau selang kaca. Udara

tekan steril dari kompresor dialirkan ke dalam kompartemen medium untuk

mendorong medium tersebut masuk ke dalam kompartemen tempat tumbuh

mikroorganisme. Keadaan ini akan menyebabkan mikroorganisme dapat

menggunakan nutrisi yang terdapat di dalam medium. Kondisi mikroorganisme

yang terendam dijaga beberapa saat kemudian udara tekan steril dialirkan ke

dalam kompartemen mikroorganisme untuk mendorong medium kembali ke

kompartemen medium. Keadaan ini akan memberikan kesempatan

mikroorganisme mendapatkan pasokan oksigen dari udara. Proses ini dilakukan

berulang-ulang (Artiles, 2003). Skema temporary immersion bioreactor disajikan

pada gambar VI.4.

56

Gambar VI.4. Skema temporary immersion bioreactor (www.bioplantas.cu)

Prinsip temporary immersion bioreactor tersebut telah digunakan oleh Couto dkk.

(2004) untuk memproduksi lakase menggunakan Trametes hirsuta yang

diimobilisasi dalam spon stainless steel. Perendaman kultur jamur terimobilisasi

dengan mencelupkannya ke dalam medium cair. Pada periode waktu tertentu

kultur diangkat dari medium cair (Couto dkk., 2004). Skema bioreaktor imersi

disajikan dalam gambar VI.5.

Gambar VI.5. Skema bioreaktor imersi produksi lakase

(Couto dkk., 2004)

kompresor sistem pneumatik pengambilan conto

medium cair

tempat kultur jamur

saringan steril

keluaran gas

57

Berdasarkan hal di atas maka pada penelitian ini digunakan prinsip dari temporary

immersion bioreactor yang dimodifikasi untuk memproduksi lakase yang

digunakan pada proses biobleaching pulp. Pemindahan medium cair dari satu

kompartemen ke kompartemen lainnya tidak menggunakan udara tekan melainkan

dengan memanfaatkan beda ketinggian kedua kompartemen. Pada penelitian ini

dilakukan kajian tentang pengaruh waktu imersi terhadap produksi lakase oleh

Marasmius sp.

58

Tabel VI.1. Konsentrasi maksimum lakase pada berbagai penelitian (Couto dkk., 2006)

Spesies jamur Jenis reaktor Jenis kultivasi Inducer Aktivitas maksimum (U/l) Peneliti

Pycnoporus cinnabarinus Packed bed Imobilisasi pada nilon - 270 Schliephake dkk. (2000) Trametes pubescens Stirred tank (15 l) Sel bebas CuSO4 61900 Galhaup and Haltrich (2001) Neurospora crassa Capillary membrane Imobilisasi pada membran - 10000 Luke and Burton (2001) T. multicolor Stirred tank Sel bebas CuSO4, gliserol - Hess dkk. (2002) Pleurotus ostreatus Benchtop (3 l) Sel bebas OMW 65 Aggelis dkk. (2003) Irpex lacteus Packed bed (27 ml) Imobilisasi pada PUF - - Kasinath dkk. (2003) Panus tigrinus Stirred tank (2 l) Sel bebas OMW 4600 Fenice dkk. (2003) P. tigrinus Air-lift (2.5 l) Submerged fermentation OMW 4300 Fenice dkk. (2003) P. tigrinus Rotatory drum (1.3 l) SSF pada potongan batang

maize OMW 1309 Fenice dkk. (2003)

T. versicolor Air-lift (2 l) Sel bebas Xylidine, Tween 80 1676 Rancano dkk. (2003) T. versicolor Immersion (2.5 l) SSF pada kulit barley Tween 80 600 Rodrıguez Couto dkk. (2003) T. versicolor Immersion (2.5 l) SSF pada nilon Tween 80 229 Rodrıguez Couto dkk. (2003) T. versicolor Expanded bed (0.3 l) SSF pada kulit barley Tween 80 600 Rodrıguez Couto dkk. (2003) T. versicolor Expanded-bed (0.3 l) SSF pada nilon Tween 80 126 Rodrıguez Couto dkk. (2003) T. versicolor Tray (1 l) SSF pada kulit barley Tween 80 3500 Rodrıguez Couto dkk. (2003) T. versicolor Tray (1 l) SSF pada nilon Tween 80 343 Rodrıguez Couto dkk. (2003) T. versicolor Fluidized (1.5 l) Sel bebas - 1685 Blanquez dkk. (2004) T. hirsuta Fixed bed Imobilisasi pada spon stainless

steel CuSO4 2206 Rodrıguez Couto dkk. (2004a)

T. hirsuta Immersion (0.5 l) Imobilisasi pada spon stainless steel

CuSO4 4892 Rodrıguez Couto dkk. (2004a)

T. hirsuta Air-lift (2 l) Imobilisasi pada Ca-alginate Veratryl alcohol 1043 Domınguez dkk. (2005) T. hirsuta Immersion (0.5 l) SSF pada biji buah anggur - 18715 Rodrıguez Couto dkk. (2006) T. hirsuta Tray (0.2 l) SSF pada nilon - 6898 Rodrıguez Couto dkk. (2006) T. hirsuta Tray (0.2 l) SSF pada biji buah anggur - 12877 Rodrıguez Couto dkk. (2006) T. hirsuta Air-lift (6 l) Sel bebas CuSO4, gliserol 19400 Rodrıguez Couto dkk. (2006) SSF : Solid State Fermentation; OMW : Olive Mill Wastewater; PUF : Polyurethane Foam

59

VI.2 Bahan dan Metode

VI.2.1 Mikroorganisme

Jamur yang digunakan adalah Marasmius sp. yang terpilih pada percobaan

sebelumnya. Sediaan Marasmius sp. yang digunakan sebagai inokulum,

ditumbuhkan pada medium Potato Dextrose Agar (PDA) dalam cawan petri

berumur 5 hari. Cara menumbuhkan jamur tersebut dapat dilihat pada subbab

III.2.1.a.

VI.2.2 Konfigurasi bioreaktor

Pada percobaan ini Marasmius sp. ditumbuhkan dengan metode temporary

immersion culture menggunakan bioreaktor sistem RITA (Récipient à Immersion

Temporaire Automatique) yang telah dimodifikasi. Satu set bioreaktor terdiri atas

dua kompartemen yang terbuat dari kaca dan terhubung dengan selang silikon.

Ukuran bioreaktor adalah tinggi 15 cm, panjang 10 cm dan lebar 10 cm. Tiap

bioreaktor diisi Marasmius sp. yang terimobilisasi sedemikian rupa sehingga

ketinggian kultur dalam bioreaktor adalah 8 cm. Salah satu kompartemen dapat

digerakkan naik dan turun dengan menggunakan mesin penggerak yang diatur

waktunya sesuai variasi waktu imersi yang digunakan. Variasi waktu imersi yang

digunakan pada penelitian ini adalah 15 menit, 12 jam dan 24 jam. Tiap variasi

waktu imersi dilakukan untuk dua siklus kultivasi dengan tiap siklus kultivasi

berjalan selama tiga hari. Satu siklus berarti kultur jamur dalam bioreaktor

menggunakan medium Kirk yang sama selama tiga hari sedangkan pada siklus

berikutnya medium Kirk seluruhnya diganti dengan medium Kirk yang baru.

Skema bioreaktor disajikan dalam gambar III.3 dan konfigurasi bioreaktor imersi

berkala termodifikasi disajikan dalam gambar VI.6

60

Gambar VI.6. Bioreaktor imersi berkala termodifikasi

Udara disuplai menggunakan aerator dan medium yang digunakan untuk produksi

lakase adalah sama dengan medium untuk merendam bulustru yaitu medium Kirk

(dengan kandungan lindi hitam 0,4%) sebanyak 700 ml tiap satu set bioreaktor.

Pengambilan conto dilakukan setiap 24 jam.

VI.2.3 Media imobilisasi

Media imobilisasi Marasmius sp. yang digunakan pada penelitian ini adalah

bulustru (Sunda)/gambas (Jawa). Bulustru merupakan serat buah oyong yang telah

dikeringkan. Sebelum digunakan, bulustru dengan luas kurang lebih 900 cm2

dipotong dengan ukuran sekitar 5 cm x 5 cm dan direndam dalam medium Kirk

selam 15 menit. Bulustru yang telah mengandung medium Kirk kemudian

ditempatkan dalam plastik tahan panas dan disterilisasi. Setelah dingin bulustru

tersebut selanjutnya diinokulasi dengan kultur Marasmius sp. yang telah tumbuh

dengan baik pada medium agar. Satu kantung plastik bulustru diinokulasi dengan

satu cawan petri kultur Marasmius sp. secara aseptis. Bulustru ini selanjutnya

diinkubasi pada temperatur ruang (± 28°C) selama kurang lebih 10 hari untuk

mendapatkan pertumbuhan Marasmius sp. yang baik.

61

Penumbuhan Marasmius sp. pada bulustru dimaksudkan agar kultur jamur tidak

terbawa aliran medium pada saat pengosongan bioreaktor, yang dikhawatirkan

akan menyumbat saluran. Imobilisasi Marasmius sp. ini memungkinkan luas

kontak kultur dengan oksigen akan meningkat dan menurunkan hambatan transfer

massanya. Pemindahan medium cair dengan memanfaatkan beda ketinggian

bioreaktor akan mengurangi tegangan geser yang dialami oleh kultur jamur. Hal

ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Prasad dkk. (2005) bahwa oksigen

merupakan salah satu faktor penting dalam produksi enzim ligninolitik oleh jamur

pelapuk putih dan agitasi mekanis yang menyebabkan tegangan geser pada kultur

merupakan penghambat produksi enzim tersebut.

VI.2.4 Medium pertumbuhan Marasmius sp.

Medium yang digunakan untuk memproduksi lakase pada percobaan ini adalah

medium Kirk. Komposisi dan cara pembuataan medium ini dapat dilihat pada

subbab III.2.1.c.

VI.2.5 Kultivasi Marasmius sp.

Kultivasi Marasmius sp. untuk memproduksi lakase dilakukan dengan

memasukkan satu kantung kultur Marasmius sp. terimobilisasi pada bulustru pada

masing-masing kompartemen bioreaktor. Kemudian ke dalam satu kompartemen

dimasukkan 700 ml medium Kirk steril yang mengandung lindi hitam dengan

persentase 0,4% (v/v). Kultivasi dilakukan pada suhu ruang (± 28°C) dengan

aerasi pada head space bioreaktor. Conto medium kultur diambil setiap 24 jam

untuk selanjutnya dianalisis aktivitas lakase dan konsentrasi proteinnya. Setelah

tiga hari kultivasi medium kultivasi dihentikan dengan cara mengeluarkan seluruh

medium kultur. Kemudian siklus kultivasi kedua langsung dilakukan dengan cara

menambahkan 700 ml medium baru.

VI.2.6 Uji aktivitas lakase

Uji aktivitas lakase dilakukan berdasarkan metode Bourbonnais dan Paice (1990).

Prinsip uji ini adalah sebagai berikut : pewarna non-phenol 2,2’-azinobis-di-(3-

ethylbenzthiazolinesulphonate) (ABTS) dioksidasi oleh lakase menjadi radikal

62

kation (ABTS+) yang lebih stabil (gambar VI.7). Konsentrasi radikal kation yang

berwarna biru kehijauan (dibaca pada panjang gelombang 420 nm) berkorelasi

dengan aktivitas lakase (Bar, 2001)

Gambar VI.7. Oksidasi lakase oleh ABTS menjadi radikal kation (ABTS+)

(Bar, 2001) Pengukuran aktivitas lakase pada conto kultur medium dilakukan dengan cara

sebagai berikut. Larutan 0.4 mM ABTS dalam buffer natrium asetat (pH 4.5)

sebanyak 1160 μl dimasukkan ke dalam kuvet 1,5 ml, selanjutnya ke dalam kuvet

dimasukkan 40 μl conto enzim dan dikocok agar tercampur homogen. Kemudian

absorbansi radikal kation diamati pada panjang gelombang 420 nm (εmM = 36 mM-

1cm-1) selama lima menit menggunakan spektrofotometer Genesis 10 UV-Visible.

Perubahan absorbansi radikal kation diamati setiap menit. Aktivitas lakase

dinyatakan sebagai International Unit (IU) per liter, dengan 1 IU didefinisikan

sebagai jumlah enzim yang dapat mengoksidasi 1 µmol ABTS tiap menit.

Aktivitas lakase ditentukan menggunakan persamaan VI.1.

( ) 1000min.2/ 1 xAxdxxv

VlIUaktivitas −Δ⎟⎟⎠

⎞⎜⎜⎝

⎛=

ε ........... (VI.1)

63

dengan :

V = volume total reaksi (ml)

v = volume enzim (ml)

ε = extinction coefficient ABTS pada 420 nm = 36 mM -1cm-1

d = Light path of cuvette (cm)

∆A.min-1 = perubahan absorbansi tiap menit pada 420 nm

VI.2.7 Pengukuran Konsentrasi Protein

Pengukuran konsentrasi protein dilakukan menggunakan metode Bradford

(Walker, 1996). Pengukuran konsentrasi protein metode Bradford didasarkan pada

pembentukan ikatan pewarna Coomasie Brilliant Blue G-250 dengan protein yang

dapat diamati absorbansinya pada panjang gelombang 595 nm. Penentuan

konsentrasi protein dilakukan dengan cara : ke dalam kuvet 1,5 ml dimasukkan

conto protein sebanyak 50 μl, selanjutnya ke dalam kuvet dimasukkan Reagen

Bradford sebanyak 1000 μl (Komposisi dan cara pembuatan reagen Bradford

dapat dilihat pada lampiran B). Campuran ini kemudian diinkubasi pada suhu

ruang ((± 28°C) selama 5 menit. Kemudian campuran ini diukur absorbansinya

pada panjang gelombang 595 nm. Konsentrasi protein ditentukan berdasarkan

kurva standar protein. Kurva standar dibuat dengan cara sebagai berikut :

pertama-tama dibuat larutan induk Buvine Serum Albumin (BSA) dengan

konsentrasi 2 mg/ml, larutan ini kemudian ini kemudian diencerkan agar memiliki

konsentrasi 0 – 1 mg/ml. Sediaan ini kemudian dinalisis dengan cara seperti yang

telah diuraikan di atas. Profil kurva standar larutan BSA ini dapat dilihat pada

lampiran B.

VI.3 Hasil dan Pembahasan

Percobaan produksi lakase dari Marasmius sp. ini selain untuk untuk mengetahui

pengaruh variasi waktu imersi terhadap produksi enzim, juga untuk mengetahui

pengaruh siklus kultivasi terhadap produksi enzim. Variasi waktu yang digunakan

adalah 15 menit, 12 jam dan 24 jam dan untuk setiap variasi waktu, kultivasi

dilakukan dua siklus.

64

Hasil percobaan pada siklus pertama disajikan dalam gambar VI.8. Dari gambar

tersebut dapat dilihat bahwa pada variasi waktu imersi 15 menit, aktivitas lakase

meningkat dari 0 U/l pada awal kultivasi menjadi 348,4 U/l setelah satu hari

kultivasi. Aktivitas lakase kemudian menurun menjadi 133,5 U/l pada hari kedua

dan 112,7 U/l pada hari ketiga, pada saat kultivasi dihentikan. Pola peningkatan

aktivitas lakase yang sama juga terlihat pada kultur Marasmius sp. yang

ditumbuhkan dengan waktu imersi 24 jam. Kultur Marasmius sp. yang

ditumbuhkan dengan waktu imersi 12 jam menunjukkan pola peningkatan

aktivitas lakase yang berbeda.

0

100

200

300

400

500

600

0 1 2 3

waktu, hari

aktiv

itas

laka

se, U

/l

Gambar VI.8. Aktivitas lakase pada siklus pertama; ♦ : waktu imersi

15 menit, ■ : waktu imersi 12 jam, ▲ : waktu imersi 24 jam.

Pada kultur ini aktivitas lakase meningkat dari 0 U/l pada kultivasi dilakukan

hingga mencapai aktivitas 457,6 U/l setelah tiga hari kultivasi tanpa terlihat

adanya penurunan aktivitas enzim tersebut. Namun demikian, diduga aktivitas

lakase akan mengalami penurunan jika kultivasi dilanjutkan setelah aktivitas

puncak tercapai. Penurunan aktivitas lakase setelah mencapai aktivitas tertinggi

dapat disebabkan degradasi enzim tersebut oleh protease. Untuk membuktikannya

65

maka dilakukan uji stabilitas lakase. Pengujian ini dilakukan dengan

menginkubasi conto kultur pada suhu ruang (sama dengan suhu kultivasi) selama

enam hari. Conto dari percobaan ini diambil setiap hari untuk dianalisis aktivitas

lakasenya. Jika penurunan aktivitas lakase pada kultivasi diakibatkan oleh

aktivitas protease, maka aktivitas lakase pada conto yang diinkubasi selama enam

hari akan menurun. Namun demikian, hasil percobaan ini menunjukkan bahwa

aktivitas lakase pada conto yang diinkubasi relatif konstan (Gambar VI.9).

0

100

200

300

400

500

600

0 1 2 3 4 5 6

waktu, hari

aktiv

itas

laka

se, U

/l

Gambar VI.9. Pengujian stabilitas lakase

Dengan demikian penurunan aktivitas lakase, pada saat kultivasi, setelah enzim

ini mencapai aktivitas tertinggi bukan diakibatkan oleh protease. Faktor lain yang

dapat mengakibatkan penurunan aktivitas lakase ini adalah tegangan geser. Prasad

dkk. (2005) menyatakan bahwa agitasi mekanis dapat menyebabkan lakase

menjadi tidak aktif. Walaupun metode kultivasi yang diterapkan pada percobaan

ini meminimalkan tegangan geser, namun demikian aliran medium dari satu

kompartemen ke kompartemen lain selama kultivasi dapat mengakibatkan

tegangan geser. Penelitian lebih lanjut tentang hal ini perlu dilakukan untuk

mengetahui penyebab penurunan aktivitas lakase.

66

Aktivitas maksimum lakase untuk siklus pertama dapat dilihat pada gambar

VI.10. Terlihat bahwa aktivitas maksimum lakase diperoleh pada kultur

Marasmius sp. dengan waktu imersi 12 jam, yaitu sebesar 457,6 U/l dan diikuti

berturut-turut oleh kultur Marasmius sp. dengan waktu imersi 15 menit (348,4

U/l) dan 24 jam (281,9 U/l). Diperkirakan waktu imersi 12 jam menyebabkan

Marasmius sp. lebih optimal memanfaatkan nutrisi dan oksigen selama kultivasi.

0

100

200

300

400

500

600

15 menit 12 jam 24 jam

waktu imersi

aktiv

itas

laka

se, U

/l

Gambar VI.10. Aktivitas maksimum lakase pada siklus pertama

Aktivitas maksimum lakase yang diperoleh pada penelitian ini sebesar 457,6 U/l.

Pada tabel VI.1 dapat dilihat aktivitas maksimum lakase yang diperoleh oleh

peneliti lain yang nilainya berkisar antara 65 U/l sampai dengan 61900 U/l.

Dengan demikian aktivitas maksimum lakase yang diperoleh pada penelitian ini

masih berada pada kisaran tersebut. Namun nilainya masih relatif kecil

dibandingkan aktivitas maksimum pada tabel VI.1. Perbedaan aktivitas

maksimum lakase yang diperoleh karena adanya perbedaan jenis reaktor, jenis

kultivasi dan inducer yang digunakan. Lakase yang diperoleh pada penelitian ini

masih berupa enzim kasar. Bila enzim kasar ini dimurnikan maka aktivitasnya

dapat ditingkatkan.

67

Kultur dengan waktu imersi 12 jam menghasilkan aktivitas lakase lebih tinggi

dibandingkan kultur dengan waktu imersi 15 menit dan 24 jam, namun

produktivitas kultur tersebut tidak menunjukkan nilai yang paling tinggi.

Produktivitas merupakan salah satu variabel penting pada suatu proses produksi

karena hal ini berkaitan dengan biaya produksi suatu produk. Gambar VI.11

menunjukkan bahwa kultur Marasmius sp. dengan waktu imersi 15 menit

menunjukkan produktivitas yang paling tinggi yaitu 348,4 U/l/hari diikuti oleh

kultur dengan waktu imersi 24 jam (281,9 U/l/hari) dan 12 jam (152,5 U/l/hari).

0

100

200

300

400

500

600

15 menit 12 jam 24 jam

waktu imersi

prod

uktiv

itas

kultu

r, (U

/l)/h

ari

Gambar VI.11. Produktivitas kultur pada siklus pertama

Pada percobaan ini kultivasi Marasmius sp. dengan metode perendaman berkala

dilakukan dua siklus untuk mengetahui kinerja kultur pada siklus berikutnya. Pada

akhir siklus pertama (hari ketiga), medium kultur dikeluarkan dan diganti untuk

memulai siklus kedua dan kultivasi dilakukan selama tiga hari. Hasil percobaan

ini menunjukkan bahwa konsentrasi lakase pada semua kultur mengalami

penurunan setelah konsentrasi maksimum lakase dicapai (gambar VI.12).

68

0

100

200

300

400

500

600

0 1 2 3

waktu, hari

aktiv

itas

laka

se, U

/l

Gambar VI.12. Konsentrasi lakase pada siklus kedua; ◊ : waktu imersi

15 menit, □ : waktu imersi 12 jam, ∆ : waktu imersi 24 jam.

Dari gambar VI.13 terlihat bahwa aktivitas lakase pada siklus kedua lebih rendah

dibandingkan siklus pertama. Persentase penurunan tertinggi aktivitas lakase pada

siklus kedua terjadi pada kultur dengan waktu imersi 24 jam (80,66%) kemudian

diikuti oleh kultur dengan waktu imersi 12 jam (64,30%) dan 15 menit (3,83%).

Penurunan aktivitas lakase pada siklus kedua dapat disebabkan karena biomassa

aktif dalam kultur jamur berkurang karena ada biomassa yang mati atau tua

sehingga tidak menghasilkan lakase. Kemungkinan penyebab lainnya adalah

kultur jamur pada siklus pertama telah berhasil mendegradasi lignin pada media

imobilisasi (bulustru) sehingga selulosa dan hemiselulosa dapat diakses sebagai

sumber karbon. Menurut Ten Have dan Teunissen (2001) bahwa tujuan akhir

degradasi lignin adalah untuk mencapai holoselulosa (selulosa dan hemiselulosa)

karena merupakan sumber karbon yang mudah digunakan dibandingkan dengan

lignin. Keberhasilan mencapai holoselulosa akan memicu Marasmius sp. untuk

menghasilkan selulase dan hemiselulase. Produksi selulase dan hemiselulase

69

mengakibatkan terjadinya kompetisi sistem produksi enzim di dalam sel

Marasmius sp. sehingga produksi lakase menurun.

0

100

200

300

400

500

600

15 menit 12 jam 24 jam

waktu imersi

aktiv

itas

laka

se, U

/l

Gambar VI.13. Aktivitas maksimum lakase; ■ : siklus pertama dan □ :

siklus kedua

Komponen utama penyusun enzim adalah protein (Shuler dan Kargi, 1992).

Dengan demikian aktivitas enzim juga dapat dinyatakan dalam Unit per mg total

protein (U/mg protein protein). Dari gambar VI.14 dapat diketahui bahwa

aktivitas lakase siklus pertama dan siklus kedua memiliki pola kecenderungan

yang sama yaitu mula-mula aktivitasnya naik sampai aktivitas tertinggi kemudian

turun aktivitasnya. Aktivitas lakase didapat pada siklus pertama untuk waktu

imersi 12 jam sebesar 7,46 U/mg protein, berturut-turut kemudian adalah waktu

imersi 15 menit (3,49 U/mg protein) dan waktu imersi 24 jam (2,57 U/mg

protein).

70

0

1

2

3

4

5

6

7

8

9

10

0 1 2 3 4 5 6

waktu, hari

aktiv

itas

laka

se, U

/(mg

prot

ein)

Gambar VI.14. Aktivitas lakase; ▲,∆ : waktu imersi 15 menit; ■,□ :

waktu imersi 12 jam; ♦,◊ : waktu imersi 24 jam

Pada gambar VI.15 dapat dilihat bahwa aktivitas maksimum lakase pada siklus

kultivasi kedua lebih rendah dibandingkan aktivitas maksimum lakase pada siklus

kultivasi pertama. Penurunan aktivitas maksimum lakase pada siklus kultivasi

kedua untuk kultur dengan waktu imersi 15 menit, 12 jam dan 24 jam berturut-

turut adalah 58,08%; 82,24%; 91,68%. Hasil percobaan ini memperkuat dugaan

bahwa pada siklus kedua dihasilkan protein (enzim ekstraseluler) lain selain

lakase.

Siklus I Siklus II

71

0

2

4

6

8

10

15 menit 12 jam 24 jam

waktu imersi

aktiv

itas

laka

se, U

/(mg

prot

ein)

Gambar VI.15. Aktivitas maksimum lakase; ■ : siklus pertama dan □ :

siklus kedua

VI.4 Kesimpulan

Pada penelitian ini diperoleh aktivitas maksimum lakase diperoleh pada kultur

Marasmius sp. dengan waktu imersi 12 jam, yaitu sebesar 457,6 U/l dan diikuti

berturut-turut oleh kultur Marasmius sp. dengan waktu imersi 15 menit (348,4

U/l) dan 24 jam (281,9 U/l). Aktivitas lakase pada siklus kedua lebih rendah

dibandingkan siklus pertama. Persentase penurunan tertinggi aktivitas lakase pada

siklus kedua terjadi pada kultur dengan waktu imersi 24 jam (80,66%) kemudian

diikuti oleh kultur dengan waktu imersi 12 jam (64,30%) dan 15 menit (3,83%).

Kultur dengan waktu imersi 12 jam menghasilkan lakase lebih tinggi

dibandingkan kultur dengan waktu imersi 15 menit dan 24 jam, namun

produktivitas kultur tersebut tidak menunjukkan nilai yang paling tinggi. Hasil

penelitian menunjukkan produktivitas kultur Marasmius sp. dengan waktu imersi

15 menit menghasilkan produktivitas yang paling tinggi yaitu 348,4 U/l/hari

diikuti oleh kultur dengan waktu imersi 24 jam (281,9 U/l/hari) dan 12 jam (152,5

U/l/hari).

72

Aktivitas lakase berdasarkan total protein dalam enzim kasar menunjukkan bahwa

pada siklus pertama dan siklus kedua memiliki pola kecenderungan yang sama

yaitu mula-mula aktivitasnya naik sampai aktivitas tertinggi kemudian turun

aktivitasnya. Aktivitas lakase yang didapat pada siklus pertama untuk waktu

imersi 12 jam sebesar 7,46 U/mg protein, berturut-turut kemudian adalah waktu

imersi 15 menit (3,49 U/mg protein) dan waktu imersi 24 jam (2,57 U/mg

protein). Aktivitas lakase pada siklus kedua menunjukkan pola yang sama dengan

siklus pertama namun nilainya lebih rendah. Hal ini menunjukkan adanya protein

(enzim ekstraseluler) lain selain lakase.