bab iii metode dan objek penelitian 3.1 metode penelitian...

35
61 BAB III METODE DAN OBJEK PENELITIAN 3.1 Metode Penelitian 3.1.1 Jenis Penelitian Makna penelitian secara sederhana ialah bagaimana mengetahui sesuatu yang dilakukan melalui cara tertentu dengan prosedur yang sistematis (Garna, 2000:1). Proses sistematis ini tidak lain adalah langkah langkah metode ilmiah. Jadi pengertian dari metodelogi penelitian itu dapat diartikan sebagai pengkajian atau pemahaman tentang cara berfikir dan cara melaksanakan hasil berfikir menurut langkah langkah ilmiah. Metode penelitian adalah teknik teknik yang spesifik dalam penelitian. Terdapat dua metode penelitian yang dikenal dalam kajian ilmu komunikasi, yaitu metode penelitian kuantitatif dan metode penelitian kualitatif. Banyak perbedaan yang diungkap oleh para ahli mengenai kedua metde penelitian ini. Namun inti dari perbedaan metode penelitian kuantitatif dengan metode penelitian kualitatif terletak pada realitas perspektif yang dibangunnya, yaitu perspektif objektif dan subjektif. Metode penelitian kualitatif tidak mengandalkan bukti berdasarkan logika matematis, prinsip angka, atau perhitungan statistik. Sebaliknya, metode penelitian kuantitatif sering mengabaikan konstruksi sosial dan kultural dari variabel variabel yang dikorelasikannya. Metodelogi penelitian adalah prinsip dan prosedur yang kita gunakan untuk mendekati masalah dan mencari jawaban. Dengan kata lain, metodelogi

Upload: phamtram

Post on 06-Mar-2019

219 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

61

BAB III

METODE DAN OBJEK PENELITIAN

3.1 Metode Penelitian

3.1.1 Jenis Penelitian

Makna penelitian secara sederhana ialah bagaimana mengetahui sesuatu

yang dilakukan melalui cara tertentu dengan prosedur yang sistematis (Garna,

2000:1). Proses sistematis ini tidak lain adalah langkah – langkah metode ilmiah.

Jadi pengertian dari metodelogi penelitian itu dapat diartikan sebagai pengkajian

atau pemahaman tentang cara berfikir dan cara melaksanakan hasil berfikir

menurut langkah – langkah ilmiah.

Metode penelitian adalah teknik – teknik yang spesifik dalam penelitian.

Terdapat dua metode penelitian yang dikenal dalam kajian ilmu komunikasi, yaitu

metode penelitian kuantitatif dan metode penelitian kualitatif. Banyak perbedaan

yang diungkap oleh para ahli mengenai kedua metde penelitian ini. Namun inti

dari perbedaan metode penelitian kuantitatif dengan metode penelitian kualitatif

terletak pada realitas perspektif yang dibangunnya, yaitu perspektif objektif dan

subjektif.

Metode penelitian kualitatif tidak mengandalkan bukti berdasarkan logika

matematis, prinsip angka, atau perhitungan statistik. Sebaliknya, metode

penelitian kuantitatif sering mengabaikan konstruksi sosial dan kultural dari

variabel – variabel yang dikorelasikannya.

Metodelogi penelitian adalah prinsip dan prosedur yang kita gunakan

untuk mendekati masalah dan mencari jawaban. Dengan kata lain, metodelogi

62

penelitian adalah suatu pendekatan umum untuk mengkaji topik penelitian.

Metodelogi dipengaruhi atau berdasarkan pada perspektif teoritis yang digunakan

untuk melakukan penelitian, sementara perspektif teoritis yang dimaksud adalah

suatu kerangka penjelasan yang memungkinkan peneliti memahami data dan

menghubungkan data yang rumit dengan peristiwa dan situasi lain (Mulyana,

2006:146).

Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif. Metode

penelitian kualititif dalam arti metode penelitian kualitatif tidak mengandalkan

bukti berdasarkan logika matematis, prinsip angka, atau metode statistik.

Penelitian kualitatif bertujuan mempertahankan bentuk dan isi perilaku manusia

dan menganalisis kualitas-kualitasnya. Dalam penelitian kualitatif, peran bahasa

dan makna-makna menjadi sangat penting (Mulyana, 2001: 150). Berikut adalah

lima keistimewaan atau keunggulan dari penelitian kualitatif (Alwasilah,

2006:107-110):

1. Pemahaman makna

Makna disini merujuk pada kognisi, afeksi, intens, dan apa saja yang

terpayungi dengan istilah perkspektif partisipan.

2. Pemahaman konteks tertentu

Dalam penelitian kualitatif perilaku responden dilihat dalam konteks

tertentu dan pengaruh konteks terhadap tingkah laku itu. Dengan pisau

kualitatif para peneliti mampu membedah kejadian, situasi, dan perilaku,

serta bagaimana semua ini dipengaruhi oleh situasi yang perkasa.

63

3. Indentifikasi fenomena dan pengaruh yang tidak terduga

Bagi peneliti kualitatif setiap informasi, kejadian, suasana, dan pengaruh

baru berpotensi sebagai data untuk dugaan sementara.

4. Kemunculan teori berbasis data (grounded theory)

Teori yang sudah jadi atau pesanan atau apriori tidak mengesankan kaum

naturalis, karena teori – teori ini akan kewalahan jika disergap oleh

informasi, kejadian, perilaku, suasana, dan pengaruh baru dalam konteks

baru.

5. Pemahaman proses

Para peneliti lebih berupaya untuk lebih memahami proses daripada

produk kejadian atau kegiatan yang diamati.

Metode penelitian kualitatif dapat dilakukan dengan berbagai pendekatan,

diantaranya adalah menggunakan pendekatan fenomenologi, studi kasus, analisis

wacana, etnografi, semiotik, dramaturgis, dan analisis framing.

3.1.2 Metode Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif

Dalam bukunya Metode Penelitian Kualitatif (1996), Prof. Dr. H. Noeng

Muhadjir mengungkapkan bahwa metodologi penelitian membahas konsep

teoritik berbagai metoda, kelebihan dan kelemahannya, yang dalam karya ilmiah

dilanjutkan dengan pemilihan metode yang digunakan. (Muhadjir, 1996:3)

Ilmu komunikasi merupakan ilmu sosial. Pada penelitian dalam ilmu-ilmu

sosial, kita dihadapkan pada suatu metodologi yang harus digunakan ketika

penelitian berlangsung. Dalam suatu penelitian sosial, terdapat dua macan

64

metodologi penelitian, yakni Metode Penelitian Kuantitatif dan Metode Penelitian

Kualitatif.

Pada metodologi penelitian kuantitatif, secara umum data yang

dikumpulkan bersifat konkret karena dapat dikuantitaskan dengan angka-angka.

Data kuantitatif bersifat objektif dan bisa ditafsirkan sama oleh semua orang.

Lain halnya dengan metodologi penelitian kualitatif, dimana proses

risetnya berawal dari suatu observasi atas gejala. Riset kualitatif lebih bersifat

menjelajah, pengetahuan mengenai persoalan masih sangat kurang atau belum ada

sama sekali begitu pun dengan teori-teorinya.

Banyak perbedaan yang diungkapkan oleh para ahli mengenai penelitian

ini. Namun inti dari perbedaan metode penelitian kualitatif terletak pada realitas

perspektif yang dibangunnya, yaitu perspektif objekti dan subjektif.

Berikut adalah garis besar karakteristik penelitian kualitatif dan kuantitatf:

Tabel 3.1

Karakteristik Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif

ASPEK KUALITATIF KUANTITATIF

Fokus Penelitian Kualitas (hakikat, esensi) Kuantitas (berapa banyak)

Akar filsafat Fenomenologi, interaksi

simbolik

Positivisme, empiris

logika

Frase Terkait Kerja lapangan,

etnografi, naturalistik,

grounded, subjektif

Eksperimen, empiris,

sstatistik

Tujuan Pemahaman, deskripsi,

temuan, pemunculan

hipotesis

Prediksi, kontrol,

deskripsi, konfirmasi,

pembuktian hipotesis

65

Desain Kenyal, berevolusi,

mencuat

Ditentukan, terstruktur

Latar Alami, akrab Tidak akrab, buatan

Sampel Kecil, tidak acak,

teoristik

Besar, acak, representatif

Pengumpulan data Peneliti sebagai

instrumen inti, interview,

observasi

Bukan manusia (skala,

tes, survey, kuisioner,

komputer)

Modul Analisis Induktif (Oleh peneliti) Deduktif (oleh metode

statistik)

Temuan Komprehensif, holistic,

ekspansif

Persis, sempit, reduksionis

(Sumber: Muhadjir, 1996:3)

3.1.3 Analisis Framing

Gagasan mengenai metode pembingkaian (framing), pertama kali

dilontarkan oleh Beterson tahun 1995. Mulanya, metode pembingkaian (framing)

dimaknai sebagai struktur konseptual atau perangkat kepercayaan yang

mengorganisir pandangan politik, kebijakan, dan wacana, serta yang menyedihkan

kategori – kategori standar untuk mengapresiasi realitas. Konsep ini kemudian

dikembangkan sebagai kepingan – kepingan perilaku (strips of behavior) yang

membimbing individu dalam membaca realitas.

Pembingkaian (framing) berkaitan dengan bagaimana realitas dibingkai

dan disajikan kepada khalayak. Dari definisi yang sederhana ini saja sudah

tergambar apa efek pembingkaian. Sebuah realitas bisa jadi dibingkai dan

66

dimaknai berneda oleh media. Bahkan pemaknaan itu bisa jadi akan sangat

berbeda. Eriyanto dalam bukunya Analisis Framing menyatakan, salah satu efek

pembingkaian (framing) yang paling mendasa adalah realitas sosial yang

kompleks, penuh dimensi dan tidak beraturan disajikan dalam berita sebagai suatu

yang sederhana, beraturan, dan memenuhi logika tertentu. Pembingkaian

menyediakan (framing) alat bagaimana peristiwa dibentuk dan dikemas dalam

kategori yang dikenal khalayak.

Menurut Eriyanto, ada beberapa definisi mengenai metode framing yang

disampaikan oleh beberapa ahli. Meskipun berbeda dalam penekanan dan

pengertiannya, ada titik singgung utama dari beberapa definisi pembingkaian

tersebut. Analisis pembingkaian (framing) adalah pendekatan untuk mengetahui

bagaimana perpektif atau cara pandang yang digunakan oleh wartawan ketika

menyeleksi isu dan menulis berita. Cara pandang atau perspektif itu pada akhirnya

menentukan fakta apa yang diambil, bagian mana yang ditonjolkan dan

dihilangkan, dan hendak dibawa kemana berita tersebut. Peristiwa – peristiwa

ditampilkan dalam pemberitaan agar tampak menonjol dan menarik perhatian

khalayak pembaca.

3.1.4 Konsep Framing

Berikut adalah konsep analisis framing yang diungkapkan oleh Goffman.

Secara sosiologis, konsep analisis framing memelihara kelangsungan

kebiasaan kita mengklasifikasi, mengorganisasi, menginterpretasi secara

aktif pengalaman – pengalaman hidup kita untuk dapat memahaminya.

Stigma interpretasi itu disebut frames, yang memungkinkan individu dapat

melokalisasi, merasakan, mengidentifikasi, dan memberi label terhadap

peristiwa – peristiwa serta informasi (Sobur, 1999:161)

67

Menurut Eriyanto, dalam bukunya Analisis Framing, menjelaskan framing

adalah sebuah prinsip dimana pengalaman dan realitas yang kompleks tersebut

diorganisasi secara objektif. Lewat frame tersebut, orang melihat realitas dengan

pandangan tertentu dan melihat sebagai sesuatu yang bermakna dan beraturan.

Bingkai media mengorganisasikan realitas kehidupan kehidupan sehari – hari dan

akan ditransformasikan ke dalam sebuah cerita. Analisis framing, karenanya,

meneliti cara – cara individu mengorganisasikan pengalamannya sehinga

memngkinkan seseorang mengidentifikasi dan memahami peristiwa – peristiwa,

memaknai aktivitas – aktivitas kehidupan yang tengah berjalan.

Model ini berasumsi bahwa setiap berita mempunyai frame yang berfungsi

sebagai pusat organisasi ide. Frame merupakan suatu ide yang dihubungkan

dengan elemen yang berbeda dalam teks berita – kutipan sumber, latar informasi,

pemakaian kata atau kalimat tertentu – ke dalam teks secara keseluruhan. Bingkai

(frame) berhubungan dengan makna. Bagaimana seseorang memaknai suatu

peristiwa, dapat dilihat dari perangkat tanda yang dimunculkan dalam teks

(Sobur,2006:175).

Ada dua aspek dalam framing, yakni :

1. Memilih fakta/realitas

Proses memilih fakta ini didasarkan pada asumsi, wartawan tidak mungkin

melihat peristiwa tanpa perspektif. Dalam memilih fakta ini selalu

terkandung dua kemungkinan: included (apa yang dipilih) dan exluded

(apa yang dibuang). Bagian mana yang ditekankan dalam realitas? Bagian

mana dari realitas yang diberitakan dan bagian mana yang tidak

diberitakan? Penekanan aspek tertentu itu dilakukan dengan memilih angle

68

(posisi) tertentu, memilih fakta tertentu, dan melupakan fakta yang lain,

memberitakan aspek tertentu dan melupakan aspek lainnya. Intinya,

peristiwa dilihat dari sisi tertentu. Akibatnya, pemahaman dan konstruksi

atas suatu peristiwa bisa jadi berbeda antara suatu media dengan media

lain. Media yang menekankan aspek tertentu, memilih fakta tertentu akan

menghasilkan berita yang bisa jadi berbeda kalau media menekankan

aspek atau peristiwa yang lain (Eriyanto, 2002:69).

2. Menuliskan fakta

Proses ini berhubungan dengan bagaimana fakta yang dipilih itu disajikan

kepada khalayak. Gagasan itu diungkapkan dengan kata, kalimat dan

proposisi apa, dengan bantuan aksentuasi foto dan gambar apa, dan

sebagainya. Bagaimana fakta yang sudah dipilih tersebut ditekankan

dengan pemakaian perangkat tertentu: penempatan yang mencolok

(menempatkan di halaman depan, atau bagian belakang) dan sebagainya.

Pemakaian kata, kalimat atau foto itu merupakan implikasi dari memilih

aspek tertentu dari realitas. Akibatnya, aspek tertentu yang ditonjolkan

menjadi menonjol, lebih mendapatkan alokasi dan perhatian yang besar

dibandingkan aspek lain (Eriyanto, 2002:70).

3.1.5 Model Framing

Framing berkaitan dengan bagaimana realitas dibingkai dan disajikan

kepada khalayak. dari definisi yang sederhana ini saja sudah tergambar apa efek

pembingkaian. Sebuah realitas bisa jadi dibingkai dan dimaknai berbeda oleh

media. Bahkan pemaknaan itu bisa jadi dibingkai dan dimaknai berbeda oleh

69

media. Bahkan pemaknaan itu bisa jadi akan sangat berbeda. Eriyanto dalam

bukunya Analisis Framing menyatakan, salah satu efek framing yang paling

mendasar adalah realitas sosial yang kompleks, penuh dimensi dan tidak beraturan

disaikan dalam berita sebgai sesuatu yang sederhana, beraturan dan memenuhi

logika tertentu. Framing menyadiakan alah bagaimana peristiwa dibentuk dan

dikemas dalam kategori yang dikenal khalayak.

Menurut Eriyanto, ada beberapa definisi mengenai analisis framing yang

disampaikan oleh beberapa ahli. Meskipun berbeda dalam penekanan dan

pengertiannya, ada titik singgung utama dari beberapa definisi pembingkaian

tersebut. Peristiwa-peristiwa ditampilkan dalam pemberitaan agar tampak

menonjol dan menarik perhatian khalayak pembaca.

Berikut adalah definisi framing (Eriyanto, 2002:67-68), menurut para ahli

sesuai dengan sudut pandangnya masing-masing:

1. Zhongdang Pan dan Gerald M. Kosicki

Framing merupakan konstruksi dan memroses berita. Perangkat kognisi

yang digunakan dalam mengode informasi, menafsirkan peristiwa, dan

dihubungkan dengan rutinitas dan konvensi pembentukan berita.

2. Robert N. Entman

Framing adalah proses seleksi dari berbagai realitas sehingga bagian

tertentu dari peristiwa itu lebih menonjol dibandingkan aspek lain.

Framing juga menyertakan penempatan informasi-informasi dalam

konteks yang khas sehingga sisi tertentu mendapatkan alokasi lebih besar

daripada sisi yang lain.

70

3. Willian A. Gamson

Framing adalah cara bercerita atau gagasan ide-ide yang terorganisir

sedemikian rupa dan menghadirkan konstruksi makna peristiwa-peristiwa

yang berkaitan dengan objek suatu wacana. Cara bercerita itu terbentuk

dalam suatu kemasan (package). Kemasan itu semacam skema atau

struktur pemahaman yang digunakan individu untuk mengkonstruksi

makna pesan-pesan yang individu tersebut terima.

4. Todd Giflin

Framing adalah strategi bagaimana realitas atau dunia dibentuk dan

disederhanakan sedemikian rupa untuk ditampilkan kepada khalayak

pembaca. Peristiwa-peristiwa ditampilkan dalam pemberitaan agar tampak

menonjol dan menarik perhatian khalayak pembaca. Itu dilakukan dengan

seleksi, pengulangan, penekanan, dan presentasi aspek tertentu dari

realitas.

5. David E. Snow dan Robert Benford

Framing adalah pemberian makna untuk menafsirkan peristiwa atau

kondisi yang relevan. Frame mengorganisasikan sistem kepercayaan dan

diwujudkan dalam kata kunci, anak kalimat, citra tertentu, sumber

informasi, dan kalimat tertentu.

6. Amy Binder

Framing merupakan skema interpretasi yang digunakan oleh individu

untuk menempatkan, menafsirkan, mengidentifikasikan, dan melabeli

peristiwa secara langsung atau tidak langsung. Frame mengorganisir

71

peristiwa yang kompleks ke dalam bentuk dan pola yang mudah dipahami

dan membantu individu untuk mengerti makna peristiwa.

Eriyanto memperkenalkan empat jenis model dalam bukunya. Keempat

model tersebut adalah model Murray Edelman, model Robert N. Entman, model

William A Gamson, serta model Zhongdang Pan dan Gerald M. Kosicki. Pada

penelitian ini penulis menggunakan model framing dari Robert N. Entman.

3.1.6 Analisis Framing Model Robert N. Entman

Pada penelitian ini, Penulis menggunakan analisis framing model Robert N.

Entman sebagai ”pisau analisis”. Menurut Entman, framing adalah proses seleksi

dari berbagai aspek realitas sehingga bagian tertentu dari peristiwa itu lebih

menonjol dibandingkan aspek lain. Ia juga menyertakan penempatan informasi-

informasi dalam konteks yang khas sehingga sisi tertentu mendapatkan alokasi

lebih besar daripada sisi yang lain (Eriyanto, 2002 : 67).

Menurut pandangan Entman, konsep framing digunakan untuk

menggambarkan proses seleksi dan penonjolan aspek tertentu dari realitas oleh

media massa (Eriyanto, 2002 : 186). Framing berita menjadi lebih tajam karena

adanya proses seleksi isu yang layak ditampilkan dan penekanan isinya. Entman

melihat framing dalam dua dimensi besar, yaitu seleksi isu dan penonjolan aspek-

aspek tertentu dari realitas atau isu.

Aspek seleksi isu berkaitan dengan pemilihan fakta. Aspek ini didasarkan

pada asumsi realitas yang ada begitu kompleks dan beragam, karena menyangkut

banyak dimensi seperti politik, hukum, ekonomi, sosial, budaya, dan lain-lain.

Tidak semua bagian peristiwa dapat diberitakan kepada khalayak, selalu ada

72

bagian yang dipilih (included) dan ada yang dibuang (excluded). Strategi seleksi

isu ini bukan semata-mata bagian dari teknik jurnalistik, tetapi juga merupakan

politik pemberitaan (Eriyanto, 2002 : 69).

Pada penelitian ini, Penulis mencoba menganalisis proses seleksi isu atas

rencana penutupan blog-blog musik dan situs-situs file sharing oleh pemerintah

terkait pembajakan musik di Indonesia yang diangkat oleh Majalah Rolling Stone

Indonesia pada edisi #78 yang terbit bulan Oktober 2011. Realitas di lapangan,

rencana penutupan blog-blog musik dan penutupan situs-situs file sharing tersebut

menimbulkan reaksi yang beragam di masyarakat. Wartawan menyeleksi realitas

atau isu apa yang akan ditampilkan, hal ini berkaitan dengan bagaimana wartawan

memandang atau menangkap peristiwa tersebut. Dari proses seleksi inilah

kemudian akan terlihat framing yang dikembangkan Majalah Rolling Stone

Indonesia dalam Rubrik National Affairs dan Rubrik Music Biz.

Proses seleksi isu yang bertujuan untuk mendefinisikan peristiwa, dilakukan

media melalui empat cara/strategi media yang membawa konsekuensi tertentu atas

realitas yang terbentuk oleh media. Keempat strategi media ini merupakan

konsepsi utama (elemen) dalam model Robert N. Entman yang membentuk frame

atas sebuah peristiwa. Konsepsi mengenai framing dari Entman menggambarkan

secara luas bagaimana peristiwa dimaknai dan ditandakan oleh wartawan

(Eriyanto, 2002 : 197 - 198).

Pertama, pada identifikasi masalah (define problems), peristiwa dilihat

sebagai apa dan dengan nilai positif atau negatif apa. Ia menekankan bagaimana

sebuah isu atau peristiwa dipahami oleh wartawan. Pendefinisian masalah menjadi

bingkai pertama dan utama dalam proses konstruksi realitas.

73

Pada proses pendefinisian masalah, bagaimana wartawan memandang dan

menangkap suatu peristiwa berpengaruh pada keseluruhan elemen framing

lainnya. Karena konstruksi realitas dipengaruhi oleh realitas subyektif yang

melekat dalam diri wartawan, maka cara pandang setiap wartawan pun berbeda-

beda, sehingga mungkin dihasilkan frame yang berbeda-beda atas peristiwa ini.

Kedua, perkiraan penyebab masalah (diagnose causes), yaitu

mengidentifikasi siapa atau apa yang dianggap penyebab dari suatu peristiwa.

Bagaimana sebuah peristiwa dipahami tentu saja akan menentukan apa dan siapa

yang dianggap sebagai sumber masalah.

Berdasarkan pendefinisian yang dilakukan wartawan terhadap rencana

penutupan blog musik dan pemblokiran situs file sharing, selanjutnya dapat

diperkirakan apa atau siapa yang menjadi penyebab timbulnya beragam reaksi di

masyarakat. Perkiraan penyebab masalah ini berkaitan dengan cara pandang dan

pemahaman penulis tajuk terhadap kasus ini, juga faktor realitas subyektif dan

obyektif dari wartawan. Faktor realitas obyektif itu misalnya pemahaman atau

pandangan umum (mayoritas masyarakat Indonesia) terhadap rencana pemerintah

yang akan menutup blog musik dan situs file sharing tersebut.

Ketiga, pada penilaian/keputusan moral (make moral judgement) yaitu

penilaian atas penyebab masalah. Cara ini dipakai untuk membenarkan atau

memberi argumentasi pada pendefinisian masalah yang sudah dibuat.

Pendefinisian masalah sebagai master frame perlu diperkuat dalam

konstruksinya melalui penilaian moral yang melegitimasi argumentasi wartawan.

Dalam menanggapi rencana penutupan blog musik dan situs file sharing ini,

pendefinisian terhadap peristiwa yang menimbulkan reaksi pro - kontra di

74

masyarakat perlu ditinjau dan diperkuat kebenarannya, sehingga pendefinisian

masalah oleh wartawan tidak lemah. Penilaian moral yang disajikan wartawan

akan memperkuat konstruksi atau frame yang dikembangkan oleh Majalah

Rolling Stone Indonesia.

Dan keempat, saran penyelesaian masalah (treatment recommendation)

dipakai untuk menawarkan suatu cara penanganan atau penyelesaian masalah dan

kadang kala memprediksi hasilnya. Penyelesaian itu tentu saja bergantung pada

bagaimana peristiwa dilihat dan siapa yang dipandang sebagai penyebab masalah

(Eriyanto, 2002 : 189-191).

Dalam kaitannya dengan penelitian ini, setelah mendefinisikan masalah

mengenai rencana penutupan blog-blog musik dan situs-situs file sharing oleh

pemerintah terkait pembajakan musik di indonesia, konstruksi dilanjutkan dengan

memberikan saran penyelesaian masalah terhadap persoalan. Pemberian saran

penyelesaian jelas tergantung dengan cara pandang dan persepsi wartawan

terhadap isu tersebut. Pemilihan saran penyelesaian masalah oleh wartawan, yang

juga membawakan sikap Majalah Rolling Stone Indonesia, dipengaruhi proses

dialektis yang terjadi dalam diri wartawan saat melakukan konstruksi atas

peristiwa itu.

Proses dialektis yang sangat berpengaruh dalam pemberian saran

penyelesaian masalah yaitu terkait momen internalisasi. Momen internalisasi,

yakni sosialisasi primer (melekatnya budaya, ideologi dan keberpihakan tertentu

dalam diri penulis tajuk) dan sosialisasi sekunder (pengaruh ideologi, kebijakan

dan keberpihakan Majalah Rolling Stone Indonesia sebagai lembaga) akan

melahirkan cara pandang tertentu terhadap rencana penutupan blog musik dan

75

pemblokiran situs file sharing. Hal itu tentunya melahirkan cara pandang tertentu

dalam diri wartawan, ketika ia memberikan saran penyelesaian masalah.

Penonjolan aspek tertentu dari suatu isu sangat berkaitan dengan penulisan

fakta. Proses ini mau tidak mau sangat berhubungan dengan pemakaian bahasa

dalam menuliskan realitas untuk dibaca oleh khalayak Penonjolan diartikan

sebagai proses membuat informasi menjadi lebih bermakna, lebih menarik, lebih

berarti atau lebih diingat oleh khalayak. Hal ini didasarkan pada asumsi bahwa

realitas yang disajikan secara menonjol atau mencolok mempunyai kemungkinan

yang lebih besar untuk diperhatikan khalayak (Eriyanto, 2002 : 197-200).

Aspek penonjolan dilakukan wartawan untuk memperkuat atau

menonjolkan pendefinisian peristiwa atas realitas/isu yang dipilih untuk

ditampilkan dalam frame Majalah Rolling Stone Indonesia dilihat atau

didefinisikan sebagai persoalan apa, sisi inilah yang kemudian difokuskan untuk

ditonjolkan, yaitu melalui pemilihan kata tertentu, pengulangan kata atau makna,

atau asosiasi dengan budaya atau keyakinan tertentu. Penonjolan ini akan

memperkuat konstruksi atau frame yang dikembangkan oleh wartawan Majalah

Rolling Stone Indonesia mengenai peristiwa yang menimbulkan reaksi pro dan

kontra di masyarakat ini. Dari sinilah kemudian akan terlihat sikap dan dan arah

keberpihakan Majalah Rolling Stone Indonesia terkait rencana penutupan blog-

blog musik dan pemblokiran situs-situs file sharing terkait pembajakan musik di

Indonesia.

76

3.2 Objek Penelitian

3.2.1 Majalah Rolling Stone Indonesia

Berawal dari ketidakpuasan dirinya terhadap beragam media yang terbit

pada era 1960-an, Jann S. Wenner mendirikan sebuah majalah bernama Rolling

Stone pada tahun 1967 di San Francisco, Amerika Serikat. Nama Rolling Stone

sendiri terinspirasi dari peribahasa Amerika yang terkenal, “A rolling stone

gathers no moss” yang kurang lebih berarti sebuah manifestasi dari keinginan

akan adanya perubahan. Majalah Rolling Stone tersebut pada awalnya diterbitkan

untuk mengidentifikasi dan melaporkan tentang budaya hippie pada era counter-

culture.

Rolling Stone merupakan sebuah frasa yang cukup populer dan telah

menginspirasi banyak orang untuk menggunakan frasa tersebut dalam karya-karya

mereka. Selain Jann S. Wenner yang menggunakan rolling stone sebagai judul

sebuah majalah, juga terdapat orang-orang besar lain seperti; Muddy Waters,

seorang gitaris blues Amerika yang menggunakan frasa tersebut dalam sebuah

lagu yang ditulisnya. Waters kemudian menginspirasi sebuah band asal Britania

Raya yang menggunakan frasa rolling stone (terdapat dalam lirik lagu Waters)

tersebut sebagai sebuah nama band, sebuah band yang kemudian disebut sebagai

the greatest rock ‘n roll band in the world, The Rolling Stones. Lalu sang legenda

hidup musik folk, Bob Dylan, memakai frasa tersebut sebagai judul dari album

pertama yang membesarkan namanya “Like a Rolling Stone”.

Saat pertama kali diterbitkan, Rolling Stone belum berupa majalah penuh,

terbitan pertama Rolling Stone berbentuk setengah majalah dan setengah lagi

surat kabar. Rolling Stone berkonsentrasi dalam peliputan musik, terutama music

77

genre rock ‘n roll yang saat itu sedang naik daun. Cover pertama mereka adalah

seorang icon dari musik tahun ‘60an yang secara publik dikenal sebagai pribadi

yang mendorong terciptanya gerakan counter-culture, John Lennon dari The

Beatles.

Hari-hari pertama Rolling Stone senantiasa berusaha untuk menjauhkan diri

dari pemberitaan yang banyak diangkat oleh media-media bawah tanah Amerika

pada masa itu, Rolling Stone menerapkan lebih banyak standar jurnalistik

tradisional dan menghindari politik pers radikal yang diusung oleh media-media

bawah tanah saat itu. Wenner menulis bahwa “Rolling Stone bukan hanya tentang

music, tapi juga tentang hal-hal dan sikap yang mencakup music” hal tersebut

telah menjadi motto majalah tersebut sejak awal. Seiring waktu, Rolling Stone

tidak hanya mengulas tentang budaya hippie dan liputan musik saja akan tetapi

juga menyisipkan isu-isu lain seperti budaya pop dan politik.

Sejak awal penerbitannya, Rolling Stone memberikan kesempatan bagi para

penulis untuk menerbitkan ide-ide serta pemikirannya melalui sebuah kolom

khusus yang terbuka bagi publik. Hal tersebut merupakan wujud komitmen

Rolling Stone untuk menjadi wadah bagi para penulis yang memakai media

seperti Rolling Stone untuk kegiatan citizen journalism mereka, menjadi media

alternatif bagi publik untuk menyampaikan pendapatnya. Hal tersebut merupakan

sesuatu yang langka pada saat itu, dan seketika memberikan banyak perhatian

bagi Rolling Stone dari para penulis terkemuka.

Sejak awal era ‘70an Rolling Stone sudah mulai menerbitkan liputan-liputan

bidang politik, editor seperti Gonzo H. S. T. menulis dalam sebuah kolom khusus

politik di majalah tersebut. Gonzo bahkan menerbitkan “Fear and Loathing in Las

78

Vegas” yang kemudian menjadi karyanya yang paling terkenal dalam sebuah

kolom di Rolling Stone. Gonzo kemudian menjadi editor tetap di Rolling Stone

sampai dengan akhir hidupnya. Pada era tersebut, majalah ini juga membantu

meluncurkan karir dari banyak penulis terkemuka seperti sang sutradara dan

penulis naskah film terkemuka, Cameron Crowe, dan Kurt Loder, yang sekarang

menjadi petinggi redaksi pada sebuah channel musik dan gaya hidup paling

dikenal di dunia, MTV.

Rolling Stone adalah sebuah majalah musik dan hiburan, tetapi sepanjang

empat dekade berjalan mereka secara konsisten menambahkan elemen-elemen

seperti isu-isu sosial dan politik dalam penerbitannya. Rolling Stone secara

tradisional mengambil perspektif editorial kiri, dengan kata lain menentang dan

mengkritisi arus kebijakan pemerintah yang tidak sesuai dengan pandangan

majalah. Sebagai contoh, pandangan sangat kritis terhadap pemerintahan Richard

Nixon yang memacu diterbitkannya rubrik National Affairs asuhan Hunter S.

Thompson yang kemudian dilanjutkan oleh Matt Taibi sampai sekarang.

Saat ini Rolling Stone beredar di berbagai benua dan diterjemahkan ke

dalam berbagai bahasa seperti Spanyol, Prancis, Jerman, Italia, Australia, dan

Meksiko. Rolling Stone dibaca oleh lebih dari 12 juta pembaca di seluruh dunia.

Pesatnya perkembangan majalah tersebut dan pengaruhnya terhadap budaya

populer saat ini, membuat Rolling Stone memperluas jaringan distribusinya,

dengan membuat edisi-edisi internasional lain di berbagai negara termasuk

Indonesia.

Rolling Stone edisi internasional pertama adalah Rolling Stone Australia

yang saat itu masih berupa suplemen tambahan dalam majalah GO-Set pada tahun

79

1969, suplemen tersebut kemudian menjadi sebuah terbitan penuh pada tahun

1972. Sukses yang diraih Rolling Stone Australia diikuti dengan mulai dirilisnya

Rolling Stone dalam bahasa-bahasa lain yang berbeda sesuai dengan negara

dimana majalah tersebut terbit. Isi terbitan majalah-majalah tersebut tidak jauh

berbeda dengan Rolling Stone versi Amerika yang identik dengan counter-

culture-nya, beberapa segmen bahkan memakai nama asli sesuai dengan Rolling

Stone terbitan Amerika, namun sebagai tambahan, terdapat konten-konten khusus

berupa muatan lokal yang diterbitkan pada setiap majalah edisi lokal tersebut.

Majalah Rolling Stone Indonesia sendiri mendapat ijin untuk menerbitkan

Rolling Stone versi Bahasa Indonesia pada bulan Mei 2005, hak penerbitan

dipegang oleh JHP Media, Jakarta. Edisi pertama Majalah Rolling Stone

Indonesia beredar pada tanggal 2 Mei 2005, dengan berita utama perjalanan hidup

dan pengaruh musik Bob Marley sementara konten lokalnya mencakup

pemberitaan Slank. Saat itu Indonesia adalah negara Asia pertama dan satu-

satunya yang memiliki versi sendiri Rolling Stone. Misi yang diusung Majalah

Rolling Stone Indonesia adalah menarik perhatian pembaca terutama dengan cara

pandangnya yang unik; pemberitaan yang lugas, serta dedikasinya terhadap dunia

musik. Akhir-akhir ini, artikel-artikel non musik juga mulai mendapat porsi lebih

besar. Terhitung permasalahan politik, olahraga, dan budaya mewarnai edisi-edisi

terbaru Majalah Rolling Stone Indonesia.

80

Tabel 3.2

Porsi Artikel Majalah Rolling Stone Indonesia

Jenis Artikel Porsi

Musik 54%

Hiburan 13%

Global, National & International

Affairs, Health & Science

10%

Culture & General Interest 7%

Fashion & Beauty 4%

Business 3%

Gadget & Electronics 2%

Travel and Sports 2%

Miscelaneous 5%

Pada awal penerbitannya, Majalah Rolling Stone Indonesia mengadaptasi 80%

konten Rolling Stone versi original (Amerika) dengan hasil liputan lokal hanya

sebesar 20% dari keseluruhan isi majalah. Saat ini, konten lokal sudah mencakup

lebih dari 50% isi majalah. Sesuatu yang menggembirakan, karena tentu saja

sangat membantu para praktisi musik lokal untuk lebih dikenal oleh para pembaca

Majalah Rolling Stone Indonesia.

3.2.2 Susunan Redaksi Majalah Rolling Stone Indonesia

Rolling Stone Indonesia

Publisher : PT a&e media

Chairman : Eddie J. Soebari

Commisioner : Andy F. Noya

President Director : R. Monika Soebari

Managing Editor : Adib Hidayat

81

Associate Editor : Ricky Siahaan, Hasief Ardiansyah

Editorial Staff : Wendi Putranto, Wening Gitomartoyo

Art Director : A. Mufrodi

Sr. Graphic Designer : Hendra Anthony Rais

Graphic Designer : Stephen Manuel Wondal

Photographer : Ludmila Ghafar, Bayu Aditya

RollingStone.co.id

Executive Editor : Wendi Putranto

Staff

Ast. Sales Manager : Ario Saloko

Senior AE : Santi YZ, Kiky Anggreny, Renno Partiana

Circulation Staff : Sugiyanto

HRD & GA Manager : M. Audia Firdaus

Finance Controller : Faisal

Finance Manager : Soraya Jufri

Finance Staff : Samsul Hadi

Library Coordinator : Nova Andriya

82

3.2.3 Majalah Rolling Stone Edisi #78 Oktober 2011

3.2.3.1 Rubrik National Affairs

Rubrik National Affairs Majalah Rolling Stone Indonesia edisi #78 berjudul

Penindakan Situs Musik Ilegal, Pakai UU ITE atau UU Hak Cipta? yang

dianalisis oleh penulis terdiri dari enam belas paragraf yang terbit pada bulan

November tahun 2011. Isi artikel tersebut adalah sebagai berikut:

Table 3.3

Isi Rubrik National Affairs Majalah Rolling Stone Indonesia

PARAGRAF ISI

1

Asosiasi-asosiasi musik tersebut meminta agar

Kementerian Komunikasi dan Informatika menutup situs-

situs Internet yang memberikan fasilitas mengunduh lagu

secara ilegal atau menyebarkan lagu tanpa izin yang

memiliki hak atas lagu-lagu tersebut. Setidaknya ada 20

(dua puluh) situs Internet yang mereka anggap

menyediakan akses pengunduhan lagu secara ilegal.

2

Bersamaan dengan hal tersebut, Menteri Komunikasi dan

Informatika Tifatul Sembiring juga menyampaikan

pernyataan yang dikutip berbagai media bahwa

mengunduh lagu-lagu di situs Internet tanpa seizin

pemiliknya dapat dikenakan pidana penjara maksimum

12 (dua belas) tahun. Menurut beliau, adanya ancaman

pidana penjara tersebut adalah karena tindakan tersebut

melanggar ketentuan dalam UU No. 11 Tahun 2008

tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).

3

Dengan demikian, ada dua hal yang menjadi perhatian

dari Kementerian Komunikasi dan Informatika, yaitu

situs-situs Internet yang menyediakan fasilitas

mengunduh lagu secara ilegal dan orang yang mengunduh

lagu tanpa izin penciptanya atau pemegang hak ciptanya

dari situs-situs Internet tersebut. Kementerian

Komunikasi dan Informatika menganggap dua hal

tersebut berada dalam lingkup tugas dan tanggung

jawabnya, sehingga merasa yakin untuk menerapkan

ketentuan-ketentuan UU ITE dalam rangka menang-

gulanginya.

83

4

Untuk melihat apakah memang penanggulangan terhadap

dua hal tersebut masuk dalam lingkup tugas dan tanggung

jawab Kementerian Komunikasi dan Informatika, ada

baiknya kita melihat lebih jauh ketentuan-ketentuan

dalam UU ITE yang dianggap relevan dengan dua hal

tersebut. Hal ini penting untuk mengetahui apakah

memang tepat digunakan ketentuan-ketentuan dalam UU

ITE terhadap dua hal tersebut.

5

Dalam Siaran Pers Kementerian Komunikasi dan Informatika tertanggal 27 Juli 2011, diketahui beberapa

pasal dalam UU ITE yang digunakan sebagai dasar

hukum untuk perlindungan hak cipta di dunia maya.

Siaran Pers tersebut antara lain mengutip ketentuan Pasal

25 UU ITE yang mengatur bahwa Informasi Elektronik

dan/atau Dokumen Elektronik yang disusun menjadi

karya intelektual, situs interneI, dan karya intelektual

yang ada di dalamnya dilindungi sebagai Hak Kekayaan

Intelektual berdasarkan ketentuan peraturan perundang-

undangan.

6

Selain itu, terdapat pula ketentuan dalam Pasal 32 ayat 1

UU ITE yang mengatur mengenai larangan bagi setiap

orang yang de-ngan sengaja dan tanpa hak atau melawan

hukum dengan cara apapun mengubah, menambah,

mengurangi, melakukan transmisi, merusak,

menghilangkan, memindahkan, menyembunyikan suatu

Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik milik

orang lain atau milik publik. Atas pelanggaran Pasal 32

ayat 1 UU ITE tersebut, Pasal 48 ayat 1 UU ITE

mengatur sanksi pidana penjara maksimum 8 (delapan)

tahun dan/atau denda maksimum Rp 2 miliar.

7

Demikian pula Pasal 32 ayat 2 UU ITE yang mengatur

larangan bagi setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa

hak atau melawan hukum dengan cara apapun

memindahkan atau mentransfer Informasi Elektronik

dan/atau Dokumen Elektronik kepada sistem elektronik

orang lain yang tidak berhak. Apabila terjadi pelanggaran

terhadap ketentuan Pasal 32 ayat 2 UU ITE tersebut,

maka orang yang melakukannya dapat dipidana penjara

maksimum 9 tahun dan/atau denda maksimum Rp 3

miliar menurut ketentuan Pasal 48 ayat 2 UU ITE.

8

Apabila perbuatan sebagaimana dimaksud Pasal 32 ayat

(1) dan (2) UU ITE tersebut mengakibatkan kerugian bagi

orang lain, maka ancaman pidananya menjadi lebih besar.

Pasal 36 juncto Pasal 51 ayat 2 UU ITE mengatur

ancaman pidana perbuatan tersebut menjadi maksimum

12 (dua belas) tahun penjara dan/atau denda maksimum

Rp 12 miliar.

84

9

Apabila ketentuan pasal-pasal dalam UU ITE di atas

diterapkan terhadap situs-situs Internet yang menyediakan

fasilitas meng-unduh lagu secara ilegal, dan juga terhadap

orang yang mengunduh lagu tanpa izin penciptanya atau

pemegang hak ciptanya dari situs-situs Internet tersebut,

tentu akan mengundang perdebatan teknis. Salah satu

contoh, apakah kegiatan mengunduh dapat dipersamakan

dengan kegiatan memindah-kan atau mentransfer

Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik?

Dalam praktik, mengunduh suatu file itu merupakan

tindakan memperbanyak file, karena mi-salnya semula

hanya ada satu file pada suatu situs, setelah selesai

diunduh akan ada satu file lagi pada media penyimpanan

tanpa meng-hilangkan file pada situs tersebut. Hal ini

berbeda dengan tindakan memindahkan atau mentransfer

yang dalam pemahaman umum tidak menambah jumlah

barang yang dipindahkan atau ditransfer.

10

Kalau lebih jeli memperhatikan ketentuan Pasal 25 UU

ITE, diterangkan bahwa Informasi Elektronik dan/atau

Dokumen Elektronik yang disusun menjadi karya

intelektual, situs internet, dan karya intelektual yang ada

di dalamnya dilindungi sebagai Hak Kekayaan Intelektual

berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Dengan demikian, ketika suatu Informasi Elektronik

dan/atau Dokumen Elektronik mengandung Hak

Kekayaan Intelektual (HKI), maka ketentuan yang

mengatur mengenai pelanggaran terhadapnya seharusnya

adalah ketentuan peraturan perundang-undangan di

bidang HKI, bukan UU ITE. Hal ini sesuai dengan asas

hukum lex specialis derogate lex generali, yang artinya

peratutan atau UU yang bersifat khusus

mengesampingkan peraturan atau UU yang umum.

11

Oleh karena itu, sebenarnya akan lebih tepat jika

ketentuan-ketentuan dalam UU No. 19 Tahun 2002

tentang Hak Cipta (UU Hak Cipta) yang diterapkan jika

berbicara mengenai penindakan terhadap situs-situs

Internet yang menyediakan fasilitas mengunduh lagu

secara ilegal, dan juga terhadap orang yang mengunduh

lagu tanpa izin penciptanya atau pemegang hak ciptanya

dari situs-situs Internet tersebut. Pasal 2 ayat (I) UU Hak

Cipta mengatur bahwa Hak Cipta adalah hak eksklusif

bagi pencipta atau pemegang hak cipta untuk

mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya, yang

timbul secara otomatis setelah ciptaan dilahirkan tanpa

mengurangi pembatasan menurut peraturan perundang-

undangan yang berlaku.

Apabila situs-situs Internet yang akan diblokir tersebut

menyediakan file-file lagu dengan cara mengunduh

85

12

sendiri file-file lagu tersebut agar dapat diakses publik,

maka hal itu dapat dianggap suatu tindakan mengumum-

kan dan memperbanyak karya cipta berupa lag tanpa hak.

Menurut Pasal 72 ayat I UU Hak Cipta, perbuatan

tersebut dapat diancam pidana penjara maksimum 7 tahun

dan/atau denda maksimum Rp. 5 miliar.

13

Apabila situs-situs Internet yang akan diblokir tersebut

hanya memuat tautan dari file-file lagu yang telah

diunggah oleh pihak lain di berbagai file hosting yang sepatutnya diketahui dlakukan tanpa seizin pencipta atau

pemegang hak ciptanya, maka dapat dianggap telah

dengan sengaja menyiarkan atau memamerkan suatu

ciptaan atau barang hasil pelanggaran hak cipta. Perbuat-

an tersebut diancam dengan pidana penjara maksimum 5

(lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 500 juta

menurut ketentuan Pasal 72 ayat 2 UU Hak Cipta.

14

Mengunduh lagu dari situs Internet pada dasarnya juga

termasuk perbuatan memperbanyak ciptaan yang memer-

lukan izin dari pencipta atau pemegang hak ciptanya.

Namun, UU Hak Cipta memberikan pengecualian

terhadap tindakan pengumuman atau perbanyakan suatu

ciptaan untuk tujuan tertentu, sehingga sepanjang

disebutkan atau dicantumkan sumbernya hal itu tidak

dianggap sebagai pelanggaran hak cipta, yaitu antara lain:

1. Penggunaan karya cipta pihak lain untuk

kepentingan pendidikan, penelitian, karya

ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik

atau tinjauan suatu masalah dengan tidak

merugikan kepentingan yang wajar dari pihak

pencipta;

2. Pengambilan karya cipta pihak lain, baik

seluruhnya maupun sebagian, guna keperluan:

(i) ceramah yang semata-mata untuk tujuan

pendidikan dan ilmu pengetahuan; atau (ii)

pertunjukan atau pementasan yang tidak

dipungut bayaran dengan ketentuan tidak

merugikan kepentingan yang wajar dari

pencipta;

3. Perbanyakan suatu karya cipta bidang ilmu

pengetahuan, seni, dan sastra dalam huruf

braile guna keperluan para tunanetra, kecuali

kalau perbanyakan itu sifatnya komersial;

4. Perbanyakan suatu karya cipta selain program

komputer, secara terbatas dengan atau alat apa

pun atau proses yang serupa oleh perpustakaan

umum, lembaga ilmu pengetahuan atau

pendidikan, dan pusat dokumentasi yang non-

komersial semata-mata untuk kepentingan

86

3.2.3.2 Rubrik Music Biz

Rubrik Music Biz Majalah Rolling Stone Indonesia edisi #78 berjudul

Industri Musik, Apa Selanjutnya? yang dianalisis oleh penulis terdiri dari tujuh

belas paragraf yang terbit pada bulan November tahun 2011. Isi artikel tersebut

adalah sebagai berikut:

Tabel 3.4

Isi Rubrik Music Biz Majalah Rolling Stone Indonesia

PARAGRAF ISI

Akhir Juli lalu sempat semarak berita bahwa 20 situs atau

blog musik ternama akan ditutup oleh Kemenkominfo;

fasilitasnya; atau

5. Dengan itikad baik memperoleh suatu karya

cipta semata-matauntuk keperluan sendiri dan

tidak digunakan untuk suatu kegiatan

komersial dan/atau kepentingan yang

berkaitan dengan kegiatan komersial.

Oleh karena itu, mengunduh lagu dari situs Internet tidak

dapat dianggap pelanggaran hak cipta jika dilakukan

dengan cara dan tujuan sebagaimana dijelaskan di atas.

15

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa

penindakan atas situs-situs Internet yang menyediakan

fasilitas mengunduh lag secara ilegal seharusnya

mengutamakan penerapan ketentuan dalam UU Hak

Cipta. Dengan demikian, penanganan dugaan pelanggaran

hak cipta tersebut lebih tepat diserahkan kepada aparat

kepolisian atau penyidik pegawai negeri sipil di

lingkungan Direktorat Jendral Hak Kekayaan Intelektual

Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia.

16

Apa yang disampaikan di atas tidak dimaksudkan untuk

mengendurkan semangat untuk melawan pembajakan di

era digital. Hal tersebut hanya sebagai pengingat bahwa

penegakan hukum tidak sepatutnya dilakukan secara

sembarangan. Apalagi jika semata-mata didasarkan pada

desakan publik. Oleh karena itu, harus dipikirkan dengan

benarpenggunaan ketentuan hukum yang tepat untuk

melindungi kepentingan hukum para pihak yang terkait di

dalam proses penegakan hukum, serta menjamin proses

hukum dilaksanakan sesuai dengan prosedur yang benar.

Maju terus musik Indonesia!

87

1

tepatnya, para asosiasi pelaku industri musik yang tergabung

dalam kampanye ’Heal Our Music’ telah melayangkan

sebuah surat kepada Kemenkominfo, yang juga disebar

kepada kantor-kantor media berita. Sampai penulisan artikel

ini, belum terlihat ada tindakan apapun terhadap situs-situs

yang tertera pada surat permintaan tersebut. Ini merupakan

sebuah gejala zaman, yang memiliki akar sejarah yang

cukup panjang.

2

Industri musik rekaman yang kita kenal sekarang berawal dari mulainya komersialisasi produk musik lewat piringan

hitam. Musik yang ingin kita nikmati hanya bisa kita nikmati

lewat pertunjukan langsung, dan pembelian piringan hitam

(dan dalam gilirannya, kaset dan CD). Para pelaku industri

musik rekaman memiliki kekuasaan cukup ketat terhadap

distribusi musik, karena akses ke musik dibatasi pada sebuah

produk fisik, berupa piringan hitam, kaset atau CD. Sebuah

pola bisnis yang relatif sempurna terbentuk – sebuah struktur

industri yang menjual beraneka ragam musik, dalam format

dan harga yang relatif sama, yang dapat dipertahankan

nyaris secara tak terhingga, selama tidak ada kondisi pasar

yang bergeser.

3

Salah satu inovasi yang mengembangkan industri musik

rekaman juga jadi salah satu penyebab besar industrinya

secara relatif turun drastis. Musik dikemas dalam CD

diperkenalkan ke publik pada tahun ’80-an, dan menawarkan

kemurnian suara yang nyaris menandingi piringan hitam

(bahkan, bedanya mungkin tidak dapat terdeteksi oleh

sebagian banyak orang). Setelah meng-alami masa kaset

yang memiliki beberapa keterbatasan teknologi, misalnya

kalau terlalu lama didengarkan lagunya jadi ngageol kalau

kata orang Sunda, CD memberikan sebuah pengalaman

mendengarkan musik yang cukup konsisten, yang hanya

akan dibatasi oleh perangkat audio yang digunakan.

Dilengkapi dengan pola media dan berita yang pada zaman

itu masih relatif tersentralisasi, promosi dan penjualan

produk musik sangat berkembang. Zaman CD adalah zaman

keemasan industri musik rekaman. Tapi pasar berubah.

Pertumbuhan pemakaian Personal Computer (PC) pada

tahun ’90-an memicu industri perangkat lunak untuk makin

berkembang – bukan saja oleh perusahaan-perusahaan besar

seperti Microsoft dan Apple, tapi juga pengembang-

pengembang lunak independen dan open source – yang

menemukan cara supaya isi CD Audio dapat disalin ke

dalam komputer, dalam format MP3, yang semula

dimaksudkan oleh Moving Picture Experts Group sebagai

bagian dari protokol enkripsi video. Software pertama yang

bisa membuat file format MP3 dikeluarkan oleh Fraunhofer

Society pada tahun 1994, yang kemudian disusul oleh

88

4 berdirinya website MP3.com untuk musisi-musisi

independen, dan keluarnya WinAmp yang mempopulerkan

MP3 sebagai format penyebaran musik, sampai akhir ’90-an.

CD yang semula tidak mudah dibuat duplikatnya

(dibandingkan dengan kaset yang sangat mudah diduplikasi

dengan perangkat dubbing), ternyata dapat diduplikasi

dengan mudah melalui perangkat lunak khusus dan

CD writer, dan bahkan disalin isinya menjadi MP3 yang

dapat disebar dengan mudah melalui Internet! Penyebaran

penggunaan MP3 sebagai format musik pilihan seperti

dikukuhkan oleh berdirinya Napster pada tahun 1999.

5

Model bisnis industri musik rekaman tergantung pada dua

hal: penemuan (discovery) musik, kemudian kontrol akan

akses konsumen terhadap musik tersebut. Dengan pengaruh

besar pada TV, radio, koran dan majalah, termasuk majalah

seperti Rolling Stone, para label musik dapat

memperkenalkan musik baru atau artis baru secara baik dan

terpola, dan nyaris memastikan bahwa lagu tersebut akan

disukai oleh khalayak umum. Kalau begitu banyak media

membicarakan artis atau lagu yang sama, pasti lagunya

bagus atau enak, bukan? Setelah promosi dilakukan dengan

cermat, konsumen digiring untuk memilih bagaimana

caranya dia akan mengakses musiknya: menunggu lagunya

diputar di radio, atau membeli piringan hitam, kaset, atau

CD. Tur konser keliling dunia biasanya dilakukan untuk

memastikan penjualan album bisa lebih tinggi.

6

Sekarang, dunia musik seolah sudah terbalik: penjualan CD

turun terus (dan kaset sudah nyaris punah) karena

pembajakan lewat Internet maupun CD palsu, album

sekaligus diperlakukan sebagai alat promosi artis/band

supaya orang maumenonton konsernya, media sudah

terdesentralisasi dengan berkembangnya Internet dan jutaan

blog, dan sampai saat ini MP3 masih banyak beredar bebas

lewat Internet. Promosi berpola lebih sulit dilakukan karena

fragmentasi media (dan fragmentasi penikmat musik), dan

akses konsumen ke musik secara umum sulit dilakukan,

karena hadirnya suatu file musik di Internet bisa berarti

penyebaran otomatis ke seluruh dunia, sehingga mengurangi

potensi konsumen membeli produk musik tersebut.

7

Industri musik rekaman di Indonesia berkembang pesat lagi

setelah hadirnya ringbacktone, yang sebenarnya sudah

berkembang jadi produk gaya hidup atau produk ekspresi,

seperti layaknya status message pada Yahoo! Messenger

atau Blackberry Messenger. Promosi dapat dilakukan terpola

melalui operator telekomunikasidan elemen-elemen

pendukung lewat media TV, radio dan majalah, dan akses

konsumen pun terkontrol dengan baik karena layanan RBT

hanya dapat diakses langsung melalui operator. Operator pun

89

menjadi ‘teman baik’ baru para label musik, setelah para

retailer dan toko CD sayangnya tidak sanggup memberikan

volume bisnis yang signifikan. Untuk merangkul

perkembangan teknologi, langkah berikut yang dilakukan

oleh industri musik rekaman dengan para operator

telekomunikasi adalah mengembangkan layanan menjual

musik dalam format digital seperti MP3, AAC ataupun

WMA. Satu masalah menghalangi – penyebaran MP3 tidak

terkontrol lewat Internet. Tindakan utama: hentikan atau

kontrol.

8

Kita lihat bahwa industri musik rekaman, walaupun pola

pikirnya sudah sangat jauh berkembang pada awal 2000-an,

masih berusaha memperlakukan musik rekaman sebagai

komoditas. Ini sama sekali tidak salah – memperlakukan

produk musik sebagai komoditas adalah sebuah prinsip

bisnis yang bagus, dan mempermudah perhitungan

pembiayaan, prakiraan keuntungan, dan berapa jumlah uang

yang dapat diinvestasikan kembali ke produk berikutnya.

Tapi bisnis komoditas sangat bergantung kepada pertanyaan

apakah akses dan distribusi komoditas tersebut bisa

dilakukan dengan baik dan terukur. Kaset bisa. CD bisa.

Tapi kalau sebuah file digital, sulit, dengan Digital Rights

Management sekalipun. Dilema ini yang sedang melanda

industri-industri musik, film, buku, dan perangkat lunak.

Dan sampai sekarang, belum tampak solusi yang dapat

menyelesaikan masalah semua orang dengan praktis dan,

tentunya, dapat menghasilkan keuntungan yang signifikan.

Karena tanpa keuntungan, sebuah bisnis dapat berlanjut –

sebuah label musik tidak akan dapat menginvestasikan

uangnya ke artis baru atau album baru; tidak dapat

membayar berbagai pekerja industri yang bekerja di

belakang layar supaya hasil rekamannya bagus, supaya

pertunjukan artisnya bagus, dan sebagainya.

9

Ada satu hal yang terlewat – industri musik bukan ‘hanya’

industri musik rekaman. Kalau orang sempat ramai

mengatakan kalau ‘industri musik akan mati’, justru itu

pernyataan yang salah. Industri musik yang bergantung pada

penjalan CD itu yang akan mati. Industrinya sendiri masih

dalam transisi mencari bentuk baru. Tapi apakah pencarian

bentuk baru tersebut, harus melibatkan penutupan berbagai

situs dan blog musik, yang notabene tidak hanya digunakan

untuk penyebaran MP3 secara ilegal, tapi juga dijadikan

saluran penyebaran MP3 legal oleh band-band indie?

90

10

Kita lihat di seluruh dunia, perusahaan rekaman sedang

berusaha berubah bentuk: beerapa telah membentuk event

organizer sendiri, ada yang memiliki manajemen artis

sendiri, sampai mengelola merchandise sendiri, sebagai

usaha diversivikasi pemasukan uang, dan memaksimalkan

pengembalian investasi atas uang yang dikeluarkan

perusahaan tersebut untuk artis atau album yang dikelola.

Sisi buruknya adalah artis menjadi terikat ke kontrak yang

cukup komprehensif mengambil keuntungan dari semua lini

pemasukan artis tersebut, dan segala kegiatan artis tersebut –

pertunjukan, merchandise, album – diperlakukan sebagai

komoditas. Tidak salah, tapi bukan satu-satunya cara.

11

Salah satu hal yang diajarkan pada saya saat awal bekerja di

sebuah perusahaan rekaman adalah, “You can’t fight the

pirates.” Percuma. Kalau harga CD diturunkan dari Rp

75.000, menjadi Rp 30.000, para pembajak masih untung

dengan menjual CD bajakannya sebesar Rp 10.000, arena

tidak harus membayar berbagai royalti dan bagi hasil. Dan

MP3 ilegal bisa mudah didapatkan dari berbagai sumber;

Internet, kios-kios ringtone yang banyak terdapat di pusat

perbelanjaan, atau dikirim lewat Bluetooth dari teman. Satu-

satunya cara ‘bertempur’ dengan para pembajak adalah

dengan bergerak lebih cerdik. Apakah salah satu caranya

adalah menutup situs atau blog yang berisi MP3 ilegal?

Menurut saya, tindakan itu perlu tapi kurang tepat kalau

berdiri sendiri – mengingat mudahnya membuat situs atau

blog baru dan mudahnya menemukan apaun di Internet

dengan bantuan mesin pencari seperti Google. Lagipula,

kebanyakan dari situs-situs tersebut hanya menaruh tautan

pada file tersebut yang berada pada situs-situs seperti

4shared, yang tidak ada dalam wilayah hukum Indonesia.

12

Kebanyakan dari situs-situs internasional seperti 4shared,

Mediafire, Rapidshare dan sebagainya rata-rata mengadopsi

Digital Millenium Copyright act, yang mendukung

diturunkannya konten-konten yang dianggap melanggar Hak

Cipta – dengan syarat, setiap konten yang dianggap

melanggar harus diidentifikasi dan dilaporkan kepada

layanan-layanan tersebut supaya diturunkan. Mau tidak mau

kalau tujuannya mengontrol konten yang ada di berbagai

situs ilegal, harus diidentifikasi satu per satu. Ini tentunya

tidak mudah bagi perusahaan-perusahaan rekaman yang

memiliki ratusan ribu lagu dalam koleksinya. Bukan berarti

tidak bisa.

13

Tentunya, tidak ada solusi ajaib yang akan menyelesaikan

persoalan penggunaan hak cipta versus pembajakan. Digital

Rights Management? Akhirnya ‘pahlawan-pahlawan’

industri musik digital seperti iTunes Store dan Amazon MP3

Music Store sudah menjual musik tanpa DRM semenjak

91

tahun lalu. Sepertinya, setiap kasus akan membutuhkan

solusinya sendiri, yang bisa memastikan baik konsumen,

artis dan perusahaan rekaman sama-sama senang.

14

Satu hal yang sering saya kedepankan adalah hentikan

memberlakukan musik sebagai komoditas. Metode

komoditas ini akan mati perlahan, karena sangat tergantung

ke kontrol distribusi. Jangan tergantung ke musik sebagai

komoditas, tapi model bisnis baru harus dikembangkan ke

arah yang lebih mendekati produknya sendiri: pengalaman.

15

Kenapa kita suka sebuah lagu? Kenapa kita berulang kali

melihat remaja-remaja umur tanggung menjerit-jerit lagu

favoritnya saat mereka menonton artis favoritnya di TV,

bahka dipertnjukan yang sangat pagi? Karena lagu

menggugah emosi. Lagu menjadi cerminan ekspresi kita:

cinta, benci, sedih, senang, anti pemerintah, konyol, dan

sebagainya. Ikatan antara lagu – atau artisnya – adalah

sesuatu yang tidak bsa ‘diciptakan’, dan akan timbul sendiri.

Dan ikatan emosi ini, adalah langkah pertama dari

pengembangan sebuah ‘pengalaman konsumen’.

16

Tentunya pengalaman konsumen ini tidak berlaku sama

untuk semua artis, semua lagu dan semua perusahaan

rekaman. Ada berbagai band indie yang hidup dari

merchandise dan konser sebagai pengalaman konsumen, dan

nyaris nol dari produk musik. Ada juga band yang tetap

menjual produk musik, dari yang gratis sampai box set CD

yang mahal, dan mempergunakan berbagai tingkatan produk

(dengan perbedaan kualitas, harga dan elemen-elemen

tambahan seperti kaos, poster bertanda tangan dan lain-lain)

sebagai cara memberikan pengalaman yang berbeda kepada

para penggemarnya. Ini yang dilakukan Nine Inch Nails

beberapa tahun yang lalu. Contoh lain: ekosistem iTunes

Music Store: selama bertahun-tahun konsumen iTunes

Music Store sudah mengunduh jutaan lagu tanpa peduli

adanya DRM atau tidak, karena perpaduan iTunes dan iPod

begitu mudah dan praktis bagi konsumen. Sebuah

pengalaman konsumen yang sampai saat ini sulit diduplikasi

oleh perusahaan lain. Ada yang mungkin beranggapan

bahwa iTunes Music Store adalah bukti potensi musik

digital sebagai komoditas itu masih besar, tapi justru yang

membuat iTunes begitu dinikmati konsumennya adalah

pengalaman konsumennya. Ada pula perusahaan rekaman

plus manajemen artis yang menjadikan lagu bentuk digital

sebagai pancingan untuk berlangganan berbagai layanan atau

menghadiri konser-konsernya.

Masih banyak contoh model bisnis dan kegiatan yang dapat

dijadikan acuan, tapi pada dasarnya sama: penggabungan

berbagai kegiatan dan produk untuk memberi penawaran

musik kepada konsumen, yang sulit ditiru oleh pembajak.

92

17

Pembajak mungkin dengan mudah mendapatkan akses pada

file digital sebuah lagu, tapi akan sulit mendapatkan akses

pada artisnya, dan pastinya akan sulit menginvestasikan

uang dan waktu untuk membuat pengalaman konsumen yang

lebih canggih. Artis atau band harus lebih jeli dan berpikir

seperti entreprenuer, dan perusahaan rekaman perlu

mengembangkan diri menjadi business enabler. Para

perusahaan penerbit musik, yang mewakili pencipta lagu,

juga perlu mengembangkan diri dan lebih fleksibel

menghadapi perkembangan teknologi. Inovasi teknologi dan

inovasi model bisnis akan berkembang terus, sehingga

metode penrhitungan royalti juga perlu berkembang.

Sebagain besar pembajakan adalah gejala perkembangan

teknologi, bukan tindakan sengaja melawan hak cipta.

Pembajakan adalah tren konsumsi hiburan yang perlu diteliti

dan disikapi, karena yang pasti, hampir tidak mungkin

dihapuskan. Pendidikan untuk apresiasi hak cipta masih bisa

dilakukan dengan inovasi bisnis, tapi tidak dengan represi.

3.2.4 Musik, Industri Musik dan Pembajakan Musik

Bagi sebagian besar orang, musik telah menjadi bagian yang tidak dapat

dipisahkan dari kehidupannya sehari-hari. Musik telah berubah fungsi, tidak lagi

hanya dijadikan sebagai alat hiburan akan tetapi juga telah menjadi kebutuhan

utama. Saat ini, musik tidak lagi dipandang sebagai sebuah karya seni yang hanya

dinikmati oleh para peminat seni saja. Beberapa penelitian bahkan membuktikan

bahwa musik dapat menjadi penunjang produktifitas lintas disiplin. Sebuah

penelitian yang dilakukan kepada para insinyur dan desainer teknik di Silicon

Valley telah membuktikan kalau sebagian besar dari mereka menjadi lebih

produktif ketika diijinkan bekerja sambil mendengarkan musik yang mereka sukai

(Center for the Arts in the Basic Curriculum, 1997).

Keberadaan musik juga dipandang sangat penting dalam proses pendidikan

dan pengembangan sumber daya manusia. Para eksekutif kelas atas di Amerika

93

Serikat setuju bahwa penerapan pendidikan musik bagi para pelajar akan

memperbaiki kelemahan sistem pendidikan di negara tersebut sehingga

menghasilkan lulusan yang lebih baik untuk menghadapi dunia kerja di abad ke-

21 (Business Week, Oktober, 1996). Begitu pentingnya peranan musik dalam

dunia pendidikan sehingga mendorong para penyedia pendidikan perguruan tinggi

di Amerika Serikat untuk memberikan pendidikan musik sebuah tempat dalam

kurikulumnya. Para penyedia pendidikan tersebut mengakui bahwa keterlibatan

mahasiswa dalam musik terbukti memberikan dampak positif dalam hal

manajemen waktu, kreatifitas, ekspresi, serta keterbukaan pikiran (The Associated

Press, Oktober, 1999).

Musik itu sendiri adalah seni yang menggunakan bebunyian sebagai

medium ekspresinya. Musik merupakan segala bunyi yang dihasilkan secara

sengaja oleh seseorang atau sekumpulan orang dan disajikan sebagai musik

(Wikipedia.org, Februari, 2012). Musik adalah sebuah fenomena intuitif natural

yang hidup dalam tiga dunia, waktu, pitch, dan energi, dibawah tiga struktur

organisasi yang saling berdekatan dan berhubungan satu sama lain yaitu ritme,

harmoni dan melodi (Music Novatory, The Science of Music, Februari, 2012).

Keberadaan musik sebagai alat komunikasi yang merubah perilaku para

pendengarnya sesuai dengan definisi yang disampaikan oleh Carl Hovland.

Komunikasi adalah proses yang memungkinkan seseorang untuk menyampaikan

pesan agar merngubah tingkah laku orang lain (Carl Hovland). Dalam

komunikasi, musik berperan sebagai media penyampaian pesan. Komunikasi

adalah penyampaian pesan oleh seseorang kepada orang lain untuk memberitahu

94

atau mengubah sifat, baik langsung secara lisan maupun tidak langsung melalui

media tertentu (Onong).

Musik adalah bagian dari konstruksi sosial dalam kehidupan manusia

(Music and Discourse: Toward a Semiology of Music, 1990). Musik seringkali

disadari sebagai sebuah seni atau hiburan, akan tetapi pada dasarnya musik adalah

sebuah fakta sosial yang definisinya bergantung kepada suatu masa dan budaya

tertentu (Jurnal Musik, no. 17:37–62, 1975). Keberadaan musik dalam keseharian

serta kehidupan sosial manusia tersebut yang akhirnya mendorong perkembangan

musik ke arah industri.

Pada perkembangannya, musik yang awalnya hanya sebagai alternatif

hiburan untuk pengisi waktu luang kemudian menjadi sebuah produk yang

potensial untuk dijadikan industri.

Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Mari Elka Pangestu menyatakan

sumberdaya musik adalah sebuah cultural capital yang luar biasa. Untuk itu

pemerintah bertekad untuk mengangkat kekayaan sumber daya musik ini

dalam konteks pengembangan ekonomi dan industri kreatif. (Okezone.com,

November, 2011)

Rubrik Music Biz Majalah Rolling Stone Indonesia menceritakan awal mula

pembajakan musik yang diawali oleh komersialisme di masa lalu yang

berkembang seiring perkembangan jaman menjadi sebuah permasalahan

kompleks ketika industri tersebut dikejutkan oleh isu pembajakan melalui format

digital yang tersebar di internet.

Industri musik rekaman yang kita kenal sekarang berawal dari mulainya

komersialisme produk musik lewat piringan hitam. Musik yang ingin kita

nikmati hanya bisa kita nikmati lewat pertunjukan langsung, dan pembelian

piringan hitam. Para pelaku industri musik rekaman memiliki kekuasaan

cukup ketat terhadap distribusi musik, karena akses ke musik dibatasi pada

sebuah produk fisik tersebut. Sebuah pola bisnis yang relatif sempurna

terbentuk – sebuah struktur industri yang menjual beraneka ragam musik,

dalam format dan harga yang relatif sama. (Majalah Rolling Stone

Indonesia #78 edisi Oktober 2011)

95

Salah satu inovasi yang mengembangkan industri musik rekaman juga jadi

salah satu penyebab besar industrinya secara relatif turun drastis adalah

digunakannya Compact Disk Audio (CDA) sebagai media distribusi musik.

Musik yang dikemas dalam CDA diperkenalkan ke publik pada tahun ’80-

an, dan menawarkan kemurnian suara yang nyaris menandingi piringan

hitam. Setelah mengalami masa kaset yang memiliki beberapa keterbatasan teknologi, CDA memberikan sebuah pengalaman mendengarkan musik

yang cukup konsisten, yang hanya akan dibatasi oleh perangkat audio yang

digunakan. Dilengkapi dengan pola media dan berita yang pada zaman itu

masih relatif tersentralisasi, promosi dan penjualan produk musik sangat

berkembang untuk kemudian menjadikan era CDA sebagai era keemasan

industri musik rekaman.

Pertumbuhan pemakaian Personal Computer (PC) pada tahun ’90-an

memicu industri perangkat lunak untuk makin berkembang – bukan saja

oleh perusahaan-perusahaan besar seperti Microsoft dan Apple, tapi juga

pengembang-pengembang lunak independen dan open source – yang

menemukan cara supaya isi CDA dapat disalin ke dalam komputer, dalam

format MP3, yang semula dimaksudkan oleh Moving Picture Experts Group

sebagai bagian dari protokol enkripsi video. Software pertama yang bisa

membuat file format MP3 dikeluarkan oleh Fraunhofer Society pada tahun

1994, yang kemudian disusul oleh berdirinya website MP3.com untuk

musisi-musisi independen, dan keluarnya WinAmp yang mempopulerkan

MP3 sebagai format penyebaran musik, sampai akhir ’90-an. CD yang

semula tidak mudah dibuat duplikatnya (dibandingkan dengan kaset yang

sangat mudah diduplikasi dengan perangkat dubbing), ternyata dapat

diduplikasi dengan mudah melalui perangkat lunak khusus dan CD writer,

dan bahkan disalin isinya menjadi MP3 yang dapat disebar dengan mudah

melalui Internet. Keberadaan format MP3 inilah yang kemudian menjadi

pemicu tumbuhnya pembajakan musik secara masal melalui medium

internet. (Majalah Rolling Stone Indonesia #78 edisi Oktober 2011)

Seiring dengan semakin dikenalnya format MP3 di negara-negara maju,

perkembangan industri musik di Indonesia juga mulai terpengaruh.

“Nilai pembajakan musik pada 2010 mencapai Rp 4,5 triliun! Angka ini

sama saja dengan nilai pada tahun lalu. Padahal, bisnis musik sendiri turun

dari Rp 6,31 triliun pada 2009 menjadi Rp 6 triliun pada 2010 ini. Dari

omset ini, musik digital menyumbang Rp 1, 81 triliun (2009) kemudian Rp

1,5 triliun (2010).“ (Bisnis Indonesia, Desember, 2010)