bab iii dasar-dasar logika

94
16 BAB III DASAR-DASAR LOGIKA Bagus Takwin 1. Apakah Logika Itu? Secara umum, logika dikenal sebagai cabang filsafat, tetapi ada juga ahli yang menempatkannya sebagai cabang matematika. Kedua bidang kajian ini menempatkan logika sebagai dasar berpikir dalam memperoleh, mencermati dan menguji pengetahuan. Logika dapat diartikan sebagai kajian tentang prinsip, hukum, metode, dan cara berpikir yang benar untuk memperoleh pengetahuan yang benar. Jika ditempatkan sebagai cabang filsafat, logika dapat diartikan sebagai cabang dari filsafat yang mengkaji prinsip, hukum dan metode berpikir yang benar, tepat dan lurus. Jika ditempatkan sebagai matematika maka logika merupakan cabang matematika yang mengkaji seluk-beluk perumusan pernyataan atau persamaan yang benar, khususnya pernyataan yang menggunakan bahasa formal. Bahasa formal adalah bahasa buatan yang dibedakan dari bahasa alamiah. Bahasa formal di sini merujuk kepada rangkaian simbol matematis seperti yang biasa kita jumpai dalam literatur matematika. Sedangkan bahasa alamiah, atau bahasa non-formal, adalah bahasa yang umumnya kita gunakan sehari-hari dalam berkomunikasi. Dari sejarah filsafat kita mengenal Aristoteles sebagai filsuf yang pertama kali membeberkan hal-ihwal logika secara komprehensif. Sebelumnya ada beberapa filsuf Yunani Kuno yang sudah mengemukakan prinsip-prinsip berpikir dan pemerolehan pengetahuan seperti Parmenides, Zeno, dan Pythagoras. Tetapi penjelasan khusus dan menyeluruh tentang bagaimana pikiran manusia bekerja dan dapat memperoleh pengetahuan yang benar baru ditulis secara sistematis oleh Aristoteles. Penggunaan istilah logika untuk menyebut cabang filsafat yang mengkaji prinsip, aturan, dan metode berpikir yang benar bukan berasal dari Aristoteles melainkan dari Alexander Aphrodisias sekitar permulaan abad ke-3 M. Sebelumnya istilah logika dipakai oleh Cicero (abad ke-1 M) yang menggunakan kata logika dalam arti ‘seni berdebat’. Aristoteles sendiri menggunakan istilah analitika untuk merujuk kepada penyelidikan terhadap argumentasi-argumentasi yang bertitik tolak dari putusan-putusan yang sudah dipastikan kebenarannya, serta dialektika untuk penyelidikan terhadap argumentasi-

Upload: ilhamarifin

Post on 05-Dec-2014

75 views

Category:

Documents


11 download

DESCRIPTION

MPKT A

TRANSCRIPT

Page 1: BAB III Dasar-Dasar Logika

16

BAB III

DASAR-DASAR LOGIKA

Bagus Takwin

1. Apakah Logika Itu?

Secara umum, logika dikenal sebagai cabang filsafat, tetapi ada juga ahli yang

menempatkannya sebagai cabang matematika. Kedua bidang kajian ini menempatkan logika

sebagai dasar berpikir dalam memperoleh, mencermati dan menguji pengetahuan. Logika

dapat diartikan sebagai kajian tentang prinsip, hukum, metode, dan cara berpikir yang benar

untuk memperoleh pengetahuan yang benar.

Jika ditempatkan sebagai cabang filsafat, logika dapat diartikan sebagai cabang dari

filsafat yang mengkaji prinsip, hukum dan metode berpikir yang benar, tepat dan lurus. Jika

ditempatkan sebagai matematika maka logika merupakan cabang matematika yang mengkaji

seluk-beluk perumusan pernyataan atau persamaan yang benar, khususnya pernyataan yang

menggunakan bahasa formal. Bahasa formal adalah bahasa buatan yang dibedakan dari

bahasa alamiah. Bahasa formal di sini merujuk kepada rangkaian simbol matematis seperti

yang biasa kita jumpai dalam literatur matematika. Sedangkan bahasa alamiah, atau bahasa

non-formal, adalah bahasa yang umumnya kita gunakan sehari-hari dalam berkomunikasi.

Dari sejarah filsafat kita mengenal Aristoteles sebagai filsuf yang pertama kali

membeberkan hal-ihwal logika secara komprehensif. Sebelumnya ada beberapa filsuf Yunani

Kuno yang sudah mengemukakan prinsip-prinsip berpikir dan pemerolehan pengetahuan

seperti Parmenides, Zeno, dan Pythagoras. Tetapi penjelasan khusus dan menyeluruh tentang

bagaimana pikiran manusia bekerja dan dapat memperoleh pengetahuan yang benar baru

ditulis secara sistematis oleh Aristoteles.

Penggunaan istilah logika untuk menyebut cabang filsafat yang mengkaji prinsip,

aturan, dan metode berpikir yang benar bukan berasal dari Aristoteles melainkan dari

Alexander Aphrodisias sekitar permulaan abad ke-3 M. Sebelumnya istilah logika dipakai

oleh Cicero (abad ke-1 M) yang menggunakan kata logika dalam arti ‘seni berdebat’.

Aristoteles sendiri menggunakan istilah analitika untuk merujuk kepada penyelidikan

terhadap argumentasi-argumentasi yang bertitik tolak dari putusan-putusan yang sudah

dipastikan kebenarannya, serta dialektika untuk penyelidikan terhadap argumentasi-

Page 2: BAB III Dasar-Dasar Logika

17

argumentasi yang bertitik tolak dari putusan-putusan yang belum pasti kebenarannya

(Bertens, 1999).

Dalam matematika, logika dikaji dalam kaitannya dengan upaya menyusun bahasa

matematika yang formal, baku, dan jernih maknanya, serta dalam kajian tentang penyimpulan

dan pembuatan pernyataan yang benar. Tradisi penggunaan dan pengkajian logika dalam

matematika sudah sangat lama dilakukan sehingga matematika tak dapat dipisahkan dari

logika, dan keduanya saling melengkapi. Bertrand Russell dan Alfred North Whitehead

bahkan menyatakan bahwa matematika adalah logika murni. Istilah logika klasik (classical

logic, classical elementary logic, atau classical first-order logic) merujuk kepada kajian

tentang logika dalam matematika. Kata klasik di situ mengindikasikan betapa sudah

menyatunya logika dan matematika, yang sudah dianggap sebagai dua sisi dari satu keping

mata uang.

Terlepas dari latar belakang kajian dan penemuannya serta klasifikasinya dalam

penggolongan ilmu, logika merupakan alat yang dibutuhkan dalam kajian berbagai ilmu

pengetahuan dan juga dalam kehidupan sehari-hari. Logika, di samping etika, dapat dipahami

sebagai asas pengaturan alam dan isinya yang dikembangkan manusia. Alam yang pada

awalnya tampil di hadapan manusia sebagai sesuatu yang tak termaknai dan sebagai

ketidakteraturan mendorong manusia untuk memaknainya dan untuk memberikan arti kepada

unsur-unsurnya dan penjelasan kepada dinamikanya. Alam, yang awalnya tak terpahami dan

terkesan tak teratur, pelan-pelan namun pasti mulai terpahamkan. Pemaknaan dan pengaturan

itu dari waktu ke waktu berkembang semakin sistematis dan komprehensif. Logika berperan

di sana, mulai dari penamaan benda-benda berdasarkan prinsip identitas (X = X) hingga

penemuan beragam hubungan antara unsur alam melalui penalaran analogis, deduktif, dan

induktif. Logika memungkinkan manusia memahami seluk-beluk dan dinamika alam berserta

isinya, menerangkan, meramal, dan menata alam. Berbagai persoalan manusia terselesaikan

dengan bantuan logika. Meskipun belum semua persoalan selesai sementara berbagai

persoalan baru sudah muncul—termasuk persoalan yang disebabkan oleh penggunaan (dan

penyalahgunaan) logika—tak dapat dimungkiri bahwa logika sudah membantu manusia

meningkatkan kualitas hidupnya dan mengembangkan peradabannya seperti yang kita

saksikan sekarang. Sebagai asas pengaturan, logika menjelaskan bahwa alam yang awalnya

tampak sebagai kekacau-balauan (chaos) sebenarnya merupakan jagat raya (cosmos) yang

teratur.

Kembali lagi ke logika sebagai cabang filsafat. Secara filosofis, logika adalah kajian

tentang berpikir atau penalaran yang benar. Penalaran merupakan aktivitas mental yang

Page 3: BAB III Dasar-Dasar Logika

18

bertujuan memperoleh pengetahuan; dengan kata lain, penalaran merupakan aktivitas

epistemik. Penalaran adalah proses penarikan kesimpulan berdasarkan alasan yang relevan.

Dalam logika dikaji bagaimana berlangsungnya proses penarikan kesimpulan yang mencakup

unsur-unsur dari proses, langkah-langkah, serta hukum, prinsip dan aturan-aturannya.

Untuk dapat menjelaskan karakteristik penaralan yang benar serta mengapa dan

bagaimana itu dapat dihasilkan, logika menggunakan pemahaman tentang standar kebenaran

yang diperoleh dari epistemologi yang merupakan cabang filsafat yang mengkaji hakikat

pengetahuan. Di samping itu, sebagai bagian dari epistemologi dalam arti luas, logika juga

memerlukan dasar-dasar pengetahuan yang dikaji oleh epistemologi, yang mencakup segi-

segi sumber pengetahuan, batas pengetahuan, struktur pengetahuan, dan keabsahan

pengetahuan. Sebuah sistem logika didasari oleh asumsi tentang sumber pengetahuan, apakah

pengetahuan itu dianggap bersumber dari pikiran, pengalaman atau dari hal-hal lain. Dalam

sistem logika yang komprehensif juga ditentukan batas-batas kemampuan manusia untuk

mengetahui, jenis pengetahuan yang dapat diperoleh, dan syarat-syarat dari pengetahuan

sehingga dapat dipahami manusia. Struktur pengetahuan yang berkaitan dengan bagaimana

pengetahuan terkumpul, tersusun, dan tertata sedemikian rupa dalam diri manusia juga

mendasari sebuah sistem logika. Lalu, untuk menentukan benar atau tidaknya sebuah

penalaran sebuah sistem logika perlu didasari oleh syarat-syarat dari keabsahan pengetahuan.

Dapat dikatakan bahwa logika merupakan dasar filosofis dari matematika. Ini

disebabkan oleh asas epistemologis matematika yang berakar pada filsafat. Belakangan,

mereka yang membahas matematika kebanyakan adalah filsuf, seperti Bertrand Russell,

Alfred North Whitehead dan Gottlob Frege. Di sisi lain, matematika juga banyak memberi

masukan kepada logika, bahkan dianggap sebagai logika murni oleh Russell dan Whitehead

dalam buku mereka yang berjudul Principia Mathematica (1925). Dalam pengertiannya

sebagai kajian tentang penalaran yang benar, logika memunculkan pertanyaan-pertanyaan

yang relevan dengan aspek matematis dari logika. Dua di antaranya ialah bagaimana

pembuatan kesimpulan dari prinsip-prinsip umum yang sudah ada dan validitasnya

berhubungan dengan penalaran yang benar? Dan bagaimana matematika sebagai proses

pembuatan kesimpulan khusus berdasarkan hukum-hukum umum dapat dipahami dari segi

logis; dan, sebaliknya, bagaimana logika dipahami dari sudut pandang matematika?

Sebagai kajian tentang penalaran, logika juga berhubungan erat dengan bahasa

alamiah yang sehari-hari dipakai oleh manusia. Untuk berkomunikasi, orang bernalar dengan

menggunakan bahasa alamiah. Ini juga berkaitan dengan matematika. Hal ini menimbulkan

sejumlah pertanyaan: bagaimana matematika dapat diterapkan di dalam kenyataan non-

Page 4: BAB III Dasar-Dasar Logika

19

matematik? Bagaimana matematika dapat menjelaskan realitas sehari-hari? Bagaimana

matematika dapat digunakan untuk melakukan penalaran yang benar? Apa dasar

epistemologis dari matematika sehingga dapat digunakan untuk membuat penalaran yang

benar?

Buku ini tidak akan menjelaskan bagaimana logika dan matematika saling

berhubungan, dan juga tidak menjelaskan secara khusus dan rinci hubungan antara bahasa

dan penalaran sehari-hari dengan logika. Uraian tadi hanya sekadar menunjukkan secara

singkat bahwa logika berkaitan erat dengan matematika sehingga beberapa simbol

matematika digunakan di dalam logika. Logika juga berkaitan dengan pemahaman manusia

dalam kesehariannya karena sama-sama menggunakan bahasa sebagai medianya.

Di atas sudah dibahas secara umum tentang dua pengertian logika, yakni sebagai

cabang filsafat dan sebagai cabang matematika. Sebelum pembahasan lebih khusus tentang

logika, di sini dikemukakan dua pengertian lain dari logika, yakni logika sebagai kajian

tentang kebenaran khusus atau fakta dan logika sebagai kajian ciri-ciri atau bentuk umum

dari putusan (bahasa Inggris: judgment). Sebagai kajian tentang kebenaran khusus, logika

merupakan ilmu pengetahuan yang bertujuan menjelaskan kebenaran atau fakta tertentu,

sama halnya dengan ilmu pengetahuan lain yang bertujuan menjelaskan kebenaran lainnya.

Kebenaran logis dapat dipahami sebagai kebenaran paling umum, satu kebenaran yang

dikandung oleh semua kumpulan kebenaran lain yang hendak dijelaskan oleh ilmu

pengetahuan. Dalam pengertian ini logika berbeda dari biologi karena logika lebih umum;

tetapi, di pihak lain, sama dengan biologi, yaitu sebagai ilmu pengetahuan yang bertujuan

mencapai kebenaran tertentu. Pengertian logika ini sering kali diasosiasikan dengan Gottlob

Frege (1848-1925), ahli matematika dan filsuf dari Jerman. Konsepsi logika ini secara dekat

diasosiasikan dengan satu pernyataan yang diperoleh dengan menggunakan logika secara

fundamental tentang kesimpulan-kesimpulan tertentu dan tentang semua konsekuensi logis

dari tiap kesimpulan itu. Pengertian logika di sini dapat dipulangkan kepada asal katanya,

logos, dari Herakleitos yang berarti ‘aturan’, ‘prinsip’, atau ‘kata-kata yang menjelaskan

realitas’.

Kebenaran logis dalam pengertian ini merupakan satu kebenaran yang diungkapkan

dengan representasi yang secara logis tidak mengikuti asumsi apa pun. Kebenaran logis ini

dapat dipahami juga sebagai asumsi dasar atau postulat atau prinsip pertama yang mencukupi

dirinya sendiri (self-sufficient reason). Dalam pengertian lain, kebenaran logis adalah satu

pernyataan yang kebenarannya dijamin sejauh makna dari konstanta logisnya tetap, terlepas

dari apa makna bagian lain yang menyertainya.

Page 5: BAB III Dasar-Dasar Logika

20

Dalam arti kajian ciri-ciri atau bentuk umum dari putusan atau bentuk pikiran dari

putusan, logika dapat dipahami sebagai kajian yang mempelajari unsur-unsur putusan dan

susunannya dengan tujuan untuk memperoleh pola atau bentuk umum dari proses pembuatan

putusan. Satu contoh bentuk kegiatan dari logika ini adalah penyelidikan tentang struktur

hubungan antara subjek dan predikat dari berbagai putusan yang ada; penelitian tentang jenis

putusan, dan bagaimana pikiran manusia menggunakan bentuk-bentuk pernyataan tertentu

untuk membuat kesimpulan. Fokus kajian dari logika ini adalah pikiran, representasi

linguistik, meskipun pikiran dan bahasa saling terkait erat. (Putusan terdapat dalam pikiran

dan diungkapkan dengan tanda-tanda konvensional yang dapat diinderai.) Kajian ini

berurusan dengan berbagai bentuk putusan, bukan bentuk kalimat seperti yang dipelajari oleh

linguistik meskipun dalam praktiknya keduanya mirip karena sama-sama menggunakan

bahasa sebagai alat ekspresi utamanya. Berbeda dengan bentuk dari bahasa sebagai

representasi linguistik yang konstan terlepas dari apa pun isinya, bentuk pikiran diperoleh

melalui abstraksi dari isi pikiran.

2. Kategori

Manusia berpikir dengan menggunakan kategori. Contohnya, kita mengenal kursi

sebagai perabot, kucing sebagai makhluk hidup, mobil sebagai kendaraan, dan rumah sebagai

tempat tinggal. Perabot, makhluk hidup, kendaraan, dan tempat tinggal adalah contoh

kategori yang digunakan untuk mengenali dan mengelompokkan benda-benda. Sejak anak

dapat mengenali dunia, kategori digunakan untuk mengenali obyek-obyek di dunia.

Pada awalnya kategori yang digunakan sangat sederhana dan umum seperti lebih

besar dan lebih kecil, atau lebih jauh dan lebih dekat, atau lebih keras atau lebih lembut.

Kemudian kategori yang lebih kompleks dikembangkan, seperti makhluk hidup yang

bernafas dengan paru-paru, tempat tinggal yang layak huni dan nyaman, dan sebagainya.

Selain itu, ada hierarki kategori, baik berdasarkan sifat umum atau khusus, maupun

sifat kompleks atau simpleks. Makhluk hidup, contohnya, merupakan kategori yang lebih

umum dari hewan yang didefinisikan sebagai makhluk hidup yang berindera. Contoh lain, zat

merupakan kategori yang lebih umum dari zat cair dan zat padat. Dilihat dari

kompleksitasnya, hotel lebih adalah kategori yang lebih kompleks daripada rumah karena

pada hotel ada karakteristik yang lebih banyak daripada pada rumah, seperti memiliki

fasilitas ruang tidur yang dapat disewakan, ruang makan bersama, lobi, tempat parkir,

pegawai hotel, tarif menginap, dan lain-lain.

Page 6: BAB III Dasar-Dasar Logika

21

Para filsuf membantu kita untuk mengenali benda-benda secara lebih sistematis dan

koheren dengan mengajukan kategori-kategori dasar dari semua yang ada dan mungkin ada di

dunia. Aristoteles adalah filsuf pertama yang menggunakan istilah kategori dalam filsafat dan

mengajukan jenis-jenis kategori yang menurutnya dapat diterapkan pada semua benda yang

ada di dunia. Untuk memahami secara lengkap apa yang dimaksud dengan kategori oleh

Aristoteles kita perlu membaca dua kutipan berikut ini.

“We should distinguish the kinds of predication (ta genê tôn katêgoriôn) in which the four

predications mentioned are found. These are ten in number: what-it-is, quantity, quality,

relative, where, when, being-in-a-position, having, doing, undergoing. An accident, a

genus, a peculiar property and a definition will always be in one of these categories.”

(Topics I.9, 103b20-25 dalam Owen (ed.), 1968; Smith, 2000)

“Of things said without any combination, each signifies either substance or quantity or

quality or a relative or where or when or being-in-a-position or having or doing or

undergoing. To give a rough idea, examples of substance are man, horse; of quantity:

four-foot, five-foot; of quality: white, literate; of a relative: double, half, larger; of where:

in the Lyceum, in the market-place; of when: yesterday, last year; of being-in-a-position:

is-lying, is-sitting; of having: has-shoes-on, has-armor-on; of doing: cutting, burning; of

undergoing: being-cut, being-burned.” (Categories 4, 1b25-2a4, tr. Ackrill, 1961)

Dari dua kutipan tersebut, diketahui bahwa Aristoteles membagi segala sesuatu dalam

sepuluh kategori mencakup (1) substansi’ (2) kualitas, (3) kuantitas atau ukuran, (4) relasi

(relatio), (5) aksi (actio), (6) reaksi atau terkena aksi (pasif, menderita, pasio), (7) waktu

(kapan), (8) lokasi (dimana), (9) posisi (dalam arti posisi fisik atau posture, silus) dan (10)

memiliki atau mengenakan (habitus).

Bagi Aristoteles, ke-10 kategori yang diajukannya bukan hanya berkaitan dengan

logika tetapi lebih jauh lagi berkaitan dengan segala hal yang ada dan mungkin ada di dunia

ini. Penentuan kesepuluh kategori itu berangkat dari penggolongan dari seluruh ‘ada’ (being).

Ia membagi ‘ada’ menjadi ‘ada bagi diri sendiri’ dan ‘ada bagi yang lain’. Dari dua jenis ada

ini lalu diturunkan lagi hingga diperoleh sepuluh kategori tempat setiap hal dapat dimasukkan

ke dalam salah satu kategori itu (lihat gambar 3. Skema kategori menurut Aristoteles dalam

Bittle, 1950: 55). Dari sini dapat dipahami bahwa dasar dari kategori adalah pengetahuan

tentang ada yang menjadi pembahasan utama dalam metafisika dan ontologi. Dengan

penentuan sepuluh kategori, Aristoteles telah mengklaim bahwa ia memahami segala hal

sebagai ‘ada’ (being).

Filsuf setelah Aristoteles yang mengemukakan pemikiran mengenai kategori adalah

Immanuel Kant. Kant (dalam Takwin, 2005) memandang manusia sebagai agen aktif dengan

pikiran sebagai pusat aktivitasnya. Menurut Kant pikiran manusia sudah memiliki

pengetahuan bawaan dalam bentuk kategori-kategori.

Page 7: BAB III Dasar-Dasar Logika

22

Pengetahuan bawaan yang secara tegas tak dapat ditolak keberadaannya adalah

kerangka pemahaman ruang dan waktu. Menurut Kant, setiap pemahaman tentang sesuatu

selalu dalam kerangka ruang dan waktu. Pengetahuan apa pun selalu terkait dengan kualitas-

kualitas serta kuantitas-kuantitas ruang dan waktu. Sejauh berkaitan dengan pengalaman,

manusia selalu berpikir dalam kerangka ruang dan waktu. Setiap benda yang diperoleh dari

pencerapan indrawi selalu dipahami dalam kerangka ruang dan waktu. Benda-benda sendiri

pada dirinya tidak mengandung kualitas dan kuantitas ruang dan waktu. Manusialah yang

menempatkan mereka dalam kerangka ruang dan waktu. Dengan demikian dapat disimpulkan

bahwa pemahaman tentang ruang dan waktu tidak diperoleh dari pengalaman. Pengetahuan

tentang ruang dan waktu sudah ada pada diri manusia, dibawanya sejak lahir. Pemahaman

tentang ruang dan waktu sudah ada dalam pikiran manusia sebagai pengetahuan bawaan.

Selain ruang dan waktu, menurut Kant, manusia juga memiliki pengetahuan bawaan

berupa kategori-kategori. Dari analisis dan abstraksinya terhadap berbagai macam putusan

dan bentuk-bentuk intelektualnya, Kant menemukan bahwa fungsi berpikir manusia yang

tetuang dalam putusan-putusan dapat dikategorikan dalam empat kelompok besar, kuantitas

(quantity), kualitas (quality), relasi (relation) dan modalitas (modality). Masing kelompok

terdiri dari tiga momenta yang biasa disebut sebagai kategori. Kuantitas mencakup kategori

universal, partikular dan singular. Kualitas mencakup kategori afirmatif, negatif dan infinit.

Relasi mencakup kategori kategorikal, hipotetikal dan disjunktif. Modalitas mencakup

kategori problematik (problematical), asertorik (assertorical) dan apodeiktik (apodeictical).

Dari segi kuantitasnya, setiap pernyataan atau putusan selalu dapat digolongkan

sebagai universal atau partikular. Kuantitas universal atau partikular dari sebuah pernyataan

ditentukan oleh ekstension (keluasan) dari term (istilah) subjek pernyataan. Jika ekstension

term subjek mencakup keseluruhan individu yang diwakili oleh term itu maka pernyataan

yang menyertakan term subjek ini adalah universal. Jika ekstension term subjek hanya

mencakup sebagian individu yang diwakili oleh term itu maka pernyataan yang menyertakan

term subjek ini adalah partikular. Contoh: ‘Semua manusia adalah makhluk hidup.’

Pernyataan ini adalah pernyataan universal karena term manusia yang dalam pernyataan ini

merupakan subjek memiliki ekstension yang mencakup semua individu yang tergolong

sebagai manusia. Contoh lain: ‘Beberapa filsuf adalah rasionalis.’ Pernyataan in adalah

pernyataan partikular karena term filsuf yang dalam pernyataan ini merupakan subjek

memiliki ekstension yang hanya mencakup sebagain filsuf. Jika term subjek memiliki

ekstension yang hanya mencakup satu saja maka term ini adalah term ini masuk dalam

kategori singular. Dalam logika umum (general logic) ketika term singular digunakan dalam

Page 8: BAB III Dasar-Dasar Logika

23

pernyataan maka pernyataan itu adalah pernyataan universal. Namun bagi Kant pernyataan

dengan term subjek singular perlu dibedakan dari pernyataan universal dan pernyataan

partikular. Contoh: pernyataan ‘Tuhan mendasari hukum moral.’ Term ‘Tuhan’ dalam

pernyataan ini adalah term singular karena merujuk hanya pada satu hal saja, Tuhan. Dengan

memahami bahwa term ‘Tuhan’ sebagai term singular, bahwa hukum moral yang dimaksud

dalam pernyataan tersebut adalah hukum moral tertentu dan bukan hukum moral yang lain.

Dari segi kualitasnya, setiap pernyataan dapat dibedakan apakah itu afirmatif, negatif

atau infinit. Sebuah pernyataan memiliki kualitas afirmatif jika itu mengafirmasi atau

mengiyakan suatu hal. Contoh: ‘Hari ini hujan.’ Sebuah pernyataan memiliki kualitas negatif

jika itu menegasi atau menidakkan/membukankan suatu hal. Contoh: ‘Hari ini tidak hujan.’

Sebuah pernyataan memiliki kualitas infinit jika pernyataan itu mengungkapkan sesuatu yang

tak terbatas. Contoh: ‘Jiwa manusia abadi.’ Dari segi waktu, keberadaan jiwa manusia tak

terbatas. Perlu dipahami di sini bahwa dalam logika umum pernyataan infinit ini digolongkan

sebagai pernyataan afirmatif karena secara logis itu mengafirmasi sesuatu, misalnya

mengafirmasi bahwa jiwa adalah abadi. Pernyataan ‘jiwa manusia abadi’ secara logis

memiliki pengertian yang definit karena dapat dibedakan dengan pernyataan-pernyataan lain

yang mengungkap hal-hal yang terbatas seperti ‘Daya ingat manusia terbatas.’ Namun Kant

membedakan pernyataan-pernyataan infinit dari pernyataan afirmatif untuk memahami

pernyataan-pernyataan a priori sintetik. Sesuatu yang infinit, tak terbatas ruang dan waktu,

perlu diandaikan ada untuk kepentingan praktis menjaga keteraturan dunia.

Dari segi relasi, pernyataan-pernyataan yang ada dapat digolongkan sebagai

kategorikal, hipotetikal atau disjunktif. Sebuah pernyataan termasuk dalam kategori

kategorikal jika pernyataan itu dapat langsung dinilai benar salahnya tanpa tergantung pada

kondisi dan situasi tertentu, juga tidak tergantung pada tempat dan waktu. Contoh: ‘Makhluk

hidup bernafas.’ Sejauh sesuatu itu adalah makhluk hidup, maka di mana pun dan kapan pun,

dalam keadaan bangun atau tidur, ia pasti bernafas, tidak mungkin tidak. Sebuah pernyataan

termasuk kategori hipotetikal jika benar atau salahnya tergantung pada kondisi atau situasi

tertentu. Contoh: ‘Jika hari ini turun hujan maka jalan basah.’ Basah tidaknya jalan

ditentukan oleh hujan-tidaknya hari ini. Penyataaan disjunktif ditentukan berdasarkan

hubungan oposisi logis yang saling meng-ekslusi atau saling meniadakan antara satu dan

lainnya. Contoh: ‘Dunia terjadi kalau tidak karena kebetulan semata atau karena ada yang

menciptakan.’ Pernyataan ini mengandung dua kemungkinan yang satu sama lain saling

meniadakan yaitu ‘kebetulan belaka’ dan ‘ada yang menciptakan.’ Tidak mungkin keduanya

sekaligus benar, salah satu pasti salah. Jika yang satu benar maka yang lain salah. Pernyataan

Page 9: BAB III Dasar-Dasar Logika

24

disjunktif mengandung seluruh hubungan yang ada dalam ruang-lingkup pikiran karena

setiap kemungkinan yang ada dalam ruang-lingkup pikiran dapat dinyatakan dengan

pernyataan disjunktif lepas dari apakah kemungkinan-kemungkinan itu secara logis

berhubungan satu sama lain atau tidak. Semua hal yang tak dapat diungkapkan baik secara

kategorikal maupun hipotetikal dapat diungkapkan secara disjunktif.

Dari segi modalitas, setiap pernyataan dapat digolongkan sebagai pernyataan

problematik, asertorik atau apodeiktik. Sebuah pernyataan adalah problematik jika apa yang

diungkap dengan pernyataan itu masih berupa kemungkinan. Contoh: ‘Manusia dapat hidup

di bulan.’ Apa yang dikemukakan pernyataan ini masih berupa kemungkinan. Sejauh ini

manusia belum dpaat hidup di bulan tetapi hal itu mungkin karena sudah ada manusia yang

mendarat di bulan. Sebuah pernyataan adalah asertorik jika apa yang diungkap dengan

pernyataan itu nyata dan sudah terjadi. Contoh: ‘Manusia mampu membuat pesawat ulang-

alik.’ Sebuah pernyataan adalah apodeiktik jika apa yang diungkap dengan pernyataan itu

merupakan sesuatu yang pasti terjadi, dengan kata lain apa yang diungkapkan oleh

pernyataan itu merupakan keharusan atau keniscayaan. Contoh: ‘Manusia harus makan agar

dapat bertahan hidup.’

Dalam pandangan Kant, kategori-kategori yang sudah diuraikan di atas merupakan

ide bawaan. Kategori-kategori itu terkandung dalam pikiran manusia dan menjadi kerangka

bagi rasionalitas manusia.

Filsuf berikutnya yang mengemukakan mengenai kategori adalah Georg Wilhelm

Friedrich Hegel. Hegel (Takwin, 2005) mengartikan kategori sebagai ide-ide yang

menjelaskan realitas. Ia menggunakan skema triadik sebagai prinsip bagi penentuan kategori

dan menemukan sekitar 272 kategori. Berbeda dari Aristoteles dan Kant, Hegel menyatakan

bahwa jenis-jenis kategori dan jumlahnya yang tepat tidak dapat ditentukan sebelum sistem

realitas dijelaskan secara lengkap. Ia lalu mengubah arti kategori menjadi sekedar pernyataan,

konsep atau prinsip dasar dalam sistem filsafat.

Di awal abad ke-20, kita temukan Charles Sanders Pierce (10 September 1839-19

April 1914) memahami kategori sebagai istilah-istilah paling umum yang dapat digunakan

untuk membagi-bagi atau menggolong-golongkan pengalaman. Kategori-kategori, dalam

pandangan Pierce (Takwin, 2005), mencerminkan tiga predikat atau hubungan. Tiga kategori

utama menurutnya adalah (1) firstness; (2) secondness; dan (3) thirdness. Masing-masing

kategori ini berperan dalam pola pemaknaan monadic, dyadic dan polyadic. Whitehead

menggunakan pernyataan tradisional tentang kategori dan mengelaborasi satu set kategori

yang berisi 37 kategori yang menjadi dasar bagi penjelasan semua pengalaman.

Page 10: BAB III Dasar-Dasar Logika

25

Pendapat tentang kategori yang mengkritik penggolongan kategori dari filsuf-filsuf

sebelumnya dikemukakan oleh Gilbert Ryle. Ryle (1949) berpendapat bahwa kategori

berjumlah tak terhingga dan tak teratur. Totalitas dari kategori tidak terletak pada prinsip

yang menentukan hirarki dari jenis-jenis hal yang tak terbatas. Totalitas kategori tidak dapat

ditentukan polanya. Jumlah kategori yang tak terhingga dan sifatnya yang tak beraturan

menjadikan mereka tak terangkum dalam satu prinsip. Dengan ketidakteraturannya itu, maka

secara tegas kesalahan kategori terutama bukan terletak pada ketidaktepatan menempatkan

suatu hal dalam kategori tertentu tetapi lebih pada memaksakan sesuatu dalam kategori

tertentu. Kesalahan kategorikal bagi Ryle dimulai dari penentuan sejumlah kategori yang

diklaim sebagai fundamental, dasar dan mutlak. Dari sini kesalahan-kesalahan pemahaman

selanjutnya terjadi. Bagi Ryle, siapa pun dapat menentukan kategori apa pun tetapi tak ada

yang berhak mengklaim satu sistem kategori sebagai benar dan mutlak sementara sistem yang

lain salah. Saat ini kata ‘kategori’ digunakan kebanyakan filsuf untuk merujuk pada jenis-

jenis fundamental tanpa menentukan apa saja jenis-jenis itu. Padahal kategori-kategori yang

ada, menurut Ryle, tidak terbatas pada apa yang dirumuskan oleh filsuf-filsuf itu dan tidak

terbatas pula jumlahnya.

Pada dasarnya, pemikiran mengenai kategori dari berbagai filsuf memberi pelajaran

kepada kita bahwa dalam mengenali dan memahami benda-benda, kita perlu cermat dan hati-

hati. Kita tidak dapat sembarangan mengartikan satu hal dan tidak dapat mencampuradukan

kategori yang satu dengan kategori yang lain. Meski, seperti yang dinyatakan oleh Ryle, jenis

kategori tak terbatas, kita perlu tetap menggunakan aturan dan disiplin dalam menggunakan

kategori. Kita dapat menggunakan kategori yang kita anggap sesuai dengan kebutuhan kita

dalam mencari pengetahuan, tetapi kita harus konsisten dan koheren dalam menggunakannya.

3. Term, Definisi dan Divisi1

3.1 Term

Setiap hal yang diinderai dan dipersepsi dibentuk oleh pikiran menjadi ide. Hasil dari

pembentukan ini adalah konsep. Setiap konsep ditandakan dalam bentuk term. Rangkaian

term yang bermakna adalah pernyataan. Term dan pernyataan merupakan bagian dari bahasa.

Bahasa adalah sarana bagi manusia untuk menyampaikan kepada orang lain dan menerima

ide dari orang lain.

1 Sebagian dari pasal yang menjelaskan term, definisi dan divisi disadur dari C.N. Bittle, The Science of Correct

Thinking: Logic (Milwaukee, 1950).

Page 11: BAB III Dasar-Dasar Logika

26

Term merupakan tanda untuk menyatakan suatu ide yang dapat diinderai (sensible)

sesuai dengan pakat (conventional). Tanda itu dapat bersifat formal dan instrumental. Tanda

formal digunakan berdasarkan kesamaan antara tanda dan yang ditandai seperti gambar,

potret, film, dan huruf hieroglif. Tanda instrumental digolongkan atas dua, yakni tanda

alamiah dan tanda konvensional. Tanda alamiah digunakan berdasarkan kaitan alamiah antara

tanda dan yang ditandai, misalnya asap menandai api, rasa sakit menandai gangguan pada

tubuh, dan tangis menandai kesedihan. Tanda konvensional digunakan berdasarkan

kesepakatan sejumlah orang tertentu pada waktu tertentu, misalnya sandi Morse, tanda lalu-

lintas, dan bahasa.

Secara umum term adalah tanda yang didasarkan pada kelaziman, bukan tanda alamiah.

Hal ini terlihat dari adanya berbagai bahasa di dunia. Jika semua term bersifat alamiah maka

akan terdapat hanya satu bahasa di dunia. Tetapi kita melihat bahwa untuk hal yang sama,

bahasa-bahasa menggunakan term-termnya sendiri. Sebagai contoh, untuk term ‘kursi’

bahasa Indonesia memakai kursi, bahasa Inggris chair, dan bahasa Belanda stuhl.

Suatu term sering kali mempunyai bermacam-macam arti. Jika dikelompokkan,

setidaknya ada tiga jenis makna term dan penggabungannya dalam kalimat, yakni makna

denotatif, makna kesan (sense), dan makna emotif. Makna denotatif merujuk kepada satu arti

yang tertera dalam kamus; sering disebut makna sesungguhnya, namun penentuan ‘makna

sesungguhnya’ ini dilakukan berdasarkan kesepakatan. Makna kesan (sense) ialah makna

term berdasarkan penggabungannya dengan kata lain; dalam hal ini term dapat memiliki

makna lain, misalnya penggunaan term hati pada kalimat “Saya sakit hati” berbeda dengan

“Semur hati itu enak sekali”. Makna emotif ialah makna term yang didasarkan pada perasaan

atau emosi, sikap--baik secara tersurat maupun secara tersirat. Term keras hati secara

denotatif memiliki makna yang sama dengan keras kepala, namun keras hati sering kali

diartikan sebagai ‘teguh’ atau ‘tahan godaan’, sedangkan keras kepala sering diartikan

sebagai ‘tidak mau mengalah’ atau ‘tidak mau mendengarkan orang lain’.

3.2 Definisi

Untuk menyamakan pengertian dan menghindari kesalahan penafsiran terhadap term

diperlukan definisi. Di samping itu, definisi juga diperlukan untuk dapat memahami sebuah

kalimat secara jelas dan sesuai dengan maksud yang ingin disampaikan. Definisi adalah

pernyataan yang menerangkan hakikat suatu hal. Definisi menjawab pertanyaan, “Apakah

itu?” Untuk dapat mendefinisikan suatu term kita harus tahu persis tentang hal yang

didefinisikan.

Page 12: BAB III Dasar-Dasar Logika

27

Kendala yang sering muncul dalam pembuatan definisi adalah keterbatasan

pengetahuan dan keterbatasan term. Keterbatasan pengetahuan sering menghasilkan definisi

yang terlalu luas. Keterbatasan term memungkinkan penggunaan term yang sama untuk

mewakili hal yang berbeda. Kedua kendala ini menyebabkan sulit dicapai definisi yang

100% menjelaskan hal yang hendak didefinisikan.

3.2.1 Penggolongan definisi

Menurut kesesuaiannya dengan hal atau kenyataan yang diwakilinya ada dua jenis

definisi, yakni definisi nominal (definisi sinonim) dan definisi real (definisi analitik). Definisi

nominal ialah definisi yang menerangkan makna kata seperti yang dimuat dalam kamus,

misalnya introspeksi berarti ‘menilai diri sendiri’, inspeksi ‘memeriksa’, dan kursi ‘tempat

duduk’. Definisi real adalah definisi yang menerangkan arti hal itu sendiri. Pembuatannya

menuntut dilakukannya analisis terhadap hal yang akan didefinisikan terlebih dahulu. Sebagai

contoh, sikap adalah ‘kecenderung memberikan tanggapan secara positif atau negatif

terhadap objek tertentu’ dan HP adalah ‘daya gerak yang ada dalam mesin yang dinyatakan

dengan daya gerak seekor kuda’.

Definisi real dibedakan atas dua, yakni definisi esensial dan definisi deskriptif. Definisi

esensial menerangkan inti (esensi) dari suatu hal dengan menyebutkan genus dan diferentia-

nya. Genus adalah kelompok besar atau kelas dari hal yang akan dijelaskan, sedangkan

diferentia adalah ciri khas yang hanya ada pada hal yang didefinisikan. Ciri khas inilah yang

membedakan suatu hal dengan hal lain dalam genus atau kelompok yang sama. Sebagai

contoh, dalam “Manusia adalah makhluk rasional”, makhluk adalah genusnya dan rasional

adalah diferentia spesifiknya. Definisi ini adalah definisi yang ideal dan mendekati

pengertian hal yang hendak didefinisikan.

Definisi deskriptif mengemukakan segi-segi yang positif tetapi belum tentu esensial

mengenai suatu hal. Definisi deskriptif dibedakan atas empat, yakni definisi distingtif,

definisi genetik, definisi kausal, dan definisi aksidental. Definisi distingtif menunjukkan

properti, misalnya “Oksigen adalah gas yang tak berwarna, tak berbau, tak mempunyai rasa,

1105 kali dari berat udara, dan mencair pada suhu di bawah -115 derajat C”. Definisi

genetik menyebutkan asal mula atau proses terjadinya suatu hal, misalnya “Air adalah zat

yang terjadi dari gabungan 2 atom Hidrogen dan 1 atom oksigen,” dan “Lingkaran adalah

bentuk geometris yang terdiri dari garis-garis lurus yang sama panjang yang terletak pada

bidang datar dan berawal dari satu titik pusat”. Definisi kausal menunjukkan penyebab atau

akibat dari sesuatu hal, misalnya “Lukisan adalah gambar yang dibuat oleh seorang

Page 13: BAB III Dasar-Dasar Logika

28

seniman”, dan “Arloji adalah alat penunjuk waktu”. Definisi aksidental tidak mengandung

hal-hal yang esensial dari suatu hal, misalnya “Dijual rumah. Luas tanah 170 m2. Bangunan

bertingkat dan pekarangan tertata rapi. Lokasi: Jln. Macan No. 30 Jakarta Pusat.

Dilengkapi telepon dan AC. Lingkungan nyaman, aman, dan tentram”.

Definisi real jarang dapat tercapai sepenuhnya karena sering kali ada karakteristik yang

tak dapat diungkapkan dengan kata-kata. Kadang-kadang perumusannya terkendala karena

kurangnya pengetahuan si pembuat definisi. Ada term yang tidak dapat didefinisikan karena

berhubungan langsung dengan indera, misalnya manis, pahit, dan sakit. Ada juga term yang

sulit didefinisikan karena sangat umum, misalnya ada (hanya dapat didefinisikan dengan

cara membandingkannya dengan tidak ada yang merupakan term di luar term yang

didefinisikan). Contoh lain ialah satu, benda, dan hal.

Di samping definisi yang telah diuraikan di atas, ada juga definisi yang dibuat dengan

menggunakan contoh, misalnya “Minuman yang sehat itu, di antaranya ialah air dan hasil

perasan buah segar”. Pernyataan seperti ini sebenarnya kurang memadai sebagai definisi

karena tidak mencakup keseluruhan ide yang terkandung dalam term atau hal yang

didefinisikan.

3.2.2 Aturan membuat definisi

Pembuatan definisi yang memadai untuk digunakan dalam pemikiran logis harus

mengikuti aturan-aturan berikut ini. Pertama, definisi harus lebih jelas dari yang

didefinisikan; jika tidak, maka definisi akan kehilangan fungsinya. Untuk itu harus

diperhatikan catatan-catatan berikut ini. Term-term yang muluk seperti contoh berikut,

“Manusia adalah alam semesta yang mengejawantah” dan “Kewibawaan adalah pancaran

nurani dan kedigjayaan manusia” harus dihindari. Demikian pula term-term yang sulit

dimengerti (tidak lazim), misalnya definisi pemimpin berikut ini yang diberikan kepada orang

yang bukan penutur bahasa Jawa, “Pemimpin adalah orang yang bersifat ing ngarso sung

tulodo, ing madyo mbangun karso, tut wuri handayani”.

Kedua, definisi tidak boleh mengandung ide atau term dari yang didefinisikan seperti

pada contoh “Binatang adalah hewan yang mempunyai indera” dan “Emosi adalah gejolak

perasaan”. Definisi semacam ini disebut definisi sirkular (circular definition).

Ketiga, definisi dan yang didefinisikan harus dapat dibolak-balik dengan pas, misalnya

“Buku adalah sejumlah kertas yang terjilid”. Kalau dibalik, “Sejumlah kertas yang terjilid

adalah buku”. Contoh yang salah ialah “Kecap adalah penyedap masakan”. Jika urutannya

Page 14: BAB III Dasar-Dasar Logika

29

dibalik menjadi, “Penyedap masakan adalah kecap” maka pernyataan itu menjadi salah

karena penyedap makanan belum tentu kecap.

Keempat, definisi harus dinyatakan dalam kalimat positif. Kalimat ingkar atau negatif

seperti “Gembira adalah keadaan tidak sedih” atau “Manusia bukan binatang” tidak

memenuhi syarat definisi.

Dalam tulisan jenis sastra ada kekecualian dalam pembuatan definisi karena

pendefinisian di situ umumnya bukan dalam rangka menjelaskan hal tertentu secara harafiah,

melainkan untuk memberi kesan tertentu. Sastra juga memakai teknik gaya bahasa yang tidak

harus mengikuti tata cara pembuatan definisi tersebut di atas. Tulisan-tulisan retorika yang

mementingkan makna sense dan pengaruh tulisan terhadap pembaca atau pendengar juga

tidak harus mengikuti tata cara pembuatan definisi itu.

3.3 Divisi

Selain dapat dijelaskan apa artinya, term juga dapat diuraikan dengan kriteria tertentu

menjadi bagian-bagian. Penguraian term itu biasa disebut divisi. Divisi adalah uraian suatu

keseluruhan ke dalam bagian-bagian berdasarkan satu kesamaan karakteristik tertentu.

Pembagian dalam bentuk divisi merupakan upaya lain untuk menjelaskan term. Ada beberapa

jenis divisi, yakni divisi real (atau aktual) dan divisi logis.

3.3.1 Divisi real atau aktual

Penguraian dengan divisi real atau aktual dilakukan berdasarkan bagian-bagian yang

ada pada objek itu sendiri—baik fisik maupun metafisik—terlepas dari aktivitas mental

manusia. Divisi berdasarkan bagian fisik dilakukan berdasarkan faktor-faktor fisik yang dapat

dipisahkan, satu dari yang lain. Bagian itu dapat berupa bagian yang esensial atau bagian

yang integral. Bagian-bagian yang essensial ialah bagian-bagian yang harus lengkap. Jika

salah satu di antaranya hilang maka hilang pula eksistensi keseluruhannya, misalnya

“Manusia terdiri dari badan dan jiwa”, “air terdiri dari oksigen dan hidrogen”, “garam

dapur terdiri dari sodium dan klorin”, dan “mobil terdiri dari mesin dan ‘tubuh’”. Bagian-

bagian yang integral ialah bagian-bagian yang tidak harus lengkap. Jika salah satu

anggotanya hilang, hal itu tidak mlenyapkan eksistensi atau esensi halnya. Bagian yang

integral terbagi atas dua, yakni yang homogen dan yang heterogen. Bagian-bagian yang

homogen ialah segolongan unsur yang menjadi bagian dari sesuatu hal, misalnya “Air terdiri

dari titik-titik”, “Api terdiri dari percikan-percikan”, dan “Pasir terdiri dari butir-butir”.

Sementara itu, bagian-bagian yang heterogen ialah bagian-bagian—yang tidak segolongan—

Page 15: BAB III Dasar-Dasar Logika

30

dari sesuatu hal, misalnya “Manusia terdiri dari kaki, tangan, dan mata”, dan “Masyarakat

terdiri dari golongan kaya dan miskin”.

Divisi berdasarkan bagian metafisik dilakukan berdasarkan bagian-bagian yang

merupakan esensi dari sesuatu hal yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain karena dalam

kenyataannya bagian-bagian itu merupakan ketunggalan, misalnya “Manusia terdiri dari

rasio, indera, nyawa, dan tubuh”. Bagian-bagian ini tidak terpisahkan. Dalam pembuatan

divisi real sebaiknya dilakukan observasi, analisis, dan abstraksi terhadap hal yang akan

diuraikan. Observasi, analisis, dan abstraksi ini diperlukan untuk memahami hal yang akan

diuraikan sehingga penguraiannya tidak bertentangan dengan kenyataan dari hal itu.

3.3.2 Divisi Logis

Dalam divisi logis mental manusialah yang membagi keseluruhan hal menjadi bagian-

bagian. Kita menambahkan unsur-unsur tertentu kepada suatu hal untuk menjadikannya kelas

atau sub-kelas, misalnya “Hal”, “Hal yang hidup”, “Hal hidup yang berindera (= hewan)”,

“Hal hidup yang berindera dan berakal (= manusia)”. Kegiatan menambahkan elemen-

elemen ini, yang merupakan kegiatan dari divisi logis, disebut sintesis.

3.3.3 Aturan Pembuatan Divisi

Divisi harus dibuat memadai; artinya, jumlah semua bagian harus sama dengan keseluruhan.

Ada sejumlah aturan yang harus diikuti dalam pembuatan divisi.

1) Tidak boleh ada bagian yang terlewati.

2) Bagian tidak boleh melebihi keseluruhan.

3) Tidak boleh ada bagian yang meliputi bagian yang lain.

4) Divisi harus jelas dan teratur.

5) Jumlah bagian harus terbatas; kalau kebanyakan akan kacau. Jika diperlukan, dibuat sub-

bagian.

Berikut adalah contoh divisi yang salah, “Pengguna terminal terdiri dari pengendara

kendaraan bermotor, supir kendaraan umum, pengendara kendaraan tak bermotor,

mahasiswa/pelajar, pedagang kaki lima, ibu rumah tangga, pejalan kaki, penumpang

kendaraan umum, dan karyawan.” Pembagian divisi ini salah karena hal-hal berikut ini.

Pertama, ada bagian yang terlewati (petugas terminal juga menggunakan terminal sebagai

tempat kerjanya). Kedua, ada bagian yang meliputi bagian yang lain (mahasiswa bisa saja

sekaligus pengendara kendaraan bermotor atau tak bermotor; penumpang kendaraan umum

bisa saja sekaligus mahasiswa/pelajar, ibu rumah tangga, dan karyawan). Ketiga, dasar

Page 16: BAB III Dasar-Dasar Logika

31

pembagiannya tidak jelas (apakah berdasarkan jenis pekerjaan, lama atau sebentarnya di

jalan, atau penggunaan kendaraan?). Keempat, jumlah bagian terlalu banyak.

4. Kalimat, Pernyataan, dan Proposisi2

4.1. Pengertian Kalimat, Pernyataan, dan Proposisi

Perhatikanlah kalimat-kalimat berikut. (1) “Hari ini cuaca cerah.” (2) “Apakah kamu

sudah sarapan tadi pagi?” (3) “Jawab pertanyaan saya.” Kalimat-kalimat itu merupakan tiga

kalimat yang berbeda. Kalimat (1) adalah kalimat berita, yaitu kalimat yang memberitakan

hal tertentu. Kalimat (2) adalah kalimat tanya; isinya merupakan pertanyaan tentang hal

tertentu. Kalimat (3) adalah kalimat perintah yang isinya menyerukan atau memerintahkan

orang untuk melakukan hal tertentu. Dalam kehidupan sehari-hari, untuk berkomunikasi kita

menggunakan kalimat, baik kalimat berita, kalimat perintah, maupun kalimat tanya. Secara

umum, kalimat didefinisikan sebagai: serangkaian kata yang disusun berdasarkan aturan-

aturan tata bahasa dalam suatu bahasa, dan dapat digunakan untuk tujuan menyatakan,

menanyakan, atau memerintahkan sesuatu hal.

Benar atau salahnya struktur suatu kalimat ditentukan berdasarkan kaidah atau aturan

tata bahasa suatu bahasa. Penilaian terhadap kalimat terutama dalam hal apakah susunan atau

bangunan kata yang membentuk kalimat tepat atau tidak. Secara umum, struktur kalimat

berita terdiri dari subjek-predikat-objek, misalnya, “Saya memakai baju”. Dalam kalimat itu,

saya adalah subjek, memakai predikat, dan baju objek. Kalimat tanya umumnya dibuat

dengan menggunakan kata yang dilengkapi dengan bentuk akhir -kah, seperti apakah,

adakah, sudahkah, pernahkah, dan maukah. Bisa juga kalimat tanya hanya terdiri dari satu

kata, seperti “Mau?” atau “Ada?” Dalam bahasa lisan kalimat tanya ditandai dengan intonasi

tertentu; dalam bahasa tulis ditandai dengan tanda tanya [?]. Kalimat perintah umumnya

dimulai dengan kata kerja, seperti “Pergi kau!”, atau dengan kata larangan seperti “Jangan

datang lagi.” Kalimat perintah bisa saja hanya terdiri dari satu kata. Dalam bahasa lisan,

kalimat perintah dengan satu kata ditandai dengan intonasi yang menunjukkan ketegasan,

sedang dalam bahasa tulisan kalimat ini diakhiri dengan tanda titik [.] dan kadang-kadang

dengan tanda seru [!].

Salah satu jenis kalimat adalah pernyataan (bahasa Inggris statement) yang dalam

praktiknya sama dengan kalimat berita. Tetapi, pernyataan memiliki pengertian yang lebih

2 Sebagian dari pasal yang membahas kalimat, pernyataan, dan proposisi ini disadur dari buku A. K.Bierman

dan R. N. Assali, The Critical Thinking Handbook (New Jersey, 1994). Penyaduran itu dilakukan dengan

bantuan dari Judithia A. Wirawan.

Page 17: BAB III Dasar-Dasar Logika

32

khusus. Pernyataan adalah kalimat yang digunakan untuk membuat suatu klaim atau

menyampaikan sesuatu yang bisa benar atau salah.

Kalimat yang berupa pertanyaan atau perintah berbeda dari pernyataan karena

pertanyaan dan perintah tidak bisa benar dan sekaligus salah. Pernyataan memiliki nilai

kebenaran (truth value). Artinya, suatu pernyataan bisa dinilai benar atau salah, misalnya

pernyataan “Hari ini hujan turun” benar jika sesuai dengan kenyataan bahwa hari ini

memang hujan. Tetapi jika kenyataan menunjukkan bahwa hari ini tidak hujan, maka

pernyataan itu salah. Suatu pernyataan tidak bisa benar dan salah sekaligus. Jika ada

pernyataan yang mengandung benar dan salah sekaligus, maka itu adalah paradoks yang

merupakan satu bentuk kesalahan dalam berpikir.

Dalam literatur logika dan ilmu pengetahuan, kita juga menemukan term proposisi

(dari kata bahasa Inggris proposition). Proposisi ialah makna yang diungkapkan melalui

pernyataan, atau dengan kata lain arti atau interpretasi dari suatu pernyataan. Sebagai analogi,

jika kata mengungkapkan konsep atau ide (konsep/ide = makna kata), maka pernyataan

mengungkapkan proposisi (proposisi = makna pernyataan). Proposisi juga dapat dipahami

sebagai makna dari kalimat berita, mengingat bahwa pernyataan merupakan kalimat berita

yang dapat dinilai benar atau salah.

Berikut ialah tiga hal yang menjadi konsekuensi dari definisi kalimat, pernyataan dan

proposisi tersebut. Pertama, kalimat yang tidak bermakna atau tidak koheren tidak

mengungkapkan proposisi apa pun. Misalnya, deretan kata penerangan tapi kecepatan

membaca tidak mengungkapkan proposisi apa pun karena penerangan dan kecepatan

membaca di sini tidak mempunyai hubungan yang jelas dan penggunaan kata tapi di sini

tidak tepat. Kedua, pernyataan atau kalimat yang berbeda dapat mengungkapkan proposisi

yang sama, misalnya, “Rina adalah adik Yanto” merupakan proposisi yang sama dengan

“Yanto adalah kakak Rina.” Ketiga, kalimat atau pernyataan yang sama dapat

mengungkapkan proposisi yang berbeda, misalnya, “Masyarakat Jakarta adalah masyarakat

yang majemuk” dapat mengungkapkan proposisi yang berbeda-beda, antara lain “Masyarakat

Jakarta terdiri dari banyak etnis” atau “Masyarakat Jakarta terdiri dari banyak agama” dan

“Masyarakat Jakarta merupakan keturunan dari perpaduan suku tertentu.” Lalu, bagaimana

kita dapat mengetahui apa proposisi yang ingin diungkapkan suatu kalimat atau pernyataan?

Kita dapat memastikannya melalui pencermatan terhadap informasi non-bahasa atau konteks

atau dengan menggunakan kalimat lain yang lebih jelas dan khusus.

Kalimat atau pernyataan yang boleh ditafsirkan lebih dari satu makna (multi-tafsir)

dapat menyebabkan kita salah dalam memahami dan menanggapinya. Jika kita menggunakan

Page 18: BAB III Dasar-Dasar Logika

33

hasil pemaknaan itu dalam pembuatan keputusan, maka kita pun bisa salah membuat

keputusan dan menanggung kerugian akibat kesalahan itu. Oleh karena itu, perlu dihindari

penggunaan kalimat atau pernyataan yang multi-tafsir dengan membuat pernyataan yang

baik, yang jelas maknanya. Untuk membuat suatu pernyataan yang baik, perlu dilakukan hal-

hal berikut. Pertama, membangun suatu kalimat yang mengungkapkan suatu proposisi.

Kedua, mengusahakan supaya proposisi yang ingin diungkapkan menjadi jelas. Akhirnya,

membuat pernyataan mengenai nilai kebenaran kalimat itu.

Biasanya langkah-langkah itu tidak disadari ketika seseorang menyusun suatu

pernyataan. Oleh karena itu orang perlu berlatih membuat pernyataan yang baik agar terbiasa.

Tanpa latihan, orang cenderung membuat kalimat yang multi-tafsir atau tidak jelas

maknanya. Bahkan orang bisa saja membuat kalimat atau pernyataan yang tidak koheren

sehingga sama sekali tidak dapat dimaknai.

Kesalahan yang mungkin terjadi dalam pembuatan kalimat atau pernyataan adalah

yang berikut. 1) Kalimatnya tidak koheren sehingga tidak dapat dimaknai oleh pendengar

atau pembaca. 2) Kalimatnya sudah koheren tetapi proposisi apa yang dimaksudkan tidak

jelas sehingga dapat menyebabkan salah tafsir. 3) Tidak menunjukkan dengan jelas bahwa

kita sedang menyatakan nilai kebenaran dari kalimat kita (dan bukannya sedang bertanya,

mencoba sound system, berspekulasi, atau berlatih drama). Dalam bahasa lisan, kesalahan ini

seringkali disebabkan oleh salah intonasi. Dalam bahasa tulis, hal ini seringkali timbul karena

kesalahan penggunaan tanda baca.

4.2 Pernyataan Sederhana dan Pernyataan Kompleks

Secara umum, berdasarkan proposisi yang dikandung, ada dua jenis pernyataan, yaitu

pernyataan sederhana dan pernyataan kompleks. Pernyataan sederhana adalah pernyataan

yang hanya mengandung satu proposisi, misalnya, “Anak itu menangis”. Pernyataan

kompleks adalah pernyaataan yang mengandung lebih dari satu proposisi, misalnya, “Selain

gemar membaca buku, Adi juga senang menulis cerita pendek”. Pernyataan ini mengandung

dua proposisi, yaitu “Adi gemar membaca buku” dan “Adi senang menulis cerita pendek”.

Proposisi yang dikandung oleh suatu pernyataan juga disebut komponen logika dari

pernyataan. Komponen logika adalah komponen yang turut menentukan benar atau salahnya

suatu pernyataan. Oleh karena sebuah pernyataan ditentukan benar-salahnya berdasarkan

makna yang diungkapkannya atau proposisinya, maka komponen logika suatu pernyataan

dapat dipahami dari proposisi pernyataan itu.

Page 19: BAB III Dasar-Dasar Logika

34

Tidak semua kalimat kompleks (kalimat yang mengandung lebih dari satu komponen)

merupakan pernyataan kompleks, karena komponen itu belum tentu merupakan komponen

logika. Sebagai contoh, “Saya harap kamu belajar giat” memang merupakan kalimat

kompleks tetapi termasuk jenis pernyataan sederhana karena hanya mengandung satu

proposisi atau satu komponen logika. Yang menentukan benar atau tidaknya pernyataan itu

adalah “saya harap”. Jika kenyataannya saya berharap kamu belajar giat maka pernyataan

itu benar. Tetapi jika kenyataannya saya tidak berharap kamu belajar giat maka pernyataan

itu salah.

Perhatikan kalimat-kalimat berikut ini.

(1) Tidak benar bahwa anak itu nakal.

(2) Rani pikir anak itu nakal. Pernyataan yang dikandung dalam kalimat (1) adalah ‘[Hal] itu (anak itu nakal) tidak

benar’ dan “Anak itu nakal”. Dalam pernyataan pertama, anak itu nakal merupakan

komponen logika karena benar atau salahnya komponen itu turut menentukan benar atau

salahnya pernyataan itu: jika kenyataannya benar bahwa anak itu nakal, maka pernyataan itu

adalah salah, sedangkan jika kenyataannya tidak benar bahwa anak itu nakal, maka

pernyataan itu adalah benar. Kalimat ini mengandung dua proposisi.

Pernyataan yang terkandung dalam kalimat (2) adalah ‘Rani pikir [x]’ dan ‘Anak itu

nakal.’ Dalam pernyataan itu, anak itu nakal bukan komponen logika karena benar atau

salahnya hal itu tidak menentukan benar atau salahnya pernyataan: apakah kenyataan anak

itu nakal atau tidak nakal, tidak menentukan apakah benar bahwa Rani berpikir anak itu

nakal. Nilai kebenaran pernyataan kedua ada pada: apakah benar bahwa Rani pikir anak itu

nakal, ataukah Rani tidak berpikir bahwa anak itu nakal. Kalimat ini hanya mengandung satu

proposisi. Demikianlah anak itu nakal merupakan komponen logika dalam kalimat (1), tetapi

bukan komponen logika dalam kalimat (2). Jadi, kalimat (1) merupakan pernyataan

kompleks, sedangkan kalimat (2) merupakan pernyataan sederhana.

Biasanya, komponen yang mengikuti kata-kata yang menunjukkan sikap atau

pendapat pribadi, seperti pikir, harap, kira, dan percaya bukan merupakan komponen logika.

Dalam percakapan sehari-hari, komponen-komponen dalam pernyataan kompleks sering kali

tidak diungkapkan secara lengkap, seperti diperlihatkan oleh contoh-contoh berikut.

(1) Kalau kamu tidak mau pergi, tidak usah. (Lengkapnya: Kalau kamu tidak mau pergi,

kamu tidak usah pergi.)

Page 20: BAB III Dasar-Dasar Logika

35

(2) Mengingat kamu punya kehendak sendiri, kamu boleh memilih untuk ikut atau tidak.

(Lengkapnya: Kamu punya kehendak sendiri, jadi kamu boleh memilih untuk ikut atau

kamu boleh memilih untuk tidak ikut.)

(3) Kuda tidak satu spesies dengan keledai. (Lengkapnya: Tidak benar bahwa kuda satu

spesies dengan keledai.)

4.3 Jenis-jenis Pernyataan Kompleks

Hubungan di antara proposisi atau pernyataan sederhana dalam pernyataan kompleks

ditunjukkan oleh penggunaan kata penghubung seperti tidak, dan, atau, jika, dan maka. Kata-

kata yang menghubungkan pernyataan-pernyataan sederhana—sehingga terbentuk satu

pernyataan kompleks—dan menjelaskan hubungan-hubungan yang terdapat di antara

pernyataan-pernyataan sederhana itu disebut kata penghubung logis atau kata penghubung

kalimat. Kata penghubung itu digunakan untuk membangun struktur logika dari pernyataan

kompleks.

Berdasarkan hubungan di antara proposisi-proposisi yang terkandung dalam

pernyataan kompleks, ada empat jenis pernyataan kompleks, yaitu:

1) Negasi (bukan P)

2) Konjungsi (P dan Q), dan

3) Disjungsi (P atau Q)

4) Kondisional (Jika P maka Q)

Secara umum struktur logika terdiri atas empat jenis seperti yang sudah disebutkan di atas.

Dalam praktiknya, tidak mudah menemukan struktur logika suatu pernyataan atau

suatu argumen. Hal itu dapat terjadi karena 1) ada lebih dari satu cara untuk mengungkapkan

keempat jenis pernyataan kompleks tersebut di atas, dan 2) struktur logika suatu pernyataan

sering kali tersembunyi. Untuk dapat menemukan struktur logika dari pernyataan-pernyataan,

kita perlu mempelajari struktur logika dari keempat pernyataan kompleks itu.

4.3.1 Negasi

Negasi dari suatu pernyataan sederhana adalah pengingkaran atas pernyataan itu. Jika

A adalah suatu pernyataan, negasinya adalah “Tidak benar bahwa A”. Ini disingkat menjadi

“Bukan-A” atau “Bukan (A).” Suatu pernyataan dan negasinya tidak mungkin benar kedua-

duanya, atau salah kedua-duanya. Benar atau salahnya (nilai kebenaran) suatu negasi

tergantung pada nilai kebenaran komponen logikanya. Karena itu, negasi termasuk

pernyataan kompleks, bukan pernyataan sederhana.

Page 21: BAB III Dasar-Dasar Logika

36

Dalam percakapan sehari-hari, kita jarang menyatakan negasi dalam kalimat, “Tidak

benar bahwa…” melainkan kita cukup menyingkatnya dengan kata tidak, misalnya:

(1) Orang jujur tidak bisa berbohong. (‘Tidak benar bahwa orang jujur bisa berbohong’.)

(2) Kamu tidak pernah mengajak saya makan-makan. (‘Tidak benar bahwa kamu mengajak

saya makan-makan’.)

Perhatikan bahwa penafsiran dari contoh (2) sebenarnya agak kurang tepat. Untuk

menafsirkan “Kamu tidak pernah mengajak saya jalan-jalan” diperlukan teknik logika lebih

lanjut, yang akan dijelaskan kemudian.

Kata-kata yang maknanya berlawanan (antonim) tidak berarti bahwa kata-kata saling

menegasikan. Misalnya, “Brian membenci Ratih,” bukan negasi dari “Brian mencintai

Ratih.” Negasi dari “Brian membenci Ratih” adalah “Brian tidak membenci Ratih”. Bisa saja

terjadi bahwa Brian tidak mencintai Ratih tetapi juga tidak membenci Ratih. Umpamanya,

jika Brian tidak mengenal Ratih sama sekali, atau Brian dan Ratih berteman, maka mereka

tidak saling mencintai dan juga tidak saling membenci. Dengan kata lain, “Brian membenci

Ratih” menunjukkan bahwa Brian mempunyai sikap negatif terhadap Ratih. Sementara itu,

“Brian tidak mencintai Ratih” hanya menunjukkan bahwa Brian tidak mempunyai afeksi

positif terhadap Ratih, namun itu tidak harus berarti Brian membenci Ratih. “Brian membenci

Ratih” merupakan suatu pernyataan sederhana.

Negatif ganda pada umumnya membentuk pernyataan positif seperti pada contoh-

contoh berikut.

(1) Pikiran manusia tidak tak terbatas. (Pikiran manusia terbatas.)

(2) Jangan sekali-sekali tidak membayar pajak. (Bayarlah pajak.)

4.3.2 Konjungsi

Suatu pernyataan kompleks yang komponen logikanya dihubungkan dengan kata dan

disebut konjungsi atau kalimat konjungtif. Jika P dan Q adalah pernyataan yang merupakan

komponen, bentuk standar dari konjungsi adalah P dan Q. Komponen-komponennya

(masing-masing P dan Q) disebut konjung. Sebagai contoh, pernyataan kompleks “Indonesia

dan Malaysia berasaskan demokrasi” terbentuk dari dua pernyataan sederhana, masing-

masing “Indonesia berasaskan demokrasi” dan “Malaysia berasaskan demokrasi”.

Jumlah konjung dalam suatu kalimat konjungsi tidak harus dua, tapi bisa juga lebih,

misalnya, “Indonesia, Malaysia dan Australia berasaskan demokrasi”. Pernyataan kompleks

ini terdiri dari tiga pernyataan sederhana, yaitu “Indonesia berasaskan demokrasi”,

“Malaysia berasaskan demokrasi”, dan “Australia berasaskan demokrasi”.

Page 22: BAB III Dasar-Dasar Logika

37

Suatu konjungsi benar bila semua konjungnya benar, dan salah jika salah satu

konjungnya salah. Sebagai contoh, pernyataan “Indonesia dan Malaysia berasaskan

demokrasi” benar jika dalam kenyataannya memang “Indonesia berasaskan demokrasi” dan

“Malaysia berasaskan demokrasi”. Jika semua salah atau salah satu pun konjungnya salah,

maka konjungsi salah. Pernyataan “Manusia dan burung adalah makhluk rasional” salah

karena pernyataan “Burung adalah makhluk rasional” salah.

Ada kata lain di samping dan yang fungsinya kurang lebih sama. Perhatikanlah

contoh-contoh berikut.

(1) Saya mau nasi dan daging, tetapi sayur tidak. (Saya mau nasi, dan saya mau daging, tapi

saya tidak mau sayur.)

(2) Walaupun miskin, dia bahagia. (Dia miskin dan dia bahagia.)

(3) Anto datang ke rapat itu, begitu pula Yana. (Anto datang ke rapat itu dan Yana datang ke

rapat itu.)

(4) Kami berhasil; namun demikian, kami menyadari kekurangan kami. (Kami berhasil, dan

kami menyadari kekurangan kami.)

Penggunaan tapi, walaupun, dan lain-lain itu mengandung arti lebih dari sekadar dan.

Tetapi, secara logis, nilai kebenaran “Dia miskin dan dia bahagia” sama dengan nilai

kebenaran “Walaupun dia miskin, dia bahagia”. Artinya, jika “Dia miskin dan dia bahagia”

benar, maka “Walaupun dia miskin, dia bahagia” juga benar. Sebaliknya, jika “Dia miskin

dan dia bahagia” salah, maka “Walaupun dia miskin, dia bahagia” juga salah.

Penggunaan kata dan kadang-kadang taksa atau ambigu (ambiguous). Contohnya,

“Joko dan Patmo memenangkan perlombaan maraton.” Pernyataan ini dapat

diinterpretasikan menjadi:

1) Joko memenangkan perlombaan maraton dan Patmo memenangkan perlombaan maraton

(konjungsi), atau

2) Pasangan Joko dan Patmo memenangkan perlombaan maraton (pernyataan sederhana).

Untuk mengetahui interpretasi mana yang benar, digunakan konteks atau informasi lain

yang tersedia. Jika kita yang menyampaikan pernyataan itu, sebaiknya kita menggunakan

pernyataan yang lebih lengkap dan jelas. Meskipun ada konteks, kemungkinan salah tafsir

tetap besar. Oleh sebab itu, penggunaan pernyataan yang taksa atau bertafsir ganda harus

dihindari.

Menurut logika, urutan konjungsi boleh dibolak-balik tanpa mempengaruhi nilai

kebenarannya, misalnya “Saya ingin makan nasi dan minum teh” dapat dibalik menjadi

“Saya ingin minum teh dan makan nasi.” Kedua pernyataan ini sama saja arti dan nilai

Page 23: BAB III Dasar-Dasar Logika

38

kebenarannya. Namun, dalam kasus-kasus tertentu, urutannya tidak dapat dibalik. Sebagai

contoh, pernyataan “Made meninggal dunia dan dibakar” berbeda maknanya dengan “Made

dibakar dan meninggal dunia” karena urutannya berbeda.

4.3.3 Disjungsi

Pernyataan kompleks yang komponen logikanya dihubungkan dengan kata atau

disebut disjungsi atau pernyataan disjungtif. Jika P dan Q adalah pernyataan yang merupakan

komponen pernyataan kompleks, bentuk standar dari disjungsi adalah P atau Q, misalnya

“Joko atau Padmo yang memenangkan pertandingan bulu tangkis”. Komponen-

komponennya (masing-masing P dan Q) disebut disjung. Jumlah disjung dalam suatu

disjungsi tidak harus dua, tetapi bisa juga lebih, misalnya, “Joko atau Padmo atau Riski yang

memenangkan pertandingan bulu tangkis”. Urutan disjung dalam suatu disjungsi tidak

mempengaruhi nilai kebenarannya. A atau B secara logis ekuivalen dengan B atau A.

Umpamanya, “Joko atau Padmo yang memenangkan pertandingan bulu tangkis” sama

maknanya dengan “Padmo atau Joko yang memenangkan pertandingan bulu tangkis”.

Suatu disjungsi benar bila paling sedikit salah satu disjungnya benar, dan salah jika

semua disjungnya salah. Jadi, A atau B benar jika A benar, B benar, atau A dan B benar.

Sedangkan A atau B salah jika A dan B salah. Disjungsi “Joko atau Padmo yang

memenangkan pertandingan bulu tangkis” benar jika salah satu konjungnya benar, misalnya

“Joko yang memenangkan pertandingan bulu tangkis.” Disjungsi “Joko atau Padmo yang

memenangkan pertandingan bulu tangkis” salah jika baik pernyataan “Joko yang

memenangkan pertandingan bulu tangkis” maupun “Padmo yang memenangkan

pertandingan bulu tangkis” salah. Penggunaan kata atau seperti ini disebut atau-inklusif.

Dalam percakapan sehari-hari, kadang-kadang kata atau digunakan sebagai atau-

eksklusif, yang berarti bahwa hanya salah satu dari disjungnya yang benar, misalnya “Anto

ada di Jakarta atau di Bandung” (tidak mungkin kedua disjungnya benar). Dalam teori-teori

logika, yang dipakai adalah atau-inklusif. Jika dalam teori logika, kita ingin mengungkapkan

suatu hubungan atau -eksklusif, maka struktur logikanya menjadi A atau B dan bukan (A

dan B), misalnya “Anto ada di Jakarta atau dia ada di Bandung dan tidak benar bahwa dia

ada di Jakarta sekaligus dia ada di Bandung”.

Perhatikan penulisan struktur logika, jika kita menggunakan bentuk negasi tanpa

tanda kurung, maka hasilnya menjadi ambigu seperti ini: A atau B dan bukan -A dan B.

Page 24: BAB III Dasar-Dasar Logika

39

4.3.4 Kondisional

Pernyataan kompleks yang komponen logikanya dihubungkan dengan jika…, maka…

disebut pernyataan kondisional atau hipotetisis. Jika P dan Q adalah pernyataan yang

merupakan komponen, bentuk standar dari konjungsi adalah Jika P maka Q. Pernyataan

dalam anak kalimat yang mengandung kata jika disebut anteseden, dan pernyataan dalam

anak kalimat yang mengandung kata maka disebut konsekuen.

Nilai kebenaran suatu pernyataan kondisional agak rumit penentuannya. Hal ini

menyebabkan timbulnya pandangan yang berbeda-beda. Salah satu di antaranya (yang dianut

oleh para ahli logika formal) ialah pandangan kondisional material, yang menyatakan bahwa

suatu pernyataan kondisional dianggap salah hanya jika antesedennya benar dan

konsekuennya salah. Perhatikan pernyataan hari hujan dan tanah basah yang masing-masing

benar. Menurut syarat kondisional material, hal itu berarti bahwa jika hari hujan maka tanah

basah adalah benar, semrntara jika hari hujan maka tanah kering salah; jika hari cerah, maka

tanah basah adalah benar, dan jika hari cerah maka tanah kering benar. Nilai kebenaran

kondisional material tidak tergantung pada hubungan antara komponen-komponennya karena

kondisional material tidak melihat isi dari pernyataan yang menjadi komponennya.

Dalam kehidupan sehari-hari, kita menggunakan pernyataan kondisional untuk

menggambarkan hubungan antara komponen-komponennya, misalnya jika Maulana minum

alkohol 1 liter, maka ia akan mabuk untuk menunjukkan hubungan kausal; jika binatang itu

termasuk mamalia, maka dia pasti menyusui untuk menunjukkan hubungan konseptual; dan

jika seseorang termasuk mahasiswa, maka dia pasti terdaftar secara resmi sebagai orang

yang belajar di perguruan tinggi untuk menunjukkan hubungan definisional. Kebenaran

pernyataan-pernyataan itu tergantung pada hubungan antara anteseden dengan konsekuennya

juga. Tetapi dari sudut pandang logika murni, maka yang dianut adalah kondisional material.

Secara logika, jika A, maka B ekuivalen dengan jika tidak B, maka tidak A. Kedua bentuk ini

disebut kontrapositif.

Pernyataan kondisional yang mempunyai anteseden yang salah disebut kondisional

yang berlawanan dengan kenyataan. Dari sudut pandang kondisional material, nilai

kebenaran kondisional seperti ini adalah benar.

Dalam kehidupan sehari-hari, tidak jarang orang menggunakan bentuk kondisional

bukan untuk menggambarkan hubungan kondisional, misalnya jika saya jadi kamu, saya

akan minta melamar (kamu sebaiknya melamar); di gudang ada payung, kalau kamu mau

(kamu boleh ambil payung di gudang); kalau laki-laki itu kamu bilang ganteng, maka saya

adalah Arjuna (laki-laki itu tidak ganteng). Untuk membedakan mana pernyataan kondisional

Page 25: BAB III Dasar-Dasar Logika

40

yang sesungguhnya dan mana yang bukan, digunakan akal sehat dan ingatan tentang

kenyataan-kenyataan yang dirujuk dalam pernyataan.

Ada banyak cara untuk mengungkapkan pernyataan kondisional, yang semuanya

dapat dikembalikan ke bentuk standar Jika A, maka B. Kadang-kadang jika suatu bentuk

kondisional yang tidak standar diterjemahkan ke bentuk standar, maka artinya berubah,

misalnya “Saya senang hanya jika saya berhasil menjadi juara 1”. Jika diubah ke bentuk

standar menjadi “Jika saya senang, maka saya berhasil menjadi juara 1”, maka artinya pun

berubah jika kita menerjemahkan ‘Kesenangan saya menyebabkan saya menang’ke dalam

bentuk kontrapositifnya menjadi “Jika saya tidak menang, maka saya tidak senang” maka

artinya menjadi lebih masuk akal. Oleh sebab itu, dalam mengubah suatu bentuk kondisional

menjadi bentuk standarnya, kita harus melihat apakah bentuk standar ataukah bentuk

kontrapositifnya yang lebih dapat “menangkap” arti sesungguhnya dari pernyataan asalnya.

(Periksa Tabel 2.1.)

Tabel 2.1: Pernyataan Kondisional dan Bentuk Standarnya

Pernyataan Kondisional Bentuk Standar

Hanya manusia yang dapat menggunakan

simbol.

Jika suatu makhluk menggunakan simbol,

maka makhluk itu adalah manusia.

Jika MS, maka M.

Di mana ada api, di situ ada oksigen. Jika ada api, maka ada oksigen.

Jika A, maka O.

Saya tidak mau pergi kecuali dibiayai. Jika saya tidak dibiayai, saya tidak mau

pergi.

Jika tidak D, tidak P.

Kamu boleh menyetir mobil hanya jika

kamu sudah punya SIM A.

Jika kamu belum punya SIM A, kamu tidak

boleh menyetir mobil.

Jika tidak SA, tidak MM.

Tidak mungkin kamu datang ke rapat itu

tapi tidak melihat aku.

Jika kamu pergi ke rapat itu, maka kamu

melihat aku.

Jika R, maka M.

Syarat untuk hidup sejahtera adalah sehat. Jika tidak sehat, maka tidak bisa hidup

sejahtera.

Jika tidak S, maka tidak S.

Pengenalan terhadap kontrapositif dari suatu pernyataan akan berguna pada saat kita

berusaha mengenal struktur logika dari suatu pernyataan atau argumen yang rumit. Ada

aturan informal yang mengatakan bahwa kita boleh mengganti kata kecuali dengan jika tidak.

Page 26: BAB III Dasar-Dasar Logika

41

Namun karena mengandung negasi, maka kalimat yang baru bisa jadi sangat rumit. Sebagai

contoh, jika kalimat “Dodo tidak akan mengaku kecuali tidak ada sanksi atas perbuatannya”

kita ubah sesuai dengan aturan informal itu, maka kita akan memperoleh “Dodo tidak akan

mengaku jika tidak ada sanksi atas perbuatannya”. Kemudian, kalimat yang baru itu dibalik

susunannya menjadi bentuk standar, “Jika tidak tidak ada sanksi atas perbuatannya, Dodo

tidak akan mengaku”, sehingga kita memperoleh dua bentuk negasi (tidak [ada...] dan tidak

[akan ...]). Jika kedua negasi itu diubah menjadi positif, maka pernyataan itu menjadi “Jika

ada sanksi atas perbuatannya, Dodo tidak akan mengaku”. Demikian pula, jika kita mau,

kita dapat mengubahnya menjadi kontrapositifnya, “Jika Dodo mengaku, maka [itu berarti]

tidak ada sanksi atas perbuatannya”.

4.3.5 Hubungan Kondisional: Kondisi Niscaya dan Kondisi yang Mencukupi

Ada dua kondisi yang merupakan bentuk khusus dari hubungan kondisional, yaitu

yang mencukupi (sufficient condition, S) dan kondisi niscaya (necessary condition, N). Hanya

jika pernyataan kondisional Jika S maka N adalah benar. Contoh:

1. Menghasilkan sperma merupakan kondisi yang mencukupi untuk membuktikan bahwa

seseorang adalah laki-laki.

2. Jenis kelamin laki-laki merupakan kondisi niscaya untuk menghasilkan sperma.

3. Jika seseorang menghasilkan sperma, maka dia laki-laki.

Oleh karena pernyataan kondisional digunakan untuk menggambarkan hubungan

tertentu antara komponennya, maka kondisi yang mencukupi dan niscaya juga demikian. Ada

lima jenis hubungan itu, yang berikut ini didaftarkan beserta contohnya.

1) Kausal

a. Mencabut jantung Dul merupakan kondisi yang mencukupi untuk membunuhnya.

b. Jika kita mencabut jantung Dul, maka kita membunuhnya.

2) Konseptual

a. Kondisi niscaya untuk tergolong manusia adalah mampu menggunakan simbol.

b. (i) Jika B adalah manusia, maka dia pasti mampu menggunakan simbol.

c. (ii) Jika B tidak mampu menggunakan simbol, maka dia pasti bukan manusia.

3) Definisional

a. Kondisi niscaya dan mencukupi untuk disebut mahasiswa adalah orang yang

terdaftar secara resmi sebagai pelajar di perguruan tinggi.

Page 27: BAB III Dasar-Dasar Logika

42

b. Jika seseorang adalah mahasiswa, maka dia adalah orang yang terdaftar secara

resmi sebagai pelajar di perguruan tinggi, dan jika ia adalah orang yang terdafatar

secara resmi sebagai pelajar di perguruan tinggi maka ia adalah seorang

mahasiswa. Seseorang adalah mahasiswa jika dan hanya jika dia adalah orang yang

terdafatar secara resmi sebagai pelajar di perguruan tinggi.

4) Regulatori

a. Lulus Ujian Masuk Perguruan Tinggi merupakan kondisi niscaya untuk kuliah di

universitas negeri.

b. (i) Jika seseorang dapat kuliah di universitas negeri secara sah, maka ia lulus Ujian

Masuk Perguruan Tinggi.

c. (ii) Jika seseorang tidak lulus Ujian Masuk Perguruan Tinggi, maka dia tidak dapat

kuliah di universitas negeri secara sah.

5) Logis

a. Menjadi kucing hitam adalah kondisi niscaya untuk berwarna hitam.

b. Jika seekor binatang adalah kucing hitam, maka warnanya hitam.

Ada kondisi yang niscaya sekaligus mencukupi untuk suatu situasi. Kondisi ini

diungkapkan dalam bentuk X jika dan hanya jika Y, misalnya, “Makhluk hidup jika dan

hanya jika bernafas”. Ini bisa dibalik menjadi, “Bernafas jika dan hanya jika makhluk

hidup”. Contoh lain, “Mahkluk adalah manusia jika dan hanya jika makhluk itu adalah

makhluk rasional.” Ada juga kondisi niscaya dan mencukupi yang berlaku hanya dalam

konteks tertentu. Umpamanya, dalam suatu ruangan yang penuh oksigen dan hidrogen,

menyalakan korek api merupakan kondisi yang mencukupi untuk terjadinya ledakan, namun

tidak dalam konteks lain.

4.4 Hubungan Antar-pernyataan

Ada pengetahuan tertentu yang dapat langsung disimpulkan dari suatu pernyataan.

Oleh para ahli logika, ini disebut hubungan langsung. Misalnya, jika benar bahwa semua

manusia pasti akan mati maka dapat disimpulkan bahwa Sokrates, seorang manusia, pasti

akan mati. Ada beberapa jenis hubungan seperti itu yang masing-masing diterapkan di bawah

ini.

Page 28: BAB III Dasar-Dasar Logika

43

4.4.1 Kesimpulan Langsung: Oposisi dari Proposisi

Pernyataan kategorikal adalah pernyataan yang terdiri dari subjek dan predikat yang

membenarkan atau menidakkan bahwa individu adalah anggota suatu kelompok. Ada empat

jenis pernyataan kategorikal, yakni yang berikut.

A: Semua S adalah P. (Universal-afirmatif)

E: Tidak ada S yang P. (Universal-negatif)

I: Beberapa S adalah P. (Partikular-afirmatif)

O: Beberapa S bukan P. (Partikular-negatif)

Hubungan antara keempat jenis pernyataan kategorikal dapat digambarkan dalam

segi-empat oposisi pada Bagan 2.1.

Bagan 2.1: Segiempat Oposisi

A: Semua S adalah P. Kontrari E: Tidak ada S yang P.

I: Beberapa S adalah P. Subkontrari O: Beberapa S bukan P.

Kontradiksi (A dan O; E dan I)

Dalam hubungan ini, tidak mungkin keduanya benar dan tidak mungkin keduanya salah

(Salah satu pasti benar). Umpamanya, “Makhluk hidup bernafas” adalah benar, dan

“Beberapa makhluk hidup tidak bernafas” adalah salah.

Kontrari (A dan E)

Dalam hubungan ini tidak mungkin keduanya benar, tapi mungkin saja keduanya salah.

Sebagai contoh, jika “Semua melati berwarna putih” adalah benar, maka “Tidak ada mawar

Sub-alternasi Kontradiktori

Page 29: BAB III Dasar-Dasar Logika

44

berwarna merah” adalah salah. Akan tetapi, apabila “Semua mawar berwarna merah” adalah

salah, dan “Tiada mawar berwarna merah” juga salah.

Subkontrari (I dan E)

Dalam hubungan ini mungkin saja keduanya benar, tetapi tidak mungkin keduanya salah,

misalnya “Beberapa orang sedang sedih” adalah benar, dan “Beberapa orang tidak sedang

sedih” juga benar.

Subalternasi (A dan I; E dan O)

Jika superalternasinya (A atau E) benar, maka subalternasinya (I atau O) benar. Umpamanya,

jika “Semua manusia bernafas” (A) adalah benar, maka “Beberapa manusia bernafas” (I)

juga benar. Jika subalternasinya (I atau O) benar, maka superalternasinya (A atau E) belum

tentu benar: jika “Beberapa orang tidak terpelajar” (O) adalah benar, maka “Semua orang

tidak terpelajar” (E) bisa benar, bisa salah. Jika subalternasinya (I atau O) salah, maka

superalternasinya (A atau E) pasti salah.

Dalam logika tradisional, yang disebut kontrari adalah pernyataan bentuk A terhadap

pernyataan bentuk E. Namun, di sini setiap dua pernyataan yang memenuhi definisi di atas

dapat dianggap sebagai kontrari. Kontradiksi dan kontrari cukup sering disebut “lawan” dari

suatu pernyataan, namun keduanya berbeda satu sama lain. Dalam kehidupan sehari-hari,

memang cukup sering orang mengacaukan keduanya. Untuk lebih memahami perbedaan di

antara keduanya, perhatikanlah contoh pada Tabel 2.2 berikut.

Tabel 2.2: Perbedaan dan Bentuk Kontrari dengan Kontradiksinya

Pernyataan Kontrari Kontradiksi

Semua mawar berwarna

merah.

Semua mawar berwarna

kuning.

Beberapa mawar tidak

berwarna merah.

Semua angsa berwarna

putih.

Tiada angsa mawar

berwarna putih.

Beberapa angsa tidak berwarna

putih.

Tidak ada orang yang

bermoral.

Semua orang bermoral. Beberapa orang bermoral.

Rumah saya hijau. Rumah saya putih. Rumah saya tidak hijau.

Dia selalu jujur. Dia tidak pernah jujur. Dia kadang-kadang jujur.

Beratnya lebih dari 50 kg. Beratnya kurang dari 50 kg. Beratnya 50 kg atau kurang.

Secara logis, kontradiksi suatu pernyataan sama dengan negasi dari pernyataan itu.

Oleh sebab itu, semua pernyataan yang merupakan kontradiksi dari pernyataan X (misalnya

Page 30: BAB III Dasar-Dasar Logika

45

Semua melati berwarna putih), pada dasarnya adalah ekuivalen dari pernyataan bukan-X

(Tidak benar bahwa semua melati berwarna putih). Sedangkan ada banyak pernyataan yang

merupakan kontrari dari pernyataan X namun tidak saling ekuivalen, misalnya “Semua melati

berwarna kuning”, “Semua melati berwarna hijau”, dan “Tiada melati berwarna putih.”

Pernyataan kompleks juga memiliki kontradiksi dan kontrari. Kontradiksi pernyataan

“Ia orang yang baik hati dan [ia] orang yang terpelajar” ialah “Ia bukan orang yang baik

hati sekaligus terpelajar”, yang secara logis ekuivalen dengan “Ia bukan orang yang baik

hati atau [ia] bukan orang yang terpelajar.” Sedangkan kontrarinya adalah “Ia bukan orang

yang baik hati dan [ia] bukan orang yang terpelajar”, yang secara logis ekuivalen dengan

“Tidak benar bahwa ia orang yang baik hati ataupun orang yang terpelajar”.

4.4.2 Konsistensi dan Inkonsistensi

Dua pernyataan disebut inkonsisten jika, dan hanya jika keduanya tidak mungkin benar pada

saat yang bersamaan. Pada kondisi yang sebaliknya, dua pernyataan itu disebut konsisten;

artinya, kedua pernyataan itu mungkin sama-sama benar pada saat bersamaan. Pernyataan

“Saya adalah laki-laki” dan “Saya bukan laki-laki” merupakan contoh dua pernyataan yang

inkonsisten dan “Saya adalah laki-laki” dan “Saya adalah dosen” merupakan contoh dua

pernyataan yang konsisten.Pernyataan yang termasuk inkonsisten adalah kontrari dan

kontradiksi. (Lihat Tabel 2.3.)

Tabel 2.3: Pernyataan yangKonsisten dan yangInkonsisten

Pernyataan Konsisten Inkonsisten

Ada anyelir Ada anggrek. Tidak ada anyelir.

Dia harus belajar. Dia harus belajar logik. Dia tidak boleh belajar.

Dia X dan Y. Dia X. Dia bukan Y.

Jika A maka B. Jika B maka A. A dan bukan-B.

4.4.3 Implikasi, Ekuivalensi, dan Independensi Logis

Tiga jenis hubungan antar-pernyataan adalah implikasi, ekuivalensi dan independensi

logis. Ketiga jenis hubungan ini sering muncul dalam keseharian kita dan sering pula

dipertukarkan pengertiannya; tidak jarang orang memperlakukan hubungan yang satu sebagai

hubungan yang lain. Misalnya, independensi logis diperlakukan seolah-olah implikasi, dan

Page 31: BAB III Dasar-Dasar Logika

46

sebaliknya. Untuk memahami ketiga jenis hubungan itu, dan untuk menghindari kesalahan

dalam penggunaannya, kita perlu memahami pengertian masing-masing dan bagaimana

penggunaannya.

Implikasi

Pernyataan P mengimplikasikan pernyataan Q ketika secara logis tidak mungkin P benar dan

Q salah pada waktu yang bersamaan. Perhatikan contoh-contoh berikut.

Pernyataan P mengimplikasikan Pernyataan Q

Semua melati berwarna putih. Beberapa melati berwarna putih.

Aten adalah seorang guru. Aten mempunyai murid.

Saya gemuk dan pendek.

Joko adalah laki-laki.

Saya gemuk.

Joko menghasilkan sperma.

Ekuivalensi

Dua pernyataan secara logis ekuivalen bila keduanya saling mengimplikasikan. Jadi

dua pernyataan yang secara logis ekuivalen memiliki makna yang sama. Begitu pula

sebaliknya, dua pernyataan yang memiliki makna yang sama berarti secara logis keduanya

ekuivalen. Berikut ini adalah beberapa pernyataan yang secara logis ekuivalen.

1. Negasi dari suatu konjungsi [Bukan (P dan Q)] ekuivalen dengan disjungsi dari negasi

konjung-konjungnya [Bukan-P atau Bukan-Q], misalnya “Kita tidak akan pergi ke

perpustakaan sekaligus ke pertandingan basket” ekuivalen dengan “Kita tidak pergi ke

perpustakaan atau kita tidak pergi ke pertandingan basket”.

2. Negasi dari suatu disjungsi [Bukan-(P atau Q)] ekuivalen dengan konjungsi dari negasi

disjung-disjungnya [Bukan-P dan Bukan-Q], misalnya “Tidak benar bahwa Doni atau

Yanto akan gagal” ekuivalen dengan “Doni tidak akan gagal dan Yanto juga tidak akan

gagal”.

3. Suatu pernyataan kondisional [Jika P maka Q] ekuivalen dengan pernyataan yang

menolak bahwa antesedennya benar dan konsekuennya salah [Bukan-(P dan bukan-Q)],

misalnya “Jika orang itu melahirkan anak, maka dia pasti perempuan” ekuivalen dengan

“Tidak mungkin orang itu melahirkan anak namun bukan perempuan”.

4. Suatu disjungsi [P atau Q] ekuivalen dengan pernyataan kondisional yang antesedennya

merupakan negasi dari salah satu disjung dan konsekuennya adalah disjung yang lain

[Jika Bukan-P maka Q, atau Jika Bukan-Q maka P], misalnya “Kita pergi ke Bangkok

Page 32: BAB III Dasar-Dasar Logika

47

atau ke Bali” ekuivalen dengan “Jika kita tidak pergi ke Bangkok maka kita pergi ke

Bali”, atau “Jika kita tidak pergi ke Bali maka kita pergi Bangkok”.

Independensi Logis

Dua pernyataan disebut secara logis independen jika secara logis tidak berhubungan; jadi,

kedua pernyataan maupun negasinya tidak saling mengimplikasikan. Umpamanya,

pernyataan “Ratno sedang belajar” dan “Anti tahu tempat membeli sepatu yang murah”

secara logis independen karena keduanya tidak saling berhubungan. Contoh lain, pernyataan

“Embun menetes di pagi hari” secara logis independen dengan pernyataan “Aku sedang

bersedih”.

5. Penalaran

Penalaran adalah penarikan kesimpulan berdasarkan alasan-asalan yang relevan. Alasan-

alasan itu dapat berupa bukti, data, informasi akurat, atau penjelasan tentang hubungan antara

beberapa hal. Penalaran berlangsung dalam pikiran. Ungkapan verbal dari penalaran adalah

argumentasi.

Dalam pasal ini akan diuraikan dua jenis penalaran, syarat penalaran yang benar, dan

kesalahan dalam penalaran. Sebelum itu, penyimpulan langsung dan prinsip-prinsip logika

yang mendasari penalaran akan dijelaskan terlebih dahulu.

5.1 Penyimpulan Langsung

Fungsi akal manusia adalah mencapai kebenaran. Proses pencapaian kebenaran dimulai dari

pengenalan terhadap gejala dan pembentukan ide itu sendiri. Tetapi kebenaran tidak terdapat

dalam Ide. Kebenaran terdapat dalam putusan (judgement). Kalau putusan kita sesuai dengan

kenyataan, maka kita mencapai kebenaran objektif. Atas dasar kebenaran-kebenaran

semacam inilah pengetahuan mengalami kemajuan.

Kebenaran pertama-tama dapat dicapai melalui penyimpulan langsung (immediate

inference), yaitu penyimpulan yang ditarik sesuai dengan prinsip-prinsip logika. Prinsip-

prinsip logika terdiri atas prinsip identitas, prinsip kontradiksi, dan prinsip tanpa nilai tengah

(excluded middle). Prinsip identitas menyatakan bahwa X = X; artinya, sesuatu adalah

sesuatu itu sendiri. Prinsip kontradiksi menyatakan bahwa jika X = X maka tidak mungkin X

tidak sama dengan X; artinya, sesuatu adalah dirinya sendiri, tidak mungkin sesuatu itu

Page 33: BAB III Dasar-Dasar Logika

48

sekaligus bukan dirinya sendiri. Prinsip tanpa nilai tengah menyatakan bahwa untuk proposisi

apa pun, proposisi itu hanya dapat benar atau salah; tidak mungkin diperoleh sebuah

proposisi yang benar sekaligus salah, atau setengah salah atau setengah benar.

Penyimpulan langsung dilakukan melalui indera, umpamanya memberikan putusan

bahwa mawar berwarna merah (putusannya: mawar merah), hari sedang hujan, matahari

bersinar, atau saat ini pagi hari. Penyimpulan langsung menghasilkan pengetahuan dasar bagi

manusia. Pengalaman empirik yang menjadi sumber pengetahuan itu. Akan tetapi

penyimpulan langsung tidak membawa kita beranjak jauh dari informasi-informasi asal

sehingga tidak dapat menambah pengetahuan lebih banyak lagi. Kita perlu mengetahui

kebenaran-kebenaran dari berbagai hal yang tidak dapat dibuktikan dengan penyimpulan

langsung maupun pembuktian melalui panca indera, seperti contoh-contoh berikut. Apakah

matahari mengelilingi bumi atau bumi mengelilingi matahari? Apakah jiwa manusia berbeda

dengan jiwa binatang? Apakah matahari itu jauh atau dekat? Apakah bulan besar atau

kecil? Benarkah jiwa itu kekal?

5.2 Penyimpulan Tak Langsung

Untuk dapat memperoleh pengetahuan yang benar tentang hal-hal yang tidak dapat

dibuktikan dengan penyimpulan langsung atau indera, kita perlu membandingkan ide-ide.

Penyimpulan melalui perbandingan ide-ide adalah penyimpulan tak langsung. Putusan yang

dihasilkan bukan hasil dari pengenalan langsung terhadap gejala, melainkan hasil dari

mempertemukan dua ide yang diperbandingkan dengan perantaraan ide ketiga yang sudah

diketahui sebelumnya.

Di atas (pasal 4.1) telah kita bahas cara membenarkan atau mengingkari suatu ide atas

dasar satu ide yang lain (negasi, oposisi dari proposisi, dan lain-lain). Tetapi dalam

kenyataannya kita tidak selalu dapat membuat putusan hanya berdasarkan dua ide (kita dalam

keadaan ragu). Untuk itu diperlukan ide ketiga. Proses membandingkan dua ide dengan

melibatkan ide ketiga untuk menghubungkan dua ide itulah yang disebut penalaran. Dengan

kata lain, penalaran adalah penyimpulan tak langsung atau penyimpulan dengan

menggunakan perantara (mediate inference).

Berdasarkan prinsip identitas kita dapat menyimpulkan bahwa

Jika ide 1 = ide 3, dan

ide 2 = ide 3, maka

ide 2 = ide 1.

Berdasarkan prinsip kontradiksi kita dapat menyimpulkan bahwa

Page 34: BAB III Dasar-Dasar Logika

49

Jika ide 1 ≠ ide 3, dan

ide 2 = ide 3, maka

ide 1 ≠ ide 2.

Kedua prinsip dan turunannya yang menjadi dasar-dasar dari penalaran.

5.3 Dua Jenis Penalaran

Ada dua jenis penaralan, yaitu deduksi atau penalaran deduktif dan induksi atau penalaran

induktif. Kedua jenis penalaran ini diperlukan dalam proses pencapaian kebenaran.

Pemanfaatan keduanya telah menghasilkan pengetahuan yang berguna bagi manusia dan

membawa peradaban manusia menjadi semaju yang kita saksikan saat ini.

Deduksi adalah proses penalaran yang dengannya kita membuat suatu kesimpulan

dari suatu hukum, dalil, atau prinsip yang umum kepada suatu keadaan yang khusus yang

tercakup dalam hukum, dalil, atau prinsip yang umum itu. Umpamanya, kita meragukan

apakah putri malu mempunyai indera atau tidak. Tetapi ilmu pengetahuan sudah menetapkan

dalil bahwa hakikat suatu tanaman adalah tidak berindera. Maka kita dapat melakukan

inferensi berikut.

Semua tanaman tak berindera.

Puteri malu adalah tanaman.

Jadi: Puteri malu tak berindera.

Kita juga dapat mulai dengan proposisi hipotetis, misalnya:

Penjahat itu sehat atau gila.

Ia sehat.

Jadi: Ia tidak gila.

Penyimpulan melalui deduksi disebut juga silogisme.

Induksi adalah proses penalaran yang dengannya kita menyimpulkan hukum, dalil,

atau prinsip umum dari kasus-kasus khusus (individual).

Contoh:

Air, di mana pun, di muka bumi atau di laut, pada tingkat permukaan laut

akan membeku pada nol derajat Celcius.

Tetapi air di mana pun adalah air belaka.

Jadi: Semua air pada tingkat permukaan laut membeku pada nol derajat Celcius.

5.4 Kesalahan Penyimpulan

Manusia tidak jarang memperoleh pengetahuan yang tidak benar karena adanya

kesalahan dalam proses penyimpulan. Kesalahan penyimpulan digolongkan atas dua, yakni

Page 35: BAB III Dasar-Dasar Logika

50

kesalahan material dan kesalahan formal. Kesalahan material adalah kesalahan putusan yang

digunakan sebagai pertimbangan yang seharusnya memberikan fakta atau kebenaran. Mari

kita lihat contoh berikut. Berdasarkan pengamatan orang melihat setiap hari matahari tampak

bergerak dari timur ke barat, dulu orang menyimpulkan bahwa matahari mengelilingi bumi.

Lalu kesimpulan ini digunakan untuk menjelaskan susunan alam semesta. Oleh karena

putusan (kesimpulan) yang digunakan untuk menjelaskan susunan alam semesta salah, maka

penjelasan tentang alam semesta pun salah.

Kesalahan formal ialah kesalahan yang berasal dari urutan penyimpulan yang tidak

konsisten. Sebagai contoh, untuk menjelaskan perilaku korupsi digunakan penalaran berikut

ini yang merupakan penalaran sirkular.

Tanya: Mengapa petugas hukum dapat disogok?

Jawab: Karena gaji mereka kecil.

Tanya: Mengapa gaji petugas hukum kecil?

Jawab: Karena ekonomi tidak tumbuh secara baik.

Tanya: Mengapa ekonomi tidak tumbuh secara baik?

Jawab: Karena hukum tidak berjalan dengan baik.

Tanya: Mengapa hukum tidak berjalan dengan baik?

Jawab: Karena petugas hukum dapat disogok. Kesalahan penalaran ini muncul dalam beragam bentuk. Bentuk-bentuk kesalahan

penyimpulan dan penalaran akan dibahas di pasal 8.

5.5 Argumentasi

Sebagaimana telah dikemukakan di atas, ungkapan verbal dari penalaran atau

penyimpulan tak langsung adalah argumentasi. Di dalam argumentasi terkandung term yang

merupakan ungkapan verbal dari ide dan proposisi yang merupakan ungkapan verbal dari

putusan.

Proposisi yang dijadikan dasar dari kesimpulan disebut premis atau anteseden. Subjek

(S) dan Predikat (P) dari kesimpulan masing-masing disebut ekstrem minor dan ekstrem

mayor yang cakupannya lebih luas dari subjek. Ungkapan dari ide ketiga yang

menghubungkan ide pertama dan ide kedua yang diperbandingkan dalam argumentasi disebut

term tengah (middle term, disingkat M). Premis yang mengandung term mayor disebut

premis mayor. Premis yang mengandung term minor disebut premis minor. Ketentuan ini

baku, terlepas dari posisi premis-premis itu dalam argumentasi. Perhatikan contoh berikut.

(1) Premis mayor: Semua hewan (M) adalah mahluk (P).

Premis Minor: Semua belut (S) adalah hewan (M).

Ergo : Semua belut (S) adalah mahluk (P).

Page 36: BAB III Dasar-Dasar Logika

51

(2) Premis Minor: Semua besi (S) adalah logam (M).

Premis Mayor: Semua logam (M) adalah unorganik (P).

Ergo : Semua besi (S) adalah unorganik (P).

Term tengah (M) harus muncul di premis mayor maupun premis minor sebagai

perbandingan, tetapi tidak boleh muncul dalam kesimpulan.

Ada dua macam argumentasi yang umum digunakan dalam logika, yaitu silogisme

kategoris dan silogisme hipotetis. Silogisme kategoris adalah argumentasi yang menggunakan

proposisi kategoris yang oleh Aristoteles disebut analitika. Silogisme hipotetis adalah

argumentasi yang menggunakan proposisi hipotetis (silogisme hipotetis) yang oleh

Aristoteles disebut dialektika.

6. Argumen Deduktif

6.1 Definisi Penalaran Deduktif (Deduksi)

Deduksi adalah bentuk argumen yang kesimpulannya niscaya mengikuti premis-

premisnya. Lazimnya deduksi juga dipahami sebagai pembuatan pernyataan khusus

berdasarkan pernyataan-pernyataan yang lebih umum. Pernyataan khusus itu disebut

kesimpulan dan pernyataan-pernyataan yang lebih umum disebut premis. Dalam deduksi

kesimpulan diturunkan dari premis-premisnya. Menerima premis tetapi menolak kesimpulan

adalah tidak konsisten.

Penalaran deduktif adalah proses perolehan kesimpulan yang terjamin validitasnya

jika bukti yang tersedia benar dan penalaran yang digunakan untuk menghasilkan kesimpulan

tepat. Kesimpulan juga harus didasari hanya oleh bukti yang sudah ada sebelumnya.

Kesimpulan tidak boleh mengandung informasi baru tentang materi.

6.2 Karakteristik Penalaran Deduktif

Penalaran deduktif—yang sering digunakan untuk menulis esai argumentatif—

diawali dengan generalisasi yang dianggap benar (self-evident) yang menghasilkan premis-

premis, lalu dari situ diturunkan kesimpulan yang koheren dengan premis-premisnya. Premis

dan kesimpulan harus berkesesuaian dan tertata dalam bentuk argumentasi tertentu. Bentuk

deduksi yang paling umum digunakan adalah silogisme yang terdiri atas premis mayor,

premis minor, kesimpulan. Bentuk argumentasi ikut menentukan sahih (valid) atau tidaknya

Page 37: BAB III Dasar-Dasar Logika

52

penalaran deduktif. Sebagaimana sudah disebutkan di atas, dalam penalaraan deduktif

kesimpulan bersifat lebih khusus daripada premis-premisnya. Penalaran deduktif bertujuan

untuk menentukan putusan yang sahih tentang hal khusus tertentu berdasarkan pemahaman

tentang hal-hal yang lebih umum.

6.3 Silogisme

Silogisme berasal dari kata Yunani syllogismos yang berarti ‘kesimpulan’. Silogisme

adalah jenis argumen logis yang kesimpulannya diturunkan dari dua proposisi umum

(premis) yang berbentuk prosisi kategoris.

Dilihat dari bentuknya, penilaian terhadap silogisme adalah sahih (valid) atau tidak

sahih (invalid). Silogisme sahih jika kesimpulannya dibuat berdasarkan premis-premisnya

dengan bentuk-bentuk yang tepat. Sedangkan penilaian benar (true) diberikan jika silogisme

valid dan klaimnya akurat (informasinya sesuai dengan fakta). Perhatikanlah contoh berikut.

(1) Premis Mayor : Semua politikus adalah laki-laki.

Premis Minor : Sri adalah politikus.

Kesimpulan : Maka, Sri adalah laki-laki.

Sahih atau tidak sahihkah silogisme ini? Jawabnya “sahih”. Jika kita tahu bahwa Sri adalah

perempuan maka silogisme itu tidak benar karena pernyataan tidak sesuai dengan kenyataan.

(2) Premis Mayor: Semua ayah adalah laki-laki.

Premis Minor: Dino adalah laki-laki.

Kesimpulan : Maka, Dino adalah ayah.

Silogisme ini tidak sahih karena term tengahnya yaitu term yang muncul di kedua premis,

dalam hal ini laki-laki merujuk kepada semua anggota dari kelompok laki-laki, bukan hanya

kepada ayah atau Dino.

(3) Premis Mayor: Tidak ada seorang pun yang ditolak menjadi mahasiswa

karena ketidakmampuan fisik.

Premis Minor: Tunarungu adalah ketidakmampuan fisik.

Kesimpulan : Maka, tunarungu akan ditolak menjadi mahasiswa karena

ketidakmampuan fisik.

Silogisme ini juga tidak sahih karena salah satu premisnya negatif sehingga hanya dapat

memiliki kesimpulan negatif.

(4) Premis Mayor : Mahasiswa yang tidak belajar bisa jadi akan lulus ujian.

Premis Minor : Dono adalah mahasiswa yang belajar.

Page 38: BAB III Dasar-Dasar Logika

53

Kesimpulan : Maka, Dono bisa jadi akan lulus ujian.

Silogisme ini sahih karena memenuhi hukum-hukum silogisme.

6.3.1 Silogisme Kategoris

Bentuk dasar silogisme kategoris ialah: Jika A adalah bagian dari C maka B adalah bagian

dari C (Adan B adalah anggota dari C). Silogisme kategoris ini mengikuti hukum “Semua

atau Tidak Sama Sekali” (All or None atau Dictum de Omni et Nullo); artinya, berlaku untuk

seluruh anggota kelas, atau tidak sama sekali. Tidak dikenal “ada sebagian” dan “tidak ada

sebagian”. Sebagai contoh, kalau kelas ikan memiliki insang, maka tidak mungkin ada

anggotanya yang tak berinsang; dan kalau kelas merpati adalah burung, maka tak mungkin

ada merpati yang bukan burung.

Dengan mengikuti hukum “Semua atau Tidak Sama Sekali” itu dapat dibuat silogisme

seperti berikut:

(1) Semua makhluk hidup (M) bernafas (P).

Semua burung (S) adalah makhluk hidup (M).

Jadi: Semua burung (S) bernafas (P).

yang dirumuskan menjadi

Semua M adalah P.

Semua S adalah P.

Jadi: Semua S adalah P.

atau silogisme berikut:

(2) Tiada hewan (M) berkaki tiga (P).

Semua beruang (S) adalah hewan (M).

Jadi: Tiada beruang (S) berkaki tiga (P).

yang dirumuskan menjadi

Tiada M yang P.

Semua S adalah M.

Jadi: Tiada S yang P.

6.3.2 Delapan Hukum Silogisme

Silogisme tunduk kepada delapan hukum yang masing-masing diterapkan berikut ini.

(Keterangan: P = Predikat/mayor; S = Subjek/minor; M = Term tengah (Middle term); u =

Universal; p = partikular; + = afirmatif; dan = negatif.)

Page 39: BAB III Dasar-Dasar Logika

54

Hukum 1: Silogisme hanya mengandung tiga term.

Semua tanaman (M1) adalah hidup (P).

Semua batu (S) adalah mineral (M2).

Jadi: Semua batu (S) adalah/tidak (?) hidup (P).

Buku (P) mempunyai halaman (M).

Rumah (S) mempunyai halaman (M).

Jadi: Rumah (S) adalah buku (P).

Halaman di sini bermakna ganda (equivocal), silogisme di atas mempunyai empat term.

Hukum 2: Term mayor atau term minor tidak boleh menjadi universal dalam kesimpulan

jika dalam premis hanya bersifat pertikular.

uM + pP Semua manusia adalah hewan.

uS − uM Tak ada binatang yang manusia.

uS − uP Tak ada binatang yang hewan.

Yang salah adalah P (disebut illicit mayor).

uM − uP Tiada burung yang menyusui.

uM + pS Semua burung adalah hewan berkaki dua.

uS − uP Tiada hewan berkaki dua yang menyusui.

Yang salah adalah S (disebut illicit minor).

Hukum 3: Term tengah tidak boleh muncul dalam kesimpulan.

M + P Aristoteles adalah filsuf.

M + S Aristoteles adalah misikin.

M + S/P Aristoteles adalah filsuf yang miskin.

M dalam silogisme itu tidak lagi berfungsi sebagai pembanding, melainkan menjadi salah

satu bagian dari kesimpulan. Dengan demikian, kesimpulan yang terjadi bukanlah

merupakan putusan baru.

Hukum 4: Term tengah harus digunakan sebagai proposisi universal dalam premis-

premis, setidak-tidaknya satu kali.

uP + pM Semua orang mati.

uS + pM Semua artis mati.

Page 40: BAB III Dasar-Dasar Logika

55

uS + pP Semua artis adalah orang.

Silogisme ini seakan-akan benar, oleh karena kebetulan posisi term-term itu adalah

sebagai berikut:

M (mati) mempunyai ekstensi yang paling benar.

P (orang) mempunyai ekstensi yang lebih kecil dan termasuk dalam M.

S (artis) mempunyai ekstensi yang paling kecil dan termasuk dalam P.

Tetapi perhatikanlah silogisme berikut:

uP + pM Semua orang mati.

uS + pM Semua kucing mati.

uS + pP Semua kucing adalah orang.

Dalam silogisme ini, kesalahannya sangat nyata karena walaupun P (orang) dan S

(kucing) sama-sama termasuk dalam ekstensi dari M (mati), tetapi P dan S tidak saling

meliputi (berdiri sendiri-sendiri). Pelanggaran hukum 4, seperti yang terdapat dalam kedua

silogisme di atas, disebut Undistributed Middle

Hukum 5: Jika kedua premis afirmatif, maka kesimpulan juga afirmatif.

M + P Semua mamalia menyusui.

S + M Beberapa kuda adalah mamalia.

S P Beberapa kuda tidak menyusui.

Hukum 6: Tidak boleh kedua premis negatif, setidaknya salah satu harus afirmatif.

M P Tiada binatang yang batu.

S M Tiada intan yang binatang.

S P Tiada intan yang batu.

Hukum 7: Kalau salah satu premis negatif, kesimpulan harus negatif. Kalau salah satu

premis partikular, kesimpulan harus partikular.

Fase I.

P M Tiada perokok yang bebas nikotin.

S + M Balita bebas nikotin.

S + P Balita adalah perokok.

Fase II.

M + P Semua manusia adalah mahluk rasional.

pS + M Sebagian hewan adalah manusia.

uS + P Semua hewan adalah mahluk rasional.

M P Tiada karbon yang putih.

Page 41: BAB III Dasar-Dasar Logika

56

pS + M Sebagian zat padat adalah karbon.

uS P Tiada zat padat yang putih.

Hukum 8: Tidak boleh kedua premis partikular, setidaknya salah satu harus universal.

pM + pP Beberapa orang adalah tukang becak.

pS + pM Beberapa bule adalah orang.

pS + pP Beberapa bule adalah tukang becak.

Silogisme itu dapat benar walaupun kedengarannya agak janggal (mungkin saja ada orang

bule yang bekerja sebagai tukang becak). Tetapi kalau kata-kata tukang becak diganti dengan

berkulit hitam, maka kesalahan karena pelanggaran hukum ke-8 ini akan sangat nyata.

pM + pP Beberapa pakar agama adalah orang Indonesia.

pS uM Beberapa penduduk Depok bukan pakar agama.

pS uP Beberapa penduduk Depok bukan orang Indonesia.

6.3.3 Silogisme Hipotetis

Dalam logika, silogisme hipotetis memiliki dua penggunaan. Dalam logika proposisional,

silogisme mengungkapkan aturan-aturan penyimpulan, sedangkan dalam sejarah logika ia

berperan sebagai teori konsekuensi.

Silogisme hipotetis berbeda dengan silogisme kategoris dan tunduk kepada aturan

tersendiri. Dalam silogisme hipotetis, premis pertama (premis mayor) menampilkan kondisi

yang tak tentu (“jika P, maka Q”) atau masalah (“atau P atau Q”; “P dan Q tidak dapat

benar dua-duanya”). Premis pertama itu harus diselesaikan secara memadai oleh premis

kedua (premis minor) sehingga kesimpulan yang sahih dapat dihasilkan. Penyelesaian

masalah selalu dalam bentuk afirmasi atau negasi.

Secara lebih sederhana dapat dikatakan bahwa premis mayor silogisme hipotetis

adalah proposisi hipotetis sedangkan premis minor dan kesimpulannya adalah proposisi

kategoris. Dalam silogisme hipotetis, tidak term mayor, term minor atau term tengah. Premis

mayor terdiri atas anteseden dan konsekuen. Sebagai contoh, dalam pernyataan “Jika hari

hujan, maka tanah basah”, hari hujan adalah anteseden dan tanah basah adalah konsekuen.

6.3.4 Bentuk-bentuk Umum Argumen yang Sahih

Ada tiga bentuk dasar dari silogisme hipotetis, yaitu modus ponens yang mengafirmasi

anteseden, modus tollens yang menolak konsekuen, dan silogisme hipotetis dengan rantai

kondisional. Berikut ini ketiga bentuk dasar silogisme hipotetis.

1) Mengafirmasi anteseden (modus ponens)

Page 42: BAB III Dasar-Dasar Logika

57

P → Q

P

Q

Contoh:

Jika psikologi adalah ilmu pengetahuan maka psikologi menggunakan metode.

Psikologi adalah ilmu pengetahuan.

Psikologi menggunakan metode.

2) Menolak konsekuensi (modus tollens)

P → Q

- Q

- P

Contoh:

Jika astrologi adalah ilmu pengetahuan maka astrologi menggunakan metode.

Astrologi tidak menggunakan metode.

Astrologi bukan ilmu pengetahuan.

3) Silogisme Hipotetis (Rantai Kondisional)

P → Q

Q → R

P → R

Contoh:

Jika psikologi adalah ilmu pengetahuan maka psikologi menggunakan metode.

Jika psikologi menggunakan metode maka psikologi sistematis.

Jika psikologi adalah ilmu pengetahuan maka psikologi sistematis.

Selain ketiga bentuk itu, ada bentuk-bentuk lain yang lebih kompleks. Berikut ini

adalah tiga di antaranya.

1) Silogisme Disjungtif

P V Q

- P

Q

Contoh:

Psikologi adalah ilmu ramal atau psikologi bersifat ilmiah.

Psikologi bukan ilmu ramal.

Psikologi bersifat ilmiah.

Page 43: BAB III Dasar-Dasar Logika

58

2) Dilema Konstruktif

(P → Q) & (R → S)

P V R

Q V S

Contoh:

(Jika psikologi adalah ilmu pengetahuan maka psikologi didasari prinsip sebab-

akibat.) dan (Jika manusia dikaji oleh psikologi maka kehendak bebas

adalah objek kajian psikologi.)

Psikologi adalah ilmu pengetahuan atau manusia dikaji oleh psikologi

Psikologi didasari prinsip sebab-akibat atau kehendak bebas adalah kajian psikologi

3) Dilema Destruktif

(P → Q) & (R → S)

~ Q V ~R

~ P V ~ R

Contoh:

(Jika psikologi adalah ilmu pengetahuan maka psikologi didasari prinsip sebab-

akibat) dan (Jika manusia dikaji oleh psikologi maka kehendak bebas

adalah objek kajian psikologi).

Psikologi tidak didasari prinsip sebab-akibat atau manusia tidak dikaji oleh

psikologi.

Psikologi bukan ilmu pengetahuan atau kehendak bebas bukan objek psikologi.

7. Argumen Induktif3

7.1. Definisi Induksi

Istilah argumen induktif atau induksi biasanya mencakup proses-proses inferensial dalam

mendukung atau memperluas keyakinan kita pada kondisi yang mengandung risiko atau

ketidakpastian. Argumen induktif dapat dipahami sebagai hipotesis yang mengandung risiko

dan ketidakpastian.

Ketidakpastian dalam argumen induktif muncul dalam dua area yang berhubungan,

yaitu dalam premis-premis argumen dan dalam asumsi-asumsi inferensial argumen. Mari kita

ambil sebuah contoh kasus: “Jono mati tertembak”. Argumen berikut ini merupakan argumen

3 Pasal tentang induksi ini disadur dari buku A. K. Bierman dan R. N. Assali, The Critical Thinking Handbook

(New Jersey, 1994). Penyaduran itu dilakukan dengan bantuan dari Judithia A. Wirawan.

Page 44: BAB III Dasar-Dasar Logika

59

deduktif yang sahih yang dapat diberikan untuk mendukung pernyataan bahwa “Andi

membunuh Jono”.

Andi lari dari kamar Jono dengan membawa pistol.

Siapa pun yang lari dari kamar Jono dengan membawa pistol

pasti membunuh Jono.

Andi membunuh Joon. Jika kita menerima bahwa premis-premis argumen ini benar, maka kita juga harus

menerima bahwa kesimpulannya benar. Informasi dalam premis-premis itu secara logis tidak

mencakup pernyataan apa pun yang merupakan kontradiksi dari kesimpulan. Para ahli logika

menggambarkan hal ini sebagai berikut: isi informasi dari premis-premis mencakup isi

informasi dari kesimpulan. Tidak ada informasi dalam kesimpulan di luar apa yang sudah ada

dalam premis-premisnya.

Seandainya orang yang mengajukan argumen itu merasa tidak pasti akan kebenaran

premis pertama, yaitu dia tidak merasa benar-benar pasti bahwa Andi yang lari dari kamar itu

(mungkin saksi matanya tidak sepenuhnya dapat dipercaya), maka dia hanya dapat

mengeluarkan argumen induktif (Garis dua berarti ‘jadi, ada kemungkinan bahwa…’.)

Kemungkinan besar, Andilah yang lari dari kamar Jono

dengan membawa pistol.

Siapa pun yang lari dari kamar Jono pasti membunuh Jono.

Andi membunuh Jono.

Jelas bahwa kalaupun kita menerima bahwa premis-premis argumen ini benar, kita tidak

harus menerima bahwa kesimpulannya benar. Bisa saja orang yang mengajukan argumen ini

punya alasan-alasan yang tidak dapat dibantah mengenai kebenaran premis kedua, namun

argumen ini tetap tidak dapat menjamin bahwa Andilah yang membunuh Jono. Kesimpulan

bahwa Andi membunuh Jono telah melebihi apa yang dapat dideduksi dari premis-premisnya.

Kemungkinan lain, asumsi inferensialnyalah yang tidak pasti benar sehingga orang

yang mengajukan argumen terpaksa membuat argumen induktif. Misalnya, dia melihat

sendiri Andi lari dari kamar Jono dengan membawa pistol. Hanya itu bukti yang dimilikinya.

Berdasarkan bukti itu, dia menyimpulkan bahwa Andi membunuh Jono. Ini berarti dia

mengambil kesimpulan terlalu cepat karena dia tidak merasa pasti akan kebenaran asumsi

inferensialnya, padahal asumsi ini dibutuhkan untuk dapat menarik kesimpulan dari bukti

yang ada. Argumennya menjadi seperti ini:

Andi lari dari kamar Jono dengan membawa pistol.

Page 45: BAB III Dasar-Dasar Logika

60

Kemungkinan, orang yang lari dari kamar Jono dengan membawa

pistol telah membunuh Jono.

Andi telah membunuh Jono.

Premis-premis dalam argumen ini juga tidak menjamin kebenaran kesimpulannya. Karena

orang yang mengajukan argumen masih merasa tidak pasti akan kebenaran asumsi yang

menjembatani bukti (pada premis pertama) dengan kesimpulan, maka dia hanya menyatakan

bahwa asumsi itu mungkin terjadi. Sama seperti contoh argumen induktif yang pertama,

dalam argumen ini pun informasi pada kesimpulan melampaui apa yang dapat dideduksi dari

premis-premisnya.

Dalam semua argumen induktif, ada premis atau asumsi inferensial yang lemah yang

mencerminkan ketidakpastian karena informasi ada yang kurang lengkap. Pada contoh yang

pertama, argumen tidak memiliki bukti yang kuat untuk menjamin kebenaran kesimpulannya.

Pada contoh yang kedua, argumen tidak memiliki jembatan inferensial yang kuat untuk

mendeduksi kesimpulan dari bukti yang ada.

Jadi, karakteristik semua argumen induktif adalah bahwa dalam kondisi

ketidakpastian atau kurangnya informasi, kita langsung mengambil kesimpulan dengan risiko

bahwa kita mengambil kesimpulan yang salah. Penalaran induktif yang baik berusaha

meminimalkan risiko sehingga kita lebih sering mengambil kesimpulan yang benar daripada

yang salah, dan berusaha memperhitungkan risiko itu dengan akurat. Panduan umum untuk

melakukan penalaran induktif yang baik adalah yang berikut. 1) Usahakanlah mengumpulkan

semua informasi yang tersedia yang berhubungan dengan topik argumen sebelum mengambil

kesimpulan mengenai topik itu. Kita menginginkan kesimpulan yang kecil kemungkinannya

menjadi batal jika ada informasi baru. 2) Cobalah mengeliminasi kesimpulan lain yang juga

konsisten dengan bukti yang ada sebelum meyakini kesimpulan pilihan kita. 3) Jangan

membuat kesimpulan jika kita menilai bahwa premis-premis yang kita miliki terlalu lemah.

Karena argumen induktif mempunyai karakteristik ketidakpastian, kesimpulan dari

suatu argumen induktif sering disebut hipotesis. Suatu hipotesis adalah suatu proposisi yang

diterima secara tentatif untuk menjelaskan fakta-fakta atau bukti-bukti tertentu. Kesimpulan

dari suatu argumen induktif sering kali merupakan pernyataan yang dapat menjelaskan

mengapa informasi dalam premis-premisnya benar. Misalnya, hipotesis bahwa Andi

membunuh Jono dapat menjelaskan mengapa Andi lari dari kamar Jono dengan membawa

pistol.

Sejalan dengan itu, strategi untuk membangun dan mengevaluasi argumen induktif

adalah menentukan apakah kesimpulan yang diambil dari premis-premis yang ada merupakan

Page 46: BAB III Dasar-Dasar Logika

61

penjelasan terbaik mengapa premis-premis bukti benar. Para ahli logika menggambarkan hal

ini sebagai berikut: argumen induktif yang baik sebagai “kesimpulan yang merupakan

penjelasan terbaik dari bukti.” Sayang sekali, tidak ada metode yang sederhana untuk

mengevaluasi argumen induktif jika dibandingkan dengan pengukuran validitas argumen

deduktif. Terlebih lagi, ada banyak kesulitan filosofis di sekitar konsep dukungan induktif,

dan apakah induksi dapat dijadikan alat untuk mendapatkan pengetahuan.

Walaupun ada masalah-masalah teoretis, para ahli logika sering kali setuju mana yang

termasuk dalam penalaran induktif yang baik. Kita dapat membedakan kapan bukti-bukti

yang ada sudah cukup untuk mengambil kesimpulan dan kapan tidak, jika kita mempunyai

akal sehat dan pengalaman, dan berefleksi dengan teliti.

7.1.1 Induksi Enumeratif (Generalisasi Induktif)

Induksi enumeratif, atau generalisasi induktif, adalah proses yang menggunakan premis-

premis yang menggambarkan karakteristik sampel untuk mengambil kesimpulan umum

mengenai kelompok asal sampel itu. Induksi jenis argumen ini merupakan argumen induktif

yang paling terkenal. Begitu terkenalnya jenis argumen ini sampai-sampai beberapa penulis

mendefinisikan argumen induktif sebagai argumen yang “bergerak dari premis-premis

partikular ke kesimpulan umum.” Namun, sebenarnya bentuk ini hanyalah salah satu bentuk

saja dari argumen induktif.

Perhatikanlah contoh-contoh argumen berikut ini dan polanya:

(1) Kami mengobservasi 27.830 ekor angsa di Inggris dan menemukan bahwa setiap angsa

tersebut berwarna putih. Kami menyimpulkan dari bukti ini bahwa semua angsa putih. Pola Argumen 1:

X1 mempunyai karakteristik P.

X2 mempunyai karakteristik P. Dasar bukti atau

X3 mempunyai karakteristik P. tabel konfirmasi

:

Xn mempunyai karakteristik P. (n=27.830) Semua X mempunyai karakteristik P.

(2) Saya pergi ke New York untuk pertama kalinya minggu lalu. Orang pertama yang saya

tanyai tentang jalan ke Carnegie Hall bersikap sangat kasar dan menyuruh saya mundur.

Saya bertanya kepada orang kedua, dan dia juga kasar dan menyumpahi saya supaya

pergi. Saya bertanya kepada tujuh orang lagi, dan setiap orang mengusir saya tanpa

menolong saya. Akhirnya, orang kesepuluh yang saya tanya memberi tahu saya jalan ke

Page 47: BAB III Dasar-Dasar Logika

62

Carnegie Hall. Dari sini, saya menyimpulkan bahwa hampir semua orang New York

bersikap kasar kepada pendatang yang menanyakan jalan.

Pola Argumen 2:

X1 mempunyai karakteristik R.

X2 mempunyai karakteristik R.

X3 mempunyai karakteristik R. Tabel konfirmasi

:

X10 tidak mempunyai karakteristik R. Kebanyakan X mempunyai karakteristik R.

(3) Dari 200.000 cip (chip) yang dibuat dengan proses baru kami bulan lalu, diambil secara

acak (random) 1.000 buah untuk diuji. Hanya 50 buah dari sampel itu yang cacat, yang

berarti 95% buah sampel lainnya sempurna. Kita menyimpulkan bahwa proses

pembuatan cip yang baru ini menghasilkan sekitar 95% cip yang sempurna, dan hanya

5% yang cacat.

Pola Argumen 3:

X1 mempunyai karakteristik G.

X2 mempunyai karakteristik G.

X3 mempunyai karakteristik G.

:

X950 mempunyai karakteristik G. Tabel konfirmasi

X951 tidak mempunyai karakteristik G.

X952 tidak mempunyai karakteristik G.

X953 tidak mempunyai karakterisitk G.

:

X1000 tidak mempunyai karakteristik G. Sekitar 95% X mempunyai karakteristik G.

Dalam masing-masing argumen itu, premis-premisnya merupakan contoh dari

individu-individu yang mempunyai karakteristik tertentu. Kesimpulannya

menggeneralisasikan bahwa individu dari kelompok itu mempunyai karakteristik itu sampai

dengan batas tertentu. Pada contoh (1), batasnya adalah 100%, dan kesimpulannya

merupakan generalisasi universal, yaitu semua individu mempunyai karakteristik tersebut.

Pada dua contoh lainnya, korelasinya tidak mencapai 100%. Kesimpulannya berupa

generalisasi statistikal yang memperkirakan persentase individu yang mempunyai

Page 48: BAB III Dasar-Dasar Logika

63

karakteristik tersebut. Perkiraan ini masih belum jelas pada contoh (2), tetapi jauh lebih jelas

pada contoh (3).

Secara umum induksi enumeratif dapat dianggap sebagai argumen dari sampel.

Individu yang diobservasi merupakan sampel yang diambil dari populasi yang lebih besar,

yang kebanyakan anggotanya belum diobservasi. Berdasarkan karakteristik yang diobservasi

pada sampel, kesimpulan dibuat mengenai populasi secara keseluruhan.

Dalam pola-pola argumen yang digambarkan di atas, pernyataan-pernyataan yang

menggambarkan hasil observasi individual didaftarkan. Ini disebut tabel konfirmasi. Secara

lebih umum, karena premis-premis ini mengandung data yang digunakan sebagai bukti dalam

membuat kesimpulan, maka premis-premis ini disebut dasar induksi atau dasar bukti atau,

lebih sederhana lagi, data atau bukti.

Tabel konfirmasi tidak selalu dibuat. Kalaupun dibuat, hal itu dilakukan pada proses

pengumpulan bukti dan jarang sekali dicantumkan pada pernyataan argumen. Namun, bukti

lebih sering diringkas dalam bentuk statistik mengenai sampel yang diobservasi. Agar dapat

diterima, argumen yang berdasarkan sampel harus mempunyai asumsi bahwa sampel itu

representatif terhadap populasi dan cukup besar sehingga dapat menyediakan perkiraan yang

terandalkan (reliable). Kalaupun tidak disebutkan, asumsi ini selalu merupakan premis atau

asumsi inferensial yang implisit dalam argumen induktif yang baik. Oleh sebab itu, pola

generalisasi induktif yang baik adalah sebagai berikut:

N persen dari sampel S yang diambil dari F yang diobservasi

mempunyai karakteristik G.

Sampel S cukup besar dan representatif terhadap F. Kira-kira N persen dari F mempunyai karakteristik G.

Induksi enumeratif sangat bervariasi dalam hal kualitas pengumpulan dan presentasi

datanya, dan dalam kekuatan kesimpulannya. Karena itu, kita dapat menggunakan pola

argumen ini sebagai perkiraan kasar untuk mengevaluasi argumen jenis ini secara cepat. Kita

dapat menggunakan model ini untuk melakukan rekonstruksi kekuatan suatu induksi

enumeratif. Dari sini terlihat bagaimana suatu argumen dapat ditingkatkan kekuatannya.

Dalam argumen (1) di atas, N=100% sehingga kesimpulannya merupakan generalisasi

universal untuk semua angsa. Rekonstruksi kekuatan argumen (1) adalah sebagai berikut:

100% dari sampel yang diobservasi sejumlah 27.830 angsa

di Inggris berwarna putih.

Sampel sebesar 27.830 cukup besar dan representatif terhadap

Page 49: BAB III Dasar-Dasar Logika

64

semua angsa. Semua angsa berwarna putih.

Kebenaran premis pertama dari argumen ini dapat dipertanyakan, misalnya seseorang dapat

meragukan apakah semua unggas yang diobservasi memang benar-benar angsa. Namun jika

bukti dikumpulkan dengan hati-hati, fokus kritik terhadap argumen ini terletak pada premis

kedua.

Dalam semua argumen yang didasarkan pada suatu sampel, selalu harus

dipertanyakan apakah sampelnya cukup besar dan representatif terhadap populasi sehingga

kesimpulannya dapat dipercaya. Mengambil kesimpulan yang terlalu kuat berdasarkan

sampel yang terlalu kecil berarti melakukan percontoh salah (error sampel) yang tidak cukup.

Membuat kesimpulan berdasarkan sampel yang tidak representatif berarti melakukan

percontoh salah yang bias.

Dalam kasus ini, percontoh atau sampelnya nampaknya cukup besar untuk menjamin

kesimpulan mengenai semua angsa. Namun kita dapat melihat bahwa observasi hanya

dilakukan pada angsa di Inggris sementara kesimpulannya mengenai semua angsa. Jadi, jika

kita menduga bahwa angsa di Inggris berbeda dari angsa pada umumnya, dapat

dipertanyakan apakah sampelnya representatif. Argumen ini akan lebih kuat jika lebih

dimiripkan dengan pola di atas, yaitu dengan melemahkan kesimpulannya sampai dengan

batas semua angsa di Inggris saja. Dengan demikian, argumen (2) dapat direkonstruksi

kekuatannya menjadi:

Sebanyak 9 dari 10 orang New York sampel yang diobservasi (90%)

bersikap kasar pada pendatang yang menanyakan jalan.

10 orang itu merupakan sampel yang cukup besar dan representatif

dari orang New York. Kira-kira 9 dari 10 (90%) orang New York bersikap kasar pada

pendatang yang menanyakan jalan.

Jelas bahwa kesimpulan ini bukanlah hasil dari penyelidikan yang sistematis. Kemungkinan

besar, seperti yang terjadi pada banyak argumen sehari-hari, tidak diduga atau diharapkan

bahwa argumennya akan dianalisis dan dievaluasi secara detil.

Kelemahan argumen kedua tampak jelas setelah direkonstruksi. Percontoh sejumlah

10 orang terlalu kecil untuk membuat kesimpulan secara meyakinkan mengenai orang New

York pada umumnya. Di samping itu, juga tidak disebutkan bagaimana percontohnya dipilih

sehingga kita tidak tahu apakah percontoh itu representatif. Lagi pula, premis yang satunya

Page 50: BAB III Dasar-Dasar Logika

65

lagi, yakni bahwa 9 dari 10 orang sampel yang diobservasi dan bersikap kasar kepadanya

ketika dia menanyakan jalan baru diduga saja sebagai orang New York. Kita membutuhkan

bukti tambahan apakah orang-orang itu memang orang New York dan apakah mereka

menganggapnya pendatang. Singkatnya, argumen kedua itu belum memenuhi pola argumen,

dan premis-premisnya tidak sepenuhnya relevan dengan kesimpulannya.

Jadi, dengan memeriksa argumen berdasarkan pola induksi enumeratif, kita

mengungkapkan kemungkinan bahwa suatu argumen ternyata tidak kuat. Dengan demikian,

argumen (3) dapat direkonstruksi menjadi:

95% dari 1000 cip yang dipilih secara acak dari semua cip yang dibuat

bulan lalu dengan proses baru merupakan cip yang baik.

1000 cip itu merupakan percontoh yang cukup besar dan representatif

dari semua cip yang dibuat dengan proses baru. Kira-kira 95% dari cip yang dibuat dengan proses baru merupakan

cip yang baik. Argumen (3) cukup mendekati pola induksi enumeratif. Dengan asumsi bahwa premis

pertama benar, argumen ini boleh dikatakan kuat. Memilih cip secara acak berarti

kemungkinannya sangat besar bahwa percontoh itu representatif terhadap populasi.

Berdasarkan teori statistik, sampel sebesar itu cukup besar untuk mendukung kesimpulan

dengan probabilitas 99%, dan kira-kira 95% dianggap sebagai interval di sekitar 95%, plus

atau minus 3% (jadi, dari 92% sampai 98%).

Satu masalah dalam argumen (3) adalah bahwa sampel dipilih dari cip yang dibuat

bulan lalu, dan kesimpulannya mengenai cip yang dibuat dengan proses baru. Pola di atas

menuntut bahwa populasi yang disebutkan di kesimpulan sama dengan populasi asal sampel.

Ini berarti cip yang dibuat dengan proses baru harus merupakan cip yang dibuat dengan cara

yang sama dengan cip yang dibuat bulan lalu.

7.1.2 Spesifikasi Induktif: Silogisme Statistikal

Silogisme statistikal merupakan argumen yang menggunakan generalisasi statistik tentang

suatu kelompok untuk mengambil kesimpulan mengenai suatu sub-kelompok atau anggota

individual dari kelompok itu. Silogisme statistikal—jenis spesifikasi induktif yang paling

umum digunakan sehari-hari—merupakan kebalikan dari proses generalisasi induktif. Dalam

konteks profesional atau ilmiah— yang menggunakan teori-teori matematika untuk menarik

Page 51: BAB III Dasar-Dasar Logika

66

kesimpulan mengenai sampel dari informasi mengenai populasi yang lebih besar—spesifikasi

statistik jauh lebih kompleks..

Penyimpulan dalam silogisme statistikal bergerak dari generalisasi mengenai suatu

kelompok ke kesimpulan yang lebih spesifik mengenai satu anggota kelompok itu atau lebih.

Bentuk standar silogisme statistikal ialah yang berikut:

N persen dari M adalah P.

Semua S adalah M.

(Kira-kira) N persen dari S adalah P.

Argumen jenis ini dapat atau tidak dapat diterima, tergantung pada seberapa tepat

generalisasi statistikalnya dinyatakan. Mari kita perhatikan contoh Hampir semua M adalah

P atau Kebanyakan M adalah P. Jelas bahwa silogisme statistikal yang menggunakan

generalisasi yang samar-samar seperti ini tidak layak diyakini sepenuhnya.

Apakah suatu argumen dapat diterima atau tidak juga tergantung pada apa yang kita

ketahui mengenai anggota S dan sejauh mana anggota S itu representatif terhadap M. Jika

situasi anggota S itu tidak sama, maka penerapan generalisasi itu pada percontoh S patut

dipertanyakan. Bila S sangat kecil jika dibandingkan dengan M, atau S adalah individu

tunggal, maka dapat atau tidak dapat diterimanya argumen tergantung pada ukuran N selain

pada ketepatan premis statistiknya. Misalnya, jika hanya 55% siswa di suatu kelas adalah

murid baru, maka kesimpulan kita bahwa seorang siswa tertentu di kelas itu adalah murid

baru dapat dikatakan lemah. Jika N sama dengan 100%, argumen jenis ini menjadi silogisme

kategorial, dan kesimpulannya menjadi deduktif.

Contoh-contoh berikut akan memperjelas uraian di atas:

Sembilan dari 10 orang Indian di Amerika Serikat tinggal di daerah reservasi. Jadi,

kemungkinannya sangat besar bahwa sekitar 90% suku Sioux tinggal di daerah

reservasi.

90% dari orang Indian di Amerika Serikat tinggal di daerah reservasi.

Suku Sioux adalah orang Indian. (implisit) Kira-kira 90% suku Sioux tinggal di daerah reservasi.

Karena hampir semua politisi di Washington dapat mengeja kata kentang dan karena

Wakil Presiden adalah seorang politisi di Washington, maka kemungkinannya

sangat besar bahwa dia dapat mengeja kata itu.

Hampir semua politisi di Washington dapat mengeja kata kentang.

Wakil Presiden adalah seorang politisi di Washington. Wakil Presiden dapat mengeja kata kentang.

Page 52: BAB III Dasar-Dasar Logika

67

Pada pandangan pertama, kedua argumen itu tampak cukup kuat. Dalam argumen (1),

generalisasi bahwa 90% orang Indian tinggal di daerah reservasi dihubungkan dengan suku

Sioux, suatu sub-kelompok dari kelompok orang Indian. Namun, kesimpulan ini masih goyah

sebelum kita yakin bahwa tidak ada perbedaan yang relevan antara suku Sioux dengan

populasi orang Indian secara keseluruhan. Walaupun kita berasumsi bahwa statistik 90%

didapatkan dari sampel yang representatif, tetap ada masalah dalam menerapkan persentase

ini pada suku Sioux. Statistik dalam premis itu mungkin didapatkan dari hasil sensus: berapa

rasio jumlah orang Indian yang tinggal di daerah reservasi terhadap perkiraan jumlah

populasi orang Indian keseluruhan. Jika memang demikian, berarti data ini mengabaikan

kenyataan bahwa suku-suku Indian sangat berbeda dalam adat dan kebiasaan hidup. Ada

kemungkinan lain juga, yakni misalnya, suku Sioux tidak wajib tinggal di reservasi khusus

sehingga banyak yang tinggal di tempat lain.

Argumen (2) tampak sangat kuat. Memang ada masalah kecil, yaitu ketidakspesifikan

premis pertama, namun argumen ini masih dapat diterima karena sangat kecil

kemungkinannya ada penelitian mengenai kemampuan mengeja para politisi. Argumen ini

menggunakan akal sehat—yaitu bahwa hampir semua politisi atau orang dewasa yang

berpendidikan dapat mengeja kata yang sederhana seperti kentang. Jadi, kita dapat

mengganggap pernyataan hampir semua politisi di Washington berarti tidak kurang dari 90%,

sehingga kesimpulan mengenai Wakil Presiden termasuk sangat kuat (kecuali ada alasan

untuk meyakini bahwa Wakil Presiden mempunyai masalah khusus dalam hal mengeja).

Dua contoh berikut menyajikan masalah yang menarik, yang tampaknya lebih mirip

prediksi daripada silogisme statistikal.

Karena 9 dari 10 kartu yang tersisa di tumpukan itu bergambar hati, kartu berikutnya

yang diambil pasti bergambar hati.

90% dari 10 kartu yang tersisa di tumpukan itu bergambar hati.

Kartu berikutnya yang diambil merupakan salah satu dari 10 kartu

yang tersisa di tumpukan itu. (implisit) Kartu berikutnya yang diambil bergambar hati.

Setiap pengacara yang pernah kita temui bersifat agresif. Karena orang yang akan kita

temui adalah pengacara, kemungkinan besar dia juga agresif.

100% pengacara yang pernah kita temui bersifat agresif.

Orang yang akan kita temui adalah pengacara. Orang yang akan kita temui bersifat agresif.

Page 53: BAB III Dasar-Dasar Logika

68

Argumen (3) tampaknya memprediksi kejadian di masa depan dan bukannya mengambil

kesimpulan mengenai anggota suatu kelompok berdasarkan generalisasi mengenai kelompok

itu secara keseluruhan. Namun, kartu berikutnya yang diambil dari tumpukan merupakan

anggota tumpukan yang sudah mempunyai karakteristik yang relevan (yakni, bergambar hati)

sejak sebelum kartu itu diambil. Jadi, kita dapat mengabaikan aspek prediktif dari kesimpulan

itu. Argumen (3) merupakan argumen silogisme statistikal yang sangat kuat. Jika kita tahu

bahwa tumpukan itu tidak diatur dan kocokannya jujur, maka tidak ada masalah atau pun

informasi yang dapat memperlemah argumen itu. Kemungkinannya 9 berbanding 1 bahwa

kesimpulannya benar.

Contoh (4) bukanlah silogisme statistik, walaupun tampak mirip contoh (3). Orang

yang akan kita temui yang tercantum dalam premis dan kesimpulan bukanlah anggota dari

kelompok pengacara yang pernah kita temui yang tercantum dalam generalisasi. Jadi,

argumen ini bukanlah contoh langsung dari spesifikasi statistikal. Argumen ini tampaknya

merupakan prediksi mengenai seorang pengacara yang belum ditemui berdasarkan sampel

pengacara yang pernah ditemui.

Satu bentuk rekonstruksi dari contoh (4) mungkin ialah argumen dua langkah yang

terdiri dari generalisasi induktif yang diikuti oleh silogisme statistikal:

100% dari sampel pengacara yang diobservasi bersifat agresif.

Sampel yang diobservasi cukup besar dan representatif terhadap

semua pengacara. (implisit) Kira-kira 100% pengacara bersifat agresif.

Orang yang akan kita temui adalah pengacara. Orang yang akan kita temui bersifat agresif.

Di sini kita juga menghilangkan aspek prediktif dari silogisme statistikalnya. Jelas bahwa

dapat atau tidak dapat diterimanya argumen ini tergantung pada kebenaran premis implisitnya

dan pada hal lain yang kita ketahui mengenai orang yang akan kita temui.

Masalah yang timbul adalah kita tidak dapat yakin apakah rekonstruksi di atas

memang merupakan apa yang dimaksud si pembicara. Ada kekemungkinan lain, yaitu si

pembicara tidak memaksudkan observasinya mengenai pengacara yang pernah mereka temui

sebagai generalisasi mengenai semua pengacara, melainkan hanya mengenai pengacara yang

mereka temui. Jadi, rekonstruksinya mungkin seperti ini.

100% pengacara yang pernah kita temui bersifat agresif.

Page 54: BAB III Dasar-Dasar Logika

69

Sampel yang kita observasi cukup besar dan representatif terhadap semua

pengacara yang kita temui (atau akan kita temui). Kira-kira 100% pengacara yang (akan) kita temui bersifat agresif.

Orang yang akan kita temui adalah pengacara yang (akan) kita temui. Orang yang akan kita temui bersifat agresif.

Rekonstruksi ini—tampaknya merupakan rekonstruksi yang aneh dan rumit—dari

argumen (4). Pertama, mengapa pembicara membatasi kesimpulannya hanya pada pengacara

yang pernah atau yang akan dia temui. Mungkin sejauh itu dia baru bertemu dengan

pengacara pengadilan New York saja dan semuanya cenderung agresif. Namun jika

demikian, argumen ini gugur dan kita masih membutuhkan informasi lebih jauh mengenai

orang yang akan mereka temui untuk menentukan apakah dia adalah seorang pengacara

pengadilan New York.

Kedua, keanehan rekonstruksi yang kedua ini menunjukkan bahwa mungkin argumen

(4) memang merupakan prediksi yang mencoba memprediksi kejadian di masa depan

berdasarkan bukti observasi di masa lalu. Prediksi ini menyangkut seorang pengacara yang

belum diobservasi, yang bukan merupakan anggota kelompok yang sudah diobservasi. Jika

memang demikian, maka pernyataan ini bukanlah argumen dua langkah yang terdiri dari

generalisasi induktif dan silogisme statistikal, melainkan sebuah prediksi.

7.1.3 Induksi Eliminatif atau Diagnostik

Argumen induktif eliminatif atau diagnostik mempunyai premis-premis yang

menggambarkan suatu konfigurasi fakta atau data yang berbeda-beda, yang merupakan bukti

dari kesimpulannya. Kesimpulan ini didukung oleh bukti-bukti diagnostik yang ada, yang

menghapus adanya kemungkinan kesimpulan lain sebagai penjelasan terbaik atas bukti-bukti

itu. Induksi jenis ini menghasilkan kesimpulan yang merupakan penjelasan terbaik, tetapi

tidak statistikal.

Dengan induksi enumeratif kita menyimpulkan bahwa semua burung gagak berwarna

hitam berdasarkan observasi bahwa gagak ini hitam, gagak itu hitam, begitu juga gagak-

gagak lain, dan seterusnya. Dalam argumen eliminatif atau diagnostik, datanya tidak berupa

repetisi dari jenis observasi yang sama. Umpamanya kita mendengar suara orang berteriak-

teriak marah, barang-barang pecah, dan pintu dibanting di apartemen sebelah. Kita

menyimpulkan bahwa tetangga kita sedang bertengkar. Kita memutuskan bahwa ini adalah

penjelasan yang paling mungkin dari apa yang kita dengar, karena kita tahu bahwa mereka

Page 55: BAB III Dasar-Dasar Logika

70

bukan aktor yang sedang berlatih akting, dan juga tidak mempunyai sound system yang

sangat baik yang mungkin menipu kita.

Bukti-bukti dalam argumen induktif mana pun tidak pernah menjamin

kesimpulannya. Premis-premis dari argumen induktif dapat mendukung beberapa kesimpulan

yang berbeda dan bertentangan. Kesimpulan-kesimpulan itu disebut kesimpulan rival atau

hipotesis rival. Dalam induksi diagnostik, orang yang mengajukan argumen meneliti bukti-

bukti untuk membuat kesimpulan berupa hipotesis yang paling mungkin menjelaskan bukti-

bukti itu. Argumen diagnostik yang kuat harus mempunyai cukup bukti untuk menghapuskan

semua kecuali satu hipotesis rival. Hipotesis yang tersisa itu merupakan kesimpulan yang

paling mungkin.

Tidak seperti pada penyimpulan deduktif, kemampuan membuat kesimpulan induktif

yang merupakan penjelasan terbaik biasanya tergantung pada keahlian dan pengetahuan si

pembicara mengenai topik yang dibahas, dan bukan pada pengetahuan mengenai bahasa dan

aturan pengambilan kesimpulan. Contoh kasus yang merupakan paradigma dari induksi

diagnostik adalah diagnosis dokter mengenai penyakit pasien dari konfigurasi gejala, hasil

pemeriksaan laboratorium, dan bukti-bukti lain. Penalaran diagnostik atau eliminatif

barangkali merupakan jenis penalaran induktif sehari-hari yang paling umum. Walaupun

biasanya tidak dilakukan seteliti dokter, induksi jenis ini merupakan dasar dari pengetahuan

sehari-hari kita mengenai dunia di sekitar kita. Perhatikanlah contoh berikut.

1. Jimmy demam, dia kelihatan lemah, dan ada bintik-bintik kecil berwarna merah di

wajahnya. Karena dia belum pernah kena cacar air sebelumnya, kemungkinan dia

kena cacar air sekarang. Jimmy demam.

Dia kelihatan lemah. Bukti

Ada bintik-bintik kecil berwarna merah di wajahnya.

Dia belum pernah kena cacar air. Kondisi pembatas

Orang dengan gejala seperti itu, yang belum pernah Hipotesis bantuan

kena cacar air sebelumnya, barangkali kena cacar air. (implisit)

Jimmy kena cacar air.

2. Kita yakin bahwa akan ada serangan musuh di sektor selatan karena ada

pengumpulan pasukan di sektor itu dan komandan mereka ada di situ. Terlebih lagi,

mengingat keadaan pasukan mereka, kesempatan terbaik mereka untuk menang

adalah dengan menyerang sektor selatan sekarang. Ini adalah kesempatan yang

kemungkinannya kecil untuk mereka lewatkan. Ada pengumpulan pasukan di sektor selatan.

Komandan mereka ada di sektor itu. Bukti

Page 56: BAB III Dasar-Dasar Logika

71

Mengingat keadaan pasukan mereka, kesempatan

terbaik mereka untuk menang adalah dengan menyerang

sektor selatan sekarang. Hipotesis

Kecil kemungkinannya musuh melewatkan kesempatan untuk bantuan

menang. Akan ada serangan musuh di sektor selatan.

3. Jethro menunjukkan ekspresi tidak enak di wajahnya, dan wajahnya memerah.

Mereka mengatakan dia sering malu bila berada dekat perempuan yang tidak

dikenalnya. Karena dia sedang berbicara dengan Harriet dan dia tidak mengenal

Harriet, kita dapat menyimpulkan bahwa dia mungkin sedang malu. Hal itu juga

dapat menjelaskan mengapa dia terus mencari pintu keluar.

Jethro menunjukkan ekspresi tidak enak di wajahnya.

Wajahnya memerah. Bukti

Dia terus mencari pintu keluar.

Jethro sedang berbicara dengan Harriet. Kondisi pembatas

Harriet adalah perempuan yang tidak dikenal Jethro.

Dia sering malu bila berada di dekat perempuan yang Hipotesis bantuan

tidak dikenalnya. Jethro malu.

Contoh-contoh itu mengandung unsur-unsur yang merupakan ciri khas dari argumen

diagnostik, yaitu premis-premis yang mengungkapkan bukti, kondisi pembatas, dan hipotesis

bantuan.

a. Bukti

Bukti dalam suatu argumen diagnostik adalah informasi dalam premis yang harus dapat

dijelaskan oleh kesimpulan dari argumen tersebut. Bukti disebut juga data diagnostik.

Informasi lain dalam premis dapat dibedakan dari bukti; informasi itu tidak harus dapat

dijelaskan oleh kesimpulan.

Pada contoh (1), bukti atau data diagnostiknya adalah “Jimmy demam, tampak lemah,

dan ada bintik-bintik kecil warna merah di wajahnya”. Kesimpulan apa pun yang diambil dari

bukti ini harus dapat menjelaskannya. Jadi, hipotesis bahwa “Jimmy kena cacar air”

menjelaskan mengapa dia demam, tampak lemah, dan ada bintik-bintik di wajahnya. Jika

hipotesis itu tidak dapat menjelaskan bukti yang ada, maka kita tidak dapat mengambil

kesimpulan bahwa dia kena cacar air berdasarkan bukti ini. Tetapi kesimpulan ini tidak perlu

menjelaskan semua informasi dalam premis. Misalnya, kesimpulan tidak perlu menjelaskan

Page 57: BAB III Dasar-Dasar Logika

72

mengapa Jimmy belum pernah kena cacar air sebelumnya. Itu bukan bagian dari data

diagnostik.

Pada contoh (2), kesimpulan bahwa musuh akan menyerang di sektor selatan dapat

menjelaskan mengapa ada pengumpulan pasukan di sana dan mengapa komandan mereka ada

di sana. Informasi itu adalah bukti. Namun kesimpulan tidak dapat digunakan untuk

menjelaskan mengapa saat itu adalah kesempatan terbaik mereka untuk menang dan mengapa

mereka tidak akan melewatkan kesempatan itu. Premis-premis yang disebut terakhir ini

membantu mengeliminasi hipotesis rival, namun tidak termasuk bukti.

Informasi dalam premis, di samping data diagnostik, dapat berfungsi mengeliminasi

hipotesis rival. Informasi seperti ini dapat menjelaskan kondisi atau konteks tempat bukti

dipahami sebagai bukti dari kesimpulan. Ini disebut kondisi pembatas.

Bukti untuk pengambilan kesimpulan induktif bukan berupa informasi yang sudah

diberi label, atau terisolasi, sehingga kita tinggal menggunakannya, melainkan informasi

yang sangat banyak yang harus dipilih sebagai data yang kita yakini relevan untuk

mendukung kesimpulan kita. Jadi, data yang terpilih menjadi bukti bagi kesimpulan dalam

konteks yang kita batasi. Konteks ini hampir selalu mengandung informasi faktual yang

bukan merupakan bagian dari data diagnostik.

b. Kondisi Pembatas

Kondisi pembatas dalam suatu argumen induktif diagnostik terdiri dari premis-premis faktual

tambahan yang membatasi konteks argumen dan digunakan untuk menunjukkan bagaimana

bukti mengarah ke kesimpulan. Kondisi pembatas secara logis berbeda dari bukti karena

tidak harus dijelaskan oleh kesimpulan. Kondisi pembatas adalah keadaan faktual yang

membantu menunjukkan mengapa kesimpulan itu adalah penjelasan yang paling mungkin

dari bukti dan bukannya kesimpulan rival.

Beda contoh (1), misalnya, pembicara menyatakan fakta bahwa Jimmy belum pernah

kena cacar air sebelumnya dalam menyimpulkan bahwa Jimmy kena cacar air. Fakta ini

bukan bukti menurut definisi kita. Namun, fakta ini mendukung kesimpulan karena

mengeliminasi kemungkinan bahwa Jimmy sudah mempunyai kekebalan terhadap cacar

air—kemungkinan yang akan menggugurkan kesimpulan bahwa Jimmy sekarang kena cacar

air. Informasi lain yang diketahui dapat juga berfungsi sebagai fakta yang membantu

menunjuk ke arah cacar air sebagai penjelasan yang paling mungkin dari bukti. Misalnya,

jika Jimmy baru-baru ini bertemu dengan anak-anak yang sedang menderita cacar air, maka

fakta ini adalah kondisi pembatas yang penting. Dengan hipotesis pembantu bahwa cacar air

Page 58: BAB III Dasar-Dasar Logika

73

menular, fakta ini dapat membantu menunjukkan mengapa cacar air merupakan penjelasan

terbaik atas bukti yang ada.

Pembicara pada contoh (3) memilih fakta bahwa Jethro sedang berbicara dengan

Harriet sebagai informasi yang relevan dengan kesimpulannya bahwa Jethro sedang malu.

Fakta ini bukan bukti atau data diagnostik untuk kesimpulan itu karena kesimpulan bahwa

Jethro malu tidak menjelaskan mengapa dia berbicara dengan Harriet. Namun fakta ini

menerangkan keadaan Jethro. Begitu pula, fakta bahwa Jethro tidak mengenal Harriet tidak

dapat dijelaskan oleh kesimpulan. Fakta-fakta ini adalah kondisi pembatas, yang dengan

bantuan hipotesis pembantu turut menunjukkan mengapa “malu” adalah penjelasan yang

paling mungkin dari bukti-bukti yang ada. Singkatnya, kondisi pembatas menggambarkan

keadaan faktual atau konteks di mana bukti dapat mendukung kesimpulan.

Bukti dan kondisi pembatas adalah fakta atau pernyataan yang dianggap benar oleh

pembicara dalam mengambil kesimpulan. Kedua hal ini tidak termasuk hipotesis karena

dianggap tentatif atau teoretis, tetapi dianggap sebagai fakta dan benar.

c. Hipotesis Bantuan

Hipotesis bantuan dalam suatu argumen adalah hipotesis yang membantu menunjukkan

bagaimana bukti, dalam kondisi pembatas, dapat diyakini mengarah pada kesimpulan. Dalam

argumen diagnostik, hipotesis pembantu juga dapat membantu menunjukkan bagaimana

kesimpulan, dalam kondisi pembatas, merupakan penjelasan yang paling mungkin dari bukti

yang ada. Hipotesis pembantu dapat berupa generalisasi, hukum alam, atau pernyataan

tentatif yang digunakan pembicara untuk menarik kesimpulan berupa penjelasan terbaik.

Hipotesis pembantu mungkin mengandung pernyataan spekulatif atau interpretatif yang

menunjukkan mengapa si pembicara yakin kesimpulannya mungkin benar, dan mengapa

kesimpulan rival mungkin tidak benar.

Pada contoh (2), misalnya, kedua hipotesis pembantu tidak dianggap sebagai fakta.

Keduanya tidak termasuk bukti maupun kondisi pembatas. Hipotesis pertama, yang

didasarkan pada bukti dan keahlian pembicara, berspekulasi bahwa kesempatan terbaik bagi

musuh untuk menang adalah dengan menyerang sektor selatan. Hipotesis kedua berspekulasi

mengenai motivasi musuh untuk menang dengan menyatakan bahwa kemungkinannya kecil

mereka akan melewatkan kesempatan terbaik mereka untuk menang. Hipotesis ini membantu

mengikat bukti pada kesimpulan bahwa musuh akan menyerang sektor selatan, dan juga

membantu membatalkan kemungkinan kesimpulan lain. Jadi, misalnya, jika menyerang

sektor selatan merupakan kesempatan terbaik mereka untuk menang, kemungkinannya kecil

Page 59: BAB III Dasar-Dasar Logika

74

bahwa mereka mengumpulkan pasukan di sektor itu untuk menyamarkan serangan di sektor

lain.

Pada contoh (1), pembicara menganggap bukti dan kondisi pembatasnya sebagai

sesuatu yang benar, dan dia tidak mengemukakan hipotesis pembantu. Dari sudut

pandangnya, fakta-fakta yang mendukung kesimpulannya bahwa Jimmy kena cacar air sudah

jelas dan tidak ada masalah. Kita menambahkan pernyataan implisit bahwa orang yang

berada dalam kondisi seperti Jimmy mungkin sedang menderita cacar air. Pernyataan implisit

ini merupakan generalisasi yang membantu menunjukkan mengapa bukti itu dapat diyakini

mengarah ke kesimpulan.

Argumen induktif sehari-hari tidak berupa unsur-unsur yang diberi label seperti contoh

di atas. Argumen ini biasanya dinyatakan secara tidak lengkap, lebih tidak lengkap daripada

argumen deduktif. Dalam penalaran induktif, di mana ketidakpastian sering kali dominan,

kesimpulan sering kali tergantung pada pengambilan kesimpulan tanpa menyebutkan banyak

detil-detil. Keahlian dan pengalaman pembicara, intuisi, aturan umum, dan spekulasi sering

kali berperan dalam pengambilan kesimpulan. Ini membuat rekonstruksi argumen menjadi

sulit.

Namun, biasanya, kita dapat mengkategorikan premis-premis dalam kebanyakan

argumen induktif ke dalam tiga tipe di atas, yakni bukti, kondisi pembatas, dan hipotesis

pembantu. Dalam mengemukakan argumen diagnostik atau eliminatif, bukti adalah apa yang

dianggap benar oleh pembicara. Dia harus menyatakan bukti ini secara eksplisit; tidak

mungkin ada bukti yang implisit.

Sebaliknya, kondisi pembatas dan hipotesis pembantu sering kali tidak dinyatakan dan

dibiarkan implisit. Dalam kasus seperti itu, kita harus menggunakan pengetahuan kita

mengenai topik argumen, imajinasi kita dalam memikirkan kesimpulan-kesimpulan rival

yang mungkin, dan logika kita dalam memutuskan kondisi pembatas dan hipotesis pembantu

apa saja yang diperlukan pembicara untuk membuat kesimpulan induktif yang dapat diterima.

Singkatnya, kita perlu tahu banyak mengenai topik argumen atau tahu banyak pengetahuan

umum jika kita ingin menjadi evaluator penalaran induktif yang efektif.

Latihan 7.1 (Hipotesis Induktif dan Ketidakpastian)

Perhatikan informasi yang diberikan dalam masing-masing soal berikut. Rumuskanlah suatu

hipotesis yang dapat ditarik dari informasi yang ada. Kemudian, susunlah argumen untuk

hipotesis itu dalam pola standar. Selanjutnya, sebutkan informasi lain apakah yang harus

Page 60: BAB III Dasar-Dasar Logika

75

Anda cari untuk mengkonfirmasi hipotesis Anda. Akhirnya, bayangkan dan tuliskan

informasi yang akan membuat Anda mempertayakan atau menolak hipotesis yang telah Anda

buat.

Contoh: Sepuluh saksi mata menyatakan bahwa mereka melihat Andi berlari dari kamar

tempat Jono ditembak dan dia memegang pistol di tangannya. Kesepuluh saksi mata

mendengar Andi berteriak bahwa dia senang Jono sudah mati.

Jawaban:

Sepuluh saksi mata menyatakan bahwa mereka melihat Andi

berlari dari kamar tempat Jono ditembak.

Kesepuluh saksi mata menyatakan bahwa dia memegang pistol

di tangannya.

Kesepuluh saksi mata mendengar Andi berteriak bahwa dia

senang Jono sudah mati. Andi menembak dan membunuh Jono.

1) Informasi yang mengkonfirmasi: Pistol yang dipegang Andi memang merupakan pistol

yang digunakan untuk membunuh Jono. Perhatikan informasi tambahan yang berikut.

Laporan forensik mengenai waktu Jono meninggal bersamaan dengan waktu Andi dilihat

lari dari kamar itu. Andi mempunyai motif membunuh Jono. Tidak ada orang lain yang

terlihat meninggalkan tempat kejadian.

2) Informasi yang mendiskonfirmasi: Laporan polisi menunjukkan bahwa Jono ditembak

dengan pistol yang berbeda dari yang dipegang Andi. Kesepuluh saksi mata adalah

anggota suatu geng yang bermusuhan dengan Andi dan telah bersumpah untuk

mencelakainya.

Soal pertanyaan:

1. Dua puluh orang yang makan di Rumah Makan Joe pada hari Kamis malam sakit parah

dan harus dirawat di rumah sakit. Kedua puluh orang itu makan kerang mentah.

2. Enam jawaban dari sepuluh soal di lembar ujian John dan Tammy sama persis.

Page 61: BAB III Dasar-Dasar Logika

76

3. Nilai ulangan Jimmy di sekolah sangat jelek. Dia sering bersikap cemas dan terlalu

bersemangat. Dia sering bersama Mark, seorang siswa yang tahun lalu diskors dari

sekolah karena ketahuan menggunakan obat-obatan terlarang.

Latihan 7.2 (Induksi Enumeratif)

Jawablah soal-soal berikut. Buatlah struktur induksinya jelas dan usahakan semirip mungkin

dengan bentuk generalisasi induktif yang sudah dijelaskan dalam uraian di atas. Kemudian

diskusikanlah sejauh mana kesimpulannya didukung oleh bukti-bukti yang ada. Dalam

berdiskusi, jangan lupa membahas masalah-masalah apa saja—seperti relevansi, cukup atau

tidaknya data, dan apakah data representatif atau tidak—yang ada sehingga Anda sulit

menerima kesimpulan itu berdasarkan bukti-bukti yang ada. Jika mungkin, buatlah

kesimpulan yang lebih lemah yang lebih sesuai dengan data yang ada.

1. Hanya dua puluh persen dari 1000 orang California yang dipilih secara acak mengatakan

bahwa mereka percaya presiden telah berusaha mencoba merangsang pertumbuhan

ekonomi. Berdasarkan itu, kita menyimpulkan bahwa pemeringkat (rating) positif

terhadap presiden di bidang ekonomi turun hingga di bawah 25%.

2. Memang benar apa yang mereka dikatakan tentang pengendara sepeda motor. Mereka

adalah orang yang paling antisosial dan sopan santunnya sangat buruk serta cenderung

melakukan tindak kekerasan. Kami pergi ke pertemuan kelompok Bay Area Marauders,

suatu kelompok sepeda motor Hell Angel yang berpusat di San Fransisco. Dari dua puluh

orang yang kami wawancarai, lima orang mengaku pernah masuk penjara. Sepuluh orang

menjawab secara kasar dan menyuruh kami pergi sebelum mendapat masalah. Empat

orang terakhir menolak menjawab pertanyaan dan memaksa kami keluar dari tempat itu.

Latihan 7.3 (Silogisme Statistikal)

Jika mungkin, buatlah rekonstruksi dari argumen dalam soal-soal berikut ini sehingga

menjadi silogisme statistikal. Jika argumen itu tidak dapat direkonstruksi menjadi bentuk

silogisme statistikal, jelaskan mengapa demikian. Akhirnya, diskusikanlah secara kritis

mengapa Anda menerima atau menolak argumen itu dan diskusikan juga alasannya.

1. Kebanyakan orang yang tinggal di Bell Air kaya raya. Jadi, keluarga yang tinggal di

sebelah rumah keluarga Reagan kemungkinan besar kaya raya.

Page 62: BAB III Dasar-Dasar Logika

77

2. Begini, Joe. Orang tua mencintai anak-anaknya. Jadi, walaupun tampaknya orang tuamu

bertingkah laku seolah-olah tidak mencintaimu, ingatlah bahwa mereka mencintaimu.

3. Setiap kali kita pergi ke rumah keluarga Quigley, mereka pasti sedang bertengkar.

Mungkin mereka juga akan bertengkar hari Minggu besok ketika kita ke sana. Barangkali

sebaiknya kita tidak usah ke sana.

Latihan 7.4 (Induksi Diagnostik)

Gambarkanlah struktur argumen-argumen induktif dalam soal-soal berikut. Dalam gambaran

Anda itu, tunjukkan premis mana yang berisi bukti, kondisi pembatas, dan hipotesis

pembantu. Jika Anda mengalami kesulitan dalam menentukan kategori yang tepat untuk salah

satu premis, jelaskan mengapa. Selanjutnya, sebutkan satu asumsi implisit yang menurut

Anda dapat memperkuat argumen itu, dan tentukan apakah asumsi itu berfungsi sebagai

kondisi pembatas atau hipotesis pembantu jika diikutsertakan dalam argumen. Akhirnya,

diskusikan secara singkat mengapa Anda menerima atau menolak argumen itu.

1. Wajah Jimmy berbintik-bintik merah. Tony, anak tetangga, sedang menderita cacar air.

Mungkin Jimmy juga menderita penyakit itu. Cacar air, ‘kan, menular?

2. Kami tahu bahwa pasien itu merasa mual, muntah-muntah, dan rambutnya rontok selama

tiga minggu sebelum dirawat di rumah sakit. Di beberapa bagian tubuhnya ada luka-luka

menganga. Kami juga tahu bahwa dia bekerja di suatu reaktor nuklir selama setahun

terakhir. Bukti ini mengarah kepada kesimpulan bahwa dia menderita keracunan radiasi.

Tentu saja, kami masih harus melakukan beberapa tes.

8. Sesat Pikir

8.1. Pengertian Sesat Pikir (Fallacies)

Sesat pikir menurut logika tradisional adalah kekeliruan dalam penalaran berupa

penarikan kesimpulan-kesimpulan dengan langkah-langkah yang tidak sah, yang disebabkan

oleh dilanggarnya kaidah-kaidah logika. Menurut Copi, sesat pikir adalah perbincangan yang

mungkin terasa betul, tetapi yang setelah diuji terbukti tidak betul. Perhatikanlah contoh

berikut.

(1) Kalau hujan turun, maka tanah basah.

Tanah basah.

Jadi hujan turun.

(2) Kalau manusia mati tak bernafas.

Page 63: BAB III Dasar-Dasar Logika

78

Susi, seorang manusia, tak bernafas

Jadi Susi mati.

Argumentasi di atas salah karena dalam kedua argumentasi itu, “hujan” dan ”tak

bernafas” masing-masing adalah kondisi yang mencukupi (sufficient condition), bukan

kondisi niscaya (necessary condition); dengan kata lain, hubungannya asimetris. Hujan

memang menyebabkan tanah basah, tetapi tanah basah belum tentu karena hujan. Mati sudah

tentu tak bernafas, tetapi tak bernafas belum tentu mati.

Sebetulnya tidak ada penggolongan sesat pikir yang sempurna, tetapi penggolongan

dari Copi (1986) dapat digunakan sebagai pegangan untuk mengenali sesat pikir.

8.2. Sesat Pikir Formal

A. Dalam Deduksi

Dalam deduksi, penalaran ditentukan oleh bentuknya. Jika sebuah penalaran bentuknya tidak

sesuai dengan bentuk deduksi yang baku, maka penalaran itu tidak sahih dan tergolong sesat

pikir.

1. Empat Term (Four Terms)

Seperti namanya, sesat pikir jenis empat term terjadi jika ada empat term yang diikutsertakan

dalam silogisme padahal silogisme yang sahih hanya mempunyai tiga term. Contoh berikut

ini mengandung kesalahan empat term.

Rumah mempunyai halaman.

Buku mempunyai halaman.

Jadi: Buku adalah rumah.

Kesalahan terletak pada kata halaman yang mempunyai makna ganda sehingga ada tambahan

term. Halaman rumah dan halaman buku berbeda maknanya karena merujuk kepada dua ide

yang berbeda. Jadi, terdapat empat term dalam silogisme di atas, yang seharusnya hanya tiga.

2. Term tengah yang tidak terdistribusikan (undistributed middle terms)

Pengertian dari term tengah yang tidak terdistribusikan adalah silogisme kategoris yang term

tengahnya tidak memadai menghubungkan term mayor dan term minor, misalnya

Kucing makan daging.

Anto makan daging.

Jadi: Anto adalah kucing.

Page 64: BAB III Dasar-Dasar Logika

79

3. Proses Ilisit (Illicit process)

Proses ilisit adalah perubahan tidak sahih dari term mayor atau term minor seperti pada

contoh berikut.

Banyak orang Indonesia pemalas.

Pemalas tidak bisa maju.

Jadi: Orang Indonesia tidak bisa maju.

Kesalahan silogisme ini terletak pada peralihan dari banyak orang Indonesia yang merujuk

kepada sebagian orang Indonesia (partikular) ke orang Indonesia yang merujuk kepada

semua orang Indonesia (universal).

4. Premis-premis afirmatif tetapi kesimpulannya negatif

Sesat pikir ini terjadi jika dalam premis digunakan proposisi afirmatif (pernyataan yang

menyatakan sesuatu secara positif) tetapi dalam kesimpulan digunakan proposisi negatif

(pernyataan yang menegasi sesuatu). Perhatikanlah contoh berikut.

Semua orang Indonesia adalah manusia.

Sebagian orang Indonesia adalah ahli logika.

Jadi: Sebagian orang Indonesia bukan ahli logika.

Meskipun diketahui bahwa sebagian orang Indonesia adalah ahli logika, tidak ada informasi

yang menyebutkan sebagian lagi bukan ahli logika. Kesimpulan “Sebagian orang Indonesia

bukan ahli logika” tidak dapat diturun dari dua premis dalam silogisme ini. Kesimpulan yang

dapat dibuat adalah “Sebagian ahli logika adalah manusia”. Dalam deduksi, yang dijadikan

dasar penilaian sahih atau tidaknya argumen adalah bentuknya. Bentuk yang benar harus

benar untuk semua argumen, apa pun isi materialnya. Memang dalam silogisme di atas

terkesan argumennya tetapi jika kita gunakan untuk silogisme berikut, maka dapat diketahui

bahwa bentuk itu tidak sahih.

Semua orang Indonesia adalah manusia.

Sebagian orang Indonesia bernafas.

Jadi: Sebagian orang Indonesia tidak bernafas.

5. Premis negatif dan kesimpulan afirmatif

Sesat pikir ini terjadi jika dalam premis digunakan proposisi negatif tetapi dalam kesimpulan

digunakan proposisi afirmatif, misalnya

Tiada hewan yang berkaki tiga.

Semua hewan peka terhadap rangsang.

Page 65: BAB III Dasar-Dasar Logika

80

Jadi: Semua yang peka terhadap rangsang berkaki tiga.

6. Dua premis negatif

Sesat pikir dua premis negatif terjadi jika dalam silogisme kedua premis yang digunakan

adalah proposisi negatif. Perhatikanlah contoh-contoh berikut.

(1) Tiada hewan yang berkaki tiga.

Tiada hewan dapat membuat alat.

Jadi: Semua yang dapat membuat alat bukan hewan. Meskipun terkesan benar, silogisme ini tidak sahih karena tidak ada kesimpulan yang dapat

diturunkan dari dua proposisi negatif. Kesimpulan dalam silogisme ini tidak memberi

tambahan pengetahuan baru. Berikut ini dua contoh lain sesat pikir berbentuk dua premis

negatif.

(2) Tiada hewan yang berpikir.

Semua hewan tidak dapat membuat alat.

Jadi: Semua yang dapat membuat alat berpikir.

(3) Tiada buku Jono yang mudah dibaca.

Tiada buku yang mudah dibaca bermutu.

Jadi: Semua buku Jono bermutu.

7. Mengafirmasi konsekuensi

Sesat pikir mengafirmasi konsekuensi adalah pembuatan kesimpulan yang diturunkan dari

pernyataan yang hubungan antara anteseden dan konsekuensinya tidak niscaya tetapi

diperlakukan seolah-olah hubungan itu suatu keniscayaan. Perhatikan contoh berikut.

Kalau lampu menyala, perabot-perabot di rumah saya nampak.

Perabot-perabot di rumah saya nampak.

Jadi: Lampu menyala.

Bentuk penalaran ini salah sebab perabot-perabot rumah saya nampak bukan hanya karena

diterangi oleh cahaya lampu, melainkan dapat juga karena hal lain, misalnya diterangi oleh

sinar matahari. Jadi dapat saja terjadi perabot-perabot di rumah saya nampak tetapi lampu tak

menyala, misalnya pada siang hari.

8. Menolak anteseden

Sesat pikir menolak anteseden juga merupakan pembuatan kesimpulan yang diturunkan dari

pernyataan yang hubungan antara anteseden dan konsekuensinya tidak niscaya tetapi

diperlakukan seolah-olah hubungan itu suatu keniscayaan. Tetapi dalam bentuk ini yang

ditolak adalah antesedennya. Perhatikan contoh berikut.

Page 66: BAB III Dasar-Dasar Logika

81

Jika guru pandai maka murid pandai.

Murid tidak pandai.

Jadi: Guru tidak pandai.

Murid tidak pandai bisa saja karena tidak cerdas atau tidak pernah masuk kelas. Hubungan

antara guru pandai dan murid pandai berlaku dalam situasi dengan kondisi-kondisi tertentu.

Jika kondisi itu tidak dipenuhi maka hubungan itu tidak berlangsung. Jadi murid tidak pandai

belum tentu karena guru tidak pandai.

9. Mengiyakan suatu pilihan dalam suatu susunan argumentasi disjungsi subkontrer (atau)

Sesat pikir ini terjadi jika hubungan atau di antara dua hal diperlakukan sebagai

pengingkaran oleh hal yang satu terhadap hal yang lain. Atau belum tentu menunjukkan suatu

pengingkaran. Perhatikan contoh berikut.

Hari hujan atau panas.

Hari hujan.

Jadi: Hari tidak panas.

Hari hujan belum tentu tidak panas karena hari hujan dan panas tidak saling mengingkari.

10. Mengingkari suatu pilihan dalam suatu disjungsi yang kontrer (dan)

Bentuk sesat pikir ini terjadi jika dua hal yang dihubungkan dengan kata dan diperlakukan

seolah-olah nilai kebenaran (benar atau tidak benar) dari gabungan keduanya sama dengan

nilai kebenaran dari setiap hal yang digabungkan, atau nilai tidak benar dari gabungan dari

dua hal itu seolah-olah disebabkan oleh salah satunya. Perhatikan contoh berikut.

Nativisme dan empirisme tidak benar.

Nativisme benar.

Empirisme tidak benar.

Jika tidak digabungkan, baik nativisme maupun empirisme bisa saja sama-sama benar. Yang

membuat tidak benar adalah penggabungan keduanya.

8.3. Sesat Pikir Nonformal

1. Perbincangan dengan ancaman

Page 67: BAB III Dasar-Dasar Logika

82

Dalam sesat pikir ini kebenaran dari kesimpulan didasarkan kepada ancaman, misalnya “Saya

menerima penyataan bahwa bumi ini pusat dunia karena jika tidak maka nyawa saya

terancam”.

2. Salah guna (Abusive)

Sesat pikir salah guna adalah penyalahgunaan pertimbangan-pertimbangan yang secara logis

tidak relevan, misalnya

Parpol dan Golkar mendukung Orde Baru.

Golkar yang melahirkan Orde Baru.

Jadi: Golkar yang paling mendukung Orde Baru.

3. Argumentasi berdasarkan kepentingan (circumstantial)

Sesat pikir ini timbul sebagai akibat dari penarikan kesimpulan secara logis melainkan untuk

kepentingan pihak yang termaksud seperti pada contoh berikut.

Agar persatuan pemuda dapat dipertahankan, maka si X harus menjadi ketua

organisasi pemuda. Karena X sudah berumur 40 tahun, maka dalam anggaran

dasar organisasi pemuda itu, definisi pemuda ditetapkan sampai umur 45

tahun.

4. Argumentasi berdasarkan ketidaktahuan

Argumentasi berdasarkan ketidaktahuan adalah argumentasi yang menilai sesuatu—tindakan

atau pernyataan—benar berdasarkan ketidaktahuan, bukan berdasarkan isi dan bentuk

argumentasinya. Orang membenarkan sebuah keputusan, meskipun salah, hanya dengan

alasan ia tidak tahu. Lalu orang lain menerima dan tidak menyalahkan keputusan itu dengan

alasan bahwa orang yang membuat keputusan tidak tahu. Perhatikanlah contoh berikut.

Kami memilih Suyadi sebagai dekan meskipun ia belum memenuhi syarat

karena kami tidak tahu bahwa ia tak memenuhi syarat, jadi kami tak bisa

disalahkan.

5. Argumentasi berdasarkan belas kasihan

Argumentasi belas kasihan adalah argumentasi yang menilai benar atau salahnya sesuatu

berdasarkan belas kasihan, bukan berdasarkan isi dan bentuk argumennya. Orang

membenarkan sebuah keputusan, meskipun salah, hanya dengan alasan kasihan. Lalu orang

lain menerima dan tidak menyalahkan keputusan itu dengan alasan orang yang membuat

keputusan merasa belas kasihan. Perhatikanlah contoh berikut.

Page 68: BAB III Dasar-Dasar Logika

83

Andi memang salah dan menurut peraturan ia harus dihukum, tetapi kasihan

jika ia dihukum, hidupnya sudah susah, jadi kami tak dapat menyalahkannya

dan tak menghukumnya.

6. Argumentasi yang disangkutkan dengan orang banyak

Sesat pikir jenis ini adalah argumentasi yang menjadikan apa yang dipercaya oleh

kebanyakan orang sebagai dasar penentuan benar atau salahnya argumentasi. Orang

membenarkan sebuah keputusan dengan alasan semua orang berpendapat demikian.

Perhatikanlah contoh berikut.

Semua orang juga tahu Muhidin bersalah, oleh karena itu Muhidin pasti salah.

7. Argumentasi dengan kewibawaan ahli walaupun keahliannya tidak relevan

Sesat pikir jenis ini adalah argumentasi yang membenarkan kesimpulan berdasarkan

kewibawaan ahli walaupun keahliannya tidak relevan. Isi dan bentuk argumentasi tidak

dicermati dan tidak dijadikan dasar penentuan benar atau salahnya kesimpulan. Misalnya,

menerima kesimpulan tentang perilaku seseorang yang dinilai melanggar kejahatan karena

beberapa profesor sosiologi menyalahkan perilaku itu. Contoh berikut ini merupakan sesat

pikir jenis ini.

Internet berbahaya bagi generasi muda. Hal ini disampaikan oleh Prof. Herdin.

Apa yang dikatakan profesor benar karena dia ahli. Jadi internet memang

berbahaya bagi generasi muda.

8. Accident atau argumentasi berdasarkan ciri-ciri tak esensial

Sesat pikir accident adalah argumentasi yang menjadikan satu sifat yang berbeda atau yang

sama sebagai dasar untuk menyimpulkan bahwa dari dua hal semuanya sama atau semuanya

berbeda. Perhatikan contoh berikut.

Bangsa Indonesia tidak sama dengan bangsa Jepang. Jadi, semua orang Indonesia

tidak sama dengan semua orang Jepang.

9. Perumusan yang tergesa-gesa (converse accident)

Sesat pikir perumusan yang tergesa-gesa adalah pembuatan kesimpulan yang didasari oleh

alasan tak memadai atau tanpa alasan sama sekali. Berikut ini dua contohnya.

(1) Semua pegawai negeri adalah koruptor karena kita menemui banyak koruptor

dalam keseharian kita.

(2) Semua mahasiswa malas membaca.

Page 69: BAB III Dasar-Dasar Logika

84

10. Sebab yang salah

Sesat pikir sebab yang salah adalah pembuatan kesimpulan berdasarkan satu dugaan yang tak

terbukti dan tetap dipertahankan meskipun bukti menunjukkan bahwa kesimpulan itu salah.

Misalnya pernyataan bahwa penyakit disebabkan oleh kemasukan setan. Lalu setannya diusir,

penyakitnya tetap ada. Tetapi tetap dipercaya bahwa penyakit disebabkan oleh kemasukan

setan.

11. Penalaran sirkular

Sesat pikir penalaran sirkular menjadikan kesimpulan sebagai alasan. Alasan yang digunakan

secara substansial tidak berbeda dengan keseimpulan. Sesat pikir ini juga dapat muncul

dalam argumentasi yang menggunakan kesimpulan yang masih harus dibuktikan sebagai

pangkal pikir. Periksalah dua contoh berikut.

(1) Petugas hukum dapat disogok karena penghasilannya rendah. Penghasilan

hakim rendah karena ekonomi buruk. Ekonomi buruk karena hukum

tidak berfungsi. Hukum tidak berfungsi karena petugas hukum dapat

disogok.

(2) A adalah orang yang jujur. Itu terbukti dari ucapan-ucapannya sendiri kemarin.

12. Sesat pikir karena terlalu banyak pertanyaan yang harus dijawab sehingga jawaban tak

sesuai dengan pertanyaan

Ketika seseorang menerima banyak pertanyaan dan tak sempat mencermati pertanyaan itu

satu per satu, ia bisa saja menjawab sekenanya sehingga terjadi kekeliruan dalam

penalarannya. Argumentasi yang dibangunnya menjadi sesat pikir. Sesat pikir jenis ini

menghasilkan kesimpulan yang tak jelas dan tak berkaitan dengan alasan yang digunakan.

Umpamanya, seorang polisi ditanya oleh banyak wartawan setelah peristiwa meledaknya

bom di sebuah hotel, lalu menjawab bahwa pelakunya adalah orang-orang yang anti NKRI

dan ingin menjatuhkan pemerintahan tanpa ada bukti dan tak ada koherensi dalam

argumentasinya.

13. Kesimpulan tak relevan.

Sesat pikir kesimpulan tak relevan adalah argumentasi yang kesimpulannya tidak sejalan

dengan alasannya, misalnya

(1) Rumah di ujung jalan itu sering kemalingan karena warna catnya hijau.

Page 70: BAB III Dasar-Dasar Logika

85

(2) Orang tua lebih tahu dan lebih pintar dari anak-anaknya karena anak-anak itu

dilahirkan orang tuanya.

14. Makna ganda (equivocation)

Sesat pikir makna ganda adalah argumen yang menggunakan term yang bermakna ganda

sehingga kesimpulannya tidak jelas dan dapat diubah-ubah berdasarkan pemaknaan terhadap

term itu. Argumentasi dengan makna ganda merupakan sesat pikir karena makna kata dapat

dipilih untuk maksud-maksud tertentu. Perhatikanlah contoh berikut.

Politisi yang dituduh menjelek-jelekkan presiden itu diamankan oleh pemerintah

sebab jika dibiarkan akan mengganggu stabilitas keamanan. Oleh

karena itu, pemerintah tidak melanggar HAM.

Kata diamankan dapat berarti ‘ditangkap’, ‘dipenjarakan’, atau ‘dilarang berbicara di muka

umum’. Contoh kata lain yang bermakna ganda ialah ditindak yang dapat berarti ‘dipukuli’,

‘ditangkap’ atau ‘ditembak’.

15. Makna ganda ketata-bahasaan (amphiboly)

Sesat pikir dapat juga terjadi karena argumentasi yang dikemukakan menggunakan term-term

yang bermakna ganda jika dilihat dari tata bahasa, misalnya kata mata yang dapat digunakan

dengan makna yang lain seperti dalam matahari, mata kuliah, mata sapi, mata hati, mata

kaki, dan mata-mata. Berikut ini contoh argumentasi yang merupakan sesat pikir makna

ganda ketata-bahasaan.

Diri seseorang tercermin dari hatinya.

Hati yang baik mencerminkan diri yang baik.

Hati yang buruk mencerminkan diri yang buruk.

Kata hati dalam argumentasi di atas dapat bermakna ganda. Term hati di situ tidak merujuk

kepada organ hati, melainkan kepada perasaan, intuisi, atau nurani. Argumentasi itu menjadi

sesat pikir karena hati yang dimaksud tak dapat dikenali secara jelas merujuk kepada

objeknya sehingga tak dapat dibuktikan benar atau salah. Argumentasi yang dicontohkan di

atas tidak bermakna karena proposisi-proposisinya tidak jelas maknanya.

16. Sesat pikir karena perbedaan logat atau dialek bahasa

Sesat pikir dapat terjadi karena adanya perbedaan logat atau dialek bahasa atau cara menamai

sesuatu tetapi perbedaan itu tidak disadari. Sebagai contoh, mobil di Medan disebut motor

Page 71: BAB III Dasar-Dasar Logika

86

dan motor dinamakan kereta, sedangkan di Jakarta kereta berarti ‘kereta api’. Perbedaan ini

dapat menghasilkan sesat pikir jika tidak diklarifikasi.

17. Kesalahan komposisi

Sesat pikir kesalahan komposisi adalah argumentasi yang memperlakukan kebenaran pada

bagian sebagai kebenaran keseluruhan. Dalam membuat keputusan, misalnya, manusia sering

kali dirugikan oleh perasaan, lalu disimpulkan bahwa perasaan pasti merugikan manusia.

Intinya, benar pada bagian dianggap benar pada keseluruhan.

18. Kesalahan divisi

Sesat pikir kesalahan divisi adalah argumen yang serta-merta menyimpulkan bahwa

karakteristik dari keseluruhan pasti ada pada bagian-bagiannya. Dalam sesat pikir ini,

kebenaran keseluruhan dianggap sebagai kebenaran pada bagian-bagiannya. Umpamanya,

manusia adalah makhluk yang berpikir, oleh karena itu kaki dan tangan manusia pun berpikir.

19. Generalisasi tak memadai

Sesat pikir generalisasi yang tak memadai adalah argumentasi yang kesimpulannya

didasarkan pada data atau fakta yang tak memadai. Misalnya, generalisasi berdasarkan

sampel yang terlalu kecil atau menggunakan sampel tertentu untuk membuat kesimpulan

tentang populasi yang berbeda.

9. Kesalahan Umum Dalam Penalaran Induktif4

Kesalahan-kesalahan yang dibahas di pasal ini merupakan ringkasan dari jenis-jenis

kesalahan yang dapat terjadi dalam pengambilan kesimpulan secara induktif. Kesalahan-

kesalahan itu sering disebut dengan nama yang cukup umum dalam percakapan sehari-hari

mengenai argumen induktif dan statistik. Namun perlu diingat bahwa memberi nama pada

jenis-jenis kesalahan dalam suatu argumen tidak sama dengan menganalisis dan

mengevaluasi argumen itu. Tidak semua orang tahu nama kesalahan. Selain itu, nama

kesalahan juga tidak selalu digunakan secara tepat dan konsisten.

Anda harus selalu siap memberikan kritik dengan cara melakukan teknik-teknik

rekonstruksi dan evaluasi yang telah dijelaskan pasal-pasal sebelumnya. Jika Anda

4 Pasal tentang kesalahan umum dalam penalaran induksi ini disadur dari buku A. K. Bierman dan R. N. Assali,

The Critical Thinking Handbook (New Jersey, 1994). Penyaduran itu dilakukan dengan bantuan dari Judithia A.

Wirawan.

Page 72: BAB III Dasar-Dasar Logika

87

menyebutkan bahwa suatu argumen mengandung kesalahan tertentu, Anda harus siap untuk

menjelaskan apa arti nama kesalahan yang Anda sebutkan itu, dan untuk menunjukkan letak

premis atau kesimpulan yang patut dipertanyakan.

9.1 Menilai Penalaran Induktif dengan Standar Deduktif

Kita tahu banyak hal tentang dunia ini. Dari semua pengetahuan yang kita miliki, sebagian

besar kita peroleh dari pengalaman dan dokumentasi mengenai pengalaman orang lain. Tanpa

pengetahuan empiris, kita tidak mungkin bertahan hidup. Pada akhirnya, kita mendasarkan

pengetahuan empiris kita pada penalaran induktif. Untungnya, dunia kita cukup seragam dan

tearatur sehingga pengetahuan yang kita peroleh dengan cara ini cukup kokoh. Misalnya, kita

tahu bahwa kita tidak dapat terbang ke luar angkasa, bahwa roti yang kita makan tidak bisa

tiba-tiba berubah menjadi kodok, bahwa tanah yang kita injak akan tetap diam di bawah kaki

kita. Ini semua adalah bagian dari dunia yang kita kenal baik.

Deduksi memungkinkan kita memastikan kebenaran pengetahuan kita hanya jika kita

yakin akan kebenaran premis-premisnya. Informasi yang terdapat dalam kesimpulan deduksi

tidak melampaui informasi yang terdapat dalam premis-premis asal kesimpulan itu. Pada

akhirnya, agar dapat mendukung premis-premis dalam argumen deduktif dan untuk

menambah informasi empiris kita, kita harus mengandalkan induksi.

Kita tidak perlu menolak suatu kesimpulan induktif semata-mata karena bukti-

buktinya tidak dapat menjamin kebenaran kesimpulan itu. Jaminan memang bukan

karakteristik induksi, dan kita jangan menilai argumen induktif dengan standar deduktif. Kita

jangan terlalu skeptis dalam menghadapi suatu argumen induktif, cukup kalau kita

menerapkan keraguan yang masuk akal (reasonable doubt). Batasan suatu keraguan yang

masuk akal tergantung pada konteks argumen, dan terutama pada konseksuensi dari diterima

atau ditolaknya kesimpulan dari argumen itu. Standar keraguan yang masuk akal dalam

menerima suatu gosip yang tidak berbahaya, atau bertaruh kecil-kecilan pada balap kuda,

jangan dibuat setinggi standar pada saat memutuskan apakah seseorang bersalah dalam suatu

pengadilan kriminal.

Jadi, jika kita sudah secara berhati-hati mengevaluasi bukti-bukti dalam suatu

argumen dan telah mempertimbangkan hipotesis-hipotesis rival yang paling mungkin, dan

jika argumen itu lolos semua tes yang kita lakukan, maka kita boleh menerima

kesimpulannya. Jika kita mau, kita dapat mengawali pernyataan kita dengan kata-kata seperti

sejauh pengetahuan saya atau kecuali ada tambahan bukti yang bertentangan. Dengan

melakukan hal itu, tidak ada orang yang dapat mengatakan pemikiran kita salah. Mereka

Page 73: BAB III Dasar-Dasar Logika

88

boleh saja mengkritik kita karena telah mengabaikan hipotesis rival yang mungkin atau

karena kurang banyak mempertanyakan bukti yang ada. Tetapi kita tidak dapat dituduh

melakukan penalaran yang buruk ketika kita menarik suatu kesimpulan yang didukung

dengan baik namun tidak dijamin oleh premis-premisnya.

Jika ada yang mengkritik kita dengan mengatakan bahwa kita telah melakukan

penalaran yang buruk, maka kritik itu sendiri sudah merupakan pemikiran yang buruk. Harus

dicamkan bahwa menilai induksi dengan standar deduksi adalah suatu kesalahan. Standar itu

tidak mungkin dicapai. Jika kita terus mengikuti standar itu, kita tidak akan pernah memiliki

banyak pengetahun yang dapat kita yakini.

Satu latihan yang baik agar kita tidak terjerumus ke dalam kesalahan ini adalah

dengan memikirkan kembali keyakinan-keyakinan yang kita miliki. Kita akan mendapati

bahwa kebanyakan dari keyakinan kita tidak didukung oleh argumen deduktif yang baik dan

kuat. Keyakinan-keyakinan itu belum terbukti sepenuhnya, tetapi kita tetap bertindak atas

dasar itu dengan cukup percaya diri.

Tuntutan yang keterlaluan biasanya muncul ketika kita menilai pernyataan orang lain.

Ini adalah kesalahan yang umum pada orang yang baru belajar logika. Kesalahan ini dapat

menyangkut penalaran induktif apa pun, dan dari jenis yang mana pun. Kesalahan-kesalahan

induktif yang akan dibahas selanjutnya dalam pasal ini akan berlaku lebih spesifik.

Latihan 8.1 (Mendukung Pernyataan dengan Deduksi dan Induksi)

1. Sebutkan lima pernyataan penting tentang dunia yang Anda yakini kebenarannya tanpa

keragu-raguan, tetapi yang Anda yakin tidak dijamin dengan penalaran deduktif.

2. Untuk masing-masing pernyataan berikut, jika Anda yakin bahwa pernyataan itu benar,

sebutkan apakah Anda akan membuat argumen yang mendukungnya dengan dasar

deduksi atau induksi, dan gambarkan secara singkat bagaimana Anda membuat argumen

itu. Sebaliknya, jika Anda yakin pernyataan itu salah, pilih dan buatlah argumen untuk

negasi dari pernyataan tersebut. Jika Anda merasa bahwa pernyataan itu tidak benar dan

tidak salah, jelaskan mengapa.

(1) Ratu Inggris adalah seorang perempuan.

(2) Paus Yohanes Paulus menentang aborsi.

(3) Sinterklas benar-benar ada.

Page 74: BAB III Dasar-Dasar Logika

89

9.2 Kesalahan Generalisasi

9.2.1 Generalisasi yang Terburu-buru (Kebalikan dari Kesalahan Kecelakaan)

Kesalahan ini merupakan kesalahan yang sering dilakukan. Kita seringkali senang

“merapikan” dunia dengan memasukkannya dalam kategori-kategori dan menggeneralisasi

pengalaman kita. Namun generalisasi harus dilakukan dengan berhati-hati. Bahkan

generalisasi dalam ilmu pengetahuan yang dibuat dengan sangat hati-hati pun sering kali

salah.

Karena bukti-bukti dalam suatu argumen induktif sejalan dengan lebih dari satu

kesimpulan, kita menarik kesimpulan yang lebih lemah atau lebih kuat, atau bahkan

kesimpulan yang bertentangan, berdasarkan bukti yang sama. Kesimpulan mana yang kita

tarik tergantung pada interpretasi kita mengenai data dan sejauh mana kita berhati-hati. Kita

melakukan kesalahan generalisasi yang terburu-buru jika kita memilih untuk menarik

kesimpulan yang umum dari data yang kurang. Kita juga melakukan kesalahan yang sama

jika kita membuat generalisasi yang lebih kuat atau lebih luas daripada yang diijinkan oleh

bukti-bukti yang ada, atau membuat generalisasi dari informasi yang tidak lengkap.

Kesalahan itu merupakan akibat dari pembuatan generalisasi berdasarkan bukti yang

tidak cukup, tidak lengkap, atau bias. Perhatikanlah contoh berikut.

(1) Ya, saya tahu Mike baru dioperasi. Tapi itu, ‘kan, sudah lebih dari sebulan yang

lalu, dan dia tentunya sudah sembuh sekarang. Masalahnya adalah dia

seharusnya menyerahkan laporannya sekarang. Ini cukup menunjukkan bahwa

kita tidak akan pernah dapat mengandalkan Mike untuk melakukan pekerjaannya

dengan benar.

(2) Saya sudah bertemu dengan hampir setengah dari anggota perkumpulan itu

waktu saya mau mendaftar di sana. Semuanya pemabuk dan memakai “obat.” Ya,

saya yakin mereka semua pasti seperti itu. Makanya, kamu jangan banyak

bergaul dengan Sam. Dia, ‘kan, anggota perkumpulan itu. Dalam masing-masing contoh itu, si pembicara menarik kesimpulan yang tidak tepat.

Pada contoh (1), si pembicara menggeneralisasi bahwa berdasarkan satu kesalahan yang

dilakukan Mike kita tidak akan pernah dapat mengandalkannya. Ini saja sudah merupakan

generalisasi yang terburu-buru. Namun seandainya si pembicara mempunyai lebih banyak

contoh mengenai ketidakbertanggungjawaban Mike pun, kesimpulannya tetap tidak tepat

karena dia tidak memperhatikan kondisi Mike. Dia tahu bahwa Mike baru dioperasi, tapi

tidak mencari tahu apakah Mike mengalami komplikasi yang memperlama masa

penyembuhannya. Ini merupakan informasi yang relevan, dan si pembicara seharusnya tidak

Page 75: BAB III Dasar-Dasar Logika

90

menarik kesimpulan mengenai keterandalan Mike dengan informasi yang tidak lengkap. Dia

belum mengetahui semua faktanya.

Pada contoh (2), hampir setengah populasi memang merupakan sampel yang cukup

besar untuk mengambil kesimpulan mengenai perkumpulan itu. Tetapi si pembicara

menggeneralisasi semua anggota perkumpulan itu pemabuk dan pemakai “obat.” Ini penting

karena dia lalu mencela anggota lain berdasarkan kesimpulan ini. Jelas bahwa pernyataan

universal mengenai semua anggota tidak tepat. Kesimpulan ini terlalu kuat, walaupun

sampelnya cukup besar. Terlebih lagi, dia bertemu dengan anggota yang mengurus

pendaftaran. Ini mungkin merupakan informasi yang relevan. Orang-orang ini mungkin

melebih-lebihkan kebiasaan mereka agar dapat menarik perhatian calon anggota baru. Jadi,

bukti yang didasarkan pada perilaku anggota yang sedang melakukan rekrutmen mungkin

kurang dapat diandalkan. Si pembicara seharusnya tidak menggunakannya untuk melompat

ke kesimpulan yang universal.

Menanggapi Generalisasi yang Terburu-buru

Cara terbaik untuk mengalahkan generalisasi yang terburu-buru adalah dengan menemukan

bukti yang berlawanan atau argumen yang berlawanan untuk menunjukkan bahwa

kesimpulan si pembicara salah. Generalisasi universal merupakan generalisasi yang paling

mudah digugurkan. Tetapi bukti yang berlawanan tidak selalu tersedia, dan orang yang

melakukan generalisasi yang terburu-buru sering kali menolak bukti yang berlawanan itu jika

generalisasi yang mereka lakukan tidak universal (tetapi terburu-buru). Jadi, kita harus

mencoba meyakinkan si pembicara bahwa kesimpulannya tidak tepat dengan cara

mengomentari kesalahan bukti atau sampelnya yang bias.

Kita mungkin perlu mengajarinya mengenai bagaimana membuat kesimpulan yang

lebih tepat atau yang lebih lemah. Lalu kita dapat mengajaknya menerima kesimpulan yang

lebih lemah berdasarkan bukti yang ada, kemudian menunjukkan bahwa ada alternatif

kesimpulan lain yang mungkin benar. Jika kesimpulannya sama sekali mengawur, proses

yang gradual ini mungkin dapat membantu kita mengajaknya meninggalkan kesimpulan itu.

9.2.2 Kesalahan Kecelakaan

Kita hidup berdasarkan aturan dan generalisasi yang mengatur perilaku kita,

mengorganisasikan pengalaman kita, dan membantu kita meringkas pengetahuan kita. Tetapi

generalisasi sering kali mempunyai kekecualian. Bahkan hukum yang paling tepat pun

Page 76: BAB III Dasar-Dasar Logika

91

mempunyai batas-batas penerapan, dan untuk menentukan kapan hukum itu dapat diterapkan

dan kapan tidak, dibutuhkan keterampilan profesional.

Kesalahan ini muncul ketika suatu prinsip umum salah diterapkan pada contoh atau

situasi yang sebenarnya tidak termasuk dalam prinsip umum tersebut. Si pembicara

menerapkan generalisasi atau aturan secara salah supaya kesimpulannya yang kurang tepat

dapat diterima, atau untuk memaksakan kepatuhan pada aturan itu. Si pembicara sering kali

menganggap bahwa aturan atau prinsip itu tanpa kekecualian dan menolak, untuk

mempertimbangkan bahwa mungkin ada kasus yang sangat luar biasa sehingga jatuh di luar

jangkauan prinsip itu.

Sebagian orang menganggap ini merupakan kebalikan dari kesalahan generalisasi

yang terburu-buru. Generalisasi yang terburu-buru bergerak dari kasus yang tidak umum atau

tidak representatif ke generalisasi yang tidak tepat. Kesalahan kecelakaan menerapkan suatu

generalisasi pada kasus yang tidak umum atau “kecelakaan” yang sebenarnya tidak termasuk

dalam generalisasi itu. Kesalahan ini dapat terjadi, baik pada argumen deduktif maupun

induktif. Perhatikanlah contoh berikut.

(1) Begini, Bu. Saya tahu anak Ibu berusia 12 bulan. Tapi aturan di bioskop ini jelas.

Tidak ada orang yang berusia di bawah 18 tahun yang boleh menonton film untuk

orang dewasa. Jadi, Ibu lebih baik pulang saja.

(2) Orang tua sebaiknya tidak menipu anaknya dengan mengatakan hal-hal yang tidak

benar. Jadi, Anda bersalah jika mengatakan pada anak Anda bahwa Sinterklas

membawa hadiah untuk mereka sementara sebenarnya Andalah yang membeli hadiah

itu. Dalam masing-masing kasus di atas, si pembicara menerapkan prinsip umum pada kasus

kekecualian yang sebenarnya tidak termasuk. Pada contoh (1), kita tahu bahwa larangan

menonton film orang dewasa berlaku bagi anak-anak di bawah umur yang sudah bisa

menonton film dan yang mungkin mendapat pengaruh buruk dengan melihat film itu. Bayi

sebenarnya tidak termasuk di dalamnya, tetapi si penjaga bioskop memberlakukan aturan itu

secara kaku. Berdasarkan penerapan aturan secara salah, dia mengambil kesimpulan yang

tidak tepat, yaitu bahwa ibu itu harus pergi dengan bayinya.

Pada contoh (2), aturan moral yang melarang kita untuk berbohong diterapkan secara

salah pada mitos anak-anak tentang Sinterklas. Kita memperkaya hidup kita dengan mitos,

permainan, cerita, dan drama. Kita biasanya tidak menerapkan prinsip bahwa berbohong itu

salah pada fiksi anak-anak yang menyenangkan. Namun, si pembicara bersikukuh

Page 77: BAB III Dasar-Dasar Logika

92

melakukannya. Dia menerapkan prinsip yang baik pada kasus yang tidak tepat. Kesalahan ini

sering kali dilakukan oleh orang yang dogmatis dan birokrat.

Menanggapi Kesalahan Kecelakaan

Sayangnya, orang yang melakukan kesalahan ini mungkin akan bersikeras dan tidak mau

mendengarkan penjelasan kita. Tanggapan terbaik adalah mencoba membuat si pembicara

paham bahwa aturan atau prinsip itu sengaja dibuat samar-samar. Kebanyakan aturan atau

hukum tidak dapat mencakup semua keadaan yang mungkin terjadi. Pembuat hukum

memperhitungkan hal ini dengan cara sengaja menyediakan ruang untuk interpretasi si

penerap hukum pada waktu membuat hukum tertulis.

Kemudian kita dapat mencoba membuat si pembicara memahami tujuan yang

diinginkan oleh aturan tersebut. Dengan cara ini kita dapat menunjukkan bahwa dia

menghalangi dicapainya tujuan itu, atau dia menghalangi dicapainya tujuan lain yang lebih

penting, jika dia bersikeras menerapkan aturan itu secara salah. Untuk itu mungkin Anda

perlu mengemukakan prinsip lain yang lebih tinggi, yang tujuannya harus didahulukan

daripada tujuan aturan yang diperdebatkan.

Cara lain adalah mencoba menemukan situasi yang sangat tidak umum sehingga dia

terpaksa menerima kekecualian untuk aturannya. Misalnya, si pembicara memegang prinsip

bahwa orang harus menghindari obat terlarang, khususnya morfin. Ajukan kasus seseorang

yang jantungnya harus dioperasi: apakah pasien itu tidak boleh mendapatkan morfin sebagai

obat bius? Jika dia setuju bahwa morfin boleh dipakai dalam kasus itu, kita dapat mulai

mendiskusikan kapan aturan itu dapat diterapkan dan kapan tidak. Ini adalah sebuah langkah

besar.

Jika hal itu sulit dilakukan, carilah contoh aturan lain yang disetujuinya—tetapi ada

kekecualiannya yang jelas—yang pasti akan diterimanya. Ini dapat menunjukkan kepadanya

melalui analogi bahwa dalam aturan yang begitu keras dipegangnya itu pun mungkin ada

kekecualian. Jika dia tidak mengakui adanya kekecualian pada aturan mana pun,

menyerahlah!

Latihan 9.2 (Kesalahan Generalisasi)

Untuk masing-masing soal berikut ini, coba cari si pembicara ingin membujuk kita untuk

meyakini apa? Lalu jelaskan apakah ada kesalahan dalam soal itu dan apa kesalahannya.

Akhirnya, sebutkan nama kesalahan yang terjadi.

Page 78: BAB III Dasar-Dasar Logika

93

1. Saya sudah minta Dorothy pergi dengan saya dua kali. Dia selalu menolak dengan

mengatakan bahwa dia ingin pergi dengan teman-teman kelas baletnya. Jelaslah bahwa

dia dan teman-teman baletnya tidak suka dekat-dekat dengan laki-laki.

2. Jelas bahwa sebagian besar orang California setuju dengan aborsi. Pada survei di daerah

perumahan West Hollywood, 89% menjawab bahwa perempuan seharusnya punya hak

untuk meminta aborsi, dan negara harus menyediakan dana bagi perempuan yang tidak

mampu membayar.

3. Memang benar, Pak. Saya tahu istri Bapak sakit dan Bapak merasa harus mengemudi

dengan cepat sampai-sampai melanggar batas kecepatan maksimal. Tetapi tugas saya

adalah menegakkan hukum. Hukum kita jelas. Jadi, saya terpaksa menilang Bapak karena

mengebut. Tolong tanda tangani formulir tilang ini, Pak, lalu Bapak boleh pergi. Istri

Bapak kelihatannya sudah parah.

9.3 Kesalahan Penggunaan Bukti Secara Salah

9.3.1 Kesimpulan Yang Tidak Relevan

Kesalahan karena kesimpulan yang tidak relevan muncul ketika orang menarik kesimpulan

yang salah dari bukti yang ada. Biasanya bukti yang ada itu dapat digunakan untuk

mendukung kesimpulan yang berhubungan atau mirip, sehingga kesalahan ini sulit dilacak.

Walaupun dapat terjadi, baik dalam penalaran deduktif maupun penalaran induktif, kesalahan

ini lebih sering muncul pada penalaran induktif karena konteksnya lebih rumit sehingga kita

lebih mungkin menarik kesimpulan yang salah. Perhatikanlah contoh kasus berikut ini.

(1) Buktinya jelas. Mark selalu bekerja keras. Dia adalah seorang pemuda yang

tegas dan cinta tanah air. Dia sopan, tulus, dan tidak pernah berpikiran buruk

tentang orang lain. Jadi, dia pasti cocok masuk ke fakultas kedokteran.

(2) Masyarakat Amerika pasti senang dengan pemerintah yang sekarang. Lima

puluh lima persen responden kami menjawab “Ya” ketika ditanya “Apakah

Anda merasa lebih sejahtera sekarang daripada empat tahun yang lalu?”

Dalam masing-masing kasus, si pembicara menarik kesimpulan yang sangat tidak

relevan dengan bukti yang tersedia. Pada contoh (1), karakteristik pribadi Mark yang

disebutkan sebagai bukti mungkin membuat Mark termasuk kategori orang baik, tapi tidak

cukup dan bahkan tidak perlu untuk membuatnya calon mahasiswa kedokteran yang berhasil.

Jika kita tidak mempunyai bukti tentang nilai dan bakat Mark di bidang kedokteran, kita

jangan menerima ajakan si pembicara untuk menarik kesimpulan yang salah.

Page 79: BAB III Dasar-Dasar Logika

94

Pada contoh (2), tidak ada kesimpulan yang dapat ditarik dari bukti yang ada. Pertama,

kata senang merupakan kesimpulan yang buruk jika tidak tercakup di dalam pertanyaan

survei. Kedua, kalaupun pertanyaan survei itu “Apakah Anda merasa lebih senang…,” term

itu tetap terlalu luas untuk digunakan. Yang lebih parah lagi, kita tidak tahu siapa yang

menjadi percontoh survei itu. Siapa tahu, mereka adalah keluarga presiden semua, sementara

si pembicara membuat pernyataan tentang seluruh masyarakat.

Walaupun informasinya dapat diandalkan dan percontohnya baik, kita sebaiknya tidak

menarik kesimpulan mengenai seorang individu berdasarkan jawaban kuesioner. Bukti ini

hanya dapat menjamin satu kesimpulan, yaitu bahwa 55% dari populasi yang diwakili oleh

sampelnya yang menjawab “Ya” atas pertanyaaan yang diajukan itu. Singkatnya,

kesimpulannya sama sekali tidak relevan dengan premisnya.

Menanggapi Kesalahan Kesimpulan yang Tidak Relevan

Kalau kita dapat mengidentifikasi adanya kesalahan itu dalam suatu argumen, tanggapannya

mudah. Kita tinggal berkeras bahwa si pembicara tetap pada buktinya. Jika dia ingin kita

menerima kesimpulannya, dia harus memberikan argumen. Dengan melakukan kesalahan ini,

berarti dia tidak memberikan argumen yang logis. Masalahnya adalah bagaimana

mengidentifikasi kesalahan ini. Satu-satunya cara agar tidak terjerumus ke dalam kesalahan

ini adalah dengan melatih ketelitian dalam menilai bukti.

9.3.2 Kesalahan Bukti yang Ditahan

Kesalahan karena bukti yang ditahan terjadi ketika pembicara menarik kesimpulan yang tidak

tepat dengan mengabaikan, menahan, atau meminimalkan derajat pentingnya suatu bukti

yang bertentangan dengan kesimpulan. Kesalahan ini tidak hanya mencakup

disembunyikannya suatu bukti secara sengaja supaya kesimpulannya diterima, tetapi juga

yang tidak disengaja. Kasus tidak sengaja sering terjadi ketika keyakinan sudah sedemikian

kuatnya sehingga kita menolak mempertimbangkan bukti apa pun yang mungkin

bertentangan. Kesalahan ini juga termasuk tidak ditelitinya berbagai sudut pandang dari

sebuah topik sehingga kesimpulan ditarik secara tidak adil bagi pihak-pihak tertentu.

Perhatikanlah contoh berikut.

(1) Tidak ada orang waras yang akan mau tinggal di San Fransisco. Di situ

banyak kabut dan lembab. Lalu tempatnya berbukit-bukti curam sehingga

menyetir menjadi berbahaya sekali. Belum lagi gempa bumi yang selalu siap

Page 80: BAB III Dasar-Dasar Logika

95

menyerang. Jadi, jelas bahwa sama sekali tidak ada alasan mengapa orang

akan senang tinggal di San Fransisco.

(2) Frank, kita akan menghadapi jaksa penuntut yang keras. Kita akan kalah

kalau dia tahu bahwa ada saksi yang melihat perampokan ini. Kita memang

sudah tahu, tapi itu tugas dia untuk mencari tahu. Jadi, argumen kita tidak

akan menyinggung-nyinggung kemungkinan adanya saksi mata, ya?

Pada contoh (1), si pembicara, baik sengaja ataupun tidak, hanya berfokus pada aspek

yang tidak menyenangkan dari San Fransisco. Jika memang cuma itu yang ada di San

Fransisco, maka dia mempunyai argumen yang kuat. Tetapi dia tidak mempertimbangkan

kelebihan hidup di San Fransisco. Dari akal sehat saja kita tahu bahwa tidak mungkin kota itu

hanya mempunyai kejelekan melulu. Jadi, kita belum dapat menerima kesimpulannya; kita

masih membutuhkan informasi lebih lanjut untuk sampai kepada suatu kesimpulan yang lebih

tepat.

Pada contoh (2), si pengacara menyatakan bahwa dia akan menahan suatu bukti. Orang

mungkin berpikir bahwa argumen apa pun yang dihasilkan dalam kondisi seperti ini pasti

mengandung kesalahan bukti yang ditahan. Tetapi dalam sistem peradilan kita, hal itu tidak

salah. Jaksa penuntut harus membuktikan kesalahan terdakwa. Tugas mereka adalah

mengumpulkan bukti-bukti. Jika si pengacara mengungkapkan bukti yang memberatkan

kliennya, maka si pengacara justru telah melanggar kewajibannya terhadap kliennya. Maka,

dalam keadaan ini, si pengacara tidak bersalah menahan bukti.

Menanggapi Kesalahan Bukti yang Ditahan

Dalam situasi yang kooperatif, lebih baik kita mengajukan semua bukti yang relevan

sehingga suatu kesimpulan yang logis dapat ditarik. Untuk memperoleh kebenaran, memang

diperlukan semua bukti yang relevan. Dalam situasi seperti ini, bukti yang tertahan lebih

mungkin merupakan akibat kecerobohan dan sudut pandang yang terlalu sempit. Diskusi

yang jujur, terbuka, dan terstruktur biasanya dapat menunjukkan hal apa yang masih terlewat.

Memang sulit sekali untuk tetap rasional tanpa terpengaruh oleh emosi pada saat

bertentangan pendapat dengan orang lain. Oleh karena itu, dalam situasi demikian, kita harus

berusaha mempertanyakan pandangan kita sendiri. Kita harus berusaha keras menemukan

bukti yang bertentangan yang mungkin dapat menggugurkan kesimpulan kita. Kita juga harus

mencoba menemukan argumen yang paling kuat yang mendukung sudut pandang lawan kita.

Usaha ini dapat membantu memastikan bahwa tidak ada bukti yang tertahan dan penalaran

yang salah dapat diminimalkan.

Page 81: BAB III Dasar-Dasar Logika

96

9.4 Kesalahan Statistikal

Metodologi statistik dikembangkan terutama untuk menghindari kesalahan-kesalahan yang

dibahas di sini. Jadi, kemungkinannya kecil bahwa seorang ahli statistik yang kompeten dan

profesional akan melakukan kesalahan ini. Namun, dunia adalah suatu tempat yang rumit.

Dan bahkan seorang profesional yang sangat berhati-hati pun kadang-kadang tanpa sengaja

mengabaikan kondisi yang sebenarnya membuat data mereka menjadi bias atau menarik

kesimpulan yang melampaui data yang ada. Kesalahan ini lebih umum dibuat dalam

penelitian yang dilakukan oleh para amatiran atau mereka yang kekurangan dana sehingga

tidak dapat melakukan penelitian secara mendetil. Kesalahan ini pun sering muncul dalam

argumen sehari-hari, yaitu yang mengambil kesimpulan secara terburu-buru dari pengalaman

pribadi saja. Dalam usaha kita untuk memahami dunia, kita sering kali kurang teliti. Dua

kesalahan pertama dari tiga yang akan kita bahas sering disebut kesalahan pemercontohan

(sampling error).

9.4.1 Kesalahan Sampel yang Bias (Statistik yang Bias)

Kesalahan ini dilakukan ketika data yang digunakan untuk menarik kesimpulan statistik

diambil dari sampel yang tidak representatif terhadap populasi. Ahli statistik profesional

mencoba menghilangkan bias ini melalui pemercontohan acak (random sampling) dan teknik

pemercontohan lain. Percontoh yang tidak dipilih secara acak merupakan percontoh yang bias

dan tidak dapat digunakan untuk menarik kesimpulan mengenai populasi.

(1) Kami yakin bahwa kebanyakan akademisi akan lebih senang jika mereka

mempunyai akses ke komputer pribadi mereka dari universitas. Kesimpulan ini

kami dapatkan karena 90% dari responden kuesioner yang kami sebarkan

melalui e-mail menjawab “Ya” atas pertanyaan, “Apakah Anda akan lebih

senang jika ada komputer pribadi di kantor Anda?”

(2) Waktu saya di Paris, saya hampir selalu diperlakukan dengan kasar oleh

pelayan ketika makan di restoran. Ya, orang Perancis memang sangat kasar

pada orang Amerika. Saya sangat tidak menyarankan kamu berlibur ke

Perancis musim panas ini.

Semua argumen pada contoh di atas kelihatannya didasarkan pada prosedur penelitian

yang sangat amatir. Kesimpulannya ditarik berdasarkan percontoh yang sangat bias. Pada

contoh (1), sampelnya bias karena tidak semua akademisi mempunyai e-mail. Jadi, tidak

semua akademisi mendapat kesempatan yang sama untuk menjadi sampel. Selain itu,

akademisi yang menggunakan e-mail kemungkinan besar akan bias ke arah menyukai akses

Page 82: BAB III Dasar-Dasar Logika

97

komputer yang lebih banyak. Jadi, sampel berupa pengguna e-mail tidak representatif untuk

semua akademisi. Kesimpulan ini seharusnya diperlemah menjadi populasi akademisi

pengguna e-mail saja.

Pembicara pada contoh (2) melakukan kesalahan berupa perumusan argumen yang

lebih didasarkan pada prejudis dan emosi pribadi daripada penalaran. Kesimpulannya tentang

semua orang Perancis didasarkan pada percontoh sejumlah pelayan Paris yang melayaninya

di restoran. Percontoh ini bias dalam beberapa aspek. Pertama, sebagian dari populasi orang

Perancis, misalnya yang bukan penduduk Paris, tidak mempunyai kesempatan untuk menjadi

sampel. Kedua, percontoh ini bias, bahkan untuk penduduk Paris sekalipun karena tidak

semua penduduk Paris menjadi pelayan, dan otomatis tidak termasuk sampel. Karena kita

tidak tahu batasan perilaku yang kasar menurut pembicara, dan kita juga tidak tahu di

restoran seperti apa dan bagaimana perilaku si pembicara sendiri ketika dia memperoleh data

itu, maka sampelnya sama sekali tidak berguna, bahkan untuk populasi pelayan Paris.

Akhirnya, karena kita tidak tahu berapa banyak pelayan yang kasar kepadanya, sampelnya

bisa saja terlalu kecil. Dan ini mengarahkan kita ke kemungkinan sumber kesalahan

pemercontohan (sampling) berikutnya.

9.4.2 Kesalahan Percontoh yang Kecil (Statistik yang Tidak Cukup)

Kesalahan ini terjadi ketika pembicara menggunakan sampel yang terlalu kecil sehingga

kesimpulannya tidak dapat dipercaya. Kesalahan ini juga terjadi ketika kesimpulannya sangat

dipercayai sementara ukuran sampelnya sedang-sedang saja. Dalam penelitian statistik yang

profesional, ukuran sampel ditentukan sedemikian rupa untuk mengurangi batas kesalahan

yang mungkin terjadi pada kesimpulan.

Dalam situasi sehari-hari, sampel yang besar biasanya membantu mengurangi

kemungkinan bias. Makin banyak observasi yang kita lakukan, makin kecil kemungkinan

observasi yang kita lakukan menjadi bias. Tetapi kita sering kali terlalu tidak sabar dan

ceroboh sehingga tidak menarik kesimpulan hanya dengan sampel yang tidak cukup besar

dan bias, melainkan juga berdasarkan bukti yang terlalu sedikit. Di pihak lain, kita sering kali

terpaksa membuat keputusan secara cepat sementara kita tidak mempunyai cukup waktu

untuk melakukan penelitian yang mendalam. Kita harus bertindak berdasarkan informasi

yang ada. Dalam situasi seperti itu, hal yang terbaik adalah bertindak berdasarkan informasi

yang kita miliki walaupun tidak lengkap. Hanya saja harus disadari bahwa kesimpulan kita

itu sangat mungkin lemah. Perhatikanlah contoh berikut.

Page 83: BAB III Dasar-Dasar Logika

98

(1) Saya bertemu Larry kemarin, dan dia sangat menyebalkan. Dua kali saya

mencoba bercakap-cakap dengannya, dan dia selalu cemberut dan menggerutu.

Kemudian ketika saya mengajukan satu pertanyaan kepadanya, dia mengabaikan

saya dan pergi. Jelas bahwa kepribadiannya sangat tidak menyenangkan. Saya

tidak mau berurusan apa pun dengannya lagi.

(2) Saya bertemu Larry hari ini, dan dia menyebalkan. Dua kali dia bersikap kasar

kepada saya, dan pada kesempatan ketiga dia mengabaikan saya ketika saya

mengajukan satu pertanyaan kepadanya. Mungkin dia sedang tidak enak hati.

Jadi, saya tidak akan mendekatinya lagi hari ini. Tetapi saya perlu bantuannya

segera, jadi saya akan coba lagi besok, mungkin mood-nya sudah bagus. Saya

akan mendekatinya dengan sangat hati-hati. Dia sedang punya masalah, ya?

Atau dia memang selalu begitu? (3) Ya, penelitian ilmiah yang dilakukan para ahli dengan sampel anak-anak SD

menunjukkan bahwa 95% dari kelompok uji kami ternyata lubang giginya lebih

sedikit setelah menggosok gigi dengan Grit secara teratur. Jadi, pastikan bahwa

anak-anak Anda menggunakan pasta gigi Grit.

Pada contoh (1), pembicara melakukan kesalahan yaitu menarik kesimpulan yang

terlalu kuat berdasarkan sampel yang terlalu kecil. Tiga kali observasi atas perilaku seseorang

tidak cukup untuk menarik kesimpulan mengenai populasi yang mencakup seluruh

perilakunya secara umum. Karena observasinya berlangsung pada waktu yang sangat

berdekatan dan dua kejadian yang pertama mungkin mempengaruhi yang ketiga, maka si

pembicara juga mungkin melakukan kesalahan percontoh yang bias.

Kesalahan pada contoh (1) menjadi jelas ketika kita membahas contoh (2). Di sini

pembicara tidak menarik kesimpulan umum mengenai semua perilaku Larry. Dia membatasi

kesimpulannya hanya pada populasi perilaku Larry hari ini. Dengan sampel yang ada,

kesimpulannya lebih dapat dipercaya. Dan dia memang masih berencana untuk membuat

lebih banyak observasi pada hari berikutnya. Karena dia perlu berinteraksi dengan Larry, dia

menggunakan data-data yang sudah dimilikinya untuk membuat keputusan mengenai

bagaimana dia harus berperilaku terhadap Larry di kemudian hari. Dia juga mencari

informasi mengenai Larry untuk membantunya menginterpretasi hasil observasinya dan

menarik kesimpulan yang lebih dapat dipercaya. Jadi, dia menarik kesimpulan yang tentatif

atau yang lebih lemah dulu untuk menentukan bagaimana dia harus bertindak dan mencoba

mengumpulkan lebih banyak data. Ini merupakan cara yang baik jika kita hanya mempunyai

data yang terbatas dengan sampel yang tidak cukup sementara kita harus bertindak sebelum

ada lebih banyak data.

Page 84: BAB III Dasar-Dasar Logika

99

Pada contoh (3), kita melihat jenis iklan yang cukup umum. Masalah pertama, si

pembicara tidak memberi tahu ukuran sampelnya. Dengan asumsi bahwa adanya undang-

undang periklanan telah memaksa perusahaan itu benar-benar melakukan penelitian dan

bukannya mengada-ada tentang data itu, kita tetap harus meragukan laporan hasilnya karena

sangat mungkin kesimpulan ini didasarkan pada sampel yang tidak cukup besar dan yang

telah dipilih supaya hasilnya menguntungkan perusahaan.

9.4.3 Kesalahan Penjudi (Gambler’s Fallacy)

Peristiwa yang terjadinya hanya secara kebetulan, misalnya hasil lemparan koin atau dadu,

merupakan hal yang berdiri sendiri. Artinya, hasil lemparan suatu koin tidak mempengaruhi

hasil lemparan berikutnya. Kita sudah melempar koin lima ratusan sepuluh kali misalnya, dan

keluarnya selalu gambar garuda, meskipun sebenarnya probabilitas lemparan koin itu (yang

tidak berat sebelah) menghasilkan gambar garuda dan gambar melati, masing-masing 0,50.

Kesalahan penjudi mengabaikan kaidah probabilitas. Nama kesalahan ini berasal dari

kepercayaan para penjudi, yaitu bahwa keberuntungan akan berbalik kepadanya jika dia

sudah mengalami kesialan berturut-turut. Kesalahan ini terjadi ketika seseorang

menyimpulkan bahwa suatu kejadian yang sebenarnya berdiri sendiri dipengaruhi atau

probabilitas kemunculannya diubah oleh sederatan kejadian yang mendahuluinya.

Perhatikanlah contoh berikut.

(1) Joe sudah menebak 20 kali dengan benar. Kali ini, dia akan salah menebak. Saya

akan bertaruh melawannya.

(2) Kita menghadapi perampok yang cukup cerdik. Dia beraksi lima atau enam kali di

satu tempat, lalu pindah ke kota lain. Ini adalah perampokannya yang keenam di

San Diego. Setelah ini dia pasti beraksi di tempat lain.

Dalam contoh (1), si pembicara melakukan kesalahan penjudi. Dua puluh kali menebak

dengan benar memang jarang terjadi. Suatu saat Joe akan salah menebak kecuali dia main

curang. Tetapi kemungkinan dia menebak benar atau salah pada lemparan dadu berikutnya

tetap sama. Si pembicara melakukan kesalahan jika dia menyimpulkan bahwa Joe pasti akan

salah kali ini, kalau pun Joe ternyata benar-benar salah menebak.

Contoh (2) kelihatannya merupakan argumen yang baik. Si pembicara mengandalkan

suatu keteraturan yang dilihatnya dalam perilaku kriminal si perampok. Dia mempunyai

alasan yang cukup baik untuk meyakini bahwa enam perampokan yang telah terjadi di San

Diego akan mempengaruhi tempat kejadian perampokan yang ketujuh. Jadi, dia tidak

Page 85: BAB III Dasar-Dasar Logika

100

melakukan kesalahan penjudi karena kejadian yang diprediksinya bukan kejadian yang

tergantung pada kebetulan.

Menanggapi Kesalahan Penjudi

Satu-satunya tanggapan yang dapat dikemukakan untuk menghadapi orang yang melakukan

kesalahan penjudi adalah mencoba mengajarinya tentang teori probabilitas. Kita dapat

menggunakan pengalamannya yang sudah-sudah yang menyangkut kesalahan ini, tetapi

kemungkinan besar perilakunya tetap tidak akan berubah. Jadi, hal terbaik yang dapat kita

lakukan adalah berhati-hati supaya jangan terpengaruh oleh argumen yang mengandung

kesalahan penjudi.

Latihan 8.3 (Kesalahan Statistik dan Penggunaan Bukti secara Salah)

Pada masing-masing soal berikut, tentukan si pembicara sedang mencoba mempengaruhi kita

untuk menerima apa. Jelaskan kesalahan dalam soal itu, jika ada, dan sebutkan namanya.

1. Saya pernah mencoba makan seekor kerang. Terus terang saja, kawan, tidak akan pernah

lagi, tidak akan pernah lagi.

2. Harapan hidup perempuan Amerika adalah 76 tahun. Harapan hidup laki-laki Amerika 72

tahun. Jadi, harapan hidup orang Amerika secara umum adalah 74 tahun.

3. Sudah ada jutaan orang yang meninggal, dan belum ada satu pun yang kembali untuk

memberi tahu kita tentang kehidupan setelah mati. Jadi, tunggu saja, cepat atau lambat

seseorang pasti akan datang kembali untuk memberi tahu kita tentang hal itu.

9.5 Kesalahan Kausal

Jika terdapat hubungan kausal di antara dua kejadian X dan Y, ada tiga kasus yang mungkin,

yaitu (1) X menyebabkan Y; (2) Y menyebabkan X; dan (3) X dan Y sama-sama disebabkan

oleh Z.

Jika kita menyimpulkan bahwa X menyebabkan Y, sementara sebenarnya Y yang

menyebabkan X, maka kita melakukan kesalahan mengacaukan sebab dan akibat. Jika kita

menyimpulkan bahwa X menyebabkan Y atau Y menyebabkan X, sementara yang benar

ialah bahwa keduanya sama-sama disebabkan oleh Z, maka kita mengabaikan penyebab

bersama. Kedua kesalahan ini kadang-kadang disebut kesalahan penyebab-gejala.

Jika kita menyimpulkan bahwa X menyebabkan Y semata-mata berdasarkan fakta

bahwa X mendahului Y, maka kita melakukan kesalahan penyebab yang salah (post hoc).

Page 86: BAB III Dasar-Dasar Logika

101

Penyebab sering kali dibedakan menjadi necessary condition atau sufficient condition

bagi akibatnya. Jika kita salah menganggap suatu penyebab yang berupa necesarry condition

dengan penyebab yang berupa sufficient condition, atau sebaliknya, maka kita telah

mengacaukan necessary condition dengan sufficient condition.

9.5.1 Mengacaukan Sebab dan Akibat

Kesalahan ini terjadi ketika suatu hubungan kausal salah diinterpretasi. Si pembicara salah

menginterpretasi bukti sehingga menyimpulkan bahwa Y disebabkan oleh X sementara

sebenarnya Y-lah yang menyebabkan X, Kesalahan ini sering kali merupakan akibat dari

interpretasi yang ceroboh atas bukti yang tersedia dan kemalasan untuk menyelidiki lebih

lanjut sebelum menarik kesimpulan. Perhatikanlah contoh berikut.

Jika Sam mulai minum, dia jadi tidak menyenangkan. Dia tidak gembira, ingin

berhenti bekerja dan dia mengatakan dia tidak punya alasan untuk hidup.

Sungguh, dia harus berhenti minum. Minum-minum membuatnya jadi orang yang

depresi.

Dalam contoh ini, korelasi antara minum-minum yang dilakukan Sam dengan

ketidakgembiraannya belum menunjukkan bahwa minum-minumlah yang menyebabkan

ketidakgembiraannya itu. Kemungkinannya sama besar bahwa karena tidak gembira dia

minum-minum. Si pembicara perlu menyelidiki dan mencari bukti lebih lanjut untuk

mencoret kesimpulan rival ini. Kesalahan ini lebih mudah dihindari jika akibatnya jelas

terpisah dari sebab, dan timbulnya setelah sebab. Kita paling mungkin melakukan kesalahan

ini ketika sebab dan akibatnya merupakan kondisi yang terjadi bersamaan atau ketika akibat

timbul dalam jangka panjang. Situasi yang kompleks membutuhkan analisis yang hati-hati

dan cermat sebelum kita dapat mengambil kesimpulan yang paling mungkin.

Menanggapi Kesalahan Mengacaukan Sebab dan Akibat

Jika si pembicara hanya ceroboh dalam menilai bukti yang ada, kita cuma perlu menunjukkan

kepadanya bahwa bukti yang ada juga dapat mendukung hubungan kausal yang sebaliknya.

Lalu usulkan bahwa dia perlu melakukan penelitian lebih lanjut sebelum menarik

kesimpulan. Jika dia menolak usulan itu dan mengajukan argumen kausal yang spekulatif

untuk mendukung interpretasinya atas data yang ada, coba tunjukkan bahwa hubungan kausal

yang diajukannya itu memang hanya spekulasi saja yang tidak didukung oleh data empiris.

Page 87: BAB III Dasar-Dasar Logika

102

Mintalah dia memberikan data empiris, lalu nilailah data yang diberikannya. Siapa tahu,

mungkin kesimpulannya dapat diterima.

9.5.2 Mengabaikan Penyebab Bersama

Kesalahan karena mengabaikan penyebab bersama terjadi ketika seorang pembicara

menyimpulkan bahwa X adalah penyebab Y sementara sebenarnya keduanya merupakan

akibat dari sebab lain. Kesalahan ini dan pengacauan sebab dan akibat juga disebut kesalahan

penyebab-gejala. Contoh berikut akan menunjukkan mengapa disebut demikian.

Jimmy demamnya sangat tinggi. Itu yang menyebabkan wajahnya berbintik-bintik

merah. Dalam contoh itu, si pembicara menyimpulkan bahwa demam Jimmy menyebabkan bintik-

bintik merah di wajahnya. Walaupun mungkin saja hal itu benar—karena memang ada orang

yang kulitnya jadi berbintik-bintik merah jika dia demam—namun kesimpulan ini tidak dapat

dipercaya tanpa bukti lebih lanjut. Jika Jimmy menderita cacar air, maka baik demam

maupun bintik-bintiknya merupakan akibat atau gejala dari penyakit Jimmy. Jadi, sama

seperti pada kesalahan mengacaukan sebab dan akibat, tanggapan kita selalu adalah bahwa

kita membutuhkan lebih banyak bukti dan analisis dalam suatu situasi yang kompleks

sebelum kita dapat mempercayai kesimpulan apa pun.

Menanggapi Kesalahan Mengabaikan Penyebab Bersama

Sama seperti pada kesalahan mengacaukan sebab dan akibat, kesalahan ini sering kali

merupakan akibat dari kurang sadarnya pembicara bahwa hubungan dan kondisi kausal boleh

jadi merupakan masalah yang rumit, dan bahwa kita seharusnya menarik kesimpulan hanya

setelah menilai data dengan sangat hati-hati. Namun, bahkan dengan berhati-hati pun, tetap

ada kemungkinan terdapat kesalahan dalam situasi kausal yang kompleks sehingga

kesimpulan kita harus tetap tentatif.

Oleh sebab itu, tanggapan kita atas kesalahan ini seharusnya sama dengan tanggapan

atas kesalahan mengacaukan sebab dan akibat. Kita mencoba untuk memaksa si pembicara

menilai kembali buktinya atau memberi bukti empiris yang mendukung analisisnya. Kita

menyediakan alternatif hubungan kausal untuk menjadi tandingan bagi kesimpulannya.

Perbedaannya adalah, kita bukan memaksanya mengakui kemungkinan bahwa hubungan

kausalnya terbalik, tapi bahwa ada faktor penyebab yang terabaikan.

9.5.3 Kesalahan Penyebab Yang Salah (Kesalahan Post Hoc)

Page 88: BAB III Dasar-Dasar Logika

103

Cukup sering kita jumpai satu contoh kejadian kausal saja sudah cukup bagi kita untuk

menarik kesimpulan yang benar mengenai apa yang terjadi. Kita melihat sebuah bom jatuh

dengan akibat ada ledakan. Kita menyentuh kompor yang menyala dan tangan kita terbakar.

Dalam kasus-kasus seperti ini, kita bahkan tidak mempertanyakan hubungan kausal antara

kejadian-kejadian itu. Pengetahuan umum kita tentang dunia dapat digunakan untuk

menjelaskan hubungan kausal pada kejadian-kejadian itu.

Kesalahan penyebab yang salah juga disebut kesalahan post hoc, ergo propter hoc. Ini

merupakan kata-kata dalam bahasa Latin yang artinya ‘sesudah ini, maka, karena ini’. Orang

yang melakukan kesalahan ini sering disebut melakukan penalaran post-hoc. Kita melakukan

kesalahan penalaran post hoc ketika kita menyimpulkan—tanpa dasar yang cukup kuat—

semata-mata hanya karena Y mengikuti X, maka X pasti penyebab Y. Kesalahan dalam

argumen seperti ini adalah bahwa kesimpulannya merupakan pernyataan kausal yang kurang

didukung oleh bukti, dan tidak ada informasi tambahan maupun hipotesis pembantu yang

membuat hubungan kausal itu masuk akal. Memang, kita sering kali menentang penalaran

seorang pembicara dengan mengajukan alternatif analisis kausal dari situasi yang

diperdebatkan. Perhatikanlah contoh berikut.

(1) Ya, anak muda, begitu mereka mulai menambahkan fluor pada air minum di kota

ini, teman-teman saya mulai meninggal kena serangan jantung. Tidak boleh itu.

Memang, kita tidak boleh bermain-main dengan alam. Delapan puluh tahun

makan asam garam dunia sudah menunjukkan itu padaku.

(2) Setan kulit putih itu punya kekuatan untuk membunuh dengan suara. Kemarin,

saya melihat salah satu dari mereka mengangkat sebuah tongkat. Setelah suara

yang sangat keras, timbul lubang pada kijang itu yang mengeluarkan darah

sehingga kijang itu mati. Seorang setan kulit putih lain mengangkat tongkat,

mengeluarkan suara keras, dan seekor kijang lain jatuh mati. Ini terjadi berulang-

ulang, selain pada kijang juga pada hewan ternak. Saya mencoba mengangkat

tongkat dan berteriak “Dor!” sekeras-kerasnya. Sayangnya, suara saya tidak

cukup keras untuk membunuh seekor laba-laba pun, apalagi salah satu dari setan

kulit putih itu.

Dalam masing-masing kasus, si pembicara menemukan korelasi yang positif antara dua

kondisi atau kejadian. Apa yang terjadi sebelum akibat dianggap sebagai sebab, dan itu

menjadi satu-satunya bukti yang diberikan untuk menarik kesimpulan.

Pada contoh (1), si pembicara secara implisit menyimpulkan bahwa minum air yang

mengandung fluor telah menyebabkan teman-temannya meninggal kena serangan jantung.

Namun, tanpa bukti lebih lanjut, kesimpulannya belum dapat dipercaya. Dia melakukan

kesalahan penalaran post hoc. Karena dia berusia 80 tahun, barangkali teman-temannya pun

Page 89: BAB III Dasar-Dasar Logika

104

sudah tua juga, dan mereka meninggal karena memang sudah lanjut usia. Tentu saja,

mungkin ada hubungan kausal antara minum air yang menandung fluor dengan serangan

jantung pada orang lanjut usia, tetapi tanpa penelitian dan bukti lebih lanjut, hipotesis ini

tidak dapat diterima.

Dalam contoh (2), si pembicara sudah benar menghubungkan suara senjata dengan

kematian. Tetapi hubungan itu adalah korelasi, bukan kausal. Karena kita tahu bagaimana

sebuah senjata dapat membunuh, dengan mudah kita dapat menerangkan kepadanya bahwa

dia telah salah menginterpretasikan bukti yang dimilikinya.

Menanggapi Kesalahan Penyebab yang Salah

Tanggapan atas kesalahan tentang penyebab sama dengan cara menghadapi kesalahan-

kesalahan kausal sebelumnya. Kita meminta si pembicara menilai kembali data yang ada

untuk membuatnya menyadari bahwa dia mungkin telah salah menginterpretasikannya. Jika

dia cuma ceroboh dan jika kita tahu penyebab yang sebenarnya, kita cukup menjelaskan

kepadanya letak kesalahannya. Ini yang terjadi pada contoh (2). Cara lain adalah kita dapat

menjelaskan padanya mengapa korelasi tidak sama dengan hubungan kausal. Lalu, mintalah

kepadanya untuk memberikan lebih banyak bukti yang menunjukkan hubungan kausal antara

kejadian-kejadian itu.

9.5.4. Mengacaukan Penyebab Yang Berupa Necessary Condition dengan Sufficient

Condition

Kesalahan ini terjadi ketika seseorang salah menganggap atau mengacaukan suatu penyebab

yang merupakan necessary condition dengan penyebab yang merupakan sufficient condition

bagi akibatnya. Ini paling mungkin terjadi jika pembicara tidak memahami term-term

kondisional seperti yang telah dijelaskan di pasal 1. Perhatikanlah contoh berikut.

(1) Donna, kamu bilang jika saya ingin membuat kue yang bagus, saya harus

menggunakan telur segar. Saya sudah mencobanya. Tapi kue yang saya buat

jadi bantat dan tidak enak. Pesta saya jadi berantakan. Saya tidak akan pernah

mengikuti nasehatmu lagi.

(2) Profesor, Bapak mengatakan bahwa saya tidak akan dapat A untuk mata kuliah

ini kecuali saya mendapat nilai 80 pada ujian akhir. Dan saya memang dapat

80. Tetapi Bapak berbohong. Bapak hanya memberi saya nilai B. Saya ingin

protes.

Page 90: BAB III Dasar-Dasar Logika

105

Pada contoh (1), maksud pernyataan Donna adalah bahwa telur segar merupakan bahan

yang diperlukan (necessary) untuk membuat kue yang baik. Kita tidak tahu apakah si

pembicara melaksanakan juga necessary condition lainnya seperti oven yang panas. Dalam

kasus ini, ia menyimpulkan bahwa telur yang segar sudah memadai (sufficient) untuk

menghasilkan kue yang baik. Ini jelas salah. Orang sering salah paham mengenai term

kondisional. Kata-kata seperti hanya dan kecuali sering kali digunakan untuk mewakili

kondisi yang perlu (necessary) sekaligus memadai (sufficient). Penggunaan kata-kata secara

kacau seperti ini menunjukkan bahwa mereka tidak memahami secara jelas struktur bahasa.

Pada contoh (2), si pembicara juga melanggar hal ini. Dia beranggapan bahwa sang

profesor berkata bahwa mendapat nilai 80 pada ujian akhir merupakan syarat yang memadai

untuk memperoleh nilai A untuk mata kuliah itu. Pernyataan sang profesor memaksudkan

nilai 80 sebagai syarat yang perlu (necessary condition). Mungkin sang profesor harus

mengungkapkan maksudnya dengan lebih jelas jika dia tahu bahwa orang sering

menyalahartikan term kondisional. Karena kita tidak tahu apa lagi yang sebenarnya dikatakan

oleh sang profesor, kita tidak dapat menyalahkan salah satu pihak. Namun berdasarkan bukti-

bukti yang ada, protes si pembicara tidak dapat diterima.

Menanggapi Kesalahan Mengacaukan Syarat yang Perlu dengan Syarat yang Memadai

Cara terbaik untuk menghadapi kesalahan ini adalah mencoba mencegahnya. Harus

dipastikan bahwa kita menggunakan term-term secara benar dan bahwa orang lain memahami

apa yang kita katakan. Karena orang sering kali tidak memahami term kondisional, harus

digunakan cara lain untuk membuat maksud kita jelas. Jika kesalahan ini terjadi, kita perlu

menerangkan arti term kondisional. Salah satu cara yang dapat digunakan adalah

menunjukkan contoh yang jelas di mana kesalahan seperti ini terjadi. Contoh (1) merupakan

contoh yang cukup jelas. Coba pikirkan contoh lain juga. (Lihat kembali pasal 1 yang

membahas term kondisional. )

Latihan 9.4 (Kesalahan Kausal)

Untuk masing-masing soal berikut, identifikasilah si pembicara sedang ingin mempengaruhi

kita untuk meyakini apa. Jelaskan kesalahannya, jika ada, dan sebutkan namanya.

1. Tentu saja Tanya mendapat nilai bagus. Dia, ‘kan, anak emas guru.

Page 91: BAB III Dasar-Dasar Logika

106

2. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa 90% dari mereka yang merokok berat juga

minum paling sedikit 5 gelas kopi setiap hari. Menurut saya cukup jelas bahwa banyak

merokok menyebabkan orang banyak minum kopi.

3. Mati aku. Aku tadi melakukan apa, ya? Begitu aku masuk ke restoran itu, Jill berdiri dan

pergi dengan terburu-buru lewat pintu belakang. Aku pasti melakukan suatu kesalahan

sehingga dia pergi seperti itu.

9.7 Kesalahan Analogi

Kesalahan analogi terjadi ketika orang menggunakan analogi yang tidak tepat atau yang

menyesatkan dalam argumennya. Dari sudut pandang logika, argumen analogi bukanlah

argumen yang paling baik. Analogi dapat merupakan cara pandang yang original, kreatif, dan

menohok pikiran. Namun analogi tidak dapat menggantikan argumentasi langsung mengenai

suatu sudut pandang. Ketika pembicara menggunakan analogi yang buruk atau tidak cocok,

argumennya seharusnya ditolak. Sayangnya, orang-orang tetap saja mungkin terpengaruh.

Perhatikanlah contoh berikut.

Negara itu seperti sebuah kapal, dengan presiden sebagai kapten kapalnya.

Seperti juga seorang kapten harus dipatuhi tanpa dipertanyakan, demikian pula

seorang presiden harus mendapat kesetiaan dan kepatuhan dari kabinetnya. Analogi dalam contoh ini merupakan analogi yang buruk. Pertama, ada banyak aspek

yang membuat sebuah negara sangat berbeda dengan sebuah kapal. Salah satu aspek yang

paling penting adalah: kapal selalu berada dalam situasi yang berubah dengan cepat, penuh

stres dan bahaya. Ini menuntut tindakan yang terpadu dan segera. Negara tidak demikian,

kecuali dalam keadaan perang atau ketika menghadapi masalah seperti bencana alam atau

masalah-masalah mendesak lainnya. Biasanya, kita mempunyai waktu untuk mendiskusikan

dan merefleksikan situasi yang ada sehingga keputusan yang diambil pun lebih bijaksana.

Karena itulah kapten diberi kekuasaan yang mirip diktator sementara presiden lebih baik

tidak. Jadi, kesimpulan yang diperoleh dari argumen di atas lemah.

Kedua, dasar analogi itu lemah. Bahkan dalam situasi yang sangat berbahaya pun, tidak

benar bahwa kapten harus dipatuhi tanpa dipertanyakan; misalnya, apakah si pembicara akan

tetap meyakini pendapatnya jika kaptennya mabuk atau gila. Lalu, apakah presiden harus

dipatuhi jika dia gila, atau jika dia memerintahkan bawahannya untuk melakukan tindakan

kriminal atau tindakan yang melawan undang-undang dasar? Seperti juga seorang anak buah

kapal wajib melawan perintah kapten, begitu juga kabinet wajib melawan presiden dalam

kasus seperti itu. Jadi, kesimpulan di atas tidak dapat diterima.

Page 92: BAB III Dasar-Dasar Logika

107

Menanggapi Analogi yang Salah

Secara umum, ada dua cara menanggapi analogi yang salah. Pertama, dengan menunjukkan

bahwa hal-hal yang dianalogikan mempunyai terlalu banyak perbedaan yang relevan

sehingga kesimpulannya tidak meyakinkan. Ini seperti respon pertama kita pada contoh di

atas. Kedua, dengan menunjukkan kelemahan analogi itu, dengan cara melanjutkan analogi

itu hingga mencapai kesimpulan yang tidak dapat diterima si pembicara. Ini seperti kritik

kedua kita pada contoh di atas. Si pembicara mungkin menjawab bahwa kita tidak boleh

terlalu serius menanggapi analogi ini. Ini, ‘kan, hanya analogi. Kita dapat menyetujui bahwa

ini memang hanyalah analogi. Lalu, mintalah alasan lain yang lebih langsung untuk

meyakinkan kita akan kebenaran kesimpulannya.

Latihan 9.5 (Analogi yang Salah)

Untuk masing-masing soal berikut, identifikasilah: si pembicara sedang ingin mempengaruhi

kita untuk meyakini apa. Jelaskan kesalahannya, jika ada, dan jelaskan juga bagaimana Anda

akan menyerang analogi ini.

1. Kalau kamu memancung kepala seseorang, maka organnya yang lain tidak akan dapat

lagi berfungsi, dan orang itu akan mati. Begitu pula kalau kamu memenggal kepala suatu

negara, maka negara itu akan mengalami kekacauan untuk beberapa waktu, dan sudah

pasti negara itu akan hancur dengan berjalannya waktu atau menjadi sasaran empuk bagi

negara-negara tetangganya. Jadi, mengkudeta pemerintah yang sudah mapan tidak akan

pernah menguntungkan negara mana pun.

2. Menghisap rokok sama saja dengan menelan arsenik. Keduanya sudah terbukti

menyebabkan kematian. Jadi, jika kamu tidak ingin menelan sesendok arsenik, maka

kamu pun seharusnya tidak ingin terus merokok.

3. Dunia ini seperti sebuah jam. Keduanya merupakan sistem yang terdiri dari bagian-bagian

yang bergerak, yang diatur secara sangat tepat, mempunyai keseimbangan dan gerakan

yang seragam dan berulang-ulang. Karena jam diciptakan oleh seseorang, maka dunia

juga pasti mempunyai pencipta. Pencipta itu kita sebut Tuhan.

Latihan 9.6 (Kesalahan Induksi)

Untuk masing-masing soal berikut, identifikasilah: si pembicara sedang ingin mempengaruhi

kita untuk meyakini apa. Jelaskan kesalahannya, jika ada, dan sebutkan nama kesalahan itu.

Page 93: BAB III Dasar-Dasar Logika

108

1. Saya minum vodka dicampur air pada hari Senin, dan saya mabuk. Saya minum scotch

dicampur air pada hari Selasa, dan saya mabuk. Saya minum wiski dicampur air pada hari

Rabu, dan saya mabuk. Nah, jelas, bukan? Minum air membuat kita mabuk.

2. Jenny merokok berat, dan ketika dia tidak merokok, dia mengunyah tembakau.

Kemungkinan dia akan menderita kanker paru-paru atau kanker mulut.

3. Penelitian menunjukkan bahwa siswa yang mendapat nilai baik belajar sekitar tiga jam

setiap hari. Kamu ingin mendapat nilai baik, ‘kan? Yang perlu kamu lakukan cuma

belajar sekitar tiga jam setiap hari.

Page 94: BAB III Dasar-Dasar Logika

109

DAFTAR PUSTAKA

Ackrill, J. L. 1961. Aristotle’s Categories and De Interpretatione. Clarendon Aristotle Series.

Oxford: Clarendon Press.

Bertens, K. 1999. Sejarah Filsafat Yunani. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.

Bierman, A. K. dan Assali, R. N. 1994. The Critical Thinking Handbook. New Jersey:

Prenctice Hall.

Bittle, C. N. 1950. The Science of Correct Thinking: Logic. Milwaukee: The Bruce

Publishing Company.

Copi, I. M. dan Cohen, C. 1990 (ed. ke-8). Introduction to Logic. Ohio: Macmillan.

Dolhenty, J. 2001 (ed. ke-9). The Problem of Knowledge: A Brief Introduction to

Epistemology. Oregon: The Radical Academy.

Owen, G. E. L., ed. 1968. Aristotle on Dialectic: The Topics. Proceedings of the Third

Symposium Aristotelicum. Cambridge: Cambridge University Press.

Ryle, G. 1949. The Concept of Mind, London: Hutchinson.

Smith, Robin. 2000. “Aristotle’s Logic” [email protected] dalam situs web

Stanford Encyclopedia of Philosophy.

Takwin, B. 2005. Kesadaran Plural: Sebuah Sintesis Rasionalitas Dan Kehendak Bebas.

Yogyakarta: Jalasutra.