bab ii yanyan (siap)
DESCRIPTION
landasan teori perancang struktur jalanTRANSCRIPT
LANDASAN TEORI
BAB II
LANDASAN TEORI
II.1 Klasifikasi Jalan
II.1.1 Klasifikasi menurut fungsi jalan
Klasifikasi jalan menurut fungsi jalan terbagi atas:
1. Jalan Arteri
2. Jalan Kolektor
3. Jalan Lokal
Jalan Arteriadalah: Jalan yang melayani angkutan utama dengan ciri-ciri
perjalanan jarak jauh, dengan kecepatan rata-rata tinggi, dan jumlah jalan
masuk dibatasi secara efisien.
Jalan Kolektor adalah: Jalan yang melayani angkutan pengumpul/pembagi
dengan ciri-ciri perjalanan jarak sedang, kecepatan rata-rata sedang dan
jumlah jalan masuk dibatasi
Jalan Lokal adalah: Jalan yang melayani angkutan setempat dengan ciri-ciri
perjalanan jarak dekat, kecepatan rata-rata rendah, dan jumlah jalan masuk
tidak dibatasi.
Perancangan StrukturPerencanaan Jalan Kelas III Pada Daerah Datar
6
LANDASAN TEORI
II.1.2 Klasifikasi menurut kelas jalan
Klasifikasi jalan menurut kelas jalan adalah sebagai berikut:
Tabel 2.1 Klasifikasi menurut kelas jalan
Fungsi KelasMuatan Sumbu Terberat
MST(ton)
Arteri
I
II
III A
>10
10
8
KolektorIII A
III B8
II.1.3 Klasifikasi menurut medan jalan
Medan jalan diklasifikasikan berdasarkan kondisi sebagian besar
kemiringan medan yang diukur tegak lurus dari kontur. Klasifikasi jalan
menurut medan jalan untuk perencanaan geometrik jalan dapat dilihat dalam
tabel berikut:
Tabel 2.2 Klasifikasi menurut kelas jalan
No Jenis Medan Notasi Kemiringan Medan (%)
1 Datar D <3
2 Bukit B 3 – 25
3 Gunung G >25
Perancangan StrukturPerencanaan Jalan Kelas III Pada Daerah Datar
7
LANDASAN TEORI
II.2 Kecepatan Rencana
Kecepatan rencana (Vr) pada ruas jalan adalah kecepatan yang dipilih
sebagai dasar perencanaan geometrik jalan yang memungkinkan
kendaraan–kendaraan bergerak dengan aman dan nyaman dalam kondisi
cuaca yang cerah, lalu lintas yang lenggang, dan tanpa pengaruh samping
jalan yang berarti.
Tabel 2.3 Kecepatan Rencana (Vr) sesuai klasifikasi fungsi dan klasifikasi medan
II.3 Bagian – Bagian Jalan
II.3.1 Daerah Manfaat Jalan (DAMAJA)
a. Lebar antara batas ambang pengaman konstruksi jalan di
kedua sisi jalan
b. Tinggi 5 meter diatas permukaan perkerasan pada sumbu jalan
c. Kedalaman ruang bebas 1,5 m di bawah muka jalan
II.3.2 Daerah Milik Jalan (DAMIJA)
Ruang daerah milik jalan (DAMIJA) dibatasi oleh lebar yang
sama dengan (DAMAJA) ditambah ambang pengaman konstruksi jalan
dengan tinggi 5m dankedalaman 1,5m.
Perancangan StrukturPerencanaan Jalan Kelas III Pada Daerah Datar
8
LANDASAN TEORI
II.3.3 Daerah Pengawasan Jalan (DAWASJA)
Ruang sepanjang jalan di luar DAMIJA yang dibatasi oleh tinggi
dan lebar tertentu, diukur dari sumbu jalan sesuai dengan fungsi jalan:
a. Jalan Arteri minimum 20 meter
b. Jalan Kolektor minimum 15 meter
c. Jalan Lokal minimum 10 meter
Gambar 2.1 DAMAJA, DAMIJAdan DAWASJA di lingkungan jalan antar kota
Perancangan StrukturPerencanaan Jalan Kelas III Pada Daerah Datar
9
LANDASAN TEORI
II.4 Alinyemen Horizontal
Alinyemen horizontal yaitu bentuk proyeksi sumbu jalan pada bidang
horizontal. Alinyemen horizontal sering juga dikenal dengan nama situasi
jalan atau trase jalan. Alinyemen horizontal terdiri dari bagian lurus dan
bagian lengkung. Bagian lengkung tersebut bisa terdiri dari lengkung
peralihan dan 3 jenis tikungan yaitu:
Lingkaran (Full Circle = F-C)
Spiral-Lingkaran-Spiral (Spiral- Circle- Spiral = S-C-S)
Spiral-Spiral (S-S)
II.4.1 Gaya Sentrifugal
Yaitu apabila suatu kendaraan bergerak dengan kecepatan tetap (v)
pada suatu bidang datar atau bidang miring dengan lintasan yang berbentuk
lengkung yang menyerupai bentuk lingkaran. Pada kendaraan tersebut
berkerja gaya sentrifugal (F) dan kecepatan (v). Gaya sentrifugal dapat
mendorong kendaraan secara radial keluar dari lajur jalannya, berarah tegak
lurus terhadap arah kecepatan(v).
Gaya sentrifugal (F)= m.a
Dimana :
M= massa = G/g
G= berat kendaraan
Perancangan StrukturPerencanaan Jalan Kelas III Pada Daerah Datar
10
LANDASAN TEORI
g = gaya gravitasi bumi
a = percepatan sentrifugal = V² /R
V = kecepatan kendaraan dan
R= jari –jari lengkung lintasan
Dengan demikian gaya sentrifugal dapat ditulis sebagai berikut :
F = G . V² / g.R
II.4.2 Lengkung Peralihan
Secara garis besar lengkung peralihan didefinisikan sebagai suatu
lengkung yang dibuat berdasarkan peralihan dari R = tak terhingga, sampai
ketikungan yang berbentuk busur lingkaran R = Rc.
II.4.3 Diagram Super Elevasi
Diagram super elevasi atau diagram kemiringan melintang
menggambarkan suatu pencapaian super elevasi yang dimulai dari lereng
yang normal kesuper elevasi penuh, sehingga dengan mempergunakan
diagram tersebut maka dapatlah ditentukan suatu bentuk penampang
melintang pada titik –titik pada lengkung horizontal yang telah direncanakan.
Diagram super elevasi ini didesain berdasarkan elevasi sumbu jalan sebagai
garis nol. Dimana elevasi pada tepi perkerasan diberi tanda positif atau
negatif ditinjau dari ketinggian sumbu jalan. Dimana dijelaskan tanda positif
yakni untuk elevasi ditepi perkerasan yang sedikit lebih tinggi dari sumbu
Perancangan StrukturPerencanaan Jalan Kelas III Pada Daerah Datar
11
LANDASAN TEORI
jalan, sedangkan tanda negatif untuk elevasi tepi perkerasan yang letaknya
lebih rendah dari sumbu jalan.
II.4.4 Panjang Bagian Lurus
Panjang maksimum bagian lurus harus dapat ditempuh dalam waktu ≤
2,5 menit (Sesuai Vr), dengan pertimbangan keselamatan pengemudi akibat
dari kelelahan.
Tabel 2.4 Panjang bagian Lurus Maksimum
II.4.5 Bentuk Lengkung Horizontal
a. Jari - Jari Tikungan Minimum
Agar kendaraan stabil saat melalui tikungan, perlu dibuat suatu
kemiringanmelintang jalan pada tikungan yang disebut superelevasi (e).
Pada saat kendaraan melalui daerah superelevasi, akan terjadi gesekan
arah melintangjalan antara ban kendaraan dengan permukaan aspal yang
menimbulkan gaya gesekan melintang. Perbandingan gaya gesekan
melintang dengan gayanormal disebut koefisien gesekan melintang (f).
Perancangan StrukturPerencanaan Jalan Kelas III Pada Daerah Datar
12
LANDASAN TEORI
Rumus penghitungan lengkung horizontal:
Keterangan: Rd: Jari-jari lengkung (m)
Dd: Derajat lengkung (o)
Untuk menghindari terjadinya kecelakaan, maka untuk kecepatan tertentu
dapat dihitung jari-jari minimum untuk superelevasi maksimum dan koefisien
gesekan maksimum.
Keterangan: Rmin: Jari-jari tikungan minimum (m)
Vr: Kecepatan kendaraan rencana (km/jam)
emaks: Superelevasi maksimum (%)
fmaks: Koefisien gesekan melintang maksimum
Dd: Derajat lengkung (°)
Dmaks: Derajat maksimum
Untuk perhitungan, digunakan emaks = 10 % sesuai tabel.
Perancangan StrukturPerencanaan Jalan Kelas III Pada Daerah Datar
13
LANDASAN TEORI
Tabel 2.5 Panjang jari-jari minimum (dibulatkan) untuk emaks = 10%
VR
(km/jam)120 100 90 80 60 50 40 30 20
Rmin (m) 600 370 280 210 115 80 50 30 15
Untuk kecepatan rencana:
< 80 km/jam berlakufmaks= - 0,00065 V + 0,192
80 – 112 km/jam berlaku fmaks= - 0,00125 V + 0,24
b. Lengkung Peralihan (Ls)
Dengan adanya lengkung peralihan, maka tikungan menggunakan
jenis S-C-S. Panjang lengkung peralihan (Ls), menurut Tata Cara
Perencanaan Geometrik Jalan diambil nilai yang terbesar dari tiga
persamaan di bawah ini:
1. Berdasar waktu tempuh maksimum (3 detik), untuk melintasi
lengkungperalihan, maka panjang lengkung:
2. Berdasarkan antisipasi gaya sentrifugal, digunakan rumus
ModifikasiShortt:
Perancangan StrukturPerencanaan Jalan Kelas III Pada Daerah Datar
14
LANDASAN TEORI
3. Berdasarkan tingkat pencapaian perubahan kelandaian
4. Sedangkan Rumus Bina Marga
Keterangan:
- T = Waktu tempuh = 3 detik
- Rd = Jari-jari busur lingkaran (m)
- C = Perubahan percepatan 0,3-1,0 disarankan 0,4 m/det2
- re = Tingkat pencapaian perubahan kelandaian melintang jalan,
sebagaiberikut:
Untuk Vr ≤ 70 km/jam Untuk Vr ≥ 80 km/jam
remaks = 0,035 m/m/det re mak = 0,025 m/m/det
e = Superelevasi
em = Superelevasi Maksimum
en = Superelevasi Normal
Perancangan StrukturPerencanaan Jalan Kelas III Pada Daerah Datar
15
LANDASAN TEORI
c. Jenis Tikungan dan Diagram Superelevasi
1. Bentuk busur lingkaran Full Circle (F-C)
Gambar 2.2 Lengkung Full Circle
Keterangan :
- = Sudut Tikungan
- O = Titik Pusat Tikungan
- TC = Tangen to Circle
- CT = Circle to Tangen
- Rd = Jari-jari busur lingkaran
- Tt = Panjang tangen (jarak dari TC ke PI atau PI ke TC)
- Lc = Panjang Busur Lingkaran
- Ec = Jarak Luar dari PI ke busur lingkaran
Perancangan StrukturPerencanaan Jalan Kelas III Pada Daerah Datar
16
LANDASAN TEORI
FC (Full Circle) adalah jenis tikungan yang hanya terdiri dari bagian
suatulingkaran saja. Tikungan FC hanya digunakan untuk R (jari-jari) yang
besar agar tidak terjadi patahan, karena dengan R kecil maka diperlukan
superelevasi yang besar.
Tabel 2.6 Jari-jari tikungan yang tidak memerlukan lengkung peralihan
Tc = Rc tan ½
Ec = Tc tan ¼
Lc = 2πRc / 360o
2. Tikungan Spiral-Circle-Spiral (S-C-S)
Gambar 2.3 Lengkung Spiral-Circle-Spiral
Perancangan StrukturPerencanaan Jalan Kelas III Pada Daerah Datar
17
LANDASAN TEORI
Keterangan:
- Xs = Absis titik SC pada garis tangen, jarak dari titik ST ke SC
- Ys = Jarak tegak lurus ketitik SC pada lengkung
- Ls = Panjang dari titik TS ke SC atau CS ke ST
- Lc = Panjang busur lingkaran (panjang dari titik SC ke CS)
- Ts = Panjang tangen dari titik PI ke titik TS atau ke titik ST
- TS = Titik dari tangen ke spiral
- SC = Titik dari spiral ke lingkaran
- Es = Jarak dari PI ke busur lingkaran
- θs = Sudut lengkung spiral
- Rd = Jari-jari lingkaran
- p = Pergeseran tangen terhadap spiral
- k = Absis dari p pada garis tangen spiral
Rumus-rumus yang digunakan:
- θs = Ls x3602x Rd x2 π
- Δc = ΔPI – (2 x θs)
- Xs = Ls x (1 - Ls2
40 x Rd2)
- Ys = Ls2
6 x Rd
- P = Ys – Rd x ( 1 – cos θs )
- K = Xs – Rd x sin θs
Perancangan StrukturPerencanaan Jalan Kelas III Pada Daerah Datar
18
LANDASAN TEORI
- Et = Rd+ p
cos(∆2
) – Rr
- Tt = ( Rd + p ) x tan ( ½ PI ) + K
- Lc = ∆c x π x Rd180
- Ltot = Lc + (2 x Ls)
Jika P yang dihitung dengan rumus di bawah, maka ketentuan tikungan yang
digunakan bentuk S-C-S.
Untuk Ls = 1,0 m maka p = p’ dan k = k’
Untuk Ls = Ls maka P = p’ x Ls dan k = k’ x Ls
3. Tikungan Spiral-Spiral (S-S)
Tikungan yang disertai lengkung peralihan.
Perancangan StrukturPerencanaan Jalan Kelas III Pada Daerah Datar
19
LANDASAN TEORI
Gambar 2.4 Lengkung Spiral –Spiral
Untuk bentuk spiral-spiral berlaku rumus sebagai berikut:
- Lc = 0 dan θs = ½ PI
- Ltot = 2 x Ls
Untuk menentukan θs rumus sama dengan lengkung peralihan.
- Lc = ∆c x π x Rd
90
P, K, Ts, dan Es rumus sama dengan lengkung peralihan.
II.4.6 Jarak Pandang Henti
Jarak pandangan henti merupakan hal penting bagi keamanan dan
kenyamanan mengemudi. Semakin besar jaraknya semakin baik. Untuk jarak
minimumnya dapat menggunakan perumusan sebagai berikut :
Perancangan StrukturPerencanaan Jalan Kelas III Pada Daerah Datar
20
LANDASAN TEORI
D = V x T / 3,6 + ( V / 3,6 )2 / 2 g f
Dimana :
- D = jarak pandangan henti minimum (m)
- V = kecepatan laju, kecepatan rencana (km/jam)
- T = waktu tanggap (2,5 detik)
- g = kecepatan gravitasi (9,8 m / detik2)
- f = koefisien gesekan membujur (0,3 sampai 0,4)
Tabel 2.7 Jarak pandang henti (Jh) minimum
II.4.7 Ruang Bebas Samping
Pada tikungan yang mempunyai panjang jarak pandang tertentu, maka
tikungan itu perlu mempunyai lebar pandangan bebas (ruang bebas
samping) yang sesuai. Jika ruang bebas samping tidak tersedia di lokasi
jalan, maka jalan perlu diperlebar.
Rumus : E = D2 / 8R
Keterangan:
- E = Ruang bebas samping (m)
- D = Jarak pandangan (m)
- R = Jari-jari tikungan pada sumbu lajur sebelah dalam (m)
Perancangan StrukturPerencanaan Jalan Kelas III Pada Daerah Datar
21
LANDASAN TEORI
Gambar 2.5 Jarak pandangan pada lengkung horizontal
II.4.8 Pelebaran Perkerasan
Pelebaran perkerasan dilakukan pada tikungan-tikungan yang tajam, agar
kendaraan tetap dapat mempertahankan lintasannya pada jalur yang telah
disediakan.
Gambar dari pelebaran perkerasan pada tikungan dapat dilihat pada gambar
berikut ini.
Perancangan StrukturPerencanaan Jalan Kelas III Pada Daerah Datar
22
LANDASAN TEORI
Gambar 2.6 Pelebaran perkerasan pada tikungan
Rumus-rumus yang digunakan:
- B = n (b’ + c) + (n + 1) Td + Z
- b’ = b + b”
- b” = Rd2 -√Rd2+ p2
- Td = √Rd2+A(2 p+A) – Rd
- ε = B – W
Keterangan:
- B = Lebar perkerasan pada tikungan
- n = Jumlah jalur lalu lintas
- b = Lebar lintasan truk pada jalur lurus
- b’ = Lebar lintasan truk pada tikungan
- p = Jarak As roda depan dengan roda belakang truk
Perancangan StrukturPerencanaan Jalan Kelas III Pada Daerah Datar
23
LANDASAN TEORI
- A = Tonjolan depan sampai bumper
- W = Lebar perkerasan
- Td = Lebar melintang akibat tonjolan depan
- Z = Lebar tambahan akibat kelelahan pengamudi
- c = Kebebasan samping
- ε = Pelebaran perkerasan
- Rd = Jari-jari rencana
II.4.9 Control Overlapping
Pada setiap tikungan yang sudah direncanakan, maka jangan sampai
terjadi Over Lapping. Karena kalau hal ini terjadi maka tikungan tersebut
menjadi tidak aman untuk digunakan sesuai kecepatan rencana. Syarat
supaya tidak terjadi Over Lapping: λn > 3detik × Vr.
Dimana:
- λn = Daerah tangen (meter)
- Vr = Kecepatan rencana
Perancangan StrukturPerencanaan Jalan Kelas III Pada Daerah Datar
24
LANDASAN TEORI
Gambar 2.7 Control Overlapping
Vr = 40 km/jam = 11,11 m/det.
Syarat over lapping a’ ≥ a, dimana a = 3 x V detik = 3 x 11,11 =33,33 m
Bila:
- d1 = d A-1 – TS 1 ≥ 33,33 m (aman)
- d2 = ST1 – Jembatan 1 ≥ 33,33 m (aman)
- d3 = Jembatan 1- TS 2 ≥ 33,33 m (aman)
- d4 = ST 2 – Jembatan 2 ≥ 33,33 m (aman)
- d5 = Jembatan 2 – TS 3 ≥ 33,33 m (aman)
- d6 = ST 3 – TS 4 ≥ 33,33 m (aman)
- d7 = ST 4 – B ≥ 33,33 m (aman)
Perancangan StrukturPerencanaan Jalan Kelas III Pada Daerah Datar
25
LANDASAN TEORI
II.5 Alinyemen Vertikal
Alinyemen vertikal yaitu perpotongan antara bidang vertikal dengan
bidang permukaan perkerasan jalan yang melalui sumbu jalan untuk 2 (dua)
jalur, dan 2 (dua) arah. Kadang alinyemen vertikal juga sering disebut
sebagai penampang memanjang jalan. Dalam merencanakan alinyemen
vertikal dapat juga dipengaruhi oleh besarnya biaya pembangunan yang
tersedia yang mungkin dipengaruhi oleh faktor keadaan tanah, keadaan
lokasi atau tempat, fungsi jalan, kelandaian yang masih memungkinkan,
muka air banjir, dan muka air tanah.
Dalam merencanakan alinyemen vertikal, kita mengenal beberapa macam
istilah diantaranya:
- Kelandaian pada alinyemen vertikal
- Lengkung vertikal
- Lengkung vertikal cembung
- Lengkung vertikal cekung
II.5.1 Kelandaian pada alinyemen vertikal
a. Landai Maksimum
Pada landai maksimum, ± 25% kelandaiannya mulai memberikan
pengaruh pada laju kendaraan mobil yang dikendarai (mobil penumpang),
walau tidak hanya seberapa jika dibandingkan dengan gerakan kendaraan
truk dari kelandaian ini bisa kita lihat dari berkurangnya kecepatan
kendaraan jalan.
Perancangan StrukturPerencanaan Jalan Kelas III Pada Daerah Datar
26
LANDASAN TEORI
Panjang maksimum landai yang masih masih dapat di terima tanpa
mengakibatkan gangguan jalannyaarus lalu lintas yang berart,atau biasa di
sebut dengan istilah panjang kritis landai, adalah panjang yang
mengakibatkan pengurangan kecepatan maksimum sebesar 25 km/jam.
Oleh karena itu untuk membatasi perlambatan suatu kendaraan
khususnya truk pada arus lalu lintas, maka ditetapkan landai maksimum
untuk kecepatan tertentu. Untuk mengetahui apakah landai maksimum untuk
kecepatan rencana tertentu sudah kita tetapkan apa belum, maka kita bisa
menetapkannya dengan menggunakan tabel bina marga (luar kota), dan
tabel standar kelandaian AASHO guna untuk membatasi kelandaian
maksimum berdasarkan keadaan medan apakah datar, perbukitan atau
pegunungan.
Tabel 2.8 Kelandaian Maksimum yang diijinkan
b. Landai Minimum
Pada jalan yang menggunakan kerb pada tepi perkerasannya, perlu
dibuatkelandaian minimum 0,5 % untuk keperluan kemiringan saluran
samping, karena kemiringan jalan dengan kerb hanya cukup untuk
mengalirkan air kesamping.
Perancangan StrukturPerencanaan Jalan Kelas III Pada Daerah Datar
27
LANDASAN TEORI
c. Panjang kritis suatu kelandaian
Panjang kritis ini diperlukan sebagai batasan panjang kelandaian
maksimum agarpengurangan kecepatan kendaraan tidak lebih dari separuh
Vr.
Tabel 2.9 Panjang Kritis (m)
II.5.2 Lengkung Vertikal
Dimana suatu lengkung yang dipergunakan untuk pergantian dari
suatu kelandaian yang lainnya dinamakan lengkung vertikal. Adapun
lengkung vertical yang digunakan adalah lengkung para bola sederhana.
II.5.3 Lengkung vertikal Cembung
Adalah lengkung dimana titik perpotongan antara kedua tangent
berada di atas permukaan jalan.
Gambar 2.8 Lengkung Vertikal Cembung
Perancangan StrukturPerencanaan Jalan Kelas III Pada Daerah Datar
28
LANDASAN TEORI
- PLV = Titik awal lengkung parabola
- PV1 = Titik perpotongan kelandaian g1 dan g2
- g = Kemiringan tangen : (+) naik, (-) turun
- A = Perbedaan aljabar landai (g1 – g2 ) %
- EV = Pergeseran vertikal titik tengah besar lingkaran (PV1 – m) meter
- Jh = Jarak pandang
- 1 h = Tinggi mata pengaruh
- 2 h = Tinggi halangan
Panjang lengkung vertical cembung berdasarkan pada jarak pandang henti
yaitu dengan rumus :
Lvs = D2 ( i1 – i2 ) / 398
Dimana :
- Lvs : panjang minimum lengkung vertical cembung (m)
- D : jarak pandang henti (m)
- ( i1 – i2 ) : perbedaan aljabar untuk kelandaian i1 dan i2 (%)
Perancangan StrukturPerencanaan Jalan Kelas III Pada Daerah Datar
29
LANDASAN TEORI
II.5.4 Lengkung Vertikal Cekung
Adalah lengkung dimana titik perpotongan antara kedua tangent
berada di bawahpermukaan jalan.
Gambar 2.9 Lengkung Vertikal Cekung
Keterangan:
- PLV = Titik awal lengkung parabola
- PV1 = Titik perpotongan kelandaian g1 dan g2
- g = Kemiringan tangen : (+) naik, (-) turun
- A = Perbedaan aljabar landai (g1 – g2) %
- EV = Pergeseran vertikal titik tengah besar lingkaran (PV1 – m) meter
- Lv = Panjang lengkung vertikal
- V = Kecepatan rencana ( km/jam)
Panjang lengkung vertikal cembung berdasarkan pada jarak pandangan
henti yaitu dengan rumus:
LVS = V2 ( i1 – i2 ) / 360
Dimana:
- LVS = panjang minimum lengkung vertikal cembung (m)
- D = jarak pandangan henti (m)
- (i1-i2) = perbedaan aljabar untuk kelandaian i1 dan i2 (%)
Perancangan StrukturPerencanaan Jalan Kelas III Pada Daerah Datar
30
LANDASAN TEORI
II.6 Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur
Perencanaan konstruksi lapisan perkerasan lentur disini untuk jalan
baru denganMetoda Analisa Komponen, yaitu dengan metoda analisa
komponen SKBI – 2.3.26.1987.
Gambar 2.10 Susunan Lapis Konstruksi Perkerasan Lentur
Adapun untuk perhitungannya perlu pemahaman Istilah-istilah sebagai
berikut:
II.6.1 Lalu Lintas
1. Lalu lintas harian rata-rata (LHR)
Lalu lintas harian rata-rata (LHR) setiap jenis kendaraan ditentukan
pada awal umur rencana, yang dihitung untuk dua arah pada jalan tanpa
median atau masingmasing arah pada jalan dengan median.
- Lalu lintas harian rata-rata permulaan (LHRP)
- Lalu lintas harian rata-rata akhir (LHRA)
Perancangan StrukturPerencanaan Jalan Kelas III Pada Daerah Datar
31
LANDASAN TEORI
2. Rumus-rumus Lintas ekivalen
- Lintas Ekivalen Permulaan (LEP)
- Lintas Ekivalen Akhir (LEA)
- Lintas Ekivalen Tengah (LET)
- Lintas Ekivalen Rencana (LER)
Dimana:
- i1 = Pertumbuhan lalu lintas masa konstruksi
- i2 = Pertumbuhan lulu lintas masa layanan
- J = jenis kendaraan
- n1 = masa konstruksi
- n2 = umur rencana
- C = koefisien distribusi kendaraan
- E = angka ekivalen beban sumbu kendaraan
Perancangan StrukturPerencanaan Jalan Kelas III Pada Daerah Datar
32
LANDASAN TEORI
II.6.2 Koefisien Distribusi Kendaraan
Koefisien distribusi kendaraan (C) untuk kendaraan ringan dan berat
yang lewat pada jalur rencana ditentukan menurut daftar di bawah ini:
Tabel 2.10 Koefisien Distribusi Kendaraan
*) Berat total < 5 ton, misalnya: Mobil Penumpang, Pick Up, Mobil Hantaran.
**) Berat total ≥ 5 ton, misalnya: Bus, Truk, Traktor, Semi Trailer, Trailer.
II.6.3 Angka Ekivalen (E) Beban Sumbu Kendaraan
Angka Ekivalen (E) masing-masing golongan beban umum (Setiap
kendaraan) ditentukan menurut rumus daftar sebagai berikut:
Tabel 2.11 Angka Ekivalen (E) Sumbu Kendaraan
Perancangan StrukturPerencanaan Jalan Kelas III Pada Daerah Datar
33
LANDASAN TEORI
Perancangan StrukturPerencanaan Jalan Kelas III Pada Daerah Datar
34
LANDASAN TEORI
II.6.4 Daya Dukung Tanah Dasar (DDT dan CBR)
Gambar 2.11 Korelasi DDT dan CBR
Catatan: Hubungan nilai CBR dengan garis mendatar kesebelah kiri
diperoleh nilai DDT.
II.6.5 Faktor Regional (FR)
Faktor regional bisa juga juga disebut faktor koreksi sehubungan
denganperbedaan kondisi tertentu. Kondisi-kondisi yang dimaksud antara
lain keadaanlapangan dan iklim yang dapat mempengaruhi keadaan
Perancangan StrukturPerencanaan Jalan Kelas III Pada Daerah Datar
35
LANDASAN TEORI
pembebanan daya dukung tanah dan perkerasan. Dengan demikian dalam
penentuan tebal perkerasan ini Faktor Regional hanya dipengaruhi bentuk
alinyemen (Kelandaian dan Tikungan)
Tabel 2.12 Persentase kendaraan berat dan yang berhenti serta iklim
II.6.6 Indeks Permukaan (IP)
Indeks Permukaan ini menyatakan nilai dari pada kerataan/ kehalusan
serta kekokohan permukaan yang bertalian dengan tingkat pelayanan bagi
lalu – lintas yang lewat.
Adapun beberapa nilai IP beserta artinya adalah sebagai berikut:
- IP = 1,0 : adalah menyatakan permukaan jalan dalam keadaan rusak
beratsehingga sangat menggangu lalu lintas kendaraan.
- IP = 1,5 : adalah tingkat pelayanan rendah yang masih mungkin (jalan
tidakterputus ).
- IP = 2,0 : adalah tingkat pelayanan rendah bagi jalan yang mantap
- IP = 2,5 : adalah menyatakan permukaan jalan masih cukup stabil dan
baik.
Perancangan StrukturPerencanaan Jalan Kelas III Pada Daerah Datar
36
LANDASAN TEORI
Tabel 2.13 Indeks permukaan Pada Akhir Umur Rencana (IPt)
Dalam menentukan indeks permukaan pada awal umur rencana (IPo) perlu
diperhatikan jenis lapis permukaan jalan (kerataan/ kehalusan serta
kekokohan) pada awal umur rencana menurut tabel di bawah ini:
Tabel 2.14 Indeks Permukaan Pada Awal Umur Rencana (IPo)
II.6.7 Koefisien kekuatan relative (a)
Koefisien kekuatan relative (a) masing-masing bahan dan kegunaan
sebagai lapis permukaan pondasi bawah, ditentukan secara korelasi sesuai
nilai Marshall Test(untuk bahan dengan aspal), kuat tekan untuk (bahan yang
distabilisasikan dengansemen atau kapur) atau CBR (untuk bahan lapis
pondasi atau pondasi bawah).
Perancangan StrukturPerencanaan Jalan Kelas III Pada Daerah Datar
37
LANDASAN TEORI
Tabel 2.15 Koefisien Kekuatan Relatif
Perancangan StrukturPerencanaan Jalan Kelas III Pada Daerah Datar
38
LANDASAN TEORI
II.6.8 Batas – batas minimum tebal perkerasan
1. Lapis permukaan
Tabel 2.16 Tebal lapisan permukaan
2. Lapis pondasi atas
Tabel 2.17 Lapis Pondasi Atas
*) batas 20 cm tersebut dapat diturunkan menjadi 15 cm bila untuk pondasi
bawah digunakan material berbutir kasar.
3. Lapis Pondasi Bawah
Untuk setiap nilai ITP bila digunakan pondasi bawah, tebal minimum adalah
10 cm
Perancangan StrukturPerencanaan Jalan Kelas III Pada Daerah Datar
39
LANDASAN TEORI
II.6.9 Analisa Komponen Perkerasan
Penghitungan ini didistribusikan pada kekuatan relatif masing-masing
lapisan perkerasan jangka tertentu (umur rencana) dimana penetuan tebal
perkerasan dinyatakan oleh Indeks Tebal Perkerasan (ITP).
Rumus:
ITP = a1D1 x a2D2 x a3D3
D1, D2,D3 = Tebal masing-masing lapis perkerasan (cm)
Angka 1,2,3 masing-masing lapis permukaan, lapis pondasi atas dan
pondasi bawah.
Perancangan StrukturPerencanaan Jalan Kelas III Pada Daerah Datar
40