bab ii uap endro

117
10 BAB II LANDASAN TEORI A. Konsep Dasar Penyakit Tifoid 1.Anatomi Fisiologi Sistem Pencernaan Saluran pencernaan makanan merupakan saluran yang menerima makanan dari luar dan mempersiapkannya untuk diserap oleh tubuh dengan jalan proses percernaan (pengunyahan, penelanan dan pencampuran) dengan enzim dan zat cair yang terbentang mulai dari mulut (oris) sampai anus. Menurut Syaifuddin (2006: 167), susunan saluran pencernaan terdiri dari : a. Oris (mulut) b. Faring (tekak) c. Esofagus (kerongkongan) d. Ventrikulus (lambung) e. Intestinum minor (usus halus) 1) Doudenum (usus duabelas jari) 2) Yeyenum 3) Ileum

Upload: sufai-aza

Post on 24-Jul-2015

529 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Bab II Uap Endro

10

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Konsep Dasar Penyakit Tifoid

1. Anatomi Fisiologi Sistem Pencernaan

Saluran pencernaan makanan merupakan saluran yang menerima

makanan dari luar dan mempersiapkannya untuk diserap oleh tubuh

dengan jalan proses percernaan (pengunyahan, penelanan dan

pencampuran) dengan enzim dan zat cair yang terbentang mulai dari mulut

(oris) sampai anus.

Menurut Syaifuddin (2006: 167), susunan saluran pencernaan terdiri

dari :

a. Oris (mulut)

b. Faring (tekak)

c. Esofagus (kerongkongan)

d. Ventrikulus (lambung)

e. Intestinum minor (usus halus)

1) Doudenum (usus duabelas jari)

2) Yeyenum

3) Ileum

f. Intestinum mayor (usus besar)

1) Seikum

2) Kolon asendens

3) Apendiks (usus buntu)

Page 2: Bab II Uap Endro

11

4) Kolon transversum

5) Kolon desendens

6) Kolon sigmoid

g. Rektum

h. Anus

Berikut adalah gambar sistem pencernaan (http://eegmed.com/

htmlfiles/gastrointe/08/2009...nal.html. 13/06/2010, 19.30 WITA).

Gambar 2.1 Anatomi Sistem Pencernaan

Page 3: Bab II Uap Endro

12

Anatomi fisiologi saluran pencernaan adalah :

a. Mulut

Mulut adalah permulaan saluran pencernaan yang terdiri dari

bagian luar yang sempit yaitu ruang antara gigi, dan pipi dan bagian

rongga mulut/bagian dalam yaitu rongga mulut yang dibatasi sisinya

oleh tulang maksilaris, palatum dan mandibularis.

Pipi dan bibir mengandung otot-otot yang diperlukan dalam

proses pengunyahan dan bicara, lidah membentuk rantai dari mulut

yang berfungsi mengaduk makanan, membentuk suara, sebagai alat

pengecap dan menelan, serta merasakan makanan. Sedangkan fungsi

gigi terdiri dari gigi seri untuk memotong makanan, gigi taring untuk

memutuskan makanan yang keras dan liat dan gigi geraham yang

berfungsi untuk mengunyah makanan yang sudah dipotong-potong.

Dalam rongga mulut terdapat 3 kelenjar ludah yang besar, yaitu

kelenjar parotis, terletak disebelah bawah daun telinga diantara alat

pengunyah dengan kulit pipih. Cairan ludah hasil sekresinya

dikeluarkan melalui duktus stensen ke dalam rongga mulut melalui

satu lubang dihadapan gigi molar kedua atas. Kelenjar sublingualis

terletak di bawah lidah, salurannya (duktus rinivus) menuju lantai

rongga mulut dibelakang gigi seri pertama, sedangkan kelenjar

submandibularis terletak di belakang dan kesamping dari kelenjar

sublingualis, salurannya (duktus wharton) menuju ke lantai rongga

mulut di belakang gigi seri pertama (Syaifuddin, 2006: 168-169).

Page 4: Bab II Uap Endro

13

Fungsi ludah ada 2 yaitu bekerja secara fisis dan secara kimiawi.

Kerja fisisnya ialah membasahi mulut, membersihkan lidah dan

memudahkan orang berbicara. Ludah membasahi makanan agar

mudah untuk ditelan. Dan dengan membasahi makanan itu, ludah

melarutkan beberapa unsur, sehingga memudahkan kerja kimiawi

terhadapnya. Sedangkan fungsi kimiawi ludah disebabkan enzim

ptialin (amilase ludah) yang bekerja atas zat gula dan zat tepung yang

telah dimasak. Kerja ini dimulai di dalam mulut, ludah ditelan

bersama makanan dan kerja ptialin berjalan terus di dalam lambung

selama kira-kira dua puluh menit atau sampai makanan menjadi asam

oleh kerja cairan lambung (Pearce, 2002: 184).

b. Faring (Tekak)

Faring (tekak) terletak di belakang hidung, mulut, dan

tenggorokan, tekak berupa saluran berbentuk kerucut dari bahan

membran berotot dengan bagian terlebar di sebelah atas dan berjalan

dari dasar tenggorokan sampai di ketinggian vertebral servikalis

keenam, yaitu ketinggian tulang rawan krikoid, tempat faring

bersambung dengan kerongkongan, panjang faring kira-kira 7 cm

(Pearce, 2002: 180-181).

Faring (tekak) terdiri dari 3 bagian yaitu bagian superior (bagian

yang sama tinggi dengan hidung), bagian media (bagian yang sama

tinggi dengan mulut) dan bagian inferior (bagian yang sama tinggi

dengan laring). Bagian superior disebut nasofaring, pada nasofaring

bermuara tuba yang menghubungkan tekak dengan ruang gendang

Page 5: Bab II Uap Endro

14

telinga. Di dalam lengkung faring terdapat tonsil (amandel) yaitu

kumpulan kelenjar limfe yang banyak mengandung limfosit dan

merupakan pertahanan dari infeksi (Syaifuddin, 2006: 170).

c. Esofagus (kerongkongan)

Esofagus adalah saluran yang menghubungkan tekak dengan

lambung, panjangnya kurang lebih 25 cm, dimulai dari faring sampai

pintu masuk kardiak dibawah lambung. Lapisan dinding dari dalam

keluar, lapisan selaput lender (mukosa), lapisan submukosa, lapisan

otot melingkar sirkuler dan lapisan otot memanjang longitudinal.

Esofagus (kerongkongan) terletak di belakang trakea dan di depan

tulang punggung, setelah melalui toraks menembus diafragma untuk

masuk ke dalam perut dan menyambung dengan lambung, esofagus

berfungsi mengantarkan bahan yang dimakan dari faring ke lambung

(Syaifuddin, 2006: 171).

d. Lambung (ventrikulus)

Lambung adalah bagian dari saluran pencernaan yang dapat

mekar paling banyak. Terletak terutama di daerah epigastrik, dan

sebagian di sebelah kiri daerah hipokhondriak dan umbilikal. Anatomi

lambung terdiri dari fundus, korpus, dan filorus. Lambung tediri dari

bagian atas, yaitu fundus, batang utama dan bagian bawah yang

horizontal, yaitu antrum pilorik. Lambung berhubungan dengan

esofagus melalui orifisium atau kardia dan dengan duodenum melalui

orisium pilorik. Lambung terletak di bawah diafragma, di depan

Page 6: Bab II Uap Endro

15

pankreas dan limpa menempel pada sebelah kiri fundus (Pearce, 2002:

185).

Menurut Syaifuddin (2006: 171), bagian lambung terdiri dari:

1) Fundus ventrikuli, bagian yang menonjol ke atas terletak sebelah

kiri osteum kardium dan biasanya penuh dengan gas.

2) Korpus ventrikuli, setinggi osteum kardium.

3) Antrum pilorus, bagian lambung berbentuk tabung mempunyai

otot yang tebal membentuk sfringter pylorus.

4) Kurvatura minor,terdapat di sebelah kanan lambung.

5) Kurvatura mayor, lebih panjang dari kurvatura minor.

Osteum kardiak, merupakan tempat esofagus bagian abdomen

masuk ke lambung. Pada bagian ini terdapat orifisium pilorik.

Fungsi lambung adalah menerima makanan dari esofagus melalui

orifisium kardiak dan bekerja sebagai penimbun sementara, sedangkan

kontraksi otot mencampur makanan dengan getah lambung.

Gelombang peristaltik dimulai tinggi di fundus, berjalan berulang-

ulang, setiap menit tiga kali dan merayap pelahan-lahan ke pylorus

(Pearce, 2002: 186).

e. Usus Halus (Intestinum Minor)

Usus halus adalah bagian dari sistem pencernaan makanan yang

berpangkal pada pilorus dan berakhir pada sekum panjangnya kurang

lebih 6 meter, merupakan saluran paling panjang tempat proses

pencernaan yang terdiri dari lapisan usus halus, lapisan otot

memanjang, dan lapisan serosa (Syaifuddin, 2006: 171).

Page 7: Bab II Uap Endro

16

Menurut Price dan Wilson (2005: 437-439), usus halus

merupakan suatu tabung yang komplek, dan berlipat-lipat. Panjang

usus halus pada orang hidup sekitar 3,6 meter dan hampir 6,6 meter

pada cadaver (akibat relaksasi). Usus ini mengisi bagian tengah dan

bawah rongga abdomen. Ujung proksimalnya berdiameter sekitar 3,8

cm, tetapi makin ke bawah garis tengahnya semakin berkurang sampai

menjadi sekitar 2,5 cm. Masuknya kimus ke dalam usus halus diatur

oleh sfringter pylorus, sedangkan pengeluaran zat yang telah dicerna

ke dalam usus besar diatur oleh katub ileosekal. Katub ileosekal juga

mencegah terjadinya refluks isi usus besar ke dalam usus halus.

Dinding usus halus terdiri atas 4 lapisan dasar. Yang paling luar

(lapisan serosa) dibentuk oleh peritoneum. Peritoneum mempunyai

lapisan viseral dan parietal, dan ruang yang terletak diantara lapisan-

lapisan ini disebut sebagai rongga peritoneum. Peritoneum melipat

dan meliputi hampir seluruh visera abdomen. Nama-nama khusus

telah diberikan pada lipatan-lipatan peritoneum. Mesenterium

merupakan lipatan peritoneum lebar menyerupai kipas yang

menggantung yeyenum dan ileum dari dinding posterior abdomen,

dan memungkinkan usus bergerak dengan leluasa. Mesenterium

menyokong pembuluh darah dan limfe yang menyuplai ke usus. Salah

satu fungsi penting peritoneum adalah mencegah gesekan antara

organ-organ yang berdekatan dengan cara menyekresi cairan serosa

yang berperan sebagai pelumas.

Page 8: Bab II Uap Endro

17

Otot yang melapisi usus halus mempunyai dua lapisan, lapisan

luar terdiri atas serabut-serabut longitudinal yang lebih tipis, dan

lapisan dalam terdiri atas serabut-serabut sirkular. Penataan yang

demikian membantu gerakan peristaltik usus halus. Lapisan

submukosa terdiri atas jaringan ikat, sedangkan lapisan mukosa

bagian dalam tebal serta banyak mengandung pembuluh darah dan

kapiler. Usus halus dipersarafi oleh cabang-cabang system saraf

otonom. Rangsangan parasimpatis merangsang aktifitas sekresi dan

motilitas dan rangsangan simpatis menghantarkan nyeri sedangkan

serabut-serabut parasimpatis mengatur reflek usus.

Usus halus terletak di daerah umbilikus dan dikelilingi oleh usus

besar (Pearce, 2002: 188).

Usus halus terdiri dari tiga bagian yaitu:

1) Duodenum

Duodenum disebut juga usus 12 jari yang panjangnya kurang

lebih 25 cm, berbentuk sepatu kuda melengkung ke kiri, pada

lengkungan ini terdapat pankreas. Pada bagian kanan duodenum

terdapat selaput lendir, yang membukit disebut papila vateri. Pada

papilla vateri ini bermuara saluran empedu dan saluran pankreas.

Empedu dibuat di hati untuk dikeluarkan ke duodenum melalui

saluran empedu. Fungsi getah empedu berfungsi untuk

mengemulsi lemak, dengan bantuan lipase. Pankreas juga

menghasilkan amilase yang berfungsi mencerna hidrat arang

menjadi disakarida dan tripsin berfungsi mencerna protein

Page 9: Bab II Uap Endro

18

menjadi asam amino atau albumin dan polipepsida (Syaifuddin,

2006: 172).

Pada duodenum terjadi absorpsi vitamin larut lemak (A, D, E dan

K) dan untuk absorpsi dibutuhkan garam-garam empedu. Dan

sebagian besar vitamin yang larut air diabsorpsi dalam duodenum

(Price dan Wilson, 2005: 441).

2) Yeyenum

Yeyenum menempati dua perlima sebelah atas dari usus halus,

dengan panjang kurang lebih 23 cm (Syaifuddin, 2006: 172).

Absorpsi gula, asam amino dan lemak hampir selesai pada

saat kimus mencapai pertengahan yeyenum. Besi dan kalsium

sebagian besar diabsorpsi dalam yeyenum dan absorpsi kalsium

memerlukan vitamin D (Price dan Wilson, 2005: 441).

3) Ileum

Ileum menempati tiga perlima akhir dengan panjang 4-5 meter

(Syaifuddin, 2006: 172).

Di ileum terjadi absorpsi vitamin B12 melalui mekanisme

transpor khusus yang membutuhkan faktor instrinsik dari

lambung. Sebagian besar asam empedu yang dikeluarkan oleh

kandung empedu ke duodenum untuk membantu pencernaan

lemak, akan direabsorpsi dalam ileum dan masuk kembali ke hati.

Dengan demikian asam atau garam-garam empedu mampu

bekerja untuk mencerna lemak berkali-kali sebelum dikeluarkan

dalam feses (Price dan Wilson, 2005: 441).

Page 10: Bab II Uap Endro

19

Usus halus mempunyai dua fungsi utama adalah pencernaan yaitu

proses pemecahan makanan menjadi bentuk yang dapat tercerna

melalui kerja berbagai enzim dalam saluran gastrointestinal dan

absorpsi bahan-bahan nutrisi dan air (Price dan Wilson, 2005: 439).

Untuk lebih memahami tentang struktur usus halus dan usus

besar dapat dilihat pada gambar dibawah ini (http://takute91.

blogspot.com/2009/09/boers.html, 29/05/2010, 20.10 WITA).

Gambar 2.2 Anatomi usus halus dan usus besar

Page 11: Bab II Uap Endro

20

f. Usus Besar (Intestinum Mayor)

Usus besar panjangnya kurang lebih 1,5 meter dan lebar 5-6 cm.

Lapisan-lapisan usus besar dari dalam ke luar adalah selaput lendir,

lapisan otot melingkar, lapisan otot memanjang dan jaringan ikat.

Menurut Syaifuddin (2006: 175-176), usus besar terdiri dari :

1) Sekum

Sekum adalah bagian pertama dan pertemuan dengan ileum.

Di bawah sekum terdapat apendiks vermiformis yang berbentuk

seperti cacing yang panjannya 6 cm.

2) Kolon asendens

Kolon asendens panjangnya 13 cm, terletak dibawah abdomen

sebelah kanan, membujur ke atas dari ileum ke bawah hati.

Dibawah hati melengkung ke kiri, lengkungan ini disebut fleksura

hepatika, dilanjutkan sebagai kolon transversum.

3) Apendiks (usus buntu)

Bagian dari usus besar yang muncul seperti corong dari ujung

sekum, mempunyai pintu keluar yang sempit tetapi masih

memungkinkan dapat dilewati oleh beberapa isi usus. Sebagai

salah satu organ pertahanan terhadap infeksi kadang apendiks

bereaksi secara hebat dan hiperaktif yang bisa menimbulkan

perforasi dindingnya ke dalam rongga abdomen.

4) Kolon transversum

Kolon transversum panjangnya kurang lebih 38 cm,

membujur dari kolom asendens sampai kolon desendens berada di

Page 12: Bab II Uap Endro

21

bawah abdomen, sebelah kanan terdapat fleksura hepatika dan

sebelah kiri terdapat fleksura linealis.

5) Kolon desendens

Kolon desendens panjangnya kurang lebih 25 cm terletak

dibawah abdomen bagian kiri membujur dari atas ke bawah dari

fleksura linealis sampai depan ileum kiri, bersambung dengan

kolon sigmoid.

6) Kolon sigmoid

Kolon sigmoid merupakan lanjutan dari kolon desendens,

Kolon sigmoid terletak miring, dalam rongga pelvis sebelah kiri,

bentuknya menyerupai huruf S, ujung bawahnya berhubungan

dengan rektum.

Dari keseluruhan fungsi usus besar adalah menyerap air dan

makanan, tempat tinggal bakteri koli dan tempat feces.

g. Rektum

Rektum memiliki panjang sekitar 12 cm, namanya rektum karena

berbentuk lurus atau hampir lurus (Gibson, 2002: 202).

Rektum dimulai pada kolon sigmoid dan berakhir pada saluran

anal. Saluran ini berakhir ke dalam anus yang di jaga oleh otot internal

dan eksternal (Pearce, 2002: 195).

h. Anus

Anus adalah bagian dari saluran pencernaan yang menghubungkan

rektum dengan dunia luar (udara luar). Terletak di dasar pelvis,

Page 13: Bab II Uap Endro

22

dindingnya diperkuat oleh 3 sfingter. Menurut Syaifuddin (2006:

176), tiga sfringter itu adalah:

1) Sfingter ani internus (sebelah atas) bekerja tidak menurut

kehendak.

2) Sfingter levator ani bekerja tidak menurut kehendak.

3) Sfingter ani eksternus (sebelah bawah), bekerja menurut

kehendak.

2. Pengertian

Tifoid adalah penyakit infeksi akut yang biasanya mengenai saluran

cerna dengan gejala dernam lebih dari tujah hari, gangguan pada cerna,

gangguan kesadaran (Mansjoer, 2000: 432).

Tifoid adalah penyakit infeksi akut yang biasanya mengenai saluran

pencernaan dengan gejala demam yang lebih dari satu minggu, gangguan

pada pencernaan dan gangguan kesadaran (Ngastiyah, 2005: 236).

Tifoid adalah penyakit infeksi akut yang biasanya terdapat pada

saluran cerna dengan gejala demam lebih dari satu minggu dan terdapat

gangguan kesadaran (Suriadi dan Yuliani, 2010: 254).

Tifoid adalah penyakit infeksi akut pada usus halus dengan gejala

demam satu minggu atau lebih disertai gangguan pada saluran pencernaan

dengan atau tanpa gangguan kesadaran (Rampengan, 2007: 46).

Dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa tifoid adalah

penyakit infeksi akut yang terjadi pada saluran pencernaan khususnya usus

halus dengan gejala demam lebih dari satu minggu dan dapat disertai

gangguan kesadaran.

Page 14: Bab II Uap Endro

23

3. Etiologi

Penyebab penyakit tifoid adalah Salmonella typhosa, basil gram

negatif yang bergerak dengan bulu getar dan tidak berspora. Mempunyai

sekurang-kurangnya 3 macam antigen yaitu antigen O (somatik, terdiri zat

kompek lipopolisakarida), antigen H (flagella) dan antigen V1 (Ngastiyah,

2005: 236).

Menurut Rampengan (2007: 47), penyebab tifoid adalah infeksi kuman

Salmonella typhosa yang merupakan kuman gram negatif, motil (dapat

bergerak spontan) dan tidak menghasilkan spora. Kuman ini dapat hidup

baik sekali pada suhu tubuh manusia maupun suhu yang sedikit lebih

rendah, serta mati pada suhu 70o C ataupun antiseptik.

Salmonella typhosa mempunyai 3 macam antigen, yaitu:

a. Antigen O: Ohne Hauch (tidak menyebar), antigen somatik.

b. Antigen H: Hauch (menyebar), terdapat pada flagela dan bersifat

termolabil.

c. Antigen V1: kapsul, merupakan kapsul yang meliputi tubuh kuman

dan melindungi antigen O terhadap fagositosis.

Penularan salmonella typhosa dapat ditularkan melalui berbagai cara,

yang dikenal dengan 5F yaitu Food (makanan), Fingers (jari tangan/kuku),

Fomitus (muntah), Fly (lalat), dan melalui Feses. Feses dan muntah pada

kien tifoid dapat menularkan kuman salmonella typhosa kepada orang

lain. Kuman tersebut dapat ditularkan melalui perantara lalat, dimana lalat

akan hinggap di makanan yang akan dikonsumsi oleh orang yang sehat

Page 15: Bab II Uap Endro

24

(http://askep.blogspot.com/.../asuhan-keperawatan-pada-anak dengan_

5000 html, 8/06/2010, 20.05 WITA).

4. Patofisiologi

Kuman Salmonella masuk bersama makanan atau minuman. Setelah

berada dalam usus halus, kuman mengadakan invasi ke jaringan limfoid

usus halus terutama plak peyer (plak peyer adalah plak jaringan limfe pada

membran mukosa, sering terdapat pada ileum daripada yeyenum). Setelah

menyebabkan peradangan dan nekrosis setempat kuman lewat pembulah

limfe masuk ke darah (bakterimia primer) menuju organ retikuloendotelial

system (RES) terutama hati dan limpa. Di tempat ini, kuman difagosit oleh

sel-sel fagosit RES dan kuman yang tidak difagosit akan berkembangbiak.

Pada akhir masa inkubasi, berkisar 5-9 hari, kuman kembali masuk ke

darah menyebar ke seluruh tubuh (bakterimia sekunder), dan sebagian

besar masuk ke organ tubuh limpa, kandung empedu yang selanjutnya

kuman tersebut dikeluarkan kembali dari kandung empedu ke rongga usus

dan menyebabkan reinfeksi di usus. Dalam masa bakteremia ini, kuman

mengeluarkan endotoksin yang susunan kimianya sama dengan antigen

somatik (lipopolisakarida), yang semula diduga bertanggung jawab

terhadap terjadinya gejala-gejala dari demam tifoid.

Pada penelitian lebih lanjut ternyata endotoksin hanya mempunyai

peranan membantu proses peradangan lokal. Pada keadaan tersebut,

kuman ini berkembang. Demam pada tifoid disebabkan oleh Salmonella

typhosa dan endotoksinnya yang merangsang sintesis dan pelepasan zat

pirogen oleh lekosit pada jaringan yang meradang. Selanjutnya zat pirogen

Page 16: Bab II Uap Endro

25

yang beredar di darah mempengaruhi pusat termoregulator di hipotalamus

yang mengakibatkan timbulnya gejala demam.

Perubahan histopatologi pada umumnya ditemukan infiltrasi jaringan

oleh makrofag yang mengandung eritrosit, kuman, limfosit yang sudah

berdegenerasi yang dikenal sebagai sel tifoid. Bila sel-sel ini beragregasi,

terbentuklah nodul. Nodul ini sering didapatkan dalam usus halus, jaringan

limfe, limpa, hati, sumsum tulang dan organ-organ yang terinfeksi.

Kelainan utama terjadi di ileum dan plak peyer yang hiperplasi (minggu

pertama), nekrosis (minggu kedua) dan ulserasi (minggu ketiga) serta bila

sembuh tanpa adanya pembentukan jaringan parut. Sifat ulkus berbentuk

bulat lonjong sejajar dengan sumbu panjang usus dan ulkus ini dapat

menyebabkan perdarahan bahkan perforasi (Rampengan, 2007: 48-49).

Menurut Suriadi dan Yuliani (2010: 254), patofisiologi pada tifoid

adalah sebagai berikut:

Kuman Salmonella typhosa masuk bersama makanan/minuman.

Sebagian besar kuman dimusnahkan dalam lambung oleh asam lambung

dan sebagian lagi masuk ke dalam usus halus, ke jaringan limfoid dan

berkembangbiak menyerang vili usus halus kemudian kuman masuk ke

peredaran darah (bakterimia primer), dan mencapai sel-sel

retikuloendotelial, hati, limpa dan organ-organ lainnya.

Proses ini terjadi dalam masa tunas dan akan berakhir saat sel-sel

retikuloendoteleal melepaskan kuman ke dalam peredaran darah dan

menimbulkan bakterimia untuk kedua kalinya. Selanjutnya kuman masuk

Page 17: Bab II Uap Endro

26

ke beberapa organ jaringan tubuh, terutama limpa, usus halus, dan

kandung empedu.

Pada minggu pertama sakit, terjadi hiperplasia plaks player.

Hiperplasia adalah peningkatan yang abnormal dari sejumlah sel-sel

normal dalam susunan normal pada organ atau jaringan (Santana, 2007:

299).

Ini terjadi pada kelenjar limfoid usus halus. Minggu kedua terjadi

nekrosis dan pada minggu ketiga terjadi ulserasi plaks peyer. Pada

minggu keempat terjadi penyembuhan ulkus yang dapat menimbulkan

sikatrik. Ulkus dapat menyebabkan perdarahan, bahkan sampai perforasi

usus. Selain itu hepar, kelenjar-kelenjar mesentrial dan limpa membesar.

Gejala demam disebabkan oleh endotoksin sedangkan gejala pada

saluran pencernaan disebabkan oleh kelainan pada usus halus.

Page 18: Bab II Uap Endro

27

Pohon Masalah Tifoid (Suriadi dan Yuliani, 2010: 255).

Salmonella Typhosa

Saluran Pencernaan

Diserap oleh usus halus

Bakteri memasuki aliran darah sistemik

Kelenjar limfoid Hati Limfa Endotoksin Usus Halus

Tukak Hepatomegali Splenomegali

Perdarahan dan Mual/ perforasi Tidak nafsu makan

Skema 2.1

Risiko kekurangan volume cairan

Nyeri Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh

Hipertermi Gangguan pola tidur

Intoleransi aktivitas

Page 19: Bab II Uap Endro

28

5. Manifestasi Klinis (Tanda dan Gejala)

Tanda dan gejala tifoid pada anak biasanya lebih ringan daripada

orang dewasa. Masa tunas 10-20 hari, yang tersingkat 4 hari jika infeksi

terjadi melalui makanan, sedangkan jika melalui minuman yang terlama

30 hari. Selama masa inkubasi mungkin ditemukan gejala prodomal yaitu

perasaan tidak enak badan, lesu, nyeri kepala, pusing dan tidak

bersemangat nafsu makan kurang.

Tanda dan gejala yang biasa ditemukan adalah:

a. Demam, pada kasus yang khas demam berlangsung 3 minggu, bersifat

febris remiten dan suhu tidak tinggi sekali. Selama minggu pertama,

suhu tubuh berangsur-angsur naik setiap hari, biasanya menurun pada

pagi hari dan meningkat lagi pada sore dan malam hari. Dalam

minggu kedua klien terus berada dalam keadaan demam, pada minggu

ketiga suhu berangsur turun dan normal kembali pada akhir minggu

ketiga.

b. Gangguan pada saluran pencernaan, pada mulut terdapat nafas berbau

tidak sedap, bibir kering dan pecah-pecah (ragaden). Lidah tertutup

selaput putih kotor (coated tongue), ujung dan tepinya kemerahan,

jarang disertai tremor. Pada abdomen dapat ditemukan keadaan perut

kembung (meteorismus). Hati dan limpa membesar disertai nyeri pada

perabaan. Biasanya sering terjadi konstipasi tetapi juga dapat diare

atau normal.

c. Gangguan kesadaran, umumnya kesadaran klien menurun walaupun

tidak dalam yaitu apatis sampai samnolen, jarang terjadi sopor, koma

Page 20: Bab II Uap Endro

29

atau gelisah (kecuali penyakitnya berat dan terlambat mendapatkan

pengobatan). Disamping gejala tersebut mungkin terdapat gejala

lainnya. Pada punggung dan anggota gerak dapat ditemukan roseola,

yaitu bintik-bintik kemerahan karena emboli basil dalam kapiler kulit

yang dapat ditemukan pada minggu pertama demam. Kadang-kadang

ditemukan juga bradikardi dan epistaksis pada anak yang besar

(Ngastiyah, 2005: 237-238).

Menurut Rampengan (2007: 48-49), tanda dan gejala (manifestasi

klinik) tifoid, manifestasi pada anak umumnya bersifat lebih ringan, lebih

bervariasi bila dibandingkan dengan klien dewasa. Bila hanya berpegang

pada gejala atau tanda klinis, akan lebih sulit untuk menegakkan diagnosis

tifoid pada anak.

Masa inkubasi rata-rata bervariasi antara 7-20 hari, dengan masa

inkubasi terpendek 3 hari dan terpanjang 60 hari. Dikatakan bahwa masa

inkubasi mempunyai korelasi dengan jumlah kuman yang ditelan, keadaan

umum atau status gizi serta status imunologis klien.

Walaupun gejala tifoid pada anak lebih bervariasi, secara garis besar

gejala-gejala yang timbul dapat dikelompokkan:

a. Demam satu minggu atau lebih.

b. Gangguan saluran pencernaan.

c. Gangguan kesadaran.

Dalam minggu pertama, keluhan dan gejala menyerupai penyakit

infeksi akut pada umumnya, seperti demam, nyeri kepala, anoreksia, mual,

muntah, diare, dan konstipasi. Pada pemeriksaan fisik, hanya didapatkan

Page 21: Bab II Uap Endro

30

suhu badan yang meningkat. Setelah minggu kedua, gejala atau tanda

klinis menjadi makin jelas, berupa demam remiten, lidah tifoid,

pembesaran hati dan limpa, perut kembung mungkin disertai gangguan

kesadaran dari yang ringan sampai yang berat.

Demam yang terjadi pada klien anak tidak selalu tipikal seperti pada

orang dewasa, kadang-kadang mempunyai gambaran klasik berupa demam

yang mendadak tinggi dan remiten (39-41o C).

Lidah tifoid biasanya terjadi beberapa hari setelah panas meningkat

dengan tanda-tanda antara lain, lebih tampak kering, dilapisi selaput tebal,

di bagian belakang tampak lebih pucat, di bagian ujung dan tepi lebih

kemerahan.

Roseola lebih sering terjadi pada akhir minggu pertama dan awal

minggu kedua. Merupakan suatu nodul kecil sedikit menonjol dengan

diameter 2-4 mm, berwarna merah pucat serta hilang pada penekanan.

Roseola ini merupakan emboli kuman yang didalamnya mengandung

kuman Salmonella, dan terutama didapatkan di daerah perut, dada,

kadang-kadang di bokong, ataupun bagian lengan atas.

Limpa umumnya membesar dan sering ditemukan pada akhir minggu

pertama. Pembesaran limpa pada tifoid tidak progesif dengan konsistensi

lebih lunak.

Tifoid kongenital didapatkan dari seorang ibu hamil yang menderita

tifoid dan menularkan pada janin melalui darah. Pada umumnya bersifat

fatal. Pada tipe kongenital kuman dapat ditemukan dalam darah, hati, dan

limpa, namun tidak didapatkan kelainan patologis pada usus. Hal ini

Page 22: Bab II Uap Endro

31

menjelaskan bahwa pada tifoid kongenital penularannya melalui darah.

Tifoid pada anak usia dibawah 2 tahun jarang dilaporkan. Bila terjadi,

biasanya gambaran klinisnya berbeda dengan anak yang lebih besar.

Kejadiannya sering mendadak disertai panas tinggi, muntah, kejang dan

limpa sering teraba pada pemeriksaan fisik. Perjalanan penyakitnya lebih

pendek, lebih bervariasi, sering tidak melebihi 2 minggu, angka

kematiannya tinggi (12,5%). Diagnosis ditegakkan dengan ditemukannya

kuman Salmonella typhosa dalam darah dan feses.

6. Penatalaksanaan

a. Medik

Menurut Ngastiyah (2005: 239), penatalaksanan medik untuk tifoid

adalah:

1) Isolasi klien dan desinfeksi pakaian.

2) Istirahat selama demam sampai dengan 2 minggu setelah suhu

normal kembali (istirahat total), kemudian boleh duduk, jika tidak

panas lagi boleh berdiri kemudian berjalan di ruangan.

3) Diet, makanan harus mengandung cairan, kalori dan tinggi protein.

Bahan makanan tidak boleh mengandung banyak serat dan tidak

menimbulkan banyak gas. Susu 2 gelas sehari, bila kesadaran

klien menurun diberikan makanan cair, melalui sonde lambung.

Jika kesadaran dan nafsu makan klien baik dapat juga diberikan

makanan lunak.

4) Obat pilihan yaitu kloramfenikol, kecuali jika klien tidak cocok

dapat diberikan obat lainnya seperti kotrimoksazol. Pemberian

Page 23: Bab II Uap Endro

32

kloramfenikol dengan dosis tinggi, yaitu 100 mg/kg BB/hari

(maksimum 2 gram/hari) diberikan 4 kali sehari peroral atau

intravena. Pemberian kloramfenikol dengan dosis tinggi tersebut

mempersingkat waktu perawatan dan mencegah relaps (kambuh).

5) Bi1a terdapat komplikasi, terapi disesuaikan dengan penyakitnya.

Bila terjadi dehidrasi dan asidosis diberikan cairan intravena.

Sedangkan menurut Rampengan (2007: 58-62), klien tifoid perlu

dirawat di rumah sakit untuk isolasi, observasi serta pengobatan. Klien

harus istirahat 5-7 hari bebas panas, tetapi tidak harus tirah baring

sempurna seperti pada perawatan tifoid di masa lalu. Mobilitas

dilakukan sewajarnya, sesuai dengan situasi dan kondisi klien. Pada

klien dengan kesadaran yang menurun harus diobservarsi agar tidak

terjadi aspirasi. Tanda komplikasi tifoid yang lain termasuk buang air

kecil dan buang air besar juga perlu mendapat perhatian. Mengenai

lamanya perawatan di rumah sakit, sampai saat ini sangat bervariasi

dan tidak sama. Hal ini sangat tergantung pada kondisi klien serta

adanya komplikasi selama penyakit berjalan.

Untuk diet klien tifoid, di masa lalu klien di beri diet yang terdiri

dari bubur saring, kemudian bubur kasar dan akhirnya nasi sesuai

dengan tingkat kekambuhan klien. Banyak klien tidak senang diet

demikian, karena tidak sesuai dengan selera dan ini mengakibatkan

keadaan umum dan gizi klien semakin mundur dan masa

penyembuhan menjadi lebih lama. Beberapa peneliti menganjurkan

makanan padat dini yang wajar sesuai dengan keadaan klien dengan

Page 24: Bab II Uap Endro

33

memperhatikan segi kualitas maupun kuantitas dapat diberikan

dengan aman. Kualitas makanan disesuaikan dengan kebutuhan baik

kalori, protein, elektrolit, vitamin maupun mineral, serta diusahakan

makanan rendah atau bebas selulosa, dan menghindari makanan yang

sifatnya iritatif. Pada klien dengan gangguan kesadaran pemasukan

makanan harus lebih diperhatikan. Pemberian makanan padat dini

banyak memberikan keuntungan, seperti dapat menekan turunnya

berat badan selama perawatan, masa di rumah sakit lebih diperpendek,

dapat menekan penurunan kadar albumin, dalam serum dan dapat

mengurangi kemungkinan kejadian infeksi lain selama perawatan.

Dan untuk obat-obatan, tifoid merupakan penyakit infeksi dengan

angka kematian yang tinggi sebelum adanya obat-obatan antimikroba

(10-15%). Sejak adanya obat antimikroba terutama kloramfenikol

angka kematian menurun secara dratis (1-4%).

Obat-obatan antimikroba yang sering digunakan antara lain:

1) Kloramfenikol

Meskipun telah dilaporkan adanya resistensi kumam Salmonella

terhadap Kloramfenikol di berbagai daerah, kloramfenikol tetap

digunakan sebagai obat pilihan pada kasus tifoid. Sejak ditemukan

obat ini oleh Burkodar sampai saat ini belum ada obat antimikroba

lain yang dapat menurunkan demam pada tifoid lebih cepat

disamping harganya murah dan terjangkau oleh klien. Kekurangan

kloramfenikol antara lain ialah reaksi hipersensitifitas, reaksi

toksik, kolaps dan tidak bermanfaat untuk pengobatan karier.

Page 25: Bab II Uap Endro

34

Dosis yang dianjurkan adalah 50-100 mg/kgBB/hari, selama

10-14 hari, untuk neonatus, penggunaan obat ini sebaiknya

dihindari, dan bila terpaksa, dosis tidak boleh melebihi 25

mg/kgBB/hari, selama 10 hari.

2) Tiamfenikol

Tiamfenikol mempunyai efek yang sama dengan

Kloramfenikol. Dengan pemberian Tiamfenikol, demam turun

setelah 5-6 hari. Dosis oral yang dianjurkan adalah 50-100

mg/kgBB/hari selama 10-14 hari.

3) Kotrimoksasol

Pendapat mengenai efektifitas Kotrimoksasol terhadap tifoid

masih kontroversial. Kelebihan kotrimoksasol antara lain dapat

digunakan untuk kasus yang resisten terhadap kloramfenikol,

penyerapan di usus cukup baik, dan kemungkinan timbulnya

kekambuhan pengobatan lebih kecil dibandingkan kloramfenikol.

Kelemahannya ialah dapat terjadi sindrom Steven Johnson,

trombositopenia, dan anemia. Dosis oral yang dianjurkan adalah

30-40 mg/kgBB/hari Sulfametoksazol dan 6-8 mg/kgBB/hari untuk

Trimetoprim, diberikan dalam 2 kali pemberian, selama 10-14 hari.

4) Ampisillin dan Amoksisilin

Merupakan derivat Penisillin yang digunakan pada pengobatan

tifoid, terutama pada kasus yang resisten terhadap Kloramfenikol.

Ampisillin umumnya lebih lambat menurunkan demam bila

Page 26: Bab II Uap Endro

35

dibandingkan dengan Kloramfenikol tetapi lebih efektif untuk

mengobati karier. Kelemahannya dapat terjadi diare.

Amoksisillin mempunyai daya antibakteri yang sama dengan

Ampisillin, tetapi penyerapan peroral leih baik sehingga kadar obat

yang tercapai 2 kali lebih tinggi, dan lebih sedikit timbulnya

kekambuhan (2-5%) dan karier (0-5%).

Dosis yang dianjurkan adalah Ampisillin 100-200

mg/kgBB/hari, selama 10-14 hari dan Amoksisillin 100

mg/kgBB/hari, selama 10-14 hari.

Pengobatan tifoid yang menggunakan obat kombinasi tidak

memberikan keuntungan yang lebih, baik bila diberikan obat

tunggal.

5) Seftriakson

Dosis yang dianjurkaan adalah 50-100 mg/kgBB/hari, tunggal

atau dibagi dalam 2 dosis iv.

6) Sefotaksin

Dosis yang dianjurkan adalah 150-200 mg/kgBB/hari dibagi

dalam 3-4 dosis iv.

7) Siprofloksasin

Dosis yang dianjurkan adalah 2 x 200-400 mg oral pada klien

berumur lebih dari 10 tahun.

Page 27: Bab II Uap Endro

36

b. Keperawatan

Menurut Ngastiyah (2005: 239-244), untuk penatalaksaan

keperawatan penyakit tifoid adalah sebagai berikut, penyakit tifoid

adalah penyakit menular yang sumber infeksinya berasal dari feses

dan urin, sedangkan lalat sebagai pembawa/penyebar dari kuman

tersebut. Klien tifoid harus dirawat di kamar isolasi yang dilengkapi

dengan peralatan untuk merawat klien yang menderita penyakit

menular, seperti desinfektan untuk mencuci tangan, merendam

pakaian kotor dan pot atau urinal bekas dipakai klien. Yang merawat

atau sedang menolong klien agar memakai celemek. Masalah klien

tifoid yang perlu diperhatikan adalah kebutuhan nutrisi atau cairan dan

elektrolit, gangguan suhu tubuh, gangguan rasa aman dan nyaman,

resiko terjadi komplikasi dan kurang pengetahuan orang tua mengenai

penyakit.

1) Kebutuhan nutrisi atau cairan dan elektrolit. Klien tifoid umumnya

menderita gangguan kesadaran dari apatis sampai sopor-koma,

delirium (yang berat) disamping anoreksia dan demam lama.

Keadaan ini menyebabkan kurangnya masukan nutrisi atau cairan

sehingga kebutuhan nutrisi yang penting untuk masa penyembuhan

berkurang pula, dan memudahkan komplikasi. Selain hal itu, klien

tifoid menderita kelainan berupa adanya tukak-tukak pada usus

halus sehingga makanan harus disesuaikan. Diet yang diberikan

ialah makanan yang mengandung cukup cairan, rendah serat, tinggi

Page 28: Bab II Uap Endro

37

protein dan tidak menimbulkan gas. Pemberiannya melihat keadaan

klien.

a) Jika kesadaran klien masih baik, diberikan makanan lunak

dengan lauk pauk misalnya hati, daging; sayuran labu siam

atau wortel yang dimasak lunak sekali. Boleh juga diberi tahu,

telur setengah matang atau matang direbus. Susu diberikan 2×

1 gelas atau lebih, jika makanan tidak habis diberikan ekstra

susu.

b) Klien yang kesadarannya menurun sekali diberikan makanan

cair per sonde, kalori sesuai dengan kebutuhannya.

Pemberiannya diatur setiap 3 jam termasuk makanan ekstra

seperti sari buah, bubur kacang hijau yang dihaluskan. Jika

kesadaran membaik makanan beralih secara bertahap ke lunak.

c) Jika klien payah, seperti yang menderita delirium, dipasang

infus dengan cairan glukosa dan NaCl. Jika keadaan sudah

tenang berikan makanan per sonde disamping infus masih

diteruskan. Makanan per sonde biasanya merupakan setengah

dari jumlah kalori, setengahnya masih per infuse. Secara

bertahap dengan melihat kemajuan klien, beralih ke makanan

biasa.

2) Gangguan suhu tubuh. Klien tifoid menderita demam lama, pada

kasus yang khas demam dapat sampai 3 minggu. Keadaan tersebut

dapat menyebabkan keadaan tubuh lemah, dan mengakibatkan

kekurangan cairan, karena perpirasi (ekskresi kelenjar keringat

Page 29: Bab II Uap Endro

38

lewat pori-pori kulit; pengeluaran keringat), yang meningkat. Klien

dapat menjadi gelisah, selaput lendir mulut dan bibir menjadi

kering dan pecah-pecah.

Penyebab demam, karena adanya infeksi basil Salmonella

typhosa, maka untuk menurunkan suhu tersebut hanya dengan

memberikan obatnya secara adekuat, istirahat mutlak sampai suhu

tubuh turun diteruskan 2 minggu lagi, kemudian mobilisasi

bertahap. Jika klien diberikan makanan melalui sonde, obat dapat

diberikan bersama makanan tetapi berikan pada permulaan

memasukan makanan, jangan dicampur pada semua makanannya

atau diberikan belakangan karena jika klien muntah obat akan

keluar sehingga kebutuhan obat tidak adekuat.

Ruangan diatur agar cukup ventilasi. Untuk membantu,

menurunkan suhu tubuh yang biasanya pada sore dan malam hari

lebih tinggi jika suhu tinggi sekali berikan kompres dan banyak

minum boleh sirup, teh manis, atau air kaldu sesuai kesukaan klien.

Klien jangan ditutupi dengan selimut yang tebal agar penguapan

suhu lebih lancar. Jika menggunakan kipas angin untuk membantu

menurunkan suhu usahakan agar kipas angin tidak langsung ke

arah tubuh klien.

3) Gangguan rasa aman dan nyaman. Gangguan rasa aman dan

nyaman klien tifoid sama dengan klien lain, yaitu karena

penyakitnya serta keharusan istirahat di tempat tidur, jika klien

sudah dalam penyembuhan. Khusus pada klien tifoid, karena lidah

Page 30: Bab II Uap Endro

39

kotor, bibir kering dan pecah-pecah menambah rasa tak nyaman di

samping juga menyebabkan tak nafsu makan. Untuk itu klien

dilakukan perawatan mulut 2 kali sehari, dan sering berikan

minum. Karena klien apatis harus lebih diperhatikan dan diajak

berkomunikasi. Jika klien dipasang sonde perawatan mulut tetap

harus dilaksanakan dan sekali-kali juga diberikan minum agar

selaput lendir mulut dan tenggorokan tidak kering. Selain itu

sebagai akibat lama berbaring setelah mulai berjalan harus

digoyang-goyang kakinya dahulu sambil duduk di pinggir tempat

tidur, supaya tidak terasa kesemutan, kemudian berjalan di sekitar

tempat tidur sambil berpegangan. Dan gangguan akan hilang

setelah 2-3 hari mobilisasi.

4) Resiko komplikasi. Penyakit tifoid menyebabkan kelainan berupa

tukak pada mukosa usus halus dan dapat menjadi penyebab

timbulnya komplikasi perdarahan usus atau perforasi usus jika

tidak mendapat pengobatan, diet, dan perawatan yang adekuat.

Yang perlu diperhatikan untuk mencegah komplikasi adalah,

istirahat. Klien yang menderita tifoid perlu istirahat mutlak selama

demam, kemudian diteruskan 2 minggu lagi setelah suhu turun

menjadi normal. Setelah 1 minggu suhu normal, 3 hari kemudian

klien dilatih duduk; jika tidak timbul demam lagi boleh duduk.

Pada akhir minggu kedua, jika tidak timbul demam lagi boleh

belajar jalan mulai mengelilingi tempat tidur. Selama istirahat

pengawasan tanda vital mutlak dilakukan 3 hari sekali. Jika

Page 31: Bab II Uap Endro

40

terdapat suhu tinggi melebihi suhu biasanya, ukur suhu ekstra dan

catat pada catatan perawatan. Berikan kompres intensif kemudian

kontrol lagi 1 jam kemudian. Bila tidak turun hubungi dokter.

5) Kurang pengetahuan orang tua mengenai penyakit. Dewasa ini

klien tifoid yang ringan serta orang tua sanggup dan mengerti dapat

dirawat di rumah. Untuk pemeriksaan darah (darah tepi dan widal)

klien dibawa ke laboratorium tetapi tidak boleh berjalan.

Perawatannya seperti yang dilakukan di rumah sakit, ialah:

a) Klien tidak boleh tidur dengan anak-anak lain, mungkin ibunya

yang menemaninya tetapi jangan tidur bersama-sama. Anak-

anak yang lain yang mengunjungi tidak boleh duduk di tempat

tidur klien.

b) Klien juga harus istirahat mutlak sampai demam turun masih

dilanjutkan selama dua minggu. Jelaskan bahwa untuk mandi,

buang air besar/kecil harus ditolong di tempat tidur dan yang

menolong sesudahnya harus mencuci tangan dengan

desinfektan

c) Pemberian obat, pengukuran suhu dilakukan seperti di rumah

sakit. Orang tua diminta membuat catatan suhu dan makanan

yang diberikan. Diet seperti klien yang dirawat di rumah sakit.

Karena klien dianggap ringan biasanya boleh diberikan bubur

atau makanan lunak dengan lauk pauk yang lunak juga.

Biasanya dokter memberikan obat sudah diperhitungkan

sampai suhu turun. Jika obat hampir habis daftar suhu masih

Page 32: Bab II Uap Endro

41

tetap tinggi orang tua diminta kembali ke dokter. Di samping

obat juga penjelasan mengenai cara mengompres, boleh

dirawat di kamar ber-AC serta banyak minum. Jika sudah dua

minggu belum turun, klien harus dibawa ke dokter lagi dan

mungkin perlu dirawat di rumah sakit.

d) Pembuangan feses dan urine harus dibuang ke dalam lubang

WC dan disiram air sebanyak-banyaknya. WC dan sekitarnya

harus bersih agar tidak ada lalat. Pot dan urinal setelah dipakai

direndam ke dalam cairan desinfektan sebelum dicuci. Pakaian

klien dan linen bekas dipakai juga harus direndam dahulu

dalam desinfektan sebelum dicuci dan jangan dicuci bersama-

sama pakaian anak lainnya.

Selain penjelasan mengenai perawatan klien di rumah,

penyuluhan yang perlu diberikan kepada orang tua klien

(termasuk yang dirawat di rumah sakit) adalah penjelasan

mengenai:

(1) Penyebab dan cara penularan penyakit tifoid serta bahaya

yang dapat terjadi.

(2) Pentingnya menjaga kesehatan dengan memelihara

kebersihan lingkungan serta minum air yang bersih dan

dimasak mendidih.

(3) Anak agar dibiasakan buang air besar di WC; dan setiap

keluarga hendaknya mempunyai WC sendiri-sendiri. WC

yang baik ialah yang disiram serta tertutup sehingga tidak

Page 33: Bab II Uap Endro

42

ada lalat (jelaskan bahaya penyakit bersumber dari

feses/urine klien dan lalat sebagai pembawa kumannya

bagi keluarga yang kurang mengerti).

(4) Anak yang sudah sekolah supaya dinasehatkan jangan

membeli makanan yang tidak ditutup/yang tidak bersih.

7. Pemeriksaan Penunjang

a. Pemeriksaan darah tepi, dapat ditemukan leukopenia, limfositosis

relatif, aneosinofilia. Mungkin terdapat anemia dan trombositopenia

ringan.

b. Pemeriksaan Widal, titer antibodi terhadap antigen O yang bernilai

lebih dari atau sama dengan 1/200 atau peningkatan lebih dari atau

sama dengan 4 kali antara masa akut dan konvalesens mengarah kepada

tifoid, meskipun dapat terjadi positif maupun negatif palsu akibat

adanya reaksi silang antara spesies salmonella.

c. Biakan empedu, terdapat kuman salmonella typhii dari darah klien

(Mansjoer, 2000: 433).

Menurut Ngastiyah (2005: 238-239), pemeriksaan penunjang pada

klien dengan tifoid adalah sebagai berikut:

a. Pemeriksaan darah tepi, terdapat gambaran leukopenia, limfositosis

relatif dan aneosinofilia pada permulaan sakit. Mungkin terdapat

anemia dan trombositopenia ringan.

b. Pemeriksaan darah untuk kultur (biakan empedu), biakan empedu untuk

mengetahui Salmonella typhosa. Pemeriksaan ini perlu dilakukan pada

waktu masuk dan setiap minggu berikutnya. Biakan empedu basil

Page 34: Bab II Uap Endro

43

Salmonella typhosa dapat ditemukan dalam darah klien pada minggu

pertama sakit. Selanjutnya lebih sering ditemukan dalam urine dan

feses, dan mungkin akan tetap positif untuk waktu yang lama. Oleh

karena itu, pemeriksaan yang positif dari contoh darah digunakan untuk

menegakkan diagnosis, sedangkan pemeriksaan negatif dari contoh

urine dan feses 2 kali berturut-turut digunakan untuk menentukan

bahwa klien telah benar sembuh dan tidak menjadi pembawa kuman

(carier).

c. Pemeriksaan Widal, merupakan pemeriksaan yang dapat menentukan

diagnosis tifoid secara pasti. Titer O yang bernilai 1/200 atau lebih dan

atau menunjukkan kenaikan yang progesif digunakan untuk membuat

diagnosis. Titer tersebut mencapai puncaknya bersamaan dengan

penyembuhan klien. Titer terhadap antigen H tidak diperlukan untuk

diagnosis karena tetap dapat tinggi setelah mendapat imunisasi atau bila

klien telah lama sembuh.

8. Komplikasi

Menurut Ngastiyah (2005: 237), komplikasi pada tifoid dapat dibagi

menjadi dua bagian yaitu:

a. Komplikasi pada usus halus seperti:

1) Perdarahan usus

Bila sedikit hanya ditemukan jika dilakukan pemeriksaan tinja

dengan benzidin. Jika perdarahan banyak terjadi melena, dapat

disertai nyeri perut dengan tanda-tanda renjatan.

Page 35: Bab II Uap Endro

44

2) Perforasi usus

Timbul biasanya pada minggu ketiga atau setelahnya dan

terjadi pada bagian distal ileum. Perforasi yang tidak disertai

peritonitis hanya dapat ditemukan bila terdapat udara di rongga

peritoneum, yaitu pekak hati menghilang dan terdapat udara di

antara hati dan diafragma pada foto Rontgen abdomen yang di

buat dalam keadaan tegak.

3) Peritonitis

Biasanya menyertai perforasi tetapi dapat terjadi tanpa

perporasi usus. Ditemukan gejala abdomen akut, yaitu nyeri perut

hebat, dinding abdomen tegang.

b. Komplikasi di luar usus halus seperti:

Terjadi karena lokalisasi peradangan akibat sepsis (bakterimia),

yaitu meningitis, kolesistitis, ensefalopati, bronkitis, bronkopnemonia,

miokarditis, dan karier kronik.

9. Prognosis

Pronogsis tifoid pada anak baik, asalkan klien cepat berobat. Mortalitas

pada klien yang dirawat ialah 6%. Prognosis menjadi tidak baik bila

terdapat gambaran klinis yang berat seperti:

a. Demam tinggi (hiperpireksia) atau febris kontiua.

b. Kesadaran sangat menurun (sopor, koma atau delirium).

c. Terdapat komplikasi yang berat, misalnya dehidrasi dan asidosis dan

perporasi (Ngastiyah, 2005: 236).

Page 36: Bab II Uap Endro

45

10. Relaps (Kambuh)

Relaps (kambuh) adalah berulangnya gejala penyakit tifoid, akan

tetapi berlangsung ringan dan lebih singkat. Terjadi pada minggu kedua

setelah suhu normal kembali. Menurut teori relaps terjadi karena

terdapatnya basil dalam organ-organ yang tidak dapat dimusnahkan baik

oleh obat maupun zat anti. Mungkin terjadi pada waktu penyembuhan

tukak, terjadi invasi basil bersamaan dengan pembentukan jaringan

fibrosis (Ngastiyah, 2005: 236).

11. Pencegahan

Menurut Rampengan (2007: 62), usaha pencegahan tifoid dapat

dibagi dua yaitu:

a. Usaha terhadap lingkungan hidup:

1) Penyediaan air minum yang memenuhi syarat.

2) Pembuangan kotoran manusia yang higienis.

3) Pemberantasan lalat.

4) Pengawasan terhadap penjual makanan.

b. Usaha terhadap manusia:

1) Imunisasi.

2) Menemukan dan mengobati karier.

3) Pendidikan kesehatan masyarakat.

Page 37: Bab II Uap Endro

46

B. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan pada Klien Tifoid

Proses keperawatan adalah metode dimana suatu konsep diterapkan

dalam praktik keperawatan. Hal ini biasa disebut sebagai suatu pendekatan

problem-solving yang memerlukan ilmu, tehnik, dan ketrampilan

interpersonal dan ditujukan untuk memenuhi kebutuhan klien/keluarga

(Nursallam, 2001: 1).

Tujuan asuhan keperawatan adalah untuk mengidentifikasi masalah klien.

Proses keperawatan sebagai salah satu pendekatan utama dalam pemberian

asuhan keperawatan, pada dasarnya suatu proses pengambilan keputusan dan

penyelesaian masalah. Proses keperawatan terdiri dari lima tahap yang

berhubungan yaitu pengkajian, diagnosa, perencanaan, pelaksanaan dan

evaluasi (Nursallam, 2001: 6).

1. Pengkajian

Pengkajian adalah tahap awal proses keperawatan dan merupakan

suatu proses pengumpulan data yang sistematis dari berbagai sumber

untuk mengevaluasi dan mengidentifikasi status kesehatan klien. Tahap

pengkajian merupakan dasar utama dalam memberikan asuhan

keperawatan sesuai dengan kebutuhan individu. Oleh karena itu

pengkajian yang akurat, lengkap, sesuai dengan kenyataan, kebenaran data

sangat penting dalam merumuskan suatu diagnosa keperawatan dan

memberikan pelayanan keperawatan sesuai dengan respon individu

(Nursalam, 2001: 17).

Menurut Ali (2001: 73), pengkajian adalah upaya mengumpulkan data

secara lengkap dan sistematis untuk dikaji dan dianalisis sehingga masalah

Page 38: Bab II Uap Endro

47

kesehatan dan keperawatan yang dihadapi klien baik fisik, mental, sosial

maupun spiritual dapat ditentukan. Tahap ini mencakup tiga kegiatan,

yaitu pengumpulan data, analisis data, dan penentuan masalah kesehatan

serta keperawatan.

a. Pengunpulan data

Tujuan dari pengumpulan data ini diperoleh data dan informasi

mengenai masalah kesehatan yang ada pada klien sehingga dapat

ditentukan tindakan yang harus diambil untuk mengatasi masalah

tersebut yang menyangkut aspek fisik, mental, sosial, dan spiritual

serta faktor lingkungan yang mempengaruhinya. Data tersebut harus

akurat dan mudah dianalisis.

Pengumpulan data pada kasus tifoid adalah sebagai berikut :

1) Identitas klien

Nama, umur, jenis kelamin, tempat tinggal, pendidikan,

agama. Menurut sumber, penyakit tifoid yang sering terjadi pada

klien anak adalah berusia di atas satu tahun (Ngastiyah, 2005:

236).

Menurut Rampengan (2007: 48), jenis kelamin tidak berbeda

antara laki-laki dan perempuan. Tempat tinggal terutama

ditemukan di negara sedang berkembang dengan kepadatan

penduduk tinggi, serta kesehatan lingkungan yang tidak

memenuhi syarat.

Page 39: Bab II Uap Endro

48

2) Keluhan Utama

Tanyakan tentang keluhan utama atau gejala apa yang

menyebabkan klien berobat (Hidayat, 2007: 100).

Keluhan utama pada klien tifoid adalah:

Demam lebih dari 7 hari, tidak nafsu makan, mual dan muntah

serta perasaan tidak enak di perut (Mansjoer, 2000: 432).

Menurut Nursalam (2005: 154), keluhan utama tifoid adalah

perasaan tidak enak badan, lesu, nyeri kepala, pusing, dan kurang

bersemangat, serta nafsu makan kurang (terutama selama masa

inkubasi).

3) Riwayat kesehatan sekarang

Tanyakan tentang faktor-faktor yang melatarbelakangi atau

hal-hal yang mempengaruhi keluhan, bagaimana sifat terjadinya,

bagaimana gejalanya, lokasi terjadinya gejala, lamanya keluhan

berlangsung (Hidayat, 2007: 100).

Riwayat kesehatan sekarang pada klien tifoid adalah:

Demam yang berlangsung kurang lebih tujuh hari pada

minggu pertama, biasanya menurun pada pagi hari dan meningkat

pada sore dan malam hari. Dalam minggu kedua, klien terus

berada dalam keadaan demam yang turun secara berangsur-

angsur pada minggu ketiga. Lidah kotor yaitu ditutupi selaput

kecoklatan kotor, ujung dan tepi kemerahan, jarang disertai

tremor. Hati dan limpa membesar dan nyeri pada perabaan.

Page 40: Bab II Uap Endro

49

Biasanya terdapat konstipasi, tetapi mungkin normal bahkan

dapat diare (Mansjoer, 2000: 433).

4) Riwayat kesehatan dahulu

Riwayat atau pengalaman masa lalu tentang kesehatan atau

penyakit yang pernah dialami (Hidayat, 2007: 100).

Menanyakan pada keluarga klien mengenai penyakit yang

sekarang diderita pernah dialami atau tidak. Kalau sudah berapa

kali mengalami kekambuhan tifoid. Kekambuhan pada klien

dengan tifoid berlangsung lebih ringan dan singkat. Terjadi dalam

minggu kedua setelah suhu badan normal kembali (Ngastiyah,

2005: 238).

5) Riwayat kesehatan keluarga

Menanyakan penyakit yang pernah diderita oleh keluarga

klien. Ada tidaknya anggota keluarga yang menderita tifoid, ada

tidaknya keluarga yang menderita penyakit keturunan (Hidayat,

2007: 100).

Penyakit tifoid menular dari makanan atau minuman yang

terkontaminasi oleh feses, urine dan pakaian klien (Ngastiyah,

2005: 238).

6) Riwayat anak

a) Masa Prenatal

Faktor lingkungan prenatal yang berpengaruh terhadap

tumbuh kembang janin mulai dari konsepsi sampai lahir,

antara lain gizi ibu pada waktu hamil, mekanis seperti trauma

Page 41: Bab II Uap Endro

50

dan cairan ketuban yang kurang dapat menyebabkan kelainan

bawaan, toksin atau zat kimia, endokrin (hormon-hormon yang

berperan pada pertumbuhan janin), radiasi, infeksi, stress, dan

anoksia embrio (menurunnya oksigenasi janin melalui

gangguan pada plasenta) (Ngastiyah, 2005: 3-4).

Menurut Nursalam (2008: 62), perlu ditanyakan juga pada

ibu apakah ada tanda-tanda resiko tinggi saat hamil, seperti

infeksi, berat badan tidak naik, preeklamsi, dan lain-lain. Serta

apakah kehamilannya dipantau secara berkala. Kehamilan

resiko tinggi yang tidak ditangani dengan benar dapat

mengganggu tumbuh kembang anak.

b) Masa Intranatal

Perlu ditanyakan pada ibu mengenai cara kelahiran

anaknya, apakah secara normal, dan bagaimana keadaan anak

sewaktu lahir. Anak yang dalam kandungan terdeteksi sehat,

apabila kelahirannya mengalami gangguan (cara kelahiran

dengan tindakan seperti forceps, partus lama atau kasep), maka

gangguan tersebut dapat mempengaruhi keadaan tumbuh

kembang anak (Nursalam, 2008: 62).

c) Masa Postnatal

Faktor postnatal yang mempengaruhi kualitas anak adalah

memenuhi kebutuhan nutrisi bayi, memberikan stimulasi untuk

pertumbuhan dan perkembangan, memenuhi kebutuhan dasar,

dan memantau pertumbuhan dan perkembangan sesuai dengan

Page 42: Bab II Uap Endro

51

Pedoman Deteksi Tumbuh Kembang Balita (Nursalam, 2008:

60).

7) Riwayat Imunisasi

Pemberian vaksin adalah untuk menimbulkan kekebalan aktif

terhadap penyakit. Oleh karena itu imunisasi sangat penting

diberikan pada anak. Jenis imunisasi yang diberikan adalah

vaksinasi BCG, DPT, Polio, Campak, dan Hepatitis B yang sesuai

dengan sasaran pemerintah Indonesia agar setiap anak mendapat

imunisasi dasar terhadap 7 penyakit utama yang dapat dicegah

dengan imunisasi. Sehingga perawat perlu menanyakan kepada

orang tua klien apakah pemberian imunisasinya lengkap atau

tidak, kalau belum lengkap imunisasi apa saja yang belum

diberikan dan imunisasi apa yang sudah diberikan (Mansjoer,

2000: 590).

Sedangkan vaksin yang digunakan untuk tifoid adalah vaksin

yang dibuat dari Salmonella typhosa yang dimatikan, vaksin yang

dibuat dari strain Salmonella yang dilemahkan (Ty 21a), dan

vaksin polisakaridakapsular Vi (Typhi Vi) (Rampengan, 2007:

62).

8) Riwayat Pertumbuhan dan Perkembangan

Tumbuh kembang merupakan hal utama, hakiki, dan khas

pada anak. Tumbuh adalah proses bertambahnya ukuran akibat

penambahan jumlah atau ukuran sel dan jaringan intraseluler.

Sedangkan kembang (berkembang) adalah proses pematangan

Page 43: Bab II Uap Endro

52

fungsi organ tubuh termasuk berkembangnya kemampuan mental

intelegensi serta perilaku anak. Faktor penentu tumbuh kembang

adalah faktor genetik herediter, yang menentukan potensi bawaan

anak, dan faktor lingkungan yang menentukan tercapai tidaknya

potensi tersebut (Mansjoer, 2000: 580).

a) Pertumbuhan

(1) Berat Badan

Menurut Nursallam (2008: 48), berat badan merupakan

suatu ukuran antropometri yang terpenting karena dipakai

untuk memeriksa kesehatan anak pada semua kelompok

umur. Pada usia beberapa hari, berat badan akan

mengalami penurunan yang sifatnya normal, yaitu sekitar

10% dari berat badan lahir. Hal ini disebabkan karena

keluarnya meconium dan air seni yang belum diimbangi

asupan yang mencukupi, misalnya produksi ASI yang

belum lancar. Umumnya berat badan akan kembali

mencapai berat badan lahir pada hari kesepuluh. Pada usia

6 bulan pertama berat badan akan bertambah sekitar 1

kg/bulan, sementara pada 6 bulan berikutnya hanya sekitar

0,5 kg/bulan. Pada tahun kedua, kenaikan adalah sekitar

0,25 kg/bulan. Setelah 2 tahun, kenaikan berat badannya

tidak tentu, yaitu sekitar 2,3 kg/tahun.

Sementara menurut Ngastiyah (2005: 9), perkiraan

berat badan anak adalah:

Page 44: Bab II Uap Endro

53

(a) 5 bulan: 2 ×BB lahir.

(b) 1 tahun: 3 ×BB lahir.

(c) 2 tahun: 4 ×BB lahir.

(d) Prasekolah rata-rata 2 kg/tahun.

Selain dengan perkiraan tersebut, BB juga dapat

diperkirakan dengan menggunakan rumus atau pedoman

dari Behrman, yaitu:

(a) Berat badan lahir rata-rata: 3,25 kg.

(b) Berat badan usia 3-12 bulan, menggunakan runus:

umur (bulan )+92

= n+92

(c) Berat badan usia 1-6 tahun, menggunakan rumus:

(Umur (tahun) × 2) + 8 = 2n + 8.

Keterangan: n adalah usia anak.

Untuk menentukan umur anak dalam bulan, bila lebih

15 hari dibulatkan keatas, sementara bila kurang atau sama

dengan 15 hari, dihilangkan. Sedangkan anak yang

berumur diatas satu tahun, bila lebihnya diatas 6 bulan

dibulatkan 1 tahun, sedangkan kelebihan 6 bulan atau

kurang, dihilangkan (Nursallam, 2008: 48).

Berikut ini adalah tabel Berat Badan terhadap Tinggi

Badan, yang dikutip dari buku Nursallam (2008: 49-50),

yang berjudul Asuhan Keperawatan Bayi dan Anak.

Page 45: Bab II Uap Endro

54

Tabel 2.1 Berat Badan terhadap Tinggi Badan usia 0-5 tahun

Tinggi (cm) BB normal (100%)

BB kurang (<90%)

BB buruk (<80%)

1 2 3 452 3,8 3,4 3,053 4,0 3,6 3,254 4,3 3,9 3,455 4,6 4,1 3,756 4,8 4,3 3,857 5,0 4,5 4,058 5,2 4,7 4,259 5,5 4,9 4,460 5,7 5,1 4,661 6,0 5,4 4,862 6,3 5,7 5,063 6,6 5,9 5,364 6,9 6,2 5,565 7,2 6,5 5,866 7,5 6,8 6,067 7,8 7,0 6,468 8,1 7,3 6,569 8,4 7,6 6,770 8,7 7,8 7,071 9,0 8,1 7,272 9,2 8,3 7,473 9,5 8,5 7,674 9,7 8,7 7,875 9,9 9,0 7,976 10,2 9,2 8,277 10,4 9,4 8,378 10,6 9,5 8,579 10,8 9,7 8,680 11,0 9,9 8,881 11,2 10,1 9,082 11,4 10,3 9,183 11,6 10,4 9,384 11,8 10,6 9,485 12,0 10,7 9,686 12,2 11,0 9,887 12,4 11,1 9,988 12,6 11,3 10,189 12,8 11,5 10,290 13,1 11,8 10,591 13,4 11,9 10,792 13,6 12,2 10,993 13,8 12,4 11,094 14,0 12,6 11,295 14,3 12,8 11,496 14,5 13,1 11,697 14,7 13,3 11,898 15,0 13,5 12,099 15,3 13,7 12,2100 15,6 14,0 12,5

Page 46: Bab II Uap Endro

55

1 2 3 4101 15,8 14,2 12,6102 16,1 14,5 12,9103 16,4 14,7 13,0104 16,7 15,0 13,4105 17,0 15,3 13,6106 17,3 15,6 13,9107 17,6 15,9 14,1108 18,0 16,2 14,4

Sumber: Direktorat Gizi, Depkes.

Dari tabel tersebut dapat ditentukan apakah keadaan

BB anak tergolong normal, kurang, atau buruk. Untuk

menentukan bagaimana keadaan BB anak, terlebih dahulu

harus ditentukan tinggi badan dan berat badannya,

kemudian data tinggi badan tersebut digunakan untuk

menentukan apakah berat badan anak termasuk yang baik,

kurang atau buruk. Dengan menggunakan tabel tinggi dan

berat badan dan mengetahui tinggi dan berat badan anak,

maka keadaan status gizi anak tersebut dapat diketahui.

Sementara kerugiannya adalah perubahan dan

pertambahan tinggi badan yang relatif pelan serta sukar

diukur, karena terdapat selisih nilai antara posisi

pengukuran saat berdiri dan saat tidur.

(2) Tinggi Badan

Tinggi badan untuk anak kurang dari 2 tahun sering

disebut dengan panjang badan. Pada bayi yang baru lahir,

panjang badan rata-rata adalah kurang lebih 50 cm. Pada

tahun pertama, pertambahannya adalah 1,25 cm/bulan (1,5

x panjang badan lahir). Penambahannya tersebut akan

Page 47: Bab II Uap Endro

56

berangsur-angsur berkurang sampai usia 9 tahun, yaitu

hanya sekitar 5 cm/tahun. Baru pada masa pubertas ada

peningkatan pertumbuhan tinggi badan yang cukup pesat,

yaitu 5-25 cm/tahun pada wanita, sedangkan pada laki-laki

peningkatannya sekitar 10-30 cm/tahun. Pertambahan

tinggi badan akan berhenti pada usia 18-20 tahun.

Seperti halnya berat badan, tinggi badan juga dapat

diperkirakan berdasarkan rumus dari Behrman:

(a) Perkiraan panjang lahir 50 cm.

(b) Perkiraan panjang badan usia 1 tahun =

1,5 × Panjang Badan Lahir.

(c) Perkiraan tinggi badan usia 2-12 tahun =

(umur ×6 ¿+ 77 = 6n + 77.

Keterangan : n adalah usia anak dalam tahun, bila usia

lebih lebih 6 bulan dibulatkan keatas, bila 6 bulan atau

kurang, dihilangkan (Nursalam, 2008: 51).

Sementara menurut Ngastiyah (2005: 10), secara garis

besar tinggi anak dapat diperkirakan sebagai berikut:

(a) 1 tahun : 1,5× TB lahir.

(b) 4 tahun : 2×TB lahir.

(c) 6 tahun : 1,5 ×TB 1 tahun.

(d) 13 tahun : 3 × TB lahir.

(e) Dewasa : 3,5 ×TB lahir (2 ×TB 2 tahun).

Page 48: Bab II Uap Endro

57

(3) Lingkar Kepala

Pertumbuhan lingkar kepala paling pesat adalah pada

6 bulan pertama kehidupan dari 34 cm pada waktu lahir

menjadi 44 cm pada umur 6 bulan. Umur satu tahun 47

cm, 2 tahun 49 cm, dan dewasa 54 cm. Pengukuran

lingkar kepala hanya terbatas sampai anak umur 6 bulan

pertama sampai umur 2 tahun karena saat itu

pertumbuhan otak pesat (Ngastiyah, 2005: 10).

(4) Gigi

Gigi pertama tumbuh pada umur 5-9 bulan, pada

umur 1 tahun sebagian besar anak mempunyai 6-8 gigi

susu. Selama tahun kedua gigi tumbuh lagi 8 biji,

sehingga jumlah seluruhnya sekitar 14-16 gigi, pada

umur 2,5 tahun sudah terdapat 20 gigi susu (Mansjoer,

2000: 586).

(5) Lingkar Lengan Atas (LLA)

Lingkar lengan atas (LLA) mencerminkan tumbuh

kembang jaringan lemak dan otot yang tidak terpengaruh

banyak oleh keadaan cairan tubuh dibandingkan dengan

berat badan. Dipakai untuk menilai gizi atau tumbuh

kembang pada kelompok usia prasekolah. Laju

pertambahan lingkar lengan atas lambat, dari 11 cm pada

saat lahir menjadi 16 cm pada usia 1 tahun, selanjutnya

Page 49: Bab II Uap Endro

58

tidak berubah selama 1-3 tahun (Ngastiyah, 2005: 10-

11).

b) Perkembangan

Terkait dengan upaya memberikan asuhan keperawatan

pada balita, supaya dapat melakukan deteksi perkembangan

anak, harus memahami aspek-aspek perkembangan anak.

Menurut Nursalam (2008: 55-56), terdapat empat aspek

perkembangan anak balita, yaitu:

(1) Kepribadian atau tingkah laku sosial (personal social)

yaitu aspek yang berhubungan dengan kemampuan

untuk mandiri, bersosiaisasi, dan berinteraksi dengan

lingkungan.

(2) Motorik halus (fine motor adaptive) yaitu aspek yang

berhubungan dengan kemampuan anak untuk

mengamati sesuatu dan melakukan gerakan yang

melibatkan bagian-bagian tubuh tertentu dan otot-otot

kecil, memerlukan koordinasi yang cermat, serta tidak

memerlukan banyak tenaga, misalkan memasukkan

manik-manik ke dalam botol, menempel dan

menggunting.

(3) Motorik kasar (gross motor) yaitu aspek yang

berhubungan dengan pergerakan dan sikap tubuh yang

melibatkan sebagian besar bagian tubuh karena

dilakukan oleh otot-otot yang lebih besar sehingga

Page 50: Bab II Uap Endro

59

memerlukan cukup tenaga, misalnya berjalan dan

berlari.

(4) Bahasa (language) yaitu aspek yang berhubungan

dengan kemampuan untuk memberikan respon terhadap

suara, mengikuti perintah, dan berbicara secara

spontan. Pada masa bayi, kemampuan bahasa bersifat

pasif, sehingga pernyataan akan perasaan atau

keinginan dilakukan melalui tangisan dan gerakan.

Semakin bertambahnya usia, anak akan menggunakan

bahasa aktif, yaitu dengan berbicara.

9) Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan atau pengkajian fisik dalam keperawatan untuk

memperoleh data obyektif dari riwayat keperawatan klien. Fokus

pengkajian fisik yang dilakukan oleh perawat adalah pada

kemampuan fungsional klien. Tujuan dari pengkajian fisik di

dalam keperawatan adalah untuk menentukan status kesehatan

klien, mengidentifikasi masalah kesehatan dan mengambil data

dasar untuk menentukan rencana tindakan perawatan (Nursallam,

2001: 30).

Dalam buku Proses dan Dokementasi Keperawatan Nursallam

(2001: 31-32), ada 4 tehnik dalam pemeriksaan fisik yaitu:

a) Inspeksi, adalah suatu proses observasi yang dilaksanakan

secara sistematik. Observasi dilaksanakan dengan

menggunakan indra penglihatan, pendengaran, dan penciuman

Page 51: Bab II Uap Endro

60

sebagai suatu alat untuk mengumpulkan data. Fokus inspeksi

pada setiap bagian tubuh meliputi, ukuran tubuh, warna,

bentuk, posisi, dan simetris.

b) Palpasi, adalah suatu tehnik yang menggunakan indera peraba.

Tangan dan jari-jari adalah suatu instrument yang sensitif dan

digunakan untuk mengumpulkan data, tentang ; temperatur,

turgor, bentuk, kelembaban, dan vibrasi dan ukuran.

c) Perkusi, adalah sesuatu pemeriksaan dengan jalan mengetuk

untuk membandingkan kiri-kanan pada setiap daerah

permukaan tubuh dengan tujuan menghasilkan suara. Perkusi

bertujuan untuk mengidentifikasi lokasi, ukuran, bentuk dan

konsisten jaringan.

d) Auskultasi, adalah pemeriksaan dengan jalan mendengarkan

suara yang dihasilkan oleh tubuh dengan menggunakan

stetoskop.

Pengkajian fisik pada klien dapat menggunakan Head-to-toe

(kepala sampai ke kaki) dan Pola fungsi kesehatan Gordon.

a) Pada pemeriksaan fisik Head-to-toe adalah sebagai berikut:

(1) Keadaan umum

Keadaan umum ini dapat meliputi kesan keadaan sakit

termasuk ekspresi wajah dan posisi klien, kesadaran yang

dapat meliputi penilaian secara kualitas seperti kompos

metis (sadar sepenuhnya dapat menjawab semua

pertanyaan tentang keadaan sekelilingnya), apatis (acuh

Page 52: Bab II Uap Endro

61

tak acuh terhadap keadaan sekitarnya), somnolen

(kesadaran yang lebih rendah ditandai dengan tampak

mengantuk, selalu ingin tidur, tidak responsif terhadap

rangsangan ringan, dan masih memberikan respon

terhadap rangsangan yang kuat), sopor (tidak memberikan

respon ringan ataupun sedang tetapi masih memberikan

terhadap respon yang kuat dengan adanya respon pupil

yang masih positif), koma (tidak dapat bereaksi terhadap

stimulus atau rangsangan apa pun, reflek pupil terhadap

cahaya tidak ada) (Hidayat, 2007: 102).

Keadaan umum pada klien dengan tifoid adalah:

Umumnya kesadaran klien menurun walaupun tidak

berada dalam, yaitu apatis sampai samnolen, jarang

terjadi sopor, koma atau gelisah (kecuali bila penyakitnya

berat dan terlambat mendapat pengobatan) (Nursallam,

2008: 154).

(2) Pemeriksaan tanda vital

Meliputi nadi, tekanan darah, pernafasan, serta suhu

tubuh (Hidayat, 2007: 102).

Pada klien dengan tifoid pemeriksaan tanda vitalnya

menurut Nursallam (2008: 154), adalah:

Suhu tubuh pada kasus yang khas, demam berlangsung

selama 3 minggu, bersifat febris remiten dan suhunya

tidak terlalu tinggi. Selama minggu pertama, suhu tubuh

Page 53: Bab II Uap Endro

62

berangsur-angsur naik setiap harinya. Biasanya menurun

pada pagi hari dan meningkat lagi pada sore dan malam

hari. Dalam minggu kedua, klien terus berada dalam

keadaan demam. Pada minggu ketiga, suhu berangsur

turun dan normal pada akhir minggu ketiga.

(3) Pemeriksaan kulit, rambut, dan kelenjar getah bening.

Kulit meliputi warna, turgor, kelembapan kulit, dan

adanya edema. Rambut dapat dinilai dari warna,

kelebatan, dan distribusi. Kelenjar getah bening dapat

dinilai dari bentuknya serta tanda-tanda radang

(Hidayat,2007: 102).

Pada klien dengan tifoid kulit di daerah punggung dan

anggota gerak dapat ditemukan roseola yaitu bintik-bintik

kemerahan karena emboli basil dalam kapiler kulit yang

dapat ditemukan pada minggu pertama demam

(Ngastiyah, 2005: 237-238).

(4) Pemeriksaan Kepala dan Leher

Periksa bentuk dan ukuran kepala dan kulit kepala,

ubun-ubun, sruktur wajah ada tidaknya pembengkakan.

Selanjutnya periksa hidung dan mulut , bibir, gusi, lidah,

dan periksa ada tidaknya kaku kuduk di leher (Hidayat,

2007: 102).

Pada klien tifoid mulut terdapat nafas yang berbau

tidak sedap serta bibir kering dan pecah-pecah (ragaden).

Page 54: Bab II Uap Endro

63

Lidah tertutup selaput putih kotor (coated tongue)

sementara ujung dan tepi tampak kemerahan (Nursallam,

2008: 154).

(5) Pemeriksaan Dada

Pemeriksaan dada meliputi organ paru dan jantung.

Periksa bentuk dada dan keadaan paru (simetris atau

tidak), pergerakan nafas, dan auskultasi untuk menentukan

abnormalitas system pernafasan. Pada pemeriksaan

jantung periksa denyut, dan bunyi jantung (Hidayat, 2007:

103).

(6) Pemeriksaan Abdomen

Data yang dikumpulkan antara lain ukuran atau bentuk

perut, dinding perut, bising usus, adanya ketegangan

dinding perut atau adanya nyeri tekan. Selanjutnya palpasi

pada organ hati, limpa, ginjal, kandung kencing, untuk

memeriksa ada tidaknya nyeri dan pembesaran pada organ

tersebut (,Hidayat 2007: 103).

Pada klien dengan tifoid pada abdomen dapat

ditemukan keadaan perut kembung (meteorismus). Bisa

terjadi konstipasi, atau mungkin diare atau normal. Hati

dan limpa membesar disertai dengan nyeri pada perabaan

(Nursallam, 2008: 154).

Page 55: Bab II Uap Endro

64

(7) Pemeriksaan Anggota gerak dan Neurologis

Pemeriksaan anggota gerak ini meliputi adanya

rentang gerak, genggaman tangan, dan otot kaki. Periksa

apakah ada kontraktur atau tidak. Kemudian pada

pemeriksaan neurologis seperti kejang, tremor, dan

paralisis (Hidayat, 2007: 103).

b) Pemeriksaan fisik pada kasus tifoid menurut pola Gordon

adalah sebagai berikut:

(1) Pola persepsi kesehatan

Pada pengumpulan data tentang persepsi dan

pemeliharaan kesehatan yang perlu di tanyakan pada klien

antara lain persepsi terhadap sakit atau penyakit, persepsi

terhadap arti kesehatan, persepsi terhadap penatalaksanaan

kesehatan seperti penggunaan obat-obatan dan atau yang

ditanyakan adanya alergi (Hidayat, 2007: 101).

Menurut Rampengan (2007: 50), data pola persepsi

kesehatan pada klien tifoid, pada umumnya klien atau

orang tua klien mengatakan suhu tubuh anaknya

meningkat mencapai 39-41oC pada sore dan pada malam

hari dan turun lagi pada pagi hari.

(2) Pola nutrisi metabolik

Pada pola nutrisi dan metabolisme yang datanyakan

adalah diet khusus yang dikonsumsi dan instruksi diet

sebelumnya, nafsu makan, jumlah makan atau minum

Page 56: Bab II Uap Endro

65

serta cairan yang masuk, ada tidaknya mual-mual, muntah,

stomatitis, adanya kesukaran menelan, penggunaan gigi

palsu atau tidak (Hidayat, 2007: 101).

Data pola nutrisi metabolik pada klien tifoid menurut

Suriadi dan Yuliani (2010: 255), klien atau orang tua klien

pada umumnya mengatakan bahwa anaknya nafsu makan

kurang, nyeri diperut, mual, muntah, dan lidah tertutup

selaput putih.

(3) Pola eliminasi

Pada pola ini yang perlu ditanyakan adalah jumlah

kebiasaan defekasi perhari, ada tidaknya konstipasi, diare,

kebiasaan BAK ada tidaknya nokturi, hematuri, retensi

(Hidayat, 2007: 101).

Data pola eliminasi klien pada tifoid menurut

Rampengan (2007: 50), klien atau orang tua klien pada

umumnya mengatakan bahwa anaknya tidak bisa berak

(konstipasi) tetapi mungkin normal bahkan juga terjadi

diare dengan feses cair dan pada perabaan terdapat nyeri

karena pembesaran limpa dan hati.

(4) Pola aktivitas

Pada pengumpulan data ini yang perlu ditanyakan

adalah kemampuan dalam menata diri apabila tingkat

kemampuannya 0 berarti mandiri, 1= menggunakan alat

bantu, 2= dibantu orang lain, 3= di bantu orang lain dan

Page 57: Bab II Uap Endro

66

peralatan, 4= ketergantungan atau tidak mampu, yang

dimaksud aktivitas sehari-hari adalah seperti makan,

mandi, berpakaian, toileting, tingkat mobilitas di temapt

tidur, berpindah, dan berjalan (Hidayat, 2007: 101).

Menurut Suriadi dan Yuliani (2010: 256), data pola

aktifitas pada klien dengan tifoid adalah, pada umumnya

klien atau orang tua klien mengatakan bahwa aktivitasnya

selalu dibantu. Aktivitas klien selalu dibantu orang lain,

seperti untuk mandi dan buang air besar atau kecil,

kemampuan dalam menata diri tingkat kemampuannya

adalah 2= dibantu orang lain.

(5) Pola tidur - istirahat

Pengkajiannya pola tidur istirahat ini yang ditanyakan

adalah jumlah jam tidur pada malam hari, pagi, siang,

merasa tenang setelah tidur, masalah selama tidur, adanya

terbangun dini, insomnia atau mimpi buruk (Hidayat,

2007: 101).

Menurut Rampengan (2007: 50), data pola tidur

istirahat pada klien tifoid adalah klien atau orang tua klien

pada umumnya mengatakan suhu tuhuh anaknya

meningkat antara 39-41o C pada malam hari sehingga tidur

dan istirahatnya terganggu.

Page 58: Bab II Uap Endro

67

(6) Pola kognitif-perceptual

Pada pola ini yang ditanyakan adalah keadaan mental,

sukar bercinta, kacau mental, menyerang, tidak ada

respon, cara bicara normal atau tidak, bicara berputar-

putar, kemampuan berkomunikasi, kemampuan mengerti,

gangguan pendengaran, penglihatan, adanya persepsi

sensori (nyeri), dan penciuman (Hidayat, 2007: 101).

Menurut Ngastiyah (2005: 237), pola kognitif

perceptual pada klien tifoid adalah, klien atau orang tua

klien pada umumnya mengatakan indera pengecapannya

terganggu sehingga tidak mau makan, lidah kotor yaitu

ditutupi selaput kecoklatan kotor, ujung dan tepi

kemerahan. Adanya nyeri perabaan karena hati dan limpa

membesar.

(7) Pola toleransi-koping sress

Pada pengumpulan data ini ditanyakan adanya koping

mekanisme yang digunakan pada saat terjadinya masalah

atau kebiasaan menggunakan koping mekanisme serta

tingkat toleransi stress yang pernah atau dimilikinya

(Hidayat, 2007: 102).

Pola toleransi koping stress pada klien dengan tifoid

adalah mekanisme koping pada klien anak yaitu

melibatkan keluarga dalam perawatan agar anak merasa

Page 59: Bab II Uap Endro

68

aman dan mendapatkan perhatian dari keluarganya

(Nursallam, 2008: 10).

(8) Persepsi diri atau konsep diri

Pada persepsi ini yang ditanyakan adalah persepsi

tentang dirinya dari masalah-masalah yang ada seperti

perasaan kecemasan, ketakutan atau penilaian terhadap

diri mulai dari peran (serangkaian perilaku yang

diharapkan oleh masyarakat sesuai dengan fungsi yang

ada dalam masyarakat), ideal diri (penilaian individu

tentang dirinya dengan menganalisis kesesuaian antara

perilaku dan ideal diri), konsep diri (merupakan bagian

dari masalah kebutuhan psikososial), gambaran diri

(mencakup sikap individu terhadap tubuhnya sendiri, dan

identitas tentang dirinya (Hidayat, 2007: 102).

(9) Pola seksual-reproduktif

Pada pengumpulan data tentang pola seksual dan

reproduksi ini dapat ditanyakan periode menstruasi

terakhir, masalah menstruasi, pemeriksaan payudara atau

testis, dan masalah seksual yang berhubungan dengan

penyakit (Hidayat, 2007: 102).

(10) Pola hubungan dan peran

Pada pola ini yang perlu ditanyakan adalah pekerjaan,

status pekerjaan, kemampuan bekerja, hubungan dengan

Page 60: Bab II Uap Endro

69

klien atau keluarga dan gangguan terhadap peran yang

dilakukan (Hidayat, 2007: 102).

(11) Pola nilai dan keyakinan

Yang perlu ditanyakan adalah pantangan dalam agama

selama sakit serta kebutuhan adanya rohanian (Hidayat,

2007: 102).

10) Pemeriksaan Diagnostik

Hasil pemeriksaan laboratorium dan tes diagnostik dapat

digunakan perawat sebagai data objektif yang disesuaikan dengan

masalah kesehatan klien. Hasil pemeriksaan diagnostik dapat

membantu terapi untuk menetapkan diagnosis medis dan

membantu perawat untuk mengevaluasi keberhasilan asuhan

keperawatan (Nursallam, 2001: 25).

Menurut Nursallam (2008: 154), pada klien dengan tifoid

pemeriksaan penunjangnya adalah:

a) Pada pemerikasaan darah tepi terdapat gambaran leukopenia,

dan limfositosis relatif.

b) Darah untuk kultur (biakan empedu) dan widal.

c) Biakan empedu basil salmonella typhosa dapat ditemukan

dalam darah klien pada minggu pertama sakit. Selanjutnya

sering ditemukan dalam urine dan feces.

d) Pemeriksaan widal, untuk membuat diagnosis, pemeriksaan

yang diperlukan ialah titer anti terhadap antigen O, titer yang

Page 61: Bab II Uap Endro

70

bernilai 1/200 atau lebih menunjukkan kenaikan yang

progesif.

b. Analisa data

Menurut Ali (2001: 75-76), analisa data adalah suatu kemampuan

dalam mengembangkan kemampuan berpikir rasional sesuai dengan

latar belakang ilmu pengetahuan.

Langkah-langkah dalam menganalisa data sebagai berikut:

1) Pengelompokan data

a) Data fisiologis/biologis.

b) Data psikologis.

c) Data sosial.

d) Data spiritual.

2) Tabulasi data

Data yang telah diperoleh kemudian ditabulasi sehingga

mudah dibandingkan dengan standar, diinterprestasikan, dan

ditentukan alternatif permasalahannya.

c. Perumusan masalah

Menurut Ali (2001: 76-77), dari analisa data yang telah dilakukan,

dapat dirumuskan beberapa masalah kesehatan. Masalah kesehatan

tersebut ada yang dapat diintervensi dengan Asuhan Keperawatan

(masalah keperawatan) tetapi ada juga yang tidak dan lebih

memerlukan tindakan medis.

Page 62: Bab II Uap Endro

71

Prioritas masalah dapat ditentukan berdasarkan hirarki kebutuhan

menurut Maslow, yaitu:

1) Keadaan yang mengancam kehidupan.

2) Keadaan yang mengancam kesehatan.

3) Persepsi tentang kesehatan dan keperawatan.

2. Diagnosa Keperawatan

Diagnosa keperawatan adalah suatu pernyataan yang menjelaskan

respons manusia (status kesehatan atau resiko perubahan pola) dari

individu atau kelompok dimana perawat secara akuntabilitas dapat

mengidentifikasi dan memberikan intervensi secara pasti untuk menjaga

status kesehatan, menurunkan, membatasi, mencegah, mengubah

(Nursalam, 2008: 35).

Menurut Ali (2001: 79-80), diagnosis keperawatan adalah suatu

pernyataan tentang masalah ketidaktahuan dan atau ketidakmauan dan

atau ketidakmampuan klien baik dalam memenuhi kebutuhan hidup

sehari-hari maupun dalam penanggulangan masalah kesehatan tersebut

berhubungan dengan penyebab (etiologi) dan atau gejala.

Sesuai dengan data kesehatan yang telah dikumpulkan maka diagnosa

keperawatan memiliki 2 bentuk, yaitu:

a. Aktual, yaitu diagnosis keperawatan yang menjelaskan masalah nyata

yang sudah ada pada saat pengkajian dilakukan.

b. Potensial, yaitu diagnosis keperawatan yang menjelaskan masalah

nyata yang akan terjadi bila tindakan keperawatan tidak dilakukan.

Page 63: Bab II Uap Endro

72

Jadi dapat dikatakan bahwa masalah belum terjadi tetapi penyebab

telah muncul.

Diagnosa keperawatan yang muncul menurut Suriadi dan Yuliani

(2010: 256), adalah sebagai berikut :

a. Resiko kurangnya volume cairan berhubungan dengan kurangnya

intake cairan, dan peningkatan suhu tubuh.

b. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan

tidak ada nafsu makan, mual dan kembung.

c. Hipertermi berhubungan dengan proses infeksi.

d. Defisit pengetahuan orang tua berhubungan dengan kurang

informasi tentang penyakit.

Sedangkan menurut Ngastiyah (2005: 240), diagnosa yang sering

muncul sebagai berikut :

a. Hipertermi berhubungan dengan peningkatan metabolisme sekunder

terhadap rangsangan sintesis dan pelepasan zat pirogen.

b. Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake

nutrisi yang kurang.

c. Gangguan pola tidur berhubungan dengan hipertermi.

d. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan fisik.

e. Resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan tidak

adekuatnya masukan cairan.

f. Defisit pengetahuan orang tua berhubungan dengan kurang

informasi tentang penyakit.

Page 64: Bab II Uap Endro

73

Dari kesimpulan di atas bahwa diagnosa yang dapat diangkat pada

penyakit demam tifoid adalah:

a. Hipertermi berhubungan dengan proses infeksi.

b. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan

tidak ada nafsu makan, mual dan kembung.

c. Nyeri akut berhubungan dengan proses inflamasi.

d. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan fisik.

e. Gangguan pola tidur berhubungan dengan hipertermi.

f. Resiko kurang volume cairan berhubungan dengan kurangnya intake

cairan dan peningkatan suhu tubuh.

g. Defisit pengetahuan orang tua berhubungan dengan kurang informasi

tentang penyakit.

3. Perencanaan

Perencanaan merupakan suatu proses penyusunan berbagai intervensi

keperawatan yang dibutuhkan untuk mencegah, menurunkan atau

mengurangi masalah-masalah klien. Perencanaan ini merupakan langkah

ketiga dalam membuat suatu proses keperawatan. Dalam menentukan

tahap perencanaan bagi perawat diperlukan berbagai pengetahuan dan

keterampilan diantaranya pengetahuan tentang kekuatan dan kelemahan

klien, nilai dan kepercayaan klien, batasan praktek keperawatan, peran

dari tenaga kesehatan lainnya, kemampuan dalam memecahkan masalah,

mengambil keputusan, menulis tujuan serta memilih dan membuat

strategi keperawatan yang aman dalam memenuhi tujuan, menulis

Page 65: Bab II Uap Endro

74

intruksi keperawatan serta kemampuan dalam melaksanakan kerja sama

dengan tingkat kesehatan lain (Hidayat, 2007: 117).

Perencanaan yang dilaksanakan pada kasus tifoid ini diambil dari

buku Rencana Asuhan Keperawatan (Doengoes, 2000) terdiri dari :

a. Hipertermi berhubungan dengan proses infeksi

Tujuan:

Setelah dilakukan tindakan keperawatan, diharapkan klien suhu

tubuhnya kembali dalam batas normal.

Kriteria Hasil:

Badan klien tidak panas lagi, suhu tubuh normal 36 – 37 C.

Intervensi Rasional 1. Kaji penyebab demam. 1. Mempermudah tindakan

selanjutnya.2. Pantau suhu klien (derajatnya)

perhatikan menggigil.2. Suhu 38,9o-41,1o C menunjukkan

proses penyakit infeksius akut.3. Pantau suhu lingkungan, batasi

atau tambahkan linen tempat tidur, sesuai indikasi.

3. Suhu ruangan atau jumlah selimut harus diubah untuk mempertahankan suhu mendekati normal.

4. Berikan kompres mandi hangat; hindari penggunaan alkohol

4. Dapat membantu mengurangi demam, penggunaan air es atau alkohol mungkin menyebabkan kedinginan. Selain itu alkohol dapat mengeringkan kulit.

5. Pakaikan baju yang tipis dan menyerap keringat.

5. Akan mempermudah terjadinya evaporasi akibat panas dalam tubuh.

6. Kolaborasi pemberian antipiretik, misalnya paracetamol

6. Digunakan untuk mengurangi demam dengan aksi sentralnya pada hipotalamus.

7. Kolaborasi pemberian selimut pendingin

7. Digunakan untuk mengurangi demam umumnya lebih besar dari 39,5-40o C pada waktu terjadi kerusakan /gangguan pada otak.

b. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan

tidak ada nafsu makan, mual dan kembung.

Page 66: Bab II Uap Endro

75

Tujuan:

Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan klien

menunjukan peningkatan berat badan dan mencapai rentang yang

diharapkan.

Kriteria Hasil:

Nafsu makan meningkat, tidak ada gangguan dalam sensasi

pengecapan, berat badan tidak turun lagi, dan klien tidak merasa mual

dan muntah lagi.

Intervensi Rasional 1. Awasi pemasukan atau jumlah

kalori.1. Mengidentifikasi defisiensi,

mengawasi masukan kalori dan kualitas konsumsi makanan.

2. Berikan perawatan mulut sebelum makan.

2. Menghilangkan rasa tak enak dan dapat meningkatkan nafsu makan.

3. Berikan makanan sedikit tapi sering.

3. Makan sedikit tapi sering dapat menurunkan kelemahan, meningkatkan pemasukan dan mengurangi rasa mual.

4. Anjurkan makan pada posisi duduk tegak.

4. Menurunkan rasa penuh pada abdomen.

5. Kolaborasi dengan tim gizi untuk memberikan diet sesuai kebutuhan klien.

5. Berguna dalam membuat program diet untuk memenuhi kebutuhan klien.

6. Kolaborasi dalam pemberian obat antiematik sesuai indikasi.

6. Diberikan ½ jam sebelum makan, dapat menurunkan mual dan meningkatkan toleransi makanan.

c. Nyeri akut berhubungan dengan proses inflamasi.

Tujuan:

Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan nyeri klien

berkurang atau hilang.

Kriteria hasil:

Skala nyeri berkurang 1 atau 0, klien tampak tenang tidak rewel,

tidak tampak meringis dan tidak kesakitan.

Page 67: Bab II Uap Endro

76

Intervensi Rasional 1. Kaji keluhan nyeri, perhatikan

lokasi, intensitas, frekuensi dan waktu.

1. Mengindikasi kebutuhan untuk intervensi dan juga tanda-tanda perkembangan.

2. Dorong pengungkapan perasaan

2. Dapat mengurangi ansietas dan rasa takut, sehingga mengurangi persepsi akan intensitas rasa sakit.

3. Berikan aktivitas hiburan, misalnya membaca atau menonton televisi

3. Memfokuskan kembali perhatian, mungkin dapat meningkatkan kemampuan untuk menanggulanginya lagi.

4. Lakukan tindakan palitatif, misalnya mengubah posisi.

4. Meningkatkan relaksasi atau menurunkan ketegangan otot.

5. Berikan kompres hangat atau lembab

5. Meningkatkan rasa nyaman.

6. Kolaborasi dalam pemberian obat analgetik.

6 Memberikan penurunan nyeri atau tidak nyaman.

d. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan fisik.

Tujuan:

Setelah dilakukan tindakan keperawatan, diharapkan klien mampu

melakukan aktivitas kembali.

Kriteria Hasil:

Mampu melakukan aktivitas, tidak terjadi penurunan kekuatan

otot, tidak merasa lemah dan nyaman dalam bekerja.

Intervensi Rasional 1. Kaji kemampuan klien untuk

melakukan aktivitas.1. Mempengaruhi pilihan intervensi

atau bantuan.2. Awasi TD, nadi, pernafasan,

selama dan sesudah aktivitas.2. Manifestasi kardiopulmonal dari

upaya jantung dan paru untuk membawa jumlah oksigen adekuat ke jaringan.

3. Berikan lingkungan yang tenang dan pertahankan tirah baring.

3. Meningkatkan istirahat dan ketenangan, menyediakan energi untuk penyembuhan.

4. Berikan bantuan dalam aktivitas.

4. Membantu bila perlu, harga diri ditingkatkan bila klien melakukan sesuatu sendiri.

5. Berikan aktivitas hiburan yang tepat contoh menonton TV, membaca.

5. Meningkatan relaksasi dan penghematan energi dan dapat meningkatkan koping.

Page 68: Bab II Uap Endro

77

e. Gangguan pola tidur berhubungan dengan hipertermi.

Tujuan :

Setelah dilakukan tindakan keperawatan, diharapkan klien dapat

beristirahat yang cukup dan mampu menciptakan pola tidur yang

adekuat dan menurunkan suhu tubuh kembali dalarn batas normal.

Dengan kriteria :

Klien bisa tidur dengan tenang, suhu tubuh dalam batas normal

36-37o C.

Intervensi Rasional 1. Kaji kebiasaan tidur dan

perubahan yang terjadi.1. Mengkaji perlunya dan

mengidentifikasi intervensi yang tepat.

2. Berikan tempat tidur yang nyaman dan beberapa milik pribadi misalnya bantal dan guling.

2. Meningkatkan kenyamanan tidur serta dukungan fisiologis/psikologis

3. Tingkatkan regimen keyamanan waktu tidur , misalnya segelas susu hangat.

3. Meningkatkan efek relaksasi dan membantu klien tidur lebih lama.

4. Kurangi kebisingan dan lampu 4. Memberikan situasi yang kondusif untuk tidur.

5. Gunakan pagar tempat tidur sesuai indikasi, rendahkan tempat tidur bila mungkin.

5. Pagar tempat tidur memberikan keamanan dan dapat digunakan untuk membantu mengubah posisi.

6. Hindari kemungkinan mengganggu misalnya membangunkan untuk terapi.

6. Tidur tanpa gangguan lebih menimbulkan rasa segar, dan klien tidak mampu kembali tidur bila terbangun.

7. Kolaborasi pemberian obat sedative sesuai indikasi.

7. Mungkin diberikan untuk membantu klien tidur/istirahat. Hindari penggunaan kebiasaan.

f. Resiko tinggi kekurangan volume cairan berhubungan dengan

kurangnya intake cairan dan peningkatan suhu tubuh.

Page 69: Bab II Uap Endro

78

Tujuan:

Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan klien dapat

mempertahankan atau menunjukkan perubahan keseimbangan cairan

dan dapat mempertahankan hidrasi secara adekuat.

Kriteria hasil:

Tanda vital stabil, turgor kulit baik, pengisian kapiler nadi perifer

kuat, dan haluaran urin klien sesuai.

Intervensi Rasional 1. Pantau tanda-tanda vital

terutama suhu.1. Indikator dari volume sirkulasi

2. Catat peningkatan suhu dan durasi demam, berikan kompres hangat sesuai indikasi.

2. Meningkatkan kebutuhan metabolism dan diaforesis yang berlebihan yang dihubungkan dengan demam .

3. Kaji turgor kulit, membran mukosa, dan rasa haus.

3. Indikator tidak langsung dari status cairan.

4. Anjurkan untuk sering minum 4. Meminimalkan kehilangan cairan 5. Ukur haluaran urine dan catat

jumlah kehilangan cairan.5. Penurunan haluaran urine

menunjukan perubahan volume sirkulasi.

6. Timbang berat badan sesuai indikasi

6. Kehilangan cairan dapat dengan cepat menyebabkan krisis dan mengancam hidup.

7. Kolaborasi pemberian cairan IV.

7. Memberikan cairan untuk memenuhi kebutuhan.

g. Defisit pengetahuan orang tua berhubungan dengan kurang informasi

tentang penyakit.

Tujuan:

Setelah dilakukan penyuluhan diharapkan klien menyatakan

pemahaman mengenai proses penyakit dan perawatan anaknya.

Kriteria Hasil:

Dapat ikut berpartisipasi dalam perawatan anaknya.

Page 70: Bab II Uap Endro

79

Intervensi Rasional 1. Kaji kesiapan orang tua

mengikuti pembelajaran, termasuk pengetahuan tentang penyakit dan perawatan anaknya

1. Efektifitas pembelajaran dipengaruhi oleh kesiapan fisik dan mental serta latar belakang pengetahuan sebelumnya.

2. Jelaskan tentang proses penyakit anaknya, penyebab dan akibatnya terhadap gangguan pemenuhan kebutuhan sehari-hari dan aktivitas.

2. Pemahaman tentang masalah ini penting untuk meningkatkan partisipasi orang tua tentang proses perawatan anak.

3. Jelaskan tentang penyakit, perawatan dan pengobatan

3. Meningkatkan pemahaman dan partisipasi keluarga.

4. Berikan penjelasan tentang pentingnya hidup bersih.

4. Lingkungan yang bersih dapat mengurangi timbulnya penyakit.

5. Dorong kesinambungan diet seimbang

5. Meningkatkan kesehatan umum dan meningkatkan proses penyembuhan/regenerasi jaringan

4. Implementasi

Implementasi atau pelaksanaan merupakan langkah keempat dalam

tahap proses keperawatan dengan melaksanakan berbagai strategi

keperawatan (tindakan keperawatan) yang telah direncanakan dalam

rencana tindakan keperawatan. Dalam pelaksanaan rencana tindakan

terdapat dua jenis tindakan, yaitu tindakan jenis mandiri dan tindakan

kolaborasi (Hidayat, 2007: 122-123).

Pelaksanaan pada klien dengan tifoid menurut Suriadi dan Yuliani

(2010: 257-258), adalah:

a. Meningkatkan kebutuhan nutrisi dan cairan.

1) Menilai status nutrisi klien.

2) Berikan makanan yang disertai dengan suplemen nutrisi untuk

meningkatkan kualitas intake.

3) Menganjurkan pada orang tua untuk memberikan makanan

dengan tehnik porsi kecil tapi sering.

4) Menimbang berat badan setiap hari pada waktu yang sama.

Page 71: Bab II Uap Endro

80

5) Mempertahankan kebersihan mulut klien.

6) Menjelaskan pentingnya intake nutrisi yang adekuat untuk

penyembuhan penyakit.

7) Kolaborasi untuk pemberian makanan melalui parenteral jika

pemberian makanan melalui oral tidak memenuhi kebutuhan gizi

anak.

b. Mencegah kurangnya volume cairan.

1) Mengobservasi tanda-tanda vital (suhu tubuh) paling sedikit

setiap empat jam.

2) Monitor tanda-tanda peningkatan kekurangan cairan, turgor tidak

elastis, ubun-ubun cekung, produksi urin menurun, membrane

mukosa kering dan bibir pecah-pecah.

3) Mengobservasi dan mencatat intake dan output dan

mempertahankan intake dan output yang adekuat.

4) Memonitor dan mencatat berat badan pada waktu yang sama.

5) Memonitor pemberian cairan melalui intravena setiap jam.

6) Memberikan antibiotik sesuai program.

c. Mempertahankan fungsi persepsi sensori.

1) Kaji status neurologis.

2) Istirahatkan anak hingga suhu dan tanda-tanda vital stabil.

3) Hindari aktivitas yang berlebihan.

4) Pantau tanda-tanda vital.

Page 72: Bab II Uap Endro

81

d. Kebutuhan perawatan diri terpenuhi.

1) Mengkaji aktivitas yang dapat dilakukan anak sesuai dengan

tugas perkembangan anak.

2) Menjelaskan kepada klien dan keluarga aktivitas yang dapat dan

tidak dapat dilakukan hingga demam berangsur-angsur turun.

3) Membantu memenuhi kebutuhan dasar anak.

4) Melibatkan peran keluarga dalam memenuhi kebutuhan dasar

klien.

e. Mempertahankan suhu dalam batas normal.

1) Kaji pengetahuan klien dan keluarga tentang hipertermia.

2) Observasi suhu, nadi, tekanan darah, dan pernafasan.

3) Berikan minum yang cukup.

4) Berikan kompres air biasa.

5) Pakaikan baju yang tipis dan menyerap keringat.

6) Pemberian obat antipiretik.

7) Pemberian cairan parenteral (IV) yang adekuat.

5. Evaluasi

Evaluasi merupakan langkah terakhir dari proses keperawatan

dengan cara melakukan identifikasi sejauh mana tujuan dari rencana

keperawatan tercapai atau tidak. Pada tahap evaluasi ini terdiri dari dua

kegiatan yaitu kegiatan yang dilakukan dengan mengevaluasi selama

proses perawatan berlangsung atau menilai dari respon klien disebut

evaluasi proses (formatif) dan kegiatan melakukan evaluasi dengan target

Page 73: Bab II Uap Endro

82

tujuan yang diharapkan disebut sebagai evaluasi hasil (sumatif) (Hidayat,

2007: 124).

Jenis evaluasi menurut Hidayat (2007: 124-125), ada 2 yaitu:

a. Evaluasi formatif.

Menyatakan evaluasi yang dilakukan pada saat memberikan intervensi

dengan respon segera.

b. Evaluasi sumatif.

Merupakan rekapitulasi dari hasil observasi dan analisis status klien

pada waktu tertentu berdasarkan tujuan yang direncanakan pada tahap

perencanaan. Di samping itu, evaluasi juga sebagai alat ukur suatu

tujuan yang mempunyai kriteria tertentu yang membuktikan apakah

tujuan tercapai, tidak tercapai atau tercapai sebagian.

Evaluasi yang dapat diambil dari proses keperawatan dengan klien tifoid

adalah sebagai berikut :

a. Suhu tubuh klien kembali dalam batas normal.

Dengan kriteria:

1) Badan klien tidak panas lagi.

2) Suhu tubuh normal 36-37o C.

b. Kebutuhan nutrisi klien terpenuhi.

Dengan kriteria:

1) Nafsu makan klien bertambah.

2) Klien tidak merasa mual dan muntah lagi.

3) Berat badan klien tidak turun lagi.

Page 74: Bab II Uap Endro

83

c. Rasa nyeri klien berkurang atau bahkan hilang.

Dengan kriteria:

1) Skala nyeri klien 1-0.

2) Klien tampak tenang tidak rewel dan tidak meringis kesakitan.

d. Klien dapat beraktivitas seperti biasa.

Dengan kriteria:

1) Klien tidak merasa lemah lagi.

2) Klien sudah dapat beraktivitas sendiri tanpa bantuan orang lain.

e. Pola tidur klien dapat terpenuhi.

Dengan kriteria:

1) Klien bisa tidur dengan tenang.

2) Suhu tubuh klien dalam batas normal.

f. Resiko kekurangan voleme cairan tidak terjadi.

Dengan kriteria:

1) Klien tidak menunjukkan tanda-tanda dehidrasi.

2) Pemasukan dan pengeluaran seimbang.

g. Orang tua klien paham tentang penyakit anaknya.

Dengan kriteria:

1) Orang tua klien mengerti setelah diberi penjelasan tentang proses

penyakit tifoid.

2) Orang tua klien berpartisipasi dalam perawatan anaknya.

6. Dokementasi

Dokumentasi keperawatan adalah suatu catatan yang memuat

seluruh informasi yang dibutuhkan untuk menentukan diagnosis

Page 75: Bab II Uap Endro

84

keperawatan, menyusun rencana keperawatan, melaksanakan dan

mengevaluasi tindakan keperawatan yang disusun secara sistematis,

valid, dan dapat dipertanggung jawabkan secara moral dan hukum

(Hidayat, 2001: 87).

Menurut Nursallam (2001: 79-81), dokumentasi adalah bagian

integral proses bukan sesuatu yang berbeda dari metode problem solving.

Dokumen proses keperawatan mencakup kajian identifikasi masalah,

perencanaan dan tindakan. Perawat kemudian mengobservasi dan

mengevaluasi respon pasien terhadap tindakan yang diberikan dan

mengkomunikasikan informasi tersebut kepada tenaga kesehatan lainnya.

Tujuan dari pendokumentasian adalah untuk mengidentifikasi status

kesehatan klien dalam rangka mencatat kebutuhan klien, merencanakan,

melaksanakan tindakan keperawatan, dan mengevaluasi tindakan, selain

itu dokumentasi untuk penelitian, keuangan, hukum, dan etika.