bab ii tinjauan pustaka -...

14
10 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tumbuh Kembang 2.1.1 Definisi Tumbuh Kembang Pertumbuhan dan perkembangan merupakan suatu proses yang berlangsung secara terus-menerus padda berbagai segi dan saling berhubungan satu sama lain. Pertumbuhan dan perkembangan merupakan suatu proses dari maturasi dan pembelajaran. Pertumbuhan adalah peningkatan yang bisa diukur, sedangkan perkembangan merupakan suatu rangkaian dari peningkatan keterampilan dan kapasitas untuk berfungsi (Suriadi & Yuliani, 2010: 1). Sedangkan menurut Hidayat (2005) dalam Herentina & Yusiana (2012: 192), pertumbuhan (growth) adalah bertambahnya jumlah dan besarnya sel diseluruh bagian tubuh yang secara kuantitatif dapat diukur, perkembangan (development) proses kematangan dan belajar tentang fungsi alat tubuh. 2.1.2 Faktor yang Mempengaruhi Menurut Andriyani (2013: 45-46) secara umum ada dua faktor yang mempengaruhi tumbuh kembang anak, yaitu: a. Faktor genetik : faktor genetik merupakan modal dasar dalam mencapai hasil akhir proses tumbuh kembang anak. Melalui instruksi genetik yang terkandung di dalam sel telur yang telah dibuahi, dapat ditentukan kualitas dan kuantitas pertumbuhan. Ditandai dengan intensitas dan kecepatan pembelahan, derajat sensitivitas jaringan terhadap rangsangan, umur pubertas, dan berhentinya pertumbuhan tulang. Termasuk faktor genetik antara lain

Upload: ngothuy

Post on 11-Aug-2019

221 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

10

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tumbuh Kembang

2.1.1 Definisi Tumbuh Kembang

Pertumbuhan dan perkembangan merupakan suatu proses yang berlangsung

secara terus-menerus padda berbagai segi dan saling berhubungan satu sama lain.

Pertumbuhan dan perkembangan merupakan suatu proses dari maturasi dan

pembelajaran. Pertumbuhan adalah peningkatan yang bisa diukur, sedangkan

perkembangan merupakan suatu rangkaian dari peningkatan keterampilan dan

kapasitas untuk berfungsi (Suriadi & Yuliani, 2010: 1). Sedangkan menurut Hidayat

(2005) dalam Herentina & Yusiana (2012: 192), pertumbuhan (growth) adalah

bertambahnya jumlah dan besarnya sel diseluruh bagian tubuh yang secara kuantitatif

dapat diukur, perkembangan (development) proses kematangan dan belajar tentang

fungsi alat tubuh.

2.1.2 Faktor yang Mempengaruhi

Menurut Andriyani (2013: 45-46) secara umum ada dua faktor yang

mempengaruhi tumbuh kembang anak, yaitu:

a. Faktor genetik : faktor genetik merupakan modal dasar dalam mencapai hasil

akhir proses tumbuh kembang anak. Melalui instruksi genetik yang

terkandung di dalam sel telur yang telah dibuahi, dapat ditentukan kualitas

dan kuantitas pertumbuhan. Ditandai dengan intensitas dan kecepatan

pembelahan, derajat sensitivitas jaringan terhadap rangsangan, umur pubertas,

dan berhentinya pertumbuhan tulang. Termasuk faktor genetik antara lain

11

adalah berbagai faktor bawaan yang normal dan patologik, jenis kelamin, suku

bangsa atau bangsa. Di negara maju faktor genetik paling banyak didapati

pada kasus gangguan pertumbuhan, sedangkan di negara berkembang faktor

lingkungan juga mempunyai pengaruh yang sama besarnya dalam gangguan

pertumbuhan pada anak, bahkan kedua faktor ini bisa menyebabkan kematian

anak sebelum mencapai usia lima tahun. Selain hal-hal di atas terdapat juga

penyakit keturunan yang disebabkan oleh kelainan kromosom, seperti Down

Syndrome, Turner Syndrome, dll

b. Faktor lingkungan : faktor lingkungan yang mempengaruhi tumbuh kembang

dibagi menjadi dua, yaitu : faktor yang mempengaruhi anak pada waktu masih

di dalam kandungan (faktor pranatal). Faktor-faktor yang mempengaruhi

pada masa pranatal antara lain gizi ibu pada waktu hamil, toksin, endokrin,

infeksi, stress, dan imunitas. Faktor yang kedua merupakan faktor anak

setelah lahir (faktor posnatal) meliputi lingkungan biologis (ras, jenis kelamin),

faktor fisik, faktor psikososial, dan faktor keluarga dan adat istiadat.

2.1.3 Proses dan Periode Perkembangan Anak

Dalam tumbuh kembang terdapat beberapa proses yang harus dilalui,

Santrock (2007: 18-19) mengatakan, proses–proses pada perkembangan meliputi

proses biologis, kognitif, dan sosial-emosi. Proses biologis menghasilkan perubahan

pada tubuh seseorang. Proses kognitif menggambarkan perubahan dalam pikiran,

inteligensi, dan bahasa seseorang. Sedangkan proses sosial-emosi (socioemotional process)

melibatkan perubahan dalam hubngan seseorang dengan orang lain, perubahan

emosi, dan perubahan dalam kepribadian. Periode tumbuh kembang anak dibagi

menjadi dua, yaitu masa pranatal dan masa postnatal. Masa pranatal dibagi menjadi

masa embrio dan masa fetus, sedangkan masa postnatal dibagi menjadi masa

12

neonatal, masa bayi, masa prasekolah, masa sekolah dan masa adolesensi

(konseling.umm.ac.id, diakses 22 Oktober 2015).

2.1.4 Tumbuh Kembang Anak Usia Sekolah

Selama tahun-tahun sekolah dasar, anak tumbuh rata-rata 5 hingga 7,5 cm

setahun. Anak perempuan dan laki-laki memiliki tinggi rata-rata 126 cm pada usia 8

tahun. Selama masa anak-anak tengah dan akhir, anak bertambah berat sekitar 2,25

hingga 3,15 kg pertahun, rata-rata anak perempuan dan laki-laki yang berusia 8 tahun

memeiliki berat sekitar 25,2 kg ( National Center for Health Statistics, 2004 dalam

Santrock, 2007: 161). Pada masa anak-anak, otak tidak tumbuh secepat pada masa

bayi, tetapi otak dan kepala masih tumbuh lebih cepat daripada anggota tubuh yang

lain. Beberapa peningkatan otak dalam ukuran disebabkan oleh myelinasi, dan

beberapa disebabkan oleh peningkatan dalam jumlah dan ukuran dendrit. Dari umur

6 tahun hingga masa puber, pertumbuhan otak paling signifikan terjadi pada lobus

temporal dan pariental, bagian ini yang paling banyak mempengaruhi perkembangan

bahasa dan hubungan spasial pada anak. Beberapa ahli perkembangan menyimpulkan

bahwa myelinasi adalah penting dalam kematangan sejumlah kemampuan anak

(Nagy, Westerberg, & Klingberg, 2004 dalam Santrock, 2007: 174). Ilmuwan mulai

membuat bagan hubungan perkmbangan kognitif anak, struktur otak yang berubah-

ubah, dan transmisi informasi di tingkat neuron (Santrock, 2007: 175).

25% orang tua dari seluruh budaya melaporkan bahwa anak mereka

mengalami masalah tidur ( Owens, 2005 dalam Santrock, 2007: 179). Studi yang

meneliti pola tidur anak kelas dua, empat, dan enam mengatakan bahwa anak kelas

enam pergi tidur di malam hari sekitar satu jam lebih lama dan melaporkan rasa

kantuk yang lebih besar disiang hari daripada anak kelas dua. Anak perempuan

menghabiskan lebih banyak waktu tidur daripada anak laki-laki (Sadeh, Raviv, &

13

Grabber, 2000 dalam Santrcok, 2007: 179). Masa anak-anak tengah dan akhir

merupakan masa dimana seorang anak memiliki kesehatan yang bagus. Penyebab

utama cedera serius dan kematian pada anak adalah kecelakaan kendaraan bermotor,

sedangkan kanker adalah penyakit yang bisa menyebabkan kematian pada anak

dengan presentase terbesar (National Health for Statistics, 2004; Negalia dkk, 2001

dalam Santrock, 2007: 182).

Kemampuan perkembangan motorik kasar diawali dengan koordinasi tubuh,

duduk, merangkak, berdiri, dan diakhiri dengan berjalan. Kemampuan ini ditentukan

oleh perkembangan kekuatan otot, tulang, dan koordinasi otot untuk menjaga

keseimbangan tubuh.perkembangan motorik kasar tidak hanya dipengaruhi oleh

kemampuan fisik, tetapi juga kesiapan psikis anak untuk melakukannya

(Permana,2013: 25). Perkembangan motorik kasar pada anak usia sekolah adalah

mereka sudah bisa mengendalikan motoriknya tetapi masih belum sempurna seperti

pada orang dewasa, anak usia sekolah akan merasakan lelah saat duduk terlalu lama

dibandingkan dengan berlari, bersepeda atau melompat. Olahrga yang teratur

merupakan salah satu cara agar anak bisa mengendalikan motoriknya dengan lebih

sempurna. Pada usia 8-10 tahun anak sudah bisa mengendalikan tangannya dengan

mandiri dan secara tepat (Santrock, 2007: 218).

2.2 Kognisi Anak

2.2.1 Definisi dan Teori Kognisi

Piaget meyakinin bahwa skema, asimilasi, akomodasi, organisasi,

keseimbangan, dan penyeimbangan adalah proses-proses yang penting bagi anak

untuk membangun pengetahuan mereka.

14

Skema adalah tingkat berpikir yang paling sederhana, otak yang berkembang

pun membentuk skema. Skema adalah representasi mental beberapa tindakan (fisik

maupun mental) yang dapat dilakukan terhadap objek (Santrock, 2007: 243; Solso,

Maclin & Maclin, 2008: 365). Skema perilaku (aktifitas fisik) adalah skema yang

terjadi saat bayi, sedangkan skema mental (aktifitas kognitif) akan terjadi pada masa

anak-anak (Lamb, Bornstein, & Teti, 2002 dalam Santrock, 2007: 243). Seiring

bertambahnya usia skema akan terintegrasi secara progresif dan terkoordinasikan

dalam pola-pola yang teratur, meliputi berbagai strategi dan perencanaan untuk

mengatasi persoalaan (Santrock, 2007: 244; Solso, Maclin & Maclin, 2008: 365).

Asimilasi merupakan proses pengolahan informasi baru ke dalam skema-skema

sambil beradaptasi. Akomodasi terjadi pada saat penyesuaian skema-skema untuk

menyesuaikan informasi dan objek baru di lingkungannya. Asimilasi dan akomodasi

bahkan berlaku bagi bayi yang baru lahir (Santrock, 2007: 244; Solso, Maclin &

Maclin, 2008: 365).

Piaget mengatakan bahwa anak-anak secara sadar mengorganisasikan

pengalaman-pengalaman mereka untuk memahami dunianya. Organisasi adalah

pengelompokan perilaku-perilaku dan pemikiran-pemikiran yang terisolasi ke dalam

sistem yang lebih teratur dan lebih tinggi. Perkembangan organisasi ini akan terus

menerus terjadi seiring dengan perkembangan anak (Santrock, 2007: 244).

2.2.2 Perkembangan kognisi anak usia sekolah

Piaget membagi tahap perkembangan kognitif menjadi empat, yaitu : perioe

sensorimotor (sejak kelahiran hingga usia 2 tahun), periode pra-operasional (usia 2

sampai 7 tahun), periode operasional konkret (usia 7 sampai 11 tahun), dan periode

operasional formal (11 tahun ke atas). Pada saat anak menginjak usia 7 – 11 tahun

anak akan memasuki periode operasional konkret. Pemikiran intuitif akan digantikan

15

dengan pemikiran logis, dengan syarat pemikiran tersebut bisa diterapkan paa contoh

spesifik dan konkret. Periode ini merupakan penyempurnaan tiga ranah penting

dalam pertumbuhan intelektual anak, yaitu : konservasi, klasifikasi, dan transitivitas.

Konservasi merupakan ranah pertama, konservasi merupakan kemampuan untuk

mentransformasikan sifat suatu objek. Pengklasifikasian benda yang mirip dan

memahami relasi antar benda tersebut. Transitivitas merupakan kemampuan

memikirkan relasi gabungan secara logis (Santrock, 2007: 255-257).

Tahapan Rentang usia

Karakteristik

Sensori-motorik

0-2 tahun Dunianya terbatas pada saat sekarang dan di sini Belum mengenal bahasa, belum memiliki pikiran pada masa-masa awal Belum mampu memahami realitas objektif

Pra-operasional

2-7 tahun Pikirannya bersifat egosentris Pemikirannya didominasi oleh persepsi Intuisinya lebih mednominasi daripada pikiran logisnya Belum meiliki kemampuan konservasi

Operasional-konkret

7-11 tahun

Kemampuan konservasi Kemampuan mengklasifikasikan dan menghubungkan Pemahaman tentang angka Berpikir konkret Perkembangan pikiran tentang reversibilitas

Operasional-formal

11 tahun hingga masa dewasa

Pikiran bersifat umum dan menyeluruh Berpikir proposisional Kemampuan membuat hipotesis Perkembangan idealisme yang kuat

Tabel 2.1 Tahap-tahap perkembangan kognitif menurut Piaget

Pengaruh budaya dan pendidikan juga memiliki pengaruh yang kuat bagi

perkembangan kognitif pada anak. Hasil dari penelitian Greenfield (1966, dalam

Santrock, 2007: 263) di Senegal, Afrika Barat, hanya 50% dari populasi anak usia 10-

13 tahun yang mengerti dan memahami prinsip konservasinya Piaget. Hal serupa juga

terjadi di Australia Tengah, New Guinea, peesaan di Amazon, Brazil, dan pedesaan di

Sardinia (pulau pesisir di Italia). Anal usia sekolah mulai berpikir secara lebih objektif,

mau mendengarkan orang lain dan akan lebih selektif dalam mencari jawaban dari

sesuatu yang belum diketahuinya. Secara intelektual mampu memahami hukum

16

sebab-akibat, mampu menarik kesimpulan, bisa memishakan antara realita dan

fantasi, membuat keputusan, keterampilan mengingat, dan pemecahan masalah

menjadi lebih berkembang.

2.2.3 Perkembangan Kognitif Operasional Konkret

Dalam tahap operasional konkret anak mampu untuk mengkalsifikasikan

benda sesuai dengan kelompoknya dan mempertimbangkan hubungan timbal balik di

antara keduanya. Anak juga akan memiliki kemampuan seriasi, menyusun stimulus

berdasarkan dimensi kuantitatif, dan juga anak akan bisa memahami kesimpulan

tertentu (Santrock, 2011: 188). Karakteristik pada operasional konkret meliputi

beberapa aspek, seperti memori, pengetahuan dan keahlian, strategi, elaborasi, dll.

Pada aspek memori tidak ada pekembangan yang berarti, hanya memori jangka

panjang yang akan terus berembang sesuai dengan perkembangan usia, dalam

beberapa hal memori jangka panjang akan mempengaruhi pengetahuan dan strategi.

Pada aspek pengetahuan dan keahlian anak akan memiliki pengetahuan pada area

tertentu yang mempengaruhi apa yang mereka perhatikan dan bagaimana

mengorganisasikan, menggambarkan, serta menginterprestasikan sesuatu. Keahlian-

keahlian tersebut mempengaruhi kemampuan untuk mengingat, berpikir secara logis,

dan memecahkan masalah. Dalam strategi ada dua aspek yang penting, yaitu

gambaran mental dan menggabungkan informasi. Anak akan mampu

menggambarkan informasi secara imaginatif dan mengendalikannya untuk

mendapatkan informasi. Sedangkan pada elaborasi akan terjadi perubahan secara

bertahap, anak usia sekolah menggunakan elaborasi untuk membantu dalam proses

pembelajaran (Santrock, 2011: 192-194).

Pada tahap operasional konkret juga terjadi perkembangan pada proses

berpikir. Ada tiga aspek penting dalam berpikir, yaitu berpikir secara kritis, kreatif,

17

dan ilmiah. Pada aspek berpikir secara kritis meliputi berpikir secara produktif dan

reflektif seperti mengevaluasi data. Menurut Ellen Langer (2005), kewaspadaan –

waspada, sadar secara mental, dan fleksibel secara kognitif selama menjalani aktifitas

dan tugas akan memiliki pemecahan masalah yang biak, terbuka untuk informasi

baru, memiliki gagasan baru, dan berpegang pada persoetif tunggal. Jacqueline dan

Martin Brooks(2001) menilai bahwa sistem pembelajaran di beberapa sekolah yang

memaksa anak untuk berpikir kritis dan mengembangkan pemahaman mendalam atas

sebuah konsep dengan cara yang imitatif, bukan untuk menganalisis, menarik

kesimpulan, menghubungkan, menyaring, mengkritik, membuat, mengevaluasi,

berpikir dan mempertimbangkan kembali. Pada pemikiran kreatif anak akan belajar

berpikir dengan cara yang baru dan tidak biasa untuk menghasilkan solusi

permasalahan yang unik.

2.3 Permainan dan Perilaku Bermain

2.3.1 Defini Bermain

Menurut kamus Macmillan, bermain merupakan kegiatan yang dilakukan

untuk bersenang-senang, memiliki aturan dan ada yang menang serta kalah.

Sedangkan menurut Tembong (2006: 103), bermain merupakan kegiatan yang

menimbulkan rasa senang, dilakukan dengan sukarela. Pada umumnya dilakukan

secara spontan, tidak memiliki peraturan baku selain aturan-aturan yang ditetapkan

sendiri serta tidak ada kompetisi.

Bermain merupakan suatu aktifitas di mana anak dapat melakukan atau

mempraktikkan keterampilan, memberikan ekspresi terhadap pemikiran, menjadi

kreatif serta mempersiapkan diri untuk berperan dan berperilaku dewasa. Permainan

18

harus dapat menstimulasi perkembangan kreatifitas anak serta perkembangan mental

dan emosional, sehingga orang tua harus mengarahkan agar sesuai dengan proses

kematangan perkembangan tersebut (Hidayat, 2008: 35).

2.3.2 Fungsi Bermain pada Anak

Menurut Hidayat (2008: 36-37) bermain memiliki beberapa fungsi, yaitu :

fungsi bermain pada anak dapat dikembangkan dengan melakukan rangsangan pada

sensorik dan motorik, melalui rangsangan ini aktifitas anak dapat mengeksplorasi

alam di sekitarnya. Perkembangan kognitif dapat dirangsang melalui permainan. Anak

akan mencoba melakukan komunikasi dengan bahasa yang dikuasai oleh anak, anak

juga akanmampu memahami objek permainannya seperti dunia tempat tinggal,

mampu membedakan khayalan dan kenyataan, belajar mengenal warna, memahami

bentuk, ukuran, dan berbagai manfaat benda yang digunakan dalam permainan.

Proses sosialisasi dapat terjadi melalui permainan, misalnya pada saat anak akan

merasakan senang terhadap kehadiran orang lain dan merasakan ada teman yang

dunianya sama. Bermain juga dapat berfungis dalam peningkatan kreatifitas, dimana

anak mulai belajar meciptakan sesuatu dari permainan yang ada dan mampu

memodifikasi objek yang digunakan dalam permainan sehingga anak akan lebih

kreatif. Bermain pada anak dapat memberi kemampuan untuk mengeksplorasi tubuh

dan mulai mengerti bahwa dirinya dan orang lain merupakan individu yang saling

berhubungan, anak mau belajar mengatur perilaku, serta membandingkan dengan

perilaku orang lain. Bermain dapat menjadikan diri anak lebih senang dan nyaman

sehingga adanya stress dan ketegangan dapat dihindari, mengingat bermain dapat

menghibur diri anak terhadap dunianya. Bermain juga dapat memberikan nilai moral

19

tersendiri pada anak, hal ini dapat dijumpai ketika anak sudah mampu belajar benar

atau salah dari budaya di rumah, di sekolah, dan ketika berinteraksi dengan temannya.

Suriadi & Yuliani (2010: 8) berpendapat bermain pada anak akan

meningkatkan perkembangan fisik yang meliputi motorik halus dan kasar, koordinasi

otot, eksplorasi, stimulasi kinestetik, dan perkembangan sendi dan tulang.

Perkembangan kognitif yang meliputi penggunaan panca indera; pengenalan warna,

ukuran, ketajaman, tekstur, objek; penyelesaian masalah, berpikir kritis; kreativitas;

dan koordinasi tangan dan kaki. Perkembangan emosional termasuk strategi koping,

koping pada stress, mengembangkan kesadaran diri, perkembangan sosial, belajar

bermain peran. Perkembangan moral juga dapat berkembang melalui bermain,

meliputi belajar berperilaku yang baik, belajar berbagi, dan belajar tentang konsep

diri. Sedangkan menurut Supartini (2004: 125-127) bermain memiliki beberapa fungsi

meliputi perkembangan sensoris-motorik, perkembangan intelektual, perkembangan

sosial, dan perkembangan kreativitas.

2.3.3 Permainan Untuk Anak Usia Sekolah

Permainan untuk anak sekolah dasar pada awalnya adalah ingin meneruskan

permainan yang mereka lakukan pada saat sebelum memasuki sekolah, namun lambat

laun mereka akan digantikan oleh permainan yang lebih matang seperti olahraga,

hobi, dsb. Selanjutnya permainan akan menyesuaikan dengan minat individu

(Tembong, 2006: 107). Bermain pada usia sekolah akan menjadi lebih teroganisir,

mepunyai kesadaran terhadap aturan, meliputi kemampuan berpikir, dan mulai

kompetitif (Suriadi & Yuliani, 2010: 12).

20

2.4 Game Online

2.4.1 Definisi Game Online

Freeman (2008: 44) mengatakan bahwa game online merupakan sebuah game

yang dimainkan dengan menggunakan internet. pendapat lain mengatakan bahwa

game online merupakan game yang bisa dimainkan bersama atau berkompetisi, sendiri,

bersama dengan pemain lain dalam satu tempat, atau dengan ribuan pemain lainnya,

dan dimainkan dalam bermacam-macam perangkat konsol (Nintendo Wii,

Playstation) hingga komputer dan smartphone (Granic, Lobel & Engels 2014: 67).

Sedangkan menurut Hardanti, Nurhidayah, dan Fitri (2013: 167) game online adalah

game multiplayer yang bisa dimainkan secara bersamaan dengan menggunakan

komputer yang didukung dengan koneksi internet. Weibel, et al (2007: 2275),

mendefinisikan game online sebagai game yang dimainkan di komputer atau perangkat

lain yang mendukung, dimainkan dalam berbagai macam bentuk jaringan komputer,

lebih sering internet. Game online memungkinkan interaksi sosial melalui internet,

membuat pemain bertemu dengan pemain lain dalam dunia virtual (Choi & Kim,

2004: 14). Menurut Lo, Wang, dan Fang (2005: 15), game online adalah aplikasi

teknologi informasi yang berbasis anonimitas, media yang beraneka ragam, interaksi

secara langsung, dan dunia tanpa batas.

2.4.2 Lama Bermain

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Putri (2014) untuk lama bermain game

online dibagi menjadi tiga kriteria, yaitu jarang apabila bermain <3,5 jam perminggu,

cukup sering dengan rentang durasi 3,5-7 jam perminggu, dan sering dengan total

durasi >7 jam perminggu. Sedangkan menurut Utami dan Retnaningsih (2007)

21

bermain game online dikatakan cukup apabila bermain selama 1-2 jam sehari dan

berlebihan jika >3 jam dalam sehari.

2.4.3 Jenis Game Online

Ada beberapa jenis game online, di antaranya adalah :role-playing game (RPG)

adalah game yang mengharuskan pemain untuk membuat karakter mereka lebih kuat

dengan mengikuti jalan cerita yang ada. Massively multi-player online role-playing game

(MMRPG), RPG yang melibatkan banyak pemain dalam dunia yang terus

berkembang pada saat yang sama (Williams & Skoric, 2005: 221). Bainbridge (2010:

1) dalam bukunya mengatakan bahwa MMRPG atau MMORPG merupakan

permainan bertema strategi yang memungkinkan pemain untuk berinteraksi satu

sama lain, dari dua sampai enam belas, tergantung dari jenis game yang dimainkan,

dengan memainkan peran sebagai tentara atau sebuah sistem ekonomi, bukan hanya

memainkan peran tunggal.

2.4.4 Efek dari Game Online

Di Indonesia game online yang banyak dimainkan adalah game yang berjenis

MMRPG, gamers yang memainkan MMRPG lebih banyak menghabiskan waktu

dibandingkan gamers jenis lain (Vindra, dalam Giandi, Mustikasari, Suprapto, 2012: 3).

Game online bisa menyebabkan adiksi yang akan membuat pemainnya lebih banyak

berfokus pada game yang dimainkannya secara terus menerus tanpa merasa kelelahan

(Rau, Peng & Yang, 2006: 396). Green & Bavelier (2012: 201) melakukan percobaan

dengan murid yang belum pernah memainkan game shooter. Hasilnya, murid tersebut

mengalami peningkatan perhatian, lebih merespon terhadap perubahan visual yang

ada, dan meningkatnya kemampuan mengontrol emosi. Dalam genre MMRPG, para

22

pemain akan mendapat quest yang tidak bisa diselesaikan sendiri sehingga

mengharuskan pemain untuk membentuk tim dengan pemain lain, dengan cara ini

pemain akan bersosialisasi dengan pemain lain, dan akan melatih anak tentang cara

bersosialisasi yang baik (Ducheneaut & Moore, 2004: 360).

Menurut Chen (2006: 222), hasil yang didapatkan dari pengalaman bermain

meliputi : memiliki tujuan yang jelas, umpan balik yang cepat, sering lupa waktu,

hilangnya kesadaran diri, terintegrasinya aktifitas, meningkatkan konsentrasi pada

aktifitasnya, dan bisa mengontrol semuanya. Interaksi sosial merupakan kebutuhan

dasar bagi semua manusia, elemen sosial dalam game online merupakan daya tarik

tersendiri bagi para pemainnya (Weibel, et al, 2008: 2279).

Bermain game online bisa memberikan efek yang baik dan juga efek buruk. Efek

buruknya seperti mengganggu perkembangan kognitif, fisik, dan psikologis. Bermain

game online bisa menyebabkan orang lupa akan waktu dan kegiatan yang lebih

bermanfaat lagi, bahkan pada tahap tertentu bisa memproyeksikan emosinya ketika

bermain game online pada kehidupan nyata. Game online dapat memacu untuk melatih

komunikasi dan sosialisasi, sedangkan genre MMRPG (Massively Multiplayer Role Playing

Game) akan melatih untuk mencerna cerita dalam game tersebut, selain itu game juga

berguna untuk menghilangkan stress. Dalam mengembangkan kemampuan

pemcehana masalah, game membantu pemain untuk belajar memecahkan masalah

yang tersaji dalam bentuk quest. Untuk memecahkan masalah para pemain diharuskan

berpikir kreatif dan memiliki strategi yang bagus (Hong & Liu, 2003: 245-246). Game

online bisa menghadirkan budaya, norma-norma sosial dan mekanisme komunikasi

yang baru tergantung kepada pemahaman aspek- aspek sosial dari individu yang

terlibat dalam permainan (Bainbridge, 2010: :6).

23

Whitaker & Bushman (2009: 1035-1036) mengemukakan tiga alasan game lebih

mempengaruhi seseorang daripada televisi, yaitu: game memberikan pengalaman lebih

aktif daripada televisi, game juga membuat pemainnya merasakan dia berada di dalam

dunia game yang dimainkannya, dan adanya reward dari game yang dimainkan, seperti

kenaikan level, atau bisa juga berupa reward secara verbal. Dari penelitian ini

didapatkan hasil bahwa anak yang bermain game lebih tinggi efek agresifitasnya

daripada anak yang hanya menonton orang lain bermain game. Sedangkan penelitian

yang dilakukan oleh Koepp et al dalam Green & Bavelier (2004: 16), mendapati

terjadinya peningkatan kadar pelepasan dopamin saat subjek penelitian memainkan

action game. Dopamin merupakan salah satu neurotransmiter yang berfungsi untuk

modulasi informasi dari bagian otak yang satu ke bagian yang lainnya. Dopamin

mempunyai peran dalam perilaku manusia, seperti kesenangan, adiksi, dan belajar.

Berbanding lurus dengan pendapat ahli diatas, Davis dalam Peng & Liu (2010: 329-

330) mengemukakan bahwa terdapat distorsi kognitif dari pemain game online bahwa

“saya tidak berguna di sini, tapi di dunia online saya adalah seseorang”, “hanya di

dunia online saya dihargai”, “hanya internet teman saya”. Pemain akan merasa bahwa

dia akan lebih berguna dan berharga ketika berada di duinia game online. Pada sisi lain

pemain game online juga memiliki masalah dalam penggunaan game dibandingkan

dengan pemain game offline, seperti bermain terus-menerus selama 8 jam, kurang tidur,

kurangnya waktu bersama teman di dunia nyata, dan kekurangan sosialisasi. Wan &

Chiou (2006) dalam Hellstrom, et al (2012: 1380) menemukan bahwa orang dengan

harga diri yang rendah lebih mudah menjadi ketergantungan terhadap internet dan

ketergantungan game online merupakan imbas dari ketidakpuasaan yang merupakan

latar belakang dari bermain game yang berlebihan.