bab ii tinjauan pustaka capacity...
TRANSCRIPT
22
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. KONSEP CAPACITY BUILDING
1. Pengertian Capacity Building
Penelusuran definisi capacity building memiliki variasi antar satu ahli
dengan ahli lainnya. Hal ini dikarenakan capacity building merupakan
kajian yang multi dimensi, dapat dilihat dari berbagai sisi, sehingga
pendefinisian yang sama masih sulit didapat. Secara umum konsep
capacity building dapat dimaknai sebagai proses membangun kapasitas
individu, kelompok atau organisasi. Capacity building dapat juga diartikan
sebagai upaya memperkuat kapasitas individu, kelompok atau organisasi
yang dicerminkan melalui pengembangan kemampuan, keterampilan,
potensi dan bakat serta penguasaan kompetensi-kompetensi sehingga
individu, kelompok atau organisasi dapat bertahan dan mampu mengatasi
tantangan perubahan yang terjadi secara cepat dan tak terduga. Capacity
building dapat dimaknai sebagai proses kreatif dalam mengembangkan
kemampuan yang sudah ada. Capacity building dapat pula dimaknai
sebagai proses kreatif dalam membangun kapasitas yang belum nampak.
T. Nill dan C Mindrum (2001) menyatakan capacity building
merupakan istilah yang digunakan untuk membangun suatu masyarakat
melalui perubahan pada dirinya, misalnya peningkatan ilmu pengetahuan,
skill, pengorganisasian program dan lain-lain. Capacity Building
23
merupakan sebuah model proses perubahan, gerak perkembangan dan
perubahan yang bertingkat secara individu, kelompok, organisasi maupun
perubahan pada pembentukan frame work sebuah sistem kearah yang lebih
baik.
Menurut Ann Philbin, beliau mendifinisikan capacity building sebagai
berikut :
Capacity building is defined as the "process of developing and strengthening the skills, instincts, abilities, processes and resources that organizations and communities need to survive, adapt, and thrive in the fast-changing world." Philbin (1996).
Dengan pernyataan di atas, Ann Philbin berusaha mendefinisikan
Capacity Building atau pengembangan kapasitas sebagai proses
mengembangkan dan meningkatkan keterampilan, bakat, kemampuan
sumber daya organisasi sebagai kebutuhan untuk bertahan, menyesuaikan
diri, dan menumbuhkan organisasi di era perubahan yang cepat.
Sementara itu, Merilee S. Grindle mendefinisikan capacity building
sebagai upaya yang dimaksudkan untuk mengembangkan suatu ragam
strategi meningkatkan efficiency, effectiveness, dan responsiveness kinerja.
Yakni efficiency, dalam hal waktu (time) dan sumber daya (resources)
yang dibutuhkan guna mencapai suatu outcome; effectiveness berupa
kepantasan usaha yang dilakukan demi hasil yang diinginkan; dan
responsiveness yakni bagaimana mensinkronkan antara kebutuhan dan
kemampuan untuk maksud tersebut., sebagaimana dikemukakan bahwa
“Capacity building is intended to encompass a variety of strategies that
24
have to do with increasing the efficiency, effectiveness, and responsiveness
of government performance.” Grindle, M.S (Keban, 2000 : 7)
Dalam pengertian yang lain, Valentine Udoh James mencoba
memberikan pengertian capacity building sebagai berikut :
Capacity Building as attemp to enhance the ability of people of developing nations to develop esssential politics and management skills necessary to build their nation’s human, economic, social political and cultural structures so as to their proper place in global affairs” James, V.U. (1998 : 25)
Dengan pernyataan di atas, Valentine Udoh James mendefinisikan
capacity building sebagai upaya untuk meningkatkan kemampuan rakyat
negara sedang berkembang untuk mengembangkan keterampilan
manajemen dan kebijakan yang esensial yang dibutuhkan untuk
membangun struktur budaya, sosial, politik, ekonomi dan SDM sehingga
mereka eksis dalam percaturan global.
Capacity building didefinisikan oleh Brown (2001 : 25) sebagai suatu
proses yang dapat meningkatkan kemampuan seseorang, suatu organisasi
atau suatu sistem untuk mencapai tujuan-tujuan yang dicita-citakan.
Milen (2001 : 142) melihat capacity building sebagai tugas khusus,
karena tugas khusus tersebut berhubungan dengan faktor-faktor dalam
suatu organisasi atau sistem tertentu pada suatu waktu tertentu.
Pengembangan kapasitas dapat juga didefinisikan sebagai sebuah proses
untuk :
a. Meningkatkan kemampuan individu, kelompok-kelompok, organisasi-organisasi, dan juga masyarakat untuk menganalisa lingkungan mereka,
25
b. Mengenali masalah-masalah, kepentingan-kepentingan, dan kesempatan-kesempatan,
c. Merumuskan strategi-strategi untuk menyelesaikan masalah-masalah dan kepentingan-kepentingan tersebut di atas serta untuk meraih kesempatan-kesempatan yang relevan,
d. Merancang sebuah rencana untuk program-program, dan e. Memanfaatkan secara efektif sumber-sumber dasar yang mendukung
pelaksanaannya, memantau dan mengevaluasi rencana program-program, serta
f. Menggunakan arus balik untuk mempelajari pelajaran-pelajaran
Pengertian lain mengenai capacity building juga dikemukakan oleh
Katty Sensions (Soeprapto, Riyadi, 2006 : 11) yang memberikan definisi :
“capacity building usually is understood to mean helping governments, communities and individuals to develop the skills and expertise needed to achieve their goals. Capacity building program, often designed to strengthen participant’s abilities to evaluate their policy choices and implement decisions effectively, may include education and training, institutional and legal reforms, as well as scientific, technological and financial assistance”
Dengan pernyataan di atas, capacity building umumnya dipahami
sebagai upaya membantu pemerintah, masyarakat ataupun individu dalam
mengembangkan keahlian dan keterampilan yang dibutuhkan untuk
mewujudkan tujuan-tujuan mereka. Program pengembangan kapasitas
seringkali didesain untuk memperkuat kemampuan dalam mengevaluasi
pilihan-pilihan kebijakan mereka dan menjalankan keputusan-
keputusannya secara efektif. Pengembangan kapasitas bisa meliputi
pendidikan dan pelatihan, reformasi peraturan dan kelembagaan, dan juga
asistensi finansial, teknologi dan keilmuwan.
Sedangkan Morrison (2001 : 1) menyatakan :
“Capacity building can best be seen as a process to induce, or set in motion, multi-level change in individuals, groups, organisations and systems. Ideally, capacity building seeks to strengthen the self-adaptive
26
capabilities of people and organisations, in order that they can respond to a changing environment, on an on-going basis. Capacity building is a process and not a product. In particular, capacity building is a multi-level learning process, which links ideas to action. Capacity building, in this view, can be defined as actionable learning”.
Dengan pernyataan di atas, Morrison berusaha mendefinisikan
capacity building atau pengembangan kapasitas sebagai Actionable
Learning. Sebuah proses yang menyebabkan atau menggerakkan
perubahan multi-tingkatan pada individu, grup, organisasi dan sistem.
Idealnya, pengembangan kapasitas berupaya memperkuat kemampuan
adaptasi diri dan organisasi, dengan tujuan agar mereka dapat merespon
perubahan lingkungan di atas situasi yang tengah berlangsung. Dan dalam
pernyataan tersebut terdapat kata kunci definitif tentang pengembangan
kapasitas, yakni :
a. Pengembangan kapasitas bukanlah produk, melainkan sebuah proses. b. Pengembangan kapasitas adalah proses pembelajaran multi-tingkatan
meliputi individu, grup, organisasi dan sistem. c. Pengembangan kapasitas menghubungkan ide terhadap sikap. d. Pengembangan kapasitas dapat disebut sebagai actionabel learning ;
dimana pembangunan kapasitas meliputi sejumlah proses-proses pembelajaran yang saling berkaitan, akumulasi benturan yang menambah prospek untuk individu dan organisasi agar secara terus menerus beradaptasi atas perubahan. Proses ini merupakan kerangka “5Cs” (Lima ‘C’).
Morrison pun menggambarkan kerangka pengembangan kapasitas
sebagai Actionabel Learning dalam gambar berikut:
27
Gambar 2.1
Capacity Building as Actionabel Learning for Change. Terrence Morrison (2000 : 5)
Change goals
Establish clear goals for and indicators of
change
Change demands
Assess the knowledge, skill and
organizational demand implied change
Change readiness
Assess current state of readiness to meet
the knowledge and skill demand of
Change gaps
Determine knowledge, structural and skill
gaps between current end goal state
Actionabel Learning
Strategies
Conceptualization
Knowning that
Capacity
Can do
Consideration
Knowing Why
Concern
Knowning self
Capability
Knowning how
The
5Cs
Change monitoring
Monitor movement toward or away
from change goals
Re-changing
Anticipate and be prepared to
change the change stategies
28
2. Dimensi dan Tingkatan Capacity Building
Seperti yang telah diuraikan di atas, konsep “Capacity building”
secara umum merupakan serangkaian strategi yang ditujukan untuk
meningkatkan efisiensi, efektivitas, dan responsivitas dari kinerja individu,
kelompok atau organisasi, dengan memusatkan perhatian kepada dimensi,
Keban (2000 : 7) mengemukakan bahwa dimensi pengembangan kapasitas
terdiri atas : (1) pengembangan sumberdaya manusia; (2) penguatan
organisasi; dan (3) reformasi kelembagaan.
Dalam konteks pengembangan sumberdaya manusia, perhatian
diberikan kepada pengadaan atau penyediaan personel yang profesional
dan teknis. Kegiatan yang dilakukan antara lain training, pemberian
gaji/upah, pengaturan kondisi dan lingkungan kerja dan sistem rekruitmen
yang tepat. Dalam kaitannya dengan penguatan organisasi, pusat perhatian
ditujukan kepada sistem manajemen untuk memperbaiki kinerja dari
fungsi-fungsi dan tugas-tugas yang ada dan pengaturan struktur mikro.
Aktivitas yang harus dilakukan adalah menata sistem insentif,
pemanfaatan personel yang ada, kepemimpinan, komunikasi, dan struktur
manajerial. Dan berkenaan dengan reformasi kelembagaan, perlu diberi
perhatian terhadap perubahan sistem dan institusi-institusi yang ada, serta
pengaruh struktur makro. Dalam hal ini aktivitas yang perlu dilakukan
adalah melakukan perubahan “aturan main” dari sistem ekonomi dan
politik yang ada, perubahan kebijakan dan aturan hukum, serta reformasi
29
sistem kelembagaan yang dapat mendorong pasar dan berkembangnya
masyarakat madani.
Dimensi peningkatan kemampuan ini juga diungkapkan oleh beberapa
pengarang lain. Menurut A. Fiszbein (Keban, 2000 : 7), peningkatan
kemampuan difokuskan pada: (1) kemampuan tenaga kerja (labor); (2)
kemampuan teknologi yang diwujudkan dalam bentuk organisasi atau
kelembagaan; dan (3) kemampuan “capital” yang diwujudkan dalam
bentuk dukungan sumberdaya, sarana, dan prasarana. Sementara itu, D.
Eade (Soeprapto, 2006 : 12) merumuskan peningkatan kemampuan dalam
tiga dimensi, yaitu: (1) individu; (2) organisasi; dan (3) network.
Nampaknya pengembangan dimensi individu dan organisasi merupakan
kunci utama atau titik strategis bagi perbaikan kinerja (Mentz, 1997),
tetapi masuknya dimensi network ini sangat penting karena melalui
dimensi ini individu dan organisasi dapat belajar mengembangkan diri dan
berinteraksi dengan lingkungannya.
J.S. Edralin (Soeprapto, 2006 : 12) juga mengumpulkan berbagai
pendapat yang menggambarkan pemahaman mereka tentang “capacity
building”. Misalnya, World Bank memfokuskan peningkatan kemampuan
kepada: (1) pengembangan sumberdaya manusia, khususnya training,
rekruitmen, pemanfaatan dan pemberhentian tenaga kerja profesional,
manajerial dan teknis; (2) organisasi, yaitu pengaturan struktur, proses,
sumberdaya, dan gaya manajemen; (3) jaringan kerja interaksi organisasi,
yaitu koordinasi kegiatankegiatan organisasi, fungsi jaringan kerja, dan
30
interaksi formal dan informal; (4) lingkungan organisasi, yaitu aturan dan
perundang-undangan yang mengatur pelayanan publik, tanggung jawab
dan kekuasaan antara lembaga, kebijakan yang menghambat tugas-tugas
pembangunan, dan dukungan keuangan dan anggaran; dan (5) lingkungan
kegiatan yang luas, yaitu mencakup faktor politik, ekonomi, dan kondisi-
kondisi yang berpengaruh terhadap kinerja.
Sementara itu, UNDP (Soeprapto, 2006 : 13) memfokuskan pada tiga
dimensi yaitu: (1) tenaga kerja (dimensi sumberdaya manusia), yaitu
kualitas SDM dan cara SDM dimanfaatkan; (2) modal (dimensi phisik)
yaitu menyangkut peralatan, bahan-bahan yang diperlukan, dan gedung;
dan (3) teknologi yaitu organisasi dan gaya manajemen, fungsi
perencanaan, pembuatan keputusan, pengendalian dan evaluasi, serta
sistem informasi manajemen. Dan United Nations memusatkan
perhatiannya kepada: (1) mandat atau struktur legal; (2) struktur
kelembagaan; (3) pendekatan manajerial; (4) kemampuan organisasional
dan teknis; (5) kemampuan fiskal lokal; dan (6) kegiatan-kegiatan
program.
Semua dimensi peningkatan kemampuan diatas dikembangkan sebagai
strategi untuk mewujudkan nilai-nilai “good governance”. Pengembangan
sumberdaya manusia misalnya, dapat dilihat sebagai suatu strategi untuk
meningkatkan efisiensi dan efektivitas dan memelihara nilai-nilai moral
dan etos kerja. Pengembangan kelembagaan merupakan strategi penting
agar suatu lembaga pemerintahan mampu: (1) menyusun rencana strategis
31
ditujukan agar organisasi memiliki visi yang jelas; (2) memformulasikan
kebijakan dengan memperhatikan nilai efisiensi, efektivitas, transparansi,
responsivitas, keadilan, partisipasi, dan keberlanjutan; (3) mendesain
organisasi untuk menjamin efisiensi dan efektivitas, tingkat desentralisasi
dan otonomi yang lebih tepat, dan (4) melaksanakan tugas-tugas
manajerial agar lebih efisien, efektif, fleksibel, adaptif, dan lebih
berkembang. Dan pengembangan jaringan kerja, misalnya merupakan
strategi untuk meningkatkan kemampuan bekerja sama atau kolaborasi
dengan pihak-pihak luar dengan prinsip saling menguntungkan.
Bila dicermati berbagai pendapat diatas maka “capacity building”
sebenarnya berkenaan dengan strategi menata input dan proses dalam
mencapai output dan outcome, dan menata feedback untuk melakukan
perbaikan-perbaikan pada tahap berikutnya. Strategi menata input
berkenaan dengan kemampuan lembaga menyediakan berbagai jenis dan
jumlah serta kualitas sumberdaya manusia dan non manusia agar siap
untuk digunakan bila diperlukan. Strategi menata proses berkaitan dengan
kemampuan lembaga merancang, memproses dan mengembangkan
kebijakan, organisasi dan manajemen. Dan strategi menata feedback
berkenaan dengan kemampuan melakukan perbaikan secara
berkesinambungan dengan mempelajari hasil yang dicapai, kelemahan-
kelemahan input dan proses, dan mencoba melakukan tindakan perbaikan
secara nyata setelah melakukan berbagai penyesuaian dengan lingkungan.
Strategi-strategi tersebut harus dinilai secara cermat tingkat kelayakannya
32
pada bidang-bidang strategis yang menjadi prioritas utama kegiatan pada
saat sekarang.
Dari uraian di atas dapatlah dikemukakan bahwa capacity building
memiliki dimensi dan tingkatan sebagai berikut :
a. Tingkatan dan dimensi pengembangan kapasitas pada individu b. Tingkatan dan dimensi pengembangan kapasitas pada organisasi c. Tingkatan dan dimensi pengembangan kapasitas pada sistem
Berikut gambaran mengenai tingkatan dan dimensi pengembangan
kapasitas :
Gambar 2.2
Tingkatan Capacity Building Sumber : The Capacity Building For Local Government Toward Good
Governance Prof. Dr. H.R. Riyadi Soeprapto, MS
Dari gambar tersebut di atas dapatlah dikemukakan bahwa
pengembangan kapasitas harus dilaksanakan secara efektif dan
berkesinambungan pada 3 (tiga) tingkatan-tingkatan :
a. Tingkatan sistem, seperti kerangka kerja yang berhubungan dengan
pengaturan, kebijakan-kebijakan dan kondisi dasar yan mendukung
pencapaian obyektivitas kebijakan tertentu;
Tingkatan
Individual
Tingkatan
Organisasi
Tingkatan
Sistem
Pengetahuan, keterampilan,
kemampuan,
pengelompokkan kerja
Pengambilan keputusan
Sumber-sumber
Prosedur-prosedur
Struktur-struktur
Kerangka kerja formal yang
mendukung kebijakan-
kebijakan
Pengembangan
kapasitas
33
b. Tingkatan institusional atau keseluruhan satuan, contoh struktur
organisasi-organisasi, proses pengambilan keputusan di dalam
organisasi-organisasi, prosedur dan mekanisme-mekanisme pekerjaan,
pengaturan sarana dan prasarana, hubungan-hubungan dan jaringan-
jaringan organisasi;
c. Tingkatan individual, contohnya ketrampilan-keterampilan individu
dan persyaratan-persyaratan, pengetahuan, tingkah laku,
pengelompokan pekerjaan dan motivasi-motivasi dari pekerjaan orang-
orang dalam organisasi-organisasi.
Dari pemaparan mengenai dimensi pengembangan kapasitas di atas,
penulis dapat simpulkan sebagai berikut.
a. Tingkatan dan dimensi pengembangan kapasitas pada sistem
merupakan satu entitas yang terdiri dari seluruh komponen yang
berada di dalamnya. Komponen-komponen tersebut diantaranya
seperti kebijakan dan sumber daya manusia dan lainnya. Misalnya
pengembangan kapsitas diterapkan pada dimensi sistem dengan fokus
pada pembenahan kebijakan makro tentang undang-undang Guru dan
Dosen yang akan mempengaruhi semua elemen pendidikan di wilayah
nasional agar tercapai tujuan pendidikan yang bermutu.
b. Tingkatan dan dimensi pengembangan kapasitas pada kelembagaan
atau organisasi terdiri atas sumber daya organisasi, budaya organisasi,
ketatalaksanaan, struktur organisasi atau sistem pengambilan
keputusan dan lainnya. Misalnya pengembangan kapasitas
34
diaplikasikan pada dimensi organisasi dengan fokus pada pembenahan
budaya organisasi sekolah melalui kegiatan rapat atau diskusi
mengenai evaluasi kinerja organisasi sekolah dengan tujuan
menumbuhkembangkan budaya organisasi pembelajar (Learning
Organization).
c. Tingkatan dan dimensi pengembangan kapasitas pada individu internal
organisasi adalah segala kemampuan untuk melaksanakan tugas-tugas
dan fungsi-fungsi serta mewujudkan kinerja yang ditujukan untuk
mencapai tujuan organisasi seperti kemampuan berkomunikasi,
kemampuan bekerjasama, kemampuan memahami dan
mengimplementasikan kebijakan organisasi, kemampuan
menggunakan teknologi dan kemampuan-kemampuan lainnya.
Misalnya pada sektor pendidikan dimensi pengembangan kapasitas
guru yang kemudian diadakan suatu pendekatan untuk membina
kemampuan guru dalam mengembangkan potensinya ketika mengajar,
memberi bimbingan, melakukan penulisan-penulisan kelas dan
sebagainya yang akhirnya diharapkan dapat digunakan untuk
kepentingan peserta didik dan masyarakat.
3. Faktor-faktor yang mempengaruhi Capacity Building
Terdapat banyak faktor yang mempengaruhi penyelenggaraan maupun
kesuksesan program pengembangan kapasitas. Namun secara khusus
Soeprapto (2006 : 18) mengemukakan faktor-faktor signifikan yang
35
mempengaruhi pengembangan kapasitas meliputi 5 (lima) hal pokok yaitu,
komitmen bersama, kepemimpinan, reformasi peraturan, reformasi
kelembagaan, dan pengakuan tentang kekuatan dan kelemahan yang
dimiliki.
Pertama, komitmen bersama. Collective commitments dari seluruh
aktor yang terlibat dalam sebuah organisasi sangat menentukan sejauh
mana pengembangan kapasitas akan dilaksanakan ataupun disukseskan.
Komitmen bersama ini merupakan modal dasar yang harus terus menerus
ditumbuhkembangkan dan dipelihara secara baik oleh karena faktor ini
akan menjadi dasar dari seluruh rancangan kegiatan yang akan dilakukan
oleh sebuah organisasi. Tanpa adanya komitmen baik dari pimpinan
tingkat atas, menengah maupun bawah dan juga staff yang dimiliki,
sangatlah mustahil mengharapkan program pengembangan kapasitas bisa
berlangsung apalagi berhasil dengan baik.
Kedua, kepemimpinan. Faktor conducive leadership merupakan salah
satu hal yang paling mendasar dalam mempengaruhi inisiasi dan
kesuksesan program pengembangan kapasitas personal dalam
kelembagaan sebuah organisasi. Dalam konteks lingkungan organisasi
publik, harus terus menerus didorong sebuah mekanisme kepemimpinan
yang dinamis sebagaimana yang dilakukan oleh sektor swasta. Hal ini
karena tantangan ke depan yang semakin berat dan juga realitas
keterbatasan sumber daya yang dimiliki sektor publik. Kepemimpinan
kondusif yang memberikan kesempatan luas pada setiap elemen organisasi
36
dalam menyelenggarakan pengembangan kapasitas merupakan sebuah
modal dasar dalam menentukan efektivitas kapasitas kelembagaan menuju
realisasi tujuan organisasi yang diinginkan.
Ketiga, reformasi peraturan. Kontekstualitas politik pemerintahan
daerah di Indonesia serta budaya pegawai pemerintah daerah yang selalu
berlindung pada peraturan yang ada serta lain-lain faktor legal-formal-
prosedural merupakan hambatan yang paling serius dalam kesuksesan
program pengembangan kapasitas. Oleh karena itulah, sebagai sebuah
bagian dari implementasi program yang sangat dipengaruhi oleh faktor
kepemimpinan maka reformasi (atau dapat dibaca penyelenggaran
peraturan yang kondusif) merupakan salah satu cara yang perlu dilakukan
dalam rangka menyukseskan program kapasitas ini.
Keempat, reformasi kelembagaan. Reformasi peraturan di atas
tentunya merupakan salah satu bagian penting dari reformasi kelembagaan
ini. Reformasi kelembagaan pada intinya menunjuk kepada pengembangan
iklim dan budaya yang kondusif bagi penyelenggaraan program kapasitas
personal dan kelembagaan menuju pada realisasi tujuan yang ingin
dicapai. Reformasi kelembagaan menunjuk dua aspek penting yaitu
struktural dan kultural. Kedua aspek ini harus dikelola sedemikian rupa
dan menjadi aspek yang penting dan kondusif dalam menopang program
pengembangan kapasitas karena pengembangan kapasitas harus diawali
pada identifikasi kapasitas yang dimiliki maka harus ada pengakuan dari
personal dan lembaga tentang kelemahan dan kekuatan yang dimiliki dari
37
kapasitas yang tersedia (existing capacities). Pengakuan ini penting karena
kejujuran tentang kemampuan yang dimiliki merupakan setengah syarat
yang harus dimiliki dalam rangka menyukseskan program pengembangan
kapasitas.
4. Persyaratan-persyaratan dalam Capacity Building
Ada beberapa persyaratan yang perlu diketahui sebelum sebuah
program pengembangan kapasitas. Persyaratan-persyaratan itu antara lain
partisipasi, inovasi, akses informasi, akuntabilitas dan kepemimpinan
(Yuwono : 2003).
Partisipasi merupakan salah satu persyaratan yang sangat penting
karena menjadi dasar seluruh rangkaian kegiatan pengembangan kapasitas.
Partisipasi dari semua level, tidak hanya level staf atau pegawai saja, tetapi
juga level pimpinan atas, menengah dan bawah sangat dibutuhkan dalam
penyelenggaraan program, maka sudah semestinya inisiatif partisipasi ini
dibangun sejak awal hinga akhir program pengembangan kapasitas dalam
rangka menjamin kontinuitas program.
Inovasi juga merupakan persyaratan lain yang tidak kalah penting
mendesak. Harus diakui bahwa inovasi adalah bagian dari program
pengembangan kapasitas, khususnya dalam kerangka menyediakan
berbagai alternatif dan metode pengembangan kapasitas yang bervariasi,
dan menyenangkan. Hampir tidak mungkin terjadi pengembangan
kapasitas tanpa diikuti oleh inovasi (karena capacity building merupakan
bentuk dari sebuah inovasi). Pembangunan mengabaikan, menghambat
38
ataupun tidak memberikan ruang terhadap inovasi. Inovasi penting karena
pekerjaan bukanlah sesuatu yang statis sifatnya, tetapi justru dinamis
sesuai dengan tuntutan publik yang kian tinggi.
Kemudian, akses terhadap informasi merupakan persyaratan lain yang
tidak kalah pentingnya dalam melakukan program pengembangan
kapasitas. Pada bentuk organisasi yang tradisional dan birokratis, semua
informasi dipegang dan dikuasai oleh pimpinan. Kondisi seperti ini jelas
tidak memungkinkan pengembangan kapasitas. Sebaliknya,
pengembangan kapasitas salah satunya harus dimulai dengan memberikan
akses dan kesempatan untuk memperoleh informasi secara cukup baik dan
efektif guna mendukung program yang akan dilaksanakan.
Akuntabilitas juga merupakan persyaratan lain yang tidak kalah
urgennya. Akuntabilitas penting untuk menjaga bahwa program
pengembangan kapasitas juga harus dikendalikan sedemikian rupa
sehingga menuju pada suatu hasil yang diinginkan. Dengan kata lain
akuntabilitas dibutuhkan dalam rangka penjaminan bahwa program
pengembangan kapasitas merupakan kegiatan yang legitimate, kredibel,
akuntabel dan bisa dipertanggungjawabkan. Persyaratan yang terakhir
adalah kepemimpinan. Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas
kepemimpinan memegang peranan penting dalam kesuksesan program
pengembangan kapasitas organisasi.
Kepemimpinan yang dipersyaratkan dalam pengembangan kapasitas
antara lain adalah keterbukaan (openness), penerimaan terhadap ide-ide
39
baru (receptivity to new ideas), kejujuran (honesty), perhatian (caring),
penghormatan terhadap harkat dan martabat (dignity) serta penghormatan
kepada orang lain (respect to people). Semakin pemimpin memberikan
kepercayaan dan suasana kondusif pada staf untuk berkembang, maka
akan semakin sukseslah program pengembangan kapasitas dalam sebuah
organisasi.
5. Indikator Capacity Building
Capacity Building atau pengembangan kapasitas memiliki karakteristik
yang definitif. Menurut Milen (2001 : 5) bahwa pengembangan kapasitas
memiliki karakteristik sebagai berikut :
a. Merupakan sebuah proses yang berkelanjutan. b. Memiliki esesensi sebagai sebuah proses internal. c. Dibangun dari potensi yang telah ada. d. Memiliki nilai intrinsik tersendiri. e. Mengurus masalah perubahan. f. Menggunakan pendekatan terintegrasi dan holistik.
Pengembangan kapasitas adalah sebuah proses membangun kapasitas
yang bukan sekedar bertumpu pada perwujudan kegiatan mambangun
kapasitas satu stakeholder saja. Bukan pelaksanaan kegiatan pelatihan
untuk perorangan atau kelompok tertentu saja, karena pengembangan
kapasitas bersifat multi-dimensi dan terdiri atas multi aktifitas yang
bersifat pemelajar semua stakeholder yang kapasitasnya dituntut
mengalami peningkatan status untuk menjadi kontributor terhadap
sustainabilitas kinerja kolektif.
40
Pengembangan kapasitas pun akan selalu dipengaruhi oleh faktor
eksternal yang menjadi lingkungan pembelajarannya. Dalam jangka waktu
yang sangat panjang dan tak berkesudahan, maka pengembangan kapasitas
memerlukan aktifitas adaptif untuk meningkatkan kapasitas semua
stakeholder-nya. Berkaitan dengan aktivitas adaptif atau adaptabilitas,
Moh. Fakry Gaffar (1998 : 5) dalam penulisannya mengenai “upaya untuk
meningkatkan adaptabilitas manajemen sekolah”, menyebutkan bahwa
adaptabilitas mencakup hal-hal sebagai berikut :
a. Kemampuan membuat keputusan
Kemampuan membuat keputusan, misal bagi seorang kepala
sekolah terutama berhubungan dengan policy amatlah penting, sebab
menyangkut kelancaran pelaksanaan fungsi secara menyeluruh.
Keberanian dan kemampuan membuat keputusan merupakan salah satu
syarat untuk menjadikan seseorang mempunyai sikap mandiri.
Kemampuan membuat keputusan pada tingkat yang amat mikro inilah
merupakan suatu kemampuan kepemimpinan yang amat langka.
b. Kemampuan professional guru
Berbagai studi menunjukan bahwa guru yang mampu
mempengaruhi perilaku belajar anak dengan lebih efektif, fungsi guru
yang langsung menangani proses belajar di kelas amatlah strategic dalam
upaya meningkatkan adaptabilitas manajemen sekolah terutama dalam
kaitannya dengan learning anak. Peningkatan kemampuan professional
guru ini dapat ditempuh melalui berbagai cara antara lain : pemberian
41
kesempatan untuk mengikuti inservice trainning, menyediakan program
pembinaan yang teratur, dan menciptakan forum akademik guru.
c. Menstabilkan kurikulum
Hal ini mengandung arti menghindari ketidakstabilan kurikulum,
sebab perubahan yang terlalu sering yang melibatkan begitu banyak unsur
dan begitu banyak orang akan menimbulkan kekacauan dan kepanikan.
Menstabilkan kurikulum tidak berarti membuat kurikulum itu statis,
kurikulum tetap dinamis mengikuti setiap gerak perubahan sosial yang
terjadi di masyarakat dalam arti isi bukan kerangka dan struktur.
Kemampuan untuk mendinamiskan kurikulum ini sebenarnya berada pada
tingkat sekolah yaitu kepala sekolah sebagai academic leader dan guru
sebagai instructional leader dalam bidangnya.
d. Meningkatkan komunikasi
Kelancaran fungsi dan interaksi fungsional dalam manajemen
sekolah ditentukan oleh efektifitas komunikasi sekolah itu, karena itu
proses komunikasi dengan policy dalam komunikasi perlu mendapat
perhatian yang utama dari kepala sekolah dan pengawas. Sebab bila terjadi
kemacetan komunikasi, kerugiannya amat tinggi dan mahal. Komunikasi
ini mencakup komunikasi professional antar guru, komunikasi edukatif
dengan murid, dan komunikasi koordinatif dengan pimpinan masyarakat
dan para orang tua murid.
e. Menjadikan learning sebagai fokus manajemen
42
Ini berarti merubah secara konseptual dan fundamental ketitik yang
benar dan amat essensial. Hingga saat ini tidak banyak kepala sekolah
yang berpikir bahwa keseluruhan kegiatan manajemen sekolah yang
dipimpinnya harus digiring untuk menciptakan satu situasi dimana anak
dapat belajar dengan lebih baik, dan dimana anak merasa bahwa sekolah
adalah tempat yang terbaik bagi mereka untuk belajar. Untuk mewujudkan
tujuan ini menjadi kenyataan kepala sekolah perlu mengubah orientasinya
dengan menggiring keseluruhan fungsi berbagai unsur sekolah menuju
satu titik yaitu learning anak didik. Profesionalitas seluruh tenaga
akademik dan non akademik sekolah merupakan prasyarat untuk
mewujudkan tugas ini disertai dengan dedikasi dan komitmen yang tinggi.
f. Professional Growth
Professional growth ini secara menyeluruh harus dipolakan baik
pada tingkat nasional maupun pada tingkat daerah, hingga pada tingkat
lembaga. Professional growth ini mengandung dua arti; pertama dikaitkan
dengan usaha peningkatan kemampuan profesional yang dapat dilakukan
secara independent pada tingkat sekolah atau oleh masing-masing individu
yang bersangkutan, dan kedua berkaitan dengan jenjang karir
kepegawaian dan ini harus dipolakan dari tingkat yang lebih tinggi.
6. Kegiatan Capacity Building
Pengembangan kapasitas memiliki aktifitas tersendiri yang
memungkinkan terjadinya pengembangan kapasitas pada sebuah sistem,
organisasi, atau individu, dimana ada aktifitas tersebut terdiri atas
43
beberapa fase umum, yakni ; persiapan, analisis kebutuhan, perencanaan
dan pemrograman, implementasi, dan evaluasi. GTZ (Gandara, 2008 : 18).
Gambar 2.3 Siklus capacity building sumber : Modul A P4D DEPDAGRI RI
GTZ (Gandara, 2008 : 18)
Penjelasan mengenai uraian kegiatan pengembangan kapasitas di atas
adalah sebagai berikut :
a. Fase Persiapan. Pada fase ini terdapat 5 langkah kerja yaitu : (1).
Identifikasi kebutuhan untuk pengembangan kapasitas, langkah kerja
PERSIAPAN
1. Identifikasi kebutuhan untuk
proses pembangunan kapasitas
2. Penentuan tujuan
3. Menyatakan tanggung jawab
ANALISIS
1. Identifikasi isu
2. Analisis proses
3. Analisis organisasi
4. Assesmen kesenjangan kapasitas
5. Memunculkan semua kebutuhan
pembangunan kapasitas
PERENCANAAN
1. Membuat rencana tindak multi
tahun (tahunan)
2. Membuat rencana pembelanjaan
jangka menengah
3. Menyusun skala prioritas
AKSI
1. Pemrograman tahunan dan
penganggaran keuangan
2. Perencanaan proyek
3. Penyeleksian penyedia jasa
EVALUASI
1. Evaluasi dampak
2. Perencanaan ulang
rencana tindak
pembangunan kapasitas
SIKLUS
CAPACITY
BUILDING
44
ini memiliki kegiatan utama yaitu mengenali alasan-alasan dan
kebutuhan nyata untuk mengembangkan kapasitas. (2). Menentukan
tujuan-tujuan. Langkah kerja ini memiliki kegiatan utama yaitu
melakukan konsultasi dengan stakeholder utama untuk
mengidentifikasi isu utama pengembangan kapasitas (3). Memberikan
tanggung jawab. Langkah kerja ini memiliki kegiatan utama yaitu
menetapkan penanggungjawab kegiatan pengembangan kapasitas,
misal membentuk tim teknis atau satuan kerja (4). Merancang proses
pengembangan kapasitas. Langkah kerja ini memiliki kegiatan utama
yaitu menentukan metodologi pemetaan sesuai permasalahan yang
muncul dan membuat penjadwalan kegiatan tentang proses pemetaan
dan tahapan perumusan berikutnya tentang rencana tindak
pengembangan kapasitas. (5). Pengalokasian sumber daya. Kegiatan
utamanya adalah mengidentifikasi pendanaan kegiatan proses
pengembangan kapasitas dan mengalokasikan sumber daya dengan
membuat formulasi kebutuhan sumber daya sesuai anggaran yang
dibutuhkan dan dapat disetujui oleh pihak berwenang.
b. Fase Analisis. Pada fase ini terdapat 5 langkah kerja yaitu : (1).
Mengidentifikasi permasalahan dalam hal ini kegiatan utamanya
berupa melakukan pemeriksaan terhadap masalah untuk penyelidikan
lebih lanjut. (2). Analisis terhadap proses dalam hal ini kegiatan
utamanya berupa menghubungkan permasalahan untuk pemetaan
kapasitas dengan proses kinerja system, organisasi dan individu. (3).
45
Analisis organisasi dalam hal ini kegiatan utamanya berupa memilih
organisasi untuk diselidiki legih dalam (pemetaan organisasional). (4).
Memetakan gap dalam kapasitas dalam hal ini kegiatan utamanya
adalah berupa memetakan jurang pemisah antara kapasitas ideal
dengan kenyataannya. (5). Menyimpulkan kebutuhan-kebutuhan
pengembangan kapasitas yang mendesak dalam hal ini kegiatan
utamanya adalah berupa menyimpulkan temuan-temuan dan
mengumpulkan usulan-usulan untuk rencana tindak pengembangan
kapasitas.
c. Fase Perencanaan. Pada fase ini terdapat 3 langkah kerja yaitu : (1).
Perencanaan tahunan, kegiatan utamanya adalah merumuskan draf
rencana tindak pengembangan kapasitas. (2). Membuat rencana jangka
menengah, kegiatan utamanya berupa pertemuan-pertemuan
konsultatif. (3). Menyusun skala prioritas, kegiatan utamanya berupa
menetapkan skala prioritas pengembangan kapasitas dan tahapan-
tahapan implementasinya.
d. Fase Implementasi. Pada fase ini terdapat 5 langkah kerja yaitu : (1).
Pemrograman, kegitan utamanya berupa mengalokasikan sumber daya
yang dimiliki saat ini. (2). Perencanaan proyek pengembangan
kapasitas, kegiatan utamanya berupa merumuskan kebijakan
implementasi pengembangan kapasitas. (3). Penyeleksian penyedia
jasa layanan pengembangan kapasitas, kegiatan utamanya berupa
mengidentifikasi layanan dan produk luar terkait kebutuhan
46
implementasi pengembangan kapasitas yang akan dikerjanakan. (4).
Implementasi proyek, kegiatan utamanya berupa implementasi
program tahunan pengembangan kapasitas sesuai sumber daya yang
ada dan jadwal yang tersedia. (5). Monitoring proses, kegiatan
utamanya berupa melakukan monitoring terhadap aktifitas-aktifitas
pengembangan kapasitas.
e. Fase Evaluasi. Pada fase ini terdapat 2 langkah kerja yaitu : (1).
Evaluasi dampak, kegiatan utamanya berupa mengevaluasi pencapaian
pengembangan kapasitas, seperti peningkatan kinerja. (2).
Merencanakan ulang rencana tindak pengembangan kapasitas,
kegiatan utamanya adalah melakukan analisa terhadap temuan
monitoring proses dan evaluasi dampak dalam konteks kebutuhan
perencanaan ulang pengembangan kapasitas.
Sedangkan Yap (2000 : 26) mengemukakan, bahwa cara-cara
mengembangkan kapasitas adalah dengan melakukan kegiatan berikut:
a. Menganalisa lingkungan individu, grup, organisasi, komunitas, dan masyarakat yang akan dikembangkan kapasitasnya.
b. Mengidentifikasi dan merumuskan masalah, kebutuhan, isu dan peluang terkait individu, grup, organisasi, komunitas dan masyarakat yang akan dikembangkan kapasitasnya.
c. Merumuskan strategi untuk membangun kapasitas individu, grup, organisasi, komunitas dan masyarakat terkait.
d. Merancang rencana aksi untuk membangun kapasitas individu, grup, organisasi, komunitas dan masyarakat terkait.
e. Menghimpun dan menggunakan semua sumber daya yang sudah ada untuk mengimplementasikan, mengawasi, dan mengevaluasirencana aksi pengembangan kapasitas individu, grup, organisasi, komunitas dan masyarakat terkait.
f. Menggunakan umpan balik untuk mempelajari pelajaran yang dapat diambil dari keseluruhan proses pengembangan kapasitas yang
47
diterapkan terhadap individu, grup, organisasi, komunitas dan masyarakat terkait.
7. Strategi Capacity Building
Brown, La Fond dan Mc Intyre (Gandara, 2008 : 28) mendeskripsikan
sebuah strategi pengembangan kapasitas ke dalam gambar berikut ini.
Tingkat Kapasitas Kinerja Sustainabilitas
Gambar 2.4 Strategi capacity building (dimodifikasi dari Overview Conceptual
Framework : Brown, La Fond dan Mcintyre, (Gandara, 2008 : 28)
Pengembangan kapasitas secara stratejik akan mengarah pada
sustainabilitas kinerja sistem. Dapat diterapkan semisal pada sistem
kesehatan atau sistem pendidikan, misalnya. Maka untuk mencapai
sustainabilitas kinerja sistem kesehatan diperlukan faktor waktu, yang
dimanfaatkan oleh para personil, organisasi dan komponen-komponen
Sistem
Organisasi
Personil
Kinerja Sistem (akses, mutu, pemerataan, efisiensi)
Kinerja Organisasi
Kinerja
Personil
Kinerja Sistem
Yang
Sustainabel
Peningkatan
Status
W
A
K
T
U
Kapasitas
individu/komunitas/masyarakat
Perubahan perilaku
individu/komunitas/masy
arakat
Sustainitas perubahan
individu/komunitas/masyarakat
LINGKUNGAN EKTERNAL KEBUDAYAAN-SOSIAL-EKONOMI-POLITIK-PERATURAN-LINGKUNGAN HIDUP
48
sistem kesehatan untuk bekerja dengan baik. Mereka harus menunjukkan
kinerja sistem yang baik, mudah diakses, bermutu, merata dan
berkeadilan, serta efisien. Itu berarti semua komponen pemilik kapasitas
(individu/personil, masyarakat, organisasi, institusi) harus memunculkan
kinerja mereka sampai pada sustainabilitas.
Peran individu, komunitas, dan masyarakat sebagai
konsumen/pengguna produk dan layanan yang diberikan oleh para personil
organisasi (bagian dari sistem) adalah melakukan demand position dan
terus mempengaruhi kapasitas personil, organisasi, dan sistem untuk
meningkatkan kapasitas kinerjanya. Mereka adalah stakeholder yang
berhak atas bagian mereka, seperti masyarakat yang membutuhkan
layanan kesehatan dan para siswa yang membutuhkan layanan pendidikan,
misalnya. Tak ada mereka maka sistem tidak akan mencapai
sustainabilitasi.
Semua stakeholder pengembangan kapasitas akan meningkatkan status
mereka masing-masing secara sinergis dan integral. Pada akhirnya, seiring
waktu pula status yang meningkat itu dapat menjadi indikator kinerja
sistem yang sustainabel sebagai buah dari kolektifitas kinerja sistem,
organisasi dan personil.
Di sisi lain pula, dapat disimak adanya perubahan perilaku perorangan,
komunitas dan masyarakat yang bersesuaian dengan kinerja sistem,
organisasi, personil. Selain itu meningkatkan status mereka, maka seiring
49
waktu pula, perilaku mereka yang berubah dan berindikasi sustainabel
akan berkontribusi pada sistem yang sustainabel.
Sementara faktor eksternal, seperti kebudayaan, politik ekonomi,
aturan legal, dan lingkungan hidup akan terus mempengaruhi dinamika
seluruh komponen proses pengembangan kapasitas yang sedang
berlangsung dan tidak pernah berakhir itu.
8. Tujuan Capacity Building
Morrison (2001 : 23) menyatakan, bahwa tujuan pengembangan
kapasitas adalah pembelajaran, dimulai sejak mengalirnya kebutuhan
untuk mengalami suatu hal, mengurangi ketidaktahuan dan ketidakpastian
dalam hidup, dan membangun kemampuan yang dibutuhkan dalam
beradaptasi untuk perubahan.
Keban (2000 : 7) mengemukakan pendapat Grindle (1997) bahwa
pengembangan kapasitas adalah serangkaian strategi yang ditujukan untuk
meningkatkan efisiensi, efektifitas, dan responsifitas dari kinerja.
Dengan demikian, bahwa tujuan akhir dari pengembangan kapasitas
yang secara umum diidentikkan pada perwujudan sustainabilitas suatu
sistem, secara khusus ditujukan pula untuk mewujudkan :
a. Efisiensi. b. Efektifitas. c. Responsifitas. d. Pembelajaran yang terindikasi pada kinerja individu, grup, organisasi
dan sistem.
50
B. KONSEP PROFESIONALISME GURU
1. Pengertian Profesionalisme
Penulusuran definisi profesionalisme pun memiliki variasi yang
berbeda antar para ahli, namun secara umum istilah profesionalisme sudah
dikenal luas dikalangan masyarakat. Pengertian yang muncul dimasyarakat
umum seolah-olah hanya teruntuk bagi personil tingkat manajer,
sedangkan sesungguhnya istilah profesional itu berlaku untuk semua
personil mulai dari tingkat atas sampai ketingkat paling bawah. Pengertian
profesional secara sederhana dapat diartikan sebagai kemampuan dan
keterampilan seseorang dalam melakukan pekerjaan menurut bidang dan
tingkatan masing-masing. Oleh karena itu seseorang atau tenaga
profesional tidak dapat dinilai dari satu segi saja, tetapi harus dari segala
segi. Di samping keahlian dan keterampilannya juga perlu diperhatikan
mentalitasnya. Jadi yang dikatakan dengan tenaga profesional itu ialah
tenaga yang benar-benar memiliki keahlian dan keterampilan serta sikap
mental terpuji, juga dapat menjamin bahwa segala sesuatunya dari
perbuatan dan pekerjaannya berada dalam kondisi yang terbaik dari
penilaian semua pihak.
Konsep tentang profesionalisme saat ini menuntut adanya kemampuan
seorang pegawai dalam melaksanakan tugas pekerjaan dengan efesien dan
efektif. Menurut Pamudji (1994 : 20-21), profesionalisme adalah : “a
vocation or occupation requiring advanced training in some liberal art or
science and usually involving mental rather than manual work, as teacing,
engeneering, writing, etc”. Dari kata dasar profesionalisme ini kemudian
51
muncul kata jadian profesional yang artinya Engage in special occupation
for pay etc. dan profesionalisme yang artinya profesional quality, status,
etc. Selanjutnya Pamuji mengartikan orang yang profesional memiliki atau
dianggap memiliki keahlian, akan melakukan kegiatan-kegiatan
diantaranya pelayanan publik dengan mempergunakan keahliannya itu
sehingga menghasilkan pelayanan publik yang lebih baik mutunya, lebih
cepat prosesnya, mungkin lebih bervariasi yang kesemuanya
mendatangkan kepuasan pada masyarakat.
Profesional adalah orang yang terampil, handal, dan sangat
bertanggungjawab dalam menjalankan profesinya. Orang yang tidak
mempunyai integritas biasanya tidak profesional. Profesionalisme pada
intinya adalah kompetensi untuk melaksanakan tugas dan fungsinya secara
baik dan benar (MenPAN, 2002 : 25). Yang dimaksud profesional adalah
kemampuan, keahlian atau keterampilan seseorang dalam bidang tertentu
yang ditekuninya sedemikian rupa dalam kurun waktu tertentu yang relatif
lama sehingga hasil kerjanya bernilai tinggi dan diakui serta diterima
masyarakat (MenPAN, 2002 : 14).
Profesionalisme di dunia kerja bukan sekedar ditandai oleh penguasaan
IPTEK saja, tetapi juga sangat ditentukan oleh cara memanfaatkan IPTEK
itu serta tujuan yang dicapai dengan pemanfaatannya itu. Seorang
profesional harus dapat:
a. Memberi makna dan menempatkan IPTEK itu dapat memberikan
manfaat yang maksimal bagi dirinya sendiri maupun organisasi atau
52
peru-sahaan dimana ia bekerja serta meningkatkan kualitas kehidupan
masyarakat;
b. Mencerminkan sikap dan jati diri tehadap profesinya dengan
kesungguhan untuk mendalami, menguasai, menerapkan dan
bertanggungjawab atas profesinya;
c. Memiliki sifat intelektual serta mencari dan mempertahankan
kebenaran;
d. Mengutamakan dan mendahulukan pelayanan yang maksimal di atas
imbalan jasa, tetapi tidak berarti bahwa jasanya diberikan tanpa
imbalan.
Pendapat lain dikemukakan oleh Pamungkas (1996 : 206-207), bahwa
manusia profesional dianggap manusia yang berkualitas yang memiliki
keahlian serta kemampuan mengekspresikan keahliannya itu bagi
kepuasan orang lain atau masyarakat dengan memperoleh pujian. Ekspresi
keahlian tersebut tampak dalam perilaku analis dan keputusan-
keputusannya. Demikian hasil kerja profesional selalu memuaskan orang
lain dan mempunyai nilai tambah yang tinggi. Profesionalisme selalu
dikaitkan dengan efisiensi dan keberhasilannya, dan menjadi sumber bagi
peningkatan produksi, pertumbuhan, kemakmuran dan kesejahteraan baik
dari individu pemilik profesi maupun masyarakat lingkungannya.
Kusnandar (2007 : 46) mengemukakan bahwa “Profesionalisme adalah
kondisi, arah, nilai, tujuan, dan kualitas suatu keahlian dan kewenangan
yang berkaitan dengan mata pencaharian sesseorang”.
53
Sementara itu Danim (2002 : 23) mendefinisikan bahwa,
profesionalisme adalah komitmen para anggota suatu profesi untuk
meningkatkan kemampuan profesionalnya dan terus-menerus
mengembangkan strategi-strategi yang digunakannya dalam melakukan
pekerjaan sesuai dengan profesinya itu.
Kemudian Freidson (1970) dalam Syaiful Sagala (2002 : 199)
mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan profesionalisme adalah
“sebagai komitmen untuk ide-ide professional dan karir”.
Sedangkan Poerwopoespito & Utomo (2000 : 266), mengatakan bahwa
profesionalisme berarti faham yang menempatkan profesi sebagai titik
perhatian utama dalam hidup seseorang. Orang yang menganut faham
profesionalisme se-lalu menunjukkan sikap profesional dalam bekerja dan
dalam keseharian hidupnya.
Profesionalisme merupakan sikap dari seorang profesional, dan
profesional berarti melakukan sesuatu sebagai pekerjaan pokok yang
disebut profesi, artinya pekerjaan tersebut bukan pengisi waktu luang atau
sebagai hobi belaka. Jika profesi diartikan sebagai pekerjaan dan isme
sebagai pandangan hidup, maka profesional dapat diartikan sebagai
pandangan untuk selalu berfikir, berpendirian, bersikap dan bekerja
sungguh-sungguh, kerja keras, bekerja sepenuh waktu, disiplin, jujur,
loyalitas tinggi dan penuh dedikasi demi keberhasilan pekerjaannya. Jadi
pada dasarnya profesionalisme berkenaan dengan sikap peduli baik
terhadap klien atau pun terhadap profesinya, Seperti yang diungkapkan
54
oleh David H. Maister bahwa profesionalisme adalah terutama masalah
sikap, bukan seperangkat kompetensi. Seorang professional sejati adalah
seorang teknisi yang peduli (Maister, 1998 : 23).
Dari pemaparan mengenai konsep profesionalisme, penulis dapat
simpulkan bahwa, yang paling utama profesionalisme berkenaan dengan
sikap dan nilai-nilai yang dimunculkan oleh para profesional dalam
menjalani aktivitas dan tanggung jawab profesinya. Seseorang dengan
profesi tertentu mungkin memiliki keterampilan atau kompetensi yang
tinggi di bidang keahliannya, tetapi dia belum bisa dikatakan profesional
sebelum secara handal dan konsisten mampu mendemonstrasikannya
melalui sikap peduli terhadap klien dan pekerjaannya.
2. Dimensi Profesionalisme
Hall. R (Muhammad, Rifqi. 2008 : 3). Mengembangkan konsep
profesionalisme dari level individu meliputi lima dimensi, yaitu :
a. Pengabdian pada profesi (dedication), yang tercermin dalam dedikasi profesional melalui penggunaan pengetahuan dan kecakapan yang dimiliki. Sikap ini adalah ekspresi dari penyerahan diri secara total terhadap pekerjaan. Pekerjaan didefinisikan sebagai tujuan hidup dan bukan sekedar sebagai alat untuk mencapai tujuan. Penyerahan diri secara total merupakan komitmen pribadi dan sebagai kompensasi utama yang diharapkan adalah kepuasan rohani dan kemudian kepuasan material.
b. Kewajiban Sosial (Social obligation), yaitu pandangan tentang pentingnya paran profesi serta manfaat yang diperoleh baik oleh masyarakat atau pun oleh profesional karena adanya pekerjaan tersebut.
c. Kemandirian (Autonomy demands), yaitu suatu pandangan bahwa seorang professional harus mampu membuat keputusan sendiri tanpa ada tekanan dari pihak yang lain.
d. Keyakinan terhadap peraturan profesi (belief in self-regulation), yaitu suatu keyakinan bahwa yang berwenang untuk menilai pekerjaan
55
profesional adalah rekan sesama profesi, dan bukan pihak luar yang tidak mempunyai kompetensi dalam bidang ilmu dan pekerjaan mereka.
e. Hubungan dengan sesama profesi (Professional community affiliation), berarti menggunakan ikatan profesi sebagai acuan, termasuk organisasi formal dan kelompok-kelompok kolega informal sebagai sumber ide utama pekerjaan. Melalui ikatan profesi ini para profesional membangun kesadaran profesinya.
Sementara itu Maister (1998 : 25) mengisyaratkan profesionalisme
pada level individu meliputi 4 (empat) dimensi yaitu :
a. Kebanggaan pada pekerjaan b. Komitmen pada kualitas c. Dedikasi pada kepentingan klien d. Keinginan tulus untuk membantu
3. Ciri-ciri Profesionalisme
Maister (1998 : 21-22), mengatakan bahwa ciri-ciri profesionalisme
sejati yaitu :
a. Bangga pada pekerjaan mereka, dan menunjukkan komitmen pribadi pada kualitas.
b. Berusaha meraih tanggung jawab. c. Mengantisipasi, dan tidak menunggu perintah, mereka menunjukkan
inisiatif. d. Mengerjakan apa yang perlu dikerjakan untuk merampungkan tugas. e. Melibatkan diri secara aktif dan tidak sekedar bertahan pada peran
yang telah ditetapkan untuk mereka. f. Selalu mencari cara untuk membuat berbagai hal menjadi lebih mudah
bagi orang yang mereka layani. g. Ingin belajar sebanyak mungkin mengenai bisnis orang-orang yang
mereka layani. h. Benar-benar mendengarkan kebutuhan orang-orang yang layani. i. Belajar memahami dan berfikir seperti orang-orang yang mereka
layani sehingga bisa mewakili mereka ketika orang-orang itu tidak ada ditempat.
j. Adalah pemain tim. k. Bisa dipercaya memegang rahasia. l. Jujur, bisa dipercaya dan setia. m. Terbuka pada kritik-kritik yang membangun mengenai cara
meningkatkan diri.
56
Sedangkan Mahfud MD (Wangmuba, 2009) antara lain menunjukan
beberapa karakteristik budaya akademis yang berpengaruh terhadap
profesionalisme sebagai berikut :
a. Bangga atas pekerjaannya dengan komitmen pribadi yang kuat dan berkualitas.
b. Memiliki tanggungjawab yang besar, antisipatif dan penuh inisiatif. c. Ingin selalu menegrjakan pekerjaan dengan tuntas dan ikut terlibat
dalam berbagai peran diluar pekerjaannya. d. Ingin terus belajar untuk meningkatkan kemampuan kerja dan
kemampuan melayani. e. Mendengar kebutuhan pelanggan dan dapat bekerja dengan baik dalam
suatu tim. f. Dapat dipercaya, jujur, terus terang dan loyal. g. Terbuka terhadap kritik yang bersifat konstruktif serta selalu siap
untuk meningkatkan dan menyempurnakan dirinya.
Selain itu kita lihat ada lima diskursus profesional yang berbeda
diseputar profesionalisme keguruan yaitu antara lain:
a. Profesionalisme material (Material professionalism) merujuk pada kemampuan professional guru atau tenaga pengembang lain dilihat dari prespektif penguasaan material bahan ajar yang harus ditransformasikan dikelas ataupun diluar kelas.
b. Profesionalime metodologikal (Methodological professionalism) merujuk pada penguasaan metode dan strategi serta seni mendidik dan mengajar sehingga memudahkan proses belajar mengajar.
c. Profesionalisme sosial (Social professionalism) merujuk pada kedudukan guru dan tenaga pengembang lain sebagai manusia biasa dan sebagai anggota masyarakat dengan tidak kehilangan identitas budaya sebagai pendidik oleh karena bisa dijadikan contoh dan referensi perilaku dalam kehidupan masyarakat.
d. Profesionalisme demokratis (democratic professionalism) merujuk pada tugas pokok dan fungsi yang ditampilkan oleh guru dan tenaga pengembang lainnya harus beranjak dari, oleh dan untuk peserta didiknya sehingga mencerminkan miniature demokrasi masyarakat.
e. Profesionalisme manajerial (managerial professionalism) merujuk pada kedudukan guru bukanlah orang yang secara serta merta mentransmisikan bahan ajar saja tapi juga bertindak sebagai direktur, manajer atau fasilitator belajar. Sudarwan Danim (Wangmuba, 2009)
57
4. Pengertian Guru
Guru adalah suatu sebutan bagi jabatan, posisi, dan profesi bagi
seseorang yang mengabdikan dirinya dalam bidang pendidikan melalui
interaksi edukatif secara terpola, formal dan sistematis. Dalam UU Nomor
14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen (Pasal 1) dinyatakan bahwa :
“Guru adalah pendidikan profesional dengan tugas utama mendidik,
mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi
peserta didik pada jalur pendidikan formal, pada jenjang pendidikan dasar
dan pendidikan menengah”.
Guru merupakan sosok yang paling berperan dalam menentukan
kualitas pembelajaran di sebuah lembaga pendidikan yang dinamakan
sekolah. Guru merupakan komponen terpenting dalam peristiwa
pembelajaran peserta didik. Sebaik apapun program pendidikan yang
termuat dalam kurikulum tanpa adanya peranan guru yang mengolahnya
menjadi materi yang dapat difahami, tidak akan berarti apa-apa bagi
peserta didiknya. Sejalan dengan ini, Bank Dunia (Suhardan, Dadang,
2001: 20) mengemukakan bahwa:
Guru merupakan titik sentral dalam usaha mereformasi pendidikan, dan mereka menjadi kunci keberhasilan setiap usaha peningkatan mutu pendidikan. “apapun namanya, apakah itu pembaharuan kurikulum, pengembangan metode-metode mengajar, peningkatan pelayanan belajar, penyediaan buku teks, hanya akan berarti apabila melibatkan guru”.
Sementara itu Moh. Fakry Gaffar (2007: 2) menyatakan bahwa: “guru
adalah jabatan profesional yang memiliki tugas pokok yang amat
menentukan dalam proses pertumbuhan dan perkembangan peserta didik”.
58
Hal ini menunjukan bahwa guru merupakan sebuah profesi yang menuntut
adanya keahlian khusus di bidangnya (sebagai guru).
Jadi, guru adalah orang dewasa yang secara sadar bertanggung jawab
dalam mendidik, mengajar, dan membimbing peserta didik. Orang yang
disebut guru adalah orang yang memiliki kemampuan merancang program
pembelajaran serta mampu menata dan mengelola kelas agar peserta didik
dapat belajar dan pada akhirnya dapat mencapai tingkat kedewasaaan
sebagai tujuan akhir dari proses pendidikan.
5. Hakikat Profesi Guru
Uno (2008 : 15) mengungkapkan, guru merupakan suatu profesi, yang
berarti suatu jabatan yang memerlukan keahlian khusus sebagai guru dan
tidak dapat dilakukan oleh sembarang orang di luar bidang pendidikan.
Walaupun pada kenyataannya masih terdapat hal-hal tersebut di luar
bidang kependidikan.
Untuk seorang guru perlu mengetahui dan dapat menerapkan beberapa
prinsip mengajar agar ia dapat melaksanakan tugasnya secara profesional,
yaitu sebagai berikut.
a. Guru harus dapat membangkitkan perhatian peserta didik pada materi pelajaran yang diberikan serta dapat menggunakan berbagai media dan sumber belajar yang bervariasi.
b. Guru harus dapat membangkitkan minat peserta didik untuk aktif dalam berpikir serta mencari dan menemukan sendiri pengetahuan.
c. Guru harus dapat membuat urutan (sequence) dalam pemberian pembelajaran dan penyesuaian dengan usia dan tahapan tugas perkembangan peserta didik.
d. Guru perlu menghubungkan pelajaran yang akan di berikan dengan pengetahuan yang telah dimiliki peserta didik (kegiatan apersepsi) agar
59
peserta didik menjadi mudah dalam memahami pelajaran yang diterimanya.
e. Sesuai dengan prinsip repetisi dalam proses pembelajaran, diharapkan guru dapat menjelaskan unit pelajaran secara berulang-ulang hingga tanggapan peserta didik menjadi jelas.
f. Guru wajib memerhatikan dan memikirkan korelasi atau hubungan antara mata pelajaran dan/atau praktik nyata dalam kehidupan sehari-hari.
g. Guru harus tetap menjaga konsentrasi belajar para peserta didik dengan cara memberikan kesempatan berupa pengalaman secara langsung, mengamati/meneliti, dan menyimpulkan pengetahuan yang didapatnya.
h. Guru harus mengembangkan sikap peserta didik dalam membina hubungan sosial, baik dalam kelas maupaun di luar kelas.
i. Guru harus menyelidiki dan mendalami perbedaan peserta didik secara individual agar dapat melayani siswa sesuai dengan perbedaannya tersebut.
Guru dapat melaksanakan evaluasi yang efektif serta menggunakan
hasilnya untuk mengetahui prestasi dan kemajuan siswa serta dapat
melakukan perbaikan dan pengembagan.
Seiring dengan kemajuan teknologi informasi yang telah demikian
pesat, guru tidak lagi hanya bertindak sebagai penyaji informasi, tetapi
juga harus mampu bertindak sebagai fasilitator, motivator, dan
pembimbing yang lebih banyak memberikan kesempatan kepada peserta
didik untuk mencari dan mengolah sendiri informasi. Dengan demikian,
keahlian guru harus terus dikembangkan dengan tidak hanya terbatas pada
penguasaan prinsip mengajar.
6. Guru Sebagai Contoh (Suri Teladan)
Uno (2008 : 15) mengungkapkan, pada dasarnya perubahan perilaku
yang dapat ditunjukkan oleh peserta didik harus dipengaruhi oleh latar
belakang pendidikan dan pengalaman yang dimiliki oleh seorang guru.
60
Atau dengan perkataan lain, guru mempunyai pengaruh terhadap
perubahan perilaku peserta didik.
Untuk itulah guru harus dapat menjadi contoh (suri teladan) bagi
peserta didik, karena pada dasarnya guru adalah representasi dari
sekelompok orang pada suatu komunitas atau masyarakat yang diharapkan
dapat menjadi teladan, yang dapat digugu dan ditiru.
Seorang guru sangat berpengaruh terhadap hasil belajar yang dapat
ditunjukkan oleh peserta didiknya. Untuk itu, apabila seseorang ingin
menjadi guru yang profesional maka sudah seharusnya ia dapat selalu
meningkatkan wawasan akademis dan praktis melalui jalur pendidikan
berjenjang atau pun up grading dan/atau pelatihan yang bersifat in service
training dengan rekan-rekan sejawatnya.
Perubahan dalam cara mengajar guru dapat dilatihkan melalui
peningkatan kemampuan mengajar sehingga kebiasaan lama yang kurang
efektif dapat segera terdeteksi dan perlahan-lahan dihilangkan. Untuk itu,
maka perlu adanya perubahan kebiasaan dalam cara mengajar guru yang
diharapkan akan berpengaruh pada cara belajar siswa, diantaranya sebagai
berikut.
a. Memperkecil kebiasaan cara guru baru (calon guru) yang cepat merasa puas dalam mengajar apabila banyak menyajikan informasi (ceramah) dan terlalu mendominasi kegiatan belajar peserta didik.
b. Guru hendaknya berperan sebagai pengarah, pembimbing, pemberi kemudahan dengan menyediakan berbagai fasilitas belajar, pemberi bantuan bagi peserta didik yang mendapat kesulitan belajar, dan pencipta kondisi yang merangsang dan menantang peserta didik untuk berpikir dan bekerja (melakukan).
c. Mengubah dari sekedar metode ceramah dengan berbagai variasi metode yang lebih relevan dengan tujuan pembelajaran, memperkecil
61
kebiasaan cara belajar peserta didik yang baru merasa belajar dan puas kalau banyak mendengarkan dan menerima informasi (diceramahi) guru, atau baru belajar kalau ada guru.
d. Guru hendaknya mampu menyiapkan berbagai jenis sumber belajar sehingga peserta didik dapat belajar secara mandiri dan berkelompok, percaya diri, terbuka untuk saling memberi dan menerima pendapat orang lain, serta membina kebiasaan mencari dan mengolah sendiri informasi.
7. Tugas Guru
Dalam lingkup profesi guru memiliki beberapa tugas, baik yang terikat
oleh profesinya maupun di luar tugas formalnya. Secara garis besar tugas
guru dapat dikelompokkan menjadi tiga yakni tugas profesi, tugas
kemanusiaan dan tugas kemasyarakatan. Sebagai salah satu profesi resmi
kedudukan guru memerlukan keahlian khusus. Jenis pekerjaan ini tidak
dapat dilakukan oleh sembarang orang di luar bidang pekerjaannya.
Terkait dengan hal tersebut ditegaskan bahwa tugas guru sebagai profesi
mencakup beberapa persyaratan:
a. Menuntut adanya keterampilan yang berdasarkan konsep dan teori ilmu pengetahuan yang mendalam,
b. Menekankan pada suatu keahlian dalam bidang tertentu sesuai dengan bidang profesinya,
c. Menuntut adanya tingkat pendidikan yang memadai, d. Adanya kepekaan terhadap dampak kemasyarakatan dari pekerjaan
yang dilakukannya, dan e. Memungkinkan perkembangan sejalan dengan dinamika kehidupan.
Usman (2008 : 15) Selain persyaratan tersebut, sebetulnya masih ada persyaratan yang
harus dipenuhi oleh setiap pekerjaan yang tergolong ke dalam suatu
profesi antara lain yaitu,
a. Memiliki kode etik, sebagai acuan dalam melaksanakan tugas dan fungsinya,
62
b. Memiliki klien atau obyek layanan yang tetap seperti dokter dengan pasiennya, guru dengan muridnya, dan
c. Diakui oleh masyarakat karena memang diperlukan jasanya di masyarakat.
Sebagai bahan perbandingan, berikut ini disajikan pula ciri-ciri
keprofesian yang dikemukakan oleh D. Westby Gibson ,1965 (dalam
Usman, 2000) secara rinci adalah sebagai berikut,
a. Pengakuan oleh masyarakat terhadap layanan tertentu yang hanya dapat dilakukan oleh kelompok pekerja yang dikategorikan sebagai suatu profesi,
b. Dimilikinya sekumpulan bidang ilmu yang menjadi landasan sejumlah teknik dan prosedur yang unik,
c. Diperlukannya persiapan yang sengaja dan sistematis sebelum orang mampu melaksanakan suatu pekerjaan professional, dan
d. Dimilikinya organisasi profesional yang di samping melindungi kepentingan anggotanya dari saingan kelompok luar, juga berfungsi tidak saja menjaga, akan tetapi sekaligus selalu berusaha meningkatkan kualitas layanan kepada masyarakat, termasuk tindak-tindak etis profesional kepada anggotanya.
Sementara itu, Moh. Fakry Gaffar (2007 : 2-3) menguraikan tugas
pokok guru adalah sebagai berikut:
a. Membantu peserta didik untuk mengembangkan seluruh potensinnya sehingga tumbuh dan berkembang dengan total dan sempurna.
b. Membantu peserta didik agar potensi intelektual, emosional dan spiritualnya tumbuh berkembang secara seimbang dan harmonis serta sempurna.
c. Mentransformasikan berbagai ilmu pengetahuan kepada peserta didik dengan menggunakan pendekatan dan metodologi yang penuh kreatifitas dalam proses belajar mengajar, sehinga khasanah ilmu pengetahuan dan kreatifitas peserta didik tumbuh dan berkembang pula.
d. Menanamkan nilai-nilai positif yang diperlukan dalam hidup ke dalam diri peserta didik sehingga melekat dan tumbuh menjadi satu dengan prilaku peserta didik.
e. Membangun watak dan kepribadian peserta didik menjadi orang yang memiliki watak dan kepribadian utuh dan sempurna.
f. Membantu mengembangkan kemampuan peserta didik dalam menjalankan fungsinya sebagai makhluk sosial yang beradab dan bermartabat.
63
g. Menumbuhkembangkan dalam diri peserta didik nilai-nilai perilaku mulia.
h. Memberikan tuntunan kepada peserta didik untuk mengenal mana perbuatan yang baik dan yang tidak, mana perbuatan yang dilarang mana pula yang tidak dilarang, mana perbuatan yang salah dan mana pula yang benar yang perlu dalam kehidupan yang penuh kedamaian dan ketentraman. Sementara itu, Usman (2008 : 6-8) memberi penjelasan bahwa, tugas
guru sebagai suatu profesi menuntut kepada guru untuk mengembangkan
profesionalitas diri sesuai dengan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Mendidik, mengajar dan melatih anak didik adalah tugas guru sebagai
suatu profesi. Tugas guru sebagai pendidik berarti meneruskan dan
mengembangkan nilai-nilai hidup kepada anak didik. Tugas guru sebagai
pengajar berarti meneruskan dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan
teknologi kepada anak didik. Tugas guru sebagai pelatih berarti
mengembangkan keterampilan dan menerapkannya dalam kehidupan demi
masa depan anak didik. Tugas kemanusiaan juga menjadi salah satu segi
dari tugas guru. Sisi ini tidak bisa guru abaikan, karena guru harus terlibat
dengan kehidupan di masyarakat dengan interaksi sosial. Guru harus
menanamkan nilai-nilai kemanusiaan kepada anak didik. Dengan begitu
anak didik dididik agar mempunyai sifat kesetiakawanan sosial.
Tugas guru dalam bidang kemanusiaan di sekolah harus dapat
menjadikan dirinya sebagai orang tua kedua. Ia harus mampu menarik
simpati sehingga ia menjadi idola para siswanya. Pelajaran apapun yang
diberikan, hendaknya dapat menjadi motivasi bagi siswanya dalam belajar.
Bila seorang guru dalam penampilannya tidak menarik, maka kegagalan
64
pertama adalah ia tidak akan dapat menanamkan benih pengajarannya itu
kepada para siswanya. Para siswa akan enggan menghadapi guru yang
tidak menarik. Pelajaran tidak dapat diserap sehingga setiap lapisan
masyarakat (homoludens, homopuber, dan homosapiens) dapat mengerti
bila menghadapi guru.
Di bidang kemasyarakatan merupakan tugas guru yang juga tidak
kalah pentingnya. Pada bidang ini guru mempunyai tugas mendidik dan
mengajar masyarakat untuk menjadi warga Negara Indonesia yang baik
(yaitu yang bermoral Pancasila). Memang tidak dapat dipungkiri bila guru
mendidik anak didik sama halnya guru juga bertugas mencerdaskan
bangsa secara keseluruhan.
Bila dipahami, maka tugas guru tidak hanya sebatas dinding sekolah,
tetapi juga sebagai penghubung antara sekolah dan masyarakat. Secara
singkat tugas guru dapat digambarkan melalui bagan berikut.
65
Gambar 2.5 Tugas-tugas Guru Menurut Uzer Usman (2008 : 8)
Tugas pokok guru di atas merupakan kerangka acuan bagi guru dalam
melaksanakan proses pembelajaran. Dalam tugas pokok tersebut
dikemukakan bahwa tugas guru bukan hanya sekedar melakukan
transformasi ilmu kepada siswa, akan tetapi lebih jauh dari itu guru juga
harus mengupayakan agar siswa dapat mengimplementasikan pengetahuan
yang diperolehnya dari proses pendidikan dalam kehidupannya.
TUGAS GURU
PROFESI
KEMANUSIAAN
KEMASYARAKATAN
MENDIDIK
MENGAJAR
MELATIH
Meneruskan dan mengembangkan nilai-nilai hidup
Meneruskan dan mengembangkan ilmu pengetahuan
dan teknologi
Mengembangkan keterampilan dan
penerapannya
Menjadi orang tua
Auto Pengertian (homoludens, homopuber, dan homosapiens)
Transformasi diri
Auto Identifikasi
Mendidik dan mengajar masyarakat untuk menjadi warga Negara yang bermoral Pancasila
Mencerdaskan Bangsa Indonesia
66
8. Profesionalisme Guru
Berdasarkan penelusuran mengenai konsep profesionalisme di atas,
pada dasarnya penulis lebih tertarik kepada definisi profesionalisme yang
diungkapkan oleh David H. Maister bahwa profesionalisme adalah
terutama masalah sikap, bukan seperangkat kompetensi. Seorang
professional sejati adalah seorang teknisi yang peduli (Maister 1998 : 23).
Sementara itu pendefinisian mengenai guru dan hal-hal yang
berkenaan dengannya, pada kenyataannya sudah cukup banyak teori dan
para ahli yang membahas mengenai hal ini, namun khusus dalam
penelitian ini, penulis lebih mengacu pada pengertian yang diungkapkan
oleh Moh. Fakry Gaffar (2007: 2) yang menyatakan bahwa: “guru adalah
jabatan profesional yang memiliki tugas pokok yang amat menentukan
dalam proses pertumbuhan dan perkembangan peserta didik”. Hal ini
menunjukan bahwa guru merupakan sebuah profesi yang menuntut adanya
keahlian khusus di bidangnya (sebagai guru).
Mengacu pada teori di atas, hakikatnya guru adalah dia yang memiliki
kompetensi keguruan, guru adalah dia yang memahami tugas dan fungsi
profesinya, guru adalah dia yang memahami secara mendalam hakikat
profesi dan kode etik keguruan. Seseorang dikatakan sebagai guru apabila
dia bekerja sebagai tenaga pengajar di lembaga pendidikan tertentu secara
professional dan memiliki kompetensi sebagai seorang guru. Namun guru
belum bisa dikatakan kompeten dan profesional apabila dia tidak memiliki
67
dan menunjukkan sikap kepedulian terhadap perkembangan dan
pertumbuhan peserta didik dan terhadap profesi keguruannya.
Dari pemaparan teori di atas, yang dimaksud dengan profesionalisme
guru adalah sikap yang dimunculkan oleh seorang guru ketika
menjalankan aktivitas kerjanya sebagai pendidik, pengajar dan pelayan
pendidikan bagi peserta didik.
C. KONSEP PENGARUH CAPACITY BUILDING TERHADAP PROFESIONALISME GURU
Tugas pokok guru merupakan kerangka acuan bagi guru dalam
melaksanakan proses pembelajaran, Moh. Fakry Gaffar (2007 : 2-3)
menguraikan tugas pokok guru adalah sebagai berikut:
1. Membantu peserta didik untuk mengembangkan seluruh potensinya sehingga tumbuh dan berkembang dengan total dan sempurna.
2. Membantu peserta didik agar potensi intelektual, emosional dan spiritualnya tumbuh berkembang secara seimbang dan harmonis serta sempurna.
3. Mentransformasikan berbagai ilmu pengetahuan kepada peserta didik dengan menggunakan pendekatan dan metodologi yang penuh kreatifitas dalam proses belajar mengajar, sehinga khasanah ilmu pengetahuan dan kreatifitas peserta didik tumbuh dan berkembang pula.
4. Menanamkan nilai-nilai positif yang diperlukan dalam hidup ke dalam diri peserta didik sehingga melekat dan tumbuh menjadi satu dengan prilaku peserta didik.
5. Membangun watak dan kepribadian peserta didik menjadi orang yang memiliki watak dan kepribadian utuh dan sempurna.
6. Membantu mengembangkan kemampuan peserta didik dalam menjalankan fungsinya sebagai makhluk sosial yang beradab dan bermartabat.
7. Menumbuhkembangkan dalam diri peserta didik nilai-nilai perilaku mulia.
8. Memberikan tuntunan kepada peserta didik untuk mengenal mana perbuatan yang baik dan yang tidak, mana perbuatan yang dilarang mana pula yang tidak dilarang, mana perbuatan yang salah dan mana
68
pula yang benar yang perlu dalam kehidupan yang penuh kedamaian dan ketentraman.
Mengacu pada tugas pokok guru diatas, dapat disimpulkan bahwa
tugas yang dibebankan kepada guru semakin hari semakin berat,
khususnya bagi guru-guru di sekolah menengah kejuruan yang sedang
berada pada jalur RSBI (Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional) dan
sudah mengimplementasikan standar mutu ISO 9001 versi 2000 yang
tentunya mengarah pada penjaminan mutu pendidikan.
Menyadari semakin beratnya tanggung jawab yang diamanahkan
kepada guru saat ini, maka untuk mewujudkan semua itu guru dituntut
untuk menampilkan sikap profesional, komitmen yang tinggi terhadap
karir keguruan, rasa bangga menyandang jabatan seorang guru dan
dedikasi terhadap kepentingan peserta didik. Hal ini harus tertanam dan
melekat pada diri setiap guru, sejalan dengan pendapat tersebut, David. H.
Maister mengisyaratkan profesionalisme pada level individu meliputi 4
(empat) dimensi yaitu :
1. Kebanggaan pada pekerjaan 2. Komitmen pada kualitas 3. Dedikasi pada kepentingan klien 4. Keinginan tulus untuk membantu (Maister, 1998 : 25)
Disisi lain David H. Maister pun mendefinisikan profesionalisme
adalah terutama masalah sikap, bukan seperangkat kompetensi. Seorang
professional sejati adalah seorang teknisi yang peduli.
Berdasarkan pendapat di atas, sekiranya kita sepakat bahwa untuk
mewujudkan pendidikan yang berkualitas yang mampu berbicara baik di
69
level nasional maupun internasional, dibutuhkan para pendidik atau guru
yang benar-benar ahli di bidangnya dan disamping kompetensi, guru pun
dituntut untuk memiliki jiwa profesional yang tinggi yang mau peduli dan
mengabdi untuk kepentingan peserta didik khususnya dan kemajuan
pendidikan umumnya serta memiliki loyalitas terhadap sekolah yang
sering kita sebut profesionalisme. Sejalan dengan pernyataan di atas, Hall.
R (Syahrir : 2002 : 7). Mengembangkan konsep profesionalisme dari level
individu meliputi lima dimensi, yaitu :
1. Pengabdian pada profesi (dedication), yang tercermin dalam dedikasi profesional melalui penggunaan pengetahuan dan kecakapan yang dimiliki. Sikap ini adalah ekspresi dari penyerahan diri secara total terhadap pekerjaan. Pekerjaan didefinisikan sebagai tujuan hidup dan bukan sekedar sebagai alat untuk mencapai tujuan. Penyerahan diri secara total merupakan komitmen pribadi dan sebagai kompensasi utama yang diharapkan adalah kepuasan rohani dan kemudian kepuasan material.
2. Kewajiban Sosial (Social obligation), yaitu pandangan tentang pentingnya paran profesi serta manfaat yang diperoleh baik oleh masyarakat atau pun oleh profesional karena adanya pekerjaan tersebut.
3. Kemandirian (Autonomy demands), yaitu suatu pandangan bahwa seorang professional harus mampu membuat keputusan sendiri tanpa ada tekanan dari pihak yang lain.
4. Keyakinan terhadap peraturan profesi (belief in self-regulation), yaitu suatu keyakinan bahwa yang berwenang untuk menilai pekerjaan profesional adalah rekan sesama profesi, dan bukan pihak luar yang tidak mempunyai kompetensi dalam bidang ilmu dan pekerjaan mereka.
5. Hubungan dengan sesama profesi (Professional community affiliation), berarti menggunakan ikatan profesi sebagai acuan, termasuk organisasi formal dan kelompok-kelompok kolega informal sebagai sumber ide utama pekerjaan. Melalui ikatan profesi ini para profesional membangun kesadaran profesinya.
Mengacu pada dimensi profesionalisme di atas, profesionalisme guru
yang akan diukur dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
70
1. Pengabdian guru, hal yang diukur dari pengabdian guru dalam
penelitian ini adalah sikap yang dimunculkan oleh guru ketika
menjalankan tangung jawab dan tugas profesinya yang dilandasi oleh
nilai-nilai loyalitas.
2. Kewajiban sosial, hal yang diukur dari kewajiban sosial pada guru
dalam penelitian ini adalah sikap guru dalam memegang amanah yang
diberikan oleh konstituen selaku pendidik dilandasi oleh nilai-nilai
kemanusiaan.
3. Kemandirian guru, hal yang diukur dari kemandirian guru dalam
penelitian ini adalah sikap guru dalam mengambil keputusan atas
tindakan-tindakan yang dilakukannya tanpa ada campur tangan dan
intervensi dari pihak mana pun dan guru mampu
mempertanggungjawabkannya.
4. Keyakinan terhadap profesi keguruan, hal yang diukur dari keyakinan
terhadap profesinya dalam penelitian ini adalah rasa bangga guru
terhadap profesi guru yang disandangnnya.
5. Hubungan dengan sesama profesi, hal yang diukur dari hubungan guru
dengan sesama profesinya dalam penelitian ini adalah sikap yang
dimunculkan guru dalam menjalani aktivitas kerjanya dengan kode
etik keguruan sebagai acuan guru dalam berperilaku.
Berangkat dari pemaparan mengenai aspek-aspek yang diukur untuk
menilai profesionalisme guru, dapat kita sepakati bahwa profesionalisme
guru merupakan sikap dan nilai-nilai yang dimunculkan oleh guru ketika
71
menjalankan tugas dan tanggung jawab profesinya yang diwujudkan
melalui kelima aspek di atas. Namun apabila kita cermati, sikap guru
tersebut tidak serta merta muncul dengan sendirinya, tentu ada aktivitas-
aktivitas yang membangunnya. Bicara mengenai sikap, pada dasarnya
sikap lebih merupakan proses kesadaran yang sifatnya individual. Artinya
proses ini terjadi secara subjektif dan unik pada diri setiap individu.
Keunikan ini dapat terjadi oleh adanya perbedaan individual yang berasal
dari nilai-nilai dan norma yang ingin dipertahankan dan dikelola oleh
Individu. Jadi pada dasarnya sikap yang dimunculkan oleh setiap individu
berawal dari kegiatannya untuk selalu belajar terhadap pekerjaan, artinya
setiap individu akan selalu dihadapkan pada peroalan-persoalan yang
muncul dalam pekerjaan sebagai akibat dari kebiasaan.
Dari pemaparan di atas, pada intinya khusus dalam penelitian ini,
profesionalisme guru dapat terdeteksi melalui sikap guru terhadap
profesinya sebagai pendidik yang diwujudkan melalui pengabdian,
kewajiban sosialnya, kemandirian, keyakinan terhadap profesi dan
hubungan dengan sesama profesi. Sementara itu sikap yang ditunjukkan
oleh guru tersebut dapat dibangun memalui kesadaran atau inisiatif setiap
guru untuk selalu belajar dari pekerjaannya dan membelajarkan diri
terhadap perubahan yang terjadi di lingkungan kerjanya dengan
memaksimalkan ide-ide yang dimilikinya atau dengan kata lain guru harus
memiliki inisitatif untuk mengembangkan kapasitasnya sebagai pendidik
dan pengajar, dengan kata lain modal pembentukan profesionalisme guru
72
adalah pengembangan kapasitas diri yang berkelanjutan, seperti yang
diungkapkan oleh Terrence Morrison (2001 : 4), bahwa ‘…..Capacity
building which links ideas to action…..’ dari pernyataan tersebut, dapat
diartikan bahwa pengembangan kapasitas menghubungkan ide terhadap
sikap. Sehingga dapat kita sepakati bahwa profesionalisme guru terbentuk
oleh pengembangan kapasitas diri berkelanjutan.
Mengacu pada uraian di tersebut, dalam membentuk profesionalisme
guru dapat dilakukan melalui pendekatan capacity building atau
pengembangan kapasitas. Capacity building yang dimaksud merupakan
proses pengembangan diri yang dilakukan oleh guru secara terus menerus
dengan tujuan meningkatkan kualitas dirinya melalui inisiatifnya untuk
selalu membelajarkan dirinya. Sejalan dengan ini, T. Nill dan C Mindrum
(2001) menyatakan capacity building merupakan istilah yang digunakan
untuk membangun suatu masyarakat melalui perubahan pada dirinya,
misalnya peningkatan ilmu pengetahuan, skill, pengorganisasian program
dan lain-lain. Capacity Building merupakan sebuah model proses
perubahan, gerak perkembangan dan perubahan yang bertingkat secara
individu, kelompok, organisasi maupun perubahan pada pembentukan
frame work sebuah sistem kearah yang lebih baik.
Sedangkan Morrison (2001 : 1) menyatakan :
“Capacity building can best be seen as a process to induce, or set in motion, multi-level change in individuals, groups, organisations and systems. Ideally, capacity building seeks to strengthen the self-adaptive capabilities of people and organisations, in order that they can respond to a changing environment, on an on-going basis. Capacity building is a process and not a product. In particular, capacity
73
building is a multi-level learning process, which links ideas to action. Capacity building, in this view, can be defined as actionable learning”.
Dengan pernyataan di atas, Morrison berusaha mendefinisikan
capacity building atau pengembangan kapasitas sebagai Actionable
Learning. Sebuah proses yang menyebabkan atau menggerakkan
perubahan multi-tingkatan pada individu, grup, organisasi dan sistem.
Idealnya, pengembangan kapasitas berupaya memperkuat kemampuan
adaptasi diri dan organisasi, dengan tujuan agar mereka dapat merespon
perubahan lingkungan di atas situasi yang tengah berlangsung. Dan dalam
pernyataan tersebut terdapat kata kunci definitif tentang pengembangan
kapasitas, yakni :
1. Pengembangan kapasitas bukanlah produk, melainkan sebuah proses. 2. Pengembangan kapasitas adalah proses pembelajaran multi-tingkatan
meliputi individu, grup, organisasi dan sistem. 3. Pengembangan kapasitas menghubungkan ide terhadap sikap. 4. Pengembangan kapasitas dapat disebut sebagai actionabel learning ;
dimana pembangunan kapasitas meliputi sejumlah proses-proses pembelajaran yang saling berkaitan, akumulasi benturan yang menambah prospek untuk individu dan organisasi agar secara terus menerus beradaptasi atas perubahan.
Berdasarkan pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa capacity
building merupakan sebuah proses dalam meningkatkan kinerja guru yang
disesuaikan dengan kemampuan dan potensi yang dimiliki oleh guru untuk
melaksanakan tugasnya sebagai pendidik dan pengajar secara optimal,
efektif, efisien dan berkesinambungan dengan melaksanakan kegiatan
pembelajaran. Dalam hal ini mengembangkan kapasitas sebagai pendidik
dan pengajar peserta didik dalam kehidupan di sekolah menengah
74
kejuruan, dan melakukan penulisan seperti penulisan tindakan kelas serta
perilaku-perilaku profesional yang berkontribusi pada masyarakat adalah
sebuah keharusan bagi setiap pengembangan kapasitas guru. Adapun
pihak yang perlu membangun kapasitas guru itu tentunya adalah guru itu
sendiri dan penanggungjawab teknis pada lembaga atau sekolah.
Sedangkan, fungsi peserta didik adalah sebagai stakeholder pendidikan
yang berposisi sebagai pengguna layanan dari sekolah.
Secara konstitusional di Indonesia, menurut Undang-undang Nomor 14
tahun 2005 secara implisit dinyatakan bahwa kapasitas guru adalah
pendidik professional dengan tugas utama mendidik, mengajar,
membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta
didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan
dasar, dan pendidikan menengah..
Capacity building guru bukanlah proyek jangka pendek, melainkan
suatu proses pembelajaran jangka panjang yang dapat diukur keberhasilan
proses dan hasilnya dalam jangka waktu tertentu. Misalnya, ketika guru
selalu mengembangkan dan menambah pembelakalan diri yang dilakukan
secara terus-menerus dengan pengetahuan dan keterampilan yang
memadai dan relevan dalam meningkatkan kinerjanya. Mendidik dan
mengajar peserta didik merupakan kewajiban setiap guru, maka di sinilah
pengembangan kapasitas sedang berlangsung dan dapat diukur
eksistensinya, termasuk efektifitas dan efisiensi dalam membelajarkan
peserta didik dan pada hal-hal tertentu. Dan pada sesi tersebut
75
pengembangan kapasitas guru sedang berlangsung dan dapat diukur.
Apalagi, jika dalam hal ini dapat ditemukan indikasi berhasilnya proses
motivasi yang berkelanjutan dari diri sendiri, sesama guru, dan dari kepala
sekolah.
Membangun kapasitas guru untuk menjalankan tugas-tugas yang
spesifik, secara teori akan berhubungan dengan adanya pengembangan
kapasitas pada dimensi organisasi dan sistem pendidikan yang
melingkupinya, serta pada peserta didik, komunitas dan masyarakat. Oleh
karenanya, pengembangan kapasitas guru termasuk dalam multi-dimensi
pengembangan kapasitas sekolah.
Pengembangan kapasitas guru merupakan upaya guru dalam
memenuhi haknya. Seperti hak mendapatkan gaji dan asuransi yang layak
agar kinerjanya sukses di atas landasan kapasitas yang terus
dikembangkan. Tanpa pemenuhan hak guru, maka pengembangan
kapasitas akan sulit bergerak. Pasti akan selalu ada hambatan dalam
pengembangan kapasitas guru apabila hak guru dilanggar.
Aktivitas pengembangan kapasitas guru di lingkungan sekolah
menengah kejuruan dapat dituangkan dalam bentuk pelatihan,
keikutsertaan dalam seminar dan lokakarya, pemberian kesempatan
melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi lagi, fasilitasi
bahan-bahan dan sumber pendukung proses belajar mengajar yang
diamanahkan kepadanya seperti buku-buku sumber untuk mata pelajaran
76
yang ditanganinya, proyektor dan teknologi audio-visual penunjang
kegiatan pembelajaran dan lainnya.
Faktor-faktor eksternal di luar sekolah, seperti, lingkungan hidup,
politik, ekonomi, peraturan perundang-undangan, kebudayaan dan lainnya
akan selalu mempengaruhi guru agar kapasitasnya meningkat yang
seterusnya akan terakumulasi membentuk pola pikir dan persepsi yang
dijadikan acuan oleh guru dalam bersikap dan berperilaku sebagai
pendidik dan pengajar. Hal ini disebut dengan profesionalisme guru.
Jadi, kesimpulan akhir dari seluruh pemaparan di atas adalah adanya
pengaruh yang signifikan dari capacity building terhadap profesionalisme
guru hal ini dikarenakan bahwa aktivitas-aktivitas yang membangun
terbentuknya sikap (profesionalisme) guru adalah aktivitas belajar yang
dilakukan oleh setiap individu (guru) sebagai wujud pengembangan
kapasitasnya, sehingga fenomena ini dapat diukur keberadaannya. Berikut
gambaran mengenai arah dan letak pengaruh capacity building terhadap
profesionalisme guru.
77
Gambar 2.6 Skema Pengaruh Capacity Building Terhadap Profesionalisme Guru
Good Governance In Education Sector
Kepuasan Masyarakat
LEARNING ORGANIZATIONS
Layanan penyelenggaraan pendidikan yang
bermutu Nilai-nilai
Budaya Mutu Kinerja Organisasi
Kepemimpinan Struktur Organisasi
Komunikasi Org Sumber Daya Org
Profesionalisme Personil
Capacity Building
LEARNING TO SELF
Keterampilan, Potensi diri,
Ilmu, Teori,
Pengetahuan, dsb
Peraturan Pemerintah Otonomi Daerah
Desentralisasi Pendidikan
Peraturan Daerah Tentang Pendidikan
Dinas Pendidikan
Dukungan dan kepercayaan masyarakat
Tuntutan masyarakat
Jaminan masa depan seperti memperoleh pekerjaan,
perkembangan intelektual/kedewasaan,
perkembangan akhlak/spiritual peserta didik, dsb
Pemerataan Pendidikan
PENCITERAAN PUBLIK
LEARNING
LEARNING LEARNING
SEKOLAH
GURU