bab ii tinjauan pustaka capacity...

56
22 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. KONSEP CAPACITY BUILDING 1. Pengertian Capacity Building Penelusuran definisi capacity building memiliki variasi antar satu ahli dengan ahli lainnya. Hal ini dikarenakan capacity building merupakan kajian yang multi dimensi, dapat dilihat dari berbagai sisi, sehingga pendefinisian yang sama masih sulit didapat. Secara umum konsep capacity building dapat dimaknai sebagai proses membangun kapasitas individu, kelompok atau organisasi. Capacity building dapat juga diartikan sebagai upaya memperkuat kapasitas individu, kelompok atau organisasi yang dicerminkan melalui pengembangan kemampuan, keterampilan, potensi dan bakat serta penguasaan kompetensi-kompetensi sehingga individu, kelompok atau organisasi dapat bertahan dan mampu mengatasi tantangan perubahan yang terjadi secara cepat dan tak terduga. Capacity building dapat dimaknai sebagai proses kreatif dalam mengembangkan kemampuan yang sudah ada. Capacity building dapat pula dimaknai sebagai proses kreatif dalam membangun kapasitas yang belum nampak. T. Nill dan C Mindrum (2001) menyatakan capacity building merupakan istilah yang digunakan untuk membangun suatu masyarakat melalui perubahan pada dirinya, misalnya peningkatan ilmu pengetahuan, skill, pengorganisasian program dan lain-lain. Capacity Building

Upload: letu

Post on 08-Mar-2019

217 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB II TINJAUAN PUSTAKA CAPACITY BUILDINGa-research.upi.edu/operator/upload/s_adp_053617_chapter2(1).pdf · membangun struktur budaya, sosial, politik, ekonomi dan SDM sehingga

22

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. KONSEP CAPACITY BUILDING

1. Pengertian Capacity Building

Penelusuran definisi capacity building memiliki variasi antar satu ahli

dengan ahli lainnya. Hal ini dikarenakan capacity building merupakan

kajian yang multi dimensi, dapat dilihat dari berbagai sisi, sehingga

pendefinisian yang sama masih sulit didapat. Secara umum konsep

capacity building dapat dimaknai sebagai proses membangun kapasitas

individu, kelompok atau organisasi. Capacity building dapat juga diartikan

sebagai upaya memperkuat kapasitas individu, kelompok atau organisasi

yang dicerminkan melalui pengembangan kemampuan, keterampilan,

potensi dan bakat serta penguasaan kompetensi-kompetensi sehingga

individu, kelompok atau organisasi dapat bertahan dan mampu mengatasi

tantangan perubahan yang terjadi secara cepat dan tak terduga. Capacity

building dapat dimaknai sebagai proses kreatif dalam mengembangkan

kemampuan yang sudah ada. Capacity building dapat pula dimaknai

sebagai proses kreatif dalam membangun kapasitas yang belum nampak.

T. Nill dan C Mindrum (2001) menyatakan capacity building

merupakan istilah yang digunakan untuk membangun suatu masyarakat

melalui perubahan pada dirinya, misalnya peningkatan ilmu pengetahuan,

skill, pengorganisasian program dan lain-lain. Capacity Building

Page 2: BAB II TINJAUAN PUSTAKA CAPACITY BUILDINGa-research.upi.edu/operator/upload/s_adp_053617_chapter2(1).pdf · membangun struktur budaya, sosial, politik, ekonomi dan SDM sehingga

23

merupakan sebuah model proses perubahan, gerak perkembangan dan

perubahan yang bertingkat secara individu, kelompok, organisasi maupun

perubahan pada pembentukan frame work sebuah sistem kearah yang lebih

baik.

Menurut Ann Philbin, beliau mendifinisikan capacity building sebagai

berikut :

Capacity building is defined as the "process of developing and strengthening the skills, instincts, abilities, processes and resources that organizations and communities need to survive, adapt, and thrive in the fast-changing world." Philbin (1996).

Dengan pernyataan di atas, Ann Philbin berusaha mendefinisikan

Capacity Building atau pengembangan kapasitas sebagai proses

mengembangkan dan meningkatkan keterampilan, bakat, kemampuan

sumber daya organisasi sebagai kebutuhan untuk bertahan, menyesuaikan

diri, dan menumbuhkan organisasi di era perubahan yang cepat.

Sementara itu, Merilee S. Grindle mendefinisikan capacity building

sebagai upaya yang dimaksudkan untuk mengembangkan suatu ragam

strategi meningkatkan efficiency, effectiveness, dan responsiveness kinerja.

Yakni efficiency, dalam hal waktu (time) dan sumber daya (resources)

yang dibutuhkan guna mencapai suatu outcome; effectiveness berupa

kepantasan usaha yang dilakukan demi hasil yang diinginkan; dan

responsiveness yakni bagaimana mensinkronkan antara kebutuhan dan

kemampuan untuk maksud tersebut., sebagaimana dikemukakan bahwa

“Capacity building is intended to encompass a variety of strategies that

Page 3: BAB II TINJAUAN PUSTAKA CAPACITY BUILDINGa-research.upi.edu/operator/upload/s_adp_053617_chapter2(1).pdf · membangun struktur budaya, sosial, politik, ekonomi dan SDM sehingga

24

have to do with increasing the efficiency, effectiveness, and responsiveness

of government performance.” Grindle, M.S (Keban, 2000 : 7)

Dalam pengertian yang lain, Valentine Udoh James mencoba

memberikan pengertian capacity building sebagai berikut :

Capacity Building as attemp to enhance the ability of people of developing nations to develop esssential politics and management skills necessary to build their nation’s human, economic, social political and cultural structures so as to their proper place in global affairs” James, V.U. (1998 : 25)

Dengan pernyataan di atas, Valentine Udoh James mendefinisikan

capacity building sebagai upaya untuk meningkatkan kemampuan rakyat

negara sedang berkembang untuk mengembangkan keterampilan

manajemen dan kebijakan yang esensial yang dibutuhkan untuk

membangun struktur budaya, sosial, politik, ekonomi dan SDM sehingga

mereka eksis dalam percaturan global.

Capacity building didefinisikan oleh Brown (2001 : 25) sebagai suatu

proses yang dapat meningkatkan kemampuan seseorang, suatu organisasi

atau suatu sistem untuk mencapai tujuan-tujuan yang dicita-citakan.

Milen (2001 : 142) melihat capacity building sebagai tugas khusus,

karena tugas khusus tersebut berhubungan dengan faktor-faktor dalam

suatu organisasi atau sistem tertentu pada suatu waktu tertentu.

Pengembangan kapasitas dapat juga didefinisikan sebagai sebuah proses

untuk :

a. Meningkatkan kemampuan individu, kelompok-kelompok, organisasi-organisasi, dan juga masyarakat untuk menganalisa lingkungan mereka,

Page 4: BAB II TINJAUAN PUSTAKA CAPACITY BUILDINGa-research.upi.edu/operator/upload/s_adp_053617_chapter2(1).pdf · membangun struktur budaya, sosial, politik, ekonomi dan SDM sehingga

25

b. Mengenali masalah-masalah, kepentingan-kepentingan, dan kesempatan-kesempatan,

c. Merumuskan strategi-strategi untuk menyelesaikan masalah-masalah dan kepentingan-kepentingan tersebut di atas serta untuk meraih kesempatan-kesempatan yang relevan,

d. Merancang sebuah rencana untuk program-program, dan e. Memanfaatkan secara efektif sumber-sumber dasar yang mendukung

pelaksanaannya, memantau dan mengevaluasi rencana program-program, serta

f. Menggunakan arus balik untuk mempelajari pelajaran-pelajaran

Pengertian lain mengenai capacity building juga dikemukakan oleh

Katty Sensions (Soeprapto, Riyadi, 2006 : 11) yang memberikan definisi :

“capacity building usually is understood to mean helping governments, communities and individuals to develop the skills and expertise needed to achieve their goals. Capacity building program, often designed to strengthen participant’s abilities to evaluate their policy choices and implement decisions effectively, may include education and training, institutional and legal reforms, as well as scientific, technological and financial assistance”

Dengan pernyataan di atas, capacity building umumnya dipahami

sebagai upaya membantu pemerintah, masyarakat ataupun individu dalam

mengembangkan keahlian dan keterampilan yang dibutuhkan untuk

mewujudkan tujuan-tujuan mereka. Program pengembangan kapasitas

seringkali didesain untuk memperkuat kemampuan dalam mengevaluasi

pilihan-pilihan kebijakan mereka dan menjalankan keputusan-

keputusannya secara efektif. Pengembangan kapasitas bisa meliputi

pendidikan dan pelatihan, reformasi peraturan dan kelembagaan, dan juga

asistensi finansial, teknologi dan keilmuwan.

Sedangkan Morrison (2001 : 1) menyatakan :

“Capacity building can best be seen as a process to induce, or set in motion, multi-level change in individuals, groups, organisations and systems. Ideally, capacity building seeks to strengthen the self-adaptive

Page 5: BAB II TINJAUAN PUSTAKA CAPACITY BUILDINGa-research.upi.edu/operator/upload/s_adp_053617_chapter2(1).pdf · membangun struktur budaya, sosial, politik, ekonomi dan SDM sehingga

26

capabilities of people and organisations, in order that they can respond to a changing environment, on an on-going basis. Capacity building is a process and not a product. In particular, capacity building is a multi-level learning process, which links ideas to action. Capacity building, in this view, can be defined as actionable learning”.

Dengan pernyataan di atas, Morrison berusaha mendefinisikan

capacity building atau pengembangan kapasitas sebagai Actionable

Learning. Sebuah proses yang menyebabkan atau menggerakkan

perubahan multi-tingkatan pada individu, grup, organisasi dan sistem.

Idealnya, pengembangan kapasitas berupaya memperkuat kemampuan

adaptasi diri dan organisasi, dengan tujuan agar mereka dapat merespon

perubahan lingkungan di atas situasi yang tengah berlangsung. Dan dalam

pernyataan tersebut terdapat kata kunci definitif tentang pengembangan

kapasitas, yakni :

a. Pengembangan kapasitas bukanlah produk, melainkan sebuah proses. b. Pengembangan kapasitas adalah proses pembelajaran multi-tingkatan

meliputi individu, grup, organisasi dan sistem. c. Pengembangan kapasitas menghubungkan ide terhadap sikap. d. Pengembangan kapasitas dapat disebut sebagai actionabel learning ;

dimana pembangunan kapasitas meliputi sejumlah proses-proses pembelajaran yang saling berkaitan, akumulasi benturan yang menambah prospek untuk individu dan organisasi agar secara terus menerus beradaptasi atas perubahan. Proses ini merupakan kerangka “5Cs” (Lima ‘C’).

Morrison pun menggambarkan kerangka pengembangan kapasitas

sebagai Actionabel Learning dalam gambar berikut:

Page 6: BAB II TINJAUAN PUSTAKA CAPACITY BUILDINGa-research.upi.edu/operator/upload/s_adp_053617_chapter2(1).pdf · membangun struktur budaya, sosial, politik, ekonomi dan SDM sehingga

27

Gambar 2.1

Capacity Building as Actionabel Learning for Change. Terrence Morrison (2000 : 5)

Change goals

Establish clear goals for and indicators of

change

Change demands

Assess the knowledge, skill and

organizational demand implied change

Change readiness

Assess current state of readiness to meet

the knowledge and skill demand of

Change gaps

Determine knowledge, structural and skill

gaps between current end goal state

Actionabel Learning

Strategies

Conceptualization

Knowning that

Capacity

Can do

Consideration

Knowing Why

Concern

Knowning self

Capability

Knowning how

The

5Cs

Change monitoring

Monitor movement toward or away

from change goals

Re-changing

Anticipate and be prepared to

change the change stategies

Page 7: BAB II TINJAUAN PUSTAKA CAPACITY BUILDINGa-research.upi.edu/operator/upload/s_adp_053617_chapter2(1).pdf · membangun struktur budaya, sosial, politik, ekonomi dan SDM sehingga

28

2. Dimensi dan Tingkatan Capacity Building

Seperti yang telah diuraikan di atas, konsep “Capacity building”

secara umum merupakan serangkaian strategi yang ditujukan untuk

meningkatkan efisiensi, efektivitas, dan responsivitas dari kinerja individu,

kelompok atau organisasi, dengan memusatkan perhatian kepada dimensi,

Keban (2000 : 7) mengemukakan bahwa dimensi pengembangan kapasitas

terdiri atas : (1) pengembangan sumberdaya manusia; (2) penguatan

organisasi; dan (3) reformasi kelembagaan.

Dalam konteks pengembangan sumberdaya manusia, perhatian

diberikan kepada pengadaan atau penyediaan personel yang profesional

dan teknis. Kegiatan yang dilakukan antara lain training, pemberian

gaji/upah, pengaturan kondisi dan lingkungan kerja dan sistem rekruitmen

yang tepat. Dalam kaitannya dengan penguatan organisasi, pusat perhatian

ditujukan kepada sistem manajemen untuk memperbaiki kinerja dari

fungsi-fungsi dan tugas-tugas yang ada dan pengaturan struktur mikro.

Aktivitas yang harus dilakukan adalah menata sistem insentif,

pemanfaatan personel yang ada, kepemimpinan, komunikasi, dan struktur

manajerial. Dan berkenaan dengan reformasi kelembagaan, perlu diberi

perhatian terhadap perubahan sistem dan institusi-institusi yang ada, serta

pengaruh struktur makro. Dalam hal ini aktivitas yang perlu dilakukan

adalah melakukan perubahan “aturan main” dari sistem ekonomi dan

politik yang ada, perubahan kebijakan dan aturan hukum, serta reformasi

Page 8: BAB II TINJAUAN PUSTAKA CAPACITY BUILDINGa-research.upi.edu/operator/upload/s_adp_053617_chapter2(1).pdf · membangun struktur budaya, sosial, politik, ekonomi dan SDM sehingga

29

sistem kelembagaan yang dapat mendorong pasar dan berkembangnya

masyarakat madani.

Dimensi peningkatan kemampuan ini juga diungkapkan oleh beberapa

pengarang lain. Menurut A. Fiszbein (Keban, 2000 : 7), peningkatan

kemampuan difokuskan pada: (1) kemampuan tenaga kerja (labor); (2)

kemampuan teknologi yang diwujudkan dalam bentuk organisasi atau

kelembagaan; dan (3) kemampuan “capital” yang diwujudkan dalam

bentuk dukungan sumberdaya, sarana, dan prasarana. Sementara itu, D.

Eade (Soeprapto, 2006 : 12) merumuskan peningkatan kemampuan dalam

tiga dimensi, yaitu: (1) individu; (2) organisasi; dan (3) network.

Nampaknya pengembangan dimensi individu dan organisasi merupakan

kunci utama atau titik strategis bagi perbaikan kinerja (Mentz, 1997),

tetapi masuknya dimensi network ini sangat penting karena melalui

dimensi ini individu dan organisasi dapat belajar mengembangkan diri dan

berinteraksi dengan lingkungannya.

J.S. Edralin (Soeprapto, 2006 : 12) juga mengumpulkan berbagai

pendapat yang menggambarkan pemahaman mereka tentang “capacity

building”. Misalnya, World Bank memfokuskan peningkatan kemampuan

kepada: (1) pengembangan sumberdaya manusia, khususnya training,

rekruitmen, pemanfaatan dan pemberhentian tenaga kerja profesional,

manajerial dan teknis; (2) organisasi, yaitu pengaturan struktur, proses,

sumberdaya, dan gaya manajemen; (3) jaringan kerja interaksi organisasi,

yaitu koordinasi kegiatankegiatan organisasi, fungsi jaringan kerja, dan

Page 9: BAB II TINJAUAN PUSTAKA CAPACITY BUILDINGa-research.upi.edu/operator/upload/s_adp_053617_chapter2(1).pdf · membangun struktur budaya, sosial, politik, ekonomi dan SDM sehingga

30

interaksi formal dan informal; (4) lingkungan organisasi, yaitu aturan dan

perundang-undangan yang mengatur pelayanan publik, tanggung jawab

dan kekuasaan antara lembaga, kebijakan yang menghambat tugas-tugas

pembangunan, dan dukungan keuangan dan anggaran; dan (5) lingkungan

kegiatan yang luas, yaitu mencakup faktor politik, ekonomi, dan kondisi-

kondisi yang berpengaruh terhadap kinerja.

Sementara itu, UNDP (Soeprapto, 2006 : 13) memfokuskan pada tiga

dimensi yaitu: (1) tenaga kerja (dimensi sumberdaya manusia), yaitu

kualitas SDM dan cara SDM dimanfaatkan; (2) modal (dimensi phisik)

yaitu menyangkut peralatan, bahan-bahan yang diperlukan, dan gedung;

dan (3) teknologi yaitu organisasi dan gaya manajemen, fungsi

perencanaan, pembuatan keputusan, pengendalian dan evaluasi, serta

sistem informasi manajemen. Dan United Nations memusatkan

perhatiannya kepada: (1) mandat atau struktur legal; (2) struktur

kelembagaan; (3) pendekatan manajerial; (4) kemampuan organisasional

dan teknis; (5) kemampuan fiskal lokal; dan (6) kegiatan-kegiatan

program.

Semua dimensi peningkatan kemampuan diatas dikembangkan sebagai

strategi untuk mewujudkan nilai-nilai “good governance”. Pengembangan

sumberdaya manusia misalnya, dapat dilihat sebagai suatu strategi untuk

meningkatkan efisiensi dan efektivitas dan memelihara nilai-nilai moral

dan etos kerja. Pengembangan kelembagaan merupakan strategi penting

agar suatu lembaga pemerintahan mampu: (1) menyusun rencana strategis

Page 10: BAB II TINJAUAN PUSTAKA CAPACITY BUILDINGa-research.upi.edu/operator/upload/s_adp_053617_chapter2(1).pdf · membangun struktur budaya, sosial, politik, ekonomi dan SDM sehingga

31

ditujukan agar organisasi memiliki visi yang jelas; (2) memformulasikan

kebijakan dengan memperhatikan nilai efisiensi, efektivitas, transparansi,

responsivitas, keadilan, partisipasi, dan keberlanjutan; (3) mendesain

organisasi untuk menjamin efisiensi dan efektivitas, tingkat desentralisasi

dan otonomi yang lebih tepat, dan (4) melaksanakan tugas-tugas

manajerial agar lebih efisien, efektif, fleksibel, adaptif, dan lebih

berkembang. Dan pengembangan jaringan kerja, misalnya merupakan

strategi untuk meningkatkan kemampuan bekerja sama atau kolaborasi

dengan pihak-pihak luar dengan prinsip saling menguntungkan.

Bila dicermati berbagai pendapat diatas maka “capacity building”

sebenarnya berkenaan dengan strategi menata input dan proses dalam

mencapai output dan outcome, dan menata feedback untuk melakukan

perbaikan-perbaikan pada tahap berikutnya. Strategi menata input

berkenaan dengan kemampuan lembaga menyediakan berbagai jenis dan

jumlah serta kualitas sumberdaya manusia dan non manusia agar siap

untuk digunakan bila diperlukan. Strategi menata proses berkaitan dengan

kemampuan lembaga merancang, memproses dan mengembangkan

kebijakan, organisasi dan manajemen. Dan strategi menata feedback

berkenaan dengan kemampuan melakukan perbaikan secara

berkesinambungan dengan mempelajari hasil yang dicapai, kelemahan-

kelemahan input dan proses, dan mencoba melakukan tindakan perbaikan

secara nyata setelah melakukan berbagai penyesuaian dengan lingkungan.

Strategi-strategi tersebut harus dinilai secara cermat tingkat kelayakannya

Page 11: BAB II TINJAUAN PUSTAKA CAPACITY BUILDINGa-research.upi.edu/operator/upload/s_adp_053617_chapter2(1).pdf · membangun struktur budaya, sosial, politik, ekonomi dan SDM sehingga

32

pada bidang-bidang strategis yang menjadi prioritas utama kegiatan pada

saat sekarang.

Dari uraian di atas dapatlah dikemukakan bahwa capacity building

memiliki dimensi dan tingkatan sebagai berikut :

a. Tingkatan dan dimensi pengembangan kapasitas pada individu b. Tingkatan dan dimensi pengembangan kapasitas pada organisasi c. Tingkatan dan dimensi pengembangan kapasitas pada sistem

Berikut gambaran mengenai tingkatan dan dimensi pengembangan

kapasitas :

Gambar 2.2

Tingkatan Capacity Building Sumber : The Capacity Building For Local Government Toward Good

Governance Prof. Dr. H.R. Riyadi Soeprapto, MS

Dari gambar tersebut di atas dapatlah dikemukakan bahwa

pengembangan kapasitas harus dilaksanakan secara efektif dan

berkesinambungan pada 3 (tiga) tingkatan-tingkatan :

a. Tingkatan sistem, seperti kerangka kerja yang berhubungan dengan

pengaturan, kebijakan-kebijakan dan kondisi dasar yan mendukung

pencapaian obyektivitas kebijakan tertentu;

Tingkatan

Individual

Tingkatan

Organisasi

Tingkatan

Sistem

Pengetahuan, keterampilan,

kemampuan,

pengelompokkan kerja

Pengambilan keputusan

Sumber-sumber

Prosedur-prosedur

Struktur-struktur

Kerangka kerja formal yang

mendukung kebijakan-

kebijakan

Pengembangan

kapasitas

Page 12: BAB II TINJAUAN PUSTAKA CAPACITY BUILDINGa-research.upi.edu/operator/upload/s_adp_053617_chapter2(1).pdf · membangun struktur budaya, sosial, politik, ekonomi dan SDM sehingga

33

b. Tingkatan institusional atau keseluruhan satuan, contoh struktur

organisasi-organisasi, proses pengambilan keputusan di dalam

organisasi-organisasi, prosedur dan mekanisme-mekanisme pekerjaan,

pengaturan sarana dan prasarana, hubungan-hubungan dan jaringan-

jaringan organisasi;

c. Tingkatan individual, contohnya ketrampilan-keterampilan individu

dan persyaratan-persyaratan, pengetahuan, tingkah laku,

pengelompokan pekerjaan dan motivasi-motivasi dari pekerjaan orang-

orang dalam organisasi-organisasi.

Dari pemaparan mengenai dimensi pengembangan kapasitas di atas,

penulis dapat simpulkan sebagai berikut.

a. Tingkatan dan dimensi pengembangan kapasitas pada sistem

merupakan satu entitas yang terdiri dari seluruh komponen yang

berada di dalamnya. Komponen-komponen tersebut diantaranya

seperti kebijakan dan sumber daya manusia dan lainnya. Misalnya

pengembangan kapsitas diterapkan pada dimensi sistem dengan fokus

pada pembenahan kebijakan makro tentang undang-undang Guru dan

Dosen yang akan mempengaruhi semua elemen pendidikan di wilayah

nasional agar tercapai tujuan pendidikan yang bermutu.

b. Tingkatan dan dimensi pengembangan kapasitas pada kelembagaan

atau organisasi terdiri atas sumber daya organisasi, budaya organisasi,

ketatalaksanaan, struktur organisasi atau sistem pengambilan

keputusan dan lainnya. Misalnya pengembangan kapasitas

Page 13: BAB II TINJAUAN PUSTAKA CAPACITY BUILDINGa-research.upi.edu/operator/upload/s_adp_053617_chapter2(1).pdf · membangun struktur budaya, sosial, politik, ekonomi dan SDM sehingga

34

diaplikasikan pada dimensi organisasi dengan fokus pada pembenahan

budaya organisasi sekolah melalui kegiatan rapat atau diskusi

mengenai evaluasi kinerja organisasi sekolah dengan tujuan

menumbuhkembangkan budaya organisasi pembelajar (Learning

Organization).

c. Tingkatan dan dimensi pengembangan kapasitas pada individu internal

organisasi adalah segala kemampuan untuk melaksanakan tugas-tugas

dan fungsi-fungsi serta mewujudkan kinerja yang ditujukan untuk

mencapai tujuan organisasi seperti kemampuan berkomunikasi,

kemampuan bekerjasama, kemampuan memahami dan

mengimplementasikan kebijakan organisasi, kemampuan

menggunakan teknologi dan kemampuan-kemampuan lainnya.

Misalnya pada sektor pendidikan dimensi pengembangan kapasitas

guru yang kemudian diadakan suatu pendekatan untuk membina

kemampuan guru dalam mengembangkan potensinya ketika mengajar,

memberi bimbingan, melakukan penulisan-penulisan kelas dan

sebagainya yang akhirnya diharapkan dapat digunakan untuk

kepentingan peserta didik dan masyarakat.

3. Faktor-faktor yang mempengaruhi Capacity Building

Terdapat banyak faktor yang mempengaruhi penyelenggaraan maupun

kesuksesan program pengembangan kapasitas. Namun secara khusus

Soeprapto (2006 : 18) mengemukakan faktor-faktor signifikan yang

Page 14: BAB II TINJAUAN PUSTAKA CAPACITY BUILDINGa-research.upi.edu/operator/upload/s_adp_053617_chapter2(1).pdf · membangun struktur budaya, sosial, politik, ekonomi dan SDM sehingga

35

mempengaruhi pengembangan kapasitas meliputi 5 (lima) hal pokok yaitu,

komitmen bersama, kepemimpinan, reformasi peraturan, reformasi

kelembagaan, dan pengakuan tentang kekuatan dan kelemahan yang

dimiliki.

Pertama, komitmen bersama. Collective commitments dari seluruh

aktor yang terlibat dalam sebuah organisasi sangat menentukan sejauh

mana pengembangan kapasitas akan dilaksanakan ataupun disukseskan.

Komitmen bersama ini merupakan modal dasar yang harus terus menerus

ditumbuhkembangkan dan dipelihara secara baik oleh karena faktor ini

akan menjadi dasar dari seluruh rancangan kegiatan yang akan dilakukan

oleh sebuah organisasi. Tanpa adanya komitmen baik dari pimpinan

tingkat atas, menengah maupun bawah dan juga staff yang dimiliki,

sangatlah mustahil mengharapkan program pengembangan kapasitas bisa

berlangsung apalagi berhasil dengan baik.

Kedua, kepemimpinan. Faktor conducive leadership merupakan salah

satu hal yang paling mendasar dalam mempengaruhi inisiasi dan

kesuksesan program pengembangan kapasitas personal dalam

kelembagaan sebuah organisasi. Dalam konteks lingkungan organisasi

publik, harus terus menerus didorong sebuah mekanisme kepemimpinan

yang dinamis sebagaimana yang dilakukan oleh sektor swasta. Hal ini

karena tantangan ke depan yang semakin berat dan juga realitas

keterbatasan sumber daya yang dimiliki sektor publik. Kepemimpinan

kondusif yang memberikan kesempatan luas pada setiap elemen organisasi

Page 15: BAB II TINJAUAN PUSTAKA CAPACITY BUILDINGa-research.upi.edu/operator/upload/s_adp_053617_chapter2(1).pdf · membangun struktur budaya, sosial, politik, ekonomi dan SDM sehingga

36

dalam menyelenggarakan pengembangan kapasitas merupakan sebuah

modal dasar dalam menentukan efektivitas kapasitas kelembagaan menuju

realisasi tujuan organisasi yang diinginkan.

Ketiga, reformasi peraturan. Kontekstualitas politik pemerintahan

daerah di Indonesia serta budaya pegawai pemerintah daerah yang selalu

berlindung pada peraturan yang ada serta lain-lain faktor legal-formal-

prosedural merupakan hambatan yang paling serius dalam kesuksesan

program pengembangan kapasitas. Oleh karena itulah, sebagai sebuah

bagian dari implementasi program yang sangat dipengaruhi oleh faktor

kepemimpinan maka reformasi (atau dapat dibaca penyelenggaran

peraturan yang kondusif) merupakan salah satu cara yang perlu dilakukan

dalam rangka menyukseskan program kapasitas ini.

Keempat, reformasi kelembagaan. Reformasi peraturan di atas

tentunya merupakan salah satu bagian penting dari reformasi kelembagaan

ini. Reformasi kelembagaan pada intinya menunjuk kepada pengembangan

iklim dan budaya yang kondusif bagi penyelenggaraan program kapasitas

personal dan kelembagaan menuju pada realisasi tujuan yang ingin

dicapai. Reformasi kelembagaan menunjuk dua aspek penting yaitu

struktural dan kultural. Kedua aspek ini harus dikelola sedemikian rupa

dan menjadi aspek yang penting dan kondusif dalam menopang program

pengembangan kapasitas karena pengembangan kapasitas harus diawali

pada identifikasi kapasitas yang dimiliki maka harus ada pengakuan dari

personal dan lembaga tentang kelemahan dan kekuatan yang dimiliki dari

Page 16: BAB II TINJAUAN PUSTAKA CAPACITY BUILDINGa-research.upi.edu/operator/upload/s_adp_053617_chapter2(1).pdf · membangun struktur budaya, sosial, politik, ekonomi dan SDM sehingga

37

kapasitas yang tersedia (existing capacities). Pengakuan ini penting karena

kejujuran tentang kemampuan yang dimiliki merupakan setengah syarat

yang harus dimiliki dalam rangka menyukseskan program pengembangan

kapasitas.

4. Persyaratan-persyaratan dalam Capacity Building

Ada beberapa persyaratan yang perlu diketahui sebelum sebuah

program pengembangan kapasitas. Persyaratan-persyaratan itu antara lain

partisipasi, inovasi, akses informasi, akuntabilitas dan kepemimpinan

(Yuwono : 2003).

Partisipasi merupakan salah satu persyaratan yang sangat penting

karena menjadi dasar seluruh rangkaian kegiatan pengembangan kapasitas.

Partisipasi dari semua level, tidak hanya level staf atau pegawai saja, tetapi

juga level pimpinan atas, menengah dan bawah sangat dibutuhkan dalam

penyelenggaraan program, maka sudah semestinya inisiatif partisipasi ini

dibangun sejak awal hinga akhir program pengembangan kapasitas dalam

rangka menjamin kontinuitas program.

Inovasi juga merupakan persyaratan lain yang tidak kalah penting

mendesak. Harus diakui bahwa inovasi adalah bagian dari program

pengembangan kapasitas, khususnya dalam kerangka menyediakan

berbagai alternatif dan metode pengembangan kapasitas yang bervariasi,

dan menyenangkan. Hampir tidak mungkin terjadi pengembangan

kapasitas tanpa diikuti oleh inovasi (karena capacity building merupakan

bentuk dari sebuah inovasi). Pembangunan mengabaikan, menghambat

Page 17: BAB II TINJAUAN PUSTAKA CAPACITY BUILDINGa-research.upi.edu/operator/upload/s_adp_053617_chapter2(1).pdf · membangun struktur budaya, sosial, politik, ekonomi dan SDM sehingga

38

ataupun tidak memberikan ruang terhadap inovasi. Inovasi penting karena

pekerjaan bukanlah sesuatu yang statis sifatnya, tetapi justru dinamis

sesuai dengan tuntutan publik yang kian tinggi.

Kemudian, akses terhadap informasi merupakan persyaratan lain yang

tidak kalah pentingnya dalam melakukan program pengembangan

kapasitas. Pada bentuk organisasi yang tradisional dan birokratis, semua

informasi dipegang dan dikuasai oleh pimpinan. Kondisi seperti ini jelas

tidak memungkinkan pengembangan kapasitas. Sebaliknya,

pengembangan kapasitas salah satunya harus dimulai dengan memberikan

akses dan kesempatan untuk memperoleh informasi secara cukup baik dan

efektif guna mendukung program yang akan dilaksanakan.

Akuntabilitas juga merupakan persyaratan lain yang tidak kalah

urgennya. Akuntabilitas penting untuk menjaga bahwa program

pengembangan kapasitas juga harus dikendalikan sedemikian rupa

sehingga menuju pada suatu hasil yang diinginkan. Dengan kata lain

akuntabilitas dibutuhkan dalam rangka penjaminan bahwa program

pengembangan kapasitas merupakan kegiatan yang legitimate, kredibel,

akuntabel dan bisa dipertanggungjawabkan. Persyaratan yang terakhir

adalah kepemimpinan. Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas

kepemimpinan memegang peranan penting dalam kesuksesan program

pengembangan kapasitas organisasi.

Kepemimpinan yang dipersyaratkan dalam pengembangan kapasitas

antara lain adalah keterbukaan (openness), penerimaan terhadap ide-ide

Page 18: BAB II TINJAUAN PUSTAKA CAPACITY BUILDINGa-research.upi.edu/operator/upload/s_adp_053617_chapter2(1).pdf · membangun struktur budaya, sosial, politik, ekonomi dan SDM sehingga

39

baru (receptivity to new ideas), kejujuran (honesty), perhatian (caring),

penghormatan terhadap harkat dan martabat (dignity) serta penghormatan

kepada orang lain (respect to people). Semakin pemimpin memberikan

kepercayaan dan suasana kondusif pada staf untuk berkembang, maka

akan semakin sukseslah program pengembangan kapasitas dalam sebuah

organisasi.

5. Indikator Capacity Building

Capacity Building atau pengembangan kapasitas memiliki karakteristik

yang definitif. Menurut Milen (2001 : 5) bahwa pengembangan kapasitas

memiliki karakteristik sebagai berikut :

a. Merupakan sebuah proses yang berkelanjutan. b. Memiliki esesensi sebagai sebuah proses internal. c. Dibangun dari potensi yang telah ada. d. Memiliki nilai intrinsik tersendiri. e. Mengurus masalah perubahan. f. Menggunakan pendekatan terintegrasi dan holistik.

Pengembangan kapasitas adalah sebuah proses membangun kapasitas

yang bukan sekedar bertumpu pada perwujudan kegiatan mambangun

kapasitas satu stakeholder saja. Bukan pelaksanaan kegiatan pelatihan

untuk perorangan atau kelompok tertentu saja, karena pengembangan

kapasitas bersifat multi-dimensi dan terdiri atas multi aktifitas yang

bersifat pemelajar semua stakeholder yang kapasitasnya dituntut

mengalami peningkatan status untuk menjadi kontributor terhadap

sustainabilitas kinerja kolektif.

Page 19: BAB II TINJAUAN PUSTAKA CAPACITY BUILDINGa-research.upi.edu/operator/upload/s_adp_053617_chapter2(1).pdf · membangun struktur budaya, sosial, politik, ekonomi dan SDM sehingga

40

Pengembangan kapasitas pun akan selalu dipengaruhi oleh faktor

eksternal yang menjadi lingkungan pembelajarannya. Dalam jangka waktu

yang sangat panjang dan tak berkesudahan, maka pengembangan kapasitas

memerlukan aktifitas adaptif untuk meningkatkan kapasitas semua

stakeholder-nya. Berkaitan dengan aktivitas adaptif atau adaptabilitas,

Moh. Fakry Gaffar (1998 : 5) dalam penulisannya mengenai “upaya untuk

meningkatkan adaptabilitas manajemen sekolah”, menyebutkan bahwa

adaptabilitas mencakup hal-hal sebagai berikut :

a. Kemampuan membuat keputusan

Kemampuan membuat keputusan, misal bagi seorang kepala

sekolah terutama berhubungan dengan policy amatlah penting, sebab

menyangkut kelancaran pelaksanaan fungsi secara menyeluruh.

Keberanian dan kemampuan membuat keputusan merupakan salah satu

syarat untuk menjadikan seseorang mempunyai sikap mandiri.

Kemampuan membuat keputusan pada tingkat yang amat mikro inilah

merupakan suatu kemampuan kepemimpinan yang amat langka.

b. Kemampuan professional guru

Berbagai studi menunjukan bahwa guru yang mampu

mempengaruhi perilaku belajar anak dengan lebih efektif, fungsi guru

yang langsung menangani proses belajar di kelas amatlah strategic dalam

upaya meningkatkan adaptabilitas manajemen sekolah terutama dalam

kaitannya dengan learning anak. Peningkatan kemampuan professional

guru ini dapat ditempuh melalui berbagai cara antara lain : pemberian

Page 20: BAB II TINJAUAN PUSTAKA CAPACITY BUILDINGa-research.upi.edu/operator/upload/s_adp_053617_chapter2(1).pdf · membangun struktur budaya, sosial, politik, ekonomi dan SDM sehingga

41

kesempatan untuk mengikuti inservice trainning, menyediakan program

pembinaan yang teratur, dan menciptakan forum akademik guru.

c. Menstabilkan kurikulum

Hal ini mengandung arti menghindari ketidakstabilan kurikulum,

sebab perubahan yang terlalu sering yang melibatkan begitu banyak unsur

dan begitu banyak orang akan menimbulkan kekacauan dan kepanikan.

Menstabilkan kurikulum tidak berarti membuat kurikulum itu statis,

kurikulum tetap dinamis mengikuti setiap gerak perubahan sosial yang

terjadi di masyarakat dalam arti isi bukan kerangka dan struktur.

Kemampuan untuk mendinamiskan kurikulum ini sebenarnya berada pada

tingkat sekolah yaitu kepala sekolah sebagai academic leader dan guru

sebagai instructional leader dalam bidangnya.

d. Meningkatkan komunikasi

Kelancaran fungsi dan interaksi fungsional dalam manajemen

sekolah ditentukan oleh efektifitas komunikasi sekolah itu, karena itu

proses komunikasi dengan policy dalam komunikasi perlu mendapat

perhatian yang utama dari kepala sekolah dan pengawas. Sebab bila terjadi

kemacetan komunikasi, kerugiannya amat tinggi dan mahal. Komunikasi

ini mencakup komunikasi professional antar guru, komunikasi edukatif

dengan murid, dan komunikasi koordinatif dengan pimpinan masyarakat

dan para orang tua murid.

e. Menjadikan learning sebagai fokus manajemen

Page 21: BAB II TINJAUAN PUSTAKA CAPACITY BUILDINGa-research.upi.edu/operator/upload/s_adp_053617_chapter2(1).pdf · membangun struktur budaya, sosial, politik, ekonomi dan SDM sehingga

42

Ini berarti merubah secara konseptual dan fundamental ketitik yang

benar dan amat essensial. Hingga saat ini tidak banyak kepala sekolah

yang berpikir bahwa keseluruhan kegiatan manajemen sekolah yang

dipimpinnya harus digiring untuk menciptakan satu situasi dimana anak

dapat belajar dengan lebih baik, dan dimana anak merasa bahwa sekolah

adalah tempat yang terbaik bagi mereka untuk belajar. Untuk mewujudkan

tujuan ini menjadi kenyataan kepala sekolah perlu mengubah orientasinya

dengan menggiring keseluruhan fungsi berbagai unsur sekolah menuju

satu titik yaitu learning anak didik. Profesionalitas seluruh tenaga

akademik dan non akademik sekolah merupakan prasyarat untuk

mewujudkan tugas ini disertai dengan dedikasi dan komitmen yang tinggi.

f. Professional Growth

Professional growth ini secara menyeluruh harus dipolakan baik

pada tingkat nasional maupun pada tingkat daerah, hingga pada tingkat

lembaga. Professional growth ini mengandung dua arti; pertama dikaitkan

dengan usaha peningkatan kemampuan profesional yang dapat dilakukan

secara independent pada tingkat sekolah atau oleh masing-masing individu

yang bersangkutan, dan kedua berkaitan dengan jenjang karir

kepegawaian dan ini harus dipolakan dari tingkat yang lebih tinggi.

6. Kegiatan Capacity Building

Pengembangan kapasitas memiliki aktifitas tersendiri yang

memungkinkan terjadinya pengembangan kapasitas pada sebuah sistem,

organisasi, atau individu, dimana ada aktifitas tersebut terdiri atas

Page 22: BAB II TINJAUAN PUSTAKA CAPACITY BUILDINGa-research.upi.edu/operator/upload/s_adp_053617_chapter2(1).pdf · membangun struktur budaya, sosial, politik, ekonomi dan SDM sehingga

43

beberapa fase umum, yakni ; persiapan, analisis kebutuhan, perencanaan

dan pemrograman, implementasi, dan evaluasi. GTZ (Gandara, 2008 : 18).

Gambar 2.3 Siklus capacity building sumber : Modul A P4D DEPDAGRI RI

GTZ (Gandara, 2008 : 18)

Penjelasan mengenai uraian kegiatan pengembangan kapasitas di atas

adalah sebagai berikut :

a. Fase Persiapan. Pada fase ini terdapat 5 langkah kerja yaitu : (1).

Identifikasi kebutuhan untuk pengembangan kapasitas, langkah kerja

PERSIAPAN

1. Identifikasi kebutuhan untuk

proses pembangunan kapasitas

2. Penentuan tujuan

3. Menyatakan tanggung jawab

ANALISIS

1. Identifikasi isu

2. Analisis proses

3. Analisis organisasi

4. Assesmen kesenjangan kapasitas

5. Memunculkan semua kebutuhan

pembangunan kapasitas

PERENCANAAN

1. Membuat rencana tindak multi

tahun (tahunan)

2. Membuat rencana pembelanjaan

jangka menengah

3. Menyusun skala prioritas

AKSI

1. Pemrograman tahunan dan

penganggaran keuangan

2. Perencanaan proyek

3. Penyeleksian penyedia jasa

EVALUASI

1. Evaluasi dampak

2. Perencanaan ulang

rencana tindak

pembangunan kapasitas

SIKLUS

CAPACITY

BUILDING

Page 23: BAB II TINJAUAN PUSTAKA CAPACITY BUILDINGa-research.upi.edu/operator/upload/s_adp_053617_chapter2(1).pdf · membangun struktur budaya, sosial, politik, ekonomi dan SDM sehingga

44

ini memiliki kegiatan utama yaitu mengenali alasan-alasan dan

kebutuhan nyata untuk mengembangkan kapasitas. (2). Menentukan

tujuan-tujuan. Langkah kerja ini memiliki kegiatan utama yaitu

melakukan konsultasi dengan stakeholder utama untuk

mengidentifikasi isu utama pengembangan kapasitas (3). Memberikan

tanggung jawab. Langkah kerja ini memiliki kegiatan utama yaitu

menetapkan penanggungjawab kegiatan pengembangan kapasitas,

misal membentuk tim teknis atau satuan kerja (4). Merancang proses

pengembangan kapasitas. Langkah kerja ini memiliki kegiatan utama

yaitu menentukan metodologi pemetaan sesuai permasalahan yang

muncul dan membuat penjadwalan kegiatan tentang proses pemetaan

dan tahapan perumusan berikutnya tentang rencana tindak

pengembangan kapasitas. (5). Pengalokasian sumber daya. Kegiatan

utamanya adalah mengidentifikasi pendanaan kegiatan proses

pengembangan kapasitas dan mengalokasikan sumber daya dengan

membuat formulasi kebutuhan sumber daya sesuai anggaran yang

dibutuhkan dan dapat disetujui oleh pihak berwenang.

b. Fase Analisis. Pada fase ini terdapat 5 langkah kerja yaitu : (1).

Mengidentifikasi permasalahan dalam hal ini kegiatan utamanya

berupa melakukan pemeriksaan terhadap masalah untuk penyelidikan

lebih lanjut. (2). Analisis terhadap proses dalam hal ini kegiatan

utamanya berupa menghubungkan permasalahan untuk pemetaan

kapasitas dengan proses kinerja system, organisasi dan individu. (3).

Page 24: BAB II TINJAUAN PUSTAKA CAPACITY BUILDINGa-research.upi.edu/operator/upload/s_adp_053617_chapter2(1).pdf · membangun struktur budaya, sosial, politik, ekonomi dan SDM sehingga

45

Analisis organisasi dalam hal ini kegiatan utamanya berupa memilih

organisasi untuk diselidiki legih dalam (pemetaan organisasional). (4).

Memetakan gap dalam kapasitas dalam hal ini kegiatan utamanya

adalah berupa memetakan jurang pemisah antara kapasitas ideal

dengan kenyataannya. (5). Menyimpulkan kebutuhan-kebutuhan

pengembangan kapasitas yang mendesak dalam hal ini kegiatan

utamanya adalah berupa menyimpulkan temuan-temuan dan

mengumpulkan usulan-usulan untuk rencana tindak pengembangan

kapasitas.

c. Fase Perencanaan. Pada fase ini terdapat 3 langkah kerja yaitu : (1).

Perencanaan tahunan, kegiatan utamanya adalah merumuskan draf

rencana tindak pengembangan kapasitas. (2). Membuat rencana jangka

menengah, kegiatan utamanya berupa pertemuan-pertemuan

konsultatif. (3). Menyusun skala prioritas, kegiatan utamanya berupa

menetapkan skala prioritas pengembangan kapasitas dan tahapan-

tahapan implementasinya.

d. Fase Implementasi. Pada fase ini terdapat 5 langkah kerja yaitu : (1).

Pemrograman, kegitan utamanya berupa mengalokasikan sumber daya

yang dimiliki saat ini. (2). Perencanaan proyek pengembangan

kapasitas, kegiatan utamanya berupa merumuskan kebijakan

implementasi pengembangan kapasitas. (3). Penyeleksian penyedia

jasa layanan pengembangan kapasitas, kegiatan utamanya berupa

mengidentifikasi layanan dan produk luar terkait kebutuhan

Page 25: BAB II TINJAUAN PUSTAKA CAPACITY BUILDINGa-research.upi.edu/operator/upload/s_adp_053617_chapter2(1).pdf · membangun struktur budaya, sosial, politik, ekonomi dan SDM sehingga

46

implementasi pengembangan kapasitas yang akan dikerjanakan. (4).

Implementasi proyek, kegiatan utamanya berupa implementasi

program tahunan pengembangan kapasitas sesuai sumber daya yang

ada dan jadwal yang tersedia. (5). Monitoring proses, kegiatan

utamanya berupa melakukan monitoring terhadap aktifitas-aktifitas

pengembangan kapasitas.

e. Fase Evaluasi. Pada fase ini terdapat 2 langkah kerja yaitu : (1).

Evaluasi dampak, kegiatan utamanya berupa mengevaluasi pencapaian

pengembangan kapasitas, seperti peningkatan kinerja. (2).

Merencanakan ulang rencana tindak pengembangan kapasitas,

kegiatan utamanya adalah melakukan analisa terhadap temuan

monitoring proses dan evaluasi dampak dalam konteks kebutuhan

perencanaan ulang pengembangan kapasitas.

Sedangkan Yap (2000 : 26) mengemukakan, bahwa cara-cara

mengembangkan kapasitas adalah dengan melakukan kegiatan berikut:

a. Menganalisa lingkungan individu, grup, organisasi, komunitas, dan masyarakat yang akan dikembangkan kapasitasnya.

b. Mengidentifikasi dan merumuskan masalah, kebutuhan, isu dan peluang terkait individu, grup, organisasi, komunitas dan masyarakat yang akan dikembangkan kapasitasnya.

c. Merumuskan strategi untuk membangun kapasitas individu, grup, organisasi, komunitas dan masyarakat terkait.

d. Merancang rencana aksi untuk membangun kapasitas individu, grup, organisasi, komunitas dan masyarakat terkait.

e. Menghimpun dan menggunakan semua sumber daya yang sudah ada untuk mengimplementasikan, mengawasi, dan mengevaluasirencana aksi pengembangan kapasitas individu, grup, organisasi, komunitas dan masyarakat terkait.

f. Menggunakan umpan balik untuk mempelajari pelajaran yang dapat diambil dari keseluruhan proses pengembangan kapasitas yang

Page 26: BAB II TINJAUAN PUSTAKA CAPACITY BUILDINGa-research.upi.edu/operator/upload/s_adp_053617_chapter2(1).pdf · membangun struktur budaya, sosial, politik, ekonomi dan SDM sehingga

47

diterapkan terhadap individu, grup, organisasi, komunitas dan masyarakat terkait.

7. Strategi Capacity Building

Brown, La Fond dan Mc Intyre (Gandara, 2008 : 28) mendeskripsikan

sebuah strategi pengembangan kapasitas ke dalam gambar berikut ini.

Tingkat Kapasitas Kinerja Sustainabilitas

Gambar 2.4 Strategi capacity building (dimodifikasi dari Overview Conceptual

Framework : Brown, La Fond dan Mcintyre, (Gandara, 2008 : 28)

Pengembangan kapasitas secara stratejik akan mengarah pada

sustainabilitas kinerja sistem. Dapat diterapkan semisal pada sistem

kesehatan atau sistem pendidikan, misalnya. Maka untuk mencapai

sustainabilitas kinerja sistem kesehatan diperlukan faktor waktu, yang

dimanfaatkan oleh para personil, organisasi dan komponen-komponen

Sistem

Organisasi

Personil

Kinerja Sistem (akses, mutu, pemerataan, efisiensi)

Kinerja Organisasi

Kinerja

Personil

Kinerja Sistem

Yang

Sustainabel

Peningkatan

Status

W

A

K

T

U

Kapasitas

individu/komunitas/masyarakat

Perubahan perilaku

individu/komunitas/masy

arakat

Sustainitas perubahan

individu/komunitas/masyarakat

LINGKUNGAN EKTERNAL KEBUDAYAAN-SOSIAL-EKONOMI-POLITIK-PERATURAN-LINGKUNGAN HIDUP

Page 27: BAB II TINJAUAN PUSTAKA CAPACITY BUILDINGa-research.upi.edu/operator/upload/s_adp_053617_chapter2(1).pdf · membangun struktur budaya, sosial, politik, ekonomi dan SDM sehingga

48

sistem kesehatan untuk bekerja dengan baik. Mereka harus menunjukkan

kinerja sistem yang baik, mudah diakses, bermutu, merata dan

berkeadilan, serta efisien. Itu berarti semua komponen pemilik kapasitas

(individu/personil, masyarakat, organisasi, institusi) harus memunculkan

kinerja mereka sampai pada sustainabilitas.

Peran individu, komunitas, dan masyarakat sebagai

konsumen/pengguna produk dan layanan yang diberikan oleh para personil

organisasi (bagian dari sistem) adalah melakukan demand position dan

terus mempengaruhi kapasitas personil, organisasi, dan sistem untuk

meningkatkan kapasitas kinerjanya. Mereka adalah stakeholder yang

berhak atas bagian mereka, seperti masyarakat yang membutuhkan

layanan kesehatan dan para siswa yang membutuhkan layanan pendidikan,

misalnya. Tak ada mereka maka sistem tidak akan mencapai

sustainabilitasi.

Semua stakeholder pengembangan kapasitas akan meningkatkan status

mereka masing-masing secara sinergis dan integral. Pada akhirnya, seiring

waktu pula status yang meningkat itu dapat menjadi indikator kinerja

sistem yang sustainabel sebagai buah dari kolektifitas kinerja sistem,

organisasi dan personil.

Di sisi lain pula, dapat disimak adanya perubahan perilaku perorangan,

komunitas dan masyarakat yang bersesuaian dengan kinerja sistem,

organisasi, personil. Selain itu meningkatkan status mereka, maka seiring

Page 28: BAB II TINJAUAN PUSTAKA CAPACITY BUILDINGa-research.upi.edu/operator/upload/s_adp_053617_chapter2(1).pdf · membangun struktur budaya, sosial, politik, ekonomi dan SDM sehingga

49

waktu pula, perilaku mereka yang berubah dan berindikasi sustainabel

akan berkontribusi pada sistem yang sustainabel.

Sementara faktor eksternal, seperti kebudayaan, politik ekonomi,

aturan legal, dan lingkungan hidup akan terus mempengaruhi dinamika

seluruh komponen proses pengembangan kapasitas yang sedang

berlangsung dan tidak pernah berakhir itu.

8. Tujuan Capacity Building

Morrison (2001 : 23) menyatakan, bahwa tujuan pengembangan

kapasitas adalah pembelajaran, dimulai sejak mengalirnya kebutuhan

untuk mengalami suatu hal, mengurangi ketidaktahuan dan ketidakpastian

dalam hidup, dan membangun kemampuan yang dibutuhkan dalam

beradaptasi untuk perubahan.

Keban (2000 : 7) mengemukakan pendapat Grindle (1997) bahwa

pengembangan kapasitas adalah serangkaian strategi yang ditujukan untuk

meningkatkan efisiensi, efektifitas, dan responsifitas dari kinerja.

Dengan demikian, bahwa tujuan akhir dari pengembangan kapasitas

yang secara umum diidentikkan pada perwujudan sustainabilitas suatu

sistem, secara khusus ditujukan pula untuk mewujudkan :

a. Efisiensi. b. Efektifitas. c. Responsifitas. d. Pembelajaran yang terindikasi pada kinerja individu, grup, organisasi

dan sistem.

Page 29: BAB II TINJAUAN PUSTAKA CAPACITY BUILDINGa-research.upi.edu/operator/upload/s_adp_053617_chapter2(1).pdf · membangun struktur budaya, sosial, politik, ekonomi dan SDM sehingga

50

B. KONSEP PROFESIONALISME GURU

1. Pengertian Profesionalisme

Penulusuran definisi profesionalisme pun memiliki variasi yang

berbeda antar para ahli, namun secara umum istilah profesionalisme sudah

dikenal luas dikalangan masyarakat. Pengertian yang muncul dimasyarakat

umum seolah-olah hanya teruntuk bagi personil tingkat manajer,

sedangkan sesungguhnya istilah profesional itu berlaku untuk semua

personil mulai dari tingkat atas sampai ketingkat paling bawah. Pengertian

profesional secara sederhana dapat diartikan sebagai kemampuan dan

keterampilan seseorang dalam melakukan pekerjaan menurut bidang dan

tingkatan masing-masing. Oleh karena itu seseorang atau tenaga

profesional tidak dapat dinilai dari satu segi saja, tetapi harus dari segala

segi. Di samping keahlian dan keterampilannya juga perlu diperhatikan

mentalitasnya. Jadi yang dikatakan dengan tenaga profesional itu ialah

tenaga yang benar-benar memiliki keahlian dan keterampilan serta sikap

mental terpuji, juga dapat menjamin bahwa segala sesuatunya dari

perbuatan dan pekerjaannya berada dalam kondisi yang terbaik dari

penilaian semua pihak.

Konsep tentang profesionalisme saat ini menuntut adanya kemampuan

seorang pegawai dalam melaksanakan tugas pekerjaan dengan efesien dan

efektif. Menurut Pamudji (1994 : 20-21), profesionalisme adalah : “a

vocation or occupation requiring advanced training in some liberal art or

science and usually involving mental rather than manual work, as teacing,

engeneering, writing, etc”. Dari kata dasar profesionalisme ini kemudian

Page 30: BAB II TINJAUAN PUSTAKA CAPACITY BUILDINGa-research.upi.edu/operator/upload/s_adp_053617_chapter2(1).pdf · membangun struktur budaya, sosial, politik, ekonomi dan SDM sehingga

51

muncul kata jadian profesional yang artinya Engage in special occupation

for pay etc. dan profesionalisme yang artinya profesional quality, status,

etc. Selanjutnya Pamuji mengartikan orang yang profesional memiliki atau

dianggap memiliki keahlian, akan melakukan kegiatan-kegiatan

diantaranya pelayanan publik dengan mempergunakan keahliannya itu

sehingga menghasilkan pelayanan publik yang lebih baik mutunya, lebih

cepat prosesnya, mungkin lebih bervariasi yang kesemuanya

mendatangkan kepuasan pada masyarakat.

Profesional adalah orang yang terampil, handal, dan sangat

bertanggungjawab dalam menjalankan profesinya. Orang yang tidak

mempunyai integritas biasanya tidak profesional. Profesionalisme pada

intinya adalah kompetensi untuk melaksanakan tugas dan fungsinya secara

baik dan benar (MenPAN, 2002 : 25). Yang dimaksud profesional adalah

kemampuan, keahlian atau keterampilan seseorang dalam bidang tertentu

yang ditekuninya sedemikian rupa dalam kurun waktu tertentu yang relatif

lama sehingga hasil kerjanya bernilai tinggi dan diakui serta diterima

masyarakat (MenPAN, 2002 : 14).

Profesionalisme di dunia kerja bukan sekedar ditandai oleh penguasaan

IPTEK saja, tetapi juga sangat ditentukan oleh cara memanfaatkan IPTEK

itu serta tujuan yang dicapai dengan pemanfaatannya itu. Seorang

profesional harus dapat:

a. Memberi makna dan menempatkan IPTEK itu dapat memberikan

manfaat yang maksimal bagi dirinya sendiri maupun organisasi atau

Page 31: BAB II TINJAUAN PUSTAKA CAPACITY BUILDINGa-research.upi.edu/operator/upload/s_adp_053617_chapter2(1).pdf · membangun struktur budaya, sosial, politik, ekonomi dan SDM sehingga

52

peru-sahaan dimana ia bekerja serta meningkatkan kualitas kehidupan

masyarakat;

b. Mencerminkan sikap dan jati diri tehadap profesinya dengan

kesungguhan untuk mendalami, menguasai, menerapkan dan

bertanggungjawab atas profesinya;

c. Memiliki sifat intelektual serta mencari dan mempertahankan

kebenaran;

d. Mengutamakan dan mendahulukan pelayanan yang maksimal di atas

imbalan jasa, tetapi tidak berarti bahwa jasanya diberikan tanpa

imbalan.

Pendapat lain dikemukakan oleh Pamungkas (1996 : 206-207), bahwa

manusia profesional dianggap manusia yang berkualitas yang memiliki

keahlian serta kemampuan mengekspresikan keahliannya itu bagi

kepuasan orang lain atau masyarakat dengan memperoleh pujian. Ekspresi

keahlian tersebut tampak dalam perilaku analis dan keputusan-

keputusannya. Demikian hasil kerja profesional selalu memuaskan orang

lain dan mempunyai nilai tambah yang tinggi. Profesionalisme selalu

dikaitkan dengan efisiensi dan keberhasilannya, dan menjadi sumber bagi

peningkatan produksi, pertumbuhan, kemakmuran dan kesejahteraan baik

dari individu pemilik profesi maupun masyarakat lingkungannya.

Kusnandar (2007 : 46) mengemukakan bahwa “Profesionalisme adalah

kondisi, arah, nilai, tujuan, dan kualitas suatu keahlian dan kewenangan

yang berkaitan dengan mata pencaharian sesseorang”.

Page 32: BAB II TINJAUAN PUSTAKA CAPACITY BUILDINGa-research.upi.edu/operator/upload/s_adp_053617_chapter2(1).pdf · membangun struktur budaya, sosial, politik, ekonomi dan SDM sehingga

53

Sementara itu Danim (2002 : 23) mendefinisikan bahwa,

profesionalisme adalah komitmen para anggota suatu profesi untuk

meningkatkan kemampuan profesionalnya dan terus-menerus

mengembangkan strategi-strategi yang digunakannya dalam melakukan

pekerjaan sesuai dengan profesinya itu.

Kemudian Freidson (1970) dalam Syaiful Sagala (2002 : 199)

mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan profesionalisme adalah

“sebagai komitmen untuk ide-ide professional dan karir”.

Sedangkan Poerwopoespito & Utomo (2000 : 266), mengatakan bahwa

profesionalisme berarti faham yang menempatkan profesi sebagai titik

perhatian utama dalam hidup seseorang. Orang yang menganut faham

profesionalisme se-lalu menunjukkan sikap profesional dalam bekerja dan

dalam keseharian hidupnya.

Profesionalisme merupakan sikap dari seorang profesional, dan

profesional berarti melakukan sesuatu sebagai pekerjaan pokok yang

disebut profesi, artinya pekerjaan tersebut bukan pengisi waktu luang atau

sebagai hobi belaka. Jika profesi diartikan sebagai pekerjaan dan isme

sebagai pandangan hidup, maka profesional dapat diartikan sebagai

pandangan untuk selalu berfikir, berpendirian, bersikap dan bekerja

sungguh-sungguh, kerja keras, bekerja sepenuh waktu, disiplin, jujur,

loyalitas tinggi dan penuh dedikasi demi keberhasilan pekerjaannya. Jadi

pada dasarnya profesionalisme berkenaan dengan sikap peduli baik

terhadap klien atau pun terhadap profesinya, Seperti yang diungkapkan

Page 33: BAB II TINJAUAN PUSTAKA CAPACITY BUILDINGa-research.upi.edu/operator/upload/s_adp_053617_chapter2(1).pdf · membangun struktur budaya, sosial, politik, ekonomi dan SDM sehingga

54

oleh David H. Maister bahwa profesionalisme adalah terutama masalah

sikap, bukan seperangkat kompetensi. Seorang professional sejati adalah

seorang teknisi yang peduli (Maister, 1998 : 23).

Dari pemaparan mengenai konsep profesionalisme, penulis dapat

simpulkan bahwa, yang paling utama profesionalisme berkenaan dengan

sikap dan nilai-nilai yang dimunculkan oleh para profesional dalam

menjalani aktivitas dan tanggung jawab profesinya. Seseorang dengan

profesi tertentu mungkin memiliki keterampilan atau kompetensi yang

tinggi di bidang keahliannya, tetapi dia belum bisa dikatakan profesional

sebelum secara handal dan konsisten mampu mendemonstrasikannya

melalui sikap peduli terhadap klien dan pekerjaannya.

2. Dimensi Profesionalisme

Hall. R (Muhammad, Rifqi. 2008 : 3). Mengembangkan konsep

profesionalisme dari level individu meliputi lima dimensi, yaitu :

a. Pengabdian pada profesi (dedication), yang tercermin dalam dedikasi profesional melalui penggunaan pengetahuan dan kecakapan yang dimiliki. Sikap ini adalah ekspresi dari penyerahan diri secara total terhadap pekerjaan. Pekerjaan didefinisikan sebagai tujuan hidup dan bukan sekedar sebagai alat untuk mencapai tujuan. Penyerahan diri secara total merupakan komitmen pribadi dan sebagai kompensasi utama yang diharapkan adalah kepuasan rohani dan kemudian kepuasan material.

b. Kewajiban Sosial (Social obligation), yaitu pandangan tentang pentingnya paran profesi serta manfaat yang diperoleh baik oleh masyarakat atau pun oleh profesional karena adanya pekerjaan tersebut.

c. Kemandirian (Autonomy demands), yaitu suatu pandangan bahwa seorang professional harus mampu membuat keputusan sendiri tanpa ada tekanan dari pihak yang lain.

d. Keyakinan terhadap peraturan profesi (belief in self-regulation), yaitu suatu keyakinan bahwa yang berwenang untuk menilai pekerjaan

Page 34: BAB II TINJAUAN PUSTAKA CAPACITY BUILDINGa-research.upi.edu/operator/upload/s_adp_053617_chapter2(1).pdf · membangun struktur budaya, sosial, politik, ekonomi dan SDM sehingga

55

profesional adalah rekan sesama profesi, dan bukan pihak luar yang tidak mempunyai kompetensi dalam bidang ilmu dan pekerjaan mereka.

e. Hubungan dengan sesama profesi (Professional community affiliation), berarti menggunakan ikatan profesi sebagai acuan, termasuk organisasi formal dan kelompok-kelompok kolega informal sebagai sumber ide utama pekerjaan. Melalui ikatan profesi ini para profesional membangun kesadaran profesinya.

Sementara itu Maister (1998 : 25) mengisyaratkan profesionalisme

pada level individu meliputi 4 (empat) dimensi yaitu :

a. Kebanggaan pada pekerjaan b. Komitmen pada kualitas c. Dedikasi pada kepentingan klien d. Keinginan tulus untuk membantu

3. Ciri-ciri Profesionalisme

Maister (1998 : 21-22), mengatakan bahwa ciri-ciri profesionalisme

sejati yaitu :

a. Bangga pada pekerjaan mereka, dan menunjukkan komitmen pribadi pada kualitas.

b. Berusaha meraih tanggung jawab. c. Mengantisipasi, dan tidak menunggu perintah, mereka menunjukkan

inisiatif. d. Mengerjakan apa yang perlu dikerjakan untuk merampungkan tugas. e. Melibatkan diri secara aktif dan tidak sekedar bertahan pada peran

yang telah ditetapkan untuk mereka. f. Selalu mencari cara untuk membuat berbagai hal menjadi lebih mudah

bagi orang yang mereka layani. g. Ingin belajar sebanyak mungkin mengenai bisnis orang-orang yang

mereka layani. h. Benar-benar mendengarkan kebutuhan orang-orang yang layani. i. Belajar memahami dan berfikir seperti orang-orang yang mereka

layani sehingga bisa mewakili mereka ketika orang-orang itu tidak ada ditempat.

j. Adalah pemain tim. k. Bisa dipercaya memegang rahasia. l. Jujur, bisa dipercaya dan setia. m. Terbuka pada kritik-kritik yang membangun mengenai cara

meningkatkan diri.

Page 35: BAB II TINJAUAN PUSTAKA CAPACITY BUILDINGa-research.upi.edu/operator/upload/s_adp_053617_chapter2(1).pdf · membangun struktur budaya, sosial, politik, ekonomi dan SDM sehingga

56

Sedangkan Mahfud MD (Wangmuba, 2009) antara lain menunjukan

beberapa karakteristik budaya akademis yang berpengaruh terhadap

profesionalisme sebagai berikut :

a. Bangga atas pekerjaannya dengan komitmen pribadi yang kuat dan berkualitas.

b. Memiliki tanggungjawab yang besar, antisipatif dan penuh inisiatif. c. Ingin selalu menegrjakan pekerjaan dengan tuntas dan ikut terlibat

dalam berbagai peran diluar pekerjaannya. d. Ingin terus belajar untuk meningkatkan kemampuan kerja dan

kemampuan melayani. e. Mendengar kebutuhan pelanggan dan dapat bekerja dengan baik dalam

suatu tim. f. Dapat dipercaya, jujur, terus terang dan loyal. g. Terbuka terhadap kritik yang bersifat konstruktif serta selalu siap

untuk meningkatkan dan menyempurnakan dirinya.

Selain itu kita lihat ada lima diskursus profesional yang berbeda

diseputar profesionalisme keguruan yaitu antara lain:

a. Profesionalisme material (Material professionalism) merujuk pada kemampuan professional guru atau tenaga pengembang lain dilihat dari prespektif penguasaan material bahan ajar yang harus ditransformasikan dikelas ataupun diluar kelas.

b. Profesionalime metodologikal (Methodological professionalism) merujuk pada penguasaan metode dan strategi serta seni mendidik dan mengajar sehingga memudahkan proses belajar mengajar.

c. Profesionalisme sosial (Social professionalism) merujuk pada kedudukan guru dan tenaga pengembang lain sebagai manusia biasa dan sebagai anggota masyarakat dengan tidak kehilangan identitas budaya sebagai pendidik oleh karena bisa dijadikan contoh dan referensi perilaku dalam kehidupan masyarakat.

d. Profesionalisme demokratis (democratic professionalism) merujuk pada tugas pokok dan fungsi yang ditampilkan oleh guru dan tenaga pengembang lainnya harus beranjak dari, oleh dan untuk peserta didiknya sehingga mencerminkan miniature demokrasi masyarakat.

e. Profesionalisme manajerial (managerial professionalism) merujuk pada kedudukan guru bukanlah orang yang secara serta merta mentransmisikan bahan ajar saja tapi juga bertindak sebagai direktur, manajer atau fasilitator belajar. Sudarwan Danim (Wangmuba, 2009)

Page 36: BAB II TINJAUAN PUSTAKA CAPACITY BUILDINGa-research.upi.edu/operator/upload/s_adp_053617_chapter2(1).pdf · membangun struktur budaya, sosial, politik, ekonomi dan SDM sehingga

57

4. Pengertian Guru

Guru adalah suatu sebutan bagi jabatan, posisi, dan profesi bagi

seseorang yang mengabdikan dirinya dalam bidang pendidikan melalui

interaksi edukatif secara terpola, formal dan sistematis. Dalam UU Nomor

14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen (Pasal 1) dinyatakan bahwa :

“Guru adalah pendidikan profesional dengan tugas utama mendidik,

mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi

peserta didik pada jalur pendidikan formal, pada jenjang pendidikan dasar

dan pendidikan menengah”.

Guru merupakan sosok yang paling berperan dalam menentukan

kualitas pembelajaran di sebuah lembaga pendidikan yang dinamakan

sekolah. Guru merupakan komponen terpenting dalam peristiwa

pembelajaran peserta didik. Sebaik apapun program pendidikan yang

termuat dalam kurikulum tanpa adanya peranan guru yang mengolahnya

menjadi materi yang dapat difahami, tidak akan berarti apa-apa bagi

peserta didiknya. Sejalan dengan ini, Bank Dunia (Suhardan, Dadang,

2001: 20) mengemukakan bahwa:

Guru merupakan titik sentral dalam usaha mereformasi pendidikan, dan mereka menjadi kunci keberhasilan setiap usaha peningkatan mutu pendidikan. “apapun namanya, apakah itu pembaharuan kurikulum, pengembangan metode-metode mengajar, peningkatan pelayanan belajar, penyediaan buku teks, hanya akan berarti apabila melibatkan guru”.

Sementara itu Moh. Fakry Gaffar (2007: 2) menyatakan bahwa: “guru

adalah jabatan profesional yang memiliki tugas pokok yang amat

menentukan dalam proses pertumbuhan dan perkembangan peserta didik”.

Page 37: BAB II TINJAUAN PUSTAKA CAPACITY BUILDINGa-research.upi.edu/operator/upload/s_adp_053617_chapter2(1).pdf · membangun struktur budaya, sosial, politik, ekonomi dan SDM sehingga

58

Hal ini menunjukan bahwa guru merupakan sebuah profesi yang menuntut

adanya keahlian khusus di bidangnya (sebagai guru).

Jadi, guru adalah orang dewasa yang secara sadar bertanggung jawab

dalam mendidik, mengajar, dan membimbing peserta didik. Orang yang

disebut guru adalah orang yang memiliki kemampuan merancang program

pembelajaran serta mampu menata dan mengelola kelas agar peserta didik

dapat belajar dan pada akhirnya dapat mencapai tingkat kedewasaaan

sebagai tujuan akhir dari proses pendidikan.

5. Hakikat Profesi Guru

Uno (2008 : 15) mengungkapkan, guru merupakan suatu profesi, yang

berarti suatu jabatan yang memerlukan keahlian khusus sebagai guru dan

tidak dapat dilakukan oleh sembarang orang di luar bidang pendidikan.

Walaupun pada kenyataannya masih terdapat hal-hal tersebut di luar

bidang kependidikan.

Untuk seorang guru perlu mengetahui dan dapat menerapkan beberapa

prinsip mengajar agar ia dapat melaksanakan tugasnya secara profesional,

yaitu sebagai berikut.

a. Guru harus dapat membangkitkan perhatian peserta didik pada materi pelajaran yang diberikan serta dapat menggunakan berbagai media dan sumber belajar yang bervariasi.

b. Guru harus dapat membangkitkan minat peserta didik untuk aktif dalam berpikir serta mencari dan menemukan sendiri pengetahuan.

c. Guru harus dapat membuat urutan (sequence) dalam pemberian pembelajaran dan penyesuaian dengan usia dan tahapan tugas perkembangan peserta didik.

d. Guru perlu menghubungkan pelajaran yang akan di berikan dengan pengetahuan yang telah dimiliki peserta didik (kegiatan apersepsi) agar

Page 38: BAB II TINJAUAN PUSTAKA CAPACITY BUILDINGa-research.upi.edu/operator/upload/s_adp_053617_chapter2(1).pdf · membangun struktur budaya, sosial, politik, ekonomi dan SDM sehingga

59

peserta didik menjadi mudah dalam memahami pelajaran yang diterimanya.

e. Sesuai dengan prinsip repetisi dalam proses pembelajaran, diharapkan guru dapat menjelaskan unit pelajaran secara berulang-ulang hingga tanggapan peserta didik menjadi jelas.

f. Guru wajib memerhatikan dan memikirkan korelasi atau hubungan antara mata pelajaran dan/atau praktik nyata dalam kehidupan sehari-hari.

g. Guru harus tetap menjaga konsentrasi belajar para peserta didik dengan cara memberikan kesempatan berupa pengalaman secara langsung, mengamati/meneliti, dan menyimpulkan pengetahuan yang didapatnya.

h. Guru harus mengembangkan sikap peserta didik dalam membina hubungan sosial, baik dalam kelas maupaun di luar kelas.

i. Guru harus menyelidiki dan mendalami perbedaan peserta didik secara individual agar dapat melayani siswa sesuai dengan perbedaannya tersebut.

Guru dapat melaksanakan evaluasi yang efektif serta menggunakan

hasilnya untuk mengetahui prestasi dan kemajuan siswa serta dapat

melakukan perbaikan dan pengembagan.

Seiring dengan kemajuan teknologi informasi yang telah demikian

pesat, guru tidak lagi hanya bertindak sebagai penyaji informasi, tetapi

juga harus mampu bertindak sebagai fasilitator, motivator, dan

pembimbing yang lebih banyak memberikan kesempatan kepada peserta

didik untuk mencari dan mengolah sendiri informasi. Dengan demikian,

keahlian guru harus terus dikembangkan dengan tidak hanya terbatas pada

penguasaan prinsip mengajar.

6. Guru Sebagai Contoh (Suri Teladan)

Uno (2008 : 15) mengungkapkan, pada dasarnya perubahan perilaku

yang dapat ditunjukkan oleh peserta didik harus dipengaruhi oleh latar

belakang pendidikan dan pengalaman yang dimiliki oleh seorang guru.

Page 39: BAB II TINJAUAN PUSTAKA CAPACITY BUILDINGa-research.upi.edu/operator/upload/s_adp_053617_chapter2(1).pdf · membangun struktur budaya, sosial, politik, ekonomi dan SDM sehingga

60

Atau dengan perkataan lain, guru mempunyai pengaruh terhadap

perubahan perilaku peserta didik.

Untuk itulah guru harus dapat menjadi contoh (suri teladan) bagi

peserta didik, karena pada dasarnya guru adalah representasi dari

sekelompok orang pada suatu komunitas atau masyarakat yang diharapkan

dapat menjadi teladan, yang dapat digugu dan ditiru.

Seorang guru sangat berpengaruh terhadap hasil belajar yang dapat

ditunjukkan oleh peserta didiknya. Untuk itu, apabila seseorang ingin

menjadi guru yang profesional maka sudah seharusnya ia dapat selalu

meningkatkan wawasan akademis dan praktis melalui jalur pendidikan

berjenjang atau pun up grading dan/atau pelatihan yang bersifat in service

training dengan rekan-rekan sejawatnya.

Perubahan dalam cara mengajar guru dapat dilatihkan melalui

peningkatan kemampuan mengajar sehingga kebiasaan lama yang kurang

efektif dapat segera terdeteksi dan perlahan-lahan dihilangkan. Untuk itu,

maka perlu adanya perubahan kebiasaan dalam cara mengajar guru yang

diharapkan akan berpengaruh pada cara belajar siswa, diantaranya sebagai

berikut.

a. Memperkecil kebiasaan cara guru baru (calon guru) yang cepat merasa puas dalam mengajar apabila banyak menyajikan informasi (ceramah) dan terlalu mendominasi kegiatan belajar peserta didik.

b. Guru hendaknya berperan sebagai pengarah, pembimbing, pemberi kemudahan dengan menyediakan berbagai fasilitas belajar, pemberi bantuan bagi peserta didik yang mendapat kesulitan belajar, dan pencipta kondisi yang merangsang dan menantang peserta didik untuk berpikir dan bekerja (melakukan).

c. Mengubah dari sekedar metode ceramah dengan berbagai variasi metode yang lebih relevan dengan tujuan pembelajaran, memperkecil

Page 40: BAB II TINJAUAN PUSTAKA CAPACITY BUILDINGa-research.upi.edu/operator/upload/s_adp_053617_chapter2(1).pdf · membangun struktur budaya, sosial, politik, ekonomi dan SDM sehingga

61

kebiasaan cara belajar peserta didik yang baru merasa belajar dan puas kalau banyak mendengarkan dan menerima informasi (diceramahi) guru, atau baru belajar kalau ada guru.

d. Guru hendaknya mampu menyiapkan berbagai jenis sumber belajar sehingga peserta didik dapat belajar secara mandiri dan berkelompok, percaya diri, terbuka untuk saling memberi dan menerima pendapat orang lain, serta membina kebiasaan mencari dan mengolah sendiri informasi.

7. Tugas Guru

Dalam lingkup profesi guru memiliki beberapa tugas, baik yang terikat

oleh profesinya maupun di luar tugas formalnya. Secara garis besar tugas

guru dapat dikelompokkan menjadi tiga yakni tugas profesi, tugas

kemanusiaan dan tugas kemasyarakatan. Sebagai salah satu profesi resmi

kedudukan guru memerlukan keahlian khusus. Jenis pekerjaan ini tidak

dapat dilakukan oleh sembarang orang di luar bidang pekerjaannya.

Terkait dengan hal tersebut ditegaskan bahwa tugas guru sebagai profesi

mencakup beberapa persyaratan:

a. Menuntut adanya keterampilan yang berdasarkan konsep dan teori ilmu pengetahuan yang mendalam,

b. Menekankan pada suatu keahlian dalam bidang tertentu sesuai dengan bidang profesinya,

c. Menuntut adanya tingkat pendidikan yang memadai, d. Adanya kepekaan terhadap dampak kemasyarakatan dari pekerjaan

yang dilakukannya, dan e. Memungkinkan perkembangan sejalan dengan dinamika kehidupan.

Usman (2008 : 15) Selain persyaratan tersebut, sebetulnya masih ada persyaratan yang

harus dipenuhi oleh setiap pekerjaan yang tergolong ke dalam suatu

profesi antara lain yaitu,

a. Memiliki kode etik, sebagai acuan dalam melaksanakan tugas dan fungsinya,

Page 41: BAB II TINJAUAN PUSTAKA CAPACITY BUILDINGa-research.upi.edu/operator/upload/s_adp_053617_chapter2(1).pdf · membangun struktur budaya, sosial, politik, ekonomi dan SDM sehingga

62

b. Memiliki klien atau obyek layanan yang tetap seperti dokter dengan pasiennya, guru dengan muridnya, dan

c. Diakui oleh masyarakat karena memang diperlukan jasanya di masyarakat.

Sebagai bahan perbandingan, berikut ini disajikan pula ciri-ciri

keprofesian yang dikemukakan oleh D. Westby Gibson ,1965 (dalam

Usman, 2000) secara rinci adalah sebagai berikut,

a. Pengakuan oleh masyarakat terhadap layanan tertentu yang hanya dapat dilakukan oleh kelompok pekerja yang dikategorikan sebagai suatu profesi,

b. Dimilikinya sekumpulan bidang ilmu yang menjadi landasan sejumlah teknik dan prosedur yang unik,

c. Diperlukannya persiapan yang sengaja dan sistematis sebelum orang mampu melaksanakan suatu pekerjaan professional, dan

d. Dimilikinya organisasi profesional yang di samping melindungi kepentingan anggotanya dari saingan kelompok luar, juga berfungsi tidak saja menjaga, akan tetapi sekaligus selalu berusaha meningkatkan kualitas layanan kepada masyarakat, termasuk tindak-tindak etis profesional kepada anggotanya.

Sementara itu, Moh. Fakry Gaffar (2007 : 2-3) menguraikan tugas

pokok guru adalah sebagai berikut:

a. Membantu peserta didik untuk mengembangkan seluruh potensinnya sehingga tumbuh dan berkembang dengan total dan sempurna.

b. Membantu peserta didik agar potensi intelektual, emosional dan spiritualnya tumbuh berkembang secara seimbang dan harmonis serta sempurna.

c. Mentransformasikan berbagai ilmu pengetahuan kepada peserta didik dengan menggunakan pendekatan dan metodologi yang penuh kreatifitas dalam proses belajar mengajar, sehinga khasanah ilmu pengetahuan dan kreatifitas peserta didik tumbuh dan berkembang pula.

d. Menanamkan nilai-nilai positif yang diperlukan dalam hidup ke dalam diri peserta didik sehingga melekat dan tumbuh menjadi satu dengan prilaku peserta didik.

e. Membangun watak dan kepribadian peserta didik menjadi orang yang memiliki watak dan kepribadian utuh dan sempurna.

f. Membantu mengembangkan kemampuan peserta didik dalam menjalankan fungsinya sebagai makhluk sosial yang beradab dan bermartabat.

Page 42: BAB II TINJAUAN PUSTAKA CAPACITY BUILDINGa-research.upi.edu/operator/upload/s_adp_053617_chapter2(1).pdf · membangun struktur budaya, sosial, politik, ekonomi dan SDM sehingga

63

g. Menumbuhkembangkan dalam diri peserta didik nilai-nilai perilaku mulia.

h. Memberikan tuntunan kepada peserta didik untuk mengenal mana perbuatan yang baik dan yang tidak, mana perbuatan yang dilarang mana pula yang tidak dilarang, mana perbuatan yang salah dan mana pula yang benar yang perlu dalam kehidupan yang penuh kedamaian dan ketentraman. Sementara itu, Usman (2008 : 6-8) memberi penjelasan bahwa, tugas

guru sebagai suatu profesi menuntut kepada guru untuk mengembangkan

profesionalitas diri sesuai dengan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Mendidik, mengajar dan melatih anak didik adalah tugas guru sebagai

suatu profesi. Tugas guru sebagai pendidik berarti meneruskan dan

mengembangkan nilai-nilai hidup kepada anak didik. Tugas guru sebagai

pengajar berarti meneruskan dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan

teknologi kepada anak didik. Tugas guru sebagai pelatih berarti

mengembangkan keterampilan dan menerapkannya dalam kehidupan demi

masa depan anak didik. Tugas kemanusiaan juga menjadi salah satu segi

dari tugas guru. Sisi ini tidak bisa guru abaikan, karena guru harus terlibat

dengan kehidupan di masyarakat dengan interaksi sosial. Guru harus

menanamkan nilai-nilai kemanusiaan kepada anak didik. Dengan begitu

anak didik dididik agar mempunyai sifat kesetiakawanan sosial.

Tugas guru dalam bidang kemanusiaan di sekolah harus dapat

menjadikan dirinya sebagai orang tua kedua. Ia harus mampu menarik

simpati sehingga ia menjadi idola para siswanya. Pelajaran apapun yang

diberikan, hendaknya dapat menjadi motivasi bagi siswanya dalam belajar.

Bila seorang guru dalam penampilannya tidak menarik, maka kegagalan

Page 43: BAB II TINJAUAN PUSTAKA CAPACITY BUILDINGa-research.upi.edu/operator/upload/s_adp_053617_chapter2(1).pdf · membangun struktur budaya, sosial, politik, ekonomi dan SDM sehingga

64

pertama adalah ia tidak akan dapat menanamkan benih pengajarannya itu

kepada para siswanya. Para siswa akan enggan menghadapi guru yang

tidak menarik. Pelajaran tidak dapat diserap sehingga setiap lapisan

masyarakat (homoludens, homopuber, dan homosapiens) dapat mengerti

bila menghadapi guru.

Di bidang kemasyarakatan merupakan tugas guru yang juga tidak

kalah pentingnya. Pada bidang ini guru mempunyai tugas mendidik dan

mengajar masyarakat untuk menjadi warga Negara Indonesia yang baik

(yaitu yang bermoral Pancasila). Memang tidak dapat dipungkiri bila guru

mendidik anak didik sama halnya guru juga bertugas mencerdaskan

bangsa secara keseluruhan.

Bila dipahami, maka tugas guru tidak hanya sebatas dinding sekolah,

tetapi juga sebagai penghubung antara sekolah dan masyarakat. Secara

singkat tugas guru dapat digambarkan melalui bagan berikut.

Page 44: BAB II TINJAUAN PUSTAKA CAPACITY BUILDINGa-research.upi.edu/operator/upload/s_adp_053617_chapter2(1).pdf · membangun struktur budaya, sosial, politik, ekonomi dan SDM sehingga

65

Gambar 2.5 Tugas-tugas Guru Menurut Uzer Usman (2008 : 8)

Tugas pokok guru di atas merupakan kerangka acuan bagi guru dalam

melaksanakan proses pembelajaran. Dalam tugas pokok tersebut

dikemukakan bahwa tugas guru bukan hanya sekedar melakukan

transformasi ilmu kepada siswa, akan tetapi lebih jauh dari itu guru juga

harus mengupayakan agar siswa dapat mengimplementasikan pengetahuan

yang diperolehnya dari proses pendidikan dalam kehidupannya.

TUGAS GURU

PROFESI

KEMANUSIAAN

KEMASYARAKATAN

MENDIDIK

MENGAJAR

MELATIH

Meneruskan dan mengembangkan nilai-nilai hidup

Meneruskan dan mengembangkan ilmu pengetahuan

dan teknologi

Mengembangkan keterampilan dan

penerapannya

Menjadi orang tua

Auto Pengertian (homoludens, homopuber, dan homosapiens)

Transformasi diri

Auto Identifikasi

Mendidik dan mengajar masyarakat untuk menjadi warga Negara yang bermoral Pancasila

Mencerdaskan Bangsa Indonesia

Page 45: BAB II TINJAUAN PUSTAKA CAPACITY BUILDINGa-research.upi.edu/operator/upload/s_adp_053617_chapter2(1).pdf · membangun struktur budaya, sosial, politik, ekonomi dan SDM sehingga

66

8. Profesionalisme Guru

Berdasarkan penelusuran mengenai konsep profesionalisme di atas,

pada dasarnya penulis lebih tertarik kepada definisi profesionalisme yang

diungkapkan oleh David H. Maister bahwa profesionalisme adalah

terutama masalah sikap, bukan seperangkat kompetensi. Seorang

professional sejati adalah seorang teknisi yang peduli (Maister 1998 : 23).

Sementara itu pendefinisian mengenai guru dan hal-hal yang

berkenaan dengannya, pada kenyataannya sudah cukup banyak teori dan

para ahli yang membahas mengenai hal ini, namun khusus dalam

penelitian ini, penulis lebih mengacu pada pengertian yang diungkapkan

oleh Moh. Fakry Gaffar (2007: 2) yang menyatakan bahwa: “guru adalah

jabatan profesional yang memiliki tugas pokok yang amat menentukan

dalam proses pertumbuhan dan perkembangan peserta didik”. Hal ini

menunjukan bahwa guru merupakan sebuah profesi yang menuntut adanya

keahlian khusus di bidangnya (sebagai guru).

Mengacu pada teori di atas, hakikatnya guru adalah dia yang memiliki

kompetensi keguruan, guru adalah dia yang memahami tugas dan fungsi

profesinya, guru adalah dia yang memahami secara mendalam hakikat

profesi dan kode etik keguruan. Seseorang dikatakan sebagai guru apabila

dia bekerja sebagai tenaga pengajar di lembaga pendidikan tertentu secara

professional dan memiliki kompetensi sebagai seorang guru. Namun guru

belum bisa dikatakan kompeten dan profesional apabila dia tidak memiliki

Page 46: BAB II TINJAUAN PUSTAKA CAPACITY BUILDINGa-research.upi.edu/operator/upload/s_adp_053617_chapter2(1).pdf · membangun struktur budaya, sosial, politik, ekonomi dan SDM sehingga

67

dan menunjukkan sikap kepedulian terhadap perkembangan dan

pertumbuhan peserta didik dan terhadap profesi keguruannya.

Dari pemaparan teori di atas, yang dimaksud dengan profesionalisme

guru adalah sikap yang dimunculkan oleh seorang guru ketika

menjalankan aktivitas kerjanya sebagai pendidik, pengajar dan pelayan

pendidikan bagi peserta didik.

C. KONSEP PENGARUH CAPACITY BUILDING TERHADAP PROFESIONALISME GURU

Tugas pokok guru merupakan kerangka acuan bagi guru dalam

melaksanakan proses pembelajaran, Moh. Fakry Gaffar (2007 : 2-3)

menguraikan tugas pokok guru adalah sebagai berikut:

1. Membantu peserta didik untuk mengembangkan seluruh potensinya sehingga tumbuh dan berkembang dengan total dan sempurna.

2. Membantu peserta didik agar potensi intelektual, emosional dan spiritualnya tumbuh berkembang secara seimbang dan harmonis serta sempurna.

3. Mentransformasikan berbagai ilmu pengetahuan kepada peserta didik dengan menggunakan pendekatan dan metodologi yang penuh kreatifitas dalam proses belajar mengajar, sehinga khasanah ilmu pengetahuan dan kreatifitas peserta didik tumbuh dan berkembang pula.

4. Menanamkan nilai-nilai positif yang diperlukan dalam hidup ke dalam diri peserta didik sehingga melekat dan tumbuh menjadi satu dengan prilaku peserta didik.

5. Membangun watak dan kepribadian peserta didik menjadi orang yang memiliki watak dan kepribadian utuh dan sempurna.

6. Membantu mengembangkan kemampuan peserta didik dalam menjalankan fungsinya sebagai makhluk sosial yang beradab dan bermartabat.

7. Menumbuhkembangkan dalam diri peserta didik nilai-nilai perilaku mulia.

8. Memberikan tuntunan kepada peserta didik untuk mengenal mana perbuatan yang baik dan yang tidak, mana perbuatan yang dilarang mana pula yang tidak dilarang, mana perbuatan yang salah dan mana

Page 47: BAB II TINJAUAN PUSTAKA CAPACITY BUILDINGa-research.upi.edu/operator/upload/s_adp_053617_chapter2(1).pdf · membangun struktur budaya, sosial, politik, ekonomi dan SDM sehingga

68

pula yang benar yang perlu dalam kehidupan yang penuh kedamaian dan ketentraman.

Mengacu pada tugas pokok guru diatas, dapat disimpulkan bahwa

tugas yang dibebankan kepada guru semakin hari semakin berat,

khususnya bagi guru-guru di sekolah menengah kejuruan yang sedang

berada pada jalur RSBI (Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional) dan

sudah mengimplementasikan standar mutu ISO 9001 versi 2000 yang

tentunya mengarah pada penjaminan mutu pendidikan.

Menyadari semakin beratnya tanggung jawab yang diamanahkan

kepada guru saat ini, maka untuk mewujudkan semua itu guru dituntut

untuk menampilkan sikap profesional, komitmen yang tinggi terhadap

karir keguruan, rasa bangga menyandang jabatan seorang guru dan

dedikasi terhadap kepentingan peserta didik. Hal ini harus tertanam dan

melekat pada diri setiap guru, sejalan dengan pendapat tersebut, David. H.

Maister mengisyaratkan profesionalisme pada level individu meliputi 4

(empat) dimensi yaitu :

1. Kebanggaan pada pekerjaan 2. Komitmen pada kualitas 3. Dedikasi pada kepentingan klien 4. Keinginan tulus untuk membantu (Maister, 1998 : 25)

Disisi lain David H. Maister pun mendefinisikan profesionalisme

adalah terutama masalah sikap, bukan seperangkat kompetensi. Seorang

professional sejati adalah seorang teknisi yang peduli.

Berdasarkan pendapat di atas, sekiranya kita sepakat bahwa untuk

mewujudkan pendidikan yang berkualitas yang mampu berbicara baik di

Page 48: BAB II TINJAUAN PUSTAKA CAPACITY BUILDINGa-research.upi.edu/operator/upload/s_adp_053617_chapter2(1).pdf · membangun struktur budaya, sosial, politik, ekonomi dan SDM sehingga

69

level nasional maupun internasional, dibutuhkan para pendidik atau guru

yang benar-benar ahli di bidangnya dan disamping kompetensi, guru pun

dituntut untuk memiliki jiwa profesional yang tinggi yang mau peduli dan

mengabdi untuk kepentingan peserta didik khususnya dan kemajuan

pendidikan umumnya serta memiliki loyalitas terhadap sekolah yang

sering kita sebut profesionalisme. Sejalan dengan pernyataan di atas, Hall.

R (Syahrir : 2002 : 7). Mengembangkan konsep profesionalisme dari level

individu meliputi lima dimensi, yaitu :

1. Pengabdian pada profesi (dedication), yang tercermin dalam dedikasi profesional melalui penggunaan pengetahuan dan kecakapan yang dimiliki. Sikap ini adalah ekspresi dari penyerahan diri secara total terhadap pekerjaan. Pekerjaan didefinisikan sebagai tujuan hidup dan bukan sekedar sebagai alat untuk mencapai tujuan. Penyerahan diri secara total merupakan komitmen pribadi dan sebagai kompensasi utama yang diharapkan adalah kepuasan rohani dan kemudian kepuasan material.

2. Kewajiban Sosial (Social obligation), yaitu pandangan tentang pentingnya paran profesi serta manfaat yang diperoleh baik oleh masyarakat atau pun oleh profesional karena adanya pekerjaan tersebut.

3. Kemandirian (Autonomy demands), yaitu suatu pandangan bahwa seorang professional harus mampu membuat keputusan sendiri tanpa ada tekanan dari pihak yang lain.

4. Keyakinan terhadap peraturan profesi (belief in self-regulation), yaitu suatu keyakinan bahwa yang berwenang untuk menilai pekerjaan profesional adalah rekan sesama profesi, dan bukan pihak luar yang tidak mempunyai kompetensi dalam bidang ilmu dan pekerjaan mereka.

5. Hubungan dengan sesama profesi (Professional community affiliation), berarti menggunakan ikatan profesi sebagai acuan, termasuk organisasi formal dan kelompok-kelompok kolega informal sebagai sumber ide utama pekerjaan. Melalui ikatan profesi ini para profesional membangun kesadaran profesinya.

Mengacu pada dimensi profesionalisme di atas, profesionalisme guru

yang akan diukur dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

Page 49: BAB II TINJAUAN PUSTAKA CAPACITY BUILDINGa-research.upi.edu/operator/upload/s_adp_053617_chapter2(1).pdf · membangun struktur budaya, sosial, politik, ekonomi dan SDM sehingga

70

1. Pengabdian guru, hal yang diukur dari pengabdian guru dalam

penelitian ini adalah sikap yang dimunculkan oleh guru ketika

menjalankan tangung jawab dan tugas profesinya yang dilandasi oleh

nilai-nilai loyalitas.

2. Kewajiban sosial, hal yang diukur dari kewajiban sosial pada guru

dalam penelitian ini adalah sikap guru dalam memegang amanah yang

diberikan oleh konstituen selaku pendidik dilandasi oleh nilai-nilai

kemanusiaan.

3. Kemandirian guru, hal yang diukur dari kemandirian guru dalam

penelitian ini adalah sikap guru dalam mengambil keputusan atas

tindakan-tindakan yang dilakukannya tanpa ada campur tangan dan

intervensi dari pihak mana pun dan guru mampu

mempertanggungjawabkannya.

4. Keyakinan terhadap profesi keguruan, hal yang diukur dari keyakinan

terhadap profesinya dalam penelitian ini adalah rasa bangga guru

terhadap profesi guru yang disandangnnya.

5. Hubungan dengan sesama profesi, hal yang diukur dari hubungan guru

dengan sesama profesinya dalam penelitian ini adalah sikap yang

dimunculkan guru dalam menjalani aktivitas kerjanya dengan kode

etik keguruan sebagai acuan guru dalam berperilaku.

Berangkat dari pemaparan mengenai aspek-aspek yang diukur untuk

menilai profesionalisme guru, dapat kita sepakati bahwa profesionalisme

guru merupakan sikap dan nilai-nilai yang dimunculkan oleh guru ketika

Page 50: BAB II TINJAUAN PUSTAKA CAPACITY BUILDINGa-research.upi.edu/operator/upload/s_adp_053617_chapter2(1).pdf · membangun struktur budaya, sosial, politik, ekonomi dan SDM sehingga

71

menjalankan tugas dan tanggung jawab profesinya yang diwujudkan

melalui kelima aspek di atas. Namun apabila kita cermati, sikap guru

tersebut tidak serta merta muncul dengan sendirinya, tentu ada aktivitas-

aktivitas yang membangunnya. Bicara mengenai sikap, pada dasarnya

sikap lebih merupakan proses kesadaran yang sifatnya individual. Artinya

proses ini terjadi secara subjektif dan unik pada diri setiap individu.

Keunikan ini dapat terjadi oleh adanya perbedaan individual yang berasal

dari nilai-nilai dan norma yang ingin dipertahankan dan dikelola oleh

Individu. Jadi pada dasarnya sikap yang dimunculkan oleh setiap individu

berawal dari kegiatannya untuk selalu belajar terhadap pekerjaan, artinya

setiap individu akan selalu dihadapkan pada peroalan-persoalan yang

muncul dalam pekerjaan sebagai akibat dari kebiasaan.

Dari pemaparan di atas, pada intinya khusus dalam penelitian ini,

profesionalisme guru dapat terdeteksi melalui sikap guru terhadap

profesinya sebagai pendidik yang diwujudkan melalui pengabdian,

kewajiban sosialnya, kemandirian, keyakinan terhadap profesi dan

hubungan dengan sesama profesi. Sementara itu sikap yang ditunjukkan

oleh guru tersebut dapat dibangun memalui kesadaran atau inisiatif setiap

guru untuk selalu belajar dari pekerjaannya dan membelajarkan diri

terhadap perubahan yang terjadi di lingkungan kerjanya dengan

memaksimalkan ide-ide yang dimilikinya atau dengan kata lain guru harus

memiliki inisitatif untuk mengembangkan kapasitasnya sebagai pendidik

dan pengajar, dengan kata lain modal pembentukan profesionalisme guru

Page 51: BAB II TINJAUAN PUSTAKA CAPACITY BUILDINGa-research.upi.edu/operator/upload/s_adp_053617_chapter2(1).pdf · membangun struktur budaya, sosial, politik, ekonomi dan SDM sehingga

72

adalah pengembangan kapasitas diri yang berkelanjutan, seperti yang

diungkapkan oleh Terrence Morrison (2001 : 4), bahwa ‘…..Capacity

building which links ideas to action…..’ dari pernyataan tersebut, dapat

diartikan bahwa pengembangan kapasitas menghubungkan ide terhadap

sikap. Sehingga dapat kita sepakati bahwa profesionalisme guru terbentuk

oleh pengembangan kapasitas diri berkelanjutan.

Mengacu pada uraian di tersebut, dalam membentuk profesionalisme

guru dapat dilakukan melalui pendekatan capacity building atau

pengembangan kapasitas. Capacity building yang dimaksud merupakan

proses pengembangan diri yang dilakukan oleh guru secara terus menerus

dengan tujuan meningkatkan kualitas dirinya melalui inisiatifnya untuk

selalu membelajarkan dirinya. Sejalan dengan ini, T. Nill dan C Mindrum

(2001) menyatakan capacity building merupakan istilah yang digunakan

untuk membangun suatu masyarakat melalui perubahan pada dirinya,

misalnya peningkatan ilmu pengetahuan, skill, pengorganisasian program

dan lain-lain. Capacity Building merupakan sebuah model proses

perubahan, gerak perkembangan dan perubahan yang bertingkat secara

individu, kelompok, organisasi maupun perubahan pada pembentukan

frame work sebuah sistem kearah yang lebih baik.

Sedangkan Morrison (2001 : 1) menyatakan :

“Capacity building can best be seen as a process to induce, or set in motion, multi-level change in individuals, groups, organisations and systems. Ideally, capacity building seeks to strengthen the self-adaptive capabilities of people and organisations, in order that they can respond to a changing environment, on an on-going basis. Capacity building is a process and not a product. In particular, capacity

Page 52: BAB II TINJAUAN PUSTAKA CAPACITY BUILDINGa-research.upi.edu/operator/upload/s_adp_053617_chapter2(1).pdf · membangun struktur budaya, sosial, politik, ekonomi dan SDM sehingga

73

building is a multi-level learning process, which links ideas to action. Capacity building, in this view, can be defined as actionable learning”.

Dengan pernyataan di atas, Morrison berusaha mendefinisikan

capacity building atau pengembangan kapasitas sebagai Actionable

Learning. Sebuah proses yang menyebabkan atau menggerakkan

perubahan multi-tingkatan pada individu, grup, organisasi dan sistem.

Idealnya, pengembangan kapasitas berupaya memperkuat kemampuan

adaptasi diri dan organisasi, dengan tujuan agar mereka dapat merespon

perubahan lingkungan di atas situasi yang tengah berlangsung. Dan dalam

pernyataan tersebut terdapat kata kunci definitif tentang pengembangan

kapasitas, yakni :

1. Pengembangan kapasitas bukanlah produk, melainkan sebuah proses. 2. Pengembangan kapasitas adalah proses pembelajaran multi-tingkatan

meliputi individu, grup, organisasi dan sistem. 3. Pengembangan kapasitas menghubungkan ide terhadap sikap. 4. Pengembangan kapasitas dapat disebut sebagai actionabel learning ;

dimana pembangunan kapasitas meliputi sejumlah proses-proses pembelajaran yang saling berkaitan, akumulasi benturan yang menambah prospek untuk individu dan organisasi agar secara terus menerus beradaptasi atas perubahan.

Berdasarkan pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa capacity

building merupakan sebuah proses dalam meningkatkan kinerja guru yang

disesuaikan dengan kemampuan dan potensi yang dimiliki oleh guru untuk

melaksanakan tugasnya sebagai pendidik dan pengajar secara optimal,

efektif, efisien dan berkesinambungan dengan melaksanakan kegiatan

pembelajaran. Dalam hal ini mengembangkan kapasitas sebagai pendidik

dan pengajar peserta didik dalam kehidupan di sekolah menengah

Page 53: BAB II TINJAUAN PUSTAKA CAPACITY BUILDINGa-research.upi.edu/operator/upload/s_adp_053617_chapter2(1).pdf · membangun struktur budaya, sosial, politik, ekonomi dan SDM sehingga

74

kejuruan, dan melakukan penulisan seperti penulisan tindakan kelas serta

perilaku-perilaku profesional yang berkontribusi pada masyarakat adalah

sebuah keharusan bagi setiap pengembangan kapasitas guru. Adapun

pihak yang perlu membangun kapasitas guru itu tentunya adalah guru itu

sendiri dan penanggungjawab teknis pada lembaga atau sekolah.

Sedangkan, fungsi peserta didik adalah sebagai stakeholder pendidikan

yang berposisi sebagai pengguna layanan dari sekolah.

Secara konstitusional di Indonesia, menurut Undang-undang Nomor 14

tahun 2005 secara implisit dinyatakan bahwa kapasitas guru adalah

pendidik professional dengan tugas utama mendidik, mengajar,

membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta

didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan

dasar, dan pendidikan menengah..

Capacity building guru bukanlah proyek jangka pendek, melainkan

suatu proses pembelajaran jangka panjang yang dapat diukur keberhasilan

proses dan hasilnya dalam jangka waktu tertentu. Misalnya, ketika guru

selalu mengembangkan dan menambah pembelakalan diri yang dilakukan

secara terus-menerus dengan pengetahuan dan keterampilan yang

memadai dan relevan dalam meningkatkan kinerjanya. Mendidik dan

mengajar peserta didik merupakan kewajiban setiap guru, maka di sinilah

pengembangan kapasitas sedang berlangsung dan dapat diukur

eksistensinya, termasuk efektifitas dan efisiensi dalam membelajarkan

peserta didik dan pada hal-hal tertentu. Dan pada sesi tersebut

Page 54: BAB II TINJAUAN PUSTAKA CAPACITY BUILDINGa-research.upi.edu/operator/upload/s_adp_053617_chapter2(1).pdf · membangun struktur budaya, sosial, politik, ekonomi dan SDM sehingga

75

pengembangan kapasitas guru sedang berlangsung dan dapat diukur.

Apalagi, jika dalam hal ini dapat ditemukan indikasi berhasilnya proses

motivasi yang berkelanjutan dari diri sendiri, sesama guru, dan dari kepala

sekolah.

Membangun kapasitas guru untuk menjalankan tugas-tugas yang

spesifik, secara teori akan berhubungan dengan adanya pengembangan

kapasitas pada dimensi organisasi dan sistem pendidikan yang

melingkupinya, serta pada peserta didik, komunitas dan masyarakat. Oleh

karenanya, pengembangan kapasitas guru termasuk dalam multi-dimensi

pengembangan kapasitas sekolah.

Pengembangan kapasitas guru merupakan upaya guru dalam

memenuhi haknya. Seperti hak mendapatkan gaji dan asuransi yang layak

agar kinerjanya sukses di atas landasan kapasitas yang terus

dikembangkan. Tanpa pemenuhan hak guru, maka pengembangan

kapasitas akan sulit bergerak. Pasti akan selalu ada hambatan dalam

pengembangan kapasitas guru apabila hak guru dilanggar.

Aktivitas pengembangan kapasitas guru di lingkungan sekolah

menengah kejuruan dapat dituangkan dalam bentuk pelatihan,

keikutsertaan dalam seminar dan lokakarya, pemberian kesempatan

melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi lagi, fasilitasi

bahan-bahan dan sumber pendukung proses belajar mengajar yang

diamanahkan kepadanya seperti buku-buku sumber untuk mata pelajaran

Page 55: BAB II TINJAUAN PUSTAKA CAPACITY BUILDINGa-research.upi.edu/operator/upload/s_adp_053617_chapter2(1).pdf · membangun struktur budaya, sosial, politik, ekonomi dan SDM sehingga

76

yang ditanganinya, proyektor dan teknologi audio-visual penunjang

kegiatan pembelajaran dan lainnya.

Faktor-faktor eksternal di luar sekolah, seperti, lingkungan hidup,

politik, ekonomi, peraturan perundang-undangan, kebudayaan dan lainnya

akan selalu mempengaruhi guru agar kapasitasnya meningkat yang

seterusnya akan terakumulasi membentuk pola pikir dan persepsi yang

dijadikan acuan oleh guru dalam bersikap dan berperilaku sebagai

pendidik dan pengajar. Hal ini disebut dengan profesionalisme guru.

Jadi, kesimpulan akhir dari seluruh pemaparan di atas adalah adanya

pengaruh yang signifikan dari capacity building terhadap profesionalisme

guru hal ini dikarenakan bahwa aktivitas-aktivitas yang membangun

terbentuknya sikap (profesionalisme) guru adalah aktivitas belajar yang

dilakukan oleh setiap individu (guru) sebagai wujud pengembangan

kapasitasnya, sehingga fenomena ini dapat diukur keberadaannya. Berikut

gambaran mengenai arah dan letak pengaruh capacity building terhadap

profesionalisme guru.

Page 56: BAB II TINJAUAN PUSTAKA CAPACITY BUILDINGa-research.upi.edu/operator/upload/s_adp_053617_chapter2(1).pdf · membangun struktur budaya, sosial, politik, ekonomi dan SDM sehingga

77

Gambar 2.6 Skema Pengaruh Capacity Building Terhadap Profesionalisme Guru

Good Governance In Education Sector

Kepuasan Masyarakat

LEARNING ORGANIZATIONS

Layanan penyelenggaraan pendidikan yang

bermutu Nilai-nilai

Budaya Mutu Kinerja Organisasi

Kepemimpinan Struktur Organisasi

Komunikasi Org Sumber Daya Org

Profesionalisme Personil

Capacity Building

LEARNING TO SELF

Keterampilan, Potensi diri,

Ilmu, Teori,

Pengetahuan, dsb

Peraturan Pemerintah Otonomi Daerah

Desentralisasi Pendidikan

Peraturan Daerah Tentang Pendidikan

Dinas Pendidikan

Dukungan dan kepercayaan masyarakat

Tuntutan masyarakat

Jaminan masa depan seperti memperoleh pekerjaan,

perkembangan intelektual/kedewasaan,

perkembangan akhlak/spiritual peserta didik, dsb

Pemerataan Pendidikan

PENCITERAAN PUBLIK

LEARNING

LEARNING LEARNING

SEKOLAH

GURU