bab ii tinjauan pustaka a. kinerja guru 1.eprints.mercubuana-yogya.ac.id/2222/3/bab ii.pdf ·...
TRANSCRIPT
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kinerja Guru
1. Pengertian Kinerja
Kinerja merupakan terjemahan dari kata performance (Job Performance), secara
etimologis performance berasal dari kata to perform yang berarti menampilkan atau
melaksanakan, sedang kata performance berarti “The act of performing; execution” (Webster
Super New School and Office Dictionary), menurut Henry Bosley Woolf performance berarti
“The execution of an action” (Webster New Collegiate Dictionary) Dari pengertian tersebut
dapat disimpulkan bahwa kinerja atau performance berarti tindakan menampilkan atau
melaksanakan suatu kegiatan, oleh karena itu performance sering juga diartikan penampilan
kerja atau perilaku kerja. Berikut ini akan dikemukakan beberapa definisi kinerja untuk lebih
memberikan pemahaman akan maknanya
Kinerja atau performance diartikan sebagai hasil pekerjaan, atau pelaksanaan tugas
pekerjaan (Westra et al. 1977:246). Prestasi Kerja atau penampilan kerja (performance)
diartikan sebagai ungkapan kemampuan yangdisasari oleh pengetahuan, sikap, dan
ketrampilan dan motivasi dalam menghasilkan sesuatu (Fattah, 1999:19). Kinerja
didefinisikan sebagai hasil yang tampak dari sebuah pekerjaan atau aktivitas, selama kurun
waktu tertentu (Bernardin dan Russel dalam Ruky, 2004:15). Kinerja (prestasi kerja) adalah
hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh seorang pegawai dalam
melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya.
(Mangkunegara, 2001:67)
Menurut UU No.14 Tahun 2005 tentang guru dan dosen menjelaskan tentang guru:
“Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing,
mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia
dini jalur formal, pendidikan dasar, dan menengah”. Kemudian menurut Sardiman (2006:
125), “guru adalah salah satu komponen manusiawi dalam proses belajar mengajar yang turut
berperan dalam usaha pembentukan sumber daya manusia yang potensial di bidang
pembangunan”.
Menurut Mathis dan Jackson (2006) kinerja guru adalah yang mempengaruhi seberapa
banyak mereka memberi kontribusi kepada organisasi.” Berdasarkan pendapat di atas maka
perbaikan kinerja baik untuk individu maupun kelompok menjadi pasal perhatian dalam
upaya meningkatkan kinerja organisasi sekolah. Kuswana (2008:3) mengemukakan bahwa
kinerja guru dikatakan berhasil apabila, memberikan efek terhadap perkembangan potensi
siswa dalam konteks psikologis dan fisik, yakni bersifat positif terhadap apa yang
dipelajarinya, baik dilihat dari tujuan serta manfaatnya. Sehingga kecerdasan kognitif, efektif
dan psikomotif berkembang. Intinya apakah terjadi perubahan perilaku, berfikir sistematis dan
terampil mengenai apa yang terjadi.
Menurut Kunandar (2007: 80), guru harus diihat sebagai profesi yang baru muncul,
dan karena itu mempunyai status yang lebih tinggi dari jabatan semiprofesional, bahkan
mendekati jabatan profesi penuh. Guru dalam proses belajar mengajar harus memiliki
kompetensi tersendiri guna mencapai harapan yang dicita-citakan dalam melaksanakan
pendidikan pada umumnya dan proses belajar mengajar pada khususnya. Guru adalah
pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan,
melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada jalur pendidikan formal, serta pada
jenjang pendidikan dasar dan pendidikan menengah termasuk pendidikan anak usia dini. Guru
wajib memiliki kualifikasi akademik diperoleh melalui pendidikan sebagai agen
pembelajaran. Kualifikasi akademik diperoleh melalui pendidikan program sarjana (S1) atau
diploma empat (D-IV) sesuai dengan tugas sebagai guru .
Dari beberapa pengertian kinerja di atas, peneliti dapat menarik kesimpulan bahwa
kinerja guru merupakan suatu kemampuan kerja atau prestasi kerja yang diperlihatkan oleh
seorang guru untuk memperoleh hasil kerja yang optimal dalam kurun waktu tertentu.
Penilaian Kinerja seseorang guru akan nampak pada situasi dan kondisi belajar mengajar
selama satu tahun ajaran. Aktivitas-aktivitas yang dilakukan oleh seseorang guru dalam
melaksanakan pekerjaannya menggambarkan bagaimana ia berusaha mencapai tujuan yang
telah ditetapkan.
2. Aspek-Aspek Kinerja Guru
Aspek kinerja menurut Peraturan Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan Republik
Indonesia Nomor 137 tahun 2014, yang dipakai sebagai acuan penilaian kinerja guru, ada 4
kompetensi yang harus dimiliki oleh pendidik, yaitu,
a. Kompetensi Pedagogik.
Kompetensi pedagogik merupakan kemampuan guru dalam mengelola
pembelajaran. Beberapa indikator dari komptensi pedagogik berdasarkan Peraturan
Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 137 tahun 2014 yaitu:
1) Merencanakan kegiatan program pendidikan, pengasuhan, dan perlindungan
2) Melaksanakan proses pendidikan, pengasuhan, dan perlindungan
3) Melaksanakan penilaian terhadap proses dan hasil pendidikan, pengasuhan, dan
perlindungan
b. Kompetensi Kepribadian.
Kepribadian merupakan suatu masalah abstrak yang hanya dapat dilihat lewat
penampilan, tindakan, ucapan, dan cara berpakaian seseorang. Setiap orang memiliki
kepribadian yang berbeda. Kompetensi kepribadian merupakan suatu performansi pribadi
(sifat-sifat) yang harus dimiliki seorang guru. Beberapa indikator dari komptensi
kepribadian berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan Republik
Indonesia Nomor 137 tahun 2014 yaitu:
1) Bersikap dan berperilaku sesuai dengan kebutuhan psikologis anak
2) Bersikap dan berperilaku tepat sesuai dengan norma agama, budaya dan keyakinan anak
3) Menampilkan diri sebagai pribadi yang berbudi pekerti luhur
c. Kompetensi Sosial.
Kompetensi sosial adalah merupakan suatu kemampuan seorang guru dalam hal
berkomunikasi dan bergaul secara efektif. Beberapa indikator dari komptensi sosial
berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor
137 tahun 2014 yaitu:
1) Beradaptasi dengan lingkungan
2) Berkomunikasi secara efektif.
d. Kompetensi Profesional.
Kompetensi profesional merupakan penguaaan materi pembelajaran secara luas dan
mendalam yang memungkinkannya membimbing peserta didik memenuhi standar
kompetensi yang ditentukan Badan Standar Naisional Pendidikan (BNSP). Hal ini
merupakan suatu kemampuan seorang guru sesuai dengan keahliannya dalam
menyampaikan sesuatu kepada siswa dalam rangka menjalankan tugas dan profesinya.
Beberapa indikator dari komptensi profesional berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan
Dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 137 tahun 2014 yaitu:
1) Memahami tahapan perkembangan anak
2) Memahami pertumbuhan dan perkembangan anak
3) Memahami pemberian rangsangan pendidikan, pengasuhan, dan perlindungan
4) Membangun kerjasama dengan orang tua dalam pendidikan, pengasuhan, dan
perlindungan anak
5) Berkomunikasi secara efektif
Menurut Hasibuan (2006:95) mengemukakan bahwa aspek-aspek yang dinilai kinerja
mencakup sebagai berikut:
a. Kesetiaan.
Penilai mengukur kesetiaan pegawai terhadap pekerjaannya, jabatannya dan
organisasi. Kesetiaan ini dicerminkan oleh kesediaan pegawai menjaga dan membela
organisasi, di dalam maupun di luar pekerjaannya dari rongrongan orang-orang yang tidak
bertanggung jawab.
b. Prestasi Kerja.
Penilai menilai hasil kerja baik kualitas maupun kuantitas yang dapat dihasilkan
pegawai tersebut dari uraian jabatannya.
c. Kejujuran.
Penilai menilai kejujuran dalam melaksanakan tugas-tugasnya memenuhi perjanjian
baik bagi dirinya sendiri maupun terhadap orang lain seperti kepada para bawahannya.
d. Kedisiplinan.
Penilai menilai disiplin pegawai dalam mematuhi peraturan-peraturan yang ada dan
melakukan pekerjaannya sesuai dengan instruksi yang dibebankan kepadanya.
e. Kreativitas.
Penilai menilai kemampuan pegawai dalam mengembangkan kreativitasnya untuk
menyelesaikan pekerjaannya, sehingga bekerja lebih berdaya guna dan berhasil guna.
f. Kerjasama.
Penilai menilai kesediaan pegawai berpartisipasi dan bekerjasama dengan pegawai
lainnya secara vertikal maupun horizontal, baik di dalam maupun di luar pekerjaan,
sehingga hasil pekerjaannya akan semakin baik.
g. Kepemimpinan.
Penilai menilai kemampuan untuk memimpin, berpengaruh, mempunyai pribadi
yang kuat, dihormati, berwibawa, dan dapat memotivasi orang lain atau bawahannya untuk
bekerja secara efektif.
h. Kepribadian.
Penilai menilai pegawai dari sikap perilaku, kesopanan, periang, disukai, memberi
kesan menyenangkan, memperlihatkan sikap yang baik, serta berpenampilan simpatik dan
wajar.
i. Prakarsa.
Penilai menilai kemampuan berpikir yang orisinal dan berdasarkan inisiatif sendiri
untuk menganalisis, menilai, menciptakan, memberi alasan, mendapatkan kesimpulan, dan
membuat keputusan penyelesaian masalah yang dihadapinya.
j. Kecakapan.
Penilai menilai kecakapan pegawai dalam menyatukan dan menyelaraskan
bermacam- macam elemen yang semuanya terlibat di dalam penyusunan kebijaksanaan
dan di dalam situasi manajemen.
k. Tanggung jawab.
Penilai menilai kesediaan pegawai dalam mempertanggungjawabkan
kebijaksanaannya, pekerjaan dan hasil kerjanya, saran dan prasarana yang digunakan serta
perilaku kerjanya.
Ada beberapa teori yang dapat digunakan untuk mengukur kinerja guru. Penulis
menggunakan Peraturan Pemerintah Nomor 137 tahun 2014 yang akan dipakai sebagai skala
pengukuran kinerja guru, mengingat bahwa pemerintah sudah menyiapkan standard tersebut
untuk digunakan sebagai evaluasi kinerja guru di sekolah dan di beberapa Lembaga Pendidikan
Anak Usia Dini sudah mulai menggunakan standard tersebut sebagai dasar untuk memberikan
evaluasi guru di lembaganya. Evaluasi kinerja guru dilakukan dalam satu tahun ajaran, dengan
pertimbangan dari satu tahun masa ajaran tersebut kinerja guru bisa dilihat dan dibandingkan
dari tahun sebelumnya.
3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kinerja Guru
Kinerja menunjukan suatu penampilan kerja seseorang dalam menjalankan peran dan
fungsinya dalam suatu lingkungan tertentu termasuk dalam organisasi. Dalam kenyataannya,
banyak faktor yang mempengaruhi prilaku seseorang, sehingga bila diterapkan pada pekerja,
maka bagimana dia bekerja akan dapat menjadi dasar untuk menganalisis latar belakang yang
mempengaruhinya. Menurut Sutermeister (1976:45) produktivitas ditentukan oleh kinerja
pegawai dan teknologi, sedangkan kinerja pegawai itu sendiri tergantung pada dua hal yaitu
kemampuan dan motivasi.
Sementara itu Gibson (2002;56), memberikan gambaran lebih rinci dan komprehensif
tentang faktor–faktor yang berpengaruh terhadap performance atau kinerja, yaitu :
a. Atribut individu
Dengan adanya berbagai atribut yang melekat pada individu dan dapat
membedakan individu yang satu dengan yang lainnya. Faktor ini merupakan kecakapan
individu untuk menyelesaikan tugas-tugas yang telah ditentukan, terdiri dari :
1) Karakteristik demografi. Misalnya : umur, jenis kelamin, dan lain-lain.
2) Karakteristik kompetensi. Misalnya : bakat, kecerdasan, kemampuan, keterampilan, dan
sebagainya.
3) Karakteristik psikologi. Misalnya : nilai-nilai yang dianut seperti sikap dan perilaku.
b. Kemauan untuk bekerja
Dengan berbagai atribut yang melekat pada individu untuk menunjukan adanya
kesempatan yang sama untuk mencapai suatu prestasi. Untuk mencapai kinerja yang baik
diperlukan usaha dan kemauan untuk bekerja keras, karena kemauan merupakan suatu
kekuatan pada individu yang dapat memicu usaha kerja yang lebih terarah dalam
melakukan suatu pekerjaan.
c. Dukungan organisasi
Dalam mencapai tujuan karyawan yang tinggi diperlukan adanya dukungan atas
kesempatan dari organisasi/perusahaan. Hal ini untuk mengantisipasi keterbatasan baik
dari karyawan maupun dari perusahaan. Misalnya : perlengkapan peralatan dan
kelengkapan kejelasan dalam memberikan informasi.
Pendapat tersebut menggambarkan tentang hal-hal yang dapat membentuk atau
mempengaruhi kinerja seseorang, faktor individu dengan karakteristik psikologisnya yang
khas serta faktor organisasi berinteraksi dalam suatu proses yang dapat mewujudkan suatu
kualitas kinerja yang dilakukan oleh seseorang dalam melaksanakan peran dan tugasnya
dalam organisasi.
Menurut Mulyasa (2005:140), faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja seorang guru
antara lain:
a. Sikap mental berupa motivasi, disiplin dan etika kerja.
b. Tingkat pendidikan, pada umumnya orang yang mempunyai pendidikan lebih tinggi akan
mempunyai wawasan yang lebih luas.
c. Keterampilan, makin terampil tenaga kependidikan akan lebih mampu bekerja sama serta
menggunakan fasilitas dengan baik.
d. Manajemen atau gaya kepemimpinan kepala sekolah, diartikan dengan hal yang berkaitan
dengan sistem yang diterapkan oleh pimpinan untuk mengelola dan memimpin serta
mengendalikan tenaga pendidikan.
e. Hubungan industrial, menciptakan ketenangan kerja dan memberikan motivasi kerja,
menciptakan hubungan kerja yang serasi dan dinamis dalam bekerja dan meningkatkan
harkat dan martabat tenaga kependidikan sehingga mendorong mewujudkan jiwa yang
berdedikasi dalam upaya peningkatan kinerjanya.
f. Tingkat penghasilan atau gaji yang memadai, ini dapa tmenimbulkan konsentrasi kerja dan
kemampuan yang dimiliki dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kinerjanya.
g. Kesehatan, akan meningkatkan semangat kerja.
h. Jaminan sosial yang diberikan dinas pendidikan kepada tenaga pendidikan, dimaksudkan
untuk meningkatkan pengabdian dan semangat kerjanya.
i. Lingkungan sosial dan suasana kerja yang baik, ini akan mendorong tenaga kerja
kependidikan dengan senang bekerja dan meningkatkan tanggung jawabnya untuk
melekukan pekerjaan yang lebih baik.
j. Kualitas sarana pembelajaran, akan berpengaruh pada peningkatan kinerjanya.
k. Teknologi yang dipakai secara tepat akan mempercepat penyelesaian proses pendidikan,
menghasilkan jumlah lulusan yang berkualitas serta memperkecil pemborosan.
l. Kesempatan berprestasi dapat menimbulkan dorongan psikologis untuk meningkatkan
dedikasi serta pemanfaatan potensi yang dimiliki dalam meningkatkan kinerjanya.
Dari paparan para ahli di atas dapat, dapat disimpulkan bahwa faktor terpenting yang
mempengaruhi kinerja guru yaitu faktor kepemimpinan dan sikap Organizational Citizenship
Behaviour (OCB). Terdapat beberapa penelitian yang juga menyatakan bahwa kepemimpinan
dan sikap Organizational Citizenship Behaviour (OCB) merupakan faktor yang mempengaruhi
kinerja. Pada penelitian yang dilakukan oleh Kaihatu dan Rini (2007) menjelaskan bahwa bahwa
penerapan kepemimpinan transformasional dari kepala sekolah meningkatkan kualitas kehidupan
kerja, dan hal ini cenderung akan meningkatkan perilaku kewargaan organisasi dari para guru.
Putra dan Adnyani (2016) pada penelitiannya menemukan bahwa kepemimpinan
transformasional dan Organizational Citizenship Behavior memiliki pengaruh yang positif dan
signifikan terhadap kinerja. Penelitian Putri dan Utami (2017) menemukan bahwa kelima aspek
Organizational Citizenship Behavior yang terdiri dari Altruism, Conscientiousness,
Sportmanship, Courtesy, Civic Virtue hanya Courtesy yang tidak memiliki pengaruh signifikan
terhadap kinerja.
Kepemimpinan kepala sekolah yang diharapkan mampu untuk memberikan dorongan dan
motivasi untuk guru-guru mampu berpikir kreatif dan inovatif serta pemimpin yang mampu
menumbuhkan rasa peduli terhadap tujuan atau visi lembaga. Sehingga guru akan melakukan
tugasnya dengan penuh sukacita, bahkan melebihi apa yang diharapkan oleh organisasi dengan
perilaku ekstra peran atau guru bersedia melakukan tugas-tugas diluar kewajibannya. Selain itu,
faktor lain yang ikut berperan dalam peningkatan kinerja guru yaitu faktor motivasi, disiplin dan
etika kerja seorang guru dalam melakukan kegiatan belajar mengajar yang melebihi kewajiban
formal (ekstra role), dalam hal ini perilaku seorang guru untuk memiliki sikap Organizational
Citizenship Behaviour (OCB) yang tinggi.
B. Persepsi Kepemimpinan Transformasional
1. Pengertian
Persepsi berasal dari bahasa Latin percipere, yang artinya menerima atau mengambil.
Dalam arti sempit, persepsi adalah penglihatan atau bagaimana cara seseorang melihat
sesuatu. Sedangkan dalam arti yang luas persepsi adalah bagaimana seseorang memandang
atau mengartikan sesuatu. Stimulus atau informasi diperoleh dari penginderaan terhadap objek
atau peristiwa yang kemudian diproses oleh otak. Beberapa ahli menyimpulkan persepsi
adalah proses dimana kita mengorganisasikan dan menafsirkan pola stimulus dari
lingkungan. Persepsi adalah pengenalan tentang obyek, peristiwa, atau hubungan yang
diperoleh dengan menyimpulkan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan. Dari
pengertian di atas maka penulis menyimpulkan persepsi adalah proses pemahaman atau
pemberian makna terhadap sebuah informasi, peristiwa, atau stimulus yang diterima dari
lingkungan.
Persepsi guru atas gaya kepemimpinan kepala sekolah tentu memiliki andil yang
sangat besar dalam pembentukan sikap dan perilaku yang kemudian akan muncul dalam
kinerja guru tersebut. Persepsi adalah kesan yang diterima atas gaya kepemimpinan yang
dilakukan oleh kepala sekolah sebagai pemimpin. Setiap hal yang dilakukan kepala sekolah
melalui sikap maupun kebijakan kebijakan yang diambil adalah stimulus dari luar yang
diterima oleh seorang guru yang kemudian stimulus tersebut diolah dan diorganisasikan
sehingga menghasilkan persepsi atau kesan. Kesan atau persepsi tersebut akan membentuk
sikap dan mempengaruhi perilaku guru tersebut dalam mengerjakan tugasnya.
Gaya kepemimpinan transformasional merupakan pendekatan yang dapat digunakan
untuk mendeskripsikan banyak hal tentang kepemimpinan, mulai dari usaha yang sangat
spesifik untuk mempengaruhi para pengikutnya pada tingkat satu-satu, sampai pada usaha
yang sangat luas untuk mempengaruhi seluruh organisasi dan bahkan seluruh budaya.
Meskipun pemimpin transformational mempunyai peranan yang sangat penting dalam
mempercepat perubahan, para pengikut dan para pemimpin sangat terikat sehingga tidak
mungkin dapat lepas dalam proses transformasi. (Northouse, 2007)
2. Konsep Kepemimpinan Secara Umum
Bennis (dalam Hughes, Ginnett, dan Curphy, 2012) menjelaskan bahwa
kepemimpinan adalah proses ketika seorang atasan mendorong bawahannya untuk berperilaku
sesuai keinginannya. Pendapat lain diutarakan oleh Merton (dalam Hughes, Ginnett, dan
Curphy, 2012) menyatakan kepemimpinan adalah hubungan antar-persona di dalamnya setiap
anggota patuh karena memang mereka ingin patuh, bukan karena mereka harus patuh.
Pendapat lain tentang kepemimpinan juga di utarakan oleh Roach dan Behling (Hughes,
Ginnet, dan Curphy, 2012) bahwa kepemimpinan adalah sebuah proses memengaruhi sebuah
kelompok yang terorganisasi untuk mencapai tujuan kelompok. Jadi kepemimpinan adalah
sebuah proses ketika seorang atasan mempengaruhi dan mendorong bawahannya untuk
berperilaku sesuai keinginannya dimana didalamnya terdapat hubungan antar persona setiap
anggota yang patuh atas keinginan diri mereka dan bukan karena mereka harus patuh, dimana
kepatuhan tersebut dalam rangka untuk mencapai tujuan kelompok atau organisasi.
Terdapat banyak model kepemimpinan yang ditulis oleh para ahli. Northouse (2007)
mencatat berbagai model kepemimpinan tersebut yaitu, kepemimpinan transformasional,
kepemimpinan yang melayani (Servant Leadership), kepemimpinan tim. Masing-masing
model tersebut memiliki kelebihan dan kekuatan masing-masing. Pada penelitian ini, penulis
akan mengambil konsep kepemimpinan transformasional untuk diteliti. Hal ini dikarenakan
model kepemimpinan transformasional adalah model yang dipandang paling sesuai untuk
diterapkan di lembaga sekolah PAUD Non Formal saat ini.
3. Konsep Kepemimpinan Transformasional
Bass (1985) mendefinisikan kepemimpinan transformasional didasarkan pada
pengaruh dan hubungan pemimpin dengan pengikut atau bawahan. Para pengikut merasa
percaya, mengagumi, loyal dan menghormati pemimpin, serta memiliki komitmen dan
motivasi yang tinggi untuk berprestasi dan berkinerja yang lebih tinggi. Seorang pemimpin
transformasional dapat memotivasi para pengikutnya dengan tiga cara, yaitu: (1) membuat
mereka lebih sadar mengenai pentingnya hasil‐hasil suatu pekerjaan, (2) mendorong mereka
untuk lebih mementingkan organisasi atau tim daripada kepentingan diri sendiri, dan (3)
mengaktifkan kebutuhan‐kebutuhan mereka pada yang lebih tinggi (Yukl, 2006).
Menurut Aviolo (dalam Case, 2003), bahwa “fungsi utama dari seorang pemimpin
transformasional adalah memberikan pelayanan sebagai katalisator dari perubahan (catalyst of
change), namun saat bersamaan sebagai seorang pengawas dari perubahan (a controller of
change)”. Case (2003), mengatakan “bahwa meskipun terdapat beberapa perbedaan dalam
mendefinisikan kepemimpinan transformasional, akan tetapi secara umum mereka
mengartikannya sebagai agen perubahan (an agent ofchange)”.
Kepemimpinan transformasional secara jelas mengkomunikasikan harapan-harapan,
yang diinginkan pengikut tercapai”.(Bass dan Avolio, 1994) “Dalam memperkuat intellectual
stimulation, pemimpin transformasional menciptakan ransangan dan berpikir inovatif bagi
pengikut melalui asumsi-asumsi pertanyaan, merancangkembali masalah, menggunakan
pendekatan padasituasi lampau melalui cara yang baru. Untuk individualized consideration
melalui pemberian bantuan sebagai pemimpin, memberikan pelayanan sebagai mentor,
memeriksa kebutuhan individu untuk perkembangan dan peningkatan keberhasilan”(Avolio
dalam Tschannen-Moran, 2003).
Salah satu pendekatan kepemimpinan saat ini yang sering menjadi fokus penelitian
sejak awal tahun 1980-an adalah pendekatan transformasional. Pendekatan ini merupakan
bagian dari paradigma “Kepemimpinan Baru” (Bryman, 1992). Seperti namanya, pendekatan
transformasional adalah sebuah proses yang mengubah dan mentransformasikan individu.
Pendekatan ini berhubungan dengan nilai-nilai, etika, standar, dan tujuan-tujuan jangka
panjang. Kepemimpinan transformasional mampu menilai motif para pengikutnya,
memuaskan kebutuhan mereka dan memperlakukan mereka sebagai manusia seutuhnya.
Pendekatan ini merupakan sebuah proses yang menggolongkan kepemimpinan berkarisma
dan bervisi. Kepemimpinan transformasional merupakan pendekatan rumityang dapat
digunakan untuk mendeskripsikan banyak hal tentang kepemimpinan, mulai dari usaha yang
sangat spesifik untuk mempengaruhi para pengikutnya pada tingkat satu-satu, sampai pada
usaha yang sangat luas untuk mempengaruhi seluruh organisasi dan bahkan seluruh budaya.
Meskipun pemimpin transformational mempunyai peranan yang sangat penting dalam
mempercepat perubahan, para pengikut dan para pemimpin sangat terikat sehingga tidak
mungkin dapat lepas dalam proses transformasi (Northouse, 2007)
Kepemimpinan transformasional dipilih untuk penelitian ini, karena kepemimpinan ini
komprehensif dan sesuai dengan konteks sekolah yakni berbasis upaya untuk mendorong
guru, partisipasi ganda stakeholder dalam keputusan sekolah, dan mengurangi dukungan
untuk teori perubahan ke atas dan bawah. Walaupun sering kali diukur sebagai suatu ciri
global, kepemimpinan transformasional merupakan bentuk multi dimensi yang melibatkan
tiga kelompok: karisma (mengenali dan menyokong suatu visi organisasi), dorongan
intelektual anggota, dan pertimbangan individu (Bass dan Avolio, 1994).
4. Aspek-Aspek Kepemimpinan Transformasional.
Kepemimpinan trasformasional perhatian dengan kinerja para pengikut dan juga
pengembangan potensi mereka secara maksimal. Para individu yang menunjukkan
kepemimpinan transformasional kebanyakan memiliki nilai-nilai internal dan cita-cita yang
kuat, dan mereka bertindak efektif dalam memotivasi para pengikutnya untuk bertindak
dengan cara-cara yang mendukung kepentingan bersama ketimbang kepentingan pribadi
(Kuhnert,1994).
Menurut Bass dan Avolio (1994), kepemimpinan kharismatik memiliki empat aspek
yaitu:
a. Charisma or Idealized Influence
Karisma atau pengaruh yang diidealkan, faktor ini mendeskripsikan para pemimpin
bertindak sebagai model yang berperan kuat bagi para pengikutnya; pengikut mengenali
para pemimpinnya dan sangat ingin menyamai mereka. Para pemimpin ini biasanya
mempunyai standard moral dan etika penyelenggaraan yang sangat tinggi dan dapat
dihitung dalam melakukan hal yang benar. Mereka dihormati secara penuh oleh para
pengikutnya, yang biasanya menempatkan kepercayaan besar terhadap mereka. Mereka
memberikan sebuah visi dan misi pada pengikutnya.
b. Inspirational Motivation
Motivasi yang memberikan inspirasi, merupakan deskripsi pemimpin yang
menyampaikan harapan-harapan tinggi kepada para pengikutnya, menginspirasi mereka
melalui motivasi untuk berkomitmen dan menjadi bagian dari visi bersama organisasi
seperti sekolah. Pada prakteknya, para kepala sekolah menggunakan simbol dan hubungan
emosi untuk memfokuskan usaha anggota kelompok untuk mencapai lebih dari apa yang
diharapkan sesuai dengan kepentingan masing-masing. Semangat tim guru ditingkatkan
lewatmotivasi aspiratif. Contoh dari motivasi aspiratif adalah seorang kepala sekolah yang
memotivasi para guru dan bagian administrasi agar unggul dalam pekerjaan mereka lewat
kata-kata dan percakapan pendek yang membangkitkan semangat, kepala sekolah tersebut
secara jelas menyebutkan peran menyeluruh mereka dalam perkembanganorganisasi di
masa mendatang.
c. Intellectual Stimulation
Stimulasi intelektual, meliputi kepemimpinan yang mendorong para pengikutnya
untuk menjadi kreatif dan inovatif, dan untuk menantang keyakinan dan nilai-nilai mereka
sendiri para pemimpin dan organisasi. Stimulasi intelektual mendukung pengikutnya
karena mereka mencoba pendekatan-pendekatan baru dan mengembangkan cara-cara
inovatif yang berhubungan dengan organisasi sekolah. Stimulasi intelektual mendorong
para pengikut yakni para guru untuk berpikir dan memecahkan masalah secara cermat.
Contoh dari stimulasi intelektual yakni kepala sekolah yang mendorong usaha-usaha
individu guru untuk mengembangkan cara yang unik dalam memecahkan masalah yang
menyebabkan menurunannya kualitas pendidikan dan pembelajaran.
d. Individualize Consideration
Pertimbangan individu merupakan faktor transformasional yang mewakili para
pemimpin dalam memberikan iklim yang mendukung dan mendengarkan kebutuhan
individu para pengikutnya dengan cermat. Pemimpin bertindak sebagai pelatih dan
penasihat sambil mecoba untuk membantu individu-individu agar teraktualisasi secara
penuh. Para pemimpin ini dapat menggunakan delegasi sebagai alat untuk membantu para
pengikut yakni para guru agar tumbuh melalui tantangan-tantangan pribadi. Contoh
Pertimbangan individulah kepala sekolah yang mengarahkan setiap anggota organisasi,
setiap guru dengan cara unik dan peduli. Bagi beberapa guru, kepala sekolah dapat
memberikan hubungan kuat, sedangkan bagi anggota yang lainnya kepala sekolah dapat
memberikan arahan-arahan khusus dengan tingkat struktur yang tinggi.
Selanjutnya keempat aspek kepemimpinan transformasional menurut Bass dan Avolio
(1995) tersebut akan digunakan sebagai pengukuran skala kepemimpinan transformasional
pada penelitian ini. Hal ini dikarenakan keempat aspek tersebut cukup lengkap
menggambarkan kepemimpinan transformasional kepala sekolah.
Komariah dan Triatna (2008) menyebutkan bahwa kepemimpinan transformasional
dapat dilihat secara mikro maupun makro. Secara mikro kepemimpinan transformasional
merupakan proses mempengaruhi antar individu, sementara secara makro merupakan
proses memobilisasi kekuatan untuk mengubah sistem sosial dan mereformasi
kelembagaan. Menurut Burns (dalam Northouse 2007:176), kepemimpinan
transformasional merupakan sebuah proses saling menguatkan diantara para pemimpin dan
pengikut ke tingkat moralitas dan motivasi yang lebih tinggi. Kepemimpinan
transformasional bukan hanya langsung dan top-down (dari atas ke bawah), namun juga
dapat diamati secara tidak langsung, dari bawah ke atas (Bottom up), dan secara horizontal.
Pemimpin disini bukan hanya mereka yang berada pada level-manajerial tertinggi didalam
organisasi, tetapi juga mereka yang berada pada level formal dan informal, tanpa
memperhatikan posisi atau jabatan mereka.
Penelitian yang dilakukan Bartling & Bartlett (2005) menunjukkan bahwa
kepemimpinan transformasional 3,27 lebih besar dari rata-rata kepemimpinan transaksional
1,95 yang kemudian lebih besar daripada rata-rata kepemimpinan laissez-faire 0,79.
Wawancara yang dilakukan dengan 133 guru dari sembilan sekolah dasar dan tiga sekolah
menengah memberikan bukti data untuk penelitian yang dilakukan Leithwood dan Jantzi
(1999). Pembentukan visi, pembentukan kultur, pembentukan konsensus tentang tujuan
kelompok,pertimbangan individu dan dorongan kecerdasanmemberikan sumbangan besar
terhadap inisiatif untuk perubahan guru pada sekolah-sekolah ini (Leithwood dan Jantzi,
1999).
Berdasarkan pemaparan tersebut, dapat disimpulkan bahwa bahwa hubungan kepala
sekolah-guru yang dilakukan dengan penyatuan tujuan, mampu menciptakan kesatuan dan
tujuan bersama. Seorang guru yang mempersepsikan Kepala sekolah sebagai pribadi yang
mampu memotivasi para agar bekerja untuk mencapai kepentingan bersama, menciptakan
prestasi, dan tetap melakukan aktualisasi diri, mendorongnya untuk berperilaku sesuai dengan
yang diharapkan Lembaga. Hal tersebut pada akhirnya akan membantu guru meningkatkan
kinerjanya. Pada penelitian yang dilakukan oleh Kaihatu dan Rini (2007) menjelaskan bahwa
bahwa penerapan kepemimpinan transformasional dari kepala sekolah meningkatkan kualitas
kehidupan kerja, dan hal ini cenderung akan meningkatkan perilaku kewargaan organisasi
dari para guru.
Dari beberapa teori tersebut diatas, ada beberapa teori yang dapat digunakan untuk
menjelaskan mengenai persepsi kepemimpinan transformasional. Penulis menggunakan teori
dari Bass yang akan dipakai sebagai skala pengukuran persepsi kepemimpinan transformasional,
dengan pertimbangan teori tersebut dapat mewakili konsep kepemimpinan transformasional.
C. Organizational Citizenship Behaviour (OCB)
1. Pengertian Organizational Citizenship Behaviour (OCB)
Konsep Organizational Citizenship Behaviour (OCB) pertama kali didiskusikan
dalam literatur penelitian organisasional pada awal 1980an. Robbins (2006) mengemukakan
bahwa OCB merupakan perilaku pilihan yang tidak menjadi bagian dari kewajiban kerja
formal seorang karyawan, namun mendukung berfungsinya organisasi tersebut secara efektif.
Menurut Organ, Organizational Citizenship Behaviour (OCB) adalah perilaku
individu yang bebas, tidak secara langsung atau eksplisit diakui dalam sistem pemberian
penghargaan dan dalam mempromosikan fungsi efektif organisasi. Atau dengan kata lain,
Organizational Citizenship Behaviour (OCB) adalah perilaku karyawan yang melebihi peran
yang diwajibkan, yang tidak secara langsung atau eksplisit diakui oleh sistem reward formal
(Organ, dalam Bolino, Turnley dan Bloodgood, 2002). Bebas dalam arti bahwa perilaku
tersebut bukan merupakan persyaratan yang harus dilaksanakan dalam peran tertentu atau
deskripsi kerja tertentu, atau perilaku yang merupakan pilihan pribadi (Podsakoff dalam
Bolino, Turnley dan Bloodgood, 2002)).
Organizational Citizenship Behaviour (OCB) juga sering diartikan sebagai perilaku
yang melebihi kewajiban formal (ekstra role) yang tidak berhubungan dengan kompensasi
langsung. Artinya, seseorang yang memiliki Organizational Citizenship Behaviour (OCB)
tinggi tidak akan dibayar dalam bentuk uang atau bonus tertentu, namun Organizational
Citizenship Behaviour (OCB) lebih kepada perilaku sosial dari masing-masing individu untuk
bekerja melebihi apa yang diharapkan, seperti membantu rekan di saat jam istirahat dengan
sukarela adalah salah satu contohnya.
Kedudukan Organizational Citizenship Behaviour (OCB) sebagai salah satu bentuk
perilaku extra-role, telah menarik perhatian dan perdebatan panjang di kalangan praktisi
organisasi, peneliti maupun akademisi. Podsakoff (2000) mencatat lebih dari 150 artikel yang
diterbitkan di jurnal-jurnal ilmiah dalam kurun waktu 1997 hingga 1998. Basis dari perilaku
extra-role dapat ditemukan dalam analisis organisasional yang dilakukan Barnard (1938,
dalam Turnipseed dan Murkison, 1996), yang menekankan adanya kemauan para anggota
organisasi untuk memberikan kontribusi pada organisasi.
Berdarkan hal tersebut, dapat disimpulkan bahwa Organizational Citizenship
Behaviour (OCB) adalah perilaku dari individu untuk bekerja melebihi ketentuan dan tututan
dari peran yang diwajibkan. Seorang guru yang memiliki perilaku Organizational Citizenship
Behaviour (OCB) yang tinggi, berarti juga memiliki kecintaan dan loyalitas terhadap sekolah,
hal tersebut mendorongnya untuk memberikan upaya atau kinerja yang terbaik bagi kemajuan
sekolah.
2. Dimensi Perilaku Organizational Citizenship Behaviour (OCB)
Menurut Organ (1990) Organizational Citizenship Behaviour (OCB) mempunyai
lima dimensi yaitu:
a. Altruism merupakan perilaku yang membantu orang lain dalam menghadapi
masalah dalam pekerjaannya.
b. Courtesy menunjukkan sikap sopan santun dan hormat yang ditunjukkan dalam
setiap perilaku.
c. Conscientiousness mengacu pada perilaku seseorang yang tepat waktu, tingkat
kehadiran tinggi, dan berada di atas persyaratan normal yang diharapkan.
d. Sportmanships menunjukkan seseorang yang tidak suka memprotes atau
mengajukan ketidakpuasan terhadap masalah-masalah kecil.
e. Civic virtue menunjukkan kontribusi terhadap isu-isu politik dalam suatu organisasi
pada suatu tanggung jawab.
Marshall (dalam Vigoda dan Golembiewski, 2001) mengemukakan bahwa secara
umum citizenship behavior merujuk pada 3 elemen utama yaitu, kepatuhan (obedience),
loyalitas (loyalty), dan partisipasi. Kepatuhan dan loyalitas secara alami merupakan definisi
citizenship dalam pengertian yang luas, sehingga esensi dari citizenship behavior adalah
partisipasi. Dalam partisipasi, perhatian terutama ditujukan pada arena nasional (governance),
arena komunal (local lives), dan arena organisasional (tempat kerja). Graham (dalam Bolino,
Turnley dan Bloodgood, 2002) memberikan konseptualisasi OCB yang berbasis pada filosofi
politik dan teori politik modern.
Dengan menggunakan perspektif teoritis ini, Graham mengemukakan tiga bentuk
Organizational Citizenship Behaviour (OCB) yaitu:
a. Ketaatan (Obedience) yang menggambarkan kemauan karyawan untuk menerima dan
mematuhi peraturan dan prosedur organisasi.
b. Loyalitas (Loyality) yang menggambarkan kemauan karyawan untuk menempatkan
kepentingan pribadi mereka untuk keuntungan dan kelangsungan organisasi.
c. Partisipasi (Participation) yang menggambarkan kemauan karyawan untuk secaraaktif
mengembangkan seluruh aspek kehidupan organisasi. Partisipasi terdiri dari:
1) Partisipasi sosial yang menggambarkan keterlibatan karyawan dalam urusan-urusan
organisasi dan dalam aktivitas sosial organisasi. Misalnya: selalu menaruh perhatian
pada isu-isu aktual organisasi atau menghadiri pertemuan pertemuan tidak resmi.
2) Partisipasi advokasi, yang menggambarkan kemauan karyawan untuk mengembangkan
organisasi dengan memberikan dukungan dan pemikiran inovatif. Misalnya: memberi
masukan pada organisasi dan memberi dorongan pada karyawan lain untuk turut
memberikan sumbangan pemikiran bagi pengembangan organisasi.
3) Partisipasi fungsional, yang menggambarkan kontribusi karyawan yang melebihistandar
kerja yang diwajibkan. Misalnya: kesukarelaan untuk melaksanakan tugas ekstra,
bekerja lembur untuk menyelesaikan proyek penting, atau mengikuti pelatihan
tambahan yang berguna bagi pengembangan organisasi.
Dari beberapa teori diatas, lima dimensi Organizational Citizenship Behaviour (OCB)
dari Organ (1990) yang terdiri dari altruism, courtesy, conscientiousness, sportmanships, dan
civic virtue, akan dijadikan aspek dalam mengukur Organizational Citizenship Behaviour
(OCB) pada penelitian ini.
3. Perilaku Organizational Citizenship Behaviour (OCB) dan Kinerja
Katz (1964, dalam Bolino, Turnely dan Bloodgood, 2002) mengemukakan bahwa
organisasi akan berfungsi lebih efektif jika karyawan memberikan kontribusi yangmelebihi
tugas-tugas formalnya. Banyak peneliti lebih memprioritaskan studinya pada identifikasi
faktor-faktor anteseden OCB, misalnya yang dilakukan oleh Organ dan Ryan serta Podsakoff
et al (dalam Bolino, Turnley, dan Bloodgood, 2002). Namun Karambayya (1989) telah
melakukan pengujian secara empiris tentang hubungan antara OCB dan kinerja organisasi.
Dikemukakan bahwa karyawan yang bekerja pada organisasi yang memiliki kinerja yang
tinggi mempunyai OCB yang lebih baik, dibandingkan dengan mereka yang bekerja pada
organisasi yang memiliki kinerja kurang baik. Pada penelitian yang dilakukan dengan studi
longitudinal dengan sampel 27 restauran di AS, Koys (2001, dalam Bolino, Turnley, dan
Bloodgood, 2002).menemukan bahwa OCB mempunyai pengaruh signifikan pada efektivitas
organisasi. Ditambahkan lebih lanjut oleh Bolino, Turnley, dan Bloodgood bahwa OCB dapat
memfasilitasi kinerja organisasi dengan “memberi pelumas” pada mesin sosial organisasi.
Sedangkan menurut Organ 1988; Podsakoff dan MacKenzie, (1997, dalam Bolino, Turnley,
dan Bloodgood, 2002), secara spesifik OCB dapat mempengaruhi kinerja organisasi dalam
hal:
a. Mendorong peningkatan produktivitas manajer dan karyawan
b. Mendorong penggunaan sumber-sumber daya yang dimiliki organisasi untuk tujuan yang
lebih spesifik
c. Mengurangi kebutuhan untuk menggunakan sumberdaya organisasi yang langka pada
fungsi pemeliharaan
d. Menfasilitasi aktivitas koordinasi diantara anggota tim dan kelompok kerja
e. Lebih meningkatkan kemampuan organisasi untuk memelihara dan mempertahankan
karyawan yang berkualitas dengan membuat lingkungan kerja sebagai tempat yang lebih
menyenangkan untuk bekerja
f. Meningkatkan stabilitas kinerja organisasi dengan mengurangi keragaman variasi kinerja
dari masing-masing unit organisasi.
g. Meningkatkan kemampuan organisasi untuk melakukan adaptasi terhadap perubahan
lingkungan.
Penelitian yang dilakukan oleh Bogler dan Somech (2005) pada 983 guru SMP dan
SMA di Israel menunjukkan bahwa, OCB yang dimiliki para guru sangat berpengaruh pada
partisipasi mereka dalam pengambilan keputusan sehingga mempunyai dampak yang
signifikan terhadap keberhasilan sekolah dalam mencapai tujuannya.
Van Dyne et al. (1994, dalam Bolino, Turnley dan Bloodgood, 2002), bahkan sudah
mengembangkan kerangka hubungan antaraOCB, modal sosial, dan kinerja organisasi.
Dijelaskan lebih lanjut bahwa dimensi OCB meliputi loyalitas, kepatuhan, partisipasi
fungsional, partisipasi sosial dan partisipasi advokasi, berinteraksi dengan modal sosial yang
dimiliki organisasi yaitu dimensi struktural, dimensi relasional, dan dimensi kognitif
mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap peningkatan kinerja organisasi.
Sedangkan Ariani (2008) dalam penelitiannya menemukan bahwa OCB merupakan
perilaku positif di tempat kerja yang mendukung kinerja individu dan keefektifan organisasi.
Sebagai perilaku di luar peran yang harus dimainkan, sesungguhnya OCB tidak dapat
dipisahkan dari perilaku kerja yang dituntut dalam pekerjaannya atau yang sesuai dengan
peran yang dimainkannya. Ditambahkan oleh Ariani, organisasi bisa mengaplikasikan hal
tersebut dalam penilaian kinerja karyawan mengingat perilaku di luar peran juga menjadi
standar yang harus dipenuhi karyawan untuk menilai kinerja karyawan.
Selain itu, organisasi dapat mendorong agar karyawan berlaku positif, misalnya
membantu karyawan lain dan saling mendukung dalam tim. Karena ada karyawan yang dengan
suka rela membantu teman lain, tetapi ada juga pribadi yang harus didorong terlebih dulu oleh
organisasi. Dalam seleksi karyawan pun, organisasi bisa memilih karyawan yang mempunyai
kepribadian positif. Lebih penting dari semua itu, organisasi dapat membentuk lingkungan yang
kondusif yang dapat mendorong OCB dalam berbagai kegiatan.
Mengacu pada tugas pokok sebagai guru yaitu, pertama, merancang program kegiatan
pembelajaran untuk anak di kelas yang diampunya, kedua, hadir tepat waktu dan melaksanakan
proses pembelajaran sesuai program yang telah direncanakan untuk anak di kelas yang
diampunya, ketiga, mencatat dan membuat penilaian perkembangan anak untuk anak di kelas
yang diampunya, keempat, menjalin hubungan yang baik dengan semua warga sekolah, kelima
mengikuti kegiatan rapat atau pelatihan yang diadakan di lembaga, keenam turut serta menjaga
nama baik lembaga, maka perilaku OCB yang diharapkan muncul dari guru yaitu perilaku yang
melebihi standard yang diharapkan. Misalnya, pada tugas hadir tepat waktu, maka guru bukan
hanya hadir tepat waktu namun datang lebih awal untuk menyiapkan pembelajaran. Contoh yang
lain pada tugas menjaga nama baik lembaga, maka guru bukan hanya bersikap baik sesuai
norma, namun bahkan berprestasi dalam lomba diluar lembaga sehingga membawa nama baik
lembaga.
D. Pengaruh Persesi Kepemimpinan Transformasional dan Organizational Citizenship
Behaviour terhadap Kinerja Guru
Mathis dan Jackson (2006) menjelaskan bahwa kinerja guru adalah yang
mempengaruhi seberapa banyak mereka memberi kontribusi kepada organisasi.” Berdasarkan
pendapat di atas maka perbaikan kinerja baik untuk individu maupun kelompok menjadi pasal
perhatian dalam upaya meningkatkan kinerja organisasi sekolah. Kuswana (2008:3)
mengemukakan bahwa kinerja guru dikatakan berhasil apabila, memberikan efek terhadap
perkembangan potensi siswa dalam konteks psikologis dan fisik, yakni bersifat positif
terhadap apa yang dipelajarinya, baik dilihat dari tujuan serta manfaatnya. Sehingga
kecerdasan kognitif, efektif dan psikomotif berkembang. Intinya apakah terjadi perubahan
perilaku, berfikir sistematis dan terampil mengenai apa yang terjadi.
Berdasarkan pemarapan dari tinjauan pustaka, dapat diketahui bahwa terdapat
beberapa faktor yang mempengaruhi baik dan buruknya kinerja guru. Faktor yang pertama
yaitu kepemimpinan transformasional. Bass (1985) mendefinisikan kepemimpinan
transformasional didasarkan pada pengaruh dan hubungan pemimpin dengan pengikut atau
bawahan. Para pengikut merasa percaya, mengagumi, loyal dan menghormati pemimpin, serta
memiliki komitmen dan motivasi yang tinggi untuk berprestasi dan berkinerja yang lebih
tinggi. Seorang pemimpin transformasional dapat memotivasi para pengikutnya dengan tiga
cara (Yukl, 2006), yaitu:
(1) Membuat mereka lebih sadar mengenai pentingnya hasil‐hasil suatu pekerjaan, (2)
Mendorong mereka untuk lebih mementingkan organisasi atau tim daripada kepentingan diri
sendiri, dan (3) Mengaktifkan kebutuhan‐kebutuhan mereka pada yang lebih tinggi.
Kepemimpinan transformasional dari kepala sekolah yang diharapkan mampu untuk
memberikan dorongan dan motivasi untuk guru-guru mampu berpikir kreatif dan inovatif
serta pemimpin yang mampu menumbuhkan rasa peduli terhadap tujuan atau visi lembaga.
Sehingga guru akan melakukan tugasnya dengan penuh sukacita, bahkan melebihi apa yang
diharapkan oleh organisasi dengan perilaku ekstra peran atau guru bersedia melakukan tugas-
tugas diluar kewajibannya.
Faktor kedua yang ikut berperan dalam peningkatan kinerja guru berasal dari diri
pribadi guru tersebut yaitu Organizational Citizenship Behaviour (OCB). Menurut Organ,
Organizational Citizenship Behaviour (OCB) adalah perilaku individu yang bebas, tidak
secara langsung atau eksplisit diakui dalam sistem pemberian penghargaan dan dalam
mempromosikan fungsi efektif organisasi. Organizational Citizenship Behaviour (OCB) juga
sering diartikan sebagai perilaku yang melebihi kewajiban formal (ekstra role) yang tidak
berhubungan dengan kompensasi langsung. Artinya, seseorang yang memiliki Organizational
Citizenship Behaviour OCB tinggi tidak akan dibayar dalam bentuk uang atau bonus tertentu,
namun Organizational Citizenship Behaviour OCB lebih kepada perilaku sosial dari masing-
masing individu untuk bekerja melebihi apa yang diharapkan, seperti membantu rekan di saat
jam istirahat dengan sukarela adalah salah satu contohnya. Guru yang memiliki sikap
Organizational Citizenship Behaviour (OCB) yang tinggi, akan mampu melakukan kegiatan
belajar mengajar dengan efektif dan efisien serta pada akhirnya akan meningkatkan kinerja
guru.
E. Landasan Teori
Berpijak pada kajian pustaka, maka landasan teori penulisan tesis ini yaitu persepsi
kepemimpinan transformasional merupakan pendekatan yang dapat digunakan untuk
mendeskripsikan banyak hal tentang kepemimpinan, mulai dari usaha yang sangat spesifik untuk
mempengaruhi para pengikutnya pada tingkat satu-satu, sampai pada usaha yang sangat luas
untuk mempengaruhi seluruh organisasi dan bahkan seluruh budaya. Menurut Bass dan Avolio
(1994), terdapat empat aspek yang dapat digunakan dalam mengkur kepemimpinan
transformasional yaitu yaitu, idealized influence, inspirational motivation, intellectual
stimulation, individualize consideration. Hubungan kepala sekolah-guru mampu menciptakan
kesatuan dan tujuan bersama. Kepala sekolah memotivasi para guru agar bekerja untuk mencapai
kepentingan bersama, menciptakan prestasi, dan tetap melakukan aktualisasi diri. Hal tersebut
pada akhirnya akan membantu guru meningkatkan kinerjanya. Organizational Citizenship
Behaviour (OCB) merupakan perilaku individu yang bebas, tidak secara langsung atau eksplisit
diakui dalam sistem pemberian penghargaan dan dalam mempromosikan fungsi efektif
organisasi (Organ, 1990). Aspek-aspek OCB yaitu, altruism, conscientiousness, civic virtue,
courtesy dan sportmanships. Sesuai dengan teori Organizatonal Citizenship behavior (OCB),
seorang guru di lembaga diharapkan memiliki sikap partisipasi sosial yang baik, memiliki
keterlibatan yang tinggi dalam kehidupan organisasi dengan memberikan dukungan dan
pemikiran inovatif tanpa selalu dikaitkan dengan upah atau kompensasi. Jika seorang guru telah
mampu berprilaku sesuai dengan Organizatonal Citizenship behavior (OCB), maka hal tersebut
akan meningkatkan kinerja gur tersebut.
Persepsi kepemimpinan Transformasional dan Organizatonal Citizenship behavior
(OCB) baik secara sendiri maupun secara bersama-sama mampu memberikan korelasi yang
cukup signifikan terhadap kinerja guru. Pada lingkungan pembelajaran, peran kepala sekolah
dalam memberikan memotivasi dan mendorong bawahannya untuk selalu berinovasi, bekerja
keras, dan bersikap professional, akan dapat mendorong setiap guru untuk memaksimalkan
kinerjanya untuk mencapai tujuan pendidikan. Disamping itu, adanya perilaku guru untuk
bersikap dan bekerja melebihi tugas pokoknya sesuai dengan teori Organizatonal Citizenship
behavior (OCB) akan mendorong guru tersebut untuk senantiasa melakukan inovasi dalam
kegiatan pengajaran dan meningkatkan kinerjanya.
Dari uraian di atas maka dapat divisualisasikan dalam gambar kerangka teori sebagai
berikut :
Keterangan gambar :
Prediktor : Persepsi kepemimpinan transformasional dan OCB
Kriterium : Kinerja guru
a : Persepsi kepemimpinan transformasional berpengaruh terhadap
kinerja guru.
b
c
a
PREDIKTOR
Persepsi Kepemimpinan
Transformasional:
1. Kharisma
2. Inspirasional
3. Intelektual
4. Perhatian Pesonal
Organizational
Citizenship Behaviour:
1. Altruism
2. Courtesy
3. Conscientiousness
4. Sportmanship
5. Civic Virtue
KRITERIUM
Kinerja Guru:
1. Aspek Pedagogik
2. Aspek Kepribadian
3. Aspek Profesional
4. Aspek Sosial
Gambar 1 Kerangka Teori
b : OCB berpengaruh terhadap kinerja guru
c : Persepsi kepemimpinan transformasional dan OCB secara
bersama berpengaruh terhadap kinerja guru
F. Hipotesis Penelitian
Berdasarkan pada landasan teori tersebut, maka hipotesis yang diajukan pada penelitian
ini yaitu:
Hipotesis Mayor : Ada pengaruh yang signifikan secara simultan antara persepsi kepemimpinan
tranformasional dan perilaku Organizational Citizenship Behaviour (OCB)
terhadap kinerja guru Pendidikan Anak Usia Dini non formal di Kabupaten
Bantul.
Hipotesis Minor : Pengaruh persepsi kepemimpinan transformasional terhadap kinerja guru
lebih besar dibandingkan dengan pengaruh OCB terhadap kinerja guru.