bab ii tinjauan pustaka a. intensi mogok kerja 1. …eprints.mercubuana-yogya.ac.id/4050/3/bab...
TRANSCRIPT
18
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Intensi Mogok Kerja
1. Pengertian Mogok Kerja
Intensi menurut Fishbein dan Ajzen (1975) dalam Meilinda (2013)
diartikan sebagai niat seseorang untuk melakukan perilaku yang didasari oleh
sikap terhadap perilaku, norma subjektif, dan persepsi terhadap kontrol
perilaku tersebut.
Menurut Ajzen (2006) intensi yaitu kombinasi antara sikap terhadap
perilaku, norma subjektif, dan persepsi kontrol terhadap perilaku. Semakin
baik sikap dan norma subjektif, dan semakin besar kontrol subjektif yang
dirasakan maka akan semakin kuat keyakinan seseorang untuk mencoba suatu
perilaku.
Berdasarkan pasal 1 ayat 23 Undang-Undang nomor 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjan, pengertian mogok kerja adalah tindakan pekerja
atau buruh yang direncanakan dan dilaksanakan secara bersama-sama dan
atau oleh serikat pekerja/serikat buruh untuk menghentikan atau
memperlambat pekerjaan. Black’s Law Dictionary (1968) mendefenisikan
mogok kerja adalah tindakan berhenti bekerja oleh sekelompok pekerja
dalam tujuan untuk menuntut kepada majikan mereka untuk menyetujui
permintaan mereka terhadapnya, dan yang telah ditolaknya.
Pemogokan (strike) menurut Flipo (2003) adalah tindakan
sekelompok pekerja yang bersifat sementara dan secara bersama-sama, yang
19
berupaya menghentikan pekerjaan pada pengusaha untuk memperoleh
kelonggaran yang lebih besar dalam suatu hubungan industrial terhadap apa
yang hendak diberikan pengusaha pada perundingan. Pemogokan merupakan
senjata ekonomi terakhir dari pekerja, yang dapat memaksa pengusaha untuk
menerima tuntutan pekerja.
Menurut Surya dkk (2012) mogok dapat didefenisikan sebagai
penghentian kerja secara kolektif (bersama-sama) dengan tujuan menekan
pengusaha/pemerintah untuk memajukan kepentingan pekerja/buruh. Mogok
memiliki dua fungsi penting. Fungsi pertama ialah sebagai sarana
mengungkapkan pendapat/pandangan pekerja/buruh dalam artian ini, mogok
adalah bentuk protes yang bersifat demokratis. Mogok dapat dipergunakan
oleh pekerja/buruh untuk mengungkap ketidakpuasan, misalnya karena
kondisi kerja yang buruk. Mogok bisa merupakan reaksi spontan dari para
pekerja/buruh. Mogok juga dapat diorganisir oleh serikat pekerja/buruh.
Fungsi kedua ialah untuk mengembalikan atau memperoleh keseimbanggan
atau kesetaraan dalam posisi tawar antara pengusaha dengan pekerja/buruh.
Kenyataan bahwa serikat pekerja/buruh dapat bernegosiasi dengan pengusaha
untuk dan atas nama buruh tidak serta merta berarti bahwa pekerja/buruh
berada dalam posisitawar setara dalam perundingan dengan pengusahaan.
Menurut Ambarepto dkk (2006) mogok kerja adalah suatu tindakan
yang dilakukan oleh para pekerja dengan maksud untuk menekan pengusaha
agar bersedia memenuhi kehendaknya/tuntutannya. Adapun menurut Sulistyo
(1995), pemogokan adalah bagian dari usaha perundingan dengan pihak
20
manajer, pemogokan bagi buruh adalah cara yang terakhir berunding dengan
pengusaha untuk melakukan perbaikan hidup.
Berdasarkan penjelasan tersebut maka menurut peneliti pengertian
intensi mogok kerja adalah niat seseorang untuk melakukan mogok kerja
yang direncanakan dan dilaksanakan secara bersama-sama dan atau oleh
serikat pekerja/serikat buruh untuk menghentikan atau memperlambat
pekerjaan.
2. Jenis-Jenis Pemogokan Kerja
Jenis-jenis pemogokan kerja menurut Sulistyo (1995) adalah:
a. Boycot, yaitu mogok yang melarang setiap orang yang bermaksud
bekerja dalam sebuah pabrik.
b. Blokade, yaitu mogok yang berusaha mencegah pengangkutan barang-
barang ke pabrik.
c. Afmating, yaitu mogok yang berusaha memperlambat penyelesaian
pekerjaan , sehingga pengusaha mengalami kerugian.
d. Gedeeltelijk Staking, yaitu usaha pemogokan yang dilakukan pada
sebagian dari pekerjaan dalam pabrik.
e. Geheel Staking, yaitu pemogokan pada seluruh kegiatan pekerjaan di
dalam pabrik.
f. Plaatselijk Staking, yaitu pemogokan pada satu pabrik milik sebuah
perusahaan yang memiliki beberapa pabrik.
g. Centrale Staking, yaitu pemogokan pada seluruh pabrik milik sebuah
perusahaan.
21
Jenis-jenis mogok kerja menurut Francois Dumas dalam Fajar (2013)
adalah: Wildcat strike (mogok kerja tidak teratur) yaitu mogok kerja yang
tidak disetujui oleh serikat pekerja, Piston strike yaitu mogok dengan berhenti
seluruh pekerja, Secondary boycott berupa menyebar selebaran kepada
konsumen untuk tidak menggunakan produk perusahaan tersebut, Buzzing
strike yaitu mogok dengan membuat keributan, Sit down strike yaitu mogok
dengan cara duduk di dalam perusahaan, Sympathy strike (mogok kerja
memperlambat pekerjaan) yakni mogok yang dilakukan ketika para pekerja
masih bekerja, tapi sangat lambat sehingga target kerja tidak tercapai, Green
ban (mogok kerja penghijauan) yakni mogok kerja yang dilakukan untuk
menekan agar perusahaan mengadopsi praktek-praktek produksi yang lebih
ramah lingkungan.
Selain jenis mogok di atas, ada salah satu jenis mogok yang unik
yang pernah dilakukan oleh pekerja perempuan di Sudan, Kenya dan
Kolombia. Di mana untuk menghentikan konflik perang di sana pekerja
perempuan menyerukan untuk melakukan mogok seks (sexual strike)
terhadap kaum laki-laki. Tujuannya supaya pemerintah dan kaum laki-laki
yang mayoritas sebagai tentara meletakkan senjata mereka demi perdamaian.
(Jacskson dan Steve, 2015)
Berdasarkan jenis-jenis mogok kerja tersebut, maka penelitian ini
mengacu pada jenis mogok kerja Geheel Staking atau Piston Strike yaitu
suatu pemogokan pada seluruh kegiatan di dalam pabrik.
22
3. Pengertian Intensi Mogok Kerja
Menurut Silverius (2009), intensi untuk mengikuti aksi kolektif (unjuk
rasa diluar atau di dalam perusahaan dan mogok kerja) adalah keinginan atau
kemauan buruh untuk ikut terjun ke lapangan bersama-sama dengan anggota
serikat buruh lainnya untuk memprotes suatu kebijakan atau tindakan
sewenang-wenang dari pengusaha atau penguasa. Hal ini menunjukkan
bahwa buruh juga menginginkan imbalan sebesar mungkin bagi tenaga
kerjanya; yakni, ia ingin upah yang lebih tinggi, dan “kondisi kerja yang
lebih baik”. (Eugene, 1989)
Menurut Mustafa (2006) keinginan karyawan untuk melakukan
mogok kerja adalah motivasi atau intensitas dorongan seseorang untuk
melakukan mogok kerja atau demonstraasi secara massal jika tuntutan
karyawan (yang berkaitan dengan keadilan) tidak atau belum dipenuhi oleh
perusahaan.
Intensi yang akan diukur dalam penelitian ini adalah intensi mogok
kerja dalam perspektif psikologi. Dari berbagai penjelasan sebelumya maka
menurut peneliti pengertian intensi mogok kerja adalah dorongan buruh yang
kuat untuk berhenti bekerja, sebagai upaya agar mendapatkan keadilan dari
pemilik perusahaan.
23
4. Aspek-Aspek Intensi Mogok Kerja
Intensi perilaku menurut Ajzen (1988) dapat dipengaruhi oleh tiga
aspek, yaitu:
a. Sikap terhadap perilaku mogok kerja
Sikap terhadap perilaku yang akan dilakukan dipengaruhi oleh
keyakinan individu bahwa melakukan perilaku tertentu akan membawa
pada konsekuensi-konsekuensi tertentu (behavioral beliefs) dan penilaian
individu terhadap konsekuensi-konsekuensi yang akan terjadi pada
individu (outcome evaluations). Meneurut Fishbein dan Ajzen dalam
Djamaludin (1993), sikap yang terbentuk di dalam diri seseorang, apakah
itu sikap positif atau sikap negatif, tergantung pada segi positif atau segi
negatif dari komponen pengetahuan. Makin banyak segi positif dari
komponen pengetahuan maka makin penting komponen itu, atau banyak
segi negatifnya, maka makin negatif sikap terbentuk. Sebagai contoh :
Menurut perkiraan anda, apakah teman-teman anda setuju bila anda ikut
mogok kerja ?, atau pertanyaan : Menurut perkiraan anda, senangkah
teman-teman anda bila anda ikut mogok kerja ?.
b. Norma subjektif terhadap perilaku mogok kerja
Norma subjektif merupakan persepsi individu terhadap norma
sosial untuk menampilkan atau tidak menampilkan perilaku tertentu.
Norma subjektif ditentukan oleh keyakinan normatif (normative beliefs)
mengenai harapan-harapan kelompok acuan atau orang tertentu yang
dianggap penting terhadap individu dan motivasi individu untuk
24
memenuhi atau menuruti harapan tersebut (motivations to comply).
Menurut Fishbein dan Ajzen dalam Djamaludin (1993), seseorang dapat
terpengaruh oleh pandangan orang lain, dan dapat pula tidak terpengaruh.
Sejauh mana seseorang akan terpengaruh atau tidak terpengaruh, sangat
tergantung pada kekuatan di dalam menghadapi kehendak orang lain.
Sebagai contoh peryataan : Biasanya saya mematuhi saran teman-teman
saya mengenai apa yang harus saya lakukan.
c. Persepsi terhadap kontrol perilaku mogok kerja
Selain kedua aspek di atas, Ajzen memperluas teori mengenai
intensi tindakan yang beralasan (reasoned action theory) dengan
menambahkan aspek yang ketiga, yaitu persepsi terhadap kontrol
perilaku, dalam teori tingkah laku terencana (theory of planned
behavior). Persepsi terhadap kontrol perilaku merupakan penilaian
terhadap kemampuan atau ketidakmampuan untuk menampilkan
perilaku, atau penilaian seseorang mengenai seberapa mudah atau
seberapa sulit untuk menampilkan perilaku. Sebagai contoh pertanyaan :
menurut persepsi saya sosialisasi terkait hak-hak buruh melakukan
mogok sangat bermanfaat bagi saya ?
Contohnya, ribuan Pegawai Negeri Sipil (PNS), federal Australia,
melakukan aksi mogok kerja menuntut perbaikan upah. Mogok kerja
sebagai sebuah konsekuensi harus dilakukan karena para pegawai
menliai bahwa pemerintah mengabaikan tuntutan mereka selama
bertahun-tahun. Para pegawai berkeyakinan bahwa untuk mendapatkan
25
perbaikan standar hidup mereka maka, hanya dengan melakukan mogok
kerja serentak (geheel staking/piston strike). Sehingga, para pegawai di
lembaga jaminan kesehatan Medicare, Centrelink, kantor pajak,
Departemen Pertahanan, Biro Meteorologi, kantor Perdana Menteri serta
Biro Statistik, pegawai di lingkungan Departemen Pendidikan,
Departemen Lingkungan Hidup, dan instansi lainnya mereka saling
mendukung agar mampu memenangkan tuntutannya dalam pemogokan
serentak tersebut. (Kompas, 2016). Pemogokan juga pernah dilakukan
oleh pekerja kebersihan sekolah di Mantin, Malaisya. Mayoritas pekerja
adalah perempuan berkeluarga yang melakukan mogok kerja untuk
menuntut upah tiga bulan yang tidak dibayar oleh pihak kontraktor.
Pemogokan ini melibatkan 42 pekerja dari 8 sekolah di daerah Mantin.
(Solidariti Pekerja, 2018)
Berdasarkan uraian tersebut, maka dapat disimpulkan aspek-aspek
intensi mogok kerja menurut Ajzen (1988), yaitu sikap terhadap perilaku
mogok kerja, norma subjektif terhadap perilaku mogok kerja, dan persepsi
terhadap kontrol perilaku mogok kerja.
5. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Mogok Kerja
Pemogokan atau mogok kerja adalah merupakan salah satu persoalan
yang dapat meresahkan dunia usaha dan mengganggu hubungan kerja,
keharmonisan dalam hubungan industrial serta keharmonisan kehidupan
sosial masyarakat karena melibatkan banyak pihak yang terkait. Di lain pihak
bagi pekerja yang melakukan pemogokan kadang-kadang hanya merupakan
26
keterpaksaan sebagai akibat buntunya pembicaraan atau tidak adanya
komunikasi yang baik antara menejemen dengan para pekerja/buruh, pada
akhirnya mereka menempuh jalan mogok kerja demi menunjukkan integritas
hak mereka dalam perundingan. Adanya kebuntuan atau mis-komunikasi,
seakan tidak ada lagi jalan lain yang dapat ditempuh untuk dapat dipenuhinya
keinginan mereka (para) pekerja/buruh.
Hasil penelitian Hidayati dan Jemadi (2012) meyimpulkan bahwa ada
pengruh faktor finansial, faktor fisik, faktor psikologik, dan faktor sosial
secara bersama-sama maupun secara parsial terhadap tingkat potensi mogok
kerja para buruh.
Menurut As’ad dalam Hidayati dan Jemadi (2012) empat faktor
tersebut merupakan bagian dari kepuasan kerja yang dapat dijelaskan sebagai
berikut :
a. Faktor finansial, merupakan faktor yang berhubungan dengan jaminan
serta kesejahteraan karyawan yang meliputi sistem dan besarnya gaji,
jaminan sosial, macam-macam tunjangan, fasilitas yang diberikan,
promosi dan sebagainya.
b. Faktor fisik, merupakan faktor yang berhubungan dengan kondisi
lingkungan kerja dan kondisi fisik karyawan, meliputi jenis pekerjaan,
pengaturan waktu kerja dan waktu istirahat, perlengkapan kerja, keadaan
ruangan, suhu, penerangan, pertukaran udara, kondisi kesehatan
karyawan, umur dan sebagainya.
27
c. Faktor psikologis, merupakan faktor yang berhubungan dengan kejiwaan
karyawan yang meliputi minat, ketentraman dalam kerja, sikap terhadap
kerja, bakat dan ketrampilan.
d. Faktor sosial, merupakan faktor yang berhubungan dengan interaksi
sosial, baik antara sesama karyawan, dengan atasan, maupun karyawan
yang berbeda jenis pekerjaannya.
Menurut Yohanes dan Rani (2005) keadilan distributif secara
konseptual juga berkaitan dengan distribusi keadaan dan barang yang akan
berpengaruh terhadap kesejahteraan individu. Kesejahteraan individu yang
dimaksudkan meliputi aspek finansial dan fisik.
Mogok kerja tentu akan sangat merugikan perusahaan, karena proses
produksi akan terganggu yang selanjutnya akan menghambat dalam
pencapaian tujuan perusahaan. Untuk itu, perlu untuk menegakkan keadilan
sehingga menurut peneliti pihak manajemen harus melakukan upaya preventif
untuk meminimumkan potensi mogok kerja karyawan dengan memperhatikan
empat faktor tersebut di atas.
Menurut Rawls (2011) ada konflik kepentingan di atas karena orang
tidak sependapat mengenai bagaimana keuntungan yang dihasilkan akan
didistribusikan. Maka, dibutuhkan untuk memilih di antara berbagai tatanan
sosial yang menentukan pembagian keuntungan ini dan untuk mendorong
kesepakatan tentang bagian distributif yang layak. Keharusan-keharusan ini
menentukan peran keadilan. Syarat-syarat yang memunculkan kebutuhan-
kebutuhan ini adalah menciptakan kondisi keadilan.
28
Berdasarkan penjelasan tersebut, maka menurut peneliti faktor
finansial dan faktor fisik yang termasuk dalam bagian keadilan distributif
sangat berpengaruh terhadap terjadinya mogok kerja buruh.
Hasil penelitian Ratria (2008) tentang partisipasi buruh dalam aksi
unjuk rasa (mogok), menunjukkan bahwa mogok kerja disebabkan karena :
(1) sikap perusahaan tidak terbuka (85,3%), (2) perusahaan menerapkan
peraturan secara kaku (83,3%), (3) perusahaan kurang luwes (94,1%) dan
kurang tanggapnya manajemen perusahaan atas keluhan buruh (79,4%).
Selanjutnya hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa aturan dan manajemen
perusahaan mempunyai andil terhadap keikutsertaan buruh dalam aksi unjuk
rasa (mogok) nya.
Berdasarkan penjelasan tersebut, maka menurut peneliti bahwa faktor
keadilan prosedural dalam hal ini aturan dan manajemen perusahaan yang
adil sangat berpengaruh terhadap adanya aksi mogok kerja atau tidak pada
buruh.
Terkait dengan itu, maka menurut Ambarepto dkk (2006), faktor
penyebab yang mempengaruhi pemogokan secara garis besar adalah adanya
tuntutan hak yang bersifat normatif dan tuntutan non normatif. Tuntutan hak
yang bersifat normatif misalnya saja jamsostek, upah minimum
Kabupaten/Kota (UMK), upah lembur dan cuti. Sedangkan yang bersifat non
normatif seperti perbaikan menu makan dan uang makan, tunjangan transport
dan insentif lain. Sedangkan menurut Soewarto (2004), bahwa faktor
penyebab yang dominan mempengaruhi terjadinya pemogokan adalah hak-
29
hak normatif pekerja, seperti : upah minimum regional (UMR), pembentukan
serikat pekerja (SP), upah lembur, jamsostek, dan cuti, dan hal-hal non-
normatif seperti: kenaikan upah, tunjangan makan, dan tunjangan transport.
Selain itu para pengusaha juga masih belum sepenuhnya melaksanakan
peraturan perundang-undangan dalam menegakkan keadilan prosedural
Berdasarkan penjelasan tersebut maka peneliti dapat menyimpulkan
bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi mogok kerja adalah faktor fisik
(lingkungan kerja, fisik pekerja, dan finansial) yang berhubungan dengan
kondisi lingkungan kerja dan kondisi fisik pekerja, meliputi jenis pekerjaan,
pengaturan waktu kerja dan waktu istirahat, perlengkapan kerja, keadaan
ruangan, suhu, penerangan, pertukaran udara, kondisi kesehatan karyawan,
umur dan sebagainya dan faktor finansial yang berhubungan dengan jaminan
serta kesejahteraan karyawan yang meliputi sistem dan besarnya gaji, jaminan
sosial, macam-macam tunjangan, fasilitas yang diberikan, promosi dan
sebagainya merupakan bagian dari keadilan distributif, dan faktor
manajemen perusahaan yang termasuk ke dalam bagian keadilan prosedural.
Dalam penelitian ini, peneliti memilih faktor-faktor tersebut karena peneliti
ingin melihat dan menguji asumsi, sejauh mana keadilan distributif yang
meliputi faktor fisik dan faktor finansial, dan keadilan prosedural yang
meliputi menejmen perusahaan mempengaruhi intensi mogok kerja pada
buruh perempuan. Alasan lainnya peneliti memilih fakor-faktor tersebut
karena peneliti ingin menunjukkan bahwa permasalahan mengenai mogok
30
kerja merupakan masalah yang harus ditangani untuk mewujudkan keadilan
bagi pekerja/buruh perempuan yang didukung dengan hasil penelitian.
B. Keadilan Distributif
1. Pengertian Keadilan Distributif
Menurut Encyklopedia of Social Psychology (2007) keadilan
distributif mengacu pada keadilan yang dirasakan dari hasil seseorang. Ketika
sebuah hadiah/upah dialokasikan, atau dibuat sebuah keputusan, orang sering
menilai apakah hasilnya adil atau tidak. Keadilan distributif secara tradisional
menilai tentang bagaimana sumber daya didistribusikan, atau dialokasikan
kepada individu secara adil. Contohnya, seorang buruh merasakan adil jika
upah atau tunjangan yang diterimanya sudah memenuhi kebutuhan
hidupnnya. Menurut teori Content Theory dalam Sasono (2013), motivasi
didorong untuk pemenuhan kepuasan kerja. Pemenuhan kepuasan kerja
terkait dengan kebutuan psikologis antara lain menyangkut rasa keadilan.
Menurut Adam keadilan distributif adalah keadilan yang mengandung
ketidakberpihakan dalam hasil, seseorang selalu membandingkan hasil yang
diterima orang lain terhadap hasil yang diterima diri sendiri (merata) dan juga
membandingkan hasil kerjanya dengan apa yang diterimanya (proporsional).
(Lalit Kumar Yadav dan Nagendra Yadav , 2016).
Menurut Santosa dalam Hwei (2012) keadilan distributif merupakan
keadilan yang bersumber dari hasil-hasil (outcomes) yang diterima seseorang.
Keadilan distributif menurut pekerja/buruh jika hasil yang mereka terima
31
sama dengan hasil yang diterima orang lain. Keadilan ini menunjuk pada
keadilan yang diterima karyawan dalam hasil. Keadilan yang dimaksudkan
meliputi aspek-aspek fisik, psikologis, ekonomi, dan sosial. Tujuan distribusi
di sini adalah kesejahteraan sehingga yang didistribusikan biasanya
berhubungan dengan sumber daya, ganjaran, atau keuntungan. Setiap nilai
mempunyai tujuan dan kesesuaian dengan kondisi tertentu.
Dalam keadilan distributif sudut pandang buruh mengenai keadilan
didapat dari persepsi individu tentang perbandingan antara hasil yang
didapatkan dengan hasil yag diperoleh pekerja/buruh lain. Situasi yang
dihadapi oleh buruh juga dibandingkan dengan situasi yang dihadapi oleh
buruh lainnya. Sehingga setiap buruh menginginkan hasil yang sesuai dengan
keinginannya dan menguntungkan dirinya (Mustafa, 2006).
Menurut Wirawan (2015) keadilan distributif adalah persepsi pegawai
atau buruh mengenai keadilan yang terkait dengan pendistribusian sumber-
sumber, imbalan, perlakuan, keluaran, akibat sesuatu yang mempengaruhi
kesejahteraan pegawai ata buruh.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dijelaskan keadilan distributif
adalah keadilan yang diterima dalam pemberian penghargaan di dalam suatu
organisasi, pekerja atau buruh seperti pembayaran yang tepat dalam waktu,
jumlah yang diterima, tingkat manfaat yang berpengaruh terhadap
kesejahteraan buruh.
32
2. Aspek-Aspek Keadilan Distributif
Aspek-Aspek keadilan distbutif menurut Cropanzano et al (2007)
terdiri dari 3 yaitu sebagai berikut :
a. Distribusi Secara Proporsional
Ketika seseorang melakukan perbandingan dan dia mendapati
bahwa perbandingan tersebut menjadi lebih besar atau lebih kecil, dia
akan menilainya tidak adil. Namun, bila seseorang mendapatkan bahwa
dari perbandingan tersebut proporsi yang diterima dirinya lebih besar,
ada kemungkinan bahwa hal itu lebih ditoleransi atau tidak dikatakan
tidak adil dibandingkan dengan bila proporsi yang diterimanya lebih
rendah daripada yang semestinya.
Prinsip proporsional ini sangat ideal dan tidak mudah untuk
diterapkan.Untuk menerapkannya banyak syarat yang harus dipenuhi. Di
antaranya, sumbangan yang diberikan seseorang harus terukur.
Perbandingan sumbangan antara satu orang dan orang lain dalam
perusahaan, misalnya, juga sering sulit dilakukan. Cleaning service dan
dosen, misalnya, akan sulit dibandingkan. Maka dari itu, pemberlakuan
prinsip ini hanya dapat diterapkan secara terbatas, yaitu ketika tolok ukur
untuk masukan dan keluaran sudah jelas dan disepakati oleh pihak-pihak
yang terlibat.
b. Distribusi Merata
Dalam prinsip distribusi ini setiap orang yang terlibat akan
menerima pembagian yang sama dengan orang lain. Bila prinsip ini
33
digunakan, variasi penerimaan antara satu orang dengan lainnya sangat
kecil atau bahkan tidak ada. Dimungkinkan ada variasi bila ada jenis-
jenis pekerjaan atau bagian-bagian dalam satu organisasi atau kelompok.
Variasi itu terjadi antarkelompok, bukan di dalam setiap kelompok.
Prinsip ini juga sulit diterapkan. Kritik paling banyak datang berkaitan
dengan pengabaian terhadap potensi dan produktivitas kerja. Orang yang
lebih pandai, terampil, atau produktif mestinya mendapat imbalan lebih
tinggi, sementara prinsip ini tidak terlalu mempertimbangkannya.Banyak
pendapat yang menyatakan bahwa prinsip ini tepat diterapkan pada pola
hubungan bukan kerja, misalnya keluarga.Dalam suasana kerja, prinsip
ini dapat diterapkan bila orientasinya adalah keharmonisan hubungan
sesama pekerja.
c. Distribusi Berdasarkan Kebutuhan
Prinsip ketiga mengutamakan kebutuhan sebagai pertimbangan
untuk distribusi. Di sini dapat diinterpretasi bahwa seseorang akan
mendapat bagian sesuai dengan kebutuhannya dan dalam hubungan kerja
makin banyak kebutuhannya maka makin besar upah yang diterima.
Sayangnya, kebutuhan yang harus dipenuhi berdasarkan prinsip ini
kurang jelas dan belum ada kesepakatan umum. Prinsip ini menjadi
pertimbangan dalam pemberian upah pekerja/buruh di
Indonesia.Kebutuhan yang menjadi pertimbangan adalah kebutuhan fisik
minimum.
34
Menurut Bass dalam Yohanes dkk (2005), prinsip terakhir dari aspek
spesifik keadilan distributif adalah aspek feminis. Etika feminis menganggap
bahwa pertanyaan dasar Aristoteles dijawab oleh teori-teori etika melalui
sudut pandang laki-laki, yakni kehidupan yang baik menurut laki-laki. Para
filsuf feminis bersikeras bahwa cara pandang etika tersebut menganut filsafat
"berhaluan laki-laki" (male stream philosophy), yang tidak memasukkan
persoalan perempuan di dalamnya. Menurut Simone de Beauvoir bahwa
perempuan selalu ditolak untuk menjadi agen moral yang otonom, perempuan
tidak pernah dibiarkan untuk "Memilih kehidupan yang baik untuk dirinya
sendiri".
Keadilan distributif menjadi penting ketika perusahaan akan
mealokasikan penghargaan seperti upah, tunjangan bonus, cuti dan lain
sebagainya. Kesesuaian antara penghargaan tersebut dengan jerih payah yang
diberikan buruh kepada perusahaan, akan dipersepsikan sebagai adanya suatu
keadilan, oleh karena itu perusahaan harus mengembangkan keadilan
disributif dengan mengalokasikan penghargaan yang sesuai dengan input
yang berasal dari buruh.
Menurut Faturochman (2012) hanya tiga aspek keadilan distributif
yang paling sering digunakan dalam penelitian. Tiga aspek tersebut adalah
distribusi secara proporsional, distribusi secara merata, dan distribusi
berdasarkan kebutuhan. Dari penjelasan tersebut maka dapat disimpulkan
aspek-aspek keadilan distributif yang akan diteliti oleh peneliti adalah
distribusi secara proporsional, merata, dan berdasarkan kebutuhan.
35
C. Keadilan Prosedural
1. Pengertian Keadilan Prosedural
Di dalam suatu kelompok, organisasi, ataupun lembaga masyarakat
bisa ditemukan berbagai prosedur, demikan juga halnya dengan keadilan
prosedural. Keadilan prosedural berkaitan dengan kecilnya tingkat konflik
dan ketidakharmonisan dalam kelompok, organisasi, atau institusi sosial
(Faturochman, 2012). Konsep keadilan ini banyak berkembang dari kasus-
kasus pemogokan pekerja serta intervensi psikologi dalam kasus tersebut
(Faturochman, 1999). Menurut Cropanzano dan Greenberg (2001) keadilan
prosedural dapat didefenisikan sebagai keadilan dari cara pengambilan
keputusan untuk sebuah alokasi kebutuhan organisasi atau buruh. Dimana
individu dilibatkan dalam pengambilan keputusan untuk memberikan
pendapat di dalam prosedur tersebut.
Menurut Wirawan (2015) keadilan prosedural adalah cara dengan apa
keluaran keluaran dialokasikan bukan khusus mengenai keluaran sendiri.
Keadilan prosedural menentukan prinsip-prinsip tertentu yang menentukan
dan mengatur peran-peran dari para partisipan dalam proses pembuatan
keputusan.
Keadilan prosedural menurut Mustafa (2006) adalah persepsi
karyawan tentang keputusan, pengawasan, aturan atau prosedur kerja yang
adil selama bekerja dalam perusahaan. Menurut Cropanzanoet al (2017)
keadilan prosedural menetapkan prinsip-prinsip tertentu yang menentukan
dan mengatur peran peserta dalam proses pengambilan keputusan.
36
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan keadilan
prosedural adalah keadilan yang berkaitan dengan pembuatan dan implementasi
keputusan yang mengacu pada proses yang adil di tempat kerja.
2. Aspek-Aspek Keadilan Prosedural
Ketika pekerja/buruh dilibatkan dalam pengambilan keputusan
mengenai pekerjaan mereka atau mengenai hasil yang akan mereka terima
maka pekerja/buruh merasa bahwa keputusan tersebut adil. Perusahaan harus
memberikan jaminan kepada pekerja/buruh bahwa perusahaan siap menerima
keluhan-keluhan pekerja/buruh.Adanya prosedur semacam ini secara positif
akan mempengaruhi penilaian atau persepsi pekerja/buruh terhadap keadilan
prosedural (Mustafa, 2006).
Terdapat enam aspek keadilan prosedural menurut Cropanzanoet al
(2007) yaitu sebagai berikut:
a. Konsisten
Diterapkan secara konsisten terhadap orang dan waktu. Setiap
orang memilki hak dan diperlakukan sama dalam satu prosedur yang
sama.
b. Bebas Bias
Bebas bias yaitu tidak ada orang atau kelompok yang diistimewakan
atau diperlakukan tidak sama, kepentingan individu maupun pemihakan,
harus dihindarkan. Contohnya, perusahaan tidak hanya melibatkan
segelintir orang untuk ikut dalam proses pengambilan keputusan atau
37
pihak perusahaan tidak mengistimewakan keluarga tertentu yang paling
berhak dalam menentukan suatu keputusan.
c. Akurat
Memastikan bahwa informasi yang akurat dikumpulkan dan
digunakan dalam pengambilan keputusan.Informasi yang dibutuhkan
untuk menentukan agar penilaian keadilan akurat harus mendasarkan
pada fakta. Kalau opini sebagai dasar, hal itu harus disampaiakan oleh
orang-orang yang benar mengetahui permasalahan, dan informasi yang
disampaikan lengkap.
d. Koreksi
Upaya untuk memperbaiki kesalahan merupakan salah satu tujuan
penting perlu ditegakkannya keadilan. Oleh karena itu, prosedur yang
adil juga mengandung aturan yang bertujuan untuk memeprbaiki
kesalahan yang ada ataupun kesalahan yang mngkin akan muncul.
e. Keterwakilan
Prosedur dikatan adil bila sejak awal ada upaya untuk melibatkan
semua pihak yang bersangkutan. Secara prinip harus ada penyertaan dari
berbagai pihak sehingga akses untuk melakukan control juga terbuka.
f. Etis
Prosedur yang adil harus berdasar pada standar etika dan
moral.Dengan demikian, meskipun berbagai hal di atas terpenuhi, bila
substansinyya tidak memenuhi standar etika dan moral, tidak bisa
dikatakan adil.
38
Untuk mencapai keadilan prosedural, Minton, dkk dalam
Faturochman (1999) mengajukan tiga aspek pokok yang harus dipenuhi.
Pertama. Aspek keterwakilan. Dalam prosedur tersebut terjadi proses
pengambilan keputusan yang terdiri dari beberapa orang, bukan tunggal. Ini
dirasa penting dalam rangka check dan balance dalam pengambilan
keputusan. Di samping itu, beberapa orang yang terlibat di dalamnya akan
saling menukar informasi sehingga pendapat dan keputusan yang muncul
lebih akurat.
Kedua. Aspek konsisten. Tim pengambil keputusan memiliki
kekuatan yang merata di antara para anggotanya. Selaras dengan syarat
pertama di atas, dominasi seseorang akan dihindari sehingga kontrol dalam
keputusan akurat. Bila terjadi dominasi, syarat pertama tadi menjadi kurang
berarti.
Ketiga. Aspek bebas bias. setiap anggota tim yang terlibat
pengambilan keputusan harus berkesempatan mendapatkan masukan yang
sama. Ketidakseimbangan masukan juga akan mengarah pada dominasi bagi
yang memilikinya. Dengan masukan yang tidak seimbang akan terjadi juga
bias dalam keputusan. Kondisi semacam ini juga mencerminkan prosedur
yang tidak adil.
Ketiga syarat yang saling terkait tersebut juga perlu dibarengi oleh
aspek lain. Cropanzano dkk (2007) menyebutkan bahwa prosedur yang
dilakukan harus dilandasi juga oleh koreksi, akurat, dan etis. Aspek yang
diajukan Cropanzano dkk sangat berkaitan dengan karakteristik keadilan
39
prosedural yang menekankan keharmonisan hubungan antar pihak yang
terlibat di dalamnya. Berdasarkan penjelasan tersebut maka peneliti akan
menggunakan aspek keadilan prosedural menurut Cropanzano dkk
Keadilan prosedural menajdi penting ketika perusahaan akan
membuat sebuah aturan untuk standar kebutuhan kaum huruh. Kesesuaian
antara standar kebutuhan dalam aturan dengan jerih payah yang diberikan
buruh kepada perusahaan, akan dipersepsikan sebagai adanya suatu keadilan,
oleh karena itu perusahaan harus menerapkan keadilan prosedural yang sesuai
kepada buruh yang bekerja untuk perusahaan.
Dari penjelasan tersebut maka dapat disimpulkan aspek-aspek
keadilan prosedural adalah terdiri dari aturan yang bersifat konsisten, bebas
bias, akurat, koreksi, keterwakilan, dan etis.
D. Membedakan Keadilan Distributif dan Keadilan Prosedural
Untuk mendapatkan upah, seseorang harus melakukan kerja dengan
mengikuti berbagai prosedur kerja yang telah ditentukan. Dengan penerapan
prosedur yang adil seseorang akan merasa mendapatkan hasil yang memuaskan.
Dengan demikian keadilan prosedural merupakan sarana untuk mencapai keadilan
distributif. Dalam hal ini tampak bahwa keadilan distributif dan keadilan
prosedural saling berhubungan, namun banyak studi organisasional dewasa ini
yang menitikberatkan pada perbedaan antara keadilan distributif dan keadilan
prosedural, khususnya pembedaan mengenai elemen-elemen keadilan distributif
dan keadilan prosedural.
40
Satu dari kebanyakan tugas-tugas dasar yang dihadapi para peneliti
keadilan organisasional saat ini telah menetapkan bahwa perbedaan antara
keadilan distributif dan keadilan prosedural tidak sesederhana seperti halnya
sebuah teori semata, tetapi lebih sebagai sesuatu yang nyata dari perspektif
psikologi.
Menurut Greenberg dalam Mustafa (2006) menjelaskan bahwa studi yang
pernah dilakukan oleh Folger dan Konovsky pada tahun 1989, dengan studi
openend nya, menemukan bahwa ukuran-ukuran keadilan prosedural dan keadilan
distributif dapat dipolakan setelah ada laporan-laporan diri dari yang menerima
perlakuan adil. Ukuran-ukuran ini ditemukan berbeda dalam kaitannya dengan
beragam pekerjaan yang berhubungan dengan hasil-hasil yang dilakukan dengan
suatu cara yang serupa dan hal ini serupa dengan pandangan Tyler tahun 1987.
Berdasarkan penjelasan tersebut, maka pembedaan persepsi terhadap
keadilan prosedural meliputi penggunaan prosedur-prosedur untuk menentukan
upah atau cuti, untuk menekan kontribusi buruh terhadap faktor-faktor yang
berkaitan dengan mogok kerja dan meningkatkan kepercayaan terhadap
pengawasan. Sedangkan persepsi-persepsi keadilan distributif secara unik
berkaitan dengan kepuasan upah atau cuti yang diterima sesorang.
E. Pengaruh Keadilan Distributif terhadap Intensi Mogok Kerja
Sejauh yang peneliti ketahui penelitian psikologi yang fokus membahas
intensi mogok kerja buruh perempuan belum pernah dilakukan sebelumnya.
Beberapa penelitian pernah dilakukan terkait mogok kerja namun lebih banyak
41
dalam perspektif non psikologi, sehingga dalam bagian ini peneliti akan
mengambil beberapa hasil penelitian-penelitian tersebut.
Menurut Rawls dalam Ujan (2001) mogok sebagai tindakan kaum buruh
menghentikan pekerjaan, ini merupakan manifestasi dari upaya kaum buruh
untuk mendapatkan keadilan. Dalam kaitannya dengan aspek kesamaan dalam
keadilan distributif, Rawls berpendapat bahwa setiap orang mempunyai hak yang
sama untuk mendapatkan kebebasan yang sebesar-besarnya berdasarkan sistem
kebebasan dan memberikan kesempatan yang sama kepada semua orang di bidang
ekonomi.
Menurut Faturochman (1995) protes yang dilakkan buruh terhadap pihak
perusahaan disebabakan karena mereka merasa diperlakukan secara tidak adil.
Pada umumnya protes buruh kepada majikan bertujuan untuk memperbaiki nasib.
Secara garis besar bentuk tuntutannya adalah kenaikan upah, perbaikan kondisi
maupun fasilitas kerja yang merupakan bagian dari keadilan distributif.
Menurut Jemadi dan Hidayati (2012) Potensi mogok kerja karyawan
cenderung dipengaruhi oleh tingkat kepuasan kerja karyawan. Tingkat
ketidakpuasan yang tinggi akan cenderung meningkatkan potensi mogok kerja
karyawan, dan sebaliknya tingkat kepuasan kerja yang tinggi akan cenderung
menurunkan potensi mogok kerja karyawan. Tingkat kepuasan kerja karyawan
dipengaruhi oleh faktor finansial, dan faktor fisik yang merupakan bagian dari
keadilan distributif.
Adanya persepsi ketidakadilan distributif akan mendorong individu
untuk melakukan berbagai usaha guna mendapatkan keadilan distributif. Sebagai
42
contoh penelitian yang dilakukan oleh Griffin dkk dalam Greenberg (1990)
menunjukkan bahwa ketika buruh-buruh mempersepsikan hal-hal berharga yang
diinginkannya (seperti upah, tunjangan) telah didistribusikan secara tidak adil,
maka buruh tersebut akan melakukan berbagai bentuk protes (mogok) di tempat
kerja.
Contoh lain, hasil penelitian Rizki (2008), menjelaskan bahwa semakin
tinggi keadilan distributif yang diterima oleh buruh maka semakin negatif sikap
buruh terhadap aksi mogok kerja di perusahaan. Artinya, jika kaum buruh
merasakan diperlakukan secara adil oleh pihak perusahaan maka potensi untuk
mogok semakin kecil dilakukan atau sebaliknya.
Hasil penelitian Zainal (2008) tentang pengaruh keadilan distributif
terhadap keinginan mogok dalam persepsi karyawan industri TPT di Eks
Karesidenan Surakarta mengenai keadilan prosedural secara langsung tidak
mempunyai efek (pengaruh) terhadap keinginan mogok kerja.
Berdasarkan penjelasan tersebut maka peneliti dapat menyimpulkan bahwa
keadilan distributif nampaknya mempunyai pengaruh terhadap intensi mogok
kerja buruh.
F. Pengaruh Keadilan Prosedural terhadap Intensi Mogok Kerja
Menurut Rafika dkk (2014), ketidakadilan menyebabkan perasaan tidak
menyenangkan serta menimbulkan ketegangan di tempat kerja. Jika buruh
mengalami ketidakadilan, maka buruh mengalami reaksi emosional (seperti
mogok kerja) sebagai hasilnya. Hal ini berkaitan dengan penjelasan Faturochman
43
(1999) bahwa keadilan prosedural merupakan konsep yang lahir dari pemogokan-
pemogokan kerja. Mogok kerja dilakukan karena buruh menganggap mereka
tidak diperlakukan secara adil oleh pihak perusahaan atau sebaliknya. Hal ini
didukung oleh beberapa hasil penelitian sebagai berikut.
Hasil penelitian Zaenal (2006) bahwa persepsi karyawan industri TPT di
Eks Karesidenan Surakarta mengenai keadilan prosedural mempunyai efek
langsung yang positif dan signifikan terhadap kepuasan kerja buruh. Hal ini
berarti bahwa jika keadilan prosedural diterapkan dengan baik oleh perusahaan
maka sangat kecil dampaknya mempengaruhi keinginan buruh untuk melakukan
mogok kerja.
Hasil penelitian Skarlicky dan Folger dalam Rafika dkk (2014)
menyimpulkan bahwa apabila keputusan organisasi dipersepsikan tidak adil dari
sisi prosedurnya akan memicu emosi karyawan berupa rasa sakit hati dan
kemarahan. Mereka akan bertindak melawan (mogok kerja) organisasi ketika
mereka merasa telah dimanfaatkan dan diekspliotasi oleh organisasi.
Berdasarkan penjelasan tersebut maka peneliti dapat menyimpulkan bahwa
keadilan prosedural nampaknya mempunyai pengaruh terhadap intensi mogok
kerja buruh.