bab ii tinjauan pustaka a. intensi mogok kerja 1. …eprints.mercubuana-yogya.ac.id/4050/3/bab...

26
18 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Intensi Mogok Kerja 1. Pengertian Mogok Kerja Intensi menurut Fishbein dan Ajzen (1975) dalam Meilinda (2013) diartikan sebagai niat seseorang untuk melakukan perilaku yang didasari oleh sikap terhadap perilaku, norma subjektif, dan persepsi terhadap kontrol perilaku tersebut. Menurut Ajzen (2006) intensi yaitu kombinasi antara sikap terhadap perilaku, norma subjektif, dan persepsi kontrol terhadap perilaku. Semakin baik sikap dan norma subjektif, dan semakin besar kontrol subjektif yang dirasakan maka akan semakin kuat keyakinan seseorang untuk mencoba suatu perilaku. Berdasarkan pasal 1 ayat 23 Undang-Undang nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjan, pengertian mogok kerja adalah tindakan pekerja atau buruh yang direncanakan dan dilaksanakan secara bersama-sama dan atau oleh serikat pekerja/serikat buruh untuk menghentikan atau memperlambat pekerjaan. Black’s Law Dictionary (1968) mendefenisikan mogok kerja adalah tindakan berhenti bekerja oleh sekelompok pekerja dalam tujuan untuk menuntut kepada majikan mereka untuk menyetujui permintaan mereka terhadapnya, dan yang telah ditolaknya. Pemogokan (strike) menurut Flipo (2003) adalah tindakan sekelompok pekerja yang bersifat sementara dan secara bersama-sama, yang

Upload: hoangtuyen

Post on 05-Mar-2019

224 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Intensi Mogok Kerja 1. …eprints.mercubuana-yogya.ac.id/4050/3/BAB II.pdf · berada dalam posisitawar setara dalam perundingan dengan pengusahaan. Menurut

18

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Intensi Mogok Kerja

1. Pengertian Mogok Kerja

Intensi menurut Fishbein dan Ajzen (1975) dalam Meilinda (2013)

diartikan sebagai niat seseorang untuk melakukan perilaku yang didasari oleh

sikap terhadap perilaku, norma subjektif, dan persepsi terhadap kontrol

perilaku tersebut.

Menurut Ajzen (2006) intensi yaitu kombinasi antara sikap terhadap

perilaku, norma subjektif, dan persepsi kontrol terhadap perilaku. Semakin

baik sikap dan norma subjektif, dan semakin besar kontrol subjektif yang

dirasakan maka akan semakin kuat keyakinan seseorang untuk mencoba suatu

perilaku.

Berdasarkan pasal 1 ayat 23 Undang-Undang nomor 13 Tahun 2003

tentang Ketenagakerjan, pengertian mogok kerja adalah tindakan pekerja

atau buruh yang direncanakan dan dilaksanakan secara bersama-sama dan

atau oleh serikat pekerja/serikat buruh untuk menghentikan atau

memperlambat pekerjaan. Black’s Law Dictionary (1968) mendefenisikan

mogok kerja adalah tindakan berhenti bekerja oleh sekelompok pekerja

dalam tujuan untuk menuntut kepada majikan mereka untuk menyetujui

permintaan mereka terhadapnya, dan yang telah ditolaknya.

Pemogokan (strike) menurut Flipo (2003) adalah tindakan

sekelompok pekerja yang bersifat sementara dan secara bersama-sama, yang

Page 2: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Intensi Mogok Kerja 1. …eprints.mercubuana-yogya.ac.id/4050/3/BAB II.pdf · berada dalam posisitawar setara dalam perundingan dengan pengusahaan. Menurut

19

berupaya menghentikan pekerjaan pada pengusaha untuk memperoleh

kelonggaran yang lebih besar dalam suatu hubungan industrial terhadap apa

yang hendak diberikan pengusaha pada perundingan. Pemogokan merupakan

senjata ekonomi terakhir dari pekerja, yang dapat memaksa pengusaha untuk

menerima tuntutan pekerja.

Menurut Surya dkk (2012) mogok dapat didefenisikan sebagai

penghentian kerja secara kolektif (bersama-sama) dengan tujuan menekan

pengusaha/pemerintah untuk memajukan kepentingan pekerja/buruh. Mogok

memiliki dua fungsi penting. Fungsi pertama ialah sebagai sarana

mengungkapkan pendapat/pandangan pekerja/buruh dalam artian ini, mogok

adalah bentuk protes yang bersifat demokratis. Mogok dapat dipergunakan

oleh pekerja/buruh untuk mengungkap ketidakpuasan, misalnya karena

kondisi kerja yang buruk. Mogok bisa merupakan reaksi spontan dari para

pekerja/buruh. Mogok juga dapat diorganisir oleh serikat pekerja/buruh.

Fungsi kedua ialah untuk mengembalikan atau memperoleh keseimbanggan

atau kesetaraan dalam posisi tawar antara pengusaha dengan pekerja/buruh.

Kenyataan bahwa serikat pekerja/buruh dapat bernegosiasi dengan pengusaha

untuk dan atas nama buruh tidak serta merta berarti bahwa pekerja/buruh

berada dalam posisitawar setara dalam perundingan dengan pengusahaan.

Menurut Ambarepto dkk (2006) mogok kerja adalah suatu tindakan

yang dilakukan oleh para pekerja dengan maksud untuk menekan pengusaha

agar bersedia memenuhi kehendaknya/tuntutannya. Adapun menurut Sulistyo

(1995), pemogokan adalah bagian dari usaha perundingan dengan pihak

Page 3: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Intensi Mogok Kerja 1. …eprints.mercubuana-yogya.ac.id/4050/3/BAB II.pdf · berada dalam posisitawar setara dalam perundingan dengan pengusahaan. Menurut

20

manajer, pemogokan bagi buruh adalah cara yang terakhir berunding dengan

pengusaha untuk melakukan perbaikan hidup.

Berdasarkan penjelasan tersebut maka menurut peneliti pengertian

intensi mogok kerja adalah niat seseorang untuk melakukan mogok kerja

yang direncanakan dan dilaksanakan secara bersama-sama dan atau oleh

serikat pekerja/serikat buruh untuk menghentikan atau memperlambat

pekerjaan.

2. Jenis-Jenis Pemogokan Kerja

Jenis-jenis pemogokan kerja menurut Sulistyo (1995) adalah:

a. Boycot, yaitu mogok yang melarang setiap orang yang bermaksud

bekerja dalam sebuah pabrik.

b. Blokade, yaitu mogok yang berusaha mencegah pengangkutan barang-

barang ke pabrik.

c. Afmating, yaitu mogok yang berusaha memperlambat penyelesaian

pekerjaan , sehingga pengusaha mengalami kerugian.

d. Gedeeltelijk Staking, yaitu usaha pemogokan yang dilakukan pada

sebagian dari pekerjaan dalam pabrik.

e. Geheel Staking, yaitu pemogokan pada seluruh kegiatan pekerjaan di

dalam pabrik.

f. Plaatselijk Staking, yaitu pemogokan pada satu pabrik milik sebuah

perusahaan yang memiliki beberapa pabrik.

g. Centrale Staking, yaitu pemogokan pada seluruh pabrik milik sebuah

perusahaan.

Page 4: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Intensi Mogok Kerja 1. …eprints.mercubuana-yogya.ac.id/4050/3/BAB II.pdf · berada dalam posisitawar setara dalam perundingan dengan pengusahaan. Menurut

21

Jenis-jenis mogok kerja menurut Francois Dumas dalam Fajar (2013)

adalah: Wildcat strike (mogok kerja tidak teratur) yaitu mogok kerja yang

tidak disetujui oleh serikat pekerja, Piston strike yaitu mogok dengan berhenti

seluruh pekerja, Secondary boycott berupa menyebar selebaran kepada

konsumen untuk tidak menggunakan produk perusahaan tersebut, Buzzing

strike yaitu mogok dengan membuat keributan, Sit down strike yaitu mogok

dengan cara duduk di dalam perusahaan, Sympathy strike (mogok kerja

memperlambat pekerjaan) yakni mogok yang dilakukan ketika para pekerja

masih bekerja, tapi sangat lambat sehingga target kerja tidak tercapai, Green

ban (mogok kerja penghijauan) yakni mogok kerja yang dilakukan untuk

menekan agar perusahaan mengadopsi praktek-praktek produksi yang lebih

ramah lingkungan.

Selain jenis mogok di atas, ada salah satu jenis mogok yang unik

yang pernah dilakukan oleh pekerja perempuan di Sudan, Kenya dan

Kolombia. Di mana untuk menghentikan konflik perang di sana pekerja

perempuan menyerukan untuk melakukan mogok seks (sexual strike)

terhadap kaum laki-laki. Tujuannya supaya pemerintah dan kaum laki-laki

yang mayoritas sebagai tentara meletakkan senjata mereka demi perdamaian.

(Jacskson dan Steve, 2015)

Berdasarkan jenis-jenis mogok kerja tersebut, maka penelitian ini

mengacu pada jenis mogok kerja Geheel Staking atau Piston Strike yaitu

suatu pemogokan pada seluruh kegiatan di dalam pabrik.

Page 5: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Intensi Mogok Kerja 1. …eprints.mercubuana-yogya.ac.id/4050/3/BAB II.pdf · berada dalam posisitawar setara dalam perundingan dengan pengusahaan. Menurut

22

3. Pengertian Intensi Mogok Kerja

Menurut Silverius (2009), intensi untuk mengikuti aksi kolektif (unjuk

rasa diluar atau di dalam perusahaan dan mogok kerja) adalah keinginan atau

kemauan buruh untuk ikut terjun ke lapangan bersama-sama dengan anggota

serikat buruh lainnya untuk memprotes suatu kebijakan atau tindakan

sewenang-wenang dari pengusaha atau penguasa. Hal ini menunjukkan

bahwa buruh juga menginginkan imbalan sebesar mungkin bagi tenaga

kerjanya; yakni, ia ingin upah yang lebih tinggi, dan “kondisi kerja yang

lebih baik”. (Eugene, 1989)

Menurut Mustafa (2006) keinginan karyawan untuk melakukan

mogok kerja adalah motivasi atau intensitas dorongan seseorang untuk

melakukan mogok kerja atau demonstraasi secara massal jika tuntutan

karyawan (yang berkaitan dengan keadilan) tidak atau belum dipenuhi oleh

perusahaan.

Intensi yang akan diukur dalam penelitian ini adalah intensi mogok

kerja dalam perspektif psikologi. Dari berbagai penjelasan sebelumya maka

menurut peneliti pengertian intensi mogok kerja adalah dorongan buruh yang

kuat untuk berhenti bekerja, sebagai upaya agar mendapatkan keadilan dari

pemilik perusahaan.

Page 6: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Intensi Mogok Kerja 1. …eprints.mercubuana-yogya.ac.id/4050/3/BAB II.pdf · berada dalam posisitawar setara dalam perundingan dengan pengusahaan. Menurut

23

4. Aspek-Aspek Intensi Mogok Kerja

Intensi perilaku menurut Ajzen (1988) dapat dipengaruhi oleh tiga

aspek, yaitu:

a. Sikap terhadap perilaku mogok kerja

Sikap terhadap perilaku yang akan dilakukan dipengaruhi oleh

keyakinan individu bahwa melakukan perilaku tertentu akan membawa

pada konsekuensi-konsekuensi tertentu (behavioral beliefs) dan penilaian

individu terhadap konsekuensi-konsekuensi yang akan terjadi pada

individu (outcome evaluations). Meneurut Fishbein dan Ajzen dalam

Djamaludin (1993), sikap yang terbentuk di dalam diri seseorang, apakah

itu sikap positif atau sikap negatif, tergantung pada segi positif atau segi

negatif dari komponen pengetahuan. Makin banyak segi positif dari

komponen pengetahuan maka makin penting komponen itu, atau banyak

segi negatifnya, maka makin negatif sikap terbentuk. Sebagai contoh :

Menurut perkiraan anda, apakah teman-teman anda setuju bila anda ikut

mogok kerja ?, atau pertanyaan : Menurut perkiraan anda, senangkah

teman-teman anda bila anda ikut mogok kerja ?.

b. Norma subjektif terhadap perilaku mogok kerja

Norma subjektif merupakan persepsi individu terhadap norma

sosial untuk menampilkan atau tidak menampilkan perilaku tertentu.

Norma subjektif ditentukan oleh keyakinan normatif (normative beliefs)

mengenai harapan-harapan kelompok acuan atau orang tertentu yang

dianggap penting terhadap individu dan motivasi individu untuk

Page 7: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Intensi Mogok Kerja 1. …eprints.mercubuana-yogya.ac.id/4050/3/BAB II.pdf · berada dalam posisitawar setara dalam perundingan dengan pengusahaan. Menurut

24

memenuhi atau menuruti harapan tersebut (motivations to comply).

Menurut Fishbein dan Ajzen dalam Djamaludin (1993), seseorang dapat

terpengaruh oleh pandangan orang lain, dan dapat pula tidak terpengaruh.

Sejauh mana seseorang akan terpengaruh atau tidak terpengaruh, sangat

tergantung pada kekuatan di dalam menghadapi kehendak orang lain.

Sebagai contoh peryataan : Biasanya saya mematuhi saran teman-teman

saya mengenai apa yang harus saya lakukan.

c. Persepsi terhadap kontrol perilaku mogok kerja

Selain kedua aspek di atas, Ajzen memperluas teori mengenai

intensi tindakan yang beralasan (reasoned action theory) dengan

menambahkan aspek yang ketiga, yaitu persepsi terhadap kontrol

perilaku, dalam teori tingkah laku terencana (theory of planned

behavior). Persepsi terhadap kontrol perilaku merupakan penilaian

terhadap kemampuan atau ketidakmampuan untuk menampilkan

perilaku, atau penilaian seseorang mengenai seberapa mudah atau

seberapa sulit untuk menampilkan perilaku. Sebagai contoh pertanyaan :

menurut persepsi saya sosialisasi terkait hak-hak buruh melakukan

mogok sangat bermanfaat bagi saya ?

Contohnya, ribuan Pegawai Negeri Sipil (PNS), federal Australia,

melakukan aksi mogok kerja menuntut perbaikan upah. Mogok kerja

sebagai sebuah konsekuensi harus dilakukan karena para pegawai

menliai bahwa pemerintah mengabaikan tuntutan mereka selama

bertahun-tahun. Para pegawai berkeyakinan bahwa untuk mendapatkan

Page 8: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Intensi Mogok Kerja 1. …eprints.mercubuana-yogya.ac.id/4050/3/BAB II.pdf · berada dalam posisitawar setara dalam perundingan dengan pengusahaan. Menurut

25

perbaikan standar hidup mereka maka, hanya dengan melakukan mogok

kerja serentak (geheel staking/piston strike). Sehingga, para pegawai di

lembaga jaminan kesehatan Medicare, Centrelink, kantor pajak,

Departemen Pertahanan, Biro Meteorologi, kantor Perdana Menteri serta

Biro Statistik, pegawai di lingkungan Departemen Pendidikan,

Departemen Lingkungan Hidup, dan instansi lainnya mereka saling

mendukung agar mampu memenangkan tuntutannya dalam pemogokan

serentak tersebut. (Kompas, 2016). Pemogokan juga pernah dilakukan

oleh pekerja kebersihan sekolah di Mantin, Malaisya. Mayoritas pekerja

adalah perempuan berkeluarga yang melakukan mogok kerja untuk

menuntut upah tiga bulan yang tidak dibayar oleh pihak kontraktor.

Pemogokan ini melibatkan 42 pekerja dari 8 sekolah di daerah Mantin.

(Solidariti Pekerja, 2018)

Berdasarkan uraian tersebut, maka dapat disimpulkan aspek-aspek

intensi mogok kerja menurut Ajzen (1988), yaitu sikap terhadap perilaku

mogok kerja, norma subjektif terhadap perilaku mogok kerja, dan persepsi

terhadap kontrol perilaku mogok kerja.

5. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Mogok Kerja

Pemogokan atau mogok kerja adalah merupakan salah satu persoalan

yang dapat meresahkan dunia usaha dan mengganggu hubungan kerja,

keharmonisan dalam hubungan industrial serta keharmonisan kehidupan

sosial masyarakat karena melibatkan banyak pihak yang terkait. Di lain pihak

bagi pekerja yang melakukan pemogokan kadang-kadang hanya merupakan

Page 9: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Intensi Mogok Kerja 1. …eprints.mercubuana-yogya.ac.id/4050/3/BAB II.pdf · berada dalam posisitawar setara dalam perundingan dengan pengusahaan. Menurut

26

keterpaksaan sebagai akibat buntunya pembicaraan atau tidak adanya

komunikasi yang baik antara menejemen dengan para pekerja/buruh, pada

akhirnya mereka menempuh jalan mogok kerja demi menunjukkan integritas

hak mereka dalam perundingan. Adanya kebuntuan atau mis-komunikasi,

seakan tidak ada lagi jalan lain yang dapat ditempuh untuk dapat dipenuhinya

keinginan mereka (para) pekerja/buruh.

Hasil penelitian Hidayati dan Jemadi (2012) meyimpulkan bahwa ada

pengruh faktor finansial, faktor fisik, faktor psikologik, dan faktor sosial

secara bersama-sama maupun secara parsial terhadap tingkat potensi mogok

kerja para buruh.

Menurut As’ad dalam Hidayati dan Jemadi (2012) empat faktor

tersebut merupakan bagian dari kepuasan kerja yang dapat dijelaskan sebagai

berikut :

a. Faktor finansial, merupakan faktor yang berhubungan dengan jaminan

serta kesejahteraan karyawan yang meliputi sistem dan besarnya gaji,

jaminan sosial, macam-macam tunjangan, fasilitas yang diberikan,

promosi dan sebagainya.

b. Faktor fisik, merupakan faktor yang berhubungan dengan kondisi

lingkungan kerja dan kondisi fisik karyawan, meliputi jenis pekerjaan,

pengaturan waktu kerja dan waktu istirahat, perlengkapan kerja, keadaan

ruangan, suhu, penerangan, pertukaran udara, kondisi kesehatan

karyawan, umur dan sebagainya.

Page 10: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Intensi Mogok Kerja 1. …eprints.mercubuana-yogya.ac.id/4050/3/BAB II.pdf · berada dalam posisitawar setara dalam perundingan dengan pengusahaan. Menurut

27

c. Faktor psikologis, merupakan faktor yang berhubungan dengan kejiwaan

karyawan yang meliputi minat, ketentraman dalam kerja, sikap terhadap

kerja, bakat dan ketrampilan.

d. Faktor sosial, merupakan faktor yang berhubungan dengan interaksi

sosial, baik antara sesama karyawan, dengan atasan, maupun karyawan

yang berbeda jenis pekerjaannya.

Menurut Yohanes dan Rani (2005) keadilan distributif secara

konseptual juga berkaitan dengan distribusi keadaan dan barang yang akan

berpengaruh terhadap kesejahteraan individu. Kesejahteraan individu yang

dimaksudkan meliputi aspek finansial dan fisik.

Mogok kerja tentu akan sangat merugikan perusahaan, karena proses

produksi akan terganggu yang selanjutnya akan menghambat dalam

pencapaian tujuan perusahaan. Untuk itu, perlu untuk menegakkan keadilan

sehingga menurut peneliti pihak manajemen harus melakukan upaya preventif

untuk meminimumkan potensi mogok kerja karyawan dengan memperhatikan

empat faktor tersebut di atas.

Menurut Rawls (2011) ada konflik kepentingan di atas karena orang

tidak sependapat mengenai bagaimana keuntungan yang dihasilkan akan

didistribusikan. Maka, dibutuhkan untuk memilih di antara berbagai tatanan

sosial yang menentukan pembagian keuntungan ini dan untuk mendorong

kesepakatan tentang bagian distributif yang layak. Keharusan-keharusan ini

menentukan peran keadilan. Syarat-syarat yang memunculkan kebutuhan-

kebutuhan ini adalah menciptakan kondisi keadilan.

Page 11: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Intensi Mogok Kerja 1. …eprints.mercubuana-yogya.ac.id/4050/3/BAB II.pdf · berada dalam posisitawar setara dalam perundingan dengan pengusahaan. Menurut

28

Berdasarkan penjelasan tersebut, maka menurut peneliti faktor

finansial dan faktor fisik yang termasuk dalam bagian keadilan distributif

sangat berpengaruh terhadap terjadinya mogok kerja buruh.

Hasil penelitian Ratria (2008) tentang partisipasi buruh dalam aksi

unjuk rasa (mogok), menunjukkan bahwa mogok kerja disebabkan karena :

(1) sikap perusahaan tidak terbuka (85,3%), (2) perusahaan menerapkan

peraturan secara kaku (83,3%), (3) perusahaan kurang luwes (94,1%) dan

kurang tanggapnya manajemen perusahaan atas keluhan buruh (79,4%).

Selanjutnya hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa aturan dan manajemen

perusahaan mempunyai andil terhadap keikutsertaan buruh dalam aksi unjuk

rasa (mogok) nya.

Berdasarkan penjelasan tersebut, maka menurut peneliti bahwa faktor

keadilan prosedural dalam hal ini aturan dan manajemen perusahaan yang

adil sangat berpengaruh terhadap adanya aksi mogok kerja atau tidak pada

buruh.

Terkait dengan itu, maka menurut Ambarepto dkk (2006), faktor

penyebab yang mempengaruhi pemogokan secara garis besar adalah adanya

tuntutan hak yang bersifat normatif dan tuntutan non normatif. Tuntutan hak

yang bersifat normatif misalnya saja jamsostek, upah minimum

Kabupaten/Kota (UMK), upah lembur dan cuti. Sedangkan yang bersifat non

normatif seperti perbaikan menu makan dan uang makan, tunjangan transport

dan insentif lain. Sedangkan menurut Soewarto (2004), bahwa faktor

penyebab yang dominan mempengaruhi terjadinya pemogokan adalah hak-

Page 12: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Intensi Mogok Kerja 1. …eprints.mercubuana-yogya.ac.id/4050/3/BAB II.pdf · berada dalam posisitawar setara dalam perundingan dengan pengusahaan. Menurut

29

hak normatif pekerja, seperti : upah minimum regional (UMR), pembentukan

serikat pekerja (SP), upah lembur, jamsostek, dan cuti, dan hal-hal non-

normatif seperti: kenaikan upah, tunjangan makan, dan tunjangan transport.

Selain itu para pengusaha juga masih belum sepenuhnya melaksanakan

peraturan perundang-undangan dalam menegakkan keadilan prosedural

Berdasarkan penjelasan tersebut maka peneliti dapat menyimpulkan

bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi mogok kerja adalah faktor fisik

(lingkungan kerja, fisik pekerja, dan finansial) yang berhubungan dengan

kondisi lingkungan kerja dan kondisi fisik pekerja, meliputi jenis pekerjaan,

pengaturan waktu kerja dan waktu istirahat, perlengkapan kerja, keadaan

ruangan, suhu, penerangan, pertukaran udara, kondisi kesehatan karyawan,

umur dan sebagainya dan faktor finansial yang berhubungan dengan jaminan

serta kesejahteraan karyawan yang meliputi sistem dan besarnya gaji, jaminan

sosial, macam-macam tunjangan, fasilitas yang diberikan, promosi dan

sebagainya merupakan bagian dari keadilan distributif, dan faktor

manajemen perusahaan yang termasuk ke dalam bagian keadilan prosedural.

Dalam penelitian ini, peneliti memilih faktor-faktor tersebut karena peneliti

ingin melihat dan menguji asumsi, sejauh mana keadilan distributif yang

meliputi faktor fisik dan faktor finansial, dan keadilan prosedural yang

meliputi menejmen perusahaan mempengaruhi intensi mogok kerja pada

buruh perempuan. Alasan lainnya peneliti memilih fakor-faktor tersebut

karena peneliti ingin menunjukkan bahwa permasalahan mengenai mogok

Page 13: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Intensi Mogok Kerja 1. …eprints.mercubuana-yogya.ac.id/4050/3/BAB II.pdf · berada dalam posisitawar setara dalam perundingan dengan pengusahaan. Menurut

30

kerja merupakan masalah yang harus ditangani untuk mewujudkan keadilan

bagi pekerja/buruh perempuan yang didukung dengan hasil penelitian.

B. Keadilan Distributif

1. Pengertian Keadilan Distributif

Menurut Encyklopedia of Social Psychology (2007) keadilan

distributif mengacu pada keadilan yang dirasakan dari hasil seseorang. Ketika

sebuah hadiah/upah dialokasikan, atau dibuat sebuah keputusan, orang sering

menilai apakah hasilnya adil atau tidak. Keadilan distributif secara tradisional

menilai tentang bagaimana sumber daya didistribusikan, atau dialokasikan

kepada individu secara adil. Contohnya, seorang buruh merasakan adil jika

upah atau tunjangan yang diterimanya sudah memenuhi kebutuhan

hidupnnya. Menurut teori Content Theory dalam Sasono (2013), motivasi

didorong untuk pemenuhan kepuasan kerja. Pemenuhan kepuasan kerja

terkait dengan kebutuan psikologis antara lain menyangkut rasa keadilan.

Menurut Adam keadilan distributif adalah keadilan yang mengandung

ketidakberpihakan dalam hasil, seseorang selalu membandingkan hasil yang

diterima orang lain terhadap hasil yang diterima diri sendiri (merata) dan juga

membandingkan hasil kerjanya dengan apa yang diterimanya (proporsional).

(Lalit Kumar Yadav dan Nagendra Yadav , 2016).

Menurut Santosa dalam Hwei (2012) keadilan distributif merupakan

keadilan yang bersumber dari hasil-hasil (outcomes) yang diterima seseorang.

Keadilan distributif menurut pekerja/buruh jika hasil yang mereka terima

Page 14: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Intensi Mogok Kerja 1. …eprints.mercubuana-yogya.ac.id/4050/3/BAB II.pdf · berada dalam posisitawar setara dalam perundingan dengan pengusahaan. Menurut

31

sama dengan hasil yang diterima orang lain. Keadilan ini menunjuk pada

keadilan yang diterima karyawan dalam hasil. Keadilan yang dimaksudkan

meliputi aspek-aspek fisik, psikologis, ekonomi, dan sosial. Tujuan distribusi

di sini adalah kesejahteraan sehingga yang didistribusikan biasanya

berhubungan dengan sumber daya, ganjaran, atau keuntungan. Setiap nilai

mempunyai tujuan dan kesesuaian dengan kondisi tertentu.

Dalam keadilan distributif sudut pandang buruh mengenai keadilan

didapat dari persepsi individu tentang perbandingan antara hasil yang

didapatkan dengan hasil yag diperoleh pekerja/buruh lain. Situasi yang

dihadapi oleh buruh juga dibandingkan dengan situasi yang dihadapi oleh

buruh lainnya. Sehingga setiap buruh menginginkan hasil yang sesuai dengan

keinginannya dan menguntungkan dirinya (Mustafa, 2006).

Menurut Wirawan (2015) keadilan distributif adalah persepsi pegawai

atau buruh mengenai keadilan yang terkait dengan pendistribusian sumber-

sumber, imbalan, perlakuan, keluaran, akibat sesuatu yang mempengaruhi

kesejahteraan pegawai ata buruh.

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dijelaskan keadilan distributif

adalah keadilan yang diterima dalam pemberian penghargaan di dalam suatu

organisasi, pekerja atau buruh seperti pembayaran yang tepat dalam waktu,

jumlah yang diterima, tingkat manfaat yang berpengaruh terhadap

kesejahteraan buruh.

Page 15: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Intensi Mogok Kerja 1. …eprints.mercubuana-yogya.ac.id/4050/3/BAB II.pdf · berada dalam posisitawar setara dalam perundingan dengan pengusahaan. Menurut

32

2. Aspek-Aspek Keadilan Distributif

Aspek-Aspek keadilan distbutif menurut Cropanzano et al (2007)

terdiri dari 3 yaitu sebagai berikut :

a. Distribusi Secara Proporsional

Ketika seseorang melakukan perbandingan dan dia mendapati

bahwa perbandingan tersebut menjadi lebih besar atau lebih kecil, dia

akan menilainya tidak adil. Namun, bila seseorang mendapatkan bahwa

dari perbandingan tersebut proporsi yang diterima dirinya lebih besar,

ada kemungkinan bahwa hal itu lebih ditoleransi atau tidak dikatakan

tidak adil dibandingkan dengan bila proporsi yang diterimanya lebih

rendah daripada yang semestinya.

Prinsip proporsional ini sangat ideal dan tidak mudah untuk

diterapkan.Untuk menerapkannya banyak syarat yang harus dipenuhi. Di

antaranya, sumbangan yang diberikan seseorang harus terukur.

Perbandingan sumbangan antara satu orang dan orang lain dalam

perusahaan, misalnya, juga sering sulit dilakukan. Cleaning service dan

dosen, misalnya, akan sulit dibandingkan. Maka dari itu, pemberlakuan

prinsip ini hanya dapat diterapkan secara terbatas, yaitu ketika tolok ukur

untuk masukan dan keluaran sudah jelas dan disepakati oleh pihak-pihak

yang terlibat.

b. Distribusi Merata

Dalam prinsip distribusi ini setiap orang yang terlibat akan

menerima pembagian yang sama dengan orang lain. Bila prinsip ini

Page 16: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Intensi Mogok Kerja 1. …eprints.mercubuana-yogya.ac.id/4050/3/BAB II.pdf · berada dalam posisitawar setara dalam perundingan dengan pengusahaan. Menurut

33

digunakan, variasi penerimaan antara satu orang dengan lainnya sangat

kecil atau bahkan tidak ada. Dimungkinkan ada variasi bila ada jenis-

jenis pekerjaan atau bagian-bagian dalam satu organisasi atau kelompok.

Variasi itu terjadi antarkelompok, bukan di dalam setiap kelompok.

Prinsip ini juga sulit diterapkan. Kritik paling banyak datang berkaitan

dengan pengabaian terhadap potensi dan produktivitas kerja. Orang yang

lebih pandai, terampil, atau produktif mestinya mendapat imbalan lebih

tinggi, sementara prinsip ini tidak terlalu mempertimbangkannya.Banyak

pendapat yang menyatakan bahwa prinsip ini tepat diterapkan pada pola

hubungan bukan kerja, misalnya keluarga.Dalam suasana kerja, prinsip

ini dapat diterapkan bila orientasinya adalah keharmonisan hubungan

sesama pekerja.

c. Distribusi Berdasarkan Kebutuhan

Prinsip ketiga mengutamakan kebutuhan sebagai pertimbangan

untuk distribusi. Di sini dapat diinterpretasi bahwa seseorang akan

mendapat bagian sesuai dengan kebutuhannya dan dalam hubungan kerja

makin banyak kebutuhannya maka makin besar upah yang diterima.

Sayangnya, kebutuhan yang harus dipenuhi berdasarkan prinsip ini

kurang jelas dan belum ada kesepakatan umum. Prinsip ini menjadi

pertimbangan dalam pemberian upah pekerja/buruh di

Indonesia.Kebutuhan yang menjadi pertimbangan adalah kebutuhan fisik

minimum.

Page 17: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Intensi Mogok Kerja 1. …eprints.mercubuana-yogya.ac.id/4050/3/BAB II.pdf · berada dalam posisitawar setara dalam perundingan dengan pengusahaan. Menurut

34

Menurut Bass dalam Yohanes dkk (2005), prinsip terakhir dari aspek

spesifik keadilan distributif adalah aspek feminis. Etika feminis menganggap

bahwa pertanyaan dasar Aristoteles dijawab oleh teori-teori etika melalui

sudut pandang laki-laki, yakni kehidupan yang baik menurut laki-laki. Para

filsuf feminis bersikeras bahwa cara pandang etika tersebut menganut filsafat

"berhaluan laki-laki" (male stream philosophy), yang tidak memasukkan

persoalan perempuan di dalamnya. Menurut Simone de Beauvoir bahwa

perempuan selalu ditolak untuk menjadi agen moral yang otonom, perempuan

tidak pernah dibiarkan untuk "Memilih kehidupan yang baik untuk dirinya

sendiri".

Keadilan distributif menjadi penting ketika perusahaan akan

mealokasikan penghargaan seperti upah, tunjangan bonus, cuti dan lain

sebagainya. Kesesuaian antara penghargaan tersebut dengan jerih payah yang

diberikan buruh kepada perusahaan, akan dipersepsikan sebagai adanya suatu

keadilan, oleh karena itu perusahaan harus mengembangkan keadilan

disributif dengan mengalokasikan penghargaan yang sesuai dengan input

yang berasal dari buruh.

Menurut Faturochman (2012) hanya tiga aspek keadilan distributif

yang paling sering digunakan dalam penelitian. Tiga aspek tersebut adalah

distribusi secara proporsional, distribusi secara merata, dan distribusi

berdasarkan kebutuhan. Dari penjelasan tersebut maka dapat disimpulkan

aspek-aspek keadilan distributif yang akan diteliti oleh peneliti adalah

distribusi secara proporsional, merata, dan berdasarkan kebutuhan.

Page 18: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Intensi Mogok Kerja 1. …eprints.mercubuana-yogya.ac.id/4050/3/BAB II.pdf · berada dalam posisitawar setara dalam perundingan dengan pengusahaan. Menurut

35

C. Keadilan Prosedural

1. Pengertian Keadilan Prosedural

Di dalam suatu kelompok, organisasi, ataupun lembaga masyarakat

bisa ditemukan berbagai prosedur, demikan juga halnya dengan keadilan

prosedural. Keadilan prosedural berkaitan dengan kecilnya tingkat konflik

dan ketidakharmonisan dalam kelompok, organisasi, atau institusi sosial

(Faturochman, 2012). Konsep keadilan ini banyak berkembang dari kasus-

kasus pemogokan pekerja serta intervensi psikologi dalam kasus tersebut

(Faturochman, 1999). Menurut Cropanzano dan Greenberg (2001) keadilan

prosedural dapat didefenisikan sebagai keadilan dari cara pengambilan

keputusan untuk sebuah alokasi kebutuhan organisasi atau buruh. Dimana

individu dilibatkan dalam pengambilan keputusan untuk memberikan

pendapat di dalam prosedur tersebut.

Menurut Wirawan (2015) keadilan prosedural adalah cara dengan apa

keluaran keluaran dialokasikan bukan khusus mengenai keluaran sendiri.

Keadilan prosedural menentukan prinsip-prinsip tertentu yang menentukan

dan mengatur peran-peran dari para partisipan dalam proses pembuatan

keputusan.

Keadilan prosedural menurut Mustafa (2006) adalah persepsi

karyawan tentang keputusan, pengawasan, aturan atau prosedur kerja yang

adil selama bekerja dalam perusahaan. Menurut Cropanzanoet al (2017)

keadilan prosedural menetapkan prinsip-prinsip tertentu yang menentukan

dan mengatur peran peserta dalam proses pengambilan keputusan.

Page 19: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Intensi Mogok Kerja 1. …eprints.mercubuana-yogya.ac.id/4050/3/BAB II.pdf · berada dalam posisitawar setara dalam perundingan dengan pengusahaan. Menurut

36

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan keadilan

prosedural adalah keadilan yang berkaitan dengan pembuatan dan implementasi

keputusan yang mengacu pada proses yang adil di tempat kerja.

2. Aspek-Aspek Keadilan Prosedural

Ketika pekerja/buruh dilibatkan dalam pengambilan keputusan

mengenai pekerjaan mereka atau mengenai hasil yang akan mereka terima

maka pekerja/buruh merasa bahwa keputusan tersebut adil. Perusahaan harus

memberikan jaminan kepada pekerja/buruh bahwa perusahaan siap menerima

keluhan-keluhan pekerja/buruh.Adanya prosedur semacam ini secara positif

akan mempengaruhi penilaian atau persepsi pekerja/buruh terhadap keadilan

prosedural (Mustafa, 2006).

Terdapat enam aspek keadilan prosedural menurut Cropanzanoet al

(2007) yaitu sebagai berikut:

a. Konsisten

Diterapkan secara konsisten terhadap orang dan waktu. Setiap

orang memilki hak dan diperlakukan sama dalam satu prosedur yang

sama.

b. Bebas Bias

Bebas bias yaitu tidak ada orang atau kelompok yang diistimewakan

atau diperlakukan tidak sama, kepentingan individu maupun pemihakan,

harus dihindarkan. Contohnya, perusahaan tidak hanya melibatkan

segelintir orang untuk ikut dalam proses pengambilan keputusan atau

Page 20: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Intensi Mogok Kerja 1. …eprints.mercubuana-yogya.ac.id/4050/3/BAB II.pdf · berada dalam posisitawar setara dalam perundingan dengan pengusahaan. Menurut

37

pihak perusahaan tidak mengistimewakan keluarga tertentu yang paling

berhak dalam menentukan suatu keputusan.

c. Akurat

Memastikan bahwa informasi yang akurat dikumpulkan dan

digunakan dalam pengambilan keputusan.Informasi yang dibutuhkan

untuk menentukan agar penilaian keadilan akurat harus mendasarkan

pada fakta. Kalau opini sebagai dasar, hal itu harus disampaiakan oleh

orang-orang yang benar mengetahui permasalahan, dan informasi yang

disampaikan lengkap.

d. Koreksi

Upaya untuk memperbaiki kesalahan merupakan salah satu tujuan

penting perlu ditegakkannya keadilan. Oleh karena itu, prosedur yang

adil juga mengandung aturan yang bertujuan untuk memeprbaiki

kesalahan yang ada ataupun kesalahan yang mngkin akan muncul.

e. Keterwakilan

Prosedur dikatan adil bila sejak awal ada upaya untuk melibatkan

semua pihak yang bersangkutan. Secara prinip harus ada penyertaan dari

berbagai pihak sehingga akses untuk melakukan control juga terbuka.

f. Etis

Prosedur yang adil harus berdasar pada standar etika dan

moral.Dengan demikian, meskipun berbagai hal di atas terpenuhi, bila

substansinyya tidak memenuhi standar etika dan moral, tidak bisa

dikatakan adil.

Page 21: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Intensi Mogok Kerja 1. …eprints.mercubuana-yogya.ac.id/4050/3/BAB II.pdf · berada dalam posisitawar setara dalam perundingan dengan pengusahaan. Menurut

38

Untuk mencapai keadilan prosedural, Minton, dkk dalam

Faturochman (1999) mengajukan tiga aspek pokok yang harus dipenuhi.

Pertama. Aspek keterwakilan. Dalam prosedur tersebut terjadi proses

pengambilan keputusan yang terdiri dari beberapa orang, bukan tunggal. Ini

dirasa penting dalam rangka check dan balance dalam pengambilan

keputusan. Di samping itu, beberapa orang yang terlibat di dalamnya akan

saling menukar informasi sehingga pendapat dan keputusan yang muncul

lebih akurat.

Kedua. Aspek konsisten. Tim pengambil keputusan memiliki

kekuatan yang merata di antara para anggotanya. Selaras dengan syarat

pertama di atas, dominasi seseorang akan dihindari sehingga kontrol dalam

keputusan akurat. Bila terjadi dominasi, syarat pertama tadi menjadi kurang

berarti.

Ketiga. Aspek bebas bias. setiap anggota tim yang terlibat

pengambilan keputusan harus berkesempatan mendapatkan masukan yang

sama. Ketidakseimbangan masukan juga akan mengarah pada dominasi bagi

yang memilikinya. Dengan masukan yang tidak seimbang akan terjadi juga

bias dalam keputusan. Kondisi semacam ini juga mencerminkan prosedur

yang tidak adil.

Ketiga syarat yang saling terkait tersebut juga perlu dibarengi oleh

aspek lain. Cropanzano dkk (2007) menyebutkan bahwa prosedur yang

dilakukan harus dilandasi juga oleh koreksi, akurat, dan etis. Aspek yang

diajukan Cropanzano dkk sangat berkaitan dengan karakteristik keadilan

Page 22: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Intensi Mogok Kerja 1. …eprints.mercubuana-yogya.ac.id/4050/3/BAB II.pdf · berada dalam posisitawar setara dalam perundingan dengan pengusahaan. Menurut

39

prosedural yang menekankan keharmonisan hubungan antar pihak yang

terlibat di dalamnya. Berdasarkan penjelasan tersebut maka peneliti akan

menggunakan aspek keadilan prosedural menurut Cropanzano dkk

Keadilan prosedural menajdi penting ketika perusahaan akan

membuat sebuah aturan untuk standar kebutuhan kaum huruh. Kesesuaian

antara standar kebutuhan dalam aturan dengan jerih payah yang diberikan

buruh kepada perusahaan, akan dipersepsikan sebagai adanya suatu keadilan,

oleh karena itu perusahaan harus menerapkan keadilan prosedural yang sesuai

kepada buruh yang bekerja untuk perusahaan.

Dari penjelasan tersebut maka dapat disimpulkan aspek-aspek

keadilan prosedural adalah terdiri dari aturan yang bersifat konsisten, bebas

bias, akurat, koreksi, keterwakilan, dan etis.

D. Membedakan Keadilan Distributif dan Keadilan Prosedural

Untuk mendapatkan upah, seseorang harus melakukan kerja dengan

mengikuti berbagai prosedur kerja yang telah ditentukan. Dengan penerapan

prosedur yang adil seseorang akan merasa mendapatkan hasil yang memuaskan.

Dengan demikian keadilan prosedural merupakan sarana untuk mencapai keadilan

distributif. Dalam hal ini tampak bahwa keadilan distributif dan keadilan

prosedural saling berhubungan, namun banyak studi organisasional dewasa ini

yang menitikberatkan pada perbedaan antara keadilan distributif dan keadilan

prosedural, khususnya pembedaan mengenai elemen-elemen keadilan distributif

dan keadilan prosedural.

Page 23: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Intensi Mogok Kerja 1. …eprints.mercubuana-yogya.ac.id/4050/3/BAB II.pdf · berada dalam posisitawar setara dalam perundingan dengan pengusahaan. Menurut

40

Satu dari kebanyakan tugas-tugas dasar yang dihadapi para peneliti

keadilan organisasional saat ini telah menetapkan bahwa perbedaan antara

keadilan distributif dan keadilan prosedural tidak sesederhana seperti halnya

sebuah teori semata, tetapi lebih sebagai sesuatu yang nyata dari perspektif

psikologi.

Menurut Greenberg dalam Mustafa (2006) menjelaskan bahwa studi yang

pernah dilakukan oleh Folger dan Konovsky pada tahun 1989, dengan studi

openend nya, menemukan bahwa ukuran-ukuran keadilan prosedural dan keadilan

distributif dapat dipolakan setelah ada laporan-laporan diri dari yang menerima

perlakuan adil. Ukuran-ukuran ini ditemukan berbeda dalam kaitannya dengan

beragam pekerjaan yang berhubungan dengan hasil-hasil yang dilakukan dengan

suatu cara yang serupa dan hal ini serupa dengan pandangan Tyler tahun 1987.

Berdasarkan penjelasan tersebut, maka pembedaan persepsi terhadap

keadilan prosedural meliputi penggunaan prosedur-prosedur untuk menentukan

upah atau cuti, untuk menekan kontribusi buruh terhadap faktor-faktor yang

berkaitan dengan mogok kerja dan meningkatkan kepercayaan terhadap

pengawasan. Sedangkan persepsi-persepsi keadilan distributif secara unik

berkaitan dengan kepuasan upah atau cuti yang diterima sesorang.

E. Pengaruh Keadilan Distributif terhadap Intensi Mogok Kerja

Sejauh yang peneliti ketahui penelitian psikologi yang fokus membahas

intensi mogok kerja buruh perempuan belum pernah dilakukan sebelumnya.

Beberapa penelitian pernah dilakukan terkait mogok kerja namun lebih banyak

Page 24: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Intensi Mogok Kerja 1. …eprints.mercubuana-yogya.ac.id/4050/3/BAB II.pdf · berada dalam posisitawar setara dalam perundingan dengan pengusahaan. Menurut

41

dalam perspektif non psikologi, sehingga dalam bagian ini peneliti akan

mengambil beberapa hasil penelitian-penelitian tersebut.

Menurut Rawls dalam Ujan (2001) mogok sebagai tindakan kaum buruh

menghentikan pekerjaan, ini merupakan manifestasi dari upaya kaum buruh

untuk mendapatkan keadilan. Dalam kaitannya dengan aspek kesamaan dalam

keadilan distributif, Rawls berpendapat bahwa setiap orang mempunyai hak yang

sama untuk mendapatkan kebebasan yang sebesar-besarnya berdasarkan sistem

kebebasan dan memberikan kesempatan yang sama kepada semua orang di bidang

ekonomi.

Menurut Faturochman (1995) protes yang dilakkan buruh terhadap pihak

perusahaan disebabakan karena mereka merasa diperlakukan secara tidak adil.

Pada umumnya protes buruh kepada majikan bertujuan untuk memperbaiki nasib.

Secara garis besar bentuk tuntutannya adalah kenaikan upah, perbaikan kondisi

maupun fasilitas kerja yang merupakan bagian dari keadilan distributif.

Menurut Jemadi dan Hidayati (2012) Potensi mogok kerja karyawan

cenderung dipengaruhi oleh tingkat kepuasan kerja karyawan. Tingkat

ketidakpuasan yang tinggi akan cenderung meningkatkan potensi mogok kerja

karyawan, dan sebaliknya tingkat kepuasan kerja yang tinggi akan cenderung

menurunkan potensi mogok kerja karyawan. Tingkat kepuasan kerja karyawan

dipengaruhi oleh faktor finansial, dan faktor fisik yang merupakan bagian dari

keadilan distributif.

Adanya persepsi ketidakadilan distributif akan mendorong individu

untuk melakukan berbagai usaha guna mendapatkan keadilan distributif. Sebagai

Page 25: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Intensi Mogok Kerja 1. …eprints.mercubuana-yogya.ac.id/4050/3/BAB II.pdf · berada dalam posisitawar setara dalam perundingan dengan pengusahaan. Menurut

42

contoh penelitian yang dilakukan oleh Griffin dkk dalam Greenberg (1990)

menunjukkan bahwa ketika buruh-buruh mempersepsikan hal-hal berharga yang

diinginkannya (seperti upah, tunjangan) telah didistribusikan secara tidak adil,

maka buruh tersebut akan melakukan berbagai bentuk protes (mogok) di tempat

kerja.

Contoh lain, hasil penelitian Rizki (2008), menjelaskan bahwa semakin

tinggi keadilan distributif yang diterima oleh buruh maka semakin negatif sikap

buruh terhadap aksi mogok kerja di perusahaan. Artinya, jika kaum buruh

merasakan diperlakukan secara adil oleh pihak perusahaan maka potensi untuk

mogok semakin kecil dilakukan atau sebaliknya.

Hasil penelitian Zainal (2008) tentang pengaruh keadilan distributif

terhadap keinginan mogok dalam persepsi karyawan industri TPT di Eks

Karesidenan Surakarta mengenai keadilan prosedural secara langsung tidak

mempunyai efek (pengaruh) terhadap keinginan mogok kerja.

Berdasarkan penjelasan tersebut maka peneliti dapat menyimpulkan bahwa

keadilan distributif nampaknya mempunyai pengaruh terhadap intensi mogok

kerja buruh.

F. Pengaruh Keadilan Prosedural terhadap Intensi Mogok Kerja

Menurut Rafika dkk (2014), ketidakadilan menyebabkan perasaan tidak

menyenangkan serta menimbulkan ketegangan di tempat kerja. Jika buruh

mengalami ketidakadilan, maka buruh mengalami reaksi emosional (seperti

mogok kerja) sebagai hasilnya. Hal ini berkaitan dengan penjelasan Faturochman

Page 26: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Intensi Mogok Kerja 1. …eprints.mercubuana-yogya.ac.id/4050/3/BAB II.pdf · berada dalam posisitawar setara dalam perundingan dengan pengusahaan. Menurut

43

(1999) bahwa keadilan prosedural merupakan konsep yang lahir dari pemogokan-

pemogokan kerja. Mogok kerja dilakukan karena buruh menganggap mereka

tidak diperlakukan secara adil oleh pihak perusahaan atau sebaliknya. Hal ini

didukung oleh beberapa hasil penelitian sebagai berikut.

Hasil penelitian Zaenal (2006) bahwa persepsi karyawan industri TPT di

Eks Karesidenan Surakarta mengenai keadilan prosedural mempunyai efek

langsung yang positif dan signifikan terhadap kepuasan kerja buruh. Hal ini

berarti bahwa jika keadilan prosedural diterapkan dengan baik oleh perusahaan

maka sangat kecil dampaknya mempengaruhi keinginan buruh untuk melakukan

mogok kerja.

Hasil penelitian Skarlicky dan Folger dalam Rafika dkk (2014)

menyimpulkan bahwa apabila keputusan organisasi dipersepsikan tidak adil dari

sisi prosedurnya akan memicu emosi karyawan berupa rasa sakit hati dan

kemarahan. Mereka akan bertindak melawan (mogok kerja) organisasi ketika

mereka merasa telah dimanfaatkan dan diekspliotasi oleh organisasi.

Berdasarkan penjelasan tersebut maka peneliti dapat menyimpulkan bahwa

keadilan prosedural nampaknya mempunyai pengaruh terhadap intensi mogok

kerja buruh.