bab ii. tinjauan pustaka 2.1 ledok · (1) bumbu dalam dan (2) bumbu luar. bumbu dalam adalah bumbu...
TRANSCRIPT
8
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Ledok
Ledok adalah salah satu jenis pangan tradisional yang berasal
dariKecamatan Nusa Penida, Kabupaten Klungkung, Provinsi Bali. Pangan
tradisional adalah makanan atau minuman yang sudah turun temurun dihasilkan
dan dikonsumsi, menggunakan bahan yang dihasilkan dari lokal atau daerah
sekitarnya, diolah secara khas disuatu daerah di wilayah Indonesia (Winarno,
1994). Keberadaan pangan tradisional di Bali mempunyai peranan penting dan
strategis dalam upaya pengembangan penganekaragaman pangan, karena bahan
baku pangan tersebut tersedia di lokasi sekitar. Bahan baku utama ledok
tradisional adalah jagung putih dan umbi ketela pohon serta ditambahkan dengan
bahan-bahan lain seperti kacang tanah, kacang tunggak, bayam, daun salam dan
kemangi serta bumbu. Bumbu yang digunakan adalah bawang putih, bawang
merah, cabai, garam, jeruk limau dan lengkuas. Penambahan bumbu tradisional
yang alamiah akan memberi rasa sedap dan enak yang khas pada pangan
tradisional (Soerjodibroto, 1995).
Salah satu keistimewaan ledok tradisional adalah tidak menggunakan beras
sebagai bahan baku utama, sehingga ikut mengurangi kebutuhan pangan akan
beras sebagai bahan pangan pokok penduduk Indonesia. Oleh karena itu ledok
tradisional dapat meningkatkan peran bahan pangan non-beras seperti jagung dan
umbi-umbian sebagai pengganti beras yang merupakan sumber karbohidrat.
Pembuatan ledok tradisional memerlukan waktu yang cukup lama yaitu sekitar 48
menit sampai siap saji untuk dikonsumsi. Bahan baku utama seperti jagung putih,
kacang tanah dan kacang tunggak adalah merupakan bahan pangan yang sudah
9
dikeringkan, sehingga dalam proses pembuatan ledok memerlukan waktu yang
cukup lama untuk memasaknya. Untuk mempermudah penyiapan, peningkatan
umur simpan dan memperluas jangkauan distribusi, ledok tradisional telah
dikembangkan menjadi ledok instan (Suter, et al., 2007; Suter, et al., 2009a dan
Suter, et al., 2009b).
Ledok instan hasil pengembangan dari ledok tradisional berbentuk seperti
tepung dengan ukuran 9 - 16 mesh, sedangkan ledok tradisional berbentuk seperti
bubur dengan campuran sayur dan bumbu. Kelebihan ledok instan dibandingkan
dengan ledok tradisional adalah lama waktu masak untuk siap saji lebih pendek
yaitu 5 (lima) menit, dan cara penyajiannya adalah dengan cara diseduh dengan
air mendidih selanjutnya siap dikonsumsi. Umur simpan ledok tradisional adalah
1 (satu) hari, sedangkan ledok instan lebih lama yaitu sekitar 3 - 4 bulan
tergantung dari jenis kemasannya, karena bahan-bahan ledok instan dalam bentuk
sudah dikeringkan. Pendistribusian ledok instan lebih mudah dan jangkauannya
lebih luas, sifat sensoris relatif sama dengan ledok tradisional (Suter, et al.,
2009b).
Bahan baku utama ledok tradisional adalah jagung putih, umbi ketela
pohon, kacang tanah, kacang tunggak, sayuran seperti bayam, kacang panjang,
kemangi, daun salam dan bumbu-bumbuan. Menurut Suter et al. (2007) bumbu
yang digunakan dalam proses pembuatan ledok tradisionalada 2 (dua) jenis yaitu:
(1) bumbu dalam dan (2) bumbu luar. Bumbu dalam adalah bumbu yang
dicampurkan ke dalam ledok menjelang ledok matang pada saat proses
pembuatan yang terdiri dari: bawang putih , cabai merah , garam dapur dan kulit
buah jeruk limau , sedangkan bumbu luar atau biasa disebut bumbu koples adalah:
10
bumbu yang ditambahkan pada ledok pada saat penyajian atau saat ledok
dikonsumsi yang jumlahnya bervariasi tergantung dari konsumen. Bumbu koples
ini terdiri dari: bawang putih, cabai merah, terasi, gula pasir, garam dapur, air
perasan jeruk limau, kacang tanah goreng, dan minyak kelapa kelentik
secukupnya.
2.2 Kandungan gizi ledok
Menurut Suter et al., (2007), ledok tradisional mengandung zat gizi: air
(71,92%), abu (0,98%), protein (3,15%), lemak (4,71%), serat kasar (3,18%) dan
karbohidrat (16,05%).Selanjutnya Sugitha, et al., (2007) melaporkan, kandungan
zat gizi ledok instan yang dibuat dengan formulasi yang sama dengan penelitian
Suter et al., (2007), tetapi dengan penambahan ikan tenggiri sebesar 1,96 %
terhadap total bahan baku tampak terjadi peningkatan kadar protein dan lemak.
Kandungan zat gizi ledok instan (berbentuk bukan tepung) dengan penambahan
ikan tenggiri adalah : air (75,67 %), protein (5,79 %), lemak (9,07 %), karbohidrat
8,24 %) dan abu (1,23 %). Kandungan gizi bahan ledok tradisional seperti jagung,
ketela pohon, kacang tunggak, kacang tanah, bayam, kacang panjang, kemangi,
bawang merah, bawang putih dan cabai disajikan pada Tabel 2.1.
11
Tabel 2.1
Kandungan zat gizi beberapa bahan ledok tradisional per 100 g b.d.d.(Dep.Kes.
RI., 1992 dan Dep. Kes. RI., 1995) .
Jenis bahan K.H.1)
(g)
Energi
(kkal)
L
(g)
P
(g)
Ca
(mg)
P
(mg)
Fe
(mg)
A
S.I
B1
(mg)
C
(mg)
Jagung
Ketela pohon
Kacang tunggak
Kacang tanah
Bayam
Kemangi
Bawang merah
Bawang putih
Cabai
Kacang panjang
Limau
63,6
37,9
61,6
17,4
6,5
7,5
0,2
23,1
7,3
7,8
12,3
307
157
342
525
36
43
39
95
31
44
37
3,4
0,3
1,4
42,7
0,5
0,3
0,3
0,2
0,3
0,3
0,8
7,9
0,8
22,9
27,9
3,5
5,5
1,5
4,5
1,0
2,7
0,1
9
33
77
316
267
35
36
42
29
49
40
148
40
449
456
67
106
40
134
24
347
22
2,1
0,7
6,5
5,7
3,9
1,0
0,8
1,0
0,5
0,7
0,6
-
385
30
30
6090
1017
-
-
470
335
-
0,33
0,06
0,92
0,44
0,08
0,06
0,03
0,22
0,05
0,13
0,04
-
30
2
-
80
30
2
15
18
21
27
Keterangan:
1). KH = karbohidrat; L= lemak; P= protein; Ca= kalsium; P= posfor; Fe=
besi; A= vit. A; B1= vit. B1; C= vit.C; - = tidak tersedia data.
Jagung sebagai bahan pangan pokok kedua setelah beras, selain sebagai
sumber karbohidrat juga merupakan sumber protein yang penting dalam menu
masyarakat di Indonesia. Komponen bioaktif jagung antara lain: serat pangan
(dietary fiber), asam lemak esensial, isoflavon, mineral Fe, β karoten (provitamin
A) dan asam amino esensial yang merupakan suatu keunggulan dari jagung
dibandingkan dengan serealia lainnya (Krisnamurthi, 2010 dan Suarni, 2009).
Kandungan kalium jagung putih berkisar antara 275-305 mg/100g, hal ini
menunjukkan bahwa kandungan kalium biji jagung relatif tinggi. Mineral (Ca, K,
Na) banyak terdapat dalam bahan makanan dalam bentuk organik, sedangkan S
12
biasanya terdapat dalam bentuk asam amino yang mengandung S dan P dalam
nukleotida (Linder, 2010). Kacang tanah mengandung asam lemak omega 3 yang
merupakan lemak tak jenuh ganda dan asam lemak omega 9 yang merupakan
lemak tak jenuh tunggal (Dep. Kes. RI, 1995).
2.3 Pangan Fungsional
Pangan fungsional mendapat perhatian di Jepang mulai awal tahun 1980
dan sejak tahun 1991 didefinisikan sebagai FOSHU (Foods for Specified Health
Used). FOSHU adalah makanan yang memiliki efek spesifik terhadap kesehatan
karena adanya kandungan senyawa kimia tertentu pada bahan makanan. Konsep
”pangan fungsional” pertama kali diperkenalkan oleh Ichikawa (1994), yang
melaporkan bahwa pangan memiliki tiga fungsi dasar dalam tubuh manusia.
Ketiga fungsi dasar tersebut adalah: fungsi primer pangan di lihat dari aspek
nutrisional (gizi tinggi), fungsi sekunder pangan yaitu sifat sensoris (penampilan
menarik serta citarasa yang enak), dan fungsi tersier pangan yang mengarah pada
aspek fisiologikal (pengaruh positif bagi kesehatan tubuh). Selanjutnya pangan
fungsional didefinisikan sebagai pangan olahan yang mengandung ingridien yang
mampu membantu fungsi tubuh secara spesifik selain memiliki nilai gizi.
Beberapa fungsi fisiologikal pangan meliputi: fungsi yang mampu meningkatkan
daya tahan tubuh, mencegah timbulnya penyakit seperti hipertensi dan diabetes,
membantu pemulihan kesehatan, mengatur kondisi ritme fisik tubuh, dan
menghambat proses penuaan (Ichikawa, 1994).
Faktor penting yang ditekankan para ilmuwan Jepang yang harus dipenuhi
oleh suatu produk agar dapat dikatagorikan sebagai pangan fungsional, yaitu : (1)
produk tersebut haruslah suatu produk pangan (bukan kapsul, tablet atau serbuk)
13
yang berasal dari bahan (ingredien) yang terdapat secara alami, (2) produk
tersebut dapat dan selayaknya dikonsumsi sebagai bagian dari pangan sehari-hari,
dan (3) produk tersebut mempunyai fungsi tertentu pada saat dicerna. Selanjutnya
makanan tersebut memberikan peran tertentu dalam proses metabolisme tubuh,
misalnya : memperkuat mekanisme pertahanan tubuh, mencegah timbulnya
penyakit tertentu (seperti penyakit kanker, kardiovaskuler dan jantung koroner,
pencernaan, osteoporosis, dan berbagai gangguan kesehatan akibat kekurangan
atau kelebihan zat gizi tertentu), membantu untuk mengembalikan kondisi tubuh
setelah terserang penyakit tertentu, menjaga kondisi fisik dan mental, dan
memperlambat proses penuaan (Ichikawa, 1994).
Menurut Badan Pengawasan Obat dan Makanan (2001), pangan
fungsional adalah pangan yang secara alami maupun telah melalui proses,
mengandung satu atau lebih senyawa yang berdasarkan kajian-kajian ilmiah
dianggap mempunyai fungsi-fungsi fisiologis tertentu yang bermanfaat bagi
kesehatan. Pangan fungsional dikonsumsi sebagaimana layaknya makanan atau
minuman, mempunyai karakteristik sensoris berupa penampakan, warna, tekstur
dan cita rasa yang dapat diterima oleh konsumen, serta tidak memberikan
kontraindikasi dan efek samping terhadap metabolisme zat gizi lainnya jika
digunakan dalam jumlah yang dianjurkan. Meskipun mengandung senyawa yang
bermanfaat bagi kesehatan, pangan fungsional tidak berbentuk kapsul, tablet, atau
bubuk yang berasal dari senyawa alami.
Pangan fungsional adalah makanan (bukan kapsul, pil atau tepung) berasal
dari ingredien alami. Makanan ini dapat dan harus dikonsumsi sebagai bagian dari
diet harian dan memiliki fungsi tertentu bila dicerna, membantu mempercepat
14
proses tertentu dalam tubuh seperti : meningkatkan mekanisme pertahanan secara
biologis, mencegah penyakit tertentu, penyembuhan dari penyakit spesifik,
mengendalikan kondisi fisik dan mental, serta menghambat proses penuaan. Di
Jepang telah diidentifikasi 12 klas ingredien yang memperbaiki kesehatan yaitu :
serat makanan, oligosakarida, gula alkohol, asam-asam amino, peptida dan
protein, glikosida, alkohol, isoprenoid dan vitamin, kholin, bakteri asam laktat,
mineral, asam lemak tak jenuh jamak serta fitokimia dan antioksidan (Goldberg,
1994).
Konsep pangan fungsional didefinisikan sebagai pangan yang
mengandung komponen bioaktif secara fisiologis dan digunakan untuk
pencegahan atau penyembuhan sesuatu penyakit, atau untuk mencapai kesehatan
tubuh yang optimal. Selanjutnya istilah pangan fungsional digunakan secara luas
untuk mengidentifikasi dan mendefinisikan makanan yang mempunyai
kemampuan untuk mempengaruhi proses fisiologis, sehingga meningkatkan
potensi kesehatan dari makanan atau minuman tersebut. Makanan dikatakan
mempunyai sifat fungsional bila mengandung komponen (zat gizi atau non zat
gizi) yang mempengaruhi satu atau sejumlah terbatas fungsi dalam tubuh tetapi
yang bersifat positif, sehingga dapat memenuhi kriteria fungsional atau
menyehatkan. Pangan fungsional adalah makanan atau minuman yang dikonsumsi
sebagai bagian dari pangan sehari-hari dan mempunyai fungsi tertentu, pada
waktu dicerna atau memberikan peran tertentu selama proses metabolisme di
dalam tubuh karena mengandung komponen bioaktif (Muchtadi, 2001a).
Istilah pangan fungsional merupakan nama yang paling dapat diterima
semua pihak untuk golongan makanan dan atau minuman yang mengandung
15
bahan-bahan yang diperkirakan dapat meningkatkan status kesehatan dan
mencegah timbulnya penyakit-penyakit tertentu. Istilah health food sebelumnya
lebih menarik dan berarti bagi konsumen, tetapi hal ini tidak dapat digunakan lagi
karena pada prinsipnya semua bahan pangan akan menyehatkan tubuh bila
dikonsumsi secara baik dan benar. Istilah yang pernah diusulkan sebelumnya
untuk pangan yang menyehatkan adalah designer food, pharmafoods, vitafoods
dan nutraceutical, tetapi semua istilah ini kurang tepat karena bentuknya
disamakan dengan food supplement yang merupakan suplemen zat gizi dan non
gizi yang berbentuk seperti obat (kapsul ataupun tablet), sedangkan pangan
fungsional bentuknya merupakan makanan atau minuman tetapi mengandung
komponen aktif yang menyehatkan (Subroto, 2008).
Komponen aktif dalam bahan pangan yang memberikan efek fisiologis
atau menimbulkan adanya sifat fungsional telah mendapat perhatian yang cukup
besar saat ini. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya laporan tentang manfaat suatu
komponen yang dijumpai dalam suatu bahan pangan, baik yang berasal dari
pangan nabati maupun hewani. Komponen aktif yang termasuk dalam golongan
zat gizi mineral antara lain kalsium, asam folat, vitamin E, dan iodium, sedangkan
komponen aktif non zat gizi diantaranya yaitu grup senyawa flavonoid, komponen
sulfur, senyawa polifenol, senyawa terpenoid, senyawa isoflavon, serat makanan,
mikroba dan komponen hasil metabolit lainnya sepertioligosakarida dan
hidrokoloid (Golberg, 1994).
Ledok berpotensi sebagai pangan fungsional karena terbuat dari bahan-bahan
yang mengandung senyawa-senyawa aktif yang bermanfaat untuk kesehatan
manusia. Bahan-bahan tersebut antara lain lengkuas yang berasal dari
16
bumbumengandung senyawa bioaktif (galangol, galangin, alpinen, kamfer,
methyl-cinnamate) berkhasiat menambah nafsu makan, mengencerkan dahak dan
sebagai anti bakteri. Daun salam mengandung bioaktif seperti sitral, eugenol,
tanin dan flavonoid berkhasiat mengobati asam urat, menurunkan kolesterol dan
tekanan darah tinggi, mengobati diare dan maag. Kemangi (Ocimum basilicum)
merupakan tanaman yang keberadaannya cukup banyak di Indonesia. Namun
pemanfaatan kemangi di masyarakat masih terbatas sebagai lalapan atau bumbu
aromatik dalam masakan. Kemangi mengandung kamfor, d-limonen, mirsen,
etilkavikol, dan eugenol yang berkhasiat mengatasi gangguan pencernaan seperti
radang lambung, muntah-muntah, perut kembung, mengobati demam, pilek, sakit
kepala dan menurunkan asam urat. Bioaktif alisin dalam bawang putih berkhasiat
untuk menurunkan kolesterol, tekanan darah tinggi, mencegah kanker,
menghambat penuaan, meningkatkan insulin dan meringankan tukak lambung
(Wijayakusuma, 2002).
Kandungan protein ledok mempunyai kualitas yang baik, karena ledok
terbuat dari kacang-kacangan dan biji-bijian seperti kacang tanah, kacang
tunggak dan jagung putih, sehingga menjamin kelengkapan asam amino. Lemak
yang terkandung dalam ledok merupakan asam lemak tidak jenuh yang berasal
dari kacang tanah, baik untuk kesehatan jantung. Kandungan karbohidratnya
merupakan karbohidrat kompleks, yaitu karbohidrat yang memiliki resiko
kegemukan kecil. Serat dalam ledok cukup tinggi sehingga baik untuk pencernaan
dan mencegah kanker kolon serta dapat menurunkan kolesterol. Vitamin yang
terdapat dalam ledok adalah vitamin A, B, C dan E, dan mineralnya adalah
kalsium dan fosfor yang cukup tinggi yang berasal dari kacang-kacangan.
17
Disamping itu ledok juga mengandung mineral penting seperti selenium yang
berasal dari jagung putih dan bawang putih. Serat pangan termasuk zat non-gizi
yang mampu memerangi penyakit kanker serta menjaga kolesterol dan gula darah
agar tetap normal. Substitusi serat banyak digunakan dalam produk serealia yang
menjadi menu favorit di Negara Barat. Komoditi jagung termasuk tanaman
serealia yang banyak mengandung serat pangan menjadi salah satu bahan pangan
yang lagi populer diteliti potensi kandungan unsur pangan fungsionalnya (Suarni,
2009).
2.4 Serat Pangan
Serat pangan (dietary fiber) merupakan komponen dari jaringan tanaman
yang tahan terhadap proses hidrolisis oleh enzim dalam lambung dan usus kecil.
Serat tersebut banyak berasal dari dinding sel berbagai sayuran dan buah-buahan.
Secara kimia dinding sel tersebut terdiri dari beberapa jenis karbohidrat seperti
selulosa, hemiselulosa, pektin, dan nonkarbohidrat seperti polimer lignin,
beberapa gum, dan mucilage. Serat kasar (crude fiber) tidak identik dengan serat
pangan. Serat kasar adalah residu dari bahan pangan yang telah diperlakukan
dengan asam dan alkali mendidih. Serat pangan merupakan bagian dari
karbohidrat yang tidak dapat dicerna oleh enzim pencernaan (Winarno, 1997).
Selanjutnya menurut Linder (2010), serat pangan adalah bagian dari makanan
yang tidak dapat dicerna secara enzimatis sehingga tidak digolongkan sebagai
sumber zat makanan.
Menurut Kusharto (2006), serat yang terdapat pada sayuran dan buah
disebut serat kasar. Selain serat kasar, terdapat juga serat pangan yang tidak hanya
terdapat pada sayur dan buah tetapi juga terdapat pada makanan lain misalnya
18
beras, kentang, kacang-kacangan dan umbi-umbian.Serat pangan mampu
membantu kesehatan pencernaan. Apabila asupan serat pangan ke dalam tubuh
kurang dari jumlah yang dibutuhkan maka kondisi ini akan dapat mempengaruhi
proses pengeluaran limbah pencernaan yang berasal dari usus halus menuju usus
besar. Konsumsi serat yang cukup dapat menghindari timbulnya beberapa
penyakit degeneratif seperti penyakit jantung, diabetes melitus dan penyakit lain
yang berhubungan dengan obesitas. Makanan yang mengandung banyak serat,
apabila dikonsumsi dapat mengontrol berat badan. Menu yang banyak serat akan
dapat membantu mengurangi konsumsi lemak dan gula yang berlebihan sebab
serat pangan dapat menimbulkan perasaan kenyang sehingga konsumsi makanan
dapat dikurangi.
Serat pangan memegang peran penting dalam memelihara kesehatan
individu. Oleh karena itu, serat pangan merupakan salah satu komponen pangan
fungsional yang dewasa ini mendapat perhatian masyarakat luas. Serat pangan
berbentuk karbohidrat kompleks yang banyak terdapat di dalam dinding sel
tumbuhan. Serat pangan tidak dapat dicerna dan diserap oleh saluran pencernaan
manusia, tetapi memiliki fungsi yang sangat penting bagi pemeliharaan kesehatan,
pencegahan berbagai penyakit, dan sebagai komponen penting dalam terapi gizi.
Komponen ini meliputi polisakarida yang tidak dapat dicerna, seperti selulosa,
hemiselulosa, oligosakarida, pektin, gum, dan waxes (Marsono, 2004; Astawan
dan Wresdiyati, 2004).
Serat pangan berdasarkan kelarutannya dalam air dibedakan atas : Serat
pangan total/Total Dietary Fiber (TDF) terdiri atas komponen serat pangan larut
air/Soluble Dietary Fiber(SDF) dan serat pangan tidak larut air/Insoluble Dietary
19
Fiber(IDF). Serat pangan larut air (SDF)adalah serat yang dapat larut dalam air
hangat atau panas. Serat pangan larut cenderung bercampur dengan air
membentuk jaringan gel (seperti agar-agar)atau jaringan yang pekat, termasuk ke
dalamnya beberapa hemisellulosa, pektin, gum dan β-glukan. Serat pangan tidak
larut (IDF) adalah serat yang tidak dapat larut dalam air panas, yang termasuk
dalam kelompok ini adalah sellulosa, beberapa hemisellulosa dan lignin (Linder,
2010). Sumber utama serat pangan adalah sayur-sayuran, buah-buahan, biji-bijian
dan kacang-kacangan. Serat pangan merupakan bagian dari pangan fungsional
terutama fungsinya yang membantu mempertahankan kesehatan saluran
pencernaan. Konsumsi serat dalam jumlah tinggi akan memberi pertahanan pada
manusia terhadap timbulnya berbagai penyakit, misalnya kanker usus besar
(colon), divertikulasi, kardiovaskuler dan obesitas(Muchtadi, 2001b dan
Jatraningrum, 2012). Kebutuhan serat pangan dalam diet sehari-hari untuk orang
dewasa menurut ADA (American Dietetic Association) adalah 14 g/1000 kkal
atau 25 g/hari untuk wanita dan 38g/hari untuk laki-laki (Timm dan Slavin, 2008).
Kebutuhan serat pangan untuk orang Indonesia menurut Widya Nasional Pangan
dan Gizi (WNPG) VII tahun 2004 adalah sebesar 10-13 g/1000 kkal (Marsono,
2004).
Serat pangan tidak larut/Insoluble Dietary Fiber (IDF) bermanfaat dalam
mengatasi sembelit, mencegah kanker kolon dan mengontrol berat badan. Kanker
usus besar (kolon) disebabkan oleh kontak sel-sel mukosa usus besar dengan zat-
zat karsinogen, terutama jika kontak tersebut terjadi dalam waktu yang lama
dengan konsentrasi senyawa karsinogen yang tinggi. Senyawa karsinogen berasal
dari makanan yang mengandung prekursor. Di dalam sistem pencernaan, senyawa
20
prekursor dapat dirubah menjadi senyawa-senyawa karsinogen oleh enzim
pencernaan dan aktivitas flora usus. Kontak senyawa karsinogen dengan sel usus,
dapat merubah sel-sel usus menjadi sel-sel kanker. Bila orang mengkonsumsi
makanan yang mengandung sedikit serat, maka feses yang terbentuk dalam usus
besarnya kecil-kecil dan teksturnya keras. Bentuk feses semacam ini,
menyebabkan konsentrasi zat karsinogenik yang mungkin ada di dalamnya pekat
atau konsentrasi tinggi (Winarno, 1997).
Peranan serat pangan dimulai dari pengeluaran saliva dimulut, penelanan,
pengosongan dan pengeluaran asam lambung, pencernaan di usus halus, sampai
usus besar. Konsumsi makanan dengan kandungan serat pangan tinggi akan
membutuhkan pengunyahan lebih lama di dalam mulut. Lamanya pengunyahan
berpengaruh terhadap keluarnya saliva yang dapat menetralkan asam sehingga
menghambat kerusakan gigi. Di dalam lambung, serat memiliki kemampuan
mengikat air dan membentuk gel. Gel yang terbentuk memiliki volume yang besar
namun kandungan energinya rendah sehingga menurunkan konsumsi energi. Di
dalam usus halus, serat mampu melapisi usus halus untuk menyerap glukosa dan
mengikat asam empedu sehingga memperlambat penyerapan lemak dan
kolesterol. Di dalam usus besar, serat dapat membentuk volume dan berat feces
yang akan mengurangi konstipasi dan mempercepat waktu transit makanan (Jahari
dan Sumarno, 2002).
Menurut Muchtadi (2001b), asupan serat yang berlebihan dapat
mengganggu penyerapan vitamin larut lemak (vitamin A, D, E dan K). Serat
pangan mempengaruhi bioavailabilitas (ketersediaan) vitamin-vitamin larut lemak
yaitu mempengaruhi pengikatan asam/garam empedu, yang berperan dalam
21
pencernaan dan penyerapan lemak. Kalau lemak terhambat penyerapannya maka
vitamin yang larut lemak juga akan terhambat penyerapannya.
Peranan serat pangan di lihat dari fungsinya dibedakan atas viskositas dan
daya fermentasinya. Viskositas dari polisakarida dan kemampuannya membentuk
gel pada lambung menyebabkan penghambatan terhadap pengosongan lambung.
Dengan demikian makanan lebih lama dicerna dalam lambung dan lebih mudah
diterima di usus halus. Polisakarida yang membentuk gel (soluble viscous) akan
menghalangi penyerapan karbohidrat, protein, dan lemak sehingga memberikan
efek positif dalam tubuh yaitu meningkatkan glukosa tolerans (menjaga glukosa
darah rendah) dan menurunkan kadar kolesterol darah. Semakin viscous fiber
semakin tinggi pengaruhnya terhadap glukosa darah (sama efeknya dengan makan
sedikit beberapa kali dibanding makan yang banyak sekaligus). Serat juga
memiliki efek penurunan lipid pada penderita penyakit jantung koroner.
Beberapa viscous fiber dapat menurunkan kolesterol darah seperti gum, pektin
danproduk yang berasal dari kacang-kacangan (Rusilanti dan Kusharto, 2007).
Daya fermentasi serat pangan oleh bakteri kolon di dalam usus besar
tergantung dari jenis dan mikrofloranya. Serat difermentasi menjadi asam lemak
rantai pendek (seperti asetat, propionat, dan butirat) dan gas hidrogen (H2), CO2,
dan metan (CH4). Asam lemak rantai pendek ini berperan dalam mempengaruhi
pergerakan air dan elektrolit di dalam usus besar serta menyediakan energi dan
menstimulasi proliferasi sel. Asam ini dapat menghambat mobilisasi lemak dan
mengurangi glukoneogenesis sehingga berpengaruh pada pemakaian glukosa dan
sekresi insulin (Rusilanti dan Kusharto, 2007).
22
Salah satu efek syaraf yang ditimbulkan oleh makanan adalah kepuasan
yaitu perasaan kenyang yang disebabkan oleh pembesaran lambung. Jumlah serat
yang banyak dapat mengganggu penyerapan mineral seperti kalsium, magnesium,
kalium, dan natrium. Bila serat mengalami fermentasi dengan sendirinya pH
menurun, bakteri yang sensitif terhadap pH seperti bakteri yang membentuk asam
empedu sekunder menjadi tidak aktif pada pH di bawah 6.5. Waktu transit
makanan di lambung 2-5 jam sedangkan di usus halus 3-6 jam. Adanya serat di
lambung akan memperlambat pengeluaran makanan ke usus halus sehingga
mengurangi penyerapan zat gizi melalui sel epitel. Waktu transit yang pendek,
menyebabkan kontak antara zat iritatif dengan mukosa kolorektal menjadi singkat
sehingga dapat mencegah terjadinya penyakit di kolon dan rektum (Kusharto,
2006).
Serat larut air cepat difermentasi oleh bakteri, sebaliknya serat tak larut air
tidak dapat difermentasi oleh bakteri sehingga membentuk massa feces (bulk)
yang akan menahan air sebanyak mungkin dan masa yang besar ini akan
menurunkan waktu transit. Serat tak larut bersifat higroskopis yaitu mampu
menahan air 20 kali dari beratnya seperti sellulosa, beberapa hemisellulosa dan
lignin. Serat yang berasal dari serealia (biji-bijian) umumnya bersifat tak larut air,
sedangkan serat yang bersumber dari sayur, buah dan kacang-kacangan cendrung
bersifat larut (Astawan et al., 2004).
2.5 Antioksidan
Antioksidan adalah senyawa yang mampu menghambat atau mencegah
oksidasi dengan cara membersihkan (scavenger) atau memperbaiki kerusakan
yang disebabkan oleh radikal bebas (Eberhardt, 2001). Senyawa ini mampu
23
memperlambat atau menghambat oksidasi zat yang mudah teroksidasi meskipun
dalam konsentrasi rendah. Antioksidan adalah subtansi yang dapat menunda,
mencegah, menghilangkan kerusakan oksidatif pada molekul target, seperti
lemak, protein, dan DNA (Halliwell dan Gutteridge, 2000). Antioksidan berfungsi
sebagai senyawa yang melindungi sel dari efek berbahaya radikal bebas oksigen
reaktif jika berkaitan dengan penyakit, radikal bebas ini dapat berasal dari
metabolisme tubuh maupun faktor eksternal lainnya.
Radikal bebas adalah zat yang tidak stabil karena memiliki elektron yang
tidak berpasangan dan mencari pasangan elektron dalam makromolekul biologi.
Protein lipida dan DNA dari sel manusia yang sehat merupakan sumber pasangan
elektron yang baik. Kondisi oksidasi dapat menyebabkan kerusakan protein dan
DNA, kanker, penuaan, dan penyakit lainnya. Komponen kimia yang berperan
sebagai antioksidan adalah senyawa golongan fenolik dan polifenolik. Senyawa-
senyawa golongan tersebut banyak terdapat di alam, terutama terdapat pada
tumbuh-tumbuhan dan memiliki kemampuan untuk menangkap radikal bebas
(Schuler, 1990).
Antioksidan mempunyai fungsi penting pada sistem kekebalan, karena
sistem kekebalan menghasilkan radikal bebas. Jika tingkat radikal bebas dalam
sistem kekebalan melewati tingkat normal maka akan memberikan pengaruh
negatif pada sistem kekebalan. Senyawa antioksidan memegang peranan penting
dalam pertahanan tubuh terhadap pengaruh buruk yang disebabkan oleh radikal
bebas. Sebaliknya antioksidan mempunyai peran menangkap radikal bebas dalam
sel dan meningkatkan kekebalan (Salvayre et al., 2006 dan Siagian, 2012).
24
Berdasarkan cara memperolehnya, antioksidan dibagi menjadi dua
kelompok, yaitu antioksidan alami dan antioksidan sintetik. Antioksidan alami
merupakan antioksidan yang diperoleh dari hasil ekstrak bahan alami.
Antioksidan alami dalam makanan dapat berasal dari (a) senyawa antioksidan
yang sudah ada dari satu atau dua komponen makanan, (b) senyawa antioksidan
yang terbentuk dari reaksi-reaksi selama proses pengolahan, (c) senyawa
antioksidan yang diisolasi dari sumber alami dan ditambahkan ke makanan
sebagai bahan tambahan pangan (Pratt dan Hudson,1990).
Senyawa antioksidan alami tumbuhan umumnya adalah senyawa fenolik
atau polifenolik. Senyawa antioksidan alami polifenolik adalah multi fungsional
dan dapat bereaksi sebagai: (a) pereduksi, (b) penangkap radikal bebas, (c)
pengkelat logam dan (d) peredam terbentuknya singlet oksigen. Senyawa fenol
cenderung larut dalam air, karena paling sering terdapat dalam bentuk senyawa
glukosida dan biasanya terdapat dalam rongga sel. Adanya ion logam, terutama
besi dan tembaga, dapat mendorong terjadinya oksidasi lemak. Ion-ion logam ini
seringkali diinaktivasi dengan penambahan senyawa pengkelat dapat juga disebut
bersifat sinergistik dengan antioksidan karena menaikkan efektivitas antioksidan
utamanya (Pratt dan Hudson, 1990).
Antioksidan sintetik merupakan antioksidan yang diperoleh dari hasil
sintesis reaksi kimia. Diantara beberapa contoh antioksidan sintetik yang diijinkan
untuk makanan, ada empat antioksidan yang penggunaannya meluas dan
menyebar di seluruh dunia, yaitu Butil Hidroksi Anisol (BHA), Butil Hidroksi
Toluen (BHT), propil galat, Tert-Butil Hidoksi Quinon (TBHQ) dan tokoferol.
25
Senyawa-senyawa yang umumnya terkandung dalam antioksidan alami adalah
fenol, polifenol dan yang paling umum adalah flavonoid (flavonol, isoflavon,
katekin dan flavonon), turunan asam sinamat dan tokoferol (Winarsi, 2007 dan
Apriadi, 2011).
Berdasarkan sumbernya, antioksidan dibagi menjadi: antioksidan endogen
berasal dari dalam tubuh dan antioksidan eksogen berasal dari luar tubuh.
Antioksidan endogen merupakan antioksidan yang dapat disintesis oleh tubuh.
Contoh antioksidan endogen adalah superoksida dismutase (SOD), katalase dan
peroksidase. SOD merupakan salah satu jenis antioksidan endogen yang mampu
mengkatalis radikal bebas superoksida menjadi hydrogen peroksida, sehingga
SOD disebut sebagai scavenger atau pembersih superoksida. Katalase dapat
mengkatalisis berbagai peroksida dan radikal bebas menghasilkan oksigen dan air.
Antioksidan eksogen merupakan antioksidan yang diperoleh dari luar tubuh.
Antioksidan eksogen dapat diperoleh dari makanan sehari-hari yaitu sayur-
sayuran dan buah-buahan yang mengandung vitamin (vitamin A, C dan E) dan
mineral (Zn dan Se).Tubuh manusia menghasilkan senyawa antioksidan, tetapi
jumlahnya seringkali tidak mencukupi untuk menetralkan radikal bebas yang
masuk ke dalam tubuh. Kekurangan antioksidan dalam tubuh membutuhkan
asupan dari luar yang bisa diperoleh dari makanan yang dikonsumsi.
Keseimbangan antara antioksidan dan radikal bebas menjadi kunci utama
pencegahan stress oksidatif dan penyakit-penyakit kronis (Muchtadi, 2012).
Antioksidan berdasarkan mekanisme kerjanya, dibedakan menjadi
antioksidan primer yang dapat bereaksi dengan radikal bebas atau mengubahnya
menjadi produk yang stabil. Antioksidan sekunder atau antioksidan preventif
26
dapat mengurangi laju awal reaksi antara lain, antioksidan yang berinteraksi
langsung dengan oksidan, radikal bebas, atau oksigen tunggal; mencegah
pembentukan jenis oksigen reaktif; mengubah jenis oksigen reaktif menjadi
kurang toksik; mencegah kemampuan oksigen reaktif; dan memperbaiki
kerusakan yang timbul.
Antioksidan primer berperan untuk mencegah pembentukan radikal bebas
baru dengan memutus reaksi berantai dan mengubahnya menjadi produk yang
lebih stabil. Contoh antioksidan primer, ialah enzim superoksida dimustase
(SOD), katalase, dan glutation dimustase. Antioksidan primer ini bekerja untuk
mencegah pembentukan senyawa radikal bebas baru, mengubah radikal bebas
yang ada menjadi molekul yang berkurang dampak negatifnya, sebelum radikal
bebas ini sempat bereaksi seperti enzim SOD yang berfungsi sebagai pelindung
hancurnya sel-sel dalam tubuh serta mencegah proses peradangan karena radikal
bebas. Enzim SOD sebenarnya sudah ada dalam tubuh kita namun bekerjanya
membutuhkan bantuan mineral seperti mangan, seng, selenium dan tembaga. Jika
ingin menghambat gejala dan penyakit degeneratif, mineral-mineral tersebut
hendaknya tersedia cukup dalam makanan yang dikonsumsi setiap hari (Winarsi,
2007).
Superoksida Dismutase (SOD) merupakan antioksidan alami berupa
enzim, yang berasal dari tubuh sendiri, mempunyai efek sangat kuat dan
merupakan pertahanan tubuh pertama dalam menghadapi serangan radikal bebas.
SOD bekerja memperkuat sistem internal untuk mengaktifkan dan
mengoptimalkan pertahanan tubuh alami. Semakin tinggi kadar SOD di dalam
tubuh semakin optimal pertahanan tubuh terhadap radikal bebas di seluruh sel
27
dan organ tubuh. Antioksidan sekunder bekerja dengan cara meredam atau
menetralisir antioksidan yang sudah terbentuk, menangkap senyawa radikal serta
mencegah terjadinya reaksi berantai. Contoh antioksidan sekunder diantaranya
yaitu vitamin E, Vitamin C, dan ß-karoten. Radikal bebas akan segera bereaksi
dengan antioksidan membentuk molekul yang stabil dan tidak berbahaya dan
reaksipun berhenti sampai disini. Antioksidan cenderung bereaksi dengan radikal
bebas terlebih dahulu dibandingkan dengan molekul yang lain karena
antioksidan bersifat sangat mudah teroksidasi atau bersifat reduktor kuat
dibanding dengan molekul yang lain. Jadi keefektifan antioksidan tergantung
dari seberapa kuat daya oksidasinya dibanding dengan molekul yang lain.
Antioksidan berdasarkan fungsinya dibagi menjadi empat yaitu
antioksidan primer, sekunder, tersier dan oxygen scavenger. Antioksidan primer
adalah antioksidan yang berfungsi untuk mencegah terbentuknya radikal bebas
baru. Contoh antioksidan primer adalah enzim superoksida dismutase (SOD).
Antioksidan sekunder adalah senyawa penangkap radikal bebas yang mampu
mencegah terjadinya reaksi berantai sehingga tidak terjadi kerusakan yang lebih
hebat. Contoh antioksidan sekunder adalah vitamin C, vitamin, E dan β-karoten.
Antioksidan tersier merupakan senyawa yang dapat memperbaiki kerusakan sel
atau jaringan yang disebabkan oleh radikal bebas. Contoh dari antioksidan tersier
adalah metionin sulfoksidan reduktase yang dapat memperbaiki DNA dalam sel.
Oxygen scavenger adalah antioksidan yang dapat mengikat oksigen sehingga
tidak mendukung kelangsungan reaksi oksidasi oleh radikal bebas, contohnya
adalah vitamin C (Winarsi, 2007).
28
Kapasitas antioksidan umumnya ditentukan dengan cara membandingkan
sampel dengan satandar antioksidan murni seperti asam galat, vitamin C, analog
vitamin E yang larut air (trolox) atau dengan vitamin A, tergantung jenis sampel
dan antioksidan dominan yang terkandung didalam sampel. Satuan yang
digunakan untuk menyatakan besarnya kapasitas antioksidan adalah gallic acid
equivalent antioxidant capacity (GAEAC), ascobic acids equivalent antioxidant
capacity (AAEAC) atau trolox eqivalent antioxidant capacity (TEAC)(Yoga,
2018). Kapasitas antioksidan dan aktivitas antioksidan dua istilah yang sama-sama
menunjukkan respon mereduksi radikal bebas. Kapasitas antioksidan dihitung
umumnya pada sampel ekstrak kasar dengan komponen kimia yang komplek, dan
menggunakan standar sebagai pembanding, sedangkan aktivitas antioksidan
digunakan pada sampel dengan senyawa tunggal untuk mengetahui efektivitasnya
dalam menangkal radikal bebas yang umumnya dihitung persen daya hambat
/inhibitory concentration (IC 50%). Menurut Molyneux (2004), yang mereaksikan
radikal bebas DPPH 0,1 mM dengan sampel dengan rasio 1:3, mengklasifikasikan
suatu senyawa memiliki aktivitas antioksidan sangat kuat, kuat, lemah dan sangat
lemah berdasarkan nilai IC 50% seperti terlihat pada Tabel 2.2.
Tabel 2.2 Nilai IC 50% dan katagori antioksidan (Molyneux, 2004)
Nilai IC 50% (ppm) Katagori Antioksidan
IC 50% > 200 Sangat lemah
150 < IC 50% < 200 Lemah
100 < IC 50% < 150 Sedang
50 < IC 50% < 100 Kuat
IC 50% < 50 Sangat kuat
29
2.6 Indeks Glikemik
Indeks glikemik (IG) merupakan indeks pangan menurut efeknya dalam
meningkatkan kadar gula darah. Pangan yang mempunyai IG tinggi bila
dikonsumsi akan meningkatkan kadar gula darah dengan cepat dan puncak kadar
gula darah tinggi. Sebaliknya, konsumsi pangan yang mempunyai IG rendah
akan menyebabkan peningkatan kadar gula darah berlangsung lambat dengan
puncak kadar gulanya rendah. Kadar gula darah dalam keadaan normal adalah
70-110 mg/100 ml darah. Kadar ini meningkat setelah makan, kemudian
menurun secara perlahan mencapai kadar pada waktu puasa yang ditandai
dengan munculnya rasa lapar. Di dalam tubuh pankreas memproduksi hormon
insulin dan glukagon untuk menjaga kadar gula darah tetap dalam keadaan
normal. Keadaan hiperglikemia (kadar glukosa darah tinggi) terjadi bila kadar
gula darah melebihi 160 mg/100 ml darah, sedangkan hipoglikemia (kadar gula
darah rendah) terjadi bila kadar gula darah kurang dari 60 mg/100 ml darah
(Widowati, 2007; Rimbawan dan Siagian, 2004).
Indeks glikemik (IG) pangan menggunakan glukosa murni sebagai
pembanding (IG glukosa murni adalah 100). IG dapat didefinisikan sebagai ratio
antara luas kurva respon glukosa makanan yang mengandung karbohidrat total
setara 50 gram gula terhadap luas kurva respon glukosa setelah makan 50 gram
glukosa murni, pada hari yang berbeda dan orang yang sama. Ke dua tes tersebut
dilakukan pada pagi hari setelah puasa 10 jam dan penentuan kadar gula
ditentukan selama 2 jam. Glukosa sebagai standar (nilai 100) dan nilai makanan
yang diuji merupakan persen terhadap standar tersebut (Saputra, 2008).
30
Menurut Foster-Powell et al (2002), bahan pangan dapat diklasifikasikan
berdasarkan nilai IG yaitu: bahan pangan nilai IG rendah (< 55), bahan pangan
dengan nilai IG sedang (55-69) dan bahan pangan dengan nilai IG tinggi (>70).
Pangan yang memiliki IG rendah akan dicerna dan diubah menjadi glukosa
secara bertahap dan perlahan-lahan, sehingga puncak kadar gula darah rendah.
Sebaliknya, pangan dengan IG tinggi bila dikonsumsi akan segera dikonversi
menjadi energi (Widowati, 2007).
Pangan yang menaikan kadar gula darah dengan cepat memiliki IG
tinggi. Sebaliknya, pangan yang menaikkan kadar gula darah dengan lambat
memiliki IG rendah. Karbohidrat yang lambat diserap menghasilkan kadar
glukosa darah yang rendah dan berpotensi mengendalikan kadar glukosa darah.
Serat pangan dapat bertindak sebagai penghambat fisik pada proses pencernaan,
sehingga IG bahan pangan yang mengandung serat cenderung lebih rendah.
Serat pangan memperlambat laju makanan pada saluran pencernaan dan
menghambat pergerakan enzim, proses pencernaan menjadi lambat sehingga
respon glukosa darah juga rendah (Rimbawan dan Siagian 2004).
Pengenalan karbohidrat berdasarkan efeknya terhadap kadar gula darah
dan respon insulin (berdasarkan IG-nya) berguna sebagai acuan dalam
menentukan jumlah dan jenis pangan sumber karbohidrat yang tepat untuk
meningkatkan dan menjaga kesehatan. Makanan yang memiliki IG rendah
membantu orang untuk mengendalikan rasa lapar, selera makan dan kadar gula
darah. Pangan IG rendah akan dicerna dan diubah menjadi glukosa secara
bertahap dan perlahan-lahan, sehingga puncak kadar gula darah juga akan rendah
(Widowati, 2007).
31
2.7 Rumput Laut
Rumput laut merupakan tanaman tingkat rendah yang tidak memiliki
perbedaan susunan kerangka seperti akar, batang dan daun tetapi sesungguhnya
merupakan bentuk thallus. Rumput laut termasuk kelompok alga (ganggang).
Alga yang ada di perairan Indonesia, khususnya pantai pulau Bali ada empat
kelompok besar yaitu : alga merah (Rhodophyceae), alga coklat (Phaeophyceae),
alga hijau (Chlorophyceae) dan alga biru-hijau (Cyanophyceae), akan tetapi tidak
semua dari spesies tersebut dibudidayakan. Spesies yang telah banyak
dikembangkan yaitu dari jenis Eucheuma cottoni, Eucheuma spinosum dan
Gracilaria, sp (Glickskmans, 1983 dan Aslan, 1998).
Menurut Herpandi et al. (2006) perbedaan spesies, tempat hidup dan
umur panen dari rumput laut akan mempengaruhi komposisi gizi rumput laut.
Perbedaan komposisi ini kemungkinan akan mempengaruhi efek biologisnya di
dalam tubuh. Rumput laut dapat dijadikan sebagai sumber gizi karena umumnya
mengandung karbohidrat, protein, sedikit lemak dan abu yang sebagian besar
dalam bentuk garam natrium dan kalium (Winarno, 1996 dan Aslan, 1998).
Rumput laut merupakan salah satu jenis bahan pangan yang mengandung
serat tinggi. Kandungan serat dan nutrisinya bermanfaat sebagai antioksidan, anti
tumor dan berperan pada metabolisme lemak. Serat pada rumput laut bersifat
mengenyangkan dan memperlancar proses metabolisme tubuh, sehingga sangat
baik dikonsumsi penderita obesitas. Di samping mengandung berbagai macam
nutrisi penting, rumput laut juga mengandung senyawa bioaktif yang sangat
bermanfaat bagi kesehatan (MacArtain et al., 2007). Kandungan seratnya yang
tinggi yaitu berkisar antara 25 – 75 % sangat berguna terutama bagi penderita
32
hiperlipidemia, meningkatkan HDL kolesterol dan meningkatkan aktivitas enzim
antioksidan (Lahaye, 1991; Murata et al., 1999 dan Dawezynski et al, 2007).
Komposisi utama pada rumput laut adalah karbohidrat yang sebagian
besar berupa gum yaitu polimer polisakarida yang berbentuk serat sehingga hanya
sebagian kecil saja yang dapat diserap dalam sistem pencernaan. Rumput laut
warna coklat Undaria pinnatifida (wakame) mengandung sejumlah vitamin,
mineral dan serat yang mampu meningkatkan aktivitas enzim-enzim pada jalur β-
oksidasi sehingga sangat baik digunakan untuk mencegah hiperlipidemia.
Mengkonsumsi wakame yang dikombinasikan dengan minyak ikan dapat
menurunkan konsentrasi trigliserida di dalam serum darah dan liver sehingga
sangat baik bagi penderita hypertriacylglycerolemia (Murata et al., (1999) dan
Murata et al.,(2002).
Rumput laut mengandung polisakarida seperti alginat dari rumput laut
warna coklat, karagenan dan agar dari rumput laut warna merah (Anggadiredja et
al., 2002). Kandungan polisakarida yang terdapat pada rumput laut berperan
menurunkan kadar lemak dalam darah dan kolesterol serta memperlancar
pencernaan makanan. Komponen polisakarida ini dapat mengatur asupan gula di
dalam tubuh sehingga mampu mengendalikan tubuh dari penyakit diabetes.
Beberapa aktivitas biologis penting lainnya di bidang kesehatan seperti
antikoagulan, antikanker, antiperadangan dan antiproliferatif (Burtin, 2003).
Polisakarida yang dihasilkan melalui ekstraksi rumput laut mampu membentuk
gel sehingga banyak dimanfaatkan sebagai bahan pengental (emulsifier), penstabil
makanan yang dihasilkan dari rumput laut jenis alga merah (Raven et al, 1986).
33
Spesies rumput laut yang potensial untuk dikembangkan karena
mempunyai nilai ekonomis tinggi dan telah banyak dibudidayakan oleh petani
lokal yaitu Eucheuma cottoni, Eucheuma spinosum dan Gracilaria, sp.
(Herpandi et al., 2006). Rumput laut warna merah dan coklat menghasilkan
hidrokoloid seperti agar, karagenan dan alginat yang dapat digunakan sebagai
pengental dan pembuat gel dalam industri pangan. Selanjutnya menurut
MacArtain et al. (2007), spesies E. cottoni, Gelidium sp. dan Sargasum sp.
memiliki kandungan serat berturut-turut 64,43 %, 53,05 % dan 56 %. Perbedaan
kandungan dan komposisi serat ini juga menyebabkan spesies E. cottoni bersifat
lebih hipokolesterolemik dibandingkan spesies lainnya. Komposisi kimia rumput
laut E.cottonii, E. spinosum dan Gracilaria sp. disajikan pada Tabel 2.3.
Tabel 2.3
Komposisi kimia rumput laut E.cottonii, E. spinosum dan Gracilaria sp.
Komposisi kimia
E.cottonii
(%)1)
E. spinosum
(%) 2)
Gracilaria p.
(%)3)
Air 76,15±0,23 19,55±0,49 88,65
Abu 5,62±0,12 18,70±0,55 17,09 (%bk)
Protein 2,32±0,05 4,85±0,62 16,83(%bk)
Lemak 0,11±0,02 0,1±0,02 3,17(%bk)
Karbohidrat 15,8±0,70 56,80 62,91(%bk)
Serat kasar 1,10(%bk)
Serat pangan total 11,20
Iodium 54,27(ppm, bk)
Keterangan :
1). Maharany, et al. (2017); 2). Diharmi, et al. (2011); 3). Princestasari dan
Amalia (2015)
34
Menurut Astawan et al.(2004), kadar protein dan abu rumput laut
bervariasi antara satu daerah dengan daerah lainnya karena dipengaruhi oleh
habitat dan variasi individu dari rumput laut. Kualitas rumput laut dipengaruhi
oleh faktor lingkungan seperti cahaya, umur panen, suhu, musim, kadar garam,
gerakan air dan unsur hara. Habitat rumput laut ini dapat mempengaruhi proses
fotositesis yang secara langsung akan mempengaruhi kadar karbohidrat, protein,
lemak dan serat kasar (Ito dan Hori, 1989). Penelitian Chaidir (2007),
menunjukkan bahwa rumput laut Gracilaria,sp mengandung iodium 29,94 ppm
(%bk) dan serat pangan 9,76%.